Published: March 2016
ISSN: 2502–8634
Volume 1, Number 8
LSC INSIGHTS The Contemporary Policy Issues in Indonesia
Mendorong Ekonomi Berbasis Inovasi di Indonesia: Tantangan–Tantangan Kebijakan Bening T. Muhammad School of Materials, University of Manchester Ringkasan Eksekutif Dalam tulisan ini, Bening T. Muhammad mengulas tantangan-tantangan kebijakan di Indonesia untuk menghubungkan riset dan pengembangan teknologi dengan kebutuhan industri dan pemberdayaa masyarakat. Menurutnya, ada problem ketidakterhubungan antara praktik dan riset-riset pengembangan teknologi di Indonesia yang memerlukan strategi dan kebijakan yang tepat. Untuk mengembangan ekonomi berbasis inovasi, Indonesia perlu melakukan (1) investasi SDM di masa depan; (2) penyaluran SDM tersebut dalam area-area pengembangan teknologi, serta (3) menyeleraskan kapasitas dan minat riset dengan kebutuhan riil di semua sektor.
www.policyreview.id
Pendahuluan Istilah Triple Helix sudah tidak asing lagi di kalangan akademia. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Etzkowitz, seorang dosen Universitas Stanford, tahun 1993. Etzkowitz dengan konsepnya menyatakan bahwa inovasi dapat diakselerasi bila tiga elemen, yaitu akademia (kampus), pemilik modal dan pelaku bisnis (industri), dan pemerintah (pembuat kebijakan) dapat bersinergi. Konsep ini kemudian diadaptasi oleh pemerintah SBY dengan membentuk sebuah badan nirlaba bernama Business Innovation Center (BIC) pada tahun 2008. Sudah satu konsep ini Triple Helix sejak pertama kali diadaptasi oleh pemerintah, apakah ekosistem usaha sudah berpihak pada ekonomi berbasis inovasi yang digambarkan almarhum Prof. Zuhal (mantan Menteri Riset dan Teknologi) dalam bukunya Gelombang Ekonomi Inovasi (2013)? Seiring berjalannya waktu, Triple Helix pun berkembang menjadi Quadruple Helix (Carayannis dan Campbell, 2012) dimana elemen partisipasi publik (citizen) dimasukkan ke dalam Triple Helix. Partisipasi publik diharapkan bisa memberikan insight terkait inovasi seperti apa yang diperlukan dan menjadi sumber umpanbalik (feedback) atas inovasi yang sudah ada. Karena masyarakatlah yang akhirnya menggunakan teknologi hasil riset, kecocokan supply inovasi dengan demand akan membuat siklus umpan balik yang berkelanjutan, dimana investasi riset dan pengembangan bisa dinikmati oleh masyarakat dan terus berkembang karena menghasilkan return. Tidak lama berselang, Carayannis (2012) juga menambahkan satu elemen lain yaitu environmental context. Teori ini kemudian disebut Quintuple Helix. Dalam Quintuple Helix, isu kesinambungan (sustainability) dan pemeliharaan lingkungan menjadi elemen penting dalam sebuah inovasi, karena sudah sepatutnya kebijakan terkait inovasi menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk kemakmuran generasi saat ini tanpa mengorbankan sesuatu yang lebih besar, yaitu kemakmuran generasi-generasi berikutnya.
Riset, Teknologi, dan Ekonomi Berbasis Inovasi Pada tahun 1970an, ada seorang figur yang hadir dalam struktur birokrasi Orde Baru setelah lama bekerja sebagai seorang insinyur di Jerman. pulangnya Habibie ke tanah air membantu rezim Soeharto menawarkan sesuatu yang berbeda dari yang ditawarkan teknokrat dengan latar belakang ekonomi pembangunan. Saat ekonom mengutamakan comparative advantage seperti keberlimpahan sumber daya alam dan upah buruh yang rendah, Habibie menawarkan riset dan teknologi sebagai competitive advantage (Amir, 2008). Riset dan teknologi, dalam hal ini, diharapkan menjadi bahan bakar utama dalam pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan peningkatan daya saing. Riset dan teknologi tidak dapat dipungkiri merupakan sebuah investasi jangka panjang yang 1
menjanjikan kemandirian teknologi dan pada akhirnya kemakmuran. Misalnya, industri pesawat terbang, yang dengan jerih payah diupayakan Habibie, seharusnya bisa menjadi pembuka jalan menuju kelancaran transportasi orang dan barang antarpulau di Indonesia, penyerapan bahan tambang, penyerapan tenaga kerja dalam manufaktur, dan sebagainya. Bagaimanapun, para ekonom menyangsikan gagasan ini karena opportunity cost yang perlu dikeluarkan terlalu besar. Megaproject PT DI pun kandas saat pemerintah disudutkan dalam pilihan yang sulit saat krisis moneter 1998. Pelajaran yang bisa kita ambil adalah bagaimana riset dan teknologi dapat melesat cepat (sekitar satu dekade) menjadi daya saing bangsa bila mendapatkan dukungan dari pemerintah. Sebagaimana kita tahu, riset butuh investasi uang dan waktu. Riset perlu diuji dan disempurnakan. Untuk itu negara perlu ‘berkorban’ dan sabar jika ingin menjadikan riset dan teknologi sebagai amunisi dalam pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan daya saing di kancah internasional. Pusat Unggulan Iptek: Problem Konektivitas Riset dan Industri Sejak 2011, Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek, sekarang Kemenristekdikti) memulai sebuah cara baru dalam upaya eksploitasi hasil riset lewat pembinaan dan pemberian insentif kepada lembaga-lembaga riset terpilih lewat skema Pusat Unggulan Iptek (PUI) sehingga hilirisasi hasil riset berjalan lebih cepat. Sejauh ini sudah ada 19 PUI yang sudah ditetapkan yang bergerak di berbagai bidang strategis, di antaranya pangan, maritim, energi, kesehatan, dan material maju. Bagaimanapun, ada beberapa hal yang menjadi kendala dalam proses transformasi hasil riset menjadi produk ini lewat skema PUI. Pertama, tidak adanya alokasi khusus untuk pilot plant scale (produksi skala menengah, 50-100 kali skala laboraturium). Akibatnya, peneliti kesulitan menunjukkan pada industri bahwa produksi skala besar feasible, protokoler evaluasi dan pelaporan berkala yang memakan banyak waktu. Kedua, para peneliti juga tidak banyak terfasilitasi dalam proses pendekatan ke pihak industri dalam menawarkan kandidat produknya. Untuk memudahkan peneliti dan institusi riset dalam 3 hal ini, pemerintah (dalam hal ini Kemenristek dikti) perlu memberikan keleluasaan dalam penggunaan insentif, penyederhanaan sistem evaluasi, dan memfasilitasi pertemuan-pertemuan bisnis antara industri dan lembaga penelitian sehingga terjalin komunikasi supply-demand yang lancar dan penelitipun terlatih untuk ‘menjual’ hasil risetnya. Dua problem tersebut menujukkan bahwa konektivitas antara peneliti dan industri masih dirasa minim. Lembaga yang diharapkan menjadi pemercepat penerapan hasil riset, BIC, belum menampakkan prestasinya. BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) juga belum optimal menjalankan fungsinya dalam alih teknologi. 2
Di sisi lain, struktur institusi riset di Indonesia cukup kompleks mengingat setiap kementerian punya badan penelitian dan pengembangan (balitbang), tiap pemerintah provinsi punya balitbang. tiap pemerintah kota punya balitbang, ada balitbang-balitbang non-Kementerianan, pusat studi/balai kajian di bawah BPPT, pusat studi dan penelitian di perguruan tinggi se-Indonesia, dan tidak lupa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang punya puluhan pusat penelitian dan unit pelaksana teknis (UPT). Sayangnya, belum ada sinergi dari lembaga-lembaga tersebut dalam hal perencanaan riset kolaboratif, komunikasi hasil riset, dan hilirasasi hasil riset. Untuk pendekatan peneliti/institusi riset ke industri pun belum ada wadah yang mumpuni. Belajar dari Innovate-UK: Menghubungkan Industri dan Riset Dalam pewadahan pertemuan antara industri dan peneliti, Indonesia perlu melirik bagaimana Inggris membentuk sebuah badan nirlaba, Innovate UK, yang sukses mengakselerasi hilirisasi hasil riset dengan secara aktif menghubungkan industri kepada para peneliti dan sebaliknya sehingga ekosistem ekonomi berbasis inovasi terwujud. Sejauh ini Innovate UK telah mengumpulkan dan menyalurkan lebih dari 1,5 miliar poundsterling (31 triliun rupiah) investasi untuk inovasi, menyerap 35.000 pekerja, serta menambahkan nilai setara 150 triliun rupiah untuk ekonomi Inggris sejak didirikan tahun 2007. Innovate UK pun tidak akan seperti tersebut di atas jika industri di Inggris belum terbiasa untuk melihat jauh ke depan, merencanakan produk added-value lewat riset, dan belum banyaknya ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualifikasi untuk melakukan riset. Maka dari itu, kemakmuran berbasis teknologi dan inovasi tidak akan lepas dari investasi pada kualifikasi SDM.
Berpikir Progresif: Prospek untuk Riset dan Teknologi di Indonesia Bagaimana dengan Indonesia? Menyambut ‘bonus demografi’ yang mengimplikasikan adanya strategi yang jitu dalam pengembangan Sumber Daya Manusia di Indonesia, ada dua catatan penting yang bisa disimpulkan. Pertama, Indonesia harus berani berinvestasi untuk sesuatu yang lebih besar di masa depan. Hal ini bisa dilakukan dengan mengirimkan anak-anak mudanya untuk belajar dari negara-negara yang sudah mapan ekosistem ekonomi berbasis inovasinya. Kedua, yang juga tidak kalah penting, adalah bagaimana memetik investasi tersebut dengan optimal lewat penyaluran SDM berkualifikasi tersebut. Hal yang perlu dilakukan adalah putting the right man in the right place. Kita bisa belajar dari strategi Tiongkok dan India yang sudah memetik investasi SDM mereka untuk memajukan ekonomi lewat teknologi. Indonesia, sebetulnya, juga bisa suatu hari 3
seperti itu bila konsisten berinvestasi meningkatkan kapasitas dan kualifikasi generasi mudanya. Ketiga, menyelaraskan minat riset peneliti dengan kebutuhan pengembangan teknologi di semua level. Teknologi adalah ibarat bangunan dimana satu bidang teknologi terhubung dengan bidang-bidang yang lainnya. Misalnya teknologi pesawat terbang berhubungan dengan teknologi material maju, energi/bahan bakar, konstruksi, dan manajemen transportasi. Bila satu pilar rapuh, maka yang kita impikan bisa runtuh. Proses pendirian bangunan ini juga perlu diarahkan lewat sebuah road map dan rencana strategi yang padu, serta dipercepat konstruksinya lewat kebijakan. Setiap mahasiswa, peneliti, dan akademisi bisa menyelaraskan passion-nya dengan kebutuhan pendirian bangunan tersebut.
Bening Tirta Muhammad adalah Mahasiswa MSc Polymer di School of Materials, University of Manchester, UK. Ia menempuh jenjang BSc with Honours di Nanyang Technological University. Selain aktif sebagai Wakil Koordinator LSC, ia juga bergiat di Forum Indonesia Muda.
4