Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Oleh : Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
Abstract Freedom of the press in Indonesia has enjoyed 12 years. The results of the freedom that can be seen on the growth and development of the media industry in Indonesia. According to current data there are about thousand of daily newspapers, 150 television stations and 2000 radio stations. With the amount that can be said mass media as an economic institution has been going well. Business media is seen as an attractive business area. This study aims to determine the development of press freedom after 12 years of reform from the perspective of political economy and to understand the evolving model of press freedom in Indonesia Freedom of the press interpreted as freedom to have and express opinions through the press, which contain at least three meanings, namely freedom of speech (free opinion), freedom of expression (free expression) and freedom of access to information (freedom of access). This study uses a critical approach. Critical approach as a process that critically trying to uncover “the real structures” behind the illusions, false needs, which are shown in the material world, with the aim of helping establish a social consciousness that to be able to change the social transformation to improve their living conditions. The observed reality is the reality of “fictitious” (virtual reality) that has been shaped by the historical process and the power of social forces, cultural, and political economy. The results showed that although Indonesia has enjoyed the freedom of the press, but have not created a healthy press. Thera are about 1000 the print media, only 30% of healthy business. Only 20 percent of the journalists work professionally and able to provide “enlightenment” to the public, while about 80 percent of the journalists were not qualified. Key Word: Freedom Of The Press, Press System
Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
1
Latar Belakang Setelah reformasi, Kebebasan pers di Indonesia tak terasa sudah dinikmati 12 tahun. Hasil dari kebebasan itu dapat dilihat dari makin tumbuh dan berkembangnya bisnis media di Indonesia. Menurut data saat ini terdapat 1.008 jumlah surat kabar harian, +150 stasiun TV dan + 2000 stasiun radio. Dengan jumlah yang sekian banyak tersebut bisa dikatakan media massa sebagai lembaga ekonomi sudah berjalan dengan baik. Bisnis media dipandang sebagai lahan bisnis yang menggiurkan. Tetapi apakah media yang banyak menjamin berjalannya kebebasan pers yang berkualitas? Dibalik banyaknya jumlah media itu ternyata menyisakan sejumlah persoalan bagi kebebasan sendiri. Orientasi media diduga tetap dipegang oleh penguasa media, yang berkolaborasi dengan aktor-aktor politik dan ekonomi pasar menyebabkan publik “tidak berdaya” menghadapi serbuan media.
2
Fakta menujukkan bahwa saat ini banyak sekali pemberitaanpemberitaan di media massa yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dimasyarakat, seperti misalnya gossip infotainment, berita-berita kriminal yang cendrung menonjolkan unsur-unsur kekerasan. Sehingga bemberitaan kadang-kadang mendorong orang lain untuk melakukan kejahatan sejenis Pemberitaan dengan menekankan pada nilai ekonomis dari kejahatan narkoba misalnya, pada satu sisi menunjukkan polisi dan media massa melihat kejahatan narkoba ini hanya sebagai fenomena ekonomi. Pada sisi lain, akan mengggiurkan warga yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, atau orang yang memang tamak untuk mendapat hasil dengan jalan pintas. Demikian juga misalnya pemberitaan tentang modus operandi kejahatan seksual (pemerkosaan) bisa jadi kemudian mendorong orang lain untuk melakukan pemerkosaan. Fakta lain yang juga perlu diperhatikan dibalik maraknya jumlah media yang melayani audiens di seluruh nusantara juga menyisakan cerita miris tentang pengelolaan media masaa sebagai entiti bisnis (Bisnis entity). Data SPS tahun 2008 menyebutkan bahwa pers yang sehat bisnis saat ini Dari Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
sekitar 900 media cetak yang ada di Indonesia, baru sekitar 30 persen yang sehat bisnis. Hanya 20 persen wartawan yang bekerja secara profesional sekaligus mampu memberikan “pencerahan” kepada publik, sementara sekitar 80 persen wartawan sebagai pemeras. Fakta itu kemudian diperparah dengan tingkat kesejateraan wartawan Indonesia. Menurut survei yang dilakukan oleh Dewan Pers tahun 2009, menyebutkan bahwa lebih dari 55, 13% wartawan di Indonesia bergaji kurang dari Rp 1,5 juta perbulan. Dengan tingkat perhasilan sebesar itu 47,94% wartawan mengaku gaji yang mereka terima masih sangat kurang (Wina Armada, 2009, hal 51). Fakta tersebut tentu menjadi ironi di tengah prestiusnya fungsi wartawan sebagai agen demokrasi. Akibat dari rendahnya tingkat kesejahteraan wartawan maka tak sedikit wartawan yang menembuh jalan pintas yakni menjadi wartawan amplop.1 Disamping rendahnya kesejahteraan wartawan, kebebasan pers di Indonesia juga dihadapkan pada tingginya angka kekerasan terhadap pekerja media. Menerut Ketua Aji, Nezar Patria, sepanjang Mei 2008 hingga Mei 2009, tercatat 44 kasus kekerasan terhadap jurnalis, baik kekerasan fisik dan nonfisik. Bentuk kekerasan fisik yang paling banyak adalah pemukulan dengan jumlah kasus 19 kali, perampasan alat kerja sebanyak tujuh kasus. Di samping itu terjadi satu kasus pembunuhan di Bali dan penyanderaan satu kali. Kekerasan nonfisik yang paling sering terjadi adalah ancaman sebanyak sembilan kali dan delapan kali larangan meliput kejadian. Sedangkan berdasarkan wilayah, kekerasan terhadap pers paling banyak terjadi di Jakarta sebanyak enam kasus. Wilayah lainnya adalah Sulawesi Selatan terjadi lima kali kasus kekerasan pers terhadap jurnalis. Sementara di Maluku Utara, yang menjadi wilayah konflik paska pemilihan gubernur, kasus intimidasi terhadap jurnalis sebanyak empat kali. (http://www.kapanlagi.com/h/ kekerasan-masih-jadi-ancaman-kebebasan-pers.html, rabu 6 Mei 2009) Konglomerasi dalam industri media merupakan ancaman lain dalam kebebasan pers di Indonesia setelah kekerasan terhadap media. Kekuatan modal semakin tak tertahankan jika tak ada kekuatan lain yang mampu mengimbanginya. Pernyataan itu merupakan respon fenomena dunia pers 1 Wartawan amplop adalah wartawan yang menerima atau meminta imbalan (reward) dari narasumbernya yang berkaitan atau tidak berkaitan dengan karya jurnalistik. Wartawan amplop lebih populer dengan sebutan wartawan bodrex.
Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
3
yang terjadi belakangan ini. Sebut saja, adanya tren integrasi redaksi dalam kelompok media yang sama yang berdampak pada rasionalisasi, berdirinya Federasi Serikat Pekerja Media Independen, kompetisi yang semakin ketat untuk memperebutkan pangsa pasar. Selain itu maraknya pemberangusan berserikat di perusahaan media seperti yang terjadi di Kompas, Indosiar, dan Suara Pembaruan. Tindakan itu tentu saja tak demokratis. Cengkraman kekuasaan modal dalam industri pers berakibat buruk dalam kebebasan pers. Misalnya, media dijadikan corong kepentingan politik atau bisnis dan juga sarana public relations. Media mudah diintervensi ketika memberitakan isu yang dianggap tabu pemiliknya, pembiasan informasi, rasionalisasi atau efisiensi yang berdampak PHK massal, kecepatan informasi ukuran terpenting ketimbang kedalaman informasi.
4
Fenomena lain dari sisi ketenagakerjaannya, wartawan dituntut tak hanya bekerja dalam satu industri, tetapi beberapa industri (cetak, televisi, online, atau radio) dengan dalih sinergi, sehingga penyajian informasi dengan berbagai format. Sementara kesejahteraan wartawan tak berubah. Perusahaan media pun kerap memanfaatkan kontributor lepas yang dapat merekrut kontributor lain. Hal yang tak kalah penting, dominasi kekuatan modal yakni fenomena pemberangusan kegiatan berserikat di industri media dengan mengucilkan dan memecat pengurusnya. Ironisnya, dari sekitar 2000-an stasiun radio, 1008 media cetak, 115 stasiun televisi, dan belasan media online, tercatat hanya 27 perusahaan media yang memiliki serikat pekerja. Jumlah ini tentu kecil sekali (http://www.hukumonline.com, Intervensi Kekuatan Modal Menjadi Ancaman Kebebasan Pers, 3 Maret 2010) Kemerdekaan pers yang berjalan dengan sempurna merupakan gizi bagi perkembangan demokrasi, ekonomi dan pendidikan bagi suatu bangsa. Pers yang bekerja dalam iklim yang baik tentu membuat masyarakat memiliki banya informasi, gagasan dan alternatif. Muncullah proses dialogis. Terbentuk pula gelanggang gagasan. Lahir juga kompentisi mengejar kualitas, efektivitas dan efisiensi originalitas, kebajikan, termasuk persainagn kekuasaan. Akibatnya masyarakat terus bergerak, berkembang dan maju. Pers membawa harapan oleh karena itu pers sering dijuluki sebagasi communicator of hope atau agent of change. Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
Oleh karena itu menjadi tanggung jawab bagi semua warga bangsa untuk menjaga kemerdekaan pers tersebut. Berangkat dari pemikiran tersebut penelitian ini dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan kebebasan pers saat ini setelah 12 tahun reformasi ditinjau dari perspektif ekonomi politik dan mengatahui model kebebasan pers yang berkembang saat ini di Indonesia.
Tinjauan Teoritis Dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, kebebasan pers adalah sebuah keniscayaan. Institusi pers tidak akan bekerja sempurna sesuai kodratnya tanpa jaminan kebebasan. Oleh karena itu kebebasan pers disebut hak asasi manusia yang paling hakiki. Lazim pula dijadikan sebagai barometer demokrasi. Kebebasan pers pertama kali dipelopori oleh John Milton pada abad ke 17. Dalam sebuah pidatonya yang berjudul Aeropagitica ia berucap “a speech for unlicenced printing.” Ucapan filusof berkebangsaan Inggris itu menandai permulaan lahirnya gerakan anti sensor sebagai tindakan preventif terhadap publikasi. Kebebasan pers menurut Oemar Seno Adji (1977, hal 77) sebagai kemerdekaan untuk mempunyai dan menyatakan pendapat melalui pers, dimana setidaknya mengandung tiga makna, yakni kebebasan berpendapat (free opinion), kebebasan berekspresi (free expresion) dan kebebasan mendapatkan akses informasi (freedom of access). Kebebasan pers juga bermakna larangan sensor preventive, artinya lembaga hukum dilarang melakukan sensor pendahuluan terhadap isi media. Dalam larangan sensor pendahuluan terkandung di dalamnya misalnya peringatan atau teguran resmi kepada media; larangan penjualan kepada publik; diskriminasi dalam subsidi; diskriminasi dalam sumber-sumber pemberitaan; anjuran untuk tidak memuat berita-berita tertentu dan lainnya. Larangan sensor preventif juga meliputi larangan izin penerbitan pers, larangan meliput suatu peristiwa dan kewajiban melapor pada pihak yang berwenang. Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
5
Sementara itu kelompok libertarian pada abad ke 19 mendefenisikan kebebasan pers sebagai kebebasan pribadi penulis untuk mengungkapkan pikirannya melalui sarana yang telah ditemukan manusia dan bentuk pers (Whiple dalam Basuki, 1997 hal 55). Pandangan ini mengupayakan kebebasan sampai pada batasnya yang wajar dan menghubungkannya dengan kebebasan berpikir dan berbicara sebagai bagian dari doktrin hakhak alami. Zechariah Chafee dalam Basuki (1997, hal 56) mengatakan makna kebebasan pers yang populer adalah hak membicarakan masalah umum yang tidak dilarang. Chaffe yakin bahwa defenisi ini setidaknya merupakan pengertian umum tentang kebebasan berbicara sebagaimana yang dimaksudkan oleh para pembuat konstitusi.
6
Komisi Kebebasan Pers (commision on freedom of the press) atau sering disebut komisi Hutchins (Hutchins Commissions) melalui pernyataan mereka dalam A Free and Responsible mendefenisikan kebebasan pers sebagai berikut: 1. Pers bebas adalah pers yang bebas dari paksaan manapun, pemerintah atau sosial, luar atau dalam. Ini tridak berarti bahwa pers bebas dari tekanan, karena tidak ada pers yang bisa bebas dari tekanan kecuali pada masyarakat yang hampir mati yang tidak terdapat tantangan dan kepercayaan. Namun, jika terdapat tekanan terus menerus dan menyimpang seperti tekanan keuangan, tata usaha masyarakat, dan lembaga ini dapat mendekati paksaan; dan akan ada sesuatu yang hilang dari kebebasan itu. 2. Pers bebas adalah pers yang bebas untuk mengungkapkan pendapat melalui segala bentuk. Pers bebas adalah pers yang bebas untuk mencapai tujuan pelayanan pers yang dapat memadukan cita-citanya dan harapan masyarakat dengan menggunakan cara yang memungkinkan. Untuk tujuan ini pers harus menguasai sumber dayqa teknis, keuangan secara mantap, akses yang layak ke sumber informasi di dalam dan luar negeri, dan fasilitas yang diperlukan untuk mengirim informasi ke pasar nasional. 3. Pers yang bebas harus bebas bagi semua yang perlu mengatakan sesuatu Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
yang berguna kepada umum karena tujuan pokok yang menjadikan pers bebas dihargai adalah bahwa gagasan yang patut didengar oleh umum.
Jadi makna kebebasan pers sesungguhnya ialah larangan sensor pendahuluan/preventif (prior restraining) terhadap pemberitaan-pemberitaan dalam pers. Yang dimaksud sensor di sini adalah: 1. Penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang diterbitkan atau disiarkan, 2. Tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, 3. dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik. Demikianlah bahwa kemerdekaan pers merupakan darah bagi suatu negara demokrasi. Saking pentingnya kemerdekaan pers digambarkan oleh Edmund Burke Negarawan asal Inggris bahwa pers lembaga keempat (the Fouth Estate).2 Arti pers sebagai lembaga keempat adalah pers merupakan isntitusi yang dianggap sejajar dengan lembaga ketiga seperti yang cetuskan oleh John Lock dalam trias politika eksekutif, yudikatif dan legislatif. Istilah ini sebenarnya hanyalah citra yang muncul dari kalangan pers sendiri yang merasa bahwa pers merupakan institusi penting dan berpengaruh terhadap ketiga lembaga itu (Annenberg dalam Basuki, 1997, 61). Disebut lembaga keempat karena adanya kekuatan, besarnya peranan dan pengaruh pers terhadap jalannya kehidupan bernegara seperti mempunyai otonomi, mengawasi pemerintah, mengungkap penyelewengan, menggerakaan, mendidik, dan mewakili masyarakat, melayani hak rakyat mengetahui, menyumbang informasi dan pendapat untuk diskusi umum, mengeritik pemerintah, serta menjadi komunikator rakyat terhadap apa yang dikerjakan pemerintah. Munculnya konsep lembaga keempat didasarkan pada asumsi bahwa pers adalah bagian integral dari pemerintah yang secara teoritis melengkapi cabang-cabang eksekutif, legislatif dan yudikatif serta mengawasi 2 Lembaga keempat melengkapi tiga lembaga yang dicetuskan oleh John Lock dalam trias politica: eksekutif, yudikatif dan legislatif.
Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
7
mereka. Menurut Merrill dalam Basuki (1997, hal 61) Konstitusi AS tidak memberi pers tanggung jawab dan kewajiban untuk mengawasi kegiatan pemerintah. Selain itu tidak memilih pers sebagai wakil mereka. Perslah yang mengangkat dirinya sebagai lembaga keempat dengan mengembangkan konsep-konsepnya, serta merasa menjadi bagian dan pengawas pemerintah karena kepercayaan sendiri. Jaminan Kebebasan Pers secara Internasional Jaminan kemerdekaan pers secara internasional terdapat dalam piagam Universal Hak Azasi Manusia oleh PBB pada tanggal 28 Desember 1948. Jaminan kebebasan itu tercatat dalam pasal 19 yang berbunyi: “Everyone has the right to freedom of opinion and expression: this right includes freedom to hold opinion without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.”
8
(Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, menyampaikan keterangan-keterangan, pendapat dengan cara apapun serta dengan tidak memandang batas-batas.) Hal tersebut dinilai masih kurang lengkap. PBB kemudian menyetujui lagi kovenan internasional tentang Hak Sipil dan Politik (internasional kovenant of sipil and political right). Kebebasan pers lagi-lagi dimaksukkan sebagai hal yang harus dijamin. Pasal 19 kovenan itu berbunyi: 1. Everyone shall have the right to hold opinions without interference 2. Everyone shall have the right to freedom of expression: this right shall include freedom to seek, receive, and impart information an ideas of all kinds, regardless of frontiers of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice 3. the exercise of the rights provide for in paragraph 2 on this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restriction, but these shall only be such as are provide by law and are necessary; (a) for respect of the right or reputation of others Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
(b) for the protection of national security or public order or public health or morals.
(1. Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa dipengaruhi orang lain (2. Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatkan pendapat, hak ini termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya. (3. Pelaksanaan hak-hak yang tercantum dalam ayat 2 pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini dapat dilakukan sesuai dengan hukum, sepanjang diperlukan untuk: a. Menghormati hak atau nama baik orang lain b. Melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan atau moral umum.)
Makna pasal ini sesungguhnya ingin menegaskan bahwa kebebasan pers bukan kebebasan absolut (limatation of freedom). Di dalam kebebasan tersebut terkandung kewajiban dan tanggung jawaban. Kedua hal tersebut merupakan bagian integral dengan kebebasan tersebut. Dengan demikian makna kebebasan pers membuka peluang adanya tindakan yang bersifat “represif” terhadap kebebasan pers. Oemar Seno Adji menyebut tindakan represif itu sebagai legal restriction (Seno Adji, 1977 hal 113). Legal restriction berarti tindakan pembatasan terhadap penyalahgunaan dari kebebasan pers. Pembatasan atas kebebasan pers harus dalam bentuk peraturan dan perundang-undang dengan syarat peraturan UU tersebut tidak bertentangan asas-asas HAM dan Demokrasi. Aturan-aturan yang dapat diterima sebagai pembatasan kebebasan pers misalnya pencemaran nama baik (libel), pornografi atau cabul (obscenity), mengasut, menodaan agama, dll. Apabila media melanggar ketentuan aturan tersebut, maka hakimlah di depan pengadilan yang bebas berhak memutuskan salah tidaknya pers tersebut. Pembatasan-pembatasan Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
9
demikian adalah lazim dan dipandang tidak bertentangan dengan kebebasan pers. Hal lain yang bisa membatasi kebebasan pers bila terjadi keadaan darurat dan memaksa yang bersifat luar biasa seperti bencana alam, darurat militer. Namun pembatasan kebebasan pers tersebut sekali lagi harus dituangkan dalam aturan dan UU. Menurut teori hukum tata negara syarat pembatasan kebebasan pers dalam keadaan darurat: (Oemar Seno Adji, 1977, hal 90) 1. Harus menjadi nyata, bahwa kepentingan negara tertinggi dibahayakan. Dan tindakan pembatasan itu merupakan cara menyelamatkan negara. 2. Tindakan tersebut sifatnya sementara, apabila keadaan kembali normal maka aturan pembatasan tersebut segera dicabut. 3. Waktu tindakan diambil, dewan perwakilan rakyat tidak dapat bersidang karena situasi darurat.
10
Kebebasan pers sebenarnya bukan hanya bebas dari kekangan negara, tetapi juga bebas dari kekuatan ekonomi dan pasar. Gejala-gelaga dominasi pasar atas kebebasan pes sudah mulai tumbuh. Prof. James Carey dari Columbia University sudah mensinyalir bahwa kebebasan dari kekangan negara justru menyebabkan leluasanya kebebasan pasar untuk mengendalikan kebebasan pers itu sendiri. Oleh karena itu esensi kebebasan adalah terlindungi kepentingan publik dari dua kekuatan, yakni kekuatan negara dan ekonomi/pasar. Sudah menjadi keniscayaan bahwa setiap kebebasan pasti memerlukan tanggung jawab. Demikian juga dengan kebebasan pers (media). Menurut Dennis McQuail, tanggung jawab media adalah segala proses baik sukarela maupun terpaksa dimana media menjawab secara secara langsung atau tidak langsung pada lingkungan masyarakatnya kualitas dan atau konsekuensi dari publikasi yang dimuatnya (McQuail, 2005). Oleh karena itu, proses pertanggungjawaban meliputi tiga kriteria (McQuail, 2005): 1. Media harus menghormati hak kebebasan untuk mempublikasikan sesuatu Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
2. Media harus melindungi atau membatasi bahaya yang mengkin timbul dari publikasi terhadap individu dan masyarakat 3. Media harus lebih memajukan aspek-aspek positif dari publikasi daripada hanya membatasinya Dari ketiga kriteria tersebut, kriteria pertama merefleksikan sifat dasar dari kebebasan berekspresi dalam sistem demokrasi, sedangkan yang kedua, adanya kewajiban terhadap masyarakat di satu sisi dan kewajiban terhadap hak, kebutuhan dan kepentingan individu di sisi lain. Adapun kreteria ketiga menekankan pada dialog dan interaksi antara media dan institusi lain dalam masyarakat. Karena banyak jenis pertanggungjawaban, maka McQuail menyusun kerangka pertanggungjawaban (frame of accountability). Kerangka pertanggung jawaban menurut McQuail adalah sebuah kerangka rujukan dimana perilaku media yang diharapkan, tanggungjawab dari perilaku media dan tuntutan dinyatakan. Atau juga bermakna: menyatakan atau menenutkan cara mana suatu tuntutan sebaiknya diselesaikan. Indonesia yang menerapkan sistem demokrasi dalam kehidupan bernegara telah jaminan keberlangsungan kebebasan pers tersebut. Jaminan itu tertuang dalam konstitusi UUD 1945 pasal 28 F yang menyatakan “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Hal tersebut diperkuat lagi dalam UU Hak Asasi Manusia No. 39/1999 dalam pasal 23 ayat 2 “setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarkan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media elektronik dengan memperhatikan nilainilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum , dan keutuhan bangsa.” Lalu dipertegas dalam UU Pers No. 40/1999, “kebebasan pers adalah hak asasi warga negara,” dan setiap usaha yang menghalangi tegaknya kebebasan pers dipidana dua tahun penjara atau denda Rp 500 Juta. Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
11
Metodologi Studi ini bersifat deskriptif ktitis. Bogdan dan Taylor dalam Moleong mengartikan penelitian deskriptif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan prilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistic (utuh). Kirk dan Miler juga dalam Moleong mendefenisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu social yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya. Data yang dikumpulkan dalam penelitian kualitatif berupa kata-kata dan gambar serta bukan angka-angka. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut berasal dari misalnya; wawancara, catatan lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi, memo dan dokumen resmi lainnya.3
12
Sementara itu, menurut Singer penelitian kualitatif adalah suatu proses yang berlangsung dalam melakukan penemuan, pernyataan, pendeskripsian dan penemuan kembali. Suatu proses dengan pola koherensi tertentu, tapi tidak memiliki aturan absolut. Pengetahuan yang dihasilkan diasumsikan sebagai bagian dari penjelasan yang lebih lengkap dan kumulatif. Adapun menurut Densin dan Lincoln, penelitian kualitatif merupakan suatu aktivitas yang menempatkan peneliti di dalam dunia tersebut. Di dalamnya termasuk interpretasi, materil praktis yang membuat dunia nyata. Penelitian kualitatif berfikir dalam latar bekalang alamiah, berkeinginan melakukan interpretasi fenomena yang sesuai pemaknaan masyarakat yang ditelitinya. 4 Adapun pendekatan kritis bermakna sebagai suatu proses yang secara kritis berusaha mengungkap “the real structures” dibalik ilusi, false needs, yang dinampakkan dunia materi, dengan tujuan membantu membentuk suatu kesadaran sosial agar mampu melakukan transformasi sosial memperbaiki merobah kondisi kehidupan mereka. Realitas yang teramati merupakan realitas “semu” (virtual reality) yang telah terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan kekuatan sosial, budaya, dan ekonomi-politik.
3 Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya: Bandung, 2000 Hal 4 Norman K. Densen & Yvonna S. Lincoln , Qualitatif Research (third edition), Sage Publication, 2005 hal 3
Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
Pendekatan kritis sebagaimana ciri-cirinya mensyaratkan analisis menyeluruh (analisis multi-jenjang) untuk menangkap gejala secara utuh, yaitu analisis jenjang makro, messo, dan mikro. Analisis makro memfokuskan diri pada konteks sejarah (historical situatedness) yang menjadi latar bagi perubahan struktur ekonomi politik kebebasan pers pada sebelum kejatuhan Orde Baru dan reformasi. Pada jenjang ini yang dilakukan adalah komparasi struktur terhadap kedua periode. Analisis menengah berfokus pada lembaga-lembaga yang terlibat dalam upaya pemosisian/konstruksi terhadap kebebasan pers. Analisis jenjang mikro berupaya menganalisis keluaran-keluaran regulasi yang dihasilkan lembaga-lembaga yang mengatur kebebasan pers. Jenjang
Jenjang pengamatan
Metode
Makro
Struktur
Pemahaman atas struktur dengan studi pustaka
Menengah
Lembaga-lembaga: KPI, pemerintah (Menkominfo), pemilik televisi, DPR, asosiasi televisi swasta, dan elemen masyarakat sipil.
Wawancara dengan narasumber kunci yang merepresentasikan lembaga-lembaga tersebut.
Regulasi
Analisis teks perundang-undangan.
Mikro
Hasil Penelitian UU No.40/1999 tentang pers merupakan tonggal sejarah (mile stone) buat kemerdekaan pers setelah selama terbelenggu selama kurang lebih 32 tahun. Lembaga perizinan ditiadakan, pers tidak perlu takut terhadap sensor dan pembreidelan. Organisasi pers juga tumbuh bebas tanpa harus berselingkuh dengan kekuasaan. Pendek kata, kebebasan pers dinikmati tanpa diembel-embeli bertanggung jawab. Setelah berjalan 12 tahun kebebasan pers, mari kita tengok kembali apakah kebebasan itu telah belajan pada relnya sehingga tujuan kemerdekaan pers sebagai pilar demokrasi dalam mewujudkan masyarakat yang terdidik, dan sejahtera bisa tercapai. Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
13
Menurut Yoppie Hidayat ada empat tantangan yang dihadapai oleh insan pers Indonesia setelah 12 reformasi. Pertama, mampukah media massa mempertahankan dan generalisasi yang membatasinya. Menurut Yopie mengimplementasikan independensi bukanlah persoalan sederhana. Sebagai pilar keempat demokrasi, media adalah pengawas tiga pilar lainnya: eksekutif, legislatif dan yudikatif. media jelas tidak boleh dan tidak bisa berpihak kepada salah satu komponen bangsa. Sesuai namanya, media harus bisa memotret persoalan dari berbagai aspek dan kepentingan.
14
“Cover both side, mestinya bukan Cuma slogan melainkan harus menjadi cara berfikir yang terefleksikan dalam tindakan seharihari. Sayang, ini belum terealisasi, pers masih sering terjebak ke dalam generalisasi yang mengarah pada radikalisasi dalam melakukan peliputan. Dan lama kelamaan menimbulkan antipati dan apatisme di masyarakat terhadap pers sendiri. Padahal masyarakat adalah pemangku kepentingan eksistensi media massa yang paling utama.” 5 Kedua, mampukah media massa mengatasi tekanan selera pasar dan tetap menjadi pilar demokrasi? Yopie menilai ada pergeseran saat ini dari pers perjuangan ke pers industri. Ini fakta bahwa sekarang ini insutri media 100% bekerja dalam sistem ekonomi pasar. Penguasa industri pers saat ini adalah kekuatan pesar yang memainkan aturan yang kejam yakni survival of the fittest. Singkat kata, independensi media akhirnya menjadi sebuah Ironi mengapa, karena ini berkaitan dengan survival media. Media agar bisa independen tentu harus bisa menghidupi dirinya sendiri. Ini dilema karena terkadang media rela mengorbankan independennya demi survivalitas”6 Bila media tunduk pada mekanisme pasar tuntutannya adalah media haruslah kuat secara finansial. Oleh karena itu media harus membuat produk yang layak secara komersial dan didukung oleh pasar. Bertahan hidup dalam sebuah ekonomi berorientasi pasar juga berarti memburu profit dan memenangkan persaingan. Namun masalahnya terlalu menuruti mekanisme pasar berarti mengabaikan kualitas. 5 Yopie Hidayat, Melihat ke Dalam: Pers Indonesia Setelah Sepuluh Tahun Mereguk Kebebasan (Makalah), tahun 2009 6 ibid
Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
Tengok saja wajah TV kita. Masyarakat komplain karena kualitasnya makin menurun, penuh darah, misteri, dan mimpi. Tapi itulah kemaun pasar yang harus diikuti manajemen televisi kalau tak mau bangktut Ketiga, mampukah media massa menjadi pilar demokrasi ke empat jika struktur kepemilikannya lebih berat mengarah pada kepentingan non media. Kata Yopie, ada faktor lain yang membuat para pemodal mengabaikan aspek-aspek komersial dalam bisnis media. Rupanya, orang makin sadar betapa kerusialnya media dalam sebuah sistem demokrasi yang liberal sekarang ini. Yopie mengingatkan , selain menjadi mekanisme kontrol, media juga bisa sama efektifnya bila memainkan corong fungsi corong. Pemilihan presiden secara langsung atau pemilihan umum untuk anggota DPR adalah target utamanya. Keempat, mampukan media massa mendidik dan mengembangkan sumber daya manusianya di tengah keterbatasan kualitas dan integritas sumber daya yang berminat berkarier di bidang jurnalistik. Industri media saat ini susah menang bersaing dalam memperebutkan sumber daya yang berkualitas tinggi melawan industri-industri lain, baik di sektor riil maupun finansial. Selain upah yang belum memadai, citra wartawan di Indonesia secara umum juga masih belepotan dan belum mencerminkan sebuah status yang terhormat, terlebih lagi jika dihubungkan dengan fungsi sebagai pilar demokrasi keempat “Menjadi bagian dari birokrasi jelas lebih bergensi ketimbang menjadi wartawan, meskipun kadangkala keduanya tak kalah korupnya”kata Yopie7 Berikut ini adalah beberapa problematika kemerdekaan pers setelah 12 tahun reformasi: 1. Fenomena Wartawan Amplop Saat reformasi bergulir yang ditandai kebebasan media dan kebebasan berorgansasi banyak orang memanfaatkan kesempatan itu untuk mendirikan penerbitan pers dan mendirikan organisasi jurnalis. Bila di era Orde Baru, hanya PWI satu-satunya yang diakui oleh pemerintah sebagai organisasi jurnalis, maka PWI pula yang boleh menerbitkan kartu 7 ibid
Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
15
pers. Kini, siapa saja boleh menerbitkan kartu pers. Momentum reformasi ini dimanfaatkan sebagian orang untuk mengambil keuntungan pribadi. Hanya dengan kartu pers, para jurnalis kerap beraksi berpura-pura mencari berita namun ujung-unjungnya meminta sejumlah uang ke narasumber. Mulai cara halus sampai memeras. Sejumlah alasan bisa dihadirkan: ongkos berobat, nambah biaya pulang kampung, pengganti ongkos cetak atau bahkan dengan ancaman kekerasan. Profesi wartawan tiba-tiba menjadi ladang bisnis baru bagi sebagian orang. Gampangnya orang menerbitkan perusahaan pers, membuat jumlah media tidak terkontrol. Bahkan tanpa modal cukup setiap orang bisa mendirikan perusahaan pers. Akibat penerbitan tidak dikelola serius, sekali dua kali terbit terus mati. Namun nasib wartawan dibiarkan menggelantung, akibatnya menjadi wartawan tanpa suratkabat atau sering disebut WTS, wartawan amplop, wartawan bodrex atau wartawan gadungan.
16
Menurut Heru Hendratmoko, Mantan Ketua AJI, kehadiran wartawan bodrek, mutaber, WTS maupun wartawan pemeras keberadaannya cukup mengkawatirkan. Mereka menghadiri berbagai acara-cara yang menyediakan uang. Seperti Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), lounching produk, seminar dan konperensi pers lainnya. Para wartawan bodrex ini selalu memburu berbagai acara. Beragam modus mereka tempuh. Bahkan ada yang sampai memburu sasarannya sampai ke toilet. Para wartawan bodrex ini biasanya menghadiri acara dengan bergerombol dan berkumpul dengan sesama wartawan bodrex. Mereka biasanya tidak bergabung dengan wartawan sungguhan. Setelah acara selesai biasanya mereka mereka mendekati sasarannya dengan menyerahkan daftar hadir nama-nama wartawan. Nama medianya pun kadang tak pernah kedengaran, bahkan aneh. Ada harian namanya Indonesia Timur terbitnya di Jakarta. Ada juga tabliod namanya Moralis. Namun tak semua wartawan yang menerima amplop itu adalah wartawan bodrex, banyak pula wartawan sungguhan yang menerima amplop. Meskipun keberadaannya susah dilacak. Selama ini sejumlah faktor dikemukakan sebagai alasan atau pembenaran tentang maraknya fenomena wartawan amplop. Yang utama adalah alasan ekonomi: minimnya imbalan yang diterima wartawan membuat mereka tergoda menerima atau meminta amplop, kata Heru. Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
Faktor lain yang memberi andil, tak bisa dilepaskan dari peranan institusi pemerintah yang dengan sengaja menyediakan dana khusus untuk wartawan dalam anggarannya. Pos anggaran itu tersebut lazim disebut “dana pembinaan wartawan.” Sejumlah pemerintah daerah bahkan menganggarkannya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ditinjau dari sosiologi korupsi, amplop di kalangan wartawan, sebenarnya bisa dikategorikan sebagai sebuah bentuk korupsi. Menurut defenisi Bank Dunia, 1997, korupsi adalah menggunakan wewenang publik untuk mendapatkan atau manfaat individu yang merugikan pihak lain. Wartawan yang menerima amplop hakekatnya telah menggunakan publik untuk keuntungan pribadi. Amplop adalah sogokan halus dari pihak yang berkepentingan supaya wartawan memberikan sesuatu sesuai keinginan yang bersangkutan. Sogok atau amplop bisa dikategorikan sebagai korupsi transaksional, yaitu suatu jenis korupsi yang timbul karena adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak, dan keduanya dengan aktif mengusahakan tercapainya keuntungan tersebut. Bila korupsi diartikan sebagai memproleh keuntungan atau uang bagi layanan yang harusnya diberikan, atau menggunakan untuk tujuan yang tidak sah, maka jelas bahwa suap dan amplop merupakan bentuk penyalahgunaan kepercayaan dari profesi kewartawanan yang dikompensasikan dalam bentuk uang dalam amplopnya. Dan profesi wartawan jelas terkait langsung dengan kepentingan publik, sehingga penyalahgunaan profesi wartawan akan berdampak langsung terhadap kepentingan publik. Bila amplop atau suap dibiarkan di kalangan wartawan profesionalisme dan independensi serta obyektifitas wartawan dalam menjalankan tugasnya bisa terganggu. Fungsi pers sebagai sebagai alat kontrol sosial dan pilar keempat, akan menjelma sebagai corong kepentingan kelompok tertentu yang mampu membayar wartawan dengan amplop tebal. Di sisi lain, karena ada kebiasaan memberi amplop kepada wartawan maka hal ini dimanfaatkan oleh oknum wartawan bodrex untuk memeras. Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
17
Dengan modal kartu pers yang tak jelas juntrungan-nya mereka kemudian meminta sejumlah uang dengan memaksa.
18
Terdapat tiga dampak negatif praktek amplop dan sogok bagi wartawan. Pertama, amplop potensial membuat wartawan bersangkutan untuk bersikap tidak independen. Salah satu prinsip utama kerja wartawan adalah independen dan tidak terikat terhadap sumber berita. Dengan menerima imbalan (amplop) dari sumber berita ,sang wartawan tidak lagi bisa menjaga sikap independensinya dan secara tidak langsung terikat dengan si pemberi amplop. Ada adagium: “tidak ada makan siang gratis”. Begitu pula, tidak ada imbalan (amplop) tanpa pamrih. Lebih dari itu, pemberian amplop sesungguhnya adalah bentuk ‘penghinaan’ bagi wartawan profesional, karena wartawan mendapat gaji dari perusahaan yang mempekerjakannya, bukan dari sumber berita. Dalam dunia jurnalistik independensi adalah hal yang paling dituntut, karena disitu terkait dengan kepentingan publik. Kepentingan pribadi yang beruwujud amplop yang diterima potensial akan mengurangi independensi tersebut. Kepentingan pribadi yang berwujud amplop yang diterima potensial akan mengurangi independensi tersebut. Setidaknya mereka akan rikuh kalau laporan yangvditurunkan tidak sesuai dengan pesan tersirat dari pemberi amplop. Kedua, amplop bisa mereduksi obyektivitas dalam menurunkan melaporkan atau berita. Obyektivitas diartikan sebagai sikap untuk memahami dan mengangkat sesuatu obyek apa adanya. Nah tebal- tipisnya amplop yang diterima akan menjadi pertimbangan onyektivitas tersebut. Amplop yang menyenangkan tentunya akan mendorong wartawan membuat berita yang menyenangkan bagi sumbernya, demikian pula sebaliknya. Ketiga, dengan sendirinya pula amplop akan potensial untuk menahan atau mengurangi wartawan untuk mengekspresikan sikap kritisnya. Ingat pers adalah watch dog (anjing penggonggong) dan watch dog itu terbangun dari sikap kritis wartawannya. Bagaimana mungkin pers bisa menggonggong kalau sikap independensi dan obyektivitas wartawan telah terbeli. Survei Aliansi Jurnaslis Independen (AJI), 2005, membuktikan bahwa dari 400 responden 68% mengakui amplop dari narasumber dapat mempengaruhi peliputan jurnalis.
Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
2. Independensi KPI yang Dipangkas Pemerintah Salah satu persoalan yang menganjal independensi Komisi Penyiaran Indonesia adalah dikeluarkannya empat Peraturan Pemerintah PP berkaitan dengan Penyiaran yakni No. 49/2005 tentang Pedoman Liputan Penyiaran Asing, PP No.50/2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta, PP No. 51/2005 tentang Lembaga Penyiaran Komunitas, PP No.52/2005 tentang Lembaga Penyiaran Berlangganan. Menurut Mantan Wakil Ketua KPI, S. Sinansari Ecip, kehadiran keempat PP itu pemerintah secara terang-terangan melampaui kewenangannya (ultra vires) dengan cara mengambil alih kewenangan KPI sebagai lembaga negara yang independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran dengan memberikannya kepada Kementerian Kominfo. Artinya, kewenangan, tugas, fungsi, hak dan kewajiban KPI yang dijamin oleh UU Penyiaran sebagai satu-satunya lembaga negara independen yang mengatur hal-hal penyiaran, diambil alih secara paksa dan kemudian diserahkan ke mentri Kominfo. “Keempat PP itu melakukan pembangkangan hukum atas UU penyiaran. Pembangkangan berupa tidak azas pada UU induknya, yang secara jelas dan tegas dilarang dan dibenarkan oleh UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” kata Ecip. Akibatnya sangat fatal bagi masa depan kehidupan demokratisasi penyiaran di Indonesia. Ecip juga menilai bahwa keempat PP itu mengakibatkan KPI tidak bisa memberikan masukan dan menyalurkan aspirasinya serta kepentingannya sebagai regulator penyelenggaraan hal-hal yang berkenaan dengan penyiaran sebagaimana diamanatkan oleh pasal 4 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), pasal 6 ayat (4), psal 7 ayat (1) dan (2), pasal 8 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang No. 32/2002 tentang penyiaran dan Pasal 53 Undangundang No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selain itu, PP itu mengakibatkan KPI tidak dapat memainkan fungsinya sebagai wujud peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi serta kepentingan masyarakat akan penyiaran sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 8 ayat (1) UU No. 32/2002 tentang Penyiaran untuk mewujudkan azas, tujuan, arah, fungsi dan pokok pikiran sistem penyiaran nasional. Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
19
“Tidak hanya itu, keempat PP itu menyebab KPI tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai regulator khususnya pemberian sanksi administratif kepada lembaga penyiaran swasta dan tata cara pengajuan keberatan terhadap penjatuhan sanksi administratif tersebut” tutur Ecip
3. Kekerasan Musuh Terhadap Kebebasan Pers
20
Salah satu musuh kebebasan pers adalah kekerasan terhadap wartawan. Bentuk kekerasan tersebut antara laian kekerasan fisik berupa penganiayaan sampai pembunuhan dan kekerasan psikis berupa ancaman dan pemanggilan oleh aparat penegak hukum. Dalam catatan Imparsial, penyebab terjadinya kekerasan terhadap pejuang HAM dan wartawan disebabkan oleh beberapa isu. “Kasus korupsi, ilegal loging dan pilkada ini diduga menjadi pemicu terbesar dalam kekerasan pada jurnalis dan pembela HAM,” ujar Koordinator Program Imparsial, Al-Araf di Kantor Imparsial, (Rakyat Merdeka 22 September 2009) Selama Agustus 2009 sampai Agustus 2010, AJI mencatat jumlah kekerasan terhadap jurnalis mencapai 40 kasus. Jika dibanding tahun lalu yang jumlahnya 38 kasus, tahun ini jumlah kekerasan mengalami sedikit peningkatan. Dari sekian kasus kekerasan, tindakan yang paling berat adalah penganiayaan, ssebanyak 12 kasus. Penganiayaan dilakukan oleh warga (5 kasus), dan organisasi kemasyarakatan (3 kasus), sedang satu kasus dilakukan oleh mahasiswa. Ancaman dan intimidasi juga masih menghantui jurnalis Indonesia. Tahun ini, kasus ancamandan intimidasi sebanyak 8 kali. Ancaman paling banyak dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan (3 kasus), disusul politisi dan orang tak dikenal (masing-masing 2 kasus). Satu kasus ancaman dilakukan warga. Larangan liputan atau sensor terjadi 6 kali, semua itu dilakukan oleh aparat pemerintah daerah, termasuk petugas di rumah sakit daerah .Tekanan melalui hukum berupa kriminalisasi atau gugatan perdata pencemaran nama, atau menekan menjadikan jurnalis sebagai saksi, terjadi 5 kali. Pelakunya adalah anggota kepolisian (3 kasus), politisi, serta warga (masing-masing satu kasus). Perampasan alat terjadi empat kali, pelakunya Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
adalah birokrat, pengaman swasta, anggota organisasi kemasyarakat dan orang tak dikenal, masing-masing satu kali. Tempat terjadi kekerasan menyebar di banyak propinsi. Kasus kekerasan paling banyak terjadi di Jakarta (7 kasus), disusul Sumatera Utara, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta (masing-masing 4 kasus). Papua dan NTB juga merupakan tempat terjadinya kekerasan terhdap jurnalis (masing-masing 3 kasus). Namun demikian, dilihat dari kualitas bahaya, karena kekerasan penganiayaan dan intimidasi paling banyak terajdi di propinsi ini. Melihat jumlah, bentuk dan pelaku kekerasan terhadap jurnalis, maka Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menetapkan musuh kekebasan pers tahun 2010 adaah: organisasi kemayarakatan yang berkharakter preman. Berbagai ormas yang berkharakter preman yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis sebanyak 10 kali sepanjang 2010. Kasus kekerasan itu antara lain: Front Pembela Islam (FPI) memukul Octabryan Purwo, reporter Lampu Hijau saat razia minuman keras di kawasan Petamburan 27 Mei 2009. FPI bersama front Anti Komunis juga mengintimidasi Jawa Pos setelah harian terbesar di Jawa Timur itu menulis biografi Soemarsono, mantan anggota Partai Komunis Indonesia dan tokoh Peristiwa 10 November di Surabaya. Bukan hanya itu, puluhan laskar Hisbullah devisi Sunan Bonang juga mengintimidasi krew Solo Radio di Surakarta pada 14 September 2009. Jurnalis TV One, Air Setyawan dan Eko Joko Sarjono dilarang melakukan peliputan oleh ormas yang berkaga lascar saat meliput terorisme di Jatiasih, Bekasi, 12 Agustus 2009. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyerukan kepada semua pihak agar tidak menempuh cara-cara kekerasan dalam menyikapi ketidakpuasan terhadap pers. Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers mengatur agar bagi semua pihak yang tidak puas menggunakan Hak Jawab sebagai saluran yang legal. Apabila pengajuan Hak Jawab tidak dilayani, UU Pers juga mengamanahkan agar mengadu ke Dewan Pers. Undang-undang Pers juga mengancam hukuman penjara bagi setiap orang yang menghalang-halangi pers dalam menjalankan fungsinya, mencari, mengolah dan menyebarkan informasi.
Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
21
4. Kesejahteraan Wartawan Rendah Meskipun bisnis media sudah menjanjikan, namun tanda-tanda perbaikan kesejahteraan awak media masih jauh dari harapan. Dari hasil temuan kajian Dewan Pers menemukan, bahwa standar gaji wartawan di Indonesia memang masih banyak yang rendah dibandingkan standar profesional bidang-bidang lainnya. Survei tersebut menunjukkan 85.5% wartawan mendapat gaji dari tempat mereka bekerja. Namun hanya 55.3% responden yang menilai gaji yang diterima baik/sangat baik. Eriyanto kooordinator penelitian Dewan Pers mengakui bahwa masih banyak wartawan kita yang gajinya masih 600.000 per bulan.8
22
Ada sejumlah solusi yang ditawarkan mengenai hal ini, antara lain; agar perusahaan pers yang tidak memenuhi standar profesionalisme secepat mungkin memenuhi standar profesionalisme bisnis pers. Kalau tidak mampu, agar secara sukarela menghentikan usahanya. Kedua, perlu ada standar gaji minimal wartawan. Ketentuan itu dibuat oleh kalangan wartawan sendiri di mana Dewan Pers memfasilitasi dalam penyusunan standar tersebut. Bila perusahaan pers tersebut tidak melaksanakan putusan Dewan Pers maka, wartawan perusahaan tersebut harus siap meninggalkan perusahaan pers tersebut. Masalahnya kemudian, apakah wartawan yang digaji rendah siap untuk hengkang dari perusahaan tersebut? Dan siapkah asosiasi wartawan dan perusahaan pers me-rule enforce putusan dewan pers tersebut? Leo Batubara sendiri mengakui, memang selama ini hanya perusahaan pers yang sehat bisnis yang mampu menggaji wartawannya sesuai dengan standar penggajian profesional.9
5. Independensi yang Rentan Indepensi dalam pemberitaan dapat diterjemahkan sebagai tidak ada adanya intervensi apapun baik pemiliki atau pemerintah dalam suatu pemberitaan. Perberitaan tersebut semata-mata hanya untuk kepentingan publik. Apakah hal tersebut bisa diwujudkan? 8 Wina Armada, Menakar Kesejahteraan Wartawan. Dewan Pers, 2009. 9 Ibid.
Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
Berikut adalah beberapa contoh praktik pemberitaan akibat kepemilikan media oleh pengusaha-pengusaha besar. Pertama, kasus Negotiable Certificate of Deposit (NCD) PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (MNCP). Bhakti Investama, perusahaan milik Hary Tanoesoedibjo, disebut terlibat dalam jual-beli surat utang CMNP tesebut. Gerah dengan tuduhan fiktif, korupsi dan benturan kepentingan dalam transaksi NCD itu, Hari Tanoesoedibjo tampil di RCTI dalam acara dialog khusus berjudul “Kontroversi NCD Bodong” (20 Februari 2006). Dialog khusus itu dipandu Arif Suditomo (Pemimpin Redaksi RCTI) dan menghadirkan tiga pembicara, yaitu Goei Siauw Hong (Analis Pasar Modal), Indra Safitri (Ahli hukum pasar modal) dan Eko B Supryanto (Direktur Biro Riset Info Bank), selain Hary Tanoe sendiri. Hary mendapat kesempatan pertama menjelaskan ihwal transaksi NCD antara MNCP dengan Drosophila lewat perantara Bhakti Investama. Keempat nara sumber, termasuk Hari Tanoe yang berkepentingan langsung dengan kasus NCD itu, sepakat bulat mengatakan setidaknya tiga hal, yaitu bahwa pertama, NCD tersebut tidak fiktif, kedua, tidak ada unsur kerugian negara di dalamnya dan ketiga tidak ada unsur benturan kepentingan dalam transaksi NCD tersebut. Apa yang salah dalam dialog khusus tersebut? Anggota KPI Ade Armando, menilai dialog itu bermasalah karena berlangsung tidak berimbang. “Semua narasumber yang dihadirkan adalah mereka yang sepakat dengan pendapat Hary Tanoe”, kata Ade pada acara Sosialisasi Hasil Pemantanuan Isi Siaran TV, 1 Maret 2006 di gedung KPI. (Media Watch, THC, Maret- April 2006) Padahal menurut Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 SPS) untuk isu-isu kontroversial yang menyangkut kepentingan publik, lembaga penyiaran harus menyajikan berita, fakta, dan opini secara objektif dan secara berimbang (pasal 12 ayat 1). Sebagai lembaga penyiaran profesional seharusnya RCTI menghadirkan atau melibatkan dua atau lebih pihak yang saling berbeda pendapat mengenai sebuah isu kontroversial seperti kasus NCD MNCP tersebut (Jurnal Media Watch, Edisi 43/ Maret-April 2006)10. 10 ”Jika Hary Tanoe Tersandung NCD”, Jurnal Media Watch, Edisi 43/ Maret-April 2006
Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
23
Kedua, masih menyangkut Hari Tanoesoedibjo, adalah penayangan bersama MNC Radio Network pada 7 September 2005. Baik RCTI, Global TV, maupun TPI menayangkan secara langsung acara tersebut selama 90 menit begitu juga dengan jaringan radionya. Praktik seperti ini bermasalah karena mengarah pada monopoli siaran. Karena ada siaran bersama, masyarakat tidak bisa menonton acara yang biasa ditontonnya. Ketiga, pemberitaan mengenai lumpur panas yang menyembur dari sumur eksplorasi PT Lapindo Brantas di Sidoarjo. Dari peristiwa ini muncul dua versi istilah yang menonjol, “lumpur lapindo” dan “lumpur sidoarjo”. Kedua istilah ini sama-sama merujuk pada lumpur panas dari PT Lapindo Brantas, perusahaan pertambangan milik keluarga Bakrie.
24
ANTV dan Lativi lebih memilih istilah “lumpur sidoarjo”. Sedangkan RCTI, SCTV, Indosiar, Global TV, TPI, Metro TV, Trans TV, dan TV7 menggunakan sebutan “lumpur lapindo”. Uniknya, TVRI yang selama 32 tahun dituding sebagai organ Orde Baru malah lebih berani menyebut “lumpur panas lapindo” (www.pikiran-rakyat.com)11. Pemilihan istilah itu tentu tidak sesederhana yang dibayangkan orang melainkan mengandung konsekuensi-konsekuensi dan motif-motif tertentu. Masing-masing news room tentu memiliki motif dan agenda di balik pelabelan lumpur tersebut. Tidak ada news room yang bebas nilai dari ideologi dan kepentingan. Pelabelan seperti itu cenderung kepada pemilik modal yang dengan kapitalnya dapat berkuasa dan membuat agenda media sendiri sesuai versinya. Istilah “lumpur sidoarjo” tentu dipilih dengan dasar atau strategi kehumasan yang terencana. Kosakata tersebut digunakan untuk membangun citra atau imej tertentu. Label “lumpur sidoarjo” itu bertujuan menghapus kesalahan PT Lapindo. Kemudian kesalahan itu digiring menjadi masalah dan tanggung jawab Pemda Kabupaten Sidoarjo atau bahkan bangsa Indonesia. Dan penggiringan ini sedikit banyak telah berhasil dengan membuat pemda sibuk harus merelokasi warganya. Belakangan lumpur pun bukan lagi menjadi masalah lokal, tetapi juga menjadi konsumsi nasional hingga terbentuknya Tim Penanganan Lumpur Nasional Pemberitaan kasus lumpur panas juga telah menunjukkan bahwa 11 “Lumpur Lapindo Versus Lumpur Sidoarjo”, www.pikiran-rakyat.com
Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
berkelompoknya atau berkongsinya media, baik media cetak atau media penyiaran dalam satu pemegang modal sangat mengkhawatirkan. Selain berita menjadi seragam yang paling parah adalah produk berita diolah menjadi produk kehumasan yang lebih mementingkan citra daripada substansi. Tragisnya, bila pemberitaan itu sengaja digiring untuk membohongi publik. Yang paling celaka lagi adalah praktik kehumasan seperti ini dapat membentuk satu kesepakatan yang direkayasa (manufacturing consent) bahwa PT Lapindo Brantas tidak bersalah terhadap terendamnya sejumlah rumah dan pabrik di Kabupaten Porong, Sidoarjo. Contoh keempat adalah bahwa televisi sering menjadi kepanjangan tangan pengusaha-pemiliknya dalam mempromosikan produk-produknya. Di Trans TV misalnya, iklan Bank Mega muncul secara rutin. Iklan Esia kerap hadir di ANTV. RCTI-TPI-Global TV intens menayangkan iklan Radio Trijaya Network, majalah Trust, tabloid Genie, dan koran Seputar Indonesia. Indosiar memiliki program rutin malam mingguan ”Gebyar BCA” yang merujuk pada bank milik Salim. Publik tidak pernah diberitahu bahwa produk-produk itu berafiliasi atau satu grup dengan stasiun televisi yang bersangkutan. Televisi menjadi medium atau alat pengeruk keuntungan pengusaha pemiliknya. Menurut Novel Ali, Pengajar Komunikasi Universitas Diponegoro, Ideologi media massa yang takluk di bawah cengkeraman kapitalisme pers membentuk sikap dan perilaku pekerja pers yang memosisikan informasi semata-mata sebagai komoditas. Informasi tanpa bobot komoditas dinilai jauh dari rasa ingin tahu (sense of curiosity). Padahal, pemenuhan keingintahuan manusia itu pada umumnya sangat bergantung kepada kemauan baik pengelola lembaga media massa dalam menyajikan informasi.12 Konflik kapitalisme pers dan ideologi media massa mengakibatkan buramnya nilai-nilai pragmatisme dalam pers. Salah satu risikonya adalah pemberitaan pers yang cenderung tidak bertanggung jawab terhadap berbagai dampak pemberitaannya. Itu sebabnya tidak mengherankan bila tanggung jawab sosial pers lantas nyaris tidak dihiraukan oleh pekerja pers. Pada gilirannya, pertanggungjawaban pers berada di luar kerangka profesionalisme media massa dan tanggung jawab kemanusiaan. Impitan kepentingan komersial dan ideal dalam pers mempersulit peran publik di dalam ikut menentukan warna media massa yang dipilihnya 12 Kompas, Kamis, 15 April 2010
Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
25
(untuk dibaca, didengar, dan dipirsa). Di tengah kecenderungan demikian, sulit bagi kita mengharapkan sajian pers bermoral. Terutama pers yang berupaya memprioritaskan kepentingan obyektif, bila secara komersial merugikan. Atau pers yang memparadigmakan kepentingan orang-orang tertindas, tetapi bertentangan dengan ideologi media massa yang bersangkutan.
6. Rendahnya Profesionalisme Salah satu elemen yang penting dipenuhi dalam menegakkan kebebasan pers adalah menumbuhkan sikap profesionalisme Sumber Daya Manusia media massa. Salah satu indikator dari profesionalisme itu yakni diamalkannya Kode Etik Jurnalistik
26
Dalam berbagai diskusi, seminar, lokakarya, dan dialog dengan masyarakat dan komunitas pers, delapan tahun terakhir, Dewan Pers sering menerima keluhan mengenai praktek penyalahgunaan profesi wartawan dan merebaknya penerbitan pers yang bersikap tidak patut, dan menyimpang dari etika pers profesional. Era kebebasan pers telah melahirkan beratus-ratus pers baru, namun peningkatan jumlah (kuantitas) tersebut justru memunculkan kecaman masyarakat, karena tidak diiringi peningkatan kualitas. Mengapa banyak penerbitan pers baru sulit sekali menerapkan etika —sebagai basis utama profesi jurnalistik? Menurut Ichlasul Amal, Ketua Dewan Pers Periode 2003-2010, Akar persoalannya adalah, di era kebebasan saat ini terlalu mudah menerbitkan pers atau menjadi wartawan. Ibaratnya, menerbitkan pers kini seperti menggelar dagangan kaki lima di trotoar, dan menjadi ”wartawan” semudah seperti menjadi pengamen di jalanan. Banyak orang menjadi wartawan tanpa memiliki latar belakang pengetahuan dan ketrampilan yang cukup tentang jurnalisme. Sejumlah prasyarat kemampuan dan pengetahuan yang seharusnya melekat pada seseorang ketika ia menyandang predikat wartawan kini diabaikan.13 Dewan Pers sering mengeluarkan seruan agar masyarakat, perusahaan swasta, dan instansi pemerintah cermat dalam mengidentifikasi wartawan/media serta tidak segan-segan menanyakan identitas wartawan dan mencek kebenaran status media tempatnya bekerja. Sebab wartawan yang sungguh-sungguh profesional selalu menggunakan cara-cara yang etis 13 www.dewanpers.org
Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
dalam mencari informasi. Sebagian persoalan dari maraknya praktek wartawan bodrex adalah salah persepsi yang muncul di kalangan masyarakat. Masyarakat cenderung menilai siapa saja yang memiliki “kartu pers” (yang dengan mudahnya dibuat sendiri) atau mengaku bekerja di penerbitan pers (yang tidak jelas sifat perusahaannya) dianggap sebagai wartawan yang bekerja secara serius. Upaya membasmi wabah wartawan bodrex pertama-tama harus dilakukan dengan mengubah persepsi dan membuka mata masyarakat mengenai profesi wartawan yang sesungguhnya. Persepsi masyarakat sering masih salah kaprah terhadap profesi wartawan. Muncul penilaian di masyarakat bahwa wartawan kebal hukum. Kalau ada orang memakai rompi, kemudian membawa notes dan tanyatanya, apalagi dengan adanya kartu pers, sudah dianggap wartawan. Padahal profesi wartawan tidak dibuktikan dengan aksesoris semacam itu. Seseorang bisa disebut wartawan jika ia menghasilkan karya jurnalistik secara teratur. Karena itu penting bagi masyarakat untuk mengetahui bermacam model wartawan. Pertama, wartawan serius yang bekerja di media serius pula. Kedua, wartawan yang bekerja di media yang betul tetapi secara personal mereka suka melanggar etika, misalnya mau menerima amplop. Ketiga, mereka yang biasa disebut sebagai ”wartawan bodrek”. Ichlasul Amal menambahkan bahwa perbincangan tentang penyalahgunaan profesi wartawan atau rendahnya etika seringkali hanya terfokus pada wartawan, dan tidak menyinggung tanggung jawab perusahaan pers dan organisasi pers. Padahal, di samping etika untuk wartawan, juga penting didorong penegakan etika oleh pemilik industri pers. Sebab, selama ini ada kecenderungan hanya wartawan yang terus dituntut taat etika, sedangkan pemilik industri pers semena-mena memperlakukan wartawannya. Etika industri pers itu, misalnya, menyangkut fasilitas yang memadai, gaji yang layak, dan perlindungan terhadap wartawan. Terjadinya praktek-praktek pemerasan oleh wartawan, antara lain, disebabkan rendahnya kesejahteraan wartawan dan rendahnya etika perusahaan pers.
Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
27
Analisis UU Penghambat Kemerdekaan Pers Lahirnya reformasi menjadikan tonggak diraihnya kemerdekaan pers. Terdapat dua UU yang menjamin kemerdekaan pers, yakni UU Pers No 40/199 dan UU Penyiaran no 32/2002. Kehadiran UU itu membawa harapan baru bagi industri media untuk menjalankan fungsinya dalam demokrasi. Namun apakah betul kehadiran kedua UU tersebut sudah benar-benar menjamin kemerdekaan pers? Jawabannya belum seluruhnya.
28
Ada yang terlupakan oleh para legislator di DPR bahwa Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) yang masih digunakan sampai hari ini merupakan warisan kolonial Belanda. Dalam KUHP setidaknya terdapat 37 pasal yang mengancam kebebasan pers. Diantara pasal-pasal tersebut yang dikhawatirkan adalah kelompok pasal-pasal Hatzai Artikelen. Secara harfiah Haat dalam bahasa Belanda berarti (benih) kebencian. Jadi haatzaien adalah perbuatan yang dapat menimbulkan benih kebencian. Pasal-pasal tersebut antara lain. 156, 156a, 157, 160, 162,163, 207 dan 208. Ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal tersebut berkaitan erat dengan pekerjaan pers. Misalnya dalam pasal 156(a) KUHP yang menyatakan: “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, .................................” Atau pasal 157 berbunyi ”Barang siapa menyiarakan, mempertontonkan atau menempelkan surat atau gambar, yang isinya menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antaranya atau terhadap golongangolongan penduduk Negara Indonesia, dengan maksud supaya isi surat gambar diketahui oleh orang banyak............................... Bahkan menurut Atamakusumah (Mantan ketua Dewan Pers), sebenarnya Haatzaai artikelen terdiri dari dua kelompok. Kelompok pertama disebut Kejahatan Melanggar Ketertiban Umum (Misdrijven tegen de openbare Orde) termasuk dalam kelompok ini pasal 154, 155, 156 dan 157. Kelompok kedua disebut “Kejahatan Melanggar Kekuasaan Umum” (Misdrijven tegen het openbaar Gesag). Termasuk dalam kelompok ini pasal 207 dan 208 KUHP.14 14 Lihat Jurnal Media Watch, Edisi No 26 Oktober 2003
Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
Sejatinya pasal ini berasal dari India, saat itu Inggris yang menjajah negara kelahiran Mahatmah Gandhi tersebut memberlakukan pasal-pasal Haatzaai artikelen. Pasal itu bernama pasal 124a British Indian Penal Code (red KUHP India). Namun pasal itu telah dihapus MA India sejak tahun 1947 karena dianggap tidak sesuai lagi dengan negara yang telah merdeka. Di Amerika Serikat UU yang mirip dengan haatzai atikelen yang disebut The Law Of Sedition (Sedition Act) telah dihapus sejak 1734. Pasal-pasal tersebut kemudian diadopsi Pemerintah Kolonial Belanda saat menjajah Indonesia, pasal-pasal tersebut dimasukkan ke dalam Wetboek van Starfrecht (WvS). Ketika Bangsa Indonesia Merdeka WvS tersebut dirubah nama menjadi KUHP sesuai dengan UU No. 1/1946. Namun anehnya Haatzaai artikelen di Negeri Belanda sendiri sudah di hapus. Tetapi mengapa pasal-pasal tersebut masih digunakan di Indonesia? Prof. W.P.J. Pompe, pakar hukum dari Belanda memberikan jawaban menarik. Menurutnya, semua penguasa kolonial pasti memiliki senjata hukum yang fatal untuk menindas gerakan-gerakan politik nasional. Tapi setelah gerakan politik memerdekakan bangsanya, pemerintah negara merdeka itu tentu perlu memelihara keamanan negara dan mengantisipasi kemungkinan munculnya gerakan-gerakan politik yang bersebrangan dengan pemerintah yang sah (A. Muis, Kontroversi Sekitar Kebebasan pers, 1998) Kata-kata dalam pasal ini sangat tidak jelas batasannya sehingga bertentangan dengan asas lex certa. Disamping itu pasal ini juga bersifat “delik formal,” yang berarti tidak perlu pembuktian terjadinya kerugian akibat pemberitaan tersebut. Cukup apabila penguasa menganggap bahwa pemberitaan itu mengandung perasaan permusuhan terhadap pemerintah, maka unsur delik telah terpenuhi. Unsur “menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan” dapat saja ditafsirkan sangat luas, tergantung pada seberapa jauh kepentingan pemerintah dirugikan. Oleh karena itu pasal-pasal hatzai dinilai dapat mengancam kebebasan pers yang dijamin dalam UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 40/1999 tentang Pers. Bila pasal ini masih terus dipertahankan, dikhawatirkan suatu saat ada media massa yang terjerat, mengingat bahasa yang digunakan media sekarang sudah tidak lagi bersifat eufimisme (penghalusan). Kritik yang sampaikan ke pemerintah tanpa tedeng alingaling menggunakan bahasa yang lugas dan tegas bahkan menjurus kasar. Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
29
Di satu sisi memang bahasa media diperlukan bahasa yang lugas dan tegas dalam melakukan kritik dan kontrol tetapi di sisi lain perlu juga diwaspadai jangan sampai pemerintah menggunakan pasal-pasal haatzaai artikelen itu mengingat keberadaan pasal itu masih diakui dalam hukum positif kita. Selain ancaman dalam KUHP masih ada beberapa UU yang dinilai mengancam kebebasan pers, sebut misalnya UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) No. 11/2008. Dua pasal dalam UU tersebut yakni pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 1 dinilai dapat mengancam kebebasan pers. Pasal 27 ayat (3) menyebut, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
30
Sementara Pasal 45 ayat (1) mengatakan,”Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1. 000.000.000,00- (satu miliar rupiah).” Dengan bunyi seperti tersebut di atas, Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE dapat dikatakan lebih represif dari produk hukum buatan penjajahan Belanda. Di Pasal 310 KUHP ancaman penjara bagi pelaku penghinaan dan pencemaran nama baik hanya sampai satu tahun dua bulan, di UU ITE sampai enam tahun. Berdasar Pasal 310 pilihan hukuman penjara atau denda, berdasar UU ITE bisa dipenjara dan didenda 1 miliar rupiah. Di Pasal 310, terdakwa baru dipenjarakan setelah hakim memutus kesalahannya, sedangkan di UU ITE tertuduh dapat langsung dimasukkan ke penjara. Sebenarnya nafsu untuk membungkam kebebasan pers, tidak pernah pupus. Tahun 2009, menjelang masa bakti DPR 2004-2009 berakhir, pemerintah dan DPR menyiapkan RUU Rahasia Negara (RUU RN), yang lebih represif mengancam pers daripada peraturan dan perundang-undangan kolonial Belanda dan tentara pendudukan Jepang yang terkait pers. Berdasar Pasal 49 Ayat (1), korporasi (termasuk perusahaan pers) yang melanggar rahasia negara dipidana denda Rp 50 miliar-Rp 100 miliar. Ancaman Ayat (2), perusahaan pers pelanggar ketentuan itu dapat dibekukan Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang. Pasal 44 Ayat (1), pelanggar ketentuan rahasia negara—termasuk pers—dapat dipidana penjara tujuh tahun-20 tahun. Ketentuan paling singkat tujuh tahun berintensi agar wartawan pelanggar dapat di-”Prita”-kan (Prita Mulyasari, korban pertama UU ITE), langsung dipenjarakan tanpa putusan majelis hakim. Berdasarkan Pasal 11 dan 12, Presiden dapat mendelegasikan penetapan rahasia negara kepada pimpinan Lembaga Negara. Ketentuan berikut terkait standar dan prosedur perlindungan dan pengelolaan rahasia negara diatur Peraturan Menteri/Peraturan Kepala Lembaga Pemerintah Nondepartemen. Menurut Leo Batubara dalam artikelnya di harian Kompas, Senin 14 September 2009 menyatakan bahwa penentuan rahasia negara menjadi pasal karet dan mengulang pengalaman pada era Orde Baru. UU Pokok Pers (No 11/1966 junto No 21/1982) melarang pemberedelan pers. UU itu memberi otoritas kepada Menteri Penerangan menerbitkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Maka, berdasarkan Peraturan Menteri No 1/1984, Menpen berwenang mencabut surat izin usaha penerbitan pers.15 Menurut Leo lagi RUU RN dinilai tidak demokratis karena desainnya menempatkan penguasa sebagai yang berdaulat dalam pengaturan rahasia negara. Di negara demokratis, pengaturan rahasia negara berprinsip maximum access limited exemption. Sebagian besar informasi dapat diakses publik, sebagian kecil dikecualikan sebagai rahasia negara. Sementara RUU RN bermuatan limited access maximum exemption.16 RUU RN tidak memedomani Pasal 28F UUD 1945 bahwa rakyat mempunyai hak konstitusional untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.17 RUU RN bertentangan dengan kebebasan pers (UU No 40/1999 tentang Pers). Sesuai UU Pers, pertama, perusahaan pers tidak boleh diberedel dan dihukum sebagai korporasi terlarang. Yang memberedel dan menghukum pers sebagai korporasi terlarang dapat dipidana penjara paling lama dua tahun sesuai Pasal 18 Ayat (1).18 15 Kompas, Senin 14 September 2009 16 ibid 17 ibid 18 ibid
Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
31
Kedua, kesalahan pers dalam melaksanakan tugas jurnalistik untuk kepentingan umum tidak dikriminalkan. Kesalahan pers akibat pemberitaan pers diselesaikan dengan hak jawab. Jika pengadu tidak puas atas putusan Dewan Pers dapat menempuh jalur hukum. Ancamannya, pers teradu dapat dipidana denda paling banyak Rp 500 juta. Berdasar konsep kebebasan pers yang dianut UU Pers, kriminalisasi pers dan pidana denda dengan jumlah besar akan melumpuhkan fungsi kontrol sosial pers.
Pembahasan Berdasarkan uraian-uraian di atas kebebasan pers di Indonesia sudah dinikmati, namun sejumlah hambatan-hambatan masih mendera sehingga kualitas kemerdekaan pers belum tercapai secara maksimal.
32
Bila dilihat dari perskepktif, Sibert dkk, secara umum kebebasan pers di Indonesia masih berada dalam pers liberal dan belum beranjak ke sistem pers pertanggung jawaban sosial. Hal yang paling mudah ditandai adalah ditiadakannya izin untuk mendirikan penerbitan pers. Maknanya setiap warga negara, sepanjang mampu secar finansial, dapat mendirikan penerbitan pers. Ini berbeda saat Orde Baru yang membutuhkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) untuk mendirikan penerbitan pers. Dalam pers liberal, media massa menjadi watch dog bagi pemerintah. Di Indonesia selama kurung waktu 12 tahun terakhir sudah menjalankan fungsi tersebut. Bahkan beberapa kali media massa mampu “memaksa” kebijakan karena kontrol media massa. Salah satu contohnya adalah kasus Bibid S Rianto dan Chandra Hamzah anggota Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) Vs Kepolisian RI atau populer dengan Cicak Vs Buaya. 19 Bila dilihat dari perspektif Altschull kebebasan pers di Indonesia masih berada pada jenjang negara berkembang, ini terlihat pada indikator bahwa kita masih membutuhkan banyak instrumen untuk menjamin kebebasan pers. 19 Bibid dan Chandra ditahan oleh Mabes Polri dengan tuduhan menerima suap, namun tuduhan itu dinilai sebagai upaya melemahkan KPK dalam memberantas korupsi, akibat pemberitaan media yang gencar, Bibit dan Chandra akhir dibebaskan dari segala tuduhan. Kasus ini kemudian menyeret Anggodo Wijoyu, Gayus Tambunan dalam perkara makelar kasus dan penggelapan pajak.
Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
Instrumen UU yang menjamin kebebasan yakni UUD 1945, UU Pers, UU Penyiaran dan UU HAM belum mampu menjamin sepenuhnya kebebasan pers. Terus terang UU Pers No.40/1999 sangat sumir dan tidak terlalu tegas menjamin kebebasan pers terutama karena UU ini sangat sederhana, dan hanya memuat hal-hal umum. Seperti misalnya pencemaran nama baik, penghinaan dan fitnah.
Kesimpulan Dari beberapa temuan di atas dapat ditarik kesimpulan: 1. Kehadiran UU Pers no 40/1999, menjamin kemerdekaan pers. jika UU Pokok Pers yang sebelumnya memberi otoritas kepada pemerintah sebagai penentu kebijakan, pengatur, pengawas dan pengendali pers, UU Pers hasil gerakan reformasi mengamanatkan pers yang mengontrol pemerintah dan pemerintah tidak lagi mencampuri penyelenggaraan pers. Adanya jaminan kebebaasan tersebut memicu terjadi ledakan jumlah media. Jumlah media cetak kurang lebih 1000 dengan tiras kurang lebih 19 juta eksemplar (10 tahun sebelumnya 289 penerbitan, tiras 14,4 juta). Media televisi kurang lebih 250 (6). Media radio kurang lebih 2000 (740 + RRI). dari 1000 media cetak sekitar 30% sehat bisnis, selebihnya belum. Dari segi kuantitas jumlah media cetak yang sehat bisnis minoritas, tapi menguasai sebagian besar tiras yang 19 juta eksemplar. 2. Kekerasan terhadap wartawan menjadi musuh utama kebebasan pers. Bentuk kekerasan tersebut antara lain kekerasan fisik berupa penganiayaan sampai pembunuhan dan kekerasan psikis berupa ancaman dan pemanggilan oleh aparat penegak hukum. Penyebab terjadinya kekerasan terhadap pejuang HAM dan wartawan disebabkan oleh beberapa isu. “Kasus korupsi, ilegal loging dan pilkada ini diduga menjadi pemicu terbesar dalam kekerasan pada jurnalis dan pembela HAM 3. Meskipun bisnis media sudah menjanjikan, namun tanda-tanda perbaikan kesejahteraan awak media masih jauh dari harapan. Dari hasil temuan kajian Dewan Pers menemukan, bahwa standar gaji wartawan di Indonesia memang masih banyak yang rendah dibandingkan standar Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
33
profesional bidang-bidang lainnya. Survei tersebut menunjukkan 85.5% wartawan mendapat gaji dari tempat mereka bekerja. Namun hanya 55.3% responden yang menilai gaji yang diterima baik/sangat baik 4. Independensi media sangat rentan terhadap kepentingan pemilik. Pemilik seringkali melakukan intervensi ke redaksi bila berkaitan dengan kepentingan pemilik media. 5. SDM Media belum menunjukkan profesionalisme yang memadai. Pemberitaan media melanggar kode etik jurnalistik. Selain itu terkadang mengorbankan idealisme dan independensi demi meraih keuntungan semata. Terkadang pula media massa menjadi corong kepentingan politik tertentu.
34
6. Pemerintah dan legislatif masih cenderung untuk mengkriminalisasi pers. Ini terlihat dari beberapa UU (seperti: UU ITE, Pornografi, dll) memasukkan pasal-pasal yang berpotensi memenjarakan wartawan bahkan sampai membredel pers. Pasal-pasal warisan kolonial Belanda yang mengancam kebebasan pers yang ada dalam KUHP belum diganti sampai hari.
DAFTAR PUSTAKA Adji, Oemar Seno. Mass Media dan Hukum. Erlangga: Jakarta 1977 Armada, Wina, Menakar Kesejahteraan Wartawan, Dewan Pers: Jakarta, 2009 Basuki, Wisnu. Pers dan Penguasa: Pembocoran Pentagon Papers dan Pengungkapan Oleh New York Times. Sinar Harapan; Jakarta 1995. Curran, James, dan Michael Gurevitch. Mass Media and Society. London: Edward Arnold. 1991 Densen, Norman & Yvonna S. Lincoln , Qualitatif Research (third edition), Sage Publication, 2005 McQuail, Dennis . Teori Komunikasi Massa. Terjemahan. Jakarta: Erlangga. 1994 Merril, John C. (ed) Global Jornalism: Survey of International Communication, Longman: USA, 1995 Moleong, Lexi J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya: Bandung, 2000 Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet
Severin, Werner J & James W Tankard. Jr. Teori Komunikasi Massa: Sejarah, Meteode dan Terapan di dalam Medias Massa. Kencana, 2009 Shils, Edward. The Virtue of Civil Socitey. London & New York: Verso, 1997
35
Fenomena Kebebasan Pers Setelah 12 Tahun Reformasi Afdal Makkuraga Putra dan Utje Usman Slamet