PENINGKATAN KINERJA PETANI SEKITAR HUTAN DALAM PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRI DI LAHAN KRITIS PEGUNUNGAN KENDENG PATI
SUMARLAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Peningkatan Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis Pegunungan Kendeng Pati adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi manapun. Bahan rujukan atau sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan ataupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Januari 2012
Sumarlan
ABSTRACT SUMARLAN. Performance Improvement of Forest Farmer in Agroforestry System Applied in Critical Land of Pegunungan Kendeng in Pati. Advisor Commission: SUMARDJO (Chief Advisor), PRABOWO TJITROPRANOTO and DARWIS S. GANI (as members). Critical area of land is increasing from year to year, this occurs because of inappropriate management of the land area. One effort which may overcome this problem is applying agroforestry systems. However, the agroforestry system still have problems on how far the farmers performance and the determiners of the performance which will affect to the sustainability of the agroforestry systems on critical lands. Research objectives are: (1) to analyze the farmers performance and the determiners of the performance that will affect to the sustainability of the agro-forestry systems on degraded lands, (2) to analyze the forestry extension support to the determiners of the farmer performance, and (3) to develop appropriate strategy for extension activities in order to improve the farmer performance. Data are analyzed through three methode: (1) biplot, (2) descriptive statistics, (3) and SEM (Structural Equation Modeling). The result of the study could be summarized as follows: (1) The farmer performance of Pegunungan Kendeng are still low. This condition are reflected on the: (a) low level income, (b) limited types of food diversity, and (c) absence of business network in agroforestry system. Nevertheless, the farmer performance has significant and positive impact to the sustainability of agroforestry systems. The condition of the performance determinants is in a relatively strong level; this condition is reflected on (a) the farmer motivation is relatively strong, (b) enough availability of farmer’s opportunities (c) the acceptable farmer’s skills. This reflects that the farmer determinants positively and significantly affect to the farmer performance. (2) The support of forestry extension is still considered low; this condition is reflected on their low level on basic competence and on technical mastery. Nonetheless, the forestry extension supports are significantly and positively affect to the farmer motivation and opportunities. (3) In designing the strategy of forestry extension to improve the farmer performance and the sustainability of the agroforestry system, it needs to consider: the farmer motivation, the farmer work opportunities and the farmer capabilities. Keywords: performance, farmer around forest, agroforestry systems, and critical land management.
RINGKASAN SUMARLAN. Peningkatan Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis Pegunungan Kendeng Pati. Komisi Pembimbing: SUMARDJO (Ketua), PRABOWO TJITROPRANOTO dan DARWIS S. GANI (masing-masing sebagai anggota). Lahan kritis di Indonesia semakin bertambah luas dari tahun ke tahun yang disebabkan pengelolaan lahan yang tidak tepat sehingga menimbulkan berbagai bencana yang menyengsarakan kehidupan manusia. Untuk mencegah agar tidak terjadi bencana, perlu dilakukan pengelolaan secara tepat, salah satunya dengan penerapan sistem agroforestri. Terkait dengan hal tersebut, permasalahannya adalah sejauhmana tingkat kinerja petani dan pengaruhnya terhadap keberlanjutan dalam penerapan agroforestri di lahan kritis serta faktor-faktor penentu tingkat kinerja. Selain itu, sejauhmana dukungan penyuluhan terhadap faktor-faktor penentu kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis. Tujuan penelitian adalah: (1) Menganalisis tingkat kinerja petani dan pengaruhnya terhadap keberlanjutan dalam penerapan agroforestri di lahan kritis serta faktor penentu tingkat kinerja; (2) Menganalisis dukungan penyuluhan yang berpengaruh terhadap faktor penentu kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis; dan (3) Menyusun strategi penyuluhan yang tepat bagi upaya meningkatkan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2011 di Pegunungan Kendeng Kabupaten Pati, dengan pertimbangan bahwa Pegunungan Kendeng merupakan lahan kritis yang menjadi hulu sub DAS Juana dan apabila pengelolaannya tidak tepat menjadi penyebab banjir terbesar di Kabupaten Pati dan Kudus. Penelitian didesain sebagai explanatory research dengan jumlah sampel 400 responden dan unit analisis adalah kepala keluarga petani. Analisis data menggunakan: (1) biplot dengan bantuan program wolfram, (2) statistik deskriptif, dan (3) Analisis SEM dengan bantuan software LISREL 8.70. Hasil penelitian adalah sebagai berikut: kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri tergolong rendah. Hal ini terlihat dari rendahnya tingkat pendapatan petani, kurangnya keragaman jenis pangan, tidak terjalinnya jejaring bisnis sistem agroforestri. Rendahnya kinerja petani sekitar hutan tersebut menyebabkan rendahnya keberlanjutan penerapan sistem agroforestri. Faktor penentu kinerja petani terdiri dari motivasi, kesempatan dan kemampuan petani. Ketiga faktor penentu kinerja tersebut secara bersama-sama berpengaruh terhadap kinerja petani sekitar dalam penerapan sistem agroforestri sebesar 73,3 persen. Meskipun motivasi, kesempatan dan kemampuan petani telah mendukung kinerja petani, namun hasilnya kurang maksimal, terdapat 26,7 persen faktor lain yang tidak mendukung kinerja. Faktor tersebut diduga adalah faktor lingkungan, karena keberlanjutan sistem agroforestri yang dipengaruhi oleh kinerja petani tidak direfleksikan oleh aspek lingkungan tetapi direfleksikan oleh aspek ekonomi dan aspek sosial. Oleh karena itu, kinerja petani sekitar hutan akan mencapai maksimal apabila terdapat motivasi, kesempatan, kemampuan dan didukung oleh lingkungan kerja yang konduksif.
Dukungan penyuluhan termasuk dalam kategori rendah. Hal ini tercermin dari: tingkat kompetensi penyuluh, pemilihan pendekatan, kesesuaian metode, kesesuaian materi, ketersediaan fasilitas penyuluhan termasuk kategori rendah dan penyuluh jarang sekali melaksanakan penyuluhan. Penyebab rendahnya dukungan penyuluhan adalah terbatasnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang menangani bidang penyuluhan dan belum terbentuknya Badan Pelaksana Penyuluhan (Bapeluh). Rendahnya dukungan penyuluhan menyebabkan lemahnya motivasi, rendahnya kesempatan dan tidak berpengaruh secara langsung terhadap kemampuan petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Hal ini terjadi karena petani lebih mampu atau terampil dibandingkan penyuluh, sebab tumpang sari salah satu bentuk sistem agroforestri telah petani lakukan secara turun temurun. Selain itu, sistem agroforestri tersebut sesuai dengan kebutuhan petani, karena melalui sistem agroforestri petani mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari dari hasil tanaman semusim, kebutuhan masa depan dari tanaman keras dan sistem agroforestri mampu mengakomodasi budaya petani. Meskipun demikian, dukungan penyuluhan dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan petani khususnya kemampuan generasi muda keturunan petani yang ada saat ini dan para pendatang yang menerapkan sistem agroforestri di lahan kritis. Strategi penyuluhan untuk meningkatkan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis, dilakukan dengan: (1) Penguatan intensitas dan dukungan penyuluhan untuk meningkatkan motivasi dan kesempatan petani melalui: pendekatan penyuluhan, metode penyuluhan, materi penyuluhan dan fasilitas penyuluhan; dan (2) Mengembangkan hubungan kemitraan atau kerjasama penyuluhan dengan lembaga lokal seperti: kelompok tani, penyuluh swasta, penyuluh swadaya, Perhutani, perusahaan saprodi, perusahaan kayu dan perusahaan pakan. Kata Kunci: kinerja, petani sekitar hutan, sistem agroforestri,dan pengelolaan lahan kritis.
©Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang (1)
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebut sumber. (a) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; (b) Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar IPB.
(2)
Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENINGKATAN KINERJA PETANI SEKITAR HUTAN DALAM PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRI DI LAHAN KRITIS PEGUNUNGAN KENDENG PATI
SUMARLAN
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi Penguji Ujian Tertutup
: : 1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Dosen Fakultas Kehutanan IPB Bogor : 2. Prof. Dr. Pang S. Asngari Dosen Program Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB.
Penguji Ujian Terbuka
: 1. Dr. Ir. Leti Sundawati, MSc Dosen Fakultas Kehutanan IPB Bogor : 2. Dr. Ir. Eka W. Soegiri, MM Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kementerian Kehutanan
Judul Disertasi
Nama NRP
: Peningkatan Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis Pegunungan Kendeng Pati : Sumarlan : I.361090081
Disetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S Ketua
Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc Anggota
Prof. Dr. Ir. Darwis S. Gani, M.A Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 9 Januari 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas curahan rahmat dan karuniaNya sehingga dapat menyelesaikan penelitian disertasi dengan judul: Peningkatan Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis Pegunungan Kendeng Pati. Sungguh tidak berbudi orang tersebut setelah mendapat bantuan tidak menyampaikan apapun. Dalam kesempatan yang baik ini peneliti menyampaikan terima kasih kepada: Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S; Dr. Prabowo Tjitropranoto dan Prof. Dr. Ir. Darwis S. Gani, M.A; selaku komisi pembimbing yang dengan ikhlas dan sabar telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan disertasi ini; Prof. Dr. Dudung Darusman, MA dan Prof. Dr. Pang S. Asngari, yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup; Dr. Letti Sundawati, MSc dan Dr. Eka W. Soegiri, MM; yang telah bersedia menjadi penguji pada ujian terbuka; Dosen PPN dan IPH Fahutan IPB, yang telah mambagikan ilmu dan pengalaman selama kuliah; Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan seluruh Camat Pegunungan Kendeng beserta staf, yang telah memfasilitasi selama penelitian; Kepala Pusdikat Kehutanan, yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S3; Secara khusus, disampaikan terima kasih kepada para responden, enumerator dan seluruh petani Pegunungan Kendeng, yang telah membantu memberikan data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penelitian ini; (Alm) Bapak dan (Alm) Ibu tercinta yang telah memelihara, merawat, menjaga, membesarkan dengan tulus dan ikhlas tanpa mengeluh, serta tiada henti-hentinya berdoa bagi keberhasilan penulis; Kakak, saudara-saudara dan semua keponakan, serta Bapak dan Ibu mertua dan saudarasaudara ipar yang telah mendoakan dan memotivasi moril selama penulis mengikuti pendidikan; Kawan-kawan seperjuangan PPN angkatan 2009 serta semua pihak yang telah membantu sejak dari awal sampai terselesainya disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada istri tersayang Elis Kartikasari dan putera-puteri tercinta Pascal dan Claresta atas doa, ketabahan, kesabaran, pengertian dan keikhlasan mendampingi penulis selama mengikuti studi ini. Semoga amal baik Bapak/ibu dan Saudara-saudara mendapat pahala dari Allah SWT. Artikel ilmiah yang merupakan bagian dari hasil penelitian ini dengan judul: Peningkatan Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis Pegunungan Kendeng Pati; telah diterbitkan oleh Wetlands International Vol. 19 No. 2 Edisi Juli 2011; dan Jurnal Penyuluhan Vol. VIII No. 1 Tahun 2012. Tiada yang sempurna di dunia fana ini, kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata. Oleh karena itu, kritik dan saran untuk memperbaiki disertasi ini peneliti terima dengan senang hati. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi yang membutuhkan. Amien, terima kasih. Bogor, Januari 2012 Sumarlan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Sidoarum Kecamatan Jakenan Kabupaten Pati pada tanggal 5 Maret 1969 dari Ayah (Alm) Karno dan Ibu (Alm) Marni, sebagai anak kedua dari dua bersaudara. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri Sidorejo di SidoarumPati lulus pada tahun 1983. Kemudian dilanjutkan di SMP Negeri 1 Jakenan lulus pada tahun 1985. Lalu, dilanjutkan di SMA Negeri Jakenan-Pati lulus pada tahun 1988. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan S1 pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan MIPA, Program Studi Pendidikan Matematika di Universitas Cenderawasih Jayapura dan lulus pada tahun 1994. Pada tahun 1995 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil lingkup Departemen Kehutanan dan bekerja pada Sekolah Kehutanan Menengah Atas Manokwari sebagai guru matematika sampai dengan tahun 2000. Pada tahun 2000 pindah ke Balai Diklat Kehutanan (BDK) Bogor sebagai staf penyelenggara diklat. Tahun 2002 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) atas biaya dari Departemen Kehutanan, lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2003-2006, penulis bekerja sama dengan CIFOR, MFP (DFID) dan TNC. Kemudian pada tahun 2007 penulis diangkat sebagai Kepala Seksi Penyelenggaraan Diklat pada Balai Diklat Kehutanan (BDK) Bogor. Kesempatan untuk mengikuti pendidikan S3 di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) penulis peroleh pada tahun 2009 atas biaya Departemen Kehutanan. Penulis menikah dengan Elis Kartikasari pada tahun 1999 dianugerahi dua orang anak: Muhammad Pascal Kashfuzunnun lahir di Manokwari pada 15 Juni 2000 dan Claresta Putri Ailsa lahir di Bogor pada 23 Juli 2005.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………..……………..…………………………………. xv DAFTAR GAMBAR ……..…………….…….……...………………............ xvii DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….... xviii PENDAHULUAN…………………………………………………................ Latar Belakang………………….…………………………................. Masalah Penelitian…………………...……………………............... Tujuan Penelitian……………….…………………………………….. Kegunaan Penelitian…………..……………………………..….......... Definisi Istilah ………………………………………………………...
1 1 2 3 4 5
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………….. Kinerja Petani dalam Penerapan Sisten Agroforestri ………………… Pengertian Kinerja .......................................................................... Penilaian Kinerja ............................................................................ Kiteria Penilaian Kinerja ................................................................ Penelitian tentang Kinerja .............................................................. Kinerja Petani dalam Penerapan Agroforestri ................................ Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri .................. Pengertian Agroforestri ................................................................. Bentuk-bentuk Agroforestri .......................................................... Tujuan dan Fungsi Agroforestri .................................................... Sistem Agroforestri sebagai Pengelolaan Lahan Berkelanjutan .... Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri .......... Motivasi Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ........................ Pengertian Motivasi ....................................................................... Penelitian Motivasi Petani ............................................................ Motivasi Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ................ Kesempatan Petani dalam Menerapkan Sistem Agroforestri ............... Pengertian Lahan Kritis ........................................................................ Masyarakat Sekitar Hutan .................................................................... Karakteristik Petani .............................................................................. Dukungan Penyuluh dalam Penerapan Sistem Agroforestri ................ Definisi Penyuluhan ...................................................................... Falsafah Penyuluhan ..................................................................... Peranan Penyuluh ..........................................................................
8 8 8 11 13 15 15 16 16 18 20 21 23 24 24 27 28 29 38 40 42 46 46 50 51
Sistem Penyuluhan ........................................................................ Penelitian yang telah Dilakukan dan State of the Art ...........................
52 62
KERANGKA BERPIKIR ................................................................................ Paradigma Pembangunan Kehutanan ................................................... Paradigma Penyuluhan Kehutanan........................................................ Kinerja Petani Wujud Pergeseran Pembangunan Kehutanan ............... Hubungan antar Peubah ........................................................................ Hipotesis Penelitian .............................................................................. Kinerja sebagai Paradigma Ilmu ...........................................................
65 65 67 68 69 81 81
METODE PENELITIAN …………………………………………………... Rancangan Penelitian ….……………………………………………... Populasi dan Teknik Sampling ……….………………………………. Populasi dan Sampel …………………………………………….. Teknik Sampling ………………………………………………… Unit Analisis …………………………………………………….. Lokasi dan Waktu …………………………………………………….. Pengumpulan Data dan Instrumentasi Penelitian …………………….. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ………………………. Definisi Operasional dan Pengukuran .……………………………….. Teknik Analisis Data ………………………………………………..
83 83 84 84 84 85 85 85 87 88 97
GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG …………………. Letak Geografis Kabupaten Pati ……………………………………... Iklim Kabupaten Pati …………………………………………………. Topografi dan Jenis Tanah ……..……………………………………. Penggunaan Lahan Kabupaten Pati ………………………………….
101 101 101 102 103
DESKRIPSI PETANI PEGUNUNGAN KENDENG DAN DUKUNGAN PENYULUHAN …………………………………………….. Karakteristik Individu Petani …….…………………………………... Motivasi Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ……………… Kesempatan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ………….. Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ………….. Dukungan Penyuluhan dalam Penerapan Sistem Agroforestri ………. Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ……………….. Keberlanjutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri ………………...
107 107 112 117 125 134 143 149
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA PETANI DALAM SISTEM AGROFORESTRI ………………... 154 Pengaruh Kinerja Petani Terhadap Keberlanjutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri …………………………………………………… 158 Pengaruh Faktor-faktor Penentu Kinerja Terhadap Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ……………………………….... 162 Pengaruh Dukungan Penyuluhan Terhadap Perkembangan Faktorfaktor Penentu Kinerja Petani dalam Sistem Agroforestri……………. 175 Kontribusi Hasil Penelitian pada SKKNI Penyuluhan Kehutanan …... 183 Strategi Penyuluhan dalam Peningkatan Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ……... ……………………………….. 186 Strategi Peningkatan Kompetensi Penyuluh Kehutanan …………….. 193 SIMPULAN DAN SARAN …………………………………………………. 198 Simpulan ……………………………………………………………... 198 Saran ………………………………………………………………….. 199 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 201
DAFTAR TABEL
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Halaman Kelas Kemampuan Lahan, Sifat, dan Resiko Ancaman………………….. 40 Orientasi Kelembagaan Sistem Penyuluhan……………………………… 53 Eksplor Penelitian dan Bentuk Analisisnya …………………………….. 62 Pergeseran Konseptual Pembangunan Kehutanan ……………………… 66 Perubahan Paradigma Penyuluhan Kehutanan …………………………. 68 Ciri-ciri Motivasi Petani dalam Penerapan Agroforestri ……………….. 72 Ciri-ciri Kesempatan Petani yang Terbuka dan Terbatas dalam Penerapan Sistem Agroforestri………………………………………….... 73 Ciri-ciri Kemampuan Petani dalam Penerapan Agroforestri …………….. 75 Ciri-ciri Dukungan Penyuluhan Partisipatif dan Mobilitatif ……………... 76 Paradigma Tingkat Kinerja Petani dalam Penerapan Agroforestri ……… 80 Paradigma Berkelanjutan Penerapan Sistem Agroforestri ………………. 81 Kinerja sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan …………………………… 82 Sebaran Populasi dan Ukuran Sampel Penelitian ………………………... 85 Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Karakteristik Individu Petani Sekitar Hutan ..…………………………… 88 Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Dukungan Penyuluhan terhadap Petani Sekitar Hutan ……………………………… 89 Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Motivasi Petani Sekitar Hutan dalam Sistem Agroforestri ………………………… 91 Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Kesempatan Petani Sekitar Hutan dalam Sistem Agroforestri…………………………. 92 Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Kemampuan Petani Sekitar Hutan dalam Sistem Agroforestri…………………………. 94 Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Sistem Agroforestri ……………….……….. 96 Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Keberlanjutan Penerapan Sistem Agroforestri………………………........ 97 Penulisan Umum Notasi SEM …………………………………………… 98 Rincian Ketinggian Pegunungan Kendeng ( m dpal) ……………………. 102 Perbandingan Penggunaan Lahan di Kabupaten Pati dan Pegunungan Kendeng …………………………………………………………………... 104 Sebaran Karekteristik Individu Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri ………………………………………………………. 107 Hubungan antar Indikator Karakteristik Individu Petani dalam Penerapam Sistem Agroforestri…………………………………………... 108 Sebaran Motivasi Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri …………. 113
27. Hubungan antara Karakteristik Individu Petani dengan Motivasi Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri……………………………………. 28. Sebaran Kesempatan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri …..… 29. Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Kesempatan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri …………………………….……... 30. Perbandingan Harga Kayu di Tingkat Petani dan Perusahaan …………… 31. Sebaran Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri …….. 32. Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ……………………………………. 33. Sebaran Dukungan Penyuluhan Terhadap Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri……………………………………….…… 34. Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Dukungan Penyuluhan Terhadap Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri …………. 35. Sebaran Kemampuan Penyuluh Menurut Penguasaan Kompetensi Dasar Penyuluhan……………………………………………………….... 36. Sebaran Penyuluh Kehutanan Menurut Tempat Tugas dan Jumlah yang Terdapat di Pegunungan Kendeng ……………………………………….. 37. Sebaran Tingkat Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri …. 38. Hubungan antara Karekteristik Individu dengan Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri …………………………………………... 39. Sebaran Keberlanjutan Penerapan Agoforestri pada Lahan Kritis ..……... 40. Hubungan antara Karekteristik Individu dengan Keberlanjutan dalam Penerapan Sistem Agroforetsri …………………………………………... 41. Dekomposisi antar Peubah Peningkatan Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri .................................................................................... 42. Contoh Materi Penyuluhan Berdasarkan Kompetensi Spesialis ................ 43. Validitas dan Reliabilitas Hasil Ujicoba Kuesioner ..................................
113 118 118 121 126 127 134 135 136 141 144 144 149 150 156 196 214
DAFTAR GAMBAR
1. 2. 3. 4.
Halaman Faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja …………………………. 10 Kerangka berpikir konseptual penelitian kinerja petani …………………. Hubungan antar peubah peningkatan kinerja petani …………………… Diagram Jalur Persamaan Sruktural Peningkatan Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri ……………….………………..................
Peta lokasi penelitian kinerja petani dalam sistem agroforestri ….……… 6. Analisis Biplot Peningkatan Kinerja Petani Sekitar Hutan dalamPenerapan Sistem di Lahan Kritis………………………………….. 7. Analisis SEM peningkatan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri (standardized)……………………………………….……….. 8. Pengaruh kinerja petani terhadap keberlanjutan dalam penerapan sistem agroforestri ……………………………………………………………….. 9. Pengaruh faktor-faktor penentu kinerja terhadap kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri ……………………………………………. 10. Pengaruh dukungan penyuluhan terhadap faktor-faktor Penentu kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri ……………………… 11. Rancangan strategi penyuluhan dalam peningkatan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri……………………………………... 12. Rekomendasti peningkatan kompetensi penyuluh kehutanan …..……….. 5.
69 71 99 106 154 155 158 163 175 192 197
DAFTAR LAMPIRAN
1. 2. 3. 4.
Halaman Validitas dan reliabilitas hasil ujicoba kuesioner …….……….................. 214 Hasil analisis Comfirmatory Factor Analysis (CFA) …………………….. 215 Hasil analisis SEM tahap satu …………………………………………… 230 Hasil analisis SEM tahap dua (perbaikan model) ………………………. 240
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke yang dilalui garis khatulistiwa, sehingga memiliki iklim tropis. Kondisi ini menyebabkan iklim di Indonesia memiliki suhu yang cukup tinggi sepanjang tahun dan kelembaban udara yang relatif tinggi sehingga menjadikan wilayah Indonesia sebagai kawasan yang memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan hewan yang sangat beragam dan berlimpah. Selain itu, Indonesia memiliki beragam jenis kandungan mineral dan bahan tambang yang tersimpan di dalam dan di permukaan bumi nusantara. Di lain pihak, tata guna lahan dan penutupan lahan juga berubah sangat cepat dalam merespon perubahan perekonomian, kependudukan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, khususnya setelah terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998 dan pasca diberlakukannya otonomi daerah. Dengan dalih reformasi memberikan peluang yang sangat luas pada pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, dan juga kemajuan dalam bidang komunikasi sehingga membuka hambatan-hambatan yang selama ini mengekang, terutama pada masa orde baru. Konektivitas antara faktor biofisik/ekologis, sosial, ekonomi, dan faktor budaya spiritual di dalam bentang lahan adalah suatu hal utama untuk mendukung keamanan dan kenyamanan kehidupan bermasyarakat secara luas. Oleh karena itu, struktur fungsi lahan dan perubahan fungsi lahan secara keseluruhan baik skala mikro maupun makro harus dipahami secara mendalam oleh semua pihak agar memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi seluruh lapisan masyarakat. Ketidakpahaman dalam mengelola perubahan fungsi lahan memberikan sumbangan yang besar terhadap laju kerusakan hutan dan lahan. Menurut Word Bank (2002), laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun. (Geist dan Lambin 2002, diacu dalam Arifin et al. 2009: 48-49) dan Hairiah et al. (2003) menjelaskan bahwa pendorong utama terjadinya kerusakan kawasan hutan menjadi lahan kritis adalah terjadi konversi kawasan hutan menjadi lahan pertanian, pertambangan, transmigrasi dan perkebunan, serta pembakaran lahan yang tidak terkendali.
2
Dampak dari laju kerusakan hutan yang terus bertambah, menyebabkan lahan kritis juga bertambah. Berdasarkan data Ditjen BP-DAS dan Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan, luas lahan kritis di Indonesia sampai dengan tahun 2006 mencapai 30,2 juta hektar, 3,3 persen terdapat di Provinsi Jawa Tengah, sedangkan di Kabupaten Pati seluas 48.956 hektar (BP DAS Pemali Jratum 2009) yang sebagian besar terletak pada Pegunungan Kendeng. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kondisi tersebut adalah melakukan gerakan rehabilitasi lahan (Gerhan) dengan sistem agroforestri. Kegiatan tersebut kurang mendapat respon yang positif dari masyarakat karena, kegiatan tersebut lebih mengutamakan hal-hal bersifat teknis dan administrasi. Kartodiharjo (2006) menyatakan bahwa pelaksanaan Gerhan dapat berhasil dengan baik apabila kegiatan tersebut menyentuh secara langsung hajat masyarakat
dan
melibatkan
masyarakat
setempat.
Pernyataan
tersebut
mengisyaratkan bahwa keterlibatan masyarakat di sekitar hutan dapat menjamin keberhasilan pengelolaan lahan kritis yang ditunjukkan dengan meningkatkan kinerjanya. Menurut perspektif manajemen, meningkatkan kinerja petani tidak terlepas dari kemampuan, kesempatan dan motivasi. Ketiga hal tersebut harus ada dan berjalan secara seimbang, karena jika salah satunya tidak terpenuhi mustahil akan mencapai kinerja (performance) yang tinggi (Robbins 2003). Selain itu, perlu adanya karakteristik individu petani yang kuat dan didukung oleh penyuluh yang berkompeten. Keberadaan penyuluh dalam pengelolaan lahan kritis sangat dibutuhkan (Friday et al. 2000), karena dapat membantu petani untuk mengenal dan memecahkan permasalahannya, khususnya dalam penerapan teknologi yang tepat untuk mengelola lahan kritis. Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Pati yang mempunyai lahan kritis di Pegunungan Kendeng telah menempatkan Penyuluh Kehutanan dan Perkebunan (SK. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Nomor: 826.4/98/2009). Masalah Penelitian Salah satu cara untuk mengatasi lahan kritis adalah dengan menerapkan inovasi pengelolaan lahan yang tepat, antara lain melalui inovasi sistem agroforestri. Sistem agroforestri memberikan berbagai manfaat antara lain:
3
mengembalikan kesuburan tanah, mencegah banjir, tanah longsor, menyerap air dan menyediakan alternatif bahan pangan (von Moydell 1986). Penerapan sistem agroforestri yang dilakukan oleh petani sekitar hutan dapat berhasil dengan baik tergantung dari motivasi, kesempatan dan kemampuan petani. Oleh karena itu, tumbuhnya etos kerja petani ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya, sebab dengan pengetahuan yang dimilikinya, petani akan dapat membaca peluang dan menciptakan kesempatan, sehingga dapat mengelola lahannya dengan tepat dan memberikan hasil yang optimal. Kondisi ini akan berhasil dengan baik, apabila petani memiliki motivasi yang kuat dan mampu menjaga motivasinya agar tidak cepat luntur jika mengalami kegagalan. Upaya untuk dapat menjaga motivasi, menciptakan kesempatan, dan meningkatkan kemampuan dalam penerapan sistem agroforestri tersebut, memerlukan karakteristik individu petani yang kuat dan didukung oleh penyuluh yang berkompeten agar dapat membangkitkan dan mendampingi petani sehingga petani menjadi mandiri, berdaya dan tidak tergantung pada orang lain. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini berfokus pada masalah: (1)
Sejauhmana tingkat kinerja petani sekitar hutan dan pengaruhnya terhadap keberlanjutan dalam penerapan sistem agroforestri serta faktor-faktor penentu kinerja petani sekitar hutan di Pegunungan Kendeng?
(2)
Sejauhmana dukungan penyuluhan berpengaruh pada faktor-faktor penentu tingkat kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri di Pegunungan Kendeng?
(3)
Bagaimanakah strategi penyuluhan yang tepat bagi upaya meningkatkan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di Pegunungan Kendeng? Tujuan Penelitian Berdasarkan pembatasan permasalahan tersebut, maka penelitian ini
bertujuan untuk: (1)
Menganalisis tingkat kinerja petani sekitar hutan dan pengaruhnya terhadap keberlanjutan dalam penerapan sistem agroforestri serta faktor-faktor penentu tingkat kinerja petani sekitar hutan di Pegunungan Kendeng.
4
(2)
Menganalisis dukungan penyuluhan yang berpengaruh pada faktor-faktor penentu kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri di Pegunungan Kendeng.
(3)
Menyusun strategi penyuluhan yang tepat bagi upaya meningkatkan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri di Pegunungan Kendeng. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kegunaan secara akademis
(keilmuan) dan praktis: (1)
Kegunaan secara akademis/keilmuan, yaitu: (a)
Memperkaya kajian tentang kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis, khususnya yang berhubungan dengan motivasi petani, kesempatan yang tersedia bagi petani dan kemampuan petani sekitar hutan.
(b)
Memberikan informasi kepada para peneliti bidang sosial agar dapat melakukan penyempurnaan demi kemajuan ilmu pengetahuan tentang kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri.
(2)
Kegunaan secara praktis yaitu: memberikan masukan atau informasi kepada Kementerian Kehutanan, Pemerintah Daerah Kabupaten Pati dan pihak lain yang terkait, dalam menyusun kebijakan penyuluhan yang berhubungan dengan kinerja petani sekitar hutan, khususnya dalam penerapan sistem agroforestri harus memperhatikan kemampuan dan pengetahuan lokal yang ada di daerah atau bersifat adaptif dan proses pelaksanaannya dilakukan secara kemitraan atau kolaboratif dengan lembaga-lembaga lokal.
(a)
Nilai kebaruan atau novelty, yaitu: (a)
Tingkat kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri tidak hanya ditentukan oleh kemampuan, motivasi dan kesempatan, tetapi juga perlu memperhatikan lingkungan petani.
(b)
Pada kegiatan yang telah ditekuni petani secara turun temurun seperti penerapan
sistem
agroforestri,
dukungan
penyuluhan
tidak
berpengaruh secara langsung meningkatkan kemampuan petani tetapi berpengaruh
secara
langsung
membangkitkan
motivasi
dan
5
memberikan kesempatan petani. Meskipun demikian, untuk generasi muda keturunan petani dan para pendatang dukungan penyuluhan dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan petani. Definisi Istilah
(1)
Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan dan teknologi, di mana tanaman keras berkayu ditanam bersamaaan dengan tanaman semusim, dan atau ternak, dengan tujuan tertentu, dengan spasial atau berurutan yang di dalamnya terjadi interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi antara berbagai komponen yang bersangkutan, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, kelestarian alam dan lingkungan (Nair 2003).
(2)
Insentif adalah bantuan yang berasal dari pemerintah yang diperuntukkan bagi masyarakat yang melakukan pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri dalam bentuk peringanan atau pembebasan pajak, pendidikan dan pelatihan, serta penyediaan infrastruktur (incentive nonmonetary).
(3)
Institusi lokal adalah suatu kesatuan (entity) nilai-nilai, norma-norma, adat istiadat, dan peraturan-peraturan atau kesepakatan kolektif yang berlaku dalam masyarakat, termasuk organisasi (non formal atau informal) sebagai wadah yang berfungsi secara sosial, ekonomi, administrasi yang berlaku secara fungsional maupun struktural dalam mengelola lahan kritis dengan sistem agroforestri.
(4)
Kelembagaan penyuluhan adalah suatu institusi yang melaksanakan kegiatan penyuluhan yang dilakukan penyuluh pegawai negeri sipil (PNS), penyuluh swasta dan penyuluh swadaya, baik yang berada di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, maupun di tingkat desa.
(5)
Kemampuan petani sekitar hutan adalah daya upaya yang dimiliki seseorang yang merupakan perpaduan antara pengetahuan (knowledge), wawasan dan keterampilan (skill) yang digunakan untuk mengerjakan sesuatu yang diwujudkan melalui tindakan.
(6)
Kepemimpinan lokal adalah pengaruh yang dimiliki oleh pemimpin lokal sehingga masyarakat setempat secara sukarela mematuhi, meneladani, mencontoh dan menjalankan semua anjuran yang diberikannya.
6
(7)
Kesempatan petani sekitar hutan adalah kondisi atau situasi yang dapat dimanfaatkan oleh petani sekitar hutan untuk meningkatkan kinerjanya sehingga mendapatkan hasil yang optimal.
(8)
Kinerja petani sekitar hutan adalah tingkat prestasi atau keberhasilan petani sekitar hutan secara keseluruhan selama periode tertentu dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis.
(9)
Kompetensi adalah karakteristik seseorang yang didasarkan pada perilaku yang mengembangkan
motif, kepribadian,
konsep diri,
nilai-nilai,
pengetahuan dan keahlian yang dapat digunakan untuk unjuk kinerja yang unggul (Palan 2007; Spencer dan Spencer 1993). (10) Lahan kritis adalah lahan yang tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, seperti lahan kosong tidak produktif, lahan yang kemiringannya di atas 15 persen, lahan dengan penutupan vegetasi kurang dari 25 persen, lahan tambang yang tidak direklamasi, dan lahan rawan bencana (Dephut 2009). (11) Masyarakat sekitar hutan adalah sekumpulan atau segolongan individu yang mempunyai adat istiadat, budaya, norma, sanksi dan kedudukan individu yang berada di perdesaan yang saling berhubungan dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam mengelola lahan yang ada di sekitar hutan. (12) Motivasi petani sekitar hutan adalah dorongan yang berasal dari dalam maupun dari luar individu petani untuk meningkatkan kinerjanya dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis. (13) Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya, sebagai usaha untuk meningkatkan produktivitas, efesiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup (Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006). (14) Pemimpin lokal adalah pemimpin yang terdapat di desa seperti Kepala Desa dan perangkatnya, guru, pegawai, pesiunan, kelompok tani, mantan perangkat desa dan orang yang dituakan.
7
(15) Sistem pasar adalah unsur-unsur yang berhubungan dengan arus jual beli yang dilakukan oleh masyarakat khususnya dalam memasarkan hasil penerapan sistem agroforestri. (16) Strategi penyuluhan adalah langkah-langkah taktis yang diperlukan dalam melaksanakan penyuluhan agar tujuan penyuluhan berhasil sesuai rencana.
TINJAUAN PUSTAKA Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Pengertian Kinerja Secara etimologi kinerja atau prestasi kerja berasal dari kata performance. Kata tersebut digunakan untuk menyebutkan hasil pekerjaan yang telah dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang, seperti prestasi belajar berarti hasil yang telah dicapai oleh seseorang setelah melakukan aktivitas belajar atau prestasi dalam bidang lainnya. Istilah kinerja mulai populer setelah digunakan dalam ilmu manajemen, yang didefinisikan dengan istilah hasil kerja, prestasi kerja dan performance. Menurut (The Sriber Bantam English Dictionary 1979, diacu dalam Prawirosentono 2008: 1), menyatakan bahwa: “to perform“ mempunyai beberapa “entries” sebagai berikut: (1) to do or carry out; executive, (2) to discharge or fulfill, as a vow, (3) to party, as a character in a play, (4) to render by the voice or musical instrument, (5) to execute or complete on undertaking, (6) to act a part in a play, (7) to perform music, (8) to do what is expected of person or machine”. Kamus Besar Bahasa Indonesia dikemukakan arti kinerja sebagai berikut: (1) sesuatu yang dicapai, (2) prestasi yang diperlihatkan, dan (3) kemampuan kerja. Samsudin (2005:159) menyebutkan bahwa kinerja adalah tingkat pelaksanaan tugas yang dapat dicapai seseorang, unit atau divisi dengan menggunakan kemampuan yang ada dan batasan-batasan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan organisasi/perusahaan. Senada dengan Samsudin, Gibson et al. (1994) mengemukakan bahwa kinerja merupakan keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada batasan waktu tertentu. Keberhasilan dalam melaksanakan tugas atau pencapaian tujuan ditentukan oleh kemampuan yang dimiliki individu atau organisasi dalam kurun waktu tertentu (Bernardin dan Russel 1993). Untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan kegiatan yang menjadi tanggungjawab seseorang atau kinerja yang optimal, harus didukung oleh ketersediaan sarana atau fasilitas yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dan dorongan atau motivasi yang kuat. Hal ini sejalan dengan pendapat Gilbert et al. (1982) dalam artikelnya Behavior Engineering Model, memberikan penekanan bahwa kinerja dipengaruhi oleh keterampilan dan pengetahuan tentang data dan
9
informasi, kapasitas peralatan yang digunakan dan motif insentif yang diberikan. Menurut Gilbert, keterampilan dan pengetahuan tersimpan dalam benak atau pemikiran individu, sedangkan data dan informasi berada di luar internal individu tetapi tersimpan dalam eksternal manusia, seperti alat bantu kerja (komputer), petunjuk pelaksanaan (juklak), petunjuk teknis (juknis), atau sistem yang online. Ketersediaan dan kelayakan fungsi dari peralatan memberikan pengaruh terhadap kinerja seseorang. Boselie et al. (2001) dan Lusthaus (2002) memiliki argumen yang melengkapi beberapa pendapat sebelumnya. Boselie et al. (2001) menyampaikan bahwa peningkatan kinerja berhubungan dengan motivasi, retensi, iklim sosial dan kebijakan perusahaan; sedangkan Lusthaus (2002) menyatakan bahwa kinerja berhubungan dengan kapasitas organisasi, motivasi dan lingkungan organisasi. Berdasarkan pendapat kedua pakar ini terlihat bahwa kinerja tidak hanya ditentukan oleh motivasi dan kemampuan yang harus dimiliki oleh pegawai, tetapi ditentukan juga oleh situasi dan kondisi lingkungan tempat bekerja, hubungan sosial, komitmen antara karyawan dan pimpinan serta kerjasama antara semua yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Robbins (2003) menyatakan bahwa kinerja ditentukan oleh kemampuan (ability), motivasi (motivations) dan peluang (opportunity), sehingga fungsi kinerja dapat diilustrasikan = f (A x M x O). Robbins berpendapat bahwa untuk meraih kinerja yang tinggi dibutuhkan kemampuan yang baik dan semangat bekerja yang tinggi, namun kedua hal itu saja tidak cukup, masih dibutuhkan satu hal lain, yaitu kesempatan. Jika kesempatan atau peluang tidak ada maka kemampuan dan motivasi yang tinggi belum cukup untuk menghasilkan kinerja yang tinggi. Oleh karena itu, kinerja yang tinggi akan terwujud apabila ada kemampuan yang memadai, didorong oleh motivasi yang kuat, dan diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencoba dan melakukan yang sebenarnya. Hasibuan (2007: 34) mengemukakan bahwa kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Menurur Rivai (2005: 309), kinerja adalah perilaku
10
nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Schermerhorn
et
al.
(1994) mengilustrasikan
faktor-faktor
yang
berhubungan dengan peningkatkan kinerja disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja (Schermerhorn et al. 1994)
Mangkunegara (2007: 67) mengemukakan bahwa kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Menurut Mangkunegara, faktor yang mempengaruhi kinerja antara lain: (1) Faktor kemampuan. Secara psikologis kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan realita (pendidikan). Oleh karena itu, pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya; dan (2) Faktor motivasi. Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai terarah untuk mencapai tujuan kerja. Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong seseorang untuk berusaha
mencapai
potensi
kerja
secara
maksimal.
David
McCleland
(Mangkunegara 2007: 68) mengemukakan bahwa terdapat hubungan positif antara motif berprestasi dengan pencapaian kerja. Motif berprestasi adalah suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan suatu kegiatan atau tugas dengan
11
sebaik-baiknya agar mampu mencapai prestasi kerja dengan predikat terpuji. Ada enam karakteristik dari seseorang yang memiliki motif yang tinggi yaitu: (1) Memiliki tanggung jawab yang tinggi; (2) Berani mengambil risiko; (3) Memiliki tujuan yang realistis; (4) Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasi tujuan; (5) Memanfaatkan umpan balik yang kongkrit dalam seluruh kegiatan kerja yang dilakukan; dan (6) Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogramkan. Schermerhorn et al. (1994) menyampaikan bahwa kinerja sebagai kualitas dan kuantitas dari pencapaian tugas-tugas, baik yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun perusahaan. Kinerja mengandung dua komponen penting, yaitu: (1) Kompetensi berarti individu atau organisasi memiliki kemampuan untuk mengidentifikasikan tingkat kinerjanya; dan (2) Produktivitas kompetensi tersebut dapat diterjemahkan ke dalam tindakan atau kegiatan-kegiatan yang tepat untuk mencapai hasil kinerja (outcome). Meager (2009) menyampaikan bahwa kualitas pekerjaan yang dibutuhkan dunia kerja ditentukan oleh keterampilan yang ditunjang oleh pelatihan. Hal senada disampaikan oleh Park (2010) menyatakan bahwa suksesnya pekerja tergantung dari peluang, motivasi bekerja yang tinggi dan belajar secara kontinu. Skibba dan Tan (2002) menyampaikan bahwa tingkat kinerja dalam organisasi dipengaruhi oleh faktor kepribadian, keaktifan, kemampuan pemimpin dan harga diri terutama dalam konteks sosial. Pendapat Skibba dan Tan tersebut, diperkuat oleh Kazmi et al. (2006) mengatakan bahwa prestasi kerja atau kinerja dipengaruhi tingkat stres yang dialami oleh pekerja yang bersangkutan. Beberapa pendapat yang disampaikan oleh pakar-pakar terakhir tersebut, menunjukkan bahwa prestasi kerja dipengaruhi oleh peran pemimpin, ciri individu yang bersangkutan (kemampuan, prakarsa dan inisiatif) untuk menyelesaikan pekerjaan, jenis dan kualitas pekerjaan, keberanian dalam mengambil risiko, tingkat stres, tingkat beban pekerjaan, dan kemauan untuk selalu meningkatkan kompetensi melalui belajar baik secara formal maupun non formal. Penilaian Kinerja Dalam rangka melacak kemajuan kinerja, mengidentifikasi kendala, dan memberi informasi dalam suatu organisasi, diperlukan adanya komunikasi kinerja
12
yang berlangsung terus menerus sehingga dapat mencegah dan menyelesaikan masalah yang terjadi. Terkait dengan itu, alasan sebenarnya mengelola kinerja adalah untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas serta merancang bangun kesuksesan bagi setiap pekerja. Berkaitan
dengan
hal
tersebut
Bernardin
dan
Russell
(1993)
mengungkapkan bahwa penilaian kinerja adalah a way of measuring the contribution of individuals to their organization. Hasibuan (2007: 88) memaparkan bahwa penilaian kinerja adalah evaluasi terhadap perilaku, prestasi kerja dan potensi pengembangan yang telah dilakukan, dengan demikian, penilaian kinerja merupakan wahana untuk mengevaluasi perilaku dan kontribusi pegawai terhadap pekerjaan dan organisasi. Gomes (2003:135) berpendapat bahwa penilaian kinerja mempunyai tujuan untuk memberikan reward kinerja sebelumnya (to reward past performance,) memotivasi demi perbaikan kinerja pada masa yang akan datang (to motivate future performance improvement) dan informasi-informasi yang diperoleh dari penilaian kinerja ini dapat digunakan untuk kepentingan pemberian gaji, kenaikan gaji, promosi, pelatihan dan penempatan tugas-tugas tertentu. Berdasarkan ketiga pendapat dari Bernardin dan Russell, Gomes dan Hasibuan tersebut, dapat dikatakan bahwa setiap organisasi mutlak melakukan penilaian untuk mengetahui kinerja yang dicapai oleh setiap pegawai, apakah telah sesuai atau tidak dengan harapan organisasi. Rivai (2005) menyatakan bahwa pengukuran kinerja adalah proses mengumpulkan informasi mengenai kinerja ternilai yang didokumentasikan secara formal dan terstruktur yang digunakan untuk mengukur, menilai dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan, perilaku dan hasil. Pengukuran kinerja dapat juga berfungsi sebagai upaya mengumpulkan informasi yang dapat digunakan untuk mengarahkan upaya karyawan melalui serangkaian prioritas yang diinginkan. Simamora (2004:338) menyebutkan bahwa penilaian kinerja (performance appraisal) adalah proses yang dipakai oleh organisasi untuk mengevaluasi pelaksanaan kerja individu karyawan. Bocci (2004) mengemukakan bahwa pengukuran kinerja adalah seberapa baik organisasi dikelola dan seberapa besar manfaat yang didapatkan oleh
13
stakeholder. Senada dengan Bocci, Westin (2005) menyebutkan bahwa pengukuran kinerja dilakukan mulai dari perencanaan program, pelaksanaan program (proses), layanan yang dilakukan (output) dan hasil pelaksanaan program. Syarif (1991: 72) mengungkapkan bahwa penilaian kinerja adalah suatu proses untuk mengukur hasil kerja yang dicapai oleh para pekerja dan dibandingkan terhadap standar tingkat prestasi yang diminta guna mengetahui sampai di mana keterampilan telah dicapai. Samsudin (2005:159) menyebutkan bahwa penilaian kinerja (performance appraisal) adalah proses untuk mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Kriteria Penilaian Kinerja Terkait dengan penilaian kinerja ini, Bernardin dan Russell (1993:383) mengungkapkan terdapat enam kriteria pokok yang dapat dipakai untuk mengukur kinerja, yaitu: (1) Quality, sejauh mana kesempurnaan dari hasil yang telah diperoleh, apakah sudah sesuai dengan tujuan atau belum; (2) Quantity, berapa jumlah yang didapatkan; (3) Timeliness, sejauh mana waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya; (4) Cost effectiveness, efesiensi dalam penggunaan sumber daya untuk mendapatkan keuntungan yang optimal; (5) Need for supervision, sejauh mana dibutuhkan pengawasan untuk mendapatkan kualitas yang baik; dan (6) Interpersonal impact, sejauh mana pekerjaan dapat memberikan dampak pada kebutuhan personal. Robbins (2003) mengemukakan bahwa ada tiga tolok ukur kinerja individu yakni: (a) tugas individu; (b) perilaku individu; dan (c) ciri individu. State of Missouri Office of Administration Division of Personnel, menyatakan bahwa penilaian kinerja dilakukan melalui lima komponen, yaitu: (1) pengetahuan tentang pekerjaan, (2) kualitas kerja, (3) situasional, (4) inisiatif atau prakarsa, dan (5) kepercayaan diri. Koontz et al. (2004) menyebutkan beberapa kriteria untuk menilai kinerja pegawai antara lain: (1) Inteligensia: berhubungan dengan kemampuan untuk mengerti kesadaran mental; (2) Pertimbangan: berhubungan dengan sikap membedakan untuk melihat hubungan antara hal satu dan lainnya; (3) Inisiatif: berhubungan dengan pemikiran konstruktif dan penuh akal; (4) Kekuatan: berhubungan dengan kekuatan moril yang dimiliki; (5) Kepemimpinan:
14
berhubungan dengan kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain untuk bertindak; (6) Keberanian moril: berhubungan dengan sifat mental yang membuat seseorang untuk melakukan sesuatu sesuai hati nurani; (7) Kerjasama: berhubungan dengan kemampuan untuk bekerja secara serasi dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama; (8) Kesetiaan: berhubungan dengan kesesuaian, kesetiaan, dan kelanggengan; (9) Keteguhan: berhubungan dengan upaya mempertahankan tujuan atau saran walaupun ada hambatan; (10) Reaksi terhadap keadaan darurat: berhubungan dengan kemampuan untuk bertindak secara masuk akal dalam situasi yang sulit dan tak terduga; (11) Daya tahan: berhubungan dengan kemampuan untuk bekerja dalam kondisi apapun; (12) Kerajinan: berhubungan dengan prestasi kerja dari segi tenaganya; dan (13) Penampilan dan kerapihan diri serta pakaian: berhubungan dengan harga diri, kelengkapan seragam, dan kerapihan penampilan. Untuk melihat deskripsi perilaku individu secara spesifik, Gomes (2003:142) mengungkapkan beberapa dimensi atau kriteria yang perlu mendapat perhatian dalam mengukur kinerja antara lain: (1) Quantity of work, yaitu jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang ditentukan; (2) Quality of work, yaitu kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapannya; (3) Job knowledge, yaitu luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya; (4) Creativeness, yaitu keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul; (5) Cooperation, yaitu kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain sesama anggota organisasi; (6) Dependability, yaitu kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan menyelesaikan pekerjaan; (7) Initiative, yaitu semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggung jawabnya;
dan
(8)
Personal
qualities,
yaitu
menyangkut
kepribadian,
kepemimpinan, keramahtamahan dan integritas pribadi. Stewart (1987: 283) memberikan pedoman penilaian kinerja yang didasarkan pada: (1) Kepribadian, antara lain: dorongan, kesetiaan dan integritas; (2) Pekerjaan, antara lain: akurasi, kejelasan, dan kemampuan analitis; dan (3) Ketepatan sasaran. Mangkunegara (2007: 70) menjelaskan penilaian pekerjaan berdasarkan kriteria: (1) Kualitas pribadi, karakteristik atau sifat-sifat pribadi
15
seperti: kepercayaan, kreativitas, kemampuan verbal dan kemampuan memimpin; dan (2) Pekerjaan yang berhubungan dengan tingkah laku antara lain: kualitas pekerjaan, kuantitas pekerjaan dan keterampilan yang dimiliki. Hasibuan (2007: 91) menjelaskan rambu-rambu persyaratan yang harus dipenuhi dalam menilai suatu pekerjaan seorang karyawan atau individu antara lain: (1) Harus jujur, objektif, adil dan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang unsur-unsur yang dinilai sehingga dapat melihat fakta secara realitas; (2) Penilaian harus didasarkan benar atau salah, sehingga terhindari rasa suka atau tidak suka (like or dislike); (3) Penilai harus memiliki authority formal, sehingga hasil penilaian dapat dilaksanakan dengan baik; (4) Penilai harus menguasai pekerjaan secara detail, sehingga hasil penilaian dapat dipertanggungjawabkan secara formal; dan (5) Penilai harus memiliki keimanan dan kejujuran yang tangguh. Berdasarkan pendapat beberapa pakar tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam melakukan penilaian terhadap kinerja harus didasarkan pada kriteria atau pedoman yang berlaku secara universal dan dirasakan adil oleh semua orang. Penilaian tersebut harus obyektif, reliabel, jujur, adil dan sesuai dengan kondisi dan situasi (timebond), serta tidak didasarkan pada perasaan suka atau tidak suka. Penelitian tentang Kinerja Penelitian yang dilakukan oleh Effendy (2009) menemukan bahwa tingkat kinerja petani pemandu sebagai penyuluh swadaya di Jawa Barat tergolong rendah, hal ini disebabkan tidak ada penghargaan baik dari pemerintah maupun masyarakat setempat. Temuan Effendy tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Subagyo (2008), yang menemukan bahwa kapasitas atau kemampuan kinerja petani termasuk kategori rendah dalam melakukan penerapan inovasi baru. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, kesesuaian inovasi, kebutuhan nyata petani, kepemilikan aset, keterkaitan dengan tradisi dan pengaruh kepemimpinan masyarakat setempat. Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri adalah hasil kerja yang telah dicapai oleh petani dalam menerapkan sistem agroforestri di lahan kritis. Kinerja petani tersebut seperti: hasil usaha atau tingkat pendapatan, persentase
16
lahan yang ditanami, persentase tegakan yang tumbuh sehat, keragaman jenis bahan pangan dan terjadinya aksesibilitas jaringan sistem bisnis agroforestri. Sumber pendapatan petani berasal dari hasil tanaman semusim antara lain: palawija, jagung, sayuran, padi, ketela, dan pisang. Hasil tanaman keras seperti: mangga, durian, rambutan, pete, jati, mahoni dan kelapa. Persentase lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri, terutama tanaman tahunan/pokok dan sela, baik pada lahan milik, sewa, sakap dan pesanggem. Sejalan dengan persentase luas lahan yang ditanami sistem agroforestri, kinerja petani dapat dilihat melalui persentase tegakan yang tumbuh dengan sehat. Selain itu, dapat dilihat pula dari keragaman jenis pangan. Keragaman jenis bahan pangan yang bervariasi dapat membantu mencegah terjadinya bencana kelaparan pada musim paceklik karena masyarakat dapat mengkonsumsi bahan pangan lain selain beras. Terjalinnya akses jaringan bisnis sistem agroforestri dapat dilihat dari kegiatan yang bersifat pengembangan sistem agroforestri. Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Pengertian Agroforestri Istilah kehutanan sosial pertama kali dikenal pada tahun 1978 pada waktu Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 di Jakarta dengan sebutan Forest for People. Implementasi kehutanan sosial di Indonesia dimulai tahun 1986 (Awang 2003). Kesadaran orang Indonesia tersentuh oleh tema itu setelah delapan tahun kongres berlangsung. Arti kehutanan sosial dan kehutanan masyarakat, pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli kehutanan bernama Westoby pada tahun 1968 dengan istilah social forestry. Penerapan perhutanan sosial atau hutan kemasyarakatan di Indonesia menggunakan istilah yang bermacam-macam (Suharjito et al. 2000 dan Awang 2003), antara lain: community forestry (CF), sosial forestry (SF), farm forestry (FF) dan agroforestry (AG). Penerapan istilah-istilah tersebut disesuaikan dengan kepentingan dari pengguna dan pengertian istilah yang satu dengan yang lainnya saling mengisi dan melengkapi. Hal yang sama dengan definisi agroforestri juga bermacam-macam sesuai dengan disiplin ilmu penggunanya. Teori dan konsep agroforestri yang mendasari penelitian ini, adalah: ICRAF (1977); King dan Chandler (1978); Lundgren dan Raintree (1982); Nair
17
(2003); Huxley (1999); dan de Foresta et al. (2000). Untuk melengkapi konsep dan teori agroforestri tersebut disintesakan beberapa hasil penelitian sistem agroforestri yang dilakukan pada lahan kritis baik di dalam maupun di luar negeri. Menurut ICRAF (Huxley 1999), agroforestri adalah sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya. Senada dengan ICRAF, Nair (2003) menyatakan bahwa agroforestri adalah sistem penggunaan lahan dan teknologi, di mana tanaman keras berkayu ditanam bersamaan dengan tanaman pertanian, dan atau hewan, dengan tujuan tertentu, dengan spasial atau berurutan yang di dalamnya terjadi interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi antara berbagai komponen yang bersangkutan, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, kelestarian alam dan lingkungan. King
dan
Chandler
(Kartasubrata
2003)
mengemukakan
bahwa
agroforestri adalah suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan dengan mengkombinasikan tanaman semusim, tanaman hutan dan atau ternak secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat. Menurut De Foresta et al. (2000), agroforestri merupakan sistem teknologi penggunaan lahan di mana pepohonan berumur panjang (semak, palm, bambu dan kayu) dan tanaman pangan dan atau pakan ternak berumur pendek diusahakan dalam petak yang sama dalam suatu pengaturan ruang dan waktu, sehingga terjadi interaksi ekologi dan ekonomi antar unsur-unsurnya. Lundgren dan Raintree (1982) menyebutkan bahwa agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan yang
secara
terencana
dilaksanakan
pada
satu
unit
lahan
dengan
mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palm, bambu dan lainlain) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk
18
interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada. Hairiah et al. (2003) menyatakan bahwa agroforestri merupakan suatu istilah baru dari praktek-praktek pemanfaatan lahan tradisional yang memiliki unsur-unsur: (1) Penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia; (2) Penerapan teknologi; (3) Komponen tanaman semusim, tanaman tahunan dan/atau ternak atau hewan; (4) Waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu; dan (5) Ada interaksi ekologi, sosial, dan ekonomi. Cornell dan Miller (2007) menjelaskan bahwa pengelolaan lahan kritis dengan sistem agroforestri dapat dilakukan dengan memperhatikan empat kriteria yaitu: (1) Structural basic, yaitu pengaturan dan penambahan jenis tanam akan menambah keanekaragaman hayati sehingga dapat meningkatkan ketahanan sistem hutan yang dibangun; (2) Functional basic, yaitu fungsi komponen species yang berkayu akan mampu meningkatkan jumlah produk dan menjadi pencegah terjadinya erosi, banjir, tanah longsor, tata air dan mengembalikan kesuburan tanah; (3) Social economical basic, yaitu sebagai salah satu penyedia sumber pangan alternatif sehingga dapat membantu mengentaskan kemiskinan; dan (4) Ecological basic, yaitu secara lingkungan membantu dalam mengatasi kekeringan sehingga alam menjadi lestari. Bentuk-bentuk Agroforestri Klasifikasi agroforestri berdasarkan komponen yang membentuknya dibedakan sebagai berikut: (a) Sistem agrisilvopastur yaitu penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan masak untuk memproduksi sekaligus hasilhasil pertanian dan kehutanan; (b) Sistem sylvopastoral yaitu suatu sistem pengelolaan lahan hutan untuk menghasilkan kayu dan memelihara ternak; (c) Sistem agrosylvopastora yaitu suatu sistem pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan, dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak; dan (d) Multiple purpose tree species (MPTS) yaitu sistem pengelolaan dan penanaman berbagai jenis kayu yang tidak hanya untuk hasil kayunya, akan tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia ataupun pakan ternak. Vergara (1982) membedakan sistem agroforestri sebagai berikut: penanaman pohon tepi, larikan berselang seling, jalur berselang seling, campuran
19
acak, perladangan berpindah, tumpang sari dan pekarangan. Nair (2003) mengelompokkan sistem agroforestri dalam kelompok besar yaitu: (1) Sistem agrisilvikultur terdiri dari: improved fellow (bera), taungya (tumpang sari), alley cropping/hedgrowt (tanaman lorong), multilayer tree garden (kebun hutan), planating crop combinations (kebun campuran), home garden (pekarangan rumah), shelterbelts and windbreaks (pemecah angin), live hedges (pagar hidup), dan fuelwood productions; dan (2) Sistem silvopastoral, yaitu tanaman dipadukan dengan hewan atau padang penggembalaan. De Foresta et al. (2000: 1-5) dan Lusiana et al. (2002: 2-5) membedakan agroforestri menjadi dua sistem yaitu: sistem agroforestri sederhana dan kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan salah satu tanaman semusim. biasanya tanaman yang dipadukan adalah tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti: kopi, kakao, karet, kelapa, mangga, nangka, jati dan mahoni; sedangkan tanaman semusimnya antara lain: padi, jagung, kacang-kacangan, ubi kayu dan sayur-sayuran. Bentuk sistem agroforestri sederhana atau tumpang sari, telah lama dilaksanakan di Perhutani Ngantang Malang berupa tumpang sari antara kopi dan pinus. Sistem agroforestri kompleks adalah suatu sistem pertanian menetap yang menanam banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon), baik sengaja ditanam maupun tumbuh secara alami pada sebidang lahan yang dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan. Bentukbentuk agroforestri kompleks antara lain kebun dan hutan. Contoh agroforestri kompleks, antara lain: kebun campuran di Bogor, Ciamis, Wonosobo, Wonogiri; Repong Damar di Krui Lampung; Talun di Banten; Tembawang di Kalimantan Barat; dan Lembo di Kalimantan Timur. Bentuk sistem agroforestri yang telah diterapkan di Kabupaten Pati dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: bagian barat di bawah Gunung Muria yang memiliki lahan cukup subur, didominasi tanaman buah-buahan, kacang tanah, kopi, singkong, randu, tebu dan jati. Bagian selatan ke timur di sepanjang Pegunungan Kendeng yang lahannya sangat kritis dan menjadi hulu DAS Juana, didominasi tanaman jati, mahoni, mangga, singkong, jagung dan ternak.
20
Tujuan dan Fungsi Agroforestri Pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri memiliki tujuan antara lain: (1) Penghutanan kembali; (2) Penyediaan sumber makanan dan pakan ternak; (3) Penyediaan kayu bangunan dan kayu bakar; (4) Mencegah migrasi penduduk ke kota; (5) Meningkatkan pendapatan petani/penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan meningkatnya kepedulian warga masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya guna mendukung proses pemantapan ketahan pangan masyarakat; dan (6) Mengurangi pemanasan global. Menurut Huxley (1999) menyatakan bahwa fungsi sistem agroforestri adalah: (1) Mengontrol atau mengurangi erosi; (2) Memelihara bahan organik tanah; (3) Meningkatkan kondisi fisik tanah; (4) Menambah jumlah nitrogen dengan penanaman pohon yang dapat menfiksasi nitrogen; (5) Menyediakan hara mineral dalam tanah; (6) Membentuk sistem agroekologi; (7) Mengurangi kemasaman tanah; (8) Mereklamasi lahan; (9) Meningkatkan kesuburan tanah; (10) Meningkatkan aktivitas biologi tanah; (11) Adanya asosiasi mikoriza pada campuran pohon dan pertanian; (12) Meningkatkan penangkapan hujan, cahaya, hara mineral dan produksi biomasa; dan (13) Meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya, air dan hara mineral. von Moydell (1986) menyebutkan bahwa sistem agroforestri dapat membantu memecahkan masalah dalam: (1). Menjamin dan memperbaiki kebutuhan alternatif bahan pangan; (2) Memperbaiki penyediaan energi lokal, khususnya produksi kayu bakar; (3) Meningkatkan, memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi produksi bahan mentah kehutanan dan pertanian; (4) Memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya pada daerah dengan sebagian besar masyarakatnya miskin; dan (5) Memelihara dan memperbaiki kemampuan produksi dan jasa lingkungan setempat, yaitu: mencegah terjadinya erosi tanah, degradasi lingkungan, perlindungan keanekaragaman hayati, perbaikan tanah melalui fungsi
pohon. Shelterbelts, pohon pelindung (shade
trees), windbrake, pagar hidup (life fence), dan pengelolaan sumber air secara lebih baik.
21
Sistem Agroforestri sebagai Sistem Pengelolaan Lahan Berkelanjutan Agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan/atau hewan). Paling tidak satu di antaranya tumbuhan berkayu. Siklus sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun. Penanaman dapat dilakukan secara bergilir atau bergantian sesuai dengan kebutuhan dan kesinambungan lanskap lahan dengan memperhatikan konsep triple botton line benefite, yaitu lingkungan (ekologi), masyarakat (sosial-budaya) dan ekonomi (Arifin et al. 2009: 14). Sejalan dengan pendapat yang dikemukan oleh Arifin et al. Tomas Hak et al. (2007) dan Mitchell et al. (2003) menyebutkan bahwa selain ketiga konsep tersebut yang sangat penting dalam pembangunan berkelanjutan adalah konsep institusional yang di dalamnya menyangkut partisipasi, pemberdayaan masyarakat dan kaum perempuan, serta penegakan hukum. Konsep institusional ini berperan dalam implementasi dari ketiga konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep ekologi seyogyanya dilakukan berorientasi pada kepentingan konservasi lingkungan sehingga kondisi nyaman lingkungan dapat terjaga dengan baik. Penanaman tanaman pada lahan-lahan yang marginal diharapkan dapat mengembalikan fungsi lahan, mencegah longsor dan terjadi penyerapan air sehingga mencegah terjadinya erosi. Bahkan sistem agroforestri mampu memberikan sumbangan yang cukup besar dalam penyerapan karbon (rosot), dan menjaga kesegaran udara. MFP (2009) menyampaikan bahwa sistem agroforestri atau kebun campuran memberikan sumbangan rosot (penyerapan karbon) yang cukup efektif sehingga udara tidak tercemar polusi. Ditinjau dari sosial budaya, pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri harus berpihak pada kesejahteraan masyarakat baik secara rohani maupun jasmani. Pelaksanaan agroforestri harus memberikan sumbangan pada penyediaan bahan pangan alternatif sehingga masyarakat memiliki kecukupan atau keamanan pangan pada musim paceklik. Hasil penelitian di daerah kritis DAS Khlong Peed Thailand yang dilakukan oleh Wachrinrat dan Khlangsap (2007) menemukam bahwa sistem agroforestri dengan kebun campuran antara lain: kebun buah campuran, kebun nanas, kebun karet lebih diminati oleh masyarakat dibanding dengan tanaman monokultur sawit. Pranaji (2006) menemukan bahwa kondisi lahan kritis di sepanjang DAS Pemali Jratunsena memberikan sumbangan yang
22
sangat besar pada tingkat kemiskinan yang masif di Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, yang kemudian dikelola dengan sistem agroekosistem. Matatula (2009) menjelaskan bahwa lahan-lahan kritis di Kecamatan Fatuleu Kabupaten Kupang diperbaiki dengan menerapkan sistem agroforestri yang memadukan tanaman keras dengan hewan. Merem (2005) menjelaskan bahwa untuk membantu kehidupan masyarakat daratan Afrika yang memiliki lahan kering dan tandus, pengelolaan lahannya dilakukan dengan penerapan agroforestri yang memadukan tanaman berkayu dengan umbi-umbian. Ditinjau dari segi budaya, sistem agroforestri akan memberikan kontribusi terhadap kelestarian adat yang ada di tempat tersebut dan bahkan jika agroforestri berhasil dengan baik dan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat, maka masyarakat tidak akan melakukan urbanisasi atau mencari penghidupan di kota. Awang (2003) mengemukakan bahwa repong damar di Krui Lampung mampu menjaga adat istiadat masyarakat setempat, karena keberhasilan repong damar hidupnya menjadi lebih baik sehingga mereka tidak meninggalkan daerahnya. Konsep ekonomi, sistem agroforestri memberikan nilai ekonomi yang bersifat subsisten, yaitu mencukupi untuk kebutuhan sendiri. Kondisi ini berhubungan erat dengan kepastian lahan garapan yang dimiliki oleh para petani. Selain kepastian lahan garapan, konsep ekonomi juga ditentukan oleh sistem pasar. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Roshetko et al. (2001) tentang sistem jalur pemasaran hasil wanatani di Provinsi Lampung, Roshetko dan Yulianti (2002) tentang jalur pemasaran hasil wanatani di Provinsi Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa sistem pemasaran hasil wanatani (agroforestri) tergantung dari pemintaan pasar dengan jalur yang cukup elastis terutama kayu. Konsep ekonomi pada sistem agroforestri, selain dilihat dari sistem pemasaran dapat juga dilihat dari imbal jasa lingkungan. Widada et al. (2006) dan Notohadiprawira (2006) mengemukakan bahwa imbal jasa lingkungan atau valuasi sumber daya alam dapat diukur dari pemanfaatan air yang dipakai oleh masyarakat untuk memasak, mandi dan mengolah lahan pertanian. ICRAF (2010) menyatakan bahwa sistem agroforestri memberikan sumbangan yang lebih luas, tidak hanya sekedar kebutuhan susbsisten tetapi memberikan sumbangan pada
23
kelestarian lingkungan, air dan kesuburan tanah yang dapat dinilai melalui imbal jasa lingkungan. Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Kemampuan (ability) merupakan suatu tenaga (daya kekuatan) yang dimiliki seseorang untuk melakukan perbuatan atau tindakan. Robbins (2003: 46) menyatakan bahwa kemampuan merupakan kecakapan atau potensi yang dimiliki oleh seseorang yang dibawa sejak lahir atau hasil pelatihan atau praktek dan digunakan untuk mengerjakan sesuatu yang diwujudkan melalui tindakan. Lebih lanjut Robbins (2003) menyatakan bahwa kemampuan merupakan perpaduan antara pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill). Kemampuan petani dalam penerapan sistem agroforestri merupakan kesanggupan petani untuk melakukan kegiatan-kegiatan dalam agroforestri. Kegiatan pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri, antara lain: penyiapan lahan,
pemilihan
jenis
bibit/benih,
penanaman,
pemeliharaan
tanaman,
penganekaragaman tanaman, pemanenan, penegembangan pemasaran (Friday et al. 2000). Selain itu perlu diperhatikan pula pengembangan kelompok dan kerjasama untuk membangun jejaring kerja. Penyiapan lahan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan sebelum penanaman dimulai. Kegiatan penyiapan lahan meliputi: pembersihan gulma atau sisa tanaman, pemupukan awal, pembuatan drainase dan embung sederhana (Mulyana 1999; dan Wibisono 2005). Pemilihan jenis bibit/benih, disarankan bibit/benih unggul yang sesuai dengan kondisi lahan yang akan ditanami. Jenis bibit/benih dapat diambil dari generasi alam setempat maupun dari hasil persemaian dengan pohon induk yang sehat (Friday at el. 2000). Kegiatan penanaman antara lain: pembuatan jalur taman, jarak tanam, pelubangan, pengajiran, cara tanam, penyiraman dan waktu tanam (Friday et al. 2000). Pemeliharaan tanaman meliputi pendangiran, penyiangan, pemberantasan penyakit, pemangkasan/prunning dan penjarangan. Pemanenan dapat dilakukan pada masa panen (daur) atau disesuaikan kebutuhan “tebang butuh”. Kondisi ini disesuaikan dengan tingkat kebutuhan petani. Pengembangan pemasaran, dilakukan petani bermitra dengan pengusaha atau pedagang besar.
24
Pengembangan kelompok dilakukan agar kemampuan petani meningkat dan mendapatkan pengalaman baru. Kegiatan pengembangan kelompok meliputi pembenahan
administrasi,
diversifikasi
usaha,
dan
mengikuti
berbagai
perlombaan yang diadakan oleh lembaga pemerintah atau non pemerintah. Tingkat kerjasama dilakukan dengan antar petani, kelompok, penyuluh swadaya, penyuluh swasta dan lembaga sosial masyarakat. Motivasi Masyarakat dalam Mengelola Lahan Kritis Pengertian Motivasi Motivasi berasal dari bahasa latin movere yang berarti dorongan atau menggerakkan. Dalam kehidupan, motivasi memiliki peranan yang sangat penting sebab motivasi adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan, dan mendukung perilaku manusia sehingga mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal. Gibson et al. (1994) menyatakan bahwa motivasi memberikan kekuatankekuatan untuk bekerja dalam diri seseorang untuk memulai dan mengarahkan perilaku secara terus menerus. Pengertian motivasi tersebut mempunyai tiga hal penting yaitu: (1) arah perilaku untuk mencapai tujuan yang akan dicapai, (2) kekuatan respon atau usaha untuk melakukan sesuatu, dan (3) kelangsungan berperilaku atau konsistensi. Robbins (2003:13) dan Timpe (1986) menyatakan bahwa tumbuhnya motivasi individu akibat dari interaksi individu dengan situasi yang ada di lingkungannya. Motivasi pada setiap individu berbeda-beda, tergantung dari individu yang bersangkutan dan situasi lingkungan yang berkembang. Motivasi merupakan proses yang ikut menentukan intensitas, arah dan ketekunan individu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh individu yang bersangkutan. Tiga unsur kunci dari definisi motivasi tersebut adalah: intensitas, arah dan berlangsung lama. Intensitas terkait dengan seberapa keras usaha yang dilakukan oleh individu tersebut untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Unsur intensitas memegang peran yang sangat penting dalam motivasi. Intensitas yang kuat atau tinggi jika tidak diarahkan maka tidak akan mencapai hasil yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, intensitas harus selalu dijaga dan diusahakan agar terarah secara baik agar motivasi memiliki dimensi keberlangsungan yang lama.
25
Teori-teori yang mendasari motivasi dalam penelitian ini adalah: teori hierarkhi kebutuhan oleh Abraham Maslow (Robbins 2003), teori dua faktor oleh Frederick Herzberg (Gibson et al. 1994), dan teori kebutuhan David McClelland (Robbins 2003) yang dikaitkan dengan konsep belajar. Untuk melengkapi teoriteori motivasi tersebut disarikan beberapa penelitian yang berhubungan dengan motivasi antara lain: Lindner (1998), Awang (2003), Hafidah (2005), Yuniandra et al, (2007); Romansyah (2007), Dirgantara (2008), dan Khususyah (2009). Teori motivasi pertama kali lahir pada tahun 1950-an disampaikan oleh Abraham Maslow (Robbins 2003: 214-215). Teori kebutuhan hierarkhi Maslow ini kemudian mengilhami tumbuhnya teori-teori motivasi lainnya sebagai bentuk protes dan atau perbaikan dari teori kebutuhan Maslow. Lima jenjang hierarkhi kebutuhan Maslow yaitu: (1) Physiologi meliputi: rasa lapar, haus, perlindungan (papan dan sandang), seks dan kebutuhan jasmani yang lainnya; (2) Keamanan meliputi: keselamatan dan perlindungan dari gangguan fisik dan emosional; (3) Sosial mencakup: kasih sayang, rasa memiliki, diterima dengan baik, dan persahabatan; (4) Penghargaan mencakup faktor penghormatan diri seperti: harga diri, otonomi, dan prestasi. Penghormatan diri dari luar seperti: status, pengakuan dan perhatian; dan (5) Aktualisasi diri seperti: pertumbuhan dan pencapaian potensi diri. Dipandang dari teori motivasi, pemenuhan kebutuhan dimulai dari tingkat terendah (physiologi) sampai dengan yang tertinggi (aktualisasi diri). Jika pemenuhan kebutuhan secara substansial dari masing-masing tingkatan telah terpenuhi maka tidak ada lagi motivasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Selanjutnya, Maslow memisahkan hierarkhi kebutuhan menjadi dua yaitu: kebutuhan tingkat tinggi dan rendah. Kebutuhan tingkat tinggi, terdiri dari kebutuhan sosial, penghargaan dan aktualisasi diri pemenuhannya dilakukan secara internal oleh individu yang bersangkutan. Kebutuhan tingkat rendah, antara lain: upah, kontrak dan jaminan masa kerja dan dipenuhi secara eksternal. Teori motivasi selanjutnya adalah teori dua faktor dari Herzberg (Gibson et al. 1994: 107-108). Herzberg menjelaskan bahwa hubungan individu dengan pekerjaannya merupakan hubungan dasar dan setiap orang akan menentukan kesuksesan atau kegagalan dari pekerjaan yang dilakukan. Teori
26
motivasi ini memberikan penekanan pada kepuasan kinerja yang dilakukan oleh seseorang. Teori motivasi Herzberg ini dibedakan menjadi dua yaitu ekstrinsik dan instrinsik. Motivasi ekstrinsik berasal dari luar diri atau sering disebut dengan hygiene factor seperti: upah, jaminan pekerjaan, kondisi kerja, status, prosedur kerja, dan hubungan antar pribadi dalam pekerjaan. Motivasi instrinsik berasal dari dalam diri sehingga mampu menciptakan kondisi kerja yang terbaik. Faktorfaktor pemuas seperti: prestasi, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri dan kemungkinan berkembang. Teori dua faktor Herzberg mengabaikan kondisi lingkungan atau situasi. Kondisi lingkungan yang konduksif, aman dan nyaman akan memberikan suasana kerja yang menyenangkan. Terciptanya suasana kerja yang nyaman, tentunya membantu meningkatkan produktivitas, demikian juga sebaliknya kondisi atau situasi lingkungan yang tidak mendukung akan menurunkan semangat untuk bekerja sehingga stabilitas produksi tidak terjamin. Teori kebutuhan yang mendasari motivasi berikutnya adalah dari David Mc Clelland (Gibson et al. 1994: 111-113). Teori kebutuhan yang dikemukakan oleh Mc Clelland dikaitkan dengan konsep belajar. Tiga teori kebutuhan David Mc Clelland yaitu: (1) Kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement), (2) Kebutuhan untuk afiliasi atau kelompok pertemanan (need for affiliation), dan (3) Kebutuhan untuk berkuasa (need for power). Berkaitan dengan konsep belajar, McClelland berpendapat bahwa jika seseorang memiliki tingkat prestasi rendah maka orang tersebut harus diberikan pelatihan atau pembelajaran yang lebih keras agar mendapatkan prestasi yang lebih tinggi sehingga motivasi orang tersebut tumbuh dengan kuat. Ciri-ciri orang yang memiliki motivasi kuat atau tinggi adalah: (1) Dirinya merupakan tujuan dari prestasi, (2) Menghindar dari tujuan yang mudah, (3) Menyukai balikan yang cepat dan efisien dari prestasi yang dicapai, dan (4) Bertanggung jawab terhadap pemecahan masalah. Skinner (Robbins 2003) menyatakan bahwa peningkatan prestasi belajar dapat dilakukan dengan penguatan atau reinforcement sehingga menumbuhkan motivasi. David Mc Clelland (Mangkunegara 2007: 68) mengemukakan enam karakteristik orang yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi yaitu: (1)
27
Memiliki tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi, (2) Berani mengambil dan memikul risiko, (3) Memiliki tujuan realistik, (4) Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasikan tujuan, (5) Memanfaatkan umpan balik yang konkrit dalam semua kegiatan yang dilakukan, dan (6) Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogramkan. George M. Foster (1962) dalam bukunya Traditional Culture and Impact of Technological Change pada bagian Motivational Change menjelaskan bahwa motivasi berkaitan dengan situasi perubahan dan bukan hanya orang-orang yang merencanakan dan staf pekerja, tetapi semua orang yang terlibat dalam perubahan tersebut. Motivasi perubahan ditentukan oleh: keinginan untuk mendapatkan prestise atau status, keinginan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, situasi kompetisi, pengakuan persahabatan, proses permainan, dan ajaran agama. Menurut Klocek (2008), motivasi merupakan penggerak dari belakang, pengaturan dan mengejar tujuan. Motivasi mengarahkan perilaku ke arah peningkatan, penurunan atau mempertahankan keadaan tertentu. Akibatnya orangorang termotivasi untuk meningkatkan atau mengembangkan hal-hal positif dan menghilangkan hal yang negatif. Akhirnya orang-orang termotivasi untuk mempertahankan kondisi status quo. Penelitian Motivasi Petani dalam Sistem Agroforestri. Setiap masyarakat berhak hidup layak, termasuk masyarakat yang berada di sekitar lahan kritis. Agar masyarakat yang bermukim pada lahan-lahan kritis dapat hidup layak, maka sistem pengelolaan lahan yang selama ini dilakukan harus diperbaiki, antara lain dengan penyiapan lahan, pembuatan embung dan penerapan sistem agroforestri. Arifin et al. (2009) dan Friday et al. (2000) menyatakan bahwa pengelolaan lahan kritis yang paling sesuai adalah dengan menerapkan sistem agroforestri. Suharjito (2000) menjelaskan bahwa pengelolaan lahan kritis dengan agroforestri yang menerapkan pola pertanian berkelanjutan dapat menjamin kehidupan yang lebih baik. Temuan Suharjito di Desa Buniwangi Sukabumi menunjukkan bahwa produk hasil agroforestri dapat untuk memenuhi kebutuhan subsisten, sosial dan komunal. Hasil temuan ini diperkuat oleh temuan Yuniandra et al. (2007), bahwa motivasi masyarakat di sekitar Gunung Cermai
28
melakukan pengelolaan lahan dengan sistem tumpang sari sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan meningkatkan pendapatan. Hal senada dikemukakan oleh Hafidah (2005), yang menemukan bahwa motivasi petani dalam mengelola Kahuma di areal hutan rakyat Kabupaten Muna didorong oleh motivasi untuk memenuhi pokok, luas garapan sempit, kemudahan dalam pemasaran dan peningkatan pendapatan. Tumbuhnya motivasi petani untuk mengelola lahan kritis dengan sistem agroforestri didorong untuk mendapatkan pendapatan yang lebih unggul. Meningkatnya pendapatan ini diperoleh melalui penganekaragaman tanaman, baik tanaman keras (kayu-kayuan) maupun tanaman semusim. Hasil penelitian Hayono (1996) di Kabupaten Wonosobo menunjukkan bahwa pengusahaan hutan rakyat dengan sistem tumpang sari dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga, yaitu berasal dari tanaman pertanian untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga dan tanaman kayu sebagai tabungan yang dapat ditebang berdasarkan kebutuhan. Romansyah (2007) dan Dirgantara (2008) menemukan bahwa pengusahaan hutan rakyat dapat meningkatkan pendapat ekonomi keluarga, tetapi belum memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan asli daerah. Hal senada dikemukakan oleh Khususyah (2009) bahwa pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dengan pola tumpang sari sebatas untuk memenuhi kebutuhan pangan, sedangkan untuk peningkatan pendapatan kontribusinya kecil. Awang (2003) yang melakukan penelitian tentang repong damar Krui Lampung, menemukan bahwa motivasi masyarakat mengelola repong damar didorong kebutuhan yang bersifat sosial budaya, yaitu masyarakat bangga terutama bagi orang tua mampu memberikan warisan kebun damar kepada anak-anaknya. Lindner (1998) menemukan bahwa motivasi karyawan bekerja dengan baik dan tekun sehingga dapat meningkatkan produktivitas terjadi karena dirangsang dengan kenaikan gaji, bonus dan promosi jabatan. Motivasi Petani dalam Menerapkan Sistem Agroforestri Penerapan hierarkhi kebutuhan Maslow pada petani yang mengelola lahan kritis dengan sistem agroforestri, kurang tepat karena pemenuhan kebutuhan petani sangat tergantung dari kondisinya. Petani yang memiliki status ekonomi
29
mapan tentu cara pemenuhan kebutuhannya berbeda dengan petani yang berstatus ekonomi lemah. Oleh karena itu, dalam memotivasi petani tidak tergantung dari satu teori motivasi saja, tetapi menggunakan beberapa teori motivasi yang relevan dengan kondisi petani yang bersangkutan. Pada umumnya petani yang mengelola lahan kritis hidup dalam kondisi subsisten, karena lahan cenderung sempit dan tidak subur sehingga hasilnya tidak surplus (dapat diperdagangkan). Petani termotivasi bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Dalam kondisi yang demikian, petani berusaha untuk meningkatkan pendapatannya melalui penganekaragaman jenis tamanan atau komoditas, baik tanaman semusim atau tanaman tahunan. Penganekaragaman tanaman semusim diharapkan dapat memberikan sumbangan pada penyediaan kebutuhan pokok, sedangkan tanaman tahunan diharapkan dapat menjadi “tabungan tegak” yang sewaktu-waktu dimanfaatkan. Tercukupinya kebutuhan pokok dan tersedianya tabungan tegak merupakan suatu prestasi yang secara nyata dapat dilihat dan diberikan pengakuan oleh petani yang lain (Rabideau 2005), sehingga petani yang lain termotivasi untuk mengikutinya. Penerapan sistem agroforestri di lahan kritis dapat menciptakan peluang bagi para petani untuk dapat saling menukar pengalaman dan pengetahuan, terutama dalam pemilihan jenis tanaman. Untuk itu diperlukan komunikasi yang intensif yang kemudian berdampak pada intensitas hubungan sosial antar petani. Selain terjadi intensitas hubungan sosial yang lebih baik, dalam pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri memungkinkan terjadinya situasi kompetisi sehat untuk melakukan perubahan atau inovasi sehingga mendapat hasil yang lebih unggul (Foster 1962). Merujuk pada pengertian dan beberapa penelitian yang berhubungan dengan motivasi, maka yang dimaksud motivasi dalam penelitian ini adalah kekuatan yang mendorong petani dalam mengelola lahan kritis dengan sistem agroforestri untuk memenuhi kebutuhan pokok, pengakuan atas keberhasilan dalam mengelola lahan kritis, intensitas hubungan sosial dan situasi kompetisi dalam mengelola lahan dengan sistem agroforestri.
30
Kesempatan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Kesempatan petani adalah situasi dan kondisi yang dapat dimanfaatkan oleh petani untuk meningkatkan kinerjanya. Kesempatan dapat berasal dari dalam atau dari luar lingkungan petani. Kesempatan yang berasal dari dalam lingkungan petani adalah luas lahan garapan yang menjadi hak kelola petani, sedangkan kesempatan dari luar lingkungan petani antara lain: sistem pemasaran, kebijakan insentif, peran institusi lokal, pengaruh kepemimpinan lokal dan peranan kelompok. Luas Lahan Garapan Sanders et al. (1999) mengemukakan bahwa kepastian kepemilikan lahan menjadi salah satu pengukit untuk mengembangkan hutan rakyat campuran atau agroforestri karena kegiatan agroforestri dengan menanam jenis tanaman keras berkayu membutuhkan waktu yang lama. Kondisi ini berdampak pada kepastian status lahan agar petani tidak menanggung risiko. Sadikin dan Samandawai (2007) mengemukakan bahwa kepastian kepemilikan lahan dalam pengembangan hutan rakyat harus dipahami oleh seluruh pihak yang terlibat, karena kesalahan pemahaman dalam kepastian kepemilikan lahan akan menjadi sumber konflik antar masyarakat (land tenure). Senada dengan Sadikin dan Samandawai, Awang (2003) menjelaskan bahwa faktor utama terjadinya konflik antara masyarakat lokal dengan pihak pengelola HPH, Taman Nasional, Hutan Lindung dan Cagar Alam adalah akibat tidak adanya kepastian kepemilikan lahan yang dapat dimanfaatkan oleh petani. Luas lahan yang dimiliki oleh petani akan mempengaruhi pemilihan jenis tanaman yang akan ditanam. Semakin luas lahan yang dimiliki petani, maka tanaman yang dipilih cenderung monokultur, sedangkan petani yang lahan sempit lebih memilih menanam berbagai jenis tanaman (tumpang sari), agar dapat memenuhi kebutuhan subsistennya dan sekaligus mempunyai tabungan. Luas lahan garapan petani dapat berasal dari lahan milik sendiri, sewa atau membeli atau gadu dan menggarap lahan orang lain dengan sistem sakap. Ketiga sistem kepemilikan lahan ini akan memiliki pengaruh terhadap pengelolaannya, khususnya lahan yang digunakan untuk mengusahakan tanaman tahunan atau tanaman jangka panjang.
31
Kepastian Pasar Sistem Agroforestri Kepastian pasar merupakan salah satu kunci dalam pelaksanaan sistem agroforestri. Meskipun hasil agroforestri melimpah namun kalau kepastian pasar tidak berpihak pada petani, nasib petani akan tetap menderita, sehingga hal ini akan membunuh motivasi petani dalam mengelola lahannya dan membiarkan lahannya menjadi kritis kembali. Sanders et al. (1999) menjelaskan bahwa sistem pasar memegang peran penting dalam pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri. Untuk menjamin terjadinya sistem pemasaran yang berpihak pada petani maka harus dibangun jaringan pemasaran yang dapat diakses oleh petani. Sistem pemasaran tersebut meliputi: aksesibilitas (jauh dekat) pasar, permintaan barang yang sesuai dengan pasaran, informasi harga pasar, ketersediaan barang hasil pertanian yang dipasarkan, dan keterlibatan pihak lain dalam pemasaran. Penny (1990: 33) menyebutkan bahwa sistem pemasaran menentukan semua harga komoditi dan sarana prasarana produksi yang dibutuhkan oleh petani yang bersifat luwes sesuai dengan penawaran dan permintaan. Arifin et al. (2009) menjelaskan bahwa pembangunan infrastruktur jalan dan pasar akan sangat membantu pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri. Kedua infrastruktur tersebut sangat dibutuhkan oleh petani karena sistem agroforestri dilakukan pada lahan-lahan yang marginal dan biasanya terpencil. Pembangunan kedua infrastruktur tersebut memberikan dampak pada penekanan biaya distribusi produksi dan pemasaran. Dixie (2005) dan Taylor et al. (2009) menjelaskan bahwa untuk menciptakan sistem pasar yang menguntungkan bagi petani kecil yang mengelola lahan-lahan kritis dan cenderung tempatnya jauh (marginal) yang dibutuhkan adalah: penyediaan angkutan transportasi murah (penyewaan angkutan secara berkelompok), penerapan teknologi lokal, penyediaan informasi pasar, penyediaan sarana transportasi, dan kebijakan pelarangan pembuatan ritelritel dekat petani. Tidak adanya infrastruktur untuk pemasaran, keterbatasan peralatan untuk penebangan dan pengangkutan, keterbatasan keterampilan dalam menebang dan mendesaknya kebutuhan, memaksa petani menjual hasil produk kayunya dengan harga yang murah. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Tukan et al. (2000) yang menemukan bahwa produk kayu dipasarkan oleh petani dalam bentuk pohon
32
berdiri. Semedi (2006) menyatakan bahwa petani menjual kayu dalam bentuk gelondongan kepada pedangan/tengkulak, penjualan kayu dilakukan karena kebutuhan mendesak dan harus segera mendapatkan uang, tetapi petani yang telah memahami sistem pemasaran akan menjual produk kayunya dengan cara yang lebih menguntungkan. Hasil penelitian Priyadi (2010) menemukan bahwa petani menjual hasil produksinya bekerja sama dengan perusahaan kayu besar. Kebijakan Pemberian Insentif Insentif adalah pemberian dorongan atau bantuan yang berupa material maupun nonmaterial sehingga membangkitkan semangat seseorang untuk melakukan usahanya dengan lebih keras. Sundawati (2010) menjelaskan bahwa insentif adalah semua bentuk dorongan spesifik atau stimulus, umumnya berasal institusi eksternal untuk mempengaruhi atau memotivasi masyarakat agar bertindak atau mengadopsi suatu kegiatan atau program. Bentuk-bentuk insentif tersebut yaitu: (1) pembayaran atau pemberian konsesi untuk merangsang output yang lebih besar, (2) dorongan atau faktor yang dapat memotivasi dilakukannya suatu tindakan, dan (3) isyarat (signal) positif bersifat meningkatkan motivasi dan mengindikasikan suatu tindakan. Insentif dibedakan menjadi dua yaitu: insentif langsung dan insentif tidak langsung. Insentif langsung seperti: bantuan dalam bentuk tunai (upah, hibah, subsidi, pinjaman lunak); dalam bentuk barang (bantuan pangan, sarana pertanian, ternak, bibit pohon); atau kombinasi tunai dan barang. Insentif tak langsung seperti: penyuluhan, bantuan teknis, pemasaran, pelatihan dan peringanan pajak. Uphoff (1986: 190) mengemukakan bahwa pemerintah sebagai lembaga yang berwenang dalam memfasilitasi pembangunan secara keberlanjutan, perlu menyediakan insentif dalam bentuk pemberian bantuan antara lain: peringanan pajak dan pelatihan masyarakat yang dapat meningkatkan keterampilannya. Pemberian insentif dengan mengurangi pajak pada masyarakat yang melakukan
usaha
agroforestri
dapat
menumbuhkan
kinerja
masyarakat.
Pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan kondisi nyata dalam masyarakat menurut Popkin (1978) dan Scott (1976) dapat meningkatkan resistensi atau penolakan dan bahkan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, kebijakan pengenaan pajak terhadap hasil hutan rakyat harus diimbangi
33
dengan penyediaan fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sanders et al. (1999) mengemukakan bahwa pengusahaan lahan kritis dengan sistem agroforestri merupakan usaha jangka panjang, membutuhkan perangsang terutama bantuan permodalan untuk menjamin kepastian usaha. Artinya bahwa fasilitas kredit murah dari pemerintah atau pihak lain sangat dibutuhkan dalam mengembangkan usaha yang membutuhkan waktu panjang dan kemungkinan risiko kegagalan sangat besar. Sejalan dengan Popkin, Scott dan Sanders, Bauman (2004) dalam artikelnya yang berjudul Free-Market Incentives for Innovation menjelaskan bahwa pemberian insentif sangat baik untuk pengembangan inovasiinovasi yang dapat menggerakkan pasar, karena insentif dapat berfungsi sebagai perlindungan dari usaha penerapan suatu inovasi. Peningkatan keterampilan melalui penyuluhan dan pelatihan sangat dibutuhkan dalam pengelolaan lahan kritis, terutama pemilihan rotasi atau pergiliran tanaman, pengolahan pasca panen dan pemasaran hasil usaha. Sanders et al. (1999) menjelaskan bahwa salah satu faktor pengungkit dalam membangun masyarakat khususnya dalam pengelolaan agroforestri adalah memberikan penyuluhan dan pelatihan yang intensif kepada masyarakat. Suharto (2005: 49) menyatakan bahwa pelatihan kepada masyarakat dapat meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengakses informasi, pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat dalam kehidupan masyarakat. Riyanto (2005: 75-81) menyatakan bahwa proses pembelajaran masyarakat dalam sistem pengelolaan hutan melalui simpul-simpul belajar dapat membuka ruang gerak bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam mengambil keputusan secara transparan, partisipatif dan akuntabel. JM. Nibbering (Sanders et al. 1999) menjelaskan bahwa untuk mengatasi degradasi lahan dan erosi di Pulau Jawa dilakukan pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri dengan memberikan insentif antara lain: bantuan bibit, pembentukan dan pembinaan kelompok tani, kredit, bantuan teknis dalam pemeliharaan dan pemanenan. Pemberian bantuan modal dalam bentuk kredit murah tanpa anggunan dapat dilakukan oleh pemerintah melalui departemendepartemen terkait. Trend skema bantuan tersebut misalnya: Departemen Pertanian: pengembangan usaha agribisnis pedesaan (PUAP), FEATI, dan PNPM
34
Mandiri. Departemen Kehutanan melalui kelompok usaha produktif (KUP), kebun bibit rakyat (KBR) dan pelatihan teknis bagi masyarakat. Bentuk-bentuk bantuan atau insentif yang demikian dapat memberikan motivasi bagi masyarakat dalam mengelola lahan kritis dengan sistem agroforestri, apabila insentif tersebut sesuai dengan kebutuhan petani dan tepat sasaran. Peran Institusi Lokal Institusi
atau
kelembagaan
dapat
diartikan
sebagai
lembaga
kemasyarakatan (social institutions) atau pranata sosial. Institusi menunjuk pada adanya
unsur-unsur
yang
mengatur
pola
perilaku
warga
masyarakat.
Koentjaraningrat (2002) mengemukakan bahwa pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan atau hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam kehidupan bermasyarakat. Bardhan (1989) mengemukakan bahwa institusi merupakan aturan-aturan sosial, kesepakatan (convension) dan elemen-elemen lain dari struktur kerja interaksional sosial. Menurut Manig (1993), institusi adalah sistem nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat, di mana aturan-aturan yang berlaku tersebut membatasi perilaku manusia yang menyimpang untuk membangun struktur sosial, ekonomi dan politik yang berkembang dalam masyarakat. North (1991) mengemukakan bahwa aturan-aturan yang mengatur kehidupan masyarakat dapat secara formal, informal dan penegakan hukum (low enforcement). Secara singkat, Yeager (1999) menjelaskan bahwa institusi merupakan aturan main (role of the game) yang berlaku dalam masyarakat. Institusi atau kelembagaan yang dapat mengatur kehidupan bermasyarakat, setidak-tidaknya mengandung tiga komponen yaitu: (1) Batasan kewenangan (jurisdictions boundry); (2) Hak dan kewajiban (proferty right) yang ditentukan oleh hukum, adat, tradisi dan konsensus yang mengatur hubungan bermasyarakat; dan (3) Aturan representatif (role of representative) sebagai bahan untuk mengambil suatu keputusan. Berdasarkan keberadaannya institusi atau kelembagaan dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek struktural dan kultural. Aspek struktural kelembagaan berupa organisasi/kelompok sosial merupakan wadah, tulang, ruang, dan rangka yang visual dan statis dari suatu kelembagaan. Aspek struktural, tersebut terdiri
35
dari: struktur umum, peran, hubungan antar peran (relation of role), kewenangan, kelembagaan, keanggotaan, klik atau tekanan (pressure), profile, dan pola kekuasaan. Aspek struktural kelembagaan ini disebut juga dengan perangkat keras (hardware) yaitu wadah yang menghasilkan seluruh orientasi dan gagasan yang dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Aspek kultural kelembagaan (software) merupakan hal-hal yang lebih abstrak dan normatif yang menentukan jiwa suatu kelembagaan. Aspek kultural suatu kelembagaan meliputi: nilai, aturan, norma, kepercayaan, ide, gagasan, doktrin, keyakinan, kebutuhan dan orientasi. Aspek-aspek institusi sangat dibutuhkan dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis seperti yang ada di Pegunungan Kendeng Kabupaten Pati. Aspek kultural yang berupa nilai-nilai, norma, adat istiadat dan budaya lokal (local wisdom) yang masih berlaku adalah budaya sambatan, wiwitan dan tali wangke. Sambatan merupakan budaya tukar menukar tenaga (bekerja tidak diupah), biasanya dilakukan pada waktu masa tanam dan mendirikan rumah. Wiwitan dilakukan petani pada waktu masa panen tiba. Budaya wiwitan ini mempunyai makna, bentuk rasa syukur petani kepada Allah SWT atas hasil panen yang telah diberikan, dan tali wangke merupakan hari nas atau hari tahun baru Islam tanggal satu Syuro. Pengaruh Kepemimpinan Lokal Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain, sehingga orang tersebut dapat mengikutinya (Soekanto 2000, Gibson et al. 1994, Robbins 2003, Neuschell 2005 dan Margono 2009). Kepemimpinan berbeda dengan kekuasaan. Kepemimpinan kekuatannya pada pengaruh yang memungkinkan orang lain mengikuti secara sukarela, sedangkan kekuasaan adalah kekuatannya terletak pada kewenangan (otoritas) yang memaksa orang lain untuk melakukan perintahnya. Meskipun demikian, keduanya merupakan sumber kekuatan yang dapat mempengaruhi orang lain, yang didapatkan melalui: (1) kewenangan atau jabatan, (2) pengetahuan, dan (3) kepribadian. Kepemimpinan seseorang akan berhasil dengan baik, apabila pemimpin tersebut mempunyai pengetahuan dan pedoman tentang kepemimpinan, karena tanpa pedoman mustahil seorang pemimpin akan mendapakan kesuksesan. Menurut Kouzen dan Posner (1991), Maxwell (1995), Neuschel (2005: 46-49) dan
36
Margono (2009), pedoman yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yaitu: (1) memiliki visi; (2) disiplin; (3) memiliki kebijaksanaan yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah yang didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman dalam berbagai situasi; (4) memiliki keberanian; (5) bersikap rendah hati, kerendahan hati merupakan karakteristik terpenting dalam kehidupan seorang pemimpin, tidak sombong dan tidak adigang adigung adiguna tetapi harus andhap asor (Susetyo 2002); (6) mengambil keputusan, keputusan yang diambil harus didasarkan pada rasa keadilan; (7) mengembangkan persahabatan; (8) memahami situasi dan diplomasi; (9) mengembangkan kemampuan eksekutif
artinya harus mampu
menjalankan tugas utamanya; dan (10) memberikan kekuatan inspiratif yang mampu memberikan kekuatan berkembang bagi pengikutnya. Kepemimpinan masyarakat pedesaan dibedakan dalam dua bentuk yaitu pemimpin formal dan pemimpin informal. Pemimpin formal seperti: kepala desa dan perangkatnya, sedangkan pemimpin informal seperti: orang yang dituakan, tokoh masyarakat, pensiunan, guru, penyuluh atau mantan perangkat desa. Tipe kepemimpinan formal merupakan pemimpin yang memperoleh pengakuan atau hak/kekuasaan dalam masyarakat berdasarkan kedudukannya, sedangkan tipe kepemimpinan informal merupakan pemimpin yang tidak memiliki jabatan, tetapi sumber kekuasaanya berasal dari kemampuan pribadinya. Peran pemimpin informal dalam pengelolaan lahan memberikan pengaruh yang sangat besar. Beberapa penelitian yang telah dilakukan pemimpin informal dalam pengelolaan lahan antara lain: Nurhayati (2003) menyatakan bahwa peran tokoh masyarakat dan pemerintah setempat memberikan pengaruh terhadap pemanfaatan hutan rakyat dan lahan-lahan kritis di Tanah Toraja. Suharjito dan Saputro (2008) menunjukkan bahwa kepemimpinan tokoh masyarakat sangat mempengaruhi pengelolaan hutan Kasepuhan di Banten Kidul. Suwignyo Utomo (2010) menjelaskan bahwa kepemimpinan kelompok tani memberikan pengaruh terhadap dinamika pengelolaan hutan bersama masyarakat. Kuatnya pengaruh pemimpin informal dalam pengelolaan lahan kritis dengan menggunakan sistem agroforestri dengan penerapan teknologi dan inovasi. Menurut Rogers (2003), kuatnya pemimpin informal disebabkan oleh: (1) sering berhubungan dengan media massa, (2) mempunyai keterbukaan terhadap informasi, (3) sering
37
berhubungan dengan agen pembaharu, (4) partisipasinya besar, dan (5) status sosial ekonominya tinggi. Sejalan dengan konsep pemikiran Rogers tentang kuatnya pengaruh tokoh masyarakat sebagai opinion leaders, pengaruh pemimpin informal di perdesaan sangat ditentukan oleh kerelaan berkorban kesetiaan dan sifat kepanutannya. Sifat kepemimpinan yang demikian sangat dibutuhkan di Pulau Jawa, khususnya dalam mengelola lahan yang kritis seperti di Kabupaten Pati. Kartono (1982) dan Susetyo (2002) menyebutkan bahwa filosofi kepemimpinan masyarakat Jawa didasarkan pada sifat alam atau astabrata meliputi: (1) Bumi, harus mendorong dirinya untuk selalu memberi kepada sesama; (2) Api, harus mampu memberikan semangat dan motivasi untuk berbuat kebaikan, tidak rakus dan keji; (3) Air, pemimpin harus selalu mengalir dinamis dan memiliki watak rendah hati, santun, tidak sombong dan tidak arogan; (4) Angin atau udara, memberikan hak hidup kepada masyarakat; (5) Matahari, harus mampu menjadi penerang kehidupan sekaligus menjadi pemberi energi kehidupan masyarakat; (6) Bulan, harus mempunyai kelembutan yang menenteramkan, visioner, sifat arif dan bijaksana; (7) Bintang, harus dapat memberikan petunjuk dan jadi panutan; dan (8) Angkasa, harus memiliki keluasan hati, perasaan dan pikiran dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa dan negara. Peranan Kelompok Tingkat efektivitas suatu kelompok dapat dilihat dari dinamika kelompok. Menurut pendekatan sosiologis dikenal ada sepuluh unsur dinamika kelompok (Margono 2003), yaitu: (1) tujuan (goal), (2) kepercayaan (belief), (3) sentimen (sentiment), (4) norma (norm), (5) sanksi (sanction), (6) status peranan (role status), (7) kekuasaan (power), (8) jenjang (rank), (9) fasilitas (facility), dan (10) tekanan dan tegangan (stress and strain). Tujuan utama dalam berkelompok dalam pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri adalah untuk mencapai tujuan bersama-sama. Tujuan kelompok tersebut harus sejalan dengan tujuan anggota kelompok, dengan demikian kelompok akan dinamis dan saling menjaga. Selain itu, manfaat berkelompok adalah membantu dalam memudahkan transfer pengalaman dan informasi. Oleh
38
karena itu, dengan berkelompok akan terjadi proses pembelajaran antar sesama anggota kelompok. Pengertian Lahan Kritis Lahan kritis adalah lahan yang mengalami penurunan produktivitas atau kurang berfungsi maksimal secara fisik, kimia, hidrologi dan sosial ekonomi sebagai akibat dari sistem pengelolaan yang kurang tepat. Menurut Setiawan (1996), lahan kritis secara fisik adalah lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga untuk perbaikannya memerlukan investasi yang besar, sedangkan lahan kritis secara kimia adalah lahan yang bila ditinjau dari tingkat kesuburan, salinitas dan keracunan tidak lagi memberikan dukungan positif terhadap pertumbuhan tanaman. Fungsi hidrologi tanah berkaitan dengan fungsi tanah dalam mengatur tata air. Hal ini berkaitan dengan kemampuan tanah untuk menahan, menyerap dan menyimpan air. Lahan kritis secara sosial ekonomi adalah lahan yang sebenarnya masih mempunyai potensi untuk usaha pertanian dengan tingkat kesuburan relatif baik, tetapi karena adanya faktor penghambat sosial ekonomi, misalnya sengketa pemilikan lahan, sulitnya pemasaran hasil atau harga produksi yang sangat rendah maka lahan tersebut ditinggalkan penggarapnya sehingga menjadi terlantar. Menurut Wahono (2002: 3), lahan kritis adalah lahan yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai media pengatur tata air, unsur produksi pertanian, atau unsur perlindungan alam dan lingkungannya. Departemen Kehutanan (Dephut) (2009) mendefinisikan lahan kritis adalah lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya, baik sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. Selanjutnya Dephut memberikan kriteria lahan kritis sebagai berikut: (1) lahan kosong tidak produktif, (2) lapisan olah tanah (solum) kurang dari 30 cm, (3) lahan bekas penambangan yang tidak direklamasi, (4) lahan kosong dan kemiringan lebih dari 15 persen, (5) lahan dengan penutupan vegetasi kurang dari 25 persen, (6) lahan kering yang tergenang lebih dari 6 bulan, (7) lahan yang telah mengalami erosi permukaan pada jarak kurang dari 20 m, dan (8) lahan rawan bencana. Deptan (1991) mendefinisikan bahwa lahan kritis adalah lahan yang tidak/kurang produktif dari segi pertanian karena pengelolaan dan penggunaannya
39
tidak atau kurang memperhatikan konservasi tanah. Sitorus (2009:23) mendefinisikan lahan kritis adalah hilangnya atau berkurangnya kegunaan (utility) atau potensi kegunaan lahan, kehilangan atau perubahan kenampakan (feature) lahan yang tidak dapat diganti. Dephutbun (2002) menetapkan sasaran lahan kritis adalah lahan-lahan yang ada kaitannya dengan kegiatan reboisasi dan penghijauan yaitu: (1) Fungsi kawasan hutan lindung. Tingkat kekritisan lahan ditentukan oleh tingkat penutupan lahan/penutupan tajuk, kelerengan lahan, tingkat erosi dan manajemen pengamanan lahan; (2) Fungsi kawasan lindung di luar kawasan hutan. Tingkat kekritisan ditentukan oleh tingkat penutupan lahan permanen, kelerengan lahan, tingkat erosi dan manajemen pengamanan lahan; dan (3) Fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian. Tingkat kekritisan ditentukan oleh kemampuan produktivitas lahan yang dikelola secara tradisional, kelerengan lahan, tingkat erosi dan manajemen pengelolaan, yaitu penerapan konservasi tanah untuk setiap lahan. Hakim (Angga et al. 2005) menyatakan bahwa ciri utama lahan kritis adalah berkesan gersang, muncul batu-batuan di permukaan tanah, topografi lahan pada umumnya berbukit atau berlereng curam. Menurut Friday et al. (2000), lahan kritis alang-alang merupakan lahan yang memiliki pH tanah relatif rendah, mengalami pencucian tanah tinggi dan ditemukan rizoma dalam jumlah banyak sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan. Rahim (2006: 18-21) menyatakan bahwa penyebab terjadinya lahan kritis yaitu: (1) tekanan penduduk yang tinggi akan lahan, (2) perladangan berpindah, (3) padang penggembalaan yang berlebihan, (4) pengelolaan hutan yang tidak baik, dan (5) pembakaran yang tidak terkendali. Fujisaka dan Carrity (1989) mengemukakan bahwa masalah utama yang dihadapi di lahan kritis yaitu lahan mudah tererosi, tanah bereaksi masam dan miskin unsur hara. Penilaian suatu lahan dikatakan kritis dilihat dari kemampuan lahan, untuk mengetahui kemampuan suatu lahan dapat dilihat dari besarnya risiko ancaman dalam pemanfaatan lahan. Rahim (2006: 70-71) menghubungkan kelas kemampuan lahan dan risiko ancaman secara rinci pada Tabel 1.
40
Tabel 1. Kelas Kemampuan Lahan, Sifat, dan Risiko Ancaman Kelas
Topografi
Sifat Lahan
Risiko Ancaman
I
Hampir datar
Pengairan baik, mudah diolah, kemampuan Ancaman erosi kecil, tidak menahan air baik, subur, dan respon terancam banjir terhadap pupuk.
II
Lereng landai
Struktur tanah kurang baik, pengolahan harus hati-hati,
Ada ancaman erosi,terancam banjir
III
Lereng miring bergelombang
Untuk tanaman semusim tanahnya padas, kemampuan penahan air rendah.
Mudah tererosi
IV
Lereng miring dan Lapisan tanah tipis, kemampuan menahan Sangat mudah tererosi dan sering berbukit air rendah, tanaman semusim hanya sekali. banjir.
V
Datar
VI
Lereng agak curam Tanah berbatu-batu, mengandung garam natrium sangat tinggi
Erosi kuat, tidakcocok untuk pertanian.
VII
Lereng curam
Tanah berbatu, hanya untuk padang rumput
Erosi sangat kuat, perakaran sangat dangkal
VIII
Lereng sangat curam
Berbatu dan kemampuan menahan air sangat rendah
Tidak cocok untuk pertanian lebih sesuai dibiarkan (alami)
Tidak cocok untuk pertanian, tanahnya berbatu-batu atau berkerikil
Selalu tergenang air
Sumber: Rahim (2006), disadur
Masyarakat Sekitar Hutan Horton dan Hunt (1991: 58-59) menyatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, bersama-sama cukup lama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok. Polak (1976: 212) dan Sudibyo (1998:50) menyatakan bahwa masyarakat dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu masyarakat perdesaan (rural) dan masyarakat perkotaan (urban), perbedaan yang cukup nyata di antara keduanya adalah pada kegiatan kekerabatan, budaya, jasa, dan ekonomi. Koentjaraningrat (2002: 146) menjelaskan bahwa masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan yang terikat oleh suatu identitas bersama. Menurut Koentjaraningrat, kesatuan suatu masyarakat memiliki ciri-ciri antara lain: adat istiadat, norma-norma, hukum dan aturan-aturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah laku warga kota ataupun desa, suatu komunitas dalam waktu, dan suatu rasa identitas kuat yang mengikat semua warga.
41
Struktur budaya masyarakat antara satu daerah dengan yang lainnya tidak sama. Sebagai contoh: Pada masyarakat Bali berlaku sistem kasta dan pada masyarakat Jawa berlaku campuran antara agama Islam dan Hindu. Klasifikasi masyarakat Jawa dibagi atas tiga sub kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur-struktur sosial yang berlainan. Struktur-struktur sosial tersebut yaitu: (1) Abangan, dikaitkan dengan pesta-pesta ritual untuk berbagai makhluk halus dan jahat yang mengganggu dan menyengsarakan masyarakat; (2) Santri, penekanan pada pelaksanaan ajaran agama Islam dan syariatnya; dan (3) Priyayi, perwujudannya tampak dalam berbagai sistem simbol yang berkaitan dengan etiket, tari-tarian, dan berbagai bentuk kesenian, pakaian, dan bahasa (Geertz 1964). Struktur budaya masyarakat Kabupatan Pati cenderung mengikuti pola pembagian masyarakat yang dilakukan oleh Geertz. Secara garis besar struktur masyarakat Kabupaten Pati terbagi menjadi tiga bagian yaitu: (1) Bagian utara, sebagian besar penganut priyayi, di mana masyarakatnya hidup di daerah pantai, dan terdapat berbagai macam kesenian sebagai simbol kebudayaan; (2) Bagian barat, sebagian besar sebagai santri yang berada di sekitar Gunung Muria; dan (3) Bagian selatan digolongkan sebagai masyarakat abangan. Kabupaten Pati bagian selatan berada di sekitar Pegunungan Kendeng, salah satu komunitas yang mendiami adalah “Komunitas Samin” yang mempunyai pola kehidupan yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya (Sunaryo 2008). Selain tiga struktur pembagian masyarakat di Kabupaten Pati tersebut, juga berkembang ajaran-ajaran kejawen, yang bersifat mistik (de Jong 1976: 10-11) seperti: Pangesthu, Ilmu Sejati, Sapta Dharmo, Sumarah dan Perwathin. Masyarakat perdesaan sebagai suatu sistem sosial mempunyai subsistem sosial budaya yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Unsur-unsur pokok subsistem sosial budaya yang merupakan struktur dan proses dalam kehidupan bermasyarakat adalah: (1) Kepercayaan yang merupakan pemahaman terhadap semua aspek alam semesta yang dianggap sebagai suatu kebenaran (mutlak); (2) Perasaan dan pikiran, yakni suatu keadaan kejiwaan manusia yang menyangkut keadaan sekelilingnya, baik yang bersifat alamiah maupun sosial; (3) Tujuan, yang merupakan suatu cita-cita yang harus dicapai
42
dengan cara mengubah sesuatu atau mempertahankannya; (4) Kaidah atau norma yang merupakan pedoman untuk berperilaku secara pantas; (5) Kedudukan dan peranan; kedudukan (status) merupakan posisi-posisi tertentu secara vertikal, sedangkan peranan (role) adalah hak-hak dan kewajiban baik secara struktural maupun prosedural; (6) Pengawasan, merupakan proses yang bertujuan untuk mengajak, mendidik atau bahkan memaksa warga masyarakat menaati normanorma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat; (7) Sanksi, yakni persetujuan atau penolakan terhadap perilaku tertentu; (8) Fasilitas, merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai, dan telah ditentukan terlebih dahulu; (9) Kelestarian dan kelangsungan hidup; dan (10) Keserasian antara kualitas kehidupan dengan kualitas lingkungan (Soekanto 2000: 482-483). Pada dasarnya, masyarakat selalu berada dalam suatu lingkungan yang serba berpranata. Artinya, segala perilaku anggota masyarakat senantiasa diatur menurut cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama. Pranata/lembaga sosial adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting (Horton dan Hunt 1991). Pranata sosial pada hakikatnya tidak bersifat empirik sehingga unsur-unsurnya tidak dapat diamati dalam wujud fisik melainkan dapat diamati melalui konsep/konstruksi berpikir, dengan demikian, unsur-unsurnya bukan individu manusia (pelaksana fungsi) tetapi kedudukan para individu dan aturan tingkah laku (norma sosial). Tujuan dari pranata sosial adalah untuk mengatur agar kebutuhan hidup manusia dapat terpelihara sekaligus agar kehidupan sosial warga masyarakat dapat berjalan tertib dan lancar sesuai kaidah yang berlaku. Masyarakat di sekitar hutan biasanya memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat, patuh terhadap norma atau budaya yang berlaku. Mereka hidup dalam suasana yang harmonis, namun sulit untuk menerima kehadiran orang yang belum dikenalnya dengan baik, tetapi, jika sudah kenal, masyarakat sekitar hutan akan mudah untuk diajak bekerjasama dan memiliki rasa kesetiakawanan yang tinggi. Karakteristik Petani Karakteristik petani adalah kondisi yang melekat pada individu petani, sehingga memiliki kemampuan untuk mengelola lahan kritis dengan sistem
43
agroforestri. Karakteristik petani ini diuraikan melalui beberapa peubah, yaitu: umur, pendidikan formal, pendidikan non-formal, pengalaman berusahatani, pengalaman melaksanakan agroforetsri dan keterdedahan terhadap informasi. Umur Petani Kemampuan bekerja dalam mengelola lahan dengan sistem agroforestri dipengaruhi oleh tingkat umur. Dalam pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri membutuhkan umur dalam taraf produktif karena beban pekerjaan masih bersifat intensif. Soekartawi (1988) mengemukakan bahwa untuk menyerap paling banyak suatu teknologi inovasi adalah pada umur produktif, sedangkan umur tingkat lanjut lebih lamban. Soetrisno (1999) menyatakan bahwa umur rata-rata petani Indonesia cenderung tua dan hal itu sangat berpengaruh pada produktivitasnya, dan petani yang berusia tua cenderung sangat konservatif dalam menerima inovasi teknologi. Menurut Padmowihardjo (1999: 36-37), umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi apa yang diakibatkan oleh umur itu adalah faktor psikologis dalam belajar. Semakin tinggi umur semakin menurun kerja otot, sehingga terkait dengan fungsi kerja indera yang semuanya mempengaruhi daya belajar. Pada masa remaja, yaitu menjelang kedewasaan, perkembangan jauh lebih maju, walaupun tidak banyak terjadi perubahan intelektual. Salkind (1985: 31-32) menyatakan bahwa umur merupakan salah satu ukuran perkembangan. Meskipun demikian, dalam perkembangannya terdapat perdebatan apakah umur berpengaruh terhadap perkembangan dan pencapaian kemampuan tertentu sebagai wujud perkembangan, di samping bahwa umur akan mencirikan suatu perkembangan tertentu. Hasil penelitian Schaie (Salkind 1985: 32), menemukan bahwa perbedaan umur menunjukkan perbedaan-perbedaan kematangan yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan interaksinya dengan individu yang bersangkutan. Pendidikan Formal Pendidikan formal adalah pendidikan yang ditempuh melalui jalur formal. Jalur formal dalam pendidikan dimulai dari sekolah dasar, sekolah lanjutan pertama, sekolah lanjutan umum, dan perguruan tinggi. Pendidikan formal petani
44
dihitung berdasarkan lama pendidikan petani bersekolah yang kemudian dikonversi dalam tingkatan sekolah (SD, SMP, SMU dan Perguruan Tinggi). Padmowihardjo (1999: 18-19) menyatakan bahwa pengalaman belajar akan mempengaruhi proses belajar seseorang. Apabila seseorang pernah berpengalaman terhadap sesuatu hal yang kurang menyenangkan, apabila ia diberi kesempatan untuk belajar ia sudah mulai pesimis untuk berhasil, demikian juga sebaliknya, jika berhasil orang tersebut akan optimis dapat berhasil. Pengaturan hasil belajar yang tertata dengan baik sebagai hasil belajar akan membentuk suatu peta, yang disebut dengan peta kognitif. Terkait dengan interaksi dengan pengelolaan lingkungan khususnya dalam pengelolaan lahan. Sudjana (2004: 25) menjelaskan bahwa pendidikan adalah sejumlah pengalaman yang dimiliki seseorang dari hasil belajar. Selanjutnya Robbins (2003) menyatakan bahwa pendidikan sebagai sarana dan prasarana untuk mempersiapkan perubahan perilaku yang lebih baik. Pendidikan Non-Formal Sumpeno (2004: 1-2) menjelaskan bahwa peningkatan kemampuan belajar tidak hanya dilakukan secara formal tetapi juga melalui pelatihan, lokakarya, kunjungan silang, magang, on the job training. Selain itu dapat dilakukan dengan cara pelatihan dan sekolah lapangan untuk masyarakat. Untuk menjamin keberhasilan dari pelaksanaan pelatihan harus dibuat panduan latihan sesuai dengan karakteristik masyarakat setempat. Senada dengan Sumpeno, Davies (2005: 34-35) menjelaskan bahwa pelatihan dilakukan sebagai jawaban atas perubahan yang terjadi dan untuk memenuhi kebutuhan karena adanya masalah, tantangan atau tuntutan pengembangan. Mangkunegara (2007: 44) mendefinisikan pelatihan adalah usaha yang dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan teknis agar pegawai dapat melaksanakan kegiatan dengan baik. Selanjutnya Hasibuan (2007: 72-73) menjelaskan pengembangan pegawai melalui dua kelompok kegiatan, baik secara informal maupun formal. Pengembangan secara informal adalah upaya peningkatan kemampuan dan keterampilan diri dengan cara mempelajari buku-buku dan literatur yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan, sedangkan pengembangan secara formal adalah upaya peningkatan
45
kemampuan pegawai dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan. Pengembangan secara formal ini dilakukan untuk memenuhi tuntutan pekerjaan pada masa yang akan datang. Pengalaman dalam Bertani Menurut Padmowihardjo (1999: 19), pengalaman seseorang merupakan suatu pengetahuan yang dialami orang tersebut dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Pengaturan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang sebagai hasil belajar selama hidupnya dapat digambarkan dalam otak manusia. Seseorang akan berusaha menghubungkan hal yang dipelajari dengan pengalaman yang dimiliki dalam proses belajar. Pengalaman yang menyenangkan dan memuaskan akan berdampak pada hal positif bagi perilaku yang sama dan akan diterapkan pada situasi berikutnya. Dalam mengelola usahataninya, petani banyak menggunakan sendiri atau pengalaman orang lain dan perasaan atau feeling (Tohir 1983:180). Menurut Lubis dan Endriatmo (1991: 67), beberapa cara bertani dari para pemuda berasal dari interaksi dengan orang tua. Pengalaman yang kurang menyenangkan dalam bekerja pada sektor ini berpengaruh terhadap pilihan untuk melanjutkan bertani sebagai suatu pilihan usaha. Pengalaman Melaksanakan Agroforestri Masyarakat telah berpengalaman dalam menerapkan sistem agroforestri yang dikenal dengan sistem tumpang sari atau sistem agroforestri sederhana (Friday et al. 2000). Sistem tumpang sari ini dilakukan oleh masyarakat pada lahan-lahan yang berada di sekitar rumah dan tanah garapan yang berbentuk tegalan atau ladang. Bentuk tumpang sari juga diterapkan oleh Perhutani dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). Keterdedahan terhadap Informasi. Suatu komunikasi publik akan berhasil apabila publik sasaran terdedah oleh aktifitas komunikasi yang dilakukan perusahaan. Keterdedahan dipakai sebagai padanan kata media exposure yang umum dipakai dalam penelitian komunikasi melalui media massa. Keterdedahan berkaitan dengan aktifitas pencarian informasi berupa aktifitas mendengarkan, melihat, membaca, atau
46
secara lebih umum mengalami, dengan sedikitnya sejumlah perhatian minimal pada pesan media. Pemberian informasi kepada publik bertujuan untuk mengubah perilaku publik terhadap informasi yang diberikan yang meliputi perubahan atau peningkatan pengetahuan dan perubahan sikap terhadap perusahaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, keterdedahan publik sasaran perlu mendapatkan perhatian perusahaan melalui pemilihan model dan aktivitas komunikasi publik yang tepat, baik dengan melalui media massa maupun melalui komunikasi interpersonal. Sumardjo et al. (2010a) dalam bukunya Cyber Extension menjelaskan bahwa untuk mendukung revitalisasi penyuluhan pertanian dibutuhkan teknologi informasi komunikasi (TIK) yang menyediakan berbagai informasi tentang kebutuhan petani antara lain: informasi pasar, input produksi dan trend konsumen. Sejalan dengan pemikiran Sumardjo tersebut, Margono (2003: 41) menjelaskan bahwa kebutuhan informasi petani bermacam-macam, oleh karena itu penyuluh harus
mampu
menyajikan
informasi
tersebut
secara
kafetaria
yang
dikombinasikan dengan kebutuhan penyuluhan yang relevan, sehingga petani akan memilih informasi sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Dukungan Penyuluh dalam Penerapan Sistem Agroforestri Pada saat ini pengertian penyuluhan telah diartikan bermacam-macam sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan para pihak yang berkepentingan. Istilah-istilah yang bersumber pada pengertian penyuluhan yang berkembang dalam masyarakat antara lain: pemberdayaan masyarakat, pendampingan, advokasi, pekerja sosial dan lain sejenisnya. Namun, jika dicermati secara mendalam perilaku dan substansi yang disampaikan adalah penyuluhan. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam kesempatan ini dipaparkan definisi penyuluhan menurut para pakar antara lain: Margono (2003), van den Ban dan Hawkins (1999), Asngari (2008) dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006. Definisi Penyuluhan Istilah-istilah penyuluhan yang digunakan oleh beberapa negara (Margono 2003, dan van den Ban dan Hawkins 1999) sebagai berikut: (1) voorlichting (Bahasa Belanda) yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya, (2) beratung (Bahasa Inggris dan Jerman) yang
47
mengandung makna sebagai seorang pakar memberikan petunjuk kepada seseorang tetapi seseorang tersebut yang berhak untuk menentukan pilihannya, (3) erzeiehung (mirip artinya dengan pendidikan di Amerika Serikat) yang menekankan tujuan penyuluhan untuk mengajar seseorang sehingga dapat memecahkan sendiri masalahnya, (3) fordering (Bahasa Austria) yang diartikan sebagai menggiring seseorang ke arah yang diinginkan. Secara harfiah penyuluhan berasal dari kata suluh yang berarti obor ataupun alat untuk menerangi keadaan yang gelap. Merujuk dari asal perkataan tersebut, dapat diartikan bahwa penyuluhan dimaksudkan untuk memberi penerangan ataupun penjelasan kepada mereka yang disukai, yang membutuhkan agar tidak lagi berada dalam kegelapan mengenai suatu masalah tertentu. Asngari (2008: 3) mendefinisikan bahwa penyuluhan adalah kegiatan mendidik orang (kegiatan pendidikan) dengan tujuan mengubah perilaku klien sesuai dengan yang direncanakan/dikehendaki yakni menjadi orang yang makin moderen. Hal ini merupakan usaha mengembangkan (memberdayakan) potensi individu klien agar lebih berdaya secara mandiri. Makna orang moderen sebagaimana disebutkan oleh (Inkeles 1966, Inkeles dan Smith 1974, diacu dalam Asngari 2008: 3-4), adalah sebagai berikut: (1) Terbuka dan siap menerima perubahan (pembaruan): pengalaman baru, inovasi baru, penemuan baru yang lebih baik, pandangan baru, dan lain-lain; (2) Orientasinya realistik demokratis: berkecenderungan menerima pendapat lingkungan; (3) Berorientasi masa depan dan masa kini, dan bukannya masa silam; (4) Hidup perlu direncanakan dan diorganisasikan; (5) Orang belajar menguasai lingkungan (tidak pasrah); (6) Rasa percaya diri tinggi/optimis (dunia di bawah kontrolnya); (7) Penghargaan pada pendapat orang lain (tiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan); (8) Memberi nilai tinggi pada pendidikan formal (juga informal dan non-formal); (9) Percaya pada IPTEKS dan perkembangannya; dan (10) Percaya bahwa imbalan harus seimbang dengan prestasinya. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa: “Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya
48
lainnya, sebagai usaha untuk meningkatkan produktivitas, efesiensi usaha, pendapatan, kesejahteraannya, dan meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan”. Selanjutnya yang disebut dengan pelaku utama kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan, kehutanan adalah masyarakat di sekitar hutan, petani, nelayan, peternak dan pembudidaya ikan beserta keluarga intinya. Dalam undangundang tersebut, yang disebut penyuluh selain penyuluh PNS, juga ada penyuluh swasta dan penyuluh swadaya. Penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan. Sedangkan penyuluh swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh. van den Ban dan Hawkins (1999) mendefinisikan bahwa penyuluhan adalah keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga dapat membuat keputusan yang benar. Secara sistematis pengertian penyuluhan tersebut adalah proses yang: (1) Membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan; (2) Membantu petani agar sadar terhadap
kemungkinan
timbulnya
masalah
dari
analisis
tersebut;
(3)
Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimikili petani; (4) Membantu petani memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya sehingga mereka mempunyai berbagai alternatif tindakan; (5) Membantu petani memutuskan pilihan yang tepat yang menurut pendapat mereka sudah optimal; (6) Meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya; dan (7) Membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan. Margono (2003) menjelaskan bahwa penyuluhan bukanlah sekedar penerapan tentang kebijakan penguasa, bukan hanya diseminasi teknologi, bukan program charity yang bersifat darurat, dan bukan program untuk mencapai tujuan yang tak merupakan kepentingan pokok kelompok sasaran; tetapi adalah program pendidikan luar sekolah yang bertujuan memberdayakan sasaran, meningkatkan
49
kesejahteraaan sasaran secara mandiri dan membangun masyarakat madani; sistem yang berfungsi secara berkelanjutan dan tidak bersifat adhoc, serta program yang menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan sasaran dan masyarakatnya. Selanjutnya Margono (2003: 60-67) menyebutkan bahwa paradigma baru penyuluhan pertanian merupakan perubahan yang telah dan sedang terjadi di lingkungan pertanian, baik pada tingkat individu petani, tingkat lokal, tingkat daerah, nasional, regional maupun internasional, maka pelaksanaan penyuluhan pertanian perlu dilandasi oleh pemikiran-pemikiran yang mendalam tentang situasi baru dan tantangan masa depan yang dihadapi oleh penyuluhan pertanian. Paradigma baru ini bukan untuk mengubah prinsip-prinsip penyuluhan, tetapi diperlukan untuk mampu merespon tantangan-tantangan baru yang muncul dari situasi baru itu. Paradigma baru itu adalah sebagai berikut: (1) Jasa informasi: bertani adalah profesi para petani; (2) Lokalitas: akibat dari adanya desentralisasi dan otonomi daerah, penyuluhan pertanian harus lebih memusatkan perhatian pada kebutuhan pertanian dan petani di daerah kerjanya masing-masing; (3) Berorientasi agribisnis: usahatani adalah bisnis, karena semua petani
melakukan
usahatani
dengan
motif
mendapatkan
keuntungan;
(4) Pendekatan kelompok: materi-materi penyuluhan pertanian disajikan kepada para petani tidak dengan pendekatan individual, tetapi melalui pendekatan kelompok, kecuali untuk kasus-kasus tertentu yang memang memerlukan pendekatan individual; (5) Fokus pada kepentingan petani; (6) Pendekatan humanistik-egaliter: agar berhasil baik, penyuluhan pertanian harus disajikan kepada petani dengan menempatkan petani dalam kedudukan yang sejajar dengan penyuluhnya, dan diperlakukan secara humanistik dalam arti mereka dihadapi sebagai manusia yang memiliki kepentingan, kebutuhan, pendapat, pengalaman, kemampuan, harga diri, dan martabat; (7) Profesionalisme: arti penyuluhan itu tepat dan benar secara teknis, sosial, budaya dan politik serta efektif karena direncanakan, dilaksanakan dan didukung oleh tenaga-tenaga ahli dan terampil yang telah disiapkan secara baik dalam suatu sistem penyuluhan pertanian yang baik pula; (8) Akuntabilitas: maksud dari akuntabilitas atau pertanggungjawaban adalah bahwa setiap hal yang dilakukan dalam rangka penyuluhan pertanian harus dipikirkan, direncanakan, dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, agar proses
50
dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan; dan (9) Memuaskan petani: apapun yang dilakukan dalam penyuluhan pertanian haruslah membuahkan rasa puas pada para petani yang bersangkutan. Falsafah Penyuluhan Pemahaman tentang falsafah sesuatu sangat penting sebagai dasar yang pengarah suatu kegiatan. Falsafah membawa kita pada suatu pemahaman yang mendasari atau menjadi landasan melaksanakan kegiatan yang lebih layak untuk mendapatkan hasil yang prima. Hasil kegiatan yang prima tersebut pada akhirnya akan memberikan kepuasan semua pihak, baik para agen pembaharuan atau penyuluh, masyarakat klien sebagai sasaran penyuluhan, maupun pihak-pihak lainnya Asngari (2008: 4-7) mengelompokkan falsafah penyuluhan menjadi tujuh macam yaitu: (1) Falsafah mendidik/pendidikan menekankan bahwa klien itu tidak "dipaksa-terpaksa dan terbiasa” tetapi pada pengembangan potensi individu manusia secara maksimal; (2) Falsafah pentingnya individu, sebab potensi individu merupakan hal yang tiada taranya untuk berkembang dan dikembangkan; (3) Falsafah demokrasi. Ide dasarnya adalah kepercayaan kepada martabat dan integritas manusia, dengan kecerdasannya dapat bertindak mandiri dan bertanggung jawab; (4) Falsafah bekerja bersama; (5) Falsafah “membantu klien membantu diri sendiri”; (6) Falsafah kontinu atau berkelanjutan, sesuai dengan era saat ini; dan (7) Falsafah "Membakar Sampah" (secara tradisional, baik individual maupun kelompok), artinya dalam memberikan penyuluhan harus dengan kesabaran tidak terburu-buru, dan disesuaikan dengan kondisi yang disuluh. Wiriaatmadja (1978: 22–23) menjelaskan bahwa falsafah penyuluhan mengacu pada falsafah pendidikan, karena penyuluhan adalah pendidikan luar sekolah. Falsafat pendidikan dibedakan menjadi tiga macam yaitu: (1) Idealisme adalah paham yang mementingkan kenyataan dalam pikiran dan kebenaran adalah mutlak adanya; (2) Pragmatisme adalah paham yang didasarkan pada pengalaman sehingga setiap orang mempunyai latar belakangnya masing-masing; dan (3) Realisme, paham yang menyatakan bahwa kenyataan itu terpisah dari orangnya, tetapi adanya di alam. Oleh karena itu, manusia harus menyesuaikan diri dengan
51
lingkungan alam sekitarnya. Dari ketiga falsafah pendidikan tersebut, kemudian dikombinasikan menjadi falsafah penyuluhan yaitu falsafah yang eklektik. Peranan Penyuluh Secara konvensional peran penyuluh hanya dibatasi untuk menyampaikan inovasi dan memberikan penerangan kepada masyarakat. Tetapi dalam perkembangannya, peran penyuluh tersebut kemudian berkembang ke arah pemberdayaan masyarakat, artinya penyuluh berupaya untuk membantu memandirikan masyarakat sehingga masyarakat dapat memecahkan masalahnya dan dapat memenuhi kebutuhan yang dirasakan. Oleh karena itu, seorang penyuluh harus dapat menciptakan rasa kepercayaan dari masyarakat sehingga masyarakat dapat menerimannya. Menurut Lewin (Mardikanto 1996), terdapat tiga peran yang dilakukan oleh penyuluh: (1) Pencairan diri dengan masyarakat, (2) Menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan-perubahan, dan (3) Pemantapan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. van den Ban dan Hawkins (1999) mengemukakan bahwa peran penyuluh yang harus dilakukan adalah: (1) Membantu petani dapat melihat secara nyata permasalahannya sehingga dapat mengambil keputusan untuk mengatasi masalah tersebut, (2) Membantu petani mengambil keputusan dengan cara memberikan alternatif pilihan-pilihan dengan mengembangkan wawasan petani dalam menentukan pilihan tersebut, (3) Menyediakan informasi-informasi yang dibutuhkan oleh petani, dan (4) Membantu proses belajar antar petani yang sesuai dengan nilai dan sistem sosial yang ada dalam masyarakat sehingga masyarakat dapat berubah. Sesuai dengan perkembangan informasi teknologi yang semakin maju, maka peran penyuluh adalah membantu masyarakat untuk memahami perkembangan informasi teknologi yang dibutuhkan. Mardikanto (2009) dan Najiyati et al. (2005: 116-119) menyatakan bahwa penyuluh dalam proses pemberdayaan berfungsi atau berperan sebagai: (1) Motivator yaitu para penyuluh membangkitkan motivasi dalam rangsangan yang memprakarsai pengenalan isu-isu yang berkembang dan keinginan masyarakat, agar masyarakat tergerak serta mempengaruhi melalui saran-saran yang diberikan; (2) Fasilitator yaitu para penyuluh harus mampu memberikan pelayanan kepada petani serta memfasilitasi setiap kegiatan petani, (3) Inspirator yaitu para
52
penyuluh membina dan memelihara hubungan dengan petani dalam rangka peningkatan pendapatan petani, (4) Mediator atau jembatan penghubung antara lembaga penelitian dengan petani. Penyuluh menjadi “duta” penyampai informasi yang dibutuhkan oleh peneliti dan petani, dan (5) Analisator yaitu melakukan pengamatan keadaan (sumber daya alam, perilaku masyarakat, kemampuan dana dan kelembagaan yang ada) dan masalah-masalah serta kebutuhan-kebutuhan masyarakat sasaran, melakukan analisis tentang alternatif pemecahan masalah. Sistem Penyuluhan Pada dewasa ini keberhasilan penyuluhan di berbagai bidang terasa mengalami kemunduran dibandingkan pada tahun 1980-an. Masyarakat pada umumnya merasakan penyuluhan yang dilakukan oleh pemerintah sudah tidak ada manfaaatnya lagi, sehingga masyarakat cenderung untuk mengembangkan sendiri kemampuannya atau mencari sumber pengetahuan yang bukan bersumber dari penyuluh. Kekurangtertarikan masyarakat terhadap penyuluh tentunya didasari oleh beberapa sebab, antara lain (Swanson 2008) orientasi penyuluhan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan permintaan pasar. Kondisi ini memicu di beberapa negara misalnya: Cina, Bangladesh, India dan Thailand mengubah orientasi sistem penyuluhannya, yang lebih difokuskan pada tingkat kabupaten (didesentralisasikan). Mardikanto (2009) mengemukan bahwa orientasi sistem penyuluhan pada saat ini sudah saatnya untuk dilakukan revitalisasi agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Mardikanto mensinyalir bahwa beberapa sumber kelemahan penyuluhan antara lain: (1) Penggunaan istilah penyuluhan yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga yang tidak memahami filosofi penyuluhan sehingga penyuluhan kehilangan “makna” yang sesungguhnya, (2) Profesionalisme penyuluh, dan (3) Unsur-unsur sistem penyuluhan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Agar penyuluhan dapat kembali berkenan di hati masyarakat dan menjadi sumber inspirasi pembangunan di masa yang akan datang, maka orientasi penyuluhan harus dibenahi dari hulu sampai hilir, tidak secara parsial tetapi secara holistik. Menurut Rivera (1996), ada enam point utama memperbaiki pelaksanaan penyuluhan yaitu: (1) Kerangka kebijakan pemerintah harus mendukung
53
kebutuhan penyuluhan, (2) Penyuluhan berfokus pada bidang sektoral, (3) Melibatkan semua kelembagaan yang mendukung penyuluhan, (4) Manajemen organisasi penyuluhan ditata dengan baik, (5) Partisipasi lokal dikembangkan, dan (6) Berorientasi pada kebutuhan petani. Margono (2003: 39-43) menjelaskan bahwa untuk menghadapi perubahan dan situasi baru, maka sistem penyuluhan ke depan harus: (1) Konfirmasi definisi penyuluhan pertanian, (2) Perwilayahan daerah penyuluhan, (3) Didasarkan pada hasil kajian lokal, (4) Penyuluhan disajikan dalam sistem kafetaria, (5) Pemanfaatan media massa yang lebih luas, (6) Pembinaan kelompok dinamis, dan (7) Fasilitasi kelompok-kelompok tani. Senada dengan Margono, Blum (2007) berpendapat bahwa orientasi penyuluhan harus diubah, sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Orientasi Kelembagaan Sistem Penyuluhan No
Dari
Ke
1.
Satu lembaga, sebagai penyedia layanan
Pluralistik, publik dan swasta sebagai penyedia layanan
2.
Penyuluhan sebagai tugas pemerintah
Peran dan tugas stakeholder (publik, swasta dan masyarakat sipil)
3.
Cakupan nasional oleh sektor publik
Sektoral yang didukung oleh kebutuhan pasar
4.
Terpusat
Desentralisasi
5.
Berfokus pada teknologi
Pemecahan masalah dan berorientasi pasar
6.
Pembangunan bidang pertanian
Pembangunan pertanian dan perdesaan
7.
Hirarkhi, garis komando
Horizontal, kolaboratif dan tim multidisplin
Sumber: Magdalena Blum, FAO Roma Workshop Skopje 2007
Blum (2007) mengemukakan bahwa pada saat ini globalisasi dunia telah mempengaruhi bidang pertanian. Sistem layanan penyuluhan yang dilakukan pada tahun 1990-an, sudah tidak relevan, tidak efisien, tidak efektif dan target yang ditetapkan tidak baik. Oleh karena itu sistem penyuluhan harus diubah menjadi pluralistik yang dapat dilakukan oleh publik, swasta dan masyarakat sipil, serta penyuluhan berorientasi pada permintaan pasar (Swanson 2008). Merunut pendapat para pakar tersebut, maka sistem penyuluhan sebagai bentuk dukungan penyuluh dalam penelitian ini adalah suatu rangkaian unsurunsur penyuluhan yang saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya sehingga proses penyuluhan memberikan manfaat yang dapat dirasakan oleh
54
masyarakat. Unsur-unsur yang mendukung terhadap intervensi penyuluhan dalam penelitian ini, yaitu: kompetensi penyuluh, pendekatan penyuluhan, metode penyuluhan, materi penyuluhan, fasilitas penyuluhan, kelembagaan penyuluhan, intensitas penyuluhan, dan kerja sama penyuluhan. Kompetensi Penyuluh. Menurut Spencer dan Spencer (1993: 9), kompetensi adalah karakteristik yang mendasari perilaku seseorang berkaitan dengan efektivitas kinerja individu dalam pekerjaannya (an underlying characteristic's of an individual which is causally related to criterion-referenced effective and or superior performance in a job or situation). Sebagai karakteristik individu yang melekat, kompetensi merupakan bagian dari kepribadian individu yang relatif dan stabil, dan dapat dilihat serta diukur dari perilaku individu yang bersangkutan, di tempat kerja atau dalam berbagai situasi. Untuk itu kompetensi seseorang mengindikasikan kemampuan berperilaku seseorang dalam berbagai situasi yang cukup konsisten untuk suatu perioda waktu yang cukup panjang, dan bukan hal yang kebetulan semata. Kompetensi memiliki persyaratan yang dapat menduga yang secara empiris terbukti merupakan penyebab suatu keberhasilan. Palan (2007: 6) menyatakan kompetensi adalah kemampuan karakteristik seseorang yang didasarkan pada perilaku yang mengembangkan motif, kepribadian, konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan dan keahlian yang dapat digunakan untuk ujuk kerja yang unggul. Menurut definisi ini, kompetensi merupakan karakteristik yang berbeda yang mampu mendorong seseorang untuk melakukan unjuk kerja yang maksimal di tempat kerjanya. Kompetensi merupakan karakter dasar orang yang digambarkan dalam cara berperilaku dan berpikir, yang berlaku dalam cakupan waktu yang sangat luas. Spencer dan Spencer (1993: 9-11), Palan (2007: 8) dan Gordon (Mulyasa 2003: 39-40) menjelaskan bahwa dalam kompetensi setidak-tidaknya mencakup lima jenis karakteristik yaitu: (1) pengetahuan (knowledge), (2) keterampilan (skill), (3) nilai (values), (4) konsep diri (selft concept), dan (5) motif (motives). Sumardjo (2008: 88-90) mengemukakan lima jenis sumber kompetensi yang dikembangkan dalam penyuluhan yaitu: (1) Motif (motives) adalah sesuatu di mana seseorang secara konsisten berpikir sehingga ia melakukan tindakan; (2) Sifat bawaan (traits) adalah karakter atau kepribadian yang otonom atau watak
55
mandiri yang membuat penyuluh berperilaku tertentu (secara otonom) dalam rnerespons sesuatu dengan cara tertentu; (3) Konsep diri (self-concept) adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki penyuluh; (4) Pengetahuan (knowledge) adalah informasi yang dimiliki penyuluh untuk bidang tertentu (terkait dengan substansi inovasi, metoda, teknik, dan pendekatan, serta pengelolaan program penyuluhan yang sesuai dengan potensi, permasalahan, dan tuntutan kebutuhan masyarakat dan lingkungan setempat); dan (5) Keterampilan (skills) adalah kemampuan penyuluh untuk melaksanakan suatu tugas baik secara fisik maupun mental. Menurut Spencer dan Spencer (Sumardjo 2008), menyatakan bahwa kompetensi dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu: (1) threshold, dan (2) differentiating. Threshold competencies merupakan karakteristik utama, yang harus dimiliki oleh seseorang untuk dapat melaksanakan pekerjaannya. Karakteristik utama tersebut adalah pengetahuan atau keahlian dasar terkait dengan bidang kompetensinya. Dalam konteks penyuluhan, keahlian dasar seorang penyuluh adalah kemampuan berkomunikasi secara efektif, kemampuan membangun kerjasama (networking), dan kemampuan mengembangkan inovasi secara berkelanjutan. Differentiating competencies adalah faktor-faktor yang dapat digunakan untuk membedakan antara individu yang berkinerja tinggi dengan yang berkinerja rendah, dalam konteks penyuluh, menyangkut orientasi motivasi melaksanakan penyuluhan. Seorang penyuluh yang motivasinya mengembangkan kompetensi petani agar dapat meraih kesejahteraannya yang lebih tinggi, akan berkinerja lebih tinggi dibanding penyuluh yang motivasinya hanya sekadar melaksanakan tugas-tugas mencapai target produksi yang telah ditetapkan oleh atasannya. Senada dengan Spencer dan Spencer (1993) dan Sumardjo (2008), Ruky (2003:110) membagi kompetensi mejadi dua bagian, yaitu: (1) Kompetensi inti (core competencies) adalah kelompok kompetensi yang harus dimiliki oleh semua orang dalam organisasi. Contoh kelompok core competency: terfokus pada pelanggan, kesadaran bisnis, manajemen perubahan, orientasi pada prestasi atau output, komunikasi, kerjasama kelompok, kepemimpinan, mengembangkan orang lain, berpikir analitis, dan pemecahan masalah; dan (2) Kompetensi bidang (specific job competencies) adalah kompetensi yang diperlukan oleh setiap pejabat
56
struktural sesuai dengan bidang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Kompetensi bidang merupakan karakteristik pribadi yang spesifik dengan bidang pekerjaan yang dilaksanakan serta pengetahuan dan keterampilan yang relevan yang lebih bersifat teknis. Hasil penelitian yang berhubungan dengan kompetensi yang dimiliki oleh penyuluh di berbagai tempat, antara lain: Marius (2007) di Nusa Tenggara Timur, Bambang (2008) di Jawa Barat dan Huda (2010) di Universitas Terbuka, serta hasil penelitian perubahan perilaku penyuluh lainnya yaitu Subagio (2008) tentang kapasitas petani di Jawa Timur menunjukkan bahwa kompetensi para penyuluh rendah. Menurut Sumardjo (2008), rendahnya kompetensi penyuluh antara lain berkaitan dengan beberapa hal berikut ini: (1) Sejalan dengan implementasi otonomi daerah, komitmen pemerintah terhadap penyuluhan melemah. Pemerintah daerah di beberapa tempat kurang memiliki komitmen dukungan terhadap eksistensi dan pengembangan penyuluhan, sehingga kurang memperhatikan pengembangan kompetensi para penyuluh; (2) Kurangnya dukungan keberlanjutan pengembangan inovasi dari lembaga pelatihan bagi penyuluh yang disebabkan oleh keterbatasan anggaran dan keterbatasan keinovatifan materi yang dibawakan oleh fasilitator dalam lembaga pelatihan yang bersangkutan terkait dengan kebutuhan pengembangan usahatani petani; (3) Kurangnya dukungan inovasi berkelanjutan bagi penyuluh yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan pengembangan usahatani dan pemenuhan kebutuhan petani setempat pada saat itu; (4) Perubahan paradigma pembangunan dari top down ke partisipatif yang kurang disertai upaya pemberdayaan penyuluh secara memadai ke arah yang sejalan dengan perubahan paradigma tersebut; (5) Terdapat upaya peningkatan pendidikan formal pada penyuluh namun diduga kuat banyak di antaranya ditempuh melalui proses pembelajaran yang kurang bermutu terkait dengan peningkatan kualitas penyuluhan, karena terjebak pada tuntutan formalitas untuk penyesuaian ijazah dengan tingkatan jabatan fungsional penyuluh; (6) Kurang jelasnya hubungan antara kompetensi penyuluh dengan perkembangan jenjang karir dan insentif bagi perkembangan kompetensi penyuluh; dan (7) Belum adanya standar kompetensi bagi penyuluh, sehingga menjadi lemah dalam
57
pengembangan kompetensi secara sistematis oleh pihak terkait ataupun dalam rekruitmen tenaga penyuluhan. Kompetensi yang harus dimiliki oleh penyuluh agar dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dalam pengelolaan lahan kritis adalah: (1) Kompetensi dasar, meliputi komunikasi dialogis, membagun jejaring kerja dan pemeberdayaan masyarakat. Kompetensi inti meliputi: identifikasi wilayah, programa penyuluhan, metode, materi, pendekatan, media, evaluasi dan administrasi penyuluh. Selain itu terdapat pengembangan jurnalistik. Kompetensi substansi/spesialis meliputi: tugas pada bidang masing-masing yaitu konservasi, lindung dan produksi. Pendekatan Penyuluhan. Pendekatan merupakan rancangan langkahlangkah strategi atau taktik yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Blum (2007) mengemukakan bahwa untuk mencapai tujuan penyuluhan dilakukan dengan pendekatan meliputi: komoditas, produktivitas, pengolahan yang sempurna, pemasaran, dan membentuk suatu kelompok atau organisasi. Swanson (2008) dalam artikelnya Global Review of Good Agricultural and Advisory Services Practice mengemukakan bahwa pendekatan penyuluhan untuk dapat mencapai pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan harus memperhatikan empat hal yaitu: (1) Transfer teknologi terutama untuk kebutuhan pangan, (2) Pembangunan modal manusia yang difokuskan pada keterampilan rumah tangga, (3) Pengembangan modal sosial yaitu dengan membentuk kelompok-kelompok usaha mulai hulu sampai dengan hilir, dan (4) Meningkatkan pendidikan petani agar mampu memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Axinn (1988) mengemukakan bahwa karakteristik pendekatan penyuluhan untuk mencapai tujuan yaitu: pendekatan umum, komoditi, latihan dan kunjungan, partisipatif, proyek, pembangunan usahatani, kerjasama pembiayaan, dan lembaga pendidikan. Penelitian di Afrika Timur yang dilakukan oleh Russell dan Franzel (2004) menunjukkan bahwa peningkatan usaha pertanian pada lahan kritis dilakukan dengan menggunakan pendekatan komoditas, pembentukan kelompok yang dibina secara terus menerus, dan penerapan teknologi yang tepat. Sejalan dengan Russell dan Franzel, Roy dan Rangnekar (2004) menemukan bahwa sistem pendekatan
58
penyuluhan yang dilakukan untuk petani peternak susu adalah dengan pendekatan partisipatif, kebutuhan lokal, teknologi tepat guna dan melibatkan kaum wanita. Mengacu pada pendapat tersebut, pendekatan penyuluhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yang diturunkan dari atas atau top down dan partisipatif. Metode Penyuluhan. Metode penyuluhan adalah cara penyampaian materi (isi pesan) penyuluhan oleh penyuluh kepada petani beserta anggota keluarganya baik secara langsung maupun tidak langsung agar mereka tahu, mau dan mampu menggunakan inovasi baru (Adjid 2001 dan Mardikanto 2009). Prinsip-prinsip metode dan teknik penyuluhan: pengembangan untuk berpikir kreatif, tempat yang paling baik adalah di tempat kegiatan penerima manfaat, setiap individu terikat dengan lingkungan sosialnya, ciptakan hubungan yang akrab dengan penerima manfaat, dan merangsang terjadinya perubahan. Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih metode penyuluhan: (1) Sasaran suluh: pengetahuan, keterampilan dan sikap sasaran, sosial budaya, dan banyak sasaran yang akan dicapai; (2) Sumber daya penyuluhan: kompetensi penyuluh, materi, dan ketersediaan fasilitas; dan (3) Keadaan daerah: musim dan iklim, kondisi daerah. Mardikanto (2009) menyebutkan bahwa ragam metode dan teknik penyuluhan yang dapat dipilih untuk dapat diterapkan dapat didasarkan pada aspek-aspek: (1) Komunikasi, antara lain: langsung dan tidak langsung; (2) Psiko sosial, antara lain: massal, kelompok dan individu atau perorangan; dan (3) Panca indera, antara lain: penglihatan, pendengaran, atau kombinasi keduanya. Beberapa jenis metode penyuluhan pertanian yang dapat diterapkan: (1) Ceramah, merupakan suatu pertemuan untuk menyampaikan informasi sebanyakbanyaknya dalam waktu yang relatif cepat; (2) Demonstrasi, merupakan suatu metode penyuluhan di lapangan untuk memperlihatkan/membuktikan secara nyata tentang cara dan atau hasil penerapan teknologi pertanian yang telah terbukti menguntungkan bagi petani; (3) Anjangsana, merupakan kunjungan yang terencana yang dilakukan oleh penyuluh ke rumah/tempat usaha petani tujuan menumbuhkan kepercayaaan diri petani dan keluarganya; (4) Kursus Tani, merupakan proses belajr mengajar yang khusus diperuntukan bagi petani dan keluarganya yang diselenggarakan secara sistematis, teratur dan dalam jangka
59
waktu tertentu; (5) Magang, merupakan proses belajar mengajar antar petani, di mana seorang petani belajar dari pengalaman kerjanya pada suatu usaha tani dalam keadaan sesungguhnya di lapangan dengan bimbingan petani yang berhasil menjalankan usahanya; (6) Mimbar Sarasehan merupakan forum konsultasi antar kelompok andalan (KTNA) dengan pihak pemerintah yang diselenggarakan secara periodik dan berkesinambungan; (7) Pameran merupakan usaha untuk memperhatikan atau mempertunjukan model, contoh, barang, peta, grafik, benda hidup; (8) Perlombaan merupakan kegiatan dengan aturan tertentu untuk menumbuhkan persaingan yang sehat antar petani untuk mencapai prestasi yang diinginkan secara maksimal; (9) Diskusi; (10) Temu Karya merupakan pertemuan antar petani untuk bertukar pikiran dan pengalaman serta belajar atau saling mengajarkan sesuatu ketrampilan dan pengetahuan untuk diterapkan; (11) Temu Lapang merupakan pertemuan antara petani dengan peneliti untuk saling tukar menukar informasi tentang tenologi yang dihasilkan oleh peneliti dan umpan baik dari petani; (12) Temu Tugas merupakan pertemuan berkala antara pengemban fungsi penyuluhan, penelitian pengaturan dan pelayanan dalam lingkup pertanian; (13) Temu Usaha merupakan pertemuan antara petani dengan pengusaha di bidang pertanian; (14) Widyawisata merupakan suatu perjalanan bersama yang dilakukan oleh kelompok tani, untuk belajar dengan melihat suatu penerapan teknologi dalam keadaan yang sesungguhnya; dan (15) Sekolah Lapang merupakan kegiatan pertemuan berkala yang dilakukan oleh sekelompok petani pada hamparan tertentu. Materi Penyuluhan. Materi penyuluhan adalah bahan yang akan disampaikan dalam penyuluhan yang disesuaikan dengan kebutuhan sasaran suluh. Sumber materi penyuluhan berasal dari hasil rekayasa penyuluh sendiri (Mardikanto 2009) atau yang berasal dari petani maju. Margono (2009) menjelaskan bahwa sumber materi penyuluhan harus ada hubungan sistem antara penyuluh, peneliti, petani, organsasi petani perguruan tinggi dan informasi pasar. Hal ini dibutuhkan agar bahan atau materi penyuluhan teruji secara kualitas dan sesuai dengan kebutuhan petani sebagai sasaran utama penyuluhan. Selanjutnya Blum (2007) menjelaskan bahwa materi penyuluhan sebaiknya mengacu pada komoditas permintaan pasar sehingga penyuluhan dapat diterima masyarakat.
60
Hubungan sistem sumber penyuluhan juga dijelaskan oleh Sumardjo (1999) dan Puspadi (2002), yang memberikan penekanan pada hubungan sumber materi penyuluhan yang mengacu pada sistem agribisnis agar terjadi penyuluhan yang berkesinambungan dan memihak kepada kepentingan petani. Penekanan kesinambungan dapat dilakukan dengan perbaikan kurikulum yang digunakan untuk pendidikan dan pelatihan (diklat) serta pendidikan formal atau perguruan tinggi (Sumardjo 2010). Fasilitas Penyuluhan. Untuk memperlancar kegiatan penyuluhan dibutuhkan fasilitas penyuluhan. Mardikanto (2009) membedakan fasilitas penyuluhan menjadi dua yaitu: (1) Alat bantu menyuluh, dan (2) Alat peraga penyuluh. Alat bantu menyuluh adalah alat-alat atau perlengkapan yang dibutuhkan seorang penyuluh untuk memperlancar proses penyuluhan. Alat-alat bantu menyuluh, meliputi: kurikulum, lembar persiapan menyuluh, papan tulis atau tempel, alat tulis, perlengkapan ruangan, proyektor, dan alat transportasi. Alat peraga penyuluhan adalah alat bantu yang digunakan untuk memudahkan materi yang disuluhkan diterima oleh peserta suluh meliputi: benda nyata, barang cetakan, gambar yang diproyeksikan, dan gambar yang digrafikkan. Kelembagaan Penyuluhan. Kelembagaan atau institusi dapat dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Arti sempit, kelembagaan sering diwujudkan dalam bentuk kelompok ataupun organisasi, sedangkan kelembagaan dalam arti luas yaitu tata nilai, norma, budaya atau aturan main (Mardikanto 2009: 157). Kelembagaan penyuluhan berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2006, Bab V Pasal 8, menjelaskan bahwa kelembagaan penyuluhan terdiri atas: (1) Penyuluh yang dilakukan oleh pemerintah: (a) Kelembagaan di tingkat pusat berbentuk Badan Penyuluhan, (b) Kelembagaan di tingkat provinsi berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan, (c) Kelembagaan di tingkat kabupaten/kota berbentuk Badan Pelaksana Penyuluhan, dan (d) Kelembagaan di tingkat kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan; (2) Kelembagaan penyuluhan swasta disesuaikan dengan sektor masing-masing yaitu: pertanian, perikanan dan kehutanan; dan (3) Kelembagaan penyuluhan swadaya di tingkat desa yaitu: kelompok tani. Margono (2009) mengemukakan bahwa kelembagaan penyuluhan lebih ditekankan pada sistem hubungan kinerja penyuluhan dari tingkat pusat hingga
61
sampai ke sasaran utama penyuluhan (petani). Hubungan sistem kinerja ini dibuat dalam bentuk standard operasional procedure (SOP) dengan melibatkan stakeholder yaitu: lembaga diklat, penelitian, perguruan tinggi, organisasi petani dan pelaku agribisnis. SOP sebagai aturan kelembagaan harus disusun dengan baik dan aturan tersebut berfokus kepada kepentingan petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian. Selain itu kelembagaan juga menangani masalah budgeting atau anggaran yang layak sesuai dengan kebutuhan penyuluh. Intensitas Penyuluhan. Intensitas penyuluhan adalah frekuensi penyuluh melakukan kunjungan atau penyuluhan kepada sasaran penyuluhan (masyarakat atau petani). Intensitas penyuluhan dapat dilakukan secara berkala sesuai dengan kebutuhan petani. Semakin sering penyuluh melakukan penyuluhan maka penyuluh akan semakin dikenal masyarakat, sehingga materi suluhnya dapat dipahami oleh petani. Demikian sebaliknya, semakin jarang atau bahkan tidak pernah melakukan penyuluhan, maka penyuluh akan dijauhi oleh masyarakat. Kerjasama Penyuluhan. Pelaksanaan penyuluhan dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah (penyuluh PNS), penyuluh swasta atau penyuluh swadaya (petani maju). Pelaksanaan penyuluh dapat dilakukan secara bersama atau antar lembaga penyuluhan pemerintah dengan organisasi penyuluhan swasta ataupun petani yang telah berhasil dengan baik. van den Ban dan Hawkins (1999) menjelaskan bahwa petani akan lebih baik belajar dengan petani, artinya yang menjadi penyuluh adalah petani juga. Keberhasilan petani belajar dengan petani lebih tinggi, karena bahasa yang digunakan oleh petani yang maju lebih mudah dipahami jika dibandingkan bahasa penyuluh. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Effendy (2009) yang menemukan bahwa kontak tani dapat memberikan penyuluhan yang efektif di Jawa Barat. Kerjasama penyuluhan juga dapat dilakukan dengan pihak swasta atau perusahaan dalam skema kegiatan corporate social responsibility (CSR). Dalam program CSR dapat dilakukan penyuluhan secara efektif dengan pendekatan komoditi yang dijadikan sebagai sumber bahan baku dari perusahaan. Program kegiatan CSR yang dilakukan Unilever di Jawa Barat, Newmont di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan PT. Freeport di Papua, melakukan program pengembangan masyarakat bekerjasama dengan para penyuluh (Susanto 2009).
62
Hasil Penelitian yang telah Dilakukan dan State of the Art Pada bagian ini disintesakan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan yang berasal dari disertasi dan jurnal, di mana penelitian-penelitian tersebut sejenis dengan penelitian ini. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi kebaruan atau novelty penelitian ini. Tabel 3. Eksplor Penelitian dan Bentuk Analisisnya No. 1.
2.
3.
Nama Peneliti Suwignyo Utomo
Nandang Priadi
Sabarudi
Sumber Disertasi, 2009
Disertasi, 2010
Jurnal, 2010
Aspek yang Diteliti Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan melalui pendekatan kelompok
Kelembagaan Kemitraan Industri Pengelolaan Kayu Bersama Rakyat dalam Rangka Membangun Hutan di Jawa
Kebijakan Pengembangan Wanaternak Nasional yang Berkelanjutan
Metode Penelitian
Temuan/Kontribusi
Lokasi: KPH Pekalongan, KPH Kedu Selatan dan KPH Gundih
- Dinamika kelompok masih rendah - Keberdayaan petani masih rendah
Metode: Kuantitatif dengan Survei,
- Partisipasi petani masih rendah
Analisis: structural equation modeling (SEM)
- Strategi penyuluhan: dukungan lingkungan, kepemimpinan kelompok, potensi petani
Lokasi: SukarajaTasikmalaya, Bawang-Batang, Krucil-Purbalingga
- Kelembagaan KIBARHUT memiliki perbedaan dalam kontrak
Metode: Kuantitatif dengan survei
- Kinerja kelembagaan terbukti efektif
Analisis: untuk financial NPV, B/C Ratio dan IRR; kebijakan dengan policy analysis matrix (PAM)
- Pemasaran kayu KIBARHUT banyak saluran
Lokasi: NTB dan NTT
- Pengembangan wanaternak dilakukan dalam koridor hutan lestari
Metode: Kualitatif, studi literatur
- Wanaternak telah dilakukan petani dalam skala kecil
Analisis: deskriftif
- Manajemen wanaternak berkelanjutan masih diupayakan
- Hak kepemilikan pelaku KIBARHUT belum merupakan suatu jamainan
63
Tabel 3. Lanjutan No.
Nama Peneliti
4.
BT. Permono dan Bondan W.
Sumber Jurnal, 2009
Aspek yang Diteliti
Metodologi
Strategi Adaptasi Petani Agroforestri di Sekitar Hutan Penelitian Benakat Sumatera Selatan
Lokasi: Desa Suban Ulu, Kec. Talang Ubi, Muara Enim
- Tingkat kehidupan petani miskin,
Metode: kualitatif, dengan sensus.
- Strategi untuk mempertahankan hidup dengan pinjaman, menjual asset, memperkerjakan anak, dan urbanisasi
Analisis: Deskriftif
5.
Rachman E dan Sylviani
Jurnal, 2006
Konsepsi Rehabilitasi Lahan Kritis di Jawa Barat
Lokasi: DAS Cisadane dan Ciujung Metode: Kualitatif, dengan RRA Analisis: deskriptif
Temuan/ Kontribusi
- Petani pada blok agroforestri mencari penghasilan ke luar,
- Meluasnya lahan kritis di Jawa Barat akibat dari faktor ekonomi, sosial kemasyarakatan, hukum dan moral - Rehabilitasi lahan kritis telah dijadikan gerakan nasional dan regional.
6.
7.
Lukman Effendy
Yumi
Disertasi, 2009
Disertasi, 2011
Kinerja Petani Pemandu dalam Pengembangan PHT dan Dampaknya pada Perilaku Petani di Jawa Barat
Model Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari
Lokasi: Cianjur, Bandung, Cirebon, Bandung, Subang, Sumedang, Indramayu, Kuningan
- Faktor utama berpengaruh terhadap kinerja adalah kompetensi PHT, karakteristik lingkungan dan dinamika belajar
Metode: kuantitatif dengan survei
- Kinerja petandu berdampak positif pada perilaku petani
Analisis: structural equation modeling (SEM)
- Derajat hubungan antar faktor PHT, karakteristik lingkungan dan dinamika cukup kuat.
Lokasi: Gunung Kidul, Yogyakarta
- Intensitas belajar petani masih rendah
Metode: kuantitatif dengan survei
- Perlaku petani HRL sertifikasi berbeda nyata dengan yang tidak bersertifikasi
64
Tabel 3. Lanjutan No.
8.
9.
10.
Nama Peneliti
Adi Riyanto Suprayitno
Bambang Dipokusumo
Sumarlan
Sumber
Disertasi, 2011
Disertasi, 2011
Sasaran Kegiatan ini
Aspek yang Diteliti
Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat
Model Partisipatif Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan Hutan Berkelanjutan
Peningkatan Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis Pegunungan Kendeng Pati.
Metodologi
Temuan/ Kontribusi
Analisis: structural equation modeling (SEM)
- Aspek kelembagaan yang berperan dalam pembelajaran adalah kelembagaan masyarakat dan pendukung pembelajaran
Lokasi: Maros, Sulawesi Selatan
- Tingkat partisipasi masih rendah dan bersifat parsial - Partisipasi berdampak positif terhadap keberlanjutan hutan kemiri rakyat
Metode: kuantitatif dengan survei
Analisis: structural equation modeling (SEM)
- Model partisipasi dibangun melalui: motivasi dan kemampuan petani
Lokasi: Pulau Lombok
- Kebijakan pengelolaan HKm Pemda Kabupaten bertentangan dengan Provinsi
Metode: kuantitatif, dengan survei Analisis: Regresi logistic, AHP dan ISM
- Partisipasi masyarakat berhubungan kondisi ekologi. - Model agroforestri gaharu sebagai bentuk pengelolaan HKm berkelanjutan
Lokasi: Kabupaten Pati-Jawa Tengah
- Kinerja petani
Metode: kuantitatif, dengan survei Analisis: biplot, korelasi dan SEM
- Dukungan penyuluhan - Keberlanjutan penerapan sistem agroforestri - Faktor-faktor penentu kinerja petani - Strategi penyuluhan yang tepat.
KERANGKA BERPIKIR Paradigma Pembangunan Kehutanan Menyadari kegagalan pembangunan kehutanan pada masa orde baru yang lebih mengutamakan pada eksploitasi sumberdaya hutan (resources forest based management) yang berdampak pada kerusakan sumber daya hutan dan menyengsarakan masyarakat di sekitar hutan, maka pada masa reformasi ini paradigma pembangunan kehutanan mengalami perubahan, yaitu perubahan paradigma pembangunan kehutanan lebih mengarah kepada konvergensi kepentingan masyarakat di sekitar hutan (community based forest management). Dampak dari perubahan paradigma pembangunan kehutanan tersebut, masyarakat di sekitar hutan dapat melakukan pengelolaan sumber daya hutan secara partisipatif sesuai dengan kebutuhan dan kearifan yang dimilikinya. Pengelolaan hutan secara partisipatif (Suporahardjo dan Setyawati 2008: 39) akan menjamin keberlanjutan dan kelestarian sumber daya hutan. Untuk itu, peran pemerintah tidak lagi sebagai pengendali dalam pengelolaan, namun berperan sebagai fasilitator yang siap memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat atau petani. Bentuk pengelolaan sumber daya hutan yang terdesentralisasi (Wollenberg et al. 2009: 5) berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan yang dapat dicapai melalui kegiatan kehutanan masyarakat dan pengelolaan lokal. Kegiatan kehutanan masyarakat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengelola hutan secara penuh dikenal sebagai sistem agroforestri. Pengelolaan lokal berimplikasi pada pemberian kewenangan dan pengambilan keputusan yang dilakukan di tingkat akar rumput atau masyarakat lokal. Fleksibilitas pengelolaan hutan secara lokal memiliki pengaruh terhadap kearifan lokal sehingga dapat menjaga keselarasan dan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat. Pengelolaan hutan lokal (Wollenberg et al. 2009: 7) bersifat multi-kutub, multi-lapis dan bercirikan adanya saling kebergantungan satu dengan yang lainnya, sehingga produk yang dihasilkan beragam sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Keragaman hasil tersebut berdampak pada terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat, sehingga tumbuh kepedulian untuk
66
memelihara dan melestarikan hutan. Pergeseran pola pembangunan kehutanan, dari berorientasi pada kepentingan ekspolitasi hasil hutan ke arah yang berorientasi pada kepentingan masyarakat di sekitar hutan, sejalan dengan konsep pergeseran yang disampaikan oleh Campbell (1997) sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Pergeseran Konseptual Pembangunan Kehutanan No
Dari
Menuju
A. Sikap dan Orientasi 1.
Pengendalian
Dukungan dan fasilitasi
2.
Penerima manfaat
Mitra
3.
Pengguna
Pengelola
4.
Pembuatan keputusan sentralistik
Partisipatif
5.
Orientasi penerima
Orientasi pemberdayaan
6.
Keuntungan nasional
Orientasi keadilan lokal
7. Diarahkan oleh negara B. Institusional dan Administratif
Proses belajar/evolusi
8.
Sentraslisasi
Desentralisasi
9.
Manajemen (perencanaan, pelaksanaan, monitoring) oleh pemerintah
Kemitraan
10.
Top down
Partisipatif/negosiatif
11.
Orientasi target
Orientasi proses
12.
Anggaran kaku untuk rencana kerja besar
Anggaran fleksibel untuk rencana kerja mikro
13. Aturan-aturan untuk menghukum C. Metode Manajemen
Penyelesaian konflik
14.
Kaku
Fleksibel
15.
Tujuan tunggal
Tujuan ganda/beragam
16.
Keseragaman
Keanekaragaman
17.
Produk tunggal
Produk beragaman
18.
Menu manajemen yang tetap dengan aturan silvikultur tunggal
Beragam pilihan silvikultur untuk spesifikasi lokal
19.
Tanaman
Regenerasi alam
20.
Tenaga kerja/buruh/pengumpul
Manajer/pelaksana/pemroses/pemasar
Sumber: Campbell (Suharjito 2000: 13).
Seiring dengan pergeseran pembangunan kehutanan yang disampaikan oleh Campbell tersebut, penerapan sistem agroforestri merupakan jawaban dari pergeseran tersebut. Penerapan sistem agroforestri menyesuaikan pada kondisi lahan dan kebutuhan masyarakat lokal, diharapkan dapat berpengaruh secara nyata terhadap pengelolaan lahan yang keberlanjutan.
67
Paradigma Penyuluhan Kehutanan Perubahan paradigma pembangunan kehutanan yang lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat di sekitar hutan (resources and community based forest management), sudah selayaknya paradigma penyuluhan kehutanan juga ikut berubah. Perubahan paradigma penyuluhan kehutanan mengacu pada penyiapan masyarakat di sekitar hutan agar dapat mengelola hutan sesuai dengan kewenangan dan kemampuannya. Oleh karena itu, penyuluhan kehutanan harus menjadikan masyarakat sebagai “subyek” bukan “obyek” penyuluhan. Orientasi pernyuluhan kehutanan harus lebih mementingkan kebutuhan sasaran utama penyuluhan (pelaku utama dan pelaku usaha) yang bersifat lokal, oleh karenanya penyuluhan harus dilakukan secara partisipatif dialogis (Sumardjo 2010b) sesuai kebutuhan sasaran utama tersebut. Selain itu, penyuluhan harus mampu menjangkau dan berkomunikasi secara efektif dengan sasaran penentu (eksekutif daerah) dan sasaran antara (legislatif daerah), karena kedua sasaran ini memiliki kewenangan dalam menentukan keberlangsungan kegiatan penyuluhan. Terjadinya komunikasi yang dialogis, diharapkan penyuluhan mendapat dukungan dan perhatian yang memadai. Menyambut tantangan perubahan paradigma pembangunan kehutanan tersebut, maka penyuluhan kehutanan tidak lagi bersifat top down, instruksi dan perintah, tetapi harus mengacu pada pemberdayaan masyarakat yang berdasarkan pada potensi sumber daya lokal, mengedepankan kemitraan dan berorientasi pada masa depan atau keberlanjutan. Kondisi ini sesuai dengan asas-asas penyuluhan kehutanan (UU No. 16 Tahun 2006) yaitu: demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan, kerjasama, patisipatif, kemitraan, keberlanjutan, berkeadilan, pemerataan dan bertangunggugat. Untuk melaksanakan tugas mulia tersebut, dibutuhkan penyuluh kehutanan yang memiliki kompetensi yang paripurna dan dedikasi yang teruji. Oleh karena itu, peningkatan kompetensi penyuluh kehutanan sudah menjadi suatu keharusan. Hal tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan diklat, diberikan kesempatan untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi, workshop, seminar dan lokakarya. Terkait dengan materi penyuluhan, dapat dilakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi, petani maju, dunia usaha dan lembaga pemasaran.
68
Sejalan dengan perubahan paradigma perubahan kehutanan yang didukung oleh kompetensi penyuluh yang utuh, maka perubahan paradigma penyuluhan kehutanan harus berpihak pada kebutuhan pelaku utama. Adapun perubahan paradigma penyuluhan kehutanan, disaji pada Tabel 5. Tabel 5. Perubahan Paradigma Penyuluhan Kehutanan No
Dari
Ke
1.
Pendekatan top down
Pendekatan partisipatif
2.
Komunikasi searah/monolog
Komunikasi dua arah/dialogis
3.
Materi Penyuluhan: - Alih teknologi
-
Pemberdayaan masyarakat
- Pengamanan represif
-
Pengamanan partisipasif
- Materi terpusat/nasional
-
Materi kondisi lokal
- Orientasi luasan wilayah
-
Orientasi pelaku utama/usaha
- Sentralisasi
-
Desentraslisasi
- Penyusunan materi terpusat
-
Penyusunan materi lokal
4.
Kebutuhan pemerintah
Kebutuhan masyarakat lokal dan pihak lain yang terkait
5.
Ekspoilatasi kayu
Sinergi kayu dan non kayu
6.
Pelarangan masuk hutan
Pemanfaatan sumber daya hutan
7.
Beorientasi padat modal
Sinergi pasar lokal dan global
8.
Monokultur
Agroforestri
9.
Pendekatan kekuasaan
Pendekatan pemberdayaan
Cenderung indoktrinasi/perintah
Proses pembelajaran
10.
Kinerja Petani Wujud Pergeseran Pembangunan Kehutanan Keberhasilan pengelolaan lahan kritis dengan sistem agroforestri sangat tergantung dari kinerja petani. Kinerja petani, sangat tergantung dari kemampuan, motivasi dan kesempatan yang ada. Oleh karena itu kinerja dapat dikatakan sebagai fungsi dari kemampuan atau ability, motivasi atau motivation dan kesempatan atau opportunity (Robbins 2003). Menurut Gibson et al. (1994) kinerja individu dipengaruhi tiga faktor yaitu: faktor individu, faktor psikologis, dan faktor organisasi. Lusthaus (2002) menyatakan bahwa kinerja organisasi ditentukan oleh tiga faktor yaitu: kapasitas organisasi, motivasi dan lingkungan organisasi. Friday et al. (2000: 6-7) menyatakan bahwa keberhasilan kegiatan rehabilitasi lahan dengan sistem agroforestri tergantung dari tiga syarat: motivasi petani, sarana transportasi dan peranan penyuluh.
69
Pelaksanaan pergeseran pembangunan kehutanan membutuhkan kesiapan petani, baik dari segi pengetahuan, sikap dan keterampilan. Tanpa disertai oleh ketiga hal tersebut, pergeseran tersebut tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Oleh karenanya peningkatan kinerja petani perlu didukung oleh karakteristik individu petani memiliki kepribadian yang tangguh, berwawasan luas dan terbuka terhadap informasi untuk menunjang perubahan (Meager 2009; Skibba dan Tan 2002; Koontz 2004; dan Stewart 1987) dan didukung oleh penyuluh kehutanan yang berkompeten dan memiliki dedikasi yang tinggi. Berdasarkan konsep-konsep yang diuraikan pada tinjauan pustaka, yang kemudian disintesiskan tersebut, maka kerangka berpikir penelitian ini disusun secara ringkas dan sederhana, disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Kerangka Berpikir Penelitian Hubungan antar Peubah Peningkatan Kinerja Petani Kinerja petani merupakan hasil yang dapat diraih oleh petani setelah melakukan suatu kegiatan atau aktivitas. Kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis dapat dilihat dari hasil yang telah diperoleh berupa pendapatan, persentase lahan yang tertanami, persentase tegakan tertanam tumbuh sehat, keragaman jenis bahan pangan dan terjalinnya aksesbilitas jaringan bisnis sistem agroforestri. Pendapatan petani diperoleh dari hasil tanaman semusim (pertanian), tanaman tahunan (kayu), buah-buahan dan ternak. Persentase luas lahan yang tertanami dengan sistem agroforestri dilihat lahan milik. Persentase tegakan
70
tumbuh sehat, dilihat dari banyak tegakan yang tumbuh sehat. Keragaman jenis bahan pangan, dilihat dari bahan pangan yang dikonsumsi oleh petani. Terjalinnya akses jaringan bisnis sistem agroforestri, dilihat jaringan pemasaran hasil sistem agroforestri dan kemudahan untuk mendapatkan input sistem agroforestri. Peningkatan kinerja petani, tidak didapatkan dengan sendirinya tetapi harus bekerja keras tanpa mengenal lelah. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa petani memiliki karakter individu yang kuat. Karakteristik individu petani ini mengacu pada umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman bertani, pengalaman melaksanakan agroforestri dan ketededahannya terhadap informasi. Peningkatan kinerja petani tersebut, juga tidak dapat terlepas dari dukungan penyuluh yang berkualitas. Manusia sebagai makhluk sosial mereka saling membutuhkan, maka sudah selayaknya petani membutuhkan penyuluh, supaya dapat membantu menemukan dan memecahkan masalahnya terkait dengan penerapan sistem agroforestri. Dukungan penyuluhan yang optimal dan karakteristik individu petani yang kuat, menyebabkan petani mampu membaca dan menangkap kesempatan atau peluang tersedia serta memanfaatkannya menjadi usaha yang menguntungkan bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Dukungan penyuluhan diharapkan juga dapat membangkitkan motivasi petani, agar dapat memenuhi kebutuhan dasar, menjaga intensitas hubungan sosial dan pengakuan terhadap keberhasilan pengelolaan lahan kritis. Selain itu, dukungan penyuluhan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan petani dalam mengelola lahannya dengan menerapkan sistem agroforestri. Kemampuan petani ini dapat meningkat dengan bertambahnya pengalaman yang diperoleh dari hasil belajar bersama dengan anggota petani lain yang dipandu oleh penyuluh yang kompeten. Berdasarkan pada penjelasan tentang proses peningkatan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis, maka hubungan antar peubah yang berpengaruh terhadap kinerja petani sekitar hutan selengkapnya, disajikan pada Gambar 3.
Motivasi Petani dalam Penerapan Agroforestri (Y1) (Y1.1) Tk pemenuhan kebutuhan dasar (Y1.2) Intensitas hubungan sosial (Y1.3) Pengakuan atas keberhasilan pengelolaan lahan kritis
Karakteristik Individu Petani (X1)
(Y1.4) Tingkat kompetisi
(X1.1) Umur (X1.2) Pendidikan formal (X1.3) Pendidikan non-formal
Kesempatan Petani dalam Penerapan Agroforestri (Y2)
(X1.4) Pengalaman bertani (X1.5) Pengalaman agroforestri
(Y2.1) Luas lahan
(X1.6) Keterdedahan terhadap informasi
(Y2.2) Kepastian pasar (Y2.3) Ketepatan Insentif (Y2.4) Peran institusional lokal
Dukungan Penyuluhan (X2)
(Y2.5) Pengaruh kepemimpinan lokal (Y2.6) Peranan kelompok
(X2.2) Kesesuaian pendekatan penyuluhan (X2.4) Kesesuaian materi penyuluhan
(Y4.1) Tingkat pendapatan
Sistem Agroforestri Keberlanjutan (Y5)
(Y4.2) Persentase lahan tertanami (Y4.3) Persentase tegakan sehat
(Y5.1) Ekonomi
(Y4.4) Keragaman jenis bahan pangan
(Y5.2) Sosial
(Y4.5) Terjalinnya akses jaringan bisnis sistem agroforestri
(X2.1) Tingkat kompetensi penyuluh (X2.3) Ketepatan metode penyuluhan
Tingkat Kinerja Petani dalam Penerapan Agroforestri (Y4)
(Y5.3) Lingkungan
Kemampuan Petani dalam Penerapan Agroforestri (Y3)
(X2.5) Ketersediaan fasilitas penyuluhan
(Y3.1) Penyiapan lahan
(X2.6) Intensitas penyuluhan
(Y3.2) Pemilihan jenis bibit/benih
(X2.7) Keberadaan kelembagaan penyuluhan
(Y3.3) Penanaman
(X2.8) Terjalinnya kerja sama penyuluhan
(Y3.4) Penganekaragaman tanaman (Y3.5) Pemeliharaan tanaman (Y3.6) Pemanenan (Y3.7) Pengembangan pemasaran (Y3.8) Tingkat perkembangan kelompok (Y3.9) Tingkat kerja sama
71
Gambar 3. Hubungan antar Peubah Peningkatan Kinerja Petani
72
Motivasi Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Motivasi petani adalah dorongan petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis. Motivasi petani dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis, dilihat melalui: pemenuhan tingkat kebutuhan dasar, menjaga intensitas hubungan sosial, pengakuan atas keberhasilan dalam mengelola lahan kritis dan berkompetisi secara sehat sehingga mendapatkan hasil yang optimal. Adapun ciri-ciri motivasi petani yang kuat dan rendah dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis, disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Ciri-ciri Motivasi Petani dalam Penerapan Agroforestri Aspek Motivasi
Motivasi Petani Kuat
Tingkat pemenuhan kebutuhan dasar - Memiliki keyakinan yang tinggi dapat memenuhi kebutuhan dasar - Memiliki keinginan kuat untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar - Memiliki kesadaran yang tinggi dalam memenuhi kebutuhan dasar - Memiliki usaha yang kuat untuk memenuhi kebutuhan dasar
Motivasi Petani Rendah - Keyakinan untuk memenuhi kebutuhan dasar rendah - Belum memiliki keinginan kuat untuk memenuhi kebutuhan dasar - Kedasaran untuk memenuhi kebutuhan dasar rendah - Usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar rendah
Intensitas hubungan sosial - Hubungan sosial berjalan secara harmonis
- Hubungan sosial belum berjalan secara harmonis
- Komunikasi berjalan secara universal
- Komunikasi dilakukan sesuai dengan kepentingan
- Memiliki usaha yang keras untuk berprestasi
- Belum memiliki usaha yang keras untuk berprestasi
Pengakuan atas keberhasilan dalam mengelola lahan kritis - Berkeinginan kuat untuk berprestasi tinggi
- Belum berkeingininan kuat untuk berprestasi tinggi
- Memiliki usaha yang keras untuk berprestasi
- Belum memiliki usaha yang keras untuk berprestasi
- Memaknai kompetisi secara komperhansif
- Memaknai kompetisi secara parsial
- Merasakan manfaat kompetisi secara positif
- Belum merasakan manfaat kompetisi secara positif
- Menyadari pentingnya kompetisi dengan benar
- Belum menyadari pentingnya kompetisi dengan benar
- Melakukan kompetisi secara benar dan nyata
- Kompetisi dilakukan secara terselubung
Tingkat kompetisi
73
Kesempatan Petani dalam Penerapan Agroforestri Kesempatan merupakan kondisi atau situasi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan petani. Kesempatan petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri berupa: luas lahan lahan milik, kepastian pasar yang menjamin terhadap penjualan hasil produk dari pelaksanaan sistem agroforestri, ketepatan pemberian kebijakan insentif (langsung maupun tidak langsung) sebagai penggerak atau pengungkit (Sanders et al. 1999; dan Sundawati 2010), peranan institusi lokal yang mampu memberikan dukungan pada kegiatan sistem agroforestri (Uphoff 1986; North 1991; dan Yeager 1999; dan Koentjaraningrat 2002), pengaruh kepemimpinan lokal yang dapat membangkitkan semangat dalam meningkatkan kinerja petani (Rogers 2003; dan Margono 2009) dan peranan kelompok yang sesuai dengan kebutuhan petani (Margono 2003). Ciri-ciri kesempatan petani yang terbuka dan terbatas dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis, disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Ciri-ciri Kesempatan Petani yang Terbuka dan Terbatas dalam Penerapan Sistem Agroforestri Aspek Kesempatan
Kesempatan Petani Terbuka
Kesempatan Petani Terbatas
Luas lahan garapan - Luas lahan garapan bertambah dengan cara menyewa (gadu)
- Belum mampu menyewa lahan garapan (gadu)
- Luas lahan garapan bertambah dengan cara sakap
- Belum dipercaya untuk menggarap lahan sakap
- Mengindentifikasi dengan tepat pihak yang terkait dengan pemasaran
- Belum mampu mengidentifikasi pelaku pasar dengan tepat
- Mengetahui permintaan pasar secara pasti
- Belum mengetahui permintaan pasar secara pasti
- Mengetahui tingkat harga pasar secara pasti
- Belum mengetahui secara pasti tingkat harga pasar
- Memiliki daya tawar yang tinggi dalam pemasaran
- Belum memiliki daya tawar yang tinggi dalam pemasaran
Kepastian pemasaran
Ketepatan dalam pemberian kebijakan insentif - Mengidentifikasi kebijakan intensif dengan tepat
- Belum mampu mengidentifikasi kebijakan intensif dengan tepat
- Memahami makna insentif dengan utuh
- Memahami makna insentif sesuai kepentingan
- Meamanfaatkan insentif sesuai kebutuhan
- Memanfaatkan insentif sesuai keinginan
74
Tabel 7. Lanjutan Aspek Kesempatan
Kesempatan Petani Terbuka
Kesempatan Petani Terbatas
- Mengidentifikasi nilai-nilai, norma dan budaya dengan tepat
- Belum mampu mengidentifikasi nilai-nilai, norma dan budaya dengan tepat
- Memahami makna nilai-nilai dan norma yang masih berlaku dengan utuh
- Memahami makna nilai-nilai dan norma yang berlaku dengan parsial
- Melaksanakan nilai-nilai dan norma sesuai dengan situasi dan kondisi
- Belum melaksanakan nilai-nilai dan norma sesuai dengan situasi dan kondisi
Peran institusi lokal
Pengaruh kepemimpinan lokal - Mengidentifikasi pemimpin lokal dengan pasti
- Belum mampu mengidentifikasi pemimpin lokal dengan pasti
- Keteladan pemimpin lokal masih sangat kental
- Pemimpin lokal kurang memiliki keteladanan
- Tingkah laku pemimpin lokal sangat terpuji
- Tingkah laku pemimpin lokal kurang terpuji
- Menjadi anggota kelompok dengan sukarela
- Menjadi anggota kelompok dengan terpaksa
- Tujuan berkelompok untuk memenuhi kebutuhan anggota
- Tujuan berkelompok untuk memenuhi kebutuhan pihak lain
- Laporan kelompok dilakukan secara berkala
- Laporan kelompok dilakukan secara insidentil
Peranan kelompok
Kemampuan Petani dalam Penerapan Agroforestri Kemampuan petani adalah daya upaya yang dimiliki oleh petani untuk menerapkan sistem agroforestri pada lahan kritis. Kemampuan petani lebih mengacu pada aspek keterampilan yang dibutuhkan oleh petani untuk menerapkan sistem agroforestri. Keterampilan yang dibutuhkan oleh petani dalam penerapan sistem agroforestri (Suharjito 2000; Friday et al. 2000; Nair 2003; dan Arifin et al. 2009) meliputi: penyiapan lahan, pemilihan jenis bibit/benih, penanaman, penganekaragaman komoditi tanaman semusim dan pepohanan, pemeliharaan tanaman, pemanenan, pengembangan pasar, pengembangan kelompok, dan tingkat kerja sama sehingga dapat membentuk jaringan kerja yang lebih baik. Ciri-ciri tingkat kemampuan petani yang tinggi dan rendah dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis, disajikan pada Tabel 8.
75
Tabel 8. Ciri-ciri Kemampuan Petani dalam Penerapan Agroforestri Aspek Kemampuan
Kemampuan Petani Tinggi
Kemampuan Petani Rendah
Penyiapan lahan : - Pembuatan embung dilakukan pada ketinggian yang tepat
- Pembuatan embung belum dilakukan dengan tepat
- Pemupukan awal dilakukan sesuai dengan kebutuhan
- Belum dilakukan pemupukan awal sesuai kebutuhan
Pemilihan jenis bibit atau benih : - Mampu memlilih jenis benih/ bibit unggul dengan tepat
- Belum mampu memilih jenis benih/bibit unggul dengan tepat
- Membedakan benih/bibit sehat secara tepat
- Belum mampu membedakan jenis benih/bibit dengan tepat
- Mampu menyortir bibit/ benih dengan tepat
- Belum mampu menyortir bibit/benih dengan tepat
- Jalur tanaman dibuat dengan tepat
- Belum memperhitungkan jalur tanaman dengan tepat
- Jarak tanam diperhitungkan dengan tepat
- Belum memperhitungkan jarak tanam dengan tepat
- Pergiliran tanaman semusim mengacu pada permintaan pasar
- Pergiliran tanaman semusim belum mengacu pada permintaan pasar
Penanaman:
Penganekaragaman tanaman : - Melakukan penganekaragaman tanaman semusim dengan tepat
- Belum melakukan penganekaragaman tanaman semusim dengan tepat
- Melakukan penganekaragaman tanaman tahunan dengan tepat
- Penganekaragman tanaman tahunan dilakukan tidak tepat
- Melakukan pendangiran sesuai dengan kebutuhan
- Belum melakukan pendangiran sesuai dengan kebutuhan
- Melakukan pemupukan secara tepat
- Pemupukan belum dilakukan secara tepat
- Melakukan penyemprotan sesuai dengan kebutuhan
- Belum melakukan penyemprotan sesuai dengan kebutuhan
- Melakukan penjarangan dan pruning sesuai dengan kebutuhan
- Penjarangan belum dilakukan sesuai dengan kebutuhan
- Melakukan penyulaman sesuai dengan kebutuhan
- Penyulaman belum dilakukan sesuai dengan kebutuhan
- Pemanenan dilakukan tepat pada masa panen
- Pemanenan dilakukan sesuai dengan kebutuhan
Pemeliharaan tanaman :
Pemanenan :
Pengembangan pemasaran : - Hasil produksi dijaul kepada pengusaha yang tepat
- Hasil panen belum dijual kepada pengusaha yang tepat
76
Tabel 8. Lanjutan Aspek Kemampuan
Kemampuan Petani Tinggi
Kemampuan Petani Rendah
- Melakukan pengemasan produk secara memadai
- Belum melakukan pengemasan produk secara memadai
- Penjualan dilakukan secara bekelompok
- Penjualan belum dilakukan secara berkelompok
- Menertibkan administrasi keanggotaan secara teratur
- Belum menertibkan administrasi keaanggotaan secara teratur
- Mengikuti lomba kelompok secara rutin
- Belum mengikuti lomba kelompok secara rutin
- Diversifikasi usaha secara beragam
- Usaha kelompok belum dilaku-kan diversifikasi
Pengembangan kelompok
dilakukan
Tingkat kerja sama : - Kerjasama pelatihan dengan perusahaan saprodi dilakukan secara berkala
- Belum pernah dilakukan kerjasama pelatihan dengan perusahaan saprodi
- Kerjasama dengan pengusaha kayu dilakukan secara rutin
- Belum dilakukan kerja sama dengan pengusaha kayu secara rutin.
Dukungan Penyuluh Dukungan penyuluh adalah kegiatan yang dilakukan penyuluh kepada petani dalam mengelola lahan kritis dengan sistem agroforestri. Dukungan penyuluh dalam penelitian ini (Sumardjo 2008; dan Mardikanto 2009), meliputi: tingkat kompetensi penyuluh, ketepatan pendekatan penyuluhan, kesesuaian metode penyuluhan, kesesuaian materi penyuluhan, ketersediaan fasilitas penyuluhan, keberadaan kelembagaan penyuluhan, intensitas pelaksanaan penyuluhan dan terjalinnya kerja sama penyuluhan antara penyuluh PNS, swasta dan swadaya. Adapun ciri-ciri dukungan penyuluh secara partisipatif dan mobilitatif dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis, disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Ciri-ciri Dukungan Penyuluhan Partisipatif dan Mobilitatif Aspek Penyuluhan
Penyuluhan Partisipatif
Penyuluhan Mobilitatif
Tingkat kompetensi penyuluh - Pengetahuan
- Mengetahui makna komunikasi secara dialogis
- Belum mengetahui makna komunikasi secara dialogis
- Memaknai proses penyuluhan sebagai perubahan perilaku yang partisipatif
- Memaknai proses penyuluhan sama dengan penerangan
77
Tabel 9. Lanjutan Aspek Penyuluhan
- Sikap
- Keterampilan
Penyuluhan Partisipatif
Penyuluhan Mobilitatif
- Memahami pemberdayaan sebagai proses kemandiran masyarakat
- Belum memahami pemberdayaan sebagai proses kemandirian masyarakat
- Memahami makna penyelesaian konflik secara berkeadilan
- Belum memahami penyelesaian konflik secara berkeadilan
- Menjiwai proses komunikasi secara dialogis
- Belum menjiwai proses komunikasi secara dialogis
- Meresapi proses penyuluhan sebagai perubahan perilaku yang partisipatif
- Menjiwai proses komunikasi sama dengan penerangan
- Menjiwai penyelesaian konflik secara berkeadilan
- Belum menjiwai penyelesaian konflik secara berkeadilan
- Melakukan komunikasi secara dialogis dengan terampil
- Belum melakukan komunikasi secara dialogis dengan terampil
- Melakukan pemberdayaan sebagai proses kemandirian dengan tepat
- Belum melakukan pemberdayaan sebagai proses kemandirian dengan tepat
- Melakukan penyelesaian konflik secara berkeadilan dengan tepat
- Belum mampu menyelesaikan konflik secara berkeadilan dengan tepat
Ketepatan pendekatan penyuluhan - Pengetahuan
- Sikap
- Keterampilan
- Mengetahui cara pendekatan perorangan secara tepat
- Belum mengetahui pendekatan secara perorangan dengan tepat
- Mengetahui cara pendekatan kelompok dengan tepat
- Belum mengetahui cara pendekatan kelompok dengan tepat
- Memahami pendekatan perorangan secara tepat
- Belum memahami pendekatan perorangan dengan tepat
- Memahami pendekatan kelompok secara tepat
- Belum mampu memahami pendekatan kelompok secara tepat
- Mampu memilih pendekatan penyuluhan sesuai dengan sasaran suluh
- Belum mampu memilih pendekatan sesuai dengan sasaran suluh
- Terampil menerapkan pendekatan penyuluhan yang sesuai dengan sasaran suluh
- Belum terampil menerapkan pendekatan penyuluhan sesuai dengan sasaran suluh
Kesesuaian metode penyuluhan - Pengetahuan
- Sikap
- Keterampilan
- Mengetahui cara diskusi secara komunikatif
- Belum mengetahui cara diskusi yang komunikatif
- Mengetahui cara ceramah secara dialogis
- Melakukan ceramah secara monolog
- Menjiwai cara diskusi dengan komunikatif secara mendalam
- Belum menjiwai diskusi dengan komunikatif secara mendalam
- Menjiwai cara ceramah dengan dialogis secara mantap
- Belum menjiwai cara ceraman dengan dialogis secara mantap
- Mampu berdiskusi dengan terampil
- Belum mampu berdiskusi dengan terampil
78
Tabel 9. Lanjutan Aspek Penyuluhan
Penyuluh Partisipatif - Mampu berceramah secara dialogis dengan terampil
Penyuluh Mobilitatif - Belum mampu berceramah secara dialogis dengan terampil
Kesesuaian materi penyuluhan - Pengetahuan
- Sikap
- Keterampilan
- Memahami sistem agrisilvopastur secara memadai
- Belum memahami sistem agrisilvopastur secara memadai
- Memahami sistem tumpang sari secara baik
- Belum memahami sistem tumpang sari secara baik
- Memahami sistem MPTS dengan mantap
- Belum memahami sistem MPTS dengan mantap
- Membedakan agrosilvopastur dengan tumpang sari secara tepat
- Belum mampu membedakan agrisilvopastur dengan tumpang sari secara tepat
- Memilih agrisilvopastur atau silvopastural sesuai dengan kebutuhan petani
- Belum mampu memilih agrosilvopastur atau silvopastural sesuai dengan kebutuhan petani
- Mempraktekkan tumpang sari dengan terampil
- Belum mampu mempraktekkan tumpang sari dengan terampil
- Menerapakan silvopastural dengan terampil
- Belum mampu mempraktekkan silvopastural dengan terampil
Ketersediaan fasilitas penyuluhan - Pengetahuan
- Memahami penggunaan demplot persemaian dengan tepat
- Belum memahami penggunaan demplot persemaian dengan tepat
- Memahami keberadaan gubuk kerja dengan benar
- Belum mampu memahami keberadaan gubuk kerja dengan benar
- Sikap
- Memaknai pengelolaan demplot persemaian secara bisnis secara mendalam
- Belum memaknai pengelolaan demplot persemaian secara mendalam
- Keterampilan
- Mengelola demplot persemaian dengan cara bisnis
- Belum mengelola demplot persemaian dengan cara bisnis
- Membuat gubuk kerja dengan multiguna
- Belum mampu membuat gubuk kerja dengan multiguna
Kelembagaan penyuluhan - Pengetahuan
- Sikap
- Mengetahui tugas dan fungsi penyuluh PNS dengan tepat
- Belum mengetahui tugas dan fungsi penyuluh PNS dengan tepat
- Mengetahui fungsi penyuluh swadaya dengan tepat
- Belum mengetahui fungsi penyuluh swadaya dengan tepat
- Mengetahui fungsi penyuluh swasta dengan tepat
- Belum mengetahui fungsi penyuluh swasta dengan tepat
- Memahami keberadaan penyuluh PNS dengan tepat
- Belum memahami keberadaan penyuluh PNS dengan tepat
- Memahami keberadaan penyuluh swasta dengan tepat
- Belum memahami keberadaan penyuluh swasta dengan tepat
- Memahami keberadaan penyuluh swadaya dengan tepat
- Belum memahami keberadaan penyuluh swadaya dengan tepat
79
Tabel 9. Lanjutan Aspek Penyuluhan - Keterampilan
Penyuluh Partisipatif
Penyuluh Mobilitatif
- Membedakan tugas penyuluh PNS dan swadaya dengan tepat
- Belum membedakan tugas penyuluh PNS dan swadaya dengan tepat
- Membedakan tugas penyuluh PNS dan swasta dengan tepat
- belum membedakan tugas penyuluh PNS dan swasta dengan tepat
- Membedakan tugas penyuluh swasta dan swadaya dengan tepat
- Belum membedakan tugas penyuluh swasta dan swadaya dengan tepat
- Kerjasama penyuluhan dilakukan antara penyuluh PNS dan swasta secara aktif
- Belum dilakukan kerrjasama penyuluhan antara penyuluh PNS dan swasta secara aktif
- Kerjasama penyuluhan dilakukan antara penyuluh PNS dan swadaya secara aktif
- Belum dilakukan kerrjasama penyuluhan antara penyuluh PNS dan swadaya secara aktif
- Kerjasama penyuluhan dilakukan antara penyuluh PNS dan petugas Perhutani secara aktif
- Belum dilakukan kerrjasama penyuluhan antara penyuluh PNS dan Perhutani secara aktif
- Memaknai proses kerjasama penyuluhan secara positif
- Belum memaknai proses kerja sama penyuluhan secara positip
- Memahami proses kerja sama penyuluh yang menguntungkan kedua belah pihak
- Memahami kerja sama penyuluhan yang hanya menguntungkan pihak tertentu saja
- Melakukan kerjasama penyuluhan antara penyuluh PNS dan swasta secara terus menerus
- Melakukan kerjasama penyuluhan jika ada pekerjaan saja
- Kerjasama penyuluhan antara penyuluh PNS dan Perhutani dilakukan secara berkala
- Belum dilakukan kerjasama penyuluhan antara penyuluh PNS dan Perhutani secara berkala
Kerja sama penyuluhan - Pengetahuan
- Sikap
- Keterampilan
Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Kinerja petani sekitar hutan adalah hasil kerja yang didapatkan oleh petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis. Kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri yaitu: tingkat pendapatan, persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri, persentase tegakan yang tumbuh sehat, tingkat keragaman jenis bahan pangan dan akses jaringan sistem bisnis agroforestri. Paradigma tingkat kinerja petani yang tinggi dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis, disajikan secara rinci pada Tabel 10.
80
Tabel 10. Paradigma Tingkat Kinerja Petani dalam Penerapan Agroforestri Aspek Kinerja
Kinerja Petani Berhasil
Kinerja Petani Gagal
- Pendapat dari tanaman semusim selalu naik
- Pendapat dari tanaman semusim turun atau stagnan
- Pendapatan dari tanaman tahunan selalu naik
- Pendapatan dari tanaman tahunan turun atau stagnan
- Pendapatan dari hasil ternak selalu naik
- Pendapatan dari hasil ternak turun atau stagnan
Tingkat pendapatan
Persentase luas lahan yang ditanami - Persentase lahan milik ditanami bertambah
- Persentase luas lahan miliki ditanami tetap
- Persentase lahan garapan ditanami bertambah
- Belum memiliki lahan garapan yang ditanami
- Persentase lahan sewa ditanami bertambah
- Belum memiliki lahan sewa yang ditanami
Persentase tegakan yang sehat - Persenatse tegakan tanaman pokok yang sehat bertambah
- Persentase tegakan tanaman pokok tumbuh tidak sehat
- Persentase tegakan tanaman sela yang sehat bertambah
- Persentase tegakan tanaman sela tumbuh tidak sehat
- Jenis bahan pangan bervariasi
- Jenis bahan pangan tidak bervariasi
- Bahan pangan didapatkan dengan mudah
- Bahan pangan sulit didapatkan
Keragaman bahan pangan
Akses jaringan sistem bisnis agroforestri - Tersedia bahan baku yang berlimpah untuk agroforestri
- Persediaan bahan baku untuk agroforestri tersendat
- Proses pelaksanaan agroforestri berjalan dengan harmonis
- Proses pelaksanaan agroforestri berjalan dengan tidak harmonis
- Hasil yang didapatkan sesuai dengan harapan
- Hasil yang didapatkan mengecewakan
- Kelangsungan kegiatan terjaga dengan baik
- Kelangsungan kegiatan tidak dipedulikan
Keberlanjutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri Keberhasilan sutau kegiatan apabila kegiatan tersebut telah berakhir, tetapi dampaknya tetap dirasakan secara terus menerus oleh masyarakat. Dampak keberlanjutan sistem agroforestri di lahan kritis dilihat melalui tiga aspek yaitu: ekonomi, sosial dan lingkungan. Apabila ketiga aspek ini menjamin pelaksanaan kegiatan agroforestri secara berkesinambungan. Paradigma keberlanjutan dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis, disajikan pada Tabel 11.
81
Tabel 11. Paradigma Keberlanjutan Penerapan Sistem Agroforestri Aspek Keberlanjutan
Keberlanjutan terjamin
Terjadi stagnasi
Aspek ekonomi - Petani bertambah sejahtera
- Kehidupan tidak berubah
- Kebutuhan pokok terpenuhi
- Kebutuhan pokok subsisten
- Kebutuhan jangka panjang terjamin
- Kebutuhan jangkan panjang suram
- Terpelihara adat dan budaya
- Adat dan budaya terkikis
- Pengetahuan lokal sangat dihargai
- Pengetahuan lokal diabaikan
- Terpelihara tempat-tempat keramat
- Tempat keramat digusur
- Kesuburan tanah terjaga
- Tanah semakin tandus
- Sumber mata air bertambah banyak
- Sumber mata air semakin berkurang
- Bencana banjir dapat dicegah
- Sering terjadi banjir
Aspek sosial
Aspek lingkungan
Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara dari penelitian. Hipotesis penelitian merupakan penuntun bagi peneliti di lapangan. Adapun hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut: (1)
Tingkat keberlanjutan penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis secara nyata dipengaruhi oleh kinerja petani.
(2)
Kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis secara nyata dipengaruhi oleh faktor-faktor penenti kinerja petani yaitu: motivasi, kesempatan dan kemampuan petani.
(3)
Faktor-faktor penentu kinerja petani: motivasi, kesempatan dan kemampuan petani dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis secara nyata dipengaruhi oleh dukungan penyuluhan. Kinerja sebagai Paradigma Ilmu Beberapa pakar yang mendedikasikan dirinya bergelut dalam mengkajian
kinerja atau performance, antara lain: Gilbert et al. (1982); Schermerhorn et al. (1994); Hersey and Blanchard (1993); Bernardin dan Russel (1993); Gibson et al. (1994); dan Robbins (2003).
82
Berkaitan dengan kinerja sebagai paradigma ilmu, khususnya kinerja petani dalam mengelola lahan kritis dengan sistem agroforestri, dapat dirumuskan setidaknya dalam tiga penyataan (Suriasumantri 2005: 35) yaitu: (1)
Apa hakekat gejala atau obyek kinerja (landasan ontologis)?
(2)
Bagaimana cara mendapatkan atau penggarapan gejala atau obyek kinerja (landasan epistemologi)? Berhubungan dengan teori dan metode.
(3)
Apa manfaat gejala atau obyek kinerja (landasan aksiologi)? Berhubungan dengan pengembangan dan etika keilmuan.
Untuk menjelaskan hubungan dari ketiga landasan paradigma keilmuan tersebut, secara rinci disajikan dalam Tabel 12. Tabel 12. Kinerja sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan Ontologi
Epistemologi
Kinerja adalah hasil kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh petani sesuai dengan tugas dan fungsi yang menjadi tanggungjawabnya
Cara untuk meningkatkan kinerja petani dalam mengelola lahan dengan sistem agroforestri:
Manfaat kinerja dalam pengelolaan lahan kritis dengan sistem agroforestri adalah:
- Memberikan pelatihan teknis yang berhubungan dengan sistem agroforestri (pengolahan lahan, pembibitan, pemeliharaan dan sistem pemasaran)
- Jangka pendek: (1) peningkatan keterampilan petani sehingga mampu meningkatkan mutu pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, (2) penyediaan alternatif sumber pangan petani dan pakan ternak.
Kinerja sangat ditentukan oleh motivasi (motivations), kemampuan (ability), dan kesempatan (opportunity). Kinerja petani dalam mengelola lahan kritis dengan sistem agroforestri adalah kegiatan yang dilakukan oleh petani untuk mengembalikan kesuburan tanah agar dapat dipergunakan untuk lahan pertanian, agar dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan terhindar dari masalah sosial (bencana alam, kemiskinan dan kelaparan)
- Memberikan penyuluhan kepada petani tentang bahaya lahan kritis dan manfaat sistem agroforestri. - Menciptakan peluang kerja bagi petani dalam bidang pengelolaan lahan kritis. - Mendorong petani, dengan memberikan pengakuan atau penghargaan (reward) baik secara langsung maupun tidak langsung.
Aksiologi
- Jangka menengah: penyediaan air bersih, mencegah banjir, longsor, kekeringan dan pemanasan global. - Jangka panjang: (1) peningkatan kesejahteraan petani; (2) menciptakan petani yang memiliki etos kerja tinggi, ulet dalam bekerja dan tidak mudah menyerah.
METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian dirancang sebagai explanatory research, dengan tujuan untuk menjelaskan hubungan dan pengaruh antar peubah penelitian melalui pengujian hipotesis. Penelitian ini mengambil kasus di kawasan lahan kritis Pegunungan Kendeng Kabupaten Pati. Peubah yang diteliti terdiri atas: (1) Peubah bebas atau independen meliputi: Karakteristik individu petani (X1) yang dicirikan oleh: umur, pendidikan formal, pendidikan non-formal, pengalaman bertani, pengalaman melaksanakan agroforestri dan keterdedahan terhadap informasi; dan dukungan penyuluhan (X2) yang direfleksikan oleh: kompetensi penyuluh, pendekatan penyuluhan, metode penyuluhan, materi penyuluhan, fasilitas penyuluhan, intensitas penyuluhan, kelembagaan penyuluhan dan kerjasama penyuluhan; dan (2) Peubah terikat atau dependen terdiri atas: (a) Motivasi petani (Y1) yang direfleksikan oleh: tingkat pemenuhan kebutuhan pokok, intensitas hubungan sosial, tingkat pengakuan atas keberhasilan pengelolaan lahan kritis dan tingkat kompetisi sehat; (b) Kesempatan petani (Y2) yang direfleksikan oleh: luas lahan garapan, kepastian pasar, ketepatan kebijakan insenstif, peran institusi lokal, pengaruh kepemimpinan lokal dan peranan kelompok; (c) Kemampuan petani (Y3) yang direfleksikan oleh: penyiapan lahan, pemilihan jenis bibit atau benih, penanaman,
penganekaragaman
jenis
tanaman,
pemeliharaan
tanaman,
pemanenan, pengembangan pemasaran, pengembangan kelompok dan tingkat kerjasama; (d) Tingkat kinerja petani (Y4) yang dicirikan oleh: tingkat pendapatan petani, persentase luas lahan ditanami sistem agroforestri, persentase tegakan tumbuh sehat, keragaman jenis bahan pangan, dan terjalinnya akses jaringan bisnis sistem agroforestri; dan (e) Keberlanjutan (Y5) yang direfleksikan oleh: ekonomi, sosial dan lingkungan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh data dan informasi kualitatif untuk memberikan penjelasan atau mendiskripsikan yang diantaranya tidak dapat dijelaskan oleh analisis kuantitatif, sehingga penelitian ini lebih bermakna.
84
Populasi dan Teknik Sampling Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah kepala rumah tangga petani atau orang yang ditunjuk sebagai kepala rumah tangga petani yang mengelola lahan kritis dengan sistem agroforestri di Pegunungan Kendeng yang tersebar di lima Kecamatan, yaitu: Kecamatan Tambakromo, Kayen, Sukolilo, Winong dan Pucak Wangi. Jumlah penduduk di lima kecamatan tersebut sebanyak 325.231 jiwa atau sebanyak 91.690 rumah tangga (BPS Pati 2009) Berdasarkan jumlah rumah tangga (populasi), kemudian ditetapkan besar sampel dengan menggunakan formulasi Slovin (Umar 2004: 108): N n
= 1 + N. e2
Keterangan: n = jumlah sampel N = jumlah populasi e 2 = dk = derajat kesalahan: 1%, 5% dan 10% Penentuan jumlah sampel menggunakan perhitungan dengan derajat kesalahan 5 persen, dengan demikian jumlah sampel sebanyak 398,26 atau setara dengan 400 orang. Perhitungan formulasi Slovin ini sejalan dengan tabel yang dikeluarkan oleh Isaac dan Michael (Sugiono 2001: 81); dan Lynch et al. (Irawan 2007: 234) yang menyatakan bahwa data populasi di atas 10.000, untuk pengambilan sampel dengan derajat kesalahan 5 persen besar sampel bergerak mulai dari 341 dan seterusnya, dengan kenaikan jumlah sampel masing-masing satu buah. Jumlah sampel akan stabil pada angka 349 dengan jumlah populasi mulai dari 1.000.000 buah/orang. Teknik Sampling Penentuan sampel dilakukan secara acak proporsional (proportionalle random sampling). Acak proporsional dilakukan untuk menentukan besarnya sampel yang terdapat pada masing-masing kecamatan, dengan pertimbangan bahwa jumlah rumah tangga populasi yang ada di lima kecamatan tersebut tidak
85
sama. Setelah itu, kemudian dilakukan penentuan anggota sampel dengan cara acak atau random. Hal ini dilakukan karena setiap sampel memiliki kesamaan budaya, keanggotaan kelompok, pekerjaan dan pendidikan. Berdasarkan ketentuan Slovin tersebut, jumlah sampel yang diambil sebanyak 400 responden, dengan sebaran populasi dan ukuran jumlah sampel dari masing-masing kecamatan tersaji dalam Tabel 13. Tabel 13. Sebaran Populasi dan Jumlah Sampel No
Kecamatan
Jumlah Rumah Tangga
Jumlah Sampel (RT)
1.
Sukolilo
18.965
83
2.
Kayen
23.677
103
`3.
Tambakromo
15.817
69
4.
Winong
18.577
81
5.
Pucak Wangi
14.654
64
Jumlah
91.690
400
Sumber: BPS Kabupaten Pati Tahun 2009
Unit Analisis Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subyek penelitian (Arikunto 2002: 121). Unit analisis dalam penelitian adalah rumah tangga petani yang mengelola lahan kritis yang berada di Kecamatan Kayen, Sukolilo, Tambakromo, Winong dan Pucak Wangi. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kawasan Pegunungan Kendeng Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. Dipilihnya lokasi ini, karena kawasan ini merupakan kawasan lahan sangat kritis yang berada di hulu sub DAS Juana dan menjadi penyebab banjir setiap tahun bagi Kabupaten Pati dan Kudus. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2011. Pengumpulan Data dan Instrumentasi Penelitian Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan dibedakan menjadi dua macam, yaitu data primer dan sekunder. Data primer terdiri atas: karakteristik individu petani, motivasi petani, kesempatan petani, kemampuan petani, dukungan penyuluh, kinerja petani, dan keberlanjutan sistem agroforestri. Data sekunder, sebagai berikut: (1) Data tentang profil penyuluh dan rencana kerja penyuluhan berasal
86
dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati; dan (2) Data potensi lahan, sumber daya hutan dan kependudukan bersumber dari BPS Kabupaten Pati. Data primer dikumpulkan melalui kuesioner yang diberikan kepada responden penelitian dengan dibantu oleh enumerator. Jumlah enumerator sebanyak sembilan orang yang diambil dari guru-guru SMP dan SD yang terdapat di kelima kecamatan lokasi penelitian. Pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam kepada sumber informasi terpilih. Wawancara juga dilakukan kepada penyuluh kehutanan, tokoh petani, tokoh agama, tokoh pemuda, perusahaan swasta, lembaga swadaya masyarakat, peneliti dari Badan Penelitian Kaputen Pati, peneliti dari Pusat Penelitian Sosial Ekonomi (Sosek) Kementerian Kehutanan, DPRD Kabupaten Pati, pejabat Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati dan Perhutani. Instrumentasi Penelitian Instrumen penelitian (kuesioner) disusun oleh peneliti sendiri dan berkonsultasi dengan komisi pembimbing. Penyusunan kuesioner berdasarkan kajian literatur (tinjaun pustaka) yang mendasari teori penelitian ini. Kuesioner untuk menjaring data kuantitatif dengan menggunakan skala Likert. Sugiono (2001: 85) mengemukakan bahwa pengukuran dengan menggunakan skala Likert banyak digunakan untuk mengukur fenomena atau gejala-gejala sosial. Sevilla et al. (1993) menyatakan bahwa skor yang diperoleh dengan menggunakan skala Likert biasanya dipertimbangkan sebagai data interval walaupun sebenarnya adalah data ordinal. Menurut Azwar (2003) jumlah skor dalam Summarated Rating Scale yang diperoleh dari setiap responden merupakan data interval karena dapat diletak sepanjang garis kontinuum. Pada setiap peubah, masing-masing dikembangkan dalam beberapa pertanyaan dengan menggunakan empat alternatif pilihan jawaban yang dapat dipilih oleh responden sesuai dengan persepsi, perasaan dan kegiatan yang pernah dilakukkannya. Contoh dari empat alternatif jawaban tersebut antara lain: (a) Sangat baik = 4, cukup = 3, kurang baik = 2, dan tidak baik = 1. (b) Sangat sesuai = 4, cukup =3, kurang sesuai = 2, dan tidak sesuai = 1. (c) Selalu = 4, kadang-kadang = 3, jarang sekali = 2, dan tidak pernah = 1.
87
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian Sebelum digunakan untuk mengumpulkan data, instrumen yang telah disusun diuji terlebih dahulu validitas dan reliabilitasnya. Uji ini dilakukan agar dalam proses pengumpulan data diperoleh data yang valid atau absah dan memiliki tingkat konsistensi yang tinggi (reliabel), dengan kata lain data yang terkumpul memiliki akurasi tinggi, tepat dan sesuai keadaan sebenarnya. Menurut Suhardjo (2010), data dikatakan valid apabila data tersebut mampu mencerminkan kondisi yang sebenarnya dari obyek atau fenomena yang diamati. Validitas adalah suatu keadaan yang menunjukkan tingkat instrumen yang digunakan dapat dengan tepat mengukur apa yang diukur (Arikunto 2002). Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas konstruk dan validitas isi. Kedua validitas tersebut diperoleh melalui proses penyusunan kuesioner dengan memasukkan semua aspek yang dianggap sebagai kerangka konsep yang akan diukur. Untuk mendapatkan kuesioner yang memiliki tingkat validitas konstruk dan validitas isi tinggi, maka daftar pertanyaan disusun sebagai berikut: (a) mempertimbangkan teori-teori yang sesuai, (b) menyesuaikan isi pertanyaan dengan kondisi responden, (c) melibatkan komisi pembimbing dan pakar ilmu kehutanan khususnya (sistem agroforestri), dan (d) kuesioner diujicoba sebelum digunakan. Reliabilitas merupakan serangkaian alat ukur yang memiliki konsistensi bila pengukuran dilakukan pada waktu yang berbeda. Untuk menguji reliabilitas kuesioner menggunakan metode Cronbach’s Alpha, dengan bantuan program SPSS versi 16. Untuk memperoleh data yang benar-benar valid dan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya kuesioner perlu diujicobakan. Uji coba dilakukan pada 20 responden yang berada di sekitar hutan Kabupaten Rembang. Hasil uji coba kuesioner dianalisis dengan korelasi Pearson. Menurut Ancok (Singarimbun 1999) nilai korelasi yang diperoleh dari hasil uji coba kemudian dibandingkan dengan Tabel korelasi nilai r. Bila nilai korelasi dan reliabilitas hasil pengujian atau r
hitung
lebih besar dari rtabel, maka instrumen tersebut dianggap valid dan
reliabel. Untuk n=20 (responden uji coba) dan α = 0,05 diperoleh rtabel = 0,444 (sebagai titik batas/kritis).
88
Berdasarkan hasil ujicoba kuesioner dapat disimpulkan bahwa kuesioner valid dan reliabel, karena r
hitung
(valid) berkisar antara (0,568 – 0,895) > 0,444
(titik kritis), demikian juga dengan hasil pengujian Reliabilitas menunjukkan bahwa kuesioner ternyata reliabel dengan nilai koefisien reliabilitas berkisar antara (0,845 – 0,857). Hasil perhitungan validitas dan reliabilitas selengkapnya, disajikan pada Lampiran 1. Definisi Operasional dan Pengukuran Definisi operasional adalah unsur penelitian yang digunakan untuk mengukur peubah indikator dari laten eksogen maupun endogen (Singarimbun dan Effendi 1995). Menurut Black dan Champions (1992), menyatakan bahwa definisi operasional merupakan kuantifikasi dari definisi nominal. Definisi operasional dapat membantu menentukan prosedur pengukuran yang dilakukan, sehingga memudahkan dalam mengumpulkan data yang mendukung penelitian. Mengacu pada definisi operasional tersebut kemudian dibuat pengukuran parameter. Pengukuran parameter dilakukan untuk memperoleh sejumlah informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun indikator, definisi operasional dan parameter pengukuran dalam penelitian ini, sebagai berikut: (1)
Karakteristik individu petani (X1) adalah kondisi yang melekat pada individu atau seseorang petani, sehingga individu tersebut terdorong untuk mengelola lahan kritis dengan sistem agroforestri. Indikator, definisi operasional dan pengukuran karakteristik individu petani sekitar hutan, tersaji pada Tabel 14. Tabel 14. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Karakteristik Individu Petani Sekitar Hutan Indikator
Definisi Opersional
Parameter Pengukuran
X1.1
Umur
Masa hidup yang telah dilalui respoden
Dihitung jumlah usia responden sejak lahir sampai dengan menjadi responden (Tahun)
X1.2
Pendidikan formal
Pendidikan sekolah formal yang pernah diikuti oleh responden
Dihitung jumlah tahun sekolah formal yang pernah diikuti responden (tahun)
X1.3
Pendidikan non formal
Pelatihan yang terkait dengan sistem agroforestri
Dihitung jumlah pelatihan yang pernah diikuti responden (banyak latihan)
X1.4
Pengalaman bertani
Lamanya responden menggeluti bidang pertanian
Dihitung jumlah tahun sejak responden menjadi petani (tahun)
89
Tabel 14. Lanjutan Indikator
Definisi Opersional
Parameter Pengukuran
X1.5
Pengalaman melaksanakan agroforestri
Lamanya responden menekuni bidan agroforestri/tumpang sari
Dihitung jumlah tahun responden mengelola lahan dengan cara agroforestri atau tumpang sari
X1.6
Tingkat keterdedahan terhadap informasi
Kemudahan untuk mengakses sumber informasi tentang sistem agroforestri
Informasi tentang agroforestri yang diterima responden, berasal dari: - Penyuluh - Kelompok tani - Radio - Petani lainnya /tetangga - Anak sekolah Kemudahan mendapatkan informasi agroforestri yang dibutuhkan Kesesuaian anatar informasi yang diterima dengan kebutuhan responden
(2) Dukungan penyuluh (X2) adalah suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh untuk membantu petani dalam mengelola lahan kritis dengan sistem agroforestri. Indikator, definisi operasional dan pengukuran dukungan penyuluhan terhadap petani sekitar hutan, tersaji pada Tabel 15. Tabel 15. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Dukungan Penyuluhan terhadap Petani Sekitar Hutan Indikator X2.1
Tingkat kompetensi penyuluh
Definisi Opersional Sejauhmana penyuluh menguasai dasar-dasar yang dibutuhkan untuk menyuluh
Parameter Pengukuran Diukur melalui tingkat pemahaman penyuluh tentang filosofi penyuluhan partisipatif yang dirasakan responden Diukur melalui tingkat pemahaman penyuluh tentang komunikasi dialogis yang digunakan dalam penyuluhan yang dirasakan responden Diukur melalui tingkat pemahaman penyuluh tentang pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang dirasakan responden Diukur melalui tingkat pemahaman penyuluh tentang membangun jaringan kerja yang dirasakan responden
X2.2
Kesesuaian pendekatan penyuluhan
Sejauhmana penyuluh menguasai cara penyuluhan dalam penerapan sistem agroforestri
Tingkat pemahaman penyuluh tentang pendekatan penyuluhan: - Top down - Partisipatif Tingkat kemampuan dalam menerapkan pendekatan penyuluhan secara top down, yang dirasakan responden Tingkat kemampuan dalam menerapkan pendekatan penyuluhan secara partisipatif dirasakan responden
90
Tabel 15. Lanjutan Indikator X2.3
Ketepatan metode penyuluhan
Definisi Opersional
Parameter Pengukuran
Seberapa tepat penyuluh menguasai cara menyampaikan materi penyuluhan
Tingkat pengetahuan penyuluh tentang metode penyuluhan: - Ceramah - Diskusi/Tanya jawab - Kunjungan lapangan - Kunjungan rumah - Sekolah lapang Tingkat pemahaman tentang metode-metode pendekatan yang dirasakan responden Tingkat kemampuan dalam menerapkan metode-metode penyuluhan yang dilihat responden
X2.4
Kesesuaian materi penyuluhan
Sejauhman penyuluh menguasai bahan/informasi mengenai sistem agroforestri yang disuluhkan kepada petani
Tingkat pemahaman penyuluh tentang bentukbentuk agroforestri: - Agrisilvopastur - Silvopastoral - MPTS (multipurpose trees species) - Tumpang sari - Kebun campuran Tingkat kemampuan dalam menerapkan bentuk-bentuk agroforestri yang dirasakan responden
X2.5
Ketersediaan fasilitas penyuluhan
Peralatan yang dibutuhkan untuk memperlancar penyuluhan
Tingkat pengetahuan penyuluh tentang fasilitas penyuluhan: - Pondok/gubuk kerja - Demplot/persemaian - Kebun percobaan - Leaflet, brosur, media sumber belajar - Alat tulis dan papan tulis - Alat peraga Tingkat pemahaman penyuluh tentang fasilitas penyuluhan yang dirasakan responden Tingkat kemampuan penyuluh dalam mendesain fasilitas penyuluhan yang dilihat responden
X2.6
Intensitas penyuluhan
Banyaknya penyuluhan yang dilakukan penyuluh dalam setahun terakhir
Jumlah penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh PNS dalam satu tahun terakhir yang dilihat responden Jumlah penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh swadaya dalam satu tahun terakhir yang dirasakan responden Jumlah penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh swasta dalam satu tahun terakhir yang dirasakan responden
X2.7
Kelembagaan penyuluhan
Bentuk dan fungsi dari organisasi penyuluhan
Tingkat pemahaman penyuluh PNS tentang bentuk-bentuk organisasi penyuluhan yang dirasakan responden Persepsi responden terhadap keberadaan lembaga penyuluh di desa Tingkat kemanfaatan adanya lembaga penyuluhan di desa yang dirasakan responden
91
Tabel 15. Lanjutan Indikator X2.8
Tingkat kerjasama penyuluhan
Definisi Opersional Kegiatan penyuluhan yang dilakukan bersama antara penyuluh (PNS) dengan lembaga terkait
Parameter Pengukuran Kerjasama yang dilakukan oleh penyuluh PNS, yang dilihat responden melalui: - Petani maju - Dunia usaha/perusahaan - Tokoh masyarakat - Lembaga swadaya masyarakat - Pelaku pasar Tingkat pengetahuan penyuluhan PNS tentang kerjasama penyuluhan yang dirasakan responden Tingkat kemanfaatan hasil kerjasama penyuluhan yang dilakukan penyuluh PNS yang dirasakan responden
(3) Motivasi petani (Y1) adalah kekuatan yang mendorong individu petani untuk melakukan pengelolaan lahan kritis dengan menerapkan sistem agroforestri. Indikator, definisi operasional dan pengukuran motivasi petani sekitar hutan, disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Motivasi Petani Sekitar Hutan dalam Sistem Agroforestri Indikator Y1.1
Tingkat pemenuhan kebutuhan dasar
Definisi Opersional Sejuahmana kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan dapat dipenuhi dari hasil sistem agroforestri
Parameter Pengukuran Kebutuhan dasar yang menurut responden telah dipenuhi dari hasil sistem agroforestri - Sandang - Pangan - Papan - Kesehatan - Pendidikan Pemahaman responden tentang pentingnya untuk menyediakan kebutuhan dasar Tingkat
Y1.2
Intensitas hubungan sosial
Terjadinya pertemuanpertemuan atau diskusi antar petani
Kemudahan dalam menjalin komunikasi dengan anggota petani lainnya Kemudahan untuk mendapatkan informasi dari petani yang lain Merasakan pentingnya melakukan belajar bersama
Y1.3
Pengakuan atas keberhasilan pengelolaan lahan kritis
Sejauhmana diakuinya keberhasilan petani dalam menghijaukan lahan kritis di sekitarnya
Pengakuan masyarakat yang dapat dirasakan responden atas keberhasilan mengelola lahan kritis dengan dengan berbagai jenis tanaman Pengakuan pemerintah yang dapat dirasakan oleh responden atas keberhasilan menghijaukan lahan kritis.
92
Tabel 16. Lanjutan Indikator Y1.4
Tingkat kompetisi
Definisi Opersional Sejauhmana terjadi daya saing sehat antar petani dalam penerapan sistem agroforestri
Parameter Pengukuran Pemahaman responden tentang adanya daya saing sehat dalam penerapan sistem agroforestri Pentingnya mencoba hal baru untuk meningkatkan hasil usaha sistem agroforestri Upaya untuk mencari informasi harga pasar supaya dapat menjual hasil sistem agroforestri dengan harga yang lebih tinggi.
(4) Kesempatan petani (Y2) adalah kondisi atau situasi yang dapat dimanfaatkan oleh petani sekitar hutan untuk meningkatkan kinerjanya sehingga mendapatkan hasil yang optimal. Indikator, definisi operasional dan pengukuran kesempatan
petani sekitar hutan, tersaji pada Tabel 17. Tabel 17. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Kesempatan Petani Sekitar Hutan dalam Sistem Agroforestri
Y2.1
Y2.2
Indikator
Definisi Opersional
Parameter pengukuran
Luas lahan garapan
Jumlah luas lahan yang dikelola oleh petani dalam penerapan sistem agroforestri
Luas lahan garapan petani:
Kepastian pasar
Sejauhmana kondisi pasar sehingga petani dapat memasarkan hasil sistem agroforestri
Pihak-pihak yang terlibat dalam sistem pemasaran: - Tengkulak - Petani pengumpul - Pedagang kecil - Pedagamg besar - Perusahaan
-
Lahan milik Lahan sewa atau gadu Lahan sakap Lahan Perhutani/pesanggem
Kemampuan responden dalam membaca peluang pasar hasil sistem agroforestri Kemampuan daya tawar responden dalam memasarkan hasil sistem agroforestri Y2.3
Ketepatan kebijakan insentif
Sejauhmana insentif tepat pada sasarannya
Bentuk-bentuk kebijakan insentif : a. Insentif tidak langsung: - Penyuluhan - Pelatihan - Kebijakan-kebijakan dari pemerintah - Sekolah lapang b. Insentif langsung - Bantuan kredit - Pembangunan fasilitas - Subsidi benih/bibit atau pupuk - Penyediaan sumber informasi - Pemberian KUP, KBR, PUAP, PNPM
93
Tabel 17. Lanjutan Indikator
Definisi Opersional
Parameter Pengukuran Kesesuaian insentif/bantuan dengan kebutuhan responden Persepsi petani tentang insentif/bantuan Manfaat pemberian insentif/bantuan bagi petani
Y2.4
Peran institusi lokal
Sejauhmana adat atau norma dipatuhi pelaksanaannya dalam penerapan sistem agroforestri
Pengetahuan responden tentang bentukbentuk institusi lokal yang ada: - Nilai-nilai - Adat-istiadat - Norma - Budaya Pemahaman responden tentang keberadaan institusi lokal Pelaksanaan institusi lokal dalam penerapan agroforestri Pengaruh keberadaan institusi lokal dalam mengelola lahan Pemberlakuan sangsi bagi yang melanggar institusi lokal Keberlangsungan institusi lokal dalam sistem agroforestri
Y2.5
Pengaruh kepemimpinan lokal
Sejauhmana kemampuan pemimpin lokal dapat mempengaruhi petani dalam penerapan sistem agroforestri
Pihak-pihak yang digolongkan sebagai pemimpin lokal: - Pamong desa - Mantan guru/pegawai/pamong desa/TNI/Polri - Guru - Penyuluh - Polisi/TNI - Usthat Ketaatan terhadap kepemimpinan lokal Keteladan yang diberikan oleh pemimpin lokal Kepatuhan untuk mengikuti saran yang diberikan oleh pemimpin lokal
Y2.6
Peranan kelompok
Sejauhmana kemampuan kelompok dapat memerankan poisisnya dalam penerapan sistem agroforestri
Kesesuaian antara tujuan kelompok dengan tujuan responden sebagai anggota Kegiatan kelompok yang dapat membantu responden sebagai anggota Manfaat yang dirasakan oleh responden dengan menjadi anggota kelompok
(5) Kemampuan petani (Y3) adalah daya upaya yang dimiliki oleh petani sekitar hutan untuk meningkatkan kinerjanya dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis. Indikator, definisi operasional dan pengukuran kemampuan petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri, tersaji pada Tabel 18.
94
Tabel 18. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Kemampuan Petani Sekitar Hutan dalam Sistem Agroforestri Indikator Y3.1
Penyiapan lahan
Definisi Opersional Sejauhmana petani menyiapkan lahan dalam mengeola lahan kritis dengan sistem agroforestri
Parameter Pengukuran Pembuatan lubang tanam dan jalur tanam Pembuatan embung sederhana untuk menjaga ketersediaan air Persepsi petani tentang pemupukan awal dengan kompos Pengkomposan dengan pemanfaatan dari sisa tanaman dan kotoran ternak Manfaat yang dapat dirasakan setelah lahan dikelola dengan baik
Y3.2
Pemilihan jenis bibit atau benih
Sejauhmana kemampuan petani untuk menentukan bibit/benih dalam penerapan sistem agroforestri
Mengetahui sumber bibit: - Cabutan (alami) - Persemaian sendiri - Kerelaan untuk membeli - Sumbangan Mengetahui sumber benih: - Pohon induknya - Lembaga penelitian resmi - Petani yang berhasil Persepsi responden bibit/benih yang sehat Kemampuan membedakan jenis bibit/benih yang baik atau sehat Kemampuan dalam memprediksi daya tumbuh benih/bibit
Y3.3
Penanaman
Sejauhmana keterampilan petani dalam melakukan penanaman dalam penerapan sistem agroforestri
Pemahaman petani tentang teknik penanaman yang benar Keterampilan petani dalam membuat jalur tanam Kemampuan petani dalam menerapkan jarak tanam Kemampuan petani dalam melakukan pergiliran tanaman semusim
Y3.4
Penganekaragaman jenis tanaman
Sejauhmana petani menaman berbagai jenis tanaman semusim ataupun tanaman keras dalam penerapan sistem agroforestri
Mengidentifkasi jenis tanaman semusim yang dapat dikembangkan pada lahan kritis Menambah tanaman semusim yang sesuai dengan kondisi lahan dan permintaan pasar Persepsi petani tentang penganekaragaman jenis tanaman Memprediksi keberhasilan penganekaragaman jenis tanaman semusim Memprediksi keberhasilan penganekaragaman jenis tanaman keras
Y3.5
Pemeliharaan tanaman
Sejauhmana petani melakukan pemeliharaan tanaman semusim dan keras dalam pelaksanaan sistem agroforestri
Mengidentifikasi pemeliharaan dalam sistem agroforestri Persepsi petani tentang pemeliharaan tanaman dalam penerapan sistem agroforestri
95
Tabel 18. Lanjutan Indikator
Definisi Opersional
Parameter Pengukuran Membandingkan efesiensi pemeliharaan tanaman monokultur (pertanian) dengan sistem agroforestri
Y3.6
Pemanenan
Upaya yang dilakukan petani untuk memanen hasil sistem agroforestri
Penentuan masa panen: - Masa daur - Kebutuhan Persepsi petani tentang masa panen Pentingnya perlakuan pasca panen Ketepatan dalam menentukan masa panen Pelibatan pihak-pihak pada waktu panen
Y3.7
Pengembangan pemasaran
Upaya yang dilakukan petani untuk memasarkan hasil panennya agar mendapatkan hasil yang optimal
Kemampuan daya tawar petani untuk memasarkan hasil sistem agroforestri Kemitraan pemasaran hasil sistem agroforestri dengan pedagang besar atau perusahaan Pemasaran dilakukan secara berkelompok Pengolahan hasil sistem agroforestri Promosi penjualan hasil pengolahan sistem agroforestri
Y3.8
Pengembangan kelompok
Upaya yang dilakukan untuk menumbuh kembangkan kelompok
Mengidentifikasi unsur-unsur kelompok yang dapat dikembangkan Penertiban administrasi keanggotaan kelompok Peningkatan usaha kelompok Keikutsertaan dalam lomba kelompok berbagai jenjang
Y3.9
Tingkat kerjasama petani
Sejauhmana upaya yang dilakukan petani dalam menjalin kerjasama dengan berbagai pihak
Mengidentifikasi stakeholders yang berminat bekerja sama : - Kelompok tani - Petani berhasil - Perusahaan bibit - Perum Perhutani Persepsi petani tentang kerjasama dalam penerapan sistem agroforestri Manfaat yang dapat dirasakan petani dalam melaksanakan kerjasama Kendala-kendala dalam melaksanakan kerjasama dalam penerapan sistem agroforestri
(6) Tingkat kinerja petani (Y4) adalah hasil kerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis, yang dapat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Indikator, definisi operasional dan pengukuran kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya, tersaji pada Tabel 19.
96
Tabel 19. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Sistem Agroforestri Indikator Y4.1
Tingkat pendapatan
Definisi Opersional Jumlah rupiah yang diterima petani dari hasil penerapan sistem agroforestri
Parameter Pengukuran Penghasilan yang diterima dari hasil tanaman semusim Penghasilan yang diterima dari hasil tanaman tahunan Penghasilan yang diterima dari hasil ternak Hasil sharing sebagai pesanggem
Y4.2
Persentase luas lahan tertanami
Perbandingan antara luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri dengan tanaman monokulture
Jumlah prosentase luasan lahan milik yang ditanami sistem agroforestri bertambah Jumlah persentase luasan lahan sewa yang ditanami dengan sistem agroforestri bertambah Jumlah persentase luasan lahan “paroan” yang ditanami dengan sistem agroforestri bertambah
Y4.3
Y4.4
Persentase tegakan tumbuh sehat
Keragaman bahan pangan
Perbandingan antara tegakan petani yang tumbuh sehat dalam penerapan sistem agroforestri dengan tanaman monokulutur
Jumlah tegakan pohon pokok (jati dan mahoni) yang ditanam tumbuh subur dan sehat
Sejauhmana ketersediaan bahan pangan hasil sistem agroforestri yang dapat dikonsumsi petani
Sumber bahan pangan dari hasil sistem agroforestri
Jumlah tegakan MPTS yang ditanaman tumbuh subuh dan sehat Jumlah tegakan tanaman sela yang ditanaman tumbuh subuh dan sehat
Persepsi petani tentang bahan pangan dari hasil agroforestri Ketertarikan petani untuk mengkosumsi hasil sistem agroforestri sebagai bahan pangan
Y4.5
Terjalinnya jaringan bisnis sistem agroforestri
Sejauhmana terbangun jaringan bisnis sistem agroforestri, agar petani mudah mendapatkan sumber input dan menjual hasil panen
Indentifikasi jenis sumber bahan input sistem agroforestri: - Pupuk - Benih - Bibit - Informasi yang dibutuhkan Tingkat ketersediaan sumber bahan input yang dibutuhkan untuk sistem agroforestri Kesesuaian input dengan kebutuhan masyarakat Persepsi petani tentang jaringan sistem agroforestri Kepercayaan petani terhadap pihak lain dalam menjalin bisnis
(7)
Keberlanjutan sistem agroforestri (Y5) adalah dilaksanakannya sistem agroforestri pada lahan kritis secara terus menerus. Indikator, definisi operasional dan pengukuran keberlanjutan dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya, tersaji pada Tabel 20.
97
Tabel 20. Indikator, Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Keberlanjutan Penerapan Sistem Agroforestri Indikator Y5.1
Y5.2
Ekonomi
Sosial
Definisi Opersional
Parameter Pengukuran
Sejauhmana dampak ekonomi yang dapat dirasakan oleh petani dalam penerapan sistem agroforestri
Aspek ekonomi jangka pendek, terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar
Sejauhmana dampak sistem agroforestri terhadap kehidupan sosial petani
Pengakuan adat budaya setempat
Aspek ekonomi jangka panjang, seperti imbas jasa lingkungan Perhatian terhadap situs-situs dan tempat ritual masyarakat Penghargaan pada pengetahuan lokal
Y5.3
Lingkungan
Sejauhmana dampak lingkungan yang dapat dirasakan oleh petani dalam penerapan sistem agroforestri
Pengembalian kesuburan tanah Menjaga ketersediaan air tanah dan sumber mata air Mencegah terjadinya bencana banjir Berkontribusi alam terjadinya global warming
Teknik Analisis Data Untuk keperluan analisis data, perlu dilakukan transformasi data yaitu dengan transformasi indeks indikator. Indeks indikator yang terkecil atau terendah yaitu 0, sedangkan yang terbesar atau tertinggi yaitu 100 untuk masing-masing indikator. Rumus umum transformasi indeks indikator yang digunakan (Sumardjo 1999), adalah: Jumlah skor yang dicapai per indikator – jumlah skor minimal Indeks Indikator =
Mminimum
X 100%
Jumlah skor ideal – jumlah skor minimal
Nilai indeks transformasi minimum dicapai apabila semua parameter pada setiap indikator setelah diukur memiliki nilai 1, sedangkan indeks maksimum dicapai apabila semua parameter setiap indikator setelah diukur memiliki nilai 4. Dengan menggunakan pengukuran ini, maka sebaran data yang merupakan nilai skala interval berkisar antara 0 sampai dengan 100. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis biplot, korelasi Person dan Structural Equation Modelling (SEM). Analisis biplot dilakukan dengan menggunakan program wolfram. Analisis biplot dipergunakan untuk mengetahui kelayakan data diuji dan dianalisis dengan SEM, dengan ketentuan bahwa jumlah data ( jumlah sub peubah x jumlah responden > 10.000) yang dapat tergambar dalam dua demensi minimal 70,0 persen (Kutha 2010).
98
Korelasi Pearson dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 16. Korelasi ini untuk menjelaskan atau mendiskripsikan hubungan antara indikator yang mencirikan masing-masing peubah. Selanjutnya untuk menentukan model struktural yang dihasilkan dalam penelitian ini dengan analisis SEM, di mana pengolahannya dengan menggunakan bantuan program LISREL versi 8,7. Peubah untuk analisis SEM adalah peubah laten eksogen dan endogen. Peubah laten eksogen dalam penelitian ini, yaitu: dukungan penyuluhan (X2). Peubah laten endogen, yaitu: motivasi petani (Y1), kesempatan yang tersedia bagi petani (Y2), kemampuan petani (Y3), tingkat kinerja petani (Y4) dan keberlanjutan (Y5). Penulisan umum untuk notasi SEM selengkapnya, disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Penulisan Umum Notasi SEM No
Nama/Jenis Peubah
Notasi
Keterangan
Peubah eksogen: 1.
Peubah X2
Dukungan penyuluhan
Peubah endogen: 2.
Peubah Y1
Motivasi petani sekitar hutan
3.
Peubah Y2
Kesempatan petani sekitar hutan
4.
Peubah Y3
Kemampuan petani sekitar hutan
5.
Peubah Y4
Kinerja petani sekitar hutan
6.
Peubah Y5
Keberlanjutan sistem agroforestri
7.
Tingkat kesalahan
Error dari peubah endogen
8.
Tingkat kesalahan
Error dari dari manifes eksogen
9.
Tingkat kesalahan
Error dari manifes endogen
10.
Koefisien ke xi dari
Bobot faktor atau factor loading X2
11.
Koefisien ke yi dari
Bobot faktor factor loading Y1
12.
Koefisien ke
Nilai koefisien peubah eksogen ke endogen
dari
13. Koefisien ke dari Keterangan: i = 1 sampai dengan n
Nilai koefisien antar peubah endogen
Selanjutnya penggambaran dalam bentuk SEM, sebagai berikut: peubah laten eksogen: X2 = ξ1 dan peubah laten endogen: Y1 = η1, Y2 = η2, Y3 = η3, Y4 = η4 dan Y5 = η5, serta kesalahan yang terletak pada masing-masing peubah laten (ζ). Diagram jalur persamaan struktural peningkatan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agoforestri selengkapnya, disajikan pada Gambar 4.
99
x21
x22
x24
x23
x25
x26
x27
x28
y11
1
y1
y12
y2
y13
1 2
y3
y14
y4
y15 y16
y5
y17
y6
y18
y7
y19
y8 y9 y10
Y20
Y21
Y22
Y23
Y24
Y25
Gambar 4. Diagram Jalur Persamaan Sruktural Peningkatan Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Keterangan: = Dukungan Penyuluhan η1 = Motivasi Petani = Kesempatan Petani
η3 = Kemampuan Petani η4 = Kinerja Petani η5 = Keberlanjutan
Y26
Y27
100
Untuk melakukan pendugaan parameter menggunakan estimasi kesamaan maksimum (Maximum likelihood estimation atau MLE) yang merupakan metode yang paling umum. MLE, membuat estimasi didasarkan pada tindakan memaksimalkan
probabilitas
(likelihood)
bahwa
kovarian-kovarian
yang
diobservasi ditarik dari suatu populasi yang diasumsikan sama seperti yang direfleksikan dalam estimasi-estimasi koefisien. Artinya, MLE mengambil estimasi-estimasi yang mempunyai kesempatan terbesar untuk mereproduksi data yang diobservasi. Uji kesesuaian model (model fit), untuk mengukur ataupun menguji hipotesis model yang dibuat yaitu: (1)
P-value, dengan ketentuan nilai P-value > 0,050.
(2)
Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA), dengan ketentuan nilai RMSEA < 0,080.
(3)
Comparative Fit Index (CFI)), dengan ketentuan nilai CFI > 0,90 (Kusnendi 2007: 15; dan Wijayanto 2008: 61-65).
101
GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG Wilayah Pegunungan Kendeng merupakan bagian dari Kabupaten Pati dengan kondisi umum yang
tidak terpisahkan dari kondisi Kabupaten Pati.
Kondisi wilayah Pegunungan Kendeng yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kondisi yang menjelaskan secara umum keadaan dan situasi yang terdapat di Kabupaten Pati dan secara khusus Pegunungan Kendeng, yang meliputi: letak geografis, iklim, tofografi dan tanah, pengunaan lahan. Letak Geografis Kabupaten Pati Kabupaten Pati merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, yang terletak pada 110050’sampai dengan 111015’ Bujur Timur dan 6025’ sampai dengan 7000’ Lintang Selatan, dengan batas-batas sebagai berikut: -
Sebelah Utara
: Kabupaten Jepara dan Laut Jawa
-
Sebelah Timur
: Kabupaten Rembang dan Laut Jawa
-
Sebelah Selatan
: Kabupaten Grobogan dan Blora
-
Sebelah Barat
: Kabupaten Kudus dan Jepara
Luas daratan Kabupaten Pati sebesar 150.368 hektar dan laut sebesar 444.480 km2 (Bappeda 2010). Secara administratif Kabupaten Pati terbagi dalam 21 kecamatan, yaitu: Kecamatan Pati, Margorejo, Gembong, Tlogowungu, Tayu, Cluwak, Dukuhseti, Gunungwungkal, Margoyoso, Juwana, Trangkil, Batangan, Wedarijaksa, Jakenan, Jaken, Pucakwangi, Winong, Kayen, Sukolilo, Gabus, dan Tambakromo. Deretan Pegunungan Kendeng memanjang dari Kabupaten Pati, Rembang sampai dengan Kabupaten Blora. Pegunungan Kendeng mendominasi wilayah selatan Kabupaten Pati, yang meliputi: Kecamatan Tambakromo, Kayen, Sukolilo, Winong dan Pucak Wangi. Iklim Kabupaten Pati Pada tahun 2010 rata-rata curah hujan sebanyak 1.602 mm yang terjadi selama 88 hari per tahun. Menurut Oldeman Kabupaten Pati memiliki tiga tipe iklim, yaitu: (1) Tipe C, agak basah yang memiliki bulan basah sebanyak 5-6 bulan berturut-turut ; (2) Tipe D, sedang yang memiliki bulan basah sebanyak 3-4 bulan berturut-turut ; dan (3) Tipe E, agak kering yang memiliki bulan basah
102
kurang dari 3 bulan berturut-turut. Suhu udara berkisar antara 230C sampai dengan 390C. Tipe iklim pada Pegunungan Kendeng adalah tipe C dan D. Tipe iklim C, terdapat di Kecamatan Winong dan Pucak Wangi, sedangkan tipe iklim D terletak di Kecamatan Tambakromo, Kayen dan Sukolilo (BPS 2009). Tanaman yang sesuai dengan tipe iklim C antara lain padi sawah dan palawija, sedangkan tipe iklim D adalah tanaman palawija. Topografi dan Tanah Kabupaten Pati Topografi Kabupaten Pati datar dan berbukit-bukit. Topografi berbukit dapat di jumpai pada wilayah Pati bagian Barat dan Selatan. Kabupaten Pati mempunyai ketinggian terendah 1 meter dari permukaan air laut (m dpl) dan tertinggi 380 m dpl, dengan ketinggian rata-rata 17 m dpl. Wilayah terendah terletak di Kecamatan Juana, Batangan, Cluwak, Tayu, Trangkil, Margoyoso, Wedarijaksa dan Dukuhseti. Sedangkan wilayah tertinggi terletak di Kecamatan Gembong. Wilayah Pati bagian Selatan atau Pegunungan Kendeng memiliki daratan terendah 10 m dpl, dan tertinggi 201 m dpl dengan rata-rata ketinggian 21,2 m dpl. Rincian ketinggian Pegunungan Kendeng dari permukaan air laut tersaji pada Tabel 22. Tabel 22. Rincian Ketinggian Pegunungan Kendeng ( m dpl). No
Kecamatan
Tertinggi (m dpl)
Terendah (m dpl)
Rerata (m dpl)
1.
Sukolilo
201
10
24
2.
Kayen
201
10
24
3.
Tambakromo
201
10
15
4.
Pucak Wangi
125
11
25
5. Winong 120 Sumber: BPS Kabupaten Pati Tahun 2009.
11
18
Jenis tanah Kabupaten Pati (BPS 2009) terdiri atas: (1) Jenis tanah red yellow mediteran adalah tanah yang banyak mengandung liat, kejenuhan basa lebih dari 50 persen dan warna tanah merah kekuningan; (2) Jenis tanah latosol adalah tanah dengan kadar liat lebih dari 60 persen, remah sampai gumpal, gembur, warna tanah seragam dan solum dalam, yaitu lebih dari 150 cm; (3) Jenis
103
tanah alluvial adalah tanah berasal dari endapan baru, berlapis-lapis, dan kandungan pasir kurang dari 60 persen; (4) Jenis tanah hidromer sama dengan tanah podsolik, artinya tanah yang banyak mengandung liat dan kejenuhan basa kurang dari 50 persen; (5) Jenis tanah regosol adalah tanah bertekstur kasar dengan kadar pasir lebih dari 60 persen; dan (6) Jenis tanah gromosol adalah tanah dengan kadar liat lebih dari 30 persen, dapat mengembang dan mengerut. Bila musim kering tanah keras dan retak-retak dan pada kondisi basah lengket atau mengembang. Jenis tanah yang terdapat di Pegunungan Kendeng adalah: (1) Jenis tanah alluvial terdapat di Kecamatan Tambakromo, Kayen dan Sukolilo; (2) Jenis tanah hidromer terdapat di Kecamatan Kayen, Tambakromo, Pucak Wangi dan Winong; dan (3) Jenis tanah gromosol terdapat di Kecamatan Pucak Wangi dan Winong. Selain ketiga jenis tanah tersebut, sepanjang Pegunungan Kendeng didominasi jenis tanah padas (karst) sebagai bahan bahu semen dan marmer. Penggunaan Lahan di Kabupaten Pati Penggunaan lahan dibedakan dalam dua kategori yaitu: lahan sawah dan lahan bukan sawah. Luas lahan sawah sebesar 58.448 hektar atau 38,87 persen, dan lahan bukan sawah sebesar 91.920 hektar atau sekitar 61,13 persen. Penggunaan lahan di Pegunungan Kendeng, juga dibedakan menjadi dua, yaitu: lahan sawah sebesar 24.278 hektar atau 16,1 persen dan lahan bukan sawah seluas 28.607 hektar atau 19,07 persen. Rincian penggunaan lahan di Kabupaten Pati dan Pegunungan Kendeng selengkapnya, disajikan pada Tabel 23. Sesuai dengan keadaan topografi, tipe iklim dan jenis tanah, wilayah Pegunungan Kendeng merupakan daerah kering dan kritis. Keadaan tersebut berpengaruh terhadap pola penggunaan lahan. Penggunaan lahan di Pegunungan Kendeng, cenderung untuk tanaman palawija yang dipadukan dengan tamanan keras atau pepohonan. Hal ini tercermin dari luas lahan tadah hujan dan hutan negara, sebesar 52,4 persen dari luas keseluruhan kedua lahan tersebut ditanami dengan palawija dan pepohonan. Demikian juga, luas lahan tegalan sebesar 33,9 persen dari keseluruhan luas tegalan di Kabupaten Pati. Bahkan, luas hutan rakyat di Kabupaten Pati 96,4 persennya terletak di Pegunungan Kendeng (BPS 2009).
104
Tabel 23. Perbandingan Penggunaan Lahan di Kabupaten Pati dan Pegunungan Kendeng Penggunaan Lahan
Kabupaten Pati
Pegunungan Kendeng
Luas (Ha)
Persentase
Luas (Ha)
Persentase
Pengairan teknis
18.150
12,1
7.962
5,3
Pengairan semi teknis
8.871
5,9
3.667
2,4
Pengairan sederhana
9.073
6,0
2.286
1,5
Tadah hujan
22.162
14,7
10.363
6,9
192
0,13
-
-
Pekarangan
26.258
17,5
8.075
5,4
Tegalan
28.347
18,9
9.297
6,2
Hutan rakyat
1.667
1.1
1.607
1,07
Hutan Negara
16.548
11,0
9,630
6,4
Perkebunan
2.314
1,5
-
-
Tambak/kolam/rawa
11.040
7,3
-
-
Lain-lain
5.746
3,8
-
-
100
52.887
35,2
1. Lahan Sawah
-
Lain-lain
2. Lahan Bukan Sawah
-
Jumlah 150.368 Sumber: BPS Kabupaten Pati Tahun 2009 (diolah).
Pola pengelolaan lahan petani Pegunungan Kendeng secara garis besar dibedakan menjadi dua macam yaitu sebelum era reformasi (tahun 1999) dan sesudah reformasi. Sebelum era reformasi, petani secara intensif mengelola lahan milik dan atau lahan gadu (menggarap lahan milik orang lain), dengan jenis tanaman semusim terutama padi dan palawija. Setelah era reformasi yang ditandai dengan penjarahan kayu (illegal logging) pada kawasan hutan Perhutani, pola pengelolaan lahan berubah. Perubahan ini terjadi, karena petani diberikan akses untuk dapat mengelola dan memanfaatkan lahan kawasan hutan Perhutani yang dikemas dalam bentuk kelompok tani lembaga masyarakat desa hutan (LMDH). Kegiatan LMDH tersebut, pengelolaan lahan dilakukan dengan sistem tumpang sari atau agroforestri sederhana. Petani diwajibkan menanam taman pokok (jati), dan di sela-selanya ditanami dengan tanaman semusim. Pembagian hasil dari tanaman dilakukan dengan pola bagi hasil (sharing). Pengaturan pola bagi hasil disepakati bersama antara anggota kelompok yang diwakili oleh ketua kelompok dengan pihak Perhutani. Selain petani mendapatkan penghasilan dari pengelolaan lahan, petani juga dilibatkan secara aktif dalam perencanaan,
105
pelaksanaan, dan pengawasan. Pelibatan petani dalam perencanaan, antara lain petani diberikan kewenangan untuk merencanakan tanaman semusim yang sesuai dengan umur tanaman pokok. Keterlibatan petani dalam pelaksanaan, antara lain: membuat lubang tanam, menanam, memelihara dan melakukan penjarangan. Sedangkan keterlibatan dalam pengawasan, petani diberikan tanggung jawab untuk menjaga hutan yang dikelola bersama dalam bentuk LMDH. Keterlibatan petani dalam pelaksanaan kegiatan LMDH, memberikan dampak pada pola pengelolaan lahan milik petani. Pola pengelolaan lahan milik petani meniru seperti yang dilakukan dalam kegiatan LMDH. Lahan-lahan tadah hujan dan tegalan yang dahulu ditanami secara intensif ditanami dengan tanaman semusim mulai dipadukan dengan tanaman keras seperti jati dan mahoni, sehingga membentuk sistem agroforestri sederhana atau hutan rakyat campuran. Pola pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri sederhana tersebut, pada saat ini telah menjadi trend di Kabupaten Pati. Hal ini terbukti dalam kurun waktu lima tahun terakhir penambahan hutan rakyat campuran (agroforestri sederhana) seluas 4.545 hektar atau rata-rata per tahunnya seluas 909 hektar (Bappeda 2010).
106
Gambar 5. Lokasi penelitian kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri
DESKRIPSI PETANI PEGUNUNGAN KENDENG DAN DUKUNGAN PENYULUHAN Karakteristik Individu Petani Petani Pegunungan Kendeng yang berumur lebih dari 50 tahun sebesar 61,5 persen; berpendidikan rendah atau setingkat sekolah dasar (SD) sebanyak 66,5 persen; jarang sekali mengikuti pendidikan non formal sebanyak 86,0 persen. Memiliki pengalaman bertani lebih dari 31 tahun sebanyak 63,0 persen; sebagian besar (61,5 persen) berpengalaman melaksanakan agroforestri lebih dari 27 tahun; dan keterdedahan terhadap informasi termasuk sedang (skor rerata 62,9). Sebaran karekteristik individu petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Sebaran Karekteristik Individu Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sub Peubah
Skor
Ketegori
n
Persentase (%)
Umur
30 – 39 th
Muda
51
12,8
Rerata 50,4 tahun
40 – 49 th
Agak tua
103
25,7
50 – 69 th
Tua
246
61,5
Pendidikan formal
0 – 6 th
Rendah
266
66,5
Rerata 5,8 ≈ 6 tahun
7 – 12 th
Sedang
80
20,0
13 – 16 th
Tinggi
54
13,5
Pendidikan non formal
0 – 2 kali
Rendah
344
86,0
Rerata 1 kali
3 – 4 kali
Sedang
45
11,3
5 – 6 kali
Tinggi
11
2,7
Pengalaman bertani
10 – 20 tahun
Rendah
72
18,0
Rerata 31,2 tahun
21 – 30 tahun
Sedang
76
19,0
31 – 40 tahun
Tinggi
252
63,0
Pengalaman agroforestri
5 – 15 tahun
Rendah
74
18,5
Rerata 27,4 tahun
16 – 26 tahun
Sedang
80
20,0
27 – 39 tahun
Tinggi
246
61,5
Keterdedahan thd informasi
0 – 50,0
Rendah
70
17,5
Skor rerata = 62,9
50,1 – 75,0
Sedang
216
54,0
75,1 – 100
Tinggi
114
28,5
Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif, antara umur petani dengan pengalaman bertani dan pengalaman melaksanakan agroforestri. Hubungan nyata (α=0,01) dan negatif, antara umur petani dengan pendidikan formal dan non formal. Selanjutnya, terdapat hubungan nyata dan negatif, antara pendidikan formal dengan pengalaman melaksanakan agroforestri, serta antara pendidikan
108
non formal dan pengalaman bertani. Hubungan antar indikator yang mencirikan karakteristik individu petani dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Hubungan antar Indikator Karakteristik Individu Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Karakteristik Individu Umur Pendidikan formal
Karakteristik Individu Petani Umur
Pendidikan formal
Pendidikan non formal
Pengalaman bertani
Pengalaman agroforestri
Keterdedahan thd informasi
1
-0,764**
-0,523**
0,837**
0,670**
-0,115
1
0,560**
-0584**
-0,397*
0,386*
1
-0,384*
-0,287
0,146
1
0,801
0,065
1
0,022
Pendidikan non formal Pengalaman bertani Pengalaman agroforestri Keterdedahan thd informasi
1
Keterangan: **) Nyata pada α=0,01; dan *) Nyata pada α=0,05
Umur Petani Rentang umur responden berkisar antara 30 sampai dengan 69 tahun, dengan rerata 50,4 tahun, yang termasuk kategori berumur tua. Fenomena ini terjadi karena generasi muda kurang berminat dan tertarik menjadi petani. Mereka lebih memilih berurbanisasi dan bekerja sebagai buruh bangunan, buruh pabrik, karyawan toko, pedagang keliling dan pegawai. Selain itu, mereka memilih merantau ke luar pulau Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua, serta menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, Korea Selatan dan Arab Saudi. Data Bappeda (2010) menunjukkan bahwa pada tahun 2009 masyarakat Kabupaten Pati yang menjadi TKI ke luar negeri sebanyak 18.627 orang. Akibatnya, wilayah Pegunungan Kendeng kekurangan tenaga kerja yang potensial untuk menggarap lahan pertanian maupun kehutanan. Kondisi ini berpengaruh pada: (1) Program pemerintah tentang ketahanan pangan menjadi terganggu, padahal Kabupaten Pati merupakan salah satu sentra panghasil beras di Jawa Tengah (Distannak 2010); (2) Hutan rakyat dengan sistem agroforestri bertambah luas, karena petani yang berumur tua secara alamiah tenaga fisiknya mulai melemah sehingga mencari alternatif tanaman yang kurang membutuhkan
109
tenaga. Padmowihardjo (1999) menyatakan bahwa kemampuan belajar seseorang mencapai puncaknya pada umur 25 tahun kemudian turun secara gradual sampai dengan umur 46 tahun, kemudian turun secara nyata pada umur 55 sampai dengan 65 tahun, tetapi kedewasaan dan pengalamannya semakin meningkat. Hasil temuan ini, diharapkan menjadi perhatian bagi pihak-pihak yang berkepentingan supaya merencanakan dan menciptakan program-program unggulan di bidang pertanian dan kehutanan yang menarik minat generasi muda, agar mereka tidak meninggalkan desa dan merasa bangga menjadi petani. Pendidikan Formal Rentang tingkat pendidikan formal responden berkisar antara 0 sampai dengan 16 tahun, dengan rerata 5,8 tahun atau setara dengan lulus sekolah dasar (SD). Bahkan, ditemukan terdapat responden yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah sama sekali. Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan negatif, antara tingkat pendidikan formal dengan umur petani. Semakin tua umur petani semakin rendah tingkat pendidikan formal yang dimilikinya. Kondisi ini berarti, bahwa pendidikan formal pada masa itu belum menjadi kebutuhan petani. Pendidikan masih dianggap sebagai “barang mahal” yang hanya dapat dinikmati oleh kaum “priyayi” dan petani-petani kaya. Pada saat ini, kondisi tersebut telah berubah, anak-anak petani sebagian ada yang lulus SMP dan SMA. Terjadinya hal tersebut karena petani telah sadar bahwa pendidikan merupakan bekal untuk meraih masa depan yang lebih baik. Tidak dipungkiri bahwa kebijakan pemerintah tentang wajib belajar sembilan tahun juga berperan meningkatkan pendidikan formal anak-anak petani. Sebenarnya, ditemukan hal lain yang menjadi pendorong kuat yaitu keinginan orang tua agar anak-anaknya dapat menjadi pegawai, perangkat desa atau guru. Petani melihat orang-orang tersebut memiliki tingkat kehidupan yang lebih sejahtera dibandingkan dengan petani biasa. Pendidikan formal dibutuhkan petani dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis. Hal ini terkait dengan pengetahuan dan wawasan dalam menemukan dan memecahkan masalah yang dihadapi. Tidak jarang ditemukan petani kurang tepat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya, karena keterbatasan pendidikan dan tradisi yang dimiliknya. Sebagai contoh: mulai
110
menanam padi harus dilakukan pada bulan ganjil, karena kalau bulan genap diyakini gagal panen. Pendidikan Non Formal Selaras dengan pendidikan formal sebanyak 86,0 persen responden jarang sekali mengikuti pendidikan non formal atau pelatihan. Bahkan, ditemukan petani sama sekali tidak pernah mengikuti pelatihan, magang dan sejenisnya. Pelatihan merupakan sarana untuk meningkatkan keterampilan, agar kinerja petani meningkat. Sumpeno (2004) menyatakan bahwa peningkatan keterampilan tidak hanya dilakukan secara formal tetapi dapat melalui pelatihan, lokakarya, kunjungan silang, magang dan on the job training. Davies (2005) menyatakan bahwa pelatihan merupakan jawaban atas perubahan yang terjadi dan untuk memenuhi kebutuhan sebagai sarana untuk mempersiapkan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan negatif, antara umur petani dengan tingkat pendidikan non formal. Semakin tua umur petani semakin jarang mengikuti pelatihan. Penyebabnya adalah lembaga yang menyelenggarakan pelatihan menetapkan persyaratan tertentu, antara lain: (1) Peserta pelatihan minimal berpendidikan SMP atau sederajat; atau (2) Ketua atau pengurus kelompok tani. Mengacu persyaratan tersebut, petani berumur tua tidak dapat mengikuti pelatihan karena mereka maksimal hanya lulus SD dan tidak semua petani menjadi pengurus kelompok. Sampai dengan saat ini, pelatihan yang telah dilaksanakan antara lain: (1) Sistem penanaman jagung tanpa oleh tanah (TOT) yang dilaksanakan oleh perusahaan pabrik jagung bisi dan pioneer; (2) Sistem agroforestri yang dilaksanakan oleh Perhutani dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan pada 2003/2004 dalam kegiatan gerakan rehabilitasi lahan (gerhan); dan (3) Silvikultur intensif (silin) yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Mengingat pentingnya pelatihan sebagai sarana untuk menyiapkan perubahan perilaku petani dalam ranah peningkatkan keterampilan, sepatutnya lembaga yang berwenang mendesain dan menyelenggarakan pelatihan yang bersifat mobile, yaitu pelatihan yang dilaksanakan secara berpindah-pindah disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi petani. Pelatihan tersebut dapat
111
dilakukan dengan jalan bekerja sama dengan penyuluh dan kelompok tani. Penyuluh dapat berperan sebagai fasilitator dan kelompok tani sebagai penyelenggara, dengan demikian petani generasi tua berkesempatan mengikuti pelatihan untuk meningkatkan keterampilannya dalam pengelolaan lahan kritis. Pengalaman Bertani Rentang pengalaman bertani responden berkisar antara 10 sampai dengan 40 tahun, dengan rerata 31,2 tahun termasuk dalam kategori tinggi. Terdapat keselarasan antara umur petani dengan pengalaman bertaninya. Hal ini menunjukkan bahwa dunia pertanian telah ditekuni responden sejak usia remaja. Panjangnya pengalaman bertani menyebabkan petani dapat melihat dengan cermat dan teliti tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan pertanian di lahan kritis. Dipandang dari dunia pendidikan termasuk penyuluhan, pengalaman merupakan suatu akumulasi dari proses belajar yang dialami petani, yang dilakukan secara gradual atau pelan-pelan. Pengalaman tersebut diperoleh dari setiap peristiwa yang terjadi, baik gagal maupun berhasil. Melalui setiap kejadian tersebut, petani dapat mengambil pelajaran yang dimanfaatkan untuk bertaninya. Hal ini dipertegas oleh hubungan nyata (α=0,01) dan positif, antara pengalaman bertani dan umur petani. Padmowiharjo (1999) menyatakan bahwa rangkaian setiap pengalaman yang berhasil merupakan suatu hasil proses belajar yang bersifat abstrak dan membentuk suatu peta kognitif. Pengalaman Melaksanakan Agroforestri Selaras dengan pengalaman bertani, pengalaman melaksanakan sistem agroforestri di lahan kritis sebanyak 61,5 persen responden, lebih dari 27 tahun. Sebenarnya, pengalaman melaksanakan sistem agroforestri tersebut sama dengan pengalaman bertani, karena petani telah melaksanakan salah satu bentuk sistem agroforestri yaitu “tumpang sari” sejak masa remaja. Hairiah et al. (2003) menyatakan bahwa ilmu sistem agroforestri merupakan ilmu lama yang dikemas dalam bentuk baru. Panjangnya
pengalaman
petani
melakukan
kegiatan
agroforestri,
menyebabkan petani mampu mengelola lahannya dengan efesien dan efektif. Efesiensi dan efektivitas pengelolaan lahan tersebut tercermin dari penggunaan
112
lahan pekarangan rumah dan tegalan yang dilakukan petani secara tradisonal, sederhana dan terpadu. Tradisional, karena kebiasaan petani menanam tanaman untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sederhana, karena penanaman dilakukan petani tanpa perencanaan, penanaman dilakukan agar lahan tidak kosong atau gersang. Terpadu, karena semua jenis tanaman ditanam, termasuk untuk memelihara ternak. Kondisi ini terlihat dari pekarangan rumah yang ditanami dengan berbagai jenis tanaman keras (jati, mahoni, mangga, rambutan dan kelapa), sayuran, tanaman obat dan untuk memelihara ternak. Keterdedahan terhadap Informasi Tingkat keterdedahan terhadap informasi termasuk dalam kategori sedang, dinyatakan sebanyak 54,0 persen responden. Hal ini mengindikasikan bahwa petani telah mampu mengakses atau mendapatkan informasi dari berbagai sumber informasi. Sumber informasi petani, diperoleh dari sesama petani, pedagang atau tengkulak, penebas, dan perangkat desa yang sekaligus sebagai pengurus kelompok. van den Ban dan Hawkins (1999) dan Mardikanto (2009) menyatakan bahwa sumber informasi petani berasal dari para petani yang lain, agen penyuluh dan lembaga informasi. Penyebaran informasi dilakukan dengan cara dari mulut ke mulut. Tempat yang digunakan petani seperti: warung kopi, sawah dan pos jaga. Tempat-tempat tersebut menjadi tempat berkumpul para petani pada pagi dan sore hari. Jenis informasi yang disebarluaskan cukup beragam yaitu: harga benih jagung, pupuk dan bibit tanaman, serta harga jual kayu, jagung, singkong dan ternak. Khusus informasi tentang pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri petani mendapatkannya dari perangkat desa. Perangkat desa sekaligus sebagai pengurus kelompok telah mengikuti pelatihan pengelolaan lahan kritis dengan sistem agroforestri sehingga mereka memiliki banyak informasi tentang hal tersebut yang dibutuhkan oleh petani. Motivasi Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Motivasi petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis sebagai sarana untuk meningkatkan kinerja termasuk kategori sedang. Hal ini terlihat dari tiga skor rerata indikatornya sedang yaitu: tingkat pemenuhan kebutuhan dasar sebesar 69,0; intensitas hubungan sosial sebesar 63,9 dan tingkat
113
kompetisi atau daya saing sehat sebesar 71,7. Skor rerata yang indikatornya tinggi adalah tingkat pengakuan atas keberhasilan pengolahan lahan kritis sebesar 75,3. Sebaran tingkat motivasi petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Sebaran Tingkat Motivasi Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis No
Sub Peubah
Skor
1.
Pemenuhan kebutuhan dasar Skor rerata = 69,0
2.
Intensitas hubungan sosial Skor rerata = 63,9
3.
Tingkat pengakuan atas keberhasilan pengolahan lahan kritis Skor rerata = 75,3
4.
Tingkat kompetisi Skor rerata = 71,7
Ketegori
n
Persentase (%)
0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100 0 – 50,0
Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah
26 230 144 58 232 110 40
6,5 57,5 36,0 14,5 58,0 27,5 10,0
50,1 – 75,0 75,1 – 100 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100
Sedang Tinggi Lemah Sedang Tinggi
94 266 10 228 162
23,5 66,5 2,5 57,0 40,5
Skor rerata motivasi petani = 70,2
Sedang
Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif, antara intensitas hubungan sosial dengan umur petani, pengalaman melaksanakan agroforestri dan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar. Hubungan antara indikator motivasi petani sekitar dengan karakteristik individu dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis selengkapnya disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Hubungan antara Motivasi Petani dengan Karakteristik Individu Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri. Indikator Motivasi
Pemenuhan kebutuhan dasar
Intensitas hubungan sosial
Pengakuan atas keberhasilan
Tingkat kompetisi
0,133 0,129 0,138 0,364* 0,538** 0,405* 1
0,482** 0,318 0,373* 0,368* 0,631** 0,392* 0,527** 1
-0,021 0,220 0,291 0,301 0,404* 0,395* 0,418* 0,393* 1
-0,432** 0,100 0,173 -0,169 -0.131 0,496** 0,304 0,395* 0,446* 1
Karakteristik Individu Umur Pendidikan formal Pendidikan non formal Pengalaman bertani Pengalaman agroforestri Keterdedahan thd informasi Pemenuhan kebutuhan dasar Intensitas hubungan sosial Pengakuan atas keberhasilan Tingkat kompetisi
Keterangan: ** Nyata pada α=0,01; * Nyata pada α=0,05
114
Pemenuhan Kebutuhan Dasar Tingkat pemenuhan kebutuhan dasar petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori sedang sampai dengan tinggi, sebanyak 93,5 persen responden. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan dasar petani sekitar hutan telah terpenuhi dari hasil penerapan sistem agroforestri. Hasil temuan ini memperkuat penelitian Suharjito (2000) di Desa Bumiwangi Sukabumi, bahwa hasil produk sistem agroforestri dapat untuk memenuhi kebutuhan subsisten, sosial dan komunal. Hal serupa ditemukan Yuniandra et al. (2007) yang melakukan penelitian di Gunung Cermai, bahwa hasil sistem agroforestri dapat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan meningkatkan pendapatan. Pada praktek sistem agroforestri, menurut petani, kebutuhan dasarnya dipenuhi melalui hasil tanaman semusim, tanaman keras dan hasil pemeliharaan ternak. Hasil tanaman semusim seperti: jagung, singkong, senthik dan gembili digunakan petani untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sandang, sedangkan hasil tanaman keras seperti: jati dan mahoni, digunakan petani untuk memenuhi kebutuhan papan. Kebutuhan pendidikan dan kesehatan terpenuhi dari hasil tanaman semusim, tanaman keras dan pemeliharaan ternak. Tanaman keras dan ternak selain untuk memenuhi kebutuhan dasar juga berfungsi sebagai tabungan. Terkait dengan pemenuhan kebutuhan pendidikan dan kesehatan, meskipun dapat terpenuhi dari hasil sistem agroforestri namun petani juga memanfaatkan bantuan pemerintah melalui dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk pendidikan, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan petani memanfaatkan dana jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) dan jaminan kesehatan daerah (Jamkesda). Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif antara tingkat pemenuhan kebutuhan dasar dengan pengalaman melaksanakan agroforestri. Semakin tinggi tingkat pengalaman melaksanakan agroforestri semakin tinggi pula tingkat pemenuhan kebutuhan dasar. Artinya, petani yang berpengalaman melakukan agroforestri, tentu memiliki kecermatan dan kejelian dalam memilih dan memadukan berbagai jenis tanaman semusim dan tanaman keras, sehingga dapat tumbuh dengan baik dan hasil panen yang optimal. Hasil dari berbagai jenis
115
tanaman tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan juga memudahkan untuk mendapatkan modal mengelola lahan. Intensitas Hubungan Sosial Sebanyak 58,0 persen responden menyatakan bahwa intensitas hubungan sosial antar petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah memahami dan merasakan pentingnya berkumpul, berdiskusi, tukar informasi dan pengalaman yang dibutuhkan dalam penerapan sistem agroforestri. Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif antara intensitas hubungan sosial dengan pengalaman melaksanakan agroforestri. Semakin berpengalaman melaksanakan agroforestri maka semakin tinggi intensitas hubungan sosial. Petani yang sering melakukan diskusi, mengikuti pertemuan-pertemuan dan mampu berkomunikasi dengan berbagai
kalangan
masyarakat,
memiliki
peluang
untuk
meningkatkan
pengetahuan, wawasan dan keterampilannya sehingga menambah pengalamannya. Intensitas hubungan sosial yang telah dilakukan oleh petani secara rutin, mendorong terjadinya perubahan perilaku. Perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan tersebut, sangat membantu dalam proses terjadinya adopsi inovasi yang dibutuhkan petani dalam pengelolaan lahan kritis, seperti adopsi inovasi penanaman jagung dengan sistem tanpa olah tanah (TOT). Pengadopsian sistem penanaman jagung tersebut memberikan kontribusi pada tingkatan pendapatan petani. Pengakuan atas Keberhasilan dalam PengelolaanLahan Kritis Pengakuan atas keberhasilan dalam pengelolaan lahan kritis sebanyak 66,5 persen responden menyatakan dalam kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa hasil jerih payah petani dalam mengelola lahan kritis telah dihargai oleh petani lain dan masyarakat pada umumnya. Penghargaan tersebut layak diberikan, karena keberhasilan tersebut tidak hanya dinikmati petani sendiri, tetapi juga dinikmati oleh masyarakat luas melalui terjaganya ketersediaan air untuk mengelola sawah pertanian. Pengakuan atas keberhasilan pengelolaan lahan kritis tersebut sangat penting artinya bagi petani, karena pada saat ini, lahan-lahan petani yang berupa
116
padas atau karst rawan terhadap ancaman usaha penggalian tambang padas atau karst sebagai bahan baku semen dan marmer. Ancaman usaha penggalian tersebut dapat merusak kondisi lingkungan secara keseluruhan dan keberadaan petani yang telah bermukim turun temurun. Selain itu, kegiatan penggalian juga mengancam situs-situs keramat sebagai tempat ritual petani. Oleh karena itu, diakuinya keberhasilan petani dalam mengelola lahan kritis tersebut, diharapkan dapat menguatkan petani dalam melindungi lahan-lahannya dari pihak-pihak yang menginginkan tambang padas atau karst. Selain melindunginya lahannya dari ancaman penggalian, keberhasilan petani dalam mengelola lahan kritis dengan menerapkan sistem agroforestri, juga dapat memberikan keuntungan secara pribadi bagi petani yang bersangkutan. Menurut petani, dari keberhasilan tersebut mereka dapat membiaya sekolah anakanaknya sampai dengan lulus SMA, bahkan salah satunya ada yang menjadi perangkat desa dan dapat mewariskan tegakan jati kepada keturunannya. Manfaat keberhasilan mengelola lahan kritis dengan sistem agroforestri selain dapat dirasakan petani sendiri, juga dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Masyarakat merasakan manfaat tersebut melalui ketersediaan sumber air yang dapat digunakan untuk mengelola lahan pertaniannya. Lahan-lahan yang terletak di bawah gunung dapat ditanami padi dan palawija seperti: kacang hijau, kedelai dan jagung. Keberhasilan petani menghijaukan lahan kritis yang terletak dekat gua-gua juga dapat mendorong tumbuhnya tempat wisata bagi masyarakat yang terdapat di sekitar Kabupaten Pati. Tingkat Kompetisi Tingkat kompetisi atau daya saing sehat antar petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori sedang, dinyatakan sebanyak 57,0 persen responden. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah memahami dan merasakan pentingnya daya saing sehat, khususnya mendapatkan hasil panen yang lebih unggul dibandingkan dengan petani lain. Menurut petani, daya saing ini terjadi dalam pemilihan jenis benih/bibit yang akan ditanam, pemilihan jenis pestisida, dan pemasaran hasil sistem agroforestri. Sebanyak 40,5 persen responden merasakan daya kompetisi yang terjadi dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini
117
dirasakan oleh petani generasi muda yang tidak hanya berprofesi sebagai petani semata, tetapi juga berprofesi sebagai perangkat desa dan berperan sebagai pengurus kelompok. Menurut petani generasi muda, sebagai pengurus kelompok, mereka harus berkompetisi dengan pengurus kelompok yang lain untuk mendapatkan subsidi saprodi maupun bantuan kegiatan baik dari perusahaan maupun pemerintah. Selain itu, mereka juga harus berjuang untuk mendapatkan kepercayaan dari Perhutani bahwa lahan yang dikelola oleh anggota kelompoknya tidak merusak tanaman pokok dibandingkan dikelola oleh pihak lain yang bukan anggota kelompok LMHD. Foster (1962) menyatakan bahwa salah satu motivasi untuk melakukan perubahan didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, situasi kompetisi dan pengakuan dari orang lain. Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan negatif, antara umur petani dengan tingkat kompetisi antara petani. Semakin tua umur petani semakin rendah tingkat kompetisi yang terjadi. Petani yang berumur tua dan memiliki tingkat pengalaman bertani yang tinggi serta telah melaksanakan kegiatan agroforestri yang panjang, tingkat kompetensinya akan semakin menurun. Petani ini membutuhkan sharing atau tukar pendapat, hormat menghormati dan saling menjaga persahabatan. Hal ini terjadi, karena secara fisik kekuatan otot petani semakin melemah, tetapi secara alamiah kedewasaannya semakin tinggi. Akibatnya, mereka mampu mengelola emosi dan perilakunya secara matang, sehingga tercipta kehidupan yang keharmonisan. Kesempatan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Kesempatan petani untuk meningkatkan kinerjanya dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis termasuk kategori sedang. Kondisi tersebut tercermin dari dua skor rerata indikatornya sedang yaitu: kepastian pasar sebesar 71,5 dan pengaruh kepemimpinan lokal sebesar 68,6. Tiga skor rerata indikatornya rendah yaitu: ketepatan pemberian insentif sebesar 50,0; peran kelompok sebesar 50,0; rerata luas lahan milik petani sebesar 0,49 hektar; dan peranan institusi lokal termasuk kuat yang ditunjukkan dengan skor rerata 75,7. Sebaran kesempatan petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis selengkapnya disajikan pada Tabel 28.
118
Tabel 28. Sebaran Kesempatan Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis No
Sub Peubah
1.
Luas lahan Rerata luas lahan = 0,49 ha
2.
Kepastian pasar Skor rerata = 71,5
3.
Ketepatan insentif Skor rerata = 50,0
4.
Peran institusi lokal Skor rerata = 75,7
5.
Pengaruh kepemimpinan lokal Skor rerata = 68,6
6.
Peranan kelompok Skor rerata = 50,0
Skor rerata kesempatan petani = 63,1
Skor ≤ 0,5 ha 0,51 – 1 ha ≥ 1,1 ha 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100
Ketegori Sempit Sedang Luas Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Lemah Cukup Kuat Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
n
Persentase (%)
179 106 115 26 191 183 177 147 76 12 178 210 28 232 140 175 148 77
44,8 26,5 28,7 6,5 47,7 45,8 44,3 36,7 19,0 3,0 44,5 52,5 7,0 58,0 35,0 43,7 37,0 19,3
Sedang
Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif, antara kepastian pasar dengan luas lahan dan ketepatan kebijakan insentif, serta antara peranan institusi lokal dengan umur petani. Hubungan antar indikator kesempatan petani dengan karakteristik individu petani sekitar hutan selengkapnya disajikan pada Tabel 29. Tabel 29. Hubungan antar Kesempatan Petani dengan Karakteristik Individu Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri
Keterangan: ** Nyata pada α=0,01; * Nyata pada α=0,05
119
Luas Lahan Luas lahan milik petani sekitar hutan termasuk dalam kategori sempit (≤ 0,5 hektar), dinyatakan sebanyak 44,8 persen responden. Sempitnya lahan milik petani disebabkan oleh: (1) Pola pewarisan, lahan yang semula dikuasai oleh satu kepala keluarga, setelah meninggal kemudian dibagikan kepada sejumlah anak yang dimilikinya; dan (2) Biaya anak kuliah, apabila panen gagal dan tidak memiliki sumber penghasilan lain, alternatif yang ditempuh adalah menjual lahan yang menjadi hak miliknya. Meskipun lahan milik petani termasuk sempit, namun petani mempunyai kesempatan mengelola lahan yang lebih luas. Lahan tersebut diperoleh melalui sewa, sakap dan pesanggem. Petani memperoleh lahan sakap dari para perantau dan tenaga kerja Indonesia (TKI) dengan pola bagi hasil. Jenis tanaman yang ditanam adalah padi, jagung, singkong dan kacang hijau. Petani sebagai anggota kelompok tani hutan (KTH) yang tergabung dalam lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) berada di bawah kewenangan Perhutani, berhak menjadi pesanggem. Sebagai pesanggem, petani berhak mengelola lahan Perhutani kurang lebih 0,5 hektar. Pola pengelolaan lahan dilakukan dengan bagi hasil (sharing). Pola tersebut merupakan hasil kesepakatan bersama antara petani (diwakili pengurus kelompok tani) dengan pihak Perhutani. Bentuk kesepakatan pola sharing tersebut sebagai berikut: (1) Benih/bibit dan pupuk disediakan Perhutani, petani wajib memelihara dan menjaga keamanan tanaman pokok: jati dan mahoni; (2) Penentuan jenis tanaman semusim, merupakan hasil kesepakatan bersama antara petani dan Perhutani; (3) Pembagian hasil tanaman semusim, petani memperoleh sharing sebesar 75,0 persen dan Perhutani memperoleh 25,0 persen; (4) Pembagian hasil tanaman pokok, petani memperoleh sharing sebesar 25,0 persen dan Perhutani memperolah 75,0 persen. Bertambahnya lahan yang digarap petani, berdampak pada pengelolaan lahan tegalan milik petani. Lahan tegalan tersebut, lebih banyak ditanami dengan tanaman keras dibandingkan dengan tanaman semusim, karena tanaman semusim ditanam pada lahan Perhutani dan sakap. Akibatnya, lahan tegalan petani berubah menjadi kebun-kebun campuran dengan sistem agroforestri.
120
Kepastian Pasar Kepastian pasar menjadi faktor penting dalam menjamin keberlansungan penerapan sistem agroforestri. Kepastian pasar hasil sistem agroforestri termasuk dalam kategori sedang sampai dengan tinggi sebanyak 93,5 persen responden. Hal ini menunjukkan bahwa penjualan hasil sistem agroforestri tidak mengalami kendala yang berarti, karena hasil panen dapat langsung ditampung oleh para pihak-pihak yang bersedia membeli. Hasil temuan ini, selaras dengan hasil penelitian Semedi (2006) yang menemukan bahwa petani menjual kayu dalam bentuk gelondongan kepada tengkulak atau pedagang, penjualan dilakukan karena kebutuhan mendesak. Hal yang sama ditemukan Tukan et al. (2000) bahwa hasil kayu dipasarkan petani dalam bentuk pohon berdiri, sehingga mempengaruhi harga jual yang cenderung murah. Pihak-pihak yang terlibat dalam pemasaran hasil sistem agroforestri, antara lain: (1) Tengkulak atau pedagang, terlibat dalam pembelian hasil tanaman semusim seperti: padi, jagung, gembili, singkong dan kacang hijau; (2) Penebas atau pemborong, pedagang yang membeli kayu jati dan mahoni; (3) Pedagang hewan, pedagang ternak seperti sapi dan kambing; dan (4) Pengrajin kayu atau pertukangan yang membuat kusen, pintu dan meja. Meskipun petani telah mendapatkan kepastian pasar, namun sebenarnya pendapatan yang diterima petani tetap rendah dan yang menikmati keuntungan adalah tengkulak/pedagang dan pemborong. Hal ini terjadi karena petani kurang mampu mengembangkan pemasaran dan kurang berani mengambil risiko, sehingga tergantung pada tengkulak/pedagang dan pemborong. Rendahnya daya tawar petani dan tergantungnya kepada tengkulak/pedagang tersebut disebabkan oleh kesediaan para tengkulak/pedagang memberikan pinjaman tanpa anggunan atau jaminan. Kondisi ini membuat petani menjadi “tersandera” karena rasa balas budi. Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif antara kepastian pasar dengan luas lahan garapan. Semakin tinggi kepastian pasar yang dapat diterima petani, semakin membutuhkan lahan yang luas. Kepastian pasar membutuhkan pasokan sumber daya atau produk yang stabil, dengan stabilnya produk tersebut
121
keberlangsungan
pasar
dapat
terjamin.
Untuk
memenuhi
hal
tersebut,
membutuhkan daya dukung lahan yang luas. Berikut ini perbandingan harga jual kayu jati di tingkat petani dan tingkat perusahaan disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Perbandingan Harga Jual Kayu Jati di Tingkat Petani dan Perusahaan No
Diameter Kayu Jati (Cm)
Harga Dari Petani (Rp)
Harga di Perusahaan (Rp)
1.
10 – 13
450.000
750.000
2.
16 - 19
750.000
1.200.000
3.
20 – 21
950.000
1.500.000
4.
22 - 28
1.100.000
1.750.000
5.
30 - 39
2.000.000
2.800.000
6.
40 - 49
3.000.000 Sumber: Perusahaan Meubel di Jepara, 2011.
3.800.000
Ketepatan Kebijakan Insentif Kebijakan insentif merupakan faktor pengungkit untuk merangsang petani melaksanakan kegiatan agroforestri. Ketepatan kebijakan pemberian insentif dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori rendah, dinyatakan sebanyak 44,3 persen responden. Hal ini berarti bahwa insentif yang diberikan pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan nyata (real needs) petani atau tidak tepat sasaran. Terjadinya hal tersebut karena dalam proses pemberian insentif tidak dilakukan pendataan dan inventarisasi terlebih dahulu. Pemberian insentif hanya untuk mengakomodir kepentingan pemerintah dan belum tentu sesuai dengan kepentingan petani. Faktanya, ditemukan bahwa pembelian pupuk bersubsidi selayaknya lebih murah, tetapi kenyataan harganya hanya sedikit di bawah pupuk yang tidak bersubsidi. Selain itu, stock pupuk bersubsidi jumlahnya sangat terbatas di pasaran. Hal ini memicu kelangkaan pupuk, akibatnya harga pupuk menjadi naik. Hal yang sama terjadi pada benih jagung, harga benih jagung yang bersubsidi harganya hanya sedikit di bawah harga benih jagung yang tidak bersubsidi. Bahkan, ditemukan benih jagung yang bersubsidi kualitas benihnya lebih rendah dibandingkan dengan benih yang tidak bersubsidi. Bentuk pemberian insentif yang lain adalah penyuluhan, pelatihan dan pemberlakukan peraturan pemerintah (PP). Fakta yang ditemukan menunjukkan
122
bahwa penyuluh kehutanan PNS jarang sekali melaksanakan penyuluhan (Tabel 33). Hal yang sama terjadi pada kegiatan pelatihan. Sebanyak 86,0 persen petani mengikuti pelatihan 1 sampai dengan 2 kali dalam kurun waktu tiga tahun (Tabel 24). Demikian juga dengan pemberlakuan regulasi tentang surat keterangan asal usul kayu (SKAU) P.33/Menhut-II/2007. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa yang berhak mengeluarkan SKAU adalah Kepala Desa atau perangkat desa dan disyahkan oleh Kepala Dinas Kehutanan. Ternyata, implementasinya di lapangan SKAU tersebut harus diketahui oleh pejabat-pejabat yang terdapat di kecamatan dan petugas Perhutani. Kondisi ini menyebabkan tingkat pendapatan petani menjadi rendah karena untuk mendapatkan satu lembar SKAU pemborong harus mengeluarkan biaya lebih dari ketentuan yang berlaku. Beban biaya tersebut secara tidak langsung ditanggung oleh petani. Fakta yang dipaparkan tersebut menunjukkan bahwa pemberian insentif yang seharusnya memacu meningkatkan kinerja petani, tetapi karena tidak tepat sasaran justru menjadi disinsentif. Akibatnya, petani menjadi acuh tak acuh atau tidak peduli dengan berbagai bentuk bantuan pemerintah. Sundawati (2010) menyatakan bahwa pemberian insentif pada pengelolaan hutan rakyat yang tidak tepat sasaran dapat menjadi disinsentif. Hasil temuan tersebut diharapkan menjadi perhatian serius bagi pihak yang berwenang agar bentuk-bentuk program bantuan yang diluncurkan pada saat ini maupun yang akan datang seperti: kebun bibit rakyat (KBR), kelompok usaha produktif (KUP), dan kelompok usaha tani (KUT) dan sejenisnya tepat sasaran. Oleh karena itu, sebelum program dilaksanakan harus dilakukan kajian dan diidentifikasi kebutuhan petani terlebih dahulu agar bantuan tersebut sesuai dengan kebutuhan petani dan tepat sasaran. Peranan Institusi Lokal Peranan institusi lokal dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori tinggi (52,5 persen) responden. Hal ini berarti bahwa petani memegang teguh adat istiadat, budaya dan norma yang diwariskan oleh para leluhurnya. Keberadaan institusi lokal ini berfungsi mengatur pola tata kehidupan dalam masyarakat agar tidak terjadi pelanggaran, yang diyakini dapat mendatangkan musibah atau bencana. Selain itu, pelaksanaan institusi lokal
123
merupakan bentuk penghormatan kepada lelulur dan ibadah kepada Sang Maha Pencipta. Pada praktek penerapan sistem agroforestri, setidak-tidaknya terdapat dua norma yang masih dianut dan dipatuhi oleh para petani (petani tua) yaitu: wiwitan dan tali wangke (hari naas). Wiwitan merupakan selamatan yang dilakukan pada awal musim tanam dan pada masa panen. Tujuannya adalah meminta kepada Allah SWT agar tanaman yang ditanam dapat tumbuh subur dan hasil panen yang berlimpah. Tali wangke adalah hari meninggalnya orang tua dan hari tanggal satu bulan Syuro. Kedua jenis hari tersebut dihindari untuk memulai pekerjaan baru, seperti menanam, memanen, hajatan, dan sejenisnya. Pelanggaran terhadap kedua hari tersebut diyakini petani dapat mendatangkan musibah atau celaka, seperti gagal panen. Kedua bentuk norma tersebut berperan mengatur kehidupan seharihari petani, dan mereka menjalannya tanpa paksaan dari siapapun. Berkembangnya arus informasi dan teknologi yang sangat cepat, mudah diakses setiap waktu dan tidak kenal umur, berpengaruh terhadap pelaksanaan kedua bentuk institusi lokal tersebut terutama pada generasi muda. Pelan-pelan mereka mulai meninggalkan kedua institusi lokal tersebut. Mereka mulai menanam tidak memperhatikan ke dua bentuk norma tersebut. Mereka langsung menanam begitu selesai panen atau hujan turun. Demikian juga ketika memanen, begitu jagung sudah masa panen langsung dipanen atau dijualnya. Mereka berpandangan bahwa keberhasilan pengelolaan lahan tidak sepenuhnya ditentukan oleh kedua hal tersebut, tetapi ditentukan oleh sistem pengelolaan yang tepat dan didukung oleh pengalaman dan keterampilan yang memadai. Terjadinya perubahan tersebut akibat meningkatnya rasionalitas pengetahuan, keterbukaan terhadap informasi dan pengaruh lain yang dibawa oleh para perantau dan urban. Pengaruh Kepemimpinan Lokal Pengaruh kepemimpinan lokal untuk meningkatkan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori sedang (58,0 persen) responden. Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin lokal telah memiliki kemampuan, pengalaman dan wawasan yang memadai sehingga dapat mempengaruhi petani yang ada di desanya. Menurut Margono (2009) dan Susetyo (2002), menyatakan bahwa kekuatan pengaruh kepemimpinan berasal dari
124
pengalaman dan wawasan yang dimilikinya. Hasil temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Suharjito dan Saputro (2008) yang menemukan bahwa tingginya pengaruh kepemimpinan tokoh masyarakat Banten Selatan menyebabkan terjaganya kelesatarian hutan Kasepuhan Banten Selatan. Terkait penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis, pemimpin lokal dibedakan menjadi dua yaitu: pemimpin informal dan formal. Pemimpin informal, antara lain: tokok masyarakat desa, para mantan perangkat desa, pensiunan guru atau pegawai, dan orang pintar atau paranormal. Pemimpin formal antara lain: guru, pegawai kecamatan dan perangkat desa (pengurus kelompok). Pemimpin lokal informal berperan dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh petani di desanya, seperti penentuan “hari baik” untuk tanam, panen dan pelaksanaan selamatan (sedekah) bumi. Sementara itu, pemimpin formal berperan dalam kegiatan yang berperan menjadi penghubung dengan pihak luar seperti: Perhutani, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, kecamatan, dan penyuluh. Pemimpin formal juga berperan sebagai wakil dari masyarakat dan sekaligus sumber informasi yang berasal dari luar masyarakatnya. Terdapat hubungan nyata antara pengaruh kepemimpinan lokal dengan tingkat pendidikan formal. Artinya bahwa kepemimpinan lokal tidak hanya diperankan oleh para generasi tua, tetapi pada saat ini mulai bergeser ke arah generasi muda. Terjadinya pergeseran ini menunjukkan bahwa kepemimpinan generasi muda telah diakui keberadaannya oleh generasi tua. Kondisi ini terjadi karena generasi muda mampu melihat setiap kesempatan yang ada di masyarakat dan mampu memanfaatkannya dengan tepat sehingga mendapatkan kepercayaan dari generasi tua. Faktanya (Bappeda 2010), yang menjadi perangkat desa di Kabupaten Pati adalah pemimpin yang berumur kurang dari 45 tahun (65 persen). Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa para generasi muda yang menjadi pemimpin di Pegunungan Kendeng pada umumnya adalah keturunan dari para pemimpin sebelumnya. Peranan Kelompok Sebesar 43,7 persen responden menyatakan bahwa peranan kelompok dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis termasuk dalam kategori rendah. Hal ini berarti bahwa peran yang dilakukan oleh kelompok kurang sesuai
125
dengan kebutuhan petani sebagai anggota. Menurut Margono (2003), tingkat efektivitas kegiatan kelompok dapat berjalan dengan baik, apabila ada keselarasan antara tujuan kelompok dan tujuan anggota, dengan demikian kelompok dapat berjalan dengan dinamis dan saling menjaga. Setidak-tidaknya terdapat tiga kegiatan yang diperankan kelompok yang tidak sesuai dengan kebutuhan petani, yaitu: (1) Pembagian luas lahan garapan sebagai pesanggem dalam kegiatan LMDH, ternyata antar anggota luasnya tidak sama; (2) Pembagian subsidi pupuk dan benih jagung, ternyata antar anggota tidak mendapatkan bagian yang sama; dan (3) Kesempatan untuk mengikuti pelatihan dan magang yang selalu didominasi oleh pengurus kelompok. Terkait dengan penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis, ditemukan ada tiga kelompok dalam satu desa. Ternyata, ketiga kelompok tersebut memiliki anggota yang sama, yang berbeda hanya pada nama kelompok dan pengurus. Setelah dilakukan wawancara kepada petani anggota kelompok, ternyata mereka tidak tahu ada kelompok baru karena selama ini tidak pernah dilakukan rapat pembentukan kelompok atau pembubaran kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan kelompok bukan berasal dari inisiatif anggota, tetapi berasal dari pengurus kelompok atau pihak lain yang berkepentingan dengan kelompok, atau pembentukan kelompok hanya untuk mengakses kegiatan atau proyek semata. Kondisi tersebut menyebabkan rendahnya peranan kelompok yang dapat dirasakan oleh petani sebagai anggotanya. Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Kemampuan petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori sedang. Kondisi ini tercermin dari delapan skor rerata indikatornya sedang yaitu: kemampuan penyiapan lahan sebesar 69,1; pemilihan jenis benih/bibit sebesar 63,7; penanaman sebesar 66,7; pemeliharaan tamanan sebesar 72,5; penganekaragaman tanaman sebesar 58,4; pemanenan sebesar 72,5; pengembangan pemasaran sebesar 68,6; dan tingkat kerjasama sebesar 66,1. Pengembangan kelompok tergolong rendah yang ditunjukkan dengan skor reratanya sebesar 50,0. Sebaran kemampuan petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya disajikan pada Tabel 31.
126
Tabel 31. Sebaran Kemampuan Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri pada Lahan Kritis No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Sub Peubah
Skor
Ketegori
n
Persentase (%)
Penyiapan lahan
0 – 50,0
Kurang terampil
48
12,0
Skor rerata = 69,1
50,1 – 75,0
Cukup terampil
174
43,5
75,1 - 100
Sangat terampil
178
44,5
Pemilihan jenis bibit/benih
0 – 50,0
Rendah
90
22,5
Skor rerata = 63,7
50,1 – 75,0
Sedang
154
38,5
75,1 - 100
Tinggi
156
39,0
Penanaman
0 – 50,0
Rendah
74
18,5
Skor rerata = 66,7
50,1 – 75,0
Sedang
146
36,5
75,1 - 100
Tinggi
180
45,0
Penganekaragaman tanaman
0 – 50,0
Rendah
84
21,0
Skor rerata = 58,4
50,1 – 75,0
Sedang
254
63,5
75,1 - 100
Tinggi
62
15,5
Pemeliharaan tanaman
0 – 50,0
Rendah
54
13,5
Skor rerata = 72,5
50,1 – 75,0
Sedang
148
37,0
75,1 - 100
Tinggi
198
49,5
Pemanenan
0 – 50,0
Rendah
28
7,0
Skor rerata = 72,5
50,1 – 75,0
Sedang
170
42,5
75,1 - 100
Tinggi
202
50,5
Pengembangan pemasaran
0 – 50,0
Rendah
148
37,0
Skor rerata = 49,8
50,1 – 75,0
Sedang
198
49,5
75,1 - 100
Tinggi
54
13,5
Perkembangan kelompok
0 – 50,0
Rendah
154
38,5
Skor rerata = 50,0
50,1 – 75,0
Sedang
147
36,7
75,1 - 100
Tinggi
99
24,8
Tingkat kerjasama
0 – 50,0
Rendah
70
17,5
Skor rerata = 66,1
50,1 – 75,0
Sedang
184
46,0
75,1 - 100
Tinggi
146
36,5
Skor rerata kemampuan petani = 65,1
Sedang
Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif, antara penyiapan lahan dengan pengalaman bertani dan pengalaman melaksanakan agroforestri, antara pemilihan jenih benih/bibit dengan umur petani dan pengalaman bertani, antara pengembangan pemasaran dengan tingkat pendidikan. Terdapat pula hubungan nyata antara tingkat kerjasama dengan umur petani, penyiapan lahan dan keterdedahan terhadap informasi, antara pemeliharaan tanaman dengan umur petani dan pendidikan non formal. Hubungan antara kemampuan petani dengan karekteristik individu petani dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya, disajikan pada Tabel 32.
127
Tabel 32. Hubungan antar Kemampuan Petani dengan Karakteristik Individu Petani dalam Penerapn Sistem Agrofoestri
Keterangan: ** Nyata pada α=0,01; * Nyata pada α=0,05
Penyiapan Lahan Kemampuan petani untuk penyiapan lahan dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori sangat terampil, dinyatakan sebanyak 44,5 persen responden. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah berpengalaman dan memahami dalam menyiapkan dalam kegiatan agroforestri. Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif antara penyiapan lahan dengan pengalaman bertani dan pengalaman melaksanakan agroforestri. Semakin panjang pengalaman bertani dan melaksanakan agroforestri semakin terampil dalam penyiapan lahan. Petani yang berpengalaman panjang dalam bertani dan melaksanakan agroforestri, memiliki kecermatan dan ketelitian dalam melakukan setiap kegiatan yang berhubungan dengan bertani dan melakukan agroforestri termasuk dalam menyiapkan lahan. Kecermatan dan ketelitian tersebut, petani mampu memperhitungkan penyiapan lahan yang sesuai dengan kondisi lahan. Pada praktek sistem agroforestri, penyiapan lahan yang dilakukan petani, mulai dari pembuatan lubang tanaman, pemupukan awal dan pemberantasan penyakit, tetapi mereka tidak membuat jalur tanam. Menurut responden, tidak dibuatnya pembuatan jalur tanam karena ketika akan dibuat lubang tanam terkendala oleh bongkahan padas. Petani membuat jalur tanam menyesuaikan
128
dengan kondisi lahan yang agak landai dan bongkahan padasnya tidak terlalu besar. Berikut ringkasan wawancara proses penyiapan lahan yang akan ditanami jati dan jagung disajikan pada Kotak 1. Kotak 1. Tanaman Jati. Lahan padas digali dengan panjang satu meter persegi, dengan kedalaman kurang lebih satu meter. Setelah itu, lubang galian diisi dengan tanah dan pupuk kandang atau kompos, kemudian dicampur, dibiarkan kurang lebih satu bulan atau sampaikan dengan turun hujan. Pembuatan lubang tanam yang lebar dan dalam tersebut, difungsikan sebagai penampungan air dan penahan lumpur yang turun dari atas gunung, selain itu agar di bawah tanaman pokok dapat ditanami dengan tanaman semusim. Sedangkan, lamanya jarak tanam dengan pembuatan lubang tersebut, diharapkan agar bahan-bahan yang telah tercampur dapat kering, sehingga jika ada penyakit dapat mati terkena sinar matahari. Tanaman Jagung. Penyiapan lahan untuk tanaman jagung dengan sistem tanpa olah tanah (TOT). Lahan yang sudah dibabat kemudian disemprot dengan herbisida (obat rumput), kemudian ditabur dengan pupuk kandang atau kompos. Setelah itu, benih jagung kemudian ditanam.
Kotak 1 menggambarkan bahwa petani telah memahami langkah-langkah dalam penyiapan lahan secara cermat, mulai dari pembuatan penampungan air, volume akar, pemupukan awal dan pemberantasan penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah memiliki pengalaman dan keterampilan yang memadai dalam penyiapan lahan. Pemilihan Jenis Benih/Bibit Kemampuan petani dalam pemilihan jenis benih/bibit tanaman termasuk dalam kategori tinggi, dinyatakan sebanyak 39,0 persen responden. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah mengetahui dan membedakan jenis benih/bibit tanaman yang berkualitas. Pemilihan jenis benih/bibit tanaman harus disesuaikan dengan kondisi lahan dan iklim. Hairiah et al. (2003) menyatakan bahwa jenis tanah padas hanya dapat ditumbuhi dengan baik oleh tanaman yang tahan panas atau kekeringan. Jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi tersebut, antara lain: jati, mahoni, mangga, jagung, kacang hijau, gembili dan senthik. Pemilihan benih/bibit yang berkualitas, berhubungan dengan sumber benih yang akan dijadikan bibit. Benih jati dan mahoni diambil dari pepohonan yang ada di sekitar desa dan disemaikan sendiri. Selain itu, petani membeli bibit dari persemaian yang dikelola oleh penyuluh kehutanan setempat. Petani juga
129
mendapatkan bantuan bibit dari Perhutani dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Sementara itu, benih tanaman semusin seperti: padi, jagung dan kacang hijau diperoleh dari hasil panen sendiri dan membeli dari toko saprodi. Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif antara pemilihan jenis benih/bibit tanaman dengan umur petani dan pengalaman bertani. Semakin tua umur petani dan semakin panjang berpengalaman bertani, maka semakin terampil memilih jenis benih/bibit tanaman. Menentukan jenis benih/benih yang sehat dan berkualitas membutuhkan ketelitian dan kecermatan. Keterampilan memilih benih tersebut dapat dilakukan oleh petani yang berpengalaman. Penanaman Kemampuan petani dalam penanaman termasuk dalam kategori baik, dinyatakan sebanyak 45,0 persen responden. Hal ini berarti bahwa petani telah menguasai teknik penanaman pada lahan kritis, sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik. Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif antara penanaman dengan penyiapan lahan. Penyiapan lahan yang dilakukan dengan cermat, seperti: pembuatan lubang tanam dengan memperhatikan daya tampung air, melakukan penyemprotan, dan pemupukan awal. Dilakukannya hal tersebut diharapkan dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman. Sekilas, cara menanam jati di lereng gunung sama dengan di lahan datar, namun bila dicermati terdapat perbedaan. Penanaman jati di lereng gunung bibitnya ditanam agak miring condong ke arah gunung, sedangkan di lahan datar bibitnya ditanam tegak. Ternyata, dengan cara penanaman yang demikian pertumbuhan jati menjadi lebih baik, meskipun demikian sampai saat ini belum ada penelitian yang dapat menjelaskan hal tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani, bahwa cara menanam miring condong ke arah gunung, memberikan pengaruh pada kekuatan pohon untuk menahan air hujan dan terpaan angin. Hal ini menunjukkan bahwa petani memiliki pengetahuan lokal tentang penanam jati di lereng gunung yang bertanah padas. Penganekaragaman Jenis Tanaman Sebanyak 63,5 persen responden menyatakan bahwa kemampuan petani dalam penganekaragaman jenis tanaman termasuk dalam kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa petani kurang melakukan penganekaragaman jenis tanaman
130
yang ditanam. Dilakukannya hal tersebut karena tidak semua jenis tanaman dapat tumbuh pada lahan padas atau karst dan hanya jenis-jenis tertentu saja yang sesuai dengan kondisi lahan tersebut. Terkait penganekaragaman jenis tanaman keras, sebenarnya Perhutani telah memperkenalkan jenis tamanan lain seperti: mindi, johar, sengon dan srikaya. Meskipun jenis-jenis tanaman tersebut dapat tumbuh dengan subur, namun petani kurang tertarik untuk mengembangkan. Petani masih tertarik untuk menanam jati, mahoni dan mangga. Menurut petani, hal ini terjadi karena jenis kayu mindi, johar dan sengon harganya sangat murah dan belum ada perusahaan yang menanmpung. Petani menanam kayu tersebut hanya sebagai kayu bakar dan daunnya sebagai pakan ternak. Pemeliharaan Tanaman Pemeliharaan tanaman dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori tinggi yang dinyatakan sebanyak 49,5 persen responden. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah memiliki pengalaman dan keterampilan yang memadai dalam melakukan pemeliharaan tanaman. Terdapat hubungan nyata antar pemeliharaan tanaman dengan pengalaman bertani. Pemeliharaan tanaman meliputi penyulaman, pendangiran, pemupukan, penyemprotan dan pemangkasan. Kegiatan tersebut bila dilakukan secara tepat dapat meningkatkan daya tumbuh, hal tersebut dapat dilakukan oleh petani yang berpengalaman. Pemeliharaan tanaman dalam penerapan sistem agroforestri lebih efesien dibandingkan dengan tanaman monokultur (tanaman pertanian saja), karena kegiatan pemeliharaan terhadap kedua jenis tanaman dapat dilakukan secara bersama-sama. Misalnya penyemprotan dan pemupukan, meskipun hal tersebut diperuntukkan hanya untuk tanaman semusim, namum juga berpengaruh terhadap tamanan keras yang ada di sekitarnya. Efesiensi penggunaan tenaga untuk pemeliharaan tanaman tersebut tampaknya didukung oleh hubungan nyata antara pemeliharaan tanaman sistem agroforestri dengan umur petani. Petani yang berumur tua membutuhkan pekerjaan yang tidak terlalu banyak mengeluarkan energi atau kekuatan fisik. Hal tersebut dapat dipenuhi oleh kegiatan agroforestri karena intensitas pemeliharaannya rendah.
131
Pemanenan Sebanyak 50,5 persen responden menyatakan bahwa kemampuan memanen petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah memahami cara memanen dan menentukan masa panen. Petani tidak sepenuhnya melakukan pemanenan sendiri, karena proses pemanenan sangat tergantung pada hasil sistem agroforestri dan pemasaran. Hasil tanaman semusim seperti jagung, singkong dan kacang hijau langsung dijual kepada tengkulak. Pemanenan dilakukan oleh tengkulak dengan cara mengupah kepada buruh tani. Hasil tanaman semusim yang dimanfaatkan petani sebagai bahan konsumsi proses pemanenannya dilakukan oleh petani dan keluarganya. Pemanenan tanaman keras seperti jati dan mahoni dibedakan menjadi dua yaitu tebang pada masa daur dan tebang karena kebutuhan (tebang butuh). Tebang pada masa daur dilakukan petani untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sedangkan tebang butuh dijual kepada pemborong. Kedua jenis pemanenannya dilakukan dengan cara mengupah kepada buruh tebang. Hal ini dilakukan karena untuk memanen membutuhkan keterampilan dan peralatan tebang, dan hal-hal tersebut tidak semua petani maupun pemborong memilikinya. Pengembangan Pemasaran Kemampuan petani sekitar hutan dalam pengembangan pemasaran hasil produk sistem agroforestri termasuk dalam kategori sedang (49,5 persen) responden. Hal ini menunjukkan bahwa petani kurang optimal dalam mengembangkan pemasaran hasil sistem agroforestri, sehingga berpengaruh terhadap tingkat pendapatannya, terutama pada petani yang berumur tua. Petani berumur tua melakukan ini karena mereka kurang memiliki kemampuan berkomunikasi, pengetahuan, wawasan yang berhubungan dengan dengan jalur pemasaran. Tampaknya hal tersebut didukung oleh hubungan nyata antara pengembangan pemasaran dengan tingkat pendidikan formal dan tingkat pendidikan non formal. Petani yang berumur tua sebagian besar (66,5 persen) berpendidikan rendah dan 86,0 persen jarang mengikuti pelatihan, kondisi ini menyebabkan
mereka
memiliki
keterbatasan
dalam
menjalin
hubungan
132
komunikasi dengan pihak luar termasuk dengan para pengusaha atau pedagang besar. Akibatnya mereka kurang mampu mengembangkan pemasaran hasil sistem agroforestri. Dalam hal mengembangkan pemasaran, petani muda lebih baik dibandingkan dengan petani tua. Petani muda telah melakukan pengembangan pemasaran. Pengembangan pemasaran yang dilakukan oleh kalangan petani muda, yaitu mengembangkan pemasaran jagung dan singkong. Pemasaran jagung bekerja sama dengan perusahaan pakan ikan, sedangkan singkong dengan pabrik tepung tapioka. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani muda yang telah melakukan pengembangan pasar, ditemukan bahwa harga jagung kering ladang berkisar antara Rp. 3.700 sampai dengan Rp. 3.900 per kilogram. Harga singkong berkisar antara Rp. 1.900 sampai dengan Rp. 2.300 per kilogram. Harga jual, apabila dibeli oleh tengkulak, jagung kering ladang berkisar antara Rp. 2.900 sampai dengan Rp. 3.500 per kilogram, sedangkan singkong berkisar antara Rp. 1.500 sampai dengan Rp. 1.700 per kilogram. Paparan
tersebut
menunjukkan
bahwa
pengembangan
pemasaran,
berpengaruh pada keleluasaan petani menjual hasil panennya, karena penjualan tidak hanya tergantung pada tengkulak, pemborong atau penebas semata, tetapi dapat dilakukan kepada pihak perusahaan. Akibatnya posisi tawar (bargaining position) petani menjadi meningkat. Kondisi ini memicu petani untuk meningkatkan kinerja dalam mengelola lahan kritis dengan menerapkan sistem agroforestri. Pengembangan Kelompok Pengembangan kelompok dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori rendah (38,5 persen) responden. Kondisi ini menunjukkan bahwa kelompok tidak berkembang atau dapat dikatakan jalan di tempat. Hal tersebut terjadi karena tidak dilakukannya penertiban administrasi kelompok dan kuatnya dominasi pengurus kelompok. Pada saat dilakukan penelusuran ketertiban administrasi kelompok di seketariat kelompok yang bertempat di rumah perangkat desa, tidak ditemukan buku tamu, administrasi keanggotaan kelompok dan laporan kegiatan yang pernah dilakukan oleh kelompok. Menurut hasil wawancara, laporan kegiatan hanya
133
untuk melengkapi administrasi yang dibutuhkan oleh pihak luar yang melakukan kegiatan dengan kelompok. Administrasi yang menyangkut buku tamu dan keanggotaan kelompok tidak pernah dibuat, karena menurut pengurus semua anggota adalah penduduk setempat dan mereka sudah mengumpulkan kartu tanda penduduk (KTP) ketika didaftar menjadi anggota kelompok. Laporan administrasi keuangan juga tidak ditemukan karena kelompok tidak memiliki uang kas. Kondisi tersebut yang menyebabkan kelompok tidak berkembang. Penyebab lainnya adalah kuatnya dominasi pengurus kelompok. Pengurus kelompok yang notabene sebagai perangkat desa tidak hanya mengurusi pengembangan kelompok semata, tetapi juga mengurusi kegiatan pemerintahan desa yang menjadi tanggung jawabnya. Meskipun demikian, menurut anggota kelompok pengurus tidak mendistribusikan kewenangannya kepada anggota yang dipercaya agar kegiatan kelompok dapat berkembang sebagaimana mestinya. Kondisi ini yang menyebabkan pengembangan kelompok tidak berjalan atau mengalami stagnasi. Tingkat Kerjasama Sebanyak 46,0 persen responden menyatakan bahwa tingkat kerjasama dalam mengelola lahan kritis dengan menerapkan sistem agroforestri termasuk dalam kategori sedang. Hal ini menunjukkan petani kurang optimal menjalin kerjasama antar petani maupun dengan kelompok tani. Kondisi ini terjadi karena rendahnya peran kelompok. Margono (2009) menyatakan bahwa kerjasama dilakukan untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama kelompok sebatas untuk melaksanakan yang diberikan oleh pihak lain, sementara petani sebagai anggota kelompok belum dilibatkan secara aktif. Kerjasama hanya dilaksanakan oleh pengurus kelompok. Kerjasama yang dilakukan petani dalam penerapan sistem agroforestri antara lain: pemeliharaan saluran air dan pembersihan jalan masuk lahan tegalan. Petani yang terlibat dalam kerjasama ini pada umumnya adalah petani yang lahan garapannya terletak dekat jalan tersebut atau petani yang sawahnya terletak dekat saluran. Petani lainnya tidak mengikuti kerjasama, karena harus memelihara jalan dan saluran yang dekat dengan sawah atau tegalannya sendiri. Kondisi ini yang menyebabkan kurang optimalnya tingkat kerjasama.
134
Dukungan Penyuluhan dalam Penerapan Sistem Agroforestri Dukungan penyuluhan terhadap peningkatan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis termasuk dalam kategori rendah. Hal tersebut tercemin dari enam skor rerata indikatornya rendah yaitu: tingkat kompetensi penyuluh sebesar 47,6; pemilihan pendekatan penyuluhan sebesar 48,0; pemilihan metode penyuluhan sebesar 49,3; kesesuaian materi penyuluhan sebesar 47,3; ketersediaan fasilitas penyuluhan sebesar 47,8 dan intensitas penyuluhan oleh penyuluh kehutanan PNS rata-rata satu kali dalam setahun. Dua skor rerata indikatornya sedang yaitu: fungsi kelembagaan penyuluhan sebesar 55,8 dan kerjasama penyuluhan sebesar 54,7. Sebaran dukungan penyuluhan terhadap peningkatan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya disajikan pada Tabel 33. Tabel 33. Sebaran Dukungan Penyuluhan terhadap Peningkatan Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri No
Sub Peubah
1.
Tingkat kompetensi penyuluh
0 – 50,0
Skor rerata = 47,6
50,1 – 75,0
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Skor
Ketegori
n
Persentase (%)
Rendah
184
46,0
Sedang
175
43,7
75,1 - 100
Tinggi
41
10,3
Pendekatan penyuluhan
0 – 50,0
Tidak tepat
205
51,3
Skor rerata = 48,0
50,1 – 75,0
Cukup tepat
115
28,7
75,1 - 100
Sangat tepat
80
20,0
Metode penyuluhan
0 – 50,0
Tidak tepat
184
46,0
Skor rerata = 49,3
50,1 – 75,0
Cukup tepat
148
37,0
75,1 - 100
Sangat tepat
68
17,0
Materi penyuluhan
0 – 50,0
Tidak sesuai
209
52,3
Skor rerata = 47,3
50,1 – 75,0
Cukup sesuai
116
29,0
75,1 - 100
Sangat sesuai
75
18,7
Fasilitas penyuluhan
0 – 50,0
Tidak tersedia
192
48,0
Skor rerata = 47,8
50,1 – 75,0
Cukup tersedia
152
38,0
75,1 - 100
Banyak tersedia
56
14,0
Intensitas penyuluhan
≤ 2 kali
Jarang sekali
202
50,5
Rerata = 1 kali
3 – 4 kali
Sering
128
32,0
≥ 5 kali
Sering sekali
70
17,5
Kelembagaan penyuluhan
0 – 50,0
Rendah
135
33,8
Skor rerata = 55,8
50,1 – 75,0
Sedang
167
41,8
75,1 - 100
Tinggi
98
24,4
Kerjasama penyuluhan
0 – 50,0
Rendah
139
34,8
Skor rerata = 54,7
50,1 – 75,0
Sedang
175
43,8
75,1 - 100
Tinggi
86
21,4
Skor rerata dukungan penyuluhan = 49,8
Rendah
135
Terdapat hubungan nyata antara kelembagaan penyuluhan dengan pendidikan formal, pendidikan non formal dan keterdedahan terhadap informasi. Selain itu, terdapat pula hubungan nyata (α=0,01) dan positif, antara pendekatan penyuluhan dengan materi, fasilitas dan kelembagaan penyuluhan. Hubungan antara dukungan penyuluhan dengan karakteristik individu petani dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya, disajika pada Tabel 34. Tabel 34. Hubungan antara Dukungan Penyuluhan dengan Karakteristik Individu Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri
Keterangan: ** Nyata pada α=0,01; * Nyata pada α=0,05
Penyebab terjadinya hal tersebut adalah: (1) Kelembagaan penyuluhan (BP4K) belum terbentuk, sehingga penyuluhan kehutanan ditangani oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan, akibatnya penyuluhan kurang mendapat perhatian yang serius. Hal ini terjadi karena kegiatan lebih banyak difokuskan pada kegiatan teknis kehutanan dan kegiatan penyuluhan masih sebatas penunjang; (2) Terbatasnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) yang menangani penyuluhan kehutanan; (3) Rendahnya dukungan anggota dewan perwakilan rakyat terhadap penyuluhan kehutanan, berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa anggota komisi B, ternyata mereka kurang mengetahui penyuluhan kehutanan; dan (4) Sering terjadinya rotasi pejabat yang menangani penyuluh, sehingga mereka tidak punya konsentrasi untuk mengurus penyuluh secara benar.
136
Kompetensi Penyuluh Kompetensi penyuluh kehutanan untuk peningkatan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori rendah (46,0 persen) responden. Rendahnya tingkat kompetensi penyuluh kehutanan tersebut karena: (1) Penyuluh jarang mengikuti pelatihan; (2) Kebijakan alih tugas, tenaga administrasi menjadi tenaga penyuluh; (3) Pengangkatan (recruitment) tenaga penyuluh baru yang tidak didasarkan pada minat dan bakat; (4) Tidak adanya penyuluh ahli, sebagai nara sumber belajar; dan (5) Kuatnya ego sektoral antar penyuluh, hal ini terjadi karena penyuluh kehutanan merupakan hasil penggabungan antara penyuluh kehutanan dan penyuluh perkebunan. Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Marius (2007) dan Bambang Gatut (2008) yang menemukan bahwa tingkat kompetensi penyuluh khususnya penyuluh pertanian dinilai masih rendah. Ditinjau dari kompetensi dasar ternyata kompetensi penyuluh termasuk dalam kategori rendah. Hal ini terlihat dari tiga skor rerata indikatornya rendah, yaitu: komunikasi dialogis sebesar 49,3; pemberdayaan masyarakat sebesar 46,0 dan membangun jejaring kerja sebesar 47,5. Sebaran kemampuan penyuluh kehutanan menurut penguasaan kompetensi dasar selengkapnya disajikan pada Tabel 35. Tabel 35. Sebaran Kemampuan Penyuluh Kehutanan Menurut Penguasaan Kompetensi Dasar Penyuluhan No 1.
Sub Kompetensi Dasar Komunikasi dialogis Skor rerata = 49,3
Skor 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 - 100
2.
Pemberdayaan masyarakat Skor rerata = 46,0
0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 - 100
3.
Membangun jejaring kerja Skor rerata = 47,5
0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 - 100
Skor rerata tingkat kompetensi dasar = 47,6
Kategori Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
n
Persentase (%)
166
0,42
193
0,48
41
0,10
208
0,52
140
0,35
52
0,13
211
0,53
109
0,27
80
0,20
Rendah
Tabel 35 menunjukkan bahwa ketiga kompetensi dasar tersebut cenderung termasuk kategori rendah, atau dapat dikatakan, penyuluh kehutanan kurang ptimal dalam menguasai kompetensi dasar. Oleh karena itu, ketiga kompetensi
137
dasar penyuluhan tersebut perlu mendapat perhatian serius dari Dinas Kehutanan maupun Kementerian Kehutanan sebagai induk penyuluh kehutanan. Kompetensi dasar penyuluhan yang mendesak untuk ditingkatkan adalah: membangun jejaring kerja dan pemberdayaan masyarakat, karena sebanyak (53,0 persen) penyuluh kurang menguasai kompetensi membangun jejaring kerja dan sebanyak (52,0 persen) penyuluh kurang menguasai kompetensi pemberdayaan masyarakat. Untuk meningkatkan kompetensi dasar penyuluh, dapat dilakukan melalui magang maupun pelatihan. Meskipun demikian, dapat ditempuh dengan cara belajar mandiri, dengan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai wahana dan sumber belajar. Lingkungan sebagai sumber belajar tersebut hendaknya langsung berhubungan dengan kepentingan petani seperti: kelompok tani pembuat kompos, tengkulak dan distributor saprodi. Pendekatan Penyuluhan Sebanyak
51,3
persen
responden
menyatakan
bahwa
pemilihan
pendekatan penyuluhan untuk meningkatkan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa penyuluh kurang menguasai pemilihan dan pengemasan pendekatan penyuluhan yang sesuai dengan kondisi petani sekitar hutan. Mardikanto (2009) menyatakan bahwa pendekatan penyuluhan dipilih dengan memperhatikan karakteristik petani, tujuan dan materi. Pendekatan penyuluhan adalah gaya yang diambil penyuluh supaya diikuti oleh sasaran. Pendekatan penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh kehutanan dengan melibatkan pengurus kelompok yang juga berprofesi sebagai perangkat desa, sedangkan petani gurem tidak dilibatkan. Pelibatan perangkat desa tersebut dengan alasan lebih mudah mengumpulkan petani di desanya dan menurut penyuluh dapat mewakili petani sebagai warga desanya. Meskipun perangkat desa dapat mewakili warga masyarakatnya namun aspirasi, kepentingan dan kebutuhan perangkat desa tidak sama dengan kebutuhan petani. Hal tersebut menyebabkan tidak tepatnya pemilihan pendekatan penyuluhan. Penyebab lainnya adalah pemilihan pendekatan penyuluhan yang disesuaikan keinginan atasan atau pemegang kegiatan sebagai contoh: kegiatan silvikultur intensif (silin) dan kebun bibit rakyat (KBR). Kedua kegiatan tersebut
138
dikendalikan oleh pejabat Dinas Kehutanan dan penyuluh berperan menyediakan data kondisi wilayah dan petani. Berdasarkan data tersebut, pemegang kegiatan menentukan petani yang berhak mendapatkan kegiatan. Hal ini berimplikasi pada pemilihan pendekatan penyuluhan yang dilakukan penyuluh. Pendekatan yang dipilih disesuaikan dengan kepentingan pemegang kegiatan dan belum tentu sesuai kepentingan petani. Metode Penyuluhan Metode penyuluhan untuk meningkatkan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri sebanyak 46,0 persen responden menyatakan tidak tepat. Hal ini menunjukkan bahwa penyuluh tidak mampu memilih dan menerapkan metode penyuluhan yang sesuai dengan karakteristik petani. Terdapat hubungan nyata antara pemilihan metode penyuluhan dengan kompetensi penyuluh. Semakin tepat pemilihan metode penyuluhan semakin tinggi kompetensi penyuluh. Penyuluh yang berkompeten memiliki kemauan untuk mencoba beberapa metode penyuluhan dan kemudian menganalisisnya. Berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan tersebut, penyuluh dapat memilih dan menentukan metode-metode penyuluhan yang paling tepat digunakan. Mardikanto (2009) menyatakan bahwa tidak ada satupun metode penyuluhan yang selalu efektif digunakan untuk semua kegiatan penyuluhan tetapi perlu diterapkan secara kombinasi. Berdasarkan hasil penelusuran, ditemukan bahwa metode penyuluhan yang digunakan penyuluh cenderung sama yaitu ceramah dan metode penyuluhan yang lain kurang digunakan. Hal ini terjadi karena pemilihan metode penyuluhan hanya sebagai kelengkapan administrasi penyusunan angka kredit dan tidak menjadi salah satu komponen penting dalam penilian angka kredit itu sendiri. Di sisi lain, terdapat kondisi yang berbeda tetapi dapat diambil hikmahnya, yaitu penerapan metode belajar dengan bekerja atau learning by doing. Metode tersebut diterapkan oleh guru pamong yang bernaung di bawah Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) pada kegiatan kejar paket. Penerapan metode tersebut memadukan antara kegiatan belajar baca, tulis dan hitung (calistung) dengan kegiatan budidaya sengon, jati unggul, ternak lele dan kambing etawa. Ternyata penerapan metode belajar tersebut dapat diterima petani dan mendapatkan respon positif.
139
Mengingat kegiatan penyuluhan termasuk dalam ranah pendidikan non formal, selayaknya metode belajar dengan bekerja (learning by doing) dapat diadopsi ke bidang penyuluhan dengan melakukan modifikasi. Pengadopsian metode tersebut cukup beralasan karena warga belajar dan sasaran penyuluhan memiliki karakteristik yang sama, yaitu petani yang berada di sekitar hutan. Selain itu, metode tersebut telah dikembangkan di dunia penyuluhan pertanian dengan nama Sekolah Lapang (SL). Materi Penyuluhan Materi penyuluhan untuk meningkatkan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori rendah (41,8 persen) responden. Kondisi ini terjadi karena penyusunan materi penyuluhan kurang disesuaikan dengan kebutuhan petani tetapi lebih mementingkan kepentingan atasan dan kepentingan pribadi penyuluh. Fakta ditemukan bahwa dari 28 rencana kegiatan yang akan dilakukan oleh penyuluh yang berhubungan langsung dengan sasaran utama hanya lima kegiatan, sedangkan yang lain bersifat fisik (Dishutbun 2010). Hasil temuan ini sejalan dengan Sumardjo (2008) yang menyatakan bahwa pada era otonomi tidak sedikit ditemukan perencanaan program penyuluhan diwarnai oleh kepentingan-kepentingan pihak lain non petani. Materi penyuluhan untuk mengatasi lahan kritis yang telah diberikan kepada petani adalah budidaya tanaman hutan dan pembuatan irigasi permukaan. Kedua materi tersebut disusun berdasarkan rencana kerja penyuluhan. Melihat materi tersebut, hanya satu materi yang sesuai dengan kondisi lahan dan kebutuhan petani, yaitu budidaya tanaman hutan, sedangkan materi yang lainnya kurang sesuai dengan kebutuhan petani. Terjadinya hal tersebut, karena dalam penyusunan materi penyuluhan menyesuaikan dengan kegiatan yang telah direncanakan oleh kantor. Oleh karena itu, kompetensi penyuluh di bidang teknis atau substansi harus ditingkatkan agar memiliki dedikasi dan mampu merancang penyuluhan sesuai dengan kondisi lahan dan kebutuhan petani. Fasilitas Penyuluhan Sebanyak 48,0 persen responden menyatakan bahwa fasilitas penyuluhan untuk meningkatkan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori tidak tersedia. Hal ini berarti bahwa penyuluh tidak mampu
140
menyiasati kekurangan fasilitas penyuluhan seperti media penyuluhan dan alat bantu penyuluhan. Mardikanto (2009) menyatakan bahwa semakin lengkap dan semakin sesuai fasilitas penyuluhan yang tersedia semakin besar efesien penyuluhan yang didapatkannya. Fasilitas penyuluhan merupakan sarana untuk memperlancar kegiatan penyuluhan. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, ditemukan satu demplot persemaian di Kantor Penyuluh Kehutanan Kecamatan Kayen, sedangkan di Kantor Penyuluh Kecamatan yang lain tidak tersedia. Meskipun di Kecamatan Kayen tersedia demplot persemaian namun demplot sudah tidak berfungsi lagi, Demplot tersebut hanya ditumbuhi rumput, sedangkan bibit tidak tersedia. Terkait dengan gubuk kerja sebagai tempat untuk pertemuan dengan petani, ditemukan di beberapa desa di Kecamatan Kayen, Sukolilo dan Pucak Wangi. Gubuk kerja di Kecamatan Kayen kondisinya sudah rusak. Hal yang sama juga ditemukan di Kecamatan Sukolilo, sedangkan di Kecamatan Pucak Wangi kondisinya cukup layak untuk melakukan penyuluhan. Sementara di sisi lain, ditemukan demplot persemaian yang dikelola oleh penyuluh pribadi dalam kondisi layak, dan dapat difungsikan sebagai fasilitas penyuluhan. Hal serupa juga ditemukan demplot pembuatan pupuk kompos yang dikelola oleh ketua kelompok tebu. Kondisi ini terjadi karena kedua demplot tersebut dikelola dengan sistem bisnis, sehingga hasil dari demplot dapat untuk membiayai pemeliharaan dan pengembangan usaha. Intensitas Penyuluhan Sebanyak 54,3 persen responden menyatakan bahwa intensitas penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh (PNS) dalam satu tahun akhir termasuk jarang sekali.
Rendahnya
intensitas
penyuluhan
tersebut
disebabkan
oleh:
(1) Penyuluhan yang dilakukan tergantung dari kegiatan atau proyek; (2) Tergantung dana bantuan operasional penyuluh (BOP); (3) Tergantung dari perintah atasan, yaitu berdasarkan rencana kerja semata. Penyuluh belum tertarik untuk mengembangkan penyuluhan sebagai wahana untuk meningkatkan kompetensinya; dan (4) Jumlah desa yang ditangani penyuluh kurang ideal. Berikut disampaikan sebaran penyuluh kehutanan pada masing-masing kecamatan dan desa selangkapnya disajikan pada Tabel 36.
141
Tabel 36. Sebaran Penyuluh Kehutanan Menurut Tempat Tugas dan Jumlah yang Terdapat di Pegunungan Kendeng No
Kecamatan
Jumlah Penyuluh (orang)
Jumlah Desa (buah)
1.
Sukolilo
2
16
2.
Kayen
2
17
3.
Tambakromo
3
18
4.
Winong
1
16
5. Pucak Wangi 1 Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pati 2010
20
Di sisi lain ditemukan pengurus kelompok tani yang notabene adalah perangkat desa yang diangkat menjadi penyuluh swadaya oleh Perhutani dalam kegiatan LMDH. Hal yang sama juga dilakukan oleh perusahaan saprodi yang mengangkat pengurus kelompok tani sebagai penyuluh swasta dan sekaligus distributor. Keberadaan kedua penyuluh tersebut cukup membantu petani yang sedang menghadapi permasalahan dalam pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri. Hal ini terjadi karena kedua penyuluh tersebut dapat ditemui setiap saat tanpa mengenal waktu, sebab mereka merupakan penduduk setempat. Selain itu, kedua penyuluh tersebut telah mengenal secara baik kondisi wilayah, adat budaya dan karakteristik individu petani, sehingga mereka dapat diterima secara baik oleh petani setempat. Sebenarnya penyuluh “swadaya dan swasta” tidak diketahui oleh petani. sebutan penyuluh tersebut berasal dari pengurus kelompok, Perhutani dan perusahaan saprodi, sedangkan petani gurem mengenalnya sebagai perangkat desa dan pengurus kelompok tani. Hal ini terjadi karena petani merasa bahwa kelompok tani tersebut merupakan perpanjangan tangan Perhutani dan perusahaan saprodi yang ada di desa mereka. Hal tersebut terekam dalam wawancara dengan salah satu anggota kelompok tani hutan yang tergabung dalam kegiatan LMDH, disajikan pada Kotak 2. Kotak 2. …….Bapak Smd menjadi anggota LMDH kurang lebih 10 tahun yang lalu. Menjadi anggota kelompok LMDH karena diminta oleh Pak Kepala Desa. Setiap ada pertemuan dengan Perhutani, Pak Kepala Desa yang selalu memberikan ceramah, beliau merupakan wakil Perhutani yang ada di desa kami. Di desa kami belum ada penyuluh swadaya atau swasta, karena semua kegiatan yang melaksanakan pengurus kelompok tani.
142
Kotak 2 menggambarkan bahwa petani tidak mengetahui keberadaan penyuluh swasta maupun swadaya. Hal ini terjadi karena yang menjadi penyuluh tersebut adalah perangkat desa. Selain itu, keberadaan kedua penyuluh masih sebatas menjalankan amanah dari lembaga yang mengangkatnya. Akibatnya, petani merasa kalau perangkat desa tersebut adalah perpanjangan tangan dari lembaga tertentu misalnya Perhutani atau perusahaan saprodi. Kelembagaan Penyuluhan Sebanyak 41,8 persen responden menyatakan bahwa kelembagaan penyuluhan dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis termasuk dalam kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa kelembagaan penyuluhan kurang berfungsi secara optimal dalam memfasilitasi dan mendukung penyuluhnya. Penyebabnya adalah belum terbentuknya badan pelaksana penyuluhan (Bapeluh), sehingga kelembagaan penyuluhan kurang mendapat perhatian yang serius. Selain itu, kurang optimalnya fungsi kelembagaan penyuluhan juga disebabkan oleh rendahnya kompetensi penyuluh dan tidak tersedianya fasilitas penyuluhan. Kondisi kedua hal tersebut tampaknya didukung oleh hubungan nyata (α=0,01) dan positif, antara kelembagaan penyuluhan dengan tingkat kompetensi penyuluh dan ketersediaan fasilitas penyuluhan. Tersedianya penyuluh yang kompeten dan didukung oleh fasilitas penyuluhan yang memadai, niscaya kelembagaan penyuluhan dapat berfungsi secara baik. Mengacu pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006, kelembagaan penyuluhan di tingkat kabupaten adalah badan pelaksana penyuluhan (Bapeluh), penyuluh swadaya dan penyuluh swasta. Meskipun demikian, sampai dengan saat ini Bapeluh belum terbentuk, oleh karena itu fungsi penyuluhan kehutanan dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang sekaligus menjadi induk organisasi penyuluh kehutanan PNS. Di sisi lain, ditemukan penyuluh swadaya dan penyuluh swasta yang dibentuk tidak sesuai dengan tuntutan dari Undang-undang tersebut. Penyuluh swadaya dibentuk dan dikendalikan oleh Perhutani dan melakukan penyuluhan sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Perhutani. Penyuluh swasta dibentuk dan dikendalikan oleh perusahaan saprodi. Penyuluh ini juga menjadi distributor produk dari perusahaan saprodi tersebut. Idealnya kedua penyuluh tersebut berasal
143
dari petani maju yang independen sehingga tidak terikat dan diinterpensi oleh lembaga lain. Hal ini akan lebih mengefektifkan kerja penyuluhan karena tidak ditunggangi oleh hal-hal yang bersifat propaganda maupun promosi suatu produk. Kerjasama Penyuluhan Kerjasama penyuluhan dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis termasuk dalam kategori sedang (43,8 persen) responden. Hal ini menunjukkan bahwa penyuluh kurang optimal dalam melaksanakan kerjasama dengan lembaga lain untuk membantu petani. Keterbatasan tersebut terjadi karena kelembagaan penyuluhan tidak memberikan dukungannya secara penuh dan kemampuan penyuluh untuk membangun jaringan kerjasama tergolong lemah. Sampai dengan saat ini kerjasama penyuluhan masih terbatas. Kerjasama penyuluhan hanya dilakukan dengan kelompok tani. Kerjasama penyuluhan ini dilakukan untuk melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan proyek seperti: pelaksanaan KBR, penerapan silvikultur intensif, dan gerhan. Sementara itu, penyuluh kehutanan (PNS) belum melakukan kerjasama dengan Perhutani, perusahaan saprodi dan SKB juga dengan lembaga-lembaga lain yang terkait. Jika lembaga-lembaga tersebut dapat melakukan kerjasama dengan penyuluh PNS, maka kegiatan penyuluhan akan lebih efektif. Kerjasama ini diperlukan untuk mengatasi kekurangan fasilitas, ketidaksesuaian metode, ketidaktepatan materi dan pendekatan, sekaligus dapat meningkatkan kompetensi penyuluh kehutanan. Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Tingkat kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis termasuk kategori rendah. Hal ini tercermin dari tiga skor rerata indikatornya rendah, yaitu: tingkat pendapatan petani sebesar Rp. 4,9 juta per tahun, tingkat keragaman jenis pangan sebesar 38,2 dan terjalinnya jejaring bisnis sebesar 36,8. Dua skor rerata indikatornya termasuk sedang, yaitu: persentase luas lahan ditanami sebesar 68,1 dan persentase tegakan tumbuh sehat sebesar 60,9. Sebaran kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya disajikan pada Tabel 37.
144
Tabel 37. Sebaran Tingkat Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri No
Sub Peubah
1.
Tingkat pendapatan Rataan = 4,9 juta rupiah
2.
Persentase luas lahan ditanami Skor rerata = 68,1
3.
Persentase tegakan yang sehat Skor rerata = 60,9
4.
Tingkat keragaman pangan Skor rerata = 38,2
5.
Tumbuhnya jaringan usaha Skor rerata = 36,8
Skor rerata kinerja petani = 50,0
Skor ≤ 5 juta 5,1 – 5,9 juta ≥ 6 juta 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100,0 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100,0 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100,0 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100,0
Ketegori Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
n
Persentase (%)
231 148 21 84 98 218 92 211 97 283 75 42 294 71 35
57.8 37,0 5,2 21,0 24,5 54,5 23,0 52,8 24,2 70,6 18,8 10,4 73,5 17,8 8,7
Rendah
Terdapat hubungan nyata antara persentase tegakan tumbuh sehat dengan umur petani, pengalaman bertani dan pengalaman melaksanakan agroforestri. Selain itu, terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif, antara persentase luas lahan yang ditanami dengan tingkat pendapatan dan persentase tegakan tumbuh sehat. Hubungan antara tingkat kinerja petani dengan karekteristik individu petani dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya disajikan pada Tabel 38. Tabel 38. Hubungan antara Tingkat Kinerja Petani dengan Karakteristik Individu Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri.
Keterangan: ** Nyata pada α=0,01; * Nyata pada α=0,05
145
Tingkat Pendapatan Petani Sebanyak 54,5 persen responden menyatakan bahwa tingkat pendapatan petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri sebesar lima juta rupiah ke bawah per tahun, tingkat pendapatan tersebut termasuk dalam kategori rendah. Rendahnya tingkat pendapatan petani tersebut, karena: (1) Petani kurang menguasai jalur pemasaran, sehingga mereka tergantung pada tengkulak, penebas dan pedagang hewan, akibatnya petani tidak memiliki daya tawar yang tinggi; (2) Komoditas yang ditanam kurang sesuai dengan permintaan pasar; (3) Petani tidak menjual hasil sistem agroforestri dengan cara berkelompok; (4) Petani menjual hasil panen dalam bentuk barang mentah; (5) Penyuluh yang diharapkan memberikan informasi harga pasar dan membawa inovasi-inovasi, ternyata tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya; (6) Harga saprodi terus mengalami kenaikan, terutama bibit/benih dan pestisida; dan (7) Upah tenaga kerja buruh tani cukup tinggi, berkisar antara Rp. 35.000 sampai dengan Rp. 45.000 per hari. Pendapatan petani dari penerapan sistem agroforestri berasal dari hasil panen tanaman semusim, tanaman keras dan ternak. Pendapatan hasil tanaman semusim diperoleh petani dari penjualan jagung dan singkong. Petani menjual panen jagung dalam setahun sebanyak tiga kali dan menjual singkong sebanyak satu kali. Hasil penjualan kedua tanaman semusim inilah merupakan sumber pendapatan yang dapat terlihat langsung oleh petani. Pada saat ini, pendapatan petani dari tanaman keras berasal dari hasil penjualan rencek dan hasil penjarangan, karena pohon berumur kurang lebih sepuluh tahun. Walaupun pendapatan dari hasil kayu belum terlihat nyata, namun nilai jualnya dapat diperhitungkan berdasarkan diameternya sehingga kontribusi penghasilan tanaman keras dapat diperhitungkan oleh petani. Kontribusi pendapatan dari ternak, diperoleh petani dalam kurun waktu dua sampai dengan tiga tahun sekali. Meskipun pendapatan dari ternak juga belum terlihat nyata, namun nilai jualnya dapat diperhitungkan berdasarkan kondisi fisiknya. Selain itu, ternak juga dapat berfungsi sebagai tabungan hidup yang dapat dijual oleh petani apabila ada kebutuhan yang mendesak.
146
Persentase Luas Lahan Ditanami Sebanyak 54,8 persen responden menyatakan bahwa persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri termasuk dalam kategori tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa petani telah menyadari dan merasakan manfaat dari hasil penanaman lahan kritis dengan sistem agroforestri. Tingginya persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri pada lahan kritis tersebut karena: petani telah berpengalaman dalam bertani dan melaksanakan kegiatan agroforestri, serta lahan garapan petani bertambah luas setelah menjadi anggota kelompok tani hutan yang tergabung pada LMDH. Petani telah lama mengenal sistem agroforestri, yaitu dengan nama tumpang sari, atau dapat dikatakan petani telah berpengalaman panjang dalam penerapan sistem agroforestri. Melalui pengalamannya tersebut, petani dapat merasakan manfaat menanam tanaman campuran dibandingkan dengan menanam tanaman monokultur. Karena hal tersebut, maka persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri semakin bertambah. Lahan garapan petani bertambah luas setelah diperolehnya hak pengelolaan lahan milik Perhutani. Lahan garapan tersebut oleh petani ditanami dengan jenis tanaman semusim seperti: jagung, singkong dan kacang hijau. Akibatnya, lahan milik petani tidak hanya ditanami dengan tanaman semusim melainkan ditanami juga dengan tanaman keras seperti: jati, mahoni, mangga dan rambut. Keadaan inilah yang menyebabkan bertambahnya persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri. Faktanya, luas hutan rakyat campuran dengan sistem agroforestri semakin meningkat, hal ini didukung data Bappeda (2010) yang menyatakan bahwa pada tahun 2006 luas hutan rakyat sebesar 1.667 hektar, dan tahun 2009 menjadi 4.545 hektar. Mengacu beberapa penjelasan dan bukti tersebut, dapat ditarik suatu benang merah bahwa: terbentuknya sistem agroforestri sederhana pada lahan kritis di Pegunungan Kendeng disebabkan oleh: (1) Sebagian besar petani berumur tua atau di atas 50 tahun; (2) Generasi muda kurang berminat dan tertarik menjadi petani; (3) Petani memiliki pengalaman dan keterampilan yang memadai di bidang agroforestri; dan (4) Lahan garapan petani bertambah luas.
147
Persentase Tegakan Tumbuh Sehat Persentase tegakan yang tumbuh sehat dalam sistem agroforestri termasuk dalam katergori sedang (52,8 persen) responden. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah memahami kondisi lahan dan memiliki keterampilan yang memadai dalam mengelola lahan kritis dengan menerapkan sistem agroforestri. Meningkatnya persentase tegakan yang tumbuh sehat di lahan-lahan tegalan milik petani tidak terlepas dari kesesuaian jenis tanaman dengan kondisi lahannya. Kondisi lahan tegalan yang bertanah padas dan mempunyai iklim yang cenderung panas, hanya dapat ditanami dengan jenis tanaman yang tahan kekeringan dan kurang membutuhkan air. Jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi tersebut yaitu jati dan mahoni. Kemampuan atau keterampilan petani dalam mengelola lahan kritis juga berperan dalam meningkatkan persentase tegakan yang tumbuh sehat. Melalui keterampilannya, petani mampu melakukan penyiapan lahan, proses penanaman dan pemeliharaan secara teratur, sehingga tanaman tumbuh subur dan sehat. Selain itu, panjangnya pengalaman petani melaksanakan sistem agroforestri juga berpengaruh terhadap persentase tegakan tumbuh sehat. Melalui pengalaman yang dimilikinya tersebut, petani mampu memilih jenis bibit yang sesuai dengan kondisi lahan, menyiapkan lahan secara baik dan memelihara tanaman sesuai dengan kebutuhan tanaman. Keragaman Jenis Pangan Sebanyak 47,5 persen responden menyatakan bahwa keragaman jenis pangan yang dihasilkan dari penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa petani kurang memanfaatkan berbagai jenis bahan pangan hasil penerapan sistem agroforestri. Rendahnya keragaman jenis bahan pangan hasil sistem agroforestri tersebut disebabkan oleh: budaya turun temurun mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan pokok; tingkat kepraktisan dan ketahanan bahan pangan dalam penyimpanan; dan jenis komoditas jagung, singkong dan gembili telah memiliki nilai jual yang tinggi. Hasil tanaman semusim di Pegunungan Kendeng lebih didominasi oleh jagung, singkong, gembili dan senthik dibandingkan dengan padi. Meskipun demikian, petani kurang tertarik hasil sistem agroforestri tersebut sebagai bahan
148
pangan, namun petani lebih memilih beras sebagai bahan pangan. Hal ini terjadi karena budaya turun temurun mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan. Petani mengkonsumsi jenis bahan pangan jagung, singkong, gembili dan senthik hanya “dianggap” sebagai bahan pangan selingan. Kondisi inilah, yang menyebabkan rendahnya keragaman jenis bahan pangan sistem agroforestri. Hal lain yang menyebabkan rendahnya keragaman jenis bahan pangan hasil sistem agroforestri adalah kepraktisan dan ketahanan bahan pangan dalam penyimpanan. Hasil tanaman semusim seperti: jagung, singkong, gembili dan senthik tidak praktis dan tidak tahan lama dalam penyimpanan, bila dibandingkan dengan padi atau beras, karena jagung dan singkong rawan terhadap hama kumbang tepung. Selanjutnya, hasil agroforestri berupa jagung, singkong dan gembili, pada saat ini telah laku di pasaran dan memiliki nilai jual yang tinggi. Jagung dibeli oleh perusahaan sebagai bahan baku pakan ikan. Singkong dibeli oleh pabrik tapioka sebagai bahan baku tepung, dan gembili dibeli oleh industri kerajinan rumah tangga sebagai bahan baku keripik. Hasil penjualan ketiga bahan pangan ini digunakan untuk membeli beras dan untuk memenuhi kebutuhan lain seperti membayar uang sekolah, pakaian dan modal usaha bertani. Kondisi ini yang menyebabkan rendahnya keragaman jenis bahan pangan sistem agroforestri. Berdasarkan temuan ini, maka program penyuluhan ke depan diharapkan diarahkan pada sistem pengolahan bahan pangan, sehingga petani tidak tergantung pada satu jenis bahan pangan beras. Ketergantungan pada satu bahan pangan tersebut berdampak pada kekurangan pangan atau bahaya kelaparan jika terjadi musim kemarau panjang yang menyebabkan gagal panen padi. Terjalinnya Jejaring Bisnis Sistem Agroforestri Terjalinnya jejaring bisnis sistem agroforestri termasuk dalam kategori rendah (51,5 persen) responden. Hal ini menunjukkan bahwa petani tidak mampu menjalin hubungan komunikasi dengan pihak luar. Akibatnya sistem pemasaran dan penerapan inovasi pengelolaan lahan tidak berkembang yang menyebabkan tingkat pendapatan petani rendah.
149
Sebagian besar (86,0 persen) responden mempunyai tingkat pendidikan formal rendah atau setara lulus SD. Kondisi ini menyebabkan rendahnya kemampuan berkomunikasi dengan pihak lain, padahal komunikasi merupakan sarana untuk menumbuhkan kepercayaan dengan pihak lain. Tumbuhnya rasa kepercayaan tersebut menjadi modal untuk menjalin hubungan kerjasama dan membangun jejaring bisnis. Kurangnya kemampuan petani berkomunikasi menyebabkan tidak terbentuknya jejaring bisnis sistem agroforestri yang menguntungkan mereka. Selain itu, penyebab tidak terbentuknya jejaring bisnis dalam sistem agroforestri adalah rendahnya keberanian mengambil risiko. Petani yang berani mengambil risiko adalah petani yang memiliki modal atau memiliki tingkat pendapatan yang tinggi. Hal ini hanya dilakukan oleh petani yang berumur muda. Melalui modal keberaniannya, petani muda ini juga mengembangkan inovasi pengelolaan lahan dengan menamam tanaman semangka dan melon. Hal ini tidak dilakukan oleh petani tua, karena mereka memiliki modal yang terbatas dan tidak berani mengambil risiko. Keberlanjutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri Tingkat keberlanjutan dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis termasuk dalam kategori sedang. Kondisi ini tercermin dari tiga skor rerata indikatornya sedang, yaitu: nilai ekonomi sebesar 63,9; nilai sosial sebesar 63,3 dan nilai lingkungan sebesar 62,4. Sebaran keberlanjutan penerapan sistem agroforestri di lahan kritis selengkapnya disajikan pada Tabel 39. Tabel 39. Sebaran Keberlanjutan Penerapan Sistem Agoforestri di Lahan Kritis No 1.
Sub Peubah Ekonomi Skor rerata = 63,9
2.
Sosial Skor rerata = 63,3
3.
Lingkungan Skor rerata = 62,4
Skor 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100
Skor rerata keberlanjutan = 62,3
Ketegori Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Sedang
n
Persentase (%)
91 137 172 89 163 148 90 159 151
22,8 34,2 43,0 22,3 40,7 37,0 22,4 39,8 37,8
150
Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif, antara kebelanjutan nilai sosial dengan umur petani, tingkat pendidikan formal petani, pengalaman melaksanakan agroforestri dan nilai ekonomi. Hubungan antara keberlanjutan sistem agroforestri dengan karakteristik individu petani dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya disajikan pada Tabel 40. Tabel 40. Hubungan antara Keberlanjutan Sistem Agroforestri dengan Karakteristik Individu Petani dalam Sistem Agroforestri Aspek Keberlanjutan
Aspek Keberlanjutan Ekonomi
Sosial
Lingkungan
Umur
0,010
0,476**
0,508**
Pendidikan formal
0,438*
0,462**
-0,142
Pendidikan non formal
0,301
0,422*
0,227
Pengalaman bertani
0,136
0,417*
0,284
Pengalaman agroforestri
0,105
0,628**
0,389*
Keterdedahan thd informasi
0,412*
0,205
0,415*
1
0,565**
-0,382*
1
0,215
Karakteristik Individu
Ekonomi Sosial Lingkungan
1
Keterangan: ** Nyata pada α=0,01; * Nyata pada α=0,05
Aspek Ekonomi Sebanyak 43,0 persen responden menyatakan bahwa nilai ekonomi keberlanjutan dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah mampu merasakan dan menghitung nilai ekonomi penerapan sistem agroforestri dalam waktu relatif cepat. Nilai ekonomi keberlanjutan sistem agroforestri berupa sumber pendapatan petani dan ketersediaan lapangan kerja. Hasil praktek sistem agroforestri yang berasal dari tanaman semusim, seperti: jagung, singkong, kacang hijau dan gembili; tanaman keras seperti: jati dan mahoni; dan ternak seperti: kambing dan sapi. Nilai ekonomi sistem agroforestri tersebut dapat dilihat dan diperhitungkan oleh petani melalui kondisi fisik dan nilai jualnya. Ketiga hasil sistem agroforestri tersebut menjadi sumber pendapatan utama bagi petani dan keluarganya. Melalui pendapatan tersebut, petani dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk mendapatkan modal untuk mengelola lahan.
151
Manfaat lain dari praktek sistem agroforestri adalah tumbuhnya lapangan kerja bagi petani gurem sebagai buruh tani. Keterlibatan buruh tani sebagai tenaga kerja terlihat dari kegiatan: menyiapkan lahan, melakukan penanaman, pemanenan dan pengangkutan. Tersedianya lapangan kerja untuk mereka, maka petani gurem tersebut dapat meningkatkan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan sekaligus dapat menyekolahkan anak-anaknya. Aspek Sosial Sebanyak 40,7 persen responden menyatakan bahwa aspek sosial yang menjamin keberlanjutan sistem agroforestri pada lahan kritis termasuk kategori sedang. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan sistem agroforestri telah mengakomodasi kepentingan sosial yang terdapat dalam kehidupan petani. Hairiah et al. (2003) menyatakan bahwa nilai sosial sistem agroforestri menempatkan petani sebagai subyek, secara aktif berupaya meningkatkan kapasitasnya agar dapat memenuhi kebutuhan dan meraih peluang hidup yang lebih baik. Praktek sistem agroforestri telah dikenal dan dilakukan oleh petani secara turun temurun dengan sebutan tumpang sari. Sebagai bentuk pertanian tradisional, petani melakukan tumpang sari di tegalan dan pekarangan rumah. Fenomena ini, umum dilakukan oleh petani di Pegunungan Kendeng, sehingga pekarangan rumahnya terlihat menyerupai kebun-kebun campuran (home garden). Kebun campuran tersebut merupakan wujud pengalaman lokal yang dihasilkan oleh petani yang kemudian menjadi salah satu bentuk sistem agroforestri. Hal tersebut menyebabkan terpeliharanya aspek sosial keberlanjutan sistem agroforestri. Aspek sosial lain dari penerapan sistem agroforestri adalah terjadinya intensitas hubungan sosial antar petani. Petani sebagai makhluk sosial membutuhkan petani yang lain. Kebutuhan itu tidak hanya sekedar berkumpul atau bertemu semata, tetapi dibarengi adanya proses alih keterampilan dari petani satu ke petani lainnya. Contohnya adalah alih keterampilan penanaman jagung dengan sistem TOT. Alih keterampilan tersebut sangat membantu petani untuk mengelola lahannya karena dapat menghemat biaya pengelolaan dan hasil panennya secara optimal.
152
Praktek sistem agroforestri yang dilakukan oleh petani pada lokasi yang berdekatan dengan tempat-tempat yang dikeramatkan oleh petani seperti punden, gua-gua, dan makam-makam, menunjukkan adanya kepedulian terhadap tradisi budaya yang masih kuat dianut oleh petani. Petani menggunakan tempat-tempat tersebut sebagai sarana ritual untuk menghormati leluhurnya, sehingga mereka berusaha menjaga dan melestarikannya. Terakomodasinya kebutuhan rohani petani ini menyebabkan terjaminnya aspek sosial keberlanjutan sistem agroforestri. Aspek Lingkungan Keberlanjutan aspek lingkungan dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis termasuk dalam kategori sedang (39,8 persen) responden. Hal ini menunjukkan, bahwa petani kurang merasakan dan memahami sepenuhnya dampak aspek lingkungan dari penerapan sistem agroforestri. Kurangnya petani merasakan manfaat aspek lingkungan disebabkan oleh sering terjadinya banjir di Pegunungan Kendeng. Kondisi ini terjadi karena pada saat ini tanaman jati dan mahoni milik Perhutani baru berumur antara sepuluh sampai dengan sebelas tahun, sehingga perakarannya diduga tidak mampu menahan dan menyerap air hujan. Lahan-lahan tegalan milik petani yang dikelola dengan sistem agroforestri, juga tidak mampu menahan derasnya air hujan karena umur pepohonannya kurang lebih sepuluh tahun dan lokasi lahannya terpisahpisah. Penyebab lainnya adalah kurang tersedianya unsur hara yang terdapat di lahan-lahan tegalan petani. Serasah atau dedaunan tanaman keras merupakan bahan penghasil unsur hara tetapi untuk menjadi hara tersebut serasah harus melalui proses membusuk dahulu yang membutuhkan waktu relatif lama. Sementara itu, petani memerlukan unsur hara tersebut secepatnya untuk menanam jagung atau kacang hijau. Akibatnya, sebelum menanam jagung atau kacang hijau petani harus memupuk lahan tegalannya dengan pupuk kompos atau pupuk kandang untuk menyediakan hara yang dibutuhkan oleh tanaman tersebut. Hal ini yang menyebabkan kurangnya manfaat aspek lingkungan yang dapat dirasakan oleh petani.
153
Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif antara aspek lingkungan dengan umur petani. Semakin tua umur petani semakin tinggi keberlanjutan aspek lingkungan. Petani yang berumur tua telah mengalami berbagai peristiwa akibat rusaknya kondisi lingkungan. Hal tersebut mendorong petani untuk melakukan pemeliharaan lingkungan secara teratur agar tidak terjadi bencana akibat rusaknya lingkungan sehingga manfaat nilai lingkungan dapat dirasakan oleh petani. Terdapat hubungan nyata dan negatif antara aspek lingkungan dengan aspek ekonomi. Semakin tinggi aspek ekonomi semakin rendah aspek lingkungan. Manfaat aspek lingkungan dalam penerapan sistem agroforestri tidak dapat dinikmati secara langsung oleh petani dalam waktu yang singkat. Petani merasakan manfaat tersebut ketika terjadi bencana. Kondisi tersebut terjadi, karena petani memandang dan memperlakukan sistem agroforestri dari nilai ekonomi, sehingga mereka lebih mementingkan penghasilan dan kurang memperhatikan lingkungan. Oleh karena itu, ketika petani lebih mementingkan kepentingan ekonomis maka lingkungan akan terabaikan.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA PETANI DALAM PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRI Analisis biplot dipergunakan untuk mengetahui korelasi dan keragaman data, yang selanjutnya dipergunakan untuk melihat kelayakan data diuji dengan analisis SEM. Gambar 6 menunjukkan bahwa hasil analisis biplot sebesar 71,46 persen data yang tergambarkan dalam dua dimensi, yaitu demensi satu dan demensi dua. Berdasarkan hasil analisis tersebut maka data memenuhi kelayakan untuk diuji dengan analisis SEM, karena (jumlah sub peubah x jumlah responden = 14.000 buah) yang tergambar dalam biplot ≥ 70 persen (Kutha 2010). Hasil analisis biplot peningkatan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya disajikan pada Gambar 6. Standardize Object's Label
Automatic
Variable's Label
Automatic
AspectRatio
1
1
2
1
NUMERICS
Symmetric Biplot GF
71.46
1
StretchH 2
BIPLOT
1
1
0.5
2
0.5
107 205 90 204 206 105 202 208 290 307 207 17 83 18 91 201 305 291 173217 218 72 235283 16 66 95 93 272 82 85 92 114 216266 94 89 282 293 285 306 314373 304 292 219262 289 313 1 170 96 139 203 299 24 67 100 110 215 370 76 80 197 238 228 51 59 88 133 233 267 274 320 339 141 191 239 310 280 300 3 53 73 123 156 172 62 157 178 251 276 397 61 V41 288 315 329 333 81 101 137 140 V10 196 301 341 112 136 78 117 153 V30 198 253 99 128 132 273 357 356 26 60 144 195 192 243 372 378 84 97 165 184 281 337 340 43 168 261 336 396 87 121 182 200 278 353 19 125 127 146 151 312 317 332 129 194 260 384 149 179 187 241 328 344 365 392 71 79 155 183 247 284 134 145 177 190 287 321 323 368 147 186 325 400 6 69 138 142 199 346 351 14 193 226 249 394 158 232 V2 349 379 383 387 11 38 154 V42 254 279327 345 347 377 390 8 39 115 343 399 13 74 86 106 164 180 338 10 49 124 150 152 159 166 181 335 342 358 381 386 57 35 135 393 28 56 77 104 143 37 189 359 364 15 103 122 214 366 32 265 324 350 12 20 40 65 102 171 174 212 264 108 163 211 224 256 286 68 113 161 167 188 213 237 395 30 48 57 70 98 V21 V22 162 V20 221 V8 V33 389 24 64 V29 160 V14 V3 V4 210 334 352 34 75109 220 V40 374 398 63 130 V27 V9 263 361 363 371 33 111 118 V6 209 240 303 302 322 354 380 131 V12 248 257 259 296 362 367 382 41 V34 270 277 308 388 921 29 46 V43 230 294 295 355 360 391 V38 126 V28 148 V32 169 234 275 298 22 V24 V5 250 269 V25 27 44 176 225 271 309 318 52 V19 V23 330 331 25 229 V16 246 V39 326 369 2347 116 V11 175 V17 348 185 222 268311 223 244 252 316 376 V26 255 36 V13 V15 V31375 385 31 V18 V7 236 319 58 120 231 42 258 45 50 55 242 245
0
View Numerical Results in Cell
227
View Tables
V1
297
119 V35
in Cell V36
About
D2
10
54
20
30 V37
10
0
10
20
30
40
50
D1
Gambar 6. Analisis Biplot Peningkatan Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis Kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri berpengaruh secara nyata terhadap keberlanjutan sistem agroforestri. Faktor-faktor penentu kinerja yang berpengaruh nyata terhadap kinerja petani melalui motivasi petani petani, kesempatan yang dimiliki petani dan kemampuan petani. Dukungan penyuluhan
155
berpengaruh secara nyata terhadap motivasi petani dan kesempatan yang dimiliki petani, tetapi tidak berpengaruh terhadap kemampuan petani. Analisis SEM peningkatan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis selengkapnya disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Analisis SEM Peningkatan Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem
Agroforestri di Lahan Kritis (Standardized). Hasil analisis SEM pada Gambar 7 tersebut, diperoleh berdasarkan hasil analisis confirmatory factor analysis (CFA) yang nilai koefisien bobot faktornya (loading factors) lebih dari 0,50 atau (cut-off) dengan nilai P-value lebih kecil atau sama dengan 0,05 (Hair et al. 2006; Ghozali 2004; diacu dalam Kusnendi 2007). Hasil pengukuran CFA selengkapnya, disajikan pada Lampiran 2. Hasil uji kesesuaian model mengindikasikan hybrid model yang fit dengan data, hal tersebut tercermin dari: nilai P-value = 0,0672 > 0,05; RMSEA = 0,0691 < 0,08; dan nilai CFI = 0,9454 > 0,90. Pengaruh langsung dan tidak langsung antar peubah yang membentuk kinerja petani melalui faktor-faktor penentu kinerja dan keberlanjutannya, diidentifikasi melalui dekomposisi pengaruh antar peubah. Hasil dekomposisi pengaruh antar peubah selengkapnya disajikan pada Tabel 41.
156
Tabel 41. Dekomposisi Antar Peubah Peningkatan Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis Pengaruh Pengaruh Antar Peubah Pengaruh Tidak Langsung Melalui Total
R2
-
0,51
0,26
-
-
0,38
0,14
0,30
0,18
-
0,48
-
-
-
-
-
0,59
0,48
-
-
-
-
0,48
0,41
-
-
-
-
0,41
0,54
-
-
-
-
0,54
Peubah Terikat
Langsung
X2
Y1
X2
X2
Peubah Bebas
X2
Y1
Y2
Y3
0,51
-
-
-
Y2
0,38
-
-
Y4
-
-
0,59
Y1 Y2
Y4
Y3 Y4
Y5
0,73
0,29
Keterangan: X2 = Dukungan Penyuluhan Y1 = Motivasi Petani Y2 = Kesempatan Petani Y3 = Kemampuan Petani Y4 = Kinerja Petani Y5 = Keberlanjutan Sistem Agroforestri
Berdasarkan pada Gambar 7 dan Tabel 41, maka dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut: (1)
Dukungan penyuluhan tidak secara langsung berpengaruh terhadap kemampuan petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri dan secara tidak langsung memengaruhi kinerja petani melalui motivasi dan kesempatan petani. Hal ini terjadi karena: (a) Petani lebih mampu atau terampil dibandingkan dengan penyuluh, sebab salah bentuk sistem agroforestri tersebut telah dilaksanakan petani sejak lama yaitu tumpang sari. Lemahnya kemampuan penyuluh tersebut tercermin dari Tabel 33 yang menunjukkan bahwa tingkat kompetensi rendah, pemilihan pendekatan metode dan materi penyuluhan tidak sesuai, fasilitas penyuluhan kurang tersedia serta intensitas penyuluhan jarang dilaksanakan; dan (b) Sistem agroforestri sesuai dengan kebutuhan petani sekitar hutan. Melalui penerapan sistem agroforestri, petani dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dari hasil tanaman semusim, kebutuhan masa depan dan tabungan dari tanaman keras, serta dapat mengakomodasi budaya petani sekitar hutan.
157
(2)
Faktor penentu kinerja yaitu: motivasi petani, kesempatan petani dan kemampuan petani berpengaruh secara nyata terhadap kinerja. Hasil ini mendukung teori kinerja Robbins (2003) yang menyatakan bahwa kinerja ditentukan oleh kemampuan (ability), motivasi (motivation) dan kesempatan (opportunity), atau f kinerja = AxMxO. Besar pengaruh faktor penentu kinerja terhadap kinerja petani sekitar hutan secara bersama-sama sebesar 73,3 persen. Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa terdapat faktor lain yang tidak diperhitungkan dalam penelitian mendukung kinerja petani sekitar hutan sebesar 26,7 persen.
(3)
Faktor lain tersebut diduga adalah faktor lingkungan. Hal ini terjadi karena suasana lingkungan kerja petani yang kondusif, tidak ada gangguan atau ancaman, menyebabkan petani dapat bekerja secara tenteram dan tenang. Kondisi tersebut, terlihat dari keberlanjutan penerapan sistem agroforestri yang disebabkan oleh kinerja petani, kontribusinya tidak berasal dari aspek lingkungan tetapi berasal dari aspek ekonomi dan aspek sosial.
(4)
Dukungan penyuluhan berpengaruh positif secara nyata terhadap motivasi dan kesempatan petani. Rendahnya dukungan penyuluhan terhadap faktor penentu kinerja petani sekitar hutan, menyebabkan lemahnya motivasi petani dan rendahnya kesempatan yang dimiliki oleh petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Akibatnya, hal tersebut menyebabkan rendahnya kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri.
(5)
Strategi penyuluhan dalam peningkatan kinerja petani sekitar hutan khususnya untuk meningkatkan motivasi dan kesempatan petani dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis, melalui: (a) Penguatan dukungan kelembagaan dan intensitas penyuluhan; dan (b) Mengembangkan hubungan kemitraan atau kerjasama penyuluhan dengan lembaga-lembaga lokal yang melaksanakan fungsi penyuluhan. Untuk kepentingan pembahasan, Gambar 7 dipecah menjadi tiga bagian
yaitu: (1) Pengaruh kinerja petani terhadap keberlanjutan dalam penerapan sistem agroforestri (Gambar 8); (2) Pengaruh faktor penentu kinerja petani terhadap kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri (Gambar 9); dan (3) Pengaruh
158
dukungan penyuluhan terhadap faktor penentu kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri (Gambar 10). Pengaruh Kinerja Petani terhadap Keberlanjutan Penerapan Sistem Agroforestri Kinerja petani berpengaruh nyata terhadap keberlanjutan penerapan sistem agroforestri di lahan kritis. Indikator yang berpotensi membentuk kinerja petani yang berpengaruh terhadap keberlanjutan penerapan sistem agroforestri di lahan kritis, adalah: (1) Persentase luas lahan yang ditanami; (2) Persentase tegakan yang tumbuh sehat; dan (3) Tingkat pendapatan petani. Pengaruh kinerja petani terhadap keberlanjutan penerapan sistem agroforestri di lahan kritis selangkapnya, disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Model Pengaruh Kinerja Petani terhadap Keberlanjutan Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis. Berdasarkan hasil analisis pengaruh kinerja petani terhadap keberlanjutan dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis, diestimasi menghasilkan model persamaan struktural sebagai berikut: Y5 = 0,54 Y4; R2 = 0,2916…………..…………………………….(Persamaan 1) Berdasarkan Gambar 8 dan Persamaan 1, Hipotesis 1 yaitu: tingkat keberlanjutan penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis secara nyata dipengaruhi oleh kinerja petani, diterima. Hal ini terbukti dari Gambar 8 yang menunjukkan bahwa pengaruh kinerja petani terhadap keberlanjutan penerapan sistem agroforestri sebesar 0,54 atau 29,2 persen; pada tingkat kesalahan 5 persen. Sisanya sebesar 70,8 persen merupakan peubah lain yang belum terjelaskan dalam model penelitian ini. Pengaruh kinerja petani sekitar hutan terhadap keberlanjutan penerapan sistem agroforestri ternyata positif, namun kurang optimal karena kontribusinya
159
kecil sebesar 29,2 persen. Kurang optimalnya kinerja petani sekitar hutan terhadap keberlanjutan penerapan sistem agroforestri tersebut, karena rendahnya tingkat kinerja petani. Hal ini terlihat bahwa tidak semua indikator merefleksikan kinerja petani, tetapi hanya tiga indikator yang merefleksikan kinerja petani sekitar hutan, yaitu: persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri, persentase tegakan yang tumbuh sehat dan tingkat pendapatan. Ketiga indikator inilah, yang berkontribusi positif terhadap keberlanjutan sistem agroforestri pada aspek ekonomi dan aspek sosial. Persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri merupakan indikator terbesar pertama yang merefleksikan kinerja petani. Peningkatan kinerja sekitar hutan yang dicirikan oleh peningkatan persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri tersebut terjadi karena petani memiliki kesempatan untuk mengelola lahan yang lebih luas melalui cara sewa, sakap dan pesanggem. Lahan yang disewa petani, umumnya adalah lahan-lahan persawahan yang ditanami dengan tanaman semusim, selanjutnya lahan sakap diperoleh petani dari masyarakat yang merantau atau menjadi TKI dan lahan tersebut ditanami dengan tanaman semusim dengan pola bagi hasil. Lahan pesanggem diperoleh petani melalui kegiatan kelompok tani hutan dengan pola LMDH. Melalui pola ini, petani mendapatkan kesempatan untuk mengelola lahan milik Perhutani, dengan menanam tanaman semusim yang dipadukan dengan tanaman jati. Bertambahnya luas lahan yang dikelola oleh petani tersebut, berpengaruh terhadap pengelolaan lahan miliknya, di mana, lahan tersebut tidak hanya ditanami dengan tanaman semusim, tetapi juga ditanami dengan tanaman keras. Kondisi ini yang menyebabkan petani dapat “sustainable” secara sosial maupun ekonomi. Peningkatan kinerja petani sekitar hutan yang direfleksikan oleh peningkatan persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri yang menyebabkan keberlanjutan aspek ekonomi dan sosial sistem agroforestri terlihat melalui pengakuan atas pengetahuan tradisional petani. Pengetahuan tradisional petani dalam melaksanakan sistem agroforestri selaras dengan umur petani, karena melalui tumpang sari mereka telah mengenal dan melakukan hal tersebut sejak masa remaja sampai dengan saat ini. Pengalaman tumpang sari ini diperoleh petani secara mandiri dari pengalaman yang dilakukan sehari-hari dan atas
160
bimbingan oleh orang tuanya pada masa itu. Praktek tumpang sari tersebut mereka terapkan di lahan pekarangan rumah, tegalan atau ladang. Dicermati lebih lanjut, praktek tumpang sari di pekarangan rumah merupakan salah satu bentuk sistem agroforestri yang menyerupai kebun campuran, karena pada lahan tersebut ditanami dengan berbagai jenis tanaman semusim seperti apotik hidup, sayursayuran, pepaya dan pisang yang dipadukan dengan tanaman keras seperti jati, mahoni, mangga, rambutan dan kelapa. Selain itu, petani juga menggunakan lahan pekarangan rumah untuk memelihara hewan ternak seperti kambing dan sapi. Fenomena ini banyak ditemukan di Pegunungan Kendeng. Pengakuan atas pengetahuan tradisional petani melalui tumpang sari tersebut, menyebabkan peningkatan persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri, sehingga dapat menjamin keberlanjutan sistem agroforestri baik dari aspek ekonomi maupun aspek sosial. Persentase tegakan yang tumbuh sehat merupakan indikator terbesar kedua yang merefleksikan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Semakin meningkat kinerja petani sekitar hutan yang ditunjukkan oleh persentase tegakan yang tumbuh sehat, semakin meningkat keberlanjutan sistem agroforestri yang dirasakan oleh petani. Tegakan yang tumbuh sehat, dapat terwujud apabila petani mempunyai pengalaman bertani dan keterampilan yang memadai. Melalui pengalaman dan keterampilan yang dimiliki tersebut petani dapat menyiapkan lahan, memilih jenis tanaman, melakukan penanaman dan melakukan pemeliharaan sesuai dengan kebutuhan tanaman. Kegiatan ini, jika dilakukan sesuai dengan teknik budidaya tanaman maka akan berdampak pada meningkatnya daya tumbuh tanaman sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh petani, baik dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Ditinjau dari aspek sosial, keberlanjutan yang disebabkan oleh peningkatan kinerja petani sekitar hutan yang direfleksikan oleh peningkatan persentase tegakan yang tumbuh sehat dapat dilihat melalui pengalaman petani. Tingginya pengalaman petani dalam bertani dan melaksanakan kegiatan agroforestri, memberikan kontribusi yang besar terhadap tumbuhnya tegakan yang sehat. Kondisi tersebut terjadi karena dengan ketelitian, kejelian, dan kecermatan mereka dapat menyiapkan lahan secara baik, memilih dan menentukan jenis
161
benih/bibit yang sesuai dengan kondisi lahannya, serta mampu memelihara tanaman secara tepat. Pengalaman dan keterampilan petani tersebut diperoleh secara otodidak, karena mereka pada umumnya berpendidikan rendah dan tidak pernah mengikuti pelatihan tentang pengelolaan lahan kritis dengan sistem agroforestri. Pengalaman dan keterampilan tersebut teruji dengan sendirinya, sejalan dengan bertambahnya waktu melalui praktek-praktek yang telah mengalami berbagai macam kegagalan dan keberhasilan. Melalui berbagai peristiwa tersebut, petani mendapatkan pengalaman dan kemampuan, sehingga mampu mengelola lahan kritis dengan sistem agroforestri. Ditinjau dari aspek ekonomi, keberlanjutan yang disebabkan oleh peningkatan kinerja petani sekitar hutan direfleksikan oleh peningkatan persentase tegakan yang tumbuh sehat, tercermin melalui penyediaan lapangan kerja yang dibutuhkan oleh petani gurem atau buruh tani. Berbagai jenis lapangan kerja dalam penerapan sistem agroforestri agar tegakan tumbuh sehat antara lain: menyiapkan lahan, penanaman dan pemeliharaan tanaman. Berbagai jenis pekerjaan tersebut pada prakteknya tidak dikerjakan oleh petani sendiri, tetapi diupahkan kepada petani gurem atau buruh tani. Kondisi ini dilakukan petani karena kekuatan fisiknya berkurang dan di sisi lain terdapat tenaga buruh yang juga membutuhkan pekerjaan. Keterlibatan buruh tani dalam pekerjaan tersebut, menyebabkan mereka memiliki sumber ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga taraf hidupnya meningkat. Hal ini sejalan dengan pendapat Hairiah et al. (2003) yang menyatakan bahwa nilai ekonomi sistem agroforestri dapat meningkatkan taraf kehidupan petani dan komunitas di sekitarnya. Tingkat pendapatan petani merupakan indikator terbesar ketiga yang merefleksikan kinerja petani sekitar hutan. Semakin meningkat kinerja petani sekitar hutan yang ditunjukkan dengan tingkat pendapatan, semakin meningkat keberlanjutan sistem agroforestri yang dirasakan petani. Petani yang mempunyai pendapatan tinggi dari hasil sistem agroforestri mempunyai kesempatan untuk mengembangkan usaha agroforestri, baik melalui penganekaragaman jenis tanaman yang ditaman maupun pengolahan hasil sistem agroforestri. Usaha tersebut dapat menciptakan lapangan kerja baru bagi petani yang lainnya. Terciptanya lapangan kerja dalam sistem agroforestri tersebut banyak menyerap
162
tenaga kerja dan bahan baku yang berkesinambungan. Hal tersebut jika dilakukan secara terencana maka akan menjaga keberlanjutan sistem agroforestri, baik dari aspek ekonomi maupun aspek sosial. Rendahnya kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri direfleksikan oleh rendahnya tingkat pendapatan petani. Hal ini disebabkan oleh kelemahan petani dalam mengembangkan pemasaran hasil agroforestri. Selama ini, petani menjual hasil sistem agroforestri dalam bentuk barang mentah, belum dilakukan pengolahan menjadi produk jadi atau produk setengah jadi, sehingga harga jual dari hasil tersebut menjadi rendah. Penyebab selanjutnya adalah tidak berperannya kelompok dalam pemasaran. Petani menjual hasil sistem agroforestri secara sendiri-sendiri, sehingga daya tawar dari calon pembeli rendah. Penyebab yang lain adalah kuatnya dominasi tengkulak/ pemborong dalam penjualan hasil sistem agroforestri. Kondisi tersebut terjadi karena petani kurang menguasai jalur pemasaran hasil agroforestri, sehingga hal tersebut dimanfaatkan para tengkulak/pemborong untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Pengaruh Faktor-faktor Penentu Kinerja terhadap Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri dipengaruhi secara nyata oleh faktor-faktor penentu kinerja melalui motivasi petani, kesempatan yang dimiliki petani dan kemampuan petani. Indikator yang berpotensi membentuk motivasi yang berpengaruh terhadap kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri adalah tingkat pengakuan atas keberhasilan pengelolaan lahan kritis, intensitas hubungan sosial dan pemenuhan kebutuhan dasar. Indikator yang berpotensi membentuk kesempatan petani yang berpengaruh terhadap kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri yaitu: kepastian pasar, pengaruh kepemimpinan lokal dan peran institusi lokal. Indikator yang berpotensi membentuk kemampuan petani dalam penerapan sistem agroforestri yaitu: penyiapan lahan, pengembangan pemasaran, kerjasama dan penanaman. Model pengaruh faktor-faktor penentu kinerja terhadap kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis selengkapnya disajikan pada Gambar 9.
163
Gambar 9. Model Pengaruh Faktor-faktor Penentu Kinerja terhadap Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis. Analisis SEM pada Gambar 9, diestimasi menghasilkan model persamaan struktural, sebagai berikut: Y4 = 0,59Y1 + 0,48 Y2 + 0,41 Y3; R2 = 0,7326………………….(Persamaan 2) Berdasarkan pada Gambar 9 dan Persamaan 2, Hipotesis 2 yaitu: kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis secara nyata dipengaruhi oleh faktor-faktor penentu kinerja petani yaitu: motivasi petani, kesempatan petani dan kemampuan petani, diterima. Hal ini tercermin dari besar koefisien pengaruh faktor-faktor penentu kinerja petani terhadap kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri secara berurutan sebagai berikut: motivasi petani (0,59 atau 34,8 persen); kesempatan petani (0,48 atau 23,0 persen); dan kemampuan petani (0,41 atau 16,8 persen). Secara bersama-sama atau simultan, ketiga faktor penentu kinerja tersebut berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri sebesar 73,3 persen; pada tingkat kesalahan 5 persen. Sisanya sebesar 26,7 persen merupakan peubah lain yang belum terjelaskan dalam model penelitian ini. Ketiga faktor penentu kinerja petani, yang memiliki pengaruh terkuat terhadap kinerja petani sekitar hutan adalah motivasi petani, sedangkan dua yang lain secara berurutan yaitu kesempatan petani dan kemampuan petani. Mengacu pada hasil temuan ini diharapkan perencanaan penyuluhan ke depan, untuk
164
meningkatkan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri agar mencapai hasil kerja yang optimal harus memperhatikan motivasi petani dan kesempatan yang tersedia bagi petani. Motivasi Petani Motivasi petani merupakan faktor pertama yang memberikan pengaruh terkuat terhadap kinerja petani sekitar hutan, yang direfleksikan oleh: tingkat pemenuhan kebutuhan dasar, intensitas hubungan sosial, dan tingkat pengakuan atas keberhasilan dalam mengelola lahan kritis. Hal ini berarti bahwa motivasi petani akan meningkatkan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Semakin tinggi motivasi petani dapat memenuhi kebutuhan dasar, intensitas hubungan sosial, dan tingkat pengakuan atas keberhasilan dalam pengelolaan lahan kritis, maka akan semakin tinggi tingkat kinerja petani sekitar hutan. Meningkatnya motivasi petani untuk tetap bekerja, tentu memiliki tujuan yang akan dicapai dan berbeda-beda antara tujuan petani satu dengan petani yang lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, petani terdorong bertindak dan berpikir secara konsisten. Sumardjo (2008), menyatakan bahwa motives adalah sesuatu di mana seseorang secara konsisten berpikir sehingga ia melakukan tindakan. Pada praktek sistem agroforestri, motivasi petani untuk mendapatkan pengakuan atas keberhasilan dalam mengelola lahan kritis, mempunyai pengaruh terbesar pertama terhadap kinerja petani sekitar hutan. Pengaruh pengakuan atas keberhasilan petani dalam mengelola lahan kritis, berpotensi untuk meningkatkan kinerja petani sekitar hutan, melalui peningkatan pendapatan, luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri dan tegakan yang tumbuh sehat. Pengakuan atas keberhasilan petani sekitar dalam mengelola lahan kritis, memiliki nilai yang strategis. Dalam jangka pendek, bertambahnya luas lahan yang tertanami dengan berbagai jenis tanaman semusim dan tanaman keras bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pendapatan. Sedangkan dalam jangka panjang dapat mencegah terjadinya banjir dan ancaman penggalian batu padas atau karst. Petani akan merasa tenang dalam mengelola lahan dengan sistem agroforestri apabila kebutuhan pangan terpenuhi, pendapatan petani
165
meningkat dan ancaman penggalian padas (karst) terhadap lahan-lahan petani tidak terjadi. Pengakuan atas keberhasilan petani dalam mengelola lahan kritis merupakan proses hasil belajar yang termasuk dalam kegiatan penyuluhan dan menjadi pendorong yang efektif dalam perubahan perilaku. van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa pengakuan merupakan bentuk penghargaan sebagai sarana perubahan perilaku dalam belajar. Oleh karena itu, bila peningkatan kinerja petani sekitar hutan dipandang sebagai bentuk perubahan perilaku hasil belajar dari pengalaman, maka pengakuan atas keberhasilan petani dalam mengelola lahan kritis dapat dipandang sebagai penghargaan yang pantas diterima petani dari hasil jerih payahnya. Salah satu bentuk penghargaan atau pengakuan atas keberhasilan petani dalam mengelola lahan kritis tersebut, pada tahun 2009 Kecamatan Kayen ditetapkan sebagai lokasi pencanangan penanaman sejuta pohon oleh pemerintah Kabupaten Pati. Penghargaan tersebut menjadi pendorong bagi petani sekitar hutan karena mereka merasa “dimanusiakan”. Selain pengakuan dari pemerintah, pengakuan juga datang dari masyarakat luas. Bentuk pengakuan tersebut ditandai dengan meningkatnya kembali para pengunjung di gua-gua Pegunungan Kendeng untuk berwisata dan melakukan ritual. Intensitas hubungan sosial merupakan indikator kedua yang merefleksikan motivasi petani yang berpengaruh terhadap kinerja sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Intensitas hubungan sosial mendorong terjadinya peningkatan kinerja petani sekitar hutan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri, persentase tegakan tumbuh sehat dan tingkat pendapatan petani. Terciptanya intensitas hubungan sosial tidak hanya ditandai dengan kumpul-kumpul semata, tetapi melakukan diskusi dan tukar pendapat, sehingga terjadi pertukaran informasi yang dibutuhkan petani. Biasanya, petani membahas harga benih jagung, harga bibit jati unggul, harga pupuk, harga ternak dan harga penjual hasil sistem agroforestri. Diskusi dengan pengurus kelompok tani menjadi sarana untuk melakukan proses pembelajaran bersama, sehingga mendorong terjadi perubahan perilaku
166
terutama pada ranah keterampilan. Proses pembelajaran tersebut ditandai dengan terjadinya adopsi inovasi sistem penanaman jagung tanpa olah tanah (TOT). Proses adaopsi inovasi tersebut mendapat tanggapan positif dari para petani, hal ini ditunjukkan oleh semua petani menerapkan teknologi penanaman jagung tersebut. Rogers (2003) menyatakan bahwa keputusan untuk mengadopsi suatu inovasi tergantung dari sumber daya yang dimiliki dan nilai kapasitas diri petani. Indikator ketiga dari motivasi petani yang berpotensi meningkatkan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri adalah tingkat pemenuhan kebutuhan dasar. Meningkatnya motivasi petani sekitar hutan direfleksikan oleh terpenuhinya tingkat kebutuhan dasar petani sekitar hutan, menyebabkan peningkatan kinerja petani sekitar hutan, yang dicerminkan oleh persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri, persentase tegakan tumbuh sehat dan tingkat pendapatan petani. Pada praktek sistem agroforestri, tingkat pemenuhan kebutuhan dasar diperoleh melalui hasil panen tanaman semusim, tanaman keras dan ternak. Kebutuhan dasar yang dapat dipenuhi dari hasil sistem agroforestri antara lain: pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Sumber pemenuhan kebutuhan dasar tersebut berasal dari penjualan hasil panen tanaman semusim selain padi, karena padi sebagai bahan konsumsi pokok. Selain petani dapat memenuhi kebutuhan dasar, mereka juga mempunyai tabungan berupa pohon jati dan mahoni sebagai tabungan tegakan serta hewan ternak sebagai tabungan hidup. Hasil temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Hafidah (2005) yang menyatakan bahwa motivasi petani dalam mengelola Kahuma di areal hutan rakyat Kabupaten Muna tumbuh karena dorongan untuk memenuhi kebutuhan dasar, meningkatkan pendapatan dan kemudahan dalam memasarkan hasil panen hutan rakyat. Hal senada dihasilkan oleh ICRAF (2010) yang menyatakan bahwa sistem agroforestri memberikan sumbangan lebih luas, tidak hanya sekedar kebutuhan susbsisten tetapi memberikan sumbangan pada kelestarian lingkungan, air dan kesuburan tanah yang dapat dinilai melalui imbal jasa lingkungan. Salah satu kebutuhan yang saat ini cukup mendapat perhatian petani, adalah kebutuhan pendidikan. Termotivasinya petani untuk meningkatkan pendidikan bagi anak-anaknya sebagai pertanda yang menggembirakan bagi
167
masyarakat dan pemerintah. Kondisi ini berarti bahwa di kalangan petani telah tumbuh kesadaran pentingnya pendidikan untuk masa depan anak-anaknya. Oleh karena itu, bantuan pendidikan melalui dana bantuan operasional sekolah (BOS) harus dialokasikan penggunaannya secara baik dan tepat sasaran agar anak-anak di lahan kritis dapat terbantu sekolahnya. Selain itu, sebaiknya bantuan-bantuan yang diperuntukan bagi petani baik melalui KBR dan KUP dapat dialokasikan untuk meningkatkan kemampuan petani yang lebih bersifat praktis atau latihan, khususnya keterampilan pengolahan hasil sistem agroforestri. Gambar 9 menunjukkan bahwa pengaruh motivasi petani terhadap kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri ternyata positif, tetapi kurang optimal karena nilai kontribusi relatif kecil yaitu sebesar 34,8 persen. Kurang optimalnya motivasi petani mengakibatkan rendahnya tingkat kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Kurang optimalnya motivasi petani tersebut disebabkan oleh: kurang optimalnya daya saing sehat di antara petani, mereka lebih merasa nyaman dengan cara berbagi atau sharing, kurang optimalnya intensitas hubungan sosial dan kurang optimalnya pengakuan atas keberhasilan pengelolaan lahan kritis. Kesempatan Petani Kesempatan yang dimiliki petani merupakan faktor kedua yang berpengaruh terhadap kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri, yang dicirikan oleh: tingkat kepastian pasar, pengaruh kepemimpinan lokal dan peranan institusi lokal. Hal ini berarti bahwa kesempatan yang dimiliki petani dapat menyebabkan peningkatan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Semakin tinggi kesempatan yang dimiliki petani, baik melalui kepastian pasar, pengaruh kepemimpinan lokal dan peranan institusi, maka akan semakin tinggi kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri yang tercemin dari persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri, persentase tegakan tumbuh sehat dan tingkat pendapatan petani. Kesempatan merupakan ketersediaan waktu, ruang dan peluang untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Kecermatan membaca kesempatan yang ada, membuka peluang untuk membuktikan kemampuan, sehingga menghasilkan kinerja yang optimal.
168
Kesempatan petani yang direfleksikan oleh tingkat kepastian pasar memberikan pengaruh terbesar pertama terhadap kinerja petani sekitar dalam penerapan sistem agroforestri. Pengaruh tingkat kepastian pasar ini menyebabkan meningkatnya kinerja petani yang dicirikan oleh persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri, persentase tegakan tumbuh sehat dan tingkat pendapatan petani. Kepastian pasar dalam penerapan sistem agroforestri sangat terbuka, tergantung dari kemampuan petani untuk mengembangkan pemasaran tersebut dan keberanian mengambil resiko. Roshetko dan Yulianti (2002) menyatakan bahwa sistem pemasaran hasil wanatani (agroforestri) tergantung dari pemintaan pasar dengan jalur yang cukup elastis terutama kayu. Hal senada dinyatakan oleh Penny (1990), bahwa sistem pemasaran menentukan semua harga komoditi dan sarana dan prasarana produksi yang dibutuhkan oleh petani yang bersifat luwes sesuai dengan penawaran dan permintaan. Kepastian pasar dalam sistem agroforestri di Pegunungan Kendeng dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) pasar untuk tanaman semusim dan (2) tanaman keras. Pihak yang terlibat dalam kepastian pasar tanaman semusim adalah tengkulak dan pemborong, sedangkan tanaman keras adalah penebas dan pengrajin kayu. Keempat orang inilah yang berperan dalam pembelian hasil sistem agroforestri. Bagi petani, keterlibatan keempat orang tersebut bagaikan “simalakama”, walaupun merugikan tetapi diharapkan kehadirannya. Kondisi ini terjadi karena petani memiliki hasil produksi dan pengetahuan jalur pemasaran yang terbatas, sehingga kurang mampu mengembangkan pemasaran. Selain berhubungan dengan kesediaan pembeli, kepastian pemasaran juga berhubungan dengan sarana transportasi dan akses ke lokasi pasar. Meskipun pangsa pasar cukup terbuka namun lokasi pasar yang jauh dan sarana transportasi tidak tersedia secara layak. Petani lebih memilih menjual hasil panennya kepada tengkulak. Arifin et al. (2009) menjelaskan bahwa pembangunan infrastruktur jalan dan pasar dibutuhkan untuk daerah-daerah yang marginal atau terpencil. Taylor et al. (2009) menyatakan bahwa menciptakan pasar yang menguntungkan bagi petani kecil memerlukan penyediaan sarana transportasi yang murah, informasi tentang harga pasar dan larangan pembuatan ritel-ritel.
169
Pengaruh kepemimpinan lokal adalah indikator kedua dari kesempatan petani yang berpotensi memberikan pengaruh terhadap kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Pengaruh kepemimpinan lokal yang kuat menyebabkan kinerja petani sekitar hutan meningkat yang tercermin dari meningkatnya persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri, persentase tegakan tumbuh sehat dan tingkat pendapatan petani. Pengaruh kepemimpinan lokal, pada praktek penerapan sistem agroforestri berperan dalam peningkatan luas lahan yang dikelola petani, terutama pada lahan pesanggem. Hasil temuan ini sejalan dengan Nurhayati (2003) yang menunjukkan bahwa kepemimpinan tokoh masyarakat dan pemerintah lokal berpengaruh dalam pemanfaatan hutan rakyat di lahan kritis Tanah Toraja. Suharjito dan Saputro (2008) menyatakan bahwa kepemimpinan tokoh adat Kasepuhan menentukan pengelolaan hutan di Banten Kidul. Suwignyo (2010) menemukan bahwa peran kepemimpinan lokal kelompok tani mempengaruhi dinamika pengelolahaan hutan bersama masyarakat. Pengaruh kepemimpinan lokal formal yang terdiri atas perangkat desa, guru dan pegawai dalam penerapan sistem agroforestri berasal dari pengetahuan, wawasan dan keterampilan yang dimilikinya. Pengaruh tersebut diperoleh dari hasil belajar di sekolah, mengikuti pelatihan dan sumber informasi seperti surat kabar, pengusaha, penyuluh dan internet. Selain itu, pengaruh kepemimpinan lokal juga berasal dari pengaruh orang tuanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini yang menjadi pemimpin formal lokal merupakan keturunan dari pemimpin sebelumnya. Perangkat desa sebagai pemimpin lokal yang juga berperan sebagai pengurus kelompok, komite sekolah, penyuluh swadaya/swasta dan distributor mengakibatkan sering terjadinya tabrakan peran. Kondisi tersebut membuat atau melemahkan pengaruh kepemimpinan lokal, apalagi peran tersebut langsung berkenaan dengan kepentingan petani, seperti pembagian bantuan benih jagung, pupuk dan bibit jati. Oleh karena itu, pemimpin lokal (perangkat desa) sebaiknya tidak terlalu banyak merangkap jabatan tetapi peran tersebut dapat didistribusikan kepada pihak lain, sekaligus sebagai kaderisasi kepemimpinan di masa depan. Kouzen dan Posner (1991); Neuschel (2005) dan Margono (2009), menyatakan
170
bahwa pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang memiliki kebijaksanaan, kemampuan untuk memecahkan masalah yang didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman dalam berbagai situasi, di mana keputusan yang diambil harus didasarkan pada rasa keadilan, situasi dan diplomasi yang tepat. Peran institusi lokal menjadi indikator ketiga dari kesempatan petani yang berpotensi mempengaruhi kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Institusi lokal berperan mengatur pola atau tata hubungan kehidupan masyarakat agar kehidupan masyarakat berlangsung dengan teratur dan tentram. Koentjaraningrat (2002) mengemukakan bahwa pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan atau hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam kehidupan bermasyarakat. Peran institusi lokal untuk mengatur tata kehidupan petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri berupa norma: wiwitan dan tali wangke. Kedua norma ini dilaksanakan oleh para petani dan mewarnai pola perilaku petani generasi tua dalam kehidupannya sehari-hari. Petani meyakini bahwa pelanggaran terhadap kedua norma tersebut dapat mendatangkan bencana atau musibah, demikian juga sebaliknya apabila kedua norma tersebut dipatuhi dan dilaksanakan sesuai adat yang berlaku dapat mendatangkan kebaikan seperti hasil panen melimpah ruah. Makna yang tersembunyi secara rasional dan logis dari pelaksanaan kedua norma tersebut adalah: bentuk ibadah dan rasa syukur kepada Sang Pencipta, dan penghormatan kepada leluhur atau orang tua yang sudah meninggal dunia. Gambar 9 menunjukkan bahwa kesempatan petani ternyata berpengaruh positif terhadap kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri, tetapi kurang optimal karena nilai kontribusinya kecil yaitu sebesar 23,0 persen. Kurang optimalnya kesempatan petani dalam penerapan sistem agroforestri mengakibatkan rendahnya tingkat kinerja petani sekitar hutan. Hal ini terjadi karena kurang berpihaknya kepastian pasar kepada petani dan kurangnya dukungan kelompok terhadap kegiatan yang dilakukan oleh petani. Kelompok disibukkan oleh kepentingan pengurus untuk mengakses kegiatan atau proyek dari pemerintah ataupun pihak lain. Selain itu, kurang optimal kesempatan petani disebabkan oleh peran ganda yang dilakukan oleh perangkat desa, akibatnya
171
petani gurem hanya dijadikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan perangkat desa. Kemampuan Petani Kemampuan petani merupakan faktor ketiga yang memberikan pengaruh terhadap kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri, yang direfleksikan oleh: penyiapan lahan, penanaman, pengembangan pemasaran dan tingkat kerjasama petani. Kemampuan petani untuk meningkatkan kinerjanya dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori sedang dan berpengaruh nyata terhadap kinerja petani. Artinya, petani telah memiliki kemampuan yang memadai untuk mengelola lahan kritis dengan menerapkan sistem agroforestri. Kemampuan petani tersebut diperoleh melalui pengalaman panjang dalam bertani dan melaksanakan agroforestri, tetapi tidak dipengaruhi secara langsung oleh dukungan penyuluhan. Hal ini menegaskan bahwa akumulasi kemampuan petani diperoleh secara mandiri berdasarkan pada kegagalan dan keberhasilan dari kegiatan yang dikerjakan selama ini. van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa perbaikan sistem usaha pertanian dapat dilakukan lebih cepat apabila proses belajarnya didasarkan pada pengalaman petani sendiri. Penyiapan lahan merupakan indikator pertama dari kemampuan petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri yang berpotensi mempengaruhi peningkatan kinerja petani. Hal ini berarti bahwa penyiapan lahan memegang peran penting, karena pada kondisi lahan yang miskin hara dan tidak tersedia air sebagai media tumbuh bagi tanaman, membutuhkan penyiapan lahan yang cermat, agar tanaman dapat tumbuh sehat. Friday et al. (2000) menyatakan bahwa rehabilitasi lahan kritis berupa alang-alang dengan sistem agoforestri perlu dilakukan penyiapan lahan secara seksama antara lain dengan: pembuatan jalur penanaman, lubang tanam, dan persiapan lubang tanam dengan pemupukan awal. Secara teknis, penyiapan lahan dalam penerapan sistem agroforestri di lahan padas tidak berbeda dengan di lahan beralang-alang, yang berbeda adalah pembuatan lubang tanam. Pada lahan padas, petani membuat lubang tanam dalam ukuran luas dan besar supaya mempunyai multifungsi. Lubang tanam tidak hanya untuk tanaman pokok (kayu) semata, tetapi berfungsi juga untuk menanam
172
tanaman semusim dan sebagai tempat penyimpan air. Tanaman semusim tersebut berfungsi sebagai tanaman penutup dan sumber unsur hara, dengan demikian, tanaman kecukupan unsur hara dan penguapan yang berlebihan dapat dikurangi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan petani menyiapkan lahan dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini membuktikan bahwa petani telah memiliki keterampilan yang memadai dalam penyiapan lahan pada lahan padas. Keterampilan tersebut tidak diperoleh petani dalam waktu yang singkat atau instant, tetapi diperoleh secara perlahan atau gradual dalam waktu yang panjang. Selain itu, keterampilan tersebut diperoleh petani melalui diskusi atau tukar pengalaman dari petani lain yang telah berhasil mengelola lahan padas dengan menerapkan sistem agroforestri. Pengembangan pemasaran merupakan indikator kedua yang berpotensi membentuk kemampuan petani yang berpengaruh terhadap kinerja sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Semakin tinggi kemampuan petani melalui pengembangan pemasaran, semakin tinggi tingkat kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Petani muda yang telah mengembangkan pemasaran melalui kerjasama pengolahan maupun penjualan hasil agroforestri dengan berbagai pihak dapat menciptakan peluang kerja yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain. Hasil temuan ini selaras dengan penelitian Priyadi (2010) yang menyatakan bahwa pengembangan pemasaran hutan rakyat dilakukan dengan kerjasama atau kemitraan dengan perusahaan kayu. Sanders et al. (1999) menyatakan bahwa pengembangan pemasaran sistem agroforestri disertai dengan pengembangan jaringan transportasi agar dapat menguntungkan petani kecil. Pengembangan pemasaran hasil sistem agroforestri baik tanaman semusim maupun tanaman keras memberikan peluang untuk meningkatkan kinerja petani dan perekonomian secara keseluruhan karena kegiatan tersebut melibatkan berbagai pihak. Dilibatkannya tenaga panen dan pengangkut memberikan peluang bagi buruh tani untuk meningkatkan penghasilan. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap kehidupan petani dan perputaran ekonomi daerah tersebut. Demikian juga dengan hadirnya perusahaan yang menampung dan mengolah hasil sistem agroforestri, dapat menyediakan lapangan kerja baru bagi buruh perusahaan dan buruh tani.
173
Meskipun demikian, pengembangan pemasaran tidak hanya dilakukan dalam bentuk barang mentah tetapi harus ditingkatkan menjadi produk setengah jadi atau produk jadi. Hal ini penting dipertimbangkan karena dengan adanya perusahaan pengolahan dapat memberikan nilai tambah bagi petani dan dapat menciptakan lapangan kerja baru. Kondisi ini akan menjadi pendorong bagi petani untuk meningkatkan kinerjanya supaya dapat memenuhi kebutuhan bahan mentah atau baku perusahaan. Terbukanya kesempatan kerja ini diharapkan dapat merangsang generasi muda tertarik menjadi petani atau tenaga perusahaan lokal, sehingga mengurangi atau mencegah terjadinya urbanisasi. Pengembangan pemasaran jagung dan kayu jati terbuka luas, hanya saja dibutuhkan peran aktif pemerintah daerah untuk menarik para pemilik modal membuka usaha dua sumber daya tersebut. Daya dukung kawasan yang luas dan luasan hutan rakyat yang memadai memberikan sinyal dalam penyediaan bahan baku. Selain itu, pangsa pasar pakan ikan cukup terbuka karena Kabupaten Pati bagian utara merupakan daerah tambak yang menghasilkan ikan air tawar dan bandeng. Produksi ikan dari daerah ini sebagian besar dipasarkan di kota-kota Provinsi Jawa Tengah dan DKI Jakarta. Indikator ketiga yang berpotensi membentuk kemampuan petani yang berpengaruh terhadap kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri adalah tingkat kerjasama. Semakin tinggi kemampuan petani sekitar hutan yang dicerminkan melalui tingkat kerjasama petani maka semakin tinggi kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Artinya, bahwa terjadinya kerjasama menunjukkan adanya kemauan untuk bekerja secara bersama-sama. Adanya kerjasama ini memungkinkan terjadinya pembelajaran sehingga dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Hal tersebut merupakan sarana untuk meningkatkan kinerja. Margono (2003) menyatakan bahwa kerjasama adalah bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama. Pada kondisi ini, tujuan bersama dapat diartikan sebagai peningkatan kinerja bersama. Tingkat kerjasama antar petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis cenderung meningkat. Meningkatnya kerjasama tersebut selaras dengan terjadi intensitas hubungan sosial antar petani yang secara kodrati petani
174
berumur tua cenderung untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan dalam bermasyarakat. Praktek kerjasama petani dalam penerapan sistem agroforestri, bersifat sharing pengalaman yang mendorong terjadinya proses belajar bersama antar petani. Hal ini ditunjukkan dengan adanya proses adopsi inovasi tentang penanaman jagung dengan sistem TOT dan penanaman jati dengan trubusan. Penanaman merupakan indikator terakhir yang berpotensi membentuk kemampuan petani berpengaruh terhadap kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis. Fakta penelitian menunjukkan bahwa keterampilan teknis penanaman termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini berarti bahwa petani telah menguasai teknik penanaman secara memadai. Praktek penanaman dalam sistem agroforestri khususnya tanaman keras pada lereng gunung, ternyata petani telah memperhitungkan tekanan air dan angin dari puncak gunung. Hal ini terlihat dari batang bibit yang ditanam condong ke arah gunung. van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa belajar dari pengalaman sendiri dan orang lain sangat penting, karena merupakan cara yang terbaik untuk mengambil suatu keputusan yang kemudian mendorong terciptanya inovasi baru. Disadari ataupun tidak, cara penanaman jati di lereng pegunungan tersebut merupakan hasil belajar yang dilakukan secara otodidak dan hasil diskusi dengan sesama petani yang berpengalaman. Meskipun belum ada penelitian yang dapat menjelaskan cara penanaman jati di lereng gunung tersebut, namun hal ini merupakan suatu inovasi baru yang lahir dari pengetahuan dan pengalaman lokal. Gambar 9 menunjukkan bahwa tingkat kemampuan petani ternyata berpengaruh positif terhadap kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri, tetapi kurang optimal karena nilai kontribusinya kecil yaitu sebesar 16,8 persen. Kurang optimalnya kemampuan petani tersebut mengakibatkan rendahnya tingkat kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Kurang optimalnya kemampuan petani tersebut terjadi karena: rendahnya dukungan penyuluhan khususnya penyuluh kehutanan (PNS), kurang beraninya mengambil risiko untuk mengembangkan pemasaran hasil sistem agroforestri, lemahnya kerjasama antara petani dan tidak adanya pengembangan kelompok yang dapat meningkatkan kapasitas anggotanya.
175
Pengaruh Dukungan Penyuluhan terhadap Faktor-faktor Penentu Kinerja Petani Dukungan penyuluhan berpengaruh secara nyata terhadap faktor-faktor penentu kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis, melalui motivasi petani dan kesempatan yang dimiliki petani, tetapi tidak secara langsung berpengaruh terhadap kemampuan petani. Indikator-indikator yang berpotensi membentuk dukungan penyuluhan yaitu: fasilitas penyuluhan, pendekatan penyuluhan, kelembagaan penyuluhan dan kerjasama penyuluhan. Model pengaruh dukungan penyuluhan terhadap faktor-faktor penentu kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya disajikan Gambar 10.
Gambar 10. Model Pengaruh Dukungan Penyuluhan terhadap Faktor-faktor Penentu Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Berdasarkan pada Gambar 10 dan Tabel 41, menunjukkan bahwa terdapat dua persamaan struktural yaitu persamaan melalui laten endogen motivasi dan kesempatan yang dimiliki petani. Persamaan struktural tersebut, adalah: -
Persamaan struktural, melalui motivasi (Y1): Y1 = 0,51X1; R2 = 0,2601 ……………….………..………..(Persamaan 3.1)
-
Persamaan struktural, melalui kesempatan (Y2): Y2 = 0,38X1; R2 = 0,1444 ………………..……....…..…….(Persamaan 3.2)
176
Berdasarkan pada Gambar 10 dan Persamaan (3.1) dan (3.2), Hipotesis 3 yaitu: faktor-faktor penentu kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis secara nyata dipengaruhi oleh dukungan penyuluhan, tidak sepenuhnya diterima. Kondisi tersebut terjadi karena: (1) Terdapat satu faktor penentu kinerja yaitu kemampuan petani tidak secara langsung dipengaruhi oleh dukungan penyuluhan. Besar koefisien dukungan penyuluhan yang menyebabkan tinggi rendahnya faktor penentu kinerja petani terjadi melalui: motivasi petani sebesar 0,51 atau 26,1 persen dan kesempatan petani 0,38 atau 14,4 persen. Sisanya sebesar (73,9 persen dan 85,6 persen) merupakan peubah lain yang belum terjelaskan dalam model penelitian ini; (2) Petani lebih mampu dan terampil dibandingkan penyuluh kehutanan, karena tumpang sari merupakan salah satu aspek sistem agroforestri telah dilaksanakan petani secara turun-temurun. Meskipun demikian, dukungan penyuluhan masih tetap dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan bagi generasi muda keturunan petani yang ada pada saat ini dan para pendatang baru yang terlibat dalam penerapan sistem agroforestri. (3) Sistem agroforestri sesuai dengan kebutuhan petani; (4) Kompetensi
penyuluh
kehutanan
rendah,
sehingga
kurang
mampu
menjelaskan penerapan sistem agroforestri dengan tepat. Motivasi petani dalam penerapan sistem agroforestri yang dipengaruhi secara langsung oleh dukungan penyuluhan antara lain: penanaman jagung dengan TOT dan lokasi pencanangan penanaman sejuta pohon. Kesempatan petani yang mendapat dukungan penyuluhan antara lain: diikutsertakanya pengurus kelompok untuk mengikuti pelatihan pengelolaan gerhan dengan sistem agroforestri, silin dan penanaman jagung dengan sistem TOT. Fasilitas penyuluhan merupakan indikator pertama yang berpotensi membentuk dukungan penyuluhan yang berpengaruh terhadap faktor-faktor penentu kinerja petani khususnya motivasi dan kesempatan petani dalam penerapan sistem agroforestri. Semakin lengkap fasilitas penyuluhan, semakin tinggi motivasi dan kesempatan petani untuk meningkatkan kinerjanya dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis. Untuk menunjang hal tersebut,
177
fasilitas penyuluhan yang perlu disediakan antara lain: demplot persemaian, dempot pembuatan pupuk kompos, media cetak, digital, elektronik dan internet. Ketersediaan fasilitas penyuluhan baik dalam hard ware maupun soft ware tersebut sangat dibutuhkan oleh penyuluh agar penyuluhan dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Ditinjau dari perspektif penyuluhan sebagai sistem, Margono (2009) menjelaskan bahwa keberadaan fasilitas penyuluhan tidak hanya ada tetapi harus berfungsi dengan baik dan jumlahnya mencukupi. Berdasarkan pada perspektif tersebut, jelas bahwa fasilitas merupakan salah unsur utama dalam penyuluhan. Jika fasilitas tersebut tidak tersedia maka sistem tersebut akan mengalami gangguan atau beroperasi secara tidak normal. Mardikanto (2009) merinci fasilitas penyuluhan menjadi dua yaitu: alat bantu menyuluh dan alat peraga. Alat bantu menyuluh terdiri atas: kurikulum, lembar persiapan mengajar, papan tulis dan perlengkapan penyuluhan; dan alat peraga penyuluhan terdiri atas: benda nyata, film dan gambar grafik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fasilitas penyuluhan yang tersedia tergolong dalam kategori rendah, berarti penyuluhan kurang didukung oleh alat bantu penyuluhan yang memadai. Hal ini terlihat dari kurang tersedianya alat-alat bantu penyuluhan seperti: demplot persemaian, demplot pembuatan pupuk kompos, kebun-kebun percobaan, papan tulis, gubuk kerja, film, laptop dan LCD. Penyuluh hanya menggunakan alat bantu sederhana seperti bolpen dan kertas. Penyediaan fasilitas penyuluhan hendaknya mengikuti perkembangan arus informasi dan teknologi. Perkembangan arus informasi dan teknologi yang begitu cepat, tembus ruang dan waktu, diharapkan penyediaan fasilitas penyuluhan mengikuti pola atau trend tersebut. Tanpa mengikuti perkembangan trend tersebut penyuluhan dapat ditinggalkan oleh petani. Menjawab perkembangan arus informasi dan teknologi tersebut lembaga penyuluhan tingkat kecamatan (BPP) perlu dilengkapi dengan warung informasi dan teknologi (Warintek) agroforestri. Warintek ini menyediakan antara lain: (1) Media cetak seperti: brosur, leaflet dan buku-buku tentang inovasi sistem agroforestri; (2) Media digital berupa film-film tentang sistem agroforestri; dan (3) Media elektronik berupa media internet yang mudah diakses oleh petani dan
178
penyuluh. Informasi-informasi yang disediakan oleh warintek ini antara lain: harga saprodi, harga pasar hasil sistem agroforestri dan kegiatan pelatihan. Mengatasi kekurangan atau ketidaktersediaan fasilitas penyuluhan kiranya perlu ditingkatkan kepekaan penyuluh terhadap lingkungan, agar mereka dapat melihat, mendesain atau merekayasa fasilitas penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan petani dengan memanfaatkan sumber daya yang terdapat di sekitarnya. Prinsip utama fasilitas penyuluhan tersebut adalah “tepat guna dan tepat fungsi”. Terkait dengan keterbatasan kemampuan penyuluh dalam menggunakan media digital dan elektronik, diharapkan penyuluh melibatkan generasi muda yang berada di desa-desa dekat kecamatan dalam penyediaan informasi dan sekaligus sebagai operator kedua fasilitas penyuluhan tersebut. Dilibatkannya generasi muda ini diharapkan mereka mengenal dunia agroforestri dan ke depan dapat menjadi pelopor pembangunan kehutanan. Pendekatan penyuluhan merupakan indikator kedua yang berpotensi membentuk dukungan penyuluhan berpengaruh terhadap faktor penentu kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Semakin tepat pendekatan penyuluhan, semakin tinggi motivasi dan kesempatan petani untuk meningkatkan kinerjanya. Pendekatan penyuluhan merupakan sarana atau cara untuk melakukan penyuluhan. Sebagai sarana, pendekatan penyuluhan yang dipilih penyuluh harus dapat diketahui dan dirasakan oleh semua orang atau dengan kata lain pendekatan penyuluhan partisipatif. Pemilihan pendekatan penyuluhan harus mempertimbangkan kondisi dan potensi wilayah penyuluhan baik dari segi sosial, ekonomi, budaya dan tingkat kebaruan materi penyuluhan. Mardikanto (2009) menyatakan bahwa pemilihan pendekatan harus memegang prinsip dasar yaitu kebutuhan petani karena petani yang akan melaksanakan kegiatan pertanian dan penyuluh hanya sebagai fasilitator yang membantu petani. van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa yang mengetahui permasalahan petani dengan tepat hanya petani, karena merekalah yang merasakan hal tersebut. Peran penyuluh hanya membantu menemukan permasalahan dan mencarikan alternatif pemecahannya. Pendekatan penyuluhan partisipatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan melibatkan kelompok atau tokoh masyarakat yang tergabung dalam
179
komunitas kelompok. Pendekatan penyuluhan yang telah dilakukan penyuluh yaitu dengan melibatkan pengurus kelompok. Meskipun demikian, pengurus kelompok yang dilibatkan penyuluh tersebut, pada umumnya mereka adalah perangkat desa sehingga mereka kurang mempunyai waktu untuk meneruskan kepada petani. Kondisi inilah yang menyebabkan pendekatan penyuluhan yang dipilih penyuluh dirasakan petani tidak partisipatif. Penyebab lainnya adalah pemikiran dan kepentingan perangkat desa belum tentu sesuai dengan pemikiran dan kepentingan petani. Sebenarnya, apabila penyuluh jeli melihat kondisi dan siatuasi lingkungan wilayahnya, penyuluh dapat melakukan penyuluhan secara partisipatif, yaitu melalui institusi lokal yang telah berakar di masyarakat yaitu kelompok arisan dan kelompok yasinan. Kedua bentuk institusi lokal tersebut berdiri atas prakarsa dan insiatif dari petani serta diikuti oleh sebagian besar petani. Kedua kelompok tersebut independen dan tidak mempunyai kepentingan lain, kecuali menjalin silaturohmi untuk menjaga kerukunan antar warga dan melaksanakan ibadah. Dengan melibatkan kedua kelompok tersebut diharapkan penyuluhan dapat dilaksanakan oleh penyuluh secara partisipatif. Kelembagaan penyuluhan merupakan indikator ketiga yang berpotensi membentuk dukungan penyuluhan berpengaruh terhadap faktor-faktor penentu kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Kelembagaan penyuluhan tidak hanya berbentuk wadah atau organisasi tetapi dapat berupa aturan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh lembaga penyuluhan. Yeager (1999) menjelaskan bahwa kelembagaan merupakan aturan main (role of the game) yang berlaku dalam masyarakat. Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006, kelembagaan penyuluhan kehutanan yang terdapat di tingkat kabupaten adalah Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) yang bertugas untuk melaksanakan peningkatan kapasitas penyuluh (PNS), penyuluh swadaya dan swasta. Meskipun demikian, sampai dengan saat ini kelembagaan BP4K tersebut belum terbentuk sehingga kelembagaan penyuluhan kehutanan berada di bawah kendali Dinas Kehutanan dan Perkebunan.
180
Terkait adanya beberapa lembaga yang melaksanakan fungsi penyuluhan kehutanan selama BP4K sebagai pemegang otoritas kewenangan penyuluhan belum
terbentuk,
diharapkan
Dinas
Kehutanan
dan
Perkebunan
dapat
menjalankan fungsi koordinasi pelaksanaan penyuluhan kehutanan. Hal tersebut penting dilakukan agar penyuluhan dapat dijalankan secara terintegrasi dan tidak terjadi tumpang tindih informasi yang diterima petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan penyuluhan kehutanan kurang berfungsi secara optimal, akibatnya pelayanan kepada petani tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mengatasi tersebut petani mencari bantuan kepada penyuluh swadaya atau penyuluh swasta yang ada di desanya. Hal ini juga yang menyebabkan penyuluh kehutanan PNS tidak berperan dalam peningkatan kemampuan petani dalam penerapan sistem agroforestri. Penyuluh swadaya di lokasi penelitian, diangkat oleh Perhutani. Penyuluh ini direkrut dari pengurus kelompok tani hutan yang tergabung dalam kegiatan LMDH. Penyuluh ini sehari-hari juga berperan sebagai perangkat desa. Terkait dengan penyuluh swasta, mereka diangkat oleh perusahaan saprodi. Penyuluh ini juga berasal dari pengurus kelompok tani yang notabene sebagai perangkat desa. Selain sebagai penyuluh swasta, mereka juga berperan sebagai distributor dari perusahaan saprodi tersebut. Berdasarkan pengamatan di lapangan sering dijumpai konflik peranan yang dilakukan oleh penyuluh swasta maupun swadaya karena dituntut menjalankan banyak peran seperti menjadi perangkat desa, pengurus kelompok sekaligus sebagai penyuluh swasta/swadaya. Kedua penyuluh tersebut ditinjau dari definisi UU Nomor 16 Tahun 2006, khususnya pasal 1 poin 20 dan 21, pengangkatan penyuluh swadaya dan swasta oleh Perhutani dan perusahaan saprodi tersebut perlu diperbaiki. Berdasarkan poin 20: penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan atau lembaga yang memiliki kompetensi di bidang penyuluhan. Poin 21: penyuluh swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lain dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh. Mengacu pada definisi tersebut personil yang diangkat sebagai penyuluh swadaya maupun swasta dalam sistem penerapan sistem agroforestri kurang tepat, karena selain sebagai perangkat desa kedua penyuluh tersebut adalah para pemuka
181
masyarakat (pengurus kelompok). Oleh karena itu, Perhutani dan perusahaan saprodi diharapkan tetap mengangkat penyuluh swasta, tetapi tidak berasal dari pengurus kelompok yang juga berprofesi sebagai perangkat desa. Hal tersebut perlu diperhatikan supaya tidak terjadi benturan kepentingan atau peran. Untuk mengatasi hal tersebut, diharapkan pihak yang berwenang dapat menyusun standar kompetensi penyuluh swasta dan swadaya. Adanya standar kompetensi tersebut diharapkan dapat menjadi rambu-rambu dan acuhan dalam pengangkatan kedua penyuluh tersebut. Sebagai salah satu acuhan dalam penyusunan standar kompetensi bagi penyuluh swasta maupun swadaya, didasarkan pada peran dan fungsinya antara lain: (1) Membantu petani dalam menemukan masalah dan mencari alternatif penyelesaiannya; (2) Membantu petani dalam melakukan pemasaran hasil agroforestri; (3) Memfasilitasi petani untuk berhubungan dengan peneliti, lembaga diklat, pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat; (4) Membantu petani dalam menyuarakan atau menyampaikan aspirasi petani yang ada di sekitar tempat tinggalnya; (5) Memfasilitasi petani untuk mendapatkan sumber informasi tentang modal, saprodi dan kebutuhan invosi; dan (6) Penyalur aspirasi petani kepada pihak yang berwenang. Adanya penyuluh kehutanan swakarsa mandiri (PSKM), sebaiknya keberadaan penyuluh tersebut digabungkan ke dalam penyuluh swadaya. Hal ini dilakukan dengan alasan karena peran dan fungsi PKSM sama dengan penyuluh swadaya. Selain itu, keberadaan penyuluh swadaya ini secara legal formal telah diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006. Kerjasama penyuluhan merupakan indikator keempat yang berpotensi membentuk dukungan penyuluhan yang berpengaruh terhadap faktor penentu kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri. Semakin tinggi kerjasama penyuluhan semakin tinggi motivasi dan kesempatan yang dimiliki petani. Terjadinya kerjasama penyuluhan dengan beberapa lembaga yang melaksanakan fungsi penyuluhan, diharapkan kelemahan dan kekurangan penyuluh dapat teratasi. Terpenuhinya kebutuhan yang digunakan untuk melakukan penyuluhan tersebut, memudahkan petani dalam memahami informasi yang disampaikan penyuluh. Hal ini dapat mendorong tumbuhnya motivasi petani dan terbukanya
182
kesempatan yang dimiliki petani untuk meningkatkan kinerjanya dalam mengelola lahan kritis dengan sistem agroforestri. Kerjasama dalam penyuluhan kurang optimal sehingga kurang efektif untuk meningkatkan pelayanan kepada petani maupun sebagai sarana untuk sharing meningkatkan kompetensi penyuluh. Kerjasama penyuluhan kurang melibatkan lembaga yang melaksanakan penyuluhan, pelatihan dan pemasaran seperti: kelompok tani, penyuluh swadaya, penyuluh swasta, Perhutani, SKB, perusahaan pakan ikan, perusahaan kayu, perusahaan saprodi, dan lembaga permodalan. Kerjasama dengan lembaga yang melaksanakan fungsi penyuluhan seperti kelompok tani, penyuluh swadaya, penyuluh swasta dan Perhutani, dimaksudkan agar penyuluhan dapat dilakukan secara intensif. Hal ini perlu dilakukan karena fakta penelitian menunjukkan intensitas penyuluhan jarang sekali dilaksanakan oleh penyuluh PNS. Adanya kerjasama ini pelayanan kepada petani dapat dilakukan dengan teratur dan terus menerus, karena lembaga-lembaga tersebut merupakan bagian anggota masyarakat setempat. Kerjasama dengan lembaga pelatihan seperti sanggar kegiatan belajar (SKB) dimaksudkan untuk sharing pengalaman dalam pemilihan dan penerapan pendekatan dan metode penyuluhan. Dipilihnya SKB karena lembaga ini telah melakukan pembelajaran dengan menerapkan pendekatan dan metode partisipatif, dengan demikian penyuluh dan guru pamong (SKB) dapat bersama-sama merancang pendekatan dan metode penyuluhan partisipatif, apalagi sasaran penyuluhan dan pembelajarannya sama yaitu petani di sekitar hutan. Kerjasama dengan lembaga pemasaran seperti perusahaan pakan ikan, kayu, saprodi dan permodalan dilakukan dengan harapan agar penyuluh memiliki kompetensi bidang pengembangan pemasaran. Dikuasainya materi pengembangan pemasaran ini, diharapkan penyuluh dapat memberikan pemahaman pemasaran secara baik kepada petani dan sekaligus memfasilitasi petani dalam pemasaran. Lancarnya penjualan dan meningkatnya pendapatan menjadikan petani memiliki motivasi tinggi untuk meningkatkan kinerjanya. Kegiatan penyuluhan kehutanan merupakan bagian integral dari pembangunan kehutanan secara keseluruhan. Oleh karena itu, kegiatan
183
penyuluhan dapat menjadi suatu model pengelolaan kehutanan yang adaptif dan kolaboratif, karena secara filosofis kegiatan penyuluhan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat petani atau masyarakat sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Penyuluhan yang adaptif artinya penyuluhan yang disesuaikan dengan kondisi petani dan tidak memaksa kepada petani. Penyuluh harus mau dan mampu menurunkan sifat egonya, menghargai dan mengapresiasi pengetahuan atau kemampuan yang dimiliki oleh petani, sehingga petani merasa dirinya merasa dimanusiakan. Kondisi ini akan dapat meningkatkan kepercayaan dan motivasi diri petani sehingga mereka akan berusaha secara aktif melakukan kerjasama dengan penyuluh. Selain kerjasama dengan petani, penyuluh harus mampu menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga lain yang juga bekerja melibatkan petani seperti: kelompok tani, penyuluh swasta, penyuluh swadaya/PKSM, Perhutani, perusahaan saprodi dan lembaga swadaya masyakarat lainnya. Kerjasama ini akan dapat mendorong terjadinya pengelolaan penyuluhan secara kolaboratif sehingga penyuluhan tidak hanya tergantung kepada salah satu lembaga saja, tetapi dapat dilakukan secara bersama-sama, terintegrasi, terencana, saling mengisi, berbagi atau sharing yang disesuaikan dengan kebutuhan petani atau masyarakat. Gambar 10 menunjukkan bahwa dukungan penyuluhan berpengaruh terhadap faktor-faktor penentu kinerja petani, melalui motivasi petani dan kesempatan petani. Meskipun pengaruhnya positif, namun pengaruh tersebut kurang optimal karena kontribusinya kecil yaitu 26,1 persen dan 14,4 persen. Kurang optimalnya dukungan penyuluhan tersebut menyebabkan lemahnya motivasi dan rendahnya kesempatan yang dimiliki petani. Kurang optimalnya dukungan penyuluhan tersebut karena rendahnya kompetensi penyuluh, kurang tepatnya pemilihan pendekatan, metode dan materi penyuluhan, serta kurangnya ketersediaan fasilitas penyuluhan. Kontribusi Hasil Penelitian pada SKKNI Penyuluhan Kehutanan Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa kompetensi penyuluh kehutanan PNS tergolong rendah; pemilihan pendekatan, metode dan materi
184
penyuluhan kurang tepat; dan kurang tersedianya fasilitas penyuluhan baik alat peraga maupun media penyuluhan. Kondisi tersebut menyebabkan rendahnya dukungan penyuluhan terhadap kinerja petani. Sementara itu, di sisi lain penyuluh kehutanan dituntut untuk melaksanakan tugas secara profesional sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) penyuluhan kehutanan. Terkait dengan SKKNI, Kementerian Kehutanan melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah mengeluarkan KEP. 137/MEN/V/2011 tanggal 21 Mei 2011 tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Sektor Penyuluhan Kehutanan. Adapun standar kompetensi yang telah ditetapkan tersebut yaitu: (1) Kompetensi dasar meliputi: komunikasi dialogis, membangun jejaring kerja dan mengorganisasikan masyarakat; (2) Kompetensi inti meliputi: (a) Menyusun data potensi wilayah, agroforestri ekosistem dan kebutuhan inovasi/teknologi kehutanan; (b) Menganalisis potensi wilayah agroforestri ekosistem, dan kebutuhan inovasi/teknologi Kehutanan; (c) Menyusun programa penyuluhan kehutanan; (d) Menyusun rencana kerja tahunan penyuluh kehutanan; (e) Menyusun materi penyuluhan kehutanan; (f) Menetapkan metode penyuluhan kehutanan; (g) Mengembangkan kemandirian kelompok sasaran; (h) Melakukan pemantauan pelaksanaan penyuluhan kehutanan; (i) Melakukan evaluasi pelaksanaan penyuluhan kehutanan; (j) Membuat telaahan pelaksanaan strategi dan kebijakan penyuluhan kehutanan; (k) Melakukan pengembangan pedoman, juklak, juknis, dan prosedur kerja penyuluhan kehutanan; (l) Melakukan pengembangan aspek teknik, metodologi, materi, sarana, dan alat bantu penyuluhan kehutanan; dan (m) Membuat karya tulis, karya ilmiah di bidang pengembangan profesi penyuluhan kehutanan; dan (3) Kelompok Kompetensi Khusus/Spesialis meliputi: (a) Membuat media penyuluhan dalam bentuk model; (b) Melakukan pendampingan kegiatan pembibitan; (c) Melakukan pendampingan kegiatan penanaman; (c) Melakukan pendampingan kegiatan sipil teknis konservasi tanah dan air; (d) Melakukan pendampingan kegiatan pengelolaan hasil hutan bukan kayu; (e) Melakukan pendampingan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu; (f) Melakukan pendampingan penatausahaan hasil hutan kayu rakyat; (g) Melakukan pendampingan kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan dan atau wisata alam; (h) Melakukan pendampingan penangkaran
185
tumbuhan dan satwa liar; (i) Melakukan pendampingan pengendalian kebakaran hutan; (j) Melakukan pendampingan pengamanan hutan; (k) Melakukan pendampingan kegiatan inventarisasi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan; (l) Melakukan pendampingan kegiatan tata batas kawasan hutan; dan (m) Melakukan pendampingan akses permodalan dan kemitrausahaan. Mencermati SKKNI tersebut, terdapat beberapa hal yang dirasakan kurang tepat yaitu: (1) Kompetensi inti tentang menyusun dan menganalisis potensi wilayah, agroforestri ekosistem dan kebutuhan inovasi/teknologi kehutanan. Bila dicermati “agroforestri ekosistem” bukan termasuk dalam potensi wilayah tetapi salah satu bentuk pengelolaan lahan. Oleh karena itu, poin tersebut sebaiknya diubah menjadi: mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data potensi wilayah; dan (2) Kompetensi khusus/spesialis, sebaiknya penyusunan standar kompetensi kerja didasarkan pada fungsi pengelolaan hutan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, yang meliputi fungsi konservasi, lindung dan produksi. Dikelompokkannya kompetensi khusus berdasarkan pada fungsi pengelolaan hutan ini, diharapkan kompetensi penyuluh sesuai dengan kebutuhan sasaran sehingga penyuluhan dapat berjalan secara efektif dan optimal. Mengacu pada hasil penelitian dan SKKNI penyuluhan kehutanan, terdapat kesenjangan antara kompetensi penyuluh kehutanan yang ada saat ini dengan tuntutan kinerja yang tercantum dalam SKKNI. Oleh karena itu, supaya penyuluh kehutanan dapat memenuhi tuntutan kinerja yang disyarakatkan oleh SKKNI sebagai tenaga yang profesional di bidang penyuluhan dan sesuai dengan tuntutan sasaran utama, diharapkan penyuluh dapat belajar dari lingkungan ada di sekitarnya yang sesuai dengan kebutuhan petani, sehingga peningkatan kompetensi penyuluh seiring dan sejalan dengan tuntutan kebutuhan petani. Untuk menunjang peningkatan kompetensi penyuluh tersebut, diharapkan dapat difasilitasi oleh pihak yang berwenang dan berkepentingan melalui magang atau pelatihan yang dilakukan secara berkala dan berkesinambungan.
186
Strategi Penyuluhan untuk Meningkatkan Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Gambar 7 menunjukkan bahwa tingkat kinerja petani secara langsung dipengaruhi oleh faktor penentu kinerja melalui motivasi petani, kesempatan yang yang dimiliki petani dan kemampuan petani. Tingkat kinerja petani secara tidak langsung dipengaruhi juga oleh dukungan penyuluhan melalui motivasi dan kesempatan petani. Indikator yang berpotensi membentuk motivasi petani yang berpengaruh terhadap tingkat kinerja petani, dicirikan oleh tingkat pemenuhan kebutuhan dasar, intensitas hubungan sosial dan tingkat pengakuan atas keberhasilan dalam mengelola lahan kritis. Indikator yang berpotensi membentuk kesempatan petani yang berpengaruh terhadap tingkat kinerja petani, dicirikan oleh kepastian pasar, peranan institusi lokal dan pengaruh kepemimpinan lokal. Selanjutnya, indikator yang berpotensi membentuk kemampuan petani yang berpengaruh terhadap tingkat kinerja petani direfleksikan oleh keterampilan dalam penyiapan lahan, pemanenan, pengembangan pasar dan tingkat kerjasama antar petani. Indikator yang berpotensi membentuk dukungan penyuluhan yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap tingkat kinerja petani direfleksikan oleh pendekatan penyuluhan, fasilitas penyuluhan, kelembagaan penyuluhan dan kerjasama penyuluhan. Selanjutnya, indikator yang dominan membentuk karakteristik individu yang berpotensi mempengaruhi tingkat kinerja petani direfleksikan
oleh
umur
petani,
pengalaman
bertani
dan
pengalaman
melaksanakan agroforestri. Mengacu pada hal-hal tersebut maka perlu disusun strategi penyuluhan untuk meningkatkan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Strategi penyuluhan dalam penerapan sistem agroforestri, pada dasarnya untuk meningkatkan kinerja petani. Kinerja petani dipengaruhi oleh motivasi petani, kesempatan yang dimiliki petani dan kemampuan petani dalam penerapan sistem agroforestri. Faktor-faktor penentu kinerja petani tersebut dipengaruhi oleh upaya-upaya pendampingan dan penyuluhan secara intensif dan partisipatif. Untuk mewujudkan strategi penyuluhan tersebut perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: pendekatan penyuluhan yang partisipatif dengan melibatkan kelompok, pengembangan kelembagaan yang tepat, kerjasama dalam penyuluhan
187
dan pengembangan fasilitas penyuluhan yang dibutuhkan untuk melaksanakan penyuluhan. (1)
Pendekatan Penyuluhan. Upaya untuk membangkitkan motivasi dan kesempatan petani dalam penerapan sistem agroforestri membutuhkan pendekatan penyuluhan yang bersifat partisipatif dengan mempertimbangkan karakteristik individu petani, kebutuhan petani dan norma yang dianut oleh masyarakat. Berdasarkan karakteristik individu petani dan norma yang dianut oleh masyarakat maka pendekatan penyuluhan dapat dilaksanakan melalui kelompok yang sudah ada di masyarakat. Kelompok yang dimaksud adalah kelompok arisan dan kelompok yasinan. Kedua kelompok tersebut perlu dilibatkan karena inisiatif pendirian kelompok berasal dari masyarakat dan tidak memiliki kepentingan lain. Melalui kedua kelompok ini diharapkan penyuluhan kehutanan dapat berjalan dengan efektif dan mendapat respon positif dari petani. Berdasarkan kebutuhan petani maka pemilihan pendekatan penyuluhan didasarkan pada content materi penyuluhan. Content materi tersebut harus mengarah pada perubahan perilaku petani terutama ranah keterampilan dalam pengolahan, promosi dan pengembangan pemasaran hasil sistem agroforestri. Sebagai contoh: pengolahan gembili menjadi keripik gembili dalam skala industri rumah tangga, pengolahan kayu jati menjadi produk mebeler dan gasibu atau miniatur rumah joglo bekerja sama dengan pengrajin kayu setempat. Selanjutnya keterampilan dalam bidang promosi dan pengembangan pemasaran dengan melibatkan generasi muda melalui penggunaan media internet dan melibatkan petani-petani muda yang telah berhasil menjalin kerjasama pemasaran. Dikuasainya keterampilan pengolahan hasil sistem agroforestri, diharapkan petani tidak menjual hasil sistem agroforestri dalam bentuk barang mentah, tetapi dalam bentuk produk setengah jadi atau produk jadi. Penguasaan keterampilan promosi hasil sistem agroforestri, diharapkan pembeli dan peminat hasil sistem agroforestri tidak hanya datang dari kalangan lokal tetapi dapat menjangkau kalangan nasional dan internasional.
188
Penguasaan keterampilan dalam pengembangan pemasaran hasil sistem agroforestri, diharapkan petani tidak tergantung pada satu pembeli atau peminat saja tetapi dapat dijual kepada berbagai pihak yang memiliki nilai tawar paling tinggi. Terkait pelaksanaan pendekatan penyuluhan yang partisipatif perlu memperhatikan pemilihan metode penyuluhan. Pemilihan dan penerapan metode penyuluhan harus disesuaikan dengan karakteristik individu petani, norma dan kebutuhan petani. Pemilihan metode penyuluhan diharapkan dapat mengakomodasi aspirasi petani dan secara aktif melibatkan petani. Salah satu metode penyuluhan yang dapat dipilih oleh penyuluh adalah PLA atau metode belajar dengan bekerja learning by doing. Contoh penerapan metode PLA ini adalah metode sekolah lapang. Mardikanto (2009), menyatakan bahwa prinsip-prinsip penerapan metode PLA, sebagai berikut: (a) Proses penyuluhan, secara berkelompok; (b) Multi perspektif, pemecahan masalah yang dihadapi petani berdasarkan pemikiran yang beragam, yang berasal dari kelompok (wakil petani) maupun pihak luar atau tenaga ahli; (c) Spesifik lokasi, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan petani; (d) Difasilitasi, terdapat pihak luar sebagai ahli dan bertindak sebagai katalisator dan fasilitator; dan (e) Pendorong perubahan, keputusan yang diambil dapat sebagai pedoman bagi perubahan-perubahan yang akan dilaksanakan oleh masyarakat. Sekolah lapang sistem agroforestri (SLSA) dilakukan dengan melibatkan pengurus kelompok, anggota kelompok berusia produktif dan tokoh masyarakat. Nara sumber berasal dari kelompok yang sudah berhasil seperti: kelompok pembuat pupuk kompos dari Kecamatan Jaken, kelompok usaha hutan rakyat dari Kecamatan Gembong dan kelompok atau organisasi lain yang terkait dengan sistem agroforestri. Dinas Kehutanan dan Perkebunan melalui penyuluh kehutanan berperan sebagai fasilitator yang membantu
petani
menghubungi
kelompok
dan
mengorganisasikan
pelaksanaan sekolah lapang. Pelaksanaan sekolah lapang sistem agroforestri dilakukan dengan cara kunjungan dan praktek langsung di lokasi kelompok-
189
kelompok tersebut atau dengan mendatangkan nara sumber ke lokasi kelompok tani Pegunungan Kendeng. (2)
Fasilitas Penyuluhan. Ketersediaan fasilitas penyuluhan sangat dibutuhkan untuk menunjang kelancaran penyuluhan. Fasilitas penyuluhan tidak harus buatan pabrik tetapi dapat didesain atau dimodifikasi oleh penyuluh sendiri, dengan memanfaatkan sumber daya yang terdapat di lingkungan sekitarnya. Prinsip utama dalam pengadaan fasilitas penyuluhan adalah “tepat guna dan tepat fungsi”. Fasilitas penyuluhan yang dibutuhkan dalam penerapan sistem agroforestri antara lain: demplot persemaian, demplot pembuatan pupuk kompos, gubuk kerja dan warung informasi baik berbentuk media cetak, digital maupun elektronik. Demplot persemaian, pembuatan pupuk kompos dan gubuk kerja, dapat didesain oleh penyuluh berdasarkan kebutuhan petani dengan memanfaatkan sumber daya yang terdapat di sekitarnya. Tersedianya fasilitas penyuluhan tersebut, diharapkan penyuluhan dapat berjalan secara efektif. Terkait dengan perkembangan arus informasi dan teknologi yang begitu cepat, selayaknya fasilitas penyuluhan berupa warung informasi dan teknologi (Warintek) agroforestri yang menyediakan media cetak, media digital dan media elektronik dapat segera disediakan di tingkat kecamatan. Penyediaan fasilitas ini dengan maksud untuk menyediakan informasi tentang harga-harga komoditas hasil agroforestri, harga saprodi dan inovasiinovasi baru yang dibutuhkan atau dapat diterapkan oleh petani. Penyediaan fasilitas tersebut dapat dilakukan bekerja sama dengan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dan Kementerian Telekomonikasi dan Informatika (Menkominfo). Dipilihnya kerjasama dengan BPP karena lembaga ini dapat menyediakan content materi yang berhubungan dengan komoditas pertanian dan harga saprodi. Kerjasama dengan Menkominfo dengan harapan agar fasilitas perangkat jaringan telekomunikasi yang telah tersedia melalui program kegiatan desa pintar dapat dimanfaatkan secara optimal oleh penyuluh untuk melayani kebutuhan petani.
190
(3)
Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pengembangan kelembagaan penyuluhan perlu dilakukan di tingkat kabupaten dan kecamatan, agar penyuluhan dapat dilaksanakan secara intensif. Pengembangan kelembagaan di tingkat kabupaten difokuskan pada fungsi Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K). Hal ini dimaksudkan agar BP4K melaksanakan fungsinya untuk mengatur dan mengkoordinir pelaksanaan penyuluhan yang dilakukan oleh Perhutani, perusahaan saprodi dan perusahaan pakan. Terkoordinasinya lembaga-lembaga tersebut diharapkan pelaksanaan penyuluhan dapat terintegrasi, sehingga petani tidak bingung dengan adanya berbagai sumber informasi. Pengembangan kelembagaan penyuluhan di tingkat kecamatan, dengan harapan agar penyuluh PNS dapat memberikan pelayanan kepada petani sekitar hutan secara intensif dan efektif. Selain itu, dapat membantu meningkatkan kepercayaan diri penyuluh, sehingga mereka memiliki kemampuan dan keberanian untuk menyuarakan dan menyalurkan aspirasi petani baik di tingkat lokal maupun nasional. Pengembangan penyuluh PNS tersebut dapat dilakukan melalui magang dan pelatihan secara berkala, dan pengembangan penyuluh swasta dan swadaya dapat dilakukan melalui pelatihan yang diprakasai oleh para penyuluh penyuluh PNS.
(4)
Kemitraan atau Kerjasama Penyuluhan Kemitraan atau kerjasama penyuluhan perlu dilakukan penyuluh, mengingat dukungan penyuluhan masih dalam taraf rendah. Kemitraan penyuluhan dapat dilakukan melalui bekerja sama dengan lembaga lokal yang melaksanakan fungsi penyuluhan, seperti: kelompok tani, penyuluh swadaya/PKSM,
penyuluh
swasta,
Perhutani,
perusahaan
saprodi,
perusahaan kayu atau pakan ikan dan SKB. Selain itu, Dinas Kehutanan dapat melakukan kemitraan dengan petani yang diwakili oleh kelompok tani. Kemitraan dengan kelompok tani, penyuluh swadaya/PKSM dan penyuluh swasta dengan maksud agar penyuluhan dapat berjalan secara intensif. Hal ini penting, mengingat penyuluh PNS jarang sekali melakukan
191
penyuluhan yang disebabkan oleh berbagai kendala dan alasan. Terjalinnya kemitraan tersebut diharapkan petani dapat menyampaikan keinginan dan permasalahannya kepada lembaga-lembaga tersebut sehingga solusi pemecahannya dapat didiskusikan bersama-sama. Kemitraan ini juga diharapkan dapat menjadi media komunikasi yang efektif antara petani dengan lembaga pelatihan, pemasaran dan penyedia modal. Kemitraan dengan Perhutani dengan harapan agar penyuluh memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis yang memadai, sehingga memiliki kepercayaan diri dalam melakukan penyuluhan. Selain itu, penyuluh dapat bersama-sama menyusun program perencanaan penyuluhan, sehingga informasi yang diberikan kepada petani tidak tumpang tindih. Kemitraan dengan perusahaan pakan, perusahaan kayu dan perusahaan saprodi, dilaksanakan dengan tujuan agar penyuluh memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menjalin hubungan pemasaran. Dikuasainya hal tersebut
diharapkan
penyuluh
dapat
memfasilitasi
petani
dalam
mengembangkan pemasaran hasil sistem agroforestri. Kemitraan dengan SKB dimaksudkan supaya penyuluh memiliki keterampilan dalam mendesain dan menerapkan metode penyuluhan secara tepat. Mengingat guru pamong (SKB) telah berpengalaman melaksanakan kegiatan belajar mengajar calistung dengan menerapkan metode belajar sambil bekerja (learing by doing), yaitu memadukan kegiatan belajar calistung dengan kegiatan budidaya jati unggul, sengon, lele dan kambing etawa. Selain bekerja sama dengan lembaga-lembaga tersebut diharapkan penyuluh kehutanan PNS dapat menjalin kerjasama dengan lembaga penelitian kehutanan dan lembaga pelatihan. Kerjasama dengan lembaga penelitian diharapkan penyuluh memiliki kemampuan materi teknis yang terbaru sesuai hasil penelitian yang dapat diadopsi oleh petani. Kerjasama dengan lembaga pelatihan diharapkan penyuluh dapat mendesain hasil penelitian yang terbaru tersebut menjadi materi penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan petani.
192
Kemitraan antara petani (yang diwakili oleh kelompok tani) dengan Dinas Kehutanan dimaksudkan untuk mendorong terjalinnya komunikasi dialogis, rasa kesetaraan, saling memahami dan berbagi, sehingga tumbuh kepercayaan di kedua belah pihak. Terbukanya hubungan komunikasi ini, diharapkan Dinas Kehutanan dapat memahami dan menangkap aspirasi dan kebutuhan nyata petani, sehingga program penyuluhan yang direncanakan oleh Dinas Kehutanan benar-benar berpihak pada kebutuhan dan kepentingan petani. Dalam hal ini, penyuluh berperan menyiapkan kapasitas kelompok tani agar mampu melakukan komunikasi dialogis secara efektif. Terjadinya kolaborasi atau kemitraan penyuluhan ini diharapkan pelayanan kepada petani dapat diberikan secara optimal sehingga petani dapat hidup lebih baik dan akhirnya pembangunan kehutanan yang berbasis kepentingan masyarakat dapat dilaksanakan secara berkesinambungan. Rancangan strategi penyuluhan dalam peningkatan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri, disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11. Rancangan Strategi Penyuluhan dalam Peningkatan Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri
193
Strategi Peningkatan Kompetensi Penyuluh Kehutanan Hasil temuan menunjukkan bahwa kompetensi penyuluh termasuk dalam kategori rendah (Tabel 33), hasil temuan tersebut memperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumardjo (2008); Marius (2007); Herman Subagio (2008); Bambang (2008) dan Nurul Huda (2010), maka perlu diambil langkah konkrit untuk meningkatkan kompetensi penyuluh. Langkah konkrit tersebut, dapat dilakukan melalui diklat, magang, lokakarya, peningkatan ke jenjang pendidikan dan sejenisnya. Selain itu, penyuluh dapat belajar secara otodidak dengan memanfaatkan media massa, media terprogram dan media lingkungan secara terpadu dan berkesinambungan (Anwas 2009). Berkaitan dengan organisasi kelembagaan penyuluhan, di sejumlah daerah belum semuanya melaksanakan amanat Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006. Ternyata, kondisi tersebut terkendala oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Sistem Pemerintah Daerah, dan PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Pembatasan Pembentukan Organisasi dan Tata Kelaksanaan Pemerintahan Daerah, di mana pembentukan Kantor, Dinas atau Badan harus disesuaikan dengan kondisi daerah dan tingkat urgensinya untuk kepentingan masyarakat. Selain
itu,
pembentukan
lembaga-lembaga
tersebut
harus
mendapatkan
persetujuan dari DPRD setempat. Akibat kendala tersebut, Badan Pelaksanan Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP4K) di beberapa kabupaten termasuk Kabupaten Pati belum dibentuk. Selanjutnya terkait dengan keberadaan penyuluh kehutanan, selain yang terdapat di kabupaten/kota terdapat juga penyuluh kehutanan yang ditempatkan di beberapa Balai Taman Nasional (BTN) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di bawah Kementerian Kehutanan yang tersebar di seluruh Indonesia. Keberadaan penyuluh kehutanan ini bertugas memberikan penyuluhan dan pendampingan kepada masyarakat yang berada di sekitar hutan. Mengingat, penyuluh-penyuluh
tersebut
tergolong
tenaga
baru
selayaknya
tingkat
kompetensinya perlu ditingkatkan agar mereka dapat melaksanakan tugas sesuai dengan tuntutan petani sekitar hutan. Sebagaimana telah diketahui bahwa paradigma pembangunan kehutanan pada saat ini, lebih diarahkan untuk kepentingan masyarakat di sekitar hutan atau
194
community based forest management, diharapkan Kementerian Kehutanan memberikan perhatian yang lebih serius kepada penyuluh kehutanan baik yang berada di bawah pemerintah daerah maupun Kementerian Kehutanan sendiri. Para penyuluh ini merupakan ujung tombak yang berhadapan langsung dengan petani di sekitar hutan. Ada keyakinan yang mendalam bahwa pembangunan kehutanan pada saat ini dan yang akan datang tergantung dari partisipasi aktif petani di sekitar hutan dan penyuluh kehutanan, karena yang dikelola Kementerian Kehutanan lebih banyak berurusan dengan masalah sosial dibandingkan dengan masalah teknis kehutanan. Disadari ataupun tidak, kesalahan dalam mengelola masyarakat sekitar hutan memberikan dampak kurang baik pada Kementerian Kehutanan. Sebagai contoh: tanah longsor, bencana banjir, illegal logging, perambahan dan terjadinya konflik di berbagai kawasan Taman Nasional. Kondisi tersebut terjadi akibat rendahnya kemampuan petugas dalam bidang penyuluhan, sehingga kurang berhasil dalam memberikan pendampingan kepada masyarakat yang berada di sekitar hutan. Hal tersebut dapat dihindari apabila tersedia tenaga penyuluh kehutanan yang berdedikasi dan kompetensi tinggi yang selalu diasah secara berkala. Di sisi lain pada Kementerian Kehutanan terdapat penyuluh kehutanan ahli (PKA) yang menguasai bidangnya masing-masing, namun tenaga dan keahliannya tersebut kurang dimanfaatkan secara optimal. Sementara itu, penyuluh kehutanan di kabupaten/kota, BTN dan BKSDA perlu ditingkatkan kompetensinya secara berkesinambungan dan berkala baik kompetensi dasar, inti maupun spesialis. Untuk mengatasi kesenjangan kompetensi penyuluh kehutanan tersebut, perlu didesain suatu unit–unit untuk melatih dan memperdalam kompetensi dasar, kompetensi inti maupun kompetensi spesialis dengan memanfaatkan keahlian PKA. Untuk menunjang beroperasionalnya unit-unit tersebut, Kementerian Kehutanan melalui Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BP2SDM) Kehutanan dapat menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait seperti: Perguruan Tinggi yang memiliki program studi penyuluhan dan komunikasi, lembaga penelitian dan pengembangan, organisasi penyuluhan kehutanan (IPKINDO), lembaga pemasaran, dan perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan.
195
Desain unit kompetensi penyuluh kehutanan ini perlu dilengkapi dengan demplot-dempot atau petak-petak percontohan supaya para penyuluh kehutanan dapat belajar dan praktek secara langsung (learning by doing). Melalui hal ini, diharapkan penyuluh mengetahui secara detail tentang hal-hal yang berhubungan dengan kompetensi-kompetensi penyuluhan sehingga nantinya tidak mengalami hambatan yang berarti ketika melakukan penyuluhan di wilayah kerjanya. Adapun ketiga unit kompetensi penyuluh kehutanan tersebut yaitu: (1)
Unit kompetensi dasar, melatih dalam bidang: teknik komunikasi, pemberdayaan masyarakat, membangun jaringan kerja (net working) dan manajemen organisasi.
(2)
Unit kompetensi inti, melatih dalam bidang: (a) Identifikasi dan pengolahan data potensi wilayah yang meliputi: kondisi sumber daya alam, sosial, ekonomi dan budaya. (b) Programa penyuluhan kehutanan. (c) Pemilihan materi penyuluhan kehutanan. (d) Pemilihan pendekatan penyuluhan. (e) Pemilihan metode penyuluhan. (f) Penggunaan media penyuluhan. (g) Monitoring dan evaluasi penyuluhan. (h) Simulasi menyuluh dalam skala kecil (microteaching). (i) Pengembangan metode, media, sistem kerja dan arah kebijakan penyuluhan kehutanan. (j) Pengembangan keprofesian penyuluhan kehutanan meliputi: penulisan karya ilmiah, poluler, publikasi dan teknologi informasi penyuluhan (cyber extension).
(3)
Unit kompetensi spesialis atau khusus, berisi tentang materi yang menyangkut bidang-bidang teknis kehutanan atau substansi yang dibutuhkan oleh penyuluh. Penyusunan bidang teknis tersebut disesuaikan dengan fungsi pengelolaan hutan yaitu: fungsi konservasi, lindung dan produksi. Contoh materi penyuluhan kehutanan menurut kompetensi spesialis atau
khusus disajikan pada Tabel 42.
196
Tabel 42. Contoh Materi Penyuluhan Kehutanan Menurut Kompetensi Spesialis Fungsi Hutan
Pengelolaan Hutan
Konservasi
Daeran penyangga
Lindung
Rehabilitasi
Produksi
Daerah sekitar hutan produksi
Materi Penyuluhan Berdasarkan Kompetensi Spesialis BTN/KSDA Dinas Kehutanan - Budidaya tanaman hutan keras - Budidaya taman semusim - Wisata alam - Pemandu wisata alam - Budi daya tanaman langka - Sistem agroforestri - Hutan rakyat - Sumur resapan - Persemaian/pembibitan - Pembuatan pupuk kompos/ bhokasi - Pengembangan kelompok - Persemaian/pembibitan - Pembuatan pupuk kompos/bhokasi - Pengembangan kelompok
Manfaat dibentuknya unit-unit kompetensi penyuluhan kehutanan sebagai berikut: (1)
Untuk melatih penyuluh secara berkala guna meningkatkan kompetensi dasar, inti dan spesialis
(2)
Sarana untuk uji kompetensi penyuluh sebagai syarat sertifikasi penyuluh,
(3)
Sarana untuk mengembangkan metode, pendekatan dan teknik penyuluhan
(4)
Sarana untuk menguji dan mengembangkan materi spesialis
(5)
Sarana untuk mengembangkan komunikasi dialogis, antara penyuluh ahli dengan penyuluh terampil dan penyelia.
(6)
Sarana untuk magang dan berlatih bagi penyuluh yang baru diangkat.
197
Rekomendasi peningkatan kompetensi penyuluh kehutanan selangkapnya, disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12. Rekomendasi Peningkatan Kompetensi Penyuluh Kehutanan untuk Membantu Petani Sekitar Hutan Unit-unit kompetensi ini diharapkan dapat digunakan untuk melatih dan magang bagi tenaga penyuluh kehutanan yang baru dan penyegaran bagi tenaga penyuluh kehutanan yang terdapat di kabupaten/kota. Selain itu unit-unit tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana uji kompetensi untuk menunjang pelaksanaan sertifikasi penyuluh kehutanan. Unit-unit kompetensi ini dikelola oleh para PKA yang terdapat di BP2SDM Kementerian Kehutanan, karena para PKA tersebut telah memiliki keahlian dan keterampilan baik dalam kompetensi dasar, inti maupun spesialis. Untuk menunjang pelaksanaan unit-unit tersebut, diharapkan BP2SDM Kementerian Kehutanan dapat melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga sebagai berikut: Perguruan Tinggi yang memiliki program studi/mayor
Ilmu
Komunikasi dan Penyuluhan, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Ikatan Penyuluh Kehutanan Indonesia, Lembaga pemasaran dan perbankan, dan perusahaan saprodi.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan (1)
Kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori rendah. Hal ini terlihat dari rendahnya tingkat pendapatan petani, tidak terjalinnya jejaring bisnis dalam sistem agroforestri dan kurang memanfaatkan hasil tanaman semusim seperti jagung, singkong dan gembili sebagai bahan pangan alternatif. Rendahnya tingkat kinerja petani tersebut mempengaruhi lemahnya keberlanjutan sistem agroforestri. Faktor-faktor penentu kinerja petani meliputi tingkat motivasi, kesempatan dan kemampuan petani. Lemahnya faktor-faktor penentu kinerja petani menyebabkan rendahnya kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Lemahnya faktor-faktor penentu kinerja petani berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut: (a)
Motivasi petani kurang optimal disebabkan oleh: keterbatasan sumber daya penyuluh yang berkompeten, lemahnya daya kompetisi antar petani karena lebih mengutamakan hidup tentram dan kurang berani mengambil risiko, serta kurangnya penghargaan atas keberhasilan dalam mengelola lahan kritis baik dari pemerintah maupun lembaga non pemerintah.
(b)
Kesempatan petani kurang memadai karena: lemahnya penguasaan jalur pemasaran hasil sistem agroforestri, kurang berperannya kelompok dalam memfasilitasi petani dengan pihak luar dan terjadinya peran ganda yang dilakukan perangkat desa sebagai kepemimpinan lokal.
(c)
Kemampuan petani kurang optimal ditandai dengan: kurang beraninya mengembangkan pemasaran hasil sistem agroforestri; lemahnya kerjasama yang dilakukan petani baik dengan petani lain, kelompok maupun lembaga-lembaga lain; dan tidak adanya pengembangan kelompok yang dapat meningkatkan kapasitas petani.
(2)
Rendahnya dukungan penyuluhan menyebabkan rendahnya kesempatan dan lemahnya motivasi petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri.
199
Rendahnya dukungan penyuluhan ini, terindikasi dari rendahnya tingkat kompetensi penyuluh, kurang tepatnya pendekatan, metode dan materi penyuluhan, serta kurangnya fasilitas dan intensitas penyuluhan. (3)
Upaya untuk meningkatkan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri, strategi penyuluhan yang dirancang sebagai berikut: (a)
Penguatan dukungan dan intensitas penyuluhan, untuk meningkatkan motivasi dan kesempatan petani melalui: -
Pendekatan penyuluhan menggunakan pendekatan kelompok lokal yang sudah mengakar di masyarakat seperti kelompok arisan dan kelompok yasinan.
-
Fasilitas penyuluhan, melengkapi fasilitas penyuluhan melalui penyediaan
warung
informasi
dan
teknologi
(Warintek)
agroforestri, yang menyediakan media cetak, media digital, media elektronik dan internet di tingkat Kecamatan. -
Metode penyuluhan, menggunakan aksi pembelajaran partisipatif (partisipatory learning action atau PLA) seperti sekolah lapang sistem agroforestri (SLSA) dengan melibatkan pengurus kelompok dan petani yang berusia produktif.
-
Materi penyuluhan, diarahkan pada perubahan perilaku terutama sikap dan keterampilan petani dalam pengolahan hasil sistem agroforestri, promosi hasil sistem agroforestri dan pemasaran hasil sistem agroforestri.
(b)
Mengembangkan kemitraan atau kerjasama penyuluhan dengan lembaga-lembaga lokal seperti: kelompok tani, penyuluh swasta, penyuluh swadaya atau PKSM, Perhutani, perusahaan saprodi dan perusahaan kayu. Saran
(1)
Mengingat petani kurang menguasai keterampilan hasil sistem agroforestri, promosi hasil sistem agroforestri dan pengembangan pemasaran hasil sistem agroforestri, maka penyusunan program penyuluhan ke depan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan dan Dishutbun diarahkan ke bidang
200
pengolahan, promosi dan pemasaran hasil sistem agroforestri dengan pendekatan partisipatif. (2)
Mengingat penyuluh kurang memiliki keterampilan dasar maupun teknis yang handal untuk mendampingi petani di sekitar hutan, maka kompetensi penyuluh perlu ditingkatkan melalui magang atau pelatihan baik oleh Kementerian Kehutanan maupun lembaga pelatihan daerah.
(3)
Mengingat fungsi kelembagaan penyuluhan di tingkat kecamatan tidak berjalan secara optimal akibat tidak tersedianya fasilitas penyuluhan, maka perlu ditingkatkan penyediaan fasilitas penyuluhan seperti: demplot persemaian, warung informasi dan teknologi agroforestri yang berisi: media cetak, media digital dan media elektronik, agar penyuluhan dapat dilaksanakan secara efektif dan informasi dapat diakses oleh petani secara mudah.
(4)
Mengingat fungsi penyuluhan kehutanan kurang berjalan secara efektif akibat lemahnya dukungan organisasi yang menangani bidang penyuluhan, sebaiknya pemerintah daerah segera mendorong terbentuknya BP4K supaya penyuluhan menjadi kegiatan prioritas.
(5)
Mengingat penyuluhan kehutanan kurang diterima oleh petani dan seluruh stakeholder di daerah, perlu kiranya penyuluhan dikelola secara adaptif dengan memperhatikan pengetahuan dan kearifan lokal di daerah dan proses pelaksanaannya dilakukan secara kolaboratif atau bekerja sama dengan lembaga-lembaga lokal yang telah ada di daerah tersebut.
(6)
Mengingat penelitian baru mengungkap sebagian faktor yang berpengaruh terhadap kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri, perlu kiranya penelitian ini dilanjutkan dengan menggunakan faktor-faktor lain seperti kearifan lokal yang dimiliki petani Sedulur Sikep agar lebih memperkaya khasanah keilmuan penyuluhan pembangunan.
201
DAFTAR PUSTAKA Jurnal Axinn GH. 1988. Challenges to Agricultural Extension in The Twenty First Century in Farmer Led Extension: Concepts and Practices. Vanessa Scarborough, editor. London: International Technology Publications. Bardhan P. 1989. Institutions, Reforms, and Agriculture Performance. University of California at Berkeley, USA. ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/003/X9808E/ X9808E06.pdf. [Tanggal 15 Oktober 2010] Bauman Y. 2004 . Free-Market Incentives for Innovation: A Closer Look at the Case of Pollution Control. Dept. of Economics Whitman College. Vol. 4 June–August. Beardwell J, Claydon T. 2007. Human Resource Management: A Contemporary Approach. London. FT. Vol 5 July-August. Blum ML. 2007. Trends and Challenges in Agricultural Extension Policies and Strategies for Reform. Skopje 27 June. FAO. Rome Bocci F. 2004. Defining Performance Measurement. Published on PMA Newsletter, Perspectives on Performance, Vol 3, Issue 1/2, Sept. Boselie P, Paauwe J, Jansen P. 2001. Human resource management and performance: Lessons from the Netherlands, The International Journal of Human Resource Management, 12(7): 1107-1125 Cornell JD, Michelle Miller. 2007. "Agroforestry." In: Encyclopedia of Earth. Eds. Cutler J. Cleveland (Washington, D.C.: Environmental Information Coalition, National Council for Science and the Environment). http://www.eoearth.org/ article/Agroforestry.[Tanggal 10 April 2010] Dixie G. 2005. Horticultural Marketing: Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome Fujisaka S, DP Garrity, Mercado Jr. 1989. Farmer Adadaptations Ang Adoption of Countour ang Hedgerows for Soil Conservation. Manila Philipines: IRRC Socias Sciences. Gibbs M. 2007. Mutliple Goals of Incentive System and Optimal performance Evaluation-Disscussion of Non Financial Porfermance Measures and Promotion-based Incentives. Graduate School of Business, University of Chicago, work paper.
202
Katou A. 2009. Test of causal Human Resource Manajement-Performance Lingkage Model: Evidence from the Greek manufacturing sector. Departement of Marketing and Operations Managemen. University of Macedonia. Thessaloniki-Greek. Int. Journal of Business Science and Applied Management, Volume 6, Issue 1, 2011 Kazmi R, S Amjad, D Khan. 2006. Occupational Stress and Its Effect on Job Performance a Case Study of Medical House Officers of District Abbottabad. Departement of Forensic Medecine, Ayub Medical CollegePakistan Khususiyah N. 2009. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM): Pembelajaran Keberhasilan & Kegagalan Program. ICRAF: Bogor Klocek S. 2008. Human motivation as a way to understand user goals. on October 20, 2008 http://www.cooper.com/journal/2008/10/motivation.html. [Tanggal, 2 Oktober 2010] Lidner JR. 1998. Understanding Employee Motivation. Journal of Extension. hhtp//www.joe.org//joe.rb3.html. Internet. [Tanggal 12 September 2010]. Manig W. 1993. ‘Structural and Institutional Changes in Rural Northwest Pakistan,’ The Journal of Development Studies, 12-13 (1992/1993): 1-20. Matatula J. 2009. Upaya Rehabilitasi Lahan Kritis dengan Penerapan teknologi Agroforestri Sistem Silvopastoral di Desa Oebola Kecamatan Fatuleu Kupang. Inotek, Vol 13. Pebruari 2009 Meager N. 2009. The role of training and skills development in active labour market policies. Journal of Training and Developmen, University of Sussex, Brighton BNI 9RF, UK. Merem E. 2005. The Agroforestry System of West Africa: The Case of Nigeria. Department of Urban and Regional Planning. Jackson State University. MFP, BPKH XI Jawa‐Madura. 2009. Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008. Jakarta: MFP Mulyana Y. 1999. Kegiatan Padat Karya Sektor Kehutanan. Jakarta: Dephut. North DC. 1987. Institutions, Transaction Cost and Economic Growth and Economic Enquriry. Vol 25. Rabideau ST. 2005. Effects of Achievement Motivation on Behavior. Rochester Institute of Technology. Rivera WM. 1996. Lessons on Agriculture Extension: In Global Perspective. Journal of Extension System. Vol 12.
203
Roshetko JM, Yuliyanti. 2002. Pemasaran untuk hasil-hasil wanatani di tingkat petani. Dalam: J.M. Roshetko, Mulawarman, W.J. Santoso dan I.N. Oka. Wanatani di Nusa Tenggara. Prosiding Lokakarya Wanatani Se-Nusa Tenggara, 11-14 November 2001. Denpasar, Bali: International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) dan Winrock International. Roshetko JM, E Nugraha, JCM Tukan, G Manurung, C Fay, Michon van Noordwijk. 2002. Agroforestry for Livelihood Enhancement and Enterprise Development. Manuscript. Bogor: Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) dan Winrock International. Roy Sabyasachi, DV Rangnekar. 2004. Farmer adoption of urea treatment of cereal straws for feeding of dairy animals: a success in Mithila milkshed, India. Published 6 September 2006 Russell D, S Franzel. 2004. Agroforestrt, Markets and African Smallholder. Agroforestry Systems 61: 345–355, 2004. Semedi N. 2006. Pengelolaan Hutan Rakyat di Ciamis Jawa Barat. Prosiding Seminar. Bogor: FSEK Scott Killough. 2003. Participatory Approaches to Agricultural Research and Extension. Canada: IDRC. Skibba JS, James Tan. 2002. Personality and Job Satisfaction: An Investigation of Central Wisconsin Firefighters. Interactions Between Personality and Various Factors at a Local Fire Department. The Graduate College University of Wisconsin-Stout Sudibyo. 1998. Pengkajian Partisipasi Penghijauan Desa. Working Paper. Bogor: Dephut-Bank Dunia. Suharjito D, Gunanto Saputro. 2008. Sistem Pengelolaan Agroforestri. Jurnal Vol 5. Bogor: FSEK. hal. 317-335. State of Missouri Office of Administration Division of Personnel. tt. Writing Performance Objective for Job Component: A Brief Tutorial. Stewart J, Gold Beardwell, J Iles P, Holden R. 2009. Human Resource Development: Theory and Practice (London: Palgrave Publishing). Swanson BE. 2008. Global Review of Good Agricultural Extension and Advisory Service Practice. University of Illinois-Urbana Taylor J, Edward A, Zezza, AA Gurkan. 2009. Rural Poverty and Markets and as developed: IFAD.
204
Tri Pranaji. 2006. Penguatan Modal Sosial untuk Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan dalam Mengelola Agroekosistem pada Lahan Kering: Studi Kasus di Desa-desa (Hulu DAS): Eks Proyek Bangun Desa Kab Gunung Kidul dan Eks Proyek Pertanian Lahan Kering Kab Boyolali. Bogor: PASE dan Kebijakan. Tukan CMJ, JM Roshetko, S Budidarsono, G.S. Manurung. 2000. Market Chain Improvement: Linking Farmers to Markets in Nanggung, West Java, Indonesia. International Symposium on Improving the Performance of Supply Chains in the Transitional Economies. Bogor: ICRAF. Wachrinrat CN, Khlangsap, N Jumwong. 2009. Financial Return from Eucalypts Planted on Paddy Bunds. Research and Development Institute, asetsart University, Chatuchak, Bangkok 10900, Thailand, e-mail: rdispk@ku. ac.th. Westin SS. 2005. Performance Measurement and Evaluation: Definition and Relationships, which supersedes this document. Associate Director, Advanced Studies and Evaluation Methodology. In May 2005, GAO issued GAO-05-739sp. Yuniandra F, C Kusmana, DR Nurrochmat. 2007. Formulasi Kebijakan Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat di Taman Nasional Gunung Ciremai. JMHT Vol. XIII (3): 146-154 Buku Adjid DA. 2001. Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Sinar Tani. Arifin HS, Christine W, Qodarian P, RL Kaswanto. 2009. Analisis Lanskap Agroforestri. Bogor: IPB Press. Arikunto S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Prakte Edisi ke-5. Jakarta: Rineka Cipta. Asngari PS. 2008. Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Ajat Sudrajat dan Ida Yustina, penyunting. Medan: Pustaka Bangsa Press. Awang SA. 2003. Politik Hutan Kemasyarakatan. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Azwar. 2003. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannnya. Yogyakarta: Liberty. Babbie E. 2004. The Practice of Social Reseach. Ed 10th. Australia: Wadsworth. Balanchard K, Hersey Paul. 1988. Management of Organization Behavior. Singapore: Prentice Hall. Inc.
205
Bernardin H John, Joyce EA Russell. 1993. Human Resource Management. Singapore: McGraw Hill Inc. Casio WF. 1992. Managing Human Resources: Productivity, Quality of Work life, Profit. Singapore: McGraw-Hill International. Champion DJ, JA Black. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung: PT Eresco. Bandung. Davies E. 2005. The Art of Training and Development: The Training Managers A Handbook. London: Kogan Page Limited 120 Pentonville Road. De Foresta, A. Kusworo, C Michon, Djatmiko. 2000. Agroforest Khas Indonesia, Sebuah Sumbangan Masyarakat. Bogor: ICRAF. De Jong S. 1976. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Kanisius. Foster GM. 1962. Traditional Culture: and The Impact of Technological Change. New York: Harper and Row Publishers. Friday KS, ME Drilling, DP Garitty. Widianto, Sunaryo, Kurniatun H. 2000. The Agroforestri Alternatif to Imperata Grasslands: When Smallhoder Agriculture and Forestry Reach Sustainability. Bogor: ICRAF. Geertz C. 1981. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. Gibson James L, John M Ivancevich, James H Donnelly Jr. 1994. Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses. Djarkasih, penerjemah. Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Organizations. Gilbert DR, James AF Stoner, ER Freeman. 1996. Manajemen. Jilid 2, Edisi Kelima, Wilhelmus W. Bakowatun dan Benyamin Molan, penerjemah. Heru Sutejo, editor. Jakarta: Intermedia. Terjemahan dari: Manajement and Organization. Gomes F Cordosa. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi Offset. Hairiah K, MA Sardjono, Sambas S. 2003. Pengantar Sistem Agroforestri. Bogor: ICRAF. Harton Paul B, Chester Hunt. 1991. Sociology. Western Michigan University Hasibuan Malayu SP. 2003. Organisasi dan Motivasi Dasar Peningkatan Produktivitas. Jakarta: Bumi Aksara. Huxley P. 1999. Tropical Agroforestry. Paris Prance. 371p: Blackwell Science.
206
[ICRAF] International Center For Research Agroforestry. 1977. Sistem Sosial Forestry dan Agroforestri di Asia. J Kartasubrata, penyunting. Bogor: IPB. Irawan P. 2007. Penelitian Kualitatif-Kuantitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: DIA Fisip UI. Kartini K. 2005. Pemimpin dan Kepeminpinan. Apakah Kepemimpinan Abnormal itu. Jakarta: Grafindo Persada. Kerlinger FN. 2006. Foundation of Behavioral Research. Edisi ke-3. Simatupang, penerjemah. Koesoemanto, editor. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press. Terjemahan dari: Foundation of Behavioral Research. Koontz H, Cyril O’Donnel, Heinz Weihrich. 2004. Manajemen. Jilid 2. Gunawan Hutauruk, penerjemah. Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari Manajement and Organizations. Kouzen JM, Barry Z Posner. 1991. The Leadership Challenge. San Francisco: Jossey-Bass Publishers. Kuntjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kusnendi. 2008. Model-model Persamaan Struktural. Bandung: Alfabeta. Lungren BO, JB Raintree. 1982. Sustained Agroforestry. Agricultural Research for Development: Potentials and Challenges in Asia. Netherlands: The Hague. Lusiana B, Kurniatun H, Widianto, SR Utami. 2003. Wanuscas Model Simulasi untuk Sistem Agroforesrti. Bogor: ICRAF. Lusthaus F. 2002.Organizational Behavior. New York: McGraw Hill International. Mangkunegara AAP. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: Rosda Karya. Mardikanto T. 1996. Penyuluhan Kehutanan. Jakarta: Kerjasama UNS Solo dan Dephut. Mardikanto T. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. Solo: UNS Press. Margono Slamet. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Ajat Sudrajat dan Ida Yustina, penyunting. Bogor: IPB Press. Mitchell B, B Setyawan, Dwita HR. 2003. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta: UGM Press.
207
Nair PKR. 2003. An Introduction Agroforestry. Netherlands: Kluwer Academic Publishers. Najiyati S, Agus S, I Nyoman NS. 2005. Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut. Bogor: Wetland International. Neuschel RP. 2005. The Servant Leader: Unleashing the Power of Your People. Edisi Bahasa Indonesia. 2008, Ati Cahyati, penerjemah. Illinois: Northwestren University Press Evanstone. Oepen M. 1988, Media Rakyat Komunikasi Pengembangan Masyarakat. Jakarta: Guna Aksara. Padmowihardjo S. 1999. Psikologi Belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka. Palan R. 2003. Competency Management-A Practicioner’s Guide. Octa Melia Jalal, penerjemah. Jakarta: PPM. Penny DH. 1990. Kemiskinan: Peranan Sistem Pasar. Jakarta: UI-Press. Polak M. 1976. Sosiologi. Jakarta: Ichtiar Baru. Popkin SL. 1986. Petani Rasional. Jakarta: Yayasan Padamu Negeri. Rahim SE. 2006. Pengendalian Erosi Tanah dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta: Bumi Aksara. Rivai V. 2005. Performance Appraisal. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Riyanto B. 2005. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Dalam Perlindungan Kawasan Pelestarian Alam. Bogor: LPH-KL. Robbins SP. 2003. Perilaku Organisasi Edisi ke-10. Benyamin Molan, penerjemah. Jakarta: Gramedia. Terjemahaan dari: Organizations Behavior. Rogers EM. 2003. Diffusion of Innovations. London: The Free Press. Ruky AS. 2002. Sistem Manajemen Kinerja (Performance Management System): Panduan praktis untuk merancang dan meraih kinerja Prima. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Sadikin, Sofyan S. 2007. Konflik Keseharian di Pedesaan Jawa. Bandung: Akatiga. Salkind NJ. 1985. Theoies of Human Development. Canada: John Welly &son.Inc.
208
Samsudin S. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Pustaka Setia. Sanders DW, Paul CH, Samran S, Thomas E. 1999. Incentives in Soil Concervations: From Theory of Practice. New Delhi: Oxford and IBH Publishing. Schermerhorn Jr, JG Hunt, RN Osborn. 1994. Management Organizational Behavior. New York: John Wiley & Son Inc. Sedarmayanti. 2001. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung: Mandar Maju. Sevilla CG, Ochave JA, Pansulan TG, Regala BP, Uriarte GG. 1993. Pengantar Metode Peneltian. Alimudin Tuwu, penermah. Jakarta: UI Press. Terjemahaan dari: An Introduction to Research Methods. Simamora H. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: YKPN. Simon H. 2004, Membangun Desa Hutan Kasus Dusun Sambiroto. Yogyakarta: UGM Press. Singarimbun M, Sofyan Effendi. 1995. Model Statistik Survey. Jakarta: Pustaka LP3ES. Sitorus SRP. 2009. Kualitas, Degradasi dan Rehabilitasi Lahan. Bogor: IPB Press. Soekanto S. 2000. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta: UI-Press. Spangenberg JH. 2007. The Scientific Committee on Problem of the Environmental: Sustainability Indicators. Tomas H, Bedrich M, Arthur LD, editor. London: Island Press. Spencer LM, Signe M Spencer. 1993. Competence at Work. New York: John Weley and Sons. Sugiono. 2001. Metode Statistik Bisnis. Bandung: Alfabet. Suharjito D, Aziz Khan, Wibowo AD, MT Sirait, Santi E. 2000. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Yogyakarta: Aditya Media. Suharjito D. 2000. Hutan Rakyat di Jawa. Peranannya dalam Perekonomian Desa. Bogor: F3KM. IPB.
209
Suharto E. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Masyarakat. Bandung: Refika Aditama. Sudjana. 2004. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. Sumardjo. 2008. Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Ajat Sudrajat dan Ida Yustina, penyunting. Medan: Pustaka Bangsa Press. Sumardjo, Lukman MB, Retno SHM. 2010a. Cyber Extension Peluang dan Tantangan dalam Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. Bogor: IPB Press. Sumpeno W. 2004. Sekolah Masyarakat. Jakarta: CSR Relief. Suporahardjo, AB Setyowati. 2008. Desentralisasi Tata Kelola Hutan di Indonesia: Tantangan Menyiasati Politik Lokal. Bogor: Latin. Suriasumantri Y. 1995. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Susanto AB. 2009. Reputation-Driven Corporate Social Responsibility: Pendekatan Strategic Management dalam CSR. Surabaya: Erlangga. Susetyo W. 2002. Kepemimpinan Jawa. Yogyakarta: Narasi. Steers Richard M, Lyman W Porter. 1991. Motivation and Work Behavior. New York: McGraw-Hill. Stoner James AF, ER Freeman. 1994. Manajemen. Jilid 2, Edisi Kelima, Wilhelmus W. Bakowatun dan Benyamin Molan, penerjemah. Heru Sutejo, editor. Jakarta: Intermedia. Terjemahan dari Manajement and Organizations. Stolovitch HD, EJ Keeps. 1992. Handbook of Human Performance Technology A Comprehensive Guide for Analysis and Solving Performance Problem in Organizations. San Francisco: Jersey-Bass Publisher. Syarif R. I991. Teknik Manajemen Latihan dan pembinaan. Bandung : Angkasa Timpe AD. 1986. Motivation of Personel. Oxport England: Fact on File Publication. Tjitradjaja I, Budiono P, Keron P, Dewi YW. 2003. Proses Belajar Interaksi Multipihak: Pelatihan Fasilitas Sosial Forestry. Jakarta: Orchid Press. Tohir AK. 1983. Seuntai Tentang Usaha Tani Indonesia 1. Jakarta: Bina Aksara. Umar H. 2004. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Cetakan ke-6. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
210
Uphoff N. 1986. Local Institutional Development: An Analysis Sourcebook With Cases. West Hartford. USA: Kumarian Press. van den Ban, Hawkis HS. 1999. Penyuluhan Pertanian. Agnes Dwina H, penerjemah. Yogyakarta: Kanisius. Diterjemahkan dari: Agricultural Extension, second edition. Vegara N, D Pimentel. 1978. Sistem Sosial Forestry dan Agroforestri di Asia, J. Kartasubrata, penyunting. Bogor: IPB. von Moydell HJ. 1982. Pengantar Sistem Agroforestri. Kurniatun H. MA Sardjono, Sambas S, penyunting. Bogor: ICRAF. Wibisono, TC Labueni S, I Nyoman NS. 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Bogor: Wetland Indonesia. Widada, Sri Mulyati, H Kobayashi. 2006. Sekilas tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Bogor: JICA Wijayanto SH. 2008. Struktural Equation Modeling: Konsep dan Tutorial. Jakarta: Graha Ilmu. Wollenberg E, Moira M, Godwin L. 2009. Desentralisasi Tata Kelola Hutan. Bogor: Cifor. Yeager TJ. 1999. Institutions, Transition Economies and Economic Development. Member of the Perseus Books Group: Wesview Press. Disertasi Adi Riyanto Suprayitno. 2011. Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan Dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat (Kasus Pengelolaan Hutan Kemiri Kawasan Pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan) [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Anwas OM. 2009. Pemanfataan Media dalam Pengembangan Potensi Penyuluh Pertanian. Kasus di Kabupaten Kerawang dan Garut Provinsi Jawa Barat. [Desertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bambang Dipokusumo. 2011. Model Partisipatif Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (Kasus Pembangunan Hutan Kemasyarakatan pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok). [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bambang Gatut Nuryanto. 2008. Kompetensi Penyuluh dalam Pembangunan Pertanian di Provinsi Jawa Barat. [Desertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
211
Herman Subagyo. 2008. Peran Kapasitas Petani dalam Mewujudkan Keberhasilan Usaha Tani: Kasus Petani Sayur dan Padi di Kabupaten Malang dan Pasuruan. [Desertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Lukman Effendy. 2009. Kinerja Petani Pemandu dalam Pengembangan HPT dan Dampaknya pada Perilaku Petani di Jawa Barat. [Desertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Marius J Ardu. 2007. Pengembangan Kompetensi Penyuluhan Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur. [Desertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Nurul Huda. 2010. Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian Lulusan Pendidikan Jarak Jauh Universitas Terbuka. [Desertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Priyadi N. 2010. Kelembagaan Kemitraan Industri Pengelolaan Kayu Bersama Rakyat Dalam Rangka Pembangunan Hutan di Pulau Jawa. [Desertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Puspadi K. 2002. Rekontruksi Penyuluhan Pertanian. [Desertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani. Kasus di Provinsi Jawa Barat [Desertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Suwignyo Utomo. 2010. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Melalui Pemberdayaan Kelompok. (Kasus Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat pada Areal Perum Perhutani Unit I Provinsi Jawa Tengah). [Desertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Yumi. 2011. Model Pengembangan Pembelajaran Petani Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari (Kasus di Kabupaten Gunung Kidul Provinsi Daerah Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah). [Desertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Yusran. 2005. Mengembalikan Kejayaan Hutan Kemiri Rakyat. [Desertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Artikel dan Materi yang Tidak Diterbitkan Angga YP, Ketut W, Firman H. 2005. Analisis Spasial Lahan Kritis di Kota Bandung Utara Menggunakan Open Source Grass. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV.
212
[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2010. Sistem Informasi Profil Daerah Kabupaten Pati. Pati. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Kabupaten Pati dalam Angka. Pati [BP DAS] Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai Pemali Jartum. 2009. Data Lahan Kritis Jawa Tengah. http://www.bpdas-pemalijratun.net/index.php/. [Tanggal, 4 Oktober 2010]. [DEPHUT] Departeman Kehutanan. 2007. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006. Jakarta: Dephut. [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2007. Data Lahan Kritis Nasional. Jakarta: Dephut. [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2009. Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu. Jakarta: Dephut. [DEPHUTBUN] Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 2002. Penyusunan Rencana Pengelolaan Lahan Kritis. Jakarta: Dephut. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 1991. Penetapan Lahan Kritis. Jakarta: Deptan. Dirgantara U. Analisis Potensi Fisik, Sosial dan Ekonomi untuk Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Sukabumi. Bogor: IPB. [DISHUTBUN] Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati. 2009. Laporan Hasil Hutan Rakyat Kabupaten Pati. Pati: Dishutbun. [DISHUTBUN] Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati. 2010. Program Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan Tahun 2010. Pati. Dishutbun. [DISTANNAK] Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Pati. 2010. Laporan Realisasi Produk Tanaman Pangan Tahun 2010. Pati: Distannak Hafidah N. 2005. Motivasi Petani dalam Pengelolaan Kahuma di Areal Hutan Rakyat (Kasus: kecamatan Sawerigadi kabupaten Muna). Bogor: IPB. ICRAF, PSP3. 2010. Pengintegrasian Isyu Gender dalam Program Imbal Jasa Lingkungan. Makalah Seminar . Bogor: PSP3 IPB. Kartodiharjo H. 2006. Integrasi Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) dalam Pembangunan Kehutanan yang Komprehensif. [DKN] Dewan Kehutanan Nasional. 2007. http://dkn.or.id/newsroom/
213
report/integrasi-gerakan-nasional-rehabilitasi-hutan-dan-lahan-gerhanpembangunan-kehutanan-yang-komprehensif. [Tanggal, 5 Oktober 2010]. Kutha A. 2010. Analisis Peubah Ganda: Analisis Biplot. Bogor: IPB. Lubis D, Endriatmo S. 1991. Laporan Penelitian Konsistensi Pola Mata Pencaharian Antara Orang Tua dan Anak pada Masyarakat Petani di Pedesaan. Bogor: Pusat Studi Pembangunan-Lembaga Penelitian IPB. Margono Slamet. 2009. Kepemimpinan. Bogor: IPB. Notohadiprawiro T. 2006. Pemanfatan Agroforestri Selaku Bentuk Pemanfaatan Lahan Menurut Kriteria Pengawetan Tanah dan Air. Yogyakarta: Repro Ilmu Tanah UGM. [PUSBINLUH] Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan. 2009. Statistik Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan. Jakarta: Dephut. Romansah D. 2007. Peran Hutan Rakyat dalam Perekonomian Daerah Di Kabupeten Sumedang. Bogor: IPB. Setiawan AD, K Winarno, PC Purnama. 1991. Konservasi Lahan Pertanian Marjinal di Kawasan Selatan Yogyakarta. Enviro 4 (1): 1-7. http://soilfaperta.ugm.ac.id/jitl/9.19%20137-141.pdf. [Tanggal 15 Oktober 2010]. Soetrisno Lukman. 1999. Pertanian pada Abad ke 21. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Depdikbud. Jakarta: Diknas. Suhardjo B. 2010. Pengolahan dan Analisis Data dengan Menggunakan SEM. Bogor: IPB. Sumardjo. 2010b. Penyuluhan Menuju Pengembangan Kapital Manusia dan Kapital Sosial dalam Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Bogor: Orasi Ilmiah Guru Besar IPB Bogor. Sunaryo BT. 2008. Kelompok Samin: Salah satu dari Komunitas Radikal Muslim Abangan di Jawa. Institut Etnomusikologi. Sundawati L. 2010. Pengelolaan Hutan Rakyat: Insentif dan Disinsentif. Bogor: IPB. Taylor JE, Albreto Z, Ali Arslan G. 2009. Rural Poverty and Markets. Working Paper. FAO. Wahono. 2002. Rehabilitasi Lahan dan Hutan. http://rehabilitasihutan.tripod.com/ tinjauan_pustaka.htm. Tanggal 15 Oktober 2010 Word Bank. 2002. How Forest can Reduce Poverty. FAO-Rome and London.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
214
Lampiran 1. Validitas dan Reliabitias Kuesioner Hasil Ujicoba Tabel 43. Validitas dan Reliabilitas Hasil Ujicoba Kuesioner No.
Nama Peubah
Validitas
Reliabilitas Per Item
1.
Keterbukaan terhadap informasi (X6)
0,787
0,848
2.
Kompetensi penyuluh (X7)
0,745
0,852
3.
Pendekatan penyuluhan (X8)
0,649
0,849
4.
Metode penyuluhan (X9)
0,775
0,851
5.
Materi penyuluhan (X10)
0,770
0,854
6.
Fasilitas penyuluhan (X11)
0,757
0,851
7.
Kelembagaan penyuluhan (X12)
0,639
0,852
8.
Terjalinnya kerjasama penyuluhan (X14)
0,641
0,855
9.
Pemenuhan kebutuhan dasar (X15)
0,795
0,850
10.
Tingkat pengakuan/prestasi (X16)
0,785
0,850
11.
Terjalinnya hubungan sosial (X17)
0,650
0,851
12.
Tingkat kompetisi (X18)
0,597
0,857
13.
Pasar (X20)
0,589
0,849
14.
Insentif (X21)
0,788
0,853
15.
Peranan institusi lokal (X22)
0,863
0,851
16.
Peranan pemimpin lokal (X23)
0,758
0,852
17.
Peranan kelompok (X24)
0,568
0,855
19.
Penyiapan lahan (X25)
0,627
0,845
20.
Pemilihan jenis (X26)
0,669
0,848
21.
Keterampilan menanam (X27)
0,779
0,848
22.
Penganekaragam jenis tanaman (X28)
0,768
0,851
23.
Pemeliharaan (X29)
0,628
0,852
24.
Pemanenan (X30)
0,895
0,856
25.
Pengembangan pemasaran (X31)
0,726
0,847
26.
Pengembangan kelompok (X32)
0,733
0,852
27.
Tumbuhnya kerjasama (X33)
0,633
0,849
28.
Keragaman jenis pangan (X37)
0,655
0,851
29.
Jaringan kerja (X38)
0,745
0,852
30.
Ekonomi (X39)
0,779
0,848
31.
Sosial (X40)
0,818
0,850
32.
Lingkungan (X41)
0,653
0,856
215
Lampiran 2. Analisis CFA DATE: 05/15/2011 TIME: 22:09 P R E L I S
2.70
BY Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom This program is published exclusively by Scientific Software International, Inc. 7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100 Lincolnwood, IL 60712, U.S.A. Phone: (800)247-6113, (847)675-0720, Fax: (847)675-2140 Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981-2004 Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention. Website: www.ssicentral.com The following lines were read from file D:\Desertasi-SM\Analisis Data-SM\DataSM.PTH:: !PRELIS SYNTAX: Can be edited SY='D:\Desertasi-SM\Disertasi-Analisis-Data\ANALS-DAT.SAV.PSF' NS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 NS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 OU MA=CM SM=ANALS-4C.COV XT XM Total Sample Size =
400
Univariate Summary Statistics for Continuous Variables Variable Mean St. Dev. T-Value Skewness Kurtosis ----------- -------------- -------- -------UMUR 46.620 9.268 100.605 -0.004 -0.039 DIKF 6.337 3.214 39.438 0.010 -0.045 DIKNF 1.668 0.938 35.569 0.812 -0.339 PTANI 23.170 10.589 43.763 0.009 -0.051 PAGRO 10.157 5.347 37.994 0.016 -0.063 INFO 66.738 13.294 100.401 -0.038 -0.127 KOMPT 55.344 13.735 80.587 0.025 -0.132 DEKAT 57.900 15.232 76.024 0.006 -0.058 METODE 56.239 14.739 76.311 0.013 -0.090 MATERI 56.671 15.063 75.246 0.020 -0.182 FASIL 54.268 16.341 66.418 0.020 -0.205 KELEMB 70.667 15.248 92.690 -0.052 -0.125 INTENS 2.680 1.310 40.907 0.190 -0.266 KERJASM 67.175 13.411 100.182 -0.011 -0.032 BUTSAR 68.906 11.224 122.778 -0.018 -0.060 PRESTS 74.735 13.783 108.447 -0.051 -0.139 HUBSOS 70.937 14.221 99.763 -0.025 -0.120 KOMPTS 73.873 10.806 136.730 -0.012 -0.056 LLAHAN 0.595 0.273 43.532 0.024 -0.081 PASAR 70.506 10.512 134.143 -0.030 -0.045 INSENTF 57.171 14.913 76.674 -0.001 -0.059 INSLOK 72.777 9.631 151.130 -0.028 -0.089 PIMLOK 67.913 11.518 117.925 -0.020 0.027 KELOMP 64.688 14.655 88.279 -0.012 -0.071 PLAHAN 69.100 12.147 113.769 -0.038 -0.118 JENIS 65.437 13.521 96.795 -0.045 -0.122 TANAM 67.531 13.226 102.118 -0.048 -0.164
Minimum Freq. ------- ----17.852 1 -1.115 12 0.894 220 -5.054 4 -5.338 2 27.946 2 22.554 9 10.425 1 17.795 5 14.555 3 18.704 16 25.904 2 0.541 59 28.137 2 38.751 4 37.486 4 35.215 7 42.456 2 -0.115 5 41.186 3 13.872 2 44.777 2 31.806 1 24.127 3 36.359 4 22.683 1 36.077 10
Maximum Freq. ------- ----72.209 3 15.095 4 4.777 2 56.044 1 25.653 2 96.351 14 95.231 2 98.659 4 95.819 4 100.780 2 98.266 4 109.745 6 6.637 2 106.213 2 99.061 4 111.985 4 104.753 10 102.827 4 1.446 1 101.215 2 103.651 1 96.216 8 104.019 1 105.249 3 96.221 14 95.108 16 103.390 4
216
Lampiran 2. Lanjutan ANERAG PLHARA PANEN PPASAR PKELOMP TKERJA PENDPTT PROSENT JTEGAK KERAGP JARINGAN EKO SOS LINGK
64.300 68.188 66.538 67.500 62.595 64.986 78.957 63.417 165.577 65.040 66.018 72.594 69.720 75.844
12.410 14.017 14.301 12.655 14.323 14.147 21.792 17.627 50.578 13.658 12.717 12.129 14.714 12.881
103.622 97.291 93.051 106.677 87.407 91.872 72.466 71.953 65.475 95.242 103.828 119.701 94.767 117.762
-0.021 -0.033 -0.020 -0.015 -0.014 -0.019 0.001 0.006 -0.001 -0.008 -0.022 -0.003 -0.014 -0.035
-0.050 -0.094 -0.047 -0.005 -0.042 -0.070 -0.045 -0.242 -0.017 -0.030 -0.059 -0.127 -0.178 -0.113
28.128 24.262 24.837 30.627 17.898 26.927 15.931 25.216 8.543 22.445 29.025 43.810 34.770 38.154
2 1 2 2 1 4 2 16 1 1 2 10 10 2
Test of Univariate Normality for Continuous Variables Skewness Variable Z-Score P-Value
UMUR DIKF DIKNF PTANI PAGRO INFO KOMPT DEKAT METODE MATERI FASIL KELEMB INTENS KERJASM BUTSAR PRESTS HUBSOS KOMPTS LLAHAN PASAR INSENTF INSLOK PIMLOK KELOMP PLAHAN JENIS TANAM ANERAG PLHARA PANEN PPASAR PKELOMP TKERJA PENDPTT PROSENT JTEGAK KERAGP JARINGAN EKO SOS LINGK
-0.034 0.084 5.971 0.074 0.133 -0.312 0.205 0.049 0.108 0.162 0.164 -0.431 1.558 -0.088 -0.153 -0.418 -0.211 -0.101 0.199 -0.252 -0.007 -0.228 -0.167 -0.102 -0.311 -0.377 -0.393 -0.176 -0.277 -0.162 -0.124 -0.119 -0.155 0.006 0.048 -0.006 -0.068 -0.180 -0.022 -0.119 -0.291
Kurtosis
Skewness and Kurtosis
Z-Score P-Value
Chi-Square P-Value
0.973 0.933 0.000 0.941 0.894 0.755 0.837 0.961 0.914 0.871 0.869 0.667 0.119 0.930 0.879 0.676 0.833 0.920 0.842 0.801 0.994 0.820 0.868 0.919 0.755 0.707 0.694 0.860 0.782 0.872 0.901 0.905 0.876 0.995 0.961 0.995 0.946 0.857 0.982 0.905 0.771
-0.052 -0.081 -1.589 -0.105 -0.161 -0.451 -0.476 -0.138 -0.280 -0.722 -0.841 -0.442 -1.167 -0.025 -0.147 -0.512 -0.422 -0.129 -0.238 -0.080 -0.142 -0.278 0.224 -0.197 -0.409 -0.427 -0.635 -0.103 -0.299 -0.089 0.093 -0.068 -0.190 -0.079 -1.036 0.043 -0.013 -0.143 -0.454 -0.702 -0.388
0.959 0.936 0.112 0.917 0.872 0.652 0.634 0.890 0.779 0.471 0.401 0.659 0.243 0.980 0.883 0.609 0.673 0.897 0.812 0.937 0.887 0.781 0.823 0.844 0.682 0.669 0.526 0.918 0.765 0.929 0.926 0.946 0.849 0.937 0.300 0.966 0.989 0.886 0.650 0.482 0.698
0.004 0.014 38.180 0.017 0.044 0.301 0.269 0.021 0.090 0.547 0.734 0.381 3.789 0.008 0.045 0.437 0.223 0.027 0.096 0.070 0.020 0.129 0.078 0.049 0.264 0.324 0.558 0.042 0.166 0.034 0.024 0.019 0.060 0.006 1.076 0.002 0.005 0.053 0.206 0.507 0.235
0.998 0.993 0.000 0.992 0.978 0.860 0.874 0.989 0.956 0.761 0.693 0.827 0.150 0.996 0.978 0.804 0.895 0.987 0.953 0.966 0.990 0.937 0.962 0.976 0.876 0.850 0.757 0.979 0.920 0.983 0.988 0.991 0.970 0.997 0.584 0.999 0.998 0.974 0.902 0.776 0.889
95.878 101.827 111.302 104.373 99.867 103.046 139.135 103.083 322.612 107.635 105.728 108.200 101.928 106.313
6 9 1 2 5 4 3 13 1 1 1 2 16 10
217
Lampiran 2. Lanjutan Covariance Matrix
UMUR DIKF DIKNF PTANI PAGRO INFO KOMPT DEKAT METODE MATERI FASIL KELEMB INTENS KERJASM BUTSAR PRESTS HUBSOS KOMPTS LLAHAN PASAR INSENTF INSLOK PIMLOK KELOMP PLAHAN JENIS TANAM ANERAG PLHARA PANEN PPASAR PKELOMP TKERJA PENDPTT PROSENT JTEGAK KERAGP JARINGAN EKO SOS LINGK
UMUR -------85.895 -15.412 -3.257 81.541 33.829 -15.359 4.956 -1.250 9.558 -5.821 -7.483 -0.403 -2.244 -13.780 -10.596 -17.017 -3.139 -22.444 0.057 -21.951 -15.651 -12.826 2.273 -15.092 -13.728 -22.630 12.470 -3.312 -13.344 -3.287 -5.234 -8.920 4.181 -14.727 12.444 -8.116 3.955 -4.579 -0.221 -1.944 -1.220
DIKF --------
DIKNF --------
PTANI --------
PAGRO --------
INFO --------
10.329 1.483 -19.878 -8.684 5.791 -1.643 0.213 -0.290 0.722 -0.156 0.222 0.503 1.713 -1.287 -1.867 0.047 3.493 0.073 3.833 2.479 0.516 -3.199 0.176 1.229 2.825 -3.106 -2.128 2.602 -4.379 -0.392 -0.449 -2.505 11.087 0.406 8.627 -1.730 -0.369 -5.732 -2.138 2.257
0.879 -3.988 -1.512 1.625 0.391 0.899 1.264 1.006 0.363 -1.381 0.176 0.871 -0.353 -0.120 -0.355 1.781 0.042 0.918 1.047 0.769 0.133 1.226 1.262 2.061 1.142 0.290 1.856 0.308 0.692 -0.206 -0.033 4.323 1.546 5.769 -0.064 0.600 -0.233 -0.470 0.240
112.121 45.772 -10.498 10.239 0.081 11.708 -6.710 -7.486 4.454 -1.540 -9.036 -8.348 -14.834 -7.158 -17.339 0.042 -22.833 -15.145 -5.447 8.682 -11.892 -0.908 -20.374 18.693 8.554 -12.388 -4.635 1.586 -3.917 11.308 -1.517 27.595 40.230 15.740 -1.206 5.621 -3.319 -11.175
28.589 -2.326 3.591 1.415 4.364 -3.409 -1.082 5.337 -0.590 -1.509 -4.726 -3.523 -3.600 -7.051 -0.055 -10.835 -5.745 -3.347 3.112 -5.228 -0.232 -6.051 8.580 6.047 -5.521 -0.881 -1.409 -1.043 6.249 -7.784 7.566 26.251 6.796 -1.620 5.231 -3.013 -3.450
176.735 31.314 38.782 25.728 28.253 44.279 34.522 3.537 19.855 24.439 52.228 38.005 52.885 0.517 36.108 38.174 18.609 42.866 29.464 81.423 52.966 38.013 44.680 39.267 2.088 47.538 42.082 50.072 41.894 7.375 93.222 35.824 10.928 24.071 38.731 17.798
DEKAT --------
METODE --------
MATERI --------
FASIL --------
KELEMB --------
232.013 128.156 60.382 87.273 77.582 2.979 74.103 19.062 46.471
217.249 87.127 93.940 57.049 3.053 73.503 13.529 41.190
226.885 83.300 37.286 3.091 28.351 17.429 37.653
267.041 68.345 1.620 60.914 13.821 71.585
232.501 1.305 78.861 30.723 72.351
Covariance Matrix
KOMPT DEKAT METODE MATERI FASIL KELEMB INTENS KERJASM BUTSAR PRESTS
KOMPT -------188.656 119.502 81.033 60.710 69.223 67.819 3.261 49.780 27.591 37.453
218
Lampiran 2. Lanjutan HUBSOS KOMPTS LLAHAN PASAR INSENTF INSLOK PIMLOK KELOMP PLAHAN JENIS TANAM ANERAG PLHARA PANEN PPASAR PKELOMP TKERJA PENDPTT PROSENT JTEGAK KERAGP JARINGAN EKO SOS LINGK
9.179 34.307 0.285 15.976 20.595 12.851 -0.786 19.860 25.097 35.037 35.760 32.461 6.214 17.142 1.832 1.392 -5.749 -3.123 -15.748 23.623 49.476 30.610 21.266 8.561 -3.482
18.063 39.120 0.190 4.686 24.724 -5.417 1.584 14.407 28.833 37.490 30.934 32.742 -2.286 9.037 4.596 -1.325 -12.893 -28.862 -24.914 33.117 93.651 23.992 17.503 5.982 -3.572
-0.757 38.937 0.161 2.029 35.536 15.045 7.302 12.262 17.916 28.367 41.683 30.110 -9.163 -2.967 5.993 3.405 -11.490 -3.697 8.733 82.359 50.006 37.793 20.667 -18.929 -3.206
26.789 23.980 -0.141 8.579 19.044 6.201 5.867 15.939 23.292 48.467 11.145 22.734 -2.913 -7.522 7.642 8.411 7.327 -19.649 8.736 36.533 5.928 6.988 18.037 23.121 0.461
19.947 59.445 -0.202 22.478 33.217 17.554 9.256 25.753 43.625 76.267 28.591 15.276 -6.902 4.438 21.122 -3.808 8.824 -19.113 -15.524 0.629 43.085 5.093 24.744 17.356 11.801
23.305 48.199 -0.035 21.732 35.680 -0.598 2.001 0.601 27.418 45.170 8.484 13.334 9.468 -9.646 -0.122 29.816 4.642 5.482 -6.758 66.402 39.570 19.427 19.384 -9.984 14.072
KERJASM --------
BUTSAR --------
PRESTS --------
HUBSOS --------
KOMPTS --------
179.844 13.926 47.738 -8.721 45.068 0.289 5.722 42.436 1.413 -9.830 -1.658 5.067 38.032 8.702 20.257 -15.532 11.065 -11.623 3.006 -30.331 -3.756 -21.797 56.087 27.328 9.995 1.179 -32.364 8.807
125.989 18.635 3.587 22.627 -0.055 56.387 5.315 26.576 23.024 24.487 20.042 20.745 19.213 28.182 24.753 5.743 35.199 30.126 27.179 9.622 5.941 1.595 23.759 63.834 34.338 5.868 6.968
189.967 52.535 61.037 0.180 46.799 29.803 11.307 30.544 21.228 39.665 53.947 21.790 26.376 22.590 7.300 29.779 23.418 26.545 20.256 -12.757 -16.001 25.595 15.748 17.351 47.441 23.367
202.239 23.770 -0.154 22.894 9.622 7.442 39.236 19.759 47.727 48.583 28.414 22.224 46.949 30.213 32.450 34.925 42.422 -8.791 -15.721 -92.979 17.922 10.834 43.598 110.989 22.575
116.762 0.342 44.357 36.711 24.733 22.869 30.839 65.562 52.116 38.125 20.722 31.248 20.277 34.450 31.020 19.568 17.252 -6.729 25.805 37.423 29.489 29.422 31.521 15.462
Covariance Matrix
INTENS KERJASM BUTSAR PRESTS HUBSOS KOMPTS LLAHAN PASAR INSENTF INSLOK PIMLOK KELOMP PLAHAN JENIS TANAM ANERAG PLHARA PANEN PPASAR PKELOMP TKERJA PENDPTT PROSENT JTEGAK KERAGP JARINGAN EKO SOS LINGK
INTENS -------1.717 3.267 -0.924 3.142 0.107 2.096 0.040 1.233 1.650 1.350 0.387 0.935 3.044 1.753 2.749 3.608 1.896 1.779 1.106 1.026 0.187 4.988 0.155 7.621 1.593 1.000 0.159 1.422 0.269
219
Lampiran 2. Lanjutan Covariance Matrix
LLAHAN PASAR INSENTF INSLOK PIMLOK KELOMP PLAHAN JENIS TANAM ANERAG PLHARA PANEN PPASAR PKELOMP TKERJA PENDPTT PROSENT JTEGAK KERAGP JARINGAN EKO SOS LINGK
LLAHAN -------0.075 0.301 -0.005 0.089 -0.067 0.609 0.235 0.024 0.397 -0.055 0.387 0.382 0.134 0.117 0.203 1.958 0.716 1.248 -0.065 -0.015 -0.515 -0.375 -0.103
PASAR --------
INSENTF --------
INSLOK --------
PIMLOK --------
KELOMP --------
110.504 30.034 31.569 27.395 26.359 34.086 40.746 24.576 23.112 39.498 24.560 44.468 34.225 37.148 32.849 5.689 -4.601 21.334 45.902 22.054 34.326 26.238
222.391 37.181 18.621 30.048 20.958 43.433 23.153 18.402 10.708 -4.913 21.638 22.453 30.662 -15.761 -16.113 -14.435 11.918 22.352 2.337 19.745 9.366
92.758 31.870 51.628 23.789 17.033 40.979 16.427 19.863 16.864 29.798 36.998 31.743 43.640 17.678 44.628 16.175 35.364 27.594 19.057 6.326
132.662 28.242 56.940 29.422 37.038 28.232 42.409 27.393 83.668 42.857 67.678 18.049 14.953 23.660 13.016 27.804 25.021 56.515 9.246
214.777 31.032 18.279 25.971 -18.652 39.445 37.356 25.144 51.990 21.846 22.575 18.423 14.429 8.261 31.002 21.467 19.927 0.897
JENIS --------
TANAM --------
ANERAG --------
PLHARA --------
PANEN --------
182.813 45.614 27.053 43.471 15.636 48.785 31.668 45.695 16.605 1.690 4.399 16.589 16.520 34.550 41.678 7.608
174.929 38.118 39.176 22.084 55.893 27.698 64.537 21.042 13.404 13.569 44.551 32.834 44.665 44.503 13.337
154.020 18.881 2.288 45.913 16.817 27.869 13.636 -2.999 29.320 31.486 22.171 35.564 37.543 -13.583
196.484 45.790 48.845 47.169 57.485 17.334 2.311 -97.720 6.147 5.277 23.068 53.932 10.196
204.531 38.846 21.407 17.920 39.963 27.882 57.636 -1.350 23.712 29.434 30.956 11.346
PKELOMP --------
TKERJA --------
PENDPTT --------
PROSENT --------
JTEGAK --------
205.139 67.367 26.892 7.470 -29.446 15.247
200.143 57.358 29.922 35.560 27.716
474.873 158.292 415.969 1.419
310.725 611.530 -2.263
2558.084 48.729
Covariance Matrix
PLAHAN JENIS TANAM ANERAG PLHARA PANEN PPASAR PKELOMP TKERJA PENDPTT PROSENT JTEGAK KERAGP JARINGAN EKO SOS LINGK
PLAHAN -------147.559 76.360 74.688 42.715 54.347 32.543 65.192 53.683 65.030 21.578 14.703 43.838 33.081 13.307 34.344 65.978 8.036
Covariance Matrix
PPASAR PKELOMP TKERJA PENDPTT PROSENT JTEGAK KERAGP
PPASAR -------160.151 47.359 89.498 45.104 10.922 23.899 26.719
220
Lampiran 2. Lanjutan JARINGAN EKO SOS LINGK
32.629 41.491 82.321 21.165
18.008 31.617 48.360 11.079
13.063 44.376 78.598 31.083
38.409 -5.060 7.155 -3.183
6.950 -12.055 -25.190 -3.374
17.419 -28.750 -99.359 7.269
KERAGP -------186.535 23.270 29.776 15.703 3.590
JARINGAN --------
EKO --------
SOS --------
LINGK --------
INSTS --------
161.717 54.452 14.575 4.104
147.117 63.941 24.483
216.505 40.262
165.920
UMUR -------46.620
DIKF -------6.337
DIKNF -------1.668
PTANI -------23.170
PAGRO -------10.157
INFO -------66.738
KOMPT -------55.344
DEKAT -------57.900
METODE -------56.239
MATERI -------56.671
FASIL -------54.268
KELEMB -------70.667
INTENS -------2.680
KERJASM -------67.175
BUTSAR -------68.906
PRESTS -------74.735
HUBSOS -------70.937
KOMPTS -------73.873
LLAHAN -------0.595
PASAR -------70.506
INSENTF -------57.171
INSLOK -------72.777
PIMLOK -------67.913
KELOMP -------64.688
PLAHAN -------69.100
JENIS -------65.437
TANAM -------67.531
ANERAG -------64.300
PLHARA -------68.188
PANEN -------66.538
PPASAR -------67.500
PKELOMP -------62.595
TKERJA -------64.986
PENDPTT -------78.957
PROSENT -------63.417
JTEGAK -------165.577
Covariance Matrix
KERAGP JARINGAN EKO SOS LINGK Means
Means
Means
Means
Means
Means
Means: KERAGP JARINGAN --------------65.040 66.018 Standard Deviations UMUR -------9.268
DIKF -------3.214
EKO -------72.594
DIKNF -------0.938
SOS -------69.720
PTANI -------10.589
LINGK -------75.844
PAGRO -------5.347
INFO -------13.294
221
Lampiran 2. Lanjutan Standard Deviations KOMPT -------13.735
DEKAT -------15.232
METODE -------14.739
MATERI -------15.063
FASIL -------16.341
KELEMB -------15.248
KERJASM -------13.411
BUTSAR -------11.224
PRESTS -------13.783
HUBSOS -------14.221
KOMPTS -------10.806
PASAR -------10.512
INSENTF -------14.913
INSLOK -------9.631
PIMLOK -------11.518
KELOMP -------14.655
JENIS -------13.521
TANAM -------13.226
ANERAG -------12.410
PLHARA -------14.017
PANEN -------14.301
PKELOMP -------14.323
TKERJA -------14.147
PENDPTT -------21.792
PROSENT -------17.627
JTEGAK -------50.578
JARINGAN -------12.717
EKO -------12.129
SOS -------14.714
LINGK -------12.881
INSTS -------11.588
Standard Deviations INTENS -------1.310 Standard Deviations LLAHAN -------0.273 Standard Deviations PLAHAN -------12.147 Standard Deviations PPASAR -------12.655 Standard Deviations KERAGP -------13.658
The Problem used
141504 Bytes (= 0.2% of available workspace)
COVARIANCE 0.85895D+02 0.81541D+02 -0.15118D+01 -0.10498D+02 0.10239D+02 -0.55282D-01 0.42715D+02 0.18565D+01 -0.91626D+01 0.24753D+02 0.10708D+02 0.39176D+02 -0.46353D+01 -0.75218D+01 0.72999D+01 0.16864D+02 0.22883D+01 0.15863D+01 0.76417D+01 0.29779D+02 0.29798D+02
-0.15412D+02 -0.19878D+02 0.45772D+02 -0.23261D+01 0.35909D+01 0.23112D+02 0.27053D+02 -0.12388D+02 -0.29128D+01 0.22590D+02 0.19863D+02 0.18881D+02 -0.88060D+00 0.44382D+01 0.30213D+02 0.27393D+02 0.45790D+02 -0.14090D+01 0.21122D+02 0.32450D+02 0.83668D+02
0.10329D+02 -0.39882D+01 0.28589D+02 0.17674D+03 0.31314D+02 0.18402D+02 0.38118D+02 -0.55213D+01 -0.69016D+01 0.46949D+02 0.42409D+02 0.19648D+03 0.20881D+01 -0.96459D+01 0.20277D+02 0.37356D+02 0.20453D+03 0.47538D+02 -0.12218D+00 0.34450D+02 0.25144D+02
-0.32569D+01 0.11212D+03 -0.15359D+02 0.49561D+01 0.18866D+03 0.16427D+02 0.15402D+03 0.39267D+02 0.94679D+01 0.31248D+02 0.39445D+02 -0.32866D+01 0.17142D+02 0.17789D+01 0.38196D+00 0.32543D+02 -0.52341D+01 0.18322D+01 0.11057D+01 0.13365D+00 0.65192D+02
0.14830D+01 0.33829D+02 0.57912D+01 -0.16430D+01 -0.12496D+01 0.28232D+02 -0.13344D+02 0.62137D+01 0.18959D+01 0.38676D+00 0.54347D+02 -0.43791D+01 0.90375D+01 0.11065D+02 0.24560D+02 0.15636D+02 -0.39184D+00 0.45962D+01 -0.11623D+02 0.44468D+02 0.48785D+02
0.87914D+00 -0.86835D+01 0.16254D+01 0.39107D+00 0.21298D+00 -0.18652D+02 0.26022D+01 -0.22862D+01 -0.15532D+02 0.39498D+02 0.43471D+02 0.30773D+00 -0.29666D+01 0.57431D+01 -0.49132D+01 0.22084D+02 0.69207D+00 0.59928D+01 0.35199D+02 0.21638D+02 0.55893D+02
222
Lampiran 2. Lanjutan 0.45913D+02 -0.20573D+00 0.34054D+01 0.30126D+02 0.22453D+02 0.27698D+02 0.41810D+01 -0.57487D+01 0.18739D+00 0.20330D+00 0.65030D+02 0.89498D+02 -0.15173D+01 -0.19649D+02 0.20256D+02 0.43640D+02 0.13636D+02 0.47487D+03 0.73750D+01 -0.67576D+01 -0.67286D+01 0.18423D+02 0.27882D+02 -0.81157D+01 0.23623D+02 0.76213D+01 0.12479D+01 0.43838D+02 0.23899D+02 0.39547D+01 0.49476D+02 0.15930D+01 -0.64618D-01 0.33081D+02 0.26719D+02 0.18654D+03 0.10928D+02 0.19427D+02 0.29489D+02 0.31002D+02 0.23712D+02 0.17419D+02 0.56212D+01 0.18037D+02 0.17351D+02 0.27594D+02 0.35564D+02 -0.50604D+01 -0.19440D+01 0.85611D+01 0.14221D+01 -0.37482D+00 0.65978D+02 0.82321D+02 0.15703D+02 0.24047D+00 -0.32063D+01 0.69684D+01 0.93658D+01 0.13337D+02 0.31083D+02
0.48845D+02 -0.39168D+01 0.84111D+01 0.23418D+02 0.36998D+02 0.16817D+02 -0.25049D+01 -0.12893D+02 -0.30331D+02 0.37148D+02 0.45695D+02 0.67367D+02 -0.77839D+01 -0.19113D+02 -0.87912D+01 0.18049D+02 0.17334D+02 0.12444D+02 -0.15748D+02 0.15464D+00 0.71559D+00 0.14703D+02 0.10922D+02 0.86273D+01 0.33117D+02 0.56087D+02 -0.46010D+01 0.43988D+01 -0.29446D+02 -0.17296D+01 0.93651D+02 0.27328D+02 0.21334D+02 0.16589D+02 0.15247D+02 -0.45793D+01 0.30610D+02 0.99977D+00 -0.15153D-01 0.13307D+02 0.32629D+02 0.23270D+02 0.52310D+01 0.24744D+02 0.43598D+02 0.25021D+02 0.23068D+02 -0.12055D+02 -0.21383D+01 0.59821D+01 -0.32364D+02 0.34326D+02 0.41678D+02 0.48360D+02 0.14575D+02 -0.11175D+02 0.46101D+00 0.23367D+02 0.63261D+01 -0.13583D+02 -0.31829D+01
0.38846D+02 -0.10430D+01 -0.38079D+01 0.34925D+02 0.42857D+02 0.47169D+02 -0.33270D-01 -0.11490D+02 0.27179D+02 0.30662D+02 0.64537D+02 0.20014D+03 0.41894D+02 0.54824D+01 0.17252D+02 0.22575D+02 0.39963D+02 0.40608D+00 -0.24914D+02 -0.21797D+02 0.56886D+01 0.16898D+01 0.74703D+01 0.57687D+01 0.82359D+02 0.15954D+01 -0.14435D+02 0.13569D+02 0.35560D+02 -0.64320D-01 0.50006D+02 0.23759D+02 0.11918D+02 0.44551D+02 0.27716D+02 -0.36937D+00 0.23992D+02 0.99954D+01 0.45902D+02 0.16520D+02 0.18008D+02 0.16172D+03 0.24071D+02 0.19384D+02 0.29422D+02 0.21467D+02 0.29434D+02 -0.28750D+02 -0.47032D+00 -0.18929D+02 0.58683D+01 0.19745D+02 0.44503D+02 0.78598D+02 0.63941D+02 -0.34497D+01 0.11801D+02 0.22575D+02 0.92464D+01 0.10196D+02 -0.33743D+01
0.16015D+03 0.42082D+02 0.29816D+02 0.31020D+02 0.51990D+02 0.21407D+02 0.11308D+02 0.73267D+01 0.26545D+02 0.31743D+02 0.27869D+02 -0.14727D+02 -0.31231D+01 0.49881D+01 0.19584D+01 0.21578D+02 0.45104D+02 0.15457D+01 0.87330D+01 0.59410D+01 -0.16113D+02 0.13404D+02 0.29922D+02 0.40230D+02 0.36533D+02 -0.16001D+02 0.44628D+02 0.29320D+02 0.41597D+03 0.15740D+02 0.59284D+01 0.25595D+02 0.16175D+02 0.31486D+02 0.14193D+01 0.59952D+00 0.37793D+02 0.63834D+02 0.22352D+02 0.32834D+02 0.13063D+02 -0.22137D+00 0.21266D+02 0.15894D+00 -0.51540D+00 0.34344D+02 0.41491D+02 0.29776D+02 -0.33190D+01 0.23121D+02 0.47441D+02 0.19057D+02 0.37543D+02 0.71555D+01 0.21650D+03 0.17798D+02 0.14072D+02 0.15462D+02 0.89697D+00 0.11346D+02 0.72693D+01
-0.89203D+01 0.13923D+01 0.10264D+01 0.11746D+00 0.53683D+02 0.47359D+02 0.62492D+01 0.88243D+01 0.42422D+02 0.67678D+02 0.57485D+02 0.11087D+02 -0.28862D+02 -0.37560D+01 0.32849D+02 0.16605D+02 0.26892D+02 0.27595D+02 0.87361D+01 -0.12757D+02 0.17678D+02 -0.29994D+01 0.15829D+03 0.26251D+02 0.62925D+00 -0.92979D+02 0.23660D+02 -0.97720D+02 0.61153D+03 0.67963D+01 0.43085D+02 0.17922D+02 0.13016D+02 0.61468D+01 -0.22634D+01 -0.12060D+01 0.69883D+01 0.15748D+02 0.35364D+02 0.22171D+02 0.38409D+02 -0.57316D+01 0.17503D+02 0.11785D+01 0.22054D+02 0.34550D+02 0.31617D+02 0.54452D+02 -0.30126D+01 0.17356D+02 0.11099D+03 0.56515D+02 0.53932D+02 -0.25190D+02 -0.12195D+01 -0.34824D+01 0.26941D+00 -0.10327D+00 0.80356D+01 0.21165D+02 0.35902D+01
-0.44890D+00 -0.13246D+01 0.30060D+01 0.34225D+02 0.31668D+02 0.20514D+03 0.50072D+02 0.46420D+01 0.19568D+02 0.21846D+02 0.17920D+02 0.43234D+01 -0.36966D+01 0.96222D+01 -0.15761D+02 0.21042D+02 0.57358D+02 0.75663D+01 -0.15524D+02 -0.15721D+02 0.14953D+02 0.23114D+01 0.31073D+03 0.93222D+02 0.66402D+02 0.25805D+02 0.14429D+02 0.57636D+02 0.25581D+04 0.35824D+02 0.39570D+02 0.37423D+02 0.82610D+01 -0.13495D+01 0.48729D+02 -0.16196D+01 0.50928D+01 0.10834D+02 0.27804D+02 0.52775D+01 0.69500D+01 -0.23295D+00 0.20667D+02 0.34338D+02 0.23365D+01 0.44665D+02 0.44376D+02 0.14712D+03 0.38731D+02 -0.99839D+01 0.31521D+02 0.19927D+02 0.30956D+02 -0.99359D+02 0.22569D+01 -0.35724D+01 0.88072D+01 0.26238D+02 0.76078D+01 0.11079D+02 0.41042D+01
223
Lampiran 2. Lanjutan 0.24483D+02 0.40262D+02 0.16592D+03 0.78767D+01 0.57660D+00 0.36482D+00 0.15517D+02 0.20817D+01 0.27651D+02 -0.91416D+01 -0.58095D+01 0.68454D+01 0.15224D+02 -0.17661D-01 -0.16777D+02 0.70238D-01 -0.14931D+02 -0.48484D+01 0.65587D+01 0.32058D+02 0.17936D+02 -0.37609D-01 0.11224D+02 0.77476D+01 0.16029D+02 0.34054D+02 0.10725D+02 0.42757D+02 -0.27377D+01 0.37577D+02 0.17364D+02 0.32232D+02 0.16963D+02 0.52370D+02 0.31654D+02 0.49501D+02 0.37433D+02 0.19208D+02 0.14181D+02 0.24359D+01 0.16847D+02 0.31774D+02 0.67541D+02 0.33912D+02 0.13429D+03 DATE: 5/22/2011 TIME: 0:58 L I S R E L
8.70
BY Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom This program is published exclusively by Scientific Software International, Inc. 7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100 Lincolnwood, IL 60712, U.S.A. Phone: (800)247-6113, (847)675-0720, Fax: (847)675-2140 Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981-2004 Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention. Website: www.ssicentral.com The following lines were read from file D:\Desertasi-SM\Analisis Data-SM\DataSM.PTH: CFA KINERJA PETANI GUNUNG KENDENG Observed Variables UMUR DIKF DIKNF PTANI PAGRO INFO KOMPTN PDKT METODE MATERI FASIL KELEMB INTENS KERJASM BUTSAR PRESTS HUBSOS KOMPTS LLAHAN PASAR INSENTF INSLOK PIMLOK KELOMP PLAHAN JENIS TANAM ANERAG PLHARA PANEN PPASAR PKELOMP TUMKER PENDPTT PROSENT JUMTEG KERAGP JARINGAN EKO SOS LINGK Covariance Matrix from File Data-SM.Cov Sample Size 400 Latent Variables KI DUKLUH MTV KSMPT KMPN KIN SUST EQUATIONS UMUR DIKF DIKNF PTANI PAGRO INFO = KI KOMPTN PDKT METODE MATERI FASIL KELEMB INTENS KERJASM = DUKLUH BUTSAR PRESTS HUBSOS KOMPTS = MTV LLAHAN PASAR INSENTF INSLOK PIMLOK KELOMP = KSMPT PLAHAN JENIS TANAM ANERAG PLHARA PANEN PPASAR PKELOMP TUMKER = KMPN PENDPTT PROSENT JUMTEG KERAGP JARINGAN = KIN EKO SOS LINGK = SUST Path Diagram End of Problems Sample Size =
400
CFA KINERJA PETANI GUNUNG KENDENG Covariance Matrix
UMUR DIKF
UMUR -------85.89 -15.41
DIKF -------10.33
DIKNF --------
PTANI --------
PAGRO --------
INFO --------
224
Lampiran 2. Lanjutan DIKNF PTANI PAGRO INFO KOMPTN PDKT METODE MATERI FASIL KELEMB INTENS KERJASM BUTSAR PRESTS HUBSOS KOMPTS LLAHAN PASAR INSENTF INSLOK PIMLOK KELOMP PLAHAN JENIS TANAM ANERAG PLHARA PANEN PPASAR PKELOMP TUMKER PENDPTT PROSENT JUMTEG KERAGP JARINGAN EKO SOS LINGK
-3.26 81.54 33.83 -15.36 -10.60 -17.02 -3.14 -5.82 -7.48 -0.40 -2.24 -13.78 4.96 -1.25 9.56 -22.44 0.06 -21.95 -15.65 -12.83 2.27 -15.09 -13.73 -22.63 12.47 -3.31 -13.34 -3.29 -5.23 -8.92 4.18 -14.73 12.44 -8.12 3.95 -4.58 -0.22 -1.94 -1.22
1.48 -19.88 -8.68 5.79 -1.29 -1.87 0.05 0.72 -0.16 0.22 0.50 1.71 -1.64 0.21 -0.29 3.49 0.07 3.83 2.48 0.52 -3.20 0.18 1.23 2.83 -3.11 -2.13 2.60 -4.38 -0.39 -0.45 -2.50 11.09 0.41 8.63 -1.73 -0.37 -5.73 -2.14 2.26
0.88 -3.99 -1.51 1.63 -0.35 -0.12 -0.35 1.01 0.36 -1.38 0.18 0.87 0.39 0.90 1.26 1.78 0.04 0.92 1.05 0.77 0.13 1.23 1.26 2.06 1.14 0.29 1.86 0.31 0.69 -0.21 -0.03 4.32 1.55 5.77 -0.06 0.60 -0.23 -0.47 0.24
112.12 45.77 -10.50 -8.35 -14.83 -7.16 -6.71 -7.49 4.45 -1.54 -9.04 10.24 0.08 11.71 -17.34 0.04 -22.83 -15.14 -5.45 8.68 -11.89 -0.91 -20.37 18.69 8.55 -12.39 -4.64 1.59 -3.92 11.31 -1.52 27.59 40.23 15.74 -1.21 5.62 -3.32 -11.18
28.59 -2.33 -4.73 -3.52 -3.60 -3.41 -1.08 5.34 -0.59 -1.51 3.59 1.41 4.36 -7.05 -0.06 -10.84 -5.74 -3.35 3.11 -5.23 -0.23 -6.05 8.58 6.05 -5.52 -0.88 -1.41 -1.04 6.25 -7.78 7.57 26.25 6.80 -1.62 5.23 -3.01 -3.45
176.74 24.44 52.23 38.01 28.25 44.28 34.52 3.54 19.86 31.31 38.78 25.73 52.88 0.52 36.11 38.17 18.61 42.87 29.46 81.42 52.97 38.01 44.68 39.27 2.09 47.54 42.08 50.07 41.89 7.38 93.22 35.82 10.93 24.07 38.73 17.80
PDKT --------
METODE --------
MATERI --------
FASIL --------
KELEMB --------
189.97 52.53 37.65 71.58 72.35 3.14 47.74 37.45 46.47 41.19 61.04 0.18 46.80 29.80 11.31
202.24 26.79 19.95 23.30 0.11 -8.72 9.18 18.06 -0.76 23.77 -0.15 22.89 9.62 7.44
226.88 83.30 37.29 3.09 28.35 60.71 60.38 87.13 23.98 -0.14 8.58 19.04 6.20
267.04 68.34 1.62 60.91 69.22 87.27 93.94 59.45 -0.20 22.48 33.22 17.55
232.50 1.31 78.86 67.82 77.58 57.05 48.20 -0.03 21.73 35.68 -0.60
Covariance Matrix
KOMPTN PDKT METODE MATERI FASIL KELEMB INTENS KERJASM BUTSAR PRESTS HUBSOS KOMPTS LLAHAN PASAR INSENTF INSLOK
KOMPTN -------125.99 18.64 3.59 17.43 13.82 30.72 -0.92 13.93 27.59 19.06 13.53 22.63 -0.06 56.39 5.32 26.58
225
Lampiran 2. Lanjutan PIMLOK KELOMP PLAHAN JENIS TANAM ANERAG PLHARA PANEN PPASAR PKELOMP TUMKER PENDPTT PROSENT JUMTEG KERAGP JARINGAN EKO SOS LINGK
23.02 24.49 20.04 20.75 19.21 28.18 24.75 5.74 35.20 30.13 27.18 9.62 5.94 1.60 23.76 63.83 34.34 5.87 6.97
30.54 21.23 39.66 53.95 21.79 26.38 22.59 7.30 29.78 23.42 26.55 20.26 -12.76 -16.00 25.59 15.75 17.35 47.44 23.37
39.24 19.76 47.73 48.58 28.41 22.22 46.95 30.21 32.45 34.92 42.42 -8.79 -15.72 -92.98 17.92 10.83 43.60 110.99 22.57
5.87 15.94 23.29 48.47 11.14 22.73 -2.91 -7.52 7.64 8.41 7.33 -19.65 8.74 36.53 5.93 6.99 18.04 23.12 0.46
9.26 25.75 43.63 76.27 28.59 15.28 -6.90 4.44 21.12 -3.81 8.82 -19.11 -15.52 0.63 43.09 5.09 24.74 17.36 11.80
2.00 0.60 27.42 45.17 8.48 13.33 9.47 -9.65 -0.12 29.82 4.64 5.48 -6.76 66.40 39.57 19.43 19.38 -9.98 14.07
BUTSAR --------
PRESTS --------
HUBSOS --------
KOMPTS --------
188.66 119.50 81.03 34.31 0.28 15.98 20.59 12.85 -0.79 19.86 25.10 35.04 35.76 32.46 6.21 17.14 1.83 1.39 -5.75 -3.12 -15.75 23.62 49.48 30.61 21.27 8.56 -3.48
232.01 128.16 39.12 0.19 4.69 24.72 -5.42 1.58 14.41 28.83 37.49 30.93 32.74 -2.29 9.04 4.60 -1.32 -12.89 -28.86 -24.91 33.12 93.65 23.99 17.50 5.98 -3.57
217.25 38.94 0.16 2.03 35.54 15.04 7.30 12.26 17.92 28.37 41.68 30.11 -9.16 -2.97 5.99 3.41 -11.49 -3.70 8.73 82.36 50.01 37.79 20.67 -18.93 -3.21
116.76 0.34 44.36 36.71 24.73 22.87 30.84 65.56 52.12 38.13 20.72 31.25 20.28 34.45 31.02 19.57 17.25 -6.73 25.80 37.42 29.49 29.42 31.52 15.46
PASAR --------
INSENTF --------
INSLOK --------
PIMLOK --------
KELOMP --------
110.50 30.03 31.57 27.39
222.39 37.18 18.62
92.76 31.87
132.66
Covariance Matrix INTENS KERJASM --------------INTENS 1.72 KERJASM 3.27 179.84 BUTSAR 3.26 49.78 PRESTS 2.98 74.10 HUBSOS 3.05 73.50 KOMPTS 2.10 45.07 LLAHAN 0.04 0.29 PASAR 1.23 5.72 INSENTF 1.65 42.44 INSLOK 1.35 1.41 PIMLOK 0.39 -9.83 KELOMP 0.93 -1.66 PLAHAN 3.04 5.07 JENIS 1.75 38.03 TANAM 2.75 8.70 ANERAG 3.61 20.26 PLHARA 1.90 -15.53 PANEN 1.78 11.06 PPASAR 1.11 -11.62 PKELOMP 1.03 3.01 TUMKER 0.19 -30.33 PENDPTT 4.99 -3.76 PROSENT 0.15 -21.80 JUMTEG 7.62 56.09 KERAGP 1.59 27.33 JARINGAN 1.00 10.00 EKO 0.16 1.18 SOS 1.42 -32.36 LINGK 0.27 8.81 Covariance Matrix
LLAHAN PASAR INSENTF INSLOK PIMLOK
LLAHAN -------0.07 0.30 -0.01 0.09 -0.07
226
Lampiran 2. Lanjutan KELOMP PLAHAN JENIS TANAM ANERAG PLHARA PANEN PPASAR PKELOMP TUMKER PENDPTT PROSENT JUMTEG KERAGP JARINGAN EKO SOS LINGK
0.61 0.24 0.02 0.40 -0.06 0.39 0.38 0.13 0.12 0.20 1.96 0.72 1.25 -0.06 -0.02 -0.52 -0.37 -0.10
26.36 34.09 40.75 24.58 23.11 39.50 24.56 44.47 34.23 37.15 32.85 5.69 -4.60 21.33 45.90 22.05 34.33 26.24
30.05 20.96 43.43 23.15 18.40 10.71 -4.91 21.64 22.45 30.66 -15.76 -16.11 -14.44 11.92 22.35 2.34 19.75 9.37
51.63 23.79 17.03 40.98 16.43 19.86 16.86 29.80 37.00 31.74 43.64 17.68 44.63 16.18 35.36 27.59 19.06 6.33
28.24 56.94 29.42 37.04 28.23 42.41 27.39 83.67 42.86 67.68 18.05 14.95 23.66 13.02 27.80 25.02 56.52 9.25
214.78 31.03 18.28 25.97 -18.65 39.45 37.36 25.14 51.99 21.85 22.57 18.42 14.43 8.26 31.00 21.47 19.93 0.90
JENIS --------
TANAM --------
ANERAG --------
PLHARA --------
PANEN --------
182.81 45.61 27.05 43.47 15.64 48.78 31.67 45.70 16.61 1.69 4.40 16.59 16.52 34.55 41.68 7.61
174.93 38.12 39.18 22.08 55.89 27.70 64.54 21.04 13.40 13.57 44.55 32.83 44.66 44.50 13.34
154.02 18.88 2.29 45.91 16.82 27.87 13.64 -3.00 29.32 31.49 22.17 35.56 37.54 -13.58
196.48 45.79 48.84 47.17 57.48 17.33 2.31 -97.72 6.15 5.28 23.07 53.93 10.20
204.53 38.85 21.41 17.92 39.96 27.88 57.64 -1.35 23.71 29.43 30.96 11.35
Covariance Matrix
PLAHAN JENIS TANAM ANERAG PLHARA PANEN PPASAR PKELOMP TUMKER PENDPTT PROSENT JUMTEG KERAGP JARINGAN EKO SOS LINGK
PLAHAN -------147.56 76.36 74.69 42.72 54.35 32.54 65.19 53.68 65.03 21.58 14.70 43.84 33.08 13.31 34.34 65.98 8.04
Covariance Matrix PPASAR -------PPASAR 160.15 PKELOMP 47.36 TUMKER 89.50 PENDPTT 45.10 PROSENT 10.92 JUMTEG 23.90 KERAGP 26.72 JARINGAN 32.63 EKO 41.49 SOS 82.32 LINGK 21.16 Covariance Matrix
PKELOMP --------
TUMKER --------
PENDPTT --------
PROSENT --------
JUMTEG --------
205.14 67.37 26.89 7.47 -29.45 15.25 18.01 31.62 48.36 11.08
200.14 57.36 29.92 35.56 27.72 13.06 44.38 78.60 31.08
474.87 158.29 415.97 1.42 38.41 -5.06 7.16 -3.18
310.73 611.53 -2.26 6.95 -12.05 -25.19 -3.37
2558.10 48.73 17.42 -28.75 -99.36 7.2
KERAGP -------186.54
JARINGAN --------
EKO --------
SOS --------
LINGK --------
INSTS --------
KERAGP
227
Lampiran 2. Lanjutan JARINGAN EKO SOS LINGK
23.27 29.78 15.70 3.59
161.72 54.45 14.57 4.10
147.12 63.94 24.48
216.50 40.26
165.92
KSMPT --------
KMPN --------
Number of Iterations = 70 LISREL Estimates (Maximum Likelihood) Correlation Matrix of Independent Variables KI -------1.00
DUKLUH --------
DUKLUH
-0.11 (0.06) -1.82
1.00
MTV
0.03 (0.06) 0.47
0.84 (0.04) 21.24
1.00
KSMPT
-0.14 (0.06) -2.11
0.41 (0.07) 5.70
0.20 (0.07) 2.79
1.00
KMPN
0.00 (0.06) 0.05
0.37 (0.06) 6.00
0.23 (0.06) 3.73
0.89 (0.04) 21.59
1.00
KIN
0.12 (0.05) 2.26
-0.03 (0.07) -0.44
-0.02 (0.06) -0.37
0.15 (0.07) 2.14
0.11 (0.06) 1.87
1.00
SUST
0.03 (0.06) 0.46
0.20 (0.07) 2.79
0.07 (0.07) 1.07
0.57 (0.07) 8.55
0.77 (0.04) 17.29
-0.08 (0.07) -1.20
KI
MTV --------
KIN --------
Correlation Matrix of Independent Variables
SUST
SUST -------1.00 Goodness of Fit Statistics
Degrees of Freedom = 798 Minimum Fit Function Chi-Square = 2517.06 (P = 0.0) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 2751.73 (P = 0.0) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 1953.73 90 Percent Confidence Interval for NCP = (1797.88 ; 2117.11) Minimum Fit Function Value = 6.68 Population Discrepancy Function Value (F0) = 4.90 90 Percent Confidence Interval for F0 = (4.51 ; 5.31) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.0759 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.075 ; 0.082) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.00
228
Lampiran 2. Lanjutan Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 7.42 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (7.03 ; 7.83) ECVI for Saturated Model = 4.53 ECVI for Independence Model = 26.84 Chi-Square for Independence Model with 861 Degrees of Freedom = 10626.48 Independence AIC = 10710.48 Model AIC = 2961.73 Saturated AIC = 1806.00 Independence CAIC = 10920.12 Model CAIC = 3485.84 Saturated CAIC = 6313.29 Normed Fit Index (NFI) = 0.75 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.79 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.69 Comparative Fit Index (CFI) = 0.8239 Incremental Fit Index (IFI) = 0.81 Relative Fit Index (RFI) = 0.73 Critical N (CN) = 134.82 Root Mean Square Residual (RMR) = 18.89 Standardized RMR = 0.10 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.75 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.72 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.67
229
Lampiran 2. Lanjutan
230
Lampiran 3. Analisis SEM Tahap 1. DATE: 5/24/2011 TIME: 17:31
L I S R E L
8.70
BY Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom
This program is published exclusively by Scientific Software International, Inc. 7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100 Lincolnwood, IL 60712, U.S.A. Phone: (800)247-6113, (847)675-0720, Fax: (847)675-2140 Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981-2004 Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention. Website: www.ssicentral.com The following lines were read from file D:\Desertasi-SM\Analisis DataSM\sumarlan.spj-: SEM KINERJA PETANI PEGUNUNGAN KENDENG Observed Variables UMUR DIKF DIKNF PTANI PAGRO INFO KOMPTN PDKT METODE MATERI FASIL KELEMB INTENS KERJASM BUTSAR PRESTS HUBSOS KOMPTS LLAHAN PASAR INSENTF INSLOK PIMLOK KELOMP PLAHAN JENIS TANAM ANERAG PLHARA PANEN PPASAR PKELOMP TUMKER PENDPTT PROSENT JUMTEG KERAGP JARINGAN EKO SOS LINGK Covariance Matrix from File Data-SM.Cov Sample Size 400 Latent Variables KI DUKLUH MTV KSMPT KMPN KIN SUST Equations PDKT MATERI FASIL KELEMB KERJASM = DUKLUH BUTSAR PRESTS HUBSOS KOMPTS = MTV PASAR INSLOK PIMLOK = KSMPT PLAHAN JENIS TANAM PLHARA PPASAR PKELOMP TUMKER = KMPN PENDPTT PROSENT JUMTEG = KIN EKO SOS = SUST MTV = DUKLUH KSMPT = DUKLUH KMPN = DUKLUH KIN = MTV KSMPT KMPN SUST = KIN Set error of INTENS and KOMPTN free Set error of KERJASM and METODE free Set error of HUBSOS and BUTSAR free Set error of KOMPTS and PRESTS free Set error of INSLOK and PRESTS free Set error of PIMLOK and PASAR free Set error of PLAHAN and INSLOK free Set error of JENIS and PIMLOK free Set error of ANAREG and KELOMP free Set error of PPASAR and PLAHAN free Set error of TUMKER and KERJASM free set error of PROSENT and KERJASM free Set error of JUMTEG and METODE free Set error of JUMTEG and PLHARA free Set error of EKO and LLAHAN free Set error of SOS and KERJASM free
231
Lampiran 3. Lanjutan Set error of SOS and HUBSOS free Set error of LINGK and ANERAG free Set error of INSTS and JENIS free Set error of DIKF and DIKNF free Set error of METODE and PDKT free Set error of KERJASM and KELEMB free Set error of PRESTS and BUTSAR free Set error of HUBSOS and MATERI free Set error of KOMPTS and INFO free Set error of PASAR and KOMPTN free Set error of PASAR and PDKT free Set error of PASAR and KOMPTS free Set error of INSENTF and KERJASM free Set error of INSLOK and INSENTF free Set error of KELOMP and INSLOK free Set error of PLAHAN and INFO free Set error of JENIS and FASIL free Set error of TANAM and HUBSOS free Set error of TANAM and INSLOK free Set error of TANAM and PLAHAN free Set error of ANERAG and INTENS free Set error of PPASAR and PIMLOK free Set error of PKELOMP and KELOMP free Set error of PENDPTT and INTENS free Set error of JUMTEG and PAGRO free Set error of JUMTEG and KERJASM free Set error of KERAGP and INFO free Set error of KERAGP and PRESTS free Set error of KERAGP and TANAM free Set error of JARINGAN and KOMPTN free Set error of JARINGAN and KOMPTS free Set error of JARINGAN and PASAR free Set error of JARINGAN and INSLOK free Set error of EKO and KOMPTN free Set error of EKO and INSLOK free Set error of EKO and JARINGAN free Set error of SOS and METODE free Set error of LINGK and PASAR free Set error of INSTS and HUBSOS free LISREL Output ND=4 Path Diagram options ME=ML AD=Off SS SC it=500 End of Problems Sample Size =
400
The following lines were read from file D:\Desertasi-SM\Analisis Data-SM\Data-S Covariance Matrix
BUTSAR PRESTS HUBSOS KOMPTS PASAR INSLOK PIMLOK PLAHAN
BUTSAR -------188.6600 119.5000 81.0330 34.3070 15.9760 12.8510 -0.7860 25.0970
PRESTS --------
HUBSOS --------
KOMPTS --------
PASAR --------
INSLOK --------
232.0100 128.1600 39.1200 4.6855 -5.4167 1.5838 28.8330
217.2500 38.9370 2.0295 15.0450 7.3023 17.9160
116.7600 44.3570 24.7330 22.8690 65.5620
110.5000 31.5690 27.3950 34.0860
92.7580 31.8700 23.7890
232
Lampiran 3. Lanjutan JENIS TANAM PLHARA PPASAR PKELOMP TUMKER PENDPTT PROSENT JUMTEG EKO SOS INSTS KOMPTN PDKT METODE MATERI FASIL KELEMB INTENS KERJASM LLAHAN INSENTF KELOMP ANERAG KERAGP JARINGAN LINGK
35.0370 35.7600 6.2137 1.8322 1.3923 -5.7487 -3.1231 -15.7480 23.6230 21.2660 8.5611 -9.1416 27.5910 37.4530 9.1794 60.7100 69.2230 67.8190 3.2615 49.7800 0.2845 20.5950 19.8600 32.4610 49.4760 30.6100 -3.4824
37.4900 30.9340 -2.2862 4.5962 -1.3246 -12.8930 -28.8620 -24.9140 33.1170 17.5030 5.9821 -5.8095 19.0620 46.4710 18.0630 60.3820 87.2730 77.5820 2.9786 74.1030 0.1903 24.7240 14.4070 32.7420 93.6510 23.9920 -3.5724
28.3670 41.6830 -9.1626 5.9928 3.4054 -11.4900 -3.6966 8.7330 82.3590 20.6670 -18.9290 6.8454 13.5290 41.1900 -0.7567 87.1270 93.9400 57.0490 3.0525 73.5030 0.1610 35.5360 12.2620 30.1100 50.0060 37.7930 -3.2063
52.1160 38.1250 31.2480 34.4500 31.0200 19.5680 17.2520 -6.7286 25.8050 29.4220 31.5210 17.9360 22.6270 61.0370 23.7700 23.9800 59.4450 48.1990 2.0957 45.0680 0.3419 36.7110 30.8390 20.7220 37.4230 29.4890 15.4620
40.7460 24.5760 39.4980 44.4680 34.2250 37.1480 32.8490 5.6886 -4.6010 22.0540 34.3260 11.2240 56.3870 46.7990 22.8940 8.5790 22.4780 21.7320 1.2325 5.7223 0.3008 30.0340 26.3590 23.1120 21.3340 45.9020 26.2380
17.0330 40.9790 19.8630 29.7980 36.9980 31.7430 43.6400 17.6780 44.6280 27.5940 19.0570 16.0290 26.5760 11.3070 7.4424 6.2013 17.5540 -0.5983 1.3496 1.4135 0.0892 37.1810 51.6280 16.4270 16.1750 35.3640 6.3261
PLAHAN --------
JENIS --------
TANAM --------
PLHARA --------
PPASAR --------
147.5600 76.3600 74.6880 54.3470 65.1920 53.6830 65.0300 21.5780 14.7030 43.8380 34.3440 65.9780 42.7570 20.0420 39.6650 47.7270 23.2920 43.6250 27.4180 3.0439 5.0670 0.2354 20.9580 31.0320 42.7150 33.0810 13.3070 8.0356
182.8100 45.6140 43.4710 48.7850 31.6680 45.6950 16.6050 1.6898 4.3988 34.5500 41.6780 -2.7377 20.7450 53.9470 48.5830 48.4670 76.2670 45.1700 1.7527 38.0320 0.0244 43.4330 18.2790 27.0530 16.5890 16.5200 7.6078
174.9300 39.1760 55.8930 27.6980 64.5370 21.0420 13.4040 13.5690 44.6650 44.5030 37.5770 19.2130 21.7900 28.4140 11.1450 28.5910 8.4842 2.7492 8.7018 0.3973 23.1530 25.9710 38.1180 44.5510 32.8340 13.3370
196.4800 48.8450 47.1690 57.4850 17.3340 2.3114 -97.7200 23.0680 53.9320 32.2320 24.7530 22.5900 46.9490 -2.9128 -6.9016 9.4679 1.8959 -15.5320 0.3868 10.7080 39.4450 18.8810 6.1468 5.2775 10.1960
160.1500 47.3590 89.4980 45.1040 10.9220 23.8990 41.4910 82.3210 52.3700 35.1990 29.7790 32.4500 7.6417 21.1220 -0.1222 1.1057 -11.6230 0.1336 21.6380 25.1440 45.9130 26.7190 32.6290 21.1650
Covariance Matrix
PIMLOK PLAHAN JENIS TANAM PLHARA PPASAR PKELOMP TUMKER PENDPTT PROSENT JUMTEG EKO SOS INSTS KOMPTN PDKT METODE MATERI FASIL KELEMB INTENS KERJASM LLAHAN INSENTF KELOMP ANERAG KERAGP JARINGAN LINGK
PIMLOK -------132.6600 56.9400 29.4220 37.0380 42.4090 83.6680 42.8570 67.6780 18.0490 14.9530 23.6600 25.0210 56.5150 34.0540 23.0240 30.5440 39.2360 5.8671 9.2564 2.0007 0.3874 -9.8298 -0.0670 18.6210 28.2420 28.2320 13.0160 27.8040 9.2464
233
Lampiran 3. Lanjutan Covariance Matrix
PKELOMP TUMKER PENDPTT PROSENT JUMTEG EKO SOS INSTS KOMPTN PDKT METODE MATERI FASIL KELEMB INTENS KERJASM LLAHAN INSENTF KELOMP ANERAG KERAGP JARINGAN LINGK
PKELOMP -------205.1400 67.3670 26.8920 7.4703 -29.4460 31.6170 48.3600 31.6540 30.1260 23.4180 34.9250 8.4111 -3.8079 29.8160 1.0264 3.0060 0.1175 22.4530 51.9900 16.8170 15.2470 18.0080 11.0790
TUMKER --------
PENDPTT --------
PROSENT --------
JUMTEG --------
EKO --------
200.1400 57.3580 29.9220 35.5600 44.3760 78.5980 49.5010 27.1790 26.5450 42.4220 7.3267 8.8243 4.6420 0.1874 -30.3310 0.2033 30.6620 21.8460 27.8690 27.7160 13.0630 31.0830
474.8700 158.2900 415.9700 -5.0604 7.1555 37.4330 9.6222 20.2560 -8.7912 -19.6490 -19.1130 5.4824 4.9881 -3.7560 1.9584 -15.7610 22.5750 13.6360 1.4193 38.4090 -3.1829
310.7300 611.5300 -12.0550 -25.1900 19.2080 5.9410 -12.7570 -15.7210 8.7361 -15.5240 -6.7576 0.1546 -21.7970 0.7156 -16.1130 18.4230 -2.9994 -2.2634 6.9500 -3.3743
2558.1000 -28.7500 -99.3590 14.1810 1.5954 -16.0010 -92.9790 36.5330 0.6292 66.4020 7.6213 56.0870 1.2479 -14.4350 14.4290 29.3200 48.7290 17.4190 7.2693
147.1200 63.9410 31.7740 34.3380 17.3510 43.5980 18.0370 24.7440 19.3840 0.1589 1.1785 -0.5154 2.3365 21.4670 35.5640 29.7760 54.4520 24.4830
INFO --------
KOMPTN --------
PDKT --------
METODE --------
MATERI --------
176.7400 24.4390 52.2280 38.0050 28.2530 44.2790 34.5220 3.5371 19.8550 0.5165 38.1740 29.4640 44.6800 35.8240 10.9280 17.7980
125.9900 18.6350 3.5866 17.4290 13.8210 30.7230 -0.9239 13.9260 -0.0553 5.3152 24.4870 28.1820 23.7590 63.8340 6.9684
189.9700 52.5350 37.6530 71.5850 72.3510 3.1419 47.7380 0.1800 29.8030 21.2280 26.3760 25.5950 15.7480 23.3670
202.2400 26.7890 19.9470 23.3050 0.1068 -8.7206 -0.1541 9.6217 19.7590 22.2240 17.9220 10.8340 22.5750
226.8800 83.3000 37.2860 3.0910 28.3510 -0.1413 19.0440 15.9390 22.7340 5.9284 6.9883 0.4610
KELEMB --------
INTENS --------
KERJASM --------
LLAHAN --------
INSENTF --------
232.5000 1.3051 78.8610 -0.0348 35.6800 0.6006
1.7169 3.2671 0.0397 1.6501 0.9348
179.8400 0.2892 42.4360 -1.6576
0.0747 -0.0054 0.6093
222.3900 30.0480
Covariance Matrix
PAGRO INFO KOMPTN PDKT METODE MATERI FASIL KELEMB INTENS KERJASM LLAHAN INSENTF KELOMP ANERAG KERAGP JARINGAN LINGK
PAGRO -------28.5890 -2.3261 -4.7260 -3.5229 -3.6005 -3.4095 -1.0819 5.3373 -0.5899 -1.5086 -0.0551 -5.7447 -5.2279 6.0470 6.7963 -1.6196 -3.4497
Covariance Matrix
FASIL KELEMB INTENS KERJASM LLAHAN INSENTF KELOMP
FASIL -------267.0400 68.3450 1.6198 60.9140 -0.2016 33.2170 25.7530
234
Lampiran 3. Lanjutan ANERAG KERAGP JARINGAN LINGK
15.2760 43.0850 5.0928 11.8010
13.3340 39.5700 19.4270 14.0720
3.6083 1.5930 0.9998 0.2694
20.2570 27.3280 9.9954 8.8072
-0.0553 -0.0646 -0.0152 -0.1033
ANERAG --------
KERAGP --------
JARINGAN --------
LINGK --------
154.0200 31.4860 22.1710 -13.5830
186.5400 23.2700 3.5902
161.7200 4.1042
165.9200
18.4020 11.9180 22.3520 9.3658
Covariance Matrix
KELOMP ANERAG KERAGP JARINGAN LINGK
KELOMP -------214.7800 -18.6520 8.2610 31.0020 0.8970
The following lines were read from file D:\Desertasi-SM\Analisis Data-SM\Data-S Number of Iterations = 53 LISREL Estimates (Maximum Likelihood) Error Covariance for PRESTS and BUTSAR = 25.4170 (9.5906) 2.6502
Error Covariance for HUBSOS and BUTSAR = -10.7369 (7.7370) -1.3877 Error Covariance for KOMPTS and PRESTS = -13.9097 (5.1260) -2.7136 Error Covariance for PASAR and KOMPTS = 26.9702 (4.5218) 5.9646 Error Covariance for INSLOK and PRESTS = -19.9965 (4.4449) -4.4988 Error Covariance for PIMLOK and PASAR = -7.6681 (7.0883) -1.0818 Error Covariance for PLAHAN and INSLOK = -1.5513 (3.8210) -0.4060 Error Covariance for JENIS and PIMLOK = 0.8912 (5.8758) 0.1517 Error Covariance for TANAM and HUBSOS = 21.8712 (6.3796) 3.4283 Error Covariance for TANAM and INSLOK = 17.8068 (4.9290) 3.6127
235
Lampiran 3. Lanjutan Error Covariance for TANAM and PLAHAN = 16.6180 (6.4926) 2.5595 Error Covariance for PPASAR and PIMLOK = 56.7528 (6.7733) 8.3790 Error Covariance for PPASAR and PLAHAN = -8.7414 (4.8627) -1.7976 Error Covariance for JUMTEG and PLHARA = -93.0526 (23.7434) -3.9191 Error Covariance for EKO and INSLOK = 9.1427 (4.4426) 2.0580 Error Covariance for SOS and HUBSOS = -22.7570 (6.7432) -3.3748 Error Covariance for INSTS and HUBSOS = -1.5440 (6.0846) -0.2538 Error Covariance for INSTS and JENIS = -29.3748 (6.3271) -4.6427 Eror Covariance for KOMPTN and PASAR = 45.2012 (5.5016) 8.2160 Error Covariance for KOMPTN and EKO = 25.5750 (5.6449) 4.5306 Error Covariance for PDKT and KOMPTS = 23.5366 (6.1604) 3.8206 Error Covariance for PDKT and PASAR = 28.4470 (5.5602) 5.1161 Error Covariance for PDKT and SOS = 25.2543 (7.5338) 3.3521 Error Covariance for METODE and JUMTEG = -35.1418 (22.1929) -1.5835 Error Covariance for METODE and SOS = 82.8373 (9.8705) 8.3924
236
Lampiran 3. Lanjutan Error Covariance for METODE and PDKT = 33.8008 (8.5175) 3.9684 Error Covariance for MATERI and HUBSOS = 30.4642 (8.9079) 3.4199 Error Covariance for FASIL and JENIS = 31.7407 (8.3579) 3.7977 Error Covariance for KELEMB and DIKNF = -2.1084 (0.5589) -3.7725 Error Covariance for INTENS and PENDPTT = 3.3058 (1.2292) 2.6894 Error Covariance for INTENS and KOMPTN = -1.6584 (0.5929) -2.7972 Error Covariance for KERJASM and TUMKER = -23.9904 (7.0458) -3.4049 Error Covariance for KERJASM and PROSENT = -15.0633 (8.9911) -1.6754 Error Covariance for KERJASM and JUMTEG = 17.0313 (25.9498) 0.6563 Error Covariance for KERJASM and SOS = -29.8165 (7.2706) -4.1010 Error Covariance for KERJASM and METODE = -21.5905 (8.0352) -2.6870 Error Covariance for KERJASM and KELEMB = 18.9679 (8.4305) 2.2499 Error Covariance for LLAHAN and EKO = -0.3613 (0.1446) -2.4979 Error Covariance for INSENTF and INSLOK = 23.4223 (6.1426) 3.8131 Error Covariance for INSENTF and KERJASM = 27.0109 (8.3166) 3.2478 Error Covariance for KELOMP and INSLOK = 35.0576 (6.2925) 5.5713
237
Lampiran 3. Lanjutan Error Covariance for KELOMP and PKELOMP = 29.2863 (9.4638) 3.0946 Error Covariance for ANERAG and INTENS = 3.7733 (0.8184) 4.6103 Error Covariance for KERAGP and PRESTS = 53.0269 (7.7900) 6.8070 Error Covariance for KERAGP and TANAM = 18.8360 (7.0956) 2.6546 Error Covariance for JARINGAN and KOMPTS = 8.2129 (5.1258) 1.6023 Error Covariance for JARINGAN and PASAR = 34.6893 (5.9137) 5.8659 Error Covariance for JARINGAN and INSLOK = 10.9344 (4.6355) 2.3588 Error Covariance for JARINGAN and EKO = 41.2165 (6.9257) 5.9512 Error Covariance for JARINGAN and KOMPTN = 57.8718 (7.3126) 7.9140 Error Covariance for LINGK and PASAR = 19.4296 (5.4377) 3.5731 Error Covariance for LINGK and ANERAG = -16.7537 (7.7113) -2.1726
Structural Equations MTV = 0.3441*DUKLUH, Errorvar.= 0.2274 , R² = 0.7726 (0.09621) (0.09114) 9.1585 2.4950 KSMPT =
0.3742*DUKLUH, Errorvar.= 0.1759 , (0.1230) (0.6338) 2.1564 1.4579
KMPN = - 0.0244*DUKLUH, Errorvar.= 0.1203 , (0.06835) (0.1434) 5.0394 6.1347
R² = 0.8241
R² = 0.8797
KIN = 0.42922*MTV + 0.2535*KSMPT + 0.28834*KMPN, Errorvar.= 0.2261 , R² = 0.7729 (0.07166) (0.1093) (0.06705) (0.2152) 0.9659 1.4044 0.8700 4.5256
238
Lampiran 3. Lanjutan SUST = 0.26212*KIN, Errorvar.= 0.9973 , R² = 0.002717 (0.07020) (0.3032) -0.7425 3.2887
Reduced Form Equations MTV =
0.2341*DUKLUH, Errorvar.= 0.2274, R² = 0.7726 (0.09621) 9.1585
KSMPT = 0.2652*DUKLUH, Errorvar.= 0.4975, R² = 0.5025 (0.1230) 3.2164 KMPN = 0.3444*DUKLUH, Errorvar.= 0.6197, R² = 0.3803 (0.06835) 5.1294 KIN =
SUST =
- 0.0001806*DUKLUH, Errorvar.= 0.9998, R² = 0.0002134 (0.05443) -0.003319 0.0000*DUKLUH, Errorvar.= 1.00, R² = 0.0000 (0.002837) 0.003319
Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 715
Minimum Fit Function Chi-Square = 777.70401 (P = 0.05617) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 2406.5241 (P = 0.0) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 1691.5241 90 Percent Confidence Interval for NCP = (1546.3381 ; 1844.2528) Minimum Fit Function Value = 5.3829
Population Discrepancy Function Value (F0) = 4.2394 90 Percent Confidence Interval for F0 = (3.8755 ; 4.6222)
Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.07700 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.07362 ; 0.08040) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.0000 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 6.7632 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (6.3993 ; 7.1460) ECVI for Saturated Model = 4.3158 ECVI for Independence Model = 26.3591 Chi-Square for Independence Model with 820 Degrees of Freedom = 10435.2939 Independence AIC = 10517.2939 Model AIC = 2698.5241 Saturated AIC = 1722.0000 Independence CAIC = 10721.9440 Model CAIC = 3427.2779 Saturated CAIC = 6019.6510 Normed Fit Index (NFI) = 0.7942 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.8291 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.6925
Comparative Fit Index (CFI) = 0.8510
239
Lampiran 3. Lanjutan Incremental Fit Index (IFI) = 0.8526 Relative Fit Index (RFI) = 0.7640 Critical N (CN) = 150.7177 Root Mean Square Residual (RMR) = 20.7232 Standardized RMR = 0.1293 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.7727 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.7262 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.6416 Time used: 0.844 Seconds
240
Lampiran 4. Pengolahan SEM Perbaikan Model DATE: 5/24/2011 TIME: 18:43 L I S R E L
8.70
BY Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom This program is published exclusively by Scientific Software International, Inc. 7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100 Lincolnwood, IL 60712, U.S.A. Phone: (800)247-6113, (847)675-0720, Fax: (847)675-2140 Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981-2004 Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention. Website: www.ssicentral.com The following lines were read from file D:\Desertasi-SM\Analisis DataSM\Sumarlan-1.spj: The following lines were read from file D:\Desertasi-SM\Analisis Data-SM\DataSM-SEM.spl: SEM KINERJA PETANI PEGUNUNGAN KENDENG Observed Variables UMUR DIKF DIKNF PTANI PAGRO INFO KOMPTN PDKT METODE MATERI FASIL KELEMB INTENS KERJASM BUTSAR PRESTS HUBSOS KOMPTS LLAHAN PASAR INSENTF INSLOK PIMLOK KELOMP PLAHAN JENIS TANAM ANERAG PLHARA PANEN PPASAR PKELOMP TUMKER PENDPTT PROSENT JUMTEG KERAGP JARINGAN EKO SOS LINGK INSTS Covariance Matrik from File Data-SM.Cov Sample Size 400 Latent Variables KI DUKLUH MTV KSMPT KMPN KIN SUST Equations PDKT MATERI FASIL KELEMB KERJASM = DUKLUH BUTSAR PRESTS HUBSOS KOMPTS = MTV PASAR INSLOK PIMLOK = KSMPT PLAHAN JENIS TANAM PLHARA PPASAR PKELOMP TUMKER = KMPN PENDPTT PROSENT JUMTEG = KIN EKO SOS INSTS = SUST MTV = 1*DUKLUH KSMPT =1*DUKLUH KMPN = 1*KI KIN = MTV KSMPT KMPN SUST = KIN Set error of INTENS and KOMPTN free Set error of KERJASM and METODE free Set error of HUBSOS and BUTSAR free Set error of KOMPTS and PRESTS free Set error of INSLOK and PRESTS free Set error of PIMLOK and PASAR free Set error of PLAHAN and INSLOK free Set error of JENIS and PIMLOK free Set error of ANERAG and KELOMP free Set error of PPASAR and PLAHAN free Set error of TUMKER and KERJASM free Set error of PROSENT and KERJASM free Set error of JUMTEG and METODE free Set error of JUMTEG and PLHARA free Let error of KI to 0 LISREL Output ND=4
241
Lampiran 4. Lanjutan Path Diagram Options: ME=ML AD=of SS SC IT=250 End of Problems Sample Size = 400 The following lines were read from file D:\Desertasi-SM\Analisis Data-SM\Data-S Covariance Matrix
BUTSAR PRESTS HUBSOS KOMPTS PASAR INSLOK PIMLOK PLAHAN JENIS TANAM PLHARA PPASAR PKELOMP TUMKER PENDPTT PROSENT JUMTEG EKO SOS INSTS PDKT METODE MATERI FASIL KELEMB INTENS KERJASM KELOMP ANERAG
BUTSAR -------188.6600 119.5000 81.0330 34.3070 15.9760 12.8510 -0.7860 25.0970 35.0370 35.7600 6.2137 1.8322 1.3923 -5.7487 -3.1231 -15.7480 23.6230 21.2660 8.5611 -9.1416 37.4530 9.1794 60.7100 69.2230 67.8190 3.2615 49.7800 19.8600 32.4610
PRESTS --------
HUBSOS --------
KOMPTS --------
PASAR --------
INSLOK --------
232.0100 128.1600 39.1200 4.6855 -5.4167 1.5838 28.8330 37.4900 30.9340 -2.2862 4.5962 -1.3246 -12.8930 -28.8620 -24.9140 33.1170 17.5030 5.9821 -5.8095 46.4710 18.0630 60.3820 87.2730 77.5820 2.9786 74.1030 14.4070 32.7420
217.2500 38.9370 2.0295 15.0450 7.3023 17.9160 28.3670 41.6830 -9.1626 5.9928 3.4054 -11.4900 -3.6966 8.7330 82.3590 20.6670 -18.9290 6.8454 41.1900 -0.7567 87.1270 93.9400 57.0490 3.0525 73.5030 12.2620 30.1100
116.7600 44.3570 24.7330 22.8690 65.5620 52.1160 38.1250 31.2480 34.4500 31.0200 19.5680 17.2520 -6.7286 25.8050 29.4220 31.5210 17.9360 61.0370 23.7700 23.9800 59.4450 48.1990 2.0957 45.0680 30.8390 20.7220
110.5000 31.5690 27.3950 34.0860 40.7460 24.5760 39.4980 44.4680 34.2250 37.1480 32.8490 5.6886 -4.6010 22.0540 34.3260 11.2240 46.7990 22.8940 8.5790 22.4780 21.7320 1.2325 5.7223 26.3590 23.1120
92.7580 31.8700 23.7890 17.0330 40.9790 19.8630 29.7980 36.9980 31.7430 43.6400 17.6780 44.6280 27.5940 19.0570 16.0290 11.3070 7.4424 6.2013 17.5540 -0.5983 1.3496 1.4135 51.6280 16.4270
PLAHAN --------
JENIS --------
TANAM --------
PLHARA --------
PPASAR --------
147.5600 76.3600 74.6880 54.3470 65.1920 53.6830 65.0300 21.5780 14.7030 43.8380 34.3440 65.9780 42.7570 20.0420 39.6650 47.7270
182.8100 45.6140 43.4710 48.7850 31.6680 45.6950 16.6050 1.6898 4.3988 34.5500 41.6780 -2.7377 20.7450 53.9470 48.5830
174.9300 39.1760 55.8930 27.6980 64.5370 21.0420 13.4040 13.5690 44.6650 44.5030 37.5770 19.2130 21.7900 28.4140
196.4800 48.8450 47.1690 57.4850 17.3340 2.3114 -97.7200 23.0680 53.9320 32.2320 24.7530 22.5900 46.9490
160.1500 47.3590 89.4980 45.1040 10.9220 23.8990 41.4910 82.3210 52.3700 35.1990 29.7790 32.4500
Covariance Matrix
PIMLOK PLAHAN JENIS TANAM PLHARA PPASAR PKELOMP TUMKER PENDPTT PROSENT JUMTEG EKO SOS INSTS KOMPTN PDKT METODE
PIMLOK -------132.6600 56.9400 29.4220 37.0380 42.4090 83.6680 42.8570 67.6780 18.0490 14.9530 23.6600 25.0210 56.5150 34.0540 23.0240 30.5440 39.2360
242
Lampiran 4. Lanjutan MATERI FASIL KELEMB INTENS KERJASM KELOMP ANERAG
5.8671 9.2564 2.0007 0.3874 -9.8298 28.2420 28.2320
23.2920 43.6250 27.4180 3.0439 5.0670 31.0320 42.7150
48.4670 76.2670 45.1700 1.7527 38.0320 18.2790 27.0530
11.1450 28.5910 8.4842 2.7492 8.7018 25.9710 38.1180
-2.9128 -6.9016 9.4679 1.8959 -15.5320 39.4450 18.8810
7.6417 21.1220 -0.1222 1.1057 -11.6230 25.1440 45.9130
TUMKER --------
PENDPTT --------
PROSENT --------
JUMTEG --------
EKO --------
200.1400 57.3580 29.9220 35.5600 44.3760 78.5980 49.5010 4.1810 27.1790 26.5450 42.4220 7.3267 8.8243 4.6420 0.1874 -30.3310 21.8460 27.8690
474.8700 158.2900 415.9700 -5.0604 7.1555 37.4330 -14.7270 9.6222 20.2560 -8.7912 -19.6490 -19.1130 5.4824 4.9881 -3.7560 22.5750 13.6360
310.7300 611.5300 -12.0550 -25.1900 19.2080 12.4440 5.9410 -12.7570 -15.7210 8.7361 -15.5240 -6.7576 0.1546 -21.7970 18.4230 -2.9994
2558.1000 -28.7500 -99.3590 14.1810 -8.1157 1.5954 -16.0010 -92.9790 36.5330 0.6292 66.4020 7.6213 56.0870 14.4290 29.3200
147.1200 63.9410 31.7740 -0.2214 34.3380 17.3510 43.5980 18.0370 24.7440 19.3840 0.1589 1.1785 21.4670 35.5640
PDKT --------
METODE --------
MATERI --------
FASIL --------
189.9700 52.5350 37.6530 71.5850 72.3510 3.1419 47.7380 21.2280 26.3760
202.2400 26.7890 19.9470 23.3050 0.1068 -8.7206 19.7590 22.2240
226.8800 83.3000 37.2860 3.0910 28.3510 15.9390 22.7340
267.0400 68.3450 1.6198 60.9140 25.7530 15.2760
INTENS --------
KERJASM --------
KELOMP --------
ANERAG --------
1.7169 3.2671 0.9348 3.6083
179.8400 -1.6576 20.2570
214.7800 -18.6520
154.0200
Covariance Matrix
PKELOMP TUMKER PENDPTT PROSENT JUMTEG EKO SOS INSTS UMUR KOMPTN PDKT METODE MATERI FASIL KELEMB INTENS KERJASM KELOMP ANERAG
PKELOMP -------205.1400 67.3670 26.8920 7.4703 -29.4460 31.6170 48.3600 31.6540 -8.9203 30.1260 23.4180 34.9250 8.4111 -3.8079 29.8160 1.0264 3.0060 51.9900 16.8170
Covariance Matrix PAGRO KOMPTN --------------PAGRO 28.5890 KOMPTN -4.7260 125.9900 PDKT -3.5229 18.6350 METODE -3.6005 3.5866 MATERI -3.4095 17.4290 FASIL -1.0819 13.8210 KELEMB 5.3373 30.7230 INTENS -0.5899 -0.9239 KERJASM -1.5086 13.9260 KELOMP -5.2279 24.4870 ANERAG 6.0470 28.1820 Covariance Matrix
KELEMB INTENS KERJASM KELOMP ANERAG
KELEMB -------232.5000 1.3051 78.8610 0.6006 13.3340
The following lines were read from file D:\Desertasi-SM\Analisis Data-SM\Data-S Number of Iterations = 97
243
Lampiran 4. Lanjutan LISREL Estimates (Maximum Likelihood) Error Covariance for HUBSOS and BUTSAR = -6.4750 (7.6820) -0.8429 Error Covariance for KOMPTS and PRESTS = -27.7424 (6.3485) -4.3699 Error Covariance for INSLOK and PRESTS = -15.1129 (5.1101) -2.9575 Error Covariance for PIMLOK and PASAR = -18.3795 (13.7266) -1.3390 Error Covariance for PLAHAN and INSLOK = -5.1607 (4.0553) -1.2726 Error Covariance for JENIS and PIMLOK = -23.6947 (6.6542) -3.5609 Error Covariance for PPASAR and PLAHAN = -15.4319 (5.8726) -2.6278 Error Covariance for JUMTEG and PLHARA = -98.0697 (23.8663) -4.1091 Error Covariance for METODE and JUMTEG = -43.5145 (25.0702) -1.7357 Error Covariance for INTENS and KOMPTN = -1.0929 (0.7295) -1.4981 Error Covariance for KERJASM and TUMKER = -24.2349 (7.2126) -3.3601 Error Covariance for KERJASM and PROSENT = -21.1424 (7.3697) -2.8688 Error Covariance for KERJASM and METODE = -26.7180 (8.4686) -3.1550 Error Covariance for ANERAG and KELOMP = -18.6520 (9.1532) -2.0378
Structural Equations MTV = 0.51461*DUKLUH, Errorvar.= 0.73992 , R² = 0.2601 (0.07845) (0.07627) 0.2643 0.5461
244
Lampiran 4. Lanjutan KSMPT = 0.3795*DUKLUH, Errorvar.= 0.85564 , R² = 0.1444 (0.07047) (0.2916) 0.1369 0.7501
KIN = 0.59328*MTV + 0.47825*KSMPT + 0.40760*KMPN, Errorvar.= 0.2675, R² = 0.7325 (0.06942) (0.07152) (0.06612) (0.2157) 0.3481 0.2304 0.1486 0.0626 SUST = 0.54286*KIN, Errorvar.= 0.7084 , R² = 0.2916 (0.06643) (0.2999) 0.2916 0.5012
Reduced Form Equations MTV = 0.2660*DUKLUH, Errorvar.= 0.3594, R² = 0.6406 (0.07845) 10.2743 KSMPT = 0.3995*DUKLUH, Errorvar.= 0.4195, R² = 0.5805 (0.07547) 5.9896 KIN =
0.01088*DUKLUH, Errorvar.= 0.9998, R² = 0.0001573 (0.04900) 0.2221
SUST = -0.001010*DUKLUH, Errorvar.= 1.00, R² = 0.0000 (0.004604) -0.2194
Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 537 Minimum Fit Function Chi-Square = 586.35963 (P = 0.0691) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 2600.7923 (P = 0.0) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 2063.7923 90 Percent Confidence Interval for NCP = (1908.6000 ; 2226.4462)
Minimum Fit Function Value = 5.6213 Population Discrepancy Function Value (F0) = 3.7124 90 Percent Confidence Interval for F0 = (3.36 ; 4.07) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.0691 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.066 ; 0.07219) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.0000 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 6.2934 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (5.9455 ; 6.6521) ECVI for Saturated Model = 4.5379 ECVI for Independence Model = 26.3915 Chi-Square for Independence Model with 861 Degrees of Freedom = 10447.1360 Independence AIC = 10531.1360 Model AIC = 2508.0623 Saturated AIC = 1806.0000 Independence CAIC = 10740.7873 Model CAIC = 3136.9985 Saturated CAIC = 6313.2927
245
Lampiran 4. Lanjutan Normed Fit Index (NFI) = 0.7982 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.8151 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.8572 Comparative Fit Index (CFI) = 0.9454 Incremental Fit Index (IFI) = 0.9470 Relative Fit Index (RFI) = 0.8999 Critical N (CN) = 155.9862 Root Mean Square Residual (RMR) = 17.1575 Standardized RMR = 0.0921 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.9786 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.8516 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.7811 Time used:
0.516 Seconds