Nekad Ngampus di Hari Jelang Persalinan, Jadi Wisudawan Terbaik UNAIR NEWS – Boleh dibilang, Nikmatus Sa’adah adalah sosok perempuan yang gigih memperjuangkan cita-citanya. Demi menyelesaikan pendidikan S-2, wanita kelahiran Agustus 1990 ini rela menjalani perkuliahan sambil menikmati proses kehamilan yang penuh drama. Namun begitu, dia mampu menjadi wisudawan terbaik S-2 Fakultas Kedokteran Airlangga dengan perolehan IPK 3.73.
Universitas
Momen pertama kuliah sekaligus menjadi momen pertama hamil muda. Baginya ini pengalaman yang berkesan selama dua tahun menempuh pendidikan S-2 Ilmu Kedokteran Dasar (IKD) di FK UNAIR. “Awal masuk kuliah sudah merasakan gejala trimester awal kehamilan, seperti gampang pusing dan mengantuk. Beruntung, dosen dan teman-teman begitu pengertian dengan kondisi saya,” ungkapnya. Bahkan, memasuki usia kehamilan yang semakin besar, tak jarang Nikma sering merasakan kram perut atau kontraksi palsu saat kuliah sedang berlangsung. “Hal ini seringkali membuat teman-teman sekelas jadi panik. Mereka khawatir saya melahirkan di kelas dan mendadak jadi pasien mereka,” kelakarnya. Nikma akhirnya melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Muhammad Ahnaf Al Fatih pada pertengahan semester dua. Namun karena tugas dan kewajiban sebagai mahasiswa yang tidak dapat ditinggalkan, sepuluh hari setelah melahirkan ia kembali ngampus mengikuti kuliah dan ujian akhir semester.
Perjuangannya sebagai ibu tidak berhenti sampai disitu. Nikma bertekad menyempurnakan perannya dengan memberikan ASI eksklusif 6 bulan. Kepentingan ASI dan kuliah adalah prioritas baginya. Dan perjuangan untuk mempertahankan keduanya pun akhirnya berbuah manis. Selain masih dapat memberikan ASI untuk sang buah hati hingga usia ke 14 bulan ini, Nikma juga berhasil menyelesaikan pendidikan S2 dengan baik. “Motivasi terbesar saya untuk segera menyelesaikan studi adalah agar saya bisa mengurus sendiri anak saya tanpa merepotkan orang tua lagi. Dan ketika luang, saya bisa lebih banyak menemani anak bermain, mengamati setiap momen tumbuh kembangnya,” ungkap dosen pengajar di Fakultas Kedokteran Gigi, Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata, Kediri ini. (*) Penulis : Sefya Hayu Editor : Binti Q. Masruroh
Robert James Bintaryo, Alumnus Manajemen Jadi Kepala KDEI Taiwan UNAIR NEWS – Robert James Bintaryo merupakan alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga yang menjadi Kepala Kantor Dagang dan Ekonomi (KDEI) Taipei. Ia merupakan lulusan Manajemen tahun 1986. Robert merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Lulus dari SMAN 5 Surabaya pada tahun 1979, pria kelahiran Malang ini sempat gagal masuk UNAIR. Robert kemudian berkuliah di salah satu universitas swasta di Surabaya.
Tahun berikutnya, Robert mencoba lagi mengikuti seleksi masuk UNAIR dan diterima di Jurusan Manajemen yang menjadi pilihan pertamanya. “Sampai saat ini saya masih hafal nomor identitas mahasiswa saya,” ungkap lelaki kelahiran 2 September 1959 bangga. Saat Robert mulai berkuliah, orangtuanya pensiun. Ia dan saudara-saudaranya yang menempuh pendidikan tinggi pada waktu yang sama, harus memahami kondisi keuangan keluarga. Robert yang suka menikmati musik, bersama teman-temannya sering mengadakan acara bermusik untuk mendapatkan uang tambahan. “Sering bikin acara siaran di TVRI. Saya sendiri nggak bisa main musik, tapi teman-teman saya yang main. Jadi, kita punya semacam event organizer musik. Saat itu bisa masuk TVRI itu sudah senang sekali rasanya,” kenangnya. Skripsinya tentang produk pakan ternak sebuah perusahaan pakan ternak di Jawa Timur mengantarkannya lulus menjadi sarjana ekonomi pada tahun 1986. Setelah lulus, Robert sempat bekerja di perusahaan asuransi di Jakarta. Dua tahun kemudian ia mengikuti seleksi dan lolos menjadi PNS di Kementerian Perindustrian dan Pedagangan (Kemenrindag) pada saat itu. Dapat Beasiswa Kuliah di Inggris Saat menjadi PNS di Kemenrindag, Robert mendapatkan beasiswa untuk studi di Inggris selama dua tahun. Robert mengambil Diploma Business Administration di Cardiff Business School, Cardiff, pada tahun pertama dan melanjutkan Master of Business Administration di Hull University, Hull, pada tahun kedua. “Alhamdulillah tesis saya dipilih oleh professor untuk disidangkan beliau. Jadi, saya tidak perlu maju sidang,” paparnya. Pengalaman bersama TKI
Sebelum memimpin KDEI, Robert telah memiliki banyak pengalaman memimpin. Ia pernah menjadi Atase Perdagangan Belgia/Uni Eropa (2005 – 2009), Kepala Bagian Bantuan Luar Negeri Biro Perencanaan Sekretariat Jenderal Kementerian Perdagangan (2009), Direktur Bahan Pokok dan Barang Strategis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perdagangan Dalam Negeri (2014 – 2016), serta Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting Ditjen Perdagangan Dalam Negeri (2016). Berbekal pengalamannya memimpin organisasi, menjadi atase, dan berbaur dengan masyarakat, Robert memimpin KDEI Taipei yang terdiri dari beragam divisi seperti imigrasi, perdagangan, perindustrian, investasi, ketenagakerjaan, serta pelayanan dan perlindungan WNI. Pelayanan dan perlindungan WNI menjadi tantangan tersendiri bagi Robert. Pasalnya, jumlah Tenaga Kerja Indonesia di Taiwan sendiri pada tahun 2016 telah mencapai 253 ribu atau 1 persen dari total populasi Taiwan, dan ada 5000 pelajar Indonesia di Taiwan. Sering kali ia terjun langsung ke lapangan untuk memantau para TKI yang bermasalah, mengunjungi TKI yang sakit, mengadakan buka bersama para TKI, hingga bekerjasama dengan pemerintah setempat untuk mengadakan acara hiburan bagi para TKI. Menurut penghobi renang ini, kunci keberhasilannya adalah mampu menjaga kepercayaan, jejaring, dan mau terjun ke masyarakat. “Saya punya banyak teman. Tanpa bantuan teman-teman rasanya saya tidak bisa seperti ini. Selain itu juga menjaga kepercayaan yang sudah diberikan,” paparnya. Harapan untuk UNAIR Sebagai alumnus UNAIR, Robert berpesan untuk para mahasiswa dan alumni, agar kita ingat bahwa negara membutuhkan kontribusi kita.
“Perhatikan masyarakat bawah, agar kontribusi kita untuk negara bisa dirasakan langsung oleh masyarakat,” papar Robert. Robert berharap, dengan kualitas pendidikan yang dimiliki UNAIR, serta dukungan para alumni, UNAIR bisa mengejar rangking dunia. “Kita sudah punya tokoh-tokoh yang diperhitungkan. Tinggal kita tingkatkan lagi, dan terus menjaga kualitas,” ungkap Robert. Kakak dan adik Robert juga alumnus UNAIR. Kakaknya seorang dokter gigi, dan adiknya dokter wanita spesialis bedah tulang pertama di Indonesia, dr. Yvonne Sarah Bintaryo. Penulis: Inda Karsunawati (alumnus Fisika UNAIR dan kandidat master Teknobiomedik di National Taiwan University of Science and Technology) Editor: Defrina Sukma S
dr. Indri Lakshmi Putri, Ahli Bedah Rekonstruksi yang Langka di Indonesia UNAIR NEWS – Wajah adalah identitas seseorang. Prinsip itulah yang melatari dr. Indri Lakshmi Putri, Sp.BP-RE (KKF) untuk menjadi dokter ahli bedah plastik rekonstruksi kraniofasial. Profesi ini terbilang langka di Indonesia, mengingat ahli yang dimiliki baru berjumlah belasan. Dokter perempuan itu ditemui di tengah kesibukannya ketika menjalani praktik di Rumah Sakit Universitas Airlangga. Sambil
mengenakan jas putih khas dokter, ia bercerita cukup banyak tentang minatnya terhadap bidang kraniofasial, praktik operasi, dan sejumput kehidupan di luar profesinya. “Wajah itu identitas seseorang. Jika orang bertemu Anda, pasti yang diingat adalah wajah. Mau tidak mau, orang akan melihat fisik terlebih dahulu dan itu diwakili oleh wajah. Secara tidak langsung, akibat wajah, seseorang bisa diterima atau tidak di suatu komunitas,” tutur perempuan yang akrab disapa dokter Putri ini. Kraniofasial adalah salah satu bidang kajian ilmu bedah plastik yang membentuk serta memperbaiki fungsi dan penampilan seseorang pada tulang wajah, tulang kepala, dan jaringan lunak. Misalnya, kelainan alat indera seperti telinga, atau bentuk wajah yang abnormal. Maka, tugas ahli kraniofasial adalah merekonstruksi wajah dan kepala sampai bentuk dan fungsinya mirip seperti normal. “Kita memperhatikan tampilan akhir supaya bisa memberikan kebahagiaan yang bisa dinilai secara psikis. Karena biasanya, orang datang ke kita dalam keadaan yang tidak happy,” tutur dokter Putri. Ia mengakui, bidang ilmu kraniofasial yang ditekuninya tak banyak diminati oleh rekan-rekan spesialis bedah plastik sejawatnya. “Kalau sedang seminar kraniofasial, itu nanti masuk ke ruang untuk kajian estetika, hand and surgery, dan kraniofasial. Biasanya (dokter, -red) yang masuk ke kraniofasial hanya 10 – 20%. Itu sudah mencerminkan bahwa banyak yang tidak mau masuk ke kraniofasial karena operasinya cenderung njelimet. Kalau estetika, bentuk hidung dua jam udah selesai. Dibandingkan kami bikin kuping, 6 – 8 jam operasinya,” tutur dokter Putri. Beragam tantangan Merekonstruksi wajah dan kepala manusia merupakan tantangan
tersendiri bagi dokter lulusan Fakultas Kedokteran UNAIR. Diperlukan ketelitian dan kehati-hatian agar pasien senang menerima ‘wajah baru’ yang dibuat sang dokter. Seperti contoh kasus operasi dua pasien kakak-beradik pada Kamis (17/3) silam. Dokter Putri bersama tim dokter yang terlibat berhasil mengoperasi dua pasien crouzon syndrome dengan teknik pemanjangan tulang wajah tengah. Teknik operasi ini pertama kali dilakukan di Indonesia. “Itu permasalahannya adalah pertumbuhan tulang dahi dan tulang wajah tengahnya terhambat. Bentuk wajahnya seperti neneknenek. Operasi tahap pertama menangani wajah atas (tulang dahi). Kita majukan ke depan tulang dahinya, karena apabila tulangnya tidak bisa tumbuh, otaknya akan tertekan. Kalau otak tertekan, dia tidak bisa berkembang. Matanya juga agak keluar,” tutur dokter 33 tahun ini. Pada operasi yang berkolaborasi dengan tim dokter Erasmus Medical Center, Belanda, dokter Putri membentuk tulang agar mirip seperti normal. Tantangannya adalah, membentuk tulang yang bersifat patologis. Tulang yang patologis biasanya cenderung tipis dan asimetris. Setelah tulang wajah atas terbentuk, tim dokter bertugas membentuk tulang wajah bawah agar jalan napas lebih mudah. “Kalau tersumbat, pasti akan banyak problem. Operasi berakhir pada tahap estetika. Kita bentuk wajahnya agar dia bisa diterima oleh lingkungannya,” tutur dokter yang hobi bermain basket ini. Selain pemanjangan tulang wajah, dokter Putri juga pernah melakukan operasi terhadap pasien tanpa telinga (microtia). Tindakan untuk kasus sejenis ini dilakukan sebanyak dua tahap dengan risiko tinggi. Risiko terburuk adalah terjadinya pendarahan dan meninggal. Oleh karena itu, tindakan ini dilakukan dengan cukup hati-hati karena melibatkan pemindahan kulit.
Dokter harus membuat sendiri telinga dengan menggunakan material dari tubuh pasien. Untuk membuat telinga, ia harus menyesuaikan pola telinga normal milik pasien. “Kita bikin patron. Patron itu digunting lalu kita sterilkan. Kita bikin telinga itu dengan menggunakan empat iga (tulang rusuk), dan akhirnya saya bentuk jadi kuping. Jadi, ada seni memahat dan menyerutnya juga. Udah kayak pengrajin bikin patung,” cerita dokter Putri. Rasa tidak puas terhadap berbagai operasi yang pernah dokter Putri lakukan, mendorongnya untuk terus meng-update ilmu kedokteran. Ibu dua anak itu bercerita, selama enam bulan pada tahun 2015 lalu, ia menghabiskan waktunya untuk menimba ilmu rekonstruksi kraniofasial di tiga negara. Yaitu Craniofacial Center Erasmus Medical Center di Belanda, Chang Gung Craniofacial Center di Taiwan, dan Nagata Microtia and Reconstructive Plastic Surgery Clinic di Jepang. Ilmu kraniofasial yang ditekuninya membawa hasil. Contohnya, kasus microtia. Sambil menunjukkan berbagai contoh telinga yang pernah ia buat, dokter Putri merasa ada perbaikan terhadap bentuk telinga yang pernah ia buat selama ini. “Mereka bilang, Dok, kayaknya satu kali operasi aja udah cukup. Kita bilang, nggak bisa kan telingamu masih tertanam aja. Tapi dia happy, karena akhirnya dia senang bersosialisasi dengan teman-temannya. Dia antusias pulang dari rumah sakit. Dia bilang kalau dia mau kasih tahu ke guru dan teman-temannya kalau dia punya kuping baru. Hal-hal itulah menurut saya nilainya tidak bisa dinilai dengan uang. Itu kepuasan pasien juga karena dia tidak minder lagi,” kenang dokter yang akan menempuh studi doktoralnya di FK UNAIR pada September 2016 nanti. Tantangan lainnya, dalam operasi kraniofasial adalah kurangnya informasi yang cukup di masyarakat, bahkan pada tenaga medis itu sendiri. Dokter Putri mengimbau agar mereka mencari
kebenaran informasi kepada pihak yang berkompeten. Karena tak jarang, abnormalitas itu sudah diketahui sejak dalam kandungan, namun tak kunjung dirujuk ke rumah sakit yang memadai. “Jangan sepelekan pasien-pasien dengan kelainan pada wajah. Hubungi ahli bedah plastik, karena kita (ahli kraniofasial) Cuma ada di kota besar. Dan, cari informasi di internet. Kami berharap agar tidak ada pasien yang datang dengan late condition. Mereka (pasien) yang memiliki kelainan pada telinga, itu datang ke kami di usia lebih dari 16 tahun semua. Apa yang terjadi? Tulang rawannya susah dibengkokkan karena udah mengeras. Bentuk memahatnya jauh lebih susah dibandingkan operasi pada usia sembilan atau sepuluh tahun,” ungkap dokter yang pernah tampil di Java Jazz Festival. Operasi kraniofasial saat ini sudah bisa dilakukan di RS UNAIR. Selain dilengkapi dengan kamar serta peralatan operasi dan tim medis yang kompeten, operasi kraniofasial juga dijamin oleh asuransi kesehatan (BPJS Kesehatan). “Koordinasi mudah kita lakukan, karena baik di Soetomo (RSUD Dr. Soetomo) dan RS UNAIR, departemennya di bawah UNAIR. Kalau di Soetomo, loading pasiennya banyak sekali. Antrian BPJS tidak karu-karuan. Dengan adanya RS UNAIR, sedikit banyak bisa membantu pasien-pasien agar bisa dioperasi lebih cepat,” tutur dokter Putri. Ia berharap, keberadaan RSUD Dr. Soetomo dan RS UNAIR bisa menjadi pusat rujukan tertinggi di Indonesia bagian timur, bahkan rujukan nasional untuk kasus kraniofasial. (*) Penulis: Defrina Sukma S. Editor : Binti Q. Masruroh
Usulkan Cara Penyimpangan Seksual
Atasi
UNAIR NEWS – Sebagai aktivis yang sering menggeluti bidang kesehatan dan seksualitas, Dewi Rokhmah banyak melakukan penelitian terkait perilaku seksual yang terjadi di daerah asalnya, Jember. Dalam disertasi yang ia tulis, Dewi memaparkan empat faktor penyebab seorang laki-laki memiliki orientasi homoseksual atau laki-laki suka laki-laki (LSL). Keempat faktor penyebab perilaku homoseksual itu muncul pada laki-laki adalah pengalaman traumatik pada masa kecil yang menjadi korban kekerasan seksual, pola asuh orang tua yang tidak tepat, pengaruh lingkungan pergaulan termasuk penggunaan gawai, dan paparan pornografi. Peraih IPK sempurna alias 4,00 ini menerangkan, proses pembentukan orientasi seksual berlangsung bertahap. Dimulai dari masa anak-anak, khususnya bagi penyintas kekerasan seksual. “Dampaknya, anak-anak akan kebingungan menentukan orientasi seksual ketika ia memasuki masa remaja. Masa inilah yang menjadi titik balik atau turning point yang menyebabkan seseorang menjadi homoseks,” terang Dewi. Selanjutnya, pada masa remaja, mereka mencari identitas seksual dengan mencari pembuktian adanya orientasi homoseksual. Pada usia ini mereka mengalami masa disosiasi dan signifikasi, yakni menyadari bahwa ia berorientasi homoseksual dan melakukan hubungan seks sesama jenis. “Pada masa dewasa, mereka sudah berani membuka identitas diri sebagai homoseks atau LSL di komunitas dan bahkan publik,” imbuh dosen kelahiran Malang ini. Menurutnya, pembentukan orientasi homoseksual bisa dicegah
asal masyarakat tak bersikap acuh tak acuh kepada sosok pribadi dan komunitas. Tujuannya, agar keberadaan komunitas tak kian eksis. Di sisi lain, masyarakat tak boleh memberikan stigma apalagi mendiskriminasi kaum homoseksual. Orang tua juga harus menanamkan pola asuh yang tepat, pendidikan seks usia dini, pemahaman agama, pembangunan komunikasi yang efektif, mengenali tema bergaul, dan membangun online resilience dengan anak. Pemerintah juga perlu berperan. Di tingkat daerah, pemerintah perlu berkoordinasi dengan pihak terkait seperti Komisi Perlindungan Anak, Dinas Kesehatan, dan Dinas Pendidikan guna mengeluarkan program peningkatan peran keluarga serta sekolah terkait pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas. Di tingkat pusat, pemerintah harus melek media dengan menyeleksi tayangan yang menampilkan perilaku homoseksual, baik di televisi, bioskop, maupun jejaring internet. Selain itu, pemerintah harus memberikan sanksi tegas bagi pelanggar. (*) Penulis : Defrina Sukma S. Editor : Bambang E.S
Terapkan Model “Studying Technique”, Raih Predikat Wisudawan Terbaik UNAIR NEWS – “Studying Technique” adalah teknik belajar yang diciptakan sendiri oleh Vita Kartika Cahyani selama kuliah di Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Universitas Airlangga. Teknik itu diterapkan dengan belajar selama 25 menit dan istirahat selama 5 hingga 10 menit. “Umumnya, ketika belajar sering kali kita gampang terdistraksi oleh handphone, TV, dan belum lagi rasa malas dan menundanunda untuk memulai. Sehingga waktu belajar 25 menit benarbenar harus fokuskan diri pada apa yang akan dikerjakan dan ketika istirahat kita bisa melakukan apa saja,” jelas Vita. Dari cara dan teknik belajar itu, Vita mampu menyabet gelar wisudawan terbaik S-1 FISIP UNAIR dengan IPK 3.77. Tidak hanya itu, usahanya tersebut juga mengantarkan Vita meraih juara 1 kompetisi Mahasiswa Berprestasi FISIP dan juara III tingkat UNAIR pada semester tujuh. Mengenai skripsi, Vita mengambil judul skripsi “Persepsi Pembaca Muda Zetizen tentang Kualitas Rubrik Zetizen”. Skripsi tersebut merupakan studi kasus persepsi pembaca muda Jawa Pos mengenai kualitas rubrik Zetizen pascarebranding dari rubrik Deteksi. Vita juga mengaku bahwa dalam mengerjakan skripsinya tersebut tidak banyak kendala yang dia temui. “Proses pencarian informan dan wawancara berlangsung lancar serta saat mengerjakan pasti ada waktu-waktu buntu dan jenuh tapi alhamdulillah bisa terlewati,” terang Vita. Selama studi, anak kedua dari dua bersaudara ini berkali-kali menyabet berbagai gelar kejuaraan dalam beberapa kompetisi, diantaranya adalah Juara I Indonesian Naval Academy English Debate Competition 2013, Juara I Public Relations Competition di Universitas Widya Mandala 2015, Juara I Public Relations Competition Universitas Widya Mandala 2016 dan lain sebagainya. (*) Penulis : Akhmad Janni Editor : Nuri Hermawan
Sumain Si “Kawan Kadaver”, Antarkan Ribuan Orang Jadi Dokter UNAIR NEWS – Sumain, yang akrab disapa Cak Main, sudah 33 tahun “berkawan dengan mayat”. Bagi orang awam kedengarannya mengerikan, tetapi bagi Cak Main sebagai pegawai Pranata Laboratorium Pendidikan (PLP) di Laboratorium Praktikum Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, “perkawanan” itu sudah menjadi bagian dari tugas kesehariannya yang dijalani sejak tahun 1983. Ya, sehari-hari Cak atau Pak Main bertugas di Lab. Anatomi, menyiapkan segala kelengkapan yang akan digunakan praktikum oleh mahasiswa FK UNAIR. Karena anatomi sebagai bagian dari ilmu kedokteran dasar, dalam praktikumnya membutuhkan kadaver, yaitu jasad manusia asli yang telah diawetkan. Jadi, merawat mayat (yang baru didapat), mengawetkan di kolam pengawetan, lalu menyiapkan kadaver di meja-meja praktikum, dan kemudian menyimpannya lagi setelah dipakai praktik, adalah hal yang telah akrab bagi kedua mata dan tangan Sumain. Baginya cadaver ibarat “teman” dalam pekerjaannya. Ketika ditemui UNAIR NEWS, Cak Main mengaku awalnya tak terlintas sedikit pun dibenaknya bahwa di UNAIR akan menekuni pekerjaan yang terbilang “langka” ini. Bahkan semula keluarganya juga tidak mengetahui tentang yang dilakukannya sehari-harinya sebagai pegawai PLP di FK UNAIR. ”Dulu keluarga tidak tahu kalau pekerjaan saya seperti ini. Ya tahunya saya bekerja di FK. Lalu dua anak saya kuliah disini, di FKM dan Analis Medis, akhirnya lama-lama mereka tahu kalau
ayahnya bekerja disini. Tetapi mereka tidak marah, karena sejak kecil hingga kuliah biaya mereka ya dari sini,” ujar Cak Main sambil tersenyum. Selain menyiapkan kadaver sebagai peraga praktikum mahasiswa FK, Cak Main pula yang merawat dan “mengolah” ketika mayat baru (Mr/Mrs X) didapat. Mulai proses penyucian, penyimpanan/pengawetan, hingga kemudian bisa dipakai sebagai praktikum. Setelah diawetkan menggunakan berbagai bahan, ratarata kadaver itu baru bisa digunakan praktikum setelah delapan bulan hingga dua tahun. Praktikum anatomi menggunakan kadaver ini bergantung keperluan yang dibutuhkan, misalnya untuk keperluan “obgin” (obstetri & ginekologi), bedah plastik, bedah syaraf, anastesi, dan kebutuhan praktik anatomi lainnya. Biasanya mahasiswa semester II sudah mulai diperkenalkan dengan praktikum ini. Tugas tambahan lain adalah jika ada workshop/pelatihan yang dihadiri mahasiswa/pakar asing. Jika ada event terbilang besar itu, tidak perduli malam diluar jam kerja, Sumain pasti datang untuk memastikan kelengkapan peralatannya, karena ia merasa bertanggungjawab terhadap keamanan berbagai peralatan yang memang tidak murah itu. Bekerja menangani jasad manusia yang telah ditinggalkan ruhnya, tentu ada perasaan tidak nyaman. Begitu pula bagi Cak Main, terutama pada saat awal-awal bekerja ia dirundung rasa takut sampai berbulan-bulan, bahkan hingga tiga tahun. ”Awalnya saya merasa terpaksa dan takut. Selama 1-3 tahun saya sering bermimpi dan ketakutan. Kadang dulu malah nyeberangkan mayat dari RSUD Dr Soetomo ke FK menggunakan keranda,” katanya. Karena rasa tanggungjawabnya yang besar sebagai laki-laki dan harus mencari nafkah, ia berhasil mengatasi rasa takutnya. Bahkan ia sekarang bisa dikatakan sebagai ahli bidang PLP. Karena kompetensinya itu, dua tahun lalu ia dikirim ke
Malaysia untuk tugas belajar di Universitas Kebangsaan Malaysia. Di sini, Sumain sebagai ahli perawatan kadaver, juga sudah terkenal dan diakui. Karena itu ia sering dipanggil ke universitas lain untuk memberikan pelatihan penanganan kadaver, misalnya ke Universitas Cenderawasih (Papua), UNEJ Jember, UNISA Palu, Mataram, hingga Ambon. Bagi yang tidak mengetahui tentang peranan kadaver sebagai pembelajaran, memang ada saja orang yang mengejek tentang professinya yang terbilang langka ini. Namun karena kelangkaan itu pula yang memunculkan kebanggaan bagi laki-laki yang tinggal di Desa Wonoplintahan, Kec. Prambon, Sidoarjo ini. ”Kadang orang tidak tahu kadaver itu gunanya untuk apa. Padahal kalau tahu, dari praktikum ini sudah melahirkan ratusan dokter dan professor. Ini yang saya banggakan. Jadi kalau ada yang mengejek, ya saya diam saja. Malah kadang saya ajak gurau,” kata Main, seraya mengakui dengan merawat kadaver sehari-hari maka baginya sekaligus sebagai pembelajaran tentang hidup. ”Kita sekarang menjalani hidup begini, kalau nanti mati jadinya seperti ini. Karena itu saya berusaha agar hidup saya jangan sampai menyusahkan orang lain, dimanapun tempatnya. Disusahkan orang tidak apa-apa, tetapi menyusahkan orang lain,” tuturnya.
jangan
sampai
Sebagaimana banyak mahasiswa FK lainnya, ia menganggap kadaver adalah “guru” bagi para dokter. Melalui jasad manusia yang telah mati ini, para calon dokter belajar tentang anatomi manusia dan bagaimana mengobati manusia hidup. Malah ada juga beberapa orang yang menginginkan kelak ketika meninggal, jasadnya disimpan di Lab. Anatomi ini, artinya sebagai kadaver untuk belajar mahasiswa. Tetapi keinginan itu rata-rata tidak terlaksana karena setelah meninggal, sanak saudaranya tidak mengizinkan dengan dalih kasihan. Sudah 33 tahun Cak Main menggeluti professi yang tidak biasa
dijalani oleh setiap orang ini. Sesuai aturan pemerintah, dua tahun lagi ia memasuki masa pensiun. Namun sampai saat ini ia belum tahu siapa yang nanti “bisa” menggantikan professinya ini. “Ya nanti pasti ada. Yang penting sekarang bekerja secara maksimal saja,” pungkas Sumain. (*) Penulis : Binti Q. Masruroh Editor : Bambang Bes
Novita, Putri Tukul Arwana Ingin Belajar tentang Masyarakat di UNAIR UNAIR NEWS – Berbekal nama besar sang ayah yang menjadi tokoh publik, mestinya bisa membuat Novita Eka Afriana memiliki kesempatan yang besar untuk melenggang ke industri hiburan. Namun tidak bagi putri sulung Tukul Riyanto atau yang lebih dikenal dengan nama Tukul Arwana ini. Vita, sapaan karib Novita Eka Afriana, berhasil diterima melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), di Universitas Airlangga. Vita mengambil program studi S-1 Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Gadis yang baru merayakan ulang tahun ke-17 ini mengaku, tidak ada campur tangan ayah dalam proses pendaftarannya di UNAIR. Ia berhasil diterima melalui jalur SNMPTN dengan nilai ratarata rapor yang ia raih selama belajar di bangku SMA. “Enggak ada campur tangan ayah. Mereka semua (keluarga, -red) support, sih. Walau sebenarnya mereka mau aku di Jakarta,” ujar Vita berkisah tentang dukungan keluarga terhadap
studinya. Nampaknya, keinginan Vita untuk melanjutkan studi dan memperluas jejaring pertemanan begitu besar. Ia akhirnya memilih UNAIR sebagai tempat untuk melanjutkan studi. “Aku bilang ke keluarga kalau ini kesempatan yang bagus untuk aku punya pengalaman dan mencari pertemanan yang luas bukan hanya di Jakarta,” tambah lulusan SMAN 6 Jakarta. Dalam memilih jalan hidup, Tukul nampaknya membebaskan keinginan putri sulungnya itu. Ia memberikan fasilitas yang dibutuhkan putrinya dalam hal belajar serta pengembangan diri. “Ayah dukung aku untuk selalu belajar. Jadi aku ikut les bimbel (bimbingan belajar) di luar, dan dia dukung banget aku ambil Sosiologi. Katanya, dengan studi di Sosiologi, aku bisa belajar tentang masyarakat dan kebudayaan secara luas,” papar gadis yang memiliki hobi travelling (berwisata) dan boxing (tinju) ini. Meskipun mengantongi nama Tukul yang populer di industri hiburan, Vita mengaku saat ini belum memiliki keinginan untuk mengikuti jejak sang ayah. Ia tertarik untuk tekun belajar melalui program studi Sosiologi. “Aku
nggak
begitu
tertarik
sih
untuk
terjun
ke
dunia
entertainment. Aku pengin beda sama ayah. Mungkin suatu saat nanti mungkin saja,” ujar perempuan kelahiran 21 Agustus 1999. Saat ini, sambil menunggu jalannya perkuliahan, Vita masih menghabiskan waktu di Jakarta. Ia juga tertarik untuk memperdalam kemampuan Bahasa Inggris dengan mengikuti kursus. (*) Penulis: Binti Q. Masruroh Editor: Defrina Sukma S
Rektor UNAIR M. Nasih, Tersesat di Tempat yang Benar UNAIR NEWS – Perjalanan hidup dialami oleh semua orang. Likulikunya tidak sama. Ada yang dengan mudah dan serba enak. Ada yang turun-naik dan pasang-surut. Ada pula yang kesuksesannya dilalui dengan perjuangan dari bawah. Begitu pula dengan yang dijalani Prof. Dr. H. Mohammad Nasih, MT., SE., Ak, CMA., yang kini mengemban amanah sebagai Rektor Universitas Airlangga periode 2015-2020. Bungsu dari enam bersaudara anak seorang guru ngaji Abdul Wahab (alm) dan ibu Djuwariyah ini, sejak kecil ibaratnya tiada hari tanpa masjid. Remaja aktif sebagai Remas (remaja masjid), saat mahasiswa aktivis UKM-KI dengan home-base di masjid, memperoleh pekerjaan yang pertama pun berawal dari masjid, bahkan bertemu jodohnya pun juga dari masjid. “Bagi saya, masjid itu tempat yang damai, ya tempat ngaji, tempat belajar, kajian ilmu, dan tempat berorganisasi, dan sebagainya,” katanya ketika berbincang-bincang dengan kru Redaksi WARTA UNAIR, di ruang kerjanya. Jadi, kariernya sebagai guru dan kemudian sekarang memimpin universitas ini, juga berawal dari masjid. Kisahnya begini, ia mendapat informasi lowongan pekerjaan itu untuk formasi dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga (UNAIR), almamaternya. Setelah ikut tes dan diterima, dalam perjalanan waktu kemudian memperoleh beasiswa studi lanjut ke S2 dan ke-S3, membina karir hingga akhirnya menjadi Rektor UNAIR Ke-13 ini. Senang di Masjid Tinggal bersama orang tuanya di kota kelahirannya, Gresik,
praktis hanya sampai lulus SD. Selanjutnya Moh Nasih kecil sudah harus berpisah dengan orangtua. Semula ia akan “dipondokkan” ke Ponpes Gontor. Tetapi tidak jadi, dan akhirnya “menyeberang” ikut kakak dan sekolah di sebuah SMP di Babat, Kab. Lamongan. Disinilah ia membantu sang kakak yang antara lain berjualan obat. ”Waktu itu harapan kami sih pagi sekolah, sore ngaji ke Langitan (Pondok Pesantren – red). Tapi tidak terlalu berhasil, dan hanya saat Posoan saja saya mondok disana, bukan nyantri,” katanya. Setelah lulus SMP, ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (SMPP) di Lamongan, yang kini menjadi SMAN 2 Lamongan. Karena jarak sekolah dengan rumahnya jauh, maka ia indekos. Kebetulan kosnya juga dekat masjid dan sekolah Islam, sehingga Nasih juga senang karena bisa lebih lama berdiam di masjid daripada di kamar kos. Sama seperti saat SMP, pagi hari sekolah, sore hingga malam ngaji atau “mondok” di surau. Karena itu ia mengaku sudah terbiasa dengan full day shcool. Dan, tempat ”mondoknya” itu sekarang menjadi PP Darul Ma’arif Lamongan. Lulus SLTA tahun 1985 ia hijrah ke Surabaya untuk melanjutkan kuliah. Ia mendaftar via SBM-PTN di empat jurusan yaitu Akuntansi UNAIR, Kedokteran UNAIR, Teknik Sipil ITS, dan Manajemen UNEJ Jember. “Ternyata garis tangan saya ada pada jurusan Akuntansi UNAIR,” kata Pak. Nasih, sapaan akrabnya. Karirnya Menanjak Ketika pertama menginjakkan kaki di kampus UNAIR, kebiasaan sebagai Remas masih berlanjut. Masjid itulah sebagai jujukan Nasih. Disela-sela kuliah itulah ia aktif berorganisasi pada UKKI (Unit Kegiatan Kerohanian Islam – sekarang UKMKI), ya melakukan kajian-kajian, belajar mata kuliah, dan mengembangkan ketrampilan menulis artikel untuk dikirim ke
berbagai surat kabar. ”Artikel pertama saya dimuat Harian Suara Indonesia (SI) Malang. Selanjutnya juga di beberapa media. Ya lumayan dapat honor Rp 50.000/tulisan bisa untuk traktir teman,” katanya. Mengaku meraih kebanggan dari tulisan-tulisannya yang dimuat media massa, menjelang lulus S1 Nasih melamar jadi wartawan di Harian Prioritas, namun tidak diterima. Kemudian bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan. Tetapi karena terjadi perbedaan pendapat dengan atasannya, Nasih memilih keluar. Lagi-lagi masjid menjadi jujugan favouritnya untuk menenangkan diri. Di masjid UNAIR pulalah ia mendapat pekerjaan sebagai PNS di UNAIR karena lolos tes tahun 1992. “Setahun setelah mendapat pekerjaan, saya menikah dengan Triyani Purnamawati, kawan aktivis di UKKI UNAIR. Tetapi yang seperti ini bukan hanya saya lo, banyak juga yang ketemu jodohnya disana,” kenang Pak Nasih sambil tertawa. Membangun mahligai rumahtangga dengan Triyani Purnamawati, alumni Fakultas Psikologi UNAIR, Prof. Moh Nasih kini dikaruniai dua orang putera, yaitu Muhammad Fata Fatihuddin (kuliah FK UNAIR) dan Muhammad Nathiq Ulman (SMAN 2 Surabaya). Lima tahun menjadi dosen di FEB, Moh Nasih mendapat beasiswa untuk studi S2 jurusan Teknologi Industri di Institut Teknologi Bandung (ITB). Setelah lulus S2, sebenarnya ia mau ambil S3 sekalian di ITB, tetapi karena terlalu lama menunggu promotor yang akan membimbing, ia memilih kembali saja ke Kota Surabaya dan menempuh S3-nya di UNAIR. Kariernya semakin menanjak. Antara lain karena dipercaya menjadi Direktur Keuangan UNAIR, kemudian diangkat untuk menjabat Wakil Rektor II UNAIR sejak 2010, dan kemudian dikukuhkan menjadi Guru Besar (Professor) pada 29 Nopember 2014. ”Itulah garis tangan saya. Kalau dulu saya jadi di pondok, mungkin saya bekerja di Depag seperti saudara-saudara saya.
Begitu juga kalau diterima jadi wartawan, mungkin kisahnya juga akan lain. Jadi rupanya, in shaa Allah saya ini tersesat di tempat yang benar,” kata Prof. Moh Nasih sambil tertawa di tengah percakapan dengan Tim WU itu. (*) Penulis: TIM WARTA UNAIR Editor: Bambang Bes
Dari Medspin, Nadhya Jadi Dokter, Orin Soroti Disabilitas UNAIR NEWS – Gara-gara sering sering mengikuti perlombaan/olimpiade di bidang biologi, hingga suatu kesempatan mengikuti Medical Science and Application Competition (Medspin) yang diadakan FK UNAIR, akhirnya Nadhya Nur Fitri benar-benar menjadi seorang dokter. Tidak hanya sekedar itu, ia sekaligus menjadi wisudawan terbaik jenjang sarjana (S1) Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga pada wisuda Maret 2016 lalu. ”Sulit menjelaskannya mengapa saya jadi dokter, sebab sejak kecil saya tak bercita-cita menjadi dokter,” kata Nadhya.
Nadhya Nur Fitri wisudawan terbaik jenjang sarjana (S1) Fakultas Kedokteran (Foto: Istimewa) Awalnya, ketika di SMP dan SMA sering ikut lomba dan olimpiade bidang biologi, sampai tahun 2011 berkesempatan mengikuti ajang bergengsi FK UNAIR, yaitu Medspin. Disinilah awal Nadhya membangun angan-angan kuatnya ingin menjadi dokter. Kisahnya, saat Medspin itu panitia membuat simulasi dengan meminta setiap peserta seakan menjadi dokter, termasuk wajib mencari tahu permasalahan kesehatan yang dialami oleh pasien peraga. “Kami melakukan anamnesis (pengumpulan informasi tentang riwayat pasien oleh dokter), pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan melakukan interpretasi temuan. Saya mulai tertarik, ternyata dokter itu seperti detektif. Dokter harus mengasah kompetensi, care, dan compassionate. Kesempatan melayani dan membantu orang lain itulah yang menjadi drive (pemicu) terbesar saya untuk ingin menjadi dokter,” tegas arek Malang ini. Semasa kuliah pun Nadhya meraih beberapa prestasi, baik di tingkat nasional maupun internasional. Misalnya ketika bersama timnya dengan proposal Program Kreativitas Mahasiswa
Pengabdian Masyarakat (PKMM) ”Edukasi dan Kontrol Gizi Seimbang untuk Anak Autis di Komunitas Anak Autis di Surabaya” meraih Medali Perak pada PIMNAS XXVII di Universitas Diponegoro Semarang tahun 2014. Kemudian Februari 2015 bersama timnya meraih Runner Up di ajang Siriraj International Medical Microbiology, Parasitology and Immunology Competition (SIMPIC) yang diselenggarakan Fakultas Kedokteran Siriraj Hospital, Mahidol University, Bangkok, Thailand. Di kompetisi itu Nadhya juga memperoleh medali perak pada kategori kompetisi individu. Wisudawan peraih IPK 3,73 ini dalam skripsinya meneliti hubungan antara penggunaan antibiotic dengan infeksi oleh sebuah galur bakteri yang resisten terhadap antibiotik, yakni bakteri penghasil Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL). ESBL adalah enzim yang dihasilkan oleh bakteri Gram-Negatif tertentu dan dapat mengaktifkan antibiotik golongan betalactam yang sering digunakan. ”Dewasa ini antibiotik digunakan dengan amat tidak rasional, tentu saja ini sangat membahayakan,” kata Nadhya, yang setelah lulus nanti belum yakin apa akan menjadi klinisi, peneliti, atau bekerja di Non-Government Organization (NGO). Baginya semua itu menarik, karena itu ia masih akan menimbang-nimbang, sedang bidang yang ingin ditekuni adalah mikrobiologi atau penyakit tropik & infeksi. (*) Orin Meluangkan Perhatian untuk Disabilitas
Orin Annahriyah Syukria wisudawan terbaik S1, Fakultas Kesehatan Masyarakat Istimewa)
(Foto:
SEDANGKAN Orin Annahriyah Syukria, meskipun tidak lulus tepat waktu tetapi ia bisa menyandang predikat wisudawan terbaik S1, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga. Ia berhasil lulus setelah menempuh studi selama sembilan semester dengan IPK 3,52. Dalam penelitian skripsinya, Orin menggambarkan mengenai kondisi akses kesehatan anak penyandang disabilitas, khususnya di Puskesmas-puskesmas di Surabaya. “Tema skripsi saya tentang akses kesehatan anak penyandang disabilitas, karena ini merupakan permasalahan global dan agenda kerja WHO (World Health Organization). Namun perhatian terhadap masalah aksesibilitas anak penyandang disabilitas ini masih kurang,” kata Orin. Semasa kuliah di prodi Kesehatan Masyarakat, Orin dan kawankawannya aktif mengajukan proposal program kreativitas mahasiswa (PKM) tahun 2014. Ia juga pernah menjadi ketua tim PKMM dengan judul “Pelatihan Pembuatan Nasoy (Nata de Soya) dari Whey (limbah tahu) di Desa Meduretno, Kecamatan Papar, Kabupaten Kediri, sebagai Salah Satu Upaya Penyelamatan
Lingkungan.” Kemudian sejak tahun 2011 sudah aktif mengikuti ajang PKM, kemudian juga PKM-P (Penelitian). Dengan aktif mengikuti PKM ia mengaku banyak mendapat manfaat dan pengalaman. Ditanya kiat-kiatnya untuk menjadi wisudawan terbaik, Orin hanya mengatur waktunya secara baik. Ia berusaha menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya lebih awal dan bergabung dengan komunitas yang tepat. Selain itu selalu berkonsultasi dengan orang tua sebelum mengikuti kegiatan di luar perkuliahan, tujuannya agar orang tua memahami kegiatannya dan mendorong kita mempertanggungjawabkan pilihan yang telah diambil itu, kata gadis asal Kediri ini. (*) Penulis: Sefya Hayu Istighfaricha & Binti Q. Masruroh. Editor: Bambang Bes
dr. Purwati, Kartini Bidang Medis dari Universitas Airlangga UNAIR NEWS – Telah seabad lebih Raden Ajeng Kartini wafat. Kegigihannya dalam memperjuangkan hak perempuan untuk mengenyam pendidikan masih meninggalkan jejak di benak masyarakat Indonesia. Setelah R.A. Kartini wafat, kini muncullah kartini-kartini baru yang meneruskan tongkat perjuangan, khususnya dalam bidang pendidikan. Salah satu diantaranya adalah Dr. Purwati, dr., Sp.PD., FINASIM. Sebagai Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell UNAIR, salah satu bentuk perjuangan Purwati adalah terus mengembangkan stem cell sebagai sebuah produk obat-obatan.
Penelitian dan pengembangan stem cell masih tergolong baru di Indonesia. Maka dari itu, dibutuhkan pendalaman lebih lanjut guna mengetahui berbagai manfaat yang bisa didapat dari stem cell. Menjadi peneliti sekaligus praktisi medis memiliki kebanggaan tersendiri bagi Purwati. Ia membandingkan iklim penelitian di luar negeri dengan yang ada di Indonesia. Di Indonesia, sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, dosen bukan hanya dituntut untuk mengajar dan mendidik, tapi juga melaksanakan pengabdian dan penelitian. Berbeda jika dibandingkan dengan yang ada di luar negeri. Meski demikian, peneliti yang juga merupakan staf pengajar pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Fakultas Kedokteran (FK) UNAIR tersebut, tetap berharap kualitas penelitian di Indonesia dapat terus berkembang, yakni dengan riset yang dapat menghasilkan produk inovatif. “Kalau di luar negeri peneliti ya hanya meneliti, pendidik ya hanya mendidik. Di Indonesia dituntut untuk menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Walaupun pekerjaannya merangkap, produk penelitian kita tetap harus berkualitas dan inovatif supaya tidak menjadi bangsa yang terpuruk,” imbuh perempuan yang menempuh pendidikan doktoral di pascasarjana UNAIR tersebut. Sepanjang perjalanan karir yang telah dilalui, berbagai perhargaan di bidang penelitian telah Purwati genggam. Seperti The Best Presenter pada penelitian Hepatologi pada KONAS PEGI Juli 2005 di Balikpapan, serta The First Winner of Free Paper Presentation (Research Category) KONAS PETRI di Semarang pada tahun 2011. Penghargaan tersebut merupakan salah satu bukti perjuangannya dalam bidang penelitian. Mengenai bidang stem cell yang tengah digeluti Purwati saat ini, ia berharap agar penelitian stem cell dapat terus
dikembangkan untuk dapat menambah inovasi bidang medis di Indonesia. “Harapannya, kedepan bisa dibuat sebuah kebijakan atau standar operasional mengenai prosedur stem cell. Mencari tau stem cell itu baik buat penyakit apa saja, dan tidak signifikan untuk penyakit apa saja,” ujar perempuan yang juga menjabat sebagai sekretaris di Surabaya Regenerative Medicine Center tersebut. Selain menjalani kesibukan sebagai seorang peneliti dan pengajar di bidang medis, Purwati juga merupakan seorang ibu rumah tangga. Diakui Purwati, menggeluti kiprah pada dunia penelitian medis membuat waktu untuk keluarga dan anak-anak banyak tersita. Namun, melalui pemahaman Purwati, keluarga dan anak-anaknya mengerti bahwa di luar keluarga ia adalah seorang wanita karir yang berjuang untuk kepentingan masyarakat luas. Sehingga dukungan dari keluarga dan anak-anak terus mengalir untuknya. “Waktu kebersamaan saya dengan anak-anak tersita banyak sekali. Seharusnya saya bisa mengajaknya bermain, kenyataannya justru pergi ke laboratorium atau praktek,” ujar ibu dari tiga orang anak tersebut. “Seorang ibu tidak akan pernah menjadi perempuan hebat tanpa support keluarga dan anak-anak, terutama bagi saya sebagai wanita karir,” pungkasnya. (*) Penulis : Dilan Salsabila Editor : Binti Q. Masruroh