Relasi Saling Ketergantungan Mutualisma Manusia dan Alam Maritim: Praktek Pengelolaan Sumderdaya Laut Tradisional/Berbasis Masyarakat di Indonesia
Oleh: Dedi Supriadi Adhuri (
[email protected]) Kelompok Studi Maritim, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB)-LIPI
Diskusi Panel Serial: Mengungkap Budaya Luhur Nusantara Menuju Peradaban Maritim Indonesia
Diselenggarakan oleh Yayasan Suluh Nusantara Bakti
Sultan Hotel, Jakarta, 11 Januari 2014.
1
A. Pendahuluan: Karakteristik Laut dan Konsekuensi Sosial-budayanya James M Acheson (1981), seorang ahli Antroplogi Maritim yang reputasinya mendunia sebagai ahli ilmu sosial tentang kelautan, khususnya dunia kenelayanan dan perikanan laut, menjelaskan beberapa karakteristik laut yang khas, yang oleh karenanya menuntut manusia untuk beradaptasi secara khusus pula. Secara khusus dia mengatakan: ”Kegiatan melaut (fishing) terjadi pada lingkungan yang heterogen dan tidak menentu. Ketidaktentuan ini tidak hanya berasal dari lingkungan fisik, tetapi juga lingkungan sosial di mana kegiatan melaut dilakukan. Laut adalah dunia yang berbahaya dan asing, di mana manusia diperlengkapi secara minimal (poor) untuk bertahan hidup. Laut adalah dunia di mana manusia hanya bisa memasukinya dengan bantuan alat buatan (perahu, alat selam, dll), itupun jika cuaca dan kondisi laut memungkinankan. Ancaman yang konstan dari ombak kencang, kecelakaan, dan kerusakan mekanis membuat kegiatan melaut menjadi pekerjaan yang paling membahayakan.... Banyak zona ekologi yang terdiri dari berbagai macam species yang memiliki kebiasaan hidup berbeda. Ikan juga bergerak dari satu tempat ke tempat lain [dalam ruang tiga dimensi] dari satu musim ke musim lain dan jumlahnya bisa berfluktuasi dengan kadar yang sulit ditebak, terutama oleh nelayan kecil. Dengan katakter laut dan sumberdaya seperti itu, kehidupan nelayan tidaklah mudah dan penuh dengan ketidakpastian. Secara psikologis, selain bekerja dengan tingkat bahaya yang tinggi juga bekerja dalam ruang (boat/perahu) yang kecil dalam dunia yang biasanya hanya didominasi laki-laki. Tekanan lingkungan laut dan kondisi kerja seperti ini seringkali kehidupan rumah tangga nelayan cenderung berbeda dengan standar komunitas dengan pekerjaan lain. Seringkali ini juga mendatangkan masalah. Waktu bekerja yang seringkali tidak sesuai dengan kegiatan dunia yang lain -- misalnya bekerja pada malam hari, sementara siang digunakan untuk istirahat— dan sering tidak ada di komunitasnya, membuat kepentingan nelayan tidak terwakili dalam dunia politik. Karakteristik seperti ini juga yang membuat nelayan sangat bergantung pada pemilik-pemilik kapal dan tengkulak yang seringkali mengeksploitasi mereka” (cetak tebal penulis) Jika Acheson menjelaskan karakteristik bahaya dan karakteristik ‘kegagahan’ Laut, lain lagi dengan McGoodwin (1990), yang juga seorang ahli ilmu sosial kelautan/perikanan. Pada halaman pertama bukunya yang berjudul Crisis in the World Fisheries, dia menulis: All around the world, from the coldest arctic regions to the warmest tropical seas, there is a crisis in the world’s fisheries. Quite simply, there are too many people chasing too few fish. … [T]hroughout the 1970’s the world’s per capita fish production actually declined. Correspondingly, the catch per unit of fishing effort and the catch per dollar invested in the fisheries also steadily declined (McGoodwin 1990: 1). Apa yang diingatkan McGoodwin adalah gejala over-eksploitasi secara biologi-ekologi dan overkapitalisasi secara ekonomi. Intinya adalah bahwa laut juga memiliki keterbatasan. Laut 2
bahkan rentan terhadap tekanan. Laut Indonesia bukanlah kekecualian dari kondisi ini. Kita tahu bahwa Selat Malaka dan Laut Jawa ditenggarai sudah menunjukkan gejala tangkap lebih sejak tahun 19970-80an. Hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan yang sudah di-SK-an oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI (No. 45/MEN/2011) menunjukkan bahwa gejala lebih tangkap sudah tampak di semua Wilayah Pengelolaan Perairan RI (lihat Gambar 1)
Gambar 1.
Warna merah pada tabel menunjukkan gejala tangkap lebih
3
Dengan pemahaman bahwa kebudayaan adalah alat adaptasi manusia terhadap lingkungannya, maka kebudayaan ideal yang dibutuhkan untuk berdaptasi terhadap karakter laut atau maritim seperti itu seharusnya tidak hanya budaya yang menunjukkan kemampuan manusia menaklukkan keganasan laut sehingga manusia mampu mengakses dan mengeksploitasi kekayaannya tetapi juga budaya yang berkarakter memelihara dan menjaga laut dari ancaman degradasi atau kehancuran. Dalam konteks seperti inilah, praktek-praktek pengelolaan laut dan sumberdaya yang ada di dalamnya yang berbasis tradisi atau masyarakat adalah contoh-contoh budaya yang mempunyai potensi mengandung kedua unsur tersebut di atas. Paparan berikut akan mencoba memberikan beberapa contoh tradisi atau praktek pengelolaan sumberdaya laut yang dipraktekkan di Indonesia. Secara spesifik, paparan ini akan mendiskusikan tiga kasus yaitu praktek pengelolaan laut di Maluku yang berfokus pada konsepsi petuanan (laut) dan sasi, praktek pengelolaan laut di Lombok yang disebut Awikawik dan praktek pengelolaan tradisional di Aceh yang disebut sebagai Panglima Laot.
B. Praktek-praktek Pengelolaan Sumberdaya Laut Tradisional di Indonesia Praktek pengelolaan sumberdaya pesisir/laut tradisional dilakukan oleh cukup banyak masyarakat di pesisir Indonesia. Kajian Pustaka yang dilakukan oleh Ruddle (1994, 35) mencatat bahwa pranata-pratana itu terdapat di beberapa komunitas di Sumatera, Kalimantan, Maluku, Papua, Sulawesi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Flores dan Tanimbar. Zerner (1990) juga mencatat terdapatnya praktek serupa di Selat Makasar. Di Tanimbar, Maluku, kelompok kekerabatan tertentu memiliki hak pakai dan hak pengelolaan terhadap reef-reef tertentu di pulau itu dan permohonan ijin untuk mengambil /menggunakan sesuatu dimintakan dari tuan tanah. Di antara orang-orang Galela di Halmahera, Maluku Utara, desa adat mengkalim hak pemilikan terhadap wilayah-wilayah penangkapan ikan. Di Pulau Selayar, di Laut Flores, tempat-tempat di mana orang meletakkan alat tangkap menetap juga menjadi objek kepemilikan dan diwariskan kepada anak laki-laki. Di Irian Jaya, komunitas pesisir Ormu dan Tepra, dekat Jayapura, mengelola hak penangkapan ikan dan akses wilayah dan sumberdaya pesisir/laut melalui kombinasi praktek-praktek adat kepemilikan wilayah pesisir/laut oleh keluarga dan desa adat. Orang-orang luar yang menangkap ikan tanpa ijin dari pemilik, diharuskan membayar kompensasi berupa hasil tangkapan. Ijin harus pula dimintakan dari ‘pemilik laut desa’ (tubwe) saat seseorang akan menangkap ikan di perairan desa. Hak-hak
4
desa diingatkan kembali melalui upacara-upacara adat tahunan. Penutupan areal dari kegiatan eksploitasi diaplikasikan secara musiman dan pada pada saat ritual lingkaran hidup. Saya sendiri terlibat secara intensif dan dalam kurun waktu yang lama pada penelitian-penelitian mengenai hak ulayat laut dan praktek pengelolaan tradisional sumberdaya pesisir/laut. Pada awal tahun 1990an, bersama Kelompok Studi Maritim, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB)-LIPI yang saat itu masih dikomandoi almarhum Prof. A.B. Lapian, telah memetakan praktek hak ulayan laut di tiga provinsi, Papua, Sulawesi Utara dan Maluku (Wahyono 2000). Tiga praktek pengelolaan tradisional yang saya pahami secara mendalam adalah praktek di Maluku, Lombok dan Aceh. Oleh karenanya, sebagai contoh lebih detail, berikut akan dipaparkan pranata hak ulayat pesisir/laut dan praktek pengelolaan tradisional di tiga lokasi/masyarakat tersebut. 1. Praktek Pengelolaan Sumberdaya Laut di Maluku Konsep kunci praktek hak ulayat di Kepulauan Kei adalah petuanan. Konsep ini mengacu pada wilayah darat dan laut yang diklaim di bawah pemilikan atau penguasaan suatu kelompok sosial tradisional tertentu. Khusus untuk wilayah laut, mereka menyebutkannya sebagai petuanan laut. Kelompok sosial yang mengklaim memiliki atau penguasai petuanan tertentu beragam mulai dari satuan kekerabatan (fam), sebuah kelompok pemukiman (kampong/ohoi), sebuah desa (negeri), gabungan dari beberapa desa di bawah penguasaan ‘raja’ (ratschap), paruh masyarakat (ur siw dan lor lim) sampai keseluruhan orang Kei. Penentuan batas fisik petuanan maupun kelompok sosial yang menguasainya ditentukan oleh sejarah lisan (toom) tentang wilayah tersebut dan peranan orang-orang tertentu dalam proses pembentukan pemerintahan tradisional komunitas yang bersangkutan. Di darat, biasanya batas-batas petuanan laut bersamaan dengan batas wilayah darat antar dua kelompok adat. Di laut, batas petuanan laut beragam dari mulai batas antara laut dangkat dengan laut dalam, batas kemampuan teknologi pemanfaatannya atau batas atas dasar pengetahuan adat tentang wilayah ulayat mereka.
Untuk menjaga praktek hak ulayat lain ini berlangsung terus,
biasanya orang tua menceritakan sejarah asal-usul kesatuan adat itu kepada anak-anaknya. Jadi tradisi ini ditransfer secara turun temurun melalui tradisi penceritaan lisan. Sebagai wilayah petuanan laut suatu unit masyarakat adat, pemanfaatan dan pengelolaan petuanan laut menjadi hak ekslusif dari anggota-anggota masyarakat adat itu. Orang luar yang ingin melakukan eksploitasi, terutama untuk tujuan bisnis/usaha, bukan
5
untuk memenuhi kebutuhan hidup (subsisten) wajib untuk meminta ijin dari masyarakat pemilik hak ulayat. Gambar 2 berikut adalah petuanan milik Desa Dullah Laut, salah satu kepulauan di Kei Kecil.
Gambar 2. Petuanan Dullah Laut (Sumber: Adhuri 2013)
6
Contoh berikut adalah wilayah petuanan satu kerajaan adat (Ratchaap) yang bernama Maur Ohoiwut, di Kei Besar Maluku Tenggara
Gambar 3 Petuanan Laut Maur Ohoi Wut (Sumber : Adhuri 2013, diadopsi dari Rahail 1995 )
Di Maluku, selain terdapat praktek hak ulayat laut, beberapa komunitas memiliki tradisi pengelolaan tradisional yang disebut Sasi. Istilah ini mengacu pada suatu sistem yang berkenaan dengan pengaturan kegiatan eksploitasi terhadap wilayah petuanan atau sumberdaya tertentu di petuanan itu. Sasi laut biasanya ditujukan pada seluruh atau sebagian petuanan laut dan dikenakan pada sumberdaya tertentu yang ada di dalamnya. Sumberdaya yang umum dikenai aturan sasi adalah bia lola (Trochus Niloticus) dan atau tripang. Pada saat tutup sasi, yang biasanya berlangsung selama satu sampai tiga tahun, tidak boleh seorang pun mengambil sumberdaya di wilayah petuanan yang dikenai aturan itu. Pada saat yang telah ditentukan, sasi akan dibuka. Pada saat itu panen sumberdaya akan dilakukan. Ada tempat-tempat yang membolehkan setiap wakil dari rumah tangga, janda atau rumah tangga renta atau orang-orang yang ditunjuk oleh pemangku adat sasi, untuk mengambil sumberdaya 7
tersebut dengan ketentuan tertentu. Ketentuan tersebut, misalnya, pada saat mengambil hasil, mereka hanya diperbolehkan menyelam tanpa alat kecuali kacamata menyelam (tradisional), ukuran bia lola yang boleh diambil juga dibatasi, biasanya minimal ukuran diameter cangkang kerangnya tiga jari (kurang lebih 6 cm). Pada daerah lain, di Maluku, hanya orang-orang tertentu yang boleh turut memanen komoditi yang di sasi, tetapi hasilnya akan dikelola desa/negeri untuk kepentingan bersama. Buka sasi biasanya berjalan beberapa hari atau minggu. Setelah selesai, pemimpin adat sasi akan menutup kembali dan mengimplementasikan larangan kegiatan pengambilan sumberdaya tersebut. Praktek sasi, jika kita lihat dari perspektif pengelolaan perikanan ‘modern’ merupakan kombinas antara beberapa instrumen pengelolaan. Instrumen tersebut adalah closing-opening seasons, yaitu pengaturan buka-tutup eksplotasi, pengaturan alat eksploitasi dan pihak yang boleh melakukan eksploitasi (input control) dan kuota yakni pengaturan berapa banyak -baik dari segi ukuran individu maupun total eksploitasi sumberdaya boleh diambil. Dalam praktek pengelolaan ‘modren,’ aturan-aturan ini seringkali gagal diimplementasikan karena resistensi nelayan, sementara di Maluku, orang secara suka rela melakukannya. Artinya, tradisi ini memang mengandung hal-hal positif, dan mampu mengatasi persoalan yang muncul pada praktek pengelolaan sumberdaya laut modern.
2. Praktek Pengelolaan Sumberdaya Laut di Lombok: Awik-awik Kearifan lokal yang terkait dengan dunia maritim/pesisir pada masyarakat Lombok terwujud dalam praktek pengelolaan sumberdaya laut/pesisir tradisional. Praktek ini berfokus pada apa yang disebut sebagai Awik-awik (kadang ditulis Awiq-awiq atau Awig-awig). Dari segi historis, istilah Awik-awik sendiri berasal dari Bali. Istilah ini diduga diadopsi orang Lombok setelah Raja Karang Asem di Bali menguasai wilayah ini pada abad 18 (Tantra 1999). Secara harfiah, konsep awik-awik mengacu pada perangkat aturan yang disepakati suatu satuan komunitas untuk mengatur perilaku sosial mereka. Sari (2004), menyebutkan bahwa: ‘awik-awik pada mulanya berbentuk kesepakatan yang dibuat oleh masyarakat untuk kehidupan dalam komunitas tertentu (kampung atau gubug), yang dituangkan dalam piagam-piagam, atau ditulis dalam lontar dan diwujudkan dalam tanda-tanda berupa tancapan kayu yang diberi ikatan dari pelepah/daun tertentu yang ditempatkan di tengan sawah atau ladang sebagai simbol larangan pengembangan atau memasuki daerah yang bersangkutan. Perkembangan selanjutnya 8
dibuat secara tertulis dengan mendapat legalitas dari tokoh-tokoh adat/desa.’ (Hal. 42) Dari penjelasan di atas, kita bisa mengidentifikasi beberapa elemen utama dari konsep dan tradisi awik-awik. Pertama, awik-awik sebagai perangkat aturan. Kedua, karena awikawik mengikat kehidupan bersama satu komunitas yang hidup dalam tempat tertentu, unit sosial dan teritorial juga merupakan elemen dari tradisi awik-awik. Ketiga, pada saat awikawik mendapat legalitas dari tokoh-tokoh tertentu yang ada di masyarakat/komunitas, ini berarti ada elemen kelembagaan pada awik-awik. Dalam konteks kebaharian/pesisir/perikanan, awik-awik berwujud perangkat aturan yang disepakati oleh komunitas tertentu, utamanya komunitas nelayan atau pesisir. Aturan itu mengatur
bagaimana seharusnya komunitas itu berinteraksi satu dengan yang lain dan
interaksi antara manusia dengan lingkungannya dalam konteks pengelolaan (; gabungan antara pemanfaatan, pemeliharaan) sumberdaya laut/perikanan/pesisir dalam wilayah tertentu. Impelentasi aturan-aturan di dalam wilayah komunitas itu, biasanya diawasi oleh satu kelembagaan tertentu, baik itu sebagai lembaga yang khusus mengawasi implementasi awik-awik atau lembaga lain yang di antara berbagai tugas dan kewenangannya adalah juga mengawasi tegaknya awik-awik. Berikut adalah bahasan dari karakteristik masing-masing elemen pada awik-awik pengelolaan perikanan/pesisir. Awik-awik sebagai perangkat aturan pada umumnya mengatur hal-hal sebagai berikut. Pertama, pendefinisian wilayah kelola. Dalam hal ini, ada awik-awik yang menjelaskan wilayah kelola secara jelas batas-batasnya, ada pula awik-awik yang hanya menyebutkan zona-zona wilayah laut yang ada di dalam wilayah kelola tanpa secara tegas menyebutkan batas-batas wilayah kelolanya. Contoh awik-awik yang secara tegas menyebutkan batas wilayah kelolanya adalah awik-awik Kawasan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur. Secara spesifik awik-awiknya mendefinisikan: ‘Kawasan perairan pantai Pringgabaya adalah suatu kesatuan wilayah mulai dari Perairan Pantai Komala Sari sampai dengan Labuhan Lombok yang terdiri dari beberapa desa yakni Desa Kerumut, Pohgading, Batuyang, Pringgabaya, dan Labuhan Lombok Kabupaten Lombok Timur yang memiliki kesamaan kenpentingan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan’ (Buku Saku Awik-awik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Lombok Timur, 2003. Hal. 32).
9
Wilayah kelola itu, biasanya, kemudian dibagi kedalam beberapa zona. Masingmasing zona akan dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Misalnya, Awik-awik dari Lembaga Musyawarah Nelayan Lombok Utara (LMNU) membagi wilayah kelolanya ke dalam beberapa Zona (Paer) yakni Paer A sampai D. Paer A diperuntukan sebagai zona konservasi, lokasinya adalah perairan dari Gili Meno, Gili Aer dan Gili Trawangan. Paer B diperuntukan sebagai Zona penangkapan ikan tradisional yang meliputi seluruh kawasan laut di Lombok utara. Paer C adalah Zona Budidaya yang meliputi kawasan perairan Karang Jurang, Mumbul Sari, Lempenge, Penyambuan, Kandang Kaok, Jambianom,Teluk dalem , Tampes, Sambi Elen dan Malaka. Paer D adalah Zona penangkapan nelayan semi modern. Zona ini meliputi beberapa Perairan Bangsal Ketapang Gondang minimal 1 ( satu ) kilometer dari garis pantai yang meliputi Muara Kali Segara disebelah barat dan Muara Kali Bengkok di sebelah timur, dan beberapa daerah lain yang secara spesifik dirinci dalam awik-awik. Selanjutnya, awik-awik juga mengatur usaha apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan di masing-masing paer itu. Pengaturan itu termasuk
juga alat tangkap apa yang boleh
dioperasikan di wilayah yang dialokasikan untuk perikanan tangkap. Ada juga awik-awik yang mengatur lebih rinci lokasi penempatan alat-alat tangkap tertentu sehingga operasi alat tangkap itu tidak mengganggu kegiatan nelayan lain atau pemanfaatan lain dari perairan itu. Contoh untuk hal ini adalah pelarangan pengoperasian bagan di lokasi lintas penduduk atau nelayan dengan alat tangkap lain. Awik-awik juga pada umumnya melarang operasi semua alat-alat destruktif seperti cyanida, bom dan bahan-bahan kimia yang merusak. Menariknya, awik-awik tidak hanya mengatur masalah perikanannya saja, tetapi juga pemanfaatan dan pemeliharaan habitat pesisir. Dalam konteks ini, mangrove bisanya menjadi perhatian utama. Pada umumnya awik-awik mengatur atau tepatnya melarang orang merusak atau memotong mangrove sembarangan. Pada beberapa awik-awik bahkan pemotongan mangrove dilarang sama sekali. Pengrusakan terhadap terumbu karang juga seringkali menjadi salah satu hal yang diatur dalam awik-awik. Senyatanya, larangan penggunaan bom dan potasium cyanida adalah utamanya untuk memghindari pengrusakan karang karena operasi bahan-bahan itu bisanya di sekitar terumbu karang. Awik-awik juga dilengkapi dengan pengaturan bentuk dan besar hukuman terhadap pelanggaran aturan-aturannya. Bentuk dan besar hukuman sangat bergantung pada jenis dan bentuk pelanggarannya. Pelanggaran-pelanggaran yang diangap ringan dan dilakukan pertama kali biasanya hukumannya relatif ringan berupa pembuatan pernyataan pengakuan salah dan janji untuk tidak mengulangi kesalahannya. Semakin berat pelanggarannya dan 10
berulang, semakin tinggi hukumannya. Hukuman yang lebih berat bisa meliputi denda uang (berkisar atara ratusan ribu sampai puluhan juta), pengrusakan alat-alat yang dipergunakan melakukan pelanggaran. Di Lombok Utara, hukuman yang paling berat adalah pemukulan tidak sampai mati. Awik-awik juga mengatur kelembagaannya. Pengaturan ini menjelaskan siapa yang bertugas mengawasi dan menegakkan awik-awik. Di Lombok Utara, lembaga ini adalah Lembaga Musyawarah Nelayan Lombok Utara (LMNLU). Untuk penegakkan awik-awik di Lombok Timur, LMNU membentuk seksi keamanan dan Majelis Krama. Kedua seksi ini bertugas
masing-masing
memonitor
ketaatan
orang
terhadap
awik-awik
dan
menyidang/menghukum pelaku pelanggaran. Di Lombok Timur lembaga pemangku awikawik bernama Komite Pengelola Perikanan Laut (KPPL). Keanggotaan KPPL di Lombok Timur merepresentasikan keanekaragaman pemangku kepentingan. KPPL ini petugasnya mewakili masing-masing kelompok kepentingan dalam sektor perikanan seperti nelayan, pedagang ikan, kelompok ibu-ibu pengolah ikan, serta tokoh agama, dan tokoh masyarakat lainnya. Kearifan lokal dalam bentuk pengelolaan perikanan berbasis awik-awik tersebar di banyak tempat di Lombok. Contoh-contoh awik-awik yang telah disebut di atas menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan berbasis awik-awik dilakukan di Lombok Utara dan Lombok Timur. Di Lombok Utara, wilayah yang terlingkupi oleh awik-awik dengan lembaga pengelola LMNLU melingkupi perairan lima kecamatan. Kelompok-kelompok nelayan di lima kecamatan itu mengakui keberlakukan awik-awik yang dikelola LMNLU. Namun demikian, beberapa kelompok nelayan di masing-masing kecamatan atau bahkan di level desa, memiliki awik-awik khusus. Awik-awik khusus ini dibuat jika pada konteks-konteks pengelolaan di wilayah-wilayah kecamatan atau desa-desa, diperlukan pengaturan khusus karena kondisi khas yang ada di kecamatan dan desanya. Pengaturan yang berbeda terjadi Lombok Timur. Meskipun seluruh perairan Lombok Timur menjadi objek pengelolaan berbasis awik-awik, di sana tidak ada awik-awik besar yang diberlakukan untuk semua wilayah. Perairan di Lombok Timur dibagi ke beberapa kawasan yakni Kawasan Sambelia, Kawasan Pringgabaya, Kawasan Labuhan Haji, Kawasan Sakra Timur, Kawasan Teluk Jukung, Kawasan Serewe dan Kawasan Teluk Ekas (Saifulah 2009). Masing-masing kawasan ini memiliki awik-awik yang berbeda dan dikelola oleh KPPL sendiri-sendiri. 11
Seperti halnya praktek pengelolaan laur tradisional di Maluku, secara singkat, awikawik merupakan kombinasi antara konsepsi ‘teritorialiti’ --pendefinisian wilayah kelola, dan pengaturan pengelolaan yang diberlakukan di dalamnya. Dia bertujuan untuk mengatur eksploitasi, mencegah dan mengatasi kegiatan destruktif dan konflik di antara pengguna laut dan yang tidak kalah pentingnya adalah konservasi atau konsen terhadap keberlangsungan sumberdaya laut. 3. Praktek Pengelolaan Sumberdaya Laut di Aceh: Panglima Laot Contoh ketiga berikut adalah tradisi hak ulayat dan pengelolaan sumber daya laut tradisional dari Aceh. Sejak berabad-abad, orang Aceh mengenal tradisi dan hukum adat laut yang disebut Panglima Laot. Pada intinya, tradisi ini terkait dengan kelompok adat yang disebut Mukim (pederasi gampung/desa) dengan unit wilayah kelola yang disebut lhok (teluk). Pengelolaan masing-masing lhok dipegang oleh lembaga panglima laot yang dipimpin oleh ketua dengan nama yang sama dengan lembaga itu, Panglima Laot. Terdapat lebih dari 100 unit pengelolaan panglima laot di seluruh Aceh. Pada intinya, hukum adat ini mengacu pada klaim hak ulayat laut dan praktek pengelolaannya. Berbeda dengan tradisi petuanan di Maluku, orang Aceh tidak mengkalim hak milik terhadap wilayah adat lautnya, mereka menganggap bahwa laut adalah milik semua orang (umum), tetapi mereka mengklaim hak pengelolaan. Menurut adat mereka, setiap orang yang menangkap ikan atau sumberdaya laut lain di wilayah adat laut mereka harus tunduk pada aturan-aturan adat panglima laot dari lhok yang bersangkutan. Aturan-aturan adat laot bervariasi di tiap lhok. Berikut adalah contoh dari praktek hak ulayat dan pengelolaan di dua lhok, yaitu Lhok Kruet di Aceh Jaya dan Lhok Ie Meule di Sabang. Seperti tampak pada gambar 4, Panglima laot di Lhok Kruet secara adat mengklaim hak kelola terhadap wilayah perairan pesisir dengan batas di darat Gunong Sa dan Alue Lhok. Batas kelaut adalah dua mil, hitungan ini didasari oleh panjang dua jaring tradisional yang biasa mereka pakai dahulu. Tampak juga dalam gambar 4 bahwa dalam wilyah Lhok Kruet, aturan-aturan tertentu diberlakukan. Hal yang menarik adalah bahwa aturan-aturan tersebut berlandaskan pada usaha-usaha menjaga wilayah dari (a) kerusakan dan (b) supaya lestari, (c) mencegak konflik dan (d) menjaga prinsip keadilan. Aturan-aturan tersebut meliputi larangan penggunaaan alat-alat yang merusak/beracun, prioritas bagi nelayan pancing pada wilayah dan waktu tertentu dan larangan penggunaan kompressor untuk menangkap lobster. Untuk yang terakhir dikatakan, penangkapan lobster oleh kompresor melahirkan ketidak 12
adilan karena kebanyakan lobster akan tertangkap oleh orang yang menggunakan kompresor. Nelayan jaring akan menderita karena hanya bisa menangkap sisanya saja. Kita mencatat prinsip keadilan sosial, mendapat kesempatan memperoleh sumberdaya laut (lobster) menjadi dasar pelarangan penggunaan kompresor ini. Sebelum tsunami terjadi pada Desember 2004, masyarakat tidak hanya mengatur masalah terkait perikanan saja tetapi juga pengelolaan hutan pesisir. Pada saat itu, ada larangan penembangan mangrove sembarangan, bahkan pinus yang tumbuh di pantai sama sekali
tidak boleh ditebang. Larangan ini terkait dengan anggapan mereka bahwa hutan
pantai berfungsi sebagai penghalang angin untuk tanaman pertanian seperti padi. Tanpa hutan pantai, mereka yakin, padi-padi yang tumbuh tinggi di sawah yang terletak di belakang hutan itu akan rusak karena tertiup angin kencang saat musim tertentu. Tentu saja larangan penenbangan mangrove berfungsi positif untuk mencegah abrasi dan meningkatkan kesuburan lahan pantai. Mangrove adalah tempat memijah dan bernaungnya ikan-ikan dan sumberdaya perairan lain.
Gambar 4. Panglima Laot Lhok Kruet (Sumber: penelitian lapangan 2007-2010)
13
Sebagai contoh kedua dari tradisi Panglima Laot di Aceh, adalah praktek Panglima Laot Lhok Ie Meule di Sabang (dokumen diperoleh dari Wildlife Conservation Society, Kantor Sabang). Unsur utama pengelolaan tentu pendefinisian wilayah kelola. Dalam hal ini dicatat: ‘Yang dimaksud wilayah Lhok Ie Meulee adalah wilayah pantai dan pesisir berikut perairan laut sejauh 4 mil laut dari tepi pantai Lhok Ie Meulee, meliputi wilayah pantai dan perairan laut antara batas kelurahan Kota Bawah Barat dengan Kota Atas, hingga batas antara Kelurahan Ujong Kareung dengan Kelurahan Anoi Itam.’(Lihat gambar 5)
Lhok Ie Meulee
Gambar 5. Wilayah Kelola Panglima Laot Ie Meulee Sumber : Wildlife Conservation Society (WCS)
Setelah mendefinisikan wilayah kelola, mereka membuat menetapkan zonasi 0-2 mil dan 2 mil-4 mil. Kemudian diaturlah alat-alat tangkap yang boleh dan tidak boleh digunakan di masing-masing zone ini. Ada juga aturan pelararangan penggunaan alat tangkap yang berlaku di semua wilayah seperti pukat harimau dan alat-alat yang destruktif. Penggunaan alat-alat ini memang dilarang oleh aturan pemerintah, tetapi seringkali gagal diimplementasikan di lapangan. Masyarakat menguatkan aturan ini dan melakukan pengawasan sendiri akan
14
implementasinya. Mereka juga menetapkan hari-hari pantang melaut seperti hari Jumat, hari raya keagamaan, hari kemerdekaan RI dan hari terjadinya tsunami (26 Desember). Bentuk denda atas pelanggaran aturan-aturan ini juga ditetapkan dalam hukum laut mereka termasuk lembaga peradilan dan pengelola. Lembaga peradilan (penyidang) meliputi petinggi desa dan lembaga panglima laot seperti: Imeum Mukim, Panglima Laot, tokoh-tokoh adat, para Lurah (Geuchik), tokoh-tokoh nelayan dan unsur masyarakat lainnya yang dianggap perlu. Mereka lah yang menentukan apakah seseorang terbukti bersalah dan bentuk/besar hukumannya jika memang bersalah. Seperti halnya dua contoh sebelumnya, praktek pengelolaan tradisional di Maluku dan Lombok, Panglima Laot juga merupakan kombinasi dari konsepsi teritorialiti dan pengelolaan sumberdaya perikanan di dalamnya. Bahkan, pengaturan pemanfaatan sumberdaya pesisir daratan (hutan pantai). Dalam konteks pengelolaan, Panglima laot juga merupakan praktek yang mengatur pemanfaatan dan konservasi. Inilah adaptasi yang memang dibutuhkan untuk karakteristik laut seperti yang telah disebutkan pada pendahuluan makalah ini.
C. Penutup Untuk menutup makalah ini, saya akan sedikit mengengemukakan pendapat Berkes, seorang ahli dalam bidang pengelolan sumberdaya laut, mengenai fungsi dari hak ulayat dan praktek-praktek pengelolaan laut tradisional. Berkes (1989, 11-12) mengatakan bahwa hak ulayat memiliki lima peran penting. Pertama, menjamin keamanan penghidupan (livelihood security) dengan memberi kesempatan kepada setiap anggota komunitas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya melalui jaminan akses terhadap sumberdaya alam penting. Peran kedua adalah sebagai alat resolusi konflik. Berkes percaya bahwa hak ulayat menyediakan mekanisma untuk memberi akses pemanfaatan yang sama kepada semua anggota komunitas. Dengan itu, kemungkinan konflik antar anggota komunitas sebagai akibat dari perebutan akses terhadap sumberdaya tersebut dapat dicegah. Ketiga, hak ulayat berfungsi mengikat anggota-anggota komunitas menjadi suatu kesatuan sosial yang kompak. Hal ini terjadi karena hak ulayat secara eksplisit menghubungkan keanggotaan komunitas dengan penguasaan terhadap sumberdaya. Hal ini memfasilitasi terbentuknya kelompok kerja dan kerjasama. Keempat, hak ulayat bersifat konservasi karena ia biasanya terkait dengan prinsip ‘taking what is needed.’ Terakhir, hak
15
ulayat berfungsi untuk menjaga kelestarian ekologi. Hal ini dikaitkan dengan asumsi bahwa praktek hak ulayat didasari prinsip penyesuaian antara perilaku eksploitasi dengan siklus alam. Contoh-contoh pengelolaan tradisional atau berbasis masyarakat di Indonesia, secara spesifik tiga kasus yang telah dijelaskan secara agak rinci, juga mengandung fungsi-fungsi yang telah disebutkan oleh Berkes tersebut di atas. Oleh karenanya mempertimbangkan praktek-praktek seperti itu sebagai bahan untuk pengembangan pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut di Indonesia adalah sebuah keharusan. Utamanya dalam kondisi pengelolaan perikanan di Indonesia yang kondisinya sangat menghawatirkan dengan ciri gejala tangkap lebih yang telah melanda semua wilayah pengelolaan, kemiskinan nelayan yang akut dan berbagai macam kerentanan lainnnya. Namun demikian, untuk tidak terjerumus pada romantisasi tradisi, harus pula dicatat bahwa praktek-praktek tersebut bukan wujud ideal pengelolaan. Masih banyak kelemahan dari praktek-praktek seperti ini. Misalnya, kosep dan praktek petuanan di Maluku seringkali menjadi objek sengketa kelompok-kelompok tertentu di masyarakat. Ditemukan pula praktek elite capture, yakni pemanfaatan konsep penguasaan wilayah laut untuk kepentingan politik dan ekonomi para elit saja dengan mengorbankan kepentingan umum dan kelestarian sumberdaya (lihat Adhuri 2004 dan 2013). Meskipun ada gejala revitalisasi setelah era otonomi daerah, tidak sedikit praktek tradisional yang semakin mengendur dan ditinggalkan. Ini memang gejala di banyak tempat. Johanness (1978: 356) misalnya menenggarai market economy, the breakdown of traditional authority structures, and the imposition of new laws and practices by the state are key interrelated factors that have resulted in the degradation of traditional marine tenure in Oceania. Artinya, memang harus selalu ada koreksi, peningkatan kualitas dan
usaha-usaha pemeliharaan terhadap praktek-praktek pengelolaan berbasis komunitas ini. Dan ini tidak mudah, utamanya dalam era ekonomi pasar (kapitalisme) dan penetrasi strukturstruktur modern dalam semua ranah kehidupan. Adalah tergantung kita untuk menyikapinya dan memilih langkah ke depan.
D. Daftar Pustaka Acheson, J. M. 1981. Antrhropology of Fishing. Annual Review of Anthropology. y 10:275316. Adhuri, D.S, 2004. ‘The Incident in Dullah Laut: Marine Tenure and the Politics of Village Leadership in Maluku, Eastern Indonesia.’ Maritime Studies (MAST) 3(1): 5–23. 16
———. 2013. Selling the sea, fishing for power: A study of conflict over marine tenure in Kei
Islands, Eastern Indonesia. Canberra: ANU E-Press. Aswani S, et al. 2011. The way forward with ecosystem-based management in tropical contexts: Reconciling with existing management systems. Marine Policy, doi:10.1016/j.marpol.2011.02.014. Elvina, Nia. 2008. Peranan Kapital Sosial dalam Efektifitas Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Pesisir: Studi Kasus di Kabupaten Lombok Barat Bagian Utara Nusa Tenggara Barat. Tesis yang diajukan pada Departemen Sosiologi, Program Pasca Sarjana Sosiologi, Universitas Indonesia. McGoodwin, J.R., 1990. Crisis in the World’s Fisheries: People, Problems, and Policies. Stanford: Stanford University Press. Ruddle, Kenneth. 1994. A guide to the literature on traditional community-based fishery management in the Asia-Pacific tropics. Rome FAO 114 pp. FAO Fisheries Circular No. 869. Saifullah, M. 2009. Komite Pengembangan Awik-awik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Tulisan dipresentasikan pada lokakarya yang diselenggarakan oleh International Collective in Support of Fisheworkers (ICSF), Senggigi, 2-5 Agustus. Sari, Ni Nengah Febriastutiyana. 2004. Efektivitas Penerapan Awik-awik Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Kawasan Teluk Jukung, Kecamatan Keruak dan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nsa Tenggara Barat. Karya Ilmiah Praktek Akhir. Program Studi Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta. Tantra, IGN. 1999. Bentuk Pengelolaan Sumberdaya Ikan Berbasis Masyarakat di Propinsi Nusa Tenggara Barat (Paper Awik-awik). Bahan Laporan ke Direktorat Jendral Sumberdaya Hayati. Wahyono, A, A.R. Patji, D.S. Laksono, R. Indrawasih, Sudiyono ans S. Ali. dkk. 2000. Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo. Zerner, C. (1990) Marine tenure in Indonesia’s Makassar Straits: the Mandar raft fishery. Paper presented at the First Annual Meeting of the International Association for the Study of Common Property, Duke University, Durham, North Carolina, 27–30 September 1990.
17