1
NASKAH PUBLIKASI
BERTAHAN DALAM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Oleh : SRI ANGILIA NURLAILI RINA MULYATI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2008
2
NASKAH PUBLIKASI
BERTAHAN DALAM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Telah Disetujui Pada Tanggal
Dosen Pembimbing Utama
(Rina Mulayti, S.Psi., M.Si)
3
BERTAHAN DALAM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Sri Angilia Nurlaili Rina Mulyati
Intisari
Dengan menggunakan desain penelitian kualitatif case study, penelitian ini bertujuan untuk memahami fenomena perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang bertahan dalam rumah tangganya. Subyek dalam penelitian ini adalah dua orang perempuan dengan karakteristik berusia antara 20 – 50 tahun, sudah menikah dan memiliki anak, mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan pernah melapor ke Ruang Pelayanan Khusus Polres Sleman. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap dua orang subyek penelitian. Kemudian untuk data pendukung juga dilakukan wawancara kepada lima orang informan subyek penelitian. Data dianalisis dengan tekhnik analisis thematic coding dengan langkah – langkah berupa penggolongan tema – tema berdasarkan fokus penelitian untuk kemudian diintegrasikan menjadi sebuah dinamika psikologis mengenai fenomena bertahan dalam KDRT. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah respon bertahan yang dilakukan masing – masing subyek berbeda karena dipengaruhi oleh dua hal yaitu latar belakang keluarga dan nilai – nilai yang dianut keluarga. Subyek pertama yang berasal dari keluarga yang orangtuanya bercerai karena KDRT. Subyek diajarkan paham patriaki yang kental sehingga istri harus patuh kepada suami dalam kondisi apapun. Paham patriaki ini membuat subyek selalu merasa bahwa subyek adalah milik suami subyek sehingga subyek diam dan bertahan dalam rumah tangganya walaupun sering mendapat kekerasan dari suaminya. Setelah empat tahun bertahan dalam rumah tangganya, subyek pada akhirnya memutuskan bercerai karena ternyata orangtua subyek tidak mempermasalahkan perceraian. Hal ini disebabkan karena orangtua subyek
4
juga menganut nilai masalah rumah tangga adalah masalah privasi dan orang lain termasuk orangtua tidak berhak ikut campur. Dengan demikian, orangtua subyek menyerahkan semua keputusan rumah tangganya kepada subyek apakah ingin bercerai atau mempertahankan rumah tangganya. Subyek kedua yang berasal dari keluarga yang harmonis dan religius. Orangtua subyek juga mengajarkan untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Latar belakang keluarga subyek ini membuat subyek menjadi individu yang “nrimo”. Sifat nrimo ini membuat subyek selalu berusaha menerima semua kekurangan suaminya sehingga membuat subyek menjadi sayang kepada suaminya apa adanya. Perasaan sayang dan sifat nrimo subyek membuat subyek mampu mempertahankan rumah tanggannya selama tiga belas tahun. Subyek baru memutuskan bercerai setelah merasa bahwa suaminya tidak menyayangi subyek lagi kemudian ibu mertua subyek selalu menyalahkan subyek atas permasalahan yang terjadi antara subyek dan suaminya. Dengan demikian, dari penelitian ini diperoleh hubungan saling mempengaruhi antara latar belakang keluarga dan nilai yang dianut dengan bentuk respon bertahan serta lama bertahan subyek korban kekerasan dalam rumah tangga. Perbedaan latar belakang dan nilai yang dianut pada masing – masing keluarga membuat respon bertahan dalam rumah tangga yang penuh dengan kekerasan juga berbeda. Hal ini terjadi karena proses belajar masing – masing subyek korban kekerasan terhadap nilai yang diajarkan keluarga dan perilaku orangtua juga berbeda. Kata Kunci : Bertahan, Kekerasan Dalam Rumah Tangga
5
PENGANTAR Latar Belakang Masalah Menurut UU No. 23 Tahun 2004, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan bentuk kekerasan yang dialami perempuan sebagai istri ada empat macam yaitu, kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksul, dan kekerasan ekonomi. Sebenarnya, kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi. Mitra perempuan dalam Harian Kompas edisi rabu, 26 desember 2007 menyebutkan dari jumlah data tahun 2006, jumlah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi di Jakarta meningkat. Pada tahun 2006, dari 284 kasus kekerasan yang terjadi 85,42 % merupakan KDRT sedangkan pada tahun 2007, dari 336 kasus, 87,32 % merupakan kasus KDRT. Sebagian Kekerasan Dalam Rumah Tangga dilakukan oleh suami dengan presentasi pada tahun 2006 sebesar 76,49 % dan pada tahun 2007 sebesar 77,46 %. Adiningsih (2008) menyebutkan data yang dikeluarkan Komnas Perempuan pada 7 Maret 2007 mencatat adanya 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani 257 lembaga di 32 propinsi. Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menempati angka tertinggi yakni 16.709 kasus atau 76 %. Rifka
Annisa
Women
Crisis
Center
dalam
Annual
Reportnya
menyebutkan pada tahun 2005 terjadi 35 kasus kekerasan terhadap perempuan, 9 kasus merupakan kasus kekerasan terhadap istri. Sedangkan pada tahun 2006
6
terjadi 205 kasus kekerasan terhadap perempuan, 168 kasus merupakan kasus kekerasan terhadap istri. Sedangkan Usia korban kekerasan terhadap istri adalah antara 18 – 55 tahun. Jumlah ini dapat dikatakan meningkat drastis karena dalam rentang waktu satu tahun terjadi peningkatan kasus sebanyak 196 kasus. Sehingga dari data Rifka Annisa tersebut, dapat disimpulkan terjadinya KDRT meningkat dari tahun ke tahun. Namun pada kenyataannya, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang
dialami
perempuan
merupakan
sebuah
fenomena
gunung
es
(Pikanisa,2008). Artinya, sebenarnya fenomena KDRT terhadap perempuan banyak terjadi, akan tetapi yang terungkap ke permukaan dan diketahui oleh masyarakat hanya sedikit. Faktanya satu dari tiga istri pernah mengalami tindak kekerasan (Firdaus,2008). Masalah yang terjadi dalam keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain, sehingga ketika seorang perempuan mengalami tindak kekerasan, perempuan tersebut akan menyimpan sendiri apa yang dialaminya karena menganggap itu adalah aib keluarga dan jangan sampai orang lain mengetahuinya. Dampak dari kekerasan dalam rumah tangga beraneka ragam, mulai dampak terhadap fisik sampai dampak terhadap psikis terhadap masing – masing anggota keluarga. Pada bayi, kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri dapat menyebabkan anak memiliki kesehatan yang buruk, kebiasaan tidur yang jelek, dan teriakan yang berlebihan. Hal ini selanjutnya akan berdampak ketidaknormalan dalam pertumbuhan dan perkembangan emosi, bahkan sangat terkait dengan masalah kelancaran berkomunikasi (Jaffe dalam Wahab, 2006). Kemudian KDRT juga berdampak terhadap anak usia Pra sekolah, yaitu menyebabkan tingkat disstres yang tinggi (Hughes dalam Wahab, 2006) dan
7
berdampak terhadap kompetensi perkembangan sosial – kognitif anak usia pra sekolah (De Lang dalam Wahab, 2006). Selanjutnya dampak KDRT terhadap anak usia SD adalah anak cepat belajar bahwa kekerasan merupakan suatu cara yang paling tepat menyelesaikan konflik dalam hubungan kemanusiaan (Jaffe dalam Wahab, 2006). Lebih lanjut, KDRT juga memberi dampak terhadap remaja. Remaja putra yang menyaksikan kekerasan antar kedua orang tuanya menjadi lebih agresif, sedangkan pada remaja putri menyebabkan menjadi lebih depresif (Wahab, 2006). Tidak sampai disini saja, kekerasan dalam rumah tangga juga berdampak besar terhadap istri yang menjadi sasaran langsung tindak kekerasan yang dilakukan suami. Dampak yang dirasakan istri adalah dari rasa sakit sampai kematian. Susilowati (2008) menyebutkan KDRT bisa menyebabkan istri mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, ketergantungan kepada suami, depresi dan keinginan untuk bunuh diri. Hakimi, dkk (2001) menyebutkan perempuan yang mengalami KDRT dapat menderita cidera, kelainan kandungan, dan penyakit menular seksual. Bailey (Hakimi, 2001) menambahkan paling ekstrim KDRT dapat mengarah pada pembunuhan terhadap perempuan. Sedangkan pada suami sebagai pelaku kekerasan, KDRT yang dilakukannya akan berdampak dengan hukuman pidana dalam bentuk hukuman penjara antara 5 sampai 20 tahun penjara ataupun denda antara Rp. 3.000.000,00 – Rp. 300.000.000,00 sesuai dengan kekerasan yang dilakukan. Akan tetapi dengan serentetan dampak akibat kekerasan dalam rumah tangga ini, pada kenyataannya korban kekerasan yang melapor hanya sedikit. Hal ini terlihat dari data kantor Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Kepolisian
8
Resort (Polres) Sleman mengungkapkan pada tahun 2007, terdapat hanya 45 kasus kekerasan terhadap istri yang dilaporkan. Sedangkan pada tahun 2008, sampai bulan mei, hanya terdapat 15 kasus kekerasan terhadap istri. Data Polres Sleman kembali menegaskan bahwa fenomena Kekerasan dalam rumah tangga terhadap Istri merupakan fenomena gunung es. Dua korban kekerasan dalam rumah tangga yang ditemui peneliti memilih diam dan bertahan dalam rumah tangga beberapa waktu walaupun sering mendapat kekerasan dari suaminya. Subyek tidak menceritakan kekerasan yang sering dilakukan suaminya kepada orang lain bahkan kepada orang tuanya sendiri sehingga apa yang subyek alami tidak pernah terungkap ke permukaan. Subyek KDRT pertama berasal dari keluarga dimana orang tua subyek bercerai karena ayah subyek sering melakukan tindak kekerasan kepada ibu subyek. Suami subyek sebagai pelaku kekerasan juga berasal dari keluarga dimana ayah suami subyek melakukan kekerasan terhadap ibu suami subyek, akan tetapi ibu dan ayah suami subyek tidak bercerai. Suami subyek memiliki emosi yang sangat tidak stabil yaitu mudah marah tanpa alasan yang jelas dan mudah pula mereda kemarahannya. Subyek pertama bertahan dalam rumah tangganya selama empat tahun. Korban KDRT kedua berasal dari keluarga yang harmonis dan religius. Baik subyek dan suaminya tidak memiliki sejarah orang tua yang melakukan kekerasan terhadap pasangan masing – masing. Akan tetapi, ibu mertua subyek memiliki sifat temperamen. Suami subyek memiliki gangguan emosi seperti mudah marah dan suka membanting – banting barang saat marah. Suami subyek juga suka menyakiti diri sendiri saat meminta maaf setelah memukul subyk. Subyek bertahan dalam rumah tangganya selama 14 tahun.
9
Dari kedua korban KDRT tersebut dapat dilihat bahwa subyek dengan latar belakang keluarga harmonis dan religius memilih diam dan bertahan dalam rumah tangganya walaupun sering mendapat kekerasan dari suaminya lebih lama dari subyek korban KDRT dengan latar belakang keluarga dimana KDRT pernah terjadi. Kemungkinan latar belakang keluarga mempengaruhi lama dan bentuk respon bertahan pada korban KDRT. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan nilai yang dianut dan diajarkan pada tiap keluarga. Poerwandari (2001) menyatakan bahwa KDRT menjadi sulit diungkap karena KDRT oleh sebagian orang akan dianggap sebagai hal yang biasa – biasa saja sehingga korban KDRT akan memilih diam dan bertahan dalam rumah tangganya walaupun sering mendapat kekerasan karena menganggap orang lain tidak akan menganggap penting persoalan KDRT yang dialaminya. Ridwan (2006) menambahkan perempuan bertahan dalam rumah tangganya karena adanya nilai – nilai yang dianut bahwa KDRT terjadi dalam lingkup rumah tangga yang dipahami sebagai urusan yang bersifat privasi. Kemudian adanya stigma sosial bahwa kekerasan yang dilakukan suami dipahami oleh masyarakat sebagai hal yang dianggap wajar dalam kerangka pendidikan yang dilakukan oleh pihak yang mempunyai otoritas untuk melakukannya sehingga timbul pemahaman memukul istri itu lumrah dalam rangka mendidik istri menjadi lebih baik. Mengapa korban kekerasan dalam rumah tangga menunggu beberapa saat baru kemudian melaporkan atau memutuskan bercerai dari suaminya? Padahal dampak yang dialami korban tidaklah ringan, dari sekedar memar pada tubuh hingga kematian, belum lagi ketidaknormalan perkembangan anak, dan kehancuran keutuhan rumah tangga. Kemudian apakah latar belakang keluarga
10
dan nilai – nilai yang dianut menjadikan respon bertahan dalam rumahtangga pada masing – masing korban kekerasan berbeda? Hal inilah yang ingin diungkap peneliti dalam penelitian ini.
11
METODE PENELITIAN 1. Subyek Penelitian Karakteristik subyek dalam penelitian ini adalah perempuan yang berusia antara 20 – 50 tahun, sudah menikah dan memiliki anak, serta mengalami kekerasan dalam rumah tangga. 2. Metode Penelitian Jenis penelitian kualitatif dilakukan untuk mengembangkan pemahaman mengenai respon bertahan dalam kekerasan dalam rumah tangga. Pengumpulan data yang dilakukan dengan tehnik wawancara mendalam dan observasi.
12
HASIL PENELITIAN 1. Dinamika Psikologis Subyek Maria Subyek berasal dari keluarga dimana orangtuanya bercerai. Sebelum bercerai, orangtua subyek sudah pisah rumah dari subyek kelas 3 SD sampai subyek SMP. Saat subyek masuk SMP orang tua subyek resmi bercerai. Orangtua subyek bercerai karena masalah kekerasan dalam rumah tangga seperti yang subyek alami. Ayah subyek sering memukul ibu subyek ketika mereka bertengkar. Sejak kecil subyek sudah terbiasa mandiri karena ketika orang tuanya pisah rumah dan subyek sedang tinggal bersama ayahnya, subyek harus mencuci pakaiannya sendiri bahkan mencuci pakaian ayahnya, kemudian subyek juga harus memasak makanan untuk subyek dan ayahnya. Padahal saat itu subyek masih duduk dibangku SD dimana subyek seharusnya masih menikmati bermain bersama teman – teman subyek (W1, M, B 149 - 169). Ayah subyek memiliki sifat keras dan temperamen. Walaupun ayah subyek sering melakukan kekerasan kepada ibu subyek ketika subyek masih kecil, akan tetapi ayah subyek tidak pernah memukul subyek dan adiknya. Namun, ayah subyek mudah marah dan meledak – ledak ketika sedang marah. Ayah subyek langsung memarahi subyek saat subyek pulang terlambat tanpa bertanya mengapa subyek pulang terlambat (W2, M, B 1126 - 1136). Akan tetapi, pertengkaran subyek dan ayahnya tidak akan berlangsung lama. Keesokan harinya, ayah subyek sudah kembali seperti biasa. Ibu subyek tidak memiliki temperamen yang tinggi seperti ayah subyek. Subyek seminggu sekali akan mengunjungi ibu. Subyek merasa ibunya sebagai teman dan sahabat, bahkan terkadang subyek memanggil ibunya dengan “mbak” ketika bercanda dengan ibu subyek.
13
Ayah subyek menganut nilai bahwa bagaimanapun seorang istri harus patuh kepada suami (paham patriaki). Budaya patriaki patriaki menempatkan laki – laki sebagai lebih utama di atas perempuan (Hamim, 2001). Laki – laki yang menganut budaya patriaki memberikan pengertian berhak untuk dihormati dan dilayani oleh wanita berdasarkan superioritas jenis kelamin laki – laki ( Chrisler, 2003 ). Karena hal ini, ketika ayah subyek untuk pertama kalinya mengetahui bahwa suami subyek memukul subyek, ayah subyek langsung memarahi subyek tanpa bertanya mengapa suami subyek memukul subyek (W2, M, B 1016 - 1021) karena menganggap pemukulan terjadi karena kesalahan subyek. Ayah subyek juga menganut nilai bahwa masalah keluarga merupakan hal yang sangat privasi. Apapun masalah yang terjadi dalam keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain. Karena hal ini, ayah subyek memarahi subyek ketika subyek melaporkan kekerasan yang dialaminya ke polisi. Ayah subyek berpendapat, dengan melaporkan apa yang dialami subyek ke kantor polisi, maka subyek sudah mengumbar aib keluarga. Seharusnya, masalah keluarga subyek bisa diselesaikan juga secara kekeluargaan tanpa melibatkan polisi (W3, M, B 47 52). Ayah subyek juga tidak pernah membela subyek ketika subyek dipukul suaminya karena ayah subyek menganggap apa yang terjadi pada subyek adalah urusan rumah tangga subyek. Ayah subyek tidak berhak mencampuri masalah subyek karena menurut ayah subyek, ayah subyek bukan siapa – siap dalam rumah tangga subyek dan suaminya (W2, M, B 1111 - 1122). Suami subyek juga berasal dari keluarga dimana kekerasan dalam rumah tangga pernah terjadi. Ibu suami subyek pernah mendapat kekerasan dari ayah suami subyek. Akan tetapi, ibu suami subyek tidak mempermasalahkan kekerasan yang dilakukan suaminya dan memilih bertahan dalam rumah
14
tangganya. Hal ini dikarenakan ayah dan ibu suami subyek menganut paham patriaki sehingga ibu subyek menganggap pemukulan yang dilakukan ayah subyek merupakan hal yang wajar untuk mendidik istri (W1, IM, B 202 - 204). Ayah subyek sendiri bertemperamen keras. Ketika suami subyek masih kecil, ayah subyek sering memukul suami subyek saat marah. Ibu subyek juga memiliki temperamen yang keras sehingga suami subyek dan ibu suami subyek sering bertengkar karena sama – sama memiliki sifat keras (W2, M, B 520 - 525). Dengan paham patriaki yang dianut ibu mertua subyek, ibu mertua subyek selalu menyalahkan subyek ketika subyek bertengkar dengan suaminya. Ibu subyek akan menyuruh subyek diam saja ketika suami subyek sedang memarahi subyek. Jika subyek tetap menjawab saat suami sedang berbicara, kemudian subyek dipukul suaminya, maka menurut ibu mertua subyek pemukulan tersebut wajar terjadi karena subyek tidak patuh terhadap suami (W2, M, 1044 - 1048). Pendekatan social cognitive atau social learning Albert Bandura (Corsini, Kristyanti, 2004) menyebutkan bahwa individu dan lingkungan tidak berdiri sendiri – sendiri melainkan saling mempengaruhi satu sama lain. Dengan demikian, perilaku yang dihasilkan individu merupakan produk yang dipengaruhi oleh lingkungan. Berdasarkan teori Bandura, dengan latar belakang suami subyek dimana ayah suami subyek sering menyelesaikan masalah dengan kekerasan dan ibu suami subyek menganggap wajar kekerasan yang dilakukan ayahnya terhadap ibu suami subyek, maka suami subyek belajar bahwa kekerasan merupakan salah satu jalan untuk menyelesaikan masalah. Suami subyek pun menganggap wajar kekerasan yang dilakukannya terhadap subyek mengingat ayahnya sendiri sering melakukan tindak kekerasan terhadap ibu
15
suami subyek dan ibu suami subyek tidak mempermasalahkan kekerasan yang dialaminya tersebut. Belajar dari pengalaman seperti yang dilakukan suami subyek, juga dilakukan subyek dalam usaha subyek bertahan dalam rumah tangganya. Subyek pertama kali mendapat kekerasan setelah satu tahun menikah dan sedang hamil empat bulan. Walaupun subyek sering mendapatkan kekerasan dari suaminya, subyek memilih diam saja dan bertahan dalam rumah tangganya. Hal
ini
dilakukan
subyek
karena
subyek
sudah
merasakan
tidak
menyenangkannya menjadi anak dari keluarga broken home yang harus mandiri di usia yang masih kecil. Dengan demikian, subyek tidak ingin anaknya merasakan tidak enaknya menjadi anak dari keluarga broken home seperti dirinya. Alasan lainnya yang membuat subyek tetap bertahan dalam rumah tangganya walaupun sering mendapat kekerasan dari suaminya adalah karena budaya patriaki yang dianut baik ayah subyek maupun mertua subyek. Subyek merasa bahwa subyek adalah milik suaminya dan suami subyek berhak melakukan apa pun kepada diri subyek (W1, IM, B 428 - 430). Ibu mertua subyek juga selalu menekankan agar subyek mengalah ketika bertengkar dengan suaminya. Sehingga subyek mampu bertahan dalam rumah tangganya selama empat tahun. Jika pada akhirnya subyek memutuskan bercerai, bisa jadi karena ada proses belajar terhadap apa yang terjadi dalam keluarga subyek. Ibu subyek juga meminta cerai dari ayah subyek ketika mendapat kekerasan dari ayah subyek. Walaupun subyek merasakan hal yan tidak menyenangkan akibat perceraian orang tuanya, namun subyek melihat ibunya menjadi lebih baik setelah bercerai dari ayahnya. Ayah subyek juga tidak mengekang subyek untuk tetap bertahan
16
dalam rumah tangganya karena menurut ayah subyek, subyek berhak menentukan pilihannya sendiri dalam rumah tangganya karena subyek lah yang menjalani dan merasakan semua hal yang terjadi dalam hidup rumah tangga nya. Dengan kebebasan menentukan pilihan sendiri ini, menyebabkan subyek yang tadinya takut ayahnya tidak mendukung jika subyek berpisah dari suaminya, menjadi berani untuk memutuskan bercerai dari suaminya setelah empat tahun pernikanannya berlangsung.
2. Dinamika Psikologis Subyek Aisyah. Subyek Aisyah berasal dari lingkungan keluarga yang harmonis dan religius. Hal ini dapat terlihat dari shalat Maghrib dan shalat Isya berjamaah yang selalu dilakukan subyek dan keluarganya di mushalla yang terletak di halaman rumah orang tua subyek. Mushalla tersebut juga dijadikan tempat mengaji oleh anak – anak yang tinggal di sekitar rumah subyek. Selain seorang Ustadz yang mengajar ngaji, subyek juga ikut mengajarkan anak – anak tersebut mengaji. Orang tua subyek, juga sifat lembut dan tidak pemarah. Baik ayah dan ibu subyek tidak pernah memarahi subyek yang diikuti tindak kekerasan seperti pemukulan (W1, A, B 1191 - 1198). Ibu mertua subyek, memiliki temperamen keras dan mudah marah. Ibu mertua subyek juga suka membesar – besarkan masalah saat marah kepada subyek. Ketika marah, ibu mertua subyek juga suka membanting – banting barang yang berada di dekatnya. Bahkan, subyek juga pernah dimarahi oleh ibu mertuanya di depan kelurga besar suami subyek hanya karena masakan yang dimasak subyek ternyata tidak sesuai dengan yang diinginkan ibu mertua subyek
17
(W1, A, B 1383 - 1387). Ibu mertua subyek membanting – banting piring saat memarahi subyek tersebut. Dengan latar belakang ibu yang temperamental, tak heran suami subyek juga memiliki sifat yang keras dan kaku. Ketika subyek, suami, anak – anak, dan pramuwisma subyek duduk bersama kemudian bercanda, hanya suami subyek saja yang tetap kaku dan tidak tertawa ketika yang lain tertawa (W1, SE, B 272 277) Suami subyek juga suka membanting – banting barang ketika marah kepada subyek (W1, A, B, 51 - 54). Suami subyek juga memiliki gangguan emosi, yaitu ketika sudah marah dan memukul subyek, suami subyek akan langsung menyesal kemudian minta maaf dengan menyakiti diri sendiri, seperti memukulkan kepala ke lantai dan minum baygon (W1, A, B 201 - 208). Suami subyek tidak akan berhenti menyakiti diri sendiri sebelum subyek memaafkan dirinya. Orangtua subyek mengajarkan subyek untuk patuh pada suami (paham patriaki). Keluarga subyek membentuk subyek menjadi individu yang “nrimo”. Akan tetapi, orang tua subyek tetap menegur dan memarahi suami subyek ketika kekerasan yang dilakukan suami subyek membahayakan subyek. Seperti ketika suami subyek mencekik subyek dan mengakibatkan subyek pingsan bahkan subyek cacat akibat dicekik suaminya tersebut. Orangtua subyek meminta suami subyek membuat surat perjanjian diatas materai bahwa suami subyek tidak akan mengulangi perbuatan kekerasannya lagi baru kemudian orangtua subyek mengijinkan subyek kembali bersama suaminya lagi. Walaupun orangtua subyek selalu melindungi dan membantu subyek jika subyek mendapat masalah dalam rumah tangganya, subyek jarang sekali menceritakan masalah rumah tangganya kepada orang tuanya sehingga orang
18
tua subyek tidak mengetahui jika subyek sering mendapat kekerasan dari suaminya. Oleh karena itu, subyek mampu bertahan dalam rumah tangganya selama 13 tahun. Subyek menganut paham selalu patuh pada perintah suami. Hal ini dilakukan subyek karena ingin orang tuanya masuk surga jika subyek patuh pada perintah suami (W1, A, B 841 - 845). Subyek juga tidak menceritakan kekerasan yang sering dialaminya dan sikap arogan ibu mertuanya kepada orang tua subyek untuk menjaga hubungan baik antara ibu mertua dan orang tua subyek serta menjaga kehormatan suami subyek di mata orang tua subyek. Sifat nrimo yang dimiliki subyek juga berperan dalam upaya subyek mempertahankan rumah tangganya. Subyek selalu berusaha menerima semua kekurangan yang dimiliki suaminya sehingga selama 13 tahun pernikahan subyek dan suaminya, orang lain tidak pernah tahu permasalahan yang terjadi dalam rumah tangganya karena dengan menerima kekurangan suaminya seperti sifat temperamentalnya, subyek selalu menjaga tetap terlihat harmonis. Walaupun subyek sering mendapat kekerasan dari suami bahkan sampai subyek memiliki cacat pada leher, subyek tetap berusaha bertahan dalam rumah tangganya karena subyek juga sayang kepada suaminya. Rasa sayang inilah yang mampu membuat subyek menerima semua kekurangan yang ada pasa suaminya. Keputusan subyek untuk bercerai dari suaminya karena subyek merasa suami tidak menyayangi subyek lagi dengan menyebut akan menceraikan subyek saat mereka bertengkar kemudian mertua subyek yang menuntut keluarga besar subyek datang untuk minta maaf kepada mertua subyek agar subyek dan suaminya bisa menyelesaikan masalah dan kembali bersama.
19
KESIMPULAN A. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon bertahan pada masing – masing subyek penelitian berbeda. 1. Dinamika Psikologis Subyek Maria Subyek pertama yang berasal dari keluarga dimana orangtua subyek bercerai karena masalah KDRT kemudian suami subyek sebagai pelaku kekerasan berasal dari keluarga dimana KDRT juga sering terjadi, akan tetapi orang
tua
suami
subyek
tidak
bercerai.
Ibu
suami
subyek
tidak
mempermasalahkan kekerasan yang dilakukan oleh ayah suami subyek sehingga ibu suami subyek bertahan sampai saat penelitian ini dilakukan. Nilai yang ditanamkan pada subyek oleh orangtua dan mertuanya adalah paham patraki yang sangat kental. Paham patriaki ini mempengaruhi subyek dalam upayanya bertahan dalam rumah tangganya, yaitu subyek merasa bahwa subyek adalah milik suami sehingga harus bertahan dalam rumah tangganya. Namun, paham patriaki yang ditanamkan keluarga subyek ini tidak membuat subyek bertahan lama dalam penikahannya. Setelah empat tahun menikah, pada akhirnya subyek memutuskan bercerai dari suaminya. Jika dihubungkan dengan social learning Bandura, maka keputusan subyek untuk berpisah dari suaminya karena subyek belajar dari pengalaman ibunya yang juga memutuskan bercerai setelah sering mendapat kekerasan dari ayah subyek. Subyek melihat bahwa ibu subyek menjadi lebih baik setelah berpisah dari ayahnya. Hal lain yang mempengaruhi karena nilai yang ditanamkan ayah subyek bahwa urusan rumah tangga subyek merupakan urusan pribadi subyek sehingga jika subyek ingin
20
memutuskan bercerai dari suaminya, maka keputusan itu diserahkan ayah subyek kepada subyek sepenuhnya. Ayah subyek berpendapat bahwa ayah subyek bukan siapa – siapa dalam rumah tangga subyek sehingga tidak berhak mencampuri keputusan yang akan diambil subyek apakah ingin bercerai atau tidak. Oleh karena itulah, subyek akhirnya memutuskan bercerai dari suaminya sehingga subyek hanya mampu mempertahankan rumah tangganya selama empat tahun. 2. Dinamika Psikologis Subyek Aisyah Subyek Aisyah berasal dari keluarga yang harmonis dan religius. Orangtua subyek tidak pernah memarahi subyek kemudian memukul. Orangtua subyek pun memiliki sifat lemah lembut. Suami subyek berasal dari keluarga yang temperamental. Ibu mertua subyek sering memarahi subyek karena hal yang sepele, misalnya karena masakan yang dibuatkan subyek tidak sesuai dengan yang diinginkan ibu mertua subyek. Saat marah, ibu mertua subyek membanting – banting barang yang ada di dekatnya. Dengan latar belakang keluarga seperti ini, suami subyek juga memiliki sifat yang temperamental. Suami subyek mudah marah dan suka membanting – banting barang ketika sedang marah. Namun, emosi suami subyek suka mereda tiba – tiba setelah memarahi atau memukul subyek. Ketika emosinya mereda, suami subyek sering meminta maaf kepada subyek dengan menyakiti diri sendiri seperti memukulkan kepalanya ke lantai sampai benjol dan minum baygon. Suami subyek akan melakukan segala cara agar subyek memaafkan dirinya. Dengan latar belakang keluarga subyek yang harmonis dan religius membentuk subyek menjadi individu yang “nrimo”. Dengan sifat nrimonya,
21
subyek berusaha memahami dan menerima semua kekurangan yang dimiliki suaminya.
Subyek
juga
sayang
kepada
suaminya
sehingga
mampu
mempertahankan rumah tangganya selama 13 tahun walaupun sering mendapat kekerasan dari suaminya. Bahkan, sekarang leher subyek cacat akibat pemukulan yang dilakukan suaminya. Akan tetapi, karena subyek sayang dan selalu berusaha menerima suaminya apa adanya, subyek tidak terlalu mempermasalahkan hal ini. Setelah 13 tahun menjalani rumah tangga bersama suaminya, subyek baru memutuskan ingin bercerai
dari suaminya karena
merasa suaminya tidak menyayangi subyek lagi dengan menyebut ingin menceraikan subyek ketika mereka bertengkar, belum lagi ibu mertua subyek yang menuntut subyek dan keluarganya untuk minta maaf pada keluarga suami subyek baru kemudian mereka boleh bersatu kembali.
22
SARAN 1. Untuk Penelitian Selanjutnya. Disarankan untuk penelitian selanjutnya untuk meneliti lebih lanjut mengenai laki – laki yang menjadi korban KDRT karena selama penelitian ini dilakukan, peneliti belum menemukan penelitian lain yang meneliti suami sebagai korban KDRT. Penelitian selanjutnya diharapkan juga dapat meneliti dinamika psikologis terbentuknya pelaku KDRT. Kemudian peneliti juga menyarankan agar penelitian selanjutnya bisa meneliti dinamika psikologis korban KDRT yang bertahan dalam rumah tangganya dan tidak memutuskan bercerai. Cara korban KDRT tersebut mengatasi masalah yang dihadapinya dengan bertahan tanpa terbebani mungkin bisa dimanfaatkan pihak lain yang juga ingin mempertahankan keutuhan rumah tangganya atau memiliki masalah yang sama dengan subyek penelitian.
2. Subyek Penelitian Dari penelitian ini, subyek sempat merahasiakan kekerasan yang dialaminya dari orang lain. Peneliti menyarankan agar subyek berani menceritakan apa yang dialami untuk mendapatkan bantuan atas apa yang dialaminya.
23
DAFTAR PUSTAKA
- . 2003. Himpunan Perundang – Undangan, Undang – Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang – Undang No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta : Kantor Pemberdayaan Perempuan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Adiningsih, N.U, 2008. Stop Kekerasan http://www.hupelita.com/baca.php?id=40764.
Terhadap
Perempuan.
Anggarawaty, H. 2006. Isu KDRT : Antara Fakta dan Propaganda. http://www.mail-archive.com/
[email protected]/. 05/02/06 Anggoman,Y, Wirawan,H. 2002. Dampak Psikologis Kekerasan Fisik Di Dalam Rumah Tangga. Jurnal Ilmiah Psikologi ”Arkhe”, 2, 91-101 Firdaus, S. 2008. Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga. http://www.bunghatta.info/tulisan_226.ubh. 01/04/08 Hakimi, M, Hayati, E.N, Marlinawati, U.V, Winkvist, A, Ellsberg, M.C . 2001. Membisu Demi Keharmonisan ”Kekerasan Terhadap Isteri Dan Kesehatan Perempuan Di Jawa Tengah, Indonesia”. Yogyakarta : LPKGM-FK-UGM Hamim, A. 2001. Menjadi Suami Sensitif Gender. Yogyakarta : Rifka Annisa Women’s Crisis Center. Hassanah, M., Alsa, A., Rustam, A. 2006. Kekerasan dalam rumah tangga (studi kualitatif mengenai kekerasan dalam rumah tangga di LBH APIK Semarang). Jurnal Psikologi Proyeksi, 1, 11- 22 Meiyenti, S. 1999. Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga. Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Pikanisa. 2008. Undang-Undang no. 23 tahun 2004 : Hanya Tataran Wacana atau Konsep Penyadaran ?. http://www.gagasmedia.com/budaya/penulis/undang-undang-no-23tahun-2004-hanya-tataran-wacana-atau-konsep-penyadaran.html. 17/03/08 Poerwandari, K. 2005. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta : Lembaga sarana pengukuran dan pendidikan psikologi (LPSP3) fakultas psikologi universitas indonesia.
24
Poerwandari, K. 2001. Menjadikan Persoalan Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Masalah Bersama. http://www.rahima.or.id/SR/20-06/Opini2.htm Prayudi, G. 2008. Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Merkid Press : Yogyakarta. Ridwan. 2006. Kekerasan Berbasis Gender. Yogyakarta : Fajar Pustaka Rosalina, J. 2004. Memahami dinamika Kekerasan Pada Perempuan Korban kekerasan dalam rumah tangga (sebuah studi kualitatif pada perempuan korban KDRT yang bertahan dalam perkawinannya). Jurnal Psikologi, 1, 81-92. Rosalina, J. 2003. Mencari Makna Dalam Penderitaan (Potensi Peran Logoterapi Untuk Perempuan Korban KDRT). Jurnal Ilmiah Psikologi ”Arkhe”, 2, 66 77 Sullivan, M., Bybee, D. 1999. Reducing Violence Using Community-Based Advocacy For Women With Abusive Partners. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 67, 43 – 53 Susilowati, Pudji. 2008. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Istri. http://www.E-psikologi.com/epsi/individual_detail.asp?id=475. 20/02/08 Wahab, R. 2006. Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Perspektif Psikologis dan Edukatif. Unisia, 61, 247 - 278
25
IDENTITAS PENULIS Nama
: Sri Angilia Nurlaili
Alamat Rumah
: Jalan Sengkan No. 14, Babadan Baru XV, Sinduadi, Sleman, Yogyakarta, 55284
Nomor Telepon
: 085292404090