5
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Struktur Agraria Secara etimologis, istilah “agraria” berasal dari sebuah kata dalam bahasa Latin, “ager”, yang artinya: (a) lapangan; (b) wilayah; (c) tanah negara (Prent et al. dalam Wiradi 2009b). Kata-kata “wilayah”, “tanah negara” jelas menunjukkan arti yang lebih luas, karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwakili olehnya. Sitorus (2002) menambahkan bahwa lingkup agraria mengandung pengertian yang luas dari sekedar “tanah pertanian” atau “pertanian”, yaitu suatu bentang alam yang mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) dan kehidupan sosial yang terdapat di dalamnya. Lingkup agraria tersebut mencakup dua unsur yaitu mengenai objek agraria atau sumber-sumber agraria dan subjek agraria. Unsur pertama, objek agraria menurut UUPA yakni menyangkut (1) tanah atau “permukaan bumi” yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan, (2) perairan, baik di darat maupun di laut yang meliputi kegiatan perikanan (sungai, danau, maupun laut), (3) hutan, meliputi kesatuan flora dan fauna dalam suatu kawasan tertentu dan merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas-komunitas, (4) bahan tambang, mencakup beragam bahan tambang/mineral yang terkandung di dalam “tubuh bumi”, dan (5) udara, dalam arti ruang di atas bumi dan air. Unsur kedua mengenai subjek agraria yaitu pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut. Secara kategoris, subjek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector). Ketiga kategori ini memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan/ pemanfaatan (tenure institutions). Hubungan penguasaan, pemilikan, pemanfaatan membawa implikasi terbentuknya ragam hubungan sosial, sekaligus interaksi sosial antara ketiga kategori subjek agraria (Sitorus 2002). Lebih lanjut menurut Sitorus (2002), hubungan tersebut dibagi ke dalam dua bentuk yaitu hubungan teknis dan hubungan sosial. Hubungan teknis dapat dilihat dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure). Land tenure adalah hak atas tanah atau penguasaan tanah, sedangkan land tenancy adalah orang yang memiliki, memegang, menempati, menduduki, menggunakan atau menyewa sebidang tanah tertentu. Hubungan teknis tersebut menunjukkan cara kerja subjek agraria dalam pengolahan dan pemanfaatan objek agraria untuk memenuhi kebutuhannya. Ketiga subjek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan objek agraria tertentu. Proporsi ini menggambarkan hubungan sosial agraria yang menunjukkan cara kerja subjek agraria saling berinteraksi dalam rangka pemanfaatan objek agraria. Dengan kata lain, hubungan ini berpangkal pada perbedaan akses dalam hal penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan lahan. Hubungan-hubungan sosial agraria yang digambarkan oleh Sitorus (2002) dapat dilihat pada Gambar 1.
6 Komunitas Sumber-sumber Pemerintah
Swasta
Keterangan : Hubungan teknis agraria (kerja) Hubungan sosial agraria Gambar 1 Lingkup hubungan-hubungan agrarian Struktur agraria pada penelitian ini adalah hubungan antara subjek dengan sumber-sumber agraria mencakup penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan lahan. Menurut Wiradi (2009b), perlu dibedakan antara istilah pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah. Kata pemilikan menunjuk pada penguasaan formal hak milik atas tanah yaitu hak yang sah untuk menggunakan, mengolah, menjualnya dan memanfaatkan tanah, sedangkan kata penguasaan menunjukkan pada penguasaan efektif. Misalnya jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang itulah yang secara efektif menguasainya. Jika sesorang menggarap tanah miliknya sendiri, misalya 2 Ha, lalu menggarap juga 3 Ha tanah yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai 5 Ha. Kata pemanfaatan nampaknya cukup jelas, yaitu menunjuk pada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif. Pemilikan lahan tidak selalu mencerminkan penguasaan lahan, karena memang ada berbagai jalan untuk menguasai lahan, misalnya melalui sewa, sakap, gadai, dan sebagainya. Perubahan struktur agraria yang dimaksud dalam penelitian ini, mencakup perubahan pola pemilikan lahan, pola penguasaan lahan, dan pemanfaatan lahan masyarakat setempat menjadi lebih formal dengan adanya pendaftaran tanah.
Struktur Kepemilikan Pengertian kepemilikan dan penguasaan tanah seringkali dianggap sama. Namun terdapat perbedaan mendasar antara pengertian kepemilikan dan penguasaan. Pengertian kepemilikan lebih condong kepada status hak (entitlement) sedangkan penguasaan mengacu pada total luasan yang dikuasai atau diusahakan. Kepemilikan mengandung arti adanya hak untuk menggunakan tanah bagi pemiliknya, baik hak untuk menjual, menggadaikan, menyewakan, mewariskan atau mengusahakan untuk kepentingan pemiliknya. Sementara pengertian penguasaan mengandung arti adanya hak untuk menggunakan tanah berdasarkan sewa atau kontrak tertentu, tetapi tidak dapat dipindah tangankan oleh yang menguasai tanah tersebut (Wijayanti dalam Hidayat 2002). Beberapa istilah modern mengenai kepemilikan tanah yakni meliputi milik perorangan dan milik komunal. Milik perorangan yaitu suatu bentuk penguasaan
7 tanah dimana seseorang menduduki sebidang tanah dan dapat menyerahkan kepada ahli warisnya serta dapat mengatur secara bebas, seperti menjual, menyewakan, atau menggadaikan. Sementara milik komunal merupakan bentuk penguasaan, dimana seseorang (atau keluarga) memanfaatkan tanah tertentu yang hanya merupakan bagian dari tanah komunal desa. Hal ini berarti orang tersebut tidak berhak untuk menjual atau memindahtangankan tanah dan pemanfaatannya biasanya digilir secara berkala (Eindresume dalam Kano 2009). Berdasarkan Wiradi dan Makali (2009), masalah pemilikan tanah tetap merupakan faktor yang penting dalam kehidupan pedesaan. Menurutnya, mereka yang memiliki tanah luas akan mempunyai jangkauan lebih besar kepada sumber nonpertanian, atau sebaliknya.
Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah merupakan persoalan penting dalam UUPA, karena pendaftaran tanah akan menghasilkan surat tanda bukti hak atas tanah yang disebut sertifikat. Pada PP No. 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa pendaftaran tanah adalah “rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terusmenerus, berkesinambungan dan teratur melalui pengumpulan, pengelolaan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satu-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”. Harsono dalam Ismy (2005), merumuskan pendaftaran tanah sebagai suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh negara/pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayahwilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan, dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan termasuk penerbitan tanda bukti dan pemeliharaannya. Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan di atas, pendaftaran tanah merupakan suatu rangkaian kegiatan pengumpulan data pertanahan yang dilakukan pemerintah untuk menetapkan jaminan kepastian hukum atas tanah. Terselenggaranya pendaftaran tanah menyebabkan kepastian hukum berkenaan dengan jenis hak atas tanah, subjek hak, dan objek haknya menjadi jelas karena tercantum dalam sertifikat, sehingga dapat mengurangi terjadinya persengketaan hak atas tanah. Adanya kepastian hukum atas tanah merupakan salah satu tujuan terselenggaranya pendaftaran tanah. Lebih lanjut, tujuan pendaftaran tanah menurut Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997 yaitu memberikan kepastian hukum, menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Kepastian hukum tersebut juga diperlukan dalam menghadapi kasus-kasus konkret untuk dapat membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya, sedangkan penyediaan informasi dapat diperlukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan seperti calon pembeli dan calon kreditur untuk mengetahui data-data mengenai objek tanah yang dikuasai. Pendaftaran tanah menurut Pasal 19 UUPA ayat 1 yaitu meliputi: a. pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;
8 b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; dan c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Penyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum di bidang kepemilikan atau penguasaan tanah, diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) berlandaskan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Menurut PP tersebut, dinyatakan bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir, dan terbuka. Penjelasan dari asas-asas tersebut, yakni sebagai berikut (Supriadi 2008): 1. Asas Sederhana Asas sedarhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuanketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah. 2. Asas Aman Asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri. 3. Asas Terjangkau Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang memerlukan. 4. Asas Mutakhir Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan keseimbangan dalam pemeliharaan datanya, dan data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari. Asas ini menuntut pula dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus-menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan, dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat, dan itulah yang berlaku pula pada asas terbuka. 5. Asas Terbuka Asas terbuka mengisyaratkan agar data pendaftaran tanah yang tersedia dapat diinformasikan kepada pemegangnya atau kepada pihak lain yang membutuhkan untuk digunakan sesuai prosedur yang berlaku. Pasal 11 PP No. 24 Tahun 1997 menegaskan bahwa pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya dan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya meliputi pengumpulan dan pengolahan data fisik, pembuktian hak dan pembukuannya, penerbitan sertifikat, penyajian data fisik dan data yuridis serta penyimpanan daftar umum dokumen. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi pendaftaran peralihan dan pembebanan hak serta pendaftaran perubahan data pendaftaran lainnya. Berdasarkan rujukan dari beberapa sumber, objek pelaksanaan pendaftaran tanah sangat strategis bagi bidang-bidang tanah milik masyarakat yang masih banyak belum didaftar, berstatus hak milik adat, surat tanda bukti kepemilikan hak
9 atas tanah masih berupa girik (tradisional), dan juga tanah-tanah eks perkebunan negara yang telah dikelola oleh petani setempat. Status kepemilikan hak atas tanah tersebut dikonversi menjadi hak milik demi kekuatan pembuktian kepemilikan hak atas tanah bagi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu, dibandingkan dengan alat bukti tertulis lainnya, sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat. Artinya, harus dianggap sebagai benar sampai dibuktikan sebaliknya di pengadilan dengan bukti yang lain (Risnarto 2007). Meningkatnya kebutuhan akan tanah memerlukan kepastian jaminan hukum sebagai tempat tinggal ataupun untuk kegiatan usaha. Dengan demikian, pendaftaran tanah merupakan kewajiban bagi semua warga negara dalam rangka tertib pertanahan dan upaya peningkatan pembangunan nasional, melalui penguasaan dan pemanfaatan tanah dengan kepastian hak milik.
Sertifikasi: Pisau Bermata Dua Kepastian dan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah di perkotaan dapat melindungi yang bersangkutan dari aksi penyerobotan ataupun penggusuran. Menurut de soto (2000), formalisasi aset memungkinkan seseorang untuk mengatur, mengendalikan, dan menghubungkannya dengan aset yang lain. Kapitalisasi aset dapat menjadi sumberdaya yang dapat meningkatkan produktivitas dan juga kemakmuran negara. Sementara menurut Hall et al. (2011) menyatakan bahwa formalisasi dapat membuat pemilik bertambah haknya karena batas tanah yang jelas, kepemilikan tercatat di sistem registrasi, diakuinya kepemilikan tanah dan dimilikinya hak untuk menjual, mentransfer, atau menjaminkannya. Demikian pula menurut Soehendera (2010), perolehan hak formal dapat memperkuat kedudukan sosio-ekonomi warga miskin perkotaan dan melindungi mereka dari penggusuran. Hal ini diperkuat berdasarkan hasil penelitian Smeru (2002) bahwa sekitar 70% responden percaya dengan kepemilikan sertifikat tanah, mereka sekarang memiliki keamanan yang lebih besar karena diperolehnya pengakuan hak atas kepemilikan tanah mereka. Selanjutnya, penelitian Iswanto (1991) menunjukkan bahwa 47.06% responden menyatakan perlu sertifikat tanah jika dirasakan memerlukan tanda bukti hak yang kuat agar tanahnya terlindungi oleh hukum, sedangkan 52.94% menyatakan perlu memiliki sertifikat tanah jika untuk memperoleh pinjaman uang di bank. Menurut penelitian Arisudi et al. (2008), di pedesaan tanah merupakan simbol status bagi seseorang atau keluarga. Kepemilikan tanah yang luas merupakan suatu kekuasaan politik di desanya sehingga dapat menjadikan seseorang terhormat dan dipandang tinggi di desa. Masyarakat pedesaan yang tidak memiliki tanah akan terpinggirkan, sehingga mereka tidak mempunyai posisi tawar (bargaining position) yang kuat untuk turut menentukan kebijakan di desanya. Hal ini karena mereka memiliki status sosial yang lebih rendah. Pemerintah mewajibkan formalisasi kepemilikan tanah untuk mendapat informasi yang lebih jelas mengenai siapa yang menggunakan, dengan tujuan apa, dan untuk mengontrol kepemilikan tanah dengan diberlakukannya sistem pajak (Hall et al. 2011). Kepemilikan tanah juga dapat menentukan akses petani dalam memperoleh sumberdaya ekonomi, misalnya dari segi kredit dan teknologi. Petani
10 yang memiliki tanah yang luas akan lebih cepat menyerap teknologi baru serta memiliki akses yang lebih besar dalam memperoleh kredit dan input-input lain karena setiap kredit memerlukan agunan (Husken dan White dalam Arisudi et al. 2008). SHM merupakan salah satu jaminan yang dapat diterima oleh bank karena dianggap memenuhi persyaratan yuridis maupun ekonomis. Terpenuhinya persyaratan tersebut, dimaksudkan agar dalam pelunasan piutangnya terpenuhi dan merupakan jaminan secara hukum (Amir 2008). Selain itu, harga tanah dari tahun ke tahun semakin meningkat sehingga dapat meningkatkan investasi seseorang. Hal ini sesuai dengan penelitian Smeru (2002), bahwa telah terjadi kenaikan investasi untuk peningkatan atau perbaikan tanah sebesar 5.3% melalui PAP. Meskipun demikian, menurut Soehendera (2010) sertifikat tanah juga memiliki dampak negatif diantaranya memudahkan transaksi dan perpindahan pemilikan dari warga miskin ke orang-orang lain dan kesulitan dalam memecah sertifikat dalam hal pewarisan atau penjualan sebagian. Hall et al. (2011) juga menambahkan bahwa sertifikasi dapat memperkuat proses akumulasi dan kehilangan lahan melalui transfer tanah. Tanah lebih mudah diperjualbelikan dan memungkin kerentanan golongan kecil tercabut hak atas tanahnya akibat terlilit hutang. Hal ini sesuai dengan penelitan Smeru (2002), bahwa setelah adanya sertifikat telah terjadi kenaikan transaksi tanah meskipun hanya 1.7%. Kemudahan peralihan dan pemecahan hak tanah warga miskin yang disertifikatkan, berarti keamanan hak atas tanah mereka terancam terpinggirkan dan hilang. Keadaan ini jika tidak dikelola dengan seksama mendorong pemusatan tanah ke pihak ekonomi kuat (Risnarto 2007). Selain itu, Iswanto (1991) menyatakan bahwa munculnya sertifikat dapat meningkatkan ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Penelitan Soehendera (2010) menyatakan bahwa sebagian warga yang berhasil memperoleh sertifikat di Kampung Rawa, Jakarta Pusat, kebanyakan tetap dalam kondisi kumuh dan status lahan yang dikuasainya tetap “extralegal”. Hal ini karena BPN menyebut tanahnya dengan status “tidak dikenal”. Ini menunjukkan bahwa tujuan sertifikasi untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah tidak terjadi. Tanah yang ”tidak dikenal” tersebut menurut UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) merupakan penguasaan atau pemilikan tanah warga yang berstatus ilegal. Soehendera (2010) menambahkan bahwa berbagai masalah yang dihadapi warga, ternyata memunculkan adanya brokers (perantara) dan free-rider (pendompleng bebas). Kemunculan perantara adalah untuk membantu warga dalam mempermudah pengurusan sertifikat hak atas tanahnya, sedangkan freeriders hanya memanfaatkan situasi dan kondisi yang muncul saat itu demi keuntungan pribadi. Kepemilikan sertifikat ternyata berdampak pada aspek-aspek berikut ini:
11 Tabel 1 Dampak kepemilikan sertifikat Positif Kepastian hak atas tanah, sehingga melindungi dari aksi penyerobotan atau penggusuran. Memperkuat kedudukan sosioekonomi warga miskin (tanah yang luas menjadikan dirinya terhormat). Memudahkan akses memperoleh sumberdaya ekonomi (kredit dan teknologi). Sumber investasi.
Negatif Peningkatan transaksi dan peralihan hak tanah, terutama dari warga miskin ke pihak lain. Meningkatnya ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Timbulnya kategori tanah yang tidak dikenal (penguasaan ilegal). Munculnya brokers (perantara) dan free-rider (pendompleng bebas).
Program Sertifikasi Hak atas Tanah Usaha Mikro dan Kecil (UMK) Sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) menunjukkan bahwa usaha ini mempunyai ketahanan relatif lebih baik dibanding usaha besar pada masa krisis. UKM berperan positif dalam membuka lapangan kerja maupun mengatasi kemiskinan. UKM adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih paling banyak Rp200 000 000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp1 000 000 000; milik warga negara Indonesia; berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan (UU RI No 9 Tahun 1995). Namun, sektor UKM memiliki keterbatasan terhadap perolehan modal untuk meningkatkan usahanya. Oleh karena itu, pemerintah memberdayakan UKM salah satunya dengan memfasilitasi pembuatan sertifikasi tanah. Pemerintah melaksanakan sertifikasi hak atas tanah Usaha Mikro dan Kecil (UMK) melalui kerjasama Kementerian Negara Koperasi dan UKM dengan BPN RI yang tertuang dalam Kesepakatan Bersama (KB) antara Menteri Negara Koperasi dan UKM dengan Kepala BPN No. 04/SKB/M.UKM/VII/2003, tanggal 16 Juli 2003. Program sertifikasi tanah milik Pengusaha Mikro dan Kecil (PMK) ini merupakan salah satu program pembangunan koperasi dan UKM di bidang pembiayaan. Tujuan program ini adalah (1) meningkatkan kemampuan UMK dalam memperoleh kredit dari bank, (2) meningkatkan ratio tertib administrasi pertanahan, dan (3) meningkatkan status agunan (Sidipurwanty 2008). Sasaran program menurut petunjuk teknis yaitu pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dan/atau calon debitur pada Bank dan Koperasi yang membutuhkan tambahan kredit dan secara teknis dinyatakan layak tetapi belum memiliki sertifikat hak atas tanah. Sertifikasi UMK dilaksanakan menurut beberapa kriteria objek diantaranya tanah tidak dalam status sengketa, luas tanah pertanian maksimal 2 Ha sedangkan tanah non pertanian maksimal 2000 m2, bukan tanah warisan yang belum dibagi, dan tanah tersebut sudah dikuasai secara fisik oleh pelaku UMK. Legalisasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) termasuk sertifikasi tanah khusus, yakni program sertifikasi tanah atas dasar kerjasama antara instansi,
12 misalnya kerjasama antara BPN-RI dengan Kementrian Koperasi-UKM dalam memberi bantuan untuk para pengusaha kecil menengah berupa tanda bukti hak atas tanah atau sertifikat tanah yang dilaksanakan oleh BPN-RI (Amir 2008). Dukungan dan bantuan usaha tampaknya menjadi keharusan, apalagi mengingat jumlah manusia yang terlibat di dalam kelompok ini teramat besar yakni menggapai proporsi mayoritas lebih dari 90% pelaku ekonomi di Indonesia (Bustomi 2003). Intervensi pemerintah untuk memberdayakan UKM telah melingkupi organisasi usaha. Pada kelembagaan terendah, terdapat kelembagaan koperasi dan di level yang lebih tinggi terdapat beberapa departemen yang turut andil dalam pemberdayaan UKM. Salah satu bank yang mempunyai andil dalam pembiayaan kredit untuk sektor UKM biasanya adalah PT. Bank Rakyat Indonesia (BRI). BRI bekerjasama dengan BPN-RI melakukan penyeleksian sasaran penerima sertifikasi UMK, sehingga sertifikat tanah yang diperoleh dapat dijadikan pinjaman modal ke BRI. Dengan adanya sertifikat tanah yang dianggap sebagai alat bukti terkuat pemilik tanah, diharapkan akan mendorong pemanfaatan tanah yang lebih efektif dan efisien, serta berfungsi secara ekonomi mencari modal melalui lembaga hak tanggungan yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas usahanya sehingga mampu memberikan nilai tambah tanah yang bermanfaat (Amir 2008).
Kontrol atas Tanah dalam Kerangka Sertifikasi Pesatnya perkembangan ekonomi masyarakat dewasa ini, khusus di bidang pertanahan menyebabkan nilai ekonomi dari tanah semakin tinggi dan menyebabkan status hak tanah semakin penting, karena akan memberikan jaminan kepemilikan atas tanah dan memberi kepastian hukum bagi pemilik tanah yang bersangkutan. Kedudukan seseorang/masyarakat/negara dalam memanfaatkan sumberdaya diposisikan sesuai dengan kumpulan hak (bundle of right) yang dimilikinya. Ostrom dan Schlager (1992) menggambarkan hak milik sebagai pengelompokan dari lima tingkat operasional hak: 1. Hak atas akses (rights of access), yaitu hak untuk memasuki wilayah tertentu, berlaku bagi pemanfaat yang diijinkan (authorized users), pemakai atau penyewa (claimant), kepunyaan (propeitors), dan pemilik (owners). 2. Hak pemanfaatan (rights of withdrawal), yaitu hak untuk mengambil manfaat atas sesuatu dari suatu tempat, berlaku bagi pemakai dan penyewa, kepunyaan, dan pemilik. 3. Hak pengelolaan (rights of management), yaitu hak untuk mengatur pola pemanfaatan dan mengubah sumberdaya yang ada untuk tujuan tertentu, berlaku bagi pemakai atau penyewa, kepunyaan, dan pemilik. 4. Hak pembatasan (rights of exclusion), yaitu hak untuk membatasi akses pihak lain terhadap sesuatu dan membuat aturan pemindahan hak ini, berlaku bagi kepunyaan dan pemilik. 5. Hak pelepasan (rights of alienation), yaitu hak untuk melepaskan penguasaan atas sesuatu, berlaku bagi pemilik saja. Hak pelepasan merupakan hak tertinggi karena pemilik mampu berbuat apa saja atas sesuatu yang diklaim sebagai miliknya.
13 Tingkatan hak ini disediakan sebagai alat untuk memahami bagaimana distribusi yang berbeda dari bundle of right yang dapat mempengaruhi insentif individu untuk mengelola sumber daya. Oleh karena itu, kedudukan sebagai pemilik (owner) merupakan kedudukan yang memiliki hak paling lengkap. Pemilik tanah memiliki kontrol dalam memanfaatkan tanahnya, karena telah memiliki legalitas yang tertuang pada sertifikat yang dimiliki. Salah satu faktor ekonomi dan non ekonomi yang mempengaruhi nilai tanah adalah hak atas tanah (property right). Hal ini sesuai dengan penelitan Risnarto (2007), yang menemukan bahwa telah terjadi peningkatan nilai tanah berdasarkan jenis hak atas tanah, yakni 13.52% untuk sertifikat Hak Milik, 6.08% untuk sertifikat Hak Guna Bangunan, 4.57% untuk sertifikat Hak Guna Usaha, 4.21% untuk belum bersertifikat dan 1.79% untuk Hak Milik atas satuan rumah susun. Jadi bagi pemilik tanah, sertifikat hak milik sangat menentukan harga tanah itu sendiri karena dapat memperoleh pengaruh langsung atas tanah dengan kepastian penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai tujuan yang ingin dicapai. Demikian pula bila tanah tersebut akan dialihkan pada pihak lain, kedua pihak akan merasa yakin tidak ada sengketa dikemudian hari karena mempunyai bukti kepemilikan yang kuat. Hal ini sesuai dengan penelitan Smeru (2002) bahwa sebanyak 98.4% responden menyatakan kepemilikan sertifikat dapat bermanfaat bagi kehidupan mereka. Berdasarkan hasil penelitian Smeru (2002), kepemilikan sertifikat tersebut bermanfaat pada hal-hal berikut: kepemilikan kuat secara hukum, sertifikat dapat memberikan rasa aman dan dapat dijaminkan, tanah bersertifikat mudah dijual, dan harganya pun kian meningkat. Fungsi ekonomi tanah menurut Tarigan dan Fauzia (2006) yakni tanah dapat diperjualbelikan, dapat disewakan, dan dapat dijadikan jaminan kredit. Adanya sertifikat yang diagunkan ke bank untuk memperoleh pinjaman, berarti dengan kepemilikan sertifikat dapat dimanfaatkan dalam membantu perekonomian mereka. Kegiatan pemanfaatan dilihat dari fungsi ekonomi tanah ini merupakan insentif pemilik dalam mengontrol haknya terhadap sumberdaya yang dikuasai. Namun, penelitian Amir (2008) menunjukkan bahwa program sertifikasi tanah belum memberi pengaruh nyata terhadap peningkatan pendapatan petani selaku pemilik tanah, sebelum SHM tersebut dimanfaatkan sebagai jaminan kredit. Berdasarkan hasil penelitian Smeru (2002), telah terjadi kenaikan perolehan kredit melalui pengagunan sertifikat sebanyak 12.8%. Adanya pengagunan sertifikat tersebut, meningkatkan pula kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 33.2%. Sertifikat dapat diagunkan ke bank ataupun pada hubungan kekerabatan dalam masyarakat. Berbagai kesulitan yang dihadapi warga miskin dengan lembaga formal menjadikan tetap berkembangnya sektor informal. Mereka dapat saling meminjam uang sebagai strategi untuk mempertahankan hidup. Selain itu, pengagunan sertifikat bagi petani dapat meningkatkan akses terhadap kredit dan teknologi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas pertanian mereka. Hasil penelitian Aldrianto (2001) menemukan bahwa petani dengan tanah bersertifikat cenderung melaksanakan teknologi konservasi dalam bercocok tanam, karena mengutamakan aspek sustainability dari tanah. Hal ini berarti petani tersebut melakukan investasi lahan untuk meningkatkan produktivitas lahannya, sehingga pendapatan aktual (masa kini) petani lebih rendah tetapi pendapatan potensialnya (masa datang) akan lebih besar. Dengan demikian, petani
14 tersebut menyadari sekumpulan hak yang melekat pada dirinya sebagai pemilik tanah, sehingga ia melakukan upaya kontrol tanah melalui produktivitas lahannya. Pemanfaatan sertifikat dapat pula digunakan untuk perumahan, tempat rekreasi, ataupun untuk tempat usaha sehingga tanah tersebut dapat bermanfaat bagi pemiliknya. Pemanfaatan tanah yang dijadikan tempat usaha merupakan upaya dari pemilik tanah untuk meningkatkan pendapatannya. Tanah maupun bangunan di atasnya dapat disewakan ataupun dijual sehingga merupakan ladang investasi bagi pemilik tanah tersebut. Secara luas, pemanfaatan tanah berdampak pula pada peningkatan kesempatan kerja bagi masyarakat melalui pengupayaan tanah menjadi lahan usaha. Hasil penelitian Soehendera (2010) menyatakan bahwa di Kampung Rawa terdapat 67 buah industri rumahtangga. Adanya industri rumahtangga di Kampung Rawa mengindikasikan bahwa terdapat strategi bertahan hidup masyarakat melalui pemanfaatan tanah menjadi tempat usaha, baik skala kecil, menengah, maupun agak besar. Meskipun demikian, terdapat sebagian warga yang tidak begitu memahami fungsi dan peran sertifikat hak miliknya, sehingga mereka tidak memanfaatkan dan hanya menyimpan di bawah bantal. Kepemilikan sertifikat yang hanya ditaruh di bawah bantal membuat orang tersebut tidak dapat merasakan manfaat yang diperoleh setelah adanya kepemilikan sertifikat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Soehendera (2010) bahwa masyarakat Kampung Rawa, Jakarta Pusat cenderung memilih menyimpan sertifikat di bawah bantal karena adanya sikap kehati-hatian atau keragu-raguan terhadap lembaga keuangan resmi. Mereka merasa ragu dan takut untuk masuk ke dalam sektor formal meskipun dilengkapi dengan surat-surat resmi. Hal ini dapat pula dinyatakan sebagai upaya kontrol pemilik dalam menjaga keberlanjutan tanahnya. Selain itu, dalam perkembangannya terdapat tanah-tanah yang dikuasai dalam bentuk Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan serta Hak Pakai yang tidak dimanfaatkan secara maksimal. Tanah tersebut merupakan tanah terlantar1 yang biasanya dimiliki sekelompok kecil masyarakat yang memang memiliki modal untuk membeli tanah seluas-luasnya. Seharusnya, tanah terlantar jangan dibiarkan begitu saja tanpa adanya pemanfaatan secara fungsi agar dapat meningkatkan nilai dari tanah tersebut.
Kerangka Pemikiran Pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah di Indonesia salah satunya melalui legalisasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK). UMK merupakan program yang diinisiasi pemerintah sebagai upaya memfasilitasi warga yang memiliki usaha skala kecil agar lebih akses terhadap permodalan melalui peningkatan status hukum hak atas tanah yang dimiliki. Pendaftaran tanah akan menghasilkan bukti kepemilikan tanah berupa sertifikat. Pemanfaatan sertifikat dilihat dari kegiatan fungsi ekonomi tanah yaitu jual, sewa, dan gadai. Akumulasi dari tingkat jual, sewa, dan gadai ini menghasilkan tingkat kontrol atas tanah. Kegiatan perlakuan tanah ini merupakan upaya pemilik 1
Menurut Supriadi (2008), tanah terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang Hak atas Tanah, pemegang Hak Pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah, tetapi belum memperoleh Hak atas Tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
15 tanah dalam mengontrol sumberdaya yang dikuasai. Pemilik berhak menjual-beli tanah ataupun menyewakannya pada pihak lain. Jual-beli yakni pemindahan hak pemilikan atas tanah dari satu pihak ke pihak lain, sedangkan sewa merupakan perpindahan penguasaan tanah dari satu pihak ke pihak lain tanpa adanya peralihan kepemilikan tanah. Selain jual beli dan sewa, pemilik juga dapat memanfaatkan kepemilikan sertifikat untuk meminjam ke bank (agunan), sebagai solusi kurangnya modal usaha yang dialaminya. Pengagunan sertifikat UMK ke bank dapat meningkatkan kemampuan UMK dalam memperoleh kredit usaha. Ketiga pemanfaatan berdasarkan fungsi ekonomi tanah tersebut secara akumulutif diduga akan mempengaruhi kontrol pemilik atas tanah yang dikuasainya. Adanya kontrol tanah ini dapat berpengaruh pula pada peningkatan prospek usaha. Sertifikasi UMK merupakan pemberdayaan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kapasitas sektor UKM di Indonesia melalui peningkatan kepastian hukum atas tanah. Kerangka penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. Kepemilikan Tanah UMK (Sertifikat) Tingkat Kontrol atas Tanah Prospek Usaha
1. Tingkat jual 2. Tingkat sewa 3. Tingkat gadai Keterangan: Mempengaruhi Dianalisis secara deskriptif
Gambar 2 Kerangka pemikiran
Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah: 1. Kepemilikan sertifikat UMK mempengaruhi kontrol atas tanah UMK di Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede.
16 Definisi Konseptual Sejumlah definisi konseptual yang menjadi pegangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kepemilikan tanah UMK adalah hak pemilikan dan penguasaan tanah UMK yang tercantum dalam sertifikat, yang dihasilkan BPN untuk meningkatkan akses permodalan dalam rangka pemberdayaan terhadap pengusaha Mikro dan Kecil. Kepemilikan tanah yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu ketika periode sebelum sertifikasi UMK yang masih berupa kepemilikan tanah tradisional, dan periode setelah sertifikasi UMK dengan hak milik yang sudah tercantum dalam sertifikat. 2. Kontrol atas tanah adalah kegiatan pemanfaatan fungsi ekonomi tanah berdasarkan kepemilikan sertifikat yang dimiliki, dan sekumpulan hak yang melekat pada pemilik tanah. Kontrol atas tanah ini merupakan pilihan pemilik tanah dalam memanfaatkan dan menggunakan tanah yang dimiliki. Kontrol atas tanah dilihat dari sebelum sertifikasi UMK dan sesudah sertifikasi UMK. 3. Prospek usaha adalah nilai usaha UMK di masa mendatang yang menunjukkan usaha yang positif dan menguntungkan, dilihat dari perkembangan usaha dan tenaga kerja.
Definisi Operasional Pengukuran variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada perumusan penjabaran masing-masing variabel tersebut secara operasional. Variabel-variabel tersebut adalah: 1. Tingkat kepemilikan tanah dilihat dari sebelum bersertifikat UMK dan sesudah bersertifikat. Tingkat kepemilikan tanah tinggi ketika seseorang telah memiliki bukti kepemilikan kuat dan sah yang tercantum pada sertifikat, sedangkan tingkat kepemilikan tanah rendah ketika seseorang belum memiliki sertifikat dan hanya memiliki alat bukti tanah tradisional seperti girik, leter C, atau akta. 2. Tingkat jual adalah tingkat peralihan tetap kepemilikan tanah dari pemilik (penjual) kepada pihak lain (pembeli) dengan sejumlah syarat tertentu. Pengukuran: a. kepemilikan sertifikat dianggap sebagai investasi, b. terdapat keinginan menjual tanah UMK, c. terdapat pihak yang menghubungi PMK terkait penjualan tanah, dan d. terdapat pihak yang menawar tanah UMK untuk dijual. Jumlah pertanyaan mengenai tingkat jual adalah 4, dengan skor 1 untuk jawaban tidak dan skor 2 untuk jawaban ya. Total skor minimun setiap individu adalah 1x4 = 4 dan skor maksimumnya adalah 2x4 = 8. Setelah skor minimum dan skor maksimum diketahui, maka jarak intervalnya adalah (8-4)/2 = 2. Oleh karena itu, dapat diketahui skor tingkat penjualan tanah, sebagai berikut: • Skor 4-6 = tingkat jual tanah UMK rendah • Skor 7-8 = tingkat jual tanah UMK tinggi
17 Tingkat penjualan tanah UMK dilihat dari sebelum sertifikasi dan sesudah sertifikasi dengan nilai rendah atau tinggi pada masing-masing periode tersebut. Setelah penetapan nilai kategori tinggi atau rendah, kemudian dilihat perubahan tingkat jual sebelum dan sesudah sertifikasi apakah memiliki perubahan naik, turun, atau tetap. Perubahan adalah perbedaan nilai tingkat jual dari sebelum sertifikat hingga sesudah sertifikat UMK. Perubahan naik jika terdapat perubahan dari rendah ke tinggi, sedangkan perubahan turun jika perubahannya dari tinggi ke rendah. Sementara perubahan tetap berarti tidak ada perubahan, misalnya dari rendah ke rendah atau dari tinggi ke tinggi. 3. Tingkat sewa adalah tingkat pemindahkuasaan sementara akibat adanya perjanjian antara pemilik dengan pihak lain (penyewa), dengan membayar sejumlah uang (sewa) secara teratur selama periode tertentu. Pengukuran: a. terdapat keinginan menyewakan tanah UMK, b. terdapat pihak yang menghubungi pmk terkait penyewaan tanah, c. terdapat pihak yang menawar tanah umk untuk disewa, dan d. terdapat tanah UMK yang disewa. • Nilai : 1 = tidak; 2 = ya • Skor 4-6 = tingkat sewa tanah UMK rendah • Skor 7-8 = tingkat sewa tanah UMK tinggi Tingkat penyewaan tanah UMK dilihat dari sebelum sertifikasi dan sesudah sertifikasi dengan nilai rendah atau tinggi pada masing-masing periode tersebut. Setelah penetapan nilai kategori tinggi atau rendah, kemudian dilihat perubahan tingkat sewa sebelum dan sesudah sertifikasi apakah memiliki perubahan naik, turun, atau tetap. Perubahan adalah perbedaan nilai tingkat sewa dari sebelum sertifikat hingga sesudah sertifikat UMK. Perubahan naik jika terdapat perubahan dari rendah ke tinggi, sedangkan perubahan turun jika perubahannya dari tinggi ke rendah. Sementara perubahan tetap berarti tidak ada perubahan, misalnya dari rendah ke rendah atau dari tinggi ke tinggi. 4. Tingkat gadai adalah tingkat kredit jangka pendek guna memenuhi kebutuhan dana yang harus dipenuhi pada saat itu juga dengan menggunakan barang jaminan berupa sertifikat UMK atau bukti kepemilikan lainnya kepada perbankan atau koperasi. Pengukuran: a. pengetahuan tentang sertifikat atau bukti kepemilikan tanah dapat diagunkan, b. pengetahuan mengenai lembaga yang dapat menerima agunan sertifikat atau bukti kepemilikan tanah, c. pernah menggadai dengan jaminan sertifikat atau bukti kepemilikan tanah, dan d. pernah menggadai dengan jaminan surat berharga lain selain sertifikat atau bukti kepemilikan tanah. • Nilai : 1 = tidak; 2 = ya • Skor 4-6 = tingkat gadai tanah UMK rendah • Skor 7-8 = tingkat gadai tanah UMK tinggi
18 Seperti halnya dengan tingkat jual dan sewa, tingkat gadai tanah UMK dilihat dari sebelum sertifikasi dan sesudah sertifikasi dengan nilai rendah atau tinggi pada masing-masing periode tersebut. Setelah penetapan nilai kategori tinggi atau rendah, kemudian dilihat perubahan tingkat gadai sebelum dan sesudah sertifikasi apakah memiliki perubahan naik, turun, atau tetap. Perubahan adalah perbedaan nilai tingkat gadai dari sebelum sertifikat hingga sesudah sertifikat UMK. Perubahan naik jika terdapat perubahan dari rendah ke tinggi, sedangkan perubahan turun jika perubahannya dari tinggi ke rendah. Sementara perubahan tetap berarti tidak ada perubahan, misalnya dari rendah ke rendah atau dari tinggi ke tinggi. 5. Tingkat kontrol atas tanah adalah akumulasi total skor dari tingkat jual, sewa, dan gadai tanah sertifikat UMK. Jumlah pertanyaan mengenai tingkat jual, sewa, dan gadai masing-masing adalah 4 sehingga 3x4 = 12, dengan skor 1 untuk jawaban tidak dan skor 2 untuk jawaban ya. Total skor minimun setiap individu adalah 1x12 = 12 dan skor maksimumnya adalah 2x12 = 24. Setelah skor minimum dan skor maksimum diketahui, maka jarak intervalnya adalah (24-12)/2 = 6. Oleh karena itu, dapat diketahui skor tingkat kontrol atas tanah sebagai berikut: • Skor 12-18 = tingkat kontrol atas tanah UMK tinggi • Skor 19-24 = tingkat kontrol atas tanah UMK rendah Tingkat kontrol atas tanah UMK dilihat dari sebelum sertifikasi dan sesudah sertifikasi dengan nilai rendah atau tinggi pada masing-masing periode tersebut. Pemilik tanah sama-sama memiliki kontrol atas tanah, baik pada kategori rendah ataupun tinggi. Hal ini karena pemilik telah memiliki kewenangan atas tanah dalam bentuk kepemilikan sertifikat. Namun, perbedaan kontrol tinggi atau rendah ini dilihat dari perbedaan perlakuan pemilik atas tanah yang dikuasainya. Tingkat kontrol tinggi menunjukkan bahwa pemilik tidak atau hanya sedikit melakukan kegiatan pemanfaatan tanah, sehingga akumulasi dari tingkat jual, sewa, dan gadai tidak berpeluang terhadap lepasnya hak seseorang atas tanah. Sementara tingkat kontrol rendah menunjukkan bahwa pemilik melakukan pemanfaatan tanah yang lebih besar sehingga akumulasi dari tingkat jual, sewa, dan gadai berpeluang terhadap resiko lepasnya hak seseorang atas tanah. Seseorang memiliki kontrol yang kuat dan kewenangan pilihan dalam memanfaatkan tanahnya. Namun, pemanfaatan ini berpeluang juga terhadapnya hilangnya kontrol seseorang atas tanah. Setelah penetapan nilai kategori tinggi atau rendah, kemudian dilihat perubahan tingkat kontrol atas tanah sebelum dan sesudah sertifikasi apakah memiliki perubahan naik, turun, atau tetap. Perubahan adalah perbedaan nilai kontrol atas tanah dari sebelum sertifikat hingga sesudah sertifikat UMK. Perubahan naik jika terdapat perubahan dari rendah ke tinggi, sedangkan perubahan turun jika perubahannya dari tinggi ke rendah. Sementara perubahan tetap berarti tidak ada perubahan, misalnya dari rendah ke rendah atau dari tinggi ke tinggi.