SUMBER-SUMBER PERSOALAN KEAMANAN DI PERBATASAN RI-TIMOR LESTE Cahyo Pamungkas Abstract There are potential problems in the borderland of Indonesia and Timor Leste. This paper is exploring the problems and scenarios of solution to avoid the unnecessary threats on stability of the region. It is based on field research that being undertaken by Center of Politics, Indonesia Institute of Science in June 2007. The study found out that existence of former refugees and illegal economic activities in borderland are sources of problem of security in the borders. The problems appear since Indonesia and Timor Leste government manage the border strictly based on political interest. Both of the governments prevent former militias in Indonesia and rebels in Timor Leste crossing border illegally. Meanwhile the local people including former refugees know border from cultural and economic side. They think that cultural and economic relations between local people from two countries are more important than political perspectives. The problems point out that national government present in the border institutionally, but not in the art of govern to promote the people welfare in the border region. Kata Kunci: Timor Leste, Perbatasan, Pengungsi, konflik
Pendahuluan Konsep keamanan perbatasan seharusnya tidak dilihat dalam perspektif pendekatan konvensional, tetapi juga dengan perspektif nonkonvensional. Ancaman terhadap keamanan pada masa kontemporer justru lebih banyak datang dari faktor domestik seperti isu-isu yang berkaitan dengan primordialisme, keamanan ekonomi, keamanan sosial, keamanan lingkungan hidup, keamanan kesehatan dan lain sebagainya (Perwita 2005). Konsep lain yang terkait adalah keamanan sosial yang berbeda dengan keamanan konvensional. Jika keamanan konvensional terkait dengan jaminan untuk memperoleh kebutuhan akan sumber-sumber alam, keuangan dan pasar dalam rangka pencapaian tingkat kesejahteraan dan kekuatan negara, maka keamanan sosial terkait dengan keberlangsungan dari pada pola-pola budaya, religi, adat istiadat maupun identitas nasional suatu masyarakat dalam batas-batas negara (Buzan dkk 1998). Pertanyaan yang ingin dijawab oleh tulisan ini adalah bagaimanakah sumber-sumber permasalahan yang memiliki potensi menganggu stabilitas keamanan di perbatasan darat RI-Timor Leste. Paper ini bertitik tolak bahwa keberadaan eks-pengungsi dan aktivitas ekonomi ilegal yang merupakan warisan konflik politik pada masa lalu, jika tidak ditangani dengan baik dapat berkembang menjadi persoalan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan di perbatasan.
Cahyo Pamungkas Sumber-Sumber Persoalan Keamanan di Perbatasan RI-Timor Leste
Eks Pengungsi Timor Timur Sebagai catatan pengungsi yang dimaksud dalam studi ini adalah pengungsi warga Timor-Timur yang menyeberang perbatasan ke NTT pada tahun 1999. Karena pada masa-masa sebelumnya terdapat dua gelombang pengungsian besar, yaitu pada masa perang Manufahi 1911-1912 (perang antara rakyat Timor-Timur melawan Portugal) dan perang saudara 19741975 (Fretilin dengan partai-partai politik pro-Indonesia).1 Menurut Laporan International Crisis Group (ICG 4 Mei 2006), referendum di TimorTimur yang bermuara pada kemerdekaan negara ini telah berdampak pada menyebrangnya beberapa kelompok masyarakat Timor-Timur yang antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, kelompok milisi yang didukung oleh TNI beserta keluarga dan pendukungnya. Kedua, pegawai negeri sipil baik yang berasal dari masyarakat asli Timor-Timur maupun yang tidak. Ketiga, masyarakat asli Timor-Timur yang dipaksa mengungsi oleh milisia dan TNI. Keempat, mereka yang mengungsi secara sukarela menuju ke wilayah Indonesia. Sebagian dari 250.000 pengungsi pada tahun 1999 telah kembali ke Timor Leste dimana 126.000 pengungsi menurut UNHCR telah kembali pada tiga bulan pertama sejak referendum.2 Selebihnya, mereka yang tetap tinggal di Indonesia dengan status pengungsi telah kehilangan hak kewarganegaraanya dan dianggap sebagai WNI. Walaupun demikian, mereka masih memiliki kesempatan terbuka untuk kembali ke Timor Leste. Para pengungsi yang telah memilih untuk menetap di Indonesia tinggal di dua daerah yaitu Kabupaten Belu yang berbatasan dengan Bobonaro dan Covalima dan Kabupaten Timor Tengah Utara yang berbatasan dengan Oecusse (Distrik Ambeno). Menurut informasi UNHCR (2006), diperkirakan bahwa 10.000 bekas pengungsi telah hidup dengan kondisi yang memprihatinkan dan 16.000 lainnya telah menetap di Timor Barat.3 Sementara, sebuah NGO di NTT, CIS Timor memperkirakan 9.000 keluarga masih tinggal di kamp pengungsi, dan Pemda NTT sendiri mendaftar 7.734 keluarga tinggal di rumah darurat pada 2006. Sementara itu, Gubernur Piet Talo mengatakan bahwa 104.436 jiwa pengungsi masih tinggal di NTT pada tahun 2006.4 Versi lain diungkapkan oleh mantan Panglima Pejuang Integrasi Timor Tumir, Calcio, bahwa jumlah pengungsi Timor-Timur pada tahun 1999 adalah 267.172 jiwa, dimana 17.779 KK atau
1
Selain itu, menurut Calcio, mantan Panglima Pejuang Integrasi Timor Timur, terdapat Pemberontakan Watu Lari, Kat Bao, Kabupaten Vikeke tahun 1559 melawan Portugal yang mengakibatkan pengungsian besar-besaran ke Timor Barat. Disampaikan oleh Calcio, FGD yang diselenggarakan oleh tim perbatasan LIPI di Kupang pada tanggal 7 Juni 2007. 2 International Crisis Group, Managing Tensions on the Timor-Leste/Indonesia Border Crisis Group Asia Briefing N°50, 4 May 2006. 3 4
Ibid. Ibid. 265
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 3, Desember 2009: 264-279
136.870 jiwa telah mendiami wilayah kabupaten Belu dan sekarang ini (2007) sebanyak 142.825 jiwa menempati Provinsi NTT.5 Permasalahan utama yang menyangkut pengungsi ini adalah akses terhadap tanah. Sebagian besar penduduk Provinsi NTB yang memberikan tanah kepada para pengungsi Timor-Timur pada 1999 memiliki asumsi bahwa keberadaan mereka adalah sementara, sebagian warga sekarang meminta tanahnya untuk dikembalikan. Konflik ini sebagian telah difasilitasi oleh NGO lokal dengan meminta pengungsi untuk membelinya pada harga di bawah harga pasar terutama di Kabupaten Belu. Tanpa kepemilikan tanah, pengungsi ini akan mendapatkan banyak kesulitan dalam mempertahankan hidupnya. Meskipun demikian, masyarakat lokal NTT merasa terganggu karena kehilangan sebagian tanah mereka dan mengalami kerusakan lingkungan sebagai akibat dari meningkatnya jumlah penduduk. Ketegangan-ketegangan antara masyarakat lokal dan pengungsi ini seringkali jarang menyebabkan munculnya tindakan kekerasan komunal, namun meningkatkan tekanan terhadap pengungsi untuk kembali ke Timor-Leste. Hal yang sama diungkapkan dalam studi mengenai pengungsi Timor-Timur yang dilakukan Tim Peneliti LIPI (Haba-Siburian 2005), bahwa kehadiran pengungsi belum menimbulkan konflik yang mengarah ke kekerasan komunal walaupun telah mengusik ketenangan penduduk lokal di Kabupaten Belu. Kehadiran para pengungsi ini telah mempersempit ruang gerak penduduk lokal. Misalnya penduduk lokal tidak berani pergi dan bekerja sendirian di ladang-ladang yang jauh dari tempat tinggalnya. Selain itu, banyak lahan pertanian yang dimiliki penduduk lokal diduduki oleh pengungsi. Walaupun konflik horisontal antara penduduk lokal dan pengungsi belum muncul pada masa sekarang, namun potensi konflik pada masa yang akan datang tetap ada. Jika permasalahan seperti ini dibiarkan terus berlanjut, bukannya tidak mungkin konflik horisontal akan muncul dan menimbulkan permasalahan keamanan di daerah perbatasan RI-Timor Leste (Haba-Siburian 2005). Kelompok pengungsi itu secara kultural dianggap sebagai saudara dari orang Timor Barat, sehingga mereka dapat berintegrasi secara sosial budaya dengan masyarakat lokal.6 Komunitas warga Timor-Timur di NTT dapat dilihat di daerah Sulamu, Kabupaten Kupang, dan Soe, Kabupaten TTS. Tidak semua pengungsi pada masa tersebut kembali ke Timor-Timur, karena mereka terus menetap di wilayah Timor Barat. Pada masa integrasi dengan RI, sebagian dari warga Timor Timur tinggal di wilayah TimorTimur dan berkebun atau menyekolahkan anaknya di Timor Barat. Faktor Calcio Op. Cit. Menurut data Calcio, 15.772 warga eks pengungsi Timor- mendiami sepanjang wilayah perbatasan RI Timor Leste: Atapupu, Mota Ain, Silawang, Haikesak, Tulis Kae, Laktutus, Meta Mao, Wei Napang, Hao Meni Mao, dan Haulus. Sedangkan diperkirakan sebanyak 32.666 jiwa mendiami wilayah Timor Leste: Balibo dan Memo, Distrik Bobonaro, Alas, Patuleang, Patululu, Cilemar 6 Disampaikan Letjend purn (TNI) Kiki Syahnakri pada FGD di LIPI Jakarta tanggal 29 Mei 2007. 5
266
Cahyo Pamungkas Sumber-Sumber Persoalan Keamanan di Perbatasan RI-Timor Leste
sejarah dan persamaan budaya, bahasa, dan agama membuat kemungkinan konflik identitas antara warga Timor Timur dengan Timor Barat kemungkinannya sangat kecil terjadi. Sebagaimana telah dipaparkan di muka bahwa salah satu faktor utama yang dapat mempengaruhi persoalan keamanan di perbatasan RITimor Leste adalah keberadaan eks pengungsi Timor Timur yang sekarang ini disebut sebagai warga baru.7 Pendataan jumlah pengungsi merupakan masalah tersendiri, karena adanya perbedaan mengenai jumlah mereka menurut perspektif organisasi non-pemerintah, pemerintah, dan para tokoh pengungsi itu sendiri. Pertikaian politik di Timor-Timur antara para pendukung kemerdekaan dan pro-integrasi pada tahun 1999 merupakan penyebab utama pengungsian besar-besaran pada 1999. Seberapa jauh pengungsi berpengaruh terhadap persoalan keamanan tergantung dari kategori pengungsi itu sendiri secara politik.8 Pertama, adalah para pengungsi yang masih memiliki idealisme politik yaitu mantan para pendukung parpol pro-integrasi seperti UDT, Trabalista, dan Apodeti. Kedua, masyarakat biasa yang hanya menunggu situasi aman, kalau situasi sudah normal akan kembali ke Timor Leste. Ketiga, para mantan PNS dan TNI/Polri bersama keluarga mereka. Menjadi kebiasaan dan adat-istiadat orang Timor-Timur, pergi berkelompok-kelompok bersama anak istri dan keluarga dekat lainnya. Keempat, mereka yang tadinya terkait dengan pelanggaran hukum dan takut kembali karena akan diadili dan ditangkap oleh aparat keamanan Timor-Leste. Para eks-pengungsi yang berlatar belakang politik memiliki potensi yang lebih tinggi untuk mengganggu stabilitas keamanan, karena mereka memiliki kepentingan politik tertentu di Timor Leste. Permasalahannya adalah untuk melakukan pergerakan politik, mereka memerlukan dukungan dari pihak lain. Namun, keberadaan milisi sebagai organisasi bersenjata sudah dibubarkan sejak 1999. Selanjutnya pada tahun 20002001, Pemerintah telah menerima senjata-senjata pada eks-milisia dan telah dimusnahkan di Polda NTT. Letjend. Purn. (TNI) Kiki Syahnakri belum mempercayai semua senjata telah dikumpulkan meskipun Pemerintah telah membeli beberapa pucuk senjata yang diserahkan.9 Meskipun penyerahan senjata telah dilakukan pada tahun 1999-2001, namun kenyataannya masih terus dilakukan pembelian senjata dari 7 Pengungsi sebagai salah satu potensi sumber permasalahan keamanan perbatasan RI-TL juga disampaikan oleh Mayjend TNI Amir Syamsudin, Direktur C BAIS TNI dalam FGD di LIPI, Jakarta, 29 Mei 2007.7 Menurutnya, hal ini merupakan permasalahan yang sulit untuk dipecahkan karena keberadaan mereka di daerah di sekitar perbatasan. Sebagian dari mereka menolak baik untuk ditawari menjadi WNI maunpun menolak untuk kembali ke Timor Leste. Alasan mereka menolak untuk kembali ke Timor Leste karena ketakutan yang diakibatkan oleh penglaman pahit pada masa lalu. Pernah ada seorang mantan personel militer yang berlibur ke Timor Leste, tetapi justeru ditangkap dan dikenakan tahanan rumah. Selain itu, ada faktor lain yaitu harta benda seperti rumah dan tanah sehingga mereka masih berharap untuk kembali ke Timor Leste dan tetap tinggal di daerah perbatasan. 8 Syahnakri, Op.Cit. 9 Syahnakri Op.Cit.
267
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 3, Desember 2009: 264-279
pengungsi.10 Kecurigaan terhadap senjata yang belum diserahkan juga disampaikan oleh Kapolda NTT, Brigjend RB Sidarum yang memperkirakan bahwa separuh dari jumlah senjata milisi diduga belum diserahkan.11 Pihak yang memiliki potensi paling tinggi untuk mengganggu stabilitas keamanan di perbatasa RI-Timor Leste adalah generasi muda Timor-Timur yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia, terutama NTT.12 Alasan utamanya adalah karena sebagian besar dari mereka adalah pengangguran dan jumlahnya sangat besar sehingga berpotensi untuk menciptakan konflik. Namun, keterikatan mereka dengan Timor Leste sudah tidak sekuat orang tua mereka dan mereka sendiri disibukkan untuk mencari pekerjaan daripada mengurusi masalah-masalah konflik dengan Timor Leste. Permasalahan akan muncul dari faktor pengungsi bilamana penanganan mereka oleh Pemerintah tidak tuntas.13 Berkaitan dengan generasi yang akan datang, salah seorang mantan komandan milisia mengungkapkan bahwa para eks-milisia dan pengungsi Timor Timur ini diharapkan akan selalu menceritakan prinsip utama yang dipegang, bahwa untuk menjadi WNI dan memiliki rasa nasionalisme Indonesia harus dibayar sangat mahal. Generasi ini memiliki dua pilihan yaitu apakah ingin kembali ke Timor Leste ataukah tetap bertahan di Indonesia. Generasi muda sebenarnya tidak menjadi ancaman jika mereka mendapatkan pendidikan yang cukup, oleh karena itu kesejahteraan ekspengungsi bersama-sama penduduk lokal harus diperbaiki oleh Pemerintah.14 Sedangkan, Wakil Duta Besar Timor Leste di Jakarta, Roberto Soares, mengatakan bahwa sejak tahun 2000, proses repatriasi sudah berjalan dipimpin oleh mantan Presiden Xanana Gusmao.15 Menurut pandangan pemerintah Timor Leste, keputusan warga Timor Leste yang sekarang tinggal di Indonesia untuk tetap tinggal atau kembali ke Timor Leste sepenuhnya menjadi hak mereka. Menurut Pemerintah Timor Leste, sebagian besar (70%) pengungsi sudah kembali ke Timor Leste. Pemerintah Timor Leste menghormati keputusan warga Timor Leste di Indonsia dan terbuka untuk para pengungsi yang kembali ke Timor Leste. 10 Belo Op.Cit. Menurut Yuanico T Belo, senapan M-16 dihargai 15 juta rupiah dan senjata rakitan dihargai 5 juta rupiah. Pada tahun 2006, diserahkan beberapa pucuk senapan dan 3 pucuk pistol ke Polres Bellu. Kalau Pemerintah ingin semua senjata diserahkan, mereka harus bertanya kepada TNI/Polri berapa pucuk senjata yang telah diserahkan ke milisia pada tahun 1999. Selanjutnya, akan dicari berapa pucuk senjata yang belum diserahkan ke Pemerintah. 11 Sidarum Op.Cit. 12 Syahnakri Op. Cit. 13 Syahnakri Op. Cit. Sebagai contohnya mereka sangat kesulitan untuk mendapatkan KTP dari Pemda. Mereka juga merasa didiskriminasikan oleh Pemerintah lokal dan masyarakat setempat dengan stigma warga baru yang tentu saja dibedakan dari warga lama. Identitas ini seakan-akan membuat para eks pengungsi ini dianggap sebagai warga kelas dua.
Belo Op. Cit. Disampaikan Roberto Soares, Wakil Dubes Timor Leste di Jakarta, FGD LIPI, Jakarta, 29 Mei 2007 14 15
268
Cahyo Pamungkas Sumber-Sumber Persoalan Keamanan di Perbatasan RI-Timor Leste
Sebagaimana Letjend. Purn. (TNI) Kiki Syahnakri, Bupati Belu Joachim Lopez, mengatakan bahwa pengungsi bukan sumber ancaman dan persoalan utama bagi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) di daerah perbatasan darat RI-Timor Leste.16 Pendapat tersebut ditolak oleh Yuanico T. Belo. Menurutnya, sekarang ini terdapat kurang lebih 1.200 mantan orang sipil bersenjata yang tinggal di kamp-kamp pengungsian Timor Barat. Mereka merasa ditelantarkan, beban hidup mereka semakin sulit dari ke hari karena kesejahteraannya semakin lama semakin menurun.17 Menurut Bupati Belu, Joachim Lopez, Pemerintah Daerah telah berupaya membangun perumahan untuk mereka yaitu 2.800 unit untuk tahun 2006 melalui proyek karya bakti TNI.18 Menurut keterangan Kepala Bidang Perbatasan Bappeda Provinsi NTT, Onny Indun, jumlah pengungsi Timor Timur yang masih tinggal di NTT sebanyak 9.762 KK. Tahun 2006 telah dibangun 5.000 unit rumah dan tahun 2007 dibangun 3.000 unit rumah yang didanai oleh Menteri Sosial. Diharapkan 16.000 unit rumah dapat dibangun secara bertahap pada tahun 2006-2008.19 Komposisi jumlah penerima rumah dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Jumlah Pengungsi dan Penerima Rumah No Kabupaten Jumlah pengungsi . (KK) 1. Kupang 1.889 2. Timor Tengah Selatan 85 3. Timor Tengah Utara 54 4. Belu 7.784 Sumber: Dokumen Bappeda NTT 2007.
Jumlah (KK) 1.000 85 54 3.861
Penerima
Pengungsi Timor-Timur yang masih menetap di NTT sampai sekarang masih merasa kecewa terhadap penerimaan Pemerintah RI. Mereka membandingkan dengan cara Pemerintah Belanda dan Amerika Serikat menerima para pengungsi politik. Pada waktu itu, Belanda menerima para pelarian RMS dan KNIL dengan tangan terbuka dan menempatkan mereka sebagai warga negara yang terhormat, karena memilih bergabung dengan Belanda. Demikian juga dengan Pemerintah Amerika Serikat terhadap warga Vietnam Selatan. Namun, terhadap para Wawancara dengan Bupati Belu, Joachim Lopez, Atambua, 14 Juni 2007. Belo Op.Cit. Untuk merespon hal tersebut, mantan komandan utama milisia, Joao Tavares, Yuanico T Belo, dan Calcio menghadap ke Menko Polkam untuk meminta Pemerintah memperhatikan nasib para eks milisia dengan memberikan modal usaha dan surat penghargaan. Namun kedua permintaan ini tidak pernah dipenuhi oleh Pemerintah. Kalau Pemerintah merasa terbebani oleh pengungsi ini secara politik dan finansial, Yuanico T Belo meminta agar ada surat resmi dari Presiden RI untuk meminta semua pengungsi termasuk mantan komandan milisia pulang ke Timor Leste. 18 Lopez, Op. Cit. 19 Wawancara dengan Kepala Bidang Perbatasan Bappeda NTT, Onny Indun, Kupang, 6 Juni 2007. 16 17
269
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 3, Desember 2009: 264-279
pengungsi Timor-Timur ini, Pemerintah dianggap menjadikan mereka masalah atau beban yang memberatkan. Sesampai di NTT, para pengungsi ini disuruh kembali ke Timor Leste, sebagian ditelantarkan, dan dianggap menjadi beban pemerintah. Mereka meminta agar masalah pelanggaran HAM pada tahun 1999 tidak usah dibesar-besarkan.20 Untuk menangani persoalan pengungsi, pemerintah disarankan melakukan beberapa hal sebagai berikut.21 Pertama, melakukan transmigrasi lokal di wilayah Kabupaten Belu. Hal ini tidak menjadi masalah bagi warga Timor Timur karena mereka menganggap Belu adalah asal tanah leluhur mereka. Pejabat Pemda NTT melihat bahwa pengungsi Timor-Timur inginnya dipindahkan secara rombongan dan tidak sendirisendiri. Kedua, para pengungsi diberikan hak-hak sebagaimana warga negara penuh. Pada pembagian lahan, para pengungsi meminta diberikan hak untuk memiliki tanah. Demikian juga secara politik, mereka diberikan hak untuk memilih dan dipilih dalam jabatan-jabatan politik. Ketiga, para pengungsi diberikan status dwi-kewarganegaraan sehingga mereka bisa leluasa lintas batas RI-TL untuk mengunjungi sanak saudaranya di Timor Leste. Keempat, para pengungsi diberikan zona netral sepanjang lima kilo meter dari garis perbatasan untuk melakukan perdagangan tradisional dimana orang-orang yang dipilih bisa bersifat selektif. Pengamatan di lapangan membuktikan bahwa Pemerintah memang telah membuat resettlement (pemukiman) kepada pengungsi, namun kondisi di resettlement tersebut dapat dikatakan memprihatinkan. Jalan menuju resettlement di Haikrit (Kabupaten Belu), misalnya, bergununggunung dan hanya diberi kerikil tanpa aspal. Kondisi pengungsi kelihatan berpakaian yang kurang layak, nampak anak-anak kurus kering dalam jumlah banyak. Percakapan dengan ketua RW di pemukiman menunjukkan bahwa pemukiman baru tersebut tidak diberikan fasilitas kesehatan, transportasi, penerangan, dan pendidikan. Daerah mereka tetap saja terisolir dan warga eks pengungsi merasa didiskriminasikan dalam mencari pekerjaan. Sebagian dari mereka menanam padi di sawah-sawah milik penduduk lokal dengan sistem bagi hasil. Menurut Kapolda NTT, RB Sidarum, kondisi eks pengungsi yang tidak memiliki pekerjaan ini dapat menjadi faktor korelatif kerawanan Kamtibmas.22 Namun perlu diingat bahwa kondisi pemukiman masyarakat lokal dalam realitasnya juga tidak jauh lebih baik dari warga pengungsi. Artinya adalah bahwa baik tingkat kesejahteraan warga masyarakat lokal dan pengungsi relatif sama yaitu berada di bawah garis kemiskinan. Ketika kondisi kemiskinan warga lokal maupun pengungsi dikonfirmasi kepada salah pejabat Bappeda NTT, Onny Indun, keterangan yang disampaikan adalah bahwa kurangnya pembangunan di daerah Tavares Op. Cit. Tavares, Op. Cit. 22 Sidarum Op. Cit. FKK lengkapnya adalah faktor-faktor dominan yang dapat menyebabkan warga masyarakat melakukan tindakan kriminalitas misalnya pengangguran. 20 21
270
Cahyo Pamungkas Sumber-Sumber Persoalan Keamanan di Perbatasan RI-Timor Leste
disebabkan karena ketergantungan yang tinggi kepada anggaran Pemerintah Pusat.23 Sebagai akibatnya, daerah selalu kekurangan dana untuk membangun termasuk dalam penanganan pengungsi. Selain itu, Indun mengatakan bahwa Pemerintah Pusat belum memiliki framework dan visi untuk menjadikan daerah perbatasan sebagai serambi depan Indonesia. Nampak, seolah-olah Pemda menyalahkan Pemerintah Pusat karena persoalan kurangnya alokasi dana pembangunan dan program kerja yang tidak mendukung pengembangan daerah perbatasan. Padahal, menurut keterangan salah seorang tokoh pengungsi, Fransisco Tavares, dengan membanjirnya pengungsi ke NTT sejak tahun 1999, nampak tingkat kesejahteraan para pejabat dan pegawai Pemda relatif meningkat dari sebelumnya.24 Hal ini tidak berarti bahwa mereka melakukan korupsi dana bantuan pengungsi, walaupun kemungkinan tersebut tetap ada. Menurut keterangan tokoh pengungsi tersebut, sebenarnya Pemerintah telah mengeluarkan banyak dana untuk rehabilitas pengungsi, namun persoalan pengungsi belum dapat diselesaikan. Selain budaya warga pengungsi yang susah diatur, faktor lain adalah pendekatan Pemda yang cenderung top down yaitu tanpa melibatkan partispasi dan pendapat pengungsi ataupun para eks-komandan milisia. Pengungsi merasa dirinya menjadi objek dan diprojekkan oleh Pemda kepada Pemerintah Pusat. Ketika program-program Pemda ditolak oleh pengungsi, pendekatan yang digunakan adalah meminta bantuan aparat keamanan, terutama TNI, untuk memaksa para pengungsi menerima resettlement atau pemukiman baru tersebut. Ada suatu kasus yang diungkapkan oleh Yuanico T Belo, tokoh pro-integrasi Timor-Timur, bahwa sekelompok pengungsi di Kupang menolak untuk menetap di pemukiman baru karena tidak ada air bersih, listrik, dan transportasi.25 Namun, Pemda meminta TNI untuk memaksa warga menetap di daerah tersebut. Selain menderita secara fisik, para eks pengungsi ini juga menderita secara politik dan psikologis. Secara politik, mereka dianggap sebagai kelompok atau pihak yang kalah atau dikalahkan dalam perebutan kekuasaan politik di Timor-Timur 1999. Bahkan, secara psikologis, mereka melihat diri mereka sendiri sebagai pihak yang dikorbankan oleh aparat keamanan Indonesia. Mereka dibutuhkan aparat keamanan dalam menghadapi aksi-aksi bersenjatan Fretilin. Namun, mereka juga dicampakkan ketika proses politik berpihak pada kemenangan Fretilin. Salah satu pimpinan mereka, Eurico Gueteres, dipenjara dengan kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur pada tahun 1999.26 Para eks milisia ini kelihatannya baru menyadari bahwa sungguh tidak menyenangkan berhubungan dengan pihak aparat keamanan Indonesia, walaupun mereka sendiri meyakini bahwa perilaku orang Indun, Op. Cit. Tavares, Op. Cit. 25 Belo, Op. Cit. 26 Belo Op. Cit. 23 24
271
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 3, Desember 2009: 264-279
Indonesia jauh lebih bermartabat daripada perilaku Pemerintah dan aparat keamanan Indonesia. Yuanico T. Belo lebih lanjut menyebutkan bahwa ada seorang tokoh milisia yang sangat disegani oleh para Jenderal pada tahun 1999. Namun, ketika anaknya ingin masuk tentara, para Jenderal itu mengatakan harus mengikuti prosedur yang berlaku.27 Menurutnya, mereka yang menjadi perwira menengah pada saat bertugas di Timor-Timur tidak peduli dengan nasib warga Timor-Timur sekarang ini. Jumlah pengungsi, menurut pandangan mantan komandan milisi Timor-Timur, berjumlah sekitar 190.000 jiwa tidak termasuk TNI/Polri dan PNS. Para mantan milisia yang tinggal di kamp-kamp ini masih memiliki kemampuan militer seperti membuat bom dan merakit senjata api, karena mereka dididik selama 3 bulan dengan pelajaran dasar-dasar kemiliteran. Sebagian dari mereka pernah bertugas membantu TNI/Polri dalam perang selama 23 tahun melawan Fretilin. Mereka ini yang memiliki potensi merusak hubungan RI dan Timor Leste kalau kesejahteraan mereka tidak diperhatikan.28 Aktivitas Ekonomi Ilegal Studi Tim LIPI mengenai mobilitas penduduk di daerah perbatasan (Setiawan dkk. 2005) mengatakan bahwa perekonomian wilayah perbatasan Timor Leste sangat bergantung kepada Provinsi NTT. Menurut studi ini, Pemerintah telah membangun tujuh pasar untuk memenuhi kebutuhan penduduk di daerah perbatasan.29 Studi tersebut juga mengatakan bahwa sebelum diperlakukan penggunaan visa dan paspor, perdagangan di daerah perbatasan sangat menguntungkan. Namun setelah diperlakukan paspor dan visa, kegiatan perdagangan di daerah perbatasan menjadi menurun drastis. Fenomena yang muncul adalah perdagangan ilegal dan kegiatan penyelundupan dari wilayah NTT ke Timor Leste dan dari Timor Leste ke NTT yang dilakukan melalui hutan, jalan setapak, dan lokasi-lokasi tersembunyi di sepanjang tapal batas antara kedua negara. Salah satu permasalahan utama daerah perbatasan adalah ketertinggalan dan keterisolasian sehingga daerah-daerah ini dapat dikategorikan sebagai daerah tertinggal. Pengembangan wilayah Ibid. Ibid. Pemerintah Timor Leste lebih takut terhadap keberadaan eks-milisia Timor-Timur daripada dengan TNI karena milisia ini adalah orang Timor-Leste sendiri yang tidak terikat oleh perjanjian internasional. Namun demikian, tidak ada jaminan bahwa keberadaan eksmilisia dan eks-komandan milisia di Indonesia untuk selamanya. Mungkin suatu saat, mereka akan kembali ke Timor Leste meskipun mantan komandannya masih di Indonesia. Dalam wawancaranya, Yuanico mengakui bahwa dirinya dan Eurico Gutteres pernah didatangi oleh aktivis-aktivis HAM internasional yang meminta pengakuan bahwa mereka dipersenjatai dan diperintah oleh TNI untuk membumihanguskan Timor Timur pada 1999. Namun, permintaan tersebut ditolak karena kesetiaannya kepada NKRI.28 29 Selain itu, Pemerintah juga mendirikan sembilan pintu keluar-masuk untuk lalilintas orang dan barang yaitu empat di Kabupaten Belu (Mota’ain, Metamauk, Haekesak, dan Haumusu), empat di Kabupaten Timor Tengah Utara (Napan, Wini, Laktutut, dan Haumenimau), dan satu di Kabupaten Kupang (Oepoli) 27 28
272
Cahyo Pamungkas Sumber-Sumber Persoalan Keamanan di Perbatasan RI-Timor Leste
perbatasan tidak hanya bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan tetapi juga akan bermanfaat dalam menciptakan stabilitas keamanan di daerah perbatasan itu sendiri. Meningkatnya kemiskinan masyarakat di daerah perbatasan akan menyebabkan meningkatnya kegiatan ilegal dan membuka jalan bagi tindak kejahatan lintas perbatasan seperti: illegal logging, illegal fishing, illegal traficking in person, dan perdagangan wanita dan anak. Dengan demikian, salah satu upaya yang harus dilakukan untuk menciptakan keamanan di daerah perbatasan adalah menciptakan perliIndungan kemanusiaan (human security) terhadap penduduk yang tinggal di daerah perbatasan itu sendiri. Menurut Laporan ICG (4 Mei 2006), penyelundupan dan lalu lintas ilegal adalah permasalahan utama di perbatasan RI-Timor Leste yang harus lebih diperhatikan daripada penyusupan eks-milisia ke Timor-Leste. Selanjutnya dikatakan bahwa pendekatan keamanan perbatasan yang diterapkan sekarang ini telah memberikan kontribusi terhadap munculnya masalah melalui kapasitas penjagaan keamanan yang belum memadai dan kurangnya kerangka kerja bagi kegiatan perdagangan dan lalulintas perbatasan secara informal. Kedua hal ini menurut ICG telah menimbulkan kekerasan secara sporadis dan menciptakan kesulitan-kesulitan ekonomi bagi banyak komunitas masyarakat. Penyelundupan merupakan faktor kedua setelah pengungsi yang berpotensi sebagai sumber permasalahan keamanan di daerah perbatasan RI-TL.30 Hal ini terjadi disebabkan oleh perbedaan harga bahan-bahan kebutuhan pokok antara Provinsi NTT dengan Timor Leste yang mencapai tiga sampai empat kali lebih tinggi di Timor Leste. Sementara itu, Mayjend TNI Amir Syamsuddin, Direktur C BAIS TNI, mengakui bahwa terdapat hubungan ekonomi, sosial, dan budaya yang sangat erat di perbatasan darat RI-Timor Leste sehingga memunculkan suatu garis yang tidak nyata, yaitu semacam jalan tikus, karena saling ketergantungan antara kedua warga masyarakat yang dipisahkan oleh garis perbatasan. Penyelundupan seperti minyak tanah, sembako, dll terjadi melalui jalan-jalan tikus sehingga seringkali menjengkelkan petugas. Pemberlakuan Pas Lintas Batas dapat mejadi solusi untuk mencegah kegiatan ekonomi ilegal seperti ini.31 Kapolda NTT, Brigjend RB Sidarum juga mengatakan bahwa karena perbedaan harga antara Timor Leste dan NTT, ada kecenderungan sebagian orang menjual sembako secara diam-diam ke daerah perbatasan.32 Menurut Philipe Meno, salah seorang tokoh pengungsi di Kupang, memang ada kerjasama yang dilakukan masyarakat di NTT dengan yang di Timor Leste. Dia mengatakan bahwa kalau membawa minyak satu jirigen yang berisi 10 liter membayar 50 ribu bisa bisa lolos, maka besoknya akan membawa 10 jirigen. Pull factor berasal dari ekonomi Timor Leste yang Syahnakri Op. Cit. Syamsuddin Op. Cit. 32 Sidarum Op. Cit. 30 31
273
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 3, Desember 2009: 264-279
memakai mata uang dolar Amerika Serikat, sedangkan push factor berasal dari ekonomi NTT. Tanpa penjualan minyak seperti ini, masyarakat Timor Leste di perbatasan akan lebih menderita, karena harga minyak di sana lebih mahal dua kali lipat daripada membeli di pasar gelap. Menurut keterangan salah seorang wartawan yang bertugas di Atambua, Pemerintah telah berupaya mengurangi penyelundupan dengan membangun lima pasar tradisional di pos-pos perbatasan Kabupaten Belu, namun pasar-pasar tersebut belum digunakan.33 Alasan yang seringkali disampaikan oleh para pejabat Indonesia adalah karena Pemerintah Timor Leste belum siap mengeluarkan Pas Lintas Batas. Namun, narasumber tersebut menyampaikan bahwa jika kelima pasar tersebut dibuka, maka akan mematikan kegiatan penyelundupan yang selama ini berjalan melalui jalan tikus. Selain itu, penutupan pintu perbatasan utama dengan alasan ketidakstabilan politik di Timor Leste terutama Pemilu dan pemberontakan Mayor Alfredo ikut menjadi faktor utama kegiatan ekonomi ilegal. 34 Menurut wartawan tersebut lebih lanjut, penyelundupan yang terjadi melalui jalan tikus nilainya tidak seberapa dibanding dengan penyelundupan melalui jalur resmi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebelum pintu gerbang utama dibuka pada jam 08.00, pagi harinya truktruk berisi sembako, BBM, pupuk melintas dari wilayah Indonesia menuju Timor Leste melalui Motaain. Beberapa pengusaha lokal dari Kupang dan Atambua diduga bekerjasama dengan oknum-oknum aparat keamanan untuk melakukan kegiatan tersebut. Dengan demikian, kegiatan mereka menjadi ”legal” dan ”tidak melanggar hukum” lintas batas antar negara, karena ”hukum” di perbatasan ditentukan oleh oknum-oknum tertentu daripada sebuah sistem kekuasaan yang legal-rasional menurut aturan hukum internasional. Penyelundupan BBM diduga sering berlangsung di perbatasan RI-Timor Leste, namun tidak ada bukti yang kuat untuk membongkar kegiatan ini karena seolah-olah kegiatan ini nampak telah melalui jalur-jalur yang ”legal.”35 Sedangkan penyelundupan melalui jalan tikus adalah konsekuensi logis dari situasi ekonomi yang tertutup. Warga Timor Leste yang kelaparan secara berombongan atau sendiri-sendiri menyeberang bukit-bukit dan mengarungi sungai-sungai menyeberang ke wilayah Indonesia untuk mendapatkan minyak, beras, mie, dan lain-lain. Menurut informan tersebut (B), mekanismenya adalah sebagai berikut. Tokoh-tokoh masyarakat Timor Leste di daerah perbatasan menghubungi eks-pimpinan milisi Timor Timur yang tinggal di perbatasan, mereka menyampaikan rencana kegiatannya untuk memperoleh sejumlah sembako. Setelah itu, para eks pimpinan milisi Konfidensial interview (B), Op. Cit Ibid. Kasus Mayor Alfredo akan dibiarkan mengambang baik oleh Australia maupun Indonesia karena kedua negara ini diduga diuntungkan dengan kasus Alfredo. Australia diuntungkan karena keberadaan pasukan mereka dipertahankan dengan alasan pemberontakan. Sementara Indonesia diuntungkan karena kasus tersebut melegitimasi bahwa situasi perbatasan adalah tidak aman dan keamanan dikendalikan sepenuhnya oleh militer. 35 Belo, Op. Cit. 33 34
274
Cahyo Pamungkas Sumber-Sumber Persoalan Keamanan di Perbatasan RI-Timor Leste
menyampaikan rencana kegiatan tersebut kepada patron-patron mereka yang memiliki kekuasaan di perbatasan yang intinya mengijinkan pasar tradisional terjadi pada jam tertentu, hari tertentu, dan di tempat-tempat tertentu. Selanjutnya, para eks pimpinan milisi menyampaikan waktu dan tempat yang diijinkan kepada pihak Timor Leste.36 Namun demikian, menurut Bupati Belu, Joachim Lopez, tidak ada bisnis ilegal di perbatasan yang melibatkan oknum-oknum aparat keamanan.37 Lopez berpendapat bahwa isu penyelundupan adalah sengaja dibesar-besarkan oleh media massa. TNI/Polri tidak memiliki keterkaitan dan keuntungan dari kegiatan ekonomi ilegal ini karena tugas mereka adalah menjaga keamanan perbatasan. Bisnis ilegal justeru akan merusak citra TNI/Polri dan mengganggu keamanan perbatasan. Selain itu, mereka yang melewati jalan tikus hampir semuanya adalah orang-orang Timor Leste yang kelaparan. Sebaliknya, tidak ada warga Indonesia yang menyebang ke perbatasan. Pemda Kabupaten Belu telah membangun pasarpasar tradisional di pos-pos pintu masuk perbatasan untuk mencegah penyelundupan walaupun belum digunakan secara maksimal.38 Namun, ketika dikonfirmasi kepada wartawan yang menjadi narasumber tersebut, Bupati dianggap sebagai ingin menjaga hubungan baik dengan pihak keamanan karena terkait dengan Pilkada yang akan digelar dua tahun lagi. 39
Definisi penyelundupan dianggap kurang adil untuk masyarakat kecil karena penyelundupan yang dilakukan oleh pengusaha besar dilegalkan. Masyarakat yang tinggal di NTT membawa barang-barangnya melalui berbagai cara sebagai berikut.40 Pertama, mengirim ke saudaranya secara langsung. Sebagian masyarakat menganggap bahwa terminologi legal dan tidak legal adalah relatif.41 Kedua, melakukan temu kangen secara ilegal atau tanpa melalui pintu masuk resmi. Pada saat kangen mereka saling bertukar barang seperti sembako dan lain-lainnya. Ketiga, pada saat menghadiri upacara-upacara adat seperti kematian, mereka menyeberang ke perbatasan tanpa melalui pintu resmi. Keempat, mendirikan warung-warung tanpa ijin di beberapa tempat tertentu pada
Konfidensial interview (B) Op. Cit Pada waktu dan tempat yang ditentukan, pasukan pengamanan perbatasan tidak melakukan patroli rutin untuk memberikan kesempatan kepada perdagangan ilegal tersebut. Pihak penyedia barang dikordinir oleh para eks pimpinan milisia dan mereka memberikan sejumlah uang keamanan. Peranan eks pimpinan milisia adalah sebagai penghubung antara pihak Timor Leste dengan oknum penguasa perbatasan. 37 Lopez Op. Cit. 38 Lopez, Op. Cit. 39 Konfidensial interview (B) Op. Cit. 40 Tavares, Op. Cit. 41 Ibid. Ketika mereka melihat truk membawa BBM Pertamina yang disubsidi melintasi perbatasan dengan aman, tumbuh pikiran dalam hati kalau oknum pengusaha itu diperbolehkan atau legal mengapa kalau mereka yang melakukan dianggap tidak legal. Pada akhirnya, mereka berani mengirimkan dua dirigen BBM kepada saudaranya di seberang perbatasan. 36
275
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 3, Desember 2009: 264-279
waktu tertentu di daerah perbatasan tanpa sepengetahuan aparat keamanan. Mengenai penyelundupan oleh warga masyarakat lokal, Kabid Pemerintahan Kabupaten Kupang Moh. Idin menyampaikan bahwa penyelundupan mungkin terjadi namun dalam skala yang relatif kecil karena garis perbatasan yang relatif pendek dan mudah dikontrol oleh Satgas Pamtas.42 Menurutnya, hal ini terjadi untuk hal-hal yang insidental seperti sapi yang keluar masuk dengan bebas melintasi garis perbatasan dan dianggap sebagai penyelundupan. Selanjutnya Idin mengatakan bahwa Pemda Kecamatan Amfoang selama ini belum mendapatkan laporan dari masyarakat mengenai adanya jalan-jalan tikus yang menghubungkan Amfoang dengan Oecussi.43 Jawaban tersebut dapat diartikan menjadi dua hal sebagai berikut. Pertama, pejabat tersebut tidak tahu permasalahan di daerahnya termasuk penyelundupan yang terjadi di perbatasan. Kedua, pejabat tersebut mungkin tahu tetapi mengatakan tidak tahu, karena takut akan konsekuensi-konsekuensinya yang akan muncul jika ia mengatakan secara jujur. Namun menurut keterangan salah seorang PNS yang eselonnya lebih rendah dari pejabat Kabupaten Kupang, bahwa tidak mungkin masyarakat melaporkan penyelundupan ke Pemda karena nyawa mereka akan terancam dan tidak akan ada pihak yang melindungi mereka termasuk kepolisian.44 Hukum yang berlaku di perbatasan adalah hukum besi yang sangat keras. Menurutnya, pernah ada rumor yang mengatakan bahwa penyelundupan sapi dari Oecussi (Distrik Ambeno) ke Amfoang (Kabupaten Kupang) adalah hal yang “biasa” pada masa-masa tertentu karena sapi dari Oecussi-Timor Leste tidak dapat dijual ke luar daerah. Satu-satunya jalan adalah diselundupkan atau dijual ke Indonesia. Cerita ini belum diuji kebenarannya dan disebut sebagai rumor yang dipercayai masyarakat.45 Menurut narasumber PNS tersebut di atas, rumor mengenai penyelundupan lainnya yang seringkali beredar adalah pasar gelap di antara pos penjagaan ke tiga dan keempat di pos perbatasan Oecusi dan Amfoang.46 Setiap hari tertentu pada setiap minggu, sejumlan warga Timor Leste membawa kereta dorong membeli bensin, beras, rokok,garam, dan indomie di pasar tersebut yang penjualnya adalah warga Amfoang. Keuntungan yang diambil oleh pedagang gelap tersebut biasa tiga sampai empat kali lipat, tetapi kalau tertangkap Satgas Pamtas taruhannya adalah sangat besar. Menurutnya, pasar gelap tersebut muncul karena pasar Wawancara dengan Moh. Idin, Kupang, 6 Juni 2007. Idin, Op. Cit. 44 Konfidensial interview (C), Amfoang Utara, 8 Juni 2007. 45 Mesakh Op. Cit. Menurut Camat Amfoang Timur, Melkianus Mesakh, masalah lain adalah ratusan sapi milik warga Amfoang-Kupang, minum air di sungai yang merupakan daerah perbatasan. Kalau ada yang melempar batu ke kerumunan sapi tersebut, maka sapi-sapi itu akan melarikan diri ke wilayah Oecussi dan sangat susah untuk mengurusnya. 46 Konfidensial interview (B) Op. Cit. 42 43
276
Cahyo Pamungkas Sumber-Sumber Persoalan Keamanan di Perbatasan RI-Timor Leste
tradisional yang resmi di perbatasan belum difungsikan. Terhadap pasar gelap tersebut, pihak kecamatan dan Kapolres sebenarnya mengetahui tetapi ada perintah dari dari Kapolres agar pasar tersebut jangan diusik dan dilaporkan sebagai penyelundupan. Mengganggu pasar tersebut berarti menuduh Satgas Pamtas, resikonya sangat besar karena mereka adalah pemegang monopoli hukum dan kekuasaan di daerah perbatasan. Sementara itu, Bonar Tigor Naipospos, mantan aktivis Solidamor (Solidaritas untuk Timor-Timur), menyebutkan bahwa kegiatan ekonomi ilegal ini akan menjadi faktor yang berpengaruh terhadap persoalan keamanan perbatasan karena banyak kepentingan bermain baik di Timor Leste maupun di Indonesia.47 Bagi Indonesia sebenarnya akan sangat menguntungkan untuk mengekspor barang-barang kebutuhan primer ke Timor Leste. Sementara itu, mantan Presiden dan sekarang Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao, menganggap penting hubungan dengan Indonesia tetap dipertahankan karena barang-barang impor dari Australia akan sangat mahal daripada Indonesia.48 Kegiatan ekonomi di perbatasan ini pada dasarnya menguntungkan kedua belah fihak, baik bagi mereka yang tinggal di NTT maupun Timor Leste. Jika dalam beberapa tahun ke depan, pendapatan ekonomi Timor Leste meningkat karena produksi minyak dan situasi politik yang stabil, maka Timor Leste akan menjadi negara kecil yang sejahtera. Kalau dibentuk zona-zona perdagangan khusus di sepanjang perbatasan yang menggunakan Pas Lintas Batas, maka akan mendorong partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan perdagangan. Pada akhirnya, hal ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di perbatasan. Keuntungan dari zona-zona perdagangan tradisional ini juga akan lebih banyak ke peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum, sekaligus mencegah terjadinya perdagangan gelap di jalan-jalan ilegal. Namun demikian, tentunya akan ada pihak yang dirugikan dari zona perdagangan ini yaitu mereka yang sebelumnya memperoleh rente dari perdagangan ilegal baik di jalur resmi maupun tidak resmi. Perkembangan ekspor melalui darat dan laut dari berbagai pelabuhan ke Timor Leste sejak Januari hingga Juni 2006 mencapai 37 jenis komoditas dengan volume 8.550.704 kg dan bernilai US$ 3.597.695.49 Jenis-jenis dan nilai komoditas tersebut selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2. Permasalahan yang timbul sebagai tindak lanjut pengaturan lintas barang adalah:50 (1) pengawasan yang kurang ketat sehingga perlintasan barang tidak terkontrol dengan baik; (2) Pihak RDTL belum siap dalam pelaksanaan kesepakatan terbukti belum dioperasikannya pasar tradisional; (3) pemanfaatan perdagangan di perbatasan lebih banyak Bonar Tigor Naipospos dalam FGD LIPI, Jakarta, 29 Mei 2007. Ibid. 49 Laporan Gubernur NTT Op. Cit. 50 Laporan Gubernur NTT Op. Cit. . 47 48
277
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 3, Desember 2009: 264-279
dimanfaatkan pelaku bisnis yang berasal dari kawasan luar perbatasan; (4) Meskipun penerbitan Pemberitahuan Ekspor Barang dan Impor Barang menunjukkan kenaikan tetapi volume kegiatan relatif masih kecil. Tabel 2. Aliran Komoditas di Perbatasan Motaain pada Periode Januari-Juni 2006 Komoditas Volume Harga Pintu Masuk Migas 115.640 Kg US$ 329.846 Motaain (ke Non Migas 845.684 Kg Timor Leste) Pertanian: kacang tanah, 171.796 Kg US$ 38.719 Motaain (ke kopi, kemiri, kopra, dan Indonesia) sapi Sumber: Strategi dan Kebijakan Pembangunan Kawasan Perbatasan, makalah Gubernur NTT dipresentasikan di Jakarta pada 24 Agustus 2006.
Penutup Berdasarkan paparan di muka, dapat diketahui bahwa persoalan penanganan pengungsi dan aktivitas ekonomi ilegal dapat berkembang menjadi faktor-faktor korelatif kerawanan Kamtibmas dan juga menjadi ancaman sesungguhnya dari keamanan non-konvensional di perbatasan. Kedua hal tersebut muncul diduga disebabkan karena perspektif lokal tentang perbatasan jauh lebih kompleks dari sekedar melihat perbatasan sebagai batas politik dan alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perspektif tentang keamanan perbatasan yang menempatkan negara sebagai subjek sudah saatnya digantikan dengan perspektif human security yang menempatkan warga negara sebagai subjek. Perspektif pertama menekankan hadirnya instirusi-institusi dan aparat-aparat negara secara institusional di perbatasan. Namun perspektif kedua, menghendaki hadirnya negara sebagai seni memerintah (governmentality) yang memberikan kesejahteraan dan melindungi warga negaranya. Pada konteks perbatasan RI-Timor Leste, negara hadir secara institusional tetapi belum hadir sebagai seni memerintah. Implikasinya adalah masalah ekspengungsi dan aktivitas ekonomi ilegal hadir di perbatasan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menciptakan rasa aman di perbatasan antara lain adalah: (1) eks-pengungsi Timor-Timur yang ada di Indonesia yang tidak memiliki akses kepemilikan tanah akan mengganggu keamanan kawasan perbatasan; (2) Stigma yang ditujukan terhadap eks-pengungsi ini sebagai milisi dapat memicu gejolak sosial di kawasan perbatasan. (3) Kehadiran TNI maupun Polri di daerah perbatasan harus mampu membuat citra bangsa Indonesia yang cinta damai dan terhormat; (4) pendidikan di kawasan perbatasan harus jadi perhatian pemerintah pusat, sehingga generasi mudanya bisa dididik dengan lebih baik; (5) Masyarakat di kawasan perbatasan tidak boleh dianggap sebagai masyarakat terasing tetapi harus dianggap sebagai bagian dari komunitas bangsa Indonesia yang hak-haknya harus dilindungi. 278
Cahyo Pamungkas Sumber-Sumber Persoalan Keamanan di Perbatasan RI-Timor Leste
Daftar Pustaka Asia Briefing No. 50. 4 Mei 2006. “Managing Tensions on the Timor-Leste/Indonesia Border.” Jakarta/Brussel. Buzan, Barry, Ole Weaver dan Jaap de Wilde. 1998. Security: A New Framework for Analysis. Colorado: Lynne Rienner Publishers, Inc. Haba, John dan Robert Siburian. 2005. Pengungsi Timor-Timur: Permasalahan dan Solusinya. Jakarta: LIPI. Perwita, Anak Agung Banyu. 2005. “Isu Keamanan Non Tradisional dan Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia,” dalam Bantarto Bandoro (ed.), Mencari Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta: CSIS Setiawan, Bayu dkk. 2005. Mobilitas Penduduk dan Pengembangan Potensi Perdagangan di Wilayah Perbatasan NTT-Timor Leste. Jakarta: LIPI. Seran, Johannes Bernando.---Spirit Solidaritas Manusia Belu (Kontribusi Terhadap Intgerasi Timor timur). Atambua: Pusat Pengkajian Budaya Belu. Transkrip FGD Tim Perbatasan LIPI di Jakarta tanggal 29 Mei 2007. Transkrip FGD Tim Perbatasan LIPI di Kupang tanggal 7 Juni 2007. Transkrip FGD Tim Perbatasan LIPI di Atambua 15 Juni 2007. Transkrip wawancara dengan Yuanico T Belo, Kupang, 6 Juni 2007. Transkrip wawancara dengan narasumber konfidensial (A), Atambua, 15 Juni 2007. Transkrip wawancara dengan narasumber konfidensial (B), Atambua, 14 Juni 2007. Transkrip wawancara dengan narasumber konfidensial (C), Amfoang Utara, 8 Juni 2007. Transkrip wawancara dengan Melkiano Mesakh, Camat Amfoang Timur di Amfoang Utara Kabupaten Kupang, Amfoang Utara, 8 Juni 2007. Transkrip wawancara dengan Bupati Belu Joachim Lopez, Atambua, 14 Juni 2007. Transkrip wawancara dengan Kepala Bidang Pemerintahan Kabupaten Kupang, Moh. Idin, Kupang, 6 Juni 2007. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Kawasan Perbatasan, makalah Gubernur NTT dipresentasikan di Jakarta pada 24 Agustus 2006. 279