BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Penelitian ini mengembangkan model pengklasteran Pemerintah Daerah di Indonesia dengan mengambil sampel pada 30 Pemerintah Kota dan 91 Pemerintah Kabupaten yang berada di wilayah Jawa dan Bali. Proses pembentukan klaster dari kelompok data Pemerintah Kota dan Pemerintah Kabupaten dilakukan dengan menggunakan delapan variabel yang menjadi komponen penghitungan Dana Alokasi Umum, yaitu Jumlah Penduduk; Luas Wilayah; Indeks Pembangunan Manusia; Indeks Kemahalan Konstruksi; PDRB per kapita; Pendapatan Asli Daerah (PAD); Dana Bagi Hasil Penerimaan Pajak; dan Dana Bagi Hasil Penerimaan Sumber Daya Alam. Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, ada beberapa kesimpulan terkait penelitian ini, yaitu: 1. Dari proses pembentukan klaster pada kelompok data Pemerintah Kota didapatkan lima klaster dengan rincian anggota dan karakteristik sebagai berikut: a. Klaster 1: Kelompok Kota A Klaster ini terdiri dari enam Kota yaitu Kota Bandung, Bekasi, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Semarang. Klaster ini memiliki rata-rata jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kemahalan Konstruksi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil Pajak dan
Dana Bagi Hasil SDA yang tinggi dan melebihi dari rata-rata populasi kota yang diteliti. Sebagian besar kota-kota pada klaster ini berada pada kawasan metropolitan
dan
memiliki
kegiatan
perekonomian
yang
sangat
berkembang. b. Klaster 2: Kelompok Kota B Klaster kedua beranggotakan delapan Kota, yaitu Kota Bogor, Cirebon, Sukabumi,
Cimahi,
Tasikmalaya.
Banjar,
Serang,
dan
Malang.
Karakteristik kota yang termasuk dalam pengelompokan klaster 2 yaitu memiliki luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, dan Dana Bagi Hasil SDA yang melebihi rata-rata populasi walaupun nilainya masih berada di bawah rata-rata klaster pertama. Sedangkan nilai Dana Bagi Hasil Pajak dalam klaster ini merupakan yang paling tinggi. Kota-kota dalam klaster ini berada pada wilayah strategis dan berdekatan dengan Kota-kota Besar. c. Klaster 3: Kelompok Kota C Klaster ketiga terdiri dari 14 anggota, yaitu Kota Cilegon, Magelang, Pekalongan, Salatiga, Surakarta, Tegal, Yogyakarta, Blitar, Madiun, Mojokerto, Pasuruan, Probolinggo, Batu, dan Denpasar. Kota-kota yang berada pada klaster ini memiliki nilai cenderung yang lebih rendah daripada klaster lain. d. Klaster 4: Kelompok Kota D Klaster keempat ini hanya beranggotakan satu Kota, yaitu Kota Kediri. Karakteristik yang paling melekat pada klaster ini yaitu nilai Pendapatan
Domestik Regional Bruto per kapita yang paling tinggi dan melebihi ratarata populasi. Kota Kediri merupakan pusat perdagangan utama untuk gula Indonesia dan industri rokok. Industri tersebut menyumbang pajak dan Bea cukai yang relatif besar pada Pemerintah Kota Kediri. e. Klaster 5: Kelompok Kota E Klaster kelima juga hanya beranggotakan satu Kota yaitu Kota Surabaya. Kota ini memiliki nilai yang paling besar dan jauh melebihi rata-rata di hampir seluruh variabel. Kota Surabaya merupakan kota metropolitan kedua di Indonesia setelah Jakarta dan menjadi pusat bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di kawasan Indonesia bagian timur. 2. Berdasarkan hasil uji ANOVA pada kelompok data Pemerintah Kota, variabel yang memberikan perbedaan paling signifikan di antara klaster yang terbentuk adalah Dana Bagi Hasil Penerimaan Pajak, diikuti Jumlah Penduduk dan Pendapatan Domestik Regional Bruto. 3. Dari proses pembentukan klaster pada kelompok data Pemerintah Kabupaten didapatkan tiga klaster dengan rincian anggota dan karakteristik sebagai berikut: a. Klaster 1: Kelompok Kabupaten A Klaster pertama ini terdiri dari 9 kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Bekasi, Bogor, Karawang, Tangerang, Cilacap, Gresik, Sidoarjo, dan Badung. Klaster ini memiliki jumlah penduduk, Indeks Pembangunan Manusia, Pendapatan Domestik Regional Bruto per kapita, Pendapatan Asli
Daerah, Dana Bagi Hasil Penerimaan Pajak dan Dana Bagi Hasil Penerimaan SDA yang melebihi rata-rata populasi kabupaten yang diteliti. Kabupaten yang berada pada klaster ini sebagian besar berada di wilayah yang berdekatan dengan kota-kota besar yang menjadi pusat kegiatan perekonomian. Sebagian besar kabupaten pada klaster ini merupakan kawasan industri yang cukup berkembang. b. Klaster 2: Kelompok Kabupaten B Klaster kedua ini beranggotakan 26 kabupaten, yaitu Kabupaten Ciamis, Cianjur, Cirebon, Indramayu, Garut, Subang, Sukabumi, Tasikmalaya, Lebak, Pandeglang, Serang, Brebes, Bangkalan, Banyuwangi, Bojonegoro, Bondowoso,
Jember,
Lumajang,
Malang,
Pamekasan,
Pasuruan,
Probolinggo, Sampang, Situbondo, Sumenep, Tuban. Klaster ini memiliki rata-rata nilai yang sedang atau berada di antara klaster 1 dan klaster 3. Perekonomian kabupaten yang berada pada klaster ini didominasi sektor pertanian. c. Klaster 3: Kelompok Kabupaten C Klaster ketiga berisi 56 kabupaten, yaitu Kabupaten Kuningan, Majalengka, Purwakarta, Sumedang, Bandung Barat, Banjarnegara, Banyumas, Batang, Blora, Boyolali, Demak, Grobogan, Jepara, Karanganyar, Kebumen, Kendal,
Klaten,
Kudus,
Magelang, Pati, Pekalongan, Pemalang,
Purbalingga, Purworejo, Rembang, Semarang, Sragen, Sukoharjo, Tegal, Temanggung, Wonogiri, Wonosobo, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo,
Sleman, Blitar, Jombang, Kediri, Lamongan, Madiun, Magetan, Mojokerto, Nganjuk, Ngawi, Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Jembrana, Bangli, Buleleng, Gianyar, Karangasem, Klungkung, Tabanan. Nilai dari keseluruhan variabel kecuali Indeks Pembangunan Manusia cenderung paling rendah di antara klaster lainnya. Sektor perekonomian yang paling dominan pada klaster ini yaitu pertanian dan pariwisata. 4. Berdasarkan hasil uji ANOVA pada kelompok data Pemerintah Kabupaten, variabel yang memberikan perbedaan paling signifikan di antara klaster yang terbentuk adalah Dana Bagi Hasil Penerimaan Pajak, diikuti Pendapatan Asli Daerah dan Indeks Pembangunan Manusia.
5.2 Implikasi Penelitian Dari beberapa hasil yang telah dijabarkan, penelitian ini memiliki implikasi sebagai berikut: 1. Bagi praktisi dan akademisi, hasil dari penelitian ini dapat dikombinasikan dengan model pengukuran kondisi keuangan daerah yang dapat diterapkan pada Pemerintah Daerah di Indonesia. Nantinya, akan didapatkan sebuah model terintegrasi yang dapat digunakan untuk menganalisis kondisi keuangan pemerintah daerah dengan lebih baik dan akurat. Selain itu, Zafra-Gómez et al. (2012b) menyoroti perlunya pengembangan skenario evaluasi penilaian kinerja (performance measurement) yang berkaitan dengan karakteristik lingkungan.
2. Pemerintah Pusat dapat menyesuaikan alokasi dana kepada daerah dengan kebutuhan dan karakteristik sosioekonomi yang sama. Penyesuaian ini dilakukan dengan memperhatikan pula pengelolaan sumber daya oleh Pemerintah Daerah. 3. DPRD sebagai badan pengawas di daerah dapat menggunakan model ini untuk mengontrol Pemerintah Kota dan Kabupaten dalam mengelola sumber daya dan kondisi keuangan. Badan pengawas dapat menilai daerah mana yang memiliki kinerja yang buruk di antara daerah lain yang berada pada lingkungan sosial ekonomi yang serupa. Selain itu, model ini dapat membantu DPRD untuk meningkatkan daya banding analisis kondisi keuangan pemerintah daerah. Zafra-Gómez et al. (2012b) menyatakan bahwa model pengklasteran dapat mengisolasi dan meminimalkan pengaruh lingkungan sosial ekonomi, sehingga dapat memaksimalkan nilai benchmarking. 4. Masing-masing Pemerintah Kabupaten dan Kota dapat mengetahui dan mengevaluasi kondisi keuangannya sendiri dan membandingkan dengan daerah lain. Hal ini dapat meningkatkan daya saing suatu daerah dengan daerah lain, terutama dalam klaster yang sama, dalam hal pengelolaan sumber daya dan pelayanan kepada masyarakat. Kondisi ini akan dapat memacu kemajuan pembangunan.
5.3 Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu sebagai berikut:
1. Penelitian ini menggunakan variabel yang kontekstual terhadap kondisi di Indonesia sehingga kemungkinan tidak dapat digeneralisasi pada kelompok data yang lain. 2. Penelitian ini menggunakan data yang terbatas pada satu periode saja yaitu tahun 2010. Hasil pengklasteran mungkin akan lebih baik apabila penelitian menggunakan data beberapa tahun (time series) untuk meyakinkan bahwa hasil yang didapatkan stabil untuk beberapa periode waktu. 3. Analisis klaster merupakan salah satu analisis yang memiliki subjektivitas yang tinggi, termasuk dalam hal pemilihan variabel dan metode. Penggunaan metode yang berbeda pada data yang sama akan dapat menghasilkan pengelompokan yang berbeda pula. 4. Peneliti tidak menghilangkan ataupun menggunakan ukuran jarak yang dapat mengatasi korelasi antar variabel independen sehingga pembaca harus berhatihati pada proses dan interpretasi hasil.
5.4 Saran untuk Penelitian Selanjutnya Beberapa saran dan rekomendasi yang dapat disampaikan untuk perbaikan penelitian di masa mendatang adalah sebagai berikut. 1. Peneliti dapat menggunakan analisis faktor terlebih dahulu untuk menentukan variabel yang tepat digunakan dalam analisis klaster. Analisis faktor dapat memberikan hasil yang lebih akurat. 2. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan data beberapa tahun untuk memastikan hasil pengelompokan sudah stabil untuk beberapa periode waktu.
3. Apabila dalam penelitian terdapat korelasi antar variabel bebas, peneliti dapat mempertimbangkan untuk menghilangkan variabel tersebut. Jika variabel tersebut dirasa penting, peneliti dapat menggunakan ukuran jarak Mahalanobis yang dapat mengatasi korelasi tersebut.