Joko Santosa dan M Yunus Jadi Wisudawan Terbaik Berkat Belajar Keras UNAIR NEWS – Sebagai penerima beasiswa STAR-BPKP, sebuah beasiswa bagi PNS yang diberikan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), bagi Joko Santosa, ia harus bertanggungjawab dengan lulus kuliah tepat waktu. Karena itu ketika ia dinobatkan sebagai wisudawan terbaik program Magister di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga, Joko menganggap itu sebagai bonus. Ia lulus dengan IPK 3,97. “Terus terang saya terkejut. Tak pernah menyangka akan mendapat kehormatan seperti ini. Saya memaknai ini sebagai anugerah dari Tuhan, bukan hasil kerja keras saya,” kata Joko Santoso merendah. Bagi PNS dan staf di Inspektorat Pemkab Magetan ini, meraih kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, memang harus disyukuri. Wujud syukurnya dengan mengikuti perkuliahan sebaik mungkin, dan tak pernah berpikir bahwa di akhir masa studi ia mengukir prestasi yang membanggakan. Baginya yang terpenting dari proses pembelajaran ini adalah keberhasilannya dalam menyerap ilmu akuntansi di jenjang S2. “Saya sangat bersyukur diberi kesempatan mengenal dan dekat dengan semua dosen dan teman-teman di sini. Bagi saya mereka adalah orang-orang yang hebat,” tambah pria kelahiran Magetan, 21 September 1981 ini. Dua tahun menempuh studi di UNAIR akan diingatnya sebagai masa ia menimba banyak pengalaman berharga. Meskipun tak selalu mulus, kendala yang ia hadapi selama studi dianggapnya sebagai bagian dari dinamika dan konsekuensi.
“Saya berterima kasih kepada keluarga, dosen pembimbing, dan teman-teman atas segala dukungan yang diberikan sehingga bisa menghadapi kendala tersebut,” kata Joko Santoso. (*) Merancang Wisudawan Terbaik sejak SMA KEMUDIAN itu bagi banyak mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga, IPK 3,93 yang notabene mendekati sempurna, merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk didapat. Tetapi Muhammad Yunus Anis, dengan belajar keras ia mampu meraihnya dan dinyatakan sebagai wisudawan terbaik S-1 FST dalam wisuda Maret 2016. Laki-laki asal Bojonegoro ini lulus dengan skripsi berjudul ”Pembuatan dan Karakterisasi Komposit Sodium Alginat-Karaginan dari Rumput Laut Merah (Euchema Cottoni) Sebagai Material Drug Release”. Drug Release merupakan salah satu model dari kimia polimer yang dicetak dalam bentuk kapsul. Dalam penelitiannya, Yunus mencoba membandingkan antara kinerja kapsul komersil dengan kapsul hasil sintesis dari komposit Sodium Alginat-Karagian, sebab selama ini banyak kapsul yang dibuat tanpa ada penyesuaian dengan jenis obat dan kebutuhannya. “Luar biasa dan saya sangat bersyukur atas pencapaian ini, karena menjadi wisudawan terbaik ini memang merupakan salah satu target saya sejak SMA. Saya menyadari bahwa penghargaan ini bukan akhir dari perjuangan saya, karena setelah lulus inilah kehidupan yang sebenarnya” jelas Sarjana Kimia ini. Yunus dikenal sebagai sosok berprestasi. Banyak prestasi yang telah diukirnya. Misalnya dalam Olimpiade Nasional MIPA (ON MIPA) tahun 2014 dan 2015. Sebelumnya pada tahun 2013 ia dikukuhkan sebagai Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) FST UNAIR. Ditanya mengenai resep suksesnya untuk menjadi wisudawan terbaik, Yunus mengatakan bahwa disiplin pada diri sendiri adalah menjadi kuncinya yang utama.
“Selain kegiatan di kampus saya juga mengajar, yaitu mulai jam 16.00 sampai 20.30. Karena itu ya harus benar-benar menanamkan rasa taggungjawab sebagai mahasiswa yakni belajar, agar tidak membiasakan diri dengan sistem kebut semalam,” kata M Yunus. (*) Penulis : Yeano D. Handika & Disih Sugianti. Editor : Bedy Santosa & Nuri Hermawan.
Sosok Cahya Arum, Wisudawan Terbaik Fakultas Vokasi UNAIR NEWS – Fokus dengan kegiatan akademik selama menjalani kuliah adalah kiat Cahya Arum Perdana untuk menjadi lulusan terbaik. Usahanya dalam memperhatikan dosen mengajar selama kuliah membuahkan hasil manis. Cahya berhasil didapuk menjadi wisudawan terbaik pada Fakultas Vokasi Universitas Airlangga periode Maret 2016. Selama di UNAIR, ia menjalani kuliah di program studi D-3 Perpajakan. Saat dinyatakan lulus, ia meraih indeks prestasi kumulatif sebesar 3,93. “Saya tidak ada kiat-kiat khusus, tetapi memang kalau sedang kuliah di kelas, saya benar-benar fokus memperhatikan. Jadi, kalau ada ujian, saya tinggal mengulangi materi kuliah yang diberikan dosen,” tutur Cahya. Ditanya mengenai kesibukan semasa kuliah, ia sering mengikuti kegiatan seperti seminar, lomba, dan bekerja secara purna waktu. Pada tahun 2016, ia menjadi peserta seminar Focused Group Discussion ‘Outlook Perpajakan’. Sedangkan, pada tahun 2015, dara kelahiran Sidoarjo ini menjadi finalis ‘Indonesian Spectaxcular Competition’ di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.
Selama pengerjaan tugas akhir, setiap mahasiswa diploma diwajibkan untuk praktik kuliah lapangan dan membuat laporan tugas akhir. Pada saat itu, ia menjalani praktik di sebuah kantor akuntan publik. “Saya praktik di kantor akuntan publik yang notabene lebih dominan (topik) akuntansi daripada prodi perpajakan. Jadi, ya, saya harus pintar-pintar mencari topik. Kenapa saya magang di kantor akuntan publik? Karena saya ingin belajar lebih banyak. Jadi, saya juga punya ilmu selain pajak,” ujar perempuan kelahiran 8 Maret 1993. Setelah lulus dari studi diploma perpajakan, ia berencana melanjutkan kuliah pada jenjang strata satu dan meniti karir di Direktorat Jenderal Pajak – Kementerian Keuangan. Namun, sebelum ia berhasil menyelesaikan kuliah, ia telah menjadi ‘Junior Auditor Staff and Assitant Tax Consultant’ di salah satu kantor konsultan akuntan publik di Jawa Timur. Selamat, Cahya! Penulis: Defrina Sukma S.
Warek IV UNAIR Junaidi Khotib, Siap Kawal “University Holding” UNAIR NEWS – Wakil Rektor IV Universitas Airlangga, Junaidi Khotib, S.Si, Apt., M.Kes, Ph.D, adalah salah satu putera terbaik UNAIR. Ia memulai mengabdikan diri sebagai dosen di almamaternya sejak 1995, tepat setelah lulus pendidikan profesi apoteker. Lulusan terbaik S1 Fakultas Farmasi (FF)
UNAIR tahun 1993 ini mengajar sambil juga berkuliah S2 di Fakultas Kedokteran UNAIR pada program studi Biokimia. Kecintaannya pada Ilmu Farmasi membuatnya ingin terus dan terus belajar. Ia mengambil program PhD di Hoshi University, Tokyo tahun 2001-2004. Disanalah ia merasa bisa belajar sepuasnya. Fasilitas yang lengkap, laboratorium dan perpustakaan buka 24 jam. Jadi kecintaannya pada ilmu pengetahuan mengantarkannya mendapatkan kesempatan belajar pada jenjang yang lebih tinggi, yaitu Post Doctoral di universitas yang sama tahun 2004-2005. Hasrat untuk mengajar yang dimilikinya rupanya mampu mengantarkannya menjadi dosen berprestasi UNAIR tahun 2009 dan finalis dosen berpretasi tingkat nasional tahun yang sama. Selain itu sejak tahun 2005 Junaidi menjadi dosen tamu di International Islamic University Malaysia. Sebelum ditunjuk sebagai Wakil Rektor bidang Jejaring Alumni dan Bisnis, pria kelahiran Jombang 22 Oktober 1970 ini menjadi Wakil Dekan II Fakultas Farmasi (2010-2015). Karena bidang yang diamanahkan padanya terbilang baru, ia mengaku pada awalawalnya merasa belum memiliki gambaran yang utuh tentang bidang IV tersebut. Karena itu sebelum menjawab tawaran Rektor, ia berkontemplasi pada dirinya sendiri terlebih dahulu. “Mampukah saya? Apakah ini baik untuk saya, institusi saya, dan masyarakat? Saya terus bertanya dan meminta petunjuk-NYA. Sampai akhirnya saya pada keputusan untuk menerima. Pertimbangan saya, karena sudah punya pengalaman sebagai wakil dekan. Selain tetap mengajar dan mengembangkan keilmuwan, saya juga belajar mengelola personil, sumber daya, dan waktu,” papar Junaidi. Setelah memiliki gambaran yang utuh tentang tugasnya sebagai wakil rektor, ia segera menyusun rencana strategis untuk memajukan bidangnya, yaitu alumni dan university holding.
Jejaring Alumni Untuk mengembangkan jejaring alumni, dirancangnya ada empat hal yang akan dilaksanakan yaitu memperbarui data base alumni, membuat profil alumni, pengembangan Airlangga Connection, dan memperluas kerjasama. Kepala Laboratorium Studi Bioekuivalensi Fakultas Farmasi UNAIR tahun 2008-2013 ini mengatakan bahwa data base alumni perlu dikembangkan menggunakan data dari ketika mereka baru saja lulus. Pengembangannya akan bekerja sama dengan Direktorat Sistem Informasi UNAIR untuk menyediakan web khusus alumni, sehingga citra alumni di masyarakat semakin baik. Apalagi banyak alumni UNAIR ini yang memiliki prestasi, posisi penting, dan kontribusi yang signifikan di masyarakat. Diantaranya Ignasius Jonan (Menhub), Khofifah Indar Parawansa (Mensos), Hatta Ali (Ketua MA), Muhammad Saleh (Hakim Agung), Soekarwo (Gubernur Jatim), Desra Percaya (Dubes RI di PBB), dsb. “Masih ada masyarakat yang belum tahu bahwa mereka alumni UNAIR, bahkan sivitas UNAIR pun juga ada yang belum tahu. Untuk itulah dibutuhkan profil alumni yang utuh untuk ditampilkan di website nanti, maupun direlease ke media massa,” kata Junaidi. Harapannya, ketika data base dan profil alumni tersebut terkelola lebih baik maka jejaring alumni akan baik pula, mengikuti. Kemudian dengan adanya Airlangga Connection maka akan bisa saling menghubungkan komunikasi antar-alumni. “Saya bermimpi bisa seperti Harvard University dimana alumni bisa ngobrol secara langsung melalui websitenya. Dari situ bisa dikomunikasikan banyak hal,” tambah Junaidi, dimana universitas juga telah memberikan fasilitas berupa email official bagi setiap mahasiswa yang bisa digunakan selamanya. Sehingga dimanapun mereka nanti berada, komunikasi dengan almamaternya bisa tetap berjalan.
Bisnis Universitas Universitas-universitas terkemuka di level kelas dunia, ratarata sudah memiliki sumber penghasilan sendiri. Mereka tidak bergantung pada penerimaan uang mahasiswa dan subsidi pemerintah. Upaya untuk mandiri secara financial itu di UNAIR sudah dipetakan dan dirancang dalam suatu strategi yang dikemas ke dalam Satuan Usaha Akademik (SUA). Sebagai salah satu perguruan tinggi yang diunggulkan pemerintah untuk bisa menembus ranking 500 besar perguruan tinggi kelas dunia pada tahun 2019, dalam suatu rapat kerja sudah dibuat target-target kedepan, termasuk target finansial tersebut. Diantaranya, mulai tahun ini UNAIR ingin menaikkan head count cost mahasiswa sebesar Rp 40 juta/tahun/mahasiswa. Selain itu juga beberapa langkah untuk meningkatkan pendapatan universitas, diantaranya dengan hilirisasi produk hasil penelitian, mengembangkan SUA dan satuan usaha komersial (SUK). “Yang perlu dicatat, meningkatkan pendapatan universitas itu bukan dari mahasiswa, tetapi dari sumber yang lain,” terang Junaidi. Hilirisasi penelitian perlu ditindaklanjuti. Sebab selama ini banyak hasil penelitian yang berhenti di meja lab saja, padahal penelitian di UNAIR banyak yang potensial untuk diaplikasikan ke masyarakat. Seed vaccine (bakal vaksin) avian influenza dan seed vaccine HIV, produk-produk kit diagnostic adalah diantara hasil penelitian yang potensial untuk ditindaklanjuti. Kendala yang selama ini menghadang akan segera diatasi. “Kami rencanakan ada unit usaha Airlangga Bioproduc yang tugasnya mencarikan produsen bagi hasil penelitian di UNAIR, karena kita belum memungkinkan untuk memiliki unit produksi sendiri. Selain itu untuk mendirikan perusahaan maka produknya harus spesifik dan lain sebagainya. Jadi langkah termudah
adalah mencari pihak ketiga dan UNAIR memperoleh royalti,” papar Warek IV UNAIR itu. Fasilitas yang dimiliki seperti gedung Airlangga Convention Center (ACC) dan rumah tamu juga bisa dikomersialkan. SUK seperti Pusat Bahasa (di FIB), Pusat Layanan Psikologi (Fak. Psikologi), Pusat Layanan Pengujian dan Penelitian (Fak Farmasi), Rumah Sakit UNAIR, Rumah Sakit Gigi dan Mulut, serta Rumah Sakit Hewan juga akan terus dikembangkan. Kemudian SUK UNAIR seperti PT Dharma Putra Airlangga yang selama ini bergerak di bidang persewaan alat-alat berat dan transportasi, juga akan terus dikembangkan pada diversifikasi usaha yang lain. (*) Penulis : Inda Karsunawati Editor
: Bambang Bes
Warek III UNAIR M. Amin Alamsjah, Jadi Guru karena Ingin Cetak Pemimpin UNAIR NEWS – Bagi Prof. Mochammad Amin Alamsjah, Ir., M.Si., Ph.D, Ir., M.Si., Ph.D., menjadi guru merupakan pilihan terbaik karena bisa memberi manfaat bagi orang lain. Dengan menjadi guru ia dapat menularkan ilmu yang dimiliki kepada anak didiknya: orang lain, sehingga bisa membantu mencetak generasi masa depan untuk mampu menjadi pemimpin bangsa Indonesia di kancah dunia. Cita-citanya terpenuhi, setelah menjadi dosen, kini ia menerima amanah sebagai Wakil Rektor III Universitas Airlangga. Anak tertua dari enam bersaudara kelahiran 16
Januari 1970 ini mengaku sejak kecil sudah rajin mengaji yang dibimbing kedua eyangnya. Kedisiplinan pun ditanamkan padanya sejak dini. Sebelum adzan Subuh, Amin kecil sudah dibangunkan oleh embah putrinya untuk segera bersiap salat Subuh di langgar. Selesai salat Amin mengaji Alquran bersama adikadiknya: empat laki-laki dan seorang perempuan. ”Saya ingat betul bagaimana nenek selalu mendengarkan dengan saksama ketika kami sedang mengaji,” kata Prof. Moch. Amin Alamsyah. Kemudian semasa SMA setiap sore meluangkan waktu untuk membaca buku di sebuah toko buku di Kota Surabaya. Disitu ia sempat memikirkan masa depannya bahwa tak ingin pendidikannya terhenti pada SMA, sebab sebagai anak sulung ia punya motivasi untuk menjadi contoh yang baik bagi adikadiknya. Karena itu ia terpikir untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Pilihannya pada jurusan perikanan. Pilihan itu terilhami setelah melihat kondisi tambak milik orangtuanya yang tidak memberi hasil optimal. Ia diterima di jurusan perikanan di Universitas Brawijaya. Cita-citanya saat itu untuk menjadi seorang petambak dan memberdayakan tambak milik kakeknya, sudah terbayang. Karena itu setelah lulus menjadi sarjana perikanan, Ir. Amin Alamsyah mencari pengalaman dengan bekerja sebagai pegawai tambak di Situbondo. Tetapi karena lingkungannya tidak mendukung, ia keluar dan bersinisiatif mencari pekerjaan baru yang dapat memberikan manfaat langsung bagi orang lain. Saat itulah terlintas di benaknya untuk menjadi guru. Untuk cita-citanya itu ia memasukkan lamaran pekerjaan sebagai guru/dosen ke beberapa perguruan tinggi, termasuk ke Universitas Airlangga. Selang beberapa waktu, ia menerima kabar bahwa lamarannya diterima di UNAIR. Resmilah Ir. Moch Amin Alamsyah sebagai dosen ke-13 pada prodi Budidaya Perairan Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR (saat itu Budidaya Perairan belum memisahkan diri menjadi Fakultas Perikanan dan Kelautan seperti sekarang – red).
Berada di lingkungan akademis membuatnya kian terpacu untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Ia mengirimkan banyak lamaran ke lembaga penyandang beasiswa, tapi acapkali juga ditolak. Baru pada awal tahun 2000 ia melanjutkan studi Master di salah satu PTN di Malang. Tetapi impiannya untuk bisa studi S2 di Jepang masih terus terngiang. Berbekal surat rekomendasi dari seorang profesor di UNAIR, akhirnya Amin menerima beasiswa penelitian di Universitas Nagoya, Jepang. Di “Negeri Matahari Terbit” itulah ia belajar sambil penelitian di bidang biologi reproduksi. Lalu melakukan penelitian tentang berbagai bisa ular, mulai dari ular gurun sampai ular laut. “Penelitian saya memperoleh apresiasi karena temuan satu protein yang berhasil menghambat perkembangan sel kanker dan alzheimer. Jadi ketika kembali lagi ke Malang untuk sidang tesis, saya lulus cumlaude dalam waktu 1,5 tahun,” kata Prof. Amin berkisah. Berkat jejaring yang ia peroleh saat melakukan penelitian di Jepang, ia pun mendapat rekomendasi belajar pada jenjang Doktoral. Namun bidang yang didalami berbeda dengan studi S2nya, yaitu ia diharuskan mengambil studi di bidang perikanan dan kelautan. Pilihannya ia memfokuskan studinya di bidang rumput laut di Nagasaki University, dan lulus Doktor tahun 2007 dengan predikat wisudawan terbaik. Yang menunjang predikatnya itu antara lain karena ia mampu mempublikasikan jurnal penelitian melebihi dari target yang ditetapkan. ”Waktu itu saya hanya ditarget satu sampai dua jurnal internasional, tetapi Profesor bilang selagi bisa meneliti dan publikasi, mengapa tidak dilakukan? Akhirnya saya bisa mempublikasikan lima paper internasional,” tutur penulis artikel “Algicidal Diterpenes from the Brown Alga Dictyota dichotoma” yang terbit tahun 2006 itu. Suatu saat, ia bertanya kepada seorang profesornya di Jepang. Apa yang bisa menjadikan Indonesia maju seperti Jepang?
Profesor itu menjawab bahwa Indonesia kekurangan pemimpin yang bisa menjadi contoh bagi masyarakat. Karena itulah ia ingin segera kembali ke tanah air dan menjadi guru untuk mencetak generasi muda menjadi pemimpin masa depan. Mendorong Iklim Riset Sekarang, dosen teladan II UNAIR tahun 2009 ini telah diberi amanah sebagai Wakil Rektor III. Dengan tugas dan tanggungjawabnya, ia akan mendorong publikasi penelitian di level internasional dan mengembangkan promosi dan branding. ”Tiga hari sebelum dilantik saya dipanggil Rektor dan diberitahu bahwa saya tidak boleh menolak permintaannya. Beliau hanya meminta saya membantu tugasnya. Lalu saat upacara 17 Agustus 2015 saya dikabari oleh Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan bahwa saya ditunjuk sebagai Wakil Rektor III,” kata Prof. Amin Alamsyah. Di awal jabatannya, Guru Besar bidang Biologi Kelautan FPK UNAIR itu memetakan kekuatan dan kelemahan UNAIR. Guna menyongsong tantangan menuju World Class University, simpulnya, seluruh sivitas harus berkomitmen dan bersinergi untuk melangkah. Tantangan yang ada harus dikomunikasikan ke semua elemen, sehingga faktor penentu keberhasilan UNAIR adalah engagement (kesepakatan). “Kita harus punya komitmen bahwa UNAIR adalah universitas yang qualified. Komunikasi juga penting. Untuk itu, keinginan pimpinan harus dipahami, diyakini, dan dikerjakan bersama,” katanya. Guna memotivasi para peneliti, Prof Amin beserta unit kerja di bidangnya telah menyiapkan berbagai program. Tahun 2016 ini ia targetkan ada 307 artikel penelitian internasional yang terindeks Scopus. Karena itu kini terus memotivasi penelitian internasional melalui program riset mandat, joint research, visiting professor, dan penghargaan terhadap pemilik hak indeks. Pada program riset mandat tahun 2016, UNAIR akan
memberikan anggaran Rp 250 juta kepada lima tim peneliti yang berhasil memublikasikan penelitiannya di jurnal internasional terindeks Scopus. Dalam mendorong publikasi penelitiannya juga harus didukung dengan kapabilitas dan jejaring kerjasama yang kuat. Dalam konteks WCU, UNAIR akan memberikan dukungan kepada para penelitinya untuk terus melakukan riset dan inovasi produk penelitian, baik melalui program kerjasama riset maupun produk akademik dan patent. Pusat-pusat riset akan didorong melalui jaringan kerjasama, baik dalam maupun luar negeri, sedang penguatannya didukung dengan diseminasi informasi yang baik mengenai penemuan-penemuan oleh key scientist. “Hal itu akan meningkatkan jaringan kerjasama. Orang luar akan tahu bahwa UNAIR ada banyak penemuan baru dan bisa diajak bekerjasama,” tambah penulis jurnal berjudul “Eksplorasi Rafinosa Biji Kapas sebagai Pengganti Pengawetan Ikan” tahun 2013 itu.
Formalin
dalam
Agar jejaring kerjasama lebih kuat maka setiap bidang keilmuan diwajibkan membuat konsorsium keilmuan dan membawa “bendera” UNAIR, baik di tingkat nasional dan internasional. Selain itu ia akan mendorong dosen-dosen muda untuk melanjutkan studi Doktoral di luar negeri. “Teman-teman mahasiswa juga harus berupaya bahwa dalam satu masa studinya harus memiliki kesempatan untuk bisa ke luar negeri, dalam program apa saja, apakah short course, AUN, workshop, atau exchange,” pesan Prof. Amin Alamsyah. (*) Penulis : Defrina Sukma Satiti Editor : Bambang Bes
Warek II UNAIR Muh. Madyan, Optimalkan Peran Support System UNAIR NEWS –Memiliki nama lengkap Muhammad Madyan, laki-laki yang kini mendapat amanah sebagai Wakil Rektor (Warek) II Universitas Airlangga (UNAIR) tersebut, lahir pada 4 Januari 1971 di Kota Martapura, Kalimantan Selatan. Besar dan tumbuh di tengah lingkungan pesantren, Madyan mengawali pendidikan dasarnya pada sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI), namun pendidikannya di MI tersebut tidak sempat selesai, karena ia dan keluarga terpaksa hijrah ke Ibu kota. Hidup di kota besar, tentu saja lingkungan hidupnya di Jakarta sangat berbeda jauh dengan di Martapura. Mantan direktur keuangan UNAIR tersebut bertempat tinggal di pemukiman padat penduduk, tepatnya di daerah Kayu Manis Jakarta Timur. Saat pindah ke Jakarta, ia harus terpaksa mengulangi pendidikan dasar dari awal. Hal tersebut disebabkan sewaktu menempuh pendidikan di MI tidak ada buku laporan belajar. “Dulu waktu di MI tidak ada rapor hasil ujian, kalau naik kelas ya sekedar diumumkan saja, makanya ketika pindah sekolah lagi di SDN 12 Petang Jakarta Timur, saya harus mengulang dari awal,” kenangnya sembari sedikit tertawa. Tumbuh menjadi anak ibu kota memang membuat Madyan hidup dengan penuh dinamika. Kenakalan anak seusianya waktu itu dan keterbatasan lahan bermain menjadi warna bagi kehidupan anak keenam dari sembilan bersaudara tersebut. Tidak jarang ia harus main bola di bantaran rel kereta api, bahkan ia sempat menceritakan pengalaman melihat teman sebayanya yang melakukan tindakan tidak terpuji di salah satu pusat perbelanjaan. “Bayangkan saya harus hidup di tengah-tengah lingkungan yang seperti itu, ya meski kadang saya nakal waktu itu, tapi saya
tetap berprestasi di sekolah,” tuturnya. Prestasi laki-laki yang juga sempat menjabat sebagai ketua progam studi D3 Manajemen Pemasaran tersebut, dibuktikan dengan diterimanya ke SMPN 7 Hutan Kayu, salah satu sekolah favorit yang menjadi tempat belajar selanjutnya. Ia juga mengisahkan bahwa saat sekolah di tingkat SMP sering naik bus umum dan tidak jarang ia harus menempuh waktu selama 30 menit dengan naik sepeda. Madyan juga kembali mengisahkan bahwa kenakalan dan keusilannya masih dilakukan saat usia SMP, meski demikian orang tuanya sangat ketat dalam mendidik kesembilan anaknya. “Meski saya dulu SMP masih cukup nakal, tapi Bapak saya sangat disiplin dalam mendidik anak-anaknya, satu contoh, hampir tiap malam beliau selalu mengecek kamar kami, apabila masih ada yang di luar ya harus dicari untuk disuruh pulang,” paparnya. Perhatian dan kedisiplinan orang tua Madyan dalam mendidiknya tidak berhenti sampai di situ. Saat akan memasuki jenjang SMA, ia dipindah sub-rayon oleh bapaknya, hal ini dilandasi dengan mempertimbangkan lingkungan tempatnya ia belajar. Madyan pun diterima di SMAN 12 Jakarta Timur, saat belajar di jenjang salah satu SMA favorit inilah ia kembali menemukan lingkungan yang mendukung kehidupan keagamaanya. Ia aktif dalam organisasi keIslaman di sekolahnya. Hingga akhirnya pendidikan SMA pun diselesaikan pada tahun 1991. Menemukan UNAIR Setelah selesai dari pendidikan SMA, Sekretaris Senat FEB tahun 2007-2009 tersebut, diminta orang tuanya untuk melanjutkan kuliah ke salah satu perguruan tinggi di Kalimantan Selatan. Ia menceritakan bahwa selain studi, ia juga diminta untuk menemani kakaknya yang sudah menikah di Banjarmasin. Namun hal berbeda dirasakan saat studi di sana, ia tidak nyaman dengan iklim pendidikan di tempat ia belajar. “Saat kuliah Manajemen di sana, saya merasakan ada iklim
pendidikan yang berbeda dengan di Jawa, dan keinginan saya untuk sekolah ke Jawa sangat kuat,” paparnya. Setelah setahun menempuh kuliah di tanah kelahirannya, Madyan akhirnya memutuskan untuk mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) kembali. Meski demikian ada hal yang membuatnya ragu, yakni tentang restu dari orang tuanya. Hingga saat pengumuman tiba, Madyan akhirnya di terima di program studi yang sama di UNAIR. “Saya akhirnya diterima di Manajemen UNAIR. Nah, solusi agar bapak mengizinkan pada waktu itu, saya berfikir bahwa yang bisa menjelaskan hal ini adalah paman saya, dengan berbagai alasan alhamdulillah disetujui,” tuturnya. Empat tahun tepat, Madyan akhirnya menyelesaikan studi S1 Manajemen di UNAIR dengan predikat wisudawan terbaik. Setelah selesai menempuh jenjang S1, Madyan mendapat tawaran untuk menjadi dosen di FE UNAIR. Sembari mengajar, dosen yang pernah menjabat sebagai Ketua Bidang Penelitian dan Pelatihan LPMB FEB UNAIR tersebut, juga melanjutkan kuliah Magister Ilmu Manajemen dengan konsentrasi Manajemen Keuangan di Pascasarjana UNAIR. Merasa ingin memperdalam keilmuannya dibidang manajemen keuangan, ia kembali studi melanjutnkan studi master di Master of Finance University of Wollongong Australia. Di tahun 2009 ia pun menempuh studi doktoralnya pada salah satu kampus ternama di kota Malang. Terapkan Support System Mengenai amanah barunya sebagai warek II UNAIR, mulanya ia kaget saat diberi amanah tersebut. Madyan menilai bahwa menjadi warek II tidaklah mudah, baginya itu adalah amanah besar, resikonya juga besar, dan tanggung jawab yang besar pula. “Mulanya saya memang kaget, ini jabatan yang besar dan resikonya juga besar, tapi saya kembali berfikir bahwa hidup ini tidak lepas dari sekenario Allah, bahkan sehelai daun yang
jatuh juga atas izin-Nya, maka saya jadi warek II sekarang ini sejatinya juga atas kehendak-Nya,” imbunya. Sadar memikul tanggung jawab yang besar, Madyan punya cara tersendiri untuk menjalankan tugasnya. Ia menegaskan pentingnya support system dalam mengatur beragam tanggung jawab. Hampir tiap pekan ia dan mitra kerja yang terkain dengan bidang warek II selalu melakukan koordinasi mengenai berbagai hal yang akan dikerjakan, selain itu ia juga selalu melakukan kontrol dan evaluasi dengan rutin. “Menjadi warek II ini kan membawahi banyak bidang, ya keuangan, SDM, sarana prasarana, dan ingat target menuju 500 dunia itu perlu sebuah kesiapan yang melibatkan semua elemen tersebut,” tandasnya. Fungsi support system ia nilai tidak berhenti di situ, ia juga menyinggung adanya SK Rektor yang memberikan dana hibah sebesar 50 juta pada dosen yang jurnalnya terpublikasi international dan terindeks scopus. Perannya sebagai bidang pendanaan sangatlah penting, pasalnya dengan dana yang digelontorkan lancar, banyak penelitian yang terpublikasi. “Dana yang besar untuk para dosen yang aktif meneliti ini kami yang mempersiapkan dan menyediakan, jika dana lancar, penelitian semakin banyak, maka harapannya guru besar yang dilahirkan UNAIR juga akan semakin banyak pula, inilah yang dinamakan efek multiplier,” pungkasnya. (*) Penulis: Nuri Hermawan Editor: Bambang BES
Warek I UNAIR Djoko Santoso, Amanah Ini Jalan untuk Beramal UNAIR NEWS – Tidak pernah terlintas di benak Prof. Djoko Santoso, dr., Sp.PD-KGH., Ph.D., FINASIM bahwa akan mengemban amanah sebagai Wakil Rektor I Universitas Airlangga. Di usianya yang ke-54 tahun ini, berbagai amanah telah berhasil ia rampungkan. Setelah mengemban tugas sebagai Wakil Dekan II Fakultas Kedokteran (FK) UNAIR, terhitung sejak 20 Agustus 2015 Prof. Djoko mendapatkan amanah baru sebagai Wakil Rektor yang membawahi bidang akademik dan kemahasiswaan. Baginya, jabatan adalah amanah. Jadi baginya, ini membuka kesempatannya untuk beramal. Jabatan sebagai Wakil Rektor I UNAIR ini merupakan tugas yang harus diselesaikan sesuai amanah yang telah disematkan kepadanya. “Ya, itu merupakan amanah. Bukan alhamdulillah, tapi bismillah saya bisa menjalankan amanah ini, karena sesungguhnya itu adalah beban yang cukup berat,” tutur Guru Besar Ahli Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR ini. Baginya, menjadi Wakil Rektor I merupakan tugas yang cukup berat. Apalagi saat ini UNAIR memiliki 14 fakultas dan satu sekolah Pascasarjana, 1.502 dosen tetap, 38.000 mahasiswa, dan 167 program studi. Modal sumberdaya itulah yang harus dipikirkan oleh Professor asal Jombang ini, sesuai dengan target Kemenristek Dikti bahwa UNAIR harus masuk peringkat 500 dunia pada tahun 2019. ”Kembali lagi kepada ranah keikhlasan dan ketulusan. Itu konsekuensinya. Ketika ketulusan dan keikhlasan untuk mengabdi sudah bulat, maka manajemen waktu menjadi relatif tidak masalah. Karena sesungguhnya dibelakang kita diselesaikan oleh Allah SWT,” paparnya mantap.
Bagi Prof. Djoko, ketika mengabdi dan menjalankan amanah sebagai wakil rektor dilaksanakan dengan niat tanpa mencari popularitas, maka tidak akan ada beban dalam menjalankan amanah itu. Warisan Semangat Ayah Djoko kecil sudah menjadi yatim sejak berumur lima tahun. Lika-liku kehidupan telah ia lalui. Almarhum ayahnya yang merupakan seorang kepala sekolah, menjadi penyemangat dalam menjalani hidup yang diakui tidak selalu berjalan mulus. ”Nilai-nilai itulah yang menjiwai, sehingga dengan kondisi yang tidak jelas, ekonomi, arah pendidikan tidak jelas, saya harus survive,” tutur Prof. Djoko Santoso mengenang. Sebagai anak yang aktif, sepulang sekolah Djoko remaja tidak mau kalau hanya berdiam diri di rumah. Bersama teman-teman sebayanya ia suka pergi bermain ke sawah, bermain pimpong, berinteraksi dengan teman-teman. Hal-hal itulah yang kemudian ia sadari justru sebagai softskill, bekal saat beranjak dewasa. Ia dibesarkan dalam lingkungan Jawa. Sehingga tak heran tuturan bahasa Jawanya melipis (halus). Sebelum pada akhirnya berkiprah dalam dunia kedokteran, tidak ada gambaran dalam pikirannya untuk menggeluti bidang yang terkenal “mahal” itu. Saat itu, ketika lulus SMA, ia mendaftar di dua perguruan tinggi, yaitu Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang dan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia diterima untuk kuliah bidang keguruan di Malang. Namun, langkah rupanya mengarahkan lain. Ia diterima juga untuk studi pendidikan dokter di UGM. Akhirnya ia memilih kedokteran untuk mendapatkan gelar sarjana sebagai dokter. “Tidak ada yang mendasari. Kalau diterima di IKIP, ya saya jadi guru. Ternyata Allah memberikan SK Kedokteran,” kenangnya. Ketika menempuh pendidikan di perguruan tinggi, buku-buku ajar
pun tak selalu Djoko miliki. Ia sering meminjam buku ke temantemannya ketika teman itu sedang tidur, lalu ia pakai untuk belajar. “Saat di perguruan tinggi, semua buku saya pinjam. Dia (teman – red) tidur, saya pinjam bukunya. Dia bangun saya tidur,” kisahnya. Sejak saat itulah arah menuju sebagai dokter semakin terbuka. Setelah lulus sebagai dokter (S1) lalu mengambil program Magister di Universitas Airlangga, dan Doktoral di JuntendoUniversity School of Medicine, Jepang. Kerjasama Internasional Setelah dilantik dan diresmikan sebagai Wakil Rektor I UNAIR, Prof. Djoko memulai langkahnya dengan melakukan identifikasi SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats). Ada tiga hal yang akan digerakkannya dalam menjalankan tugas yang telah ada di pundaknya. Untuk memenuhi target Kemenristek Dikti, langkah yang akan ditempuh meliputi empat hal, yakni academic excellence, research excellence, community service excellence, dan university holding excellence. Pada bagan yang disampaikan dalam Raker UNAIR, ada tiga komponen saling terintegrasi yang semua akan mengarah pada world class university. Pertama, abundant resources. Kedua, favorable governance. Ketiga, concentration of talent. Ia menargetkan kedepan UNAIR harus memperbanyak kerjasama internasional. Reputasi akademik yang bagus dibuktikan dengan hubungan internasional yang bagus. Hubungan internasional dibuktikan dengan persentase mahasiswa/dosen yang masuk dan keluar. Visiting professor dari luar dan juga sebaliknya. “Berbicara tentang exchange, bukan hanya SDM, tapi juga sistem pendidikan. Kredit transfer atau kredit mobility. Ambil studi enam bulan disini diakui pihak luar. Tidak hanya itu, bahkan juga research collaboration. Kemudian training internasional, seminar internasional, workshop internasional, semua masuk internasionalisasi program. Bisa ditransfer. Itu tentang
academic excellence,” katanya. Bidang akademik yang unggul salah satunya dibuktikan dengan pengakuan prodi di ranah internasional, sudah tersertifikasi ASEAN University Network (AUN). Selain itu didukung dengan prestasi sivitas di ranah internasonal, dan juga meratanya teknologi dan informasi yang masuk ke realisasi layanan perkuliahan di semua prodi di UNAIR. “Research excellence, ada transfer teknologi. Research yang dikembangkan hasilnya bisa mengalir ke community. Digodok, dicetak, digandakan, sehingga nanti dipasarkan dan didistribusi. Kemudian sebagian hasil penelitiannya dimasukkan dalam materi perkuliahan, sehingga yang didapat dosen ke mahasiswa menjadi ilmu yang update dan teraplikasi. Sehingga UNAIR bisa mengklaim bahwa keberadaannya bisa mensejahterakan bangsa dan umat dunia. Itu research excellence,” kata penulis buku “60 Menit Menuju Ginjal Sehat” ini. Ia juga mentarget tahun 2016 ini harus banyak visiting professor yang datang. Mereka bukan hanya memberikan perkuliahan, tetapi juga membahas pengenai “pohon” penelitian. Sebab kerjasama penelitian dan visiting professor baru bisa dilakukan ketika sudah ada profesor UNAIR yang jurnal penelitiannya sudah terpublikasi dan terindeks Scopus. Standar itu yang membuat mereka percaya. ”Kita kemarin kapasitasnya 100-an yang terindeks Scopus. Jumlah publikasi ilmiah harus ditingkatkan tiga kalinya. Seratus dosen harus menggeret 200 dosen lainnya. Kalau kita sekarang punya 40% Ph.D, berarti 600 doktor, kalau separuhnya 300. In shaa Allah. Kenapa tidak bisa? Innama amruhu idza arada syaian anyaqula lahu kun fayakun,” tegas peraih penghargaan The young Investigator’s Award Travel Grant tahun 2002 ini. Terus Mengabdi Prof. Djoko dikaruniai tiga orang putra, yang ketiganya
berkiprah dan mengambil studi di bidang kedokteran. Diantara semua kesibukannya, sebagai bagian dari sumpah dokter yang tak boleh dilupakan, ia masih membuka praktik di klinik pribadi miliknya: klinik cuci darah di daerah Mulyosari itu telah ia buka sejak tahun 2010 silam. Ada lima kekayaan yang selalu ia syukuri dalam hidupnya, yaitu kekayaan kesehatan, kekayaan mental, kekayaan spiritual, kekayaan networking social, dan kekayaan intelektual. “Saya sering merenung. Tidak usah terlalu muluk-muluk, tapi yang penuh manfaat, yang sangat membumi, dimana orang bisa merasakan kesejahteraan kita,” tambah Prof. Djoko. “Hidup hanya sekali, usahakan untuk penuh manfaat pada umat. Karena kalau tidak penuh makna, arti hidupmu akan gagal. Membuat buku, menulis gagasan yang bermanfaat, karya kita dirasakan untuk kebutuhan orang miskin. Itu hal-hal yang membuat hidup kita bermakna,” pungkasnya. (*) Penulis : Binti Quryatul Masruroh Editor : Bambang Bes
Rektor UNAIR M. Nasih, Tersesat di Tempat yang Benar UNAIR NEWS – Perjalanan hidup dialami oleh semua orang. Likulikunya tidak sama. Ada yang dengan mudah dan serba enak. Ada yang turun-naik dan pasang-surut. Ada pula yang kesuksesannya dilalui dengan perjuangan dari bawah. Begitu pula dengan yang dijalani Prof. Dr. H. Mohammad Nasih, MT., SE., Ak, CMA., yang kini mengemban amanah sebagai Rektor
Universitas Airlangga periode 2015-2020. Bungsu dari enam bersaudara anak seorang guru ngaji Abdul Wahab (alm) dan ibu Djuwariyah ini, sejak kecil ibaratnya tiada hari tanpa masjid. Remaja aktif sebagai Remas (remaja masjid), saat mahasiswa aktivis UKM-KI dengan home-base di masjid, memperoleh pekerjaan yang pertama pun berawal dari masjid, bahkan bertemu jodohnya pun juga dari masjid. “Bagi saya, masjid itu tempat yang damai, ya tempat ngaji, tempat belajar, kajian ilmu, dan tempat berorganisasi, dan sebagainya,” katanya ketika berbincang-bincang dengan kru Redaksi WARTA UNAIR, di ruang kerjanya. Jadi, kariernya sebagai guru dan kemudian sekarang memimpin universitas ini, juga berawal dari masjid. Kisahnya begini, ia mendapat informasi lowongan pekerjaan itu untuk formasi dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga (UNAIR), almamaternya. Setelah ikut tes dan diterima, dalam perjalanan waktu kemudian memperoleh beasiswa studi lanjut ke S2 dan ke-S3, membina karir hingga akhirnya menjadi Rektor UNAIR Ke-13 ini. Senang di Masjid Tinggal bersama orang tuanya di kota kelahirannya, Gresik, praktis hanya sampai lulus SD. Selanjutnya Moh Nasih kecil sudah harus berpisah dengan orangtua. Semula ia akan “dipondokkan” ke Ponpes Gontor. Tetapi tidak jadi, dan akhirnya “menyeberang” ikut kakak dan sekolah di sebuah SMP di Babat, Kab. Lamongan. Disinilah ia membantu sang kakak yang antara lain berjualan obat. ”Waktu itu harapan kami sih pagi sekolah, sore ngaji ke Langitan (Pondok Pesantren – red). Tapi tidak terlalu berhasil, dan hanya saat Posoan saja saya mondok disana, bukan nyantri,” katanya. Setelah lulus SMP, ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (SMPP) di Lamongan, yang kini menjadi SMAN 2 Lamongan. Karena jarak sekolah dengan rumahnya jauh,
maka ia indekos. Kebetulan kosnya juga dekat masjid dan sekolah Islam, sehingga Nasih juga senang karena bisa lebih lama berdiam di masjid daripada di kamar kos. Sama seperti saat SMP, pagi hari sekolah, sore hingga malam ngaji atau “mondok” di surau. Karena itu ia mengaku sudah terbiasa dengan full day shcool. Dan, tempat ”mondoknya” itu sekarang menjadi PP Darul Ma’arif Lamongan. Lulus SLTA tahun 1985 ia hijrah ke Surabaya untuk melanjutkan kuliah. Ia mendaftar via SBM-PTN di empat jurusan yaitu Akuntansi UNAIR, Kedokteran UNAIR, Teknik Sipil ITS, dan Manajemen UNEJ Jember. “Ternyata garis tangan saya ada pada jurusan Akuntansi UNAIR,” kata Pak. Nasih, sapaan akrabnya. Karirnya Menanjak Ketika pertama menginjakkan kaki di kampus UNAIR, kebiasaan sebagai Remas masih berlanjut. Masjid itulah sebagai jujukan Nasih. Disela-sela kuliah itulah ia aktif berorganisasi pada UKKI (Unit Kegiatan Kerohanian Islam – sekarang UKMKI), ya melakukan kajian-kajian, belajar mata kuliah, dan mengembangkan ketrampilan menulis artikel untuk dikirim ke berbagai surat kabar. ”Artikel pertama saya dimuat Harian Suara Indonesia (SI) Malang. Selanjutnya juga di beberapa media. Ya lumayan dapat honor Rp 50.000/tulisan bisa untuk traktir teman,” katanya. Mengaku meraih kebanggan dari tulisan-tulisannya yang dimuat media massa, menjelang lulus S1 Nasih melamar jadi wartawan di Harian Prioritas, namun tidak diterima. Kemudian bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan. Tetapi karena terjadi perbedaan pendapat dengan atasannya, Nasih memilih keluar. Lagi-lagi masjid menjadi jujugan favouritnya untuk menenangkan diri. Di masjid UNAIR pulalah ia mendapat pekerjaan sebagai PNS di UNAIR karena lolos tes tahun 1992. “Setahun setelah mendapat pekerjaan, saya menikah dengan
Triyani Purnamawati, kawan aktivis di UKKI UNAIR. Tetapi yang seperti ini bukan hanya saya lo, banyak juga yang ketemu jodohnya disana,” kenang Pak Nasih sambil tertawa. Membangun mahligai rumahtangga dengan Triyani Purnamawati, alumni Fakultas Psikologi UNAIR, Prof. Moh Nasih kini dikaruniai dua orang putera, yaitu Muhammad Fata Fatihuddin (kuliah FK UNAIR) dan Muhammad Nathiq Ulman (SMAN 2 Surabaya). Lima tahun menjadi dosen di FEB, Moh Nasih mendapat beasiswa untuk studi S2 jurusan Teknologi Industri di Institut Teknologi Bandung (ITB). Setelah lulus S2, sebenarnya ia mau ambil S3 sekalian di ITB, tetapi karena terlalu lama menunggu promotor yang akan membimbing, ia memilih kembali saja ke Kota Surabaya dan menempuh S3-nya di UNAIR. Kariernya semakin menanjak. Antara lain karena dipercaya menjadi Direktur Keuangan UNAIR, kemudian diangkat untuk menjabat Wakil Rektor II UNAIR sejak 2010, dan kemudian dikukuhkan menjadi Guru Besar (Professor) pada 29 Nopember 2014. ”Itulah garis tangan saya. Kalau dulu saya jadi di pondok, mungkin saya bekerja di Depag seperti saudara-saudara saya. Begitu juga kalau diterima jadi wartawan, mungkin kisahnya juga akan lain. Jadi rupanya, in shaa Allah saya ini tersesat di tempat yang benar,” kata Prof. Moh Nasih sambil tertawa di tengah percakapan dengan Tim WU itu. (*) Penulis: TIM WARTA UNAIR Editor: Bambang Bes