BAB II SYARAT – SYARAT JUAL LEPAS TANAH ADAT DI PAK – PAK BHARAT A. Profil Singkat Kabupaten Pak–Pak Bharat Dan Masyarakat Pak-Pak 1.
Kondisi Wilayah Pak – Pak Bharat Kabupaten Pak-Pak Bharat sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Dairi terletak di Pantai Barat Sumatera yaitu 2, 00 – 3,00 LU 96,00 – 98,30 BT dan berada pad ketinggian 250 – 1400 m diatas permukaan laut. Kabupaten Pak – Pak Bharat juga memiliki batas wilayah sebagai berikut : 1. Sebelah Utara : Kecamatan Silima Punggapungga, Lae Parira, Sidikalang Kabupaten Dairi. 2. Sebelah Selatan : Kecamatan Tara Bintang, Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kecamatan Manduamas Kabupaten Tapanuli Tengah. 3. Sebelah Timur : Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi dan Kecamatan Harian Kabupaten Tobasa. 4. Sebelah Barat : Kabupaten Aceh Singkil Propinsi Nangroe Aceh Darrusalam. Sebenarnya Pak-Pak Bharat bukan wilayah baru, Kabupaten yang mengambil 3 (tiga) Kecamatan dari Dairi mengambil nama sub wilayah suku Pak – Pak. Kabupaten Pak – Pak Bharat secara administratif memiliki 8 (delapan) Kecamatan yakni Kecamatan Salak, Kecamatan Kerajaan, KecamataSitellu n Tali Urang Jehe, Kecamatan Tinada, Kecamatan Siempat Rube, Kecamatan Sitellu Tali Urang Julu, Kecamatan Pergetteng – getting Sengkut dan Kecamatan Pagindar. Luas
Universitas Sumatera Utara
wilayah Kabupaten 1.218,30 KM2 ( 121.830 Ha) atau 1,76 % dari luas Propinsi Sumatera Utara. Dari luas wilayah tersebut 63.974 Ha diantaranya merupakan lahan yang efektif dan 53.156 Ha merupakan lahan yang belum dioptimalkan, yang beriklim sedang, dengan rata – rata suhu 280C dengan curah hujan per tahun sebesar 311 MM. Penduduk Kabupaten Pak-Pak Bharat berjumlah 36.972 jiwa yang terdiri dari 18.216 jiwa laki – laki dan 18.756 jiwa perempuan 32. Pada umumnya mereka tinggal di daerah pedesaan dan pencaharian utamanya adalah dengan bertani, dan merupakan Kabupaten yang memiliki penduduk paling sedikit dari seluruh Kabupaten/ kota di Propinsi Sumatera Utara. Sebagai Kabupaten yang sedang berkembang banyak pembangunan yang terjadi di daerah Pak – Pak Bharat hal ini sangat terlihat di ibukota Kabupatennya yaitu Kota Salak, dan kebutuhan akan tanah di kota itu sangatlah tinggi oleh karena banyak dari pegawai pemerintahan kabupaten tersebut berasal dari luar daerah Pak – Pak dan kebanyak dari mereka berdomisili di Kota Salak, selain faktor itu juga banyak dari pihak luar yang datang ke daerah itu untuk berusaha dan membangun sarana prasarana yang membantu perkembangan daerah itu misalnya pembagunan perkantoran, hotel,dan sebagainya oleh karena pembangunan ini lah praktek jual lepas (pelepasan hak) banyak terjadi di Kota Salak yaitu mencakup desa Salak 1 dan desa Salak 2 menurut keterangan dari Kepala Desa Salak 2 sejak tahun 2009 – 2011
32 32
Wawancara Camat Salak S.Banurea,S (26 Juni 2011)
Universitas Sumatera Utara
sudah terjadi 73 kasus jual lepas ( pelepasan hak ) sedangkan di desa Salak 1 ada 60 kasus jual lepas ( pelepasan hak ) 33 sedangkan di tiga desa lain yang ada di Kecamatan Salak jarang sekali dilakukan praktek jual lepas tanah ini dikarenakan jaraknya yang jauh dari pusat kota Salak dan susahnya transportasi sehingga tidak banyak yang berminat. Oleh karena itu untuk sampel penelitian ini hanya dilakukan di ke-2 (dua) desa yaitu Desa Salak 1 dan Desa Salak 2 yang terdapat di Kecamatan Salak . Kota Salak yang terdapat di Kecamatan Salak merupakan Ibukota Kabupaten yang terdiri dari 5 (lima) desa yaitu Desa Salak 1 (satu), Desa Salak 2 (dua), Boangmanalu Salak, Penangalan binangaboang dan Kuta Tinggi. Dari ke 5 (lima) desa ini Desa Salak 1 (satu) dan Salak 2 (dua) yang paling banyak melakukan praktek Jual Lepas atau dalam pelaksanaannya di daerah ini lebih sering disebut dengan Pelepasan Hak. 34 Sebab di kedua desa inilah pembangunan sangat pesat terjadi dan juga merupakan jantung Kota Salak. Adapun luas wilayah kota ini seluas 730 ha ( tujuh ratus tiga puluh hektar) kepadatan penduduk yang terdiri dari laki – laki 3.571 orang dan perempuan 3.640 orang. Desa Salak 1 (satu) dan Desa Salak 2 (dua) masing – masing memiliki 5 (lima) dusun yaitu: a. Desa Salak 1 (satu) -
Dusun Pasar
33 34
Wawancara Kepala Desa Salak 2 E.Padang (24 Juli 2011) Wawancara Kepala Desa Salak 2 E.Padang (24 Juli 2011)
Universitas Sumatera Utara
-
Dusun Pelnas
-
Dusun Permangu
-
Dusun Lae cilum
-
Dusun Gunung Meriah
b. Desa Salak 2 (dua) -
Dusun 1 Pasar Salak
-
Dusun 2 Barisan
-
Dusun 3 Napa Sengkut
-
Dusun 4 Persabahen
-
Dusun 5 Kuta Kettang
Walaupun di Pak – Pak Bharat pada saat ini sedang melaksanakan pembangunan tetapi pembangunannya belum begitu merata dapat dilihat pembangunan hanya terpusat di Kota Salak, sehingga banyak tanah yang belum dimanfaatkan secara maksimal, masih banyak tanah yang ditumbuhi belukar dan bergunung terjal yang merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat Pak – Pak. 2. Keadaan Masyarakat Hukum Adat Pakpak Suku Pakpak terdiri atas 5 (lima) suak yaitu simsim, keppas,pegagan, boang dan kelasen. Dibawah suak terdapat kuta (kampung) yang dipimpin oleh Pertaki atau kappung (kepala kampung). Pada umumnya Pertaki atau kappung (kepala kampung) juga merupakan raja adat sekaligus sebagai panutan di kampungnya, disamping itu Pertaki atau kappung (kepala kampung) mempunyai tugas dan wewenang yang
Universitas Sumatera Utara
berkaitan dengan pengolaha kuta (kampung), penegakan hukum, ketertiban dan disiplin. Disetiap kuta ada Sulang Silima sebagai pembantu Pertaki yang terdiri dari perisang – isang, perekur –ekur, pertulang tengah, perpunya ndiadep dan perbetekken (anak paling besar,anak tengah, anak paling kecil, anak perempuan dan teman satu marga) Meski struktur pemerintahan yang seperti ini sudah tidak dipakai lagi karena dianggap tidak relevan karena pengaturan daerah termasuk desa – desa di seluruh Indonesia diatur secara nasional melalui perundang – undangan, Undang - Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintaha Daerah yang sudah mengatur secara tegas mengenai desa, keluruhan, dusun dan lingkungan dan semuanya tidak berdasarkan hukum adat Pakpak, tetapi masih tetap dipertahankan sebagai sumber hukum adat budaya Pakpak. Secara tradisional wilayah komunitasnya disebut tanah Pakpak, hampir 90% (Sembilan puluh persen) penduduk di wilayah Pak-Pak Bharat beretnis Pakpak maka penduduknya bisa dikategorikan homogen Walaupun tanah Pakpak itu terpisah secara administratif, tetapi secara geografi tidak terpisah satu sama lain karena berbatasan langsung walaupun hanya bagian – bagian kecil dari wilayah kabupaten tertentu, kecuali Kabupaten Pak-Pak Bharat menjadi sentra utama masyarakat suku Pak-Pak. Kesatuan komunitas terkecil yang umum dikenal hingga saat ini disebut Lebbuh dan Kuta. Lebuh merupakan bagian dari Kuta yang dihuni oleh klan kecil sementara kuta adalah gabungan dari lebbuh – lebbuh yang dihuni oleh suatu klen besar (marga) tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Jadi setiap Lebbuh dan Kuta dimiliki oleh klen atau marga tertentu dan dianggap sebagai penduduk asli, sementara marga tentu dikategorikan sebagai pendatang.
Selain
memperthitungkan
itu garis
orang
Pakpak
keturunan
menganut dan
prinsip
pembentukan
Patrilineal klen
dalam
(kelompok
kekerabatannya) yang disebut marga. Marga – marga yang ada dalam suku Pakpak diklasifikasikan menjadi 5 (lima) bagian besar yakni Pakpak Simsim, Pakpak Boang, Pakpak Keppas, Pakpak Pegagan, dan Pakpak Kelasen., masing – masing sub ini dibedakan berdasarkan hak ulayat marga. Marga – marga Pakpak yang termasuk Pakpak Simsim misalnya : marga Berutu, Tinadang, Padang, Bancin, Manik, Sitakar, Kebeaken, Lembeng, dan Cibro, Boangmanalu, Padang Batanghari, Solin, Tendang dan Banurea. Marga Pak-Pak Keppas misalnya : marga Ujung, Angkat Bintang, Capah, Kudadiri, Brampu, dan Maha, Sinamo, Pardosi. Marga Pakpak Kelasen misalnya : marga Tumangger, Tinambunen, Kesogihen, Meka, Maharaja, Gajah Brasa, Sikettang dan Mungkur . Marga Pak-Pak yang termasuk Pakpak Boang misalnya : Saraan dan Sambo Marga Pakpak yang termasuk Pakpak Pegagan misalnya : marga Lingga, Mataniari dan Manik. 35 Masing – masing sub marga ini dibedakan berdasarkan hak ulayat marganya dan identitasnya adalah marga yang dimilikinya. Kota Salak yang dulunya pada saat masih menjadi bagian dari Kabupaten Dairi hanyalah sebuah desa kecil yang mana tanahnya merupakan hak ulayat dari 35
Wawancara, Kepala Adat marga Banurea M. Banurea ( Salak 24 Juli 2011 )
Universitas Sumatera Utara
marga Banurea, setelah Pak – Pak Bharat memisahkan diri dan menjadi Kabupaten Desa Salak ini lah yang sangat mempunyai potensi sebagai Ibukota. Kota Salak sekarang bukan lagi seperti pada saat menjadi sebuah desa luas wilahnya pun bertambah yang dulunya hanya dimiliki oleh tanah ulayat marga Banurea tetapi juga ada tanah ulayat marga Boangmanalu dan Bancin walaupun begitu 80 (delapan puluh) % dari luas Kota Salak sekarang adalah tanah marga Banurea dan berada di Desa Salak 1 (satu) dan Desa Salak 2 (dua), oleh karena itu praktek Jual Lepas atau Penyerahan Hak sangat banyak dilakukan di Desa Salak 1 dan Salak 2 yang tanahnya dimiliki oleh marga Banurea dikarenakan di tanah ulayat marga Banurea inilah terjadi banyak pembangunan. Marga Banurea sendiri terdiri dari 8 (delapan) bagian yaitu : 1. Banurea Mabar 2. Banurea Kutagugung 3. Banurea Perira 4. Banurea Kutakettang 5. Banurea Kutarimbaru 6. Banurea Boangjati 7. Banurea Telangke 8. Banurea Lebuh tendang 36
36
Wawancara, Kepala Adat marga Banurea M. Banurea ( Salak 24 Juli 2011 )
Universitas Sumatera Utara
Masing masing marga ini memiliki Lebbuh (perkampungan) nya sendiri dan bebas untuk menggunakan dan mengusahakan setiap tanah yang ada di seluruh wilayah kekuasaan marga Banurea yang mana setiap Lebbuh (perkampungan) dipimpin oleh Pertaki atau kappung ( kepala kampung). Walaupun ada sub bagiannya tetapi diatasnya itu juga ada satu Pertaki atau Kappung yang dipilih dari sub marganya untuk menjadi pemimpin marga itu secara kesatuan. Jadi dapat dilihat bahwa seluruh suku Pakpak di Kabupaten Pak – Pak Bharat adalah anggota masyarakat hukum adat yang mempunyai kekayaan, wilayah sendiri yang dipimpin oleh Pertaki atau Kappung ( Kepala Kampung) dan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam Persekutuan Hukum Adat. Bushar Muhammad menjelaskan bahwa masyarakat hukum adat yang bersifat territorial adalah : Masyarakat yang disusun berdasarkan lingkungan daerah, adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa bersatu dan oleh sebab itu merasa bersama – sama merupakan kesatuan dalam hubungan kekerabatan karena adanya ikatan para mereka masing – masing dengan tanah tempat tinggal mereka. Landasan – landasan yang akan mempersatukan para anggota masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat territorial adalah ikatan orang dengan anggota masyarakat masing – masing dengan tanah yang didiaminya, sejak kelahirannya. 37
Masyarakat hukum adat Pakpak mempunyai hubungan kekerabatan dengan adanya keterikatan dengan tanah tempat tinggal sejak kelahirannya bersama – sama membentuk suatu kesatuan atas lingkungan daerah tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat hukum adat Pakpak sebagai masyarakat hukum adat bersifat
37
Bushar Muhammad, Asas – Asas Hukum Adat suatu Pengantar, ( Bandung : Bina Cipta 1988), halamana 33
Universitas Sumatera Utara
territorial, yang masih memperdulikan hak – hak atas pemerintahan adat dalam kehidupan sehari –hari yang masih mempertahankan nilai – nilai leluhur.
3. Peranan Lembaga Adat Sulang Silima Suku Pakpak Menurut Soepomo, pengertian Kepala Adat adalah sebagai berikut “Kepala Adat adalah bapak masyarakat, dia mengetuai persekutuan sebagai ketua suatu keluarga besar, dia adalah pemimpin pergaulan hidup dalam persekutuan.” 38 Dengan demikian kepala adat bertugas memelihara hidup hukum didalam persekutuan, menjaga, supaya hukum itu dapat berjalan dengan selayaknya. Aktivitas Kepala Adat sehari – hari meliputi seluruh lapangan masyarakat. Tidak ada satu lapangan pergaulan hidup di dalam badan persekutuan yang tertutup bagi Kepala Adat untuk ikut campur bilamana diperlukan untuk memelihara ketentraman, perdamaian, keseimbangan lahir batin untuk menegakkan hukum. Adapun aktivitas kepala adat dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu : 1. Tindakan mengenai urusan tanah berhubung dengan adanya pertalian erat antara tanah persekutuan (golongan manusia) yang menguasai tanah itu. 2. Penyelesaian hukum sebagai usaha untuk mencegah adanya pelanggaran hukum (Preventieve Rechtzorg) supaya hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya.
38
Soepomo, Bab – Bab Tentang Hukum Adat,( Jakarta : Pradnya Paramita 1979), hal. 45
Universitas Sumatera Utara
3. Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum setelah hukum itu dilanggar (Repseive Reshtszorg). 39 Dengan demikian Kepala Adat di dalam segala tindakannya dan dalam memegang adat itu ia selalu memperhatikan perubahanperubahan. Adanya pertumbuhan hukum, sehingga dibawah pimpinan dan pengawasan Kepala Adat yang sangat penting adalah pekerjaan di lapangan atau sebagai hakim perdamaian desa. Apabila ada perselisihan atau perbuatan – perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat, maka Kepala Adat bertindak untuk memulihkan perdamaian adat, memilihkan keseimbangan di dalam suasana desa serta memulihkan hukum. Dalam masyarakat adat Pakpak yang masih sangat dipengaruhi oleh hukum adat, kepala adat sebagai pimpinan dari suatu lebbuh atau Kuta dari marga – marga yang ada di Pakpak mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan aturan – aturan adat yang ada pada masyarakat Pakpak. Dulunya kepala adat di Pakpak disebut dengan Pertaki atau Kappung (Kepala Kampung) dialah yang menjadi pimpinan dan penanggung jawab dari suatu lebbuh atau kuta dengan Sulang Silima sebagai pelaksana tugasnya, seiring perkembangan zaman dan perkembangan daeran istilah Pertaki ini perlahan – lahan menghilang keberadaannya dan Sulang Silima yang dianggap sebagai ketua adatnya. Lambat laun Sulang Silima yang tadinya terdiri dari 5 (lima) unsur yaitu : perisang – isang (anak paling besar), perekur –ekur (anak paling bungsu), pertulang tengah (anak tengah ), perpunya ndiadep(anak boru) dan perbetekken (teman satu marga) juga mengalami 39
Ibid,hal 66
Universitas Sumatera Utara
perubahan, Sulang Silima yang sekarang hanya beranggotakan dari marga – marga Pakpak yang ada. Pada sekarang ini istilah Pertaki atau Kappung (kepala kampung) sudah tidak dipergunakan lagi tetapi sudah diganti menjadi Kepala Desa sesuai dengan Pengaturan Pemerintahan dalam Undang – undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dulunya dialah yang berkuasa penuh dalam pelaksanaan hukum adat terutama masalah pertanahan setelah Pertaki atau Kappung ( Kepala Kampung) tidak lagi digunakan yang berpengaruh saat ini adalah Sulang Silima. Sulang Silima yang menjadi penentu dan pembuat keputusan dan sumber dari segala sumber hukum adat Pakpak yang menyangkut hukum pertanahan, hukum perkawinnan, hukum pewarisan dan juga mengatur tentang kekerabatan pada masyarakat Pakpak, dimana dalam pelaksanaannya diluar dari ke 5 (lima) unsur yang ada dalam Sulang Silima diangkatlah satu orang dengan marga yang sama sebagai Kepala Adat, fungsi Kepala Adat disini hanyalah sebagai perantara masyarakat dengan ke 5 (lima) unsur Sulang Silima, kepala adat disini tidak berhak untuk mengambil keputusan dalam
pelaksanaan adat, kepala adat ini hanya berfungsi
dengan baik pada saat acara – acara adat saja, sedang peranan dari Sulang Silima sama dengan peranan Pertaki atau Kappung (Kepala Kampung) sebelumnya. Ke 5 ( lima ) unsur yang ada di Sulang Silima bukan satu ketetapan yang mana isi dari ke 5 (lima) unsur masih merupakan satu keluarga dari satu garis keturunan Sulang Silima yang sekarang dikenal di Pak – Pak Bharat dan masih dianggap keberadaannya adalah Lembaga Adat Sulang Silima yang dibentuk dan anggotanya
Universitas Sumatera Utara
dipilih sendiri oleh para marganya. Walaupun Sulang Silima ini menjadi satu kesatuan, tetapi di dalam pembentukannya juga masih berdasarkan ke 5 (lima) unsur yang diharuskan tetapi sudah menjadi satu kesatuan bukan lagi berdasarkan keturunan keluarga satu empungnya (kakek). Adapun peranan dari Sulang Silima pada saat ini sangat terlihat dalam usaha untuk pengamanan amanah atau warisan tanah ulayat marganya. Dalam pelaksanaannya sendiri Sulang Silima ini terlihat pada marga Banurea Kutagugung yang dipimpin oleh H.Banurea sebagai Ketua Umum yang merupakan sub bagian dari Sulang Silima Banurea seluruhnya yang pada saat ini dipimpin oleh M.Banurea (Mpu Bada). 40 Bila ada perbuatan – perbuatan hukum serta permasalahan mengenai tanah marga, maka penyelesaian diserahkan kepada Sulang Silima sebagai lembaga adat tertinggi suku Pakpak pada masa sekarang ini. B. Struktur Kepemilikan Tanah Marga atau Tanah Adat di Pak – Pak Bharat Dari hasil penelitian yang diperoleh melalui hasil wawancara responden bahwa status tanah yang ada di Pak – Pak Bharat merupakan tanah dalam status tanah adat, sebagian besar dari bidang tanah diatur menurut hak milik adat, atau hak atas tanah adat. Hak atas tanah adat dalam bahasa Indonesia disebut hak ulayat. Tanah ulayat menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
40
H.Banurea, Wawancara Kutagugung.(Salak, 25 Juli 2011)
dengan
Kepala
Adat
Sulang
Silima
marga
Banurea
Universitas Sumatera Utara
Hukum Adat Pasal 1 ayat 2 menyatakan bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Kepemilikan tanah pada umumnya di Kabupaten Pak – Pak Bharat adalah tanah marga dan tanah milik adat secara bersama – sama 80% (delapan puluh persen) dari kepemilikan tanah yang ada di Pak – Pak Bharat adalah tanah marga dan 20% (dua puluh persen) adalah tanah milik adat bersama yang mana kepemilikan tanah ini dimiliki secara bersama – sama dalam satu keluarga tanah ini masuk kedalam tanah warisan keluarga dan masih dalam sistem kekeluargaan yang sangat erat maka pembagiannya tidak dilakukan secara jelas hanya secara lisan saja. Luas Tanah adat yang ada di Pak-Pak Bharat seluas 35.670 ha yang dikuasai oleh marga Pak-Pak yaitu marga Berutu, Bancin, Padang, Solin, Sinamo, Manik, Cibro, Banurea, Boangmanalu,Lembeng, Sitakar, Kabeaken, Tinendung, Munthe, Ujung, Kudadiri, Mataniari dan Siketang. Tanah adalah satu kesatuan dengan kehidupan masyarakat Pakpak atau menunjukkan identitas tentang keberadaan anggota masyarakat tersebut sehingga tanah menetukan hidup matinya masyarakat tersebut. Tanah dikuasai oleh marga sebagai pemilik ulayat tanah tersebut. Adapun bentuk – bentuk tanah sebagai berikut : a. Tanah tidak diusahai : Tanah “Karangan Longo – longoon” (hutan dan tidak pernah dikunjungi orang), Tanah “Kayu Ntua” (tanah yang luas penuh dengan pohon – pohon tua yang besar) Tanah “Talin Tua” (tanah pekuburan untuk selama
Universitas Sumatera Utara
– lamanya), Tanah “Balik Batang” (tanah bekas ladang yang tidak diusahai lagi) dan Rambah Keddep (Jempalan) (lapangan yang luas dan subur tempat kerbau untuk makan). b. Tanah yang diusahai : “Tahuma Pargadongen” (ladang ubi), “Perkemenjemen” (ladang kemenyan) dan “Bungus” ( tanah luas dan banyak terdapat tanaman tua) c. Tanah Perpulungen yaitu “embal – embal” (warisan) dan Jalangan ( tanah yang subur yang tidak dketahui siapa pemilik tanah tersebut dan dapat digarap). d. Tanah Sembahen : tanah yang dijadikan tempat untuk melakukan ritual khusu menyembah nenek moyang yang mempunyai sifat magis (keramat) pada saat ini tanah ini sudah tidak dipergunakan lagi dan dijadikan tempat untuk berladang. e. Tanah Persediaan yaitu tanah cadangan dimana tanah ini tetap hak marga, tanah yang dijaga oleh Permangmang (orang yang sangat dihormati) dan tidak boleh diganggu. f. Lebbuh : tanah perkempungan untuk setiap marga bermukim. Dalam hal pergeseran/pengalihan tanah tidak ada dalam hukum adat Pakpak, kecuali tanah Rading Berru (tanah yang diberikan kepada anak perempuan/menantu sepanjang masih dipakai) dan apabila tidak dipakai lagi harus dikembalikan kepada Sulang Silima tetapi dengan persyaratan bahwa anak laki – laki dari pihak beeru
Universitas Sumatera Utara
tersebut harus menggambil anak perempuan (berru) dari kula-kulanya tersebut dan juga tanah ladang dan persawahan. 41 Tetapi dalam hal perkembangan Pak – Pak Bharat yang berkembang dengan pesat serta kebutuhan akan tanah dan kepentingan akan uang pergeseran/pengalihan tanah yang dikatakan tidak ada tersebut dapat dikesampingkan asal sesuai dengan tata cara adat dan telah mendapat izin dari Sulang Silima. Disinilah peran serta dan pentingnya Sulang Silima sebagai Kepala Adat C. Jual Beli dalam Hukum Adat Jual beli tanah sebagai suatu lembaga hukum tidak secara tegas dan terperinci diatur dalam UUPA, bahkan sampai sekarang belum ada peraturan yang mengatur khusus mengenai pelaksanaan jual beli tanah. Menurut hukum adat, jual beli tanah adalah suatu pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya bahwa peraturan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara kontan
41
M.Banurea, Wawancara dengan kepala Adat Banurea, (Salak, 25 Juli 2011)
Universitas Sumatera Utara
Dalam hukum adat, jual beli tanah dimasukkan ke dalam hukum benda, khususnya hukum benda tetap atau hukum tanah, tidak dalam hukum perikatan khususnya hukum perjanjian, hal ini karena: 1. Jual beli tanah menurut hukum adat bukan merupakan suatu perjanjian sehingga tidak mewajibkan para pihak untuk melaksanakan jual beli tersebut. 2. Jual beli tanah menurut hukum adat menimbulkan hak dan kewajiban yang ada hanya pemindahan hak dan kewajiban atas tanah. Jadi apabila pembeli baru membayar harga tanah sebagian dan tidak membayar sisanya maka penjual tidal dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tersebut. 42 Bentuk – bentuk pemindahan hak milik menurut sistem hukum adat yang memindahkan hak milik untuk selama – lamanya disebut dengan Jual Lepas. Jual lepas merupakan proses pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai, dimana semua ikatan antara bekas penjual dengan tanahnya menjadi lepas sama sekali. 43 Biasanya pada jual lepas calon pembeli memberikan suatu tanda jadi sebagai pengikat yang disebut panjer. Meskipun telah ada panjer, perjanjian pokok belum terlaksananya hanya dengan panjer semata – mata. Dengan demikian panjer disini hanya sebagai tanda jadi akan dilaksanakannnya jual beli. Apabila telah ada panjer, konsekuensinya manakala jual beli tidak jadi dilakukan akan ada dua kemungkinan, yaitu bila yang ingkar si calon pembeli, maka panjer tersebut menetap pada si calon 42 43
Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia (Rajawali,1983) halaman 221 Ibid
Universitas Sumatera Utara
penjual, bila keingkaran itu ada pada pihak si calon penjual, maka ia harus mengemabalikan panjernya pada si calon pembeli, adakalanya bahkan dua kali lipat nilainya dari panjer semula. Jual lepas adalah perbuatan penyerahan dengan demikian tidak sama maksudnya dengan levering menurut hukum barat,karena pemindahan hak miliknya dilakukan secara tunai, oleh karena hukum adat tidak memisahkan pengertian jual dengan penyerahan sebagaimana hukum barat. Sehingga dikatakan jual lepas dikarenakan tanah itu diserahkan untuk selama – lamanya. Partisipasi manusia terhadap tanah demikian akrabnya, sehingga transaksi tanah tidak semudah transaksi barang lainnya, di mana dalam hukum adat melakukan transaksi tanah kepada orang lain merupakan suatu perbuatan yang paling pantang karena menurut mereka itu merupakan kehormatan dan kedudukan kerabatnya oleh karena itu tidak mudah dialihtangankan. Kemungkinan batalnya jual lepas tanah atas tanah dikarenakan masih kuatnya lembaga hak terdahulu yaitu, “hak kerabat” atau” hak tetangga”, adanya larangan menjual hak milik tanah kepada bukan anggota kerabat atau kepada orang asing yang bukan warga adat yang bersangkutan. Di lingkungan persekutuan hukum adat dimana hak terdahulu, hak kerabat atau hak tetangga masih kuat, perjanjian jual lepas yang dilakukan oleh anggota persekutuan dengan orang diluar persekutuan dapat dibatalkan oleh ketua adat. Begitu pula dengsn perjanjian yang terjadi antara anggota kerabat dengan bukan anggota
Universitas Sumatera Utara
kerabat
dapat
berakibat
dibatalkannya
perjanjian
itu
oleh
para
pemuka
bersangkutan. 44 Oleh karena itu salah satu syarat yang paling mendasar dalam jual lepas adalah mengutamakan hak terdahulu yaitu, “hak kerabat” atau “hak tetangga” dan didasarkan pada kemufakatan musyawarah anggota persekutuan. Bagi masyarakat hukum adat yang penting dalam pelaksanaan perjanjian bukan unsur subjektif atau objektif tetapi terlaksana dan terjadinya perjanjian itu did hmasyarakat lingkungannya tidak ada yang mempersoalkan, tidak ada yang merasakan perjanjian itu tidak baik. Sebaliknya walaupun perjanjian itu dibuat dihadapan kepala kampung, jika masyarakat mempersoalkannya menggapa hal itu tidak baik maka sebenarnya perjanjian itu tidak sah. Ter Haar mengemukakan bahwa tanpa ikutnya sertanya kepala adat atau tanpa bantuannya, maka perjanjian itu tidak berlaku terhadap pihak ketiga. Jadi jika kepala adat menolak untuk membantu perjanjian itu, maka perjanjian itu tidak sah. Dimasa sekarang yang harus diiperhatikan ialah siapa yang disebut kepala persekutuan. Di desa – desa yang masyarakatnya geneologis kekerabatan, maka persekutuan harus dibedakan antara kepala kampung dengan kepala adat. Perlunya mengetahui perbedaan kedudukan kepala persekutuan ialah bahwa kesaksian kepala adat diperlukan untuk pihak ketiga dan urusan pemerintah, sedangkan kesaksian kepala adat diperlukan untuk tetap memelihara kerukunan dan kedamaian dilingkungan masyarakat adat. 44
Imam Sudiyat, Op cit, halaman 127
Universitas Sumatera Utara
Soepomo menyatakan ikut sertanya pengurus desa dalam pembelian tanah adalah untuk mendapatkan lebih banyak jaminan hukum (kepastian hukum) bagi pembeli dan karena itu pembeli memperoleh hak untuk mendapatkan perlindunhan hukum sepenuhnya. 45 D. Jual Beli Tanah Milik Adat Menurut UUPA Berlakunya UUPA pada prinsipnya telah berlaku pula sebuah unifikasi hukum Agraria yang bertujuan mengakhiri suasana dualism hukum antara hukum barat di satu sisi dan hukum adat adat di sisi lain di bidang hukum agraria. Berkenaan dengan jual beli tanah milik adat yang berlaku adalah hukum adat untuk hukum agraria dengan ketetntuan bahwa hukum adat tersebut tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, sosialisme Indonesia, ketentuan UUPA dan peraturan lain di bidang Agraria dan unsur agama. 46 Hal tersebut secara eksplisit terdapat dalam konsideran UUPA maupun pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa Hukum Agraria yangb berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. Dalam ketentuan UUPA, jual beli tanah milik adat merupakan bagian dari peralihan hak atas tanah. Boedi Harsono menyebutkan bahwa pada dasarnya peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena 2 (dua) sebab yaitu :
45 46
Soepomo , Ibid , halaman 88 Iman Soetikyo, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1985 hal 61
Universitas Sumatera Utara
1. Pewarisan tanpa wasiat yakni peralihan hak atas tanah karena pemegang suatu hak atas tanah meninggal dunia, dengan kata lain hak tersebut beralih kepada ahli warisnya, sementara siapa ahli warisnya dan berapa bagian masing – masing ditentukan berdasarkan hukum waris pemegang hak yang bersangkutan. 2. Pemindahan hak yakni hak atas tanah tersebut sengaja dialuhkan kepada pihak lain. Bentuk pemindahan hak bisa berupa jual beli, sewa menyewa, hibah, pemberian menurut adat, pemasukan dalam perusahaan atau inbreng dan juga termasuk hibah wasiat. 47 Jadi dapat dijelaskan bahwa pengertian beralih dan dapat dialihkan dalam hal ini mempunyai arti sebagai berikut: 1. Beralih adalah suatu peralihan hak yang dikarenakan seseorang yang mempunyai suatu hak meninggal dunia, sehingga dengan sendirinya hak itu beralih menjadi milik ahli warisnya. Ketentuan mengenai peralihan karena warisan terdapat dalam Pasal 42 PP Nomor 24 Tahun 1997 yang berbunyi peralihan hak karena warisan terjadi hukum adat pada saat pemegang hak yang bersangkutan meninggal dunia. Sejak saat itu ahli waris menjadi pemegang hak yang baru. 48 2. Dialihkan adalah suatu peralihan hak yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebuut terlepas dari pemilik semula. Dengan kata lain peralihan ini terjadi karena adanya perbuatan hukum tertentu seperti : Jual beli, Sewa menyewa, hibah wasiat, hibah, wasiat dan sebagainya. 47 Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta,1982 halaman 318 48 A.P Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Madju, Bandung 1999 hal 140
Universitas Sumatera Utara
Peralihan hak atas tanah merupakan suatu peristiwa dan/atau perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik kepada pihak lain. Peralihan tersebut meliputi jual beli, hibah, sewa menyewa, pemberian dengan wasiat dan perbuatan hukum lain yang bertujuan atau bermaksud memindahkan hak kepemilikan tanah. tetapi peralihan yang banyak terjadi dalam masyarakat adalah peralihan dalam bentuk transaksi jual – beli. Peralihan hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA yang terdapat dualisme hukum, yakni status tanah adat tunduk pada hukum adat dan status tanah barat tunduk pada hukum barat. Di dalam ketentuan hukum tanah barat prinsip nasionalitas tidak dianut, dalam artian bahwa setiap orang boleh saja memiliki hak eigendom asal saja mau tunduk pada ketentuan – ketentuan penundukan diri pada KUHPerdata Barat 49 sehingga karena hal tersebut di atas pemerintah mengeluarkan ketentuan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah bagi yang tunduk pada hukum Barat yakni Undang – Undang Nomor 24 Tahun 1954 yang memuat tentang ketentuan bahwa setiap peralihan hak terhadap tanah dan barang - barang tetap lainnya hanya dapat dilakukan bila telah mendapat izin dari Mentri Kehakiman dan bila tetap dilakukan maka peralihan tersebut batal demi hukum. Bagi pemerintah langkah ini dilakukan bertujuam untuk mengurangi jatuhnya kemungkinan tanah – tanah tersebut berikut rumah dan bangunan – bangunan di atasnya ke tangan orang –orang dan badan hukum asing 50. Karena sebelum ketentuan
49 50
Ibid, halaman 129 Boedi harsono, Opcit halaman 105-106
Universitas Sumatera Utara
tersebut dikeluarkan banyak non pribumi selain bisa memiliki tanah hak adat walaupun diperoleh dengan cara – cara tertentu, karena pada kenyataannya tanah hak adat tidak dipasarkan dengan bebas dan tidak diperjual belikan. Sehubungan hal tersebut di atas, Boedi Harsono dalam hal ini mengartikan bahwa hukum tanah adat berkonsepsi komunalistik, yang mewujudkan semangat gotong royong, kekeluargaan dan diliputi suasana religious. Tanah merupakan tanah bersama kelompok territorial dan genealogic, sehingga hak – hak perseorangan terhadap tanah secara langsung atau tidak langsung bersumber pada tanah bersama. Hukum tanah adat yang mengandung unsure kebersamaan tersebut dikenal dengan hak ulayat. Ketentuan ini masih berlangsung di sebagian wilayah di Indonesia terutama di pedesaan. 51 Ketentuan yang sangat dominan dalam pelaksanaan peralihan hak atas tanah tersebut adalah PP Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang di dukung dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agraria RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan PP Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai pelaksanaan dari Undang – Undang Pokok Agraria. Peraturan tersebut di atas secara singkat menerangkan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan
51
Ibid
Universitas Sumatera Utara
PPAT, dimana akta tersebut dapat berfgungsi sebagai alat pembuktian untuk melakukan pendaftaran hak atas kepemilikan tanah pada Kantor Pertanahan. Seperti yang telah disebutkan penulis dalam bab sebelumnya bahwa Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyebuitkan “peralihan hak atas tanah melalui jual – beli, sewa menyewa, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, hanya dapat didaftarkan jika dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat PPAT yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku”. Dari pasal – pasal tersebut diatas dapat dikatakan bahwa pad aprinsipnya segala bentuk mutasi hak dan sebagainya harus melalui seorang PPAT. Dalam hal ini J Kartini Soedjendro menyatakan bahwa sistem pertanggung jawaban petugas PPAT lebih terarah pada pejabat umum dan bersifat administrasi saja artinya dalam hal imi dia hanya merupakan pejabat Agraria yang membantu Menteri Agraria membuat akta dalam hal pemindahan hak atas tanah, pemberian suatu hak baru atas tanah, penggadaian tanah dan pemberian hak tanggungan atas tanah 52 PPAT juga sebagai pelaksana tugas diantaranya membantu mengisi formulir permohonan izin pemindahan hak atas tanah dan mengirimkannya kepada instansi Agraria yang berwenang kemudian membantu membuat surat permohonan penegasan konversi hak – hak adat di Indonesia atas tanah dan pendaftaran hak – hak berkas konversi.
52
J.Kartini Soejindro, Perjanjian Hak atas Tanah yang berpotensi konflik, Kanisius, Yogyakarta 2001
halaman 16
Universitas Sumatera Utara
Mengingat faktor keterbatasan masyarakat pada umumnya dan masyarakat adat Pakpak perbuatan hukum jual beli tanah adat seringkali dilakukan tanpa menggunakan akta otentik di hadapan PPAT hal ini dikarenakan menurut masyarakat adat bahwa yang paling berperan dan yang paling diperlukan keterangannya adalah dari pihak Sulang Silima yang dianggap sebagai penentu dalam segala jenis transaksi tanah dan pelindung tanah marga yang ada di Pakpak Bharat E. Syarat – Syarat Proses Terjadinya Jual Lepas Tanah Adat di Pak – Pak Bharat Dalam melakukan jual lepas tanah pada dasarnya sangatlah susah bukan hanya dengan syarat terang dan tunai saja akan tetapi dalam pelaksanaannya syarat yang paling utama itu adalah hak terdahulu di mana seseorang yang ingin melepaskan tanahnya harus bertanya terlebih dahulu kepada keluarganya jika tidak ada yang mau membeli maka harus bertanya kepada tetangga satu kampungnya jika tidak ada boleh bertanya kepada tetangga luar kampungnya dan jika juga tidak ada juga maka dia baru boleh melepaskan tanah tersebut ke pihak luar yang bukan berasal dari satu sukunya. Hal ini merupakan syarat yang utama dikarenakan dalam masyarakat tanah itu merupakan suatu hal yang sangat penting dan utama sehingga pantang untuk mejual tanah, apabila melakukan penjualan tanah atau pelepasan tanah miliknya itu adalah suatu perbuatan yang sangat memalukan bukan hanya bagi keluarga tetapi juga bagi sukunya.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena pada masa itu proses jual lepas sangat jarang dilakukan biasanya para masyarakat ada lebih tertarik utnuk melakukan jual – gadai dikarenakan tanahnya dapat kembali lagi sedangkan dalam jual lepas yang sekarang ini lebih sering digunakan tanah tersebut lepas untuk selama – lamanya. Tetapi hal tersebut diatas sudah mengalami perubahan di mana masyarakat adat sudah tidak menggangap tabu lagi perbuatan pelepasan tanahnya di mana dalam prosesnya pada saat ini hak terdahulu itu sudah ditiadakan, dimana yang sebelumnya pelepasan tanah itu dilakukan dengan proses yang lama dan sangat ketat sekarang ini hanya cukup dengan syarat terang dan tunai saja jual lepas tanah dapat terjadi. Fenomena ini terjadi karena perkembangan yang terjadi di daerah – daerah yang memiliki tanah adat dan juga keperluan hidup yang semakin meningkat, sehingga hak terdahulu yang sangat menghambat proses pelepasan tanah dikesampingkan. Hal ini lah yang terjadi pada proses pelepasan tanah milik adat yang terjadi di Kabupaten Pak – Pak Bharat terutama yang paling kelihatan terjadi di Kecamatan Salak khusunya di Desa Salak 1 dan Desa Salak 2 yang pada awalnya pemilik tanah yang ada di ke dua desa tersebut adalah tanah marga Banurea yang memiliki luas 730 ha . tetapi setelah sekarang sering terjadi peraktek jual lepas tanah marga Banurea yang tinggal 130 ha lagi. Sedangkan tanah yang sudah dilepaskan di kedua desa tersebut sebanyak 600 ha. 53
53
Wawancara Kepala Desa Salak 1 dan Salak 2 E.Padang dan B.Banurea (24 Juli 2011)
Universitas Sumatera Utara
Pada saat Pak – Pak Bharat masih menjadi salah satu desa di Kabupaten Dairi, tanah yang ada di sana dapat dengan bebas dipakai oleh para masyarakat hukum adatnya dalam hal ini para marga Pakpak selain itu tanah di sana dianggap sangatlah tidak penting dan tidak bernilai tinggi sehingga transaksi tanah pun tidak banyak terjadi hanya gadai yang sering dilakukan oleh pada masyarakat adatnya apabila membutuhkan uang jual lepas tidak dilakukan karena menurut adat itu tidak boleh dilakukan dan juga syarat – syarat dalam proses jual lepas tanah secara adat juga sangat susah. Di mana apabila ada anggota masyarakat marga yang ingin menjual tanahnya maka syarat yang dilakukan sebelom proses jual lepas adalah: 1. menanyakan kepada keluarganya atau tetangga kampungnya atau luar kampungya dan kalau tidak ada pihak luar dari marga dan sukunya apakah ada yang ingin membeli tanah tersebut. 2. menemui kepala adat untuk menceritakan rencananya untuk melepaskan tanahnya dan menanyakan apakah dia boleh untuk melepaskan tanahnya. 3. kepala adat menemui Sulang Silima yang terdiri dari perisang – isang (anak paling besar), perekur –ekur (anak paling bungsu), pertulang tengah (anak tengah ), perpunya ndiadep(anak boru) dan perbetekken (teman satu marga) untuk membahasa secara musyawarah apakah si pemilik tanah tadi boleh melepaskan tanahnya.
Universitas Sumatera Utara
4. Sulang Silima memberikan izin, Kepala Adat tersebut memberitahukan kepada si pemilik tanah bahwa si pemilik tanah tadi boleh menjual tanahnya. 5. melakukan proses pelepasan tanah dengan acara adat dan memberikan sejumlah uang kepada Sulang Silima dan memberi makan satu kampungnya, setelah itu dia bisa melepaskan tanahnya. Tetapi apabila Sulang Silima tidak mengizinkan si pemilik tanah untuk melepaskan tanahnya maka dia tidak bisa melepaskan tanah tersebut walaupun tanah itu lepas kepada keluarganya sendiri ataupun tetangganya. Karena persyaratan yang seperti inilah sehingga banyak tanah masyarakat adat yang memilih mengadaikan tanahnya daripada melepaskan tanahnya. Tetapi setelah desa kecil tadi menjadi sebuah Kabupaten yaitu Kabupaten Pak – Pak Bharat, keperluan akan tanah meninggkat dengan pesatnya sehingga menyebabkan tanah yang bernilai rendah menjadi bernilai sangat tinggi hal ini menyebabkan masyarakat adat yang ada di Pak – Pak Bharat berpikir untuk lebih mengusahakan dan mengurus tanah yang ada di Pak – Pak Bharat. Oleh karena pembangunan yang terjadi di Pak – Pak Bharat maka transaksi tanah yang terjadi pun sangatlah meningkat yang tadinya transaksi tanah yang ada di sana hanya jual gadai dimana pada masa itu masyarakat merasa berat untuk menjual tanahnya dan membutuhkan proses dan waktu yang lama sehingga mereka lebih sering menggadaikan tanahnya terlebih dahulu dan yang nantinya tanah tersebut dapat ditebus kembali walaupun sudah dalam jangka waktu lama, dalam proses gadai
Universitas Sumatera Utara
ini pun harus dilakukan dengan sepengetahuan Ketua Adat Sulang Silima Lebbuhnya sebagai saksi begitu juga pada saat menebus kembali harus dilakukan dan sepengetahuan Ketua Adat Sulang Silima Lebbuhnya . 54 pernyataan ini juga dibenarkan oleh M.Banurea dan Nyonya Banurea br Manik selaku warga desa Salak 1 dan Salak 2 dan juga pada masa lalu mereka lebih sering menggadaikan tanahnya contohnya keluarga Bapak M.Banurea dimana sebagian dari tanah warisan mereka ternyata ada yang mengklaim sudah menjadi miliknya karena 15 tahun yang lalu telah digadaikan oleh salah satu anggota keluarga Bapak M.Banurea dan apabila tanah itu ingin kembali kepada haruslah ditebus dahulu sesuai dengan nilai nominal yang sekarang. Pada masa sekarang masyarakat adatnya pada umumnya lebih suka untuk menjual lepas tanah mereka karena menurut mereka lebih untung dalam melepaskan tanahnya karena bernilai tinggi selain itu dalam syarat – syarat dalam proses jual lepas yang sekarang pun tidak seperti dulu lagi, syarat – syarat jual lepas tanah sekarang sangatlah gampang. Transaksi jual lepas ini sendiri sangat banyak dilakukan oleh marga Banurea yaitu Kecamatan Salak, dikarenakan secara kebetulan pemerintah daerah mengangap bahwa tanah marga Banurea itu berada di tengah dan yang paling cocok untuk dijadikan ibukota dari Kabupaten Pak – Pak Bharat. Salak yang tadinya hanyalah sebuah perkampungan kecil sekarang menjadi kota yang banyak mengalami pembangunan sehingga transaksi tanah paling banyak dilakukan di Kecamatan Salak 54
M.Banurea, Wawancara dengan kepala Adat Banurea, (Salak, 25 Juli 2011)
Universitas Sumatera Utara
ini dari tahun 2009 – 2011 ada 133 proses pelepasan tanah yang terjadi di dua desa yang ada di Kecamatan Salak ini. 55 Proses jual lepas banyak terjadi sekarang ini terjadi dikarenakan syarat – syarat dalam jual lepas tidak serumit yang dulu pada saat ini dalam jual lepas di Pak – Pak Bharat tidak mengutamakan hak terdahulu tanah milik adat yang ada di Pak – Pak Bharat boleh dijual kepada orang luar yang buka suku Pakpak dan tidak perlu terlebih dahulu bertanya kepada ketua adat dan mendapat persetujuan dari Sulang Silima yang terdiri dari lima unsur, apabila ada masyarakat adat yang ingin menjual tanahnya persyaratan yang dilakukan sekarang ini 1. meminta persetujuan atau izin kepada Ketua Adat Sulang Silima lebbuh marganya sebagai Kepala Adat yang mengawasi dan menjaga tanah ulayat di lebbuhnya bahwa dia akan melepaskan tanahnya tanpa harus dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan ke lima unsur dari Sulang Silima, Ketua Adat Sulang Silima Lebbuh dapat langsung memberikan persetujunnya 2. apabila sudah mendapat persetujuan dari Ketua Adat Sulang Silima Lebbuhnya maka dilakukan acara pelepasan adat dan memberikan uang ganti rugi atas lepasnya tanah tersebut dari adat kepada Ketua Adat Sulang Silima Lebbuhnya 3. melepaskan tanahnya dimana Kepala Adat dan Kepala Desa menjadi saksi dan menandatangani surat pelepasan tanah. 56 55
56
Wawancara Kepala Desa Salak 2 E.Padang (24 Juli 2011) M.Banurea, Wawancara dengan Kepala Adat Banurea, (Salak, 25 Juli 2011)
Universitas Sumatera Utara
Di sini dapat dilihat syarat terang dan tunai itu masih terpenuhi tetapai ada juga dalam prosesnya bukan hanya syarat terdahulu yang dihilangkan tetapi syarat terang tidak dipenuhi lagi tanpa persetujuan dari Ketua Adat dan tanpa proses pelepasan adat hanya dengan pengetahuan kawan marganya dan kepala desanya jual lepas itu dapat terjadi. Oleh karena persyaratan proses jual lepas yang tidak lagi beraturan dan sangat mudah pada saat ini di Pak – Pak Bharat khususnya tanah yang ada di Kecamatan Salak bukan lagi sepenuhnya dimiliki oleh marga Banurea tetapi sudah bercampur dengan pihak luar atau marga diluar suku Pakpak dan apabila hal ini terus dilakukan maka bisa saja tanah milik marga Banurea tersebut dapat hilang. Hal ini dibenarkan oleh kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pak–Pak Bharat Rasmon Sinamo, S yang mengatakan bahwa sekarang ini pelaksanaan jual lepas tanah yang terjadi di Pak – Pak Bharat ini sangat tidak beraturan dan semua pemilik tanah ada dapat dengan bebas melakukan pelepasan tanah, dan mendaftarkan tanah tersebut ke Kantor Pertanahan Kabupaten Pak-Pak Bharat. 57 Kantor Pertanahan Kabupaten Pak–Pak Bharat mengeluarkan suratnya karena menurut Kantor Pertanahan mereka memiliki alas hak dan ada tandatangan Kepala Desa dan juga pihak dari marganya yang mereka anggap sebagai Kepala Adatnya karena. dikarenakan hal ini kepala adat lembaga Sulang Silima marga yang ada di Pak – Pak Bharat sering melakukan protes kepada pihak BPN karena telah mengeluarkan
57
2011)
Rasmon Sinamo, Wawancara Kepala Badan Pertanahan Kota Salak (Salak,11 Agustus
Universitas Sumatera Utara
sertifikat tanah tersebut karena menurut mereka tanah tersebut tidak boleh dilepaskan karena belum terpenuhi syarat – syarat dari pelepasan adat oleh karena sering nya terjadi protes dari pihak Kepala Lembaga Adat Sulang Silima. Padahal menurut Bapak Drs Rasmon Sinamo sebagai Kepala Badan Pertanahan Kota Salak bahwa ada salah penerapan dari Sulang Silima itu, padahal dari pihak Badan Pertanahan Kota Salak sudah mensosialisasikan dan membuat Kesepakatan Bersama Marga – Marga Sukutnitalun pada sosialisasi dan lokakarya tentang pertanahan di Kabupaten Pak – Pak Bharat pada tanggal 4 Agustus 2010 yang disetujui dan ditanda tangani oleh 20 (dua puluh ) marga Pak – Pak sebagai pemilik tanah marga yang ada di Kabupaten Pak – Pak Bharat. Adapun isi dari Kesepakatan itu adalah untuk lebih menyederhanakan pemilikan dan perlindungan terhadap tanah marga yang ada di Kabupaten Pak – Pak Bharat selain itu juga membantu dalam perkembangan Pak – Pak Bharat sebagai Kabupaten baru. Selain itu juga Rasmon mengatakan bahwa dari pihak Pemerintah Kabupaten belum mengeluarkan Perda ( Peraturan Daerah) terhadap pertanahan di Pak – Pak Bharat sebagai tindak lanjut dari Keputusan bersama marga – marga tersebut, sehingga kepastian hukum dalam pelaksanaan pengurusan tanah masih belum terjamin. Oleh karena Kabupaten Pak – Pak Bharat adalah kabupaten baru yang sedang berkembang, maka untuk menyokong pembangunan Kabupaten Pak – Pak Bharat, maka tidak lagi tertutup kemungkinan untuk pihak luar memiliki tanah di Pak – Pak
Universitas Sumatera Utara
Bharat. 58dengan adanya kesepakatan bersama ini yang nantinya akan dilanjutkan menjadi Peraturan Daerah sistem pertanahan yang ada di Pak – Pak Bharat menjadi lebih baik lagi. Dari pihak masyarakat pun menyambut dengan baik kesepakayan tersebut karena menurut mereka dengan adanya kesepakatan tersebut bagi mereka yang ingin melepaskan tanahnya tidak perlu lagi mengumpulkan ke lima unsur yang ada di Sulang Silima untuk meminta izin melepaskan tanahnya yang pada akhirnya mendapatkan penolakan dari pihak Sulang Silima padahal mereka sangat membutuhkan uang untuk kebutuhan pendidikan anak – anak mereka, tetapi ada juga yang tidak menyambunt dengan baik kesepakatan tersebut karena menurut mereka bahwa kesepakatan itu tidak disosialisasikan kepada yang semestinya, mereka menganggap bahwa keputusan itu dibuat untuk kepentingan sepihak saja dan tidak menghargai hukum adat yang sebenarnya. Walaupun terjadi perbedaan pendapat dan penerimaan dalam perubahan syarat jual lepas dalam hukum adat masyarakat Pakpak di Kabupaten Pak – Pak Bharat tetapi proses jual lepas tetap terjadi dan diakui secara adat. Dengan keadaan yang sekarang dapat disimpulkan bahwa syarat proses jual lepas yang terjadi di Kabupaten Pak – Pak Bharat masih berdasarkan hukum adat walau telah terjadi perubahan dimana hak terdahulu sudah tidak diutamaakan lagi dan ketabuan dalam melakukan pelepasan 58
2011)
Rasmon Sinamo, Wawancara Kepala Badan Pertanahan Kota Salak (Salak,11 Agustus
Universitas Sumatera Utara
tanah sudah terlalu dipermasalahkan lagi tetapi syarat terang dan tunai dalam prosesnya masih dijunjung tinggi dan kepala adat masih dijunjung tinggi dan para pemilik tanah marga masih diakui berarti hukum adat masih dijalankan.
Universitas Sumatera Utara