Status PNS Tak Sulitkan Denny Purno Raih Wisudawan Terbaik S2 Pascasarjana UNAIR NEWS – Bagi Denny Purno Nugroho Hadi Margono, menjalani studi Magister merupakan tantangan yang berat. Sebagai pegawai negeri sipil (PNS) Pemkot Banjarbaru, Kalimantan Selatan, ia harus bekerja seperti biasanya dan hanya mendapat izin belajar pada hari Jumat dan Sabtu. Tetapi keterbatas waktu belajar itu tidak mengurangi semangat belajarnya, sehingga ia meraih predikat sebagai wisudawan terbaik Program Master (S2) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga pada wisuda Maret 2016. Bahkan Denny lulus dengan IPK sempurna: 4,00. Bekerja sebagai dokter umum pada Puskesmas Sungai Besar, Kab. Banjarbaru, Denny bertugas di poli umum dan ruang MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) sebagai koordinator program imunisasi di Puskesmas tersebut. Ia yang juga tercatat sebagai dosen pengajar tidak tetap di Poltekkes Banjarmasin ini, mengaku hasil praktik sebagai dokterlah yang akhirnya bisa untuk membiayai penelitian tesisnya. Dalam penelitian tesisnya itu Denny membahas permasalahan angka kesakitan malaria yang cukup tinggi di beberapa daerah di Kalsel. Ia berpikir bahwa hal itu perlu adanya suatu terapi adjuvan sebagai pendamping terapi utama, atau bahkan terapi alternatif untuk mengurangi keparahan penyakit. Pengalaman paling menarik bagi Denny adalah ketika menjalani studi S-2 Imunologi pada Pascasarjana UNAIR adalah saat ia melakoni praktikum di Rumah Sakit Khusus Infeksi (RSKI) UNAIR dan di Institute of Tropical Disease (ITD) Universitas Airlangga. Denny melakukan isolasi DNA, sel, dan stem cell. Tentu saja, ini merupakan pengalaman baru bagi laki-laki kelahiran Martapura, 12 September 1979 ini.
Ayah dua orang anak ini mengaku senang karena semasa kuliah itu ia beberapa kali dipercaya untuk membantu memberikan penyuluhan tentang bahaya narkotika bersama Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Banjarbaru. Dengan berbagai kesibukan yang ia lakoni pada saat menjalani kuliah S2 itu, ia mempunyai saran bagi mahasiswa yang kini masih menjalani perkuliahan. ”Sediakan waktu ekstra dan sempatkan membaca banyak literatur, sebab ilmu akan dibahas lebih dalam ketika studi S2 daripada S1. Selain itu jangan lupa untuk tetap menjaga ibadah sesibuk apa pun pekerjaan yang kita jalani, dan selalu berdoa serta minta restu kepada orang tua,” kata Denny. (*) Penulis: Binti Quryatul Masruroh. Editor: BE Santosa
Suko Widodo Beri Motivasi Kepada Pelajar SMA UNAIR NEWS – Kurangi penggunaan gawai, belajarlah dengan rajin, tingkatkan kepercayaan diri, dan terapkan etika kepada guru. Pesan itu disampaikan oleh Drs. Suko Widodo, M.Si, kepada pelajar sekolah menengah atas yang berkunjung ke UNAIR, Senin (4/4). Sebagai salah satu perguruan tinggi negeri terkemuka di Indonesia, UNAIR sering menjadi jujukan kunjungan pelajar dan guru sekolah menengah atas atau sederajat. Kali ini, pimpinan Pusat Informasi dan Humas (PIH) UNAIR menerima kunjungan dari dua sekolah, yaitu SMAN 3 Madiun, dan SMA Yayasan Pendidikan Vidya Dahana Patra (YPVDP), Bontang, Kalimantan Timur. “Saya tadi sempat bertanya kepada salah satu siswa yang hadir.
Mau kuliah di mana? Dia bilang tidak tahu, tapi dia ingin menjadi psikolog. Itu tidak apa-apa menurut saya karena yang penting setiap orang harus punya mimpi. Mimpinya dia adalah menjadi psikolog,” tegas Suko selaku Ketua PIH UNAIR. Namun, mimpi hanya sekadar menjadi mimpi apabila tak ada titian usaha untuk meraih cita-cita. Menurut Suko, salah satu kemajuan teknologi yang justru menjadi penghambat anak-anak usia remaja adalah kecanduan gawai. Tak sedikit anak usia pelajar yang susah melepas genggaman tangan dari ponsel sehingga waktu dan perhatian belajar menjadi berkurang. “Sekarang itu nggak jaman kalau hanya WhatsApp-an saja, atau update status ‘aku sedih’ seperti itu. Malaikat akan mencatat pahala kebaikan kalau Anda belajar, dan berhasil membanggakan orang tua,” tutur pakar komunikasi politik itu. Dalam kunjungan kali ini, UNAIR dikunjungi oleh 109 siswa dan guru pendamping asal SMAN 3 Madiun, dan 92 siswa dan guru pendamping asal SMA YPVDP Bontang. Mereka berkunjung untuk mengetahui informasi tentang UNAIR dan penerimaan mahasiswa baru. (*) Penulis: Defrina Sukma S. Editor: Nuri Hermawan
Moto “Try Hard, Work Hard, and Pray Full” Antar Erika Jadi Wisudawan Terbaik FKH UNAIR NEWS – Try hard, work hard, and pray full. Selalu mencoba hal-hal baru, mau berkerja keras, dan senantiasa
berdoa. Itulah sikap yang diyakini Erika Rofiana Yuli Andani telah mengantarkannya meraih kesuksesan dalam studinya. Dari bekal keyakinan itulah Erika mampu mencatatkan diri sebagai wisudawan terbaik Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) bulan Maret 2016 yang lalu dengan meraih IPK 3,80. Dalam penelitian skripsinya bertajuk “The Potency of Spirulina platensis Extract in Reducing the Number of Polymorphonuclear Cells in the Skin Incision Wound of Mice (Mus musculus)”, Erika menjelaskan mengenai manajemen perawatan dan penyembuhan luka pada hewan. Kemudian sikap disiplin yang dibangun sejak kecil oleh gadis kelahiran 21 Juli 1995 ini terbukti mampu membantunya segera lulus sarjana dalam usia yang masih relatif muda, yaitu 20 tahun. Hal itu antara lain ketika menjadi siswa SMAN 1 Puri, Mojokerto ia menjadi siswa kelas akselerasi, kemudian menjadi mahasiswa FKH UNAIR di Kelas Internasional. “Saya tidak pernah menduga bisa masuk FKH UNAIR Kelas Internasional. Saya bersyukur saja, ternyata penggunaan bahasa Inggris sebagai pengantar kuliah dan media komunikasi saat presentasi atau diskusi di kelas dapat meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris saya. Selain itu jumlah mahasiswa internasional yang lebih sedikit juga membuat suasana belajar lebih kondusif,” kata Erika. Selama ini Erika dikenal sebagai sosok yang cerdas. Tahun 2013 hingga 2015 ia diangkat menjadi asisten dosen embriologi. Meski demikian tidak membuatnya sebagai sosok yang kutu buku. Ia juga aktif sebagai anggota paduan suara FKH dan UNAIR. “Bagi saya, bermain musik itu menjadi bahan refreshing tersendiri ketika saya merasa jenuh atau lelah dengan kegiatan akademik,” kata Erika memungkasi. (*) Penulis: Disih Sugianti Editor: Bambang Bes
Dari Medspin, Nadhya Jadi Dokter, Orin Soroti Disabilitas UNAIR NEWS – Gara-gara sering sering mengikuti perlombaan/olimpiade di bidang biologi, hingga suatu kesempatan mengikuti Medical Science and Application Competition (Medspin) yang diadakan FK UNAIR, akhirnya Nadhya Nur Fitri benar-benar menjadi seorang dokter. Tidak hanya sekedar itu, ia sekaligus menjadi wisudawan terbaik jenjang sarjana (S1) Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga pada wisuda Maret 2016 lalu. ”Sulit menjelaskannya mengapa saya jadi dokter, sebab sejak kecil saya tak bercita-cita menjadi dokter,” kata Nadhya.
Nadhya Nur Fitri wisudawan terbaik jenjang sarjana (S1) Fakultas Kedokteran
(Foto: Istimewa) Awalnya, ketika di SMP dan SMA sering ikut lomba dan olimpiade bidang biologi, sampai tahun 2011 berkesempatan mengikuti ajang bergengsi FK UNAIR, yaitu Medspin. Disinilah awal Nadhya membangun angan-angan kuatnya ingin menjadi dokter. Kisahnya, saat Medspin itu panitia membuat simulasi dengan meminta setiap peserta seakan menjadi dokter, termasuk wajib mencari tahu permasalahan kesehatan yang dialami oleh pasien peraga. “Kami melakukan anamnesis (pengumpulan informasi tentang riwayat pasien oleh dokter), pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan melakukan interpretasi temuan. Saya mulai tertarik, ternyata dokter itu seperti detektif. Dokter harus mengasah kompetensi, care, dan compassionate. Kesempatan melayani dan membantu orang lain itulah yang menjadi drive (pemicu) terbesar saya untuk ingin menjadi dokter,” tegas arek Malang ini. Semasa kuliah pun Nadhya meraih beberapa prestasi, baik di tingkat nasional maupun internasional. Misalnya ketika bersama timnya dengan proposal Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKMM) ”Edukasi dan Kontrol Gizi Seimbang untuk Anak Autis di Komunitas Anak Autis di Surabaya” meraih Medali Perak pada PIMNAS XXVII di Universitas Diponegoro Semarang tahun 2014. Kemudian Februari 2015 bersama timnya meraih Runner Up di ajang Siriraj International Medical Microbiology, Parasitology and Immunology Competition (SIMPIC) yang diselenggarakan Fakultas Kedokteran Siriraj Hospital, Mahidol University, Bangkok, Thailand. Di kompetisi itu Nadhya juga memperoleh medali perak pada kategori kompetisi individu. Wisudawan peraih IPK 3,73 ini dalam skripsinya meneliti hubungan antara penggunaan antibiotic dengan infeksi oleh sebuah galur bakteri yang resisten terhadap antibiotik, yakni bakteri penghasil Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL).
ESBL adalah enzim yang dihasilkan oleh bakteri Gram-Negatif tertentu dan dapat mengaktifkan antibiotik golongan betalactam yang sering digunakan. ”Dewasa ini antibiotik digunakan dengan amat tidak rasional, tentu saja ini sangat membahayakan,” kata Nadhya, yang setelah lulus nanti belum yakin apa akan menjadi klinisi, peneliti, atau bekerja di Non-Government Organization (NGO). Baginya semua itu menarik, karena itu ia masih akan menimbang-nimbang, sedang bidang yang ingin ditekuni adalah mikrobiologi atau penyakit tropik & infeksi. (*) Orin Meluangkan Perhatian untuk Disabilitas
Orin Annahriyah Syukria wisudawan terbaik S1, Fakultas Kesehatan Masyarakat (Foto: Istimewa) SEDANGKAN Orin Annahriyah Syukria, meskipun tidak lulus tepat waktu tetapi ia bisa menyandang predikat wisudawan terbaik S1, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga. Ia berhasil lulus setelah menempuh studi selama sembilan semester dengan IPK 3,52. Dalam penelitian skripsinya, Orin menggambarkan mengenai kondisi akses kesehatan anak penyandang
disabilitas, khususnya di Puskesmas-puskesmas di Surabaya. “Tema skripsi saya tentang akses kesehatan anak penyandang disabilitas, karena ini merupakan permasalahan global dan agenda kerja WHO (World Health Organization). Namun perhatian terhadap masalah aksesibilitas anak penyandang disabilitas ini masih kurang,” kata Orin. Semasa kuliah di prodi Kesehatan Masyarakat, Orin dan kawankawannya aktif mengajukan proposal program kreativitas mahasiswa (PKM) tahun 2014. Ia juga pernah menjadi ketua tim PKMM dengan judul “Pelatihan Pembuatan Nasoy (Nata de Soya) dari Whey (limbah tahu) di Desa Meduretno, Kecamatan Papar, Kabupaten Kediri, sebagai Salah Satu Upaya Penyelamatan Lingkungan.” Kemudian sejak tahun 2011 sudah aktif mengikuti ajang PKM, kemudian juga PKM-P (Penelitian). Dengan aktif mengikuti PKM ia mengaku banyak mendapat manfaat dan pengalaman. Ditanya kiat-kiatnya untuk menjadi wisudawan terbaik, Orin hanya mengatur waktunya secara baik. Ia berusaha menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya lebih awal dan bergabung dengan komunitas yang tepat. Selain itu selalu berkonsultasi dengan orang tua sebelum mengikuti kegiatan di luar perkuliahan, tujuannya agar orang tua memahami kegiatannya dan mendorong kita mempertanggungjawabkan pilihan yang telah diambil itu, kata gadis asal Kediri ini. (*) Penulis: Sefya Hayu Istighfaricha & Binti Q. Masruroh. Editor: Bambang Bes
Mengendalikan Penyakit Kusta di Jawa Timur UNAIR NEWS – Berdasarkan data terbaru yang dilansir oleh Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, jumlah penderita kusta di Indonesia sekitar 17.000 orang, dan sepertiga diantaranya, yakni 4.183 orang berada di Jatim. Peneliti Institute of Tropical Disease (ITD) Universitas Airlangga Prof. Dr. Indropo Agusnia, dr., Sp.KK (K) turut menanggapi data tersebut. Menurut Prof. Indropo, hal terpenting untuk mengendalikan jumlah penderita penyakit kusta adalah dengan mencari dan mencegah sumber penularan. “Penyakit kusta yang menular adalah kusta tipe multi balcillary atau kusta tipe basah. (Hal) yang kita anggap sebagai sumber penularan adalah penderita kusta. Di dalam tubuh penderita itu mengandung kuman dan disebarluaskan melalui percikan air liur,” tutur Prof. Indropo. Pemerintah memang tidak tinggal diam untuk memberantas penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Kementerian Kesehatan berkolaborasi dengan World Health Organization (WHO) dalam melakukan pencegahan kusta dengan berbasis multiple drug therapy (MDT) sejak dua puluh tahun yang lalu. Kebijakan MDT yang dimaksud adalah memberikan obat kepada semua warga yang tinggal di daerah endemis penyakit kusta. Prof. Indropo yang juga Guru Besar bidang Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran UNAIR tak sependapat dengan kebijakan itu. Pihaknya menilai bahwa kebijakan itu belum tepat sasaran. “Kemenkes bekerjasama dengan WHO, bahwa warga yang tinggal di daerah endemis kusta diberi obat MDT oleh WHO. Sakit maupun tidak sakit, warga harus minum. Tetapi, bagi kami peneliti di
perguruan tinggi, seharusnya WHO memberikan obat itu kepada target tertentu. Kebijakan seperti itu memang bisa menurunkan angka penderita kusta dalam waktu 1-2 tahun ke depan, tetapi nanti mendekati lima tahun akan muncul pasien-pasien baru. Jadi, itu sifatnya hanya menunda sementara,” tegas Prof. Indropo. Terkait dengan pencegahan berbasis pengobatan MDT, tim FK UNAIR – RSUD Dr. Soetomo telah melakukan hal serupa selama lima tahun terakhir di Sumenep, Madura. Pengobatan itu diberikan kepada calon penderita kusta. Hasilnya, di daerah tempat dirinya melakukan pengobatan itu tidak muncul penderita baru. Potensi penularan baru Berdasarkan studi yang pernah ia lakukan dengan tim peneliti ITD UNAIR di sebuah daerah endemis kusta di Jatim pada tahun 2004 lalu, telah ditemukan adanya bakteri Mycobacterium leprae yang hidup di akar-akar tanaman di sepanjang sungai yang melewati kawasan tersebut. Namun, hingga kini, ia bersama tim peneliti UNAIR belum bisa membuktikan apakah kuman tersebut berdampak langsung kepada warga sekitar. “Kami menyebutnya sebagai non-human resources of Mycobacterium leprae atau sumber penularan yang berasal dari lingkungan sekitar. Namun, kita belum bisa membuktikan bahwa kuman yang ada di lingkungan itu telah membuat warga di sekitarnya terjangkiti kusta,” tutur salah satu inisiator Museum Pendidikan Dokter, FK UNAIR, Surabaya. (*) Penulis: Defrina Sukma S
Mahasiswa Belanda Ikut Seminar Nasional Fisioterapi Fakultas Vokasi UNAIR NEWS – Sharing ilmu tidak hanya dilakukan ketika kegiatan kuliah di kelas. Namun juga, bisa terlaksana melalui diskusi atau sarasehan. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Nuniek Nugraheni, dr., Sp,KFR(K) dalam seminar nasional bertajuk “Pshioterapy Management for Knee Ostheoarthritis with Multi Modality Approach”, Sabtu (4/2) lalu. Bertempat di Gedung Diagnostic Center (GDC) RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Menurutnya, seminar ini memberi pemahaman ekstra bagi para tenaga medis dan masyarakat awam secara langsung berseumber dari pakar. Terutama, terkait penyakit Ostheoarthritis. Ketua Program Studi Diploma (D3) Fisioterapi Fakultas Vokasi UNAIR tersebut menyatakan, himpunan mahasiswa fisioterapi sebagai panitia penyelenggara patut berbangga. Sebab, seminar nasional tersebut berhasil menarik minat kalangan akademik dari berbagai daerah untuk menjadi peserta. Bahkan, ada yang berasal dari luar negeri, Belanda. “Peserta seminar sangat beragam. Mulai dari Malang, Solo, sampai dari Avans University Belanda,” ujarnya di sela acara. Senada dengan dr. Nuniek, ketua panitia seminar nasional tersebut, I Made Putri Larasati, mengatakan bahwa Seminar Nasional Pshioterapy Management merupakan salah satu rangkaian acara pertukaran pelajar yang melibatkan mahasiswa dari Belanda. “Kedatangan mahasiswa dari Avans University ini sebagai bentuk kerjasama dengan fisioterapi Unair. Selama ini mereka memang datang secara rutin tiap tahun,” kata dia. Event ini dimulai pukul 06.30. Hadir sebagai narasumber dr. Patricia Maria, K.Sp, KFR (Koordinator staf medis KFR RSU
Airlangga), Trissilowati, SST.Ft (Staf fisioterapi instalasi rehabilitasi medis RS dr.Soetomo), serta Sukadarwanto, SST.Ft, M.kes , pakar Ostheoarthritis Lutut dari Surakarta. (*) Penulis: Dilan Salsabila Editor: Rio F. Rachman
Mengenal Penyakit Ostheoarthritis yang Sering Serang Tulang Pasien Usia Lanjut UNAIR NEWS – Penyakit Ostheoarthritis atau yang biasa disebut OA bisa datang sewaktu-waktu. Terutama, bagi pasien yang sudah menginjak usia lanjut. Hal tersebut diungkapkan oleh dr. Patricia Maria, K.Sp, KFR dalam seminar nasional bertajuk “Pshioterapy Management for Knee Ostheoarthritis with Multi Modality Approach” pada Sabtu (2/4) di Gedung Diagnostic Center (GDC) dr.Soetomo, Surabaya. Sebagai salah satu pembicara dalam seminar, dr. Patricia menjelaskan bahwa OA akan menyerang sendi atau tulang pasien yang sudah rapuh. Tulang sendi yang paling sering terkena OA beberapa diantaranya adalah tulang lutut, tulang punggung, dan tulang ekor. Pasien di atas umur 45 tahun umumnya perempuan. Ini berhubungan dengan masalah hormon. Yang di bawah umur 45 tahun, kebanyakan pria. Penyebabnya, tuntutan pekerjaan yang kerap membuat otot kaku.
Dokter Patricia yang saat ini menjabat sebagai koordinator staf medis RS UNAIR tersebut mengatakan, penyakit OA disebabkan oleh proses inflamasi. Yaitu, meningkatnya cairan synovium pada bagian tulang. Sehingga, terjadi pembengkakan sendi. Hal tersebut yang kemudian membuat tulang rawan menjadi tipis dan pecah-pecah. “Kalau sudah terkena OA, pasien duduk di tempat empuk sekalipun akan merasakan nyeri jika tulang ekornya yang terkena. Karena, ada zat nyeri pada bagian tersebut,” kata dia. Salah seorang staf fisioterapi instalasi rehabilitasi RS Soetomo, Trissilowati, SST.Ft menjelaskan, penyakit OA merupakan salah satu bentuk penyakit degenerative. Sehingga, siapapun berpeluang mengidap penyakit ini. Terutama, jika sudah memasuki usia lanjut. Karena, sendi tulang merapuh dan sudah tidak kuat untuk menahan berat badan. “Semua orang termasuk saya, patut was-was sama OA. Penyakit ini bisa datang kapan saja,” ujar Trissilowati yang juga pembicara di seminar nasional tersebut. Trissilowati menambahkan, penyakit OA tidak dapat disembuhkan secara permanen. Namun, dapat diperlambat. Salah satunya, dengan cara fisioterapi terpadu. “OA akan terus progresif. Potensial menimbulkan traumatis pada pasien. Salah satu cara menanganinya adalah memperlambat proses nyeri,” tambahnya. Narasumber lain bernama Sukadarwanto, SST.Ft, M.kes menjelaskan mengenai cara mencegah dan menangani penyakit OA. Yaitu, dengan menjaga asupan gizi, vitamin, serta melakukan olahraga ringan secara rutin. Misalnya, berenang atau latihan aerobik. Dalam kesempatan itu, dia mengajak para peserta untuk memulai program hidup sehat. Salah satu langah yang bisa diambil
adalah “mendesain” pekerjaan rumah sebagai bentuk olahraga senam. Olahraga dapat membantu menjaga persendian tulang lentur dan membangun kekuatan otot di sekitar sendi tulang. “Salah satu sebab OA adalah inactivity di rumah. Kalau gak mau kena penyakit OA ya harus terus beraktifitas,” ujarnya. Di akhir penjelasan, staf pengajar fisioterapi di Poltekkes Kemenkes Surakarta tersebut menyoroti pentingnya edukasi fisioterapi yang benar untuk menangani OA. Karena, pengetahuan fisioterapi tentang penanganan OA yang dilakukan secara sembarangan, akan menyebabkan masalah baru. Pasalnya, kebanyakan pasien OA adalah lanjut usia. Maka itu, stabilitas pasien menjadi faktor penting yang harus tetap dijaga. “Fisioterapi bagi pasien yang sudah lanjut usia harus hatihati. Jangan sampai yang bersangkutan terjatuh. Karena, tulang mereka sudah mulai merapuh secara keseluruhan,” paparnya. (*) Penulis: Dilan Salsabila Editor: Rio F. Rachman
Mari Hapus Stigma Buruk Pada Penderita Bipolar UNAIR NEWS – Bipolar disorder yang dapat disebut juga dengan gangguan mood adalah gangguan kejiwaan yang mempengaruhi perubahan suasana hati dan perilaku seseorang. Sekitar satu dari lima orang di dunia mengidap penyakit ini. Penderita bipolar mengalami suatu kondisi yang kontradiktif. Ambivalensi perilaku dan suasa hatinya terjadi di luar kesadaran. Di satu sisi, penderita merasakan gembira berlebihan. Namun di
sisi lain, bisa berubah pendiam, pemurung, bahkan depresi. Perpindahan suasana hati si penderita dapat terjadi dalam beberapa symptoms. Masyarakat perlu mendapat pemahaman tentang Bipolar secara proporsional. Tujuannya, agar tidak terjadi salah persepsi yang berujung pada “pengucilan”. Sebaliknya, tiap orang mesti bersumbangsih untuk memberi solusi. Paling tidak, dengan berhenti memberi stigma. Pada Rabu lalu (30/3), komunitas Ynot menggelar acara talkshow bertajuk “Raise Awareness, Break The Stigma”. Event ini diadakan bertepatan dengan momentum Bipolar Day. Acara yang diadakan di Flash Lounge Perpustakaan Universitas Airlangga tersebut mendatangkan narasumber seorang ahli kejiwaan, dr. Erikavitri yulianti, SpKJ Komunitas Bipolar Care Indonesia, Eneng.
dan
perwakilan
Dokter Erika memperkenalkan penyakit bipolar pada sekitar 57 peserta. Dia menuturkan, solusi alternatif bagi penderita bipolar melalui psikoterapi menjelaskan peran penting
dan obat-obatan. Dia juga menjaga kesehatan dengan
memperhatikan pola makan dan kebiasaan hidup. Dipaparkannya, bipolar disebabkan oleh penyakit dalam otak yang membuat penderita tak dapat berhenti memberikan ide-ide tidak masuk akal yang dituturkan secara berloncatan. Maka, penanganan bipolar tidak cukup dengan psikoterapi. Melainkan juga, obat-obatan yang diberikan sesuai dengan kondisi pasien. “Karena bipolar ini merupakan penyakit yang disebabkan oleh zat-zat di otak, maka penanganan bipolar juga harus menggunakan obat-obatan. Otak manusia normal dengan penderita bipolar sangat berbeda. Otak penderita bipolar tampak lebih aktif,” kupas dr. Erika. Selain pakar kejiwaan, YNot juga menghadirkan perwakilan dari Komunitas Bipolar Care Indonesia yang merupakan penderita
bipolar. Perempuan yang karib dipanggil Eneng ini berbagi kisah pada peserta seputar penyebabnya mengidap bipolar. Dia berkisah, ketika kecil, sering sakit-sakitan dan mengalami traumatik akibat perceraian orangtuanya. Hidup di lingkungan keluarga broken home, Eneng mengalami tekanan batin. Dia sering marah-marah tanpa sebab dan lepas kontrol. Hal tersebut membuat guru-guru sekolahnya mengantarkan Eneng ke seorang psikiater. Setelah menjalani berbagai tes, psikiater tersebut mendiagnosisnya mengidap bipolar. Meskipun telah didiagnoisis bipolar, Eneng tidak patah semangat. Justru dia memperbaiki diri dengan membuat jadwal secara terstruktur dan mengasah kemampuan serta bakat. Dia berpendapat bahwa penderita bipolar juga bisa berkreasi seperti orang lain. “Saya pengen orang-orang tidak memberi stigma. Kami juga sama seperti mereka. Bahkan kami bisa berkreasi dan banyak di antara kami yang sukses dengan bakat masing-masing,” kata Eneng. (*) Penulis: Lovita Cendana Editor: Rio F. Rachman
FKG Kenalkan Kesehatan Gigi pada Anak-Anak UNAIR NEWS – Penyakit gigi dan mulut selalu menjadi ancaman bagi setiap orang. Termasuk, anak-anak. Terlebih, persoalan karies yang masih memiliki prevalensi tinggi pada para bocah. Maka itu, penanggulangan penyakit dan perawatan gigi harus
rutin dilaksanakan. Tujuannya, menjadikan anak Indonesia lebih sehat. Sehubungan dengan hal itu, Departemen Kedokteran Gigi Anak mengadakan serangkaian kegiatan. Bertempat di klinik spesialis kedokteran gigi anak Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) pada bulan Januari hingga maret lalu. Adapun poin-poin acaranya adalah penyuluhan dan pemeriksaan gigi gratis. Acara tersebut memiliki semangat untuk mengenalkan tentang kesehatan gigi pada anak-anak. Tak kurang dari 100 siswa TK dan SD dari berbagai wilayah di Surabaya hadir. Apa yang dilakukan itu tak lepas dari bentuk pengabdian masyarakat. “Kegiatan ini diharapkan dapat terlaksana setiap tahun. Kami siap melayani semua sekolah di wilayah Surabaya,” ujar Koordinator Acara Mega Moeharyono Putri, drg., Sp.KGA., Ph.D. Penulis: Humas FKG Editor: Rio F. Rachman
Antara Kuliah di UNAIR dan Taiwan, Apa Perbedaannya? Salam dari Taiwan, Bumi Formosa, untuk segenap civitas akademika Universitas Airlangga (UNAIR). Saat ini, saya berada di National Taiwan University of Science and Technology (NTUST), Taipei. Kampus yang masuk dalam kategori empat terbaik di negeri asal F4 ini. Dalam alam bawah sadar, predikat prestise itu mengingatkan saya pada UNAIR. Kampus yang tercatat di list empat terbaik se-Indonesia. Pada Selasa, 16 Februari 2016, saya bersama Naili Saidatin
(alumni Fisika UNAIR angkatan 2010), dan Dewi Sartika (alumni Fisika UNAIR angkatan 2009), bertolak ke Taiwan dari Bandara Internasional Juanda. Di masa yang sama, seorang alumni Teknobiomedik UNAIR angkatan 2011, Evelyne Calista, pun berangkat dengan penerbangan lain dari Jakarta. Kami punya misi yang sama. Melanjutkan studi pasca sarjana. Saya sendiri adalah mahasiswa S2 jurusan biomedical engineering. Memang, cukup banyak alumni kampus Airlangga yang melanjutkan studi di NTUST. Misalnya, empat alumni Fisika angatan 2009. Yakni, Ni’matut Tamimah, Septia Kholimatussa’diyah, Ilmi Masfufiah dan Bandiyah Sri Aprilia. Teknis Perkuliahan Berbeda Berbeda dengan di Indonesia, di sini mahasiswa bebas memilih mata kuliah. Dari jurusan mana pun dia berasal! Para professor umumnya memberikan arahan kepada mahasiswa bimbingan tentang mata kuliah apa yang sebaiknya diambil untuk mendukung tugas akhir. Mahasiswa S2/S3 diperkenankan mengambil mata kuliah S1. Namun, yang bersangkutan dikenakan biaya per SKS. Nilainya tidak akan masuk perhitungan IPK. Kebijakan itu dibuat untuk memfasilitasi mahasiswa yang memiliki background S1 berbeda dengan jurusannya saat ini. Sehingga, dia membutuhkan materi tertentu yang berkaitan dengan studinya. Sementara itu, kegiatan penelitian di sini sangat aktif dan memiliki pola yang mapan. Khususnya, di bidang keluwesan pembiayaan. Pemerintah Taiwan memberikan dukungan dana penelitian cukup besar kepada kampus. Termasuk, dengan memberikan beasiswa kepada mahasiswa internasional untuk turut memajukan penelitian tersebut. Ada berbagai macam beasiswa yang ditawarkan di Taiwan. Baik dari pemerintah, organisasi, maupun dari kampus. Saya adalah penerima beasiswa kampus, NTUST Scholarship. Untuk jenjang
master, beasiswa diberikan selama dua tahun. Akan tetapi, nominal beasiswa pada tahun kedua bergantung dari prestasi akademik mahasiswa. Jika baik, akan mendapatkan nominal sesuai dengan yang diterima pada tahun pertama. Sedangkan bila prestasi akademik kurang baik, nominal beasiswa juga bisa berkurang dibandingkan pada tahun pertama. Aturan ini jelas membuat kami semakin giat dan serius dalam belajar. Aktivitas di Taiwan Taiwan termasuk wilayah subtropik dengan 4 musim. Saya tiba di sini pada penghujung winter. Suhunya antara 9-14 derajat celcius. Saya dan kawan-kawan dijemput oleh asosiasi mahasiswa Indonesia NTUST dengan mobil kampus. Mereka juga membantu kami untuk mengurus berkas pendaftaran ulang. Kami tinggal di student dormitory. Di dorm 3 (khusus perempuan), satu kamar diisi lima bed untuk lima mahasiswa. Ada AC dan kamar mandi dalam. Masing-masing bed diberi fasilitas LAN. Selain fasilitas kamar, ada fasilitas umum yang lengkap. Yakni, water fountain, mesin cuci dan pengering, study room, lounge, loker, dan dapur. Di sini, kartu mahasiswa adalah segalanya. Selain untuk akses masuk ke dormitory, kartu mahasiswa juga menjadi easy card. Easy card adalah kartu yang bisa diisi deposit untuk belanja, naik MRT dan bis, serta menggunakan sepeda umum You Bike. Maka itu, pemandangan mahasiswa yang ke mana-mana berkalung kartu tersebut adalah sangat wajar. Ada diskon bagi pelajar yang menggunakan kartu mahasiswanya sebagai easy card untuk membayar MRT dan bis. Perkuliahan semester ini dimulai pada 22 Februari 2016. Seminggu setelahnya, saya mulai melakukan aktivitas di laboratorium. Saya bergabung dengan Profesor Wei-Chun Hsu, fisioterapis Piala Dunia 1998, di Laboratorium Biomekanik. Saya belajar eksperimen tentang keseimbangan gerak pada pasien stroke bersama teman lab saya, mahasiswa lokal Taiwan.
Selain kegiatan akademik, saya juga mengikuti kegiatan nonakademik. Seperti, menjadi penjaga booth di Indonesian Culture Exhibition, dan bergabung dengan Badan Pelaksana Universitas Terbuka Taiwan. Indonesian Culture Exhibition adalah even tahunan yang digelar mahasiswa Indonesia di NTUST. Budaya Indonesia mulai dari pakaian, makanan, lagu daerah, tarian, alat musik tradisional dan folklore ditampilkan di acara ini. Po-Yi Chiang, salah satu teman lab saya mengapresiasi acara ini. “Bagus, saya suka,” katanya. Sementara itu, Badan Pelaksana UT Taiwan adalah badan yang dibentuk untuk membantu pelaksanaan proses pembelajaran jarak jauh, layanan luar negeri UT bagi para Buruh Migran Indonesia (BMI) di Taiwan. Dalam sebuah kesempatan berbincang dengan salah satu tutor, saya bertanya tentang bagaimana antusiasme para BMI dalam belajar. Tutor tersebut mengatakan mereka sangat antusias. Hanya, tutor perlu menggunakan bahasa yang sederhana dan memahami kondisi masing-masing mahasiswa. Sebab, mereka di sini bekerja dengan kondisi pekerjaan dan majikan yang bermacam-macam. Gegar Budaya Hal yang paling membuat gegar budaya adalah bahasa. Di sini, mayoritas warga lokal tidak mahir berbahasa Inggris. Bahkan, salah satu teman lab saya ada yang mengatakan tidak suka bahasa Inggris. Tetapi karena memiliki teman internasional, mau tidak mau dia harus berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Saya memiliki pengalaman menarik. Saat itu saya belum mendapatkan kunci kamar. Saya menanyakan kepada penjaga dormitory dalam bahasa inggris, tetapi dia menjawab dalam bahasa Mandarin sambil memberi isyarat dengan mengacungkan satu jari telunjuknya. Saya kira saya harus membayar 100 NT untuk mengambil kunci saya. Saya pun menyodorkan uang 100 NT. Tetapi, ditolak dan dia
memberi isyarat tidak dengan menyilang-nyilangkan kedua tangannya. Untung ada teman yang lewat, dan dia mengerti Mandarin. Ternyata, kuncinya belum ada dan saya diminta datang lagi jam 1. Hal kedua adalah makanan. Mencari makanan halal tentu sukar. Namun, Alhamdulillah, di kampus ada kantin mediteran, kantin vegetarian dan kantin halal yang bisa diandalkan. Meskipun, semua kantin di kampus hanya buka pada jam makan siang (pukul 11.00 – 13:00) dan makan malam (17:00 – 19:00). Gegar budaya yang lain pada penggunaan lajur kanan saat berkendara maupun berjalan. Namun yang menyenangkan, akses transportasi massal di sini sangat mudah. Mass Rapid Transportation (MRT) ada setiap saat, begitu pula bis. Selain itu, jika tidak punya sepeda dan ingin bersepeda, bisa memanfaatkan You Bike. Yang lebih menyenangkan lagi, banyak tempat-tempat wisata yang bisa dikunjungi dengan tiket masuk sangat murah sampai gratis. Satu bulan di sini, saya sudah mengunjungi beberapa tempat. Diantaranya, Museum Nasional Taiwan, Museum Dinosaurus, dan Chiang Kai Shek Memorial Hall. (*)