Penyediaan Pakan Pada Pemeliharaan Sapi Bali Sistem Potong Angkut (Cut and Carry System) di Kabupaten Lombok Tengah Y. A. Sutaryono1, Jeff Corfield2 and Cam McDonald2 Fakultas Peternakan Universitas Mataram, Jl. Majapahit no. 62 Mataram, NTB 83125. CSIRO Sustainable Ecosystems, Australia
Pendahuluan Pemeliharaan ternak di Kabupaten Lombok Tengah umumnya masih menerapkan sistem pemeliharaan ternak secara tradisional dengan sistem potong angkut (cut and carry system) dan terkadang digembalakan ikat pindah di dekat lahan usaha pertanian. Kondisi wilayah tempat pemeliharaan sapi Bali di Lombok Tengah sebagian besar adalah daerah dengan lahan kering dimana lahan pertanian hanya mendapat air pada musim hujan saja (tadah hujan) dan tidak terdapat irigasi sama sekali. Dengan kondisi pertanian lahan kering seperti ini, ternak memegang peranan yang sangat penting dalam menunjang kehidupan dan kesejahteraan petani. Peternak memelihara sapi Bali antara 2 sampai 4 ekor per peternak dan umumnya adalah ternak betina induk dengan anaknya. Pada musim kemarau yang terjadi sekitar bulan Mei sampai Desember ketersediaan hijauan pakan menjadi faktor pembatas. Pada awal musim kemarau masih bisa diperoleh rumput alam dan legum merambat walau dalam jumlah dan kondisi tumbuh yang tidak optimal akibat keterbatasan air. Namun seiring dengan berlanjutnya kemarau dan makin sedikitnya kandungan air tanah, rumput alam dan legum merambat makin menghilang dan sulit didapatkan. Penyediaan pakan hijauanpun berubah dengan memanfaatkan tanaman yang lebih tinggi seperti leguminosa pohon, daun pepohonan dan pakan alternatif lainnya. Bamualim dan Wirdahayati (2003) menyatakan bahwa sebagian besar produksi ternak di Nusa Tenggara hanya didukung oleh rumput-rumput alam dan tanaman lain yang tumbuh liar. Keadaan ini perlu diperbaiki dengan upaya penyediaan pakan produksi tinggi dan berkualitas baik. Melalui program ACIAR 096, telah dilakukan pembinaan penyediaan pakan dan pemberian bibit pakan ternak introduksi kepada peternak sapi Bali. Tulisan ini memenyajikan keadaan penyediaan pakan ternak dan adopsi peternak terhadap pakan ternak introduksi produksi tinggi dengan sistem potong angkut tradisional di Kabupaten Lombok Tengah.
Materi dan Metoda Penelitian dengan dilaksanakan terhadap usaha peternakan rakyat sistem potong angkut tradisional di Kabupaten Lombok Tengah.. Daerah lokasi penelitian adalah merupakan lokasi “scaling up” program ACIAR 096, yang meliputi wilayah Kecamatan Praya Tengah, Kecamatan Praya, Kecamatan Jonggat dan Kecamatan Pringgarata. Sebagian besar wilayah ini (kecuali di Kecamatan Pringgarata) merupakan daerah pertanian dengan sebagian besar berupa lahan kering yang tidak memiliki pengairan teknis dan semata-
mata bergantung pada hujan. Setiap keluarga memiliki lahan yang terbatas berkisar 0.300.40 are/KK. Lahan terutama ditanami padi pada musim hujan dan tembakau atau palawija sesudah itu dan kemudian kemudian kosong sampai datang musim hujan selanjutnya. Penelitian dilaksanakan dengan melakukan survey dan pengamatan langsung pada peternak serta wawancara dengan peternak. Peternak diwawancarai bagaimana cara mereka memperoleh pakan hijauan bagi ternak sapi mereka sepanjang tahun. Pada kelompok peternak bibit tanaman rumput diberikan dalam bentuk anakan sedangkan untuk tanaman legum diberikan dalam bentuk benih. Seluruh kelompok ternak didampingi oleh seorang on ground team (OGT) disamping keberadaan petugas penyuluh lapangan (PPL) yang ditugaskan oleh pemerinah daerah. Hasil dan Pembahasan Karakteristik pakan sapi Bali musim hujan dan musim kemarau. Pada pemeliharaan ternak sapi Bali tradisional dengan system potong angkut secara umum terlihat perbedaan pakan yang diberikan pada sapi antara musim hujan dan musim kemarau. Pakan ternak sapi pada di Kabupaten Lombok Tengah pada musim hujan pakan ternak sapi hampir sepenuhnya terdiri dari rumput-rumputan alam dan gulma pertanian. Peternak mendapat pakan dari berbagai tempat seperti pematang sawah, lahan tidak ditanami, pinggir jalan dan kebun. Pakan juga diperoleh dari lahan sawah yang sedang ditanami dengan mengambil tanaman gulma. Jumlah pemberian pakan/hari dalam sistem potong angkut berubah menurut musim. Pada musim hujan pakan hijauan diberikan melimpah dalam jumlah cukup, sekitar 35 – 40 kg segar/ekor/hari. Kandungan kadar air juga tinggi, karena tanaman yang diberikan sangat segar, hijau dan seringkali masih basah. Pakan ternak pada musim ini mengandung protein kasar berkisar antara 10% (pada rumput) dan 15 - 16 % (pada legum dan gulma; Sutaryono, 2005). Dalam penelitiannya di Lombok dan Sumbawa, Bamualim dkk. (1994) mendapatkan nilai kandungan protein kasar pakan yang hampir sama yaitu sebesar 11 – 12% bahan kering, sementara Budiasa (2005) menemukan kandungan protein kasar pastura alami di Bali pada musim hujan adalah sekitar 9%. Kecerenaan rumput cukup baik dan sebanding dengan kecernaan rumput yang sengaja dibudidaya seperti Panicum maximum yang berkisar antara 43 – 52% bahan kering (Kaligis dan Mamonto, 1991). Rumput yang banyak ditemui diberikan pada ternak dikandang adalah jenis rumput dan legume alam lokal seperti Brachiaria sp, Digitaria sp, Cynodon sp, Heteropogon contortus, dan Imperata cylindrica. Komponen legum merambatnya adalah terutama , Desmodium, Centrocema sp., serta legum semak seperti Mimosa pudica, dan Aeschinomene sp. Beberapa gulma yang banyak ditemui dan mendominasi lahan terlantar adalah Chromolaena odorata dan Sida sp, yang tidak disukai ternak, sedangkan gulma tanaman pertanian yang sering diberikan sebagai pakan ternak diantaranya adalah Commolina sp, Portulaca sp, Boehavia sp, Euphorbia hirta dan Cyperus rotundus. Komosisi pakan sapi yang diberikan ini, sangat mirip dengan komposisi pakan sapi yang diberikan peternak di daerah lahan kering di Kabupaten Dompu (Sutaryono, 2007). Agar pakan tidak terbuang sia-sia, peternak menyediakan tempat makan khusus bagi ternaknya dikandang dan pada saat memberikan makan pakan hijauan diletakkan ditempat tersebut.
Pada musim kemarau jumlah pemberian pakan menurun menjadi hampir setengahnya menjadi sekitar 15 kg segar/ekor/hari. Variasi pakanpun berubah dengan rumput yang sudah mengering dan seringkali diberikan daun legum pohon seperti turi (Sesbania grandiflora), gamal (Gliricidia sepium) dan lamtoro (Leucaena leucocephala). Dengan pakan mengandung legum pohon nilai nutrisinya menjadi lebih baik dan dapat memperbaiki nilai nutrisi rumput alam kering yang diberikan. Kandungan protein ratarata sekitar 8% bahan kering dan kecernaan in vitro sekitar 60% bahan kering (Sutaryono, 2005). Penurunan jumlah pemberian pakan selama musim kemarau sampai setengah dari jumlah pemberian musim hujan dilaporkan juga oleh Bamualim dkk (1994a). Pemberian pakan seperti ini walaupun jumlahnya tidak sebanyak pemberian pada musim hujan, tetapi karena pakannya mengandun hijauan legum pohon dengan kualitas protein yang baik serta kandungan bahan kering yang lebih tinggi, ternak masih dapat mempertahankan berat badannya hingga datangnya musim hujan. Pada puncak musim kering, sekitar bulan September-Oktober, peternak memberikan pakan berupa hasil sisa tanaman pertanian yang sengaja disimpan atau diambil dari daerah lain yang jauh dari desa mereka seperti jerami padi (Oryza sativa; batang dan daun), jerami kacang hijau (Vigna sinensis; daun, batang dan kulit buah polong), jerami kacang tanah (Arachis hypogaea; daun dan batang), jerami kedelai (Soya max; daun, batang dan kulit buah polong), jerami kacang tunggak (Vigna unguiculata; daun, batang dan kulit buah polong), jerami jagung (Zea mays; daun dan batang), daun dan batang ubi kayu (Manihot utilissima) dan daun ubi jalar (Ipomoea batatas). Disamping itu, peternak juga memberikan daun pohon-pohonan seperti daun Nangka (Arthocarpus integra), Sonokeling (Dalbergia latifolia), Kesambi (Schleichera oleosa), daun waru (Hibiscus sp), daun dadap (Erythrina sp) dan daun beringin (Ficus benjamina). Dengan demikian sebenarnya peternak telah menerapkan pemanfaatan strata ketiga dari sistem tiga strata (Nitis dkk. 1989). Selain itu peternak juga memberikan pakan alternatif yang hanya diberikan dalam keadaan terpaksa seperti batang pisang (Musa paradisiaca) dan batang papaya (Carica papaya) dan pelepah kelapa (Cocos nucifera), . Pemberian pakan jenis ini juga dilaporkan oleh Bamualim dkk. (1994b) dilakukan oleh peternak di pulau lainnya di Nusa Tenggara. Pada daerah lahan kering di Lombok Tengan bagian selatan untuk penyediaan pakan ternak sapi Bali, dikenal istilah yang disebut sebagai “3 M” (Menunduk, Mendongak dan Mencari jauh). “Menunduk” adalah praktek penyediaan pakan ternak sapi dengan cara mengambil hijauan pakan dengan menunduk (menyabit) ke bawah. Artinya pakan berada dibawah, di permukaan tanah atau sedikit diatasnya; yang dikumpulkan dengan cara disabit dan semuanya adalah tanaman yang tumbuh relatif pendek, berupa rumput alam, leguminosa merambat dan tumbuhan gulma-gulma pertanian. Ini adalah keadaan sediaan pakan pada musim hujan Selanjutnya, mulai awal sampai pertengahan musim kemarau, pakan mulai sulit diperoleh dan jumlahnya lebih sedikit, maka peternak mulai mengambil pakan dengan cara “Mendongak”, yaitu mencari pakan ternak dengan mengambil keatas, mengambil hijauan yang berasal dari pohon, terutama legum pohon seperti Turi, Gamal, Lamtoro dan tanaman tinggi lainnya. Kemudian ketika puncak musim kemarau, tanaman daun legum pohon juga mulai jarang (karena sudah habis dipetik), maka peternak kemudian harus menyediakan pakan dengan cara “Mencari jauh”, dimana peternak akan pergi ketempat-tempat yang jauh dari desa mereka untuk
memperoleh pakan. Umumnya mereka pergi kedaerah pertanian yang masih dapat ditanami palawija untuk musim tanam ketiga, yang merupakan daerah pertanian dengan sistem irigasi penuh sehingga hijau sepanjang tahun. Adopsi penanaman rumput dan legume introduksi oleh peternak binaan. Tanggapan peternak terhadap perlunya menanam rumput dan legume introduksi cukup baik. Menanam rumput lebih diterima dibandingkan dengan tanaman legume yang terlihat dari lebih tingginya jumlah peternak yang menanam rumput dibandingkan dengan legume (Tabel 1). Tiga jenis rumput introduksi mendominasi jenis rumput yang ditanam yaitu Mulato (Brachiaria mulato), Panikum (Panikum maximum) dan rumput gajah (Pennisetum purpureum) (Tabel 2). Hal ini mengindikasikan bahwa spesies rumput ini terutama Mulato, disukai dan dapat beradaptasi dengan lingkungan daerah kering, Rumput Mulato adalah rumput yang berproduksi tinggi dan sangat cocok untuk daerah tropis kering dengan musim kemarau yang panjang. Rumput Gajah dan Panikum adalah spesies rumput yang sudah dikenal dan ditanam oleh peternak di pulau Lombok Tanaman rumput juga lebih yang lebih mudah tumbuh dan dapat ditanam di pematang sawah, sementara tanaman jenis legume introduksi tidak cocok ditanam di pematang juga agak sulit tumbuh ketika peternak mencoba menanam dengan benih. Jumlah peternak yang menanam rumput dan legum introduksi 25
20
Persen
15
10
5
0 Mulato
Panicum
Pennisetum
Setaria
Brachiaria
Centrosema
Stylosantes
Clitoria
Tabel 1. Jumlah peternak yang menan rumput dan legume introduksi pada kelompok binaan di Kabupaten Lombok Tengah
Luas tanam rumput dan legum introduksi pada kelompok binaan 300 275 250
Luas tanam (are)
225 200 175 150 125 100 75 50 25 0 to
a ul M
um ic n Pa
m tu
Pe
e is nn
ri a ta e S
tr en C
a em s o St
es nt a os yl
C
li to
ria
ia iar h ac Br
um al p s
Pa
Spesies
Tabel 2. Luas tanam rumput dan legume introduksi pada kelompok binaan di Kabupaten Lombok Tengah. Turi adalah tanaman yang sudah sangat dikenal dan sudah banyak ditanam di pematang sawah di hampir seluruh daerah, terutama di daerah kering di pulau Lombok. Hampir seluruh peternak anggota kelompok binaan telah menanam turi sebagai penyedia sumber pakan. Jumlah peternak yang menanam gamal dan lamtoro pada lahan ternyata sangat rendah, tanaman ini hanya ditanam oleh kurang dari 5 persen peternak (Tabel 3). Demikian pula jumlah pohon turi yang ditanam peternak sangat besar dibandingkan dengan tanaman gamal dan lamtoro (Tabel 4). Hal ini disebabkan karena gamal sering diperspsikan sebagai tanaman pagar sementara lamtoro dipersepsikan dapat merusak tanah dan pematang sawah karena tumbuh besar dan bercabang banyak dengan daun yang rimbun. Jumlah biji yang dihasilkan juga sangat banyak sehingga sebaran anakannya luas dan sulit diberantas. Hal lain yang menyebabkan sedikitnya jumlah peternak yang menanam gamal dan lamtoro mungkin karena kondisi lingkungan tempat tinggal peternak target yang di dominasi oleh daerah persawahan sehingga sangat terbatas tempat menanam tanaman legume pohon jenis gamal dan lamtoro. Sebagian besar gamal dan lamtoro ditanam di kebun dan ladang sebagai pagar hidup. Faktor lain yang menyebabkan lambatnya adopsi peternak terhadap penanaman rumput dan legume introduksi sebenarnya lebih disebabkan oleh keterbatasan lahan yang dimiliki oleh peternak serta pemahaman petani peternak terhadap ketahan pangan rumah tangganya. Rata-rata luas pemilikan lahan hanya 0.3 Ha per petani peternak dan lahan ini
biasanya diutamakan untuk menanam tanaman pangan padi dan palawija. Dengan demikian petani peternak hanya menanam tanaman pakan pada pematang sawah atau sebagian kecil lahan saja. Faktor lain yang menghambat adalah pemahaman peternak bahwa pakan untuk ternak dapat diperoleh secara mudah dengan mencari di segala tempat bahkan sampai jauh keluar desa. Disamping itu, rendahnya pengetahuan peternak tentang perlunya memberi sapi mereka dengan pakan yang cukup dalam kuantitas dan kualitas berkontribusi pada kurangnya upaya peternak untuk menanam tanaman pakan ternak berproduksi dan berkualitas tinggi secara sengaja dalam jumlah yang memadai bagi sapi mereka. Jumlah peternak menanam Legum pohon pada kelompok binaan 100 90 80 70
Persen
60 50 40 30 20 10 0 Turi
Gamal
Lamtoro
Tabel 3. Jumlah peternak yang menanan legume pohon pada kelompok binaan Kabupaten Lombok Tengah.
di
Legume pohon yang ditanam pada kelompok binaan 7000 6500 6000 5500 5000
Batang
4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 Turi
Gamal
Lamtoro
Tabel 4. Jumlah legume pohon yang ditanan anggota kelompok pada kelompok binaan di Kabupaten Lombok Tengah. Perubahan sikap terhadap perlunya menanam rumput introduksi secara sengaja dalam rangka menyediakan pakan ternak berkualitas tinggi diperlihatkan oleh oleh peternak di kelompok Rejeki Nomplok desa Gerantung. Dalam uji coba pertama menanam rumput ungggul, hanya seorang anggota kelompok yang bersedia menanam rumput Mulato pada lahan seluas sekitar 1 (satu) are (10 x 10 m). Dalam perkembangan selanjutnya, setelah memperoleh manfaat dari penanaman rumput introduksi ini, maka pada tahun kedua, luas areal tanam meningkat menjadi sekitar 1 ha lebih. Lahan yang sebelumnya dibiarkan ditumbuhi alang-alang (Imperata cylindrica) kemudian dibersihkan dan ditanami dengan rumput Mulato. Perubahan sikap ini disebabkan karena peternak merasakan keuntungan yang diperoleh dengan memiliki tanaman rumput introduksi. Keuntungan yang dirasakan adalah tersedianya pakan berkualitas yang mudah diperoleh dan memberi produktifitas yang tinggi bagi ternak sapi mereka. Disini terjadi proses partisipatory dan belajar bersama diantara kelompok dalam menanam dan merasakan manfaat dari tanaman rumput introduksi produksi tinggi. Satu contoh menarik lainnya adalah kasus perubahan orientasi usahatani dari orientasi menanam tanaman pangan menjadi menanam tanaman pakan ternak yang dilakukan oleh seorang peternak muda” pelopor” bernama Awiyah (kelompok Bina Sejahtera dusun Lelong). Setelah memperoleh penyuluhan dan pembinaan dari on ground team (OGT), peternak ini mengambil keputusan untuk menanam tanaman rumput dan legume introduksi pada lahan seluruh lahan sawahnya seluas sekitar 30 are. Tanaman yang dipilih adalah campuran rumput Mulato, Panikum dan legume Stylo (Stylosanthes hamata), Sentro (Centrosema pascuorum), pohon Turi di pematang dan gamal sebagai
agar hidup. Berdasarkan pengalamannya, usahatani tanaman pangan dalam satu musim tanam (satu kali padi dan satu kali palawija), total nilai finansial yang diperoleh adalah sekitar Rp.600.000, yang berasal dari penjualan hasil panen. Dengan konversi tanaman pakan ternak, dalam satu waktu yang sama, peternak ini memperoleh nilai financial sebesar Rp.3.000.000., yang berasal dari hasil penjualan anak sapi Bali yang dibesarkan dengan pakan ternak yang cukup dan berkualitas baik yang diperoleh dari lahan sawah yang ditanami sepenuhnya dengan tanaman pakan ternak. Potensi pemanfaatan sumberdaya dan manajemen ternak sapi dalam rangka peningkatan produktifitas Berdasarkan kondisi dan praktik penyediaan pakan ternak di daerah lahan kering, maka untuk mendukung produktifitas ternak di daerah ini, perlu dilakukan langkah-langkah untuk mengatasi penyediaan pakan ternak sehingga produkstifitas ternak tetap terjaga seanjang tahun. Upaya yang dapat dilakukan adalah seperti: 1) Pemanfaatan hasil sisa tanaman pangan Selama ini pemanfaatan jerami ini sudah mulai banyak dilakukan oleh petani. Sebagian petani sudah memanfaatkan jerami padi sebagai pakan sapi Bali, meskipun pada petani yang tidak memiliki ternak jerami padi umumnya dibakar setelah panen, dibenamkan di sawah atau ditumpuk begitu saja dipinggir sawah untuk dibiarkan membusuk. Untuk jerami tanaman pangan lain seperti, kacang tanah, kacang hijau, kacang tunggak, kedelai, dan jagung, sudah dimanfaatkan seluruhnya untuk pakan sapi. Untuk memanfaatkan jerami, petani disarankan unutk mengeringkan seluruh jerami yang mereka hasilkan dalam usaha taninya dan kemudian menyimpan jerami kering ini sebagai cadangan pakan untuk musim kemarau. Jumlah jerami yang dikeringkan dan disimpan ini mungkin tidak akan mencukupi untuk kebutuhan ternak sapi selama musim kemarau, akan tetapi cadangan pakan ini paling tidak dapat mengurangi beban penyediaan pakan yang dihadapi selama musim kemarau yang panjang. 2) Menanam hijauan pakan rumput unggul (introduksi) dan legum pohon Saat ini belum banyak peternak yang dengan sengaja menanam rumput unggul dan tanaman legum pohon dilahan pertaniannya yang ditujukan untuk penyediaan pakan ternak, padahal upaya ini sangat potensial untuk meningkatkan ketersediaan pakan bagi ternak. Menurut Tim Ahli Ilmu Makanan Ternak FKHP UNUD (1980) produksi daun dari pohon dapat mencapai 4,5 kg BK/pohon/tahun, dan menurut Sukanten (1996) satu batang pohon Gamal dapat menghasilkan sampai sekitar 2 kg BK/pohon/tahun. Sebagian kecil petani menanam rumput unggul dipematang sawah atau di pekarangan rumah atau diladang. Padahal didaerah tertentu seperti di Lombok Tengah dan Lombok Timur, menanam tanaman pakan di pematang sawah merupakan hal yang biasa. Di desa Sengkol Kabupaten Lombok Tengah, hampir seluruh petani menanam pohon turi disepanjang pematang sawah yang meraka miliki. Penanaman legum pohon seperti ini perlu terus diperbanyak dengan menanam turi sebanyak mungkin di pematang sawah dan menanam gamal dan lamtoro pada lahan-lahan yang tidak dibudidayakan sebagai lahan pertanian atau menggunakan tanaman ini sebagai pagar hidup di ladang, sawah atau pekarangan rumah. Lahan-lahan terlantar dan milik umum serta daerah-daerah perbukitan yang tidak dibudidayakan perlu ditanami dengan legum pohon. Usaha ini dapat dilakukan dengan
menebar benih legum pohon ini secara sengaja pada tempat-tempat tersebut pada waktu musim hujan. Dengan upaya ini diharapkan ketersediaan pakan dapat ditingkatkan didaerah tersebut. 3) Pemanfaatan lahan dibawah tanaman perkebunan dengan menanam legum merambat Beberapa daerah lahan kering biasanya selain memiliki lahan sawah untuk tanaman pangan, peternak juga memiliki kebun yang ditanami dengan komoditas perkebunaan seperti jambu mente, kelapa dan mangga. Dibawah tanaman perkebunan ini dapat disebarkan bibit tanaman legum kecil seperti Arachis pintoi, Stylosanthes sp, Glicine wightii, dan Centrosema pubescens. yang dapat berfunsi sebagai penutup tanah dan sekaligus sebagai cadangan pakan. Percobaan dengan Arachis dan Stylo di daerah lahan kering di Sukadamai Kabupaten Dompu, menunjukkan tanaman ini dapat tetap tumbuh dengan baik dibawah naungan hingga pertengahan musim kemarau (Sutaryono, 2005b), sehingga berpotensi untuk dijadikan sebagai cadangan pakan ternak, paling tidak sampai pertengahan musim kemarau. 4) Pengawetan pakan hijauan akhir musim hujan Pakan hijauan berupa rumput dan legum merambat tersedia melimpah selama musim hujan bahkan sampai awal musim kemarau beberapa saat setelah hujan menghilang. Pada saat ini sangat memungkinkan untuk memotong hijauan yang melimpah, mengeringkan dan kemudian menyimpannya pada tempat yang terlindung untuk digunakan pada puncak musim kemarau pada saat pakan hijauan telah sulit didapatkan. Pemotongan tanaman pada saat hujan telah hilang dan terdapat cukup sinar matahari akan mengawetkan hijauan pakan dan mempertahakan nutrisi yang dikandungnya sehingga cukup bernilai sebagai pakan ternak di saat kemarau. Percobaan di Sukadamai Kabupaten Dompu menunjukkan pengawetan jerami padi dan Glicine yang dilakukan peternak pada akhir musim hujan/awal musim kemarau dapat menutupi kebutuhan ternak paling tidak untuk jangka waktu separuh masa sulit penyediaan pakan ternak pada puncak musim kemarau (ACIAR.2004). 5) Pemilihan komoditas tanaman pangan Pada daerah lahan kering ini, petani seringkali mengalami gagal panen, terutama pada musim tanam kedua. Oleh karenanya pemilihan komoditas tanaman pangan yang dibudidayakan pada musim tanam ini menjadi sangat penting dan harus dikaitkan dengan strategi penyediaan pakan ternak. Komoditas tanaman pangan yang dipilih hendaknya adalah tanaman berupa kacang-kacangan (leguminosa) seperti kedelai, kacang tanah dan kacang hijau, sehingga apabila tanaman ini gagal untuk dipanen akibat kekurangan air, maka biomas tanaman dapat dimanfaatkan sebagai pakan hijauan bagi ternak sapi. Demikian pula apabila panen berhasil, maka jerami tanaman ini baik berupa batang dan daun maupun kulit buah polong dapat disimpan dan dimanfaatkan sebagai cadangan pakan ternak pada saat kemarau panjang. 6) Pengaturan perkawinan Strategi perkawinan menjadi penting bila dikaitkan dengan ketersediaan pakan hijauan bagi induk segera setelah kelahiran anak. Pada daerah kering dimana penelitian dilakukan, sebagian besar ternak lahir pada bulan Agustus hingga Oktober. Saat kelahiran
ini adalah saat yang kurang tepat, karena pada bulan-bulan ini pedet akan menyusui pada saat puncak musim kemarau, pada waktu dimana justru terjadi kelangkaan pakan ternak. Dengan demikian induk tidak mendapatkan makanan yang mencukupi sehingga produksi air susu bagi pedet akan juga terpengaruh, akibatnya pertumbuhan pedet menjadi tidak optimal dan terhambat. Dengan pengaturan perkawinan agar anak lahir sekitar bulan Maretb sampai Mei, maka diharapkan pakan induk akan tersedia dengan cukup dan berkualitas baik sehingga pedet mendapatkan air susu yang cukup untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal.
Kesimpulan Pengembangan usaha peternakan sapi rakyat tradisional memegang peranan penting dalam mencukupi kebutuhan masyarakat akan daging. Untuk mengatasi keterbatasan sumber pakan hijauan bagi ternaknya, peternak didaerah lahan kering saat ini para peternak menerapkan strategi penyediaan pakan yang disesuaikan dengan kondisi daerah yang dihadapi. Strategi ini disebut sebagai menunduk, mendongak dan mencari jauh (3M). Meskipun tanggapan peternak terhadap upaya penyediaan pakan berkualitas cukup baik, namun tetap diperlukan upaya penyuluhan, pendampingan dan pembinaan bagi peternak secara terus menerus untuk meningkatkan ketersediaan pakan hijauan dengan berbagai cara.seperti menanam rumput dan legum unggul produksi tinggi, memanfaatkan jerami tanaman pangan, dan menanam lebih banyak legum pohon. Upaya ini terutama untuk mengatasi keterbatasan sediaan pakan hijauan pada musim kemarau khususnya untuk mengurangi intensitas peternak untuk mencari pakan ternak sapi mereka dari tempat yang jauh dari desa mereka. Pendekatan partisipatory dengan menerapkan sistem ”belajar dari pengalaman” dan ”belajar bersama peternak pelopor”, dapat menjadi factor kunci untuk keberhasilan adopsi dan program introduksi tanaman unggul, dan merubah 3M menjadi 2M (merunduk dan mendongak). Daftar Pustaka ACIAR. 2004. Australian Center for International Agricultural Research. CropsLivestock Integrated System In West Nusa Tenggara Province, Final Report. Bamualim A., Saleh A., dan Patrick I. 1994a. Komposisi Jenis Makanan yang Diberikan Petani pada Ternak Sapi yang Dipelihara dengan Sistem Semi Intensif di Nusa Tenggara. CHAPS Book A. Eastern Islands Veterinary Services Project. Bamualim A., Saleh A., Fernandez, P.Th., dan Liem, C. 1994b. Produksi dan Kualitas Hujauan Rumput Alam Sebagai Makanan Ternak Sapi di Nusa Tenggara. CHAPS Book A. Eastern Islands Veterinary Services Project. Budiasa I K. M. 2005. Ketersediaan Hijauan Pakan Sapi Bali Berdasarkan Penggunaan Lahan dan Topografi Berbeda di Kabupaten Jemberana Provinsi Bali. Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Kaligis, D.A. and Mamonto, S. 1991. Intake and Digestibilty of Some Forages for Shaded Environments. In. Forage for Plantation Crops. H.M. Shelton and W.W. Stur (Eds). ACIAR Proceeding No. 32. Nitis, I M., Lana, K., Suarna, M., Sukanten, W., Putra, S., and Arga, W. 1989. Three Strata Forage System for Cattle Feeds and Feeding in Dryland Farming Area in Bali. Final Report to IDRC Canada. Sukanten , I.W. 1996. Gliricidia sepium as Feed Resources for Animal Production in Tropical Dryland Farming Area. Disertasi. Okayama University. Sutaryono, Y.A. 2005a. Strategi penyediaan Pakan Hijauan pada Peternakan sapi rakyat di lahan kering Nusa Tenggara Barat. Prosiding Seminar Nasional Peternakan. FK8PT Dikti. Kupang. Sutaryono, Y.A. 2005b. Biomass Production and Quality of New Forages for Sowing under Cashews in Dompu, West Nusa Tenggara. Jurnal Agroland. Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. Palu. Sutaryono, Y.A. 2007. Komposisi Pakan Sai di Musim Kemarau pada daerah Pertanian Lahan Kering di Kabupaten Dompu. Jurnal Agrisains. Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. Palu. Tim Ahli Ilmu Makanan Ternak FKHP UNUD. 1980. Survey Data Makanan Ternak. Persediaan dan Kebutuhan Hijauan Makanan Ternak di Bali. Denpasar. Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Udayana.