Policy Brief No. 001/PD/2015
MENGURAI BENANG KUSUT DANAU RAWAPENING Achsanah Hidayatina Mochammad Nadjib
Economic Research Center Indonesian Institute of Sciences 4th-5th Fl. Widya Graha LIPI, Jl. Jend. Gatot Subroto 10 Jakarta Telp. +6221 5207120 www.ekonomi.lipi.go.id
Bridging research to policy
POLICY BRIEF No. 001/PD/2015
Economic Research Center Paper Series is published electronically by Economic Research Center, Indonesian Institute of Sciences ©
Copyright is held by the author or authors of each Policy Brief
Economic Research Center Policy Brief cannot be republished, reprinted, or reproduced in any format without the permission of the paper’s author or authors. Note: The views expressed in each paper are those of the author or authors of the paper. They do not necessarily represent or reflect the views of the Economic Research Center, its Editorial Committee or of Indonesian Institute of Sciences.
ISBN 978-602-6303-01-1
The Economic Research Centre - Indonesian Institute of Sciences (P2E-LIPI) is one of the Indonesian Government Research Institutes established in 1967. P2E-LIPI plays a leading role in the field of economic and development policy research. The Centre is previously known as The National Economic and Social Institution (Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional/ LEKNAS), then LEKNAS-LIPI was reorganized into the Centre for Economics and Development Studies Indonesian Institute of Sciences (Pusat Penelitian Pengembangan Ekonomi dan Pembangunan/PEPLIPI) in 1986. Based on President Decree No. 178/2000 on December 15th, 2000 and LIPI Director Decree No.1151/M/2001 June, PEP-LIPI has been renamed to the Economic Research Center – Indonesian Institute of Sciences (Pusat Penelitian Ekonomi/P2E-LIPI) in 2001. P2E-LIPI consists of three Research Group: Regional Development, Industrial and Trade, Finance and Banking. The main objective of P2E is to advice the government on all economic and development issues, both on national and international economic issues. The focus issues are poverty reduction; economic governance and competitiveness; and infrastructure. The center also carries out joint research, in collaboration with domestic and international research institutions.
MENGURAI BENANG KUSUT DANAU RAWAPENING Indonesia memiliki wilayah perairan umum di daratan yang terluas di Asia setelah China yaitu sekitar 54 juta hektar. Termasuk kategori perairan umum daratan, adalah danau, sungai, waduk, rawa, dan perairan lainnya yang meliputi genangan dan area banjiran1. Danau, memiliki peranan cukup penting di Indonesia, secara umum keberadaannya selain berfungsi ekologi, juga fungsi ekonomi dan sosial budaya. Pemanfaatan danau secara multi fungsi, karena danau dinilai sebagai kawasan yang pengembangannya masih terbuka. Pemanfaatan secara multi fungsi semacam ini terjadi pula pada danau Rawapening. Dalam hal pemanfaatannya dilakukan secara beragam oleh berbagai sektor ekonomi yang meliputi sektor perikanan, pertanian, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), industri dan air minum serta pariwisata. Selain itu, beberapa satuan kerja lintas sektoral juga memanfaatkan Rawapening untuk mengimplementasikan programnya. Pemanfaatan secara multi fungsi ekonomi kawasan Rawapening sejauh ini tidak dibarengi dengan sinergitas dalam mengelolanya. Bila pemanfaatan Rawapening dilakukan secara bebas oleh berbagai pihak tanpa ada yang mengendalikan, maka dipastikan akan terjadi saling benturan antar kepentingan yang dampaknya memicu terjadinya degradasi ekologi, bahkan memunculkan konflik kepentingan2.
1. Tradisi Pemanfaatan dan Kelembagaan Pengelola Rawapening saat ini Rawapening merupakan danau yang memberi manfaat sosial budaya dan ekonomi masyarakat. Manfaat ekonomi tidak hanya dinikmati masyarakat sekitar danau, tetapi juga daerah hilir terairi dari irigasi yang airnya berasal dari Rawapening. Masyarakat sekitar Rawapening memanfaatkan keberadaan danau untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sumber penghasilan keluarga, diantaranya usaha perikanan, penambang gambut, peramu enceng gondok dan pertanian di lahan pasang surut. Pola pertanian lahan pasang surut ini terkait secara langsung dengan pengelolaan dan operasionalisasi air danau. Di lain pihak, sawah di hilir juga mendapatkan pengairan irigasi dari sumber air Danau Rawapening. Pemanfaatan langsung lainnya adalah untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) serta untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Dampak dari pemanfaatan langsung oleh beberapa sektor ekonomi telah menimbulkan tumpang tindih pengelolaan, dan ujungnya adalah munculnya konflik kepentingan. Petani pasang surut lebih menyukai elevasi air rendah, sebaliknya PLTA lebih menyukai elevasi air tinggi. Semakin rendah elevasi air danau berarti petani lahan pasang surut bisa menanam padi, di lain pihak PLTA mengalami kesulitan untuk beroperasi. Sebaliknya dilihat dari sudut pandang operasional PLTA, semakin tinggi elevasi air maka operasional PLTA semakin optimal. Tingginya elevasi air juga bermanfaat bagi kepentingan irigasi di kawasan hilir dan pengambilan air untuk keperluan industri serta PDAM. 1 2
Lihat Undang-undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 5 (1) huruf C Lihat Garett Hardin, 1968. “The Tragedy of the Commons”. Science, vol. 162 (No. 3859), pp. 1243-1248. Lihat pula Ciriacy SV Wantrup dan Richard C. Bishop, 1986. “Milik Bersama sebagai suatu Konsep Kebijaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Laut”. Dalam Ian R. Smith dan Firial Marahuddin (eds.). Ekonomi Perikanan dari Teori Ekonomi ke Pengelolaan Perikanan. Jakarta: Gramedia.
Saat ini ada beberapa model pengelolaan Rawapening, baik yang didasarkan atas tradisi masyarakat maupun yang dibentuk secara formal oleh pemerintah daerah. Model pengelolaan yang sudah ada belum menunjukkan sinkronisasi yang dapat mengeliminasi kemungkinan terjadinya konflik. Hubungan diantara institusi pengelola dan pemanfaat masih tumpang tindih.
Bentuk-bentuk pengelolaan Rawapening saat ini: Tradisi masyarakat setempat telah mengenal secara arif pengelolaan Rawapening. Kearifan lokal terbangun dari adanya kepercayaan terhadap mitos terbentuknya Rawapening yang dikaitkan dengan legenda “Baru Klinting”. Dalam membangun penghormatan terhadap Rawapening dilakukan upacara sedekah rawa setiap tahunnya yang melibatkan masyarakat sekitar danau. Kepercayaan terhadap mitos “Baru Klinting” dan Rawapening yang dikeramatkan ternyata menciptakan cara berperilaku yang cenderung mengarah pada prinsip konservasi. Di lain pihak, aktivitas sedekah rawa ini telah menciptakan integrasi dalam berkehidupan sosial masyarakat dan sikap kegotong royongan yang awalnya untuk menyediakan sesaji. Dalam perkembangannya, integrasi dan aktivitas sosial tidak semata dikaitkan dengan kebutuhan ritual, tetapi berkembang dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kelompok ekonomi yang terbentuk berorientasi memanfaatkan Rawapening, diantaranya kelompok nelayan, budidaya karamba, petani, peternak itik, UKM pengusaha kerajinan, kelompok pemilik perahu wisata dan kelompok lainnya. Setiap desa di sekitar Rawapening memiliki kelompok-kelompok ekonomi berdasarkan pekerjaan yang sama.
Kelompok-kelompok ekonomi ini, dalam perkembangannya oleh pemerintah disatukan dalam bentuk Paguyuban Kelompok Tani nelayan “Sedya Rukun”. Di awal pembentukannya, orientasi peguyuban untuk kesejahteraan anggota serta bersepakat menjaga Rawapening dari kerusakan ekologi. Peran paguyuban dalam mengelola Rawapening menyebabkan ditariknya menjadi lembaga yang lebih “formal”. Formalisasi paguyuban dilakukan ketika berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 610/VI/2004 tanggal 10 Agustus 2004, ketua paguyuban ditetapkan sebagai Ketua Forum Rembug Rawapening membawahi sebanyak 31 unsur pejabat pemerintah daerah dan tokoh masyarakat. Semenjak “diformalkan” dalam suatu forum bersama dengan institusi pemerintah, masyarakat telah berubah menilai negatif paguyuban. Paguyuban berubah sebagai “penguasa” Rawapening, karena program-program untuk Rawapening harus dikerjakan melalui paguyuban3. Orientasi paguyuban yang awalnya untuk kesejahteraan masyarakat, telah berubah untuk “keuntungan” sekelompok anggota. Akibatnya segenap kegiatan ekonomi yang menjadi penyangga kawasan Rawapening tidak dapat dikelola secara komprehensif.
Tidak optimalnya aktivitas forum koordinasi telah ditanggapi dengan keluarnya Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 610/21/2007 tanggal 9 Agustus 2007 tentang Pembentukan Forum Koordinasi Pengelolaan Rawapening sebagai penyempurnaan. SK Gubernur dengan demikian telah menganulir SK No. 610/VI/2004 tanggal 10 Agustus 2004. Dalam Forum koordinasi ini Ketua 3
Wawancara dengan seorang tokoh masyarakat Banyubiru pemilik karamba di Rawapening, tanggal 04 Juni 2014.
1|Policy Brief No. 001/PD/2015
Paguyuban Kelompok Tani nelayan “Sedya Rukun” tidak lagi menjadi ketua, tetapi berubah menjadi anggota, sedangkan ketua forum dijabat oleh Kepala Bappeda Provinsi Jawa Tengah. Semenjak itu, pengelolaan sumber daya air Rawapening dikelola secara formal oleh pemerintah, meskipun demikian pengelolaan secara formal ini bukan berarti permasalahan sudah bisa diatasi.
Pengelolaan pengairan. Secara formal institusi pengelola pengairan Rawapening dibentuk berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah Nomor 74/1971//32/50/9 tanggal 5 Agustus 1971. Pengelolaan sumber daya air Rawapening dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Tengah, dengan operasionalisasi pada Satuan Kerja Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Jragung dan Tuntang. Tata pengaturan air Rawapening dituntut melibatkan berbagai stakeholder, diantaranya Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di daerah hilir, kelompok tani sawah pasang surut, kelompok nelayan dan petani ikan, PLTA dan Dinas terkait serta para Camat di sekitar Rawapening. Meskipun telah ditunjuk institusi pengelola air Rawapening secara formal, tetapi implementasi di lapangan menunjukkan pengatur pintu air Bendung Jelok dan Timo tidak berada di tangan Satker PSDA tetapi berada di bawah wewenang pengelolaan PLTA4. Petugas buka-tutup pintu air Bendung Jelok dan Timo merupakan karyawan PLTA, bukan petugas Satker PSDA. Dengan demikian secara de jure Satker Balai PSDA memiliki kewenangan mengatur tata kelola air Rawapening tetapi de facto pelaksana buka-tutup pintu air menjadi kewenangan PLTA. Kondisi semacam ini sangat mudah difahami bahwa sebenarnya kebutuhan untuk PLTA lebih diutamakan dibandingkan kebutuhan untuk lainnya5.
Pengelolaan untuk perikanan. Kawasan Rawapening dibagi dalam tiga zonasi perikanan yaitu, penangkapan, budidaya dan zona suaka. Zonasi penangkapan, dibagi lagi berdasarkan sub zona yang pembagiannya didasarkan pada perbedaan alat tangkap. Dalam hal ini zona penangkapan meliputi sub zona branjang arang dan branjang kerep, sub zona sodo dorong dan sodo tarik, serta sub zona dengan alat tangkap lainnya meliputi jala, jaring, bubu, icir, embakan, pancing tunggal dan pancing rawe. Zonasi budidaya, wilayahnya dibagi menjadi 10 sub zona yang umumnya terletak sejajar dengan desa pembudidaya ikan. Sub zona tersebut meliputi Talang, Muncul, Puteran, Cobening, Segalok, Semenep, Nglonder, Serondo dan Tuntang, serta sub zona daerah pasang surut. Zonasi suaka, merupakan zona yang tidak diperkenankan ada kegiatan usaha perikanan karena fungsinya sebagai tempat berkembang biak dan menjaga pestarian populasi ikan6.
4
5 6
Lihat Sutarwi, 2008. Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air Danau dan Peran Kelembagaan Informal:Menggugat Peran Negara atas Hilangnya Nilai “Ngepen” dan “Wening” dalam Pengelolaan Danau Rawapening di Jawa Tengah. Salatiga: Program Pasca Sarjana Universitas Kristen Satya Wacana Press. Wawancara dengan seorang pemerhati Rawapening yang juga menjadi pengajar Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, tanggal 04 Juli 2014. Lihat Petunjuk Pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 25 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Rawapening, 2001. Ungaran: Dinas Peternakan dan Perikanan, Pemerintah Kabupaten Semarang
2|Policy Brief No. 001/PD/2015
2. Lembaga Otorita Pengelola Rawapening: Alternatif Solusi Sebagaimana yang telah diuraikan, pemanfaatan sumber daya air Rawapening dilakukan secara beragam dan multi fungsi oleh berbagai instansi lintas sektoral dan stakeholder. Di lain pihak, Model pengelolaan yang sudah ada belum menunjukkan sinkronisasi, sehingga implementasi pengelolaan diibaratkan seperti “benang kusut” akibat tumpang tindihnya pemanfaatan. Untuk dapat mengurai “benang kusut” pengelolaan Rawapening, diperlukan jembatan model pengelolaan antara yang diprakarsai pemerintah (base government) dengan pengelolaan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat (communal management) yaitu model kerjasama pengelolaan (collaborative management). Setidaknya stakeholder kunci yang terlibat dalam pengelolaan Danau Rawapening meliputi, (1) kelompok yang memanfaatkan Rawapening; (2) pemerintah dengan satuan kerjanya; (3) agen perubahan (agent of change), dan (4) stakeholder lainnya. Masing-masing stakeholder tersebut memiliki peran yang tidak sama, bahkan sebagian cenderung tumpang tindih serta saling bertolak belakang. Untuk mengadopsi berbagai kepentingan, maka model kerjasama pengelolaan harus merepresentasi perwakilan tersebut. Untuk mewadahi kepentingan kelompok yang tidak sama, diperlukan organisasi yang secara bersama mengelola dan mengkoordinasi kegiatan7. Keempat stakeholders kunci tersebut melakukan kerjasama dan mewakili berbagai aspirasi serta tergabung dalam lembaga pengelola Rawapening.
Agen Perubahan
Masyarakat Pemanfaat
Pemerintah
Stakeholder lain
Collaborative Management Group
Kawasan Rawapening
Sumber: Mengadaptasi dari Hidayat dan Darwin, 2001; Pameroy dan Rivera-Guieb, 20068
7
Lihat Robert. S Pomeroy, 1995. “Community-based and Co-management Institutions for Sustainable Coastal Fisheries Management in Southeast Asia”. Ocean and Coastal Management, vol. 27 (1995) dan lihat pula Robert S Pomeroy dan Rebecca Rivera-Guieb, 2006. Fishery Co-Management: A Practical Handbook. Oxfordshier: CAB International Publishing.
8
Adaptasi dari buku yang ditulis oleh Syarif Hidayat dan Darwin Samsulbahri, 2001. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Sebuah Rekonstruksi Konsep Community Based Development (CBD). Jakarta: Pustaka Quantum, dan juga dari pendapat Robert S Pomeroy dan Rebecca Rivera-Guieb, 2006. Fishery Co-Management: A Practical Handbook. Oxfordshier: CAB International Publishing.
3|Policy Brief No. 001/PD/2015
Diperlukan desentralisasi dalam mengelola Rawapening, dalam hal ini organisasi pengelola harus diberi otoritas penuh tidak terbatas hanya pada kawasan inti tetapi meliputi seluruh kesatuan daerah hidrologis. Dengan demikian wilayah kerja organisasi mencakup lintas administrasi pemerintahan dari hulu sungai yang mengalir ke Rawapening sampai hilir sungai yang diairi dari sumber Rawapening. Karena, masalah di hulu dan hilir saling kait mengkait dengan permasalahan di Rawapening. Pengelolaan Rawapening yang didasarkan pada model collaborative management akan mencapai hasil yang memuaskan bilamana konsep pengelolaannya berbasiskan masyarakat. Setiap unsur pemanfaat yang berbeda sedapat mungkin diakomodasi pendapatnya, sehingga diperoleh keterpaduan dalam arti yang sebenarnya yaitu dapat mewadahi dan mengakomodasi kepentingan semua pihak. Problem serius untuk mencapai keterpaduan dari berbagai unsur yang terlibat dalam organisasi collaborative management adalah bilamana tidak terpenuhinya representasi kelompok secara adil, karena setiap unsur dalam organisasi memiliki kepentingan yang berbeda. Dengan demikian, implementasi di lapangan sangat penting untuk diperhatikan. Ada tiga pola strategis untuk mengimplementasikan model organisasi kolaborasi di Rawapening9, yaitu: 1) Pemerintah dan masyarakat duduk bersama untuk membuat peraturan pengelolaan. 2) Pemerintah sepenuhnya menyerahkan kepada masyarakat untuk membuat aturan pengelolaan dan mengadobsinya dalam peraturan perundang-undangan. 3) Masyarakat mengikuti aturan pengelolaan yang sudah ditentukan pemerintah dengan modifikasi sesuai kondisi lokal. Ketiga pola tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya, tetapi pola pengelolaan pertama agaknya paling ideal meskipun paling sulit untuk dilaksanakan. Kesulitan yang dialami jikalau menerapkan pola pertama adalah, akan banyak kepentingan berbeda yang perlu diadobsi dalam organisasi kerjasama pengelolaan. Meskipun demikian, keunggulan dalam menerapkan model ini di Rawapening adalah10:
Investasi berlebih terhadap usaha ekonomi yang terkait dengan kawasan yang dikelola dapat dikurangi, sehingga akan dapat dihindari adanya eksploitasi yang berlebih (overexploitation) terhadap kawasan Rawapening.
Dapat dihindari kemungkinan terjadinya overexploitation, memungkinkan pelestarian sumber daya Rawapening lebih dapat ditingkatkan.
Akan terjadi kesetaraan alokasi kesempatan dalam mengelola kawasan Rawapening.
Adanya kesetaraan dalam alokasi kesempatan, memungkinkan dapat dieliminasinya kemungkinan terjadinya konflik diantara berbagai pihak yang mempunyai kepentingan terhadap pemanfaatan sumber daya Rawapening.
9
Implementasi model pengelolaan kolaborasi ini mengadaptasi dari pendapat Svein Jentoft, 1989. “Fisheries Management: Delegating Government Responsibility to Fishermen’s Organization”. Marine Policy, April 1989.
10
Prinsip ini mengadopsi artikel dalam Coastal Communities News, tanpa tahun. Community Based CoManagement offers a Better Way to Manage Fishery: an Exciting and Innovative Way to Bring Real Hope to Coastal Communities. Vol. 1 (6), halaman 6.
4|Policy Brief No. 001/PD/2015