PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENJAGA LONJAKAN HARGA SEMBAKO1 Oleh
Drs. Faris Ihsan, M.Si 2
Abstraksi
Kenaikan pendapatan konsumen dan meningkatnya kebutuhan akan hasil produksi pada waktu tertentu sementara penawaran akan produk yang diminta tersebut relatif tetap, dapat memicu kenaikan harga diatas normal, demikianlah hukum permintaan dan penawaran barang. Hal ini terjadi pula di Kota Mataram, menjelang beberapa hari lagi masuknya Bulan Suci Ramadhan bersamaan dengan itu terjadi pula kenaikan gaji plus rapelan kekurangan gaji pada awal bulan Juli 2014 dan kebutuhan pokok masyarakat akan sembako meningkat serta faktor psikologi masyarakat yang takut kehabisan stok menjadi pemicu kenaikan harga barang sembako. Mengantisipasi kenaikan harga tersebut dibutuhkan peran pemerintah menstabilkan harga dengan cara mengatur distribusi barang, menjaga stok barang sesuai kebutuhan masyarakat, menjaga kondisi psikologis masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, sehingga tercapainya stabilitas harga barang. Kata Kunci : Pendapatan, permintaan, penawaran, peran pemerintah daerah.
A. Pendahuluan
Bulan Suci Ramadhan tinggal beberapa hari lagi, Pemerintah Kota dalam hal ini Dinas Koperindag Kota Mataram harus lebih awal bisa mengantisipasi kenaikan harga sembako dengan mempersiapkan persediaan barang yang cukup sampai dengan Idul Fitri, sambil terus memantau harga pasar yang ada pada 17 pasar tradisional di Kota Mataram. Walaupun BPS Kota Mataram mempublikasikan bahwa inflasi bulan Mei 2014 sebesar - 0,04 persen, namun pedagang yang ada
1. Telah dikoreksi oleh Tim Editor Website BKD dan Diklat Provinsi NTB 2. Widyaiswara Madya pada BKD dan Diklat Provinsi NTB
1
pada 6 kecamatan yang ada di Kota Mataram ini rawan untuk menaikkan harga sembako menjelang bulan Ramadhan. Oleh karena itu kenaikan harga sembako menjelang puasa dan Idul Fitri sudah tidak bisa dihindari lagi, apalagi dengan telah terpublikasikannya di media
cetak akan diterimanya kenaikan
gaji
Pegawai Negeri Sipil pada bulan Juli 2014 memberi peluang besar para pedagang
menaikkan harga barangnya. Bagi para pedagang, khususnya di
pasar tradisional momentum bulan puasa sangat ditunggu-tunggu, sebab sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran bahwa dengan naiknya pendapatan konsumen/masyarakat ditambah dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan sembako di bulan suci Ramadhan maka permintaan konsumen akan sembako bertambah banyak, sementara penawaran barang sembako relatif tetap, maka akan mengakibatkan harga-harga cendrung menjadi naik. Kenyataan ini
terus berlanjut walaupun kadang-kadang Pemerintah
tidak bisa
mengendalikan lonjakan harga disetiap komoditi/barang tersebut karena pedagang yang memegang kunci utama dalam alur transaksi di pasar. Namun tugas pemerintah untuk melindungi masyarakat harus tetap konsisten dalam mengantisipasi lonjakan harga tersebut.
B. Peran Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah harus mengambil langkah-langkah strategis seperti memantau harga pasar lebih dini, walaupun untuk sementara informasi dari Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Kota Mataram berdasarkan data hasil pantauan tanggal 12 Juni 2014, secara umum masih normal belum ada kenaikan yang berarti, kecuali masih ada beberapa barang yang sudah mulai mengalami kenaikan seperti beras C4 Super dari harga Rp. 8.500/kg menjadi Rp. 9.000/kg
2
atau naik 5,88 persen, beras C4 medium dari harga Rp. 7.800/kg menjadi Rp. 8.000/kg atau naik 2,56 persen, wortel dari harga Rp. 7.000/kg menjadi Rp. 8.000/kg atau naik 14 persen, kacang tanah dari harga Rp. 14.000/kg menjadi Rp. 17.000/kg atau naik 21 persen, minyak goreng dari harga Rp. 11.500/liter menjadi Rp. 12.000/liter atau naik 4,35 persen, tepung terigu dari harga Rp. 6.500/kg menjadi Rp. 7.000/kg atau naik 7,69 persen. Kenaikan harga tersebut bukan saja karena kekurangan stok atau kelangkaan komoditi/barang tersebut, namun
kenaikan harga tersebut bisa pula disebabkan oleh karena faktor
psikologis masyarakat yang takut kehabisan stok dan ada permainan harga dikalangan pedagang yang selalu memanfaatkan peluang hari besar keagamaan untuk mencari untung diatas harga normal, sehingga perlu diantisipasi dengan operasi pasar murah. Selain langkah memantau harga di beberapa pasar perlu juga koordinasi dengan distributor serta mengontrol persediaan barang yang ada untuk melakukan operasi pasar murah untuk menjaga lonjakan harga yang tidak diharapkan karena akan terjadi di masing-masing pasar atau masing-masing pedagang di pasar memberikan harga yang berbeda kepada konsumen. Jadi pemerintah tidak akan bisa mengontrol kenaikan harga kalau hanya memantau beberapa pasar saja. Momentum bulan puasa dan Idul Fitri juga dijadikan peluang besar untuk pedagang mencari untung, meskipun stok barang stabil atau mencukupi, namun hal ini tidak jadi jaminan harga sembako tidak naik. Sehubungan dengan hal tersebut dalam hal ini Pemerintah Daerah khususnya Pemda Kota Mataram melalui Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan serta instansi terkait sebaiknya terus memantau harga di 17 pasar tradisional yang menjual sembako yang ada di 6 kecamatan yang ada di Kota Mataram. Mengingat luas Kota Mataram tidak begitu luas yaitu 61,30 KmĀ² dengan jumlah
3
penduduk 413.210 jiwa, dengan kepadatan penduduk 6.741 jiwa/km2, tidak terlalu sulit memantau pasar-pasar tradisional yang jaraknya cukup dekat antara pasar yang satu dengan pasar lainnya. Karena dampak kenaikan sembako ini akan sangat terasa bagi Ibu-ibu rumah tangga karena para pembeli yang mayoritas adalah ibu rumah tangga mengeluh dengan keadaan ini atau mereka berharap pemerintah mengantisipasi dengan melakukan operasi pasar murah atau cara lain yang lebih bijaksana. Kebutuhan rumah tangga naik membuat mereka semakin bingung bila harga sembako berfluktuatif atau bahkan tidak terkendali karena kebingungan ini akan bertambah manakala gaji sang suami yang rencananya akan menerima kenaikan gaji bulan Juli 2014 ini, tetapi kemungkinan harga-harga sembako terus melaju membuat masyarakat terpuruk. Selain itu warga miskin yang jumlahnya 49.633 jiwa atau 11,87 persen semakin miskin, apabila harga tidak diantisipasi lebih awal oleh pemerintah.
C. Regulasi Pemerintah
Pemerintahan
dibentuk
dengan
maksud
untuk membangun
peradaban
dan menjaga sistem ketertiban sosial sehingga masyarakat bisa menjalani kehidupan secara wajar dalam konteks kehidupan
bernegara.
Dalam
perkembangannya, konsep pemerintahan mengalami transformasi paradigma dari yang serba negara ke orientasi pasar (market or public interest), dari pemerintahan yang kuat, besar dan otoritarian ke orientasi small and less government,
egalitarian
dan
demokratis,
pemerintahan
dari yang sentralistik
serta
transformasi sistem
ke desentralistik. Penyelenggaraan
pemerintahan yang baik adalah landasan bagi penyusunan dan penerapan kebijakan
negara
yang
demokratis
dalam
era
globalisasi.
Fenomena 4
demokrasi
ditandai
dengan
menguatnya
penyelenggaraan pemerintahan,
kontrol
masyarakat
terhadap
sementara fenomena globalisasi
ditandai
dengan saling ketergantungan antara bangsa, terutama dalam pengelolaan sumber-sumber daya ekonomi dan aktivitas dunia usaha. Kedua fenomena tersebut, baik demokratisasi maupun globalisasi, menuntut redefinisi peran pelaku-pelaku
penyelenggaraan
pemerintahan.
Pemerintah
memegang kuat kendali pemerintahan, cepat
sebelumnya
atau lambat mengalami
pergeseran peran dari posisi yang serba mengatur dan mendikte ke posisi sebagai fasilitator. Dunia usaha dan pemilik modal, yang sebelumnya berupaya mengurangi otoritas negara yang dinilai cenderung bisnis,
harus
mulai
menyadari
pentingnya
menghambat
aktivitas
regulasi yang melindungi
kepentingan publik. Sebaliknya, masyarakat yang sebelumnya ditempatkan sebagai penerima manfaat (beneficiaries), mulai menyadari kedudukannya sebagai pemilik kepentingan yang juga berfungsi sebagai pelaku. Terjadinya krisis
ekonomi
di
Indonesia
antara
lain
disebabkan
oleh
penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik. Akibatnya timbul berbagai masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sulit diberantas, masalah penegakan hukum yang sulit berjalan, monopoli
dalam
kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada
masyarakat yang memburuk. Sehubungan dengan itu, sebuah konsep baru yang
semula
diperkenalkan lembaga-lembaga donor internasional, yaitu
konsep tata kepemerintahan yang baik (good governance), sekarang menjadi salah satu kata kunci dalam wacana untuk membenahi sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Konsep ini pertama diusulkan oleh Bank Dunia (World Bank), United Nations Development
Program (UNDP), Asian
5
Development Bank (ADB), dan kemudian banyak pakar di negara-negara berkembang menyangkut
bekerja
keras
untuk
tata-pemerintahan
mewujudkan
tersebut
gagasan-gagasan
berdasarkan
kondisi
dengan mengutamakan unsur-unsur kearifan lokal. Tata yang
baik
dalam
dokumen
UNDP
adalah
baik lokal
kepemerintahan
penggunaan wewenang
ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses, dan lembaga-lembaga mengutarakan
dimana
warga
kepentingannya,
dan
kelompok-kelompok
menggunakan
hak
masyarakat
hukum,
memenuhi
kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan di antara warga dan kelompok masyarakat Konseptualisasi good governance lebih menekankan pada terwujudnya demokrasi, karena itu penyelenggaraan negara yang demokratis menjadi syarat mutlak bagi terwujudnya good govemance, yang berdasarkan pada adanya tanggungjawab, transparansi,
dan
masyarakat.
diri setiap aktor
Idealnya,
ketiga
hal itu akan
ada pada
partisipasi
institusional dimaksud dengan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai moral yang menjiwai setiap langkah governance. Good governance menunjuk pada pengertian
bahwa kekuasaan tidak lagi semata- mata dimiliki atau
menjadi urusan pemerintah, tetapi menekankan pada pelaksanaan fungsi pemerintahan secara bersama-sama oleh pemerintah, masyarakat madani, dan pihak swasta. Good governance juga berarti implementasi kebijakan sosial politik untuk kemaslahatan rakyat banyak, bukan hanya untuk kemakmuran orang-per-orang atau kelompok tertentu. Fenomena demokrasi dan globalisasi berdampak pada reformasi politik di Indonesia,
khususnya
pada
sistem
pemerintahan yang mengalami transformasi dari sistem sentralistik menjadi
6
desentralistik.
Sistem
pemerintahan
desentralistik
menuntut
adanya
pendelegasian wewenang dari Pemerintah ke Pemerintah Daerah, dan selanjutnya kebijakan desentralisasi ini dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan kemudian direvisi menjadi Undang-undang Nomor
32
tahun
2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Kebijakan
desentralisasi dengan wujud otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pemerataan pembangunan, peningkatkan daya saing daerah, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip otonomi daerah merupakan otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah daerah
memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah dalam rangka pelayanan umum, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Kebijakan otonomi daerah memiliki konsekuensi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu secara politik, desentralisasi merupakan langkah menuju demokratisasi, karena Pemerintah lebih dekat dengan rakyat, sehingga kehadiran pemerintah lebih dirasakan oleh rakyat dan keterlibatan rakyat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan dan pemerintahan semakin nyata. Secara sosial, desentralisasi akan mendorong masyarakat ke arah swakelola dengan memfungsikan
pranata
sosial
yang
merupakan
modal
sosial
dalam
menyelesaikan permasalahan masyarakat. Secara ekonomi, desentralisasi diyakini dapat mencegah eksploitasi Pemerintah Pusat terhadap daerah, serta
7
dapat menumbuhkan inovasi masyarakat dan mendorong motivasi masyarakat untuk lebih produktif. Secara administrasi, desentralisasi akan mampu meningkatkan
kemampuan
pengorganisasian,
meningkatkan
publik. Penyelenggaraan dampak
daerah
dalam
melakukan
akuntabilitas
otonomi
daerah
perencanaan,
atau pertanggung jawaban
secara
faktual
memberikan
yang positif, khususnya dalam rangka pemerataan dan peningkatan
pembangunan di daerah, akan tetapi pada kenyataannya otonomi belum mampu untuk meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat. Disisi lain beberapa fakta menunjukkan otonomi daerah juga menjadi sumber rasa ketidakadilan rakyat karena tindakan kesewenang-wenangan dan penyelewengan para penguasa di daerah. Berdasarkan
Laporan Tahunan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK)
Indonesia, menyebutkan bahwa pada tahun 2007 terdapat 17 (tujuh belas) kasus tindak pidana korupsi yang baru ditangani, diantaranya 9 (sembilan) kasus tindak pidana korupsi tersebut terjadi pada Pemerintah Daerah. Selain itu yang menjadi perhatian adalah semua tindak pidana korupsi yang di daerah
tersebut
terkait
terjadi
dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa
pemerintah. Menurut Legowo dalam Agus (2006) terdapat tiga hal yang menjadi penyebab terjadinya desentralisasi korupsi pada era otonomi daerah. Pertama, program otonomi daerah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan
administrasi
dari
pemerintah
pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol penyimpangan
wewenang
di
daerah.
Ketiga,
secara
efektif
legislatif gagal
dalam
menjalankan fungsinya sebagai lembaga control, justru sebaliknya terjadi 8
kolusi yang erat antara pihak eksekutif dan legislative di daerah, sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah. Upaya mewujudkan good local governance bukanlah suatu hal yang mudah seperti membalik telapak tangan, dan tentunya untuk mewujudkan itu dibutuhkan perjuangan dan waktu panjang. Sekalipun memiliki kelemahan, penyelengaraan desentralisasi merupakan sarana yang mendekatkan Bangsa Indonesia pada kondisi yang ideal untuk membangun good local governance. Upaya mewujudkan good local governance idealnya dimulai dengan mewujudkan good governance pada Pemerintah Pusat sebagai pilots pemerintahan. Selain itu format kebijakan otonomi daerah saat ini perlu dievaluasi, penyelenggaraan
otonomi
untuk mengetahui
apakah
daerah saat ini dapat menunjang terciptanya
pemerintahan yang baik dan bersih dari KKN.
D. Penutup
Kesimpulan yang dapat penulis berikan adalah bahwa hukum permintaan dan penawaran akan tetap berlaku pada transaksi barang dan jasa, oleh karena itu peran Pemerintah Daerah melalui instansi yang terkait harus mampu sebagai penengah antara penjual dan pembeli dengan cara membuat regulasi yang adil dan saling menguntungkan bagi produsen dan konsumen.
9
Daftar Pustaka
Agus Dwiyanto, 2006, Mewujudkan Good Geovernance Melalui Pelayanan Public, UGM Press, Yogyakarta. Arief Furkan, 2 0 0 4 , Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Burhanuddin, 2004, Analisis Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan, Bumi Aksara, Malang Indonesia Corruption Watch (ICW), Laporan akhir tahun 2013 ICW. hal. 4. ICW, Jakarta KPK, Annual Report Tahun 2013, hal, 57. KPK, Jakarta, 2008 Lalolo Krina, 2003, Indikator Dan Tolok Ukur Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipasi, Sekretariat Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan yang Baik, BAPPENAS, Jakarta Marsetio Donosepoetro, 2002, Manajemen dalam Pengertian dan Pendidikan Berpikir, Karunia, Jakarta Raharja, Pratama, Mandala Manurung, 2008, Pengantar Ilmu Ekonomi, Edisi Ketiga, LPFE UI, Jakarta ___________,2014, Harga Sembilan Bahan Pokok dan Komoditas Strategis Lainnya di Kota Mataram, Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Kota Mataram, Mataram ___________,2014, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi NTB Tahun 2013-2018, Bappeda Provinsi NTB, Mataram
Akses Internet : Website BKD dan Diklat Provinsi NTB : http:///bkddiklat.ntbprov.go.id (diakses 19 Juni 2014).
10