Hukuman Bagi Pak Harto
DERKAS perkara Pak Harto, akhirnya sampai juga ke pengadilan. Status Pak Harto sekarang adalah "tertuduh" atau "terdakwa." Sebentar lagi, kemungkinan besar akan diajukan ke pengadilan. Proses hukum bagi Pak Harto, dapat dikatakan sangat panjang dan berliku-liku. Pernah di SP3 kan di akhir pemerintahan Habibie, kemudian dibuka lagi pada awal peme-rintahan Gus Dur-Mega. Sebabnya, dikatakan karena ada bukti baru. Meskipun demikian, apa pun keputusan pengadilan, Pak Harto kemungkinan besar tidak akan dihukum, tidak akan masuk penjara. Presiden Abdurrahman Wahid, akan memberi pengampunan kepada Pak Harto. Sejauh ini, yang terpenting bagi keluarga Pak Harto adalah pengadilan yang adil, begitu kata Probosutedjo. Soal pengampunan adalah nomor dua. Tetapi, seandainya pengadilan nanti menyatakan Pak Harto bersalah sebuah "aib" akan melekat di keluarga Presiden RI yang kedua itu.
Mantan Presiden RI, terlibat dalam sebuah KKN, yang berarti suatu tindak korupsi. Tidak peduli korupsi itu besar atau kecil. Meskipun memperoleh pengampunan, tidak akan banyak berarti, dibanding dengan "aib" yang diderita Pak Harto dan keluarga. Apalagi, Pak Harto sudah "sepuh" dan dalam kondisi kesehatan yang kurang baik. Seandainya dipenjara, mungkin tidak akan terlalu lama (maaf). Hal ini tanpa bermaksud mendahului takdir. Bagi Pak Harto, mungkin justru lebih baik menolak pengampunan itu. Dengan begitu, Pak Harto bersikap ksatria, bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Hal ini bukan suatu kemustahilan. Di pihak lain, kita mungkin bangga karena kita dapat menegakkan hukum, termasuk terhadap mantan presiden. Namun, kita pun malu bahwa kita pernah mempunyai seorang presiden yang korup. Di samping itu, di luar masalah hukum, ada masalah lain yang agaknya tidak ringan. Ketua MPR Amien Rais, yang sejak lama dikenal sebagai pengkritik Pak Harto secara terbuka, di saat Pak Harto akan diajukan ke pengadilan, justru ingin mencari jalan yang lain. Se'cara teoretis, harus ada pendekatan hukum, kemanusiaan, keagamaan, politik, psikologi massa, dan lain-lain, kata Amien kepada wartawan. Menurut Amien Rais, masalah yang sedang dihadapi Pak Harto adalah masalah yang dilematis, yang tidak gampang penyelesaiannya. Jum'at (4 Agustus 2000), sebagaimana dikutip sebuah surat kabar (Pelita, 5 Agustus 2000) Amien Rais mengatakan bahwa masih ada dua hari sebelum perkara Pak Harto diserahkan ke peng-adilan. Mudah-mudahan ada rumusan yang enak dan bagus yang merupakan kombinasi berbagai pendekatan untuk me-mecahkan masalah ini. Mungkinkah? Siapa yang "berani"?
Agaknya sulit. Hukuman apa yang sebenarnya layak diterima oleh Pak Harto?
Suatu hari, beberapa bulan setelah Pak Harto lengser, saya ditemui oleh seorang teman. Teman itu menyampaikan keinginan seseorang yang pernah dibantu Pak Harto berobat ke luar negeri dan hendak menyampaikan rasa terima kasih. Ketika berangkat, Pak Hartd belum lengser dan ketika pulang, Pak Harto sudah lengser dan bahkan sudah dihujat. Tetapi, bagaimana caranya agar ungkapan rasa terima kasih itu jangan sampai diketahui masyarakat, apalagi wartawan? kata teman itu. Inilah (barangkali) sebuah hukuman bagi Pak Harto yang telah diberikan oleh masyarakat. Meskipun pernah menjadi presiden selama 32 tahun dan entah berapa ribu orang yang telah memperoleh manfaat dari kepresidenan Pak Harto, Pak Harto sekarang ditinggal sepi sendiri. Niatnya untuk "madheg-pandito" setelah lengserkeprabon, barangkali juga tidak "kesampaian" karena Pak Harto dihujat terusmenerus sampai sekarang. Hampir semua kejadian di Indonesia selalu ada yang mengaitkan dengan Pak Harto. Dari peristiwa Maluku, peristiwa Mei 1998, peristiwa 27 Juli, sampai ke pemboman di kedutaan besar Filipina. Demikian juga tuduhan KKN-nya, yang digambarkan demikian besar, sulit dibantah karena tuduhan itu diberikan oleh tokoh-tokoh negeri ini, bahkan oleh media massa asing. Rakyat percaya bahwa Pak Harto memiliki harta di luar negeri yang demikian besar, yang konon mencapai Rp 600 triliun. Bila benar, tentu dapat digunakan untuk membantu meringankan pembayaran utang Indonesia. Dapat dipahami kalau kebencian rakyat terhadap Pak Harto sangat besar. Demo ke Cendana demikian hebat, demikian juga
di tempat-tempat lain. Demikian juga kata-kata yang tertuang di dalam spanduk. Siapa yang tidak takut? Masih belum cukup, segala kebobrokan sekarang juga ditimpakan kepada Pak Harto seorang, yang selama 32 tahun menjadi penguasa negeri ini. Tidak ada yang berani membela. Bahkan, untuk menutupi kegagalan, Pak Harto pun masih dapat dijadikan "kambing hitam." Semua itu dipublikasikan demikian luas, baik oleh pers di dalam maupun di luar negeri. Pak Harto, ibaratnya benar-benar menjadi "tong sampah" di negeri ini. Dengan kenyataan seperti itu, dapat dipahami kalau kita semua takut dekat dengan Pak Harto. Golkar pun, yang selama 32 tahun menjadi pendukung utama Pak Harto sebagai pre-siden, menyatakan "disconnect" dengan Pak Harto. Pendeknya, tidak ada yang benar di masa Orde Baru, sebagaimana di awal Orde Baru kita mengatakan tidak ada yang benar di masa Orde Lama. Sejarah, kata orang, ternyata berulang kembali. Kini, timbul permasalahan baru yang membuat semakin kompleksnya permasalahan Pak Harto. Setelah terkena "stroke," Pak Harto dikabarkan terkena "brain-damage." Surat kabar Republika (4 Agustus 2000), tampaknya memperoleh "bocoran" hasil pemeriksaan medik. Dikabarkan, bahwa hasil pemeriksaan medik dokter pribadi maupun dokter RSCM yang ditunjuk Kejaksaan Agung ternyata sama. Kualitas jawaban Pak Harto menjawab pertanyaan pemeriksaan diragukan. Dengan upaya khusus, pemeriksaan terhadap Pak Harto masih dapat diterus-kan dan sampailah kita sekarang kepada proses pengadilan. Perkara Pak Harto, berhasil juga di berkas. Sekarang, semua tergantung proses di pengadilan, kata jajaran Kejaksaan Agung. Demikianlah, setelah proses hukum berjalan begitu jauh, muncul pendapat Ketua MPR Amien Rais yang menarik, seba-gaimana dikemukakan di atas. Masalahnya, bagaimana di-
mungkinkan pertimbangan hukum, politis, kemanusiaan, keagamaan dan bahkan psikologi massa? Pak Harto, kata Amien Rais pernahmenjadipresiden selama32 tahun, sehingga masih banyak yang menjadi pengagum dan pengikut Pak Harto. Amien Rais lebih jauh bahkan menyalahkan 1000 orang anggota MPR yang setiap lima tahun sekali memilih Pak Harto, sehingga dosa itu sesungguhnya dosa "kolektif."
Sekarang, bagaimana mencari jalan keluar yang terbaik bagi bangsa dan negara? Kasus Pak Harto, tidak berlebih, merupakan salah satu kasus yang mempunyai nilai strategis untuksegera diselesaikan. Tentu,akansangat memberi dampak yang besar bagi kelangsungan hidup bangsa ini, apabila kita dapat menyelesaikannya dengan arif. Persis seperti permasa-lahan Bung Karno dahulu, yang secara cermat dipertimbangkan segala sesuatunya. Namun, apa yang diusulkan oleh Ketua MPR Amien Rais, agaknya sudah terlambat. Satu-satunya jalan sekarang adalah menyelesaikan kasus Pak Harto melalui proses hukum yang adil. Pertimbangan politik, kemanusiaan, keaga-maan dan psikologi massa, agaknya sudah lewat. Mengapa? Secara politis, dengan kondisi kesehatan yang sudah demikian memburuk, apa yang dapat dilakukan Pak Harto? Meskipun mungkin Pak Harto masih banyak pengikutnya, sebagaimana dikatakan Amien Rais, apa yang dapat dilakukan? Dalam pertimbangan politis, barangkali yang justru lebih penting dipertimbangkan adalah kalau kekuatan anti Pak Harto nanti kecewa. Misalnya, kalau tuduhan terhadap Pak Harto ternyata tidak benar dan (misalnya) Pak Harto dinyatakan bebas. Atau, kalau Pak Harto tidak dapat diadili sama sekali, dengan alasan (misalnya) kesehatan. Siapa yang berani "melawan" arus?
Masalah politis lain, kalau ada, justru yang terkait dengan kebijaksanaan pemerintah. Mengapa Lembaga Kejaksaan Agung pernah mengeluarkan SP 3, sementara setelah terjadi pergantian pimpinan, Lembaga yang sama itu mencabut SP3 Pak Harto? Mungkin kesan politis akan dapat dihapus, apabila masyarakat diberitahu adanya bukti baru yang ditemukan, sehingga SP3 Pak Harto memang layak dicabut. Hal ini terlepas, bahwa masalah ini pun sesungguhnya sudah tidak bermakna lagi. Demikian juga masalah kesehatan Pak Harto, banyak dipersoalkan aspek politisnya, sebagaimana dengan gigih disampaikan oleh pengacara Pak Harto. Bobot politis masalah kesehatan ini akan dapat dihapus, seandainya pemeriksaan medik Pak Harto diumumkan secara terbuka, sehingga masya-rakat mengetahui, apakah proses hukum telah berjalan sesuai dengan status kesehatan Pak Harto apa tidak. Dari aspek kemanusiaan? Apa yang dialami Pak Harto selama ini, setelah lengser, barangkali dirasakan oleh Pak Harto sebagai tindak yang tidak berperikemanusiaan. Bagaimana perasaan seorang mantan presiden dihujat, dituduh KKN demikian besar, selalu dikaitkan dengan berbagai kerusuhan dan kebobrokan bangsa, tanpa ada batas dan memiliki hak jawab yang memadai? Ini pun sudah lewat masanya. Demikian juga dari aspek keagamaan, apa yang dapat diberlakukan? Dapatkah umat Islam (misalnya) mempertim-bangkan jasa Pak Harto yang telah membangun hampir 1000 masjid, selaku Ketua Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila? Bagaimana nantinya, kalau dana yayasan itu terbukti terkait KKN? Masalah baru, tidak mustahil justru akan muncul. Dari aspek psikologi massa, barangkali masyarakat sudah capek dengan masalah Pak Harto. Baik yang pro maupun yang
kontra, menunggu saja proses hukum yang sedang berjalan. Sebagian besar masyarakat, barangkali hanya ingin menjadi penonton yang baik. Demikianlah, upaya penyelesaian Pak Harto sekarang hanya bertumpu pada jalannya pengadilan yang adil. Peng-adilan yang adil ini sangat penting, tidak saja untuk memenuhi cita-cita negara hukum, tetapi juga untuk memenuhi standar internasional, sebagai bagian dari masyarakat yang beradab. Untuk itu, ada beberapa catatan. Pertama, dari segi besarnya KKN, ternyata tidak sebesar gambaran semula. Semula, diperkirakan meliputi bertriliun-triliun rupiah, termasuk harta Pak Harto di luar negeri. Se-panjang yang kita baca di surat kabar, hanya terkait dengan yayasanyayasan yang dipimpin Pak Harto. Benarkah penyim-pangan yang dilakukan Pak Harto untuk keuntungan Pak Harto pribadi secara material? Besarnya KKN yang dituduhkan, tidak sebesar penyimpangan BLBI. Diam-diam, ada rasa keadilan yang tersentuh, apabila penyimpangan yang justru demikian besar terlambat ditangani. Kedua, masalah kesehatan Pak Harto, tidak mustahil akan menyentuh kewajaran sebuah proses hukum. Mungkin akan terjadi polemik, tidak saja di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Pengadilan, mungkin perlu meminta pendapat pihak ketiga, kalau perlu dokter luar negeri, sehingga apa pun kepu-tusannya, memperoleh pembenaran secara universal. Ketiga, teknis pemeriksaan Pak Harto. Di dalam peme-riksaan pendahuluan, selalu didampingi sebuah tim dokter yang bekerja demikian ketat. Hal itu dimungkinkan karena pemeriksaan berlangsung di kediaman. Mungkinkah, di pengadilan nanti, pengawasan medik yang ketat dapat dilakukan? Hal ini (misalnya) untuk dapat mengetahui kondisi kesehatan
Pak Harto selama jalannya pemeriksaan, agar dapat dicegah hal-hal yang mungkin tidak diinginkan. Keempat, semoga kita semua dapat menganut prinsip hukum yang layak. Ada asas "praduga tak bersalah." Ada prinsip" tegakkan keadilan, meskipun langit akan runtuh". Nilai-nilai ini semoga menjadi nilai-nilai bersama. Bahwa di dalam menegakkan hukum, tidak boleh ada pertimbangan politik ataupun kepentingan lain yang terkait. Kita semua, harus siap menerima keputusan pengadilan dengan legowo. Demikianlah, masalah Pak Harto sekarang, tampaknya hanya dapat diselesaikan melalui proses hukum yang adil. Terlepas hal itu tidak mudah, itulah penyelesaian yang mungkin terbaik. Kita doakan, semoga pengadilan kita masih mampu melaksanakan tugas itu. Itulah harapan kita. Kompas, 23 Agustus 2000