HUBUNGAN ANTARA SENSATION SEEKING DENGAN INTENSI MELAKUKAN CYBERBULLYING PADA REMAJA Rio Agusto Bintang Nugroho Program Studi Psikologi, FISIP Universitas Brawijaya
[email protected] Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara sensation seeking dengan intensi melakukan cyberbullying. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimen dengaan pendekatan kuantitatif korelasional. Sampel dari penelitian ini adalah 223 siswa SMA yang terdapat di Kota Malang yang terdiri 108 siswa laki-laki dan 115 siswa perempuan. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik simple random sampling. Alat ukur yang digunakan untuk mengambil data pada penelitian ini adalah skala sensation seeking yang disusun berdasarkan pengertian sensation seeking yang dikemukakan oleh Zuckerman, dan skala intensi melakukan cyberbullying yang disusun berdasarkan aspek intensi yang dikemukakan oleh Ajzen. Metode analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode analisis korelasi Product-Moment Pearson. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara sensation seeking dengan intensi melakukan cyberbullying. Hasil temuan tambahan menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara dimensi disinhibition dengan intensi melakukan cyberbullying dan hubungan negatif antara dimensi boredom susceptibility dengan intensi melakukan cyberbullying. Kata Kunci: Sensation Seeking, Intensi Cyberbullying, Remaja The purpose of this study is to find about the relationship between sensation seeking and cyberbullying intention. This study is non-experimental study with quantitative-correlational approach. The sample from this study were 223 high school student from Malang City that consist of 108 male students and 115 female students. Sampling technique that used in this study is simple random sampling technique. The instrument that used in this study is sensation seeking scale that based on Zuckerman’s definition of sensation seeking, and cyberbullying intention that based on Ajzen’s Theory of Planned behavior. Data analysis that used in this study is Pearson’s Product-Moment Correlations. The results of this study shows that there is no relationship between sensation seeking and cyberbullying intention. Additional findings show that there is a positive relationship between disinhibition and cyberbullying intention and there is a negative relationship between boredom susceptibility and cyberbullying intention. Keywords: Sensation Seeking, Cyberbullying Intention, Adolescence
PENDAHULUAN Pada masa kini, kehidupan remaja tidak dapat dipisahkan dengan dunia maya yang biasa disebut dengan internet. Pernyataan ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (KEMKOMINFO) yang menemukan bahwa 98% anak-anak dan remaja di Indonesia mengetahui tentang internet, dan 79,5% diantaranya adalah pengguna internet (KEMKOMINFO, 2014).
Hasil penelitian KEMKOMINFO juga menemukan tiga motivasi seorang remaja mengakses dunia maya yaitu: (1) mencari informasi perihal tugas sekolah sehari-hari , (2) untuk terhubung dengan teman lama, dan (3) untuk mencari hiburan (KEMKOMINFO, 2014). Salah satu cara yang sering digunakan untuk terhubung dengan teman lama adalah dengan menggunakan akun media sosial atau yang dapat disebut dengan Social Networking Site (SNS) seperti: facebook, twitter, path, youtube, dan lain-lain. Cara seseorang dalam menghubungi teman lamanya dapat dengan cara mengunggah foto atau video, membuat status profile dengan me-mention temannya, membuat tulisan atau cerpen, dan lain-lain pada akun SNS yang ia miliki. Dampak yang dihasilkan dari maraknya penggunaan SNS ini, dapat bersifat positif ataupun negatif. Salah satu dampak negatif yang saat ini sedang berkembang di Indonesia, adalah perilaku cyberbullying (Rahayu, 2012). Maraknya perilaku cyberbullying di kalangan remaja dapat memunculkan intensi untuk melakukan perilaku cyberbullying. Hal ini dikarenakan oleh tekanan (konformitas) yang didapat dari pergaulan dengan teman sebaya. Perilaku cyberbullying merupakan salah salah satu bentuk perilaku agresi yang dilakukan oleh seorang remaja (Patchin & Hinduja, 2012). Perilaku agresi yang dilakukan oleh seseorang dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya adalah sensation seeking (Arnett, 1996; Heydari, Mohammadi & Rustami, 2013). Arnett (1996) menyatakan bahwa sensation seeking adalah variabel yang menjadi dasar dari segala bentuk perilaku yang ceroboh (reckless behavior). Dengan demikian, penelitian ini memiliki tujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara sensation seeking dengan intensi melakukan cyberbullying pada remaja. Intensi Melakukan Cyberbullying Ajzen (2005) menyatakan bahwa intensi adalah sebuah indikasi dari kesiapan seseorang untuk menunjukkan perilaku, dan hal ini merupakan anteseden dari perilaku. Intensi dapat digunakan untuk memprediksi seberapa kuat keinginan individu untuk menampilkan tingkah laku dan seberapa banyak usaha yang direncanakan atau dilakukan individu untuk melakukan tingkah laku tersebut. Ajzen (2005) menyatakan bahwa intensi yang telah dibentuk akan tetap menjadi disposisi tingkah laku sampai pada waktu dan kesempatan yang tepat, dimana sebuah usaha dilakukan untuk merealisasikan intensi tertentu menjadi tingkah laku tertentu. Terdapat tiga buah aspek intensi menurut Fishbein & Ajzen (1975), yaitu: a. Attitude toward behavior. Sikap adalah sebuah disposisi atau kecenderungan untuk menanggapi hal-hal yang bersifat evaluatif, disenangi atau tidak disenangi terhadap objek, orang, institusi atau peristiwa. Sikap terhadap sebuah perilaku ditentukan oleh keyakinan (belief) akan akibat dari tingkah laku yang dilakukan. Keyakinan ini disebut dengan behavioral belief. Selain ditentukan oleh behavioral belief, sikap terhadap tingkah laku juga ditentukan oleh evaluasi akibat tingkah laku dan seberapa kuat konsekuensi tersebut diasosiasikan dengan tingkah laku. b. Subjective norm. norma subjektif adalah persepsi seseorang akan tekanan sosial untuk menunjukkan atau tidak menunjukkan tingkah laku dengan pertimbangan tertentu. Dengan kata lain, norma subjektif adalah persepsi individu terhadap norma sosial untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu.
c. Perceived behavioral control. Perceived Behavioral Control (PBC) adalah perasaan self efficacy atau kesanggupan seseorang untuk menunjukkan tingkah laku yang diinginkan. PBC dapat pula diartikan sebagai penilaian terhadap kemampuan atau ketidakmampuan seseorang untuk menampilkan perilaku, atau penilaian seseorang mengenai seberapa mudah atau seberapa sulit untuk menampilkan perilaku. Cyberbullying (Gradinger, Strohmeier & Spiel, 2010) adalah perilaku yang bermaksud merugikan ataupun menyakiti orang lain yang dilakukan melalui media elektronik ataupun media internet. Tujuan dari cyberbullying adalah untuk mengganggu, mengancam, mempermalukan, menghina, mengucilkan secara sosial, ataupun merusak reputasi orang lain (Rudi, 2010). Bentuk dari perilaku cyberbullying menurut Rudi (2010) yaitu: (1) Flame War atau debat yang tidak jelas arahnya, (2) Harrassment atau mengirimkan banyak e-mail yang tidak berguna, (3) Pencelaan di media sosial, (4) Impersonation atau seolah-olah menjadi orang lain untuk menjatuhkan reputasinya, (5) Penipuan, dan (6) Pengucilan secara sosial di media sosial. Dari landasan teori diatas, maka dapat disimpulkan bahwa intensi melakukan cyberbullying pada penelitian ini adalah indikasi atau tanda dari seseorang untuk menunjukkan perilaku yang bertujuan untuk menyakiti orang lain secara psikis melalui medium internet, khususnya instant messenger, blog, ataupun SNS (Social Networking Site). Sensation Seeking Pengertian sensation seeking menurut Zuckerman sebagaimana dikutip dalam Roberti (2003) adalah sebuah sifat yang ditandai oleh kebutuhan berbagai macam sensasi dan pengalaman-pengalaman yang baru, luar biasa dan kompleks, serta kesediaan untuk mengambil resiko, baik secara fisik, sosial, hukum, maupun finansial. Menurut Roberti (2003), seorang individu yang melakukan sensation seeking sering bertujuan untuk mendapatkan kegairahan dan meningkatkan rangsangan yang optimal dan akan cenderung mencari stimulus baru dan luar biasa, dan mungkin saja berbahaya bagi orang lain karena akan menimbulkan kecemasan dan perasaan yang tidak menyenangkan. Terdapat empat dimensi sensation seeking menurut Zuckerman (1971), yaitu: a. Thrill and adventure seeking, yaitu mencari sensasi melalui aktivitas fisik, beresiko tinggi dan mengandung unsur petualangan, yang mengandung aspek kecepatan (speed), bahaya (danger) serta sesuatu yang baru dan luar biasa (novelty). b. Experience seeking, yaitu mencari sensasi melalui aktivitas tertentu yang bertujuan untuk mendapatkan pengalaman baru melalui pikiran dan sensasi, dengan cara berpergian melalui aktivitas seni, musik atau aktivitas yang menolak kebiasaan umum, kejutan (surprise). c. Disinhibition, yaitu mencari sensasi melalui perilaku yang sudah jelas-jelas tidak sesuai dengan norma yang berlaku (perilaku tersebut menyimpang dari kebiasaan umum atau tidak disetujui oleh teman dan lingkungan). d. Boredom susceptibility, yaitu mencari sensasi dengan menolak terhadap hal-hal yang bersifat rutin, berulang, mudah ditebak atau penolakan terhadap orang-orang yang dianggap membosankan.
Hipotesis Semakin tinggi sensation seeking yang dimiliki oleh remaja, maka intensi melakukan cyberbullying pada remaja akan meningkat METODE PENELITIAN Subyek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Malang. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pelajar SMA yang terdapat di Kota Malang. Pada penelitian ini, peneliti membagi golongan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang terdapat di Kota Malang menjadi dua, yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA) negeri dan Sekolah Menengah Atas (SMA) swasta. Untuk tiap golongan, peneliti memilih satu sekolah yang merepresentasikan golongannya. Setelah terpilih SMA yang merepresentasikan golongannya, peneliti melakukan teknik simple random sampling, yang digunakan untuk memilih kelas yang akan digunakan sebagai tempat menyebarkan skala. Karakteristik dari sampel yang digunakan adalah siswa SMA di Kota Malang yang memiliki dan menggunakan media sosial. Jumlah responden pada penelitian ini adalah sebanyak 223 orang. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan skala. Skala yang digunakan adalah skala sensation seeking dan skala intensi melakukan cyberbullying. Skala sensation seeking disusun berdasarkan dimensi sensation seeking menurut Zuckerman (1971), yaitu: (1) thrill and adventure seeking, (2) experience seeking, (3) disinhibition, dan (4) boredom susceptibility. Skala intensi melakukan cyberbullying disusun berdasarkan aspek intensi menurut Ajzen (2005), yaitu: (1) attitude toward behavior, (2) subjective norm, dan (3) perceived behavioral control. yang dikaitkandengan perilaku cyberbullying. Skala yang digunakan dalam penelitian ini dirancang menggunakan metode skala dari Likert dengan empat kategori pilihan, yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS). Jenis aitem yang digunakan dalam penelitian ini terdapat dua macam, yaitu favourable dan unfavourable. Untuk aitem favourable, pilihan STS mendapat skor 1, pilihan TS mendapat skor 2, pilihan S mendapat skor 3, dan pilihan SS mendapat skor 4. Sebaliknya, untuk aitem unfavourable, pilihan STS mendapat skor 4, pilihan TS mendapat skor 3, pilihan S mendapat skor 2, dan pilihan SS mendapat skor 1. Metode Analisa Data Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasi ProductMoment Pearson. Hasil dari analisa ini digunakan untuk membuktikan hipotesis dari penelitian sehingga dapat dijadikan sebagai kesimpulan akhir dari penelitian. Perhitungan korelasi Product-Moment Pearson dilakukan dengan bantuan program IBM SPSS Statistics 20 for Windows.
HASIL PENELITIAN Untuk mendeskripsikan data yang telah diperoleh, peneliti membagi kategori subjek menjadi tiga kategori, yaitu: kategori tinggi, kategori sedang, kategori rendah. Hasil kategorisasi subjek pada variabel sensation seeking (x) didapati hasil sebagai berikut: Tabel.1 Kategorisasi subjek berdasarkan variabel sensation seeking Daerah Keputusan
Jumlah Subjek
Persentase
Rendah
1
0,45 %
24 ≤ X < 36
Sedang
181
81,17 %
36 ≤ X
Tinggi
41
18,38 %
223
100 %
X < 24
Kategori
Total
Dari tabel di atas, dapat diketahui, bahwa dari 223 responden, sebagian besar sensation seeking pelajar SMA di Kota Malang adalah sedang yakni sebanyak 181 orang atau 81,17 %. Sebanyak 41 orang atau 18,38 % memiliki sensation seeking yang tinggi, dan 1 orang atau 0,45 % memiliki sensation seeking yang rendah. Hasil kategorisasi subjek pada variabel intensi melakukan cyberbullying adalah sebagai berikut: Tabel.2 Kategorisasi subjek berdasarkan variabel intensi melakukan cyberbullying Daerah Keputusan
Jumlah Subjek
Persentase
Rendah
125
56,05 %
30 ≤ X < 45
Sedang
96
43,05 %
45 ≤ X
Tinggi
2
0,90 %
223
100 %
X < 30
Kategori
Total
Dari tabel di atas, dapat diketahui, bahwa dari 223 responden, sebagian besar intensi melakukan cyberbullying pelajar SMA di Kota Malang adalah rendah yakni sebanyak 125 orang atau 56,05 %. Sebanyak 96 orang atau 43,05 % memiliki intensi melakukan cyberbullying yang sedang, dan 2 orang atau 0,90 % memiliki intensi melakukan cyberbullying yang tinggi. Tabel.3 Hasil uji korelasi Jumlah Subjek
Pearson Correlation
Signifikansi
Keterangan
Kesimpulan
223
0,054
0,420
Signifikan < 0,05
Tidak Signifikan
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat dilihat bahwa nilai signifikansi korelasi adalah sebesar 0,420, nilai ini lebih besar dari nilai standar korelasi yang signifikan sebesar 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa sensation seeking tidak memiliki korelasi dengan intensi melakukan cyberbullying. Sebagai data tembahan peneliti melakukan uji korelasi antara dimensi sensation seeking dengan variabel intensi melakukan cyberbullying, uji beda jenis kelamin pada variabel sensation seeking, uji beda jenis kelamin pada variabel intensi melakukan
cyberbullying, dan kategorisasi dimensi SS subjek. Berikut ini adalah hasil dari uji hipotesis dari tiap dimensi SS: Tabel.4 Hasil uji korelasi berdasarkan dimensi SS Thrill and Adventure Seeking
Experience Seeking
Disinhibition
Boredom Susceptibility
Pearson Correlation
0,084
-0,099
0,196**
-0,164*
Sig. (2-tailed)
0,210
0,141
0,003
0,014
0,038
0,027
R Squared
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa dimensi thrill and adventure seeking memiliki nilai signifikansi korelasi sebesar 0,210. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara dimensi thrill and adventure seeking dengan intensi melakukan cyberbullying. Untuk dimensi experience seeking memiliki nilai signifikansi korelasi sebesar 0,141. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara dimensi experience seeking dengan intensi melakukan cyberbullying. Untuk dimensi disinhibition, terlihat bahwa memiliki nilai signifikansi korelasi sebesar 0,003 dengan koefisien korelasi sebesar 0,196. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi disinhibition memiliki korelasi positif yang signifikan dengan intensi melakukan cyberbullying. Sehingga dapat diartikan semakin tinggi tingkat disinhibition, maka intensi melakukan cyberbullying juga akan meningkat. Diketahui bahwa nilai R Squared untuk korelasi ini adalah sebesar 0,038. Hal ini berarti disinhibition memiliki sumbangan efektif terhadap intensi melakukan cyberbullying sebesar 3,8 %, sedangkan 96,2 % sumbangan efektif lainnya berasal dari variabel lain. Untuk dimensi boredom susceptibility, didapati nilai signifikansi korelasi sebesar 0,014 dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,164. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi boredom susceptibility memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan intensi melakukan cyberbullying. Sehingga dapat diartikan bahwa semakin tinggi boredom susceptibility, maka intensi melakukan cyberbullying akan semakin rendah. nilai R Squared untuk korelasi ini adalah sebesar 0,027. Hal ini berarti boredom susceptibility memiliki sumbangan efektif terhadap intensi melakukan cyberbullying sebesar 2,7 %, sedangkan 97,3 % sumbangan efektif lainnya berasal dari variabel lain. Hasil uji beda jenis kelamin pada variabel sensation seeking adalah sebagai berikut: Tabel.5 Hasil uji beda sensation seeking berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin
N
Mean
Laki – Laki
108
Perempuan
115
T-Test t
Sig. (2-tailed)
32,944
4,083
0,000
30,565
4,066
0,000
Berdasarkan pada tabel diatas, dapat dilihat bahwa nilai signifikansi dari t-test adalah sebesar 0,000 ( < 0,05 ). Hal ini menandakan bahwa terdapat perbedaan sensation seeking
yang signifikan jika ditinjau melalui jenis kelamin. Dikarenakan nilai mean laki – laki lebih besar dari nilai mean perempuan (32,94 > 30,95) maka dapat disimpulkan bahwa sensation seeking yang dimiliki oleh laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Hasil uji beda jenis kelamin pada variabel intensi melakukan cyberbullying adalah sebagai berikut : Tabel.6 Hasil uji beda intensi melakukan cyberbullying berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin
N
Mean
Laki – Laki
108
Perempuan
115
T-Test t
Sig. (2-tailed)
29,240
1,513
0,132
28,078
1,508
0,133
Berdasarkan pada tabel diatas, dapat dilihat bahwa nilai signifikansi dari t-test adalah sebesar 0,132. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat perbedaan intensi melakukan cyberbullying antara laki-laki dan perempuan dikarenakan nilai signifikansinya lebih besar dari 0,05. Hasil dari kategorisasi subjek berdasarkan dimensi sensation seeking adalah sebagai berikut : Tabel.7 Kategorisasi subjek berdasarkan dimensi sensation seeking Variabel
Thrill and Adventure Seeking
Daerah Keputusan
Kategori Rendah
19
8,52 %
8 ≤ X < 12
Sedang
145
65,02 %
12 ≤ X
Tinggi
59
26,46 %
223
100 %
Rendah
6
2,69 %
6 ≤X<9
Sedang
146
65,47 %
9 ≤X
Tinggi
71
31,84 %
223
100 %
Rendah
46
20,63 %
6 ≤X<9
Sedang
142
63,68 %
9 ≤X
Tinggi
35
15,69 %
223
100 %
Rendah
1
0,45 %
4 ≤X<6
Sedang
26
11,66 %
6 ≤X
Tinggi
196
87,89 %
223
100 %
X<6
Total X<6 Disinhibition
Total X<4 Boredom Suceptibilty
Persentase
X<8
Total
Experience Seeking
Jumlah Subjek
Total
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa mayoritas responden memiliki tingkat Thrill and Adventure Seeking (TAS), Experience Seeking (ES), dan Disinhibition (Dis) yang sedang, yaitu sebanyak 145 orang untuk aspek TAS, 146 orang untuk aspek ES dan 142 orang untuk aspek Dis. Pada Aspek Boredom Suceptibility (BS), mayoritas subjek memiliki tingkat yang tinggi, yaitu terdapat sebanyak 196 orang. DISKUSI Berdasarkan hasil dari uji hipotesis yang dilakukan, didapatkan bahwa tidak terdapat korelasi antara sensation seeking dengan intensi melakukan cyberbullying. Hal ini dapat terjadi dikarenakan karakteristik pelaku cyberbullying berbeda dengan karakteristik seseorang yang memiliki sensation seeking tinggi. Cyberbullying adalah salah satu bentuk bullying nonverbal secara tidak langsung dikarenakan perilakunya yang bertujuan untuk menjatuhkan, memanipulasi, mengasingkan, menyindir, ataupun mencemarkan nama baik seseorang melalui media sosial. Menurut Sullivan (Amalia, 2010) bullying non-verbal secara tidak langsung dapat dilakukan dengan dengan cara memanipulasi pertemanan, mengasingkan, curang dan sembunyi-sembunyi. Pernyataan ini menegaskan pernyataan Belsey (2004) yang menyatakan bahwa perilaku cyberbullying adalah sebuah perilaku bullying yang biasanya dilakukan oleh seorang penakut, dikarenakan sang pelaku dapat bersembunyi dibalik sebuah anonimitas sehingga tidak dapat dilacak dengan mudah. Sebaliknya, karakteristik individu yang memiliki tingkat sensation seeking yang tinggi adalah memiliki kepribadian yang terbuka, memiliki keberanian untuk mengambil resiko dan mengabaikan peraturan (Roberti, 2003). Dimensi disinhibiton yang terdapat pada variabel sensation seeking memiliki korelasi positif dengan intensi melakukan cyberbullying. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat disinhibition seorang remaja, maka intensi melakukan cyberbullyingnya pun akan meningkat. Temuan ini sejalan dengan pengertian disinhibition menurut Zuckerman (1991) yang menyatakan bahwa disinhibition adalah salah satu cara pemenuhan sensasi dengan cara yang melawan atau bertentangan dengan nilai dan norma yang terdapat di masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa memang seorang yang suka melakukan pemenuhan sensasi dengan cara yang tidak sesuai dengan norma cenderung berpotensi lebih besar untuk memiliki intensi untuk melakukan cyberbullying, mengingat cyberbullying sendiri adalah perilaku yang tidak sesuai dengan nilai dan norma. Dimensi boredom susceptibility yang terdapat pada variabel sensation seeking memiliki korelasi negatif dengan intensi melakukan cyberbullying. Hal ini menandakan bahwa semakin tinggi boredom susceptibility yang dimiliki oleh seorang remaja, maka intensi melakukan cyberbullying-nya akan menurun. Boredom susceptibilty menurut Zuckerman (1971) adalah penolakan terhadap hal-hal yang bersifat rutin, berulang, mudah ditebak atau penolakan terhadap orang-orang yang dianggap membosankan, sehingga ketika seorang individu merasa bosan, maka ia akan mencari cara untuk membuat mereka merasa tertarik atau segera mencari aktivitas-aktivitas baru. Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa seseorang remaja melakukan cyberbullying bukan karena kebosanan namun dikarenakan hal lain. Tujuan seseorang melakukan cyberbullying menurut Belsey (2004)
adalah untuk menyakiti orang lain. Hal ini didukung oleh Görzig dan Frumkin (2013), yang menyatakan bahwa pelaku cyberbullying biasanya pernah menjadi korban. Dengan demikian jelas, bahwa seorang melakukan cyberbullying dikarenakan ia memiliki tujuan untuk balas dendam ataupun menyakiti, bukan karena ia merasakan bosan dan ingin mendapatkan reaksi. Hasil uji beda sensation seeking yang ditinjau berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Heydari, Mohammadi, dan Rotami (2013) yang mengatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada sensation seeking yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa remaja laki-laki memiliki nilai yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan remaja laki-laki lebih berani mengambil resiko dibandingkan dengan perempuan (Alberts, Elkind, & Ginsberg, 2007). KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data, didapati tiga buah kesimpulan, yaitu: (1) dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara sensation seeking dengan intensi melakukan cyberbullying pada pelajar SMA yang terdapat di Kota Malang. (2) Terdapat hubungan yang positif antara dimensi disinhibition dengan intensi melakukan cyberbullying pada pelajar SMA yang terdapat di Kota Malang. Hasil ini memiliki arti bahwa semakin tinggi disinhibition seorang remaja, maka intensi melakukan cyberbullying juga akan meningkat. (3) Terdapat hubungan yang negatif antara dimensi boredom susceptibility dengan intensi melakukan cyberbullying pada pelajar SMA yang terdapat di Kota Malang. Hasil ini memiliki arti bahwa semakin tinggi boredom susceptibility seorang remaja, maka intensi melakukan cyberbullying akan menurun. SARAN Penelitian ini hanya terbatas pada intensi remaja untuk melakukan cyberbullying melalui media sosial. Bagi penelitian selanjutnya lebih baik jika untuk melihat intensi cyberbullying yang dilakukan melalui pesan singkat (short message service) ataupun telepon, dikarenakan pengertian cyberbullying sendiri tidak hanya melalui media sosial. Hasil temuan diatas menyatakan bahwa sebagian besar dimensi sensation seeking yang dimiliki oleh siswa SMA di Kota Malang adalah boredom susceptibility, bagi penelitian selanjutnya mungkin dapat mencari tahu bagaimana siswa SMA di Kota Malang menyalurkan kebosanannya, mengingat hubungan antara dimensi ini dengan intensi melakukan cyberbullying adalah hubungan yang negatif. REFERENSI Ajzen, I. (2005). Attitudes, Personality, and Behavior, 2nd Ed. England: Open University Press. Alberts, A., Elkind, D., & Ginsberg, S. (2007). The Personal Fable and Risk-Taking in Early Adolescence. Journal of Youth and Adolescence Vol. 36, (71-76)
Amalia, D. (2010). Hubungan Persepsi Tentang Bullying dengan Intensi Melakukan Bullying Siswa SMA Negeri 82 Jakarta (Skripsi tidak diterbitkan). Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Arnett, J. J. (1996). Sensation Seeking, Aggressiveness, and Adolescent Reckless Behavior. Personal Individual Differences Vol. 20, No. 6, (693-702). Belsey, B. (2004). What is Cyberbullying. http://www.cyberbullying.ca/. Fishbein, M., & Ajzen, I. (1975). Belief, attitude, intention, and behavior: An introduction to theory and research. Reading, MA: Addison-Wesley. Görzig, A., & Frumkin, L. (2013). Cyberbullying on-the-go: When Social Media Can Become Distressing. Cyberpsychology: Journal of Psychosocial Research on Cyberspace, 7(1), article 1 Gradiger, P., Strohmeier, D., & Spiel, Ch. (2010). Definition and Measurement of Bullying. Cyberpsychology: Journal of Psychosocial Research on Cyberspace, 4(2), article 1. Heydari, H., Mohammadi, F., & Rostami, M. (2013). Analyzing the Relationship Between Sensation Seeking and Preference of Type of Music in College Students. Procedia – Social and Behavioral Sciences 84, (773-777). KEMKOMINFO. (2014). 98 Persen Anak dan Remaja Tahu Bullying. Diakses 16 April 2014 pukul 16.43 WIB. http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3836/98+Persen+Anak+dan+Remaja+Ta hu+Internet/0/berita_satker#.U05MhaJECpA Patchin, J. W., & Hinduja, S. (2012). Cyberbullying Prevention and Response, Expert Perspectives. New York: Routledge. Rahayu, F. S. (2012). Cyberbullying Sebagai Dampak Negatif Penggunaan Teknologi Informasi. Journals of Information Systems Vol.8, Issue 1, (22-31). Roberti, J. W. (2003). A Review of Behavioral and Biological Correlates of Sensation Seeking. Journal of Research in Personality 38, (256-279). Rudi, T. (2010). Informasi Perihal Bullying. http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&sqi=2&ved= 0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fbigloveadagio.files.wordpress.com%2F2010%2F 03%2Finformasi_perihal_bullying.pdf&ei=D_M5VLHyNNeTuAST_4LABA&usg=A FQjCNFP4jDb50Bz0hekghWzMULNn9m-wQ&bvm=bv.77161500,d.c2E. Zuckerman, M. (1971). Dimensions of Sensation Seeking. Journal of Counseling and Clinical Psychology Vol.36, No.1, (45-52).