BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Masyarakat perbatasan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam membayangkan nasionalisme itu secara ‘khas’ dan berbeda dengan masyarakat yang berada di kawasan non-perbatasan di Indonesia. Masyarakat perbatasan dalam membayangkan nasionalisme tidak bisa dilepaskan dari pertalian atau kedekatan budaya dengan masyarakat dari negara tetangga Singapura dan Malaysia. Selain ikatan dan kedekatan budaya, masyarakat perbatasan juga mesti berhadapan dengan kondisi perekonomian atau relasi ekonomi yang cenderung masih didominasi oleh dua negara tetangga tadi, Singapura dan Malaysia. Dalam hal pertalian atau kedekatakan budaya, dalam membayangkan nasionalisme terhadap Indonesia, masyarakat perbatasan tidak bisa dilepaskan dari Melayu sebagai simpul pengikat secara sosial dan budaya yang sudah menyejarah sejak berabad silam di kawasan perbatasan ini. Melayu dan kemelayuan menjadi raison d’etre bagi masyarakat perbatasan untuk mendefinisikan diri mereka secara sosial dan politik yang berelasi dengan banyak hal dan kepentingan yang sifatnya tidak saja domestik tapi juga lintas-negara. Melayu tersebar pada tiga kawasan tersebut yang berbeda sama sekali secara geopolitik. Orang Melayu yang berada di Pulau Penawar Rindu merupakan warga negara Indonesia, yang berinteraksi secara intens dengan sesama orang Melayu
1
yang merupakan warga negara dari Singapura dan Malaysia. Selain interaksi, masyarakat perbatasan juga melakukan mobilitas yang cukup tinggi ke negara tetangga, seperti masih memiliki ikatan kerabat di negeri seberang. Kondisi seperti ini sudah dipraktikkan sejak masa lalu ketika hubungan Indonesia dengan Malaysia dalam keadaan mesra dan hangat (pra-konfrontasi dengan Malaysia). Pun jika ingin membingkainya dalam perspektif sejarah, sejak zaman Kesultanan Malaka pada abad 14-15, masyarakat di tiga kawasan ini sudah berbaur dan terbuka dengan berbagai perbedaan etnis dan agama. Sementara itu, dalam hal relasi ekonomi, masyarakat perbatasan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam sangat bergantung kepada Singapura dan Malaysia. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari mulai dari kebutuhan primer maupun tersier pada umumnya disediakan atau didatangkan dari Singapura dan Malaysia. Hal ini dikarenakan oleh kondisi dan kebijakan pemerintah daerah tentang Batam sebagai pelabuhan bebas dan kawasan ekonomi bebas. Masyarakat perbatasan sebenarnya bisa mengkonsumsi barang-barang yang diproduksi oleh industri dalam negeri. Jika pusat perindustrian Indonesia masih terpusat di Pulau Jawa maka biaya distribusi produk tersebut untuk sampai ke Belakang Padang cukuplah tinggi, dan sudah bisa dipastikan harga barang-barang tersebut melambung lebih tinggi ketika sampai di Pulau Penawar Rindu. Tentu saja kondisi ini memberatkan masyarakat perbatasan. Oleh karena itu, untuk mengatasinya masyarakat perbatasan lebih memilih mengkonsumsi produkproduk keluaran Singapura dan Malaysia karena memang lebih murah ketika dibandingkan dengan produk serupa yang didatangkan dari Jakarta. Praktik jual
2
beli atau barter antar-negara yang dilakukan oleh masyarakat perbatasan bukanlah sesuatu yang baru. Hal ini sudah terjadi sejak masa lalu di mana sekat-sekat teritori atau batas negara tidak menjadi penghalang bagi masyarakat perbatasan berinteraksi dengan negara tetangga. Hal lainnya ialah, penetapan Batam sebagai kawasan pelabuhan bebas dan ekonomi bebas, yang berimplikasi terhadap semakin luasnya produk-produk dari negara Singapura dan Malaysia beredar di Belakang Padang atau Kepulauan Riau secara umum. Proses pembayangan nasionalisme pada masyarakat perbatasan tidak bisa dilepaskan dari faktor sejarah masa lampau di mana Melayu pernah menjadi identitas bersama pada tiga kawasan besar: Kepulauan Riau di Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Meski kemudian dipisahkan oleh tiga negara, bersetia kepada Melayu sebagai identitas bersama masih terjadi. Pertalian dan kedekatan bersama di bawah payung Melayu mengalahkan kekuatan ideologi negara dan teritori yang memisahkan masyarakat perbatasan, baik Indonesia, Singapura maupun Malaysia. Pengalaman sejarah dan pengalaman kultural bersama inilah yang kemudian memberikan warna, corak, atau kekhasan tersendiri bagi masyarakat perbatasan ketika membayangkan atau mendefiniskan nasionalisme tersebut. Pembacaan lain, bayangan nasionalisme masyarakat perbatasan mengalami semacam ambiguitas dengan kontradiksi-kontradiksinya. Satu sisi sangat cinta pada Indonesia, di sisi lain juga ingin menjadi bagian Singapura atau Malaysia. Keinginan untuk menjadi bagian dari Singapura atau Malaysia tetap ada tapi hanya sebatas persoalan kesejahteraan dan bayangan akan kerlap-kerlip 3
kemodernan Singapura daripada Kota Batam yang tampak lebih sendu dan gelap. Di balik sikap yang mendua tadi, rasa nasionalisme itu dijelaskan melebihi dari sekadar pemenuhan kebutuhan ekonomi yang memang ditopang oleh negara tetangga. Masyarakat perbatasan mengaku mencintai dan membela Indonesia dengan kondisi yang ‘terbelah’, karena pada saat yang bersamaan juga beririsan dengan kemelayuan yang sifatnya lintas negara. 5.2
Saran
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, penelitian tentang bayangan identitas nasionalisme masyarakat perbatasan hanya melingkupi mencakup satu kawasan masyarakat kecil yakni Pulau Penawar Rindu di Kecamatan Belakang Padang, di antara ratusan pulau di yang ada di sekitar Pulau Batam. Sementara itu, masih ada banyak pulau kecil yang didiami oleh masyarakat di perbatasan yang berpotensi besar untuk diteliti dengan tema serupa. Kedua, keterbatasan akses guna menjumpai masyarakat dengan komunitas kecil yang tersebar di pulau-pulau kecil di sekitar kawasan perbatasan di Pulau Batam. Keterbatasan akses ini disebabkan oleh minimnya transportasi laut komersial datang dan pergi ke pulau-pulau kecil tersebut. Ketiga, penelitian ini menuntut penelitian lanjutan dengan kajian yang lebih komprehensif dan sekaligus mendalam mengingat kawasan perbatasan Pulau Batam adalah kawasan dengan karakteristik yang berbeda dengan kawasan perbatasan lainnya di daerah dan kepulauan di Indonesia. Terakhir, penetapan Batam sebagai kawasan pelabuhan bebas dan ekonomi bebas yang jauh lebih dulu dicanangkan ketimbang pencetusan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada akhir tahun 2015,
4
menawarkan banyak peluang penelitian yang bertema tentang ekonomi-politik, nasionalisme, maupun identitas di kawasan perbatasan ini.
5