60
Seminar Nasional
t a h u n P en d i di k a n A r si t ek t u r
PENGUATAN RISET ARSITEKTUR DAN RELEVANSINYA DENGAN PROFESI ARSITEK
Bani Noor Muchamad Jurusan Teknik Arsitektur, Universitas Lambung Mangkurat
[email protected]
Naimatul Aufa Jurusan Teknik Arsitektur, Universitas Lambung Mangkurat
[email protected]
Ira Mentayani Jurusan Teknik Arsitektur, Universitas Lambung Mangkurat
[email protected]
Abstrak Sejatinya, pendidikan arsitektur dilandasi hasil riset arsitektural yang berorientasi pada keilmuan dan kebutuhan profesi arsitek. Sayangnya, kegiatan riset arsitektural sendiri masih menghadapi banyak persoalan yang menjadikan hasil riset kurang bermanfaat bagi pendidikan arsitektur dan juga bagi profesi arsitek. Dari hasil studi awal, peneliti mengidentifikasi 5 (lima) kelemahan dalam riset yang juga dialami para periset arsitektur, yaitu; (1)kerancuan dalam memahami realitas dunia arsitektur, (2)ketidakmampuan merumuskan permasalahan penelitian arsitektur, (3)ketidaktepatan dalam merujuk konsep dan/atau teori serta merumuskan landasan konseptual dan/atau teoritiknya, (4)lemahnya metodologi dan metode yang digunakan, (5)takliq tanpa berani berkreasi berdasar argumentasi yang benar. Berdasar hal tersebut, penelitian ini bertujuan menggali persoalan dalam riset arsitektural yang ada dan merumuskan solusi alternatif bagi penguatan riset arsitektural sekaligus memperkuat relevansinya (mulai dari persoalan hingga pemanfaatan hasil riset) bagi profesi arsitek. Penelitian ini menggunakan unit analisis berupa karya-karya riset arsitektural yang telah dipublikasikan di berbagai jurnal serta hasil penelitian arsitektur lainnya. Data diperoleh melalui penelusuran pustaka dan dianalisis dengan teknik analisis konten. Kata kunci: riset arsitektural, profesi arsitek, pendidikan arsitektur.
1. Pendahuluan Setiap disiplin ilmu pastinya berlandaskan pada riset dalam pengembangan keilmuannya. Demikian pula bagi disiplin ilmu arsitektur. Disiplin ilmu arsitektur dan pendidikan arsitektur seharusnya dilandasi hasil riset arsitektural yang berorientasi pada pengembangan keilmuan dan profesi arsitek. Sayangnya, kegiatan riset arsitektural sendiri masih menghadapi banyak persoalan yang menjadikan hasil riset kurang bermanfaat bagi pengembangan pendidikan arsitektur dan kebutuhan profesi arsitek.
Institut Teknologi Bandung, 2010
1
60
Seminar Nasional
t a h u n P en d i di k a n A r si t ek t u r
Research berasal dari kata re dan to search yang berarti mencari kembali atau dalam kata latin reserare yang berarti mengungkapkan atau membuka (Satori, 2009:18). Penelitian (riset) adalah proses yang sistematis meliputi pengumpulan dan analisis informasi (data) dalam rangka meningkatkan pengertian kita tentang fenomena yang kita minati atau menjadi perhatian kita (Leedy, 1997:3). Penelitian merupakan proses kritis untuk mengajukan pertanyaan dan berupaya untuk menjawab pertanyaan tentang fakta dunia (Dane, 1990:4). Sedang menurut Kamus Bahasa Indonesia/KBI (2008:1661) penelitian adalah (1)pemeriksaan yang teliti; penyelidikan; (2)kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum. Terkait pengertian penelitian (riset) di atas, ternyata sebagian masyarakat kita masih sering salah dalam memahaminya. Beberapa kesalahan pengertian tersebut berdampak pada kegiatan penelitian yang akhirnya hanya merupakan; (1)kegiatan pengumpulan informasi atau data semata, (2)kegiatan memindahkan fakta dari suatu tempat ke tempat lain, (3)kegiatan membongkar-bongkar mencari informasi, dan (4)sebuah “kata” untuk menarik perhatian. (Djunaedi, 2000) Berdasar uraian di atas, penelitian ini bertujuan melihat kembali kelemahan riset arsitektural yang ada dan merumuskan solusi alternatif bagi penguatan riset arsitektural sekaligus guna memperkuat relevansinya (mulai dari persoalan hingga pemanfaatan hasil riset) dengan profesi arsitek. Untuk itu penelitian ini menggunakan unit analisis berupa karya riset-riset arsitektur yang telah dipublikasikan di berbagai jurnal serta hasil penelitian arsitektur lainnya. Data diperoleh melalui penelusuran pustaka dan dianalisis dengan teknik analisis konten.
2. Kelemahan Riset Arsitektur Dari analisis terhadap berbagai hasil publikasi/riset arsitektural menghasilkan pembahasan atas (setidaknya) lima kelemahan yang dapat dijumpai serta menghambat pengembangan keilmuan arsitektur dan profesi arsitek. Lima kelemahan ini disusun berdasar urutan kelemahan dari yang paling mendasar. Selanjutnya dari analisis dan pembahasan atas 5 kelemahan tersebut, ternyata masing-masing kelemahan saling berhubungan sehingga beberapa akar masalah dan alternatif solusinya juga berkaitan. 2.1 Kelemahan 1: kerancuan dalam memahami realitas dunia arsitektur Pada hakekatnya, penelitian adalah upaya untuk mencari jawaban yang benar dan logis atas suatu masalah yang didasarkan atas data empiris yang terpercaya (Satori, 2009:2). Data empiris disini dapat dilihat sebagai representasi dari realitas yang ingin dipahami, sedangkan tujuan memahami realitas setidaknya ada dua; (1)menemukan jawaban atas suatu masalah yang ada, dan/atau (2)menjelaskan suatu “kebenaran” atas fenomena yang terjadi. Berdasar salah satu atau kedua tujuan itulah dilaksanakan penelitian melalui serangkaian kegiatan (termasuk pengumpulan dan pengolahan data) dengan prosedur yang logis. Berkaitan dengan upaya memahami realitas maka dalam kegiatan penelitian dikenal adanya paradigma sebagai cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata (Basrowi, 2008:2). Kompleksitas disini juga dapat dilihat sebagai substansi dari realitas itu sendiri. Berdasar hal tersebut, keberadaan paradigma bermanfaat untuk
Institut Teknologi Bandung, 2010
2
60
Seminar Nasional
t a h u n P en d i di k a n A r si t ek t u r
menuntun peneliti menangkap atau memahami realitas sebaik mungkin. Dalam kegiatan penelitian, terdapat beragam paradigma yang dipakai dan dapat menjelaskan hakikat realitas ini.
Tabel 1 Ragam paradigma No 1
PUSTAKA Donna Mertens (1998)
2
Agus Salim (2006)
3
Basrowi dan Suwandi (2008) John Creswell (1994) Gareth Morgan and Linda Smircich (1980) Egon G Guba and Yvonna S Lincoln (2009) Satori dan Aan Komariah (2009) Noeng Muhadjir (1990) Linda Groat and David Wang (2002) Lexi J. Moleong (2000)
4 5 6 7 8 9 10
PARADIGMA Interpretive/ Constructivist Positivisme/Postpositivisme Konstruktivisme/ interpretatif Kuantitatif Kualitatif Positivism/Postpositivism
Quantitative Subjective Approaches Positivism
Qualitative Objective Approaches Postpositivism Positivistic Postpositivistic Positivisme Rasionalisme Positivism/Postpositivism Kuantitatif
Emancipatory Critical Theory
Teori Kritis, dkk
Konstruktivisme
Fenomenologi Interpretive/ Constructivist
Emancipatory
Kualitatif
Realitas adalah milik semua orang dan setiap bidang keilmuan. Setiap bidang ilmu memiliki sudut pandang/perspektif/paradigma yang berbeda-beda dalam melihat suatu realitas, walaupun untuk realitas yang sama. Sebagai contoh; realitas pengemis dan anak jalanan; banyak bidang ilmu yang berbeda dalam melihat dan menyikapinya. Begitu pula jika masing-masing bidang ilmu tersebut melakukan kajian, pendekatan teori yang digunakan juga akan berbeda-beda sesuai cara pandang masing-masing. Selanjutnya dari hasil penelitian yang dilakukan, setiap bidang ilmu mungkin akan menghasilkan teori-teori baru guna memahami realitas pengemis dan anak jalanan tersebut. Dengan demikian, berdasarkan aspek ontologisnya, setiap bidang ilmu memiliki domainnya masing-masing terkait realitas yang ada. Bahkan beberapa peneliti dalam satu bidang keilmuanpun dapat memiliki sudut pandang tersendiri dalam melihat realitas yang ada. Namun demikian perbedaan ini bukanlah letak persoalan kerancuan dalam memahami realitas dunia arsitektur dalam riset arsitektur. Dalam dunia keilmuan, paradigma yang dipercaya akan mempengaruhi pandangan seseorang terhadap teori-teori yang ada. Sedangkan dalam penelitian, teori akan digunakan oleh peneliti berdasar hubungannya dan kemampuan teori tersebut memahami atau menjelaskan realitas yang ada. Teori inilah yang selanjutnya akan memandu dan menjustifikasi penelitian sehingga teori harus dipilih berdasar paradigma yang dianut, atau dengan kata lain; teori menjelaskan fakta (realitas) atau dibangun dari fakta (realitas). Dengan demikian, kelemahan yang sering terjadi berkaitan dengan kerancuan dalam memahami realitas dunia arsitektur adalah minimnya bekal pengetahuan untuk memahami realitas dunia arsitektur itu sendiri. Bekal pengetahuan disini terutama berupa pengetahuan akan teori-teori arsitektur yang sudah ada atau
Institut Teknologi Bandung, 2010
3
60
Seminar Nasional
t a h u n P en d i di k a n A r si t ek t u r
yang menjelaskan domain ilmu aritektur (baik pada level grand theory hingga application theory) untuk memahami realitas. Disini penulis menggunakan term teori sebagai kunci kelemahan karena cakupan arti atau pengertian teori sebagai puncak pencapaian sebuah upaya memahami (yaitu menjawab maupun menjelaskan) realitas. “Perhaps because the resistance of current theory to the authority of explanation is not well understood, ironically, many people who are involved in developing the new knowledge insist on the old definition of architectural knowledge that locates their work as outside the architectural mainstream (Robinson, 2001:68).
Dalam dunia pendidikan arsitektur, materi pengajaran untuk memahami realitas berdasar kacamata arsitektur (sebagai contoh: bagaimana melihat realitas dari aspek fungsi, keindahan, dan kekuatan yang selama ini menjadi fokus desain arsitektur) harus selalu diingatkan. Sebuah realitas yang terjadi di dunia empiri ini sejatinya bisa dilihat dan dimiliki oleh semua bidang keilmuan, namun jika dipahami berdasar ontologi ilmu arsitektur maka akan sangat berbeda. Dengan melihat secara jernih maka realitas akan menempatkan dirinya sesuai tujuan etis dari dikembangkannya suatu ilmu pengetahuan arsitektur serta membentuk metodologi yang mengikuti karakter keilmuan arsitektur. Adapun pengaruhnya terhadap profesi arsitek akan sangat jelas; selama realitas yang dipahami tidak berakar pada domain arsitektur maka sudah pasti hasil penelitian tidak akan berarti banyak bagi profesi arsitek. Batasan domain arsitektur disini bisa dipahami dengan merujuk pada teori-teori yang dimiliki atau digunakan dalam penelitian tersebut. 2.2 Kelemahan 2: ketidakmampuan merumuskan permasalahan penelitian arsitektur. Jika seorang peneliti arsitektur telah memahami realitas dunia arsitektur dan memiliki bekal pengetahuan (teori-teori) yang sesuai maka logikanya akan mudah untuk merumuskan permasalahan penelitian. Namun hal tersebut tidak selalu demikian adanya. Merumuskan permasalahan merupakan kelemahan lain yang sering dihadapi peneliti. Persoalannya terletak pada bagaimana peneliti mampu melihat “celah” yang tidak sesuai antara berbagai pengetahuan (teori-teori) yang ada dibandingkan dengan kenyataan (realitas). Memang tidak mudah untuk menemukan celah diantara pengetahuan yang sudah ada dan realitas ini. Selain membutuhkan penguasaan ilmu juga diperlukan kepekaan akan kebutuhan pengembangan ilmu dan sisi praktis dari keilmuan tersebut. Disinilah nantinya kaitan hasil penelitian dengan kebutuhan profesi akan terasa. Perumusan permasalahan penelitian bukanlah semata-mata membuat kalimat tanya. Merumuskan permasalahan merupakan upaya mendudukkan penelitian pada posisinya dalam ranah keilmuan; termasuk bagaimana kontribusi hasil penelitian nantinya. Kelemahan dalam merumuskan permasalahan penelitian ini dapat terlihat pada rumusan permasalahan dan pertanyaan penelitian (jika menggunakannya). Permasalahan yang baik adalah sebuah “tanggapan” peneliti atas adanya “celah” yang tidak sesuai antara berbagai pengetahuan (teori-teori) yang ada dibandingkan dengan kenyataan (realitas) yang umumnya telah diuraikan pada latar belakang penelitian. Castetter dan Heisler (1984:11) menerangkan bahwa pernyataan permasalahan merupakan ungkapan yang jelas tentang hal-hal yang akan dilakukan peneliti. Dalam riset arsitektur tak jarang permasalahan penelitian yang seharusnya mengangkat celah antara realitas dan teori yang ada ternyata tidak bermuara pada
Institut Teknologi Bandung, 2010
4
60
Seminar Nasional
t a h u n P en d i di k a n A r si t ek t u r
esensi ilmu arsitektur itu sendiri. Walaupun sudah dijelaskan di atas bahwa sebuah realitas dapat dikaji oleh berbagai cabang ilmu namun setiap ilmu pengetahuan tentu memiliki aspek ontologisnya masing-masing. “…simply suggesting that the purpose of architecture is ‘to design buildings’ is again an unsatisfactory dead end; partly because one suspects that architecture involves rather more than that, and partly because it merely transfers the problem of understanding from the word architecture onto the word building” (Unwin, 2003:14).
Terhadap pengembangan keilmuan arsitektur, ketidakmampuan merumuskan permasalahan penelitian ini akan mengakibatkan hasil penelitian tidak memperkaya substansi, sedangkan terhadap profesi arsitek akan mengakibatkan semakin menjauh nya konsep dan teori sebagai landasan berkarya. 2.3 Kelemahan 3: ketidaktepatan dalam merujuk konsep atau teori dan merumuskan landasan konseptual ataupun teoritiknya. Kelemahan ini merupakan dampak dari kedua kelemahan sebelumnya. Sejatinya dalam merujuk konsep/teori sangat ditentukan oleh paradigma yang dianut peneliti berkenaan realitas dalam penelitian, namun demikian banyak yang masih mengabaikannya. Terlebih lagi jika rumusan permasalahan penelitian yang disusun tidak merepresentasikan paradigma dan realitas penelitian maka ketidaktepatan dalam merujuk konsep/ teori yang seharusnya menuntun langkah penelitian selanjutnya akan semakin besar. Teori adalah aturan yang menjelaskan proposisi atau seperangkat proposisi yang berkaitan dengan beberapa fenomena alamiah dan terdiri atas representasi simbolik dari; (1)hubungan-hubungan yang dapat diamati di antara kejadian-kejadian (yang diukur), (2)mekanisme atau struktur yang diduga mendasari hubungan-hubungan demikian, dan (3)hubungan-hubungan yang disimpulkan serta mekanisme dasar yang dimaksudkan untuk data dan yang diamati tanpa adanya manifestasi hubungan empiris apa pun secara langsung (Marx dan Goodson, dalam Moleong). Dalam kegiatan penelitian, teori ini selanjutnya akan “mendikte” strategi penelitian, sedangkan metode berhubungan dengan suatu prosedur, proses, atau teknik yang sistematis dalam penyelidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan obyek (bahan-bahan) yang diteliti (Sjamsuddin, 2007:13). Dalam hal ini, obyek tidak lain adalah realitas juga yang dipahami/ditangkap sebagai data yang merupakan representasi dari realitas dalam kerangka pemahaman teoritik. Terlepas dari paradigma penelitian yang digunakan maka pemahaman terhadap konsep dan/atau teori dalam sebuah penelitian tetaplah mutlak diperlukan. Bagi pengembangan ilmu tentu saja ketidaktepatan merujuk konsep/teori ini dapat berakibat kontraproduktif; bukannya menyempurnakan teori-teori yang ada tetapi justru sebaliknya dapat menggoyahkannya tanpa landasan yang benar. Adapun bagi profesi arsitek hasil penelitian yang diperoleh dari ketidaktepatan “memilih” teori seperti ini dapat berakibat pada kegagalan desain. Riset arsitektur, sebagaimana umumnya riset di bidang yang lain, juga membutuh kan konsep/teori yang sudah ada. Saat ini, banyak sekali muncul konsep/teori dari berbagai disiplin ilmu yang dapat dipergunakan dalam riset arsitektur. Kondisi ini tidak terlepas dari semakin cairnya batas antar cabang ilmu, terlebih pemahaman manusia atas realitas dunia sudah semakin kompleks. Suatu realitas bisa dilihat dengan berbagai sudut pandang (paradigma) dan selanjutnya akan menuntun pada teori-teori yang sesuai
Institut Teknologi Bandung, 2010
5
60
Seminar Nasional
t a h u n P en d i di k a n A r si t ek t u r
dengan sudut pandang tersebut. Sebagai contoh; terdapat banyak konsep/teori yang dapat menjelaskan tentang hunian (dwelling) yang berasal dari disiplin ilmu. Konsep tersebut antara lain dikemukakan oleh (Schefold, 1997); modifying factor oleh Rapoport (1969), sociocultural factors oleh Morgan (1965), symbolic conceptions oleh Griaule/ Dieterlen (1963), multiple factor oleh Schefold (1997), cosmos-symbolism oleh Eliade (1959), social organisation oleh Durckheim/Mauss (1925); Rassers (1982); Cunningham (1964), dan gender-symbolism oleh Bourdieu (1972) dll. Contoh lain adalah terdapat berbagai teori yang mengkaji mengenai perilaku manusia terhadap desain (termasuk perilaku manusia dalam menangkap keindahan bangunan), diantaranya: Environmental Perception and Behavior Approach (Patricios, 1975), The Theory of Mediational of Environmental Meaning (Hersberger, 1974), dan yang utama adalah The Gestalt Theory of Perception (Max Wertheimer dan Christian von Ehrenfels). Dari banyaknya konsep/teori yang sudah ada, yang terpenting bagi peneliti arsitektur adalah bagaimana memahami konteks (paradigma hingga proposisi) konsep/teori tersebut terhadap realitas dan permasalahan penelitian yang dilaksanakan sehingga mampu menuntun peneliti. “.. because the architect’s job was to make built forms, architectural theories focused primarily on the desired physical character of architectural form and space (attributes of styles, arrangement of spaces), secondarily on the best way to create it (geometric system, construction techniques), and thirdly on the objectives that the form was to meet (articulated within the field as Vitrivius’s trinity of firmness, commodity, and delight).” (Robinson, 2001:67-68).
2.4 Kelemahan 4: lemahnya metodologi dan metode yang digunakan. Kelemahan ini umumnya diawali dari ketidakampuan membedakan antara metodologi dengan metode. Metode berhubungan dengan suatu prosedur, proses, atau teknik yang sistematis dalam penyelidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan obyek (bahan-bahan) yang diteliti (Sjamsuddin, 2007:13). Adapun metodologi adalah suatu cabang filsafat yang berhubungan dengan ilmu tentang metode-metode dan aturan-aturan yang digunakan dalam sains (The New Lexicon, 1989:628 dalam Sjamsuddin, 2007). Kartodirdjo (1992:ix), menyatakan perbedaan antara metode dan metodologi; Metode adalah bagaimana orang memperoleh pengetahuan (how to know), sedangkan metodologi adalah mengetahui bagaimana harus mengetahui (to know how to know). Akibat kerancuan dalam membedakan dua term ini sudah tentu akan membingungkan jalannya penelitian. Ibarat kegiatan berburu, memilih dan menggunakan metode bagaikan memilih dan menggunakan alat yang tepat untuk berburu. Sebagai seorang pemburu maka ia harus memilih jenis senjata, jenis peluru, ladang berburu, waktu berburu, dlsb yang tepat sesuai kondisi buruannya agar mendapatkan hasil buruannya tersebut. Metode, sebagai cara/jalan dalam penelitian, disyaratkan adanya untuk mendapatkan hasil penelitian, yaitu; “kebenaran”. Kebenaran sebagai jawaban atas suatu permasalahan, kebenaran atas suatu pertanyaan, atau kebenaran atas suatu keingintahuan. Oleh karena itu, untuk menemukan “kebenaran”, terdapat banyak sekali metode yang dikembangkan dalam berbagai bidang ilmu guna mencari jawaban atas berbagai fenomena/gejala yang ada. Terdapat beberapa istilah yang berbeda untuk merujuk pada term metode atau yang serupa maknanya. Linda Groat & D. Wang (2002), Basrowi (2008) menggunakan istilah strategi. Eileen dan Moleong (2009) menggunakan
Institut Teknologi Bandung, 2010
6
60
Seminar Nasional
t a h u n P en d i di k a n A r si t ek t u r
istilah teknik penelitian. Sementara Suwarna (2009), Basrowi (2008), dan Agus Sachari (2005) menggunakan istilah model. Nasution (2008) menggunakan istilah desain. Walaupun terdapat berbagai perbedaan label, namun secara substansi semuanya memiliki maksud yang sama, yaitu menjelaskan bagaimana suatu penelitian dilaksanakan atau jalannya sebuah penelitian secara prosedural. Keberagaman metode hakekatnya disebabkan ada pergeseran di antara basis paradigma yang ada, yaitu basis ontologis, epistemologis, dan metodologis. Pergeseran pada basis ontologis menyebabkan lahirnya beragam metode di tataran filosofis, pergeseran pada basis epistemologis menyebabkan lahirnya beragam metode di tataran proses keilmuan, sedangkan pergeseran di basis metodologis menyebabkan lahirnya metode-metode di tataran operasional (data). Ilustrasi penjelasan di atas dapat penulis gambarkan sebagai berikut;
Gambar. 1 Faktor pembeda metode Dikaitkan dengan penelitian di bidang arsitektur; metode penelitian arsitektur adalah bagaimana mengetahui arsitektur, sedangkan metodologi penelitian arsitektur adalah mengetahui bagaimana mengetahui arsitektur. Dengan demikian, dalam metode penelitian arsitektur, seorang peneliti harus mengetahui bahan-bahan apa saja (tentunya sesuai persoalan dan tujuan penelitian) yang harus dikumpulkan untuk mengetahui arsitektur. Termasuk juga cara mengumpulkan bahan dan bertanya kepada ahli/narasumber. Sedangkan terkait metodologi penelitian arsitektur, maka seorang peneliti harus mengetahui bagaimana menggunakan “pengetahuan metode” yang sesuai persoalan/permasalahan dan tujuan penelitian. Termasuk peneliti harus mengetahui berbagai konsep/teori dan ilmu pengetahuan lain yang dapat mendukung. Berkaitan dengan metode, umumnya kelemahan ada pada tahap pengumpulan data dan analisisnya. Pengumpulan data merupakan upaya menangkap realitas empiri yang ada, untuk itu perlu diperhatikan prasyarat (kondisi data) dan teknik pengambilan nya. Sedangkan pada tahapan analisis data perlu memperhatikan; bagaimana data dikumpulkan, bagaimana menyajikan data, dan alat yang digunakan untuk analisis data tersebut. Tak kalah penting dan menentukan apakah riset arsitektural nantinya dapat diterima adalah pengujian validitas dan reliabilitas. Sayangnya hal ini sering diabaikan.
Institut Teknologi Bandung, 2010
7
60
Seminar Nasional
t a h u n P en d i di k a n A r si t ek t u r
2.5 Kelemahan 5: takliq tanpa berani berkreasi berdasar argumentasi yang benar. Sebagai sebuah kegiatan yang dilandasi semangat menggali dan mengeksplorasi berbagai pengetahuan yang masih terpendam, maka penelitian tidak “mengharamkan” adanya kreativitas dalam prosesnya di luar pakem yang sudah ada. Dengan bekal pengetahuan yang baik sebenarnya sudah cukup untuk berkreatifitas. Yang penting dicatat adalah prinsip kejujuran dalam mencari “kebenaran” melalui serangkaian langkah yang terstruktur dan logis adalah kuncinya. Realitas berkembang sesuai perkembangan pengetahuan manusia sedangkan upaya menemukan “kebenaran” dalam realitas tersebut membutuhkan kreativitas sesuai kompleksitas realitas yang dipahami.
3. Penguatan Riset dan Relevansinya bagi Profesi Arsitek Dengan memahami kelemahan dalam riset arsitektur dan berusaha memperbaikinya dengan berbagai solusi yang ada maka secara tidak langsung akan meningkatkan relevansi dengan profesi arsitek. Hal ini disebabkan letak kelemahan riset arsitektur sendiri bermula dari tidak dipahaminya realitas dunia arsitektur yang sesungguhnya tidak lain adalah dunia yang dijalankan oleh profesi arsitek itu sendiri. Arsitektur sejatinya sejak awal memiliki pengertian atau kaitan dengan kegiatan mendesain yang selanjutnya menghasilkan karya-karya arsitektur yang bermanfaat bagi wadah manusia beraktivitas. Proses ini terus berlangsung seiring pemahaman manusia yang juga berkembang dalam memahami realitas dunia, khususnya terkait berbagai kebutuhan akan ruang. Secara keilmuan, berbagai paradigma atau sudut pandang manusia dalam melihat realitas ini telah lahir, seperti paradigma kuno yang sangat diilhami oleh keyakinan/sifat mistis, dilanjutkan dengan paradigma klasik yang sangat mengutamakan keindahan, paradigma modern yang sangat mengagungkan fungsi, paradigma postmodern yang mulai melihat sisi kemanusiaan, hingga paradigma kritis. Seiring perkembangan kebutuhan dan pengetahuan, manusia juga mulai mengembangkan studi-studi di bidang arsitektur untuk menghasilkan berbagai teori yang dapat dimanfaatkan untuk membimbing manusia dalam menghasilkan karya desain mereka. Jika pada awalnya belum ada pemisahan antara berbagai cabang ilmu, namun sejalan dengan mulai berpisahnya bidang-bidang ilmu, maka kebutuhan teoriteori mulai terklasifikasi. Pada awalnya berbagai teori dari berbagai bidang ilmu digunakan dalam mendukung atau melandasi perancangan karya arsitektur. Namun seiring semakin kompleksnya kebutuhan dan perkembangan pemikiran manusia, akhirnya bidang ilmu arsitektur juga mulai menciptakan teori-teori arsitektur yang bersumber dari esensi arsitektur itu sendiri, yaitu desain ruang dan bentuknya. Berdasar hal itu maka kebutuhan akan teori dalam mendasari perancangan selanjutnya menjadi tanggungjawab ilmu arsitektur itu sendiri. Walaupun demikian beberapa teori dari berbagai bidang ilmu yang belum mampu digantikan oleh arsitektur tetap bersumber dari teori bidang ilmu yang lainnya. Selanjutnya para sarjana arsitektur berkonsentrasi pada upaya membuat/menghasilkan teori-teori yang bersumber dari realitas dunia arsitektur sendiri. Dari hasil analisis atas kelemahan riset arsitektur yang ada, berikut beberapa solusi bagi keilmuan arsitektur maupun solusinya atas penguatan profesi arsitek. Untuk mengatasi kerancuan dalam memahami realitas dunia arsitektur maka berangkat dari dunia profesi arsitek yang umumnya menggunakan prosedural theory
Institut Teknologi Bandung, 2010
8
60
Seminar Nasional
t a h u n P en d i di k a n A r si t ek t u r
dalam desain maka para peneliti dapat mengembangkan penelitiannya yang berorientasi pada prosedural theory tersebut untuk menjawab pertanyaan: bagaimana. Atau jika hasil penelitian berorientasi pada substantif theory maka seyogyanya juga harus tetap berangkat dari pertanyaan mengapa sebuah desain harus dibuat demikian. Selama realitas yang dipahami tidak berangkat dari “kebutuhan” yang menjadi ontologi ilmu arsitektur maka sulit mengharapkan proses dan hasil riset arsitektur bermanfaat bagi pengembangan keilmuan arsitektur yang berbasis pada domain arsitektur dan bermanfaat bagi profesi arsitek. Walaupun dari kesimpulan ini akan memunculkan lagi permasalahan baru: apa yang termasuk dan batasan domain arsitektur itu? Setiap teori yang dihasilkan melalui penelitian tentunya memiliki struktur pembentuknya, yaitu; konsep dan proposisi. Bahkan jika dilihat lebih ke “belakang” lagi, maka sebuah teori tidak akan lepas dari latar belakang relitas yang ingin dijelaskannya serta keilmuan pembentuk teori tersebut.
4. Kesimpulan dan Saran Dalam kegiatan penelitian, 5 (lima) kelemahan di atas umumnya dapat terjadi atau ditemukan secara bersamaan, walaupun dalam kadar yang berbeda-beda. Hal tersebut sangat wajar karena kelima kelemahan tersebut saling berkaitan. Untuk mengetahui adanya kelemahan tersebut maka setidaknya terdapat 4 (empat) aspek penting yang harus dipahami dengan baik yaitu; (1)realitas atau fenomena dalam dunia aritektur, (2)paradigma berkaitan realitas dunia arsitektur, (3)teori yang ada baik bersumber dari disiplin ilmu arsitektur maupun disiplin ilmu lainnya selama dapat dipahami konteksnya, dan (4)metode yang sesuai dengan realitas empiri khususnya metode pengumpulan data dan metode analisisnya. Memahami domain keilmuan yang membentuk teori, realitas yang mendasari, konteks yang ingin dijelaskan teori tersebut, dan struktur pembentuknya adalah sangat penting untuk menghindari kelemahan dalam riset arsitektural. Sedangkan menjamin kesesuaian konteks konsep atau teori yang digunakan dengan kebutuhan riset arsitektural yang dilaksanakan adalah solusi bagi penguatan riset arsitektural dan relevansinya dengan profesi arsitek.
Daftar Pustaka Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta. Castetter, W. B. and R. S. Heisler. 1984. Developing and Defending A Disertation Proposal. Graduate School of Education, University of Pennsylvania, Philadelphia, Pennsylvania. Creswell, J. 1994. Research Design: Quantitative and Qualitative Approaches. Thousand Oaks, California: Sage Publications. Dane, F. C. 1990. Research Methods. Brooks/Cole Publishing Company, Belmont, California. Djunaedi, A. 2000. Pengantar: Apakah Penelitian Itu?. Kumpulan Bahan Kuliah Metodologi Penelitian JUTA FT-UGM.
Institut Teknologi Bandung, 2010
9
60
Seminar Nasional
t a h u n P en d i di k a n A r si t ek t u r
Groat, L. and David W. 2002. Architectural Research Methods. New York: John Wiley & Sons, Inc. Guba, E and Yvonna S. L. (eds). 2009. Competing Paradigm in Qualitative Research. Kartodirdjo, S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Leedy, P. D. 1997. Practical Research: Planning and Design. Sixth Edition. Prectice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. Mertens, D. 1998. Research Methods in Education and Psychology. Thousand Oaks, California: Sage Publications. Moleong, L. J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Morgan, G and Linda S. 1980. "The Case for Qualitative Research," Academy of Management Review 5, no. 4. Morse, J. M. (ed). 1994. Critical issues in qualitative research methods. London: Sage Publication. Nasution S. 2008. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara. Robinson, J. W. 2001. “The Form and Structure of Architectural Knowledge: From Practice to Discipline”. In Andrzej Piotrowski and Julia Williams Robinson (Ed). The Discipline of Architecture. Minneapolis: University of Minnesota Press. Sachari, A. 2005. Metodologi penelitian budaya rupa (desain, arsitektur, seni rupa dan kriya). Surabaya: Erlangga. Salim, A. 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Satori, D. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Schefold, R. 1997. “Anthropology”. In: P. Oliver (ed.) Encyclopedia of Vernacular Architecture of the World, vol 1:6-8. Cambridge Univ. Press, Cambridge. Sjamsudin, H. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak Unwin, S. 2003. Analysing Architecture. London: Routledge.
Institut Teknologi Bandung, 2010
10