NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS SUAMI DENGAN INTENSI MELAKUKAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Oleh: TRI WAHYUNI SITUMORANG Hj. RATNA SYIFA’A R
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2008
1
HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS SUAMI DENGAN INTENSI MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ISTRI
Tri wahyuni Situmorang Hj. Ratna Syifa'a R
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan negatif antara religiusitas suami dengan intensi melakukan kekerasan terhadap istri. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan negatif antara religiusitas suami dengan intensi melakukan kekerasan terhadap istri. Semakin tinggi tingkat religiusitas suami maka semakin rendah intensi melakukan kekerasan terhadap istri dan semakin rendah religiusitas suami maka semakin tinggi intensi melakukan kekerasan terhadap istri. Subyek dalam penelitian ini adalah laki-laki yang berusia 24 tahun sampai 55 tahun, sudah menikah minimal satu tahun, beragama Islam dan bertempat tinggal di daerah Sleman. Adapun skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala yang disusun sendiri oleh peneliti, untuk skala intensi melakukan kekerasan terhadap istri disusun dengan mangacu pada teori intensi yang dikemukakan oleh Ancok (Hudaniah, 2003) dan bentuk-bentuk kekerasan yang di sebutkan oleh Hasbianto (Meiyenti, 2003). Skala religiusitas di susun dengan mengacu pada aspek-aspek religiusitas yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (Ancok & Suroso, 1994). Metode analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis menggunakan uji korelasi product moment dari Pearson. Hasil analisis menunjukkan besarnya koefisien korelasi sebesar r = -0,626 dengan p = 0,000 (p<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa ada korelasi negatif yang sangat signifikan antara religiusitas suami dengan intensi melakukan kekerasan terhadap istri, sehingga hipotesis yang diajukan diterima. Sedangkan sumbangan efektif yang diberikan variabel religiusitas terhadap variabel intensi melakukan kekerasan terhadap istri sebesar 39.1% yang berarti masih ada 60,1% faktor lain yang mempengaruhi intensi kekerasan terhadap istri, yaitu faktor budaya masyarakat, relasi dalam keluarga, faktor individual, kepribadian, komunikasi satu arah, dan frustasi-frustasi suami di luar rumah. Kata kunci : Religiusitas, intensi, kekerasan terhadap istri.
2
PENGANTAR
Perkawinan menurut undang-undang perkawinan pasal 1 Nomor 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai pasangan suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. http://www.lbh-apik.or.id/uu-perk.htm.20/11/2007 Menikah dan memiliki keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (perasaan tenang, cinta dan kasih sayang) merupakan impian bagi semua orang yang memutuskan untuk menikah. Keluarga bahagia dan sejahtera lahir dan batin, duniawi dan ukhrawi (keluarga sakinah) merupakan tujuan setiap muslim, karena keluarga merupakan fondasi yang kokoh bagi terbangunnya kehidupan masyarakat yang baik. Dalam hal ini keluarga sakinah mensyaratkan terpenuhinya kebutuhan keluarga secara maksimal, baik demensi fisik dengan nafkah yang memadai, halal dan berkah, juga termasuk dimensi psikis dengan perasaan yang nyaman, tenang, semangat, dan berdimensi intelektual (Bambang, 2007) Ketenangan dan ketentraman kehidupan berumah tangga yang seharusnya dirasakan oleh setiap pasangan suami istri seringkali tidak terwujud dikarenakan oleh adanya kekerasan. Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dapat dilakukan dan menimpa siapa saja, baik istri, suami, anak ataupun anggota keluarga lainnya, namun yang menjadi korban dari banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yaitu kaum perempuan (istri). Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga semakin hari semakin banyak terjadi di kalangan masyarakat, baik yang ter-ekspose melalui berbagai media
3
informasi maupun yang tidak ter-ekspose sama skali. Salah satu contoh gambaran dari banyaknya peristiwa kekerasan dalam rumah tangga yang di alami oleh perempuan (istri) yaitu pada perempuan paruh baya, yang mengeluhkan kelakuan suaminya. Suaminya merasa bahwa istri, tidak perlu terlibat dalam urusan rumah tangga, tidak mau melibatkan istri dalam pengambilan keputusan. Selain itu, suaminya juga pemarah dan suka main tangan, membuat perempuan tersebut patah arang menjalani kehidupan rumah tangganya. Usaha berkonsultasi dengan lembaga perlindungan perempuan sudah dilakukan. Kemudian perempuan tersebut melakukan berbagai upaya dan melakukan beberapa perubahan yang sekiranya dapat memperbaiki rumah tangganya. Namun, kondisinya tidak jauh berbeda ketika suami tetap pada pola lamanya”. Kisah perempuan tersebut hanyalah satu dari sekian banyak kasus kekerasan pada perempuan yang di tangani oleh Rifka Annisa Women’s Crisis Center Yogyakarta. (Kompas, 2007) Sampai dengan tahun 2006, jumlah klien yang didampingi Rifka Annisa Women’s Crisis Center Yogyakarta telah mencapai 3.402 kasus, dimana jumlah kasus kekerasan yang paling tinggi terjadi pada istri yaitu mencapai 2.183 kasus (Rifka Annisa WCC, 2006). Data kekerasan terhadap istri yang tercatat pada Rifka Annisa WCC tahun 1994 sebanyak 10 kasus, kemudian di tahun 1995 meningkat menjadi 55 kasus, dan di tahun 1996 sebanyak 64 kasus, tahun 1997 sebanyak 116 kasus, tahun 1998 sebanyak 125 kasus, dan di tahun 1999 meningkat menjadi 225 kasus, jumlah kasus kekerasan terhadap istri di tahun 2000 sama dengan di tahun sebelumnya yaitu 225 kasus, kemudian di tahun 2001 meningkat menjadi 234 kasus, tahun 2002
4
sebanyak 247 kasus, kemudian di tahun 2003 menurun menjadi 210 kasus, di tahun 2004 meningkat lagi menjadi 238 kasus, di tahun 2005 ada 226 kasus, dan di tahun 2006 ada sebanyak 208 kasus. Hal serupa juga terjadi di Jakarta, dimana pada tahun 2007 kasus KDRT yang ditangani oleh Mitra Perempuan mencapai 87,32 persen dari 284 kasus. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2006 sebesar 85,42 persen dari 336 kasus (Kompas, 2007) Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan bahkan pernah mengatakan, 11,4 persen dari 217 juta penduduk Indonesia, atau sekitar 24 juta perempuan, terutama di pedesaan, mengaku pernah mengalami kekerasan, dan terbesar adalah domestic violence
(kekerasan
dalam
rumah
tangga).
http://www.mail-
archive.com/
[email protected]/msg01139.html.02/09/2007. Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada umumnya dilakukan oleh orang terdekat/pasangan mereka sendiri yaitu suami. Suami dinyatakan sebagai pelaku utama dari terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Hal tersebut sesuai dengan hasil survei yang dilakukan oleh Komnas Perempuan pada tahun 2001 pada 14 daerah di Indonesia antara lain yaitu: Aceh, Palembang, Jambi, Bengkulu, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Maluku, Sulawesi Utara, Selawesi Selatan dan NTT, menunjukkan bahwa kaum perempuan paling banyak mengalami kekerasan dan penganiayaan oleh orang-orang terdekatnya serta tindak perkosaan di lingkungan komunitasnya sendiri (Wahab, 2006) Demikian juga hasil dari sebuah penelitian yang dilakukan Badan Kesehatan
5
Dunia (WHO) yang bekerja sama dengan Sekolah Kesehatan dan Kedokteran Tropis London, dan PATH-suatu organisasi kesehatan dunia yang mewawancarai 24.000 perempuan di 15 lokasi di sepuluh negara yang dianggap mewakili, yaitu Banglades, Brazil, Etiopia, Jepang, Namibia, Peru, Samoa, Serbia dan Montenegro, Republik Tanzania dan Thailand. Mereka menemukan bahwa seperempat sampai separuh dari para wanita tersebut telah menjadi korban kekerasan secara fisik oleh pasangan mereka.
http://www.mail-
archive.com/
[email protected]/msg01139.html.02/09/2007. Kekerasan dalam rumah tangga menurut UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 1 ayat 1 No.23 tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.http://www.lbhapik.or.id/fact-58.htm.20/11/2007 Kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya menurut Hasbianto (Meiyenti, 1999) dapat di bedakan menjadi empat jenis, antara lain yaitu: kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan ekonomi, dan juga kekerasan emosional/psikologis. Kekerasan seksual yang dilakukan dapat berupa pemaksaan melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri dan tidak memperhatikan
kepuasan
istri.
Kekerasan
fisik
dilakukan
dengan
memukul/menampar, meludahi, menjambak, menendang, menyulut dengan rokok
6
dan juga memukul/melukai dengan barang/senjata. Kekerasan ekonomi yang dilakukan yaitu dengan tidak memberikan uang belanja dan memakai/ menghabiskan uang istri. Dan yang terakhir yaitu kekerasan emosional/psikologis diwujudkan dengan cara mencela, menghina, mengancam/menakut-nakuti sebagai sarana memaksa kehendak dan juga mengisolasi istri dari dunia luar. Menurut Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No 23.tahun 2004 (pasal 5), bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, ekonomi dan penelantaran rumah tangga merupakan tindakan yang sangat bertentangan dengan hukum, karena menurut hukum yang berlaku adalah persetujuan atau perjanjian suami wajib memberikan
kehidupan
perawatan
atau
pemeliharaan
kepada
sang
istri.
http://www.lbh-apik.or.id/fact-58.htm.20/11/2007. Kekerasan yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya dapat mengakibatkan berbagai hal/dampak yang negatif. Hayati (Hasanah dkk, 2006) menjelaskan bahwa kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam kehidupan rumah tangganya berdampak negatif bagi kesehatan perempuan. Diantaranya dampak fisik menyebabkan perempuan mengalami patah tulang, kelainan syaraf, memar, kulit yang tersayat, dan sebagainya. Secara psikologis, kekerasan menyebabkan gangguan emosi seperti kecemasan, depresi dan perasaan rendah diri. Keguguran juga merupakan problem yang dialami perempuan karena stress psikologis maupun ada insiden fisik akibat kekerasan terhadap istri. Kekerasan terhadap istri juga menyebabkan korban menderita penyakit kronis, hingga menyebabkan kematian
7
secara perlahan-lahan. Bailey (Hakimi dkk, 2001). mengungkapkan bahwa di seluruh dunia diperkirakan 40% hingga 70% lebih pembunuhan terhadap perempuan dilakukan oleh pasangan intimnya, dalam konteks relasi yang penuh dengan kekerasan. Heise (Hakimi dkk, 2001) menjelaskan bahwa dampak psikologis masalah kekerasan merupakan persoalan yang serius dibanding dampak fisik. Pengalaman kekerasan mengikis harga diri dan menempatkan perempuan pada resiko yang lebih besar untuk menglami berbagai macam masalah kesehatan mental, termasuk depresi, stres pasca trauma, bunuh diri, sampai dengan penyalahgunaan alkohol dan obatobatan. Perempuan yang dianiaya oleh pasangannya menderita lebih banyak depresi, kecemasan dan juga fobia di banding dengan perempuan yang tidak pernah dianiaya. Kekerasan yang terjadi terhadap istri selain memberikan dampak yang negatif pada korbannya itu sendiri (istri), ternyata juga memberikan dampak yang negatif pada anak-anak mereka. Di jelaskan oleh Hayati (2002) bahwa kekerasan terhadap istri juga menimbulkan dampak negatif yang serius bagi anak-anak. Marianne James (Wahab, 2006), Senior Research pada Australian Institute of Criminology menegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) memiliki dampak yang sangat berarti terhadap perilaku anak, baik berkenaan dengan kemampuan kognitif, kemampuan pemecahan masalah, maupun fungsi mengatasi masalah dan emosi. Terdapat banyak sekali hal-hal yang diduga melandasi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, antara lain yaitu adanya budaya patraiarki yang kuat dalam masarakat, ketidakmandirian istri, tingkat pendidikan, ketidakpuasan perkawinan dan
8
sebagainya. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Puspitaningtyas (2004), ada beberapa hal yang melandasi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yaitu: faktor kepribadian suami dan istri yang saling mendukung terjadinya KDRT, bentuk komunikasi yang buruk yaitu satu arah, menempatkan budaya patriarki dan nilai tradisional dalam taraf yang tidak wajar, serta adanya frustasi-frustasi yang dialami oleh suami diluar rumah. Kepribadian yang dimiliki oleh para suami pelaku kekerasan terhadap istri antara lain yaitu keinginan yang kuat untuk mengontrol orang lain khususnya disini yaitu istri, menginginkan semua keinginannya terpenuhi, susah mengendalikan kontrol emosinya, serta mempunyai sifat cemburu yang berlebihan. Sedangkan istri yang menjadi korban cenderung memiliki kepribadian yang tidak asertif, yaitu cenderung untuk memendam masalah dan memilih untuk tidak mengungkapkan apa yang sedang dirasakannya. Kepribadian yang dimiliki oleh para suami pelaku kekerasan terhadap istri ini tidak lepas dari adanya peran budaya patriarkis yang berlebihan, dimana budaya patriarki memiliki asumsi bahwa peran laki-laki dalam keluarga adalah untuk selalu dapat berkuasa terhadap istri, mengontrol serta mewajibkan istri untuk selalu tunduk pada suami tanpa perlawanan. Dan frustasifrustasi yang dialami suami di luar rumah
yaitu menyangkut dengan urusan
pekerjaan, kondisi ekonomi yang melemah/rendahnya upah yang diterima. Selain itu, minimnya pengetahuan dan pemahaman serta tidak memahaminya secara untuh konsep agama tentang relasi laki-laki dan perempuan berdasarkan teks agama serta nilai yang dikandungnya juga diduga menjadi salah satu penyebab
9
semakin tingginya tingkat terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (Bambang, 2007). Hal tersebut diatas selaras dengan pendapat Drs. H. Mawardi A.S selaku Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lampung, yang menyatakan bahwa maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh lemahnya pemahaman terhadap agama. http://www.radarlampung.co.id.02/09/2007 Pendapat diatas juga didukung dengan hasil survei yang dilakukan oleh Rifka Annisa Women’s Crisis Center Yogyakarta (1998) yang menyatakan bahwa adanya pemahaman nilai-nilai agama dan budaya yang keliru, bahwa istri adalah merupakan “hak milik” suami yang boleh diperlakukan sesuka hati. Selain itu hasil penelitian yang dilakukan Ellison dkk (2007) menyatakan bahwa keterlibatan keagamaan, khususnya dalam hal ini kehadiran di gereja melindungi seseorang dari kekerasan dalam rumah tangga, pada laki-laki dan perempuan Afrika Amerika dan juga laki-laki Latin. Selain itu keterlibatan keagamaan memperkuat hubungan dalam keluarga dan bukan hanya meminimalisir resiko akan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga tetapi juga bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Munculnya kekerasan yang di akibatkan oleh kurangnya seseorang dalam memahami Agama juga di jelaskan oleh Takariawan (2004) yang menyatakan bahwa kekerasan terhadap wanita dalam keluarga muslim dapat terjadi sebagai akibat dari tidak dipahaminya hukum-hukum kekeluargaan atau dipahami dengan cara yang salah. Harlock (Darokah & Safaria, 2005) mengungkapkan bahwa Agama terdiri
10
atas dua unsur, yaitu unsur keyakinan terhadap ajaran-ajaran Agama dan unsur pelaksanaan ajaran-ajaran tersebut. Agama merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam bersikap dan berperilaku. Keyakinan seseorang dalam beragama menurut Djarat (Anggarasari, 1997) menjadi bagian integral dari kepribadian seseorang. Oleh karena itu keyakinan itu akan mengawasi segala tindakan, perkataan, bahkan perasaannya. Keyakinan dan pelaksanaan seseorang terhadap ajaran-ajaran Agama merupakan indikasi dari religiusitas. Religiusitas diartikan oleh Dister (Darokah & Safariah, 2005) sebagai keberagamaan individu yang menunjukkan tingkat sejauh mana individu mengamalkan, melaksanakan, dan menghayati ajaran-ajaran Agamanya secara terus-menerus. Dengan demikian dapat dilihat bahwa religiusitas dapat mempengaruhi seseorang dalam bersikap dan berperilaku Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengungkap apakah terdapat hubungan antara religiusitas suami dengan intensi melakukan kekerasan terhadap istri
METODE PENELITIAN A. Subjek Penelitian Subjek yang digunakan dalam penelitian ini yaitu laki-laki dengan karakteristik sebagai berikut: 1. Sudah menikah 2. Beragama Islam
11
3. Berusia 24 - 55 tahun 4. Usia perkawinan minimal satu tahun. Dimana subyek penelitian ini akan diambil secara Purposive Sampling yaitu sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan.
B. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala. Peneliti akan menggunakan dua buah skala untuk mengukur kedua variabel, yaitu: 1. Skala Intensi Melakukan Kekerasan Terhadap Istri Skala intensi melakukan kekerasan terhadap istri yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang di susun sendiri oleh peneliti berdasarkan pengertian intensi yang dijelaskan oleh Ancok (Hudaniah, 2003) dan bentuk-bentuk KTI yang disebutkan oleh Hasbianto (Meiyenti, 1999) antara lain: kekerasan fisik, kekerasan emosional/psikologis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. 1. Skala Religiusitas Skala religiusitas yang digunakan dalam penelitan ini dimaksudkan untuk mengungkap tingkat religiusitas yang dimiliki oleh suami. Skala ini dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek religiusitas yang dijelaskan oleh Glock & Stark (Robertson, 1988; Ancok & Suroso, 1994) yang telah disesuaikan dengan ajaran agama islam yaitu: dimensi keyakinan, dimensi peribadatan (atau praktek agama) atau syariah, dimensi pengamatan atau akhlak, dimensi pengetahuan atau ilmu.
12
C. Metode Analisi Data Penelitian ini termasuk jenis penelitian korelasional, yaitu mencari hubungan antara religiusitas suami dengan intensi melakukan kekerasan terhadap istri. Untuk metode analisis data, peneliti menggunakan analisis statistik. Penelitian menggunakan statistik korelasi product moment Pearson. Teknik korelasi ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara religiusitas suami dengan intensi melakukan kekerasan terhadap istri. Untuk pengolahan data, peneliti menggunakan program komputer SPSS 12.00 for Windows.
HASIL PENELITIAN 1. Hasil Uji Asumsi Sebelum melakukan analisis data , terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan uji homogenitas. Uji normalitas dan uji linieritas merupakan syarat sebelum dilakukannya pengetesan nilai korelasi, dengan maksud agar kesimpulan yang ditarik tidak menyimpang dari kebenaran yang seharusnya ditarik (Hadi, 1996). a. Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah variabel penelitian ini terdistribusi secara normal atau tidak. Kaidah yang digunakan yaitu jika p>0,05 maka sebaran data normal, sedangkan jika p<0,05 maka sebaran data tidak normal.
13
Uji normalitas dengan menggunakan teknik one-sample Kolmogorof-Smirnov Test dari program SPSS 12.00 for Window menunjukkan nilai K-SZ sebesar 0,964 dengan nilai p = 0,310 (p > 0.05) untuk intensi melakukan kekerasan terhadap istri dan nilai K-SZ sebesar 0,672 dengan p = 0,758 (p > 0.05) untuk religiusitas. Hasil uji normalitas ini menunjukkan bahwa intensi kekerasan terhadap istri dan religiusias memiliki sebaran normal. b. Uji Linieritas Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah variabel religiusitas dan intensi melakukan kekerasan terhadap istri memiliki hubungan yang linear. Hubungan antara kedua variabel dikatakan linier apabila p<0,05 begitu pula sebaliknya, hubungan antara kedua variabel dikatakan tidak linier apabila p>0,05. Hasil uji linearitas dengan menggunakan program SPSS (Statistic Program For Social Science ) 12.00 for Windows dengan teknik Compare Means menunjukkan F = 29,517; p = 0,000. Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat dikatakan bahwa hubungan kedua variabel tersebut adalah linier karena p<0,05.
2. Uji Hipotesis Untuk mengetahui adanya hubungan antara religiusitas dengan intensi melakukan kekerasan terhadap istri, maka digunakan uji korelasi dengan menggunakan korelasi product moment dari Pearson dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistic Program For Social Science ) 2.00 for Windows. Hasil analisis data menunjukkan korelasi antara variabel religiusitas dengan
14
intensi melakukan kekerasan terhadap istri nilai r = -0,626 dengan p = 0,000 (p<0,01). Hal ini berarti menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara religiusitas suami dengan intensi melakukan kekerasan terhadap istri, sehingga hipotesis yang diajukan dapat diterima. Analisis koefisien determinasi pada korelasi antara religiusitas dengan intensi melakukan kekerasan terhadap istri menunjukkan angka sebesar 0,391 yang berarti religiusitas memberikan sumbangan sebesar 39,1% terhadap intensi melakukan kekerasan terhadap istri PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis data penelitian, maka hipotesis yang telah diajukan, yaitu ada hubungan negatif antara religiusitas suami dengan intensi melakukan kekerasan terhadap istri dapat diterima. Hasil analisis korelasi dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson menunjukkan koefisien korelasi (r) sebesar -0,626 dengan p = 0,000 (p<0,01), dengan hasil tersebut dapat diartikan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara religiusitas suami dengan intensi melakukan kekerasan terhadap istri. Semakin tinggi religiusitas suami maka semakin rendah intensi melakukan kekerasan terhadap istri Hal tersebut diatas juga didukung oleh kategorisasi yang dihasilkan oleh responden dalam penelitian ini. Hasil pengkategorian dengan membandingkan mean Hipotetik dan mean Empirik pada skala intensi melakukan kekerasan terhadap istri berada dalam kategori rendah hingga sedang yaitu sebesar 72%, sedangkan hasil kategorisasi dengan membandingkan mean hipotetik dan mean empirik pada skala
15
religiusitas berada pada kategori tinggi yaitu sebesar 62% dan yang berada dalam kategori sangat tinggi yaitu sebesar 32%, hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar subyek penelitian ini tidak memiliki intensi untuk melakukan kekerasan atau intesinya untuk melakukan kekerasan terhadap istri atau terhadap pasangannya rendah. Rendahnya intensi melakukan kekerasan terhadap istri pada subyek penelitian di sebabkan oleh tingginya tingkat religiusitas yang dimiliki. Religiusitas yang baik pada diri seorang suami akan mendukung kelancaran dan keharmonisan kehidupan rumah tangga yang dimilikinya. Jadi jika seorang suami memiliki religiusitas yang baik maka kehidupan rumah tangga yang di bina bersama pasangannya akan berjalan dengan baik dan harmonis serta jauh dari tindak kekerasan. Penjelasan diatas sesuai dengan yang dikemukakan oleh Fergusson dkk (1986; Elisson dkk 2007) bahwa seseorang yang religius memiliki kemungkinan yang rendah untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Seperti halnya hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Duedley dkk, yang menunjukkan bahwa seseorang yang mengindentifikasikan diri mereka religius, memiliki kualitas pernikahan yang tinggi/baik dimana termasuk didalamnya kebahagiaan, kepuasan, penyesuaian diri dan lamanya usia pernikahan (1990; Elisson 2007). Al-Hasani (2004) mengungkapkan bahwa saat ini keluarga tak akan memiliki benteng yang kuat kecuali membentenginya dengan ilmu agama, baik aqidah maupun syariah. Memperkuat dan memperdalam ilmu agama adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan keluarga dari arus ateisme maupun penyimpangan-penyimpangan
16
lain. Dalam hal ini seorang suami yang merupakan pemimpin/kepala rumah tangga sangat dituntut untuk memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik dalam beragama sebagai bekal untuk menjalankan kehidupan rumah tangga yang di harapkan tidak membawanya kepada kesewenang-wenangannya (Shihab, 2007) Kesewenang-wenangan seorang suami terhadap istrinya sama halnya dengan sistem budaya patriarki yang merupakan mekanisme laki-laki untuk mensubordinasi perempuan (Whelehan 1995; Chusairi 2000). Sikap gender yang menempatkan suami lebih tinngi dari istri dalam rumah tangga memberikan dasar dan alasan bagi tindakan suami melakukan kekerasan . Alasannya adalah hak suami untuk melakukan kekerasan pada istrinya sebagai usaha untuk mengontrol atau “mendidik” dalam posisinya yang superior dibandingkan kedudukan istrinya (Skrobanek,1991; Chausri 2000). Konteks “mendidik” sering sekali di salah artikan oleh banyak orang. Interpretasi dan pemahaman yang salah sering di tujukan pada QS An-Nisa’ Ayat 34 yang menyatakan bahwa istri boleh ditindak secara fisik jika tidak mematuhi suami. Ayat tersebut berbunyi sebagai berikut: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki -laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki -laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri [289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) [290]. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya [292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
17
Jika dipahami secara mendalam nusyuz yang dimaskud dalam ayat tersebut adalah ketika seorang istri melakukan sesuatu yang membuat suami tidak meridhainya, tanpa alasan apa pun yang dibenarkan syara’. Jikalau seorang istri melakukan nusyuz , cara mengatasinya yaitu bukan dengan serta merta dengan tindakan fisik, namun ada beberapa fase yang harus dilalui, yang pertama, yaitu: memberikan nasihat dengan penuh cinta dan kasih saying; kedua, pisah ranjang, yakni suami tidak tidur seranjang bersama istri; dan yang ketiga, dipukul sebatas tidak melukainya ( Al-Buthi, 2002). Al-Buthi (2002) juga menjelaskan bahwa dalam menerapkan tiga fase tersebut diatas suami tidak boleh melangkahi fase-fase sebelumnya. Tidak boleh langsung ke fase kedua sebelum fase pertama dilaksanakan. Demikian juga tidak boleh menerapkan fase ketiga sebelum fase kedua dijalankan. Dengan kata lain, ketiga fase tersebut harus dijalankan secara berurutan. Jika cara pertama tidak membuahkan hasil, baru cara kedua. Jika cara kedua juga tidak berhasil, baru cara ketiga. Namun pada kenyataannya, hal tersebut diatas hanya dapat dilakukan oleh orang-orang atau suami yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap ajaran agama. Seorang suami yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap agama serta memiliki kualitas keimanan yang baik, tidak dipungkiri bahwa mereka akan senantiasa menjaga segala tindakan dan perbuatannya, baik pada diri sendiri, istri, anak, keluarga maupun kepada orang lain. Takariawan (2004) menjelaskan perihal perintah Allah SWT yang berbunyi “wa asyiruhunna bil ma'ruf “ bahwa ungkapan bil'ma'ruf meliputi segala sesuatu
18
yang baik, dengan demikian menggambarkan kebutuhan psikologis: kasih sayang, kecintaan, penghargaan, perlindungan, rasa aman, pengakuan hak-hak, maupun pembelaan. Termasuk juga kebebasan dari rasa ketakutan, ketertindasan, dan keterpaksaan. Termasuk juga kesempatan untuk maju dan berkembang, kesempatan untuk memiliki ruang-ruang pilihan-dalam arti yang luas, dan kesempatan untuk berekspresi dalam batasan-batasan yang syar'i. Termasuk juga tidak adanya sumbatan komunikasi, tidak adanya perilaku otoriter, tidak adanya dominasi superioritas yang menyebabkan tidak terhargainya potensi istri. Diterimanya hipotesis penelitian ini menunjukkan bahwa religiusitas suami berhubungan dengan intensi melakukan kekerasan dalam rumah tangga dimana religiusitas memberikan sumbangan sebesar 39,1 % terhadap intensi melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan selebihnya sebesar 60,9 % dipengaruhi oleh faktor lain di luar religiusitas. Faktor lain di luar religiusitas, yang mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dijelaskan oleh Hamim (2001)bahwa perbedaan peran dan perlakuan sosial atas laki-laki dan perempuan yang dihubungkan atas jenis kelamin (sex) mereka merupakan akar mendasar dari kekerasan terhadap istri (Hamim, 2001). Bashin (Katjasungkana,1996; Meiyenti 1999) mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan berasal dari budaya patriarkhi, dimana secara harfiah, patriarkhi berarti sistem yang menempatkan ayah sebagai penguasa keluarga. Istilah ini kemudian digunakan untuk menjelaskan bahwa kaum laki-laki berkuasa atas kaum perempuan dan anak-anak. Pendapat tersebut juga di dukung oleh hasil penelitian Chausari (2000) yang menemukan bahwa ada hubungan yang positif antara
19
sikap gender patriarkhi dengan kekerasan terhadap istri. Faktor relasi dalam keluarga juga disebutkan oleh Hamim (2001) sebagai faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan kekerasan. Dimana sistem kemasyarakatan kita (Indonesia) mendorong perempuan untuk berperan di dunia domestik (rumah tangga), di bawah persepsi suami sebagai pemimpin. Biasanya setiap cara pikir, sikap dan tindakan perempuan yang tampak mengancam pola ini akan dianggap “pembangkangan” terhadap suami sekaligus melawan kodratnya sebagai perempuan. Akibatnya sebagian besar perempuan tergantung pada suamikhususnya secara ekonomi. Penjelasan tersebut di perkuat dengan hasil Penelitian yang di lakukan oleh Astuti dkk (2006) yang menemukan bahwa ada hubungan yang negatif antara kemandirian dengan sikap kekerasan suami terhadap istri, yang artinya semakin tinggi kemandirian, maka sikap terhadap kekerasan suami terhadap istri semakin rendah atau cenderung untuk menolak kekerasan yang di lakuukan oleh suami. Penelitian yang juga dilakukan oleh Eiser dkk (Rodriques,2001; Uyun 2003) dimana menemukan bahwa perempuan yang mendapatkan pelatihan asertif menjadi lebih percaya diri, mandiri, mampu menemukan identitas diri dan lebih kompeten dalam berbagai aspek kehidupan. Faktor lain yang juga mempengaruhi seseorang untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga yaitu faktor kepribadian, kepribadian yang di maksud disini adalah kepribadian istri yang tidak asertif.
Hal tersebut di dukung oleh hasil
penelitian Greene & Navarro (Quina, 2000; Uyun 2003) yang menunjukkan bahwa keterampilan asertif membantu perempuan untuk terhindar dari korban kekerasan.
20
Peneliti mengakui dalam penelitian ini masih terdapat beberapa kelemahan, yaitu kurangnya referensi yang digunakan oleh peneliti baik mengenai religiusitas ataupun intensi melakukan kekerasan terhadap istri sehingga teori yang digunakan dalam penelitian ini menjadi kurang beragam, disamping itu adapun kekurangan dalam proses pelaksanaan pengambilan data dalam penelitian ini yaitu terdapat beberapa angket/skala yang tidak langsung di isi/di jawab oleh subyek pada saat proses pengambilan data, namun angket/skala di bawa pulang yang kemudian di kumpulkan ke kediaman ketua RT setempat dan juga alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini di anggap memiliki tingkat social desireability yang cukup tinggi. Perlunya pembuatan alat ukur religiusitas yang memiliki standar sesuai dengan agama (islam) dirasa sangat penting untuk di gali lebih dalam, hal ini dikarenakan oleh semakin banyaknya orang yang tertarik untuk meneliti religiusitas dan semakin banyaknya studi yang mengkaitkan berbagai hal dengan tingkat religiusitas yang dimiliki oleh seseorang.
KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan negatif yang sangat signifikan antara religiusitas suami dengan intensi melakukan kekerasan terhadap istri. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat religiusitas suami maka semakin rendah intensi melakukan kekerasan terhadap istri. Begitu pula sebaliknya semakin rendah tingkat religusitas maka semakin tinggi intensi melakukan kekerasan terhadap istri. Jadi hipotesis yang menyatakan ada hubungan negatif antara religiusitas suami
21
dengan intensi melakukan kekerasan terhadap istri dapat diterima
SARAN A. Saran-Saran 1.
Bagi Subyek Penelitian (Suami) Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat membantu para suami untuk menyadari bahwa religiusitas sangat di butuhkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari khususnya dalam membina rumah tangga, oleh karena itu diharapkan kepada para suami agar terus meningkatkan religiusitas yang dimiliki dengan cara menjaga dan memelihara waktu sholat, membudayakan sholat berjama’ah dalam keluarga, memperbanyak mengaji, mengikuti pengajian dan sebagainya, hal ini bertujuan agar terciptanya keharmonisan dalam kehidupan keluarga, serta dapat bersikap, bertindak dan berperilaku baik, sesuai dengan ajaran Agama.
2. Bagi Masyarakat Dari hasil penelitian ini juga dapat membantu masyarakat luas untuk senantiasa meningkatkan religiusitas dalam dirinya dan lingkungan tempat tinggalnya, dengan cara menunbuhkan kebiasaan utnuk sholat berjamaah baik di Masjid ataupun dirumah bersama keluarga, meningkatkan kebiasaan untuk mebaca AlQur’an, mengikuti pengajian dan lain-lain, hal ini bertujuan agar tercipta lingkungan yang harmonis dan damai tanpa adanya kekerasan. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Saran bagi penelitian selanjutnya yaitu pertama, bagi peneliti yang tertarik dengan
22
tema yang sama diharapkan dalam pembuatan alat ukur religiusitas menggunakan strandar religiusitas yang sesuai dengan agama islam, Yang kedua yaitu, di harapkan untuk menggunakan metode penelitian kualiatif. Hal ini dikarenakan metode kualitatif dirasa sebagai metode yang tepat untuk menggali segala informasi dari subyek mengenai religiusitas dan intensi melakukan kekerasan terhadap istri. Selain wawancara mendalam, di perlukan juga observasi dan wawancara langsung dengan istri sehingga mendukung data yang diambil. Yang ketiga, peneliti sebaiknya lebih cermat dalam memilih waktu pengambilan data, agar para subyek dapat benar-benar dalam kondisi yang siap untuk menjawab/ memberikan merespon pada skala penelitian.
23
DAFTAR PUSTAKA
Ajzen, I. 2005. Attitude, Personality and Behavior. Second Edition: Open University Pers Ajzen, I . 2006. Behavioral Intervention Based on Theory of Planned Behavior. http://people.umass.edu./aizen/tpb.html .29/11/2007 Ancok, D. Suroso, F.N. 1994. Psikologi Islami : Solusi Islam atas problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Anggarasari, R, E. 1997.Hubungan tingkat Religius Dengan Sikap Konsumtif Pada Ibu Rumah Tangga. Psikologika. No 4. Tahun II Anggriany, N. 2007. Laki-laki Baru, Baru Laki-laki. Kompas. 3 Desember 2007. Anggarawaty, H. 2006. ISU KDRT:Antara Fakta dan Propaganda. http://www.mailarchive.com/
[email protected]/msg01139.html .02/09/07 Anonim. 2006. Anual Report, Data Kasus Tahun 2006. Rifka Annisa Women’s Crisis Center. Yogyakarta Anonim. Sekilas Tentang Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. http://www.lbh.apik.or.id/fact -58.htm.20/11/2007 Anonim. Undang-undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. http://www.lbh-apik.or.id/uu-perk.htm.20/11/2007 Anonim. 2007. Konseling BelumBelajar. Kompas. 26 Desember 2007 Al-Hasani Sayyid M Ibn Alwi al-Maliki. 2004. Seni Berkeluarga Islmi. Membongkar Segudang Problematika Kehidupan Rumah Tangga Berikut Solusinya. Yogyakarta: NUQTHOH. Al-Buthi M Sa’id R.2002. Perempuan Antara Kezaliman Sistem Barat dan Keadilan Islam. Solo: Era Intermedia.
24
Astuti A D dkk. 2006. Hubungan Antara Kemandirian Dengan Sikap Terhadap Kekerasan Suami terhadap Istri Yang Bekerja Di Kelurahan Sampang Kec Gajah Mungkur Kota Semarang. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro . Vol 3 No 1. Astuti, Y. D. 1999. Hubungan Antara Religiusitas Dengan Gaya Penjelasan Pada Mahasiswa Muslim. Psikologika. No 8 Tahun IV Azwar, S. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar _______. 1999. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
_______. 2001. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bambang, E. 2007.Nasyiatul Aisyiyah Canangkan Keluarga Sakinah Tanpa KDRT.Http://www.nasyiah.or.id/Naskah keluarga sakinah.htm .02/09/07 Chusairi, A. 2000. Hubungan Antara Sikap Gender Patriarkis Suami Dengan perilaku Kekerasan Suami terhadap Istri Di Masyarakat Perkotaan Yogyakarta. Insan. Vol 2. No 1 Darokah, M., Safaria,T. 2005. Perbedaan Tingkat Religiusitas, Kecerdasan Emosi dan Keluarga Harmonis Pada Kelompok Pengguna Napza Dengan Kelompok Non-Pengguna. Humanitas:Indonesian Psichological Journal . Vol 2 No 2. Dayakisni, T. Hudaniah. 2003. Psikologi Sosial. Buku 1. Malang: UMM Pers. Ellison, G. C dkk. 2007. Race/Ethnicity, Religious Involvement, and Domestic Violence. Violance Against Women; Vol 13. No 11; 1094-1112. http://vaw.sagepub.com.19/11/2007 Fishbein, M & Ajzen, I. 1975. Belief, Attitude, Intention and Behavior : Introduction To Theory and Reaserch http://www.people.umass.edu/aizen/f&a1975.htm .19/11/2007
25
Hakimi, M dkk. 2001. Membisu Demi Harmoni; Kekerasan Terhadap Isteri dan Kesehatan Perempuan di Jawa Tengah, Indonesia. LPKGM-FK-UGM, Rifka Annisa Women’s Crisis Center Yogyakarta, Umea University Sweaden, Women’s Health Exchange, USA. Hadi, S. 1996. Statistik 2. Yogyakarta: Andi Offset
Hamim, A .2001. Menjadi suami Sensitif Gender. Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Center Hasanah, M dkk. 2006. Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( Studi Kualitatif Mengenai Kekerasan dalam Rumah Tangga Di LBH APIK Semarang). Jurnal Psikologi Proyeksi . Vol 1. No 1 Hayati, E, N. 2002. Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban kekerasan, “Konseling Berwawasan Gender”.Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Center Jalaluddin, H. 2002. Psikologi Agama. Jakarta: Rajawali Pers
Kollmann, N. 1998. Kekerasan Terhadap Perempuan. Program Seri Lokakarya Kesehatan Perempuan. Jakarta. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. The Ford Foundation. Proyek Kerjasama YLKI dan The Ford Foundtion. Meiyenti, S. 1999. Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta.: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada & Ford Foundation Puspitaningtyas, R.2004. Profil Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Skripsi (tidak di Terbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi. Universitas Gajah Mada. Rehani. 2003. Berawal Dari Keluarga: Revolusi Belajar Cara Al-Quran. Jakarta Selatan: Hikmah Subandi. 1997. Tema-tema Pengalaman Beragama. Pengamal Dzikir. Psikologika. No.3 Tahun II
26
Supatmiati, A.2007. Pandangan Islam Terhadap KDRT. http://baitijannai.wordpress.com/Pandangan Islam terhadap KDRT
N. 2007. Cermin Kurangnya http://www.radarlampung.co.id.02/09/2007
Pemahaman
Agama.
27
Identitas Penulis Nama
: Tri wahyuni Situmorang
Alamat
: Jl. Kaliurang Km 7,8 Perum Griya Shanti No. 2 Ngabean Kulon, Sinduharjo, Ngagglik, Sleman, Yogyakarta
No HP
:081331877471
28