Meskipun Dihujat, Saya Harus Tetap Sabar Percakapan dengan Pak Harto (1)
SEBAGAI Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) pada bulan Agustus 1998 saya diterima oleh mantan Presiden Soeharto, di Jl. Cendana selama sekitar hampir satu jam. Pertemuan dengan Pak Harto, setelah tidak menjabat Presiden RI, terasa agak berbeda dengan ketika Pak Harto ma-sih menjabat Presiden RI. Selaku Ketua Umum IPHI, beberapa kali saya menemui Pak Harto, bahkan sebelum Pak Harto menunaikan ibadah haji. Dalam sebuah pertemuan dengan Pak Harto, saya sempat "menggoda" Pak Harto, bahwa Pak Harto tidak bisa menjadi anggota IPHI, karena Pak Harto belum haji. "Tapi, saya kan sudah umroh" jawab Pak Harto sambil tertawa kecil kala itu. Usai menunaikan ibadah haji, Pak Harto mene-rima Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia dan mendaftarkan diri selaku anggota IPHI, disertai Ibu Tien (alm) dan seluruh putra-putri dan menantu. Keluarga Pak Harto juga memenuhi kewajiban membayar iuran (seumur hidup) dan infak. Pak Harto, bahkan menerima usulan pendirian empat RS di empat embarkasi haji, yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, dan Ujung Pandang.
Harus saya akui bahwa perhatian Pak Harto terhadap IPI tidak berubah, baik di saat masih menjabat presiden tnaupu setelah "lengser keprabon". IPHI juga tidak membedaka perlakuan terhadap Pak Harto, sebagaimana terhadap anggoi IPHI lainnya. Semua surat dan informasi yang perlu diketahi anggota, juga selalu dikirim pada Pak Harto. Dan Pak Hartc bila merasa perlu, juga memberi respons. Misalnya, ketik menerima undangan pengajian bulanan "Al-Mabrur" yanj merupakan kerja sama antara IPHI dengan Ampuh dan Iper kahri, yang diselenggarakan sebulan sekali di beberapa hote di Jakarta. Melalui telepon Pak Harto pernah menyampaikar pesan bahwa Pak Harto beserta seluruh keluarga insya Allah akan menghadiri salah satu dari enam acara pengajian yang telah disusun. Demikianlah, pada hari Sabtu 1 Agustus 1998, dalam se-buah perjalanan, hand phone saya berdering. Dari Cendana, kata suara di seberang. Ajudan menanyakan, tentang sebuah surat, yang merupakan sebuah surat bagi seluruh anggota IPHI untuk sebuah seruan infak/sumbangan untuk membangun kantor/gedung IPHI. Apakah tidak sebaiknya Pak Sulastomo menghadap saja untuk menjelaskan surat itu? Baik, jawab saya tanpa ragu. Bagaimana kalau hari Senin (3 Agustus) nanti, sekitar jam 10.00 pagi? Saya termenung sejenak. Sebenarnya, hari dan jam itu sudah ada acara. Tetapi, perasaan saya tidak mungkin menolak. "Baik", jawab saya pada Ajudan. Usai menerima telepon itu, saya merenung sejenak. Bagaimana mengatur acara hari Senin yang sudah penuh, na-mun harus ada waktu untuk ke Cendana. Saya juga berpikir, bagaimana nanti kesan orang, seandainya orang tahu ada pertemuan dengan Pak Harto, dalam suasana politik seperti sekarang? Secara pribadi, saya tidak ragu. Sebagai manusia, terlepas dari masalah politik, Pak Harto sekarang adalah orang
yang "teraniaya". Dan saya justru merasa terpanggil, apabila dapat menghibur atau meringankan penderitaan orang yang teraniaya, kata hati saya. Selain dari itu, saya juga mengingat prinsip Islam, bahwa kita tidak boleh memutus silaturahmi. Jangan ada kesan, kita menghargai seseorang hanya semata-mata karena jabatannya. Perasaan seperti itu, hampir sama dengan perasaan saya beberapa puluh tahun yang lalu, ketika saya, selaku mantan Ketua Umum PB HMI, diminta untuk menjadi saksi a de charge Dr. Subandrio di Mahkamah Militer Luar Biasa di tahun 1966. Akan sangat pengecut, kalau saya lebih menje-rumuskan orang yang sudah teraniaya, kata hati saya saat itu. Oleh karena itu, di depan Mahmilub, saya berketetapan hati untuk mengatakan segala sesuatu apa adanya, seobjektif mungkin, sesuai sumpah. Katakanlah yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Prinsip inilah yang saya pegang, ketika harus menjawab pertanyaan yang pelik, yang dapat membuat nasib seseorang semakin buruk atau baik. Demikianlah, setengah jam sebelum waktu yang diten-tukan, saya sudah berada di Cendana. Suasana, kesan saya, lebih sepi dibanding dengan ketika Pak Harto masih menjabat presiden. Sambil menunggu Pengurus IPHI lain yang akan mendampingi, yaitu Pak Soebono (Ketua IPHI), seperti biasa, secangkir teh disajikan. Masih kurang 20 menit dari waktu yang ditetapkan, seorang staf Cendana mempersilakan saya masuk ke dalam, meski-pun Pak Soebono belum hadir. Bapak sudah berada di dalam (ruang menerima tamu) kata seorang petugas. Tidak apa, Pak Sulastomo duluan, nanti Pak Bono menyusul, katanya lagi. Pak Harto, seperti biasa, duduk di kursi yang selalu di-tempatinya sejak masih menjabat presiden, mengenakan baju batik cokelat lengan panjang, Pak Harto tampak lebih cerah. Senyumnya yang khas masih tampak, terkesan tanpa beban.
Saya sangat terkesan dengan penampilan itu, karena saya yakin, bahwa Pak Harto di waktu itu (mestinya) menghadapi masalah-masalah yang pelik. Persoalan politik, harla kekaya-annya, sampai ke yayasan yang dipimpinnya. Kok terkesan tidak ada beban, pikir saya. Setelah berbincang-bincang sejenak tentang kesehatan dan lain-lainnya, saya menyampaikan maksud surat yang dikirimkan. Kepada seluruh anggota (seumur hidup) IPHI, memang telah dikirimkam sepucuk surat harapan/himbauan untuk memberikan sumbangan/infak, berhubung ada niat IPHI untuk dapat memiliki kantor sendiri. Termasuk kepada Bapak, selaku anggota IPHI, kata saya. Juga saya laporkan, bahwa sudah ada anggota IPHI yang telah bersedia memberi sumbangan/infak sebesar RplOO juta. Saya sebutkan nama dermawan itu. Meskipun demikian, saya memang berkeinginan untuk memanfaatkan pertemuan itu untuk yang lain-lain, tidak saja yang terkait dengan IPHI. Saya sampaikan tentang kegiatan IPHI, RS Haji yang pernah dibantunya, BPR Persaudaraan Haji, Koperasi, dan lain sebagainya. Saya juga menyampaikan keprihatinan saya, seandainya kegiatan YAMP (Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila) terhenti, di mana saya juga menjadi salah seorang pengurusnya, meskipun saya akui baru sekali mengikuti rapat YAMP, yaitu di saat awal pendiriannya. Selain itu, saya juga sempat menyinggung bagaimana Pak Harto menanggapi keadaan sekarang dan kecenderungan banyaknya partai yang timbul dewasa ini. Dengan santai Pak Harto menanggapi semua yang saya sampaikan. Ketika mempersilakan tamunya mencicipi minuman, Pak Harto juga mengambil minuman itu, namun tidak diminum. Kabarnya, Pak Harto diwaktu itu, tidak hanya
puasa Senin-Kamis, tetapi berpuasa empat hari dalam seminggu mulai hari Senin. Memulai tanggapannya, Pak Harto menga-takan, bahwa sebenarnya Pak Harto sangat enggan memberi komentar terhadap apa yang berkembang sekarang. Nanti dikira mau "come back", kata Pak Harto sambil tertawa-senyum. Tetapi, setelah sedikit saya desak, Pak Harto mau bercerita banyak dan bahkan tidak berkeberatan kalau ditulis dan disebarkan ke masyarakat luas. Pak Harto menyadari, bahwa dirinya sedang "dihujat" dan bahkan dicaci-maki. Namun, Pak Harto tidak akan menanggapi segala hujatan dan caci-maki itu. Biarlah nanti masyarakat tahu sendiri. Pak Harto juga menceritakan, bahwa sekarang ini, beliau benar-benar ingin "madheg-pandito" dengan se-sungguh-sungguhnya. Itu berarti harus benar-benar berusaha urituk mendekatkan diri pada Tuhan. Secara panjang lebar, Pak Harto menyampaikan nilai-nilai moral, tuntunan agama, dalam rangka "madheg-pandito" itu. Tuhan, kata Pak Harto, mempunyai sifat 99, yang selayaknya harus kita dekati. Tidak mungkin, kita akan menyamai sifat-sifat Tuhan itu, namun, kalau dapat mendekati saja sudah baik, kata Pak Harto. Salah satu sifat itu, adalah sabar. Saya harus sabar menghadapi permasalahan dewasa ini. Meskipun dihujat, saya harus tetap sabar. Kalau tidak sabar, saya tidak lulus "madheg-pandito" kata Pak Harto sambil tersenyum dan tertawa kecil. Mengenai kekayaannya, Pak Harto mengatakan, silakan selidiki. Benarkah sampai 200 triliun? tanya saya. Pak Harto tersenyum. Silakan teliti dan saya tidak punya rekening di luar negeri seperti diberitakan banyak koran. Kalau ditemukan, silakan ambil, kata Pak Harto lagi sambil tertawa. Mengenai yayasan-yayasan yang dipimpinnya, semuanya dikatakannya adalah untuk kegiatan sosial. Bagaimana dengan sumber-sum-ber dananya? Pak Harto mengakui, bahwa memang ada yang
berdasar Keppres. Tetapi itu pun ada riwayatnya. Sumbangan Pegawai Negeri untuk YAMP/Dharmais (misalnya), dulu di-sepakati oleh Korpri, dalam rangka menanamkan kepedulian sosial, meskipun gaji pegawai negeri masih kecil. Kemudian ABRI pun setuju. Lantas ada gagasan diberikan landasan hukum. Sebagai presiden, kemudian saya keluarkan Keppres, karena tujuannya memang baik. Sumbangan dari yang beragama Islam dimasukkan dalam YAMP sedangkan yang beragama lain dimasukkan ke yayasan Dharmais. Kalau sekarang mau diha-pus, ya silakan, kata Pak Harto. Namun, yayasan akan berjalan terus. Jumlah masjid yang sudah dibangun sudah melebihi 900 buah. Dari Pak Dhar (Sudharmono), saya memperoleh infor-masi, bahwa rencananya, YAMP akan membangun masjid sampai mencapai jumlah 999. Kok tidak dipakai angka genap 1000, tanya saya kepada Pak Dhar. Kabarnya Pak Harto sen-diri yang memutuskan angka 999. Apa artinya, saya tidak tahu, kata Pak Dhar. Pak Harto mengakui bahwa tidak semua yayasan memi-liki landasan hukum pemungutan dan berdasar Keppres. Sambil tertawa kecil Pak Harto mengatakan, Keppresnya ya "mulut" saya. Yang penting sukarela. Bagaimana kalau pemerintah mengambil alih atau membekukan dana yayasan? Pak Harto mengatakan, secara hukum mestinya tidak mudah. Yayasan kan memiliki landasan hukum sendiri sesuai dengan aktenya. Tetapi kalau dilarang operasi (oleh pemerintah) ya dibubarkan saja (oleh pengurusnya). Secara panjang lebar, Pak Harto menggambarkan niat pendirian yayasanyayasan itu, sejak yayasan Trikora, ketika Pak Harto melihat penderitaan anak buahnya, istri-istri dan anak-anak dari prajurit yang gugur, yang harus disantuni kehidupannya dan kelanjutan pendidikan anak-anaknya. Pemerintah kan belum mampu menangani semua itu. Demi-
kian juga yayasan Super-Semar, yang memberi beasiswa pada mahasiswa dan lain sebagainya. Yayasan-yayasan itu semua-nya diaudit oleh akuntan publik dan tidak ada niat untuk pengurusnya. Semua pengurus tidak ada yang digaji, kata Pak Harto. Tidak ada niat yang jelek. Namun, kalau tidak boleh operasi, ya dibubarkan. Bagaimana dengan dana yayasan yang kabarnya ditanam di berbagai perusahaan melalui kepemilikan saham? Memang ada pertanyaan, apakah tidak sebaiknya ditarik saja? Pak Harto menjelaskan, bahwa niat tersebut adalah untuk mem-peroleh nilai tambah. Dan yayasan memang telah menerima dividen dan lainlainnya. Kalau mau ditarik, sesungguhnya ya bisa. Akan tetapi, perusahaannya kan sekarang banyak yang sedang menghadapi kesulitan. Apa tidak semakin mempersulit ekonomi, dengan PHK dan lain-lainnya? Usai berbicara tentang yayasan, harta kekayaan dan ren-cana "madheg-pandito" Pak Harto berbicara tentang "marak-nya" berdirinya partai politik dewasa ini. Kalau boleh saya "uwur-uwur sembur" (memberi saran), hendaklah kita jangan melupakan sejarah. Dulu, kita juga pernah mempunyai banyak partai dan kemudian ada keinginan untuk menciutkan jumlah partai dan akhirnya hanya menjadi tiga dengan asas tunggal Pancasila. Apa yang terjadi di masa lalu, itulah sejarah dengan segala pengalaman baik buruknya. Kalau sekarang ada hasrat untuk kembali kepada partai yang banyak, hendaklah kita juga mengingat kembali sejarah dan pengalaman yang pernah kita miliki. Yah, ini sekadar "uwur-uwur sembur", kalau ada yang memerlukan. Adapun tentang himbauan/harapan infak yang disampai-kan IPHI, Pak Harto sebagai anggota IPHI menyatakan kesedia-annya untuk ikut "urunan". Namun, Pak Harto juga mengan-
jurkan untuk memohon petunjuk Menteri Agama, mengingat di sana ada Dana Abadi yang berasal dari para jemaah haji. Masih banyak yang (sebenarnya) ingin saya tanyakan. Akan tetapi, masih ada perasaan "was-was" apakah pertanyaan yang saya ajukan berkenan di hati Pak Harto. Apalagi, waktu pertemuan sudah berlangsung cukup lama. Oleh karena itu, setelah pertemuan yang pertama (setelah lengser) itu, ada perasaan untuk dapat bertemu kembali. Rasanya, masih banyak yang ingin saya tanyakan kepada Pak Harto, yang saya yakin perlu diketahui oleh bangsa ini. Amanah, Oktober 1998 (diedit kembali)