Jurnal DIALOG Kebijakan Publik ISSN : 1979 - 3499
>> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Perangkap Kemiskinan Dan Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin Kemiskinan, Pendidikan dan Pengangguran di Indonesia Alternatif Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi bagi Keberdayaan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan Kondisi Masyarakat Miskin di Indonesia
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia Departemen Komunikasi Dan Informatika
2008
i >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
Jurnal “DIALOG” Kebijakan Publik
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Tim Redaksi
Pengarah : Penanggungjawab : Pemimpin Umum : Pemimpin Redaksi : Redaktur Pelaksana : Anggota Dewan Redaksi : Koordinator Tenaga Ahli : - Anggota : Sekretaris Redaksi : Sekretariat : Desain Grafis :
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Menteri Komunikasi dan Informatika Kepala Badan Informasi Publik Prof. Dr. Musa Asy’arie Drs. Bambang Wiswalujo, MPA Drs. M. Abduh Sandiah 1. Drs. Supomo, MM 2. Drs. Ismail Cawidu, M.Si 3. H. Agussalim Husein, SE 4. Drs. Syofyan Tanjung, M.Si 5. Dra. Fauziah Dr. Sugeng Bayu Wahyono 1. Lambang Trijono, MA 2. Hairus Salim, M. Hum 3. Murti Kusuma Wirasti, M.Si Hafida Riana, SH. M.Si 1. Sigit Gunwan, BA 2. Hasnelita 3. Lucy Tri Amintasari Farida Dewi Maharani
iii >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
Daftar Isi
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 ISSN : 1979 - 3499
Salam Redaksi ......................................................................................................................................................................................................................... ...v Daftar Isi................................................................................................................................................................................................vi Kondisi Masyarakat Miskin di Indonesia ...................................................................................................................................1
a. b. c. d. e.
Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia: Kini dan Selanjutnya .....................................................1 Rekor penanggulangan Kemiskinan Pasca-Kemerdekaan Indonesia .................................................2 Jika Indonesia Telah Berhasil, Apa yang Salah Kini? ........................................................................2 Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia: Memindahkan Titik Fokus ............................................3 Pemetaan Kemiskinan: Sebuah Obsesi dengan Rincian .....................................................................4
Kemiskinan, Pendidikan dan Pengangguran di Indonesia ...................................................................................................7
a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Titik Simpul Kemiskinan ....................................................................................................................8 Demografi Kemiskinan .......................................................................................................................9 Sejumlah Fakta tentang Pendidikan (Dasar) di Indonesia Hari Ini . ................................................11 Problem Pemerataan Akses . .............................................................................................................13 Problem Pemerataan Mutu . ..............................................................................................................15 Menemukan Penjelas Eksternal ........................................................................................................20 Kemiskinan, Pendidikan dan Pengangguran Terdidik ......................................................................20 Pendidikan sebagai Driving Force Transformasi Sosial ...................................................................21 Fakta Pengangguran Terdidik: Cermin Lemahnya Driving Force . ..................................................24
Perangkap Kemiskinan Dan Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin ..................................................................... 26
a. b. c. d. e.
Efektivitas BLT .................................................................................................................................26 Perangkap Kemiskinan .....................................................................................................................28 Mekanisme Survival Keluarga Miskin .............................................................................................31 Upaya Penanggulangan Kemiskinan ................................................................................................32 Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin . ......................................................................................33
Alternatif Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi bagi Keberdayaan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan ......................................................................................................................................................................................... 37
a. Inisiatif dan Proyek TIK oleh Pemerintah, Sektor Swasta dan Masyarakat Sipil ............................39 b. Pemberdayaan Rakyat, Informasi dan Komunikasi . ........................................................................42
Laporan Studi Lapangan: Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam Pandangan Masyarakat Oleh Tim Redaksi
a. b. c. d. e. f.
<< iv
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan ..........................................................................................46 Pelaksanaan Bantuan Kompensasi BBM . ........................................................................................48 Akurasi Data RTS .............................................................................................................................49 Makna BLT bagi Orang Miskin ........................................................................................................50 Bantuan Operasional Sekolah ...........................................................................................................51 Pandangan Masyarakat terhadap Kebijakan Kompensasi BBM ......................................................52
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
Menyoal Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Kemiskinan sudah sejak lama menjadi masalah bangsa Indonesia, dan hingga sekarang masih belum menunjukkan tanda-tanda menghilang. Angka statistik terus saja memberikan informasi masih banyaknya jumlah penduduk miskin, yaitu sekitar 18 persen atau lebih-kurang 30 juta jiwa berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah itu tentu saja bersifat dinamis, dalam arti masih sangat mungkin akan terjadi peningkatan mengingat kondisi perekonomian nasional masih belum stabil. Harus diakui, pemerintah mempunyai perhatian besar terhadap masalah ini terbukti telah menjalankan berbagai program penanggulangan kemiskinan. Karena itu bukan berarti berprasangka buruk terhadap pemerintah, jika kita berbicara mengenai masalah kemiskinan. Terlepas dari soal setuju atau tidak, kita tidak bisa memungkiri bahwa masalah kemiskinan memang ada di sekitar kita. Tiap bencana alam yang terjadi, senantiasa membuka tabir masih adanya kemiskinan di kampungkampung perkotaan maupun desa-desa yang terkena bencana. Taraf hidup di bawah garis kemiskinan, kondisi gizi yang rendah, pendidikan yang serba memprihatinkan, perikehidupan yang dilingkari kemelaratan, sering mewarnai daerah-daerah yang terkena bencana. Dalam dinamika pemba
ngunan, memang pada satu sisi telah mampu m e n i n g k a t k a n pendapatan sebagian penduduk, tetapi bersamaan dengan itu juga terdapat penduduk miskin yang absolut. Ini berarti menjadi indikator bahwa pendapatan nasional masih belum terdistribusi secara merata. Menurut Bank Dunia, proporsi pembagian pendapatan nasional di negara-negara berkembang senantiasa menunjukan ketidakberimbangan antara yang terbagi pada warga miskin yang jumlahnya banyak dengan yang terbagi pada penduduk kaya. Komposisinya adalah: 40 persen rakyat dengan pendapatan terendah memperoleh hanya 15 persen dari pendapatan nasional; 40 persen dengan pendapatan di atasnya, memperoleh 32 persen dari pendapatan nasional; dan 20 persen dari golongan pendapatan tertinggi memperoleh 53 persen dari pendapatan nasional. Hal itu membuktikan suatu pendapat bahwa bukan rate dari growth yang merupakan faktor penentu bagi pemerataan dan dengan demikian pula bagi masalah kemiskinan, namun pattern dari growth-lah yang relevan. Dengan kata lain, bukan kecepatan pertumbuhan yang menentukan peme rataan, melainkan pola pertumbuhannya. Memacu pertumbuhan ekonomi, tetapi tanpa dibarengi dengan upaya menciptakan struktur sosial yang
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
egaliter, hanya akan menampilkan fakta kesenjangan sosial yang kian melebar. Secara populer, sering terdengar ungkapan dalam pergaulan sosial: ”yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.” Dalam studi akademik, penyebab kemiskinan meliputi tiga unsur: kemiskinan yang disebabkan oleh hambatan badaniah atau mental seseorang; kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam; dan kemiskinan buatan. Yang terakhir ini sering dikenal sebagai kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh manusia, dari manusia, dan terhadap manusia pula. Artinya, kemiskinan yang timbul oleh dan dari struktur-struktur buatan manusia, baik struktur ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Kemiskinan buat an itu timbul dan dimantapkan oleh berkembangnya sikap nrimo, sebagai nasib, dan sikap neglect, atau sikap tidak menghiraukan, menganggap enteng dan tidak penting. Sikap nrimo memandang kemiskinan sebagai nasib, bahkan sebagai takdir Tuhan, sehingga menimbulkan struktur ekonomi, politik, sosial,
v >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
yang oleh Oscar Lewis menggambarkan suatu kebudayaan kemiskinan. Kemiskinan yang membudaya itu menurut Lewis disebabkan oleh perubahan sosial secara fundamental seperti transisi dari feodalisme ke kapitalisme, perubahan teknologi yang cepat, kolonialisme, detribalisme, dan sebagainya. Dalam edisi kali ini, akan kita turunkan tulisan yang mengidentifikasi berbagai masalah kemiskinan dan mencoba mengupas dari ber bagai perspektif. Dimulai dari tulisan Fredy Tulung yang memilih kebijakan pemerintah dalam upaya menanggulangi kemiskinan sebagai fokus perhatiannya, dengan melihatnya dari perspektif ekonomi politik. Menurut Fredy Pemerintah Indonesia mampu menurunkan persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Namun masih begitu banyak keprihatinan maupun kerancuan tentang penanggulangan kemiskinan saat ini. Arah kebijakan penang gulangan kemiskinan di Indonesia banyak dipengaruhi politik pemerintah mayoritas dan masyarakat donor. Akan tetapi hasilnya masih belum maksimal. Salah satu penyebabnya adalah bahwa Konsekuensi strategi penanggulangan kemiskinan yang ada saat ini adalah tidak fokus dan mempersamar substansi penanggulangan kemiskinan sehingga kurang membawa hasil. Rekomendasi yang diberikan untuk Menkominfo ke depan diharapkan mampu memproyeksikan ancaman kesenjangan yang makin besar. Sedangkan Agus Suwig nya melihat masalah kemiskinan dalam kaitannya dengan pendidikan di Indonesia. Mes
<< vi
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 ki ia tidak melihat bahwa penyebab kemiskinan bukan saja dari faktor tingkat pendidikan, akan tetapi diakuinya bahwa interelasi kemiskinan dan pendidikan sangat penting dikaji secara mendalam. Sejauh diletakkan hanya dalam koridor linear (dengan mengabaikan peran variabel-variabel lain seperti budaya), di sana tercermin masalah saling-keterkaitan pada konteks yang lebih besar, yakni hubungan timbal-balik antara pendidikan dan masyarakat. Dalam konteks hubungan pendidikan dan masyarakat itu, interrelasi persoalan kemiskinan dan pendidikan dapat membuka tabir posisi ganda pendidikan, yakni sebagai driving force atau daya penggebrak transformasi masyarakat, dan sebagai objek politik kekuasaan. Ketika pendidikan tidak mendorong mobilitas sosial dan kadang-kadang justru menjadi bagian dari proses pemiskinan, maka sedang terjadi persoalan pada fungsi pendidikan sebagai driving force transformasi sosial masyarakat. Di sisi lain, ketika pendidikan menjadi semakin mahal sehingga warga miskin tidak dapat bersekolah, atau ketika banyak gedung sekolah ambruk, kurikulum sarat beban dan mutu guru rendah, maka fakta bahwa pendidikan merupakan objek politik kekuasaan sedang mengemuka. Atas kompleksitas masalah kemiskinan dalam kaitannya dengan pendidikan, Agus menawarkan dua usulan. Pertama, upaya memperbaiki pendidikan (khususnya pendidikan dasar) di Indonesia kiranya perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip pokok yang melandasi terbentuknya sistem pendidikan nasional. Ketiga prinsip dasar tersebut adalah peme rataan, kemandirian dan integrasi. Kemandirian dan integrasi terkait erat dengan perkembangan masyarakat. Tentang pemerataan dapat dikatakan berdasarkan uraian bagian-bagian sebelumnya bahwa wilayah Jawa dan luar Jawa memiliki prioritas pemba ngunan pendidikan yang berbeda. Di Jawa, problem pemerataan akses ter
kendala oleh jumlah penduduk yang sangat besar dan terus bertambah setiap tahun. Di luar Jawa, terutama wilayah Papua, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku, masalah pemerataan akses terkendala oleh timpangnya persebaran infrastruktur dan fasilitas pendidikan dan sarana publik, misalnya sarana transportasi. Diperlukan strategi dan pendekatan pembangunan yang dapat mengatasi kendala di masing-masing wilayah agar akses pendidikan semakin merata. Kedua, upaya mengolah potensi pendidikan sebagai driving force transformasi sosial—sebagai daya gebrak memutus rantai kemiskinan struktural—perlu ditempuh dengan menguatkan kembali aspek nondidaktis dari proses pembelajaran di sekolah. Dalam teori pedagogi klasik, aspek non-didaktis itu disebut disci plinae, yaitu disposisi sikap atas kepemilikan ilmu pengetahuan (scientia). Dibahasakan sederhana, usulan saya ini sama sekali bukan ide baru. Proses pendidikan sebaiknya tidak menitikberatkan pada pemerolehan ilmu pengetahuan, tetapi pemerolehan cara-cara dan sikap untuk memeroleh ilmu pengetahuan. Gampangnya, merujuk misi pendidikan global abad ke-21 yang digariskan UNESCO, proses pendidikan perlu diarahkan pada tiga prinsip: learning to learn, learning to do, learning to live to gether. Hanya dengan demikian daya gebrak pendidikan dapat dihidupkan untuk memutus rantai struktur-struktur sosial dan ketidakadilan yang masih membelenggu sebagian (besar) warga bangsa kita hingga hari ini. Sementara itu, Bagong Suyanto mengupas masalah kemiskinan dari pespektif sosial-ekonomi, dengan memanfaatkan isu kenaikan harga BBM sebagai titik masuk. Ia mengusulkan agar program-program penanggulangan kemiskinan mengacu pada kegagalan masa lalu. Dengan mengutip Izzedin Bakhit (2001), Bagong mene gaskan bahwa saat ini yang dibutuhkan adalah program-program penanggulangan kemiskinan yang dapat
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 memberikan hasil yang nya ta, tak pelak yang diusahakan adalah bagaimana mengontrol sebab-sebab dan menggempur akar-akar kemiskinan hingga tuntas (attacking the roots of poverty). Pengalaman masa lalu telah banyak mengajarkan, bahwa program-program penang gulangan kemiskinan yang dilakukan hanya berdasarkan pertimbangan logika produksi atau sekadar mengejar peningkatan omzet produksi, terlebih program yang sifatnya karitatif semata bukan saja menyebabkan terjadinya overstock dan berhadapan dengan keterbatasan pangsa pasar. Tetapi, juga melahirkan proses marginalisasi dan ketergantungan penduduk miskin yang makin menyolok mata. Studi yang dilakukan Bagong sendiri yang dilakukan pada tahun 2005 menemukan simpulan bahwa berbagai program penanggulangan kemiskinan yang digulirkan --terutama dalam bentuk pemberian subsidi yang karitatif dan bantuan modal usaha atau pembinaan usaha produktif keluarga miskin-- seringkali masih terkonsentrasi pada rekayasa yang sifatnya teknis produksi dan cenderung hanya berorientasi kuantitas, sehingga dalam ba nyak hal lebih menguntungkan kelompok masyarakat yang memiliki modal dan asset produksi yang berlebih. Kebijakan pembangunan dan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dikembangkan diakui atau tidak masih seringkali kurang memperhatikan karakteristik dan konteks lokal masyarakat miskin, sehingga jangan heran jika yang terjadi kemudian adalah paket-paket kebijakan dan program yang bersifat
meritokratis. Bisa dibayangkan, apa yang terjadi jika pemerintah mengucurkan sejumlah dana kepada masya rakat miskin tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan struktur sosial masyarakat lokal yang terpolarisasi atau paling-tidak terstratifikasi atas dasar berbagai demensi? Ke depan, untuk mencegah agak tidak lagi terperosok pada kekeliruan yang serupa, dan upaya penyelamatan serta pemberdayaan masyarakat miskin benar-benar dapat berjalan efektif, maka yang dibutuhkan bukan sekadar kesediaan untuk melakukan introspeksi, tetapi juga revitalisasi program pemberdayaan masyarakat miskin yang benar-benar berpihak kepada lapisan yang paling miskin —khususnya para pelaku ekonomi kerakyatan. Ada beberapa langkah yang diusulkan Bagong dalam upaya menanggulangi masalah kemiskinan sebagaimana dapat disimak dalam tulisannya di edisi kali ini. Sedangkan tulisan Imam Prakoso mencoba mengulas kemiskinan berkaitan dengan isu aktual yaitu tentang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) .Salah satu isu utama dalam TIK yang juga punya relevansi kuat dengan isu kemiskinan adalah kesenjangan digital (digital divide). Kesenjangan digital diyakini merupakan kesenjangan dalam hal
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
akses kepada TIK, baik pada soal teknologinya, infrastruktur komunikasi, maupun informasinya itu sen diri. Kesenjangan ini dapat diidentifikasi terjadi pada skala global, region, sub-region, antar wilayah dalam negara, dalam konteks satu wilayah tertentu dengan wilayah lainnya atau bahkan dalam rumah tangga sekalipun. Dampak dari kesenjangan digi tal ini membuat kesenjangan antara wilayah satu dengan lainnya semakin lebar jurang yang terjadi. Tanggapan atas kesenjangan digital ini beragam. Salah satu pandangan mengenai kesenjangan ini meresponnya melalui pengembang an TIK ke wilayah-wilayah yang selama ini dianggap kurang berkembang (less developed) yang diharapkan dapat mengurangi kesenjangan tersebut. Pandangan lain merespon sedikit berhati-hati dalam memberikan tanggapan, karena TIK dianggap sebagai alat kaum kapitalis untuk melakukan penetrasi global. Namun pandangan lain yang lebih berada di antaranya mengatakan TIK akan dapat mengurangi kemiskinan dan tidak menjadi alat kekuatan global dalam melakukan penetrasi pada negaranegara berkembang asalkan didukung dengan kebijakan yang tepat dan pendekatan yang holistik dan bersifat cross cutting.
vii >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
Melalui tulisannya Imam menyatakan bahwa ia tidak bermaksud memberikan penilaian baik atau buruknya sebuah proses penyediaan sarana TIK untuk kepentingan rakyat, namun lebih untuk memperlihatkan berbagai alternatif pendekatan yang bisa jadi sesuai di satu tempat, namun belum tentu sesuai dengan tempat yang lain. Pada skala makro, kesenjangan digital yang dibahas di awal tulisan ini dapat terfasilitasi dengan inisiatif-inisiatif yang telah dijelaskan dalam tulisan ini. Namun pemenuhan kebutuhan TIK untuk mengatasi kesenjangan digital saja tak cukup. Karena jika yang terjadi hanya demikian, maka tak ubahnya pendekatan yang digunakan menjadi sangat technology driven. Pelajaran pertama yang harus digarisbawahi – seperti juga yang disimpulkan dalam tulisan Anita Kelles-Viitanen adalah TIK tidak pernah menawarkan solusi, namun lebih menawarkan alat dan aplikasi. Alat dan aplikasi yang dapat mendorong terjadinya perubahan dalam indikatorindikator perkembangan sosial ekonomi pada umumnya. Alat dan aplikasi TIK dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang lebih mendorong terjadinya pemerataan karena terdistribusinya informasi kepada kelompok-kelompok miskin. Juga misalnya, dengan alat dan aplikasi TIK informasi mengenai pembangunan infrastruktur, program kesehatan, kegiatan pendidikan dapat juga diakses oleh kelompok-kelompok miskin, sehingga bobot pembangunan sektoral tersebut menjadi proses pembangunan sosial ekonomi yang lebih meluas distribusinya. Pelajaran kedua dalam menerapkan perluasan pengembangan TIK bagi rakyat miskin dan kelompok marginal adalah pembangunan pranata sosial yang harus disiapkan terlebih dahulu agar akseptabilitas rakyat menjadi terbangun. Dalam kasus pengalaman radio komunitas diberbagai tempat, akseptabilitas terbangun karena memang rakyat telah lebih dahulu menerima keberadaan radio komunitas sebagai bagian dari alat perjuangan mereka sehari-hari. Memang jika kemudian kita semua mempertanyakan apa ukuran sebuah keberhasilan penyediaan TIK dalam upaya pengurangan kemiskinan, nampaknya belum ada alat ukur apapun yang dapat menjustifikasi keberhasilan ataupun kegagalan dari satu aktivitas penyediaan TIK, kecuali alat ukur yang bersifat jangka panjang (outcome), yakni akankah terjadi perubahan dalam ketidakadilan, distribusi ekonomi yang tidak merata, layanan publik yang tidak diskriminatif dan sebagainya. Begitulah, beberapa tulisan yang mencoba mengupas masalah kemiskinan dari berbagai perspektif. Bagaimana pun meski diakui bahwa persoalan kemiskinan bukanlah masalah yang mudah untuk dipecahkan, mengingat kompleksitas persoalannya dan tali-temalinya dengan masalah lain. Akan tetapi, melalui diskusi lewat tulisan secara kritis dan konstruktif sebagaimana disajikan dalam edisi kali ini diharapkan akan memberikan kontribusi bagi upaya mengurai benang kusut di seputar masalah kemiskinan di Indonesia.
Redaksi << viii
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
Kondisi Masyarakat Miskin di Indonesia Penulis: Freddy tulung
Program penanggulangan kemiskinan yang telah ada su dah tidak relevan lagi dengan berkembangnya demokrasi.
Sehingga Pemerintah per lu mengambil langkah stra tegis yang berbeda dan mem perbesar peran Menkominfo dalam menjalankan fungsi in termediasi dengan masyarakat terkait dengan isu kemiskinan.
Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia: Kini dan Selanjutnya
Catatan ini mendiskusikan paradoks yang muncul antara prioritas kebijakan bagi penanggulangan kemiskinan di Indonesia baik sebagaimana diamanatkan oleh kons titusi maupun kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah di satu sisi dan di sisi lain dengan berbagai kerancuan dan keterlambatan yang melingkupi rancangan maupun pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Tulisan ini beragumen bahwa sebenarnya sebagian besar program penanggulangan kemiskinan yang baru diluncurkan saat ini telah dilaksanakan pada zaman Orde Baru. Saat itu Indonesia dipuji secara luas telah berhasil mengurangi kemiskinan secara tajam sejak pertengahan 1970-an dan sesudahnya. Ada tiga faktor yang menjadikan kemiskinan sebuah masalah kebijakan yang rumit dewasa ini.
Pertama, perkembangan demokrasi yang merubah definisi apa yang dimaksud dengan kemiskinan. Hal ini mengakibatkan peningkatan secara tajam jumlah penerima bantuan pemerintah. Kedua, kebebasan pers dan lembaga swadaya masyarakat telah mencuatkan kepentingan kelompok mayoritas di bawah sorotan. Ketiga, berbagai perangkat kebijakan yang tersedia bagi pemerin tah untuk mengurangi kemiskinan dengan cepat, semakin berkurang. Ketiga, berbagai perangkat kebijakan yang tersedia bagi pemerintah untuk mengurangi kemiskinan dengan cepat, semakin berkurang. Ketiga faktor ini telah mendorong pemerintah membuat janji-janji ambisius kepada publik, pada saat keleluasaan mereka terhadap langkah-langkah kebijakannya menjadi semakin terbatas.
Siapakah Golongan Miskin? Berbagai indikator dasar dan penentu definisi kemiskinan dengan mudah dapat diketahui tanpa survei sosial dan tabel-tabel statistik. Seorang disebut miskin jika ia tidak mampu makan dua kali sehari, tidak memiliki akses terhadap sandang dan papan, tidak mampu mengupayakan layanan kesehatan bagi keluarga mereka, dan di dunia modern mereka tidak bisa mengakses pendidikan bagi anakanak mereka. Kemiskinan membawa sebuah stigma sosial, karena
hal-hal diatas yang mengeluarkan si miskin dari partisipasi efektif dalam kehidupan sosial. Segalanya menjadikan si miskin tetap berada di bawah piramida sosial yang seringkali diwariskan secara lintas generasi.
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Apa yang Dapat Dilakukan Pemerintah? Ada beberapa langkah penanggulangan kemiskinan juga telah lama dikenal yaitu: penurunan harga makanan menjadi lebih murah; kepastian lapangan pekerjaan dan
1 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 terjaganya keselamatan diri; kedamaian dan keamanan dalam bekerja tanpa gangguan pemogokan sipil atau perang; pengendalian epidemi dan penyakit menular; sistem pengamanan sosial; dan kebebasan untuk berpindah ke bidang pekerjaan lain. Apabila pengaturan kelembagaan sosial dan hak kepemilikan menciptakan kendala untuk memasukkan upaya-upaya tersebut ke dalam penanggulangan kemiskinan, maka biasanya strategi anti-kemiskinan juga akan mencakup sebuah program reformasi kelembagaan, seperti: penghapusan buruh anak/ miskin atau serfdom, redistribusi tanah, diskriminasi positif dalam pekerjaan bagi kelompok minoritas, sistem pendidikan yang terbuka dan kompetitif, dan seterusnya.
Rekor penanggulangan Kemiskinan Pasca-Kemerdekaan Indonesia
Para pembuat kebijakan pascakemerdekaan di Indonesia telah lama menyadari isu-isu terkait di atas dalam merancang kebijakan anti-kemiskinan. Undang-Undang Dasar 1945 beserta amandemennya mengakui hak-hak dasar warga negara termasuk pendidikan dasar dan pekerjaan dengan upah layak. Terlebih lagi, setiap warga negara memiliki hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif dan diperlakukan adil (Pasal 28C, 28H, dan 28I Amandemen IV UUD 1945, tahun 2002) Singkatnya, sejak kemerdekaan penanggulangan kemiskinan telah masuk ke dalam konstitusi maupun ke dalam agenda pemerintah. Oleh karena itu, sebenarnya apa yang dilakukan pemerintah saat ini bukan merupakan perubahan ke arah kebijakan yang baru, melainkan lebih sebagai “pergantian kemasan” dan reorientasi dari apa yang telah diupayakan dalam ber-
bagai cara sejak awal dekade 1970an, misal: dana INPRES, skema kredit pedesaan, proyek-proyek padat karya dan lain-lain. Hal ini juga tercermin dari persen tase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan berdasarkan ukuran tingkat konsumsi 2100 kalori per hari per orang. Pada tahun 1976, sekitar 40% dari jumlah penduduk berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah ini berkurang menjadi sekitar 11,3% pada masa awal krisis ekonomi. Dampak krisis moneter (krismon) menaikkan kembali secara tajam angka kemiskinan menjadi sekitar 23,4% dan secara bertahap kembali berkurang menjadi 16% pada tahun 2005. Namun, angka ini kembali melonjak menjadi 17,75% pada Septmber 2006 akibat kenaikan harga bahan bakar minyak dan beras, tetapi kembali menurun dalam tahun 2007 menjadi 16,6% dan diharapkan tahun 2008 ini mencapai 15,4%.
Jika Indonesia Telah Berhasil, Apa yang Salah Kini?
Catatan penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia merupakan salah satu yang paling mengesankan di negara-negara berkembang dan hanya dikalahkan oleh pertumbuhan ekonomi yang pesat seperti yang dialami Korea pada dekade 1970-an atau Cina pada saat ini. Jika memang demikian, mengapa masih begitu banyak keprihatinan maupun kerancuan tentang penanggulangan kemiskinan saat ini? Meng apa kemiskinan masih menjadi topik pembahasan dalam berbagai rapat
dan seminar antar departemen; sebuah bidang yang menjadi perhatian baik dari kalangan media; obyek pernyataan dan nota kebijakan lembaga donor kepada pemerintah pusat dan daerah. Kita bahkan mulai terbiasa pada jargon-jargon baru seperti “mainstreaming” (pengarusutamaan) kemiskinan atau slogan “selamatkan bangsa kita melalui MDG”. Jika catatan penanggulangan kemiskinan di Indonesia sedemikian baiknya, mengapa ada kritik yang ditujukan pada upaya-upaya peme
<< 2
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
rintah dalam penanggulangan kemiskinan? Jika kebijakan selama ini berhasil menempatkan Indonesia di jajaran negara-negara utama dalam penanggulangan kemiskinan, mengapa terdapat tekanan dan kritik terus menerus dari masyarakat donor terhadap langkah pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan? Untuk memahaminya kita perlu memahami beberapa perubahan besar yang terjadi baik di tingkat global maupun nasional pada tataran kebijakan nasional dan internasional, tekait penanggulangan kemiskinan.
Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia: Memindahkan Titik Fokus
Penelitian terhadap kemiskinan terkini mem buktikan bahwa perubahan definisi berdampak pada pen garahan sasaran ekspenditur public yang berbenturan den gan hak-hak universal yang diatur dalam MDG atau UUD 1945 Sehingga banyak pro gram masa lalu yang sudah tidak relevan lagi dengan isu globalisasi dan pencarian in vestasi saat ini.
Kemiskinan dan Politik Pemerin tahan Mayoritas Berkembangnya demokorasi telah membawa suara kelompok mayoritas ke permukaan. Sementara hampir 84% penduduk berada di atas garis kemiskinan, lebih dari separuhnya berada pada rentang sempit di atas nya. Kekhawatiran sehari-hari untuk bertahan dan tidak jatuh ke bawah garis kemiskinan absolut terus menghinggapi kehidupan sebagian besar keluarga Indonesia. Kebebasan pers dan menjamurnya lembaga swadaya masyarakat secara tajam, yang beberapa diantaranya didanai pihak asing, menyediakan sumber tekanan yang vokal kepada pemerintah agar mengangkat isu kemiskinan. Desentralisasi (otonomi daerah), yang merupakan salah satu yang pa ling dramatis di dunia, telah memun culkan kelompok-kelompok politik dan partai politik baru dalam politik Indonesia yang berupaya memenangkan dukungan mayoritas dalam berbagai arena pemilihan, baik pemilu maupun pilkada. Kemiskinan dan Masyarakat Do nor Lingkungan kebijakan internasional berubah dengan pesat. Bantuan pembangunan resmi (Official De velopment Assistance/ODA) secara berangsur-angsur berkurang karena akses pada pasar modal internasional,
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
kejenuhan bantuan dan catatan buruk bantuan-bantuan pembangunan yang disalurkan melalui lembaga keuangan internasional, seperti IMF, Bank Dunia, ADB dan lembaga-lembaga sejenisnya. Lembaga-lembaga ini sekarang berada di bawah kritik keras dari berbagai sumber yaitu, pemerintah negara-negara berkembang, NGO internasional, sebagian negara donor, dan media internasional. Ber bagai kritik ditambah kerasnya protes melawan globalisasi telah mendo rong lembaga-lembaga internasional untuk menjadikan penanggulangan kemiskinan, anti-korupsi dan tata laksana yang baik (good governance), sebagai agenda utama penelitian dan pembiayaan mereka. Penanggulangan Kemiskinan: Agenda Semua Pihak Dampak gabungan dari berbagai hal di atas adalah diletakkannya penanggulangan kemiskinan pada daftar prioritas kebijakan semua pihak. Tetapi jika demikian halnya, meng apa kemiskinan tidak berkurang pesat dibandingkan dengan masa lalu? Mengapa masih ada banyak kerancuan dan tumpang tindih dalam kebijakan dan program anti-kemiskinan? Di bawah ini adalah beberapa kemungkinan atas jawaban pertanyaan tersebut.
3 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
Pemetaan Kemiskinan: Sebuah Obsesi dengan Rincian
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 Mendefinisikan dan Memetakan Kemiskinan Sebuah hasil penting dari per ubahan domestik dan internasional dalam penanggulangan kemiskinan adalah adanya penyimpangan antara hasil penelitian dan penerjemahannya ke dalam kebijakan. Dukungan internasional terhadap penanggulangan kemiskinan telah mendorong bekembangnya berbagai penelitian baru, terutama mengenai identifikasi dan pemetaan kemiskinan, berdasarkan tingkat keparahan maupun persebaran geografisnya. Kita menjadi lebih tahu secara lebih terperinci di manakah kelompok miskin tinggal, dimana mereka bekerja, apa yang mereka dapatkan, apa yang mereka makan dan bagaimana mereka tidur, apa yang mereka pakai, ke mana mereka menyekolahkan anak-anak mereka dan seterusnya. Tetapi pengetahuan tentang hal ini sepertinya tidak memungkinkan kita untuk menghapuskan kemiskinan. Apakah Kemiskinan Menurun atau Meningkat: Semuanya tergantung pada Definisi Pertama, memetakan kemiskinan telah meningkatkan kemampuan kita untuk mengarahkan sasaran dalam kebutuhan publik. Namun pada saat yang sama, hal ini juga telah membawa perubahan definisi kemiskinan itu sendiri, dari sebuah konsep berdasarkan pendapatan bergeser kepada konsep berdasarkan ketidakmampuannya berpartisipasi dalam kehidupan sosial, merasa tidak dilindungi dan juga merasa tidak aman dari guncangan-guncangan dan sebagainya. Hasilnya adalah sekalipun pemahaman ciri kelompok miskin menjadi lebih baik, garis kemiskinan terus bergerak naik. Dengan definisi kemiskinan 2100 kalori, 16,6% dari jumlah penduduk Indonesia tahun 2008 berada di bawah garis kemiskinan. Jika kita menggunakan definisi lebih luas yaitu kerawanan terhadap kemiskinan (vulnerabil ity to proverty), yang berarti bahwa suatu rumah tangga akan didorong ke
<< 4
bawah garis kemiskinan bila terkena guncangan mendadak pada pendapatan atau kesehatan, jumlahnya akan naik menjadi di atas 40%. Maka, seberapa besar kemiskinan yang harus kita kurangi tergantung pada definisi yang kita gunakan. Pendefinisian ini jelas berdampak pada prioritas sasaran kebijakan publik dan pelayanan kepada golongan miskin. Proporsi dari penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dapat dijangkau tanpa mekanisme administratif berskala besar. Ketika 40% penduduk perlu dijadikan sa saran, dan kemiskinan harus diarusutamakan (mainstreamed), maka masalah administrasi, pendataan dan koordinasi menjadi sangat rumit. Jadi, sekalipun kemiskinan terus menurun jika tetap menggunakan definisi 2100 kalori, kemiskinan tampaknya akan masih terlihat meningkat jika patokan yang dipakai bergeser terus dalam rangka mencari definisi kemiskinan yang lebih komprehensif dan lebih sesuai dengan hak-hak universal dalam masyarakat demokratis. Batas ideal definisi kemiskinan, seperti kerawanan, atau sebagaimana dituangkan dalam MDG atau dalam UUD 1945 yang menggunakan pendekatan hak-hak universal terhadap penanggulangan kemiskinan, menjadikan pengarahan sasaran (targeting) tidak terlalu relevan. Sebagian besar penelitian tentang kemiskinan menambahkan data yang rinci tetapi sedikit sekali menambahkan pemahaman mengenai masalah dasarnya. Informasi rinci ini bahkan mungkin lebih cenderung membingungkan daripada memberikan kejelasan tentang apa yang harus dilakukan. Kebijakan Masa Lalu: Dapatkah Kesuksesan itu Diulang Jumlah mereka yang berada di bawah garis kemiskinan telah bertambah, sebagian karena terjadi redefinisi. Pada saat bersamaan, banyak metode penanggulangan kemiskinan yang berlaku pada masa lalu tidak dapat digunakan lagi di Indonesia saat
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 ini.
Ruang lingkup produksi padat karya lebih terbatas seiring dengan kenaikan upah riil dan berkembangnya negara-negara penghasil buruh berupah rendah seperti Cina, Vietnam, India, dan Bangladesh. Teknologi pertanian yang baru tidak dapat dirancang dan diperkenalkan tanpa faktor pendukung yang memiliki cakupan luas. Pendapatan dari sumber daya alam berupa minyak dan gas, yang membantu Indonesia pada dekade 1980an, kini semakin berkurang. Demikian pula halnya dengan pengendalian pemerintah pusat terhadap sumber-sumber daya alam. Pesatnya urbanisasi di Indonesia telah menciptakan kantung-kantung kemiskinan baru yang sulit diatasi sebab keberadaannya yang bersifat sementara, kerawanannya terhadap pengangguran dan guncangan harga, dan munculnya beragam jenis pekerjaan informal. • Kemiskinan erat kaitannya dengan kesenjang an. Apabila pendapatan secara relatif tersebar secara merata. Peningkatan PDB yang relatif kecil saja dapat menyebabkan berkurangnya persentase mereka yang dibawah garis kemiskinan. Data menunjukkan bahwa pengaruh globalisasi serta ketiadaan kebijakan yang dirancang untuk mengurangi kesenjangan (land reform, pajak langsung, peng awasan terhadap monopoli dan sebagainya), menyebabkan kesenjangan yang nampaknya akan tetap meningkat secara tajam. Dengan demikian, pertumbuhan PDB sebesar 1% hanya akan mengurangi kemiskinan lebih sedikit jika dibandingkan dengan apa yang
terjadi pada akhir dekade 1970-an dan 1980-an. Masalah globalisasi dan pencarian investasi asing juga mengurangi kebebasan pemerintah untuk menangani kesenjangan itu sebab adanya kompetisi dengan negara-negara tetangga untuk mendatangkan investasi sejenis. Di mata sebagian pihak, hal ini juga sangat membatasi kemampuan pemerintah untuk menjalankan defisit anggaran, termasuk ketika hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Konsentrasi akut pada kepemilikan aset, terutama di perkotaan dan sentra industri membatasi kebebasan politik pemerintah untuk mengatasi kesenjangan. Kesimpulan dari paparan diatas adalah bahwa sekalipun satu sisi pengetahuan terhadap kondisi rinci kemiskinan meningkat, perubahan definisi terus meningkatkan jumlah orang yang dinyatakan miskin. Lebih dari itu, kemampuan pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan terbatas karena ketidakmampuan menangani masalah kesenjangan, baik akibat globalisasi, demokratisasi maupun lobilobi domestik yang kuat. Hasilnya jelas mengecewakan. Di saat penanggulangan kemiskin an telah menjadi agenda kebijakan utama baik secara nasional maupun internasional, kemampuan kita untuk berhadapan secara efektif dengan berbagai aspek kuncinya semakin terbatas. Secara politik hal ini berbahaya. Demokrasi telah menaikkan harapan masyarakat terkait keinginan peme rintah untuk mengurangi kemiskinan. Namun hanya terdapat sedikit perangkat kebijakan yang dapat digunakan untuk mencapainya. Sebagian besar langkah-langkah yang berhasil pada masa lalu tidak dapat diterapkan lagi saat ini. Permainan Strategi Penang gulangan Kemiskinan: Siapa yang Menang? Apa saja konsekuensi akibat memperluas definisi dan memetakan kemiskinan secara terperinci dengan
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
semakin menyempitnya perangkat kebijakan yang akan disiapkan oleh pemerintah guna memerangi kemiskinan? Hal paling jelas adalah semakin banyaknya program dan lembaga yang terlibat dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Dengan tuntutan pengarusutamaan (mainstreaming) kemiskinan, tak ada sebuah lembaga pun yang tidak memasukkan penanggulangan kemiskinan sebagai programnya. Namun, tanpa dilengkapi perangkat kebijakan inti yang mengerucut untuk mengurangi dan mengawasi penanggulangan kemiskinan, hal ini justru menambah kerancuan. Lebih buruk lagi, ini membuat tugas koordinasi lintas departemen menjadi semakin sulit. Sebuah pendekatan penanggulangan kemiskinan yang menjadi agenda semua pihak mempersulit koordinasi dan mereduksinya menjadi sekedar pencatatan daftar kegiatan. Sementara itu, strategi penanggulangan kemiskinan, sebagaimana halnya banyak dikutip dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang, yang persiapannya melalui berbagai konsultasi formal yang panjang, hanya menambahkan sedikit pada apa yang telah diketahui tentang penanggulangan kemiskinan. Perangkat dokumen kebijakan ini tidak memberikan jawaban ketika pemerintah harus menghadapi pilihan-pilihan sulit terkait dengan stretegi pembangunan (termasuk defisit anggaran), distribusi pendapatan, investasi asing, jaminan pekerjaan dan kantung-kantung kemiskinan kota berakar yang kesemuanya ini diabaikan tanpa diskusi dan penyelesaian yang efektif. Arah ke Depan Situasi yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan adalah tidak mudah. Namun ada beberapa hal yang dapat dilakukan, yaitu: Pertama, menjaga harapan-harap an publik dalam penanggulangan
5 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
kemiskinan: prediksi-prediksi yang lebih membumi dan sahih, dengan memaparkan berbagai kesulitan kebijakan. Kedua, fokus pada ke bijakan-kebijakan yang telah mempunyai legitimasi dan telah berhasil pada masa lalu, yaitu: penurunan harga bahan pangan, program penyediaan lapangan kerja, program untuk kaum muda perkotaan, dan peningkatan akses kepada berbagai pelayanan dasar serta bertumpu pada pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Hal ini menjadikan koordinasi dan pengawasan menjadi lebih mudah serta memberi titik berat untuk kapasitas pemerintah yang terbatas. Ketiga, meninjau kembali kebijakan pengeluaran publik. Defisit anggaran yang kecil tidak menyebabkan krisis ekonomi. Sedikit kekurangan dalam menetapkan sasaran
<< 6
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 adalah lebih baik daripada penelitian tiada akhir yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam pelaksanaan di lapangan. Keempat, membuat proyeksi dan merancang berbagai program guna memerangi ancaman kesenjangan yang semakin besar. Semua hal diatas melibatkan berbagai pilihan kebijakan yang sulit. Berdasarkan berbagai pembelajaran, pemerintah telah memperkenalkan sebuah paket program yang menggabungkan sisi permintaan. PKH (Program Keluarga Harapan) yaitu program yang menyediakan tunjang an tunai bersyarat bagi golongan miskin, dan PNPM Mandiri (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri), yaitu upaya pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengawasan dan perancangan infrastruktur serta proyek-proyek pembangunan kapasitas yang membantu menghilangkan berbagai hambatan akses kelompok miskin atas pelayanan dasar. Hal ini tidak berbeda dengan paket
kebijakan masa Orde Baru yang telah dikenal dan teruji. Dengan program untuk mengurangi kesenjangan dan sebuah kebijakan fiskal yang lebih ekspansif demi meningkatkan kualitas pelayanan publik, secara keseluruhan, sebagaimana diarahkan dalam Laporan Pembangunan Manusia Nasional 2004, sebuah langkah Peme rintah nampaknya sudah mengarah pada pembelajaran yang terbaik dari Indonesia yang disesuaikan agar selaras dengan keadaan setempat. Pelajaran yang dapat diambil dari semua ini jelas. Ketika berbicara tentang kebijakan sosial, cara pelaksanaan yang terbaik adalah keman dirian dan partisipasi.
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
Kemiskinan, Pendidikan dan Pengangguran di Indonesia (Setelah 63 Tahun Proklamasi Kemerdekaan) Oleh: Agus Suwignyo Pedagog FIB UGM
Hingga 63 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, bangsa Indonesia masih dihantui persoalan rendahnya tingkat pendidikan, layanan kesehatan dan ketahanan pangan-sandang-papan. Ringkasnya, alih-alih menjadi sejahtera sebagaimana dicita-citakan para pendiri negara ini, banyak warga justru terlilit kemiskinan tak kunjung padam. Kemiskinan—secara simplistik dibatasi sebagai ketidakmampuan ekonomi— membawa dampak ikutan secara sosial, kultural dan politik. Kemiskinan ekonomi, sosial, kultural dan politik secara bersama-sama melahirkan satu kelas masyarakat, yaitu golongan masyarakat miskin yang terbelenggu serba ketidakmampuan aspek-aspek kehidupan secara saling terkait. Itulah kemiskinan struktural, yang hingga hari ini masih dialami banyak warga bangsa kita. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sungguh menantang: Apa penyebab kemiskinan struktural? Jika dikaitkan dengan pendidikan formal, apakah warga masyarakat menjadi miskin karena pendidikan mereka rendah, atau pendidikan warga masyara
kat rendah karena mereka miskin? Seperti apa pendidikan untuk kaum miskin sebaiknya dirancang? Seperti apa bentuk pendidikan yang tidak memiskinkan (melahirkan kemiskinan baru)? Seperti apa praksis pendidikan di Indonesia selama ini? Bukan tanpa alasan bahwa deretan pertanyaan tentang kemiskinan dan pendidikan relevan direfleksikan di sini saat ini. Tahun 2008 bangsa Indonesia merayakan hari-hari yang oleh Prof. Satjipto Rahardjo disebut “prasasti bangsa” (Kompas, 14/8/2008). Hari-hari “prasasti bangsa” itu adalah “100 Tahun Kebangkitan Nasional”, “80 Tahun Sumpah Pemuda”, “63 Tahun Proklamasi Kemerdekaan”, dan “10 Tahun Reformasi”. Namun pada tahun istimewa ini pula kita meng-
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
hadapi kenyataan bahwa, mengutip Siswono Yudho Husodo (Kompas, 18/8/2008), sekitar 34 juta (16%) penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan dan sekitar 10 juta (9%) penduduk usia kerja masih menganggur. Kita layak (dan harus) menelisik mengapa kemiskin an dan pengangguran tetap menjadi masalah serius hingga kini? Seberapa besar diskrepansi antara cita-cita kemerdekaan dan pewujudannya? Di sisi lain, refleksi tentang kemiskinan dan pendidikan penting dilakukan sebagai semacam pemantik diskusi tentang arah kebijakan pendidikan di tahun-tahun mendatang. Seperti kita ketahui, tanggal 13 Agustus 2008 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa UU No. 16 Ta-
7 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
hun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pada butir mata anggaran pendidikan. Dalam UU No. 16 Tahun 2008 anggaran pendidikan ditetapkan sebesar 15,6%, tidak sesuai ketentuan konstitusi “sekurang-kurangnya 20%”. Pemerintah merespons keputusan MK. Melalui nota keuangan dan RAPBN yang disampaikan dalam pidato tahun Presiden di DPR 15 Agustus 2008, pemerintah bertekad mengalokasikan 20% APBN 2009 untuk bidang pendidikan. Jika betul-betul diwujudkan, tentu saja tekad pemerintah tersebut membawa angin segar pembaruan pendidikan di Indonesia. Sekali lagi jika ketentuan 20% APBN 2009 benar-benar dialokasikan untuk bidang pendidikan, maka tahun depan dunia pendidikan Indonesia akan didukung dana
sekitar Rp 224 triliun. Sungguh monu mental dalam sejarah pendidikan Indonesia. Kendati demikian, harus segera disadari bahwa apa yang disampaikan Presiden baru sebatas komitmen yang pewujudannya masih perlu dibuktikan. Selain itu, ketika konkrit ada alokasi Rp 224 triliun, insan-insan pendidikan di Indonesia khususnya jajaran Departemen Pendidikan Nasional, akan dituntut menyiapkan program kerja yang implementasinya membutuhkan totalitas dan harus memerhatikan rambu-rambu akuntabilitas, transparansi dan efisiensi. Mau apa dengan dana sebesar itu? Singkatnya, terpenuhinya ketentuan anggaran pendidikan sebesar 20% APBN bukanlah akhir dari perjuangan kita meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Besaran anggaran barulah awal, dan pemanfaatannya harus memerhatikan kondisi dan kebutuhan riil di lapangan. Dan, salah satu kondisi riil di masyarakat kita saat ini adalah kemiskinan. Dengan harapan baru terkait kecukupan anggaran, perbaikan pendidikan di Indonesia harus merespons fakta-fakta memprihatinkan tentang
kemiskinan. Perbaikan pendidikan harus diprioritaskan untuk golongan masyarakat yang terlilit lingkaran kemiskinan struktural. Di sisi lain, perbaikan pendidikan harus pula diarahkan untuk memutus lingkaransetan kemiskinan rakyat sehingga memacu mobilitas sosial vertikal kaum marjinal. Mobilitas sosial vertikal itu antara lain terjadi melalui lapangan kerja yang membuka akses ke sumber-sumber informasi dan penghasilan ekonomi untuk hidup layak (atau lebih daripada layak). Dengan asumsi dari satu perspektif bahwa pendidikan membuka pintu mobilitas sosial dan bahwa keterserapan dalam lapangan pekerjaan (formal) merupakan jalan di balik pintu itu, maka pendidikan dan employ ability sumber-daya manusia terdidik merupakan aspek penting yang harus dilihat dalam kajian tentang kemiskinan. Dalam konteks relevansi butirbutir perkembangan terkini, tulisan ini mencoba mengulas inter-relasi kemiskinan, pendidikan dan keter serapan sumberdaya manusia terdidik dalam lapangan pekerjaan di Indonesia.
Titik Simpul Kemiskinan
Pastilah penyebab kemiskinan bukan hanya rendahnya tingkat pendidikan. Di sisi lain, rendahnya tingkat pendidikan juga bukan semata-mata karena kemiskinan. Ada beragam kemungkinan penyebab problemproblem dalam inter-relasi kemiskinan dan pendidikan. Meskipun demikian, inter-relasi kemiskinan dan pendidikan penting dikaji secara mendalam karena, sejauh diletakkan hanya dalam koridor linear (dengan mengabaikan peran variabel-variabel lain seperti budaya), di sana tercermin problem saling-keterkaitan pada konteks yang lebih besar, yakni hubungan timbal-balik antara pendidikan dan masyarakat. Dalam konteks hubungan pendidikan dan masyarakat itu, inter-
relasi persoalan kemiskinan dan pendidikan dapat membuka tabir posisi ganda pendidikan, yakni sebagai driving force atau daya penggebrak transformasi masyarakat, dan sebagai objek politik kekuasaan. Ketika pendidikan tidak mendorong mobilitas sosial dan kadang-kadang justru menjadi bagian dari proses pemiskinan, maka sedang terjadi persoalan pada fungsi pendidikan sebagai driv ing force transformasi sosial masya rakat. Di sisi lain, ketika pendidikan menjadi semakin mahal sehingga warga miskin tidak dapat bersekolah, atau ketika banyak gedung sekolah ambruk, kurikulum sarat beban dan mutu guru rendah, maka fakta bahwa pendidikan merupakan objek politik kekuasaan sedang mengemuka. Pada
<< 8
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 tataran pertama, anak panah ditarik dari proses internal praktek pendidikan ke perubahan masyarakat sementara pada tataran kedua, sebaliknya (Gambar 1). Kajian atas pendidikan sebagai driving force transformasi masyarakat akan menyangkut semua aspek mikro praktek pendidikan formal seperti kurikulum, buku pelajaran, standardidasi evaluasi pembelajaran, manajemen institusi pendidikan dan lainlain. Dengan kata lain, transformasi masyarakat itu sendiri merupakan dampak makro dari proses mikro internal pendidikan. Sebaliknya, kajian
atas pendidikan sebagai objek politik kekuasaan berhubungan dengan aspek-aspek makro, misalnya kons telasi politik negara, arah kebijakan ekonomi pemerintah, dan dimensi kultural masyarakat. Aspek-aspek makro sangat memengaruhi (bahkan menentukan) aspek mikro praktek pendidikan. Rehabilitasi gedung-gedung sekolah yang ambruk, misalnya, sangat tergantung kemauan politik pemerintah dan ketersediaan dana. Namun di sisi lain, sejarah Indonesia membuktikan bahwa pendidikan formal melahirkan kelompok elit baru yang menggerakkan model perlawanan baru terhadap penjajah(an) yang kemudian mendorong berdirinya negara Indonesia. Di sini pendidikan berperan sebagai driving force trans-
formasi sosial masyarakat. Dengan alur konseptual ini dapat dikatakan, jika pendidikan melahirkan kemiskinan baru, pasti ada yang salah dengan aspek mikro praktek pendidikan sehingga fungsi misioner pendidikan untuk menghasilkan driving force perubahan tidak terwujud. Namun, kesalahan pada aspek mikro tidak berdiri sendiri. Selain oleh faktorfaktor internal di dalam dirinya, proses dan praktek pendidikan sangat tergantung dan dipengaruhi oleh aspek makro di luar dunia pendidikan, misalnya tekanan dan kepentingan politik. Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan pendidikan dan (perubahan) masyarakat bersifat timbalbalik dan saling memengaruhi.
Gambar 1: Inter-relasi aspek-aspek makro dan mikro dalam pendidikan
Aspek-Aspek Makro
(faktor politik, ekonomi, sosial, kultur)
1
2
Aspek-Aspek Mikro
(faktor kurikulum, buku sekolah, starndar evaluasi, guru, anggaran, dll ) Keterangan: 1. Pendidikan sebagai driving force transformasi sosial 2. Pendidikan sebagai objek politik kekuasaan dan aspek-aspek makro lainnya
Demografi Kemiskinan
Kiranya baik memulai ulasan ini dengan berbicara tentang angka-angka kemiskinan dan pendidikan seke dar untuk memastikan bahwa diskusi serta inferensi (simpulan) yang mungkin dihasilkan nanti berdasarkan fakta (fact-based) alias bersifat empiris setidaknya secara statistik. Kebanyakan data statistik yang dirujuk dalam tulisan ini diambil dari website Badan Pusat Statistik (www.bps. go.id) khususnya yang tersedia dalam on-line booklet berjudul Perkembang an beberapa indikator utama sosial-
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
ekonomi Indonesia (Maret 2008) dan website Departemen Pendidikan Nasional khususnya tentang statistik (www.depdiknas.go.id/statistik). Data-data tersebut versi pemerintah, dan kita tahu bahwa ada data versi non-pemerintah, yang sering berbeda dengan data pemerintah. Perbedaan data versi pemerintah dan nonpemerintah kadang menimbulkan kontroversi. Misalnya, data jumlah penduduk miskin yang dikeluarkan BPS beberapa waktu lalu dianggap bermuatan politis untuk menaikkan
9 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
citra kinerja pemerintah dan dianggap “terlalu bagus” dibandingkan realitas sesungguhnya. Perdebatan menyerukan tentang berapa persisnya jumlah penduduk miskin di Indonesia saat ini dan berapa tingkat pertumbuhannya dalam lima tahun terakhir. Tulisan ini tidak akan memasuki dan terjebak dalam arena perdebatan tersebut. Tulisan ini memanfaatkan data versi pemerintah untuk menegaskan bahwa bahkan berdasarkan data versi pemerintah yang “terlalu bagus” itupun kemiskinan dan rendahnya mutu pendidikan masih merupakan persoalan serius dan memprihatinkan di Indonesia hari ini. Uraian umumnya dimulai dengan angka-angka kepen dudukan. Tahun 2000, penduduk Indonesia berjumlah 206.264.595, meningkat hampir dua kali lipat dari tahun 1971 (119.208.229). Kendati demikian, tingkat pertumbuh an penduduk dalam rentang 1990-2000 menurun diban dingkan 1971-1980, yakni 1,49 berbanding 2,31.
Dari seluruh jumlah penduduk Indonesia itu, sekitar 37,2 juta (16,58%) orang termasuk kategori miskin pada tahun 2007, naik dari 35,1 juta (15,97%) tahun 2005. Di sini, seorang warga disebut miskin (secara ekonomi) jika penghasilannya per bulan kurang dari Rp 166.697 tahun 2007 (atau Rp 151.997 tahun 2006 atau Rp 129.108 tahun 2005). Nominal penghasilan tersebut adalah garis kemiskinan, yaitu batas terbawah kemampuan ekonomi yang harus dipenuhi seseorang untuk dapat bertahan hidup. Dengan demikian, jumlah 37,2 juta orang miskin tahun 2007 itu tidak termasuk mereka yang kemampuan ekonominya di atas garis kemiskinan, tetapi tetap dalam kondisi kehidupan di bawah layak. Entah bagaimana perhitungannya, tetapi garis kemiskinan tampaknya merupakan hitungan minimum bagi seorang warga untuk dapat sekedar hidup, bukan hidup layak. Selain itu, penghitungan batas miskin—sekalipun saya yakin telah “benar” secara ekonometri—tampak nya dilakukan dengan memukul rata biaya psikologis dan sosiologis yang timbul dari berbagai tekanan akibat perbedaan-perbedaan, misalnya perbedaan karakter geografi pulau tempat tinggal dan perbedaan tuntutan hidup
antara wilayah desa dan kota. Angka-angka dalam Tabel 1 merupakan hasil olahan penulis atas data Badan Pusat Statistik (Perkembangan beberapa indikator utama sosial-ekonomi Indonesia, BPS Maret 2008, diakses dari www.bps.go.id 12 Agustus 2008). Jumlah penduduk miskin, persentase dan pertumbuhannya, serta batas garis kemiskinan, bervariasi antara satu propinsi dengan propinsi lain, antara wilayah desa dengan wilayah kota, dan antarwaktu dalam rentang 2005-2007. Sepanjang 2006-2007 penduduk miskin lebih banyak tersebar di wilayah pedesaan daripada perkotaan. Persentase penduduk miskin terhadap total jumlah penduduk Indonesia tahun 2007 tersebar relatif merata di wilayah Jawa dan luar Jawa, yakni Jawa 14,43; Sumatera 15,72; Bali-NTT-NTB 19,71; Kalimantan 10,08; Sulawesi 19,27; wilayah Maluku 21,55; wilayah Papua 40,04. Data-data tersebut hanya sedikit berbeda dengan kondisi tahun 2005. Artinya, dengan jumlah penduduk yang bertambah, tingkat kebutuhan hidup meninggi, batas garis hidup layak meningkat, dalam ren tang 2005-2007 nyaris tidak terjadi pengurangan jumlah penduduk mis-
Tabel 1: Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin Menurut Wilayah Pulau Wilayah Pulau
Jumlah penduduk 1990-2000
Tingkat pertumbuhan penduduk 1990-2000
Persentase penduduk miskin terhadap total jumlah penduduk 2005
2006
2007
Jawa
121.352.608
1,29
14,15
15,21
14,43
Sumatera
43.309.707
1,9
16,39
16,68
15,72
Kalimantan
11.331.558
2,38
10,69
11,49
10,08
Sulawesi
14.946.488
2,02
19,32a)
20,49b)
19,27b)
Bali, NTT/B
11.112.702
1,59
20,27
21,19
19,71
Maluku
1.990.598
0,28
22,75
22,88
21,55
Papua
2.220.934
2,35
40,83c)
41,43d)
40,05d)
Ket: a) 5 propinsi b) 6 propinsi c) 1 propinsi d) 2 propinsi. Sumber: Data diolah dari BPS
<< 10
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
hal 8
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 kin di Indonesia. Angka-angka jumlah penduduk miskin didukung data tentang rendahnya kualitas hidup. Tahun 2007, penduduk yang mengalami keluhan kesehatan mencapai 29,26%, meningkat dari 26,68% tahun 2005. Bayi yang proses lahirnya dibantu paramedis profesional justru turun, yakni 72,32% tahun 2006 dari 74,6% tahun 2005. Belanja rumah tangga untuk konsumsi makanan juga menurun, yakni 49,63% tahun 2007 dari 53,66% tahun 2005. Meskipun demikian, asupan kalori dan protein tiap penduduk sedikit meningkat, yakni masing-masing 2.044,57 gr kalori/hari dan 57,98 gr protein/hari tahun 2007, berbanding 1.996,82 gr kalori/ hari dan 55,29 gr protein/hari tahun 2005. Tetapi peningkat an asupan kalori dan protein penduduk tidak mengurangi jumlah balita penderita gizi buruk dalam rentang 20052007, yang mencapai 8,8%. Angka-angka kemiski-
nan yang telah diuraikan itu bersifat fisik, artinya berkaitan langsung dengan kondisi tubuh biologis anggota keluarga-keluarga di Indonesia. Jika kita percaya bahwa kualitas bangsa dan negara ditentukan oleh kualitas individu dalam keluarga, maka kondisi kemiskin an yang langsung menyangkut individu dalam keluarga merupakan gambaran konkrit dan sangat jelas tentang daya tahan bangsa kita saat ini. Meskipun demikian, kompleksitas persoalan kemiskinan tidak terbatas di sini. Jika angka kemiskinan fisik adalah variabel kasat mata (tangi ble), maka persoalan kemiskinan kita hari ini menjadi semakin kompleks karena ada variabel-variabel yang
Sejumlah Fakta tentang Pendidikan (Dasar) di Indonesia Hari Ini
Gambaran Umum Entah bagaimana hubungan langsungnya dengan realitas kemiskinan, yang jelas situasi pendidikan nasional Indonesia saat ini memunculkan pertanyaan mendasar seputar jaminan negara tentang pemenuhan hak warga atas pendidikan sebagaimana dinyata kan dalam UUD 1945. Di sini akan dipaparkan data-data kondisi pendidikan dasar selama beberapa tahun terakhir, meliputi kondisi Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada banyak bagian, paparan dan pembahasan tentang kondisi SD lebih ditonjolkan daripada SMP karena pertimbangan urgensinya. Secara umum pendidikan dasar diyakini sebagai pondasi bagi pembentukan diri anak dan bagi
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
relatif tidak kasat-mata (intangible) yang memengaruhi peluang perubahan kondisi sosial-ekonomi warga dan karena itu sangat relevan untuk dikaji. Variabel-variable intangible tersebut di antaranya adalah kondisi pendidikan dan tingkat keterserapan warga terdidik dalam lapangan pekerjaan (formal). keberhasilan (ataupun kegagalan) pendidikan pada tingkat menengah maupun tinggi. Dalam rentang pendidikan dasar yang di Indonesia digariskan berlangsung selama sembilan tahun itu, pendidikan pada jenjang SD kiranya paling kritis (dan krusial) diberi tekanan karena posisi dasarnya tersebut de facto belum menjamin ketersediaan bagi seluruh warga negara akibat berbagai faktor, di antaranya strategi pembangunan pendidikan yang menyamaratakan perbedaan prioritas kebutuhan antarwilayah geogragis. Meskipun fokus paparan bagian ini adalah pendidikan dasar, upaya dilakukan agar ulasan mengarah pada kondisi pendidikan menengah dan tinggi. Secara khusus, situasi pendidikan menengah
11 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
dan tinggi akan lebih banyak dibahas dalam kaitannya dengan pengangguran terdidik di bagian berikutnya dari tulisan ini. Bagian ini diawali deng an uraian tentang gambaran umum pendidikan kita. Data dari Badan Pusat Statistik pada Tabel 2 menunjukkan, jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang hingga tahun 2006 tidak bersekolah mencapai 7,43% dari total jumlah penduduk. Dengan dasar data BPS bahwa jumlah penduduk tahun 2000 mencapai 206.264.595 dan asumsi pertumbuhannya 1,49 per tahun, maka jumlah 7,43% penduduk yang tidak bersekolah itu sama dengan kira-kira 15.738.988 orang. Jumlah ini masih amat besar mengingat pemerataan pendidikan merupakan salah satu cita-cita bangsa kita sejak sebelum terbentuknya negara Indonesia melalui proklamasi kemerdekaan 63 tahun yang lalu. Meskipun demikian, Tabel 2 juga menunjukkan bahwa tampaknya dalam rentang 1994-2006 ada trend penurunan jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak tamat SD. Jumlah penduduk yang lulus SD juga menampakkan
gejala meningkat antara 1994 hingga 2003, meskipun antara 2004-2006 mengalami fluktuasi. Dengan persentase jumlah penduduk yang lulus SMP cenderung meningkat dari 12,16% tahun 1994 menjadi 17,56% tahun 2006, dan dengan persentase jumlah penduduk yang mengenyam bangku SLTA naik dari 13,83% tahun 1994 menjadi 22,56% tahun 2006, maka program pemasyarakatan pendidikan dasar (dan menengah) relatif berjalan sepanjang periode 1994-2006. Mes kipun demikian, jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang mampu baca-tulis huruf latin tahun 2006 hanya meningkat 5,13% dari kondisi
tahun 1994. Artinya, dalam rentang 12 tahun (1994-2006) hanya terjadi penambahan kira-kira 10.581.473 penduduk yang mampu baca-tulis huruf latin. Hingga 2006, hanya 92,39% penduduk Indonesia usia 10 tahun ke atas mampu membaca dan menulis dalam huruf latin. Sisanya, sekitar 17.100.024 orang, dipastikan belum tersentuh modernisasi lewat aneka informasi dan teknologi yang sebagian besar “tersiar” melalui aksara latin dan karena itu rentan terlibas perubahan global dewasa ini. Sebuah pertanyaan yang pantas diajukan, di wilayah geografi dan sosial-ekonomi mana saja 17.100.024
Tabel 2: Tingkat Pendidikan dan Tingkat Melek Huruf (Latin) Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas 1994-2006 (dalam persen) Kategori
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tidak bersekolah
11,73
12,33
11,66
10,27
10,00
9,79
9,66
10,30
8,64
8,50
8,98
7,82
7,43
Tidak lulus SD
30,32
30,57
28,35
26,56
26,39
25.45
24,29
24,11
22,63
21,87
15,31
21,46
20,77
SD
31,97
31,22
32,34
32,99
32,99
32,49
32,45
32,66
33,30
33,42
31,87
32,34
31,67
SMP
12,16
11,94
12,72
14,01
13,92
14,62
15,28
14,87
15,92
16,65
20,12
17,06
17,56
(Pernah) SLTA
13,83
13,94
14,92
16,16
16,70
17,65
18,32
18,06
19,53
19,56
23,72
21,32
22,56
Melek Huruf
87,26
86,26
87,36
89,07
89,42
89,79
89,92
89,20
90,71
90,93
91,47
91,91
92,39
Sumber: Data-data BPS (Perkembangan beberapa indikator utama sosial-ekonomi Indonesia, BPS Maret 2008, diakses dari www. bps.go.id 12 Agustus 2008), tanpa pengolahan
<< 12
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 warga buta huruf tersebut tersebar? Tidak diperoleh data tentang klasifikasi latar belakang sosial-ekonomi ribuan warga buta huruf tersebut. Juga tidak cukup data untuk menguraikan persebaran geografi warga buta huruf, termasuk di wilayah desa ataukah kota sebagian besar mereka tinggal. Tetapi ada data persebaran geografis warga melek huruf. Tabel 3 menunjukkan persentase warga yang mampu baca-tulis huruf latin di tujuh wilayah pulau, yakni Jawa, Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya, Kalimantan, Sulawesi, wilayah kepulauan Maluku, Bali dan kepulauan Nusa Tenggara, serta Papua. Angkaangka pada Tabel 3 diperoleh melalui penghitungan atas data persebaran melek huruf di setiap propinsi sebagaimana disajikan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sayang nya, data yang tersedia hanya mencakup tahun-tahun 1999, 2002, 2004 dan 2005 sehingga tidak dapat dipakai sebagai dasar ulasan kelanjutan Tabel 2 yang mencakup rentang periode 1994-2006. Meskipun demikian, data olahan pada
Tabel 3 cukup memberi indikasi persebaran tingkat melek huruf menurut wilayah geografis. Dari Tabel 3 itu kita ketahui bahwa hingga 2005, Papua merupakan wilayah di Indonesia yang tingkat melek-huruf penduduknya paling rendah di Indonesia, yakni 80,15%. Di sisi lain, Maluku menjadi wilayah dengan tingkat melek-huruf penduduknya paling tinggi, yakni 96,6%. Yang menarik dari Tabel 3, Jawa bukanlah wilayah yang penduduknya “paling” melek huruf latin di antara penduduk pulau-pulau besar lain. Fakta ini merentang dari 1999 hingga
Problem Pemerataan Akses
Secara keseluruhan, peningkatan jumlah penduduk melek huruf yang relatif lambat sepanjang rentang 1994-2006 mungkin berkaitan dengan Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk usia 7-18 tahun. Data pada Tabel 4 menampakkan pergerakan persentase APS penduduk menurut tiga kategori
2005. Tingkat melek huruf penduduk di Pulau Jawa adalah 88,3% (1999), 89,98% (2002), 90,55% (2004) dan 91,4% (2005). Mengingat Pulau Jawa dihuni tidak kurang dari 2/3 jumlah penduduk Indonesia, maka jumlah penduduk yang buta huruf di Pulau Jawa antara 1999 dan 2005 dipastikan paling banyak di Indonesia, jauh lebih banyak daripada Papua sekalipun yang persentase melek hurufnya paling kecil se-Indonesia. Fakta ini penting dipertimbangkan untuk menentukan prioritas pengembangan pendidikan menurut wilayahwilayah geografi pulau.
Tabel 3: Angka Melek Huruf (Latin) Menurut Wilayah Pulau 1999-2005 (dalam persen) Wilayah pulau
1999
2002
2004
2005
Jawa
88,3
89,98
90,55
91,4
Sumatera
93,83
94,4
95,14
95,83
Kalimantan
91,07
92,95
93,55
94,27
Sulawesi
90,02
91,5
91,05
91,41
Maluku
95,8
96,05
96,5
96,6
Bali & NTT/B
78,9
82,03
83
83,5
Papua
71,2
74,4
78,65
80,15
Angka adalah persentase terhadap total jumlah penduduk di wilayah pulau terkait. Angkaangka dalam Tabel 3 merupakan hasil olahan penulis atas data Departemen Pendidikan Nasional (diakses dari www.depdiknas.go.id/statistik 12 Agustus 2008).
Tabel 4: Angka Partisipasi Sekolah (APS) Penduduk Menurut Kategori Usia, 1994-2007 (dalam persen terhadap total kategori usia) Kategori Usia
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
7-12 thn
94,06
93,9
94,43
95,37
95,07
95,34
95,5
95,65
96,10
96,42
96,77
97,14
97,39
97,61
13-15 thn
72,38
73,2
75,84
77,51
77,31
79,04
79,58
79,39
79,21
81,01
83,49
84,02
84,08
84,09
16-18 thn
45,31
44,6
47,59
48,64
49,52
51,14
51,17
49,38
49,76
50,97
53,48
53,86
53,92
54,10
Data-data BPS (Perkembangan beberapa indikator utama sosial-ekonomi Indonesia, BPS Maret 2008, diakses dari www.bps. go.id 12 Agustus 2008), tanpa pengolahan
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
13 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
usia, yaitu 7-12 tahun, 13-15 tahun dan 16-18 tahun. Jika diandaikan rentang usia 7-12 tahun adalah usia anak SD, 13-15 tahun SMP dan 16-18 tahun SLTA, maka data pada Tabel 4 menunjukkan APS penduduk dalam jenjang pendidikan dasar dan menengah dalam 13 tahun terakhir, yakni1994-2007. Kita melihat bahwa hingga tahun 2007, hanya 97,61% anak usia SD (7-12 tahun), hanya 84,09% anak usia SMP (13-15 tahun), dan hanya 54,10% anak usia SLTA (1618 tahun) yang bersekolah. Sedangkan sisanya—yaitu masing-masing 2,39% usia SD, 15,91% usia SMP, dan 45,9% usia SLTA—tidak bersekolah karena berbagai kemungkinan penyebab. APS 2007 itu meningkat lumayan tajam dari kondisi 1994, khususnya untuk penduduk kategori usia 13-15 tahun. Persisnya, peningkatan APS 2007 dari APS 1994 mencapai 3,55% untuk jenjang SD, 11,71% untuk jenjang SMP dan 8,79% untuk jenjang SLTA. Meskipun ada peningkatan APS, fakta masih terbabar di depan kita bahwa hingga tahun 2007 program pemerataan akses pendidikan belum menjangkau seluruh penduduk yang dalam usia wajib belajar sembilan tahun. Sebanyak 2,39% penduduk usia SD dan 15,91% penduduk usia SMP—kalau mau “mengabaikan” 45,9% penduduk usia SLTA—belum mengenyam pendidikan sebagaimana keharusan rentang usianya. Dengan laju pertambahan penduduk—yang tahun 2000 mencapai 1,49% menurut BPS—maka persentase penduduk yang tidak bersekolah tersebut mencerminkan jumlah total yang sangat besar.
<< 14
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 Tabel 5: Jumlah Pendaftar SD dan Siswa Baru Tingkat I Menurut Wilayah Pulau 2005-2006 Wilayah
Pendaftar
Siswa Baru Selisih Tingkat I
Persentase
Jawa
2.303.629
2.279.580
24.049
1,043%
Sumatera
1.143846
1.122.891
20.955
1,83%
Kalimantan
301283
286.938
14.345
4,76%
Sulawesi
398311
391.230
7.081
1.77%
Maluku
76.213
74.391
1.822
2,39%
Bali NTT/B
& 280965
276.457
4.508
1.604%
Papua
80445
59.523
20.922
26%
Indonesia
4.584.692
4.491.010
93.682
2,043%
Persentase selisih terhadap jumlah pendaftar. Angka-angka adalah hasil olahan penulis atas data-data statistik Depdiknas (www.depdiknas.go.id/statistik diakses 12 Agustus 2008)
Besarnya angka non-partisipasi penduduk dalam berbagai jenjang pendidikan mungkin disebabkan—salah satunya—oleh keterbatasan daya tampung sekolah formal yang tersedia di Indonesia dibandingkan jumlah penduduk usia sekolah yang seharusnya bersekolah. Sekedar menyodorkan data angka, dari total calon siswa SD berjumlah 4.584.692 yang mendaftarkan diri masuk SD (baca: didaftarkan orangtua/wali) pada tahun 20052006, hanya 4.491.010 orang yang diterima. Selebihnya, yaitu 93.682 orang (2,043% dari total pendaftar) tidak diketahui nasibnya dan sangat mungkin tidak diterima masuk SD. Laporan Statistik Depdiknas yang telah saya olah per wilayah pulau dan cantumkan pada Tabel 5 menyebut mereka yang diterima dengan kategori eufimistik “siswa baru tingkat I”. Tetapi sebutan ‘siswa baru tingkat I’ berarti siswa yang dimaksud baru diterima dari antara pendaftar. Dengan kata lain, jika jumlah ‘siswa baru tingkat I’ kurang dari jumlah pendaftar, logikanya selisih di antara kedua kelompok tersebut merupakan jumlah pendaftar yang tidak diterima. Itulah realitas sebagaimana terpampang melalui angka-angka pada Tabel 5. Pada Tabel 5 terlihat bahwa
persentase terbesar pendaftar SD yang tidak diterima masuk SD terdapat di wilayah Kalimantan, yakni 4,76%. Namun jumlah absolut terbesar calon siswa SD yang tidak diterima ada di Jawa, yakni 24.049 orang— meskipun di Jawa persentase calon siswa SD yang tidak diterima relatif kecil. Dengan kata lain, di Jawa ‘permintaan’ akan ketersediaan SD jauh lebih besar daripada ‘penawaran’— yaitu daya tampung SD—yang telah tersedia. Kapasitas SD di seluruh Jawa terlalu kecil untuk menampung kebutuhan seluruh warga usia 7-13 tahun akan pendidikan. Mungkin ini sedikit menjelaskan mengapa jumlah angka buta huruf di Jawa paling besar se-Indonesia. Di luar itu, fenomena besarnya jumlah buta huruf di Jawa—mes kipun secara demografis relatif mudah dijelaskan—tampaknya didukung oleh fakta penjelas lain. Selain lebih terbatasnya daya tampung sekolah-sekolah di Jawa dibandingkan sekolah di luar Jawa sebagaimana ditunjukkan Tabel 5 (dibaca sebaliknya: lebih banyaknya pendaftar sekolah di Jawa daripada luar Jawa), juga ada fakta bahwa rata-rata pertambahan angka putus sekolah (khususnya SD) di Jawa paling tinggi diband-
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 Tabel 6: Putus SD 2001-2006 Rata-rata Propinsi Menurut Wilayah Pulau R a t a - r a t a 2001/2 -2002/3 propinsi di wilayah pulau
2002/3 -2003/4
2003/4 -2004/5
2004/5 -2005/6
Rata-rata perubahan
Jawa
35.977,83 (1,598%)
48.770 (1,89%)
56.816 (2,451%)
59.702,66 (2,678%)
+7.908,27 (0,36%)
Sumatera
21.782 (3,612%)
25.537,33 (3,92%)
24.734 (3,463%)
23.685 (3,428%)
+634,33 (-0,06%)
Kalimantan
18.248 (3,985%)
20.478,75 (4,795%)
13.371 (3,252%)
16.802,25 (3,902%)
-4938,66 (-0,027%)
Sulawesi
17.699,2 (3,924%)
14.424,6 (2,934%)
14.488 (2,692%)
15.190,66 (5,141%)
-836,18 (0,405%)
Maluku
10.819 (5,97%)
8.931,5 (5,11%)
6.236,5 (3,455%)
14.141,5 (7,695%)
+1107,5 (+0,575%)
Bali & NTT/B
19.789 (3,59%)
17.254 (3,176%)
16.791 (2,993%)
6.239,33 (1,21%)
-4516,55 (-0,793%)
Papua
28.656 (8,23%)
21.715 (6,31%)
24.733 (7,18%)
12.132 (6,31%)
-5508 (-0,64%)
Angka merupakan rata-rata propinsi di wilayah pulau, dihitung sudah dengan memertimbangkan jumlah propinsi di setiap wilayah pulau pada tahun-tahun terkait. Angka dalam kurung adalah persen terhadap total siswa SD di wilayah pulau terkait. Data dalam Tabel 3 merupakan hasil olahan penulis atas data Departemen Pendidikan Nasional (diakses dari www.depdiknas.go.id/statistik 19 Agustus 2008).
ingkan wilayah-wilayah luar Jawa, bahkan Papua sekalipun. Dalam Tabel 6 kita lihat bahwa sementara persentase putus SD di Kepulauan Maluku dan wilayah Papua selalu lebih dari 5% dalam periode 20012006, total jumlah putus SD di Pulau Jawa (yang persentasenya hampir selalu paling kecil) selalu paling banyak seIndonesia. Bahkan, sementara di Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara serta di Papua angka putus SD cenderung turun dalam periode
2001-2006, di Jawa angka putus SD justru meningkat rata-rata 7.908,27 per tahun. Rata-rata penambahan angka putus SD di Jawa tersebut jauh dari ratarata penambahan yang terjadi di Maluku (1107,5) maupun Sumatera (634,33). Fakta ini menegaskan bahwa sekali lagi, jumlah penduduk merupakan varia bel yang tidak mungkin diabaikan ketika kita berbicara tentang kebijakan dan pembangunan pendidikan untuk wilayah Jawa. Uraian dan pembacaan atas data-data sejauh ini menjelaskan bahwa angka buta huruf, baik di wilayah Jawa maupun luar Jawa, merupakan bukti (dan dampak) dari belum meratanya akses pendidikan dasar bagi warga di seantero Tanah Air. Di sana-sini dan dari waktu ke waktu, kita menjumpai rendahnya APS di satu sisi, tetapi, di sisi lain, terbatasnya daya tampung sekolah (khususnya SD) bagi seluruh warga usia sekolah. Selain itu, kita juga melihat fakta masih tingginya putus SD. Bahkan di Jawa, Maluku dan Sumatera, angka putus SD cenderung meningkat. Semua fakta lapangan tersebut mungkin sedikit menjelaskan apa dan seperti apa persisnya problem pemerataan akses pendidikan kita belakangan ini.
Problem Peme rataan Mutu
Di luar persoalan pemerataan akses, dunia pendidikan Indonesia hari ini juga menghadapi masalah pemerataan mutu. Ketika angka melek huruf mencapai 92,39% pada tahun 2006, ketika APS SD mencapai 97,61% tahun 2007, atau ketika angka putus SD cenderung turun di Kalimantan, Sulawesi, Papu dan Bali-NTT/B, kita masih dihadapkan
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
pada pertanyaan penting: Seberapa berkualitas proses pendidikan yang (telah) dijalani? Seberapa literate 92,39% warga Indonesia usia 10 tahun ke atas itu? Seberapa terstandar pembelajaran bagi 97,61% warga yang duduk di SD tahun 2007? Pertanyaan-pertanyaan tentang mutu pendidikan penting untuk dijawab satu paket dengan pertanyaan seputar
15 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
akses pendidikan. Keduanya (akses dan mutu) merupakan komponen pemerataan pendidikan. Di sini kita paham bahwa tingginya angka melek huruf, tingginya APS maupun rendahnya angka putus sekolah—yang semuanya mungkin dipakai untuk menggambarkan tingkat pemerataan akses—bukanlah indikasi mutu pendidikan. Mutu layanan pendidikan digambarkan (dan kadang-kadang ditentukan) oleh sejumlah aspek kelengkapan infrastruktur pendukung proses pendidikan. Fakta-fakta lapangan tentang kondisi ruang kelas, tingkat pendidikan guru, rasio guru/ siswa yang akan dipaparkan berikut ini mungkin memberikan gambaran seberapa bermutu pendidikan dasar di negeri kita hari ini. Kita mulai dengan kondisi umum fisik gedung dan ruang kelas, khususnya SD. Pada Tabel 7 kita melihat bahwa dalam periode 2003-2007, jumlah SD meningkat rata-rata 315,33 buah. Bersamaan itu, jumlah ruang kelas juga meningkat, rata-rata 11.605,66. Kondisi ruang kelas ini bervariasi antara ‘baik’, ‘rusak ringan’ dan ‘rusak berat’. Yang menarik, sementara antara 2003-2007 jumlah ruang kelas dengan kategori kondisi ‘baik’ meningkat rata-rata 17.335 dan kategori kondisi ‘rusak ringan’ menurun rata-rata 12.758, jumlah ruang kelas dengan kategori kondisi ‘rusak berat’ juga meningkat, yakni rata-rata 7.029 buah. Artinya, selain ada penambahan jumlah ruang kelas baru yang kondisinya masuk kategori ‘baik’, upaya rehabilitasi ruang kelas
tampaknya baru menyentuh sebagian ruang kelas berkategori kondisi ‘rusak ringan’dan tidak menyentuh sama sekali ruang kelas kategori ‘rusak berat’. Akibatnya, sebagian lain dari ruang kelas kategori ‘rusak ringan’ menjadi ‘rusak berat’ dan ruang kelas kategori ‘rusak berat’ menjadi ‘rusak sangat berat’, termasuk ambruk. Sayang sekali tidak diperoleh informasi tentang persebaran lokasi geografis ruang-ruang kelas berkategori ‘rusak (sangat) berat’. Tetapi bertambahnya jumlah ruang kelas berkategori ‘rusak (sangat) berat’ hingga rata-rata 7.029 buah dalam periode 2003-2007 menegaskan sinyalemen umum bahwa pemerintah pascareformasi kedodoran dalam membangun infrastruktur publik, termasuk infrastruktur pendidikan.
Tabel 7: Kondisi Umum dan Fisik Ruang Kelas SD di Indonesia 2003-2007 Indikator
2003-2004 2004-2005 2005-2006
2006-2007
Rata-rata perubahan
Jumlah SD
145.867
147.793
148.262
146.813
+315,33
Jumlah ruang kelas milik
883.709
889.427
993.166
918.526
+11.605,66
K o n d i s i Baik ruang kelas Rusak ringan
390.536
391.117
436.375
442.541
+17.335
290.566
271.589
301.370
252.292
-12.758
202.607
226.721
255.421
223.694
+7.029
Rusak berat
Angka-angka dalam Tabel 7 merupakan hasil olahan penulis atas data Departemen Pendidikan Nasional (diakses dari www.depdik nas.go.id/statistik 19 Agustus 2008).
<< 16
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 Meskipun infrastruktur pendidikan kita tidak memadai, ketersediaan guru dan kepala sekolah sebenarnya cukup memadai, setidak-tidaknya dari segi jumlah, untuk mendukung terselenggaranya pendidikan bermutu. Hal ini terlihat misalnya dalam statistik jumlah siswa dan guru/ kepala sekolah SD. Pada periode 2003-2007 (lihat Tabel 8), setiap pertambahan sekitar 3 murid SD selalu diikuti pertambahan 1 orang guru. Rasio guru/murid SD dalam rentang tahun-tahun tersebut juga relatif ideal (1:20,67 tahun 2003-2004) dan terus meningkat (1:18,96 tahun 2006-2007). Kondisi ini didukung oleh rasio sekolah/siswa yang cukup
ing banyak. Akibatnya, pada tahun 2005-2006 itu rasio guru/siswa SD di Jawa paling kecil (1:21,33) dibandingkan wilayah lain (Sumatera 1:18,7; Kalimantan 1:16,5; Sulawesi 1:17,66; Maluku 1:18; Bali-NTT/B 1:19,33 dan Papua 1:19). Meskipun demikian, rasio sekolah/guru menunjukkan bahwa di wilayah Papua-lah
Tabel 8: Jumlah Siswa, Guru/Kepala Sekolah dan Rasionya 2003-2007 Indikator
2003-2004
2004-2005
2005-2006
2006-2007
Rata-rata perubahan
Jumlah total siswa
25.976.285
25.997.445
25.982.590
26.278.236
+100.650,33
Siswa menu- Laki-laki rut jenis kela- Perempuan min
13.307.739
13.451.316
13.442.632
13.604.909
+99.056,66
12.668.546
12.546.129
12.539.958
12.673.327
+1.593,66
Jumlah total guru
1.256.246
1.335.086
1.346.846
1.385.676
+43.143,33
Guru menurut Laki-laki jenis kelamin Perempuan
574.111
565.015
571.934
587.802
+4.563,66
682.135
770.071
774.912
797.874
+38.579,66
Rasio Sekolah/Siswa
1 : 178
1 : 175,9
1 : 175,24
1 : 178,99
t/s
Rasio Guru/ Siswa
1 : 20,67
1 : 19,47
1 : 19,29
1 : 18,96
t/s
Angka-angka dalam Tabel 8 merupakan hasil olahan penulis atas data Departemen Pendidikan Nasional (diakses dari www.depdik nas.go.id/statistik 19 Agustus 2008).
Tabel 9: Rasio Kelas/Siswa dan Guru/Siswa SD Menurut Pulau 2005-2006 Wilayah pulau
Kelas/Siswa
Guru/Siswa
Sekolah/Guru
Jawa
1:27,83
1:21,33
1:9,5
Sumatera
1:25,3
1:18,7
1:9,6
Kalimantan
1:22
1:16,5
1:8,5
Sulawesi
1:21,83
1:17,66
1:7,83
Maluku
1:22
1:18
1:7
Bali & NTT/B
1:26
1:19,33
1:9,33
Papua
1:21
1:19
1:6,5
Angka-angka dalam Tabel 9 merupakan hasil olahan penulis atas data Departemen Pendidikan Nasional (diakses dari www.depdiknas. go.id/statistik 19 Agustus 2008).
bagus, yaitu sekitar 1:175, yang jika dibagi ke dalam enam kelas maka di setiap kelas SD terdapat sekitar 29 murid. Di luar gambaran keseluruhan itu, kita mendapati fakta-fakta menarik antara kondisi di Jawa dan luar Jawa. Dari data 2005-2006 pada Tabel 9 kita tahu bahwa rata-rata jumlah siswa per kelas SD di Jawa paling banyak se-Indonesia. Situasi ini konsisten dengan fakta lain bahwa jumlah penduduk Jawa dan jumlah pendaftar SD di Jawa pal-
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
jumlah guru di setiap sekolah paling perlu ditingkatkan. Situasi ini agak ‘aneh’ mengingat rasio guru/siswa di Papua lumayan ideal dan lebih baik daripada di Jawa (1:19 berbanding 1:21,33). Kasus serupa dialami juga Maluku dengan rasio sekolah/guru
17 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
1:7; Sulawesi 1:7,83 dan Kalimantan 1:8,5. Seperti halnya di Papua, di wilayah Maluku, Sulawesi dan Kalimantan rasio guru/siswa dan kelas/ siswa jauh lebih baik daripada di Jawa, tetapi rasio sekolah/ guru tidak lebih ideal daripada di Jawa. Situasi-situasi ‘aneh’ terse-
tasi di wilayah luar Jawa dibandingkan di Jawa, upaya menyeimbangkan persebaran guru di wilayah-wilayah tadi dapat berimplikasi pada keharusan penambahan jumlah juga. Mes kipun demikian, saya kira tetap perlu dipikirkan lebih dahulu mekanisme penyeimbangan persebaran guru di wilayah luar Jawa selain dengan cara penambahan jumlah.
daya dan infrastruktur. Untuk mencapai pemerataan mutu pendidikan, masalah khusus ini harus diatasi dengan pendekatan khusus pula. Persoalan lain dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan adalah besarnya komposisi guru yang belum sarjana. Tabel 10 memerlihatkan bahwa hingga 2004-2005 baru 15,12% atau
Tabel 10: Jumlah Guru/Kepala Sekolah SD dan Tingkat Pendidikannya 1999-20055
Tingkat Pendidikan Di bawah D-1 D-1
1999-2000
2000-2001
2001-2002 2002-2003 2003-2004 2004-2005
634.668
575.404
561.368
577.012
525.390
417.374
(55,62%)
(50,99%)
(48,19%)
(46,72%)
(41,82%)
(31,26%)
25.623
32.541
27.034
32.205
30.907
17.049
(2,25%)
(2,88%)
(2,32%)
(2,61%)
(2,46%)
(1,28%)
D-2
382.943
414.949
458.139
495.690
548.892
657.712
(33,56%)
(36,77%)
(39,33%)
(40,14%)
(43,69%)
(49,26%)
D-3/Sar. Muda
24.591
25.341
25.978
26.807
37.858
39.545
(2,15%)
(2,25%)
(2,23%)
(2,17%)
(3,01%)
(2,96%)
S-1
72.947
79.949
91.710
102.539
112.310
201.863
(6,39%)
(7.08%)
(7,87%)
(8,30%)
(8,94%)
(8,94%)
Pascasarjana Total
396
391
579
674
889
1.543
(0,03%)
(0,03%)
(0,05%)
(0,05%)
(0,07%)
(0,12%)
1.141.168
1.128.475
1.164.808
1.234.927
1.256.246
1.335.086
Persen tingkat pendidikan terhadap jumlah total guru. Sumber: www.depdiknas.go.id/statistik diakses 12 Agustus 2008, data asli Depdiknas tanpa pengolahan.
but saya maknai begini. Jawa membutuhkan lebih banyak penambahan jumlah ruang kelas dan guru di sekolah-sekolah daripada wilayah luar Jawa. Meskipun demikian, wilayahwilayah luar Jawa, khususnya Papua, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan tampaknya membutuhkan perhatian lebih serius daripada Jawa dalam hal penyeimbangan persebaran guru di setiap sekolah. Mengingat besarnya tantangan medan geografi dan minimnya ketersediaan infrastruktur publik seperti sarana transpor-
<< 18
Jika mau diringkas, uraian dan ulasan atas data Tabel 9 menyadarkan kita bahwa sekalipun secara keseluruhan jumlah ketersediaan guru dan kepala sekolah di Indonesia saat ini cukup memadai untuk mendukung terselenggaranya pendidikan bermutu, problem-problem khusus yang terkait dengan prioritas kebutuhan di berbagai wilayah pulau dapat menjadi penghambat serius dan karena itu perlu dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan. Tantangan terbesar Jawa adalah jumlah kebutuhan pendidikan yang besar dan terus meningkat. Sementara, tantangan terbesar wilayah luar Jawa adalah persebaran sumb-
201.863 guru SD yang berpendidikan Sarjana (S-1) dan baru ada 0,12% atau 1.543 orang berpendidikan pascasarjana. Artinya, dari total 1.335.086 guru/kepala sekolah SD tahun itu, 1.131.680 di antaranya belum S-1, bahkan di antaranya ada 417.374 orang yang berpendidikan di bawah diploma 1 alias hanya setingkat SLTA. Melihat fakta-fakta ini, tantangan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia sangat berat mengingat tuntutan profesionalitas guru dari hari ke hari semakin tinggi. Jika dianggap bagian peningkatan mutu, program sertifikasi guru yang sedang dijalankan pemerintah sesuai
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
Tabel 11: Rata-rata Lama Bersekolah pada Jenjang Pendidikan Dasar Sembilan Tahun Menurut Wilayah Pulau 1999-2005 (dalam tahun) Wilayah pulau
1999
2002
2004
2005
Jawa
7,26
7,76
7,8
7,966
Sumatera
7,087
7,566
7,7
7,82
Kalimantan
6,775
7,35
7,475
7,625
Sulawesi
6,975
7,3
7,18
7,3
Maluku
7,6
8,2
8,45
8,5
Bali & NTT/B
5,9
6,466
6,63
6,766
Papua
5,6
6,0
6,6
6,7
Angka-angka dalam Tabel 11 merupakan hasil olahan penulis atas data Departemen Pendidikan Nasional (diakses dari www.depdik nas.go.id/statistik 19 Agustus 2008).
amanat UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen barulah satu cara saja memperbaiki mutu pendidikan secara keseluruhan. Menyangkut kualitas guru dan kepala sekolah, upaya peningkatan mutu dipastikan akan terkendala jika ukuran mutu di sini adalah tingkat pendidikan formal guru/kepala sekolah. Mengingat jumlah guru/kepala sekolah yang belum/tidak berijasah Sarjana sangat besar, dan mengingat sebagian (besar) dari mereka telah memiliki pengalaman mengajar bertahun-tahun, maka diperlukan terobosan kebijakan peningkatan mutu guru, misalnya dengan menggantikan syarat ijasah sarjana dengan jumlah tertentu pengalaman mengajar. Tanpa terobosan kebijakan, mutu guru/ kepala sekolah akan timpang sekali, yakni antara kelompok guru berijasah S-1/S-2 (dan, sebagian, telah tersertifikasi), dan kelompok non-sarjana (dan tidak mungkin tersertifikasi). Ketimpangan mutu guru/ kepala sekolah yang mencolok menghambat upaya meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan. Persoalan mutu pendidikan
juga terkait dengan pertanyaan “seberapa terdidikkah warga negara yang telah menikmati pendidikan formal?” Tidak untuk menentukan tetapi sekedar membantu membayangkan tingkat keterdidikan formal, kiranya rata-rata lama bersekolah warga pada jenjang pendidikan dasar sembilan tahun pantas dicermati. Data (Tabel 11) menampilkan fakta bahwa tingkat attainment (keterselesaian) warga Maluku yang bersekolah pada wajib belajar 9 tahun selalu paling tinggi dibandingkan wilayah-wilayah lain dalam periode 1999-2005. Dengan tingkat attainment 8,5 pada tahun 2005. Misalnya, rata-rata warga Maluku yang bersekolah tinggal membutuhkan setengah tahun lagi untuk masuk kategori penduduk yang telah menyelesaikan program wajib belajar. Kondisi tersebut berbeda dengan kondisi di Papua, yang tingkat rata-rata lama bersekolah warga nya nyaris sama dengan wilayah Bali dan NTT/B pada tahun 2005, yakni 6,7, tetapi selalu paling rendah pada tahun-tahun 1999, 2002 dan 2004. Artinya, di wilayah Papua dan BaliNTT/NTB, upaya penuntasan program wajib belajar 9 tahun membutuhkan kerja lebih keras mengingat rata-rata warganya lulus SD saja dan hanya sebagian menikmati SMP, setidak-tidaknya kondisi hingga 2005. Yang selalu menjadi fenomena mena-
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
rik adalah kondisi di Jawa. Ternyata rata-rata lama bersekolah pada program wajib belajar 9 tahun penduduk di Jawa tidak beranjak kisaran range 7 dalam periode 1999-2005. Artinya, rata-rata penduduk usia wajib belajar di Jawa masih membutuhkan sekitar dua tahun untuk masuk kategori tuntas wajib belajar 9 tahun. Data tentang situasi rata-rata lama bersekolah mungkin tidak langsung menunjuk pada mutu pendidikan yang telah dijalani warga. Namun, data-data tersebut bisa menggambarkan seberapa terdidikkah warga secara formal. Secara keseluruhan, persoalan kualitas infrastruktur, jumlah dan rasio guru/siswa/sekolah, dan kualitas formal guru dan kepala sekolah, adalah gambaran kompleksitas persoalan pemerataan mutu pendidikan di Tanah Air hingga hari ini. Bersama dengan aneka persoalan pemerataan akses, persoalan pemerataan mutu menjadi tantangan berat pemerataan pendidikan kita. Tantangan tersebut menjadi semakin berat manakala kita ingat bahwa fakta kemiskinan ada di mana-mana.
19 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
Menemukan Penjelas Eksternal
Sejauh ini kita melihat dua kumpulan fakta: kemiskinan dan kondisi pendidikan yang memrihatinkan. Tetapi kita tidak tahu apakah satu kumpulan fakta menyebabkan/disebabkan oleh satu kumpulan fakta lainnya. Apakah kemiskinan menyebabkan suramnya situasi pendidikan, atau sebaliknya? Misalnya, apakah tingginya angka non-partisipasi sekolah disebabkan oleh tingginya jumlah warga yang memiliki masalah kesehatan? Atau, apakah banyaknya warga dalam kategori di bawah kemiskinan akibat tingginya angka putus sekolah dan rendahnya rata-rata lama bersekolah? Sejauh ini kita mengetahui bahwa masing-masing kumpulan fakta itu ada, tetapi kita tidak mengetahui dan dapat menjelaskan bagaimana persisnya hubungan antarkedua kumpulan fakta. Untuk menjelaskan hubungan fakta kemiskinan dan fakta suramnya pendidikan dasar, kita memerlukan penjelas eksternal, yakni data atas variabel-variabel di luar fakta-fakta itu. Misalnya, diperlukan data-data demografi sosial ekonomi: Apa dan
di mana pekerjaan penduduk yang tidak sekolah dan buta huruf? Apa pekerjaan orangtua/wali dari siswa SD yang putus sekolah? Mengapa seorang anak putus sekolah? Apa yang dilakukannya setelah putus sekolah? Jawaban atas pertanyaanpertanyaan tersebut penting artinya untuk menemukan penjelasan tentang hubungan fakta-fakta kemiskinan dan situasi pendidikan kita. Sayangnya, tulisan ini tidak didukung datadata demografi sosial-ekonomi, maka hanya terbatas dalam menguraikan penjelas eksternal dalam hubungan kemiskinan dan pendidikan. Meskipun demikian, data-data yang sudah dipaparkan menegaskan seberapa jauh kita telah mengolah potensi pendidikan sebagai driving force perubahan dan transformasi masyarakat. Sementara fakta-fakta kemiskinan terus menghantui, tampaknya kita relatif belum beranjak ke mana-mana dengan penempatan pendidikan sebagai ujung pendobrak lingkaran setan kemiskinan struktural.
Kemiskinan, Pendidikan dan Pengangguran Terdidik
Kemiskinan menghambat upaya pemerataan pendidikan. Orang miskin, apalagi mereka dalam kondisi berjuang untuk sekedar bertahan hidup—bukan berjuang untuk hidup layak—memprioritaskan terpenuhi nya kebutuhan sangat dasar, yakni makan. Pendidikan tergeser dari skala prioritas kebutuhan yang harus dipenuhi. Saya kira ini sikap alami siapapun yang berada dalam perjuangan bertahan hidup. Di sini, kemiskinan menjadi faktor eksternal pendidikan yang memutus peluang terpenuhinya hakikat kemanusiaan manusia, yakni pengembangan intelektualitas melalui forum formal pendidikan yang secara umum disepakati masyarakat dunia, yakni sekolah. Karena kemiskinan tidak muncul begitu saja tetapi hampir pasti disebabkan oleh suatu kebijakan politik, budaya maupun kondisi
sosial terstruktur lainnya, maka terhambatnya pemerataan pendidikan akibat kemiskinan dapat diartikan sebagai dampak dari kondisi makro dalam masyarakat yang tidak mendukung pemerataan pendidikan. Dalam tataran ini, dengan kata lain, upaya meningkatkan pemerataan pendidikan harus dilakukan dengan terobosan atas kebijakan politik dan struktur sosial-budaya masyarakat. Meskipun demikian, tercapainya pemerataan pendidikan bukanlah tujuan di dalam dirinya sendiri. Tercapainya pemerataan harus diarahkan pada tujuan lebih besar, yakni terbentuknya individu dan masyarakat yang memiliki karakter terdidik. Di sini, pemerataan adalah strategi untuk menampilkan pendidikan sebagai daya gebrak atau driving force transformasi sosial. Upaya mewujudkan
<< 20
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 tujuan ini bukan tanpa masalah. Banyak orang terdidik yang tidak menampilkan karakter (dan kualitas) keterdidikan, dalam arti bahwa sikap dan pilihan hidupnya tidak membawa implikasi yang mengentaskan sesamanya (bahkan dirinya sendiri) dari belenggu struktur sosial-politik masyarakat. Dalam konteks ini, pendidikan tidak mengentaskan individu dan masyarakat dari kemiskinan, tetapi justru menjadi bagian masalah sosial dan kadang menimbulkan masalah sosial baru. Salah satu contoh dari persoalan baru tersebut adalah pengangguran terdidik. Tidak selalu tingginya tingkat pendidikan seseorang menjamin keterserapan tenaga kerja dalam dunia kerja. Dalam beberapa kasus, tingkat pendidikan yang lebih tinggi justru menghalangi keterserapan seseorang ke dunia kerja akibat perhitungan investasi yang telah dilakukan demi pendidikan dan harapan (terlalu) tinggi atas hasil pendidikan yang diperoleh. Sekalipun ada banyak faktor di balik fenomena pengangguran terdidik; sekalipun keterserapan ke dunia kerja hanyalah salah satu indikator keberhasilan/kegagalan pendidikan; dan sekalipun pendidikan formal hanyalah salah satu aspek dari karakter keterdidikan (baca: keberbudayaan), banyaknya tenaga terdidik yang menganggur secara langsung maupun tidak langsung mengurangi potensi pendidikan sebagai driving force transformasi masyarakat. Ada semacam opportunity loss. Warga negara berpendidikan tinggi diandaikan mampu bukan hanya menemukan sumber penghidupannya sendiri, tetapi juga mem-
buka jalan penghidupan bagi warga negara lain yang tidak berpendidikan. Dengan banyaknya jumlah pengangguran terdidik, peluang terdobrak nya lingkaran kemiskinan struktural tereduksi dan justru menjadi kian kompleks akibat persoalan pengangguran terdidik itu. Pada bagian-bagian berikut ini, kita akan melihat secara konseptual dan teoritis posisi pendidikan sebagai driving force transformasi sosial. Setelah itu, kita ulas fenome na pengangguran terdidik di negeri ini. Di sini diasumsikan bahwa daya gebrak pendidikan terhadap jerat kemiskinan struktural berlangsung, antara lain, melalui lapangan pekerjaan yang membuka peluang pada penghasilan ekonomi warga secara lebih baik.
Pendidikan sebagai Driving Force Transformasi Sosial
bagai jalan mereproduksi kelas sosial dan ekonomi masyarakat, sekolah merupakan institusi sosial dan kultural tempat individu-individu murid dilatih dalam bentuk pengetahuan dan disposisi sikap tertentu yang sesuai kepentingan ideologis kelompok berkuasa. Dalam konteks dunia politik yang lebih luas, perspektif reproduksi memandang sekolah dan proses pendidikan di dalamnya melulu sebagai alat (aparatus) negara. Ia objek kekuasaan negara. Praktek pendidikan sebagai proses reproduksi kelas sosial dan ekonomi dapat dicermati misalnya pada praktek pendidikan kolonial di Indonesia. Sekolah-sekolah rendah didirikan pemerintah kolonial untuk “mendidik” masyarakat pribumi dengan keterampilan dasar baca-tulis dan berhitung yang dibutuhkan sektor perkebunan dan pemerintahan. Sekolah menjadi alat efektif bagi pemerintah kolonial untuk memperoleh tenaga kerja rendahan yang terampil dan murah. Giroux (1981) mencatat bahwa ada perubahan tekanan dalam teori
Kita perlu melihat perkembang an konsepsi fungsi atau peran pendidikan sebagai driving force transformasi sosial untuk mencermati apa yang keliru ataupun tidak pas dengan aspek mikro praktek pendidikan kita. Fungsi ataupun peran pendidikan terus berkembang sesuai tuntutan dan harapan masyarakat. Pandangan mula-mula yang banyak diterima adalah bahwa pendidikan formal berfungsi utama untuk reproduksi kelas sosial dan ekonomi masyarakat. Namun, pandangan postmodern yang muncul belakangan merombak wacana klasik yang relatif mapan itu dengan pengajuan pertanya an-pertanyaan radikal tentang hegemoni, dominasi, resistensi dan isu-isu hubungan kekuasaan dalam sekolah dan praktek pendidikan. Kajian kritis tentang pandangan-pandangan ini dilakukan antara lain oleh London (2002), Mangunwijaya (1999), Fer nandes (1988), Giroux (1980; 1981; 2000), Caughlan (2005), Schutz (2004), Bill Ashcroft (n/d). Menurut pandangan yang menganggap pendidikan formal se-
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
21 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
pendidikan sebagai reproduksi, yaitu dari reproduksi sosial ke reproduksi kultural ke reproduksi sosio-kultural. Perubahan tekanan ini membantu kita memahami dinamika hubungan kekuasaan secara terbatas. Namun, Giroux juga mengingatkan bahwa teori reproduksi saja tidak cukup untuk menjelaskan komplek sitas hubungan kekuasaan di dunia pendidikan karena teori reproduksi hanya memberi tekanan satu arah pada cara kerja kekuasaan dalam masyarakat (Giroux 1981:12). Menurut Giroux, perspektif reproduksi sosial memandang institusi pendidikan sebagai stasiun atau terminal pelatihan individu-individu, yang kemudian menjadi cakap dalam memertahankan kelas
<< 22
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 ekonomi dan sosial di dalam masyarakat kapitalis. Sementara itu, perspektif kultural menekankan bagaimana budaya sekolah direproduksi dan diperkokoh dan bagaimana upaya mereproduksi budaya sekolah sekaligus berperan memediasi reproduksi kelas masyarakat. Di sisi lain, perspektif sosio-kultural menelisik pemaknaan struktur kekuasaan di antara aspek-aspek yang ditekankan dalam perspektif reproduksi sosial maupun kultural. Orientasi perspektif sosio-kultural adalah menunjukkan bahwa kekuasaan terbentuk dan bekerja melalui individu-individu; bahwa kekuasaan dalam dunia pendidikan memang dibutuhkan dan tidak hanya menjadi faktor penghambat. Apa yang hilang dalam konsepsi teori reproduksi, kata Giroux (1980), adalah tekanannya pada kenyataan tentang multidimensionalitas kekuasaan. Teori reproduksi menganggap
kekuasaan bekerja dalam satu arah melalui hegemoni satu kelompok kelas masyarakat atas kelompok kelas lainnya. Cara kerja teori reproduksi seolah-olah mengasumsikan bahwa kekuasaan tercipta hanya untuk tujuan dominasi antarkelas tanpa kelas yang didominasi melakukan perlawanan dan bersikap resisten. Padahal, kata Giroux (1981:12) mengutip Michel Foucault (1979), “kekuasaan tidak pernah bersifat monolitis; kekuasaan tidak pernah dapat betul-betul digenggam hanya dalam satu tangan atau satu pemahaman”. Dalam kalimat Fernandes (1988), memandang sekolah hanya sebagai arena reproduksi kelas ber arti mengabaikan potensi resistensi, penentangan dan perlawanan yang mungkin diusung oleh golongan kaum tertindas yang menjadi objek hegemoni kekuasaan. Karena itu, menurut Fernandes (hlm. 169), pers pektif resistensi menjadi berguna untuk memahami “praktek nyata pendidikan sekolah tempat berlangsungnya interaksi dan hubungan dominasi/subdominasi”. Tidak seperti teori reproduksi, teori resistensi memandang sekolah dan proses pendidikan sebagai arena perjuangan meraih kebebasan insani dari dominasi kelas pengontrol (Giroux 2003). Dalam konsepsi ini, makna identitas, tanda-tanda kultural dan material yang coba ditanamkan oleh kelompok kelas dominan pada kesadaran kelompok marjinal, diragukan kebenarannya melalui apa yang oleh David F. Labaree (1986) dikategorikan sebagai pengabaian perangkat standar interaksi didaktis, kurikulum, buku sekolah dan ukuran-ukuran pedagogis, demi perubahan dan keteribatan sosial. Dilihat dari perspektif teori resistensi, Giroux (2000) berpendapat, sekolah dan praktek pendidikan merupakan wilayah publik tempat individu belajar terlibat secara aktif dan kritis dalam perubahan masyarakat yang berkelanjutan. Dalam arti ini, sekolah memainkan peran politis dalam perlawanan ter-
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 hadap dominasi kelas. Meskipun demikian, teori resistensi sesungguhnya tidak bekerja dengan cara kaku begitu. Para teoretisi pedagogi kritis seperti Henry Giroux yang tadi sudah disebut (Giroux 1980, 1981, 2000, 2003), Giroux dan Michele Schmidt (2004) serta teoretisi pendidikan komparatif seperti Gail P. Kelly dan Philip Altbach (1984), telah lama mengajukan pertanyaan-pertanyaan radikal tentang sejauh apa teori resistensi betul-betul beranjak dari paradigma dominasi kelas. Dengan kata lain, seberapa jauh misi keterlibatan aktif dan kritis dalam dan untuk perubahan sosial yang diusung teori resistensi terbebas dari motivasi atau nuansa ideologi hegemonik dari pengobar resistensi itu, juga harus diuji dan dikaji secara mendalam. Pemikir pendidikan Aaron Schutz (2004) menunjukkan bahwa model kontrol kekeluargaan, yang diterapkan sebagai mekanisme disiplin di dalam ruang kelas yang berisi anak-anak dengan masalahmasalah sosial, ternyata dapat memancing keterlibatan kritis, reflektif dan kreatif individuindividu. Meskipun demikian, model kontrol kekeluargaan tersebut tetap saja meng arahkan keterlibatan para murid demi “memenuhi tujuan yang telah digariskan institusi sekolah dan guru” (hlm. 3). Dalam konteks ini, semangat demokratis yang diusung mo del kontrol kekeluargaan sebagai alternatif model-model disiplin tradisional yang keras, jatuh kembali ke dalam praktek lain dari hegemoni. Akibatnya, kata Caughlan (2005), alihalih menekankan keterlibatan murid dalam perubahan sosial, baik kontrol model kekeluar-
gaan maupun disiplin ketat meman cing resistensi baru para murid. Uraian Schutz dan Caughlan menyiratkan adanya intervensi kekuasaan baik dalam pendekatan reproduksi maupun resistensi untuk menjadikan sekolah tempat perjuang an politis publik melawan dominasi kelas. Itu berarti, baik teori reproduksi maupun resistensi didasarkan pada kerangka pikir kekuasaan dan bagaimana kekuasaan tersebut bekerja secara dinamis. Akibatnya, makna apapun yang dihasilkan oleh proses persekolahan bagi identitas dan kesadaran sosial murid tidak pernah terbebas dari nilai-nilai ideologis yang terkonstruk dalam atmosfer institusi sekolah. Catatan Schutz dan Caughlan ini penting untuk memahami secara relatif seimbang hubungan sekolah dan masyarakat, yang sejauh ini terjebak dalam paradigma reproduksi kelas dan resistensi politik yang saling bersaing. Meskipun demikian, antropolog budaya seperti Jean Comaroff dan John Comaroff (1991) mengingatkan kemungkinan masih terjadinya parsialitas dalam memahami identitas. Sekolah memang merupakan terminal/stasiun reproduksi kelas maupun arena perjuangan, tempat ideologiideologi hegemonik diperlawankan melalui hubungan kekuasaan. Namun, cara para murid memahami dan memandang identitas dan perannya dalam masyarakat bukan semata-mata merupakan hasil dari proses persekolahan. Dengan kata lain, makna tentang identitas diri dan peran sosial yang dipahami murid dan dijadikan landasan gerakan sosial mereka, tidak selalu mencerminkan garis ideologis sekolah tempat mereka belajar. Me nurut Comaroff bersaudara, yang penting ditekankan adalah cara pandang “keluar” dalam memandang institusi pendidikan formal dan peran sosial-politiknya. Diperlukan paradigma yang “keluar” dari paradigma hegemoni demi pemahaman konstruksi identitas dalam proses pendidikan. Sebagai ringkasan dapat dikatakan
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
hal berikut ini. Pandangan-pandangan tentang hubungan antara pendidikan dan masyarakat selalu berubah sejalan dengan waktu. Pandangan klasik melihat institusi pendidikan sebagai arena reproduksi ekonomi dan kelas sosial masyarakat. Kemudian, menu rut perspektif resistensi, sekolah menjadi arena perjuangan melawan dominasi kelas. Lalu muncul pandangan “di antara” yang menganggap tujuan sekolah adalah reproduksi kelas sosial-ekonomi sekaligus arena perjuangan melawan dominasi kelas. Pandangan-pandangan tersebut dikritik masih terjebak dalam paradigma hubungan kekuasaan. Maka muncul pandangan postmodernis yang menekankan proses pendidikan tidak semata-mata dalam konteks hubung an kekuasaan, tetapi dalam konteks pencarian identitas dan penumbuhan kesadaran tentang identitas dengan faktor budaya berada pada posisi sangat penting. Pandangan-pandangan tentang hubungan pendidikan dan masyarakat (dan dampak yang diharapkan muncul dari hubungan itu) terus berubah sepanjang jaman sesuai alam pikir dan kebutuhan kontekstual masyarakat. Dalam konteks Indonesia hari ini, harus diakui, teori resistensi merupakan perangat konseptual yang paling relevan diterapkan untuk membaca persoalan-persoalan kebijakan dan praktek pendidikan. Alasannya, masih terdapat fakta-fakta kemiskin an struktural di negeri yang telah merdeka selama 63 tahun ini. Adanya kemiskinan struktural menyuratkan “panggilan” atau “misi” pendidikan harus mampu mendobrak dominasi kelas sosial-ekonomi yang, melalui aneka mekanisme, membelenggu sebagian (besar) warga masyarakat dalam kemiskinan. Sayangnya, pendidikan formal kita tampaknya belum memunculkan daya gebrak yang secara dramatis merombak strukturstruktur dan ketidakadilan yang menjadi akar kemiskinan. Salah satu bukti mlempemnya pendidikan formal kita itu adalah tingkat pengangguran terdidik.
23 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
Fakta Pengangguran Terdidik: Cermin Lemahnya Driving Force
<< 24
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 Bukan penyebab di dalam diri nya, tetapi tingginya pengangguran terdidik di Indonesia selama lebih dari sepuluhan tahun terakhir adalah indikasi nyata tentang lemahnya fungsi pendidikan sebagai driving force transformasi masyarakat. Dalam beberapa kali kesempatan, saya telah mengutip, meng uraikan dan mengulas data-data pengangguran terdidik dari beberapa sumber. (Lihat “Penganggur Lulusan Universitas”, Kompas 22/9/2006, hlm. 6; Dasar-dasar intelektualitas; Yang terlupakan dalam hubungan universitas dan dunia kerja. Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2007.) Ijinkan saya mengutip kembali data-data tersebut dengan ulasan klasifikasi tingkat pendidikan sekedar sebagai bukti statistik bahwa ada yang keli ru dengan aspek mikro praktek pendidikan kita. Saya ingin mengulangi menya jikan fakta-fakta ini. Data Hari an Kompas yang dikutip dari BPS (Kompas, 4/3/1997) menunjukkan, tahun 1989 dan 1995 laju peningkatan pengangguran lulusan Perguruan Tinggi (PT) adalah 22,73% per tahun (SLTP dan SLTA 14,97%; SD dan putus sekolah 29,70%). Dari laju peningkatan pengangguran lulusan
PT 22,73%, jumlah pengangguran lulusan universitas tertinggi di antara lulusan PT bentuk lainnya (seperti Akademi), yaitu 61.007 orang (1989) dan 241.413 (1995). Persentase pertumbuhan pengangguran lulusan universitas terhadap total angkatan kerja menempati posisi tertinggi kedua setelah lulusan SMA, yakni 10,93% tahun 1989 (SMA, 16,87%) dan 12,36% tahun 1995 (SMA, 18,09%). Setelah krisis 1997, sebagaimana ditunjukkan data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (http://www. nakertrans.go.id/pusdatinnaker/BPS/ Penganggur/Penganggur.htm dan http://www.nakertrans.go.id/pusda tinnaker/BPS/Penganggur/index_ penganggur.php), jumlah penganggur sarjana universitas cenderung turunnaik, namun angka absolutnya tetap lebih tinggi daripada penganggur dip loma lulusan akademi. Tahun 2000 jumlah penganggur sarjana lulusan universitas 277.000 orang (akademi: 184.000), tahun 2001: 289.000 (252.000), 2002: 270.000 (250.000), dan 2003: 245.000 (200.000), 2004: 348.000 (237.000), dan 2005: 385.418 (322.836). Lebih dramatis lagi, data BPS terbaru yang disiarkan Kompas (Kompas 22/8/2008) menyebutkan bahwa hingga Februari 2008 terdapat tak kurang dari 4.516.100 penganggur terdidik, atau lebih dari 50% jumlah total penganggur yang mencapai 9.427.600 (lihat Gambar fakta Terbaru Pengagguran Terdidik). Melihat data-data itu, pertanyaan yang langsung muncul adalah apa penyebab tingginya pengangguran terdidik? Sejumlah pengamat sepakat bahwa ada ba nyak penyebab di balik tingginya angka pengangguran terdidik. Kalangan ekonom cenderung menyebut kekakuan lapangan ker-
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 ja sebagai penyebab tidak terserapnya tenaga kerja terdidik. Kembali ke tulisan Siswono Yudho Husodo yang dirujuk di awal tulisan, pertumbuhan ekonomi yang tahun 2008 mencapai 6% tidak terlalu banyak Fakta Terbaru Pangangguran Terdidik
Sumber: Badan Pusat Statistik sebagaimana diberitakan Kompas 22 Agustus 2008.
menyerap tenaga kerja, termasuk tenaga kerja terdidik. Artinya, tinggi nya pengangguran terdidik disebabkan oleh faktor eksternal pendidikan, misalnya ekonomi. Meskipun demikian, menurut hemat saya ada faktor-faktor internal dari proses pendidikan yang turut memengaruhi tingginya angka pengangguran terdidik. Faktor-faktor itu menyangkut setidaknya tiga hal, yaitu mistmatch (ketidaksambungan) kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi; lemahnya tekanan pada pengembangan dasardasar intelektualitas siswa/mahasiswa selama proses pembelajaran; dan misorientasi (disorientasi) manajemen pendidikan. Akibat faktor-faktor internal ini dan diperparah situasi eksternal menyangkut kondisi ekonomi, peningkatan angka pengangguran terdidik merupakan paradoks dunia pendidikan kita. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa misi pencerahan dari proses pendidikan kita tidak berlangsung secara optimum—untuk tidak mengatakan tidak berlangsung sama sekali. Artinya, alih-alih memutus mata rantai kemiskinan dengan gebrakan pada dominasi struktur sosial yang memiskinan, pendidikan justru menjadi bagian dari proses pemiskinan itu sendiri. Mereka yang lulus/selesai dari suatu program pendidikan tidak dengan sendirinya menjadi individu mandiri yang kritis dan mampu berpikir kreatif sebagaimana mereka seharusnya. Di sini, uraian ini hanya menunjuk pada kasus tingginya angka pengangguran terdidik. Meskipun demikian, peluang kemungkinan tetap terbuka bahwa tingginya angka pengangguran terdidik merupakan cermin lemahnya fungsi pendidikan sebagai driving force transformasi masyarakat.
Simpul Kecil
Mengakhiri tulisan ini, ijinkan saya mencatat dua hal sebagai pengingat dan usulan. Pertama, upaya memperbaiki pendidikan (khususnya pendidikan dasar) di Indonesia kiranya perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip pokok yang melandasi terbentuknya sistem pendidikan na-
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Kebijakan Publik
sional. Ketiga prinsip dasar tersebut adalah pemerataan, kemandirian dan integrasi. Kemandirian dan integrasi terkait erat dengan perkembang an masyarakat. Tentang pemerataan dapat dikatakan berdasarkan uraian bagian-bagian sebelumnya bahwa wilayah Jawa dan luar Jawa memiliki prioritas pembangunan pendidikan yang berbeda. Di Jawa, problem pemerataan akses terkendala oleh jumlah penduduk yang sangat besar dan terus bertambah setiap tahun. Di luar Jawa, terutama wilayah Papua, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku, problem pemerataan akses terkendala oleh timpangnya persebaran infrastruktur dan fasilitas pendidikan dan sarana publik, misalnya sarana transportasi. Diperlukan strategi dan pendekatan pembangunan yang dapat mengatasi kendala di masing-masing wilayah agar akses pendidikan semakin merata. Kedua, upaya mengolah potensi pendidikan sebagai driving force transformasi sosial—sebagai daya gebrak memutus rantai kemiskinan struktural—perlu ditempuh dengan menguatkan kembali aspek nondidaktis dari proses pembelajaran di sekolah. Dalam teori pedagogi klasik, aspek non-didaktis itu dise but disciplinae, yaitu disposisi sikap atas kepemilikan ilmu pengetahuan (scientia). Dibahasakan sederhana, usulan saya ini sama sekali bukan ide baru. Proses pendidikan sebaiknya tidak menitikberatkan pada pemer olehan ilmu pengetahuan, tetapi pemerolehan cara-cara dan sikap untuk memperoleh ilmu penge tahuan. Gampangnya, merujuk misi pendidikan global abad ke-21 yang digariskan UNESCO, proses pendidikan perlu diarahkan pada tiga prinsip: learning to learn, learning to do, learning to live together. Hanya dengan demikian daya gebrak pendidikan dapat dihidupkan untuk memutus rantai struktur-struktur sosial dan ketidakadilan yang masih membelenggu sebagian (besar) warga bangsa kita hingga hari ini.
25 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
Perangkap Kemiskinan Dan Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin Penulis: Bagong Suyanto
Ketika pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM, salah satu konsekuensi yang tak terhindarkan adalah terjadi nya kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok rakyat yang berbanding terbalik dengan terjadinya penurunan daya beli masyarakat, khususnya keluarga miskin. Di berbagai daerah, dalam beberapa bulan terakhir dilaporkan harga kebutuhan pangan terus merayap naik. Tidak hanya harga beras, minyak goreng, dan minyak tanah yang semakin mahal, tetapi juga harga kedelai, tahu, tempe,
Efektivitas BLT
<< 26
susu, telur, ayam, dan berbagai kebutuhan pangan lain dilaporkan ikut naik karena yang berlaku adalah hukum pasar, yaitu ketika jumlah barang makin langka, maka otomatis harga akan terdongkrak naik. Bagi keluarga miskin, kenaikkan harga pangan yang melonjak hingga 50 persen ini, sudah barang tentu sangat merugikan. Efek domino kenaikkan harga BBM dan ancaman krisis pangan yang diikuti dengan melambungnya harga kebutuhan pokok rakyat, bukan saja menyebabkan keluarga miskin terancam kekurangan gizi, tetapi mereka juga terancam mengalami proses pendalaman dan perluasan kemiskin an karena makin tidak berdaya dan rentan. Perluasan kemiskinan ditandai dari kecenderungan, di mana jumlah orang miskin makin bertambah banyak, sektor di mana terjadi kemiskin an semakin banyak dan luas, dan
wilayah territorial yang terambah kemiskinan juga semakin luas. Sementara itu, pendalaman kemiskinan yang terjadi dapat dilihat dari tanda-tanda fisikal-material, seperti yang diungkap antara lain oleh indikator kesehatan (Indeks berat badan, prevalensi ibu kekurangan gizi, anemia anak-anak dan ibu, prevalensi rabun malam, indeks kemiskinan manusia dan sebagainya), indikator ekonomi (seperti peningkatan jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan, peningkatan jumlah pengangguran, peningkatan jumlah buruh yang menerima upah di bawah minimum provinsi dan sebagainya), indikator perampasan daya (terdiri dari 7 indikator utama, yaitu indeks kemiskinan manusia, penduduk yang meninggal di bawah 40 tahun, tingkat buta huruf orang dewasa, orang tanpa akses air bersih, orang tanpa akses ke jasa pelayanan kesehatan dan balita kurang gizi), serta yang paling parah adalah meluasnya internalisasi budaya kemiskinan.
Bagi masyarakat, terutama yang berasal dari golongan paling miskin, keputusan pemerintah menaikkan harga BBM dan ancaman terjadinya krisis pangan sudah barang tentu akan menyebabkan mereka menjadi korban pertama yang paling menderita karena harus menghadapi pukulan yang bertubi-tubi. Daya tahan masyarakat miskin dan para pelaku usaha kecil yang semula sudah semula kembang-
kempis, niscaya akan seketika kolaps jika efek domino kenaikkan harga BBM akan menyeret pula terjadinya kenaikkan biaya produksi dan harga kebutuhan hidup sehari-hari. Pemerintah sendiri sebetulnya sudah menyadari bahwa imbas kenaikkan harga BBM akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup masyarakat, khususnya keluarga miskin. Untuk itu, salah satu
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 langkah pemerintah untuk menepis kekhawatiran sebagian pihak tentang imbas negatif kenaikkan harga BBM adalah dengan menyalurkan bantuan langsung tunai (BLT) plus bagi kaum miskin Rp 100 ribu per keluarga per bulan. Disebut BLT Plus, karena selain uang, keluarga miskin juga akan mendapatkan bantuan komoditas pangan berupa minyak goreng dan gula. Diperkirakan sebanyak 19,1 juta keluarga miskin telah mendapat bantuan tunai Rp 19 triliun. Kompensasi bagi keluarga miskin ini diambilkan dari penghematan subsidi Rp 35 triliun akibat kenaikan harga BBM sekitar 30 persen. Separuh dari subsidi yang dihemat, digunakan untuk perlindungan kaum miskin, sedangkan separuhnya lagi untuk mengurangi defisit anggaran, yang mencapai 2,1 persen dari produk domestik bruto. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri telah menyatakan bahwa kenaikkan harga BBM tidak mungkin dihindari, sebab jika subsidi terus dipertahankan, maka resikonya anggaran negara akan jebol Dengan menaikkan harga BBM, selain dapat mengurangi terjadinya kekeliruan pemberi-
an subsidi BBM yang selama ini dinilai cukup banyak yang salah sasaran karena dinikmati oleh orang-orang kaya yang bermobil, menurut kacamata pemerintah pengalihan subsidi langsung kemasyarakat miskin dalam bentuk BLT Plus akan dapat bermanfaat untuk pengurangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat miskin. Benarkah demikian? Di atas kertas, dengan memberikan bantuan langsung dalam bentuk uang tunai kepada keluarga miskin, harus diakui akan dapat meringankan beban penderitaan keluarga miskin, terutama tatkala harga kebutuhan hidup sehari-hari naik pasca kenaikkan harga BBM. Ketika tekanan kebutuhan hidup makin menjejas, angka pengangguran makin meningkat, inflasi makin liar, dan peluang-peluang usaha yang tersedia terasa makin langka, bahkan tidak mustahil sebagian akan bangkrut, maka ruang gerak dan kesempatan masyarakat miskin untuk tetap survive menjadi makin sempit dan terbatas. Kalau pun hingga kini masyarakat miskin masih tetap mampu bertahan, bukan berarti mereka telah memiliki penyangga ekonomi yang mapan. Di berbagai daerah, bukan rahasia lagi bahwa masyarakat miskin tetap survive lebih disebabkan karena mereka melakukan berbagai langkah pengetatan, mencoba hidup seirit mungkin, sembari menunggu keajaiban peruba-
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
han kondisi perekonomian. Bagi masyarakat miskin, pengguliran berbagai program kompensasi BBM, Program Padat Karya, dan berbagai subsidi langsung yang dikucurkan pemerintah ibaratnya adalah suntikan energi baru atau penyangga sementara yang membuat masyarakat miskin dapat memperpanjang nafas dan daya tahan mereka. Tetapi, persoalannya kemudian: ketika masyarakat miskin jauh-jauh hari telah terperangkap utang yang kronis, seberapa jauh sebetulnya mereka masih dapat menikmati manfaat dari program bantuan langsung tunai yang dikucurkan pemerintah? Pertanyaan ini penting untuk dijawab, karena tidak sedikit kasus memperlihatkan bahwa pemberian BLT ternyata hanya numpang lewat. Di kalangan keluarga miskin yang sebelumnya sudah terpaksa berutang ke sana ke mari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ketika BLT mereka terima, maka dalam hitungan cepat dana itu segera berpindah tangan. Kucuran uang cash di kalangan masyarakat miskin, ternyata acapkali yang menikmati adalah para rentenir dan pemilik warung atau toko di sekitar tempat tinggal masyarakat miskin yang sebelumnya telah meminjamkan uang kepada keluarga miskin penerima BLT itu. Secara teoritis, sebuah keluarga yang dijejas kemiskinan, mereka umumnya tidaklah akan banyak berdaya, ruang geraknya untuk menghadapi tekanan kemiskinan serba terbatas, dan cenderung kesulitan untuk terserap dalam sektor-sektor yang memungkinkan mereka dapat mengembangkan usahanya. Jangankan untuk mengembangkan diri menuju ke taraf sejahtera, sedangkan untuk bertahan menegakkan hidup fisiknya pada taraf yang subsisten saja bagi keluarga miskin hampir-hampir merupakan hal yang mustahil bila tidak ditopang oleh jaringan dan pranata sosial di lingkungan sekitarnya.
27 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
Perangkap Kemiskinan
<< 28
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 Pengalaman selama lima tahun terakhir telah banyak mengajarkan bahwa memberantas kemiskinan dan memberdayakan masyarakat miskin yang sudah terlanjur meluas harus diakui jauh lebih mudah diucapkan daripada dilakukan dan dibuktikan di lapangan. Kemiskinan sesungguhnya adalah masalah sosial yang jauh lebih kompleks dari sekadar persoalan kekurangan pendapatan atau tidak dimiliki nya asset produksi untuk melangsungkan kehidupan. Secara teoritis, menurut faktor yang melatarbelakanginya, akar penyebab kemiskinan dapat dibedakan paling-tidak menjadi dua kategori. Pertama, kemiskinan alamiah, yak ni kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumber-sumber daya yang langka jumlahnya dan/atau karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah. Artinya faktor-faktor yang menyebabkan suatu masyarakat menjadi miskin adalah secara alami memang ada, dan bukan bahwa akan ada kelompok atau individu di dalam masyarakat tersebut yang lebih miskin dari yang lain. Mungkin saja dalam keadaan kemiskinan alamiah tersebut akan terdapat perbedaan-perbedaan kekayaan, tetapi dampak perbedaan tersebut akan diperlunak atau dieli minasi oleh adanya pranata-pranata tradisional, seperti pola hubungan patron-client, jiwa gotong-royong, dan sejenisnya yang fungsional untuk meredam kemungkinan timbulnya kecemburuan sosial.
Kedua, kemiskinan buatan, yak ni kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata. dengan demikian sebagian anggota masyarakat tetap miskin walaupun sebenarnya jumlah total produksi yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut bila dibagi rata dapat membebaskan semua anggota masyarakat dari kemiskinan. Kemiskinan buatan —dalam banyak hal— terjadi bukan karena seorang individu atau anggota keluarga malas bekerja atau karena mereka terus-menerus sakit. Berbeda dengan perspektif modernisasi yang cenderung memvonis kemiskinan bersumber dari lemahnya etos kerja, tidak dimilikinya etika wirausaha atau karena budaya yang tidak terbiasa dengan kerja keras, kemiskinan buatan dalam perbincangan di kalangan ilmuwan sosial acapkali diidentikkan dengan pengertian kemiskinan struktural. Menurut Selo Soemardjan (1980), yang dimaksud dengan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Secara teoritis, kemiskinan buat an atau kemiskinan struktural dapat diartikan sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber, dan oleh karena itu dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku adalah sedemikian rupa keadaannya sehingga mereka yang termasuk ke dalam golongan miskin tampak tidak berdaya untuk mengubah nasibnya dan tidak mampu memperbaiki hidupnya. Struktur sosial yang berlaku telah mengurung mereka ke dalam suasana kemiskinan secara turun-temurun selama bertahun-tahun. Sejalan de ngan itu, mereka hanya mungkin keluar dari penjara kemelaratan melalui
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 suatu proses perubahan struktur yang mendasar. Kemiskinan struktural, biasanya terjadi di dalam suatu masyarakat di mana terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup melarat dengan mereka yang hidup dalam kemewahan dan kaya raya. Mereka itu, walaupun merupakan mayoritas terbesar dari masyarakat, dalam realita tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk mampu memperbaiki nasib hidupnya. Sedangkan minoritas kecil masyarakat yang kaya raya biasanya berhasil memonopoli dan mengontrol berbagai kehidupan, terutama segi ekonomi dan politik. Selama golongan kecil yang kaya raya itu masih menguasai berbagai kehidupan masyarakat, selama itu pula diperkirakan struktur sosial yang berlaku akan bertahan. Akibatnya terjadilah apa yang disebut dengan kemiskinan struktural. Golongan yang mende rita kemiskinan struktural itu, misalnya terdiri dari para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, atau kaum migran di kota yang bekerja di sektor informal dengan hasil yang tidak menentu sehingga pendapatannya tidak mencukupi untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan keluarga nya. Termasuk golongan miskin lain adalah kaum buruh, pedagang kaki lima, penghuni permukiman kumuh, pedagang asongan, dan lain-lain yang tidak terpelajar dan tidak terlatih, atau apa yang dengan kata asing disebut unskilled labour. Golongan miskin ini meliputi juga para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah —yang sekarang dapat dinamakan golongan ekonomi sangat lemah
(Soedjatmoko, 1981: 46-61). Di kota seperti Surabaya, golongan masya rakat miskin ini umumnya tinggal di rumah-rumah petak atau permukiman kumuh yang padat, berjejal, dan sebagian besar merupakan pekerja di sektor informal. Ciri utama dari kemiskinan struktural ialah tidak terjadinya —kalaupun terjadi sifatnya lamban sekali— apa yang disebut sebagai mobilitas sosial vertikal. Mereka yang miskin akan tetap hidup dengan kemiskinannya, sedangkan yang kaya akan tetap menikmati kekayaannya. Mengapa bisa sampai begitu? Menurut pendekatan struktural, faktor penyebabnya adalah terletak pada kungkungan struktural sosial yang menyebabkan mereka kekurangan hasrat untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan yang menghalangi mereka untuk maju. Umpamanya kelemahan ekonomi tidak memungkinkan mereka untuk memperoleh pendidikan yang berarti agar bisa melepaskan diri dari kemelaratan. Ciri lain dari kemiskinan struktural adalah timbulnya ketergantung an yang kuat pihak si miskin terhadap kelas sosial-ekonomi di atasnya. Menurut Mohtar Mas’ud (1994: 143), adanya ketergantungan inilah yang selama ini berperan besar dalam memerosotkan kemampuan si miskin untuk bargaining dalam dunia hubung an sosial yang sudah timpang antara pemilik tanah dan penggarap, antara majikan dan buruh. Buruh tidak punya kemampuan untuk menetapkan upah, pedagang kecil tidak bisa mendapatkan harga yang layak atas barang yang mereka jual —pendek kata pihak yang miskin relatif tidak dapat berbuat banyak atas eksploitasi dan proses marginalisasi yang dialaminya karena mereka tidak memiliki alternatif pilihan untuk menentukan nasib ke arah yang lebih baik. Pengertian dan definisi kemiskinan struktural, kendati menjadi alternatif konsep yang lebih disukai
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
ilmuwan sosial. Tetapi, kelebihan definisi seperti yang dikemukakan Selo Soemardjan di atas diakui atau tidak sesungguhnya cenderung bersifat ideologis —dalam arti definisi di atas populer karena di sana ada semangat dan nilai-nilai yang menggugat kemapanan dan status quo. Secara konseptual, definisi kemiskinan yang dikemukakan Selo Soemardjan sedikit-banyak bersifat normatif. Parsudi Suparlan, misalnya, seorang antropolog yang menyunting kumpul an tulisan tentang kemiskinan di perkotaan, dengan lugas menyatakan bahwa definisi yang dikemukakan Selo Soemardjan kurang tajam dan tidak masuk akal (Suparlan, 1984: 14-15). Definisi dan pengertian kemiskinan yang lebih lengkap —dalam arti sesuai dengan kenyataan dan secara konseptual jelas— dikemukakan oleh Robert Chambers (1987). Menurut Robert Chambers, inti dari masalah kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut deprivation trap atau perangkap kemiskinan. Secara rinci, deprivation trap terdiri dari lima unsur, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keter asingan atau kadar isolasi, (4) keren tanan, dan (5) ketidakberdayaan. Kelima unsur ini seringkali saling berkait satu dengan yang lain sehing ga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin. Dari kelima dimensi di atas, kerentanan dan ketidakberdayaan perlu mendapat perhatian yang utama. Kerentanan, menurut Chambers dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyedia kan sesuatu guna menghadapi situa si darurat seperti datangnya bencana alam, kegagalan panen, atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga miskin itu. Kerentanan ini sering menimbulkan poverty rackets atau “roda penggerak kemiskinan” yang menyebabkan keluarga miskin harus menjual harta benda dan asset
29 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
produksinya sehingga mereka menjadi makin rentan dan tidak berdaya. Ketidakberdayaan keluarga miskin salah satunya tercermin dalam kasus di mana elit desa dengan seenaknya memfungsikan diri sebagai oknum yang menjaring bantuan yang sebenarnya diperuntukkan bagi orang miskin. Ketidakberdayaan keluarga miskin di kesempatan yang lain mungkin dimanifestasikan dalam hal seringnya keluarga miskin ditipu dan ditekan oleh orang yang memiliki kekuasaan. Ketidakberdayaan sering pula mengakibatkan terjadinya bias bantuan terhadap si miskin kepada kelas di atasnya yang seharusnya tidak berhak memperoleh subsidi (Loekman Soetrisno, dalam: Dewanta dkk., 1995: 19-20). Seseorang atau sebuah keluarga yang miskin acapkali mampu tetap survive dan bahkan bangkit kembali terutama bila mereka memiliki jaringan atau pranata sosial yang melindungi dan menyelamatkan. Tetapi, seseorang atau keluarga yang jatuh pada lingkaran setan atau perangkap kemiskinan, mereka umumnya sulit untuk bangkit kembali. Seseorang yang dibelit perangkap kemiskinan acapkali tidak bisa ikut menikmati hasil pembangunan dan justru menjadi korban pembangunan, rapuh, tidak atau sulit meng alami peningkatan kualitas kehidupan, dan bahkan acapkali justru mengalami penurunan kualitas kehidupan. Secara empirik, banyak bukti memperlihatkan bahwa naiknya penduduk di atas garis kemiskinan tidak otomatis berarti penduduk tersebut hidupnya benar-benar bebas dari ancaman dan perangkap
<< 30
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 kemiskinan, melainkan penduduk tersebut sebenarnya hanya berpindah dari satu tahap kemiskinan yang terendah —yaitu tahap destitute— ke tahap apa yang disebut sebagai near poor. Dibandingkan dengan kelompok kemiskinan destitute, kelompok near poor hidupnya memang relatif lebih baik, namun belum benar-benar stabil. Dalam arti bila sewaktu-waktu kelompok near poor ini menghadapi suatu krisis, maka dengan cepat kelompok near poor ini akan melorot lagi ke status destitute. Sebuah keluar ga petani yang termasuk kelompok near poor tidak mustahil terpaksa turun kelas menjadi kelompok desti tute bila tanpa diduga panen mereka tiba-tiba gagal karena serangan hama, karena serangan banjir, atau karena anjloknya harga jual di pasaran akibat ulah spekulan gabah. Dalam kenyataan bahkan acap terjadi, kelompok masyarakat yang termasuk cukupan atau kaya —bukan kelompok near poor— tiba-tiba harus mengalami penurunan status yang drastis, yakni masuk ke dalam kelompok “keluarga miskin baru”. Jadi, berbeda dengan kesan dan pengumum
an yang dikeluarkan pemerintah belakangan ini yang menyebutkan jumlah orang miskin di Indonesia senantiasa turun dari waktu ke waktu, dalam kenyataan justru tidak jarang terjadi penambahan jumlah orang miskin. Studi yang dilakukan Bagong Suyanto di sejumlah daerah di Jawa Timur menemukan bahwa tdak sedikit kelompok masyarakat dari golongan menengah ke bawah atau yang semula hanya tergolong near poor, terpaksa turun statusnya dari kelompok cukupan menjadi “keluarga miskin baru” (Suyanto & Karnaji, 2005). Studi yang dilakukan Suyanto dkk. tersebut, walau hanya dilakukan di Jawa Timur, namun membuktikan bahwa usaha untuk memberantas kemiskinan memang bukan hal yang mudah, sebab apa yang dialami keluarga dan masyarakat miskin bukan sekedar kekurangan pendapatan atau tidak dimilikinya modal usaha saja, tetapi lebih dari itu yang sesungguhnya membelenggu keluarga dan masyarakat miskin adalah apa yang disebut Robert Chambers dengan istilah perangkap kemiskinan atau lingkaran setan kemiskinan.
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
Mekanisme Survival Keluarga Miskin
Kendati tekanan kemiskinan tidak sekali-dua kali menimpa keluarga miskin. Tetapi, dalam kenyataan tidak sedikit keluarga miskin ternyata mampu tetap survive, dan bahkan keluar dari situasi krisis yang membelenggunya dengan selamat. Dalam hal ini, tak pelak mekanisme survival menjadi sesuatu yang penting. Dalam kehidupan sehari-hari, keluarga miskin umumnya akan memperkecil atau memperluas lingkaran anggota keluarganya agar dapat memenuhi kebutuhannya dan menyesuaikan diri dengan situasi sosial-ekonomi yang berubah. Kegiatan usaha ditujukan untuk menjamin keperluan hidup keluarga melalui produksi subsisten dan sekarang ini makin banyak juga melalui produksi tambahan unuk pasar, seperti melalui pembentukan modal di dalam usaha pertanian untuk memperluas dasar eksistensinya (Blanckunberg dan Sach, 1982). Dari hasil kajiannya terhadap sejumlah keluarga miskin di Filipina, George Carner (1982) berhasil mengidentifikasi pola dan mekanisme survival yang biasa dikembangkan keluarga miskin untuk bertahan hidup. Pada tahap awal, sasaran yang dituju oleh rumah tangga berpendapatan sangat rendah adalah menghasilkan atau memperoleh makan cukup. Di berbagai wilayah pedesaan, sudah
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
bukan rahasia lagi bahwa akses pada lahan untuk produksi yang subsisten sedikit-banyak akan melindungi rumah tangga miskin itu dari biaya pangan yang meningkat, dengan menyediakan suatu bentuk jaminan pangan yang penting. Apabila kebutuhan pangan ternya ta pada satu titik tidak dapat dipenuhi secara memadai, maka ada beberapa cara yang dilaksanakan rumah tangga untuk menanggulanginya. Pertama adalah para anggota keluarga rumah tangga miskin itu menganekaragamkan kegiatan-kegiatan kerja mereka. Pekerjaan-pekerjaan yang paling merendahkan martabatpun diterima, kendati bayarannya rendah. Bila kegiatan ini masih tidak memadai, mereka biasanya akan berpaling ke sistem penunjang yang ada di desa. Sanak-keluarga yang lebih kaya mungkin menyediakan utang atau sedikit lahan untuk menanam sayursayuran. Dalam menghadapi pendapatan dan peluang yang merosot, mereka yang termiskin pun bertahan dengan harapan para sahabat dan keluarga mereka akan membagi kelebihan apapun yang mereka miliki. Mekanisme survival dan penanggulangan lain yang biasanya dikembangkan keluarga miskin adalah bekerja lebih banyak dengan lebih sedikit pemasukan. Akhirnya, bila kemungkinan-kemungkinan untuk bertahan hidup di desa menunrun hingga titik yang menentukan, maka pilihanya kemudian biasanya adalah melakukan urbanisasi. Uang kiriman dari para anggota keluarga yang melakukan migrasi seringkali memungkinkan sebuah keluarga memantapkan kembali suatu penghidupan minimal di desa asal mereka. Di pihak lain, bila sesorang migran berhasil menancapkan jejak yang kokoh di daerah baru, seluruh keluar ga mungkin akan bergabung dengannya. Bagi keluarga miskin, keberadaan kerabat dan masyarakat di sekitarnya paling-tidak memiliki enam fungsi potensial. Pertama, tinggal bersama, di
31 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
mana semua anggota keluarga hidup di satu rumah atau satu halaman rumah. Kedua, rumah tangga bersama, di mana anggota keluarga masak, makan, dan mendidik anak bersamasama. Ketiga, produksi bersama, di mana orang tua, anak
dan kerabat lainnya mengolah tanah bersama. Keempat, pembagian alat-alat produksi, di mana tanah yang merupakan miliki bersama akan dibagikan oleh kepala Desa atau pimpinan keluarga kepada setiap orang yang berhak mengolahnya. Kelima, penopang solidaritas dan jaminan sosial. Hal-hal yang terlalu mahal secara ekonomi bagi seseorang atau keluarga tertentu diambil alih oleh ikatan keluarga, misalnya pembiayaan pendidikan atau penunjang bagi anggota keluarga yang sudah tua dan yang sedang dalam kesulitan. Keenam, wewenang membuat keputusan ekonomi yang penting (Blanckunberg dan Sach, 1982).
Upaya Penanggulangan Kemiskinan
Selama ini, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi dan menghapus kemiskinan. Berbagai program telah dirumuskan dan dilaksanakan di lapangan, serta tidak sedikit pula dana telah dikucurkan ke masyarakat, seperti terus memacu pertumbuhan ekonomi nasional, menyediakan fasilitas kredit bagi masyarakat miskin —antara lain melalui pemberian bantuan dana IDT, JPES, PPK, dan lain-lain— memba ngun infrastruktur di permukiman kumuh, pengembangan model pembangunan kawasan terpadu, termasuk melaksanakan dan meningkatkan kualitas program pembangunan, dan lain-lain. Untuk sebagian, berbagai bantuan dan program yang telah diupayakan pemerintah memang cukup bermanfaat. Namun, harus diakui bahwa upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan hingga kini masih belum membuahkan hasil yang memuaskan. Masih banyak penduduk Indonesia baik di desa maupun di kota yang hidup dibelit kemiskinan. Di sisi lain, tak bisa diingkari, fakta bahwa kendati jumlah orang miskin menurun, namun kesenjangan dalam banyak hal justru semakin lebar. Pengalaman selama ini telah ba nyak memperlihatkan, bahwa lambatnya perkembangan ekonomi rakyat disebabkan sempitnya peluang untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang mana hal itu merupakan konsekuensi dari kurangnya penguasaan dan pemilikan asset produksi terutama tanah dan modal. Pada umumnya masyarakat miskin tidak memiliki surplus pendapatan untuk bisa ditabung bagi pembentukan modal.
<< 32
Pendapatan yang diperoleh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pokok sehari-hari. Di samping itu, faktor lain yang menyebabkan berbagai program pengentasan kemiskinan menjadi kurang efektif tampaknya adalah berkaitan dengan kurangnya dibangun ruang gerak yang memadai bagi masyarakat miskin itu sendiri untuk memberdaya kan dirinya. Acap terjadi, kegiatan pembangunan yang bertujuan untuk mensejahterakan penduduk miskin justru terjebak menjadi program yang melahirkan ketergantungan baru, dan bahkan mematikan potensi swakarsa lokal. Selama ini pendekatan pemerintah dalam mengatasi kemiskinan —baik di tingkat nasional, regional maupun lokal— umumnya adalah dengan menerapkan pendekatan ekonomi semata, yang seringkali kurang mengabaikan peran kebudayaan dan konteks lokal masyarakat. Ada kesan kuat bahwa di mata pemerintah masalah kemiskinan sepertinya hanya dipahami sebagai sebuah persoalan kekurangan pendapatan. Sangat kelihatan pula di berbagai program yang dilaksanakan pemerintah umumnya hanya berusaha memberikan bantuan di bidang permodalan, memberikan subsidi, dan semacamnya. Kendati secara harafiah nama berbagai program pengentasan kemiskinan berbedabeda, tetapi substansinya sesungguhnya hampir sama, yakni memberikan aliran modal kepada masyarakat miskin dan meminta mereka bekerja lebih keras untuk memberdayakan dirinya sendiri. Memang, untuk jangka pendek pemberian bantuan ekonomi itu bisa Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 bermanfaat. Tetapi, untuk jangka panjang sesungguhnya pemberian bantuan ekonomi itu tidak akan bisa menyelesaikan masalah kemiskinan secara tuntas. Banyak bukti memperlihatkan bahwa pemberian bantuan ekonomi saja ternyata justru melahirkan problem-problem baru yang tidak kalah ruwetnya. Bahkan, tidak mustahil terjadi diperolehnya bantuan modal pinjaman kredit justru merupakan titik awal dari macam-macam masalah lain dan kehancuran usaha masyarakat miskin. Sebabnya salah satunya adalah berpangkal dari kesa lahan orang miskin itu sen diri yang kadang hidup boros. Tetapi, disisi lain, kesalahan juga bisa bersumber dari tekanan-tekanan kebutuhan ekonomi yang memang tidak
Model Pemberdayaan Masyara kat Miskin
bisa dielakkan masyarakat miskin, sering menyebabkan mereka terpaksa harus mengalihkan dan memanfaatkan kredit yang diperoleh bukan untuk kegiatan produktif, tetapi untuk kegiatan yang sifatnya konsumtif. Penelitian yang dilakukan LPPM Universitas Airlangga (2007) tentang peran berbagai lembaga kredit pedesaan yang sebenarnya dimaksudkan untuk membantu kegiatan produktif masyarakat, menemukan ternyata banyak penduduk miskin yang memanfaatkan kredit yang diperolehnya itu bukan untuk kegiatan produktif, melainkan untuk kegiatan yang sifatnya konsumtif, terutama untuk makan sehari-hari. Tekanan kebutuhan sehari-hari yang senantiasa meng ancam dan kewajiban untuk menghidupi anak dan semacamnya telah membuat banyak keluarga atau golongan masyarakat miskin sulit untuk mengembangkan usahanya. Studi yang dilakukan Bagong
Suyanto dkk. (2005) dalam batas-batas tertentu juga menemukan bahwa implementasi program penanggulangan di lapangan ternyata tidak selalu seperti yang diharapkan. Belum jelasnya siapa sebenarnya kelompok sasaran yang diprioritaskan, dan masih adanya ego sektoral di masing-masing departemen, serta ditambah lagi dengan orientasi program yang belum bersifat kontekstual, maka bisa dipahami jika pelaksanaan berbagai program penghapusan kemiskinan belum memperlihatkan hasil dan daya ungkit yang memadai. Bahkan, dalam beberapa hal, pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan yang semula diharapkan dapat memberdayakan penduduk miskin, ternyata dalam kenyataan justru melahirkan bentuk ketergantungan baru dan berbagai penyimpangan yang menyebabkan pada akhirnya pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan menjadi tidak efektif.
Memberantas kemiskinan dan memberdayakan masyarakat miskin di berbagai daerah yang sudah terlanjur meluas harus diakui jauh lebih mudah diucapkan daripada dilakukan dan dibuktikan di lapangan. Di era otonomi daerah seperti sekarang ini, ada kecenderungan yang menggambarkan masalah kemiskinan makin sulit ditangani karena seringkali diperparah oleh adanya kesenjang an sosial yang terlampau lebar, dan bahkan dalam sejumlah kasus diperparah karena adanya proses margina lisasi. Kendati keluarga miskin terbukti memiliki mekanisme survival yang kenyal dan berketahanan untuk menyiasati tekanan kemiskinan, dan didukung oleh pranata-pranata sosial setempat yang berfungsi sebagai asuransi sosial, tetapi akibat proses pendalaman dan perluasan kemiskinan yang berkelanjutan, maka kesempatan keluarga miskin untuk bangkit atau keluar dari tekanan kemiskinan
yang menjejasnya seringkali gagal, sehingga bisa dipahami jika secara sosial-ekonomi posisi mereka makin terpuruk, terlebih pada masa setelah terjadinya kenaikan harga BBM. Pengalaman telah banyak meng ajarkan pada kita, bahwa kelemahan dari berbagai program penanggulang an kemiskinan yang dicanangkan bermula dari kebijakan pembangunan yang cenderung lebih banyak ber orientasi ke pertumbuhan ekonomi makro, cenderung sentralistik atau terpusat, sehingga tidak peka pada kebutuhan lokal. Di sisi lain, berbagai program penanggulangan kemiskinan yang disusunkan dan digulirkan acapkali bersifat karitatif, dan memposisikan masyarakat sebagai obyek yang tidak memiliki potensi swakarsa. Dengan memandang kemiskinan hanya dari aspek ekonomi saja, maka yang terjadi kemudian permasalahan kemiskinan di berbagai komunitas seringkali dianggap serba sama (uni-
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
33 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
form) dan diyakini akan dapat dipecahkan semata-mata hanya dengan mengandalkan pemberian bantuan modal usaha. Keengganan untuk meran cang dan menggulirkan program penanggulangan kemiskinan yang berorientasi ke pemberdayaan secara nyata, dan dengan orientasi program yang juga kurang bersifat kontekstual, bisa dipahami jika pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan di Indonesia, belum memperlihatkan hasil yang signifikan —apalagi memperlihatkan daya ungkit yang benar-benar nyata. Tidak jarang terjadi, pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan, yang semula diharapkan dapat memberdayakan penduduk miskin seraya mengurangi penderitaan mereka, ternyata dalam kenyataan justru melahirkan bentuk ketergantungan baru dan melahirkan berbagai bias yang menyebabkan pada akhirnya program yang dicanangkan menjadi tidak efektif. Menurut Izzedin Bakhit (2001), saat ini yang dibutuhkan adalah programprogram penanggulangan kemiskinan yang dapat memberikan hasil yang nyata, tak pelak yang diusahakan adalah bagaimana mengontrol sebabsebab dan menggempur akarakar kemiskinan hingga tuntas (attacking the roots of pov erty). Pengalaman masa lalu telah banyak mengajarkan, bahwa program-program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan hanya berdasarkan pertimbangan logika produksi atau sekadar mengejar peningkatan omzet produksi, terlebih program yang sifatnya karitatif semata bukan saja menyebabkan terjadinya overstock dan
<< 34
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 berhadapan dengan keterbatasan pangsa pasar. Tetapi, juga melahirkan proses marginalisasi dan ketergantungan penduduk miskin yang makin menyolok mata. Studi yang dilakukan Bagong Suyanto (2005) menemukan simpulan bahwa berbagai program penanggulangan kemiskinan yang digulirkan --terutama dalam bentuk pemberian subsidi yang karitatif dan bantuan modal usaha atau pembinaan usaha produktif keluarga miskin-- seringkali masih terkonsentrasi pada rekayasa yang sifatnya teknis produksi dan cenderung hanya beriorientasi kuantitas, sehingga dalam banyak hal lebih menguntungkan kelompok masyara kat yang memiliki modal dan asset produksi yang berlebih. Kebijakan pembangunan dan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dikembangkan diakui atau seringkali kurang memperhatikan karakteristik dan konteks lokal masyarakat miskin, sehingga jangan heran jika yang terjadi kemudian adalah paket-paket kebijakan dan program yang bersifat meritokratis. Bisa dibayangkan, apa yang terjadi jika pemerintah mengucurkan sejumlah dana kepada masyarakat miskin tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan struktur sosial masyarakat lokal yang terpolarisasi atau palingtidak terstratifikasi atas dasar ber bagai dimensi? Ke depan, untuk mencegah agar tidak lagi terperosok pada kekeliruan yang serupa, dan upaya penyelamatan serta pemberdayaan masyarakat miskin benar-benar dapat berjalan efektif, maka yang dibutuhkan bukan sekadar kesediaan untuk melakukan introspeksi, tetapi juga revitalisasi program pemberdayaan masyarakat miskin yang benar-benar berpihak kepada lapisan yang paling miskin —khususnya para pelaku ekonomi kerakyatan. Pertama, langkah awal yang semestinya disadari bahwa pemberdayaan masyarakat miskin, sesungguhnya akan selalu berkaitan upaya
peningkatan posisi tawar (bargaining position) masyarakat miskin melawan kekakuan (rigidity) dan sifat eksploitatif dari struktur yang membelenggu mereka. Dengan perkataan lain, program pembangunan sosial dan upaya penanggulangan kemiskinan seyogianya tidak hanya terjebak pada program-program yang sifatnya karitatif, melainkan harus lebih mengedepankan program-program yang berorientasi pada proses pemberdayaan, yang intinya bersifat peo ple centered, participatory, empower ing, dan sustainable. Pemberdayaan pada intinya adalah pemanusiaan. Pemberdayaan, mengutamakan usaha sendiri dari orang yang diberdayakan untuk meraih keberdayaannya. Oleh karena itu, pemberdayaan sangat jauh dari konotasi keter gantungan. Dua hal yang menjadi prasyarat bagi upaya pemberdayaan adalah, pertama, pembentukan kelompok (Pokmas) untuk memperkuat posisi bargaining penduduk miskin, khususnya dalam penentuan harga. Kedua, dalam bentuk pengembangan jaringan (net working) dan memperluas akses penduduk miskin terhadap pasar yang lebih luas. Seperti sudah disinggung di muka, bahwa kekurangan pokok yang perlu diperhatikan dari ber bagai upaya pengentasan masyarakat miskin yang banyak dipraktekkan adalah bahwa mereka menjadi begitu memusatkan perhatian pada peningkatkan kuantitas produksi atau hasil kegiatan produktif masyarakat miskin, sehingga kebutuhan sistem produksi mendapat tempat yang lebih utama daripada kebutuhan masyara kat miskin yang lebih substansial. Ke depan, untuk lebih menjamin efektivitas pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan, maka seyogianya disadari bahwa meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin sesungguhnya tidak selalu harus dengan cara memacu perkembangan dan semata hanya berusaha meningkatkan volume atau jumlah produksi sektor usaha kecil tersebut.
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 Tabel 1 Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin Aspek Pemberdayaan
Strategi
Peningkatan posisi tawar masyarakat miskin
-
Mengembangkan pola deversi- - Pelatihan ketrampilan alternatif bagi kelufikasi usaha dan efisiensi proses arga miskin, khususnya perempuan produksi dalam kegiatan usaha kecil - Bantuan modal usaha ganda bagi keluarga miskin produktif Penguatan dan pengembangan jaringan kelembagaan sosial- - Pelibatan dan intensifikasi tenaga kerja keekonomi lokal luarga untuk efisiensi proses produksi
Memperkuat penyangga - Perluasan akses pelaku ekonomi sosial-ekonomi keluarga rakyat terhadap sumber-sumber miskin dana dan permodalan berbunga rendah - Pengembangan program tabungan dan asuransi sosial bagi keluarga miskin - Pengembangan lembaga keuangan mikro di tingkat lokal yang pro poor
Sebagai salah satu alternatif —dan mungkin juga dapat dilakukan secara bersamaan— yang dapat dilaksanakan untuk mengembangkan usaha kecil adalah dengan cara melakukan efisiensi proses produksi. Selain itu, untuk meningkatkan kadar keberdayaan keluarga miskin dan sekaligus mencegah resiko terjadinya kegagalan total dari usaha keluarga miskin alangkah baiknya jika di saat yang bersamaan tiaptiap anggota keluarga yang termasuk tenaga kerja produktif didorong untuk mengembangkan kegiatan usaha yang ber aneka-ragam atau satu deng an yang lain saling berbeda. Pengalaman yang sudah-sudah membuktikan bahwa sebuah keluarga yang hanya menggantungkan diri pada satu matapencaharian semata umumnya secara sosial-ekonomi
Bentuk Kegiatan
- Pemberian bantuan dana Cost of Living bagi keluarga miskin di musim paceklik - Pengembangan program Padat Karya - Peningkatan efektivitas dan pengguliran paket-paket bantuan modal usaha berbunga rendah bagi keluarga miskin - Pemberdayaan forum pengajian, forum arisan, dan institusi lokal lain untuk mengurangi kadar kerentanan keluarga miskin (seperti kelompok Sinoman) - Bantuan modal bagi lembaga keuangan mikro di pedesaan
lebih riskan. Jika pada suatu saat harga komoditas yang mereka produksi anjlok, maka itu berarti bahwa secara bersamaan semua anggota keluarga akan kehilangan dan mengalami kerugian yang sama. Tak demikian halnya jika dalam sebuah keluarga, setiap anggota memiliki matapencaharian yang berbeda-beda. Keluarga yang mengembangkan pola diversifikasi usaha, terbukti selalu lebih berdaya, kenyal dan lebih mampu bertahan terhadap tekanan kebutuhan ekonomi. Kedua, berkaitan dengan upaya mengurangi kadar kerentanan dan sekaligus memperkuat penyangga sosial-ekonomi keluarga miskin. Dalam hal ini, salah satu hal yang dapat dikembangkan adalah bagaimana mendorong tumbuhnya asuransi sosial atau jaring pengaman keluarga miskin dengan cara merevitalisasi kembali eksistensi kohesi sosial masyarakat agar dapat fungsional membantu kelangsungan hidup keluarga miskin, paling-tidak pada saat mereka ter
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
kena musibah. Pada musim paceklik, misalnya di mana tekanan kemiskinan cenderung lebih menjejas, maka ada baiknya jika keluarga miskin dapat mengakses bantuan dalam bentuk cost of living untuk biaya hidup sehari-hari agar mereka tidak mudah terperangkap pada jerat tengkulak atau pengijon, yang biasanya memanfaatkan situasi ketidakberdayaan keluarga miskin dengan cara menawarkan utang yang mudah –meski dengan bunga yang mencekik leher. Untuk membantu meningkatkan penyangga ekonomi masyarakat miskin dan sekaligus mengurangi kerentanan mereka, selain dilakukan dengan mengembangkan program tabungan bagi masyarakat miskin, juga dapat dilakukan usaha mengembangkan lembaga-lembaga keuangan mikro di tingkat lokal yang dapat diandalkan untuk membantu kelangsungan hidup dan usaha keluarga miskin. Ketiga, meningkatkan peran lem-
35 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
baga-lembaga lokal dan kelompok sekunder di masyara kat dalam upaya monitoring dan pelaksanaan program pe nanggulangan kemiskinan di lapangan. Agar pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan tidak mengalami penyimpangan atau bias di tingkat pelaksanaan, maka prasyarat yang dibutuhkan selain harus ada jaminan bahwa proses pelaksanaan program berjalan secara transparan, yang tak kalah penting adalah dukungan mekanisme dan sistem kontrol yang kuat, khususnya pelibatan dan kontrol dari masyarakat miskin itu sendiri sebagai kelompok sasaran dan kontrol dari lembaga-lembaga lokal dan kelompok-kelompok sekunder di masyarakat. Keempat, meningkatkan keefektifitas pelaksanaan program-program penanggu-
langan kemiskinan yang diimbangi dengan meningkatnya koordinasi yang benar-benar jelas dalam pembagian kerja antardinas atau antar lembaga terkait. Secara garis besar, tujuan program penanggulangan kemiskinan seyogyianya dipilah menjadi tiga, yaitu yang bertujuan sebagai program darurat-penyelamatan, program yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk miskin dan program yang bertujuan untuk memberdayakan atau meningkatkan posisi bargaining penduduk miskin. Pembagian kerja yang jelas ini dibutuhkan untuk mencegah agar program penanggulangan kemiskinan tidak hanya terkonsentrasi pada upaya-upaya yang sifatnya daruratpenyelamatan, yang secara politis populer, tetapi sesungguhnya hanya akan menjadi bom waktu yang dapat mengancam kelangsungan hidup penduduk miskin itu sendiri sebagai akibat memudarnya mekanisme dan kemampuan mereka untuk menolong
dirinya sendiri akibat terlalu banyak disubsidi. Program pemberian bantuan dana kepada keluarga miskin itu sendiri sebetulnya bukan tabu untuk dilakukan. Hanya saja, model pemberian bantuan tunai langsung seperti ini seyogianya diberikan hanya kepada keluarga-keluarga miskin yang benar-benar membutuhkan –dan bukan diberikan kepada seluruh keluarga miskin secara sama rata. Program yang bertujuan mempercepat proses pemerataan dan keadilan, serta memberdayakan penduduk miskin, kendati sulit dan hasilnya baru bisa terlihat dalam jangka yang cukup panjang, tetapi tetap harus menjadi prioritas karena justru deng an pemerataan, pengembangan aset keluarga miskin dan keberdayaan itulah keluarga-keluarga miskin akan dapat keluar dari belenggu kemiskinan yang berkelanjutan (*).
Tabel 2 Tujuan Program Penanggulangan Kemiskinan, Kelompok Sasaran Prioritas dan Leading Sector Tujuan Program
Kelompok Sasaran Prioritas
Leading Sector
Darurat-menyelamatkan
Keluarga miskin korban PHK, Ke- Dinsos, luarga Pra-KS dan KS-1, lansia Dinkes miskin, anak putus sekolah, anak kurang gizi, ibu hamil dari keluarga miskin
Pemenuhan kebutuhan dasar
Keluarga miskin, PNS Golongan I Dinsos, Dinkes, Dinas P&K dan II, buruh, siswa di jenjang pendidikan dasar, sektor informal
Memberdayakan
Pengusaha kecil, sektor industri Dinas Koperasi dan UKM, Dikecil, kaum perempuan miskin, snaker, Bappemas sektor informal, nelayan miskin, PKL
Pemerataan dan keadilan
Buruh tani, buruh nelayan dan bu- Dinas Koperasi dan UKM, Diruh industri kecil snaker, Bappemas
<< 36
Dinkes,
Dinas
P&K,
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
Alternatif Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi bagi Keberdayaan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan Penulis: Imam Prakoso
Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah memainkan banyak peran pen ting dalam kehidupan manusia, dalam politik, kehidupan ekonomi, juga dalam pengembangan sosial dan budaya. TIK telah secara cepat mentransformasi kehidupan manusia, dalam urusan bisnis, akses kepada informasi dan layanan,
komunikasi dan interaksi, bahkan juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana penghibur. Ibarat pisau, TIK sangat bergantung pada pemiliknya akan digunakan untuk kepentingan dia digunakan. Salah satu isu utama dalam TIK yang juga punya relevansi kuat deng an isu kemiskinan adalah kesenjang an digital (digital divide). Kesenjangan digital diyakini merupakan
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
kesenjangan dalam hal akses kepada TIK, baik pada soal teknologinya, infrastruktur komunikasi, maupun informasinya itu sendiri. Kesenjang an ini dapat diidentifikasi terjadi pada skala global, region, sub-region, antar wilayah dalam negara, dalam konteks satu wilayah tertentu dengan wilayah lainnya atau bahkan dalam rumah tangga sekalipun. Dampak dari ke senjangan digital ini membuat ke
37 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
senjangan antara wilayah satu dengan lainnya semakin lebar jurang yang terjadi. Tanggapan atas kesenjang an digital ini beragam. Salah satu pandangan mengenai kesenjangan ini meresponnya melalui pengembangan TIK ke wilayah-wilayah yang selama ini dianggap kurang berkembang (less developed) yang diharapkan dapat mengurangi kesenjangan tersebut. Pandangan lain merespon sedikit berhati-hati dalam memberikan tanggapan, karena TIK dianggap sebagai alat kaum kapitalis untuk melakukan penetrasi global. Namun pandangan lain yang lebih berada di antaranya mengatakan TIK akan dapat mengurangi kemiskinan dan tidak menjadi alat kekuatan global dalam melakukan penetrasi pada negara-negara berkembang asalkan didukung deng an kebijakan yang tepat dan pendekatan yang holistik dan bersifat cross cutting . Kesenjangan digital jika diamati dalam konteks global, misalnya, dapat dilihat pada tingkat penetrasi internet. Data menunjukkan telah terjadi kesenjangan digital antar region. Timur Tengah – misalnya – merupakan wilayah dengan penetrasi internet tersedikit yang selanjutnya diikuti oleh Afrika. Sedang region dengan penetrasi tinggi adalah Amerika Utara lalu menyusul wilayah Eropa. Di dalam konteks sub-region juga terjadi kesenjangan digital yang sama juga. Di Asia Tenggara misalnya, negara dengan indikator pengguna ICT yang tinggi ternyata juga adalah negara dengan Human Develop ment Index (HDI) tinggi pula. Sebaliknya, negara dengan pengguna TIK yang rendah,
<< 38
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 ternyata juga menduduki posisi Hu man Poverty Index (HPI) yang tinggi. Dengan demikian dapat disebutkan di sini bahwa semakin lebar kesenjangan digital suatu region, sub-region ataupun wilayah, maka disparitas antar wilayah tersebut semakin tinggi, dan ini mendorong meningkatnya angka kemiskinan di suatu wilayah secara makro . Respon terhadap kesenjangan digital dalam salah satu versi yang dijelaskan di atas disebabkan adanya kepentingan modal (capital invest ment). Biasanya hal ini terjadi karena ada wilayah yang less-economic at tractive dibanding wilayah lainnya yang memiliki economic attractive ness yang tinggi. Itulah sebabnya banyak kalangan berpendapat kesenjangan digital dapat terjadi sebagai akibat logika ekonomi dan pasar yang bermain. Sebagai contoh saat ini 60 persen warung internet tersebar di pulau Jawa dan Bali, yang nota bene hanya kurang dari 20 persen wilayah Indonesia. Sementara 40 persen lainnya tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara dan Papua yang dari sisi wilayah luasnya mencapai sekitar 80 persen dari luas Indonesia. Akibatnya dapat diduga, kantung-kantung kemiskinan dan daerah miskin banyak terdapat di 80 persen wilayah Indonesia tersebut. Kesenjangan digital ikut menyumbang terjadinya disparitas antar wilayah tadi. Kemiskinan dalam pandangan beberapa ahli dan juga lembaga internasional seperti World Bank dan Asian Development Bank disebabkan oleh terjadinya kesenjangan atas asetaset yang esensial seperti sumberdaya yang produktif dan kapital, situasi atau posisi sebagai tenaga kerja yang tidak aman, pendapatan yang hanya didapat secara musiman, tinggal di tempat kumuh, atau tinggal di daerah dimana sumberdayanya miskin, pendapatan yang rendah, kualitas hunian yang buruk, kualitas pendidikan yang rendah, dan juga adanya diskriminasi. Selebihnya, kemiskinan juga dipe
ngaruhi oleh layanan pemerintah yang buruk serta korupsi yang disebabkan oleh rendahnya political will peme rintah, tata kelola pemerintahan yang buruk, ketidaktepatan kebijakan dan program publik. Dengan demikian kemiskinan menjadi persoalan sosial ekonomi yang multi kompleks yang juga harus ditangani melalui berbagai dimensi dan pendekatan. Apakah pemanfaatan TIK dapat mengurangi kemiskinan? Pemanfaat an TIK dapat meningkatkan produktivitas kelompok miskin. Misalnya melalui peningkatan akses mereka kepada informasi pasar atau justru menurunkan (efisiensi) biaya transaksi dari petani dan pengusaha miskin. Dengan TIK mereka dapat mengurangi jenjang informasi pasar dan justru dapat memasarkan produk mereka secara langsung kepada pembeli utama di pasar dunia. Namun secara tidak langsung TIK dapat berperan mengurangi potensi kemiskinan dengan perbaikan terhadap layanan pendidikan, perbaikan kualitas layanan kesehatan, perbaikan kondisi governance dan sebagainya. Intervensi ini dapat memperbaiki lingkungan yang mendorong kondusivitas lingkungan bisnis kelompok masyarakat miskin, misalnya dengan menurunnya biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh penduduk miskin. Bagaimana dengan pengalaman di Indonesia? Kemiskinan yang terjadi di Indonesia sedikit banyak di sebabkan oleh terjadinya disparitas pembangunan yang terjadi di Jawa dan luar Jawa, wilayah Barat dan Timur, perkotaan dan perdesaan maupun berbagai alasan yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas. Perkembangan TIK sendiri berjalan sesuai dengan logika ekonomi yang ada, dimana ada pasar TIK berkembang mengikutinya. Persoalan sosial ekonomi yang multi kompleks menyebabkan angka kemiskinan di Indonesia tak pernah beranjak dari kisaran 40-an juta jiwa. Meskipun telah banyak kita lihat bagaimana program-program pe
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 nanggulangan kemiskinan dijalankan. Baik yang memiliki pendekatan pemberdayaan, berskala masal dan berbasis area perkotaan, seperti P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan), PPK (Program Pengembangan Kecamatan) yang berbasis per desaan, maupun yang bekerja pada orientasi sektor. Ataupun yang bersifat karitatif seperti PKH (Program Keluarga Hara pan). Intervensi dalam program-program masal tersebut
di atas terutama pada akses modal, pengorganisasian usaha, peningkatan kapasitas berusaha, pengembangan infrastruktur lokal, dan perbaikan hunian. Jika kembali pada tanggapan atas kesenjangan digital, akibat dampak globalisasi yang mendorong pertumbuhan ekonomi di satu sisi, juga menyebabkan semakin tingginya disparita di sisi yang lain. Kondisi ini pada gilirannya semakin mempercepat proses peningkatan kemiskinan dari kondisi sebelumnya. Perdebatan antar aras tanggapan di atas dalam
kenyataan tak dapat membawa negara dalam posisi yang lebih baik, sehingga langkah yang dilakukan adalah upaya-upaya mengurangi kesenjangan digital dengan kebijakan yang tepat yang disertai dengan pendekatan secara holistik seperti telah diutarakan pula di atas. Apakah mengurangi kesenjangan digital melalui pengembangan TIK dan akses informasi pada wilayahwilayah yang less-developed dapat menjadi obat mujarab mengurangi tingkat kemiskinan?
Inisiatif dan Proyek TIK oleh Pemerintah, Sektor Swasta dan Masyarakat Sipil
Indonesia memiliki berbagai pengalaman dalam pengembangan TIK yang diorientasikan pada upaya pengurangan kemiskinan maupun berbagai kepentingan lainnya. Salah satu pendorong kesediaan Indonesia untuk memperluas pemanfaatan TIK di wilayah-wilayah marginal, karena keikutsertaan dan komitmennya dalam WSIS (World Summit on Infor mation Society) di Genewa Desember 2003 yang berharap bahwa target seluruh desa mendapatkan akses TIK dan komunikasi pada tahun 2015 dapat tercapai. Inisiatif pengembangan -- entah dalam konteks upaya mengurangi kesenjangan digital akibat tidak meratanya akses komunikasi di desadesa di Indonesia atau konteks yang lain, Pemerintah telah menjalankan pengembangan TIK di wilayahwilayah perdesaan Indonesia yang bersifat ujicoba pada tahun 2003 yang lalu. Salah satu yang dikembangkan adalah program Desa Berde ring. Program ini menargetkan sekitar 3.000 desa tersambung telepon yang menggunakan teknologi satelit. PT PSN (Pasifik Satelit Nusantara) yang menjadi operator pengembangan program yang memanfaatkan program USO (Universal Service Ob ligation) ini memberikan hasil yang tak menggembirakan. Paska pulsa gratis yang diberikan, telepon yang kebanyakan ditempatkan pada kan-
tor Kepala Desa (dan sebagian lagi di rumah kepala desa) tak berlanjut alias mati suri. Telepon tak lagi dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berkomunikasi. Meskipun tak pernah disebut gagal, program Desa Berdering ini tak pernah memberikan hasil yang memuaskan. Adakah yang salah? Ketidakberhasilannya menurut Ryan Alisyahbana, Direktur PT PSN pada waktu itu, disebabkan oleh berbagai persoalan non-teknis. Setelah program Desa Berdering, program USO akan ditingkatkan menjadi Desa Pinter. Tak hanya sarana telepon yang akan dipasang dalam desa, namun juga disertai dengan akses internet dan perangkat multimedia lainnya. Dalam program ini paket perangkat komunikasi dan informasi yang dibawa dikenal deng an sebutan Community Access Point (CAP). Program yang direncanakan mulai dijalankan tahun 2008 ini belum berhasil diimplementasikan karena persoalan teknis administrasi tender yang masih tersendat. Pertanyaan besarnya apakah program masal ini akan mencapai targetnya di tahun 2015 nanti dimana semua desa tersambung dengan akses komunikasi maupun TIK? Apakah tidak akan mubazir juga seperti halnya program Desa Berdering sebelumnya. Inisiatif lain yang banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok organisasi seperti Mastel (Masyara
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
39 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
kat Telekomunikasi) misalnya dengan mendirikan Balai Informasi Masyarakat untuk pengembangan usaha petani bunga di Bandung, Jawa Barat. Atau misalnya inisiatif yang dijalankan oleh Microsoft Corporation melalui pengembangan CTLC (Community Learning and Training Center) di hampir 50 lokasi tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. UNDP dan Bappenas bekerja sama melalui proyek PePP (Partnership for e-Prosperity for the Poor) mendirikan pilot pengembangan telecenter di paling tidak delapan lokasi di Jawa dan Sulawesi. Pola yang dikembangkan satu sama lain memiliki kemiripan. Proyek menyediakan berbagai perangkat multimedia, akses internet dan gedung untuk operasiona lisasi. Pada tahun 2005 yang lalu, World Bank melakukan evaluasi perjalanan terhadap inisiatif yang dikembangkan di atas. Sebagian dari inisiatif di atas dikembangkan melalui pendekatan community-driven development. Namun sebagian besar investasi disediakan secara penuh oleh Pemerintah, Donor ataupun Perusahaan dan proses persiapannya tak melibatkan warga setempat. Hal lain telecenter dijalankan tanpa konsep rencana usaha yang jelas, padahal sarana ini dikembangkan untuk dapat dikelola secara mandiri nantinya sete-
<< 40
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 lah dukungan proyek berhenti. Jelas hal ini akan berdampak pada terganggunya aspek keberlanjutannya. Belum lagi, evaluasi ini melihat kapasitas pengelola yang minim, sehingga ada kekuatiran terjadinya miss leading. Namun demikian, beberapa telecenter yang dikembangkan oleh UNDP dan Bappenas hingga saat ini masih tetap berdiri dan berope rasi. Bahkan beberapa petani/usaha kecil di sana telah dapat memasarkan produknya melalui jasa telecenter ini. Terkesan dalam pengembangan tele center ini teknologi yang digunakan tak dapat merespon kebutuhan rakyat dalam konteks isi, skill, desain maupun harga (biaya) yang harus dibebankan kepada mereka. Inisiatif lain yang dikembangkan terkait penyediaan akses internet kepada masyarakat dilakukan melalui wadah radio komunitas. Awalnya penyediaan akses internet diperuntukkan bagi pertukaran informasi dan berita antar media komunitas. Namun beberapa radio komunitas kemudian melakukan inisiatif-inisiatif untuk memanfaatkan akses internet bagi kepentingan lain. Radio Baina FM yang berlokasi di kaki gunung Ceremai, Kabupaten Kuningan mencari berbagai informasi dan penge tahuan bagi kebutuhan usaha tani warganya melalui internet yang kemudian disiarkan oleh radio. Radio Komunitas Lintas Merapi di kecamatan Kemalang, Klaten Jawa Tengah mengupayakan pengumpulan dana dukungan bagi proses penghijauan di desanya melalui dialog interaktif di situs http://merapi.combine.or.id sehingga akhirnya terkumpul dana dari berbagai kalangan untuk penanaman kembali pohon-pohon perindang setelah sebagian tersapu gelombang awan
panas sewaktu gunung Merapi meradang di bulan Mei dan Juni 2006 yang lalu. Tak hanya itu, Radio Caraka FM, di Majalengka, Jawa Barat mengorganisir diri mengembangkan lembaga keuangan mikro untuk mendukung usaha mikro di desa tempat berdiri nya radio. Lembaga keuangan ini kemudian didukung oleh penyediaan akses internet untuk mengumpulkan informasi bagi kebutuhan pengembangan usaha mikro. Masih banyak lagi inisiatif serupa yang dikembangkan oleh radio komunitas di berbagai daerah. Bagaimana akses internet tersedia? Prasarana yang dikembangkan sangat sederhana. Berbekal modem USB (atau bahkan seperangkat tele pon selular yang memiliki fasilitas teknologi GPRS) yang dihubungkan ke komputer dengan mudahnya akses internet terhubung. Combine dan VHR menyediakan sebagian peralatan modem (sebagian lagi disediakan sendiri oleh warga) dan akses internet yang disediakan oleh provider telepon selular yang menggunakan teknologi GPRS hanya untuk periode 3 – 6 bulan. Setelah itu, radio diminta untuk membiayai sendiri. Membangun kemandirian ”tele center” versi radio komunitas ini penting sekali. Karena bagaimanapun pihak luar (apakah itu donor, Pemerintah ataupun LSM) tak dapat selamanya membiayai operasional internet tersebut. Pada kasus telecen ter yang diprakarsai oleh UNDP dan Bappenas beberapa diantaranya berhenti beroperasi paska proyek selesai. Ditengarai tidak tersedianya duku ngan pendanaan bagi operasionalisasi kantor telecenter sendiri. Tentu saja kemudian persoalan mengarah pada tidak terjadinya proses membangun kemandirian dan sustainabilitas, sehingga setelah proyek selesai biaya operasional tak dapat dipenuhi dan akhirnya telecenter tersebut memilih untuk tutup. Sebaliknya, pada kasus radio komunitas, setelah kegiatan berjalan lebih dari satu – dua tahun, akses internet yang tersambungkan tetap beroperasi. Bahkan layanan
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 yang diberikan oleh radio komunitas semakin bervariasi. Pada kasus radio Shakti FM di Banjarnegara, Jawa Tengah mereka berinisiatif memberi pelatihan pada guru-guru di sekolah menengah kecamatan tersebut dalam pengenalan internet. Radio komunitas Lintas Merapi FM di lereng gunung Merapi Klaten mengadakan pelatihan komputer bagi perangkat desa di seluruh wilayah kecamatan Kemalang, Klaten. Ide kegiatan variatif semacam itu didasarkan pada keinginan memperluas pengguna internet di kalangan masyarakat desa. Ada pemahaman yang terbangun di kalangan pengelola radio, bahwa rakyat akan bersedia terlibat (termasuk ikut membiayainya) jika mereka tahu apa keuntu ngannya ketika mereka menjelajah di dunia maya. Dalam pelatihan, mereka dikenalkan dan diberi pengalaman menggunakan dan memanfaatkan internet, sehingga kemudian pada saat mengetahui arti pen tingnya menjelajah di dunia maya, yang terjadi kemudian mereka akan semakin haus untuk melakukan itu. Jika dibandingkan dari sisi pembiayaan akses internet memang sangat jauh berbeda. Beberapa proyek telecenter yang dibiayai UNDP dan Bappenas mengaku sebulan membutuhkan biaya lima juta rupiah untuk akses internet , karena menggunakan teknologi V-sat dari TELKOM. CTLC Microsoft Corporation sendiri membutuhkan sekitar satu juta rupiah per bulannya untuk akses internetnya. Sementara itu, masing-masing radio komunitas hanya membutuhkan biaya 150 – 250 ribu rupiah per bulannya, karena hanya menggunakan akses internet
dengan teknologi GPRS (General Packet Radio Service). Tentu jika ingin dibandingkan bandwidth yang diterima diantara ketiganya sangat jauh berbeda. Namun apakah kebutuhan untuk mengakses internet sedemikian tinggi sehingga biaya yang diperlukan sangat besar – seperti pada kasus telecenter? Beberapa pengelola radio komunitas memang mengaku terkadang sulit untuk melakukan upload berita atau informasi dengan akses GPRS, namun mereka berpikir akses ini jauh lebih baik ketimbang tidak ada dan selama mereka belum mampu membiayai akses internet yang lebih cepat tak pernah berpikir untuk meningkatkan kapasitas akses tersebut. Cerita di Caraka FM lain lagi. Hanya berselang 3 bulan paska didukung oleh akses internet melalui teknologi GPRS mereka ingin mengusahakan sendiri akses yang lebih cepat, meskipun harus membayar biaya operasi lebih mahal. Pengalaman yang dikembangkan oleh Radio Komunitas Angkringan FM di Desa Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Bantul DIY agak berbeda dengan radio yang lain . Meskipun mereka mendapat akses internet yang sama seperti radio lainnya, namun karena adanya keinginan untuk berbagi dengan warga – serta membangun sustainabilitas -- yang membutuhkan akses tersebut, mereka mencoba mengembangkan jaringan internet tersebut agar dapat didistribusikan kepada rumah tangga, pengusaha mikro, pengrajin yang berada di sekitar radio. Dengan memanfaatkan tek nologi wajan bolic ala ”Ono Purbo”, radio ditempatkan menjadi local server dan mendistribusikan akses internet (maupun intranet) kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Saat ini ada 13 titik yang terhubung dengan local server tersebut, antara lain, pengrajin, rumah tangga, pesantren dan sebagainya. Mereka melakukan cicilan untuk mendapatkan infrastruktur wajan bolic seharga antara 350 sampai 700 ribu rupiah. Dana cicilan tersebut kemudian menjadi dana ber-
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
gulir untuk kepentingan akses internet oleh keluarga yang lain. Potensi pelanggannya cukup besar. Berdasarkan survey yang dilakukan, ada sekitar lebih dari 140 pengguna komputer di desa Timbulharjo. Tak hanya itu, Radio Angkringan FM juga meren canakan pengelolaan informasi untuk memastikan kebutuhan konten masing-masing pelanggan terpenuhi melalui local server. Proyek yang diinisiasi pengelola radio ini mendapat dukungan sekitar 30 juta rupiah dari Direktorat Pemberdayaan Telematika, Ditjen Aptel, Depkominfo. Bagaimana sistem ini akan terjaga keberlanjutannya? Masing-masing pelanggan akan membayar biaya yang kemudian dikelola oleh radio untuk pengelolaan sistem, termasuk membayar akses internet itu sendiri. Sistem informasi Desa Timbulharjo ini masih akan terus dikembangkan, dan semakin lama, diharapkan dapat memberi layanan bagi warga dalam hal kebutuhan informasi. Internet tak hanya dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar pengelola radio, usaha mikro, pengrajin di dalam menjelajah dunia maya untuk menemukan data dan informasi yang dibutuhkan ataupun menawarkan dagangannya lewat website. Pengalaman sedikit berbeda dilakukan oleh Organisasi Petani di Jawa Tengah (Syarikat Paguyuban Petani Qaryah Tayyibah atau sering disingkat dengan nama SPPQT) di dalam memfasilitasi berdirinya SMP terbuka. SMP ini memanfaatkan internet sebagai bagian dari model pembelajarannya. Kasus ini menarik juga diangkat. Rata-rata murid SMP tersebut sulit untuk duduk di bangku SMP normal. Selain soal dana, jarak rumah dan sekolah yang jauh – yang membutuhkan ongkos tak sedikit – juga menjadi kendala mereka untuk masuk di SMP normal. Bahruddin, pemuda pelopor di desa Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah, tempat pilot SMP terbuka pertama dididirikan menganggap penting membuka wawasan murid, tanpa harus dibatasi oleh kuriku-
41 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
lum semata. Hampir setiap hari murid sekolah tersebut menjelajah dunia maya untuk mendapat bahan-bahan pengetahuan bagi kepentingan belajarnya. Metode diskusi diperkenalkan dalam proses belajar mengajar di sana. Durasi menjelajah dunia maya di sekolah ini jauh lebih lama
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 dari sisi waktu dibanding SMP biasa. Tak hanya dalam mata pelajaran multimedia, hampir semua mata pelajaran murid-murid memanfaatkan internet untuk melengkapi pengetahuannya. Longgarnya waktu untuk menjelajah disertai dengan kebebasan berpikir yang dibangun semenjak awal membuat kreativitas mereka terbangun dengan sangat cepat. Bahkan kreativitas mereka kemudian banyak tersalur dengan menulis dalam bentuk novel-novel sederhana yang telah masuk percetakan dan didistribusikan. Kini SMP terbuka milik SPPQT (Syarikat Paguyuban Qaryah Toyyibah) telah menjadi 6 unit tersebar di situs organisasi di berbagai kabupaten di Jawa Tengah.
Pemberdayaan Rakyat, Informasi dan Komunikasi
Penting digarisbawahi upaya penguatan rakyat dengan menempatkan pemberdayaan pada posisi yang benar dan bukan hanya dijadikan jargon semata, sementara disisi lain, esensinya sangat berorientasi pada kepentingan proyek atau target-target kuantitatif semata. Esensi pemberdayaan seperti banyak disebut dalam literatur antara lain adalah: (1) perluasan kemampuan dan pilihan masyarakat; kemampuan untuk menerapkan pilihan berdasarkan kondisi yang bebas dari kelaparan, kedinginan, dan kekurangan; kesempatan untuk berpartisipasi dalam, atau memberikan persetujuan atas, proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidupnya. Atau juga merujuk definisi yang lain: pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, untuk: (a) memiliki akses terhadap sumber daya (produktif) yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang dan jasa yang mereka perlukan; dan (b) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka (Parson, et al., 1994:106) . Pendek kata, pemberdayaan adalah
<< 42
upaya untuk mensejajarkan peran rakyat (didalam konteks pembangunan) seimbang dengan peran-peran pemangku kepentingan lain dalam upaya untuk mensejahterakan dirinya. Ketika peran serta posisi rakyat sejajar (dalam posisi tawar) dengan pihak-pihak lain, maka dia dapat juga ikut menentukan apa yang terbaik untuknya. Konteks masyarakat seperti inilah kemudian dapat ditempatkan sebagai rakyat yang berdaya. Menempatkan konteks pemberdayaan rakyat pada pengembangan TIK itu sendiri dapat dirunut melalui pandangan Phil Bartle, sosiolog Amerika yang sempat menetap cukup lama di Afrika menyebut paling tidak ada 16 elemen yang menunjukkan keberdayaan suatu komunitas . Dua dari 16 elemen yang disebutkan Bartle akan menjadi fokus dalam tulisan ini yakni Komunikasi dan Informasi. Elemen Informasi dapat terwujud ketika rakyat memiliki kemampuan untuk mengakses, mengolah, dan menganalisis informasi yang berhubungan dengan kepentingan mereka. Sementara elemen Komunikasi dapat terwujud manakala terbukanya akses rakyat pada jaringan komunikasi (baik elektronik, misalnya: telepon, radio, televisi, internet, maupun cetak, misalnya: koran, majalah dan buletin). Kedua elemen ini masing-masing saling berhubungan satu dengan lainnya. Dengan mendapatkan akses terhadap jaringan komunikasi, maka rakyat akan mendapatkan berbagai macam informasi. Semakin banyak
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 akses terhadap berbagai jenis media, maka semakin banyak pilihan terhadap informasi yang mereka butuhkan. Dengan keberdayaan dalam informasi, rakyat akan dapat mengolah dan menganalisis informasi menjadi pengetahuan yang dibutuhkan. Demikian kira-kira logika sederhana kedua elemen tadi mendorong keberdayaan rakyat. Ketika rakyat berdaya, maka rakyat akan lebih mudah menentukan langkah dan strategi peningkatan kesejahteraan mereka. Satu hal yang dapat diambil pelajaran penting dari uraian pengalaman pihak-pihak di atas adalah jika wadah pengelolaan akses TIK benarbenar berangkat dari kebutuhan rakyat dengan dilandasi oleh ukuran-ukuran yang disepakati oleh rakyat itu sendiri memberikan peluang berkembangnya sarana TIK tersebut akan lebih sustain dibanding yang tak mengindahkan prasyarat tersebut. Hampir semua sarana yang diuraikan di atas memenuhi uraian mengenai informasi dan komunikasi yang diutarakan oleh Bartle. Namun yang lebih penting untuk dilihat lebih jauh adalah apakah sarana tersebut benar-benar dikelola sesuai kemampuan rakyat itu sendiri, sehingga mereka hanya akan terbebani dengan biayabiaya yang mereka keluarkan berdasarkan keputusan sendiri. Yang juga tak kalah penting, terbangunnya pranata sosial dalam kelembagaan sarana itu sendiri. Menyiapkan rakyat dapat mengelola ”telecenter” tak ubahnya proses pengorganisasian secara partisipatif yang banyak dilakukan oleh LSM saat ini. Pengalaman program Desa Berdering mengindikasikan tak adanya pranata sosial yang
disiapkan terlebih dahulu. Perangkat komunikasi datang tanpa ada persiapan. Lebih buruk dari itu, keberadaan perangkat tidak dikomunikasikan terlebih dahulu dan hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Dalam kasus telecenter UNDP – Bappenas, persiapan lebih banyak dikerjakan oleh pihak Pemerintah Daerah melalui tender-tender dengan prosedur pengadaan layaknya barang Pemerintah. Pada beberapa kasus, telecenter hadir dalam posisi sudah siap untuk dioperasionalkan. Rakyat tak merasa punya kepentingan untuk berada dalam telecenter tersebut. Salah satu cara untuk mengukur secara sederhana adalah berapa pengunjung yang datang dan memanfaatkan telecenter untuk kepentingannya. Kasus telecenter Muneng menurut hasil observasi tim Combine ketika hadir di sana tidak cukup banyak warga ataupun kelompok orang yang memanfaatkan kantor tersebut. Meskipun demikian di satu sisi keberhasilan yang disampaikan dalam website di telecenter Semeru patut juga untuk diperhitungkan. Kasus pada beberapa radio komunitas yang disampaikan pengalamannya dalam uraian terdahulu, menempatkan pentingnya pranata sosial kelembagaan dibangun terlebih dahulu. Membangun pranata sosial kelembagaan dalam konteks pendirian radio komunitas memang umumnya diawali oleh teridentifikasinya kebutuhan. Kebutuhan tersebut lahir dalam upaya pencapaian tujuan ataupun penyelesaian masalah yang terjadi dalam komunitasnya. Radio berdiri bukan menjadi tujuan, tetapi lebih sebagai alat yang dimiliki komunitas untuk pencapaian tujuan atau penyelesaian masalah sekalipun. Tak jauh berbeda, menempatkan telecenter ataupun TIK dalam posisi yang sama dengan radio komunitas di awal mula berdirinya. Tulisan ini sesungguhnya tidak bermaksud memberikan penilaian baik atau buruknya sebuah proses penyediaan sarana TIK untuk kepentingan rakyat, namun lebih untuk memperlihatkan berbagai alternatif
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
pendekatan yang bisa jadi sesuai di satu tempat, namun belum tentu sesuai dengan tempat yang lain. Pada skala makro, kesenjangan digital yang dibahas di awal tulisan ini dapat terfasilitasi dengan inisiatif-inisiatif yang telah dijelaskan dalam tulisan ini. Namun pemenuhan kebutuhan TIK untuk mengatasi kesenjangan digital saja tak cukup. Karena jika yang terjadi hanya demikian, maka tak ubahnya pendekatan yang digunakan menjadi sangat technology driven. Pelajaran pertama yang harus digarisbawahi – seperti juga yang disimpulkan dalam tulisan Anita Kelles-Viitanen adalah TIK tidak pernah menawarkan solusi, namun lebih menawarkan alat dan aplikasi. Alat dan aplikasi yang dapat mendorong terjadinya perubahan dalam indikator-indikator perkembangan sosial ekonomi pada umumnya. Alat dan aplikasi TIK dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang lebih mendorong terjadinya pemerataan karena terdistribusinya informasi kepada kelompok-kelompok miskin. Juga misalnya, dengan alat dan aplikasi TIK informasi mengenai pembangunan infrastruktur, program kesehatan, kegiatan pendidikan dapat juga diakses oleh kelompok-kelompok miskin, sehingga bobot pembangunan sektoral tersebut menjadi proses pembangunan sosial ekonomi yang lebih meluas distribusinya. Pelajaran kedua dalam menerapkan perluasan pengembangan TIK bagi rakyat miskin dan kelompok marginal adalah pembangunan pranata sosial yang harus disiapkan terlebih dahulu agar akseptabilitas rakyat menjadi terbangun. Dalam kasus pengalaman radio komunitas diberbagai tempat, akseptabilitas terbangun karena memang rakyat telah lebih dahulu menerima keberadaan radio komunitas sebagai bagian dari alat perjuangan mereka sehari-hari. Memang jika kemudian kita semua mempertanyakan apa ukuran sebuah keberhasilan penyediaan TIK dalam
43 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
upaya pengurangan kemiskinan, nampaknya belum ada alat ukur apapun yang dapat menjustifikasi keberhasilan ataupun kegagalan dari satu aktivitas penyediaan TIK, kecuali alat ukur yang bersifat jangka panjang (outcome), yakni akankah terjadi perubahan dalam ketidakadilan, distribusi ekonomi yang tidak merata, layanan publik yang tidak diskriminatif dan sebagainya. Paling tidak yang dapat diukur dalam jangka pendek adalah tingkat akseptabilitas rakyat terhadap TIK itu sendiri sebagai bagian dari delivery atas alat dan aplikasi. Akseptabilitas tersebut dapat juga terbangun jika pendekatan yang digunakan tak hanya technology driven semata, tetapi juga memperhatikan bagaimana TIK dapat merespon kebutuhan kelompok miskin ini didalam konteks isi, bahasa, desain maupun harga (biaya). Pertanyaan pentingnya adalah bagaimana pelajaranpelajaran ini dapat teraplikasi dalam program-program yang dikembangkan, baik
<< 44
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 oleh Pemerintah, pihak swasta maupun kelompok masyarakat sipil. Atau dengan kata lain, bagaimana proses scaling-up dapat terjadi? Jika pendekatan minimalisasi kesenjangan digital semata, maka program desa berdering barangkali sudah cukup. Namun jika pemanfaatan TIK ingin dijadikan alat dan diaplikasikan bagi upaya pengurangan kemiskinan, maka berbagai strategi perlu dikembangkan. Pertama, karena TIK akan ditempatkan sebagai alat, maka wadah bagi penempatan alat perlu dipersiapkan terlebih dahulu. Wadah dibangun berdasarkan kebutuhan dan diawali dengan memetakan kebutuhan rakyat terlebih dahulu. Menyesuaikan wadah dengan konteks serta kebutuhan lokal merupakan hal utama yang harus didahulukan. Sehingga bisa saja terjadi wadah atau lembaga pengelola TIK dapat berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Atau bahkan terkadang pada banyak kasus pengembangan kelembagaan radio komunitas tidak memerlukan adanya kelembagaan yang baru, namun cukup merevitalisasi kelembagaan yang telah ada. Yang penting dipastikan adalah adanya peran-peran yang dapat dijalankan sesuai dengan kebutuhan sebagai lembaga pengelola TIK. Lalu bagaimana misalnya untuk ka-
sus program Desa Berdering, apakah cukup bermanfaat membuat pranata kelembagaan bagi pengelolaan telepon publik. Bisa jadi tidak diperlukan adanya kelembagaan khusus, namun bagaimana telpon tersebut diposisikan dalam satu tempat, dengan kejelasan berbagai aturan penggunaannya. Kedua, kombinasi antara technology driven dengan social driven mutlak menjadi penting untuk dikembangkan sebagai strategi berikutnya. Pemanfaatan TIK tak hanya berdiri sendiri sebagai sebuah proses kegiatan ekonomi ataupun proses komunikasi dan mengakses informasi, tetapi juga sebagai bagian dari proses transformasi sosial rakyat. Kombinasi ini juga ingin memastikan keberlanjutan proses yang tengah dijalankan. Dari sisi pemanfaatan TIK dilihat sebagai technology driven, sementara dari pranata kelembagaan sosialnya dipandang sebagai social driven. Bagian akhir tulisan ini adalah refleksi atas tujuan dan capaian intervensi TIK yang diterjemahkan dalam bentuk pertanyaan sederhana guna melihat capaian akhir dari pemanfaatan TIK untuk pengurangan kemiskinan. Bisa jadi kita akan memberikan seribu satu argumen untuk mengatakan bahwa jika melalui segala proses yang dijalankan, maka efektivitas pemanfaatan TIK akan meningkat. Namun untuk mengukur ketercapaian target akhir yakni apakah pengurangan kemiskinan dapat tercapai masih diperlukan prasyarat-prasyarat bagi implementasi pemanfaatan TIK. Belajar dari banyak kasus lainnya, catatan penting dalam pemanfaatan TIK yang harus diwaspadai adalah jika pemanfaatan TIK kemudian hanya sekedar diukur oleh angka-angka kuantitatif semata, tanpa melihat ketercapaian dari sisi kualitatifnya.
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
Laporan Studi Lapangan:
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam Pandangan Masyarakat Oleh Tim Redaksi
Latar Belakang
Pemerintah untuk kesekian kalinya kembali mengeluarkan kebijakan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 33 persen yang berlaku mulai Mei 2008. Kebijakan menaikan harga BBM bagi pemerintah sudah tidak bisa ditawartawar lagi, karena APBN saat ini sudah terlalu berat menanggung beban anggaran akibat melambungnya harga minyak dunia. Namun bersamaan dengan itu, pemerintah menyadari jika kebijakan ini tidak populer karena senantiasa mempunyai multi plier effect ekonomi yang kompleks. Efek ekonominya sangat dirasakan masyarakat luas, bahkan meski baru pada taraf rencana dan wacana saja dampaknya sudah terasa, yaitu ada nya kenaikkan harga bahan kebutuhan pokok di pasar tradisional. Sementara itu, secara politik kebijakan menaikkan harga BBM merupakan isu yang sangat sensitif, sehingga kebijakan ini akan dengan mudah menaikkan suhu politik yang ditandai dengan maraknya demodemo menentang naiknya harga BBM yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, terutama di perkotaan. Naiknya suhu politik yang ditandai dengan resistensi terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, akan berakibat secara signifikan terhadap popularitas pemerintah, terutama reputasi SBY-JK yang memiliki legi timasi tinggi di mata rakyat sejak dipilih secara langsung pada Pemilu Presiden 2004. Menyadari akan beratnya im
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
plikasi kenaikkan BBM, pemerintah mengeluarkan kebijakan kompensasi yang sasaran utamanya warga masyarakat miskin. Semua menyadari bahwa BBM merupakan komo ditas ekonomi paling strategis dalam kehidupan masyarakat, sehingga kenaikan harga BBM akan sangat berpengaruh terhadap kenaikan harga bahan pokok sehari-hari. Repotnya ketika harga kebutuhan pokok masyarakat akan semakin meningkat sementara daya beli masyarakat semakin menurun. Alur logika ini yang digunakan pemerintah sehingga mencetuskan program kompensasi pengurangan subsidi BBM yang dapat menyentuh langsung pada masya rakat miskin. Bagaimana mengalokasikan dan mendistribusikan sumberdaya yang penting untuk pembangunan sedemikian rupa sehingga membawa kemanfaatan optimal bagi seluruh lapisan masyarakat merupakan tugas pen ting dan tanggungjawab utama dari pemerintah. Kebijakan kompensisasi subsidi BBM kepada lapisan masya rakat miskin, atau Bantuan Langsung Tunai (BLT), dilakukan pemerintahan sekarang merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah. Keputus an mengurangi subsidi pengeluaran APBN untuk minyak, sehingga harga minyak di pasaran dalam negeri naik, kemudian diimbangi dengan pemberian kompensasi berupa subsidi langsung tuni kepada masyarakat miskin yang rentan akibat kenaikan harga minyak.
45 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
Prinsip keseimbangan alokasi dan distribusi anggaran pembangunan disini dijadikan pegangan oleh pemerintah sehingga dengan itu diharapkan membawa kemanfaatan pada semua lapisan masyarakat. Subsidi negara untuk minyak, yang selama ini dinikmati oleh lapisan kelas menegah ke atas, dikurangi dan kemudian dialihkan kepada masyarakat miskin, yang rentan terhadap dampak kenaikan harga minyak, sehingga terjadi kese imbangan dalam kemanfaatan sumberdaya pembangunan bagi kesejahteraan rakyat. Namun demikian, prinsip keseimbangan ini mensyaratkan adanya ketepatan dalam alokasi dan distribusi anggaran sehingga sampai ke tujuan dan tepat sasaran. Bagaimana pelaksanaan kebijakan pemberian subsidi langsung tunai itu tepat sasaran dan sampai ke tujuan sehingga meningkatkan kesejahteraan lapisan masyarakat miskin yang rentan terhadap kenaikan harga minyak menjadi sangat penting dan merupakan kata kunci keberhasilan kebijakan ini. Studi lapangan ini berusaha untuk menggali dan menemukan bagaimana pelaksanaan implementasi kebijakan subsidi langsung tunai ini sampai ke sasaran lapisan masyarakat miskin. Bagaimana persepsi,
sikap dan pandangan lapisan masyara kat miskin dan rentan terhadap kebijakan BLT berlangsung selama ini menjadi fokus utama penelitian. Selain itu, masalah-masalah, kendala, tantangan dan harapan warga masyarakat, ter utama kalangan masyarakat miskin, terhadap pelaksanaan kebijakan SLT di lapangan juga menjadi perhatian utama penelitian ini, untuk rekomendasi perbaikan kebijakan dan meka nisme peningkatan kesejahteraan rakyat dan penanggulangan kemiskinan di masa-masa yang akan datang. Studi lapangan ini, lebih menitikberatkan pada persepsi masyara kat terhadap kebijakan pemerintah tentang kenaikan harga BBM yang disusul kebijakan kompensasi kenaikkan BBM, meliputi BLT, BOS, dan pelayanan kesehatan yang sasaran utamanya adalah warga masyarakat miskin. Pertanyaan yang diajukan di seputar kebijakan tersebut adalah: (1) Bagaimana warga miskin dalam mempersepsi, menyikapi, dan memaknai terhadap adanya kebijakan bantuan Kompensasi BBM? (2) Persoalan apa yang muncul dalam operasionalisasi kebijakan kompensasi BBM di lapangan? dan (3) Apa harapan warga masyarakat terhadap pelakasanaan kebijakan kompensasi BBM bagi upaya penanggulangan kemiskinan di masa mendatang? Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian lapangan disertai wawancara mendalam (indeptinterview). Sementara itu, metode wawancara mendalam (indept-in terview) digunakan terutama untuk mengidentifikasi bagaimana sikap,
pendapat, pandangan dan opini subjek atau aktor dalam masyarakat di dalam mensikapi terhadap kebijakan kompensasi BBM. Metode ini meng asumsikan bahwa individu atau warga masyarakat sebagai aktor yang bebas dan mandiri (independent) dalam menilai, mengagas dan membentuk realitas sosial. Sikap dan pandangan aktor atau subjek individu merupakan realitas sosial yang penting, yang mencerminkan bagaimana sesungguhnya kebijakan kompensasi BBM dan dampaknya terhadap kehidupan sosial itu diinterpretasi dan dimaknai, sehingga membawa pengaruh dan membentuk sikap, pendapat, pandangan dan opini serta tindakan mereka dalam menangani masalah kemiskinan. Studi ini akan dilakukan di 7 wilayah, yaitu meliputi Palembang, Yogyakarta, Madiun, Balikpapan, Mataram, Kupang, dan Ternate. Pertimbangan pilihan lokasi itu di samping proporsi kewilayahan Indonesia yang dibagi menjadi tiga yaitu barat, tengah, dan timur, juga di wilayah tersebut sering memunculkan persoalan unik dan eksklusif berkaitan dengan upaya penanggulangan kemiskinan. Informan studi ini meliputi warga penerima bantun kompensasi BBM, seperti warga Rumah Tangga Sasaran (RTS), dan warga miskin tapi tidak mendapat bantuan kompensasi. Di samping itu para tokoh masyarakat, guru, politisi, pamong praja, ketua RT, dan kalangan LSM juga menjadi informan studi ini.
Kebijakan Penanggulangan Kemis kinan
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang meliputi: (1) Bertekad dalam 5 tahun tingkat pengangguran terbukan dan kemiskinan berkurang separuhnya. Tingkat pengangguran terbuka diupayakan turun dari 9,9 persen menjadi 5,1 persen, dan tingkat kemiskinan turun dari 16,2 persen menjadi
8,2 persen; (2) BLT akan dimodifikasi sebagai BLT bersyarat; (3) memberi dan menyalurkan beras murah bagi sekitar 15,8 juta keluarga miskin; (4) subsidi harga pupuk; (5) subsidi pelayanan publik untuk BUMN yang menjalankan tugas pemerintah di bidang pelayanan umum; (6) menanggulangi kasus gizi buruk dengan menjamin perawatan gizi buruk di
<< 46
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 Puskesmas, rumah sakit, dan bantuan makanan pendamping ASI; dan (7) Menanggulangi polio dengan meningkatkan cakupan imunisasi sampai ke tingkat desa secara gratis. Berbagai strategi dan cara untuk menanggulangi dan mengurangi angka kemiskinan di Indonesia sejauh ini telah dilakukan. Model pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equity) menekankan pertumbuhan ekonomi harus dilakukan terlebih dulu lalu kesejahteraan rakyat dilakukan baru kemudian untuk menanggulangi kemiskinan. Model ini telah dipraktekkan di Indonesia sejak masa pemerintahan Orde Baru. Namun, berbagai kala ngan menilai model ini masih belum cukup mampu menanggulangi angka kemiskinan yang jumlahnya masih begitu besar di Indonesia, sehingga harus dilakukan reorientasi strategi yang langsung mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menanggulangi kemiskinan sebagai prioritas untuk pembangunan. Strategi pembangunan kualitas manusia (human de velopment) merupakan alternatif untuk itu. Peningkatan kualitas hidup, terutama di bidang ekonomi kerakyatan, pendidikan dan kesehatan, untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk, menjadi fokus utama model pembangunan ini. Dengan itu, melalui pening katan pendapatan ekonomi dikombinasikan dengan perbaikan kualitas pendidikan dan kesehatan, lapisan masyarakat miskin diharapkan akan semakin berdaya, meningkat kapasitasnya, untuk keluar dari jebakan lingkaran kemiskinan. Redistribusi sumberdaya pembangunan untuk lapisan masyarakat miskin dilakukan
untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan mereka. Strategi ini dipakai oleh pemerintah sekarang dengan memberikan perhatian dan alokasi anggaran lebih besar terhadap sektor ekonomi kerakyatan, pendidikan dan kesehatan, untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Kebijakan alokasi dan distribusi subsidi anggaran pemerintah untuk masyarakat miskin dalam bentuk BLT ini merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin di tengah situasi khusus adanya keterbatasan anggaran yang disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia yang memukul kesimbangan APBN. Sementara kebijakan peningkatan pendapatan ekonomi rakyat, peningkatan kualitas kesehatan dan pendidikan terus dilakukan, kebijakan pemberian bantuan Bantuan Langsung Tunai ini dilakukan dengan tujuan khusus, sebagai mekanisme penanggulangan kemiskinan secara langsung, untuk menanggulangi dampak kenaikan harga minyak terhadap lapisan masyarakat miskin yang rentan, atau sebagai mekanisme penyelamatan (safety mechanism) bagi masyarakat miskin dari turbulensi ekonomi pasar global yang memukul perekonomian nasional, sehingga keselamatan rak yat miskin tetap terjaga. Selain itu, mekanisme langsung penanggulangan kemiskinan ini juga diharapkan akan meningkatkan ketahanan masyarakat miskin dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup sehari-hari, sehingga tetap bisa akses pada berbagai sumberdaya pemba ngunan yang ada dan tersedia dari pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup lainnya. Jumlah penduduk miskin di Indonesia sendiri, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), saat ini mengalami penurunan. Pada periode Maret 2007 sampai Maret 2008 jumlah penduduk turun sebesar 2,21 juta, dari 37, 17 juta pada Maret 2007 menjadi 34,96 juta pada Maret 2008. Angka
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
kemiskinan juga turun dari 16,58 persen menjadi 15,42 persen pada periode yang sama. Dari penurunan jumlah penduduk miskin ini sebagian besar terjadi di pedesaan, turun lebih cepat, sebesar 1,42 juta, dibanding penurunan penuduk miskin di perkotaan, sebesar 0,79 juta. Demikian itu menunjukkan adanya harapan bahwa strategi dan upaya untuk menanggulangi angka kemiskinan sekarang sudah berapa pada arah yang benar. Bahkan bila dibandingkan dengan jumlah dan angka kemiskinan selama 10 tahun terakhir, maka jumlah dan angka kemiskinan pada Maret 2008 tersebut merupakan angka terendah. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa kondisi ekonomi penduduk miskin bukanlah kategori yang sifatnya dikotomis, sulit dibuat kategori yang diskrit, karena faktanya banyak terdapat kelompok penduduk miskin yang kondisinya sangat rentan terhadap segala bentuk perubahan ekonomi di luar unit reproduksi ekonomi rumahtangga mereka. Kelompok miskin rentan (vulnerable poorest people) inilah dimungkinkan banyak terkena dampak buruk dari kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dan konsumsi rumahtangga akibat dari kenaikan harga minyak karena dikuranginya anggaran subsidi untuk minyak oleh pemerintah. Kelompokkelompok ini sangat besar kemungkinan terjun bebas masuk ke dalam kategori miskin kembali ketika terjadi kenaikan harga minyak. Jumlah angka kemiskinan sendiri kemudian mungkin bertambah dengan kenaikan harga minyak dan harga-harga kebutuhan pokok belakangan ini. Sejauhmana kebijakan penanggulangan kemiskinan BLT bisa mengerem laju peningkatan angka kemiskinan, menjadi mekanisme penyelamat bagi penduduk miskin yang rentan dari jebakan kemiskinan akibat kenaikan harga minyak dan harga-harga kebutuhan pokok ini, menjadi pertanyaan kita bersama. Jumlah anggaran yang diberikan sebagai kompensasi pengurangan sub-
47 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
sidi BBM ini kepada lapisan miskin sendiri sangat besar. Meningkatnya jumlah uang beredar dari pemberian bantuan Subsidi Langsung Tunai (SLT) sendiri mungkin memiliki dampak terhadap peningkatan perekonomian secara umum. Tetapi, bagi penduduk miskin, khususnya yang sangat miskin dan rentan, masih harus dicermati lebih lanjut, tergantung pada bagaimana sejumlah uang dari SLT itu bisa diterima dan digunakan sebagai strategi reprodoksi ekonomi untuk bertahan hidup, ditengah kondisi kerentanan ekonomi yang mereka
hadapi. Sejauhmana bantuan SLT sampai ke sasaran penduduk miskin rentan ini dan bagaimana bantuan itu digunakan untuk reproduksi ekonomi untuk mempertahankan ekonomi rumahtangga dalam menghadapi keren tanan ekonomi ini penting untuk dicermati.
Pelaksanaan Bantuan Kompensasi BBM
pita/bulan pada tahun 2008. Artinya, jumlah penduduk miskin dengan kriteria baru itu akan bertambah besar jumlahnya. Sementara, dengan per ubahan kriteria itu pemerintah daerah bekerjasama dengan biro pusat statistik harus melakukan penghitungan ulang terhadap jumlah penduduk miskin di daerahnya. Proses penghitungan ulang ini sedikit banyak menghambat kelancaran pemberian bantuan meskipun dengan itu akan didapat perhitungan dan sasaran yang tepat dalam pemberian bantuan subsidi langsung tunai ini. Persoalan lain yang kemudian muncul adalah koordinasi dan sinkro nisasi antara pemerintah, terutama pemerintah daerah, dengan kantor pos dan telekomunikasi, tentang jumlah bantuan yang akan diberikan berdasarkan data yang diajukan oleh pemerintah daerah. Menghadapi berbagai kendala itu, mekanisme pemberian bantuan ini kemudian lebih banyak dikoordinasi oleh pemerintah daerah berdasar kriteria kemiskinan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Berdasar mekanisme ini, jumlah bantuan untuk masing-masing daerah menjadi sangat bervariasi, demikian juga pelaksanaannya oleh masingmasing daerah. Untuk mengatasi berbagai persoalan itu, proses pentahapan atau termin pemberian bantuan kemudian dilakukan, sembari menyempurnakan mekanisme yang ada, diharapkan mekanisme ini bisa cepat berjalan sehingga BLT segera bisa diterima dan digunakan penduduk miskin. Berbagai persoalan muncul di lapangan dalam pelaksanaan BLT ini te-
<< 48
Kebijakan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan akibat kenaikan harga BBM dilakukan de ngan mekanisme memberikan subsidi langsung tunai kepada penduduk miskin melalui birokrasi pemerintah di daerah dan saluran langsung melalui pengiriman uang lewat pos dan telekomunikasi (postel). Dengan itu, diharapkan bantuan langsung tunai bisa langsung diterima dan digunakan oleh penduduk miskin tanpa rinta ngan prosedur birokrasi. Mekanisme pemberian bantuan langsung menggunakan sarana pos dan telekomunikasi bekerjasama dengan pemerintah daerah itu sendiri merupakan inovasi mekanisme pertama kali dilakukan pemerintah Indonesia dalam penanggulangan kemiskinan. Namun, persoalan kemudian muncul di lapangan berkaitan dengan perubahan penetapan garis kemiskinan yang digunakan dan jumlah angka kemiskinan atau penduduk miskin di suatu daerah yang akan diberi subsidi langsung tunai berdasar kriteria kemiskinan yang ada. Pelaksanaan BLT ini sedikit terhambat dalam soal ini, terutama, karena adanya perubahan dalam penetapan garis kemiskinan dilakukan akhir-akhir ini oleh pemerintah yang kemudian membawa implikasi pada penentuan jumlah penduduk miskin yang ada di suatu da erah. Batas garis kemiskinan yang ditetapkan dan digunakan pemerintah untuk menentukan kriteria penduduk miskin sekarang ini telah mengalami perubahan, meningkat dari semula sebesar 166.697 perkapita/bulan pada tahun 2007 menjadi 182.636 perka-
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 lah menjadi catatan tersendiri di kalangan pelaksana program yang bisa menjadi bahan acuan rekomendasi tersendiri untuk perbaikan penanggulangan kemiskinan ke depan. Berbagai respon, sikap dan pandangan dari kalangan publik, baik dari pemerintah sebagai pelaksana program, dari subjek penerima bantuan kalangan penduduk miskin, dan dari para pengamat baik dari kalangan akademisi mupun LSM, bisa menjadi bahan masukan sangat berharga untuk perbaikan penanggulangan kemiskinan. Tujuan dari program BLT sendiri sangat baik, sebagai katub pengaman penduduk miskin yang begitu rentan terhadap perubahan-perubahan dan resiko sosial-ekonomi yang terjadi akibat trubulensi ekonomi pasar global dan nasional. Tetapi, tujuan baik demikian harus disertai dengan mekanisme yang baik pula sehingga tujuan yang dimaksud mencapai
sasaran. Berbagai respon, sikap, dan pandangan di kalangan publik terhadap pelaksanaan BLT berikut dapat menjadi gambaran bagaimana pelaksanaan program BLT di lapangan dan bagaimana perbaikan mekanisme penanggulangan kemiskinan untuk penduduk miskin yang begitu rentan terhadap segala perubahan ekonomi pasar itu seharusnya dilakukan ke depan.
Akurasi Data RTS
kondisi riil perkembangan 2008 yang jumlah warga miskinnya semakin banyak. Demikian pula yang terjadi di Yogyakarta, Ternate, dan Palembang masalah ketidakcermatan pendataan RTS sering dikeluhkan warga masyarakat. Akibatnya tidak jarang terjadi ketegangan antarwarga yang dipicu oleh kekeliruan dalam pendataan siapa yang seharusnya layak ditetapkan sebagai RTS. Bahkan tidak jarang aparat desa atau RT dan RW menjadi sasaran kemarahan warga karena dianggap tidak adil dalam menetapkan RTS. Untuk menghindari konflik antarwarga, masyarakat kemudian mengambil inisiatif sendiri untuk distribusi secara adil. Melalui musyawarah, warga kemudian membagi rata dana BLT untuk keluarga miskin yang dianggap layak mendapat bantuan. Seperti di Yogyakarta misalnya, terdapat 8 RTS yang mendapat jatah BLT, tetapi kemudian dibagikan kepada 20 RTS, sehingga besarnya bantuan menjadi sangat berkurang. Tentu saja jumlah yang sangat sedikit itu tidak begitu terasa manfaatnya untuk membantu kebutuhan sehari-hari. Akan tetapi cara seperti tetap ditempuh daripada menimbulkan konflik antarwarga.
Pengalaman lapangan menunjukkan bantuan langsung tunai yang diberikan pemerintah saat menaikkan harga BBM banyak menimbulkan masalah. Beberapa masalah yang dapat diidentifikasi antara lain: (1) rendahnya tingkat keakurasian data yang dipakai sebagai dasar pemberian BLT; (2) lemahnya koordinasi pihak yang diberi kewenangan mendistribusikan BLT; dan (3) kurangnya sosialisasi program BLT. Dari realitas empiris yang terjadi di lapangan, ternyata banyak distorsi, anomali, serta masih banyak masalah lain, karena kurangnya persiapan secara matang. Data yang dipakai oleh BPS termasuk Bappenas, misalnya, sudah tidak akurat lagi untuk memoni tor jumlah orang miskin di Indonesia. Di Palembang, Yogyakarta, Madiun, Mataram, Kupang, Balikpapan, dan Ternate ditemukan adanya keluhan warga masyarakat akan ketidakakuratan data keluarga miskin yang berhak mendapat BLT. Permasalahannya hampir seragam, yaitu tidak semua Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang sebenarnya layak mendapat BLT, tetapi kenyataanya tidak mendapat kan jatah, karena bukan saja minimnya kuota yang ditetapkan RTS tahun 2005, tetapi juga penetapan RTS itu sendiri sering tidak akurat. Sebagai ilustrasi di Madium misalnya, jumlah RTS yang ditetapkan berdasarkan jatah kuota 2005, pada kenyataanya tidak sesuai dengan
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
49 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
Makna BLT bagi Orang Miskin
<< 50
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 Tukang becak, buruh bangunan, petani gurem, dan pedagang kecil yang menjadi informan dalam penelitian ini mengaku senang mendapat BLT di tengah kesulitan hidup akibat semakin merambatnya kenaikan barang kebutuhan pokok. Mereka merasa terbantu dengan mendapatkan BLT untuk biaya hidup dan memenuhi kebutuhan lain sehari-hari. Dengan mendapat BLT mereka merasa ada solusi untuk mengatasi kebutuhan yang terus meningkat, meski hanya bersifat sementara. Paling tidak BLT bagi mereka sedikit memberikan kesempatan untuk mendapatkan dana segar, yang selama ini begitu sulit mereka dapatkan dengan kerja keras sekalipun. Uang kontan Rp 100.000 hingga Rp 300.000 bagi mereka sangat ber arti, karena itu mereka sangat antusias ketika mengambil di kantor pos atau di kantor desa yang selama ini menjadi penyalur aliran dana BLT. Akan tetapi, semua itu hanya ketika BLT dipandang sebagai solusi darurat oleh para warga yang mendapat kan BLT. Ketika persoalannya ditarik lebih luas, sikap mereka cenderung terhadap BLT lebih realistik bahkan kritikal. Artinya, ketika BLT dikaitkan dengan berbagai masalah lain yang mereka hadapi sehari-hari, misalnya dengan kecenderungan naiknya harga kebutuhan pokok, maka mereka lebih memilih tidak mendapat BLT. Dengan kata lain, mereka lebih suka BBM tidak dinaikkan sehingga harga kebutuhan pokok tidak naik. Menurut mereka, meski mendapat BLT, tetapi jika harga-harga naik justru beban hidup semakin berat. Hanya saja, pada kenyataanya BBM sudah dinaikkan dan dampak kenaikkan terhadap harga-harga barang kebutuhan pokok serta jasa transportasi sudah terjadi. Kenyataan ini harus mereka hadapi dengan sikap pasrah, sehingga dalam situasi seperti itu, maka BLT adalah sangat berarti bagi mereka. Ini merupakan indikator bahwa makna BLT bagi orang miskin merupakan sebuah tafsir yang datang dari subyek yang tidak otonom.
Meski sadar bahwa itu tidak akan membantu banyak, hanya bersifat sementara, tetapi menjadi sangat berarti karena bagi mereka memang tidak ada pilihan lain. Kondisi kemiskinan mereka membuatnya tidak berdaya dan tidak mempunyai pilihan lain, untuk mengatasi problem kemiskinan sehari-hari. Sebuah pilihan dari kesadaran seorang yang terjebak dalam kemiskinan. Seperti dikatakan Robert Chambers (1983), inti dari masalah kemiskinan dan kesenjangan sebenarnya terletak pada apa yang disebut deprivation trap atau perangkap kemiskinan. Deprivation trap terdiri dari lima unsur, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri; (2) kelemahan fisik; (3) keterasingan atau kadar isolasi; (4) kerentanan; dan (5) ketidakberdayaan. Kelima unsur itu seringkali saling berkait satu dengan yang lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin. Dari kelima unsur tersebut, kerentanan dan ketidakberdayaan menurut Chambers perlu mendapat perhatian yang utama. Kerentanan akan menimbulkan poverty rackets atau roda penggerak kemiskinan yang menyebabkan keluarga miskin harus menjual harta benda dan asset produksinya sehingga mereka menjadi makin terpuruk ke lembah kemiskinan (Suyanto, 1996: xv). Ketidakberdayaan merupakan situasi dan kondisi di mana orang miskin harus menyerah dengan keada an, dan menimbulkan kesadaran sebagai orang miskin yang terlilit oleh kesadarannya itu sendiri yang memapankan nasib tidak beruntung. Akibatnya mereka membiarkan diri pada situasi penuh ketidakberdayaan dengan daya tawar rendah dalam bernegosiasi dengan siapa pun, termasuk dengan keputusan politik. Itulah sebabnya, warga miskin tidak pernah berdaya dengan kebijakan pemerintah, sekalipun kebijakan itu sangat merugikannya, seperti kebija-
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 kan kenaikkan harga BBM. Oleh karena itu dalam perspektif marxian, menawarkan tesis bahwa untuk menolong orang miskin langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyadarkannya bahwa dirinya adalah miskin. Selama mereka tidak mempunyai kesadaran seperti, itu maka selamanya mereka akan sulit keluar dari jebakan kemiskinan itu. Mereka tidak sadar bahwa kemiskinan yang mereka alami ada hubungannya dengan kelompok masyarakat yang kaya. Di kalangan warga miskin berkembang sikap fatalistik dan nrimo, bahwa kemiskinan adalah sebuah takdir Tuhan, dan bukan merupakan konstruksi sosial bikinan manusia. Mereka tidak mengerti dan kadang tidak menyadari bahwa setiap kebijakan pemerin
tah yang tidak populis tidak jarang merupakan produk konspirasi antara pemerintah dengan kaum pemilik modal yang merupakan kelas kaya. Jadi dalam pandangan marxian, kesadaran kaum miskin adalah kesadaran palsu, yang merupakan pengkondisian dari kelas dominan yang menginginkan kemapanan struktur sosial yang tidak adil dan hubungan eksploatatif.
Bantuan Operasional Sekolah
untuk kegiatan penerimaan siswa baru, pembelian buku teks pelajaran, pembelian bahan habis pakai seperti buku tulis, kapur, serta pembiayaan kegiatan kesiswaan. Untuk sekolah di daerah perdesaan, BOS cukup terasa manfaatnya karena relatif tidak ada penarikan biaya lain. Akan tetapi di daerah perkotaan, tetap saja ada penarikan biaya sekolah, meskipun sudah ada BOS. Artinya, BOS yang dimaksudkan sebagai upaya realisasi pendidikan gratis, untuk sekolah di daerah perkotaan masih sulit terlaksana. Selama ini biaya pendidikan sekolah dasar yang harus ditanggung oleh orangtua murid meliputi: (1) buku dan alat tulis; (2) pakaian dan peralatan sekolah; (3) akomodasi; (4) transportasi; (5) konsumsi; (6) kesehatan; (7) karyawisata; (8) uang saku; (9) kursus; dan (10) iuran sekolah. Padahal biaya yang harus ditanggung orantua di SD negeri mencapai Rp 5,97 juta dan SD swasta Rp 7,51 juta per anak per tahun. Untuk SMP negeri Rp 7,53 juta dan SMP swasta Rp 7,86 juga per anak per tahun. Sementara itu besarnya BOS secara rinci adalah: setiap siswa SD mendapat subsidi Rp 235.000 per anak per tahun; sedangkan siswa SMP mendapat subsidi Rp 324,500 per anak per tahun. Dengan demikian besarnya dana BOS masih belum memadai jika dibandingkan biaya pendidikan yang harus ditanggung orangtua, khususnya di daerah perkotaan. Beberapa kepala sekolah yang menjadi informan studi ini menutur-
Salah satu kebijakan kompensasi BBM yang berkaitan dengan pelayanan pendidikan adalah penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk tingkat pendidikan dasar. Dengan kebijakan ini dimaksudkan agar proses pendidikan warga miskin dapat dijamin keberlangsungannya. Pemerintah menyadari bahwa akibat kenaikkan harga BBM kelompok warga miskin akan menangung beban berat atas naiknya harga kebutuhan pokok. Karena itu di samping memberikan bantuan dalam bentuk BLT, pemerintah mencanangkan bantuan pendidikan lewat BOS. Pelaksanaan program BOS menyodorkan beragam persoalan, seperti aspek pengelolaan, administrasi, dan juga penyalahgunaan. Minimnya pemahaman dan rendahnya kreativitas pengelolaan seringkali program BOS kurang efektif dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Tidak jarang program yang diajukan oleh pengelola di tingkat sekolah hanya mengedepankan program pembangunan fisik, sementara kurang diimbangi oleh program yang berorientasi pada mutu penyelenggaraan pendidikan. Di samping itu, akibat pola umum yang dipakai dalam pengelolaan, maka BOS tidak cukup efektif mengarah pada kelompok sasaran utama, yaitu warga miskin. Variasi latar belakang sosial ekonomi orangtua murid tidak menjadi pertimbangan utama, sehingga BOS dinikmati oleh orangtua murid yang kaya pula. Dana BOS antara lain dipakai
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
51 >>
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008
kan bahwa selama ini BOS sebenarnya sudah cukup membantu warga miskin, akan tetapi karena BOS diperuntukan pada sekolah, bukan spesifik pada warga miskin, maka orangtua murid kelas menengah dan atas pun menikmatinya. Akan berbeda jika BOS dikelola dengan sistem progresif, artinya mirip dengan BLT dengan menetapkan RTS sebagai target utama. Memang diakui dengan sistem progresif akan lebih rumit pengelolaannya, akan tetapi sistem itu terasa lebih adil dan perolehan bantuan per murid dari kalangan warga miskin akan lebih banyak. Harapan masyarakat miskin terhadap kebijakan kompensasi BBM yang berupa BOS, sebagaimana yang terekam dalam studi ini adalah bukan saja besarnya per satuan yang perlu ditingkatkan, tetapi yang jauh lebih penting adalah menyentuh aspek keadilan. Artinya, di masa depan perlu dipikirkan bahwa agar BOS lebih diperuntukan pada warga miskin dengan menetapkan kelompok sasaran yang memang benar-benar memerlukan bantuan. Dengan kata lain, pemerintah perlu mempertimbangkan adanya variasi latar belakang sosial ekonomi dan kemampuan
warga masyarakat dalam pembiayaan sekolah. Di samping itu, warga miskin sangat berharap bahwa yang diperlukan sebenarnya adalah sebuah kepastian bahwa biaya sekolah bisa ditekan seminimal mungkin, dengan cara pemerintah melakukan kontrol ketat agar sekolah tidak dengan seenaknya menarik biaya sekolah. Singkatnya adalah, bahwa dengan adanya BOS, harus secara efektif memberikan jaminan bahwa sekolah tidak akan menarik biaya sekolah lagi kepada orangtua murid, khususnya warga miskin.
Pandangan Masyarakat terhadap Kebijakan Kompensasi BBM
pemerintah sendiri, di satu sisi harga BBM dapat dikendalikan yang berarti akan mendapat simpati rakyat, dan pada sisi lain pemerintah akan mendapat legitimasi kuat di mata publik karena dianggap mampu memenuhi janjinya. Terhadap kebijakan kompensasi BBM yang diwujudkan dalam bentuk BLT, kelompok moderat menilai bahwa kebijakan itu masih kurang didukung oleh persiapan matang. Sosialisasi yang tidak detail dan tidak merata serta kurang jelas koordinasi nya, pendataan yang tidak akurat, distribusi yang tidak lancar, semuanya menjadi indikasi bahwa pemerintah terkesan tidak mempunyai perencanaan yang baik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Di samping itu, program BLT dinilai ti dak berpijak pada konsep yang jelas, sehingga terkesan tidak edukatif bagi kepentingan membangun kemandi rian rakyat miskin. Kelompok ini menganjurkan agar ke depan pemerin tah melakukan rekonseptualisasi program BLT yang lebih mengarah pada pemberdayaan rakyat miskin dengan mengutamakan pendekatan yang lebih partisipatif. Misalnya dengan memodifikasi model bantuan padat karya yang dikombinasikan dengan prinsip pembangunan demokratis yang bottom-up, transparan, akun table, dan partisipatif.
<< 52
Dalam penelitian ini pandangan masyarakat terhadap kebijakan kompensasi BBM dalam upaya penanggulangan kemiskinan, setidaknya dapat dikelompokan dalam tiga jenis reaksi, yaitu reaksi dari loyalis-konservatif, moderat, dan garis keras. Kelompok konservatif meski menilai bahwa kebijakan menaikkan harga BBM sangat memberatkan rakyat, tetapi kebijakan itu memang harus ditempuh pemerintah karena jika tidak dinaikkan akan mengganggu APBN. Kelompok ini bisa memahami dan mendukung logika pikiran pemerintah, yang senantiasa berprinsip bahwa harga BBM di dalam negeri harus ekuivalen dengan harga minyak mentah di pasar dunia. Terhadap kebijakan kompensasi BBM yang diwujudkan dalam program BLT pun mereka sangat mendukung, karena manfaatnya sangat dirasakan secara langsung oleh warga masyara kat miskin. Sedangkan pandangan kelompok moderat, menilai bahwa kebijakan menaikkan harga BBM kurang pas, dan berpotensi menuju tidak populer nya pemerintah di mata masyarakat. Kelompok ini memberikan alternatif lebih baik melakukan efisiensi terhadap manajemen Pertamina yang selama ini tidak efisien. Jika pemerintah mampu menekan inefisiensi akibat kesalahan manajemen, maka akan mendapatkan keuntungan ganda bagi
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
Jurnal DIALOG Kebijakan Publik
> Edisi 3 / November / Tahun II / 2008 Sementara itu kelompok garis keras menilai bahwa pemerintah terbukti tidak mampu mensejahterakan rakyat sesuai dengan janjinya. Kebijakan menaikkan harga BBM merupakan bukti bahwa pemerintah lebih mengutamakan kepentingan asing daripada rakyatnya sendiri. Kelompok ini mempertanyakan mengapa pemerintah dalam menetapkan harga BBM dalam negeri selalu mengikuti harga minyak internasional yang ditentukan oleh New York Mercantile Exchange (NYMEX). Kelompok ini menilai bahwa kebijakan menaikkan harga BBM sama sekali tidak menggunakan pertimbangan yang matang. Semuanya dilakukan dengan terburu-buru dan emosional. Dengan menaikkan hingga 126 persen, merupakan kebijakan yang terlanjur. Mereka menilai, akibat kebijakan yang salah perhitungan dan terlanjur itu, pemerintah justru yang membuat beban penderitaan rakyat miskin semakin berat. Terhadap kebijakan kompensasi BBM yang berupa BLT, kelompok garis keras menilai sebagai kebijakan yang karitatif. Program BLT sama sekali tidak mendidik rakyat miskin agar mampu mandiri. Pemerintah telah melakukan kesalahan ganda, yaitu menaikkan harga BBM yang tidak pro rakyat, kemudian disusul kebijakan kompensasi BBM yang hanya menyuburkan kultur pemintaminta di kalangan masyarakat miskin. Mereka menilai semua itu sebagai tragedi kebijakan, yang meskipun seolah-olah menolong rakyat, tetapi secara substantif menjerumuskan rakyat pada juruang kemiskinan yang lebih parah, karena hilangnya kultur mandiri dan mekanisme bertahan hidup di
kalangan warga miskin. Begitulah, studi ini menemukan bahwa kebijakan kompensasi BBM yang merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan, ternyata mendapat tanggapan yang bervariasi dari segenap kelompok masyarakat. Variasi tanggapan itu dipengaruhi oleh latar belakang sosial, politik, dan kultur masyarakat di mana informan itu ber ada. Sementara dari kalangan warga miskin itu sendiri, memaknai kebijakan kompensasi BBM dalam bentuk BLT merupakan pandangan dari kelompok yang secara sosio-kultural tidak otonom. Tetapi memang begitulah, setiap kali ada kebijakan pemerin tah, akan senantiasa mendapat respons yang variatif, terjadi kontroversi, dan menimbulkan pro-kontra.
Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia
53 >>
Freddy Tulung Lulusan tahun 1982 dari Sosiologi FISIP-UI dan mendapatkan gelar Sarjana Strata II Bidang Perencanaan Kota (Master of Urban Affairs), Boston University, Boston, USA pada tahun 1989 Pengalaman sebagai pengajar luar biasa pada Fakultas Ilmu Sosial UI. Perjalanan karirnya pernah menjabat sebagai Pjs. Kepala Biro Analisis Satuan Harga Operasi dan Pemerliharaan Bappenas, Kepala Biro Kerjasama Luar Negeri Multilateral, Bappenas, Direktur Kerjasama Pendanaan Luar Negeri, Bappenas, Direktur Kerjasama Pendanaan Luar Negeri, Bappenas dan Direktur Politik, Komunikasi dan Informasi, Bappenas Saat ini di Lingkungan Departemen Komunikasi dan Informatika menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Kemitraan dan Plt. Direktur Jenderal Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi. Pernah juga menjabat sebagai Plt. Inspektorat Jenderal, Departemen Komunikasi dan Informatika. Agus Suwignyo, Lahir di Lampung, memperoleh Master of Arts dalam bidang Ilmu Pendidikan dari Universitas Amsterdam, sedang meneliti sejarah pendidikan guru untuk disertasi program doktor pada Jurusan Sejarah Universitas Leiden, saat ini mengajar di Fakultas Ilmu Budaya UGM. Bagong Suyanto Staf pengajar pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya. Menyelesaikan S2 pada Pascasarjana Ilmu-ilmu Sosial Unair, dan aktif mengikuti kegiatan akademik di dalam dan luar negeri. Juga aktif menulis artikel di berbagai media massa seperti Jawa Pos, Surya, dan Kompas serta berbagai Jurnal Ilmiah. Aktif melakukan penelitian bertema kemiskinan antara lain Modernisasi Perikanan, Kemiskinan, dan Polarisasi Sosial Antara Nelayan Modern dan Tradisional; Problema Pemasaran dan Mekanisme Survival Petani Garam di Pulau Madura; Buruh Wanita dan Diskriminasi Pengupahan di Sektor Perkebunan. Salah satu buku yang ditulisnya antara lain Kemiskinan dan Kebijakan Pembangunan telah diterbitkan oleh Aditya Media Yogyakarta. Imam Prakoso Lahir di Jakarta, 12 Juli 1964, pendidikan S1 Ekonomi Pembangunan Universitas Gadjah Mada. Saat ini menjabat sebagai direktur Combine Resource Institution, Yogyakarta, sebuah Organisasi Non-Pemerintah yang bergerak dibidang pengelolaan pengetahuan, alternatif media dan TIK untuk masyarakat akar rumput. Yang bersangkutan juga terlibat aktif dalam organisasi AMARC (Asosiasi Radio Komunitas Internasional) Asia Pasifik dalam berbagai konperensi di Philipina, Srilanka, Afrika Selatan, Jordania dan Jepang. Beberapa penelitian yang dilakukan adalah Perkembangan Radio Komunitas di Indonesia bersama Nicholas Nugent yang didukung oleh The World Bank Institute dan Kesenjangan Digital dan Kebebasan Berekspresi yang bekerjasama dengan Global Partner, United Kingdom.