Edisi Oktober 2002
Benang Kusut Birokrasi Perda Perijinan Usaha:
Meminimalkan Dispensasi bagi Kegairahan Investasi MEMBANGUN KEMITRAAN ANTAR DAERAH Implikasi UU No. 34/2000 Terhadap Iklim Usaha
Kembali soal Kebermasalahan PERDA Pencabutan Wewenang Pemda dalam menerbitkan HPH, Langkah Tepatkah ? PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN TAHUN 2001
TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA PERIKANAN Studi Ekonomi Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu Sofyan Tan :
Belum Ada Program Konkret Pemerintah Untuk UKM Pemda Muara Enim
Melalui UPT Pelayanan Perijinan Jadi Mudah dan Cepat Gambar Sampul : Diambil dari kumpulan fotofoto dari Photoimage vol. 10. Foto isi diambil dari internet dengan fasilitas www.google.com.
Benang Kusut Birokrasi Dalam kata birokrasi paling tidak ada dua unsur yang melekat disana, pertama adalah unsur peraturan (berkait dengan tata cara/prosedur, waktu, biaya, dokumen, dll.), dan kedua adalah unsur pelaksana (orang). Dari sisi peraturan, yang perlu dilihat adalah sejauh mana peraturan tersebut telah menutup setiap kemungkinan penyimpangan. Suatu peraturan akan mandul bilamana terbuka celah celah penyimpangan. Derajat baik tidaknya peraturan dari ukuran tersebut, paling tidak bisa dilihat dalam hal koneksi antara tujuan dan isi, unsur biaya terkait, mekanisme supervisi dan pengawasan, dan konsekwensi sanksi bila dilanggar. Tidak sedikit peraturan yang tidak sinkron antara tujuan dan substansi isinya. Demikian pula ketika terkait dengan biaya yang diatur dalam suatu peraturan, retribusi misalnya. Bukan sekali dua kali dikemukakan terdapat pembebanan biaya (resmi) untuk pihak yang berhubungan dengan birokrasi pemerintahan tanpa timbal balik jasa; paparan kajian perda perijinan usaha menjadi salah satu contoh yang menunjukkan hal itu. Sementara itu, sudah umum diketahui bahwa suatu peraturan yang secara normatif baik belum tentu bisa dilaksanakan dengan benar ketika terbentur pada aktor pelaksana peraturan. Peraturan yang baik akan mengunci berbagai kemungkinan penyimpangan melalui lapis supervisi; namun ketika unsur pelaksana peraturan yang mempunyai kewenangan supervisi bermain main dengan kewenangannya, mulailah muncul berbagai permasalahan. Ketika sudah ada yang mulai menyalahgunakan wewenang, virus tersebut dengan mudahnya menyebar ke lapisan pelaksana lainnya, sehingga akan sangat sulit menemukan aktor yang terlepas dari segala belitan abuse of power. Maka peraturan yang baik tidak ada gunanya sama sekali. Dalam konteks ini banyak tudingan kepada aparat birokrasi pemerintahan yang memanfaatkan posisinya untuk mendapatkan uang extra buat pribadi dari pelayanan yang diberikan pada dunia usaha. Namun begitu banyak pula tudingan kepada pelaku usaha yang dianggap memulai menciptakan situasi korup itu karena ingin mendapat pelayanan lebih dari lainnya dengan imbalan fulus pada aparat birokrasi. Gambaran yang menjadi rahasia umum tersebut diperkuat dengan temuan lapangan penelitian KPPOD di berbagai daerah. Ada semacam win win situation bagi pelaku usaha dan aparat birokrat. Pelaku usaha tidak dipersulit dalam usahanya (kadangkala dengan extra cost dalam perijinan misalnya; namun bisa juga less cost dalam pembayaran pajak contohnya). Yang pasti untung aparatnya, walaupun tetap ada resiko terkena sanksi kepegawaian bila suatu saat pemerintah ingin menunjukkan kinerjanya ke masyarakat dengan show kecil kecilan menangkap beberapa penjahat birokrasi. Sedangkan yang jelas rugi adalah negara karena berkurangnya pendapatan yang harus diterimanya (dalam hal pajak, misalnya). Karena salah satu akibat dari terbatasnya pendapatan negara adalah fasilitas dan pelayanan bagi masyarakat umum terabaikan, ujungnya yang dirugikan adalah masyarakat luas. Namun begitu, dari penelusuran mendalam terhadap beberapa pengusaha daerah, sebenarnya muncul juga rasa was was bagi mereka ketika dalam hal penyimpangan PBB (Pajak Bumi Bangunan) misalnya; saat ini mereka boleh merasa diuntungkan dengan total pengeluaran lebih kecil dari seharusnya meskipun sudah ditambah biaya bagi aparat, namun mereka tetap khawatir bahwa bila ada ganti aparat, maka penyimpangan yang sudah dianggap selesai bisa diungkit lagi. Sudah sedemikian sering kita mendengar hal hal di atas, sedemikian seringnya juga kita mendengar tentang konsep konsep untuk menanggulanginya, penerapan good governance misalnya. Namun tidak kurang kita juga mendengar, menyaksikan dan terkadang dalam situasi tertentu harus juga terlibat dalam praktek bad governance tersebut. Barangkali kita memang harus hidup dan tetap survive dalam situasi yang tidak menyenangkan itu sambil tetap meneriakkan upaya upaya perbaikan tanpa terlalu harus risi akan hal yang diulang ulang, dan tidak perlu risau dengan hasil yang akan bisa dicapai. Mungkin kita hanya bisa bermimpi untuk suatu saat bisa bersorak gembira akan munculnya rejim birokrasi yang lebih baik. (pap)
Penerbit : Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Alamat Redaksi : Sekretariat KPPOD, Plaza Great River, 12th floor, Jl. HR. Rasuna Said Kav. X-2 No.1, Jakarta 12950, Phone : 62-21-5226018, 5226027, Fax : 62-21-5226027, E-mail :
[email protected], http://www.kppod.org/ Dewan Pengurus KPPOD : Bambang Sujagad, Anton J. Supit, Bambang PS Brodjonegoro, P. Agung Pambudhi, Aburizal Bakrie, Sofjan Wanandi, Adnan Anwar Saleh, Hadi Soesastro, Sri Mulyani Indrawati, Djisman Simandjuntak, Susanto Pudjomartono, Sjarifuddin, Aco Manafe, dan Taufik L. Redaksi : P. Agung Pambudhi, Sigit Murwito, Robert Endi. Tata Letak : F. Sundoko. Iklan dan Distribusi : M. Regina Retno B.
1
Perda Perijinan Usaha:
Meminimalkan Dispensasi bagi Kegairahan Investasi pada sekedar mengatur dan membatasi (seperti pembatasan mobilitas barang, diskriminasi berusaha, dll), atau hanya memberikan beban pungutan yang berlebihan (lewat penarikan pajak, retribusi dan sumbangan pihak ketiga). Untuk mengecek dan meninjau semua itu, berikut dipaparkan hasil kajian atas sejumlah peraturan daerah (Perda) dan Surat Keputusan (SK) Kepala Daerah di beberapa daerah. Dari hasil kajian perda ini, pada tingkat tekstual kita dapat melihat jenis dan tendensi kebermasalahan regulasi perijinan usaha di daerah, untuk pada gilirannya menilai motif dan konsekuensi dari kehadiran berbagai peraturan tersebut.
D
alam artian praktisnya, izin dan dikerjakan oleh birokrasi yang atau perizinan mer upakan memberikan pelayanan umum. Karena “dispensasi dari suatu pembatasan tendensi hubungannya lebih memberat dan larangan”. Namun pembatasan kepada fungsi pelayanan (service-providing dan bahkan larangan itu tidak bersifat oriented) dari pada fungsi pengaturan final/mutlak, karena sepanjang berbagai (regulerent), sudah barang tentu dasar prasyarat dan mekanisme bisa ditunai, pertimbangan utama dalam setiap kesempatan menjadi terbuka. Dengan pemberian perizinan ini adalah motif demikian, izin bertolak dari ketentuan memudahkan dan memfasilitasi aktivitas yang membolehkan seseorang untuk subyek pemegang izin. melakukan tindakan setelah memenuhi Tak kecuali dalam kerangka makna di dispensasi tertentu. atas adalah perizinan bagi kepentingan Meski juga agar setiap peraturan dan kepu- b e r u s a h a m e n g a n d u n g tusan yang berkaitan dengan per- pihak swasta. unsur pengaturan izinan aktivitas usaha di daerah P e m e r i n t a h (fungsi regulerent daerah, yang saat benar-benar akan mencerminkan birokrasi), ini memegang p e r i z i n a n bekerjanya motif pelayanan birokra- k e w e - n a n g a n m e m i l i k i si dari pada sekedar mengatur dan perizinan usaha, k e t e r k a i t a n membatasi (seperti pembatasan t e n t u p e r e l u f u n g s i o n a l mobilitas barang, diskriminasi beru- mensifati semua yang lebih erat saha, dll), atau hanya memberikan k e b i j a k a n dengan tugas beban pungutan yang berlebihan p e r i z i n a n n y a pelayanan umum dengan motif (lewat penarikan pajak, retribusi pemerintahan fasilitasi tersebut. ( K e p u t u s a n dan sumbangan pihak ketiga). Po i n n y a , Menpan No. bagaimana agar 81 Tahun 1993 tentang Pedomaan setiap peraturan dan keputusan yang Tatalaksana Pelayanan Umum yang kini berkaitan dengan perizinan aktivitas usaha masih berlaku). Perizinan adalah wujud di daerah benar-benar akan mencerminkan dari suatu keputusan administratif, bekerjanya motif pelayanan birokrasi dari
2
Profil Kebermasalahan Perda Perizinan Usaha Produk hukum daerah (Perda dan SK Kepda) yang dikaji berjumlah 66 buah, yang keseluruhannya berkaitan dengan ihwal pengaturan izin usaha dan retribusi izin usaha di daerah. Perda/ SK Kepda tersebut bervariasi atau menyebar secara tidak merata di 33 daerah Kabupaten/ Kota, dengan jumlah terbanyak dari Kab. Simalungun dan Kab. Garut (7 Perda) , diikuti Kab. Bogor (5 Perda), Kota Cirebon, Kota Bengkulu, dll (3 Perda), Kab. Palembang, Kab.Tanah Toraja, dll (2 Perda), dan sebagian daerah sisa lainnya seperti Kab. Ciamis, Kab. Tabalong, dll (1 Perda). Di lihat dari tahun penerbitannya, sebagian besar perda tersebut dikeluarkan saat dan setelah UU No. 22 / 1999 yang melandasi kebijakan otonomi daerah resmi berlaku (per 1 Januari 2001). Yakni sebanyak 17 perda (26 %) pada tahun 2002 dan 36 perda (55 %) pada tahun 2001. Meski sebagai hukum posisif, UU No. 22 / 1999 baru berlaku pada tahun 2001, namun berbagai perda yang terbit pada paruh akhir tahun 1999 dan tahun 2000 sudah memakai UU tersebut sebagai acuan konsiderannya, sehingga secara yuridis bisa disebut sebagai produk hukum
daerah di masa otonomi daerah. Perda oleh diijinkannya kehadiran suatu aktivitas yang terkategori ke dalamnya sebanyak usaha). 10 buah (15 %) yang terbit tahun 2000 Dalam skala yang lebih luas, logika dan 3 perda (4 %) tahun 1999. ini juga bisa dipakai untuk mengkritisi Tinjaun yang bersifat umum untuk keberadaan golongan retribusi perizinan melihat apakah produk hukum daerah itu tertentu dalam UU No. 34 / 2000 dan tepat secara legal-yuridis dan taat terhadap PP No. 66 / 2001. Berbeda dengan kedua prinsip-prinsip sosial dan ekonomi adalah golongan retribusi lainnya (izin usaha dengan melihat tingkat, jenis dan tendensi dan jasa umum) yang memperlihatkan kebermasalahannya. Adapun tingkat secara jelas kontra prestasi pemerintah kebermasalahannya dibagi ke dalam 3 dan ditanggung saat pemakaian (seperti kriteria, yakni kriteria kebermasalahan fasilitas pasar), dalam golongan retribusi yuridis (berpatok kepada acuan yuridis perizinan tertentu tidak terlihat imbal jasa suatu perda), kriteria kebermasalahan yang jelas dan pemakaian jasa ditanggung substansi (problem internal perda), setelah kejadian (seperti pemulihan setelah dan kriteria kebermasalahan prinsip terjadi gangguan). Hal ini menimbulkan (berkait dengan konteks makro sosial dan keraguan atas kesesuaiannya dengan ekonomi). Setiap tingkat kriteria ini berisi prinsip / filosofi umum dari suatu jenis-jenis kebermasalahannya sendiri, pungutan retribusi. sedangkan tendensi kebermasalahan bisa bahwa pungutan yang dikenakan atas urusan ditakar dari prosentase perizinan hanyalah bersifat administratif jenis kebermasalahan (biaya urusan di atas meja) karena sekedar itu terhadap total diperuntukan bagi biaya ganti cetak dokumen jumlah perda (n=66). Gambaran mengenai dan sejenisnya, bukan biaya retribusi (biaya hal ini terlihat pada urusan di lapangan) karena perda-perda tabel sebagai berikut: tersebut tidak mengatur persoalan di lokasi Membaca profil usaha (seperti penaggulangan atas efek (jenis dan tingkat) gangguan fisik/sosial yang diakibatkan oleh k e b e r m a s a l a h a n diijinkannya kehadiran suatu aktivitas usaha). dalam tabel di atas, terlihat bahwa pertama, pelanggaran atas Kedua, urutan kebermasalahan filosofi pungutan retribusi atas perizinan berikutnya adalah problem ketidakjelasan usaha mendapat peringkat teratas. prosedur/birokrasi perijinan (8 %), serta Dari kajian yang dilakukan KPPOD, kebermasalahan yuridis menyangkut disimpulkan bahwa sejumlah besar perda masa keberlakuan konsiderans (6 %) dan memberlakukan pungutan retribusi atas kelengkapan yuridis (6 %). Lebih serius perizinan usaha. Kecenderungan ini ketimbang dua pelanggaran belakangan, terasa aneh, setidaknya menimbang dua bagi dunia usaha persoalan ketidakjelasan perspektif berikut: (1) secara yuridis, prosedur perijinan jeas menjadi suatu SK Menpan 81/1993 telah secara jelas kendala pokok. Hal itu menyangkut menyebut urusan perizinan ini sebagai ketidakpastian, inefisiensi dan potensial bagian dari tugas pelayanan umum menimbulkan praktik moral hazard karena birokrasi; (2) secara logika, landasan orang lalu mengambil jalan pintas untuk berpikir yang digunakan KPPOD adalah melancarkan pengurusan ijin usahanya. bahwa pungutan yang dikenakan atas Dari hasil kajian KPPOD didapatkan urusan perizinan hanyalah bersifat bahwa masalah ketidakjelasan prosedur administratif (biaya urusan di atas meja) ini terutama menyangkut soal kepastian karena sekedar diperuntukan bagi biaya waktu pengurusan perizinan, ketepatan ganti cetak dokumen dan sejenisnya, biaya perizinan dan lembaga pengurusan bukan biaya retribusi (biaya urusan di i z i n . Ti d a k b a n y a k d a e r a h y a n g lapangan) karena perda-perda tersebut memiliki perda tentang organisasi dan tidak mengatur persoalan di lokasi tata kerja kantor pelayanan perijinan usaha (seperti penaggulangan atas efek (KPP), juga hampir tak ada daerah gangguan fisik/sosial yang diakibatkan yang mengeluarkan perda perijinan
usaha yang bisa secara komprehensif mengatur semua persyaratan, mekanisme dan prosedur pengurusan ijin usaha. Tentu, ketidakjelasan ini merupakan disinsentif dan berakibat negatif bagi upaya menggairahkan investasi di daerah. Ketiga, berdasar asal daerah perda, secara umum corak persebaran perda bermasalah maupun yang tak bermasalah relatif merata di berbagai daerah. Namun terdapat perkecualian pada dan perlu perhatian khusus bagi daerah-daerah yang memiliki perda bermasalah dalam kriteria pelanggaran filosofi retribusi, seperti Kota Bengkulu (Perda 8/02 dan 10/02), Kab. Garut (Perda 13/01 dan 28/01), Kab. Pematang Siantar (Perda No.19/01 dan 20/01), Kab. Bogor (Perda No. 9/02, 10/02 dan 11/02), Kab. Simalungun (Perda No. 26/01, 32/01 dan 41/02). Selain pelanggarannya berkategori substansial, daerah-daerah tersebut memiliki lebih dari satu perda yang bermasalah substansial. Catatan Penutup Ringkasan kajian di atas memperlihatkan, beban “dispensasi” yang harus ditanggung pelaku usaha untuk mendapatkan akses berinvestasi cukup besar. Dan sebagai beban, dispensasi itu bersifat negatif, seperti pembayaran atas pungutan (retribusi) yang tidak proporsional, pemenuhan syarat dan prosedur yang tidak jelas, dan sebagainya. Meski kita tahu kesemuanya ini disinsentif dan berdampak negatif, tapi tanpa kesediaan menanggungnya, kesempatan dan akses berinvetasi boleh jadi tak bakal diperoleh (kecuali mengambil jalan alternatif yang sama buruknya, yakni penyuapan aparat perizinan). Arah kerja pemerintah daerah ke depan cukup jelas, meminimalkan (bahkan menghilangkan) semua dispensasi yang negatif tersebut. Kembali menjadikan urusan perijinan sebagai urusan pelayanan, bukan pengaturan, pembatasan dan pembebanan merupakan kerangka peran birokrasi yang paling dituntut bagi upaya membangkitkan kegairahan berusaha ke depan. Terutama di dalamnya adalah dan bermula dari perbaikan pada instrumen regulasi dan kelembagaan yang berkaitan dengan segala pengurusan perizinan.* (ndi)
3
Tabel: Kebermasalahan Perda Pengaturan Izin dan Retribusi Izin Usaha No. 1.
2.
3.
4. 4
4
Tingkat Kebermasalahan Bermasalah Yuridis
Bermasalah Substansi
Bermasalah Prinsip
Tidak Bermasalah Tid k B rm l h
Jenis Kebermasalahan l Relevansi Acuan Yuridis
Angka Kebermasalahan Keterangan Asal Daerah Jumlah Prosentase Absolut (n= 39) 1 2% Kota Pekan Baru (Perda No.10/00)
Kb lk A Y idi Acuan Yuridis l Keberlakuan
4
6%
l Kelengkapan Yuridis
4
6%
l l l l l
0 0 0 1 5
0% 0% 0% 2% 8%
l Filosofi Pajak dan Retr.
28
42%
l Keutuhan Wil. Eko. (free internal trade )
0
0%
h l Persaingan Sehat Ekonomi Negatif l
0 3
0% 5%
l Akses Masyarakat l Kewenangan
0 0 13
0% 0% 20%
Diskoneksi Tujuan j dan Isi Kejelasan Obyek Kejelasan Subyek Kejelasan hak kewajiban KejelasanProsedur dan birokrasi
K D (N 1/ 01), 01) Bekasi B k i (24/ Kota Depokk (No.1/ 01), Indramayu (22/00) Kota Probo-lingggo (4/01) Simalungun (41/01), Pematang Siantar (17/01, 19/01)
Indramayu (perda 22/01) Bekasi (4/01) Garut (18/01) g (12/01, ( 32/ 01), ) Simalungun Palembang (28/01) Menyebar di banyak daerah, seperti Kota Bogor, Garut, dll.
Garut (10/01, Cirebon (12/ 01), P. Siantar (19/ 01)
Menyebar M n b r di beberapa b b r p daerah, d r h seperti p rti Kutai, Moro-wali, Ende, dll
MEMBANGUN KEMITRAAN ANTAR DAERAH Anton J. Supit *)
Pengantar Dari rumusan tujuan otonomi daerah yang melingkupi berbagai hal sebagaimana dituliskan dalam UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, bagi saya hasil akhir yang diinginkan adalah terwujudnya kesejahteraan rakyat. Artinya otonomi daerah akan percuma saja bilamana setelah diterapkan tidak menjadikan rakyat lebih sejahtera (utamanya dari segi ekonomi). Apalagi bila rakyat justru menjadi lebih tidak sejahtera, maka pelaksanaan otonomi daerah tidak ada gunanya!. Dalam persepsi dunia usaha, untuk membuat rakyat di daerah otonom menjadi sejahtera hanya bisa dicapai bila daerah otonom tersebut lebih kompetitif dibanding daerah lainnya. Lebih kompetitif secara menyeluruh dalam berbagai aspek, ataupun paling r a k y a t , s a n g a t m u n g k i n u n t u k tidak menjadi lebih kompetitif untuk hal menciptakan hubungan kerjasama antar hal tertentu. Bisa saja suatu daerah yang daerah. Kompetisi itu sendiri bisa menjadi memang kalah secara komparatif dalam hal sangat positif bagi kemajuan ekonomi masing kekayaan alam (hutan – kayu, misalnya) masing daerah bila dikelola secara sehat. dibandingkan daerah tetangganya, namun dapat menjadikan daerahnya lebih Namun kompetisi juga bisa menjadi kompetitif dalam hal kebijakan investasi destruktif bila tidak dikelola dengan benar. dan sumber daya manusianya (SDM); Misalnya, pungutan pungutan daerah sehingga mampu menjadikan daerahnya yang dikenakan dalam jalur distribusi lalu lintas perdagangan sentra ekonomi industri furniture Dalam hal pembangunan antar daerah, yang (misalnya), dengan ekonomi, langkah pertama bisa menjadikan m e m a n f a a t k a n sebelum memulai kerjasama antar daerah saling membalas dengan secara optimal dengan daerah otonom penerapan pungutan kekayaan hutan lainnya adalah mengenali terhadap barang daerah tetangganya. Dalam suatu pola faktor faktor kompetitif y a n g m a s u k k e wilayahnya. Praktek kerjasama yang saling daerahnya. ekonomi yang tidak menguntungkan, daerah yang kaya sumber daya alam sehat tersebut bisa menyebabkan high cost (SDA) dalam contoh tersebut, tidak economy sehingga memandulkan daya perlu merasa dirugikan daerah tetangga saing ekonominya dan tidak menarik bagi yang menggunakan bahan baku kayunya, investasi. Praktek tersebut akhirnya tidak karena paling tidak ada pemasukan bagi hanya merugikan perekonomian daerah setempat, namun juga bagi perekonomian daerah dalam penjualan kayu tersebut. Ilustrasi sederhana tersebut ingin nasional. Tentang bagaimana kerjasama (win menunjukkan bahwa dalam iklim win situation) antar daerah tersebut dapat kompetisi antar daerah yang menjadi prasyarat terwujudnya kesejahteraan terwujud akan dibahas secara ringkas
dalam uraian di bawah. Mengenali Potensi Daerah Salah satu bagian dalam UU 22/1999 yaitu pasal 87, walaupun sifatnya optional, secara filosofis menunjukkan kehendak UU agar daerah daerah otonom melakukan kerjasama antar daerah – sehingga terjadi simbiosis mutualisma yang saling menguntungkan, dalam semangat NKRI. Kerjasama tersebut bisa dalam berbagai hal: ekonomi, kelembagaan pemerintahan daerah, pendidikan, dll. Dalam hal pembangunan ekonomi, langkah pertama sebelum memulai kerjasama dengan daerah otonom lainnya adalah mengenali faktor faktor kompetitif daerahnya. Faktor faktor tersebut bisa berupa SDA, SDM, budaya masyarakat, dll. Dari sana bisa dipetakan potensi ekonomi yang bisa dikembangkan di daerah tersebut; apakah sektor pertambangan, kehutanan, perkebunan, pertanian pangan, perikanan, manufaktur, pariwisata, perdagangan, dll. Sebelum membuat suatu rencana strategis pembangunan daerah, perlu untuk mengenali potensi yang dimiliki daerah daerah otonom lainnya di Indonesia (minimal), bahkan daerah daerah di luar Indonesia. Hal ini sangat penting
5
mengingat menyatunya perekonomian dunia yang mengkondisikan suatu daerah untuk menempatkan dirinya secara tepat dalam persaingan ekonomi global. Bila pengenalan akan posisi daerahnya dalam perekonomian global (nasional, minimal) sudah terpetakan lantas perlu dibuat rencana stratejik pembangunan (ekonomi) daerah, jangka panjang – menengah – maupun pendek; dalam bahasa pemerintahan, arah stratejik pembangunan daerah tersebut, barangkali yang dimaksud dengan RENSTRA (Rencana Strategis). Perspektif periode waktu dalam arah pembangunan tersebut sangat penting dengan mempertimbangkan potensi daerah yang dimiliki saat ini, masa datang, dan arah perkembangan daerah daerah lainnya. Maksudnya, suatu daerah yang saat ini leading dalam industri pengolahan (sektor sekunder), mungkin sudah perlu menyiapkan diri untuk leading dalam hal jasa finansial dan informasi (sektor tersier) untuk 30 tahun kedepan untuk mendapatkan nilai tambah perekonomianya. Hal tersebut dilakukan karena prediksi bahwa untuk 20-30 tahun ke depan keunggulan nilai tambah dari industri pengolahan akan diambil alih oleh daerah daerah sekitarnya yang saat ini sedang memulai memasuki fase sektor sekunder tersebut. Kemitraan Antar Daerah Dalam praktek dunia usaha dikenal adanya aliansi strategis antar para pemain usaha, baik menyangkut pasokan bahan baku, jalur distribusi, dukungan finansial, dll. Tujuannya untuk mensinergikan kegiatan usaha dalam suatu kerjasama berkesinambungan yang saling menguntungkan. Contoh sederhana: kerjasama/kemitraan produsen kain dengan produsen garment berdasar suatu kuota minimal tertentu. Produsen kain diuntungkan dengan captive market pembeli produknya sejumlah kuota minimal tertentu. Sementara itu produsen garment juga diuntungkan dengan adanya kepastian pasokan bahan baku. Pola kemitraan dunia usaha tersebut rasanya bisa juga diterapkan untuk kerjasama antar daerah, walaupun dengan teknis pengaturan yang bisa berbeda. Sebagai misal, daerah sentra produksi furniture di Kab. Sidoarjo Jawa Timur barangkali bisa bermitra dengan Kab. Manokwari (atau daerah daerah lainnya)
6
di Papua yang kaya sumber alam hutan dilakukan untuk sektor sektor pendukung (kayu). Paket kemitraan tersebut bisa seperti kelembagaan pemerintahan. melingkupi pasokan bahan baku, dimana Misalnya kemitraan untuk saling mengisi Manokwari memasok bahan baku untuk kekurangan mitra daerahnya dalam industri perkayuan di Sidoarjo. Dalam pembuatan kebijakan kebijakan publik, paket kemitraan itu bisa dipersyaratkan pendidikan non formal bagi masyarakat, soal pembinaan SDM dimana ada menggerakkan partisipasi masyarakat, kewajiban bagi Sidoarjo untuk melatih menjaga kestabilan politik dan keamanan, SDM Manokwari dalam ketrampilan mengembangkan etos kerja masyarakat, pembuatan furniture tersebut dan strategi dll.; yang kesemuanya itu juga diperlukan pemasarannya; sehingga di masa datang untuk mendukung pembangunan Manokwari bisa mengembangkan industri ekonomi. furniture untuk mendapatkan nilai Untuk beberapa praktek kemitraan lebih dari kekayaan alam (kayu) yang antar Kab./Kota, peran Propinsi dimilikinya – tidak hanya sekedar menjadi diperlukan. Misalnya untuk pengelolaan pemasok bahan baku. Sebenarnya secara potensi pariwisata yang sulit dikelola alami dalam mekanisme pasar terbuka, terpisah secara absolut. Contoh: daerah antar pengusaha telah menjalankan daerah di Bali, antara daerah yang kerjasama tersebut secara langsung, berpotensi alam, kerajinan, budaya, peran pemerintah barangkali lebih untuk maupun sarana akomodasi (hotel, restoran, memfasilitasi praktek itu agar berjalan dll.). Masing masing daerah saling terkait lebih lancar dengan penyediaan informasi dalam menunjang pengembangan akurat mengenai potensi daerah mitranya sektor pariwisata, maka penting untuk (SDA, SDM), kebijakan kebijakan yang kemitraan yang difasilitasi Propinsi karena berlaku, dll. melingkupi daerah daerah dalam yuridiksi D a l a m p e n e r a p - a n k e m i t r a a n Propinsi yang sama. tersebut, yang harus Untuk lingkup perlunya sikap kenegara- yang lebih luas, peran diperhatikan adalah perlunya pelibatan wanan para pemimpin Pemerintah Pusat juga p e l a k u u s a h a e k s e k u t i f m a u p u n diperlukan misalnya (sebagai pemain legislatif daerah untuk dalam pengelolaan hutan langsung aktivitas yang ditetapkan sebagai ekonomi tersebut) memikirkan yang terbaik ‘paru paru’ nasional dalam penentuan bagi daerahnya untuk ( b a h k a n m u n g k i n teknis kemitraan itu p e m b a n g u n a n y a n g dunia), yang tidak boleh (volume, penentuan diolah untuk keperluan berkelanjutan, harga pasar, bahan produksi. Perlu semacam baku, kelancaran waktu pasokan, dll.). subsidi bagi daerah yang memiliki hutan Secara prinsip tidak boleh ada pola tersebut (yang tidak mendapatkan kemitraan yang memaksa pelaku usaha keuntungan ekonomis langsung dari tanpa adanya persetujuan pelaku usaha hutan tersebut), daerah daerah lainnya yang bersangkutan. Dalam kemitraan harus memberikan komitmennya untuk ini, harus dihindari praktek praktek yang memberikan subsidi (sebagai salah satu menghambat kesepakatan kesepakatan bentuk kemitraan) bagi daerah tersebut perekonomian global (WTO); misalnya yang difasilitasi pemerintah pusat. (dalam contoh di atas) Kab. Manokwari lantas tidak boleh memasok kayu ke Sejumlah Prasyarat daerah lain, praktek ini jelas tidak Selain prasyarat utama rencana stratejik diperbolehkan. Hal ini bukan suatu pembangunan daerah yang harus dipenuhi pekerjaan yang mudah karena betul betul sebelum menjalin kemitraan antar daerah, mensyaratkan manajemen yang solid sejumlah prasyarat lainnya harus dipenuhi untuk mewujudkannya (bisa dikelola oleh untuk mewujudkan kemitraan tersebut. suatu Badan Kerjasama Antar Daerah atau Beberapa prasyarat tersebut diantaranya dengan memanfaatkan lembaga lembaga perlunya sikap kenegarawanan para teknis yang sudah ada). pemimpin eksekutif maupun legislatif Selain kemitraan yang terkait daerah untuk memikirkan yang terbaik langsung dengan perekonomian tersebut; bagi daerahnya untuk pembangunan kemitraan antar daerah juga bisa (bersambung ke hal 13)
Implikasi UU No. 34/2000 Terhadap Iklim Usaha
Kembali soal Kebermasalahan PERDA
G
ugatan terhadap struktur perpajakan Indonesia, perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, ploriferasi perda, efektivitas peran pengawasan represif pemerintah, dan lemahnya partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan daerah, kembali mengemuka dalam seminar “Implementasi UU No.34/2000 (Pajak & Retribusi Daerah) & Implikasinya Terhadap Iklim Usaha” yang diselenggarakan KPPOD dan PEG-USAID tanggal 22 Agustus 2002 di Hotel Horison, Bekasi. Arus utama yang berkembang dalam seminar yang ditujukan untuk sosialisasi hasil kajian KPPOD terhadap tingkat kebermasalahan Peraturan Daerah (Perda) utamanya tentang Pajak & Retribusi Daerah tersebut adalah kecilnya local tax base daerah yang lantas kadangkala dijadikan sebagai pembenar bagi daerah dalam membuat Perda yang bisa dinilai distortif terhadap aktivitas dunia usaha. Selengkapnya berikut ringkasan kronologis seminar yang diikuti 64
identifikasi tingkat kebermasalahan Perda yang diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kategori yaitu: bermasalah prinsip seperti pelanggaran prinsip hambatan tarif maupun non tarif perdagangan, pungutan ganda, dan potensi ekonomi negatif; bermasalah substansi seperti ketidakjelasan obyek, prosedur, struktur tarif, hubungan antara tujuan-isi, kemitraan wajib, dll.; serta bermasalah yuridis/teknis menyangkut relevansi acuan yuridis formal. Disampaikannya bahwa dari 353 Perda yang dianalisis, terdapat 27 % Perda yang tidak bermasalah, dan 73% Perda bermasalah baik bermasalah prinsip, substansi, yuridis; maupun kombinasi permasalahan prinsip, peserta dari unsur Dunia Usaha, substansi dan yuridis. Kecenderungan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, kebermasalahan ini tetap tampak kuat LSM, Perguruan Tinggi, Lembaga meskipun jika hanya menggunakan Donor dan Pers. jumlah Perda yang bermasalah Dalam kata sambutannya Bambang substansi dan prinsip sebagai indikator Sujagad, MA (Ketua KPPOD) dan (39 % Perda). Bruno Cornelio, Te m u a n Ph.D, dari USAID pemda belum merasakan pada program m e n g i n g a t k a n manfaat riil dari adanya k a j i a n Pe r d a bahayanya bagi investasi yang sangat besar sebelumnya (340 penerapan pajak di Bekasi itu. Daerah hanya Perda) kembali y a n g b e r l a p i s m e n d a p a t b a g i a n k e c i l dikuatkan dalam lapis yang akan dari struktur perimbangan kajian kali ini, membuat dunia dimana Perda u s a h a m e n j a d i keuangan pusat – daerah pungutan yang tidak kompetitif. Untuk itu mereka dikreasikan oleh daerah (non listed menekankan pentingnya upaya terus UU 34/2000) lebih bermasalah menerus diantara para stakeholder dibandingkan jenis Perda pungutan untuk menentukan arah pelaksanaan yang disebut secara jelas di UU otonomi daerah bagi kemajuan daerah mengenai Pajak & Retribusi Daerah maupun nasional. tersebut. Dari indikasi ini perlu Selanjutnya, P. Agung Pambudhi, untuk mempertimbangkan kembali D i r e k t u r E k s e k u t i f K P P O D secara mendalam efektifitas jenis jenis sebagai Koordinator Tim Penelitian pungutan yang secara tegas disebutkan mengawali presentasi sesi pertama dalam UU sebelumnya yaitu UU dengan penyampaian hasil kajian 18/1997. Peraturan Daerah (Perda) melalui Pemaparan hasil kajian Perda 7
tersebut dilengkapi dengan uraian contoh contoh Perda bermasalah oleh Agus Widodo, salah seorang Peneliti dalam kajian Perda tersebut; baik Perda yang bermasalah prinsip, substansi maupun yuridis/ teknis. Dalam sesi kedua, Daryanto, Kepala Bidang E k o n o m i Bappeda Pemda Kabupaten B e k a s i menyampaikan bahwa pada prinsipnya p e m d a menginginkan adanya investasi untuk menggerakkan perekonomian daerah dengan berbagai upaya perbaikan pelayanan. Diakuinya bahwa investasi besar yang ada di Bekasi banyak menyumbang perekonomian negara, namun di sisi lain pemda dihadapkan pada kesulitan biaya pembangunan dikarenakan kecilnya porsi daerah untuk mendapatkan penghasilan pajak dari dunia usaha yang se-bagian besar di-serap pemerintah pusat, sehingga pemda belum merasakan man-faat riil dari ada-nya investasi yang sangat besar di Bekasi itu. Daerah hanya mendapat bagian kecil dari struktur perimbangan keuangan pusat – daerah , dan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang salah satu sumbernya dari pajak & retribusi daerah yang sangat kecil kontribusinya bagi pembangunan daerah. Telah diupayakan berbagai cara untuk mendialogkan dengan pemerintah pusat agar bagian daerah mendapat porsi yang lebih besar (dengan revisi UU 25/99), namun selalu kandas dengan alasan untuk pemerataan dan defisitnya anggaran pemerintah (pusat). Dalam kaitannya dengan pajak & retribusi daerah, pemda Bekasi mengharapkan agar obyek pajak daerah dapat diperluas seperti apartemen, golf, usaha jasa boga,
rumah kos dalam skala luas, dll. untuk USAID, sebagai pembicara berikutnya memperbesar pemasuk n intern review mengemukakan gagasannya tentang Perda di pemerintah pusat yang harus perlunya mengembangkan sebuah k e r a n g k a peraturan baru dalam konteks kebijakan persaingan nasional. Dengan referensi kebijakan yang sukses membangkitkan perekonomian Australia dari keterpurukan karena persaingan tidak sehat antar daerah, David mengemukakan p e r l u n y a melibatkan departemen departemen memperhatikan paling tidak dua teknis terkait, juga bisa menjadi hal utama dalam pembuatan suatu kendala efektivitas peran pengawasan kebijakan, yaitu tujuan dan mekanisme/ represif pemerintah pusat terhadap proses pembuatan kebijakan tersebut. Perda; meskipun penyempurnaan Dalam konteks persaingan, tujuan sistem review secara terus menerus dibuatnya suatu kebijakan tidak boleh diperbaiki. Disampaikannya bahwa menghambat persaingan, kecuali jika apabila ditemukan suatu Perda yang manfaat dari pembatasan tersebut tidak memenuhi berbagai persyaratan melebihi biaya yang ditanggung perundangan, pendekatan yang masyarakat, yang disertai dengan dilakukan bukti bukti dan p e n i n g k a t a n P A D D e p d a g r i analisis yang kuat a d a l a h d e n g a n (Pendapatan Asli Daerah) mengenai hal itu. m e n g u n d a n g s e h a r u s nya bu k a n d a r i Sedangkan dalam Pe m d a t e r k a i t pungutan pungutan yang m e k a n i s m e untuk membahas berorientasi jangka pendek, p e m b u a t a n apa yang mesti namun dari bergairahnya kebijakan harus d i l a k u k a n perekonomian (investasi) ada suatu badan terhadap Perda yang akan berkontribusi y a n g d a p a t tersebut, dengan melakukan uji langsung maupun tidak alternatif untuk kelayakan usulan langsung terhadap PAD dan direvisi atau kebijakan dari d i b a t a l k a n . pendapatan daerah secara lembaga pengaju H a l l a i n menyeluruh. kebijakan (Dinas disampaikannya adalah bahwa saat ini Pendapatan Daerah, misalnya), sebelum pemerintah pusat sedang menyiapkan sebuah kebijakan disosialisasikan ke suatu panduan yang komprehensip masyarakat dan disahkan Dewan. terhadap UU Otonomi Daerah Dalam hal kebijakan pungutan agar dapat dijadikan acuan untuk di Indonesia, David menyayangkan meminimalisir distorsi pemahaman bila pungutan retribusi ditujukan para pelaksana kebijakan OTDA, baik untuk peningkatan PAD, karena di pemerintah daerah maupun pusat. retribusi seharusnya ditujukan untuk David Ray, PhD dari PEG- membiayai penyediaan jasa tertentu – (bersambung ke hal 13)
8
Pencabutan Wewenang Pemda dalam menerbitkan HPH, Langkah Tepatkah ? Guna menjaga kelestarian hutan dan memenuhi tuntutan berbagai pihak, Pemerintah memutuskan untuk mencabut wewenang Pemerintah Dati I untuk menerbitkan HPH. Dengan keluarnya SK Menhut No. 5 4 1 / K p t s - I I / 2 0 0 2 t e n t a n g Pencabutan SK Menhut No.05.1/ Kpts-II/2000 tentang kriteria dan standard perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan dan perizinan pemungutan hasil hutan pada hutan produksi alam, yang ditandatangani oleh Menteri Kehutanan (Menhut) M. Prakosa tanggal 21 Februari 2002, terhitung dari 1 Maret 2002 Pemerintah akan mencabut wewenang Bupati/Walikota dan Gubernur dalam menerbitkan HPH dan menyatakan bahwa SK Menhut No. 05.1/2000 pada 6 November 2000 tidak berlaku lagi. Sebelumnya melalui SK Menhut No. 05.1/2000 pada 6 November 2000, Pemerintah memang memberikan wewenang kepada Bupati/Walikota dan Gubernur untuk menerbitkan izin HPH skala kecil didaerah masingmasing dengan luasan sebesar 100 dan 50 Ha. Langkah yang diambil oleh Pemerintah tersebut, menurut Sekjen Dephut Wahjudi Wardojo, adalah bagian dari restrukturisasi di bidang kehutanan, mengingat pelaksanaan SK Menhut No. 05.1/Kpts-II/2000 men serta LSM. Selama ini, SK Menhut No. 05.1/2000 pada 6 November 2000, telah banyak melahirkan keruwetan bagi para pengusaha HPH. Berbagai
kasus bermunculan, seperti tidak diakuinya keabsahan HPH yang diterbitkan Pemerintah Pusat oleh Pemerintah Daerah, penerbitan izin HPH oleh beberapa propinsi tanpa
ratusan hektar sering menimbulkan tumpang tindih perizinan, hingga tak heran jika SK ini menjadi polemik yang paling banyak dibicarakan pengusaha kehutanan.
konsultasi dengan Pemerintah Pusat dan penetapan peraturan mengenai 2. Mengakibatkan jatuhnya harga log berbagai pungutan dan kewajiban yang di pasar dalam negeri. Disamping dibuat sepihak oleh Pemda. benturan perijinan, langkah Selain itu, banyak kelemahan yang pencabutan wewenang Pemerintah terdapat dalam SK tersebut, antara Dati I dalam menerbitkan lain: perijinan HPH tersebut jelas 1. Melahirkan benturan dan tumpang memberikan dampak kepada tindih perizinan HPH. Sekjen keseimbangan supply dan demand Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia di pasar. Bagaimanapun, kebijakan Dominggus, menilai bahwa Pemerintah untuk memberikan ijin pencabutan kewenangan pemprop penerbitan HPH pada Pemerintah dan pemkab dalam memberi izin Dati I yang nyaris bersamaan HPH merupakan langkah tepat. waktunya dengan kebijakan Menurut Dia, pemanfaatan hutan penutupan keran ekspor log (8 berupa HPH dengan skala hingga Oktober 2001), mengakibatkan 9
posisi over supply kayu log di pasar tanpa memperhitungkan daya tarik domestik. Januari lalu misalnya, untuk investasi dan daya saing 5. Kelestarian hutan. Hingga saat ini harga log hanya Rp 300-Rp 350 ribu produk yang dihasilkan daerah. memang masih banyak pihak yang per M3, sementara biaya produksi meragukan kemampuan Pemerintah dan berbagai pungutan yang harus 4. M e n g a k i b a t k a n k e s u l i t a n Dati I untuk mengelola hutannya dibayar oleh para pengusaha log pada pemantauan produksi dan peredaran secara lestari, hingga tidak sedikit saat yang sama hampir mencapai kayu. Sampai saat ini kegiatan pihak yang menyatakan bahwa Rp 400 ribu per M3. Ditengah p e e m a n t a u a n p ro d u k s i d a n pengalihan wewenang ini akan kondisi ini, Wakil Ketua Sekjen peredaran kayu di Indonesia masih menambah parah kondisi hutan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia didasarkan pada Kepmenhut No Indonesia. (APHI) Agung Nugraha, Januari 402/KPTS-IV/1990 jo No 525/ Namun, pencabutan wewenang lalu menyatakan bahwa bila dalam KPTS-II/1991, Kepmenhut No. Pemerintah Dati I dalam menerbitkan 6 bulan ke depan kondisi bisnis 486/Kpts-II/95 jo. No 532/Kpts- HPH skala kecil tersebut akan mengalami perkayuan tidak membaik, maka II/96. Berdasarkan peraturan ini, hambatan. Menurut Syaukani H.R., sebagian besar perusahaan pemegang pelaksanaan pemantauan produksi ketua umum Asosiasi Pemerintah HPH akan mati. dan peredaran kayu dilakukan secara Kabupaten Seluruh Indonesia yang juga self-assessment. Dengan berlakunya bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan 3. Mengakibatkan ekonomi biaya otonomi daerah, sistem pemantauan Timur, saat ini beberapa pemda telah tinggi pada berbagai kegiatan menjadi tidak efektif, karena menjadi menerbitkan perda berdasar SK No. produksikarena adanya berbagai sangat tergantung pada pemantauan 05.1/ Kpts-II/2000. Lebih jauh pungutan tambahan yang dikenakan di daerah tujuan pemasaran kayu, Syaukani menyatakan bahwa Pemda oleh Pemerintah Dati I. Dirjen Bina sementara pada era otonomi, akan tidak akan menghiraukan pencabutan Pembangunan Daerah Depdagri, sulit untuk membebankan kegiatan wewenang mereka dalam menerbitkan Cahyana Ahmadjayadi, menyatakan pemantauan pada daerah tujuan HPH. banyak Pemerintah daerah cenderung kayu karena daerah tujuan kayu terlalu memikirkan peningkatan tidak memperoleh bagian atas kayu Sumber: AgroIndonesia. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dipantaunya.
10
No 1
Daftar Kegiatan Diklat LPEM-FEUI Periode September Tahun 2002 Tahun 2002 (Reguler) Nama Kegiatan Periode Klien TMPP - L Angkatan V 9 September - 8 NopemberBAPPENAS & DDN
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tahun 2000 (Non Reguler) Nama Kegiatan Periode TOT JFP Bappenas I 23 - 26 September TOT JFP Bappenas II 7 - 10 Oktober TOT JFP Bappenas III 21 -24 Oktober AKP Irian Jaya 23 - 27 September EKPP Angkatan VI 7 - 11 Oktober Community Development 14 - 18 Oktober Manajemen Keuangan Publik 21 - 25 Oktober Input Output 21 Oktober - 1 Nopember Membedah APBD IV Manajemen Proyek Bappenas Bappeda Bogor Bank Indonesia
Partner LPEM LPEM LPEM LPEM LPEM LPEM LPEM LPEM LPEM BAPPENAS Pemda Bogor BI
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA PERIKANAN
P
eraturan daerah (Perda) ini mengatur mengenai retribusi atas izin usaha perikanan. Yang dimaksud dengan usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan ikan termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan, atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersil. Dengan tujuan untuk mendorong pengembangan sektor perikanan lokal, di dalam Perda ini dijelaskan bahwa usaha perikanan hanya boleh dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia termasuk koperasi dan dengan tidak menggunakan modal dan tenaga asing. Agar dapat menjalankan usahanya, setiap perusahaan perikanan harus memiliki Izin Usaha Perikanan (IUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) yang masing-masing berlaku untuk satu tahun. Namun, ada juga usaha perikanan yang tidak memerlukan IUP yaitu usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan yang menggunakan perahu tanpa motor. Tarif retribusi atas pengurusan izin usaha ditetapkan berdasarkan ukuran alat, seperti motor temple dan bagan, serta jenis budidaya, apakah budidaya tambak, budidaya kolam air tawar, budidaya ikan laut, Budidaya keramba atau kolam air deras, atau budidaya rumput laut. Sayangnya, dalam Perda ini tidak mencantumkan golongan retribusi secara tegas. Jika dilihat dari obyeknya, yaitu perizinan usaha, maka retribusi ini termasuk dalam golongan retribusi perizinan tertentu. Tetapi jika dilihat dari dasar pengenaan tarif, yaitu berdasarkan pada ukuran alat dan jenis budidayanya, maka retribusi ini cenderung masuk ke dalam golongan retribusi jasa usaha. Pada retribusi Sebaiknya ada ada pasal di dalam Perda yang mencantumkan bahwa retribusi izin usaha perikanan
termasuk dalam golongan retribusi perizinan tertentu. Pada pasal 17, Perda ini juga telah mengatur sanksi bagi yang melanggar ketentuan yang telah diatur di dalam Perda ini. Namun, Perda ini belum mengatur mengenai cara pem-bayaran dan penagihannya. Sementara itu, pada pasal 18 dijelaskan bahwa penyidikan terhadap tindak pidana akan dilakukan oleh Pejaba Penyidik Umum atau Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS), tetapi tidak dijelaskan pejabat penyidik PNS dari instansi mana yang berhak melakukan penyidikan dan apakah pejabat penyidikan tersebut berbeda dari penyidik umum Polri. Pasal 15 dalam Perda tersebut menjelaskan bahwa Bupati Pesisir Selatan mengatur wilayah-wilayah penangkapan ikan guna melindungi kelangsungan usaha nelayan kecil dan mencegah tumpang tindihnya usaha-usaha lainnya. Walaupun tujuannya
untuk melindungi nelayan kecil, pasal ini harus mencantumkan dasar yang logis atas pengaturan wilayah penangkapan ikan karena mengingat luasnya wilayah penangkapan ikan di perairan Indonesia atau ZEE Indonesia. Catatan: Izin Usaha Perikanan (IUP) adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan denganmenggunakan sarana produksi yang tercantum di dalam IUP tersebut. Surat Penangkapan Ikan (SIPI) adalah surat yang harus dimiliki setiap kapal perikanan berbendera Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan Indonesia dan atau Zone Ekonomi Eksklusif Indonesi (ZEEI) dan merupakan bagian yang terpisah dari IUP.
11
Studi Ekonomi Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu PENDAHULUAN Berdasarkan UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemeriintahan Daerah DKI dan PP No. 55 Tahun 2001, Kecamatan Kepulauan Seribu ditingkatkan statusnya menjadi Kabupaten Administratif. Kemudian dengan Perda No. 4 Tahun 2001, Kepulauan Seribu dibagi menjadi dua kecamatan, yaitu Kepulauan Seribu Utara dan Kepulauan Seribu Selatan. Walaupun secara administrative wilayah Kepulauan Seribu masuk ke dalam wilayah administrasi DKI Jakarta, tetapi wilayah ini mempunyai karakteristik yang berbeda dengan daerah lain di DKI Jakarta. Wilayah DKI pada umumnya lebih menyerupai wilayah perkotaan, sedangkan Kepulauan Seribu lebih mendekati karakteristik pedesaan. Selain itu, karakteristik geografisnya pun jauh berbeda di mana Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau-pulau sedangkan wilayah yang lain merupakan daratan. Perbedaan karakteristik ini menyebabkan adanya perbedaan masalah yang dihadapi di Kepulauan Seribu dengan yang di DKI Jakarta. KONDISI UMUM KEPULAUAN SERIBU Karena tujuan utama dari perjalanan ini adalah untuk melihat potensi ekonomi di Kepulauan Seribu, maka pulau-pulau yang dikunjungi adalah pulau pemukiman dan pulau wisata atau resot. Pulau yang menjadi tujuan di Kepulauan Seribu Selatan yaitu Pulau Tidung, Pulau Untung Jawa, dan Pulau Ayer, sedangkan di Kepulauan Seribu Utara yaitu Pulau Sepa, Pulau Pramuka, dan Pulau Kelapa. Aktivitas ekonomi masyarakat di dua kecamatan tersebut umumnya tidak jauh berbeda. Sumber mata pencaharian utama masyarakat umumnya berasal dari penangkapan ikan. Para nelayan ada yang menjadi nelayan harian, nelayan mingguan, dan nelayan bulanan. Nelayan bulanan bisa melaut untuk waktu tiga sampai empat bulan dengan wilayah
12
penangkapan hingga ke Natuna. Saat ini, nelayan di kepulauan Seribu mulai mengalami kesulitan untuk beroperasi di daerah timur, seperti Bawean, Kariun Jawa, dan Madura karena alasan otonomi daerah yang dijadikan alasan oleh nelayan di wilayah tersebut untuk melarang masuknya nelayan dari daerah lain. Masalah lain yang dihadapi yaitu mulai sulitnya untuk memperoleh ikan yang kemungkinan disebabkan overfishing, apalagi belum adanya usaha budidaya yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Untuk memenuhi kebutuhan seharihari, masyarakat membeli barang-barang dari warung atau toko setempat, yang mana warung-warung tersebut membeli barang-barang tersebut dalam partai besar di Krojo, Rawasaban, Tanjung Pasir, dan Muara Angke. Tempat-tempat tersebut dipilih karena relatif dekat dari pulau. Terkadang, ada juga pedagang dari Jakarta yang berjualan di Kepulauan Seribu. Karena tingkat transaksi perdagangan di pulau tidak terlalu besar, maka warung atau toko di sana juga masih dalam skala yang sangat kecil. Daya tarik wisata yang dijual oleh Kepulauan Seribu adalah ekosistem lautnya. Cottage-cottage di sebelah utara yang kondisi laut dan pantainya masih relatif baik dibandingkan selatan, umumnya menjual keindahan laut
sebagai daya tarik. Di sebelah utara, kegiatan seperti berenang di tepi pantai, memancing, dan menyelam masih dapat dilakukan karena lautnya masih relatif bersih. Sedangkan di sebelah selatan yang kondisi lautnya lebih kotor, cottagecottage di sana umumnya hanya sebagai tempat penginapan pada akhir minggu, apalagi letaknya yang lebih dekat dari Jakarta sehingga dapat ditempuh dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan ke utara. Industri rumah tangga (home industry) yang paling menonjol di Kepulauan Seribu adalah industri makanan khas pulau, seperti kripik sukun, dodol rumput laut, rumput laut kering, ikan asin, dan kripik ikan asin. Industri kecil lainnya yang dikerjakan oleh masyarakat adalah pembuatan kapal layar. Wilayah pemasaran makanan khas pulau tampaknya masih dalam Kepulauan Seribu itu sendiri, kalaupun ada yang sampai Jakarta, makanan tersebut dibawa oleh pengunjung yang datang ke pulau dan membelinya dalam jumlah banyak. Masalah lain yang dihadapi yaitu keterbatasan bahan baku, seperti sukun dan rumput laut. Hal ini disebabkan karena masyarakat belum membudidayakan jenis tanaman tersebut. Untuk pengembangan wilayah pemasaran, dukungan dari instansi terkait sangat dibutuhkan.
Kembali soal Kebermasalahan (bersambung ke hal 8)
bagi peningkatan kualitas pelayanan. pembicara, dalam diskusi tanya jawab, Dia juga menekankan bahwa pungutan tanggapan peserta seminar terhadap daerah (pajak atau retribusi) tidak presentasi para penyaji berlangsung boleh bersifat membatasi mobilitas hidup dengan beberapa masukan perdagangan antar daerah. Pungutan penting. Dari presentasi para pembicara pajak daerah hanya boleh diterapkan dan tanggapan peserta, dirumuskan pada obyek pajak yang mempunyai oleh pemandu acara seminar, Dr. mobilitas rendah seperti restoran, Djisman Simanjuntak dalam beberapa properti, hotel, dll. hal pokok yang terangkum sebagai hasil Panelis terakhir adalah seorang seminar. Pertama, studi KPPOD telah ahli keuangan t u j u a n d i bu a t nya s u a t u m e n u n j u k k a n dari CLGI adanya ploriferasi kebijakan tidak boleh (Center for Local perda sebagai suatu menghambat persaingan, Government kenyataan pada I n n o v a t i o n ) , kecuali jika manfaat dari awal pelaksanaan Arintoko Utomo, pembatasan tersebut melebihi otonomi daerah. M s c . , y a n g b i aya ya n g d i t a n g g u n g Kedua, p e rd a m e m a p a r k a n masyarakat, perda mengenai presentasinya pungutan daerah tentang pendekatan pendekatan kebanyakan bermasalah. Hal ini yang bisa dipakai guna peningkatan perlu diperbaiki dengan mengacu hasil pungutan. Sebagai kelengkapan kepada strategic plan masing-masing cara klasik untuk meningkatkan daerah sebelum membuat perda pengumpulan pajak seperti penambahan tersebut. Ketiga, perlu transparansi jenis pajak dan peningkatan hasil dan partisipasi dalam penyusunan ( k i n e r j a ) p u n g u t a n ; A r i n t o k o perda dengan pelibatan stakeholder. memaparkan beberapa pendekatan Untuk itu diperlukan semacam tim teknis manajemen guna efektifnya daerah yang terdiri dari berbagai unsur hasil pungutan yang mencakup sistem praktisi, kalangan akademis, pemda, administrasi, pelayanan, maupun cara NGO, untuk membantu pemda pemungutan. dalam membuat kebijakan daerah yang M e n a n g g a p i p a p a r a n p a r a kondusif bagi dunia usaha. Keempat,
perlunya pengembangan suatu model baru dalam kaitannya dengan sistem pengawasan pembangunan daerah yang pada intinya mengurangi peran pemerintah pusat untuk dapat dilakukan di daerah masing masing mengingat keterbatasan kapasitas pemerintah pusat dalam melaksanakan tugas pengawasannya secara efektif dan efisien. Kelima, untuk sebagian ploriferasi perda tersebut terjadi karena lambatnya penerimaan perimbangan keuangan bagian daerah dari pusat, sehingga diperlukan suatu mekanisme, sistem pengucuran uang daerah yang cepat agar tekanan-tekanan defisit kas di daerah bisa dikurangi. Keenam, perlu perbaikan rancang bangun perpajakan nasional yang memberi porsi cukup bagi pemerintah daerah untuk membangun daerahnya. Akhirnya atas nama KPPOD, Dr. Djisman Simanjuntak menutup seminar tersebut dengan harapan adanya studi lanjut dari beberapa temuan studi KPPOD, juga tindakan nyata dari pemerintah (pusat dan daerah) dan para stakeholder pembangunan lainnya dalam perannya masing masing untuk menciptakan perekonomian yang sehat, baik bagi kemajuan daerah maupun nasional.
MEMBANGUN KEMITRAAN ANTAR (sambungan dari hal 7)
bergairahnya perekonomian daerah yang berkesinambungan yang secara langsung akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan perencanaan stratejik yang memadai, kemitraan antar daerah, sinergi kerjasama dengan pelaku usaha, diharapkan memunculkan beberapa best practice dalam mengembangkan perekonomian daerah. Misalnya: tersusunnya blue print pengembangan daerah secara akurat, lengkap dengan action plan untuk menjemput investasi, bukan sekedar menunggu kemurahan hati investor. Contoh lain: munculnya Hasil Yang Diharapkan S i n g k a t n y a h a s i l a k h i r y a n g penerapan e-government yang informatif diharapkan dari kemitraan tersebut adalah dan interaktif sehingga meminimalisir yang berkelanjutan, bukan hanya untuk kepentingan (politik) jangka pendek. Perlu political will yang kuat dari kedua unsur kekuasaan tersebut. Dari starting point ini diharap menumbuhkan sikap masyarakat yang rasional untuk mendukung program program pembangunan daerah. Prasyarat lainnya adalah mentalitas pelayanan dari para pejabat publik dari seluruh tingkatan eselon sehingga pemerintah benar benar bisa menjadi fasilitator kebutuhan masyarakat; dll.
praktek praktek KKN dan mengefisienkan kinerja anggaran secara signifikan; dll. Itulah beberapa harapan yang sangat mungkin untuk kita wujudkan bersama, agar pelaksanaan otonomi daerah akhirnya benar benar menjadi part of the solution dalam perbaikan berbagai sektor kehidupan masyarakat, bukannya justru menjadi part of the problem. Sikap kenegarawanan semua unsur masyarakat, terutama para pemimpinnya, sangat diperlukan untuk merealisirnya. *)
Pengusaha, Wakil Ketua KPPOD, Pimpinan Kolektif KPEN (Komite Pemulihan Ekonomi Nasional)
13
Sofyan Tan :
Belum Ada Program Konkret Pemerintah Untuk UKM saha Kecil Menengah (UKM) sering diperbincangkan, tak sedikit berbagai lembaga donor asing yang beroperasi di Indonesia memfokuskan dana hibahnya untuk pengembangan sektor ini. Begitu pula para politisi kita sering menyuarakan tentang perlunya keberpihakan pada sektor usaha skala ini, yang dikatakan sebagai penyelamat perekonomian Indonesia. Bahkan FORNAS UKM (Forum Nasional – Usaha Kecil Menengah) menyatakan daya serap tenaga kerja sektor ini mencapai 70 juta orang dari 39 juta UKM yang ada di Indonesia! Di sisi lain, fokus pengembangan UKM di Indonesia dituding salah arah oleh beberapa kalangan karena ditujukan untuk hal hal yang sifatnya tidak langsung berkaitan dengan kebutuhan UKM tersebut, seperti misalnya pembinaan UKM untuk penciptaan lapangan kerja, serta beberapa hal yang bersifat politis. Banyak pihak menyatakan bahwa pembinaan UKM semestinya lebih ditujukan untuk peningkatan kinerjanya menyangkut SDM, manajemen, permodalan, penguasaan pasar, dll., sehingga bisa diharapkan pelaku UKM semakin meningkat kelas usahanya; usaha kecil bisa menjadi usaha menengah, usaha menengah menjadi usaha besar. Namun begitu bagi Bagi Sofyan Tan, Presidium FORNAS-UKM, apapun sudut pandang orang tentang UKM, peran dan kontribusi kelompok bagi perekonomian Indonesia tidak bisa dipungkiri. Peran UKM terasa sekali ketika negeri ini dilanda krisis ekonomi beberapa waktu lalu dimana UKM menjadi penyangga dan penyelamat negeri ini dari terpaan krisis tersebut. Bahkan karena keberadaan usaha ini negeri ini dianggap masih ‘ada’ dalam pelataran dunia, sementara kelompok lain (sebut saja konglomerat) tidak berdaya sama sekali. Ketangguhan UKM ini tentu disebabkan karena UKM hidup, eksis dan
14
mandiri dalam menjalankan usahanya Sofyan Tan dengan nada prihatin. Oleh tanpa keterlibatan pemerintah, demikian karena itu pemerintah harus merubah ungkapnya kepada KPPOD. sikapnya terhadap UKM dengan tidak bersikap diskriminatif, dan lebih Sayangnya sampai saat ini pemerintah memberi kesempatan kepada UKM untuk tidak mengerti dengan masalah UKM; mengembangkan usahanya secara leluasa mestinya bila pemerintah pro terhadap dengan melakukan pendekatan untuk UKM, maka UKM dapat meningkatkan memahami apa yang diperlukan UKM kinerjanya semaksimal mungkin. Hal dalam menjalankan usahanya. ini terjadi di Korea Selatan, Thailand, Dalam kaitannya dengan pelaksanaan J e p a n g d a n otonomi daerah, Sofyan mengingatkan s e b a g a i n y a . supaya gagasan yang baik dengan A l i h a l i h pemberlakuan otonomi daerah untuk mendukung mengurangi sentralisasi selama ini agar U K M , s a a t dapat berjalan baik. Jangan justru otonomi i n i b a h k a n daerah berjalan kebablasan dimana pemerintah daerah bertindak sewenangwenang dalam menerbitkan berbagai Perda yang memberatkan dunia usaha, utamanya usaha UKM. Dia menegaskan bahwa selama belum ada aturan main yang dapat mengikat daerah, maka tingkat kebablasan yang dilakukan daerah akan bertambah parah. Dalam era otonomi daerah saat ini banyak Pemda yang terlalu jauh menerjemahkan peraturan-peraturan tersebut. Saat ini para pelaku UKM di daerah sudah sangat gerah dengan berbagai Perda yang diterbitkan Pemda yang dirasa sangat memberatkan UKM dalam menjalankan usahanya. Contoh ada beberapa peraturan yang dibuat paling konkret adalah yang menyangkut pemerintah justru untuk mengebiri masalah pungutan, yang semakin banyak dan memasung gerak langkah UKM bahkan sudah pada tahap keterlaluan, dalam menjalankan usahanya. Tingkat karena jangkauannya sampai Kelurahan, diskriminatif pemerintah terhadap UKM bahkan sudah pada tingkat Rt/Rw. Untuk tidak saja dilakukan dari awal UKM itu pemerintah harus memberantas memulai usaha, tetapi juga ketika UKM berbagai pungutan (dan juga premanisme) sudah menjelang ajal. Beberapa pelaku serta membuat peraturan yang kondusif UKM berteriak histeris ketika rumah bagi UKM dalam menjalakan usahanya. keluarganya dilelang pihak bank untuk melunasi kredit macetnya yang jumlahnya Menjawab pertanyaan KPPOD tidak sebarapa jika dibandingkan dengan tentang apa yang sudah dilakukan utang konglomerat. Pada sisi ini kita UKM agar iklim usaha kondusif bagi prihatin sekali dengan sikap pemerintah UKM, Sofyan mengemukakan beberapa dan DPR yang membiarkan eksekusi hal. Pertama, membangun kekuatan itu berjalan mulus, demikian ungkap kolektif usaha kecil sebagai wadah
untuk menyalurkan aspirasinya dan ikut menentukan kebijakan ekonomi di Indonesia (saat ini ada Forum Nasional yang mempunyai anggota Forum Daerah (FORDA) UKM di lebih dari 60 Kabupaten/Kota … red). Dalam aktivitasnya, kelompok UKM berusaha untuk terlibat dalam menentukan kebijakan publik yang terkait dirinya agar tidak dirugikan. Hal ini penting untuk melengkapi sisi lain dari upaya kalangan UKM untuk membenahi kelemahan internalnya dalam hal SDM, manajemen, dll. Kedua, membangun jaringan kerjasama bisnis yang saling menguntungkan antar usaha kecil baik di Indonesia maupun dengan pengusaha kecil mancanegara, yang sangat diperlukan untuk tumbuh berkembangnya UKM.
dan kekurangan dalam hal SDM, manajemen, modal, dan sebagainya yang semuanya dapat menghambat peningkatan kinerja UKM. Tapi kalau dikembalikan, ujung-ujugnya hambatan
itu ada pada pemerintah lagi. Pemerintah membelenggu bahkan mengalienasi UKM dalam percaturan perekonomian nasional. Hal tersebut terjadi karena semenjak awal, pemerintah tidak peduli dengan Sebagaimana disebutkan di atas, UKM. Sampai saat ini belum ada program Sofyan mengakui bahwa secara internal konkret yang dilakukan pemerintah yang UKM memiliki banyak sekali kelemahan dapat menyentuh kebutuhan UKM;
pemerintah lebih mempolitisir UKM untuk kepentingannya. Ketika UKM menuntut haknya, pemerintah malah menuntut macam-macam dari UKM. Jadi … pembenahan itu ujung-ujungnya ada pada pemerintah. Di akhir perbincangan, Sofyan Tan mengemukakan bahwa sebagai bagian dari pelaku ekonomi, tentu UKM terus memperjuangkan agar pemerintah berupaya menciptakan iklim usaha yang kondusif. Kalau pemerintah mau membantu UKM … ya syukur, kalau tidak … ya tidak terlalu berharap; UKM bisa mencari jalan sendiri. Nah, kalau sudah begini, mestinya pemerintah tidak lagi mengejar – ngejar pajak apalagi mengambil pungutan kepada UKM. Sebab kalau hal itu terus dilakukan, maka UKM akan berguguran. Bagi UKM, jika pemerintah tidak membantu UKM, maka tidak menjadi masalah. Sebab, jika tidak mengganggu usaha UKM saja, sudah syukur.
Memasarkan
Andalan Produk Anda hingga pelosok
? Nusantara
!
KPPOD NEWS, tempatnya media yang menjangkau seluruh nusantara,
disebarkan ke semua pemerintahan Tk. II di Seluruh Indonesia No. 1 2 3 4 5 6 7
Jenis + Penempatan Iklan Full colour 1 (satu) halaman cover belakang luar Full colour 1 (satu) halaman cover belakang dalam Full colour 1 (satu) halaman cover depan dalam Full colour 1 (satu) halaman dalam Full colour 1/2 (setengah) halaman dalam b/w colour 1 (satu) halaman dalam b/w colour 1/2 (setengah) halaman dalam
Tarif Rp. 5.000.000,Rp. 3.000.000,Rp. 3.000.000,Rp. 2.000.000,Rp. 1.000.000,Rp. 1.000.000,Rp. 750.000,-
15
Pemda Muara Enim
Melalui UPT Pelayanan Perijinan Jadi Mudah dan Cepat dimiliki agar dapat mendatangkan nilai tambah bagi perekonomian daerah.
Muara Enim merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Sumatera Selatan yang telah terlebih dahulu mengujicobakan konsep otonomi daerah. Dilihat dari pengalaman menerapkan otonomi daerah dan melihat sumber daya alam yang dimilikinya, kita akan merasa yakin kalau Muara Enim telah siap melaksanakan otonomi daerah. Dengan cadangan batu bara yang ada di Muara Enim sekitar lima miliar ton diperkirakan masih cukup untuk puluhan tahun. Kegiatan penambangan batu bara khususnya Tambang Air Laya Tanjung Enim di Kecamatan Lawang Kidul yang telah berumur 20 tahun, menjadi aset dan sekaligus menjadikan Muara Enim identik sebagai kota penghasil batu bara terbesar. Batu bara merupakan komoditas pertambangan yang memberikan kontribusi yang besar dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan daerah Muara Enim. Dari kegiatan produksi dan pemasaran batu bara, pemda Muara Enim memperoleh pemasukan lebih dari Rp.15 Milyar pertahun. Angka ini antara lain didapat dari iuran produksi (royalty), Iuran Tetap, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Galian C, Pajak air, dan Pajak Kendaraan
16
Bermotor. Hingga tahun 2000 struktur perekonomian Kabupaten Muara Enim 60% atau Rp.7,5 Trilyun ditopang oleh sektor pertambangan dan penggalian. Dari nilai tersebut, 85% disumbangkan oleh minyak dan gas bumi yang dikelola oleh Pertamina OEP Prabumulih. Dengan ditetapkannya Kota Administratif Prabumulih sebagai Kota Otonom pada Mei 2001, berarti aset dan kemampuan ekonomi, serta pendapatan kas daerah induk (Kabupaten Muara Enim) akan ikut terpengaruh. Dilihat dari total kegiatan ekonomi Muara Enim tahun 2000 tanpa migas sebesar Rp 3,1 trilyun, dengan pemekaran wilayah ini berarti akan mengalami penurunan kurang lebih 40%. Walau demikian Pemda Kabupaten Muara Enim di era otonomi ini optimis memprediksikan bahwa pendapatan perkapita akan tetap tinggi. Optimisme tersebut didasarkan bahwa bukan batu bara dan migas saja yang menjadi andalan Muara Enim. Alam Bumi Serasan Sekundang ini juga memiliki aset di sektor pertanian dan sektor pariwisata, tinggal bagaimana kemampuan pemerintah daerah untuk mengelola dan menggali potensi yang
Sasaran Pembangunan Menurut Bupati Muara Enim, Drs.H.A.Sofjan Effendie,MM.,MBA, dalam tahun pertama dan kedua pelaksanaan otonomi daerah, fokus perhatian pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Muara Enim ditujukan terutama pada peningkatan sarana transportasi, peningkatan pada sektor pendidikan, kebudayaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta peningkatan sektor kesehatan. Pada tahun kedua otonomi daerah, Pemda menganggarkan sebesar 60,93% dari total belanja pembangunan untuk sektor transportasi, 10,20% % untuk sektor Pendidikan, Kebudayaan dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta sebesar 8,78% dari total belanja pembangunan untuk sektor Pertanian dan Kehutanan. Wilayah Kabupaten Muara Enim masih mempunyai lahan yang cukup luas dan cocok untuk pengembangan perkebunan dan pertanian. Menurut Sofjan Effendie sebagian besar penduduk Muara Enim lebih memilih berkebun sebagai pekerjaan utama dibandingkan dengan bertanam padi. Dari 234.226 hektar lahan perkebunan yang ada di Muaara Enim, 70% diantaranya didominasi oleh tanaman karet. Hal ini menjadikan karet sebagai komoditas unggulan di samping tanaman kopi, kelapa dan kelapa sawit. Selain mengembangkan komoditas utama seperti di atas, sejak tiga tahun belakangan ini penduduk Muara Enim mengembangkan tanaman nilam yang bernilai jual tinggi dan laku di pasar internasional. Luas areal perkebunan nilam, tanaman yang digunakan sebagai bahan baku obat obatan dan wewangian ini sampai tahun 2000 telah mencapai 177 hektar dengan
hasil produksi 10.500 ton pertahun.
dari perda-perda tersebut. Misalnya Perda cukup datang ke UPT dengan membawa Izin Usaha Jasa Konstruksi dan Perda Ijin persyaratan sebagaimana ketentuan yang Peningkatan yang terjadi pada sektor Mendirikan Bangunan (IMB), “Semua ke- berlaku. Petugas UPT yang akan berperkebunan tersebut, menurut Sofjan tentuan yang berkaitan dengan Izin Usaha hubungan dengan bagian-bagian yang Effendie tidak lepas dari upaya yang Jasa Konstruksi termasuk biaya-biaya dia- berwenang mengeluarkan izin tersebut, dilakukan oleh pemerintah daerah (Pem- tur dalam Perda, sementara untuk pene- seperti Cipta Karya, Bina Marga, dan da) Muara Enim tapan batas waktu bila izin trayek ke LLAJ, dan sebagainya. yang melibatkan disamping mempersiapkan dari izin tersebut Setelah izin tersebut diproses oleh petugas peran serta aktif sarana dan prasarana pendukung diatur dalam SK di UPT, maka akan didapat nota dari masyarakat. Peli- investasi seperti pembuatan jalan Bupati. Bagi se- Kepala UPT dan langsung diserahkan ke batan masyarakat baru, peningkatan kualitas jalan, tiap orang yang Sekertaris Daerah untuk dimintakan izin tersebut mulai dari penyediaan lahan baik untuk akan mendirikan resmi kepada Bupati”. Sofjan Effendie meperencanaan, pem- perkebunan / pertanian maupun bangunan harus nambahkan, “Dengan sistem UPT pelaybentukan kelom- industri, pemerintahannya telah mendapatkan izin anan perizinan menjadi mudah dan cepat pok, menentukan melakukan debirokratisasi dan sebagaimana dia- karena jalur birokrasi yang berbelit-belit komoditi tanaman deregulasi dalam hal pelayanan tur dalam perda dapat dipangkas. Hal ini berbeda dengan yang akan dijadi- terhadap para investor. tentang IMB, se- sebelum diberlakukan sistem ini, dimana kan usaha, pelaksamentara hal-hal dalam pengurusan perizinan usaha, sebenaan dan bahkan sampai memasarkan hasil yang bersifat teknis seperti prosedur, tata lum sampai ke Sekertaris Daerah harus perkebunan tersebut, yang kesemuanya cara pengurusan perizinan, persyaratan, terlebih dahulu minta izin ke Bapeda”. dilakukan melalui Program Gerbang biaya, dan lainnya diatur dengan SK Bu- Berkaitan dengan waktu yang dibutuhSerasan, yakni program peningkatan pati”, demikian penjelasannya. kan untuk pengurusan izin, menurut pemberdayaan perekonomi rakyat yang Masih dalam rangka peningkatan Sofjan Effendie, dengan sistem UPT diterapkan berdasarkan SK Bupati Muara masuknya investasi, upaya yang dilaku- yang diterapkan oleh Pemda Muara Enim Enim No.06 Tahun 2001. Berdasarkan kan pemda adalah dengan malakukan tersebut menjadi sangat tergantung pada SK Bupati tersebut Pemda menitipkan debirokratisasi pelayanan perizinan usaha. ada atau tidaknya Bupati dan Sekertaris dana kepada BRI Cabang dan/atau BPD “Pemda memberikan kemudahan-kemu- Daerah di tempat, namun hingga sekarang Cabang Muara Enim, dan selanjutnya dahan yang berkaitan dengan adminis- sistem yang diterapkan tersebut masih jasa giro yang diterima oleh Pemda di- trasi, memberidapat berjalan pergunakan untuk memberikan kredit kan rekomen- “Sampai saat ini saya belum d e n g a n b a i k . kepada para petani dengan keringanan dasi dalam hal mendengar ada keberatan dari Ditambahkanpembayaran bunga kredit sebesar 3% pencadangan ta- dunia usaha terhadap perda nya pula bahwa pertahun nah dan lain-lain yang telah dikeluarkan, dan untuk rencana yang dibutuhkan ke depan, fungsi dari seluruh Perda tersebut Peningkatan Investasi oleh investor”. UPT disamping tidak satupun yang ditolak Selain pemberdayaan perekonomian Dalam hal pelayuntuk pelayanan rakyat, Sofjan Effendie menjelaskan bahwa anan perizinan oleh pemerintah pusat”. perizinan usaha Pemda Muara Enim telah berupaya keras usaha / investasi, juga akan beruntuk meningkatkan masuknya investasi sejak tahun 1997 berdasarkan SK Bupati fungsi sebagai pelayanan terpadu untuk ke daerahnya. Upaya yang dilakukan tahun 1996 telah dibentuk Unit Pelayanan semua pelayanan kepada masyarakat yang adalah disamping mempersiapkan sarana Terpadu (UPT) sebagai unit yang meng- berkaitan dengan Pemda. Sebagai tindak dan prasarana pendukung investasi seperti khususkan pada pelayanan pengurusan lanjutnya, akan dilakukan kerjasama pembuatan jalan baru, peningkatan kuali- perizinan. Pada Masa jabatannya yaitu dengan Telkom dan PDAM dalam hal tas jalan, penyediaan lahan baik untuk pada tahun 1999, SK Bupati tahun 1996 pembayaran taghian telpon dan air. perkebunan / pertanian maupun industri, tersebut disempurnakan dengan mengeMenyinggung masalah Pendapatan pemerintahannya telah melakukan debi- luarkan SK Bupati No.15 Tahun 1999. Asli Daerah (PAD), Bupati yang mengarokratisasi dan deregulasi dalam hal pelay- Dengan dibentuk dan diterapkannya UPT wali karirnya sebagai Kepala Humas dan anan terhadap para investor. Dijelaskannya tersebut diharapkan pelayanan terhadap Protokol Kabupaten Biak pada tahun bahwa dalam kaitan dengan perizinan usa- investor menjadi lebih baik. “Misalnya 1969 ini menjelaskan bahwa kiat Pemda ha atau investasi, selain menyempurnakan bila masyarakat ingin membuka usaha Muara Enim untuk meningkatkan PAD berbagai aturan yang berupa peraturan pengolahan kayu dia harus memperoleh dilakukan antara lain dengan intensidaerah (perda) juga melengkapinya den- surat izin yang meliputi izin HO, izin fikasi dan extensifikasi obyek pajak dan gan Keputusan Bupati sebagai penjabaran SITU dan lainnnya. Pengusaha tersebut retribusi. Berkaitan dengan hal tersebut
17
Pemda melakukan kerja sama dengan pihak ketiga dalam bidang penelitian obyek pajak. Peningkatan PAD juga dilakukan dengan mengusahakan sumbangan dari pihak ketiga yaitu para investor atau dunia usaha yang ada di Muara Enim. Semenjak otonomi daerah diberlakukan hingga saat ini, pemda Muara Enim telah menerbitkan 84 perda tidak termasuk 13 perda yang menyangkut APBD dan Desa. Berkaitan dengan perda-perda yang telah dikeluarkan olah penda Sofjan Effendie menegaskan “Sampai saat ini saya belum mendengar ada keberatan dari dunia usaha terhadap perda yang telah dikeluarkan, dan dari seluruh Perda tersebut tidak satupun yang ditolak oleh pemerintah pusat”. Tidak adanya penolakan oleh masyrakat dan pemerintah tersebut, menurut dia karena dalam pembuatan suatu perda baru terlebih dahulu pemda mengkaji apakah kewengan dalam isi perda tersebut merupakan kewenangan pemerintah daerah
atau kewenangan pemerintah pusat. Evaluasi Pelaksanaan Otonomi Daerah Menurut penilaian Sofjan Effendi yang menjabat sebagai Bupati Muara Enim dari tanggal 20 Juli 1998 ini, dalam melaksanakan otonomi daerah Pemerintah Pusat terlihat sangat hati-hati sehingga terkesan kurang serius. Berdasarkan pengamatannya, kekurangseriusan tersebut tampak pada pengaturan seluruh kewenangan diluar moneter, perbankan, hankam, pengadilan dan urusan luar negeri, yang belum diserahkan kepada Daerah sepenuhnya. “Salah satu contoh adalah masalah perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang masih diatur oleh pusat, dan pembagiannya belum sesuai dengan yang diharapkan oleh daerah”, demikian ungkapnya. Namun demikian diungkapkan pula bahwa selama satu tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah, telah telah ada perubahan yang
terjadi di daerah seperti dalam hal menentukan arah pembangunan yang disusun dalam propeda atau renstra, dan dalam mengimplementasikannya dalam APBD. Berkaitan dengan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Sofjan megharapkan tidak adanya campur tangan pemerintah secara langsung sehingga semua mekanismenya diserahkan kepada DPRD dan masyarakat setempat. Permasalahan krusial yang harus mendapat perhatian dalam pelaksanaan otonomi daerah ini menurut Sofjan adalah masalah yang berkaitan dengan peningkatan kualitas SDM baik Aparatur Pemerintah maupun masyarakat, terutama dari segi profesionalisme dan moralitas khususnya bagi aparatur agar dapat bertindak, berfikir untuk pembangunan yang benar-benar menyentuh kepentingan masyarakat. (git, teet, berbagai sumber)
SEBERAPA MENARIK DAERAH ANDA TERHADAP INVESTASI ? Untuk kedua kalinya KPPOD kembali melakukan penelitian untuk membuat “Pemeringkatan Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia dan Polapola Daya Tarik Investasi Kabupaten/ Kota dalam Persepsi Dunia Usaha”. Penelitian ini merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari “Pemeringkatan Daya Tarik Investasi 90 Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia” yang pertama kali dilakukan oleh KPPOD pada tahun 2001 yang lalu. Dua hal yang hendak dihasikan dari penelitian ini adalah peringkat daya tarik investasi Kabupaten/Kota, serta pola-pola daya tari investasi daerah-daerah yang ada di Indonesia. Hasil penelitian ini antara lain diharapkan dapat dijadikan panduan bagi para investor dalam membuat keputusan berinvestasi di suatu daerah, dan bagi pemerintah daerah dapat dijadikan masukan dalam perumusan strategi kebijakan pembangunan daerahnya khususnya dalam rangka mendorong perkembangan ekonomi dan aktivitas dunia usaha dengan menciptakan iklim
18
investasi yang kondusif. Jumlah daerah yang akan diperingkat bertambah menjadi 130 daerah kabupaten/kota dengan menggunakan Faktor/Variabel yang merupakan penyempurnaan dari Faktor/Variabel yang digunakan pada pemeringkatan sebelumnya. Faktorfaktor utama yang digunakan untuk pemeringkatan kali ini yaitu, Faktor
Kelembagaan, Faktor Sosial Politik, Faktor Ekonomi Daerah, dan Faktor Infrastruktur, yang dijabarkan kembali dalam 17 variabel dan 54 indikator. Berbeda dengan penelitian yang pertama (2001), pada penelitian yang ke dua ini (2002) secara khusus dilakukan penelitian lapangan di 20 Daerah
Kabupaten / Kota, yang tersebar di 16 Propinsi. Penelitian ini dimaksudkan untuk membuat gambaran mengenai pola-pola daya tarik investasi Kabupaten/ Kota di Indonesia. Untuk itu 20 Daerah penelitian tersebut dipilih daerah-daerah yang dapat mewakili sentrasentra sektor ekonomi u t a m a d i In d o n e s i a , persebaran wilayah, serta perwakilan daerah kota dan kabupaten. Ketujuh sektor ekonomi tersebut a d a l a h M a n u f a k t u r, Perdagangan dan Jasa, Kehutanan, Pertambangan, Perkebunan, Perikanan, serta sektor Peternakan.
menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan penelitian yang hendak dilakukan Untuk melakukan penelitian lapangan seperti rengcangan penelitian, metode tersebut melibatkan 20 orang peneliti yang digunakan, dan hal-hal lainnya, lapangan yang sudah berpengalaman sebelum area researcher turun lapangan. dalam melakukan berbagai penelitian. Sementara itu untuk kegiatan Mereka berasal dari daerah yang bersangkutan dan beberapa yang lain penelitian lapangan (turun lapangannya) dari Jakarta. Pada tanggal September dilakukan beberapa hari setelah pertemuan 2002 bertempat di Hotel Mercure, Slipi, koordinasi tersebut, yaitu antara tanggal Jakarta Barat, telah dilakukan pertemuan 20 September 2002 hingga 26 Oktober untuk koordinasi dan pembekalan antara 2002. Adapun yang menjadi responden Tim peneliti dari KPPOD dengan 20 dan nara sumber untuk penelitian ini area researcher. Pertemuan tersebut untuk antara lain kalangan dunia usaha di daerah,
dari kalangan eksekutif dan legislatif daerah yang bersangkutan. Pada tanggal 4 – 5 November 2002 kembali dilakukan pertemuan ke-20 Area Researcher dan tim peneliti KPPOD untuk presentasi hasil temuan lapangan mengenai pola-pola daya tarik investasi daerah, serta simulasi pemeringkatan daya tarik investasi ke-20 daerah tersebut. Untuk peringkat daya tarik investasi 130 Kabupaten/Kota secara dan gambaran pola-pola daya tarik investasi daerah di Indonesia secara keseluruhan kita tunggu hasilnya pada akhir tahun 2002. (git)
19
Workshop JBIC-LPEM FEUI Japan Bank for International Cooperation (JBIC) bersama dengan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM-FEUI) mengadakan acara workshop di dua kota sekaligus. Workshop JBIC-LPEM ini bertujuan untuk menyampaikan dan membahas hasil-hasil temuan survey lapangan pertama penelitian mengenai Regional Public Expenditure Review (RPER). Workshop pertama diadakan di Hotel Sedona Makassar, Sulawesi Selatan tanggal 16 September 2002. Hadir dalam Workshop JBIC-LPEM Sulawesi Selatan antara lain, Dr. Bambang Brodjonegoro sebagai RPER Head of South Sulawesi, Dr. Norio Usui sebagai Team Leader RPER Project, tim RPER LPEM untuk Sulawesi Selatan, wakil-wakil instansi daerah seperti Bappeda, Dispenda, Biro Keuangan, Biro Ortala, Biro Kepegawaian serta wakil dari pusat yakni Bappenas, Depdagri, dan Depkeu. Bahasan dalam workshop ini adalah hasil temuan tim survey LPEM-FEUI mengenai alokasi belanja publik daerah di Propinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Maros, Kabupaten Jeneponto, dan Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep). Sedangkan workshop kedua dilangsungkan di Hotel Benakutai Kalimantan Timur tanggal 24 September 2002. Hadir dalam workshop Kalimantan Timur ini antara lain Dr. Tyas U. Soekarsono sebagai RPER Head of East Kalimantan, tim RPER LPEM untuk Kalimantan Timur, wakil-wakil instansi daerah, dan wakil pemerintah pusat. Hasil temuan survey tim RPER antara lain penjabaran sisi penerimaan APBD, sisi pengeluaran APBD baik pengeluaran rutin maupun pembangunan berdasarkan sektornya, perencanaan pembangunan daerah beserta dokumen-dokumen perencanaannya, proses penyusunan anggaran daerah termasuk di dalamnya proyeksi penerimaan daerah, implementasi anggaran yaitu kegiatan pengeluaran/penyaluran dana APBD dan proses penerimaan dana perimbangan dan dana bagi hasil, serta proses penyesuaian anggaran daerah, selain itu juga dibahas temuan mengenai proses pengadaan barang procurement, sistem pengawasan pelaksanaan anggaran dan evaluasi anggaran daerah itu sendiri, serta tak ketinggalan manajemen pegawai negeri sipil (PNS) daerah. Implementasi UU No.22/1999 Minimnya PP Picu Kerancuan Kewenangan dan Tidak Jelas Dirjen Otonomi Daerah Depdagri Oentarto Sindung Mawardi mengungkapkan pelaksanaan UU Otonomi daerah yang tidak diimbangi dengan perangkat peraturan pendukungnya dikhawatirkan dapat menyebabkan tidak jelasnya pembagian kewenangan antara pusat dan daerah yang belum sepenuhnya diatur dalam UU. Oentarto melanjutkan, terlambatnya penerbitan pedoman pendukung itu justru mengakibatkan pelaksanaan otonomi daerah menjadi kebabalasan dan semakin tenggelam karena UU tersebut telah menjadi landasan bagi daerah dalam mempertahankan kewenangannya. Guru besar Administrasi Publik Universitas Gajah Mada Miftah Toha menegaskan proses penerbitan peraturan pemerintah membutuhkan waktu dan perlu diproses berdasarkan bidang kewenangannya masing-masing. Miftah menjelaskan suramnya pelaksanaan otonomi daerah bila tidak disadari oleh oleh pusat justru akan meningkatkan suasana tekanan di daerah, dan jika ini terjadi meka akan berpengaruh terhadap proses pemulihan ekonomi. Hal senada juga diungkapkan oleh staf ahli Mendagri bidang Hukum dan Politik, Sodjuangon Situmorang, yang mengungkapkan pembagian urusan pemerintahan di Indonesia sebagaimana diatur dalam Uu No. 22/1999 mengandung masalah serius dan berpotensi menimbulkan konflik antara pemerintah pusat dan daerah yang dapat merongrong eksistensi bangsa dan negara. Di lain kesempatan, Mantan Menteri Negara Otonomi Daerah Ryaas Rasyid menilai Otonomi Daerah kini tidak jelas dan mengalami kemandegan karena pemerintah tidak punya program yang jelas dalam mengimplementasikan Otonomi Daearah. DPRD Papua Tolak Pemekaran Propinsi Rencana pemekaran Papua menjadi tiga propinsi ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua yang disampaikan oleh anggota DPRD Papua Yance Kayame melalui telepon. Penolakan yang telah dituangkan dalam keputusan DPRD Papua No. 11/1999 tersebut, sudah disampaikan dan diterima oleh pemerintah pusat. Pemkab Tasikmalaya Tak Tahu Pembatalan Investasi Batalnya investsi ulat sutera senilai 30 juta dolar AS di Kabupaten Tasikmalaya diduga disebabkan oleh peristiwa peledakan bom di Bali akhir pekan lalu. Pembatalan tersebut diungkapkan oleh Ketua Dewan Bisnis Australia-Indonesia Victoria Peter McNair yang mengatakan lembaga pendanaan sudah menarik diri dari rencana investasi ulat sutera di Tasikmalaya. Bupati Tasikmalaya Tatang Parhanul Hakim meragukan pernyataan tersebut karena menurutnya pada 25 September lalu para investor tersebut menyatakan siap untuk berinvestasi. Tatang menyesalkan jika investasi tersebut akhirnya dibatalkan mengingat Pemkab mengharapkan investasi ini akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat dan memacu pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Tasikmalaya.
20
*Bentuk logo merupakan stylirisasi dari kaca pembesar yang terbentuk atas huruf
KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) menjadi mnemonic (jembatan keledai) dari pemantau.
*Logo Dengan huruf FrnkGothITC Hvlt Bold berwarna electric blue melambangkan
keteguhan Lembaga dalam menjalankan kegiatan utamanya yaitu melakukan pemantauan dan pengkajian terhadap pelaksanaan otonomi daerah di seluruh Indonesia.
*Huruf O (otonomi) adalah lensa kaca pembesar berbentuk pusaran air berwarna
gradasi biru gelap.
*
Gradasi warna dari pusat pusaran ke arah lingkaran terluar menjadi semakin nyata. Hal ini melambangkan pergeseran dari sistem pemerintahan yang selama ini terpusat lama kelamaan menjadi terdesentralisasi yang sesuai dengan konsep otonomi daerah.