Perjalanan Pak Harto 1965-2000
SAYA bersyukur bahwa saya (merasa) mengetahui seke-lumit perjalanan Pak Harto, sejak tahun 1965. Baik melalui buku-buku, media massa ataupun pertemuan langsung, sampai ketika Pak Harto sudah lengser, ketika Pak Harto masih sehat dan kemudian ketika sudah sakit. Mengetahui perjalanan seorang mantan Presiden RI, yang telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun, barangkali ada manfaatnya untuk ditulis. Pela-jaran apa yang akan kita peroleh? Tentu, yang terkait dengan berbangsa dan bernegara kita. Baik dan buruknya. Semuanya, merupakan pengalaman bangsa ini, yang tentunya harus men-jadi pelajaran bagi generasi yang akan datang. Pertemuan pertama dengan Pak Harto terjadi pada tanggal 2 Oktober 1965 malam, dua hari setelah G30S/PKI, di markas Kostrad. Pertemuan terakhir, hanya beberapa waktu yang lalu, (antara lain, tanggal 4 Juni 2001), bersama Pak Dhar (Sudhar-mono S.H.) ketika penulis mempersiapkan buku ini. Penulis meminta buku Lee Kuan Yew, "From Third World To First" (untuk ilustrasi buku ini) yang penulis dengar ditandatangani
oleh Lee Kuan Yew sendiri, dengan dibubuhi pesan Lee Kuan Yew, yang berbunyi: "To my old friend Pak Harto, who did much for the development of Indonesia and Asean," tertanggal 9 Dec 00. Pak Harto, dengan senang hati meminjamkan buku itu, untuk saya copy halaman yang ditandatangani Lee Kuan Yew. Pada pertemuan itu, Pak Harto, berbicara sangat lamban, terputus-putus. Agaknya, mengingat kata-kata apa yang harus diucapkan. Pak Harto, memang masih dalam terapi meng-ingat kata sehari-hari, melalui berlembar-lembar kertas yang harus diisi oleh Pak Harto dengan tulisan tangan. Persis anak Sekolah Dasar kelas satu atau kelas dua yang belajar bahasa Indonesia. Ketika jawaban memerlukan tulisan yang agak panjang, Pak Harto sudah memperoleh kesulitan. Hurufnya diulang-ulang sehingga tebal. Gerakan tangan, agaknya juga sudah terganggu. Pak Harto mengatakan, bahwa beliau masih dapat mengucapkan "Subhanallah." Syahadat? tanya saya. Masih, jawab Pak Harto. Pak Harto, kemudian mengucapkan syahadat." Ternyata masih benar. Bagaimana dengan "Al-Fati-hah"? tanya saya lagi. Masih bisa, jawab Pak Harto. "Attahiyat"? Sudah tidak bisa lengkap lagi, jawab Pak Harto. Saya berpikir panjang, adakah hal-hal lain yang perlu saya tanyakan langsung dalam keadaan Pak Harto seperti itu. Tentu yang ringan-ringan saja, pikir saya. Hari-hari itu adalah menjelang ulang tahun Pak Harto (8 Juni) dan Bung Karno (6 Juni). Oleh karena itu, saya sedikit ingin tahu, apa acara ulang tahun Pak Harto? Nanti hari Jum'at (8 Juni 2001), pagi-pagi jam 07.00 wib akan ke masjid At-Tien. Bersama anak yatim, kata Pak Harto pelan dan terputus-putus. Malamnya, ada acara tumpengan keluarga. Bapak masih ingat Bung Karno? Bukankah Bapak sangat hormat pada Bung Karno? Mengapa Bung Karno sempat "dipenjara" atau "ditahan"?. Saya terus terang memberanikan pertanyaan seperti itu. Tidak, kata Pak Harto
TANGCiAL: : " AKI
BKTVL: SALAII:
Nll.LAI.
CARI PERSAMAAN KATA
Lembar kertas yang harus diisi oleh Pak Harto dalam rangka terapi meng-ingat-ingat kembali kata-kata. Perhatikan tulisan Pak Harto pada kata "Pertolongan" di mana huruf "a"—nya tebal). Catatan: Bahagia = riang
From Third World To First The Singapore Story: 1965-2000
Memories of
LEE KUAN YEW
Singapore
Press
TlMES EDITIONS
Holdings
Kenang-kenangan dari Lee Kuan Yew buku " From Third World To First"dengan dibubuhi tulisan: "To my old friend Pak Harto. Who did much for development of Indonesia and Asean" Lee Kuan Yew, 9 Dec 00.
lamban. Bung Karno tidak pernah dipenjara atau ditahan. Dengan dibantu oleh Pak Dhar untuk mengingat-ingat, Pak Harto mengatakan, bahwa sebagai Pejabat Presiden, Pak Harto mengeluarkan Keppres tempat tinggal Bung Karno, yaitu di istana Bogor, dengan memperoleh hak-hak sebagai mantan presiden. Tetapi, ketika Bung Karno sakit, Bung Karno ineminta untuk dapat tinggal diJakarta. Karena itu Bung Karno bertempat tinggal di Wisma Yaso. Bung Karno, memang dilarang untuk melakukan kegiatan politik sampai Pemilu, sesuai dengan TAP XXIII/MPRS/1967. Suatu hal yang tentunya sangat menyakitkan bagi Bung Karno. Bung Karno, sering dikabarkan, tidak boleh membaca koran atau mengalami hal-hal lain yang tidak menyenangkan. Suatu hal, yang agaknya tidak diketahui secara persis oleh Pak Harto. Bahwa Pak Harto sangat hormat dengan Bung Karno, Pak Dhar menyebutkan, antara lain Pak Harto membangun patung Proklamator dan memberi nama Bandara Cengkareng Soekarno Hatta. Mengapa Bung Karno dimakam-kan di Blitar? Pak Harto, dengan lamban mengingat-ingat, bahwa itu adalah keputusan musyawarah, termasuk dengan Bung Hatta, karena Bung Karno sangat mencintai ibundanya. Maka, makamnya didekatkan dengan makam ibunya, dengan upacara kenegaraan. Pak Harto masih ingat, bahwa Jenderal Panggabean yang menjadi inspektur upacara. Tidak ada pertim-bangan politis. Sebab, ketika Bung Karno masih hidup saja, justru diizinkan tinggal di Bogor/Jakarta. Pertanyaanpertanyaan itu saya sampaikan, meskipun dengan berat, untuk mengetahui, apakah benar, ada aspek politisnya di dalam pemilihan tempat makam Bung Karno, sebagaimana diduga banyak orang. Mengakhiri pertemuan hari itu, Pak Harto "mengundang" kami makan siang, meskipun baru sekitar pukul 11.30 wib. Dalam makan siang itu, Pak Harto dibantu oleh seorang pem-bantu laki-laki yang mengambilkan nasi, sayur, dan makanan
lainnya. Pak Harto saya lihat mengambil nasi sendiri, hanya sedikit. Menunya, yang kabarnya tidak boleh ketinggalan adalah tempe, tahu, krupuk, dan lain sebagainya. Tempenya khas, tempe ala Solo, dibungkus satu demi satu. Penulis (terus terang), terharu merasakan suasana seperti itu. Alangkah "sepinya" Pak Harto.
Pertemuan pertama di tahun 1965, berlangsung malam hari, sekitar pukul 22.00 wib bersama dengan ormas-ormas lainnya, yang kelak akan menjadi embrio "Front Pancasila." Mas Subchan ZE, salah seorang Ketua PB NU, memimpin delegasi ormas-ormas itu. Pak Harto berpakaian loreng-loreng, lengkap dengan senjata pistol di pinggang. Menerima delegasi ormas-ormas itu dengan terkesan sangat percaya diri terhadap apa yang sedang dihadapinya. Katakatanya yang sangat mengesankan saya adalah "kalau kita memang sama-sama berjuang berlandaskan Pancasila, kita akan dapat berjalan bersama," begitu kira-kira. Ragukah Pak Harto? Itulah kesan saya. Suasana di waktu itu, memang belum jelas. Siapa kawan siapa lawan. Tetapi, malam itu, saya telah memperoleh kesan pertama tentang Pak Harto. Seorang yang sangat teguh dengan pendirian, teguh memegang prinsip perjuangan dan teguh berpegang kepada Pancasila/UUD 1945.JBungKarno, sebagai-mana kita ketahui, menilai Pak Harto sebagai seorang yang "kop-pig" (keras kepala). Setelah pertemuan pertama itu, bagi saya, jelaslah posisi masing-masing. Front Pancasila kemudian lahir, dengan tujuan menggalang seluruh kekuatan "Pancasilais," menghadapi kekuatan G30S/PKI. Front Pancasila ini, sebagaimana kita ketahui, dipimpin oleh Mas Subchan ZE, salah seorang Ketua PB NU, sebagai Ketua dan Sdr. Harry Tjan Silalahi, dari PMKRI
(Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), sebagai Sekretaris. Pertemuan kedua terjadi pada bulan tanggal 14 Juli 1966, usai sidang umum MPRS. MPRS, sebagaimana kita ketahui, menetapkan presiden menunjuk Letjen Soeharto (Pemegang SP 11 Maret/TAP IX/MPRS/1966 membentuk kabinet TAP XIII/ MPRS/1966). Inilah sebuah keputusan politikyang sangat kom-promistis dari MPRS untuk mencari jalan keluar situasi konflik di waktu itu. Pak Harto mengundang PB HMI untuk "hearing" pembentukan kabinet baru. Aneh, sebuah organisasi mahasiswa diundang untuk "hearing" kabinet. Pertemuan itu terjadi di Mabes TNI Angkatan Darat, jalan Merdeka Utara. Di sinilah HMI menyampaikan sebuah formula, agar dalam kerangka penyusunan kabinetbaru dapat dihilangkan adanya "dualisme" kepemimpinan nasional. Dualisme itu, nota bene antara Pak Harto dan Bung Karno, yang dalam beberapa hal berbeda di dalam melihat perkembangan politik yang ada, khususnya dalam masalah pembubaran PKI. Pak Harto, sebagaimana kita ketahui, selaku pemegang SP 11 Maret telah membubarkan PKI, sementara Bung Karno, dalam sidang umum MPRS, setelah itu, pada bulan Juni 1966, masih belum dapat bersikap tegas. Bahkan sedikit mengecilkan peran PKl dalam gerakan G30S/ PKI. Dalam Pelengkap Nawaksara, yaitu laporan pertanggung-jawaban Presiden Soekarno kepada MPRS, Bung Karno me-ngatakan, bahwa Gestok (G30S/PKI) disebabkan oleh tiga hal, yaitu keblingernya pimpinan PKI, subversi Nekolim dan adanya oknum-oknum yang tidak benar. Bung Karno, agaknya memang tidak dapat bersikap tegas terhadap pembubaran PKI. Sebabnya, menurut Pak Ruslan Abdulgani, Bung Karno juga mempertim-bangkan situasi global, di mana di saat itu perang dingin antara Blok Barat dan Timur sedang mencapai puncaknya. Dapat dime-ngerti, dari aspek global, pembubaran PKl tidak mustahil akan
ada risikonya. Suatu hal, yang berlawanan dengan aspirasi yang hidup di masyarakat Indonesia, yang di waktu itu ingin segera PKI dibubarkan. Sikap Bung Karno ini, memang menim-bulkan banyak pertanyaan. Sebab, Bung Karno memerintahkan dibentuknya Mahmilub yang mengadili tokoh-tokoh yang terlibat G30S/PKI, di samping tidak membatalkan keputusan Pemegang SP 11 Maret 1966 tentang pembubaran PKI. Demikianlah, untuk sampai pada formula seperti itu, PB HMI mengadakan sebuah sidang khusus, mencari jalan keluar yang terbaik, bagi bangsa dan negara. Suara-suara untuk menampilkan Pak Harto di satu pihak dan di pihak lain meng-akhiri kekuasaan Bung Karno sangat dominan. PB HMI sepakat, bahwa tidak boleh terjadi instabilitas yang lebih parah di saat seperti itu. Apa jalan keluarnya? Saya menyampaikan pen-dapat untuk mempertimbangkan pribadi Pak Harto, yang kebetulan seorang militer. Hal ini terlepas bahwa tampilnya kaum militer di bidang politik telah banyak terjadi di banyak negara dan ternyata dapat bersikap demokratis. Tentu, kita pun juga berharap demikian. Hal ini penting, untuk memper-hitungkan implikasinya, tidak saja bagi dunia luar, tetapi juga bagi masa depan Indonesia. Hal ini terlepas bahwa Pak Harto memang merupakan satusatunya tokoh yang pantas kita dukung dalam situasi seperti itu. Sementara itu, Bung Karno, yang kebetulan orang sipil, dalam posisi politik yang tidak menguntungkan. Lagi-lagi sebuah "kompromi" terjadi, yaitu bagaimana (yang terpenting) mengakhiri adanya dualisme kepemimpinan nasional. Untuk itu, kita sepakat menyampaikan konsep untuk mengakhiri "dualisme" kepemimpinan nasional kepada Pak Harto selaku formatur kabinet. Tidak saya duga bahwa formula itu memperoleh apresiasi yang besar dari Pak Harto dan para pembantunya, terbukti dimuatnya saran PB HMI itu di surat kabar "Berita Yudha," sebagai koran yang dekat
dengan Angkatan Darat, sebagai "banner-headline". Formula itu, kemudian berwujud dengan terbentuknya sebuah Presidium Kabinet (Ampera), dengan Pak Harto sebagai Ketua Presidium Kabinet dan Bung Karno tetap sebagai Presiden RI. Tentu, saya tidak tahu, apakah semua itu karena saran PB HMI. Tetapi, saran seperti itu, hanya datang dari PB HMI. Salah satu alumni HMI yang di waktu itu diajukan kepada formatur kabinet adalah mas Sanusi (Ir. HM Sanusi), yangkemudian memperoleh tugas sebagai Menteri Perindustrian Tekstil. Menjelang Kongres HMI VIII di Solo (Septernber 1966), kembali PB HMI bermaksud menemui Pak Harto, untuk dapat memberikan sambutan pada Kongres tersebut. PB HMI di-terima oleh Pak Basuki Rachmat, Menteri Dalam Negeri. Pertanyaan yang diajukan oleh Pak Basuki Rachmat adalah mengapa HMI minta Pak Harto untuk memberikan sambutan pada Kongres itu. Saya sampaikan, bahwa antara HMI dan ABRI, khususnya Angkatan Darat, mempunyai bubungan historis yang lama. Karena itu kami meminta Pak Harto, yang di waktu itu sudah menjadi Ketua Presidium Kabinet untuk memberikan sambutan dan kalau dapat membuka Kongres HMI itu. Pak Harto pada akhirnya memberikan sambutan tertulis pada pembukaan Kongres HMI di Solo, yang berlangsung di gedung Balai Kota Solo. Sambutan Pak Harto, disampaikan oleh Bapak Suryosumpeno, Gubernur Jawa Tengah. Meskipun demikian, suasana politik di awal Orde Baru itu belum mantap benar. Dualisme kepemimpinan Nasional yang diharapkan selesai dengan pembentukan Kabinet Ampera, ternyata belum teratasi. Demo mahasiswa dan Kesatuan Aksi lainnya terus berjalan. Tuntutannya, Bung Karno harus mundur. Akhirnya, pada bulan Januari 1967, DPR mengeluarkan Reso-lusi, yang dikenal sebagai Resolusi Djamaludin Malik dkk. untuk memanggil sidang istimewa MPR. MPR, akhirnya
melaksanakan sidang umum istimewa, yang keputusannya, antara lain adalah mengakhiri tugas Bung Karno sebagai Presiden RI pertama. Pak Harto diangkat menjadi Pejabat Presiden. Dalam keseluruhan proses itu, Pak Harto, mengesankan hormat dan keengganan yang besar untuk menggantikan Bung Karno. Kenyataan seperti itu, meskipun sering memperoleh kritik yang tajam, merupakan manifestasi sikap "mikul nduwur mendemjero," sebuah kata-katajawa yang artinya adalah, bahwa terhadap orang tua, kita harus tetap hormat dan menjunjung tinggi kehormatannya. Di pihak lain, tentu sangat berbeda dengan kesan berbagai kalangan lain, yang menganggap Pak Harto telah melakukan kudeta dan lain sebagainya. Awal Februari (1968), ketika dilakukan "reformasi" DPR, saya tidak menduga, bahwa nama saya tercantum sebagai salah satu anggota DPR.
Pada tahun 1970, Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), dirundung perpecahan. Sebelumnya, Parmusi menyelenggara-kan muktamarnya di Malang. Peserta Muktamar berharap tampilnya Mr Roem, Anwar Haryono atau KH Hasan Basri sebagai pucuk pimpinan Parmusi. Tetapi, ketiga tokoh itu tidak memperoleh "clearence" dari pemerintah. Istilah "clearence" adalah suatu istilah di waktu itu yang digunakan oleh kalangan politik, apakah seorang tokoh dapat dimungkinkan bergerak di bidang politik secara bebas atau tidak. Hal ini disebabkan, oleh karena masalah ideologi (di waktu itu) masih harus mem-peroleh pertimbangan yang sungguh-sungguh, agar tidak mengganggu stabilitas politik. Akhirnya, yang terpilih adalah Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun, sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal.
Tetapi, dalam perkembangan berikutnya, oleh berbagai kalangan intern Parmusi sendiri, garis politik Djarnawi-Lukman Harun pun masih dianggap "ekstrem." Tampillah Naro dan Imran Kadir melakukan "kudeta" terhadap Djarnawi-Lukman Harun. Oleh kalangan masyarakat politik, Naro-Imran Kadir digambarkan sebagai memperoleh dukungan dari bebe-rapa kalangan pemerintah tertentu. Apabila benar Naro-Imran Kadir memperoleh dukungan pemerintah, saya berpikir, bahwa pemerintah/Orde Baru telah "keliru." Ada perasaan dalam diri saya, bahwa saya harus berbuat sesuatu. Saya ikut terlibat dalam gerakan untuk mencegah pemerintah terjebak di dalam kekeliruan seperti itu. Suatu pagi, ketika saya sedang berpraktik di klinik YPK (Yayasan Pemeliharaan Kesehatan), telepon berdering. Di seberang, seorang staf Pak Djono (Sudjono Humardani) memberi tahu, bahwa Pak Djono ingin berbicara. Pak Djono menyampaikan pesan, bahwa besok pagi, Mendagri Amir Machmud akan menerima Naro-Imran Kadir. Meskipun tidak jelas benar kata-kata Pak Djono, beliau terkesan memberi isyarat, agar saya sebaiknya ikut mendukung langkah itu. Pak Djono adalah seorang Staf Pribadi Presiden Soeharto dengan Pak Djono, saya memang sering melakukan perte-muan, berdiskusi, dan menyampaikan pendapat secara bebas. Pertemuan dengan Pak Djono, tidak jarang berlangsung lama. Meskipun tidak harus selalu pendapat saya diterima oleh Pak Djono, namun perbincangan dengan Pak Djono selalu berlangsung menyenangkan. Pak Djono, saya akui, sangat terbuka dengan saya dan saya pun tidak merasa ada hambatan untuk menyampaikan sesuatu yang saya anggap tidak benar. Salah satu yang saya anggap tidak benar itu adalah seandainya benar pemerintah akan mengakui Naro-Imran Kadir.
Seharian setelah telepon itu, saya sangat gelisah. Peme-rintah, pada hemat saya, keliru apabila "memenangkan" Naro-Imran Kadir. Untukitu, pemerintah harus diberitahu keliruan itu. Seharian, saya melakukan komunikasi dengan berbagai kalangan, bagaimana membangun opini di kalangan pemerintah, agar jangan sampai mengambil keputusan yang keliru. Malam hari, Gasbiindo melakukan pertemuan membahas masalah itu di rumah mas Agus Sudono. Toh masih belum ada titik terang, bagaimana mengatasi kemelut itu. Pada hal, besok pagi Naro-Imran Kadir sudah akan diterima Mendagri. Itulah berita yang saya dengar. Semalaman, usai rapat di rumah Mas Agus, saya tidak bisa tidur. Entah karena apa, saya mempunyai pikiran untuk men-datangi Pak Djono. Rasanya, saya tidak bisa sabar lagi. Karena itu, meskipun hari masih gelap, saya ketuk pintu Pak Djono. Hari masih sekitar jam 03.30 pagi. Pak Djono, menemui saya hanya dengan kaos oblong putih dan bersarung. Tentu, beliau terkejut, saya datang di saat seperti itu. Saya sampaikan apa adanya pendapat saya tentang konflik di Parmusi itu. Meskipun saya harus berbicara secara "halus," saya tidak boleh keluar dari konteks, bahwa adalah keliru, kalau pemerintah akan "memenangkan" NaroImran Kadir. Pak Djono lebih banyak diam. Dan saya pun pamit. Tetapi, saya merasa puas, bahwa apa yang saya pikirkan telah saya upayakan secara maksimal sampai kepada para pengambil keputusan negeri ini. Sebab, Pak Djono, sebagai Asisten Pribadi Presiden (Aspri) tentunya akan mendengar suara itu dan menyampaikannya kepada presiden sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan. Hari-hari berikutnya, saya tidak langsung mengikuti. Saya harus terbang ke Taipeh, Taiwan, mengikuti "Eastern Regional
Tuberculosis Conference." Pemerintah, ternyata belum meng-akui Naro-Imran Kadir. Kedua kelompok Parmusi ternyata menyepakati, menyerahkan penyelesaian konflik kepada peme-rintah. Pemerintah, kemudian mengeluarkan SK Presiden 77/ 70, di mana saya ditetapkan sebagai Sekjen Parmusi. Penyele-saian seperti itu, pasti terkesan "lucu". Tetapi, itulah yang terjadi. Meskipun sebenarnya saya ingin menolak penunjukan itu, saya diyakinkan oleh Pak Sudharmono, yang di waktu itu adalah Sekretaris Kabinet, bahwa saya harus menerima, apapun alasannya. Sebabnya, surat-keputusan itu adalah surat keputusan presiden (Soeharto). Dan itulah jalan yang terbaik bagi kepentingan nasional. Akhirnya, saya terima SK Presiden itu dan saya menyadari, telah mengambil keputusan yang tidak populer. Ketika sikap saya itu saya sampaikan pada pers, dijadikan "banner headline" harian KAMI.
Hari-hari setelah pemilu 1971, muncul gagasan fusi partai Islam. Saya, terus terang, ikut mendukung gagasan itu. Karena itu, saya ingin ikut mengantar Parmusi melakukan fusi dan alhamdulillah terbentuklah PPP (Partai Persatuan Pemba-ngunan) pada bulan Januari 1974. Meskipun demikian, pada pemilu 1977, peranan eks parpol Islam masih besar, khususnya di dalam penyusunan daftar calon. Sebagai Sekjen Parmusi, sudah tentu saya masih ikut bertanggung jawab di dalam penyusunan calon itu. Alhamdulillah, PPP masih dapat meraih kemenangan di berbagai daerah, misalnya Jakarta, Aceh, dan Kalimantan Selatan. Semuanya, sudah tentu berkat keberhasilan penyusunan daftar calon yang adil sehingga PPP kompak meng-hadapi pemilu 1977. Toh tugas partai itu saya lakukan sebagai tugas tambahan, di mana panggilan profesi masih dominan menjadi perhatian saya. Karena itu, saya tidak ikut menca-
lonkan diri. Sebabnya, juga merasa tidak etis, oleh karena kehadiran saya di Parmusi adalah tidak normal. Menggusur Lukman Harun, yang mestinya lebih berhak dari saya untuk menjadi calon. Karena itu, saya "menghindar" untuk menjadi calon anggota DPR. Tahun 1972, saya memperoleh beasiswa WHO (World Health Organization) untuk mempelajari "Tuberculosis con-trole" di Praha, Cekoslovakia dan India selama 6 bulan dan di tahun 1977, saya ke Amerika dalam rangka program USAID, di University of Hawaii selama satu tahun, dalam rangka program studi public health di universitas itu. Pada kesem-patan inilah saya memperoleh kesempatan mempelajari "asuransi—kesehatan", yang ternyata kemudian menentukan jalan kehidupan profesi saya. Secara berangsur-angsur, saya "lengser" dari kegiatan politik (praktis), meskipun pada kenya-taannya tidak mungkin lepas sama sekali. Di dalam berbagai kesempatan, saya masih raelakukan komunikasi dengan kala-ngan elit politik, termasuk tokoh-tokoh yang dekat dengan Pak Harto, antara lain Pak Djono, Ali Murtopo, Sutopo Yuwono, Pak Sudharmono, dan lain sebagainya. Pertemuan dengan beliau-beliau itu saya gunakan untuk menyampaikan pendapat saya mengenai berbagai permasalahan bangsa. Politik, tanpa saya sadari, saya katakan telah menjadi salah satu "hobby" saya. Karena itu, selingan tugas politik masih sering saya terima, misalnya menghadiri Konferensi Islam (OKI), menjadi Pemimpin Umum harian Pelita (1984), Anggota Dewan Pers dan Pengurus SPS (Serikat Penerbit Surat kabar) menjadi ang-gota MPR (1992-1998), dan lain sebagainya. Sampai akhirnya, secara tidak saya duga sebelumnya, saya terpilih sebagai Ketua Umum Badan Koordinasi Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (20 Maret 1990). Sejak saat inilah, saya dapat melakukan komunikasi secara langsung dengan Pak Harto kembali.
Beberapa hari setelah terpilih selaku Ketua Umum Badan Koordinasi Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) ber-sama pengurus IPHI, kami menghadap ke Pak Harto, selaku Presiden RI. Selain melaporkan kehadiran Bakor IPHI, kami juga meminta Pak Harto sebagai Pembina IPHI. Menanggapi permintaan IPHI, Pak Harto ternyata tidak bersedia. Pak Harto hanya bersedia sebagai Pelindung sebab kata Pak Harto, kalau Pembina itu harus banyak terlibat dan ikut mengarahkan sebuah organisasi, sebagaimana di Golkar. Di Golkar, sebagaimana kita ketahui, peranan Ketua Dewan Pembina adalah sangat besar, bahkan paling menentukan. Dalam pertemuan itu, saya sempat "guyon" dengan Pak Harto, bahwa Pak Harto tidak bisa menjadi anggota IPHI, oleh karena Pak Harto belum haji. Pak Harto tertawa dan mengatakan "Tapi saya kan sudah umroh." Pak Harto, sebagaimana kita ketahui, baru menunaikan ibadah haji pada tahun 1995. Dan begitu pulang, Pak Harto mendaftar sebagai anggota IPHI, beserta seluruh keluarga. Pak Harto membayar iuran dan memberi infak untuk IPHI. Saya harus mengakui secara jujur, bahwa dorongan Pak Harto kepada IPHI cukup bermakna. Pak Harto, misalnya mem-beri dukungan yang besar terhadap pembangunan empat rumah sakit haji, yaitu di Medan, Jakarta, Surabaya, dan Makasar. Empat rumah sakit haji itu selesai dibangun di dalam waktu hanya dua tahun, seluruhnya menghabiskan dana sekitar Rp60 miliar. Pak Harto, melalui YAMP (Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila) memberi sumbangan Rp2 miliar, atau Rp500.000.000,00 bagi setiap rumah sakit. Empat rumah sakit haji itu, sebagaimana kita ketahui, merupakan "monumen" bagi peristiwa terowongan Mina (1990), yang telah menye-babkan wafatnya sekitar 600 jemaah haji Indonesia. Pengalaman sebagai Ketua IPHI, di pihak lain, menyadar-kan saya bahwa tidak semua kebijaksanaan Pak Harto sebagai
presiden dapat berjalan sebagaimana mestinya. Semua itu terlepas, bahwa masyarakat menganggap Pak Harto memiliki "kekuasaan" yang luar biasa. Gagasan "Tabung Haji," yang secara terbuka pernah Pak Harto setujui, dan disampaikan secara terbuka pada pertemuan silaturahmi antara IPHI seluruh Indonesia dengan Presiden Soeharto pada tanggal 6 Desember 1994 tidak dapat terlaksana. Sebabnya, karena Departemen Agama (baca: Menteri Agama) belum dapat menerima gagasan itu. Demikian juga gagasan/himbauan agar seluruh jemaah haji menjadi anggota IPHI dengan membayar iuran secara sukarela melalui sebagian "Uang Bekal Daerah," sebagaimana dinyatakan Pak Harto saat meresmikan asrama Haji Donohudan, hanya dapat berlangsung sekali. Pak Harto, ternyata dapat "tidak berdaya" menghadapi para pembantunya yang ternyata tidak setuju dengan pendapat Pak Harto. "Saya sebenarnya setuju dengan kamu, tetapi menterinya tidak setuju," kata Pak Harto suatu ketika kepada saya. Saya terkejut dan heran, bahwa Pak Harto yang dibayangkan sebagai sangat berkuasa berkata begitu. Inilah dugaan saya, mengapa di hari-hari terakhir sebelum jatuh, banyak pembantu Pak Harto yang berani menolak ajakan Pak Harto untuk duduk kembali di dalam kabinet reformasi ataupun Komite Reformasi yang dirancang oleh Pak Harto. Dihari-hari terakhir, para pembantunya sudah mulai berjalan sendiri-sendiri sehingga mempercepat proses kejatuhan Pak Harto.
Sesungguhnya, ada satu pertanyaan bagi saya mengenai kejatuhan Pak Harto. Meskipun Indonesia sudah dilanda krisis, Pak Harto masih dapat terpilih secara aklamasi pada sidang umum MPRMaret 1998. Kepercayaan terhadap Pak Harto dapat dikatakan masih sangat kuat. Justru masalah wakil presiden, yang direncanakan diduduki oleh Pak Habibie yang menim-bulkan sedikit persoalan. Tetapi, dua bulan kemudian, Pak Harto jatuh. Adakah faktor yang lain? Misalnya, mungkinkah suatu kebetulan, bahwa Pak Harto jatuh, justru di saat "dekat" dengan umat Islam? Di dalam sepuluh-lima belas tahun terakhir, sebagaimana kita ketahui, Pak Harto telah memberi jalan kepada umat Islam untuk lebih berperanan. Antara lain dengan berdirinya ICMI (Ikatan Gendekiawan Muslim se Indonesia), berdirinya bank Muamalat, UU tentang Peradilan Agama, mendirikan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, yang telah mendirikan lebih dari 900 masjid dan lain-lainnya. Beberapa bulan sebelum jatuh, di malam takbiran, Pak Harto menabuh bedug bersama para pemimpin umat, sehingga banyak di antara umat Islam yang "terharu." Dengan pemimpin-pemimpin Islam yang dahulu dikenal sebagai "gariskeras," Pak Harto pun sudah dekat. Mas Anwar Haryono (alm), beberapa kali menemui Pak Harto. Pak Harto sudah berubah, kata orang. Pak Harto sudah mendekat kepada Islam. Kepada Pak Dhar (Sudharmono), saya mengatakan, bahwa "perubahan" itu (ketika Pak Harto ter-kesan sangat dekat Islam) justru (antara lain) yang mendorong kejatuhan Pak Harto. Pada tahun 1992, ketika terbentuk MPR sebagai hasil pemilihan umum, melengkapi keanggotaan MPR dari utusan Golongan dan Utusan Daerah, timbullah isu "idjo royo-royo". Maksudnya, wajah MPR telah didominir oleh Islam. Kesan seperti ini, tidak hanya oleh pengamat dalam negeri, tetapi
juga kalangan luar negeri. Termasuk oleh Lee Kuan Yew, dalam bukunya "From Thirld World to First" (2000). Lee Kuan Yew menulis, bahwa kebijaksanaan Islam Pak Harlo itu untuk mengimbangi ABRI, yang diwaktu itu dipimpin oleh Benny Moerdani yang Katolik. Hal ini dibantah oleh Pak Harto. Jadi secara sadar, Pak Harto memang cukup alasan untuk memberi tempat kepada umat Islam dalam berbangsa dan bernegara. Pak Habibie, yang diwaktu itu dikenal sebagai sangat dekat dengan Pak Harto mengatakan, bahwa kenyataan seperti itu adalah fenomena demokrasi, oleh karena umat Islam memang mayoritas di Indonesia. Di pihak lain, Pak Harto dan keluarga pun mengesankan semakin intens mengamalkan ajaran aga-manya. Misalnya, pendirian masjid "At-Tien" yang demikian megah di dekat Taman Mini Indonesia Indah. Masjid ini, mau tidak mau menimbulkan kesan, bahwa Pak Harto dan keluarga, memang benar-benar ingin ikut mengembangkan syiar Islam di Indonesia. Menurut Ir. Ahmad Nukman, yang juga arsitek masjid itu, Pak Harto sangat tulus dalam membangun masjid itu sebagai semata-mata ibadah, yang dalam hal ini memang juga diakui sebagai niatnya ibu Tien (alm). Konsep masjid itu, menurut Ir. Ahmad Nukman, benarbenar menempatkan masjid sebagai tempat ibadah yang paripurna. Semua itu, bagi kebanyakan orang, mungkin suatu hal yang tidak terbayangkan sebelumnya. Di kalangan kebanyak-an kaum muslimin, apalagi kaum santri, Islamnya Pak Harto adalah "Islam Abangan." Bahkan pernah diduga sebagai penuh "klenik," "kejawen." atau "kebatinan." Tetapi, dalam pembica-raan dengan kalangan dekat, jiwa keagamaan Pak Harto adalah sangat dalam. Saya memperoleh cerita dari Mas Soenarso, mantan Duta Besar kita di Malaysia, bagaimana Pak Harto menceritakan pandangannya mengenai "kebatinan" dan agama. Orang Jawa dahulu, memang melakukan semua itu,
karena belum mengenal agama. Tetapi, setelah mengenal agama, semua itu sebaiknya dihilangkan. Dalam pandangan Pak Harto, orang-orang kebatinan harus dibawa ke arah agama yang benar, demikian pandangan Pak Harto mengenai agama dan kejawen sebagaimana diceritakan kepada Mas Soenarso, ketika Pak Harto berkunjung ke Malaysia. Demikian juga cerita Mas Mintaredja (alm), Ketua Umum Parmusi, di tahun 1970-an, ketika isu kebatinan sedang marakmaraknya. Pan-dangan Pak Harto dan "kebatinan" adalah, bahwa harus dikembalikan kepada agama. Inilah tugas kita semuanya, kata Mas Mintaredja mengutip pandangan Pak Harto. Dengan perkembangan seperti itu, Indonesia (ada yang memperhitungkan), tidak mustahil akan menjadi pusat ke-bangkitan Islam. Hal ini mengingat potensi Indonesia, baik dari segi luasnya wilayah, besarnya jumlah penduduk serta potensi ekonominya. Selama kepemimpinan Pak Harto, pertumbuhan ekonomi memang sangat meningkat. Indonesia, juga sudah swasembada pangan. Bahkan Pak Harto sempat memperoleh penghargaan dari FAO atas prestasi ini. Jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan, juga sudah menurun tajam. Penda-patan per kapita, sudah melampaui US $ 1000,-Gedung-gedung yang tinggi, jalan tol dibangun. Indonesia, bahkan diperkira-kan akan menjadi NIC (the New Industrialized Country) baru. Peran Pak Harto, sudah tentu dianggap sangat besar. Sampai di sini, perbenturan kepentingan global ikut berbicara. Indo-nesia, menjadi salah satu negara yang memperoleh perhatian untuk dihancurkan, sebagaimana Uni Soviet atau negaranegara Balkan lainnya. Suatu hal yang memang sangat sulit dibuktikan, meskipun (ternyata) PakHarto merasakanjuga kecenderungan seperli itu (lihat bab: Percakapan dengan Pak Harto). Ketika Pak Harto lengser, beberapa kali saya menemui Pak Harto. Dalam hati kecil saya, terkadang ada perasaan tidak
mudah, untuk menemui Pak Harto. Tetapi, di pihak lain, saya tidak mungkin dan tidak boleh, memutus silaturahmi. Apalagi, selaku Ketua IPHI, saya merasa wajib harus tetap memupuk tali silaturahmi dengan setiap anggota IPHI. Dan wujud sila-turahmi itu akan lebih terasa bermakna, khususnya terhadap orang-orang yang sedang menghadapi kesulitan. Setiap manusia, ada kelemahan dan ada kelebihannya. Sebagai kepala negara selama 32 tahun, mau tidak mau, senang atau tidak senang, pasti ada yang baik. Sebaliknya, kalau ada yang buruk, sesung-guhnya banyak di antara kita yang harus ikut bertanggung jawab. Para menteri, anggota MPR yang memilih Pak Harto, sudah tentu ikut bertanggung jawab. Sedikitnya, secara moral. Atas pertimbangan seperti itu, saya harus memelihara silatu-rahmi itu dengan Pak Harto. Ada tujuan lain, yang sesungguhnya ingin saya ketahui. Senang atau tidak senang, Pak Harto adalah seorang tokoh yang telah ikut mengukir sejarah bangsa ini. Ada keinginan yang kuat, untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, serta latar belakang kebijaksanaan dan langkah-langkahnya, termasuk di kala harus mengundurkan diri. Akan menjadi pelajaran yang sangat berharga, bagi siapa pun, kalau ada rekaman perjalanan Pak Harto selama menjadi presiden, baik dan buruknya. Yang buruk, sudah tentu harus kita tinggalkan dan tidak boleh diulang kembali. Semua itu, barang kali justru dapat lebih terbuka, di kala Pak Harto menceritakan semua itu sesudah lengser. Alhamdulillah, saya memperoleh kesempatan untuk merekam sekelumit perjalanan itu, yang saya tuangkan khusus dalam tulisan di bab yang lain. Ada dua hal, yang pada hemat saya menjadi titik lemah Orde Baru. Pertama, membangun sistem berbangsa dan ber-negara yang mampu memberi landasan politik yang mantap. Keterlibatan TNI/ABRI dalam politik, apalagi dalam konsep
tiga jalur Golkar, meskipun dalam kerangka dwi fungsi ABRI, pada hemat saya, hal ini menyimpang dari prinsip TNI/ABRI sebagai milik rakyat, yang harus berdiri di atas semua kekuatan politik yang ada. Demikian juga keterlibatan birokrasi. Masalah ini, sesungguhnya sudah banyak disarankan, sejak awal Orde Baru, ketika kita memulai untuk memperbarui sistem politik kita. Saran-saran, agar TNI/ABRI dan Birokrasi harus tetap sebagai aparatur negara yang tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan, sesungguhnya sudah ada. Saya ikut terlibat dalam diskusi seperti itu dengan berbagai kalangan yang di-kenal dekat presiden. Namun, saran seperti itu dikalahkan oleh adanya kekhawatiran terjadinya instabilitas politik di saat itu. Inilah yang mendorong pemerintahan Pak Harto semakin sentralistis sehingga aspek-aspek demokrasi menjadi semakin jauh. Bahkan, konsep yang berjalan justru dapat dikatakan meriutup ke arah demokratisasi, antara lain, melalui konsep "Tiga Jalur Keluarga Besar Golongan Karya" yang terkenal itu (Golkar A /ABRI, Golkar B/Birokrasi dan Golkar G). Masalah ini, pada hemat saya, sebenarnya sudah dapat dikoreksi ketika Sudharmono menjabat Ketua Umum Golkar (1988-1993). Di waktu itu, Golkar (sebenarnya) sudah mampu mandiri dari ABRI dan birokrasi. Tetapi, ketika kepemimpinan Golkar justru jatuh ke tangan sipil (Harmoko), hubungan ketiga jalur itu justru semakin merapat. Yang kedua, adalah sistem dan bangunan ekonomi yang (juga) tidak mantap, yang ditandai dengan kesenjangan dan konglomerasi di sektor ekonomi. Hal ini terlepas, bahwa sistem ekonomi itulah yang telah berhasil mengantar Indonesia memperoleh pertumbuhan sekitar 7% per tahun dan sukses stori lainnya. Ketika krisis ekonomi berlangsung, ternyata bangunan ekonomi kita sangat rapuh. Utang swasta yang demikian besar, ternyata telah menjadi sumber malapetaka. Suatu hal yang agaknya memang tidak
diduga, bahkan oleh lembaga-lembaga internasional sekalipun. CGI (misalnya), ketikabersidang di Tokyo padabulanjuli 1997, masih berpendapat bahwa fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat, berbeda dengan Thailand yang telah dilanda krisis mulai Juni 1997. Demikian juga para pemimpin Indonesia. Demokrasi ekonomi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, sesungguhnya tidak berjalan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama Orde Baru, ternyata tidak didukung oleh sistem ekonomi yang mantap, yang merata dinikmati sebagian besar rakyat Indonesia. Ditambah dengan adanya KKN bangunan ekonomi kita ternyata memang sangat rapuh. Meskipun upaya perbaikan telah dilakukan, agaknya sudah terlambat. Di bidang politik, kita melihat pergantian kepemimpinan Golkar ke tokoh sipil, setelah bertahun-tahun selalu dipegang oleh tokoh militer. Demikian juga jabatan Sekretaris Negara, sebagai pejabat yang paling dekat kepe-mimpinan Nasional, beralih ke tangan sipil. Wakil presiden juga tokoh sipil. Presiden Soeharto, mungkin telah memper-siapkan alih kepemimpinan ke sipil, sebagai respons gelombang demokratisasi yang sesungguhnya tidak terelakkan. Demikian juga di sektor ekonomi, upaya pengentasan kemiskinan lebih digiatkan. Namun, semua itu agaknya sudah terlambat. Selain itu, juga tidak dibangun berdasar sistem. Momentum mem-bangun Sistem Jaminan Sosial Nasional (misalnya) tertinggal di banding proyek-proyek fisik kesejahteraan (Rumah Sakit/ Puskesmas, yang ternyata menjadi beban yang berat bagi negara, karena tidak didukung sistem Jaminan Sosial Nasional di sektor kesehatan sebagaimana mestinya. Meskipun demikian, saya tidak sependapat untuk mele-takkan tanggung jawab itu kepada Pak Harto sendiri. Dalam kurun waktu selama 30 tahun itu, kita semua seolah-olah
tidak menyadari, bahwa secara perlahan kita justru sedang mengantar Pak Harto menghadapi jurang kejatuhannya. Kesalahan itu lebih tepat dikatakan sebagai kesalahan kolektif bangsa, terlepas sepanjang kurun waktu itu ada letupan-letupan peringatan, yang tumbuh sebentar kemudian lenyap di tengah perjalanan bangsa. Dari sekadar contoh peristiwa Parmusi di awal Orde Baru, sampai ke petisi 50 yang kemudian berakhir di era reformasi. Atas dasar itu, saya berpendapat, bahwa gerakan reformasi tidak boleh mengulang kesalahan lama, apalagi kalau ternyata justru lebih memperburuk keadaan. Kesalahan itu, dapat di-hindari, kalau gerakan reformasi dapat melandaskan perja-lanannya melalui pendekatan pembangunan sistem berbangsa dan bernegara yang modern, sehingga peralihan kepemimpinan nasional dapat berjalan secara wajar. Butir-butir gagasan itu, merupakan sebuah mimpi yang selama ini menjadi renungan saya.