Editor: Zaenal Abidin
PELAYANAN KEAGAMAAN MASYARAKAT DI DAERAH PERBATASAN INDONESIA
Penulis: Abdul Jamil, Agus Mulyono, Selamet, Muhammad Ishom, Fakhruddin, Sri Hidayati, Kustini, Wahidah R. Bulan, Muchtar, Husnan Nurjuman
KEMENTERIAN AGAMA RI BADAN LITBANG DAN DIKLAT Kementerian Agama RI PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan TAHUN 2015 Jakarta, 2015 Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
i
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia ISBN : 978-602-8739-38-2 xxii + 248 hlm; 15 x 21 cm. Cetakan ke-1 Oktober 2015
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengancara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin sah dari penerbit Tim Penulis:
Abdul Jamil, Agus Mulyono, Selamet, Muhammad Ishom, Fakhruddin, Sri Hidayati, Kustini, Wahidah R. Bulan, Muchtar, Husnan Nurjuman
Editor: Drs. H. Zaenal Abidin, M.Si.
Desain cover dan Layout oleh : Suka, SE
Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. M. H. Thamrin No.6 Jakarta 10340 Telp./Fax. (021) 3920425 - 3920421 http://puslitbang1.kemenag.go.id
ii
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya terwujudpenerbitan buku, Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia pada tahun 2014. Buku ini merupakan laporan hasil penelitian yang di laksanakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI pada tahun 2014 di 4 provinsi di Indonesia. Tiada gading yang tak retak, kami memohon kritik dan masukan sekiranya ada hal-hal dalam buku ini yang kurang tepat. Akhirnya, ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah memberi arahan demi tercapainya tujuan penerbitan ini. Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu terbitnya buku ini. Kepada segenap peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan kami ucapkan terima kasih. Semoga amal baik ini mendapat balasan dari Yang Maha Kuasa. Amin. Demikian, semoga bermanfaat. Jakarta, Desember 2015 Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan H. Muharam Marzuki, Ph.D. NIP. 19630204 199403 1 002
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
iii
iv
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa, atas penerbitan buku ini. Hal penting yang harus dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi Puslitbang Kehidupan Keagamaan adalah mengsosialisasikan hasil-hasil penelitian yang sudah dilakukan. Penerbitan buku ini merupakan bentuk sosialisasi dimana hasil penelitian bisa dimanfaatkan untuk kepentingan instansi terkait dan masyarakat luas. Sehingga buku dengan judul, Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia, hasil penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2014 dapat sampai kepada pembaca sekalian. Permasalahan umum kawasan perbatasan dengan Negara tetangga salah satunya adalah persoalan yang terkait dengan pelayanan keagamaan oleh pemerintah Indonesia. Kehidupan keagamaan dan pelayanan keagamaan di daerah perbatasan memiliki beberapa persoalan penting, diantaranya adalah rentan terhadap masuknya ideologi-ideologi asing, pengembangan SDM pelayanan keagamaan di daerah perbatasan relatif lebih rendah dibanding dengan daerah lain, dan persoalan physical presence dimana bagian terbesar daerah perbatasan minim dengan kehadiran simbol-simbol fisik (bangunan yang menandakan kepemilikan Indonesia, kantorkantor pelayanan, atau aparatur) dari pemerintah Indonesia. Minimnya fasilitas-fasilitas fisik dan akses pelayanan keagamaan, serta kehadiran aparatur pelayanan keagamaan menjadi problem utama kinerja birokrasi kantor kementerian agama kabupaten di kawasan perbatasan. Oleh karena itu penelitian tentang pelayanan yang dilakukan Badan Litbang Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
v
dan Diklat, Kementerian Agama RI di daerah-daerah perbatasan tersebut menjadi suatu hal penting untuk dilakukan. Dimana hasil penelitiannya, selain dapat menjadi bahan evaluasi, diharapkan akan mampu mendorong masyarakat perbatasan memperoleh akses pelayanan keagamaan dengan lebih baik untuk kemajuan pembangunan daerah perbatasan. Berangkat dari pertimbangan tersebut, kami menyambut gembira diterbitkanya buku hasil penelitian pelayanan keagamaan masyarakat di daerah perbatasan ini. Kami berharap, buku ini bermanfaat bagi fihak-fihak yang memerlukan, dan dapat memperkaya literatur tentang pelayanan keagamaan di daerah perbatasan Indonesia. Akhir kata, kepada semua fihak yang terlibat dalam penyusunan dan penerbitan buku ini, kami ucapkan banyak terimakasih. Jakarta, September 2015 Kepala Badan,
Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D NIP. 19600416 198903 1 005
vi
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
PROLOG Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang bercirikan Nusantara (nusa dan antara), yaitu menggambarkan wilayah kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote, terdiri dari 17.667 pulau dengan penduduk 257 juta jiwa yang tersebar di 34 provinsi, 512 kabupaten/kota, 7.000 kecamatan dan 77.000 kelurahan dan desa yang menganut 6 (enam) agama, berbagai jenis kepercayaan dan budaya serta adat istiadat. Sebagaian dari penduduk Indonesia tersebar di 41 kabupaten/kota, 13 provinsi perbatasan negara yang berdomisili di 187 kecamatan kawasan perbatasan langsung dengan negara tetangga dan di sebagian 92 pulau-pulau kecil terluar. Indonesia memiliki wilayah perbatasan darat dan laut yang berhadapan langsung dengan negara tetangga dan sebagai
beranda depan
nusantara, wilayah
perbatasan
diharapkan dapat membawa nama baik bangsa melalui kemampuan masyarakat dan beragam Adat, Budaya, dan Agama. Eksistensi
masyarakat
perbatasan
dengan
adat-
istiadatnya memainkan peranan penting dalam menjaga ideologi dan wawasan kebangsaan, sebab mereka berdomisili hidup dan berkembang di kawasan perbatasan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang berada face to face dengan negara tetangga, dan berinteraksi secara sosial dan politik dengan masyarakat perbatasan negara tetangga. Dari Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
vii
sudut pandang ini, eksitensi masyarakat perbatasan dengan budaya dan adat-isitiadatnya sangat vital dan merupakan “pagar hidup” bangsa Indonesia yang berfungsi sebagai saringan dan sekaligus penyangga terhadap infiltrasi budaya dan idiologi asing yang dapat menjadi ancaman bagi idiologi bangsa (Pancasila). Dari perspektif sosial-kultural perbatasan negara, harus dilihat sebagai sebuah ruang yang dinamis dimana masyarakat perbatasan Indonesia yang
menyatu
dengan
memiliki interaksi sosial
masyarakat
perbatasan
negara
tetangga. Dari realita ini, perbatasan negara perlu dipahami sebagai sebuah “ruang pertemuan”. Tugas Pemerintah bagaimana memfasilitasi agar masyarakat perbatasan yang berdomisili berhadap-hadapan dengan masyarakat perbatasan negara tetangga dapat hidup rukun dan damai melalui interaksi
sosial-ekonomi
yang
lebih
produktif,
tanpa
kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini terutama sebagai upaya untuk menghadapi diberlakukan perjanjian Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dimana karakteristik yang akan dicapai adalah terwujudnya integrasi ekonomi regional. Membangun terwujudnya integrasi harus dengan kondisi keamanan menyeluruh mencakup semua wilayah tanpa terkecuali di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Merealisasikan bentuk layanannya bisa dihubungkan dengan kondisi stabilitasnya yang perlu dipertahankan. Bukan hanya ditangani aparat berwajib, namun semua pihak memliki andil yang sama untuk melakukannya. Termasuk viii
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
kehadiran tokoh agama agar tercipta kehidupan beragama dengan toleransi tinggi sangat dibutuhkan, sehingga tercipta kondisi yang kondusif di tengah masyarakat, perbatasan. Kehadiran tokoh agama membawa suasana positif bagi pemeluknya, baik agama Islam, Katolik, Protestan dan agamaagama lainnya. Peran tokoh agama tidak hanya bertugas di dalam rumah ibadah, berdakwah atau berkhotbah. Tugas yang jauh lebih penting dari seorang tokoh agama ialah mengaplikasikan setiap pemberitaan Firman Allah di dalam hidup sehari-hari di tengah-tengah masyarakat, sehingga dapat menjadi bentuk pertahanan berkeyakinan yang saling toleransi dalam kerukunan umat beragama. Aspek Sosial Budaya termasuk kerukunan umat beragama,
Akibat
globalisasi
dan
pekembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, informasi, dan komunikasi, dapat mempercepat masuk dan berkembangnya budaya asing kedalam kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat
daerah
perbatasan
cenderung
lebih
cepat
terpengaruh oleh budaya asing, dikarenakan intensitas hubungan lebih besar dan kehidupan ekonominya sangat tergantung dengan Negara tetangga, hal ini dapat merusak ketahanan
nasional
mempercepat
dekulturasi
yang
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Aspek
Pertahanan
dan
Keamanan,
daerah
perbatasan merupakan wilayah pembinaan yang luas dengan pola penyebaran penduduk yang tidak merata, sehingga menyebabkan rentang kendali pemerintah, pengawasan dan pembinaan territorial sulit dilaksanakan dengan mantap dan Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
ix
efisien. Seluruh bentuk kegiatan atau aktifitas yang ada di daerah perbatasan apabila tidak dikelola dengan baik tidak mempunyai
kelembagaan
dan
SDM
akan
mempunyai
dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, di tingkat regional maupun internasional baik secara langsung dan tidak langsung. Daerah perbatasan memiliki nilai strategis yang cukup potensial untuk dikelola dan seluruh pilar komponen bangsa hendaknya bersatu padu dengan visi dan misi untuk membangun daerah perbatasan, seluruh petinggi negeri memahami dan mengerti serta tahu akan pentingnya daerah perbatasan sebagai pondasi untuk menopang wilayah yang bersebelahan dengan Negara tetangga, belum kelihatan greget realisasinya. Sebagai contoh daerah perbatasan Kalimantan dan Malaysia dimana masalah frontier ekonomi yang menjadi kendala berporos pada dibutuhkannya anggaran yang besar untuk
membangun
perekonomian
penduduk
daerah
perbatasan, sementara kehidupan penduduk Negara tetangga perekonomiannya jauh lebih baik. Dari berbagai persoalan yang muncul seperti illegal logging, human trafficking, maupun penyerobotan wilayah ini, maka melahirkan persepsi bahwa wilayah perbatasan adalah rawan dan rentan terhadap konflik dan pelanggaran hukum tanpa memperhatikan persoalanpersoalan lain. Sebagai akibatnya wilayah perbatasan selalu didefinisikan dan dipahami secara hitam putih dengan cap negatif. Hal ini merupakan satu sisi dari realita perbatasan yang jauh lebih kompleks dan membutuhkan perhatian khusus dari setiap pemangku kepentingan. x
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Terutama kehadiran fisik dari pemerintah Indonesia. Kehadiran ini terutama dalam bentuk symbol-simbolfisik, seperti bangunan yang menandakan kepemilikan Indonesia, kantor-kantor pelayanan, infrastruktur jalan, listrik, dan SDM aparatur, masalah sosial, ekonomi, dan kebudayaan, dimana letak wilayah yang jauh dari pusat Pemerintahan akan menyebabkan keadaan sosial, ekonomi, dan kebudayaan tidak terurus. Kondisi diatas juga terlihat dari kurang optimalnya pelayanan keamanan yang merupakan persyaratan dalam menciptakan keyakinan umat terhadap agama yang mereka anut. Belum hadirnya Pemerintah dapat terlihat dari kondisi kantor urusan agama di beberapa kecamatan dan belum di dukung oleh fasilitas pendukung dan SDM yang bertugas di KUA yang sangat minim dari jumlah mayoritas kualitas SDM. Untuk
mengatasi
permasalahan
diatas,
dengan
penelitian berikut ini akan dikupas lebih dalam agar dapat menjadi rekomendasi percepatan pelayanan keagamaan di wilayah perbatasan dengan sarana teknologi informasi dan penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kompetensi yang berbasis kepada ilmu keagamaan yang dianut masyarakat perbatasan.
Dr. Ir. Suhatmansyah, M.Si Dosen IPDN Kementerian Dalam Negeri RI
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
xi
xii
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
PRAKATA EDITOR
Hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur Negara sebagai abdi masyarakat. Bahwa pelayanan kepada masyarakat oleh aparatur pemerintah perlu terus ditingkatkan, sehingga dapat memuaskan harapan masyarakat. Prinsip-prinsip pelayanan sebagai unsur minimal yang harus ada sebagaimana yang ditetapkan dalam Keputusan Men.PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, meliputi 14 hal yaitu: prosedur pelayanan, persyaratan pelayanan, kejelasan petugas pelayanan, kedisiplinan petugas pelayanan, tanggung jawab petugas pelayanan, kemampuan petugas pelayanan, kecepatan pelayanan, keadilan mendapatkan pelayanan, kesopanan, keramahan petugas, kewajaran biaya pelayanan, kepastian biaya pelayanan, kepastian jadwal pelayanan, kenyamanan lingkungan dan keamanan pelayanan. Permasalahan menyangkut daerah perbatasan antara lain adalah perlunya kehadiran fisik dari pemerintah Indonesia di perbatasan, terutama simbol-simbol fisik berupa bangunan kantor-kantor pelayanan atau aparatur pemerintahan. Juga permasalahan sosial, ekonomi dan kebudayaan dimana letak wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan akan menyebabkan keadaannya tidak terurus. Persoalan perbatas tidak hanya menyangkut batas-batas fisik Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
xiii
dan pembangunan manusia, tetapi juga interaksi antara manusia yang berbeda kebudayaan saling bersinggungan, berkomunikasi dan berinteraksi, disisi lain hal itu seringkali menimbulkan kontestasi dengan negara tetangga. Persoalan keterbelakangan daerah perbatasan juga dihadapkan secara langsung dengan Negara tetangga. Penelitian ini dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan dengan tujuan untuk: pertama, menemukan problem-problem faktual tentang pelayanan keagamaan yang diberikan oleh kantor kementerian agama (kankemenag) di daerah perbatasan. Kedua, untuk mengetahui kebijakan, program, dan pembangunan fisik apa saja yang dilakukan secara spesifik oleh Kementerian Agama RI bagi pengembangan daerah perbatasan. Ketiga, untuk melakukan identifikasi pelayanan keagamaan yang dilakukan serta pelayanan yang mungkin bisa dikembangkan oleh Kementerian Agama RI dalam rangka pembangunan daerah perbatasan. Sebagai penelitian kebijakan (policy research) studi ini tentu saja diharapkan dapat berkontribusi bagi pengambilan kebijakan oleh Kementerian Agama baik di pusat maupun di daerah. Juga bermanfaat sebagai bahan kebijakan bagi instansi terkait seperti pemerintah daerah, dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Secara substasial buku Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia ini merupakan kumpulan dari hasil penelitian tentang pelayanan keagamaan bagi masyarakat perbatasan. Penelitian dilakukan pada tahun 2014 di 4 lokasi, yaitu: Kab. Karimun, Prov. Kepulauan Riau xiv
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
(Kepri); Kab. Sanggau, Prov. Kalimantan Barat (Kalbar); Kab. Nunukan, Prov. Kalimantan Utara (Kaltara); dan Kab. Belu, Prov. Nusa Tenggara Timur (NTT). Hasil penelitian ini secara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama, pelayanan keagamaan di daerah perbatasan masih jauh dari harapan dan belum memuaskan masyarakat. Hal ini disebabkan diantaranya adalah SDM yang bertugas kankemenag terutama di KUA dan penyuluh agama masih sangat kurang baik kompentensi maupun jumlahnya, sehingga Keputusan Men.PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik belum memuaskan masyarakat. Kedua, Kementerian Agama baik pusat, provinsi dan kabupaten belum membuat program khusus terkait pelayanan keagamaan didaerah perbatasan baik dalam hal sarana prasarana kelengkapan KUA, tunjangan pegawai di perbatasan, sarana peribadatan dan pendidikan. Program khusus Kementerian Agama di daerah perbatasan baru di Kab. Karimun dengan didirikan Pondok Pesantren Perbatasan Mutiara Bangsa yang akan menerapkan pendidikan formal dan pesantren dengan berbasiskan pertanian. Juga adanya inovasi di Kab. Nunukan terkait pelayanan nikah dan haji tidak dilayani dengan prosedur yang formal, tetapi dilayani dengang inovasi lokal. Ketiga, posisi wilayah daerah perbatasan yang mobilitas sosialnya sangat tinggi antara Negara yang berbatasan, sehingga rentan dengan ‘asimilasi’ sosial budaya antar Negara. Keempat, perlu penguatan program pada setiap daerah perbatasan baik infrastruktur (prasarana perkantoran KUA, rumah ibadat, Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
xv
sekolah/madrasah, kitab-kitab keagamaan, transportasi, teknologi informasi) maupun suprastruktur (kecukupan jumlah SDM yang berkualitas di KUA dan penyuluh agama, kepala seksi masing-masing agama, dan pemberdayaan pemuka agama). Kementerian Agama perlu pengalokasian anggaran khusus untuk pelayanan keagamaan di daerah perbatasan karena kondisi geografis dan ketertinggalan pembangunan selama ini, dengan berkoordinasi dengan seluruh instansi terkait. Dengan diterbitkannya buku ini diharapkan dapat menambah khazanah literatur khususnya tentang pelayanan keagamaan dan umumnya tentang pelayanan publik didaerah perbatasan di Indonesia. Jakarta, September 2015 Editor Zaenal Abidin
xvi
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN .......................................
iii
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI ........................
v
PROLOG ............................................................................
vii
PRAKATA EDITOR .........................................................
xiii
DAFTAR ISI ......................................................................
xvii
DAFTAR TABEL ..............................................................
xix
DAFTAR GAMBAR ........................................................
xxi
DAFTAR BAGAN DAN GRAFIK...................................
xxii
PENDAHULUAN ............................................................
1
PELAYANAN KEAGAMAAN MASYARAKAT PERBATASAN KABUPATEN KARIMUN PROVINSI KEPULAUAN RIAU Abdul Jamil, Agus Mulyono, & Selamet ..................
21
PELAYANAN KEAGAMAAN MASYARAKAT PERBATASAN KABUPATEN SANGGAU PROVINSI KALIMANTAN BARAT Muhammad Ishom & Fakhruddin .............................
67
PELAYANAN KEAGAMAAN MASYARAKAT PERBATASAN KABUPATEN NUNUKAN PROVINSI KALIMANATAN UTARA Sri Hidayati, Kustini, & Wahidah R. Bulan ...........
109
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
xvii
PELAYANAN KEAGAMAAN MASYARAKAT PERBATASAN KABUPATEN BELU PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Muchtar & Husnan Nurjuman ................................
167
EPILOG .............................................................................
241
INDEKS ..............................................................................
243
BIODATA EDITOR ..........................................................
245
xviii
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
DAFTAR TABEL Tabel 1.1 : Jumlah Penduduk Kab. Karimun Berdasarkan Agama .....................................
26
Tabel 1.2 : Jumlah Rumah Ibadat di Kab. Karimun Tahun 2013 ....................................................
30
Tabel 1.3 : Daftar Status Tanah KUA di Kab. Karimun .........................................................
32
Tabel 1.4 : Data Peristiwa Nikah Tahun 2013 .............
36
Tabel 1.5 : Jumlah ZIS di Kab. Karimun Tahun 2013 .
38
Tabel 1.6 : Jumlah Tanah Wakaf di Kab. Karimun .....
39
Tabel 1.7 : Data Jamaah Haji Kab. Karimun Tahun 2013 .................................................................
42
Tabel 3.1 : Luas Wilayah Kecamatan Kab. Nunukan . 111 Tabel 3.2 : Kepadatan Penduduk, Sex Ratio, dan Distribusi Penduduk Kecamatan Kab. Nunukan Tahun 2012 .................................. 113 Tabel 3.3 : Penduduk Kab. Nunukan Usia 10 Tahun ke Atas Menurut Pendidikan Terakhir yang Ditamatkan Tahun 2012 .................... 114 Tabel 3.4 : Penduduk Kab. Nunukan Berdasarkan Agama Tahun 2012 ...................................... 117 Tabel 3.5 : Daftar KUA di Kab. Nunukan dan Wilayah Kerjanya ......................................... 124 Tabel 3.6 : Jumlah Pernikahan di Kab. Nunukan Tahun 2013 .................................................... 125 Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
xix
Tabel 3.7 : Susunan Pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kab. Nunukan Tahun 2013-2016 ........................................... 133 Tabel 4.1 : Jumlah Kecamatan, Desa, Dusun, RW, RT di Kab. Belu Tahun 2013 ............................. 170 Tabel 4.2 : Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Per Kecamatan Kab. Belu Tahun 2013 ................................................................. 171 Tabel 4.3 : Jumlah Penduduk Menurut Penganut Agama di Kab. Belu ..................................... 173 Tabel 4.4 : Daftar Jumlah Penyuluh Agama Katolik dan Rumah Ibadat ........................................ 187
xx
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 : Peta Provinsi Kalimantan Utara ........... 110 Gambar 3.2 : Gedung Kankemenag Kab. Nunukan .. 120 Gambar 3.3 : Bangunan Kantor KUA Kec. Sebatik Timur ........................................................ 131 Gambar 3.4 : Papan Informasi Haji .............................. 148 Gambar 3.5 : Salah Satu Gereja di Pusat Kota ............ 155 Gambar 3.6 : Klenteng Tri Dharma San Sen Kong .... 159 Gambar 4.1 : Quis Kitab Suci Keluarga Agama Katolik ...................................................... 189 Gambar 4.2 : Pembinaan Keluarga Sejahtera Kristen
193
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
xxi
DAFTAR BAGAN DAN GRAFIK
Bagan 3.1 :
Struktur Organisasi Kankemenag Kab. Nunukan ................................................... 122
Bagan 3.2 :
Alur Proses Pendaftaran Pernikahan ... 139
Grafik 3.1 :
Piramida Penduduk Kab. Nunukan Tahun 2013 ................................................ 147
xxii
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Kondisi wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau (besar dan kecil), menghadapkan pemerintah pada persoalan kompleks dalam pemberian pelayanan maksimal kepada warga, terutama pada pulau-pulau terluar. Di wilayah darat, Indonesia berbatasan dengan 3 (tiga) negara, yaitu Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste; sedangkan di wilayah laut berbatasan dengan 10 negara yaitu Malaysia, Papua Nugini, Singapura, Republik Demokratik Timor Leste, India, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau dan Australia (Gran Desain Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan di Indonesia Tahun 2011–2025). Bukan saja berhadapan dengan problem ketersediaan infrastruktur untuk menjangkau daerah tersebut (terutama daerah-daerah terpencil), mengingat letaknya yang berbatasan dengan teritorial Negara lain, pemerintah juga dihadapkan pada hadirnya sejumlah persoalan keamanan dan politik yang tidak dapat diabaikan. Permasalahan umum kawasan perbatasan dapat didentifikasi dengan beberapa isu permasalahan. Pertama, pulau-pulau kecil atau pulau terluar antara lain berhadapan dengan masalah kepemilikan. Pulau yang terluar yang cenderung terpencil akan menimbulkan suatu klaim terhadap kepemilikan pulau tersebut. Kedua, berkaitan dengan physical presence, yaitu kehadiran fisik dari pemerintah Indonesia. Kehadiran ini terutama dalam bentuk simbol-simbol fisik, Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
1
seperti bangunan yang menandakan kepemilikan Indonesia, kantor-kantor pelayanan, atau aparatur. Ketiga, yaitu masalah sosial, ekonomi, dan kebudayaan, di mana letak wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan akan menyebabkan keadaan sosial, ekonomi, dan kebudayaan tidak terurus. Keempat, yaitu letak pulau yang jauh sehingga pemeliharaan terhadap pulaupulau tersebut sangat kurang. Pemeliharaan tidak hanya menyangkut persoalan wilayah, tetapi juga para penduduk yang tinggal di wilayah itu beserta pelayanan birokrasinya. Selain persoalan keterbelakangan, daerah perbatasan juga dihadapkan pada arus kebudayaan yang secara langsung berhadapan dengan negara tetangga. Dengan asumsi ini, masalah pelayanan birokrasi di perbatasan dengan sendirinya berkisar pada tiga persoalan penting. Pertama, persoalan yang menyangkut kontestasi dengan negara lain. Konstestasi tersebut menyangkut pelayanan pemerintah kepada masyarakat di perbatasan, misalnya beberapa fasilitas umum, akses publik, dan kemudahan pekerjaan. Kedua, hal-hal yang menyangkut bounded system, yakni pertemuan antarbudaya. Bounded system ini juga mempengaruhi kinerja birokrasi yang juga sering diperbandingkan. Misalnya saja soal pernikahan, adakah terjadi pernikahan antar negara, tingkat kemudahan memperoleh akta nikah, hingga biaya nikah yang mungkin lebih mudah dan murah di negara tetangga, atau justru sebaliknya. Ketiga, menyangkut pelayanan dan sumber daya birokrasi. Sudah tidak menjadi gejala yang lumrah, bahwa pelayanan birokrasi di daerah perbatasan relatif lebih tertinggal dibanding daerah lain, terutama yang letaknya lebih dekat dengan ibukota Prov.. Keempat, persoalan physical presence. Yaitu tentang hadirnya simbol-simbol negara di 2
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
daerah perbatasan, karena bukan tidak mungkin, pada kasus tertentu justru simbol negara tetanggalah yang lebih dominan hadir di daerah ini. Meski pembangunan di daerah-daerah tersebut terus ditingkatkan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, kawasan perbatasan masih berhadapan dengan persoalan kemiskinan yang cukup akut, yang memposisikannya sebagai daerah tertinggal dan terpinggirkan. Hal ini belakangan menstimuli peningkatan tuntutan warga atas penyelesaian permasalahan yang ada, yang mengindikasikan adanya peningkatan ketidak-puasan warga atas layanan yang diberikan. Selain itu persoalan keamanan tetap mendominasi, baik berupa penyelundupan orang dan barang maupun penyebaran kejahatan lintas Negara dalam bentuk terorisme (Moeldoko, 2014). Dari hasil beberapa penelitian tentang kawasan perbatasan diketahui adanya beberapa persoalan, yaitu: pertama, sumber-sumber pelayanan masyarakat yang bisa diakses penduduk umumnya masih sangat terbatas; kedua, kemampuan penduduk untuk mengelola sumber daya alam (pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan) belum cukup memadai; ketiga, sumber daya sosial khususnya yang didasarkan pada keagamaan belum mampu didayagunakan untuk penanggulangan masalah kesejahteraan sosial; dan keempat, masih minimnya infrastruktur desa.1
1 Hasil Kajian Puslitbang Kesos, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial tentang Pemberdayaan Masyarakat Kawasan Perbatasan di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
3
Salah satu persoalan yang terkait dengan kehadiran dan pelayanan pemerintah di kawasan perbatasan adalah tentang pelayanan keagamaan. Persoalan keagamaan dan pelayanan agama di daerah perbatasan juga memiliki beberapa persoalan penting. Pertama, sebagai wilayah yang berbatasan dengan negara tetangga, daerah perbatasan menjadi rentan terhadap masuknya ideologi-ideologi asing yang tidak selalu paralel dengan ideologi bangsa dan negara Indonesia. Bahkan daerah perbatasan disinyalir menjadi lalulintas persenjataan oleh teroris lintas negara. Kedua, pengembangan SDM pelayanan keagamaan di daerah perbatasan relatif lebih rendah jika dibanding dengan daerahdaerah lain terutama yang dekat dengan ibu kota provinsi.2 Karena relatif lebih rendah, maka pemerintah melalui Kankemenag mencoba membangun dan mengembangkan pendidikan agama untuk mengejar ketertinggalan dengan daerah lain.3 Ketiga, persoalan physical presence dimana bagian terbesar daerah perbatasan minim dengan simbol-simbol ini.4 Tidak hanya minimalnya fasilitas-fasilitas fisik pelayanan keagamaan, tetapi kehadiran aparatur pelayanan keagamaan dan minimnya akses pelayanan keagamaan menjadi problem utama kinerja birokrasi kantor Kankemenag yang bertugas melayani kawasan perbatasan. Itu sebabnya, penelitian tentang pelayanan yang dilakukan Kankemenag RI untuk daerah-daerah perbatasan 2 “Kemenag Nunukan Minta Madrasah Negeri di Daerah Perbatasan”, Tribunewws.com, diunduh, Minggu, 5 Januari 2014, 15.45WIB 3 “Pemerintah Kembangkan Pesantren Perbatasan”, Republikaonline, http://www.republika.co.id diunduh, 24 Desember 2013, 15:02WIB 4 “Menteri Agama Bakal Hadiri Peletakan Batu Pertama”, Haluankepri.com, http:/www.haluankepri.com, Sabtu, 14 Desember 2013, 00:00
4
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
tersebut menjadi suatu hal penting dilakukan. Selain dapat menjadi bahan evaluasi, diharapkan akan mampu mendorong masyarakat perbatasan memperoleh akses pelayanan keagamaan dengan baik untuk kemajuan pembangunan daerah perbatasan. Penelitian ini dilakukan di 4 lokasi, yaitu: Kab. Karimun, Prov. Kepulauan Riau (Kepri); Kab. Sanggau, Prov. Kalimantan Barat (Kalbar); Kab. Nunukan, Prov. Kalimantan Utara (Kaltara); dan Kab. Belu, Prov. Nusa Tenggara Timur (NTT). Waktu pelaksanaan pengumpulan data penelitian dilakukan selama 15 hari, yaitu pada bulan Maret s.d. April 2014. Kab. Karimun merupakan salah satu kabupaten terluar dari wilayah Indonesia karena wilayah lautnya berbatasan dengan jalur pelayaran internasional, yaitu Selat Malaka. Di sebelah utara perairan laut Karimun berbatasan langsung dengan Selat Singapura dan Semenanjung Malaysia. Di bidang pelayanan keagamaan, Kab. Karimun memiliki sejumlah permasalahan, antara lain: pertama, selama ini banyak tenaga kerja berasal dari Karimun yang menjadi karyawan atau buruh di Malaysia, sementara banyak warga Malaysia dan Singapura yang datang untuk berlibur ke Karimun. Hal ini mengakibatkan rentan akan transnasionalisme, yaitu sebuah ancaman nirmiliter yang bisa dalam bentuk sosial budaya, ideologi, maupun paham-paham keagamaan dari luar yang mungkin tidak sesuai dengan jatidiri bangsa. Kedua, Kab. Karimun merupakan daerah kepulauan, saat ini Karimun terdiri dari 249 buah pulau, namun hanya 54 pulau saja yang sudah berpenghuni. Ketiga, kebijakan Kankemenag yang “sentralistik”, sebagaimana tertuang dalam PMA Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
5
Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kankemenag, bisa menjadi persoalan tersendiri. Implementasi yang berupa program-program pembangunan di bidang keagamaan, seyogyanya harus mengacu kepada akar masalah yang dirasakan masyarakat. Gambaran wilayah Kab. Sanggau total luas wilayahnya adalah 12.858 km2 (12,47%) dari total luas Prov. Kalimantan Barat. Wilayah Kab. Sanggau di sebelah Utara berbatasan dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia dan Kab. Bengkayang. Wilayah yang merupakan perbatasan sepanjang +/- 129,5 km (15%) dari total panjang 877 km perbatasan di Prov. Kalimantan Barat. Entikong dan Sekayam merupakan dua kecamatan di Kab. Sanggau yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia. Kedua kecamatan itu telah ditetapkan sebagai lokasi prioritas pembangunan perbatasan oleh pemerintah untuk wilayah Prov. Kalimantan Barat berdasarkan PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Penetapan Entikong dan Sekayam sebagai lokasi prioritas pembangunan perbatasan karena beberapa pertimbangan, yaitu: Pertama, keduanya memiliki wilayah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga dan/atau terdapat exit/entry point (di darat); yakni Entikong yang berlokasi di Kec. Entikong dan Bale Karangan yang berlokasi di Kec. Sekayam. Dua lokasi ini terletak di ujung paling Utara Kab. Sanggau yang berbatasan langsung dengan Negara tetangga Malaysia, tepatnya daerah Serian, Negara Bagian Sarawak.
6
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Gambaran realitas mengenai pelayanan keagamaan di Kab. Nunukan sebagai salah satu kabupaten yang secara geografis daratannya langsung berbatasan dengan Negara Malaysia, penting diketahui sebagai bahan evaluasi atas layanan yang diberikan. Dengan menghimpun sejumlah input kondisi teraktual atas kegiatan pelayanan keagamaan yang berlangsung, upaya perbaikan dan peningkatan kinerja layanan menjadi mungkin dilakukan. Di Prov. Nusa Tenggara Timur terdapat empat kabupaten yang berbatasan dengan Negara Timor Leste, antara lain Kab. Kupang, Kab. Timor Tengah Utara (TTU), Kab. Belu, dan Kab. Malaka. Perbatasan antarnegara di Kab. Belu terletak memanjang dari utara ke selatan bagian pulau Timor, terdapat 4 (empat) kecamatan. Pintu perbatasan di NTT terdapat di beberapa kecamatan, namun pintu perbatasan yang relatif lengkap dan sering digunakan sebagai akses lintas batas adalah di Kec. Tasifeto Timur, Kab. Belu. Pintu perbasatan tersebut bernama Mota’ain yang menghubungkan antara Belu dan Batu Gede, Timor Leste. Mota’ain menjadi pintu utama perlintasan para pengungsi paska kerusuhan tahun 1999 yang terjadi karena konflik antara pihak pro integrasi dan pro kemerdekaan di Timor Timur pada saat itu. Banyaknya masyarakan asal Timor Timur yang tinggal pada kawasan perbatasan di wilayah Kab. Belu, menjadikan daerah ini sebagai tempat interaksi dan pertemuan antara warga asal Belu dan warga pendatang dari Timor Timur. Tugas pelayanan keagamaan di kawasan perbatasan Kab. Belu juga dihadapkan pada berbagai isu dan persoalan.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
7
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian antara lain: 1. Bagaimana gambaran teraktual tentang pelayanan keagamaan di daerah perbatasan, problem apa saja yang dialami dan bagaimana kebudayaan negara tetangga berpengaruh terhadap pelayanan yang ada di Indonesia? 2. Kebijakan, program, dan pembangunan fisik apa saja yang dilakukan secara spesifik oleh Kankemenag bagi pengembangan daerah perbatasan? 3. Bagaimana kebutuhan masyarakat kawasan perbatasan di wilayah layanan Kankemenag Kabupaten terhadap pelayanan keagamaan yang ideal di daerah perbatasan?
Tujuan Penelitian 1. Menemukan problem-problem faktual tentang pelayanan keagamaan, problem apa saja yang dialami terutama yang diberikan oleh Kankemenag di daerah perbatasan, dan bagaimana kebudayaan negara tetangga berpengaruh terhadap pelayanan yang ada di Indonesia. 2. Untuk mengetahui kebijakan, program, dan pembangunan fisik apa saja yang dilakukan secara spesifik oleh Kankemenag bagi pengembangan daerah perbatasan. 3. Untuk melakukan identifikasi pelayanan keagamaan apa saja yang dilakukan serta pelayanan yang mungkin bisa dikembangkan oleh Kankemenag dalam rangka pembangunan daerah perbatasan. 8
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Sebagai penelitian kebijakan (policy research) studi tentu saja diharapkan dapat berkontribusi bagi pengambilan kebijakan Kankemenag baik di pusat maupun di daerah terkait dengan peningkatan pelayanan keagamaan. Juga bermanfaat sebagai bahan kebijakan bagi instansi terkait seperti pemerintah daerah, Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), maupun organisasi non pemerintah yang memiliki kepedulian terhadap penyelesaian isu-isu daerah perbatasan.
Telaah Pustaka Terdapat sejumlah studi tentang wilayah perbatasan di Indonesia. Satu diantaranya studi antropologis yang dilakukan Michael Eilenberg dan Reed L. Wadley (2009) terhadap masyarakat Iban di Kalimantan Barat menyebutkan adanya kaitan erat antara migrasi lintas batas etnis, identitas, dan kewarganegaraan, dan bagaimana hal-hal tersebut menimbulkan isu-isu kontemporer yang berkaitan dengan politik dan ekonomi Indonesia. Perbatasan sebagai tempat ambigu dimana berbagai orang dan gagasan bertemu menurutnya kerap memunculkan timbulnya berbagai hal baru (tindakan tidak lazim bahkan ilegal) dan terjadinya pertukaran sosial budaya yang sangat kompleks meskipun masing-masing Negara telah berupaya melakukan kontrol dan menerapkan sejumlah peraturan yang ketat. Karena itu belajar dari kasus Iban ia menyarankan, studi-studi perbatasan perlu mendalami aspek historis dan kultural berbagai aspek pengalaman warga di perbatasan yang menyebabkan munculnya tindakan-tindakan tersebut. Temuan penting studi Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
9
Eilenberg dan Wadley menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal diperbatasan kerap terlibat secara terus-menerus dengan praktek (ilegal) yang melampaui batas teritorial Negara, sebagai upaya mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan ekonomi maupun sebagai konsekuensi logis interaksi sosial yang terjadi. Terkait dengan hal tersebut maka aspek historis dan kultural perlu dipahami secara benar dalam penelitian yang dilakukan agar informasi yang diperoleh dapat dilekatkan pada konteks situasional dan kesejarahan yang tepat. Studi Eilenberg dan Wadley dikonfirmasi oleh Endang Rudiatin (2012) yang melakukan studi tentang kegiatan ekonomi di Sebatik Tengah, tepatnya di Desa Aji Kuning. Praktek-praktek tindakah ilegal bahkan seolah menjadi legal karena banyaknya penyimpangan yang terjadi terutama terkait dengan pelanggaran kebijakan keluar masuk orang dan barang di daerah perbatasan. Di Desa Aji Kuning yang merupakan pintu gerbang bagi seluruh daerah di pulau Sebatik menuju Sebatik Malaysia dan Ke Tawau, warga dapat keluar masuk tanpa retribusi. Akibatnya pergerakan barang dan orang sangat intens terjadi diantaranya karena mudahnya pergerakan orang dan barang tersebut dilakukan. Berbagai penyelundupan barang terjadi disini mulai dari barangbarang kebutuhan pokok (beberapa diantaranya barang yang disubsidi oleh pemerintah Malaysia seperti gas, minyak goreng, dan gula sehingga pemerintah Malaysia sesungguhnya dirugikan karena subsidi Negara jatuh kepada warga Negara lain)5, hasil perkebunan dan hutan seperti kayu Pemenuhan kebutuhan pokok (sembako) warga di Sebatik hampir seluruhnya diperoleh dari Tawau karena kemudahan akses. Dengan Dompeng mesin 5
10
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
gelondongan, hingga barang terlarang seperti narkoba. Yang menarik, tindakan ilegal tersebut “didiamkan” baik oleh petugas di Malaysia (Tawau) maupun di Indonesia (Desa Aji Kuning), karena kondisi simbiosis mutualisme diantara warga di perbatasan tersebut. Pedagang Tawau membutuhkan konsumen dari Indonesia untuk membeli barang mereka (untuk sembako) dan sebaliknya penduduk Indonesia membutuhkan barang karena “ketidak-tersediaan” komoditi yang dibutuhkan di daerahnya. Begitu pula dengan hasil perkebunan. Penduduk Tawau membutuhkan komoditi dari Indonesia dan penduduk di Sebatik membutuhkan pasar untuk menjual hasil kebun dan pertanian mereka. Perlindungan petugas karena faktor etnis juga sangat jelas terlihat. Meski warga Negara Malaysia, penduduk Tawau umumnya berasal dari etnis Bugis sebagaimana etnis dominan berada di Sebatik. Hampir 90% lebih penduduk Sebatik berasal dari Bugis yang membentuk Kesatuan Kerukunan Sulawesi Selatan. Hal itu dapat terjadi karena etnis Bugislah yang dapat dikatakan membuka dan membangun Pulau Sebatik sejak tahun 1970, saat pulau itu masih merupakan pulau kosong yang tidak berpenghuni. Pemenuhan kebutuhan pokok (sembako) warga di Sebatik hampir seluruhnya diperoleh dari Tawau karena kemudahan akses. Dengan Dompeng mesin atau perahu kecil bermesin, hanya diperlukan waktu 15-20 menit menuju atau perahu kecil bermesin, hanya diperluakan waktu 15-20 menit menuju Tawau. Bandingkan dengan pergerakan barang dari Indonesia yang berasal dari Surabaya (dibawa dengan kapal yang datang 2 pekan sekali dari Surabaya ke Tarakan). Perjalanan barang tersebut masih harus dilanjutkan dengan menempuh perjalanan laut dengan kapal kecil sejauh 3 (tiga) jam perjalanan menuju Sebatik (Pelabuhan Sungai Nyamuk).
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
11
Tawau. Bandingkan dengan pergerakan barang dari Indonesia yang berasal dari Surabaya (dibawa dengan kapal yang datang 2 pekan sekali dari Surabaya ke Tarakan). Perjalanan barang tersebut masih harus dilanjutkan dengan menempuh perjalanan laut dengan kapal kecil sejauh 3 (tiga) jam perjalanan menuju Sebatik (Pelabuhan Sungai Nyamuk). Studi lain yang relevan adalah studi Pusat Penelitian Politik LIPI (P2LP) pada tahun 2013 di Kab. Malinau, Kab. Nunukan, dan Kota Tarakan. Berbagai persoalan di perbatasan (kemiskinan, ketidak-mampuan pemerintah pusat dan daerah memenuhi kebutuhan pokok warga, dan lainlain), tak dapat dihindarkan memunculkan makna baru atas kata nasionalisme. Seloroh warga bahwa Garuda di dadaku, ringgit di perutku; setidaknya menunjukkan hal tersebut. Makna Nasionalisme tidak dapat dilepaskan dari konteks berbagai latar-belakang persoalan tersebut. Nasiolisme dan makna keindonesiaan menurut studi ini sangat terkait dengan pemenuhan nilai-nilai persamaan, keadilan, dan demokrasi yang dirasakan warga. Studi Moeldoko (2014) tentang Kebijakan dan Scenario Planning Pengelolaan Kawasan Perbatasan di Indonesia (Studi Kasus Perbatasan Darat di Kalimantan), menemukan fakta bahwa pengelolaan kawasan perbatasan sangat problematik dan kerap tidak efektif sehingga kerap menimbulkan kesenjangan, disharmoni, kevakuman, ketidakkonsistenan, serta ketidaktepatan perumusan kebijakan. Ketidak-efektifan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh keragaman persepsi, koordinasi, lingkungan dan operasionalisasi yang kurang terkonsolidasi. Setidaknya terdapat empat driving force, yaitu pembangunan ekonomi, 12
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
politik, keamanan, dan kesejahteraan, dalam pengelolaan kawasan perbatasan guna mendorong terjadinya perubahan di wilayah perbatasan. Dari berbagai penelitian di atas, terlihat bahwa permasalahan di perbatasan merupakan salah satu topik yang menarik untuk diteliti dari berbagai aspek mulai dari studi antropologis, ekonomi, maupun studi kebijakan pertahanan dan keamanan. Beberapa studi yang ada juga menunjukkan bahwa belum dilakukan studi terkait dengan kebijakan pembangunan bidang agama yang menjadi tugas dan fungsi Kankemenag. Dalam posisi inilah penelitian dilakukan, yaitu untuk menghadirkan data atau informasi terkait dengan kebijakan maupun implementasi kebijakan pembangunan bidang agama di daerah perbatasan.
Pengembangan Konsep Pelayanan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaksudkan sebagai usaha melayani kebutuhan orang lain, sedangkan melayani adalah membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan seseorang. Dalam konteks pelayanan birokrasi, Kep. MenPAN Nomor 81 Tahun 1993 menyatakan bahwa pelayanan umum adalah segala bentuk pelayanan yang diberikan oleh pemerintah pusat/daerah/BUMN/BUMD, dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat dan atau peraturan undang-undang yang berlaku. Pelayanan keagamaan yang merupakan konsep utama dalam studi ini merupakan pelayanan yang diberikan oleh kankemenag kepada masyarakat, termasuk kepada masyarakat Indonesia yang berada di wilayah perbatasan. Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
13
Pelayanan Keagamaan Dalam penelitian ini, yang disebut dengan pelayanan keagamaan adalah pelayanan-pelayanan yang diberikan kankemenag dan dibutuhkan oleh masyarakat. Penelitian ini tidak membagi pelayanan yang menjadi domain Kankemenag pusat atau daerah, karena hal terpenting yang akan disasar dalam riset adalah bentuk-bentuk pelayanan apa saja yang diberikan dan kemudian masyarakat merasa membutuhkan. Berdasarkan Rencana Strategis (Renstra) Kankemenag tahun 2010-2014 yang dimaksud dengan pelayanan keagamaan dalam kajian ini adalah pelayanan keagamaan yang dilakukan oleh Kantor Kankemenag yang antara lain meliputi yaitu, pertama, pembangunan sarana dan prasarana keagamaan berupa rumah ibadah terutama di daerah terkena bencana, dan terisolir, serta pembangunan kantor urusan agama (KUA) di daerah pemekaran. Kedua, Pelayanan keagamaan oleh KUA (yang berbasis di tingkat kecamatan) sebagai lini terdepan dalam pelayanan keagamaan bagi masyarakat, seperti bimbingan dan pelayanan masyarakat di bidang perkawinan dan rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah,6 serta bimbingan ibadah haji. Ketiga, pengelolaan dana sosial keagamaan mulai dari pengumpulan sampai dengan distribusinya, seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Dana sosial keagamaan menjadi sangat strategis, karena di satu sisi merupakan bentuk pengamalan ajaran agama tetapi dilain
Berdasarkan KMA Nomor 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan. 6
14
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
pihak dapat membantu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Keempat, pembinaan keagamaan di masyarakat, hal ini dilakukan melalui kegiatan bimbingan dan penyuluhan agama oleh para penyuluh agama. Kelima, perbaikan kualitas pelayanan ibadah haji. Kualitas pelayanan ibadah haji ini setiap tahunnya terus ditingkatkan mulai dari pendaftaran sampai pelaksanaan ibadah di Arab Saudi. Keenam, upaya menciptakan kerukunan umat beragama, hal ini dilakukan melalui berbagai forum musyawarah/dialog, kerjasama antarpemuka agama, pembentukan seketariat bersama baik dipusat maupun di beberapa daerah, pendidikan berwawasan multikultural. Namun demikian, sampai saat ini diakui masih sering muncul ketegangan sosial yang melahirkan konflik intern dan antarumat beragama. 7 Konsep kedua, terkait pelayanan keagamaan adalah indikator pelayanan keagamaan. Indikator ini dapat dipahami dengan melihat: prosedur pelayanan; persyaratan pelayanan; kejelasan petugas pelayanan; kedisiplinan petugas pelayanan; tanggungjawab petugas pelayanan; kemampuan petugas pelayanan; kecepatan pelayanan; keadilan mendapatkan pelayanan; kesopanan dan keramahan petugas; kewajaran biaya pelayanan; kepastian biaya pelayanan; kepastian jadwal pelayanan; kenyamanan lingkungan, dan keamanan lingkungan.
7 Dalam pengertian pelayanan keagamaan ini, pendidikan keagamaan tidak dimasukkan dalam permasalaah yang diteliti, karena secara tugas dan fungsi, pendidikan keagamaan masuk kajian Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan (bukan dalam Puslitbang Kehidupan Keagamaan).
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
15
Daerah Perbatasan Pengertian daerah perbatasan bisa berarti suatu wilayah yang berada di perbatasan antar daerah dalam satu negara, atau daerah yang berada di perbatasan antar negara. Pada wilayah seperti ini komunikasi atau interaksi antar penduduk di dua daerah atau dua negara yang berbatasan biasanya cukup intensif. Ada beberapa konsep tentang daerah perbatasan. Pada pasal 1 angka 6 UU Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara menjelaskan bahwa kawasan perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan. Termasuk istilah yang ada di Perpres 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar, 92 pulau terluar yang dimiliki Indonesia tersebut digunakan sebagai titik dasar dalam menetapkan garis batas wilayah NKRI. Ini artinya, titik persoalannya adalah batas-batas fisik antara negara Indonesia dengan Negara tetangga. Untuk pengelolaan kawasan perbatasan pemerintah pusat membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang memiliki visi terwujudnya Negara sebagai wilayah yang aman, tertib, dan maju. Visi ini diwujudkan dengan tiga capaian misi yaitu: pertama, terwujudnya perbatasan sebagai wilayah yang aman, melalui peningkatan keamanan yang kondusif. Kedua, terwujudnya perbatasan sebagai wilayah yang tertib, melalui peningkatan kerjasama internasional, penegakan hukum, kesadaran politik, dan penetapan batas Negara. Ketiga, terwujudnya perbatasan sebagai wilayah yang maju, melalui peningkatan kegiatan 16
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
ekonomi, pembangunan sarana dan prasarana, dan SDM (Meoldoko. 2014). Kebijakan pembangunan wilayah perbatasan di Indonesia saat ini berubah orientasinya, dari “inward looking“ menjadi “outward looking” sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Sedangkan pendekatannya selain keamanan, juga pendekatan kesejahteraan. Tetapi letak riset ini tidak sedang menganalisis batasbatas fisik antarnegara, tetapi bagaimana batas itu sendiri telah melampaui persoalan-persoalan fisik. Kehidupan masyarakat daerah perbatasan memiliki sistem dan pemaknaan yang silang kebudayaan, sehingga ruang-ruang sosial, budaya, ekonomi, dan agama menjadi bagian yang saling bersentuhan antarnegara. Kedua negara dalam batasbatas fisik tersebut, seolah-olah hadir secara bersamaan. Masyarakat menggunakan dua kebudayaan secara bersamasama.Tidak adanya kekuatan dominan yang berhak mengatur pergaulan antarbudaya dan antarnegara di daerah perbatasan, dalam hal ini kekuatan negara yang represif, merupakan peluang tersendiri jika disikapi secara tepat. Meminjam istilah François Lyotard (2004), masyarakat di daerah perbatasan relatif terbebas dari bercokolnya ”narasi besar” yang berwatak totaliter. Pada ranah praktis, tidak adanya kekuatan dominan juga memberi peluang bagi terjadinya persilangan kategorikategori identitas ketika setiap pihak ditemukan dalam kepentingan yang sama. Dalam kondisi seperti ini, in-group favoritism dan out-group derogation akan berkurang. Identitas sosial menjadi lebih mudah ditembus sehingga Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
17
memungkinkan terciptanya identitas hybrid. Identitas hybrid merupakan identitas baru yang terbentuk dari persilangan kategori-kategori sosial yang didasari atas kesadaran untuk mencari simpul kerja sama yang mutual dalam ruang publik. Ketika individu menyandang banyak identitas, berarti dia memiliki dimensi sosial-psikologis yang banyak. Dalam kacamata kebudayaan, identitas hybrid tidak menjadi persoalan, karena kehidupan global memang mengandung konsekuensi hilangnya batas-batas kebudayaan antarnegara. Namun, dalam konteks pelayanan publik dan birokrasi, persoalan ini menjadi sangat penting, terlebih jika dikaitkan dengan nasionalisme keindonesiaan yang sedang berubah. Oleh sebab itu, dalam riset ini daerah perbatasan secara fisik tidak hanya berbasis kecamatan, tetapi daerah perbatasan akan diperluas hingga kab./kota. Bahkan secara sosiologis dan antropologis, wilayah ini bisa lebih melebar, dengan melihat implikasi-implikasi social, budaya, dan agama lebih luas.
Physycal Presence Penelitian ini memandang bahwa physical presence tidak hanya kehadiran gedung-gedung dan simbol-simbol fisik, tetapi juga perangkat Negara, seperti pegawai negeri sipil atau militer, serta simbol-simbol kebudayaan lainnya. Kehadiran ini tidak hanya menjadi representasi Negara, tetapi juga menjadi bukti ada komitmen pemerintah untuk membangun dan mengembangkan daerah perbatasan.
18
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Metodologi Penelitian dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif, peneliti menetapkan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus, observasi lapangan, serta kajian dokumen. Secara rutin, masing-masing peneliti mencatat seluruh data yang diperoleh melalui empat metode tersebut dan dituangkan dalam bentuk log book atau field note, dengan maksud agar peneliti dapat sesegera mungkin mencatat berbagai hal yang dilihat dan didengar, meskipun hanya berupa catatan ringkas yang dilengkapi pada malam hari atau kesempatan lainnya (Bryman, 2004). Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara: pertama, adalah observasi, yaitu mengamati berbagai kehidupan masyarakat berikut pola interkasi dan aktivitas mereka, dari segi sosial, ekonomi, budaya, aktivitas keagamaan. Kedua, adalah wawancara mendalam. Proses ini dilakukan dengan mengali informasi dari para pelaku dan penerima manfaat pelayanan keagamaan di wilayah layanan kantor kankemenag. Wawancara dilakukan melalui obrolan yang mengalir dengan susunan pertanyaan yang mengikuti arus obrolan tersebut. Beberapa wawancara dilakukan secara khusus orang perorang. Ketiga, dengan menggunakan diskusi kelompok terarah atau focus group discussion (FGD), bentuk penggalian data yang dilakukan dalam suatu forum diskusi dengan pokok bahasan yang ditentukan dan diarahkan oleh peneliti. Pada penelitian ini, FGD dlakukan dua kali dengan kelompok peserta yang bereda. FGD pertama diikuti oleh para tokoh agama (perwakilan agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
19
Buddha). Sedangkan FGD kedua dihadiri oleh perwakilan unsur pemerintahan (kantor kankemenag, dinas kesbangpol dan dinas/instansi terkait). Sejumlah pihak telah dipilih sebagai informan kunci antara lain para pejabat kankemenag, kepala kantor urusan agama (KUA), kepala kantor Imigrasi, serta kepala dinas kependudukan dan catatan sipil. Di samping itu para tokoh agama, pengurus FKUB, pengurus yayasan pendidikan, dan lain-lain. Sementara observasi lapangan dilakukan secara langsung terhadap berbagai aktivitas masyarakat, khususnya aktifitas yang terkait dengan substansi penelitian. Setelah pengumpulan data melalui kajian di lapangan, selanjutnya dilakukan analisis data. Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia. Pendekatan yang digunakan dalam analisis data adalah bersifat induktif yaitu melalui reduksi data, pengelompokkan, dan ketegorisasi data, dengan jalan abstraksi yang merupakan upaya memuat rangkuman inti, proses dan pernyataan. Sebagai tahap akhir sebelum kesimpulan dilakukan interpretasi yaitu mencoba untuk memaknai, mendiskusikan, membandingkan, mencocokkan, dengan teori yang ada.
20
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
PELAYANAN KEAGAMAAN MASYARAKAT PERBATASAN KABUPATEN KARIMUN, PROVINSI KEPULAUAN RIAU
Oleh : Abdul Jamil, Agus Mulyono, dan Selamet
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
21
SEKILAS KABUPATEN KARIMUN
Kondisi Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Karimun adalah salah satu kabupaten dari Prov. Kepulauan Riau. Secara formal, Karimun berdiri sebagai pemerintah kabupaten sejak 1999. Secara geografis Kab. Karimun berbatasan langsung dengan sebelah utara: Selat Philip Singapura dan Semenanjung Malaysia; sebelah selatan: Kab. Indragiri Hilir; sebelah barat: Kab. Kepulauan Meranti dan Pelalawan, dan sebelah timur: Kota Batam. Untuk memahami lebih jauh tentang Kab. Karimun, berikut ini diuraikan beberapa hal terkait Karimun. Karimun sebenarnya terdiri dari 249 buah pulau, namun yang sudah berpenghuni hanya 54 pulau. Sejarah Karimun Karimun dulunya merupakan daerah kerajaan Sriwijaya (Buddha) hingga keruntuhannya pada abad ke-13, sejak saat itu Karimun mendapatkan pengaruh agama Buddha, hingga kini jejak-jejak agama Buddha masih terlihat. Karena letaknya yang strategis, yaitu di Selat Malaka, Karimun sering dilalui kapal-kapal dagang hingga masuk pengaruh Kerajaan Malaka (Islam) mulai tahun 1414, saat itu Karimun masuk wilayah Malaka. Pada tahun 1511 Malaka jatuh ke tangan Portugis, saat itu Sultan Mansyur Syah yang memerintah melarang pada keturunan raja-raja umtuk tinggal di Malaka dan kemudian mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, sehingga muncullah 22
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
kerajaan kecil seperti kerajaan Indrasakti, Indrapura, Indragiri, dan Indrapuri. Sementara itu rakyat Malaka banyak yang terpencar dan tinggal di pulau-pulau yang berada di Kepulauan Riau termasuk pulau Karimun. Sejak kejatuhan Malaka yang kemudian digantikan perannya oleh Kerajaan Johor, Karimun dijadikan basis kekuatan angkatan laut untuk menentang Portugis sejak masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah I (1518-1521), hingga Sultan Ala Jala Abdul Jalil Ri’ayat Syah (1559-1591). Selanjutnya pada kurun waktu 1722-1784, Karimun berada dalam kekuasaan Kerajaan Riau-Lingga, pada masa itu Karimun, terutama Pulau Kundur terkenal sebagai penghasil gambir dan penghasil tambang (seperti granit dan biji timah). Karimun terus berkembang dan mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Raja Ali Haji. Dalam Traktat London (Treaty of London), antara Inggris dan Belanda menyepakati untuk membagi wilayah kekuasaan Kerajaan Riau-Lingga menjadi dua bagian yaitu, Tanah Semenanjung (termasuk Malaka) dan Singapura menjadi daerah pengaruh Inggris, sedangkan Kepulauan Riau dan Lingga menjadi daerah pengaruh Belanda. Jauh sebelum Traktat London tersebut ditandatanganinya, Kerajaan RiauLingga dan kerajaan Melayu sebenarnya telah dilebur jadi satu dengan wilayahnya yang meliputi Kepulauan Riau, Johor, dan Malaka (Malaysia), Singapura dan sebagian kecil wilayah Indragiri Hilir. Karimun pernah mengalami perang saudara yaitu pada tahun 1827, antara pasukan yang di Pertuan Muda Raja Ja’far yang berpusat di Hulu Riau dengan Sultan Husein yang berpusat di Singapura. Konflik ini dipicu oleh ketidak setujuan Sultan Husin menyerahkan Karimun ke tangan Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
23
Belanda sementara yang di Pertuan Muda Riau VI Raja Ja’far (1808-1832) telah memberitahukan kepada Sultan Husein (berdasarkan traktat London), bahwa Pulau Karimun tersebut bukanlah daerah takluk Johor atau daerah takluk Sultan Husein, oleh karenanya mereka tidak berhak mendiami pulau tersebut. Dengan konflik yang berkepanjangan, menyebabkan Pulau Karimun tidak kondusif untuk aktifitas perdagangan dan mulai ditinggalkan. Keadaan Karimun yang demikian dilaporkan kepada yang di Pertuan Muda Riau, dan oleh beliau sepakat menyerahkan Pulau Karimun Kepada Raja Abdullah bin Raja Haji Ahcmad, serta diangkat menjadi Amir Karimun pertama. Semenjak saat itu stabilitas Karimun mulai pulih, kemudian datang seorang Resident Belanda bernama Fandenbosch yang meminta izin untuk membuka tambang timah, dan diizinkan dengan dibuatkan perjanjian dengan pihak kerajaan. Maka oleh Fandenbosch di Pulau Karimun di buka tambang timah yang diberi nama Monos. Sehingga tidak lama kemudian keadaan Pulau Karimun menjadi ramai. Meskipun pada dasarnya penambangan itu hanya menguntungkan pihak Belanda. Setelah Sultan Riau meninggal pada tahun 1911, Pemerintah Hindia Belanda menempatkan amir-amir sebagai District Thoarden untuk daerah yang besar dan Order District Thoarden untuk daerah yang agak kecil. Pemerintah Hindia Belanda akhirnya menyatukan wilayah Riau-Lingga dengan Indragiri untuk dijadikan sebuah karesidenan yang dibagi menjadi dua Afdelling yaitu: Afdelling Tanjung Pinang dan Afdelling Indragiri. Hingga meletuslah perang Asia Timur Raya pada akhir tahun 1941 yang dicetus oleh Jepang. Dan Jepang masuk 24
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
kewilayah Karimun setelah penaklukan Singapura tanggal 15 Februari 1942 oleh Jepang dari Inggris, selanjutnya penaklukan Tanjungpinang pada tanggal 21 Februari 1942, dan setelah itu Pulau Karimun. Sejak saat itu pemuda-pemuda Karimun yang tersebar di Pulau Moro, Kundur, Meral, Buru, dan Karimun sendiri terlibat dalam Pasukan Gyutai tentara Jepang, yaitu pasukan yang bertugas mengawal pulau-pulau. Sehingga bagi masyarakat Karimun dan Kepulauan Riau umumnya tidak ada pengerahan tenaga kerja paksa (Romusha). Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu, maka Indonesia dinyatakan merdeka dan memproklamirkan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945. Sejarah selanjutnya di era kemerdekaan, berdasarkan surat keputusan delegasi Republik Indonesia Prov. Sumatera Tengah, tanggal 18 Mei 1956 menggabungkan diri ke dalam wilayah RI dan Kepulauan Riau diberi status daerah otonomi tingkat II yang dikepalai seorang Bupati sebagai kepala daerah. Saat itu Karimun merupakan salah satu kawedanan dari 4 kawedanan yang ada di Kab. Kepulauan Riau. Selanjunya pada tahun 1999, Kab. Kepulauan Riau dimekarkan menjadi tiga Kab. yaitu: Kab. Kepulauan Riau, Kab. Karimun, dan Kab. Natuna. Maka sejak 1999 itulah secara resmi berdiri Kab. Karimun (Kab. Karimun. 2013) Penduduk Berdasarkan Agama Sebagai kabupaten wilayah kepulauan Kab. Karimun penduduknya mempunyai penganut keagamaan yang beragam. Secara lengkap gambaran demografi keagamaan Kab. Karimun tersaji dalam Tabel 1.1 sebagai berikut: Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
25
Tabel 1.1: Jumlah Penduduk Kab. Karimun Berdasarkan Agama No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kecamatan
Islam
Kristen
Karimun 47.025 3.485 Kundur 30.017 987 Moro 19.155 195 Meral 29.320 592 Tebing 23.069 1.511 Kundur Utara 12.320 326 Buru 9.759 119 Kundur Barat 17.219 297 Durai 7.359 41 Ungar 6.823 40 Meral Barat 11.209 323 Belat 6.898 345 Jumlah 220.173 8.261 Sumber: Kantor Kankemenag Kab. Karimun
26
Katolik
1.009 326 126 2.606 963 41 12 13 10 0 457 6 5.569
Buddha
8.491 3.746 1.140 8.317 1.550 1.626 1.419 1.770 101 196 579 441 29.394
Hindu
35 5 1 0 23 0 5 1 0 0 0 0 70
Khonghucu
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
0 292 2 549 95 33 6 4 1 0 13 0 995
HASIL TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHSANAN Pelayanan keagamaan di Kab. Karimun dilakukan secara struktural oleh Kantor Kementerian Agama (Kankemenag) Kab. Karimun dan Kantor Urusan Agama (KUA) yang jumlahnya sebanyak 9 KUA. Dalam hal ini, Kankemenag Kab. Karimun merupakan agent, atau pelaksana yang memiliki kewenangan delegatif dari Kementerian Agama RI dalam upaya memberikan pelayanan keagamaan sesuai tugas dan kewenangan yang melekat padanya. Kankemenag Kab. Karimun Dari luar, Gedung Kankemenag Kab. Karimun terlihat megah. Gedung dua lantai itu didominasi warna hijau, sehingga nampak terlihat cerah. Suasana nyaman terasa sejak memasuki halaman gedung, karena lapangan parkir cukup luas. Gedung ini berada di kompleks Kantor Pemerintahan Daerah Kab. Karimun. Tidak jauh dari gedung ini terlihat kantor Bupati Karimun sebagai pusat pemerintahan daerah. Ketika masuk ke dalam kantor, disambut ruangan penerima tamu (front desk). Di bagian dinding ruang tersebut terdapat struktur organisasi, sehingga siapapun yang baru masuk ke sana bisa dengan mudah memahami bagaimana struktur organisasi dan siapa saja para pejabat yang menduduki jabatan di lingkungan Kankemenag Kab. Karimun. Saat peneliti baru pertama kali tiba, petugas bagian resepsionis langsung menyalami dan menyatakan siap membantu dan melayani kami sebagai tamu yang datang, Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
27
sungguh suatu keramahan dan kesigapan yang pantas diapresiasi. Itulah sekilas kesan pertama dari pelayanan yang ditampilkan oleh Kankemenag Kab. Karimun. Persepsi tentang pelayanan di Kankemenag Kab. Karimun ini ternyata tidak sebatas pada proses awal penerimaan, pejabat dan staf memberikan kesan ramah dan siap melayani. Kami dua kali datang ke Kankemenag Kab. Karimun, kunjungan pertama kami diterima oleh Kepala Subbag Tata Usaha, sementara yang kedua kami diterima oleh Penyelenggara Agama Buddha dan beberapa staf di Kasi Bimas Islam. Kami bersyukur banyak data yang kami butuhkan dan kemudian dapat kami peroleh. Saat wawancarapun baik pejabat maupun staff Kankemenag terlihat antusias dalam memberikan informasi dan bersedia memberikan data-data yang kami butuhkan sehingga sangat interkatif dan terasa frendly. Sejarah Sejarah berdirinya Kankemenag Kab. Karimun tidak lepas dari sejarah berdirinya Kab. Karimun. Dengan diterbitkannya UU Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kab. Karimun, bersama 35 kabupaten lainnya diseluruh Indonesia yang disahkan oleh Presiden pada tanggal 4 Oktober 1999, maka kemudian Kab. Karimun diresmikan oleh Mendagri pada tanggal 12 Oktober 1999. Sementara itu Kankemenag Kab. Karimun sendiri dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor : 381 Tahun 2001 tanggal 23 Juli 2001, yang sebelumnya berada di lingkungan Kantor Wilayah Kankemenag Prov. Riau. Kankemenag Kab. Karimun mulai beroperasi melaksanakan tugas-tugasnya secara definitif setelah 28
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
dilantiknya pejabat Eselon IV oleh Kepala Kantor Wilayah Kankemenag Prov. Riau pada tanggal 14 November 2001 di Tanjungpinang. Pada tahun 2001 sampai dengan akhir tahun 2005 berkantor di Jl. Pertambangan No. 49 Kp. Baru Tebing dengan menyewa sebuah ruko. Pada tanggal 17 Januari 2006 bertepatan dengan 17 Dzulhijjah 1426 H gedung Kankemenag Kab. Karimun mulai dibangun secara bertahap diresmikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI, Prof. Dr. H. Faisal Ismail, MA, dengan alamat Jalan Jenderal Sudirman, Poros, Tg. Balai Karimun.8 Sejak saat itu maka secara formal bangunan Kankemenag Karimun berdiri dan menjadi pusat pelayanan keagamaan masyarakat Kab. Karimun. Struktur Organisasi Berdasarkan PMA Nomor 13 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kankemenag, maka susunan Organisasi Kantor Kankemenag Kab. Karimun terdiri atas: a. Kepala; b. Subbag Tata Usaha; c. Seksi Pendidikan Islam; d. Seksi Penyelenggaraan Haji dan Umrah; e. Seksi Bimbingan Masyarakat Islam; f. Penyelenggara Syariah; g. Penyelenggara Buddha; dan h. Kelompok Jabatan Fungsional.
http://kemenagkarimun.blogspot.com/2013/02/profil-kementerian-agamakabupaten.html 8
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
29
Pelayanan Keagamaan Pelayanan keagamaan oleh Kantor Kemenag Kab. Karimun secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Pembangunan Sarana Keagamaan a. Pembangunan Rumah Ibadat Saat ini terdapat enam agama di Kab. Karimun, secara umum umat Islam merupakan terbesar. Untuk itu, di Karimun rumah ibadat terbanyak adalah masjid, jumlahnya sebanyak 209 buah. Di samping masjid juga terdapat 36 mushola. Data lengkap terkait jumlah rumah ibadat dapat dilihat dalam Tabel 1.2 sebagai berikut: Tabel 1.2: Jumlah Rumah Ibadat di Kab. Karimun Tahun 2013 No 1
Islam
Agama
2 3
Kristen Katolik
4 5
Hindu Buddha
6
Khonghucu
Rumah Ibadat Masjid Mushola Gereja Gereja Kapel Pura Vihara Cetiya Klenteng
Jumlah 209 36 24 8 0 0 11 37 1
Sumber : Kanwil Kemang Prov. Kepulauan Riau 2013
30
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Rumah Ibadat dari berbagai agama tersebut secara umum dibangun secara swadaya oleh masyarakat, hanya beberapa masjid saja yang pernah mendapatkan bantuan dan itupun hanya dana rehab (perbaikan gedung). Selain bantuan fisik rumah ibadat, pelayanan lainnya yang diberikan Kankemenag Kab. Karimun di bidang kemasjidan adalah pembinaan bagi pengurus masjid, dalam satu tahun dua kali pertemuan pembinaan kemasjidan. Dalam hal ini terdapat kendala, yaitu para pengurus utama yang diundang adalah ketua masjid biasanya diwakilkan kepada pengurus lain. b. Pembangunan KUA Pembangunan, rehab (perbaikan) gedung, dan biaya operasional KUA di Kab. Karimun seluruhnya dibiayai oleh Kankemenag dengan anggaran dari APBN, namun demikian terdapat
satu
KUA
yaitu
KUA
Kec.Tebing
yang
pembangunan gedungnya didanai dari APBD. Hal ini ternyata
kemudian
menimbulkan
persoalan
tersendiri,
Kankemenag berdasarkan peraturan yang ada tidak dapat memberikan dana rehab maupun pemeliharaan gedung, karena statusnya bukan milik Kankemenag. Berikut status tanah dan gedung KUA di Kab. Karimun, dalam Tabel 1. 3:
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
31
Tabel 1.3: Daftar Status Tanah KUA di Kab. Karimun
1 2 3 4 5
Kantor Urusan Agama Karimun Kundur Moro Meral Tebing
6 7 8 9
Kundur Utara Buru Kundur Barat Durai
No
Luas Luas Status Tanah Tanah Bangunan 203 m2 106 m2 Sertifikat Hak Pakai 345 m2 332 m2 Sertifikat Hak Pakai 792 m2 80 m2 Proses Sertifikat 551 m2 123 m2 Sertifikat Wakaf 400 m2 225 m2 Pinjam Pakai/SK Bupati 784 m2 120 m2 Sertifikat Wakaf 358 m2 120 m2 Sertifikat Hak milik 709 m2 120 m2 Sertifikat Hak Pakai 500 m2 120 m2 Proses Sertifikat
Sumber: Kantor Kankemenag Kab. Karimun 2013
Pembangunan Tahun Sumber 1987 APBN 1977 APBN 1986 APBN 2004 APBN 2004 APBD 2006 2007 2007 2008
APBN APBN APBN APBN
Selain pembangunan gedung dan rehab, Kankemenag melalui APBN juga memberikan bantuan biaya operasional KUA. Jumlah bantuan yang diterima KUA sejak 2014 sebesar Rp. 3 juta, uang tersebut digunakan untuk kebutuhan sebagai berikut: Rp. 1 juta, untuk dinas Kepala KUA, honorer Rp. 1,1 juta, Rp. 500 ribu untuk ATK, dan Rp. 400 ribu untuk pelayanan dan jasa (listrik, air, dan lain-lain). Dalam rangkaian pengumpulan data, secara khusus peneliti melakukan kunjungan ke tiga KUA dari Sembilan KUA tersebut yaitu KUA Kecataman (Kec.): Karimun, Tebing, dan Meral. Kondisi KUA tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, KUA Kec. Karimun, gedung KUA terletak dipusat kota Karimun, yaitu di jalan Pramuka di Kawasan Pasar Baru Tanjung Balai Karimun. Gedung dibangun pada tahun 1987 dengan bantuan dana dari APBN. Meski luas bangunan hanya 106 m2, namun gedung KUA berlantai dua, 32
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
lantai pertama adalah ruang penerima tamu, ruang kepala dan penghulu, sedangkan di lantai dua terdapat balai yang cukup nyaman untuk prosesi pernikahan. KUA Kec. Karimun ini tertata rapih dan sangat informatif. Pada dinding-dinding gedung bagian dalam terdapat sejumlah informasi yang sengaja dipasang seperti struktur organisasi, visi dan misi KUA, prosedur dan proses pelayanan nikah, biaya nikah, pengumuman kehendak nikah, proses pendafataran haji, dan pelayanan keagamaan oleh KUA lainnya. Struktur organisasi KUA saat ini terdiri dari Kepala, Penghulu, Tata Usaha, Kepenghuluan, Kemasjidan, Keluarga Sakinah, Haji, dan Zakat Wakaf Sosial. Saat ini KUA Kec. Karimun dikepalai oleh Muhammad Yusuf, dalam menjalankan tugas pelayanan keagamaan beliau dibantu oleh seorang penghulu (Herizalmi) dan seorang staf Tata Usaha (Fitra). Kedua, KUA Kec. Tebing, gedung ini relatif luas. Gedung KUA dibangun oleh pemerintah daerah sejak tahun 2003. Status KUA saat ini masih sebatas hak pakai. Sejak tahun 2007, berdasarkan aturan yang ada maka KUA tidak bisa mendapatkan bantuan dari DIPA/APBN untuk dana pemeliharaan, karena status tanahnya bukan milik Kementerian Agama, sementara Pemkab Karimun juga tidak menghibahkan tanah dan bangunan kepada Kementerian Agama. Dalam rapat tahunan Kankemenag Kab. Karimun pernah mengusulkan ke Kementerian Agama RI untuk adanya tanah dan bangunan milik KUA sendiri, namun usulan tersebut gagal dan tidak dapat dipenuhi, sebab usulan itu tidak terkoordinasi dengan baik ke Kanwil Kemenag Prov. Kepri. KUA Kec. Tebing termasuk KUA berprestasi sebab Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
33
pernah juara satu tingkat Kankemenag Kab. Karimun dan juara dua tingkat Kanwil Kemenag Prov.Kepri. Sepintas gedung KUA Tebing relatif sangat informatif. Sejak mulai memasuki pintu depan KUA sudah terpasang nama-nama kelembagaan yang selama ini menjadi mitra KUA Tebing seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kec. Tebing, Dewan Masjid, BP4, dan lain-lainnya. Sementara di bagian dalam terdapat beberapa informasi terkait sistem dan mekanisme pelayanan seperti pengumuman kehendak nikah, prosedur pelayanan, bahkan waktu standar dalam pelayanan. Saat ini KUA Kec. Tebing dikepalai oleh Muhammad Nawir. Untuk pegawai KUA, saat ini hanya ada dua PNS yaitu kepala KUA dan seorang staf. Tugas-tugas administrasi dan lainnya dibantu oleh seorang pegawai honorer. Ketiga, KUA Kec. Meral, kendala KUA Kec. Meral adalah terkait status tanah KUA. Saat ini status tanah KUA adalah masih tanah wakaf. Beberapa tahun yang lalu diusulkan kepada Kankemenag RI untuk adanya ruslah, yaitu mengganti tanah di lokasi lain bagi nadzir. Dalam peraturan wakaf biasanya nadzir bisa mendapat 10%. Saat ini masih belum ada keuntungan bagi nadzir. Selain status tanah, soal minimnya sarana BMN hingga saat ini juga dikeluhkan. Sejak 2005 hanya ada satu bantuan komputer. Untuk sarana transportasi juga baru ada satu kendaraan sepeda motor inventaris.9 Dimana mendapat bantuan rehab gedung dan pembuatan pagar dari Kemenag, dan sudah ada aliran listrik dari PLN. Sebelum ada pagar dan listrik PLN, kantor KUA ini 9
Wawancara dengan Rudi Harahap, di KUA Meral pada tanggal 24 Maret
2014.
34
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
sering disalahgunakan. Jaringan internet melalui speedy baru dipasang seminggu yang lalu, itupun belum ada yang bisa menggunakan secara baik, masih dalam proses mempelajari bagaimana memanfaatkan jaringannya. KUA Kec. Meral melayani dua wilayah kecamatan, yaitu Kec. Meral dan Kec. Meral Barat. Kini KUA dikepalai oleh Rudi Harahap. Di KUA Kec. Meral mempunyai dua orang pegawai PNS, yaitu Kepala KUA dan seorang penghulu, untuk tugas administrasi diangkat seorang pegawai honorer. Tidak ada penyuluh agama PNS, yang ada penyuluh non PNS yang ditugaskan memberikan penyuluhan di majelis-majelis taklim. Pelayanan perkawinan rata-rata setiap bulan sebanyak 30 pasangan pengantin. 2. Pelayanan Keagamaan oleh KUA a. Pencatatan Perkawinan Pendaftaran pencatatan perkawinan untuk masyarakat muslim di Kab. Karimun dilakukan di KUA, ada 9 KUA dari 11 kecataman di Kab. Karimun. Peristiwa Nikah (N) di Kab. Karimun umumnya lebih sedikit dibanding wilayah lain. Hal ini mungkin disebabkan karena persyaratan perkawinan oleh KUA sangat selektif, semua item yang ada harus dipenuhi oleh para calon pengantin. Karena ketatnya persyaratan di setiap KUA yang ada di Kab. Karimun, maka banyak calon yang merasa persyaratannya tidak bisa dipenuhi akhirnya mendaftarkan perkawinannya ke luar wilayah Karimun.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
35
Tabel 1.4: Data Peristiwa Nikah di Kankemenag Kab. Karimun Tahun 2013 No Kecamatan Jumlah 1 Karimun 353 2 Kundur 308 3 Moro 151 4 Meral 406 5 Tebing 224 6 Kuta (Kundur Utara) 189 7 Buru 122 8 Kuba (Kundur Barat) 166 9 Durai 41 Jumlah 1.960 Sumber: Kankemenag Kab. Karimun 2013
Di Kab. Karimun pasangan yang menikah di kantor lebih banyak di banding di luar kantor. Untuk di KUA Kec. Meral pada Januari 2013 jumlah pasangan yang menikah sebanyak 32 pasang. Dari jumlah tersebut, 13 pasang menikah di luar kantor, sisanya 19 pasang menikah di kantor KUA. Pasangan calon pengantin rata-rata sudah mendaftar 10 hari sebelum hari pernikahan. Pada umumnya mereka datang bersama Ketua RT yang berperan sebagai pembantu keluarga mempelai dalam mengurus surat-surat yang dibutuhkan, para Ketua RT ini biasanya mendapat jasa sekitar Rp. 250 ribu. Untuk pelayanan perkawinan di KUA Kec.Tebing, jumlah perkawinan antara 15 s.d. 20 pasangan pengantin setiap bulan. Untuk pelaksanaan perkawinan, jumlahnya berimbang antara yang diselenggarakan di luar kantor dan di 36
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
kantor KUA. Terkait perkawinan di luar kantor biasanya pihak keluarga pengantin memberi sekedar uang transport. Menurut Kepala KUA, suatu ketika pernah uang tersebut ditolak namun pihak keluarga pengantin datang dan mengatakan, “tolong lah pak, terima ini”. Akhirnya pemberian itu terpaksa diterima. Pendaftaran perkawinan biasanya diantar oleh Ketua RT, ada juga beberapa pengantin yang langsung datang mengurus pendaftaran atau keluarganya atau wali pengantin tanpa diantar oleh Ketua RT. Di KUA Kec. Tebing tidak ada P3N. Untuk pelayanan pernikahan, masyarakat langsung mendatangi KUA untuk mendaftar, dan pelaksanaan pernikahan pada umumnya di lakukan di kantor KUA. Sedangkan untuk KUA Kec. Karimun perkawinan dilakukan di kantor. Namun jika rumahnya di kepulauan, pihak KUA biasanya mendatangi rumah pengantin. Sesuai ketentuan yang ada, biaya nikah yang harus dibayar pengantin adalah sebesar Rp. 30 ribu. Jika pernikahan dilakukan di luar kantor, maka biasanya keluarga pengantin memberikan uang pengganti transport kepada petugas KUA yang datang. Menurut kepala KUA, untuk nikah di luar kantor, biaya transportasi petugas sesuai arahan Kankemenag kepada KUA, agar berhati-hati dan jangan melampaui batas, ia juga mengatakan bahwa menurut Wakil Menteri Agama (Prof. Dr. Nazarudin Umar) saat memberikan pengarahan di Karimun bahwa itu bukan gratifikasi, itu wajar seperti ketika kita selesai khutbah diberi transport. Biaya transport petugas KUA untuk setiap perkawinan jumlahnya sekitar Rp. 200-250 ribu, masyarakat sendiri yang memberi.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
37
b. Pengelolaan Dana Zakat dan Wakaf Untuk wilayah Prov. Kepri, pengelolaan ZIS di Kab. Karimun termasuk terbaik, saat ini ada fasilitas mobil dari Pemkab Karimun sebagai apresiasi atas kinerja lembaga pengelola ZIS dalam pengelolaan dana sosial umat tersebut. Dalam hal pengumpulan ZIS, peran Bupati sangat besar yang langsung memberi instruksi ke setiap instansi agar memaksimalkan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) pada masingmasing satuan kerja di Pemkab Karimun. Berikut catatan seputar data ZIS yang diambil berdasarkan laporan Zakat, Infak dan Sodakoh (ZIS) Kankemenag Kab. Karimun tahun 2013. Tabel 1.5: Jumlah ZIS di Kab. Karimun Tahun 2013 No Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Karimun Tebing Meral Buru Kundur Kundur Utara Kundur Barat Moro Durai Jumlah
Jumlah Jumlah Jumlah Muzaki Mustahiq UPZ 47.670 2.677 29 19.584 1.015 17 41.596 2.147 29 8.088 1.038 14 32.657 1.673 36 14.537 1.083 31
Total Pengum-pulan ZIS 1.604.604.700 499.253.680 1.054.288.000 222.468.000 911.717.500 354.000.000
12.787
1.563
20
403.356.000
16.426 4.379 197.724
1.177 550 12.923
28 12 216
494.511.000 141.629.000 5.685.827.880
Sumber: Kantor Kemenag Kab. Karimun Tahun 2013
Sedangkan untuk pelayanan akte ikrar wakaf, dari data di Kankemenag Kab. Karimun terlihat bahwa masih terdapat beberapa tanah wakaf yang masih dalam status Akte 38
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Ikrar Wakaf (AIW) dan belum sampai sertifikat. Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi para kepala KUA sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal optimalisasi pengelolaan wakaf. Data jumlah wakaf di Kab. Karimun terlihat pada Tabel 1.6 sebagai berikut: Tabel 1.6: Jumlah Tanah Wakaf di Kab. Karimun No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Karimun Kundur Moro Meral Tebing Kundur Utara Buru Kundur Barat Durai Ungar Belat Jumlah
Jml Wakaf (Persil) 25 73 27 24 39 27 15 35 7 15 13 306
Luas M2 21.281 106.145 23.015 49.036 63.246 38.980 12.792 73.881 5.060 7.626 6.701 407.766
Sumber: Kantor Kankemenag Kab. Karimun
Bersertifikat 9 24 15 11 22 9 3 8 3 5 0 109
Akte Ikrar Wakaf 17 54 12 13 17 18 12 27 4 10 13 197
c. Bimbingan dan Penyuluhan Agama di Masyarakat Saat ini jumlah penyuluh agama Islam PNS di Kab. Karimun hanya ada 2 orang, dan penyuluh non PNS muslim jumlahnya sebanyak 114 orang dan penyuluh non PNS untuk non muslim ada 14 orang. Bagi penyuluh agama Islam mereka saat ini ditugaskan memberikan bimbingan dan penyuluhan di masjid-masjid, di setiap satu masjid ditugaskan satu orang penyuluh. Untuk tahun 2014 di samping di masjid, para Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
39
penyuluh ini juga akan ditugaskan penyuluhan ke majelis taklim. Penyuluh agama dijadikan juru penerang kegiatan Kemenag, seperti pembinaan akidah, ibadah, akhlak, dan keagamaan lainnya. Para penyuluh juga ditugaskan mensosialisasikan program-program Kankemenag seperti ‘maling’ (magrib keliling), magrib mengaji, dll. Kab. Karimun sebagai daerah terluar/perbatasan, mau tidak mau banyak bersentuhan dengan pihak asing khususnya para wisatawan (turis) dan pelaku bisnis. Terkait banyaknya turis atau wisatawan maupun pelaku bisnis yang datang ke Karimun. Menurut Jamzuri Kasubbag Tata Usaha Kankemenag Kab. Karimun: “Selama ini kedatangan wisatawan telah menimbulkan masalah dalam hal akhlak dan etika. Banyak wisatawan yang datang ke Karimun yang mungkin sudah beretika tapi etika turis itu belum sesuai dengan budaya Melayu sebagai budaya masyarakat Karimun.” Beliau juga menambahkan: “Dulu Karimun dikenal sebagai kota ‘Texas’ karena banyak wanita-wanita yang menjual jasa ‘penghibur’ para turis, khususnya di sekitar kawasan Pasar Baru, jumlahnya relatif banyak mencapai ratusan orang.” Jamzuri juga menjelaskan: “Pernah suatu ketika ada penertiban yang dilakukan Pemkab Karimun dan terjadi insiden, sampai gubernur mengalami luka-luka, tangannya terkena senjata tajam, karena perlawanan preman di sana yang tidak suka ‘bisnisnya’ di ganggu.” Namun demikian seiring dengan laju pembangunan di Karimun, kesan Karimun sebagai ‘Texas’ itu kian memudar, banyak program keagamaan yang dikembangkan ternyata relatif efektif dapat mengurangi kesan Karimun sebagai wilayah ‘hitam’. Sejak tahun 2002 Pemkab Karimun bekerjasama dengan Kankemenag Kab. Karimun 40
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
menggemakan salah satu program untuk mewujudkan visi Karimun, yaitu “membumikan azam iman dan taqwa”. Semua lini Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) digerakkan untuk memajukan pendidikan agama, baik melalui TPQ, MDA, dan Majelis Taklim melalui BKMT yang dikenal memiliki hubungan dekat dengan Bupati. Peran BKMT sangat strategis sebab anak-anak umumnya lebih dekat dengan ibunya.10 Pembangunan di bidang agama menjadi perhatian serius Pemkab Karimun bekerjasama Kankemenag Kab. Karimun. Hal itu bisa dibuktikan dengan berdirinya Islamic Center dan Masjid Agung. Kemajuan pembangunan di bidang keagamaan di Karimun, ternyata juga menjadi salah satu pertimbangan dipilihnya Karimun pada tahun 2014 sebagai penyelenggaraan MTQ tingkat Prov. Kepulauan Riau. Ada beberapa sasaran dalam program ini, yaitu: (1) menunjukkan pada pihak tamu, bahwa Karimun sudah semaju ini; (2) menunjukkan adanya perhatian yang tinggi pada bidang agama oleh Kab. Karimun, dan (3) adanya kebersamaan masyarakat (sekitar 17.000 warga yang ikut acara ta’aruf) dalam turut serta membangun Karimun.11 d. Penyelenggaraan Ibadah Haji Ada sekitar 140 jamaah pada tahun 2013 yang dibimbing dan dilayani oleh Kankemenag Kab. Karimun. Semua calon jamaah haji mengikuti bimbingan manasik di KUA, karena tidak ada Kelompok Bimbingan Haji (KBH). 10Besarnya antusiasme keagamaan masyarakat yang mengikuti pendidikan TPQ dibuktikan dengan besarnya jumlah santri TPQ yang mengikuti prosesi wisuda. Saat ini baru saja di wisuda 6.666 santri TPQ oleh Wamen Agama saat penyelengaraan MTQ tingkat provinsi di Karimun tahun 2014, jumlah santri yang diwisuda saat itu adalah terbesar, sehingga mendapat pengakuan rekor Muri. 11 Wawancara dengan Jamzuri Kasubbag Tata Usaha Kankemenag Karimun, di Kankemenag, tgl. 24 Maret 2014
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
41
Total frekuensi pembinaan manasik dilakukan sebanyak sekitar 17 kali, sebanyak 15 kali dilakukan di KUA dan 2 kali di Kankemenag. Setiap KUA memberikan bimbingan manasik haji untuk sekitar 18 jamaah. Pembinaan haji di Karimun merupakan yang terbaik se-Prov. Kepulauan Riau (Kepri), sebab kualitas bimbingan yang baik dan jumlah frekuensi yang 17 kali, para jamah sudah cukup memahami bagaimana pelaksanaan ibadah haji.12 Tabel 1.7: Data Jamaah Haji di Kab. Karimun Tahun 2013 No Kecamatan Jenis Kelamin Jumlah L P 1 Karimun 15 22 37 2 Kundur 5 8 13 3 Moro 2 4 6 4 Meral 7 10 17 5 Tebing 6 11 17 6 Kuta (Kundur Utara) 0 0 0 7 Buru 0 0 0 8 Kuba (Kundur Barat) 5 4 9 9 Durai 2 2 4 Jumlah 42 61 103 e. Pembinaan Kerukunan Beragama 1) Kerukunan Intern Umat Islam Untuk intern agama Islam, selama ini di Kab. Karimun belum pernah terjadi konflik keagamaan, hal ini disebabkan adanya komunikasi yang relatif baik Wawancara dengan Jamzuri Kasubbag Tata Usaha Kankemenag Karimun, di Kankemenag, tgl. 24 Maret 2014 12
42
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
antara tokoh-tokoh agama yaitu melalui PMKK (Persatuan Mubaligh Kab. Karimun) yang anggotanya para tokoh agama dan pengurus masjid. Ormas Islam yang banyak diikuti masyarakat adalah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Namun mereka umumnya bukan pengikut paham yang fanatik. Hal ini dibuktikan umumnya warga ketika pada bulan Ramadhan beribadat menurut amaliyah Muhammadiyah, antara lain ketika tarawih jumlah rakaatnya 8 raka’at, namun tidak berarti semua mengikuti Muhammadiyah, dalam hal lainnya, warga justru lebih dekat kepada faham yang dikembangkan Nahdlatul Ulama, misalnya jika ada yang meninggal maka umumnya keluarga dan masyarakat sekitar membacakan tahlil.13 Konflik kelompok faham keagamaan terjadi antara kelompok faham mayoritas (ahlussunnah) dengan kelompok Syiah. Kalangan tokoh agama non Syiah mempersoalkan kembali keabsahan ajaran Syiah. Menurut Adnan Kamal salah seorang pengurus Syiah di Karimun, sorotan negatif ini terjadi setelah pada hari Minggu tanggal 2 Februari 2012 MUI yang bekerjasama dengan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) melakukan sosialisasi terkait fatwa penyimpangan Syi’ah di Indonesia di Aula utama Pusat Informasi Haji (PIH) Batam, acara tersebut dihadiri para tokoh agama termasuk dari Kab. Karimun. Dalam acara tersebut juga dibagikan buku dengan judul, Mengenal dan Mewaspadai Wawancara dengan Muhammad Yusuf Kepala KUA Karimun di KUA, tanggal 21 Maret 2014. 13
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
43
Penyimpangan Syi’ah di Indonesia. Buku ini seusai sosialisasi dibagikan kepada peserta yang berjumlah 500 orang. Para tokoh agama yang pulang dari acara tersebut kemudian di berbagai forum keagamaan termasuk khutbah Jumat banyak menyampaikan kepada jamaah bahwa Syiah adalah sesat.14 Menurut Jamzuri selaku Kasubbag Tata Usaha Kankemenag Kab. Karimun, bahwa isu Syiah muncul kembali menjelang penyelenggaraan MTQ 2014 di Karimun, Ia mengatakan: “jika diluar sudah sangat asin, di intern Karimun sebenarnya kurang asin (belum jadi masalah),” menurut beliau: “Upaya penanganan konflik pernah dilakukan, yaitu dengan dimediasi MUI. Saat itu diundang tokoh-tokoh agama Islam dan pihak Syiah untuk memberikan klarifikasi. Beberapa isu yang berkembang tentang Syiah antara lain: Syiah shalatnya sehari 1 kali dengan dijama’, nikah dengan sesama Syiah, nikah kakak-beradik, tidak shalat jumat, dan tidak mau berjama’ah. Dalam dialog tersebut pihak tokoh agama non Syiah dan pihak Syiah secara bebas dan argumentatif menyampaikan pandangannya”. Menurut Adnan Kaman: “Saat itu perwakilan Syiah yang bernama Sayid Agil Alatas yang juga pemimpin kaum Syiah di Karimun memberikan banyak penjelasan, yang intinya Syiah sama dengan muslim lainnya. Tuduhan terhadap Syiah yang negatif adalah tidak benar dan hanya fitnah belaka. Meski sudah dijelaskan secara meyakinkan oleh kami (Syiah), tetapi tetap saja, oleh yang Wawancara dengan Adnan Kamal, pengurus Syiah di Meral Karimun, tanggal 25 Maret 2014. 14
44
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
membenci kami, berbohong”.
kami
dianggap
taqiyah
atau
Komunitas Syiah saat ini di Karimun bertempat tinggal di di Desa Wonosari, Kec. Meral. Ketika bulan Syura mereka menyelenggarakan kegiatan peringatan Asyuro, yaitu memperingati wafatnya Husein bin Ali (cucu Nabi Muhammad). Acara tersebut dihadiri oleh pengikut dan simpatisan Syiah yang bukan hanya dari Karimun tapi juga dari luar, di saat peringatan Asyuro ini jumlah yang hadir sekitar 2 ribu-an orang. Dalam memperingati acara tersebut panitia mengundang para tokoh agama termasuk pejabat Kankemenag namun mereka tidak pernah hadir. 2) Kerukunan Antar Agama Kerukunan antar umat beragama di Kab. Karimun secara umum berjalan dengan baik, namun demikian terdapat beberapa persoalan konflik terkait pendirian rumah ibadat, yaitu konflik pembangunan kembali gereja Katolik Santo Joseph (Katolik), pendirian Gereja Methodis (Kristen) dan pendirian Cetya (Buddha). a) Gereja Katolik Santo Joseph Gereja Katolik Santo Joseph merupakan gereja tertua di Karimun berdiri sejak 1932, beberapa tahun kemudian yaitu pada 1935 Gereja diresmikan. Kedudukan gereja sebagai paroki utama untuk wilayah Pulau Karimun. Ada dua gereja Katolik di sana yaitu Gereja Santo Joseph dan Gereja Hati Kudus Yesus. Di samping dua gereja tersebut juga terdapat dua kapel. Sedangkan untuk se- Kab. Karimun ada lagi Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
45
yaitu dua gereja di Moro dan dua gereja di Tanjung Batu Pulau Kundur. Saat ini untuk kegiatan ibadat dipimpin dua orang pastor dan satu orang calon pastor. Sedangkan jumlah pemeluk agama Katolik di Pulau Karimun ada sekitar 3 ribu-an jemaat. Saat ini pihak gereja bermaksud memugar gedung gereja karena kondisinya sudah tua. Awalnya tidak ada kendala, rekomendasi ijin pendirian sudah dikeluarkan oleh FKUB, namun ketika permohonan ijin masuk ke Pemkab Karimun ternyata dianggap sebagian pihak bermasalah. Akhirnya pihak Kankemenag Kab. Karimun dan FKUB menarik kembali surat rekomendasi ijin pembangunan kembali gereja. Rencana pembangunan gereja dinilai terlalu besar dan terlalu tinggi; lantai dua dengan kapasitas 750-an jamaah, padahal posisi gereja tepat di depan pelabuhan atau tepat berada di pintu masuk kota Karimun, hal ini dinilai tidak tepat sebab Karimun adalah Melayu yang dekat dengan Islam. Alasan lain gereja tersebut bersebelahan dengan Kantor Bupati Karimun, sehingga jangan sampai dianggap Bupati lebih dekat dengan pihak Katolik. Gereja Katolik di Tanjung Balai, sudah berdiri sebelum kemerdekaan. Gereja tersebut meminta ijin untuk renovasi. Posisi gereja itu menghadap pelabuhan dan merupakan pintu masuk kota Karimun dan berdiri di samping rumah dinas Bupati. Menurut Kasubbag TU Kankemenag: “Saat mengajukan ijin renovasi pihak gereja tidak menyertakan gambar, namun setelah ijin keluar dan Kankemenag Kab. Karimun memberikan ijin rekomendasi, barulah keluar 46
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
gambar bangunan yang ternyata gereja itu akan diperbesar, tinggi bangunan mencapai sekitar 17 meter”. Ia juga menjelaskan, dalam rapat para tokoh agama diberi alternatif volume pembangunan gereja dikurangi atau gereja dibangun di kawasan lain, di usulkan agar tinggi bangunan dikurangi sebab akan terlihat gereja yang besar dan berada di pintu masuk kota, sehingga ada kekhawatiran akan dipersepsi sebagai simbol Karimun, padahal Karimun adalah daerah kultur Melayu yang identik dengan Islam. Kini pihak gereja siap merubah volume rencana pembangunan gereja, yaitu dengan merubah tinggi menara lonceng. Menurut pastor, “Sebenarnya pembangunan gereja yang baru akan bermotif arsitektur Cina dan mirip tempekong, hal ini untuk mengenang leluhur mereka, yaitu suku Tionghoa, karena yang membawa agama Katolik ke Karimun adalah keturunan Tionghoa tepatnya dari Kampung Pingkai. Namun untuk saat ini umat Katolik lebih banyak dari suku Flores.” Ia juga menambahkan, “Motif pembangunan sendiri bukan untuk monumen tetapi untuk menampung jamaat gereja yang saat ini mencapai 1.500-an jemaat. Agar jamaat dapat tertampung maka luas bangunan gereja sengaja diperbesar yaitu untuk kapasitas 750-an jemaat, sehingga pada hari Minggu gedung gereja nantinya bisa untuk dua kali kegiatan misa. Di samping itu bangunan yang diperbarui nantinya akan lebih indah sesuai dengan tatakota kota Karimun yang terus bergerak maju dan berkembang.”
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
47
b) Gereja Methodist (Kristen) Dalam kaitannya dengan umat Kristen. Konflik terjadi terkait masalah pendirian Gereja Methodist. Gereja Methodist Indonesia (GMI) terletak di RT.02/RW.04 Kampung Sukajaya Kelurahan Sungai Pasir, Kec. Meral. Konflik terjadi setelah pihak Methodist bermaksud mengajukan ijin bagi pendirian gereja tersebut. Awalnya Methodist hanya mendirikan sekolah, tapi kemudian mendirikan gereja. Ijin dilengkapi dengan persetujuan 60 orang warga sekitar yang bertempat tinggal di RT.02/RW.04 Kampung Sukajaya Kel. Sungai Pasir dan pernyataan 90 orang pemanfaat gereja, sehingga pendirian gereja sebenarnya sudah layak mendapatkan ijin, namun setelah beberapa lama kemudian muncul penolakan warga lain yang menolak pendirian gereja. Gereja sebenarnya akan memberikan konpensasi pembangunan dalam bentuk sarana dan fasilitas untuk warga, namun ternyata respon warga terbagi dua, disamping ada yang setuju tapi juga ada yang menolak. Menghadi kondisi ini, atas inisiatif dari FKUB Kab. Karimun dilakukan mediasi dengan mengadakan pertemuan di Aula Kantor Camat Meral pada tanggal 19 April 2013 pada pukul 08.30 s.d 10.00 WIB yang dihadiri oleh Ketua dan Sekretaris FKUB Kab. Karimun, Kepala Kantor Kankemenag Kab. Karimun Drs. H. Afrizal, Camat Meral, Kapolsek Meral, Kesbangpol, Lurah Sungai Pasir, FKUB Kec. Meral dan masyarakat dari RT.02/RW.04 Kampung Sukajaya Kel. Sungai Pasir, Kec. Meral. Dari 60 (enam puluh) orang tersebut dari masyarakat yang bertempat 48
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
tinggal di RT.02/RW.04 Kampung Sukajaya Kel. Sungai Pasir harus hadir dalam pertemuan dengar pendapat ini. Namun ternyata yang hadir pada pertemuan itu hanya 11 orang saja, oleh karena itu belum mencapainya kuorum, sehingga pertemuan ditunda. Menghadapi situasi demikian Pemkab Karimun belum bisa mengeluarkan ijin pendirian karena menunggu situasi kondusif. c) Pendirian Cetya (Buddha) Konflik yang melibatkan umat Buddha pernah terjadi, yaitu ketika ada perusahaan yang membuat Cetya untuk ibadat keluarga dan tamu perusahaan, warga sekitar menolak karena tidak ada ijin rumah ibadat, disini ada pemahaman bahwa Cetya itu sama dengan vihara. Warga ingin merusak Cetya jika tetap berfungsi sebagai rumah ibadat dengan tanpa ijin. Saat ini sedang dalam proses ijin melalui RT, RW dan seterusnya. Konflik juga terjadi antara umat Buddha dan Khonghucu, yaitu dalam hal rumah ibadat Klenteng. Hal ini disebabkan karena ornamen-ornamen Klenteng yang pada satu sisi diakui sebagai rumah ibadat Buddha Tri Dharma, namun di sisi lain diakui sebagai rumah ibadat umat Khonghucu. Eksistensi Klenteng itu terus diperselisihkan oleh umat Khonghucu, karena dianggap sebagai rumah ibadat mereka dan bukan milik umat Buddha. Saat ini penganut agama Khonghucu paling banyak di Tanjung Balai, sehingga konflik rumah ibadat Klenteng ini juga terjadi di sana.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
49
d) Program Khusus di Kawasan Perbatasan Pesantren perbatasan merupakan salah satu program Kankemenag RI, lokasi pesantren adalah di Pulau Parit, untuk menuju ke sana perlu naik perahu dari Karimun. Dari Karimun pulau Parit dapat ditempuh dalam waktu 20 menit. Pesantren ini dibangun sejak minggu akhir Februari 2014, hingga saat ini telah berhasil diselesaikan pembangunan dua lokal kelas dan satu ruang dapur. Pulau Parit sendiri terdiri dari dua desa, masing-masing desa terdiri dari dua dusun. Penduduk Pulau Parit jumlahnya sekitar 450 keluarga. Penduduknya banyak yang berusaha di bidang jasa angkutan perahu, ojek, pertanian, dan pekerja atau buruh di Malaysia. Jumlah penduduk yang menjadi nelayan sedikit sekali. Para pekerja yang pergi ke Malaysia rata-rata masih berusia muda ini setiap bulan hanya dua hari di pulau Parit, selebihnya selama 28 hari mereka hidup bekerja di Malaysia. Rencananya di pesantren ini nantinya akan menerapkan program pendidikan formal dan pesantren dengan berbasiskan pertanian. Pada tahun 2015 nanti akan dibuka pendidikan sekolah tingkat SLTA, setelah sekolah para pelajar tidak pulang ke rumah tapi mengikuti program pendidikan yang diselenggarakan pesantren. Untuk pendidikan formal sengaja tidak didirikan tingkat SLTP karena di Pulau Parit tersebut sudah ada SLTP. Pemilihan SLTA berdasarkan kebutuhan masyarakat, dimana masyarakat saat ini sangat membutuhkan adanya sekolah SLTA sebab selama ini jika ingin sekolah
50
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
SLTA, maka setiap harinya siswa harus menyeberang ke Pulau Karimun. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendidik, saat ini telah didatangkan 6 orang guru alumnus Insitut Pertanian Bogor (IPB) dan IAIN Walisongo Semarang. Para guru tersebut adalah para sarjana S1 lulusan perguruan tinggi dengan beasiswa dari Kankemenag RI. Sebelum mengikuti pendidikan di perguruan tinggi mereka adalah para santri berprestasi yang berasal dari berbagai pesantren. Mereka menandatangi kontrak untuk menjadi tenaga pengajar di pesantren perbatasan selama tiga tahun. Mereka adalah Adiputra Daulay(sarjana arsitek IPB), Zaenul (sarjana kehutanan), Alfi Syarifah (sarjana peternakan), Irma Awaliyah (sarjana ilmu keluarga dan konsumsi), Ita Hanani (sarjana teknologi pertanian), dan Ali Romdhon (konsentrasi ilmu falak). Saat diwawancarai Adiputra Daulay salah seorang guru, mengatakan: “Saat ini kami sedang melakukan kajian jenis pertanian apakah yang dapat dikembangkan oleh masyarakat atau survey komoditas di Pulau Parit. Hasil-hasil kajian dibahas bersama dan dikonsultasikan dengan teman-teman mereka di IPB. Mereka juga mengambil sampel tanah, sampel tersebut nantinya akan bisa memprediksi jenis pertanian apa yang bisa dikembangkan di pulau Parit.” Karena pesantren masih dalam proses pembangunan sarana dan prasarana, maka saat ini mereka belum secara aktif mengajar di pesantren. Adiputra Daulay menjelaskan: “Saat ini kami banyak dimanfaatkan oleh penduduk untuk mengajar di TPQ Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
51
dan madrasah, serta aktif membantu masyarakat dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.” Saat penelitian ini dilakukan, mereka baru dua bulan ditugaskan di pulau Parit tempat dibangunnya Pesantren Perbatasan. Para guru tersebut setiap bulannya mendapat insentif dari Pekapontren Kemenag Kab. Karimun sebesar Rp. 2,5 juta. Jumlah tersebut digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, melayani tamutamu yang datang, dan transportasi. Menurut Alfi Syarifah seorang guru yang ditugaskan di Pesantren ini, “Sebenarnya untuk biaya hidup di pulau Parit jumlah tersebut tidak memadai, namun karena niat dan kehadiran mereka saat ini di pulau Parit adalah salah satu bentuk pengabdian, maka mereka berusaha untuk menutupi kekuarangannya, saat ini pengeluaran perbulan rata-rata mencapai Rp. 6 juta.” Selain faktor biaya hidup, menurut Irma Awaliyah: “Persoalan lainnya yang dihadapi para guru adalah tidak ada jaringan internet, untuk komunikasi kadang harus ke tempat tinggi agar ada sinyal handphone (HP), untuk komunikasi dengan dunia luar (pemerintahan) kadang harus ke Karimun dengan sarana perahu.” Selanjutnya Irma juga menjelaskan: “Masyarakat belum tertarik terhadap program pertanian, dan masyarakat lebih tertarik bekerja di Malaysia. Para pekerja yang pergi ke Malaysia dan rata-rata berusia muda ini setiap bulan hanya dua hari di pulau Parit, selebihnya selama 28 hari mereka hidup bekerja di Malaysia.” Menurut Kasubbag Tata Usaha Kankemenag Kab. Karimun, pesantren perbatasan masih dalam 52
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
proses pembangunan. Saat ini sudah dibangun dua lokal kelas, satu lokal sekuriti, dan dua buah kamar mandi/toilet. Guru pengajar sudah disiapkan 6 orang, mereka berasal dari IPB alumni program beasiswa siswa berprestasi. Rencananya proses belajar mengajar akan dilaksanakan tahun 2015, yaitu dengan membuka sekolah SMA berbasis pesantren yang diarahkan ke bidang pertanian. Untuk jenjang pendidikan akan diselenggarakan SMA yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemkab Karimun, sedangkan setelah sekolah maka siswa tinggal di Pesantren, urusan pesantren menjadi tanggung jawab Kemenag. Ketika ditanyakan mengapa pendidikan yang diselenggarakan langsung SMA. Kasubbag Tata Usaha Kankemenag Karimun menjelaskan bahwa di sana sudah ada SMP. Beliau juga menjelaskan: “Target siswa adalah 42 orang untuk dua kelas, masing-masing 21 siswa perkelas. Selain pembangunan Pesantren, ada juga rencana membangun masjid di sana dengan biaya sekitar Rp. 10 milyar. Untuk melengkapi sarana dan prasarana, di pulau Parit juga akan dibangun pelabuhan tersendiri untuk yang ingin berkunjung ke Pesantren.” Problem-Problem Keagamaan Daerah Perbatasan 1. Struktur Organisasi Kankemenag Kab. Karimun Sesuai PMA Nomor 13 Tahun 2012, Kankemenag Kab. Karimun masuk tipe B. Untuk itu terdapat problem yang mendasar, dulu untuk seksi-seksi itu ada seksi Pesantren, seksi Penamas, seksi Madrasah dan seksi Haji. Saat ini, yang ada adalah Seksi Pendidikan Islam di dalamnya di gabung Seksi Pekapontren, Madrasah, dan Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
53
Pendidikan Agama Islam (Pais) menjadi satu. Sementara itu Seksi Haji terpisah sendiri. Menurut Kasubbag TU Kankekmenag Karimun, Idealnya Seksi Pekapontren dan Seksi Madrasah dan Seksi Pendidikan Islam dipisah, sebab tugasnya sangat banyak, dimana saat ini di Karimun juga banyak berdiri pesantren, TPQ dan MDA. Sementara itu untuk Seksi Haji sebenarnya bisa digabung dengan Seksi Bimas Islam sebab tugas terkait pelayanan haji itu lebih ringan dan tugas pokoknya hanya setahun sekali. Struktur organisasi di Kankemenag Kab. Karimun saat ini juga dikeluhkan banyak pihak, sebab hanya ada Penyelenggara Islam dan Buddha, tidak ada dari Penyelenggara agama Katolik, Kristen, dan Khonghucu. Menurut Jamzuri, saat ini kehadiran perwakilan agama Katolik, Kristen, dan Khonghucu secara struktural itu dirasakan sangat dibutuhkan. Ia juga mengatakan “Misalnya untuk menghadiri kegiatan. Saya kalau berada di komunits agama lain, hati dak menyatu, macam mana gitu. Apalagi jika kemudian diminta menyalakan lilin atau memberi sambutan, kalau ada Kasi agamanya (Kristen atau Katolik) kan lebih mudah”. Selanjutnya terkait pelayanan keagamaan oleh Kankemenag untuk umat agama lain (selain Islam dan Buddha) Jamzuri mengatakan: “Saya sendiri tak paham, saya cuma katakan kepada staf saya: jangan ada kesan tidak melayani”. 2. Bimbingan dan Penyuluhan Keagamaan Ada beberapa kendala yang dirasakan masyarakat dalam hal bimbingan dan penyuluhan keagamaan yang membutuhkan perhatian yaitu, pertama, kultur masyarakat Karimun yang majemuk, yaitu multi etnis dan agama. Banyak masyarakat tinggal di kampung-kampung dengan 54
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
pendidikan ‘rendah’, hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam bimbingan dan penyuluhan agama. Kedua, masih terdapat suku-suku terasing di Kec. Meral yaitu tepatnya di Kundur Utara yang sekarang jadi daerah Belat. Di daerah tersebut masyarakatnya banyak yang belum beragama. Agama Islam belum menjangkau, sehingga masuklah missionaris. Pernah dilaporkan adanya penduduk yang pindah agama sekitar 15 orang, mereka melapor ke Kec. Meral bahwa disamping pindah agama juga merubah identitas nama. Ketiga, pembinaan agama terkadang realisasinya sulit dilakukan karena masyarakat yang diundang sering tidak mau datang. Khususnya dari kalangan Kristen, Buddha, dan Konghucu, hal ini karena umumnya mereka memiliki kesibukan kerja/usaha, apalagi jika kegiatan tersebut selama 4–5 hari. 3. Agama Katolik Secara umum kendala yang dihadapi umat Katolik di Karimun ada dua yaitu, pertama, saat ini tidak mempunyai Penyelenggara Agama Katolik di Kankemenag Kab. Karimun, sehingga tidak ada yang menjembatani kepentingan umat Katolik. Hal ini sudah pernah diusulkan tetapi menurut Kankemenag itu wewenang Pusat. Kedua, hingga saat ini di Karimun tidak mempunyai guru agama PNS Katolik. Kehadiran guru agama PNS Katolik sangat dibutuhkan sebab saat ini ada dua sekolah Katolik yang memberikan pendidikan keagamaan di Karimun yaitu Sekolah Katolik Santo Yoseph dan Sekolah Katolik Immanuel. Untuk pelajar pembinaan agama dilakukan setiap minggu sekali. Untuk siswa SLTP dan SLTA, maka para guru Katolik setiap Jumat siang mendatangi sekolah Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
55
mereka yaitu di SMP 1 dan SMA 1, ketika itu murid-murid yang beragama Katolik berkumpul di sana dan siap menerima pelajaran agama Katolik. Sedangkan untuk siswa SD pendidikan di lakukan di gereja, diselenggarakan sekolah Minggu setelah acara kebaktian gereja. Hingga saat ini pihak Katolik baru menerima bantuan dari Kankemenag dalam bentuk insentif yaitu pada tahun 2013, untuk para guru sebesar Rp. 600 ribu untuk 1 semester. Jumlah guru yang menerima dana tersebut adalah 35 orang, bantuan lainnya tidak ada. Gereja memiliki dua orang katekis dan beberapa sukarelawan. Pembinaan agama juga dilakukan oleh Komunitas Basis Gereja (KBG) yang jumlah anggotanya tiap KGB adalah 15 sd 20 orang. Meski saat ini tidak pernah ada konflik antar umat beragama. Namun kerukunan antar umat beragama, khususnya bagi umat Katolik belum secara nyata dirasakan, saat ini pastor dan pimpinan gereja biasa mengucapkan ucapan selamat hari raya bagi umat muslim namum tidak sebaliknya. Selama ini antara tokoh agama tidak saling mengenal, karena tidak pernah ada pertemuan antar tokoh agama di Karimun sehingga antar tokoh umat agama satu dengan lainnya tidak saling mengenal.15 4. Agama Kristen Problem umat Kristen hampir sama dengan Katolik yaitu tidak ada pembimas Kristen di Kankemenag Kab. Karimun sehingga tidak ada yang menjembatani kepentingan umat Kristen. Di Karimun juga hingga kini
15
Wawancara dengan Pastor Immanuel di Gereja Santo Yoseph, tanggal 24
Maret 2014.
56
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
tidak ada penyuluh agama dan guru agama Kristen yang PNS. Pusat keagamaan bagi Kristen untuk sinode Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) berpusat di Gereja Huria Kristen Batak Protestan Resort Tanjung Balai Karimun. Gereja ini merupakan gereja Kristen terbesar dan tertua di Pulau Karimun. Tahun lalu ada kegiatan ulang tahun gereja yang ke 60. Saat itu peringatan dihadiri oleh Kepala Kankemenag. Umat protestan yang menjadi jamaat gereja HKBP ada sekitar 650 KK. Di Kab. Karimun ada 7 Gereja HKBP sedangkan untuk di pulau Karimun saja hanya ada empat gereja HKBP. Gereja HKBP dipimpin pendeta Albenar Silaen. Kegiatan gereja, setiap hari ada ibadat yang dilakukan antara pukul 08.00 sd 10.00 WIB, sedangkan pada malam hari ada yaitu antara pukul 20.00 sd. 21.00 WIB, sedangkan untuk ibadat remaja adalah Sabtu dan Minggu. Untuk anak-anak kegiatan dilakukan hari Minggu bekerjasama dengan sekolah. Saat ini belum ada guru agama Kristen yang PNS. Saat ini pengurus gereja ada 4 orang, statusnya seperti PNS bisa ditugaskan kapan saja atau dipindahkan, dua orang diantaranya adalah pendeta. Pendidikan keagamaan untuk umat Protestan di Karimun dilakukan oleh 16 orang guru, mereka mendapat insentif dari Kankemenag Kab. karimun. Untuk Kab. Karimun pembinaan agama biasanya dilakukan oleh Pembimas Kristen. Di samping persoalan tidak adanya pejabat dari Kristen dalam struktur di Kankemenag, hal lain yang menjadi problem adalah tidak ada penyuluh agama dan guru PNS dan kurang terjalinnya hubungan komunikasi Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
57
antar tokoh agama. Di Karimun tidak ada pertemuan yang dilakukan secara priodik antara para tokoh lintas agama, pertemuan itu belum pernah dijadwalkan secara khusus. Namun demikian untuk komunikasi antar umat beragama, ada forum pembauran yang digagas oleh Pemkab Karimun pesertanya umat dari berbagai agama. Pendeta Albenar Silaen mengatakan: “Saat ini sangat dibutuhkan adanya komunikasi yang intens antar tokoh agama, supaya mereka saling mengenal satu dengan lainnya. Hal tersebut penting, sebab keadaan saat ini berbeda dengan dulu, jika di masa lalu mobilitas sosial belum seperti sekarang, masyarakat dulu sering berkomunikasi lintas agama meski secara informal, para orang tua dulu bisa saling kenal satu sama lain. Namun dengan kesibukan masyarakat saat ini maka komunikasi yang bersifat lintas agama itu nyaris tidak ada. Generasi muda tidak saling mengenal, ini bisa sangat berbahaya di masa yang akan datang.” 5. Agama Buddha Di Karimun jumlah vihara ada sebanyak 50-an lebih, termasuk Klenteng, dan Cetya. Rumah ibadat Buddha paling banyak di Buru, Moro, Tanjung Batu, dan Kundur Barat. Rumah ibadat itu berafiliasi pada beberapa majelis agama Buddha seperti Majelis Buddhayana Indonesia, Megabuddhi (Theravada), Mapanbuddhi, NSI, Walubi, dan lain-lain. Persoalan yang dihadapi umat Buddha adalah antara lain, saat ini tidak ada pengawas pendidikan agama di sekolah, namun belum ada yang diangkat menjadi pengawas sebab para guru belum ada yang pernah mengkuti diklat pengawas. Untuk menjadi
58
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
pengawas disyaratkan pernah mengikuti diklat. Kedua, belum ada penyuluh PNS dan penyuluh non PNS. Saat ini di Kab. Karimun belum ada Bikku, jika Bikku dibutuhkan biasanya didatangkan dari Batam. Adapun acara ibadat (kebaktian) dipimpin oleh pandita yang jumlahnya saat ini ada 19 orang. Sedangkan tokoh agama Buddha yang non pandita saat ini jumlahnya 23 orang. Saat ini guru agama Buddha memberikan pengajaran agama bagi para siswa dengan mengikuti sekolah minggu. Para guru yang mengajar di sekolah minggu mendapat insentif dari Kankemenag sebesar 3,4 juta perorang pertahun. Jumlah guru yang mendapatkan insentif tersebut sebanyak 15 orang di tahun 2014. Hingga saat ini belum pernah ada bantuan fisik (pembangunan Vihara, rehab bangunan, atau material lainnya). Pernah ada bantuan fisik yaitu rehab Vihara di Tanjung Batu dari Kemenag Pusat. Secara struktural, urusan agama Buddha hanya dipegang oleh satu orang yaitu Penyelenggara Agama Buddha yang berkedudukan di Kankemenag Kab. Karimun yang saat ini dijabat oleh Bapak Sudirman. Beliau dalam tugasnya banyak mendatangi rumah-rumah ibadat, baik dalam rangka menghadiri kegiatan keagamaan, pernikahan, dan pembinaan keagamaan. Analisis Bromley (1989) menyajikan sebuah teori hirarki kebijakan. Terdapat tiga level yang berhubungan dengan hirarkis proses penyusunan kebijakan yaitu policy level, organizational level, dan operational level. Sementara itu Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
59
hubungan Kementerian Agama RI dan Kankemenag Prov. dan Kankemenag Kab./Kota saat ini bersifat principal-agent. Pusat sebagai principal, memberikan kuasanya bagi pelaksanaan tugas dan fungsinya kepada kankemenag kab./kota. Kankemenag merupakan agent, atau pelaksana yang memiliki kewenangan delegatif dari pusat dalam menjalankan tugas dan fungsi Kementerian Agama RI. Model principalagent tersebut mengindikasikan adanya hirarki kebijakan, seperti yang dikemukakan oleh Bromley, dari tingkat pusat sampai daerah. Jika dikotekstualisasikan, dalam kaitannya hubungan pusat dan daerah, policy level berada dalam kewenangan Kaementerian Agama RI. Kebijakan pada ranah organizing level ada pada kankemenag provinsi. Sementara tingkat operasional berada pada kankemenag kab./kota dan KUA. Keberhasilan implementasi kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari peran institusi itu sendiri. Esman (1972) menjelaskan lima komponen dalam institusi yang harus dibangun yaitu, kepemimpinan, kebijakan, program/layanan, sumber daya, dan struktur organisasi (Esman dalam Moeldoko 2014). Berdasarkan uraian yang dijelaskan dalam kajian di atas, nampak bahwa pelaksanaan program pembangunan di bidang keagamaan oleh kankemenag berhasil pada satu sisi, namun belum berhasil pada sisi lain. “Ketimpangan” ini dirasakan oleh pihak dari tiga agama yaitu Katolik, Kristen, dan Khonghucu di mana dalam pelayanan keagamaan seolah-olah ada diskriminasi terhadap mereka. Hal ini disebabkan setidaknya oleh dua hal. Pertama, tidak adanya perwakilan umat Katolik, Kristen, dan Khonghucu dalam struktur organisasi karena adanya keharusan daerah (Kankemenag) untuk mematuhi kebijakan pusat (Kementerian Agama RI). Struktur organisasi Kankemenag berdasarkan 60
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
aturan yang ada harus disesuaikan dengan PMA No 13 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kankemenag. Ketiadaan perwakilan umat agama Katolik, Kristen, dan Khonghucu dalam struktur telah mengakibatkan mereka pada posisi yang lemah secara kultur politik. Hal ini berimbas pada tersumbatnya saluran komunikasi antara para tokoh agama dengan para pejabat kankemenag juga dengan para tokoh agama lainnya. Di sini struktur organisasi Kankemenag nampak kurang mengacu kepada akurasi fakta yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat, sehingga bisa muncul anggapan bahwa kebijakan dan program pembangunan keagamaan ini tidak dirancang secara matang dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kedua, persoalan leadership atau kepemimpinan yaitu sebagai kemampuan mempengaruhi, menuntun, dan membimbing seseorang atau kelompok untuk mencapai citacita ataupun tujuan organisasi. Di sini kepemimpinan dituntut mempunyai visi dalam pribadinya sebagai landasan berpijak dalam menggerakkan organisasi, dalam hal pelayanan keagamaan perlu adanya visi kepemimpinan yang mau dan mampu menghargai perbedaan dan tanpa diskriminasi kepada setiap warga Negara sesuai konstitusi. Munculnya kasus diskriminasi terhadap komunitas Syiah, Katolik dan Kristen dalam ijin pendirian dan bantuan rumah Ibadat, maupun pengangkatan PNS bagi penyuluh dan guru agama dari umat agama non Islam, serta tidak adanya ruang komunikasi yang reguler antara tokoh agama, menunjukkan lemahnya sisi visi leadership dalam memaknai hak beragama, berkeyakinan, dan jaminan kerukunan oleh para pejabat struktural Kankemenag Kab. Karimun.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
61
Kesimpulan 1. Penduduk Kab. Karimun jumlahnya 272.985 jiwa, tersebar dalam 54 pulau dari 249 buah pulau yang ada. Hal ini menyebabkan beberapa masyarakat di kepulauan yang jauh dari pusat Pemkab Karimun masih sulit tersentuh program-program pembangunan bidang keagamaan. Sementara itu posisi pulau Karimun sebagai kawasan perbatasan, maka mobilitas sosialnya sangat tinggi, baik dari Karimun ke luar maupun dari luar ke Karimun. Dengan demikian rentan dengan ‘asimilasi’ sosial budaya, sehingga Karimun dulunya dikenal sebagai kota ‘Texas’ tempat para wisatawan menikmati ‘hiburan libido’. 2. Kankemenag Kab. Karimun dalam rangka optimalisasi pelayanan keagamaan sejauh ini telah secara maksimal berusaha untuk memenuhi pelayanan keagamaan di bidang pembangunan sarana dan prasarana keagamaan (rumah ibadat dan pembangunan KUA). KUA sudah memberikan pelayanan masyarakat untuk (nikah, rujuk, pembinaan masjid, zakat, wakaf, keluarga sakinah), bimbingan dan pembinaan keagamaan masyarakat, pelayanan haji, serta kerukunan antar umat beragama. 3. Pelayanan keagamaan di Kab. Karimun yang cukup menggembirakan adalah di bidang bimbingan dan pembinaan keagamaan terutama di tingkat usia pra sekolah (TPA/TPQ) dan majelis taklim. Jumlah TPA/TPQ dan majelis taklim terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini relatif efektif mengurangi kesan Karimun sebagai daerah ‘hiburan libido’ bagi wisatawan. 4. Struktur Kankemenag Kab. Karimun hanya “menerima” kebijakan yang ditetapkan oleh pusat. Struktur organisasi 62
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
yang hanya mengikuti PMA No 13 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kankemenag tidak bisa memenuhi kebutuhan daerah, yaitu antara lain belum adanya perwakilan umat Katolik, Kristen, Khonghucu dalam struktur organisas Kankemenag. Hal ini berpengaruh pada kurang maksimalnya Kankemenag dalam memberikan pelayanan khususnya kepada umat dari tiga agama tersebut. 5. Salah satu program khusus Kankemenag Kab. Karimun dalam hal kawasan perbatasan adalah pendirian Pondok Pesantren Perbatasan Mutiara Bangsa. Rencananya Pesantren ini akan menerapkan program pendidikan formal dan pesantren dengan berbasiskan pertanian. Rencananya pada 2015 pesantren ini akan mulai beroperasi. Saat ini pesantren dalam proses pembangunan sarana dan prasarana. Rekomendasi 1. Perlunya kebijakan dan program pembangunan keagamaan di Kab. Karimun sebagai kawasan perbatasan yang dirancang secara matang dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. PMA No 13 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kankemenag dalam implementasinya tidak boleh kaku, melainkan perlu fleksibel, disesuaikan dengan kondisi lokal dengan mengacu kepada akar masalah yang benar-benar dirasakan oleh Kankemenag Kab. Karimun dan bertumpu kepada sumber daya yang ada. 2. Perlu adanya leadership di Kankemenag Kab. Karimun yang memiliki visi pelayanan dan menjamin hak Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
63
kebebasan beragama dan berkeyakinan, sehingga harus melindungi dan melayani semua aliran, faham, dan kelompok keagamaan, bersifat netral dan tidak diskriminatif. Hanya dengan visi leadership demikian Kankemenag Kab. Karimun akan bisa melindungi kelompok minoritas seperti komunitas Syiah, Katolik, Kristen, dan Khonghucu dan tidak melakukan ‘pembiaran’ terhadap praktik-praktik intoleransi. Karimun, April 2014
64
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan. (1995) Privatisasi Agama: Globalisasi atau Melemahnya Referens Budaya Lokal?. Makalah seminar, Balai Kajian sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 9 November 1995. Appadurai, Arjun. (1991). “Introduction: Commodities and the Politics of Value” dalam Arjun Appadurai (ed.), The Social Life Things. Cambridge: Cambridge University Press. Bromley, Daniel W. 1989. Economic Interest and Institutions; The Conceptual Foundation of Public Policy. Basil Balck Well Inc: Oxford, USA Beyer, Peter. (1991) “Privatization dan Public Inflence of Religion in Global Society” dalam Mike Featherstone (ed.), Global Culture: Nationalism, Globalization and Modernity. London: sage Publication. Moeldoko. 2014. Kebijakan dan Scenario Planning Pengelolaan Kawasan Perbatasan di Indonesia (Studi Kasus Perbatasan Darat di Kalimantan). Disertasi pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Kab. Karimun. 2013. Profil Daerah Kab. Karimun; Azam Dipasak Amanah Ditegak.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
65
66
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
PELAYANAN KEAGAMAAN MASYARAKAT PERBATASAN KABUPATEN SANGGAU, PROVINSI KALIMANTAN BARAT
Oleh: Muhammad Ishom dan Fakhruddin
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
67
KONDISI OBYEKTIF KABUPATEN SANGGAU Kilas Balik Kabupaten Sanggau Kab. Sanggau merupakan salah satu kabupaten dari 10 kabupaten yang terletak di Prov. Kalimantan Barat. Kab. Sanggau juga termasuk obyek sasaran Program Pengembangan/Peningkatan Kualitas Kawasan Strategis karena memiliki wilayah Perbatasan Darat RI dan Jantung Kalimantan (Heart of Borneo). Secara historis Kab. Sanggau dahulunya merupakan bekas wilayah kekuasaan Kesultanan Islam Sanggau yang didirikan oleh Sultan Abdurrahman pada abad ke-13 M. Menurut Pangeran Ratu Gusti Arman, Sultan Keraton Sanggau sekarang, sultan pertama Sanggau merupakan keturunan campuran Dayak-Melayu. Hal ini menjadi cerminan cikal bakal masyarakat Sanggau yang pada mulanya lebih didominasi Suku Melayu dan Suku Dayak. Suku Melayu umumnya menetap di pinggir aliran sungai Kapuas dan sungai Sekayam, sedangkan Suku Dayak menempati wilayah pedalaman. Bekas peninggalan Kesultanan Sanggau dapat dilihat dari bangunan Keraton Surya Negara yang terletak di pinggir Sungai Kapuas Hulu dan Keraton Tayan yang terletak di pinggir Sungai Tayan Hilir, lebih dekat ke arah kota Pontianak. Kedua keraton ini sebetulnya pecahan dari Kesultanan Sanggau akibat politik belah bambu Pemerintah Hindia Belanda, setelah wafatnya Sultan Ayyub. Keraton Surya Negara dipimpin oleh keturunan anak laki-lakinya 68
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Sultan Ayyub sedangkan Keraton Tayan Hilir dipimpin oleh keturunan anak perempuan Sultan Ayyub. Kedua keraton bekas kesultanan Islam Sanggau ini masih berdiri kokoh hingga sekarang, setelah dilakukan renovasi akibat konstruksi kayu intan yang sudah lapuk dimakan usia. Di samping bangunan keraton, peninggalan kesultanan Islam Sanggau juga dapat dilihat dari bangunan Masjid Sultan Ayyub yang masih berdiri kokoh di sebelah Timur, kurang lebih 100 m, dari Keraton Surya Negara, dan berhadapan langsung dengan muara Sungai Kapuas. Masjid dengan warna dominan hijau-kuning ini sudah dua kali dipugar tanpa merubah bentuk aslinya yaitu pada tahun 1970-an dan 2010. Di dalam masjid masih terdapat peninggalan warisan Islam berupa satu buah mimbar bertangga dari bahan kayu bermotif ukiran fauna yang masing-masing sudutnya terikat bendera berwarna hijau dan kuning. Selain itu juga terdapat ukiran kaligrafi Islam bermotif ombak dengan tulisan “Allahu Wahdah la syarikalah, Muhammad rasulullah fainnaka manshur manshur” dengan khat naskhi yang dipampang di atas mihrab. Penamaan Masjid Sultan Ayyub ini menjadi simbol bahwa sultan Sanggau berperan sekaligus sebagai ulama. Diantara mereka ada yang mewariskan mushaf al-Qur’an tulisan tangan dan naskah-naskah keislaman lainnya. Sayangnya pada saat pemugaran bangunan keraton naskahnaskah itu berpindah tangan ke orang lain, dan menyisakan beberapa naskah yang masih tersimpan dalam ruang pusaka. Keberadaan barang peninggalan sejarah kesultanan Islam Sanggau mengisyaratkan bahwa agama Islam sudah terlebih dahulu berkembang sebelum agama Kristen dan Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
69
Katolik. Hanya saja sebaran Islam terbatas di kawasan pesisir Sungai Kapuas dan tidak menyentuh pada wilayah pedalaman, walaupun beberapa sumber menyebut adanya pengaruh Islam di daerah pedalaman sebelum masuknya Misionaris Kristen. Sumber itu diantaranya berupa berkembangnya cerita rakyat tentang Datuk Sanggul,16 yang menyebarkan Islam di perkampungan Dayak dan jimat menyerupai wapak yang tertempel di atas pintu rumah tradisional milik sesepuh Dayak. Profil Kabupaten Sanggau Wilayah Kab. Sanggau terletak di tengah-tengah dan berada di bagian utara Prov. Kalimantan Barat. Total luas wilayah Kab. Sanggau adalah 12.858 km2 (12,47%) dari total luas Prov. Kalimantan Barat. Wilayah yang merupakan perbatasan sepanjang +/- 129,5 km (15%) dari total panjang 877 km perbatasan di Prov. Kalimantan Barat. Wilayah Kab. Sanggau di sebelah Utara berbatasan dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia dan Kab. Bengkayang; sebelah Selatan berbatasan dengan Kab. Ketapang; sebelah Timur berbatasan dengan Kab. Sekadau dan Kab. Sintang; dan sebelah Barat berbatasan dengan Kab. Landak. Wilayah administratif Kab. Sanggau terdiri dari 15 kecamatan, yaitu: Kapuas, Mukok, Noyan, Jangkang, Bonti, Beduwai, Sekayam, Kembayan, Parindu, Tayan Hulu, Tayan 16 Datu Sanggul nama lainnya Syekh Abd al-Shamad merupakan salah satu murid Datu Suban yang tinggal di Pantai Jati Munggu Karikil. Oleh masyarakat Kalimantan, dia dianggap wali dan menjadi satu-satunya murid yang dipercaya menyimpan kitab Barencong. Ia juga merupakan salah satu guru dari Datu Kalampayan (Syekh Arsyad al-Banjari). M. Marwan, Manakib Datu Nuraya (Mesteri Kitab Barincong), (Kandangan, Kalimantan Selatan: Sahabat, tt), h. 5
70
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Hilir, Balai, Toba, Meliau, dan Entikong. Dari 15 kecamatan 2 diantaranya, yaitu Kec. Entikong dan Kec. Sekayam merupakan kawasan perbatasan dengan Negara Malaysia. Jumlah penduduk di Kab. Sanggau pada tahun 2013 tercatat sebanyak 479.431 jiwa dengan laju pertumbuhan sebesar 1,67 persen per tahun.17 Jumlah penduduk terbesar terdapat di Kec. Kapuas dengan jumlah penduduk sebanyak 90.515 jiwa sedangkan jumlah penduduk yang terkecil terdapat di Kec. Noyan dengan jumlah penduduk sebanyak 11.348 jiwa. Sementara jumlah penduduk menurut agama Kab. Sanggau ialah; (1) Islam (159.457 jiwa); (2) Kristen (76.293 jiwa); (3) Katolik (236.760 jiwa); (4) Hindu (230 jiwa); (5) Buddha (3.769 jiwa); (6) Konghuchu (81 jiwa); dan Aliran Kepercayaan (2.841 jiwa). Katolik merupakan agama mayoritas di Kab. Sanggau yang pengikutnya tersebar di seluruh kecamatan. Sedangkan Islam menempati posisi kedua dari jumlah pengikutnya. Agama Islam paling banyak penganutnya di kecamatan Kapuas (51.366 jiwa) dan paling sedikit pengikutnya di kecamatan Noyan (513 jiwa). Adapun suku bangsa yang ada di Kab. Sanggau adalah: (1) Suku Melayu tersebar di seluruh wilayah Kab. Sanggau. (2) Suku Dayak Bidayuh di kecamatan: Noyan, Sekayam, Kembayan, Sanggau, dan Beduai, Jangkang; (3) Suku Dayak Kerambay di sebagian kecamatan: Sekayam dan
17 Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sanggau. Jumlah ini sedikit berbeda dengan data BPS 2010 yang menyebut jumlah penduduk kabupaten Sanggau 407.989 jiwa terdiri atas 211.304 Laki-laki dan 196.685 Perempuan. Kebijakan pemerintah dengan mengacu kepada data kepenudukan BPS oleh pejabat Kemenag Sanggau, khususnya di bidang haji, dianggap merugikan karena berpengaruh terhadap kuota haji kabupaten Sanggau.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
71
Entikong; (4) Suku Dayak Mali di kecamatan: Balai, Tayan Hulu, Tayan Hilir, Teraju, dan Parindu; (5) Suku Dayak Desa di kecamatan: Toba dan Sanggau; (6) Suku Dayak Pandu di sebagian kecamatan: Parindu dan Kapuas; (7) Suku Dayak Ribun di sebagian kecamatan: Parindu, Tayan Hulu, Bonti, Kembayan, dan Meliau; (8) Suku Dayak Iban di sebagian besar wilayah perbatasan dengan Serawak, Malaysia; (9) Suku Tionghoa di sebagian besar wilayah Kab. Sanggau. Selain suku-suku setempat terdapat pula suku-suku lain yang merupakan pendatang, seperti: Suku Jawa, Suku Sunda, Suku Batak, Suku Minang, Suku Bugis, Suku Madura, Suku Bima, dan Suku Flores. Kec. Entikong mempunyai banyak jumlah suku yang mendiami wilayahnya terutama disebabkan oleh sikap keterbukaan dari suku penduduk asli. Suku Melayu di Sanggau memiliki prinsip “semua bersaudara”, bahkan mereka terbiasa memperlakukan orang lain sebagai saudara angkat atau anak angkat, baik yang berasal dari penduduk asli maupun dari masyarakat pendatang. Sementara Suku Dayak memiliki budaya magi tapi mengandung nilai kearifan yang tinggi, antara lain berupa budaya “cempalik”, “komponan”, dan “plepasan”. Cempalik itu bagian dari budaya keakraban Suku Dayak ketika menerima tamu mereka menyuguhi kopi dan meminta tamunya agar meminum. Pantangan bagi setiap tamu yang sudah dihidangkan kopi lalu ditolak. Minimal kalau tidak diminum harus dipegang cangkirnya, yaitu yang disebut “Cempalik”. Pemilik rumah yang tidak mempersilahkan tamunya meminum, sehingga tamunya tidak meminum atau memegang cangkir kopi, akan disalahkan apabila tamunya itu 72
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
terkena musibah. Sebab menurut kepercayaan mereka pemilik rumah dan tamu yang tidak melakukan “cempalik” biasanya terkena sial. Inilah yang disebut “komponan”. Oleh sebab itu setiap tamu harus menyantap hidangan, atau setidaknya mengambil sebutir nasi sebagai bentuk menghargai tuan rumah, atau yang disebut “plepasan.” Walaupun demikian, sampai sekarang kepadatan penduduk Kab. Sanggau rata-rata baru 32 jiwa per km2. Jumlah kepadatan penduduk terbesar adalah Kec. Kapuas yakni 57 jiwa per kilometer persegi dan paling jarang penduduknya adalah Kec. Toba sebesar 11 jiwa per kilometer persegi. Masalah pokok dalam bidang kependudukan antara lain adalah penyebaran penduduk yang belum merata, komposisi penduduk yang tidak seimbang serta arus urbanisasi dari desa ke kota, termasuk arus perlintasan dua negara. Masalah kependudukan ini pada akhirnya berpengaruh kepada pelayanan umum yang dilakukan pemerintah. Entikong dan Sekayam Pembangunan Perbatasan
sebagai
Lokasi
Prioritas
Entikong dan Sekayam merupakan dua kecamatan di Kab. Sanggau yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia. Kedua kecamatan itu telah ditetapkan sebagai lokasi prioritas pembangunan perbatasan oleh pemerintah untuk wilayah Prov. Kalimantan Barat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Daerah perbatasan terdiri lini satu luar dan lini satu dalam. Lini satu luar yaitu mulai Titik 0 sampai 4 km (ke arah Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
73
wilayah Indonesia) sementara Lini Satu Dalam adalah mulai 4 km sampai 10 km. Atas dasar itu kalau dihitung dari Pos Lintas Perbatasan Nasional (PLPN), maka kecamatan Entikong sampai Sekayam termasuk daerah perbatasan. Penetapan Entikong dan Sekayam sebagai lokasi prioritas pembangunan perbatasan karena beberapa pertimbangan, yaitu: pertama, kedua kecamatan tersebut memiliki wilayah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga dan/atau terdapat exit/entry point (di darat); yakni Entikong yang berlokasi di Kec. Entikong dan Bale Karangan yang berlokasi di Kec. Sekayam. Dua lokasi ini terletak di ujung paling Utara Kab. Sanggau yang berbatasan langsung dengan Negara tetangga Malaysia, tepatnya daerah Serian Negara Bagian Sarawak. Kedua, penduduk Entikong dan Sekayam secara tradisional memiliki interaksi intensif dari sisi sosial, budaya, maupun ekonomi dengan penduduk negara tetangga di sebelahnya. Dari sisi sosial dan budaya, penduduk asli kawasan perbatasan Kab. Sanggau dengan daerah Serian Malaysia merupakan suku Dayak atau di Serawak disebut Iban, termasuk suku Melayu. Sementara dari sisi ekonomi terdapat pelabuhan darat (dry port) untuk lalu lintas bongkarmuat barang, walaupun sekarang ini baru Malaysia yang memiliki dry port. Indonesia sendiri baru pada tahap perencanaan sesuai usulan PT Alam Permai Khatulistiwa dan prakarsa M. Thalib, seorang tokoh masyarakat di perbatasan Entikong. Secara definitif Kec. Entikong berdiri berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 39 Tahun 1996 dan diresmikan pada tanggal 6 Januari 1997 oleh Gubernur Kalimantan Barat, yang sebelumnya Entikong merupakan 74
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
bagian dari wilayah Kec. Sekayam dengan sebutan Perwakilan Kec. Sekayam. Kec. Entikong dengan ibukota kecamatan di Desa Entikong memiliki luas 506,89 km2. Batas wilayahnya, di bagian utara berbatasan dengan Malaysia Timur, di bagian timur dan selatan berbatasan dengan Kec. Sekayam, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kab. Landak. Kecamatan Entikong secara administratif terdiri dari 5 desa dan 18 dusun, yaitu: (a) Desa Entikong; (b) Desa Nekan; (c) Desa Pala Pasang; (d) Desa Semanget; dan (e) Desa Suruh Tembawang. Keseluruhan jumlah penduduk Kec. Entikong pada tahun 2013 adalah 18.878 Jiwa dan kepadatan penduduk brutto adalah 29 jiwa/km2. Mereka terdiri dari berbagai suku yaitu: Dayak, Melayu, Banjar, Jawa, Madura, Sunda, Betawi, Padang, Batak, Palembang, Bugis, Menado, Lombok, Bima, Tator, Sasak, NTT, dan China. Dari sisi agama yang dianut penduduk Entikong terdapat; (a) Islam (6.036 jiwa), (b) Kristen (3.198 jiwa), (c) Katolik (9,618 jiwa), (d) Hindu (1 jiwa), (e) Buddha (7 jiwa), dan (g) aliran kepercayaan (18 jiwa). Katolik menjadi agama mayoritas yang berkembang di seluruh desa, sedangkan Islam hanya tersebar di Desa Entikong dan dianut beberapa Kepala Keluarga di Desa Suruh Tembawang. Kecamatan Entikong berjarak kurang lebih 147 km dari Ibukota Kab. Sanggau. Prasarana yang telah ada terdiri dari jalan negara 14,5 km, jalan kabupaten 41,7 km, jalan desa 83,37 km. Sarana pendidikan yang tersedia terdiri dari 1 unit TK, 18 unit SD/MI, 2 unit SLTP dan 2 unit SMK. Sarana kesehatan terdiri dari 1 unit puskesmas dan 1 unit puskesmas pembantu. Sarana ekonomi berupa Bank BNI, Bank Mandiri dan Bank Kalbar. Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
75
Di samping sarana pendidikan dan kesehatan di Entikong juga terdapat sarana peribadatan, di mana jumlah gereja lebih banyak daripada masjid dan surau. Perkantoran pemerintah selain kantor kepala desa dan kecamatan juga banyak didirikan di Enitikong, seperti KUA, Kantor Bea Cukai, Kantor Imigrasi, Kantor Stasiun Karantina, Kantor Pengelolaan Kawasan Perbatasan Entikong (UP3LB), Kantor Polsek dan Danramil, RRI, Kantor cabang Kejaksaan Negeri dan Dinas Pendidikan, LSM Anak Bangsa yang bergerak di bidang pengawasan TKI, dan lain-lain. Totalnya ada 41 kantor, sehingga dapat dikatakan perkantoran di Kec. Entikong lebih banyak dan bervariasi dibandingkan yang ada di Kab. Sanggau. Adapun Kec. Sekayam ibukotanya di desa Balai Karangan memiliki luas 841,01 km2 yang berbatasan langsung dengan: (a) Entikong di sebelah utara; (b) Beduai sebelah timur; (c) Wilayah Sintang sebelah selatan; dan (d) wilayah Landak di sebelah barat. Keseluruhan jumlah penduduk Kec. Sekayam pada tahun 2014 adalah 35.421 jiwa dan kepadatan penduduk brutto adalah 35 jiwa/km2. Mereka terdiri dari Suku Dayak, Melayu, Banjar, Jawa, Madura, Sunda, Betawi, Padang, Batak, Palembang, Bugis, Menado, Lombok, Bima, Tator, Sasak, NTT, dan China yang tersebar di 10 (sepuluh) desa: (a) Bale Karangan; (b) Engkahan; (c) Bungkang; (d) Kenaman (e) Lubuk Sabuk; (f) Malenggan; (g) Pedangan; (h) Raut Muara; (i) Sungai Tekam; (j) Sotok. Kec. Sekayam berjarak kurang lebih 128 km dari Ibukota Kab. Sanggau. Dari sisi agama yang dianut penduduk Sekayam terdiri dari: (a) Islam (14.047 jiwa), (b) Kristen (3.173 jiwa), (c) Katolik (18,080 jiwa), (d) Hindu (11 jiwa), (e) Buddha (59 jiwa), (f) Konghuchu (6 jiwa) dan (g) aliran kepercayaan (45 jiwa). 76
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Katolik menjadi agama mayoritas yang berkembang di seluruh desa, sedangkan Islam hanya tersebar di desa Bale Karangan dan dianut beberapa kepala keluarga di hampir seluruh desa. Secara administratif Kec. Sekayam terdiri dari 10 desa dan 35 dusun. Prasarana yang telah ada terdiri dari jalan negara 17 km, jalan kabupaten 65,7 km, jalan desa 102,027 km. Sarana pendidikan yang tersedia terdiri dari 3 unit TK, 28 unit SD/MI, 4 unit SLTP/MTS dan 2 unit SLTA/MA. Sarana kesehatan terdiri dari 1 unit puskesmas dan 4 unit puskesmas pembantu serta 2 unit poliklinik. Sarana telekomunikasi berupa STO Balai Karangan dengan kapasitas terpasang 978 SST dan kapasitas terpakai 528 SST. Sarana ekonomi yang berupa Bank terdiri dari Bank BRI, BNI dan Bank Kalbar. Program pembangunan perbatasan di Kec. Entikong dan Kec. Sekayam diprioritaskan untuk menyelesaikan 5 (lima) masalah pokok pembangunan kawasan perbatasan, yaitu: 1) Masalah infrastruktur perbatasan yang secara tidak langsung berhubungan dengan kesejahteraan ekonomi masyarakat. 2) Masalah sumberdaya manusia. Ada ungkapan yang berkembang di kalangan masyarakat Sanggau, “Bodoh sudah lewat, pintar belum sampai” Maksudnya, penduduk asli perbatasan secara kualitas sudah melalui tahap “lepas landas” dari sisi pendidikan, khususnya anak-anak muda sudah mengenyam pendidikan minimal SMP. Akan tetapi mereka belum bisa “terbang”, sehingga bisa berkembang maju kalau bersama-sama dengan suku lainnya.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
77
3) Masalah pengawasan batas Negara. Indonesia sampai sekarang tidak memiliki jalur inspeksi perbatasan, sedangkan Malaysia sudah mempunyai jalur yang bisa dilewati mobil untuk inspeksi. 4) Masalah teknologi untuk mengolah produk hasil bumi daerah perbatasan, sehingga mendapatkan nilai tambah. Selama ini banyak penduduk di kawasan perbatasan, khususnya di pelosok kampung yang menjual hasil bumi ke Malaysia. Mereka bisa melewati “jalan tikus” untuk menyeberang bukit ke perbatasan Malaysia. Kalau barang sudah sampai di Malaysia, maka berapapun tawaran yang diajukan pasti mereka terima sebab tidak mungkin barang dagangan yang mereka bawa lalu dibawa pulang lagi ke kampungnya. 5) Masalah nasionalisme, kesadaran politik, dan lain-lain. Ada kecenderungan penduduk perbatasan kurang memperdulikan isu-isu nasional. Mereka menonton berita lewat siaran televisi nasional (karena siaran televisi Malaysia tidak masuk di Entikong), tapi perkembangan politik nasional tidak banyak pengaruhnya bagi mereka. Perjalanan Menuju Perbatasan Entikong Untuk menuju Entikong dapat dilalui dari Pontianak, Kalimantan Barat dan juga dari Kuching, Negara Bagian Serawak, Malaysia. Dari Pontianak dapat ditempuh melalui jalan trans Kalimantan poros selatan sampai Kec. Tayan kemudian melintas ke utara melewati Kec. Batang Tarang, Sosok, Kembayan dan akhirnya masuk ke Entikong melalui jalan trans Kalimantan poros Utara (jalur lama). Jarak dengan waktu tempuh kurang lebih 8 jam. 78
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Jalan trans Kalimantan poros utara kondisinya baik tapi jarak tempuhnya menuju Entikong lebih panjang sekitar 450 km. Sedangkan Jalan trans Kalimantan poros selatan (jalur baru) jarak tempuhnya lebih pendek, dari Pontianak sampai Entikong 310 km. Hanya saja kondisi jalannya sebagian ada yang rusak parah sepanjang 80 km, mulai dari Simpang Ampat Kec. Tayan Hilir sampai Sosok Tayan Hulu. Di beberapa titik jalan yang rusak itu terdapat “papan protes” yang ditulis masyarakat. Antara lain tertulis: “Para penguasa jangan bunuh kami dengan menghirup debu” dan “Mana setoran untuk perbaikan jalan kami!” dan lain-lain. Walaupun sebagian jalan Trans Selatan Kalimantan rusak akan tetapi lalu lintasnya cukup ramai. Pada umumnya mobil taxi, bus dan truk pengangkut barang yang melewati jalur ini karena jarak dengan waktu tempuh dari Pontianak ke Entikong kurang lebih 7 jam. Termasuk yang sering lalu lalang melintasi jalur Trans Selatan ialah armada bus KuchingPontianak milik pengusaha Malaysia (10 perusahaan) yang lebih banyak mengangkut TKI-TKW asal Indonesia yang hendak pulang dan pergi ke Malaysia. Sedangkan dari Kuching, Negara Bagian Serawak dapat ditempuh melalui jalan darat sampai Distrik Serian ke arah Tebedu yang berbatasan langsung dengan Entikong kurang lebih 250 km. Kondisi jalan dari Kuching ke Entikong sangat baik. Di Serian dan Tebedu pengguna jalan dapat berbelanja produk-produk Malaysia dan bebas bea-cukai dengan ketentuan nilainya tidak lebih dari 600 ringgit. Jarak dengan waktu tempuh kurang lebih 3 jam. Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
79
Perkembangan Agama, Sosial dan Budaya di Entikong Entikong, penamaan wilayah perbukitan yang dibelah oleh Sungai Setayam ini karena berada persis di pinggir lajur sungai yang menikung (berkelok): Dari “nikung” diucapkan “nekong” kemudian dikenal Entikong. Di masa Kesultanan Sanggau, Entikong termasuk wilayah kekuasaan perwakilan Sultan Sanggau yang ditempatkan di Sekayam. Pada saat itu Entikong belum berpenghuni karena orang Melayu dan Dayak masih memilih Sekayam sebagai tempat tinggal. Entikong juga pernah dijadikan tempat pembuangan para pengikut Soemokil, tokoh Republik Maluku Selatan, tepatnya Entikong bagian utara sungai Setayam. Sampai tahun 1957, penduduk yang berdiam di Entikong hanya ada 6 kepala keluarga. Hal ini sangat mungkin terjadi sebab pada masa itu tidak ada akses jalan darat menuju Entikong. Perjalanan dari Entikong ke Sanggau dibutuhkan waktu 9 hari dan Entikong ke Setayam bisa dicapai selama dua malam melalui jalur sungai. Pembangunan Entikong dimulai setelah TNI berhasil menumpas eks pasukan Soemokil yang bergabung dengan PKI, pada tahun 1963-1965. Pada saat itu TNI berbasis di “Selatan Sungai” sedangkan PKI berada di sebelah “Utara Sungai”. Presiden Soekarno pernah berkunjung ke Entikong pada saat akan meletusnya pemberontakan eks pasukan Soemakil. Mayjen Soeharto juga pernah memimpin penumpasan PKI di Entikong pada 1965. Pada tahun 1971, TNI mulai membangun jalan darat dari arah jembatan Entikong sampai Bonti ke arah Kec. Parindu. Sedangkan yang merintis jalan perbatasan dari 80
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
jembatan Entikong menuju Tebedu adalah Australia pada tahun 1977. Walaupun demikian secara umum TNI yang memiliki andil besar terhadap pembangunan Entikong. Semenjak terbangun jalur darat, banyak masyarakat di Kab. Sanggau dan daerah lainnya hijrah ke Entikong, baik untuk berbisnis atau tinggal menetap. Hubungan antara masyarakat Entikong dengan masyarakat perbatasan Malaysia pun berlangsung semakin intens. Hal ini mendorong pemerintah RI dan Malaysia membuat kesepakatan pada tahun 1979 agar masing-masing Negara membangun kawasan perbatasan. Selain itu kedua Negara juga bersepakat untuk membolehkan jual-beli antara penduduk dan keluar masuk barang dari masing-masing wilayah asal tidak lebih dari 600 ringgit. Kedua negara juga bersepakat untuk menyediakan 5 buah bus di masing-masing perbatasan negara. Inilah tonggak awal pembangunan perbatasan di Entikong. Pembangunan Entikong tidak secepat pembangunan perbatasan Negeri Bagian Serawak, Malaysia. Namun, Entikong telah menjadi daya tarik tersendiri bagi warga negara Indonesia yang ingin melintas ke Malaysia, baik untuk bekerja, berbelanja, maupun usaha lainnya. Akibatnya laju pertumbuhan penduduk rata-rata di wilayah Entikong meningkat lebih cepat yakni 9,51% per tahun, dibandingkan dengan Kab. Sanggau yang hanya 1,44% per tahun. Penduduk yang menetap di Entikong tidak lagi suku Melayu dan Dayak, tetapi juga suku-suku lainnya di Indonesia. Keberadaan multi etnis di Entikong berdampak kepada pergumulan yang harmonis antar agama dan budaya serta ekonomi penduduknya. Hal ini sesuai dengan motto Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
81
Kab. Sanggau: “Dari manapun, Suku apapun, Agama apapun, Jadilah warga yang baik dan bertanggung jawab”. Di Entikong, agama mampu beradaptasi dengan budaya lokal, begitu pula sebaliknya. Agama mampu berkembang dan bersinggungan dengan budaya setempat tanpa ada konflik yang berarti. Islam, Kristen, Katolik dan agama lainnya bisa berkembang dengan baik dan penganut masing-masing agama mampu hidup bersanding secara harmonis. Di bidang ekonomi, pertumbuhannya menunjukkan angka yang cukup signifikan yaitu sekitar 5 % per-tahunnya. Peluang kerja juga terbuka luas, bukan saja bagi penduduk asli Entikong, tetapi juga pendatang lainnya. Namun demikian, di sisi lain, dampak keterbukaan kawasan perbatasan Entikong dari penduduk pendatang baru tidak luput memicu persoalan yang baru pula. Di bidang agama, teridentifikasi beberapa masalah, antara lain: (1) pembinaan agama kurang maksimal bagi segenap lapisan masyarakat yang berdampak kepada merosotnya nilai agama dan budaya, seperti masalah Narkoba, praktik “kumpul kebo” dan prostitusi, dan lain sebagainya. (2) Munculnya paham Islam trans-nasional di daerah perbatasan seperti Gerakan Salafi dan Syi’ah. Mereka lebih banyak “mengkafirkan” orang Islam daripada “mengislamkan” orang yang tidak beriman. Walaupun sejauh ini paham ini dapat ditangkis oleh masyarakat kawasan perbatasan yang umumnya sudah menganut paham Kaum Tua (ulama ahlussunnah wal jamaah). Sementara di bidang sosial, teridentifikasi beberapa masalah, diantaranya ialah; (1) masalah perkawinan dan keluarga akibat mobilitas pelintas batas dari Malaysia ke Indonesia dan sebaliknya yang cukup tinggi. Setiap harinya terdapat 6.000 orang yang melalui PPLB (Pos Pengelola Lintas 82
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Batas). Di Entikong mudah ditemukan praktik kawin kontrak, poligami liar, praktik poliandri dan kumpul kebo (bojo-bojoan), (2) masalah sengketa lahan hutan, perkebunan, dan pemukiman serta lahan kuburan akibat ketidakpahaman masyarakat pendatang dengan adat pertanahan penduduk asli Suku Dayak. Dalam adat mereka ada yang disebut lahan kuning (lahan yang hanya dapat ditempati tidak bisa dimiliki), dan lahan hijau (lahan yang dapat ditempati dan miliki). Kebutuhan perluasan pemukiman bagi masyarakat pendatang sering berhadapan dengan adat itu yang menyebabkan sengketa lahan. Adapun di bidang ekonomi, terdapat masalah krusial yang perlu ditangani, yaitu; (1) masalah lalu lintas keluar masuknya barang melalui PPLB-nya. Pasalnya barang-barang komoditi asal Malaysia, meliputi sembilan bahan pokok (Sembako) termasuk gas (LPG) beredar luas di kalangan masyarakat Entikong dan sekitarnya. Masyarakat Entikong tidak pernah merasakan keresahan akibat kenaikan Sembako ataupun bahan bakar minyak dan gas sebagaimana yang dirasakan oleh masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. (2) persaiangan penguasaan sumber-sumber ekonomi antar kelompok dan suku sudah mulai muncul secara laten di kawasan perbatasan. Hal ini sebagai akibat tidak langsung dari aktifitas ekonomi di kawasan perbatasan Entikong yang “tidak sehat” antara lain berupa penguasaan oleh suku tertentu terhadap bisnis ekspedisi, money changers, lahan property, taxi, penampungan TKI sampai bisnis prostitusi.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
83
PELAYANAN KEAGAMAAN DI KAWASAN PERBATASAN KABUPATEN SANGGAU Kankemenag sebagai aparatur pemerintah memiliki posisi dan tugas fasilitator dalam membangun iklim keagamaan yang kondusif bagi perkembangan masyarakat yang dinamis, progresif, toleran dan damai diatas dasar nilai keagamaan dan kekayaan budaya yang berkeadaban (Sudijono: 2.000). Untuk menjabarkan tugas itu maka Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 1 Tahun 2001 telah mengariskan fungsi Kankemenag meliputi empat masalah pokok, yaitu: (1) memperlancar pelaksanaan pembangunan di bidang keagamaan; (2) membina dan mengkoordinasikan pelaksanaan tugas serta administrasi kementerian; (3) melaksanakan penelitian dan pengembangan, terapan pendidikan dan pelatihan tertentu dalam rangka mendukung kebijakan di bidang keagamaan; dan (4) melaksanakan pengawasan fungsional. Secara khusus berkaitan dengan fungsi pelaksanaan pembangunan di bidang keagamaan, Kankemenag telah menetapkan program pelayanan keagamaan. Pelayanan keagamaan merupakan bagian dari pelayanan umum, yaitu segala kegiatan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan. Dasar yang utama pelayanan keagamaan di Indonesia adalah Sila kesatu Pancasila dan Pasal 29 UUD Tahun 1945. Pelayanan keagamaan di Indonesia dapat dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik, baik dari unsur 84
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
pemerintah maupun unsur sosial-kemasyarakatan. Hal ini menjadi keunikan sendiri sebab walaupun Indonesia bukan Negara agama tetapi peran serta agama dalam sejarah pembentukan Negara tidak bisa dinafikan. Oleh sebab itu Negara Indonesia tidak dapat serta merta membiarkan urusan agama dalam ranah privasi, tetapi juga terlibat menyelenggarakan pelayanan agama sesuai dengan ketentuan perundang-undang yang berlaku. Ruang lingkup pelayanan keagamaan yang dilaksanakan Negara menurut undang-undang meliputi: perkawinan Islam, zakat/infaq/sedekah/wakaf, haji, pendidikan keagamaan, dan sebagainya. Di luar itu pelayanan keagamaan diserahkan kepada lembaga sosial keagamaan. Negara dalam menyelenggarakan pelayanan keagamaan telah membentuk unit pelayanan keagamaan melalui Kementerian Agama mulai dari pusat, wilayah provinsi., dan kabupaten/kota. Sebagai ujung tombaknya Kankemenag Kab./Kota serta Kantor Urusan Agama (KUA). Di Kab. Sanggau pelayanan keagamaan dilakukan oleh Satuan Kankemenag Kab. Sangau yang memiliki struktur meliputi: (a) Kepala Kantor; (b) Kepala Sub Bagian Tata Usaha; (c) Kasi Mapenda; (d) Kasi Pendidikan Islam (PAIS); (e) Kasi Haji dan Umrah; (f) Kasi Urais; (g) Penyelenggara Syariah; (h) Penyelenggara Katolik; serta (i) Penyelenggara Kristen. Sebagai penganut agama mayoritas di Kab. Sanggau, tokoh Katolik dan Kristen mengeluhkan adanya diskriminasi pada aspek struktur Kankemenag Kab. Sanggau. Mengapa pelayanan agama Katolik dan Kristen diselenggarakan oleh Penyelenggara, bukan Kepala Seksi (Kasi)?
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
85
Untuk mengukur pemenuhan kebutuhan pelayanan pemerintah melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara telah menetapkan Keputusan Menpan No. Kep/25/M. PAN/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasaan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. Yaitu meliputi; (a) prosedur pelayanan, (b) persyaratan pelayanan, (c) kejelasan petugas pelayanan, (d) kedisiplinan petugas pelayanan, (e) tanggung jawab petugas pelayanan, (f) kemampuan petugas pelayanan, (g) kecepatan pelayanan, (h) keadilan mendapatkan pelayanan, (i) kewajaran biaya pelayanan, (j) kepastian biaya pelayanan, (k) kenyamanan lingkungan, dan (l) keamanan lingkungan. Pelayanan Keagamaan di KUA Entikong-Sekayam Pelayanan keagamaan di kawasan perbatasan Entikong diselenggarakan melalui KUA pada khususnya dan Kankemenag Kab. Sanggau pada umumnya. Secara infrastruktur pelayanan keagamaan cukup baik karena baik di Entikong maupun di Sekayam sudah berdiri KUA. Sementara Kankemenag Kab. Sanggau sudah berdiri lama, dan bahkan ada keinginan untuk dipindahkan ke kawasan baru Komplek Pemkab Sanggau di wilayah Timur kota Sanggau. Fisik bangunan KUA di wilayah perbatasan sudah permanen dan sudah tersambung listrik dari PLN maupun air dari PDAM, tetapi belum terpasang kabel telepon yang menyebabkan tidak berjalannya progam SIMKAH. Hanya saja masalahnya masing-masing KUA kekurangan tenaga (SDM) sebagai ujung tombak dalam pelayanan keagamaan. Kepala Kantor Kemenag Sanggau, Moch. Natsir menuturkan, bahwa KUA sudah berdiri di 15 wilayah 86
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
kecamatan, termasuk di Kec. Noyan yang penduduk muslimnya hanya 70-80 KK. Tapi tenaga KUA sangat terbatas, dari 15 KUA hanya ada 3 KUA yang memiliki staf, dimana pada umumnya Kepala KUA bekerja sendirian. Bahkan ada 2 KUA yang tidak memiliki kepala kantor, diantaranya KUA Entikong yang hanya memiliki seorang staf. Pelayanan pencatatan nikah KUA Kec. Entikong digabungkan dengan KUA Kec. Sekayam yang hanya memiliki Kepala KUA dan seorang staf. Kondisi yang sama juga terjadi di KUA Noyan dan KUA Beduai yang dirangkap oleh seorang Kepala KUA, yaitu Tafsirudin sebagai Kepala KUA Noyan, karena Kepala KUA Beduai, Jamiun sudah lama menderita sakit tetap. Sebelum dilakukan pemekaran Kec. Entikong pada 1997 pelayanan pencatatan nikah diselenggarakan KUA Sekayam, bahkan sampai tahun 2000 KUA Entikong baru beroperasi. Kepala KUA maupun staf KUA yang ditugasi sudah bergonta-ganti: Thoyib Shalahudin Al-Ayyubi (2000), M. Jafar (2002-2006), H. Nasri (2006-2011), Raini (2012), dan sekarang Eko Setyo Nugroho (2014). Dengan pengertian lain, pergantian petugas KUA Entikong tidak selalu terisi oleh petugas yang menggantikan, misalnya tahun 2000-2002 terjadi kekosongan petugas KUA, dan 2012-2014 terulang peristiwa yang sama. Di samping itu pelayanan KUA Entikong selama ini hanya dilaksakan oleh satu orang pegawai, baik selaku Kepala KUA maupun hanya sebagai staf KUA. Idealnya KUA sebagai ujung tombak Kankemenag memiliki seorang Kepala KUA, seorang TU/Bendahara dan dibantu minimal 6 (enam) orang staf, sesuai dengan jenis pelayanannya, yaitu; (a) Pelayanan bidang organisasi dan ketatalaksanaan; (b) Pelayanan teknis dan administrasi Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
87
nikah/rujuk; (c) Pelayanan Teknis dan Administrasi, Kependudukan, Keluarga Sakinah dan Kemitraan; (d) Pelayanan Teknis dan Administrasi Kemasjidan; (e) Pelayanan Teknis dan Administrasi ZIS dan Wakaf; (f) Pelayanan Informasi tentang Madrasah, Pondok Pesantren, Haji dan Umrah; dan (g) Pelayanan Lintas Sektoral. Sebagai akibat minimnya petugas di KUA Entikong, hanya jenis pelayanan administrasi nikah/rujuk saja yang berfungsi efektif, sedangkan jenis layanan lainnya tidak berjalan secara normal. Secara faktual pelayanan keagamaan yang dilakukan KUA Entikong dapat dideskripsikan sebagaimana berikut: Pertama, Pelayanan Bidang Organisasi dan Ketatalaksanaan yang jenis pelayanannya mencakup: pembinaan karyawan/ti dalam hal pelayanan pada masyarakat, pembinaan P3N, penyerahan formulir NR (N1 s.d. N6), pemberian rekomendasi permohonan bantuan masjid, pemberian informasi data keagamaan, dan pemberian surat keterangan masuk Islam. Jenis pelayanan ini baru sedikit yang dilakukan oleh KUA Entikong karena sempat terjadi kekosongan petugas, sedangkan petugas yang baru diangkat kurang berpengalaman dan belum dikenal banyak oleh masyarakat. Bahkan banyak yang menganggap Kankemenag Kab. Sanggau kurang serius dalam penempatan pegawai pada KUA Entikong karena pegawai yang ditugasi bertempat tinggal di pusat Kab. Sanggau yang jaraknya kurang lebih 120 km dengan waktu tempuh 3 jam. Kedua, Pelayanan Teknis dan Adminstrasi Nikah/Rujuk yang jenis pelayanannya mencakup penyerahan formulir pendaftaran pernikahan (N7), pemberitahuan biaya nikah, pengumuman/jadwal pernikahan, penasehatan calon pengantin (catin), pengawasan dan pencatatan akad nikah, 88
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
konfirmasi waktu pelaksanaan Nikah (N7), penyerahan kutipan akta nikah kepada pengantin (NA), pemberian rekomendasi nikah, legalisir kutipan akta nikah, pemberian keterangan mengetahui status belum menikah, pemberian duplikat kutipan akta nikah (DN). Secara umum jenis pelayanan ini sudah dipraktikkan sesuai dengan kapasitas staf KUA sebagai penerima pendaftaran nikah. Selebihnya, layanan ini dialihkan kepada Kepala KUA Sekayam. Dalam setahun rata-rata pendaftaran perkawinan di KUA Entikong hanya 20 kali. Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingakan dengan jumlah penduduk Muslim di Entikong. Secara statistik, jika perbandingan usia nikah adalah 1:1000 penduduk, maka dengan penduduk Muslim sebanyak 14.047 jiwa semestinya jumlah peristiwa perkawinan adalah 14 kali perbulan atau 168 peristiwa nikah pertahun. Ini menandakan terjadinya praktik perkawinan yang tidak tercatat. Ketiga, Pelayanan Teknis dan Administrasi, Kependudukan, Keluarga Sakinah dan Kemitraan yang jenis pelayanannya mencakup: pemberian bimbingan perkawinan kepada calon pengantin, pembinaan Fikih Munakahat dan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No.9 Tahun 1975, Penyelenggaraan Suscatin (Kursus Calon Pengantin), Pembinaan Keluarga Sakinah, Pemilihan Keluarga Sakinah, konsultasi krisis rumah tangga, konsultasi waris, wali dan hibah, penyerahan data umat beragama ke Kandepag. Di KUA Entikong tidak semua jenis pelayanan ini diberikan kepada masyarakat, padahal di wilayah perbatasan sering terjadi praktik kawin siri, kawin kontrak, poligami dan poliandri liar, dan sebagainya. Termasuk layanan Suscatin yang dilakukan dalam waktu bersamaan dengan prosesi akad nikah karena alasan domisili calon pengantin jauh dari KUA.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
89
Keempat, Pelayanan Teknis dan Administrasi Kemasjidan yang jenis pelayanannya meliputi: pemberian informasi data rumah ibadah (Masjid, Surau dan Mushola), pembinaan adminstrasi terhadap pengurus masjid dan perpustakaannya, pendistribusian buku pedoman kemasjidan dan pedoman diklat, koordinasi dengan pengurus masjid, penentuan masjid binaan, penentuan masjid teladan. Kegiatan ini pernah dilakukan di KUA Entikong pada masa Thoyib Shalahudin Al-Ayyubi (2000) dan H. Nasri (2006-2011) dan sudah tidak dilakukan lagi selama tiga tahun sampai sekarang. Padahal perkembangan terakhir di kawasan Entikong, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk beragama Islam, telah berdiri tempat-tempat peribadatan, majelis taklim, TPA, dan lain-lain. Kelima, Pelayanan Teknis dan Administrasi ZIS dan Wakaf yang jenis kegiatannya meliputi: sosialisasi UU Zakat, penyuluhan tentang Zakat, Infak dan Sedekah, penyampaian SK pembentukan BAZ UPZ kelurahan, penyaluran bantuan dana bergulir BAZ, pengumpulan zakat, infak, dan sedekah, pemberian informasi tanah wakaf, monitoring stok blanko tanah wakaf, inventarisasi tanah wakaf yang bermasalah, penyelesaian sertifikasi tanah wakaf, pembinaan nadzir, pembuatan dan penyerahan salinan AIW/APAIW, pelayanan pengaduan tanah wakaf dan pemberian solusi terhadap tanah wakaf yang bermasalah serta penjelasan ZIS bagi jamaah haji. Hampir semua jenis kegiatan ini tidak dilakukan di KUA Entikong tetapi sebagian dilakukan langsung melalui Kantor Kemenag Kab. Sanggau. Alasannya karena potensi zakat, infak, sedekah, dan wakaf di Entikong belum begitu besar. Baru ada satu Mesjid yaitu Al-Muhajirin yang mengelola ZIS dan administrasi keuangannya cukup baik dan accountable. Pendapatannya per-tahun rata-rata 100 juta rupiah. Wakaf di 90
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Entikong juga baru ada 5 lokasi seluas 11.768 yang diperuntukkan untuk masjid, surau, dan kuburan. Namun demikian ada kecenderungan masyarakat Entikong mulai tergugah untuk mendayagunakan ZIS dan wakaf, dengan terbentuknya Badan Fardhu Kifayah Entikong yaitu badan yang bergerak di bidang sosial keagamaan dan kewirausahaan. Keenam, Pelayanan Informasi tentang Madrasah, Pondok Pesantren, Haji dan Umrah yang jenis kegiatannya meliputi: penjelasan izin operasional, penjelasan legalisasi ijazah madrasah, penjelasan permohonan bantuan pondok pesantren, penjelasan pendaftaran haji dan umrah. Kegiatan ini hanya dilakukan di Kantor Kemenag Kab. Sanggau, karena pertimbangan pengguna pelayanan masih sangat sedikit. Di kecamatan Entikong hanya ada satu madrasah yaitu MI AlIstiqamah, pondok pesantren belum ada, dan jumlah jemaah haji pertahun rata-rata 2 orang. Kondisi ini berbeda dengan wilayah KUA Sekayam yang terdapat 5 (lima) madrasah (MI Al-Wardah, MI al-Raudah, MTsN Bale Karangan, MTs AlMizan dan MA al-Mizan), 2 pesantren (Al-Mizan dan Miftahul Hidayah), dan jumlah jemaah haji rata-rata 7 orang pertahun. Ketujuh, Pelayanan Lintas Sektoral yang jenis pelayanannya meliputi: pemberian pengantar imunisasi ke Puskesmas bagi calon pengantin, penyuluhan narkoba bekerja sama dengan Subdin Kesehatan, Polsek dan Kecamatan, pembinaan keluarga sakinah bekerja sama dengan Kanwil Kemenag, PLKB, Puskesmas dan PKK, penyelenggaraan Jum’at bersih bekerja sama dengan pengurus masjid dan surau, Pemberian santunan kepada yatim piatu bekerjasama dengan BAZ, pembinaan kerukunan umat beragama bekerja sama dengan FKUB. Jenis pelayanan ini hanya sebagian kecil Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
91
yang dilakukan di KUA Sekayam, terutama yang berhubungan langsung dengan pendaftaran nikah, sedangkan sebagian besar jenis pelayanan dilakukan langsung melalui Kankemenag Kab. Sanggau. Ketidakefektivan pelayanan keagamaan KUA Entikong akibat ketersediaan SDM menyebabkan KUA Entikong sulit memenuhi 14 unsur pelayanan publik berdasarkan indek kepuasan masyarakat. Sebagai contoh jenis pelayanan Teknis dan Adminstrasi Nikah/Rujuk yang dianggap paling dominan dilaksanakan KUA Entikong, akan tetapi secara infrastruktur banyak yang tidak terpenuhi. Hal ini dibuktikan dengan ketiadaan papan informasi alur pelayanan teknis dan administrasi Nikah/Rujuk, kelengkapan kantor masih sangat minim dan kurang nyaman, dan lain-lain. Gambaran infrastruktur KUA Entikong ini dapat menjadi indikasi bahwa pelayanan keagamaan di perbatasan masih jauh dari harapan. Pelayanan Penyuluh Agama Fungsional di Entikong Penyuluh Agama Fungsional diberi tugas, wewenang, tanggungjawab, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan Bimbingan dan Penyuluhan Agama dan Pembangunan pada masyarakat melalui bahasa agama. Untuk sementara ini regulasi penyuluh agama fungsional “menginduk” pada Keputusan Bersama Menteri Agama dan Kepala BKN No. 574 Tahun 1999. Penyuluhan agama merupakan salah satu bentuk satuan kegiatan yang memiliki nilai strategis, khususnya dalam menjalankan fungsi memperlancar pelaksanaan pembangunan di bidang keagamaan, termasuk di kawasan 92
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
perbatasan seperti Entikong dan Sekayam. Sasaran penyuluhan agama adalah para penduduk yang mendiami wilayah sebagai penerima layanan agama di tempat para penyuluh bertugas. Di Entikong dan Sekayam, penduduk yang terlayani secara keagamaan hanya umat Katolik, Kristen, dan Muslim sebagai kelompok potensial di daerah perbatasan. Hanya saja dalam kenyataannya penyuluhan agama masih menghadapi banyak permasalahan krusial, yang paling pokok ialah: SDM, letak geografis, kondisi masyarakat sebagai obyek Bimbingan dan Penyuluhan Agama (BPA), penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, masa kerja penyuluh, dan dana operasional kegiatan BPA. 1. Bimbingan dan Penyuluhan Agama Islam Penganut agama Islam di kawasan perbatasan Entikong dan Sekayam totalnya berjumlah 20.083 jiwa. Pemeluk agama Islam terkecil berada di desa Nekan (6 orang), desa Pala Pasang (4 orang), dan desa Suruh Tembawang (18 orang). Ketiga desa berada di wilayah Kec. Entikong dengan jarak terjauh 42 km yang hanya bisa dicapai dengan menggunakan motor air. Sarana peribadatan umat Islam yang berdiri terdiri bangunan masjid (27 bangunan), surau dan musholla (22 bangunan) dalam kondisi permanen dan semi permanen serta darurat. Tidak semua lahan bangunan masjid dan musholla berstatus wakaf. Dari 49 bangunan masjid dan musolla di Entikong dan Sekayam hanya 30 lahan yang berstatus wakaf, selebihnya masih menjadi milik perorangan.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
93
Di setiap masjid/musholla terdapat Imam masjid/musholla dan ustadz/guru agama, akan tetapi tidak terdata berapa jumlah keseluruhannya. Mereka tidak ditugasi khusus dan tidak mendapatkan gaji tetap seperti imam/ustadz di wilayah Serawak Malaysia, tetapi lebih dimotivasi panggilan jiwa dan agama. Namun tidak banyak tokoh agama di kawasan perbatasan yang berlatar belakang pendidikan agama seperti pesantren atau madrasah. Kebanyakan mereka dari generasi tua yang belajar agama secara turunan bukan melalui lembaga pendidikan Islam, sehingga dari segi bacaan al-Qur’an dan penguasaan ilmu-ilmu keislaman masih rendah. Sebagai contoh seorang imam masjid membaca ayat “ghairil maghzhubi ‘alaihim” dengan bacaan “rairil marzdubi ‘alaihim” dan saat Tahlilan seharusnya membaca tarqiq (tipis) lafal “Bihillah, Yaghfiru limayyasya” tetapi dibaca tafkhim (tebal) mejadi “Bihilloh”. Pandangan keagamaan mereka juga masih kolot, seperti pandangan imam harus dari orang tua; zakat, infaq, sedekah hanya diperuntukkan pengurus masjid. Perwalian anak angkat oleh orang tua angkat seolah menjadi anak kandung. Juga tanah wakaf kuburan hanya untuk pemakaman orang-orang yang dikenal muslim dan taat beragama. Seperti dituturkan oleh salah seorang pengurus Masjid Al-Muhajirin, M. Shodiq Nur Fath, pernah terjadi satu kasus meninggalnya seorang TKI karena mengidap masalah kejiwaan, --yang belakangan diketahui bernama Sonhaji asal Magelang yang ditolak pengelola kuburan wakaf Entikong karena alasan tidak jelas asal usulnya. Mayatnya sempat dibawa ke kantor polisi dan hendak dibakar oleh warga
94
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
karena sudah didiamkan 2 hari. Gara-gara ketidak jelasan identitas mayat Sonhaji dikubur di tepi sungai Entikong. Keberadaan tokoh agama yang umumnya berpandangan kolot ini di sisi lain cukup efektif “menghalau” laju pergerakan gerakan Islam transnasionalis dan gerakan puritanisme Islam, seperti Salafi-Wahabi di kawasan perbatasan. Semenjak tahun 2010 telah muncul kelompok Islam yang suka membid’ahkan dan menyesatkan kelompok Islam lain di Entikong, tetapi dengan sendirinya tertolak oleh masyarakat karena pengaruh kelompok Orang Tua itu. Selain pelayanan agama yang dilakukan secara suka rela oleh tokoh informal, di Entikong dan Sekayam juga terdapat Penyuluh Agama Fungsional. Dalam Daftar Penyuluh Agama Islam Honorer Kemenag Kab. Sanggu Tahun 2013 terdapat 8 orang yang ditugaskan di Entikong dan Sekayam dari total 84 orang (4 PNS) penyuluh agama Islam se Kab. Sanggau. Kedelapan tenaga BPA di Entikong dan Sekayam berstatus honorer; 7 orang berpendidikan SLTA dan DII hanya 1 orang. Hanya saja peran mereka tidak dirasakan masyarakat karena berbagai alasan, diantaranya: pertama, alasan letak geografis yakni umumnya tenaga BPA bukan berasal dari daerah bimbingannya. Di Entikong, misalnya, dari 3 orang BPA hanya 1 orang, yaitu Yusman, yang berasal dan menetap di Entikong. Dua orang lagi tidak menetap di Entikong, padahal jarak Entikong dengan daerah terluar lebih dari 20 km. Selain itu, meskipun umumnya obyek BPA masyarakat Islam di pusat kecamatan tetapi terdapat pula keluarga Muslim di pedalaman, seperti di desa Suruh Tambawang, yang sulit dijangkau dengan menggunakan transportasi darat.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
95
Kedua, kondisi masyarakat Entikong dan Sekayam sebagai obyek Bimbingan dan Penyuluhan Agama (BPA) yang secara kultural lebih mengutamakan generasi tua sebagai kiblat beragama dan berkonsultasi masalah agama. Tenaga BPA pada umumnya tidak berfungsi optimal, karena pelayanan keagamaan ditangani Kelompok Orang Tua. Akibatnya tenaga BPA lebih banyak berfungsi sebagai guru agama Taman Pendidikan Al-Qur’an daripada menjalankan tugas sebagai petugas BPA dan pembangunan pada masyarakat melalui bahasa agama secara pratisipatif dan transformatif. Hal ini dikeluhkan sendiri oleh seorang penyuluh, Yusman, yang tidak mengerti apa yang semestinya dilakukan dalam kegiatan BPA. Ketiga, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Secara khusus basis kelompok Islam di kecamatan Entikong dan Setayam berada di desa atau kota kecil pusat kecamatan yang relatif baik mendapatkan akses teknologi informasi dan komunikasi. Sekalipun jaringan telpon kabel belum memadahi, tetapi jaringan telepon seluler sudah terjangkau. Masyarakat pada umumnya juga telah menggunakan teknologi parabola untuk menangkap siaran televisi nasional dan lokal. Di samping itu juga terdapat stasiun transmisi pemancar RRI. Hanya saja dari teknologi informasi dan komunikasi yang tersedia tidak ada yang dimanfaatkan untuk kegiatan BPA. Termasuk tidak ada pemanfaatan RRI Entikong untuk kegiatan BPA dan acara keagamaan lainnya seperti di bulan Ramadhan. Hal ini disebabkan ketidak mahiran tenaga BPA dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, serta tidak adanya jaringan kelompok kerja penyuluh agama Islam di Kab. Sanggau.
96
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Keempat, ketiadaan dana operasional kegiatan BPA kecuali mereka mendapat honor Rp. 300.000/bulan. Dengan jumlah honor itu penyuluh agama Islam kesulitan untuk melakukan kegiatan BPA di daerah pedalaman. Secara umum masyarakat di daerah pedalaman tidak mendapatkan layanan penyuluhan agama Islam. Seperti diutarakan seorang pegawai BNPP, Awal Yuda Setiawan, yang pernah mendapati kelompok Islam dari suku Dayak di desa Suruh Tambawang, berjarak 42 km dari pusat Kec. Entikong, sedang memagari areal bangunan musholla setempat dengan bambu agar tidak dilintasi babi milik saudara mereka sesama Dayak. Namun, keberadaan pemeluk Islam dan bangunan Musholla di desa Suruh Tambawang ternyata tidak didapati tokoh yang ahli agama. Hal senada juga diutarakan tokoh Islam Entikong asal Sambas, Ahmad Ibbas. Menurutnya menurunkan muballigh/penyuluh Islam ke daerah pedalaman lebih banyak mengundang resiko. Masyarakat pedalaman sangat kuat mempertahankan budaya leluhurnya, termasuk yang negatif, seperti penyambutan tamu dengan meminum tuak dan membolehkan berhubungan badan dengan anak-anak perempuan mereka. Sudah banyak muballigh/penyuluh agama yang berusaha merubah adat-istiadat itu akan tetapi mengakibatkan konflik. Ia berpendapat, lebih baik menempatkan muballigh/penyuluh di pusat kecamatan untuk memperkuat dakwah Islamiyah di daerah perbatasan. Hal ini disebabkan anak-anak menginap di Entikong maupun Bale melanjutkan pendidikan SLTP karena yang jauh dari rumahnya. Lebih baik membangunkan pesantren atau rumah
pedalaman memilih Karangan pada saat alasan jarak tempuh lagi jika pemerintah singgah untuk anak-
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
97
anak pedalaman yang sedang merantau dalam rangka menimba ilmu di Entikong dan Sekayam. Dalam hal ini para muballigh/penyuluh agama dapat difungsikan untuk membina mereka dalam lingkungan pesantren atau rumah singgah yang didirikan pemerintah. 2. Bimbingan dan Penyuluhan Agama Katolik Penganut agama Katolik di Entikong dan Sekayam berjumlah 27.698 jiwa dengan tempat peribadatannya sebanyak 40 gereja. Bangunan gereja bersifat permanen dan darurat yang berdiri di atas tanah milik Paroki dan di beberapa Stasi (gereja kampung) masih milik adat. Kriteria gereja permanen ialah bangunannya bertembok dan berpondasi beton, sedangkan gereja darurat yaitu bangunannya masih semi permanen yang terbuat dari papan dengan tiang berupa kayu bulat. Gereja pusat Paroki keseluruhannya berupa bangunan permanen dan gereja Stasi sebagiannya berupa bangunan darurat. Di setiap gereja Paroki terdapat perpustakaan Rohani sedangkan di gereja Stasi tidak ada perpustakaannya. Walaupun gereja Paroki memiliki perpustakaan akan tetapi koleksi buku perpustakaannya masih sangat sedikit, termasuk kitab sucinya. Baik di Entikong maupun Sekayam, sudah ada pusat Paroki yang masing-masing dipimpin oleh 2 orang pastor. Selain keberadaan pastor di pusat Paroki Entikong terdapat 5 penyuluh honorer, dan di pusat Paroki Sekayam ada 3 orang penyuluh honorer yang disebar sebagai pelayan Tuhan di desa-desa pedalaman.
98
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Semua penyuluh Katolik di Entikong dan Sekayam sudah berpendidikan Strata Satu (S1) Teologi, tetapi belum ada satupun yang berstatus PNS. Mereka berfungsi membantu pastor dalam bidang administrasi gereja, mendata jemaah gereja, dan memberikan penyuluhan atau konsultasi masalah sosial-keagamaan jemaat gereja di tingkat Stasi. Peran mereka cukup strategis dalam memberikan bimbingan dan konsultasi umat Katolik, di saat gereja-gereja di pelosok kampung tidak semuanya mempunyai pastor. Hanya saja keberadaan 5 orang penyuluh honorer di daerah perbatasan hingga kini dirasakan belum mencukupi untuk melayani seluruh umat Katolik. Hal ini disebabkan jangkauan wilayah kecamatan Entikong dan Sekayam sangat jauh dan sulit dilalui dengan transportasi darat. Untuk memberikan pelayanan ke daerah pedalaman para penyuluh Katolik biasa menggunakan transportasi sungai seperti perahu. Akan tetapi kendalanya di musim kemarau sungai pedalaman Kalimantan mengalami kekeringan dan tidak bisa dilalui perahu. Semenjak pembukaan lahan hutan untuk perkebunan sawit, sungai-sungai di pedalaman Kalimantan ikut terkena dampaknya. Permukaan air sungai menyusut secara drastis dan pemandangan sungai dipenuhi batu-batu kali yang bisa mengandaskan perahu. Juru mudi perahu tidak bisa mengangkut masyarakat yang hendak bepergian ke kota kecamatan maupun yang ingin pulang ke perkampungan. Kondisi ini turut memberi dampak terhadap pelayanan agama yang dilakukan penyuluh fungsional Katolik di Entikong dan Sekayam. Walaupun kondisinya demikian, tetapi pelayanan agama Katolik di perbatasan Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
99
cukup terbantu oleh rohaniawan Katolik dari Paroki Serian, Bunan, dan Keuskupan Kuching Malaysia. Hal ini disebabkan pengaruh kekerabatan antara Dayak Kalimantan dengan Iban (Dayak) Serawak yang umumnya menjadi penganut Katolik. Ada keluarga yang terpisah oleh perbatasan Negara tetapi mereka adalah satu keluarga; yang satu di Entikong dan yang lainnya di SerianBunan. Keluarga dari Negara tetangga ini ada yang menjadi pastor dan biasa saling kunjung khususnya pada saat perayaan Natal dan Paskah. Selain masalah kekurangan SDM penyuluh Katolik, kondisi umat Katolik di Entikong dan Sekayam sebagai obyek Bimbingan dan Penyuluhan Agama (BPA) juga masih kuat mempertahankan adat-istiadat leluhur mereka. Realitas ini dikeluhkan pula oleh penyuluh fungsional dari agama lain, karena pada dasarnya hingga sekarang masyarakat pedalaman masih menempatkan kepercayaan adat sama-sama tinggi dengan kepercayaan agama. Hal ini seperti tersirat dari kebiasaan masyarakat meminum arak dan tuak serta bermain judi pada hari kematian salah satu anggota keluarga mereka. Selain itu dalam melangsungkan perkawinan mereka masih melakukannya di hadapan pemuka adat yang beragama Katolik daripada di hadapan pastor, dan lain-lain. Termasuk penguburan jenazah penganut Katolik di pedalaman dengan mengenakan “kain kafan” dan tidak menggunakan prosesi yang lazim dilakukan umat Katolik. Fenomena lain yang patut dicermati dalam ritual adat masyarakat Dayak ialah pembacaan mantera-mantera dengan permulaan membaca “Bismillah” dan ditutup dengan bacaan 100
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
“Al-Hamdu lillah”. Bahkan ada kebiasaan orang-orang Dayak, baik di Kalimantan maupun di Serian pada khususnya, mereka biasa melafalkan Tuhan Allah dengan bacaan “Alloh”. Pada tahun 2013 persoalan ini sempat menjadi perhatian serius pemerintah Serawak karena dianggap mengkaburkan antara keyakinan Islam dengan Katolik. Masalah lain yang dihadapi penyuluh Katolik ialah biaya operasional BPA. Pada tahun 2013 penyuluh Katolik hanya mendapat honor Rp. 150.000,-/bulan yang pencairannya harus dilakukan melalui Kantor Cabang BRI Sekayam. Padahal jarak tempuh dari domisili penyuluh ke kantor BRI lebih dari 25 km dan harus menggunakan transportasi air yang biayanya bisa mencapai Rp. 800.000,-. Pada tahun 2014 honor penyuluh Katolik dinaikkan menjadi Rp. 300.000,-/bulan disamakan dengan honor penyuluh agama lainnya di Kab. Sanggau. Kenaikan jumlah honorarium penyuluh fungsional Katolik ini, walaupun masih jauh dari keinginan, diharapkan dapat menunjang kinerja para pelayan Tuhan di daerah perbatasan. 3. Bimbingan dan Penyuluhan Agama Kristen Penganut agama Kristen di Entikong dan Sekayam berjumlah 6.371 jiwa. Sarana peribadatan umat Krisitiani berupa gereja jumlah keseluruhannya 70 bangunan. Status bangunan gereja dapat diklasifikasikan menjadi: (a) permanen sebanyak 18 bangunan, (b) semi permanen sebanyak 5 bangunan, dan (c) darurat terdapat 2 bangunan. Secara umum, gereja di Entikong dan Sekayam tergabung ke dalam 3 denominasi gereja, masing-masing; PGI, Pantekosta, dan Gereja Protestan Indonesia Barat (BPIB). Di Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
101
samping itu terdapat juga organisasi Jaringan Persekutuan Hamba Tuhan (JPHT) dan para misionaris dari luar daerah maupun dari luar negeri, tetapi belum terpetakan sampai sekarang. Di setiap gereja terdapat SDM Pelayan Umat yang terdiri dari; (a) Pendeta 29 orang, (b) majelis/penetua 86 orang, (c) Diaken/Syamas 11 orang, (d) Guru Injil 36 orang, (e) Guru Sekolah Minggu 45 orang, (f) Penginjil 17 orang. Para penginjil yang berjumlah 17 orang ini juga akrab dipanggil “Para Hamba Tuhan”. Sekarang ini mereka sudah tergabung dalam organisasi JPHT. Mereka ini juga yang didefinitifkan sebagai penyuluh agama Kristen honorer. Hanya saja jumlah penyuluh honorer Kristen pertahunnya tidak tetap menurut jumlah penerima honor dari Kemenag Kab. Sanggau. Tahun 2013 penyuluh honorer Kristen se Kab. Sanggau sebanyak 20 orang, tapi tahun ini hanya 13 orang; 2 diantaranya melayani umat Kristiani di Entikong dan Sekayam. Perubahan jumlah penerima honorarium penyuluh Kristen di setiap tahunnya ini seringkali mengundang persepsi bahwa pemerintah kurang serius memperhatikan penyuluh agama Kristen. Seolah-olah tidak ada ketentuan yang jelas mengenai masa tugas penyuluh, dan setiap saat daftar penyuluh honorer Kristen bisa digonta-ganti. Umumnya para Hamba Tuhan yang didefinitifkan sebagai penyuluh fungsional sudah mengenyam pendidikan Strata Satu. Mereka merupakan lulusan Sekolah Tinggi Teologi Bronio yang terletak di wilayah Sekayam. Perguruan Tinggi para Penginjil ini di bawah binaan langsung Dirjen Bimas Kristen Kankemenag RI. Keberadaan perguruan tinggi 102
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Kristen ini cukup efektif menyiapkan SDM BPA Kristen di Kab. Sanggau secara umum. Pada tahun 2013 setiap SDM BPA Kristen hanya mendapatkan tunjangan Rp. 200.000,-/bulan, dan tahun 2014 dibayar Rp. 300.000,-/bulan. Honorarium ini dianggap kurang layak terutama bagi penyuluh Kristen yang ditugaskan di Jalur Sekayam-Noyan. Jalur ini masih sangat terbatas infrastrukturnya dibandingkan Jalur Sutera EntikongSekayam. Menurut salah seorang pendeta, Suyono, para Hamba Tuhan yang ditugaskan di Jalur Sekayam masih kekurangan biaya operasional BPA, seperti untuk pembelian alat musik rohani, buku rohani, dan sebagainya. Selama ini biaya operasinal kegiatan BPA banyak terbantu dari jemaat gereja. Pada saat mereka menjalankan tugas di daerah pedalaman, mereka mendapat tumpangan perahu dari jemaat secara gratis. Tugas penyuluh agama Kristen adalah membantu pelayanan gereja yang dilakukan oleh para pendeta di tingkat Sinode maupun Classis. Sebaran umat Kristiani yang tidak merata di setiap desa dan jarak tempuh yang sangat jauh menyebabkan pelayanan kepada umat Kristiani kurang maksimal. Contohnya sering terjadi acara perkawinan maupun kematian tidak dipimpin oleh pendeta, tetapi dilakukan oleh sesepuh adat yang bukan sebagai pimpinan agama. Secara umum problem yang dihadapi penyuluh agama Kristen sama dengan problem penyuluh agama lainnya di kawasan perbatasan. Selain masalah SDM dan infrastruktur pelayanan agama juga ada masalah tugas pokok penyuluh Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
103
agama fungsional. Hampir semua penyuluh agama fungsional sebatas bertugas membantu pemimpin agama daripada merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, meneliti, menilai dan mengevaluasi kegiatan BPA. Atas dasar itulah, umat Kristiani mengharapkan agar jumlah penyuluh fungsional agama Kristen diperbanyak jumlahnya. Hanya saja kinerja penyuluh agama Kristen fungsional tidak dipersoalkan karena otoritas kependetaan dalam tradisi gereja Kristen. Mereka juga mengharapkan agar infrastruktur gereja yang meliputi bangunan peribadatan, perpustakaan, dan alat musik rohani dicukupi oleh pemerintah.
104
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
PENUTUP Berdasarkan analisis data pelayanan agama di daerah perbatasan Entikong-Sekayam dapat disimpulkan: 1. Pelayanan agama di daerah perbatasan masih jauh dari harapan dan tidak mencerminkan prinsip pelayanan yang memuaskan masyarakat sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Men.PAN No. 63/KEP/M.PAN/7/2003. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, terutama: (a) SDM Pemberi pelayanan publik baik di KUA maupun Penyuluh Agama Fungsional masih sangat minim, kurang berkompeten, dan kurang terkoordinasi. Selain itu mereka tidak memahami tugas dan fungsi pelayanan KUA dan penyuluhan agama, seperti KUA hanya sebagai balai nikah dan penyuluh agama fungsional menjadi subordinat pemimpin agama non-formal, (b) lokasi geografis perbatasan yang secara umum masih minim infrastrukturnya dan jaraknya sangat jauh dari pusat kota kecamatan sehingga masyarakat di daerah terpencil tidak terlayani secara maksimal, (c) penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk bimbingan dan penyuluhan agama tidak diterapkan oleh penyuluh, khususnya penyuluh agama Islam. Padahal di Entikong terdapat stasiun RRI; (d) biaya operasional pelayanan umum di bidang agama masih sangat kurang dan tidak sebanding dengan sebaran wilayah yang luas dan berada di pedalaman; (e) masa tugas pemberi pelayanan publik (SDM), terutama untuk rooling pegawai tidak jelas dan kurang terbuka. Walaupun demikian keterbatasan pelayanan agama di perbatasan tidak mengurangi rasa nasionalisme penduduk perbatasan. Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
105
Keberadaan barang-barang impor seperti sembako dan lain-lain dari negeri jiran (Malasyia), justru membawa berkah bagi mereka tanpa terpengaruh perekonomian nasional. 2. Kementerian Agama, baik pusat, wilayah provinsi, maupun kabupaten/kota belum membuat kebijakan maupun program khusus daerah perbatasan. Termasuk yang berkaitan dengan pelayanan keagamaan. Baik di Entikong maupun di Sekayam, selain madrasah baru ada bangunan KUA yang dibiayai oleh Kementerian Agama. Dengan catatan infrastruktur pelayanan agama di tergolong tertinggal. Indikatornya antara lain ialah; (a) bangunan KUA kecamatan sudah berdiri permanen, tetapi dari segi sarana-prasarana dan fasilitasnya masih banyak terdapat kekurangan. Seperti KUA tidak mempunyai papan struktur, papan prosedur pelayanan, papan pengumuman, papan data statistik, dan lain-lain. Selain itu bangunan KUA tidak dikelilingi pagar dan halamannya dipenuhi rumput liar yang kurang terawat; (b) sarana peribadatan, baik masjid maupun gereja, dan fasilitas pendidikan agama seperti TPA, Pesantren, Sekolah Minggu, perpustakaan masjid serta gereja dan lainnya lebih banyak bersifat semi permanen dan darurat dan berdiri di atas tanah yang belum bersertifikat hak milik maupun wakaf; (c) sarana kendaraan operasional KUA maupun penyuluh agama tidak diadakan untuk menunjang mobilitas petugas lapangan di wilayah tugas yang sangat luas dan sulit dijangkau dengan menggunakan transportasi massal; (d) pendistribusian kitab suci, buku nikah, dan dokumen lain seperti NR tidak berdasarkan analisis kebutuhan. Misalnya kitab suci sangat kekurangan, tetapi buku nikah dan dokumen NR 106
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
kebanyakan. Pernah terjadi jual beli buku nikah di Entikong karena buku nikah yang seharusnya ditarik dari KUA masih dibiarkan beredar di tangan Penghulu dan Pembantu Penghulu (P3N). 3. Masyarakat di perbatasan Entikong sangat memerlukan pelayanan keagamaan. Kebutuhan itu, antara lain, ialah; (a) Umat Islam menginginkan agar KUA dioptimalkan fungsinya dalam melayani urusan nikah dan rujuk, keluarga sakinah, kemasjidan, ZISWA, dan informasi pendidikan agama, haji dan umrah. Mereka mengharapkan agar di KUA terdapat Kepala Kantor, Penyuluh Agama Islam dan beberapa staf yang dibutuhkan; tidak seperti sekarang di KUA hanya ada satu orang staf. Selain KUA, umat Islam di perbatasan mengharapkan dibangunkannya pendidikan keagamaan seperti pesantren untuk mengkader calon ulama dan muballig; (b) Umat Katolik dan Kristen menginginkan agar jumlah penyuluh agamanya diperbanyak dengan rasio 1 penyuluh untuk 1.000 penduduk. Hal ini karena jumlah pemeluk Katolik dan Kristen merupakan mayoritas yang tersebar di seluruh penjuru dan pelosok Kab. Sanggau. Selain itu mereka juga mengharapkan adanya bantuan infrastruktur, terutama berupa renovasi gereja, pensertifikasian tanah gereja, pengadaan perpustakaan dan alat musik rohani.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
107
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan. (1995) Privatisasi Agama: Globalisasi atau Melemahnya Referens Budaya Lokal?. Makalah seminar, Balai Kajian sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 9 November 1995. Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia (2011), Grand Design Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan di Indonesia Tahun 2011 – 2025. Bryman, Alan. (2004) Social researsch methods (2nd ed). Oxford University Press. USA. Eilenberg, Michael and Wadley, Reed. (2009). “Borderland Livelihood Strategies: The socio-Economic Significance of Ethnicity in Cross-border Labour Migration, West Kalimantan, Indonesia”. Dalam Asia Pacific Viewpoint, Vol. 50, No. 1, April 2009 pp58–73. Rudiatin, Endang. (2012). Integrasi Ekonomi Lokal Suatu Kajian Mengenai Ekonomi Masyarakat Aji Kuning Pulau Sebatik, Nunukan, Kalimantan Timur, Perbatasan Indonesia-Sabah, Malaysia. Moeldoko. (2014). Kebijakan dan Scenario Planning Pengelolaan Kawasan Perbatasan di Indonesia (Studi Kasus Perbatasan Darat di Kalimantan). Disertasi pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan FKUB, dan Pedirian Rumah Ibadat. 108
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
PELAYANAN KEAGAMAAN DI DAERAH PERBATASAN KABUPATEN NUNUKAN, PROVINSI KALIMANTAN UTARA
Oleh: Sri Hidayati, Kustini dan Wahidah R. Bulan
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
109
GAMBARAN WILAYAH KABUPATEN NUNUKAN Geografis Kab. Nunukan secara geografis terletak antara 115°33’ sampai dengan 118°3’ Bujur Timur dan 3°15'00” sampai dengan 4°24'55” Lintang Utara. Merupakan wilayah paling utara Prov. Kalimantan Utara, di sebelah utara berbatasan dengan Negara Malaysia Timur (Sabah), sebelah Timur dengan Laut Sulawesi, sebelah selatan dengan Kab. Bulungan dan Kab. Malinau, sedangkan sebelah Barat dengan Negara Malaysia Timur (Serawak). Gambar 3.1: Peta Provinsi Kalimantan Utara
110
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Dengan kondisi topografi cukup bervariasi, Kab. Nunukan memiliki luas wilayah 14.247,50 km2 yang terdiri dari pulau-pulau (25 pulau).18 Tiga diantaranya cukup besar, yaitu Pulau Nunukan dengan luas 23.190 km2, Pulau Sebatik 23.790 km2, dan Pulau Sebakung dengan luas 17.220 km2;19. Sementara sisanya merupakan pulau-pulau kecil dengan luas antara enam ribu km2 hingga 1.500 km2, bahkan terdapat pula pulau dengan ukuran sangat kecil, yaitu dengan luas kurang dari satu km2 (Pulau Tidong Salong Lumot, Pulau Pelanduk, Pulau Tembalan), sumber Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Nunukan, Kab. Nunukan Dalam Angka, 2013. Tabel 3.1: Luas Wilayah Kecamatan Kab. Nunukan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Kecamatan Krayan Krayan Selatan Lumbis Lumbis Ogong Sembakung Nunukan Sei Menggaris Nunukan Selatan Sebuku Tulin Onsoi Sebatik Sebatik Timur Sebatik Tengah Sebatik Utara Sebatik Barat Jumlah/Total
Luas Wilayah (Km2) 1.834,74 1.757,66 290,23 3.357,01 2.042,66 564,50 850,48 181,77 1.608,48 1.513,36 51,07 39,17 47,71 15,39 93,27 14.247,50
Sumber: Daerah Dalam Angka (DDA) 2013, BPS Kab. Nunukan, data diolah 18 Data lainnya menyebut 17. Perbedaan jumlah tersebut dimungkinkan adanya perbedaan penilaian atas pulau-pulau dengan ukuran sangat kecil dan kemungkinan tidak berpenghuni. 19 Data yang diperoleh sayangnya tidak mencantumkan jumlah penduduk untuk tiap pulau. Data yang tersedia hanya menyandingkan jumlah penduduk dengan wilayah administratif (kecamatan).
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
111
Kab. Nunukan memiliki motto “Penekindidebaya" yang artinya “Membangun Daerah”, (berasal dari bahasa Tidung), berdiri sendiri menjadi kabupaten pada 4 Oktober 1999. Dengan pertimbangan luas wilayah, perlunya peningkatan pembangunan, serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Kab. Nunukan daerah yang pada awalnya merupakan bagian dari wilayah Kab. Bulungan (Kalimantan Utara) tersebut berdasarkan UU No. 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kab. Nunukan, Kab. Malinau, Kab. Kutai Timur, Kab. Kutai Barat dan Kota Bontang, ditetapkan sebagai kabupaten pemekaran dari Kab. Bulungan bersama dengan Kab. Malinau. Pada awal pembentukannya hanya terdiri dari 5 (lima) kecamatan (Lumbis, Sembakung, Nunukan, Sebatik, dan Krayan). Namun Kab. Nunukan kini terbagi menjadi 15 kecamatan dan masuk menjadi bagian dari Prov. Kalimantan Utara (mulai tahun 2012) setelah pemekaran Prov. Kalimantan Timur menjadi Prov. Kalimantan Timur dan Prov. Kalimantan Utara.
Demografi Sebagai daerah lintas batas, Kab. Nunukan memiliki tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi dengan jumlah penduduk mencapai 163.402 jiwa (lihat Tabel 3.2) dengan distribusi penduduk cenderung tidak merata. Penduduk sebagian besar tinggal di Pulau Nunukan sebagai pusat pemerintahan dengan rata-rata kepadatan penduduk mencapai 34,18 per-km2, sementara kepadatan penduduk di kecamatan lain di bawah 10 per-km2 (lihat Tabel 3.2). Sebelum 112
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
kebijakan pengembangan wilayah dilakukan, penumpukan penduduk bahkan terkonsentrasi secara ekstrim tinggal di Kec. Nunukan. Setelah kantor-kantor pemerintahan dipindahkan ke Kec. Nunukan Selatan, barulah penduduk mulai terdistribusi ke selatan (Kec. Nunukan Selatan dan Kec. Sebuku). Tabel 3.2: Kepadatan Penduduk, Sex Ratio, dan Distribusi Penduduk Kecamatan di Kab. Nunukan Tahun 2012 Kecamatan Krayan Krayan Selatan Lumbis Lumbis Ogong Sembakung Nunukan Sei Menggaris Nunukan Selatan Sebuku Tulin Onsoi Sebatik Sebatik Timur Sebatik Tengah Sebatik Utara Sebatik Barat Jumlah
Jumlah Kepadatan Penduduk Penduduk 7.321 3,99 2.247 1,28 5.074 17,48 5.393 1,61 8.759 4,29 55.853 98,94 8.216 9,66 16.273 89,53 10.759 6,69 7.076 4,63 4.455 87,23 12.009 306,59 7.035 147,45 5.417 351,98 7.515 80,57 163.402
Sex Distribusi Ratio Penduduk 116,41 4,48 111,78 1,38 110,28 3,11 104,75 3,30 109,30 5,36 112,83 34,18 126,02 5,03 119,94 9,96 121,24 6,58 135,79 4,33 116,79 2,73 104,93 7,35 112,92 4,31 104,03 3,32 115,51 4,60
Dengan memperhatikan sebaran penduduk tersebut dalam Tabel 3.2, tampak adanya kebutuhan pelayanan yang berbeda antara satu kecamatan (pulau) dengan kecamatan (pulau) lainnya. Kebutuhan layanan yang cukup tinggi berada di kecamatan: Nunukan, Nunukan Selatan, Sebatik Timur, Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
113
dan Sebuku. Sementara kebutuhan layanan tidak terlalu tinggi berdasarkan jumlah penduduk terdapat pada Kec. Krayan Selatan dan Kec. Sebatik (Induk). Hal ini berimplikasi pada perlunya pengalokasian SDM aparatur birokrasi Kankemenag Kab. Nunukan pada daerah-daerah dimaksud, guna memenuhi kebutuhan yang ada. Berdasarkan tingkat pendidikan, penduduk Nunukan umumnya memiliki tingkat pendidikan relatif rendah, sebagai tergambar pada Tabel 3.3, sebagai berikut: Tabel 3.3: Penduduk Kab. Nunukan Usia 10 Tahun ke Atas Menurut Pendidikan Terakhir yang Ditamatkan Tahun 2012 Jenjang Pendidikan Tidak punya Ijasah SD SD SLTP SLTA Diploma Sarjana
Tahun 2012 46.583 30.645 23.314 22.077 2.038 3.316
Tingkat kesejahteraan masyarakat Nunukan juga belum terlalu baik. Kemampuan daya beli masyarakat pada tahun 2012 berada pada kisaran Rp. 646.550,-, relatif tidak banyak berubah dalam kurun waktu lima tahun kebelakang, yaitu Rp. 633.260,- pada tahun 2008. Kemampuan daya beli tersebut menjadi lebih rendah mengingat harga-harga barang konsumsi di Nunukan relatif lebih mahal dibanding dengan harga-harga konsumsi di Pulau Jawa karena persoalan besarnya biaya distribusi barang.
114
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat ini juga dapat dilihat dari Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS). Penduduk miskin di Nunukan pada tahun 2011 relatif masih tinggi, yaitu mencapai mencapai 30 % atau 11.180 kepala keluarga, atau 54.404 jiwa (www.tribunnews.com). Masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di Kab. Nunukan ini selaras dengan Studi Sutaat (2006) di Sebatik Barat, yang mencoba mendiagnosa permasalahan sosial di Sebatik Barat. Studi Sutaat menunjukkan bahwa program pembangunan belum banyak menyentuh Sebatik Barat, yang menjadikan wilayah tersebut jauh tertinggal dibanding wilayah lainnya. Akses penduduk pada pendidikan yang lebih tinggi menurutnya masih sangat terbatas, yang disebabkan oleh problem keterbatasan infrastruktur. Masalah-masalah kesejahteraan sosial seperti fakir miskin, perumahan tidak layak huni, keterlantaran, dan keluarga rentan karenanya banyak terjadi, yang umumnya bersumber dari kondisi ekonomi penduduk yang rendah. Lalu apa pekerjaan utama penduduk Nunukan?. Berdasarkan data Pemkab Nunukan tahun 2005, mayoritas penduduk Nunukan bekerja pada sektor pertambangan dan penggalian (minyak dan gas bumi, terutama karena keberadaan PT. Perkasa Equatorial Sembakung Ltd, yaitu mencapai 62,44%), disusul dengan sektor pertanian termasuk perikanan serta perkebunan dan kehutanan sebesar 38,25%; serta perdagangan, hotel dan restoran (9,65%). Jenis pekerjaan tersebut tidaklah sama untuk di tiap kecamatan, karena untuk Pulau Nunukan sebagian besar bekerja di sektor perdagangan. Pada sektor jasa yang ditandai dengan banyak masyarakat berdagang bahan-bahan makanan dan kuliner (uniknya juga terdapat sejumlah warga Negara Malaysia yang menetap dan Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
115
berdagang di Pulau Nunukan). Sedangkan di Pulau Sebatik penduduk pada umumnya bekerja sebagai nelayan, selain mulai berkembang usaha budi daya rumput laut dan peternakan sarang burung walet. Sedangkan mengenai etnis yang tinggal di Kab. Nunukan, setidaknya 19 suku/etnis. Suku yang cukup dominan adalah suku Bugis (Bugis Bone, Bugis Wajo, Bugis Makasar, Sinjai, dan Sopeng), suku Dayak (Dayak Tidung, Dayak Lun Dayeh, Dayak Sa’ban, dan Punan), selain terdapat suku Jawa (yang terbanyak dari Jawa Timur), Madura, dan Timor (NTT maupun NTB). Meski terdapat keragaman etnis, heterogenitas tidak terlihat di seluruh pulau karena suku-suku tersebut umumnya mengelompok di pulau-pulau tertentu. Sebagai contoh untuk Pulau Sebatik dan Pulau Nunukan etnis mayoritas adalah suku Bugis (mencapai 90% di Pulau Sebatik sementara di Pulau Nunukan mencapai 80%), sedangkan di Pulau Krayan, Sebuku, dan Lumbis, umumnya dihuni oleh suku Dayak. Kehidupan Beragama Masyarakat Masyarakat Nunukan dikenal sebagai masyarakat yang religius meskipun perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama diakui masih tetap ada (Profil Kab. Nunukan, 2012). Dilihat dari agama yang dipeluk, penduduk Kab. Nunukan dapat di lihat pada Tabel 3.4 sebagai berikut:
116
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Tabel 3.4 : Penduduk Kab. Nunukan Berdasarkan Agama Tahun 2012 Agama Jumlah Prosentase Islam 106.406 65,63% Kristen 43.955 27,11% Katolik 11.506 7,10% Hindu 104 0,06% Buddha 152 0,09% Jumlah 162.123 Meski dalam catatan administratif Kankemenag Kab. Nunukan tidak tercatat ada pemeluk yang beragama Khonghucu, data yang diperoleh di lapangan, yaitu informasi dari tokoh agama Buddha serta pengurus FKUB, terdapat pemeluk agama Khonghucu meski jumlahnya tidak banyak. Keragaman enam agama itu juga terlihat dari komposisi kepengurusan FKUB yang terdiri dari perwakilan enam agama. Informasi penting lainnya, hampir tidak ditemukan penganut agama atau kepercayaan lokal. Penduduk asli di Kab. Nunukan yaitu suku Dayak Tidung pada waktu lalu sering melakukan upacara adat berupa pemberian semacam sesajen yang dilakukan oleh perorangan dengan cara mengirim doa melalui pemberian sesajen hewan potong yang dilabuh di tengah laut dan dekat dengan tempat tinggalnya (Sutaat, 2006). Namun sekarang tradisi itu sulit ditemukan lagi, dan ketika menyebut suku Dayak Tidung sebagai penduduk asli di Kec. Nunukan, hampir selalu identik dengan penganut agama Islam. Meski secara umum Islam merupakan agama mayoritas dipeluk masyarakat Nunukan, tetapi ada Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
117
wilayah atau kecamatan tertentu yang mayorias beragama Kristen yaitu kecamatan: Lumbis dan Krayan. Jika saat ini kehidupan keagamaan terlihat dalam kondisi rukun, tentu bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya. Ada banyak usaha yang telah dan terus dilestarikan untuk memelihara kerukunan misalnya melalui kearifan lokal. Salah satu kearifan lokal yang masih terus berjalan adalah tradisi hajatan atau syukuran yang melibatkan semua unsur umat beragama. Untuk itu ada tempat khusus memasak makanan bagi masyarakat muslim dan yang non muslim. Bahkan meski yang menyelenggarakan hajatan itu orang Kristen misalnya, karena disadari tamu yang datang mayoritas Islam, maka yang memasakpun orang Islam. FKUB Kab. Nunukan menjadi unsur yang cukup dominan untuk menciptakan kerukunan. Salah satu kegiatan aktual yang diadakan FKUB, yaitu pelaksanaan doa bersama dengan melibatkan tokoh-tokoh agama dari seluruh agama yang ada, selain melibatkan partai politik dan KPU sebagai penyelenggara. Kegiatan yang dilaksanakan apda 13 Maret 2014 lalu dilakukan mengingat sebelumnya sempat terjadi konflik kecil yang dipicu karena kepentingan politik yang berbeda melakukan doa bersama mengadapi pemilihan umum dengan dukungan dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Pemkab Nunukan.
118
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
INSTITUSI PELAYANAN KEAGAMAAN
Organisasi Pelayanan 1. Kantor Kankemenag Kab. Nunukan Kantor Kementeria Agama (Kankemenag) Kab. Nunukan baru memiliki gedung sendiri pada tahun 2006, yang berlokasi di Jalan Ujang Dewa No. 163 Nunukan Selatan. Sebelumnya, pada awal berdiri (tahun 2002), Kankemenag di Kab. Nunukan menyewa gedung di Jalan Iskandar Muda Nunukan Barat hingga 2004 dan pindah ke Jalan Sanusi Blok tiga pada tahun 2004–2006. Gambar 3.2 : Gedung Kankemenag Kab. Nunukan
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
119
Sama seperti Kankemenag lainnya di Indonesia, visi dan misi Kankemenag Kab. Nunukan merujuk pada Keputusan Menteri Agama RI Nomor 13 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Kankemenag Prov. dan Kankemenag Kab. Nunukan. Visi: terwujudnya sistem pelayanan administrasi, sistem informasi keagamaan dan pembinaan kerukunan hidup beragama serta pendidikan yang bernuansa keagamaan yang mantab. Sedangkan misinya adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan pembinaan kerukunan antar umat beragama, intern umat beragama dan antar umat beragama dengan pemerintah yang otentik dan dinamis. b. Meningkatkan pelayanan administrasi dan kerumah tanggaan serta pengelolaan anggaran, inventaris dan kepegawaian serta pembinaan sumber daya manusia. c. Menyusun perencanaan yang internal, realities dan aspiratif. d. Meningkatkan pendidikan yang bernuansa keagamaan dalam rangka terwujudnya moralitas masyarakat yang tinggi. e. Meningkatkan pembinaan dan pelayanan nikah, rujuk serta penasehatan perkawinan. f.
Meningkatkan pembinaan dan pelayanan pelaksanaan ibadah haji.
g. Meningkatkan pembinaan lembaga dan pengembangan zakat dan wakaf. h. Meningkatkan pemberian pelayanan dan bimbingan keagamaan pada masyarakat Kristen 120
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Dalam menjalankan tugas dan funsinya, Kepala Kankemenag Kab. Nunukan dibantu oleh tujuh eselon IV, yaitu Sub Bagian Tata Usaha, Seksi URAIS dan Haji, Seksi Pendis, Seksi Bimas Islam, Seksi Penyelenggara Syariah, serta Seksi Penyelenggara Kristen (PMA No. 13 Tahun 2012) dengan total PNS berjumlah sebanyak 84 orang pada tahun 2012 dan berkurang menjadi 83 pada tahun 2013. Adapun uraian tugasnya sesuai PMA No. 13 Tahun 2012 sebagai berikut: a. Sub Bagian Tata Usaha: melakukan pelayanan teknis administrasi, perencanaan, kepegawaian, keuangan, perlengkapan, ketatausahaan dan rumah tangga kepada seluruh satuan organisasi atau satuan kerja dilingkungan Kankemenag Kab. Nunukan. b. Seksi Urusan Agama Islam, Haji dan Umroh: melakukan pelayanan keluarga sakinah, pasangan kekal, ibadah sosial serta pengembangan kemitraan umat. Melakukan pelayanan di bidang penyuluhan Haji dan Umrah, bimbingan jama’ah dan petugas haji (PPH), pemberangkatan dan akomodasi haji serta Pembinan KBIH. c. Seksi Pendidikan Islam (PENDIS): melakukan pelayanan dan bimbingan di bidang kurikulum, ketenagaan, kesiswaan, sarana kelembagaan, ketatausahaan serta supervisi dan evaluasi pada Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah, dan pendidikan agama Islam pada sekolah umum tingkat dasar dan menengah serta sekolah luar biasa. d. Seksi Bimbingan Islam (BIMAS): melakukan pelayanan dan bimbingan di bidang keagamaan dan pendidikan Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
121
diniyah, pendidikan salafiyah, kerjasama kelembagaan dan pelayanan pondok pesantren pada masyarakat. e. Penyelenggara Syariah: melakukan pelayanan dan bimbingan serta pembinaan lembaga dan pemberdayaan zakat dan wakaf. f.
Penyelenggara Kristen: melakukan pelayanan dan bimbingan di bidang kurikulum, ketenagaan, sarana kelembagaan, ketatausahaan serta supervisi dan evaluasi pada pendidikan agama Kristen pada sekolah umum tingkat dasar dan menengah serta sekolah luar biasa. Bagan 3.1: Struktur Organisasi Kankemenag Kab. Nunukan KEPALA KANKEMENAG
KA.SUB.BAG.TU
KASI PENDIS
KASI URAIS HAJI & UMRAH
KASI BIMAS ISLAM
PENYELENGGARA SYARIAH
PENYELENGGARA KRISTEN
JABATAN FUNGSIONAL
Berdasarkan golongan mayoritas (78 pada tahun 2012 dan 74 pada tahun 2013) berada pada Golongan III, sementara golongan II hanya 4 orang (tahun 2012) dan 3 orang pada tahun 2013 sedangkan golongan IV meningkat dari 2 orang (tahun 2012) menjadi 5 orang. Dari total jumlah PNS tersebut, 122
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
hanya terdapat 8 orang penyuluh agama (7 penyuluh agama Islam dan 1 penyuluh Kristen), satu orang penghulu (sudah mendapat SK) dan 2 orang calon penghulu, serta terdapat 28 orang guru agama Islam serta 9 orang guru agama Kristen. Berdasarkan tingkat pendidikan, PNS Kemenag Kab. Nunukan umumnya berpendidikan tinggi (lulus S1), yaitu 79 orang pada tahun 2012 dan 77 orang pada tahun 2013, sedangkan yang berpendidikan SLTA hanya 3 orang (tidak ada perbedaan antara tahun 2012 dengan tahun 2013). Selain itu terdapat pula PNS dengan pendidikan S2, yaitu satu orang pada tahun 2012 meningkat menjadi 2 orang pada tahun 2013. Sedangkan berdasarkan usia, PNS Kemenag Kab. Nunukan yang berusia 40 tahun ke atas cukup banyak (38 orang pada tahun 2012 dan 40 orang pada tahun 2013), perlu mendapat perhatian terutama mempersiapkan penggantinya manakala yang bersangkutan memasuki usia pensiun. 2. Kantor Urusan Agama (KUA) Sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Agama No. 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan, tugas KUA adalah melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kab./Kota dibidang Urusan Agama Islam dalam wilayah kecamatan, dengan fungsi sebagai berikut: a. Menyelenggarakan statistik dan dokumentasi, b. Menyelenggarakan surat menyurat, kearsipan, pengetikan, dan rumah tangga KUA Kecamatan; dan c. Melaksanakan pencatatan nikah, rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
123
Dirjen Bimas Islam berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Tugas dan fungsi tersebut pelaksanaannya sedikit mengalami hambatan mengingat Kankemenag Kab. Nunukan baru memiliki tujuh KUA yang melayani 15 kecamatan yang ada (setelah pemekaran pada tahun 2012). Dengan demikian terdapat satu KUA yang membawahi satu atau dua kecamatan lainnya, yang menyebabkan upaya optimalisasi pemberian layanan belum dapat dilakukan sebagaimana pada Tabel 3.5 berikut: Tabel 3.5: Daftar KUA di Kab. Nunukan dan Wilayah Kerjanya No
Domisili KUA
1
Kec. Nunukan
2
Kec. Sebatik Barat
3
Kec. Sebatik/ Sebatik Induk
4 5 6 7
Kec. Sebuku Kec. Sembakung Kec. Lumbis Kec. Krayan
Wilayah kerja (kecamatan) Nunukan, Nunukan Selatan, dan Sei Menggaris Sebatik Barat Sebatik Timur, Sebatik Utara, dan Sebatik tengah Sebuku Sembakung Lumbis Krayan, Krayan Selatan
Jumlah PNS 5 4 5 3 2 2 1
Sumber: Profil dan Data Kemenag Kab. Nunukan 2013
Terkait dengan hal tersebut, Kasi Bimas Islam berpandangan bahwa kondisi masih bisa ditangani mengingat peristiwa pernikahan ditiap kecamatan tidaklah sama. Sebagai contoh jumlah nikah (N) di Kec. Krayan pada tahun 2013 124
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
hanya 3, yaitu satu kali pada bulan Juni dan dua kali pada bulan Desember. Begitu pula peristiwa pernikahan yang terjadi di Kec. Lumbis, pada tahun 2013 hanya ada 10 pernikahan, yaitu 3 pada bulan Januari, masing-masing satu pernikahan pada bulan Maret, April, serta November, dan dua kali pada bulan Mei dan September. Pada tahun 2013 peristiwa nikah di Kab. Nunukan paling banyak jumlahnya ada di Kec. Nunukan sebanyak 523 peristiwa.20 Adapun total jumlah peristiwa nikah di Kab. Nunukan pada tahun 2013 sebanyak 1.140 peristiwa dengan rincian sebagaimana pada Tabel 3.6 sebagai berikut: Tabel 3.6 : Jumlah Pernikahan di Kab. Nunukan Tahun 2013 No
Domisili KUA
1
Kec. Nunukan
2
Kec. Sebatik Barat Kec. Sebatik/Sebatik Induk Kec. Sebuku Kec. Sembakung Kec. Lumbis Kec. Krayan
3 4 5 6 7
Wilayah kerja (kecamatan) Nunukan, Nunukan Selatan, dan Sei Menggaris Sebatik Barat Sebatik Timur, Sebatik Utara, dan Sebatik tengah Sebuku Sembakung Lumbis Krayan, Krayan Selatan
Jumlah (N) 523 89 289 154 72 10 3
Sumber: Profil dan Data Kemenag Kab. Nunukan 2013
20 Tingginya jumlah peristiwa nikah dipicu oleh adanya program pemerintah daerah yang menganggarkan dari APBD bantuan pendanaan untuk isbat nikah. Program yang digulirkan sebagai bentuk penunaian janji kampanye ini menyediakan bantuan pendanaan kepada 1.500 pasangan, yang sudah dianggarkan pada tahun 2013 namun pelaksanaannya baru akan dilakukan pada tahun 2014 mengingat keterbatasan waktu. Pada tahun 2013 hanya berhasil dilakukan identifikasi warga yang membutuhkan bantuan untuk pelaksanaan isbat nikah.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
125
Dengan demikian, meskipun terdapat satu KUA yang membawahi dua dan bahkan tiga kecamatan beban kerja KUA tersebut menurutnya masih dalam batas kewajaran. Meski demikian Seksi Bimas Islam mengajukan penambahan 5 (lima) KUA sejak dua tahun lalu guna mengatasi keadaan, namun belum mendapat respon hingga kini. Selain problem terbatasnya KUA, sebagai mana dapat dilihat pada Tabel 3.6 diatas, jumlah SDM birokrasi yang bertugas di KUA masih jauh dari kebutuhan. Di Kab. Nunukan hanya terdapat 1 (satu) orang penghulu (sudah memiliki SK) dan 2 (dua) orang calon penghulu. Jumlah tersebut tentu sangat minim mengingat luasnya wilayah yang harus dilayani dan jauh (serta sulitnya) menjangkau satu kecamatan dari kecamatan lainnya. Jumlah SDM birokrasi juga sangat terbatas. Di Krayan bahkan hanya ada satu orang PNS yang harus mengerjakan seluruh pekerjaan, selain juga melayani kebutuhan layanan keagamaan Kec. Krayan Selatan. Kesenjangan pemenuhan kebutuhan SDM akan makin dirasakan mengingat akses dari satu wilayah ke wilayah lain tidak mudah dijangkau. Untuk menjangkau Krayan Selatan misalnya, petugas harus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki hingga 12 jam. Begitu pula dengan prasarana yang tersedia di KUA Kec. Krayan Selatan dan Sebuku misalnya, belum mendapat aliran listrik dari PLN. Informasi dari Kankemenag Kab. Nunukan hanya dapat dikirimkan melalui teleks ke Kantor Kec. Krayan, sehingga kerap mengalami keterlambatan.
126
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Untuk
mengatasi
kebutuhan
tenaga
penghulu,
Kankemenag Kab. Nunukan mengambil kebijakan melakukan rekrutmen tenaga P3N. Dimana P3N pada awalnya diambil dari tokoh agama serta imam masjid. Akan tetapi belakangan rekrutmen hanya dari imam masjid, dengan pertimbangan para imam masjid mendapat dana insentif dari Pemkab Nunukan. Kebijakan tersebut “terpaksa” diambil untuk mengatasi persoalan tidak tersedianya dana khusus dari anggaran Kankemenag Kab. Nunukan untuk memberi insentif. Pemenuhan kebutuhan pembiayaan (insentif) untuk P3N sebelumnya tidak menjadi persoalan, karena terdapat bantuan dana dari Pemkab Nunukan. Akan tetapi setelah adanya peringatan dari pemeriksaan keuangan dari BPK kepada
Pemkab
Nunukan
yang
menyatakan
bahwa
pemberian dana kepada instansi vertikal dapat dikategorikan sebagai temuan penyimpangan keuangan (korupsi), maka sejak tahun 2012 bantuan tersebut dihentikan. Sebagai solusi KUA diperkenankan oleh Kankemenag Kab. Nunukan untuk menarik pungutan dari calon pengantin, meski dengan catatan hanya dapat dilakukan untuk pernikahan yang dilaksanakan di luar kantor dan di luar waktu kerja. Catatan lainnya, nominal pungutan tidak ditetapkan sebagai tarif akan tetapi atas dasar kerelaan dari pihak pemberi (Wawancara dengan Kasi Bimas Islam, Drs. Muh. Tahir, 21 Maret 2014). Berdasarkan observasi di lapangan, meski terdapat kebijakan larangan meminta “bayaran” dalam pelayanan pernikahan dari Kantor Kemenag Kab. Nunukan (larangan sayangnya tidak dalam bentuk tertulis), fakta dilapangan Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
127
menunjukkan
adanya
penetapan
tarif
atas
layanan
pernikahan. Di KUA Sebatik Timur misalnya, biaya per-N ditetapkan sebesar Rp. 300.000 dengan perincian Rp. 150.000 untuk transport/honor P3N, Rp. 30.000 disetor ke kas KUA, Rp. 50.000 untuk transport dua orang saksi, dan Rp. 70.000 untuk honor pegawai honorer KUA. Biaya tersebut diberikan calon pengenatin (catin) pada saat datang ke KUA untuk mendaftar. Tindakan menetapkan tarif tersebut tidak dapat dihindarkan mengingat tidak tersedia anggaran untuk penghulu terutama yang direkrut dari unsur imam masjid (P3N), sementara P3N dalam praktek beban kerjanya relatif sedikit dibandingkan beban kerja penghulu. Karena hal tersebut kebijakan penetapan tarif akhirnya diberlakukan dan selama ini menurut penuturan pihak KUA kebijakan tersebut dapat diterima masyarakat (tidak ada keluhan berarti). Problem lain yang dihadapi KUA sebagaimana diungkap Kasi Bimas Islam yang pernah menjadi Kepala KUA Kec. Krayan selama 5 (lima) tahun, terkait dengan wilayah layanan yang cukup sulit dijangkau, terutama di Kec. Krayan yang wilayahnya hanya bisa dijangkau dengan menggunakan pesawat terbang. Selain biaya tiket cukup mahal (hampir satu setengah
juta),
juga
harus
menunggu
lama
untuk
mendapatkan tiket (sebulan sebelum keberangkatan). Problem lain biaya hidup di Krayan sangat tinggi sementara tunjangan dan honor yang diterima petugas sama antara satu daerah dengan daerah lain. “Kalau tidak benar-benar ingin mengabdi, tidak akan sanggup. Jumlah penduduk beragama Islam sedikit, harga-harga kebutuhan hidup semua mahal, dan 128
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
kondisi geografis yang berat. Harga gula di Nunukan bisa Rp. 12 ribu atau lebih-lebih sedikit, disana harga bisa sampai Rp. 50 ribu. Begitu juga bahan-bahan kebutuhan pokok yang lain. Padahal gaji kita sama...” Terkait hal itu ia mengusulkan perlunya kebijakan khusus (termasuk soal anggaran) untuk meningkatkan layanan keagamaan di daerah-daerah sulit (terpencil) seperti Kec. Krayan. Terkait dengan kantor KUA, ketujuh KUA sudah memiliki bangunan kantor sendiri. Status tanah pada umumnya bersumber dari hibah, kecuali KUA Kec. Nunukan yang status tanahnya milik Pemda Nunukan. Luas tanah kantor KUA yang paling kecil 600m2 (KUA Sembakung) hingga yang paling luas, 10.000m2, seperti KUA Sebuku. Meski sudah memiliki kantor sendiri, beberapa KUA merupakan
bangunan tua. Sebagai contoh KUA
Kec.
Nunukan dibangun pada tahun 1978, KUA Sembakung tahun 1982, KUA Lumbis tahun 1984, dan KUA Krayan tahun 1999, hanya KUA Sebuku dan Sebatik Barat yang relatif baru dibangun, yaitu tahun 2010 (Sebuku) dan tahun 2011 KUA Sebatik Barat. KUA Sebatik Timur yang terletak kira-kira 500m dari jalan utama, tepatnya di Jl. Gembira RT13 Dusun Rawa Indah, Desa Bukit Aru Indah, Kantor KUA Kec. Sebatik Timur; meski dibangun tahun 2006; namun sesuai dengan nama dusun dimana KUA berada, kantor KUA berada di tengah rawa. Jika hujan jalan di depan KUA becek berlumpur tanah liat, sebagaimana dalam Gambar 3.3 berikut:
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
129
Gambar 3.3: Bangunan Kantor KUA Kec. Sebatik Timur
Begitu pula dengan luas bangunan. KUA yang ada umumnya hanya memiliki luas 80m2 (KUA Nunukan, Sembakung, dan Lumbis), KUA Krayan sedikit lebih luas yaitu 96m2, begitu pula dengan KUA Sebatik (120m2), KUA Sebuku 156m2, dan KUA Sebatik Barat 156m2. Meski cukup luas, berdasarkan observasi di KUA Sebatik, kondisi masih jauh dari ideal. Bangunan terdiri dari Ruang kepala KUA, loket pendaftaran (sekretariat), ruang bendahara merangkap ruang BP4, dan ruang staf yang sekaligus digunakan untuk pelaksanaan akad nikah apabila pernikahan dilaksanakan di kantor. Ruang untuk pelaksanaan akad nikah hanya dibatasi gorden, ketika tidak digunakan untuk akad nikah, ruangan dibiarkan terbuka untuk staf.
130
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Lembaga Mitra Pelayanan Keagamaan Dalam menjalankan tugas dan fungsinya Kankemenag di Kab. Nunukan tidak bekerja sendiri. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi serta terbatasnya sumber daya manusia maupun sumber daya finansial yang dimiliki sebagaimana diuraikan di atas, menjadi titik tolak pentingnya menjalin kerjasama dengan berbagai mitra. Kerjasama dilakukan dengan instansi pemerintah maupun lembaga non pemerintah termasuk organisasi kemasyarakatan bercirikan agama. Terdapat beberapa lembaga yang telah menjalin kejasama dengan Kankemenag Kab. Nunukan , yaitu sebagai berikut: 1. Forum Kerukunan Umat Bergama (FKUB) Dasar pembentukan FKUB adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan FKUB, dan Pendirian Rumah Ibadat. Tidak lama setelah Peraturan Bersama itu disahkan, tokoh masyarakat setempat segera mendirikan FKUB pada akhir tahun 2006. Sampai saat ini FKUB tetap eksis dan perannya dirasakan efektif bagi peningkatan kerukunan umat beragama. Di samping itu bagi penganut agama lain yang secara kelembagaan tidak tercakup dalam struktur Kankemenag Kab. Nunukan, maka FKUB dapat dijadikan media untuk Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
131
menyalurkan aspirasinya. Hal itu diakui oleh tokoh agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu bahwa FKUB merupakan sarana mereka menyalurkan aspirasinya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Peraturan Bersama tersebut bahwa komposisi keanggotaan FKUB ditetapkan berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama setempat dengan keterwakilan minimal 1 (satu) orang dari setiap agama yang ada. Karena itu FKUB telah berhasil menyatukan tokoh agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Secara berkala FKUB melakukan pertemuan baik ketika ada masalah maupun dianggap tidak ada masalah. Inilah kelebihan FKUB karena bisa merangkul semua kelompok agama bahkan yang secara struktural kelompok agama yang tidak terwakili di Kemenag Kab. Nunukan yaitu Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Hal tersebut dapat terlihat pada susunan pengurus FKUB yang tertuang dalam SK Bupati Nunukan Nomor 188.45/30/II/2013 tentang Pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama Kab. Nunukan Periode Tahun 2013-2016 adalah sebagai berikut:
132
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Tabel 3.7: Susunan Pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kab. Nunukan Periode Tahun 2013 – 2016 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
NAMA H.Hermansyah Drs. Hamzah Sanusi Pdt. Aprem Marthen, S.Th Hamzah, S.Ag Sulaiman M. Harun Zain, S.Ag H.Zahri Fadli, S.Pd Drs. H. Ibrahim H.Ahmad Saleh M.Irsyan Sulaiman Marjusnina, S.PAK Pdt. Martha Belawati Tuhumina, S.Ag Pdt. Yosep Tandi, S.Th Lorensius Lise I Made Wirama, S.Pd Hardani, S.Ag Susanto
JABATAN Ketua Wa. Ketua I Wa. Ketua II Sekretaris I Sekretaris II Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota
AGAMA Islam Islam Kristen Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Kristen
Anggota
Kristen
Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota
Kristen Katolik Hindu Budha Konghuchu
Kelancaran kegiatan FKUB juga didukung oleh perhatian dari Pemkab Nunukan terkait dengan pendanaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Bersama Pasal 26 bahwa anggaran FKUB di kab./kota didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setempat. Untuk itu secara rutin Bupati Nunukan menyiapkan anggaran untuk FKUB. Pada tahun 2013 anggaran FKUB antara lain diberikan dalam bentuk pemberian honor 17 orang pengurus FKUB yang jumlah keseluruhan Rp. 41.000.000,- (Lihat Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
133
Keputusan Bupati Nunukan Nomor 188.45/56/II/2013 tentang Pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama Kab. Nunukan Periode tahun 2013 – 2016). 2. Pemerintah Kabupaten Nunukan Bagian Kesejahteraan Rakyat yang berada di bawah Sekda, Pemkab Nunukan dalam hal ini Sub Bagian Keagamaan, merupakan mitra utama Kankemenag Kab. Nunukan yang banyak memberikan dukungan. Dukungan utama berupa pemberian bantuan pembangunan rumah ibadat, baik pembangunan masjid, gereja, bahkan klenteng. Sebagai contoh pada tahun 2013 Pemkab Nunukan memberikan bantuan pembangunan rumah ibadat untuk 26 masjid, 38 gereja, 2 musholla, 1 klenteng, 9 TPA (total 76 paket bantuan). Besarnya bantuan sangat bervariasi, mulai dari kisaran Rp. 5 juta hingga lebih besar lagi. Bantuan pembangunan rumah ibadat ini kontinyu dilakukan, karena sekaligus merupakan program unggulan bupati terpilih yang dikenal dengan 14 program Gerbang Emas Kab. Nunukan (program ke-enam). Selain bantuan pembiayaan (anggaran) bagi pembangunan rumah ibadat, bantuan lain yang diberikan Pemkab Nunukan berupa pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan isbat nikah kepada 1.500 pasangan catin. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), Pemkab Nunukan merupakan institusi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang perlu diperhatikan, untuk dijadikan sebagai mitra mengingat banyaknya problem kependudukan yang dihadapi dalam pelayanan keagamaan yang dilakukan Kemenag Kab. Nunukan. Badan Pemberdayaan Perempuan 134
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
dan Anak, Pemkab Nunukan terutama dalam konteks melindungi moralitas perempuan dan anak, merupakan OPD lain yang relevan. 3. Badan Pertanahan Nasional Sertifikasi tanah wakaf merupakan salah satu program penting yang bisa diperankan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) ini. Menurut penuturan Kepala Kankemenag Kab. Nunukan, program sertifikasi tanah wakaf belum berjalan memadai meskipun Kemenag Kab. Karimun sudah mengajukan persyaratan administratif. Tampaknya perlu ada kesempatan untuk duduk bersama antara pejabat Kemenag Kab. Karimun dengan pejabat di lingkungan BPN, sehingga diketahui problem dan solusinya. 4. Pengadilan Agama Banyaknya kasus pernikahan tidak tercatat di Kab. Nunukan mengharuskan Kankemenag Kab. Nunukan untuk bekerja sama dengan Pengadilan Agama Nunukan untuk menyelesaikannya, terutama terkait dengan pelaksanaan isbat nikah. Penyelesaian permasalahan tersebut menjadi kebutuhan mendesak warga mengingat implikasinya yang luas kepada kehidupan warga. Akta nikah dipersyaratkan untuk pembuatan paspor (mengingat banyaknya warga yang menjadi TKI) dan pengurusan akte kelahiran anak baik untuk mendapatkan bantuan pendidikan maupun kesehatan atau sekedar untuk memasuki dunia pendidikan dan lain-lain. Hal ini terindikasi dari animo masyarakat yang cukup tinggi merespon program pemerintah daerah yang memberikan bantuan pendanaan untuk penyelenggaraan isbat nikah kepada 1.500 pasangan. Data di KUA Nunukan setidaknya menunjukkan hal tersebut, terjadi lonjakan permohonan isbat Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
135
nikah. Pada tahun 2014 ini, hingga bulan Maret terdaftar permohonan isbat nikah diajukan oleh sebanyak 314 pasangan dan pada tahun 2013 (ketika program digulirkan oleh pemda), yaitu ada sebanyak 163 pasangan yang mengajukan. Bandingkan dengan permohonan isbat nikah pada tahun sebelumnya (sebelum ada program bantuan dana dari pemda), yang hanya berjumlah 57 permohonan. 5. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Pencatatan perkawinan bagi pemeluk agama non muslim menjadi bagian penting yang bisa dilakukan oleh Disdukcapil. Terkait dengan penyebutan identitas agama dalam KTP sejauh ini telah sesuai dengan ketentuan dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminisrasi Kependudukan. Tidak ada KTP yang identitas agamanya dikosongkan atau strip (-) karena tidak ada masyarakat yang mengaku beragama lain selain 6 agama yang disebut dalam UU itu. 6. Kantor Imigrasi Kab. Nunukan Mobilitas masyarakat di daerah perbatasan yang seringkali mengaburkan identitas administratif, misalnya karena KTP ganda, menjadi hal yang mengharuskan adanya kerjasama antara Kankemenag dengan Kantor Imigrasi di Kab. Nunukan. Pelayanan haji merupakan hal utama yang memerlukan kerjasama antara Kantor Imigrasi dengan Kankemenag Kab. Nunukan. Di luar lembaga tersebut terdapat sejumlah lembaga berafiliasi agama maupun tidak, secara langsung maupun tidak langsung ikut berperan melaksanakan tugas dan fungsi Kankemenag Kab. Nunukan. Lembaga dimaksud adalah AlKhoirot, Muhammadiyah, Dewan Dakwah Islamiyah, Pusat 136
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Penanganan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Kepolisian (dalam hal ini dengan Kasatreskrim), ormas perempuan seperti Aisyiah, Fatayat, Muslimat, dan Gabungan Organisasi Wanita. Dengan P2TP2A dan Kasatreskrim Kankemenag Kab. Nunukan perlu bekerjasama mengingat kedua lembaga tersebut ikut menangani permasalahan kasus pernikahan terutama pada kasus kriminalitas dalam pernikahan (KDRT, ditinggal suami tanpa kabar dan pemberian nafkah untuk kurun waktu yang lama, pernikahan di bawah umur, praktek poligami yang tidak sesuai dengan hukum, dan lain-lain). Sebagai contoh P2TP2A pada tahun 2012 pernah menangani kasus KDRT yang dialami seorang PNS di Kantor Imigrasi, sedangkan pada tahun 2013 menangani kasus KDRT yang dilakukan seorang ayah kepada istri dan 12 anaknya yang seluruhnya perempuan, hingga sang anak hamil. Kasus tersebut berbuntut panjang dan melibatkan banyak pihak seperti kepolisian dan Dinas Sosial, hingga akhirnya korban berhasil dipulangkan ke Sulawesi. Begitu pula dengan kepolisian. Selain kasus kriminal dalam perkawinan, kasus trafficking dan narkoba merupakan kasus lain yang perlu mendapat perhatian dan keterlibatan Kantor Kemenag Kab. Nunukan dalam penyelesaiannya.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
137
TEMUAN LAPANGAN TENTANG PELAYANAN KEAGAMAAN Pelayanan Agama Islam 1. Perkawinan Secara umum prosedur pernikahan di Kab. Nunukan tidak berbeda jauh dengan prosedur yang umumnya dilakukan di KUA-KUA di daerah lain. Dimulai dengan pemberitahuan dari calon pengantin kepada PPN yang mewilayahi tempat akan dilangsungkannya akad nikah, sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum akad nikah dilangsungkan. Pemberitahuan kehendak nikah tersebut dilakukan dengan mengisi formulir berisi data tentang nama kedua calon mempelai, hari dan tanggal pelaksanaan akad nikah, data mahar/maskawin dan tempat pelaksanaan upacara akad nikah (di Balai Nikah/KUA atau di rumah calon mempelai, masjid gedung dll), yang dapat dilakukan oleh calon mempelai, wali (orang tua) atau pihak yang mewakili calon pengantin. Adapun sejumlah surat yang diperlukan sebagai persyaratan adalah: foto copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) calon pengantin (catin); surat pernyataan belum pernah menikah (masih gadis/jejaka) di atas segel/materai bernilai minimal Rp.6.000,- (enam ribu rupiah) diketahui RT, RW dan kepala desa/lurah setempat; surat keterangan untuk nikah dari desa/kelurahan setempat (Model N1, N2, N4) diisi baik oleh calon suami maupun calon istri, pas photo catin, serta surat talak/akta cerai dari Pengadilan Agama jika status catin duda/janda; dan surat kematian jika duda/janda, karena pasangan meninggal dunia. Bagi catin laki-laki yang umurnya kurang dari 19 tahun atau catin 138
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
perempuan yang umurnya kurang dari 16 tahun, serta lakilaki yang mau berpoligami, harus ada izin/dispensasi dari Pengadilan Agama. Selain itu diperlukan surat izin Orang Tua (Model N5) bagi catin yang umurnya kurang dari 21 tahun baik catin laki-laki/perempuan. a. Prosedur pendaftaran kehendak nikah Lebih jelasnya, prosedur pendaftaran kehendak nikah dibuat dalam bentuk diagram alur sebagai Bagan 3.2 sebagai berikut: Bagan 3.2: Alur Proses Pendaftaran Pernikahan
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
139
b. Langkah kerja pelayanan perkawinan Dalam melaksanakan pelayanan perkawinan, beberapa langkah kerja yang dilakukan, yaitu :
ada
1) Staf pencatat nikah menerima pendaftaran, memeriksa persyaratan perkawinan, menuliskan dalam formulir kehendak nikah, dan membuat surat-surat yang diperlukan. 2) Kepala KUA menerima konsultasi dari staf dan memeriksa kembali berkas, catin dan wali. 3) Penghulu menggantikan tugas kepala KUA apabila berhalangan dalam memeriksa berkas, catin dan wali. 4) Bendahara menerima biaya administrasi. 5) BP4 memberikan suscatin.
penasehatan
perkawinan
atau
6) Kepala KUA/Penghulu/Imam P3N melaksanakan akad nikah. 7) Staf Pencatat Nikah menuliskan akta nikah dan buku nikah, menyerahkan buku nikah kepada pengantin, mengarsifkan seluruh berkas pelayanan perkawinan. c. Penanggung jawab dan tanggung jawab bidang Pelayanan Perkawinan 1) Kepala KUA a) Mengarahkan pelayanan perkawinan. b) Menyetujui dan melaksanakan proses pelayanan perkawinan. c) Memeriksa atau menerima laporan hasil pemeriksaan berkas pelayanan perkawinan dari penghulu atau memeriksa ulang apabila diperlukan. 140
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
d) Mengambil perkawinan.
keputusan
tentang
pelayanan
e) Melaksanakan prosesi perkawinan dan atau melimpahkan kepada penghulu atau imam P3N. f) Menandatangani surat/berkas pelayanan perkawinan, akta nikah dan buku nikah (kutipan akta nikah). g) Mengevaluasi kegiatan pelayanan perkawinan. 2) Penghulu a) Menerima berkas pelayanan perkawinan dari staf pencatat nikah. b) Memeriksa berkas pelayanan perkawinan dan calon pengantin serta wali nikah. c) Melaporkan hasil pemeriksaan kepada Kepala KUA. d) Menyampaikan hasil keputusan Kepala KUA kepada calon pengantin tentang diterima atau ditolak berkas perkawinan. e) Melaksanakan prosesi pernikahan setelah mendapat persetujuan atau perintah dari Kepala KUA. 3) Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) a) Memberikan nasehat kepada calon pengantin setelah berkas disetujui oleh Kepala KUA. b) Membukukan dalam buku kepenasehatan. c) Menandatangani berkas kepenasehatan. Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
141
4) Bendahara a) Menerima pembayaran administrasi setelah hasil pemeriksaan dari Kepala KUA atau penghulu. b) Menyimpan bukti pembayaran nikah rujuk. c) Mengeluarkan uang atas perintah Kepala KUA. d) Melaporkan keuangan.
kepada
Kepala
KUA
tentang
e) Membuat laporan bulanan keuangan. f) Menyetor biaya nikah ke Kemenag Kab. Nunukan. g) Menyetor pajak. 5) Staf Pencatat Nikah a) Menerima pendaftaran dari calon pengantin. b) Memeriksa persyaratan perkawinan. c) Menuliskan dalam formulir kehendak nikah. d) Mengkonsultasikan kepada Kepala KUA berkaitan dengan berkas persyaratan yang tidak sesuai dengan ketentuan. e) Membuat surat pernyataan sumpah/ pertanggungjawaban yang berkenaan dengan wali hakim. f) Apabila berkas sudah lengkap diserahkan kepada Kepala KUA atau penghulu untuk pemeriksaan berkas dan calon pengantin serta wali. g) Menerima berkas pengantin setelah dilaksanakan perkawinan. h) Menuliskan akta nikah dan buku nikah. 142
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
i)
Menyerahkan buku nikah kepada pengantin.
j)
Memberikan tanda terima penyerahan buku nikah kepada pengantin.
k) Mengarsipkan perkawinan.
seluruh
berkas
pelayanan
d. Persoalan layanan pernikahan Persoalan yang cukup mencolok dalam layanan pernikahan di Kab. Nunukan terkait dengan problem administrasi kependudukan. Hal tersebut menyebabkan calon pengantin tidak mampu memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan, antara lain: mulai dari tidak mempunyai KTP, tidak dapat memperlihatkan surat nikah karena pernikahan dilakukan secara siri sehingga terhalang untuk mengurus perceraian, serta tidak dapat memperlihatkan surat cerai karena perceraian tidak dicatatkan (karena nikah siri tidak bisa mengurus perceraian dan akhirnya mengalami kesulitan ketidak hendak menikah lagi). Kasus-kasus ini sangat banyak ditemui karena pernikahan siri masih dijadikan sebagai pilihan oleh kebanyakan warga baik karena pemahanan agama yang sempit maupun karena problem rendahnya pengetahuan. Sosialisasi mengenai pentingnya administrasi kependudukan kepada masyarakat tidak hanya dengan menggunakan pendekatan administratif akan tetapi juga melalui pendekatan agama dengan melibatkan pihak-pihak yang relevan, menjadi kebutuhan yang tidak terhindarkan guna mengurai masalah yang ada.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
143
Problem lain terkait dengan permohonan layanan pernikahan antar negara (WNI dengan warga Negara Malaysia), yang pengadministrasiannya lebih rumit (pemberkasan kembali N1 sampai dengan N4 harus melalui kantor konsulat di Jakarta), serta biaya pemberkasan sangat mahal (bisa mencapai 2 juta rupiah). Problem semakin komplek ketika catin baik dari WNI maupun warga Negara Malaysia memiliki problem administrasi (tidak mempunyai paspor karena ditahan oleh majikan, data/nama pada dokumen paspor berbeda dengan dokumen lainnya seperti KTP, dan lain-lain). Jika tidak diantisipasi, mengingat kuantitas permohonan terus meningkat, bagi catin yang tidak mampu memenuhi tuntutan administratif, dapat menstimulasi terjadinya pernikahan siri. Hal ini tentu harus dihindari, karena akan semakin menambah panjang daftar pernikahan siri terjadi dimasyarakat. Permohonan pelaksanaan pernikahan antara sesama WNI yang tinggal (bekerja) di wilayah pelayanan Malaysia, juga menjadi persoalan lain yang banyak muncul. Problem administrasi masih cukup menonjol terjadi terkait hal tersebut, baik berupa kasus tidak punya kartu identitas (KTP/paspor) karena berbagai penyebab (hilang, sudah tidak berlaku, diambil majikan, dan lain-lain), identitas yang berbeda-beda dan ada pula yang palsu, selain persoalan tidak mempunyai surat nikah atau surat cerai karena sebelumnya nikah siri, atau kasus berupa ketidakmampuan menunjukkan bukti bahwa status masih gadis/lajang. Ketidak mampuan menunjukkan dokumen pendukung tersebut berimplikasi pada penolakan permohonan oleh pihak terkait, yang berimplikasi tidak dapat diselenggarakannya pernikahan. Terjadinya 144
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
pernikahan siri (nikah kampong untuk istilah yang biasa digunakan di Tawau), karena hal tersebut tidak dapat dihindarkan yang dikemudian hari memunculkan aneka permasalahan administratif lainnya yang memberatkan catin. Terkait hal tersebut diusulkan agar konsulat Indonesia di Tawau tidak hanya memberi pelayanan berupa pengurusan paspor, akan tetapi juga memberikan pelayanan pernikahan dengan menempatkan petugas pencatat pernikahan (P3N) mengingat banyaknya peristiwa nikah antar warga Negara terjadi di daerah perbatasan di Kab. Nunukan. Banyaknya pernikahan antara WNI dengan warga Negara Malaysia tersebut terjadi karena mayoritas penduduk Tawau, meski telah menjadi Warga Negara Malaysia, berasal dari etnis Bugis dan ada pula dari etnis Dayak Tidung. Persoalan lain terkait dengan budaya penetapan mahar yang tinggi pada masyarakat Bugis yang menjadi etnis mayoritas di Pulau Nunukan maupun Sebatik. Muncul sebagai kasus cukup aktual dalam kolom-kolom pemberitaan media lokal. Hal tersebut senada dengan temuan studi Hederiya (2006) yang menunjukkan bahwa faktor tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat yang relatif rendah, serta pemahaman agama yang kurang; menjadi penyebab mengapa tradisi penetapan mahar yang tinggi dalam perkawinan banyak dipraktekkan. Selain praktek penetapan mahar yang tinggi, budaya mengadakan pesta pernikahan secara besar-besaran juga menjadi kebiasaan lain yang cukup banyak terjadi. Akibatnya banyak terjadi kasus gagalnya pernikahan diselenggarakan karena tidak tercapainya kesepakatan Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
145
mengenai mahar pernikahan.
dan
pembiayaan
pelaksanaan
Kasus kurangnya buku nikah terutama karena peningkatan peristiwa nikah melalui proses isbath nikah setelah program Pemkab Nunukan digulirkan, juga terjadi diantaranya di Sebatik Barat (wawancara dengan Kepala KUA Sebatik Barat pada 26 Maret 2014). Selain itu terdapat pula kasus nikah di bawah umur, karena pihak perempuan telah hamil lebih dahulu. Terkait hal tersebut, pemberian bimbingan persiapan pernikahan kepada remaja/pemuda dalam memasuki gerbang pernikahan, merupakan bentuk layanan yang perlu diperhatikan pemenuhannya. Bukan hanya berupa suscatin yang kerap kali pelaksanaannya lebih mengedepankan aspek administratif (dilaksanakan menjelang nikah), akan tetapi berupa bimbingan lebih substantif guna mempersiapkan para pemuda memasuki jenjang pernikahan secara komprehensif (kesiapan pemahaman, mentalitas, serta ekonomi). Pembekalan pernikahan tersebut perlu menjadi prioritas mengingat piramida penduduk Kab. Nunukan merupakan piramida ekspansif, yaitu didominasi penduduk usia muda (produktif) dengan tingkat kelahiran cukup tinggi seperti terlihat pada (Grafik 3.1). Dari Grafik 3.1 ini tampak adanya kebutuhan pelayanan keagamaan yang cukup tinggi dari kelompok usia tersebut, seperti pelayanan persiapan (suscatin) dan pelaksanaan pernikahan serta bimbingan agama kepada kelompok muda.
146
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Grafik 3.1: Piramida Penduduk Kab. Nunukan Tahun 2013
Sumber: BPS Kab. Nunukan, 2013
2. Pelayanan Haji Pelayanan pendaftaran haji di Kankemenag Kab. Nunukan dilaksanakan oleh Kasi Urais, Haji dan Umrah setiap hari pada jam kerja, yaitu Senin – Kamis jam 08.00–16.00 WITA dan Jum’at jam 08.00–16.30 WITA. Petugas yang khusus melayani pendaftaran terdiri 2 orang, yaitu seksi pendaftaran dan operator siskohat, dan prosedurnya sebagaimana pada Gambar 3.4 sebagai berikut:
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
147
Gambar 3.4: Papan Informasi Haji
Prosedur pelayanan haji dan umrah di Kankemenag Kab. Nunukan sama dengan prosedur di daerah-daerah lain di Indonesia, yaitu sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 2010 tentang Prosedur Pendaftaran Haji, sebagai berikut: a. Sebelum mendaftar ke kankemenag, calon jamaah harus membuka rekening haji di bank yang telah ditunjuk pemerintah dengan dana setoran awal sebesar Rp. 25 juta. b. Jamaah mendaftar ke kankemenag dengan membawa persyaratan: KTP, KK, surat keterangan sehat dari puskesmas, fotocopy ijazah/akte lahir/akte nikah, pas photo, foto copy buku rekening. c. Entri data, foto dan scan sidik 10 jari. d. Calon jamaah mendapatkan SPPH (Surat Pendaftaran Pergi Haji).
148
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
e. Calon jemaah haji kembali ke bank dengan membawa SPPH, bank menyetor dana pendaftaran haji ke rekening haji Kemenag RI. f.
Calon Jemaah haji kembali mendapatkan daftar tunggu.
ke
kankemenag
dan
Problem pelayanan haji yang terjadi terkait dengan jauhnya lokasi tempat tinggal calon jamaah dengan Kankemenag Kab. Nunukan, bahkan terdapat wilayah yang membutuhkan jarak tempuh sangat jauh serta harus menggunakan pesawat untuk sampai ke Kankemenag Kab. Nunukan. Pendaftaran mesti dilakukan oleh calon yang bersangkutan dengan membawa persyaratan, foto diri dan scan 10 sidik jari. Untuk membantu jama’ah haji, Kankemenag Kab. Nunukan menetapkan agar jama’ah haji yang tempat tinggalnya di luar Pulau Nunukan, sebelum datang mendaftar ke Kankemenag Kab. Nunukan terlebih dahulu diharuskan datang ke KUA untuk mendapatkan informasi dan bimbingan langsung pemberkasan pendaftaran haji. Jika berkas calon jama’ah haji dinyatakan telah lengkap, barulah pihak KUA menghubungi petugas di Kankemenag Kab. Nunukan untuk menanyakan kesiapan waktu pendaftaran, baik dengan sistem online maupun offline. Apabila petugas di Kankemenag Kab. Nunukan menyatakan siap, barulah calon jamaah diminta datang Kankemenag Kab. Nunukan untuk mendaftar, sehingga calon jama’ah tidak perlu bolak-balik karena persoalan persyaratan yang tidak lengkap (wawancara dengan Kasi Haji dan Umroh Kemenag Kab. Nunukan pada 21 Maret 2014).
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
149
Permasalahan lain yang banyak ditemui, terkait dengan perbedaan nama calon jama’ah pada dokumen identitas (Paspor, KTP, dan buku nikah). Perbedaan nama calon di paspor dengan nama di KTP yang paling menyolok terjadi bukan karena kesalahan administrasi, akan tetapi karena calon jama’ah haji yang juga bekerja sebagai TKI di Tawau, Malaysia; pada saat pergantian paspor menukar namanya dengan nama lain agar dapat terus bekerja. Hal tersebut dilakukan karena adanya aturan pemerintah Malaysia bahwa TKI hanya boleh bekerja di Malaysia selamalamanya lima tahun, sementara para TKI ada kebutuhan untuk terus bekerja mencari nafkah selain bahwa pergantian nama ini kerap kali dilakukan atas sepengetahuan (saran) majikan yang masih menginginkan TKI tersebut bekerja di tempatnya, namun menjadi persoalan serius ketika yang bersangkutan hendak menunaikan ibadah haji. Untuk mengatasi permasalahan yang jumlahnya cukup banyak tersebut, pihak KUA mengingatkan calon haji yang mempunyai banyak nama untuk mengingat nama yang harus digunakan dalam pengurusan haji (sesuai dengan dokumen yang masih berlaku yang dimiliki calon jama’ah): “Nanti, kalau bapak/ibu ditanya nama, sebut nama yang sesuai di buku tabungan bapak/ibu ya?” Upaya lain dilakukan oleh Camat Sebatik, yang sebelum kebijakan pemberlakuan EKTP mengeluarkan kebijakan pembuatan KTP khusus untuk haji. KTP digunakan untuk membuka rekening tabungan haji, pendaftaran haji, dan pembuatan paspor. Setelah haji ditunaikan KTP tidak berlaku lagi. Akan tetapi bagi mereka yang mendaftar secara online, kebijakan tersebut tentunya tidak dapat dilakukan. Selain itu setelah pemberlakuan EKTP, kebijakan KTP khusus untuk haji tidak lagi dilakukan.
150
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Selain persoalan perbedaan nama di paspor karena alasan seperti dijelaskan, perbedaan identitas (nama) karena kesalahan administrasi juga banyak ditemui. Diantaranya berupa perbedaan nama di KTP dengan paspor yang disebabkan faktor pendidikan calon jama’ah haji, rendahnya pengetahuan dan kesadaran mengenai administrasi kependudukan, dan lain-lain. Dalam hal ini, pihak imigrasi mengusulkan untuk pendaftaran haji, identitas yang digunakan adalah nama yang ada di paspor. (disampaikan dalam FGD) Problem lain yang juga terjadi, terkait dengan ditahannya paspor calon jama’ah haji oleh majikan. Kasus penahanan paspor oleh majikan banyak terjadi sebagai cara majikan untuk “memaksa” TKI agar tidak menentang atau tidak melakukan sesuatu yang tidak diinginkan majikan seperti melarikan diri, mengadu kepada pihak kepolisian atau petugas, dan lain-lain. Persoalan ini biasanya diatasi dengan membuat kembali paspor, meski calon jama’ah haji terpaksa mengeluarkan biaya tambahan karena hal tersebut. 3. Pelayanan Pembinaan Agama Islam Pelaksanaan kegiatan pembinaan ke-Islaman umat juga masih belum maksimal karena terkendala minimnya tenaga penyuluh agama yang ada, yaitu hanya terdapat 7 orang. Akibatnya kebutuhan bimbingan agama belum sepenuhnya dapat dilakukan dan baru terbatas pada bimbingan pada kegiatan-kegiatan seremonial (pelaksanaan hari besar Islam). Bimbingan kepada kelompok muda sebagai kelompok usia terbesar di Kab. Nunukan, perlu mendapatkan prioritas. Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
151
Fenomena banyaknya anak muda terjerat kasus narkoba di Kab. Nunukan sebagaimana disampaikan pihak Kasatreskrim, perlu mendapat perhatian Kankemenag Kab. Nunukan. Sebagai daerah perlintasan yang menyebabkan lalu lintas barang baik yang legal maupun ilegal sangat tinggi. Salah satunya narkoba, yang bukan lagi dilakukan secara sembunyisembunyi (melalui jalur tikus), akan tetapi melalui jalur yang sangat terbuka, sebagaimana diungkap dalam kegiatan FGD oleh salah seorang informan yang menyebutkan bahwa narkoba di Nunukan didistribusikan lewat “jalur gajah” saking terbukanya. Persoalan kemiskinan menyebab praktek jual-beli narkoba menjadi problem cukup serius di Kab. Nunukan. Kasus-kasus peredaran narkoba yang ditemui mengindikasikan hal tersebut, dengan ditemuinya kasuskasus keterlibatan perempuan dan remaja dalam transaksi narkoba. Pemberian bimbingan keagamaan kepada pemuda dalam upaya membentengi mereka dari serbuan budaya kota yang merusak (minum-minuman keras, pergaulan bebas), juga merupakan bentuk bimbingan keagamaan lainnya yang dapat dilakukan. Makin meningkatnya kehidupan malam di Nunukan (di Sebatik biasa terjadi ditempat-tempat karaoke), membutuhkan keterlibatan Kankemenag dalam menanggulanginya. Sebagai gambaran pada tahun 2013 terdapat kasus cukup banyak menyangkut kasus anak berurusan dengan hukum (41 kasus), baik berupa kasus narkoba, pencurian, pelecehan seksual, dan lain-lain; dimana anak-anak tidak hanya menjadi korban, akan tetapi juga sebagai pelaku. Kebutuhan pembinaan ke-Islaman yang lain disampaikan oleh Kasatreskrim, Polres Nunukan menyatakan 152
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
bahwa mereka membutuhkan tenaga pembina keagamaan kepada tahanan yang berjumlah hampir 300 orang. Pembinaan agama ini penting sebagai bagian dari proses rehabilitasi, melengkapi pendekatan hukuman (efek jera) yang diterapkan di lembaga pemasyarakatan serta pembinaan ketrampilan. Lebih dari itu pembinaan keagamaan bahkan dinilai oleh mereka lebih efektif dalam merecovery mental para narapidana, dan karenanya sangat diharapkan dapat dilakukan kerjasama terkait hal tersebut dengan pihak Kankemenag Kab. Nunukan. Untuk pembinaan agama Kristen selama ini sudah berjalan, meskipun tidak melalui jalur Kankemenag Kab. Nunukan akan tetapi melalui gereja. Pembinaan lainnya yang telah dan rutin dilakukan adalah pembinaan mualaf yang dilakukan 3x dalam seminggu melalui Majelis Taklim Husnul Khatimah. 4. Pelayanan Agama Kristen Umat Kristen di Kab. Nunukan tercatat sebanyak 43.955 jiwa atau sekitar 27% dari seluruh penduduk Kab. Nunukan. Meski umat Kristen ini hampir ada di seluruh kecamatan, tetapi terkonsentrasi di 2 kecamatan yaitu Kec. Lumbis dan Kec. Krayan. Di dua kecamatan tersebut agama Kristen merupakan agama mayoritas penduduk. Sesuai dengan tipologi Kankemenag Kab. Nunukan yaitu IIIB, pemberian pelayanan agama terhadap umat Kristen hanya dilakukan oleh pejabat Penyelenggara Kristen, yaitu Marjusrina Jon, S. PAK (Bu Rina). Tugas Penyelenggara Kristen adalah melakukan pelayanan dan bimbingan di bidang kurikulum, ketenagaan, sarana kelembagaan, ketatausahaan serta supervisi dan evaluasi pada pendidikan agama Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
153
Kristen pada sekolah umum tingkat dasar dan menengah serta sekolah luar biasa (lihat Profil dan Data Kemenag Kab. Nunukan, 2013). Dilihat dari tugas pokok tersebut, Penyelenggara Kristen lebih terfokus di bidang pendidikan. Sementara untuk kehidupan beragama umat Kristen pada umumnya relatif kurang. Lebih dari itu, kurangnya pelayanan terhadap umat Kristen juga terjadi karena tidak ada staf yang membantu tugas Penyelenggara Kristen. Karena itu tidaklah berlebihan ketika Penyelenggara Kristen mengatakan bahwa pelayanan untuk umat Kristen belum maksimal. Misalnya, Penyelenggara Kristen belum punya data tentang berapa jumlah induk organisasi gereja yang terdaftar. Menurut Bu Rina ada sekitar 27 induk organisasi Kristen. Namun demikian, tidak ada data yang pasti. Tidak ada mekanisme yang ketat yang mengharuskan setiap induk organisasi gereja mendaftar di Kankemenag. Menurut Bu Rina, salah satu hal yang terjadi adalah karena masyarakat tidak/belum memahami tentang eksistensi Kankemenag. Dalam hal penyebutan nomenklatur saja misalnya, belum banyak tahu bahwa sekarang sudah berubah menjadi Kankemenag, umat masih menyebut Departemen Agama. Bagi umat Kristen, eksistensi Kankemenag Kab. Nunukan tampaknya belum banyak dikenal. ”Mereka menyangka bahwa tugas Kankemenag itu hanya terkait dengan: nikah, haji, dan doa. Karena itulah mereka tidak paham harus mendaftar dsb. Untuk tertib administrasi, kami telah membuat chek list yang dikirimkan ke gereja-gereja. Chek list itu berisi daftar syarat administratif yang harus dipenuhi jika sebuah gereja ingin mendaftarkan ke Kemenag”(Wawancara dengan Penyelenggara Kristen, 21 Maret 2014). 154
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Gambar 3.6: Salah Satu Gereja di Pusat Kota
Sampai saat ini induk gereja yang secara administratif sudah terdaftar sebanyak 19 gereja. Sebagian besar gereja itu mengajukan surat keterangan terdaftar dengan tujuan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh bantuan dari Bagian Kesra, Pekab Nunukan (bagian Kesra). Sebagian kecil memang mendaftarkan sebagai respon atas chek list yang disampaikan melalui Penyelenggara Kristen. 5. Pelayanan Agama Katolik Umat beragama Katolik di Kab. Nunukan berjumlah 11.506 atau sekitar 7% dari seluruh penduduk Kab. Nunukan. Namun demikian, data itu tidak selalu selaras dengan data yang dimiliki gereja Katolik. Kesulitan mendata umat Katolik antara lain karena mereka mayoritas pendatang dari Nusa Tenggara Timur (NTT) dan hanya beberapa bulan saja di Nunukan untuk kemudian berangkat ke Tawau atau Kinibalu. Pada tahun 2013 gereja mendata sekitar 7.000 – 8.000 jemaat. Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
155
Pusat pelayanan umat Katolik terletak di Gereja Katolik yang beralamat di Jalan Tawakkal Nunukan. Gereja tersebut berada di bawah Yayasan Mardi Wiyata yang sekaligus mengelola SMP Katolik Frateran Santo Gabriel, dengan SMA Katolik Frateran Santo Gabriel. Untuk melayani gereja, beberapa orang Pastor di gereja itu antara lain Pastor Antonio Razzolli seorang berkebangsaan Itali yang sudah bertahuntahun mengabdi di gereja. Persoalan besar yang dihadapi terkait dengan pelayanan terhadap umat Katolik adalah masalah perkawinan. Sebagian masyarakat Katolik lebih mengutamakan hukum adat ketika menikah, sehingga hukum gereja dan aturan pemerintah dianggap bukan yang utama. Mereka menikah di kampung halamannya yaitu di NTT atau di Tanah Toraja, tanpa surat pengesahan dari gereja. Mereka kemudian merantau ke Nunukan dan sebagian ada yang melanjutkan ke Tawau atau Sabah. Mereka baru merasakan pentingnya punya akta nikah ketika anak-anak mau sekolah atau pengurusan administrasi lainnya. Karena itu pembinaan yang dilakukan gereja saat ini lebih difokuskan pada generasi muda, anak usia dini. Beberapa kelompok binaan itu tergabung dalam Remaka (Remaja Katolik), OMK (Orang Muda Katolik), dan WK (Wanita Katolik). Struktur Kankemenag Kab. Nunukan belum bisa mengakomodir pejabat yang melayani umat Katolik. Sejauh ini hanya ada satu Penyuluh Agama Katolik bernama David yang berstatus PNS. Penyuluh inilah yang seringkali menjadi mediator antara Kankemenag Kab. Nunukan dengan pimpinan gereja Katolik maupun umat secara umum. Dalam tugas kesehariannya, secara administrtatif penyuluh agama Katolik ini bertanggung jawab terhadap Kepala Kankemenag 156
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Kab. Nunukan. Untuk ruang kerjanya, David diberi meja staf yang ada diruangan Penyelenggara Kristen. Penyelenggara Kristen yang memang tidak punya staf sering kali meminta bantuan ke David untuk menyelesaikan beberapa kegiatannya. 6. Pelayanan Umat Hindu, Buddha dan Khonghucu Secara struktural ketiga komunitas agama itu tidak tercantum dalam tugas dan fungsi Kankemenag Kab. Nunukan. Dengan kata lain tidak terdapat pejabat yang secara khusus menangani umat beragama tersebut. Namun demikian, bukan berarti tidak ada umatnya. Dalam kepengurusan FKUB periode 2013–2016 tercantum nama I Made Wirama, S.Pd. (Hindu), Hardani S. Ag. (Buddha), dan Susanto (Khonghucu). Dengan demikian, sekali lagi ditegaskan bahwa FKUB menjadi penampung aspirasi umat beragama tanpa memandang jumlah umat tersebut. Ketiga komunitas agama itu terkonsentrasi di Kec. Nunukan sebagai ibu kota, sementara hanya sebagian kecil saja berada di kecamatan lain. Umat Hindu di Kec. Nunukan berjumlah 65 orang terdiri atas 29 perempuan dan 36 laki-laki. Perbedaan jumlah umat Hindu antara laki-laki dan perempuan terjadi karena banyak umat Hindu yang datang ke Nunukan dalam rangka tugas dan datang sendiri tanpa membawa keluarganya. Beberapa pejabat di Kab. Nunukan yang beragama Hindu antara lain Kepala Kantor Imigrasi, Kepala Bea Cukai, Polres, Biro Pusat Statistik dll. Dengan demikian, umat Hindu disini meski sedikit termasuk kelompok masyarakat menengah dan berada di lingkungan birokrat.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
157
Terkait dengan kebutuhan akan rumah ibadat, tokoh agama Hindu mengatakan: Kami punya prinsip membuat jauh lebih mudah daripada memelihara. Karena itu sampai saat ini kami belum punya pura. Umat Hindu disini juga banyak yang tidak menetap. Kebanyakan dari mereka adalah pegawai atau pejabat yang ditugaskan sehingga ketika masa tugas selesai, mereka pun meninggalkan Nunukan. Karena itu pernah kami mengajukan permohonan pendirian rumah ibadat. Sudah disusun panitia pendirian rumah ibadat, tapi beberapa orang yang tercantum dalam susunan panitia itu pindah. Kami akhirnya ragu untuk mengajukan itu. Dalam menjalankan ajaran agama, kami berpegang pada prinsip: desa, kala, dan patra. Desa adalah tempat, jadi kami selalu menyesuaikan dengan tempat dimana kami berada. Kemudian kala adalah waktu, artinya kami dalam merantau berhitung waktu. Kemudian patra yaitu keadaan. Apapun yang kami lakukan, harus tergantung pada kondisi desa, kala, dan patra (Wawancara dengan I Made Wirama, S. Pd, 29 Maret 2014). Umat Buddha di Kab. Nunukan didominasi oleh kaum muda. Menurut penuturan seorang tokoh agama Buddha (Hardani, etnis Jawa), sebelum terbitnya peraturan terkait pelayanan agama Khonghucu tahun 2006, penganut agama Buddha diperkirakan antara 80 sampai 90 kepala keluarga (KK). Tapi sekarang hanya berkisar 40 sampai 50 KK, selebihnya menyatakan sebagai penganut Khoghucu khususnya dari kelompok tua yang masih memegang teguh tradisi Tionghoa. Hardani melihat bahwa Khonghucu lebih identik dengan budaya Tionghoa daripada dipandang sebagai agama. Ada semacam prinsip bahwa penganut Khonghucu pasti keturunan Tionghoa, tetapi tidak semua keturunan Tionghoa beragama Khonghucu karena ada juga yang 158
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
beragama Buddha. Dengan kata lain penganut agama Buddha lebih heterogen karena ada yang berasal dari etnis Tionghoa, ada juga dari etnis Jawa. Meski umat Khonghucu tidak terlalu banyak jumlahnya, mereka mengaku telah memiliki bangunan untuk beribadat yang cukup megah dan terpampang di depannya tulisan: “Rumah Ibadah Tri Dharma, San Kong Nunukan”. Di dinding bagian depan rumah ibadat itu tertulis semacam prasasti: Telah diresmikan Kelenteng Tri Dharma San Sen Kong, pada hari Minggu, tanggal 9 Maret 2008, oleh Bupati Nunukan H. Abdul Hafid Achmad. Sebagaimana Gambar 3.7 berikut: Gambar 3.7: Klenteng Tri Dharma San Sen Kong
Tampaknya potensi perdebatan dan konflik yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia terkait perbedaan pemaknaan rumah ibadat untuk umat Buddha dan Khonghucu juga terdapat di Kab. Nunukan. Jika dilihat dari istilah Tri Dharma, maka semestinya rumah ibadat itu bisa digunakan oleh umat Buddha juga Khonghucu, dan Tao jika Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
159
memang ada pengautnya. Tapi di sisi lain juga disebut kelenteng yang identik dengan umat Khonghucu. Tidak mau terlibat dalam konflik berkepanjangan, umat Buddha sudah menyediakan tanah yang rencananya akan didirikan vihara. Sementara untuk saat ini umat Buddha beribadat di gedung serba guna yang ada di lingkungan kelenteng dengan menyewa sebuah ruangan di lantai 2.
160
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
PENUTUP Kesimpulan Upaya pemberian pelayanan keagamaan secara maksimal kepada masyarakat di wilayah perbatasan oleh Kankemenag Kab. Nunukan, menghadapi sejumlah persoalan. Satu isu yang cukup menonjol terkait dengan ketidakmampuan warga memenuhi syarat administrasi karena problem administrasi kependudukan yang dihadapi, terutama pada pelayanan pernikahan dan haji. Bentuk permasalahan administrasi dimaksud dapat berupa warga tidak mempunyai KTP, perbedaan identitas dalam dokumen kependudukan, tidak memiliki paspor atau paspor dalam kondisi bermasalah, dan lain-lain. Persoalan ketidak-mampuan warga memenuhi persyaratan administrasi guna mendapatkan layanan keagamaan tersebut dalam beberapa kasus tidak selalu didekati dengan pendekatan prosedural formal, akan tetapi dengan mencari upaya penyelesaian (melakukan inovasi lokal) yang mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat. Tindakan tersebut terpaksa diambil, mengingat problem ketidak-mampuan masyarakat memenuhi persyaratan administrasi permohonan layanan yang diajukan, jika tidak dicarikan solusinya, pada sisi lain dapat memicu terjadinya ekses negatif. Pada kasus pelayanan pernikahan misalnya, dapat meningkatkan praktek kawin siri dan dapat pula menyebabkan terjadinya hubungan diluar nikah (perzinahan) lantaran pasangan tersebut terhalang untuk dapat menikah. Pada mereka yang memutuskan melakukan nikah siri, persoalan tidak berhenti sampai disitu, akan tetapi berkembang pada munculnya problem lain dimasa datang. Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
161
Problem ke depan seperti tidak bisa melakukan perceraian, tidak bisa melakukan pernikahan kembali jika dibutuhkan, tidak dapat membuat KK dan akte kelahiran, dan problem waris. Praktek pernikahan siri yang banyak terjadi di Nunukan karenanya harus dilihat dalam konteks yang lebih komprehensif. Hal ini terjadi bukan hanya karena pemahaman agama yang sempit yang memandang bahwa pernikahan sudah memadai jika dinyatakan sah secara agama. Juga disebabkan pengetahuan masyarakat yang terbatas tentang perlunya mematuhi administrasi kependudukan, akan tetapi juga terjadi sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi (mensahkan pernikahan secara agama meskipun tidak dapat disahkan secara hukum Negara). Cara tersebut tentu saja bukan merupakan solusi tepat karena menimbulkan sejumlah implikasi negatif dikemudian hari. Jika tidak segera diatasi, problem akan seperti lingkaran setan karena pelanggaran yang satu berimplikasi pada munculnya bentuk pelanggaran lainnya. “Pemutihan” praktek nikah siri melalui isbat nikah “massal” yang difasilitasi pembiayaannya dari Pemkab Nunukan, karenanya merupakan solusi tepat guna memutus mata rantai persoalan. Replikasi dalam mengatasi persoalan serupa ditempat lain meski pada kasus Kab. Nunukan, inovasi lokal tersebut inisiatif pelaksanaannya sepenuhnya dari masing-masing pemda untuk merespon kebutuhan masyarakat. Sementara pihak Kankemenag lebih sebagai pihak yang menerima manfaat. Peran aktif Kemenag dimasa datang perlu dikembangkan, guna mendorong capaian yang lebih maksimal. Untuk layanan haji, inovasi lokal dilakukan dengan memfungsikan KUA sebagai pihak yang bertugas mensortir 162
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
kelengkapan dokumen pada tahap awal, bahkan sekaligus memberikan bimbingan dan bantuan kepada masyarakat sebagai calhaj. Inovasi tersebut tentu saja sangat membantu masyarakat sebagai pihak yang dilayani, karena tidak perlu mengeluarkan anggaran cukup besar untuk transportasi bolak-balik datang ke Kankemenang Kab. Nunukan, selain proses menjadi lebih mudah dan cepat. Problem keterbatasan SDM birokrasi (penghulu, penyuluh agama, maupun jumlah SDM PNS), menyebabkan berbagai pelayanan keagamaan yang dibutuhkan masyarakat belum dapat terpenuhi secara maksimal. Problem minimnya sarana dan prasarana termasuk ketersediaan jaringan listrik (dalam konteks pelayanan haji berimplikasi pada pelaksanaan layanan pendaftaran secara online), masih menjadi kendala yang cukup dirasakan dan yang mempengaruhi proses pemberian layanan yang diberikan. Belum dipahaminya tugas dan fungsi Kankemenag Kab. Nunukan oleh masyarakat (terutama pemeluk agama diluar Islam termasuk oleh institusi pemerintah daerah atau OPD), menyebabkan masyarakat (dan juga OPD), belum banyak memanfaatkan layanan Kankemenag Kab. Nunukan. Bagi pemenuhan kebutuhan (atau penyelesaian masalah mereka) secara maksimal, dan demikian pula hubungan kerja dengan satker yang ada di Pemkab Nunukan. Dimana Pemkab Nunukan belum menjadikan Kankemenag Kab. Nunukan sebagai mitra strategis dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya guna untuk membangun daerah. FKUB di Kab. Nunukan dalam konteks itu telah berhasil menjadi pihak yang sangat efektif berperan sebagai fokal point bagi Kankemenag. FKUB dalam menjalankan peran dan fungsinya membangun masyarakat dalam bidang keagamaan, Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
163
begitu pula dengan KUA yang pada prakteknya banyak diberi beban tugas berbagai bidang dan aneka urusan yang bukan menjadi tugas dan fungsinya. Rekomendasi 1. Kompleksnya permasalahan sosial keagamaan yang dihadapi di Kab. Nunukan mengidealkan pejabat Kankemenag Kab. Nunukan sebagai sosok yang cerdas dan mampu mencari peluang kerjasama serta mengembangkan kemitraan dengan sebanyak mungkin pihak. 2. Mengingat kasus-kasus yang muncul dalam pemberian layanan banyak berkaitan dengan problem administrasi kependudukan (terutama untuk layanan pernikahan dan haji), perlu bersinergi dengan instansi terkait guna mendorong akselerasi penuntasan persoalan tersebut. Diantaranya hal penting yang perlu dilakukan adalah sosialisasi pentingnya pencatatan pernikahan (administrasi pernikahan) secara masif dan intensif baik dengan menggunakan pendekatan keagamaan (melibatkan para penyuluh agama, FKUB, para imam masjid, selain institusi Kankemenag Kab. Nunukan) maupun pendekatan administratif (melibatkan pemerintah daerah dalam hal ini disdukcapil). 3. Perlunya penguatan fungsi KUA dengan penambahan jumlah SDM, sarana prasarana, serta anggaran (biaya operasional), mengingat fungsi KUA di daerah perbatasan (dan daerah terpencil) lebih dari sekedar melaksanakan tupoksinya yang utama, akan tetapi sekaligus menjadi
164
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
perpanjangan Kankemenag mengingat lokasinya yang lebih dekat dengan masyarakat. 4. Penguatan keberadaan P3N dalam membantu pelaksanaan tugas dan fungsi KUA baik terkait dengan anggaran maupun pengembangan peran dan fungsinya kearah yang lebih strategis. 5. Lebih memaksimalkan peran penyuluh dalam menjaga moralitas umat dan tidak terbatas pada kegiatan-kegiatan seremonial formal semata. 6. Perlunya sosialisasi mengenai tugas dan fungi Kankemenag Kab. Nunukan kepada masyarakat dan lembaga kemasyarakat serta instansi pemerintah termasuk kepolisian. Dengan melibatkan seluruh stakeholder dan adanya kerjasama program/kegiatan dengan instansi terkait, maka peran Kankemenag akan lebih meningkat. Dimana masyarakat kerap mempersepsikan bahwa Kankemenag hanya bertanggung-jawab mengurus haji dan persoalan umat Islam.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
165
DAFTAR PUSTAKA Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia (2011). Grand Design Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan di Indonesia Tahun 2011 – 2025. Badan Pusat Statistik Kab. Nunukan (2012). Profil Kab. Nunukan 2012. Badan Pusat Statistik Kab. Nunukan (2013). Indeks Pembangunan Manusia Kab. Nunukan 2013. Bryman, Alan. (2004) Social researsch methods (2nd ed). Oxford University Press. USA. Eilenberg, Michael and Wadley, Reed (2009). “Borderland Livelihood Strategies: The socio-Economic Significance of Ethnicity in Cross-border Labour Migration, West Kalimantan, Indonesia”. Dalam Asia Pacific Viewpoint, Vol. 50, No. 1, April 2009 pp58–73. Rudiatin, Endang. (2012). Integrasi Ekonomi LokalL Suatu Kajian Mengenai Ekonomi Masyarakat Aji Kuning Pulau Sebatik, Nunukan, Kalimantan Timur, Perbatasan Indonesia-Sabah, Malaysia. Kankemenag Kabupate Nunukan, ( 2013). Profil dan data. Moeldoko. (2014). Kebijakan dan Scenario Planning Pengelolaan Kawasan Perbatasan di Indonesia (Studi Kasus Perbatasan Darat di Kalimantan). Disertasi pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Sutaat. (2006). Diagnosa permasalahan sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan. Puslitbang Kesejahteraan Sosial. Departemen Sosial Republik Indonesia. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan FKUB, dan Pedirian Rumah Ibadat. 166
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
PELAYANAN KEAGAMAAN MASYARAKAT PERBATASAN KABUPATEN BELU, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Oleh : Muchtar dan Husnan Nurjuman
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
167
GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN BELU Geografis dan Demografis Kab. Belu adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan ibu kotanya Atambua dengan luas wilayah 2.445,57 km2, secara astronomi terletak pada 124,35’ – 126,12’ bujur timur dan 8”,57’–9”,49’ lintang selatan. Secara geografis batas-batas wilayah Kab. Belu adalah: di sebelah utara Selat Ombay, sebelah selatan Laut Timor, sebelah barat dengan Kab. Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan sedang di sebelah timur berbatasan dengan Negara Republik Demokratis Timor Leste (RDTL). Secara administrasi Kab. Belu terdiri dari 12 kecamatan yang sebelumnya ada 24 kecamatan yang dimekarkan menjadi dua kabupaten, yaitu Kab. Belu dan Kab. Malaka yang masing masing kabupaten terdiri 12 kecamatan. Namun hingga penelitian ini belum ada data tertulis tentang pembagian kecamatan pada masing-masing kabupaten, karena struktur pemerintahannya belum definitif. Pelayanan kedua kabupaten pemekaran masih berpusat di Kota Atambua sebagai ibu kota Kab. Belu. (BPS, Kab. Belu dalam Angka, hal, 37 tahun 2013). Bila dilihat secara klimatologi Kab. Belu beriklim kering (semiarid), dengan musim penghujan yang sangat pendek dengan temperatur udara berkisar 21,50 -33,70’C dan temperatur udara rata-rata 10,903 mm, dengan angka rata-rata curah hujan untuk setiap tahun sebesar 727 mm. Rata-rata hari 168
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
hujan 40 hari pertahun berkisar antara bulan April s.d Nopember. Kondisi tanah di Kab. Belu dapat dikelompokkan menjadi 4 katagori jenis tanah antara lain: pertama, tanah yang subur terletak dan tersebar di bagian selatan wilayah Kab. Belu, yaitu tanah yang bercampur dengan alluvial. Kedua, litosol tanah ini nampaknya kurang subur yang tersebar di daerah kecamatan Aeroki, Halilulik, dan Atambua. Ketiga, tanah yang memiliki sifat asam tanah tersebut memiliki kesuburan yang sanggat rendah dan tersebar di wilayah Belu. Keempat, tanah litosol yang bersifat porous tanah ini berada di wilayah Kec. Malaka Tengah. Adapun pembagian wilayah kabupaten masing-masing terdiri 12 kecamatan. Kab. Belu terdiri dari kecamatan: 1) Atambua Kota, 2) Atambua Barat, 3) Atambua Selatan, 4) Tasifeto Barat, 5) Tasifeto Timur, 6) Lamaknen, 7) Lamaknen Selatan, 8) Kakuluk Mesak, 9) Lasiolat, 10) Raimanuk, 11)Nanaet Duabesi dan 12) Raihat. Sedangkan Kab. Malaka terdiri dari kecamatan: 1) Malaka Barat, 2) Rinhat, 3) Malaka Tengah, 4) Sasitamean, 5) Malaka Timur, 6) Kobalima, 7) Wewiku, 8) Welimen, 9) Laenmanen, 10) Lokufeu, 11) Botin Leobele, dan 12) Kobalima Timur. Terkait pemerintahan terbagi atas 12 kecamatan, 83 desa dan, 12 desa/kelurahan urban serta 244 dusun. Untuk lebih rinci Kab. Belu dapat dilihat pada Tabel 4.1 di bawah ini:
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
169
Tabel 4.1: Jumlah Kecamatan, Desa, Dusun, RW, RT di Kab. Belu Tahun 2013 No Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Atambua Kota Atambua Barat Atambua Selatan Tasifeto Barat Tasifeto Timur Lamaknen Lamaknen Selatan Kakuluk Mesak Lasiolat, Raimanuk Nanaet Dubesi Raihat Jumlah
Desa Kelurahan Dusun RW Urban Lingkungan -
4
9
24
116
-
4
8
24
92
-
4
9
21
97
8
62
62
185
12
59
46
176
9
38
38
97
8
44
52
104
6
33
28
96
7 9
25 78
85
69 140
4
20
20
40
20 83
37 422
22 422
95 1.307
12
Data, BPS, Kab. Belu Dalam Angka 2013
170
RT
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Kehidupan Sosial Budaya Keagamaan, dan Pendidikan Indonesia yang memiliki ribuan pulau besar dan kecil di dalamnya juga memiliki keaneragaman suku bangsa dan budaya. Masyarakat di Kab. Belu dengan jumlah penduduknya 195.554 jiwa, yang tersebar di 12 kecamatan. Dengan komposisi penduduk dapat di lihat pada Tabel 4.2 sebagai berikut: Tabel 4.2: Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Per Kecamatan Kab. Belu Tahun 2013 No.
Kecamatan
1 2 3 4 5 6
Atambua Kota Atambua Barat Atambua Selatan Tasifeto Barat Tasifeto Timur Lamaknen Lamaknen Selatan Kakuluk Mesak Lasiolat Raimanuk Nanaet Duabesi Raihat Jumlah
7 8 9 10 11 12
Lakilaki 13.782 11.067 11.388 11.224 10.994 5.527
Perempuan
Jumlah
14.759 10.784 11.741 11.543 10.699 5.934
28.541 21.851 23.129 22.767 21.693 11.461
3.777
3.869
7.646
9.262 3.183 7.319 2.016 5.994 95.533
9.395 3.103 7.707 2.193 6.212 100.021
18.657 6.292 15.026 4.209 14.282 195.554
Data BPS, Kabupaten Belu Dalam Angka, hal 90 Tahun 2014
Apabila dilihat persebaran penduduk di Kab. Belu nampaknya tidak merata pada setiap kecamatan. Dari jumlah Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
171
tersebut kecamatan terpadat penduduknya adalah Kec. Atambua Kota sebanyak 28.541 jiwa (30,50%) dan Kec. Atambua Selatan sebanyak 23.129 jiwa (25,08%). Serta di Tasifeto Barat sebanyak 22.767 jiwa (24,70). Sedang kecamatan yanag paling sedikit jumlah penduduknya adalah Nanaet Duabesi sebanyak 4.209 jiwa (6,16%) dan Lasiolat sebanyak 6.292 jiwa (8,24%). Kenapa persebaran penduduk di Kab. Belu tidak merata, hal ini disebabkan oleh struktur tanah atau lokasi pemukiman tersebut kesuburannya bervariasi disamping itu juga lokasinya yang kurang menguntungkan baik dilihat dari segi pemukiman, ekonomi dan bisnis. Kec. Atambua Kota terletak di tengah-tengah kota dan dilalui jalur lalu lintas dari Kupang ke Timor Leste, sehingga memudahkan orang untuk melakukan transaksi usaha maupun bisnis baik dari dalam negeri sendiri maupun ke luar negeri (Timor Leste). Sedangkan wilayah yang sedikit penduduknya disebabkan antara lain lokasinya adalah masih berupa hutan belukar berbukit-bukit, jalur sulit dilalui kendaraan roda empat, disamping jauh pusat keramaian dan pusat perbelanjaan (transaksi jual beli) disamping infrastrukturnya masih sangat kurang. Kebanyakan yang tinggal di daerah tersebut adalah penduduk asli yang mata pencaharaiannya adalah bertani/berkebun, melaut dan berternak (babi, kambing dan sapi), dan hasil hutan seperti buah-buahan yang dijajakan di tepi jalan atau di pasar-pasar tradisional. Juga sebagian wilayahnya ada yang belum dialiri listrik (hal ini tergantung dari kepala suku mereka bersedia mengurus pemasangan listrik atau tidak) dan ketika peneliti datang ketempat tersebut tiang-tiang listriknya baru mulai dipasang.
172
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Adapun terkait sosial keagamaan, dapat diketahui melalui komposisi penduduk Kab. Belu menurut penganut agama, yang terdiri atas pemeluk agama Katolik, Kristen, Islam, Hindu dan Buddha. Sedangkan Khonghucu belum bisa didata secara pasti walaupun di Kab. Belu sudah ada umat Khonghucu, mereka belum berani secara terbuka menunjukkan identitas bahwa mereka beragama Khonghucu. Hal ini dikarena kebanyakan umat Khonghucu berasal dari etnis keturunan Tionghoa, mereka lebih mementingkan usaha mereka dari pada menampilkan identitasnya agar lebih nyaman dalam usaha mereka, karena kebanyakan bermata pencaharian berdagang. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.3 dibawah ini: Tabel 4.3: Jumlah Penduduk Menurut Penganut Agama Kab. Belu No
Kecamatan
Katolik
Kristen
Islam
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Atambua Kota Atambua Barat Atambua Selatan Tasifeto Barat Tasifeto Timur Lamaknen Lamaknen Selatan Kakuluk Mesak Lasiolat Raimanuk Nanaet Duabesi Raihat Jumlah
19.989 15.980 15.920 15.738 19.944 12.182 12.172 15.310 6.648 12.021 12.421 10.879 178.769
5.421 1.503 1.245 1.513 149 30 460 448 302 12 11.083
3.877 550 450 445 5.322
Hindu Buddha 237 7 91 5 340
40 40
BPS Kab. Atambua Dalam Angka, hal 183, tahun 2013
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
173
Dari Tabel 4.3 diatas diketahui bahwa jumlah umat di Kab. Belu sebagian besar memeluk agama Katolik dari jumlah penduduk sebesar 195.554 jiwa 178.769 jiwa (80.72%) adalah umat Katolik atau sisanya adalah umat Kristen, Islam dan Hindu serta Buddha. Jumlah rumah ibadat ada 166 buah rumah ibadat yang terdiri dari: Katolik 129 gereja, Kristen 22 gereja, Islam (11 masjid dan 1 musholla), Hindu 2 pura dan Buddha 1 vihara. Adapun jumlah pemuka agama Katolik yang terdiri dari Pendeta sebanyak 23 orang, Guru Injil 7 orang, Pastur sebanyak 64 orang, Suster 172 orang dan Bruder 18 orang, sedangkan agama Islam terdiri dari ulama dan mubalig 20 orang, khotib 40 orang. Sedangkan jumlah penyuluh agama PNS ada 11 orang dengan perincian 7 orang penyuluh agama Katolik, 2 orang Kristen, 1 orang Islam dan Hindu 1 orang, sedangkan penyuluh agama Buddha dan Khonghucu belum ada. Sedangkan penyuluh non PNS Katolik 76 orang, Kristen 6 orang, Islam 7 orang dan Hindu 3 orang, Buddha dan Khonghucu belum memiliki penyuluh baik PNS maupun honorer. Sedangkan kegiatan pelaksanaan ibadah haji umat Islam pada tahun 2012 sebanyak 20 orang dan pada tahun 2013 sebanyak 26 orang. (Data Kankemeg Kab. Belu 2014). Terkait masalah pendidikan, terdapat beberapa catatan yang perlu dibenahi di Kab. Belu karena menjadi masalah yang harus diperhatikan, hal ini karena keinginan masyarakat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Apabila dilihat dari jumlah penduduk di dua kabupaten (Belu dan Malaka) 362.610 jiwa. Di Kab. Belu dan Malaka terdapat 174
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Sekolah TK (31 buah sekolah, guru 110 dan siswa/i 1.665 anak). Sekolah Dasar tersedia 339 buah dengan jumlah guru 4.657 orang, dan siswa/i sebanyak 69.373 anak. Untuk tingkat pendidikan lanjutan pertama (SLTP) tersedia 82 buah sekolah dengan jumlah guru 1.623 orang, dengan jumlah siswa/i sebanyak 20.740 anak. Sedangkan di tingkat sekolah SMA/SLTA 31 sekolah dengan jumlah guru sebanyak 836 orang dan jumlah siswa/i sebanyak 12.233 anak. Juga terdapat sekolah kejuruan sebanyak 11 sekolah kejuruan dengan jumlah guru 349 orang dan siswa/inya sebanyak 2.384 anak. Ditambah satu lagi perguruan Tinggi Keperawatan (Akper), dengan jumlah guru 26 orang, dengan jumlah mahasiswa/i 470 orang. Sedangkan untuk sekolah agama Islam terdapat Sekolah Madrasah Iftidaiyah (MI) 3 buah sekolah, MTs sebanyak 4 sekolah dan Madrasah Aliyah 1 buah.
Kehidupan Ekonomi Masyarakat Kab. Belu Mata pencaharian penduduk Kab. Belu khususnya di daerah perbatasan antara lain pertanian tanaman jagung, padi, berternak, nelayan dan hasil hutan seterti buah-buahan, kayu cendana yang hasil hutan nampaknya tidak bisa untuk dijadikan sebagai penghidupan karena hasilnya sangat sedikit. Bagi masyarakat yang tinggal dilembah-lembah pegunungan mereka mata pencahariaan sebagian besar pertanian (bertanam jagung dan padi), berternak sapi, babi dan kambing, sebagai mata pencaharian utama sedangkan hasil hutan sebagai matapencaharian sambilan karena hasilnya Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
175
tidak seberapa. Berternak babi dan sapi adalah untuk persiapan ketika hendak seseorang melamar calon istri. Lain dengan kehidupan masyarakat yang tinggal diperkotaan seperti di Kota Atambua, masyarakatnya sangat heterogin, kebanyakan di perkotaan penduduk menjadi pegawai baik di pemerintahan ataupun di swasta, juga terdapat perdagangan, jasa dan usaha seperti para pendatang membuka warung makan. Perdagangan di Kota Atambua nampaknya lebih hidup bila dibadingkan dengan kabupaten lainnya di Nusa Tenggara Timur. Letak Kota Atambua yang strategis menjadi lalulintas perdagangan dan usaha lainnya menuju Timor Leste dengan melalui Mota’ain jalan darat lewat perbatasan pintu masuk ke Timor Leste. Walaupun ada jalan menuju Timor Leste melalui perbatasan lainya, tetapi relatif kecil dan transportasinya kurang mendukung. Tidak mengherankan kalau Kota Atambua banyak berdiri hotelhotel yang relatif bagus. Lalu lintas cukup ramai dan infrastrukturnya cukup bagus sampai ke perbatasan walaupun masih peninggalan masa Orde baru.
Karakteristik Masyarakat di Kab. Belu Ditinjau dari budaya dan antropologis, penduduk Kab. Belu terbagi dalam susunan masyarakat atas empat sub etnik besar, yaitu Ema Tetun, Ema Kemak, Ema Dawan dan Manlea. Keempat etnik tersebut mendiami lokasi-lokasi dengan karakteristik tertentu dengan kekhasan penduduk yang mayoritas penganut agama Kristen dan Katolik. Masingmasing etnik tersebut mempunyai bahasa dan praktek budaya 176
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
yang saling berbeda satu sama lain, namun juga ada kesamaannya. Walaupun dengan begitu masyarakat Belu dapat dengan mudah hidup rukun, dikarenakan adanya aspek kesamaan-kesamaan spesifik. Seperti mata pencaharian mereka adalah bertani, berkebun, berternak yang semuanya masih dikerjakan secara ekstensif tradisional. Kab. Belu dilihat dari aspek ekologis tanahnya termauk subur karena selain memiliki lapisan tanah jenis berpasir dan hitam juga dikondisikan dengan curah hujan yang relatif merata sepanjang tahun. Dengan demikian daerah ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi daerah pertanian dan peternakan. Adapun pada sektor perikanan/nelayan dengan kawasan pantai yang membentang di sepanjang selatan sampai utara Belu turut serta mempengaruhi pemerataan lapangan kerja dan pendapatan. Dimana sebagian wilayah selain dilakukan oleh pribumi juga oleh para pendatang dari daerah Bugis, Sulawesi. Kebiasaan yang kurang baik yang masih dilakukan oleh masyarakat di Kab. Belu terutama di daerah perbatasan adalah senang minum-minuman keras, judi bola guling, judi kuru-kuru, Oprok, dan sabung ayam. Mengenai judi sabung ayam, biasanya ayam tersebut sampai mati atau keluar dari kalangan, dimana taruhannya sampai ratusan juta rupiah. Hal yang demikian menyebabkan masyarakat di perbatasan kurang maju sulit dibina dan diajak untuk maju.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
177
Begitu juga permasalah dengan perkawinan dikalangan masyarakat Belu atau pada umumnya di Nusa Tenggara Timur. Bila perkawinan dilakukan sesuai adat beles, maka mas kawin yang utama anatara lain dengan binatang ternak yaitu sapi. Sapi adalah mas kawin yang utama, bila calon istri dari kalangan menengah ke atas mas kawinnya bisa puluhan babi atau sapi dinamakan beles. Adat beles adalah tatacara seorang laki-laki meminang kepada seorang perempuan dengan maskawin yang diminta oleh keluarga perempuan yang biasanya permintaan itu selain berupa emas dan pakaian juga berupa binatang ternak yaitu sapi/babi. Permintaan mas kawin sesuai dengan tingkatan semakin tinggi status perempuan maka semakin tinggi mas kawin yang diminta sehingga membutuhkan biaya yang besar. Demikian juga ketika pelaksanaan perkawinannya, semua memerlukan biaya yang besar.
178
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISIS Bab ini menjelaskan beberapa temuan di lapangan terkait gambaran pelayanan keagamaan di kawasan perbatasan Indonesia oleh Kankemenag Kab. Belu. Gambaran pelayanan keagamaan di sini memiliki beberapa pokok sub bahasan, di antaranya: pelayanan keagamaan meliputi pelayanan atas Kantor Urusan Agama (KUA), perkawinan, pelayanan haji, kepenyuluhan, pelayanan agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghuchu, dan kepercayaan lokal. Selain itu, bab ini juga mengulas program-program yang dijalankan pemerintah, dan juga mengenai bantuan pembangunan sarana, dan prasarana. Selanjutnya, tulisan ini mengulas problematika pelayanan keagamaan masyarakat kawasan perbatasan, karakteristik sosial budaya masyarakat perbatasan, dan keterkaitannya dengan pelayanan keagamaan. Pemetaan karakteristik budaya antara masyarakat Indonesia, khususnya kawasan Kab. Belu dengan Timor Leste. Karakteristik ini memiliki fungsi sebagai penakar identitas, kebudayaan, dan peran kedua negara dalam pengelolaan daerah perbatasan masing-masing. Terakhir, pembahasan pada bab ini menjelaskan tentang kebutuhan ideal masyarakat kawasan Kab. Belu terkait pelayanan Kankemenag. Gambaran Kehidupan dan Pelayanan Keagamaan Pelayanan keagamaan di kawasan Kab. Belu praktis dimulai pada 29 Agustus 1984, seiring diresmikannya
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
179
Kankemenag Kab. Belu.21 Saat ini Kankemenag Kab. Belu dipimpin oleh Drs. Yosef Akoit.22 Bapak Yosef dibantu beberapa pejabat eselon IV, yaitu: Akrim Moka, A. MA selaku Kasi Pendidikan dan Bimbingan Masyarakat Islam; Seprianus Ratu Dabbo, S. Th Kasi Bimbingan Masyarakat Kristen; Zakharias Seran, S. Ag, Kasi Urusan Agama Katolik; Dominggus Faria, A. Ma, Kasi Pendidikan Katolik, dan Hasanuddin, S. Ag, Penyelenggara Haji dan Umrah. Dalam struktur organisasi Kepala Kankemenag Kab. Belu, membawahi satu Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Donatus Mau, SH, dan lima Kasi yang tertera di atas.23 Dalam penjelasan yang disampaikan oleh Eussabius Binsasi, Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang memberikan pandangannya terkait kondisi umum keagamaan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, menyatakan bahwa kondisi keagamaan berjalan kondusif, persoalan yang sering timbul adalah persoalan sosial yang meletup seolah-olah terkait agama. Peranan penyuluh, dan KUA di Provinsi Nusa Tenggara Timur juga memberikan andil yang baik.24
Wawancara dengan Bapak H Akrim Moka, Kepala Seksi Pendidikan, dan Bimbingan Masyarakat Islam, pada tanggal 06 April 2014, pukul 15. 41 WIB. 22 Bapak Drs. Yosef Akoit dilantik pada tanggal 16 Desember 2013 di kantor Wilayah Kementrian Propinsi Nusa Tenggara Timur, dan serah terima jabatan di Kantor Kementrian Agama Kabupaten Belu dilaksanakan pada tanggal 20 Desember 2013. 23 Saat ini Kementrian Agama Kabupaten Belu, masih membawahi 24 Kecamatan di dua Kabupaten, yaitu 12 kecamatan di kabupaten Belu, dan 12 kecamatan di Kabupaten Malaka. 24 Wawancara dengan Kepala Kantor Wilayah Kementrian Agama Propinsi Nusa Tenggara Timur, Bapak Eussabius Binsasi pada tanggal 20 Maret 2014 pada pukul 13: WITA. 21
180
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Penjelasan Eussabius ini diamini oleh koleganya Yosef Akoit, yang juga menjelaskan kondisi teraktual terkait persoalan agama, dan pelayanan keagamaan, khususnya di Kab. Belu. Menurut Yosef, bahwa kondisi keagamaan di Kab. Belu relatif tidak memiliki persoalan keagamaan, justru yang lebih banyak adalah masalah sosial. Kalaupun ada penodaan agama, adalah karena ketidaktauhan para pemeluk suatu agama. Seperti halnya penodaan hosti, yaitu penodaan dari Kristen ke Katolik. Namun ini kemudian diselesaikan secara adat. Terdapat pula permasalahan agama yang melibatkan majikan dengan pembantu, namun setelah persoalan tersebut dibawa ke ranah pengadilan, persoalan ini tidak ada motif menggiring kepada agama tertentu, namun lebih kepada ketidaktahuan. Senada dengan penjelasan Kepala Kankemenag Kab. Belu, Kepala Seksi Uraka, Zakarias Seran menambahkan bahwa ada beberapa tempat yang dapat dijadikan potret kerukunan beragama, yaitu di daerah Malaka Tengah, tepatnya di Kec. Betun, desa Kletek, dan Suai, di sana terdapat bangunan masjid yang berdekatan dengan Capela. Masjid tersebut adalah masjid paling tua di Malaka. Donatus Mau juga menjelaskan bahwa interaksi dan pembauran masyarakat di perbatasan dengan latar perbedaan budaya dan agama, dalam sejarahnya belum dirasakan terdapat pergesekan. Bahkan kepala KUA lama, Akrim Moka, sudah dianggap saudara, dan bisa bahasa bela setempat. Dalam pengamatan peneliti di lapangan juga melihat bahwa kehidupan umat beragama di Kab. Belu berjalan dalam suasana yang kondusif, dengan suasana persahabatan. Keharmonisan antar sesama pemeluk agama cukup dirasakan. Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
181
Terkait pelayanan keagamaan, dapat dijelaskan sesuai dengan struktur organisasi yang tersedia di kementrian bersangkutan. Adapun kegiatan penyuluhan25 yang menjadi tugas pokok dan fungsi penyuluh agama meliputi: pertama, kegiatan bimbingan dan penyuluhan agama, dan pembangunan yang terdiri dari kegiatan persiapan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi bimbingan dan penyuluhan, serta pelayanan konsultasi agama dan pembangunan. Kedua, kegiatan pengembangan bimbingan dan penyuluhan yang terdiri dari kegiatan penyusunan pedoman, perumusan arah kebijakan, pengembangan metode, dan pengembangan materi bimbingan dan penyuluhan. Ketiga, kegiatan pengembangan profesi meliputi kegiatan-kegiatan seperti; melakukan kegiatan karya tulis ilmiah, menerjemah atau menyadur, membimbing penyuluh agama yang ada di bawah jenjang jabatannya. Keempat, kegiatan penunjang penyuluh agama, seperti mengajar atau melatih, mengikuti seminar/lokakarya, menjadi pengurus organisasi, dan melakukan kegiatan pengabdian masyarakat.
Pelayanan Agama Katolik Secara khusus, pelayanan Agama Katolik di lingkup Kankemenag Kab. Belu berada di bawah naungan Seksi Urusan Agama Katolik. Ada beberapa bidang garapan yang dilakukan Seksi Urusan Agama Katolik, yaitu penyuluhan keagamaan, pemberian bantuan sosial keagamaan, pembinaan 25 Penyuluh berasal dari kata suluh, berarti sesuatu alat atau barang yang dipakai untuk menerangi, seperti halnya obor. Adapun penyuluh diartikan sebagai pemberi penerangan atau penunjuk jalan. Lihat Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), 1386
182
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
mental, membantu terwujudnya keluarga sejahtera Katolik, peningkatan pengetahuan keagamaan Katolik yang difokuskan pada pemahaman Alkitab, menangani kasus-kasus keagamaan, dan pendataan umat per kecamatan dan paroki.26 Dalam penyuluhan agama Katolik, mereka dibantu oleh 7 orang penyuluh yang berstatus PNS dan 76 penyuluh agama honorer (non PNS). Adapun jumlah rumah ibadat gereja di wilayah Kab. Belu (12 kecamatan di Kab. Belu, dan 12 kecamatan di Kab. Malaka) sebanyak 129 gereja. Dalam beberapa kesempatan dialog yang peneliti lakukan, setiap penyuluh agama Katolik memiliki pengalaman pembinaan umat beragama yang seragam. Dalam artian penyuluh agama Katolik di Kankemenag Kab. Belu yang bertugas dalam lingkup Paroki, memiliki keharusan mendapatkan izin dari organisasi gereja di setiap Paroki. Penyuluh Agama Katolik Elisabet Eliansyah Seran, menjelaskan bahwa dirinya ditempatkan di Paroki Katedral Kec. Attambua Kota memiliki jumlah 15 lingkungan. Elisabet dalam kegiatan penyuluhannya bertindak dalam naungan kepengurusan di paroki. Terdapat tugas-tugas di Paroki Katedral yang diserahkan kepada seksi-seksi dalam Dewan Pastural Paroki (DPP), penyuluh tidak bisa mengambil alih tugas tersebut. Untuk itu penyuluh Katolik Ibu Elisabet hanya dapat mengambil satu bidang organisasi gereja sebagai kelompok binaan, yaitu Legio Maria, satu Kelompok Umat Basis, dan satu kelompok anak-anak cacat.
Wawancara dengan Maria Rosa T. Manik pada tanggal 14 April 2014, Penyuluh Agama Katolik di Kementrian Agama Kabupaten Belu. 26
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
183
Dalam agama Katolik, peranan organisasi gereja sangat memegang peranan penting, khususnya pada persoalan sosial keagamaan masyarakat agama Katolik. Hal ini adalah karena agama Katolik memiliki struktur organisasi gereja yang hierarkis dan berjenjang. Struktur ini dapat diketahui dan dijalankan sesuai ketentuan Konsili Vatikan II. Terkhusus struktur DPP, yang membawahi Stasi, Lingkungan, dan Kelompok Umat Basis (KUB) membuat posisi Paroki sentral di umat agama Katolik. Koordinasi, dan persetujuan yang melibatkan DPP memiliki tempat, dan posisi yang amat menentukan bagi pembinaan, dan keberhasilan kepenyuluhan yang diselenggarakan Kankemenag Kab. Belu. Tanpa koordinasi, dan kerjasama dengan DPP, kegiatan, pelayanan, dan pembinaan Kankemenag Kab. Belu tidak dapat dijalankan dengan baik.27 Terkait pemberian materi dalam penyuluhan keagamaan di paroki, Elisabet menjelaskan materi yang disesuaikan dengan kondisi yang ada di gereja tersebut. Dalam agama Katolik ada bacaan injil untuk hari tersebut, bacaan injil tersebut dibawakan saat itu dapat melalui metode renungan, bagi orang tua dapat dibawakan dengan doa, anakanak dengan menyanyi, dan dapat pula diselingi tentang 27 Pengamatan lapangan, dan data hasil wawancara dengan para Penyuluh Kementrian Agama Kabupaten Belu pada tanggal 24 Maret 2014 pukul 09:30 WITA. Paus adalah pimpinan tertinggi Gereja Katolik, Paus berkedudukan di Vatikan. Paus ini membawahi seluruh uskup di seluruh dunia. Uskup adalah pimpinan umat Katolik pada suatu wilayah Keuskupan (diocesan), para uskup adalah pengganti para Rasul Yesus. Uskup membawai wilayah keuskupan yang dibagi dalam wilayah Paroki-Paroki. Pastor Paroki memimpin umat wilayah Paroki. Di bawah Paroki diatur wilayah-wilayah kecil lagi sesuai kebijakan keuskupan dan Paroki setempat, dimana pimpinan umat di bawah wilayah Paroki ini dipegang oleh awam (umat biasa yang bukan termasuk hirarki). Pembagian wilayah di bawah paroki ini di Kabupaten Belu bernama Stasi, Lingkungan dan KUB (Kelompok Umat Basis).
184
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
wawasan sosial kemasyarakatan. Lebih lanjut Elisabet menjelaskan bahwa kewenangan penyuluh agama Katolik hanya bisa di tingkat KUB, itupun dengan persetujuan DPP, penyuluh meminta izin kepada organisasi gereja, ada tidaknya umat binaan. Apabila diperbolehkan, maka dijalankan program penyuluhan. Deki Hermawan, penyuluh Agama Katolik juga menjelaskan bahwa Penyuluh Agama Katolik tergabung dalam kelompok Kelompok Kerja Penyuluh (Pokjaluh), yang dibentuk pada tahun 2011. Pokjaluh mempunyai beberapa permasalahan, yaitu terkait keahlian penyuluh yang kurang memadai, karena bukan berlatar belakang agama. Penyuluh yang ada lebih banyak karena adanya inpasing, pelimpahan dari pejabat eselon lima yang tidak memiliki ketrampilan sebagai penyuluh. Ditambah lagi dengan persoalan penyuluh diperbantukan untuk mengerjakan administrasi kantor dengan alasan masih kekurangan tenaga administrasi. Selain itu penyuluh di kelompok binaannya kurang mendapat tempat yang semestinya sehingga pelayanan kurang maksimal. Umat merasa lebih memperhatikan kepasturan, daripada oleh penyuluh sendiri. Kelompok binaan yang ada memiliki banyak tantangan, karena jumlah penyuluh dirasakan kurang. Apabila di suatu tempat penduduknya banyak, terdapat 20 kelompok binaan, adapun bagi daerah yang jarang jumlah penduduknya, terdapat 15 kelompok binaan. Penyuluh agama lebih menjalankan kegiatannya pada sore, dan malam hari, karena pagi harinya bertugas di kantor, dengan beban kerja administrasi.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
185
Terdapat permasalahan pada kegiatan penyuluh yaitu belum diberdayakan Pokjaluh, di samping itu juga minimnya keterampilan penyuluh, dan kelompok binaan yang kurang disiplin. Sehingga sering waktu yang ada banyak terbuang karena lokasi binaan jaraknya memang jauh. Pimpinan mereka kurang mendukung dengan keberadaan penyuluh, sehingga kelompok binaan sulit untuk dikumpulkan. Di samping itu fasilitas bagi penyuluh juga sangat minim seperti alat transportasi, dan perangkat kerja lainnya yang kurang mendukung. Dari kalangan agamawan, dan tokoh masyarakat juga didapatkan beberapa data terkait pelayanan keagamaan Kankemenag Kab. Belu, mereka menjelaskan bahwa terkait penyuluh
keagamaan,
kinerjanya
cukup
dirasakan.
Perwakilan agamawan Katolik menyatakan bahwa setidaknya dibutuhkan 3 penyuluh untuk tiap Paroki. Di Kab. Belu, dan Malaka yang menjadi wilayah pelayanan Kankemenag Kab. Belu, terdapat 1 keuskupan, 34 paroki/gereja, 161 kapela, dan 76 Stasi. Setiap paroki membina tiga kategori jama’ah, antara lain dewasa, muda–mudi dan anak–anak. Selain itu, mereka juga menyampaikan kebutuhan pembangunan dan renovasi rumah ibadat.28
Data ideal diperoleh dari hasil FGD antara peneliti dengan Pemuka Agama pada tanggal 26 Maret 2014. 28
186
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Tabel 4.4: Daftar Jumlah Penyuluh Agama Katolik dan Rumah Ibadat No 1
Penyuluh PNS 7 penyuluh
Penyuluh Honorer 76 penyuluh
Paroki/Gereja
Kapela
Stasi
34
161
76
Menurut pemuka agama Katolik setempat, idealnya dalam setiap rumah ibadat memiliki tiga penyuluh agama. Untuk itu, apabila hal ini dipenuhi, jumlah penyuluh yang harus diberikan adalah sejumlah 813 (delapan ratus tiga belas) penyuluh. Apabila jumlah ini dirasakan amat banyak, dapat pula diberikan masing-masing rumah ibadah dua penyuluh, sebanyak 542 (lima ratus empat puluh dua). Jumlah ideal minimal apabila masing-masing rumah ibadah diberikan satu penyuluh honorer, maka pemerintah memberikan tenaga penyuluh honorer sebanyak 271 (dua ratus tujuh puluh satu penyuluh). Namun saat ini jumlah penyuluh di lingkungan Kankemenag Kab. Belu berjumlah 76 penyuluh. Adapun terkait pemberian bantuan sosial keagamaan, Kankemenag Kab. Belu menyalurkannya dalam beberapa program, di antaranya adalah perbaikan sarana dan prasarana rumah ibadah. Dalam beberapa kesempatan kunjungan di antaranya ke Kapela di Suai, Betun, Malaka Tengah, di sana sedang dilakukan renovasi penambahan ubin di lantai Kapela. Menurut pengakuan kepala Stasi waktu itu bahwa pihaknya mendapatkan bantuan Rp. 10 juta dari Kemenag Kab. Belu. Khusus program pembinaan mental, untuk mewujudkan keluarga sejahtera Katolik, program ini dilakukan oleh instansi Kemenag Kab. Belu dengan terjun Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
187
langsung ke beberapa tempat, atau sasaran komunitas masyarakat Katolik. Di sinilah terdapat perbedaan peranan antara penyuluh PNS, dan honorer, serta jajaran Seksi Urusan Agama Katolik lainnya pada Kemenag Kab. Belu. Penyuluh honorer memiliki kewajiban tetap, memberikan penyuluhan kepada paroki atau umat binaan tertentu, sementara penyuluh PNS dan jajaran Seksi Urusan Katolik memiliki tugas yang mencakup setiap aspek program seksi Urusan Agama Katolik.29 Adapun peningkatan pengetahuan keagamaan Katolik yang difokuskan pada pemahaman Alkitab, dilakukan kegiatan Quis Kitab Suci Keluarga, seperti yang dilaksanakan Kemenag Kab. Belu pada tanggal 12-14 September 2013 di Hotel Paradiso Atambua. Kegiatan Quis Kitab Suci Keluarga ini dihadiri oleh utusan-utusan keluarga terbaik dari paroki-paroki Se-Dekenat Beu Utara dan Dekenat Malaka. Jumlah peserta sebanyak 30 orang yang terdiri 1 keluarga inti (bapak, mama dan anak) dari 10 paroki se-Kab. Belu. Tujuan dilaksanakan program ini sebagaimana disampaikan oleh Zakharias Seran, ialah untuk meningkatakan wawasan, pengetahuan, pemahaman dan penghayatan Sabda Tuhan dalam hidup keluarga Katolik. Juga untuk menumbuhkan, dan menggairahkan minat baca Kitab Suci di kalangan umat dan keluarga Katolik, dan mewujudkan keluarga Katolik yang berilmu, beriman, bermoral dan bermartabat.30
29 Wawancara dengan Ibu Maria Rosa T. Manik pada tanggal 14 April 2014, Penyuluh Agama Katolik di Kementrian Agama Kabupaten Belu. 30 Lihat situs Kementrian Agama Provinsi Nusa Tenggara Timur pada laman http://ntt.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=157515, diakses pada tanggal 14 April 2014 pukul 12:17 WIB.
188
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Gambar 4.1: Quis Kitab Suci Keluarga Agama Katolik
Terkait permasalahan-permasalahan agama, isu-isu agama yang muncul dalam komunitas agama Katolik, Seksi Urusan Agama Katolik juga memiliki kewajiban menjadi fasilitator, dan penengah untuk meredam permasalahan tersebut. Hal ini tentunya harus melibatkan pemuka agama khususnya pastur dalam agama Katolik sebagai pemuka agama yang dalam agama Katolik memiliki tradisi yang mengakar dan didengar oleh penganutnya. Dalam pencatatan umat Katolik, Seksi Urusan Agama Katolik Kankemenag Kab. Belu, saat ini masih memfalidasi jumlah pemeluk agama yang berbeda jumlah antara data yang dikeluarkan per kecamatan, dengan data yang dimiliki paroki. Untuk itu peneliti dalam hal ini belum mendapat angka yang Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
189
akurat mengenai jumlah sebenarnya jumlah pemeluk agama Katolik. Pelayanan Agama Kristen Pelayanan agama Kristen yang dilakukan oleh Kankemenag Kab. Belu dilakukan oleh Seksi Bimbingan Masyarakat (Bimas) Kristen. Saat ini Seksi Bimas Kristen dipimpin oleh Seprianus Ratu Dabbo, S. Th. Dalam menjalankan fungsi bimbingan masyarakat Kristen memiliki dua tugas besar, yaitu bidang pendidikan dan bidang urusan agama Kristen. Terkait bidang urusan agama Kristen, terdapat beberapa pelayanan, pembinaan, dan penyuluhan keagamaan. Di antara pelayanan yang diberikan secara spesifik, penulis mengulas dan mambatasi dalam beberapa aspek, antara lain: penyuluhan dan budaya keagamaan, pemberian bantuan sosial keagamaan, pembinaan mental, membantu terwujudnya keluarga sejahtera Kristen, peningkatan pengetahuan keagamaan Kristen, dan pendataan umat kristiani. Kristen adalah agama terbesar kedua di wilayah Kab. Belu, dan Kab. Malaka. Terdapat delapan aliran gereja yang tersebar di dua kabupaten di perbatasan ini, di antaranya: Gereja Gemit sebanyak 18 wilayah, Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) 8 wilayah, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) 4 wilayah, Gereja Bethel Indonesia (GBI) 9 wilayah, Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) 7 wilayah, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh 3 wilayah, Gereja Kemah Injil Indonesia
190
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
2 wilayah, dan Gereja Kristen Timor di Timor Barat (GKTT) sebanyak 2 wilayah.31 Jumlah penyuluh PNS pada Urusan Agama Kristen sebanyak dua orang, adapun penyuluh honorer agama Kristen hanya enam orang. Jumlah penyuluh honorer ini memiliki penurunan dari tahun ke tahun, dari 100 penyuluh honorer, menjadi 30, dan 6 penyuluh. Fenomena penurunan jumlah penyuluh honorer ini dirasa berat oleh Urusan Agama Kristen, mengingat cakupan wilayah pelayanan mencapai 17 wilayah, dengan 82 gereja, dan pemeluk agama sebanyak 25.055 jiwa. Idealnya, jumlah penyuluh pada agama Kristen di Kab. Belu di sesuaikan dengan jumlah gereja yang ada, yaitu sebanyak 82 gereja dengan masing-masing gereja diberikan tiga penyuluh honorer. Bahkan menurut Stefanus Boisal dalam diskusi pada acara FGD, penyuluh honorer tersebut tidak hanya mewakili pendeta, dan guru agama semata, bisa juga diambil dari kalangan pemuda dan perempuan. Mengingat persoalan pemuda di perbatasan menjadi isu yang cukup berkembang dengan adanya perubahan yang mendasar di negara tetangga baik sosial maupun ekonomi.32 Selain itu tambahnya penyuluh agama honorer harus memenuhi prosedur rekrutmen yang tidak asal-asalan, tetapi memiliki kompetensi latar belakang pendidikan keagamaan, dan memiliki keterampilan. Dia tidak hanya mahir dan menguasai masalah-masalah spritual melainkan juga masalah sosial.
31 Wawancara dengan Kepala Seksi Bimas Kristen, Seprianus Ratu Dabbo, S. Th pada tanggal 14 April 2014 Pukul 19.00 WIB 32 Wawancara dengan rohaniawan Kristen Bapak Stefanus Boisal pada acara FGD pada tanggal 26 maret pukul 09-11:30 WITA.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
191
Mengenai materi penyuluhan, harapan ada semacam petunjuk dari Kankemenag Kab. Belu. Kalau tidak maka penyuluh hanya akan berbicara tentang keabadian semata tanpa berbicara mengenai materi. Penyuluhan keagamaan memang dipahami sebagai panggilan tugas (kewajiban), namun apabila pemerintah memberikan insentif yang cukup kepada penyuluh, hal itu lebih diutamakan, agar juga membawa dampak sosial, insentif tersebut dapat berupa keterampilan, pelatihan dan juga kesejahteraan. Pada tahun 2014 ini Seksi Bimas Kristen tidak memiliki dana operasional, hal ini disampaikan Kasi Bimas Kristen, Seprianus Ratu Dabbo. Menurutnya, satu-satunya yang dapat diandalkan hanya gaji, ketika mengadakan kunjungan daerah yang sifatnya lokal maupun ke provinsi. Persoalan ini menyebabkan pelayanan urusan agama Kristen tidak dapat maksimal, bahkan seringkali menggunakan uang pribadi. Mengenai honor untuk penyuluh non PNS, masing-masing mendapatkan gaji sebesar tiga juta untuk satu tahun. Besaran gaji ini menurutnya berbeda setiap penyuluh honorer dalam setiap agama. Mengingat dana pembinaan yang minim, tahun ini Kankemenag Kab. Belu untuk Seksi Urusan Agama Kristen hanya memiliki anggaran pembinaan penyuluh satu kali kegiatan, dapat berupa pelatihan dalam jangka setahun. Dalam bidang pembinaan keluarga sejahtera Kristen, tahun ini tidak diadakan karena keterbatasan dana. Kegiatan ini telah dilakukan tahun 2013 yang lalu, tepatnya pada tanggal 26 Agustus 2013, diselenggarakan di Aula Hotel Klaben Attambua, dibuka secara resmi oleh Pgs. Kankemenag Kab. Belu, Drs. Fransiskus Manek dan dihadiri oleh para pasangan keluarga Kristen sebanyak 15 pasangan.
192
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Gambar 4.2: Pembinaan Keluarga Sejahtera Kristen
Kegiatan ini mengambil motto BERNAS : beriman, rukun, cerdas dan sejahtera. Menurut Fransiskus Manek, orang yang beriman otomatis beragama, tetapi orang beragama belum tentu beriman. Iman tanpa perbuatan mati, karena imanlah yang menjadi dasar dalam kehidupan keluarga. Tanpa dasar ini maka keluarga akan berantakan. Doa adalah cara meningkatkan iman. Salah satu contohnya adalah dengan melakukan ibadah dari rumah ke rumah, dimana saling sharing dalam keluarga. Dasar iman kristiani adalah Yesus Kristus yang bersumber dari Kitab Suci. 33 Dari uraian tersebut dapat dejelaskan bahwa pembinaan agama Kristen khususnya pada penyuluhan keagamaan membutuhkan tambahan tenaga yang signifikan untuk menopang luas cakupan wilayah pelayanan. 33
http://ntt.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=155127
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
193
Pelayanan Agama Islam Pelayanan agama Islam pada Kankemenag Kab. Belu memiliki beberapa saluran pelayanan, yaitu: pelayanan pernikahan dan wakaf melalui KUA, pelayanan haji dan umrah, pendidikan, dan bimbingan masyarakat Islam yang di dalamnya terdapat penyuluhan. Saat ini terdapat tiga Kantor Urusan Agama di bawah Kankemenag Kab. Belu, yaitu: KUA Kota Atambua, KUATasifeto Barat, dan KUA Malaka Tengah. Pelayanan pernikahan di KUA tersebut masih dirasa memadai kendati secara personil dua KUA hanya berkantor dua orang, kepala, dan seorang staf. Seperti yang terjadi pada KUA Malaka Tengah, pasangan suami istri masing-masing menjabat kepala KUA, dan staff. Menurut data yang peneliti peroleh di lapangan bahwa pelayanan KUA dalam menangani pernikahan tergolong baik, dan masyarakat juga menilai sesuai dengan prosedur pelayanan. Mengenai pelayanan pernikahan, KUA melayani pernikahan di luar balai nikah, walaupun transportasi yang dibutuhkan oleh penghulu dalam menempuh jarak yang cukup jauh, namun dengan transportasi sebesar 50 ribu rupiah, di anggap wajar oleh masyarakat setempat. 34 Memang jumlah KUA dengan luas wilayah Kab. Belu, dan Kab. Malaka mempunyai tantangan tersendiri, terutama sekali pelayanan yang mencakup keseluruhan wilayah dan dengan penyebaran penduduk muslim yang berjumlah 9.716 orang. Selain menangani pernikahan KUA di jajaran Kankemenag Kab. Belu juga melayani pengurusan sertifikat 34 Wawancara dengan Pak Rajamuddin (58 tahun), seorang petani dengan 8 orang anak dan Istri yang bernama Aminah, warga Desa kletek, Betun Malaka Tengah pada tanggal Selasa, 25 Maret 2014 pukul 12:30 WITA
194
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
wakaf. Salah satu masjid tertua yang telah disertifikatkan wakaf melalui KUA Malaka Tengah adalah Masjid Al Falah di Kletek. Menurut pengakuan pengurus masjid, Bapak Rajamuddin dan Bapak Syamsuddin, bahwa pengurusan sertifikat Wakaf di KUA Malaka Tengah tergolong mudah, dan biaya ditanggung sepenuhnya oleh Kankemenag Kab. Belu. Terkait pelayanan Haji, dan Umrah, Abdurrahman, perwakilan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Atambua menjelaskan bahwa pelayanan haji dapat dilihat dari mulai pendaftaran haji, manasik, proses pemberangkatan jama’ah, dan kembali ke tanah air. Menurut Abdurrahman, manasik haji telah berjalan dengan baik, barangkali pelayanan yang sangat penting adalah ketika telah berada di Makkah, adapun pelayanan yang di Kankemenag Kab. Belu sampai saat ini dirasa memadai. Hanya saja barangkali jumlah pengurus atau pejabat yang menangani persoalan Haji, dan Umrah ini perlu di tambah mengingat sangat terbatas, yaitu sebanyak dua pegawai. Satu berstatus PNS, dan satu berstatus honorer. Dalam beberapa data yang dieksporasi peneliti, diketahui bahwa antrian pemberangkatan haji (waiting list) berkisar kurang lebih 2-3 tahun sampai pada tahun 2024 dengan kuota jamaah sebesar 315 untuk Kab. Belu. Terkait keterangan telah diberikan vaksin Menginitis, pada tahun 2013 terjadi kelalaian, yaitu karena tidak diberikan bukti keterangan tertulis bahwa telah diberi suntik vaksin dari bagian kesehatan haji di Kab. Belu. Peristiwa ini hampir membuat jamaah tidak dapat diterbangkan ke Makkah. Adapun pelayanan zakat, infaq dan sedekah dikoordinasikan dengan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) Kab. Belu. Persoalan kewajiban membayar zakat ini masih Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
195
menjadi perhatian pengurus BAZDA, karena persoalan zakat, dan sedekah masih menjadi domain kesadaran pribadi, keterbatasan pengetahuan para muzaki untuk mengeluarkan zakat, baik itu kemampuan ekonomi, dan jenis usahanya menjadi persoalan tersendiri. Meskipun demikian dengan jumlah umat Islam yang berkisar hanya sembilan ribuan, potensi zakat, dan sedekah masih dirasa kurang. Kankemenag Kab. Belu berkoordinasi dengan Kesbangpol Pemkab Belu dan FKUB, terkait isu pelayanan pembinaan kerukunan hidup umat beragama, dan kebebasan hak menjalankan ibadah. Proses ini dirasa menjadi jalan terbaik, mengingat Kesbangpol memiliki wewenang yang cukup untuk memberikan penyadaran bagi masyarakat terkait kebebasan memeluk agama dan keyakinan, serta untuk menjalankan ibadah. Peranan para pemuka agama yang tergabung pada FKUB juga menjadi tolok ukur keberhasilan pembinaan kerukunan hidup antar umat beragama. Dalam bidang penyuluhan agama Islam, Kankemenag Kab. Belu, khususnya difasilitasi oleh Seksi Pendidikan dan Bimas Islam memberi arti penting bagi kesadaran, dan pemahaman keagamaan. Pada saat ini penyuluh agama Islam di Kankemenag Kab. Belu hanya satu orang, yang bersatatus PNS, dan tujuh orang berstatus honorer. Ibu Sri Handayana adalah penyuluh agama Islam yang bekerja di wilayah Atambua Selatan. Ibu Sri Handyana membina empat kelompok binaan antara lain: Majelis Ta’lim Atambua Selatan, Majelis Ta’lim Kab. Belu, Taman Pendidikan Al-Qur’an, dan pembinaan bagi mu’allaf. Adapun program kerja penyuluh agama Islam di antaranya: mengidentifikasi potensi wilayah binaan; memfasilitasi pembentukan kelompok binaan; melaksanakan 196
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
bimbingan dan penyuluhan agama Islam; memfasilitasi peringatan hari besar Islam dalam kelompok bimbingan; melaksanakan pelatihan praktek wudhu dan sholat; mengajar Iqro dan al-Qur’an; pemberian pemahaman mengenai bacaan ilmu tajwid; penyusunan laporan bulanan; evaluasi kegiatan bimbingan dan penyuluhan, dan memberikan petunjuk tekhnik terkait bimbingan dan penyuluhan. Penyuluhan agama Islam sangat erat kaitannya dengan pembinaan majlis ta’lim. Pembinaan majelis ta’lim inipun tidak hanya berupa pemberian siraman rohani, tetapi juga dibungkus dengan arisan bergilir, dan bantuan dari Kankemenag Kab. Belu berupa dana keluarga pra sakinah. Untuk mengeksplorasi fakta di lapangan peneliti mengadakan pertemuan yang diakukan di Masjid An-Nur dengan dihadiri 14 orang perwakilan dari 3 majelis taklim, yaitu Majelis Ta’lim An-Nur, Husnul Khatimah, dan Sakinah. Pertemuan tersebut adalah untuk membahas kebenaran penerimaan bantuan program pemberdayaan ekonomi Pra Sakinah di masyarakat muslim di Kab. Belu. Ibu Suryati dari Majelis Taklim An-Nur menyatakan bahwa pada tahun 2007 telah ada bantuan dana bergulir (pinjaman modal usaha) dari Kankemenag Kab. Belu kepada majelis taklim yang ada d Kab. Belu sebesar Rp. 5.000.000,-. Bantuan pada tahun–tahun berikutnya bersumber dari BAZ Prov. NTT berupa program pra sakinah. Pada tahun 2011, program pra sakinah: Rp. 5.000.000,- yang dibagikan kepada 10 orang jama’ah. Pada tahun 2012, program pra sakinah: Rp 5.000.000,- yang dibagikan kepada 10 orang jama’ah. Pada tahun 2013, bantuan pra sakinah: Rp 15.000.000,- yang disalurkan kepada 3 majelis taklim.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
197
Ibu Suryanti menyampaikan bahwa persoalan yang terkait dengan bantuan pra sakinah adalah persoalan jumlah bantuan yang tidak efektif sebagai modal usaha. Karena 5 juta dibagi 10 adalah 500 ribu rupiah, sehingga tiap warga yang mendapatkan bantuan harus memodali usahanya hanya dengan 500 ribu rupiah yang tidak cukup sebagai modal, tapi lebih mirip sebagai santunan. Ibu Marliana Suharjo menyampaikan problematika pelayanan penyaluran bahwa majelis taklim yang ada di Kab. Belu telah mendapatkan berbagai bantuan antara lain bantuan Al Quran, namun jumlahnya sangat tidak mencukupi. Beliau juga menyampaikan tentang adanya bantuan pendidikan Islam untuk Taman Pendidikan Al Quran yang dikelola oleh masjid. Ada 6 TPA yang mendapatkan bantuan, masing–masing sebesar Rp. 20.000.000,-. Fakta lain disampaikan ibu Siti Nurbaya, Bendahara Kotak Majelis Taklim, beliau menyampaikan informasi yang meralat beberapa info sebelumnya. Ibu Siti Nurbaya menjelaskan bahwa bantuan yang diterima pada tahun 2010 dan 2011, masing masing tahun Rp. 5.000.000,- dan disalurkan kepada 21 orang sebagai modal usaha. Ibu Siti menyatakan, bahwa para anggota majelis taklim sepakat untuk menyalurkan modal usaha itu kepada kaum dhua’afa, kebetulan para kaum dhuafa penerima bantuan itu adalah eks pengungsi dari Timor Timur. Selain pembahasan bantuan yang diterima, pertemuan tersebut juga membahas tentang efektifitas penyuluh agama Islam. Para peserta pertemuan tersebut menyampaikan bahwa mereka merasa masih kekurangan tenaga penyuluh. Mereka meminta minimalnya satu masjid disediakan satu orang 198
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
penyuluh. Ibu Suryanti memaparkan bahwa terdapat 13 masjid di Kab. Belu. Terdiri atas 6 majelis taklim di Kota Atambua, dan dua majelis taklim di luar Kota Atambua yakni di Tobir. Mereka juga menyampaikan bahwa selama ini materi penyuluhan yang disampaikan terkait dengan permasalahan ibadah shalat, keluarga sakinah dan akidah. Ketika ditanya apakah mereka merasa perlu materi tentang kewirausahaan, mereka menjawab, itu perlu. Demikian juga dengan materi seperti wawasan kebangsaan, ketika ditanya itu, mereka juga mengatakan perlu. Salah seorang hadirat menyatakan bahwa materi lain yang dianggap perlu adalah pengelolaan jenazah. Telah ada pelatihan pengelolaan jenazah yang diselenggarakan oleh Seksi Pendidikan dan Bimas Islam Kankemenag Kab. Belu, namun itu dikatakan telah lama sekali, dan masih sangat diperlukan. Hal lain yang disampikan oleh hadirat adalah informasi bahwa diantara 13 masjid di Kabupaten Belu, hanya An-Nur yang tidak diperkenankan oleh pihak yang berwenang di masyarakat tersebut untuk meperdengarkan adzan ke luar masjid. Hal itu terjadi karena protes masyarakat di sekitar masjid yang mayoritas beragama non muslim. Persoalan mengenai efektifitas, dan kapasitas penyuluh ini dikuatkan oleh Bapak Abdurrahman, bahwa kapasitas para penyuluh harus lebih ditingkatkan. Perlu kemampuan menyampaikan materi–materi yang tidak hanya masalah keakhiratan tapi juga pembekalan dunia seperti politik, budaya maupun kewirausahaan dan pemberdayaan masyarakat.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
199
Pelayanan Agama Hindu Terkait pelayanan untuk pemeluk agama Hindu di wilayah perbatasan masih dirasakan sangat kurang. Hal ini disebabkan karena belum adanya seksi khusus yang menangani. Satu-satunya pegawai yang menangani pelayanan agama Hindu hanya satu orang, dengan status penyuluh, dan tenaga administratif untuk agama Hindu. Secara struktur, agama Hindu ini belum masuk dalam sistem organisasi di Kankemenag Kab. Belu. Di samping agama Hindu, yang tidak terlayani secara struktur adalah pemeluk agama Buddha, dan Konghuchu. Pada tanggal 28 Maret 2014 peneliti secara langsung mendatangi para tokoh agama Hindu di Pura Atambunata untuk menggali data-data terkait pelayanan negara untuk agama Hindu di kawasan perbatasan. Pertemuan ini difasilitasi oleh ibu Ketut Sukarwati, penyuluh agama Hindu Kankemenag Kab. Belu. Pertemuan tersebut memberikan gambaran bahwa perlu adanya perhatian yang lebih dari pemerintah terkait pembinaan agama Hindu di perbatasan. I Made Sujana, seorang perwira TNI yang bertugas di Tobir, dan memimpin kelompok penganut Hindu disana menyampaikan bahwa setidaknya saat ini ada 150 anggota TNI di Kab. Belu yang bergama Hindu, apabila ditambah dengan anggota keluarga yang ikut maka bisa mencapai 200 orang. Lebih lanjut I Made Warna menyampikan bahwa jumlah itu jika ditambah masyarakat sipil dan anggota polisi akan mencapai 350 jiwa penganut agama Hindu di wilayah perbatasan Kab. Belu. Terkait sarana ibadah, saat ini terdapat dua Pura, namun keduanya statusnya hak pakai, mengingat 200
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
menggunakan lahan milik TNI. Mereka lebih lanjut berharap agar pemerintah memfasilitasi pendirian Pura untuk umum, dan statusnya adalah milik masyarakat komunitas agama Hindu. Umat Hindu di Belu sendiri terbagi kepada dua kelompok besar yaitu Banar Tobing (khusus untuk anggota batalyon TNI AD yang bertugas di markas batalyon Tobing) dan Banjar Atambua yang terdiri atas anggota TNI, POLRI dan masyarakat sipil Hindu yang ada di kota Atambua. Pura Atambuanata itu sendiri sentral dalam prosesi keagamaan Hindu, karena di lingkungan Pura ini masyarakat sipil pun juga turut mempergunakan. Pura Atambuanata sendiri dibangun di atas tanah milik Kodim Belu, dan dibangun secara swadaya. Kankemenag Kab. Belu pernah memberikan bantuan renovasi bangunan Pura sebesar Rp 30.000.000.Dalam pelayanan pendidikan Hindu oleh Kankemenag, bapak I Made Warna sebagai Ketua Bidang pendidikan menyampaikan bahwa saat ini Pura Atambunata menyelenggarakan pendidikan yang dinamai Pasraman Widya Loka. Pada pasraman ini, anak didik dibagi 3 sampai 4 kategori, yaitu kategori pertama anak usia kelas 1–3 SD. Kategori kedua anak usia 4-6 SD. Kategori ketiga, adalah anak usia SMP dan kategori keempat adalah anak usia SMA. Saat ini untuk pembinaan pendidikan agama Hindu, mereka hanya dilayani oleh 2 orang tenaga honorer Kankemenag Kab. Belu. Untuk itu mereka berharap di tambah tenaga penyuluh, dan juga tenaga pendidik untuk agama Hindu di wilayah perbatasan Kab. Belu. Terkait kerukunan umat beragama, mereka menilai tidak ada persoalan. Mereka menyampaikan bahwa Ketua PHDI Belu, I Gusti Komang sangat aktif dalam FKUB selain Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
201
itu I Made Balik yang juga aktif dalam Forum Pembauran Kebangsaan. Problem pelayanan Keagamaan Kawasan Perbatasan Kab. Belu Problematika pelayanan keagamaan oleh Kankemenag Kab. Belu dapat dilihat dalam dua dua sisi, yaitu internal, dan eksternal. Permasalahan internal dapat dilihat dari persoalan alokasi anggaran Kankemenag Kab. Belu, yang memiliki keterbatasan pada pengelolaan anggaran operasional kantor sangat minim untuk anggaran kegiatan. Persoalan eksternal adalah terkait persoalan pokok persoalan pendidikan, dan pemahaman keagamaan masyarakat yang masih minim, problem ekonomi yang sulit, dan persoalan terbentuknya good governance terkait keamanan. Permasalahan Internal Permasalahan internal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Kepala Kankemenag Kab. Belu dan dikuatkan oleh Kasubag TU sangat terkait dengan kapasitas kelembagaan yang dimiliki oleh Kankemenag Kab. Belu. Luasnya wilayah kerja yang melingkupi 2 kabuapten (Belu dan Malaka) dan beragamnya agama masyarakat serta berbagai persoalan kemasyarakatan yang menyertainya. Kankemenag Kab. Belu menjadi unit kerja pelayanan keagamaan yang harus melayani masyarakat dengan berbagai bentuk pelayanan dan cakupan jangkau wilayah yang luas. Ditambah lagi dengan tanggungjawab pembinaan kehidupan dan pengetahuan keberagamaan masyarakat dalam kondisi pendidikan dan ekonomi yang minim. Hal ini belum cukup 202
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
jika melihat keadaan wilayah layanan Kankemenag Kab. Belu adalah daerah perbatasan dengan Negara tetangga yang seharusnya mendapatkan perhatian dan layanan yang khusus dan lebih baik mengigat strategisnya isu pembangunan perbatasan. Namun berbagai tugas dan tanggungjawab tersebut tidak diimbangi oleh kebijakan, program kerja dan sumberdaya manusia yang memadai. Terbatasnya anggaran menjadikan Kankemenag Kab. Belu tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menyelenggarakan berbagai kebijakan. Perlu menekankan program kerja serta peningkatan kuantitats dan kualitas sumber daya manusia dalam pelayanan keagamaan di wilayah kerjanya. Kankemenag Kab. Belu hanya menyelenggarakan kegiatan operasional rutin kantor dengan program-program yang sangat terbatas sebagaimana diuraikan dalam bab gambaran pelayanan keagamaan. Demikian juga tidak ada pengalokasian anggaran untuk menyelenggarakan peningkatan kapasitas para penyuluh agama. Tidak ada anggaran meningkatkan kapasitas bangunan–bangunan rumah ibadat. Serta minimnya program pembinaan keagamaan yang berkorelasi dengan pemberdayaan ekonomi umat, minimnya jumlah SDM atau tenaga penyuluh yang dibiayai negara. Deky Darmawan, salah seorang penyuluh agama Katolik Kankemenag Kab. Belu menyatakan bahwa para penyuluh belum dioptimalkan kapasitas dan perannya. Deky menyampaikan bahwa kendala utama mengapa penyuluh belum bisa optimal bekerja, yang disebabkan karena belum diberdayakannya Pokjaluh di Kab. Belu. Selain itu juga skill para penyuluh masih kurang memadai, karena latar belakang Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
203
para penyuluh tidak semua berlatar belakang pendidikan sarjana agama. Selain itu perlunya metode, materi dan anggaran yang memadai untuk penyuluhan menghadapi masyarakat yang bermasalah ekonomi dan rendah pendidikan. Namun optimalisasi peran para penyuluh ini belum dapat dilaksanakan karena ketiadaan program dan anggaran. Anggaran menurut Kepala Kankemenag Kab. Belu masih diperlukan untuk membiayai berbagai program penguatan pelayanan keagamaan. Berbagai kondisi tersebut disebabkan oleh belum besarnya perhatian dan keberpihakan para pemegang kebijakan dalam menginisasi program kerja pelayanan keagamaan di daerah perbatasan. Rendahnya inisiasi tersebut tentu saja akan berimbas pada rendahnya pengalokasian anggaran pelayanan keagamaan di daerah perbatasan termasuk wilayah kerja Kankemenag Kab. Belu. Problematika tersebut dapat dikategorikan sebagai kelemahan internal unit kerja Kankemenag Kab. Belu, namun dapat juga dilihat sebagai tantangan atau hambatan dari pihak di luar Kankemenag Kab. Belu, dalam hal ini para penentu kebijakan program dan anggaran. Perhatian terhadap isu–isu kawasan perbatasan seharusnya menjadi dasar dalam menentukan kebijakan, program dan anggaran bagi pelayanan keagamaan didaerah perbatasan, termasuk salah satunya adalah wilayah kerja Kankemenag Kab. Belu. Permasalahan Eksternal Adapaun permasalahan yang kedua adalah masalah yang bersifat eksternal, yaitu situasi yang melatari proses 204
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
pelayanan keagamaan Kankemenag Kab. Belu. Berdasarkan hasil waancara dan diskusi dengan para pejabat dan penyuluh agama Kankemenag Kab. Belu, para pemuka agama (Katolik, Kristen, Islam dan Hindu), Kepala KUA Kota Atambua dan Malaka, serta Camat Kakuluk Mesak, berbagai persoalan ekternal tersebut dapat diidentifikasi menjadi beberapa hal, antara lain: ekonomi, pendidikan, keamanan, dan pengelolaan pemerintahan (good governance). 1. Lemahnya ekonomi masyarakat Sebagaimana yang telah digambarkan pada bab terdahulu, mata pencaharian penduduk di Kab. Belu dapat dibedakan dengan domisili mereka. Bagi masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan, mereka hidup melalui sektor pertanian pada tanaman jagung, padi, dan berternak. Selain itu, ada juga masyarakat yang mencari nafkah dengan melaut mencari ikan dan hasil hutan seperti buah-buahan dan kayu cendana. Sedangkan masyarakat yang tinggal di lembah-lembah pegunungan, mata pencahariaan mereka sebagian besar dari pertanian (bertanam jagung dan padi), berternak sapi, babi dan kambing. Masyarakat yang tinggal diperkotaan seperti di Kota Atambua, sebagian menjadi pegawai baik di pemerintahan ataupun di swasta, juga terdapat perdagangan, jasa dan usaha seperti warung makan terutama kaum pendatang Berbagai profesi dan mata pencaharian masyarakat di daerah Belu secara kasat mata dapat dikatakan belum bisa mensejahterakan kehidupan masyarakat. Hasil pertanian, peternakan dan pemanfaatan sumber daya hutan dan laut di kawasan hanya mampu mencukupi kebutuhan sandang, pangan dan papan secara terbatas. Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
205
Hal itu terlihat dari pengamatan peneliti terhadap kehidupan sehari–hari masyarakat di kawasan perbatasan atau pinggiran kabutaen Belu dan Malaka. Rumah mereka yang sederhana terbuat dari kayu dan tanpa jamban, serta pakaian yang sederhana. Walau pun kehidupan di kota Atambua terlihat ramai, namun sebagian masyarakat hanya bekerja sebagai pegawai negeri di instansi pemerintah dan sebagai karyawan toko yang dimiliki oleh warga pendatang dari pulau Jawa. Meski kehidupan masyarakat di kota Atambua terlihat lebih baik jika dibandingkan dengan kehidupan warga di kawasan pedesaan perbatasan, namun kehidupan mereka tetap dapat dikatakan sederhana dan belum sejahtera. Fenomena lemahnya ekonomi masyarakat, pertama kali diketahui oleh peneliti pada saat melakukan dialog dengan para penyuluh Kankemenag Kab. Belu. Dalam dialog tersebut hadir para penyuluh agama Katolik, Kristen, Islam dan Hindu. Dekky Darmawan, Maria Rossa, keduanya adalah penyuluh agama Katolik, mereka menyatakan bahwa faktor yang sangat mempengaruhi kendala peyuluhan agama di masyarakat adalah masalah ekonomi. Hal serupa juga dikemukanan oleh Gaison Mbuik, penyuluh agama Kristen. Terkait dengan pelayanan keagamaan, masalah ekonomi menjadi penyebab rendahnya perhatian masyarakat terhadap berbagai kegiatan–kegiatan kegamaan. Masyarakat disibukan atau memilih untuk menyibukan diri mengurus persoalan ekonomi keluarga daripada menghadiri penyuluhan agama. Banyak para penyuluh agama yang telah menempuh jarak yang cukup 206
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
jauh dan waktu yang cukup lama untuk mencapai sebuah desa untuk mengadakan penyuluhan agama. Namun, setibanya di lokasi, masyarakat yang hadir sangatlah sedikit, karena mereka tidak bisa meninggalkan pekerjaan yang terkait dengan kehidupan mereka sehari–hari. Persoalan kemiskinan akan mengakibatkan perlakuan yang tidak adil, memiliki imbas yang luas, dalam waktu lama. Kemiskinan tidak hanya berpengaruh pada aspek demografis, berupa kelahiran, kematian, dan migrasi penduduk dari suatu tempat ke tempat lainnya. Dalam aspek ekonomi dapat pula terjadi keterisolasian dari peran-peran sosial politik, dan ekonomi. Kemiskinan dapat pula berpengaruh pada aspek sosiologis yang mengakibatkan kerentanan masyarakat mendapatkan pekerjaan, dan perlakuan kehidupan sosialnya di masyarakat. Kemiskinan juga mampu ditunggangi kepentingan ideologi politik, yaitu berupa radikalisasi, ekstrimisme, tindakan apatis, dan abstensi. Kemiskinan dapat pula menjadikan seseorang tidak peduli, dan menjadi tidak berdaya (kemiskinan struktural). 2. Rendahnya tingkat pendidikan Masalah lain yang muncul di kawasan perbatasan adalah masalah rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Masalah ini tidak hanya terkait sedikitnya masyarakat yang menempuh jenjang pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi. Banyak tenaga kerja produktif yang hanya berbasis pendidikan dasar, bahkan tanpa pendidikan, lemahnya pendidikan masyarakat juga terkait dengan masih banyaknya warga buta aksara. Menurut Dekky Darmawan, sebagai penyuluh agama Katolik bahwa tingkat buta huruf masyarakat Belu adalah 43%. Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
207
Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat juga disampaikan oleh Biktus Parera, Camat Kakuluk Mesak yang memimpin kecamatan di kawasan perbatasan. Menurut beliau, masalah yang rentan di kawasan perbatasan antara lain, ekonomi, pendidikan dan keamanan. Masalah–masalah ini kemudian mengarah kepada masalah rentannya kehidupan keamanan dan rendahnya perhatian masyarakat kepada pembinaan keagamaan. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat menyebabkan masyarakat tidak menganggap penting berbagai kegiatan keagamaan. Pendidikan yang rendah memunculkan sikap atau pandangan yang keliru tentang peran agama dalam kehidupan. Agama hanya dilihat sebagai pranata ritual saja, tidak sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas hidup. 3. Isu Keamanan Menurut Biktus Parera, masalah yang rentan di kawasan perbatasan antara lain, ekonomi, pendidikan dan keamanan. Di wilayah pelayanan Kankemenag Kab. Belu, isu keamanan masih menjadi kendala. Isu keamanan yang sering muncul adalah masalah konflik antar pemuda dan kriminalitas berupa penyelundupan. Masalah keamanan ini menjadi tantangan bagi pelayanan dan pembinaan keagamaan di kawasan perbatasan. Masalah keamanan yang sering muncul di kawasan perbatasan adalah masalah yang juga terkait dengan lemahnya ekonomi dan pendidikan masyarakat. Biktus Parera menyatakan bahwa permasalahan yang 208
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
sering muncul di daerah perbatasan adalah pembinaan anak–anak muda yang tidak bekerja yang seringkali berujung pada masalah keamanan. Lebih lanjut Biktus Parera menceritakan bahwa pernah terjadi konflik antar pemuda di kawasan perbatasan, namun diduga dipengaruhi oleh perseteruan dua perguruan bela diri yaitu perguruan SHT dan Perguruan Kerasakti. Biktus meyakini, jika para pemuda itu memiliki kegiatan ekonomi yang baik, konflik tawuran pemuda itu tidak akan terjadi. Biktus pernah menyuaran agar anak–anak muda yang tidak bekerja itu dilibatkan dalam industri pariwisata di kawasan perbatasan, misalnya dalam pengelolaan parkir dan industri yang terkait pariwisata. Penjelasan dari Biktus Parera menggarisbawahi bahwa isu keamanan yang terkait dengan konflik antar pemuda lebih disebabkan karena para pemuda itu tidak memiliki pekerjaan tetap dan pendidikan atau keterampilan yang memadai. Maka pesoalan keamanan yang seperti ini menjadi hambatan sekaligus tantangan bagi para penyuluh PNS. Pembinaan penyuluh agama tidak hanya menyadarkan masyarakat untuk tidak melakukan konflik kekerasan, tapi juga pembinaan yang memberdayakan ekonomi, keterampilan dan pendidikan. Masalah keamanan yang lain adalah masalah maraknya praktik penyelundupan yang dilakukan oleh oknum masyarakat. Beberapa masyarakat menyeludupkan Bahan Bakar Minyak (BBM) dari wilayah NKRI ke wilyah Timor Leste malalui jalur–jalur terpencil yang diistilahkan dengan “jalur tikus”. Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Biktus Parera, Camat Kakuluk Mesak,
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
209
dan diyatakan bahwa hal itu melibatkan oknum aparat keamanan. Adanya ketidakjujuran para aparat untuk menjaga dan meminimalisasi penyelundupan BBM ke Timor Leste menjadi persoalan krusial, mengingat permasalahn energi bersubsidi tersebut sejatinya diperuntukkan bagi masyarakat perbatasan. Situasi ini menjadi latar tantangan dan hambatan bagi pelayanan keagamaan di kawasan perbatasan Kab. Belu dan Kab. Malaka. Artinya pelayanan keagamaan dilakukan di tengah minimnya ketersediaan BBM bersubsidi yang mengakibatkan bertambah sulitnya pelayanan keagamaan. Hal itu juga dialami langsung oleh peneliti yang kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi di SPBU resmi, namun mendapatkannya di tempat eceran masyarakat dengan harga yang berbeda. 4. Pengelolaan pemerintahan Masyarakat di kawasan perbatasan adalah masyarakat yang rentan dengan permasalahan ekonomi, pendidikan dan keamanan, hal ini mempengaruhi proses partisipasi masyarakat dalam kegiatan keagamaan dan pendidikan keagamaan. Untuk itu pelayanan keagamaan harus seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui beberapa strategi pembangunan ekonomi, dan kualitas pelayanan kesehatan serta pendidikan. Keempat aspek tersebut perlu dilakukan secara menyeluruh dan merata terutama bagi masyarakat yang berada di garis batas, dan masyarakat yang belum tersentuh pelayanan. Ada gambaran yang menarik di sepanjang garis perbatasan antara Kab. Belu dan Kab. Malaka dengan 210
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Republik Demokratik Timor Leste, yaitu masih banyaknya perumahan penduduk yang belum mendapat aliran listrik dari PLN, keadaan ini dapat peneliti lihat sepanjang perjalanan Kota Atambua menuju Betun, Kab. Malaka tatkala matahari sudah mulai terbenam. Kondisi ini harus segera ditangani dengan pendekatan pembangunan yang sejalan dengan budaya setempat. Untuk itu, peneliti beranggapan sebagai strategi pelayanan keagamaan kawasan perbatasan Kankemenag Kab. Belu perlu terus melakukan peningkatkan pelayanan melalui pengembangan sumberdaya manusia, peningkatan dana operasional, dan bantuan pembangunan rumah ibadat, serta kegiatan sosial keagamaan. Perlu juga dibentuk unit yang khusus menangani potensi keberagamaan di kawasan terluar yang secara aktif memantau perkembangan pelayanan keagamaan di daerah tersebut (kecamatan terluar). Di samping itu Kankemenag Kab. Belu juga perlu meningkatkan koordinasi dengan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) untuk dapat bersama-sama saling bertukar informasi mengenai kebutuhan masyarakat perbatasan, terutama dalam pelayanan keagamaan. Koordinasi antar kementerian, dan instansi terkait mengenai peningkatan pelayanan keagamaan di perbatasan dimaksudkan supaya pembangunan perbatasan dilakukan dengan komprehensif, berkesinambungan, dan tidak secara parsial. Pembangunan kawasan perbatasan merupakan kebijakan pembangunan yang telah digariskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2004–2025. Dalam RPJPN 2004-2025, salah satu arah kebijakan pembangunan adalah mewujudkan pembangunan yang merata dan dapat dinikmati oleh seluruh komponen bangsa di Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
211
berbagai wilayah Indonesia dilakukan melalui pengembangan kawasan perbatasan yang selama ini kurang diperhatikan. Dalam usaha menggagas pelayanan keagamaan ideal, perlu diperjelas kebijakan yang riil mengenai peningkatan pelayanan keagamaan bagi kecamatan terdepan yang membatasi kedua negara. Pelayanan keagamaan atas semua umat beragama di sana, dengan memberikan aspek pelayanan keagamaan yang bersifat konseling atau pembelajaran kesadaran beragama, dan pembangunan sarana prasarana keagamaan. Pemerintah perlu membangun rumah-rumah ibadat di garis batas untuk menunjang dan mewujudkan pembangunan bidang agama. Hal ini tentu sebagai bentuk kepedulian negara atas pembangunan kehidupan beragama. Ungkapan ini setidaknya banyak dilontarkan oleh pejabat Kankemenag Kab. Belu, dan para pemuka agama. Sebagai pintu utama, dan halaman terdepan, identitas negara harus hadir, yaitu rumah ibadat yang berdiri megah, fasilitas jalan yang baik, dan sarana prasarana yang memadai. Pelayanan keagamaan dalam bentuk ritus dan lokus yang menjadi karakteristik suatu agama. Perhatian pemerintah untuk wilayah perbatasan juga dilakukan dengan memberikan sumberdaya manusia terbaik, dengan memenuhi kualifikasi tertentu, tidak hanya memahami seputar keagamaan, melainkan juga memahami aspek keterampilan, kesadaran bernegara, dan kemampuan memberikan pelatihan ekonomi. Unit kerja terluar yang dibentuk Kankemenag Kab. Belu tidak hanya bertanggung jawab untuk memberikan kesadaran-kesadaran keagamaan di wilayah binaannya, melainkan juga secara aktif perlu memberikan program pengentasan kemiskinan. Wilayah terluar perlu didukung 212
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
oleh semua instansi pemerintah dalam kaitannya memberikan pelayanan terbaik di wilayah terluar. Karakteristik Sosial Budaya Masyarakat Perbatasan dan Aspek Pelayanan Keagamaan Pelayanan keagamaan sebagaimana berbagai program pelayanan lainnya, sangat terkait dengan aspek karakteristik sosial budaya masyarakat. Yang disebut dengan aspek karakteristik sosial budaya masyarakat adalah faktor–faktor dalam masyarakat yang menjadi komponen terbentuknya suatu masyarakat. Nanang Martono dalam buku Sosiologi Perubahan Sosial, menyatakan bahwa setidaknya ada tiga komponen suatu masyarakat : 1) Struktural, 2) Interaksional, dan 3) Kultural35. Komponen struktural berarti bicara tentang struktur yang ada di masyarakat, struktur kepemimpinan, struktur pelayananan dan pengelolaan masyarakat maupun struktur hirarki sosial di masyarakat. Selain struktur yang dibuat oleh pemerintah seperti Rukun Tenangga (RT), Rukun Warga (RW), Kepala Desa dan seterusnya, masyarakat juga mengenal struktur yang lain. Di Belu, berdasarkan pengamatan peneliti, struktur masyarakat terdiri atas kepala adat, tokoh agama dan tokoh spiritual yang disebut Makdok. Struktur ini menjadi kelompok yang dirujuk sebagai panutan masyarakat. Secara horizontal, masyarakat terbagi dalam kelompok–kelompok berdasarkan agama seperti gereja, majelis taklim atau masjid dan pura, disamping kelompok–kelompok adat dan kelompok atau komunitas lainnya.
35
Martono, 2011, halaman 6
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
213
Komponen interaksional menggambarkan pola komunikasi antar komponen di masyarakat baik secara horizontal maupun vertikal. Pola komunikasi tersebut mengambarkan hubungan yang saling membutuhkan dan saling memberi antar komponen dan hiraki tersebut. Di Kab. Belu, masyarakat terikat dengan komuitas agamanya masing– masing, masyarakat berinteraksi melalui komunitas gereja, majelis taklim dan komunitas agama Hindu. Interaksi itu dilakukan sebagai media pemenuhan kebutuhan spiritual dan pengetahuan/pendidikan. Sedangangkan pola interaksi yang bersifat ekonomi juga terbangun dengan kelompok–kelompok yang lebih terbuka seperti hubungan antara masyarakat petani dengan kelompok pedagang atau kelompok masyarakat asli Kab. Belu sebagai karyawan/pegawai dengan masyarakat pendatang sebagai pengusaha yang mempekerjakan mereka. Komponen kultural merupakan komponen produk yang merepersentasikan struktur dan interkasi yang ada di masyarakat. Hal tersebut kemudian mewujud dalam nilai, norma, seni, infrastruktur, arsitektur, busana dan sebagainya. Masyarakat Belu dan Malaka sebagai masyarakat yang dilayani oleh Kankemenag Kab. Belu membangun nilai, norma, seni dan komponen budaya lainya sebagai produk dari pola interkasi dan struktur masyarakat mereka yang terkait dengan adat, agama dan kepercayaan masyarakat. Maka peneliti mendapati produk–produk budaya yang tekait dengan adat seperti bangunan rumah, kerajinan tangan, dan pakaian yang lebih dipengaruhi oleh struktur agama. Seperti kelompok masyarakat muslimah yang mengenakan jilbab atau kelompok Hindu yang mengenakan pakaian seperti masyarakat Bali.
214
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Hal serupa juga terjadi dalam nilai dan norma. Selain dipengaruhi kearifan lokal adat dan agama, kepercayaan masyarakat terhadap figur Makdok yang memiliki kharisma juga mempengaruhi nilai dan norma tersebut. Intinya, bicara tentang karakteristik masyarakat, tidak akan lepas dari sistem nilai, paranata sosial dan infrastruktur yang ada. Sistem nilai berarti tentang apa yang menjadi kepercayaan di masyarakat yang kemudian mengikat pada pola interkasi dan tata perilaku. Pranata berupa representasi dari struktur yang berperan sebagai lembaga yang berperan sebagai regulator dan pengawas masyarakat. Sedangkan infrastruktur sebagai sarana yang menjembatani aktifitas masyarakat dan memastikan sistem nilai dan pranata itu dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat. Dalam memahami pelayanan keagamaan dilihat dari aspek identitas budaya suatu masyarakat, perlu diterangkan bahwa masyarakat merupakan realitas fundamental, dan kebijakan-kebijakan yang lahir dari pemikiran atau analisis pada akhirnya juga akan diimplemntasikan secara sosial. Untuk itu perlu analisis yang lebih tepat dalam melihat kebijakan bagaimana suatu kelompok sosial itu dibentuk, dan diorganisasikan. Pernyataan ini dapat dipahami karena ritme sosial yang ada di masyarakat lahir atas dasar waktu, dan wilayah yang didiami masyarakat tidak terlepas dari kategori ruang.36 Melihat dari kacamata tersebut, dalam melihat strategi pelayanan keagamaan perlu diperhatikan beberapa aspek, di antaranya adalah: Untuk melihat agama dan realitas sosial lihat karya E. Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life (London: Allen & unwin, 1964) 36
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
215
1. Sistem nilai dan kepercayaan Sistem nilai erat sekali dengan budaya masyarakat bersangkutan. Perilaku orang perorang dalam suatu masyarakat kuat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada dalam budayanya.37 Masyarakat Belu dan Malaka membangun nilai, norma, seni dan komponen budaya lainya sebagai produk dari pola interaksi dan struktur masyarakat mereka yang terkait dengan adat, agama dan kepercayaan masyarakat Pada masyarakat awam di Kab. Belu, khususnya di Kec. Kakuluk Mesak misalnya, peranan Makdok (dukun), masih cukup kuat, terutama apabila tenaga kesehatan formal tidak memiliki kemampuan memecahkan persoalannya. Biktus Parera, Camat Kakuluk Mesak mengatakan “Masyarakat sangat erat berhubungan dengan seorang Makdok (dukun). Makdok ini bisa lelaki atau perempuan. Setiap desa biasanya memiliki Makdok, biasanya kalau jalan medis tidak sanggup, masyarakat banyak menggunakan jasa Makdok ini. Makdok ini rata-rata beragama Katolik. Kegiatan ke Makdok ini tidak mengganggu keamanan. Di antara mereka juga dipercaya memiliki Kharisma, yaitu memiliki indera keenam. Orang yang memiliki Kharisma ini dapat pula tinggal di Capela atau Gereja. Kharisma adalah istilah bagi mereka yang memiliki kelebihan dalam hal supranatural, dan mendapat karunia.”38 Melihat realitas tatanan masyarakat yang masih kuat dengan sistem patron dan klien, seperti halnya Makdok, ataupun pemuka agama seperti halnya keterikatan yang kuat penganut Khatolik dengan lembaga kepasturan, maka 37 Atep Adya Barata, Dasar-Dasar Pelayanan Prima (Jakarta: Elex media Komputindo, 2003)164. 38 Wawancara dengan Biktus Parera pada tanggal 24 Maret 2014 pukul 11:30-13:00 WITA.
216
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
pelayanan keagamaan juga harus melihat strategi ke arah sana supaya tujuan pelayanan keagamaan, baik penyuluhan, pembinaan mental ataupun sasaran pembangunan keagamaan dapat berhasil dilakukan 2. Sistem kekerabatan, suku dan keluarga Masyarakat yang berdomisili di kawasan perbatasan di daerah Kab. Belu dan Kab. Malaka memiliki hubungan kekerabatan dengan masyarakat kawasan perbatasan di wilayah Timor Leste. Budaya antara masyarakat perbatasan wilayah Kab. Belu dan Kab. Malaka masih memiliki ciri, dan corak yang sama antara kedua wilayah dengan negara tetangga. Rumpun budaya keduanya sama. Terjadinya hubungan pernikahan, sehingga melahirkan sistem kekerabatan yang dekat, sehingga menjadi perekat kedua wilayah. Namun di saat yang sama juga dapat memunculkan perselisihan terutama sekali, apabila pelayanan di antara wilayah masing-masing terjadi kesenjangan yang besar. Perasaan memiliki, dan nasionalisme menjadi sangat tergadaikan 3. Persoalan ekonomi Persoalan ekonomi, dapat pula mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat, kerentanan-kerentanan ekonomi harus menjadi kacamata dalam melihat misi pelayanan keagamaan. Persoalan ekonomi dapat menjadi latar dari karakterstik sosial budaya masyarakat perbatasan. Realitas adalah sesuatu hal yang sebenarnya diinternalisasikan oleh atau melalui suatu proses sosial39 Sistem nilai, struktur, pranata, infrastruktur dan berbagai 39
Peter L. Berger, Thomas Luckmann, 1966, halaman 196.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
217
produk budaya yang menjadi representasi karakteristik masyarakat merupakan hal yang terbentuk dari pengalaman, eksternalisasi dan objektifikasi masyarakat dengan realitas lingkungan yang dihadapinya. Sebagaimana telah duraikan oleh Burhan Bungin dalam buku sosiologi komunikasi tentang tiga tahapan konstruksi realitas (eksternalisasi, objektifikasi dan 40 internalisasi) . Dalam kajian ini, eksternalisasi membahas bagiamana individu–individu dalam masyarakat berinteraksi dengan realitas ekonominya sehari–hari produk masyarakat yang telah ada sebelumnya dalam menghadapi kondisi ekonomi tersebut. Sedangkan objektifikasi membahas bagiamana interaksi antar individu yang mengalami realitas ekonomi tersebut membentuk suatu kelompok sosial atau terinstitusionalisasi dalam suatu struktur masyarakat yang kemudian memebentuk karakter budaya tertentu. Dalam dialog dengan para penyuluh agama Katolik, Kristen, Islam dan Hindu. Dekky Darmawan, Maria Rossa, keduanya adalah penyuluh agama Katolik, mereka menyatakan bahwa faktor yang sangat mempengaruhi kendala peyuluhan agama di masyarakat adalah masalah ekonomi. Hal serupa juga dikemukanan oleh Gaison Mbuik, penyuluh agama Kristen. Demikian juga dengan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti terhadap tempat tinggal warga dan wawancara dengan beberapa warga yang berprofesi sebagai nelayan di Kolam Susuk, dan warga yang berjualan buah–buahan hasil tani di pinggir jalan antara Atambua dan Kolam Susuk, hal itupun menggambarkan lemahnya kesejahteraan masyarakat sebagai akibat rendahnya pendapatan masyarakat. 40
218
Burhan Bungin, 2006.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Lemahnya ekonomi tersebut dapat dilihat sebagai realitas yang membentuk karakter budaya masyarakat yang menjadi tantangan pelayanan keagamaan. Karakter sosial budaya yang dimaksud adalah sistem nilai, kebiasaan atau sikap sosial masyarakat dalam mensikapi berbagai kegiatan keagamaan. Pelayanan keagamaan belum dipandang sebagai kebutuhan pokok bagi sebagaian masyarakat, sehingga berakibat pada rendahnya partisipasi warga dalam kegiatan penyuluhan atau dalam gotong royong membangun rumah ibadat. Sikap itu dilatari oleh nilai bahwa yang real paraktis dihadapi adalah materi, bukan spititual yang tidak membuat kenyang perut atau tercukupi sandang dan papan. Pandangan itu merupakan karakteristik sosial budaya sebagian masyarakat yang disebabkan oleh situasi ekonomi. 4. Rendahnya Pendidikan Tingkat pemahaman pendidikan yang rendah dapat juga mempengaruhi partisipasi masyarakat aktif dalam kegiatan keagamaan. Pendidikan juga merupakan pengalaman, eksternalisasi dan objektifikasi yang dilalui masyarakat yang kemudian melatari terbangunnya suatu karakter sosial masyarakat kawasan perbatasan, termasuk Kab. Belu dan Kab. Malaka sebagai wilayah kerja Kankemenag Kab. Belu. Pendidikan masyarakat Belu dapat dikatakan rendah. Hal itu ditunjukan dengan pernyataan Dekky Darmawan, (Penyuluh Agama Katolik), Kankemenag Kab. Belu yang menyampaikan bahwa tingkat buta huruf masyarakat Belu adalah 43%. Demikian juga dengan informasi yang disampaikan oleh Biktus Parera yang memimpin kecamatan di daerah perbatasan. Menurut beliau masalah yang rentan di kawasan perbatasan antara lain, ekonomi, pendidikan dan Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
219
keamanan. Masalah rendahnya pendidikan dilihat sebagai hal yang akan berkorelasi dengan masalah ekonomi dan keamanan. Rendahnya pendidikan masyarakat berdampak pada rendahnya pengetahuan dan keterampilan masyarakat. Hal ini akan berakibat kepada rendahnya kualitas hidup yang terkait dengan masalah sosial, kesehatan dan juga budaya. Rendahnya pengetahuan akan memunculkan bentuk kesadaran tertentu yang kemudian melahirkan kebiasaan– kebiasaan berdasarkan keterbatasan pengetahuan tersebut. Kebiasaan yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat secara bersama–sama kemudian berkembang menjadi suatu nilai yang membenarkan kebiasaan tersebut, lalu berujung dengan pembentukan karakteristik sosial budaya masyarakat. Di wilayah layanan keagamaan Kankemenag Kab. Belu, pendidikan yang rendah dapat mengarahkan masyarakat kepada pola kebiasaan yang destruktif seperti halnya perjudian. Kebiasaan ini kemudian menjadi melekat dalam kehidupan masyarakat dan berubah menjadi karakteristik sosial. Ada beberapa jenis perjudian yang marak dan masih banyak terjadi di Kec. Kakuluk Mesak, di antaranya: (1) Judi Bola Guling, judi ini menggunakan bola sekecil bola tenis. Peminat judi ini banyak dan berpindah-pindah tempat, di mana ada acara kematian. Mereka meminta izin kepada keluarga yang berkabung untuk melakukan perjudian. Apabila diizinkan, maka keluarga yang berkabung mendapat keuntungan apabila menang; (2) Judi Kupon Putih (SDSB) atau togel; (3) Judi Kuru-Kuru, yaitu sejenis permainan dadu, dan (4) Judi Adu Ayam. Besaran taruhan judi adu ayam ini bisa mencapai Rp. 100-500 juta. Dalam perjudian adu ayam 220
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
ini, ayam peserta diikat pisau pada jalunya, kemudian diadakan adu ayam sampai salah satu ayam lari atau mati. Biasanya perjudian jenis ini dilakukan pada hari minggu, dan tempatnya berpindah-pindah. Problem rendahnya pendidikan tidak hanya berimbas kepada maraknya perjudian, namun dapat pula berimbas pada kesadaran masyarakat dalam memelihara binatang peliharaannya tidak di dalam kandang. Persoalan binatang peliharaan yang dilepas bebas ini sangat rumit di daerah Kab. Belu dan Kab. Malaka. Persoalan pembiaran binatang piaraan di jalanan, dapat mencelakakan pengendara jika hewan tersebut tertabrak. Pemilik hewan tersebut tidak segan untuk meminta ganti rugi hal ini di luar akal sehat. Keempat hal tersebut, baik itu terkait sistem nilai, sistem kekerabatan, persoalan ekonomi, dan pendidikan dapat dijadikan tolok ukur strategi misi pelayanan. Sehingga wilayah perbatasan Kab. Belu dan Kab. Malaka dapat menjadi daerah perbatasan yang ideal, yang memiliki masyarakat unggul, beragama, toleran, dan memiliki kualitas sumberdaya manusia yang handal. Kebutuhan Masyarakat Keagamaan
Perbatasan
Terkait
Pelayanan
Setelah dilakukan analisis terhadap hasil wawancara dengan berbagi narasumber, pengamatan di lapangan dan catatan notulensi diskusi kelompok terarah, kebutuhan masyarakat perbatasan di Kab. Belu dapat dinventarisasi ke dalam beberapa hal, antara lain: (1) kebutuhan SDM Penyuluh Agama; (2) program kegiatan keagamaan dengan pendekatan pemberdayaan ekonomi; (3) pendidikan formal keagaman, dan (4) kebutuhan rumah ibadat. Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
221
1. Kebutuhan SDM Penyuluh Agama Dalam penelitian ini, dari berbagai diskusi dan wawancara mengemukakan suatu temuan bahwa penyuluhan agama merupakan salah satu bentuk pelayanan keagamaan yang paling banyak dibicarakan. Pembicaraan tentang kebutuhan tenaga penyuluhan agama ini meliputi tiga isu utama, yaitu: a) isu kuantitas atau jumlah tenaga penyuluh; b) kualitas atau kompetensi tenaga penyuluh agama, dan c) kerangka kerja dan modul kegiatan penyuluhan. a) Kebutuhan peningkatan jumlah tenaga penyuluh agama PNS Semua tokoh pemuka agama menyatakan hal yang sama tentang kurangnya jumlah tenaga penyuluh. Pada umumnya pernyataan para narasumber adalah berkisar pembandingan atau rasio antara jumlah tenaga penyuluh yang dibandingkan dengan jumlah kelompok layanan baik dalam bentuk masjid, gereja, pura, atau kelompok– kelompok binaan dan majelis taklim. Dalam penyuluhan agama Katolik, saat penelitian dilakukan di lingkungan Kankemenag Kab. Belu mempunyai 7 orang penyuluh agama yang berstatus PNS dan 76 penyuluh agama honorer. Hal itu tidak seimbang dengan jumlah rumah ibadat gereja di wilayah kerja Kankemenag Kab. Belu (12 kecamatan di Kab. Belu, dan 12 kecamatan di Kab. Malaka) yang harus dilayani oleh para penyuluh agama Katolik berjumlah 129 gereja. Dalam beberapa kesempatan dialog yang peneliti lakukan, setiap penyuluh agama Katolik memiliki pengalaman pembinaan umat beragama yang seragam. 222
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Penyuluh agama Katolik di Kankemenag Kab. Belu yang bertugas dalam lingkup Paroki, harus mendapatkan izin dari organisasi gereja di setiap paroki. Penyuluh Agama Katolik Elisabet Eliansyah Seran, menjelaskan bahwa dirinya ditempatkan di Paroki Katedral Kecamatan Kota Atambua yang memiliki jumlah 15 lingkungan. Elisabet sebagai Penyuluh Agama dalam kegiatan penyuluhannya bertindak dalam naungan kepengurusan di paroki. Terdapat tugas-tugas di Paroki Katedral yang diserahkan kepada seksi-seksi dalam DPP (Dewan Pastural Paroki), dimana penyuluh tidak bisa mengambil alih tugas tersebut. Untuk itu penyuluh Katolik Elisabet hanya dapat mengambil satu bidang organisasi gereja sebagai kelompok binaan, yaitu Legio Maria, satu Kelompok Umat Basis, dan satu kelompok anak-anak cacat. Kelompok binaan yang ada memiliki banyak tantangan, karena jumlah penyuluh dirasakan kurang. Apabila di suatu tempat penduduknya banyak, terdapat 20 kelompok binaan, adapun bagi daerah yang jarang jumlah penduduknya, terdapat 15 kelompok binaan. Penyuluh agama lebih menjalankan kegiatannya pada sore, dan malam hari, karena pagi harinya bertugas di kantor, dengan beban kerja administrasi. Perwakilan agamawan Katolik menyatakan bahwa setidaknya dibutuhkan 3 penyuluh untuk setiap Paroki. Di Kab. Belu, dan Kab. Malaka yang menjadi wilayah pelayanan Kankemenag Kab. Belu, terdapat 1 keuskupan, 34 paroki/gereja, 161 kapela, dan 76 stasi. Setiap paroki membina tiga kategori jama’ah, antara lain dewasa, muda– mudi dan anak–anak. Dengan pemetaan pengakuan
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
223
pemuka agama tentang kebutuhan tiga tenaga penyuluh di setiap paroki, kapela dan stasi, maka jumlah tenaga penyuluh agama Katolik yang dibutuhkan adalah 813 penyuluh (sesuai dengan Tabel 4.4). Pada Tabel 4.4 dapat dijelaskan bahwa menurut pemuka agama Katolik setempat, idealnya dalam setiap rumah ibadat memiliki tiga penyuluh agama. Untuk itu, apabila hal ini dipenuhi, jumlah penyuluh yang harus diberikan adalah sejumlah 813 (delapan ratus tiga belas penyuluh). Apabila jumlah ini dirasakan amat banyak, dapat pula diberikan masing-masing rumah ibadat 2 (dua) penyuluh sebesar 542 (lima ratus empat puluh dua). Jumlah ideal minimal apabila masing-masing rumah ibadah diberikan satu penyuluh honorer, maka pemerintah memberikan tenaga penyuluh honorer sebanyak 271 (dua ratus tujuh puluh satu) penyuluh. Saat ini jumlah penyuluh di lingkungan Kankemenag Kab. Belu berjumlah 76 penyuluh non PNS. Demikian juga dengan kebutuhan warga penganut agama Kristen tentang jumlah penyuluh mereka. Kristen adalah agama terbesar kedua di wilayah Kab. Belu, dan Kab. Malaka. Terdapat delapan aliran gereja yang tersebar di dua kabupaten di perbatasan ini, di antaranya: Gereja Gemit sebanyak 18 wilayah, Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) 8 wilayah, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) 4 wilayah, Gereja Bethel Indonesia (GBI) 9 wilayah, Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) 7 wilayah, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh 3 wilayah, Gereja 224
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Kemah Injil Indonesia 2 wilayah, dan Gereja Kristen Timor di Timor Barat (GKTT) sebanyak 2 wilayah.41 Jumlah penyuluh PNS pada Seki Urusan Agama Kristen sebanyak 2 (dua) orang, adapun penyuluh honorer agama Kristen hanya 6 (enam) orang. Jumlah penyuluh honorer (non PNS) ini memiliki penurunan dari tahun ke tahun, dari 100 penyuluh honorer, menjadi 30, dan 6 penyuluh. Fenomena penurunan jumlah penyuluh honorer ini dirasa berat oleh Seksi Urusan Agama Kristen, mengingat cakupan wilayah pelayanan mencapai 17 wilayah, dengan 82 gereja, dan pemeluk agama sebanyak 25.055 jiwa. Menurut pemuka agama Kristen, idealnya, jumlah penyuluh pada agama Kristen di Kab. Belu di sesuaikan dengan jumlah gereja yang ada, yaitu sebanyak 82 gereja dengan masing-masing gereja diberikan 3 (tiga) penyuluh honorer. Bahkan menurut Stefanus Boisal dalam diskusi pada acara FGD, penyuluh honorer tersebut tidak hanya mewakili pendeta, dan guru agama semata, bisa juga diambil dari kalangan pemuda dan perempuan. Dalam bidang penyuluhan Agama Islam, saat ini penyuluh agama Islam di Kankemenag Kab. Belu hanya 1 (satu) orang yang berstatus PNS, dan 7 (tujuh) orang berstatus honorer. Berdasarkan informasi dari Ibu Suryanti seorang pengurus majelis taklim di Kota Atambua, diketahui bahwa penyuluh agama Islam harus melayani kegiatan keagamaan di 13 masjid di Kab. Belu. Diantara masjid–masjid tersebut, terdapat 6 (enam) majelis taklim di Wawancara dengan Kepala Seksi Bimas Kristen, Seprianus Ratu Dabbo, S. Th pada tanggal 14 April 2014 Pukul 19.00 WIB 41
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
225
Kota Atambua, dan dua majelis taklim di luar Kota Atambua yakni di Tobir. Para pengurus majelis ta’lim yang diwawancarai oleh peneliti meminta minimalnya satu masjid disediakan satu penyuluh. Sedangkan pembicaraan mengenai kebutuhan tenaga penyuluh agama Hindu di Kab. Belu, terungkap pada pertemuan antara peneliti dengan tokoh–tokoh pemuka agama Hindu. Pertemuan tersebut memberikan gambaran bahwa perlu adanya perhatian yang lebih dari pemerintah terkait pembinaan agama Hindu di perbatasan. I Made Sujana, seorang perwira TNI yang bertugas di Tobir, dan memimpin kelompok penganut Hindu di sana menyampaikan bahwa setidaknya saat ini ada 150 anggota TNI di Belu yang bergama Hindu, apabila ditambah dengan anggota keluarga maka mencapai 200 orang. Lebih lanjut I Made Warna menyampikan bahwa jumlah itu jika ditambah masyarakat sipil dan anggota polisi akan mencapai 350 jiwa penganut agama Hindu di perbatasan, di Kab. Belu. Seluruh pemeluk agama Hindu tersebut hanya dibina oleh seorang Penyuluh Agama yang merangkap tenaga administrasi. Kebutuhan jumlah tenaga penyuluh agama di Kab. Belu tidak hanya persoalan penambahan personil saja, namun juga terkait dengan keterjangkauan akses layanan yang diberikan oleh para penyuluh agama tersebut. Diharapkan dengan bertambahnya jumlah tenaga penyuluh agama, maka bertambah luas pula jangkauan layanan penyuluhan agama di wilayah pelayanan keagamaan Kankemenag Kab. Belu.
226
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
b) Kebutuhan peningkatan kapasitas dan komptensi tenaga penyuluh agama Selain persoalan jumlah tenaga yang terbatas, kebutuhan masyarakat Belu terhadap SDM Penyuluh agama juga terkait dengan kapasitas dan kompetensi para penyuluh agama itu sendiri. Dekky Hermawan, penyuluh Agama Katolik juga menjelaskan bahwa penyuluh Agama Katolik yang tergabung dalam Kelompok Kerja Penyuluh (Pokjaluh). Pokjaluh dibentuk pada tahun 2011 mempunyai beberapa permasalahan, yaitu terkait keahlian penyuluh yang kurang memadai, karena bukan berlatar belakang agama. Penyuluh yang ada lebih banyak karena impassing, pelimpahan dari pejabat eselon lima yang tidak memiliki ketrampilan sebagai penyuluh. Ditambah lagi dengan persoalan penyuluh diperbantukan untuk mengerjakan administrasi kantor dengan alasan masih kekurangan tenaga administrasi. Selain itu penyuluh di kelompok binaannya kurang mendapat tempat yang semestinya, sehingga pelayanan kurang maksimal. Umat merasa lebih memperhatikan kepasturan, daripada oleh penyuluh sendiri. Persoalan mengenai kapasitas penyuluh ini dikuatkan oleh Abdurrahman (Pengurus MUI Belu), bahwa kapasitas para penyuluh agama Islam pun harus lebih ditingkatkan. Penyuluh perlu menambah kemampuan menyampaikan materi–materi yang tidak hanya masalah keakhiratan tapi juga pembekalan dunia seperti politik, budaya maupun kewirausahaan dan pemberdayaan masyarakat.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
227
c) Perlunya kerangka kerja dan modul penyuluh yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Berdasarkan temuan yang didapatkan dengan para penyuluh agama dan para pemuka agama Kab. Belu dapat digambarkan bahwa para penyuluh agama mencoba mengembangkan berbagai materi penyuluhan secara mandiri namun tetap berkoordinasi dengan organisasi keagamaan terkait. Terkait pemberian materi dalam penyuluhan keagamaan di paroki, materi yang disampaikan disesuaikan dengan kondisi yang ada di gereja tersebut. Di agama Katolik ada bacaan injil untuk hari dan tanggal tertentu. Bacaan injil tersebut dibawakan dapat melalui metode renungan, bagi orang tua dapat dibawakan dengan doa, anak-anak dengan menyanyi, dan dapat pula diselingi dengan materi wawasan sosial kemasyarakatan. Lebih lanjut Elisabet menjelaskan bahwa kewenangan penyuluh agama Katolik hanya bisa di tingkat Kelompok Umat Basis (KUB), itupun dengan persetujuan Dewan Pastural Paroki (DPP), penyuluh harus meminta izin kepada organisasi gereja, ada tidaknya umat binaan. Apabila diperbolehkan, maka dijalankan program penyuluhan. Demikian juga dengan penyuluhan agama Islam. Sri Handayana, penyuluh agama Islam menyampaikan bahwa materi yang disampaikan dalam pembinaan adalah iqra’, atau membaca Al-Qur’an sebagai program menghapus buta aksara membaca al Qur’an. Adapun dalam penyuluhan keagamaan, penyajian materi dilakukan dengan metode ceramah. Dalam berbagai wawancara dan diskusi dengan para tokoh agama di MUI, perwakilan majelis taklim dan 228
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
perwakilan tokoh agama Hindu, ada berbagai harapan agar materi–materi yang disampaikan para penyuluh agama dapat disusun dengan baik berdasarkan kebutuhan umat. Hal tersebut dapat menjawab berbagai persoalan tentang rendahnya partisipasi masyarakat yang terkait dengan persoalan sosial, pendidikan dan ekonomi. Penyusunan materi tersebut dapat dirumuskan dalam suatu kerangka kerja dan modul penyuluhan. Kerangka kerja dan modul penyuluhan tersebut harus didasarkan pada kebutuhan khas masyarakat perbatasan. Kebutuhan yang diidentifikasikan berdasarkan situasi sosial, pendidikan, budaya dan ekonomi masyarakat perbatasan. Kerangka Kerja dan modul tersebut harus membentuk masyarakat di kawasan perbatasan yang memiliki kecintaan dan nasionalisme yang tinggi terhadap bangsa Indonesia, disamping juga meningkatkan kualitas kehidupan mereka menjadi warga yang cerdas dan maju secara ekonomi serta sejahtera. 2. Program Kegiatan Keagamaan Pemberdayaan Ekonomi
dengan
Pendekatan
Realitas yang umum ditemui dalam observasi, wawancara dan diskusi kelompok terarah adalah gambaran realitas masyarakat di kawasan perbatasan yang lemah secara ekonomi. Pengamatan yang dilakukan peneliti terhadap tempat tinggal warga dan wawancara dengan beberapa warga yang berprofesi sebagai nelayan di Kolam Susuk, dan warga yang berjualan buah–buahan hasil tani di pinggir jalan antara Atambua dan Kolam Susuk, menggambarkan lemahnya kesejahteraan masyaraat sebagai akibat rendahnya pendapatan masyarakat. Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
229
Kemiskinan tidak hanya menjadi gambaran kesulitan masyarakat tapi juga menjadi tantangan yang berat dalam kegiatan penyuluhan keagamaan. Dalam dialog dengan para penyuluh agama Katolik, Kristen, Islam dan Hindu. Dekky Darmawan, Maria Rossa, keduanya adalah penyuluh agama Katolik, mereka menyatakan bahwa faktor yang sangat mempengaruhi kendala peyuluhan agama di masyarakat adalah masalah ekonomi. Sebuah program yang mengaitkan antara masalah ekonomi masyarakat dengan penyuluhan agama adalah program yang diberikan dari Kankemenag Kab. Belu untuk majelis taklim. Hal tersebut terungkap dalam wawancara dan diskusi yang dilakukan peneliti di Masjid An-Nur dengan dihadiri 14 orang perwakilan dari 3 majelis taklim (An-Nur, Husnul Khatimah dan Sakinah). Ibu Suryati, pengurus Majelis Taklim An-Nur menyatakan bahwa pada tahun 2007 telah ada bantuan dana bergulir (pinjaman modal usaha) dari Kankemenag Kab. Belu kepada majelis taklim sebesar Rp. 5.000.000,-. Bantun pada tahun–tahun berikutnya bersumber dari BAZ Prov. Nusa Tenggara Timur berupa program prasakinah. Pada tahun 2011 bantuan program prasakinah sebesar Rp. 5.000.000,yang dibagikan kepada 10 orang jama’ah. Pada tahun 2012, program prasakinah sebesar Rp 5.000.000,- yang dibagikan kepada 10 orang jama’ah. Pada tahun 2013 bantuan prasakinah swebesar Rp 15.000.000,- disalurkan kepada 3 majelis taklim. Ibu Suryanti menyampaikan bahwa persoalan yang terkait dengan bantuan prasakinah adalah persoalan jumlah bantuan yang tidak efektif sebagai modal usaha. 230
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Uang sebesar Rp. 5 juta dibagi untuk 10 orang, maka masing-masing warga mendapat bantuan Rp. 500 ribu rupiah, sehingga tiap warga mendapat modal Rp. 500,ribu rupiah yang tidak cukup sebagai modal, tapi lebih mirip sebagai santunan. Berbagai pendapat yang tercurah dalam wawancara tersebut menunjukkan bahwa program pemberdayaan ekonomi merupakan bentuk pelayanan keagamaan yang sangat dibutuhkan. Dana bantuan yang ada diharapkan memang sesuai dengan peruntukannya berupa bantuan modal usaha, sehingga diperlukan jumlah yang memadai sebagai modal, bukan sekedar santunan. Selain besaran paket yang memadai sebagai modal, kebutuhannya adalah jumlah paket yang disediakan, sehinga program ini dapat lebih banyak lagi menjangkau kaum dhu’afa yang ada. Kebutuhan akan program pemberdayaan ekonomi sebagai pelayanan keagamaan tidak hanya terkait kondisi umat yang memang berekonomi lemah. Diperlukan program khusus untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan keagamaan, namun kebutuhan akan program ini juga terkait dengan kondisi khas daerah Belu yang berbatasan dengan Timor Leste. Bu Siti Nurbaya menyatakan, bahwa para anggota majelis taklim sepakat untuk menyalurkan modal usaha itu kepada kaum dhu’afa, yang kebetulan penerima bantuan itu adalah ex pengungsi dari Timor Timur. Kebutuhan akan program pembedayaan ekonomi dalam pelayanan keagamaan tidak hanya menjadi kebutuhan pelayanan keagamaan Islam, namun juga dibutuhkan oleh umat beragama lainnya. Hal itu Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
231
diungkapkan oleh Elisabeth Seran ketika mendengarkan paparan tentang program keluarga sakinah yang disampaikan oleh Sri Handayana (penyuluh agama Islam) pada pertemuan antara peneliti dengan para penyuluh agama di Kankemenag Kab. Belu. Beliau menyatakan “coba kalo di kami ada yang seperti itu”. Pernyataan tersebut menujukkan bahwa untuk sementara ini Kankemenag Kab. Belu baru menurunkan program prasakinah melalui majelis taklim saja. Maka diperlukan peningkatan program–program pemberdayaan ekonomi masyarakat yang disalurkan dan dikelola melalui kelompok agama masyarakat (misalnya: paroki, gereja, majelis taklim). 3. Pendidikan Formal Keagamaan Sebagaimana yang digambarkan dalam bagian terdahulu, bahwa salah satu masalah yang dihadapi dalam pelayanan keagamaan oleh Kankemenag Kab. Belu adalah rendahnya pendidikan di masyarakat. Hal ini berakibat pada rendahnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan keagamaan dan berujung pada rendahnya kualitas hidup secara sosial dan budaya. Berdasarkan situasi itu, maka pelayanan keagamaan di daerah perbatasan juga dituntut untuk bisa memberikan kontribusi terhadap peningkatan kecerdasan hidup warga masyarakat. Pelayanan keagamaan harus memiliki dampak meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat. Salah satu bentuk upaya pelayanan keagamaan dalam meningkatkan kecerdasan hidup masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan formal lembaga 232
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
keagamaan. Pendidikan formal keagamaan dapat diselenggarakan oleh Kankemenag Kab. Belu maupun oleh organisasi keagamaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Kankemenag Kab. Belu dapat diketahui bahwa pendidikan formal keagamaan hanya diselenggarakan oleh beberapa yayasan Islam antara lain: SMP Islam Al Muhajirin, Madrasah Tsnawiyah Mutmainnah, MI Al Islamiyah, MI Hidayatullah dan MI Alqadar (Malaka Tengah). Sampai dengan penelitian ini dilakasanakan Kab. Belu belum terdapat lembaga pendidikan formal keagamaan Katolik dan Kristen. Berdasarkan gambaran tersebut, maka diperlukan upaya pelayanan keagamaan di Kab. Belu yang berwujud penyelenggaraan sekolah formal keagamaan. Juga bias berbentuk bantuan kepada organisasi keagamaan untuk menyelenggarakan pendidikan formal keagamaan. 4. Kebutuhan Rumah Ibadat Setelah tim peneliti melakukan observasi dan wawancara di daerah kawasan perbatasan, peneliti masih mendapati pembangunan rumah ibadat masih menjadi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan baik karena ketiadaan rumah ibadat maupun pengembangan atau renovasi rumah ibadat untuk pelayanan keagamaan yang dilakukan di rumah ibadat yang terus berkembang jumlah umatnya. Ketiadaan rumah ibadat terjadi di beberapa bagian terluar kawasan perbatasan. Hal tersebut dinyatakan oleh Kapten Prabawa, seorang Komandan Kompi Pasukan Penjaga Perbatasan dari Kodam Udayana, bahwa para Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
233
petugas perbatasan mendapat kesulitan untuk beribadah di pos-pos perbatasan karena ketiadaan rumah ibadat. Masalah ketiadaan rumah ibadat juga dirasakan oleh para penganut agama Hindu. Hal tersebut terungkap dalam pertemuan antara tim peneliti dengan para tokoh pemuka agama Hindu antara lain I Made Wayan Sujana (Ketua Banjar Tobir), I Wayan Merta (Ketua Banjar Atambua) , I Wayan Sumada (Pinanditha), I Made Warna (Ketua Bidang Pendidikan Pura Atambunata), dan I Made Balik (Perwakilan Hindu di Forum Pembauran Kebangsaan Belu). Hingga saat ini umat Hindu masih beribadah di Pura Atambuanata yang berada di komplek militer Kab. Belu. Pura Atambuanata sendiri dibangun di atas tanah milik Kodim Belu, dibangun secara swadaya. Pura Atambuanata pernah mendapatkan bantuan untuk pembangunan rumah ibadah dari Kementerian Agama RI sebesar Rp 30.000.000.-. Terkait dengan isu bantuan pembanguan rumah ibadat, para tokoh agama menyampaikan kebutuhan akan adanya pura milik warga umum. Dimana pura yang ada saat ini digunakan adalah milik Kodim, yang diberikan hak pakai untuk umat Hindu. Hal lain yang terkait dengan kebutuhan rumah ibadat adalah kualitas, kapasitas dan kondisi rumah ibadat yang ada. Beberapa rumah ibadat telah dibangun sejak lama dan sudah tidak lagi dapat memenuhi pelayanan bagi warga jema’atnya atau bangunannya telah terlalu tua dan rusak.
234
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Hal tersebut dikemukanakan oleh Lazamudin, pengurus DKM Alfalah di Desa Kletek, di Kab. Malaka, salah satu desa terluar kawasan perbatasan RI–Timor Leste, menyatakan bahwa bantuan fisik bangunan masjid pernah diterima pada tahun 1987. Sampai saat ini tidak pernah ada lagi bantuan pemerintah terkait dengan bangunan fisik masjid. Warga muslim jamaah masjid menyatakan memerlukan bantuan pembangunan untuk renovasi masjid terutama untuk pagar masjid. Hal serupa juga disampaikan oleh Marcelinus Seran, Pengurus Stasi Desa Suai, Malaka Tengah, saat tim peneliti datang, tengah dilakukan renovasi kapela berupa pemasangan keramik di teras. Stasi merupakan lembaga pengelola kapela, Stasi Desa Suai dan Kletek melayani 4 lingkungan yang membawahi seluruhnya 42 Kelompok Umat Basis, dengan jumlah jamaat sebanyak 500 Kepala Keluarga. Stasi telah mendapatkan bantuan pemerintah berupa biaya renovasi kapela sebesar Rp. 10.000.000,-. Prosedur pengajuan dilakukan dengan menyusun proposal, meminta rekomendasi dari paroki. Proposal diajukan ke Kankemenag Kab. Belu di Atambua, kemudian proses realisasi bantuan memerlukan waktu tiga bulan. Stasi Suai dan Kletek memerlukan pengembangan bangunan agar statusnya dinaikan menjadi paroki, sehingga bisa memiliki pastor sendiri yang melayani umat secara penuh waktu. Jumlah lingkungan dan Kelompok Umat Basis telah memenuhi kriteria untuk pengembangan menjadi paroki, namun terhambat oleh permasalahan fasilitas. Stasi Suai dan Keltek baru memiliki kapela yang Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
235
belum dilengkapi dengan rumah pastor dan ruang persiapan ibadah. Untuk itu masih memerlukan bantuan fisik.
236
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kehidupan umat beragama di Kab. Belu dan Kab. Malaka berjalan penuh toleransi, rukun, dan dalam keadaan kondusif. Ada beberapa wilayah yang dapat dijadikan contoh kerukunan antar umat beragama, seperti halnya di Desa Kletek dan Desa Suai yang mana antara komunitas Muslim, Katolik, dan Kristen hidup penuh dengan kekeluargaan karena saling terkait kekerabatan. 2. Pelayanan agama yang dilakukan Kankemenag Kab. Belu cukup dirasakan oleh masyarakat. Namun terdapat kebutuhan yang perlu dilengakapi, yaitu: penambahan jumlah penyuluh untuk masing-masing agama; sistem seleksi penyuluh harus berkoordinasi dengan pemuka agama; penambahan dana operasional yang memadai untuk melaksanakan kegiatan kepenyuluhan, dan pendataan umat; penambahan bantuan dana untuk renovasi dan pembangunan rumah ibadat, serta anggaran untuk memberikan pelatihan dan keterampilan kepada masyarakat dalam mewujudkan keluarga sejahtera. Khusus untuk agama: Hindu, Buddha, dan Konghucu untuk pelayanan umat perlu adanya seksi khusus dalam struktur organisasi Kankemenag Kab. Belu. 3. Pelayanan Keagamaan Kankemenag Kab. Belu masih mengalami beberapa permasalahan antara lain masalah internal, yaitu berupa terbatasnya anggaran pada Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
237
kegiatan operasinal rutin bukan untuk penyelenggaraan kegiatan atau program. Masalah eksternal berupa lemahnya ekonomi masyarakat, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat dan masalah keamanan. 4. Karakterstik masyarakat Kab. Belu dan Kab. Malaka sebagai sasaran layanan keagamaan Kankemenag Kab. Belu sangat dipengaruhi oleh beberapa aspek, di antaranya sistem nilai, sistem kekerabatan, kondisi lingkungan, persoalan ekonomi, dan pendidikan. 5. Masyarakat masih membutuhkan pengembangan pelayanan agama berupa peningkatan jumlah dan kapasitas tenaga penyuluh, program pelayanan keagamaan dengan pendekatan pemberdayaan ekonomi, penyelenggaraan pendidikan formal keagamaan dan pembangunan rumah ibadat. Saran-saran Berdasarkan temuan lapangan, analisis dan penarikan kesimpulan dalam penelitian ini, maka penelitian ini dapat memberikan beberapa saran sebagai rekomendasi antara lain : 1. Pelayanan keagamaan idealnya dilakukan bersamaan dengan peningkatan pembangunan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, serta dibentuk unit khusus di Kankemenag Kab. Belu untuk menangani pelayanan keagamaan di kecamatan terluar. 2. Strategi dan misi dalam meberikan pelayanan keagamaan harus melihat beberapa aspek di antaranya sistem nilai, sistem kekerabatan, kondisi lingkungan, persoalan ekonomi, dan pendidikan. 238
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
3. Perlunya peningkatan kuantitas dan kapasitas tenaga penyuluh agama. 4. Perlunya menyelenggrakan program pelayanan keagamaan dengan pendekatan pemberdayaan ekonomi umat untuk semua agama. 5. Perlunya adanya sekolah/lembaga pendidikan formal keagamaan sebagai bentuk pelayanan keagamaan yang menjadi bagian dari upaya peningkatan kualitas pendidikan pada masyarakat. 6. Perlu dibangun sarana rumah ibadat dan sarana penunjangnya yang layak dan memiliki efek sosial di kecamatan terluar.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
239
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. (1995) Privatisasi Agama: Globalisasi atau Melemahnya Referens Budaya Lokal?. Makalah seminar, Balai Kajian sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 9 November 1995. Appadurai, Arjun. (1991) “Introduction: Commodities and the Politics of Value” dalam Arjun Appadurai (ed.), The Social Life Things. Cambridge: Cambridge University Press. Baker, Chris. (2000), Cultural Studies: Theory and Practice. London: sage Publication. Baudrillard, Jean. (1983), Simulation. New York: Semiotext(e). Berger, Peter L dan Thomas Luckmann, (1990), Tafsir Sosial Atas kenyataan, Jakarta : LP3ES. Beyer, Peter. (1991) “Privatization dan Public Inflence of Religion in Global Society” dalam Mike Featherstone (ed.), Global Culture: Nationalism, Globalization and Modernity. London: sage Publication. Bungin, Burhan. (2006). Sosiologi Komunikasi : Teori, paradigma dan Diskurus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta : Kencana. Ewen, Stuart. (1990), “Marketing Dreams: The Political Element of Style”, dalam Alan Tomlison (ed.,), Consumption Identity and Style: Marketing Meanings
240
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
and the Packaging of Pleasure. London NewYork: Routledge. Featherstone, Mike. (1991), Globalization, and Publications.
Global Culture: Nationalism, Modernity. London: Sage
Lyotard, Jean-François. (2004) Posmodernisme: Krisis dan Masa Depan Pengetahuan, Yogyakarta: Teraju Martono, Nanang, (2011), Sosiologi Peubahan Sosial, Jakarta : Widiastono, Tonny D., (2004), Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Buku Kompas.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
241
EPILOG Bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam pembukaan UndangUndang Dasar Tahun 1945 menganut sistem: 1. Pengaturan suatu Pemerintahan negara indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia; 2. Pemamfaatan bumi,air,dan udara serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; 3. Kesejahtraan bagi seluruh rakyat indonesia, Untuk merealisasikan maksud Undang-Undang Dasar tersebut dibutuhkan pengaturan-pengaturan untuk mendapatkan kepastian hukum,artinya pengaturan yang di bangun memberikan mamfaat bagi peningkatan kesejahtraan masyarakat yang tinggal di wilayah Negara dan khususnya perbatasan.Peran Pemerintah dan Pemerintah daerah sangat penting terkait dengan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah dalam pengelolaan pembangunan kawasan perbatasan,yang disuaikan dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat perbatasan. Eksitensi masyarakat perbatasan dengan kondisi sosial budayanya memiliki peranan penting dalam menjaga idiologi negara dan wawasan kebangsaan,dengan kondisi sosial,ekonomi dan politik yang kurang menguntungkan dalam menghadapi tantangan kemiskinana,cendrung membawa masyarakat terjebak kedalam idiologi negara tetangga yang mereka rasakan membawa kesejahtraan yang 242
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
akhirnya mreka menutup diri terhadap idiologi bangsa sendiri yang kurang berpengaruh terhadap pemenuhan kehidupan mereka.Sebetulnya jika pemerintahan berada ditengah-tengah masyarakat, keterjebakan pada idiologi negara tetangga seharusnya tidak prlu terjadi, guna mengatasi hal demikian dinamika sosial harus digalakkan untuk membangkitkan semangat berusaha memenuhi kebutuhan hidup dan agama sebagai pemenuhan terhadap pembenaran pilihan strategis. Dengan mengacu kepada konsep keagamaan, masyarakat akan dapat mengembangkan pilihan strategis untuk keharmonisan hubungan sosial dalam masyarakat perbatasan, dan mampu mengembangkan kreativitas menghadapi tantangan hidup yang tidak terpengaruh dengan perbedaan agama yang mereka anut,sehingga agama berfungsi sebagai perekat antar umat beragama yang penuh pengertian dan toleran di tengah-tengah masyarakat perbatasan.sebaliknya harus dipahami bahwa disatu sisi dengan kesiapan sarana dan prasana pelayanan yang minim,seperti yang dihasilkan dalam penelitian ini,akan mengakibatkan kemunduran dalam pemahaman agama masyarakat.Upaya-upaya persuasif perlu dilakukan dalam bentuk pendidikan, pelayanan dan ceramahceramah agama,dilain pihak upaya represif dengan penegakan hukum bagi mereka yang melanggar dan mengarah kepada tindahan kriminal Semoga hasil penelitian ini akan dapat memberikan arah dan sebagai acuan dalam peningkatan pelayana umat beragama di wilayah perbatasan Dr. Ir. Suhatmansyah, M.Si Dosen IPDN Kementerian Dalam Negeri Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
243
INDEKS
B Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), 9, 16 balai nikah, 105, 196 bounded system, 2
E eksistensi, 155 Entikong, 6, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 105, 106, 107
F FKUB, 20, 46, 48, 92, 108, 118, 119, 132, 133, 134, 158, 164, 165, 168, 197, 203
I Iban, 9, 72, 74, 100
K Kab. Belu, 5, 7, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 181, 183, 184, 185, 186, 188, 189, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 221, 222, 223,
244
224, 225, 226, 227, 229, 231, 233, 234, 235, 236, 238, 239 Kab. Karimun, 5, 22, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 35, 36, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 48, 52, 53, 54, 55, 57, 59, 61, 62, 63, 65, 135 Kab. Nunukan, 5, 7, 12, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 143, 144, 146, 147, 148, 149, 150, 152, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 162, 163, 164, 165, 166, 167,168 Kab. Sanggau, 5, 6, 68, 70, 71, 73, 74, 75, 76, 81, 82, 85, 86, 88, 90, 91, 92, 95, 96, 101, 102, 103, 107 kawasan terluar, 212 Kelompok Kerja Penyuluh (Pokjaluh), 187, 228 KUA, 14, 20, 27, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 41, 43, 60, 62, 76, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 105, 106, 107, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 136, 139, 141, 142, 143, 147, 150, 151, 163, 165, 166, 181, 182, 183, 195, 196, 206
M MUI, 34, 43, 44, 196, 228, 230, 249
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
P Paroki, 98, 100, 185, 186, 188, 224, 225, 229 pelayanan keagamaan, 4, 5, 7, 8, 9, 14, 15, 19, 27, 29, 33, 54, 60, 61, 62, 84, 85, 86, 88, 92, 96, 106, 107, 135, 147, 162, 164, 181, 183, 188, 203, 204, 205, 206, 208, 211, 212, 213, 216, 217, 218, 219, 220, 223, 228, 232, 233, 234, 239, 240 penyuluh agama, 15, 35, 39, 57, 58, 92, 95, 96, 97, 98, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 124, 152, 157, 164, 165, 176, 184, 185, 186, 188, 193, 198, 200,
201, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 211, 219, 223, 224, 225, 227, 228, 229, 230, 231, 233, 240 physical presence, 1, 2, 4, 18 Pulau Nunukan, 111, 113, 116, 117, 146, 150 Pulau Parit, 50, 51 Pulau Sebatik, 11, 108, 111, 116, 117, 167
R Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), 6, 73
S siri, 89, 144, 145, 162, 163
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
245
BIODATA EDITOR Nama lengkap penulis Drs. H. Zaenal Abidin, M.Si, lahir di Ponorogo 4 Agustus 1963, pendidikan formalnya adalah SDN, SMPN2 dan SMAN2 di Ponorogo. Menempuh S1 Jurusan Administrasi Negara, FISIP, Universitas Diponegoro, Semarang lulus tahun 1989. Melanjutkan S2 di Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta lulus tahun 2001. Penulis sejak tahun 1993 bekerja di Kementerian Agama RI dan mulai tahun 2008 menjadi peneliti di Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI. Penulis telah menulis beberapa karya tulis antara lain buku:Profil Paham dan Gerakan Keagamaan: Wahdah Islamiyah di Makassar, 2009; Dinamika Kehidupan Keagamaan di Era Reformasi: Studi Kasus tentang Penetapan Kuota Haji Kab./Kota di Provinsi Jawa Barat, 2010; Aliran/Faham Keagamaan dan Sufisme Perkotaan: Studi tentang Jamiyyatul Islamiyah Pasca Muktamar Luar Biasa di Kab. Kerinci, Provinsi Jambi, 2009; Keluarga Harmoni dalam Perspektif Berbagai Komunitas Agama di Manado, 2011; Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Perspektif Hukum dan Perundang-undangan (editor), 2012; semua diterbitkan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI. Karya tulis dalam bentuk makalah dimuat di Jurnal Multikultural dan Multireligius“Harmoni”: Tindakan Anarkis Terhadap Kelompok Salafi di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat 2009; Membangun Harmoni melalui Kebersamaan: Studi Kasus Dampak Sosial Penentuan 246
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
Awal Ramadhan dan 1 Syawal terhadap Umat Islam di Kota Padang, 2012; Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan (Studi tentang Perkawinan dibawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kab. Bangkalan), 2013. Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan “Dialog”: Eksistensi Agama Sikh di Jabodetabek, 2015.
Pelayanan Keagamaan Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia
247