MENINGKATKAN KETERAMPILAN KERJASAMA PESERTA DIKLAT MELALUI PEMBELAJARAN KOLABORATIF 1 Oleh Drs. Faris Ihsan, M.Si 2 Abstrak Keterampilan bekerjasama merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam kehidupan dewasa ini, karena hampir semua perilaku yang ada di masyarakat menunjukkan adanya kerjasama dari semua lapisan masyarakat, tanpa memandang perbedaan suku, agama, ras, laki-laki dan perempuan, serta golongan. Ketrampilan kerjasama akan terwujud dalam kehidupan bermasyarakat, apabila peserta diklat sudah dilatih melalui proses belajar di lembaga diklat. Seorang widyaiswara bisa melatih ketrampilan kerjasama ini dengan melalui pembelajaran kolaboratif. Metode collaborative learning sejatinya merupakan metode belajar yang lebih menekankan pada tugas spesifik dan berbagi tugas dalam kerja kelompok, membandingkan kesimpulan dan prosedur kerja kelompok, dan memberikan keleluasaan yang lebih besar pada peserta diklat dalam kerja kelompok. Oleh karena itu melalui pembelajaran kolaboratif, peserta diklat akan terbiasa dalam bekerjasama dengan sesama peserta diklat guna mencapai suatu tujuan. Kata Kunci : Keterampilan, kerjasama, kolaboratif A. Pendahuluan Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang terus berusaha meningkatkan k e t e r b a t a s a n d i r i n y a , k e t e r b a t a s a n pikirannya suatu fakta dan sebagai satu kenyataan. Hakekat manusia yang demikian
itu, dimungkinkan karena
manusia memiliki akal budi yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan hidupnya. Oleh karena itu manusia
akan
selalu
melakukan
interaksi dan kerjasama dengan orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkannya. Dalam era globalisasi, ada kecenderungan ketergantungan antar
1. Telah dikoreksi oleh Tim Editor Website BKD dan Diklat Provinsi NTB 2. Widyaiswara Madya pada BKD dan Diklat Provinsi NTB 1
manusia dalam segala hal. Dengan demikian keterampilan bekerjasama dengan orang lain sangat dibutuhkan, dan merupakan suatu aspek sosial yang harus dimiliki oleh setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat.
Keterampilan
bekerjasama merupakan suatu hal yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam kehidupan dewasa ini, karena hampir semua perilaku yang ada di masyarakat menunjukkan adanya kerjasama dari semua lapisan masyarakat, tanpa memandang perbedaan suku, agama, ras, laki-laki dan perempuan, serta golongan. Pentingnya memiliki keterampilan kerjasama dalam kehidupan manusia, sejalan dengan pernyataan Roestiyah (2001), yang menyatakan bahwa sama seperti seorang widyaiswara harus mengajarkan keterampilan keterampilan kerjasama
juga
harus
diberikan
akademis,
kepada peserta diklat, karena
tindakan ini akan bermanfaat bagi mereka untuk meningkatkan kerja kelompok, dan menentukan bagi keberhasilan hubungan sosial di masyarakat. Pentingnya seseorang peserta diklat memiliki keterampilan kerjasama, dengan mengatakan bahwa peserta diklat benar-benar harus belajar untuk bekerjasama menuju satu tujuan, yakni adanya pemahaman bahwa tidak
ada
satu
orangpun
yang
memiliki semua jawaban yang tepat, kecuali dengan bekerjasama. Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut, keterampilan kerjasama merupakan aspek kepribadian yang penting, dan perlu dimiliki oleh setiap orang dalam kehidupan sosial di masyarakat. Menurut (Panitz, 1996) menyatakan bahwa Collaborative Learning, yakni suatu filosofi dalam pendidikan yang melibatkan beberapa peserta diklat secara bersama-sama tergabung dalam kelompok yang mengakui adanya perbedaan kemampuan dan sumbangan pemikiran tiap-tiap individu. Collaborative learning
adalah
suatu proses
kelompok dimana anggota
mendukung dan bersandar pada satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan
2
yang disetujui.
Definisi ini memandang kelas sebagai suatu tempat sempurna
untuk mengembangkan keterampilan dan pembentuk tim/kelompok
yang
diperlukan untuk hidup dikemudian hari. Lebih jelas dinyatakan Johnson (1998), bahwa collaborative learning adalah interaksi antara anggota tim : 1. yang dikembangkan dan berbagi elemen untuk mencapai tujuan umum, 2. memberi masukan untuk lebih memahami masalah yang dihadapi, 3. menanyakan, lebih mengerti secara mendalam dan solusi pemecahannya, 4. bereaksi dan bekerja untuk memahami terhadap pertanyaan lain, pengertian yang mendalam dan solusi, 5. masing-masing anggota menguasakan pada anggota lain untuk berbicara dan memberi masukan dan untuk mempertimbangkan kontribusi mereka, 6. dapat dipertanggung-jawabkan ke orang yang lain, dan mereka dapat dipertanggungjawabkan kepada dirinya sendiri, 7. di an tara a n ggo t a t i m ada s a l i n g ketergantungan. Menurut Rockwood dalam Panitz (1996) didalam lingkungan kolaboratif yang ideal,
otoritas
untuk menguji
d a n menentukan kepantasan produk
kelompok terletak ditangan kelompok kecil terlebih dahulu, berikutnya pada kelompok paripurna (keseluruhan kelas) dan akhirnya untuk keperluan pengetahuan
kemasyarakatan.
Dalam collaborative
learning, widyaiswara
mendelegasikan/memindahkan semua otoritas kepada tim belajar, dari perspektif ini jelas berbeda dengan cooperative learning yang tidak menguasakan pada peserta diklat sepenuhnya. Mereka bekerja melayani widyaiswara dengan hasil ”benar” atau jawaban bisa diterima , sedangkan kerja kolaboratif sungguh3
sungguh menguasakan dan berani menyerahkan semua resiko hasil kerja kelompok atau kelas yang mungkin kurang disetujui atau dalam suatu posisi yang tak meyakinkan atau
menghasilkan suatu solusi tidak sesuai dengan
pendapat widyaiswara. Para pendukung belajar kooperatif cenderung
untuk
menjadi lebih bersifat facilitator centered, sebagai contoh ketika berbagi tugas dalam
kerja kelompok, membandingkan kesimpulan dan prosedur kerja
kelompok, dan memberikan keleluasaan yang lebih besar pada peserta diklat dalam kerja kelompok. hal tersebut tentu saja sangat bertolak belakang dengan metode konvensional, yang lebih menekankan pada ceramah bervariasi dan diskusi kelompok yang ketat dengan pengawasan widyaiswara, yang membuat peserta diklat menjadi kurang aktif dalam bekerja. Oleh karena itu perlu ada suatu pembuktian yang riil dari metode collaborative learning, sebagai suatu metode pendidikan yang dapat meningkatkan keterampilan kerjasama peserta diklat dalam belajar. Idealnya aktivitas pendidikan di lembaga diklat tingkat menengah hingga tingkat tinggi tidak hanya difokuskan pada upaya mendapatkan pengetahuan yang sebanyak-banyaknya saja, melainkan juga bagaimana menggunakan segenap pengetahuan yang didapat itu untuk menghadapi situasi yang baru atau memecahkan masalah- masalah khusus yang ada kaitannya dengan materi diklat yang dipelajari. Dalam kegiatan pendidikan ada kegiatan membangun karakter, sikap, dan rasa tanggung jawab disamping pengetahuan dan keterampilan. Di lembaga diklat, widyaiswara masih tetap merupakan sumber belajar yang paling dominan, belum memanfaatkan sumber belajar secara beragam. Proses pendidikan sebagian besar masih berpusat pada kegiatan mendengar dan ceramah, belum diarahkan pada kegiatan belajar secara aktif dan kolaboratif, dimana peserta diklat membangun sendiri pengetahuannya bersama
4
sesama peserta Diklat.
Hassoubah (2004), menyatakan bahwa dalam proses
pendidikan saat ini masih banyak peserta diklat yang “kurang berpikir” secara optimal. Mereka pergi ke lembaga diklat tetapi cara belajar mereka terbatas mendengarkan penjelasan widyaiswara, dan kurang berupaya memahami isi materi diklat yang diajarkan oleh widyaiswara mereka. Belajar yang seperti ini, bukanlah suatu keberhasilan, tetapi merupakan cara belajar yang “gagal” mencapai tujuan belajar dalam arti yang sesungguhnya. Para widyaiswara hendaknya melakukan evaluasi diri dan berupaya memperbaiki dengan tidak membiarkan para peserta diklat berlarut-larut dalam suasana belajar yang merugikan bagi bangsa dan negara di masa yang akan datang. Karena, para aparatur pemerintah ini k e l a k
menjadi pejabat publik,
a k a n menghadapi dunia yang penuh
dengan tantangan dan permasalahan. Para peserta diklat ini yang akan menjadi pemimpin
dimasa depan, mesti dipersiapkan untuk menghadapi tantangan dan
permasalahan hidup. Tantangan dan permasalahan itulah yang akan dihadapi oleh pemikir (Gie, 2003). Sebagian para widyaiswara telah menyadari bahwa pendidikan berpikir agar aparatur menjadi mengerti, kritis, dan kreatif serta mampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari adalah penting, karena proses belajar yang diperoleh peserta diklat lebih banyak pada “belajar tentang” (learning about thing) daripada “belajar bagaimana” (learning how to be). Suatu misal peserta diklat belajar
tentang toleransi
beragama, akan diajarkan pada mereka apa pengertian dan ciri-cirinya serta cara untuk mencapai hidup bertoleransi, tetapi mereka tidak belajar
bagaimana
mengubah perilaku sehingga mencapai taraf yang bertoleransi. Sebagai contoh peserta diklat tahu bahwa tindakan kekerasan merupakan salah satu perilaku yang tidak bertoleransi, tetapi banyak mereka yang memaksakan kehendak, bahkan
5
sering terjadi konflik antar mereka. Tampaknya pengetahuan yang dimiliki oleh mereka merupakan hasil transmisi informasi semata, belum merupakan suatu yang dicari, digali, dan ditemukan sendiri sehingga betul-betul menjadi miliknya dan menjadi bagian dari kehidupannya. Pendidikan yang hanya berorientasi pada hasil belajar semata, tentu akan memberikan dampak yang kurang positif pada peserta diklat, karena
peserta diklat
cenderung
individualistis, kurang
bertoleransi dan jauh dari nilai-nilai kebersamaan. Mereka belajar semata-mata hanya yang
bagaimana supaya bisa lulus diklat, dan mementingkan diri sendiri. Hal seperti
ini
akan
terbawa
hingga ketempat tugasnya, sehingga akan
mengalami kesulitan dalam bergaul dan bekerjasama dengan orang lain atau masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya implementasi pendidikan kolaboratif sebagai
salah satu alternatif untuk melatih dan sekaligus meningkatkan
keterampilan kerjasama peserta diklat dalam belajar.
B. Keterampilan Kerjasama
Kerjasama merupakan sifat sosial bagian dari kehidupan masyarakat yang tidak bisa dielakkan oleh manusia dalam kehidupan
sehari-hari.
telah
kerjasama
berkembang
maju,
menempatkan
Masyarakat sebagai
yang
indikator
keberhasilan mereka. Apabila suatu negara mempunyai hubungan kerjasama yang luas dengan banyak negara maka akan semakin mudah bagi negara dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di negara tersebut. Berbeda dengan era “pasar bebas” suatu negara akan semakin sulit mengatasi perekonomiannya karena negara tersebut kalah dalam hal persaingan perdagangan, namun era tersebut semakin ditinggalkan oleh banyak negara, karena mereka lebih suka untuk
6
bekerjasama
atau
berkolaborasi
dalam
berbagai
bidang
dalam
rangka
menyelesaikan permasalahan secara bersama-sama. Dalam bidang pendidikan
dan pelatihan menggunakan berbagai metode
pendidikan yang lebih menitik beratkan pada kerjasama, antara lain seperti dikemukakan oleh Johnson (1998), dan
Slavin (1997), pada umumnya
memberikan batasan tentang pengertian kerjasama mirip satu sama lain. Kerjasama adalah bekerja bersama untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama (Johnson, 1998). Mengacu pada pengertian tersebut, dapat bahwa
suatu
dikatakan
kerjasama adalah kumpulan/kelompok yang terdiri dari beberapa
orang anggota yang saling membantu dan saling tergantung satu sama lain dalam melakukan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan bersama. Individu-individu yang ada dalam kelompok tersebut mempunyai tanggungjawab yang sama, sehingga tujuan yang diinginkan akan bisa dicapai oleh mereka, apabila mereka saling bekerjasama. Menurut Johnson (1998), karakteristik suatu kelompok kerjasama terlihat dari adanya lima komponen yang melekat pada program kerjasama tersebut, yakni : 1. adanya saling ketergantungan yang positif diantara individu-individu dalam kelompok tersebut untuk mencapai tujuan, 2. adanya interaksi tatap muka yang dapat meningkatkan sukses satu sama lain diantara anggota kelompok, 3. adanya akuntabilitas dan tanggungjawab personal individu, 4. a d a n y a k e t e r a m p i l a n k o m u n i k a s i interpersonal dan kelompok kecil, 5. adanya keterampilan bekerja dalam kelompok.
7
Kebanyakan para widyaiswara merasa bahwa dengan telah membentuk peserta
diklat
dalam
kelompok-kelompok
belajar,
meskipun
tanpa
mempertimbangkan lima karakteristik kerjasama t ers ebut , i a t el ah m e r a s a melaksanakan pendidikan kerjasama yang mengacu pada lima karakteristik tersebut. Tentu saja pemahaman ini tidak dapat dibenarkan secara teoritis, dan melalui tulisan ini akan dibahas strategi pendidikan kerjasama dengan menggunakan metode pendidikan kolaboratif. Suatu kerjasama dalam belajar kemungkinan besar tidak dapat berjalan atau berlangsung dengan optimal dan mencapai tujuan kelompok belajar secara maksimal tanpa didukung oleh adanya keterampilan kerjasama diantara semua anggota kelompok. Hal ini berarti, jika setiap anggota dalam kelompok memiliki keterampilan kerjasama yang baik, maka akan terwujud suatu suasana atau iklim kolaboratif, yang pada gilirannya akan mendorong para anggota kelompok bekerjasama secara sinergis mencapai tujuan belajar secara optimal. Keterampilan kerjasama merupakan hal penting yang paling diunggulkan dalam kehidupan masyarakat utamanya budaya demokratis, dan merupakan salah satu indikator dari lima indikator perilaku sosial, yakni tanggungjawab, peduli pada orang lain, bersikap terbuka, dan kreativitas.
C. Pembelajaran Kolaboratif
Kerja kolaboratif sungguh-sungguh memberikan kuasa kepada peserta diklat dan harus berani mengambil semua resiko seseuai yang telah disepakati. Sebagai contoh, hasil kerja tim atau individu kurang disetujui, atau dalam suatu posisi yang tak meyakinkan, atau terlalu sederhana, atau menghasilkan suatu solusi tidak sesuai dengan pendapat widyaiswara. Hal ini didasarkan pada suatu pandangan 8
yang menyatakan bahwa tiap-tiap orang memiliki pegangan, kontribusi kosakata interpretative, sejarah, nilai-nilai, konvensi dan minat. Widyaiswara mungkin “tidak memiliki persepsi yang sama” dengan peserta diklat, sehingga ia tidak bisa membantu para peserta diklat belajar untuk merundingkan batasan-batasan pengetahuan yang telah dimiliki masyakarat, meskipun mungkin secara akademis menguasai. pengetahuan
Tiap-
tiap
bahwa
pengetahuan
dirinya
adalah
masyarakat anggota
mempunyai masyakarat
suatu yang
inti perlu
mendapatkan peran (tetapi tidak harus absolut). Untuk berfungsi dengan bebas di dalam suatu masyarakat, peserta diklat harus menguasai bahan cukup untuk menjadi lebih mengenal masyarakat. Merril (2003) m e m a n d a n g collaborative learning sebagai pembelajaran yang berorientasi "transaksi" ditinjau dari sisi metodologi. Orientasi itu memandang pembelajaran sebagai dialogue antara peserta diklat dengan peserta diklat, peserta diklat dengan widyaiswara,
peserta diklat
dengan
masyarakat dan
lingkungannya. Para peserta diklat dipandang sebagai pemecah masalah. Perspektif ini memandang mengajar sebagai "percakapan" dimana para widyaiswara dan para peserta diklat belajar bersama-sama melalui suatu proses negosiasi. Proses
negosiasi
dalam pola belajar kolaborasi memiliki 6 karakteristik,
yakni (1) tim berbagi tugas untuk mencapai tujuan pembelajaran, (2) diantara anggota tim saling memberi masukan untuk lebih memahami masalah yang dihadapi, (3) para anggota tim saling menanyakan untuk lebih mengerti secara mendalam, (4) tiap anggota tim
menguasakan
kepada
anggota
lain untuk
berbicara dan memberi masukan, (5) kerja tim dipertanggungjawabkan ke
9
(orang) yang lain, dan dipertanggung-jawabkan kepada dirinya sendiri, dan (6) diantara anggota tim ada saling ketergantungan. Ada sejumlah faktor yang perlu diperhatikan dalam pola belajar kolaboratif, yakni peran peserta diklat dan peran widyaiswara (Panitz,1996). Peran peserta diklat yang harus dikembangkan adalah (1) mengarahkan, yaitu menyusun rencana yang akan dilaksanakan dan mengajukan alternatif pemecahan masalah yang dihadapi, (2) menerangkan, yaitu memberikan penjelasan atau kesimpulankesimpulan pada anggota kelompok yang l ai n, (3) bert anya, y a i t u me n g a j u k a n pertanyaan- pertanyaan
untuk mengumpulkan informasi
yang
ingin d i k e t a h u i , (4) mengkritik, yaitu mengajukan sanggahan dan mempertanyakan alasan dari usulan /pendapat/ p e r n ya t a a n ya n g diajukan, (5) merangkum, yaitu membuat kesimpulan dari hasil diskusi atau penjelasan yang diberikan, (6) mencatat, yaitu membuat catatan tentang segala sesuatu yang terjadi dan diperoleh kelompok, dan (7) penengah, yaitu meredakan konflik dan mencoba meminimalkan ketegangan yang terjadi antara anggota kelompok. Dalam kerja kolaboratif, peserta diklat berbagi tanggung-jawab
yang
digambarkan dan yang disetujui oleh tiap anggota. Persetujuan itu meliputi (1) kesanggupan untuk menghadiri, kesiapan dan tepat waktu untuk memenuhi kerja tim, (2) diskusi dan perselisihan paham memusatkan pada masalah yang dipecahkan dengan menghindarkan kritik pribadi, dan (3) ada tanggung jawab tugas dan menyelesaikannya tepat waktu. Peserta diklat boleh melaksakan tugas, sesuai dengan pengalaman mereka sendiri meskipun sedikit pengalaman dibanding anggota lainnya yang penting dapat berpikir jernih/baik sesuai dengan kapabilitasnya.
10
Peran-peran yang harus dihindari oleh peserta diklat adalah 1.
free-rider, yaitu membiarkan teman-temannya melakukan tugas tim, tanpa berusaha ikut serta memberikan kont ri bus i dal am proses kolaborasi,
2. sucker, yaitu tidak ikut serta memberikan kontribusinya karena tidak bersedia membagi p e n g e t a h u a n y a n g dimilikinya, 3. mendominasi, yaitu menguasai jalannya p r o s e s p e n y e l e s a i a n tugas, sehingga kontribusi anggota tim yang lain tidak optimal, 4. ganging up on task, yaitu cenderung menghindari tugas dan hanya menunjukkan sedikit usaha untuk menyelesaikannya. Dalam pembelajaran
kolaborasi, widyaiswara tidak lagi memberikan
ceramah di depan kelas, tapi dapat berperan seperti 1. fasilitator,
dengan menyediakan sarana yang memperlancar proses belajar;
mengatur l i n g k u n g a n sumber-sumber
fisik,
memberikan
a t a u menunjukkan
informasi, menciptakan iklim kondusif yang dapat
mendorong peserta diklat memiliki sikap dan tingkah laku tertentu, dan merancang tugas; 2. model, secara aktif berupaya menjadi contoh dalam melakukan kegiatan belajar efektif, seperti mencontohkan penggunaan strategi belajar atau cara mengungkapkan pemikiran secara verbal (think aloud) yang d a p a t membantu p r o s e s k o n s t r u k s i pengetahuan; 3. pelatih (coach), memberikan petunjuk, umpan balik, dan pengarahan terhadap upaya belajar peserta diklat. Peserta diklat tetap mencoba memecahkan masalahnya sebelum memperoleh masukan pengajar.
11
D. Pentingnya Tim Dalam Belajar Kolaborasi
Merril (2003) menyarankan agar dalam collaborative learning, kelas dibagi ke dalam beberapa tim dan tiap tim ditugasi untuk melakukan riset sederhana, kemudian dievaluasi dan didiskusikan kembali di dalam kelas.
Tim yang
dimaksud adalah: “a group of two to five students who are tied together by a common purpose to complete a task and to include every group member”. Dalam konteks ini, Bruffe (1995) menegaskan bahwa premis mayor dalam suatu tim adalah bahwa setiap orang dalam tim tersebut harus berfungsi sebagai pemain yang kolaboratif dan produktif untuk menuju tercapainya hasil yang diinginkan, dengan sangat menekankan pentingnya kohesivitas. Konsep
“tim” dengan segala aspeknya ini harus benar-benar dipahami oleh
peserta diklat. Kurangnya pemahaman tentang konsep ini dapat berakibat kurangnya kesadaran akan pentingnya
kerjasama, tidak
dapat
memprioritaskan tujuan tim daripada tujuan individu, dan pada gilirannya dapat berakibat berbuat kesalahan dalam menyelenggarakan pertemuan, mengabaikan batas waktu penyelesaian pekerjaan tim, kurang penuh dalam bertanggungjawab, serta kurang dapat bekerja secara efisien. Dalam pembentukan tim, jumlah anggota, sifat, dan kompleksitas pekerjaan merupakan faktor kunci. Mengenai berapa orang sebaiknya jumlah anggota dalam ternyata ada berbagai pendapat. Secara umum, para ahli merekomendasikan agar pembentukan tim dalam kelas sebaiknya terdiri dari tiga sampai dengan lima orang Hassoubah,(2004). Namun, ia menegaskan bahwa untuk permulaan latihan pengembangan keterampilan kolaborasi sebaiknya para widyaiswara memperkenalkannya dengan kelompok kecil lebih dulu, sekitar dua sampai tiga orang dalam satu kelompok. Tujuan
12
utamanya agar peserta diklat familiar bekerja/belajar secara kolaborasi dengan orang lain. Untuk kegiatan semacam riset/ investigasi yang ditindaklanjuti dengan pembuatan laporan dan menyajikannya di kelas, diarankan sebaiknya tim terdiri dari tiga sampai dengan lima orang agar dapat bekerja secara efektif. Ia juga menyarankan jumlah anggota sebaiknya gasal,
jangan genap agar kalau
suatu saat terjadi konflik dapat diatasi dengan voting dalam penyelesaiannya. Selain jumlah peserta diklat yang perlu dipertimbangkan dalam pembentukan suatu tim, Bruffe (1995) mengingatkan bahwa keragaman latar belakang peserta diklat juga perlu diperhatikan dan latar belakang mana yang akan lebih diberikan tekanan. Misalnya, kualitas perspektif peserta diklat dalam memandang berbagai persoalan, jenis kelamin, dan latar belakang etnik. Namun, Bruffe menekankan bahwa tujuan kegiatan merupakan faktor utama untuk mempertimbangkan pembentukan tim. Untuk kegiatan jangka pendek, seperti kegiatan di kelas bagi
peserta diklat
yang tujuan utamanya adalah latihan bekerja secara
kolaboratif dalam tim, pemilihan anggota tim cukup dilakukan secara acak. Sebaliknya, jika tujuan tim dimaksudkan untuk menelusuri kesempatan karir di berbagai instansi, maka pemilihan anggota tim akan lebih tepat didasarkan atas minat karir yang sejenis. Setiap tim harus memiliki seorang ketua
untuk
memimpin pertemuan atau rapat, menjadi penghubung antara tim dengan widyaiswara, dan melaksanakanfungsi-fungsi kepemimpinan lainnya. Ketua t i m j u g a h a r u s b e k e r j a s a m a d e n g a n widyaiswara untuk menangani setiap masalah yang muncul dan memerlukan bantuan widyaiswara. Sangat boleh jadi suatu tim menghadapi suatu konflik atau masalah yang tidak dapat diatasi sendiri oleh anggota timnya sehingga terpaksa harus melibatkan widyaiswara dalam memecahkannya. Namun demikian, menurut Bruffe (1995) penting untuk
13
ditekankan bahwa apa sebenarnya inti konflik atau masalah yang dihadapi, mengapa hal itu bisa terjadi, dan bagaimana mengatasinya, sebaiknya didiskusikan oleh anggota tim lebih dahulu tanpa buru-buru mengundang campur
tangan
widyaiswara agar peserta diklat terbiasa mengenali dengan
cermat dan mampu mengatasi secara efektif setiap masalah atau konflik yang dihadapi oleh timnya. Bisa jadi anggota tim lupa terhadap detail pekerjaan penting yang harus ditanganinya. Oleh sebab itu, akan sangat berguna jika widyaiswara memberikannya dalam bentuk tulisan semacam handout dalam membimbing peserta diklat melakukan kegiatan-kegiatan tim secara kolaboratif. Berikut
sejumlah
strategi
yang
diajukan oleh Hassoubah (2004) untuk
membantu tim memfokuskan pada tugas pokok yang harus dikerjakannya : 1. Membagikan secara dikerjakan mengalami
oleh
tertulis
petunjuk
pelaksanaan kegiatan
yang
tim. Petunjuk itu dibuat detail agar peserta diklat tidak
kebingungan
demikian, peserta diklat
dalam melaksaparaturannya. Dengan cara
t i d a k h a n y a menyandarkan pada ingatan
semata atau catatan-catatan yang dibuat tiap anggota tim. 2. Membuat schedule
untuk
dalamnya meliputi : tanggal
penyelesaian penyelesaian
tugas sementara yang di
kegiatan,
kartu catatan,
dan
garis besar penyusunan laporan. Jika schedule telah disusun, misalnya untuk melaksaparaturan riset perpustakaan ,
melakukan berbagai
keterampilan di kelas yang berbeda bersama widyaiswara dari disiplin ilmu yang berbeda, atau melakukan pertemuan di tempat lain di luar kelas, semua itu harus dicantumkan di dalam schedule. 3. Mendiskusikan dengan peserta diklat dan memberikan fotokopi lembaran evaluasi yang dapat digunakan
untuk
menilai
aspek-aspek kegiatan
14
tim.
Ini
berguna
untuk membantu
peserta diklat memahami
bagaimana menyelesaikan kegiatannya dengan baik dan benar. 4. Mengusahakan setiap anggota tim memiliki buku catatan kegiatan yang dibagi ke dalam bagian-bagian guna mengorganisasikan kegiatan yang harus diselesaikan. Lembaran tugas, petunjuk pelaksanaan kegiatan, dan schedule kegiatan harus dilekatkan di bagian depan buku catatan peserta diklat Pembagian tanggungjawab yang dilakukan oleh widyaiswara secara kurang bijaksana dapat mengurangi keberhasilan pola kerja kolaborasi. Seringkali orang berpendapat bahwa pembagian kerja anggota tim sebaiknya didasarkan pada penguasaan keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya. Misalnya, suatu tim yang beranggotakan tiga orang, dimana satu orang mahir dalam mengoperasikan komputer, satu orang lagi memiliki kelebihan dalam melakukan riset, dan seorang
lagi
memiliki
kelebihan
dalam menyusun laporan kegiatan.
Kedengarannya m e m a n g i d e a l j i k a p e m b a g i a n t u g a s disesuaikan dengan penguasaan yang telah dimiliki tiap anggota tim tersebut. Menurut
Davis
dalam Dahar (1998), pembagian tugas semacam itu
sesungguhnya mengandung kelemahan serius karena peserta diklat tidak terlatih menguasai dan menyelesaikan pekerjaan dalam lingkup yang lebih luas yang sebenarnya dituntut secara kompetitif maparaturala nanti sudah memasuki dunia kerja. Akibatnya, peserta diklat menyimpan kelemahan dan keterbatasan k e s e m p a t a n
untuk m e m p e r o l e h
a t a u meningkatkan
kompetensi lainnya yang juga penting. Atas dasar itu, Davis menyarankan bahwa untuk mencapai hasil maksimal dalam bekerja secara kolaboratif seharusnya setiap anggota tim menerima tanggungjawab tidak hanya pada tugas-tugas yang mereka sudah memiliki keterampilan atau penguasaan,
15
melainkan juga pada tugas-tugas yang belum mereka kuasai sambil belajar dan meningkatkan keterampilannya selama menyelesaikan kegiatan dengan anggota timnya. Lingkungan dunia kerja modern memerlukan orang-orang yang mampu menghargai
pentingnya
tanggungjawab, bukan saja dari tim
secara keseluruhan melainkan juga dari tiap-tiap personel dalam tim tersebut. Oleh sebab itu, menjadi sangat penting penghargaan terhadap tanggungjawab tersebut untuk dikembangkan secara maksimal kepada peserta diklat sebagai persiapan sebelum memasuki dunia kerja. Pengembangan tanggungjawab ini, dapat dirancang dan dikembangkan secara langsung oleh widyaiswara atau melalui kesepakatan tim atau bisa juga melalui konsensus antara widyaiswara dengan peserta diklat. Hal terpenting adalah apapun bentuk proses yang ditempuh dalam membangun tanggung jawab itu, para anggota tim harus memahami betul bahwa mereka bertanggungjawab terhadap semua pertemuan yang diselenggarakan oleh tim, memberikan sumbangan terhadap kegiatan diskusi dalam tim, dan menyelesaikan tugas- tugas tim secara baik dan tepat waktu. Jika seorang peserta diklat terpaksa tidak dapat hadir dalam suatu pertemuan tim, maka dia berkewajiban memberitahu ketua tim atau anggota tim lainnya tentang penyebab ketidakhadirannya itu. Cara ini harus dibiasakan agar
tetap
terjaga
rasa
tanggungjawab
terhadap
tim.
Bahkan,
jika
memungkinkan, meskipun seorang peserta diklat tidak dapat hadir dalam pertemuan tim, tetapi harus mengirimkan gagasan-gagasannya secara tertulis, laporan tertulis,
dan/atau tugas- tugas yang telah diselesaikannya sehingga
dapat dibahas dalam pertemuan tim. Setelah pertemuan tim selesai, peserta diklat yang tidak hadir tersebut juga harus mengontak lagi ketua tim atau anggota
tim
lainnya
untuk mendapatkan informasi tentang hasil diskusi
16
selama pertemuan tim atau barangkali ada kertas kerja atau tulisan yang dapat dibaca.
E. Meningkatkan Keterampilan Kerjasama Peserta Diklat
M e n u r u t E g ge n dalam Gie (2003), keterampilan kerjasama dapat berupa : 1. mendengarkan dengan sopan ketika orang lain berbicara dan baru berbicara setelah orang lain selesai berbicara, 2. melakukan interupsi dengan sopan, 3. memperlakukan ide-ide orang lain dengan rasa hormat dan penghargaan, 4. merumuskan atau menangkap ide-ide orang lain dengan kata-kata sendiri dengan tepat lebih dahulu sebelum menyatakan ketidaksetujuannya, 5. mendorong setiap orang berpartisipasi dalam kelompoknya, merupakan keterampilan yang penting diajarkan kepada peserta diklat seperti halnya kemampuan akademik. Ke t e r a m p i l a n - keterampilan tersebut bahkan sangat nyata diperlukan dalam kehidupan sehari-hari peserta diklat baik di lingkungan lembaga diklat maupun di masyarakat. Ha l t e r s e b u t tentu s a j a s e j a l a n dengan tujuan utuh dari pendidikan melalui proses
pendidikan
di
lembaga diklat,
yakni selain
mencapai tujuan-tujuan instruksional sebagaimana diamanatkan oleh masing -masing materi diklat, dikembangkan juga aspek-aspek afektif dan psikomotor peserta diklat yang berkaitan dengan sikap, nilai, dan keterampilan-keterampilan sosial mereka, termasuk keterampilan kerjasama dalam belajar. Keterampilan ini sangat mendukung keberhasilan peserta diklat dalam berbagai prestasi, baik akademis maupun karier mereka di masyarakat, kualitas hidup, kesehatan fisik
17
maupun kesehatan mental. Oleh karena itu, jika peserta diklat diharapkan memiliki keterampilan kerjasama, maka lembaga diklat, widyaiswara, dan orang tua, atau lingkungan belajar harus mengajarkan keterampilan tersebut dengan baik semenjak dini. S a l a h satu u p a y a y a n g d a p a t dilakukan oleh widyaiswara dalam meningkatkan keterampilan kerjasama peserta diklat dalam belajar, adalah dengan mengimplementasikan pendidikan kolaboratif dalam proses belajar peserta diklat di lembaga diklat. Kemampuan berkolaborasi bukan warisan, tetapi sesuatu yang dapat dipelajari. Kemampuan berkolaborasi dapat dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan seperti observasi dan mengerjakan proyek tertentu. Ada empat domain kemampuan berkolaborasi yang dibutuhkan peserta diklat dalam memecahkan suatu masalah secara b e r s a m a -s a m a , menurut Hill & Tim dalam Sudjana (2009) yaitu : 1. kemampuan membentuk tim, 2. bekerja/belajar secara kolaborasi, 3. kemampuan memecahkan masalah dalam tim, 4. mengatur perbedaan dalam tim Berikut diuraikan keempat kemampuan tersebut : 1. Kemampuan Membentuk Tim Pada umumnya para peserta diklat sangat mudah bekerja dalam tim, apalagi bila anggota tim tersebut merupakan teman- teman dekatnya. demikian, kadang- kadang
diantara
mereka
sering
Namun
terjadi konflik yang
berkepanjangan dalam membentuk tim kolaboratif. Konflik terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan pandangan, pola pikir, latar belakang, status, tujuan dan sebagainya. Dalam pendidikan, perbedaan tersebut perlu
18
diakomodasi (Slavin, 1997) karena amat penting dalam membangun perdamaian. Ada
beberapa
keuntungan
dalam tim yang anggotanya
berlatar belakang beragam. Keuntungan tersebut, di antaranya adalah mereka akan memperoleh sesuatu yang lebih dari peserta diklat yang lainnya, dengan jenis kelamin yang berbeda, latar belakang yang berbeda, dan kemampuan yang berbeda pula. Tiap peserta diklat memiliki kelebihan tertentu, yang mungkin tidak dimiliki oleh peserta diklat yang lainnya. Menurut Hill & Tim dalam Sudjana (1997) beberapa kemampuan peserta diklat yang kemungkinan diperlukan pada tahap pembentukan tim, yakni (1) memberikan ruang bagi orang lain, (2) membuat pasangan/ lingkaran, (3) melakukan kontak mata, (4) tetap berada ditimnya, (5) menggunakan suara lembut/pelan, (6) menggunakan nama- nama orang, (7) tidak putus asa/cepat menyerah, (8) bergiliran, (9) menggunakan pikiran sendiri/tidak menggunakan tangan orang lain, (10) membentuk kelompok tanpa mengganggu orang lain, (11) mengijinkan t em an l a i n u n t uk b e r b i c a r a , dan ( 1 2 ) mendengarkan secara aktif. 2. Kemampuan Bekerja/Belajar dalam Tim Setelah membentuk tim, ada beberapa cara untuk meningkatkan kinerja tim, yakni (1) membuat tugas dan (2) membentuk organisasi tim, misalnya ketua, sekretaris, yang mengerjakan tugas 1, tugas 2, dan seterusnya. Cara itu tepat untuk menjadikan tim agar lebih bisa mandiri, efektif, dan efisien. Adanya pemimpin atau juru bicara d a l a m
suatu
tim
akan
memberikan
keuntungan dalam menyelesaikan berbagai tugas/masalah. Setiap peran di dalam tim memacu kinerja menjadi lebih efektif dan efisien. Peran-peran t e r s e b u t m e n c a k u p ( 1 ) m e n g a m a t i (2) mencatat, (3) bertanya, (4)
19
meringkas, ( 5 ) m e n d o r o n g u n t u k b e r k o n t r i b u s i , (6) memberikan penjelasan lebih lanjut , (7) mengoranisasikan penyelesaian, dan (8) pengaturan waktu. 3. Kemampuan Memecahkan Masalah dalam Tim Ada beberapa kemampuan yang perlu dimiliki oleh peserta diklat agar dapat bekerja secara efektif dalam tim untuk menyelesaikan masalah . Kemampuan me nd a f t a r
i d e / gagasan
dan alternatif pemecahan masalah dapat
diterapkan dalam memulai diskusi. Mereka d a p a t
melanjutkan
menulis berdasarkan kesepakatan diantara mereka serta dapat diulang-ulang secara terus menerus sampai tahap akhir. Kemampuan membangun perdebatan tentang penyelesaian alternatif pemecahan, kemudian menyetujui satu pemecahan masalah adalah bagian terpenting dari tim pemecah masalah. Ketika disibukkan dalam pemecahan masalah, peserta diklat dapat menjelaskan ideide atau gagasan mereka atau posisi mereka. Diskusi ini merangsang berpikir dan meningkatkan belajar. 4. Kemampuan mengatur perbedaan dalam tim Tiap individu peserta diklat hakekatnya berbeda. Perbedaan itu diantaranya kelihatan dari aspek (1) perkembangan intelektual, beberapa peserta diklat dapat belajar lebih cepat dan lebih abstrak dari pada yang lain, (2) kemampuan
berbahasa,
beberapa peserta diklat dapat lebih mudah
mempelajari bahan pendidikan yang bersifat verbal dan disajikan secara verbal pula, (3) latar belakang pengalaman, beberapa peserta diklat lebih mudah belajar bahan-bahan pendidikan yang ada hubungannya dengan pengalaman masa lalunya, (4) cara dan gaya belajar, beberapa peserta diklat lebih mudah menyesuaikan diri dengan kegiatan pendidikan dan alat pendidikan yang 20
dipergunakan dari pada peserta diklat yang lain, (5) bakat dan minat, beberapa
peserta diklat lebih bergairah dan tidak menemui kesulitan
mengikuti beberapa mata pelajaran dibanding dengan teman-teman lainnya, dan (6) kepribadian, kepribadian ini menyebabkan peserta diklat berbedabeda reaksi dan tanggapannya terhadap tingkah laku/ sikap dan cara pengajar. Untuk mengatur perbedaan tersebut diperlukan kemampuan tertentu yang sangat penting baik pada saat mengikuti kegiatan pendidikan maupun untuk masa depannya. Melihat masalah dari sudut berbeda, belajar berorganisasi, dan menjadi penengah ketika konflik memanas adalah kemampuan amat berharga bagi kehidupan seseorang sehari- hari dan masa depan. Kemampuan yang diperlukan untuk mengatur perbedaan itu diantaranya : (1) mengatur posisi, (2) melihat masalah dari sudut pandang lainya, (3) negosiasi, (4) memediasi, dan (5) menentukan kesepakatan Apabila kita perhatikan implementasi maka sangatlah sesuai bahwa metode pendidikan kolaboratif mampu meningkatkan keterampilan kerjasama peserta diklat, karena pendidikan
untuk meningkatkan dan diperlukan yang
memungkinkan
peserta diklat
pendekatan atau metode belajar
melalui
ke gi a t a n “ m en ga l a m i ” s e c a r a l a n gs u n g p r o s e s kerjasama tersebut hingga menghasilkan sesuatu yang dikehendaki secara bersama dalam kelompok belajar. S e j a l a n
d e n g a n u p a y a u n t u k meningkatkan
keterampilan kerjasama peserta diklat melalui pendidikan, Hill dan Tim dalam Sudjana (2009) menjelaskan bahwa keterampilan kerjasama dapat dipelajari dan diajarkan, dan dalam setiap kelas pasti terdapat peserta diklat yang hanya memiliki sedikit kesempatan untuk belajar dan mempraktekkan keterampilan kerjasama daripada peserta diklat yang lain. Namun lanjutnya,
21
dengan memberikan kesempatan kepada peserta diklat untuk mengamati d a n mempraktekkan serta dengan dorongan yang tepat, keterampilan kerjasama akan berhasil dipelajari oleh peserta diklat. Berdasarkan pendapat tersebut
proses mengajarkan keterampilan kerjasama dalam belajar, dapat
ditempuh dengan preskripsi a) keterampilan kerjasama harus diajarkan, dipraktekkan, dan diberikan baikan (feedback); b) kelas didorong untuk mewujudkan diri sebagai kelompok yang kohesif; dan c) tiap individu diberi tanggung jawab atas belajar dan tingkah laku mereka sediri.
F. Kajian Empiris Tentang Pendidikan Kolaborasi
Kelompok peserta diklat yang belajar dengan pola belajar kolaborasi lebih tinggi prestasi belajarnya dibanding kelompok peserta diklat yang belajar secara kompetitif. Berdasarkan analisis statistik menunjukkan bahwa
para peserta
diklat yang belajar secara kolaboratif memiliki kemampuan yang baik dalam hal “berpikir kritis” dan “bekerja sama” dibanding mereka yang belajar secara kompetitif. Ini diusulkan oleh penganjur pendidikan kolaboratif. Selanjutnya ia menyarankan agar widyaiswara harus memandang pendidikan sebagai proses untuk mengembangkan dan meningkatkan
kemampuan peserta diklat
untuk belajar. Peran Widyaiswara bukanlah untuk memancarkan informasi, tetapi untuk bertindak sebagai suatu fasilitator untuk belajar. Belajar adalah kegiatan menciptakan, mengelola pengalaman belajar dan merangsang pemikiran peserta diklat melalui permasalahan dunia nyata. Saran lain yang diajukan Gokhale (1995), kepada para peneliti pendidikan berikutnya agar melakukan penelitian pendidikan yang menyelidiki efek dari variabel
yang berbeda
seperti
komposisi kelompok, heterogen melawan homogen , pemilihan kelompok dan
22
ukuran, struktur dari pendidikan kolaboratif, jumlah intervensi pengajar di dalam proses pendidikan, jenis kelamin dan etnis, dan gaya belajar yang berbeda. Sudjana (2009) menyatakan bahwa peralatan teknologi modern (komputer) mempengaruhi pemikiran, pemecahan masalah, pemahaman k o n s e p t u a l , d a n penerapan
s t r a t e g i pemecahan masalah, dan proses kolaborasi
dibandingkan dengan penggunaan teknologi peradaban kuno. Teknologi benarbenar menonjolkan aktivitas sosial, bagaimana orang bisa “menjadi lebih sosial” dengan menggunakan teknologi modern, karena ada asumsi bahwa “teknologi dehumanisasi” atau menjadikan manusia lebih individual. Topik psikologis, seperti persepsi, pemecahan masalah, ingatan dan pemikiran perlu dikaji dengan menggunakan pendekatan dengan tindakan sosial, dan pengaturan interaksi sosial. Kedua ilmuwan pendidikan ini juga menemukan bahwa penggunakaan teknologi informasi dapat meningkatkan aktivitas kolaborasi secara terus menerus. Para peserta diklat ‘dapat belajar’ secara jarak jauh atau telelearning untuk merundingkan struktur masalah, proses pemecahan masalah, pemahaman tugas, dan perbedaan peran mereka dalam tim. Proses kolaborasi dapat membangun bingkai pemahaman atas masalah, kejelasan tugas tim dalam memecahkan masalah, meningkatkan kemampuan interaksi sosial dan kerjasama, dan dapat menghasilkan kerja yang lebih dapat dipertanggung jawabkan.
G. Penutup
Keterampilan berkolaborasi sangat diperlukan
dalam
kehidupan
masa
kini.
Keberhasilan bukanlah buah dari kompetisi, tetapi dari kolaborasi. Kini paradigma keberhasilan proses pendidikan berbasis kompetisi (competition) t e l a h ke paradigma
proses
pembelajaran berbasis
berubah
kolaborasi
23
(collaboration). Paradigma kehidupan sekarang yang paling tinggi adalah interdependensi, bukan independensi.
Interdependensi
terjadi melalui
beberapa t a h a p a n , y a k ni (1) ketergantungan (dependence) yang m e r u p a k a n t a t a r a n paling r e n d a h , ( 2 ) k e m a n d i r i a n ( i n d e p e n d e n c e ) yang
merupakan
tataran
menengah,
dan
(3)
saling
ketergantungan
(interdependence ) yang merupakan tataran tinggi. Pergeseran paradigma seperti itu sangat bisa dipahami karena semakin terspesialisasikannya bidang- bidang ilmu sehingga untuk menghasilkan suatu produk harus mampu mengkolaborasikan secara serasi antar spesialisasi bidang ilmu. Disarankan agar para widyaiswara mengembangkan pola kerja kolaborasi daripada
kompetensi.
Jika
kompetisi yang dikembangkan, maka akan mengarahkan pada pikiran dan perasaan untuk menyerang orang lain. Keterampilan bekerjasama merupakan keterampilan yang sangat diperlukan dalam organisasi. Dengan bekerja secara kolaborasi, peserta diklat menjadi lebih sukses sebagai bagian dari anggota tim dan kinerja menjadi lebih berkualitas. Sukses sebagai bagian dari tim dan kinerja yang berkualitas, merupakan keterampilan yang sangat penting dalam organisasi.
24
Daftar Pustaka Anderson, Jonathan R., 2 0 1 0 , On cooperative and c o m p e t i t i v e l e a r n i n g i n the management classroom. Mountains Plains Journal of Business and Economics, Paedagogy, New York. Ardhana, W.2007. Seri Bacaan Pilihan dalam Metode Penelitian Pendidikan, Depdikbud Dirjen Dikti P2LPTK, Jakarta. Bruffe, K. 1995. Sharing our toys-Cooperative Le a r n i n g v e r s u s Co l l a b o r a t i v e Learning. Change, New York Dahar, R.W. 1998, Teori-teori Belajar. : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Dikti P2LPTK, Jakarta. Gie, The Liang.2003.Teknik Berpikir Kreatif. Yogyakarta: Sapta Persada. Gokhale, Anuradha A. 1995. Collaborative L e a r n i n g E n h a n c h e s C r i t i c a l Thinking. Journal of Technology Education. England Hassoubah, Z. 2004. Develoving Creative a n d Cr i t i c a l Th i n k i n g S k i l l s (terjemahan), Yayasan Nuansa Cendia, Bandung. Johnson, D.W. & Johnson, R.T, & Holubec, E., 1998, Circles of learning. Edina: Interaction Book Company. New York Merril, M.D., 2003, Component Display Theory dalam Charles M. Reigeluth (Ed).Instructional Design Theories and Models An Overview of Their Curret Status. Lawrence: Earlbaum Associate. New York Panitz, Ted. 1996. Collaborative versus cooperative learning a comparison of two concepts which will help us understand the underlying nature of interactive learning. http://ses. une.edu.au/cf/papers/pdf. diakses tanggal 20 Juli 2013. Roestiyah, N. K., 2001, Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta Sl av i n , Ro b e r t E. 1 9 9 7 . Ed u c a t i o n a l Psychologie: Theory and Practice, Fourth Edition, Allyn and Bacon Publishers.Slavin, Massachusetts Robert E. 1995. Cooperative Learning. Boston: Allyn and Bacon, New York Sudjana, N., 2009, Penelitian dan Penilaian Pendidikan, Sinar Baru, Bandung Sumantri, M. dan Permana, J., 1998, Strategi Belajar Mengajar, Ditjen Dikti PPGSD, Jakarta Suparno,P, 1999, Filsafat Konstruktifisme dalam Pendidikan, Kanisius,Yogyakarta
Akses Internet : Website BKD dan Diklat Provinsi NTB : http:///bkddiklat.ntbprov.go.id (diakses 29 Juli 2013).
25