EPIDEMIOLOGI KUANTITATIF (S2): Peramalan Penyakit Faculty of Agriculture, Universitas Brawijaya Email : @ub.ac.id
1. PENDAHULUAN
4. REFERENSI
2. TUJUAN PEMBELAJARAN
5. PROPAGASI
3. KEGIATAN BELAJAR
6. PENDALAMAN
1. PENDAHULUAN
Contohnya adalah peramalan tentang kejadian kiamat, siksa dan nikmat kubur, surga/neraka, bidadari/bidadara, dsb. Namun ada pula peramalan yang short periode, misalnya kejatuhan kekaisaran Persia dan Romawi yang silih berganti dalam 9 tahun didepan yang diinformasikan Qur"an pada awal Islam, dan terbukti kebenarannya (Ar-Rum: 1-4). Dengan demikian bila dibandingkan bentuk kesatu dan kedua yang terakhir ini validitasnya mencapai 100 persen, artinya pasti terjadi.
5
SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION DEVELOPMENT (SPEED)
Seorang ahli ramal bisa dikultuskan peranannya seperti seorang nabi; dan setiap nabi selalu mempunyai tantangan dan kesulitan, bahkan ia sulit diterima dinegerinya. Peramalan pada dasarnya adalah suatu perkiraan yang akan terjadi didepan (akan datang) berdasarkan kejadian saat ini atau masa lalu. Dalam hidup ini pada hakekatnya kita mengenal ada tiga bentuk peramalan yang biasa menjadi landasan tingkah laku sehari-hari, yakni: peramalan non empiris, peramalan empiris, dan peramalan religi. Bentuk pertama (non empiris) adalah memperkirakan suatu kejadian yang akan datang tanpa data yang dapat dideteksi manusia, namun atas dasar asumsiasumsi ghoib seperti mimpi, bisikan hati, pendengaran sepintas (wangsit), dsb. Ramalan cara ini berkembang dalam dunia klenik yang digeluti oleh paranormal, dukun, dll. Adapun validitas (kesokhehan) kebenarannya sangat rendah, tidak mencapai 5 persen, sehingga apabila hal ini jadi pegangan hidup masyarakat maka sama halnya dengan menggantungkan nasib pada perjudian yang tak akan menang. Bentuk kedua adalah peramalan dengan menggunakan data empiris untuk perkiraan ke depan, dengan demikian setiap orang dapat membaca atau memahami secara rasional mengenai model yang dikembangkannya. Peramalan cara ini yang digeluti para ilmuwan, seperti peramalan cuaca, peramalan ekonomi, dan termasuk peramalan ledakan penyakit yang kita bicarakan saat ini. Dari pengalaman penulis tingkat validitasnya insya Allah dapat mencapai 80 persen. Sedangkan bentuk peramalan religi (agama) adalah merupakan peramalan atas dasar informasi kitab suci yang diwahyukan Tuhan. Disini kebanyakan kejadiannya panjang (long period) jauh di luar umur manusia, sehingga pembuktiannya dalam waktu dekat sulit dialami, disinilah perlunya metode pendekatan lain yakni sistem kepercayaan (iman).
MODUL
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2. TUJUAN PEMBELAJARAN
2013
1. Memberikan pengertian mengenai pentingnya peramalan dalam epidemiologi penyakit tanaman karena dengan itu mahasiswa akan memberikan perhatian lebih serius terhadap kejadian penyakit dimasa yang akan datang. 2. Memberikan pelatihan pada mahasiswa bagai melakukan peramalan dengan pendekatan data empiris yang mereka dapat baik secara peneletiannya sendiri maupun dengan cara mengolah data sekunder.
3. KEGIATAN BELAJAR Pada modul ini kita hindari resiko seorang nabi dan marilah kita mendiskusikan ramalan kita pada prosedur yang mendekati kenyataan ilmiah. Marilah kita memasuki peramalan dengan cara kedua yakni atas dasar empiris rasional manusia untuk meramalkan penyakit sesuai dengan kaidah keilmuan kita. Peramalan cara pertama sebaiknya dibuang jauh-jauh karena akan menjatuhkan harkat ilmuwan, sedangkan cara yang ketiga sangat dianjurkan namun dapat kita bicarakan pada kesempatan lain. Istilah peramalan ini sebenarnya telah lama digunakan dipustaka-pustaka Rusia dalam fitopatologi (Zhdanov, 1964). Demikian pula di Inggris untuk ilmu penyakit manusia dalam bahasa Inggris
sering
digunakan
istilah
disease
forecasting
atau
prediction
yaitu
suatu
usaha
memperkirakan (estimasi) kapankah suatu penyakit akan mengalami epidemi, dan sampai seberapa besarkah kerugian yang akan ditimbulkan. Dengan diketahui saat terjadinya epidemi jauh di depan, maka petani dapat melakukan tindakan preventif dalam melindungi usaha pertaniannya dari kerusakan total. Peranan peramalan ini begitu pentingya dirasakan setelah orang/petani menyadari bahwa penyakit-penyakit tertentu demikian seriusnya dalam merusak pertanaman mereka, yang dalam waktu "sekejap" saja menyebabkan tanaman menjadi "puso". Contoh klasik adalah penyakit late blight (Phytophthora infestans) pada kentang di atas dan cacar teh (Exobasidium vexans) yang merupakan masalah utama bagi perkebunan teh utama di dunia Masalahnya adalah lalu
seperti India, Sailan, dan Indonesia sendiri.
bagaimana kita membuat suatu peramalan dan persyaratan apakah yang
perlu diperhatikan? Pada dasarnya suatu peramalan hanyalah merupakan suatu perkiraan yang disusun atas data empiris berdasarkan pengamatan bertahun-tahun. Pentingnya adalah, semakin lama pengamatan akan semakin tajam pula daya ramal didapat. Karena semakin lengkapnya data dan pengalaman pengamat. Ada dua faktor pokok yang bisa dijadikan dasar dalam peramalan penyakit tanaman, yakni : 1. Berdasarkan data cuaca (suhu udara, kelembaban nisbi udara, intensitas sinar matahari, curah hujan, kecepatan angin, kebasahan daun, dan sebagainya) dan, 2. Berdasarkan data biologi (jumlah spora, populasi vektor, periode infeksi dan sebagainya) atau dapat gabungan dari keduanya.
Page 2 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Kedua cara pendekatan tersebut di atas mempunyai kelemahan dan kelebihan. Faktor cuaca seperti
kelembaban
nisbi
udara
misalnya,
walaupun
disebutkan
bahwa
kelembaban
tertentu
merupakan indikator akan terjadinya epidemi penyakit tertentu; dalam kenyataannya sering meleset. Hal ini mudah dipahami karena sampai saat ini, dengan peralatan yang canggih sekalipun tidaklah mudah diikuti " kelakuan" cuaca secara tepat; cuaca dapat berubah dengan tiba-tiba di luar perhitungan kita. Akan tetapi kelebihannya ialah dengan cara ini seseorang dengan mudah akan mampu memonitoring cuaca dan melakukan peramalan dengan alat yang sederhana dan perhitungan yang mudah pula. Jika cuaca yang mempengaruhi penyakit dapat diramalkan, hal ini merupakan suatu keuntungan besar karena memungkinkan petani melakukan perlindungan (dengan penyemprotan) sebelum infeksi terjadi. Apalagi bila peramalan cuaca tersebut didasarkan atas peta cuaca, akan menjadi tambahan sumber informasi yang penting bagi peramalan (Weltzien, 1978). Sebaliknya pendekatan biologi sering sekali kurang praktis dan rumit dalam penanganannya. Misalkan jumlah spora di udara, apabila hal ini dijadikan dasar peramalan maka diperlukan orang yang sudah benar-benar ahli dalam membedakan jenis-jenis spora dan penggunaan peralatan mikroskopis. Keuntungannya karena cara ini lebih memberikan gambaran realistis akan adanya populasi (jumlah inokulum) sebenarnya di alam, sehingga dapat dikatakan bahwa sejumlah vektor tertentu atau spora tertentu merupakan batas kritis dibandingkan dengan kelembaban atau suhu tertentu. Perkembangan lain baru-baru ini menggunakan sistem analisis dari contoh-contoh hasil tanaman dan beberapa penyakit tanaman, dengan menggunakan jasa komputer. Contoh yang mendasarinya misalnya pada penyakit jamur, maka informasi yang diperlukan meliputi: perkembangan sporofor, perkembangan perkecambahan spora dan sebagainya; serta efek dari curah hujan, suhu, kelembaban, angin, sinar, awan dan sebagainya. Pada proses biologi akan dideterminasi secara kuantitatif sebelum suatu contoh dapat dikembangkan. Terlepas dari alasan-alasan tersebut di atas, dalam kenyataannya masalah peramalan telah berkembang dengan pesat di banyak negara pertanian, karena cara ini setidak-tidaknya memberikan gambaran lebih terang mengenai "kelakuan" penyakit di depan dibanding tanpa peramalan. Tentunya ada alasan-alasan logis mengapa atau bagaimana peramalan diperlukan. Dalam hal ini ada empat masalah pokok yang jadi alasan, yakni: 1. Penyakit dan tanamannya mempunyai arti ekonomi penting. Di Indonesia belum banyak dikembangkan, namun salah satu contohnya adalah pada penyakit cacar teh (Exobasidium vexans) pada tanaman teh yang dapat dilihat pada uraian di bawah (DeWeille, 1959). Sebaliknya di luar negeri cara ini telah berkembang pesat. Misalnya di Suriname dengan komoditi utamanya tanaman pisang, maka peramalan terhadap
penyakit sigatoka yang
disebabkan oleh Mycosphaerella musicola telah dilakukan dengan intensif dalam mengatasi masalah penyakit tersebut. 2. Pemberantasan dengan pestisida dianggap merupakan pemborosan dan merusak lingkungan. Di alam populasi penyebab penyakit tidaklah selamanya meningkat terus mengingat banyaknya faktor-faktor pembatas. Melihat
kenyataan ini penggunan pestisida pada saat populasi Page 3 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
menurun misalnya adalah perbuatan pemborosan bahkan dapat merusak lingkungan baik fisik maupun biologi. Dengan demikian pengetahuan mengenai saat-saat mana pestisida diperlukan adalah merupakan langkah yang tepat dalam membantu masalah tersebut. Dapat kita perhitungkan berapa juta rupiah uang negara
yang dapat diselamatkan dari perbuatan sia-sia
dalam pemberantasan hama penyakit tersebut dalam perkebunan besar bila kita dapat mempergunakannya dalam waktu yang tepat. 3. Perlu adanya pemberantasan yang efisien. Pemanfaatan pestisida tertentu misalnya Cu atau Ni, meskipun mahal namun dapat dianjurkan bila hal tersebut dianggap lebih efisien dan efektif dibanding jenis lainnya. 4. Penyakit berkembang menurut pola yang tidak tetap dari musim ke musim. Di Indonesia dengan adanya dua musim (hujan dan kemarau) sering menyebabkan perkembangan penyakit tertentu yang berbeda jauh. Misalnya, penyakit tepung (Podosphaera leucotricha) pada apel berkembang dan terjadi epidemi pada
musim kemarau (Sastrahidayat, 1984) dalam musim
hujan relatif menurun; sebaliknya penyakit bercak daun (Marssonina coronaria) berkembang pada musim hujan dan menurun pada saat kemarau (Widyatmiko et al., 1987).
Kini sampailah kita kepada model yang bagaimana yang dapat dikembangkan dalam epidemi penyakit. Model bukan merupakan miniatur dari sistem sebenamya di alam yang akan menjawab semua masalah sistem tersebut, melainkan lebih cenderung kearah penyederhanaan dari sistem sebenamya; biasanya difokuskan kepada aspek tertentu atau berorientasi kepada problem. Dalam hubungannya dengan epidemiologi terdapat tiga model, yakni model deskriptif (descriptive model), model peramalan (predictive model), dan model konsepsi (conceptual model) (Kranz dan Royle, 1978). 1) Model deskriptif. Model ini merupakan ekspresi dari suatu hipotesis yang dibangun oleh pemikiran tertentu atau hasil-hasil penelitian yang sifatnya umum kepada penampakan proses epidemi tertentu, seperti: infeksi, inokulum, faktor lingkungan, perkembangan penyakit, dsb. Dengan model ini maka faktor biologi yang terlibat dalam terjadinya epidemi penyakit dicoba dijabarkan dalam bentuk persamaan-persamaan sehingga mudah dipahami dinamikanya. Contoh dari model tipe ini yang banyak dikaji oleh ahli penyakit tumbuhan adalah mengikuti madzab van der Plank (1963) dalam mengukur laju infeksi penyakit, sebagai berikut: a. Laju infeksi eksponensial b. Laju infeksi logistik c. Teori ambang ekonomi, i.Rc > 1 Model (a) mengisyaratkan bahwa pertumbuhan seolah-olah tidak akan berhenti, padahal di alam tidaklah demikian mengingat adanya faktor pembatas seperti cadangan makanan, lingkungan, maupun waktu itu sendiri, sehingga model (b) lebih banyak digunakan. Dengan mengetahui nilai r (0 > r < 1), maka kita sudah mempunyai bekal untuk mengamati kelakuan penyakit tertentu, semakin kecil nilainya semakin kecil pula laju perkembangannya. Dari contoh penelitian Sastrahidayat et.al. (1993) dengan menggunakan model di atas terlihat bahwa Page 4 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
penyakit tepung palsu (Plasmopara viticola) pada anggur mempunyai nilai r = 0,30 pada daun tanaman umur 7 minggu, jauh di atas rata-rata umur tanaman dengan nilai r = 0,01. Hal ini berarti bahwa pada umur tersebut merupakan saat rentan bagi infeksi penyakit. Kalau nilai r (7 minggu) tersebut dijadikan dasar peramalan, maka dengan mengamati tingkat serangan awal (x0) kita sudah dapat meramalkan besarnya tingkat serangan pada waktu tertentu di depan. Model (c) telah dikembangkan oleh van der Plank untuk meramal penyakit karat (Puccinia graminis) pada gandum, dimana periode infeksi (lamanya suatu pustul bereproduksi), Rc adalah multiplikasi satu pustul per unit waktu. Apabila perkaliannya mencapai nilai satu atau lebih, dapat diramalkan bahwa pada areal yang bersangkutan akan terjadi serangan yang secara ekonomi sangat merugikan. Bila i = 1 hari, Rc harus melampaui 1 per unit per hari untuk mulai suatu epidemi. Bila i = 0,5 tahun, Rc harus melampaui 2 per unit per tahun (van der Plank, 1963). 2) Model prediksi. Sebenarnya cara inipun termasuk deskriptif, namun disusun dari banyak variabel dimana nilainya tergantung seberapa baik dalam meramalkan. Dari uraian di depan diketahui bahwa epidemi atau keadaan penyakit pada suatu saat dalam suatu ruang (kebun) tertentu terjadi karena adanya proses interaksi dari "segi tiga" penyakit yang telah kita kenal bersama. Kalau faktor inang kita anggap homogen kerentanannya, maka faktor lingkungan dan biotis merupakan faktor penentu naik turunya epidemi penyakit. Hubungan antara pengaruh kumulatif faktor lingkungan dan biotis terhadap epidemi penyakit inilah yang biasanya digunakan sebagai alat peramal yang dijelaskan dalam bentuk persamaan matematika/statistik (Suwondo, 1986).
Dari alasan tersebut di atas, maka dapatlah diumpamakan faktor lingkungan dan biotis sebagai peubah bebas (X) sedangkan tingkat serangan sebagai peubah tidak bebasnya (Y). Dalam hal ini epidemi dikuantitatifkan dalam besarnya tingkat serangan (%). Jadi dengan demikian terjadinya Y = ƒ (X). Mengingat faktor lingkungan dan biotis cukup besar variasinya, maka X dapat dijabarkan sebagai berikut (sebagai contoh saja) : X1 = suhu udara (oC), X2 = kelembaban nisbi (%), X3 = intensitas sinar matahari (lux), X4 = lamanya periode penyinaran (jam/hari), X 5 = kecepatan angin (m/jam), X6 = jumlah spora di udara/liter, dan seterusnya tergantung faktor mana yang dianggap sebagai "kunci" dalam dinamika epidemi. Data faktor lingkungan dapat dimonitoring melalui rumah cuaca setempat atau menggunakan peralatan lain yang mampu mendeteksi mikroklimat. Sedangkan jumlah spora di udara sebagai faktor biotis, dapat diamati dengan alat penangkap spora yang telah dikenal. Semua faktor tersebut diamati setiap hari selama suatu penelitian berlangsung. Data yang didapat merupakan hasil yang masih mentah yang masih memerlukan proses analisis lebih lanjut, yang biasanya dilakukan analisis statistika sederhana seperti persamaan regresi atau analisis sidik lintas (path analysis). Untuk memberikan gambaran yang mudah, sebaiknya dicoba untuk hitung-menghitung sejenak dengan contoh berikut: Suatu asumsi perlu dikembangkan bahwa nilai tingkat serangan Y, yang terjadi pada hari H adalah merupakan hasil akhir yang terjadi karena adanya interaksi berbagai faktor X pada Page 5 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
hari- hari sebelumnya. Kalau mingguan dijadikan acuan berarti Y terbentuk oleh faktor H-l, H-2, H-3, H-4, H-5, dan H-6. Dengan asumsi ini dapatlah dibangun variasi analisis statistika dalam mencari bentuk hubungan yang paling erat terhadap tingkat serangan. Sebagai contoh, variasi 1 adalah suatu jumlah rata-rata H-l s/d H-6; variasi 2 adalah suatu jumlah rata-rata H-l , H-2, dan H-3; variasi 3 adalah jumlah rata-rata H-4 dan H-5, demikian seterusnya. Akhirnya akan didapat banyak alternatif variasi dengan nilai korelasi beragam pula. Cara statistika akan memilih alternatif dengan korelasi tertinggi, namun hal ini tidaklah mutlak karena dalam peramalan masih harus diperhitungkan faktor lain, yakni teknis pelaksanaan dan biaya peralatan. Sebagai contoh apabila hasil korelasional menunjukkan
bahwa variasi 1 adalah paling erat dibanding lainnya, maka ini akan kurang praktis
dalam teknis pelaksanaan karena variasi ini berbunyi kurang lebih demikian "dari monitoring data ratarata harian selama satu minggu ternyata akan terjadi epidemi penyakit besok". Hal ini berarti bahwa data pengamatan dianalisis sekarang untuk meramal keadaan esok harinya, sehingga tidak cukup waktu untuk melakukan tindakan preventif (penyemprotan) apabila hal tersebut diperlukan. Dengan demikian sebaiknya dicari alternatif variasi yang mempunyai waktu cukup jauh terhadap terjadinya epidemi, dalam contoh di atas misalnya saja adalah variasi 3, karena ada tenggang waktu selama lebih kurang 4 hari dari saat
dapat diramal akan semakin baik, demi persiapan yang memadai terutama
pada perkebunan besar yang luas lahannya ribuan hektar. Peramalan dengan pendekatan korelasional Untuk mendapatkan gambaran yang jelas cara meramalkan datangnya epidemi seperti diuraikan didepan maka baiklah bila kita ikuti suatu hasil penelitian penulis (Sastrahidayat, 1995) pada penyakit cacar teh pada perkebunan Wonosari, milik PTP XXIII seperti telah diketahui bahwa penyakit cacar teh yang disebabkan oleh Exobasidium vexans merupakan kendala utama bagi produksi tanaman tersebut diberbagai negara utama penghasil teh, termasuk Indonesia. Mengingat pucuk- pucuk (peko) daun teh merupakan bagian yang rentan terhadap penyakit tersebut, pada hal justru bagian tersebut yang di petik, maka untuk mengurangi kerugian
hasil telah banyak diusahakan cara peramalan datangnya
outbreak. Pada dasarnya cara peramalan tersebut dilakukan dengan seberapa besar (persen) pucuk yang sakit dihubungkan dengan peranan faktor cuaca sebelumnya. Dari hasil penelitian penulis ternyata perkembangan penyakit cacar teh diperkebunan Wonosari mempunyai hubungan yang erat dengan rata-rata harian beberapa komponen cuaca yang diamati 5 hari sebelumnya selama lima hari berturut-turut (Tabel 1). Kalau hal ini ditulis dalam bentuk kode adalah sebagai berikut: Epidemi cacar yang terjadi (%) pada hari Ho dapat diketahui dari rata-rata pengamatan harian data cuaca H-5 hari selama 5 hari berturut-turut yakni H-6, H-7, H-8, H-9 dan H-10. Unsur cuaca yang menunjukkan hubungan erat, pada tabel ditandai dengan tanda bintang (*) yang secara statistika disebut sebagai korelasinya nyata. Dari Tabel tersebut tampak bahwa 3 komponen cuaca menunjukkan hubungan kurang erat terhadap persentase pucuk terkena cacar, yaitu X I (kecepatan angin), X2 (curah hujan), dan X3 (suhu udara); sedangkan 3 komponen lainnya menunjukkan hubungan sangat erat, yaitu X 4 (kelembaban nisbi), X5 (intensitas sinar matahari) dan X6 (konsentrasi spora di udara). Page 6 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Tabel 1. Matriks korelasi diantara komponen cuaca dan konsentrasi spora terhadap tingkat serangan cacar teh.
Elemen cuaca
X1
X2
X3
X4
X5
X6
Y
X1
1
-0,25
0,33
-0,49
0,26
-0,36
0,26
1
-0,14
0,28
0,35
0,34
-0,44
1
-0,54
0,35
-0,71**
-0,52
1
-0,70**
0,83**
0,74**
1
-0,67*
-0,90**
1
0,75**
X2 X3 X4 X5 X6 Y
1
Keterangan: * hubungan erat (p = 5%), ** hubungan sangat erat (p = 1%), X 1=Kecepatan angin (km/j); X2 = Curah hujan (mm); X3 = Suhu udara (0C); X4 = Kelembaban nisbi udara (%);X5 = Intensitas sinar matahari (lux); X6 = Jumlah spora di udara per liter; Y = Persentase pucuk bercacar. Dari tabel tersebut memberi kesan bahwa seakan-akan setiap komponen berdiri sendiri dalam mempengaruhi tingkat serangan hal yang sebenamya tidak mungkin dalam keadaan alami. Untuk melihat keterlibatan lebih dari satu faktor pada tingkat serangan tersebut, maka perlu dilakukan analisis dengan korelasi dan regresi berganda, yang hasilnya ditunjukkan dalam Tabel 2. Tabel 2. Analisis regresi berganda pengaruh cuaca dan konsentrasi spora di udara terhadap tingkat serangan cacar teh. Persamaan regresi R12 (%) R22 (%) R32 (%) Y=-85.02+1.64X4+13.29X6 57.16 61.80 Y=20.54+0.91X4-0.002X5 82.49 84.85 Y=88.26-0.002X5-8.12X6 82.49 86.25 Y=63.46+0.32X462.49 66.25 66.55 0,002X5+6.29X6 Keterangan : X4 =kelembaban nisbi, X5 =intensitas sinar matahari, X6 = konsentrasi spora di udara, Y = persentase pucuk terkena cacar yang akan teijadi lima hari kemudian, R l2 =koefisien determinasi antara salah satu komponen yang lebih berpengaiuh terhadap tingkat serangan, R 22 = koefisien determinasi antara kedua komponen terhadap tingkat serangan. Tambahan: kombinasi di atas adalah yang terbaik dari beberapa kombinasi yang diuji. Kombinasi 1 2 3 4
Dari hasil pengujian tersebut semakin nyata bahwa intensitas matahari memegang peranan yang penting bagi perkembangan penyakit cacar di perkebunan Wonosari. Karena kedua kombinasi bergandanya baik dengan kelembaban nisbi (kombinasi 2) maupun dengan konsentrasi spora di udara (kombinasi 3) menunjukkan bahwa intensitas sinar matahari memberikan pengaruh yang lebih besar yang ditunjukkan oleh Rl2 sebesar 82.49. Sedangkan sisanya masing-masing sebesar 2.36% (hasil pengurangan R22- dengan Rl2) diberikan oleh kelembaban nisbi pada kombinasi 2 dan 3.76% diberikan oleh konsentrasi spora pada kombinasi 3. Pada kombinasi 1, antara kelembaban nisbi dengan konsentrasi spora ternyata bahwa spora menunjukkan pengaruh yang lebih besar dengan koefisien determinasi (Rl2) sebesar 57.16%, sedangkan sisanya diberikan oleh kelembaban nisbi dengan sokongan koefisien determinasi sebesar 4.64%. Page 7 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
Alternatif peramalan
2013
Berdasarkan analisis di atas maka dapatlah kita membangun beberapa rumus alternatif preramalan bagi penyakit cacar teh di perkebunan Wonosari-Pasuruan sebagai berikut: 1. Berdasarkan pengamatan intensitas sinar matahari dengan persamaan regresi: Y - 101.83 0.0023 X. 2. Berdasarkan pengamatan kelembaban nisbi dengan persamaan regresi: Y = -199.44 + 3.14 X. 3. Berdasarkan kombinasi pengamatan antara intensitas sinar matahari dan kelembaban nisbi dengan persamaan regresi: Y= 20.54 + 0.91 X4 - 0.0024 X5 4. Berdasarkan pengamatan konsentrasi spora di udara dengan persamaan regresi: Y = 41.95 + 23.38 X. 5. Berdasarkan kombinasi pengamatan antara intensitas sinar matahari dan konsentrasi spora di udara dengan persamaan regresi: Y = 88.26 - 0.0023 X5 - 8.12 X6. 6. Berdasarkan kombinasi pengamatan antara kelembaban nisbi dan konsentrasi spora di udara dengan persamaan regresi: Y= -85.02 + 1.64 X4 + 13.29 X5.
Semua kode dalam persamaan tersebut di atas mengikuti persamaan yang tercantum dalam Tabel 2 sebelumnya. Sedangkan alternatif mana yang dipilih dan paling tepat, sangatlah tergantung dari biaya, peralatan dan tenaga terlatih yang dimiliki oleh kebun bersangkutan. Seyogyanya semakin sederhana rumus cara peramalan akan semakin mudah dalam penanganannya. Adapun pentahapan untuk mendapatkan rumusan atau formula peramalan tersebut tidaklah cukup bila hanya melihat bentuk hubungan secara kerelasional saja namun perlu pula dikaji lebih jauh mengenai keterikatan diantara komponen satu sama lainnya. Untuk mengetahui keeratan hubungan tersebut dapat dipelajari melalui analisis sidik lintas yang uraiannya dikemukakan dalam bab tersendiri beserta contoh analisisnya. Peramalan penyakit cacar teh serupa telah dilakukan pula jauh sebelumnya di Srilangka dengan lebih menekankan pada faktor cuaca, meskipun tidak dilakukan analisis secara matematikanya, namun pada ploting data yang ada. Faktor cuaca yang sangat mempengaruhi penyakit yaitu kelembaban udara. Pembentukan dan pelepasan basidiospora diperlukan kelembaban yang lebih tinggi dari 80%. Perkecambahan spora diperlukan kelembaban yang lebih tinggi dari 90% atau bahkan diperlukan lapisan air pada permukaan daun teh, tetapi biasanya spora menjadi tidak dapat berkecambah dengan baik di dalam tetes air dan berkecambah sangat baik di dalam lapisan embun. Peramalan menurut Wolthuis (1970) didasarkan pada hasil pengamatan perkecambahan basidiospora pada keadaan cuaca kebun. Pada sore hari sejumlah gelas obyek diberi basidiospora (spora cacar), diletakkan pada tonggak-tonggak setinggi bidang petik tanaman teh. Setelah 24 jam gelas-gelas obyek diamati
dengan mikroskop
untuk melihat perkecambahannya. Pengamatan
perkecambahan spora dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu tingkat I buluh kecambah pendek berisi protoplasma, tingkat II buluh kecambah panjang ( lebih dari 2 kali panjang spora) dan transparan, Page 8 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
tingkat III kecambah membentuk apresorium. Tanda bahaya diberikan jika ditemukan kecambah sebanyak 45% yang terdiri dari 25% tingkat I, 15% tingkat II dan 5% tingkat III.
Huysmans (1952) menyusun sistem peramalan pada penyakit cacar teh. Ramalananya didasarkan kepada kelembaban udara, yang dianggapnya sebagai penyebab utama timbulnya epidemi cacar teh. Kelembaban udara dicatat dengan higrograf yang dipasang 2 m dari permukaan tanah (± 50 cm di atas permukaan tajuk). Peramalannya menggunakan angka kelembaban relatif harian rata-rata selama 5 hari berturut-turut. Angka kelembaban harian dihitung dengan mengukur kelembaban udara setiap dua jam dari jam 6 pagi sampai jam 18 sore, kemudian dijumlahkan dan dibagi 7, sehingga mendapatkan angka kelembaban pada hari itu dan diberi simbul Ka. Kelembaban rata-rata selama 5 hari pada tanggal a diberi simbul Kr, yang merupakan hasil rata-rata (Ka + Ka-1 + Ka-2 + Ka-3 + Ka4) : 5 = Kr Rumus peramalan menggunakan batas kritis kelembaban 83% selama satu generasi cacar. 1. Apabila Kr selama 10 – 14 hari (satu generasi cacar) berada di atas 83% akan timbul epidemi sedang dan akan berhenti jika Kr selama 3 – 5 hari berkurang dari 83%. 2. Apabila Kr selama 20 – 24 hari (dua generasi cacar) berada di atas 83% dan diantaranya ada yang lebih tinggi dari 88%, maka akan timbul epidemi yang berat selama 2 – 3 hari dan akan melemah jika Kr berikutnya kurang dari 83%. 3. Pemberitahuan dilakukan 4 hari sebelum datang epidemi dan jika selama 3 hari berikutnya Kr kurang dari 83%, pencegahan dapat dihentikan.
Homburg (1955) membuat peramalan berdasarkan kepada lamanya penyinaran matahari pagi. Jika pada waktu pagi hari matahari bersinar selama 6 jam (dari pukul 6 sampai pukul 12), maka penyinaran (P) 100%. Batas kritis lama penyinaran = 80 : Pr5 x 3 jam (Pr5 = lama penyinaran ratarata selama 5 hari). Apabila selama 3 hari angka-angka rata-rata 5 hari penyinaran pagi kurang dari lama penyinaran batas kritis maka usaha pencegahan harus segera dilakukan. Peramalan ini memang mendekati kenyataan tetapi selang waktu pemberitahuan sampai dengan terjadinya epidemi tidak jelas, karena hanya disebutkan segera dilakukan pencegahan tanpa menyebutkan kapan epidemi terjadi jika tanpa dilakukan pencegahan. Namun demikian sistem Homburg ini dapat digunakan sebagai acuan. Dari data yang tersebut diatas maka tanggal 15 Nopember akan dilakukan pemberitahuan bahwa akan terjadi epidemi penyakit cacar teh yang sedang dan pada tanggal 25 diberikan peringatan lagi bahwa akan terjadi epidemi berat, kemudian tanggal 1 Desember sudah dapat diberitahukan bahwa keadaan sudah aman atau tidak akan terjadi epidemi yang membahayakan. 3) Model konsepsi Model ini berusaha untuk menggambarkan mekanisme sistem alamiah dalam suatu model atau dalam suatu seri submodel yang terikat bersama sebagai gambaran dari seluruh sistem atau sebagian sistem. Dengan demikian suatu sistem yang terdiri dari elemen-elemnya dan hubungan satu dengan Page 9 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
lainnya akan mudah dipelajari. Desain model demikian disebut sebagai simulasi, dan apabila berubah menurut waktu disebut sebagai simulasi dinamik atau model dinamik (Leffelaar dan Ferrari, 1983).
Dengan cara ini kita akan lebih mengerti tentang hubungan yang kompleks diantara variabel epidemi. Keutamaan lainnya adalah mengkuantifikasikan bentuk hubungan tersebut dan membuka wawasan kita mengenai sistem penyakit. Model ini mampu mengidentifikasi masalah dan analisis pengaruh cuaca, campur-tangan manusia, dan sebagainya pada dinamika epidemi. Dengan model ini kita mampu mengadakan penyesuaian terhadap langkah-langkah pengendalian penyakit. Contoh model jenis ini dalam epidemiologi adalah seperti yang dikembangkan oleh Waggoner & Horsfall (1969) dengan EPIDEM; Waggoner et.al. (1972) dengan EPIMEY; dan EPIVEN pada apel oleh Kranz et.al. (1973). Dalam tulisan ini tidak dibicarakan model tersebut. Manajemen penyakit Setelah mempelajari beberapa contoh peramalan penyakit, maka sebaiknya dilihat lebih jauh bagaimana hubungannya dengan pengendalian penyakit. Saat ini filosofis hidup manusia sudah mulai berubah dalam melihat permasalahan hama penyakit. Kalau dulunya seorang yang berkecimpung dalam bidang hama-penyakit identik dengan tukang "semprot", yang berarti lebih jauh pencemar alam lingkungan dengan penggunaan pestisidanya. Maka saat ini pendapat tersebut adalah kurang tepat. Memang pestisida masih diperlukan eksistensinya, namun kapan saat digunakan dan kapan saat diistirahatkan sudah menjadi suatu konsepsi dalam manajemen pengendalian hama-penyakit yang berskala nasional dengan nama Pengendalian Hama Terpadu (Gallagher dan Nurhidayati, 1990). Konsep ini telah diterapkan dalam satu dekade belakangan ini mulai dari tingkat pusat (kebijakan pemerintah) sampai tingkat petani yang dikenal dengan SLPHT (Sekolah Lapangan Pengendalian Hama-penyakit Terpadu). Kalau dulunya petani secara turun-temurun menyemprot tanamannya tanpa rasionalisme yang jelas (misal dengan sistem kalender), maka saat ini menjadi terbalik yakni saat kapan tanaman harus disemprot. Petani diajak untuk tahu persis waktu tersebut, ialah setelah melakukan monitoring berkala terhadap agro-ekosistem pertanamannya dengan mengamati musuh alami (predator, parasit, dsb.), keadaan iklim, dan besarnya populasi awal. Semua itu dikerjakan secara bersama dalam kelompok tani dan didiskusikan bersama dengan dibimbing oleh tenaga terlatih seperti PL, dsb. Hasil diskusi itulah yang kemudian menjadikan keputusan perlu atau tidaknya penggunaan pestisida. Apabila dianggap bahwa musuh alami cukup atau populasi penyebab hama-penyakitnya rendah maka akan mereka biarkan karena alam mampu mengatasinya sendiri; sebaliknya bila ada kecenderungan bahwa populasinya meningkat sampai ke ambang ekonomi, maka tindakan protektif akan segera
dilakukan secara
bersama pula. Dengan demikian terjadilah
keterpaduan antara konsepsi, alam, manajemen, dan tindakan tersebut dengan pola epidemi penyakit. Untuk memahami hal tersebut marilah kita ikuti ilustrasi yang dikemukakan oleh Zadoks dan Schein (1979) dalam bentuk kurva perkembangan suatu epidemi penyakit (Gambar 1).
Page 10 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Gambar 1. Ilustrasi epidemi penyakit dalam hubungannya dengan ambang ekonomi dan skenario pengendalian (Zadoks dan Schein, 1979). Dengan mempelajari Gambar 1 tersebut akan terlihat bahwa petani dapat melakukan berbagai cara (skenario) dalam menghambat laju perkembangan penyakit. Apabila penyakit berkembang secara alamiah dalam kondisi yang sesuai maka akan mencapai garis ambang ekonomi jauh sebelum panen (kurva 1), yakni pertengahan. Artinya akan terjadi kerusakan hebat (outbreak) pada tanaman yang berakibat kerugian usaha pertaniannya. Maka untuk menyikapi hal tersebut perlu dilakukan berbagai usaha yang dalam bidang hama-penyakit disebut sebagai pengendalain secara terpadu (integrated control), yang keterpaduannya dapat diuraikan sebagai berikut: Skenario l. Jauh sebelum tanam, telah dilakukan usaha pencegahan berupa sanitasi (a) baik terhadap lingkungan maupun bahan tanaman, berarti inokulum awal (x0) ditekan seminim mungkin. Atau waktu tanamnya dirubah (b) sehingga saat kepekaan tanaman tidak bersamaan dengan saat penerbangan hama atau spora patogen (disease escape). Atau menggunakan varietas resisten parsial (c). Maka kurva pertumbuhan penyakit akan bergeser ke kanan (kurva 2), yang berarti akan mencapai ambang ekonomi namun sudah mendekati saat panen, sehingga resiko kerusakan lebih kecil. Skenario 2. Perkembangan penyakit setelah diduga akan mencapai ambang ekonomi, maka segera dilakukan usaha pengendalian dengan menggunakan pestisida, baik yang bersifat protektif (d) maupun eradikatif (e) pada waktu yang tepat (disebut sebagai ambang aksi), sehingga perkembangannya akan bergeser ke kurva 2. Atau dengan menggunakan pestisida secara reguler (f) dan perkembangan penyakit akan berbelok ke kurva 3, yang berarti penyakit tidak akan mencapai garis ambang sampai dengan panen. Skenario 3. Menggunakan varietas yang mempunyai ketahanan vertikal tinggi, sehingga sejak tanam akan terbebas dari penyakit. Atau mungkin terserang namun perkembangannya tidak akan mencapai garis ambang ekonomi (kurva 4). Page 11 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Untuk menentukan saat kapan dari umur tanaman tersebut yang menunjukkan kepekaan paling berpengaruh terhadap kerusakan dan kehilangan hasil, secara epidemiologi dapat didekati dengan model titik kritis (critical point model) (Zadoks dan Schein, 1979). Sebagai contoh adalah penelitian yang telah dikembangkan Sastrahidayat (1988) pada tanaman kacang tanah yang terserang Cercospora spp. penyebab bercak daun. Modelnya adalah sebagai berikut: Y = 312,53 - 3,70 X, dimana Y adalah hasil kacang tanah sedangkan X adalah tingkat serangan pada umur 87 hari. Dengan demikian model ini dapat untuk menduga hasil akibat penyakit bercak daun apabila dilakukan pada stadium 87 hari setelah tanam.
4. REFERENSI Gallagher, K. D. dan L. Nurhidayati. 1990. Petunjuk lapangan latihan PHT palawija. Program Nasional PHT-BAPPENAS. 150 h. Kranz, J.; M. Mogk; A. Stumpf. 1973. Epiven - ein simulator fur apfelschorf. Zeitschrift fur Pflanzenkrankheiten und Pflanzenschutz. 80,181-187. Sastrahidayat, I.R. 1995. Pengantar epidemiologi penyakit tumbuhan. Diterbitkan oleh Fak. Pertanian Unibraw. 82 h. Van der Plank, J.E. 1963. Plant disease: Epidemics and control. Acad.
Press, New York. 349 h.
Waggoner, P.W.; J.G. Horsfall dan R.J., Lukens. 1972. EPIMEY, a simulator of southern corn leaf blight. Bulletin of the Connecticut Agricultural Exp. Stat. Num. 729. 84 h. Zadoks, J.C. dan R.D. Schein. 1979. Epidemiology and plant disease management. Oxford Univ. Press, New York. 427 h.
5. PROPAGASI Mahasiswa melakukan pelatihan secara berkelompok untuk mengembangkan teori peramalan penyakit dengan menggunakan data hipotesis menggunakan software statistika yang ada (misal SPSS, Minitab, dsb.). Hasil analisis kemudian didiskusikan untuk membahas mengenai berbagai alternatif peramalan secara kuantitatif. Sebagai bahan perbandingan dapat digunakan kajian pustaka yang ada yang dapat diakses melalui jasa internet.
6. PENDALAMAN 1. Bagaimana cara anda menyusun data hasil pengamatan antara unsur cuaca dan kejadian penyakit untuk dapat dijadikan alat peramalan dalam bentuk persamaan regresi tertentu. 2. Faktor apa sajakah yang harus dijadikan pertimbangan dalam membuat peramalan penyakit, berikan alasan yang luas. 3. Dapatkah faktor biologi patogen dijadikan indikator untuk peramalan, bila dapat sebutkan contohnya dan bila tidak dapat berikan alasannya. Page 12 of 12