TINJAUAN PUSTAKA
Profilaksis Malaria di Perbatasan Indonesia-Timor Leste Rudy Dwi Laksono Dokter Satgas Pengamanan Perbatasan Indonesia-Timor Leste Satgas YONIF 131 TNI AD
ABSTRAK Penyakit malaria masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, terutama di wilayah Indonesia Timur. Upaya menurunkan insidens penyakit ini telah dilakukan dengan berbagai macam cara, antara lain melalui profilaksis malaria. Obat untuk profilaksis malaria yang telah lama dikenal adalah klorokuin dan/atau sulfadoksin-pirimetamin. Berbagai penelitian juga telah dilakukan untuk meneliti efektivitas proteksi serta efek samping yang terjadi.Tulisan ini merupakan hasil pengamatan efektivitas proteksi obat-obat profilaksis malaria yang menjadi standar Departemen Kesehatan RI, yaitu klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin, doksisiklin, dan meflokuin, dibandingkan dengan obat-obat standar profilaksis negara tetangga (tepatnya di perbatasan antara Timor Leste dan Indonesia) yang kasus malarianya sangat jarang. Pendahuluan Penyakit malaria sudah dikenal sejak 3.000 tahun silam. Hippocrates (400 - 377 BC) telah membedakan beberapa tipe malaria. Namun, pengetahuan tentang malaria baru mulai berkembang dalam abad terakhir ini dengan ditemukannya parasit dalam darah oleh Alphonse Laveran pada tahun 1880. Tidak lama sesudah itu, Ross (1897) membuktikan bahwa malaria ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Beberapa dekade setelahnya, Sort dan Garnham (1948) menemukan bentuk-bentuk pra-eritrosit dalam hati penderita malaria. Penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan di kawasan timur Indonesia yang pada umumnya merupakan daerah mesodan hiperendemis malaria. Di daerah tersebut, penyakit malaria masih termasuk dalam kelompok 10 besar penyakit utama. Seiring meningkatnya transformasi dan mobilisasi penduduk, malaria menjadi salah satu masalah kesehatan bagi seluruh masyarakat di Indonesia, bahkan dunia. Sebuah program kerja sama internasional yang terpadu untuk pemberantasan malaria pernah dilakukan dan berhasil menurunkan angka kesakitan sejak 1945. Sempat terjadi penurunan insidens pada lebih dari tiga perempat daerah yang semula merupakan daerah endemis malaria. Namun, kemunculan nyamuk Anopheles yang resisten terhadap insektisida, Plasmodium yang resisten terhadap obat, hambatan administratif/sosial-ekonomi, dan mobilisasi populasi yang sedemikian tinggi menyebabkan langkah mundur dalam usaha pemberantasan malaria di dunia. Banyak kasus impor terjadi di negara-negara maju, seperti
CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011
Amerika Serikat; anggota militer yang baru kembali dari Vietnam membawa penyakit ini ke negerinya. Usaha untuk mencegah penyakit malaria pun sudah lama dilakukan, di antaranya dengan kemoprofilaksis anti-malaria. Beragam obat telah dikembangkan dan berbagai penelitian pun telah dilakukan guna menemukan obat dengan efektivitas proteksi maksimal dan efek samping minimal. Definisi malaria Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit malaria (Plasmodium) bentuk aseksual yang masuk ke tubuh manusia lewat gigitan nyamuk malaria (Anopheles) betina. Parasit malaria terdiri dari beberapa spesies: 1. Plasmodium vivax, penyebab malaria tersiana. 2. Plasmodium malariae, penyebab malaria kuartana. 3. Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika.
4. Plasmodium ovale, penyebabkan malaria ovale. Parasit malaria yang terbanyak di Indonesia adalah P. falciparum dan P. vivax, atau campuran keduanya, sedangkan P. ovale dan P. malariae pernah ditemukan di Sulawesi, Irian Jaya, dan Timor Timur (sekarang Timor Leste). Malaria ditularkan oleh beberapa spesies nyamuk Anopheles. Penularan penyakit malaria tidak terjadi pada suhu di bawah 16° C atau di atas 33° C dan ketinggian di atas 2.000 meter dari permukaan laut. Kondisi optimum untuk transmisi adalah lingkungan dengan kelembaban tinggi dan suhu antara 20° - 30° C dengan curah hujan yang tidak terlalu tinggi. Patogenesis malaria Dalam penyakit malaria, manusia berperan sebagai hospes perantara (intermediate host) tempat Plasmodium mengadakan skizogoni (siklus aseksual), sedangkan nyamuk Anopheles betina bertindak sebagai vektor
Tabel 1. Karakteristik Plasmodium yang menginfeksi manusia Karakteristik Lama fase intrahepatik (hari) Jumlah merozoit yang dilepaskan tiap hepatosit yang terinfeksi Lama fase eritrosit (jam) Sel darah merah yang diserang
Temuan pada spesies P. falciparum
P. vivax
P. ovale
P. malariae
5,5
8
9
15
30.000
10.000
15.000
15.000
48
48
50
72
Sel muda (juga dapat menyerang sel pada semua tingkat pematangan)
Retikulosit
Retikulosit
Sel matang
Kemampuan relaps
Tidak
Ya
Ya
Tidak
Masa inkubasi (hari)
9 - 14 (12)
12 - 17 (15)
16 - 18(17)
18 - 40 (28)
503
TINJAUAN PUSTAKA sekaligus hospes definitif tempat Plasmodium melangsungkan siklus seksualnya. Pada manusia, parasit ini hidup di dalam sel tubuh dan sel darah merah. Siklus aseksual Ketika nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi parasit malaria menggigit manusia, sporozoit keluar dari kelenjar liur nyamuk dan masuk ke dalam darah. Sporozoit ini segera menghilang dari sirkulasi darah dan menetap di sel parenkim hati untuk bermultiplikasi dan berkembang menjadi skizon jaringan (skizogoni). Bagian siklus ini dikenal sebagai stadium intrahepatik atau pra-eritrosit/eksoeritrosit. Selanjutnya, skizon jaringan akan pecah dan mengeluarkan banyak merozoit. Merozoitmerozoit tersebut akan menginvasi sel-sel hati lainnya dan memasuki peredaran darah untuk kemudian menginvasi eritrosit. Begitu merozoit memasuki eritrosit, dimulailah bagian siklus yang dinamakan fase eritrosit. Pada infeksi P. falciparum dan P. malariae, skizon jaringan pecah serentak, sedangkan pada infeksi P. vivax dan P. ovale, beberapa skizon jaringan tetap dalam keadaan laten untuk menimbulkan relaps di kemudian hari. Di dalam eritrosit, merozoit berkembang menjadi sel uninukleus yang disebut trofozoit cincin. Nukleus trofozoit cincin tersebut kemudian membelah secara aseksual, membentuk skizon yang mempunyai beberapa nukleus. Selanjutnya, skizon membelah dan membentuk merozoit mononukelus. Eritrosit kemudian pecah dan melepaskan 624 merozoit ke sirkulasi. Penghancuran eritrosit terjadi secara periodik sehingga menimbulkan gejala khas malaria, yaitu demam diikuti menggigil. Sebagian besar merozoit masuk kembali ke eritrosit dan mengulangi fase skizogoni. Sebagian kecil membentuk gametosit jantan dan betina yang siap diisap oleh nyamuk malaria betina dan melanjutkan siklus hidup di tubuh nyamuk (stadium sporogoni).
berubah menjadi ookinet, lalu masuk dan menetap pada dinding lambung nyamuk dan berubah menjadi ookista. Setelah ookista pecah, keluarlah sporozoit yang selanjutnya memasuki kelenjar liur nyamuk yang siap untuk menginfeksi manusia lain. Khusus P. vivax dan P. ovale, pada siklus hidupnya di jaringan hati (skizon jaringan), sebagian parasit yang berada dalam sel hati tidak melanjutkan siklusnya ke fase eritrosit, tetapi “berdiam” (dorman) di jaringan hati; bentuk dorman ini disebut hipnozoit, yang menyebabkan relaps jangka panjang dan malaria rekuren. Apabila daya tahan tubuh menurun, misalnya karena terlalu lelah, stres, atau perubahan iklim (seperti saat musim hujan), hipnozoit akan terangsang dan melanjutkan siklus hidupnya, dari dalam sel hati menuju eritrosit. Ketika eritrosit yang mengandung parasit pecah, akan timbul gejala penyakitnya kembali. Infeksi P. falciparum dapat mengakibatkan malaria berat atau malaria dengan komplikasi, yang menimbulkan kerusakan pada otak, ginjal, paru, hati, dan jantung, bahkan menyebabkan kematian, sedangkan infeksi P. vivax, P. ovale, dan P. malariae tidak menimbulkan kerusakan organ.
Gejala malaria Gejala klasik ditemukan pada penderita yang berasal dari daerah non-endemis, yang belum mempunyai kekebalan (non-imun); dengan kata lain, baru pertama kali menderita malaria. Gejala klasik malaria merupakan paroksisme, yang terdiri dari 3 stadium berurutan: 1. Menggigil. Terjadi setelah pecahnya skizon dalam eritrosit yang diikuti keluarnya zat-zat antigen. Proses menggigil berlangsung 15 - 60 menit. 2. Demam. Timbul setelah menggigil, biasanya sekitar 37,5 - 40° C; pada penderita hiperparasitemia (hitung parasit >5%), suhu bisa meningkat sampai >40° C. Proses demam berlangsung 2 - 6 jam. 3. Berkeringat. Timbul setelah demam, terjadi akibat gangguan metabolisme yang menjadikan produksi keringat bertambah. Dalam keadaan yang berat, keringat yang keluar bisa sampai membasahi sekujur tubuh. Proses ini berjalan 2 - 4 jam. Setelah berkeringat, biasanya penderita merasa sehat kembali. Di daerah endemis, penderita telah mempunyai imunitas. Dengan demikian, gejala timbul tidak berurutan, bahkan tidak semua gejala klasik ditemukan pada penderita (kadang-kadang muncul gejala lain).
MANUSIA
NYAMUK ANOPHELES BETINA
Dalam sel hati
Dalam kelenjar liur
Sporozoit
Sporozoit
Hipnozoit
I
III Skizon
Skizon Merozoit
Dalam darah(Eritrosit)
Lambung
Ookista
Trofozoit
IV
Siklus seksual Sebagian merozoit dalam eritrosit berdiferensiasi menjadi gametosit yang akan berpindah ke tubuh nyamuk saat menggigit penderita. Pada lambung nyamuk, gametosit akan menghasilkan gamet jantan (mikrogamet) dan betina (makrogamet) yang kemudian menghasilkan zigot. Zigot akan
504
Skizon
II
Ookinet Merozoit
Zigot
Gametosit
Keterangan : I. Stadium pra-eritrosit/eksoeritrosit III. Hipnozoit (P. vivax & P. ovale)
II. Stadium eritrosit IV. Stadium sporogoni
Gambar 1. Siklus hidup parasit malaria
CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011
TINJAUAN PUSTAKA Diagnosis malaria Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis dan secara laboratoris. Secara klinis, diagnosis malaria ditegakkan apabila ada gejala klasik yang disertai gejala lain, seperti sakit kepala, mual-muntah, nyeri otot, pucat, menggigil, dan (pada balita) diare. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan apusan darah tebal dan apusan darah tipis. Apusan darah tebal dibuat dengan pewarnaan Giemsa atau Field stain, sedangkan apusan darah tipis dengan pewarnaan Wright atau Giemsa. Pemeriksaan apusan darah tebal bertujuan melihat parasit (plasmodium), sementara pemeriksaan apusan darah tipis bertujuan melihat perubahan bentuk eritrosit dan jenis plasmodium. Kemoprofilaksis malaria Dikenal dua jenis kemoprofilaksis malaria: 1. Profilaksis kausal Profilaksis jenis ini bertujuan menghambat perkembangan parasit di hati dan eritrosit manusia serta dalam tubuh nyamuk (sporontosidal), sehingga tahap infeksi eritrosit dapat dicegah dan transmisi lebih lanjut dapat dihambat. Obat yang digunakan untuk profilaksis kausal adalah obat golongan inhibitor DHFR (dihydrofolate reductase thymidylate synthetase), seperti pirimetamin, proguanil, dan klorproguanil. 2. Profilaksis supresif Profilaksis jenis ini bertujuan menghambat perkembangan stadium aseksual pada eritrosit, tetapi tidak di hati. Obat-obat yang dipakai untuk profilaksis supresi mempunyai aktivitas gametosidal terhadap P. vivax, P. malariae, dan P. ovale, tetapi tidak terhadap P. falciparum. Contohnya adalah klorokuin, amodiakuin, dan (yang terbaru) meflokuin. Tabel 2. Regimen dosis kemoprofilaksis malaria Daerah sensitif klorokuin Klorokuin 5 mg basa/kg BB setiap minggu dan/atau Proguanil
3 mg basa/kg BB setiap hari
Daerah resisten klorokuin Meflokuin 3,5 mg basa/kg BB setiap minggu atau Doksisiklin
1,5 mg/kg BB setiap hari
CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011
Obat profilaksis malaria harus diminum secara teratur untuk memastikan konsentrasi anti-malarianya. Regimen dosis yang direkomendasikan untuk profilaksis tersaji pada tabel 2. Obat anti-malaria Sulfadoksin-pirimetamin Sulfadoksin adalah turunan sulfonamida. Obat ini jarang digunakan sebagai terapi tunggal, biasanya dikombinasi dengan pirimetamin untuk pengobatan dan pencegahan infeksi P. falciparum yang resisten terhadap klorokuin. Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat pembentukan asam dihidropteroat secara inhibisi kompetitif, yang menyebabkan kematian parasit. Pirimetamin adalah turunan diaminopirimidin yang merupakan skizontisida eksoeritrositik dan eritrositik terhadap P. falciparum serta skizontisida eksoeritrositik terhadap P. vivax. Obat ini juga merupakan sporontosida yang cukup efektif. Efek samping kombinasi sulfadoksinpirimetamin antara lain anemia aplastik dan dermatitis eksfoliatif. Dosis pirimetamin oral untuk pencegahan malaria ialah 25 mg/ minggu, dimulai 1 hari sebelum ke daerah yang diduga ada malaria dan dilanjutkan 6-8 minggu setelah meninggalkan daerah tersebut. Sediaan kombinasi sulfadoksin 500 mg dan pirimetamin 25 mg merupakan obat pilihan kedua untuk pencegahan dan pengobatan malaria yang resisten terhadap klorokuin. Untuk pencegahan malaria, dapat diberikan 1 dosis sediaan kombinasi ini sekali seminggu. Klorokuin Klorokuin adalah derivat 4-aminokuinolin. Klorokuin hanya efektif pada fase eritrosit. Efektivitasnya sangat tinggi terhadap P. vivax dan P. falciparum, juga efektif terhadap gamet P. vivax. Efek supresi terhadap P. vivax jauh lebih kuat dibandingkan dengan kina dan kuinakrin. Klorokuin merupakan skizontisida darah (skizontisida eritrositik) yang bekerja secara cepat. Obat ini bekerja terhadap merozoit pada fase eritrositik aseksual dan mengganggu skizogoni eritrositik. Juga sebagai gametositosida. Klorokuin akan menghan-
curkan bentuk eritrositik seksual (gametosit) sehingga mencegah penyebaran plasmodium ke nyamuk Anopheles. Klorokuin fosfat merupakan obat pilihan untuk pencegahan dan pengobatan serangan akut malaria. Kombinasi dengan primakuin digunakan untuk pencegahan serangan semua jenis malaria. Pada dosis kumulatif, profilaksis lebih dari 100 gram (lebih dari 5 tahun profilaksis) meningkatkan risiko retinopati, yang diduga berhubungan dengan deposisi klorokuin pada jaringan yang kaya akan melanin. Klorokuin merupakan obat pilihan untuk parasit malaria yang masih sensitif, digunakan untuk P. vivax, P. malariae, dan P. ovale. Dosis oral untuk pencegahan malaria adalah 300 mg/minggu, dimulai 2 minggu sebelum ke daerah yang diduga ada malaria dan dilanjutkan 8 minggu setelah meninggalkan daerah tersebut. Meflokuin Meflokuin adalah turunan 4–kuinolin metanol terfluorinasi. Efek parasitidalnya mirip dengan kuinin. Dengan dosis tunggal yang lazim, meflokuin dapat menghilangkan demam dan parasitemia pada penderita yang terinfeksi galur P. falciparum yang resisten terhadap klorokuin di daerah endemis, juga efektif untuk pengobatan malaria yang disebabkan oleh P. vivax. Obat ini belum tersedia di Indonesia; di negara lain, tersedia dalam bentuk tablet 250 mg. Toksisitas umumnya ditandai dengan mual, muntah, pusing, rasa lemah, dan disforia. Pada dosis profilaksis, insidens reaksi neuropsikiatrik akut hanya 1:10.000 (kejang, psikosis, ensefalopati). Tidak dianjurkan untuk wanita hamil dan bayi. Untuk profilaksis pada dewasa dan anak, dapat diberikan 4 mg basa/kg BB sekali seminggu. Doksisiklin Doksisiklin adalah antibiotik spektrum luas golongan tetrasiklin semisintetik. Obat ini mempunyai efek bakteriostatik pada mikroorganisme yang sensitif dengan jalan menghambat sintesis protein. Untuk profilaksis malaria, digunakan dosis: dewasa 100 mg/ hari, anak >8 tahun, 2 mg/kg BB sekali sehari sampai mencapai dosis dewasa. Profilaksis dapat dimulai 1-2 hari sebelum masuk ke daerah endemis. Diteruskan setiap hari,
505
TINJAUAN PUSTAKA selama dan 4 minggu setelah meninggalkan daerah endemis. Penggunaan profilaksis malaria di lapangan Profilaksis yang dianjurkan oleh Departemen Kesehatan RI adalah sebagai berikut: 1. Untuk perorangan dan kelompok sementara (tidak menetap): klorokuin 2 tablet sekaligus setiap minggu, diminum pada hari yang sama, 2 minggu sebelum, selama, dan sampai 4 minggu setelah meninggalkan daerah endemis. 2. Untuk kelompok menetap (pindah tinggal ke daerah endemis): klorokuin 2 tablet sekaligus setiap minggu, diminum pada hari yang sama, 2 minggu sebelum dan selama 12 minggu setelah sampai di lokasi daerah endemis, kemudian dihentikan. Selanjutnya, obat malaria hanya digunakan untuk terapi. 3. Untuk ibu hamil: klorokuin diminum pada bulan ke-3 kehamilan sampai masa nifas. 4. Di tempat ada resistensi P. falciparum terhadap klorokuin: sulfadoksin-pirimetamin 1 tablet setiap minggu. Pengalaman penggunaan kemoprofilaksis malaria Sulfadoksin-Pirimetamin Profilaksis ini digunakan oleh batalyon Infanteri 131 yang bertugas menjaga perbatasan Indonesia dengan Timor Leste di wilayah kabupaten Belu, bagian utara Nusa Tenggara Timur. Tugas dilakukan dari bulan Januari 2001 sampai Oktober 2001. Sulfadoksin-pirimetamin digunakan oleh para anggota batalyon mulai bulan Januari sampai Maret 2001. Obat diminum 1 minggu sebelum masuk daerah tugas dan diteruskan selama 3 bulan di daerah tugas pada hari yang sama. Hasilnya dievaluasi setelah 3 bulan pemakaian. Diagnosis malaria ditegakkan dengan gejala klinis (baik klasik maupun dengan gejala tambahannya: demam, menggigil, berkeringat, mual, otot terasa “ngilu”, sakit kepala) dan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan di RSUD Atambua. Para prajurit dianggap non-imun karena berasal dari Padang (Sumatera Barat) dan sekitarnya, yang bukan daerah endemis malaria. Jumlah prajurit yang mendapat profilaksis dan dapat dievaluasi sebanyak 650 orang.
oral, yaitu klorokuin atau sulfadoksinpirimetamin. Keadaan umum pasien tidak tampak toksik. Indikasi rawat inap dengan terapi infus kinin adalah bila keadaan umum pasien tampak toksik dan pucat, muntah terus-menerus, dan pengobatan oral tidak berhasil (penderita masih demam dan menggigil setelah pengobatan oral selesai). Jumlah penderita malaria dari Satuan Tugas Yonif 131 selama 3 bulan (Januari sampai Maret 2001) terlapor sebanyak 31 pasien: 26 rawat jalan dan 5 rawat inap (gambar 1). Efektivitas penggunaan sulfadoksin-pirimetamin selama 3 bulan tercatat sebesar 95,23%. Klorokuin Profilaksis klorokuin digunakan selama 3 bulan berikutnya (April sampai Juni 2001). Obat Diminum 2 butir sekaligus 1 minggu sekali pada hari yang sama. Grafik penderita malaria 3 bulan berikutnya melonjak tajam (grafik 1), diduga akibat perubahan cuaca (bulan Maret - April adalah akhir musim penghujan) sehingga terjadi relaps karena P. vivax yang tadinya berdiam (dorman) di hati menjadi aktif kembali. Selain itu, daerah Timor sudah dianggap sebagai daerah resisten klorokuin. Jumlah penderita untuk 3 bulan berikutnya terlapor sebanyak 103 penderita: 39 rawat inap dan 64 rawat jalan. Efektivitas klorokuin tercatat sebesar 84,15%.
Doksisiklin Doksisiklin digunakan untuk profilaksis malaria bagi personel PBB yang bertugas di Timor Leste. Dari data sekunder, didapatkan hasil sebagai berikut: Untuk Ausbatt (Australian Battalion) Yon Group 1 RAR (Royal Australian Regiment), digunakan doksisiklin 100 mg. Wilayah tugas mereka adalah bagian utara sepanjang perbatasan wilayah Timor Leste dengan Indonesia. Personel yang menggunakan obat ini kurang lebih 400 orang. Dari bulan Desember 2000 sampai Mei 2001, hasilnya sangat memuaskan. Tidak ada satu pun prajurit yang sakit malaria selama 6 bulan bertugas di Timor Leste. New Zealand Batt III juga bertugas di perbatasan Timor Leste dengan Indonesia. Wilayah tugas mereka adalah daerah yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Belu bagian selatan. Doksisiklin digunakan sebagai standar profilaksis malaria di Timor Leste. Jumlah prajurit pengguna obat ini kurang lebih 1.000 personel, dengan hasil yang sama baiknya, yaitu tidak ada prajurit yang terkena malaria selama berada di daerah penugasan antara bulan Desember 2000 sampai Mei 2001. Pada tahun 1997, Ohrt dkk. melakukan sebuah penelitian acak tersamar ganda untuk mengetahui efektivitas dan tolerabilitas meflokuin dan doksisiklin pada 204
30 25
25 Rawat Inap
20
Rawat Jalan
17 14
15
14
10
10 5
25
8
8
3
8
2 0
0 Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Grafik 1. Penderita malaria dari jajaran Yonif 131
Penderita rawat jalan menggunakan obat
506
CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011
TINJAUAN PUSTAKA prajurit Indonesia yang non-imun. Doksisiklin digunakan pada personel yang tidak keberatan dengan dosis harian, tidak ada kontraindikasi, tidak dapat menoleransi meflokuin, dan bepergian ke daerah resisten meflokuin. Efektivitas proteksi doksisiklin pada penelitian ini tercatat sebesar 99%. Meflokuin Meflokuin belum ada di Indonesia. Pada batalion Australia (Ausbatt), obat ini digunakan untuk prajurit yang alergi dan tidak nyaman menggunakan doksisiklin. Obat ini (meflokuin 250 mg) lebih disukai prajurit Ausbatt karena cukup diminum satu tablet saja setiap minggu, sedangkan doksisiklin harus diminum satu kapsul setiap hari.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Modul Pelatihan Penatalaksanaan Kasus Malaria Untuk Dokter Puskesmas. Jakarta: Depkes RI. Dirjen P2M & PLP; 1999. 2. Iskandar Zulkarnain. Malaria. Dalam: Soeparman (ed). Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1993. 3. Bruce-Chwatt LJ. History of malaria from prehistory to eradication. In: Wernsdorfer WH & McGregor I (eds.). Malaria: principles and practice of malariology. Edinburgh: Churchill Livingstone, 1988. 4. Kasper D, Barlam T. Malaria and other diseases caused by red blood cell parasites. In: Harrison's Principles of Internal Medicine. 14th ed. New York: McGraw Hill. 2000. 5. Sukarno Sukarban, Zunilda SB. Obat Malaria. Dalam: Sulistia Gan (ed). Farmakologi dan Terapi. Edisi 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. 1987. 6. Arif Mansjoer, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 1999; hlm. 409-16. 7. Siswandono, Bambang Soekardjo (eds). Kimia medisinal (terjemahan). Surabaya: Airlangga University Press; 2000. 8. Noch.T. Malissa. Malaria di Irian Jaya.Warta Kesad. 1999. 9. MIMS Annual Indonesia. 1998/1999. 10. MIMS Annual Australia. 2000. 11. Kitchener S, Cunningham J, Jensen A. Australian Military Medicine. 2001; 10:1. 12. Ohrt, et al. Mefloquine compared with docycycline for the prophylaxis of malaria in Indonesian soldiers: a randomized double-blind, placebo-controlled trial. Ann Intern Med. 1997; 126:963.
Meflokuin digunakan oleh kurang lebih 700 personel selama 6 bulan dari bulan Desember 2000 sampai Mei 2001 dengan hasil memuaskan, yaitu tidak ada prajurit Ausbatt yang terkena malaria selama berada di daerah penugasan. Pada penelitian Ohrt dkk., efektivitas proteksi meflokuin terhitung sebesar 100%. Dalam penelitian tersebut, meflokuin diberikan dengan dosis awal 250 mg/hari selama 3 hari, dilanjutkan 240 mg per minggu. Obat ini ditoleransi dengan baik oleh 204 prajurit Indonesia yang non-imun. Kesimpulan Malaria masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Depkes RI masih menggunakan sulfadoksin–pirimetamin dan klorokuin sebagai obat standar. Sebagai profilaksis malaria bagi para prajurit TNI-AD yang bertugas di perbatasan Indonesia dengan Timor Leste, sulfadoksin-pirimetamin dan klorokuin masih dapat diandalkan karena efektivitasnya masih di atas 80%; sulfadoksin-pirimetamin lebih efektif. Obat alternatif, doksisiklin atau meflokuin, memberikan hasil yang sangat baik; tidak satu pun prajurit dari Australia maupun New Zealand yang terjangkit malaria selama 6 bulan di wilayah penugasan mereka, yang merupakan daerah endemis malaria. Doksisiklin atau meflokuin sangat efektif dan dapat ditoleransi dengan baik oleh prajurit yang non-imun.
CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011
507