EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TUMBUHAN (S1): Konsep Dasar Epidemiologi
Faculty of Agriculture, Universitas Brawijaya Email : @ub.ac.id 1. PENDAHULUAN
4. REFERENSI
2. TUJUAN PEMBELAJARAN
5. PROPAGASI
3. KEGIATAN BELAJAR
6. PENDALAMAN
1. PENDAHULUAN
yang terikat dalam sebuah sistem dan di dalamnya berinteraksi berbagai sub-sistem dan elemen sistem menurut hukum alam yang berlaku pada sistem tersebut. Terjadinya ledakan (outbreak) penyakit tumbuhan di dalam suatu sistem budidaya pertanaman (agro-ekosistem) menjadi bukti bahwa terjadi pada gangguan hukum alami dalam sistem tersebut sehingga subsistem maupun elemen sistemnya saling “tubrukan” dengan munculnya kelainan pada pertumbuhan tanaman tersebut yang disebut dengan istilah “tanaman menjadi sakit”. Epidemiologi sebagai cabang dari fitopatologi muncul atau berkembang untuk menjelaskan fenomena tersebut dan memberikan solusi bagaimana cara menanggulanginya. Modul ini membicarakan tentang pengertian epidemiologi dalam bidang penyakit tanaman baik mengenai devinisi, sejarah terjadinya epidemi penyakit, bidang-bidang lain yang menjadi pendukung studi ini, keterkaitan antara faktor patogen, lingkungan dan tanaman, serta manusia dalam manajemen penyakit. Dalam modul ini, juga disajikan beberapa contoh jenis studi epidemiologi lain yang dapat dijadikan studi perbandingan mengenai pentingnya studi ini. Diharapkan setelah tuntas mempelajari modul ini, mahasiswa mampu melihat secara
komprehenshi
mengenai
kasus-kasus kejadian ledakan
penyakit di lapangan (outbreak). Untuk memudahkan mempelajari modul serta memperluas wawasan, baca pula buku-buku lain yang berkaitan dengan materi ini.
1
SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION DEVELOPMENT (SPEED)
Setiap kejadian di alam raya pada dasarnya merupakan suatu kesatuan
MODUL
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2. TUJUAN PEMBELAJARAN
2013
Terdapat beberapa target yang menjadi tujuan pembelajaran ini, yakni: 1. Mahasiswa
diharapkan
mampu
mengenal
teori
epidemi
penyakit
tanaman
sertaa
keterkaitannya dengan unsur-unsur lainnya. 2. Mahasiswa mengenal keterkaitan epidemiologi dengan pengetahuan dasar lainnya, sepertiti ilmu tanaman, fitopatologi, mikrobiologi, ilmu iklim, kimia, fisika, dan sebagainya yangg menjadi rujukan bagi menjelaskan terjadinya epidemi penyakit di lapangan. 3. Setelah mengikuti seluruh kegiatan belajar, mahasiswa mampu menjelaskan pengertiann tentang epidemi penyakit tanaman, dapat mendefinisikan dengan jelas tentang terjadinyaa outbreak penyakit, dan sebagainya.
3. KEGIATAN BELAJAR 1. Pengertian istilah dan definisi Sebelum menginjak lebih jauh mengenai pengertian epidemiologi marilah menengok kembali mengenai pengertian dasar tentang ilmu penyakit tumbuhan atau dikenal sebagai fitopatologi (phytopathology). Ilmu tersebut berasal dari bahasa Yunani (Phyton = tumbuhan, pathon = patogen, dan logos = ilmu), yang berarti ilmu yang mempelajari mengenai patogen pada tumbuhan atau tanaman. Untuk mempelajari hal tersebut diperlukan ilmu pendukung lainnya, baik yang sifatnya ilmu dasar maupun terapan, antara lain: mikologi, bakteriologi, virologi, ekologi, fisiologi, matematika, fisika, kimia, klimatologi, dan sebagainya. Dengan pengertian di atas maka mudahlah dibangun suatu kerangka yang lebih besar mengenai fitopatologi, yaitu yang dibangun untuk mempelajari dengan saksama mengenai tanaman sakit karena sesuatu sebab dan mencari jalan keluar untuk mengatasinya. Disini bertemu dengan istilah tanaman sakit, yang perlu didefinisikan dengan tepat pula. Berbagai pustaka menyebutkan berbagai definisi menurut versi penulisnya. Ada yang menyebutnya sebagai keadaan tanaman yang tidak dapat menjalankan fungsi fisiologisnya secara normal sehingga akan merugikan secara ekonomis, dan sebagainya. Perlu dicatat bahwa tanaman disebut sakit apabila menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut: a) Dapat terjadi perubahan anatomis dan fungsi fisiologis yang ditunjukan berupa gejala (symptom). b) Terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas produksi tumbuhan c) Baik jangka pendek maupun jangka panjang akan terjadi kerugian secara ekonomis. Kalau ciri-ciri tersebut diterapkan dalam paket definisi maka, tanaman sakit adalah: keadaan (kondisi) dimana tanaman tersebut mengalami kerusakan (injury) secara anatomis maupun fisiologis Page 2 of 9
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
sehingga menyebabkan kehilangan hasil (damage) baik secara kuantum maupun kualitas, dan dapat menyebabkan kerugian ekonomi (crop loss).
Dengan definisi tersebut maka semakin jelas bagi mereka yang mempelajari fitopatologi bagaimana caranya membuat kriterium bahwa suatu tumbuhan tertentu itu sakit, yakni dengan menghitung injury, kemudian dihubungkan dengan damage, dan akhirnya pengaruhnya terhadap crop loss. Cara menghitung dan mengukur hal tersebut dapat dipelajari dalam pustaka lain, seperti Phytopathometri, Crops loss Assassement, dsb. Dalam buku ini hanya akan dikemukakan bagaimana membangun teori tentang dinamika (epidemi) suatu penyakit di alam yang sifatnya teoritis. Ilmu yang mempelajari mengenai epidemi dari penyakit disebut Epidemiologi (dari bahasa Yunani: epi = pada, demos = penduduk, dan logos = ilmu), yakni ilmu yang mempelajari keadaan penyakit pada penduduk. Dalam Oxford Dictionary (Anonim, 1989) istilah epidemi diartikan sebagai “Penyakit yang berkembang sangat cepat diantara banyak manusia dalam tempat yang sama untuk waktu tertentu”. Tentu saja pengertian sangat cepat punya arti bahwa penyakit tersebut tidak dapat distop dan menyebabkan kerusakan. Dalam kenyataannya pada penyakit tanaman terjadinya insiden dan severitas mempunyai pola naik dan turun berdasarkan waktu. Pola tersebut terjadi karena adanya fator biotik dan abiotik dalam laju infeksi atau penyakit (infection rate) sehingga polanya sangat fluktuatif. Dengan demikian devinisi tersebut masih terus berkembang. Dalam bukunya Zadoks dan Schein (1979) mendefinisikan epidemi sebagai “peningkatan penyakit, yang dibatasi oleh waktu dan ruang dalam populasi tanaman”. Sementara itu Campbell dan Madden (1990), mendefinisikannya sebagai “suatu studi tentang perubahan temporal dan spatial yang terjadi selama terjadi epidemi penyakit tanaman yang disebabkan oleh populasi patogen dalam populasi tanaman”. Dengan demikian dalam perkembangannya definisi tersebut telah mencirikan keterlibatan beberapa hal, yakni: a) Terlibatnya dimensi ruang (tempat inang tumbuh) b) Terlibatnya populasi inang c) Terlibatnya dimensi waktu (umur tanaman dan musim) Sehingga kalau hal ini dipaket dalam definisi akan menjadi: ilmu yang mempelajari dinamika (atau keadaan) penyakit pada suatu populasi inang tertentu (tumbuhan) dalam ruang dan waktu tertentu yang nampak saat pertumbuhan awal, optimal dan maksimalnya. Dari sisi sejarah istilah epidemiologi tersebut pertama kalinya dikemukakan oleh seorang fisikawan Yunani, yakni Hippocrates (460-380 SM) dengan kalimat “what is among people”. Dimaksud dengan “what” tersebut adalah penyakit dan kata “people” sebagai populasi manusia. Hippocrates dibingungkan oleh kejadian bahwa dalam populasi manusia ada sebagian yang sakit dan sebagian lainnya sehat. Dalam kenyataannya didapatkan terjadinya epidemik penyakit “mumps” diantara lakiPage 3 of 9
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
laki muda dalam suatu olah raga. Sehingga menimbulkan pertanyaan, mengapa sekelompok anak muda sakit sementara lainnya tidak. Demikian pula pertanyaan lain muncul mengapa ada banyak kejadian penyakit yang timbul pada satu tahun dan tahun lainnya berkurang. Theophrastus (372-287 SM, dalam Frantzen, 2007) mengembangkan teori epidemi ini dari manusia ke tanaman. Dalam penelitiannya didapatkan kenyataan ada beberapa individu tanaman sakit dalam populasi, sementara individu lainnya tidak. Pengamatanpun dipertajam pada variasi infeksi individu-individu tanaman dalam populasi tersebut atau diantara populasi-populasinya dan mencoba untuk menjelaskannya. Sebagai misal adalah pada tunas-tunas klon tanaman Cirsium arvense (L.) Scop, yang menunjukan perbedaan infeksi dalam suatu skala sentimeter. Penyakit karat yang disebabkan oleh jamur Puccinia punctiformis (Str.) Rohl, diketahui kemudian yang selalu muncul pada musim semi (spring), dengan gejalanya adalah tunas-tunas menjadi pucat dan melonjong. Menjadi pertanyaan adalah mengapa satu tunas menunjukan gejala tersebut sedang tunas sebelahnya tidak. Adanya variasi lingkungan merupakan salah satu alasan untuk terjadinya variasi infeksi tersebut di dalam populasi, sebagaimana penelitian Theophrastus tadi, sehingga disimpulkan dengan suatu kalimat berikut: ” untuk lahan yang terbuka terhadap angin dan kemiringan tidak menunjukan adanya karat, atau serangannya ringan, sementara yang ditanam pada lahan yang lebih rendah dan tidak terbuka pada angin serangannya berat”. Bagian yang terbuka pada hembusan angin umumnya kondisinya kering sehingga menghambat infeksi patogen pada tanaman. Juga dipertanyakan mengenai pengaruh air pada proses infeksi, hanya terlihat bahwa adanya hubungan faktor lingkungan abiotik dengan mewabahnya penyakit pada tanaman yang terjadi dalam beberapa saat. Hal inilah yang diyakini sebagai penjelasan bahwa lingkungan
berperanan
berkembangnya
besar
epidemiologi
terhadap
dan
ekologi
keparahan
penyakit
tanaman, maka
tanaman.
kedua
ilmu
Bersamaan
dengan
pengetahuan tersebut
memberikan penjelasan mengenai hubungan timbal balik antara organisme dan lingkungannya. Lingkungan hanya merupakan salah satu faktor yang menjelaskan tentang mewabahnya penyakit. Namun pada tahun 1546 (abad ke 16) Gerolamo Fracastoro (dalam Frantzen, 2007) menjelaskan tentang adanya penyebaran penyakit melalui “seeds (biji)”. Pada saat itu tentu saja mikroskop belum berkembang, sehingga Fracastoro belum mengetahui adanya alat perbanyakan melalui spora jamur; demikian pula belum diketahui adanya mikroorganisme virus yang bisa dipindahkan dari satu tanaman ke tanaman lainnya. Demikian pula halnya dengan biji tanaman telah diketahui merupakan salah satu cara untuk memindahkan tanaman dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Pemahaman “seeds” inilah yang digunakan oleh Fracastoro (dalam Frantzen, 2007) untuk menjelaskan kemungkinannya perpindahan penyakit tersebut. Saat inipun perpindahan penyakit masih merupakan topik penelitian yang penting, khususnya dalam bidang kedokteran. Seluruh tubuh kita dari waktu ke waktu ditulari oleh berbagai jenis penyakit, seperti “Severe Acute Respiratory Syndrome” (SARS) pada tahun 2002, flu burung, AIDs, dan sebagainya. Telah dicoba untuk memahami dan meramal dari pengaruh outbreak tersebut terhadap masalah sosial manusia. Pengetahuan mengenai model dan kecepatan perpindahan penyakit sangat Page 4 of 9
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
diperlukan untuk memahami penyakit dan meramalkannya. Hal yang sama juga diperlukan adanya pengetahuan tentang model penyakit dan perpindahnnya dalam hal mewabahnya penyakit dalam populasi. Disini dapat dilihat kembali adanya hubungan paralel antara epidemiologi dan ekologi tanaman, sehingga pengetahuan model penyakit dan penyebaran propagulnya sangat penting untuk memahami mewabahnya penyakit di pertanaman. Fracastoro (dalam Frantzen, 2007) meneruskan pengamatannya pada tingkatan infeksi penyakit dan berpendapat bahwa: penyakit yang mewabah pada tanaman tidak menular pada binatang dan sebaliknya yang mewabah pada binatang tidak menular pada tanaman; terdapat jenis penyakit lainnya yang kurang mewabah pada manusia, binatang seperti sapi, kuda dan sebagainya. Penyakit tertentu mempunyai kemampuan menyerang hanya pada individu tertentu atau organ tertentu pula. Fracastoro mengenalkan adanya barier diantara tanaman dan binatang yang berpengaruh pada transmisi (perpindahan) penyakit. Patogen pada tanaman tidak menginfeksi binatang dan sebaliknya. Dicatat pula bahwa beberapa individu cenderung lebih peka terhadap penyakit dibanding lainnya, pernyataan yang sama seperti dikemukan oleh Greek. Sebagai tambahan, terlihat adanya spesifikasi serangan penyakit pada organ tertentu dari pada seluruh individunya. Sebagai contoh adalah Microbotryum violaceum (Pers.) Deml & Oberwinkler [ = Ustilago violacea (Pers.) Fuckel ] adalah jamur patogen penyebab penyakit smut yang menyerang tanaman Silene alba (Miller) E. H. L. Krause pada saat pembungaan sehingga menyebabkan tanaman steril. Meloncat dua abad kemudian (abad ke 18) orang mulai membicarakan hubungan epidemik dengan kerugian ekonomi, seperti yang dikemukakan oleh Danish Fabricius (ditulis tahun 1774): Pengetahuan
mengenai
penyakit
baik
pada binatang maupun tanaman
sangat
penting
bagi
perekonomian pedesaan namun masih gelap. Pada tanaman kondisinya sangat buruk; ekonomi pedesaan tidak dihubungkan sama sekali dengan deskripsi mengenai penyakitnya. Kekurangan pengetahuan mengenai penyakit tanaman, dan yang lebih penting lagi adalah pengendaliannya, baru terbuka pada tahun 1840-an. Pada saat itu mewabah penyakit hawar daun (late blight) pada kentang yang menghancurkan pertanaman tersebut di Eropa barat laut. Kentang pada saat itu merupakan makanan pokok bagi masyarakat miskin di Eropa; sehingga terjadinya epidemik penyakit tersebut menjadi bencana alam bagi penduduk Irlandia. Akibatnya sekitar 2 juta penduduk Irlandia mati kelaparan, sementara jutaan lainnya melakukan migrasi ke Amerika Utara akibat kelaparan oleh penyakit kentang tersebut. Kejadian tersebut memacu para ahli untuk mencari penyebabnya, sehingga pada tahun 1861, seorang berkebangsaan Jerman, De Bary menemukan Phytophthora infestans, yakni jenis jamur sebagai penyebabnya. Dalam era yang sama seorang berkebangsaan
Perancis,
Louis
Pasteur
mendemonstrasikan
adanya
mikroba
yang
mampu
mengembangkan dirinya sehingga hasil penelitian tersebut menolak pendapat umum pada saat itu yang menganut teori “spontaneous generation”. Pemikiran mengenai adanya mikroba sebagai penyebab utama dari penyakit terus berkembang sehingga datanglah Koch tahun 1890 yang mengajukan postulat (dikenal sebagai postulat Koch) Page 5 of 9
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
sebagai pembuktiannya dan sampai saat ini masih digunakan oleh para peneliti, yang prosedurnya sebagai berikut (Stanier, et.al., 1976 dalam Frantzen, 2007):
1. Bahwa mikroba harus terdapat (ada) pada setiap kejadian penyakit; 2. Bahwa mikroba tersebut harus dapat diisolasi dari inang sakit dan dapat ditumbuhkan pada kultur murni; 3. Bahwa
apabila
mikroba
yang
ditumbuhkan
dalam
kultur
murni
tersebut
harus
bisa
menghasilkan gejala penyakit yang sama bila diinokulasikan ke inangnya yang peka; 4. Bahwa mikroba tersebut harus dapat diisolasi kembali dari tanaman uji yang terinfeksi tersebut.
Namun postulat tersebut masih dipertanyakan mengingat adanya patogen tertentu yakni yang termasuk dalam obligat parasit (disebut pula biothroph) yang tidak bisa dibiakan dalam kultur murni, seperti patogen karat (Puccinia spp.), powdery mildew, dan sebagainya yang hanya hidup pada inang hidup. Sekitar tahun 1950-an Ernst Gaumann menyampaikan tulisan dalam bukunya berjudul Pflanzliche infektionslehre (Principles of Plant Infection), yang menghubungkan kejadian penyakit dengan prinsip atau caranya infeksi pada inang. Ia membedakan antara rantai infeksi homogen dan heterogen, yakni pada infeksi homogen daur hidup penyakit terjadi secara lengkap pada satu inang tanaman; sementara yang heterogen sedikitnya membutuhkan dua jenis inang tanaman atau lebih. Puccinia punctiformis bersifat daur homogen karena hanya menyerang tanaman C. arvense; sedangkan jenis patogen karat lainnya Coleosporium tussilagines (Pers.) Lev. bersifat daur heterogen karena daur lengkap terjadi pada dua inang yakni spesies Pinus dan tanaman semusim Senecio vulgaris L. Pada tahun 1951 Gaumann menyampaikan pendapatnya tentang mekanisme perpindahan patogen, seperti air, angin dan binatang sebagai faktor penting dalam epidemiologi. Tahun 1963, Van der Plank menyampaikan pemikirannya dalam bukunya yang terkenal yakni “Plant Disease: Epidemics and Control”, yang di dalamnya proses epidemi penyakit diperhitungkan secara lebih rinci dalam bentuk persamaan matematika diferensial, yang meliputi: periode laten (p), periode infeksi (i), dan faktor perbanyakan harian (Rc). Dengan persamaan tersebut maka kemudian dapat dikembangkan menjadi model dinamika dalam epidemiologi, seperti model simulasi EPIMUL, EPIVEN, dan sebagainya. Pada tahun 1979, Zadoks dan Schein mempublikasikan buku berjudul “Epidemiology and Plant Disease Management” yang menjadi teksbook penting dalam epidemiologi botani. Didalamnya dikemukakan tentang istilah “prosess monocyclic dan polycyclic” untuk membedakan siklus dalam individu
tanaman
dan populasi
tanaman. Juga
dikemukakan
mengenai
beberapa
persamaan
matematika dalam epidemiologi. Epidemiologi botani (Zadoks, 1969) memiliki tiga aspek: a. Epidemiologi Umum. Analisis kuwalitatif riwayat medis (sejarah), kehidupan dan siklus infeksi patogen. Page 6 of 9
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
b. Epidemiologi Ekologi. Analisis proses epidemi yang dibagi dalam sub-proses, memeriksa hubungan antara lingkungan dan sub-proses, mengukur hubungan yang ditemukan.
c. Epidemiologi teoritis. Sintesis pengetahuan sebagian yang diperoleh untuk pemahaman proses penyakit secara keseluruhan. 2. Segitiga dan segiempat penyakit Kalau definisi tersebut digambarkan dalam bentuk kurva maka dapat kiranya terlihat seperti diuraikan dalam bab berikutnya (lihat kurva respon). Dengan mempelajari hal tersebut maka semakin jelas bahwa mempelajari epidemiologi berarti pula mencoba mengkuwantifikasikan pengertian penyakit menjadi sesuatu nilai tertentu sehingga mudah dipelajari dinamikanya dari waktu ke waktu. Selain waktu menjadi penentu yang perannya dapat berpengaruh terhadap laju perkembangan penyakit, ada tiga faktor lain yang perlu diperhatikan yakni: patogen, inang (host), dan lingkungan (environment) dimana epidemi terjadi. Dalam epidemiologi hal ini disebut sebagai segitiga penyakit (disease triangle), yang akan membentuk keparahan tingkatan penyakit tertentu. Faktor keempat yang interaksinya agak di luar ketiga faktor tersebut namun punya pengaruh dominan yakni manusia melalui teknologinya yang dapat merubah suatu kawasan atau agroekosistem tertentu. Kalau faktor tersebut dimasukan dalam lingkaran tadi maka akan menjadi segiempat penyakit (disease square). Hubungan faktor-faktor tersebut bagi terjadinya penyakit ditunjukan pada Gambar 1.
Gambar 1. Segitiga penyakit dalam pathosistem alami dan segiempat penyakit yang terjadi dalam pathosistem pertanaman (lingkaran).
Dari Gambar 1 tersebut terlihat bahwa keparahan penyakit sangat ditentukan oleh “pergeseran” faktor patogen, tanaman, dan lingkungannya. Pada kondisi lingkungan yang sesuai (favorable), patogennya ganas (virulent), dan tanamannya rentan atau peka (succeptable); maka bidang pertemuan (overlay)-nya akan semakin besar sehingga keadaan penyakit semakin parah (lihat tanda panah pada Gambar 1). Sebaliknya bila kondisi salah satu faktor tersebut tidak mendukung maka bidang temunya akan semakin sempit sehingga kejadian penyakitpun semakin ringan. Dari ketiga faktor yang saling berinteraksi tersebut, masing-masing masih dapat dirinci dalam berbagai sub faktor yang dapat diukur secara kuantitatif sehingga dinamika penyakit (terlihat dari pergeseran bidang pertemuan) dapat diamati atau dimonitoring. Adapun sub faktor tersebut uraiannya antara lain: Page 7 of 9
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
1. Faktor tanaman:
2013
a) Luas permukaan kanopi (bisa diukur dari luasan daun dalam satuan “leaf area index”) b) Populasi tanaman, yakni jumlah tanaman per luasan tanam c) Kepekaan tanaman, tergantung dari varietas yang ditanam atau bagian tanaman d) Umur tanaman e) Pola tanam 2. Faktor patogen: a) Tingkat keganasan atau virulensi b) Populasi inokulum c) Ras fisiologis 3. Lingkungan:
a) Khususnya lingkungan fisik berupa faktor cuaca (suhu udara, kelembaban nisbi, curah hujan, kecepatan angin, lama penyinaran, dan lain-lain) yang diukur dengan menggunakan alat pencatat cuaca (tersedia di stasiun cuaca atau alat yang bisa dibawa). b) Kemungkinan pula faktor biologis seperti musuh alami (predator, parasit, dan sebagainya)
Bentuk hubungan dalam sub faktor tersebut di atas yang kemudian dicoba dianalisis secara kuantifikasi dalam epidemiologi. Oleh karena itu bidang ini memerlukan adanya bantuan ilmu dasar seperti yang dikemukakan tersebut di atas, khususnya matematika, statistika dan ekologi. Beberapa pengetahuan lainnya yang perlu mendapatkan perhatian antara lain: (a) Tumbuhan inang sehat (b) Pertumbuhan normal tanaman dalam populasi (c) Kelakuan patogen (d) Fase dari daur infeksi (e) Kondisi lingkungan Atas dasar pengetahuan yang dapat dicandra atau didata tersebut di atas maka dengan adanya kejadian yang berulang-ulang akan menjadikan kajian menarik untuk membuat model peramalan tentang kejadian penyakit di masa akan datang (mingguan ke depan atau bulan). Hal ini akan semakin menarik karena daripadanya dapat dibuat suatu strategi tertentu bagi pengendalian penyakit.
4. REFERENSI Agrios, G.N. 2005. Plant pathology. Elsevier Acad. Press, Amsterdam, New York. 922 h. Campbell, C.L. dan L.V. Madden, 1990. Introduction to plant epidemiolgy. John Wiley & Sons. New York, 532p.
Frantzen, J. 2007. Epidemiology and plant ecology: Principles and aplications. Publ. by World Scien. Publish. Co.Pte.Ltd., Singapore. 171 p. Sastrahidayat, I.R. Fitopatologi (Ilmu Penyakit Tumbuhan). UB. Press. 200 h. Page 8 of 9
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Zadoks, J.C. and R.D. Schein. 1979. Epidemiology and plant disease management. Oxford Univ. Press. New York. 427 h.
5. PROPAGASI Memberikan arahan kepada mahasiswa mengenai batasan dan keluasan bidang studi epidemiologi serta cakupan yang harus menjadi bahan dalam proses belajarnya. Disamping itu mahasiswa diminta untuk aktif dalam setiap perkuliahan dengan memberikan respon pertanyaan dan diskusi sebagai bahan “akad perkuliahan” dalam memberikan penilaian tentang keberhasilan sosialisasi.
6. PENDALAMAN 1. Berikan batasan yang operasional mengenai pengertian epidemi penyakit tanaman dalam kondisi alaminya, yang menyangkut kondisi ruang dan waktu. 2. Mengapa epidemiologi penyakit penting untuk dipelajari bagi mereka yang melakukan kegiatan pertanian dalam arti luas, jelaskan dengan alasan historis dan prospektifnya.
Page 9 of 9