Pendapat Pak Harto Tentang Berbagai Masalah yang Dihadapi Bangsa Percakapan dengan Pak Harto (2)
PERTEMUAN kedua setelah Pak Harto lengser, terjadi pada tanggal 11 Februari 1999. Setelah itu, saya melakukan konferensi pers, yang ternyata memperoleh liputan yang sangat luas. Tentu karena topik yang dilempar adalah mengenai mantan Presiden Soeharto. Masyarakat, agaknya ingin mengetahui, hal-hal yang terkait dengan Pak Harto. Oleh karena itu, ada baiknya saya membuat catatan yang selengkap mungkin, dengan harapan, masyarakat semakin mengetahui, apa sesungguhnya jalan pikiran seorang mantan presidennya. Saya diterima Pak Harto pada hari Senin, tanggal 1 Februari 1999 yang lalu, di kediaman Jl. Cendana. Sebagaimana telah saya sampaikan setelah pertemuan yang pertama dengan Pak Harto setelah lengser, ada keinginan yang besar untuk mengetahui latar belakang berbagai peristiwa, di mana Pak Harto merupakan pelaku utamanya. Pada waktu itu, selaku pemimpin umum Amanah, saya telah menyampaikan kemungkinan Amanah melakukan wawancara khusus. Tetapi, menurut ber-bagai sumber, Pak Harto tidak berkenan untuk wawancara
seperti itu. Menjelang lebaran yang lalu, ada keinginan untuk bersilaturahmi lebaran, namun Pak Harto sekeluarga, sebagai-mana kita ketahui, berada di Solo. Pada tanggal 27 Januari 1999, saya berada di Ampenan, Lombok. Malam hari, sebagaimana biasa kalau berada di luar kota, saya menelepon ke rumah. Ayah ada telepon dari Cendana. Ayab diminta menghadap Pak Harto besok pagi (Kamis) jam 10.00. Menerima telepon seperti itu, terasa sebuah "surprise". Sejak pertemuan yang pertama setelah Pak Harto lengser (Agustus 1998) memang telah ada niat untuk menemui Pak Harto kembali. Keinginan untuk dapat bertemu kembali dengan Pak Harto saya sampaikan melalui Pak Dhar dan Pak Ismail Saleh. Telepon itu merupakan realisasi permintaan saya. Tentu, bagi saya tidak mungkin untuk dapat kembali ke Jakarta pada jam itu. Oleh karena itu, saya meminta anak saya untuk menelepon kembali ke Cendana bahwa tidak mungkin saya kembali kejakarta pada jam itu. Malam hari, ketika saya me-nelepon kembali ke Jakarta, diberitahu bahwa waktu "sowan" (meminjam istilahnya rekan-rekan wartawan), ditetapkan usai shalat Jum'at. Ayah, kalau bisa shalat Jum'at di Cendana sekalian, kata anak saya. Saya berpikir, apa ada shalat Jum'at di Cendana? Kamis sore, setiba di Jakarta, saya menelepon ke Cendana. Saya terkejut, ketika memperoleh informasi bahwa tidak ada jadwal untuk saya. Bagaimana kalau Sabtu pagi? Hari Sabtu itu, saya sudah ada janji di Solo, atas undangan HMI/ Kahmi Solo untuk halal-bihalal. Akhirnya, disepakati Senin, 1 Februari 1999. Saya bersyukur dengan pertemuan itu karena saya dapat memanfaatkan untuk mengetahui berbagai latar belakang serta sikap Pak Harto terhadap berbagai masalah yang telah, sedang, dan akan dihadapi bangsa. Usai pertemuan, saya menyampaikan beberapa materi pertemuan dengan teman-
teman dekat. Cak Nur dan Sugeng Saryadi mengusulkan untuk melaksanakan konferensi pers. Demikian juga beberapa teman lainnya yang tidak perlu disebutkan. Mas Tom saya sarankan menyelenggarakan konferensi pers pribadi, kata Cak Nur. Untuk apa? Untuk mendewasakan wawasan demokrasi kita, kata Cak Nur meyakinkan. Sugeng Saryadi sempat bergurau, kok saya tidak diajak. Sugeng justru bersedia "mengatur" semua pelaksanaan konferensi pers itu. Anniswati, ketua Kahmi, justru sebaliknya, tidak setuju konferensi pers itu. Nanti Mas Tom dituduh membela Pak Harto, kata Annis. Saya berpikir panjang. Namun, pada akhirnya, saya cenderung pendapat Cak Nur. Rakyat Indonesia memang harus tahu apa yang terjadi dengan negaranya. Pak Harto dengan tenang dan runtun menjawab berbagai pertanyaan, dari masalah pribadi sampai ke masalah kenega-raan. Pak Harto, tidak lupa menanyakan masalah-masalah RS Haji, kegiatan IPHI, dan lain sebagainya. Secara garis besar, Pak Harto sangat yakin akan langkah-langkah yang diambilnya di masa lalu selaku Presiden RI, baik dalam masalah politik maupun ekonomi, yang menurutnya semata-mata bagi ke-pentingan bangsa dan negara. Tuduhan-tuduhan yang marak di masyarakat mengenai tersumbatnya proses demokrasi selama pemerintahannya dibantah dengan berbagai argumen. Demikian juga kebijaksanaan ekonominya dan tuduhan KKN. Menurut Pak Harto, kedudukan Presiden dalam UUD 1945 memang kuat, meskipun tidak berarti tanpa batas. Demikian juga prinsip demokrasi Pancasila memang berbeda dengan demokrasi libe-ral. Prinsip-prinsip itulah yang dilakukan selama pemerintahan Orde Baru sehingga tidak ada kebijaksanaan yang tidak dilandasi UU atau Peraturan Pemerintah yang pembuatannya dilaksanakan bersama DPR dan Departemen/Menteri-menteri. Sebagian besar kebijaksanaan, menurut Pak Harto, dilandasi
dengan undang-undang dan dipertanggungjawabkan di lem-baga legislatif di mana selalu memperoleh persetujuan, kata Pak Harto sambil tersenyum. Bahkan dalam masalah mobnas pun, Pak Harto mengatakan, memang Tommy lah (bersama partner Koreanya) yang bersedia memenuhi syarat-syarat yang harus dipenuhi. Bahwa pada akhirnya Pak Harto mengambil kepu-tusan untuk "lengser", ada alasan tersendiri yang melandasi langkah itu, yang (menurut Pak Harto) juga jalan terbaik bagi bangsa dan negara. Daya ingat Pak Harto sangat bagus untuk ukuran usianya, khususnya terhadap berbagai data ekonomi yang diingatnya di luar kepala dan bahkan dengan mudah menceritakan berbagai kejadian politik yang berakar jauh sejak 1945. Misalnya, pecahnya FDR (Front Demokrasi Rakyat) menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia) dan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Pak Harto, dalam hal ini, menunjukkan sikap tidak senangnya, baik kepada PKI maupun PSI. Terlepas setuju atau tidak setuju, berikut ini rangkuman pembicaraan tersebut, yang di satu pihak dapat diartikan sebagai "pembelaan" Pak Harto dan di pihak lain "kritik" bagi gagasan reformasi. Disampaikan secara bebas, sebagaimana dinyatakan oleh Cak Nur, untuk dapat memperkaya wawasan demokrasi kita bahwa perbedaan pendapat itu, dari mana pun datangnya adalah penting bagi pendewasaan sikap demokrasi kita. Lebih dari itu, perbedaan pendapat adalah hikmah.
A. Tentang Kekayaan Pribadi dan Yayasan MANTAN Presiden Soeharto menyatakan, bahwa tidak benar, yayasanyayasan yang didirikannya telah digunakan untuk upaya memperkaya diri serta telah menyimpang dari tujuan yayasan. Semua yayasan yang didirikan itu, sematamata ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sesuai
amanat UUD, disebabkan belum seluruh program kesejahte-raan rakyat, khususnya bagi masyarakat yang kurang mampu, dapat dilaksanakan oleh pemerintah. Misalnya yayasan Super Semar, yang didirikan untuk memberi beasiswa mahasiswa yang pandai, tetapi tidak mampu dari aspek keuangannya. Selama ini telah lebih 60.000 mahasiswa yang telah menerima beasiswa yang diberikan tanpa ikatan apaapa. Indeks prestasi mereka juga bagus, karena memang mereka itu anak yang pandai. Hanya masalah keuangan yang dapat menggagalkan studi mereka. Oleh karena itu, yayasan menyerahkan pada para rektor untuk menyeleksi mahasiswa penerima beasiswa itu. Demikian juga yayasan-yayasan yang lain, misalnya yayasan Seroja/'Dharinais, Amal Bhakti Muslim Pancasila, seluruh dananya untuk menun-jang kegiatan sosial, sesuai tujuannya, tidak ada yang digunakan untuk para pengurusnya, yang sama sekali tidak menerima gaji. Demikian juga dana yang diinvestasikan pada berbagai perusahaan, telah memperoleh hasil investasi dan tidak menyalahi ketentuan yayasan, karena masih dalam kerangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Misalnya, pendirian pabrik teh di Jawa Barat, adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Seluruh kekayaan yayasan yang senilai lebih Rp4 triliun, seluruhnya aset yayasan dan bukan aset/kekayaan HM Soeharto. Tentang yayasan Dakab, yang selama ini membantu Golkar, HM Soeharto menyatakan, bahwa kebetulan kalau Golkar tidak mau menerima bantuan itu sehingga dapat dide-positokan sebagai Dana Abadi, kata Pak Harto sambil tersenyum. Mengenai kekayaan pribadi, mantan Presiden Soeharto me-nyatakan bahwa telah melaporkan kekayaan pribadinya pada Presiden Habibie. Rekening/deposito yang terdapat pada tiga bank, senilai sekitar Rp20 miliar, diperoleh dari tabungan gaji selama 32 tahun menjadi presiden, uang pensiun selaku purna-wirawan ABRI, uang sisa perjalanan dinas serta hasil kontrak
dua rumahnya dijakarta. HM Soeharto juga telah mengeluarkan surat kuasa, yang antara lain untuk meneliti rekening HM Soeharto di semua bank, baik di dalam maupun di luar negeri, yang ternyata terdapat pada tiga bank dari 72 bank yang ditanyai. HM Soeharto juga menyatakan kesediaannya untuk menan-datangani cek pengeluaran uang yang diduga hasil korupsi. Akan tetapi, HM Soeharto juga akan menuntut, kalau ada orang yang tanpa sepengetahuannya membuka rekening atas namanya. Semua itu dilakukan untuk membantu proses hukum yang sekarang sedang berjalan. Pak Harto mempersilakan proses hukum berjalan terus. Namun, HM Soeharto merasa kurangnya perlindungan hukum terhadap dirinya, yang semestinya dapat dinikmati oleh setiap warga negara. Hal ini berkenaan dengan maraknya hujatan, tuduhan yang menurut Pak Harto tidak berdasar fakta, misalnya tuduhan kekayaannya yang senilai Rp200 triliun. Apabila tuduhan/hujatan itu tidak benar, apa sangsinya? Demikian keluh Pak Harto.
B. Tentang Gagasan Reformasi MENJAWAB pertanyaan, apakah benar di saat sebelum lengser, Pak Harto menyetujui gagasan reformasi sebagaimana dilancarkan mahasiswa, HM Soeharto menyatakan persetuju-annya. Tetapi, menurut HM Soeharto bukan reformasi "tanpa visi dan tanpa konsep." Reformasi sekarang, menurut Pak Harto, tanpa visi dan tanpa konsep. Karena itu, pada hari-hari terakhir selaku Presiden, HM Soeharto berusaha membentuk Komite Reformasi untuk merumuskan visi dan konsep reformasi. Atas pertanyaan, HM Soeharto membenarkan, bahwa Komite Reformasi itu semula direncanakan termasuk beberapa tokoh vokal, misalnya Ali Sadikin dan Adnan Buyung Nasution. Pak Harto menambahkan, juga para rektor berbagai perguruan
tinggi dan Dr. Anwar Haryono, Ketua DDI (Dewan Dakwah Is-lamiah), di samping tokoh-tokoh lainnya. Namun, sebagaimana kita ketahui, pembentukan Komite Reformasi ini gagal, karena banyak yang menolak duduk dalam Komite Reformasi itu. Dalam pandangan HM Soeharto, selama ini reformasi telah dilaksanakan dan harus tetap mengacu pada Pancasila dan UUD 1945. HM Soeharto memprihatinkan adanya kecenderungan kita kembali pada Demokrasi Liberal dengan multipartai sistemnya yang hanya akan melahirkan instabilitas politik, sebagaimana pernah kita alami di tahun 50-an. Kita pernah mengalami pengalaman yang tidak menggembirakan dengan demokrasi liberal, kok sekarang akan kita ulangi kembali, katanya menyesali. Tanpa stabilitas politik, menurut HM Soe-harto, tidak mungkin kita membangun bangsa, memenuhi cita-cita mewujudkan kesejahteraan rakyat. Secara panjang lebar, HM Soeharto menjelaskan makna Demokrasi Pancasila, yang harus lebih mementingkan kepentingan bersama, kepentingan bangsa dan negara, di atas kepentingan pribadi atau golongan, yang pada hematnya memang berbeda dengan de-mokrasi liberal. HM Soeharto juga menyayangkan sikap berbagai kalangan, termasuk perguruan tinggi, yang terkesan kurang menyadari hakikat globalisasi. Banyak negara yang masih berkepentingan untuk dapat menguasai negara lain, dengan berbagai cara. Kalau dahulu, perang merupakan alat untuk mewujudkan cita-cita politik, sekarang tidak mungkin lagi menggunakan perang untuk mewujudkan cita-cita politik. Demikian juga keunggulan teknologi, termasuk teknologi perang, ternyata tidak dapat digunakan untuk memenangkan perang, sebagaimana kita lihat di Vietnam. Juga ideologi, tidak zamannya lagi. Satu-satunya alat di era globalisasi adalah ekonomi. Penguasaan ekonomi satu negara atas negara lainnya harus kita waspadai sebagai
kecenderungan baru. Menurut Pak Harto, Indonesia termasuk negara yang secara potensial menjadi sasaran, tidak saja dari aspek ekonomi, tetapi juga aspek lainnya, misalnya kebangkitan Islam. (Catatan tambahan: Secara khusus Pak Harto menyebut peranan kalangan Barat tertentu, khususnya gerakan Zionis/ Jahudi, yang tidak menghendaki peranan Indonesia yang besar sebagai sebuah negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Pak Harlo melihat, di dalam tataran kompetisi global, akan ada empat kekuatan dunia di masa depan yang akan dominan, yaitu Cina, Rusia/Uni Soviet, dunia Islam dan Amerika Serikat. Sudah tentu, dalam persaingan seperti itu, masing-masing pihak berusaha untuk memenangkan persaingan itu. Dalam konteks ini, terpecah-belahnya Uni-Soviet/Rusia, dunia Islam dan bahkan Cina merupakan bagian dari perjuangan memenang-kan kompetisi itu. Uni Soviet sudah terpecah, Cina semula ditolak masuk WTO oleh AS, dengan tujuan untuk isolasi. Indonesia, kata Pak Harto, selayaknya mewaspadai kecende-rungan ini. Dalam kaitan ini, HM Soeharto mengaitkan dengan kebijaksanaan ekonomi yang pernah ditempuhnya, misalnya mengembangkan industri yang menunjang pertanian, meng-olah bahan baku menjadi barang jadi (misalnya plywood), serta industri mobil nasional dan pesawat terbang, agar kita memiliki kemandirian di bidang ekonomi. Khusus mengenai mobil nasional, Pak Harto menyalakan kekecewaannya terhadap para agen kendaraan bermotor, khususnya Jepang, yang meskipun telah diberi kesempatan selama bertahun-tahun, ternyata tidak bersedia melakukan alih teknologi sehingga kita akan tetap bergantung pada teknologi mereka. Karena itu diambil kebijaksanaan mobnas dengan bekerja sama dengan Korea. Mengenai penunjukan Hutomo Mandala Putra (Tommy), Pak Harto mengatakan, bahwa dialah (dengan partner Korea-nya) yang bersedia memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan
pemerintah. Mereka itulah yang dapat memanfaatkan kesem-patan. Fasilitas perpajakan yang dinikmati mobil nasional, kata Pak Harto sebenarnya justru meringankan masyarakat yang akan membeli mobnas, di samping agar mobnas dapat cepat bersaing. Semua itu, menurut Pak Harto, juga memanfaatkan momentum sebelum tahun 2000, saat kita harus melaksanakan globalisasi, agar sebelum itu, kita telah mandiri dalam industri mobil.
C. Tentang Asas Tunggal Pancasila ASAS tunggal Pancasila, sebagaimana kita ketahui, adalah salah satu kebijaksanaan yang sangat penting yang dimak-sudkan untuk menumbuhkan stabilitas politik, khususnya menghindari konflik ideologi antarparpol sebagaimana terjadi di tahun 1950-an. HM Soeharto sangat sadar akan langkah yang dinilainya sebagai sangat strategis. Dengan hapusnya asas tunggal Pancasila, kekhawatiran pengalaman lama terulang kembali, sudah tentu sangat besar. Untuk menggambarkan betapa "seriusnya" masalah ini, HM. Soeharto menyampaikan ilustrasi, pertemuannya dengan KH. Bisri Syamsuri, Rais Aam PPP, sampai tiga kali di Cendana di saat sekitar perumusan asas tunggal Pancasila. KH. Bisri Syamsuri, menurut HM Soeharto memberi saran untuk tidak meneruskan gagasan asas tunggal Pancasila. Saran/pertimbangan itu, menurut KH. Bisri Syamsuri ia berikan setelah melakukan shalat istikharah. Namun, HM. Soeharto, selaku Presiden RI tetap bersikukuh dengan cita-cita-nya untuk menterapkan asas tunggal Pancasila. Kepada KH Bisri Syamsuri, HM. Soeharto mengatakan, bahwa dengan asas tunggal Pancasila, tidak bermaksud untuk meng-Agamakan Pancasila atau mem-Pancasila-kan Agama. Indonesia, menurut Pak Harto, bukan negara agama, tetapi juga bukan negara
sekuler. Insya Allah, Pancasila justru akan "melindungi" kehi-dupan beragama, termasuk Islam. HM. Soeharto juga meyakin-kan KH Bisri Syamsuri, bahwa pihaknya akan membuktikan kebenaran apa yang diyakininya, bahwa dengan asas tunggal Pancasila kehidupan umat Islam justru akan lebih marak. Yang penting adalah pelaksanaan esensi ajaran Islam di dalam kehidupan sehari-hari. Mengapa dinamakan "asas- tunggal" dan bukan (misalnya) Pancasila sebagai "asas bersama"? Karena di waktu itu, penonjolan asas yang bersifat ciri (Islam) masih sangat dominan. Dalam kaitan ini, HM Soeharto telah merasa apa yang dikatakannya sebagai "janji" di depan KH. Bisri Syamsuri itu telah dilaksanakannya (maksudnya, kehidupan beragama, khususnya Islam sekarang sangat semarak, meskipun kita menerapkan asas tunggal Pancasila. Demikian juga peng-amalan esensi ajaran Islam).
D. Tentang Alasan "Lengser Keprabon" ATAS pertanyaan mengapa (pada akhirnya) HM. Soeharto yang sesungguhnya masih dikesankan sebagai sangat kuat, tiba-tiba menyatakan berhenti? Mengapa begitu "ngglethek" ("sepele")? Secara pribadi, saya pernah mengambil kesimpulan, bahwa Pak Harto di saat itu "ngambek" karena gagal mem-bentuk Komite Reformasi dan Kabinet Reformasi. Antara lain, karena pembantu-pembantu dekatnya pun tidak bersedia duduk dalam kabinet Reformasi. Ternyata, Pak Harto mempunyai alasan yang tersendiri. Sebenamya, menurut HM. Soeharto, ka-lau mau, masih dapat mempertahankan diri, karena ABRI masih di belakangnya, di samping selaku pemegang Tap V/MPR, diberi kewenangan untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk menyelamatkan pembangunan. Namun, apabila itu dilakukan, akan terjadi kekacauan yang semakin hebat. Di
samping itu, apabila digunakan kekerasan, satu generasi bangsa, yang diwakili oleh para mahasiswa akan hilang sehingga akan merugikan bangsa ini. Pak Harto mengaku, masih "ngeman" para mahasiswa yang dinilainya masih murni. Mengapa tidak memanggil MPR untuk bersidang? Tidak mungkin, kata Pak Harto. Hal ini karena gedung MPR sudah diduduki mahasiswa sehingga kekacauan dapat semakin hebat. Dengan cara seperti itu (melalui Pasal 8 UUD 1945) juga tidak akan terjadi vakum pemerintahan. HM. Soeharto juga ingin menunjukkan, bahwa Pak Harto ikhlas dengan pengunduran dirinya, kalau me-mang tidak lagi dikehendaki rakyat. Tidak jadi presiden juga tidak "patheken", katanya mengulang pernyataannya beberapa waktu yang lalu, ketika bertemu dengan Cak Nur dan ulama/ cendekiawan lainnya (19 Mei 1998). Namun, yang selalu dikhawatirkan oleh Pak Harto sejak semula adalah, apakah semuanya akan selesai dengan ber-hentinya sebagai presiden? Pak Harto merasa bahwa ternyata memang benar, bahwa permasalahan yang kita hadapi sekarang, tidak dapat selesai dengan sekadar pengunduran dirinya.
E. Tentang Berbagai Kerusuhan BENARKAH HM. Soeharto berada di belakang berbagai kerusuhan yang terjadi di mana-mana? HM. Soeharto dengan tegas membantah. Buat apa? Sejak lengser, HM. Soeharto benar-benar ingin "madheg pandito". Hari itu (Senin) Pak Harto tetap berpuasa. Untuk shalat Jum'at, sekarang Pak Harto menggelar shalat Jum'at di rumah Jalan Cendana. Khatibnya bergantian, antara lain mantan Mensesneg Saadillah Mursyid dan Ibrahim Hasan, mantan Kabulog dan Menpangan sebab kalau shalat Jum'at di Bimantara banyak merepotkan orang, sementara kalau shalat Jum'at di masjid Kodam dikira mau "come back",
Dengan tegas, Pak Harto mengatakan tidak acla kemginan untuk "come-back", sebagaimana dikhawatirkan banyak orang. Kalau mau tetap berkuasa, kata Pak Harto, buat apa ia mengun-durkan diri, meskipun di waktu itu Pak Harto masih (merasa) didukung oleh ABRI dan memegang Tap V/MPR.
E Mengapa Tidafe Minta Maaf? MENJAWAB pertanyaan, mengapa tidak minta maaf pada seluruh rakyat Indonesia? HM Soeharto mengatakan bahwa permintaan maaf itu telah diucapkannya setiap tahun, pada saat melaksanakan pidato kenegaraan, menjelaskan hal-hal yang telah berhasil dan hal-hal yang belum berhasil, yang sampai sidang MPR yang lalu dapat diterima dengan baik. Lagi pula, apakah permintaan maaf akan menyelesaikan semuanya? HM Soeharto ragu, mengingat ada kesan banyak yang sudah apriori. Pak Harto "mengeluh" bahwa hanya hal-hal yang jelek ten-tang dirinya yang layak memperoleh publikasi luas. Karena itu, Pak Harto juga tidak bersedia untuk membantah langsung. Toh tidak akan dimuat. Yang diekspos hanya yang jelek-jelek. Misalnya, ketika Jaksa Agung melakukan pemeriksaan reke-ning HM Soeharto di bank-bank, yang diekspose jumlah bank yang diperiksa, yaitu sebanyak 72 bank, tetapi bukan tiga bank di mana ditemukan rekening Pak Harto.
G. Tentang Pembantu-pembantunya yang Tidafc Loyal DI SAAT Pak Harto berhenti sebagai presiden, di luaran banyak pembicaraan sebab antara lain adalah karena gagal-nya pembentukan Komite Reformasi dan tidak bersedianya beberapa menteri untuk bersedia kembali duduk di dalam
kabinet Reformasi yang hendak dibentuknya. Pak Harto ternyata tidak bersedia menjawab secara eksplisit, meskipun ada kesan kecewa, dengan mengatakan perasaan orang lain saja yang juga kecewa. Pak Harto tidak menolak gambaran cerita wayang tentang sikap Wibisana yang terpaksa meninggalkan Prabu .Rahwana (kakaknya) karena tidak setuju dengan kebijaksa-naan raja Ngalengkadiradja itu. Wibisana, sebagaimana kita ketahui, menyampaikan sikap ketidaksetujuannya dan kemu-dian meninggalkan kerajaan Alengka Diraja, di saat Prabu Rahwana (Dasamuka) masih berkuasa. Sementara itu, mengenai Kumbokarno, Pak Harto mencontohkan sebagai seorang yang bersedia mati membela negara, bukan membela kepentingan sang raja, saat Alengkadiradja diserang oleh Prabu Rama. Demikianlah beberapa materi percakapan dengan Pak Harto. Saya yakin bahwa tidak semua penjelasan Pak Harto itu dapat diterima oleh khalayak ramai. Usai konferensi pers, banyak reaksi pro dan kontra. Yang kontra menuduh sebagai juru bicara Cendana, menghambat reformasi dan lain sebagai-nya. Melalui wawancara telepon, seorang wartawan bertanya, apa mas Tom tidak takut kehilangan popularitas? Buat apa? Saya tidak mencari popularitas kok, jawab saya enteng. Sayang, justru kalimat ini tidak dimuat oleh koran itu. Yang pro memuji, untung dalam suasana seperti ini ada yang "berani" seperti Sulastomo. Itulah orang Islam, kata yang lain. Tidak hanya datang di saat berkuasa, tetapi justru sedang teraniaya. Dan bahkan ada yang mengatakan "biar tahu" ada orang yang tidak munafik. Seorang teman mantan PB HMI 1963-1966 mengatakan, ibaratnya mas Tom telah membelah samudera, mencairkan kebekuan yang selama ini mencekam kita. Menanggapi semua itu, saya menyatakan sebagai suatu hal yang biasa. Itulah demokrasi. Namun, saya justru yakin, sebagaimana dinyatakan Cak Nur, insya Allah ada manfaatnya karena Pak
Harto tidak sempat mempertanggungjawabkan tugas ke-presidenannya di hadapan MPR sehingga banyak masalah yang sesungguhnya masih tertutup. Hal ini berbeda dengan Bung Karno, yang memperoleh kesempatan untuk mempertanggungjawabkan kepresidenannya di hadapan MPR, meskipun pada akhirnya pertanggungjawaban Bung Karno itu tidak diterima oleh MPR. Secara pribadi, saya berpendapat bahwa berhentinya Pak Harto seperti itu, bukan preseden ketatanegaraan yang baik, meskipun para ahli hukum kita mengatakan hal itu konsti-tusional. Kalau kita semua dapat sedikit bersabar, mestinya DPR mempertimbangkan perlunya sidang istimewa MPR dan di sana, Pak Harto harus mempertanggungjawabkan kepresi-denannya. Namun, suasana menjelang 21 Mei itu sudah demi-kian kalutnya sehingga yang penting adalah asal Pak Harto turun pada hari, menit, dan bahkan detik itu juga. Akibatnya, meskipun berhentinya Pak Harto konstitusional, masih ada yang berpendapat Pak Habibie kurang/tidak memperoleh legitimasi. Kenyataan seperti ini, tentunya dapat merugikan kita semua sebagai bangsa oleh karena dalam masa yang kritis seperti itu, mestinya kita harus mempunyai pemerintahan yang kuat, yang tidak perlu diperdebatkan legitimasinya. Semoga informasi ini bermanfaat bagi seluruh rakyat tentang apa yang dilakukan mantan presidennya, menurut versinya sendiri sehingga memperoleh gambaran yang utuh tentang negaranya, tanpa harus setuju atau tidak setuju. Inilah pada dasarnya, sebuah prinsip HAM, di mana setiap orang berhak untuk memperoleh informasi yang seluas-luasnya, di samping dapat memberi arti dalam proses belajar demokrasi kita. Adanya perbedaan, betapa pun mungkin sangat tajam, dari siapa pun, dapat kita terima sebagai hikmah yang membantu pendewasaan wawasan demokrasi kita.
Demikianlah, ketika saya hendak berpamitan, saya mem-peroleh kenangkenangan sebuah tas anyaman mendong warna hitam, berisi kitab Suci Alquran, dengan sebuah tasbih kayu cendana, yang menurut Pak Harto dironce sendiri oleh Mbak Tutul dan Titiek dalam rangka 1000 hari wafatnya ibu Tien. AMANAH, Maret 1999 (diedit kembali)