1
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN PERKAWINAN DENGAN AGRESIVITAS SUAMI ISTRI
Disusun oleh : CHUSNUL ESKA SARI 01 320 307
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2005
1
2
NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN PERKAWINAN DENGAN AGRESIVITAS SUAMI ISTRI
Telah Disetujui Pada Tanggal
… … … … … … … … … … … … .
Dosen Pembimbing
Hepi Wahyuningsih, S.Psi., M.Si
2
3
HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN PERKAWINAN DENGAN AGRESIVITAS SUAMI ISTRI
Chusnul Eska Sari Hepi Wahyuningsih
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan negatif antara kepuasan perkawinan dengan agresivitas suami istri. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara kepuasan perkawinan dengan agresivitas suami istri. Semakin tinggi kepuasan perkawinan, semakin rendah agresivitas suami istri. Sebaliknya semakin rendah kepuasan perkawinan, semakin tinggi agresivitas suami istri. Subjek dalam penelitian ini adalah pasangan suami istri yang tinggal di Minomartani, sebanyak 108 subjek atau 54 pasangan suami istri. Alat ukur yang digunakan adalah skala agresivitas berdasarkan aspek-aspek dari AAS (Aggressive Acts Survey) yang dikemukakan oleh Berkowitz dkk (1986), dan skala kepuasan perkawinan berdasarkan aspek-aspek dari MSS (Marital Satisfaction Scale) yang dikemukakan oleh Roach dkk (1981) dan dimodifikasi oleh peneliti dari Siswanti (2000). Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS versi 12,0 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara kepuasan perkawinan dengan agresivitas suami istri. Hipotesis pertama menunjukkan korelasi dari Spearman’s rho sebesar r = ? 0,385; p = 0,002 (p < 0,01) yang artinya ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kepuasan perkawinan dengan agresivitas pada suami. Hipotesis kedua menunjukkan korelasi dari Pearson sebesar r = ? 0,748; p = 0,000 (p < 0,01) yang artinya ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kepuasan perkawinan dengan agresivitas pada istri. Jadi hipotesis penelitian terbukti.
Kata kunci : Kepuasan perkawinan, Agresivitas.
3
4
Pengantar Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara pria dengan wanita sebagai suami istri. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Astuti, 2003). Pasangan suami istri yang telah terikat dalam perkawinan tidak dapat lepas dari berbagai tanggungjawab dalam keluarga. Kehidupan perkawinan yang bahagia merupakan dambaan setiap pasangan suami istri. Tetapi kenyataan yang ada dalam kehidupan perkawinan tidak selalu berjalan lancar, ada beberapa pasangan suami istri yang melakukan perilaku agresivitas terhadap pasangannya. Ketidakpuasaan yang dirasakan suami istri inilah yang mempengaruhi munculnya perilaku agresivitas dalam perkawinan. Agresivitas fisik yang dilakukan pasangan suami istri dalam perkawinan merupakan masalah sosial yang jauh lebih kompleks daripada masalah ekonomi, lebih dari satu pasangan suami istri melaporkan beberapa jenis agresi fisik yang dilakukan dalam perkawinan, seperti memukul, menampar, melempar barang (Llyod, 1996). Laporan tersebut menjelaskan bahwa perilaku agresi yang dilakukan dapat mengakibatkan luka baik fisik maupun psikologis pada salah satu pasangan suami istri. Llyod (1996) menjelaskan agresivitas dalam perkawinan terjadi karena faktor kepribadian, latar belakang, dan keadaan demografi individu yang melakukan perilaku agresi tersebut. Selain itu, frustrasi yang dialami pasangan suami istri dapat menimbulkan perilaku agresivitas karena antara keinginan dan harapan tidak dapat terwujud sesuai dengan yang direncanakan
4
5
sehingga muncul perasaan kecewa atau perasaan tidak puas terhadap suatu hal (Sarwono, 2002). Penelitian Burton dkk (Sarwono, 2002) membuktikan bahwa kesenjangan antara harapan dan kenyataan itu sendiri tidak cukup dapat memicu perilaku agresi jika tidak dibarengi dengan adanya kendala terhadap pencapaian harapan itu. Fenomena-fenomena terjadinya agresivitas dalam perkawinan banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat seperti yang diungkapkan oleh pembawa acara stasiun TV swasta Trans dalam acara Kroscek yang disiarkan pada hari Kamis, tanggal 24 Maret 2005 pukul 15.30 WIB, kehidupan pasangan muda artis Five Vi Rahmawati dengan Iwan Setia Budi terlihat harmonis. Tetapi dapat diketahui bahwa suaminya melakukan perilaku agresivitas terhadap istrinya berupa pemukulan di wajah, sehingga istrinya melaporkan suami ke polisi dan berakhir dengan perceraian. Di depan masyarakat pasangan ini saling menjelek-jelekkan pasangannya. Contoh lain agresivitas yang muncul dalam kehidupan perkawinan yaitu pada keluarga Ardi – Renny. Orang luar melihat keluarga Ardi – Renny harmonis. Tetapi kenyataannya Ardi merasa tertekan karena tidak bekerja dan hanya merawat rumah dan dua anaknya, sebagai kepala keluarga Ardi merasa terhina dan tidak mempunyai harga diri karena tidak mampu memenuhi nafkah keluarga. Hal inilah yang memicu Ardi untuk melakukan perilaku agresi yang berupa sikap diam pada istrinya. Perilaku diam inilah yang menyebabkan pertengkaran pasangan suami istri tersebut. Menurut Satiadarma, perilaku tersebut dapat disebut
5
6
pasif agresi, yaitu melakukan tindakan penyerangan pada salah satu pasangannya tetapi secara pasif (Matra, Februari 2005). Agresivitas yang dilakukan oleh pasangan suami istri dapat menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga. Estey & Hunter (1971) menjelaskan bahwa tindakan kekerasan merupakan bentuk akhir dari agresivitas. Berdasarkan survey awal yang telah dilakukan oleh Sofi dan Erni (Kedaulatan Rakyat, 13 Februari 2005) bahwa kekerasan fisik yang sering dilakukan yaitu memukul (45,24%), menendang termasuk mendorong menekan (40,48%), menjambak dan menampar (33,33%). Bentuk kekerasan psikologis yang sering ditemukan yaitu menghina (76,19%), membandingkan dengan perempuan lain (66,67%), selingkuh (59,52%),
mengancam
akan
menceraikan/
meninggalkan
(54,79%),
menelantarkan istri (45,24%). Menurut penelitian nasional di Amerika yang dilakukan oleh Straus dkk (Taylor dkk, 1994), terdapat 16 persen dari seluruh pasangan yang menikah, setiap tahunnya melakukan kekerasan fisik terhadap pasangannya, mulai dari melempar sesuatu sampai menggunakan pisau atau senjata api. Agresivitas dalam rumah tangga dapat dilakukan oleh suami maupun istri. Pada kasus DP (Koeswara, 1981), seorang pria berusia 46 tahun yang telah menembak mati istri dan ketiga anaknya. Istri DP sering melontarkan makian dan melempari dengan makanan pada DP dihadapan anak-anaknya. Perilaku agresi tersebut dilakukan istrinya karena DP tidak bekerja. Sampai pada akhirnya DP dan istrinya terlibat pertengkaran, dan dengan histeris istrinya mengusir DP dihadapan anak-anaknya. Tidak tahan menghadapi sikap istrinya, DP lari ke
6
7
kamar mengambil pistol, dan menembakkannya secara membuta ke arah istri dan anaknya (Koeswara, 1981). Berdasarkan survey awal yang dilakukan oleh peneliti terhadap beberapa warga Minomartani dapat diketahui bahwa mereka pada umumnya melakukan agresivitas terhadap pasangannya. Kasus Ibu Ana (28, nama telah disamarkan). Ibu Ana merasa bahagia dengan perkawinannya tetapi Ibu Ana tidak senang dengan karakter suaminya yang temperamen. Menurut Ibu Ana jika keinginan suaminya tidak dipenuhi maka suaminya akan melakukan perilaku agresi seperti marah-marah dan berbicara dengan nada tinggi. Kasus pada pasangan suami istri Anto – Ima (nama telah disamarkan), keluarga ini menurut pandangan tetangga terlihat harmonis. Tetapi salah seorang anaknya menjelaskan bahwa akhir-akhir ini kedua orang tuanya sering bertengkar penyebabnya antara lain perbedaan pendapat, istrinya selalu ingin menang sendiri dan masalah mengurus anak. Pertengkaran itu menyebabkan kedua orang tuanya melakukan perilaku agresi seperti saling memaki untuk mempertahankan pendapatnya, ayahnya sering pergi tanpa pamit, dan juga orang tuanya sering bersikap acuh tak acuh. Berbeda dengan yang dialami Ibu Rini (34, nama telah disamarkan). Ibu Rini memang melakukan perilaku agresi seperti berteriak, membentak dan marah-marah terhadap suaminya. Tetapi itu dilakukan untuk bersikap tegas terhadap suaminya. Salah satu bentuk agresivitas yang terjadi dalam kehidupan perkawinan dapat berupa agresi verbal. Berdasarkan survey awal terhadap pasangan suami istri tersebut dapat diketahui bahwa walaupun mereka melakukan perilaku agresivitas tetapi mereka tetap berusaha mempertahankan perkawinannya. Selain
7
8
itu masih ada pasangan suami istri yang melakukan agresi fisik bahkan sampai melakukan kekerasan terhadap pasangannya. Secara garis besar beberapa ahli memandang bahwa faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya agresivitas ada dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Baron (Koeswara,1988) menyatakan ada dua faktor penyebab munculnya agresivitas yaitu faktor internal terdiri dari kepribadian, hubungan interpersonal dan kemampuan, sedangkan faktor eksternal terdiri dari frustrasi, provokasi dan model yang kurang baik. Berkowitz (1995) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi agresivitas, yaitu (1) konflik suami istri, (2) kondisi keluarga yang penuh tekanan, (3) pengangguran, (4) pendidikan, (5) penghasilan, (6) latar belakang etnis orangtua. Berkaitan dengan faktor-faktor yang dikemukakan oleh Berkowitz (1995), salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas dalam rumah tangga adalah konflik suami istri. Ketidakpuasan dalam perkawinan dapat menyebabkan konflik suami istri (Peck, 1991), konflik suami istri ini dapat mempengaruhi munculnya perilaku agresivitas (Berkowitz, 1995). Semakin pasangan suami istri merasa puas dengan perkawinannya maka perilaku agresivitas semakin rendah, namun jika salah satu pasangan atau kedua pasangan merasa tidak puas dengan perkawinannya maka perilaku agresivitas akan semakin tinggi. Kepuasan perkawinan merupakan kebahagiaan yang dialami kedua pasangan suami istri dalam perkawinannya (Powell, 1983). Kepuasan perkawinan dapat bersifat subjektif karena setiap individu mempunyai penilaian yang berbeda-beda (Penrod, 1983). Perkawinan sendiri merupakan suatu cara untuk
8
9
menyatukan ikatan lahir dan batin antara laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami istri (Walgito, 1984). Tujuan individu melaksanakan perkawinan yaitu untuk memiliki keturunan dan membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan sejahtera (Walgito, 1984). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Stevens – Long (Schell & Hall, 1982), menyatakan bahwa hampir setiap individu pernah menikah. Di Amerika lebih dari 90 % masyarakatnya saling berkomitmen untuk menjalin perkawinan. Kualitas perkawinan secara keseluruhan berhubungan dengan keadaan psikis pasangan suami istri sehingga dapat mewujudkan kepuasan dalam perkawinan. Pengalaman
dalam
kehidupan
menunjukkan
bahwa
membangun
perkawinan itu mudah, namun memelihara dan membina perkawinan hingga mencapai taraf kebahagiaan dan kesejahteraan yang selalu didambakan oleh setiap pasangan suami istri tidak mudah. Kesuksesan perkawinan tidak hanya ditandai oleh berapa lama hubungan tersebut terjalin dan intensitas perasaan yang dialami oleh kedua orang yang menjalin relasi perkawinan tetapi dari sejauh mana pasangan suami istri dapat merasakan kepuasan perkawinan dengan saling memenuhi kebutuhan fisik, emosional dan psikologis (www.unitedfool.com). Realitasnya, banyak penderitaan, kekecewaan dan keputusasaan yang dirasakan oleh pasangan suami istri akibat perkawinan. Dobos dkk (Astuti, 2003) mengatakan ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan masalah dalam perkawinan, yaitu konflik suami istri, masalah keuangan, mengurus anak, adanya perbedaan gaya hidup, hubungan dengan teman, perbedaan kepribadian, masalah dengan mertua, masalah keagamaan dan perbedaan pandangan politik serta
9
10
masalah seks. Astuti (2003) menjelaskan bahwa masalah dapat memburuk jika penyelesaiannya tidak memuaskan, kadang-kadang timbul rasa kesal, marah, frustrasi dan merasa tidak puas. Akibatnya, terjadi pertengkaran-pertengkaran yang sering diwarnai dengan munculnya perilaku agresivitas dalam rumah tangga dan bisa berakhir pada perceraian. Peck (1991) menjelaskan bahwa ketidakpuasan dalam perkawinan dapat disebabkan oleh kekejaman, ketidaksetiaan, sikap yang kasar, ketidakcocokan, nilai-nilai yang berbeda, dan kehidupan keluarga yang tidak memuaskan. Konflikkonflik yang terjadi dalam perkawinan menyebabkan timbulnya ketidakpuasan pasangan suami istri terhadap perkawinannya (Peck, 1991). Ketidakpuasan yang dialami pasangan suami istri dapat menimbulkan perasaan frustrasi sehingga menyebabkan salah satu pasangan suami istri akan melakukan perilaku agresivitas. Semakin tinggi kepuasan perkawinan yang dirasakan suami maupun istri maka akan semakin rendah perilaku agresivitas yang dilakukan oleh suami maupun istri. Begitu pula sebaliknya semakin rendah kepuasan perkawinan yang dirasakan pasangan suami istri maka akan semakin tinggi perilaku agresivitas yang dilakukan oleh suami maupun istri. Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa ada hubungan antara kepuasan perkawinan dengan agresivitas suami maupun istri, sehingga pertanyaan penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan antara kepuasan perkawinan dengan agresivitas suami maupun istri ?”.
10
11
Tinjauan Pustaka Agresivitas Agresivitas oleh para ahli sosial didefinisikan sebagai suatu niat untuk menyakiti diri sendiri, orang lain atau makhluk hidup. Agresivitas dilakukan oleh manusia tidak memandang jenis kelamin, umur, status sosial, ataupun suku bangsa. Agresivitas oleh masyarakat luas sering diidentikkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan pertengkaran, pertingkaian, perkelahian, pengerusakan dan penganiayaan. Buss (1978) secara singkat menjelaskan bahwa agresivitas adalah suatu respon yang merupakan stimulus berbahaya bagi makhluk lain. Selain itu, Berkowitz (1995) mendefinisikan agresivitas sebagai kecenderungan untuk menjadi agresif dalam berbagai situasi yang berbeda. Gurr (1970) menjelaskan bahwa agresivitas terjadi karena ketidakpuasan seseorang sehingga dapat memicu timbulnya tindakan kekerasan (www.aksara.or.id). Fakih (1996), menjelaskan bahwa kekerasan merupakan serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Berkowitz dkk (1986) mengelompokkan agresivitas ke dalam tiga aspek berdasarkan AAS (Aggressive Acts Survey), yaitu (1) agresi fisik merupakan perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang secara fisik, misal memukul, menendang; (2) agresi verbal merupakan perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang sebagai umpatan atau bahkan ancaman, misalnya memaki, mengancam; (3) agresi pasif merupakan perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang tidak secara fisik maupun verbal, misal menolak bicara, bungkam, tidak peduli.
11
12
Koeswara (1988) dan Sarwono (2002) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
agresivitas
yaitu
frustrasi,
pengaruh
kepribadian,
faktor
lingkungan, stress, dan jenis kelamin. Berkaitan dengan stres, dalam alat ukur yang dibuat oleh Lily (2003) menunjukkan bahwa sebagian besar stres ditimbulkan dari perkawinan. Stres dalam perkawinan dapat timbul karena adanya ketidakpuasan dalam perkawinan (Penrod, 1983). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepuasan perkawinan merupakan faktor yang mempengaruhi agresivitas. Kepuasan Perkawinan Rhyne (Penrod, 1983) mengemukakan bahwa kepuasan perkawinan antara laki-laki dan perempuan itu berbeda, semua itu tergantung dari bagaimana pasangan suami istri dapat merasakan kebahagiaan dalam perkawinannya. Bahr dkk (1983) mendefinisikan bahwa kepuasan perkawinan merupakan terpenuhinya kebutuhan harapan dan keinginan suami istri dalam perkawinan. Kepuasan perkawinan berisi evaluasi subjektif tentang kualitas perkawinan secara keseluruhan. Kepuasan tidak dapat dipisahkan dengan pemenuhan kebutuhan yang diharapkan untuk seorang individu. Roach dkk (1981) memandang kepuasan perkawinan sebagai persepsi suami atau istri yang dilihat dari sikap positif atau negatif terhadap kehidupan perkawinannya dalam jangka waktu tertentu. Apabila suami atau istri mempunyai persepsi yang tidak menyenangkan maka akan timbul sikap negatif yang menunjukkan ketidakpuasan pada kehidupan perkawinannya, sedangkan dari sikap positif dapat diasumsikan bahwa suami atau istri merasa puas dengan perkawinannya. Menurut Roach dkk (Siswanti, 2000) mengacu pada MSS (Marital Satisfaction Scale) mengemukakan beberapa aspek untuk mencapai
12
13
kepuasan perkawinan yaiu keterbukaan, kepercayaan, kebersamaan, toleransi, pengertian, perasaan cinta dan afeksi, harapan terhadap perkawinan, kesadaran terhadap peranan perkawinan, dan komunikasi interpersonal. Hipotesis Hipotesis pertama menunjukkan ada hubungan yang negatif antara kepuasan perkawinan dengan agresivitas pada suami. Hipotesis kedua menunjukkan ada hubungan yang negatif antara kepuasan perkawinan dengan agresivitas pada istri. Dimana semakin tinggi kepuasan perkawinan maka semakin rendah agresivitas, sebaliknya semakin rendah kepuasan perkawinan maka semakin tinggi agresivitas. Metode Penelitian Identifikasi Variabel-variabel Penelitian 1. Variabel Tergantung : Agresivitas 2. Variabel Bebas
: Kepuasan Perkawinan
Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Agresivitas Agresivitas merupakan kecenderungan untuk menjadi agresif baik secara fisik, verbal, maupun pasif, dimana perilaku tersebut dilakukan untuk menyakiti diri sendiri atau orang lain. Teori agresivitas yang digunakan mengacu pada teori Berkowitz dkk (1986) berdasarkan AAS (Aggressive Acts Survey) yang terdiri dari agresi fisik, agresi verbal, dan agresi pasif.
13
14
2. Kepuasan Perkawinan Kepuasan perkawinan meruapakan evaluasi suami istri yang bersifat subjektif mengenai segala hal yang berhubungan dengan kualitas kehidupan perkawinan. Teori kepuasan perkawinan yang digunakan mengacu pada teori Roach dkk (1981) yang di modifikasi peneliti dari Siswanti (2000) berdasarkan MSS (Marital Satisfaction Scale) terdiri dari keterbukaan, kepercayaan, kebersamaan, toleransi, pengertian, pernyataan cinta dan afeksi, harapan terhadap perkawinan,
kesadaran
terhadap
peranan
perkawinan,
dan
komunikasi
interpersonal. Subjek Penelitian Subjek yang digunakan dalam penelitian yaitu pasangan suami istri yang tinggal di Minomartani yang merupakan wilayah Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode angket melalui pernyataan diri lewat skala untuk mengukur kepuasan perkawinan dan agresivitas yang dilakukan oleh pasangan suami istri. Sebelum digunakan dalam penelitian yang sesungguhnya, alat ukur berupa skala tersebut diujicobakan terlebih dahulu. Data hasil uji coba, kemudian dianalisis secara statistik setelah itu barulah alat ukur tersebut dapat dipakai dalam penelitian. Skala Agresivitas Skala agresivitas ini dimaksudkan untuk mengungkapkan tinggi rendahnya agresivitas yang dilakukan oleh pasangan suami istri. Skala agresivitas disusun
14
15
oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek agresivitas yang dikemukakan oleh Berkowitz dkk (1986) menurut AAS (Aggressive Acts Survey) yang terdiri dari (1) agresi fisik, (2) agresi verbal, (3) agresi pasif. Skala agresivitas terdiri dari 30 aitem. Hasil analisis menunjukkan aitem yang sahih sebanyak 24 aitem, dengan korelasi bergerak antara 0,351 sampai dengan 0,716 dan diperoleh koefisien Alpha sebesar 0,908. Skala Kepuasan Perkawinan Skala kepuasan perkawinan ini dimaksudkan untuk mengungkapkan tinggi rendahnya kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh pasangan suami istri. Skala kepuasan perkawinan di modifikasi penulis dari Siswanti (2000) berdasarkan aspek-aspek kepuasan perkawinan yang dikemukakan oleh Roach dkk (1981) yang mengacu pada MSS (Marital Satisfaction Scale) terdiri dari : (1) keterbukaan, (2) kepercayaan, (3) kebersamaan, (4) toleransi, (5) pengertian, (6) pernyataan cinta dan afeksi, (7) harapan terhadap perkawinan (8) kesadaran terhadap peranan perkawinan, (9) komunikasi interpersonal. Skala kepuasan perkawinan terdiri dari 90 aitem. Hasil analisis menunjukkan aitem yang sahih sebanyak 69 aitem, dengan koefisien aitem korelasi antara 0,308 sampai dengan 0,912, dan diperoleh koefisien Alpha sebesar 0,985.
15
16
Hasil Penelitian Tabel 1 Deskripsi Data Penelitian Pasangan Suami Istri Variabel Agresivitas Kepuasan perkawinan
Min 24 69
Hipotetik Maks µ 96 60
? 12
Min 24
276
34,5
148
172,5
Empirik Maks µ 73 49,8889 272
215,9815
? 11,47963 31,16941
Catatan : µ = rerata ; s = setiap satuan standar deviasi Tabel 2 Kategorisasi Variabel Agresivitas Pasangan Suami Istri Kategori Suami Istri Nilai Jumlah % Jumlah %
Suami Istri Jumlah %
Sangat Tinggi
X > 81,6
0
0
0
0
0
0
Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah
67,2 < X =81,6 52,8 < X =67,2 38,4 = X =52,8 X < 38,4
2 27 13 12
3,70 50 24,07 22,22
3 28 14 9
5,56 51,85 25,93 16,67
5 55 27 21
4,63 50,93 25 19,44
Tabel 3 Kategorisasi Variabel Kepuasan Perkawinan Pasangan Suami Istri Kategori Suami Istri Nilai Jumlah % Jumlah %
Suami Istri Jumlah %
Sangat Tinggi
X > 234,6
18
33,33 15
27,78
33
30,56
Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah
193,2 < X =234,6 151,8 < X =193,2 110,4 = X =151,8 X < 110,4
29 7 0 0
53,70 22 12,96 16 0 1 0 0
40,74 29,63 1,85 0
51 23 1 0
47,22 21,3 0,93 0
Pembahasan Berdasarkan hasil analisis pada suami dan istri dapat diketahui bahwa ada hubungan negatif antara kepuasan perkawinan dengan agresivitas baik pada suami maupun pada istri. Hasil penelitian menunjukkan hubungan antara kepuasan perkawinan dengan agresivitas pada istri lebih tinggi daripada suami. Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepuasan
16
17
perkawinan dengan masing-masing aspek agresivitas pada suami, dimana tidak ada hubungan antara kepuasan perkawinan dengan agresi fisik pada suami, selain itu ada hubungan antara kepuasan perkawinan dengan agresi verbal dan agresi pasif pada suami. Begitu juga pada istri ada hubungan antara kepuasan perkawinan dengan agresi fisik, agresi verbal dan agresi pasif. Ini menunjukkan bahwa istri lebih sering melakukan perilaku agresivitas dibandingkan suami. Sawrie dkk (Sarwono, 2002) menjelaskan bahwa dengan adanya perubahan budaya (seperti gerakan feminimisme) maka terjadi pergeseran peran jenis kelamin di mana agresivitas yang dilakukan wanita akan meningkat. Menurut Koeswara (1988), fakta dan data menunjukkan bahwa wanita tidak selalu menjadi korban yang pasif dalam menghadapi tindakan-tindakan agresif yang dilakukan oleh pria. Adler mencatat bahwa tindakan agresi yang dilakukan oleh wanita mengalami peningkatan hingga mendekati pola-pola kriminal agresif yang dilakukan oleh pria, tingkat agresivitas yang dilakukan oleh wanita meningkat cukup tajam, yakni 18,5% (Koeswara, 1988). Penelitian Wolfgang (Koeswara, 1988) menjelaskan bahwa sebagian besar agresivitas pada wanita timbul karena provokasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa dibandingkan dengan agresi pria, agresi wanita lebih bersifat untuk membela diri. Sesuai hasil penelitian, perilaku agresivitas yang dilakukan istri lebih mengarah untuk membela diri dan mempertahankan pendapat karena istri merasa memiliki hak yang sama dengan suami. Hasil analisis tambahan menunjukkan bahwa kepuasan perkawinan tidak mempengaruhi
agresi
fisik
pada
suami,
17
tetapi
kepuasan
perkawinan
18
mempengaruhi agresi fisik pada istri. Survey awal menunjukkan bahwa suami tidak melakukan perilaku agresi fisik karena suami merasa memiliki tanggung jawab terhadap keluarga maka suami harus bersikap lebih bijaksana dan melindungi. Sedangkan istri cenderung lebih emosional dan peka dalam menghadapi masalah. Di samping itu istri merasa memiliki beban yang lebih berat dalam melakukan fungsinya dalam keluarga, misalnya istri sebagai partner seks, pengatur rumah tangga, ibu dan pendidik serta sebagai mahluk sosial yang ingin berpartisipasi aktif dalam lingkungan sosial (Astuti, 2003). Penelitian Lloyd (1996) menjelaskan bahwa istri lebih sering melakukan agresi fisik daripada suami, ini disebabkan karena kurangnya interaksi dalam perkawinan yang menyebabkan istri mengalami stres. Semakin istri merasa stres maka agresi fisik yang dilakukan istri semakin tinggi. Tetapi jika tingkat stres rendah, maka agresi fisik yang dilakukan oleh istri akan semakin rendah. Masih berdasarkan analisis tambahan dapat diketahui bahwa kepuasan perkawinan mempengaruhi agresi verbal yang dilakukan suami maupun istri. Stets (Gavazzi dkk, 2000) menjelaskan bahwa pasangan suami istri sering melakukan agresi verbal, ini dilakukan untuk mempertahankan pendapat mereka masing-masing. Llyod (1996) menjelaskan rendahnya komunikasi yang dilakukan pasangan suami istri dapat meningkatkan agresi verbal yang dilakukan oleh pasangan suami istri. Selain itu kepuasan perkawinan juga mempengaruhi agresi pasif pasangan suami maupun istri, menurut Satiadarma (Matra, Februari 2005) bahwa agresi pasif yang dilakukan pasangan suami istri terjadi karena salah satu pasangan lebih mengutamakan kegiatan di luar rumah seperti istri sibuk bekerja, sedangkan suami tidak bekerja.
18
19
Keadaan seperti itu dapat menimbulkan konflik dalam perkawinan sehingga dapat mempengaruhi munculnya perilaku agresivitas. Survey awal menunjukkan bahwa suami melakukan perilaku agresivitas hanya untuk bertindak tegas terhadap pasangannya, sedangkan istri cenderung lebih merupakan reaksi emosional negatif yang berupa kemarahan, kecemasan, cepat tersinggung atau ketakutan yang dapat menimbulkan tekanan sehingga mempengaruhi istri untuk melakukan perilaku agresivitas. Berdasarkan analisis tambahan dapat diketahui ada perbedaan kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh suami maupun istri, dimana suami merasa lebih puas terhadap perkawinannya dibandingkan istri. Perbedaan kepuasan perkawinan antara suami maupun istri terlihat pada faktor toleransi, faktor harapan terhadap perkawinan, dan faktor kesadaran terhadap peranan perkawinan. Penelitian Rollins dan Galligan (Barh dkk, 1983) menjelaskan bahwa suami merasa lebih puas terhadap perkawinannya karena suami merasa yang berkuasa dalam keluarga dan membuat peraturan yang harus dipatuhi oleh semua anggota keluarga, sedangkan istri harus mematuhi dan mengerjakan semua urusan dalam rumah tangga. Douvan (Davidoff & Juniati, 1991) melaporkan bahwa istri cenderung mengalami ketidakpuasan dalam perkawinan dibandingkan suami. Hal ini karena istri sering mengalami ketegangan peranan, di mana istri harus bertanggung jawab mengurusi pekerjaan rumah tangga. Sedangkan suami merasa hanya bertanggung jawab menafkahi keluarga tanpa memperdulikan urusan dalam rumah tangga. Selain itu seseorang merasa puas dengan perkawinan dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya. Winahyu (2001) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan
19
20
dapat berpengaruh terhadap kemampuan individu dalam memenuhi kebutuhan, keinginan dan aspirasinya yang akan memberi sumbangan dalam memperoleh kehidupan perkawinan yang lebih memuaskan. Secara keseluruhan, sumbangan yang diberikan dari variabel kepuasan perkawinan untuk variabel agresivitas pada suami adalah sebesar 15,3%. Dengan demikian berarti sisanya 84,7% disebabkan oleh faktor lain yang bisa mempengaruhi agresivitas pada suami. Sedangkan sumbangan yang diberikan dari variabel kepuasan perkawinan untuk variabel agresivitas pada istri adalah sebesar 56%. Dengan demikian berarti sisanya 44% disebabkan oleh faktor lain yang bisa mempengaruhi agresivitas pada istri. Sumbangan yang diberikan kepuasan perkawinan terhadap agresivitas pada suami maupun istri termasuk cukup dengan kata lain menunjukkan bahwa kepuasan perkawinan juga mempengaruhi agresivitas, namun pengaruh di luar itu juga banyak. Faktor lain yang memberikan sumbangan bagi agresivitas pada suami sebesar 15,3%, sedangkan pada istri sebesar 56%, faktor lain ini bisa berasal dari dalam maupun dari luar diri subjek itu sendiri, seperti : frustrasi, stres, harga diri, konflik dalam perkawinan, rendahnya interaksi dalam perkawinan, dan lain sebagainya. Kepuasan perkawinan mempengaruhi agresivitas suami istri ini juga diperkuat oleh hasil analisis tambahan yang menunjukkan aspek-aspek kepuasan perkawinan yang paling kuat mempengaruhi munculnya agresivitas adalah kepercayaan dan komunikasi interpersonal. Aspek kepercayaan ditunjukkan dengan sumbangan efektif sebesar 33,2%, karena dengan adanya sikap saling percaya antara suami istri maka agresivitas yang akan dilakukan semakin rendah.
20
21
Kepercayaan antara suami istri ini akan mempengaruhi munculnya komunikasi interpersonal. Besarnya sumbangan efektif dari aspek komunikasi interpersonal yaitu 3,3%. Suami istri dapat menjalin komunikasi interpersonal dengan baik jika dalam perkawinan itu ada sikap saling percaya antara suami dengan istri. Sikap saling percaya antara suami dengan istri inilah yang dapat mewujudkan sebuah perkawinan yang harmonis dan bahagia (Peck, 1991). Penelitian ini masih banyak kelemahan karena peneliti tidak melihat faktor lain yang menyebabkan agresivitas yang dilakukan istri lebih tinggi daripada suami. Pada proses pemberian angket yang ditinggal juga menjadi titik kelemahan penelitian karena peneliti tidak dapat melakukan observasi langsung saat subjek mengisi angket. Kesimpulan Hasil penelitian dan analisis data menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara kepuasan perkawinan dengan agresivitas suami maupun istri. Saran Berdasarkan hasil penelitian ada beberapa saran yang dikemukakan oleh peneliti. Beberapa saran tersebut antara lain : 1. Bagi Subjek penelitian Berdasarkan data penelitian, subjek penelitian memiliki kepuasan perkawinan yang tinggi. Kepuasan perkawinan yang dirasakan subjek penelitian dapat dipertahankan dan ditingkatkan lagi agar tingkat agresivitas dapat menjadi lebih rendah. Hal ini dilakukan dengan mengontrol dirinya sendiri sehingga
21
22
subjek dapat berpikir lebih positif dan terhindar dari pikiran negatif yang dapat menjadikan individu terdorong untuk melakukan tindakan agresivitas. Selain itu bagi pasangan suami isteri sedapat mungkin bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi secara bersama-sama sehingga akan membantu untuk mencapai pemenuhan kebutuhan yang diinginkan dalam kehidupan perkawinan. 2. Bagi Konselor Pernikahan atau Lembaga-lembaga Perkawinan Diharapkan lebih memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya agresivitas sehingga dapat terhindar dari kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu dalam memberikan penyuluhan maupun memberikan nasihat profesionalnya perlu juga disertakan pengertian tentang pentingnya keharmonisan dalam keluarga, dan mengajarkan berbagai usaha untuk mengatasi masalah dalam kehidupan perkawinan agar tidak melakukan tindakan agresivitas sebagai penyelesaiaannya. 3. Saran Bagi Penelitian Selanjutnya Peneliti menyarankan agar dilakukan penelitian secara kualitatif untuk menghindari faking good. Selain itu peneliti juga menyarankan untuk melakukan pendekatan dengan subjek penelitian agar didapatkan jawaban yang sesuai dengan keadaan dirinya. Penelitian ini masih banyak kekurangannya maka peneliti menyarankan kepada peneliti selanjutnya yang ingin meneliti tentang hubungan kepuasan perkawinan dengan agresivitas pada suami maupun istri dapat menyertakan frustrasi, stres, dan konflik suami istri sebagai variabel moderator. Maka dapat menghasilkan hasil penelitian yang lebih akurat dan baik.
22
23
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, C. D. P. 2003. Hubungan Kualitas Komunikasi dan Toleransi Stres dalam Perkawinan. Suksma. Vol. 2 no. 1, November 2003, hal. 52 – 60. Bahr, S. J., Chappell, C. B., Leigh, G. K. 1983. Age at Marriage, Role Enactment, Role Consensus and Marital Satisfaction. Journal of Marriage and The Family, 45, p. 795 – 803. Berkowitz, M. W., Mueller, C. W., Schnell, S. V., Padberg, M. T. 1986. Moral Reasoning and Judgments of Aggression. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 51, No. 4, 885 – 891. Berkowitz, L. 1995. Agresi : Sebab dan Akibatnya. (Terjemahan Hartati Woro Susianti). Jakarta : PT Pustaka Binaan Pressindo. Buss, A. H. 1978. Psychology Behavior in Perspective. Second Edition. New York: John Willey and Sons, Inc. Cahn, D. D. & Lloyd, S. A. 1996. Physical Aggression, Distress, and Everyday Marital Interaction. Family Violence From A Communication Perspective. London : Sage Publication. Chandra, B. 2005. Lantaran Istri Lebih Hebat. Matra. No. 223. Februari 2005, 28-30. Estey, G.F. & Hunter, D.A. 1971. Violence A Reader in The Ethics of Action. Toronto : Xerox College Publishing.
Fakih, M. 1996. Analisis Gender Dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gavazzi, S. M., McKenry, P. C., Jacobson, J. A., Julian, T. W., Lohman, B. 2000. Modeling the Effects of Expressed Emotion, Psychiatric Symptomology, and Marital Quality Levels on Male and female Verbal Aggression. Journal of Marriage and The Family 62. Agustus 2000: 669-682. Gurr, T. D. 1970. Mengapa Orang Berontak. www.aksara.or.id / buku_detail. asp?item_id=202. Selasa, 7 Juni 2005. Kastari, J. 2005. Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Umumnya Akibat Ketidakpuasan Seksual. Kedaulatan Rakyat. Minggu, 13 Februari 2005, hal.8.
23
24
Koeswara, E. 1988. Agresi Manusia. Bandung : PT Eresco. Kompas. 2004. Faktor Praperkawinan yang Berpengaruh pada Sukses Perkawinan.www.unitedfool.com/violet/arsip/2004/04/000563.shtml.htm. Senin, 28 Februari 2005. Lily. 2004. Hubungan Antara Dukungan Suami Dengan Self Efficacy Dengan Tingkat Stres Pada Wanita Yang Berperan Ganda. www.Psikologiuntar.com / admin/ tampil.php?id=48. Selasa, 7 Juni 2005. Penrod, S. 1983. Social Psychology. Second Edition. New Jersey: Prentice Hall. Roach, A. J. & Frazier, L. P. 1981. The Marital satisfaction Scale: Development of a Measure for Intervention Research. Journal or Marriage and The Family. Vol. 43, 537 – 545. Sarwono, S. W. 2002. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Schell, R. E. & Hall, E. 1982. Developmental Psychology Today Fourth Edition. London : Random House. Taylor, S. E., Peplau, L. A. & Sears, D. O. 1994. Social Psychology 8th Edition. New Jersey: Prentice Hall. Winahyu, D. K. 2001. Hubungan Antara Kecenderungan Menggunakan Problem Focused Coping Dengan Tingkat Kepuasan Perkawinan Pada Ibu Rumah Tangga. Naskah Publikasi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.
24