PROSIDING FORUM TAHUNAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, DAN INOVASI NASIONAL
MENGURAI STAGNASI INOVASI BERBASIS LITBANG DI INDONESIA
Semua makalah yang terdapat dalam prosiding ini telah melalui proses selaksi oleh tim seleksi, perbaikan berdasarkan diskusi, dan editing oleh tim editor
Editor : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Dra. Hartiningsih, MA Ir. Sigit Setiawan, M.Si Dra. Wati Hermawati, MBA Lutfah Ariana, STP, MPP Dian Prihadyanti, M.T Rizka Rahmadia, S. Si Dini Oktaviyanti, M.Si
Reviewer : 1. Prof. Dr. Endang G. Said, M.Dev. 2. Prof. Dr. Erman Aminullah 3. Prof. Dr. Isti Sujandari 4. Prof. Dr. Tigor Sitomorang 5. Dr. Lina Fiftahul Jannah 6. Dr. Marcelina Pondin
PUSAT PENELITIAN PERKEMBANGAN ILMU IPTEK LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA Jl. Jend. Gatot Subroto 10, Gedung A Lt. 3, Jakarta 12710 Telpon (021) 5201602, 5225206 Faximili (021) 52016012 Email :
[email protected] Website : www.Pappiptek.lipi.go.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Inovasi (Iptekin) Nasional yang diadakan oleh Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PAPPIPTEK) LIPI pada tanggal 10 Oktober 2013 di Hotel Sultan ini akhirnya diselesaikan. Forum tahunan ini merupakan kegiatan yang menghimpun para pelaku serta pemerhati Iptek dari berbagai lembaga litbang, akademisi, dan industri untuk membahas isu-isu kebijakan dan manajemen perkembangan Iptekin dalam lingkup nasional maupun global. Ini merupakan seminar ketiga yang kami laksanakan dengan mengambil tema “Debottlenecking R&D Based Industrial Innovation”. Seminar ini diawali dengan pembukaan resmi oleh Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof. Dr. Lukman Hakim M.Sc. Pada kesempatan ini turut berbicara Prof. Rhenald Kasali Ph.D. guru besar dari Universitas Indonesia, Dr. Tanri Abeng MBA. Pengusaha dan mantan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN. Juga berbicara Dr. Ir. Dwi Soetjipto, MM. Direktur Utama PT. Semen Gresik. Setelah itu dilakukan juga acara talk show yang dihadiri oleh Prof. Lukman Hakim M.Sc. Kepala LIPI, Dr. Ninok Leksono, wartawan senior dan anggota Komite Inovasi Nasional, Irwan Hidayat presiden direktur dari PT. Sido Muncul dan Ir. Satrio Dharmanto dari Conax Indonesia dan IEEE Indonesia. Acara ini dimoderatori oleh Prof. R. Eko Indrajit. Dalam prosiding ini dimuat ringkasan pidato yang disampaikan oleh ketiga pembicara utama. Juga dimuat 17 makalah yang dipresentasikan secara oral dan 4 abstrak dari makalah yang dipresentasikan secara oral tetapi akan dimuat dalam jurnal. Semua makalah ini telah melalui proses seleksi oleh tim seleksi dan telah dikoreksi berdasarkan hasil diskusi yang kemudian dilakukan proses editing oleh tim editor. Ditampilkan pula jadwal acara, daftar pemakalah, dan daftar panitia. Penyusunan prosiding ini melibatkan banyak pihak, mulai dari tim penyeleksi makalah, tim persidangan yang mengumpulkan seluruh bahan untuk persiapan prosiding, dan tim editor. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan prosiding ini kami ucapkan terima kasih.
Jakarta 10 Januari 2014
Ketua Panitia i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Panitia Sambutan Kepala PAPPIPTEK-LIPI Sambutan Kepala LIPI
i ii iv vi ix
Pidato Kunci 1. Dr. Rhenald Kasali 2. Dr. Tanri Abeng 3. Dr. Dwi Sutjipto
1 1 2 3
Makalah-makalah 1. Kebangkitan Kembali Industri Pesawat Nasional: Perjalanan PT. Dirgantara Indonesia 2. Kajian Pengelolaan Hasil Penelitian Lembaga Litbang untuk Mendukung Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) 3. Kaji Ulang Sistem Pendanaan Riset Pemerintah Untuk Mengurai Stagnasi Inovasi di Bidang Kesehatan 4. The Quadruple Helix Model untuk Sistem Inovasi Lokal dalam Penanggulangan Kemiskinan: Studi Kasus Proyek Inovasi Eksplorasi Sumber Air Bawah Tanah Masyarakat Desa Karangajek, Kabupaten Gunung Kidul 5. Biodegredasi Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) oleh Jamur Lignoselulotik 6. Kolaborasi Ilmiah di Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian Sebagai Pengungkit Inovasi di Industri Berbasis Ilmu Pengetahuan (Science Based Industry): Studi Kasus Pengembangan Inovasi Medis Berbasis Sel Punca dan Rekayasa Biologi 7. Tekno-Meter Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi: Suatu Upaya Mengurai Stagnasi Inovasi di Lembaga Litbang dan Penguatan Hubungan Pemasok dan Pengguna 8. Budaya Inovasi Sebagai Elemen Utama Pembentuk Sistem Inovasi Daerah: Kasus Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan 9. Pemanfaatan Inovasi Hasil Penelitian dan Pengembangan (Studi Kasus Pabrik Gula di Indonesia dalam Tinjauan Ekonomi)
5 15 23
36 49
59
72
80 94
10. Rancangan Usaha Mengurai Stagnasi Inovasi di Perguruan Tinggi: Peran Tri Dharma Dengan Dharma Pertama Penelitian (Pengembangan) 102 11. Skenario Anggaran Litbang IPTEK dalam Mendukung Program Master Plan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di Enam Koridor 110 ii
12. Decoding Ramayana, Pencerahan Bisnis dan Landasan Moral Start up Company dalam Industri Kreatif Indonesia 13. Kebijakan Fiskal Sebagai Pemicu Inovasi di Industri Manufaktur Berbasis Logam 14. Tantangan Keberlanjutan Difusi dan Adopsi Tungku Sehat Hemat Energi (TSHE) : Studi Kasus Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta 15. Pentingnya Strategic Marketing dalam Perolehan HKI di Lembaga Litbang di Indonesia dalam Mendukung Pertumbuhan Industri 16. Bagaimana Knowledge Management Bersama Fisika Membangun “Nature Knowledge Theory” Sebagai Sains Dasar Baru 17. Peran Biomassa Dalam Memenuhi Kebutuhan Energi Tingkat Rumah Tangga : Kasus Inovasi Biomassa “Waste to Energy”
DAFTAR ABSTRAK 1. Analisis Pengaruh Faktor-faktor Kreativitas dan Inovasi Terhadap Program Mahasiswa Wirausaha di Perguruan Tinggi (Studi Kasus pada Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Andalas) 2. Sistem Pembiayaan untuk Aplikasi Teknologi pada Manajemen Rantai Pasok Hortikultura Bernilai Tinggi : Studi Kasus Teknologi Greenhouse Paprika 3. Penerapan Teknologi Untuk Meningkatkan Daya Saing Petani Sayuran Dalam Memenuhi Permintaan Pasar Ekspor 4. Potensi Inovasi Industri Kecil dalam Paradigma Pembangunan Inklusif di Indonesia SUSUNAN ACARA JADWAL PRESENTASI PESERTA PEMAKALAH
iii
122 132 143 152 167 175
190
191
192 193 194 208 209
DAFTAR PANITIA Pengarah Penanggung Jawab
: :
Ketua Wakil Ketua Bendahara Kesekretariatan Koordinator Anggota
Persidangan Koordinator Anggota
Prof. Dr. Husein Avicenna Akil, M.Sc Dr. Trina Fizzanty
Ir. Ikbal Maulana : : :
Purnama Alamsyah, SE Endang Mardiningsih, A.Md.
: Opan Supandi, M.TI 1. Adzan Sofiawan, S.Sos : 2. Ummi Aslamah, A.Md 3. Tri Handayani, S.Kom : :
Anugerah Yuka Asmara, S. Ip. 1. Dian Prihandayanti, M.T 2. Dini Oktaviyanti, S.Ip, M.Si 3. Ir. Sigit Setiawan, M.Si 4. Kusnandar, M.T
Tim Seleksi Makalah : Koordinator : Lutfah Ariana, STP, MPP Anggota : 1. Prof. Dr. Erman Aminullah, M.Sc 2. Dr. Trina Fizzanty 3. Dra. Wati Hermawati, MBA Reviewer
:
1. Prof. Dr. Endang G. Said, M.Dev 2. Prof. Dr. Erman Aminullah, MSc. 3. Prof. Dr. Isti Sujandari
4. Zarnita, A.Md 5. Wiyono, SE 6. Zindhy Dwiyani, STP
5. Rizka Rahmaida, S.Si 6. Vetti Rina Prasetyas, SH 7. Ishelina Rosaira P., SE
4. Dra. Nani Grace S., M.
Hum 5. Ir. Dudi Hidayat, M.Sc 4. Prof. Dr. Tigor Sitomorang 5. Dr. Lina Fiftahul Jannah 6. Dr. Marcelina Pondin
Proceeding dan Laporan Akhir Koordinator Anggota
: :
Dra. Hartiningsih, MA 1. Dra. Wati Hermawati, MBA 2. Lutfah Ariana, STP, MPP 3. Ir. Sigit Setiawan, M.Si
4. Dian Prihadyanti, M.T
5. Rizka Rahmadia, S. Si 6. Dini Oktaviyanti, M.Si
LIPI Science-Based Industrial Innovation Award (LIPI SBIIA) Koordinator Anggota
: :
Purnama Alamsyah, SE 1. Dian Prihandyanti, SE 2. Kusnandar, MT 3. Dra. Nani Grace S., M.Hum 4. Indri Juwita Asmara, M.TI
iv
5. Karlina Sari, MA 6. Setiowiji Handoyo, SE 7. Agnes Irwanti,SE, MSi
Dewan Juri Ketua Sekretaris Anggota
: : :
Prof. Dr .Ir .H. Gusti Muhammad Hatta, MS (Menristek) Prof Lukman Hakim, PhD Apt. (Kepala LIPI) 1. Prof. Umar Anggara Jenie M.Sc. Apt (UGM) 2. Prof.Dr. Harijono A. Tjokronegoro (ITB) 3. Prof. Dr. Andrianto Handojo (DRN/ITB) 4. Prof. Dr. Husein A. Akil M.Sc (LIPI) 5. Prof Dr. Bambang Subiyanto (LIPI) 6. Prof. Dr. Broto L. Kardono (LIPI) 7. Prof. Dr. Erman Aminullah M.Sc (LIPI) 8. Dr. Tatang Taufik (BPPT) 9. Dr. Martin Tjahjono (Surya Institute) 10. Dr. LT. Handoko (LIPI) 11. Slyvia W. Sumarlin MA. (Xirca Silicon Technology/FTII) 12. Ir. Satriyo Dharmanto, MSi (MULTICOM/CONAX)
v
SAMBUTAN KEPALA PAPPIPTEK-LIPI
Yang terhormat Kepala LIPI, Prof. Dr. Lukman Hakim MSc, Yang terhormat Wakil Kepala LIPI, Dr. Ir. Djusman Sajuti, Yang terhormat Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Pejabat Eselon I dan II dari Kementerian Ristek, Kementerian Perindustrian, Bappenas, BSN, ESDM, dan lain-lainnya, Yang terhormat para anggota Dewan Juri LIPI Science-Based Industrial Innovation Award, Yang terhormat Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu yang mewakili perusahaan yang menjadi nominee LIPI Science-Based Industrial Innovation Award, Yang terhormat para pembicara kunci yang telah hadir, Prof. Rhenald Kasali PhD, Dr. Tanri Abeng, MBA, dan Dr. Ir. Dwi Soetjipto, MM, Yang terhormat Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu yang akan mengisi acara di forum tahunan ini, Yang terhormat Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu dari industri, lembaga litbang, perguruan tinggi, dan instansi pemerintah,
Assallammualaikum wr.wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Selamat datang di Forum Tahunan Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi (IPTEKIN) Nasional III. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sekalian marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah s.w.t karena telah melimpahkan rahmatnya kepada kita semua, sehingga kita bisa berkumpul di acara Forum IPTEKIN Nasional yang ketiga ini. Pertama-tama, sebagai penyelenggara forum ini, ijinkan kami menyampaikan laporan tentang penyelenggaraan forum tahunan ini. Forum IPTEKIN Nasional ini diselenggarakan Pappiptek-LIPI setiap tahun sejak 2011 sebagai sarana untuk mempromosikan bidang kajian kebijakan dan manajemen ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi (iptekin). Ini dikarenakan isu iptekin masih belum mendapatkan perhatian luas di tanah air, padahal kemajuan dan daya saing suatu bangsa sangat ditentukan oleh intensitas pengembangan iptekin. Pada Forum IPTEKIN Nasional yang pertama dan kedua kami telah mempertemukan para peneliti dan akademisi dengan berbagai latar vi
belakang keilmuan namun disatukan oleh minat yang sama, yakni kajian pada kebijakan dan manajemen iptekin. Tahun 2013 ini, kami memperluas lingkupnya dimana praktisi dari industri pun kami libatkan juga. Hal ini penting sekali, karena yang berada di garda depan persaingan antar-bangsa adalah industri. Tema yang kami ambil, yakni “Mengurai Stagnasi Inovasi Berbasis Litbang di Indonesia” sebenarnya mencoba mempertemukan kepentingan baik akademisi dan peneliti di satu sisi, sebagai pihak yang aktif melakukan kegiatan litbang, dengan industri yang mendapatkan tekanan persaingan dan pasar untuk melakukan inovasi, dan juga pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Pergeseran tekanan pada industri ini pula yang membuat kami mengundang pembicara-pembicara yang sudah dikenal reputasinya di kalangan industri untuk mengisi acara keynote speech. Kita beruntung sekali karena sebentar lagi kita akan bisa menyaksikan Prof. Rhenald Kasali, Dr. Tanri Abeng, MBA, dan Dr. Ir. Dwi Soetjipto, MM, berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka dengan kita semua. Penguatan sistem inovasi nasional bukanlah kerja satu lembaga, ataupun satu sektor, tetapi merupakan jejaring yang menggabungkan industri, pemerintah, lembaga litbang dan perguruan tinggi dalam satu rangkaian. Rangkaian ini tidak bisa serta-merta terbentuk. Dibutuhkan saling pemahaman, saling pengertian, yang hanya bisa dibangun melalui dialog yang intensif. Untuk mengawalinya kami menyelenggarakan Talk Show, dan juga diharapkan secara informal forumforum ini bisa mempertemukan Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu dalam satu kepentingan memajukan kemampuan iptekin nasional. Insya Allah, dalam Talk Show ini, Bapak Menristek sebagai pengambil kebijakan iptekin nasional, Kepala LIPI mewakili lembaga litbang, Dr. Ninok Leksono sebagai wakil perguruan tinggi, dan Bapak Irwan Hidayat dan Bapak Satriyo Dharmanto akan berdialog di depan kita dengan dipandu oleh Prof. Dr. Eko Indrajit. Hal yang baru dan istimewa dalam penyelenggaran forum ini adalah penganugerahan LIPI Science-Based Industrial Innovation Award dimana hari ini adalah fase terakhir dari Award tersebut, yakni pengumuman pemenang dan penganugerahannya. Proses penentuan pemenang Award ini kami dibantu Dewan Juri yang terdiri dari para pakar yang berasal dari BPPT, UGM, ITB, DRN, Surya Institute dan juga praktisi industri. Secara bersama-sama kami telah melalui proses panjang. Mulai dari tahap awal menyeleksi lebih dari 70 perusahaan, kemudian menyebarkan kuesioner kepada 66 perusahaan, sampai akhirnya kami menyeleksi 11 nominee yang terbagi dalam dua kategori, yakni kategori Life Science dan kategori Physical Science untuk hadir melakukan presentasi dan tanya jawab di depan Dewan Juri. Proses penjurian ini sudah dilakukan pada tanggal 1 Oktober. Dan siang ini kita akan menyaksikan penganugerahan Award ini kepada dua pemenangnya. vii
Bagian akhir dari acara Forum IPTEKIN 2013 ini adalah presentasi, baik oleh peneliti dan akademisi yang telah menuliskan makalahnya, maupun dari industri yang akan menyampaikan presentasi mengenai pengalaman inovasi di perusahaannya. Diharapkan dengan beragamnya latar belakangnya penyaji presentasi, gagasan-gagasan segar yang bisa menjadi pemecah persoalan iptekin bisa dilahirkan melalui interaksi dalam forum ini. Makalah utuh yang masuk ke panitia, menurut masing-masing sub-tema, adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
SDM: Kreativitas, Kepemimpinan dan Technopreneurship: 7 makalah. Manajemen Intermediasi Inovasi: 4 makalah. Sistem Insentif dan Inovasi Berbasis Litbang: 5 makalah. Pemanfaatan Inovasi Hasil Litbang: 4. Hambatan-Hambatan Inovasi Berbasis Litbang di Industri: 4.
Jadi total ada 24 makalah. Selain itu ada satu presentasi tanpa makalah dari industri yang akan menceritakan inovasi di dalam perusahaannya. Demikian laporan penyelenggaraan forum tahunan ini kami sampaikan. Selamat mengikuti forum tahunan, dan terima kasih.
Wasssallamualaikum wr.wb.
viii
SAMBUTAN KEPALA LIPI
Yang terhormat Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Pejabat Eselon I dan II dari Kementerian Ristek, Kementerian Perindustrian, Bappenas, BSN, ESDM, dan lain-lainnya, Yang terhormat para anggota Dewan Juri LIPI Science-Based Industrial Innovation Award, Yang terhormat Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu yang mewakili perusahaan yang menjadi nominee LIPI Science-Based Industrial Innovation Award, Yang terhormat para pembicara kunci yang telah hadir, Prof. Rhenald Kasali PhD, Dr. Tanri Abeng, MBA, dan Dr. Ir. Dwi Soetjipto, MM. Yang terhormat Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu yang berpartisipasi mengisi seluruh rangkaian acara forum tahunan ini, Yang terhormat Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu dari industri, lembaga litbang, perguruan tinggi, dan instansi pemerintah,
Assallammualaikum wr.wb. Salam sejahtera buat kita semua. Selamat datang di Forum Tahunan Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi (IPTEKIN) Nasional III. Pertama-tama kami mengucapkan syukur ke hadirat Tuhan YME karena Forum IPTEKIN ini sudah terselenggaranya untuk ketiga kalinya, dan bahkan tampil lebih besar dan lebih istimewa dengan melibatkan peran lebih banyak pihak lagi. Forum ini mengambil tema yang sangat aktual, yang mengungkapkan akar permasalahan mengapa inovasi yang menjadi penentu daya saing nasional masih lemah. Tema ini adalah “Mengurai Stagnasi Inovasi Berbasis Litbang di Indonesia”. Tema ini mengajak kita untuk melakukan refleksi dengan jernih terhadap permasalahan yang kita hadapi, agar kita bisa mengurai permasalahan tidak hanya yang ada di luar, tetapi juga yang ada dalam organisasi kita. Tema ini juga aktual, mengingat kesadaran akan pentingnya inovasi berbasis litbang ix
masih belum besar. Kegiatan litbang dianggap sebagai urusan perguruan tinggi atau lembaga litbang, yang terlalu berisiko atau boros jika dilakukan oleh industri. Padahal, inovasi yang memiliki nilai tambah dan berdampak paling besar pada daya saing adalah inovasi yang digali dari hasil-hasil penelitian ilmiah. Inovasi dalam bentuk desain produk, kemasan, ataupun teknik-teknik pemasaran, walaupun berkontribusi pada daya saing tetapi merupakan sesuatu yang gampang diidentifikasi dan dipahami pesaing, dan karena itu gampang ditiru atau dikalahkan. Inovasi berbasis litbang menyebabkan asimetri informasi, dimana inovator memiliki keunggulan pengetahuan tentang inovasi tersebut dibandingkan pesaingnya. Untuk memahami tema yang kompleks itu, Pappiptek-LIPI sebagai penyelenggara, mencoba menjawabnya melalui berbagai acara yang ditawarkan dalam forum ini. Setelah ini kita akan menyaksikan keynote speech dari pembicara-pembicara terkemuka. Siapa yang tak kenal Prof. Rhenald Kasali, pakar bisnis terkemuka di negeri kita. Dr. Tanri Abeng, yang sudah lama kita kenal kiprahnya di industri tanah air. Dan, juga Dr. Ir. Dwi Soetjipto, MM, yang telah sukses memimpin PT Semen Indonesia menjadi perusahaan inovatif. Beliau-beliau akan membagikan pengetahuan dan pengalamannya pada kita semua. Forum ini melalui acara Talk Show ini juga akan mempertemukan Menristek, saya mewakili lembaga litbang, dan rekan-rekan dari industri untuk saling bertukar pikiran. Melalui dialog seperti ini upaya saling memahami bisa dicapai, dan mudah-mudahan bisa menjadi landasan ke depan untuk kerja sama yang lebih baik di antara komponen-komponen sistem inovasi nasional. Bagian terpenting dari acara ini adalah penganugerahan LIPI Science-Based Industrial Innovation Award. Award ini memiliki maksud ganda. Pertama, melalui Award ini LIPI ingin mempromosikan kepada industri, pemerintah maupun masyarakat luas akan pentingnya inovasi berbasis penelitian ilmiah guna membangun daya saing industri nasional. Kedua, melalui Award ini pula LIPI ingin menunjukkan apresiasi setinggi-tingginya kepada industri yang telah menjadi pelopor dalam melakukan inovasi berbasis penelitian ilmiah. Kita perlu menunjukkan pada masyarakat luas, bahwa negeri kita memiliki industri-industri pelopor, bukan sekedar tukang jahit. Mereka bisa menjadi role model tentang bagaimana membangun daya saing dan menghadapi persaingan dengan cara yang lebih cerdas, yakni cara yang berbasis penelitian ilmiah.
Untuk memulai acara ini ijinkanlah saya membuka Forum Tahunan Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Inovasi (IPTEKIN) Nasional III dengan membaca: x
Bismillahirahmanirrahim. Kepada para Hadirin sekalian, selamat mengikuti forum IPTEKIN yang ketiga ini. Terima kasih dan selamat kepada Pappiptek-LIPI yang telah berhasil menyelenggarakan acara ini.
Wassallammualaikum wr.wb.
xi
PIDATO KUNCI Dr. Reynald Khasali
Untuk mencapai produk inovatif yang dihasilkan dari litbang bukan lah hal yang mudah. Ada kesenjangan yang cukup dalam yang disebut “jurang kematian”. Kesenjangan atau “jurang kematian“ tersebut terjadi antara kegiatan litbang yang berjenis penelitian dasar kemudian dan kegiatan penelitian terapan yang diawali dari ide, kemungkinan ide tersebut tercapai, pengembangan produk sampai kepada produk masuk ke pasar. Terdapat 4 kunci sukses untuk mengurangi kesenjangan tersebut. Keempat kunci sukses tersebut adalah: pembiayaan (financing); perubahan mindset; marketing entrepreneur dan yang terutama adalah kesederhanaan (simplicity). Simplicity menjadi utama karena adalah membuat segala sesuatu menjadi lebih mudah dan memiliki kekuatan walaupun tidak mudah, karena kita selalu dihadapkan pada sesuatu yang kompleks. Dengan menyederhanakan sesuatu maka segala sesuatu menjadi minimalis, efisien, lebih cepat, dan menjadi lebih respek. Dengan menyederhanakan sesuatu, kita menjadi lebih mudah untuk mengingat sesuatu, lebih mudah dan tidak perlu mengorbankan banyak hal, dan mudah menyebar. Dengan kunci kesederhanaan tersebut ide kreatif akan mudah muncul dan inovasi dapat terjadi. Beberapa hal yang harus dihindari untuk menjadi kreatif adalah mentalitas untuk mencari amannya saja, konflik kepentingan, manajemen yang masa bodo (tidak menghargai peneliti yang kreatif) dan mentalitas sumberdaya alam (mengambil keuntungan dari mengeruk sumberdaya alam). Inovasi diperlukan dalam setiap tahapan (zona) mulai dari zona produksi, zona customer, dan zona pembaruan. Setiap tahapan atau zona tersebut akan inovatif bila beberapa hal di bawah ini dilakukan, yaitu: selalu saling terhubung (assosiating), selalu menanyakan sesuatu (questioning), observasi (observing), melakukan eksperimen (experimenting), membuat jejaring (networking), melakukan aksi (doing action), dan selfdriving. Inovasi pada hakekatnya adalah menghubungkan antara titik yang satu ketitik yang lain, meliputi pertanyaan yang tidak realistis, kemudian masalah sampai kepada ide yang berasal dari area yang berbeda. Selanjutnya melakukan pekerjaan yang sulit yaitu bukan memperoleh jawaban yang benar, tetapi menciptakan pertanyaan yang benar (Drucker, P). Inovasi terjadi bila sering melakukan observasi, dimana saja dan kapan saja. Dengan melihat atau mengobservasi banyak hal, dapat mengembangkan pertanyaan yang tepat kemudian melakukan eksperimen untuk menjawab pertanyaan tersebut, kemudian membuat jejaring sebagai suatu aksi.
12
PIDATO KUNCI Tanri Abeng
Salah satu kunci sukses inovasi berbasis riset adalah memiliki misi yang spesifik yaitu (1) yang sesuai dengan kebutuhan industri; (2) memiliki nilai yang komersial; dan (3) melalui pendekatan pasar. Bagaimana kita mengelola inovasi berbasis riset dengan misi yang spesifik? caranya adalah dengan pendekatan 5 S + 1 yaitu: Strategy, Structure, Skill, System, Speed dan Scale. Strategi yang dibangun pemerintah adalah strategi yang spesifik, fokus pada industri sektoral seperti otomotif, pertanian, elektronik, kesehatan, atau pertambangan. Structure, proses pengelolaannya berorientasi pada pasar dengan disesuaikan pada kebutuhan industri, memiliki kebijakan pengembangan sumberdaya dan alokasi anggaran yang tepat, berkoordinasi dengan industri, perguruan tinggi serta melakukan keputusan yang benar. Skill, terdapat tiga keahlian yang diperlukan yaitu keahlian dalam mengelola teknologi, keuangan, dan industri. System, memiliki sistem insentif kepada para peneliti, pengelolaan yang disiplin dan knowledge management. Speed, kecepatan dalam memasuk pasar melalui proses adjustment dan decision serta quick win yang mengedepankan prioritas dan pengenalan mengenai pemenang. Dan, Scale, memaksimalkan pembelian dan logistik, efisiensi biaya, dan berdaya saing. Pendekatan 5 S+1 ini berhasil bila memiliki pemimpin yang memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Pemimpin yang visioner dan strategis; 2. Mempunyai kemampuan berkomunikasi dan memberi motivasi; 3. Memiliki kemampuan mengatasi segala krisis; 4. Memiliki kemampuan membangun kepercayaan dan team work; 5. Menunjukkan integritas, serta 6. Keberanian dan ketegasan.
13
PIDATO KUNCI Dr. Dwi Sutjipto
Innovation as a strategic objective for corporate improvement Presentasi ini menceritakan proses, perjalanan, perubahanperubahan/transformasi yang dilakukan PT Semen Indonesia sebagai engineering and research center. PT Semen Indonesia dibangun sejak lama, dapat disebut sebagai the oldest cement industry, sehingga kemampuan karyawan tidak perlu diragukan. Selanjutnya PT Semen Indonesia harus bertransformasi sebagai service company dalam engineering, dan riset. Ini menjadi bagian sebagai upaya dalam mensentralisasi. Salah satu misi PT Semen Indonesia adalah menggunakan teknologi yang ramah lingkungan. Dalam misi tersebut memasukkan kata-kata inovatif untuk menggambarkan masalah inovasi yang telah masuk ke sistem manajemen. PT Semen indonesia, didesak oleh tantangan-tantangan yang ada maupun yang diciptakan. Hal tersebut menggambarkan transformasi menuju semen indonesia (dari IPO dimana masih berdiri sendiri-sendiri, konsolidasi SG, SP-ST; sinergi dan inovasi, serta menjadi leader dalam level regional). Driver untuk melakukan transformasi adalah persaingan industri; potensi peningkatan kinerja dan pertumbuhan; dan budaya kerja. Salah satu contoh tantangan untuk inovasi adalah adanya kenaikan BBM di tahun 2007, yang tadinya mustahil mengembangkan energi alternatif menjadi mungkin. Sekarang seluruh pabrik sudah bisa menggunakan limbah sebagai energi alternatif. Investasi yang digunakan mendekati 200 M rupiah. Pada awalnya orang produksi selalu ingin operasinya nyaman, sehingga ketika ada inovasi yang mempengaruhi kerjanya misalnya dengan memasukkan sesuatu ke dalam sistem, jauh-jauh hari sebelumnya pasti ada yang reluctant/keberatan. Disanalah peran manajemen sangat dibutuhkan sehingga tidak ada protes. Inovasi lainnya adalah 10 persen batubara sudah diganti dengan limbah. Ke depan, ada 6 isu kritis untuk mencapai sustainable growth perusahaan, yaitu Undertake capacity growth; manage energi security; enhance company image, move closer to the customer; enable corporate growth; dan manage key risks. Untuk itu, perusahaan telah berupaya mencari-cari riset yang bisa mendukung untuk meningkatkan capacity growth. Manage energy security perlu diperhatikan, karena cukup besar energi yang terpakai dan menyangkut biaya juga. Company image, sekarang sudah bagus tetapi image nya industri semen tidak environmental friendly. Terkait riset dan inovasi, bagaimana mengubah paradigma dari yang selalu concern kepada standard. Karyawan dibuat berpikir out of the box, sehingga dapat mengembangkan budaya focused on innovation culture. Tahap pembentukan budaya inovasi, adalah inspiring employee motivation to inovate; build innovative leaderhsip dan build sense of crisis; apresiasi; ... perusahaan juga memiliki dewan inovasi untuk meningkatkan semangat dan kualitas inovasi. Selain itu juga berfungsi untuk memonitor ide-ide yang belum berjalan dan meneruskan ke langkah lebih lanjut, dan 14
bagaimana berdampak ke reward atau remun seseorang. Di bawah dewan inovasi ada innovation promotor selain juga bermitra dengan counterpart dan konsultan.
15
KEBANGKITAN KEMBALI INDUSTRI PESAWAT NASIONAL: PERJALANAN PT. DIRGANTARA INDONESIA Karlina Sari Peneliti Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Pappiptek) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jl. Gatot Subroto no. 10 Jakarta 12710 E-mail:
[email protected];
[email protected] ABSTRAK Teknologi telah menjadi salah satu mesin penggerak perekonomian suatu Negara industri manufaktur dengan intensitas teknologi tinggi menjadi mesin pertumbuhan negara-negara maju.Salah satu dari sedikit industri manufaktur berintensitas teknologi tinggi yang eksis di Indonesia adalah industri pesawat terbang.PT.Dirgantara Indonesia (PT. DI) yang merupakan satu-satunya perusahaan produsen pesawat terbang di Indonesia memiliki sejarah perjalanan yang panjang mulai dari masa Orde Baru hingga kini.Studi ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan PT. DI sebagai satu-satunya perusahaan nasional produsen pesawat terbang di Indonesia, mulai dari awal perkembangan, masa kejayaan, masa keterpurukan, hingga kini mulai bangkit kembali; serta mengidentifikasi faktor-faktor penentu kesuksesan perkembangan perusahaan berteknologi tinggi ini. Dari hasil analisis, terlihat bahwa cikal bakal PT. DI sudah dirintis sejak zaman Orde Lama, kemudian didirikan dan mencapai masa kejayaan pada masa Orde Baru. Pada awal Orde Reformasi, perusahaan ini sempat mengalami keterpurukan, namun sejak tahun 2012 menemukan momen kebangkitan kembali. Faktor utama yang mendukung kesuksesan maupun kemunduran PT. DI adalah dukungan tokoh dan kebijakan pemerintah karena industri pesawat merupakan industri oligopoli yang tidak bisa bergantung sepenuhnya pada mekanisme pasar. Faktor lain adalah kualifikasi yang dimiliki oleh PT. DI itu sendiri sehingga ketika perusahaan ini bangkit kembali, kepercayaan konsumen-konsumen dalam maupun luar negeri dapat diperoleh dengan cepat. Kata kunci: industri berteknologi tinggi, industri pesawat terbang,faktor penentu kesuksesan
1. PENDAHULUAN Teknologi telah menjadi salah satu mesin penggerak perekonomian suatu negara, di samping sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya finansial. OECD membagi industri manufaktur menjadi industri manufaktur dengan intensitas teknologi rendah, menengah-rendah, menengah-tinggi, dan tinggi. Seperti negara-negara berkembang lainnya, Indonesia masih berkutat dengan industri manufaktur berintensitas teknologi rendah. Pada tahun 1998, sekitar 55% output industri manufaktur berasal dari industri manufaktur dengan intensitas teknologi rendah, sedangkan industri manufaktur dengan intensitas teknologi tinggi hanya berkontribusi di bawah 10%. Sebelas tahun kemudian, yaitu pada tahun 2009, industri manufaktur dengan intensitas teknologi tinggi menyumbangkan sekitar 11% output, sedangkan industri manufaktur berintensitas teknologi rendah menghasilkan 50% output. Jurang proporsi yang lebih tinggi ditunjukkan oleh data ekspor. Selama periode 1999 hingga 2010, sebanyak 60-70% produk ekspor berasal dari industri manufaktur berintensitas teknologi rendah, sedangkan 3-5% berasal dari industri manufaktur berintensitas teknologi tinggi, dan sisanya dari industri manufaktur berintensitas teknologi menengah-rendah dan menengah-tinggi (Pappiptek-LIPI, 2012). Salah satu industri manufaktur berintensitas teknologi tinggi yang eksis di Indonesia adalah industri pesawat terbang. Oleh Menteri Riset danTeknologi Kabinet Pembangunan, B.J. Habibie, industri pesawat terbang menjadi prioritas utama pembangunan industri strategis pada era Orde Baru. Pendirian Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang kini berubah nama menjadi PT. Dirgantara Indonesia (DI) menjadi titik tolak kebangkitan industri berteknologi tinggi di Indonesia.Nama Indonesia sempat diperhitungkan dalam industri pesawat internasional ketika CN-235 muncul. Namun selepas krisis ekonomi, industri pesawat langsung mengalami keterpurukan. Pada periode 2006 hingga 2010, nilai produksi industri pesawat dan 16
perlengkapannya serta industri perbaikan dan pemeliharaan pesawat mengalami penurunan hingga 99% dari Rp 725 milyar menjadi Rp 5 milyar (Kementerian Perindustrian, 2012). Nilai ekspor berfluktuasi dari 103,1 juta dolar AS di tahun 2008 menjadi 198,2 juta dolar AS di tahun 2012. Pada tahun 2012, proporsi ekspor industri pesawat terbang terhadap total ekspor industri manufaktur nonmigas adalah 0,13% (Kementerian Perdagangan, 2012). Terlepas dari pro-kontra pendirian IPTN pada masa Orde Baru, industri pesawat terbang sebagai salah satu industri manufaktur berintensitas teknologi tinggi merupakan modal untuk kemajuan ilmu pengetahuan maupun kemajuan perekonomian Indonesia. Mengingat besarnya investasi untuk membangun industri ini, hendaknya PT. DI tidak dibiarkan stagnan dan mati suri. Makalah ini bertujuan untuk menguraikan perjalanan PT. DI sebagai satu-satunya perusahaan nasional produsen pesawat terbang di Indonesia, mulai dari awal perkembangan, masa kejayaan, masa keterpurukan, hingga kini mulai bangkit kembali, serta menganalisis faktor-faktor penentu kesuksesan perusahaan berteknologi tinggi ini. 2. METODOLOGI Penelitian ini akan menganalisis perkembangan PT DI secara historis. Perkembangan perusahaan akan dibagi menjadi lima periode. Dari periode perkembangan tersebut, akan dianalisis faktor-faktor penentu kesuksesan perkembangan perusahaan. analisis akan dilakukan untuk melihat pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap perkembangan bisnis perusahaan. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan PT. DI di Indonesia akan dilihat berdasarkan lima periode seperti dijelaskan sebagai berikut: 3.1. Periode 1914-1965: Awal Kemunculan Industri Pesawat Indonesia Cikal bakal industri pesawat Indonesia sudah dimulai dari masa pra-kemerdekaan ketika negara inimasih di bawah penjajahan Belanda. Pemerintahan Belanda tidak memproduksi pesawat, tetapi mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pengoperasian pesawat seperti lisensi pembuatan dan evaluasi teknis serta evaluasi keamanan pesawat yang beroperasi di Indonesia.Pada tahun 1914, didirikan Bagian Uji Terbang di Surabaya yang berfungsi sebagai tempat uji pesawat di kawasan tropis. Kemudian dimulai perakitan pesawat pada tahun 1930,dengan didirikannya Bagian Pembuatan Pesawat Udara yang memproduksi pesawat untuk angkatan laut Kanada. Pusat perakitan pesawat ini kemudian dipindahkan ke Lapangan Udara Andir di Bandung yang kini menjadi Bandara Husen Sastranegara. Pada skala kecil, beberapa pemuda Indonesia dipimpin oleh Tossin membuat pesawat di bengkel kecil mereka di Bandung. Namun pesawat ini berhasil mengejutkan dunia karena kemampuannya melintasi samudera ke negara Belanda dan Cina. Selepas Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945, ambisi Indonesia untuk membuat pesawat sendiri masih berlanjut. Pada masa ini, pesawat terutama dibutuhkan untuk kepentingan pertahanan.Pada tahun 1946, dipionir oleh tiga orang anggota Tentara Republik Indonesia-Angkatan Udara (TRI-AR) yaitu Wiweko Supono, Nurtanio Pringgoadisurjo, dan Sumarsono, dibuatlah pesawat layang pertama yang terbuat dari 100% bahan lokal dengan nama NWG-1. Walaupun dibuat secara sederhana, pesawat ini menarik perhatian pimpinan mereka hingga digunakan untuk keperluan latihan. Keahlian mereka berkembang hingga pada tahun 1948, Wiweko berhasil mendesain pesawat bermesin pertama di Indonesia, dengan nama RI-X. Sekembalinya Nurtanio dari Filipina untuk mempelajari teknik penerbangan pada tahun 1950, beli diberi amanah untuk memimpin Seksi Percobaan Depot Penyelidikan, Percobaan, dan Pembuatan (DPPP) AURI di Bandung.Pada tahun 1957-1958, Nurtanio berhasil membuat prototipe pesawat bernama “Si Kumbang”, sebuah pesawat berbahan logam dengan satu kursi; “Belalang 89” dan “Belalang 90”, sebuah pesawat latihan; dan “Kunang 25” sebuah pesawat sport. 17
Hasil karya Nurtanio menarik perhatian Presiden Soekarno. Soekarno menyadari bahwa penguasaan teknologi tinggi merupakan kunci kemajuan perekonomian suatu negara, salah satunya melalui pengembangan industri pesawat. Keseriusan Presiden Soekarno dalam mengembangkan industri pesawat ditunjukkan melalui pembentukan Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP) pada tahun 1960, yang berfungsi mempersiapkan industri pesawat untuk melayani aktivitas penerbangan dalam negeri. LAPIP ini juga merupakan perluasan dari DPPP di bawah supervisi Nurtanio. Pada tahun 1961, LAPIP mendapatkan bantuan pinjaman sebesar 2,5 juta dolar AS dari Pemerintah Polandia untuk membangun fasilitas perakitan pesawat dan memperoleh lisensi dari Polish Cekop untuk memodifikasi pesawat yang diberi nama Gelatik yang digunakan untuk keperluan pertanian, transportasi, dan aero club. Untuk mendukung pengembangan sumber daya manusia dalam industri pesawat, dibentuklah program studi Teknik Penerbangan di InstitutTeknologi Bandung pada tahun 1962.Program studi ini dirintis oleh Oetarjo Diran dan Liem Keng Kie yang merupakan lulusan Program Beasiswa Luar Negeri. Kemudian melalui Dekrit Presiden tahun 1965, didirikan Komando Pelaksana Industri Pesawat Terbang (KOPELAPIP) dan PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari. Pada tahun 1966, dunia aviasi Indonesia berduka karena Nurtanio wafat dalam kecelakaan pesawat yang sedang diuji coba.Untuk menghormati kontribusi Nurtanio terhadap pembangunan industri pesawat Indonesia, KOPELAPIP dan PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari di merger menjadi Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (LIPNUR). Sepeninggal Nurtanio, industri pesawat sempat mengalami stagnasi, dimana LIPNUR hanya mampu memproduksi Gelatik dalam jumlah kecil, terutama untuk digunakan oleh AU. Hingga akhirnya pada tahun 1974, muncullah Baharuddin Jusuf Habibie, lulusan Teknik Penerbangan Technische Hochschule Aachen Jerman. 3.2. Periode 1966-1997: Akumulasi Pengetahuan dan Transfer Teknologi Kembalinya B.J. Habibie ke Indonesia tidak lepas dari peran Soeharto yang kala itu menjabat sebagai presiden menggantikan Soekarno. Presiden Soeharto memiliki visi menguasai industri padat modal sebagai industri strategis dan menunjuk Habibie sebagai Menteri Riset dan Teknologi pada tahun 1978. Sebagai bagian dari industri strategis, LIPNUR dan Pertamina melakukan merger menjadi Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) pada tanggal 5 April 1976 atas keputusan Presiden Soeharto. Habibie menjadi presiden direktur IPTN dan ditunjuk sebagai penanggung jawab pengembangan industri pesawat Indonesia. Dengan limpahan aset dari negara, IPTN bertempat di lokasi seluas 45.000 m2 dengan pekerja sebanyak 860 orang. IPTN melaksanakan filosofi transfer teknologi dari Habibie yang terkenal, yaitu “berawal di akhir dan berakhir di awal”. Tujuan filosofi ini adalah agar SDM Indonesia dapat menguasai keseluruhan teknologi pembuatan pesawat, bukan hanya sebagian saja. Berdasarkan filosofi ini, IPTN mempelajari teknologi pembuatan pesawat mulai dari produk akhir lalu ke komponen. Fase-fase yang dilalui oleh IPTN yaitu: 1. Fase pemanfaatan teknologi yang sudah ada melalui program lisensi Fase ini bertujuan untuk membangun kapabilitas penguasaan perakitan pesawat dan mengidentifikasi jenis pesawat yang sesuai dengan kebutuhan domestik. 2. Fase integrasi teknologi Pada fase ini, kapabilitas manufaktur masih dikembangkan, ditambah pembelajaran desain. 3. Fase pengembangan teknologi Pada fase ini, ditingkatkan kapabilitas untuk membuat sendiri desain pesawat. 4. Fase penelitian dasar Fase ini bertujuan menguasai ilmu dasar untuk mendukung pengembangan produk baru.
18
Ambisi Habibie untuk mengembangkan industri pesawat menuai kontroversi dari para ekonom yang berpendapat bahwa seharusnya anggaran negara diprioritaskan untuk industri pangan.Namun karena dukungan penuh dari Soeharto, misi Habibie agar Indonesia menguasai teknologi pembuatan pesawat tetap berjalan.Perlindungan terhadap produk pesawat dalam negeri ditunjukkan melalui PP No. 19 tahun 1966 yang melarang impor pesawat udara dan komponennya yang tidak sesuai syarat-syarat standardisasi yang ditetapkan oleh Dewan Penerbangan dan Angkasa luar Nasional Republik Indonesia (DEPANRI) dan melarang impor pesawat udara serta komponennya yang sama atau sejenis dengan yang dihasilkan di dalam negeri. Kebijakan-kebijakan penunjang juga diberlakukan seperti dispensasi dari kebijakan pemerintah yang mengharuskan perusahaan BUMN menggunakan bahan baku lokal, dan otoritas penuh untuk Habibie untuk mempengaruhi keputusan TNI dan perusahaan penerbangan Garuda (McKendrick, 1992). Contoh intervensi yang pernah dilakukan oleh Habibie terhadap Garuda adalah perintah untuk membeli mesin dari General Electric untuk Boeing 747s dan mesin Rolls-Royce untuk Airbus A330s pada tahun 1990, ketika Garuda berencana untuk membeli mesin dari Pratt & Whitney. Hal ini dilakukan karena kedua perusahaan tersebut bekerja sama dengan IPTN. Di bawah pimpinan Habibie, IPTN mendapatkan berbagai kontrak kerja sama dengan perusahaan pesawat luar negeri seperti yang tercantum pada Tabel 1.Pada tahun 1975, proyek kerja sama luar negeri pertama dilakukan oleh IPTN dengan Messerschmitt-Boelkow-Blohm GmbH (MBB), perusahaan pesawat Jerman tempat Habibie bekerja sebelum kembali ke Indonesia, dan CASA, sebuah perusahaan pesawat Spanyoldengan mendapatkan lisensi untuk memproduksi helikopter dan pesawat. Lisensi selanjutnya didapatkan dari Aerospatiale of France dan Bell Textron pada tahun 1977 dan 1982. Kerja sama dengan CASA kemudian berkembang menjadi joint venture yang kelak menghasilkan produk pesawat penumpang 35 kursi pertama di Indonesia, yaitu CN-235. Kerja sama-kerja sama ini dimanfaatkan oleh IPTN untuk mendidik pekerja-pekerjanya dalam mendesain, memproduksi komponen-komponen pesawat, hingga merakitnya.Ketekunan dalam mempelajari cara memproduksi pesawat ini pada akhirnya menarik perusahaan pesawat besar di Amerika Serikat, yaitu Boeing Corporation, untuk menandatangani perjanjian subkontrak dengan IPTN untuk menghasilkan komponen pesawat B-737 dan B-767. Selain dengan Boeing, IPTN juga menjadi perusahaan subkontrak untuk Fokker, British Aerospace, dan Pratt & Whitney. Kerja sama teknis juga dijalin oleh IPTN dengan General Electrics (GE) dan Grumman. Kerja sama dengan GE menghasilkan Universal Maintenance Center (UMC), yaitu pusat perawatan dan perbaikan pesawat serta helikopter. Pada tahun 1985, Habibie mengubah nama “Nurtanio” pada IPTN menjadi “Nusantara”. Hal ini mengundang reaksi keras dari AU, namun karena dukungan Soeharto, IPTN tetap berubah menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara. Maksud Habibie mengganti nama “Nurtanio” untuk mengubah citra IPTN sebagai perusahaan nasional dan melepaskan IPTN dari bayang-bayang masa lalu. Perubahan nama ini juga menjadi titik tolak industri pesawat terbang Indonesia yang terintegrasi, mulai dari infrastruktur, fasilitas, SDM, serta hukum dan regulasi. Jumlah pekerja perusahaan ini pun berkembang menjadi 14.000 orang. Akumulasi pengetahuan dan keahlian yang didapat selama bekerja sama dengan perusahaan pesawat luar negeri ini menimbulkan kepercayaan diri IPTN untuk mendesain dan merakit sendiri pesawat terbang tanpa lisensi maupun bantuan teknis dari pihak luar. Di tengahtengah keraguan banyak pihak karena IPTN masih dipandang sebagai perusahaan pesawat amatir, Habibie tetap percaya bahwa telah tiba saatnya bagi Indonesia untuk memproduksi sendiri pesawat terbang komersial.
19
Tabel 1. Daftar Kontrak Kerja Sama IPTN Perusahaan CASA (Spanyol) MBB (Jerman) Aerospatiale of France (Perancis) Bell Textron (AS) Boeing Corp. (AS)
Tahun 1975 1979 1975 1982 1977
Jenis Kerja sama Lisensi Joint Venture Lisensi Lisensi Lisensi
1982 1982
Lisensi Subkontrak dan imbal produksi Subkontrak dan imbal produksi Kerja sama teknis Kerja sama teknis Subkontrak dan imbal produksi Subkontrak dan imbal produksi Subkontrak dan imbal produksi
General Dynamics (AS)
1982
General Electric (AS) Grumman (AS) British Aerospace (Inggris) Fokker (AS)
1980 1986
Pratt & Whitney (Kanada)
Hasil Pesawat C-212 Pesawat CN-235 Helikopter BO-105 Helikopter BK-117 Helikopter PUMA SA-330 dan Super Puma AS-332 Helikopter Bell-412 Komponen pesawat B-737 & B767 Komponen pesawat F-16 Universal Maintenance Center Komponen sistem persenjataan Komponen ekor dan sayap F-100 Komponen mesin
Sumber: Diolah dari McKendrick (1992)
Proyek ini dimulai pada tahun 1987 ketika sebuah tim kecil yang terdiri dari insinyurinsinyur IPTN dibentuk oleh Habibie untuk melakukan survei jenis pesawat yang banyak dibutuhkan oleh pasar. Setelah dilakukan survei pasar, diputuskan bahwa IPTN akan memproduksi pesawat terbang penumpang dengan 50 kursi yang diberi nama N-250. Dua tahun kemudian, Habibie mempublikasikan proyek ini ke khalayak internasional di acara Paris Air Show. Hal ini membuat nama Indonesia semakin dikenal di industri pesawat terbang internasional. N-250 yang diproduksi IPTN ini tidak sekedar meniru pesawat-pesawat yang sudah ada, tetapi merupakan pesawat tercepat di kelasnya dan menggunakan inovasi teknologi fly-by-wire. Pada tanggal 10 Agustus 1995, hasil kerja selama delapan tahun ini akhirnya diterbangkan untuk pertama kalinya selama 55 menit. Habibie menyatakan produk N-250 ini sebagai simbol independensi teknologi Indonesia dan tanggal 10 Agustus dicanangkan sebagai Hari Kebangkitan Teknologi. Sayangnya superioritas N-250 ini hanya sampai tahap prototipe. Krisis ekonomi Asia pada tahun 1997 menyebabkan proyek pesawat ini dihentikan. 3.3. Periode 1998-2007: Rapor Merah PT. DI Saat krisis ekonomi terjadi pada tahun 1997, subsidi pemerintah untuk IPTN dicabut sehingga sejak saat itu perusahaan ini harus berdiri di atas kaki sendiri.Sebagai produsen pesawat yang baru merintis, tentunya belum banyak pesanan pesawat yang datang. Ditambah lagi, pasar Asia Tenggara mengalami kemunduran karena hampir semua negara di kawasan ini juga menderita krisis ekonomi.Salah satu yang membuat IPTN bertahan adalah pesanan tetap dari Kementerian Pertahanan, namun jumlah penjualannya tidak cukup untuk menutup biaya operasional perusahaan. Bisnis yang dijalankan oleh IPTN hanya seputar pembuatan komponen atau perawatan dan perbaikan pesawat. Akibatnya, IPTN mengalami kerugian hingga Rp 7,25 triliun dan harus menunggak utang sebesar Rp 3 triliun (Rahman, 2011). Untuk merestrukturisasi IPTN, Presiden Abdurrahman Wahid mengutus Rizal Ramli, Kepala Bulog saat itu untuk membenahi manajemen perusahaan ini.Misi Rizal adalah untuk mengubah IPTN sebagai industri berbiaya tinggi menjadi industri yang kompetitif seperti di 20
Cina, Brazil, atau India (Masud, 2008). Sebagai simbol dari perubahan paradigma ini, Gus Dur mengubah nama perusahaan ini menjadi PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI). Pemberian nama baru ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 526/KMK.05/2000 Tanggal 20 Desember 2000 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 771/KMK.04/2001 Tanggal 1 Mei 2001 (Tyassari, 2008). Rizal mengubah seluruh peralatan dan mesin produksi berbiaya tinggi menjadi lebih murah agar biaya produksi dapat ditekan dan PT. DI dapat kembali menghasilkan profit. Selain itu, manajemen puncak PT. DI pun diganti dengan orang-orang didikan Habibie yang menguasai aspek teknis pembuatan pesawat maupun yang memiliki jaringanluas di industri pesawat internasional. Restrukturisasi ini mendorong pemulihan kondisi finansial PT. DI dengan meningkatnya penjualan dari Rp 508 milyar pada tahun 1999 menjadi Rp 1,4 trilyun pada tahun 2001. Bahkan perusahaan ini dapat menghasilkan keuntungan sebesar Rp 11 milyar pada tahun 2001, setelah dua tahun sebelumnya mengalami kerugian sebesar Rp 75 milyar (Masud, 2008). Sayangnya ketika tahun 2001 Presiden Megawati menjabat, PT. DI lagi-lagi mengalami penurunan kinerja. Hal ini disebabkan oleh penggantian manajemen perusahaan ini yang sebelumnya sudah solid, dengan orang-orang baru yang tidak memiliki jaringan bisnis dengan pelaku usaha di industri pesawat terbang internasional (Masud, 2008). Akibatnya jumlah penjualan PT. DI kembali mengalami penurunan, bahkan perusahaan ini mengalami kerugian hingga 1,5 trilyun. Tahun 2004 keadaan makin memburuk. Untuk menyelamatkan perusahaan ini, terpaksa dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga 6.651 orang. Ini merupakan pengurangan pegawai terbesar yang pernah dilakukan oleh PT. DI.Terbebani utang yang besar, PT. DI tidak mampu membayar gaji pegawainya tepat waktu, juga tidak mampu membayar kompensasi bagi mantan-mantan pegawai yang dirumahkan. Banyak tenagatenaga ahli pesawat terbaik di negeri ini yang akhirnya mengundurkan diri dan direkrut oleh perusahaan pesawat luar negeri yang menjadi rekan kerja sama PT. DI, seperti Boeing, British Aerospace, dan CASA. PT. DI mencapai titik terendah pada tahun 2007, ketika Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan putusan kepailitan pada PT. DI karena kompensasi dan dana pensiun mantan pegawai perusahaan ini belum juga dibayarkan. Permohonan pailit diajukan oleh tiga orang mantan karyawan PT. DI.Tetapi PT. DI mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan keputusan pailit ditolak karena sebagai perusahaan BUMN, permohonan pailit PT. DI hanya bisa diajukan oleh Menteri Keuangan. Kasus ini membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan untuk memperbaiki PT. DI. Pada tahun yang sama, manajemen perusahaan produsen pesawat ini kembali diganti dan Budi Santoso ditunjuk menjadi Direktur Utama. 3.4. Periode 2008-Sekarang: Restrukturisasi Di bawah kepemimpinan Budi Santoso, PT. DI dibawa menuju paradigma baru. Selain menguasai teknologi, perusahaan dituntut untuk menguasai pasar. Konsumen-konsumen PT. DI selama ini lebih banyak dari pihak pemerintah, baik pemerintahan Indonesia maupun luar negeri. Produk-produk pesawat PT. DI memang lebih banyak digunakan untuk kepentingan militer. Agar mencatat profit, orientasi pasar PT. DI harus dialihkan ke pesawat penumpang komersial.Maka mulai dikembangkan lagi model pesawat NC-212, CN-235, dan N-219 yang diperuntukkan bagi keperluan sipil. Agar perusahaan dapat berjalan, tentunya masalah finansial harus diselesaikan. Sepanjang tahun 2003 hingga 2007, ditemukan bahwa PT. DI memiliki utang-utang pajak juga utang untuk operasional perusahaan. Langkah pertama yang dilakukan adalah audit oleh BPK dan lembaga pajak. Kemudian utang ke pemerintah juga diselesaikan melalui konversi utang menjadi modal.Langkah-langkah perubahan ini mulai menunjukkan hasil. Walaupun masih merugi, namun nilai defisit perusahaan menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009, PT. DI mencatat kerugian sebesar Rp 157 milyar, namun pada tahun berikutnya turun menjadi Rp 126 milyar (Tempo, 2011). Sayangnya, pada tahun 2011, kerugian perusahaan ini justru meningkat lebih besar dari tahun 2009, yaitu sebesar Rp 356,52 milyar (detikfinance, 2012). 21
Untuk menyelamatkan PT. DI dari kebangkrutan lagi, pemerintah mengutus Perusahaan Pengelola Aset (PPA) untuk melakukan restrukturisasi perusahaan dalam bidang keuangan.Melalui PP No. 70 Tahun 2012 yang ditandatangani oleh Presiden SBY, PT. DI mendapatkan suntikan dana pemerintah sebesar Rp 1 trilyun. Seperti efek bola salju, aliran modal pemerintah ini mengundang kepercayaan konsumen luar negeri bahwa PT. DI telah bangkit. Hingga kini PT. DI dipercaya sebagai pemasok utama komponen pesawat perusahaan Airbus. Hal ini juga mengembalikan citra perusahaan di dunia industri pesawat internasional dengan keberhasilannya bermitra dengan salah satu perusahaan produsen pesawat terbang terbesar di dunia. Bahkan Airbus telah memutuskan untuk memindahkan pabrik pesawat C295 dari Spanyol ke Bandung (Antara News, 2013). Selain dengan Airbus, PT. DI menandatangani kontrak kerja sama sebagai perusahaan subkontrak dengan Eurocopter Family, CTRM, dan Korean Air. Selain perusahaan luar negeri, PT. DI juga berhasil menjalin kesepakatan dengan perusahaan penerbangan dalam negeri, yaitu Lion Air, yang, yang telah membeli 100 unit pesawat penumpang 19 kursi, yaitu N-219 (Vivanews, 2013). PT. DI sendiri juga melakukan restrukturisasi dan revitalisasi dalam bidang organisasi, SDM, teknologi informasi, permesinan, dan lain-lain. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain peremajaan dan pembelian fasilitas permesinan, perekrutan dan resdiposisi sumber daya manusia, modernisasi sistem informasi teknologi (IT), proses perampingan bisnis, serta pengembangan produk pesawat terbang agar tetap kompetitif di pasar (Vivanews, 2013). Penyertaan modal oleh pemerintah telah digunakan oleh PT. DI untuk membeli mesin-mesin baru.Mulai tahun 2010, telah dilakukan perekrutan pegawai baru secara bertahap, baik untuk insinyur penerbangan maupun operator mesin.Sistem IT yang digunakan sekarang adalah Enterprise Resources Planning (ERP) dengan keunggulan data lebih akurat, visibilitas dan kontrol lebih baik, dan aliran data lebih mulus di antara seluruh unit dalam perusahaan, dibandingkan dengan sistem sebelumnya, Integrated Resources Planning(IRP). Sebanyak 18 unit bisnis perusahaan kini dilebur menjadi empat unit saja, meliputi aircraft integration, aircraft services, aerostructure, dan technology and development. Produk pesawat yang kini dikembangkan adalah pesawat CN-235-220, pesawat CN 295, pesawat NC-212-200, helikopter BELL-412 EP, helikopter NAS-332C1, helikopter EC 725, dan helikopter AS 365 N3. Program restrukturisasi ini menunjukkan hasil positif, yaitu dengan dicatatnya keuntungan bersih senilai Rp 40 milyar pada akhir tahun 2012. Walaupun sudah berhasil memperoleh profit, pekerjaan PT. DI ke depan masih berat. Penjualan produk komponen dan pesawat masih harus digenjot agar perusahaan ini dapat melakukan ekspansi. Tantangan yang dihadapi oleh PT. DI selanjutnya adalah masalah SDM. Perekrutan insinyur penerbangan terakhir dilakukan pada periode 1984-1985, artinya sudah 30 tahun perusahaan ini tidak mempekerjakan tenaga ahli baru. Kini sekitar 45% pegawai sudah memasuki masa pensiun sehingga nasib perusahaan akan terancam jika tidak ada regenerasi. Pada tahun 2010, perusahaan secara bertahapmulai merekrut pegawai baru. Namun untuk menjadikan seorang insinyur penerbangan menjadi tenaga ahli, dibutuhkan waktu sekitar 4-5 tahun.Untuk mempertahankan kelangsungan generasi ahli di PT. DI, beberapa pegawai yang sudah memasuki usia pensiun tetap dipertahankan untuk dijadikan sebagai pembimbing pegawai baru. Selain masalah SDM, PT. DI juga membutuhkan regenerasi mesin-mesin baru. Sebagian besar mesin-mesin yang digunakan sekarang sudah melewati masa optimalnya, sehingga produktivitasnya menurun jauh. Mesin-mesin yang sudah berusia tua ini sudah sulit dicari suku cadangnya, boros energi, memakan jam kerja lebih banyak, dan reabilitasnya sudah berkurang. Akibat yang terasa adalah terlambatnya penyelesaian pesanan karena mesin sering bermasalah. 4. PENUTUP Menelusuri perjalanan PT. DI sejak dirintis hingga sekarang, terlihat bahwa faktor dukungan pemerintah sangat berperan dalam mengembangkan industri pesawat terbang dalam negeri.Karakteristik industri yang sangat padat modal dan memerlukan jangka waktu pengembalian investasi yang panjang ini harus diinisiasi oleh pemerintah. Dalam berbagai 22
periode yang dianalisis, terlihat bahwa peran aktor-aktor seperti Habibie, Soeharto dan Budi Santoso sangat besar dalam menentukan perkembangan bisnis PT. DI. Untuk meningkat kan kiprah PT. DI di industri pesawat terbang internasional, hendaknya kebijakan pemerintah tidak hanya terhenti pada suntikan modal semata. Kebijakan larangan impor terhadap jenis pesawat yang diproduksi oleh PT. DI sebaiknya diberlakukan, seperti yang diimplementasikan pada zaman Orde Baru dulu. Selain itu, pemerintah perlu mendorong perusahaan penerbangan dalam negeri untuk menggunakan pesawat-pesawat produksi PT. DI melalui insentif pembelian pesawat lokal atau insentif pajak. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2011. PT. Dirgantara Indonesia (Persero). Retrieved September 23, 2013, from http://www.indonesian-aerospace.com/ Anonim, 2012. Jajaran BUMN dengan Rugi Paling Besar. Retrieved Oktober 7, 2013, from detikfinance: http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybernews/detail.aspx?x=Economy&y=cybernews%7 C0%7C0%7C3%7C19421 Anonim, 2012. PT Dirgantara Indonesia lakukan pembenahan besar. Retrieved Oktober 7, 2013, from http://www.antaranews.com/berita/346727/pt-dirgantara-indonesia-lakukanpembenahan-besar Amir, S., 2007. Nationalist rhetoric and technological development: The Indonesian aircraft industry in the New Order regime. Technology in Society 29, 283-293. Kementerian Perdagangan, 2012. Retrieved September 23, 2013, from Indonesian Export/Import: http://www.kemendag.go.id/en/economic-profile/indonesia-export-import Kementerian Perindustrian, 2012. Perkembangan Indikator Kinerja Industri Besar dan Sedang Indonesia. Retrieved September 23, 2013, from http://kemenperin.go.id/statistik/ibs_indikator.phpMasud, D. A., & Mulyadi, E. (2008). Rizal Ramli, lokomotif perubahan: langkah strategis dan kebijakan terobosan, 20002001. Jakarta: Cipta Citra Persada. Kulsum, U. & Adam, M., 2013. PTDI: Lion Air Borong 100 Pesawat N219. Retrieved Oktober 3, 2013 from http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/436263-ptdi--lion-air-borong-100pesawat-n219. Kurniawan, I., 2013. "Kami Seperti Lahir Kembali, Konsumen Mulai Datang". Retrieved Oktober 4, 2013, from http://fokus.news.viva.co.id/news/read/405037--kami-seperti-lahirkembali--konsumen-mulai-datangMcKendrick, D., 1992. Obstacles to ‘Catch-Up’: The Case of the Indonesian Aircraft Industry. Bulletin of Indonesian Economic Studies 28:1, 39-66. PAPPIPTEK-LIPI, 2011. Indikator Iptek Indonesia 2011. LIPI. Jakarta. Rahman, A., 2011 (November 13). Majalah Stabilitas. Retrieved Oktober 4, 2013, from Manuver Penting Setelah Mati Suri: http://www.stabilitas.co.id/view_articles.php?article_id=197&article_type=0&article_cat egory=5 Tyassari, Y., 2008. Akibat Hukum Putusan Pailit pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Dirgantara Indonesia (Persero). Universitas Diponegoro. Semarang.
23
KAJIAN PENGELOLAAN HASIL PENELITIAN LEMBAGA LITBANG UNTUK MENDUKUNG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH (UMKM)
Mahmudi Centre for Scientific Documentation and Information Indonesian Institutes of Sciences Jl. Jendral Gatot Subroto 10 Jakarta, 12710 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT The use of information system in managing scientific information on research institutes is intended to enhance good governance and improve the effectiveness and efficiency of research institutions work for business. Research institutions are required to provide better, cheaper and faster public services. Moreover, the services should be easily accessible, so that people and businesses can participate in the form of supports, objections or critics to determine the research institutes policies, programs, and activities. This kind of action will result technology. The role of information management in information providing and exchange is very important and crucial. The advance of technology has resulted in the easy and cheap telecommunication accessed by public and private sector (industry). Currently, the management of scientific information in governmental research institutions is still like islands of information. They are not integrated one to another. It causes the difficulties in scientific information sharing. It is difficult for people to obtain information because they have to access many sources in one institution and some units of scientific information management in some institutions. This study aims to determine the problem and various factors in the management of research product for supporting entrepreneurship. The study used qualitative methods with socio-cognitive approach. Data collection techniques used is combined document review, observation, in-depth interviews and focus group discussion (FGD), as well as participatory action research (PAR). The result of this study is a map of the problems of the regulatory aspects, human resources, institutions, facilities and infrastructure in the management of information systems research. The results of this study will be used as a reference for determining the products of research management policy to encourage businesses.
Keywords: information access, information systems, research product management, entrepreneurship
1.PENDAHULUAN Lembaga penelitian di Indonesia dihadapkan pada beberapa tantangan antara lain masih rendahnya pemanfaatan hasil litbang, belum banyak kesesuaian hasil litbang dengan kebutuhan Iptek di masyarakat dan daerah, lemahnya interaksi dengan industri, sarana penelitian dan kualitas peneliti yang masih belum mendukung kinerja penelitian secara optimal, serta pengelolaan hasil penelitian belum maksimal. Dunia usaha khususnya usaha mikro, kecil,dan menengah (UMKM) sebagai salah satu pelaku penggerak ekonomi di Indonesia yang sedang tumbuh, dihadapkan pada sulitnya memperoleh informasi ilmiah hasil penelitian lembaga litbang yang dibutuhkan untuk mendorong kemajuan usahannya. Hal ini merupakan masalah dalam suatu kelembagaan saat ini, dimana dengan kemajuan teknologi informasi, sudah selayaknya pelaku UMKM dapat mengakses berbagai jenis dan sumber informasi yang dibutuhkannya. Kondisi saat ini, pengelolaan hasil penelitian dengan penerapan sistem informasi yang diimplementasikan 24
kurang mendukung atau bahkan belum dapat memberi manfaat kepada masyarakat pengguna, khususnya industri kecil. Sering pada kenyataannya sistem informasi yang hanya mempertimbangkan aspek keras (hard aspects) tidak bekerja maksimal, karena mengabaikan aspek manusia dan kelembagaan (soft aspects) dalam penerapannya. Kondisi pengeloaan hasil penelitian dengan menggunakan sistem informasi lembaga litbang pada masing-masing Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), dan Perguruan Tinggi, saat ini masih menyerupai pulau-pulau informasi, dimana antar institusi yang saling membutuhkan informasi belum terjadi proses pertukaran (sharing) data. Hal ini dikarenakan sistem informasi yang dikembangkan masih terpisah-pisah dan tidak terintegrasi. Selain itu, mekanisme diseminasi informasi hasil penelitian lembaga litbang ke industri kecil juga belum dilaksanakan dengan baik. Sebagai gerbang informasi, baik lokal maupun internasional, website lembaga litbang merupakan layanan informasi kepada publik yang harus informatif dan interaktif sehingga industrI kecil dapat memanfaatkan berbagai hasil penelitian yang dihasilkan oleh lembaga litbang. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui berbagai permasalahan dan faktor-faktor dalam pengelolaan hasil penelitian di lembaga litbang guna mendukung kegiatan dunia usaha khususnya UMKM.
2. METODOLOGI Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan metode Participatory Action Research (PAR) dengan Focused Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap para penentu kebijakan dan penanggungjawab pengelola sistem informasi hasil penelitian, serta peneliti di lingkungan Kementerian, LPNK, dan Perguruan Tinggi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Proses analisis data dari hasil FGD dan wawancara mendalam yang dilakukan adalah sebagai berikut: mendengarkan kembali rekaman wawancara mendalam yang telah dilakukan; mencatat keyword yang terkandung dalam jawaban informan atas pertanyaan yang diajukan, dilengkapi dengan catatan mengenai komunikasi non-verbal dan hasil pengamatan lainnya yang terjadi selama proses wawancara berlangsung; mengelompokan keyword berdasarkan topik yang dipelajari.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Sampai saat ini, pengelolaan hasil penelitian di lembaga litbang masih belum terintegrasi dan bahkan di dalam satu lembaga litbang pun masih terpisah-pisah, apalagi pengelolaan hasil penelitian antar Kementerian, LPNK dan Perguruan Tinggi lebih terpisahpisah lagi. Database yang ada masih belum diberlakukan sharing data satu sama lain, sehingga apabila ada permintaan informasi mengenai hasil penelitian tertentu pengguna informasi masih sulit untuk mendapatkannya. Kondisi pertukaran datasaat ini masih dilakukan dengan cara manual, via email atau dengan media penyimpanan. Cara seperti ini tentu membuka peluang untuk bertukarnya malicious code seperti virus, worm atau trojan horse. Pertukaran manual akan menimbulkan masalah lain tentang keamanan sistem maupun data dibandingkan dengan pertukaran data dalam sebuah integrasi data base terutama dalam jalur yang secure. Beberapa permasalahan dalam pengelolaan informasi hasil penelitian di lingkungan lembaga litbang Kementerian, LPNK, dan Perguruan Tinggi antara lain: Persiapan infrastruktur: (infrastruktur merupakan sarana utama dalam pengelolaan hasil penelitian dalam data base, dimana semua transaksi data berjalan pada layer fisik ini, sehingga perlu diprioritaskan bagaimana menbangun infrastruktur yang baik mencakup jaringan intra-internet, komputer25
komputer untuk workstation dan server, serta peralatan dan bangunan fisik yang menunjang pelayanan informasi hasil penelitian kepada pengguna informasi khususnya industri kecil); Kelembagaan dan organisasi: (dengan adanya kegiatan pengelolaan informasi hasi-hasil penelitian litbang yang dikelola dalam data base maka perlu disosialisasikan dan disiapkan semua stakeholders (pemangku kepentingan) khususnya dunia industri kecil, sehingga dalam pelaksanaan dapat dikurangi masalah yang berkaitan dengan birokrasi. Selain itu juga perlu dipersiapkannya perangkat atau dasar hukum, standar operasional dan prosedural (SOP) atau regulasi dalam pelayanan informasi ilmiah dari hasil penelitian lembaga litbang. Sebagai gerbang informasi baik lokal maupun internasional, website merupakan layanan informasi kepada publik yang harus informatif dan interaktif, lembaga litbang di Indonesia memiliki website yang masih bermasalah termasuk beberapa aplikasi berbasis web yang belum dipublikasikan ke website. Dengan infrastruktur fisik (physical layer) yang sudah tersedia seharusnya hal ini bisa dilakukan seiring dengan pengembangan content-content lainnya sebagai bagian tugas pemerintah dalam pelayanan kepada masyarakat khususnya industri kecil. Beberapa faktor yang mempengaruhi dalam pengelolaan hasil penelitian lembaga litbang Kementerian, LPNK dan Perguruan Tinggi guna mendukung kemajuan dunia usaha antara lain: 3.1. Aspek Regulasi Undang Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Lembaran Negara No 58 dan Tambahan Lembaran Negara No 4843, menjadi cyberlaw pertama di Indonesia. Upaya pemerintah untuk menjamin keamanan transaksi elektronik melalui UU ITE ini patut diapresiasi. Isinya cukup luas. Banyak hal diatur disini yang amat penting bagi pelaku bisnis di dunia maya. UU ITE dipersepsikan sebagai cyberlaw di Indonesia, yang diharapkan bisa mengatur segala urusan dunia Internet, termasuk didalamnya memberi punishment terhadap pelaku cybercrime. Cyberlaw merupakan kebutuhan kita bersama yang akan menyelamatkan kepentingan nasional, pebisnis internet, para akademisi dan masyarakat secara umum. UU ITE disebut sebuah cyberlaw karena muatan dan cakupannya luas membahas pengaturan di dunia maya, meskipun di beberapa sisi ada yang belum terlalu lugas dan juga ada yang sedikit terlewat. Selanjutnya, untuk pengembangan sistem informasi dalam pengelolaan hasil-hasil penelitian di lingkungan lembaga litbang guna pelaksanaan pelayanan informasi kepada pengguna khususnya industri kecil perlu dibuat peraturan atau kebijakan di lingkungan Kementerian, LPNK, dan Perguruan Tinggi. Beberapa contoh aturan hukum, kebijakan, dan Surat Keputusan (SK) yang diharapkan antara lain terhadap kegiatan: pembangunan jaringan sistem informasi; penggunaan sarana informasi; prosedur pengumpulan, pengolahan dan penyampaian data hasil penelitian lembaga litbang; dan petunjuk bagi pegawai yang menjadi petugas operasional pengelola hasil penelitian. 3.2. Sumber Daya Manusia (SDM) Keterbatasan sumberdaya manusia (SDM) baik jumlah dan kemampuan dalam menguasai masalah teknologi informasi dan komunikasi (TIK) merupakan salah satu penyebab utama sulitnya dalam melakukan pengeloaan informasi ilmiah hasil penelitian lembaga litbang. Beberapa upaya yang harus dilakukan dalam kaitannya dengan SDM adalah adanya kebijakan atau peraturan mengenai SDM yang telah mendapat pelatihan komputer tidak diperbolehkan pindah ke bidang lain, selain menguasai teknologi informasi, SDM harus memahami substansi, diperlukan petugas kusus yang menangani pengelolaan hasil hasil penelitian di lembaga litbang Kementerian, LPNK, dan Perguruan Tinggi. Kurangnya SDM yang memiliki keterampilan teknologi informasi menjadi kendala tersendiri. Di samping itu, kurangnya komitmen dan kebijakan dari atasan atau pimpinan instansi yang mendukung pengelolaan hasil penelitian 26
serta masalah klasik yaitu masalah reward (honor/tunjangan) yang kurang memadai untuk SDM pengelola. Selanjutnya, guna pengelolaan informasi ilmiah hasil penelitian dapat dilaksanakan dengan baik perlu dilakukan rekruitmen SDM yang benar-benar mempunyai latar belakang pendidikan IT dan mempunyai kemauan dan kerja keras. 3.3. Infrastruktur Secara umum kondisi infrasruktur untuk pengelolaan hasil penelitian cukup baik. Infrastruktur merupakan sarana utama dalam pengelolaan hasil penelitian dengan penerapan sistem informasi, dimana semua transaksi data berjalan pada layer fisik ini, sehingga perlu diprioritaskan bagaimana membangun infrastruktur yang baik mencakup jaringan intra-internet, komputer-komputer untuk work station dan server, serta peralatan dan bangunan fisik yang menunjang komunikasi data di lingkungan lembaga penelitian di lingkungan Kementerian, LPNK, dan Perguruan Tinggi. Masalah yang sering terjadi adalah jaringan/ infrastruktur yang tidak berjalan optimal, jaringan internet beberapa instansi banyak yang mati dan sering putus nyambung. Di samping itu, masalah lainnya adalah di dalam pengembangan sistem informasi tersebut belum disiapkan fasilitas berupa web service yang memungkinkan terjadinya integrasi dan komunikasi antar sistem informasi.
3.4. Kelembagaan dan organisasi Kondisi struktur organisasi lembaga litbang di lingkungan Kementerian, LPNK, dan Perguruan Tinggi menunjukkan bahwa pengelolaan hasil penelitian dan pengembangan sistem informasi belum dianggap penting, dan belum menjadi suatu kebutuhan, serta belum memiliki posisi yang strategis. Selain itu, juga ditunjukkan dengan belum adanya atau tidak ada bagian khusus sebagai pusat pengelolaan database hasil-hasil penelitian yang dapat melayani dan memberikan informasi kepada masyarakat khususnya dunia usaha. Sampai saat ini juga belum ada mekanisme pelayanan informasi kepada sesama lembaga litbang ataupun kepada dunia usaha. Oleh karena itu, perlu penguatan kelembagaan ini dengan tugas pokok dan fungsi mengenai pengelolaan sistem informasi hasil-hasil penelitian litbang. Sehingga diharapkan akan dapat pertukaran dan permintaan serta pelayanan informasi hasil penelitian kepada masyarakat khususnya dunia usaha. Kegiatan pengelolaan hasil penelitian perlu disosialisasikan kepada semua instansi yang terkait atau stakeholders khususnya dunia usaha. Selain itu perlu dipersiapkan perangkat atau dasar hukum dan kebijakan, standar operasional dan prosedural (SOP) atau regulasi dalam pengelolaan hasil-hasil penelitian yang dikelola dalam database yang jelas dan mengikat keluar maupun kedalam sebagai upaya untuk menekan penyalahgunaan wewenang atau kesalahan dalam operasionalnya nanti.
3.5. Budaya/ Paradigma Berfikir Sebagian besar budaya/pola pikir SDM pengelola hasil-hasil penelitian di lembaga litbang sampai saat ini masih berorientasi lebih ke income (pendapatan tambahan), sedangkan kualitas hasil pekerjaan (outcome) dinomorduakan. Kondisi pola pikir ini perlu dilakukan perubahan paradigma. Diharapkan kedepannya SDM di lingkungan lembaga litbang Kementerian, LPNK, dan Perguruan Tinggi dapat lebih mengutamakan hasil atau output yang berguna bagi masyarakat khususnya industri kecil. Selanjutnya para pimpinan memberikan reward kepada SDM pengelola hasil penelitian yang berprestasi di lingkungan lembaga litbang agar mereka lebih termotivasi dalam bekerja.
27
3.6. Konten Saat ini sistem informasi di lingkungan lembaga litbang belum menampilkan konten yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Kondisi ini dikarenakan lembaga litbang dalam mengembangkan sistem informasinya masih masing-masing sesuai dengan kepentingannya dan belum memperhatikan kebutuhan instansi dan pengguna lain. Hal ini terbukti dengan sistem informasi yang belum terintegrasi. Padahal informasi yang terkandung dalam database tersebut bisa menjadi informasi berharga untuk lembaga lain dan masyarakat umum serta dunia usaha. Di samping itu, belum adanya Standard Operational Procedure (SOP) untuk pengembangan konten dalam data base di lingkungan lembaga litbang. Konsep dasar pengembangan e-Government pada prinsipnya untuk membangun media informasi, layanan publik dan transaksi yang bisa diakses secara online. Konsep itu ditandai dengan integrasi berbagai layanan elektronik. Sayangnya, konsep itu perkembanganya masih tersendat-sendat. Karena birokrat sering terlambat dalam memperbaharui konten dan terlambat dalam meng-upgrade aplikasi. Sudah saatnya melakukan pengelolaan operasional dan pengembangan sistem informasi hasil-hasil penelitian secara professional seperti yang terjadi di negara maju. Selain itu juga semakin pentingnya pengembangan konten dan integrasi berbagai aplikasi yang akan disediakan secara online. Standardisasi platform menjadi salah satu tantangan lain yang harus diselesaikan. Standardisasi ini diperlukan untuk memungkinkan terjadinya komunikasi dan integrasi antara satu aplikasi dengan aplikasi yang lain. Konsep Online Service belum dikembangkan dengan pendekatan life situation. Pendekatan tersebut pada intinya adalah bagaimana lembaga litbang melihat kebutuhan pengguna informasi yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan, status sosial, profesi dan aktivitas bisnisnya.
3.7 Kondisi UMKM Pengembangan UMKM perlu mendapatkan perhatian yang besar baik dari pemerintah, lembaga litbang maupun masyarakat agar dapat berkembang lebih kompetitif bersama pelaku ekonomi lainnya. Kebijakan pemerintah ke depan perlu diupayakan lebih kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya UMKM. Pemerintah perlu meningkatkan perannya dalam memberdayakan UMKM disamping mengembangkan kemitraan usaha yang saling menguntungkan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil, dan meningkatkan kualitas SDM. Pemerintah memiliki kewajiban memecahkan tiga masalah utama UMKM, yakni akses pasar, modal, dan teknologi. Upaya pengembangan UMKM harus mempertimbangkan pembangunan (khususnya ekonomi) lebih luas. Konsep pembangunan tidak hanya bisa dilaksanakan secara parsial, melainkan harus terintegrasi dengan pembangunan ekonomi nasional dan dilaksanakan secara berkesinambungan. Kebijakan ekonomi yang ditempuh selama ini belum menjadikan ikatan kuat bagi terciptanya keterkaitan antara usaha besar dan UMKM. Secara umum, permasalahan yang dihadapi UMKM dapat dibagi menjadi dua, yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi kurangnya permodalan dan terbatasnya akses pembiayaan; keterbatasan kualitas SDM usaha kecil baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya; sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkannya; lemahnya jaringan usaha dan kemampuan penetrasi pasar; rendahnya mentalitas pengusaha UMKM dalam berinovasi, ulet tanpa menyerah, mau berkorban serta semangat ingin mengambil risiko; kurangnya transparansi antara generasi awal pembangun UMKM tersebut terhadap generasi selanjutnya. Faktor eksternal mencakup iklim usaha belum sepenuhnya kondusif; terbatasnya sarana dan prasarana usaha; adanya pungutan liar; pengaruh dari implikasi otonomi daerah dan 28
perdagangan bebas; sifat produk dengan ketahanan pendek; terbatasnya akses pasar; terbatasnya akses informasi hasil penelitian litbang.
4. KESIMPULAN Penelitian mengenai pengelolaan hasil-hasil penelitian lembaga litbang di lingkungan Kementerian, LPNK dan Perguruan Tinggi guna mendukung dunia usaha dapat disimpulkan sebagai berikut: pengembangan sistem informasi pengelolaan hasil penelitian di lingkungan lembaga litbang secara umum masih belum memperhatikan kebutuhan dunia usaha. Aspek regulasi, sumberdaya manusia dan organisasi sebagai bagian penting dalam kelangsungan hidup pengelolaan hasil penelitian masih terabaikan. Aspek konten pun sebagai substansi yang akan mengalir dalam sistem informasi masih belum diatur dengan jelas. Antara sistem informasi pengelolaan hasil penelitian dalam suatu lembaga dan bahkan sistem informasi antar lembaga litbang masih belum terintegrasi sehingga belum dapat berfungsi secara optimal dalam mendukung kegiatan dunia usaha.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Pengelola InsentifPeningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa, Kementerian Riset dan Teknologi atas dukungan dananya, sehingga penelitian ini dapat terlaksana dan diselesaikan dengan baik. Terima kasih juga kepada Kepala Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI) yang telah mendukung terlaksananya penelitian ini. . DAFTAR PUSTAKA Ali, Suryadharma, 2008. Pemaknaan Ulang Terhadap Konsep Pemberdayaan Dalam Rangka Memandirikan UMKM. Makalah orasi selaku Menteri Negara Koperasi dan UKM RI pada Dies Natalis ke 56 Universitas Sumatra Utara, Medan, 20 Agustus 2008. Anggono, B.D., 2007. Paradoks Produktifitas E-Government. Biskom edisi Oktober 2007 Avison, D., & Fitzgerald, G., 2003. Information Systems Development. London: McGraw-Hill. Beynon-Davies, P., & Williams, M. D., 2003. The diffusion of information systems development methods. Journal of Strategic Information Systems, 12, 29-46. Brojonegoro, A.& Darwin (ed.), 2006. Pemberdayaan UKM melalui Program IPTEKDA LIPI. Jakarta: LIPI Press Clarke, S., Coakes, E. Hunter, M. G. & Wenn, A., 2003. Socio-Technical and Human Cognition Elements of Information Systems. Information Science Publishing. De Magalhaes, Rodrirgo Manuel Oliviera da Silva Ponciano, 1999. The organizational implementation of information system towards a new theory. Thesis. London School of Economics. Jacobs, Katharine, 2002. Connecting Science, Polecy and Decision Making: A Handbook for Researchers and Science Agencies. NOAA Office of Global Program. Kementerian Komunikasi dan Informasi RI, 2004. Panduan Teknis Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur dan Manajemen Sistem Informasi Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten / Kota. Kementerian Kominfo. Jakarta. 29
Leitner, K., and Warden, C., 2004. Managing and reporting knowledge-based resources andprocesses in research organizations: specifics, lessons learned and perspectives. Management Accounting Research, 15 (1), 33-51 Ondari-Okemwa, E., 2006. Knowledge Management in a Research Organisation: International Livestock Research Institute (ILRI). Libri, 56, 63–72 Park, Y. and Kim, S., 2006. Knowledge management system for fourth generation R&D: KNOWVATION. Technovation, 26, (5–6), 595-602. Robb, Margaret dan Janes, Mark, 2003. Research on the Research Support Needs of Social Scientist. World Library and Information Congress: 69th IFLA General Conference and Council. 1-9 August 2003. Savolainen, Reijo, 2002. Network Competence and Information seeking on the internet: From definitions towards a social cognitive model. Journal of Documentation v.58 2: 211-216 Vaujany, François-Xavier de dan Monnet, Jean, 2005. Information Technology Conceptualization: Respective Contributions of Sociology and Information Systems Journal of Information Technology Impact 5 (1): 39-58
30
KAJI ULANG SISTEM PENDANAAN RISET PEMERINTAH UNTUKMENGURAI STAGNASI INOVASI DI BIDANG KESEHATAN Dini Oktaviyanti1, Trina Fizzanty 2, Kusnandar3, Radot Manalu 4, Sigit Setiawan 5 Pusat Penelitian Perkembangan Iptek (PAPPIPTEK)-LIPI Email:
[email protected],
[email protected] 2,
[email protected],
[email protected] 4,
[email protected] 5
ABSTRAK Peningkatan kualitas riset di bidang teknologi kesehatan merupakan salah satu Agenda Riset Nasional (ARN) 2005-2025. Perencanaan strategis ini ditujukan untuk mengembangkan kapasitas riset serta mendorong munculnya inovasi berbasis pengetahuan (science based innovation). Litbang di bidang kesehatan mendapat perhatian besar dari komunitas ilmiah internasional dan perusahaan multinasional untuk berkolaborasi dengan Indonesia. Dalam kondisi minimnya anggaran riset dari pemerintah, banyak pihak melihat kolaborasi riset internasional sebagai sebuah strategi untuk memenuhi pendanaan, terutama bagi riset kesehatan yang relatif mahal. Hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya tingkat inovasi teknologi kesehatan. Pertanyaannya adalah apakah hal ini semata-mata hanya menyangkut ketersediaan dana riset ataukah ada issue lain terkait pendanaan yang bisa menjelaskan mengapa inovasi bidang kesehatan relatif masih minim? Apa implikasi sistem pendanaan demikian terhadap tingkat inovasi? Apa implikasinya terhadap investasi riset pemerintah ke depan di bidang kesehatan? Makalah ini bertujuan untuk merumuskan permasalahan pendanaan riset dalam inovasi bidang kesehatan, serta memberikan jawaban sementara terhadap strategi pendanaan riset publik bidang kesehatan. Metode dalam makalah ini menggunakan studi kasus di beberapa kerja sama riset internasional bidang kesehatan antara perguruan tinggi, lembaga riset serta industri kesehatan di Indonesia dengan mitra asingnya. Makalah ini mencoba merumuskan lebih jelas mengenai masalah pendanaan riset dan implikasinya ke depan. Hasil riset menunjukkan beberapa permasalahan, yakni: terjadi ketidaksesuaian antara skema pendanaan riset dan karakter inovasi teknologi kesehatan, dimana skema pendanaan riset di Indonesia saat ini masih dalam bentuk jangka pendek sedangkan skema riset di bidang kesehatan berjangka panjang. Proses penganggaran yang birokratis turut menjadi permasalahan tersendiri bagi riset kesehatan di Indonesia, serta belum terintegrasinya sistem pendanaan riset kesehatan antar institusi pemerintah. Implikasinya, peneliti Indonesia cenderung memilih bekerja sama dengan mitra asing, baik perguruan tinggi, industri, maupun lembaga pendanaan di negara lain. Kata Kunci: kolaborasi riset internasional, inovasi, pendanaan riset, Indonesia
1. PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) merupakan salah satu unsur kemajuan peradaban manusia yang sangat penting, karena melalui iptek manusia dapat mendayagunakan kekayaaan dan lingkungan untuk menunjang kesejahteraan dan meningkatkan kualitas hidupnya. Kemajuan iptek juga mendorong terjadinya globalisasi kegidupan manusia karena manusia semakin mampu mengatasi dimensi jarak dan waktu. Perbedaan lokasi geografis dan batas-batas negara bukan lagi menjadi hambatan utama. Keadaan tersebut memberikan keuntungan tersendiri bagi negara yang mampu menguasai, memanfaatkan, dan memajukan iptek untuk memperkuat posisinya dalam persaingan antarbangsa di dunia. Hal tersebut mampu untuk menghasilkan nilai yang lebih tinggi bagi kesejahteraan bangsa tersebut. Teknologi tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari saat ini. Para penghasil teknologi dituntut untuk dapat menciptakan sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi para pengguna teknologi. Para penghasil teknologi dituntut untuk dapat berpikir kreatif dan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Berbagai strategi pun dilakukan oleh masing31
masing negara dalam rangka pengembangan teknologi dan inovasi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kolaborasi riset internasional menjadi salah satu strategi yang dilakukan dalam kebijakan riset di banyak negara, karena berdampak positif tidak hanya dari sisi luaran ilmiah tetapi juga dalam hal peningkatan sumber daya iptek dan inovasi. Terkait dengan kebijakan riset, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UndangUndang (UU) No.18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas P3Iptek). Tidak hanya itu saja, guna melindungi hak atas kekayaan intelektual, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual. Pemerintah juga telah mengatur kebijakan tentang insentif bagi dunia industri melalui PP No. 35 tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi. Sementara itu, untuk mendorong kolaborasi antar Perguruan Tinggi, Lembaga Litbang dan Industri, pemerintah telah pula mengeluarkan PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan dan Badan Layanan Umum, yang memberikan keleluasaan dalam pengelolaan keuangan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat. Permasalahan pendanaan memang menjadi isu yang krusial jika dikaitkan dengan riset. Guna mendukung riset yang berkualitas di Indonesia diperlukan adanya dukungan pendanaan yang mumpuni dari pihak terkait, misalnya saja Pemerintah dan industri. Namun sayangnya saat ini anggaran belanja litbang terhadap PDB di Indonesia masih sangat kecil jika dibandingkan dengan negara lainnya, Indonesia bahkan tertinggal jauh dari negara tetangga Malaysia. Jika Malaysia mengeluarkan anggaran untuk litbang sudah diatas 0,5% berbeda hal nya dengan kondisi di Indonesia yang anggaran belanja litbang terhadap PDB nya berada di angka 0,08% (Pappiptek LIPI). Hal ini sangat berbeda jauh dari rekomendasi Conference on the Application of Science and Technology for Development of Asia I (CASTASIA I) di New Delhi pada tahun 1968 yang telah merekomendasikan belanja litbang terhadap GDP untuk negara Asia minimal 1%. Perbandingan belanja litbang terhadap PDB di Indonesia dengan negara lainnya dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini:
Sumber: UNESCO, 2012
Gambar 1 Anggaran Belanja Litbang terhadap PDB
32
Sumber:BPS, 2010; Rasio Anggaran Iptek dan Belanja Litbang di Indonesia: Pappiptek-LIPI,2011 dan BPS,1996-2007
Gambar 2 Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Gambar diatas memperlihatkan tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama dua dekade, yakni dari tahun 1990 hingga tahun 2010. Tingkat pertumbuhan ekonomi cenderung stabil walaupun mengalami pasang surut namun tetap berada di kisaran 5-10%. Pada tahun 1998 perekonomian di Indonesia memang mengalami penurunan yang sangat signifikan karena disaat itu Indonesia sedang mengalami krisis pasca reformasi besar-besaran dalam pemerintahannya. Pada dasarnya anggaran untuk iptek termasuk di dalamnya untuk belanja litbang seharusnya meningkat berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi. Namun sayangnya yang terjadi di Indonesia anggaran iptek ataupun belanja litbang terhadap APBN justru cenderung makin menurun di setiap tahunnya, hanya berada di bawah 1%. Di Indonesia anggaran belanja litbang yang ada terbagi lagi menjadi beberapa kelompok, misalnya berdasarkan bidang tertentu atau berdasarkan institusi tertentu. Pada Gambar 3 dapat dilihat anggaran belanja litbang pemerintah Indonesia yang dibagi berdasarkan Kementerian. 3,500,000 3,000,000 2,500,000
Lainnya
2,000,000
Kehutanan Kesehatan
1,500,000
MoNE
1,000,000
LPNK & RISTEK
500,000
R&D Expendit ure, (Bl Rupiah)
0 2006
2007
2008
2009
Sumber: Kementerian Keuangan, 2010
Gambar 3 Belanja Litbang Pemerintah Berdasarkan Kementerian Dari anggaran belanja litbang pemerintah berdasarkan Kementerian diatas, dapat dilihat bahwa anggaran belanja litbang pemerintah untukKementerian Kesehatan hanya sedikit saja jumlahnya (belum termasuk dengan belanja litbang LPNK dan Ristek yang terkait dengan bidang kesehatan). Padahal sebetulnya sistem pendanaan di bidang kesehatan ini membutuhkan biaya yang cukup besar dan sifatnya kontinyu. Beberapa riset di bidang 33
kesehatan seringkali terhenti di tengah jalan atau tidak sampai menghasilkan produk dikarenakan terbatasnya sumber dana. Mengingat pentingnya inovasi di bidang kesehatan maka sistem pendanaan riset pemerintah terhadap bidang kesehatan ini sangat perlu untuk dikaji kembali dengan tujuan untuk mengurai stagnasi inovasi yang terjadi saat ini. 2. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kolaborasi Riset Kolaborasi riset atau sering pula dipakai istilah kolaborasi ilmiah (scientific collaboration) telah menjadi perhatian komunitas ilmiah. Sonnewald (2007:645) mendefinisikan kolaborasi riset sebagai ‘perilaku manusia, antara dua atau lebih ilmuwan, yang memfasilitasi bertukar makna dan penyelesaian tugas dalam kaitannya dengan sasaran tertinggi yang dibagi secara bersama dan berada dalam konteks sosial’. Kolaborasi adalah bentuk kerja sama, interaksi, kompromi dari beberapa elemen yang terkait, baik individu, lembaga, dan atau pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak langsung yang menerima akibat dan manfaat dari kegiatan berkolaborasi tersebut. Katz and Martin (1997) memberikan batasan kolaborasi riset tidak hanya menyangkut pencapaian sasaran tetapi juga kontribusi input. Katz and Martin (1997) mengatakan bahwa seseorang atau institusi dikatakan kolaborator yaitu mencakup salah satu atau lebih dari halhal berikut ini: 1. Bekerja sama dalam proyek penelitian baik dalam keseluruhan waktu ataupun hanya sebagian dari waktu yang ada, ataupun orang-orang yang memberikan kontribusi secara keseluruhan ataupun hanya sebagian. 2. Namanya terdapat dalam proposal penelitian. 3. Bertanggung jawab terhadap satu ataupun lebih dari elemen penelitian (misalnya terhadap elemen dari desain penelitian, analisis dan interpretasi data, atau yang bertanggungjawab terhadap hasil akhir penelitian). 4. Bertanggung jawab terhadap setiap kunci tingkatan (misalnya: ide asli penelitian, hipotesis). 5. Pengusul proyek dan/atau penggalang dana. 2.2 Kebijakan Pendanaan Riset Terkait dengan kebijakan riset, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UndangUndang (UU) No.18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas P3 Iptek). Tidak hanya itu saja, guna melindungi hak atas kekayaan intelektual, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual. Pemerintah juga telah mengatur kebijakan tentang insentif bagi dunia industri melalui PP No. 35 tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi. Sementara itu, untuk mendorong kolaborasi antar Perguruan Tinggi, Lembaga Litbang dan Industri, pemerintah telah pula mengeluarkan PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan dan Badan Layanan Umum, yang memberikan keleluasaan dalam pengelolaan keuangan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat. 3. METODOLOGI Kajian ini menggunakan metode kualitatif dengan satu studi kasus kolaborasi riset di bidang kesehatan. Data dan informasi didapatkan melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan para stakeholders terkait dan dilengkapi dengan dokumen-dokumen pendukung. Untuk mengidentifikasi para pelaku terkait lainnya dilakukan dengan teknik snow ball. Wawancara pertama dilakukan pada peneliti di perguruan tinggi dan dari hasil wawancara tersebut didapatkan informasi tentangpara pelaku lainnya yang terkait dengan sistem 34
pendanaan riset di Indonesia guna mendukung inovasi. Wawancara dengan berbagai pihak dilakukan melalui sistem triangulasi sehingga dapat memperkaya informasi yang akan didapatkan oleh penulis. Selain itu, melalui proses triangulasi ini pula penulis mendapatkan informasi yang lebih mendalam sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan (Moleong, 2010). Data dan informasi yang didapatkan kemudian dianalisis sehingga dapat diketahui sistem pendanaan riset pemerintah seperti apa yang dapat guna mendukung industri dan perguruan tinggi di indonesia untuk berinovasi.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertama-tama dibahas temuan yang terkait dengan permasalahan kebijakan pendanaan riset kesehatan dan impikasinya terhadap inovasi. Mengacu pada temuan tersebut, selanjutnya akan dikemukakan usulan strategi pendanaan riset yang dapat dibangun pemerintah untuk mendorong inovasi teknologi kesehatan di Indonesia. 4.1. Masalah Kebijakan Pendanaan Riset Kesehatan: Pendekatan Studi Kasus Hasil riset ini menunjukkan bahwa minimnya anggaran riset bidang kesehatan merupakan salah satu masalah, karena terdapat sejumlah indikasi lain terkait pendanaan tersebut. Pertama-tama adalah ketidaksesuaian antara skema pendanaan riset dan karakter inovasi teknologi bidang kesehatan. Pendanaan riset bidang kesehatan saat ini bersifat jangka pendek atau setahun dan kemudian dievaluasi kembali sementara inovasi bidang kesehatan bersifat jangka panjang. Kedua adalah proses pendanaan riset yang birokratis, dapat memunculkan adanya keterlambatan pendanaan, dan banyaknya pekerjaan administratif anggaran. Ketiga, belum terintegrasinya sistem pendanaan riset kesehatan antar institusi pemerintah. Pendanaan riset kesehatan tersebar di banyak institusi dan proses konsorsium baru saja dimulai. Selanjutnya rumusan masalah pendanaan ini akan diuraikan secara lebih rinci dengan dukungan fakta atau temuan yang diperoleh. 4.1.1. Ketidaksesuaian Skema Pendanaan Riset dengan Kebutuhan Inovasi Dalam kolaborasi riset bidang kesehatan, segala sesuatunya tidak dapat berjalan secara instan, semua harus melalui berbagai tahapan. Misalnya saja untuk menghasilkan satu vaksin, waktu 5 tahun tidak akan mencukupi melainkan 12 – 15 tahun waktu yang dibutuhkan. Dengan masa kepemimpinan Presiden yang hanya 5 tahun selama satu periode, sudah selayaknya disediakan sistem anggaran yang bersifat jangka panjang agar dapat lebih mendukung riset yang ada. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu pasal pada UU Sisnas P3 Iptek No.18 Tahun 2002 bahwa Pemerintah bertanggung jawab memberikan dukungan bagi perguruan tinggi dan lembaga litbang dalam rangka kerja sama dengan internasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dukungan ini dapat berbentuk dukungan moril ataupun materiil, termasuk salah satunya dukungan dalam bentuk pendanaan yang bersifat dinamis. Gambaran mengenai tahapan penelitian yang harus dilalui dalam sebuah riset bidang kesehatan hingga sampai kepada inovasi (Gambar 4) dengan waktu yang dibutuhkan dalam satu riset bidang kesehatan untuk mencapai inovasi sangatlah panjang. Waktu yang dibutuhkan agar produk inovasi yang dihasilkan siap untuk dilepas di pasaran membutuhkan waktu hingga belasan tahun. Dana yang dibutuhkan pun tidak sedikit. Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa untuk mencapai fase pre-clinical trial saja dibutuhkan dana sekitar $3.5 million. Secara keseluruhan untuk riset bidang kesehatan hingga sampai ke inovasi dibutuhkan pendanaan paling sedikit $300 million. Ketidaksesuaian skema pendanaan riset pemerintah dengan kebutuhan inovasi bidang kesehatan yang diindikasikan dari sejumlah fakta lapangan berikut ini, baik di perguruan tinggi maupun di lembaga litbang pemerintah. Ketidaksesuaian ini ditunjukkan dari skema pendanaan yang bersifat jangka pendek sementara kebutuhan riset untuk menghasilkan inovasi bidang kesehatan ini bersifat jangka panjang karena melalui beberapa tahap mulai dari penemuan hingga inovasi (Gambar 4), sementara anggaran riset pemerintah bersifat tahunan dan 35
maksimum 3 tahun. Di samping itu, inovasi bidang kesehatan membutuhkan investasi yang besar karena terkait dengan pengujian klinis yang membutuhkan kesediaan pasien dalam jumlah cukup besar. Sebagai contoh, untuk pengembangan vaksin diperlukan waktu 16 tahun untuk bisa mencapai aplikasi obat baru.
New Drugs Application (NDA)
Investigational New Drugs (IND)
Pharmaceuticals Clinical Trial Discovery
Pre-Clinical Trial Phase I
Pre Discovery Phase
Discovery Phase
Phase Phase II IIb
Phase III
Proof of Concept
Exploratory Phase
Companion diagnostic feasibility and utility (Patient selection)
Biomarker development (Target Identification)
FDA Review
Mfg and post marketing monitoring
Confirmatory Phase
Dx launch/Postlaunch assesment (Tailored prescribing and monitoring)
Diagnostical
Sumber: Roche (2013); Ernst & Young LLP (2000); dan Innovation.org (2007)
Gambar 4 Tahapan Inovasi di Sektor Kesehatan Gambar di atas memperlihatkan tahapan yang harus dilalui untuk mencapai inovasi di sektor kesehatan. Ada pembedaan dalam tahapan yang harus dilalui untuk menghasilkan produk/alat/obat-obatan tertentu dalam bidang kesehatan dan juga dalam menghasilkan diagnostic. Untuk menghasilkan produk/alat/obat-obatan dalam sektor kesehatan terdapat beberapa tahapan yang dilalui dan cenderung lebih panjang dan kompleks jika dibandingkan dengan diagnostical karena sifatnya yang berhubungan langsung dengan keselamatan manusia.Tahapan-tahapan tersebut adalah discovery, pre-clinical trial, clinical trial, dan manufacturing and post marketing monitoring. Sementara itu untuk jenis medical diagnostic tools tahapannya adalah sebagai berikut: biomarker development, companion diagnostic feasibility and utility, dan DX launch/post-launch assessment (Innovation.org, 2007). Dapat dibayangkan berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk tahapan inovasi di sektor kesehatan yang memakan waktu lama ini. Skema pendanaan di perguruan tinggi pemerintah jika dibandingkan dengan skema pendanaan yang diberikan pihak mitra asing, cenderung kurang mendukung munculnya inovasi seperti ditunjukkan oleh fakta lapangan berikut ini. a. PRO UGM - Pengembangan Alat Perekam Batuk Pendanaan penelitian ini berasal dari mitra luar negeri, dalam hal ini Queensland University. Pendanaan alat perekam batuk ini sebagai contoh pendanaan pihak asing pada tahap discovery dari tahapan sistem inovasi pada bidang kesehatan. Sistem pendanaan dari pihak mitra cenderung lebih memberikan keleluasaan terhadap peneliti Indonesia dalam penggunaannya, sebatas hal tersebut masih dapat dipertanggungjawabkan yakni kinerja yang dicapai. Keunggulan skema pendanaan dari mitra asing ini adalah memberikan kesempatan pada peneliti untuk mempergunakan sisa dana riset bagi kepentingan penelitian lainnya. Hal 36
seperti inilah yang menyebabkan para peneliti responden dalam penelitian ini merasa mempunyai fleksibilitas yang cukup dalam melakukan penelitian dan merasa terbantu dengan adanya dana tersebut. b. PRO UGM – Pengembangan Rotavirus Pendanaan riset rotavirus adalah contoh pendanaan internasional pada tahap clinical trial. PRO UGM mendapatkan pendanaan untuk riset melalui bantuan dari luar negeri sementara dana dari pemerintah sangat minim. Dana didapatkan karena ada kepercayaan yang terbangun antara UGM dengan pihak luar negeri. Berdasarkan kepercayaan serta rekam jejak yang baik pihak UGM, bantuan dana pun mengalir untuk riset mereka. Dari beberapa riset yang mereka lakukan beberapa diantaranya ada yang tidak terpakai sampai habis, sehingga hal tersebut memungkinkan terjadinya subsidi silang untuk menyokong kegiatan penelitian yang lainnya, karena dalam hal ini pemberi bantuan dana (mitra kolaborasi) menyerahkan sepenuhnya dana yang tersisa tersebut untuk dipergunakan kembali selagi dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini jelas tergambar bahwa networking dan trust memegang peranan penting dalam menyokong kolaborasi riset internasional di perguruan tinggi, sehingga permasalahan pendanaan yang kurang memadai pun tidak menemukan jalan buntu. c. Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) – Pengembangan Bank Jaringan dan BioMaterial Pembiayaan awal untuk bank jaringan adalah biaya dari IAEA, yang khusus ditujukan untuk memberikan training. Tidak hanya itu saja, hampir seluruh kegiatan BATAN yang terlibat di IAEA mendapat kesempatan untuk training ataupun meeting yang diselenggarakan oleh IAEA. Selanjutnya, Batan memperoleh dana 100% dari dana pemerintah. Disamping dana pemerintah, Batan juga mendapatkan dana dari sumber pendanaan lainnya yang cenderung lebih kompetitif. Dana dari sumber lain didapatkan melalui proposal riset yang diajukan kepada penyandang dana, misalnya saja dana melalui PKPP yg dikelola oleh Kementerian Ristek maupun riset intensif (sekarang menjadi SISNAS). Akibat terbatasnya dana, maka Batan membuat skala prioritas. Akan tetapi ada beberapa riset yang seharusnya dilaksanakan selama beberapa tahun menjadi tertunda karena akibat faktor politis maupun non politis serta administratif. Kesimpulannya bahwa dana yang disediakan oleh pemerintah untuk riset di bidang kesehatan, memang tidak memadai sehingga akan berdampak pada output yang dihasilkan. Misalnya, riset untuk menghasilkan produk kesehatan membutukan waktu sekitar tiga tahun, namun dana yang tersedia hanya untuk satu tahun saja, sehingga akhirnya riset pun tidak bisa diteruskan menuju inovasi.
4.1.1 Proses Pendanaan Riset yang Birokratis Masalah proses pendanaan yang birokratis dapat memunculkan keterlambatan pendanaan riset dan banyaknya pekerjaan administratif anggaran. a. Institute of Tropical Disease (ITD) UNAIR – Pengembangan Sel Punca (Stem Cell) Pendanaan riset sel punca ini ditujukan untuk melakukan riset mulai tahap clinical trial. Pihak UNAIR bersama-sama dengan mitra internasional membuat proposal bersama untuk mendapatkan pendanaan riset, seperti kepada KNAW dan kerajaan/pemerintah Belanda, atau industri. Pendanaan tersebut dipergunakan untuk riset bersama maupun untuk pendidikan. Pendanaan yang terkait dengan pemerintah biasanya sulit dan tidak utuh. Seperti yang terjadi di ITD UNAIR ketika mengajukan pendanaan riset kepada pemerintah dengan birokrasi yang sulit, dan turunnya dana pun terbagi-bagi menjadi beberapa tahun dengan persyaratan yang menyulitkan. Ketika mengajukan dana ke Ristek dananya lebih jelas dibandingkan dengan mengajukan 37
pendanaan terhadap Dikti. Keterlambatan pendanaan merupakan salah satu implikasi yang kadang terjadi. b. Universitas Hasanudin (UNHAS) – Pencegahan Penyakit Malaria Pendanaan riset ini merupakan satu contoh pendanaan riset pada tahap clinical trial. Pendanaan didapatkan melalui pengajuan proposal kepada beberapa lembaga pendanaan riset, termasuk yayasan Gates di samping pendanaan dari mitra riset yakni Novartis (90% dana riset). Pengajuan pendanaan terhadap sumber-sumber dana lainnya diharapkan bisa menambah pembiayaan untuk riset agar lebih dinamis. Kesulitan mendapatkan dana pendamping dari institusi maupun pemerintah mendorong UNHAS mencari dana kepada pihak asing. Mengapa pihak asing? Pihak peneliti melihat bahwa pendanaan yang diberikan oleh pihak asing lebih bersifat fleksibel berupa grant sehingga tidak membutuhkan proses pertanggungjawaban yang berbelit-belit, tidak seperti pendanaan dari Indonesia, yang menyebabkan peneliti Unhas merasa tidak fokus dengan penelitian karena disibukkan dengan persyaratan administrasi. c. PT Biofarma (Persero) dalam Pengembangan Vaksin Dalam melakukan riset vaksin menuju inovasi, PT Biofarma telah menggunakan konsep triple helix, dimana dibuat suatu konsorsium yang terdiri dari pemerintah, industri (dalam hal ini Biofarma), dan universitas. Namun dalam pelaksanaan penelitian dan konsorsium, PT Biofarma menilai beberapa hal yang harus diperhatikan, terutama terkait dengan birokrasi pada level pemerintahan, yaitu Dikti dan Bappenas. Sistem penganggaran di PT Biofarma fleksibel. PT Biofarma juga telah menyediakan dana hingga ratusan milyar untuk menyokong proses inovasi dari hulu hingga ke hilir. Namun pemberian dana ini ke lembaga litbang pemerintah dan perguruan tinggi negeri terbentur pada sistem keuangan negara yang kaku, sehingga menyulitkan kerja sama. Seperti dikatakan sebelumnya, untuk mencapai inovasi dibutuhkan waktu yang sangat panjang, misalnya untuk menghasilkan vaksin membutuhkan waktu paling sedikit 12 tahun Untuk mengatasi keterbatasan dana, maka sumber dana dari luar negeri akhirnya menjadi suatu pilihan jalan keluar dalam melakukan riset. Akses dan networking yang baik dari PT Biofarma membuat Gate Foundation pun tertarik untuk membiayai riset yang dilakukan oleh PT Biofarma. Selain itu, PT Biofarma mempunyai idealisme harus mandiri ke depan dengan tidak adanya sokongan dari pemerintah dengan memunculkan ide untuk melakukan konsorsium. Saat ini perusahaan tersebut sudah menginisiasi 11-12 konsorsium. Selain itu, PT Biofarma mempunyai roadmap jangka panjang hingga tahun 2030. 4.1.3. Belum Terintegrasinya Sistem Pendanaan Riset dan Fokus Penelitian Pendanaan riset lembaga riset pemerintah belum terintegrasi dengan baik sehingga banyak potensi yang tidak tergali lebih jauh. Pendanaan riset bidang kesehatan tersedia di Litbang Kesehatan, Dikti maupun Kementerian Ristek. Dalam kondisi rendahnya koordinasi antara lembaga pemerintah dan swasta, maka sangatlah sulit mengharapkan terjadinya integrasi sistem penganggaran tersebut, kecuali jika ada inisiasi dari banyak pihak untuk menyusun kerangka kerja bersama, seperti adanya konsorsium riset yang diajukan ristek atau contoh-contoh kolaborasi riset dengan pihak internasional. Belanja litbang pemerintah adalah realisasi anggaran pemerintah yang dibelanjakan untuk membiayai kegiatan litbang. Berdasarkan laporan survei Kementerian Negara Riset dan Teknologi, pada tahun 2003 total belanja litbang di sektor pemerintah berjumlah Rp. 1.164,2 miliar dan meningkat menjadi Rp. 1.829,8 miliar pada tahun 2006 (KRT, 2007). Dari total belanja litbang,sebanyak 76,8% untuk Lembaga Pemerintah Kementerian (LPK) dan 21% untuk Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), dan 2,1% untuk Balitbangda (indikator iptek LIPI, 2011). 38
Dari catatan diatas, terlihat bahwa pendanaan masih didominasi oleh pemerintah, namun ketika penelitian di lapangan, bahwa masalah birokrasi untuk mendapatkan sokongan pendanaan sangatlah sulit. Sedangkan pendanaan yang ideal adalah adanya keseimbangan antara proporsi pendanaan dari pihak pemerintah, perguruan tinggi, maupun industri. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri sehingga sistem pendanaan riset bidang kesehatan di Indonesia belum mendekati ideal. Hal lain yang belum mendukung skema pendanaan riset yang ideal di Indonesia adalah belum terintegrasinya sistem pendanaan riset dengan fokus penelitian. Hal ini dapat terlihat dari skema yang terjadi di PT Biofarma. Ketika PT Biofarma ingin bekerja sama dengan pemerintah dalam penelitian mengenai vaksin, hal tersebut terbentur skema pendanaan dari pemerintah yang kurang fleksibel, dimana pendanaan yang ada harus terpecah menjadi penelitian tahunan sedangkan penelitian mengenai vaksin membutuhkan waktu minimal 12 tahun. Jika sistem pendanaan yang ada bisa fokus terhadap beberapa penelitian yang dapat dijadikan unggulan, bukan hal yang mustahil jika Indonesia dapat menghasilkan satu produk inovasi yang berguna bagi kepentingan masyarakat dunia. 4.2 Strategi Pendanaan Riset Kesehatan Di Indonesia: Suatu Usulan Sementara Mengacu pada temuan yang telah dipaparkan sebelumnya, selanjutnya dikemukakan usulan strategi pendanaan riset yang dapat dibangun pemerintah untuk mendorong inovasi teknologi bidang kesehatan di Indonesia. Pertanyaannya adalah pada tahap mana pemerintah seharusnya lebih banyak menginvestasikan untuk mendukung inovasi di riset bidang kesehatan? Berdasarkan paparan sebelumnya terdapat beberapa resiko yang akan timbul akibat minimnya anggaran riset dari pemerintah di bidang kesehatan, seperti misalnya perguruan tinggi yang cenderung memilih untuk bekerja sama dengan mitra asing sehingga memperbesar resiko kepemilikan data atau hasil produk dimiliki oleh pihak mitra. Ditambah lagi dengan sistem pendanaan yang terpecah-pecah dan cenderung dengan birokrasi yang berbelit-belit membuat beberapa perguruan tinggi ataupun dari kalangan pemerintah sendiri akhirnya mengambil jalan untuk berkolaborasi dengan mitra asing dalam melakukan riset. Alasan yang mereka berikan adalah sistem pendanaan yang diberikan oleh mitra asing cenderung lebih fleksibel dan dapat mengikuti ritme penelitian di bidang kesehatan yang bersifat jangka panjang dan kontinyu. Hal inilah yang membuat industri seperti PT Biofarma sulit untuk melakukan kerja sama dengan pemerintah, hingga akhirnya mereka lebih memilih untuk melakukan kerja sama dengan pihak asing karena proses birokrasi yang lebih mudah. Pada akhirnya networking dengan mitra di luar negeri yang memberikan kemudahan dalam melaksanakan kegiatan riset di industri untuk menuju inovasi. Resiko lain yang akan timbul bila tidak ada kesinambungan dalam riset dan akan berimbas terhadap output yang dihasilkan nantinya. Sebagian besar riset dalam bidang kesehatan membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk sampai pada inovasi. Vaksin misalnya, dibutuhkan waktu sekitar 12 – 15 tahun untuk menghasilkan vaksin yang berkualitas. Jika pendanaan tidak memadai maka hal tersebut akan berimbas terhadap vaksin yang dihasilkan menjadi belum siap untuk dipasarkan atau bahkan dipergunakan. Resiko lainnya jika riset dilakukan secara terpecah-pecah adalah riset di lakukan akan dengan mudahnya diambil alih manfaatnya oleh pihak asing/swasta. Ketika mengalami kesulitan dalam pendanaan atau bahkan tidak mempunyai pendanaan sendiri maka kita cenderung kehilangan bargaining position ketika melakukan kerja sama dengan mitra asing. Akibatnya, data yang kita dapatkan pun akan dengan mudahnya dimiliki oleh mitra asing/swasta karena kita tidak mempunyai bargaining position yang kuat. Hal ini pun tidak menutup kemungkinan ketika dalam publikasi nama kita tidak akan diikutsertakan dalam nama penulis. Resiko lain yang muncul akibat minimnya pendanaan untuk anggaran riset di bidang kebijakan adalah keinginan peneliti untuk lebih memilih bekerja sama dengan mitra asing, 39
sedangkan saat ini belum ada kebijakan yang mengatur secara khusus mengenai standar upah/gaji peneliti ketika bekerja sama dengan mitra asing. Untuk itu diperlukan suatu peraturan/kebijakan khusus yang mengatur mengenai standar upah/gaji peneliti Indonesia ketika melakukan kolaborasi riset ini agar sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Beberapa temuan di lapangan menunjukkan bahwa aspek focusing dan coordinating masih menjadi isu tersendiri dalam strategi pendanaan riset bidang kesehatan di Indonesia. Di negara lain, seperti Malaysia dan Cina misalnya, mereka fokus akan riset yang dijadikan unggulan pada bidang kesehatan hingga akhirnya mereka berhasil menghasilkan sesuatu. Perbedaan dengan riset bidang kesehatan yang terjadi di Indonesia adalah tidak fokusnya pendanaan riset terhadap bidang yang saat itu dijadikan unggulan. Fokus menjadi kata kunci yang dapat menjadikan riset di bidang kesehatan terorganisir dengan baik. Selama ini para penggiat inovasi di sektor kesehatan merasa belum menemukan koordinator yang sesuai dalam hal pendanaan. Belum adanya koordinator antara lembaga pendanaan riset terkait, sehingga beberapa kegiatan riset tidak mendapat sokongan pendanaan yang mencukupi dan juga tidak mendapat dukungan dalam pendanaan riset yang berjangka panjang. Untuk itu, dibutuhkan koordinator yang dapat mengakomodir para pelaku inovasi di sektor kesehatan yang melibatkan unsur pemerintah, industri, dan perguruan tinggi. Keterlibatan unsur pemerintah, industri, dan perguruan tinggi akan sangat membantu tahapan demi tahapan pada sektor kesehatan untuk mencapai inovasi, dimana setiap unsur mempunyai peranan masing-masing. Hal ini terkait dengan pertanyaan pada tahap mana pemerintah seharusnya lebih banyak menginvestasikan. Usulan sementara yang diberikan oleh penulis terhadap peran pemerintah adalah sudah selayaknya pemerintah memberikan pendanaan di tahap awal penelitian (tahap pre-dicovery) yang dapat membiayai penelitian untuk jangka panjang. Karena pada tahap pre-dicovery institusi/lembaga yang melakukan penelitian sangat membutuhkan dana untuk jalannya riset. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir penyalahgunaan data oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Mengapa? Karena ketika riset dilakukan dengan bantuan dana dari pihak lain, maka resiko kepemilikan data diambil oleh pihak lain pun sangat besar. Kenyataan yang ada saat ini, sistem anggaran untuk riset di Indonesia lebih menekankan kepada sistem anggaran jangka pendek. Dimana setiap tahun nama kegiatan penelitian haruslah berbeda. Dengan kata lain sistem pendanaan untuk sebuah riset di bidang kesehatan cenderung terpecah-pecah dan tidak kontinyu, sehingga hasil riset tidak bisa menghasilkan produk inovasi. Usulan sementara yang diberikan adalah harus ada roadmap yang jelas dari pemerintah dalam menyesuaikan diri dengan riset-riset di bidang kesehatan yang berjangka panjang dan berkelanjutan. Jika saja pemerintah lebih memperhatikan anggaran untuk riset, maka hal tersebut akan menambah kemudahan bagi para peneliti di Indonesia untuk dapat mengembangkan potensi dirinya dan meningkatkan jumlah publikasi, baik nasional maupun internasional. 5. PENUTUP Indonesia menghabiskan dana yang sangat kecil untuk Anggaran Iptek dan Belanja Litbang (hanya 0.08% terhadap PDB). Angka ini sangatlah kecil dibandingkan dengan anggaran belanja litbang di negara berkembang lainnya. Saat ini, setidaknya terdapat 19 Kementerian dan LPNK yang memiliki minat terhadap litbang, yang terbesar adalah Kemenristek, dengan hanya mengelola 29% dari total pengeluaran litbang pemerintah. Jadi sangat disayangkan jika minat yang begitu besar terhadap riset harus terhalang oleh masalah sistem pendanaan yang kurang fleksibel dan tidak mendukung lingkungan penelitian. Skema pendanaan yang kurang fleksibel bukan hanya satu-satunya hal yang menjadi masalah dalam riset kesehatan, minimnya anggaran untuk riset kesehatan pun menjadi permasalahan tersendiri guna mendukung keberhasilan riset menuju inovasi. Dalam prosesnya, ketika terjadi kolaborasi riset dengan mitra dari negara lain, Indonesia seringkali mendapatkan hibah peralatan dimana proses kepemilikannya pun cenderung dipersulit. Padahal berdasarkan PP No. 93/ 2010 jo. PMK No.76/2011 menyatakan bahwa hibah dan 40
belanja untuk riset dan fasilitas pendidikan diperbolehkan sebagai pengurang, sepanjang dana tersebut disalurkan langsung pada institusi resmi yang relevan dan sesuai dengan ketentuan berlaku. Jadi sebetulnya tidak perlu lagi birokrasi yang berbelit-belit yang dapat mempersulit terjadinya kolaborasi riset di Indonesia. Indonesia begitu kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berkualitas, jadi sudah selayaknya jika pemerintah mendukung pendanaan riset di bidang kesehatan untuk mencapai inovasi. Pemerintah perlu untuk mengkaji ulang kembali skema pendanaan yang ada saat ini agar permasalahan yang ada terkait dengan dengan pendanaan di bidang kesehatan dapat diminimalisir. Pemotongan jalur birokrasi dalam proses pengajuan proposal riset di bidang kesehatan serta terintegrasinya sistem pendanaan riset antar institusi/unsur pemerintah, perguruan tinggi, dan industri akan mendukung riset di bidang kesehatan untuk mencapai inovasi. Selain itu pemerintah Indonesia pun harus dapat menentukan fokus penelitian apa yang ingin di capai dalam riset kesehatan sehingga mempermudah jalannya riset dan tujuan besar yang ingin dicapai nantinya. Kaji ulang sistem pendanaan di bidang kesehatan ini tentu saja terkait dengan perencanaan awal penelitian atau ketika proses pembuatan kebijakan. Para pembuat kebijakan harus ikut serta aktif ke dalam desain pembuatan instrumenyang bertujuan meningkatkan pengaturan kerja sama ilmiah melalui evaluasi dampak yang ada dalam tahap perencanaan (evaluasi ex-ante). Sebagian dari keterbatasan penelitian di lapangan adalah karena kurangnya desain evaluasi ex-ante. Hal ini dikarenakan sifat dari proses pembuatan kebijakan memerlukan terus-menerus belajar dari pengalaman yang dapat dilihat dari proses evaluasi kebijakan, sama seperti riset di bidang kesehatan yang bersifat kontinyu dan terus menerus hingga ke inovasi. Beberapa paparan di atas membawa penulis terhadap beberapa kesimpulan terkait sistem pendanaan riset pemerintah yang dapat dipertimbangkan untuk mengurai stagnasi inovasi di bidang kesehatan, yakni: a) Dibutuhkan roadmap yang bersifat long-term dan kontinyu dalam perencanaan anggaran riset disesuaikan dengan sektor yang ada di Indonesia, khususnya sektor kesehatan, sehingga penelitian yang dilakukan akan menghasilkan produk hingga ke inovasi. b) Ada pengaturan yang jelas secara nasional untuk mengatur standar penggajian/upah peneliti Indonesia yang melakukan kolaborasi riset dengan mitra asing. c) Sistem pendanaan riset sebaiknya dibuat berbasis program, bukan program berbasis anggaran. d) Melibatkan peran BUMN, BUMD, Pemda dan Swasta dalam melakukan riset dengan memperhatikan pembagian tugas dan wewenang dengan jelas. e) Adanya koordinator yang dapat memotori dan mengakomodir hubungan antara pemerintah, perguruan tinggi, dan industri yang bergerak dalam riset bidang kesehatan. Dalam hal ini Kemenristek dan Kemenkes lah yang harus mampu menjadi motor penggerak riset di bidang kesehatan ini. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kami ucapkan kepada Pappiptek LIPI yang telah memberikan dukungan secara finansial terhadap penelitian ini. Terima kasih turut pula kami haturkan kepada semua pihak, baik dari pihak pemerintah (BATAN), perguruan tinggi (UGM, UNAIR, dan UNHAS), maupun industri (PT Biofarma) yang telah membantu memberikan dukungan dan waktu untuk berdiskusi terkait dengan penelitian ini.
41
DAFTAR PUSTAKA Altenburg, Schmitz, Stamm, 2008. Breakthrough? China’s and India’s Transition from Production to Innovation. 36(2): 325–344 Ernst, dan Young, 2000. Convergence:The Biotechnology Industry Report 2000. Diakses dari www.ey.com/industry/health. Pada tanggal 29 September 2013. Drug Discovery and Development., 2007. Drug Discovery and Development: Understanding the R&D Process. Diakses dari http://innovation.org. Pada tanggal 29 September 2013. Grace, N., Wijayanti, R., Mardiana, E., Handayani, T., Rahmaida, R., dan Nadhiroh, IM., 2011. Indikator Iptek Indonesia 2011. Jakarta: Pappiptek LIPI. Katz, J.S., dan Martin, B.R., 1997. What is research collaboration?.Research Policy vol. 26: 118 Meiningsih, S., et. al., 2006. Indikator Iptek Nasional : Survei Litbang Sektor Perguruan Tinggi 2006. Jakarta: LIPI Press. Moleong, J.Lexy., 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Roche., 2013. Research & Development Overview. Diakses dari Roche: http://www.roche.com/research_and_development/r_d_overview.htm. Pada tanggal 29 September 2013. Sonnenwald D.H., 2007. Scientific Collaboration: Annual Review of Information Science and Technology.Volume. 4: Pp. 643-681. Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Iptek. Diakses darihttp://jdih.ristek.go.id/. Pada tanggal 20 September 2012. Winarno, Budi, 2012. Kebijakan Publik: Teori, Proses, dan Studi Kasus. Yogyakarta: CAPS.
42
THE QUADRUPLE HELIX MODEL UNTUK SISTEM INOVASI LOKAL DALAM PENANGGULANAN KEMISKINAN: STUDI KASUS PROYEK INOVASI EKSPLORASI SUMBER AIR SUNGAI BAWAH TANAH MASYARAKAT DESA KARANGREJEK, KABUPATEN GUNUNGKIDUL Sri Rahayu Pusat Penelitian Perkembangan Iptek- LIPI
[email protected]
Abstrak Saat ini masih banyak perdebatan apakah Triple Helix Model (jaringan iptek antara Universities, Academic, Entreprises, the Government) telah menjadi sebuah model ideal untuk sistem inovasi di negara miskin dan berkembang. Hal ini menjadi wajar sebab negara berkembang memiliki wacara khas, yakni bagaimana sistem inovasi dapat melahirkan teknologi, inovasi ataupun pengetahuan sebagai solusi pengentasan kemiskinan. Dalam tataran ini Triple Helix Model dianggap belum sempurna karena kurang memiliki satu elemen, yakni pelibatan aktif masyarakat atau community. Lebih jauh model ini juga mengisyaratkan masyarakat lebih sebagai objek dari hasil inovasi. Padahal, masyarakat juga memiliki potensi sebagai subjek atau penghasil atau pemberi ide/pengetahuan/teknologi dalam sebuah sistem inovasi. Oleh karena itu, belakangan ini beberapa ekonom mulai memperkenalkan model sistem inovasi baru yang mengena untuk masyarakat kecil, yang disebut dengan Quadruple Helix Model. Berdasar uraian tersebut, tulisan ini bertujuan untuk menguraikan sejauh mana aplikasi Quadruple Helix Model dapat dijadikan sebagai sebuah kerangka sistem inovasi lokal yang efektif untuk program pengentasan kemiskinan. Studi kasus yang diambil dalam tulisan ini adalah proyek pendirian perusahaan penyedia air bersih mandiri di desa Karangrejek, Kabupaten Gunungkidul. Dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif, tulisan ini mendapatkan temuan bahwa Quadruple Helix Model bisa diaplikasikan secara efektif untuk menggambarkan kondisi sistem inovasi lokal yang menyokong terbentuknya inovasi/teknologi baru untuk membantu masyarakat dalam mendapatkan akses air bersih di desa Karangrejek dengan beberapa indikasi antara lain: 1). Inovasi/teknologi didesain dan dilahirkan dari kebutuhan dan ide masyarakat; 2). Terbentuknya jaringan yang kuat dan terus-menerus antara masyarakat, pemerintah, penyedia teknologi dan sektor usaha/bisnis; dan 3). Adanya fungsi dan tugas yang jelas antara masing-masing aktor. Kata Kunci: Triple Helix, inovasi, Desa Karangrejek
1. PENDAHULUAN Triple Helix Model sudah sangat banyak dikenal dalam banyak analisa sistem inovasi. Model ini banyak menguraikan tentang bagaimana sebuah inovasi muncul dari adanya hubungan yang seimbang, timbal balik, dan terus menerus yang dilakukan antar elemen pemerintah (government), pihak akademisi (perguruan tinggi dan lembaga penelitian & pengembangan) (universities) dan para pelaku/sektor bisnis (entreprises) (Amaral dkk,2010; Wallin,2010; dan Lydesdorff,2012). Namun demikian, kini banyak ahli masih memperdebatkan Triple Helix Model sebagai sebuah model ideal untuk sistem inovasi. Hal ini dipicu oleh mulai dipertanyakannya posisi masyarakat atau “community” dalam model tersebut. Selama ini, model tersebut secara tersirat memposisikan masyarakat lebih sebagai pengguna atau penikmat dari hasil inovasi saja. Padahal, dalam banyak kasus, justru masyarakat memiliki ide cemerlang atau bahkan subjek atau produsen dari inovasi itu sendiri (Carayanis &Campbell,2012;Wallin, 2010; dan Fuzi,2013). Oleh karena itulah, dalam beberapa tahun terakhir, analisa inovasi-ekonomi 43
diperkenalkan dengan konsep baru, yakni Quadruple Helix Model. Model tersebut secara sederhana memasukkan elemen masyarakat (community) sebagai aktor yang aktif dalam suatu sistem inovasi. Masyarakat dalam hal ini bisa menjadi objek (penikmat hasil inovasi) sekaligus sebagai subjek (penghasil inovasi) (Wallin 2010 dan Fuzi,2013). Selanjutnya, pada kasus-kasus negara berkembang, ditemukan banyak programprogram pengurangan tingkat kemiskinan dengan inovasi/teknologi tidak sukes karena lemahnya peran aktif masyarakat (Aiman,2013). Pada kasus-kasus tersebut, masyarakat miskin lebih banyak hanya berperan sebagai penerima teknologi yang dihasilkan oleh pihak akademik; yang diproduksi oleh pelaku bisnis; dan disponsori oleh pemerintah. Kelemahan dari program-program tersebut adalah bahwa inovasi/teknologi yang telah dihasilkan dari adanya interaksi tiga pihak (akademik, pemerintah dan pebisnis) tidak secara efektif dapat dimanfaatkan dan dikembangkan oleh masyarakat. Hal ini disebabkan antara lain karena inovasi/teknologi tersebut tidak atau belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Fuzi,2013 dan Aiman,2013). Atau dengan kata lain, dalam kaitannya dengan usaha pengentasan kemiskinan berbasis pendayagunaan teknologi/inovasi, masyarakat perlu dilibatkan secara aktif, untuk mengetahui kebutuhan ataupun ide solusi dari masyarakat itu sendiri tanpa mengesampingkan peran penting dari pihak pemerintah, akademik (perguruan tinggi dan lembaga litbang), dan para pelaku bisnis (Aiman,2013). Disinilah peran Quadruple Helix Model bisa diterapkan. Lebih jauh, sistem inovasi dengan pendekatan Quadruple Helix Model bisa menjadi framework solusi yang tepat jika sistem inovasi tersebut berasal atau mengakar di skala mikro yang selanjutnya secara potensial bisa melahirkan critical mass. Oleh karena itu Quadruple Helix Model bisa secara efektif diaplikasikan untuk menguraikan suatu sistem inovasi lokal atau sistem inovasi skala mikro. Desa Karangrejek, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah suatu contoh desa yang memiliki masyarakat miskin dengan keterbatasan akses air bersih. Kaitannya desa tersebut dengan bahasan Quadruple Helix Model adalah: bahwa desa tersebut berhasil menggunakan dan mengembangkan inovasi untuk proyek eksplorasi sumber air sungai bawah tanah dengan prakarsa ide dari masyarakat yang kemudian disokong oleh pemerintah, pelaku bisnis dan lembaga litbang (Wahyuni,2008; Desa Karangrejek,2012 dan Desa Karangrejek,2013). Proyek pengentasan kemiskinan inipun berhasil diteruskan menjadi sebuah badan usaha milik desa yang dikelola mandiri oleh masyarakat dengan mengutamakan pelayanan optimal dan rasa memiliki oleh masyarakat yang besar (Wahyuni,2008 dan Yuliar,2009). Berdasarkan uraian tersebut, maka tulisan ini bertujuan untuk menguraikan bagaimana Quadruple Helix Model dapat diadopsi dalam sebuah model sistem inovasi lokal di Desa Karangrejek. Di mana sistem tersebut telah melahirkan inovasi eksplorasi sumber air bawah tanah di daerah tandus sebagai hasil dari adanya koneksi erat dan aktif antara masyarakat pemerintah, pelaku bisnis, dan pelaku litbang. 2. TINJAUAN LITERATUR 2.1 Definisi Quadruple Helix Model Quadruple Helix Model adalah sebuah model pendekatan sistem inovasi di mana sistem tersebut menggambarkan adanya interaksi aktif antara empat aktor, yakni pihak akademik/ perguruan tinggi/ pelaku litbang (academics), pelaku bisnis (business), pemerintah (government) dan masyarakat (community). Quadruple Helix Model merupakan sebuah pendekatan baru yang dipopulerkan pertama kali oleh Robert Arnkil pada tahun 2010 (Arnkil dkk,2010, dan Aiman,2013). Pada dasarnya, pendekatan ini ditujukan untuk memberi perhatian lebih kepada para pengguna 44
inovasi atau dalam hal ini masyarakat, untuk bisa aktif dalam suatu sistem inovasi sebagai subjek atau pencipta inovasi itu sendiri. Pendekatan ini juga sudah menjadi rekomendasi penting dalam penyusunan strategi pembangunan beberapa negara, khususnya negara berkembang, terkait dengan tujuan untuk menciptakan strategi yang cerdas, berkesinambungan dan berorientasi pada masyarakat lapis bawah (marginal) untuk menciptakan sebuah pertumbuhan ekonomi yang kuat (Wallin,2010; Arnkil dkk,2010; Fuzi,2013). Lebih jauh, Quadrupe Helix Model merupakan sebuah kerangka sitem inovasi yang bersifat jangka panjang. Artinya bahwa keterkaitan antar aktor dalam sistem inovasi tersebut bersifat terus-menerus, dengan memperhatikan setiap perubahan, terutama dari sisi pengguna, yakni masyarakat itu sendiri (Arnkil dkk,2010).
Universities/Knowledge Institutions (Perguruan Tinggi dan Lembaga PenelitianPengembangan) - Mendukung masyarakat dalam aktivitas inovasi - Mendukung pemerintah dan pelaku bisnis/industri untuk mengeksloprasi dan mengembangkan aktivitas inovasi akar rumput di masyarakat
Community (Masyarakat)
Government (Pemerintah) -Mendukung aktivitas inovasi akar rumput di masyarkat -Menyediakaan bantuan peralatan dan ketrampilan (untuk masyarakat) - Menyediakan forum dialog antar masyarakat dengan institusi pengambil
-Menciptakan inovasiinovasi berbasis pengetahuan ataupun budaya yang melekat di masyarakat -Memilih inovasi-inovasi yang dibutuhkan dan perlu dikembangkan di masyarakat
Entreprises (pelaku bisnis/ perusahaan)
- Mengembangkan produk dan jasa komersil dari inovasi akar rumput (di masyarakat) - Mendukung masyarakat dalam aktivitas inovasi
Sumber: Modifikasi dari Arnkil (2010),Wallin (2010) ; Fuzi (2013)
Gambar 1 Empat Aktor dan Masing-masing Fungsinya dalam Quadruple Helix Model 45
2.2 Hubungan Triple Helix Model dan Quadruple Helix Model Beberapa ahli berargumen bahwa Quadruple Helix Model merupakan penyempurnaan dari Triple Helix Model. Arnkil (2010), Wallin (2010), dan Fuzi (2013) menyebutkan bahwa masyarakat atau “community” harus dimasukkan menjadi aktor baru dalam Triple Helix Model. Alasannya adalah bahwa masyarakat memiliki peran penting dalam menentukan inovasi jenis apa yang harus dikembangkan atau diproduksi dalam sebuah sistem inovasi, terutama dalam skala nasional. Menurut Fuzi (2013), diadopsinya elemen masyarakat dalam sistem inovasi secara eksplisit akan menghasilkan suatu sistem inovasi yang berbasis demokrasi berkesinambungan yang terbentuk dari interaksi timbal balik dan saling mempengaruhi antara masyarakat dan aktor dominan penentu perkembangan inovasi/teknologi (pelaku bisnis, pemerintah, dan perguruan tinggi/pelaku litbang). Namun demikian, ada beberapa ahli yang tetap sepakat bahwa Triple Helix Model merupakan model yang masih ideal untuk menguraikan suatu sistem inovasi. Menurut Amaral (2010) dan Lydesdorff (2012), eksistensi masyarakat memang tidak bisa dikesampingkan, namun tidak harus menjadi aktor baru, tapi lebih cocok menjadi lembaga perantara (intermendiate organzations) yang harus mendorong kinerja dari tiga aktor dalam Triple Helix Model, yakni pemerintah, pelaku bisnis, dan perguruan tinggi/pelaku litbang. Pendapat ini dikeluarkan dengan alasan bahwa masyarakat bisa bersifat independen, tidak memiliki orientasi mencari keuntungan. Sehingga masyarakat dalam tataran ini diharapkan dapat menjadi perantara yang aktif dan netral dalam menyokong suatu sistem inovasi. Lebih jauh, Lydesdorff (2012) menambahkan bahwa masyarakat bisa juga terdiri dari merupakan gabungan dari pemerintah dan pihak pelaku bisnis, sehingga jika elemen ini disematkan sebagai aktor baru, maka akan terjadi tumpang-tindih pembagian tugas dalam suatu sistem inovasi.
2.3 Quadruple Helix Model: Model Sistem Inovasi Ideal Untuk Negara Berkembang Pro dan kontra dengan adanya pengenalan Quadruple Helix Model memang telah banyak diulas. Beberapa ekonom menguraikan bahwa Triple Helix Model dan Quadruple Helix Model adalah model atau kerangka yang selalu bisa digunakan dalam menguraikan suatu sistem inovasi (Arnkil,2010; Amral,2010; Lydesdorff,2012; dan Fuzi,2013). Namun demikian, pada konteks apa kedua model tersebut digunakan tentu harus ada syarat atau kondisi yang harus dipenuhi. Amaral (2010) dan Lydesdorff (2012) menjelaskan bahwa Triple Helix Model adalah suatu model yang lebih cocok untuk menggambarkan suatu sistem inovasi yang telah matang. Artinya bahwa sistem tersebut telah berada dalam suatu ekosistem ekonomi ataupun perkembangan teknologi yang telah mapan. Secara lebih gampang, Triple Helix Model lebih cocok digunakan untuk menguraikan sistem inovasi yang ada di negara maju,sebab: 1). Negara maju memiliki tiga aktor penentu inovasi inti yang kuat, yakni pemerintah yang memiliki kekuatan finansial dan komitmen besar untuk iptek, industri yang punya kapasitas teknologi/inovasi yang tinggi, dan sektor perguruan tinggi/lembaga litbang yang produktif; 2). Masyarakat yang modern; yang bisa menjadi perantara aktif dan netral; yang bisa memperkuat jaringan ketiga aktor tersebut; 3) Masyarakat memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi, sehingga inovasi lebih banyak ditujukan untuk menguatkan sektor industri dan bukan untuk fokus pengentasan kemiskinan, sehingga masyarakat tidak perlu secara eksplisit disematkan sebagai salah satu aktor penting dalam Triple Helix Model (Lydesdorff,2012). Di sisi lain, Quadruple Helix Model adalah suatu model ideal untuk menguraikan sistem inovasi yang lebih membutuhkan peran aktif masyarakat. Artinya bahwa dalam model ini, inovasi /teknologi yang dihasilkan dari suatu sistem inovasi lebih berorientasi kepada masyarakat atau pengguna (Arnkil,2010). Arti lainnya adalah Quadruple Helix Model 46
menerangkan bahwa kuat atau lemahnya suatu sistem inovasi, bisa saja sangat tergantung pada satu aktor, yakni masyarakat (community). Selanjutnya, model ini menerangkan bahwa masyarakat bukan saja sebagai perantara antara pemerintah, akademisi dan pelaku bisnis, tapi masyarakat juga bisa sebagai pencipta ide, inovasi, pengetahuan atau teknologi yang bisa berbasis pada pengalaman, kebutuhan, budaya atau kearifan lokal mereka (Fuzi,2013). Menurut Arnkil (2010), Fuzi (2013) dan Aiman (2013), Quadruple Helix Model adalah sebuah model untuk sistem inovasi yang sangat ideal untuk bisa diterapkan di berbagai level untuk membantu negara berkembang, terutama untuk menanggulangi isu kemiskinan dengan teknologi/inovasi. Hal ini dikarenakan beberapa sebab: 1). Pendekatan Quadruple Helix dapat mengakomodir peran penting masyarakat sebagai pengguna teknologi sekaligus sebagai yang paling tau tentang teknologi/inovasi apa yang bisa dikembangkan untuk membantu mereka; 2). Pendekatan Quadruple Helix juga menempatkan masyarakat sebagai aktor penghasil teknologi, terutama berdasarkan pengetahuan tradisional ataupun kearifan lokal; 3). Pendekatan Quadruple Helix merupakan jembatan antara masyarakat (miskin) dengan pelaku dominan untuk pengembangan teknologi (yakni pemerintah, pelaku bisnis, dan pelaku litbang/perguruan tinggi); hal ini memungkinkan terjadinya pengurangan gap atau kesenjangan di antara mereka (Arnkil, 2010 dan Fuzi,2013). Lebih jauh, beberapa pakar ekonomi berargumen bahwa Quadruple Helix Model sangat sesuai untuk mendorong lahirnya inovasi level akar rumput atau grassroot innovation. Pendekatan Quadruple Helix Model memberi kesempatan, terutama bagi masyarakat untuk mengetahui permasalahan sekaligus sebagai pencetus ide lahirnya inovasi. Sebagai contoh adalah pada proyek atau program pengentasan kemiskinan di berbagai wilayah berbeda di negara berkembang. Hal ini dikarenakan oleh beberapa sebab: -
-
-
Berbagai wilayah miskin di suatu negara berkembang memiliki masalah dan solusi teknologi yang berbeda untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat-nya. Quadruple Helix Model memberi peluang antar berbagai aktor, terutama masyarakat itu sendiri untuk secara aktif berkomunikasi dan kemudian melahirkan inovasi yang spesifik sesuai dengan kebutuhan daerah tersebut (Aiman,2013). Quadruple Helix Model terlebih dahulu menfasilitasi terbentuknya suatu sistem inovasi dari skala kecil/ lokal (Arnkil,2010). Jika berhasil, maka sistem-sistem inovasi lokal tersebut dapat dirangkum dalam suatu sistem inovasi nasional yang bersifat agregat. Sistem inovasi agregat ini kemudian menjadi dasar dari lahirnya suatu kebijakan teknologi yang demokratis atau pro dengan kesejahteraan rakyat. Selama ini, banyak negara berkembang (termasuk Indonesia), telah banyak mengeluarkan produk kebijakan penguatan sistem inovasi yang bersifat top-down. Kelemahan kebijakan ini adalah, bahwa banyak pemerintah negara berkembang telah gagal melahirkan programprogram yang efektif dan efisien untuk pengentasan kemiskinan dengan teknologi (Aiman,2013). Hal ini karena kebijakan tersebut bersifat sangat umum, tidak bersifat praktikal, dan tidak berdasar kebutuhan ataupun ide dari masyarakat langsung.
3. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Adapun data yang digunakan adalah berbagai data sekunder yang berasal dari berbagai dokumen ataupun literatur yang terkait dengan tema penelitian.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Informasi Umum tentang Desa Karangrejek, Kabupaten Gunungkidul 47
Desa Karangrejek merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Desa Karangrejek memiliki jarak sekitar 42 km dari kota Yogyakarta. Adapun total wilayah desa Karangrejek adalah sekitar 514 Hektar yang sebagian besar terdiri dari tanah merah dengan tekstur pasiran, berbukit dan tingkat kemiringan tanah adalah 20 derajat (Desa Karangrejek, 2012). Total area wilayah desa Karangrejek terdiri dari tanah kering non produktif (48 persen dari total area), area persawahan (12 persen dari total area), area pemukiman (10 persen dari total area), area publik (13 persen dari total area) dan lain-lain (sekitar 17 persen dari total area) (Desa Karangrejek,2013). Jumlah penduduk desa Karangrejek berjumlah sekitar 5.091 orang (tahun 2011) (Desa Karangrejek,2013). Sebagian besar penduduk desa Karangrejek adalah petani kecil. Namun, karena sifat mayoritas kondisi lahan yang rentan kekeringan, maka komoditas yang dihasilkan mayoritas adalah palawija dari lahan kering, antara lain ketela pohon, jagung, dan ubi jalar (Wahyuni, 2008). 4.2 Profil Proyek Pendirian Perusahaan Pelayanan Air Bersih Mandiri di Desa Karangrejek, Kabupaten Gunungkidul Kondisi geografis yang didominasi tanah kering menyebabkan desa Karangrejek sangat rentan terhadap kekeringan, terutama saat kemarau. Masyarakat desa-pun sering mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses air bersih. Selama bertahun-tahun masyarakat mengeluhkan permasalahan mereka, namun tidak juga ada solusi. Sampai akhirnya pada tahun 2007, masyarakat desa Karangrejek mendapat informasi tentang ditemukannya potensi sumber air sungai bawah tanah di daerah mereka. Ide inovasi pun datang dari masyarakat, bahwa: 1)mereka butuh teknologi untuk pengeboran dan pembangunan jaringan air; dan 2) mereka ingin mengelola jaringan air tersebut secara swadaya, karena buruknya manajemen pelayanan dari PDAM (harga yang mahal dan debit air yang tidak teratur). Maka pada tahun 2007, warga desa Karangrejek berhasil melakukan inisiasi pendirian perusahaan pelayanan air bersih mandiri yang dengan nama PAB Tirta Kencana (Pelayan Air Bersih Tirta Kencana) di bawah koordinasi Badan Usaha Milik Desa Karangrejek (Wahyuni,2008; Zulhamdani & Rahayu,2013; dan Desa Karangrejek,2013). Pengelola PAB Karangrejek berasal dari 10 orang perwakilan warga desa Karangrejek yang kemudian dibantu oleh tiga orang pengawas (satu orang tokoh masyarakat, satu orang perwakilan dari Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa, dan satu orang dari Badan Permusyaratan Desa. Setiap tahun, hasil kinerja PAB Tirta Kencana akan dilaporkan oleh Kepala Desa Karangrejek kepada masyarakat (Desa Karangrejek, 2013). Hingga akhir tahun 2012, PAB Tirta Kencana memiliki enam unit sumur bor dengan kedalaman 100 meter dan lima liter per detik debit air. Jaringan PAB Tirta Kencana telah berhasil dijangkau oleh hampir 700 rumah penduduk di dua desa, yakni desa Karangrejek dan desa Siraman (Desa Karangrejek, 2013). Selain itu, PAB Tirta Kencana juga mengalirkan air dalam penampungannya untuk beberapa area pertanian di desa Karangrejek (Harian-Jogja, 2012). Menurut pihak pengelola PAB Tirta Kencana, biaya per meter untuk berlangganan air dari PAB Tirta Kencana sangat terjangkau oleh masyarakat, yakni dengan abonemen sekitar Rp. 5.000 per bulan. Kepuasan masyarakat pun diikuti dengan profit usaha yang cukup optimal dari perusahaan. Pada tahun 2011, perusahaan tersebut berhasil mengalirkan dana keuntungan ke kas pemerintah desa sekitar Rp. 31 juta (tiga kali lipat dari keuntungan pada tahun 2008) (Wahyuni, 2008 dan Desa Karangrejek,2012).
48
Aplikasi Quadruple Helix Model untuk Proyek Pendirian Pendirian Perusahaan Penyedia Air Mandiri (PAB Tirta Kencana) di Desa Karangrejek, Kabupaten Gunungkidul Aplikasi Quadruple Helix Model sebagai model ideal untuk pembangunan sistem inovasi lokal di Desa Karangrejek, terutama terkait dengan terbangunnya PAB Tirta Kencana dapat dilihat dari beberapa indikator, yakni 1) Pada proses/fase terbangunnya PAB Tirta Kencana; 2) Pada derajat hubungan antara empat sektor (helix): masyarakat, pemerintah, penyedia teknologi/inovasi dan sektor bisnis untuk pembangunan PAB Tirta Kencana; dan 3) Pada Pembagian Tugas Fungsi masing-masing keempat sektor (helix).
Fase 1: butuh inovasi sebagai solusi
Inisiasi pembangunan instalasi jaringan PDAM di beberapa wilayah di Kabupaten Gunungkidul (tapi tidak optimal)
Pra 1999
Karangrejek sering dilanda kekeringan/ kurangnya ketersediaan air bersih
1999
Fase 2: lahirnya ide untuk inovasi
Inisiasi pendirian PAB Tirta Kencana di Karangrejek
2005
Penambahan sumur bor dan fasilitas jaringan PDAM di Gunungkidul termasuk di Karangrejek (pelayanan tidak optimal dan mahal)
2007
Fase 3: produksi dan adaptasi inovasi
Fase 4: peningkatan kesesejahteraan
Operasi usaha PAB Tirta Kencana mulai berjalan
Jaringan PAB Tirta Kencana berhasil menjangkau beberapa wilayah di sekitar Karangrejek
2008
2013
Adopsi teknologi untuk pengeboran sumber air sungai bawah tanah dan instalasi jaringan air PAB Tirta Kencana
Hampir semua warga Karangrejek mendapat akses jaringan PAB Tirta Kencana
Sumber: Desa Karangrejek,2013
Gambar 2
Empat Fase yang Melatarbelakangi Kesuksesan Proyek Pendirian Perusahaan Penyedia Air Mandiri (PAB Tirta Kencana) di Desa Karangrejek, Kabupaten Gunungkidul
49
Berdasarkan Gambar 2 dapat kita lihat bahwa di desa Karangrejek terjadi empat fase yang melatarbelakangi beroperasinya PAB Tirta Kencana. Fase-fase tersebut memperlihatkan bahwa inovasi/teknologi dapat digunakan sebagai solusi untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat dalam skala mikro. Selanjutnya, fase-fase tersebut juga memperlihatkan bahwa masyarakat juga berperan aktif sebagai sumber lahirnya ide inovasi, meskipun dalam prakteknya, masyarakat Karangrejek belum bisa memproduksi sendiri inovasi tersebut. Mereka membutuhkan dukungan dari pemerintah, pihak produsen teknologi, dan sektor usaha/industri yang bisa menyederhanakan dan memproduksi teknologi tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Adapun fase-fase yang dilalui desa Karangrejek untuk membangun PAB Tirta Mandiri adalah sebagai berikut: fase 1: yakni masa mencuatnya kebutuhan inovasi karena permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat; diikuti oleh fase 2: yakni lahirnya ide inovasi yang berasal dari masyarakat, yakni ingin membangun jaringan air sendiri dengan mengekskploitasi potensi sumber air sungai bawah tanah di desa Karangrejek; kemudian fase 3: masa produksi dan adaptasi dari inovasi yang melibatkan empat aktor (yakni masyarakat itu sendiri, kemudian pihak pemerintah, pihak penyedia teknologi/inovasi pengeboran dan pembangunan jaringan, dan pihak industri atau sektor usaha yakni penyedia peralatan ataupun bahan untuk mendukung aplikasi dari teknologi/inovasi tersebut); dan terakhir adalah fase 4 yakni meningkatnya kesejahteraan masyarakat karena penggunaan teknologi/inovasi baru. Lebih jauh, jika kita lihat pada fase 3, maka kita dapat melihat terjadinya peningkatan intensitas hubungan antara masyarakat Karangrejek, pemerintah, pihak penyedia teknologi, dan sektor usaha. Hubungan tersebut berlangsung dalam beberapa kurun waktu, yakni antara tahun 2007 hingga tahun 2013. Menurut Wahyuni (2008), Yuliar (2009), HarianJogja (2012), dan DesaKarangrejek (2013), hubungan antara ke empat aktor (helix) tersebut ternyata tidak berhenti begitu saja setelah PAB Tirta Kencana beroperasi. Hingga saat ini mereka masih saling berkomunikasi, terutama untuk perawatan jaringan dan untuk antisipasi berbagai keluhan masyarakat terhadap berbagai gangguan jaringan yang kadang terjadi. Selain itu, Pravita (2012), Setkab RI (2012) dan HarianJogja (2012) menambahkan bahwa desa Karangrejek masih memiliki beberapa potensi lain untuk menanggulangi masalah kekurangan pasokan air, terutama untuk membantu sektor pertanian. Antara lain dengan membangun peta potensi sumber air bawah tanah secara lebih komprehensif di Kabupaten Gunungkidul untuk bisa membangun jaringan air yang lebih besar untuk menyokong sektor pertanian. Lebih jauh, Setkab (2012) juga menambahkan bahwa keeratan jaringan antara masyarakat, pemerintah, pengahasil teknologi dan sektor bisnis bisa selalu terjalin melalui undangan-undangan temu warga di Kabupaten Gunungkidul. Sebab, setelah keberhasilan Desa Karangrejek, ada beberapa tempat lain di Kabupaten Gunungkidul yang mencoba untuk mencontoh keberhasilan PAB Tirta Kencana. Oleh karena itu, di masa selanjutnya sangat dimungkinkan bagi keempat aktor (helix) tersebut untuk selalu berinteraksi. Dasar uraian ini selanjutnya dapat digambarkan sebagai dasar terbangunnya sistem inovasi lokal yang terdiri dari empat helix (aktor), yakni masyarakat, pemerintah, penyedia teknologi, dan sektor bisnis (Lihat Gambar 3).
50
Waktu
Tahun 2007
Helix I
Helix II
Helix III
Helix IV
(para penyedia pengetahuan dan teknologi)
(sektor industri/bis nis)
(pemerintah)
(masyarakat)
Unit Analis PDAM Unit Analis dari Satker Sumberdaya Air-Dinas Pekerjaan Umum Propinsi DIY Lembaga Pelatihan Pengelola Keuangan Para Tenaga Teknisi Jaringan air
Supplier Perangkat Jaringan Air Kontraktor Pembangun an Jaringan Air
Pemerintah Desa Karangrejek Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Propinsi DIY
Warga Desa Karangrejek
Sumber: dikonstruksikan dari Wahyuni (2008) dan Desa Karangrejek (2013)
Gambar 3 Proses Interaksi Terus-menerus antara Para Aktor dalam Proyek Penyediaan Air Bersih sebagai dasar lahirnya Sistem Inovasi Lokal (dengan Quadruple Helix Model) Tiap–tiap aktor (helix) dalam sistem inovasi untuk penyediaan air bersih di desa Karangrejek tentu memiliki tugas dan fungsi masing-masing. Gambar 4. memperlihatkan bahwa masing-masing helix melakukan fungsi untuk menguatkan sistem inovasi, di mana masyarakat adalah sebagai helix inti (yakni pengguna utama sekaligus sebagai penentu bekerjanya helix-helix yang lain). Helix (aktor) I berfungsi untuk menyediakan informasi/pengetahuan tentang potensi sumber air dan pelatihan. Helix (aktor) II berfungsi untuk menterjemahkan inovasi/pengetahuan dari penyedia teknologi ke dalam suatu 51
produk/peralatan/bahan yang dibutuhkan masyarakat. Helix (aktor) III berfungsi untuk memberi naungan kebijakan dan bantuan yang mendukung, terutama untuk masyarakat. Helix (aktor) IV berfungsi sebagai tempat lahirnya ide, yakni inovasi atau pengetahuan apa yang dibutuhkan masyarakat sesungguhnya untuk menyelesaikan persoalan yang ada di mereka. Atau dapat dikatakan bahwa inovasi/teknologi yang diproduksi dalam sistem inovasi didesain bersama masyarakat.
Helix I (Penyedia pengetahuan dan teknologi)
Memberi info langsung tentang potensi pengeboran sumber air sungai bawah tanah Menyediakan pelatihan pengelolaan keuangan untuk karyawan perusahaan pengelola jaringan air mandiri Menyediakan pelatihan teknis pengelolaan jaringan air untuk karyawan perusahaan pengelola jaringan air mandiri
Helix IV (masyarakat) Helix III (Pemerintah) Menyediakan forum dialog antara perangkat pemerintah, pihak kontraktor,menyediakaan bantuan (dana/kebijakan) untuk pembangunan jaringan air dan bantuan pelatihan keuangan &teknis pengelolan jaringan air.
- Memberi ide untuk mengelola penyediaan air bersih secara mandiri oleh warga (ide lahirnya PAB Tirta Mandiri). -Membangun proyek eksploitasi jaringan dari sumber air sungai bawah dengan basis kearifan lokal dan rasa sosial .
Helix II (Sektor Industri/bisnis) Mengakomodir permintaan kebutuhan perangkat pengeboran dan pembangunan jaringan dari masyarakat Karangrejek.
Sumber: Konstruksi sendiri berdasarkan data dari Wahyuni (2008), Yuliar (2009), Fuzi (2013) dan Desa Karangrejek (2013)
Gambar 3 Peran Masing-masing Aktor (Helix) dalam Proyek Penyediaan Air Bersih / PAB Tirta Kencana dengan Quadruple Helix Model
52
5. KESIMPULAN Tulisan ini telah berusaha menguraikan Quadruple Helix Model sebagai sebuah model ideal untuk menggambarkan sistem inovasi lokal. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, tulisan ini menemukan bahwa Quadruple Helix Model dapat diaplikasikan secara efektif dalam proyek pembangunan perusahaan penyedia air bersih di desa Karangrejek, Kabupaten Gunungkidul. Selanjutnya aplikasi QuadrupleHelix Model di desa Karangrejek dapat ditinjau dari beberapa temuan, di antaranya adalah: a) Pada saat proses terbangunnya PAB Tirta Kencana (perusahaan penyedia air bersih mandiri yang dikelola oleh masyarakat desa Karangrejek), b) Saat teridentifikasinya hubungan erat antara empat helix (aktor), yakni masyarakat, pemerintah, penyedia teknologi dan sektor usaha/bisnis, dan c) Fungsi yang tegas antara keempat helix (aktor). Sistem inovasi lokal sukses melakukan fungsinya untuk melahirkan inovasi/teknologi yang bermanfaat untuk masyarakat miskin. Hal ini ditandai dengan suksesnya sistem inovasi tersebut untuk diterjemahkan dalam sebuah aktivitas produktif melalui perusahaan penyediaan air bersih mandiri di desa Karangrejek yang dinamai PAB Tirta Kencana. Perusahaan tersebut berhasil mempermudah masyarakat miskin untuk mendapatkan jaringan air bersih. Selain itu, tulisan ini juga menemukan bahwa sesuai dengan teori yang mendasari Quadruple HelixModel, maka inovasi yang telah lahir di desa Karangrejek merupakan inovasi yang dibangun antara masyarakat dengan pemerintah, penyedia teknologi, dan sektor bisnis/usaha. Masyarakat sebagai tempat lahirnya ide inovasi, pemerintah sebagai pemberi kebijakan atau naungan terciptanya inovasi, lembaga penelitian/pelatihan sebagai penyedia pengetahuan atau pencipta inovasi, dan sektor usaha/bisnis sebagai sektor yang bisa menterjemahkan teknologi dalam bentuk produk atau bahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan hasil kajian ini, penulis berpendapat bahwa konsep QuadrupleHelix Model merupakan ide pencerahan dari banyaknya proyek pengembangan dan diseminasi teknologi skala mikro yang berakhir gagal karena kurangnya peran penting dari elemen masyarakat itu sendiri. Konsep Quadruple Helix merupakan model yang cukup ideal dan efisien untuk bisa menggambarkan kontribusi besar masyarakat, yang tidak hanya sebagai penerima teknologi, namun juga sebagai suatu entitas yang memiliki pengetahuan tentang kebutuhan teknologi yang paling sesuai untuk dikembangkan dibanding dengan institusi manapun, terutama terkait dengan isu teknologi untuk pengentasan kemiskinan. 5. Daftar Pustaka Arnkil, R. Dkk., 2010. Exploring Quadruple Helix – Outlining useroriented Innovation Models. Working Papers 85/2010. University of Tampere. Work Research Centre. Aiman, S., 2013. Inovasi Kunci untuk Pembangunan Ekonomi: Konsep ABCG. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional dan Workshop “Peningkatan Inovasi dalam Menanggulangi Kemiskinan”. Tanggal 30 September – 1 Oktober, Bandung, Indonesia Amaral dkk., 2010. Micro-Evidence of a Triple Helix in The Brazilian Regional Development,. Prosiding dari The Xxi ISPIM Conference 2010. Tanggal 6-9 Juni 2010, Bilbao, Spanyol. Carayannis, E.G. dan Campbell,D.F.J., 2012. Mode 3 Knowledge Production in Quadruple Helix Innovation Systems, SpringerBriefs in Business 7 Vol. DOI 10.1007/978 Desa Karangrejek, 2010. Laporan Tutup Buku Tahun 2010, Pengelola Air Bersih Tirta Kencana, Karangrejek, Wonosari, Gunung Kidul, DIY, 31 Desember 2010. ------------------------- 2013. Garut “Kesengsem” BUMDes Tirta Kencana. Tersedia di www.karangrejek.net. Akses bulan Mei 2013 53
Füzi,A., 2013. Quadruple-Helix and its types as user-driven innovation models. Prosiding dari the Triple Helix International Conference 2013 sesi ‘Building the innovative markets, places and networks’. Tanggal 7-10 Juli 2013, London, Inggris. Harian Jogja, 2012. HUT KE 181- Gudung Kidul: Masih Ada Harapan di Bumi Handayani. Solopos online, edisi senin 28 Mei 2012. Tersedia juga di www.harianjogja.com . Akses Mei 2013. Lydesdorff, L., 2012. The Triple Helix, Quadruple Helix, and an N-tuple of Helices: Explanatory Models for Analyzing the Knowledge-based Economy? . Journal of the Knowledge Economy 3(1) (2012) Wallin, S., 2010. The coevolvement in local development From the triple to the quadruple helix model: “Government and public policy in Triple Helix era”. Prosiding dari the Triple Helix International Conference 2010, Tanggal 20-33 Oktober 2010, Madrid, Spanyol Pravita, Dwi, 2012. “…Gunung Kidul Miliki Tandon Air Raksasa dan Potensi Sungai Bawah Tanah yang Besar…”. Berita Elektronik dari Nasionalis Rakyat Merdeka (NRM). Vol.19 Septermber 2012. Dapat diakses di http://nrmnews.com/2012/09/19/gunung-kidul-miliki-tandon-airraksasa-dan-potensi-sungai-bawah-tanah-yang-besar/ Setkab RI (Sekretariat Kabinet Republik Indonesia)., 2012.Penghijauan dan Penyediaan Air di Gunung Kidul, Berita Elektronik Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Vol. 26 Juli 2012. Dapat diakses di http://www.setkab.go.id/pro-rakyat-5159-penghijauan-danpenyediaan-air-di-gunung-kidul.html Wahyuni, V.H.S., 2008. Partisipasi Masyarakat dalam Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Domestik di Kabupaten Gunung Kidul, Tesis Institut Teknologi Bandung, Bandung. Yuliar, S., 2009. Tata Kelola Teknologi. Perspektif Teori Jaringan Aktor, Institut Teknologi Bandung, Bandung Zulhamdani,M dan Rahayu,S., 2013. Peran Modal Sosial dalam Upaya Pemberdayaan Teknologi Tepat Guna Mandiri oleh Masyarakat untuk Penanggulangan Kemiskinan: Studi Kasus Proyek Pengelolaan Air Bersih Mandiri di Desa Karangrejek Kabupaten Gunung Kidul.Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional dan Workshop “Peningkatan Inovasi dalam Menanggulangi Kemiskinan”. Tanggal 30 September – 1 Oktober, Bandung, Indonesia
54
BIODEGRADASI LIMBAH TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) OLEH JAMUR LIGNOSELULOLITIK
Ratu Safitri, Septyana Dewi V, dan Nia Rossiana Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran Jl. Jatinangor, KM.21. Sumedang Tlp. 022 7796412, Fax: 022 7796412 E-Mail :
[email protected] ABSTRAK Telah dilakukan penelitian untuk mendapatkan jamur lignoselulolitik baik secara tunggal maupun konsorsium beserta dosis inokulum yang efektif dalam proses fermentasi limbah tandan kosong kelapa sawit. Jamur lignoselulolitik yang digunakan dalam penelitian ini merupakan jamur lignoselulolitik asal limbah tandan kosong kelapa sawit, yaitu Rhizopus oryzae, Penicillium citrinum dan Aspergillus nidulans. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan metode eksperimental. Metode deskriptif digunakan pada tahap pembuatan inokulum. Metode eksperimental digunakan pada tahap fermentasi limbah tandan kosong kelapa sawit dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 2 faktor dan 3 kali pengulangan. Faktor I adalah jenis jamur (J), yaitu Rhizopus oryzae (j1), Penicillium citrinum (j2), Aspergillus nidulans (j3) serta konsorsium Rhizopus oryzae, Penicillium citrinum dan Aspergillus nidulans (j4). Faktor II adalah dosis inokulum (D), yaitu dosis inokulum 0% (d0), 5% (d1) dan 10% (d2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa fermentasi oleh Penicillium citrinum secara tunggal pada dosis inokulum 5% efektif dalam menurunkan kadar lignin limbah tandan kosong kelapa sawit sebesar 20,31%, selulosa 9,42%, dan hemiselulosa 11,97% sedangkan konsorsium Rhizopus oryzae, Penicillium citrinum dan Aspergillus nidulans pada dosis inokulum 10% dapat menurunkan kadar lignin sebesar 11,50%, selulosa 9,86%, dan hemiselulosa 9,53%. Dosis inokulum 5% merupakan dosis inokulum yang paling efektif digunakan dalam proses fermentasi limbah tandan kosong kelapa sawit.
Kata Kunci: fermentasi, tandan kosong kelapa sawit, Rhizopus oryzae, Penicillium citrinum, Aspergillus nidulans,
1. PENDAHULUAN Jamur lignoselulolitik merupakan salah satu anggota kelompok mikroorganisme yang mempunyai peranan penting dalam proses fermentasi komponen lignoselulosa. Kemampuan jamur lignoselulolitik dalam mendegradasi bahan lignoselulosa disebabkan oleh adanya sistem enzim lignoselulolitik yang dimilikinya, sehingga dapat merombak bahan tersebut menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana (Zabel dan Morell, 1992). Perombakan komponen lignoselulosa melibatkan aktivitas sejumlah enzim seperti peroksidase, fenol oksidase, selulase, hemiselulase dan gula oksidase. Jamur-jamur dari kelas Basidiomycetes merupakan kelompok utama pendegradasi lignoselulosa (Wymelenberg, 2006). Lignoselulosa merupakan komponen organik di alam yang berlimpah dan terdiri dari tiga tipe polimer, yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin.Tandan kosong kelapa sawit merupakan jenis limbah padat dengan kandungan lignoselulosa yang sukar didekomposisi. Komponen terbesar dari tandan kosong kelapa sawit (TKKS) adalah selulosa (40-60%), di samping komponen lain yang jumlahnya lebih kecil seperti hemiselulosa (20-30%) dan lignin (15-30%) (Dekker, 1991 dalam Wardani, 2012). Pada tahun 2005, tandan kosong kelapa sawit yang dihasilkan oleh industri kelapa sawit. diperkirakan mencapai 9,9 juta ton berat basah. Tandan buah kosong biasanya dibakar dan dijadikan abu untuk dimanfaatkan sebagai pupuk sumber kalium. Namun, kegiatan ini mulai 55
banyak ditinggalkan akibat dampak lingkungan, rendahnya nilai tambah yang diperoleh, dan komplikasi abu ke lapangan sebagai pengganti pupuk kalium (Goenadi dkk., 1998). Pengolahan limbah tandan kosong kelapa sawit dapat dilakukan secara biologis melalui proses fermentasi. Fermentasi adalah suatu proses perubahan kimiawi dari senyawa–senyawa organik seperti karbohidrat, lemak, protein dan bahan organik lain baik dalam keadaan aerob maupun anaerob melalui kerja enzim yang dihasilkan mikroba. Selanjutnya dikatakan bahwa fermentasi dapat terjadi karena aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai dan dapat menyebabkan perubahan sifat bahan makanan sebagai akibat pemecahan dari mikroba. Proses fermentasi dengan bantuan mikroorganisme merupakan upaya untuk meningkatkan zat-zat makanan dan nilai energi, mengurangi atau menghilangkan pengaruh negatif dari bahan pakan tertentu (Prescott dan Dune, 1982). Jamur yang diperlukan untuk proses fermentasi limbah tandan kosong kelapa sawit harus merupakan jamur yang dapat memecah ikatan kompleks senyawa lignoselulosa atau jamur dengan aktivitas enzim selulase dan ligninase yang paling baik misalnya saja jamur lignoselulolitik. Pada penelitian sebelumnya mengenai isolasi, identifikasi dan seleksi bakteri dan jamur lignoselulolitik asal limbah tandan kosong kelapa sawit, telah didapatkan tiga isolate jamur lignoselulolitik asal limbah tandan kosong kelapa sawit yang berpotensi dalam menguraikan komponen lignoselulosa, yaitu Rhizopus oryzae, Penicillium citrinum dan Aspergillus nidulans (Safitri, dkk., 2012). Rhizopus oryzae dapat menghasilkan glukoamilase. Enzim glukoamilase mampu menghidrolisis pati secara sempurna menjadi glukosa. Enzim ini bersifat eksoamilase, yaitu dapat memutuskan rantai pati menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian yang tidak mereduksi dari molekul tersebut (Tjokroadikoesoemo, 1986). Selain itu, Rhizopus oryzae juga dapat menghasilkan enzim ekstraseluler endoglukanase melalui Liquid State Fermentation (LSF) dan Solid State Fermentation (SSF) berbagai limbah pertanian sehingga dapat digunakan untuk komersial selulase (Karmakar dan Ray, 2011). Penicillium citrinum merupakan jamur yang dapat memproduksi endoglukanase dan FPase. Selain itu, Penicillium citrinum juga dapat mensekresikan enzim lignin peroksidase (LiP) yang berperan dalam perombakan komponen lignoselulosa (Bhende dan Dawande, 2010). Aspergillus nidulans merupakan jamur yang bersifat selulolitik. Enzim selulase yang dihasilkan oleh Aspergillus nidulans dapat dimanfaatkan dalam bidang industri seperti untuk biofinishing serat kapas. Aspergillus nidulans dapat menghasilkan enzim yang dapat mendegradasi dinding sel tanaman,seperti poligalakturonase dan pektat lyase. A. nidulans membutuhkan substrat yang mengandung glukosa untuk dapat menginduksi sekresi enzim poligalakturonase dan pektat lyase (Dean dan Timberlake, 1989). Berdasarkan uraian tersebut, maka penting dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kemampuan jamur Rhizopus oryzae, Penicillium citrinum dan Aspergillus nidulans baik secara tunggal maupun konsorsium dalam proses fermentasi limbah tandan kosong kelapa sawit untuk mendapatkan jamur lignoselulolitik yang potensial dan spesifik beserta dosis inokulum yang efektif dalam proses penguraian komponen lignoselulosa dari limbah tandan kosong kelapa sawit dengan jangka waktu selama 30 hari.
2. METODOLOGI Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah autoklaf, cawan penyaring, erlenmeyer, labu ukur, mikropipet, neraca analitik, oven dan pompa vakum. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ADS (cetyl trimethyl ammonium bromide dalam asam sulfat 1 N), asm sulfat 72%, aseton, aquades, dekalin, kultur jamur lignoselulolitik wild type, medium fermentasi meliputi: limbah tandan kosong kelapa sawit (TKKS); medium starter meliputi: beras, tepung kedelai, tepung tandan kosong kelapa sawit dan tepung tongkol jagung; Na2SO3, dan Potato Dextrose Agar (PDA) dari OXOID® . 56
Metode Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif dan eksperimental. Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap pembuatan inokulum (starter), tahap fermentasi limbah tandan kosong kelapa sawit dan serta tahap pengambilan sampel dan pengukuran parameter. Metode eksperimental digunakan pada tahap ketiga, yaitu tahap fermentasi limbah tandan kosong kelapa sawit dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 4 x 3, yang terdiri dari tiga faktor. Faktor I adalah jenis jamur (J), yaitu Rhizopus oryzae (j1), Penicillium citrinum (j2), Aspergillus nidulans (j3) serta konsorsium Rhizopus oryzae, Penicillium citrinum dan Aspergillus nidulans (j4). Faktor II adalah dosis inokulum (D), yaitu dosis inokulum 0% (d0), 5% (d1) dan 10% (d2). Parameter yang diukur meliputi kadar selulosa, hemiselulosa dan lignin (Metode Van Soest). Data yang diperoleh diuji secara statistik dengan menggunakan uji Analisis Variansi (ANAVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diukur. Apabila berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan dengan taraf nyata 5%. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Kadar Lignin selama Proses Fermentasi Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit Lignin merupakan molekul komplek yang tersusun dari unit fenilpropan yang terikat dalam struktur tiga dimensi. Lignin termasuk material yang paling kuat di dalam biomassa dan mengandung karbon yang relatif tinggi dibandingkan selulosa dan hemiselulosa. Oleh karena itu, sangat resisten terhadap degradasi, baik secara biologi, enzimatis maupun, kimia (Isroi, 2008). Persentase penurunan kadar lignin limbah tandan kosong kelapa sawit setelah fermentasi akan dianalisis secara statistik dengan menggunakan Analisis Varian [ANAVA]. Hasil Analisis Varian tersebut menunjukkan bahwa faktor jenis jamur dan faktor dosis inokulum memberikan penurunan kadar lignin limbah tandan kosong kelapa sawit yang berbeda. Selain itu terdapat interaksi faktor jenis jamur dan faktor dosis inokulum yang berpengaruh terhadap penurunan kadar lignin limbah tandan kosong kelapa sawit. Perbedaan penurunan kadar lignin yang dihasilkan dianalisis dengan Uji Jarak Berganda Duncan dengan taraf nyata 5% (Tabel 1).
57
Tabel 1 Uji jarak berganda Duncan Persentase Penurunan Kadar Lignin (%) Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit Spesies Jamur (J) dan Dosis Inokulum (D) Secara Penurunan Kadar Lignin (%) Tunggal dan Campuran 1,89a Kontrol 10,38 b Rhizopus oryzae 5% 18,65 e Rhizopus oryzae 10% 20,31 ef Penicillium citrinum 5% 22,82 f Penicillium citrinum 10% 16,76de Aspergillus nidulans 5% 17,13de Aspergillus nidulans 10% 14,12cd Konsorsium R. oryzae, P. citrinum dan A. nidulans 5% 11,50bc Konsorsium R. oryzae, P. citrinum dan A. nidulans 10% Keterangan : huruf kecil dibaca ke segala arah dan huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda pada taraf 5% Uji jarak berganda Duncan pada interaksi antara spesies jamur dan dosis inokulum (Tabel 1) dapat dilihat bahwa jamur Penicillium citrinum dengan dosis inokulum 5% dan 10% menghasilkan persentase penurunan kadar lignin yang tinggi dibandingkan dengan perlakuan jenis jamur dan dosis inokulum lainnya. Penicillium citrinum merupakan jamur yang bersifat lignoselulolitik karena selain dapat menghasilkan enzim selulase, spesies jamur ini juga dapat memproduksi enzim LiP (Lignin Peroksidase). Lignin peroksidase (LiP) adalah salah satu enzim yang dapat memecah lignin (Isroi, 2008). Bhende dan Dawande (2010) mengemukakan bahwa pada pH netral atau basa dan suhu ± 25 C°, enzim LiP yang dihasilkan oleh Penicillium citrinum dapat digunakan untuk delignifikasi bahan lignoselulosa dalam industri kertas. Selain itu, enzim LiP yang dihasilkan oleh Penicillium citrinum dapat diaplikasikan untuk pengolahan limbah industri pertanian. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Penicillium citrinum yang menghasilkan enzim LiP dapat bekerja secara optimal dalam menurunkan kadar lignin pada saat proses fermentasi limbah tandan kosong kelapa sawit. Namun fermentasi oleh Penicillium citrinum dosis inokulum 5% menghasilkan persentase penurunan kadar lignin yang setara dengan Penicillium citrinum dosis inokulum 10%. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan Penicillium citrinum dosis inokulum 5% lebih efektif digunakan untuk menurunkan kadar lignin yang terkandung dalam limbah tandan kosong kelapa sawit.Grafik kadar lignin limbah tandan kosong kelapa sawit pada awal dan akhir fermentasi dapat dilihat pada Gambar 1.
58
Gambar 1 Grafik Kadar Lignin Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit Pada Awal dan Akhir Fermentasi Berdasarkan grafik pada Gambar 1, dapat dilihat bahwa setiap jenis jamur dengan dosis yang berbeda memberikan persentase penurunan kadar lignin yang berbeda. Kadar lignin limbah tandan kosong kelapa sawit pada awal fermentasi adalah sebesar 18,74%. Perlakuan Penicillium citrinum dosis inokulum 5% dan 10% mampu memberikan persentase penurunan kadar lignin tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, masing–masing sebesar 20,31%, dari 18,74% menjadi 14,93% dan 22,82%, dari 18,74% menjadi 14,46%. Penicillium citrinum mampu menghasilkan persentase penurunan kadar lignin yang tinggi karena memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim ligninase. Enzim ligninase tersebut dapat mendegradasi lignin yang terkandung dalam limbah. Penicillium citrinum mampu menghasilkan enzim LiP (Lignin Peroksidase) yang dapat digunakan untuk proses delignifikasi. Delignifikasi merupakan suatu proses pembebasan lignin dari suatu senyawa kompleks (Gunam, dkk., 2010). Hal inisejalan dengan penelitian Islam dan Borthakur (2011) yang menunjukkan bahwa Penicillium citrinum mampu mendegradasi lignin yang terlihat dari penurunan berat kering jerami padi hingga 23,27% selama 60 hari. Penicillium citrinum dapat berperan sebagai pendegradasilignin yang efektif. Lignin merupakan zat organik polimer yang banyak dan penting dalam dunia tumbuhan setelah selulosa. Lignin juga berperan dalam memberikan perlindungan terhadap tanaman seperti menahan fermentasi. Polimer ini sangat resisten terhadap fermentasi dan hanya jamur tingkat tinggi yang mampu mendegradasi polimer ini melalui reaksi oksidatif (Schoemaker dan Piontek, 1996). 3.2. Kadar Selulosa selama Proses Fermentasi Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1,4-glikosidik dan tidak bercabang, bentuk polimer ini memungkinkan selulosa saling menumpuk atau terikat menjadi bentuk serat yang sangat kuat. Selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan menggunakan asam atau enzim lalu dapat difermentasikan menjadi etanol (Isroi, 2008). Oleh karena itu, semakin tinggi glukosa yang dihasilkan pada saat fermentasi maka jumlah selulosa pada substrat fermentasi akan semakin berkurang. Persentase penurunan kadar selulosa limbah tandan kosong kelapa sawit setelah fermentasi akan dianalisis secara statistik dengan menggunakan Analisis Varian (ANAVA). Hasil analisis varians menunjukan bahwa semua perlakuan memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap penurunan kadar selulosa limbah tandan kosong kelapa sawit. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan setiap kombinasi berupa spesies jamur secara 59
tunggal dan campuran dan dosis inokulum, penurunan kadar selulosa yang dihasilkan cenderung sama. Perbedaan persentase penurunan kadar selulosa limbah tandan kosong kelapa sawit selama proses fermentasi, dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan dengan taraf nyata 5% ( Tabel 2) . Tabel 2 Uji Jarak Berganda Duncan Faktor Dosis Inokulum terhadap Persentase Penurunan Kadar Selulosa Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit Dosis Inokulum Persentase Penurunan Kadar Selulosa (D) (%) 8,10 a 0% 8,99 b 5% 9,30 b 10% Keterangan : huruf kecil dibaca ke segala arah dan huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda pada taraf 5% Hasil pada Tabel 2 menunjukkan dosis inokulum 5% dan 10% mampu menghasilkan persentase penurunan kadar selulosa yang tinggi. Akan tetapi dosis inokulum 5% dengan jumlah jamur yang lebih sedikit pada awal fermentasi menghasilkan persentase penurunan kadar selulosa yang setara dengan dosis inokulum 10%. Hal tersebut menyimpulkan bahwa dosis inokulum 5% lebih efektif digunakan untuk menurunkan kadar selulosa limbah tandan kosong kelapa sawit dibandingkan dosis inokulum 10%. Dosis inokulum sampai batas tertentu akan meningkatkan pertumbuhan miselium hingga menutupi substrat, sehingga enzim yang dihasilkan untuk memasuki jaringan serat mencukupi semakin banyak (Musnandar, 2003). Persentase penurunan kadar selulosa limbah tandan kosong kelapa sawit tidak sebesar persentase penurunan kadar ligninnya. Adanya tautan silang polimer lignin dengan komponen dinding sel lainnya memperkecil akses selulosa dan hemiselulosa terhadap enzim mikrobial, sehingga mereduksi kemampuan cerna enzim mikrobial tersebut terhadap selulosa dan hemiselulosa (Sigit, 2008).
Gambar 2 Grafik Kadar Selulosa Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit Pada Awal dan Akhir Fermentasi
Persentase penurunan kadar selulosa (Gambar 2), menunjukan bahwa bahwa setiap jenis jamur dengan dosis yang berbeda memberikan penurunan kadar selulosa yang bervariasi. 60
Kadar selulosa limbah tandan kosong kelapa sawit pada awal fermentasi adalah sebesar 34,06%. Perlakuan konsorsium Rhizopus oryzae, Penicillium citrinum dan Aspergillus nidulans dosis inokulum 5% dan 10% mampu memberikan persentase penurunan kadar selulosa tertinggi dibandingkan dengan perlakuan tunggal, yaitu masing – masing sebesar 9,62%, dari 34,06% menjadi 30,79% dan 9,86%, dari 34,06% menjadi 30,70%. Hal tersebut dikarenakan konsorsium terdiri dari tiga jamur yang dapat menghasilkan enzim selulase sehingga perombakan selulosa pada limbah tandan kosong kelapa sawit menjadi lebih efektif. Enzim yang dapat menghidrolisis ikatan glikosida pada selulosa adalah selulase, Enzim ini terbagi menjadi tiga enzim lain, yaitu endoglukanase, eksoglukanase, dan β–glukosidase. Endoglukanase berperan dalam memotong rantai ikatan glikosida yang menghasilkan oligosakarida. Selanjutnya eksoglukanase mengurai selulosa menjadi selobiosa dan glukosa, selobiosa tersebut akan diurai lagi oleh β–glukosidase menjadi glukosa (Lynd, dkk., 2002). Penicillium citrinum mampu menghasilkan enzim endoglukanase dan FPase, Selain itu, Rhizopus oryzae juga mampu untuk menghasilkan enzim ekstraseluler endoglukanase (Karmakar dan Ray, 2008). 3.3. Kadar Hemiselulosa selama Proses Fermentasi Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit Hemiselulosa berbeda dengan selulosa dalam hal komposisi unit gula penyusun, rantai molekul hemiselulosa lebih pendek dan memiliki percabangan rantai molekul. Hemiselulosa memiliki berat molekul rendah dan biasanya berjumlah antara 15-30% dari berat kering bahan lignoselulosa (Taherzadeh dan Karimi, 2007). Persentase penurunan kadar hemiselulosa limbah tandan kosong kelapa sawit setelah fermentasi akan dianalisis secara statistik dengan menggunakan Analisis Varian (ANAVA). Hasil Analisis Varian tersebut menunjukkan bahwa faktor jenis jamur dan faktor dosis inokulum memberikan terhadap penurunan kadar hemiselulosa. Selain itu terdapat interaksi faktor jenis jamur dan faktor dosis inokulum dalam menghasilkan penurunan kadar hemiselulosa. Penurunan kadar hemiselulosa yang dihasilkan dalam proses fermentasi limbah tandan kosong kelapa sawit, dianalisis dengan Uji Jarak Berganda Duncan dengan taraf nyata 5%. Uji interaksi spesies jamur dan dosis inokulum terhadap persentase penurunan kadar hemiselulosa limbah tandan kosong kelapa sawit setelah proses fermentasi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Uji Interaksi Antara Jenis Jamur dan Dosis Inokulum terhadap Persentase Penurunan Kadar Hemiselulosa (%) Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit Jenis Jamur (J) dan Dosis Inokulum (D)
Persentase Penurunan Kadar Hemiselulosa (%)
Kontrol 6,73 ab Rhizopus oryzae 5% 4,33 a Rhizopus oryzae 10% 15,97 e Penicillium citrinum 5% 11,97 cd Penicillium citrinum 10% 15,59 e Aspergillus nidulans 5% 14,07 de Aspergillus nidulans 10% 11,06 c Konsorsium R. oryzae, P. citrinum dan A. nidulans 11,27 cd 5% Konsorsium R. oryzae, P. citrinum dan A. nidulans 9,53 bc 10% Keterangan : huruf kecil dibaca ke segala arah dan huruf kecil yang sama menunjukkan tidak
berbeda pada taraf 5%
61
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa perlakuan jamur Rhizopus oryzae dosis inokulum 10%, Penicillium citrinum dosis inokulum 10% dan Aspergillus nidulans dosis inokulum 5% menghasilkan penurunan kadar hemiselulosa yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan konsorsium ketiganya. Rhizopus oryzae, Penicillium citrinum dan Aspergillus nidulans merupakan jamur yang bersifat selulolitik karena dapat menghasilkan enzim selulase. Enzim selulase yang dihasilkan tidak hanya dapat merombak selulosa tetapi juga dapat merombak hemiselulosa yang terkadung dalam limbah tandan kosong kelapa sawit. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa perlakuan dengan menggunakan Rhizopus oryzae dosis inokulum 10%,Penicillium citrinum dosis inokulum 10% dan Aspergillus nidulans dosis inokulum 5% lebih efektif digunakan untuk menghasilkan penurunan kadar hemiselulosa yang tinggi pada limbah tandan kosong kelapa sawit. Grafik kadar hemiselulosa limbah tandan kosong kelapa sawit pada awal dan akhir fermentasi dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Grafik kadar hemiselulosa limbah tandan kosong kelapa sawit pada awal dan akhir fermentasi. Berdasarkan grafik pada Gambar 3, kadar hemiselulosa limbah tandan kosong kelapa sawit pada awal biodegradasi adalah sebesar 28,75%. Perlakuan Rhizopus oryzae mampu memberikan persentase penurunan kadar hemiselulosa yang tertinggi, yaitu sebesar 15,97%, dari 28,75% menjadi 24,16%. Rhizopus oryzae merupakan salah satu jamur yang dapat menghasilkan enzim protease (Gandjar dan Syamsurizal, 2006). Hemiselulosa umumnya dilaporkan berasosiasi secara kimia dengan polisakarida, protein atau lignin (Isroi, 2008). Sehingga Rhizopus oryzae diduga dapat mendegradasi hemiselulosa yang berikatan dengan protein dalam limbah tandan kosong kelapa sawit. Wachid (2011) membuktikan bahwa dalam fermentasi kulit ari kedelai dengan kandungan utama hemiselulosa yang sama dengan bonggol jagung oleh Rhizopus oryzae dalam kondisi anaerob tidak terkendali dapat menghasilkan etanol dengan kadar 3%. Hal tersebut membuktikan bahwa Rhizopus oryzae juga mampu menghasilkan enzim yang dapat mengdegradasi hemiselulosa dalam limbah tandan kosong kelapa sawit melalui proses fermentasi. Berdasarkan hasil uji selulolitik, Rhizopus oryzae mampu menghasilkan enzim selulase sehingga dapat mendegaradasi selulosa yang terkandung dalam medium selulosa (PDA + 5% CMC). Kemampuan Rhizopus oryzae dalam mendegradasi selulosa dapat dilihat dari zona bening yang terbentuk pada medium. Enzim selulase ini tidak hanya dapat merombak selulosa, akan tetapi juga diketahui dapat merombak hemiselulosa (Lynd, dkk., 2002). 62
4.KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Penicillium citrinum secara tunggal pada dosis inokulum 5% memiliki kemampuan yang efektif dalam menurunkan kadar lignin limbah tandan kosong kelapa sawit sebesar 20,31%, selulosa 9,42% dan hemiselulosa 11,97% sedangkan konsorsium Rhizopus oryzae, Penicillium citrinum dan Aspergillus nidulans pada dosis inokulum 10% efektif menurunkan kadar lignin sebesar 11,50%, selulosa 9,86% dan hemiselulosa 9,53%. 2. Dosis inokulum padat yang efektif dalam proses fermentasi limbah tandan kosong kelapa sawit adalah dosis inokulum 5% yang dapat menurunkan kadar lignin sebesar 20,31%, selulosa 9,42%, dan hemiselulosa 11,97%. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ini penulis tujukan kepada Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam; Laboratorium Analisis Pakan Ternak, Fakultas Peternakan; serta seluruh pihak yang terkait dalam penelitian ini atas seluruh bantuan yang diberikan selama penelitian berlangsung. DAFTAR PUSTAKA
Bhende, V. dan Dawande, A.Y., 2010. Production and characteristics analysis of ligninperoxidase from Penicillium citrinum, Fusarium oxysporum and Aspergillus terreus using n-propanol as substrate. Asiatic J. Biotech. Res.2010; 01: 1-7. Budiman, N. 2010. Fermentasi. (Diunduh 28 Januari 2012).Tersedia dari : http://www.kompas.com/kompas-cetak /0302 /28/Ilpeng/151875.htm. Gandjar, I. dan W. Syamsurizal, 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Goenadi, D., H. Away dan Y. Sukin, 1998. Teknologi Produksi Kompos Bioaktif Tandan Kosong Kelapa Sawit. Pertemuan Teknis Bioteknologi Perkebunan Untuk Praktek. Unit Penelitian Bioteknologi Perkebunan. Bogor. hal. 1-4, 10-11. Gunam, I.B.W., K. Buda, I M.Y.S. Guna, 2010. Pengaruh Perlakuan Delignifikasi dengan Larutan NaOH dan Konsentrasi Substrat Jerami Padi terhadap Produksi Enzim Selulase dari Aspergillus niger NRRL A-II, 264. Jurnal Biologi, 14(2): 55-61. Islam, N.F. dan Borthakur S.K., 2011. Study of fungi associated with decomposition of rice stubble and their role in degradation of lignin and holocellulose. Mycosphere.2(6):627635. Isroi., 2008. Karakteristik Lignoselulosa sebagai Bahan Baku Bioetanol. (Diunduh 28 Januari 2012). Tersedia dari : http:// isroi.wordpress.com/2008/05/01/karakteristik-lignoselulosa-sebagai-bahan-bakubioetanol/. Karmakar, M. dan R.R. Ray, 2011. Saccharification of agro wastes by the Endoglucanase of Rhizopus oryzae. Annals of Biological Research. 2 (1) : 201-208. Lynd L.R., P.J. Weimer, W.H. van Zyl WH dan I.S. Pretorius, 2002. Microbial Cellulose Utilization: Fundamentals and Biotechnology. Microbiol, Mol. Biol. Rev.66(3):506-577. Prescott, S.C., dan Dune, C. G., 1982. Industrial Microbiology. McGraw-Hill. New York. Robert, A. S., Ellen S. H. dan Connie A. N. 1981. Introduction to Food-Borne Fungi. Centraalbureau voor Schimmelcultures. The Netherlands. Sillia, S.B., 2003. Enviromental Application of Biotechnology. (Diunduh 28 Januari 2012). Tersedia dari :http://.fbae.org. Swisher, R. D., 1987. Surfactant Biodegradation. (Diunduh 28 Januari 2012). Tersedia dari http://www.lasinfo.org/las_ environment.html. Taherzadeh, M. J. dan Karimi K., 2007. Process for ethanol from lignocellulosic materials I : Acid-based hydrolysis processes. BioResources 2(3). 472-449. 63
Wachid M., 2011. Penelitian Pendahuluan Ethanol Bonggol jagung oleh Rhizopus oryzae. FPP. UMM. Malang. Wardani, D. I., 2012. Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) sebagai Alternatif Pupuk Organik. (Diunduh 28 Januari 2012). Tersedia dari : http://uwityangyoyo.wordpress.com/2012/01/04/tandan-kosong-kelapa-sawit-tkkssebagai-alternatif-pupuk-organik/. Wymelenberg, A.V., 2006. Structure Organization and Transcriptional Regulation of A Family of Copper Radical Oxidase Genes in Lignin Degrading Phanerochaete chrysosporium. Applied And Environmental Microbiology. 72 (7): 4871-4877. Zabel, R. A. dan Morrell, J. J., 1992. Wood Microbiology : Decay and Its Prevention. Academic Press Inc. New York.
64
KOLABORASI ILMIAH DI PERGURUAN TINGGI DAN LEMBAGA PENELITIAN SEBAGAI PENGUNGKIT INOVASI DI INDUSTRI BERBASIS ILMU PENGETAHUAN (SCIENCEBASED INDUSTRY): STUDI KASUS PENGEMBANGAN INOVASI MEDIS BERBASIS SEL PUNCA DAN REKAYASA BIOLOGI Kusnandar1, Sigit Setiawan2, Radot Manalu3, Dini Oktaviyanti4, Trina Fizzanty5 Pusat Penelitian Perkembangan Iptek (PAPPIPTEK)-LIPI Email:
[email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Keterkaitan ilmuwan di perguruan tinggi dan lembaga litbang dengan industri adalah sebuah keniscayaan untuk mendorong munculnya inovasi industri, bahkan juga pada pengembangan inovasi industri berbasis ilmu pengetahuan (dicirikan oleh peran intensif litbang). Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, dengan sumberdaya riset terbatas dan minimnya investasi litbang oleh industri, ternyata inovasi industri berbasis ilmu pengetahuan ini bisa muncul. Fenomena ini diungkapkan berdasarkan kajian studi kasus pada pengembangan inovasi industri medis (tulang dan jaringan pada manusia) berbasis riset sel punca (stem cell) dan pengembangan bio-engineering di Indonesia. Data diperoleh dari wawancara mendalam dengan sejumlah ilmuwan stem cell di universitas, bio-engineering di lembaga riset publik, dan kalangan medis di rumah sakit serta industri kesehatan di Indonesia dan hasil penelitian menunjukkan bahwa kolaborasi ilmiah telah berperan penting dalam meningkatkan kompetensi para ilmuwan Indonesia di bidang stem cell dan biomaterial yang menjadi dasar bagi pengembangan inovasi industri medis (tulang dan jaringan). Kompetensi para pelaku Iptek terbangun dari hasil proses interaksi yang panjang, dinamis, dan kompleks karena melibatkan banyak pelakupelaku Iptek, yakni perguruan tinggi dan lembaga penelitian di Indonesia dan mitra di negara lain. Inovasi industri medis tersebut didukung oleh uji pre-klinis dan klinis di sejumlah rumah sakit di Indonesia sehingga menjadi daya tarik bagi perusahaan farmasi lokal untuk melakukan investasi pada industri rumah sakit bagi pengembangan inovasi ini pada skala industri (scale-up). Belajar dari pengembangan inovasi industri medis ini, diperoleh sejumlah pelajaran penting bagi penguatan inovasi berbasis ilmu pengetahuan ini di Indonesia. Kata kunci: kolaborasi ilmiah internasional, inovasi industri berbasis pengetahuan, stem cell, bio engineering, medis, Indonesia
1. PENDAHULUAN Isu keterkaitan akademisi dan industri telah menjadi perhatian di berbagai negara dalam beberapa dekade terakhir ini. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kebijakan yang dilakukan oleh beberapa negara untuk mendorong keterkaitan tersebut. Seperti di Amerika Serikat, melalui beberapa programnya, pemerintah mendorong perguruan tinggi untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan inovasi pada wilayah dimana perguruan tinggi tersebut berada. Hal yang sama juga terjadi di negara Eropa, Jepang dan beberapa negara maju lainnya (Youtie and Shapira, 2008). Keterkaitan antara akademisi dan industri juga menjadi perhatian negara berkembang seperti China. Perguruan tinggi di China didorong untuk mendirikan unit bisnis dalam rangka mengkomersialisasikan iptek yang dihasilkan. Dari hasil kebijakan tersebut beberapa perusahaan elektronik dengan pangsa pasar terbesar seperti Lenovo, Founder, dan Tongfang adalah perusahaan yang awalnya didirikan oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian, yaitu Peking University, Tsinghua University dan Chinese Academic of Sciences (Eun, et al., 2006). Kolaborasi antara akademisi dan industri di negara maju dan beberapa negara berkembang seperti China, saat ini telah berhasil meningkatkan inovasi yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, hal tersebut sangat berbeda dengan negara berkembang lainnya seperti Indonesia. Hasil-hasil penelitian dari perguruan tinggi dan lembaga penelitian masih belum maksimal berkontribusi pada inovasi di industri. Masalah keterkaitan 65
akademisi dan industri, sebenarnya telah menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Dalam dokumen tersebut terdapat program penguatan iptek untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis inovasi. Tidak hanya itu saja, pemerintah pun bertanggung jawab untuk memberikan dukungan bagi perguruan tinggi dan lembaga litbang dalam rangka kerja sama internasional di bidang iptek. Kerja sama yang dilaksanakan haruslah saling menguntungkan dengan tidak merugikan kepentingan nasional, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002. Salah satu syarat susksesnya kerja sama akademisi dan industri dalam mencapai inovasi adalah kapasitas dari masing-masing aktor, termasuk kapasitas akademisi dalam menghasilkan iptek yang dibutuhkan oleh industri dalam rangka memenuhi tuntutan pasar. Banyak strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapasitas iptek, salah satunya adalah kolaborasi ilmiah internasional (Schubert & Sooryamoorthy, 2010). Hal tersebut diperkuat oleh beberapa kajian yang menunjukkan bahwa kolaborasi ilmiah internasional dapat meningkatkan output baik yang bersifat ilmiah seperti publikasi internasional maupun produk inovasi (Sooryamoorthy, 2009; Veugelers, 2010; Katerndahl, 2012; Kim and Park, 2008; Van Riejnsoever & Hessels, 2011). Kajian mengenai keterkaitan akademisi dengan industri telah banyak dilakukan. Eun, et all (2006) dan Fiaz (2013) mengkaji bagaimana perguruan tinggi dan lembaga penelitian di China dalam mengkomersialisasikan hasil risetnya dan berkolaborasi dengan industri, Youtie and Shapira (2008) menerangkan evolusi peran perguruan tinggi dari yang hanya melakukan riset dan pendidikan secara konvensional menjadi pendukung inovasi. Selain itu, Siegel, et al., (2004), Gilsing, et al., (2011), dan Fiaz (2013) menjelaskan mengenai transfer teknologi dari akademisi ke industri. Kajian-kajian tersebut lebih menitikberatkan bagaimana suatu institusi akademik dapat berperan dalam inovasi di industri, tetapi bagaimana institusi akademik dapat meningkatkan kapasitas iptek melalui kolaborasi ilmiah internasinal dan dapat berkontribusi sebagai pengungkit inovasi di industri, khususnya industri berbasis ilmu pengetahuan (sciencebased industry). Inovasi berbasis ilmu pengetahuan dicirikan dengan penggunaan komersial dari knowledge yang umumnya merupakan sesuatu yang terkini yang dihasilkan dari kegiatan penelitian dan pengembangan (Coriat, et al., 2003). Makalah ini akan membahas bagaimana kolaborasi ilmiah dapat menjadi pengungkit inovasi di industri berbasis ilmu pengetahuan. Kajian mengambil studi kasus pada pengembangan stem cell yang melibatkan satu perguruan tinggi yaitu Universitas Airlangga, satu lembaga penelitian dan pengembangan yaitu Badan Atom Nasional (Batan), satu industri manufaktur yaitu PT Kimia Farma (Persero) Tbk. dan satu rumah sakit yaitu RS Dr. Soetomo. 2. KAJIAN PUSTAKA 2.1.
Kolaborasi Ilmiah Kolaborasi ilmiah merupakan hal yang menyangkut perilaku manusia, antara dua atau lebih ilmuwan, dimana terjadi pertukaran pengetahuan dalam penyelesaian tugas yang dibagi secara bersama untuk mencapai sasaran (Sonnewald, 2007). Sementara itu, Katz and Martin (1997) memberikan batasan kolaborasi riset dengan lebih luas lagi, yaitu tidak hanya menyangkut pencapaian sasaran tetapi juga kontribusi input. Batasan mengenai kolaborasi riset mengacu pada Katz and Martin (1997), yaitu seseorang atau institusi yang mecakup 1) bekerja sama dalam proyek penelitian baik dalam keseluruhan waktu ataupun hanya sebagian dari waktu yang ada,ataupun orang-orang yang memberikan kontribusi secara keseluruhan ataupun hanya sebagian; 2) namanya terdapat dalam proposal penelitian; 3) bertanggung jawab terhadap satu ataupun lebih dari elemen penelitian (misalnya terhadap elemen dari desain penelitian, analisis dan interpretasi data, atau yang bertanggungjawab terhadap hasil akhir penelitian); 4) bertanggung jawab terhadap setiap kunci tingkatan (misalnya: ide asli penelitian, hipotesis); dan 5) Pengusul proyek dan/atau penggalangdana. 66
2.2.
Evolusi Peran Perguruan Tinggi Youtie and Shapira (2008) membagi evolusi peran perguruan tinggi menjadi tiga tahapan (Gambar 1). Pada mode pertama atau disebut mode tradisional, perguruan tinggi berperan sebagai akumulator pengetahuan. Pada tahap ini universitas memiliki jarak yang sangat jauh dengan masyarakat bahkan dianggap kaum sangat elit. Tahapan berikutnya adalah perguruan tinggi sebagai ‘knowledge factory”. Tahapan ini terjadi setelah Perang Dunia II yang ditandai dengan pertumbuhan industri dengan produksi massal (mass production). Pada tahapan ini perguruan tinggi banyak melakukan penelitian untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pelatihan teknis pada mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan industri. Tahap tiga dari evolusi peran perguruan tinggi adalah “knowledge hub”. Tahapan tersebut terjadi saat ini dimana kondisi ekonomi lebih digerakan oleh ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi. Pada tahapan ini perguruan tinggi dituntut untuk terlibat langsung dalam sistem inovasi dan aktif berinteraksi untuk dapat mengaitkan penelitian dengan aplikasi dan komersialisasi. Tahap 2 Tahap 1
Tahap 3 “Knowledge hub”
Knowledge factory Storehouse of knowledge Economic context Craft Production University is clerical or elitist “above society”
Economic context Industrial mass production University is “supplier” of inputs and outputs, a technology developer
Economic context Post-industrial age, knowledge-driven University: integrated institution in an intelligent region. Promotes indigenous development, new capabilities
Gambar 1 Evolusi Peran Perguruan Tinggi (Youtie and Shapira, 2008) Dalam perkembangannya, integrasi antara perguruan tinggi dengan dunia industri kemudian melahirkan konsep ‘triple helix” (Eun, et al., 2006), yaitu interaksi antara akademisi, industri, dan pemerintah yang merupakan faktor kunci dalam inovasi dan pembangunan pada era ekonomi berbasis pengetahuan (Etzkowitz, 2008). Akan tetapi tidak semua ilmuwan setuju dengan konsep kedekatan akademisi dengan industri, beberapa ilmuwan menentang hal tesebut dan menyatakan bahwa kebijakan jangka pendek untuk merubah sumber daya menjadi aplikasi komersial dari ilmu pengetahuan akan merusak kapasitas negara dalam mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan (Eun, et al., 2006). 2.3.
Peran Akademisi dalam Transfer Iptek Terdapat beberapa cara bagi akademisi berperan dalam transfer iptek pada industri untuk menciptakan inovasi. Dalam kerangka yang dibangun oleh Eun, et al. (2006) terdapat dua dimensi, pertama secara vertikal menggambarkan apakah akademisi memiliki peran dalam entrepreneurial atau tidak. Dimensi kedua secara horizontal, menggambarkan cara yang dipilih akademisi apakah lebih hierarki atau diserahkan ke pasar (Gambar 2). Secara vertikal peran akademisi mulai dari hanya sebagai tempat proses belajar, kemudian ke atas ditambah dengan peran penelitian, dan yang paling atas sudah dapat berperan dalam entrepreneurial dari hasil penelitian yang dilakukan. Secara horizontal, ketika akan melakukan transfer iptek, apabila baru berupa ilmu dasar maka hanya dapat dilakukan melalui conference. Ketika sudah ada yang berpotensi untuk diaplikasikan, akademisi dapat memilih apakah diserahkan pada pasar dengan mekanisme paten, lisensi atau penjualan teknologi. Cara lain adalah dengan membangun sendiri lingkungan industri dengan mekanisme science park, incubator, spin-off aray university run entreprise (Eun, et al., 2006). 67
More Entrepreneurial Univ, Run Enterprise
Entrepreneural Univ. Patent license
in Sp
f - of
Research Univ.
Joint research
Incubator
nc
ep
a rk
Hierarchical
ie Sc Market-like
Historically formed social conttract
Tech Sales
Joint research Center More applied
Joint Conference
Education More pedagogical
Teaching Univ.
Less Entrepreneurial Efficiency concideration
Sumber: Eun, et al. (2006) Gambar 2 Kerangka Peran Akademisi Dalam Transfer Iptek 2.4.
Industri Berbasis Ilmu Pengetahuan Industri berbasis ilmu pengetahuan dicirikan dengan kuatnya ketergantungan industri pada hasil-hasil penelitian. Peran akademisi dalam industri ini sangat besar, karena membutuhkan pengetahuan dasar dengan nilai ilmiah yang tinggi (Gilsing, et al., 2011). Contoh dari industri berbasis ilmu pengetahuan misalnya industri pesawat luar angkasa, pesawat terbang, robotik, bioteknologi, industri kimia, dan farmasi (Niosi, 2000). Aktivitas pengembangan produk pada industri berbasil ilmu pengetahuan dilakukan melalui proses penelitian dan pengembangan. Aktivitas tersebut dapat dilakukan secara mandiri di dalam perusahaan atau berkolaborasi dengan pihak perguruan tinggi atau lembaga penelitian (Niosi, 2000). 2.5.
Stem Cell dan Biomaterial Stemcell atau sel punca adalah satu tipe sel yang belum terspesialisasi dan dapat berkembang menjadi tipe sel tertentu. Proses pembentukan sel punca menjadi satu tipe sel disebut diferensiasi. Dan sekali proses diferensiasi berjalan, maka sel punca tidak dapat berubah menjadi sel tipe lain (University of Wiscosin-Madison, 2008) Untuk menempatkan sel punca atau sel pengganti dalam tubuh manusia, maka seringkali dibutuhkan biomaterial yang dapat mendukung pembentukan jaringan secara 3 dimensi yang biasa disebut scaffold. Scaffold dapat berupa gel, lembaran atau hanya berupa cairan pendukung (dalam percobaan in vitro di lab) (Leor, et al., 2005). Scaffold merupakan biomaterial karena digunakan dalam jaringan tubuh manusia. Dalam penggunaan di tubuh manusia atau di jaringan (in vivo), sel punca ditempatkan dalam jaringan dengan bantuan scaffold. Keduanya ditempatkan pada luka parut di jaringan (Leor, et al., 2005) (Gambar 3).
68
Sumber: Leor, et al. (2005) Gambar 3 Struktur Stem Cell 3. METODOLOGI Kajian ini menggunakan metode kualitatif dengan satu studi kasus mengenai pengembangan stem cell dan biomaterial yang dihasilkan dari kolaborasi ilmiah. Aktor utama dari kolaborasi tersebut adalah Universitas Airlangga (Unair), RS Dr. Soetomo, Badan Tenaga Atom Nasional (Batan), dan PT Kimia Farma (Persero) Tbk. Masing-masing aktor tersebut memiliki kolaborasi ilmiah dengan berbagai institusi internasional. Data dan informasi didapatkan melalui wawancara mendalam dengan para aktor terkait dan dilengkapi dengan dokumen-dokumen pendukung. Untuk mengidentifikasi para pelaku terkait lainnya, dilakukan dengan teknik snow ball. Wawancara pertama dilakukan pada peneliti di Unair yang menjadi koordinator pengembangan stem cell, dari hasil wawancara tersebut didapatkan informasi keterkaitan dengan RS Dr Soetomo, Batan dan PT Kimia Farma (Persero) Tbk. Kemudian dilakukan wawancara dengan personil yang terlibat dengan pengembangan stem cell di institusi tersebut. Untuk satu institusi wawancara dilakukan satu sampai dua kali untuk mendapatkan informasi yang mendalam dan komprehensif. Data dan informasi yang dihasilkan kemudian dianalisis bagaimana latar belakang aktor dapat terlibat dan peran masing-masing aktor, serta bagaimana kolaborasi ilmiah yang terjadi dapat menjadi pengungkit inovasi di sektor medis. 4. HASIL 4.1.
Latar Belakang dan Keterkaitan Aktor dalam Pengembangan Stem Cell dan Biomaterial 4.1.1. Pengembangan Stem Cell dan Biomaterial di Unair Pengembangan stem cell dan biomaterial di Unair berawal dari seorang staf yang menyelesaikan studi S3 mengenai stem cell di Jerman pada tahun 1987. Ketika kembali ke Unair, staf tersebut memperkenalkan teknologi stem cell di lingkungan Unair. Karena teknologi tersebut merupakan teknologi baru, bahkan di tingkat internasional masih dalam tahap pengembangan, sehingga memerlukan waktu cukup lama bisa diterima di lingkungan Unair. Titik masuk yang dilakukan oleh staf Unair dalam pengembangan teknologi stem cell adalah melalui kegiatan penelitian untuk desertasi yang dilakukan oleh mahasiswa S3. Selain itu, juga dilakukan kerja sama yang terintegerasi dengan RS Dr. Soetomo. Kerja sama tersebut terutama dalam hal pengembangan biomaterial untuk struktur buatan sebagai tempat tumbuh sel atau biasa disebut scaffold. Kerja sama dengan RS Dr Soetomo dalam hal pengembangan biomaterial sudah dimulai sejak sekitar tahun 1994. Karena RS Dr Soetomo merupakan rekanan dari Unair terutama dalam pendidikan ilmu kedokteran, maka hubungan di antara kedua institusi tersebut 69
sangat erat dan sudah berlangsung sejak lama, bahkan beberapa staf Unair juga merupakan dokter di RS Dr Soetomo. Hal tersebut berdampak pada kerja sama pengembangan biomaterial yang dilakukan dengan intensif secara bersama-sama yang didukung oleh kedekatan geografis, maka aliran informasi terjadi secara seimbang. Feedback informasi dari kedua belah pihak berlangsung lancar sehingga dapat direspon dengan cepat. Berkembangnya riset stem cell yang didukung oleh kerja sama dengan RS Dr Soetomo, membuat ketertarikan akan bidang stem cell di lingkungan Unair semakin meningkat. Akhirnya setelah lebih dari 20 tahun saat pertama kali diperkenalkan, pada tahun 2008 terbentuklah kelompok penelitian stem cell di lingkungan Unair, tepatnya menjadi bagian dari Lembaga Penyakit Tropis (LPT) Unair. Pembentukan kelompok tersebut juga ditandai dengan kesuksesan pertama kali dilakukan kultur stem cell di Unair, yang kemudian pada tahun yang sama berhasil diaplikasikan ke manusia di RS Dr Soetomo. Dalam perkembangannya, kelompok tersebut aktif memperluas jaringan kerja sama pada tingkat internasional. Pada tahun 2010 dijalin kerja sama dengan Melbourne University dalam hal teknologi sel. Kerja sama internasional juga dijalin untuk meningkatkan teknologi biomaterial, kerja sama tersebut dijalin dengan Leed University, Hiroshima University, dan salah satu institusi di Malaysia dan Sigapura. Kerja sama di bidang teknologi material juga melibatkan RS Dr Soetmomo. Kerja sama tersebut penting dilakukan karena mengingat biomaterial yang saat ini masih tergantung dari jasad manusia ketersediaannya sudah sangat terbatas, sehingga dilakukan pengembangan, baik yang alami dari hewan seperti sapi, serta tumbuhan, juga dari bahan yang bersifat sintesis. 4.1.2. Pengembangan Stem Cell dan Biomaterial di RS. Dr. Soetomo Pada tahun 1990, RS Dr. Soetomo berkomitmen mengembangan biomaterial dengan mendirikan Bank Tulang (Bone Bank). Bank Tulang tersebut didirikan sebagai tempat untuk mengumpulkan, memproses, mengawetkan, mensterilkan, dan menyimpan biomaterial tulang yang nantinya akan berguna untuk penyembuhan penyakit pasien. Pasa saat RS Dr. Soetomo memiliki program pengembangan teknologi biomaterial, Batan sebagai badan penelitian dan pengembangan tenaga nuklir nasional menawarkan program pelatihan yang dibiayai oleh IAEA (International Atomic Energy Agency). Pelatihan tersebut dilakukan oleh National University Hospital di Singapura. Kemudian pihak RS Dr. Soetomo mengirimkan beberapa stafnya untuk mengkuti program tersebut, bahkan dilanjutkan dengan pelatihan beberapa bulan di Batan untuk aplikasi sterilisasi biomaterial dengan teknik radiasi. Setelah itu, pada tahun 2000, Bank Tulang RS Dr Soetomo berubah menjadi Pusat Biomaterial, sehingga yang diproses tidak hanya biomaterial tulang, tetapi berbagai biomaterial lainnya seperti kulit, tendon, jaringan amnion, dan lain-lain. Perkembangan teknologi biomaterial di RS Dr. Soetomo disatukan dengan penelitian teknologi sel di Unair untuk menghasilkan teknologi stem cell. Hasil kerja sama tersebut membuahkan hasil pada tahun 2008, yaitu pertamakalinya dilakukan pengobatan dengan teknologi stem cell pada manusia di RS Dr. Soetomo. Keberhasilan tersebut diikuti oleh aplikasi-aplikasi stem cell berikutnya. Sampai pada ditulisnya laporan ini, jumlah pasien yang berhasil diobati dengan teknologi stem cell di RS Dr. Soetomo sebanyak 18 pasien. Biaya yang tinggi diakui masih menjadi penghambat dalam perkembangan aplikasi teknologi stem cell pada pasien. Setelah berhasil melakukan aplikasi stem cell pada pasien pertama kali,pihak RS Dr. Soetomo terus melakukan pengembangan teknologi biomaterial. Hal tersebut dilakukan melalui kerja sama dengan pihak-pihak internasional yang juga diikuti oleh peneliti dari Unair. Kerja sama teknologi biomaterial dilakukan dengan institusi yang kompetensinya telah diakui oleh internasional, seperti Leeds University, Hiroshima University, serta institusi dari Malaysia dan Singapura.
70
4.1.3. Pengembangan Biomaterial di Batan Batan merupakan lembaga penelitian dan pengembangan yang bertugas melakukan kajian dalam pemanfaatan nuklir untuk energi dan kepentingan manusia lainnya. Energi nuklir merupakan sumber energi yang dianggap berbahaya, maka dalam aktivitasnya berada di bawah pengawasan badan internasional yaitu IAEA (International Atomic Energy Agency). IAEA juga aktif menjalankan beberapa program untuk peningkatan pemanfaatan energi nuklir untuk kehidupan manusia. Sebelum tahun 1990, Batan mulai mengembangkan teknologi biomaterial untuk kesehatan dengan melakukan kajian bekerja sama dengan RS Cipto Mangunkusomo Jakarta untuk pengujian amnion. Amnion merupakan pembungkus bayi yang berguna bagi penyembuhan luka. Sebelumnya, Batan memanfaatkan nuklir di bidang kesehatan lebih banyak untuk sterilisasi alat-alat kesehatan. Pada tahun 1990, terdapat program dari IAEA untuk pengembangan aplikasi radiasi untuk biomaterial. Dalam program tersebut terdapat program pelatihan yang dilaksanakan oleh National University Hospital of Singapore. Hal tersebut tidak terlepas dari perkembangan di dunia internasional dalam hal teknologi biomaterial untuk kesehatan. Hasil training yang dilakukan melalui program IAEA kemudian disosialisasikan oleh Batan kepada beberapa rumah sakit di dalam negeri. Tidak semua rumah sakit menanggapi positif teknologi tersebut, karena teknologi tersebut masih baru sehingga banyak pimpinan rumah sakit yang tidak berani mengambil resiko. Dalam program training dari IAEA, Batan juga mengajak beberapa staf dari beberapa rumah sakit yang tertarik, kemudian diajak untuk menjalin kerja sama dalam pengembangan biomaterial. Dari beberapa rumah sakit tersebut yang paling tertarik dalam pengembangan biomaterial adalah RS Dr. Soetomo. Selain dengan rumah sakit, Batan juga bekerja sama dengan industri farmasi yaitu PT Kimia Farma (Persero) Tbk. dalam pengembangan biomaterial. Kerja sama tersebut terjalin pada sekitar tahun 2009. 4.1.4. Pengembangan Stem Cell & Biomaterial di PT Kimia Farma (Persero) Tbk. PT Kimia Farma (Persero) Tbk. mulai masuk pada bisnis biomaterial sekitar tahun 2008. Hal tersebut diawali dari berubahnya visi perusahaan untuk memproduksi produk-produk bioteknologi yang dapat menguasai pasar. Kerja sama yang pertama dalam hal biomaterial dilakukan dengan RS Pertamina dalam pengembangan sel kulit untuk luka bakar. Dalam pengembangan tersebut, PT Kimia Farma mendapatkan bantuan teknis dari Singapore General Hospital. Akan tetapi kerja sama dengan RS Pertamina tersebut terhambat dan akhirnya berhenti. Pada saat yang sama PT Kimia Farma juga bekerja sama dengan RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dalam pengembangan stem cell. Pada saat itu, RSCM ditunjuk oleh pemerintah sebagai pusat pengembangan stem cell. Dalam kerja sama tersebut juga terlibat lembaga internasional yaitu CellSafe dari Malaysia untuk mengembangkan Bank Sel di Indonesia. Dalam pengembangan biomaterial, PT Kimia Farma terus mengembangkan jarigan kerja sama, salah satunya dengan Batan dalam produk radioisotof. Dalam hal teknologi stem cell, walaupun pemerintah telah menetapkan RSCM sebagai pusat stem cell, tetapi perkembangannya lebih pesat di RS Dr Soetomo Surabaya, bahkan telah berhasil melakukan aplikasi pada manusia. Oleh karena itu, pada tahun 2011 dijalin kerja sama antara PT Kimia Farma dengan RS Dr. Soetomo. Dalam kerja sama tersebut disepakati, bahwa PT Kimia Farma menyediakan peralatan untuk scale up produksi biomaterial, karena sampai saat ini yang diproduksi oleh RS Dr Soetomo masih dalam skala laboratorium. Berdasarkan deskripsi di atas, maka latar belakang dan keterkaitan aktor pada terbentuknya kerja sama antara Unair, RS Dr. Soetomo, Batan, dan PT Kimia Farma dalam pengembangan teknologi Stem Cell dapat digambarkan dalam Chronological Order seperti yang disajikan pada Gambar 4.
71
Terbentuk kelompok penelitian Stem Cell Staff Unair Selesai PhD di bidang Stem Cell Unair
1987
Memperkenalkan dan mengembangkan penelitian Stem Cell di lingkungan Unair Mengembangkan kajian mengenai Biomaterial 1988
2008
Mulai Mengemba ngkan aplikasi biomaterial
Mendirikan Bone Bank
RS Dr. Soetomo
Batan
Riset Amniom. Uji amniom dgn RSCM
2000
Training aplikasi radiosotop pada biomaterial di Batan
2008
Kimia Farma memiliki visi untuk mengembanga n biomaterial
Kimia Farma Kajian aplikasi radioisotop untuk Biomaterial dan sosialisasi ke rumah sakit di Indonesia Program dari International Atomic Energy Agency (IAEA), pengembangan radioisotop untuk biomaterial. Termasuk program training dgn General Hospital of Singapore
1990
2010
1992
2013 Kerjasama dengan Hiroshima dan Leeds, Singapura dan Malaysia dalam pengembangan Biomaterial
Aplikasi Stem Berubah Mengembang Cell ke Manusia menjadi kan aplikasi pertamakali Pusat biomaterial Biomaterial skala lab
1990
Training Biomaterial di GHS Program IAEA dengan BATAN
Kajian aplikasi radioisotop untuk sterilisasi alat kesehatan
Isolasi dan kultur stem cell pertama kali
Kerjasama dengan Melbourne University untuk teknologi sel
2010
Kerjasama dgn Pertamina tp berhenti. Kemudian dengan RSCM dan CellSafe Malaysia membangun Bank Sel
18 pasien menggunapan teknologi stem cell
2013
Terjalin kesepakatan: kimia farma menyediakan peralatan untuk memproduksi biomaterial, RS Soetomo menyediakan ruangan 2011
Batan kerjasama dgn KF Melanjutkan kajian dan menjalin kerjasama dengan rumah sakit 2009
2010
Pengembangan untuk tulang kerjasama dgn Fatmawati tapi penerapan pertamakali di RS Siaga Raya Pejanten
Sumber: Dikonstruksi oleh Penulis Gambar 4 Chronological Order Kerja sama Pengembangan Stem Cell Antara Unair, RS Dr.Soetomo, Batan, dan PT Kimia Farma 4.2.
Peran Tiap Aktor dalam Pengembangan Stem Cell Keberhasilan teknologi stem cell diaplikasikan di RS Dr. Soetomo merupakan hasil kolaborasi dari berbagai aktor. Berdasarkan statusnya, aktor yang terlibat terdiri dari perguruan tinggi, lembaga litbang, dan industri. Sementara itu berdasarkan geografis, aktor yang terlibat terdiri dari insititusi nasional dan internasional. Aktor-aktor yang terlibat memiliki peran yang berbeda sesuai dengan kompetensinya (Gambar 5). Unair merupakan aktor pelopor yang memperkenalkan teknologi stem cell dan meyakinkan pada aktor lain bahwa teknologi tersebut dapat dikuasai dan diaplikasikan di Indonesia. Sebagai akademisi, Unair berperan dalam riset dasar di bidang teknologi sel dan biomaterial untuk stem cell. Selain itu, Unair juga berperan dalam hal sosialisasi dan edukasi teknologi stem cell melalui pendidikan S3. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa S3 di bawah bimbingan staf Unair berperan penting dalam peningkatan riset dasar stem cell di unair. Peran RS Dr Soetomo dalam pengembangan stem cell sangat penting karena berperan sebagai institusi yang mentransfomasikan hasil-hasil penelitian dasar dari Unair menjadi teknologi yang dapat diaplikasikan. Proses transformasi tersebut bukan merupakan hal yang mudah dan sederhana, tetapi memerlukan kajian mendalam dan biaya yang cukup tinggi, karena teknologi yang diaplikasikan termasuk teknologi tinggi. Selain itu, teknologi di bidang medis yang berhubungan langsung dengan manusia memiliki resiko yang cukup tinggi. Oleh karena itu diperlukan keberanian dari pimpinan institusi untuk mendukung program tersebut. Dalam aktivitasnya, peneliti Unair dan RS Dr Soetomo melakukan penelitian dan pengembangan secara bersama dengan membentuk kelompok penelitian stem cell. Walaupun secara formal kelompok penelitian baru terbentuk tahun 2008, akan tetapi secara non formal kajian bersama stem cell telah dilakukan sebelum tahun 2000. RS Dr. Soetomo lebih berperan dalam pengembangan biomaterial dan aplikasi uji klinis stem cell.
72
More Entrepreneurial
Entrepreneural.
RS Dr Soetomo
Dukungan peralatan untuk scale up produksi biomaterial PT Kmia Farma
Donor Research
IAEA
National University Hospital
Teaching.
Peningkatan kapasitas
Edukasi aplikasi radiasi untuk pengembangan biomaterial
Keterangan: Aktor dalam negeri Aktor luar negeri
Riset dan Pengembangan
Peningkatan kapasitas
Hiroshima Univ.
Pusat Riset Stem Cell
Leeds Univ. Malasyia & Singapore
Batan
Melbour ne Univ.
Sosialisasi dan edukasi aplikasi radiasi untuk pengembangan biomaterial
Unair
Univ. di Jerman
Peningkatan kapasitas melalui pendidikan formal di bidang stem cell
Peningkatan kapasitas di bidang bank sel melalui kolaborasi bisnis CellShafe Malaysia
Peningkatan kapasitas melalui kolaborasi ilmiah di bidang biomaterial
Pengembangan biomaterial dan aplikasi stem cell
Peningkatan kapasitas melalui kolaborasi ilmiah di bidang teknologi sel
Penelitian dasar stem cell dan biomaterial, serta edukasi melalui pendidikan formal S3
Less Entrepreneurial
Sumber: Dikonstruksi oleh Penulis Gambar 5 Peran Tiap Aktor dalam Pengembangan Teknologi Stem Cell Batan merupakan lembaga penelitian dan pengembangan yang memiliki kompetensi berbeda dengan dengan dua aktor sebelumnya. Batan memiliki kompetensi dalam bidang teknik radiasi tenaga nuklir untuk berbagai kepentingan yang salah satu aplikasinya adalah untuk biomaterial yang dapat dimanfaatkan untuk kesehatan. Dalam pengembangan stem cell ini Batan berperan dalam sosialisasi dan edukasi aplikasi radiasi untuk biomaterial. Sosialisasi yang dilakukan pada berbagai rumah sakit di dalam negeri membuahkan hasil dengan tertariknya RS Dr Soetomo untuk mengembangkan teknik tersebut. Batan juga berperan memfasilitasi staf RS Dr Soetomo untuk mendapatkan pelatihan dari National University Hospital Singapore, yang dilanjutkan dengan pelatihan oleh institusi Batan sendiri. Peran pelatihan tersebut sangat penting bagi perkembangan teknologi biomaterial di RS Dr Soetomo, yang mendukung aplikasi teknologi stem cell, karena dalam teknologi stem cell memerlukan biomaterial yang baik agar sel dapat tumbuh dengan efektif. Perkembangan teknologi biomaterial dan stem cell di RS Dr Soetomo menimbulkan ketertarikan industri farmasi nasional. Salah satu industri farmasi yang tertarik adalah PT Kimia Farma yang sebelumnya telah memiliki pengalaman kerja sama dalam hal biomaterial dan teknologi sel baik dengan rumah sakit dalam negeri lainnya, maupun dengan institusi internasional. Dengan kapasitas yang telah dimiliki dan melihat perkembangan potensi pasar, PT Kimia Farma bersedia berperan dalam scale up produksi biomaterial untuk stem cell (scaffold). Saat ini produksi scaffold di RS Dr Soetomo masih terbatas pada skala lab sehingga dalam hal biaya tidak efisien. Dalam perencanaan ke depan, PT Kimia Farma akan menyediakan peralatan produksi scaffold untuk digunakan oleh RS Dr Soetomo dalam skala besar. Selain aktor dalam negeri yang berperan dalam pengembangan teknologi stem cell, aktor internasional juga memiliki peran yang sangat penting. Aktor-aktor internasional tersebut berperan melalui kolaborasi ilmiah dengan aktor-aktor di Indonesia. Institusi internasional pertama yang beperan adalah perguruan tinggi tempat staf Unair menyelesaikan pendidikan S3 di Jerman. Pendidikan formal dan penelitian akhir yang dilakukan menjadikan staf Unair memiliki kompetensi di bidang stem cell, yang kemudian kompetensi tersebut terus dikembangkan di Indonesia. 73
Institusi internasional berikutnya yang memiliki peran cukup besar adalah IAEA dan National University Hospital of Singapore yang berperan dalam capacity building peneliti Indonesia di bidang aplikasi radiasi untuk biomaterial. IAEA memfasilitasi dan memberi dukungan dana serta menunjuk National University Hospital of Singapore sebagai trainer dalam program pelatihan pemanfaatan radiasi untuk biomaterial bagi institusi anggotanya, termasuk Batan. Program dalam jangka waktu yang panjang tersebut tidak hanya meningkatkan kapasitas Batan, tetapi juga membuka kesempatan bagi institusi lain di Indonesia untuk berpartisipasi dalam training. Hal tersebut berdampak pada menyebarnya ilmu aplikasi radiasi untuk biomaterial yang dapat dimanfaatkan dengan baik oleh RS Dr Soetomo dan Unair dalam pengembangan stem cell. Pengembangan stem cell yang dilakukan oleh Unair dan RS Dr Soetomo tidak berhenti hanya sampai teknologi tersebut berhasil diaplikasikan pada manusia. Kedua aktor tersebut terus melakukan pengembangan melalui kolaborasi ilmiah dengan insititusi internasional. Untuk teknologi sel, Unair bekerja sama dengan Melbounre University yang memiliki kompetensi di bidang sel multifungsi. Kemudian untuk teknologi biomaterial, dilakukan kerja sama dengan institusi yang memiliki kapasitas di bidang itu, yaitu Hiroshima University, Leed University, serta Institusi dari Malaysia dan Singapura. Kerja sama tersebut berperan dalam peningkatan teknologi dan kemampuan Unair dan RS Dr Soetomo dalam pengembangan stem cell.
5. PEMBAHASAN Kolaborasi antara empat aktor utama dalam pengembangan teknologi stem cell dan biomaterial di Indonesia, yaituUnair, RS Soetomo, Batan, dan PT Kimia Farma (Persero) Tbk., bukan merupakan kolaborasi yang dirancang dari awal oleh keempat aktor tersebut dengan tujuan tertentu. Akan tetapi kolaborasi yang terbentuk merupakan proses pengembangan network dari setiap aktor yang terlibat dalam jangka waktu yang panjang. Setiap aktor memiliki network masing-masing yang pada akhirnya saling terkait untuk mendukung pengembangan teknologi stem cell dan biomaterial. Keterlibatan setiap aktor dalam kolaborasi pengembangan teknologi stem cell dan biomaterial didasarkan pada kompetensi yang dimiliki masing-masing aktor. Kompetensi tersebut didapatkan dari kajian yang sebelumnya telah lama dilakukan serta hasil proses sharing knowledge dari kerja sama yang dilakukan oleh masing-masing aktor dengan berbagai institusi baik nasional maupun internasional. Unair sebagai lembaga perguruan tinggi telah berhasil meningkatkan perannya sebagai pendukung inovasi di industri medis, yang merupakan industri berbasis ilmu pengetahuan. Inovasi tersebut dihasilkan dari riset dasar dalam kurun waktu yang panjang. Dalam penyampaian teknologi pada pengguna, Unair memilih strategi membentuk kelompok riset bersama dengan RS Dr Soetomo. Riset bersama dengan menggunakan kerangka yang disusun Eun, et al. (2006) yang berada di tengah-tengah antara strategi hierarki atau membentuk usaha sendiri dengan diserahkan sepenuhnya pada pasar. Pemilihan strategi tersebut dilakukan karena pengembangan dari hasil riset menjadi inovasi di industri medis memerlukan waktu yang lama, biaya, dan resiko yang besar. Dengan keterbatasan pendanaan yang dimiliki oleh perguruan tinggi di negara berkembang, kerja sama dengan industri merupakan strategi yang paling tepat dalam pengembangan produk inovasi di bidang medis. RS Dr Soetomo sebagai industri pelayanan kesehatan, menyadari bahwa dalam perbaikan kualitas pelayanannya sangat tergantung pada iptek yang dihasilkan dari kegiatan penelitian para akademisi. Oleh karena itu, disamping pekerjaan pelayanan kesehatan, dilakukan juga kerja sama dengan berbagai lembaga akademisi untuk meningkatkan teknologi medis yang dikuasai. Dalam kebijakan pengembangan stem cell dan biomaterial diperlukan keberanian dalam menghadapi resiko, karena teknologi tersebut masih termasuk teknologi baru. Oleh karena itu peran pimpinan sangat penting dalam proses ini.
74
Faktor lain yang menentukan keberhasilan pengembangan inovasi pada teknologi stem cell dan biomaterial di Indonesia adalah integrasi multidisiplin ilmu. Selain kompetensi di bidang kesehatan, pengembangan stem cell, dan biomaterial juga memerlukan kompetensi bioengineering. Oleh karena itu, Batan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut mengambil peran yang sangat penting. Sementara itu, peran kolaborasi ilmiah internasional dalam pengembangan stem cell ini sangat menentukan dalam peningkatan kompetensi masing-masing aktor di Indonesia, dimana kompetensi stem cell berawal dari riset dalam pendidikan formal S3 di Jerman oleh staf Unair. Kompetensi teknologi biomaterial yang dimiliki oleh Batan didapatkan dari pelatihan National University Hospital of Singapore di bawah program IAEA. Kemudian Batan menjembatani RS Dr Soetomo untuk terlibat pada program tersebut, serta memberikan pelatihan sehingga RS Dr Soetomo memliki kompetensi di bidang teknologi biomaterial. Pengembangan kompetensi juga terus dilakukan setelah teknologi stem cell berhasil diaplikasikan melalui kerja sama kelompok riset stem cell dengan Melbourne University di bidang teknologi sel, serta kerja sama dengan Leed University, Hiroshima University, dan Malaysia dan Singapura untuk pengembangan teknologi biomaterial. Sementara itu, industri farmasi PT Kimia Farma (Persero) Tbk. mendapatkan kompetensi stem cell dan biomaterial dari kerja sama bisnis dengan CellSafe Malaysia 6. KESIMPULAN Kolaborasi ilmiah dalam pengembangan stem cell antara Unair, RS Dr Soetomo, Batan, dan PT Kimia Farma (Persero) Tbk. terbentuk dari proses pengembangan network masingmasing aktor yang didasarkan pada kompetensi yang dimiliki. Pengembangan riset bersama antara akademisi dan industri merupakan strategi yang paling tepat dilakukan untuk pengembangan inovasi produk medis yang memerlukan waktu yang lama, biaya yang besar, serta mengandung resiko yang tinggi. Dan, kolaborasi ilmiah internasional juga berperan penting dalam peningkatan kompetensi masing-masing aktor di Indonesia dalam pengembangan teknologi stem cell dan biomaterial. DAFTAR PUSTAKA Coriat, B., Orsi, F., Weinstein, O., 2003. Does biotech reflect a new science-based innovation regime? Industry and Innovation 10 (3), 231–253 Eun, J. H., K. Lee, G. Wu. Explaining the “University-run enterprises” in China: A theoretical framework for university–industry relationship in developing countries and its application to China. Research Policy 35 (2006) 1329–1346 Fiaz, M., 2013. An empirical study of university–industry R&D collaboration in China: Implications for technology in society. Technology in Society 35 (2013) 191–202 Gilsing, V., R. Bekkers, I. M. B. Freitas, M. van der Steen., 2011. Differences in technology transfer between science-based and development-based industries: Transfer mechanisms and barriers. Technovation 31 (2011) 638–647 Katerndahl, D., 2012. Evolution of the research collaboration network in a productive department. Journal of Evaluation in Clinical Practice vol. 18: Pp. 195-201. Kim, H. & Y. Park., 2008 The Impact of R&D Collaboration on nnovative Performance in Korea: A Bayesian Network Approach. Scientometrics vol 75 no. 3, Pp: 535-554 Katz, J.S., & B.R. Martin, 1997. What is research collaboration? Research Policy vol. 26: Pp 1-18 Leor, J., Amsalem, Y., & Cohen, S., 2005. Cells, scaffolds, and molecules for myocardial tissue engineering. Pharmacology & Therapeutics. 75
Niosi, J., 2000. Science-based industries: a new Schumpeterian taxonomy. Technology in Society 22 (2000): 429–444 Schubert, T and R. Sooryamoorthy, 2010. Can the centre–periphery model explain patterns of international scientific collaboration among threshold and industrialised countries? The case of South Africa and Germany, Scientometics vol. 83 (2010): 181-203 Sooryamoorthy, R., 2009. Collaboration and Publication: How collaborative are scientists in South Africa? Budapest Scientometics vol. 80 (2009): 421-441 Sonnenwald D.H., 2007. Scientific Collaboration. Annual Review of Information Science and Technology vol. 4: 643-81 University of Wiscosin-Madison. 2008. What is Stel Cell. Madison, USA. Vaugeler, R., 2010. Towards a multipolar science world: trends and impact., Scientometics vol. 82 (2010): 439-458 Van Rijnsoever, F.J. & Hessels, L.K., 2011. Factors associated with disciplinary and interdisciplinary research collaboration. Research Policy, 40 (3):463-472 Youtie, J. P.Shapira, 2006. Building an innovation hub: A case study of the transformation of university roles in regional technological and economic development. Research Policy 37 (2008) 1188–1204
76
TEKNO-METER PENGUKURAN TINGKAT KESIAPAN TEKNOLOGI: Suatu Upaya Mengurai Stagnasi Inovasi di Lembaga Litbang dan Penguatan Hubungan Pemasok-Pengguna Arwanto dan Kuncoro Budy Prayitno Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi Deputi Bidang Pengkajian Kebijakan Teknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Telp./ Fax 021 75791352 E-mail:
[email protected];
[email protected] ABSTRAK Tekno-Meter merupakan panduan umum yang memberikan gambaran tingkat kematangan sebuah teknologi secara universal. Tekno-Meter juga dapat diterapkan guna mengukur Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) dari satu jenis teknologi tertentu.Pengukuran TKT dapat disesuaikan untuk diterapkan baik secara spesifik atau generik, dengan memodifikasi perangkat kuesioner pengukuran karena setiap bidang teknologi tertentu mempunyai karakter yang berbeda antara satu teknologi dengan teknologi yang lain. Hasil penelitian, pengembangan, dan rekayasa (litbangyasa) dari Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Kerekayasaan (Lemlitbangyasa) belum banyak dimanfaatkan secara optimal oleh pihak pengguna. Permasalahan yang dihadapi lembaga Litbangyasa dalam kaitan pengembangan Inovasi dan Teknologi adalah (1) Tidak adanya ukuran kuantitatif terkait dengan kesiapan teknologi hasil riset, sehingga dokumentasi terukur mengenai hasil riset belum dilakukan. Sementara informasi mengenai track record pengembangan suatu teknologi sangat penting bagi perencanaan pengembangan riset lanjutan; (2) Belum ada bahasa komunikasi yang sama antara lembaga Litbang dan Industri mengenai tingkat kesiapan suatu hasil riset, sehingga menjadi penghambat dalam interaksi difusi teknologi; (3) Lemahnya hubungan antara lembaga Litbang dengan Industri dapat mengakibatkan terjadi “kelesuan” dalam berinovasi. Teknometer dapat mengatasi permasalahan di atas karena: (1) Perkembangan suatu riset dapat terukur secara kuantitatif; (2) Tersedia satu bahasa komunikasi yang terukur mengenai tingkat kesiapan teknologi, sehingga industri dapat menghitung resiko investasi terhadap adopsi teknologi, sehingga terjadi akselarasi adopsi hasil riset lembaga litbang oleh Industri; (3) Akselarasi adopsi teknologi atau hasil riset lembaga litbang oleh Industri akan mengakselarasi kegiatan litbang yang berorientasi inovasi. Diharapkan dengan pemanfaatan Tekno-Meter dapat mengurai stagnasi inovasi teknologi di Lembaga litbangyasa dan juga dapat memperkuat hubungan Pemasok-Pengguna (supply-demand). Kata kunci: tekno-meter, tingkat kesiapan teknologi, lemlitbangyasa, stagnasi inovasi, pengguna.
1.
pemasok,
PENDAHULUAN Teknologi merupakan salah satu faktor utama untuk kemajuan ekonomi dan inovasi merupakan kata kunci yang sangat penting dalam proses pembangunan ekonomi berbasis teknologi. Namun manfaat dari inovasi tidak akan pernah dapat dinikmati masyarakat apabila tanpa melalui suatu proses, yakni proses difusi teknologi yang merupakan proses dari penyebarluasan teknologi kepada suatu sistem sosial. Perkembangan inovasi, difusi, dan proses pembelajaran diyakini semakin menentukan produktivitas atau daya saing. Karena itu, penguatan sistem inovasi menjadi agenda yang sangat penting di banyak negara, termasuk Indonesia. Pada era globalisasi, dimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu dinamis, pembangunan sistem inovasi di suatu negara tidak mungkin lagi dilaksanakan secara terisolasi dan para pelakunya bekerja sendiri. Agar berhasil dalam pembangunan sistem inovasi, para pemangku kepentingan pembangunan sistem ini harus memegang dan mendorong perbaikan lima faktor yaitu keterkaitan (linkages), kemitraan (partnership), jejaring (networking), dan interaksi serta sinergi positif sebagai faktor kunci keberhasilan. Lima faktor ini menunjukkan bahwa keberhasilan inovasi sangat tergantung pada adanya interaksi yang efektif. Peran Lembaga Litbangyasa baik 77
di Perguruan Tinggi ataupun Industri dalam pelaksanaan berbagai kegiatan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan penguasaan dan pemanfaatan iptek guna mendukung pembangunan nasional, yang diharapkan akan memberikan dampak dalam peningkatan kemandirian, daya saing, dan kualitas kehidupan bangsa Indonesia. Permasalahan dalam program pengembangan litbangyasa dan pemanfaatan hasil riset dari sejumlah program dan kegiatan kerekayasaan yang dikembangkan oleh Lembaga Litbangyasa adalah : Seringkali tidak diketahui informasi secara terukur (kuantitatif) tentang kesiapan teknologi hasil litbangyasa yang dihasilkan Lemlitbang untuk diterapkan. Ini tentu saja membuat pihak lain yang ingin memanfaatkan hasil litbangyasa mengalami kesulitan untuk mengetahui potensi apa yang dimiliki lembaga litbang tersebut dan menghitung investasi yang diperlukan untuk penerapannya. Belum ada bahasa komunikasi yang sama antara lembaga Litbang dan Industri mengenai tingkat kesiapan suatu hasil riset, sehingga menjadi penghambat dalam interaksi difusi teknologi. Rendahnya interaksi di antara keduanya dan belum berkembangnya hubungan keterkaitan dan peran Lembaga Intermediasi yang terbatas. Hambatan pemanfaatan hasil riset dapat mengakibatkan terjadinya kelesuan dari lembaga litbang dalam melakukan penelitian dan inovasi. Oleh karena itu peningkatan pemanfaatan hasil riset diharapkan dapat memacu minat riset. Salah satu upaya yang dapat meningkatkan pemanfaatan hasil litbangyasa teknologi adalah memunculkan dan mendokumentasikan Tingkat Kematangan Teknologi atau Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) yang dihasilkan oleh Lemlitbangyasa secara terukur (kuantitatif).Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pengukuranTechnology Readiness Level (TRL) terhadap hasil rekayasa/riset lemlitbangyasa. Informasi TRL Hasil Riset lembaga litbangyasa dapat dikembangkan menjadi sebuah indikator penguasaan dan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sekaligus dapat menjadi informasi yang bermanfaat untuk memperkuat hubungan keterkaitan supply-demand teknologi. Dalam rangka mendukung upaya mengurai stagnasi inovasi di Lembaga Litbang dan perkuatan hubungan Pemasok-Pengguna diperlukan penguasaan informasi TKT oleh kedua belah pihak, penumbuhkembangan kolaborasi bagi inovasi, meningkatkan difusi inovasi hasil litbangyasa. Untuk itu perlu dilakukan upaya pemahaman mengenai Tekno-Meter dan penggunaannya untuk Perguruan Tinggi, Lembaga Litbangyasa, Lembaga Intermediasi, dan kalangan Industri. 2.
RUANG LINGKUP DAN METODE Pengenalan dan pemahaman Tekno-Meter sebagai Panduan Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi dan Cara Penggunaan Tekno-Meter dilakukan melalui Sosialisasi dan Pelatihan (workshop) kepada Lembaga Litbangyasa baik di Perguruan Tinggi ataupun Lembaga Litbangyasa. 2.1
Tingkat Kesiapan Teknologi Tingkat Kesiapan Teknologi adalah suatu sistem pengukuran sistematis yang mendukung penilaian kematangan atau kesiapan dari suatu teknologi tertentu dan perbandingan kematangan atau kesiapan antara jenis teknologi yang berbeda. Kesiapan teknologi (technology readiness) dapat diartikan sebagai indikator yang menunjukkan seberapa siap/matang suatu teknologi untuk bisa diterapkan dan diadopsi oleh pengguna/calon pengguna. Pengertian ”kesiapan” menunjukkan adanya kemungkinan perbedaan antara “siap”, “tidak siap” dan “belum siap”-nya suatu teknologi” atau perbedaan “tingkatan kesiapan teknologi” untuk dimanfaatkan atau diterapkan sesuai kegunaannya.
78
TKT merupakan ukuran yang menunjukkan tingkat kematangan atau kesiapan teknologi pada skala 1 – 9, yang mana antara satu tingkat dengan tingkat yang lain saling terkait dan menjadi landasan bagi tingkatan berikutnya. Berikut ini adalah peringkat kesiapan teknologi yang ditunjukkan dengan nilai TKT: 9
Teknologi benar-benar teruji/terbukti melalui keberhasilan pengoperasian.
8
Sistem Teknologi telah lengkap dan memenuhi syarat (qualified) melalui pengujian dan demonstrasi dalam lingkungan/aplikasi sebenarnya.
7
Prototipe telah diuji dalam lingkungan sebenarnya.
6
Model atau Prototipe telah diuji dalam lingkungan yang relevan.
5
Komponen teknologi telah divalidasi dalam lingkungan yang relevan.
4
Komponen teknologi telah divalidasi dalam lingkungan Laboratorium.
3
Konsep dan karakteristik penting dari suatu teknologi telah dibuktikan secara analitis dan eksperimental.
2
Konsep teknologi dan aplikasinya telah di formulasikan.
1
Prinsip dasar dari suatu teknologi telah diteliti.
Sumber : Buku Teknometer-Tim TRL BPPT-2011
2.1
Tekno-Meter Pada dasarnya Tekno-Meter merupakan panduan umum yang memberikan gambaran tingkat kematangan sebuah teknologi secara universal, akan tetapi Tekno-Meter juga dapat diterapkan guna mengukur satu jenis teknologi tertentu. Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi dapat disesuaikan untuk diterapkan baik secara spesifik atau generik, dengan memodifikasi perangkat kuesioner pengukuran karena setiap bidang teknologi tertentu mempunyai karakter yang berbeda antara satu teknologi dengan teknologi yang lain. TeknoMeter dikembangkan dari konsep NASA yang telah dipelajari pada tahun 2003-2004 yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Teknometer dikembangkan pertama kali oleh Nasa dengan nama Calculator Meter dalam pengukuran TKT pada tahun 2003 dan BPPT pada tahun 2003 mulai mengadopsi Calculator Meter serta mengembangkannya menjadi Tekno-Meter disesuaikan bagi kondisi dan hasil teknologi Lemlitbang di Indonesia. Tekno-Meter sudah ditetapkan sebagai Panduan Pengukuran TKT bagi BPPT dengan Peraturan Kepala BPPT Nomor 01 Tahun 2012 Tanggal 12 Januaari 2012 dan Buku Teknometer telah di launching oleh Menteri Ristek di Semarang pada tanggal 12 Januari 2012. Tekno-Meter dapat memberikan gambaran sesaat (snap shot) tentang status kematangan teknologi pada waktu tertentu. Di samping itu juga dapat untuk mengevaluasi proses historis pencapaian kesiapan/kematangan teknologi dari program pengembangan yang dilakukan dalam suatu teknologi. Konsep kesiapan ini dapat dikembangkan untuk ditafsirkan secara sama oleh pihak yang berkepentingan. Perbedaan penafsiran mungkin saja terjadi antara pihak penyedia teknologi dengan pengguna/calon pengguna teknologi. Penyedia teknologi mungkin mengartikan bahwa hasil litbangyasanya (proses pembuatan produk atau prototipe teknologi) sebagai teknologi yang dapat diterapkan. Sementara pihak pengguna/calon pengguna belum menganggapnya sebagai teknologi yang siap untuk diterapkan dan memenuhi kebutuhannya. Secara umum Tekno-Meter dapat mengukur semua hasil teknologi yang telah dikembangkan. Akan tetapi terhadap hal-hal khusus terkadang Tekno-Meter yang dibuat generik itu tidak dapat menunjukkan hasil pengukuran yang tepat. Hal ini menyangkut pada 79
kompleksitas teknologi yang dikembangkan. Beberapa hal khusus terkadang ada yang tidak dapat terdefinisikan dalam customization komponen indikator pada tiap tingkat (level) dalam Tekno-Meter, sehingga kesimpulan akhir dari hasil pengukuran secara generik lebih bersifat sebuah pendekatan terhadap kesiapan teknologi tersebut. Hasil pengukuran TKT terhadap suatu hasil pengembangan teknologi yang menggunakan Tekno-Meter yang dibuat generik kadangkala tidak dapat diterapkan untuk maksud pengukuran terhadap bidang-bidang teknologi yang spesifik karena trayektori pengembangan teknologi yang berbeda-beda. Sebagai contoh adalah pengukuran TKT dalam bidang industri otomotif dengan industri farmasi, meskipun pengukuran TKT dapat dilakukan menggunakan Tekno-Meter yang generik, akan tetapi dapat menghasilkan penafsiran yang tidak tepat ketika terdapat hal-hal teknis yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam pertanyaan dan atau pernyataan yang sama untuk dua bidang teknologi yang berbeda. Untuk itu, dibuat Tekno-Meter generik dan juga Tekno-Meter yang spesifik. Secara umum sebenarnya tidak ada perbedaan prinsip antara hasil ukur yang menggunakan Tekno-Meter yang generik ataupun Tekno-Meter yang spesifik. Perbedaan sebenarnya, adalah pada saat proses pengukuran yang membutuhkan daya analisis dan sintesis pelaku teknologi untuk melakukan interpretasi perangkat ukur yang digunakan guna menentukan pilihan ukuran nilai yang tepat. Pengukuran secara spesifik membutuhkan pemahaman substansi teknis teknologi terkait, guna menyusun perangkat ukur yang lebih fokus dan kontekstual. Perangkat ukur spesifik mempunyai keuntungan karena mudah difahami oleh responden, pelaku teknologi. Dalam Tekno-Meter spesifik telah ditetapkan penjelasan dan penentuan komponen indikator TKT untuk bidang teknologi tertentu (berdasarkan hasil konsensus). Mengingat bahwa bidang teknologi yang ada sangat beragam, pembuatan Tekno-Meter yang spesifik mempunyai tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Penentuan kriteria unsur dalam proses customization TKT pada tiap level Tekno-Meter yang dibuat spesifik bergantung pada kompetensi penyusunnya. 2.2
Pemanfaatan Teknometer Konsep Tingkat Kesiapan Teknologi(TKT) yang pada awalnya dikembangkan oleh NASA dalam rangka mendukung program pengembangan dan perencanaan teknologi ruang angkasa, sekarang sudah banyak digunakan di berbagai bidang teknologi. Biasanya aplikasi TKT selalu dikaitkan dengan model aplikasi dari program pengembangan teknologi lainnya. Di antara tujuan pengukuran TKT dengan menggunakan Tekno-Meter adalah : 1. Penentu Kebijakan Untuk menentukan besarnya upaya (program insentif dan pendanaan) serta untuk memperkecil kesenjangan dan keterkaitan antara penyedia dan pengguna teknologi. Dapat juga ditujukan untuk monitoring dan evaluasi suatu program pengembangan teknologi bila pengukuran TKT dilakukan secara berulang dengan mengetahui riwayat/historikal pencapaian TKT pada periode waktu tertentu. 2. Penghasil Teknologi Menyediakan informasi penting tentang status dan pencapaian kematangan (maturity) teknologi yang dihasilkan dan memungkinkan peningkatan pemanfaatannya dan untuk fokus pengembangan program dan teknologi dalam peningkatan kapasitas litbang. 3. Pengguna Teknologi Tersedianya informasi status teknologi yang dapat digunakan untuk keputusan investasi dan pemanfaatan teknologi. 4. Lembaga Intermediasi Menyediakan informasi kemampuan teknologi, promosi dan peningkatan/ perluasan pemanfaatan teknologi. Pemanfaatan TKT di Indonesia, khususnya dalam bidang iptek akan sangat membantu dalam rangka persiapan dan pematangan suatu teknologi untuk siap didifusikan atau tidak.Manfaat Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi adalah untuk : 80
1. Mendapatkan indikator (antara 1-9) yang menunjukkan tingkat kematangan/ kesiapan teknologi untuk diterapkan, yang dapat menjadi informasi dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan pemanfaatan dan program pengembangan teknologi. 2. Mengetahui riwayat/ historikal pencapaian suatu program pengembangan teknologi, bila pengukuran dilakukan secara berulang pada periode waktu tertentu. 3. Mengembangkan alat (tool) untuk mengukur TKT dan membangun kesepahaman persyaratan (negosiasi/konsensus TKT) untuk teknologi tertentu antar pihak yang berkepentingan. Dengan diterapkannya atau dimanfaatkannya Tekno-Meter sebagai alat Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi hasil litbangyasa di Lembaga Litbangyasa maka akan diketahui tingkat kesiapan teknologi yang dihasilkan Lembaga Litbangyasa sehingga dapat diantisipasi rencana pengembangan terhadap teknologi hasil litbangyasa yang dibutuhkan oleh pengguna teknologi. Di samping itu pemanfaatan Tekno-Meter juga dapat meningkatkan interaksi yang lebih kuat dan kondusif diantara aktor/pelaku/komponen yang terkait. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Manfaat Tekno-Meter Manfaat utama Tekno-Meter adalah sebagai alat atau sarana yang menggambarkan tingkat kesiapan teknologi secara terukur (kuantitatif). Dengan peran ini dapat dijadikan acuan bersama antara Lembaga Litbangyasa sebagai pemasok teknologi dan industri sebagai pengguna. Sehingga terdapat bahasa yang sama dan terukur yang dapat dijadikan landasan berpijak bagi keduanya dalam menyatakan tingkat kesiapan suatu teknologi. Kesamaan pandangan terhadap ukuran kesiapan teknologi akan mempermudah dan memperlancar komunikasi dalam rangka proses difusi teknologi. Sehingga aliran teknologi hasil inovasi dari lembaga litbangyasa ke pengguna atau industri akan semakin lancar. Kondisi ini pada akhirnya akan menumbuhkan driving force bagi lembaga litbangyasa untuk mamacu melakukan riset. Aliran teknologi atau inovasi hasil riset lembaga litbangyasa ke industri sangat dimungkinkan tidak hanya pada hasil riset yang berada pada level atau TKT 8 atau TKT 9 saja. Dengan adanya Tekno-Meter, hasil riset yang masih di bawah TKT 5, bila terkomunikasikan dengan baik ke industri, bisa saja akan diadopsi oleh industri. Hal ini dapat terjadi karena industri telah paham resiko investasi yang harus ditanggung jika akan mengadopsi suatu hasil riset pada tingkatan TKT tertentu. Jadi kata kuncinya adalah bahasa dan definisi yang sama antara pemasok dan pengguna teknologi terhadap suatu tingkatan TKT mulai TKT 1 sampai dengan TKT 9 Oleh karena itu, manfaat lain dari Tekno-Meter adalah salah satu yang dapat mendukung upaya untuk mengurai stagnasi inovasi di Lembaga Litbangyasa. Selain itu, TeknoMeter yang merupakan bahasa yang sama bagi Lembaga Litbangyasa dan industri akan berperan memperkuat hubungan antara pemasok dan pengguna teknologi. 3.2
Peran Lembaga Intermediasi dalam Perkuatan Hubungan Pemasok-Pengguna Beberapa kali pengujian Tekno-Meter dilakukan dengan cukup ketat baik di tingkat litbang maupun industri, namun masih memiliki kelemahan dalam dokumentasi. Dalam penilaian TKT terhadap Teknologi yang dihasilkan Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Lemlitbang) menggunakan Tekno-Meter baik di Lemlitbang ataupun di Industri maka banyak Lemblitbang atau Industri yang tidak cukup memberikan data/dokumen dari teknologi yang akan diukur TKT nya. Biasanya riwayat teknologi hasil litbang tidak terdokumentasi dengan baik. Dalam hal ini Lembaga Intermediasi dapat membantu Lemlitbang atau industri dalam rangka kesiapan data atau dokumen riwayat teknologi yang dihasilkan Lemlitbang atau industri, seperti memberikan gambaran pentingnya dokumentasi dan pendokumentasian dari suatu teknologi hasil litbang. 81
Untuk dapat memaksimalkan manfaat dari Tekno-Meter diperlukan optimalisasi peran dari lembaga intermediasi. Lembaga intermediasi yang berperan sebagai penghubung antara lembaga litbang dan industri (pengguna) selama ini lebih banyak meng-intermediasi-kan hasil riset lembaga litbangyasa yang telah memiliki tingkat kesiapan di atas TKT 8 (Gambar 1). Sementara untuk TKT 5 ke bawah sebenarnya bisa jadi memiliki potensi untuk dikembangkan sampai tahapan produksi. Namun karena keterbatasan sumber daya atau perubahan kebijakan seringkali tidak dilanjutkan tahapan penelitiannya. Hal ini yang dapat menimbulkan adanya “kelesuan” dalam riset dan berinovasi. Oleh karena itu, peran lembaga intermediasi harus dioptimalkan dengan memperhatikan dan mengkoneksikan hasil riset tidak hanya TKT tinggi saja tetapi juga untuk TKT rendah (Gambar 2). Karena mungkin saja TKT yang rendah dapat menarik industri untuk mengadopsi, tentunya dengan pemahaman resiko investasi yang telah diperhitungkan yang mengacu pada ukuran TKT yang telah dicapai.
Gambar 1 Keterbatasan Peran Lembaga Intermediasi
Gambar 2 Optimalisasi Peran Lembaga Intermediasi
4. KESIMPULAN Tekno-Meter sebagai Panduan Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi dapat mendukung Penguatan Sistem Inovasi Daerah dan dapat dimanfaatkan untuk mengukur TKT hasil litbangyasa di Perguruan Tinggi ataupun Lembaga Litbangyasa dan kalangan Industri. Dengan mengetahui TKT dari hasil litbangyasa maka akan dapat diketahui proses pengembangan teknologi lebih lanjut guna mencapai pemanfaatan teknologi yang optimum. Lembaga Intermediasi dibutuhkan untuk menjembatani antara pemasok dan pengguna teknologi, untuk itu penguasaan tentang TKT dan cara pengukurannya dapat bermanfaat dalam penyampaian informasi hasil litbangyasa dan pengembangan teknologi lebih lanjut. Selain itu, Lembaga Intermediasi juga dibutuhkan bagi Lemlitbangyasa dalam pendampingan dan penyampaian informasi tentang hasil-hasil teknologi tidak hanya di hilir (ketika hasil penelitian memiliki TKT yang tinggi) tapi juga di hulunya ketika hasil-hasil litbang masih memiliki nilai TKT rendah.
82
DAFTAR PUSTAKA Suhendri, D., dkk., 2011. Tingkat Kesiapan Teknologi (TRL, technology readiness level) Hasil Riset Lembaga Litbang LPNK Ristek, Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi – BPPT. --------. 2010. Pengukuran TRL Hasil Riset BPPT, Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi – BPPT. Prayitno, K. B., dkk., 2012. Sosialisasi TRL ( Technology Readiness Level ) Hasil Riset untuk Mendukung Kemampuan Inovatif Lembaga Litbang Daerah Dalam Penguatan Sistem Inovasi Daerah, Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi – BPPT. Prayitno, K., B., dkk, 2011. Tekno-Meter: Panduan Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi, BPPT, Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi – BPPT. Prayitno, K. B., 2008. Panduan Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi, Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi – BPPT. --------. 2007. Direktori Teknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) --------. 2006. Buku Model Difusi Hasil RUK, Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi – BPPT. Mankins, John C., 1995. Technology Readiness Levels: A White Paper. Advanced Concepts Office. Office of Space Access and Technology. NASA. April 6, 1995. NASA, 2001. NASA Technology Commercialization Process: NASA Procedures and Guidelines. NPG 7500_1. NASA - Commercial Technology Division. Dari http://nodis3.gsfc.nasa.gov/library/ Nolte, William, 2005. Technology Readiness Level Calculator. Presented at Assessing Technology Readiness & Development Seminar. April 28, 2005. Smith, Jim., 2004. An Alternative to Technology Readiness Levels for Non-Developmental Item (NDI) Software. Integration of Software-Intensive Systems Initiative. CMU/SEI-2004TR-013. ESC-TR-2004-013. April 2004. Smith II, James D., 2004. ImpACT: An Alternative to Technology Readiness Levels for Commercial-Off-The-Shelf (COTS) Software. Carnegie Mellon Software Engineering Institute. Taufik, Tatang A., 2004. Penyediaan Teknologi, Komersialisasi Hasil Litbangyasa, dan Aliansi Strategis. P2KDT – BPPT dan KRT. 2004. Taufik, Tatang A., 2003.TRL: Konsep dan Isu Kebijakan, Workshop Pemetarencanaan Teknologi dan Pengukuran Teknologi, P2KT-PUDPKM, PKT-BPPT.
83
BUDAYA INOVASI SEBAGAI ELEMEN UTAMA PEMBENTUK SISTEM INOVASI DAERAH: KASUS PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT DAN KALIMANTAN SELATAN Anugerah Yuka Asmara1 Pusat Penelitian Perkembangan Iptek (PAPPIPTEK)-LIPI Email:
[email protected]
ABSTRAK Budaya inovasi menjadi faktor penting dalam menumbuhkan inovasi di daerah. Di Indonesia, budaya inovasi belum menjadi perhatian utama bagi pihak pemerintah, perguruan tinggi, maupun pelaku ekonomi. Implementasi program inovasi di daerah terkesan dilakukan secara top down oleh pemerintah. Tujuan studi ini ialah mengembangkan konsep untuk menumbuhkembangkan budaya inovasi pada masyarakat di daerah. Pendekatan dalam studi ini ialah deskriptif-kualitatif dengan mengambil tempat penelitian yang di lakukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan. Hasil temuan studi ini ialah, budaya inovasi belum menjadi elemen utama bagi pelaksanaan SIDa di dua area tersebut Akibatnya, program SIDa di lapangan belum memberikan kontribusi positif signifikan di daerah tersebut. Dengan demikian, upaya pemerintah daerah, lembaga litbang, pelaku ekonomi, dan lembaga pendidikan mutlak diperlukan dalam menumbuhkan budaya inovasi pada masyarakat di daerah. Kata Kunci: budaya inovasi, sistem inovasi daerah, pemerintah, masyarakat
1. PENDAHULUAN Budaya masyarakat untuk berinovatif merupakan faktor yang belum diberi perhatian penuh oleh negara-negara sedang berkembang dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berbasis inovasi. Teori-teori inovasi dan kebijakan inovasi yang ada saat ini cenderung menekankan pada pentingnya dukungan kegiatan riset dan pengembangan, pembenahan kebijakan fiskal/anggaran, infrastruktur fisik penunjang, faktor kedekatan geografis, keberadaan industri utama dan industri kecil menengah (anchor industries and small-medium industries) serta regulasi yang mengaturnya (Manual, 2005; World Bank, 2010; OECD, 2011; OECD, 2013). Cara-cara pendekatan seperti itu juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam mengarahkan program-program pertumbuhan ekonomi berbasis inovasi. Dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), strategi 1-747 yang digunakan sebagai inisiatif inovasi belum menunjukkan penguatan budaya inovasi masyarakat sebagai faktor utama dalam mewujudkan inovasi di Indonesia2. Studi budaya inovasi pada masyarakat yang dilakukan di Indonesia masih belum banyak ditemui. Beberapa peneliti dari negara lain justru telah memberi perhatian terhadap pentingnya budaya inovasi pada masyarakat bagi pembentukan iklim inovasi dan ekonomi. 1) Studi Svarc (2006) di negara-negara Eropa Tengah dan Timur (Central and Eastern European Countries/CEECs), menyatakan bahwa re-desain kebijakan pengembangan di CEECs mensyaratkan konsensus kebijakan strategi komprehensif yang memungkinkan reformasi struktural di bidang bisnis, keuangan, kegiatan riset, dan pengembangan dan juga iklim budaya dan sosial, serta perubahan mindset negara. Perubahan sosial dan penciptaan masyarakat yang berpengetahuan merupakan tantangan nyata dalam menumbuhkan perkembangan ekonomi di negara-negara tersebut
Peneliti kebijakan iptek dan inovasi di Pusat Penelitian Perkembangan Iptek – LIPI. Email:
[email protected] Dalam inisiatif inovasi 1-747, angka 7 pertama tentang 7 langkah perbaikan ekosistem inovasi yaitu: 1) sistem insentif dan regulasi yang mendukung inovasi dan budaya penggunaan produk dalam negeri, 2) peningkatan kualitas dan fleksibilitas perpindahan sumber daya manusia, 3) pembangunan pusat-pusat inovasi untuk mendukung IKM, 4) pembangunan klaster inovasi daerah, 5) sistem remunerasi peneliti, 6) revitalisasi infrastruktur R&D, 7) sistem dan manajemen pendanaan riset yang mendukung inovasi. Pada langkah nomor 1 tersebut terdapat kata-kata “budaya”, akan tetapi itu merupakan “budaya penggunaan produk dalam negeri”, bukan budaya masyarakat untuk inovasi. Hal ini akan berbeda makna, jika masyarakat kita harus mencintai produk dalam negeri, sementara produk itu diciptakan oleh perusahaan asing yang ada di Indonesia tanpa ada aliran pengetahuan dan teknologi baru bagi masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, kunci inovasi tetap berada di negara perusahaan pemilik modal, sedangkan Indonesia hanya sebagai tempat produksi sekaligus pasar dari produk-produk mereka. 1 2
84
2) Vecchi and Brennan (2009) melakukan studi yang menemukan hubungan positif antara budaya inovasi dengan peningkatan inovasi di perusahaan manufaktur internasional 3) Skerlavaj et al., (2010) melakukan studi yang menyimpulkan bahwa adanya budaya inovasi pada masyarakat di Korea Selatan, khususnya mereka yang bekerja di dalam suatu perusahaan/organisasi, berdampak langsung pada terjadinya inovasi teknik dan administratif di perusahaan-perusahaan tersebut. 4) Tursyn et al. (2013) menguatkan bahwa budaya dan inovasi oleh Presiden Republik Kazakhstan dipandang sebagai modal sosial baru di negeri ini. Modal sosial tidak hanya karakter politik, melainkan juga budaya intelektual yang penting bagi bangsa. Saat ini, Kazakhstan ingin merangkul 30 top universitas dunia untuk pengembangan modal sosial di negaranya yang diarahkan sebagai modal pembangunan perekonomian bangsa. Di Indonesia, pemerintah memiliki landasan legal dalam menumbuhkembangkan budaya inovasi di masyarakat yang tercermin dalam UU RI No.18 Tahun 2002 tentang Sisnas P3 Iptek Pasal 14 yang menyebutkan “Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan usaha dapat membangun kawasan, pusat peragaan, serta sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi lain untuk memfasilitasi sinergi danpertumbuhan unsur-unsur kelembagaan dan menumbuhkan “budaya ilmupengetahuan dan teknologi di kalangan masyarakat”. Penanaman budaya inovasi pada masyarakat lokal menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan dalam mewujudkan sistem inovasi daerah (SIDa) di Indonesia. Penerapan SIDa yang dilakukan di beberapa daerah ternyata belum memperhatikan budaya inovasi pada masyarakatnya. Kebijakan SIDa yang dibentuk oleh pemerintah3 justru seringkali merupakan program-program unggulan daerah yang sudah dilakukan sebelumnya. Dua Provinsi yaitu Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Kalimantan Selatan (Kalimantan Selatan) menjadi contoh bagi daerah lainnya yang saat ini memerlukan penanaman budaya inovasi pada masyarakat guna mendukung penerapan SIDa. Penulisan makalah ini berangkat dari adanya kendala dalam mewujudkan sistem inovasi daerah di Indonesia. Fokus tulisan ini adalah pentingnya budaya inovasi masyarakat sebagai elemen utama dalam penerapan SIDa di Provinsi NTB dan Kalimantan Selatan. Dan makalah ini akan menguraikan strategi untuk menumbuhkan budaya inovasi masyarakat di Provinsi NTB dan Kalimantan Selatan. 2. LANDASAN KONSEPTUAL 2.1 Budaya Inovasi Pengertian budaya dan inovasi memang secara harfiah berbeda, akan tetapi kedua istilah tersebut saling melengkapi jika digabung menjadi satu, yaitu “budaya inovasi”. Budaya ialah sistem dari pola-pola tingkah laku yang diturunkan secara sosial, yang bekerja menghubungkan komunitas manusia dengan lingkungan ekologi mereka. Dalam cara hidup komunitas ini, termasuk teknologi dan bentuk organisasi ekonomi, pola-pola menetap, bentuk pengelompokan sosial dan organisasi politik, kepercayaan, dan praktik keagamaan dan seterusnya4 (Keesing, 1974). Budaya dipandang sebagai seperangkat nilai bersama yang disampaikan melalui sarana-sarana simbolis seperti cerita, mitos, legenda, slogan, anekdot, dan cerita rakyat (Peters and Waterman dalam Skerlavaj et al., 2010). Sementara inovasi ialah proses yang mengembangkan suatu invensi baru atau ide baru ke dalam produk baru dan membawa itu ke pengguna/konsumen. Proses tersebut beresiko dan perlu seorang entrepreneur yang mau mengambil resiko tersebut (Verloop, 2013). Keterkaitan antara budaya dan inovasi dikuatkan oleh studi Shane dalam Vecchi and Brennan (2009) bahwa dimensi budaya yang khas memberikan dukungan penting bagi kinerja inovasi.
3
Pemerintah daerah dibantu oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Riset dan Teknologi serta lembaga non kementerian yaitu Badan Perekayasaan dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai konsultan SIDa. Saat ini SIDa telah menjadi “kerja bareng” antar instansi pusat seperti Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Keuangan, LIPI, Batan, Lapan, dan instansi/kementerian teknis lain yang mendukung. 4 Definisi budaya dalam hal ini merupakan bagian dari budaya sebagai sistem adaptif.
85
Zhang and Zhou (2012) mengungkap bahwa budaya inovasi terkait dengan praktik-praktik inovatif, yang akan membantu dalam membentuk daya inovatif. Ada tiga level dalam menginterpretasikan arti budaya inovasi yaitu: 1. Bagian prinsip budaya inovasi. Hal itu merujuk pada karakteristik budaya esensial dan faktor-faktor yang paling mendasar. 2. Kelembagaan untuk budaya inovasi. Hal itu merujuk pada faktor budaya seperti struktur, mekanisme, dan kebijakan yang dapat berkontribusi untuk berbagai kegiatan inovasi. 3. Lingkungan untuk budaya inovasi. Hal itu merujuk pada faktor budaya seperti lingkungan sosial, suasana, dan program/fasilitas layanan (service platform) yang dapat berkontribusi untuk kegiatan-kegiatan inovasi. Definisi-definisi di atas mengarahkan pada pengertian budaya inovasidalam tulisan ini sebagai suatu kesatuan nilai/norma meliputi kepercayaan/keyakinan, kesepakatan, aturan, dan keadaan sosial-ekonomi-politik di lingkungan sekitar yang telah terlembaga (tertanam secara kuat) di dalam masyarakat untuk mendukung berbagai upaya penemuan hal-hal baru dan mendifusikannya ke konsumen/pengguna di suatu wilayah tertentu. 2.2 Sistem Inovasi Daerah Istilah sistem sering kita jumpai di banyak literatur yang memiliki makna sebagai suatu perangkat/elemen yang berbeda namun saling berhubungan dan berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem inovasi daerah5 dikarakteristikan sebagai kumpulan aktivitas inovasi dan merupakan bentuk kegiatan yang saling bekerja sama antara pemerintah, perusahaan, universitas, lembaga litbang, organisasi pelatihan, dan agen transfer teknologi untuk menciptakan dan mendifusikan pengetahuan baru, serta adanya dukungan budaya inovasi yang memungkinkan sistem ini dapat berkembang dari waktu ke waktu (Doloreux and Parto, 2005). Sistem inovasi daerah ialah suatu kesatuan dari sehimpunan aktor, kelembagaan, hubungan, jaringan, interaksi, dan proses produktif yang mempengaruhi arah perkembangan dan kecepatan inovasi dan difusinya (termasuk teknologi dan praktek baik/terbaik) serta proses pembelajaran di daerah (Taufik, 2005). Tulisan ini mengacu pada definisi Sistem Inovasi Daerah (SIDa) yang dikemukakan oleh Taufik (2005), dengan alasan program SIDa yang diterapkan di beberapa daerah di Indonesia merupakan inisiasi dari Tatang A. Taufik sebagai peneliti di Badan Perekayasa dan Pengkajian Teknologi (BPPT). 2.3 Keterkaitan Antara Budaya Inovasi dan Sistem Inovasi Daerah Sistem inovasi daerah yang baik seharusnya menjadi sumber kekuatan yang semakin efisien yang dapat menyesuaikan pada pembangunan wilayah. Itu merupakan suatu sistem terbuka yang berdasar pada mekanisme pasar, bisnis, dan pemerintah. Tujuan utama sistem terbuka ini adalah untuk mendorong kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan daya saing di daerah dan pembangunan berkelanjutan. Untuk itu budaya inovasi memainkan peran penting di dalam sistem ini. Sehingga untuk meningkatkan kemampuan inovatif suatu kota (daerah), masyarakat harus menempatkan elemen utama pada penanaman budaya inovasi (Zhang and Zhou, 2012). Hal yang harus dipahami bahwa baik budaya inovasi maupun sistem inovasi daerah memiliki satu arah tujuan yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang berada di kesatuan geografis daerah tersebut.
3. METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menekankan pada fenomena yang nampak di lapangan. Penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif yang berusaha 5
Doloreux and Parto (2005) menyebut istilah sistem inovasi daerah dalam konteks aslinya sebagai regional innovation system.
86
menggambarkan fenomena secara utuh. Cresswell dalam Rahmat (2009) menyatakan bahwa penelitian kualitatif menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak bisa diperoleh melalui ukuran angka/metode statistik dan pengukuran lainnya. Jenis penelitian ini digunakan untuk meneliti tentang sejarah, perilaku masyarakat, aktivitas organisasi, dinamika sosial, dan lainnya. Oleh karena itu, studi tentang budaya inovasi pada masyarakat di suatu daerah dalam tulisan ini sangat relevan menggunakan pendekatan kualitatif. 3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dillakukan di dua tempat dengan waktu berbeda. Pertama, di Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Dan, kedua, di Kota Banjarmasin dan Kota Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan (Kalimantan Selatan) 3.3 Sumber Data Sumber data penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan melalui wawancara dengan informan yang berasal dari instansi pemerintah seperti Badan Perencanaan Daerah, Badan Litbang Daerah, pihak Universitas, dan masyarakat lokal. Sementara data sekunder didapatkan dari data Badan Pusat Statistik, dokumen pemerintah, buku, jurnal ilmiah, serta artikel/media massa yang relevan dengan studi ini. 3.4 Kerangka Analisis
Organisasi bisnis
Individu Unit litbang
Lembaga pendidikan
Individu Individu
Agen pemerintah
Inovasi daerah
Penanaman budaya inovasi pada masyarakat
Inovasi daerah
Sumber: Modifikasi dari Zhang and Zhou (2012)
Gambar 1 Kerangka Analisis Studi ini menggunakan kerangka analisis yang dimodifikasi dari Zhang dan Zhou (2012). Ada empat elemen krusial pembentuk budaya inovasi yang masing-masing berperan sesuai fungsinya, yaitu agen pemerintah, organisasi bisnis, unit litbang, dan lembaga pendidikan. Satu sama lain saling berinteraksi untuk menanamkan nilai-nilai inovatif pada pribadi/individu terlebih dahulu. Kumpulan individu yang telah ditanamkan nilai-nilai inovatif tersebut akhirnya akan semakin bertambah dengan membentuk suatu komunitas atau kumpulan komunitas yang lebih besar yaitu masyarakat. Budaya inovatif yang telah dipahami oleh masyarakat itulah yang menjadi “nilai dasar” bagi pengembangan sistem inovasi di daerah.
87
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sistem Inovasi Daerah di Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan Di ProvinsiProvinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), program SIDa hanya dipusatkan di kawasan Banyumulek, Kabupaten Lombok Barat. SIDa di NTB merupakan program Pemerintah Provinsi NTB melalui kebijakan Bumi Sejuta Sapi (BSS)6 yang direspon baik oleh pemerintah pusat. Program ini diluncurkan pada 25 Februari 2012. SIDa di NTB dikhususkan pada peternakan (penggemukan) sapi7. Menristek Gusti Muhammad Hatta (2012) mengungkapkan bahwa kemandirian pangan di bidang peternakan-pertanian NTB didasarkan pada 4 F(food, feed, fertilizer, fuel). SIDa diharapkan dapat menghasilkan tiga nilai tambah yaitu, keilmuwan (paten dan publikasi), pendapatan ekonomi dari hasil litbang, dan meningkatnya jumlah peternak sapi sekaligus pemanfaatan limbah peternakan sapi oleh masyarakat sekitar. Inovasi pengembangbiakan sapi dilakukan dengan metode perkawinan sapi yang dinamakan “semen beku sexing”, saat ini telah berhasil 90%. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya populasi sapi betina produktif dari 38% menjadi 42% dari target 44%. Tahun 2013, Pemprov NTB menargetkan populasi sapi sebanyak 1.032.500 ekor, tercapainya grade A dan B sapi, serta swasembada daging untuk menunjang ketahanan pangan nasional sebanyak 16.400 ton (setkab.go.id/2012). Keuntungan lainnya wilayah NTB yang merupakan kepulauan, menjadi barrier bagi masuknya sapi-sapi dari wilayah lain, khususnya sapi Bali yang terkena penyakit8. Saat ini SIDa dikelola oleh Dinas Peternakan Provinsi NTB dengan unit pelaksana teknis (UPT) Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang terletak di Desa Banyumulek Kabupaten Lombok Barat. Untuk itu infrastruktur penunjang seperti alat pemotong rumput gajah, gudang penyimpan pakan ternak, alat produksi pakan ternak, dan teknologi alat pemotong hewan disiapkan untuk mendukung SIDa di NTB. Di Provinsi Kalimantan Selatan, sampai tahun 2013 ini SIDa masih dalam tahap penjajagan dan pencarian unggulan daerah yang dapat mendongkrak perekonomian daerah. Bahan mineral, terutama batubara9 yang saat ini menjadi program utama pendongkrak ekonomi daerah tidak dapat diandalkan. Ironisnya, Provinsi Kalimantan Selatan yang dijuluki lumbung energi dalam MP3EI justru sering mengalami mati listrik10. Menurut narasumber dari unsur Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, akademisi di Universitas Lambung Mangkurat, dan pelaku tambang di lapangan, memprediksi maksimal atau bahkan tidak sampai 40-50 tahun ke depan sumber daya batubara akan habis di daerah ini11. Menurut Sekretaris Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan, sebenarnya SIDa sudah dilakukan oleh Pemda Kalimantan Selatan pada 20 tahun lalu, akan tetapi program itu berhenti di beberapa tahun terakhir ini. Bentuknya ialah pengembangan perekonomian Kalimantan Selatan dengan menggenjot produksi kelapa sawit dan karet12. Teknologi yang telah digunakan ialah teknologi sederhana pembasmi penyakit dan jamur di pohon kelapa sawit dan karet. Sehingga, beliau berpendapat bahwa SIDa saat ini hanya “ganti kulit” saja.
6
Bumi Sejuta Sapi (BSS) merupakan program unggulan Provinsi NTB. Tahun 2012 telah terpenuhi 896.000 ekor sapi, dan target akhir tahun 2013 diharapkan tercapai sejuta sapi produktif di NTB (Hasil wawancara dengan pihak Bappeda Provinsi NTB pada bulan 10 April 2013 2013). 7 Di Provinsi NTB, sapi dan kerbau dikembangbiakan secara bebas/liar dan berkeliaran di padang rumput yang ada di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Hewan-hewan ternak tersebut dibiarkan hidup secara alamiah sehingga pertumbuhannya pun dapat maksimal. Hal ini berbeda dengan konsep penggemukan sapi yang berada di Pulau Jawa yang umumnya hewan tersebut dikembangbiakan di kandang-kandang penduduk dengan alasan sempitnya padang rumput dan faktor keamanan. 8 Sapi Bali merupakan sapi rawan penyakit yang dilarang masuk ke Pulau Lombok-NTB. 9 Menurut survei BPS Kalimantan Selatan (2013), Komoditi utama penyumbang ekspor terbesar Kalimantan Selatan bulan Agustus 2013 berdasar kode Harmonized System (HS) 2 dijit adalah kelompok bahan bakar mineral (HS 27) dengan nilai US$431,69 juta, diikuti oleh kelompok lemak & minyak hewan/nabati (HS 15) dengan nilai US$61,55 juta dan kelompok Bijih, kerak, dan abu logam (HS 26) dengan nilai US$18,73 juta. 10 http://finance.detik.com/read/2012/10/15/170054/2063109/1034/warga-Kalimantan Selatan-kesal-kaya-batubara-tapi-miskinlistrik. 11 Prediksi batubara akan habis tidak sampai 40-50 tahun hanya dugaan beberapa orang saja (pemprov, akademisi, dan pelaku tambang) dengan melihat kondisi pertambangan secara langsung di wilayah Batu Licin, Sungai Danau, dan area tambang lainnya tanpa perhitungan peramalan angka secara kuantitaif (ekonomi dan statistik). 12 Kepemilikan perkebunan karet di Kalimantan Selatan masih didominasi oleh masyarakat lokal, dengan total kepemilikan sekitar 60% (Wawancara dengan Sekretaris Balitbangda ProvinsiKalimantan Selatan tanggal 22 Mei 2013).
88
4.2 Gambaran Budaya Inovasi Masyarakat di NTB dan Kalimantan Selatan SIDa pengembangbiakan sapi yang diterapkan di Banyumulek Provinsi NTB merupakan program rutinitas Dinas Peternakan Provinsi NTB. Hal ini nampak dari respon masyarakat NTB sendiri, khususnya mereka yang berada di sekitar Banyumulek yang kurang mengenal istilah SIDa di wilayah mereka. Masyarakat sekitar cenderung mengenal Banyumulek sebagai tempat pemotongan ternak dan penggemukan sapi yang telah ada sebelum SIDa masuk di wilayah ini. Bahkan, daerah Banyumulek lebih dikenal oleh masyarakat lokal dan masyarakat luar (wisatawan) sebagai daerah penghasil gerabah.13 SIDa di Banyumulek terkesan program pemerintah daerah yang hanya melibatkan Kemenristek dan BPPT (termasuk instansi pemerintah lain), akan tetapi sangat minim melibatkan peran dan partisipasi masyarakat sekitar. Bahkan, wacana SIDa di NTB hanya didengar di kalangan pemerintah Provinsi khususnya di Bappeda. Sementara itu, Dinas Peternakan Provinsi NTB justru kurang paham dengan program SIDa secara utuh, akan tetapi mereka tahu bahwa program tersebut berasal dari kerja sama Pemprov NTB dengan Kemenristek14. Maka tak heran jika masyarakat yang berada di sekitar Banyumulek tidak mengenal apa itu SIDa, selain istilah sebatas “kegiatan peternakan sapi” yang dilakukan pemerintah daerah NTB. Budaya inovasi di masyarakat NTB masih terkendala oleh tingginya buta aksara/buta huruf akibat banyak anak yang putus sekolah di wilayah ini. Akan tetapi, tingkat putus sekolah mengalami penurunan dari tahun 2008 hingga 4 tahun berjalan (tahun 2012) setelah Pemprov NTB memberlakukan program Angka Drop Out Nol (ADONO). Tabel 1 Angka Penurunan Siswa Putus Sekolah di NTB Tahun 2008, 2010, 2011, dan 2012 Jenjang pendidikan Sekolah Dasar Sekolah Menengah PertamaMTS Sekolah Menengah Atas/SMK/MA
2008 (%) 1,17 5,25 6,86
2010 (%) 1,02 1,46 2,13
2011 (%) 0,90 0,92 1,88
2012 (%) 0,33 0,65 1,77
Sumber: www.ntb.go.id (2013)
NTB memiliki nilai pertumbuhan indeks pembangunan manusia (IPM)15 dengan peringkat 7 (tujuh) Provinsi tertinggi di Indonesia, mengalami kenaikan sebesar 0,84 % per tahun dari 2008 hingga 2010. Melalu program Angka Buta Aksara Menuju Nol (ABSANO) jumlah program lulusan buta aksara pada masyarakat di NTB menurun dari 80,10% di tahun 2008 menjadi 92,54% di 2010, dan sudah menembus angka 97,95% di tahun 2011. Untuk parameter kesehatan, dalam kurun waktu tiga tahun itu, Usia Harapan Hidup di NTB meningkat 0,61 dari posisi 61,50 di tahun 2008 menjadi 62,11 di tahun 2010. Sementara kemampuan daya beli masyarakat NTB meningkat dari Rp 633.580 di tahun 2008 menjadi Rp 639.890 di tahun 2010 (www.ntb.go.id/2012). Tingginya IPM di NTB diharapkan mampu berkontribusi terhadap pembentukan budaya inovasi pada masyarakat di NTB. Di Kalimantan Selatan, budaya masyarakat untuk mengenal dan memahami inovasi justru terhambat, karena masih rendahnya tingkat indeks pembangunan manusia (IPM) Provinsi Kalimantan Selatan yang menempati urutaan ke-26 dari 33 Provinsi di Indonesia. Program pendidikan masyarakat yang diwajibkan pemerintah minimal 9 (sembilan) tahun masih belum terwujud di wilayah ini. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Kalimantan Selatan menjadikan Kalimantan Selatan masih jauh dari penerapan inovasi di daerahnya. Hal ini sangat 13
Baca laporan peneliti Muka dan Barata (2010) berjudul: Gerabah Banyumulek Satu Tinjauan Budaya. Wawancara dengan Sekretaris Dinas Peternakan Provinsi NTB, Beliau mengemukakan bahwa istilah SIDa kurang booming di instansi mereka, meskipun mereka sering mendengar istilah ini. Hal ini dikarenakan kerja sama dengan instansi pemerintah pusat (selain Dirjen Peternakan Kementerian Pertanian) pada umumnya melalui Bappeda ProvinsiNTB sebagai pintu gerbang utama. Meskipun demikian, diakui bahwa instansinya sering diundang rapat dengan Bappeda ProvinsiNTB perihal penetapan koridor MP3EI dan SIDa. 15 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) diukur melalui tiga indikator yaitu: 1) usia harapan hidup/kesehatan masyarakat, 2)pelayanan pendidikan yang didapatkan, 3) kemampuan daya beli masyarakatnya. 14
89
ironis mengingat Kalimantan Selatan merupakan salah satu koridor di dalam MP3EI yang diklaim sebagai lumbung energi nasional karena kaya akan batubara dan sebagai kawasan yang memiliki lahan perkebunan kelapa sawit dan karet cukup luas ternyata belum mampu berkontribusi positif bagi pengembangan kesejahteraan masyarakat Kalimantan Selatan. Masyarakat Kalimantan Selatan pada umumnya hanya bekerja di level menengah ke bawah baik di sektor pertambangan maupun perkebunan. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Kalimantan Selatan ialah: a) masyarakat Kalimantan Selatan memiliki budaya pernikahan dini16, meskipun seorang laki-laki belum mendapat pekerjaan, pernikahan dini menjadi tren di remaja Kalimantan Selatan setelah mereka lulus sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA); b) orang tua cenderung lebih menyuruh anak-anak mereka untuk bekerja di sektor pertambangan dan perkebunan yang lebih menghasilkan uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari; c) anak-anak remaja cenderung malas sekolah jika telah tahu cara mendapatkan uang, karena tujuan sekolah pada akhirnya ialah mencari uang; d) biaya pendidikan dasar dan menengah yang relatif mahal dijangkau oleh masyarakat Kalimantan Selatan dibandingkan dengan Provinsi tetangganya di Kalimantan Timur (Kaltim)17. 4.3 Model Penanaman Budaya Inovasi Pada Masyarakat Di Indonesia, budaya inovasi belum terbentuk, yang ada saat ini ialah budaya imitasi (Sari, 2013). Program SIDa “penggemukan sapi” yang tengah dijalankan di Banyumulek-NTB dan juga program unggulan daerah sebagai embiro SIDa yang tengah dibahas oleh Pemprov Kalimantan Selatan ternyata masih merupakan hal baru bagi masyarakat sekitar. Programprogram tersebut terkesan merupakan program vertikal dari pemerintah daerah yang bekerja sama dengan pemerintah pusat. Ada tiga hal yang diperlukan dalam penanaman budaya inovasi pada masyarakat yang bermula dari kearifan lokal sebagai penguat pengetahuan inovatif dasar pada individu, kelembagaan pendidikan sebagai alat pembentuk budaya inovasi, dan iklim sekitar yang mendukung budaya inovasi diterima oleh masyarakat di suatu wilayah (Zhang dan Zhou, 2012). Pembentukan budaya inovasi di Indonesia selain diatur di dalam UU RI No.18 Tahun 2002 Tentang Sisnas P3 Iptek pada pasal 14, juga diatur di dalam peraturan bersama Menristek dan Mendagri No. 03 Tahun 2012 dan No. 36 Tahun 2012 dalam Pasal 14 yang menyatakan bahwa “Kelembagaan SIDa terdiri atas: a) lembaga/organisasi, b) peraturan, c) norma/etika/budaya.Merujuk pada Gambar 2 di bawah, elemen pertama, yaitu penanaman nilai-nilai lokal dikuatkan pada Pasal 15 ayat (3) dan Pasal 18 yang intinya bahwa pembentukan norma/etika/budaya SIDa dapat dikembangkan melalui profesionalisme dengan menginternalisasikan nilai-nilai sosial yang ada.
16
Wawancara dengan salah seorang penduduk asli Kalimantan Selatan dari suku Banjar yang berjenis kelamin laki-laki. Budaya pernikahan dini di kalangan mereka sangat tinggi, rata-rata anak-anak lulus SMP dan SMA ingin segera menikah/minta dinikahkan kepada orang tua mereka. Bahkan, informan tersebut mengatakan kalau dia sendiri sebenarnya telat menikah di umur 26/27 tahun, karena di umur tersebut, teman sebayanya (laki-laki) sudah memiliki 1-2 anak. 17 Narasumber dari pemerintah daerah Kalimantan Selatan mengemukakan bahwa Provinsi Kalimantan Timur menggratiskan program pendidikan dasar dan menengah (SD, SMP, SMA) bagi penduduknya. Bahkan Pemprov Kaltim tetap ingin menyelenggarakan pendidikan gratis di berbagai sekolah unggulan yang mereka terapkan. Untuk lebih jelasnya baca di http://www.antaranews.com/berita/357871/pemprov-kaltim-tetap-lanjutkan-sekolah-unggulan.
90
Kondisi lingkungan yang mendukung
Kelembagaan pendidikan
Pengetahuan kearifan lokal masyarakat
Pengetahuan iptek dan inovasi
Tiap individu di dalam komunitas
Pengetahuan ekonomi & kewirausahaan
Tiap individu di dalam komunitas
Pengetahuan regulasi & pemerintahan
Tiap individu di dalam komunitas
Masyarakat di suatu wilayah geografis
Sistem, kebijakan, aturan terkait pendidikan Suasana/keadaan ekonomi, politik atau faktor sosial lainnya
Budaya inovasi masyarakat
Sistem Inovasi Daerah
Sumber : Hasil modifikasi dari Taufik (2005), Zhang dan Zhou (2012), dan analisis penulis (2013)
Gambar 2
Model penanaman budaya inovasi pada masyarakat sebagai elemen utama pembentuk sistem inovasi daerah
Elemen kedua, yaitu kelembagaan pendidikan diatur dalam Pasal 15 huruf (c),(d) dan Pasal 16 ayat (3),(4) tentang pembentukan dan penataan kelembagaan pendidikan dan kelitbangan pendukung inovasi. Elemen ketiga, yaitu lingkungan ekonomi-politik-sosial yang kondusif diatur dalam Pasal 15 huruf (a) pemerintahan, (b) pemerintahan daerah, (e) lembaga penunjang inovasi, (f) dunia usaha, dan (g) organisasi kemasyarakatan di daerah, serta Pasal 16 ayat (1),(2),(5),(6),dan (7) tentang penataan kelembagaan yang termuat di dalam Pasal 15 di atas. Hal ini ditambah lagi dengan Pasal 14 huruf (b) tentang “peraturan SIDa” yang diperkuat dengan Pasal 15 ayat (2) yang menyatakan bahwa “peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 (b) merupakan ketentuan yang mendukung terciptanya kondisi yang kondusif bagi penguatan SIDa.” Legalitas tersebut menguatkan bahwa sebenarnya budaya inovasi merupakan elemen yang tidak dapat terabaikan dalam pembentukan SIDa di Indonesia. Di Indonesia pada umumnya, dengan melihat contoh implementasi SIDa di Provinsi NTB dan Kalimantan Selatan, faktor budaya/kearifan lokal yang melekat di masyarakat sekitar harus menjadi perhatian utama pemerintah sebelum menerapkan suatu kebijakan. Seringkali, nilai-nilai inovasi dari program pemerintah justru berbenturan dengan nilai-nilai adat yang dianut masyarakat di suatu daerah. Seharusnya, pemerintah dapat memberi ruang terbuka bagi individu dalam komunitas lokal untuk mengungkapkan gagasan inovatif tanpa harus melanggar nilai adat mereka. Studi Barnett dalam Vecchi and Brennan (2009) mengemukakan bahwa ada hubungan positif antara individu di dalam masyarakat dan potensi inovatifnya. Kebebasan individu yang lebih besar akan membuat mereka lebih terbuka dalam mengungkapkan opiniopininya dan sekaligus memiliki kemungkinan lebih besar nutuk munculnya ide-ide baru. Kelembagaan pendidikan harus diciptakan melalui mekanisme kebijakan dari pemerintah, aturan, dan kesepakatan antara pemerintah dan masyarakat yang mengacu pada sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Pendidikan formal dan non formal merupakan hal mutlak yang harus dibentuk oleh pemerintah untuk menanamkan nilai-nilai iptek dan inovasi, kewirausahaan, dan pemerintahan/struktur-legal yang diakulturasi dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat setempat. Nilai-nilai tersebut ditanamkan ke setiap diri individu yang ada di dalam komunitas (sebelum ke masyarakat umum) hingga komunitas tersebut mau menerima akulturasi nilai-nilai baru tersebut secara ter-
91
institutionalized18. Nilai-nilai yang sudah tertanam di dalam masyarakat dan membentuk kelembagaan baru (institutionalized), akan dijalankan oleh komunitas menjadi suatu norma/pola hidup yang lumrah bagi komunitas di dalam masyarakat. Sehingga, praktik-praktik iptek dan inovasi, kewirausahaan, dan pemerintahan dapat dijalankan oleh masyarakat tanpa berbenturan dengan nilai lokal. Kelembagaan nilai-nilai baru pembentuk budaya inovasi tidak dengan mudah berkembang secara eksis di dalam suatu tatanan sosial-ekonomi-politik yang telah stabil. Lingkungan di sekitar ternyata sangat mempengaruhi pembentukan nilai-nilai tersebut, selain pengaruh dari nilai-nilai lokal yang muncul dari masyarakat sendiri. Faktor sosial, ekonomi, dan politik baik itu yang telah terbentuk di dalam suatu masyarakat secara alamiah maupun datang dari faktor eksternal merupakan hal esensial yang harus diperhitungkan untuk menumbuhkan budaya baru di suatu masyarakat. Jika nilai-nilai baru tersebut mengganggu pola sosial, ekonomi, dan politik yang sudah ada, maka kecenderungan nilai-nilai baru tersebut akan sulit muncul atau cepat muncul dan juga akan cepat hilang. Dengan kata lain, mustahil akan terbentuk budaya inovasi di masyarakat jika lingkungan di sekitar mereka ternyata tidak mendukung tumbuhnya nilai-nilai baru yang mengarah pada penciptaan budaya inovasi. Gambaran sederhananya, jika pembentukan nilai-nilai inovatif pada masyarakat sekitar diprediksi akan membangkitkan usaha kecil masyarakat, maka otomatis industri-industri besar di bidang usaha yang sama dan telah lama berdiri, akan menolak dan menghambat munculnya nilai-nilai tersebut. Karena, industri-industri besar merasa pembentukan nilai-nilai inovasi tersebut akan mengurangi keuntungan ekonomi mereka yang selama ini mereka dapatkan. Hal ini akan semakin parah jika ternyata para pengambil keputusan dan “penguasa” di daerah tersebut lebih berpihak pada pemilik industri besar, yang mengakibatkan arah kebijakan yang diambil justru akan menghambat tumbuhnya budaya inovasi di masyarakat. Kebijakan pemerintah amat diperlukan dalam mendorong iklim ekonomi yang berbasis pada penguatan nilai lokal. Hal ini dikuatkan oleh studi Yanuarti dkk (2007) bahwa market yang bersifat predatory, umumnya terjadi di negara sedang berkembang karena instrumennya belum sempurna. Agar market dapat masuk ke ranah lokal secara bersahabat, maka instrumen dan aturan bermain yang jelas harus disiapkan agar tidak merugikan civil society. Keadaan lingkungan yang mendukung, baik dari sisi ekonomi, politik, maupun sosial akan mempermudah untuk menumbuhkan sekaligus menggiatkan nilai-nilai baru tersebut sebagai suatu tatanan baru yang diterima oleh masyarakat dan dikehendaki oleh pihak-pihak lain seperti kalangan pemerintah, politisi, pengusaha, akademisi, serta pihak lain yang merasa “menyadari” pentingnya budaya inovasi atau bahkan merasa “diuntungkan” dengan munculnya budaya inovasi. Faktor sosial lainnya, seperti masyarakat yang berada di diluar komunitas tersebut akan semakin mempermudah pembentukan budaya inovasi, jika masyarakat lain tersebut telah melihat manfaat keberhasilan pembentukan budaya inovasi di suatu daerah untuk kemudian mereka adopsi di wilayahnya. Syarat inilah yang kemudian akan membentuk budaya inovasi di masyarakat dan sebagai elemen krusial bagi program pencanangan dan implementasi SIDa di Indonesia. 4.4 Penanaman Budaya Inovasi Pada Masyarakat di NTB dan Kalimantan Selatan Praktik penerapan SIDa di Provinsi NTB terkait dengan masyarakat asli yaitu suku Sasak yang memiliki perkumpulan adat yang dinamakan krama. Studi Ismail dalam Turmuzi (2011) menyimpulkan ada dua bentuk krama yaitu krama lembaga adat dan krama pergaulan sosial19. Dua bentuk krama tersebut memiliki tiga nilai kearifan lokal berupa: 1) bidang politik 18
Menurut H.M. Johnson suatu norma terlembaga (institutionalized) apabila memenuhi tiga syarat sebagai berikut: 1) Sebagian besar anggota masyarakat atau sistem sosial menerima norma tersebut. 2) Norma tersebut menjiwai seluruh warga dalam sistem sosial tersebut. 3) Norma tersebut mempunyai sanksi yang mengikat setiap anggota masyarakat. Diakses darihttp://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/07/pengertian-lembaga-sosial/
19
Bentuk krama tersebut masih dibagi lagi sesuai dengan aturan-aturan teknis lain perihal pernikahan, kematian, sanksi sosial atas pelanggaran, musyawarah adat, dan lainnya.
92
dan kemasyarakatan, 2) bidang ekonomi dan perdagangan, dan 3) bidang tata cara bertani/berladang. Kearifan lokal tersebut merupakan sikap saling tolong menolong antar masyarakat yang dilakukan saat ada seseorang atau sebagian masyarakat mengalami kesulitan hidup. Di Kalimantan Selatan, masyarakat memiliki tradisi aruh ganal20, yaitu bentuk upacara adat yang menyatukan masyarakat dari dua suku lokal, yaitu Banjar dan Dayak yang bertujuan merumuskan langkah dan kebijakan pembangunan di wilayah mereka. Syaifullah dan Werdiono (2010) mengungkapkan bahwa sebenarnya aruh ganal pada awalnya merupakan upacara adat syukuran pada Tuhan atas berkah hasil panen yang melimpah di kampung mereka. Akan tetapi, saat ini aruh ganal juga merupakan upacara pernikahan adat, tradisi saling berbagi kasih, dan juga tradisi meminta keselamatan bagi masyarakat. Saat ini aruh ganal juga dimanfaatkan oleh masyarakat adat sebagai ajang pertemuan dengan pemuka adat untuk membahas persoalan-persoalan yang ada di wilayahnya secara musyawarah. Organisasi dan kearifan lokal, yang tumbuh dan berkembang di masyarakat lokal, perlu diberikan ruang gerak yang luas agar dapat mengekspresikan dan mengartikulasikan berbagai kebutuhan masyarakat lokal (Widodo dan Suradi, 2011). Nilai-nilai lokal masyarakat yang tertanam di dalam krama (NTB) dan aruh ganal (Kalimantan Selatan) seharusnya dapat menjadi dasar bagi penanaman pengetahuan iptek dan inovasi, pengetahuan kewirausahaan, dan pengetahuan pemerintahan (struktur-legal). Wadah masyarakat lokal untuk bermusyawarah tersebut dapat menjadi media pendidikan informal untuk menyampaikan perpaduan pengetahuan tersebut kepada tiap individu di dalam komunitas tersebut. Caranya, (petugas) pemda dapat melakukan sosialisasi dengan pendekatan kepada pemuka adat di komunitas adat tersebut. Tidak hanya pendidikan informal, pemerintah daerah berperan penting dalam menumbuhkan kelembagaan pendidikan formal terkait tiga pengetahuan tersebut berbasis kearifan lokal. Kurikulum di tingkat SD, SMP, SMA/SMK bahkan tingkat perguruan tinggi dapat disusun dengan komposisi materi pengetahuan yang mengarah pada pembentukan karakter inovasi pada siswa didiknya. Model pendidikan karakter inovatif tersebut dapat diperkuat melalui sistem praktik kerja lapangan yang berbasis inovatif dan didukung oleh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Keadaan ekonomi, politik, dan sosial lainnya juga harus terbentuk dan berfungsi untuk menangkap dan mendukung nilai-nilai baru hasil dari sistem pendidikan formal dan informal. Politisi, akademisi, pengusaha, serta komunitas lain sebagai pelaku kegiatan politik-ekonomisosial harus memiliki kesamaan visi untuk menumbuhkan budaya inovasi masyarakat di kedua daerah tersebut. Salah satu caranya dengan berdasar pada “saling memberi kepada sesama”. Pemerintah dapat memberi ruang bagi akademisi untuk melakukan kegiatan research and development (R&D), pengusaha dapat mengembangkan usahanya dengan mendapatkan supplai bahan baku dari industri/usaha masyarakat yang inovatif dan melakukan kegiatan R&D, komunitas lain dapat mengambil keuntungan dengan jaringan ini baik sebagai supplier pendukung, konsumen maupun pelaku lainnya. Sementara, politisi dapat menciptakan iklim politik yang kondusif guna berkembangnya sistem inovasi daerah yang berbasis pada kearifan lokal. Elemen-elemen di atas jika telah membentuk jaringan kuat, maka penumbuhan budaya inovasi pada masyarakat akan mudah terwujud dan berkembang di suatu wilayah. Budaya inovasi inilah yang kemudian menjadi landasan utama penerapan SIDa di Indonesia. Menguatkan hal ini, Zhang dan Zhou (2012) menyatakan bahwa budaya inovatif dibangun pada basis sumber daya dan lingkungan yang khas, terintegrasi ke dalam lingkungan inovatif daerah. Sementara itu, sistem inovasi daerah adalah suatu produk sinergi dari seluruh simpul dalam jaringan regional, termasuk organisasi bisnis, universitas, lembaga riset, dan agen pemerintah. Dengan kata lain, penanaman budaya inovasi pada masyarakat merupakan suatu “keharusan” yang dapat dibentuk oleh pemerintah dengan berdasar pada kearifan lokal.
20
Lihat profil Kalimantan Selatan di http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/Provinsi/detail/63/kalimantan-selatan
93
5. PENUTUP Budaya inovasi pada masyarakat merupakan elemen utama pembentuk Sistem Inovasi Daerah di Indonesia. Penanaman budaya inovasi dapat dilakukan melalui tiga hal yaitu penguatan kapasitas nilai-nilai lokal masyarakat, pembentukan kelembagaan pendidikan, dan membentuk lingkungan ekonomi, politik, dan sosial lainnya yang mendukung. Kelembagaan pendidikan merupakan bagian terpenting dalam menumbuhkan budaya inovasi pada masyarakat dengan menanamkan berbagai pengetahuan yang meliputi iptek dan inovasi, kewirausahaan, dan pemerintahan (struktur-legal). Peran pemerintah baik pusat maupun daerah sangat dibutuhkan untuk menciptakan iklim yang mendukung tumbuhkembangnya budaya inovasi dengan tetap memperhatikan kearifan lokal pada masyarakat di suatu daerah. Model penanaman budaya inovasi ini dapat menjadi contoh bagi model penanaman budaya inovasi pada masyarakat di daerah lainnya di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA . Antaranews. 2013. Pemprov Kaltim Tetap Lanjutkan Sekolah Unggulan. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/357871/pemprov-kaltim-tetap-lanjutkan-sekolahunggulan pada tanggal 20 September 2013 Badan Pusat Statistik Kalimantan Selatan. 2013.Ekspor Kalimantan Selatan Agustus 2013 Turun 19,42 persen dan Impor Turun 42,28 persen.. Diakses dari http://Kalimantan Selatan.bps.go.id/?set=viewBrs&flag=1&page=1&id=451pada tanggal 2 Oktober 2013. Detik Finance. 2012. Warga Kalimantan Selatan Kesal, Kaya Batubara Tapi Miskin Listrik. Diakses dari http://finance.detik.com/read/2012/10/15/170054/2063109/1034/wargaKalimantan Selatan-kesal-kaya-batubara-tapi-miskin-listrik. pada tanggal 2 Oktober 2013. Doloreux, D. and Saeed, P. 2005. Regional innovation systems: Current discourse and unresolved issues. Journal of Technology in Society 27(2): 133-153. Hatta, G. M. 2012. Sambutan Menteri Negara Riset dan Teknologi, Peluncuran SIDa NTB, 25 Februari 2012. Diakses dari http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/10453. pada tanggal 25 September 2013. Keesing, R. M. 1974. "Theories of Culture," diterjemahkan oleh Amri Marzali. Annual Review of Anthropology No. 52. Kementerian Dalam Negeri. 2011. Profil Provinsi Kalimantan Selatan. Diakses dari http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/Provinsi/detail/63/kalimantanselatan. pada tanggal 26 September 2013. Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Tahun 2011-2025. Muka P, I Ketut dan I Made, B. 2010. Gerabah Banyumulek Satu Tinjauan Budaya. Unpublished paper. Laporan Kegiatan Penelitian Fakultas Seni Rupa Dan Desain Jurusan Kriya Seni Institut Seni Indonesia Denpasar. Dibiayai Atas dana DIPA ISI Denpasar Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan NasionalNomor: 0162/023-04.2/XX/2010 tanggal 31 Desember 2009. OECD. 2011. Regions and Innovation Policy,OECD Reviews of Regional Innovation. OECD Publishing. OECD. 2013. About Organisation for Economic Co-operation and Development. Diakses dari http://www.oecd.org/about/.pada tanggal 21 September 2013. Oslo Manual. 2005. Guidelines for Collecting and Interpreting Innovation Data. Paris: OECD Publishing.
94
Pemprov
NTB. 2012. Menatap Pertumbuhan IPM di NTB. Diakses dari http://www.ntbprov.go.id/baca.php?berita=1426.pada tanggal 2 Oktober 2013. Pemprov NTB. 2013. Pendidikan Harus Mengakar Pada Budaya Bangsa. Diakses dari http://www.ntbprov.go.id/baca.php?berita=1696.pada tanggal 2 Oktober 2013. Rahmat, P., S. 2009. Penelitian Kualitatif. Jurnal Equilibrium, 5 (9):1-8. Sari, K. 2013. Inovasi dan Kemiskinan: Perbandingan Antara Indonesia dan Malaysia. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional dan Workhsop Bertema “Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan” diselenggarakan di Hotel Topas Galeria Kota Bandung pada tanggal 30September -1 Oktober 2013. Setkab. RI 2013. Akhir Tahun 2013, NTB Targetkan 1 Juta Sapi. Diakses dari http://www.setkab.go.id/nusantara-9095-akhir-2013-ntb-targetkan-satu-jutasapi.html. pada tanggal 26 September 2013. Škerlavaj, M.,Ji, H. S., Youngmin, L. 2010. Organizational learning culture, innovative culture and innovations in South Korean firms. Journal of Expert Systems with Applications 37 (9): 6390–6403. Svarc, J. -----. Socio-political factors and the failure of innovation policy in Croatia as a country in transition. Journal of Research Policy35 (1): 144-159. Syaifullah, M., dan Defri, W. 2010. Aruh Ganal: Menghormati Kemurahan Alam Ala Dayak Meratus. Diakses dari http://tanahair.kompas.com/read/2010/08/25/18035056/Aruh.Ganal.Menghormati.K emurahan.Alam.Ala.Dayak.Meratus.pada tanggal 2 Oktober 2013. Taufik, A.T. 2005. Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Unggulan Daerah dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat BPPT Bekerja sama dengan Deputi Bidang Pengembangan Sistem Iptek Nasional – KNRT. Turmuzi, A. 2011. Nilai-nilai Kearifan Lokal Masyarakat Sasak dan Transformasinya dalam Pembelajaran IPS. Diakses dari http://edukasi.kompasiana.com/2011/11/10/nilainilai-kearifan-lokal-masyarakat-sasak-dan-transformasinya-dalam-pembelajaranips-409040.html (2 Oktober 2013). Tursyn, G., Kulsariyeva, A., Sultanbayeva, G., Zhanabaeva, D., Zhumashova, Zhuldyz, A.. 2013. National Culture: Tradition and Innovation (On the Basis of Semiotic Analysis of Kazakhstan’s Capital). Procedia - Social and Behavioral Sciences, Volume 81, 28 June 2013, Pages 32-39. Vecchi, A. and Louis, B.. 2009. A cultural perspective on innovation in international manufacturing. Journal of Research in International Business and Finance 23 (2):181-192. Verloop, J. 2013. Insight in Innovation. Published by Elsevier Inc.Success in Innovation:3-16. Wartawarga. 2010. Pengertian Lembaga Sosial. Diakses dari http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/07/pengertian-lembaga-sosial/pada tanggal 25 September 2013. Widodo, N., dan Suradi. 2011. Profil dan Peranan Organisasi Lokal Dalam Pembangunan Masyarakat. Sosiokonsepsia, 16 (02): 197-208. World Bank. 2010. Innovation Policy: A Guide for Developing Countries. Washington: World Bank. Yanuarti, S.,Thung, J. L., Leolita, M., Josephine, R. M., Mardyanto, Tryatmoko,W. 2007. Capacity Building: Kelembagaan Pemerintah dan Masyarakat di Tingkat Lokal Dalam Pengelolaan Konflik di Maluku. Jakarta: LIPI Press. Zhang, Y. and and Yao Lie, Z. 2012. An Empirical Study on Innovative Culture from the View of Educational Factors. International Conference on Future Electrical Power and Energy Systems within Energy Procedia (17), Part A: 700-705.
95
Regulasi Undang-undang RI No. 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Peraturan Bersama Menteri Negara Riset dan Teknologi RI dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 03 Tahun 2012 dan Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Penguatan Sistem Inovasi Daerah.
96
PEMANFAATAN INOVASI HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN (STUDI KASUS PABRIK GULA DI INDONESIA DALAM TINJAUAN EKONOMI) Ahmad Zafrullah Tayibnapis Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Surabaya Kampus Ubaya, Tenggilis Mejoyo – Surabaya e-mail :
[email protected] ABSTRAK Dewasa ini pabrik gula makin kesulitan memperoleh laba marjin karena tingginya biaya operasional, sementara harga gula ditentukan oleh pemerintah. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk memberdayakan petani tebu dan pabrik gula.Akan tetapi, hingga kini pabrik gula merugi sebagai akibat dari inefisiensi pada tingkat on farm dan off farm serta rendahnya tingkat produktivitas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan pandangan kepada pemerintah agar membuka diri terhadap sumber-sumber alternatif energi listrik. Mengingat sumber energi makin tidak mencukupi dan sumber bahan bakar minyak semakin mahal dan langka, batu bara semakin berkurang, dan sejumlah 66 pabrik gula dalam posisi merugi. Hal ini menyebabkan harga gula impor lebih murah di pasar nasional dengan biaya operasional yang tinggi karena terkait dengan biaya peralatan yang sangat tinggi. Pabrik gula sebaiknya melakukan usaha diversifikasi melalui bisnis turunan tebu non gula, seperti ampas tebu digunakan untuk menghasilkan energi listrik, briket, dan bahan bakar sebagaimana yang telah dilaksanakan India, Mauritius, Brazil dan Hawaii. Pada industri berbasis tebu yang modern, setiap 1 ton tebu setelah diproses akan mampu menghasilkan surplus power 100 kw, bioethanol 12 liter dan biokompos 40 kg. Pabrik gula BUMN rata-rata menghasilkan 7,32 juta ton ampas atau 32 % dari jumlah tebu giling dan 1,12 juta ton tetes (4,9%) serta 800.000 ton blotong (3,5%). Pengusahaan energi listrik dari ampas tebu melalui cogeneration patut dipertimbangkan Kementerian BUMN, karena dapat dijadikan sandaran hidup pabrik gula untuk menghasilkan laba usaha dengan maksimal. Apabila diasumsikan setiap 1 ton dapat menghasilkan 300 kg ampas tebu, maka diperoleh listrik rata-rata 100 kw, dan kalau ada 10 pabrik gula BUMN, maka akan diperoleh listrik 225 megawatt. Produksi listrik juga dapat diperoleh dari etanol untuk menghasilkan 37.440 MWH dan sangat ramah lingkungan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa tebu tidak hanya dapat dimanfaatkan oleh pabrik gula, tetapi ampasnya dapat digunakan sebagai penghasil listrik. Hal lain yang dapat disimpulkan dari penelitian ini bahwa diperlukan dukungan investasi dari Pemerintah, dimana dengan investasi yang tidak terlalu besar modal dapat kembali dalam jangka waktu tujuh tahun. Selain itu diperlukan pula Undang-undang dari Pusat investasi hingga tataran peraturan daerah. Kata kunci : inovasi, hasil litbang, industri berbasis tebu, cogeneration plant
1. PENDAHULUAN Tebu merupakan salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai peranan dan posisi penting dalam sektor industri pengolahan di Indonesia. Tanaman tebu merupakan bahan baku untuk industri gula, dan tidak hanya menghasilkan gula untuk masyarakat, tetapi juga gula sebagai bahan baku industri makanan-minuman serta produk-produk lain, seperti energi, serta, blotong, tetes, dan lain-lain yang merupakan hasil ikutannya. Industri gula, tanaman tebu, dan hasil ikutannya mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi dan mampu menyerap tenaga kerja begitu besar. Pengembangan tanaman tebu dan hablur tanaman tebu serta efisiensi pabrik gula yang berkesinambungan menjadi kebutuhan utama, mengingat peluang untuk mengembangkan industri gula masih terbuka lebar. Hanya saja kecurigaan atara petani tebu dengan pabrik gula mengenai penetapan rendemen tebu masih menjadi permasalahan sensitif di lapangan, dan rentan potensi konflik. Petani tebu hingga kini masih diliputi kondisi ketidaksejahteraan, ketidakadilan, ketidakpercayaan, dan ketidakberdayaan di tengah-tengah harga gula dan kebutuhan nasional sangat tinggi. 97
Peran pabrik gula sangat menentukan dalam rangka pencapaian peningkatan rendemen dan hablur serta memberdayakan petani tebu agar tercipta sinergitas antara pabrik gula, petani tebu dan pemerintah; termasuk hubungan harmonis dan saling menguntungkan dengan pengusaha gula, pedagang, dan para pemangku kepentingan. Permasalahan mendasar saat ini dan ke depan adalah kesulitan pabrik gula di Indonesia untuk memperoleh laba margin, dan sebagian lagi sudah merugi karena tingginya biaya operasional, inefisiensi pada tingkat on farm dan off farm, serta rendahnya tingkat produktivitas. Harga gula tidak mengikuti mekanisme pasar, dan wajib mengikuti penetapan pemerintah karena gula merupakan salah satu komoditi kebutuhan pokok rakyat dan berpengaruh cukup signifikan terhadap inflasi. Apalagi harga gula impor ternyata lebih murah dan menarik setelah ada di pasar. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk memberdayakan petani tebu dan pabrik gula agar tetap bertahan di dalam pasar, seperti revitalisasi industri berbasis tebu, program bongkar ratoon, peningkatan rendemen dan hablur tanaman tebu, dan lain-lain. Namun, strategi dan sasaran revitalisasi selalu gagal dan lunglai di tengah jalan. Hal yang berbeda terjadi di Brazil, India dan Thailand yang justru berjaya karena kemampuan melakukan diversifiksi usaha dengan menggarap produk turunan tebu yang dimanfaatkan secara ekonomis dan keberhasilan melakukan transformasi menjadi industri berbasis tebu secara terintegrasi dari hulu ke hilir. Pemerintah Indonesia tampaknya tetap menginginkan optimalisasi dengan cara mengoperasikan pabrik gula pada kapasitas tertentu dengan mempertimbangkan keseluruhan stasiun sebagai suatu kesatuan dan antar stasiun di harmonisasikan dalam satu kesatuan gerak untuk mencapai kinerja yang paling optimal. Namun para pemangku kepentingan mungkin lupa kalau ada resiko yang seharusnya diperhitungkan, seperti tingkat kehilangan gula, kualitas produk yang menurun, meningkatnya biaya perawatan, melubernya nira kental, kenaikan harga bahan bakar minyak, harga gula yang dikendalikan pemerintah, harga gula impor yang relatif lebih murah di pasar, dan lain-lain. Dengan demikian harus ada keberanian untuk melakuakn terobosan agar pabrik gula tidak tergantung pada produksi gula saja sebagai sumber penciptaan laba usaha, dan saatnya menggarap produk-produk turunan tebu yang bernilai ekonomi tinggi, seperti ampas tebu dipergunakan untuk menghasilkan energi listrik, briket, bahan bakar, pulp, kertas, kardus, papan partikel, dan papan serat. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini masuk dalam kategori deskriptif-kualitatif, yakni menganalisis secara keekonomian kondisi terkini pabrik gula di Indonesia, dan penelitian ini ditujukan pada kondisi obyek yang alamiah dimana peneliti merupakan instrumen kunci. Analisis data bersifat induktif dengan menekankan pada makna daripada generalisasi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari sumbernya yakni pabrik gula Ngadirejo Kabupaten Kediri dan pabrik gula Pesantren Baru Kota Kediri. Selanjutnya data sekunder berasal dari PTPN X (Persero) dan data lain dari literatur atau jurnal. Data yang berhasil dikumpulkan, baik primer maupun sekunder, digabungkan untuk melakukan analisis secara deskriptif dari interpretasi obyek yang dipelajari guna memperoleh kesimpulan. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Dilema Industri Tebu Di Indonesia Industri tebu di Indonesia pada 2012 telah memproduksi gula sebagai produk utama sebesar 2,5 juta ton dan mengalami peningkatan dibanding 2011 yang sekitar 2,2 juta ton. Produksi gula 2,5 juta ton sejatinya di bawah target pemerintah yakni 3,1 juta ton gula konsumsi. Selanjutnya biaya produksi gula di PTPN rata-rata sekitar Rp. 6.860,- per kilogram, padahal seharusnya sekitar Rp. 5.800,- karena ketergantungan pada BBM, penggunaan 98
teknologi yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini, dan tingginya kebocoran serta tumpahan dalam mata rantai produksi di pakrik gula. Kapasitas giling dari 62 pabrik gula yang ada di Indonesia seharusnya mampu mencapai 205.000 ton tebu per hari. Apabila diasumsikan 170 hari giling dan rendemen 9% atau 3,1 juta ton gula per ton. Kenyataan hanya mampu merealisasi 2,5 juta ton pada 2012, dan itu berarti Indonesia tetap harus impor gula setiap tahun dari Brazil, India, dan Thailand. Sebagai komoditas yang diatur sangat ketat di negeri ini membuat pabrik gula (PG) berada dipersimpangan jalan, yakni di satu sisi biaya produksi gula senantiasa meningkat seiring dengan kenaikan harga tebu yang harus dibeli dari petani tebu dan peningkatan UMK setiap tahun; di sisi lain harga gula tidak bisa dibentuk pada tingkat yang menjanjikan marjin memadai karena perhitungan daya beli konsumen dan intervensi pemerintah pada saat harga gula merangkak naik, padahal kalau mencermati perkembangan harga gula kristal putih (GKP) sejak tahun 2007 hingga tahun 2012 menunjukkan harga impor dunia masih lebih rendah dibanding harga GKP, ini berarti harga gula nasional sulit bersaing dengan gula impor. Apalagi pemerintah dengan mudahnya menurunkan bea masuk gula impor. Beranjak dari situasi dan kondisi tersebut maka tidak mudah bagi pabrik gula untuk memperoleh hasil marjin, dan pendapatan dari produksi gula dalam satu musim giling hanya cukup untuk gaji karyawan, operasional perusahaan, dan dividen kepada pemegang saham. Jadi tidaklah mengherankan kalau beberapa pabrik gula membukukan kerugian. Dalam kehidupan berbisnis yang sehat, marjin usaha diperlukan untuk modal melakukan ekspansi dan peningkatan kapasitas produksi gula guna memenuhi jumlah kebutuhan gula di dalam negeri yang terus meningkat. Saat ini terdapat 62 pabrik gula di Indonesia dengan kapasitas pabrik berkisar 2500 ton tebu per hari (TCD) sampai 6000 TCD. Ada beberapa pabrik gula yang berkapasitas 12.000 TCD sampai 14.000 TCD seperti, PG. Indo Lampung dan PG. Gunung Madu; namun ada pula pabrik gula yang memiliki kapasitas kecil, yakni 1000 TCD sampa 1.500 TCD dengan teknologi yang digunakan relatif ketinggalan jaman. Patut dicermati bahwa ada sejumlah pabrik gula yang memiliki stasiun gilingan dengan kapasitas terpasang 10.000 TCD, namun boiler, stasiun pemurnian, dan stasiun puteran hanya berkapasitas maksimal 6000 TCD. Manakala pabrik gula dipaksa beroperasi pada kapasitas 10.000 TCD maka dapat dipastikan akan terjadi tingkat kehilangan gula, jam berhenti giling, dan kerusakan alat akan terjadi dengan intensitas tinggi sehingga kemungkinan besar hanya akan bisa beroperasi pada kapasitas 10.000 TCD selama 2 hari saja, dan hari berikutnya pabrik gula harus memberhentikan operasinya karena nira kental meluber (Subiyono, 2013). Keinginan pemerintah untuk mengoptimalkan kapasitas giling ke tingkat 10.000 TCD dapat saja diwujudkan apabila tersedia dana investasi berskala besar, melakukan desain ulang terhadap alat-alat perpipaan dan perpompaan, serta mengubah lay out pabrik gula. Ketiga hal tersebut tampaknya tidak mudah diwujudkan saat ini, mengingat pabrik gula di Indonesia saat ini yang memiliki teknologi dan peralatan usang sebanyak 33 PG, dan kategori sedang berjumlah 14 PG. Jadi sebenarnya hanya 15 PG saja yang memiliki teknologi dan peralatan sangat baik. Kajian P3GI (2007) menyimpulkan bahwa ada 10 jenis produk hilir tebu yang dapat dikategorikan sebagai produk unggulan, dan 6 jenis diantaranya berbahan baku tetes. Selanjutnya ada 1 jenis produk bisa didapatkan dari tetes atau nira, dan 3 jenis produk lainnya didapatkan dari ampas tebu. Lebih jauh P3GI menjelaskan bahwa produk-produk turunan tebu yang potensial hanya membutuhkan proses teknologi dalam skala yang medium saja, namun membutuhkan nilai investasi yang tinggi, yakni sekitar USD 3000 hingga USD 8000 per ton bahan per tahun. Secara keekonomian, nilai investasi yang tinggi itu layak karena perolehan laba usaha sangat menjanjikan dan memiliki prospek yang baik untuk pasar produk turunan komoditas tebu. Toharisman dan Kurniawan (2012) menjelaskan bahwa ada 45 pabrik ko produk tebu yang menghasilkan 14 jenis produk, dan 60% dari pabrik-pabrik tersebut sama sekali tak bergerak dalam bisnis pengolahan tebu.
99
Temuan P3GI, Toharisman dan Kurniawan dapat dijadikan acuan bahwa pabrik gula di Indonesia harus menjadi beyond sugar dan bertransformasi menjadi industri berbasis tebu terintegrasi dari hulu ke hilir. Diversifikasi produk turunan tebu dapat menjadi sandaran kinerja perusahaan gula atau dengan kata lain kinerja keuangan pabrik gula akan lebih banyak ditopang oleh pengembangan pasar produk hilir tebu non gula karena mampu berkontribusi hingga 60% terhadap jumlah pendapatan pabrik gula.
3.2 Co-generation Sebagai Sandaran Pendapatan Pabrik Gula Produk turunan tebu per satuan luas lahan dapat mencetak pendapatan 2 hingga 4 kali lipat dibanding pendapatan dari produksi gula. Bahkan, ada produk hilir tebu tertentu yang mampu mencapai nilai 500% sampai 700% dibanding harga gula. Dalam industri berbasis tebu yang modern mampu mewujudkan setiap satu ton tebu setelah diproses ternyata bisa menghasilkan surplus power 100 KW, bioethanol sebanyak 12 liter, dan biokompos 40 kg (Subiyono, 2013). Sebagai ilustrasi, pada 2010 luas tanam tebu pabrik gula BUMN bisa mencapai sekitar 286,6 ribu hektar dengan tebu giling 22,87 juta ton dan mampu menghasilkan 7,32 juta ton ampas atau 32% dari jumlah tebu giling serta 1,12 juta ton tetes atau 4,9% dan 800.000 ton blotong atau 3,5%. Dalam pemanenan tebu juga masih bisa dihasilkan 2,8 juta ton pucuk dan serasah. Ini berarti bahwa bahan baku tersebut ternyata cukup besarnya jumlahnya untuk diproses lebih lanjut menjadi produk dengan nilai tambah ekonomi yang tinggi. Salah satu produk turunan tebu yang berpotensi pasar tinggi adalah bioethanol dan cogeneration. Bioethanol dapat diproduksi dari tetes tebu atau molases, dan cogeneration berasal dari pengolahan ampas tebu menjadi listrik. Menurut WADE (2004) bahwa 26% pembangkitan listrik di Mauritius dan 10% di Hawaii berasal dari pabrik gula. Pengalaman di India adalah sangat berharga bagi Indonesia untuk tidak lagi berfokus ke energi fosil yang saat ini masih mendominasi sekitar 94% dengan rincian 47% berasal dari minyak bumi, kemudian 24% berasal dari gas bumi, dan 23% berasal dari batubara. Sementara itu, pemanfaatan energi baru terbarukan hanya 6% saja. Patut direnungkan bahwa pemadaman listrik masih terjadi di banyak kawasan di Indonesia, dan lebih dari 20% keluarga di Indonesia belum memiliki akses terhadap listrik. Pangkal persoalan kelistrikan ini adalah ketergantungan yang tinggi pada pembangkit berbahan bakar fosil. Status energi nasional dewasa ini makin ke arah suram karena stok minyak crude ataupun produk-produk lain sudah pada titik kritis dan rentan terhadap gangguan dalam skala apapun. Kapasitas terpasang instalasi listrik juga diambang batas kritis tanpa cadangan. Sementara itu, permintaan akan listrik terus meningkat tajam dan pengembangan energi alternatif berjalan lamban serta menghadapi banyak rintangan dan ketidakpastian. Brazil dan India merupakan contoh negara yang berhasil menjadikan tebu sebagai sandaran utama energi terbarukan dimana tebu menyumbang sekitar 18% dari jumlah kebutuhan energi di Brazil dan lebih dari setengah kebutuhan gasoline di Brazil telah diganti oleh bioethanol berbasis tebu. Hal yang sama juga terjadi di India dimana banyak pabrik gula berkapasitas menengah pada kisaran 4500 TCD telah terintegrasi dengan produksi ko produk, khususnya co-generation dan bioethanol. Sebagai contoh NSL Sugars Limited dan Boumar Amman yang ada di Karnataka State yang sudah mampu menghasilkan listrik 30 MW dan etanol 120 kilo liter per hari, padahal di India terdapat 500 pabrik gula yang diperkirakan akan mampu mengimbangi tingkat konsumsi gula sebanyak 28,5 juta ton pada 2017 dengan melibatkan sedikitnya 50 juta petani. Di India, cogeneration (produksi listrik asal ampas tebu) menjadi andalan industri pertebuan. Berdasarkan data 2007 diperoleh gambaran bahwa sekitar 492 pabrik gula, ternyata ada 145 diantaranya telah terinstalasi dengan fasilitas cogeneration. Bahkan saat ini potensi listrik asal cogeneration telah mencapai 10.500 MW, dan untuk memenuhi operasional pabrik sendiri sekitar 3500 MW, hal ini berarti terdapat potensi listrik yang bisa dijual mencapai 7000 MW. 100
Pengalaman program cogeneration di pabrik gula Ngadirejo Kabupaten Kediri dapat dijadikan panduan untuk melaksanakan cogeneration di Indonesia, sekaligus dapat dijadikan dasar Kajian Akademik untuk menyusun Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tentang energi non fosil. Peraturan perundang-undangan sangat penting dan strategis agar tidak terjadi tindak kriminalisasi terhadap pimpinan pabrik gula dengan tuduhan merugikan negara, seperti kasus yang menimpa CHEVRON dan IM2. Nilai investasi untuk program cogeneration di pabrik gula Ngadirejo Kabupaten Kediri sekitar Rp. 310,40 miliar untuk 5 gilingan, ketel Takuna, ketel Stork, boiler dan TA ECT 40 MW. Apabila perkiraan nilai jual listrik sebesar Rp. 104, 89 miliar, maka periode waktu pengembalian adalah 3 tahun. Berdasarkan tabel I, maka cogeneration yang mengolah ampas tebu menjadi listrik andaikata diberlakukan untuk 10 pabrik gula di lingkungan PTPN X (Persero) saja maka dapat diperoleh pendapatan sekita Rp. 633,89 miliar hingga Rp. 684,51 miliar dengan asumsi bahwa setiap 1 ton tebu akan menghasilkan 300 kg ampas tebu dan produk listrik rata-rata 100 KW serta potensi listrik yang dihasilkan mecapai 225 megawatt (MW). Sesuai dengan namanya, cogeneration plant (CP) atau Combine Heat and Power Plant (CHP) adalah produksi panas atau uap dan power listrik secara bersamaan atau simultan dari satu sumber bahan bakar, dengan memaksimalkan pemanfaatan energi. Uap panas nantinya akan digunakan untuk kebutuhan produksi di pabrik dan energi listrik yang dihasilkan akan dijual kepada PLN untuk selanjutnya dialirkan ke masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa ampas tebu termasuk bioenergi yang terbarukan, dan selama proses budidaya tebu dan produksi pabrik gula tetap berjalan, dimana sumber energi dari ampas tebu tidak akan habis. Berbeda dengan batubara dan minyak bumi yang sekian tahun lagi akan habis dan tidak dapat tergantikan. Cogeneration selain ramah lingkungan, juga telah terbukti lebih efisien dibandingkan dengan pembangkit listrik konvensional, karena pada pembangkit konvensional terbukti energi yang terbuang bisa mencapai 60-70%. Keadaan ini jauh berbeda dibandingkan CHP Plant, yang mana energi listrik dan panas untuk bisa digunakan mencapai 90% atau energi yang terbuang hanya 10%. Di pabrik gula Ngadirejo Kabupaten Kediri memiliki kapasitas ketel sebesar 175 ton per jam dan kapasitas terpasang turbin alternator sebesar 8 MW. Dengan kebutuhan listrik untuk operasional pabrik gula sebesar 4,5-5 MW, maka di dapatkan potensi yang bisa di ekspor ke jaringan PLN sebesar 2-2,5 MW. Di samping PG. Ngadirejo, PTPN X juga menetapkan PG. Pesantren Baru Kota Kediri sebagai pilot ptoject dan prototypeCHP Plant. Ampas tebu PG. Pesantren Baru sekitar 30% dan uap sekitar 52%. Kemampuan kapasitas giling saat ini sekitar 6200 TCD dengan produksi ampas sebesar 1860 ton per hari atau 77,5 ton per jam ampas. Kebutuhan ampas yang diperlukan untuk produksi sebesar 60 ton per jam ampas sehingga didapatkan surplus 17,5 ton per jam ampas. Dengan perhitungan tertentu maka didapatkan potensi pembangkitan sebesar 3,2 MW atau sekitar 3 MW dengan asumsi dilaksanakan saat musim giling atau kurang lebih selama 150 hari.
101
Tabel 1 Investasi untuk Program Cogeneration di PG Ngadirejo Barang Gilingan 1 : 750 KW Gearbox HSR 750 KW Gilingan 2 : 750 KW Gearbox HSR 750 KW Gilingan 3 : 750 KW Gearbox HSR 750 KW Gilingan 4 : 750 KW Gearbox HSR 750 KW Gilingan 5 : 750 KW Gearbox HSR 750 KW CC 1 : 450 KW CC 2 : 10.000 KW Unigrator : 1.300 KW Ketel Takuma 1. IDF – 200 KW Inverter FVD 2. FDP – 90 KW Inverter FVD 3. FWP – 355 KW Inverter FVD Ketel Stork 1. IDF – 550 KW Inverter FVD 2. FDP – 120 KW Inverter FVD 1. FWP – 355 KW Inverter FVD Boiler 160 Ton per Jam 80 Bar TA ECT 40 MW (Extraction Condensing Turbin Generator) Jumlah
Nilai Investasi (Rp Miliar) 12 12 12 12 12 0,65 1,5 4,1 0,74 0,36 0,60 1,50 0,45 0,50 160 80 310,40
Sumber : PTPN X, 2013 Untuk bisa mendapatkan hasil yang maksimal tentu dibutuhkan serangkaian proses, yakni mulai dari kelancaran pasokan bahan baku tebu hingga kelancaran produksi di pabrik agar menghasilkan ampas yang banyak, hal ini berarti dibutuhkan kecermatan mulai dari kebun hingga pabrik dan harus dikelola dengan baik agar cogeneration bisa berjalan dengan baik, termasuk kemampuan pabrik gula harus bisa menghemat pemakaian energi uap di saat processing. Kondisi ideal yang harus dipenuhi untuk mengembangkan cogeneration adalah keberlangsungan pasokan tebu harus tetap terjaga agar tetap lancar, tepat waktu dan terpenuhi kebutuhannya. Pabrik gula harus berjalan lancar, jam berhenti rendah dan efisien dalam penggunaan energi tinggi. Syarat lain yang harus juga dipenuhi yaitu ekstraksi gilingan berjalan prima, pol ampas di bawah 2% dan Zk di atas 49%. Selanjutnya boiling house dapat hemat energi, hari giling panjang, dan permintaan energi untuk proses mekanik 16 KWH/t come. Efisiensi panas boiler berada di angka 85%, efisiensi isentropis turbin uap 80%, efisiensi isentropis pompa 80%, efisiensi generator listrik 96%, dan efisiensi mesin listrik gilingan 89%. Syarat-syarat tersebut hanya dapat dipenuhi dari ketel yang bertekanan tinggi, yakni lebih dari 80 bar (Totok Sarwo Edi, 2013). Dibalik semangat untuk mewujudkan cogeneration plant dan bioethanol sebagai sandaran baru pendapatan pabrik gula, ternyata masih ada sejumlah kendala yang dihadapi pabrik gula di Indonesia, yakni: (1) masih ada PG yang mengalami defisit dalam ketersediaan ampas sehingga harus di suplai dari PG lain; (2) belum adanya kesepakatan dari PLN membeli energi listrik dari bahan baku ampas; (3) pasokan tebu yang masih kurang dan tidak lancar serta pabrik yang boros energi; dan (4) Pemerintah Daerah belum siap untuk menerbitkan Izin Usaha Kelistrikan Sendiri (IUKS) karena belum ada Peraturan Daerah yang mengaturnya.
4. KESIMPULAN Industri gula nasional sudah saatnya berani beyond sugar dan bertransformasi menjadi industri berbasis tebu dari hulu ke hilir, mengingat biaya produksi terus meningkat serta sulit 102
memperoleh hasil marjin. Harga gula saat ini cenderung fluktuatif, kran impor gula sangat terbuka dengan dalih memenuhi kebutuhan dalam negeri dan mencegah inflasi, sehingga pabrik gula sebaiknya fokus menggarap bisnis turunan tebu non gula. Contoh dari bisnis turunan tebu non gula ini antara lain seperti ampas tebu yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan energi listrik, briket, bahan bakar, serat, bioethanol, amonia, pakan ternak, dan lain-lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan dapat dijadikan sandaran pendapatan pabrik gula ke depan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Panitia Seminar Nasional Pengembangan Iptek 2013 – Pappiptek LIPI sehingga penelitian ini dapat diseminarkan pada tingkat nasional. Terima kasih kepada Ir. Subiyono, MMA. dan Ir. Cipto Budiono yang begitu banyak memberikan informasi tentang industri berbasis tebu, khususnya terkait cogeneration Plant dan bioethanol.
DAFTAR PUSTAKA International Sugar Organization, 2009. Cogeneration: Opportunities in the World Sugar Industry. Kartodirjo, S. dan Suryo, D. 1991. Sejarah Perkebunan Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media. Muin, A. 2013 Lampu Kuning Energi. Kompas. Diakses dari (alamat website?) pada tanggal11 Juni 2013, hal. 7 Night, G.R., Kaum Tani dan Budidaya Tebu di Pulau Jawa Abad Ke-19: Studi dari Karesidenan Pekalongan 1830-1870. dalam Booth, Anne (et al), 1988. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), 2008. Konsep Peningkatan Rendemen Untuk Mendukung Program Akselerasi Industri Gula Nasional. Pasuruan: P3GI Subiyono dan Wibowo,R., 2005. Agribisnis Tebu: Membuka Ruang Masa Depan Indusrti Berbasis Tebu Jawa Timur. Jakarta: Perhepi Subiyono, 2013. Strategi Terpadu Membangun Kembali Kejayaan Industri Berbasis Tebu di Indonesia, Makalah, Kuliah Umum di Universitas Negeri Jember, 6 Februari 2013. Suwandi,A., 2010. Pemantau Independen Produksi Gula, Kompas, 20 Agustus 2010 Toharisman, Aris dan Yahya Kurniawan, 2012. Prospek dan Peluang Koproduk Berbasis Tebu. Dalam Khrisnamurti, Bayu (ed), 2012. Ekonomi Gula. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Totok Sarwo Edi, 2013. Coger Tidak Perlu Dana Besar, PTPN X mag, vol. 007/Th. III, JanuariMaret 2013, hal. 47 WADE, 2004. Bagasse Cogeneration: Global Review and Potential. Wahyuni, S., dkk, 2009. Industri dan Perdagangan Gula di Indonesia: Pembelajaran dari Kebijakan Zaman Penjajahan-Sekarang. Bogor. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
103
RANCANGAN USAHA MENGURAI STAGNASI INOVASI DI PERGURUAN TINGGI:PERAN TRI DHARMA DENGAN DHARMA PERTAMA PENELITIAN (PENGEMBANGAN) Raden Arum Setia Priadi Fakultas Teknik Universitas Lampung Jln. Sumantri Brojonegoro No. 1 Gedung Meneng, Rajabasa, Bandar Lampung E-mail:
[email protected]
Abstrak Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan informasi kepada pimpinan di perguruan tinggi dalam upaya mengurai stagnasi inovasi yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi, dengan kasus di Universitas Lampung. Upaya mengurai stagnasi inovasi di perguruan tinggi diperoleh melalui kajian literatur dan kegiatan yang dilakukan oleh universitas. Metode kajian adalah menelaah info dari internet dan intranet dan membuat pemodelan. Hasil kajian mencakup hal-hal berikut ini: Kreativitas Sivitas Akademik; Kepemimpinan Rektor, danTechno-Preneurship Sentra HKI. Kreativitas bertumpu pada dosen dan mahasiswa. Kepemimpinan rektor perlu ditunjukkan dengan kehadirannya dihadapan mahasiswa dan dosen serta tenaga pendukungnya pada semua fakultas dan jurusan untuk memotivasi mereka dan mengarahkan untuk berinovasi. Pimpinan mampu membangkitkan techno-preneurship dengan menggandeng Sentra HKI dalam seluruh kegiatannya. Hasil kajian juga mencakup implementasi manajemen inovasi dan intermediasinya. Dengan manajemen inovasi diharapkan dapat memperlancar intermediasi antara inovator/inventor dengan para pengusaha mitra kerja kampus. Selain itu, Lembaga Penelitian perlu mengelola sistem insentif dan inovasi yang terintegrasi dengan fakultas dan jurusan berupa kompetisi inovasi, proposal pelaksanaan penelitian insentif riset sistem inovasi dan pembangunan sistem inovasi nasional dan daerah. Pemanfaatan inovasi hasil penelitian (pengembangan) dapat diusulkan melalui proposal pengabdian masyarakat dan kuliah kerja nyata, baik dengan kerja sama Pemda maupun pihak swasta/industri Akhirnya inventarisasi hambatan inovasi berbasis penelitian (pengembangan) dengan mitra industri dapat diidentifikasi.
Kata kunci : inovasi, perguruan tinggi, penelitian, motivasi, invensi, Sentra Hak Kekayaan Intelektual
1. PENDAHULUAN Tujuan penulisan adalah melaksanakan fungsi PNS yaitu telaah staf untuk pimpinan karena penulis adalah Sekretaris Sentra HKI yang merupakan organ/bagian dari Lembaga Penelitian. Ketua Sentra HKI dirangkap oleh Ketua Lembaga Penelitian. Dengan pembuatan telaah staf, diharapkan keputusan yang diambil oleh pimpinan mendekati tepat sasaran dan efektif. Dengan menelaah info dari internet dan intranet dan membuat pemodelan, penulis mengidentifikasi apakah stakeholder terkait inovasi di perguruan tinggi (universitas Lampung) sudah mendesiminasikan pengetahuannya di internet. Pemodelan dibuat dalam rangka menganalisis sistem (inovasi) secara terstruktur agar dapat menspesifikasi sistem itu. Menurut Dr.Ir.Nugroho In Saputro,MM dalam tulisannya berjudul “Telaah Staf Paripurna” (2013) diketahui bahwa “Pimpinan dalam bekerjanya perlu dibantu oleh sekelompok staf yang berkualitas. Staf pimpinan tersebut dapat dikelompokkan dalam staf pribadi, staf khusus, dan staf umum. Kesemua staf tersebut mempunyai tugas meringankan pelaksanaan tugas pimpinan sehingga pimpinan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik”. Sebagai staf umum, Sekretaris Sentra HKI memerlukan diagram aliran data terkait sistem inovasi di perguruan tingginya agar pimpinan dapat mengurai stagnasi inovasi di perguruan tingginya bila mana terjadi. Hanya sedikit PTN yang menjadi BHMN. Hanya sedikit PTS yang komponen SPP dari mahasiswa menduduki saham kecil dalam postur anggaran penerimaan dan belanja perguruan tinggi. Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa ada stagnasi inovasi di perguruan tinggi tersebut. Amat sedikit perguruan tinggi yang memaksimalkan 104
potensi inovasi dari sivitas akademiknya. Hal ini ditunjukkan dengan sedikitnya Sentra HKI atau Kantor Manajemen HKI yang aktif di sedikit perguruan tinggi. Bagaimana kita melakukan kompetisi inovasi sosial? Hasil inovasi jangan hanya menjadi pajangan di perpustakaan. Bagaimana kita bisa meneladani IPB sebagai perguruan tinggi paling inovatif di Indonesia? Bagaimana kita bisa melakukan kerja sama dengan dunia usaha untuk penghiliran berbagai hasil inovasi perguruan tinggi? Bagaimana usaha kita menggali keunikan dan karyakan inovasi dengan melakukan inisiasi bagi para mahasiswa baru via himpunan mahasiswanya? Menurut LPIK ITB (2013), potensi inovasi di Indonesia menjadi lemah karena adanya kesenjangan komunikasi antara lembaga riset khususnya perguruan tinggi dengan industri. Pernah diusulkan kontes inovasi di Universitas Lampung oleh Sentra HKI tetapi respon pimpinan mengabaikan dan mendiamkan usulan itu. Apakah harus dibentuk dulu Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan seperti di ITB? Hal ini jauh dari semangat kita yaitu miskin struktur kaya fungsi, mengurangi tunjangan jabatan, menambah dana program. 2. METODOLOGI Metode kajian adalah menelaah info dari internet dan intranet dan membuat pemodelan. Literature review, studi literatur dilakukan dengan me-reviewtext book, jurnal ilmiah, website, blog, dan sumber-sumber online yang tersedia di internet. Pemodelan dilakukan untuk mempermudah analisis sistem (man-made systemssocial systems yaitu decision-supportsystems dan strategic planning systems).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Kreativitas Sivitas Akademik, Kepemimpinan Rektor, Dan Techno-Preneurship Sentra Hki Kreativitas bertumpu pada dosen dan mahasiswa. Kepemimpinan rektor perlu ditunjukkan dengan kehadirannya di hadapan semua fakultas dan jurusan untuk memotivasi kreativitas maupun mengarahkan techno-preneurship. Hal ini dapat dilakukanrektor dengan menggandeng Sentra HKI dalam setiap pertemuan dengan fakultas dan jurusan. Perguruan tinggi merupakan knowledge based business bertumpu pada kreativitas para dosen dan mahasiswanya. Oleh karena itu, perguruan tinggi harus memfasilitasi mereka, termasuk memberikan dana penelitian. Selama ini perguruan tinggi sudah banyak memberi dana penelitian bagi para dosen. Demikian juga dengan pengurusan program kreativitas mahasiswa sudah maksimal dilakukan. Sayangnya, kebanyakan hasil kreativitas dosen dan mahasiswa ini berujung pada jurnal dan buku yang tersimpan pada rak perpustakaan. Jarang ada pengusaha yang mencoba menggunakan hasil karya mereka menjadi produk yang bernilai komersial tinggi. Hal ini dialami juga oleh Jurusan Teknik Elektro Unila. Begitu banyak hasil karya inovasi para dosen dan mahasiswanya yang punya nilai jual /komersial tetapi belum didaftarkan patennya dan otomatis tidak ada lisensi oleh berbagai perusahaan. Belajar dari “blusukan” Jokowi sebagai Gubernur Provinsi DKI Jakarta, nampaknya kepemimpinan Rektor perlu melakukan hal yang sama menjadi mister fix, menembak masalah di tempat dengan solusi yang sesuai. Jangan hanya seremonial semata, keliling kampus tiada arti. Banyak masalah tersebar di berbagai jurusan bukan hanya di kantor rektor. Diharapkan tidak hanya mengandalkan proposal dan laporan untuk mengeksekusi suatu kebijakan. Rektor perlu bertatap muka dengan pemangku kepentingan baik di jurusan maupun fakultas. Menurut Rektor UPI (2013), pendidik perlu kepemimpinan pedagogi (leadership). Prof. Sunaryo Kartadinata mengatakan pendidikan kita harus mengantarkan anak-anak (mahasiswa) menjadi warga dunia. Gaya kepemimpinan rektor bisa mempengaruhi motivasi kerja dosen. Semakin baik gaya tersebut, semakin baik produktivitas kerja dosen (Bambang Sulistiyawan, 2011). 105
Melihat data tentang Sentra HKI di Indonesia, institusi ini diperlukan untuk memberi ide dan solusi kreatif yang sesuai kondisi perguruan tingginya. Berdasarkan statistik paten 2009 menurut Ditjen HKI, paten domestik hanya berada pada kisaran 4,25 % berbanding 91,17 % untuk paten biasa. Hal ini bisa dianggap mengindikasikan belum banyak inovasi para dosen dan mahasiswa yang difasilitasi oleh rektornya. A technoprenuer is an entrepreneur who is technology savvy, creative, innovative, dynamic, dares to be different and take the unexplored path (Rajesh Shakya, 2007). Memang, rektor harus bisa mewujudkan definisi ini jika tidak ingin kampusnya tergantung pada anggaran pemerintah selamanya. 3.2. Implementasi Manajemen Inovasi dan Intermediasinya Langkah rektor pada bagian makalah di atas dalam rangka menggerakkan manajemen inovasi di level universitas (sebaiknya dipercayakan kepada Sentra HKI setelah direorganisasi) dan level fakultas (sebaiknya dibangun Sistem HKI Fakultas). Bergeraknya manajemen inovasi dapat memperlancar intermediasi antara inovator /inventor dengan para pengusaha mitra kerja kampus. Salah satu kegiatan mereka di dua level itu adalah kompetisi inovasi (sosial) di mana ia merupakan usaha untuk menemukan ide kita yang bisa jadi bernilai besar. Kita perlu menyadari pentingnya manajemen inovasi bagi kelangsungan bisnis perguruan tinggi yaitu tri dharma (pendidikan, penelitian, pengabdian). Ketua Lemlit, Sekretaris Lemlit, Kabag TU Lemlit, Kasubag Umum,dan Perlengkapan Kasubab Data dan Informasi, Bendahara, PUMK, Staf Umum1,dan Perlengkapan Staf Data dan Informasi, Staf Umum2 dan Perlengkapan,Office Boy, Pengelola Basis Data, Pengelola Perpustakaan, dan Pengelola Jurnal /Publikasi, merupakan pemangku kepentingan yang membawahi sentra hak kekayaan intelektual Unila (Gambar 1) Ketua Lemlit
Sekretaris Lemlit
Bendahara PUMK
Kasubab Data Dan Informasi
Kabag TU Lemlit
Kasubag Umum Dan Perlengkapan
Staf Data Dan Informasi
Staf Umum1 Dan Perlengkapan
Staf Umum2 Dan Perlengkapan
Pengelola Basis Data
Pengelola Perpustakaan
Office Boy
Pengelola Jurnal /Publikasi
Gambar 1 Struktur organisasi Lembaga Penelitian Unila yang membawahi Sentra Hak Kekayaan Intelektual Unila Inovasi secara harfiah merupakan keberhasilan ekonomi berkat adanya pengenalan cara baru atau kombinasi baru dari cara-cara lama dalam mentransformasikan sesuatu. Jadi kalau sekedar menghabiskan dana penelitian, program kreativitas mahasiswa, hal itu bukan 106
inovasi. Harus ada keberhasilan ekonomi di mana volume anggaran penerimaan dan belanja perguruan tinggi makin meningkat dari tahun ke tahun sementara itu persentase saham, SPP, dan dana pemerintah semakin mengecil/menurun di postur anggaran itu. Harus ada link /hubungan antara (kuliah) kewirausahaan dengan manajemen inovasi (terkait dengan melakukan usaha-usaha kreatif dan inovatif, inovasi kemampuan menerapkan kreativitas, memecahkan masalah, menemukan solusi). Struktur organisasi Sentra Hak Kekayaan Intelektual Universitas Lampung dapat dilihat pada Gambar 2.
KETUA SENTRA HKI PEMIMPIN
ADM & KEU SEKRETARIS MANAJER
LAW & LICENSE AHLI HUKUM
PROMOTE & PUBLIC RELATION AHLI PEMASARAN
CONSULTAN & RESEARCH DEVELOPMEN AHLI TEKNOLOGI
Gambar 2 Struktur organisasi Sentra Hak Kekayaan Intelektual Universitas Lampung. Inovasi merupakan suatu kreasi, pengembangan, dan implementasi suatu produk, proses yang melibatkan peran rektor sebagai pimpinan. Proses ini tidak tergantung pada tingkat pendidikan sebagai derajat intelektualitas rektor (sarjana, magister, atau doktor). Manajemen inovasi untuk pendidikan membutuhkan fasilitas dan komitmen dari berbagai pihak yang terkait. Kemampuan manajemen inovasi sebaiknya ditumbuhkan sejak PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini, TK, TPA), sekolah dasar, hingga sekolah menengah.Sistem Hak Kekayaan Intelektual Fakultas perlu diimplementasikan ke semua fakultas seperti pada Gambar 3. Kita harus memahami inovasi sebagai proses manajemen dalam bisnis. Oleh karena itu tindakan ini harus dikerjakan secara sistemisasi, bukan sekedar mengandalkan improvisasi dari seorang pemimpin. Manajemen inovasi didefinisikan sebagai proses menata kelola inovasi sehingga menghasilkan kesuksesan ekonomi yang diperoleh secara efisien.
107
Sistem HKI Fakultas Teknik (Supervisor: Pembantu Dekan I) CEO Urusan Hak Kekayaan Intelektual (Staf Dosen)
Kerja sama, Proposal Pengabdian. Kerja sama, Proposal UJI
Kebijakan Kekayaan Intelektual
Kebijakan Umum Akademik
CEO (Chief Executive Officer, diangkat oleh Dekan) menangani /memanfaatkan: 1. Laporan tahunan potensi hak kekayaan intelektual. 2. Workshop HKI tiap bulan November (untuk menyongsong workshop sejenis di level universitas). 3. SK Dekan untuk Staf HKI di level Fakultas dan level Jurusan dengan masa tugas satu tahun. 4. Anggaran HKI melalui jalur: a) Anggaran fakultas; b) Anggaran universitas; c) Fund raising event, donatur.
Kerja sama, Proposal Penelitian.
Faculty IT team ICT KEBIJAKAN
Business incubator
SERVER
Faculty library kebijakan
Koleksi skripsi, Laporan penelitian, Laporan pengabdian
1. Data mining tentang potensi paten dari skripsi, penelitian, dan pengabdian. 2. Follow up dari temuan potensi itu yang bisa dikomersialisasikan.
1. IPR Corner di halaman index dari faculty website. 2. Minimal satu halaman web yang berisi link ke laman yang dikelola oleh Staf HKI.
DATA CENTER
Di tiap jurusan, pengelola dosen, staf mahasiswa, kerja sama dgn HIMA, website teamwork, laboratorium, bengkel, jurnal.
1. IPR Corner di hlm index department website. 2. Data mining di perpus jurusan.
jurusan
Gambar 3 Sistem Hak Kekayaan Intelektual Fakultas yang perlu diimplementasikan ke semua fakultas.
3.3. Usulan Sistem Insentif dan Inovasi yang Dikelola Lembaga Penelitian (Lemlit) Unila Lembaga Penelitian perlu mengelola sistem insentif dan inovasi yang terintegrasi dengan fakultas dan jurusan melalui kompetisi inovasi dengan cara membuka penerimaanproposal pelaksanaan penelitian dan memberikan insentif riset sistem inovasi dan kegiatan terkait denganpembangunan sistem inovasi nasional dan daerah. Siapa lagi yang akan ditugasi kalau bukan Sentra HKI? Sistem insentif untuk mendorong inovasi bisa berdampak pada kegiatan ekonomi, sesuai dengan pedoman insentif riset sistem inovasi nasional (SINas). Perguruan tinggi perlu meningkatkan prakarsa mengembangkan sistem inovasi daerah dalam bentuk workshop untuk sinergitas hasil litbang yang bisa memperkuat sistem inovasi nasional. UU No. 18 /2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara RI Tahun 2002 No. 84, Tambahan Lembar Negara No. 4219) mengatur tentang penguatan Sistem Inovasi Nasional yang dilakukan melalui peningkatan sinergi, peningkatan produktivitas, dan pendayagunaan sumber 108
daya litbang nasional. Dalam rangka kemandirian teknologi dan kegiatan ekonomi utama dalam MasterPlan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), perguruan tinggi perlu mengacu pada undang-undang di atas dan dokumen lain seperti RPJPN, RPJMN, Jakstranas Iptek, dan Insentif Riset SINas. Buku Pedoman Insentif Riset SINas 2014 menyatakan bahwa pendanaan riset masih tetap terdiri atas empat skema pendanaan yaitu Riset Dasar (RD), Riset Terapan (RT), Riset Peningkatan Kapasitas Iptek Sistem Produksi (KP), dan Percepatan Difusi dan Pemanfaatan Iptek (DF). Tiga skema yang pertama seyogyanya diperuntukkan bagi dosen peneliti. Skema DF sebaiknya dipercayakan ke Sentra HKI karena berkaitan dengan tugas pokok dan fungsinya dalam rangka kompetisi inovasi dan pembangunan sistem inovasi daerah. Insentif Riset SINas merupakan instrumen kebijakan yang perlu dipakai untuk optimalisasi sumber daya litbang, meningkatkan sinergi lemlitbang dengan industri, memperkuat kapasitas iptek di lemlitbang dan industri. Dokumen kontrak kerja sama antara satuan kerja Sekretariat Kementerian Riset dan Teknologi dengan Lembaga Penelitian Universitas Lampung merupakan kontrak berdasarkan referensi pada PP No. 20 /2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan tinggi dan lembaga Penelitian dan Pengembangan; Peraturan Menteri Negara Riset dan Teknologi No.: 04/M/Per/III/2007, tentang Tata Cara Pelaporan Kekayaan Intelektual, hasil kegiatan penelitian dan Pengembangan dan hasil pengelolaannya. Dari dokumen itu pasal 9 mengatur tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual di mana Ayat (2) berbunyi Para Pihak sepakat akan mengatur lebih lanjut di dalam sebuah perjanjian tersendiri sesuai ketentuan yang berlaku hal-hal yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual/Intelectual Property Rights (HKI/IPR) yang timbul dari pelaksanaan kerja sama ini. 3.4. Pemanfaatan Inovasi Hasil Penelitian (Pengembangan) Melalui Proposal Pengabdian Masyarakat dan Kuliah Kerja Nyata Link and match antara kampus dengan dunia industri dilakukan dengan kegiatan di industri melalui Pengabdian Masyarakat dan Kuliah Kerja Nyata bekerja sama dengan Pemda. Di samping itu ada Praktik Kerja Lapangan, Corporate Social Responsibility, dan kerja sama sponsorship. Mengapa jumlah paten tidak meningkat pesat di Unila? Salah satu syarat mendapatkan paten, hasil penelitian harus dapat dipasarkan. Ini memerlukan kerja sama dengan industri. Harus ada link and match dengan dunia usaha. Mekanisme ini belum terbangun dengan baik. Untuk memperlancar mekanisme link and match perlu digiatkan Pengabdian Masyarakat (aktor utama adalah dosen dibantu mahasiswa) dan Kuliah Kerja Nyata (aktor utama adalah mahasiswa dibantu dosen) yang berpotensi bagi industri dan bernilai tinggi. Praktik Kerja Lapangan atau Kerja Praktik dilakukan secara perorangan atau berkelompok oleh para mahasiswa. Corporate Social Responsibility dilakukan oleh perusahaan bekerja sama dengan unsur organisasi perguruan tinggi (dari tingkat rektorat hingga tingkat jurusan /prodi). Sponsorship dilakukan oleh perusahaan bekerja sama dengan panitia yang dibentuk oleh institusi dalam perguruan tinggi. Jika semua kegiatan di bagian 3.3 dikelola oleh Lembaga Penelitian, maka kegiatan di bagian 3.4 ini dikelola oleh Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM). Koneksi institusi ini dengan Sentra HKI adalah urusan kerja sama dengan industri, bisa dilakukan melalui semua jalur. Minimnya cash flow fund yang dipegang oleh pengurus jurusan menandakan masih terjadi stagnasi inovasi di perguruan tinggi. Para dosen lebih suka menggarap topik di luar kampusnya. Hal-hal lain yang berhubungan dengan kampus belum tergarap dengan baik. Di Unila, kegiatan dan infrastruktur yang berhubungan dengan kampus, seperti belum ada trotoar untuk pejalan kaki di kampus; masih banyak sampah terkumpul di lokasi tertentu; Tempat parkir kendaraan mahasiswa belum tertata dengan baik; belum adanya show room untuk menampilkan hasil karya dosen dan hasil karya mahasiswa, merupakan bukti nyata bahwa inovasi pengelolaan kampus belum dijalankan. Solusi stagnasi inovasi dosen dapat dilakukan 109
dengan mengefektifkan struktur pada Gambar 3. Selain itu perlu disusun keterkaitan penelitian dosen dengan penelitian mahasiswa. Demikian pula untuk penelitian mahasiswa, terjadi stagnasi inovasi. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya yang beruntung meraih dana Program Kreativitas Mahasiswa. Topik penelitian sebagian besar bukan solusi permasalahan yang ada di kampus mau pun laboratoriumnya /perpustakaannya. Upaya kreatif perguruan tinggi sangat diperlukan dengan menjalin kerja sama dengan instansi pemerintah mau pun swasta baik di dalam mau pun luar negeri. Dalam merekonstruksi sistem ekonomi, sosial, budaya, dan politik, pendidikan tinggi harus terus berupaya menciptakan terobosan baru untuk menunjang pembangunan nasional secara menyeluruh dan karenanya penelitian perlu diarahkan pada inovasi dan tanggapan cepat terhadap kebutuhan masyarakat, misalnya hasil penelitian yang dilindungi HKI-nya seperti hak paten dan teknologi tepat guna. 3.5. Inventarisasi Hambatan Inovasi Berbasis Penelitian (Pengembangan) Di Industri Mitra Kerja Kampus Kerja sama dengan berbagai stakehoders, terutama industri bisa dilakukan melalui empat butir di atas. Setelah itu bisa diinventarisasi hambatan yang mungkin dihadapi oleh dunia industri. Jika hasil penelitian bisa dikomersialisasikan di dunia industri maka hal itu bisa diurus hak patennya di Ditjen HKI. Selanjutnya dilakukan proses lisensi, pengawasan, dan royalty profit taking yang memotivasi para inventor untuk menghasilkan invensi lebih baik lagi. Hambatan di sisi demand terjadi ketika sebuah perusahaan dituding tidak inovatif, maka yang sering dijadikan kambing hitamnya adalah karyawan. Pengalaman menunjukkan bahwa hampir setiap individu atau organisasi memiliki semacam mekanisme penerimaan dan penolakan terhadap perubahan. Segera setelah ada pihak yang berupaya mengadakan sebuah perubahan, penolakan atau hambatan akan sering ditemui. Orang-orang tertentu dari dalam ataupun dari luar sistem akan tidak menyukai, melakukan sesuatu yang berlawanan, melakukan sabotase, atau mencoba mencegah upaya untuk mengubah praktek yang berlaku. Penolakan ini mungkin ditunjukkan secara terbuka dan aktif atau secara tersembunyi dan pasif. Ada alasan mengapa ada orang yang ingin menolak perubahan walaupun kenyataannya praktek yang ada sudah kurang relevan, membosankan, sehingga dibutuhkan sebuah inovasi. Fenomena ini sering disebut sebagai penolakan terhadap perubahan. Banyak upaya telah dilakukan untuk menggambarkan, mengkategorisasikan, dan menjelaskan fenomena penolakan ini. Ada empat macam kategori hambatan dalam konteks inovasi. Keempat kategori tersebut adalah: a) hambatan psikologis, b) hambatan praktis, c) hambatan nilai-nilai, dan d) hambatan kekuasaan. 4. KESIMPULAN Dibutuhkan komitmen kepemimpinan yang kuat dari rektor agar stagnasi inovasi di perguruan tinggi bisa terurai masalahnya sehingga Sentra HKI bisa segera direvitalisasi dalam rangka meningkatkan perolehan paten hasil penelitian yang segera dikomersialisasi bersama perusahaan mitra kampus. Manajemen Sentra HKI perlu didukung lembaga intermediasinya yaitu Sistem HKI Fakultas yang perlu dibangun di semua fakultas yang ada. Event tempat berkumpulnya dua institusi tersebut adalah kompetisi inovasi dalam rangka membangun sistem inovasi nasional dan daerah. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ketua Lembaga Penelitian Unila dan Dekan Fakultas Teknik Unila atas dukungan sikap dan pendanaan sehingga bisa dirumuskan rancangan usaha mengurai stagnasi inovasi yang diindikasikan berupa sedikitnya pengajuan perlindungan paten ke Ditjen HKI Kemenkumham Republik Indonesia. 110
DAFTAR PUSTAKA Bambang Sulistiyawan, 2011, HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA DOSEN STAIN KEDIRI, Program MMPI, PPS UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang. Buku Pedoman Insentif Riset SINas 2014 Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Difusi Inovasi | Alamsetiadi08's Weblog, http://alamsetiadi08.wordpress.com/difusi-inovasi/. Dokumen kontrak kerja sama antara satuan kerja Sekretariat Kementerian Riset dan Teknologi dengan Lembaga Penelitian Universitas Lampung a.n. Muhammad Badarudin. Nugroho In Saputro, “Telaah Staf Paripurna” http://pim3limapuluh.blogspot.com/2013/06/telaah-staf-paripurna.html PEDOMAN,PELAKSANAAN,PENELITIAN,Panduan_Pelaksanaan_Penelitian_dan_PPM_Edi si_IX_2013a.pdf,http://simlitabmas.dikti.go.id/fileUpload/pengumuman/Panduan_Pelaks anaan_Penelitian_dan_PPM_Edisi_IX_2013a.pdf. Priadi, R. Arum Setia, 2012, Pembuatan Model Kebijakan Kekayaan Intelektual Berdasarkan Ilmu Pemodelan dan Simulasi, Dibiayai oleh DIPA BLU Unila Kontrak No. 277 /UN26 /8 /KU /2011. Priadi, R. Arum Setia, 2011, Studi Pengembangan Model Kebijakan Kekayaan Intelektual, Kasus simulasi kerja sama Sentra HKI dengan FT, Dibiayai oleh PNBP FT 2011 Kontrak No. 2198 /H26 /1 /KU /2011. Rajesh Shakya, 2007,http://voices.yahoo.com/what-technopreneurship-531101.html
111
SKENARIO ANGGARAN LITBANG IPTEK DALAM MENDUKUNG PROGRAM MASTER PLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (MP3EI) DI ENAM KORIDOR Syahrul Aminullah¹, Eko Prasojo², Roy V Salomo³ Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia &Kepala Bidang Industri, Asdep Investasi IPTEK, Kementerian Riset dan Teknologi. Ilmu Administrasi i Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia2 Program Pasca Sarjana Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia3 Email:
[email protected]
ABSTRAK Proses pembangunan nasional di tengah-tengah persaingan global saat ini memerlukan terobosan baru, terutama terobosan yang dilakukan oleh para aktor politik yang berperan dalam pengambil keputusan di negeri ini. Terobosan tersebut adalah terobosan yang mampu mengangkat harkat martabat bangsa dalam waktu yang relatif lebih singkat dengan mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sebagai peubah sentralnya. Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, yang disebut pembangunan koridor ekonomi, merupakan salah satu program terobosan yang sedang menjadi prioritas. Dokumen MP3EI tersebut mencakup 22 aktivitas ekonomi utama Indonesia dan merupakan adaptasi serta integrasi dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 20042025, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014. Program pembangunan koridor ekonomi ini memerlukan dukungan komitmen politik oleh para aktor untuk menjadikan litbang iptek sebagai motor penggerak pembangunan dalam rangka mendorong inovasi diberbagai bidang. Jalan terjal pencapaian program MP3EI di 6 Koridor akan terkendala dengan masih minimnya anggaran litbang Iptek yang mendukungnya, potret belanja litbang nasional distandarkan oleh UNESCO yaitu minimal 1% dari PDB nasional. Belanja litbang iptek pemerintah provinsi dan perguruan tinggi di enam koridor juga masih belum menggembirakan. Kendala lainnya adalah belum sinerginya antara Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang merupakan pencapaian visi & misi pembangunan daerah oleh pimpinan daerah dengan program MP3EI yang prestisius itu. Tujuan penelitian ini untuk membuat skenario anggaran litbang iptek dalam mendukung program MP3EI. Manfaat dari penelitian ini untuk memperkaya kajian ilmu administrasi publik, khususnya yang berkenaan dengan proses penentuan kebijakan publik didalam proses dan mekanisme penganggaran serta sebagai bahan masukan dalam mekanisme proses formulasi penentuan anggaran pembiayaan litbang iptek dalam mendukung program MP3EI. Metodologi yang digunakan adalah diskriptif kualitatif, data yang digunakan adalah melalui penelusuran dokumen dan literatur, kemudian dilakukan analisis data dengan cara contentanalysis(kajian isi) dan selanjutnya dilakuan pembuatan skenario. Penyusunan tiga skenario yang komprehensif yang dibangun meliputi skenario Burung Garuda Terbang Menembus Angin dimana peran anggaran litbang iptek dalam mendukung MP3EI semakin adaptif dan efektif tetapi MP3EI dipandang sebagai sebuah program ekonomi jangka panjang dan penerapan dengan sistem pemerintahan terpusat. Skenario Burung Garuda Terbang Memimpin, dimana peran anggaran litbang iptek dalam mendukung program MP3EI semakin adaptif dan efektif dan program MP3EI dipandang sebagai sumber peluang bisnis dan menciptakan kemakmuran. Skenario Burung Garuda Belum Bertelur, dimana peran anggaran litbang iptek gagal dalam mendukung tata kelola MP3EI bertemu dengan kompleksitas tantangan pertumbuhan daerah dan MP3EI dipandang belum bersinergi dengan pembangunan daerah yang telah disusun dalam RPJMD masing-masing daerah.
Kata kunci: terobosan baru, 6 koridor ekonomi, aktor politik, anggaran iptek, skenario
112
1. PENDAHULUAN Pilihan kebijakan pembangunan nasional saat ini oleh Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II,telah menetapkan inovasi teknologi sebagai pilihan prioritas program pada urutan nomor 11. Adanya komitmen membangun inovasi teknologi ini, sesungguhnya merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji lebih mendalam secara akademik. Selain memilih inovasi teknologi, pemerintah juga melakukan terobosan kebijakan dengan memilih program Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang selanjutnya disebut pembangunan koridor ekonomi. Dokumen MP3EI tersebut mencakup 22 aktivitas ekonomi utama Indonesia dan merupakan adaptasi serta integrasi dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2004-2025, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014. Beberapa pertanyaan yang terkait dengan dipilihnya kebijakan tersebut dikaitkan dengan anggaran pendukungnya dan bagaimana skenarionya akan digambarkan dalam tulisan ini. Dalam upaya melaksanakan inovasi teknologi berbasis penelitian ilmiah yang dilakukan untuk meningkatkan daya saing nasional merupakan peluang bagi para peneliti yang tersebar di lembaga litbang Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), Perguruan Tinggi, Badan Usaha, dan Industri dari Merauke sampai Sabang. Sementara pembangunan koridor ekonomi difokuskan di enam wilayah NKRI mulai dari Sumatera, Jawa, Bali-NTT-NTB, Kalimantan, Sulawesi, Maluku-Papua. Pelaksanaan inovasi teknologi dan pelaksanaan pembangunan koridor ekonomi memberikan peluang kepada peneliti untuk turut andil berkontribusi sesuai dengan kompetensi masing-masing, bahkan dapat membentuk kelompok secara bersama didalam melakukan penelitian dan pengembangan. Terlihat begitu besar peluang untuk mendharmabhaktikan ilmu yang didapat guna mendukung kemajuan pembangunan di koridor-koridor ekonomi yang akan dibangun. Pemerintah telah mengajak swasta untuk melakukan investasi yang luar biasa besarnya dalam kegiatan MP3EI ini. Sebanyak 36 proyek dari 55 rencana proyek Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) telah menjalani proses peletakan batu pertama (ground breaking) per Juli 2012. Sampai dengan Juli tahun 2012 ini dari 55 proyek yang direncanakan telah terealisasinya sebanyak 36 proyek sekitar Rp140 trilyun dari rencana 55 proyek Rp370 trilyun (Kompas, 8 Agustus 2013). Bagaimana dukungan anggaran penelitian dan pengembangan iptek dikaitkan dengan pembangunan koridor ekonomi yang sedang berjalan. Potret anggaran penelitian dan pengembangan iptek di Kementerian, LPNK, Badan Penelitian Provinsi, Perguruan Tinggi, Kementerian Badan Usaha Milik Negera (BUMN), dan di Industri, menjadi faktor pendorong dalam membangun skenario terkait anggaran iptek dalam mendukung pembangunan koridor ekonomi. Melalui Perpres No. 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, telah ditetapkan strategi pelaksanaan MP3EI dengan mengintegrasikan 3 (tiga) elemen utama yaitu: (1) mengembangkan potensi ekonomi wilayah di 6 (enam) Koridor Ekonomi Indonesia, yaitu: Koridor Ekonomi Sumatera, Koridor Ekonomi Jawa, Koridor Ekonomi Kalimantan, Koridor Ekonomi Sulawesi, Koridor Ekonomi Bali–Nusa Tenggara, dan Koridor Ekonomi Papua–Kepulauan Maluku; (2) memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global (locally integrated, globally connected); dan (3) memperkuat kemampuan SDM dan Iptek nasional untuk mendukung pengembangan program utama di setiap Koridor Ekonomi. Pembahasan terkait skenario anggaran litbang iptek dalam mendukung pembangunan enam koridor ekonomi Indonesia nampaknya belum dihitung secara komprehensif. Melalui pendekatan skenario ini dapat diperkirakan mengenai sesuatu yang akan terjadi dimasa depan terkait dengan akibat dramatis dan turunannya maupun akibat positif yang memberikan stimulus pembangunan ekonomi kewilayahan. Langkah yang dapat dilakukan adalah dengan membuat perkiraan yang sangat cermat dan mempertimbangkan berbagai faktor sehigga 113
kejadian-kejadian di masa depan dalam kemajuan litbang iptek guna mendukung program MP3EI dapat diantisipasi. Ringland (1998), konsep skenario bukan hal yang baru dan telah dikembangkan sejak akhir perang dunia kedua dengan berbagai istilah dan model. Menurut Porter (1994), skenario adalah wawasan yang konsisten, tentang apa yang akan terjadi di masa datang. Skenario adalah cerita tentang apa yang mungkin terjadi. Berbeda dengan proyeksi, skenario tidak perlu menggambarkan masa depan seperti apayang kita harapkan. Sebaliknya skenario berusaha untuk merangsang pemikiran kreatifyang membantu orang melepaskan diri dari pola pandang yang sudah mapan terhadap berbagai situasi dan merencanakan tindakannya. Sementara menurut Sutirto (2007), kata skenario dapat memiliki dua arti. Pertama, skenario merupakan satu garis besar dari suatu dramatika atau teater yang memberikan gambaran dari suatu adegan, ciri atau karakter, dan situasi. Kedua, skenario adalah perkiraan mengenai sesuatu yang akan terjadi pada masa depan. Bila perkiraan itu dibuat sangat cermat dan dengan mempertimbangkan berbagai faktor, dapat memengaruhi kejadian-kejadian di masa depan. Dalam scenario planning, skenario diberi arti sebagai suatu lorong-lorong pilihan yang mungkin tersedia menuju masa depan. Scenario secara umum bermanfaat untuk mengungkap dan menyampaikan keinginan, rencana dan pandangan seseorang terhadap perubahan maupun membantu orang untuk memutuskan bagaimana menyesuaikan diri terhadap perubahan dan mencapai visi mereka tentang masa depan. Skenario adalah bagian penting dalam pengelolaan secara adaptif karena membantu orang untuk mengambil keputusan sekarang tentang perubahan yang mungkin akan terjadi di masa depan. Ditambahkan oleh Sparingga yang menyatakan Scenario planning merupakan usahausaha untuk menggambarkan kemungkinan yang dapat terjadi pada masa depan tanpa melakukan ekstrapolasi keadaan masa kini ke masa depan. Scenario planning dikaitkan dengan ketidakpastian masa depan oleh karena itu skenario planning seringkali terdapat scenario alternative (Ringland.1988). Secara umum pengertian scenario planning adalah sebuah narasi atau cerita yang mengenai kemungkinan masa depan yang berisikan tentang apa yang mungkin terjadi atau bukan apa yang harus terjadi yang tidak dapat diprediksi atau bukan ramalan mengenai masa depan yang dideskripsikan secara jelas di masa mendatang. Scenario Planning digunakan sebagai alat yang ampuh dalam proses perencanaan strategis. Ada beberapa prinsif dalam penyusunan Scenario Planning. Fahey dan Randal (1998) berpendapat ada empat komponen pokok dalam penyusunan skenario, yaitu faktor pendorong (driving forces). Logika (logics), alur cerita (plot), dan hasil akhir (end state). Current World
Flot of Story
End State
Logics The Explanation or rationale for the content of the plot
Sumber: Fahey dan Randal, 1988:10 Gambar 1 Elemen Kunci Skenario Faktor Pendorong dalam skenario bukan semata-mata kegiatan kreatif untuk merekayasa sebuah cerita, melainkan merupakan konstruksi dan beberapa faktor pendorong 114
yang selanjutnya membentuk sebuah alur cerita tertentu. Faktor pendorong dihasilkan oleh dua kekuatan, yaitu kekuatan lingkungan terdiri atas faktor ekonomi, sosial, budaya, ekologi, teknologi, tren dan pembangunan. Sedangkan, kekuatan institusi berkaitan dengan kegiatan dan organisasi bisnis, partai politik, agen pemerintah serta badan-badan tingkat regional dan internasional. Mars (1998) menyebutkan faktor pendorong sebagai predetermined elements, yaitu sejumlah peristiwa atau kejadian yang terjadi saat ini dan selanjutnya mempengaruhi dan diperkirakan menghasilkan kejadian lanjutan di masa mendatang. Secara etimologis perkataan anggaran bersumber dari kata ”anggar” atau ”kira-kira” atau ”perhitungan”, sehingga pengertian anggaran negara berarti perkiraan atau perhitungan jumlah suatu pengeluaran atau belanja yang akan dikeluarkan oleh negara. Menurut Goedhart (1973) anggaran disebut begrooting yang berasal dari bahasa Belanda kuno groten yang berarti mengirakan. Istilah ini kemudian diambil alih oleh undang-undang dasar Negeri Belanda tahun 1814. Di Inggris anggaran disebut budget yang berasal dari Bahasa Perancis bouge atau bougette yang berarti ”tas” dipinggang yang terbuat dari kulit. Kemudian kata budget ini di Inggris berkembang artinya menjadi tempat surat yang terbuat dari kulit, khususnya tas kulit tersebut digunakan oleh Menteri Keuangan untuk menyimpan surat-surat anggaran. Lebih lanjut Wildavsky (1982) mendefinisikan angaran sebagai berikut. ”Budgeting in concerned with translating financial resources into human purpose. A budget, therefore, may also be characterized as a series of goals with price tags attached. Since funds are limited and have to devided in one way or another, the budget becomes a mechanism for making choices among alternative expenditures” Lebih lanjut Wildavsky (1982) menyatakan anggaran merupakan penghubung antara sumber daya keuangan dan perilaku manusia untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Penentuan anggaran dapat terjadi di beberapa tingkatan mulai dari pimpinan organisai, anggota kongres, kepala departemen, dan sebagainya juga antara atasan dan bawahan, antara bagian dalam organisasi juga akan melakukan dengan tawar-menawar. Seorang kepala departemen berharap dapat menggunakan anggaran untuk kepentingan bagiannya. Anggota Dewan akan memperjuangan keinginan konstituennya. Kementerian/Lembaga akan memperjuangkan anggaran untuk kepentingannya. Menurut Suparmoko (2003) yang dimaksud dengan anggaran/budget adalah: ”suatu daftar atau pertanyaan yang terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran Negara yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu; yang biasanya adalah satu tahun. Ada budget yang disusun berdasarkan atas tahun kalender yaitu mulai tangal 1 Januari dan ditutup pada tanggal 31 Desember dari tahun yang bersangkutan. Biasanya lembaga eksekutif yang mempersiapkan rencana penerimaan dan pengeluaran/belanja termasuk pos-posnya, kemudian diajukan kepada lembaga legislatif untuk diperhitungkan dan kemudian diputuskan serta ditetapkan sebagai undang-undang” Ditekankan bahwasannya pokok-pokok anggaran harus mencerminkan politik pengeluaran pemerintah yang rasional baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif yang terlihat adanya pengeluaran pemerintah yang dapat dipakai sebagai pertimbangan didalam menentukan pola penerimaan pemerintah yang pada ahirnya menentukan pula tingkat distribusi penghasilan dalam ekonomi. Anggaran (budget) pada umumnya dapat dipakai sebagai alat untuk mempengaruhi kecepatan peningkatan penghasilan nasional. Mengenai budget mana yang dipakai tergantung pada keadaan perekonomian yang dihadapi. Dalam keadaan deflasi biasanya dipergunakan budget yang defisit, dalam keadaan inflasi dipergunakan budget yang surplus dan dalam 115
keadaan normal dipergunakan budget yang seimbang, jadi jelasnya budget disini dapat dipergunakan sebagai alat politik fiskal. Dalam arti yang paling integral, anggaran yaitu upaya untuk mengalokasikan sumber daya keuangan yang terbatas melalui proses politikal dalam rangka mewujudkan visi yang berbeda dari kehidupan yang baik terletak di pusat dari proses politik. Menurut Salomo (2002), pengertian anggaran secara umum adalah: ”merupakan suatu rencana mengenai pengeluaran-pengeluaran yang akan dilakukan pada satu periode tertentu dimasa yang akan datang dan bagaimana pengeluaran-pengeluaran itu akan dibiayai. Dengan demikian anggaran menggambarkan seluruh aktivitas suatu badan (baik badan-badan pemerintahan maupun badan-badan swasta) dimasa yang akan datang dana bagaimana aktivitas tersebut akan dibiayai”. Fungsi-fungsi pemerintahan hanya dapat dilaksanakan bila tersedia anggaran yang mencukupi. Tanpa anggaran yang mencukupi segala aktivitas pemerintah tidak dapat berlangsung dengan baik. Oleh sebab itu, ketersediaan anggaran merupakan salah satu unsur pokok dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan. Ketersediaan anggaran bagi pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan tersebut akan tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk pemerintah pusat dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk pemerintah daerah. Salomo(2002) mengemukakan bahwa sebagai sistem penganggaran yang berorientasi kepada keluaran dan memakai output measurements, performance budgeting tidak sekedar membutuhkan indikator-indikator keberhasilan, tetapi sistem tersebut juga membutuhkan performance management yang diterapkan secara luas dalam organisasi. Alasannya adalah karena isu utamanya adalah pencapaian keberhasilan organisasi yang menyangkut performance management yang Iebih luas. Hal ini berarti performance budgeting membutuhkan suatu sistem administrasi publik modern yang telah mengalami reformasi panjang yang berkelanjutan. Politik anggaran di Indonesia masih di dominasi oleh eksekutif, mulai dari proses perencanaan sampai pada proses evaluasi. Sejalan dengan hal tersebut Schick (1998) menjelaskan bahwa suatu anggaran yang realistik terwujud ketika anggaran itu berbasis pada asumsi yang kuat terhadap kemungkinan yang akan terjadi dan pada saat perumusannya disusun dengan intensitas untuk melaksanakan pendapatan dalam jangka waktu kebijakan yang spesifik. Anggaran tidak kebal terhadap segala tekanan dari luar, tetapi anggaran tersebut merupakan pelaksanaan rencana (anggaran) pada saat asumsi hendak diwujudkan atau manakala gangguan yang relatif kecil mulai ada. Anggaran yang realistis tergantung pada kemampuan dasar dalam perencanaan, pengawasan dan pencatatan dana publik. Hal ini meliputi adanya perencanaan anggaran secara matang dan adanya pengawasan dalam pemerintahan yang membangun disiplin fiskal dan pengeluaran, pengawasan penggunaan input, lembaga penasehat untuk peningkatan efisiensi, manajemen kas dan hutang pemerintah, dan memastikan bahwa pengeluaran yang terjadi sesuai dengan jumlah yang dianggarkan. Pada saat ini hal tersebut telah diterapkan sehingga memungkinkan untuk menerapkan bagian lain dan manajemen pengeluaran publik. Anggaran biasanya dinyatakan dengan angka-angka. Dalam Salomo (2002), walaupun anggaran dinyatakan dalam bentuk angka-angka, namun sebenarnya anggaran juga merupakan cerminan dari politik pengeluaran pemerintah baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Oleh karena itu dalam anggaran terkandung: i). Pertanggungjawaban pemungutan pajak dan pungutan lainnya oleh pemerintah dari seluruh rakyat, ii). Hubungan antara pengguna dana dengan cara penarikannya atau cara-cara memperoleh dana tersebut, dan iii). 116
Pola pengeluaran pemerintah yang dapat dipakai sebagai pertimbangan dalam menentukan pola penerimaan pemerintah yang pada akhirnya menentukan pula tingkat distribusi penghasilan perekonomian. Terlibatnya beragam aktor sepanjang proses penganggaran, mulai dari perencanaan dan penyusunan di lingkungan birokrasi, sampai pengesahaanya di DPR RI, menjadikan anggaran sebagai arena kontestasi politik penting setelah Pemilu. Tidak mengherankan, banyak pihak menilai anggaran sebagai proses politik arena perebutan sumber daya publik antara berbagai kepentingan, baik aktor‐aktor di dalam lingkaran sistem politik yang berlaku maupun kelompok kepentingan lain yang memiliki pengaruh terhadap keputusan politik anggaran. Berdasarkan berbagai sudut pandang terhadap pengertian anggaran diatas, penulis merumuskan pengertian anggaran negara adalah: perkiraan atau perhitungan jumlahnya pengeluaran atau belanja yang akan dikeluarkan oleh negara, yang berisi kata-kata dan angka berisi usulan pengeluaran yang realistis dan memadai dalam bentuk satuan uang yang digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan untuk objek tertentu dengan tujuan yang berkepastian yang akan dilakukan pada satu periode tertentu. Anggaran dalam hal initerkait dengan anggaran litbang iptek yang diusulkan oleh eksekutif dan disetujui oleh legilatif berupa undang-undang APBN untuk dilaksanakan oleh eksekutif. Proses untuk mendapatkan anggaran iptek nasional tersebut diperlukan suatu strategi melalui proses pilihan rasional. Potret Anggaran Penelitian dan Pengembangan di Enam Koridor Dari penggalian data yang dilakukan misalnya pada koridor Sumatera, anggaran penelitian dan pengembangan di Univesitas Sumatera Utara tahun 2010-2013 baru membelanjakan sebesar 0,18% dari keseluruhan anggaran operasional Universitas Sumatera Utara yang mencapai sebesar Rp. 570 miliar. Anggaran Badan Penelitian Provinsi (BPP) Sumatera Utara tahun 2010-2013 hanya berkisar 0, 25% dari total anggaran APBD Pemerintah Provinsi Sumut sebesar Rp8 Trilyun. Anggaran Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 hanya berkisar 0,66% dari keseluruhan anggaran APBD Provinsi Riau sebesar Rp8,1 trilyun. Sementara itu, anggaran lembaga penelitian dan pengembagan pemerintah provinsi Sumatera Selatan, tahun 2008 sd 2013 hanya berkisar 0,21% dari keseluruhan anggaran APBD Provinsi Sumatera Selatan sebesar Rp5,8 trilyun. Anggaran bidang penelitian dan pengembangan Bappeda Provinsi Lampung hanya berkirar 0,04% dari keseluruhan anggaran APBD Provinsi Lampung sebesar Rp. 4 trilyun. Sedangkan anggaran penelitian dan pengembangan di Universitas Bandar Lampung baru membelanjakan sebesar 2% dari total anggaran APBD. Pada koridor Jawa, belanja Badan Penelitian Provinsi Banten tahun 2008-20012 baru berkisar 0,14% dari keseluruhan anggaran APBD Provinsi Banten sebesar Rp6,1 triliun.Badan Penelitian dan Pengembagan Daerah (Balitbangda) Pemerintah Provinsi Jawa Barat dari tahun 2010sd 2013 hanya sekitar 0,004% jika dibandingkan dengan keseluruhan anggaran ABPD Provinsi Jawa Barat sebesar Rp51,4 trilyun. Anggaran Balitbang Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sd 2013 sekitar 0,14% dari total APBD Jawa Tengah sebesar Rp17,7 trilyun. Anggaran Balitbang Provinsi Jawa Timur tahun 2009 sd 2013 hanya sekitar 0,19 % jika dibandingkan dengan keseluruhan anggaran ABPD Provinsi Jawa Timur sebesar Rp14,9 trilyun. Sementara dukungan anggaran litbang di perguruan tinggi besar di koridor Jawa misal anggaran Lembaga Penelitian dan Pengembangan Universitas Indonesia total anggaran DPRM Universitas Indonesia pada tahun 2008 hanya berkisar 2%, pada tahun 2009 berkisar 2% dan untuk tahun 2010-2012 meningkat menjadi 4% dari keseluruhan pagu anggaran Universitas Indonesia sebesar Rp1,3 trilyun. Anggaran Lembaga Penelitian dan Pengabdian 117
Masyarakat Institut Teknologi Bandung 2010-2011 baru berkisar 5,78 persen dari total pagu anggaran ITB sebesar Rp1,1 trilyun. Anggaran Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Pendidikan Indonesiatahun 2013, baru mencapai sebesar 3,05% dari pagu anggaran UPI sebsar Rp0,6 trilyun. Anggaran Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Universitas Gajah Mada tahun 2009-2012 mencapai 3,18% dari pagu UGM sebesar Rp.1,9 trilyun. Anggaran Lembaga Penelitian Universitas Airlangga tahun 2009-2012 jika dibandingkan dengan total keseluruhan anggaran Unair baru berkisar 5,5% dari pagu UNAIR sebesar Rp 0,9 trilyun. Potret Anggaran Lembaga Penelitian Institut Teknologi Surabayatahun 2009 sd 2013 hanya sebesar 3,71% dari pagu anggaran ITS mencapai Rp 0,8 trilyun. Pada koridor Kalimanan, tergambarkan saat ini belanja Kantor Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Barat dari total anggaran APBD Provinsi Kalbar terhadap Anggaran Kantor Litbang tahun 2010-2012, hanya berkisar 0,12% dari keseluruhan total anggaran APBD Kalbar sebsar Rp 2,1 trilyun. Potret Anggaran Balitbang Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2009-2012 hanya berkisar 0,11% dari keseluruhan total anggaran APBD Kalsel sebesar Rp4,5 trilyun. Balitbang Provinsi Kalimantan Timur tahun 2009-2013 berkisar 0,21% dari keseluruhan anggaran APBD Provinsi Kaltim sebesar Rp13 trilyun. Potret Anggaran Lembaga Penelitian dan Pengembangan Universitas Tanjungpura tahun 2009 sd 2013 hanya berkisar 0,16% dari keseluruhan anggaran Universitas sebesar Rp0,4 trilyun. Potret Anggaran Lembaga Penelitian dan Pengembangan Universitas Lambungmangkurat tahun 2009-2013 hanya berkisar 2,1% dari keseluruhan pagu anggaran operasional universitas Lambungmangkurat sebesar Rp 0,3 trilyun. Pada koridor Sulawesi, potret belanja Badan Penelitian Dan Pengembagan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan 2009-2012 berkisar 0,2 % dari keseluruhan anggaran APBD Sulsel sebesar Rp5,6 trilyun. Sementara belanja litbang pada Universitas Hasannudin tahun 20092012berkisar 2,3% dari keseluruhan anggaran operasional UNHAS sebesar Rp1,3 trilyun. Koridor Bali dan Nusa Tenggara Barat dan Timur, belanja Litbang Universitas Cendana Nusa Tenggara Timur tahun 2009 sampai dengan tahun 2012 baru sekitar 0,72 persen dari pagu Univesitas sebesar Rp0,3 trilyun. Skenario Kebijakan yang Dibangun Pembangunan skenario anggaran litbang iptek untuk mendukung program MP3EI dimulai dengan identifikasi tren, constraints, issues dan faktor pendorong. Trend dalam tulisan ini dideskripsi sebagai faktor-faktor daya dorong beserta kecenderungan indikator-indikatornya tren pengeluaran belanja litbang iptek pada lembaga litbang di Provinsi dan Universitas lokasi 6 koridor MP3EI pada masa yang akan datang dapat diketahui dengan menganalisa kebutuhan penelitian dan pengembangan apa saja yang berhubungan dengan pembangunan koridor ekonomi. Pembangunan Koridor ekonomi menekankan pada pembangunan infrastruktur. Melalui pendekatan input-output jika ada intervensi penambahan anggaran sebesar 10 triliun, maka akan terjadi pertumbuhan sebesar 0,01%. Sehingga tren intervensi pada pembangunan infrastruktur ini akan terus meningkat sampai tahun 2025. Peran lembaga litbang provinsi dan lembaga litbang perguruan tinggi ditambah dengan aktifitas litbang industri di daerah serta badan usaha milik daerah (BUMD) dapat mengikuti tren ini. Tiap tahun kebutuhan belanja litbang tentunya akan terus meningkat. Peningkatan kebutuhan penelitian dan pengembangan dalam mendukung pembangunan di enam koridor akan meningkatkan iklim usaha masyarakat dan akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi pula. Identifikasi daya dorong, skenario terbentuk dari beberapa tahapan, begitu pula dalam membangun skenario anggaran litbang iptek dalam mendukung program Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di enam koridor. 118
Pembangunan skenario yang tepat dipengaruhi oleh faktor politik di daerah, misalnya bagaimana dukungan kepala daerah dan pimpinan perguruan tinggi terkait komitmen dalam belanja kegiatan litbang untuk mendukung pembangunan MP3EI. Dilihat dari pendekatan ekonomi, adanya aktivitas pembangunan infrastruktur di 6 koridor semestinya akan didahului dengan proses kajian-kajian dan penelitian-penelitian untuk terus dikembangkan. Unsur penguasaan teknologi yang tepat juga akan mempengaruhi seberapa lama hasil-hasil pembangunan infrastruktur yang dibangun akan bertahan. Faktor sosial juga turut menjadi hal amat penting dalam keberlajutan pembangunan koridor ekonomi Misalnya dampak sosial apa yang akan terjadi dengan adanya perubahan lingkungan sekitar, adanya penyebaran penduduk yang bermigrasi, serta tenaga kerja yang terserap dan tidak terserap. Terkait identifikasi pemangku kepentingan, pemangku kepentingan dibagi dua yaitu pertama adalah pemangku kepentingan pembuat kebijakan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pimpinan perguruan tinggi, serta pemangku kepentingan yang terkena dampak kebijakan yaitu masyarakat dan dunia usaha termasuk BUMD. Posible future dan desired future, melalui penjelasan trend dan driving forces, maka akan dapat gambaran masa depan kemajuan penelitian dan pengembangan di 6 koridor ekonomi. Kondisi masa depan yang mungkin terjadi (posible future) berdasarkan tren dan penjelasan tenaga penggerak adalah belanja litbang iptek dalam mendukung program MP3EI tidak menumbuhkembangkan litbang iptek oleh peneliti yang tersebar di lembaga litbang provinsi dan perguruan tinggi yang ada. Pelaksanaan pembangunan koridor ekonomi akan terlihat berjalan sendiri tanpa melalui kajian awal yang dikerjakan secara bersama antar lembaga litbang provinsi dan lembaga litbang perguruan tinggi. Posible Future, masa depan yang mungkin terjadi dimana anggaran litbang iptek dalam mendukung pembangunan koridor ekonomi, jika tidak meningkat maka kita hanya akan menjadi pasar saja di tingkat Asean dan Global. Sementara itu, desire future akan memaparkan kemungkinan masa depan berdasarkan kondisi yang diinginkan. Adapun masa depan yag diinginkan adalah terciptanya kondisi dimana berbagai upaya pembangunan dikoridor ekonomi akan selalu melibatkan lembaga litbang provinsi dan lembaga litbang perguruan tinggi dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Adanya sinergi antara lembaga litbang provinsi dan lembaga litbang perguruan tinggi terkait program MP3EI diharapkan mampu mendorong petumbuhan domestik bruto daerah koridor ekonomi, sehingga mendukung peningkatan PDB nasional. Desire future memaparkan masa depan berdasarkan kondisi yang kita inginkan, seperti rekomendasi OECD (anggaran litbang sebsar 3% dari PDB) atau UNESCO (anggaran litbang minimal 2% dari PDB). Di negara-negara yang sudah maju, anggaran litbang yang cukup besar dapat menciptakan iklim untuk penguatan kegiatan litbang guna menumbuhkembangkan penciptaan inovasi dan dapat medorong perekonomian Negara. Skenario dari hasil identifikasi tren, constraints, issues, driving forces, stakeholder serta posible future dan desired futures, menghasikan tiga skenario anggaran litbang iptek dalam mendukung Program Manster Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di 6 koridor. Dalam scenario, skenario diberi arti sebagai suatu lorong-lorong pilihan yang mungkin tersedia menuju masa depan. Scenario peningkatan anggaran iptek nasional dapat dibangun juga melalui prosedur penetapan dalam proses terbentuknya keputusan-keputusan dan peraturan-perundangan dalam penentuan pembiayaan iptek oleh pemerintah daerah berupa peraturan daerah sehingga jika suatu wilayah koridor berganti pimpinannya maka program ini akan tetap berlajut. Legislator di daerah memerlukan pemahaman yang utuh melalui meknisme politik sehingga DPRD di enam wilayah koridor tersebut dapat menggunakan hak budget nya dalam penentuan anggaran pembiayaan pembangunan untuk mendukung keberlanjutan
119
pembangunan di enam koridor dengan dukungan lembaga litbang dan perguruan tinggi yang ada. Harus diperhitungkan jika anggaran litbang iptek dalam kegiatan MP3EI tidak didukung dengan dana yang memadai. Sampai tahun 2015, bahkan sampai tahun 2045, Indonesiahanya akan menjadi sebuah negara tidak berprestasi dan tidak berdaya dalam persaingan dan perdagangan. Hal ini akan membawa Indonesia ke titik terendah karena minimnya anggaran litbang iptek Penyusunan tiga skenario yang komprehensif yang dibangun meliputi skenario Burung Garuda Terbang Memimpin, dan skenario Burung Garuda Belum Bertelur. Pada skenario Burung Garuda Terbang Menembus Angin, peran anggaran iptek dalam mendukung MP3EI semakin adaptif dan efektif tetapi MP3EI dipandang sebagai sebuah program ekonomi jangka panjang dan penerapan dengan sistem pemerintahan terpusat. Pada skenario Burung Garuda Terbang Memimpin, peran anggaran iptek dalam mendukung program MP3EI semakin adaptif dan efektif dan program MP3EI dipandang sebagai sumber peluang bisnis dan menciptakan kemakmuran. Sementara itu pada skenario Burung Garuda Belum Bertelur, peran anggaran iptek gagal dalam mendukung tata kelola MP3EI bertemu dengan kompleksitas tantangan pertumbuhan daerah dan MP3EI dipandang belum bersinergi dengan pembangunan daerah yang telah disusun dalam RPJMD masing-masing daerah. 4. KESIMPULAN Berdasarkan potret anggaran litbang iptek di lembaga litbang provinsi dan lemlitbang perguruan tinggi dalam 6 koridor ekonomi, terlihat bahwa anggaran yang dibelanjakan baik dilembaga litbang provinsi maupun di lemlitbang perguruan tinggi masih minim sementara anggaran MP3EI begitu besar dan tersebar. Dalam rangka peningkatan anggaran litbang iptek di enam koridor diperlukan komitmen dan dukungan pemerintah untuk mendukung keberlanjutan program MP3EI yang padat dengan investasi, termasuk peningkatan anggaran pembiayaan penelitian dan pengembangan baik oleh pemerintah daerah dan swasta daerah termasuk industri di masing-masing daerah. Kunci keberlanjutan program MP3EI terdapat pada komitmen dan dukungan pemerintah daerah. Jika ini tidak dilakukan dapat dipastikan keberlanjutan program litbang di enam koridor ekonomi akan terhambat.
DAFTAR PUSTAKA Anderson, James E(1984), Public Policy Making, CBS College Publishing, New York. Arifin, P, (2005), Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum, Praktek dan Kritik, Badan Penerbit FH UI. Arifin, P, (1986), Mekanisme Pertanggung Jawaban Keuangan Negara: Suatu Tinjauan Yuridis, Gramedia, Jakarta. Gordon Tullock, (1962), Public Choice," The New Palgrave Dictionary of Economics, 2nd Edition. Hadiyanto, A. d.k.k (2002), Bunga Rampai Kebijakan Fiskal, Jakarta, Badan Analisa Fiskal Depkeu R.I. Ikhsan M, Salomo R V (2002), Keuangan Daerah di Indonesia, Jakarta, STIA-LAN. Kardono H (2009), Pengaruh Investasi Sumber Daya Manusia dan Infrastruktur Bagi Peningkatan Kinerja Litbang di LIPI (Studi kasus kedeputian ilmu pengetahuan Hayati,ilmu pengetahuan kebumian,ilmu pengetahuan teknik), LIPI Press,Jakarta. 120
Khan A and Hildreth W.B(2002), Budget Theory In The Public Sector, Quorum Books Westport, Connecticut, London. Locke FL, Spinduso W, Silverman J(2000), Proposal That Work: A Guide for Planning Disertations and Grand Proposal, Sage Publications, Inc,United Kingdom. Malecki E.J., (1991), Technology and Economic Development: The Dynamics of local, regional, and national Change, John Wiley & Son,Inc.605.Third Avenue, Newyork,NY.10158. Mullard,(1993), The Politic of Public Expenditur, Clays Ltd, St Ives plc.London Musgrave, R.A. & Musgrave P.B.(1991), Keuangan Negara dalam teori dan praktek (edisi kelima)(terjemahan),Erlangga. Parsons, DW (1995), Public Policy, An Introduction to The Theory and Practice of Policy Analysis, UK,Edward Egler Publishing Limited. Shah A,(2007),Governance and Accountability Series,Building and Budgetery Institutions, World Bank,Washington, D.C. Library of Congress Cataloging-in-Publication Data. Saragih, BR (1985), Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, Jakarta, Melton Putra. Sekjen DPR RI(1999), Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Shim J K, Siegel J G (2001), Budgeting Pedoman Lengkap Langkah-Langkah Penganggaran, Jakarta, Erlangga. Sarjadi S, Rinakit S,(2004), Meneropong Indonesia 2020, Pemikiran da Masalah Kebijakan,Soegeng Sarjadi Syndicatad(SSS),Jakarta Januari 2004. Strauss A, Corbin J (2003), Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif Tata Langkah dan Teknik-Teknik Teoritis Data, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Suparmoko, M (2003), Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek edisi 5, Yogyakarta BPFE Yogyakarta. Bako A. (2005), Hak Budget Parlemen Indonesia,Yayasan Watampone,Jakrta Taufik. (1982), Makro Ekonom Untuk Kebijakan Publik, Jakarta,Pustaka Petronomika. Wildavsky, A .(1988),The New Politics of The Budgetary Proces,Harper Collins Publishers,USA. Zuhal. (2008), Kekuatan Daya Saing Indonesia, Mempersiapkan Masyarakat Berbasis Pengetahuan, PT Medai Kompas Nusantara,Jakarta. ............,Proses dan Siklus Pembahasan RAPBN, Panitia Anggaran DPR RI, Jakarta. Aminullah,E. (2007), Long term forecasting of technology and economic growth in Indonesia. Gordon JR. (2002), Technology and Economic Performance in the American Economy, Working Paper,National Bureau Of Economic Research,1050 Massachusetts Avenue Cambridge, MA 02138,February 2002. Brockhoff, Pearson. (1998), R&D Budgeting Rreactions To A Recession, Management International Review; Fourth Quarter 1998; pg. 363. Tai-Yue, Wang, Shih-Chien Chien (2007), The influences of technology development on economic performance-The example of ASEAN countries, Technovation 27 (2007). Sparingga, D, (2007),Perumusan Skenario Planning Dalam Rangka Memperkuat Sistem Perencanaan Pembangunan dan Kinerja Organisasi dengan Pendekatan Sistemik. Pusat Kajian Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III, LAN Samarinda. Aminullah,E. (2007),Skenario Pembangunan Ekonomi Berlandaskan Pengetahuan di Indonesia: Implikasi untuk Memacu Pembangunan Inovatif. Pusat Kajian Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III, LAN Samarinda. Utomo TW (2007),Menerawang Pembangunan Wilayah dimasa Depan dengan analisa skenario,PKP2A III, LAN SAMARINDA. UN, Economic and social council United Nation, (2004), Revitalizing Public Administration as a strategic action for sustainable human development: an overview, Repport of Secretariat, Available online: 121
http://unpan1.un.org./intradog/groups/public/documents/un/unpan015015.pdf. November 2006) Aminullah, E., (2005), Urgensi Meningkatkan Anggaran IPTEK,Inovasi Online, ISSN : 2085871X|EdisiVol.3/XVII/Maret 2005,h:28-29 – NASIONAL, http://io.ppijepang.org/article.php?id=62 Aminullah, E., (2011), Dinamika Dana Riset Nasional dan Pertumbuhan Ekonomi Jangka Panjang, Makalah Seminar Pengembangan Iptek Nasional 2011, LIPI,2011. Berliana NG. (2011), Mengungkap Fakta Penelitian dan Pengembangan Indonesia, Makalah Seminar Pengembangan Iptek Nasional 2011, LIPI,2011 Kurt ,M, Thurmaier, (1957),Policy and politics in state budgeting (Bureaucracies, public administration, and public policy)Includes index. ISBN 0-7656-0293-8 (alk. paper),p.1718. Prayoto. (2008), Peranan Perguruan Tinggi Dalam Pengembangan Iptek, staf pengajar Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta disampaikan pada Seminar Nasional Dies Natalis ke-45 UGM, Yogyakarta Kamis-Sabtu, 6-8 November 2008 ……...(2010).Budget Calls for Technology But Not Tech-Specific Funds , EER Pulse Vol. 17, Number 3 | Feb. 8, 2010 ……….(2010), Obama 2011 budget proposes one more year of grovs forscience and technology, April 2010 Physics Today 27, www.physicstoday.org Blöndal, Bergvall et al. (2007),Budgeting in Australia, The article first discusses Australia’s recent economic and fiscal performance and then focuses on the budget formulation process. ISSN 1608-7143 OECD Journal on Budgeting, Volume 2008/2© OECD 2008. ............ (2010). Penganggaran Iptek di Filipina, OECDJournal - volume 2010/2 © oecd 2010
122
DECODING RAMAYANA, PENCERAHAN BISNIS DAN LANDASAN MORAL START UP COMPANY DALAM INDUSTRI KREATIF INDONESIA
Bonnie Soeherman1, Adhicipta R Wirawan2 Ilmu Akuntansi1, Jurusan Akuntansi2 Universitas Airlangga1, Universitas Surabaya2 E-mail:
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Sejak tahun 2005, pemerintah Indonesia makin gencar memajukan industri kreatif. Berbagai even pameran dan kompetisi digelar, seperti INCREFEST, INAICTA, PPKI, atau Telkom Incubator. Banyak ide dan karya orijinal berkualitas bermunculan, namun tidak banyak yang bertahan atau bertransformasi menjadi bisnis profesional. Keterbatasan kemampuan bisnis dan manajemen dapat diduga sebagai penyebab utama kegagalan ini. Akhirnya, sebagian besar pekerja kreatif Indonesia terpaksa membuang idealismenya dan menjadi pabrikan proyek-proyek luar negeri. Di lain pihak, sebagian besar sekolah bisnis Indonesia hanya bergantung dan mendewakan literatur Barat yang lebih banyak mengulas kasus perusahaan besar dan ternama yang memiliki latar belakang, lingkungan bisnis, model dan kerumitan bisnis yang jauh berbeda dengan kondisi Indonesia, khususnya start up company dalam skala relatif kecil dan penuh keterbatasan. Sehingga di dalam implementasinya, tak jarang teori berseberangan dengan praktik. Start up company (Indonesia) memerlukan solusi strategis bisnis yang lebih sederhana, mudah, dan praktis karena hanya melalui pertumbuhan start up company sebuah industri kreatif akan terbangun. Kajian ini berusaha untuk menawarkan solusi strategis berupa pemikiran tentang bagaimana membangun landasan berpikir dan moral pelaku start up company yang diekstrak dari Kitab Ramayana. Kajian ini menggunakan metodologi interpretif dan Discourse Analysis untuk memudahkan pengungkapan (decoding) moral untuk menginspirasi start up company tentang strategi dan moral dalam bisnis yang baik. Hasil yang diperoleh berupa rumusan “the way of business” bagi start up company dalam mencari pencerahan. Kata Kunci:
Ramayana, start up company, strategi, industri kreatif
1. PENDAHULUAN Sebuah survey yang dilakukan Loveinfo graphics (2013) menunjukkan dari sekitar 3000 ide bisnis, hanya 1 yang sukses. Artinya, kecil peluang dari start up company untuk bisa bertahan dalam sebuah industri. Keberhasilan bisnis tidak semata-mata ditunjang oleh produk yang baik. Sukses bisnis harus ditunjang oleh manajemen yang memadai. Di Indonesia, program-program pengembangan indusri kreatif telah mulai banyak dilakukan, khususnya oleh pemerintah seperti even kompetisi seperti INCREFEST, INAICTA, PPKI, atau Telkom Incubator. Namun sayangnya, dari para tim pemenang tidak banyak yang mampu bertransformasi menjadi pebisnis profesional dalam arti tidak berhasil menjadikan portfolio kemenangannya sebagai produk bisnis andalan. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurang memadainya keahlian bisnis dari para pelaku kreatif. Mereka terjebak dalam pengembangan produk yang baik menurut mereka, namun tidak memiliki dasar yang kuat sebagai produk yang dapat diserap oleh pasar. Sebagian besar teori Barat yang beredar dan diajarkan di sekolahsekolah tidak cukup relevan bagi kondisi bisnis Indonesia. Sebagian besar pula buku teks manajemen dan bisnis Barat mengangkat kasus perusahaan besar yang memiliki asumsi dan kompleksitas yang jauh lebih besar daripada start up company. Fenomena-fenomena ini menjadi rumusan permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini. Saat ini, industri kreatif Indonesia memerlukan solusi strategis bisnis yang lebih relevan, mudah, dan praktis agar pertumbuhan even pengembangan start up company dapat diimbangi oleh transformasi start up company menjadi perusahaan yang mapan dan mandiri, bukan sebaliknya. Kitab Ramayana, sebuah masterpiece India yang telah mengalami akulturasi di Indonesia, khususnya Jawa dan Bali telah melebur menjadi “the way of life” yang menaungi 123
berbagai aspek kehidupan, termasuk bisnis. Ramayana merupakan filosofi dan pesan moral yang bersifat universal dan kontekstual. Sehingga siapa saja dapat belajar untuk memaknai dan menerapkan prinsip moral Ramayana dalam berbagai kondisi. Melalui penelitian ini, peneliti akan mencoba untuk menginterpretasikan Kitab Ramayana, mengungkap pesan moral, dan kemudian mengkontekstualisasikannya ke dalam kehidupan bisnis kreatif. Tujuan utamanya adalah untuk menawarkan solusi strategis berupa pemikiran tentang bagaimana membangun landasan berpikir dan moral pelaku start up company. Dengan kata lain, untuk merumuskan kembali “the way of business” bagi start up company dalam mencari pencerahan yang bersumber pada Kitab Ramayana. Untuk memudahkan pembahasan, penelitian ini menetapkan pertanyaan penelitian sebagai berikut: “Bagaimana prinsip-prinsip moral dan pemikiran dalam Kitab Ramayana dapat menjadi solusi efektif manajemen start up company dalam industri kreatif?” Adapun kisah Ramayana yang dibahas dibatasi pada prosesi perang Rama bersama bala Wanara menghadapi bala Rahwana. Pertimbangan ini didasari pemikiran analogi bahwa bisnis adalah perang. Artinya bahwa sebuah bisnis memiliki kesamaan prinsip dengan perang. Hal ini diungkap oleh Hou (1991) yang menelaah Seni Perang Sun Zi dalam pemikiran strategis bisnis dan Efferin & Soeherman (2010) bahwa bisnis identik dengan perang. Bahkan, banyak literatur manajemen yang mengambil kutipan dari Seni Perang. Penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat lebih besar pada pelaku start up company atau praktisi di samping memberikan wacana baru bagi perkembangan konsep dan pemikiran teoritis tentang manajemen bisnis kreatif. Karena penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, maka tujuan akhirnya bukanlah mencapai generalisasi, namun lebih pada upaya transferabilitas pemikiran. 2. METODOLOGI Kajian ini merupakan kajian interpretif terhadap literatur dengan pendekatan analisis wacana yang terinspirasi oleh Scarnati (2002) melalui interpretasi analogi kisah The God father dengan kepemimpinan dan manajemen bisnis. Kemudian karya interpretatif Sukoharsono (2010) yang mengangkat analogi moral Film Avatar dengan akuntansi sosial dan lingkungan. Kedua peneliti tersebut mencoba memaknai alur kisah beserta penokohan untuk menemukan value yang dikontekstualisasikan dalam bidang bisnis. Untuk mengungkap makna mendalam (parole) dalam kisah (Ramayana), penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif sehingga unsur akan diutamakan dan peneliti akan terlibat langsung dalam proses interpretasi, pencarian makna yang pada akhirnya melahirkan asumsi-asumsi bahkan pemikiran baru dalam bentuk proposisi yang relevan dengan kebutuhan bisnis saat ini.Hal inilah yang dimaksud oleh Burrell & Morgan (1979) bahwa manusia selalu menyatu dengan realitas (obyek) penelitian. Hakikatnya adalah bahwa manusia sendiri yang akan menciptakan dunia atau cosmos-nya. Analisis wacana dalam kajian ini menggunakan paradigma konstruktivis yang bertujuan untuk mengungkap makna-makna tertentu dalam sebuah wacana. Dalam kepentingan ini, proses analisis wacana dilalui melalui tiga tahapan yaitu: 1) Eksplorasi; 2) Interpretasi; dan 3) Rekreasi atau kontekstualisasi (Darmojo dalam Nugraha (2012)) yang selaras dengan pendekatan yang digagas oleh Fairclough dalam Jorgensen & Phillips (2002).Untuk menjaga kualitas, analisis wacana ini akan memperhatikan faktor-faktor relevan berikut (Badara, 2012): 1. Lebih mengutamakan pemaknaan teks daripada penjumalah/ struktur unit kategori. Untuk itu, proses interpretasi memiliki peran yang dominan. 2. Fokus pada pesan tersembunyi (latent). Hal ini diperlukan karena banyak teks komunikasi yang menyampaikan sebuah informasi dengan cara implisit. 3. Tidak berusaha mencapai generalisasi karena setiap peristiwa (dalam sebuah wacana) bisa saja bersifat spesifik dengan konteks sosial yang mungkin berbeda satu sama lain.
124
Untuk meningkatkan justifikasi proposisi dan pernyataan, penelitian ini diperkuat dengan data lapangan yang diperoleh melalui studi kasus pada PT Mekanima Inspira Nagara, sebuah perusahaan transmedia story telling yang bergerak di industri kreatif. Pengumpulan literatur Kitab Ramayana dimulai dari pertimbangan pemilihan versi Ramayana mengingat lebih dari ratusan versi Ramayana telah beredar di seluruh dunia. Selanjutnya, untuk menjaga orijinalitas dan kemanfaatan yang dapat diberikan dalam implikasi praktis, pilihan dipersempit dalam versi India yang juga diadopsi di Jawa dan Bali (Indonesia). Setelah melalui pertimbangan, peneliti menetapkan Kitab Ramayana versi Walmiki yang diterjemahkan oleh Rajagopalachari sebagai acuan utama. Hal ini dikarenakan konsistensi tulisan Rajagopalachari untuk menjaga orijinalitas esensi pemikiran Walmiki serta telah dilengkapi dengan analisis kontemporer.Perolehan wacana yang sebagian besar adalah wacana kuno tersebut berasal dari berbagai macam sumber buku cetak, e-book, dan situs internet baik yang didapat melalui upaya mandiri maupun hadiah dari sastrawan dan perupa wayang Indonesia dan perpustakaan Pura Hindu Perak Surabaya.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Bagian ini akan memaparkan hasil telaah Kitab Ramayana dan data hasil temuan lapangan yang kemudian akan dimaknai atau diinterpretasikan bersamaan untuk mencari benang merah dan menemukan nilai moral yang terkandung dalam Kitab Ramayana dan relevan dengan konteks bisnis start up modern. 3.1. Eksplorasi Ramayana Manuskrip Ramayana dari versi asli Walmiki ditulis di Nepal pada tahun 1401. Ramayana terdiri dari sekitar 24.000 saloka atau bait puisi dalam tujuh kanda atau babak atau bab (Balakanda, Ayodhyakanda, Aranyakanda, Kiskindhakanda, Sundarakanda, Yuddhakanda, dan Uttarakanda). Ramayana menceritakan kisah seorang pangeran, Rama dari Ayodhya dalam perjuangan menyelamatkan, Sita istrinya yang diculik oleh Rahwana. Dalam perkembangannya, Kitab Ramayana telah memengaruhi kehidupan dan kebudayaan masyarakat India dan Hindu di luar India (Kamboja, Indonesia, Filipina, Thailand, Laos, dan Burma) karena Ramayana lebih berisikan ajaran Hindu kuno atau Weda dalam bentuk cerita dan metafora, seperti dipaparkan dalam penelitian Mahulikar (----). Walmiki menyampaikan pesan moral kepada dunia melalui Kitab Ramayana, khususnya melalui penokohan Rama, tokoh sentral dalam Ramayana. Ramayana merupakan cerminan pemikiran Walmiki. Swingerwood dalam Endraswara (2011) menyatakan bahwa sastra atau wacana merupakan cerminan dari bagaimana penulis memandang dan memaknai dunia/ realitas. Hal ini dipertegas oleh Hardjana (1991) dan Stanton (2007) tentang pendekatan psikoanalisis sastra atau fiksi psikologi yang menyebutkan bahwa sastra diciptakan pengarang berdasarkan kondisi psikologis yang dibangun oleh pengarangnya. Menurut pernyataan Narsa, salah seorang pemeluk agama Hindu Bali, “Ramayana tidak sekadar menyampaikan kisah cinta Rama dan Sinta atau kebaikan melawan kejahatan. Ramayana menggambarkan keadaan dunia dalam panggung hitam dan putih. Setiap tokoh ditujukan untuk menyampaikan pesan khusus secara universal.” Jika direfleksikan lebih dalam, kisah Ramayana mengandung hakikat tentang strategi perang yang mengagumkan. Sebuah episode tentang pertempuran puncak antara pasukan Wanara (manusia kera) yang dipimpin oleh Rama melawan pasukan Raksasa (Asura) yang dipimpin oleh Rahwana. Prosesi ini tidak hanya mengandung prinsip strategi perang, namun juga kepemimpinan, moral, dan spiritualisme. Hingga saat ini, kehadiran Ramayana masih dipandang sebagai unsur reliji dan sastra semata. Hal ini terbukti dari sulitnya pencarian jurnal, bahkan literatur populer tentang aplikasi kebijaksanaan Ramayana dalam bisnis modern. Penyebabnya mungkin saja sulitnya pembuktian secara empiris keberadaan Ramayana secara nyata atau kurangnya relevansi 125
Ramayana dalam bisnis. Namun dalam konteks sastra, kita akan menemukan banyak penelitian terkait Ramayana seperti tesis Aji (2012) dan Tunggono et al (2010) yang menelaah Ramayana dari perspektif semiotika dan penokohan sastra. Sedangkan artikel-artikel lain yang berkembang hanya sebatas sepenggal opini yang mencoba memaknai hakikat Ramayana dalam kehidupan sehari-hari seperti yang dilakukan oleh Amrih (2012) dalam blog pribadinya, Wayang Indonesia (2010), dan blog Alangalangkumitir 2008 yang ditujukan sekadar sebagai inspirasi kehidupan masa kini. Melalui penelitian ini, peneliti tertantang untuk mengeksplorasi dan menemukan prinsipprinsip kehidupan Ramayana yang dapat dikontekstualisasikan ke dalam dunia bisnis modern, sebagai referensi pemikiran start up company yang berjuang di medan industri kreatif. 3.2. Interpretasi Prinsip Keberhasilan Perang Rama Rama dikisahkan sebagai calon putra mahkota kerajaan Ayodia yang memiliki istri bernama Sinta, putri yang ia nikahi setelah memenangkan sayembara mematahkan busur Siwa. Karena iri hati, ibu mertua Rama menghasut ayahnya untuk mengusir Rama dan istrinya dari kerajaan. Rama menerima perintah ini sebagai bentuk ketaatan dan pemenuhan akan panggilan spiritual yang ia dapatkan sesaat setelah ia berhasil menaklukkan busur Siwa. Rama, Sinta istrinya, dan Laksmana adiknya berkelana di hutan Dandaka. Berita ini terdengar oleh Rahwana, raja Alengka yang berhasrat untuk memiliki Sinta. Singkat cerita, Rahwana berhasil menculik Sinta dan membawanya terbang ke Alengka. Di sinilah awal perjalanan Rama hingga prosesi perang besar itu dirancang. Untuk memudahkan pembahasan, peneliti membagi prosesi perang tersebut ke dalam tiga fase, yaitu Anoman Obong, Penyusunan Strategi dan Bala Tentara, dan Senja di Alengka.
3.2.1. Anoman Obong Singkat cerita, setelah bertemu Jatayu (garuda yang sempat menghalang Rahwana ketika menculik Sinta), Rama dan Laksmana bergerak menuju Kiskenda, kerjaan Wanara atau manusia setengah kera untuk meminta petunjuk dan bantuan. Atas permintaan Rama, Sugriwa, raja Wanara mengutus Hanoman, Wanara berbulu putih untuk mencari lokasi Alengka yang tidak diketahui sebelumnya. Hanoman membawa misi untuk mengetahui keberadaan Alengka dan memastikan bagaimana keadaan Sinta. Di luar dugaan, Hanoman berinisiatif untuk berbuat onar dan memporakporandakan sebagian Alengka dengan kobaran api. Di Jawa, peristiwa ini dikenal dengan Anoman Obong. Melalui interpretasi, peneliti menyimpulkan tujuan utama Hanoman berbuat onar di Alengka adalah untuk menguji dan mengetahui kekuatan Alengka. Sebagai upaya perolehan informasi sebelum penyusunan strategi perang. Hanoman berhasil lolos dan menceritakan keadaan Sinta dan informasi kualitas pasukan Alengka pada Rama dan Sugriwa. 3.2.2. Penyusunan Strategi dan Membangun Bala Tentara Setelah mendapat kabar dari Hanoman, Rama, Laksmana, dan Sugriwa mulai menyusun strategi bagaimana menggerakkan pasukan menuju Alengka yang terpisah oleh samudra luas. Pembicaraan diawali dengan diskusi dan analisis tentang medan dan kekuatan pasukan Alengka serta strategi menyeberangi lautan luas. Kemudian, mereka mulai menyusun bala tentara berdasarkan kemampuan uniknya, seperti pasukan yang memahami medan sebagai pemimpin di garis depan dan pasukan-pasukan terkuat di garis belakang. Ada yang bergerak di udara, ada yang berjalan di darat. Dengan tegas, Rama juga memberi instruksi dan tata tertib perang dengan tegas seperti larangan mengganggu kota dan penduduk yang mereka lewati. Sebelum sampai di tepi samudra, mereka bertemu dengan Wibisana, adik Rahwana yang berbalik arah dan berpihak pada Rama karena kekesalannya terhadap kejahatan Rahwana. Singkat cerita, pasukan Rama berhasil menyeberangi samudra dengan bantuan 126
Dewa Laut. Melalui interpretasi, peneliti menemukan prinsip perencanaan matang, membangun kerja sama, dan kepemimpinan menjadi faktor utama keberhasilan Rama dalam menggerakan pasukan besar menuju tanah Alengka. 3.2.3. Senja di Alengka Setiba di Alengka, pertempuranpun dimulai. Alengka yang indah menjadi lautan darah. Kedua pihak saling mengirimkan prajurit dan petarung terbaiknya seperti Indrajit, Prahasta, Kumbakarna, Anggada, dan Anila. Semangat dan kekuatan pasukan Rama tidak tertandingi oleh pasukan Alengka, hingga pada akhirnya Rama berhasil mengalahkan Rahwana dengan senjata Brahmastra yang mampu menembus menghancurkan kesaktian Rahwana. Kemenangan di pihak Rama. Ia berhasil menaklukkan Alengka dan menyelamatkan Sinta. Melalui interpretasi, peneliti mencatat besarnya peran semangat juang, proses, dan pengendalian dalam mencapai target (mengalahkan Rahwana dan menyelamatkan Sinta). Dengan kata lain, kemenangan tidak akan dapat diraih tanpa adanya target dan pencapain. 3.3. Kontekstualisasi dalam Bisnis Modern Ketiga fase prosesi perang Ramayana menekankan pada pentingnya pengujian dan perolehan informasi, penyusunan strategi dan pasukan, dan target dan pencapaian yang sangat relevan diaplikasikan dalam dunia bisnis, khususnya untuk start up company. Rama juga bukan ahli perang yang berpengalaman. Ini adalah perang besar pertamanya. Dengan ketiga prinsip tersebut, Rama yang belum berpengalaman dan kecil berhasil meraih kemenangan besar. PT Mekanima Inspira Nagara atau Mechanimotion Entertainment merupakan salah satu dari sekian banyak start up company yang bergerak di sektor industri kreatif dan berhasil mencapai prestasi yang cemerlang (untuk ukuran start up company lokal). Perusahaan yang didirikan sejak tahun 2012 ini memiliki kekhususan dalam bidang transmedia story telling, yaitu menawarkan solusi marketing dan branding melalui berbagai media secara sinerjis, disamping menciptakan dan menjual berbagai intellectual property (IP) dan media kreatif seperti komik, game, apps, novel, dan animasi. Mekanima menangani klien bisnis (B2B) seperti PT Telkom Indonesia, organisasi Buddhist Education Centre, PT MTC, dan sebagainya. Produk-produk internal Mekanima telah didistribusikan di tingkat nasional dan internasional melalui berbagai market place dan sosial media. Dalam setiap proyek, Mekanima selalu membangun kerja sama eksklusif dengan berbagai studio seperti game dan animasi untuk merealisasikan konsep yang dirancang dengan lebih cepat dan berkualitas. Hasil wawancara bersama AR Wirawan, salah satu founder dan CEO Mekanima memberikan justifikasi yang kuat tentang relevansi prinsip perang Ramayana dalam bisnis modern. Hal yang menarik dari Mekanima adalah bahwa para tim perusahaan tersebut juga diwajibkan untuk memahami kebijaksanaan lokal seperti Ramayana dan Mahabarata sebagai pedoman kerja. “Secara pribadi, sejak kecil saya memang suka cerita wayang. Saya mengenalnya melalui komik-komik alm. RA Kosasih”, tutur CEO Mekanima. Mekanima merupakan salah satu perusahaan yang berusaha menanamkan budaya organisasi dari kearifan lokal. Untuk memudahkan pemahaman implementasi prinsip Ramayana dalam bisnis, peneliti memberikan istilah baru untuk ketiga fase dan prinsip prosesi perang Ramayana tersebut, yaitu validasi, perancangan strategi, dan pengukuran. Ketiga prinsip ini secara implisit juga telah diterapkan oleh Mekanima untuk meraih prestasi terbaik. a. Validasi Produk yang siap dijual adalah produk yang telah lolos uji minat pasar atau dengan kata lain telah memiliki captive market atau early adopter. Pengujian produk harus dilakukan untuk meminimalkan risiko kegagalan dan sebaliknya, meningkatkan peluang sukses. Proses ini mulai dipopulerkan dengan istilah validasi oleh Ries (2013) Hal yang sama dilakukan oleh 127
Hanoman ketika ia berbuat onar dan membakar sebagian istana Rahwana dengan tujuan memastikan kondisi lawan atau menguji kualitas lawan sebelum melancarkan perang. Bagi start up company, validasi merupakan hal yang sangat vital. Seringkali produk-produk baru tidak laku di pasar karena lemahnya validasi. Mereka membuat produk tanpa melakukan riset pasar, tanpa memahami perilaku dan minat calon konsumen. Dengan validasi yang baik, perusahaan dapat merancang produk yang bernilai bagi konsumen, meskipun mungkin bukan produk terbaik bagi perancang karena produk yang baik adalah produk yang dapat memberi manfaat bagi konsumen dan laku. Di dalam mengembangkan sebuah IP, Mekanima banyak memanfaatkan jalur sosial media untuk mendapat masukan dan feedback gratis. “Kami meng-upload disain-disain karakter awal dan meminta masukan dari komunitas dan early adopter sebelum melakukan finalisasi conceptart”, tutur Jimmy, salah seorang tim disain. Bagi Mekanima, validasi akan mengurangi risiko tidak diterimanya sebuah IP.Strategi yang sama juga sering dilakukan perusahaan pengembang aplikasi yang menerbitkan versi Beta untuk mendapat masukan sekaligus menguji minat pasar. b. Perancangan Strategi Setelah memahami kondisi Alengka, Rama mulai merancang strategi dan membangun pasukan. Hal sama yang harus dilakukan oleh pebisnis. Strategi merupakan panduan pencapaian tujuan. Untuk mencapai tujuannya, Rama membangun strategi aliansi dengan pasukan Wanara, Wibisana, dan Dewa Laut. Aliansi merupakan salah satu strategi yang dibangun oleh Mekanima. “Mengerjakan proyek secara profesional dalam jangka waktu pendek hanya dapat dilakukan lewat kerja sama dengan banyak pihak”, kata Wirawan. Mekanima memiliki banyak partner bisnis seperti Elven games, Deluzion, OHA studio, dan Moon Eclipse yang tersebar di kota-kota besar Indonesia dan Osaka, Jepang. Selain aliansi, kepemimpinan memegang peran sangat penting di dalam mengendalikan seluruh tim. Dalam proyek The Adventure of Wanara yang didanai oleh PT Telkom sebagai reward dari prestasi Mekanima dalam even Indigo Incubator 2011, Mekanima melibatkan lebih dari 60 orang berbakat yang tersebar di berbagai kota. Menurut tim Mekanima, tantangan terbesar dari proyek ini adalah ketika menyatukan visi seluruh tim dan proses supervisi yang harus ketat untuk menjaga kepercayaan investor dan kualitas produk. Namun perkembangan teknologi telah memampukan model bisnis demikian berjalan dengan efektif dan efisien. “Kami memanfaatkan dropbox, basecamp, whatsapp, dan kadang facebook sebagai aplikasi manajemen proyek dan komunikasi”, kata Kevin, tim pengembang bisnis. Strategi demikian sangat efisien bagi start up company yang menangani proyek-proyek besar dengan keterbatasan modal dan sumber daya. c. Pengukuran Prinsip terakhir yang dapat kita pelajari dari prosesi perang Ramayana adalah penyusunan sistem pengukuran sebagai penilai prestasi dan pencapaian. Keberhasilan atau kegagalan dapat diketahu ketika kita memiliki target yang jelas dan terukur. Rama memiliki target, mengalahkan Rahwana dan menyelamatkan Sinta. Hal yang sama juga ia rancang ketika melepas Hanoman sebagai duta mencari lokasi Alengka. Hanoman diberi waktu 3 hari saja. Dengan target yang jelas, selain strategi lebih efektif, performa juga dapat diukur dengan valid. Start up company tidak harus menerapkan sistem pengukuran yang rumit seperti Balanced Score card atau Sig Sigma, namun setidaknya harus memiliki target dan dapat diukur untuk mengetahui performa bisnis sebenarnya. Seperti ungkapan Peter Drucker, “You can’t manage what you can’t measure.” Di dalam pengembangan produk, tim Mekanima selalu berusaha untuk memantau dan mengukur setiap kemajuan proses seperti pemantauan respon melalui fasilitas analitik yang diberikan oleh sosial media atau melalui penanaman plug-in pada website, misalnya menargetkan jumlah Like dan Share facebook. Selain pengukuran 128
nonfinansial demikian, sebuah start up company harus membiasakan diri untuk merapikan sistem pengukuran finansial seperti laporan laba rugi, neraca, dan arus kas terkait dengan keputusan investasi, kredit, dan urusan pajak. Sistem pengukuran tidak hanya berfungsi sebagai papan skor pertandingan, namun dengan pengelolaan yang tepat dapat menjadi dasar proses evaluasi dan pembelajaran yang baik untuk perbaikan di masa mendatang. Ketiga fase bisnis tersebut secara sederhana dapat digambarkan dalam bagan berikut:
Gambar 1 Ramayana, The Way of Business Bagi Mekanima, validasi, perancangan strategi, dan pengukuran merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi di dalam setiap pengerjaan proyek karena kreativitas dan inovasi bukan hanya sekadar idealisme, namun lebih pada bagaimana memberi manfaat bagi orang lain. Prinsip inilah yang diharapkan dapat diadopsi atau sebagai bentuk transferabilitas dari studi literatur ini. Seperti yang diharapkan oleh Walmiki ketika menyelesaikan kisah Ramayana dengan ungkapan terkenalnya, "Selama gunung berdiri dan selama sungai mengalir, Ramayana akan selalu dibaca oleh umat manusia." 4. KESIMPULAN Start up company dengan segala keterbatasannya bukan sebuh hambatan untuk dapat berjuang dan sukses dalam industri kreatif. Sifat universal yang melekat dalam kisah Ramayana memberi inspirasi baru bagi dunia bisnis (The Way of Business), khususnya start up company tentang pentingnya validasi, strategi dan aliansi, dan pengukuran. Terkait dengan validasi, perusahaan start up perlu melakukan pengujian produk, dengan melakukan riset pasar untuk memahami perilaku dan minat calon konsumen. Salah satu strategi yang bisa menjadi alternatif adalah dengan membentuk aliansi dimana strategi ini bisa mengefisienkan waktu untuk melakukan kerja sama dengan banyak pihak. Selain itu, kepemimpinan merupakan faktor penting dalam pengendalian tim yang terlibat dalam implementasi strategi. Pemanfaatan social media juga dapat menjadi alternatif strategi yang perlu dipertimbangkan untuk diterapkan. Strategi ini sangat efisien dalam menangani proyek-proyek besar dengan keterbatasan modal dan sumber daya. Dalam hal pengukuran, start up company tidak harus menerapkan sistem pengukuran yang rumit, namun setidaknya harus memiliki target terukur untuk mengetahui performansi bisnisnya. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada PAPPIPTEK LIPI atas kesempatannya berpartisipasi dalam Seminar Nasional Pengembangan IPTEK 2013. Terima kasih kepada PT Mekanima Inspira Nagara, OHA Studio, Deluzion, Moon Eclipse, dan Elven Games Studio atas dukungan dan 129
kerja samanya dalam perolehan data. Terima kasih kepada para pembimbing penelitian Prof. Drs. Tjiptohadi Sawarjuwono, M.Ec., Ph.D., Ak.; Drs. H. Basuki, M.Com (HONS), Ph.D., Ak.; Prof. Eko Ganis Sukoharsono, M.Com (HONS)., CSRS., Ph.D., Ak., dan Dr. I. Made Narsa, SE., M.Si., Ak. DAFTAR PUSTAKA Aji, B. S. 2012. Menelaah Epos Ramayana Berdasarkan Semiotik Menurut A. Teeuw, Amrih, P. 2012. Menggagas Kepemimpinan Sri Rama [On-line]. Available: http://www.pitoyo.com/pitoyoamrih/index.php?option=com_content&view=article&id= 315:menggagas-kepemimpinan-sri-rama&catid=44:seri-cermin-duniawayang&Itemid=80, download: 4 April 2013. Badara, A. 2012. Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media. Jakarta: Kencana. Burrell, G. & Morgan, G. 1979. Sociological Paradigms and Organizational Analysis,Ashgate Publishing. Endraswara, S. 2011. Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra cetakan pertama, CAPS, Sleman, Yogyakarta. Efferin, S.& Soeherman, B. 2010. Seni Perang Sun Zi dan Sistem Pengendalian Manajemen. Elex Media Komputindo, Jakarta. Hardjana, A. 1985. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Hou, W. C., Sheang, L. K., Hidajat, B. W.1991. Sun Tzu: War and Management, Application to Strategic Management and Thinking. Addison-Wesley Publishing Company, Singapore. Jorgensen, M.& Phillips, J. L. 2002. Discourse Analysis as Theory and Method, SAGE Publication. Kaplan, R. S. & Norton, D. P. 1996.The Balanced Scorecard: Translating Strategy into Action 1st Edition, Harvard Business Review Press. Loveinfographics, 2013. New Product Failure Rates [On-line]. Available: http://www.loveinfographics.com/categories/business-finance-infographics/newproduct-failure-rates-infographic-infographic Mahulikar, G. ---- Effect Of Ramayana On Various Cultures And Civilisations, ---Macintosh, N. 2003. From Rationality to Hyperreality: Paradigm Poker, International Review of Financial Analysis 12 (2003) 453–465. Nugraha, F. 2012. Discourse Analysis Sebuah Pendekatan dan Gugatan [On-line]. Available: http://upacarausia.blogspot.com/2012/01/discourse-analysis-sebuahpendekatan.html, download: 23 Februari 2013. Ries, E. 2011, The Lean Startup: How Today's Entrepreneurs Use Continuous Innovation to Create Radically Successful Businesses, Crown Business. Scarnati, J. T. 2002. The Godfather Theory of Management: An Exercise in Power and Control, Management Decision 40/9 [2002] 834±841. Sukoharsono, E. G. 2010. Metamorfosis Akuntansi Sosial Dan Lingkungan: Mengkonstruksi Akuntansi Sustanabilitas Berdimensi Spiritualitas, Pidato Pengukuhan Guru Besar, 13 Desember 2010, Universitas Brawijaya. Stanton, R. 2007. Teori Fiksi, Pustaka Belajar, Yogyakarta. Tunggono, E. R. & Elizabeth, I. 2010. Pemaparan Penggambaran Tokoh Dalam Cerita Ramayana Di Relief Candi Panataran Di Blitar, Jawa Timur Dengan Penggambaran Tokoh Dalam Cerita Ramayana Pada Wayang, Tarian, Patung Dan Lukisan Di Bali, Universitas Kristen Maranatha Bandung 2010. WayangIndonesia, 2010. Filosofi Kisah Ramayana [On-line]. Available: http://wayang.wordpress.com/2010/03/06/filosofi-kisah-ramayana, download: 7 April 2013. 130
KEBIJAKAN FISKAL SEBAGAI PEMICU INOVASI DI INDUSTRI MANUFAKTUR BERBASIS LOGAM A. Djoko Wiyono PT Bumi Cahaya Unggul (Design and Engineering, Manufacture & Services Industrial Pump Package System) Gabungan Perusahaan Industri Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (GAMMA) Email:
[email protected]
ABSTRAK Di dalam blue-print Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) untuk mewujudkan visi Indonesia sebagai negara maju dan sejahtera pada tahun 2025, dinyatakan bahwa keberhasilannya ditentukan oleh delapan prinsip dasar.Salah satunya adalah produktivitas, inovasi, dan kreativitas yang didorong oleh ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Untuk mendorong terwujudnya prinsip dasar tersebut, pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan nonfiskal dan fiskal melalui beberapa peraturan, diantaranya; (1) Perpres R.I. No.54/2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, (2) Inpres No. 02/2009 tentang Penggunaan Produksi Dalam Negeri Pada Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah, (3) Perperind No.16/M-Ind/PER/2/2011-tentang Ketentuan Dan Tata Cara Perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri, (4) PMK No. 76/PMK.011/2012 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Mesin serta Barang Dan Bahan Untuk Pembangunan Atau Pengembangan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal, (5) PMK No. 31/PMK.03/2008- tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai Yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat dan Strategis, (6) PMK No. 23/2012 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) bagi industri yang bahan baku penolongnya masih belum bisa diproduksi dalam negeri, (7) PP No. 35/2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha Untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi. Salah satu industri anggota AIPSI dan GAMMA telah memanfaatkan kebijakan fiskal tersebut sehingga mampu menambah alokasi sebagian pendapatan untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan dan inovasi, menjalin komunikasi dan kerja sama yang saling menguntungkan dengan Laboratorium Mesin ITB di bidang stress analysis terhadap konstruksi mesin pompa dengan Finite Elemen Method, ATMI Solo dalam penyediaan dan rekrutmen SDM berbasis kompetensi, serta MEPPO BPP Teknologi dalam rangka modernisasi fasilitas Test Bed dengan PLC dan SCADA. Kerja sama yang saling menguntungkan tersebut, disertai kepemimpinan transformatif, tim-kerja yang kreatif dan kompeten, dengan dorongan teknologi dan tarikan pasar, mampu melakukan inovasi unit submersible back wash pump yang sudah tidak berfungsi, menjadi vertical turbine back wash pump untuk PLTU Lampung 2x10.000 MW, dimulai dari evaluasi gagasan dan rekayasa teknik, manufaktur, assembly, dan pengujian di test bed maupun di lapangan, dimana hasilnya dapat diterima dan memuaskan pelanggan.
Kata kunci : inovasi, teknologi, kompetensi, kepemimpinan, pompa.
1. PENDAHULUAN Inovasi dan Peraturan Perundangan di Indonesia Inovasi merupakan suatu proses kreativitas untuk menghasilkan sesuatu yang baru dalam bentuk produk, pelayanan jasa atau proses yang dihasilkan oleh seseorang atau suatu organisasi yangkemudian diperkenalkan di pasar, diaplikasikan atau dikomersialisasikan. Inovasi menunjukkan keterkaitan yang penting antara suatu gagasan dan upaya mengeksploitasinya atau komersialisasi. 1) Dikaitkan dengan ranah inovasi teknologi, Bright (1969) mengatakan “the initiation of the technical idea, the acquisition of the necessary knowledge, its transformation into usable hardware or procedure, and its introduction into society and its diffusion and adoption to the point where its impact is significant.”1) Dengan demikian, akhir proses inovasi adalah pasar atau pelanggan, yang akan membeli atau melupakannya, sebagai penentu apakah inovasi menjadi sebuah keberhasilan atau kegagalan. 131
Keberhasilan inovasi secara komersial merupakan hasil mata rantai yang berkelanjutan dan sintesa dari pengetahuan dan keahlian di bidang teknologi, semangat kewirausahaan, keahlian dalam tata kelola manajemen dan kepemimpinan, mengenali kebutuhan sosial, dan lingkungan yang mendukung. Dalam proses ini, semangat kewirausahaan dan keahlian dalam tata kelola manajemen serta kepemimpinan yang transformatif dan mempunyai kompetensi berperan sangat penting, karena memerlukan dukungan yang kuat dalam proses kreativitas teknis untuk mewujudkan produk baru, disertai ketekunan serta keberanian mengambil risiko untuk memperkenalkan produk baru ke pasar. Mils (1996), menyederhanakan mata-rantai proses inovasi teknologi menjadi : (1) Science : How thing are, (2) Technology : How to do thinks, (3) Management : How to get things done, (4) Technology management : Doing things, (5) Entrepreneurship : Doing things to make money, dan (6) Innovation : Doing entrepreneurship.1) Menurut Michael Porter (1990), perusahaan yang paling berdaya saing adalah yang mampu menghasilkan nilai tambah yang tinggi (higher value added) melalui diferensiasi produk dan jasa. Dalam konteks negara, selanjutnya dikatakan: “the nation turns to innovation as a major driver of its national wealth. Its investment and innovation activity might slow down and the nation’s competitive advantage may begin to erode”. 2) Demikian pula, Fagerber dan Srholec (2007) menyatakan bahwa kemampuan suatu negara untuk mengembangkan sistem inovasi nasional mempunyai keterkaitan dengan tingkat GDP perkapitanya. Semakin tinggi kinerja sistem inovasi nasionalnya, semakin besar GDP perkapitanya. Secara garis besar Sistem Inovasi Nasional terdiri atas beberapa elemen utama seperti pendidikan, litbang, sistem industri, intermediasi dan alih-teknologi, sistem politik dan pemerintahan, serta framework condition (seperti sistem keuangan, sistem perpajakan, sistem perdagangan dan competition policy). 3) Hipotesa kinerja sistem inovasi nasional versus GDP perkapita, digambarkan berdasarkan data dari Global Innovation Index (GII) tahun 2013, untuk beberapa negara di kawasan ASEAN, yaitu Singapura GII ranking ke-8 (GDP US$ 59,937.0), Malaysia ranking ke-32 (GDP US$ 15,579.0), Thailand ranking ke-57 (GDP US$ 9,557.5), Brunei Darussalam ranking ke-74 (GDP US$ 49,597.8), Vietnam ranking ke-76 (GDP US$ 3,354.8), Indonesia ranking ke-85 (GDP US$ 4,668.1), dan Filipina ranking ke-90 (GDP US$ 4,111.1). 4) Meskipun demikian, fakta dan data tersebutmenarik untuk dikaji karena Vietnam memiliki GDP per kapita yang lebih rendah daripada Indonesia dan Filipina justru memiliki ranking Gobal Innovation Index yang lebih tinggi daripada Indonesia dan Filipina. Kemampuan inovasi merupakan hal penting karena merupakan bagian dari pilar-pilar untuk meningkatkan daya-saing. Menurut World Economic Forum (WEP) terdapat 12 pilar untuk meningkatkan daya saing sekaligus sebagai faktor penggerak dan efisiensi iklim ekonomi usaha suatu Negara, yaitu mencakup: (1) kelembagaan/institusi, (2) infrastruktur, (3) stabilitas makro ekonomi, (4) kesehatan dan pendidikan dasar, (5) pendidikan tinggi dan intensitas pelatihan-pelatihan, (6) efisiensi dalam usaha perdagangan, (7) pasar tenaga kerja, (8) keunggulan dalam pasar keuangan, (9) ketersediaan teknologi, (10) keterjangkauan pasar, (11) kecanggihan dalam berbisnis, dan (12) kemampuan inovasi. 5) Akhir-akhir ini riset di negara maju berkembang semakin cepat. Cepatnya perkembangan riset tersebut disertai modal fisik (termasuk informasi dan database), modal sumber daya manusia yang semakin kompeten, serta modal teknologi.Dengan demikian, inovasi menjadi sebuah proses yang simultan, interaktif dan merupakan aktivitas non-linier. Inovasi tidak hanya mencakup interaksi antara ilmu (science), rekayasa teknik (engineering), dan teknologi, tetapi juga terkait dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi serta kebijakan publik yang dapat menghidupkan atau mematikan proses penciptaan kesejahteraan secara keseluruhan (Gambar 1). 1) Pemerintah Indonesia, berupaya mewujudkan visi Indonesia sebagai negara maju dan sejahtera pada tahun 2025yang disebutkan di dalam blue-print MP3EI. Dokumen tersebut menyatakan bahwa keberhasilan upaya tersebut ditentukan oleh delapan prinsip dasar, salah satunya adalah produktivitas, inovasi, dan kreativitas yang didorong oleh ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Meskipun belum ada koordinasi dan strategi yang sinergis untuk 132
mewujudkannya, terdapat beberapa kebijakan publik, khususnya di bidang fiskal yang telah diterbitkan oleh pemerintah dalam bentuk peraturan perundangan secara langsung atau tidak langsung yang mendukung dan memicu dilakukannya proses inovasi dalam penyediaan produk teknik oleh sektor industri, baik perusahaan swasta maupun milik pemerintah (BUMN). Adapun peraturan perundangan yang mendukung adanya inovasi, beberapa diantaranya adalah: Undang-undang Republik Indonesia No. 18/2002 - tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Pasal 28 ayat (1) Badan usaha mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dalam meningkatkan kinerja produksi dan daya saing barang dan jasa yang dihasilkan, dan ayat (2) Anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat digunakan dalam lingkungan sendiri dan dapat pula digunakan untuk membentuk jalinan kemitraan dengan unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi lain. Kemudian, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 35/2007-tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha Untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, Dan Difusi Teknologi, Pasal 6 ayat (1) Badan Usaha yang mengalokasikan sebagian pendapatan untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dapat diberikan insentif, ayat (2) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk insentif perpajakan, kepabeanan, dan/atau bantuan teknis penelitian dan pengembangan, dan ayat (3) Besar dan jenis insentif perpajakan dan kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan sepanjang diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan. Diantaranya, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 76/PMK.011/2012 - tentang Perubahaan Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 176/PMK.011/2009 - tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Mesin Serta Barang Dan Bahan Untuk Pembangunan Atau Pengembangan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal, khususnya dinyatakan di dalam Pasal 3 dan Pasal 5. Kemudian PMK No. 31/PMK.03/2008 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis. Sedangkan peraturan perundangan lain yang mendorong terjadinya proses inovasi melalui peningkatan produksi dalam negeri, diantaranya Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 54/2010-tentang Pengadaan Barang Dan Jasa. Di dalam Pasal 96 ayat (1) a. memaksimalkan penggunaan barang/jasa hasil produksi dalam negeri, termasuk rancang bangun dan perekayaan nasional dalam pengadaan barang/jasa. Di ayat (3) c. Perjanjian/kontrak wajib mencantumkan persyaratan penggunaan tenaga ahli dan/atau penyedia barang/jasa dalam negeri. Kemudian, di ayat (8) Pengadaan pekerjaan terintegrasi yang terdiri atas bagian atau komponen dalam negeri dan bagian atau komponen yang masih diimpor, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut; pekerjaan pemasangan, pabrikasi, pengujian dan lainnya sedapat mungkin dilakukan di dalam negeri. Inovasi dan Kepemimpinan Bertitik tolak dari Gambar 1, faktor kepemimpinan (leadership) juga memberikan kontribusi terhadap berhasilnya komersialisasi inovasi. Faktor kepemimpinan ini mencakup sistem yang dianut, proses berbagi informasi dan gagasan, menetapkan spesifikasi teknis, investasi peralatan, analisa, dan kalkulasi pembiayaan dan perencanaan tahapan manufaktur. Berdasarkan pengalaman empiris, model kepemimpinan transformatif dinilai kondusif untuk mendukung keberhasilan proses inovasi. Kepemimpinan transformatif memberikan inspirasi dan memotivasi para pengikutnya untuk mencapai hasil-hasil yang unggul (Gibson, dkk). Pengaruh kepemimpinan transformatif bersumber pada kekuasaan, keahlian dan referensi. Kepemimpinan transformatif yang altruistik serta tidak mementingkan diri sendiri membuat pemimpin menjadi kredibel, menarik, dan dipercaya oleh para pengikut atau karyawannya (Kanungo dan Mendoza). Pemimpin transformatif memotivasi karyawan, melalui tiga cara (Bass, 1990), yaitu dengan : (a) mendorong karyawan untuk lebih menyadari arti pentingnya hasil usaha, (b) mendorong karyawan untuk mendahulukan kepentingan bersama, dan (3) meningkatkan kebutuhan karyawan yang lebih tinggi seperti harga diri dan aktualisasi diri. 133
Secara umum ciri-ciri atau karakteristik kepemimpinan transformatif dapat diringkas dan disajikan di dalam Tabel 1. Tipikal kepemimpinan seperti inilah yang menciptakan suasana kondusif bagi terjadinya proses inovasi di sebuah perusahaan.
Gambar 1 Integrasi proses inovasi secara simultan1)
Tabel 1 Karakterisitik kepemimpinan transformatif No 1 2
Uraian Hakekat kepemimpinan Fungsi kepemimpinan
3
Etos kepemimpinan
4 5 6 7
Sasaran dan tindakan kepemimpinan Pendekatan kepemimpinan Dalam mempengaruhi karyawan Cara mempengaruhi
8
Target kepemimpinan
Kepemimpinan transformatif Amanat dari sesama manusia Untuk memberdayakan passion, potensi dan personality karyawan dengan pendelegasian wewenang/kekuasaan, mentoring, berbagi dan meningkatkan pengetahuan, keahlian karyawan, serta memberikan keteladanan. Mendedikasikan usahanya kepada sesama untuk kehidupan bersama yang lebih baik Pikiran dan hati nurani selaras dengan ucapan dan tindakan. Kekuasaan, keahlian dan keteladanan Kekuasaan, keahlian dan referensi / rujukan Pendekatan kemanusiaan, menenangkan secara psikologis, dan membangun kepercayaan Membangun kebersamaan, keterbukaan, tanggungjawab, akuntabel, kemandirian, fairness dan kepercayaan.
134
Kepemimpinan yang membangun keteladanan dan kepercayaan sangat penting. Hal ini telah diterapkan oleh Kamelon (perusahaan Korea Selatan) :”Manufacturing requires a lot of manual labour, and team work, and standardization is very important. In order to make a good product, the employees must feel part of the process. Diligence and professionalism is notsomething you can impose on others. It should come from within, and the CEO’s role is to set an example. I believe respect for one another and mutual trust are the foundation of growth.” 5)
Inovasi Unit Pompa PLTU Tarahan Lampung PLTU Tarahan di Lampung merupakan proyek pemerintah yang dirancang mampu menyediakan listrik 10.000 MW. Pada tahap pertama, PLTU ini dibangun oleh salah satu kontraktor nasional. Kapasitas terpasang PLTU Tarahan sebesar 300 MW berasal dari bahan bakar batu bara. Dalam sistem ini terpasang empat unit pompa berfungsi sebagai screen wash pump, yaitu untuk membersihkan sampah yang tersangkut di traveling screen pada sea water intake pit. Unit pompa aslinya berupa tipe pompa celup sumur dalam (submersible deep well pump). Karena diaplikasikan untuk air laut yang bersifat korosif, motor penggerak pada keempat unit pompa tersebut mengalami kerusakan, terutama bantalannya (bearing). Keberadaan dan fungsi pompa ini sangat penting, karena jika pompa ini rusak sampah yang tersangkut di screen akan menimbulkan blocking dan menyebabkan aliran sea water intake terganggu. JIka hal ini terjadi kondensor utama tidak mendapatkan sistem pendinginan dari air laut yang cukup. sehingga seluruh pembangkit listrik (power plant) akan berhenti bekerja (shut down). Sebagai salah satu perusahaan swasta nasional yang selama 28 tahun telah fokus sebagai Industrial Pump Package System, anggota AIPSI (Asosiasi Industri Pompa Seluruh Indonesia) serta anggota GAMMA (Gabungan Perusahaan Industri Pengerjaan Logam Dan Mesin), diundang oleh kontraktor nasional untuk terlibat dalam memecahkan masalah tersebut. Berdasarkan survei di lapangan, diperoleh temuan bahwa: (a) tipe unit pompa yang ada tidak cocok untuk aplikasi di lingkungan air laut, (b) motor penggeraknya rusak, sedangkan komponen hidroliknya tidak rusak, baik korosi maupun keausan, (c) fungsi unit pompa vital, sehingga unit pompa pengganti harus segera terpasang. Melihat kondisi tersebut, perlu segera dilakukan inovasi melalui rekayasa teknik dengan memanfaatkan komponen hidraulik yang masih utuh dan baik. Melalui beberapa kali pertemuan teknis, mencakup kajian standar pompa yang tersedia, penguasaan teknologi sistem pemompaan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan, mempertimbangkan disain pompa yang banyak dimanfaatkan di lingkungan pembangkit listrik untuk fungsi yang sama, maka ditetapkan inovasi terhadap unit pompa yang semula pompa celup sumur dalam, menjadi pompa turbin vertikal (vertical turbine pump) dengan memanfaatkan komponen hidraulik yang masih ada, yaitu impeler dan rumah impeler (bowl). Rancangan pompa turbin vertikal meliputi kolom, poros, bantalan-antara (intermediate bearing), sistem perapat (sealing system), penyangga motor (motor stool), dan lain-lain. Secara teknis rancangan ini disesuaikan dengan persyaratan, fungsi dan kebutuhan di lapangan. Rancangan teknis juga memperhatikan standar yang tersedia, serta dilakukan perhitungan kekuatan mekanis terhadap poros (shaft), dan analisa kekuatan konstruksi melalui Finite Element Method. Setelah semua persyaratan teknis dan proses produksi dipenuhi, maka disusun perencanaan proses produksi, termasuk tahapan pengujian mencakup uji hidrostatik dan uji kinerja (performance test) di test bed, sebelum unit pompa dikirimkan ke pelanggan. Produk inovatif yang dipilih dan ditetapkan untuk di produksi diberikan penandaan (designation) sebagai tipe CPA 150-160/2-700/3P (Lampiran 1-3). Setelah lolos uji kinerja, unit pompa dikirimkan ke pelanggan untuk di instalasi dan kembali di uji kinerja dengan kondisi aktual di lapangan (Lampiran 4).
135
Nilai TKDN Unit Pompa Type CPA 150-160/2-700/3P Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 54/2010 - tentang Pengadaan Barang Dan Jasa, kemudian Inpres No. 02/2009 tentang Penggunaan Produksi Dalam Negeri Pada Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah, dan Perperind No. 11/M-IND/PER/2/2006 tentang Pedoman Teknis Penggunaan Produksi Dalam Negeri, dilakukan kajian-mandiri (selfassessment) melalui format yang tersedia. Dengan menggunakan formula perhitungan yang telah ditetapkan oleh peraturan tersebut, diperoleh rekapitulasi penilaian tingkat komponen dalam negeri (barang) untuk unit pompa Type CPA 150-160/2-700/3P yang disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Rekapitulasi Penilaian TKDN No
Uraian
Persentase TKDN (%)
1 2
Bahan baku untuk material langsung Bahan baku untuk biaya terkait lainnya
23.32 14.03
1 2
Tenaga kerja langsung Tenaga kerja langsung untuk biaya terkait lainnya
8.11 2.28
1 2 3 4
Tenaga kerja tidak langsung Mesin yang dimiliki Mesin yang di sewa Biaya tidak langsung terkait lainnya Biaya Produksi satu Unit Pompa CPA 150-160/2-700/3P
8.33 7.66 0.00 15.30 79.09
. KESIMPULAN Berdasarkan pengalaman faktual dalam proses inovasi di salah satu industri manufaktur berbasis logam, dapat disimpulkan beberapa hal berikut. 1. Kebijakan yang diterbitkan pemerintah, baik fiskal dan nonfiskal yang mendorong dunia usaha, khususnya sektor industri untuk melakukan inovasi, sudah tersedia dan cukup memadai. 2. Proses inovasi yang berjalan simultan, perlu dorongan dan penguasaan teknologi sekaligus perlu adanya tarikan pasar yang membutuhkan produk inovatif tersebut. 3. Kerja sama antar Bagian di internal perusahaan dan menjalin komunikasi dan atau kerja sama dengan lembaga yang kompeten di bidangnya di luar perusahaan dengan prinsip saling menguntungkan, akan mempercepat proses inovasi. 4. Menerima sebuah gagasan, berbagi informasi, identifikasi sarana, menyangkut perangkat keras dan piranti lunak, sistem yang dianut suatu perusahaan untuk komersialisasi produk inovatif memerlukan model kepemimpinan transformatif. 5. Kemampuan inovasi akan meningkatkan dayasaing, disamping meningkatkan tingkat kemampuan produksi dalam negeri (TKDN).
136
Daftar Pustaka Tarek Khalil, “Management of Technology – The Key to Competitiveness and Wealth Creation”, McGRAW-HILL, International Edition 2000, p. 32,98, and 100. Philip Kottler, Somkid Jatusripitak, Suvit Maesincee, “The Marketing of Nations – A Strategic Approach to Building Nation Wealth”, The Free Press, 1997, p. 83-84. Santosa Yudo Warsono, “Membangun Bangsa yang Inovatif”, Seputar Indonesia, 11 Mei 2009. The Global Innovation Index 2012 & 2013-Stronger Innovation Linkages for Global Growth, INSEAD, 2012 & 2013. Sakti Nasution, “Negara Gagal Tanpa Pembangunan Inovasi”, Media Indonesia, 19 Februari 2009. Gil-Soo Choi, “Techonology Innovation -Procedure and case studies”, Tech Monitor, Jan-Feb 1998, p. 13-20.
137
LAMPIRAN 1 Penandaan (designation) BCU Vertical Pump
138
LAMPIRAN 2 Sectional drawing Axial Flow BCU Vertical Pump (CPA Type)
139
LAMPIRAN 3
Sectional drawing Radial Flow BCU Vertical Pump (CPR Type)
LAMPIRAN 4 140
Gambar 2.1 Unit pompa BCU Tipe CPA 150-160/2-700/3P dalam proses assembly topcolumn dan discharge head di lapangan.
Gambar 2.2 Unit pompa BCU Tipe CPA 150-160/2-700/3P dalam proses instalasi ke dalam sumur (pit).
141
TANTANGAN KEBERLANJUTAN DIFUSI DAN ADOPSI TUNGKU SEHAT HEMAT ENERGI (TSHE): STUDI KASUS KABUPATEN KULON PROGO, YOGYAKARTA Hartiningsih dan Wati Hermawati Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Pappiptek) LIPI Jl. Gatot Subroto no. 10 Jakarta 12710
ABSTRAK Tungku Sehat Hemat Energi (TSHE) merupakan salah satu inovasi teknologi tungku sebagai pengganti tungku tradisional yang boros kayu bakar dan mengeluarkan asap ke dalam ruangan, sehingga membahayakan penggunanya yaitu mayoritas kaum ibu dan anak-anak. Tungku banyak dipergunakan oleh rumah tangga di pedesaan maupun usaha mikro, kecil, dan menengah yang mengolah makanan. Program TSHE pertama kali diperkenalkan di Kabupaten Kulon Progo oleh Yayasan Dian Desa. Sampai saat ini, pengguna TSHE telah tersebar di berbagai Kecamatan di Kulon Progo dan kabupaten lainnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Studi ini mengidentifikasi tatangan keberlanjutan adopsi TSHE di tingkat masyarakat dengan fokus studi di wilayah Kulon Progo. Dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif, studi ini mengidentifikasi aspek komunikasi dan jejaring, sumber daya, dan adopsi tungku serta dampak implementasi program tersebut terhadap kehidupan masyarakat. Hasil penelitian menunjukan bahwa keberhasilan adopsi TSHE lebih banyak disebabkan oleh komunikasi yang baik antar pelaksana program serta pelaksana kegiatan dengan masyarakat, ketersediaan sumber daya lokal, keterbukaan masyarakat terhadap halhal baru, dan didukung oleh proses difusi dan adopsi yang sederhana dan efektif. Tantangan yang dihadapi antara lain penyebaran informasi TSHE yang lebih luas, serta peningkatan skala produksi TSHE di tingkat industri. Dampak positif ditunjukkan oleh TSHE dari aspek ekonomi, sosial, kesehatan, keterampilan warga, dan kebersihan lingkungan. Kata Kunci: keberlanjutan, difusi, adopsi, TSHE, Kulon Progo.
1. PENDAHULUAN Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di bagian barat, dan terdiri dari 12 kecamatan, 87 desa, 1 kelurahan, dan 917 dukuh21. Berdasarkan sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk kabupaten Kulon Progo sebanyak 388.869 orang, yang terdiri dari 190.694 orang laki-laki dan 198.175 orang perempuan. Menurut Data Sosial Ekonomi 2005, Kabupaten Kulon Progo memiliki Rumah Tangga Miskin sebanyak 42.345 Rumah Tangga yang digolongkan mendekati miskin 15.136 rumah tangga, miskin 20.581 rumah tangga, dan sangat miskin 6.628 rumah tangga. Jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) berdasarkan pendataan program perlindungan sosial (PPLS) 2008 di Kabupaten Kulon Progo tercatat sebanyak 33.280 rumah tangga22. Salah satu produk unggulan Kulon Progo yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan adalah gula merah kristal atau gula semut yang berkualitas dan berbahan baku nira dari pohon kelapa. Saat ini, proses pembuatan gula semut melibatkan 6000 penderes dan ratusan pedagang gula23. Hasil produksi gula semut Kabupaten Kulon Progo telah di ekspor ke
21
www.kulonprogokab.go.id – akses tanggal 6 September 2013. Kulo Progo Dalam Angka 2011-BPS, diupdate 26/04/2012
22
23
Kulon Progo Andalkan Industri gula Semut, 2013. MG Noviarizal/JIBI/Harian Jogja. 30 April 2013 dari internet.
142
Belanda, Jerman, Belgia, Inggris, Norwegia, sebagian negara Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan sebagian negara-negara Asia24. Sebagian besar penduduk Kabupaten Kulon Progo, termasuk produsen gula merah dan gula semut, menggunakan tungku tradisional dengan bahan bakar kayu yang diambil dari kebun milik sendiri atau dari hutan sekitar. Alasan lain dalam penggunaan tungku adalah harga minyak tanah yang cenderung naik dan semakin langka, sehingga banyak rumah tangga merasa tidak mampu membeli minyak tanah atau sulit mendapatkan minyak tanah. Tungku tradisional yang banyak digunakan terbuat dari tanah liat dengan bahan bakar kayu. Tungku tersebut banyak menghasilkan asap dalam ruang dan menghasilkan panas yang kurang efektif, sehingga sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan produktivitas tungku. Berawal dari pengamatan inilah, Yayasan Dian Desa memperkenalkan tungku sehat hemat energi (TSHE). TSHE adalah inovasi tungku yang dilakukan oleh berbagai pihak dengan kerja sama Yayasan Dian Desa. Tungku ini mempunyai kelebihan: irit kayu bakar, asap yang masuk ke dapur sedikit, dan menghasilkan panas tinggi sehingga proses memasak menjadi lebih cepat. Salah satu wilayah sentra penghasil gula merah dan gula semut yang menggunakan tungku tradisional di Kulon Progo adalah Pedukuhan Gunungrejo, Kelurahan Hargorejo, Kecamatan Kokap, Kulon Progo. Waktu yang dibutuhkan untuk mengolah gula merah dengan tungku tradisional sekitar enam jam. Selama waktu itu pula, asap memenuhi ruangan dapur tempat gula diproduksi. Dampak dari asap di dalam dapur ini adalah para ibu serta anak perempuan yang membantu memproduksi gula terkena paparan asap, sehingga banyak yang menderita penyakit saluran pernafasan dan gangguan pada mata. Pada tahun 2005, Yayasan Dian Desa memperkenalkan TSHE yang merupakan inovasi dari tungku tradisional yang ada di masyarakat. Tungku yang diciptakan oleh Yayasan Dian Desa pada mulanya adalah tungku yang terbuat dari tanah liat (gerabah). Namun, karena membutuhkan waktu yang banyak dalam pembuatannya (proses mencetak dilakukan dengan tangan sehingga memakan banyak waktu), juga bahannya yang mudah pecah tidak bertahan lama akhirnya bahan baku tanah liat diganti dengan semen. Tungku yang dibuat dari semen lebih tahan lama, serta pembuatannya lebih mudah dan cepat karena dapat dicetak menggunakan cetakan. Pada akhirnya, TSHE dengan semen inilah yang dikembangkan di Pedukuhan Gunungrejo Kelurahan Hargorejo. Meskipun saat ini penggunaan bahan bakar gas atau LPG mulai digalakkan oleh pemerintah, sebagian besar warga di Kecamatan Kokap, Kulon Progo, terutama di Pedukuhan Gunungrejo Kelurahan Hargorejo masih menggunakan tungku tradisional. Ketidakmampuan masyarakat untuk membeli bahan bakar modern (minyak tanah dan gas), serta kelangkaan dan mahalnya harga minyak tanah dan gas LPG, membuat masyarakat tetap menggunakan tungku sebagai alat utama memasak. Kondisi ini menimbulkan tantangan tersendiri terutama dalam proses difusi dan adopsi TSHE agar dapat dilakukan secara berkelanjutan Yayasan Dian Desa adalah sebuah organisasi nonpemerintah (Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) yang aktif dalam kegiatan pengembangan masyarakat pada umumnya, dengan yang memfokuskan pada pengembangan teknologi tepat guna, diantaranya TSHE. 2. METODOLOGI Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam studi ini adalah wawancara, observasi, dan pencatatan. Wawancara digunakan untuk memperoleh data primer dari responden terkait pemanfaatan dan inovasi tungku, baik yang dilakukan oleh pengguna maupun agen pengembang masyarakat seperti Yayasan Dian Desa. Observasi dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan terkait sosialisasi, promosi, penggunaan, dan inovasi tungku, baik yang dilakukan oleh pengguna, maupun yang dilakukan
24
Sarwani, 2012. UKM dituntut kreatif penuhi keinginan pasar global. www.bisnis.com/.../ukm-dituntut-kreatifpenuhi-keing...
143
oleh produsen tungku. Data sekunder diperoleh dari berbagai majalah ilmiah, jurnal, dan laporan yang dikeluarkan oleh institusi terkait dengan tungku. Analisis dilakukan secara deskriptif. Beberapa aspek terkait difusi dan adopsi TSHE yang telah diperoleh melalui survei, studi pustaka, dan wawancara di lapangan baik dengan pengguna maupun dengan pakar tungku dideskripsikan, antara lain meliputi komunikasi, difusi, dan cara adopsi tungku, serta mengidentifikasi dampak implementasi program tersebut terhadap kehidupan masyarakat. Analisis deskriptif juga dilakukan untuk menjelaskan kondisi atau situasi aktual dari TSHE di lokasi terpilih.
3. PROGRAM TUNGKU SEHAT HEMAT ENERGI (TSHE) TSHE di Kokap, Kulon Progo pertama kali diperkenalkan oleh Yayasan Dian Desa untuk komunitas penghasil gula merah. TSHE merupakan penyempurnaan dari tungku tradisional yang ada di masyarakat. Pada tahun 1990, Yayasan Dian Desa melakukan inovasi tungku dengan mengembangkan program TSHE. Kegiatan TSHE ini dikembangkan di desa-desa yang masih menggunakan tungku tradisional sebagai kompor/alat untuk memasak. Tungku tradisional terdiri dari tiga lubang, menghasilkan banyak asap dalam ruangan, tidak efisien atau boros bahan bakar kayu, dan masih memiliki celah di lubang untuk memasak sehingga panas api tungku dapat keluar dan proses pemasakan kurang sempurna serta memakan banyak waktu dalam memasak. Program TSHE adalah program kegiatan tungku yang sehat, bersih, dan hemat energi untuk masyarakat. TSHE adalah inovasi dari tungku tradisional yang memiliki kelebihan lebih hemat energi dan efisien dalam penggunaan bahan bakar. Tungku ini memiliki penutup celah pada lubang, sehingga panas tidak akan keluar dan proses pemasakan lebih cepat. Selain itu, tungku ini membutuhkan kayu bakar lebih sedikit dibandingkan tungku tradisional dan lebih bersih karena memiliki cerobong asap sendiri yang dibangun ke atas atap sehingga asap yang dihasilkan langsung dibuang keluar ruangan. Tungku tradisional yang telah diimprovisasiantara lain (Majalah Tungku Indonesia, 2009): a. Tungku SAE adalah tungku yang memiliki dua lubang masak, yang fungsinya untuk memanfaatkan sisa panas dari lubang pertama. b. Tungku Arang (Anglo Supra dan Anglo Bangkok) merupakan tungku arang yang berasal dari Thailand dan mampu menghemat bahan bakar sampai 50% dan juga waktu memasak lebih cepat dibandingkan dengan anglo tradisional. c. Tungku Tasir Satu Lubang atau Tungku Tasir Improved (TSHE) adalah tungku yang dibuat dari tanah dan pasir (tasir) dengan tiga lubang berjajar, tidak bercerobong, tanpa sarangan dan baffle/lidah. d. TSHE Multi Pot/lebih dari satu lubang masak merupakan penyempurnaan dari tungku tanah liat multi pot/lubang yang sudah ada sejak dahulu. e. Tungku Liner Gerabah (Tungku Jolentho) adalah tungku yang terbuat dari gerabah dan terpisah (knock-down) dalam tiga bagian yang disambungkan dengan dua buah pipa/tunel/lorong yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan kinerja tungku tasir improved (TSHE) yang selama ini sudah dikembangkan. f. Tungku Gasifikasi “Makunda’ atau EIGAS 2 yaitu tungku yang berbahan stainless steel dengan model satu lubang memasak, memiliki tingkat efisiensi tinggi. Pada awalnya, tungku yang dikembangkan oleh Yayasan Dian Desa adalah tungku yang terbuat dari tanah liat (gerabah). Namun, karena membutuhkan waktu yang banyak dalam pembuatannya (proses mencetak dilakukan dengan tangan sehingga memakan banyak waktu), juga bahannya yang mudah pecah tidak bertahan lama akhirnya bahan baku tanah liat diganti dengan semen. Bahan baku semen lebih tahan lama, serta pembuatannya lebih mudah dan cepat karena dapat dicetak menggunakan cetakan. Pada akhirnya saat ini tungku hemat energi dengan semen inilah yang dikembangkan terutama untuk Pedukuhan Gunungrejo Kelurahan Hargorejo. 144
Proses penyebaran TSHE dilakukan oleh Yayasan Dian Desa dengan kerja sama beberapa LSM dan individu pemerhati lingkungan. Kegiatan yang dilakukan meliputi: (1) Sosialisasi dan promosi kegiatan TSHE serta kegiatan dapur sehat melalui poster dan pembagian kaos (2) Pemberian pelatihan pembuatan TSHE bagi warga (3) Pembuatan satu contoh TSHE di satu wilayah dusun atau desa. 3.1 TSHE di Pedukuhan Gunungrego, Kelurahan Hargorejo Salah satu tempat implementasi dan percontohan TSHE adalah di Kelurahan Pedukuhan Gunungrejo, Kelurahan Hargorejo, Kulon Progo. TSHE diimplementasikan di kelurahan ini pada tahun 2005 pada industri pembuatan gula semut. Pada awalnya, penduduk di daerah ini merupakan pengrajin gula merah yang menggunakan tungku tradisional. Proses pembuatan gula merah dengan tungku tradisional memakan waktu sekitar enam jam dan banyak menimbulkan gangguan kesehatan karena asap dalam ruang. Dari sinilah awal mula ide TSHE didapat oleh Yayasan Dian Desa. TSHE di industri gula semut dibuat dengan bahan baku semen. Kegiatan pembuatan TSHE di Kelurahan Hargorejo ini berjalan kurang baik, karena hanya sedikit penduduk yang mau membeli bahan dan membuat TSHE ini. Penyebab enggannya masyarakat membuat TSHE ini disebabkan karena harga TSHE terlalu mahal dibandingkan tungku tradisional karena terbuat dari semen; TSHE tidak dapat digunakan untuk memanggang kayu basah; belum ada kesadaran masyarakat untuk kepentingan jangka panjang, terutama menjaga kesehatan penduduk, kebersihan, dan menjaga kelestarian hutan di Kulon Progo. Selain itu, TSHE tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat yang memasak dengan lidah api keluar tungku, dan TSHE tidak terlihat apinya dari sela-sela lubang tungku. Selain itu, TSHE lebih sulit dihidupkan kembali setelah satu atau dua hari tidak digunakan untuk memasak. DiKelurahan Hargorejo, program ini berlangsung hingga dua putaran. Pada putaran pertama terdapat dua kepala keluarga yang bersedia membuat TSHE sedangkan pada putaran kedua terdapat tujuh kepala keluarga yang membuat. Namun, untuk selanjutnya proyek ini terhenti akibat menurunnya minat warga terhadap TSHE. Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Yayasan Dian Desa menunjukkan bahwa program tungku di Kelurahan Hargorejo ini kurang berhasil.
3.2 TSHE di Dusun Nglambur dan Bleder, Kelurahan Samigaluh Dusun Nglambur dan Bleder merupakan dusun terpencil dari Desa Sidoharjo, Kecamatan Samigaluh,Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejak dahulu sebagian besar masyarakat Dusun Nglambur dan Bleder menggunakan tungku tradisional terbuat dari tanah untuk keperluan memasak. Mereka menggunakan tungku karena masih banyak sumber bahan bakar seperti ranting pohon dan kayu yang dengan mudah didapat di sekitar rumah warga dengan tanpa membayar. Tungku tradisional yang digunakan banyak menghasilkan asap di dapur sehingga berdampak negatif terhadap para ibu dan anak perempuan yang pekerjaannya lebih banyak di dapur dibandingkan dengan para bapak. Sejak tahun 1990an tungku jenis ini juga digunakan untuk memasak gula merah karena memang sebagian besar penduduk dusun ini memproduksi gula merah dari nira kelapa. Pada tahun 2000an Yayasan Dian Desa membangun percontohan TSHE yaitu tungku yang memiliki panas lebih tinggi serta tidak menghasilkan banyak asap di salah satu rumah produksi gula merah. Tingginya ketertarikan penduduk terhadap contoh TSHE ini mendorong Yayasan Dian Desa untuk menyelenggarakan pelatihan membuat TSHE untuk masyarakat dan produsen gerabah. Kemudian dari tahun 2009 sampai tahun 2013, Yayasan Dian Desa menyediakan alokasi dana bergulir untuk pembuatan TSHE. Dana ini diutamakan bagi masyarakat yang membuat gula merah dan gula semut di dusun ini. Besarnya dana bergulir sebanyak Rp. 4 juta. Dari program ini telah terbangun sekitar 70 buah TSHE di Dusun Nglambur dan 13 buah TSHE di Dusun Bleder. Sebenarnya dua dusun ini telah mendapatkan kompor 145
gas dari program pemerintah, tetapi mereka tidak menggunakannya karena harga gas yang mahal untuk ukuran keuangan mereka, serta distribusi dan pasokan gas yang sering tidak tersedia di desa ini. Selain itu, sebagian warga juga merasa takut untuk menggunakan kompor gas. Ketakutan warga kemungkinan besar karena tidak ada sosialisasi dalam penggunaan kompor gas yang baik. Dalam melakukan sosialisasi TSHE Yayasan Dian Desadibantu oleh kelompok relawan, seperti Kelompok Wanita Tani (KWT) Nusa Indah dan kelompok lainnya dimana setiap kelompok terdiri dari 15 orang. Tokoh relawan ini menggunakan cara visual dengan gambar dan peragaan dalam sosialisasi pembuatan dan penggunaan TSHE. Untuk mensukseskan program ini, dua keluarga dijadikan percontohan dan kader untuk membantu melakukan sosialisasi TSHE kepada masyarakat sekitarnya. Selain itu, anggota KWT Nusa Indah yang telah membuat TSHE juga harus melakukan sosialisasi penggunaan TSHE ke masyarakat lainnya. Pembuatan tungku dilakukan dengan cara kredit dari Yayasan Dian Desa atau dalam bentuk arisan kelompok. Penyediaan skema arisan dan kredit oleh Yayasan Dian Desa telah meringankan masyarakat. Untuk mempermudah pembangunan TSHE, setiap kelompok harus memiliki kader teknisi yaitu dua orang laki-laki atau lebih yang dilatih oleh Yayasan Dian Desa. Dengan cara inilah transfer teknologi dapat dilakukan. Kegiatan sosialisasi, penggunaan, dan produksi TSHE di kedua dusun ini cukup berhasil hingga salah seorang warga menjadi produsen TSHE bagi dusun ini dan dusun lainnya. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah pengguna tungku tradisional di wilayah pedesaan di Kulon Progo, terutama di Kelurahan Samigaluh masih memiliki angka yang tinggi dibandingkan dengan jumlah pengguna TSHE. Namun demikian, sosialisasi dan pelatihan terkait dengan TSHE terus dilakukan dengan dukungan Yayasan Dian Desa. Program TSHE ini juga mendapat dukungan berbagai pihak termasuk pemerintah Indonesia dan Bank Dunia karena program TSHE dapat meminimalkan dampak negatif seperti penggundulan hutan yang disebabkan oleh pembalakan liar kayu bakar, erosi tanah, pendangkalan sungai, serta dampak lainnya. Sedangkan penggunaan tungku tradisional banyak menghasilkan asap yang berbahaya bagi kesehatan penggunanya. Dengan penggunaanTSHE, masyarakat akan lebih sehat karena TSHE tidak memproduksi asap di dalam dapur. Selain itu, TSHE lebih hemat energi karena tungku ini memiliki penutup celah pada lubang kuali sehingga panas tidak akan keluar dan proses pemasakan lebih cepat dan memiliki efisiensi tinggi dalam penggunaan kayu bakar. Manfaat lainnya adalah dapur dan peralatan memasak lebih bersih. Berikut ini beberapa tantangan dalam keberlanjutan program TSHE yang harus dihadapi untuk keberlanjutan difusi TSHE oleh berbagai pihak, terutama Yayasan Dian Desa yang telah memelopori program TSHE, dan juga untuk keberhasilan adopsi TSHE oleh masyarakat. 4.1
Sosialisasi dan Difusi Untuk keberlanjutan penggunaan TSHE, program sosialisasi dan difusi TSHE harus terus dilakukan sampai masyarakat menyadari benar bahwa TSHE memberikan keuntungan bagi mereka, yaitu lebih aman, efektif, dan efisien. Program sosialisasi harus dilakukan dengan interaksi kepada masyarakat secara langsung. Interaksi tersebut dapat berupa interaksi antar individu maupun interaksi dengan kelompok yang akan melahirkan proses yang disebut sosialisasi. Menurut David A. Goslin dalam Diniarti (1999), sosialisasi adalah proses belajar yang dialami seseorang untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan normanorma agar ia dapat berpartisipasi sebagai anggota dalam keluarga masyarakatnya. Dengan sosialisasi ini, Brice dalam Laensugi (2011) menegaskan bahwa seseorang akan memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan dasar yang membuat mereka mampu atau tidak mampu menjadi bagian anggota dari suatu kelompok. 146
Pada kasus TSHE masih diperlukan agen sosialisasi, yaitu orang atau institusi yang mampu menarik orang di sekitarnya untuk menggunakan atau memproduksi TSHE. Tahapan sosialisasi ini dapat dibagi dua, yaitu (i) sosialisasi di dalam keluarga atau biasa disebut dengan sosialisasi primer dan (ii) sosialisasi sekunder (sosialisasi yang lebih luas lagi) atau sosialisasi di luar keluarga. Dalam sosialisasi sekunder, banyak yang menjadi agen sosialisasi di luar keluarga, antara lain lembaga pendidikan, lembaga pekerjaan, media massa, dan lingkungan sekitarnya25. Selain sosialisasi, difusi TSHE juga harus terus dilakukan karena masih banyak warga masyarakat yang belum mampu membuat TSHE. Difusi inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial26. Menurut Roger (1995), difusi adalah jenis perubahan sosial, yang didefinisikan sebagai proses terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Ketika ide-ide baru diciptakan, disebarkan, dan diadopsi atau ditolak, mengarah ke konsekuensi tertentu, perubahan sosial terjadi, tetapi perubahan tersebut dapat terjadi dalam cara lain. Selain itu, difusi juga merupakan suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaran pesan-pesan yang berupa gagasan baru (Roger, 1961 dalam Mulyana, 2009). Roger juga menyatakan bahwa proses difusi inovasi terdapat empat elemen pokok, yaitu (i) inovasi: gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Konsep baru dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali, (ii) saluran komunikasi; ‘alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima, (iii) jangka waktu, proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan (iv) sistem sosial, kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerja sama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama. Sosialisasi dan difusi TSHE ke masyarakat yang awalnya hanya dilakukan oleh Yayasan Dian Desa pada saat ini harus mengikutsertakan masyarakat pengguna. Selain dengan cara pembagian kaos bergambar TSHE, sosialisasi sebaiknya dilakukan melalui poster atau media cetak lainnya. Selain itu, perlu dilakukan penggunaan radio dan televisi sebagai media sosialisasi karena radio dan televisi memiliki daya jangkau yang sangat luas, sehingga sangat efektif jika digunakan sebagai media sosialisasi. Hasil kunjungan ke desa tersebut menunjukkan bahwa hampir seluruh rumah tangga memiliki radio dan televisi. Pelatihan membuat TSHE adalah bagian dari sosialisasi yang dilakukan oleh Yayasan Dian Desa. Pelatihan ini menghasilkan satu contoh TSHE di satu wilayah dusun atau desa. Sosialisasi dengan cara ini sebaiknya dilakukan secara berkelompok, seperti untuk kelompok gula semut, perkumpulan wanita tani, kelompok pak tani, kelompok ibu-ibu pengajian dan lainnya. Cara ini ditempuh agar masyarakat merasakan langsung manfaat TSHE. 4.2
Adopsi oleh pengguna Adopsi inovasi merupakan suatu proses mental atau perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotor) pada diri seseorang sejak ia mengenal inovasi sampai memutuskan untuk mengadopsinya setelah menerima inovasi (Rogers and Shoemaker, 1971). Menurut Soekartawi, 1988 (dalam Akhmad Musyafak dan Tatang M. Ibrahim, 2005), adopsi merupakan proses dalam diri seseorang mulai ketika pertama kali mendengar tentang suatu inovasi sampai akhirnya mengadopsi. Kegiatan sosialisasi dan pelatihan membuat TSHE yang dilakukan oleh Yayasan Dian Desa sudah berjalan dengan baik, setelah itu seseorang atau masyarakat akan melakukan keputusan untuk menerima atau tidak menerima terhadap TSHE tersebut. Keputusan yang akan dilakukan seseorang atau masyarakat dalam mengadopsi TSHE tergantung pada kemampuan dari pengadopsi sendiri. Ada seseorang yang mempunyai kemampuan untuk 25 26
Diniarti, 1999. Mulyana, Slamet, 2009.
147
menangkap, menyerap dan mengadopsi sesuatu yang baru dengan mudah tetapi sebaliknya ada seseorang yang sangat susah atau bahkan tetap bertahan dengan cara-cara lama yang diyakini sehingga dengan cepat akan menolak hal baru tersebut tanpa melihat hal baik buruknya sesuatu yang baru tersebut. Seseorang dalam menerima suatu hal atau ide yang baru selalu melalui tahapan-tahapan. Tahapan-tahapan ini dikenal sebagai tahapan proses adopsi, yaitu27 1) Tahap kesadaran (awareness stages), 2) Tahap minat (interest stages), 3)Tahap penilaian (evaluation stages), 4) Tahap mencoba (trial stages), dan 5) Tahap adopsi (adoption stages). Pada awalnya, keputusan adopsi TSHE di masyarakat Pedukuhan Gunungrejo Kelurahan Hargorejo sebagai tempat implementasi dan percontohan TSHE yang pertama kurang berjalan dengan baik. Hanya sedikit penduduk yang mau membeli bahan dan membuat TSHE ini. Beberapa hal yang menjadi penyebab enggannya masyarakat membuat tungku hemat energi ini adalah masyarakat di Pedukuhan ini berpendidikan rendah sehingga masyarakat belum memahami manfaat keberadaan TSHE ini untuk jangka panjang, termasuk manfaat dari segi kesehatan dan lingkungan atau kelestarian hutan di Kulon Progo. Mereka hanya mementingkan kepentingan jangka pendek, dan merasa harga TSHE ini terlalu mahal dibandingkan tungku tradisional. Oleh karena itu, masyarakat Pedukuhan Gunungrejo lebih memilih tetap menggunakan tungku tradisional yang lebih murah dan tidak perlu repot-repot membuat sendiri. Selain itu, terdapat budaya masyarakat di daerah ini memasak menggunakan tungku yang memiliki lidah api besar, sedangkan TSHE tidak memiliki lidah api yang keluar tungku Hal ini membuat warga berpendapat TSHE tidak mengeluarkan api sehingga warga kurang menyukainya. Mardikanto dalam Prabayanti (2010), menyatakan bahwa agar sesuatu yang baru dapat diadopsi seseorang, maka akan dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu (a) sifat inovasinya sendiri, (b) sifat sasarannya, (c) cara pengambilan keputusan, (d) saluran komunikasi yang digunakan, (e) keadaan penyuluh, dan (f) ragam sumber informasi. Oleh karena itu, agar adopsi TSHE lebih cepat, Yayasan Dian Desa atau agen implementasi tungku lainnya harus terus melakukan sosialisasi TSHE, baik secara berkelompok maupun individu dengan mengutamakan keuntungan atau manfaat TSHE. Selain itu, kredit atau biaya pembuatan dan pembelian tungku perlu difasilitasi baik oleh lembaga keuangan mikro, koperasi, LSM atau lembaga pemerintah mengingat salah satu kendala adopsi TSHE adalah ketidakmampuan masyarakat untuk membeli atau membuat tungku. 4.3 Kebijakan Pemerintah yang Mendukung Difusi dan Adopsi Tungku Sehat Hemat Energi (TSHE) Kecenderungan kenaikan harga eceran bahan bakar minyak tanah dan kesulitan pasokan yang berkesinambungan di wilayah perdesaan khususnya di Kulon Progo menyebabkan masyarakat tetap memilih menggunakan tungku dengan bahan bakar kayu. Agar masyarakat yang menggunakan bahan bakar kayu ini terlindungi dari dampak asap dalam ruang, maka pemerintah harus memberikan dukungan terhadap fasilitas pembenahan dapur sehat (terutama dari perbaikan ventilasi udara) serta mendukung penyebaran dan penggunaan TSHE (terutama masyarakat pengguna tungku tradisional). Penggunaan TSHE juga menjawab Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. TSHE yang menggunakan bahan bakar kayu/pelet/briket biomassa yang merupakan sumber energi terbarukan biomassapotensial di Indonesia, menghasilkan lebih sedikit polusi udara dibandingkan dengan tungku tradisional. Penggunaan TSHE juga sejalan dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia no. 19 tahun 2012 tentang Program Kampung Iklim, yaitu tentang penggunaan energi baru, terbarukan dan konservasi energi, berupa teknologi rendah emisi gas rumah kaca. Penerapan teknologi rendah emisi gas rumah kaca, misalnya penggunaan tungku hemat energi, kompor sekam padi, kompor berbahan bakar biji-bijian non-pangan, lampu biogas, dan briket sampah. Rajinder Peshin, A. K. Dhawan, 2009
27
148
Dengan demikian, kegiatan difusi dan adopsi TSHE di tingkat masyarakat sesuai dengan program pemerintah tentang penghematan dan pemanfaatan energi terbarukan. 5.
KESIMPULAN Keberlanjutan difusi dan adopsi TSHE lebih banyak ditentukan oleh komunikasi, sosialisasi yang baik, dan dukungan atau fasilitas bantuan kepada masyarakat. Termasuk dalam hal ini adalah pemahaman tentang ketersediaan potensi sumber daya lokal, keterbukaan dari masyarakat terhadap hal-hal baru, dan fasilitas atau kemudahan pembiayaan yang diberikan kepada masyarakat dalam memiliki TSHE. Tantangan yang dihadapi sampai saat ini antara lain penyebaran informasi TSHE yang lebih luas. Dampak positif yang penggunaan TSHE dapat dilihat dari aspek ekonomi, sosial, kesehatan, keterampilan warga, dan kebersihan lingkungan. Selain itu, perlu dukungan yang efektif dalam pemanfaatan TSHE dari Pemerintah melalui kebijakan Pemerintah.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Yayasan Dian Desa yang telah memberikan informasi tentang tungku dan membantu mempertemukan kami dengan masyarakat pengguna dan penggiat TSHE di Kabupaten Kulon Progo.
DAFTAR PUSTAKA Bagja,Waluya. 2007. Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat.Bandung:TP Setiapurna Inves. Diniarti F. Soe’oed,R, 1999. Proses Sosialisasi. Bunga rampai Sosiologi Keluarga. Yayasan Obor Indonesia. books.google.com/books?isbn=9794613207 Hanafie, Rita, 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. Penerbit: CV Andi Offset, Yogyakarta. books.google.co.id/books?isbn Laensugi, 2011. Sosialisasi Sosiologi. laensugi.wordpress.com/2012/../sosialisasi-sosiologi-1 Mulyana, Slamet, 2009. Komunikasi Pembangunan. Wsmulyana.wordpress.com/.../teori-difusiinovasi/ Musyafak, Akhmad dan Ibrahim, Tatang M., 2005. Strategi Percepatan Adopsi dan Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 3 No. 1, Maret 2005. pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART03-1a.pdf Rogers, Everett M, 1995. Diffusions of Innovation, Forth Edition. New York: Tree Press Rogers, Everett M, 2003. Diffusions of Innovation, Fifth Edition. New York: Tree Press Rajinder Peshin, A. K. Dhawan, 2009. Diffusion of Innovation Theory and Integrated Pest Management. Integrated Pest Management Dissemination and Impact Volume 2, Punjab Agriculture University, Departemen of Entomology Ludhiana, India. books.google.com/books?isbn=1402089902 Tumiwa, Fabby dan Henriette Imelda, 2011. Kemiskinan Energi “Fakta-fakta yang ada di masyarakat”, Institute for Essential Service Reform (IESR) Peraturan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia no. 19 tahun 2012 tentang Program Kampung Iklim, jdih.menlh.go.id/.../IND-PUU-7-2012-Permen%20LH _______2010. Tungku dan Kompor Sehat Hemat Energi (TSHE-KSHE) /Kompor-Tungku Biomassa (Pekerjaan Studi Penyusunan Benchmark Tungku dan Kompor Biomassa dari Departemen ESDM - Puser Bumi Konsultan). roedievie.blogspot.com/.../tungku-kompor-biomassa-a. 149
PENTINGNYA STRATEGIK MARKETING DALAM PEROLEHAN HKI DI LEMBAGA LITBANG DI INDONESIA DALAM MENDUKUNG PERTUMBUHAN INDUSTRI* 1,2
Syahrul Aminullah1, Didik Notosudjono2 Universitas Indonesia, Kementerian Riset dan Teknologi1 Universitas Pakuan, Bogor Kementerian Riset dan Teknologi2 Email:
[email protected]
Abstrak Sudah menjadi suatu kebutuhan akan pentingnya peranan marketing strategik dalam meningkatkan perolehan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada lembaga litbang kementerian, lembaga pemerintah non kementerian (LPNK), litbang pemerintah provinsi dan lembaga penelitian universitas. Fakta menunjukkan masih minimnya perolehan HKI yang dihasilkan oleh peneliti dalam negeri yang berasal dari lembaga litbang di Indonesia dalam mendukung pertumbuhan Industri. Sementara diseluruh belahan dunia, terutama negara yangtelah memiliki sumber daya manusia berbasis HKI, mereka jauh lebih makmur/kaya dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki sumber daya alam tetapi sedikit sekali kepemilikan sumber daya manusia berbasis HKI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran strategik marketing dalam mendukung perolehan HKI di lembaga litbang di Indonesia agar dapat mengadaptasi apa yang dilakukan oleh negara maju. Metodologi dalam tulisan ini menggunakan metode deskriptif dengan analisis data dilakukan melalui analisis konten. Penelitian ini menggambarkan situasi apa adanya dengan kajian literatur yang dilengkapi dengan data deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan diperlukan upaya penyadaran kepada para inventor untuk dapat melihat kebutuhan individu, masyarakat (konsumen) termasuk industri, sehingga dapat diketahui invensi apa yang dapat menjadi peluang yang menjadi kebutuhan pasar. Setelah hasil invensi tersebut mendapatkan paten, maka produk tersebut sesegera mungkin diproduksi agar bernilai ekonomi dan dapat diproduksi dalam skala industri. Peranan aktor dalam memformulasikan regulasi merupakan suatu keharusan, sehingga hasil invensi tersebut dapat memacu pertumbuhan industri dalam mendukung roda perekonomian negara seperti apa yang telah dilakukan oleh negaranegara maju.
Kata Kunci: marketing strategik, inventor, HKI, lembaga litbang, perekonomian negara
1.
PENDAHULUAN Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan pentingnya peranan marketing strategik dalam meningkatkan perolehan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada lembaga litbang kementerian, LPNK, lembaga litbang pemerintah daerah dan lembaga penelitian universitas. Situasi perolehan HKI di Indonesia sampai penghujung tahun 2012 masih belum menggembirakan. Untuk itu para aktor dalam pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II 150
menjadikan HKI sebagai prioritas. Komitmen tersebut dibuktikan dengan adanya kontrak kinerja Menteri Riset dan Teknologi yang diberi mandat oleh Presiden melalui Perpres Nomor 24 tahun 2010 dengan tufoksinya. Kontrak kinerja Menristek tersebut didasarkan pada yuridis formal yaitu merujuk pada Undang-Undang nomor18 tahun 2002, pasal 13 ayat (3) yang menyatakan: “Dalam pengelolaan HKI, perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan pembentukan sentra HKI”. Sebagai bentuk implemantasi dari mandat UU nomor 18/2002, Kementerian Riset dan Teknologi sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 telah memberikan insentif untuk pembentukan sentra HKI dengan jumlah 24 sentra HKI, yang tersebar dari Nangroe Aceh Darusalam sampai Maluku. Sementara lembaga litbang di Papua belum pernah mengusulkan terkait pembentukan Sentra HKI. Pentingnya HKI juga disampaikan oleh Wakil Presiden RI, yang disampaikan dalam sambutan puncak acara memperingati Hari HKI Sedunia di Istana Wapres, Jakarta tanggal 8 Mei 2012, kutipan pidatonya Wakil Presiden dikatakan sbb: “...Indonesia termasuk kelompok negara- negara, G-20, dimana negara-negara yang tergabung dalam G-20 tersebut, termasuk Indonesia, diperhitungkan pertumbuhan ekonominya oleh dunia. SDM berbasis HKI sangat erat hubungannya dengan perekonomian. Oleh karena itu HKI tidak hanya masalah aspek Hukum saja, tetapi juga aspek ekonomi yang timbul dari pelaksanaan HKI. Namun demikian, pendaftaran paten Indonesia ke Kantor HKI dunia (PCT di Genewa) termasuk yang sangat rendah, dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, India......oleh karena itu, sebagai negara penghasil SDA, hendaknya Indonesia tidak terlena terhadap kekayaan SDA-nya saja, karena akan cepat punah. Dan harus mulai memperhitungkan SDM berbasis HKI”. Dalam pidato di atas tersirat betapa pentingnya HKI dalam mendukung pertumbuhan perekonomian nasional. Wakil Presiden juga menegaskan pentingnya diperhatikan SDM berbasis HKI. Sehingga topik utama dan sub topik dalam tulisan ini sangat relevan bila mengkaitkan HKI dengan pemasaran strategik. Tulisan ini juga membahas berbagai fenomena HKI di Indonesia dikaitkan pula dengan implementasi bentuk kebijakan oleh Kementerian Ristek dalam upaya percepatan perolehan HKI di lembaga litbang. Membahas secara mendalam tentang teori marketing strategik tidak hanya berbicara pada tataran apa (what) tetapi masuk pada tataran pertanyaan bagaimana (how). Bagaimana perolehan HKI oleh para inventor dapat dipercepat unutk mendapatkan paten, selanjutnya hasil invensi tersebut dapat di produksi oleh industri dan akhirnya dapat dipasarkan sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Akan dibahas pula keterkaitan marketing strategis dengan banyaknya invensi yang telah dihasilkan oleh anak bangsa, potret HKI di Indonesia dan keterkaitannya dengan perekonomian nasional, insentif pemerintah dan dampaknya, keadaan yang diharapkan, cara menghadapi kendala dan peran aktor dalam menyiapkan kebijakan dalam mendukung percepatan perolehan HKI. 2.
TINJAUAN PUSTAKA
Pentingnya Marketing Strategik dalam peningatan perolehan HKI Untuk memahami lebih utuh apa yang dimaksud dengan marketing strategik, ada definsi yang dirujuk menurut The American Marketing Association mendefinisikan Marketing (management) sebagai “the process of planning and executing the conception, pricing, promotion,and distribution of ideas, goods, and services to create exchanges that satisfy individual and organizational objectives. Proses perencanaan dan pelaksanaan konsepsi, penetapan harga, promosi, dan pendistribusian gagasan, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang mampu memenuhi tujuan individu dan organisasi. Di lain pihak diperlukan juga pemasar, yaitu pihak yang lebih aktif dalam mengaktualisasi dalam pertukaran. Pertukaran 151
dalam konteks ini dimaksudkan sebagai sebuah proses dimana dua atau lebih pihak saling mempertukarkan sesuatu yang memiliki nilai sehingga pada akhirnya mereka merasa lebih baik setelah melakukan proses ini. Philip Kotler(1979) mendefinisikan marketing management sebagai “the art and science of choosing target markets and getting, keeping, and growing customers through creating, delivering, and communicating superior customer values”. (Seni dan ilmu di dalam memilih pasar sasaran dan mendapatkan, memelihara dan mengembangkan para pelanggan melalui proses penciptaan, penyampaian dan pengkomunikasian nilai pelanggan yang lebih baik. Sementara menurut Firmanzah(2012), marketing sebagai aktivitas sosial berkembang mengikuti perkembangan proses produksi yang dihasilkan dari penemuanpenemuan penting umat manusia. Kemajuan teknologi yang membuat proses produksi menjadi lebih efektif dan efisien telah membuat produk yang dihasilkan pun menjadi lebih banyak pula. Ke depan konsep marketing strategis dapat diimplementasikan mulai dari hulu sampai hilir dalam rangka menjadikan invensi oleh inventor sehingga menjadi produk yang bernilai ekonomi. Pada negara-negara yang telah maju sektor perekonomiannya ditunjang oleh produkproduk consumer good dari hasil-hasil invensi yang telah dipatenkan dan diproduksi dalam skala global. Karena sejatinya dengan melalui kepemilikan paten dari suatu negara tersebut dapat menunjang perekonomian bagi negara yang bersangkutan. Para inventor di Indonesia saat ini yang tersebar di lembaga litbang Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), Balitbang Provinsi, Lembaga Penelitian Universitas, Lembaga litbang Swasta, BUMN dan Industri. Terkait pemohonan paten yang diusulkan oleh perguruan tinggi menurut Dirjen HKI (2010) jumlah permohonan dari ITB 50, UGM 34, Universitas Brawijaya 30, UI 27, Universitas Muhammadiyah Malang baru menghasilkan 21 apten, IPB 18 paten, Univ Hangtuah Surabaya 7 paten, Universtas Airlangga 6 paten, Universitas Padjajaran 3 paten, Universitas Diponegoro 3 paten, Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta 2 paten dan Universitas Wangsa Manggala 1 paten. Data lainnya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2012), jumlah penemuan (invention) dari hasil karya perguruan tinggi sampai dengan tahun 2010 berjumlah 721 invensi, tahun 2011 berjumlah 125 invensi dan tahun 2012 berjumlah 144 invensi. Sementara Paten yang dihasilkan oleh Indonesia sampai tahun 2010 baru mencapai 77 paten. Fakta lainnya, jika melihat dari kelembagaan litbang di 33 provinsi sampai tahun 2012, memperlihatkan baru 17 lembaga yang bernama Balitbang Provinsi, 4 lembaga litbang kedudukannya setingkat badan dengan nama Kantor Litbang dan 12 lembaga litbang yang masih bergabung dengan Bappeda Provinsi. Menurut data Dirjen HKI tahun 2010 ada permohonan Paten dari Kanwil Provinsi Jawa Timur sebanyak 11 permohonan, Kanwil Jawa Tengah 5 Permohonan, Kanwil NTB 2 permohonan dan Kanwil sulawesi Tengah ada 1 permohonan, sehingga total permohonan dari ke 4 provinsi tersebut mencapai 19. Data lainnya, tentang jumlah perguruan tinggi baik swasta maupun negeri menurut data Kemendikbud sampai tahun 2012 berjumlah 3.185 perguruan tinggi di Indonesia, sementara jumlah invensi yang dihasilkan dari seluruh Lembaga Penelitian Perguruan Tinggi berjumlah 990 invensi. Banyaknya lembaga litbang belum menjamin semakin meningkatnya perolehan paten. Pada kenyataannya pernyataan ini benar adanya, misal lembaga litbang di Provinsi belum dapat diharapkan dapat menghasilkan paten. Sementara pada lembaga litbang Kementerian atau Lembaga (K/L) dari mulai berdiri puluhan tahun yang silam sampai tahun 2012 masih minim dalam menghasilkan paten. Harapan itu tumbuh mana kala adanya upaya pemberikan insentif dalam pembentukan sentra HKI oleh Kementerian Riset dan Teknologi. Program insentif tersebut sudah dilakukan sejak tahun 2010 dan terus dilanjutkan sampai tahun 2012, dan sampai tahun ini program tersebut masih berjalan. Secara umum tujuan pemberian insentif ini dalam rangka mendukung kegiatan percepatan perolehan HKI oleh lembaga penelitian dan pengembangan. 152
HKI Dalam Mendukung Perekonomian Nasional Menurut OECD dan UNESCO, dimana negara-negara yang memiliki sumber daya manusia berbasis HKI jauh lebih makmur/kaya dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki sumber daya alam tetapi sedikit sekali kepemilikan sumber daya manusia berbasis Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Bahkan karena nilai strategisnya bidang HKI ini telah sejak lama menjadi elemen penting dalam kemajuan suatu negara. Perkembangan HKI di dunia internasional diawali dengan adanya beberapa perjanjian internasional misalnya: perjanjian Berne Convention 1883 mengenai Hak Cipta, perjanjian Paris Convention 1886 mengenai Paten, Merek, Desain Industri, Perjanjian TRIPs (agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) oleh WTO tahun 1994. Ada beberapa konvensi lainnya yang berkaitan dengan teknis HKI, seperti Madrid Protokol. Regulasi yang memayungi pentingnya HKI dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah menjadi yuridis formal dan yang selalu dirujuk antara lain meliputi: UU Nomor 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU Nomor 31 tahun 2000 tentang Desain Industri, UU Nomor 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, UU Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, UU Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek, UU Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Tidak dapat dipungkiri bahwa peran HKI dalam mendukung perekonomian suatu negara merupakan sesuatu yang amat penting. Optimisme yang dibangun Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dinilai dari Produk Domestik Bruto (PDB) perkapita dari US$3000 posisi tahun 2012 menjadi US$12.855–16.160 pada tahun 2025. Peningkatan PDB tersebut salah satunya dapat dicapai dengan upaya meningkatan perolehan HKI oleh inventor dan hasil-hasil invensi tersebut dapat dipatenkan, selanjutnya dapat pula diproduksi agar bernilai ekonomi. Dalam bahasa fiskal proses untuk menghasilkan invensi ini masih berupa input sedangkan jika hasil invensi tersebut sudah diproduksi maka akan menjadi output yang dapat meningkatkan PDB suatu negara. Pengukuran kemajuan PDB, National Income Account atau Gross Domestic Product (GDP) adalah kata yang sama untuk mengukur agregate output suatu negara dalam periode tertentu. Untuk ukuran pemerintah daerah biasnya mengguunakan PDRB. Menjadi pertanyaan kita semua, bagaimanakah hasil-hasil invensi yang dihasilkan oleh inventor di lembaga litbang Kementerian, LPNK, Balitbang Provinsi dan Lemlit Perguruan Tinggi di Indonesia? Apakah berbagai invensi tersebut telah memberikan dampak yang positif dan mampu mempengaruhi petumbuhan prekonomian nasional? Merujuk hasil riset oleh OHIM (2002) Prospective Study about Design Registration Demand at a European Union Level ada beberapa alasan mengapa perlu melindungi HKI adalah untuk mencegah pemalsuan sebesar 70%, untuk mendukung kebijakan perusahaan/kerajinan sebesar 23,4%, untuk melindungi kompetitornya sebesar 20,3%, untuk mengingatkan prestige (harkat) perusahaan sebesar 10,1%, untuk mencegah dikatakan barang palsu sebesar 6.5%, dan alasan lainnya sebesar 5,8%. Sedangkan yang terkait dengan objekobjek bidang HKI mencukup hal yang cukup luas antara lain meliputi: (i) hak cipta (seni, sastra dan ilmu pengetahuan), (ii) paten daninvensi teknologi), (iii) merek meliputi: simbol dagang barang dan jasa, (iv) desain industri meliputi: penampilan produk, (v) desain tata letak sirkuit terpadu meliputi : desain tata letak rangkaian IC, dan (vi) rahasia dagang antara lain: informasi rahasia yang bernilai ekonomi. Keterkaitan pentingnya HKI dalam kegiatan ekonomi suatu negara karena HKI akan berhubungan dengan kegiatan industri dan perdagangan. Melalui keberhasilan kegiatan invensi dari industri dan perdagangan yang terus meningkat maka akan berdampak terhadap perekonomian dalam negeri. Jika dikaitkan dengan kebijakan fiskal nasional, inovasi oleh inventor selayaknya mempengaruhi makroekonomi baik dari sisi agregate supply dan agregate demand. Banyaknya 153
hasil invensi oleh inventor dapat mempengaruhi suplay dengan terciptanya lapangan pekerjaan dan pergerakan fiskal, yang akhirnya bermuara kepada peningkatan PDRB dan PDB Nasional. Namun, jika hasil-hasil invensi oleh inventor tidak dapat diproduksi dan dipasarkan, maka inventasi yang dikeluarkan oleh negara yang telah dikucurkan kepada peneliti melalui APBD dan APBN dengan tujuan untuk menghasilkan temuan-temuan yang dihasilkan oleh peneliti dapat mengakibatkan investasi tersebut menjadi tidak produktif dan belum dapat menjadi stimulus ekonomi yang terus bergulir. Untuk itu, diperlukan kesadaran kolektif oleh para inventor akan pentingya mengetahui kebutuhan masyarakat secara lebih dini sehingga hasilhasil invensi tersebut benar-benar dibutuhkan masyarakat dan pasar dalam rangka memacu roda perekonomian negara, seperti yang dilakukan negara-negara maju lainya. Definisi Paten Definisi dari paten itu sendiri adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Apa yang dimaksud dengan Hak disini adalah hak untuk: melaksanakan sendiri secara komersial, memberikan persetujuan kepada pihak lain, melarang pihak lain tanpa persetujuannya, membuat, menggunakan, menjual, menyewakan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual atau disewakan, mengimpor, mengekspor atau menggunakan proses produksi untuk membuat barang dan tindakan lainnya. Adapun manfaat perlindungan invensi dengan sistem paten dalam rangka untuk mencegah pihak lain mengeksploitasi potensi ekonomi dari hasil Research & Development (R & D), mencegah pihak lain melakukan pengembangan hasil R&D tanpa izin (lisensi), atau tanpa mengikutsertakan pihak yang pertama kali menghasilkan suatu teknologi, mencegah pihak lain lebih dulu mematenkan hasil R&D sehingga bebas melakukan penggunaan atau pengembangan terhadap teknologi/invensi itu tanpa mendapat hambatan dari pihak lain, menjadi sarana iklan yang bersifat global dan meningkatkan prestise atau nilai jual pihak penghasil teknologi karena memiliki banyak paten.Karya Intelektual merupakan hak-hak alami, berdasarkan ketentuan pasal 27 (2) tentang Deklarasi Hak Asasi Manusia sedunia, yang menyebutkan bahwa“Setiap orang memiliki hak untuk mendapat perlindungan (untuk kepentingan moral dan materi) yang diperoleh dari ciptaan ilmiah, kesusasteraan atau artistik dalam hal dia sebagai pencipta”. Sementara itu, perlindungan Reputasi, perlindungan Karya Intelektual merupakan wujud dari perlindungan reputasi perusaahaan dari pihak lain yang menggunakan karya Intelektual yang dimiliki secara tanpa hak/ijin. Melalui dorongan dan imbalan dari Inovasi dan Penciptaan, HKI merupakan bentuk kompensasi dan dorongan bagi orang untuk mencipta, hal ini dapat menguntungkan masyarakat dalam jangka panjang. Fakta di lapangan memperlihatkan hasil-hasil penelitian dan pengembangan baik di Litbang kementerian/lembaga pemerintah non kementerian, balitbang provinsi, perguruan tinggi masih belum menggembirakan, walaupun segala upaya telah dilakukan. Potret dari 3.185 perguruan tinggi seluruh Indonesia baik perguruan tinggi negeri dan swasta, walaupaun inventornya telah mencapai 990 dalam kurun waktu 2010-2012. Hasil-hasil para penemu tersebut belum dapat dipatenkan dan diproduksi pada skala industri sehingga dapat menunjang perekonomian. 3.
HASIL
Marketing Strategik dalam Rangka Peningkatan Perolehan HKI Pada umumnya, hasil-hasil penemuan anak bangsa yang tersebar di perguruan tinggi, lembaga litbang kementerian, LPNK dan balitbang provinsi dapat segera di proses patennya. 154
Selanjutnya hasil invensi tersebut dapat pula diproduksi untuk dipasarkan dan diharapkan mampu bersaing di lingkup lokal, regional dan global, sehingga menjadi komoditi ekonomi yang dapat meningkatkan pendapatan daerah dan pendapatan nasional. Dalam kenyataannya, sering dijumpai keluhan inventor yang terhambat dalam memproduksi hasil temuannya. Inventor menjadi galau dan bertanya-tanya bagaimana upaya memproduksi dan memasarkan hasil temuannya tersebut? Agar lebih memahami arti pemasaran menurut Kotler dan Amstrong (2000), pemasaran adalah proses sosial dan manajerial yang dilakukan oleh individu ataupun kelompok dalam memperoleh kebutuhan dan keinginan mereka, dengan cara membuat dan mempertahankan produk dan nilai dengan pihak lain. Sementara dalam lingkup global, marketing strategik terkait HKI ada dua kutub dalam sistem kolaborasi HKI yang menjadi refensi, yaitu dengan mengacu kepada model Stanford University. Model Stanford menyatakan antara peneliti/perguruan tinggi dan sektor industri memiliki matcher/penghubung yang bertugas memberitahukan kepada lingkungan peneliti tentang industri apa saja yang dibutuhkan di kalangan industri saat itu dan sebaliknya memberitahunkan kepada kalangan industri invensi apa saja yang dapat diindustrikan oleh kalangan industri. Model Texas menyatakan bahwa kalangan peneliti/perguruan tinggi dibiarkan sesuai idealisme akademisnya untuk meriset apa saja, baik yang dapat di industrikan maupun yang masih skala studi awal untuk menciptakan ilmu pengetahuan baru. Dua pendekatan ini diacu oleh negara-negara berkembang di belahan benua Amerika Latin, seperti di Brasil dan Chile dengan tegas mengacu Model Stanford yang memiliki lembaga khusus sebagai matcher penghubung antara dunia peneliti dan dunia industri untuk mengkomersilkan hasil-hasil invensi yang telah mendapat perlindungan paten. Pada negara-negara maju seperti Jepang dan Eropa Barat tidak secara tegas menganut model tersebut tetapi umumnya lebih dari 75% para peneliti bekerja sebagai inventor yang invensinya dilaksanakan oleh pihak swasta/industri. Melalui marketing strategik inilah perolehan HKI dapat terus ditingkatkan, Indonesia dapat mengacu keduanya atau membuat model sendiri ala Indonesia dengan aturan dan reguasi yang jelas. Marketing yang dilakukan oleh presiden Obama dengan meminta komitmen pejabat-pejabat Gedung Putih agar proses pendaftaran paten yang lebih cepat, mengurangi waktu tunggu hampir 700 ribu permintaan, sehingga upaya ini dapat mempercepat penciptaan lapangan kerja baru. Marketing Strategi lainnya yang menjadi komitmen Obama adalah mengupayakan Kantor Hak Paten Amerika unutk membuka kantor cabang di seluruh Amerika dan menambah 2.000 pemeriksa paten dalam tahun fiskal tahun 2013 ini. Potret HKI di Kementerian/Lembaga, Balitbangda dan Lemlit Perguruan Tinggi Potret paten dari berbagai lembaga litbang di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan terutama bila dikaitkan dengan perolehan paten dalam menunjang perekonomian negara. Sementara di negara maju perolehan paten merupakan sumber pendapatan negara yang terebesar, misal di Amerika, Jepang, dan Korea dari perolehan paten dapat meningkatan pertumbuhan ekonomi. Sementara potret paten di Idonesiabelum mengalami peningkatan yang signifikan. Dalam 23 tahun terakhir, frekuensi pengajuan paten di Indonesia yang hanya 419 buah. Padahal di negara lain seperti Jepang dan India, pengajuan pendaftaran paten mengalami peningkatan yang signifikan tiap tahunnya. Di Jepang pendaftaran paten mencapai 370.000 per tahun. Sedangkan di India pengajuan pendaftaran mencapai 17.000 per tahun. Sementara, negara lain seperti China juga mengalami peningkaan yang cukup signifkan dalam jumlah pemohon patan. Jumlah permohonan paten dari China melalui The World Intellectual Propert Organization (WIPO) dalam 5 tahun terakhir terus meningkat, mengindikasikan banyak temuan baru dari negara tersebut. Menurut data WIPO, pada 2007, paten melalui WIPO baru tercatat 5.461, setahun kemudian meningkat menjadi 6.128, sedangkan tahun 2009, (sampai 155
September) sudah mencapai 5.447 paten, data tersebut dapat dilihat secara jelas seperti yang tertera pada tabel 1.
Tabel 1 Jumlah Permohonan Paten diIndonesia Tahun
PCT
NON PCT
2001
Dalam Luar Negeri Negeri 4 2901
Dalam Negeri 208
2002
6
2976
228
633
2003
0
2920
201
479
2004
1
2989
226
452
2005
1
2536
234
533
2006
6
3805
282
519
2007
5
4357
279
493
2008
11
4278
375
469
2009
24
3761
413
342
2010
19
4721
497
401
77
35851
3195
28605
Jumlah
Luar Negeri 813
Sumber: Dirjen HKI, 2011
Menurut data Dirjen HKI (Hak Kekayaan Intelektual) selama 10 tahun belakangan ini rata-rata persetujuan paten (Patent Cooperation Treaty (PCT) dan Non-PCT) oleh peneliti Indonesia dibanding seluruh paten yang telah dikeluarkan angkanya baru mencapai 3,5% jumlah dari sekitar 2000 persetujuan paten per tahun. Mayoritas pemilik paten selebihnya yang 96,5% berasal dari negara-negara asing, terutama negara industri maju seperti; Amerika Serikat, Belanda, Inggris, Jepang, Jerman, Korea Selatan, Perancis, Swiss, Taiwan, dst. Prestasi yang tergolong tinggi yakni tahun 1999 yakni ketika dari sejumlah total 739 paten adalah 88 atau 11% yang didapat kalangan peneliti nasional. Setahun sebelumnya angkanya 203 dari 1987 atau baru sekitar 10%. Sementara itu, pengelolaan HKI di perguruan tinggi dan lembaga litbang masih kurang optimal. Hal ini terlihat dari kecilnya jumlah pengajuan paten terhadap karya-karya penelitian mahasiswa maupun para dosen. Sejak periode tahun 1985 hingga tahun 2007, penetapan Hak atas Kekayaan Intelektual atau HKI di seluruh perguruan tinggi Indonesia hanya 419 buah. Padahal Indonesia memiliki sekitar 3.185 perguruan tinggi yang potensial menghasilkan hasil karya penelitian.
Intervensi Kebijakan dalam kaitannya dengan perolehan Paten Pasca pemberlakuan UU No.18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dimana pada pasal 13 ayat 3 menyatakan: “Dalam meningkatkan pengelolaan kekayaan intelektual, perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan pembentukan sentra HKI sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya”. Tindak lanjut berupa kegiatan yang dijalankan dalam megimplementasikan pasal 13 ini, Kementerian Riset dan Teknologi telah meluncurkan program pembentukan sentra 156
HKI sejak tahun 2010. Adapun tujuan program insentif pembentukan sentra HKI meliputi: (i) meningkatkan perolehan Hak Paten dan Kepemilikan HKI Produk Teknologi dan Produk Kreatif; (ii) meningkatkan minat peneliti untuk melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan berpotensi HKI; (iii) mendorong tumbuhnya industri nasional berbasis HKI; (iv) meningkatkan pemahaman peneliti terhadap pentingnya HKI dalam kaitannya dengan kegiatan penelitian dan pengembangan. Adapun jumlah sentra HKI yang telah terbentuk yang dibiayai oleh program insentif Sentra HKI oleh Kementerian Riset dan Teknologi, seperti pada Tabel 2.
Tabel 2 Insentif HKI Kementerian Riset dan Teknologi terkait HKI th 2010-2012 TAHUN 2010
2011
2012
USULAN
PENERIMA
USULAN
PENERIMA
USULAN
PENERIMA
INSENTIF RAIH HKI
18
12
33
15
40
15
INSENTIF PEMBENTUKAN SENTRA HKI
4
4
15
10
15
10
INSENTIF PENGUATAN SENTRA HKI
5
5
10
6
10
5
KEGIATAN
Sumber: Data Asdep HKI Kemenristek, 2012.
Pemerintah melalui Kementerian Riset dan Teknologi baru mampu memberikan insentif kepada 24 sentra HKI dalam kurun waktu 2010-2012, dimana sebagian besar insentif tersebut diterima oleh pergurun tinggi, baik pada perguruan tinggi negeri dan swasta. Sementara jumlah perguruan tinggi baik berupa universitas, sekolah tinggi, institut, politeknik dan akadmi yang di miliki Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sampai tahun 2012 berjumlah 3.185. Semestinya Kemendikbud yang memiliki anggaran cukup besar dapat dirangkul untuk memberikan insentif serupa kepada seluruh perguruan tinggi agar mau dan wajib membuat sentra HKI di masing-masing kampus. Jika usulan ini dapat dijalankan, maka merupakan upaya strategis dan diharapkan dapat memberi stimulus terhadap percepatan perolehan HKI oleh lembaga litbang di Indonesia. Sentra HKI di perguruan tinggi merupakan elemen penting untuk menjadi “agent of change” dalam upaya percepatan perolehan HKI di perguruan tinggi. Sementara ini potret lembaga yang telah mendapatkan insentif Sentra HKI baru mencapai 24 institusi, seperti pada tabel 3, sebagai berikut:
157
Tabel 3 Total Insentif dari kementerian Riset dan Teknologi tahun 2010-2012 No Tahun 2010 1. Unit Pelaksana Teknis Sentra Hak Kekayaan Intelektual, Sekolah TinggiTeknologi Ronggolawe Cepu
No Tahun 2011 No Tahun 2012 1. Sentra HKI Samudra Passe, 1. Sentra HKI Al-Muslim, Universitas Malikussaleh Universitas Al-uslim Aceh Lhokseumawe Aceh
2.
Sentra HKI Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UNNES, Universitas Negeri Semarang
2.
3.
4.
Sentra HKI Lotus Balitbang 2. Provinsi Sumatera Utara
Sentra Pengelola HKI (SP-HKI) Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) AMIK RIAU
Sentra HKI Universitas 17 3. Agustus 1945 Banyuwangi
Sentra HKI Universitas Bandar Lampung
Lembaga Pusat Pendaftaran (LPP) HKI Universitas Pembangunan Panca Budi Medan
Sentra HKI Universitas Muhammadiyah Surabaya
4.
Sentra HKI UNTAR, 4. Universitas Taruma Negara Jakarta
Sentra Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Universitas Ahmad Dahlan
5.
Sentra HKI Universitas Muhammadiyah Jakarta
Sentra HKI Universitas Trunojoyo Madura
6.
Balai Pelayanan Bisnis dan 6. Pengelolaan Kekayaan Intelektual, Dinas Perindustrian, Perdagangan Koperasi dan UKM Provinsi DIY Sentra HKI Universitas 7. Muhammadiyah Yogyakarta
7.
3.
5.
Sentra HKI Balai Besar Bahan dan Barang, Teknik (Sentra HKI-B4T)
Sentra MAHAKI Kota Magelang, Kantor Penelitian Pengembangan dan Statistik, Pemerintah Kota Magelang Sentra HKI Hang Tuah, Universitas Hang Tuah Surabaya
8.
Janaristek, Universitas Janabadra Yogyakarta
8.
9.
Sentra HKI Kristen Petra, Universitas Kristen Petra Surabaya Pusat HKI Universitas Tanjungpura Pontianak
9.
Sentra HKI Universitas Muhammadiyah Jember
10
Pasca Sarjana Institut Teknologi Nasional Malang
10
Sumber: Buku Saku Kementerian Ristek, 2012.
Kondisi Ke Depan (The Way Forward) Konsep dari pemasaran strategis adalah kebutuhan. Kebutuhan secara psikologis adalah perasaan kekurangan. Seseorang merasa butuh hasil-hasil inventor karena masyarakat atau individu tersebut merasa kekurangan terhadap hasil-hasil inventor yang terbaru. Bahkan Abraham Maslow, menjelaskan bahwa kebutuhan memilki lima tingkatan. Mulai dari yang rendah sampai yang tinggi, kebutuhan tersebut meliputi: kebutuhan fisiologi, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan terhadap penghargaan atau kebanggaan dan kebutuhan unutk mengaktualisasikan atau mengekpresikan diri. Inventor yang terus mengasah 158
imaginasi untuk mencipta dan mencipta patut merefleksi diri apakah hasil-hasil temuan tersebut telah berbasis kebutuhan individu, masyarakat, industri, dan pasar. Sehingga hasil-hasil invensi ini dapat menjadi produk komoditi memiliki nilai komersialisasi dan dapat dibeli oleh konsumen yang memang membutuhkannya. Para inventor perlu lebih jeli dan mengetahui apa kebutuhan masyarakat, sehingga ideide yang akan diteliti dan akhirnya menghasilkan HKI wajib mengetahui kebutuhan masyarakat. Beberapa upaya yang perlu dilakukan oleh para candidat inventor antara lain: i) reaktif (segera ingin berubah dan siap untuk berubah, ii) akomodatif (mengubah secara perlahan-lahan dan mengetahui dengan jelas perubahan yang terjadi di pasar, sehingga bisa di antisipasi), iii) proaktif (mengubah secara teratur dan terencana, terkaiat perubahan di masyarakat), dan iv) interaktif (menyesuaikan diri dan proaktif terkait demand masyarakat ke depan, produk-produk apa yang dibutukan masyarakat/pasar). Upaya penciptaan invensi dapat muncul kapan saja, dimana saja. Para kandidat inventor harus jeli dan mampu memanfaatkan waktu yang terus berjalan dimana para pesaing terus produktif dengan temuan-temuan baru mereka baik terutama pada menyangkut hak cipta terdiri atas: seni, sastra & ilmu pengetahuan, seni lukis, puisi, produser rekaman suara, lembaga penyiaran baik televisi dan radio. Paten meliputi: invensi teknologi dari hulu ke hilir; Merek meliputi: simbol dagang barang dan jasa; Desain Industri meliputi: penampilan produk; Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu meliputi: desain tata letak rangkaian Information dan Communication; dan Rahasia Dagang antara lain: informasi rahasia yang bernilai ekonomi.
Hambatan Para peneliti yang tersebar di Lembaga Litbang Kementerian/Lembaga dan Perguruan Tinggi, setelah menjadi inventor masih menghadapi berbagai kendala menyangkut berbagai upaya sistematis dalam rangka memproduksi hasil-hasil invensi mereka. Menurut Rachbini (2013) bagaimana menjadikan hasil invensi menjadi produk yang dapat dikomersialisasikan dan mempunyai nilai ekonomi, Para inventor seharusnya bisa menjadikan invensi-invensi yang dihasilkan seperti produk “warung tegal” yang ada dimana-mana dan produknya invensi tersebut dapat dipasarkan menyebar masif seperti “warung tegal” yang ada dimana saja. Sebenarnya kita memiliki badan seperti Busines Innovation Center (BIC) yang berfungsi menjadi penghubung atau jembatan terkait hasil-hasil inventor, namun upaya BIC ini perlu terus dikedepankan dan mendapatkan dukungan semua pihak. Minimnya dukungan anggaran lembaga litbang juga menjadi kendala minimnya HKI yang dilahirkan oleh peneliti baik di lembaga litbang Kementerian, LPNK, Balitbangda, dan Lemlit Perguruan Tinggi. Walaupun sudah banyak hasil-hasil inventor, seperti data di Dirjen Dikti yang hampir mencapai 1.000 invensi karya perguruan tinggi yang tersebar, namun belum dapat ditingkatkan statusnya menajadi skala industi yang dapat meningkatkan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Balitbang Provinsi anggarannya masih sebatas untuk penelitian kebijakan pemerintah daerah, Anggaran Litbang Kementerian-pun belum begitu menggembirakan angkanya masih minim sekali, kecuali pada Kementerian Pertanian untuk 5 tahun terakhir yang telah mencapai lebih dari 7 % dari pagu anggaran Kementerian Pertanian. Sementara kementerian lainnya masih di bawah satu persen dari pagu anggaran masingmasing kementerian. Pada perguruan tinggipun demikian, walaupun dalam UU perguruan tinggi telah dimandatkan untuk mengalokasikan anggaran penelitian sebesar 30% namun pada kenyataanya potret dari beberapa universitas besar seperti UI, ITB, UGM, UNAIR anggaran peneltian di masing-masing lembaga litbang tersebut masih di bawah 10 persen dari pagu anggaran Universitas.
159
Kebijakan dalam memberikan royalti bagi peneliti dari lembaga litbang pemerintah belum memiliki regulasi yang seragam. Masing-masing instansi membuat regulasi sendiri untuk dapat memberikan penghargaan kepada inventor. Misal di LIPI, BPPT, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Pekerjaan Umum memberikan royalti kepada inventor di institusi masih berbeda-beda. Sebagai best practice yang dapat dijadikan sebagai rujukan bersama, misal royalti di perusahaan internasional SUN Microsystem-Stanford University-outsource devisa America: 75% dari royalti, 25% export tangible product Texas Instrument-US$ 500 milion royalty/ann. PT RIEKN di Jepang memberikan royalti bagi inventor sebesar 50%, Semenatra kebijakan Royalti dalam praktiknya masih sangat bervariatif misal di ITB royalti yang diberikan kepada inventor sebesar 40 persen, 30 persen untuk institusi dan 30 persen untuk organisasi struktur yang membawahinya. Belum adanya kerja sama terkait pembentukan sentra HKI antara Kementerian Ristek, Kemedikbud, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Dalam Negeri. Sehingga diperlukan payung hukum berupa Keputusan Presiden atau Instruksi Presiden yang dapat mendorong dan mewajibkan semua institusi litbang membuat sentra HKI. Dengan adanya payung hukum berupa Perpres atau Kepres ini, sehingga upaya sistematis untuk meningkatkan perolehan HKI yang telah menjadi komitmen pemerintah dapat terus tumbuh. Sejatinya fungsi pemerintah untuk menciptakan iklim seperti yang diungkapkan oleh Osborne, tugas pemerintah adalah menciptakan iklim melalui kebijakan. Bagaimana peran kantor di Kementerian untuk dapat meformulasikan kebijakan terkait pembentukan sentra HKI yang masif. 4.
PEMBAHASAN Dalam rangka meningkatkan perekonomian suatu negara peran penting HKI tidak dapat dipungkiri merupakan unsur penting. Di negara maju sektor perekonomiannya telah ditunjang oleh produk-produk consumer good dari hasil-hasil invensi yang telah dipatenkan dan diproduksi dalam skala global. Melalui kepemilikan paten dari suatu negara dapat menunjang perekonomian negara yag bersangkutan. Sementara walaupun hasil kegiatan kelitbangan di Indonesia yang tersebar pada Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), Balitbang Provinsi, Lembaga Penelitian Universitas, Lembaga litbang Swasta, BUMN dan Industri, dan para inventor terhambat didalam mengkomersialisasikannya. Melalui pemahaman akan pentingnya marketing strategis ini diharapkan para inventor dapat mulai melakukan introspeksi dan segera memikirkan inovasi-inovasi baru sesuai kebutuhan pasar. Terkait adanya regulasi yang menghambat para inventor untuk mendaftarkan patennya, sehingga diperlukan pula untuk meninjau ulang berbagai reguasi yang masih dirasakan menghambat para inventor untuk lansung memproduk hasil-hasil invensi mereka. Menjadi kebutuhan bersama apabila ada deregulasi yang dapat mendorong agar berbagai invensi yang dihasilkan oleh inventor dapat dipercepat proses kepemilikan HKI-nya tentunya tetap melalui proses dan standar yang telah ditetapkan. Melalui marketing stategik inventor yang ada di lembaga Litbang baik di Kemeterian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), Balitbang Provinsi, Lembaga Penelitian Universitas, Lembaga litbang Swasta, BUMN dan Industri, dapat termotivasi untuk terus menghasikan invensi yang dapat dikomersialisasikan. Adanya insentif pembentukan sentra HKI oleh Kementerian Ristek, merupakan upaya sistematis untuk menciptkan iklim dalam rangka mendorong perolehan HKI oleh lembaga litbang di Indonesia. Walauun masih minim anggaran yang di kucurkan oleh Kementerian Ristek terkait kegiatan insentif pembentukan sentra HKI, sampai tahun 2012 baru 24 sentra HKI yang dibentuk. Diusulkan dapat meningkatkan anggaran didalam APN dan APBD terkit 160
pemberian insentif untuk pembentukan sentra HKI di 6 koridor ekonomi, terutama di koridor Indonesia bagian timur, seperti koridor Papua, Sulawesi dan Kalimantan. Dukungan pimpinan lembaga litbang di Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), Balitbang Provinsi, Lembaga Penelitian Universitas, Lembaga litbang Swasta, BUMN dan Industri terus dapat ditingkatkan terkait dukungan dalam peroleh HKI yang akan berdampak baik langsung maupun tidak langsung kepada perekonomian nasional. Dirasakan perlu upaya alternatif lainnya misalnya membuat program konsorsium bersama antara Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, dan Balitbang Provinsi. Secara bersama masing-masing kementerian mengalokasikan dukungan anggaran unutk terciptakan sentra sentra HKI secara masif. 5.
KESIMPULAN Telah diuraikan pentingnya peranan marketing strategik dalam meningkatkan perolehan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada lembaga litbang kementerian, lembaga pemerintah non kementerian (LPNK), litbang pemerintah provinsi dan lembaga penelitian di perguruan tinggi universitas. Dapat disimpulkan bahwa melalui pemahaman marketing strategik oleh para inventor, sehingga dapat meningkatkan perolehan HKI yang dihasilkan oleh peneliti yang berasal dari Lembaga Litbang di Indonesia dapat diproduksi dan dikomersialisasikan. Para inventor untuk lebih dini mengetahui apa yang dibutuhan oleh pasar, sehigga saat hasil invensi telah dipatenkan dapat langsung dikomersialisasiakan karena invensi yang dihasilkan memang dibutuhkan masyarakat/pasar. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Riset dan Teknologi dan Kementerian lainnya untuk dapat meningkatkan anggaran dalam memberikan insentif pembentukan sentra HKI pada koridor ekonomi di Papua, Sulawesi dan Kalimantan dan koridor lainnya. Diperlukan peninjauan beberapa regulasi terkait lamanya proses perolehan paten oleh inventor dan regulasi yang mewajiban inventor dari lembaga litbang pemerintah membayar terkait proses pengurusan paten. Dapat dilakukan negoisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM, pembayaran dapat dilakukan apabila hasil invensi tersebut sudah menjadi produk komersial. Upaya sistematis dalam menciptakan iklim agar Sumber Daya Manusia di lembaga Litbang dapat berbasis HKI, perlu terus ditingkatkan. Menjadi tanggung jawab semua aktor penentu kebijakan di lembaga litbang untuk menyusun formulasi kebijakan dalam rangka mendorong perolehan HKI guna mendukung tingkat kemakmuran warga negara dalam lingkup NKRI. Upaya memacu perolehan HKI hasil invensi SDM di lembaga litbang di Indonesia tersebut dapat memacu roda perekonomian negara, seperti yang telah dilakukan negaranegara maju lainya. Sehingga seluruh aktor dapat memanfatkan marketing stategik dalam rangka mewujudkan ekonomi Indonesia lebih maju. DAFTAR PUSTAKA
Aminullah, S. 2012. Pentingnya Manajemen HKI di Perguruan Tinggi dan Peluang Mendapat Insentif HKI Kementerian Riset dan Teknologi.Bahan Diskusi LPPM Universitas Al-Azhar, Indonesia. Asian Law Group. 2008. Indonesia-Australia, Intelectul Property Rights (Hak Kekayaan Intelektual). 161
Balitbang Pertanian, Statistik Badan Litbang Pertanian. 2011. Sumberdaya, Program dan Hasil Penelitian, Agro Inovasi Press. Dirjen HKI Kementerian Hukum dan HAM. 2011. Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual. Dirjen HKI Kementerian Hukum dan HAM. 2011. Pedoman Pengembangan Kebijakan Kekayaan Intelektual, Bagi Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan. Sektretariat World Intellectual Property Organization, Jenewa. Dirjen HKI Kementerian Hukum dan HAM. 2004. Membangun Usaha Kecil-Menengah berbasis Pendayagunaan Sistem Hak Kekayaan Intelektual, Kiat Melindungi Aset Usaha. Firmanzah. 2012. Marketing Politik Antar Pemahaman dan Realitas. Yayasan Pustaka Obor Indonesia JICA WTO TA Consultant, Dijen HKI. 2003. Capacity Building Program on the Implementataion of The WTO Agreements in Indonesia (TRIPS Component) . Keegan, W. J. 1996. Manajemen Pemasaran Global I. Prenhallindo. Jakarta. Kementerian Riset dan Teknologi. 2003.Undang-Undang No.18 tahun 2002 tentang sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Kementerian Riset dan Teknologi. 2012. Buku Saku Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Riset dan Teknologi. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan. Kotler, P. 2000. Manajemen Pemasaran I dan II. Prenhallindo. Jakarta. Kuncoro, M. 2007. Ekonomi Industri Indonesia: Menuju Negara Industri Baru 2030?. Andi Yogyakarta Malecki, E.J. 1991.Technology and Economic Development. John Wiley & Son.Inc.New York. Nidar. 2012. Teropong Keuangan Ekonomi Bangsa Tanggapan dan Solusi. Pustaka Reka Cipta. Notosudjono, D. 2009. Pengembangan Terpadu Energi Pedesaan (PTEP) melalui Energi Terbarukan, Energi Potensial, Pemberdayaan Masyarakat dan Konsep Marketing, Pidato Guru Besar Universitas Pakuan Bogor 18 Juli 2009. PAPPIPTEK. 2009. Indikator Iptek Tahun 2009. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Rachbini, J. D. 2001. Politik Ekonomi Baru Menuju Demokrasi Ekonomi. Grasindo. Jakarta. Simamora, B. 2001. Memenangkan Pasar dengan Pemasaran Efektif dan Profesional. PT Gramedia Pustaka Utama Sumantoro.1993. Masalah Pengaturan Alih Teknologi. Penerbit Alumni. Bandung. Syamsudin, A. 2012.Pentingnya Sistem Perlindungan HKI Dan Komersialisasinya Terhadap Perkembangan HKI Di Lingkungan Industri Kreatif. Dirjen HKI 2012. Taufik. 2002. Makro Ekonomi Untuk Kebijakan Publik, Pustaka Petronomika Zainudin. 2012. Sistem Paten dalam Melindungi Karya Kreatif serta Inovasi Penelitian. Bahan Diskusi LPPM Universitas Al-Azhar Indonesia. Website http://www.ristek.go.id Website http://www.dgip.go.id
162
BAGAIMANA KNOWLEDGE MANAGEMENT BERSAMA FISIKA MEMBANGUN “NATURE KNOWLEDGE THEORY” SEBAGAI SAINS DASAR BARU Md Santo Mobee Knowledge Services, Jakarta dan Center of Knowledge for Business Competitiveness (CK4BC), School of Business and Management, Bandung Institute of Technology (SBM ITB), Bandung
[email protected]
Abstrak Dengan postulat bahwa “The Big Mistake in Science” terjadi karena Alam (Universe) tidak dipandang sebagai entitas psiko-somatik (jiwa raga) sejak sebelum atau sesudah BigBang , kami mengembangkan konsep alam semesta atas tiga bahan dasar : Matter, Energy dan Nature Knowledge. Human Knowledge (Pengetahuan Manusia) adalah bagian daripada Nature Knowledge (Pengetahuan yang dimiliki Alam Semesta). Sedangkan Kesadaran (Consciousness) adalah atribut utama daripada Knowledge. Permodelan Knowledge Management (KM) yang kami kembangkan , disebut sebagai Human System Biology-based KM (HSB_KM) dan kami pandang sebagai bentuk evolusi terkini (high end) daripada evolusi alam yang kami perlakukan reverse engineering dengan metoda Inverted Paradigm Method (IPM) dari level klasikal sampai kelevel kuantum. Hasil daripada metoda “Basic Science derived from Applied Science” tsb melengkapi upaya Ilmu Fisika mendapatkan beberapa konstruk teoretikal Fisika. Salah satu hasil kami secara mekanisme top-down tsb adalah mengkomplementasi upaya bottom-upnya Fisika (High Energy Physics), yakni mengungkapkan eksistensi gaya fundamental kelima yang disebut sebagai Knowon (consciousness / psycho mediating particle) dan eksis sebagai satu entitas dengan Graviton (somatic mediating particle), gaya keempat dan disebut sebagai “duo-entity-force” atau DEF sebagai “basic elementary building block of psycho – somatic Universe” yang berbentuk “boson force mass less particle” dengan Knowledge Value (KV) = 10-38 CEF (Konstanta Planck – Consciousness Element Factor sebagai unit variabel pengukuran). DEF bersifat superposisi antara Graviton (Dependent to SpaceTime) dengan Knowon (Independent to SpaceTime). Fenomena metoda tsb kami kembangkan menjadi kajian basic science baru yang disebut Nature Knowledge Theory (NKT) dan tampaknya mampu membawa kita menyelesaikan Theory of Everything (TOE) sekaligus sebagai fondasi Sains masa depan.
Kata-kata kunci : knowledge management, fisika, filsafat ilmu, gaya kelima, nature knowledge theory
1. PENDAHULUAN Sebagai konsultan Knowledge Management (KM) dan Organizational Learning (OL), serta berkecimpung mengembangkan teori dan praktek Knowledge (Pengetahuan), sejak dari awal kami yakin bahwa “the Big Mistake in Science” (kelemahan daripada Sains atau Ilmu Pengetahuan) berakar dari realitas bahwa sebagian besar kita sejak abad 17 (era Newtonian) tidak melihat bahwa alam semesta adalah suatu kesatuan (entitas) psiko – somatik (berjiwa raga). Sebagai entitas psiko-somatik, faktor Kesadaran (Consciousness) harus diperhitungkan sebagai atribut daripada Pengetahuan yang dimiliki alam semesta (Nature Knowledge) dimana Pengetahuan Manusia (Human Knowledge) adalah bagian daripada Pengetahuan yang dimiliki alam semesta (Nature Knowledge) tersebut. Hal ini (Nature Knowledge yang beratribut Kesadaran) harus diperhitungkan dari sejak awal terjadinya BigBang mendampingi faktor-faktor Materi dan Energi. Konsep terkini daripada model Knowledge Management yang kami kembangkan bisa mewakili evolusi terkini (high end) daripada Nature Knowledge-nya alam semesta (lihat tentang Consciousness , Consciousness Element Factor (CEF), Consciousness 163
factor in Big Bang , SpaceTime , “duo-entity-force” (DEF) boson particle (Md Santo, 2013 : “Glossary of Nature Knowledge Theory (NKT)”) 2. METODOLOGI Kami dengan domain Knowledge Management terlebih dahulu menetapkan asumsi – asumsi dasar, postulat – postulat dasar dan langkah – langkah dalam rangka menuju kemitraan dengan Ilmu Fisika untuk kepentingan merintis reformasi Ilmu Pengetahuan (Sains) millennium ketiga mendatang (Md Santo, 2012 : “The foundation of next Science : Teaming up Knowledge Management with Physics in Science” ) sbb : 2.1.
Asumsi – asumsi dasar : Kesadaran (Consciousness) adalah atribut Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan adalah subjek yang memiliki atribut kesadaran, sedangkan Data dan Informasi adalah objek yang tidak memiliki kesadaran Data – Informasi – Knowledge – Wisdom (DIKW) continuum adalah model artefaks yang diciptakan manusia sejak abad 17 (Newtonian era) untuk kepentingan perkembangan Ilmu Pengetahuan (Science) dan/atau scientific mindset manusia modern Pada hakekatnya DIKW continuum adalah bagian daripada Nature Knowledge (Pengetahuan yang dimiliki Alam) continuum “The Universe knows something we don’t and it acts on cosmic scales”
2.2.
Postulat – postulat dasar (basis untuk argumentasi atau teori) : Pengetahuan Manusia (Human Knowledge) adalah bagian daripada Pengetahuan yang dimiliki Alam (Nature Knowledge) Sumber kesadaran bersumber atau berpusat dari Alam bukannya bersumber dari manusia (“The Universe or the Nature Knowledge is the source and center of Consciousness” instead of “Mind Brain or Human Being is the source and center of Consciousness”) Manajemen atas Pengetahuan secara epistemologik ada 3 (tiga) level (Md Santo, 2010 :“We are all Knowledge Management regulated by Nature, vv by nature we are Knowledge Management model”) : a. b. c.
2.3
Level individual manusia atau personal Knowledge Management (PKM) Level organisatorial manusia yang sehari-hari dikenal sebagai Knowledge Management (KM) dalam artian sempit atau disebut juga sebagai nurtured KM Level Knowledge Management (KM) oleh alam atau Nature KM
Dengan demikian “We are KM – regulated by Nature, and by nature we are KM model” Nature Knowledgeadalah bahan dasar (basic ingredient / fabric) ketiga dari pada Alam setelah Energidan Materi. Dengan demikian Alam adalah suatu entitas psiko – somatik atau ber-jiwa (kesadaran) – raga (fisik). Kita juga memandang, Nature Knowledge adalah “software” nya Alam, sedangkan Energi dan Materi adalah “hardware”nya Alam “The Big Mistake in Science” terjadi karena Alam (Universe) tidak dipandang sebagai entitas kesatuan psiko-somatik sejak sebelum atau sesudah BigBang (awal Ruang Waktu)
Langkah – langkah menuju kemitraan dengan Ilmu Fisika merintis reformasi Ilmu Pengetahuan (Science Reform) Millennium ketiga : Mengembangkan praktek – praktek empiris verifikatif Human System Biology – based Knowledge Management (HSB_KM) model framework daripada butir-butir 164
2.3.2. dan 2.3.1. diatas (telah dilaksanakan pada kurun waktu 2008 – 2010). Termasuk didalamnya pengembangan Mobee Knowledge Competency Capability Maturity (MKCCM) model sebagai KM metrics-nya Mengembangkan secara praktek – praktek empiris verifikatifNature Knowledge Theory (NKT) daripada butir 2.3.2. ( telah dilakukan pada kurun waktu 2010 – 2012 ) dengan penekanan hijrah dari orientasi DIKW continuum (“kosmologi”) ke orientasi Nature Knowledge continuum (“KOSMOLOGI”) Mencanangkan “New (2012) Copernican Principle” sebagai representasi aspek Psiko atau Kesadaran daripada Alam melengkapi “Old (1542) Copernican Principle” sebagai representasi aspek Soma atau Fisik / Raga daripada Alam Melakukan upaya – upaya Trans Disipliner (dalam bentuk Multi Center Studi) menuju kearah reformasi Imu Pengetahuan dengan 3 (tiga) tumpuan utamanya yakni disiplin – disiplin Fisika, Filsafat Ilmudan Knowledge Management. Secara formal sedang kami rintis berkolaborasi denganCenter of Knowledge for Business Competitiveness(CK4BC), School of Business and Management - Institut Teknologi Bandung (SBM - ITB)sejak awal 2013 dengan pengembangan proyek kegiatan akademik ber- thema : “Beyond Knowledge Management Trend : DIKW continuum vs Nature Knowledge continuum”. Salah satu dari sekian “shopping list”nya adalah melakukan revisitasi daripada Standard Model of Particle Physics sebagai acuan Ilmu Pengetahuan yang luas baik dibidang Natural Sciences maupun Social Sciences
3.
HASIL DAN DISKUSI Pengembangan Nature Knowledge Theory (NKT) yang diangkat melalui pengalaman empiris verifikatif sejak 2008 / 2009 dari permodelan – permodelan Human System Biologybased Knowledge Management (HSB_KM) dan Mobee Knowledge Competency Capability Maturity (MKCCM) sebagai KM metrik ditujukan untuk menjembatani “missing link” antara “Natural Sciences” (Ilmu-ilmu Alamiah) dengan “Social Sciences” (Ilmu-ilmu Sosial). Diprediksi juga NKT dalam perkembangannya akan menuntaskan Theory of Everything (TOE) yang saat ini belum selesai dirintis “sendirian” oleh Ilmu Fisika. Sebagai disiplin ilmiah baru dalam perkembangan, Nature Knowledge Theory (NKT) atau “beyond Knowledge Management (KM)” memenuhi 3 (tiga) persyaratan kriteria keilmuan sbb :
Pertama, memiliki kemantapan asumsi – asumsi, postulat – postulat dan materi serta metodologinya (Md Santo, 2012: “The foundation of next Science: Teaming up Knowledge Management with Physics in Science”) Kedua, telah teruji secara empiris verifikatif pada kurun waktu tertentu (Md Santo, 2013 : “Course and prognosis of our Knowledge Management (KM) system : Time line (2008 – 2013+) of Mobee Knowledge Services - (Feb, 20123 edition)”) Ketiga, memiliki kemantapan permodelan dan validitas kuat dengan konsep Model dependent Realism dari Stephen Hawking (Md Santo, 2012 : “Our reverse engineering process on Knowledge driven high-end state of Universe evolution model highly compatible with Model- dependent Realism of Stephen Hawking“)
Secara holistik langkah – langkah studi lanjutan kami ini dituangkan berkesinambungan sejak 2008 baik dalam hal Sistim Manajemen Konten (CMS) maupun Sistim Manajemen Pembelajaran (LMS)nya pada situs jejaring sosial (Social Networking Site) kami “Mobee Knowledge CoP” yang bertema Knowledge Management (KM) pada Situs Jejaring Sosial “MOBEE KNOWLEDGE CoP”. Saat ini, situs kami tsb merupakan salah satu situs KM terbesar di Indonesia dan regional dengan 1000+ anggota tersebar di 40 negara Khusus temuan kami tentang eksistensi gaya fundamental kelima yang kami sebut sebagai Knowon, pada prinsipnya diperoleh secara “evidence based” berdasarkan mekanisme “top 165
down” atau reverse engineering dengan metoda yang kami sebut sebagai Inverted Paradigm Method (IPM) atau metoda “Basic Science derived from Applied Science” atas permodelan empirik Human System Biology-based Knowledge Management (HSB_KM) yang kami anggap sebagai “high-end model” daripada evolusi alam semesta dalam domain Nature Knowledge kontinum pada level perlakuan dari mekanisme klasikal sampai tuntas kelevel kuantum (Md Santo, 2012 : “Proving the existence of Nature Knowledge – based new psycho – somatic* boson force as basic building block of the Universe : What’s next? – hal. 6 – 10 dan Md Santo, 2011 : “ Reverse Engineering Methodology applied to our Knowledge Management model as high-end of Universe evolution toward quantum level ) Knowon sebagai gaya fundamental kelima memiliki ciri – ciri dengan dampaknya sbb : Eksis berpasangan dengan Graviton, gaya keempat, dimana Knowon berfungsi sebagai “consciousness mediating particle” sedangkan Graviton sebagai “somatic mediating particle” Entitas Graviton – Knowon bersifatkan superposisi dimana Graviton memiliki ciri Dependent to SpaceTime (DST) sedangkan Knowon bercirikan Independent to SpaceTime (IST) Entitas Graviton – Knowon selanjutnya kami sebut sebagai DEF atau “Duo Entity Force” yang memiliki Knowledge Value (KV) = 10-38 CEF (Konstanta Planck). DEF adalah kependekan dari Consciousness Element Factor yang kami gunakan sebagai unit variabel pengukuran untuk kontinum Nature Knowledge dialam pada skala rasio absolut sampai dengan CEF tak terhingga (infinit) DEF termasuk “boson force massless particle” dengan pengaruh “unlimited range” dan tidak memiliki “spin quantum number” (Md Santo, 2012 : “Fundamental Force Map: High Energy Physics vs Nature Knowledge Theory” dan DEF pada hakekatnya adalah “basic psycho – somatic bulding block of the Universe” dan juga secara hakiki adalah Higgs Boson (“God Particle”) sebenarnya yang saat ini dicari-cari eksistensinya oleh CERN (Eropah) dan Fermilab (USA) (Md Santo, 2013 : “New and The First! Locus of Knowledge map” hal. 1 dan Md Santo, 2012: “Fundamental Force Map of Psycho - Somatic, Smart, Conscious and Animate UNIVERSE: Generated from Knowledge Management (KM) through Inverted Paradigm Method (IPM) ” Karena sifat superposisinya, DEF diyakini sudah eksis sebelum terjadinya BigBang dalam bentuk Energi Negatif sebagai “benih DNA alam” yang memiliki potensi melahirkan gaya-gaya fundamental pertama, kedua dan ketiga dalam proses terjadinya partikel dan massa serta energi Karena sifat superposisinya juga, DEF pada level mekanikal kuantum memiliki kemampuan “speed of entanglement , instantenuous dan non-locality”. Hal ini berhubungan erat dengan fenomena Consciousness Transfering Phenomenon (CTP) (Md Santo, 2013 : “Glossary of Nature Knowledge Theory (NKT)”dan Md Santo, 2011 : “Comprehensive Guide to Taxonomy of Future Knowledge” ) Kami yakini bila kebutuhan Energi berasal dari matahari dan Materi berasal dari bumi, maka DEF berasal dari pusat galaksi Bima Sakti (Milky Way) kita tepatnya dipancarkan oleh hypermassive Black Hole pada pusat Galaksi (Md Santo, 2012 : “ Nature Knowledge emmitted right from hypermassive Black Hole at the center of our Galaxy within Universe of three fabrics (Matter–Energy–Nature Knowledge”) Eksistensi DEF (bila memang DEF ini sesungguhnya adalah Higgs Boson yang dicaricari) pada studi kami telah dibuktikan secara “asesmen klarifikasi kualitatif” (AKK) yang hakekatnya akan melengkapi misi CERN/Fermilab yang bekerja secara “asesmen verifikasi kuantitas” (AVK). Hanya saja menurut catatan kami, baik CERN maupun Fermilab sampai dengan detik makalah ini disusun (20 Mei, 2013), hasil AVKnya masih kurang bermakna secara kuantitas, karena itulah kami memberi tanggapan al ....“k” 166
approaches 0.0 such as the ecosystem of Higgs Boson, will make all scientific efforts practically a “mission impossible”. We dare to say, almost impossible to any scientific effort goes beyond “our illusion dreamland” with “k” = 1.0 to leap into “absolute dreamland” with“k” less than 1.0 or practically = 0.0 considering that “…...space‐time is only the notion of human being in the Universe to accommodate the existence of Matter and Energy. (Md Santo, 2011 : “Knowledge Value (KV) – “k” Constant relationship diagram generated from Human System Biology‐based Knowledge Management (HSBKM) model framework” ). Keterangan : “k” adalah konstanta dengan nilai 0.0 – 1.0 pada rumus ekuivalensi massa dan energi yakni E = mc2 ditulis menjadi E = k mc2 sebagai faktor koreksi alam semesta dari 2 sumber (Energi dan Materi) menjadi 3 sumber ditambah Nature Knowledge yang direpresentasikan oleh DEF (Md Santo, 2013 : “Glossary of Nature Knowledge Theory (NKT)”) Kami yakini pula, DEF memegang peran dalam menguak misteri dark matter, dark energy, black hole, singularitas dsb. Dalam sebuah kesimpulan kami menjelaskan al : ... The cosmological acceleration is not energy-based or the results of “collaboration outcome” among 1st to 3rd fundamental light forces or even other dark forces, but merely the results of sustainable emitting DEF as pure psycho-somatic elementary boson force particle. If it is so, then it doesn’t need what we called dark energy to explain the phenomenon of cosmological acceleration ...atas sebuah pertanyaan : ...“Do we need dark energy to explain the cosmological acceleration?” J. Mod. Phys. Vol. 3, pp. 1185-1189”... . Lihat juga peran DEF pada proses kearah pembentukan Theory of Everything (TOE) pada Md Santo, 2012 : “Nature Knowledge Theory (NKT) generated clues to Theory of Everything (TOE)” Demikan juga fenomena “emergent property” dalam Teori Kompleksitas kami yakini ditentukan oleh fungsi “consciousness element factor” pada DEF disepanjang Nature Knowledge kontinuum. Jadi sebenarnya lebih tepat jika disebut sebagai “determined property” ( Md Santo, 2012 : “Duo-entity-force” (DEF) Knowon-Graviton as the key to bridging Light and Dark aspect of the Universe” ) DEF kami yakini juga erat kaitannya dengan eksistensi daripada Cosmic Gravitional Wave Background (GWB) dan juga dengan Cosmic Neutrino Background (CNB) dialam raya. Lihat penjelasan kami pada Md Santo, 2013 : “Knowledge Loci in Human and Nature as integral part of Nature Knowledge continuum” Sudah barang tentu, pengakuan akan eksistensi DEF sebagai implikasi daripada pendekatan “top down” non high energy physics atau pendekatan berbasis Nature Knowledge Theory (NKT) membawakan dampak kebutuhan akan merevisi kosep – konsep Standard Model of Particle Physics dan juga Supersymmetry Fisika
167
Table 1 : New Fundamental Force Map : High Energy Physics vs Nature Knowledge Theory
Theirs : Force Carrier Particles – mostly generated from High Energy Physics ( http://www.exploratorium.edu/origins/cern/ideas/standard4.html ) Force
Gravitational Graviton
Force Carrier Particle
(not yet observed)
Weak
Electromagnetic
Strong
W+, W-, W0
Photon
Gluon
Ours : Force Carrier Particles – generated from Nature Knowledge Theory (NKT) (http://t.co/jKgYecSn) Force
IST * Entanglement
DST * Gravitational
Weak
Electromagnetic
Strong
Force Carrier Particle
Knowon (evidently / proven through NKT)
Graviton (evidently / proven through NKT)
W,Z
Photon
Gluon
Relative Strength (compatible with our Knowledge Value (KV) measurementconcept)
10-38(equal with Planck constant) – paired entity with Graviton as elementary psycho-somatic unit or “duoentity-force” (DEF)
10-38(equal with Planck constant) – paired entity with Knowon as elementary psycho-somatic unit or “duoentity-force” (DEF)
10-9
0.0073
1
Range
Very Long / Infinite (as psychic / consciousness mediating particle)
Very Long / Infinite (as somatic mediating particle)
Very Short
Long
Short
Interaction
Impacts absolutely everything
Impacts absolutely everything
Weak
Electromagnetic
Strong
Fabric of Nature
(Nature) Knowledge : Obtained from the huge hypermassive Black Hole at the center of our Galaxyin the form as DEF **
Matter :Obtained mostly from the Earth Energy : Obtained mosty from the Sun
@Mobee Knowledge – Jan, 2013 *IST = Independent to SpaceTime - DST = Dependent to SpaceTime 168
**DEF = “duo-entity-force” = Basic elementary unit of psycho – somatic Universe in the form of boson force mass less particle entity of superposed Graviton (4th fundamental force as somatic mediating particle) with Knowon (5th fundamental force as psycho – consciousness mediating particle). The existence of DEF discovered through reversed engineering method applied to our Knowledge Management model framework as high-end of Universe evolution. Knowledge Value (KV) measurement of DEF = 10-38 (Planck constant) CEF (CEF as measurement variable unit stands for Consciousness Element Factor ranging from 10-38 CEF through Infinite CEF within Nature Knowledge continuum). We believe DEF is the real sought Higgs Boson particle 4.
KESIMPULAN Kemitraan antara Ilmu Fisika dengan Knowledge Management (KM) diikuti dengan “pencerahan” oleh Filsafat Ilmu dibutuhkan untuk mengembangkan Nature Knowledge Theory (NKT). Misi NKT selain menggali konstruk – konstruk teoretikal baru ilmu – ilmu dasar (basic sciences) yang berbasis paradigma alam psiko-somatik, juga menjembatani ilmu – ilmu alamiah (natural sciences) dan ilmu – ilmu sosial dalam rangka tujuan yang lebih luas yakni meletakkan dasar – dasar fondasi Sains masa depan millennium ketiga Kemitraan dengan tulang punggung utama ketiga bidang tersebut saat ini akan/sedang kami laksanakan juga dengan bidang -bidang lain menurut kebutuhan dengan pendekatan relatif baru yakni Trans Disipliner dengan strategi “blended learning” ( Md Santo, 2012 : “ Changing Paradigm of Knowledge through Blended Learning dan Md Santo, 2012 : “Knowledge Technology Week 2012” ). Kami terbuka untuk kerja sama kolaboratif pada level institusional universitas untuk mengembangkan Multi Center Studi tsb dan melatih pelaksanaan pendekatan strategi tersebut pada skalabilitas global
DAFTAR PUSTAKA L. dall’Acqua et al, 2012. New interpretative paradigms to understand and manage the unpredictability of the dynamics of learning in a complex multi-user knowledge environment, Conference Proceedings of Artificial Intelligence Workshop 2012 – International Workshop on Collaboration and Intelligence in Blended Learning (CIBL2012), Kuching, Sarawak – Malaysia T.A. Workman, 2013.Evidence Based Research Definitionhttp://www.ehow.com/about_5118300_evidence-based-research-definition.html Karlina Supelli, 2011. Dari Kosmologi ke Dialog, Mizan Group – Jakarta, Indonesia Md Santo, 2012. Decomposing Knowledge System as High End of Universe Evolution : The benefit for Theoretical Physics and Future Science, Applied Physics National Seminar III – University of Airlangga – Sept 15, 2012 – Surabaya, Indonesia Stephen Hawking, Leonard Mlodinow, 2010.The Grand Design, Bantam Books –New York,USA Md Santo, M.Arsali 2011. Impact of Human System Biology‐based Knowledge Management (HSBKM) model framework on Theoretical Physics” , presented at “The International Conference on Mathematics and Sciences – Surabaya Institute of Technology (ITS), Indonesia, October 12 – 13, 2011 Md Santo. 2013. Bagaimana Knowledge Management mendampingi Fisika mengungkap eksistensi gaya fundamental kelima alam semesta. Seminar Nasional Sains dan Pendidikan Sains VIII FSM UKSW, Salatiga – 15 Juni, 2013 Md. Santo 2013. Mobee Knowledge COP http://mobeeknowledge.ning.com :
169
Peran Biomassa Dalam Memenuhi Kebutuhan Energi di Tingkat Rumah Tangga Kasus : Inovasi Biomassa “Waste to Energy” Wati Hermawati Peneliti, Pusat Penelitian Perkembangan Iptek, Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (PAPPIPTEK-LIPI) – Gedung PDII LIPI Lantai IV Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10, Jakarta 12710 Telp. 021-5225710 pes. 4035. Fax. 021-5201602 e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Di Indonesia, biomassa selain digunakan untuk tujuan primer seperti untuk membuat serat, bahan pangan, bahan pakan ternak, minyak nabati, dan bahan bangunan, biomassa juga digunakan sebagai sumber energi (bahan bakar). Sumber energi biomassa mempunyai beberapa kelebihan antara lain merupakan sumber energi yang dapat diperbaharui (renewable) sehingga dapat menjadi sumber energi yang berkesinambungan (suistainable). Penggunaan biomassa untuk energi di tingkat rumah tangga pada umumnya dalam bentuk bahan bakar langsung. Namun demikian, sejak diperkenalkan pengelolaan dan pemanfaatan limbah biomassa untuk energi, beberapa daerah khususnya di perdesaan telah memanfaatkan limbah kotoran ternak, tinja, dan sampah organik rumah tangga untuk pengadaan energi rumah tangga, diantaranya untuk memasak, penerangan, pemanas, dan listrik. Studi ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi pemanfaatan biomassa untuk energi di tingkat rumah tangga, dengan mengambil lokasi di Kabupaten Bandung, Kulon Progo, Malang, Pasuruan, dan Lombok Barat. Metode yang digunakan adalah kualitatif dan kuantitatif dengan teknik survei, wawancara, dan diskusi pakar. Hasil studi menunjukkan bahwa pemanfaatan biomassa sampah dan limbah untuk energi di tingkat rumah tangga dapat diterima oleh masyarakat. Selain, mendatangkan energi gratis untuk memasak di tingkat bagi rumah tangga, pemanfaatan limbah juga berdampak positif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Kata Kunci : Biomassa, Energi, Rumah Tangga, Biogas, Inovasi
1.
PENDAHULUAN Menurut Korhalliler (2010) biomassa adalah “segala material biologis, yang berasal dari tanaman atau hewan, yang bisa digunakan untuk memproduksi panas dan/atau tenaga, bahan bakar termasuk bahan bakar transportasi, atau sebagai pengganti produk dan material berbasis fosil”. Dengan pengertian tersebut, maka yang termasuk dalam kategori biomassa antara lain tanaman, pepohonan, rumput, ubi, limbah pertanian dan perkebunan, limbah hutan, limbah industri yang tidak mengandung zat kimia, tinja, sampah organik, dan kotoran ternak. Dengan bantuan teknologi, biomassa ini dapat diubah menjadi bioenergi dan akan menghasilkan panas, gerak, atau untuk menghasilkan listrik. Pada saat ini, dimana harga bahan bakar minyak (BBM) cenderung terus meningkat dan pasokan di berbagai daerah cenderung menipis atau langka, maka peran biomassa mulai diperhitungkan menjadi salah satu pilihan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, baik berupa bahan bakar nabati, maupun listrik dan gas. Menurut Kementerian ESDM, potensi biomassa Indonesia sangat besar yaitu sekitar 49.810 MW, namun kapasitas terpasang masih
170
berskala kecil yaitu sekitar 445 MW (DJLPE, 200828; Ariati, 2009). Di Indonesia, biomassa yang ada saat ini dan digunakan untuk bahan baku energi termasuk bahan bakar adalah biomassa yang nilai ekonomisnya rendah atau merupakan limbah setelah diambil produk primernya (Abdullah, K., 2002). Jenis biomassa yang banyak dihasilkan oleh rumah tangga dan menjadi perhatian lingkungan dan kesehatan adalah limbah ternak dan sampah. Limbah ternak terbesar dihasilkan oleh para pemilik ternak yang mayoritas bermukim di perdesaan. Sedangkan sampah yang merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses, merupakan salah satu jenis biomassa yang pemanfaatannya belum dioptimalkan. UU No.18 Tahun 2008 mendefinisikan sampah sebagai sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Sedangkan SNI 13-1990-F mendefinisikan sampah sebagai limbah yang bersifat padat, terdiri dari zat organik dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Di tingkat rumah tangga, limbah ternak dan sampah kerap menimbulkan banyak permasalahan. Sampah dan limbah yang dibiarkan, selain mendatangkan bau yang tidak sedap, sampah dan limbah ternak juga mendatangkan lalat dan binatang yang tidak disukai seperti tikus dan kecoa. Secara keseluruhan limbah ternak dan sampah yang dibiarkan menggunung akan merusak lingkungan dan kesehatan. Pembuangan limbah dan sampah banyak dilakukan dengan berbagai cara, misalnya, limbah ternak dibuang ke saluran air atau got atau sungai. Sedangkan sampah dibuang ke tempat pembuangan yang sengaja dibuat di depan rumah, dibuang ke sungai, dibuang di pinggir jalan, dibakar atau dikubur. Sehingga, jika kedua jenis biomassa ini tidak ditangani dengan baik maka akan membawa dampak buruk terhadap kesehatan keluarga dan lingkungan. Sampah yang menumpuk bahkan dapat mengakibatkan banjir dan kerusakan lingkungan yang lebih parah . Di tingkat rumah tangga sampah dapat dibedakan menurut bentuknya yaitu sampah padat dan sampah cair. Berdasarkan sifatnya sampah dibedakan antara: a. Sampah organik - dapat diurai (degradable), yaitu sampah yang mudah membusuk seperti sisa makanan, sayuran, daun-daun kering, dan sebagainya. b. Sampah anorganik - tidak terurai (undegradable), yaitu sampah yang tidak mudah membusuk, seperti barang dari plastik, kertas, botol dan gelas minuman, kaleng, kayu, dan sebagainya. Sampah ini dapat dijadikan sampah komersil atau sampah yang laku dijual untuk dijadikan produk lainnya. Terjadinya perubahan pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat yang disebabkan oleh peningkatan ekonomi dan kemajuan teknologi, seringkali berkorelasi dengan meningkatnya jumlah dan jenis timbulan sampah di rumah tangga. Kenaikan jumlah timbulan sampah juga berkorelasi dengan peningkatan jumlah penduduk. Bappenas (2010), menginformasikan bahwa tingkat produksi sampah perkapita di Indonesia akan terus meningkat dari 0,6 kg/orang/hari untuk wilayah perkotaan dan 0,3 kg/orang/hari untuk wilayah perdesaan pada tahun 2005, menjadi 1,2 kg/orang/hari di perkotaan dan 0,55kg/orang/hari untuk perdesaan pada tahun 203029. Sampah yang dihasilkan masyarakat di kota besar mayoritas adalah sampah padat baik organik maupun anorganik. Sebagai contoh, potensi sampah di ibu kota Jakarta sebanyak 6.900 ton/hari (2009)30, yang terdiri atas 53 persen produksi sampah rumah tangga, 27 persen
28
Rencana Strategis Kementerian ESDM 2010-2014, hal. 20
29
Bappenas, 2010 – Indonesian Climate Change Sectoral Map (ICCSR) RI, Maret 2010 30Sampah Jakarta Setara Borobudur, Koran Tempo, 30 September 2010
171
sampah dari perkantoran, 9 persen sampah dari industri, dan lain-lain 11 persen. Komposisinya didominasi oleh sampah organik sebanyak 55 persen, kertas 21 persen, plastik 13 persen, dan sisanya limbah. Sampah ini belum dioptimalkan pengelolaan dan penggunaannya untuk kehidupan warga Jakarta, baik di tempat pembuangan sementara dan akhir maupun di tingkat rumah tangga. Pada saat ini mayoritas sampah dari rumah tangga masih ditampung di tempat sampah skala rumah tangga, kemudian diangkut oleh pemerintah daerah atau perusahaan yang ditunjuk untuk dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) (Hermawati, dkk. 2012). Permasalahan akan timbul ketika lahan TPA semakin sempit dan sampah semakin menggunung. Oleh karena itu diperlukan inovasi pengelolaan dan pemanfaatan sampah di sumber sampah, antara lain di rumah tangga. Pengelolaan limbah dan sampah yang baik akan dapat meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat, terutama dari segi ekonomi dan kesehatan. Sampah/limbah organik dapat dikelola menjadi pupuk dan bahan bakar untuk memasak, sedangkan sampah anorganik dapat dijual langsung ke pengepul atau dijadikan bahan baku berbagai produk, seperti kerajinan, perkakas, dan produk rumah tangga lainnya. Dengan kata lain, inovasi pengelolaan dan pemanfaatan sampah/limbah dapat dilakukan untuk menciptakan alternatif penyediaan lapangan pekerjaan dan penyediaan energi bagi rumah tangga serta penanganan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh sampah. Secara umum, tulisan ini akan memetakan pemanfaatan limbah ternak dan sampah di tingkat rumah tangga, terutama dalam kaitannya dengan kelangkaan energi dan pemberdayaan ekonomi rumah tangga yang sekaligus juga dapat memperbaiki lingkungan serta kesehatan masyarakat. 2. METODOLOGI Pembahasan dalam tulisan ini dibatasi pada pengelolaan dan pemanfaatan biomassa berupa limbah ternak dan sampah di tingkat rumah tangga. Data dan informasi diambil pada tahun 2012 di beberapa kota besar, yaitu di Kabupaten Bandung, Kulon Progo, Malang, Pasuruan, dan Lombok Barat. Fokus bahasan didasari belum optimalnya pengelolaan limbah ternak dan sampah di tingkat masyarakat dan adanya permasalahan serius berupa kekurangan, kelangkaan, dan harga energi terutama bahan bakar minyak dan listrik yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Selanjutnya, dengan melakukan kunjungan dan wawancara dengan pakar dan masyarakat, dilakukan identifikasi pengelolaan dan pemanfaatan sampah dan limbah ternak yang efektif dan efisien, serta potensi pemanfaatannya sebagai sumber kehidupan manusia termasuk untuk peningkatan kesehatan, lingkungan dan alternatif energi. Metode kualitatif dan kuantitatif digunakan untuk menganalisis data primer dan sekunder terkait dengan pemanfaatan sampah dan limbah ternak sebagai sumber kehidupan. Selain dengan responden rumah tangga, wawancara tentang sampah/limbah skala rumah tangga juga dilakukan dengan para pakar dari berbagai institusi di sektor pemerintah, swasta, maupun perguruan tinggi. Analisis perkembangan teknologi yang sesuai untuk tingkat rumah tangga dilakukan dengan cara menganalisa perkembangan teknologi serta menetapkannya melalui diskusi terfokus dengan para pakar dan pengguna. Pakar yang terlibat dalam penelitian ini berasal dari instansi pemerintah, swasta/industri, LSM, dan perguruan tinggi. Responden dari penelitian ini adalah sekitar 30 rumah tangga perdesaan di Kabupaten Malang, Pasuruan, Bandung, dan Lombok Barat.
172
Teknik pengumpulan data yang dilakukan berupa wawancara, diskusi kelompok termasuk diskusi dengan pakar persampahan untuk mengetahui isu terpenting tentang sampah kota dan studi pustaka untuk mengumpulkan data dan informasi baik dari data internal institusi maupun eksternal seperti jurnal dan laporan-laporan terkait dengan masalah persampahan. 3.
TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Kebijakan Tentang Persampahan di Indonesia Kebijakan tentang pengelolaan sampah diperkotaan yang diterapkan di Indonesia dikeluarkan oleh beberapa kementerian terkait seperti Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Lingkungan Hidup, dan pemerintah setempat melalui Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, atau Unit Pelaksana Teknis di bawah suatu dinas yang bertugas khusus mengelola sampah atau kebersihan. Pengelolaan sampah menjadi penting karena merupakan mandat dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke 4, terutama untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pengelolaan sampah yang baik akan mendatangkan kesehatan dan lingkungan yang lebih baik bagi masyarakat. Pengelolaan sampah juga diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat (1), dan pasal 33 ayat (3). Terutama menyangkut kesejahteraan warga negara; Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan; Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Tata Ruang, pasal 3 ayat (3) butir d dan 3, pasal 5 ayat (1), dan pasal 14 ayat (1) butir b.; Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 1 ayat 16, pasal 20 ayat (1), (2), dan (4); dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 7 ayat (2), pasal 11 ayat (2), pasal 89 ayat (1) dan (2). Kebijakan yang berkaitan langsung dengan persampahan di Indonesia adalahUndangUndang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam UU No. 18 Tahun 2008 dijelaskan tentang definisi sampah dan pengelolaan sampah yang dilakukan berdasarkan asas tanggung jawab, asas berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi. Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Dalam UU tersebut juga dijelaskan tentang peran serta masyarakat, pemerintah pusat dan daerah yang bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan. Di tingkat pemerintah daerah ada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah yang salah satunya mengatur tentang paradigma baru dalam pengelolaan sampah. Sebelumnya, pengelolaan sampah bertumpu pada pendekatan akhir dengan model pengelolaan berupa pengumpulan sampah, pengangkutan sampah, dan pembuangan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Paradigma pengelolaan sampah baru yang dijelaskan dalam UU tersebut didasari oleh pemahaman bahwa pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan dalam pengurangan dan pengelolaan sampah yang memiliki karakteristik bersifat proaktif, bukan reaktif, dengan tujuan untuk mengurangi sampah sepanjang bisa didaur-ulang, mulai dari penggunaan bahan baku sampai pembuangan akhir, serta membutuhkan kerja sama yang erat antar individu, wilayah, hukum, disiplin ilmu dan berbagai sektor bisnis, berdasarkan prinsip-prinsip kesinambungan. Kebijakan serupa juga dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah. Peraturan Menteri (Permen) tersebut lebih menekankan pada kegiatan pengurangan dan penanganan sampah serta pengembangan dan pemanfaatan sampah untuk peningkatan ekonomi. Dalam kaitannya dengan lingkungan, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur tentang perizinan untuk mendirikan usaha yang di dalamnya 173
terdapat kegiatan yang menghasilkan limbah dan sampah. Suatu perangkat hukum yang bersifat preventif dibutuhkan yaitu berupa perizinan. Dalam perizinan harus dicantumkan secara tegas dan jelas, syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh penanggung jawab usaha. Kementerian Pekerjaan Umum mengeluarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 21/PRT/M Tahun 2006 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan persampahan melalui rencana, program, dan pelaksanaan kegiatan yang terpadu, efektif dan efisien. Banyaknya kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pihak terkait, tidak serta merta pengelolaan sampah berjalan dengan baik. Sampai saat ini diketahui bahwa belum seluruh kegiatan pengelolaan sampah dilakukan dengan baik oleh individu masyarakat, rumah tangga, maupun institusi yang berhubungan dengan pengelolaan sampah. Selain itu, kurangnya acuan baku dari lembaga terkait membuat praktek pengelolaan sampah di tingkat masyarakat cenderung dilakukan menurut aturan mereka sendiri.31 3.2. Sampah dan Perlakuannya di Tingkat Rumah Tangga Perkotaan Populasi penduduk kota di Indonesia rata-rata tumbuh tiga kali lebih cepat yaitu sekitar 4,4 persen sejak tahun 1990, dan diperkirakan akan mencapai 167 juta jiwa yang menjadi penduduk kota pada tahun 2025 (Wibowo, 2009). Tingginya pertambahan penduduk ini menimbulkan berbagai masalah sosial tidak terkecuali masalah sampah. Sampah di tingkat rumah tangga disebut dengan sampah domestik (Lubis, 1994), bisa berupa sampah organik maupun anorganik, yaitu bahan-bahan buangan dari rumah atau dapur, contohnya pakaian lama, botol, kaca, kertas, kantung plastik, kayu, logam, sisa sayuran, ikan, dan sisa makanan. Menurut Kurniawan (2010) komposisi sampah rumah tangga diperkotaan berdasarkan sumber asalnya sebagian besar merupakan sisa makanan dan sampah dapur. Sampah ini cepat membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme dan berpotensi sebagai sumber daya penghasil kompos, dan gas metan atau energi. Berdasarkan data tahun 2008, jenis penanganan sampah kota besar di Indonesia seperti terlihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1 Jenis Penanganan Sampah Kota Besar di Indonesia Tahun 2008 No. Jenis Penanganan Sampah 1 Pengurugan di TPA 2 Pengomposan 3 Open Burning 4 Dibuang ke sungai dsb. 5 Insinerator skala kecil 6 Non-pengurugan Sumber: KLH (2009)
Persentase 68,86% 7,19% 4,79% 2,99% 6,59% 9,58%
Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa total timbulan sampah yang dibuang ke TPA sebagian besar diperlakukan dengan cara pengurugan (68,86%), yang dibuat kompos hanya sebesar 7,19%, dan dibuang sembarangan (ke sungai, saluran, jalan, dan sebagainya) 2,99%. Diperkirakan juga dalam 5 sampai 10 tahun ke depan, pengelolaan sampah di beberapa kota besar di Indonesia akan mengalami persoalan dengan masa pakai TPA, sementara lokasi TPA 31
http://www.sumber-artikel.com/web/sistem-sistem-pewadahan-sampah.html# akses tanggal 22 Maret 2012.
174
pengganti semakin sulit diperoleh karena terbatasnya lahan dan meningkatnya penolakan masyarakat terhadap TPA, khususnya yang terletak di lokasi pemukiman penduduk (Wibowo A, 2009). Secara umum pengelolaan sampah di tingkat perkotaan diperlihatkan pada Gambar 1 berikut ini.
Sumber: Damanhuri, E. dan Tri Padmi, 2010 Gambar 1 Pengelolaan Sampah di Perkotaan : Kumpul – Angkut – Buang
Untuk mengurangi beberapa permasalahan dalam pengelolaan sampah, Trihadiningrum (2010) mengusulkan beberapa cara untuk menangani sampah kota, yaitu berupa: (1) (2) (3) (4) (5) (6)
Pencegahan Minimisasi Pemanfaatan kembali (reuse) Daur-ulang (recycling) Perolehan energi (energy recovery) Pembuangan akhir.
Untuk lebih rincinya dapat dilihat dalam Tabel 2.
175
Tabel 2. Penanganan Sampah di Perkotaan 1. Pencegahan Mengurangi pola konsumsi/belanja yang berlebihan Menggunakan produk dengan sistem sewa atau pinjam 3. Pemanfaatan kembali (reuse) Memanfaatkan barang bekas untuk fungsi sama atau berbeda. Misalnya, botol sirup bekas untuk tempat air, kontainer zat kimia untuk bak air, bak sampah. Menyumbangkan barang bekas ke pihakpihak yang dapat memanfaatkannya 5. Peroleh energi (energy recovery) Mengubah sampah melalui proses biofisika-kimiawi menjadi energi, antara lain membuat briket dari sampah, melalui proses thermal (insinerasi, pyrolisis, gasifikasi), serta produksi metana melalui biotreatment
2. Minimisasi Menggunakan produk dengan kemasan yang dapat digunakan ulang Menggunakan produk sistem refill Melakukan pemilahan sampah yang dapat didaur ulang 4. Daur ulang (recycling) Mengubah bentuk dan sifat sampah melalui proses bio-fisik-kimiawi menjadi produk baru yang lebih berharga. Misalnya mengubah sampah basah menjadi kompos, mengolah sampah plastik menjadi pelet. 6. Pembuangan akhir Membuang seluruh komponen sampah ke TPA, atau membakarnya.
Sumber: Trihadiningrum (2010) Dengan adanya kecenderungan jumlah sampah yang semakin meningkat, pengelolaan sampah untuk tingkat rumah tangga di masa masa depan sebaiknya tetap menggunakan konsep 3R, yaitu reduce, reuse, dan recycle, agar jumlah sampah yang dibuang semakin berkurang dan pemanfaatan sampah akan maksimal. Beberapa faktor pendorong dan penghambat dalam upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah disampaikan oleh Nitikesari (2005), faktor-faktor tersebut di antaranya adalah tingkat pendidikan dan partisipasi masyarakat dalam menangani sampah termasuk pendidikan di rumah misalnya apakah sudah melakukan pemilahan sampah, apakah tempat sampah mendapatkan perhatian?, keberadaan pemulung, adanya aksi kebersihan masyarakat, adanya peraturan tentang persampahan, dan penegakan hukumnya. Sampah semakin hari semakin besar jumlahnya dan semakin sulit dikelola, sehingga disamping kesadaran dan partisipasi masyarakat, pengelolaan dan pemanfaatan sampah dapat menjadi usaha alternatif untuk memelihara lingkungan yang sehat dan bersih serta memberikan manfaat lain terhadap masyarakat. 3.3
Limbah Ternak Limbah ternak pada umumnya adalah kotoran dan air kencing hewan ternak. Limbah ini merupakan limbah organik yang terurai, mengandung bahan nutrisi seperti nitrogen dan fosfor. Kuantitas dan kualitas kotoran ternak berbeda bergantung pada jenis hewan ternak, bobot, pakan ternak, jumlah air minum, sistem reproduksi, musim dan kondisi hewan ternak. Hewan ternak yang umum dipelihara di Indonesia, terutama di perdesaan adalah sapi, kambing, kerbau, ayam atau unggas lainnya, dan kuda. Produk lain dari limbah hewan adalah limbah dari rumah pemotongan hewan dan hasil samping rumah potong dan pengolahan daging (Hermawati, dkk. 2011). Ketersediaan beberapa jenis hewan ternak pada tahun 2009 dan 2010 menurut data Statistik Pertanian Indonesia (2012) dapat dilihat pada Tabel 3. 176
Tabel 3 Populasi Ternak di Indonesia Jenis Ternak Sapi potong Sapi perah Kerbau Kambing Domba Babi
Jumlah Ternak (kepala) 2009 2010 12.759.838 13.581.571 474.701 488.448 1.932.927 1.999.604 15.815.317 16.619.599 10.198.766 10.725.488 6.974.732 7.476.665
Lokasi Terbanyak Jawa Timur, Jawa Tengah Jawa Timur,Jawa Tengah Aceh, Sumatera Barat Jawa Tengah, Jawa Timur Jawa Barat, Jawa Tengah NTT, Sumatera Utara
Pemanfaatan Bahan Bahan Bahan Bahan Bahan Bahan
pangan pangan pangan pangan pangan pangan
Sumber: Dirjen Peternakan, Kementerian Pertanian, Statistik Peternakan (2011). Dari jumlah ternak yang ada tersebut, potensi limbah ternak tahun 2009 dan 2010 disajikan pada Tabel 4 (Hermawati, dkk., 2011).
Tabel 4 Produksi Limbah Ternak di Indonesia Asal Limbah Sapi Perah Kerbau
Jumlah Limbah (Ton) 2009 2010 522.171 2.822.073
Pemanfaata n saat ini
Teknologi konversi yang dapat digunakan Anaerobic Digestion Anaerobic Digestion
Potensi Energi
537.293 Pupuk Biogas 2.919.42 Pupuk Biogas 2 Kambing 2.846.757 2.991.52 Pupuk Anaerobic Digestion Biogas 8 Domba 1.835.778 1.930.58 Pupuk Anaerobic Digestion Biogas 8 Babi 1.534.441 1.644.86 Pupuk Anaerobic Digestion Biogas 6 Sumber: Dirjen Peternakan, Kementerian Pertanian, Statistik Peternakan (2011), diolah oleh TimPeneliti PAPPIPTEK-LIPI (Hermawati, dkk, 2012). Tidak seluruh potensi yang ada tersebut telah dimanfaatkan oleh masyarakat, mengingat kebiasaan masyarakat dalam mengelola ternak masih berbeda. Di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, masyarakat memelihara ternak seperti sapi, kerbau, kambing dan domba dalam kandang, sehingga mayoritas waktu pemeliharaan ada di dalam kandang. Hal ini memudahkan pemilik ternak untuk mengumpulkan dan memanfaatkan kotoran ternaknya, sedangkan di provinsi lain banyak ternak yang dibiarkan berkeliaran di kebun atau padang rumput, sehingga kotoran ternak ini tidak terkumpul dan tidak dapat dimanfaatkan. 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Informasi Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di tingkat perdesaan pada beberapa kabupaten dan kota. Lokasi pertama, Desa Ardirejo, Kecamatan Dau; Desa Talangagung, Kecamatan Kepanjen, dan Desa Mulyoagung, Kecamatan Dau, di Kabulaten Malang. Pendudukketiga desa ini mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai petani. Ketiga desa ini melakukan inovasi pengelolaan dan pemanfaatan sampah di tingkat rumah tangga. Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang, Kabupaten Malang bekerja sama dengan para kader lingkungan melakukan edukasi 177
pada masyarakat di ketiga desa ini tentang pengelolaan dan pemanfaatan sampah, baik organik maupun anorganik yang dapat menambah penghasilan keluarga. Lokasi kedua adalah Desa Cibodas, Kampung Areng, Kecamatan Lembang, Bandung Barat. Desa Cibodas adalah salah satu desa yang banyak dihuni oleh para peternak sapi. Desa ini merupakan tempat pembuatan digester biogas dari program Hivos yang terbesar di Jawa Barat yaitu sebanyak 25 buah digester dalam tahun 2010-2011. Program Hivos di Jawa Barat sendiri dimulai tahun 2010. Jumlah seluruh digester Hivos yang telah digunakan di Jawa Barat sebanyak 248 digester dan dalam proses pengerjaan 61 digester (data tahun 2011 dari Hivos). Program Hivos masuk ke Kecamatan Lembang pada tahun 2010. Rata-rata pemilik biogas adalah peternak yang memiliki minimal 4 ekor sapi perah. Lokasi ketiga adalah Desa Wonosari, Kecamatan Tutur, Nongko Jajar, Kabupaten Pasuruan, Jawa Tmur, merupakan desa peternak sapi perah. Tahun 2011, tercatat jumlah peternak di desa ini sebanyak 7.490 orang. Sedangkan populasi sapi di kecamatan ini berjumlah 17.429 ekor dengan jumlah produksi susu sapi sekitar 72.000 liter per hari. Jumlah kotoran sapi rata-rata per hari sebanyak kurang lebih 350.000 kg. Sapi di daerah ini diberi pakan pelet dan pakan hijau berupa rumput Setia (berasal dari Thailand). Menurut peternak, sapi yang mengkonsumsi rumput Setia menghasilkan kualitas dan kuantitas susu segar lebih baik dan lebih banyak, demikian juga dengan kotorannya. Peternak di desa ini rata-rata menjadi anggota Koperasi Setia Kawan. Daerah ini merupakan daerah yang telah memanfaatkan limbah sapi untuk energi berupa biogas rumah. Program Hivos untuk pembangunan biogas sudah diperkenalkan di desa ini sejak tahun 2010. Sampai September 2011 telah berhasil dibangun 670 digester biogas dengan subsidi Hivos dan kredit dari Bank Syariah Mandiri. Lokasi keempat adalah Desa Pendua, Kecamatan Kahayang, Kabupaten Lombok Utara. Mayoritas penduduk di desa ini adalah peternak sapi. Desa ini telah memanfaatkan limbah ternak sapi untuk biogas sejak tahun 2009. Dengan program Biogas Rumah dari Hivos, saat ini telah berdiri 140 unit digester biogas di Desa Pendua. Masyarakat di Desa Pendua banyak yang memelihara sapi atau melakukan sistem bagi hasil dengan pemilik sapi. Selain desa dengan digester biogas terbanyak, Pendua juga sudah mempunyai 18 orang tukang pembuat digester yang bersertifikat Hivos. Pembangunan digester biogas saat ini didukung dengan proyek dari Pemerintah Daerah Lombok Utara melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2013, dengan besaran dana untuk setiap digester Rp. 3 juta. Pembangunan digester biogas untuk masyarakat pemilik sapi ini merupakan kerja sama antara Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Timur dengan Hivos. Hivos menyediakan dukungan dana Rp. 2 juta untuk setiap digester. Masyarakat pada umumnya menyediakan bahan-bahan lokal dan tenaga kerja. Lokasi kelima adalah Desa Sidoharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Sebagian besar masyarakat desa menggunakan tungku tradisionil dari tanah dengan bahan bakar ranting pohon, kayu yang diambil dari kebun sekitar. Tungku tradisional yang digunakan banyak menghasilkan asap yang merugikan kesehatan penggunanya yaitu kaum ibu dan anak-anak perempuan. Tungku di desa ini juga digunakan untuk membuat gula merah, karena desa ini juga merupakan penghasil gula merah dari nira kelapa dan sejak tahun 2009, tungku di desa ini telah digunakan untuk menghasilkan gula semut. Inovasi yang diadopsi desa ini melalui sebuah LSM Yayasan Dian Desa adalah inovasi tungku dengan bahan baku pellet kayu atau wood chips. Tungku yang lebih efisien dan efektif akhirnya digunakan oleh desa ini.
4.2 Pemanfaatan Sampah Menjadi Energi di Tingkat Rumah Tangga Pemanfaatan sampah menjadi energi di tingkat rumah tangga harus dimulai dengan perlakuan awal sampah yaitu menerapkan kegiatan pemilahan sampah. Masyarakat di negara 178
maju, terutama di tingkat rumah tangga sudah melakukan pemilahan sampah seperti gelas, kertas, logam, plastik, dan sampah organik, sehingga sampah yang diangkut ke TPA sudah sangat berkurang, karena bahan-bahan yang bisa didaur ulang bisa langsung dibawa ke tempat pemrosesan. Di Indonesia, kegiatan pemilahan sampah di tingkat rumah tangga bukan merupakan kegiatan yang umum. Pemilahan sampah merupakan kegiatan orang-orang yang bekerja di sektor informal yang mengumpulkan bahan-bahan bekas untuk didaur ulang atau dijual. Mereka yang melakukan kegiatan ini lazim disebut dengan pemulung. Pemilahan sampah ini pada umumnya dilakukan di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) ataupun Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pemulung juga berusaha mencari-cari barang yang bisa didaur ulang sejak di tempat sampah di rumah-rumah warga. Barang-barang yang dikumpulkan pemulung ini kemudian dijual pada pengepul, dan selanjutnya pengepul menjual dalam partai besar ke perusahaan pengolah masing-masing jenis sampah. Industri yang melakukan daur ulang ini sesuangguhnya membuka lapangan kerja yang besar. Namun, karena lapangan kerja ini sebagian besar merupakan sektor informal, maka tenaga kerja yang terlibat pada umumnya tidak tercatat secara resmi. Pemanfaatan sampah sebagai sumber energi di tingkat rumah tangga belum maksimal dibandingkan dengan pemanfaatan limbah ternak. Pemanfaatan sampah menjadi energi biogas, dimana sampah organik diolah dengan teknologi digester untuk mendapatkan energi gas bio, belum banyak dilakukan. Padahal pemanfaatan gas bio antara lain dapat digunakan untuk district heating, energi listrik, dan kompor untuk memasak. Sebanyak 44 kepala keluarga (KK) di Desa Ardirejo, Kecamatan Dau; Desa Talangagung, Kecamatan Kepanjen, Kabulaten Malang, telah memanfaatkan teknologi biogas berbahan baku sampah organik di tingkat rumah tangga. Biogas yang dihasilkan digunakan untuk memasak. Meskipun cara ini belum sepopuler biogas dari limbah ternak, namun masyarakat di desa ini terus memanfaatkan sampah organik yang dihasilkan rumah tangga untuk memproduksi biogas. Dengan biogas ini mereka diuntungkan karena tidak membeli gas atau bahan bakar komersial lainnya, dan sekaligus mengurangi sampah di tingkat rumah tangga. Dalam satu bulan, mereka yang menggunakan biogas dari sampah organik ini dapat menghemat sekitar 1-2 tabung gas LPG 3 kg. Bahan untuk membuat biogas ini dibuat dengan menggunakan sedikitnya empat drum plastik besar. Di Kabupaten Malang umum disebut dengan teknologi Multi Drum. Dimana empat drum plastik besar memuat bahan baku biogas dan gas yang dihasilkan disimpan dalam plastik besar di bagian atas drum untuk dialirkan ke kompor. Cara membuat biogas dari sampah dan dari kotoran/limbah ternak memiliki teknik yang hampir sama, yang membedakan hanya bahan baku dan sedikit perlakuannya. Limbah ternak dicampur dengan air, sedangkan sampah organik dicacah terlebih dahulu sebelum dicampur dengan air. Gambar 2 di bawah ini memperlihatkan teknologi Multi Drum tersebut.
179
Sumber : Hozairi (2012) Gambar2 Model Biogas Skala Rumah Tangga dari Tong Plastik
Untuk penduduk sekitar TPA Talangagung, Kepanjen, Kabupaten Malang, memanfaatkan biogas yang dialirkan dari TPA Kepanjen. Gas metan yang dihasilkan oleh TPA dialirkan kerumah-rumah warga sekitar TPA untuk keperluan energi memasak. Pemberian gas bio ini dilakukan sebagai bagian dari kompensasi masyarakat mendapatan dampak bau dan sebagainya atas keberadaan TPA di lokasi tersebut.
4.3 Pemanfaatan Limbah Ternak Menjadi Biogas di Tingkat Rumah Tangga Dari enam desa yang dikunjungi terdapat kesamaan dalam pengelolaan limbah ternak menjadi energi ditingkat rumah tangga. Energi yang dihasilkan dari proses pengelolaan limbah ternak ini disebut dengan biogas. Proses pengelolaan limbah ternak sendiri dimulai dengan pengumpulan kotoran ternak dari dalam kandang. Pengumpulan kotoran ternak harus dilakukan dengan baik agar tidak tercampur dengan benda lain jenis anorganik, seperti plastik, kayu, dan lain-lain yang menyebabkan tidak terbentuknya gas dalam digester. Hasil akhir fermentasi kotoran ternak yang menjadi biogas dialirkan ke rumah-rumah untuk energi memasak. Pengguna biogas rata-rata tidak membeli gas komersial (LPG) yang harganya cenderung meningkat dan pasokannya sering terlambat. Pemanfaatan biogas dalam rumah tangga telah menghemat biaya sekitar 2 sampai 3 tabung gas ukuran 3 Kg per bulan. Selain itu, para ibu sudah tidak dipusingkan lagi dengan pasokan gas yang sering datang terlambat, atau harga gas LPG yang mahal. Hivos (Biru, 2010) menyatakan bahwa perlengkapan untuk membuat biogas adalah sebagai berikut . (1)
Inlet. Inlet adalah tangki untuk mencampur kotoran dan air. Inlet ini dilengkapi dengan pipa untuk mengalirkan campuran tersebut ke dalam digester.
(2)
Digester. Digester atau reaktor adalah tempat penampungan campuran kotoran sapi dan air yang merupakan ruang hampa udara. Dalam tempat ini terjadi fermentasi sehingga terbentuk gas. Digester/reaktor ini terdiri dari beberapa komponen yaitu: (a). Kubah (tempat penampung gas/ bagian atas dari tangki reactor). Gas yang dihasilkan dari hasil fermentasi tertampung pada kubah; (b). Outlet. Ampas biogas yang telah terfermentasi di dalam digester, akan terdorong keluar menuju ke outlet karena tekanan gas dari dalam digester. Ampas ini bernama Bio-slurry; dan (c). Manhole. Menhole adalah lubang yang menghubungkan digester dengan outlet. Lubang ini juga digunakan sebagai jalan masuk untuk memeriksa atau memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi dibagian dalam kubah.
(3)
Penampung Ampas Biogas, merupakan tempat untuk menampung ampas biogas yang keluar dari outlet, setelah proses fermentasi selesai. Ampas biogas ini bermanfaat sebagai pupuk organik berkualitas tinggi dan siap digunakan. 180
(4)
Pipa Gas Utama. Gas yang ditampung di kubah utama, lalu dialirkan melalui pipa gas utama ke titik pengguna (kompor atau lampu). Pada pipa gas utama ini dilengkapi dengan beberapa komponen yaitu: (a). Katup gas utama: fungsinya mengatur aliran gas utama dari kubah ke titik pengguna; dan (b). Penguras air (saluran pembuangan air). Uap air yang terkandung di dalam gas akan dialirkan melalui saluran penguras air (water drain). Saluran terletak di titik terendah pipa gas.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan biogas meliputi: (a). Tangki/digester harus terus diisi kotoran sapi yang telah dicampur air setiap hari, tergantung besar ukuran tangki. Sebagai acuan dapat ditentukan sebagai berikut: - Volume 4 M3 diisi 20 – 30 Kg. kotoran basah - Volume 6 M3 diisi 30 – 40 kg. kotoran basah - Volume 8 M3 diisi 40 – 50 kg. kotoran basah - Volume 10 M3 diisi 50 – 60 kg. kotoran basah - Volume 12 M3 diisi 60 – 70 kg. kotoran basah (b) (c) (d)
Tangki reaktor harus terbuka dan kena sinar matahari langsung, namun tidak kemasukan air disaat hujan; Periksa secara kontinyu pipa-pipa aliran gas dari kebocoran. Periksa lubang pemasukan kotoran ke tangki reaktor/digester dan lubang pembuangan kalau ada yang tersumbat.
Biogas yang dihasilkan di Desa Nongkojajar, Pasuruan selain digunakan untuk kepentingan memasak, beberapa warga telah menggunakannya sebagai energi heather (mesin pemanas air) untuk keperluan mandi dan lampu petromak. Di Pujon, Malang, biogas sudah menghasilkan listrik melalui generator. Pada saat ini dengan bantuan Pemerintah Belanda melalui LSM bernama Hivos, pembangunan biogas rumah dari limbah ternak terus digalakkan. Meskipun target pada akhir tahun 2012 adalah 8.000 digester dan angka tersebut belum terpenuhi, namun Hivos bersamasama dengan pemerintah pusat dan daerah serta para pemangku kepentingan bidang peternakan, termasuk koperasi dan industri susu sapi terus melakukan sosialisasi dan pembangunan digester biogas di berbagai provinsi.
4.4 Tungku Sehat dan Hemat Energi (TSHE) Selain biogas dari sampah organik, sebagian besar masyarakat (116 KK) di Desa Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo banyak memanfaatkan sampah berupa ranting kayu dan patahan dahan kayu dari pekarangan atau kebun untuk bahan bakar tungku sehat. Tungku sehat ini adalah inovasi dari tungku tradisionil. Pada awalnya masyarakat menggunakan tungku tradisionil secara turun temurun. Dengan Tungku sehat ini, penggunanya mendapatkan manfaat ganda, yaitu tidak terpapar oleh asap tungku dan panas yang dihasilkan tungku lebih baik, sehinga waktu untuk memasak menjadi lebih cepat. Keuntungan lainnya adalah bahan bakar kayu atau ranting yang digunakan lebih sedikit. Pada awalnya program tungku sehat diprakarsai oleh Yayasan Dian Desa dengan pelatihan pembuatan tungku yang diselenggarakan di wilayah Yogyakarta, terutama di Kabupaten Kulon Progo, dan ditujukan terutama untuk usaha kecil pengolahan gula merah dan masyarakat sekitar. Penggunaan tungku sehat diketahui menghasilkan efisiensi bahan bakar hampir 60% dan tidak menyisakan asap di dalam ruang, karena cerobong asap dibuat langsung ke atas atap. Keberhasilan penyebarluasan tungku sehat antara lain disebabkan oleh komunikasi yang baik antar pelaksana program serta pelaksana kegiatan dengan keterbukaan masyarakat terhadap hal-hal baru. Inovasi tungku sehat terhadap aspek ekonomi dapat dilihat dari penghematan penggunaan kayu bakar, mengurangi dampak buruk kesehatan, dan memberikan alternatif pekerjaan/keterampilan bagi sebagian orang yang bekerja sebagai teknisi pembuat tungku. 181
4.5
Diskusi Meskipun peraturan di tataran pemerintah cukup kondusif, namun dalam praktek di masyarakat, pemanfaatan sampah dan limbah ternak belum maksimal dilakukan. Pemanfaatan biomassa sampah organik untuk energi pada skala rumah tangga belum umum dilakukan, kecuali untuk pembakaran langsung dengan menggunakan tungku. Namun demikian, potensi pengembangan biogas dari sampah organik skala rumah tangga cukup baik, terutama di wilayah perdesaan, dimana penggunaan bahan-bahan organik masih tinggi, ketersediaan gas komersial dan bahan bakar (minyak tanah) masih tidak kontinu dan harganya cenderung naik dari waktu ke waktu. Selain memberikan manfaat berupa penyediaan gas bagi rumah tangga, pengurangan sampah di tingkat rumah tangga berdampak cukup besar terhadap jumlah timbulan sampah di kawasan tersebut. Apalagi jika masyarakat juga diperkenalkan teknik mendaur ulang sampah anorganik menjadi barang-barang bernilai tambah tinggi. Pemanfaatan limbah ternak untuk biogas perlu terus disosialisasikan dan difasilitasi oleh pemerintah atau pihak lain yang berkepentingan, agar masyarakat/peternak/petani berkeinginan untuk membangun dan menggunakan biogas secara berkesinambungan sebagai sumber energi rumah tangga mereka. Pemberian secara cuma-cuma atau hibah yang diberikan kepada perorangan sebaiknya dihindari karena menimbulkan konflik diantara para petani/peternak dan tidak memacu motivasi untuk memiliki biogas. Dengan skema hibah banyak peternak tidak termotivasi membangun sendiri digester biogas, tetapi menunggu sampai dana hibah atau bantuan cuma-cuma menghampiri mereka. Pemberian bantuan digester biogas tanpa syarat sebaiknya diberikan kepada kelompok tani skala besar yang dapat dinikmati oleh seluruh anggota kelompok. Biogas yang dihasilkan akan disalurkan kepada seluruh rumah tangga kelompok. Persoalan yang harus diantisipasi dalam kasus seperti ini adalah kinerja manajemen kelompok, agar biogas berkesinambungan dan tersalurkan dengan baik dan adil bagi seluruh anggota kelompok. Untuk mempercepat pemanfaatan limbah ternak dan sampah organik untuk energi, fasilitas yang harus disediakan pemerintah diantaranya adalah pinjaman bersyarat ringan untuk pembangunan digester biogas. Selain fasilitas modal, Hivos juga telah memfasilitasi pembangunan biogas di Indonesia sejak tahun 2010. Kerja sama diantara berbagai pihak demi terwujudnya kemandirian energi melalui biogas bagi para petani/peternak kiranya dapat terwujud. Pemanfaatan limbah ternak dan sampah di tingkat rumah tangga tidak saja mendatangkan manfaat berupa penyediaan energi bagi rumah tangga, namun juga menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan sekitar, sekaligus berdampak langsung terhadap kesehatan fisik masyarakat sendiri. Dengan pemanfaatan sampah dan limbah, penyakit endemik, seperti demam berdarah dapat berkurang. Pengguna biogas juga mendapatkan dampak ekonomi dari hasil samping biogas berupa slurry atau pupuk organik yang dapat dijual atau digunakan langsung di kebun petani. 5.
KESIMPULAN Dari seluruh lokasi survei teridentifikasi bahwa kegiatan pemanfaatan limbah ternak untuk energi di tingkat rumah tangga telah dilakukan oleh masyarakat. Sampah dapat dibuat menjadi energi biogas dan bahan pakan ternak. Meskipun biogas dari limbah ternak atau sampah organik ini bukan merupakan teknologi baru, namun kesadaran peternak dan masyarakat dalam memanfaatkan kotoran ternak menjadi biogas tidak mudah. Lambat namun pasti terjadi perubahan budaya, etos kerja, dan nilai-nilai ekonomi yang mendorong tumbuhnya kesadaran akan pentingnya membangun biogas baik dari limbah ternak maupun sampah organik untuk memenuhi kebutuhan energi rumah tangga. Untuk mempercepat pemanfaatan limbah ternak dan sampah organik pada skala rumah tangga diperlukan dukungan dari berbagai pihak, baik berupa sosialisasi terpadu terutama antara institusi yang terkait dengan peternakan, lingkungan, kesehatan, dan energi. Selain sosialisasi, banyak peternak/petani masih 182
memerlukan dukungan modal untuk pembangunan biogas. Pada beberapa daerah, dukungan modal yang diberikan dalam bentuk pinjaman lunak lebih efektif dan membuat teknologi biogas lebih berkesinambungan dalam penggunaannya dibandingkan dengan pemberian hibah atau bantuan tunai tidak mengikat. Hal lain yang dapat dilakukan adalah Pemerintah Kota/Kabupaten bekerja sama dengan LSM dan Swasta dalam melakukan program sosialisasi dan membangun lebih banyak proyek percontohan pengelolaan dan pemanfaatan sampah untuk tingkat rumah tangga di berbagai kota. Kegiatan ini haruslah dilakukan secara serius, konsisten, dan berkesinambungan. Selain itu diperlukan penyebarluasan praktek terbaik dari pengelolaan dan pemanfaatan sampah di tingkat rumah tangga secara luas dengan mengupas lebih dalam model-model bisnis pengelolaan sampah yang menguntungkan masyarakat, pemerintah, dan lingkungan sekitar.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Para Peneliti Pappiptek, terutama kepada Dra. Hartiningsih, MA; Ir. Ikbal Maulana, MM.; Ishelina Rosaira, SE; Ir. Purnama Alamsyah ,SE.; dan Ir. Sigit setiawan, MM. yang telah bersama-sama dan turut membantu melakukan survei biogas, sampah kota, dan tungku di beberapa kota di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, K. 2002. Biomass Energy Potentials And Utilization in Indonesia. IPB,Bogor. Ariati, R. 2009. Kebijakan Pemerintah di Bidang Energi Alternatif, Presentasi pada Pertemuan Pendayagunaan Potensi Sumber Daya Alam dan Buatan, Ditjen Potensi Pertahanan, Departemen Pertahanan RI, Jakarta, 15 Juli 2009. Damanhuri, E. dan Tri Padmi, 2010. Diktat Kuliah TL-3104 “Pengelolaan Sampah”. Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB, Bandung Hozairi, Bakir dan Buhari. 2012. Pemanfaatan kotoran hewan menjadi energi biogas untuk mendukung pertumbuhan UMKM di Kabupaten Pamekasan. Prosiding InSiNas, 2012 Hermawati, W., Ishelina Rosaira, dkk. 2011. Pola Pembiayaan Litbang dan Implementasi Energi Baru Terbarukan di Indonesia. Kasus: PLTMH dan Biogas. PAPPIPTEK-LIPI. Jakarta. Kementerian ESDM, 2010. Rencana Strategis Kementerian ESDM 2010-2014, hal. 20 Korhaliller, S. 2010. The UK’s Biomass Energy Development Path. International Institute for Environment and Development (IIED). Kurniawan. 2010. Pengelolaan sampah Indonesia dalam http://www.kebersihan.bandaacehkota.go.id/i/index.php?id=artikel&kode=28 KLH. 2009 Kementerian Lingkungan Hidup. 2008. Statistik Persampahan Indonesia Lubis R,. 1994. Masalah sampah di Indonesia dan solusinya, dalam gbioscience05.wordpress.com/.../masalah-sampah-di-indonesia-dan-s... akses tanggal 2 Juli 2012 Nitikesari, P.E.. 2005. Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Penanganan Sampah Secara Mandiri di Kota Denpasar. Tesis Magister Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.
183
Trihadiningrum, Y. 2010. Perkembangan Paradigma Pengelolaan Sampah Kota dalam Rangka Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), dalam MDGs Sebentar lagi, Penerbit Buku Kompas. Wibowo, A. 2009. Kondisi Persampahan Kota di Indonesia. Untuk peringatan Hari Bumi PMPA KOMPOS FP UNS “Workshop dan Ngeblog Lingkungan Hidup”.
184
Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Kreativitas dan Inovasi Terhadap Program Mahasiswa Wirausaha di Perguruan Tinggi (Studi Kasus Pada Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Andalas) Insannul Kamil1,2 dan Mego Plamonia2 ) Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik Universitas Andalas, Padang Indonesia Kampus Limau Manis Padang 2 ) Pusat Studi Inovasi Universitas Andalas, Padang Indonesia Gedung Teknik Industri Lt.1 Kampus Limau Manis Padang Email:
[email protected]
1
ABSTRAK Universitas Andalas secara konsisten sejak November 2007 menyelenggarakan kegiatan Kuliah Umum Kewirausahaan yang bertujuan agar mahasiswa mampu mengembangkan kreativitas dan inovasinya untuk membangun semangat kewirausahaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh variabel kreativitas dan inovasi terhadap program wirausaha mahasiswa. Populasi yang dipilih yaitu mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Andalas dan jumlah responden sebanyak 95 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Variabel terikat penelitian yaitu kreativitas (X1) yang terdiri dari 13 indikator dan inovasi (X2) yang terdiri dari 5 indikator, sementara variabel bebas yaitu orientasi kewirausahaan (Y) yang terdiri dari 5 indikator. Hipotesis penelitian yaitu H1: kreativitas berpengaruh signifikan terhadap orientasi kewirausahaan, H2: inovasi berpengaruh signifikan terhadap orientasi kewirausahaan dan H3: kreativitas dan inovasi secara bersamaan berpengaruh signifikan terhadap orientasi kewirausahaan. Analisis yang dilakukan adalah regresi sederhana dan analisis regresi berganda. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS. Hasil uji t menunjukkan bahwa variabel kreativitas berpengaruh signifikan terhadap orientasi kewirausahaan mahasiswa, sementara variabel inovasi tidak berpengaruh signifikan terhadap orientasi kewirausahaan mahasiswa. Hasil uji F menunjukkan bahwa ada pengaruh antara kreativitas dan inovasi terhadap orientasi kewirausahaan mahasiswa. Koefisien determinasi bernilai 0,429. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa orientasi kewirausahaan mahasiswa dipengaruhi oleh kreativitas dan inovasi sebesar 42,9 %.
Kata kunci:
Kreativitas, Inovasi, Program Mahasiswa Wirausaha, Universitas Andalas
1.
PENDAHULUAN Era globalisasi yang penuh dengan persaingan menuntut hadirnya SDM yang berkualitas, kompeten dan kompetitif. Kewirausahaan telah dikenal secara luas sebagai konsep yang mendorong munculnya SDM-SDM tersebut. Kewirausahaan disebut-sebut sebagai salah satu roda penggerak ekonomi suatu negara. Kewirausahaan merupakan komponen vital dalam pembangunan ekonomi (Shumpeter, 1934), merupakan sebuah komponen vital produktifitas dan pertumbuhan (Baumol, 1993), berperan dalam peningkatan investasi, new business creation (Gartner, 1985), memunculkan job training (Brown et al., 1976) dan bersama dengan kapasitas manajemen sangat menentukan kesuksesan usaha (farm performance) (Priyanto dan Sandjojo, 2005). Tingginya tingkat kewirausahaan dan inovasi yang lebih efektif dianggap kunci mesin pertumbuhan ekonomi (Holcombe, 2006; Sternberg dan Wennekers, 2005). Kewirausahaan menjadi “motor penggerak” yang berperan dalam pembangunan industri. Dalam proses industrialisasi diperlukan sikap kewirausahaan dalam pembangunan ekonomi (Anderson, 1982; Armstrong dan Taylor, 2000). 185
Walaupun pemaknaan kewirausahaan memiliki sejarah panjang sejak abad ke 11, hingga saat ini pemaknaan kewirausahaan telah berkembang tidak hanya pemaknaan seseorang sebagai “pengusaha” namun orang yang mampu mengelola diri dan lingkungannya sehingga akan dihasilkan ide, inovasi, penemuan baru, kreativitas, semangat baru dan pasar yang baru (Priyanto, 2009). Meredith (2000) yang menyatakan bahwa pada dasarnya setiap orang memiliki karakter utama sebagai wirausaha, yaitu inovatif dan kreatif. Pada dasarnya, inti dari kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (create new and different) melalui berfikir kreatif . dan bertindak inovatif untuk menciptakan peluang (Drucker, 2002). Kewirausahaan adalah kemapuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju kesuksesan. Beberapa literatur manajemen memberikan landasan dimensi-dimensi dari kecenderungan organisasional untuk proses manajemen kewirausahaan, salah satunya yaitu kemampuan inovasi (Weerawerdeena, 2003, p.411). Kemampuan inovasi berhubungan dengan persepsi dan akitvitas terhadap aktivitasaktivitas bisnis yang baru dan unik. Kemampuan berinovasi adalah titik penting kewirausahaan dan esensi dari karakteristik kewirausahaan. Beberapa hasil penelitian dan literatur kewirausahaan menunjukan bahwa orientasi kewirausahaan menunjukkan bahwa orientasi kewirausahaan lebih signifikan mempunyai kemampuan inovasi daripada yang tidak memiliki kemampuan dalam kewirausahaan (Koh, 1997,p.9). Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengembangkan dunia kewirausahaan adalah pendidikan dan pelatihan kewirausahaan. Pendidikan dan latihan, mentoring dan belajar dari pengalaman merupakan faktor pembentuk pembelajaran kewirausahaan yang signifikan. Hal ini sesuai dengan pendapat beberapa ahli tentang pembelajaran wirausaha (Rae, 2000; Minniti dan Bygrave, 2001), proses pendidikan dan pelatihan (Ulrich dan Cole, 1987; Gibb, 1997; Leitch dan Horrison, 1999) maupun pembelajaran wirausaha dari pengalaman (Henderson, 1993; Rae, 2000). Universitas Andalas secara konsisten sejak November 2007 telah mengembangkan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan dengan menyelenggarakan kegiatan Kuliah Umum Kewirausahaan kepada mahasiswa setiap minggu dengan menghadirkan pembicarapembicara yang sukses sebagai wirausahawan. Hal tersebut sesuai dengan motto Universitas Andalas yaitu “The Leader in Character Building and Entrepreneurship” yang menunjukkan peran Universitas Andalas dalam membangun karakter dan jiwa kewirausahaan mahasiswa disamping proses pendidikan dan pembelajaran formal yang dilaksanakan. Namun sejauh ini program tersebut belum berdampak signifikan terhadap peningkatan minat wirausaha mahasiswa, terbukti dengan jumlah lulusan yang menjadi wirausahawan masih sedikit. Kurangnya inovasi dan kreativitas diperkirakan menjadi penyebab hal tersebut Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana variabel kreativitas dan inovasi berpengaruh terhadap program wirausaha mahasiswa Universitas Andalas, dalam hal ini orientasi kewirausahaan mahasiswa.
2.
RUANG LINGKUP DAN METODE Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian deskriptif dan penelitian eksplanatori. Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang menjelaskan atau memberi paparan pada variabel yang diteliti dan ketergantungan variabel pada sub variabelnya (Umar 2005:22). Penelitian eksplanatori yaitu penelitian yang membuktikan adanya sebab akibat dan hubungan yang mempengaruhi atau dipengaruhi dari dua atau lebih variabel yang diteliti (Umar 2005:33). Populasi dalam penelitian adalah mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Andalas yang aktif per tahun ajaran 2013/2013 yang berjumlah 2.049 orang. Sampel yang digunakan dihitung menurut rumus Slovin sebagai berikut:
186
n =
N
Dimana: n = ukuran sampel
1 + Ne2
N = jumlah populasi e = 10 % kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang dapat ditoleransi
Sehingga, n =
2049
= 95,34
1 + 2049(0,1)2
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen penelitian soft methodology berupa kuesioner. Variabel terikat penelitian yang digunakan adalah kreativitas (X1) dan inovasi (X2), sementara variabel bebas yaitu orientasi kewirausahaan (Y). Variabel kreativitas (X1) terdiri dari 13 indikator sesuai yang digunakan oleh Munandar (1992), yaitu (1) Dorongan rasa keingintahuan yang besar, (2) Sering mengajukan pertanyaan yang baik, (3) Banyaknya gagasan atau usul yang diberikan terhadap suatu masalah, (4) Kebebasan dalam menyatakan pendapat, (5) Rasa keindahan yang tinggi, (6) Menonjol dalam salah satu bidang seni, (7) Kemampuan mengungkapkan pendapat sendiri dan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain, (8) Selera humor yang tinggi, (9) Daya imajinasi yang kuat, (10) Keaslian (orisinalitas) yang tinggi dalam hal ungkapan gagasan, karangan, dan sebagainya, (11) Dapat bekerja sendiri, (12) Kesenangan mencoba hal-hal baru, dan (13) Kemampuan mengembangkan atau memerinci suatu gagasan (kemampuan elaborasi). Variabel inovasi (X2) terdiri dari 5 indikator sesuai yang digunakan oleh Amabile (1996), yaitu (1) Inovasi teknis dalam menghasilkan produk, (2) Perubahan desain sesuai keinginan konsumen, (3) Daya kreativitas untuk menciptakan atau mengembangkan ide-ide baru, (4) Perubahan sistem distribusi produk, dan (5) Sistem administrasi pembayaran. Variabel orientasi kewirausahaan (Y) sebagai variabel bebas terdiri dari 5 indikator sesuai yang digunakan oleh Weerawerdena (2003), yaitu (1) Kemauan mengambil risiko, (2) Fleksibel dalam berbagai hal sesuai dengan keinginan konsumen, (3) Antisipatif terhadap segala perubahan, (4) Proaktif terhadap peluang dan komitmen untuk inovasi, dan (5) Pengalaman berusaha. Hipotesis penelitian dikembangkan sebagai berikut: H1 : H2 : H3 :
kreativitas berpengaruh segnifikan terhadap orientasi kewirausahaan inovasi berpengaruh signifikan terhadap orientasi kewirausahaan kreativitas dan inovasi secara bersamaan berpengaruh signifikan terhadap orientasi kewirausahaan
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Uji Instrumen Penelitian 3.1.1 Uji Validitas Validitas adalah tingkat keandalah dan kesahihan alat ukur yang digunakan. Intrumen dikatakan valid berarti menunjukkan alat ukur yang dipergunakan untuk mendapatkan data itu valid atau dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya di ukur (Sugiyono, 2004:137). Dengan demikian, instrumen yang valid merupakan instrumen yang benar-benar tepat untuk mengukur apa yang hendak di ukur. Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah ada pertanyaan atau pernyataan pada kuesioner yang harus dihilangkan atau diganti karena dianggap tidak relevan. Dalam studi ini digunakan korelasi bivariate pearson atau product moment. Jika rhitung < rtabel, maka instrumen atau item pernyataan berkorelasi signifikan terhadap skor total (dinyatakan valid). Sementara 187
jika rhitung < rtabel, maka instrumen atau item pernyataan tidak berkorelasi signifikan terhadap skor total (dinyatakan tidak valid). Hasil uji validitas kuesioner diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil Uji Validitas Kuesioner Nomor item sebelum uji validitas
Jumlah angka yang tidak valid
Nomor item yang tidak valid
Jumlah item yang valid
Kreativitas
13
-
-
13
Inovasi
5
-
-
5
Orientasi Kewirausahaan
5
-
-
5
Variabel
Sumber: Data diolah peneliti
Analisis korelasi bivariate pearson atau product moment dilakukan dengan cara mengkorelasikan masing-masing skor item dengan skor total. Skor total adalah penjumlahan dari keseluruhan item. Item-item pertanyaan yang berkorelasi signifikan dengan skor total menunjukkan item-item tersebut mampu memberikan dukungan dalam mengungkap apa yang ingin diungkap. Pengujian menggunakan uji dua sisi dengan taraf signifikansi 0,05. Berdasarkan hasil analisis didapatkan nilai korelasi antara skor item dengan skor total. Nilai ini kemudian kita bandingkan dengan nilai rtabel, dimana nilai rtabel dicari pada signifikansi 0,05 dengan uji 2 sisi dan jumlah data (n) = 95, maka didapat rtabel sebesar 0,1698. Hasil uji validitas untuk variabel kreativitas, inovasi dan orientasi kewirausahaan seperti disimpulkan pada Tabel 1, dimana masing-masing butir pernyataan memiliki nilai koefisien korelasi lebih besar dari nilai rtabel (0,1698). Dapat disimpulkan bahwa seluruh item pernyataan dinyatakan valid yang artinya kuesioner yang digunakan merupakan instrumen yang benar-benar tepat untuk mengukur pengaruh variabel kreativitas dan inovasi terhadap orientasi kewirausahaan mahasiswa. Item pertanyaan yang telah valid tersebut dapat digunakan dalam tahapan penelitian selanjutnya.
3.1.2 Uji Reliabilitas Menurut Sugiyono (2007), instrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur objek yang sama akan menghasilkan data yang sama. Reliabilitas instrumen terkait dengan bebas dari bias (error free) dan konsistensi instrumen. Reliabilitas diperlukan untuk memastikan validitas dan ketepatan analisis statistik. Reliabilitas mengacu pada kemampuan untuk mereproduksi hasil secara berulang dan sesuai kebutuhan. Hal ini penting karena akan membangun tingkat kepercayaan dalam analisis statistik dan hasil yang diperoleh. Uji reliabilitas untuk alternatif jawaban lebih dari dua menggunakan uji Cronbach's Alpha, yang nilainya akan dibandingkan dengan nilai koefisien reliabilitas minimal yang dapat diterima. Jika nilai nilai Cronbach's Alpha > 0,6, maka instrumen penelitian reliabel. Jika nilai Cronbach's Alpha < 0,6, maka instrumen penelitian tidak reliabel. Hasil uji reliabilitas kuesioner diperlihatkan pada Tabel 2.
188
Tabel 2. Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner No.
Variabel
Cronbach’s Alpha
1
Kreativitas
0,824
2
Inovasi
0,647
3
Orientasi Kewirausahaan
0,656
Sumber: Data diolah peneliti
Uji signifikansi dilakukan pada taraf signifikansi 0,05, artinya instrumen dapat dikatakan reliabel bila nilai alpha lebih besar dari r kritis product moment. Selain itu juga bisa digunakan batasan tertentu seperti 0,6. Menurut Sekaran (1992), reliabilitas kurang dari 0,6 adalah kurang baik, sedangkan 0,7 dapat diterima dan di atas 0,8 adalah baik. Hasil uji reliabilitas untuk variabel kreativitas, inovasi dan orientasi kewirausahaan diperlihatkan pada Tabel 2. Berdasarkan hasil uji tersebut diketahui bahwa nilai koefisien korelasi lebih besar 0,6 pada selang kepercayaan 5 % yang menyatakan bahwa instrumen penelitian (kuesioner) dinyatakan reliabel. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kuesioner yang digunakan dapat diandalkan dan tetap konsisten jika pengukuran diulang.
3.2 Uji Asumsi Dasar 3.2.1 Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah populasi data berdistribusi normal atau tidak. Uji ini biasanya digunakan untuk mengukur data berskala ordinal, interval, ataupun rasio. Jika analisis menggunakan metode parametrik, maka persyaratan normalitas harus terpenuhi yaitu data berasal dari distribusi yang normal. Jika data tidak berdistribusi normal, atau jumlah sampel sedikit dan jenis data adalah nominal atau ordinal maka metode yang digunakan adalah statistik non parametrik. Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan menggunakan taraf signifikansi 0,05. Data dinyatakan berdistribusi normal jika signifikansi lebih besar dari 5 % atau 0,05. Hasil uji normalitas diperlihatkan pada Tabel 3.
189
Tabel 3. Hasil Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Kreativitas
Inovasi
Orientasi_Kewirausahaan
95
95
95
54.0526 20.8632
21.0842
5.41740 2.07113
2.08675
N Normal Mean a,b Parameters Std. Deviation Most Extreme Differences
Absolute
.121
.151
.130
Positive
.072
.123
.130
Negative
-.121
-.151
-.112
1.177
1.468
1.266
.125
.057
.081
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Sumber: Data diolah peneliti
Hasil uji normalitas seperti diperlihatkan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai signifikasi untuk variabel kreativitas sebesar 0,125, inovasi sebesar 0,057 dan orientasi kewirausahaan sebesar 0,081. Dengan demikian variabel kreativitas, inovasi dan orientasi kewirausahaan berdistribusi normal karena nilai signifikasi untuk seluruh variabel lebih besar dari 0,05. Hal ini berarti indikator yang digunakan untuk masing-masing variabel memiliki sebaran data yang normal sehingga profil data (indikator) tersebut bisa dikatakan mewakili populasi keseluruhan.
3.2.2 Uji Linearitas Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui apakah dua variabel mempunyai hubungan yang linear atau tidak secara signifikan. Uji ini digunakan sebagai prasyarat dalam analisis korelasi atau regresi linear. Kriteria uji linearitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua variabel dikatakan mempunyai hubungan yang linear apabila signifikasi (linearity) kurang dari 0,05. Hasil uji linearitas diperlihatkan pada Tabel 4 dan Tabel 5.
190
Tabel 4. Hasil Uji Linearitas Variabel Orientasi Kewirausahaan*Kreativitas ANOVA Table Sum of Squares
Orientasi_Kewirausa haan * Kreativitas
Mean Square
df
F
Sig.
(Combined)
173.546
21
8.264
2.559
.002
Linearity
129.011
1
129.011
39.943
.000
44.535
20
2.227
.689
.824
Within Groups
235.781
73
3.230
Total
409.326
94
Between Groups
Deviation from Linearity
Sumber: Data diolah peneliti
Tabel 5. Hasil Uji Linearitas Variabel Orientasi Kewirausahaan*Inovasi ANOVA Table Sum of Squares
Orientasi_Kewira usahaan * Inovasi
df
Mean Square
F
Sig.
(Combined)
148.850
10
14.885
4.800
.000
Linearity
139.412
1
139.412
44.958
.000
9.437
9
1.049
.338
.960
Within Groups
260.477
84
3.101
Total
409.326
94
Between Groups
Deviation from Linearity
Sumber: Data diolah peneliti
Hasil uji linearitas seperti diperlihatkan pada Tabel 4 dan 5 menunjukkan bahwa nilai signifikasi pada linearity sama-sama sebesar 0,000. Jadi, dapat disimpulkan bahwa antara variabel kreativitas dan inovasi sama-sama memiliki hubungan yang linear dengan variabel orientasi kewirausahaan karena nilai signifikasi sebesar 0,000 lebih kecil dibandingkan 0,05. Hal ini berarti hubungan antara variabel kreativitas dan inovasi dengan variabel orientasi kewirausahaan berbentuk garis lurus atau linear. Dengan sifat hubungan yang linear tersebut, maka setiap perubahan yang terjadi pada satu variabel akan diikuti perubahan dengan besaran yang sejajar pada variabel lainnya.
191
3.3
Uji Asumsi Klasik
3.3.1 Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik multikolinearitas yaitu adanya hubungan linear antar variabel bebas dalam model regresi. Prasyarat yang harus terpenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya multikolinearitas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel bebas. Jika variabel bebas saling berkorelasi maka variabel-variabel tersebut tidak ortogonal. Dimana variabel ortogonal adalah variabel bebas yang nilai korelasi antar sesama variabel bebas sama dengan nol. Multikoliniearitas dapat diketahui dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF) pada model regresi. Nilai VIF < 5 mencerminkan tidak ada multikolinearitas. Nilai tolerance dan VIF menunjukkan bagaimana setiap variabel bebas dijelaskan oleh variabel indenden lainnya, dimana setiap variabel bebas akan diperlakukan sebagai variabel terikat dan diregresi terhadap variabel bebas lainnya. Sedangkan nilai tolerance mengukur sejauh mana variabel bebas yang terpilih tidak dijelaskan oleh variabel bebas lainnya, dimana nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF yang tinggi (VIF= 1/Tolerance). Hasil uji linearitas diperlihatkan pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil Uji Multikolinearitas Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients B
1
Std. Error
(Constant)
5.430
1.891
Kreativitas
.135
.036
Inovasi
.401
.094
Standardized Coefficients
Collinearity Statistics t
Sig.
Beta
Tolerance
VIF
2.871
.005
.350
3.769
.000
.718
1.392
.398
4.278
.000
.718
1.392
a. Terikatt Variable: Orientasi_Kewirausahaan Sumber: Data diolah peneliti
Untuk menguji ada tidaknya multikolinearitas pada model regresi linier dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan melihat nilai VIF masing-masing variabel bebas dan melihat nilai korelasi antar variabel bebas. Hasil uji multikolinearitas seperti diperlihatkan pada Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai Variance Inflation Factor (VIF) untuk kedua variabel masing-masing sebesar 1,392 (VIF < 5). Korelasi di antara variabel bebas dapat dikatakan mempunyai korelasi yang lemah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di antara variabel bebas tersebut tidak ada korelasi atau tidak terjadi multikolinearitas pada model regresi linier.
3.3.2 Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk mengetahui apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual suatu pengamatan ke pengamatan lain. Jika varian dari residual suatu pengamatan ke pengamatan lain tetap, disebut homokedastisitas, sedangkan untuk varian yang berbeda disebut heteroskedastisitas. Prasyarat yang harus terpenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya masalah heteroskedastisitas. Metode pengujian yang digunakan menggunakan uji Spearman’s Rho, yaitu mengkorelasikan nilai residual (unstandardized residual) dengan masing-masing variabel bebas. Jika signifikasi 192
kurang dari 0,05, maka terjadi masalah heteroskedastisitas. Hasil uji heteroskedastisitas diperlihatkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Uji Heteroskedastisitas Correlations Kreativitas
Spearman's rho
Kreativitas
Correlation Coefficient
Inovasi
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Unstandardized Residual
Unstandardized Residual
.517**
.021
.000
.841
95
95
95
.517**
1.000
.011
1.000
Sig. (2-tailed) N
Inovasi
.000
.916
95
95
95
Correlation Coefficient
.021
.011
1.000
Sig. (2-tailed)
.841
.916
95
95
N
95
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Sumber: Data diolah peneliti
Hasil uji heteroskedastisitas seperti yang diperlihatkan pada Tabel 7 menunjukkan bahwa korelasi antara variabel kreativitas dengan unstandardized residual menghasilkan nilai signifikasi 0,841 dan korelasi antara variabel inovasi dengan unstandardized residual menghasilkan nilai 0,916. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada model regresi tidak ditemukan adanya masalah heteroskedastisitas karena nilai signifikasi korelasi lebih besar dari 0,05.
3.4
Analisis Regresi Linear Analisis ini digunakan untuk menguji hubungan antara sebuah variabel terikat dengan satu atau beberapa variabel bebas. Jika variabel terikat dihubungkan dengan sebuah variabel indepeden, persamaan regresi yang dihasilkan adalah regresi linear sederhana. Jika variabel bebasnya lebih dari satu, regresi yang dihasilkan adalah regresi linear berganda.
3.4.1 Uji T Uji T bertujuan untuk mengetahui signifikansi dari pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat secara individu dan menganggap terikat yang lain konstan. Dalam hal ini, uji t dilakukan untuk menguji pengaruh variabel kreativitas (X1) dan inovasi (X2) terhadap orientasi kewirausahaan (Y). Hasil uji T diperlihatkan pada Tabel 8 dan Tabel 9.
193
Tabel 8. Hasil Uji T Variabel Kreativitas terhadap Orientasi Kewirausahaan Paired Samples Test Paired Differences
Std. Deviation
Mean
Pair 1
Kreativitas Orientasi_Ke wirausahaan
32.96842
4.58363
95% Confidence Interval of the Difference
Std. Error Mean .47027
Lower
Upper
32.03469
33.90215
t
df
70.105
Sig. (2tailed)
94
.000
Sumber: Data diolah peneliti
Tabel 9. Hasil Uji T Variabel Inovasi terhadap Orientasi Kewirausahaan Paired Samples Test Paired Differences
Mean
Pair 1
Inovasi Orientasi_ Kewiraus ahaan
-.22105
Std. Deviation
1.89725
Std. Error Mean
.19465
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
-.60754
.16544
Sig. t
df (2-tailed)
-1.136
94
.259
Sumber: Data diolah peneliti
Hasil uji T untuk variabel kreativitas terhadap orientasi kewirausahaan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 8 menunjukkan bahwa thitung untuk variabel kreativitas sebesar 70,105. Nilai thitung kemudian dibandingkan dengan nilai t yang dicari pada α = 5% : 2 = 2,5% (uji 2 sisi) dengan derajat kebebasan (df) n-k-1 atau 95-2-1, dimana n adalah jumlah sampel dan k adalah jumlah variabel bebas. Berdasarkan perhitungan tersebut, didapat ttabel sebesar 1,986. Dengan demikian thitung > ttabel. Selain itu, uji hipotesis juga dapat dilakukan dengan melihat signifikasi pada uji T, dimana H0 ditolak dan Ha diterima jika signifikasi lebih kecil dari 0,05. Signifikasi pada uji T variabel kreativitas sebesar 0,000, dengan demikian lebih kecil dari 0,05. Kesimpulan yang dapat diambil, H0 ditolak dan Ha diterima. Hipotesisnya adalah kreativitas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap orientasi kewirausahaan. Pengaruh kreativitas terhadap orientasi kewirausahaan yaitu terbentuknya pengembangan jiwa kewirausahaan mahasiswa. Belum terbentuknya jiwa dan semangat kewirausahaan secara optimal oleh seorang mahasiswa dapat terjadi karena adanya keterbatasan untuk menciptakan kreativitas dalam mengembangkan usaha baik secara pribadi maupun kelompok. Hal ini perlu mendapat perhatian serius dalam upaya membangun semangat kewirausahaan mahasiswa. Pengembangan kreativitas harus dilakukan oleh mahasiswa itu sendiri dan tentunya dengan dukungan eksternal baik moril maupun materil, 194
misalnya dari pihak perguruan tinggi. Kondisi ini salah satunya menjadi suatu pertimbangan dan alasan bahwa kreativitas berpengaruh signifikan terhadap orientasi kewirausahaan. Hasil uji T untuk variabel inovasi terhadap orientasi kewirausahaan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 9 menunjukkan bahwa thitung untuk variabel kreativitas sebesar -1,136. Nilai thitung kemudian dibandingkan dengan nilai t, yang dicari pada α = 5 % : 2 = 2,5 % (uji 2 sisi) dengan derajat kebebasan (df) n-k-1 atau 95-2-1, dimana n adalah jumlah sampel dan k adalah jumlah variabel bebas. Berdasarkan perhitungan tersebut, didapat ttabel sebesar 1,986. Dengan demikian thitung < ttabel. Selain itu, uji hipotesis juga dapat dilakukan dengan melihat signifikasi pada uji T, dimana H0 ditolak dan Ha diterima jika signifikasi lebih kecil dari 0,05. Signifikasi pada uji T variabel kreativitas sebesar 0,259, dengan demikian lebih besar dari 0,05. Kesimpulan yang dapat diambil, H0 diterima dan Ha ditolak. Hipotesisnya adalah inovasi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap orientasi kewirausahaan. Inovasi pada dasarnya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap orientasi kewirausahaan karena inovasi mendorong pengembangan kreativitas dalam membangun usaha. Namun pada penelitian ini variabel inovasi tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Hal ini disebabkan karena mahasiswa belum memandang inovasi sebagai suatu kebutuhan bagi pengembangan minat wirausaha. Hal ini tentu menjadi catatan tersendiri bagi pihak Universitas Andalas agar lebih memberikan edukasi akan pentingnya inovasi kepada mahasiswa.
3.4.2 Uji F Uji F bertujuan untuk mengetahui apakah semua variabel bebas mempunyai pengaruh yang sama terhadap variabel terikat. Derajat kepercayaan yang digunakan adalah 0,05. Apabila nilai F hasil perhitungan lebih besar daripada nilai F menurut tabel maka hipotesis alternatif, yang menyatakan bahwa semua variabel bebas secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Untuk membuktikan kebenaran hipotesis digunakan uji distribusi F dengan cara membandingkan antara nilai Fhitung dengan Ftabel. Hasil uji F diperlihatkan pada Tabel 10 dan Tabel 11.
Tabel 10. Hasil Uji F Variabel Kreativitas dan Inovasi terhadap Orientasi Kewirausahaan ANOVAa Model
Sum of Squares
Mean Square
df
1 Regression
175.513
2
87.757
Residual
233.813
92
2.541
Total
409.326
94
a. Terikatt Variable: Orientasi_Kewirausahaan b. Predictors: (Constant), Inovasi, Kreativitas Sumber: Data diolah peneliti
195
F 34.530
Sig. .000b
Tabel 11. Hasil Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Coefficientsa Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
Model
t B
Std. Error
1 (Constant)
5.430
1.891
Kreativitas
.135
.036
Inovasi
.401
.094
Sig.
Beta 2.871
.005
.350
3.769
.000
.398
4.278
.000
a. Terikat Variable: Orientasi_Kewirausahaan Sumber: Data diolah peneliti
Hasil uji F variabel kreativitas dan inovasi terhadap orientasi kewirausahaan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 10 menunjukkan bahwa nilai Fhitung sebesar 34,530. Nilai F kemudian dibandingkan dengan nilai Ftabel, yang dicari dengan tingkat keyakinan 95%, α = 5% dengan df 1 (jumlah variabel-1) atau 3-1 = 2, dan df 2 (n-k-1) atau 95-2-1. Berdasarkan perhitungan tersebut, didapat Ftabel sebesar 3,10. Dengan demikian Fhitung > Ftabel. Signifikasi pada uji F sebesar 0,000 yang nilainya lebih kecil dari 0,05. Kesimpulan yang dapat diambil, H0 ditolak dan Ha diterima. Kesimpulannya adalah kreativitas dan inovasi secara bersamaan berpengaruh signifikan terhadap orientasi kewirausahaan. Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa interprestasi model regresi dapat dirumuskan suatu persamaan regresi berganda sebagai berikut: Y = 5,430 + 0,135X1 + 0,401X2. Persamaan regresi berganda tersebut dapat diartikan sebagai berikut: b1 = 0,135 merupakan slope atau koefisien arah variabel kreativitas berpengaruh terhadap orientasi kewirausahaan, dimana koefisien regresi (b1) sebesar 0,135 dengan tanda positif. Dapat dijelaskan bahwa orientasi kewirausahaan semakin bertambah dengan asumsi variabel kreativitas mempunyai nilai sama dengan nol atau dianggap berpengaruh secara konstan. b2 = 0,401 merupakan slope atau koefisien arah variabel inovasi berpengaruh terhadap orientasi kewirausahaan, dimana koefisien regresi (b2) sebesar 0,401 dengan tanda positif. Hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa orientasi kewirausahaan akan meningkat apabila variabel inovasi meningkat dengan asumsi variabel inovasi mempunyai nilai sama dengan nol atau dianggap berpengaruh secara konstan.
3.4.3 Koefisiensi Determinasi (R2) Nilai koefisien ini menunjukkan seberapa besar persentase variasi variabel bebas yang digunakan dalam model mampu menjelaskan variasi variabel terikat. Hasil analisis determinasi untuk Hipotesis 3 diperlihatkan pada Tabel 12. 196
Tabel 12. Hasil Analisis Determinasi untuk Hipotesis 3 Model Summary Model
R
1
.655a
R Square
Adjusted R Square
.429
.416
Std. Error of the Estimate 1.59419
a. Predictors: (Constant), Inovasi, Kreativitas Sumber: Data diolah peneliti
Hasil analisis determinasi untuk Hipotesis 3 seperti yang diperlihatkan pada Tabel 12 menunjukkan bahwa nilai R2 sebesar 0,429. Artinya variabel kreativitas dan inovasi secara simultan memiliki persentase sumbangan pengaruh terhadap variabel orientasi kewirausahaan sebesar 42,9 %. Selebihnya 57,1 % dipengaruhi oleh variabel lainnya yang tidak terlibat dalam model persamaan regresi linear berganda tersebut.
4.
KESIMPULAN
1.
Kreativitas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap orientasi kewirausahaan mahasiswa. Inovasi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap orientasi kewirausahaan mahasiswa. Kreativitas dan inovasi secara bersamaan berpengaruh signifikan terhadap orientasi kewirausahaan mahasiswa. Persentase sumbangan kreativitas dan inovasi terhadap orientasi kewirausahaan sebesar 42,9 %. Selebihnya, 51,7 % dipengaruhi oleh variabel lainnya yang tidak terlibat dalam model persamaan regresi linear berganda tersebut.
2. 3. 4.
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, H. and Taylor, J. (2000). Regional Economics and Policy (Third Edition). Oxford: Blackwell. Anderson, D. (1982). Small - Scale Industry in Developing Countries: A Discussion of the Issue. World Development. 10(11), 913-948. Baumol, W. J. (1993). The Entrepreneur in Economic Theory. Entrepreneurship Management and the Structure of Pay-offs. Boston: MIT Press, Chapter 1, pp. 1-24. Drucker. P. F. (2002). The Diciplin of Innovation in HRB on The Innovative Enterprise. Boston: Harvard Businnes School Press. Gartner, W. B. (1985). A Conceptual Framework for Describing the Phenomena of New Venture Creation. Academy of Management Review. 10, 696-706. Gibb, A. A. (1997). Small Firms’ Training and Competitiveness, Building on The Small Business. International Small Business Journal. 15(3), 13-29. Henderson, N. (1993). Action Learning: A Missing Link in Management Development. Personnel Review. 22(6), 14-24. 197
Holcombe, R. G. (2006). Does the invisible hand hold or lead? Market adjustment in anentrepreneurial economy. Review of Austrian Economics. 19(2/3), 189-205. Kamil, Insannul. (2013) and Plamonia, Mego. (2013). Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Kreativitas dan Inovasi Terhadap Program Mahasiswa Wirausaha di Perguruan Tinggi (Studi Kasus Pada Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Andalas). Forum IPTEKIN 2013. Jakarta. Koh, H. C. (1997). Testing Hypothesis of Entrepreneurial Characteristics: A Study of Hongkong MBA Students. Journal of Managerial Psychology. 11(3), 12-26. Meredith, G. G. (2000). Kewirausahaan: Teori dan Praktek. Jakarta: Penerbit Pustaka Binaman Pressindo. Minniti, M. and Bygrave, W. (2001). A Dynamic Model of Entrepreneurial Learning. Entrepreneurship. Entrepreneurship: Theory and Practice. 25(3), 5-16. Munandar, U. (1999). Krerativitas & Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif & Bakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Priyanto, S. H. and Sandjojo, I. (2005). Relationship between Entrepreneurial Learning, Entrepreneurial Competencies and Venture Success: Empiricalmstudy on SMEs. International Journal Entrepreneurship and Innovation Management. 5(5/6), 454 - 468. Priyanto, S. H. (2009). Mengembangkan Pendidikan Kewirausahaan di Masyarakat. Andragogia, Jurnal PNFI. 1(1), 57-82. Rae, D. (2000). Understanding Entrepreneurial Learning: A Question of How? International Journal of Entrepreneurial Behavior and Research. 6(3), 145-159. Schumpeter, J. A. (1934). In theory of Economic Development: An Inquiry into Profits, Capital, Credit, Interest and The Business Cycle. New York, NY: Oxford University Press. Sekaran, U. (1992). Research Methods for Business, A Skill Building Approach, Second Edition. John Willey & Sons, Inc. Singapore. Sternberg, R. dan Wennekers, S. (2005). Determinants and Effects of New Business Creation using Global Entrepreneurship Monitor Data. Small Business Economics. 24(3), 193-214. Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. Ulrich, T. A. and Cole, G. S. (1987). Toward More Effective Training of Future Entrepreneurs. Journal of Small Business Management. 25(4), 32-39. Umar, H. (2005). Metode Riset Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Weerawardena, J. (2003). Exploring The Role of Market Learning Capability In Competitive Strategy. European Journal of Marketing. 37, 407-429.
198
DAFTAR ABSTRAK
199
SISTEM PEMBIAYAAN UNTUK APLIKASI TEKNOLOGI PADA MANAJEMEN RANTAI PASOK HORTIKULTURA BERNILAI TINGGI: STUDI KASUS TEKNOLOGI GREENHOUSE PAPRIKA
1
Kusnandar1, Tomy Perdana2 Pusat Penelitian Perkembangan Iptek, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indomesia 2 Laboratorium Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran Email:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Pembiayaan sampai saat ini masih menjadi permasalahan bagi sebagian besar petani di negara berkembang termasuk di Indonesia, terutama untuk komoditi yang bernilai tinggi seperti paprika. Dalam budidaya paprika diperlukan biaya investasi yang tinggi karena harus ditanam dalam greenhouse yang dilengkapi dengan instalasi irigasi tetes. Saat ini sebagian besar petani menggunakan greenhouse dengan teknologi sederhana. Walaupun hasilnya sudah menguntungkan, tetapi tidak dapat mencapai produktivitas yang optimal. Sementara itu Balai Penelitian Tanaman Sayuran telah melakukan penelitian dengan bekerja sama dengan Wageningen University untuk mengkaji desain greenhouse yang optimal untuk iklim Indonesia. Akan tetapi greenhouse yang dihasilkan tersebut memerlukan biaya investasi yang tinggi, yang sangat sulit dipenuhi oleh petani. Pinjaman langsung dari Bank sulit didapatkan karena memerlukan jaminan dan sistem pembayaran yang tidak sesuai dengan karakteristik usaha tani. Oleh karena itu diperlukan sistem pembiayaan yang dapat membantu petani, tetapi tidak memberatkan dalam mekanisme pembayarannya. Paper ini bertujuan untuk menganalisis sistem pembiayaan yang dibangun dalam jaringan rantai pasok di salah satu sentra produksi paprika, yaitu di Desa Pasirlangu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Hasil kajian menunjukkan bahwa, dengan adanya kemitraan antara kelompok tani/koperasi dengan eksportir, terbuka peluang bagi petani untuk mendapatkan pinjaman dari Bank melalui jaminan dari eksportir, dengan sistem pembayaran yang diatur oleh eksportir agar sesuai dengan karakteristik usaha tani paprika. Pada sistem tersebut juga terlibat perguruan tinggi yang berperan sebagai fasilitator.
Kata Kunci: sistem pembiayaan, teknologi greenhouse paprika, sistem rantai pasok, kemitraan.
200
PENERAPAN TEKNO LO G I UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING PETANI SAYURAN DALAM MEMENUHI PERMINTAAN PASAR EKSPOR TomyPerdana1),JajangSauman2),danEliana Wuladari1) 1)Dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
2)Dosen Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Email:
[email protected] ABSTRAK Pelaku usaha kecil agribisnis sayuran dituntut untuk mampu memenuhi permintaan pasar ekspor dalam aspek kualitas, kuantitas, kesinambungan, keamanan pangan serta harga yang bersaing. Pelaku usaha kecil agribisnis sayuran tersebut harus meningkatkan kapasitas teknologi, manajerial dan kelembagaan secara terpadu. Program penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pengembangan ekspor sayuran. Universitas Padjadjaran menekankan pada pengembangan teknologi rumah semai dan budidaya terlindung menggunakan green house di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Bandung. Penerapan teknologi tersebut disertai dengan pendampingan akses pasar ekspor dengan berbasis kontrak serta akses pada pembiayaan. Pada tahun pertama program tersebut, penerapan teknologi dan pendampingan akses pasar mampu meningkatkan daya saing pelaku usaha kecil berupa efisiensi biaya produksi komoditas sayuran yang sesuai dengan pasar ekspor, yakni cabai merah dan brokoli. Selain itu, konsistensi akan kuantitas dan kualitas menjadi terjaga karena adanya sistem kolektif yang diterapkan oleh petani. Pada tahun kedua, program penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pengembangan ekspor sayuran difokuskan pada pengembangan rotasi tanaman sayuran dengan tujuan pasar ekspor dan pasar terstruktur lainnya, seperti ritel modern dan jasa pangan. Implementasi program tersebut telah menarik perhatian pemangku kepentingan lain untuk terlibat sesuai dengan kapasitas inovasi dan pengetahuan yang dimiliki. Artikel ini membahas penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut dengan menggunakan pendekatan berpikir sistem. Kata kunci: penerapan teknologi, agribisnis, d ay a s a i ng, ekspor,system t hinking
201
POTENSI INOVASI INDUSTRI KECIL DALAM PARADIGMA PEMBANGUNAN INKLUSIF DI INDONESIA
Indri Juwita Asmara, Nani Grace Berliana, Lutfah Ariana, Rizka Rahmaida Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
[email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Pembangunan inklusif merupakan pembangunan yang diprioritaskan untuk mengentaskan kemiskinan dan mendorong semua kelompok masyarakat untuk berkontribusi dalam menciptakan peluang, manfaat dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Industri kecil merupakan salah satu kelompok sasaran dalam prioritas pembangunan inklusif, utamanya dalam penciptaan inovasi. Tulisan ini bertujuan untuk memetakan potensi inovasi industri kecil di Indonesia. Potensi inovasi direpresentasikan dengan beberapa indikator yaitu: sumber informasi yang diperoleh industri, aktivitas inovasi, dan kerja sama industri dengan pihak penyedia ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Potensi inovasi industri kecil di Indonesia secara statistik masih belum teridentifikasi dengan baik. Oleh karena itu tulisan ini berupaya untuk memberikan gambaran awal tentang kegiatan inovasi di industri kecil. Data yang digunakan sebagai basis analisis merupakan hasil survei inovasi Industri manufaktur di Indonesia yang dilakukan pada tahun 2011. Dari sebanyak 1.375 responden teridentifikasi 556 responden yang merupakan industri kecil. Sebanyak 350 industri kecil menyatakan melakukan kegiatan inovasi baik inovasi teknologi maupun inovasi non teknologi. Dengan menggunakan analisis deskriptif diketahui bahwa industri kecil melakukan aktivitas inovasi yang cukup beragam mulai dari: akuisisi pengetahuan, pelatihan SDM, dan memiliki kegiatan litbang intramural. Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa industri memiliki potensi dalam pembangunan inklusif.
Kata kunci: industri kecil, pembangunan inklusif, inovasi
202
Forum Pengembangan Iptek dan Inovasi 2013 “Mengurai Stagnasi Inovasi Berbasis Litbang di Indonesia”
SUSUNAN ACARA
08.00 - 09.00 Registrasi dan Coffee Break 09.0 – 09.30 Pembukaan 1. Sambutan oleh Kepala PAPPIPTEK-LIPI 2. Pembukaan acara Forum Tahunan IPTEKIN Nasional ke-3 tahun 2013 oleh Kepala LIPI 09.30 – 12.00 Keynote Speech Topik : Debottlenecking of research and development based innovation Pembicara: 1. Prof. Rhenald Kasali, Ph.D. 2. Dr. Tanri Abeng, MBA. 3. Dr. Ir. Dwi Soetjipto, MM (Dirut PT. Semen Indonesia) 12.0 – 13.00 ISHOMA 13.00 – 14.30 Talk show Narasumber: 1. 2. 3. 4. 5.
Prof. Dr. Ir. H. Gusti Muhammad Hatta, MS. (MENRISTEK) Prof. Lukman Hakim M.Sc, Ph.D, Apt. (Kepala LIPI) Dr. Ninok Leksono (UMN/Kompas Gramedia Group) Bapak Irwan Hidayat (PT. Sidomuncul Tbk.) Ir. Satriyo Dharmanto, M.Si (PT. Multikom)
Moderator: Prof. Dr. Eko Indrajit 14.30 – 15.30 Penganugerahan LIPI Science-Based Industrial Innovation Award Sambutan: Prof. Dr. Ir. H. Gusti Muhammad Hatta, MS. 15.40 – 17.50 Sesi presentasi Presentasi oleh peneliti, akademisi dan praktisi industri dan pemerintah 17.50 - 18.00 Penutupan
203
Jadwal Presentasi Peserta Pemakalah Forum Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional 2013 The Sultan Hotel, Jakarta, 10 Oktober 2013 RUANG : ASEAN ROOM 2 (Sub Tema 1, 2, 3) PUKUL 15.45-17.50 Sub Tema 1: SDM: Kreativitas, Kepemimpinan dan Technopreneurship No
Waktu
Nama
Judul Makalah
1
15.45-15.52
Mahmudi
2
15.52-15.59
Arwanto A. dan Kuncoro Budy Prayitno
3
15.59-16.06
Lia Yuldinawati
4
16.06-16.16 16.16-16.23
Md Santo
5
16.23-16.30
Bonnie S. dan Adhicipta R.W.
6
16.30-16.37
M. Zaed Yuliadi
16.37-16.47
Study of research product management on research institutes for supporting entrepreneurship Teknometer – pengukuran tingkat kesiapan teknologi: suatu upaya mengurai stagnasi inovasi di lembaga litbang dan perkuatan hubungan pemasok dan pengguna Business model generation pada bisnis casing smartphone sebagai strategi pengembangan inovasi produk technopreneurship (Studi Kasus Batik Geek) DISKUSI Bagaimana Knowledge Management bersama Fisika membangun nature knowledge theory sebagai sains dasar baru Decoding Ramayana, pencerahan bisnis abad baru sebagai solusi alternatif atas hegemoni modernisme: sebuah dialog imajiner untuk pelaku bisnis start up company APLIKASI WELDCARE di PT PAL INDONESIA (PERSERO) DISKUSI
Instansi PDII LIPI
BPPT
Institut Manajemen Telkom
Mobee Knowledge Service, CK4BC, SBM-ITB Universitas Airlangga
PT. PAL Indonesia (Persero)
Sub Tema 2: Manajemen Intermediasi Inovasi No
Waktu
Nama
1
16.47-16.54
Syahrul A. dkk
2
16.54-17.01
Indri Juwita dkk
3
17.01-17.08
A. Djoko Wiyono
17.08-17.18
Judul Makalah Skenario Anggaran Iptek dalam Mendukung MP3EI di 6 koridor Potensi Inovasi Industri Kecil dalam Paradigma Pembangunan Inklusif di Indonesia Kebijakan fiskal sebagai pemicu inovasi di industri manufaktur berbasis logam DISKUSI
Instansi Ristek dan UI Pappiptek LIPI PT Bumi Cahaya Unggul
Sub Tema 3: Sistem Insentif dan Inovasi Berbasis Litbang No
Waktu
Nama
1
17.18-17.25
Dini O. dkk
2
17.25-17.32
Syahrul A. dan Didik N.
3
17.32-17.39
Insannul Kamil
17.39-17.50
Judul Makalah Kaji Ulang Sistem Pendanaan Riset Pemerintah Untuk Mengurai Stagnasi Inovasi Di Bidang Kesehatan Strategik Marketing dalam perolehan HKI di lembaga litbang di Indonesia dalam mendukung pertumbuhan industri Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Kreatifitas dan Inovasi Terhadap Program Mahasiswa Wirausaha di Perguruan Tinggi (Studi Kasus Pada Mahasiswa FT-Unand) DISKUSI
204
Instansi Pappiptek LIPI Ristek
Universitas Andalas
RUANG : ASEAN ROOM 3 (Sub Tema 4 dan 5) PUKUL 15.45-17.50 Sub Tema 4: Pemanfaatan Inovasi Hasil Litbang No
Waktu
Nama
1
15.45-15.52
Ahmad Zafrullah
2
15.52-15.59
Wati Hermawati
3
15.59-16.06
Sri Rahayu
4
16.06-16.16 16.16-16.23
Tomy Perdana dkk
5
16.23-16.30
Ratu Safitri dkk
6
16.30-16.37
Hartiningsih dan Wati H.
16.37-16.47
Judul Makalah
Instansi
Pemanfaatan inovasi hasil litbang (Studi kasus pabrik gula di Indonesia dalam tinjauan ekonomi) Peran biomassa dalam memenuhi kebutuhan energi di tingkat rumah tangga, Kasus: Inovasi Biomassa “Waste to Energy” The Quadruple Helix Model (Universities, Academic, Entreprises, the Government,and Community) Sebagai Model Ideal untuk Sistem Inovasi Lokal Efektif terkait Penanggulanan Kemiskinan Di Negara Berkembang DISKUSI Penerapan iptek untuk meningkatkan daya saing petani sayuran dalam memenuhi permintaan pasar ekspor Biodegradasi limbah tandan kosong kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq.) oleh jamu lignoselulotik Tantangan Keberlanjutan Difusi dan Adopsi Tungku Sehat Hemat Energi (TSHE): Studi Kasus Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta DISKUSI
UBAYA Pappiptek LIPI
Pappiptek LIPI
UNPAD
UNPAD Pappiptek LIPI
Sub Tema 5: Hambatan-hambatan Inovasi Berbasis Litbang di Industri No
Waktu
Nama
1
16.47-16.54
Djajusman Hadi
2
16.54-17.01
Kusnandar dkk
3
17.01-17.08
Kusnandar dan Tomy Perdana
4
17.08-17.18 17.18-17.25
Karlina Sari
5
17.25-17.32
Ikbal Maulana
6
17.32-17.39
Raden Arum Setia Priadi
7
17.39-17.45
Anugerah Yuka A.
17.45 – 17.50
Judul Makalah
Instansi
Inovasi teknologi kincir air Kaki Angsa sebagai pembangkit energi alternatif pedesaan Bagaimana Kolaborasi Riset Internasional dapat Mengarah Pada Inovasi di Indonesia? Studi Kasus di Sektor Kesehatan Sistem Pembiayaan pada Manajemen Rantai Pasok Produk Hortikultura Bernilai Tinggi: studi kasus pada sistem pembiayaan rantai pasok paprika di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat DISKUSI Kebangkitan Kembali Industri Pesawat Nasional: Perjalanan PT. Dirgantara indonesia
Universitas Negeri Malang Pappiptek LIPI
Tantangan dalam Berinovasi yang dihadapi industri jamu Rancangan Usaha Mengurai Stagnasi Inovasi Di Perguruan Tinggi Yang “Kabarnya” Punya Tri Dharma Dengan Dharma Pertama Yaitu Penelitian (Pengembangan) Budaya Inovasi Sebagai Elemen Utama Pembentuk Sistem Inovasi Daerah: Kasus Provinsi Nusa Tenggara Barat Dan Kalimantan Selatan DISKUSI
Pappiptek LIPI
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan IPTEKIN Nasional 2013
Pappiptek LIPI
Pappiptek LIPI
Universitas Lampung
Pappiptek LIPI
Hal. 205