1
NASKAH PUBLIKASI
KEPUASAN KERJA DAN BURNOUT PADA POLISI
Oleh : KASMA ERVINA HAIDA SUS BUDIHARTO
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2006
2
KEPUASAN KERJA DAN BURNOUT PADA POLISI Kasma Ervina Haida Sus Budiharto INTISARI Burnout merupakan kondisi penarikan diri oleh seseorang dari pekerjaan sebagai respon terhadap stres yang berlebihan yang diakibatkan ketidakpuasan dalam pekerjaan. Burnout biasanya terjadi pada individu dengan profesi bidang pelayanan sosial, salah satunya polisi. Burnout pada polisi merupakan keadaan internal negatif yang dirasakan seorang polisi sebagai sindrom kelelahan emosional, depersonalisasi dan berkurangnya penghargaan diri ketika mencoba mencapai suatu tujuan yang dialami dalam jangka waktu yang cukup lama, dalam situasi yang menuntut keterlibatan emosional tinggi atau merupakan tahap akhir dari proses kegagalan penyesuaian stres kerja. Salah satu hal yang memicu burnout adalah kepuasan kerja yang tidak terpenuhi. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara kepuasan kerja dan burnout pada polisi. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara kepuasan kerja dan burnout pada polisi. Responden dalam penelitian ini adalah 111 anggota polisi yang memiliki masa kerja minimal 3 tahun di Polres Banjar, Polsek Kertak Hanyar, Polsek Karang Intan, Polsek Aluh-Aluh, dan Polsek Mataraman. Responden adalah polisi yang ditempatkan pada bidang opsnal yang dalam tugas kesehariannya berinteraksi langsung dengan masyarakat, yaitu Samapta, Lalu Lintas, Intelkam, Reskrim, dan Bina mitra. Adapun alat ukur yang digunakan adalah skala kepuasan kerja menurut Locke (1976) yang berjumlah 45 aitem. Sedangkan skala burnout diambil dari dimensi yang diutarakan Maslach & Jackson (Lee & Ashforth, 1996) yang berjumlah 22 aitem. Metode analisis data menggunakan korelasi product moment Pearson dari program SPSS 12.00 for windows. Analisis menunjukkan -0,458 dengan p = 0,000 atau p < 0,05 yang artinya ada hubungan negatif yang signifikan antara kepuasan kerja dan burnout pada polisi. Responden yang memiliki kepuasan kerja tinggi, tingkat burnoutnya rendah. Sebaliknya, responden yang memiliki kepuasan kerja rendah, tingkat burnoutnya tinggi. Kata kunci : burnout, kepuasan kerja
3
I. Pengantar Profesi polisi oleh hampir seluruh peneliti dikategorikan sebagai jenis pekerjaan yang sangat rawan stres (Ahmad, 2004). Stres yang dialami oleh polisi dapat berasal dari stressor fisik, sosial, psikologis, politik dan ekonomi, juga dapat berupa stressor kerja seperti beban kerja yang berlebihan, rendahnya gaji, minimnya sarana, lingkungan kerja yang tidak kondusif, resiko nyawa pada saat bertugas, rutinitas kerja dan sebagainya. Dengan berbagai keterbatasan internal dan eksternal tersebut maka tidak mudah menampilkan peran polisi dalam bentuk ideal. Kendala-kendala tersebut akhirnya menimbulkan stres yang menyebabkan timbulnya perilaku negatif pada polisi. Polisi lalu lintas yang sering terlambat datang di jalan macet, atau anggota reskrim yang bermalasan dalam menuntaskan kasus-kasusnya merupakan contoh gambaran yang dipersepsi oleh masyarakat tentang polisi. Menurut Adrianus Meliala (Aditama, 2004) salah satu asumsi munculnya penampilan kerja polisi yang mengecewakan tersebut disebabkan gejala burnout yang timbul di kalangan anggota polisi. Peneliti melakukan pengamatan dan perbincangan dengan beberapa anggota polisi Polri Daerah Kalimantan Selatan Resort Banjar, mereka menyatakan bahwa kondisi kerja yang dirasakan kurang memuaskan, misalnya sarana dan perlengkapan kerja kurang memadai, kondisi geografis yang tidak mengenakkan, jarak tempuh antara tempat tinggal dan tempat dinas yang jauh. Selain itu kurangnya jumlah personel polisi sehingga terdapat ketidakseimbangan antara rasio polisi : masyarakat. Polisi juga harus siaga 24 jam, setiap saat ketika panggilan datang harus cepat dan tanggap, fasilitas asrama polisi juga tidak memadai, beberapa polsek tidak memiliki asrama bagi anggotanya sehingga
4
ketika terjadi peristiwa darurat maka tidak bisa langsung secepatnya menuju lokasi dan berpengaruh pada kurangnya pengakuan dan apresiasi dari masyarakat. Beberapa polisi juga mengeluhkan banyak kasus yang berhasil ditangani menjadi berubah ketika sampai pada tahap peradilan. Beberapa faktor di atas merupakan bagian dari terpenuhi atau tidaknya kepuasan kerja Jika kondisi ini dibiarkan terus berlanjut maka motivasi untuk menjalankan tugas menjadi menurun. Dalam jangka panjang apabila keadaan seperti itu dibiarkan berlarut-larut tanpa terpenuhinya sejumlah aspek kepuasan kerja seperti yang terjadi di lapangan maka mendorong munculnya burnout, misalnya tidak bersemangat dalam menjalankan tugas karena kelelahan emosional, membuat jarak dengan orang lain serta bersikap negatif dan merasa kehadiran dirinya untuk orang lain atau organisasi tidak bermanfaat sehingga pemaknaan terhadap pekerjaan menjadi berkurang. Dalam suatu studi terhadap keluarga polisi, polisi yang mengalami burnout digambarkan sebagai seseorang yang pulang ke rumah dengan keadaan tegang, cemas, jengkel, dan marah-marah serta selalu mengeluh mengenai persoalan yang dihadapi dalam pekerjaan. Para polisi ini juga menjadi lebih pendiam selama berada di rumah, lebih suka menyendiri daripada melewatkan waktu bersama keluarga. Polisi ini juga mempunyai sikap negatif terhadap orangorang yang dilayaninya serta mempunyai sedikit teman (Jackson, 1999). Munculnya gejala burnout ini menunjuk pada kondisi penarikan diri oleh seorang polisi dari pekerjaannya, merupakan respon terhadap stres yang berlebihan yang diakibatkan adanya kepuasan kerja yang tidak terpenuhi (Aditama, 2004).
5
Burnout merupakan gejala yang lebih sering ditemukan pada bidang pekerjaan pelayanan sosial (human service) dibandingkan pada bidang pekerjaan lainnya. Pekerjaan polisi jelas memiliki nilai sosial lebih. Hakekat tugas polisi memang merupakan bagian birokrasi yang benar-benar langsung berhadapan dengan masyarakat, baik secara fisik maupun psikis. Burnout merupakan konsekuensi
dari
situasi
yang
tidak
mengenakkan
atau
tekanan
yang
menyebabkan stres yang sifatnya berkepanjangan di tempat kerja (Tanner dkk, 2002). Burnout jelas merugikan karena mengurangi kemampuan dan efektivitas kerja polisi. Selanjutnya dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologi polisi, memberi dampak buruk pada pelayanan kepolisian yang diberikan serta mengganggu fungsi-fungsi administrasi yang berjalan. Gejala burnout merupakan hambatan bagi pengembangan kualitas kinerja polisi (Aditama, 2004). Penelitian Ni’mah (2003) menunjukkan semakin positif persepsi terhadap iklim organisasi, maka kecenderungan terjadinya burnout semakin rendah. Apabila iklim organisasi dipersepsi positif dan menyenangkan oleh karyawan maka akan menimbulkan kepuasan kerja pada karyawan. Deskripsi observasi, wawancara, literatur, dan penelitian di atas yang mendorong peneliti untuk meneliti lebih lanjut tentang keterkaitan antara kepuasan kerja dan burnout. Kepuasan kerja merupakan sikap positif menyangkut penyesuaian diri yang sehat dari karyawan terhadap kondisi dan situasi kerja, termasuk di dalamnya masalah upah, kondisi sosial, kondisi fisik dan kondisi psikologis (Anoraga, 1992). Salah satu teori mengenai kepuasan kerja adalah discrepancy theory oleh Locke (As’ad, 2003). Locke (As’ad, 2003) menerangkan kepuasan kerja seseorang bergantung pada discrepancy antara should be (expectation, needs
6
and values) dengan apa yang menurut perasaan atau persepsinya telah diperoleh atau telah dicapai melalui pekerjaan. Jika polisi memang menghadapi beban kerja berlebihan, pekerjaan yang diulang-ulang, monoton dan tidak variatif, namun diiringi juga dengan kurangnya reward, kurangnya pengarahan, kondisi atasan yang tidak responsif, tidak adanya kesempatan pengembangan diri, adanya peraturan yang tidak fleksibel yang menyebabkan individu merasa terperangkap dalam sistem yang tidak adil, polisi tersebut akan memiliki kepuasan kerja rendah. Apabila kondisi tersebut tidak segera ditangani dan dibiarkan berlarut-larut, polisi dapat mengalami burnout. Penulis ajukan perspektif sebagai kerangka berpikir dalam menjelaskan hubungan kepuasan kerja dan burnout dalam bagan berikut :
7
Pekerjaan, promosi, pembayaran, tunjangan, pengakuan, kondisi kerja, supervisi, rekan kerja, perusahaan & manajemen
Kepuasan kerja
Terpenuhi
Positive human relation, aktualisasi
Tidak Terpenuhi
Kelelahan
Depersonalisasi
Menurunnya penghargaan
emosional
diri, kesehatan fisik
terhadap diri
dan mental
sendiri
Burnout
Bagan 1. Model hubungan antara kepuasan kerja dan burnout pada polisi
8
Menurut Robbins (2005) sebuah pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja, hidup pada kondisi kerja yang sering kurang ideal, dan hal serupa lainnya. Berarti penilaian seorang karyawan terhadap seberapa puas atau tidak puasnya dia dengan pekerjaannya merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang diskret (terbedakan dan terpisahkan satu sama lain). Hal inilah yang dihadapi oleh polisi dalam kesehariannya, seorang polisi dituntut berinteraksi dengan masyarakat, pandai berkomunikasi dengan rekan kerja, dan loyal terhadap atasan. Dari berbagai dimensi pekerjaan yang harus dijalani polisi pertimbangan untuk memutuskan merasa puas atau tidak puas terhadap profesi yang diembannya memang tidak bisa ditilik hanya dari satu bagian saja, melainkan berbagai macam sudut terakumulasi sehingga menjadi titik puncak seberapa besar kepuasan kerja atau ketidakpuasan yang dialami seorang polisi. Dapat ditarik benang merah, jika polisi menganggap kepuasan terhadap pekerjaannya rendah maka akan berdampak terhadap perilaku atau tindakan yang akan diambil dalam menghadapi berbagai persoalan yang berhubungan dengan tanggung jawab profesinya yang akan menimbulkan adanya kecenderungan burnout.
II. Metode Penelitian A. Responden Penelitian Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah polisi yang bertugas di Polri Daerah Kalimantan Selatan Resort Banjar. Responden yang digunakan diambil dengan teknik sampel berstrata disproporsional pada anggota Polres
9
Banjar, polsek Karang Intan, polsek Aluh-Aluh, polsek Kertak Hanyar, dan polsek Mataraman karena jumlah personel yang besar serta alasan statistik untuk mendapatkan jumlah responden yang sama dari masing-masing sub kelompok. Karakteristik responden yang digunakan dalam penelitian ini dikhususkan pada anggota polisi yang ditempatkan dalam fungsi teknis samapta, lalu lintas, reskrim, intelijen keamanan, dan bina mitra. Alasan penggunaan responden ini karena polisi dalam satuan fungsi tersebut merupakan pihak yang lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat atau lebih memberikan pelayanan sosial yang lebih. Untuk penentuan lokasi penelitian tidak dilaksanakan dengan random namun lebih merujuk pada kondisi geografis lokasi penyebaran polsek. Responden penelitian ini juga dikhususkan bagi anggota yang telah menjalankan masa dinas minimal tiga tahun. Peneliti mengambil keputusan ini dengan pemikiran bahwa anggota yang telah menjalani masa dinas minimal tiga tahun diharapkan telah merasakan pengalaman sebagai polisi, telah mengalami pergantian wilayah penempatan, ataupun pergantian satuan fungsi. Anggota ini juga telah memiliki pengalaman mengenai kenaikan pangkat atau kenaikan gaji, dan hal lainnya yang lebih spesifikl. Pertimbangan penentuan responden penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa populasi penelitian ini cenderung bersifat heterogen. Dengan latar fungsi satuan berbeda, penempatan wilayah dinas berbeda, serta rentang waktu masa dinas yang cukup lama akan sangat mempengaruhi responden dalam melakukan pengisian skala burnout dan skala kepuasan kerja.
10
B. Metode Pengumpulan Data Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode skala. Skala yang digunakan adalah : 1. Skala Burnout Skala ini dibuat berdasarkan aspek burnout oleh Maslach dan Jackson (Lee & Ashforth, 1996). Aspek-aspek yang akan diungkap oleh peneliti dalam membuat skala burnout, yaitu : kelelahan emosional, depersonalisasi, dan berkurangnya penghargaan pada diri sendiri. Skala burnout terdiri dari 22 aitem. 2. Skala Kepuasan Kerja Skala ini dibuat berdasarkan aspek kepuasan kerja oleh Locke (1976) yang bertujuan untuk mengetahui tinggi rendahnya kepuasan kerja anggota Polri Daerah Kalimantan Selatan Resort Banjar, adapun aspek-aspeknya meliputi : pekerjaan, pembayaran, promosi, pengakuan, tunjangan, kondisi kerja, supervisi, rekan kerja, serta perusahaan dan manajemen. Skala kepuasan kerja terdiri dari 45 aitem.
C. Metode Analisis Data Dengan menggunakan program Statistical Package for Social Science (SPSS) for windows 12.0 maka analisa statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian ini adalah analisa korelasi product moment yang terdiri dari satu variabel bebas dan satu variabel tergantung.
11
III. Hasil Penelitian A. Deskripsi Data Penelitian. Deskripsi penyebaran skala dapat dilihat pada tabel 1 berikut : Deskripsi Penyebaran Skala Penelitian Bidang opsnal
Daerah
Jumlah
penugasan Bina mitra
Intelkam
Lantas
Reskrim
Samapta
TOTAL
Kota
11
Desa
11
Kota
11
Desa
11
Kota
11
Desa
11
Kota
11
Desa
11
Kota
12
Desa
11 111
Untuk memperoleh gambaran umum mengenai data penelitian dapat dilihat pada tabel deskripsi data penelitian berisikan fungsi-fungsi statistik dasar yang disajikan secara lengkap pada tabel berikut ini.
12
Skor
yang
dimungkinkanSkSkor yang diperoleh (empirik)
(hipotetik) Variabel
Kepuasan
X
X
Mean
max
min
270
45
157,5
88
22
55
SD
X
X
Mean
SD
max
min
37,5
237
107
178,3063
26,28127
11
62
26
43
5,76352
kerja Burnout
B. Uji Asumsi Sebelum melakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang mencakup uji normalitas dan uji linearitas. a. Uji normalitas Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan fasilitas komputer SPSS for windows 12,0 dengan statistik teknik one sample kolmogorov smirnov test. Variabel kepuasan kerja menunjukkan K-SZ = 0,567; p = 0,904. (p > 0,05), dan variabel burnout menunjukkan K-SZ = 1, 182; p = 0,122. (p > 0,05). Hasil uji normalitas ini menunjukkan bahwa kedua alat ukur ini memiliki distribusi atau sebaran normal. b. Uji Linearitas Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan fasilitas komputer SPSS for windows 12.0 dengan statistik compare mean. Untuk linearity pada hipotesis yang menyatakan ada hubungan negatif antara kepuasan kerja dan burnout diperoleh bahwa F = 28, 929 dan p = 0,000 (p < 0,01). Hasil uji
13
linearitas ini menunjukkan bahwa antara kepuasan kerja dan burnout pada polisi bersifat linear.
C. Uji Hipotesis Hasil analisis data dengan menggunakan korelasi analisis product moment pada program komputer SPSS for windows 12.0. Hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara kepuasan kerja dan burnout diperoleh angka korelasi sebesar 0,458 dengan p = 0,00 (p < 0,01). Angka korelasinya bertanda negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa hubungannya bersifat negatif, artinya jika kepuasan kerja seorang anggota polisi tinggi maka burnoutnya rendah, dan sebaliknya jika kepuasan kerja anggota polisi rendah, maka terdapat kecenderungan burnout dalam dirinya atau dapat dikatakan tinggi. Dalam penelitian ini ditambahkan analisis regresi (anareg) yang bertujuan untuk memprediksi besarnya nilai yang mempengaruhi tiap aspek pada variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil menunjukkan hanya empat aspek yang mempengaruhi burnout pada polisi, yaitu aspek kondisi kerja sebesar 21,5 %, aspek tunjangan sebesar 5,5 %, aspek pekerjaan sebesar 4,5 %, dan aspek supervisi sebesar 2,6 %. Selain itu, peneliti juga melakukan uji t untuk membedakan kepuasan kerja dan burnout berdasarkan daerah penugasan. Sebagai syarat dalam melakukan uji beda maka perlu dilakukan uji homogenitas agar kesimpulan yang ditarik tidak menyimpang dari kebenaran yang seharusnya, selain uji normalitas di atas. Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan fasilitas komputer SPSS for wimdows 12.0
dan diperoleh nilai
levene statistic kepuasan kerja sebesar 1,383 dengan p = 0,245; p > 0,05 yang
14
menunjukkan sebaran yang homogen. Sedangkan nilai levene statistic burnout sebesar 0,463 dengan p = 0,763; p > 0,05 yang menunjukkan sebaran yang homogen. Syarat untuk melakukan uji beda terpenuhi, yakni uji asumsi yang terdiri dari uji normalitas (data normal) dan uji homogenitas (data homogen). Setelah dilakukan perhitungan statistik didapatkan bahwa tidak ada perbedaan kepuasan kerja berdasarkan daerah penugasan (t = 0,604; p = 0,547; p > 0,05) dan tidak ada perbedaan burnout berdasarkan daerah penugasan (t = 0,657; p = 0,513; p > 0,05). Peneliti juga melakukan perhitungan statistik untuk membedakan
kepuasan
kerja
dan
burnout berdasarkan
bidang
opsnal.
Didapatkan hasil ada perbedaan kepuasan kerja berdasarkan bidang opsnal (F = 8,659; p = 0,000; p < 0,05). Urutannya adalah lalu lintas, samapta, reskrim, intelkam, bina mitra. Kemudian ada perbedaan burnout berdasarkan bidang opsnal (F = 2,482; p = 0,048; p < 0,05). Urutannya adalah intelkam, bina mitra, samapta, reskrim, lalu lintas.
IV. Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis yang menyatakan ada hubungan negatif antara kepuasan kerja dan burnout pada polisi. Berdasarkan analisis deskriptif yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa kepuasan kerja karyawan memiliki mean empirik 178, 3063, sedangkan mean hipotetiknya 157,5. Berarti secara rata-rata skor responden pada alat ukur lebih tinggi dari rata-rata hipotetiknya dan mayoritas berada pada taraf sedang sebanyak 53 orang (47,75 %) dan taraf tinggi sebanyak 50 orang (45,04 %). Secara garis
15
besar dapat dikatakan bahwa anggota Polri Daerah Kalimantan Selatan Resort Banjar cenderung merasakan kepuasan kerja yang sedang dan tinggi. Sedangkan dalam skala burnout diperoleh hasil bahwa mean empirik 43, sedangkan mean hipotetiknya sebesar 55. Tampak bahwa rata-rata skor responden pada alat ukur lebih rendah dari rata-rata hipotetiknya. Sementara dari deskripsi data diperoleh hasil bahwa anggota polisi yang berada pada kategori rendah sebanyak 86 orang (77,47 %). Sehingga dapat disimpulkan bahwa burnout yang terjadi pada anggota polisi yang ditugaskan di Polri Daerah Kalimantan Selatan Resort Banjar berada pada kategori rendah. Analisis data dilakukan dan diperoleh koefisien korelasi sebesar -0,458 dengan p = 0,000 atau p < 0,05 yang artinya ada hubungan negatif antara kepuasan kerja dan burnout pada polisi. Semakin tinggi kepuasan kerja maka burnout pada polisi rendah. Sebaliknya semakin rendah kepuasan kerja maka burnout pada polisi tinggi. Hasil dari penelitian ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Baron dan Greenberg (1990) mengenai salah satu kategori utama yang berhubungan dengan kepuasan kerja, yaitu faktor organisasi. Menurut peneliti, burnout dapat disebabkan dari keadaan sebuah organisasi menghadirkan iklim atau budaya yang berkembang di instansinya. Apabila iklim organisasi dipersepsi positif dan menyenangkan oleh anggota polisi, maka akan menimbulkan kepuasan kerja pada dirinya. Adapun kepuasan kerja menurut Lateiner dan Levine (Ni’ mah, 2003) adalah karyawan akan merasa senang dalam bekerja sehingga menimbulkan aktivitas dan sikap yang positif, di mana kepuasan kerja ini akan mereduksi stres, dan pada akhirnya kecenderungan terjadinya burnout pun
16
semakin rendah. Jika iklim organisasi dipersepsi negatif oleh anggota polisi, maka dapat menimbulkan ketidakpuasan kerja yang mengarah pada burnout. Penelitian ini juga dikuatkan oleh pendapat yang diajukan oleh kriminolog UI Adrianus Meliala (Aditama, 2004). Beliau menyatakan salah satu asumsi tentang munculnya penampilan kerja polisi yang mengecewakan disebabkan oleh adanya gejala burnout yang timbul di kalangan anggota polri. Konsep burnout menunjuk pada kondisi penarikan diri oleh seseorang dari pekerjaan sebagai respon terhadap stres yang berlebihan atau akibat ketidakpuasan dalam pekerjaan. Gejala tersebut merupakan bentuk coping yang dipilih individu untuk mengatasi stres pekerjaan yang dihadapinya. Penarikan diri secara psikologi tersebut ditandai dengan munculnya perilaku antara lain mudah tersinggung, menurunnya sikap positif terhadap masyarakat yang dihadapi, menyalahkan masyarakat, menghindar dari masyarakat yang seharusnya ditangani, berbuat sewenang-wenang, dan sebagainya. Untuk faktor karakteristik personal, gejala burnout ini bahkan dapat muncul pada individu yang sebelumnya menunjukkan dedikasi yang tinggi dalam pekerjaannya. Gejala burnout jelas merugikan karena akan mengurangi kemampuan dan efektivitas kerja polisi. Selanjutnya dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologi, memberi dampak buruk pada proses pelayanan kepolisian yang diberikan serta mengganggu fungsi-fungsi administrasi yang sedang berjalan. Gejala burnout ini terdiri
atas
kelelahan
emosional,
depersonalisasi
dan
low
personal
of
accomplishment (berkurangnya penghargaan dalam diri sehingga mendongkrak penurunan pencapaian prestasi diri) yang dialami oleh individu yang bekerja memberikan pelayanan kepada orang lain. Peneliti juga menghitung sumbangan
17
efektif aspek kepuasan kerja terhadap burnout dengan menggunakan analisis regresi dengan bantuan program SPSS for windows 12.0. Dari hasil analisis tambahan tersebut, aspek kondisi kerja paling tinggi memberikan sumbangan efektif terhadap kemungkinan munculnya burnout sebesar 21,5 %. Anggota polisi akan merasa kepentingannya diperhatikan oleh organisasi apabila organisasi memperhatikan kondisi kerjanya. Dari observasi yang dilakukan peneliti, kondisi geografis beberapa polsek yang dijadikan lokasi penelitian memang masih memprihatinkan, sempitnya jalan dengan kepadatan lalu lintas, rusaknya jalan penghubung dengan wilayah lain, kurangnya personel polisi yang ditempatkan, sarana telekomunikasi tidak bisa dikatakan optimal karena masih ada polsek yang menggunakan handy talkie, sarana patroli yang kurang sehingga tingkat kesulitan menjalankan pekerjaan menjadi bertambah. Selain itu, yang termasuk kondisi kerja di sini adalah jam kerja, sementara kita semua telah mengetahui bahwa jam kerja atau jam siaga seorang polisi selama 24 jam, non stop dalam sehari. Aspek kepuasan kerja kedua yang dapat memprediksi munculnya burnout pada polisi adalah tunjangan (benefits). Salah satu faktor yang menimbulkan kepuasan kerja adalah tunjangan dalam bentuk fasilitas seperti fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan. Ghiselli & Brown (As’ad, 2003) menyatakan masalah finansial dan jaminan sosial kebanyakan berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Aspek kepuasan kerja ketiga yang dapat memprediksi munculnya burnout adalah aspek pekerjaan. Aspek pekerjaan itu sendiri meliputi isi pekerjaan termasuk umpan balik dan otonomi, pekerjaan yang menarik dan menantang,
18
tidak membosankan dan yang memberikan status bagi karyawan (Baron & Greenberg, 1990), bagaimana suatu pekerjaan memberikan anggota organisasi tugas yang menarik, kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab (Smith dkk dalam Luthans, 1998). Karakteristik pekerjaan yang diemban polisi jelas memiliki tuntutan dan kemampuan adaptasi tinggi. Jika tidak mampu diatasi akan berpengaruh terhadap munculnya gejala burnout.
Jackson
(Rohman,
1997)
menyatakan
burnout
dapat
muncul
disebabkan oleh pekerjaan yang diulang-ulang, monoton, dan tidak variatif karena pekerja cenderung memilih pekerjaan yang memberikan kesempatan untuk
menggunakan
keahlian
dan
menawarkan
tugas
yang
bervariasi,
kebebasan, dan umpan balik mengenai seberapa baik pekerjaan mereka (Robbins, 1998). Dalam faktor pekerjaan, profesi polisi jelas memiliki beban pekerjaan yang berat. Kondisi seperti inilah yang seringkali mendukung munculnya burnout. Maksud peneliti adalah polisi dalam melaksanakan tugasnya mendapatkan tekanan yang sangat banyak, mereka juga sangat rentan mengalami stres kerja. Apabila stres kerja dibiarkan begitu saja dan terjadi dalam jangka waktu yang lama, maka polisi akan mengalami burnout. Aspek terakhir yang dapat memprediksi munculnya burnout pada polisi adalah supervisi. Menurut Ghiselli & Brown (As’ad, 2003) salah satu faktor yang menimbulkan kepuasan kerja adalah mutu pengawasan. Hubungan antara anggota dengan pihak pimpinan sangat penting artinya dalam menaikkan produktivitas kerja. Kepuasan kerja anggota dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan kepada bawahan, sehingga anggota akan merasa dirinya merupakan bagian penting dari organisasi kerja (sense of
19
belonging). Pengawas atau pimpinan harus tanggap terhadap kelemahan dan kemampuan setiap bawahan dan harus cepat mengatasi kelemahan-kelemahan. Dari analisis tambahan lainnya, peneliti juga menemukan tidak ada perbedaan kepuasan kerja dan burnout berdasarkan wilayah penugasan kota dan desa. Menurut peneliti, hal ini disebabkan faktor-faktor pemicu kepuasan kerja sama diterapkan antara polres dan polsek yang berbeda kondisi geografisnya. Hasil lain yang peneliti peroleh dari penelitian ini adalah ada perbedaan kepuasan kerja antara polisi yang ditempatkan dalam bidang opsnal yang berbeda, yaitu bina mitra, intelkam, lantas, reskrim, dan samapta. Hasil perhitungan statistik menunjukkan bahwa lantas menempati urutan pertama. Hal yang berkaitan dengan pembagian dan jadwal tugas untuk bidang opsnal lantas menunjukkan bahwa pimpinan unit lantas cenderung lebih sering melakukan pembagian dan penetapan jadwal tugas, karena menangani kasus yang relatif beragam sehingga perlu orang tertentu untuk menangani suatu kasus (Sylvana, 2005), sehingga menurut peneliti hal ini mendorong lebih terpuaskannya seorang anggota polisi yang ditempatkan diunit lalu lintas, dan tentu saja tidak menutup kemungkinan masih banyak faktor lain yang mendorong munculnya kepuasan kerja pada polisi lantas. Sedangkan untuk adanya kecenderungan burnout, intelkam menduduki urutan pertama. Tugas polisi yang berada di jajaran intelkam ini mempunyai keunikan kerja yang berbeda di banding dengan tugas di bidang opsnal lain, salah satunya adalah antisipasi terhadap situasi yang mendadak. Oleh karena itu, peneliti mempunyai sudut pandang bahwa hal ini bisa memicu munculnya burnout, karena polisi intel harus mampu menguak hal-hal yang terselubung
20
dalam masyarakat dan adanya adanya tuntutan internal dan eksternal yang kurang dapat dipenuhi oleh individu itu sendiri. Tuntutan eksternal misalnya, tuntutan yang berasal dari struktur organisasi tempat bekerja (contoh : target pekerjaan dari pimpinan yang harus diselesaikan dalam satu bulan). Sedangkan tuntutan internal misalnya harga diri, motivasi, aktualisasi diri, dan sebagainya. Kelemahan dari penelitian ini salah satunya adalah pemilihan responden pada Polsek Karang Intan, Polsek Aluh-Aluh, Polsek Kertak Hanyar, dan Polsek Mataraman kondisi geografis lokasi penyebaran polsek yang tidak memungkinkan dilakukan random. Hal ini memiliki kemungkinan berdampak pada peneliti tidak dapat mengetahui lebih lanjut mengenai kemungkinan burnout yang lebih tinggi pada polisi yang bertugas di daerah dengan kondisi geografis sulit.
V. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa : 1. Ada hubungan negatif antara kepuasan kerja dan burnout pada polisi. Hal ini menunjukkan semakin tinggi kepuasan kerja maka semakin rendah burnout pada polisi. Sebaliknya, semakin rendah kepuasan kerja maka semakin tinggi burnout pada polisi. Jadi hipotesis yang menyatakan ada hubungan negatif antara kepuasan kerja dan burnout pada polisi diterima. 2. Pada analisis tambahan diperoleh : a. Sumbangan efektif aspek kepuasan kerja terhadap burnout yaitu aspek kondisi kerja sebesar 21,5 %, aspek tunjangan sebesar 5,5 %, aspek pekerjaan sebesar 4,5 %, dan aspek supervisi sebesar 2,6 %.
21
b. Perbedaan kepuasan kerja dan burnout berdasarkan daerah penugasan (1) Tidak ada perbedaan kepuasan kerja berdasarkan daerah penugasan (2) Tidak ada perbedaan burnout berdasarkan daerah penugasan c. Perbedaan kepuasan kerja dan burnout berdasarkan bidang opsnal (1)
Ada perbedaan kepuasan kerja berdasarkan bidang opsnal, yang menunjukkan bahwa bidang opsnal lantas menduduki kepuasan kerja paling tinggi.
(2)
Ada
perbedaan
burnout
berdasarkan
bidang
opsnal,
yang
menunjukkan bahwa bidang opsnal intelkam menduduki urutan burnout paling tinggi.
VI. Saran Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
kesimpulan
tersebut,
peneliti
mengemukakan beberapa saran sebagai berikut : 1. Bagi responden Dengan mengetahui ada keterkaitan antara kepuasan kerja dan burnout maka anggota polisi dapat berupaya mencegah hal-hal yang bisa menurunkan kepuasan kerja dirinya dan orang lain. Membentengi diri dengan iman dan nilai diri yang kuat perlu ditumbuhkan dalam diri anggota polisi. 2. Bagi instansi Polri Daerah Kalimantan Selatan Resort Banjar Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian anggota Polres Banjar memiliki kepuasan kerja yang sedang mengarah ke tinggi dan burnout ratarata rendah. Oleh karena itu harus lebih peka menyikapi fenomena yang berkembang dalam organisasinya. Menciptakan iklim organisasi yang
22
kondusif dan memperhatikan aspek-aspek kepuasan kerja dapat dijadikan pedoman dalam menjaga adanya kemungkinan burnout berkembang dan mewabah dalam diri anggota Polri Daerah Kalimantan Selatan Resort Banjar. 3. Bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk meneliti tema yang sama, disarankan untuk memilih lokasi penelitian di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Makasar, dan lainnya karena tingkat pelanggaran kamtibmas lebih tinggi yang diprediksi melalui individu yang lebih banyak disertai kemajuan teknologi yang berkembang pesat sehingga mempengaruhi cara mendeskripsikan kepuasan kerja oleh polisi. Selain itu, daerah rawan konflik juga menarik untuk diteliti seperti Papua, Ambon, Palu, dan kota lainnya karena banyaknya kasus yang ditangani dan mendorong kepuasan kerja yang tidak terpenuhi dan meninggikan kemungkinan terjadinya burnout. Peneliti selanjutnya juga menggunakan responden fungsi kepolisian yang jarang terekspos, atau mengkhususkan pada satu bidang, misalnya intelkam. Adapun penelitian mengenai burnout sebaiknya dilakukan melalui metode kualitatif sehingga dapat ditemukan penjelasan lebih mendalam pada kalangan polisi.
23
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, A. 2004. Fenomena Burnout pada Polisi. Majalah Emphaty. Edisi Juli. Hal 41-42 Ahmad, J. 2004. Menjadi Polisi dengan Hati Nurani. Majalah Emphaty. Edisi Juli. Hal 2-4 Anoraga, P. 1992. Psikologi Kerja. Jakarta : PT Rineka Cipta As’ad, M. 2003. Psikologi Industri Seri Ilmu Sumber Daya Manusia. Edisi Keempat. Yogyakarta : Liberty Baron & Greenberg. 1990. Behavior In Organizations : Understanding and Managing the Human Side of Work. Third Edition. Massachusetts : Allyn & Bacon Handoko, T. H. 1987. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Edisi 2. Yogyakarta : BPFE Jackson, S. E & Randall S. S. 1999. Manajemen Sumber daya Manusia. Menghadapi Abad Ke-21. Jakarta : Erlangga Lee, R. T & Ashforth, B. E. 1996. A Meta-Analytic Examination of the Correlates of the Three Dimensions of Job Burnout. Journal of Applied Psychology. Vol 81. Pages 123-133 Locke, E. A. 1976. The Nature and Causes of Job Satisfaction. Handbook of Industrial and Organizational Psychology. Editor : Dunnete Chicago : Rand Mc Nally Luthans, F. 1998. Organizational Behavior. Sixth Edition. Singapore : McGrawHill, Inc Munandar, A. S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta : UI Press Ni’ mah, M. 2003. Hubungan antara Persepsi Terhadap Iklim Organisasi dengan Burnout pada Perawat. Intisari Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Robbins, S. P. 1998. Organizational Behavior. Concepts, Controversies, Applications. Eigth Edition. New Jersey : Prentice Hall International, Inc Robbins, S. P. 2005. Perilaku Organisasi. Jakarta : Prentice Hall
24
Rohman, T. N., dkk. 1997. Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Burnout pada Perawat Putri di Rumah Sakit Swasta. Jurnal Psikologika. Nomor 4. Tahun II. Hal 51-59 Schaufelli & Buunk. 1996. Professional Burnout. England : John Wiley & Sons Ltd Sylvana, A. 2005. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja dan Kepuasan Kerja Anggota Polisi. www.ut.co.id Tanner, S., et. al. 2002. The Process of Burnout in White-Collar and Blu-Collar Jobs : Eigth-Year Prospective Study of Exhaustion. Journal of Organizational Behavior. Vol 23. Pages 555-570