EPIDEMIOLOGI KUANTITATIF PENYAKIT TANAMAN (S2): Analisis Epidemiologi Faculty of Agriculture, Universitas Brawijaya Email : @ub.ac.id 1. PENDAHULUAN
4. REFERENSI
2. TUJUAN PEMBELAJARAN
5. PROPAGASI
3. KEGIATAN BELAJAR
6. PENDALAMAN
MODUL
Dalam epidemiologi teoritis telah dibahas mengenai prinsip-prinsip pokok yang umumnya terjadi dalam epidemi penyakit di lapangan atas dasar teori yang berlaku secara umum. Sementara dalam epidemiologi kuantitatif disajikan
kejadian
matematika
dari
penyakit data
tersebut
atas
dasar
perhitungan
didapat
atas
dasar
pengamatan
yang
secara objek
sesungguhnya. Hasil perhitungan tersebut keabsahannya juga dianalisis secara matematika atau statistika sehingga mudah dikomunikasikan dengan bahwa kuantitatif dan objektif. Hal tersebut mudah dipelajari mengingat bahwa segala kejadian di alam dalam proses epidemi penyakit tentu mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain yang nilainya dapat diukur atau dihitung berdasarkan parameter tertentu. Sebagai contoh, spora jamur akan berkecambah pada kelembaban tertentu
yang
variasi
kelembabannya
dapat
ditentukan
berdasarkan
persentase dengan keberhasilan perkecambahannya juga dapat diukur atas dasar persentase. Demikian seterusnya terhadap kejadian lain yang dengan software
komputer
matematika
akan
yang sangan
ada
saat
membantu
ini
untuk
dalam
analisis
statistika
atau
mengkuantifikasikan
nilai
percobaan. Untuk mudah dalam memahami hal tersebut maka pada empat modul terakhir diberikan contoh penelitiannya dalam skala laboratorium, rumah kaca, dan lapangan.
SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION DEVELOPMENT (SPEED)
4
1. PENDAHULUAN
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
2. TUJUAN PEMBELAJARAN Tujuan penting dalam pembelajaran ini adalah sebagai pengantar bagi mahasiswa mengenai pengertian kuantifikasi dalam penelitian epidemiologi yang semua kejadi penyakit di lapangan seharusnya
dapat
menggunakan
diinformasikan
matematika
atau
dengan
data
statistika,
(angka-angka)
sehingga
yang
benar-benar
dapat
teruji
dianalisis
dengan
validitasnya.
Dengan
pembelajaran inipun mahasiswa akan membiasakan diri untuk mengenal lebih banyak programprogram software statistika dan sekaligus dilatih agar mampu mengopersikannya. Hala ini bukan saja hanya akan membantu dalam tugas penyelesaian studinya (tesis) namun juga akan sangat berguna nantinya dalam menyelesaiakan tugas-tugas pekerjaannya.
3. KEGIATAN BELAJAR 1. Analisis progres epidemi penyakit Dalam bab sebelumnya telah dikemukakan bahwa epidemi penyakit merupakan suatu perkembangan (progress) yang berjalan menurut waktu tertentu, yang didalamnya terlibat berbagai macam proses epidemi yang saling terkait dan bersambung. Oleh karena itu terdapat beberapa pendekatan untuk mengukur bagaimana proses epidemi tersebut terjadi di alam, yang menurut Butt dan Royle (dalam Kranz, 1974), dapat dibagi menjadi beberapa analisis pendekatan sebagaimana dicantumkan dalam Gambar 1, yakni: 1) Mengukur proses perkembangan epidemi dalam hubungannya dengan waktu tumbuh tanaman. Seperti diketahui bahwa epidemi penyakit adalah merupakan resultante antara waktu (t) dan tingkat
serangan,
mempengaruhinya.
yang
bias
naik
atau
turun,
tergantung
berbagai
factor
yang
Resultante tersebut dapat diplot dalam suatu gambar pertumbuhan yang
dikenal sebagai kurva pertumbuhan. Kurva tadi dapat diformulasikan dalam suatu persamaan yang
dapat diperoleh dengan menganalisis data lapangan yang diolah secara statistika atau
dengan
cara
lain,
dalam
rangka
untuk
memudahkan
melakukan
interprestasi
dan
membandingkan proses epidemi dalam skala yang luas. Baik dalam hubungannya dengan kondisi cuaca dalam musim tanam atau sebaran secara geografis, hubungannya dengan ketahanan varietas, atau terhadap metode pengendalian tertentu. Formula tersebut juga dapat digunakan untuk melakuka peramalan penyakit, karena adanya keterkaitan hubungan antara waktu (sebagai peubah bebas), yang menentukan tingkat serangan atau kejadian penyakit (sebagai peubah tak bebas). Faktor peubah bebas dalam penyakit tanaman sangat beragam, mulai dari jumlah inoculum atau cuaca, sementara peubah tak bebasnya tentu saja kejadian penyakit tersebut. 2) Analisis atas dasar laju infeksi yang terjadi antara waktu t1 ke t2, dimana pada masingmasingnya menghasilkan tingkat keparahan penyakit sebesar d1 dan d2, demikian pula dengan
Page 2 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
perkembangan waktu berikutnya yang menghasilkan tingkat serangan sebesar d3. Perhitungan cara ini telah dibahas secara luas pada Bab II, dengan masing-masing pola perkembangannya. 3) Terjadi daur infeksi penyakit sebagai akibat reproduksi inokulum (misal, spora) yang berulangulang, yang kemudian disebarkan dan diendapkan kembali. Kecepatan daur infeksi akan sangat menentukan terjadinya pengulangan beberapa kali dalam satu musim tanam tentu akan memperparah perkembangan epidemi penyakit dibanding yang daurnya lambat. Hal inipun telah diterangkan di bab terdahulu bahwa dalam daur inipun sangat ditentukan oleh pola epideminya, apakah linier, eksponensial, atau logistik. 4) Kemungkinan pula dibentuknya berbagai jenis propagul pertahanan hidup seperti klamidospora, sklerotium, dan sebagainya sehingga dapat mengakibatkan keparahan intensitas serangan penyakit pada musim tanam berikutnya yang dapat mengurangi hasil tanaman (crop loss). Pola epidemi model ini sangat berhubungan dengan daur musim, misal di daerah subtropis terdiri dari 4 musim (semi, panas, gugur, dan dingin); tentu akan memberikan corak yang berbeda dibandingkan daerah tropis yang tidak mengenal permudaan musim tersebut. Kondisi lain yang harus diperhatikan dalam proses epidemi adalah kemungkinan terdapatnya inang lain (alternative host) yang sering menjadi masalah dalam pola epidemi penyakit.
Gambar 1. Ilustrasi perkembangan epidemi penyakit tanaman yang membetuk pola hubungan majemuk (Butt dan Royle dalam Kranz, 1974). Dengan memperhatikan Gambar 1, maka dapat dipikirkan bahwa keparahan penyakit yang digambarkan
dalam
proses epidemi
tersebut
pada
dasarnya
sangat
tergantung
pada faktor
pendukungnya yang secara epidemiologi telah dikemukakan terdiri dari lingkungan, tanaman dan patogennya. Interaksi ketiganya membentuk bentuk hubungan yang tersembunyi sehingga sulit untuk melihat faktor manakah yang dominan dan manakah yang hanya sebagai pelengkap. Maka untuk membuka takbir ketersembunyian tersebut diperlukan alat yang dapat menganalisisnya secara Page 3 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
rasional, alat tersebut dikenal sebagai analisis matematika, yang bentunya bermacam-macam. Analisis matematika mencoba melihat terhadap seluruh sistem atau sebagian sistemnya yang terlibat dalam proses epidemi tersebut, yang apabila diketahui maka akan memudahkan pengambil kebijakan dalam mengembangkan cara pengendalian penyakit. Tujuan utama dari suatu analisis harus diarahkan pada pertimbangan yang didasarkan aspek teori pengetahuan tentang penyakit tertentu dan aspek praktis yang dapat digunakan dalam pengendaliannya.
Hal
ini
berarti
dalam
tanaman
tertentu,
serealia
misalnya,
maka
harus
diperhitungkan untung ruginya dalam menggunakan satu atau lebih waktu kritis untuk aplikasi suatu pestisida. Perlakuan tertentu dapat diterima apabila epidemi potensialnya dapat diidentifikasi secara memuaskan lebih awal atau apabila potensi kerugian hasil tanaman dapat diperhitungkan pada waktunya. Pada tanaman lainnya, misal: tanaman buah-buahan, dimana program penyemprotan pestisida dilakukan secara rutin, maka analisis epidemi dapat menyarankan adanya peninjauan waktu atau penghapusan dilakukan beberapa perlakuan pestisida. Apabila sumber resistensi penyakit digunakan, maka penampakan tipe gen resisten dapat dievaluasi dengan melakukan perbandingan perkembangan penyakit di lapangan. 2. Analisis hubungan matematika epidemi penyakit Banyak model matematika yang dapat digunakan untuk membantu memahami perkembangan epidemi penyakit di alam secara rasional, akan tetapi dalam pembahasan ini dibatasi pada model yang sering digunakan dan mudah dalam analisisnya, yakni: analisis korelasi, regresi sederhana, dan regresi berganda. 2.1. Analisis regresi atau korelasi Regresi linier dan korelasi mempunyai kesamaan sehingga sering membingungkan bagi yang tidak biasa menggunakan analisis tersebut, untuk membedakannya secara singkat perlu dikemukakan posisinya masing-masing sebagai berikut: Korelasi digunakan apabila: 1. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh keeratan hubungan dua parameter, yakni X dan Y. 2. Untuk parametrik Pearson bila diyakini bahwa sampel dari X dan Y dari populasi yang diuji menyebar normal. 3. Untuk uji nonparametrik Spearman. Regresi linier digunakan apabila: 1. Salah satu variabel (X) digunakan untuk penduga variabel lain (Y). 2. Variabel
X
merupakan
unsur
perlakuan
yang
dimanipulasi,
seperti
pada
percobaan
eksperimental. 2.1.1. Korelasi: Dalam uji korelasi dikenal koefisien korelasi yang diberi simbol r dengan bentuknya: +1 (sempurna korelasi positif), 0 (tidak ada korelasi), -1 (sempurna korelasi negatif); hal ini bila dibuat asumsi diagramnya seperti nampak pada Gambar 2. Page 4 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Gambar 2. Bentuk koefisien korelasi bila dibuat diagram keeratannya (Cann, 2009). Besarnya koefisien korelasi
(r), dihitung berdasarkan data yang ada dan dapat digunakan
rumus Pearson berikut:
Untuk mengoperasikan rumus di atas, dapat kiranya dibuat suatu teladan hipotesis dengan memasukan data pada Tabel 1 kedalam rumus tersebut. Tabel 1. Hubungan antara jumlah inokulum (Sclerotium rolfsii) terhadap jumlah tanam kedelai yang mati. Nomor pengamatan
Jumlah inokulum (X)
Jumlah tanaman mati
XY
X2
Y2
(Y)
1
83
141
11703
6889
19881
2
86
162
13932
7396
26244
3
88
161
14168
7744
25921
4
92
154
14168
8464
23716
5
94
171
16074
8836
29241
6
98
174
17052
9604
30276
7
101
184
18584
10201
33856
8
114
190
21660
12996
36100
9
117
187
21879
13689
34969
10
121
191
23111
14641
36481
ƩX = 994
ƩY = 1715
ƩXY = 172331
2
ƩX = 100460
ƩY2= 296685
Misalnya ingin diketahui apakah jumlah inokulum dari patogen Sclerotium rolfsii yang berupa sclerotium mempunyai hubungan erat dengan banyaknya tanaman kedelai mati diawal pertumbuhan tanaman kedelai. Maka langkah yang harus dilakukan adalah dengan mengamati populasi inokulum dari areal pertanam tersebut atau bisa saja dalam plot percobaan kemudian dihitung pula jumlah Page 5 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
tanaman yang mengalami rebah semai, setelah itu data tersebut di plot dalam tabel seperti terlihat pada Tabel 1. dan dengan menggunakan software exel maka dapat dihitung satuan-satuan yang dikemukakan dalam rumus di atas. Selanjutnya perhitungannya dapat dilakukan secara manual. Dengan memasukan data dari Tabel 1 kedalam rumus Pearson
tersebut
maka hasilnya sebagai
berikut:
172331
r
(100460
r
r
994 x1715 10
(994) 2 (1715) 2 )(296685 10 10 172331 170471
(100460 98803,6)(296685 294122,5) 1860 0,90 2060,2245 Untuk menguji hipotesis H0 (tidak ada korelasi antara variabel) dan H1 ( terdapat korelasi antara
variabel), maka nilai r perlu dibandingkan dengan dengan daftar tabel r atau R pada buku statistika yang ada, pada taraf significantcy 5% (P = 0.05). Dari tabel tersebut ternyata pada nilai df 8 (didapat dari 10 – 2), diperoleh nilai r sebesar 0,632, yang berarti r hitung (0,90) mempunyai nilai lebih besar. Hal ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima, berarti terdapat korelasi nyata dari dua variabel yang diuji. Hal ini berarti jumlah inokulum (sclerotium) berpengaruh terhadap jumlah tanaman kedelai mati. Cara lain untuk melihat signifikansi tersebut adalah dengan menggunakan uji t tabel. Ttabel dapat dilihat pada daftar tabel distribusi t dibuku-buku statistika yang ada, yang bila disesuaikan dengan data hipotesis t0,05 = 2,306. Sementara thitung didapat dengan melakukan perhitungan menggunakan rumus berikut:
t
t
t
r n2 1 r2 0.90 10 2 1 0.90 2 2,55 5,795 0,44
Dari pengujian ini ternyata bahwa nilai t hitung adalah 5,795 yang lebih besar dibandingkan dengan nilai ttabel sebesar 2,306 pada uji signifikansi 5%, yang berarti bahwa kedua variabel yakni jumlah inokulum
Page 6 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
(X) dan jumlah tanaman mati (Y) mempunyai hubungan yang erat atau terdapat korelasi antara X dan Y tersebut. 2.1.2. Analisis regresi Dalam analisis regresi seorang peneliti ingin mendapat informasi lebih jauh bentuk hubungan dari peubah bebas (X) terhadap peubah tak bebas (Y), dalam bentuk persamaan, kurva, atau bentuk lainnya. Dengan cara ini akan mudah diketahui seberapa besar nilai X akan mampu merubah nilai Y sehingga dapat digunakan sebagai pendugaan atau peramalan dalam hubungannya dengan kejadian penyakit diwaktu yang akan datang. Regresi merupakan teknik statistika yang digunakan untuk mempelajari hubungan fungsional dari satu atau beberapa variabel bebas (variabel yang mempengaruhi) terhadap satu variabel tak bebas (variabel yang dipengaruhi). Beberapa aspek dari kejadian suatu epidemi seperti konsentrasi spora harian, laju pertambahan penyakit, kehilangan hasil (crop loss) dapat dianggap sebagai suatu variabel tidak bebas (Y) dan diregresikan pada variabel bebas (X) yaitu faktor seperti suhu, kerapatan tanaman dan umur tanaman yang diekspresikan masing-masing sebagai: rata-rata suhu harian, indeks luas daun dan tanggal penanaman. Regresi juga dapat menjelaskan hubungan antara jumlah luka per daun yang berkembang dari hari ke hari
terhadap dosis spora yang dihitung melalui jumlah spora
yang tertangkap setiap hari dengan menggunakan alat penangkap spora (spore trap). Secara teoritis hal tersebut dijelaskan oleh Butt dan Royle (dalam Kranzz, 1974) dengan menggunakan diagram pencar dari jumlah luka (Y) yang diplot terjadi akibat dosis spora (X), seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Hubungan antara garis regresi yang sebenarnya (AB) dan garis regresi perkiraan (CD) (Butt dan Royle, dalam Kranz 1974). Bentuk hubungan dalam regresi bermacam-macam sehingga akan membentuk pola persamaan rumus yang berbeda-beda pula, dan apabila dikelompokan, maka ada enam kemungkinan yang terjadi, yakni linier positif, linier negatif, parabolik, hiperbolik, tidak ada hubungan, dan bukan merupakan bentuk hubungan (Gambar 4). Bagaimanapun bentuk hubungan tersebut dalam persamaan ini hanya mengemukakan mengenai adanya keterkaitan antara satu peubah bebas (X) dengan satu peubah tidak bebas (Y); yang dengan itu faktor X dapat dijadikan penduga terhadap seberapa besar terjadinya faktor Y tersebut. Validitas X untuk menduga Y dalam analisis regresi dapat dilihat dari nilai koefisien determinasinya Page 7 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
yang diberi simbol r2 atau R, yang rentangannya antara 0 s/d 1 atau ditulis: 0≥R≤1. Semakin mendekati angka nol berarti semakin tidak ada hubungan antara X dan Y, dan sebaliknya semakin mendekati angka 1, maka semakin tinggi hubungannya. Atau dengan kata lain nilai Y dapat diduga oleh X apabila nilai koefisien determinasinya cukup signifikan untuk menduga hal tersebut setelah melalui uji signifikansi.
Gambar 4. Enam kemungkinan hubungan antara dua parameter: (a) linier positif, (b) linier negatif, (c) parabolik, (d) hiperparabolik, (e) tidak ada hubungan, (f) tidak ada kecenderungan atau tak mungkin punya hubungan (Nagarajan, 1970). Dalam statistika bentuk hubungan paling sederhana antara peubah bebas (X) dengan tidak bebas (Y) tersebut di atas disebut sebagai bentuk hubungan regresi sederhana, yang membentuk model persamaan teoritisnya sebagai berikut:
Keterangan: Y
adalah variabel dependen; X adalah variabel independen; a adalah intersep (titik
potong kurva terhadap sumbu Y); b adalah slope (kemiringan) kuva linier. Dengan menggunakan data dari Tabel 4.1., dan memasukan pada rumus di atas, maka a dan b masing-masingnya dapat dihitung sebagai berikut: Page 8 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
b
Brawijaya University
n XY X Y n X 2 ( X ) 2
b
10(172331) (994)(1715) 10(100460) (994) 2
b
18600 1,1229 16564
2013
Dengan didapatnya nilai b, maka a diketahui, yakni:
a
1715 1116,18 59,88 10 Dengan didapatnya intersep (a) dan slop (b), maka bentuk persamaan garisnya menjadi: Y =
59,88 + 1,123 X, yang bentuk hubungannya digambarkan dalam kurva berupa garis linier positif seperti terlihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Kurva hubungan antara jumlah inokulum (Sclerotium rolfsii) terhadap jumlah tanaman kedelai yang mati. Selanjutnya untuk melihat apakah persamaan tersebut cukup valid (sokheh) untuk menduga Y berdasarkan X, maka perlu diuji signifikasinya dengan dua cara yakni uji koefisien determinasi (diberi symbol R atau r2) atau uji t; yang hal ini dapat dilihat dalam tabel buku statistika. Untuk menghitung r 2 dengan mudah dapat dengan cara mengkuwadratkan koefisien korelasi (r) yang dalam contoh ini karena datanya sama, maka dapat diambil dari r tersebut di atas, yakni sebesar 0,90; sehingga r 2-nya (R) menjadi 0,81. Dilihat dalam tabel r2 buku statistika ternyata menunjukan beda nyata pada uji 5%. Cara pengujian lain yang lebih cepat adalah dengan menggunakan software excel yang tinggal mengaktifkan program data analisisnya, dan dengan sedikit latihan (demonstrasi) maka hasil analisis dan bentuk kurvanya dapat tersaji dengan akurat. Contoh lain mengenai bentuk hubungan regresi adalah hasil penelitian Sastrahidayat 2010 mengenai hubungan antara umur tanaman kedelai sebagai faktor X dan tingkat serangan penyakit rebah semai sebagai faktor Y dengan berbagai perlakuan disajikan pada Gambar 6.
Page 9 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Gambar 6. Hubungan antara umur tanaman dengan tingkat serangan penyakit rebah semai atau kematian tanaman kedelai terhadap perlakuan actinomycetes + VAM pada varietas Ratai dan Burangrang. Keterangan : RAM = Varietas Ratai dengan perlakuan; RK = Varietas Ratai tanpa perlakuan (Kontrol), BAM = Varietas Burangrang dengan perlakuan; BK = Varietas Burangrang tanpa perlakuan (Kontrol).
Dalam Gambar 6. tersebut nampak bahwa perkembangan penyakit rebah semai sampai dengan umur 42 hari tanaman kedelai masih menunjukan pola regresi linier positif pada varietas uji (Burangrang dan Ratai) yang diperlakukan pemberian actinomycetes dan VAM. Sehingga besarnya intensitas serangan penyakit (Y) pada umur tertentu dapat diduga dengan memasukan umur tersebut (sebagai X) pada persamaan masing-masing, dengan tingkat kepercayaan cukup tinggi (lihat koefisien determinasi R). Dengan cara analisis yang sama maka berbagai jenis penelitian telah dikemukakan pada berbagai jurnal atau publikasi ilmiah lainnya mengenai bentuk hubungan linier dalam kasus penyakit tanaman. Contohnya apa yang dikemukakan oleh Arevalo (2009) yang mengukur pengaruh suhu terhadap sporulasi jamur Lecanicillium psalliotae dalam medium PDA, yang dapat ditarik bentuk hubungannya dalam persamaan seperti digambarkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Pengaruh suhu terhadap pembentukan konidia Lecanicillium psalliotae (isolat CG1005) dalam medium PDA pada cawan Petri (Arevalo et al., 2009).
Page 10 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Bentuk hubungan yang terjadi disini bukanlah dalam bentuk linier sederhana tetapi berupa linier kuwadratik negatif, yakni hanya pada suhu optimal 20 0C jamur akan melimpah bereproduksi, namun setelah itu akan menurun secara perlahan sampai mencapi titik asimtotik terendah sekitar 30 0C. Pola yang berbeda terjadi pada pembentuk klamidospora Pochonia chlamydosporia var. chlamydosporia (isolat CG1003) dan P. chlamydosporia var. catenulata (isolat CG1006), yang bergerak secara kuwadratik hingga mencapai produksi optimal, masing-masing pada suhu 250C, dan akan tidak bersporulasi atau nol pada suhu di atas 30 0C (Gambar 8).
Gambar 8. Pengaruh suhu terhadap pembentukan klamidospora Pochonia chlamydosporia var. chlamydosporia (isolat CG1003) dan P. chlamydosporia var. catenulata (isolat CG1006) dalam medium PDA pada cawan Petri (Arevalo et al., 2009).
2.1.3. Regresi berganda Bentuk hubungan dalam contoh di atas merupakan
regresi linier sederhana yang digunakan
untuk menduga atau meramal satu peubah (variabel) tak bebas (Y) dari satu variabel bebas (X), dengan berbagai teladannya. Akan tetapi pada kejadian penyakit di alam tidaklah sesederhana itu karena menyangkut berbagai faktor yang saling berinteraksi dan sangat komplek. Sampai seberapa jauh kompleksitasnya suatu kejadian penyakit tersebut, maka dalam epidemiologi dapatlah didekati dengan
menggunakan
analisis
regresi
berganda
(multiple
regression
function),
yang
menghubungkan beberapa (lebih dari satu) peubah independen sebagai faktor X terhadap satu kejadian penyakit (misal tingkat serangan) sebagai faktor Y. Apabila persamaan tersebut telah didapat maka hal ini dapat digunakan sebagai alat untuk meramal kedatangan atau besarnya tingkat serangan penyakit di depan; yang contohnya dikemukakan pada Bab berikutnya. Hubungan peubah dalam regresi berganda umumnya ditulis dalam rumus sebagai berikut: Ỷ = b0 + b1 X1 + b2 X2 ………+ bnXn…………….(Rumus 1) Ket.: Y = peubah yang diduga; X1 s/d Xn peubah penduga; bo adalah konstanta atau intersep atau merupakan garis regresi dengan Y; b1 s/d bn koefisien regresi parsial untuk X1 s/d Xn. Seberapa
banyak
peubah
X
yang
terlibat
adalah
sangat
relatif
pada
seberapa
jauh
ketergantungan faktor Y terhadapnya; karena apabila X ditambah terus maka ketergantungannya akan semakin kecil. Dari pengalaman analisis epidemiologi ada kecenderungan koefisien regresi yang masih Page 11 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
menunjukan signifikansi adalah sekitar 4 atau 5 faktor X yang terlibat. Di bawah ini dikemukanan sebagai contoh, mengenalkan bentuk regresi berganda yang paling sederhana yakni pengaruh dari dosis spora (X1) dan kelembaban udara (X2) terhadap keparahan penyakit (Y), maka persamaannya berupa regresi bivariate atau dikenal dengan istilah bivariate model (karena hanya melibatkan dua peubah) sebagi berikut: Ỷ = b0 + b1X1 – b2X2 ………………………………….(Rumus 2) Sehingga dapat dinterprestasikan
bahwa keparahan penyakit akan meningkat dengan b1 luka dari
setiap unit dosis spora (X1) dan menurun dengan b2 pada rata-rata kelembaban (X2) pada hari saat tanaman terinfeksi. Analisis regresi berganda menjadi sangat penting sebagai metode analisis dalam epidemiologi karena kemampuannya untuk menilai pengaruh bersih dari tiap-tiap variabel bebas. Meskipun model regresi berganda aslinya bersifat linier namun masih memungkinkan untuk menggabungkan ke dalamnya variabel-variabel bebas yang mengakomodasi interaksi dan respon non linier. Misalnya dengan mempertimbangkan kecepatan angin (X3) sebagai penentu lebih lanjut dari terjadinya keparahan penyakit pada Rumus 2, maka sekarang persamaannya menjadi: Ỷ = b0 + b1X1 – b2X2 + b3X3 + b4X1X3 + b5X32
……. (Rumus 3)
Dimana X1X3 merupakan interaksi antara dosis spora dan kecepatan angin; X32 merupakan komponen non linier sebagai respon dari variabel tak bebas pada kecepatan angin. Persamaan (3) tetaplah merupakan sebuah contoh persamaan regresi linier karena variabel tak bebas dianggap sebagai fungsi linier dari lima variabel bebas, terlepas dari bentuknya kemudian. Untuk membangun persamaan regresi berganda saat ini tidaklah sulit karena telah banyak didapat software untuk tujuan terasebut, seperti SPSS, Minitab atau excel 2007, dan sebagainya. Namun demikian dapat pula dilakukan secara manual dengan menghitung nilai intercept dan slope yang berhubungan dengan variabel dependennya dengan rumus sebagai berikut (Algifari, 2009): ƩY = nbo + b1ƩX1 + b2ƩX2
…………………………(1)
ƩX1Y = boƩX1 + b1ƩX12 + b2Ʃ X1X2…………………..(2) ƩX2Y = boƩX2 + b1ƩX1X2 + b2ƩX22 ………………....(3) Nilai b0, b1 dan b2 dapat dicari dengan memanipulasi ketiga persamaan tersebut secara bergantian. Selanjutnya
untuk
mengejewatahkan
pembahasan
mengenai
bagaimana
rumus
regresi
berganda tersebut dalam epidemi penyakit digunakan maka dapat dibuat suatu data hipotesis. Apabila progress perkembangan penyakit Y pada tanaman tertentu diamati selama 10 kali pengamatan (misal setiap minggu sekali) dan dihubungkan dengan factor cuaca, yakni: suhu udara (X 1), kelembaban udara (X2) dan lama penyinaran (X3), maka datanyan dapat disusun dalam sebuah tabel seperti terlihat pada Tabel 2. Page 12 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
Tabel 2. Data pengamatan (hipotesis) hubungan faktor cuaca dengan perkembangan penyakit
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Suhu udara (oC) X1 25 25 22 22 21 21 20 20 20 21
Lama Kelembaban penyinaran nisbi (%) (Jam/hari) X2 X3 72 7 74 7 77 6 79 5 80 5 80 5 81 4 82 4 85 4 85 3
2013
Perkembangan penyakit (%) Y 5 7 15 17 20 24 30 35 42 45
Untuk menganalisis data pada Tabel 2. tersebut sebaiknya menggunakan program komputer yang saat ini telah tersedia berbagai software analisisnya baik melalui SPSS, Minitab, excel, Stat, dsb. Contoh penyelesaian dengan komputer disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Hasil sidik ragam regresi total Sumber ragam Regresi Sisa Total
db
JK
KT
FH
F.05
3 6 9
1633,63 544,54 33,08 5,00 98,77 16,46 1732,40 0 Koefisien determinasi (R2) = 0,94; Koefisien korelasi (r ) = 0,97 bo = - 194,91; b1 = 1,89 X1; b2 = 2,52 X2; b3 = - 4,54 X3
Hasil analisis ini menunjukan bahwa faktor cuaca, yakni suhu udara, kelembaban udara, dan lama penyinaran mempunyai hubungan yang nyata terhadap perkembangan penyakit Y, dengan koefisien determinasi sebesar 0,94%. Hal ini berarti bahwa kejadian Y sebanyak 94% dipengaruhi oleh ketiga factor cuaca tersebut secara bersama-sama, sementara sisanya (6%) tidak dapat ditentukan. Dengan adanya signifikansi tersebut maka Y dapat diduga dengan menggunakan rumus umum persamaan regresi berganda setelah memasukan koefisien regresinya, bentuknya sebagai berikut: Y = -194,91 + 1,89 X1 + 2,52 X2 – 4,54 X3 Dengan cara ini maka model linier dapat digambar berupa sebuah permukaan kurva respon, yang menggambarkan total respon dari variabel tak bebas terhadap sejumlah pengaruh-pengaruh linier dari variabel-variabel bebasnya. Keeratan hubungan dalam regresi berganda dapat dilihat dari R 2 sebagai koefisien determinasi yang menunjukan seberapa erat atau kuat bentuk hubungan suatu peubah terhadap dua atau lebih peubah lainnya. Nilai signifikansinya dapat dihitung dengan Page 13 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
menggunakan tabel statistik (Fisher dan Yates, 1963) yang banyak tersedia atau melalui program software yang ada.
Untuk menggambarkan bentuk hubungan regresi berganda relatif mudah bila diekspresikan dalam bentuk persamaan seperti rumusan tersebut di atas, seberapapun banyaknya variabel independen (X) yang terlibat didalamnya. Namun bila hal tersebut digambarkan dalam bentuk grafik, histogram balok atau bidang nampaknya sulit dilakukan. Kecuali bila variabel X yang terlibat hanya dua (bivariate regression function), sehingga akan membentuk balok atau bidang dalam suatu ruang. Contoh hal ini dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10. Pada Gambar 9. terlihat bahwa insiden penyakit busuk akar coklat pada tomat akan semakin parah dengan semakin lamanya musim tanam yang
peningkatannya
terjadi
dengan
meningkatnya
umur
tanaman.
Sementara
Gambar
10.
menunjukkan bahwa perkembangan penyakit oleh Dactylaria higginsii sangat dipengaruhi oleh lamanya periode tanaman tertutup embun, dengan tingkat keparahan tertinggi terjadi pada umur fase daun ke lima sampai ke enam, diatas itu akan menurun. Perlu dicatat disini bahwa baik Gambar 9. maupun Gambar 10 adalah merupakan ploting data penelitian sehingga untuk dapatnya dijadikan penduga tingkat keparahan perlu dianalisis dalam persamaan regresi seperti telah dikemukakan sebelumnya.
Gambar 9. Pengamatan perubahan insiden busuk akar cokelat pada tomat yang disebabkan oleh Pyrenochaeta lycopersici pada akar dari lima tomat yang ditanam secara terus menerus di tanah yang sama-sama tidak diperlakukan (Last et al., 1969 dalam Kranz, 1974).
Gambar 10. Pengaruh periode berembun dan umur tanaman Cyperus rotundus terhadap serangan patogen Dactylaria higginsii (Kadir et al., 2000).
Page 14 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
4. REFERENSI
2013
Arevalo, J.; L. Hidalgo-Díaz; I. Martins; J. F. Souza; J. M. C. Castro; R. M. D.G. Carneiro; M. S. Tigano. 2009. Cultural and morphological characterization of Pochonia chlamydosporia and Lecanicillium psalliotae isolated from Meloidogyne mayaguensis eggs in Brazil. Trop. plant pathol. vol.34 no.3 Brasília. Kadir, J.B., R. Charudattan, W.M. Stall, T.A. Bewick. 1999. Effect of Dactylaria higginsii on interference of Cyperus rotudus with L. esculentum. Weed Science, 47: 682-686. Kranz, J. 1974. Epidemic of plant disease. Mathemathical analysis and modelling. Ecological stidies 13. Spinger Verlag, Berlin, New York. 170 pp. Nagarajan, S. 1970. Plant disease epidemiology. Oxford & IBH Publishing Co. New Delhi. 267h.
5. PROPAGASI Mahasiswa melakukan latihan untuk membuat model analisis statistika dari yang sederhana seperti korelasi, regresi sederhana sampai regresi berganda dan model hubungan lainnya dari data yang dikumpulkan dari berbagai macam penelitian atas dasar studi pustaka.
6. PENDALAMAN 1. Apakah perbedaan yang mendasar dalam melakukan analisis korelasional dan regresi pada data kejadian epidemi penyakit di lapangan, berikan alasan anda dengan landasan patogenisitasnya. 2. Dalam regresi berganda banyak faktor independent variable yang terlibat dan sering menjadi kendala teknis dalam pelaksanaan bila dijadikan bahan pertimbangan kejadian penyakit. Bagaimana
cara
anda
dalam
mengurangi
keterlibat
faktor tersebut
tanpa
mengurangi
validitasnya. 3. Coba anda jelaskan mengenai Gambar 10 dengan uraian (narasi) atas dasar teori yang ada.
Page 15 of 15