Bagian Pertama
PENGELOLAAN PEMERINTAHAN DI WILAYAH PERBATASAN* oleh: Indra Pahlevi, S.IP., M.Si.**
*
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2011. Peneliti Masalah Politik dan Pemerintahan Indonesia di Bidang Pengkajian P3DI Setjen DPR RI.
**
BAB I PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki rentang kendali yang sangat luas. Secara keseluruhan jumlah pulau yang tercatat mencapai 17.499 pulau dan luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta km2, serta panjang garis pantai yang mencapai 81.900 km2. Dengan demikian, Indonesia memiliki perbatasan darat dan perbatasan laut. Untuk perbatasan laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara yaitu Malaysia, Singapura, Filipina, India, Thailand, Vietnam, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Sedangkan untuk wilayah darat, Indonesia berbatasan langsung dengan tiga negara, yakni Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste dengan panjang garis perbatasan darat secara keseluruhan adalah 2914,1 km. Dengan begitu luasnya wilayah perbatasan laut dan darat Indonesia tersebut, sudah pasti membutuhkan adanya dukungan sistem manajemen perbatasan yang terorganisir dan profesional, baik itu ditingkat pusat maupun daerah. Namun demikian hingga saat ini yang terlihat adalah minimnya infrastruktur di kawasan perbatasan yang berarti menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki sebuah sistem manajemen perbatasan yang baik. Padahal saat ini sudah berdiri sebuah lembaga khusus yang mengelola perbatasan yakni Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPB) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang BNPP yang tugas pokoknya menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, mengoordinasikan pelaksanaan, dan melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.1 Dengan demikian tanggung jawab pengelolaan wilayah perbatasan hanya bersifat koordinatif antar lembaga pemerintah kementerian/lembaga tanpa ada sebuah lembaga pemerintah yang langsung bertanggung jawab melakukan manajemen perbatasan dari tingkat pusat hingga daerah. Berdasarkan gambaran di atas, maka dengan luasnya kawasan perbatasan Indonesia sudah seharusnya mencerminkan sebuah kebijakan pengelolaan perbatasan yang efektif dan dapat dipertanggungjawabkan serta transparan baik berdasarkan aspek sosial-ekonomi maupun aspek keamanan. Secara kasat mata yang terjadi adalah meningkatnya tindak kejahatan di perbatasan (border crime) seperti penyelundupan kayu (illegal logging), barang, dan obat-obatan terlarang,
1
Lihat Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan.
3
Pengelolaan Pemerintahan di Wilayah Perbatasan
perdagangan manusia (human trafficking), terorisme, serta masuknya ideologi asing yang sedikit banyak memberikan dampak dan mengganggu kedaulatan serta stabilitas keamanan di perbatasan negara. Selama ini, kawasan perbatasan Indonesia hanya dianggap sebagai garis pertahanan terluar negara, padahal seharusnya harus dijadikan sebagai halaman depan bagi negara ini. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan dalam mengelola perbatasan tidak hanya mengedepankan pada pendekatan keamanan (security approach) semata, tetapi juga menggunakan pendekatan kesejahteraan (prosperity) dan keamanan secara berdampingan pada pengembangan wilayah perbatasannya seperti yang di lakukan di beberapa negara tetangga.2
II. Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah di atas terlihat bahwa masih terdapat berbagai kondisi yang belum memberikan rasa aman dan sejahtera bagi masyarakat di wilayah perbatasan karena belum adanya sistem manajemen wilayah perbatasan secara komprehensif dan tepat. Jika kita melihat UndangUndang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, secara implisit menyiratkan bahwa pengaturan tentang pengembangan wilayah (perbatasan) di kabupaten/kota secara hukum berada dibawah tanggung jawab pemerintah daerah yang bersangkutan. Sementara kewenangan Pemerintah pusat ada pada gerbang perbatasan (border gate) yang meliputi aspek kepabeanan, keimigrasian, karantina, keamanan dan pertahanan (CIQS).3 Namun demikian, pemerintah daerah ternyata juga masih menghadapi berbagai tantangan dan hambatan dalam mengembangkan terutama aspek sosial-ekonomi kawasan perbatasan. Beberapa hambatan tersebut antara lain, masih adanya paradigma pembangunan wilayah yang terpusat, sehingga kawasan perbatasan hanya dianggap sebagai “halaman belakang”, sosialisasi peraturan perundangundangan mengenai pengembangan wilayah perbatasan yang belum sempurna, keterbatasan anggaran, dan tarik-menarik kepentingan pusat-daerah. Saat ini upaya untuk memperbaiki kondisi dan hambatan tersebut sudah mulai dilakukan khususnya melalui sebuah Badan Pengelola Perbatasan yakni BNPB. Sehingga, perlu dilihat bagaimana koordinasi antara BNPB dan berbagai kementerian/ lembaga serta pemerintah daerah setempat. Demikian pula, bagaimana mengenai manajemen pemerintahan daerah dalam mengembangkan kawasan perbatasan di wilayahnya.
2
3
4
Lihat Kajian IDSPS, Reformasi Sistem Perbatasan Indonesia, dalam idsps.org/option,com_ docman/ task,doc_download/gid.../Itemid,15/, diakses tanggal 16 Mei 2012. Lihat Bab III Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang membahas tentang Pembagian Urusan Pemerintahan.
Indra Pahlevi, S.IP., M.Si.
III. Pertanyaan Penelitian Penelitian ini berupaya menjawab pertanyaan berikut ini: 1. Bagaimana kordinasi BNPB dan kementerian atau lembaga serta pemerintah daerah? 2. Bagaimana manajemen pemerintahan daerah dalam mengembangkan wilayah perbatasannya? IV. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tulisan yang berasal dari hasil penelitian ini memiliki tujuan untuk menginventarisasi permasalahan khususnya yang terkait dengan pengelolaan pemerintahan yang dihadapi pulau-pulau perbatasan atau kawasan terluar Indonesia yang selama ini belum bayak diketahui khususnya yang terkait dengan pengelolaan pemerintahan dari sebuah daerah otonomi baru (DOB). Melalui penelitian lapangan (field research) ini diharapkan informasi yang belum pernah diketahui atau dilaporkan ke pusat pembuatan kebijakan di Jakarta, dapat diketahui dan dijadikan bahan bagi pengambilan keputusan di kemudian hari, demi perbaikan kondisi dan pengembangan wilayah di daerah tujuan penelitian. Secara lebih spesifik dan realistis, hasil penelitian yang tertuang dalam tulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kegiatan kerja Panitia Kerja (Panja) Perbatasan Komisi II DPR khususnya yang terkait dengan pengelolaan pemerintahannya.
V. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Pekerjaaan di lapangan lebih banyak mengumpulkan data-data dasar. Data-data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara akan di-cross-check dan digunakan seoptimal mungkin untuk kepentingan untuk analisis dan dilihat relevansinya dengan kepetingan dan tujuan penelitian. Sebagai lokasi penelitian adalah dua kabupaten yang berbatasan laut secara langsung dengan negara tetangga yaitu Kabupaten Pulau Morotai di Maluku Utara (dengan Republik Palau dan tidak langsung dengan Filipina) dan Kabupaten Pulau Raja Ampat di Papua Barat (dengan Republik Palau). Adapun cara pengumpulan datanya melalui wawancara mendalam dengan beberapa stakeholders, yaitu pemerintah daerah baik di Kabupaten Pulau Morotai maupun Kabupaten Pulau Raja Ampat serta peninjauan lapangan (observasi).
5
BAB II TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
Sesuai dengan amanat Konstitusi Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), maka Indonesia merupakan sebuah negara kesatuan yang berbentuk Republik serta Indonesia adalah negara hukum.4 Menurut Bhenyamin Hoessein, hakekat negara adalah organisasi. Selanjutnya dalam sebuah organisasi negara dapat diindetifikasikan ke dalam dua kelompok utama atau organ yaitu organ-organ negara (staatsorganen), dan organ-organ pemerintahan (regeringsorganen).5 Dalam pendekatan teoritis, sebuah negara memiliki beberapa asas dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Yang pertama adalah asas sentralisasi yang merupakan asas fundamental sejak kelahirannya sebagai sebuah negara. Asas ini mendasarkan kepada adanya hirarki sejak pembentukan hingga implementasi kebijakan dalam sebuah organisasi pemerintahan negara. Asas lain yang “mirip” dengan sentralisasi adalah dekonsentrasi yang menurut Bhenyamin Hoessein merupakan penghalusan sentralisasi. Hal ini karena kebijakan berada di tingkat pusat tetapi implementasi dilaksanakan oleh pemerintah daerah.6 Selanjutnya dikenal juga asas desentralisasi sebagai sebuah asas bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Asas ini merupakan pemberian kewenangan kepada daerah sejak perencanaan hingga implementasi kebijakan yang tersebar di berbagai jenjang pemerintahan (baik provinsi maupun kabupaten/kota) dan tersebar dalam sektor-sektor (urusan) pemerintahan. Asas ini dinilai memiliki fungsi untuk menciptakan keanekaragaman dalam penyelenggaraan pemerintahan karena situasi, kondisi, dan potensi masyarakat setiap wilayah serta jenjang pemerintahan berbeda satu sama lain. Hal ini sebagai wujud akomodasi adanya keberagaman masyarakat yang sejatinya berbeda satu sama lain termasuk di wilayah perbatasan khususnya perbatasan laut. Dalam kajian Bheyamin Hoessein, pengejawantahan desentralisasi adalah otonomi daerah dalam sebuah daerah otonom yang terbentuk –termasuk hasil pemekaran yang menjadi obyek kajian ini (Kabupaten Pulau Morotai sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara dan Kabupaten Pulau
4 5
6
Pasal 1 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bhenyamin Hoessein, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah, dalam Soetandyo Wignosoebroto et. al, Pasang Surut Otonomi Daerah, Sketsa Perjalanan 100 Tahun, Yayasan TIFA dan Institute for Local Development, Jakarta, 2005: 197. Ibid.
7
Pengelolaan Pemerintahan di Wilayah Perbatasan
Raja Ampat sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong, Papua Barat). dengan demikian desentralisasi dipandang sebagai otonomisasi sebuah masyarakat yang berada dalam wilayah tertentu. Mereka memiliki otonomi dan memiliki pemerintahan yang otonom atau local government. Dalam tradisi Indonesia, daerah otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah dan memiliki kewenangan tertentu untuk membuat kebijakan dan melaksanakannya.7 Dalam konteks pengelolaan pemerintahan daerah – termasuk di dalamnya pengelolaan pemerintahan daerah di wilayah perbatasan, terdapat sejumlah kewenangan (urusan) yang dimiliki oleh pemerintah daerah dan juga yang dimiliki oleh provinsi maupun kabupaten/kota dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain sebagai perwujudan asas desentralisasi.8 Namun demikian terdapat kondisi empirik di daerah bahwa gubernur sebagai kepala daerah provinsi yang juga merupakan wakil pemerintah pusat yang secara konseptual berfungsi sebagai koordinator bagi para bupati/ walikota, dalam prakteknya seringkali justru muncul konflik kewenangan. Oleh karena itu perlu dilihat bagaimana sesungguhnya manajemen pemerintahan yang ideal untuk konteks saat ini. Jika melihat perkembangan dan perubahan masyarakat yang sangat cepat saat ini, berdasarkan konsep J.B Say (1800) serta David Osborne dan Ted Gaebler (1992), maka ada 10 (sepuluh) prinsip reformasi pemerintahan:9 1. Pemerintahan katalitik (catalityc government); 2. Pemerintahan milik rakyat (community owned government); 3. Pemerintahan yang kompetitif (competitive government); 4. Pemerintahan yang digerakkan oleh misi (mission driven government); 5. Pemerintahan berorientasi hasil (result oriented government); 6. Pemerintahan yang berorientasi pelanggan (customer driven government); 7. Pemerintahan wirausaha (enterprising government); 8. Pemerintahan antisipatif (anticipatory government); dan 9. Pemerintahan yang berorientasi pasar (market oriented government). Dari kesepuluh prinsip reformasi pemerintahan tersebut, maka prinsip pemerintahan wirausaha menjadi sebuah konsep yang terus berkembang yang menyatakan bahwa berpindahnya berbagai sumber ekonomi dari suatu wilayah dengan produktivitas rendah ke wilayah dengan produktivitas lebih tinggi dan hasil yang lebih besar menjadi sebuah dasar dalam pengelolaan pemerintahan (khususnya daerah) apalagi bagi daerah hasil pemekaran, sehingga dapat lebih fokus pengelolaannya. 9 7 8
8
Ibid. Lihat Bab III Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Dharma Setyawan Salam, Manajemen Pemerintahan Indonesia, Edisi Revisi, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2007: 209-210.
Indra Pahlevi, S.IP., M.Si.
Dalam konteks bagaimana peran Pemerintah Daerah menjalankan pemerintahan daerah, maka harus dikaitkan dengan ukuran keberhasilan pemerintah daerah (eksekutif) dalam melaksanakan aturan (rule application) sekaligus penyelenggaraan tugas dan kewenangan utamanya yaitu kewenangan administratif dan politik (kebijakan). Menurut Fadel Muhammad, dalam konteks otonomi daerah di Indonesia saat ini, ukuran kinerja harus jelas. Oleh karena itu harus diperhitungkan faktor-faktor yang menentukan dinamika kinerja pemerintahan daerah. Adapun faktor-faktor tersebut adalah kapasitas manajemen, budaya organisasi, lingkungan yang bersifat makro, dan lingkungan yang bersifat mikro.10 Yang dimaksud lingkungan makro adalah dorongan atau hambatan dari luar daerah, sementara lingkungan mikro adalah dorongan dan hambatan dari lingkungan lokal. Fadel menekankan pentingnya ukuran kinerja bagi pemerintah daerah sebagai bentuk dari proses Reinventing Government di tingkat lokal yang menekankan perlunya penerapan teori New Public Management (NPM) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sudah berkembang di berbagai negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat serta beberapa negara berkembang.11 Berkenaan dengan bagaimana pengelolaan pemerintahan daerah di wilayah perbatasan, maka segala kewenangan (urusan) yang menjadi milik pemerintah daerah khususnya pemerintah kabupaten, maka hendaknya terdapat sebuah keterpaduan antara pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten yang bisa dilakukan langsung atau melalui pemerintah provinsi sebagaimana fungsinya dalam ketentuan peraturan penrundang-undangan. Apalagi saat ini sudah ada sebuah badan pengelola perbatasan yaitu Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)
Fadel Muhammad, Reinventing Local Government, Pengalaman Dari Daerah, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2008, hal. 48. Konsep Reinventing Local Government yang disampaikan Fadel Muhammad merupakan pengembangan konsep Reinventing Government yang dikemukakan David Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunya Reinventing Governmet, Addison-Wesley Publication co., 1992. 11 Ibid., hal. 26-27. Konsep New Public Management (NPM) memiliki terjemahan umum sebagai manajemen kewirausahaan di mana nilai-nilai kewirausahaan tersebut menjadi spirit utama dan nilai inti dari administrasi publik. Selengkapnya lihat Fadel Muhamad, ibi, hal. 26-34. 10
9
BAB III PROFIL DAERAH PENELITIAN
I.
Kabupaten Pulau Morotai Pulau Morotai (695 mil persegi/1.800 km²) adalah nama sebuah pulau sekaligus kabupaten definitif baru yang terletak di dekat Pulau Halmahera, Kepulauan Maluku sebagai bagian dari Provinsi Maluku Utara, ia merupakan salah satu pulau paling utara di Indonesia. Dengan jumlah pulau sekitar 70 pulau dan hanya sekitar 10 pulau yang dihuni, maka Kabupaten Pulau Morotai adalah kabupaten dengan rentang kendali yang cukup panjang disertai minimnya sarana dan prasarana perhubungan baik darat, laut, dan udara.12 Kabupaten Pulau Morotai diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Indonesia, Mardiyanto, pada 29 Oktober 2008, sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Halmahera Utara dengan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 2008. Sebagai kabupaten kepulauan, Kabupaten Pulau Morotai berada pada posisi 128° 15’ − 128° 48’ BT dan 2 °00’ − 2 ° 40’ LU dengan batas-batas sebagai berikut:13 Sebelah Barat : Laut Halmahera Sebelah Timur : Laut Pasifik dan Republik Federal Palau Sebelah Selatan: Selat Morotai Sebelah Utara: Laut Halmahera dan Laut Pasifik Selanjutnya, pada tahun 2011 berlangsung pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah Kabupaten Pulau Morotai dan dimenangkan oleh Pasangan Rusli Sibua – Weny R. Paraisu. Secara administratif, Kabupaten Pulau Morotai yang berpenduduk sekitar 55 ribu jiwa terbagi atas 64 desa dan 5 (lima) wilayah kecamatan yaitu: 1. Morotai Jaya 2. Morotai Selatan 3. Morotai Selatan Barat 4. Morotai Timur 5. Morotai Utara Selanjutnya, di Morotai terdapat dua agama besar yaitu Islam 55% dan Kristen 45% serta didiami oleh banyak suku. Tidak ada suku asli Morotai,
Penjelasan Bupati Pulau Morotai kepada Peneliti di ruang kerjanya, di Daruba, 10 November 2011. 13 Profil Morotai, Data Bagian Perbatasan, Biro Pemerintahan Pemerintah Provinsi Maluku Utara, 2010. 12
11
Pengelolaan Pemerintahan di Wilayah Perbatasan
yang terbesar berasal dari Tobelo-Galela serta Sangir, Jawa, dll. Budaya sangat beragam seperti kuda lumping dll.14 Pada masa Perang Dunia II (PD II) sekitar tahun 1940-an, Morotai sangat ramai dengan hadirnya tentara sekutu. Diperkirakan terdapat 100 ribu tentara Jepang dan sekutunya serta sekitar 200 ribu tentara AS dan sekutunya, tetapi setelah PD II berakhir dan Indonesia merdeka, Morotai tidak lagi ramai dan berharap akan ramai kembali setelah menjadi kabupaten otonom dan diselenggarakannya Sail Morotai 2012 yang dicanangkan oleh Presiden SBY tahun 2008 lalu.15 Dalam konteks penelitian ini, sebagai salah satu daerah perbatasan dalam lingkup Provinsi Maluku Utara, maka pembangunan Maluku Utara dengan pusat pengembangan Pulau Morotai sebagai daerah percepatan pembangunan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Pulau Morotai memiliki latar belakang sejarah dan potensi geografis yang sangat strategis untuk KTI. Selain itu, juga untuk menghilangkan ketimpangan regional dibidang sosial, ekonomi, politik dan budaya serta meningkatkan kesiapan KTI dalam menuju era perdagangan bebas dan persaingan bebas dan tidak kalah pentingnya adalah untuk mempertahankan integrasi Pulau Morotai kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan demikian, rencana pengembangan Pulau Morotai sebagai kawasan khusus dimaksud merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konsep pemekaran yang komprehensif Provinsi Maluku Utara. Pulau Morotai merupakan salah satu pulau perbatasan di Kawasan Maluku Utara yang memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah disektor pertanian, perikanan, kehutanan dan kelautan, pertambangan maupun potensi pariwisata alamiah dan pariwisata sejarah terutama untuk peninggalan sejarah PD II yang kelak bisa dijadikan sektor andalan yang memiliki nilai jual yang sangat tinggi.16 Potensi sumber daya alam tersebut, selayaknya harus dapat dinikmati dan dimanfaatkan pula hasilnya oleh masyarakat. Untuk itu, diperlukan suatu kiat dan strategi khusus dalam mendatangkan dampak-dampak positif bagi pengembangan suatu wilayah nantinya. Disinilah letak komitmen Pemerintah Daerah Provinsi Maluku Utara untuk memanfaatkan peluang yang ada sehingga Morotai bisa dijadikan sebagai suatu kawasan yang mampu memberikan nilai ekonomis bagi percepatan pembangunan secara makro di Kawasan Timur Indonesia (KTI), regional mapun international. Rencana pembangunan Morotai sebagai kawasan khusus diupayakan memiliki sasaran dan orientasi program yang berbasis pada penyiapan infrastruktur dasar dan layanan politik, peningkatan kualitas SDM dan pemberdayaan masyarakat serta pemanfaatan potensi sumber daya yang ada Penjelasan Bupati Pulau Morotai, op.cit. Ibid. 16 Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Khusus Pulau Morotai, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Maluku Utara, 2010 14 15
12
Indra Pahlevi, S.IP., M.Si.
demi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dan kemajuan daerah yang mengalami kesenjangan pembangunan akibat konflik beberapa waktu lalu.17
II. Kabupaten Pulau Raja Ampat Kabupaten Pulau Raja Ampat merupakan salah satu kabupaten di wilayah Provinsi Papua Barat dengan Ibukota di Waisai di Pulau Waigeo yang dulunya hanya dihuni oleh 20 Kepala Keluarga lalu dikembangkan menjadi sebuah kota dan merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Sarmi, Kabupaten Kerom, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Pulau Raja Ampat, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Mappi, Kabupaten Asmat, Kabupaten Teluk Bintuni, dan Kabupaten Teluk Wondama di Povinsi Papua. Kabupaten Pulau Raja Ampat selama 35 tahun sebelumnya bergabung dengan Kabupaten Sorong dan sebagai daerah terisolir. Kabupaten Sorong dimekarkan menjadi 6 daerah otonom yaitu Kota Sorong, Kabupaten Sorong, Kabupaten Pulau Lihat Executive Summary Report Proyek Pengembangan Perencanaan Pembangunan Bidang Fisik, Bappeda Provinsi Maluku Utara, Ternate, 2010.
17
13
Pengelolaan Pemerintahan di Wilayah Perbatasan
Raja Ampat, Kabupaten Maybrat, Kabupaten Tambraw, dan Kabupaten Sorong Selatan.18 Perkembangan distrik di Raja Ampat, tahun 2003 hanya 4 distrik lalu berkembang menjadi 10 distrik, dan terakhir sekarang menjadi 24 distrik.19 Secara astronomis, Kabupaten Pulau Raja Ampat terletak pada posisi di bawah garis katulistiwa, 20 25’ LU – 40 25’ LS dan 1300 – 1320 55’ BT. Batas-batas geografis Kabupaten Pulau Raja Ampat adalah sebagai berikut :20 •• Barat : Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara •• Utara : Republik Federal Palau, Samudera Pasifik •• Timur : Kota Sorong, Kabupaten Sorong •• Selatan: Kabupaten Seram Utara, Provinsi Maluku
Kabupaten Pulau Raja Ampat terbagi menjadi dua puluh empat distrik dengan total luas wilayah adalah 8.034,440 Km2 (berdasarkan Permendagri No. 6 Tahun 2008) dan terdiri atas 1800 pulau besar dan kecil. Sebagai salah satu daerah perbatasan dengan negara lain, Kabupaten Pulau Raja Ampat memiliki banyak potensi khususnya potensi kelautan yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati. Saat ini Kabupaten Pulau Raja Ampat tercatat memiliki keanekaragaman hayati laut tropis tertinggi di dunia. Catatan tersebut meliputi 533 species karang keras, 1427 species ikan karang, 699 species moluska, dan 15 species cetacean (Turak E. and L. Devantier, 2008; Veron et al. 2009; Jones et al. 2011; Kahn, 2007). Oleh karena itu menjadi perhatian kita semua dari berbagai aspek dan sektor dalam melihat wilayah Raja Ampat ini baik dari aspek lingkungan, keamanan, sarana dan prasarana, potensi sumber daya alam, serta manajemen pemerintahannya.
Penjelasan Sekretaris Daerah Kabupaten Sorong, Sudirman di Sorong serta penjelasan Wakil Bupati Sorong, Tri Budiarto, 21 November 2011 di Sorong. 19 Penjelasan Bupati Raja Ampat, Marcus Wanma, 22 November 2011 di Waisai, Raja Ampat. 20 Raja Ampat Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Pulau Raja Ampat, 2011. 18
14
Indra Pahlevi, S.IP., M.Si.
15
BAB IV PENGELOLAAN PEMERINTAHAN
I.
Pengelolaan Pemerintahan Kabupaten Pulau Morotai Kabupaten Pulau Morotai yang merupakan kabupaten hasil pemekaran tahun 2008, memiliki permasalahan utama dalam konteks pengelolaan pemerintahan pasca menjadi daerah otonom dan lepas dari Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara. Dan pada tahun 2011 kabupaten ini baru memiliki kepala daerah definitif pertama hasil pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah meski dilalui dengan beberapa persoalan dan konflik. Dalam observasi di lapangan, problem utama adalah ketersediaan sarana dan prasarana infrastruktur fisik baik dalam konteks sarana perhubungan termasuk jalan darat serta jembatan maupun konteks pembangunan sarana kebutuhan masyarakat lainnya seperti sekolah dan sarana kesehatan. Seperti yang disampaikan oleh Bupati Pulau Morotai, Rusli Sibua bahwa persoalan utama Kabupaten ini adalah belum tersedianya insfrastruktur seperti jalan raya (lingkar) yang masih tersisa sekitar 100 km untuk menghubungkan antar wilayah baik di selatan maupun utara Pulau Morotai.21 Persoalan utama lainnya yang muncul adalah adanya nelayan-nelayan asing yang masuk wilayah perairan Morotai dalam bahkan bermukim dan menikah dengan masyarakat setempat (di sisi luar Morotai berhadapan langsung dengan laut pasifik). Apalagi ketika cuaca buruk dan aparat tidak bisa patroli atau masuk ke wilayah sisi luar. Tetapi seringkali juga tertangkap beberapa nelayan asing tersebut dan diproses. Hal itu terjadi karena Morotai memang di kenal sebagai fishing ground, sehingga Pemerintah Daerah Kabupaten Pulau Morotai perlu bekerjasama dengan berbagai instansi guna mengatasi hal tersebut. Namun demikian upaya itu belum optimal karena keterbatasan dana dan sarana prasarana baik yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten maupun instansi lain. Sebagai gambaran, saat ini sudah ada Pangkalan AL (Lanal) yang dibuka sejak Oktober 2011 lalu dengan segala keterbatasannya bahkan kantornya pun dibantu oleh Pemerintah Kabupaten, serta ada Pangkalan TNI AU. Persoalan yang ada adalah sekitar dua pertiga wilayah Kota Daruba dikuasai atau diklaim oleh TNI AU sebagai tanahnya, sehingga sangat sulit bagi Kabupaten Wawancara dengan Bupati Pulau Morotai, Rusli Sibua, 10 November 2011 di Ruang Kerja Bupati, Kota Daruba, Morotai. Dilengkapi dengan penjelasan Komandan Pangkalan AL Morotai , Letkol (Laut) Purwadi, 11 November 2011 di Daruba, Morotai.
21
17
Pengelolaan Pemerintahan di Wilayah Perbatasan
Pulau Morotai untuk bisa mengembangkan pembangunannya.22 Persoalan tersebut merupakan ganjalan dalam pengelolaan pemerintahan di Pulau Morotai karena banyak tanah yang digunakan dan akan digunakan pemerintah daerah diklaim milik TNI AU. Selanjutnya terhadap keterpaduan pengeloaan wilayah perbatasan antara Pemkab Pulau Morotai dan Pemprov Maluku Utara terhadap Pulau Morotai, Bupati menilai kebijakan pemprov baik dan tetap positive thinking. Namun Bupati memiliki beberapa catatan untuk pemerintah pusat. Beberapa catatan tersebut antara lain terkait dengan kebijakan transmigrasi seyogyanya dipercayakan kepada kabupaten penerima sehingga bisa tercapai target yang diinginkan. Yang terjadi adalah kebijakan tersebut datangnya dari pusat lalu ke provinsi dan selanjutnya ke kabupaten penerima, sehingga jauh panggang dari api. Transmigrasi bisa menjadi sebuah peluang serta ada yang bisa dioptimalkan pemanfaatannya seperti bidang pertanian. Tetapi prakteknya sering menjadi beban pemkab karena mengharuskan kesiapan sarana termasuk ketersediaan air bersih.23 Dari sisi anggaran relatif cukup tetapi tidak maksimal pemanfaatannya. Selain Daruba, seharusnya yang menjadi perhatian pembangunan adalah wilayah kecamatan Morotai Jaya dan Morotai Utara yang juga langsung menghadap laut pasifik di bagian utara. Di wilayah tersebut banyak nelayan asing serta beberapa diantaranya sekitar 4-5 kapal merapat dengan alasan mengambil air bersih atau cuaca buruk. Bahkan terdapat satu lokasi ramai kapal nelayan asing berbaur dengan nelayan lokal, sehingga bisa dikatakan terdapat kerjasama antara nelayan lokal dan asing. Sementara petugas keamanan hanya ada satu babinsa, meskipun sekarang sudah terdapat Lanal yang belum memiliki kapal patroli. Terkait dengan lokasi prioritas (lokpri) BNPP yang disebut Daruba, seharusnya memang di wilayah Morotai Jaya dan Morotai Utara karena di wilayah tersebut paling besar/sering terjadi interaksi dengan pihak asing. Hingga saat ini, menurut Bupati Pulau Morotai belum ada kegiatan yang dilakukan oleh Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dan/atau Kementerian sektor-sektor. Memang ada Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada masa Menteri Fadel Muhammad yang mencanangkan Mega Minapolitan bagi Pulau Morotai. Namun perkembangannya tidak cukup signifikan kecuali saat ini sudah ada invetsor lokal yang melakukan budidaya kerapu dan mutiara di Pulau Ngele-Ngele yang dilakukan oleh Morotai Marine Culture (MMC) yang sekaligus melakukan ekspor langsung ke Hongkong. Terhadap kemampuan fiskal daerah, 90% diantaranya masih bergantung kepada Dana Alokasi Umum (DAU) sekitar Rp.242 miliar (2011), sementara PAD hanya sebesar sekitar hanya Rp.3 miliar dari total APBD 2011 sebesar Rp 321 miliar. Wawancara dengan Kepala Bagian Perbatasan, Biro Tata Pemerintahan Pemerintah Provinsi Maluku Utara, Drs Taufiqurahman, 9 November 2011 di Ternate dan wawancara dengan Bupati Pulau Morotai, Rusli Sibua, 10 November 2011. 23 Wawancara dengan Bupati Pulau Morotai, Rusli Sibua, 10 November 2011. 22
18
Indra Pahlevi, S.IP., M.Si.
Hal ini mohon dimaklumi karena Kabupaten Pulau Morotai baru berdiri sekitar 3 tahun yakni berdasarkan UU No. 53 tahun 2008. Adapun komposisi belanja adalah sekitar 35% belanja pegawai dan 65% untuk belanja publik. Adapun angka pengangguran sekitar 36% dan angka kemiskinan sekitar 32%.24 Hingga saat ini belum ada kegiatan PKSN di Morotai yang dilakukan oleh BNPP. Sebagai wilayah yang strategis, Morotai memiliki mimpi untuk membangun pelabuhan dan bandara internasional sebagai transit. Hal tersebut sudah pernah dilalukan survey oleh KKP bahwa akan dibangun pelabuhan ekspor di Bere-Bere sebagai hard port, auto ring fish port. Dan ke depan bisa dikembangkan. Sementara pihak Pelindo IV melihat bahwa Morotai akan jadi pelabuhan petikemas internasional di masa yang akan datang.25 Atas dasar fakta di lapangan di atas, maka dapat kita lihat bahwa pembangunan Kabupaten Pulau Morotai sebagai salah satu Kabupaten terdepan masih belum optimal dan bahkan belum terlihat secara langsung dampak pemekarannya. Meskipun demikian, kabupaten ini memiliki potensi yang sangat besar terutama potensi sumber daya alam serta sebagai gerbang Indonesia di bagian Timur termasuk sebagai pangkalan militer Sejak menjadi kabupaten otonom tahun 2008. Dalam Grand Design Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2025 yang dibuat oleh Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) disebutkan bahwa Morotai merupakan salah satu kawasan perbatasan dan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) yang berpusat di Daruba, Morotai Selatan.26 Meskipun disebutkan di atas bahwa seharusnya yang pantas menjadi PKSN di Morotai adalah Morotai Jaya dan Morotai Utara yang berhadapan langsung dengan Laut Pasifik. Bahkan dalam matriks Sasaran Lokasi Penanganan 2011-2015 BNPP, Morotai memiliki status prioritas Wilayah Konsentrasi Pengembangan (WKP) I, artinya pada tahun 2011-2014 ini Morotai merupakan wilayah yang sudah harus dilakukan penanganan karena masuk kategori lokasi prioritas (Lokrpi) 1.27 Oleh karena itu sudah selayaknya pengelolaan wilayah Pulau Morotai harus menjadi prioritas dari para pemangku kepentingan dan pengambil keputusan yakni Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai, Pemerintah Provinsi Maluku Utara, dan pemerintah Pusat baik Kementerian/Lembaga Sektoral maupun BNPP yang memiliki fungsi koordinasi. Salah satu upaya kongkritnya adalah bagaimana mewujudkan kebutuhan riil di lapangan seperti infrastruktur dan pengembangan ekonomi masyarakat berdasarkan potensi, sehingga slogan “pulau terluar adalah beranda depan NKRI” bisa benar-benar terlihat melalui koordinasi yang intensif dan kesadaran setiap sektor untuk melakukan tugas fungsi masing-masing. Penjelasan Bupati Pulau Morotai, Rusli Sibua, 10 November 2011, di Daruba, Morotai. Ibid. 26 Grand Design Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan tahun 2011-2025, Seri BNPP 01S-0111, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Jakarta, 2011: 4. 27 Ibid: 43 dan 59. 24 25
19
Pengelolaan Pemerintahan di Wilayah Perbatasan
Disain yang disusun secara baik tidak hanya berhenti pada dokumen semata, tetapi harus dapat terimplementasikan. Hingga akhir tahun 2011 ini, ternyata belum ada kegiatan BNPP di Daruba, Morotai Selatan sebagaimana posisinya sebagai salah satu PKSN. Hal itu memperlihatkan bahwa kurang seriusnya para pengambil kebijakan dalam mengelola wilayah perbatasan. Jika dikaitkan dengan posisi Morotai sebagai salah satu daerah otonom baru sejak 2008, maka hal itu sangat terkait dengan tujuan utama pemekaran yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan rentang kendali yang semakin pendek. Meskipun selama 3 tahun sejak pemekaran belum terlihat perubahan yang menonjol terkait dengan penataan pemerintahan di Morotai, namun harus menjadi perhatian khususnya kepada Bupati Kepala Daerah terpilih dalam pemilkukada 2011 ini agar lebih memprioritaskan percepatan pembangunan dengan cara proaktif melakukan koordinasi dan komunikasi dengan Pemerintah Provinsi Maluku Utara serta Pemerintah Pusat termasuk instansi vertikal lainnya serta BNPP itu sendiri, sehingga dapat tercipta suasana yang kondusif serta meminimalkan konflik antar lembaga seperti yang terjadi antara masyarakat dan/ atau Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai dengan TNI AU terkait sengketa tanah di Daruba. Upaya kongkrit lainnya adalah melalui sebuah prinsip pemerintahan secara wirausaha atau enterprising government, sehingga dapat menarik para investor untuk ikut mengembangkan. Dengan dimilikinya kewenangan (berbagai urusan) yang melekat pada pemerintah kabupaten sebagai wujud asas desentralisasi, maka pengembangan wilayah perbatasan bisa lebih optimal. Oleh karena itu dibutuhkan terobosan yang kreatif –selain mengandalkan bantuan pemerintah pusat dan provinsi. Terobosan yang dilakukan harus terukur dan jelas kinerjanya melalui penggunaan teori New Public Management (NPM) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan potensi khususnya alam yang dimiliki oleh Morotai, maka upaya menciptakan kesejahteraan rakyat melalui pengembangan berbagai sektor dapat terwujud disertai ukuran kinerja yang jelas. Dengan demikian tujuan pemekaran dapat tercapai dan Morotai mampu menjadi wilayah perbatasan yang maju secara bertahap. Secara empirik, upaya ke arah pemerintahan wirausaha sudah terlihat dengan pengakuan Bupati Morotai yang mengagas kerjasama dengan sejumlah investor dari luar seperti Cina. Namun hal itu diakui memang tidak mudah karena ada banyak kepentingan yang ikut mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang akan diambil baik di Jakarta (pusat) maupun di tingkat provinsi Maluku itu sendiri. Sebagai contoh, adanya PT MMC yang mengelola budidaya kerapu menjadi polemik yang tidak mudah untuk diselesaikan. Apalagi mereka (MMC) langsung mengekspor ke Hongkong, sehingga pihak Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai harus mengelola dengan cara persuasif guna memperoleh pemasukan yang proporsional dan memadai.28 Wawancara dengan Bupati Pulau Morotai, Rusli Sibua, 10 November 2011 di Kantor Bupati, Daruba, Morotai serta hasil observasi lapangan di lokasi budidaya kerapu milik PT MMC di Pulau Ngele-Ngele.
28
20
Indra Pahlevi, S.IP., M.Si.
II. Pengelolaan Pemerintahan Kabupaten Pulau Raja Ampat Bagi Kabupaten Pulau Raja Ampat yang berdiri tahun 2003, sesungguhnya sudah sejak lama berjuang bagi pemenuhan kebutuhan pembangunan di wilayahnya. Menurut Bupati Raja Ampat, Marcus Wanma, akibat 80% wilayah Raja Ampat merupakan wilayah konservasi, maka menjadi sulit bagi pengembangan pembangunan di Raja Ampat.29 Sebagai gambaran, PAD Raja Ampat 2011 sebesar Rp 17 miliar dari total APBD 2011 sebesar Rp 563 miliar dan 70% diantaranya untuk pemenuhan kebutuhan publik. Adapun DAU sebesar Rp 318 miliar dan dana DAK sebesar Rp 66 miliar. Direncanakan 2012 DAK turun menjadi Rp 54 miliar. Pemkab Raja Ampat juga sudah memiliki Perda tentang Pajak/retribusi yang operasionalnya sejak 2012 dan akan efektif tahun 2014 nanti. Hal itu akan mempengaruhi dana bagi hasil.30 Dalam upaya memajukan wilayah perbatasan, Pemerintah Kabupaten Pulau Raja Ampat mengambil kebijakan membentuk dua distrik di area terluar yaitu Distrik Ayau dan Distrik Kepulauan Ayau. Distrik (kecamatan) terluar tersebut sebelumnya merupakan satu distrik namun kemudian dipecah menjadi dua distrik karena kebutuhan menjangkau wilayah terluar. Distrik Ayau terbentuk tahun 2010 yang mekar dari Distrik Kepulauan Ayau yang terbentuk tahun 2007/2008 lalu. Dalam pengelolaan pemerintahan Kabupaten Pulau Raja Ampat yang berfokus kepada daerah (distrik) terluar, maka dibentuk satu bagian khusus perbatasan luar pada tahun 2011 ini. Namun karena masih terkendala keterbatasan struktur organisasi dan tata laksana, maka bidang perbatasan luar tersebut masih menjadi bagian dari Badan Kesbang Linmas. Khusus terhadap Distrik Ayau dan Kepulauan Ayau yang berbatasan langsung dengan Republik Palau dilakukan pembangunan secara simultan dengan cara membangun semua kampung-kampung yang ada di wilayah tersebut. Permasalahan utama di dua distrik tersebut adalah infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan peningkatan kesejahteraan ekonomi. Salah satu pulau terluar adalah Pulau Fani dan saat ini ada satu peleton pasukan Marinir ditempatkan di Pulau Fani (pulau terluar) sebagai upaya meneguhkan bahwa Pulau Fani adalah milik RI. Terhadap upaya perbaikan 4 sektor di wilayah dua distrik terluar tersebut sudah dilakukan pembangunan dengan anggaran yang sangat terbatas. Bahkan Bupati mengusulkan kedua wilayah tersebut kepada Kementerian PDT sebagai daerah tertinggal di kawasan perbatasan. Pendidikan di wilayah tersebut sudah tingkat SMA meski gedungnya belum memadai dan masih pinjam ke salah satu SMP Negeri. Terhadap sektor kesehatan sudah ada Puskesmas Rawat Inap dan Puskesmas Pembantu. Adapun sektor infrastruktur sudah ada sarana dan prasarana seperti jalan (yang masih terbatas), Penjelasan Bupati Raja Ampat, Marcus Wanma, tanggal 22 November 2011 di ruang kerjanya di Waisai, Raja Ampat. 30 Ibid; Penjelasan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Pulau Raja Ampat, 22 November 2011. 29
21
Pengelolaan Pemerintahan di Wilayah Perbatasan
air bersih, listrik dengan sistem solar sel. Infrastruktur lainnya adalah pembangunan perumahan rakyat, dermaga di Pulau Fani. Diupayakan juga adanya kapal perintis yang menuju ke wilayah tersebut sebagai sarana transportasi. Pemerintah Kabupaten Pulau Raja Ampat membantu mesin untuk kapal tempel (2 buah mesin, 40 PK untuk satu perahu) yang menggunakan perahu susun (rakyat) yang dibuat masyarakat sendiri. Selanjutnya dibangun dermaga di Pulau Abidon (di tengahtengah wilayah kepalauan Ayau) untuk kepentingan pembangunan ekonomi. Hal tersebut sengaja didekatkan di kampung-kampung karena masyarakatnya tidak mau pergi jauh-jauh, sehingga Abidon menjadi ibukota distrik kepulauan Ayau agar wilayah tersebut bisa berkembang dengan cepat. Permasalahan lain yang terjadi di wilayah perbatasan adalah keamanan meski sekarang sudah ada satu peleton marinir yang setiap 3 bulan dirotasi dan dipenuhi kebutuhan logistiknya. Berdasarkan hasil penelitian di atas terlihat bahwa pengelolaan wilayah perbatasan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pulau Raja Ampat belum optimal karena berbagai keterbatasannya baik dari sisi kesiapan perangkat personil dan infrastrukturnya maupun sisi anggarannya. Meskipun Raja Ampat menjadi salah satu wilayah perbatasan lokasi prioritas (lokpri) dari BNPP, namun belum ada program kongkrit yang dilakukan. Bahkan Pemerintah Kabupaten harus menjalin kerjasama dengan kementerian/lembaga sektoral guna memberikan perhatian lebih kepada distrik-distrik terluar yaitu Kepulauan Ayau dan Ayau. Upaya konkrit Pemerintah Kabupaten Pulau Raja Ampat dengan membentuk satu bidang khusus terhadap perbatasan luar ini patut diapresiasi namun hal itu tidaklah cukup dan bahkan tidak akan mampu berbuat banyak jika tidak didukung oleh berbagai faktor baik pendanaan, personil, kesiapan infrastruktur dan sarana prasarana kesejehteraan lainnya. Kondisi PAD yang belum cukup mampu memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat tersebut harusnya disokong oleh semakin besarnya atau semakin proporsionalnya dana alokasi khusus atau dana otonomi khusus. Yang terjadi adalah setiap tahun berkurang dan lebih condong dialokasikan pada tingkat provinsi yang lebih banyak melakukan supervisi saja. Padahal, pemerintah Kabupaten/Kota lebih memahami apa yang menjadi kebutuhan masyarakat dan wilayahnya. Sebagai sebuah wilayah hasil pemekaran Kabupaten Pulau Raja Ampat memiliki landasan filosofis yang bisa dipertanggungjawabkan. Pemekaran daerah dalam tatanan filosofis dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Argumentasi untuk ini didasarkan atas beberapa dimensi Beberapa dimensi dimaksud antara lain berupa janji akan mempersingkat rentang kendali antara pemerintah dan masyarakat, khususnya pada wilayah-wilayah yang belum terjangkau oleh fasilitas pemerintahan. Dimensi lainnya, adalah bahwa pemekaran daerah juga diaspirasikan untuk memperbaiki pemerataan pembangunan. Berdasarkan pengalaman di masa lalu, daerah-daerah yang terbangun hanya 22
Indra Pahlevi, S.IP., M.Si.
daerah yang berdekatan dengan ibukota pemerintahan daerah. Pemekaran memungkinkan sumber daya mengalir ke daerah yang masih belum berkembang. Dimensi lainnya adalah bahwa pemekaran akan mengembangkan demokrasi lokal melalui pembagian kekuasaan pada tingkat yang lebih kecil 31. Atas dasar landasan berpikir tersebut sesungguhnya Kabupaten Pulau Raja Ampat memiliki posisi sangat strategis dengan melihat posisi geografisnya yang langsung menghadap lautan pasifik dan berbatasan langsung dengan Republik Palau. Salah satu fokus terbentuknya Kabupaten Pulau Raja Ampat adalah mempersingkat rentang kendali diantara pemerintah dan masyarakat, khususnya pada wilayah-wilayah yang belum terjangkau oleh fasilitas pemerintahan. Hal itu terjadi di Distrik Ayau dan Kepulauan Ayau termasuk Pulau Fani sebagai pulau terluar. Dalam konteks pengelolaan pemerintahan daerah terluar, maka landasan berpikir mekarnya sebuah daerah menjadi dasar sekaligus merealisasikan tujuan agar lebih meningkatnya kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan. Dibentuknya sebuah unit khusus tentang perbatasan luar dalam struktur pemerintahan daerah tidak hanya berhenti pada membuat disain dan program-program, tetapi harus menjadi program implementatif serta berkoordinasi dengan kementerian/lembaga sektoral lainnya. Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pulau Raja Ampat sudah on the right track, namun harus selalu dilakukan pengawasan dan kontrol. Dalam tataran landasan yuridis dapat dilihat pada Pasal 16 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah menyebutkan sumber informasi utama yang digunakan untuk melakukan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD) adalah Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD). Selain sumber informasi utama, dapat digunakan sumber informasi pelengkap yang dapat berupa laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; informasi keuangan daerah; laporan kinerja instansi pemerintah daerah; laporan hasil pembinaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan pelaksanaan urusan pemerintahan daerah; laporan hasil survey kepuasan masyarakat terhadap layanan pemerintahan daerah; laporan kepala daerah atas permintaan khusus; rekomendasi/tanggapan DPRD terhadap LKPJ kepala daerah; laporan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berasal dari lembaga independen; tanggapan masyarakat atas Informasi LPPD; dan laporan dan/atau informasi lain yang akurat dan jelas penanggungjawabnya. Selanjutnya beberapa hal yang akan dievaluasi meliputi empat hal yaitu pertama, untuk melihat ada tidaknya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kedua, untuk melihat sejauh mana good governance sudah tercipta, yakni dilihat dari aspek transaparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan. Ketiga, untuk melihat bagaimana ketersediaan pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, balita gizi buruk dan lain-lain. Keempat, Laode Ida, “ Permasalahan Pemekaran Daerah di Indonesia”, Media Indonesia, 22 Maret 2005.
31
23
Pengelolaan Pemerintahan di Wilayah Perbatasan
meningkat tidaknya daya saing daerah, misalnya sejauh mana kemudahan bagi investor, apa yang dilakukan daerah menarik investor, sarana dan prasarana, dan sebagainya. Persoalan utama yang harus diselesaikan di Raja Ampat adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya termasuk di wilayah-wilayah terluar sebagaimana yang menjadi salah satu indikator evaluasi pemekaran daerah. Hal itu bisa dilihat dari PDRB Raja Ampat di bawah ini. Tabel Perkembangan PDRB Kabupaten Pulau Raja Ampat 2006-2010 ADH Berlaku Tahun
Nilai (Jutaan Rp)
Indeks Perkembangan (%)
ADH Konstan 2000 Nilai (Jutaan Rp)
Indeks Perkembangan (%)
1 2 3 4 5 2006 732.454,22 447,38 515.244,35 314,71 2007 796.193,43 486,32 527.409,53 322,14 2008 938.100,75 572,99 520.947,48 318,20 2009* 1.058.438,64 646,50 530.167,49 323,83 2010** 1.129.673,30 690,01 540.747,12 330,29 *Angka Sementara **Angka Sangat Sementara Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Pulau Raja Ampat 2010, Badan Pusat Statistik Kabupaten Pulau Raja Ampat, 2010
Dari data di atas terlihat menunjukkan perkembangan dari tahun 2006 hingga 2010. Namun demikian patut dikritisi bahwa angka-angka kuantitatif tidak menjadi patokan sepenuhnya guna melihat perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat Raja Ampat. Kondisi di lapangan yang masih jauh dari sejahtera harus menjadi dasar bagi pengelolaan pemerintahan di Raja Ampat. Dalam Matriks Grand Design Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2025 tentang Sasaran Lokasi Penanganan 2011-2025 disebutkan bahwa Raja Ampat masuk status prioritas Wilayah Konsentrasi Pengembangan (WKP) II dan sebagai Lokasi Prioritas III (Distrik Kepulauan Ayau).32 Selanjutnya dalam gambar peta 12 pulau kecil terluar yang memerlukan perhatian khusus, terdapat satu pulau di wilayah Kabupaten Pulau Raja Ampat yaitu Pulau Fani. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Pulau Fani menghadapi keterbatasan sarana dan prasarana meskipun dari sisi keamanan negara sudah ditempatkan satu peleton pasukan marinir yang diroling setiap 3 bulan.
Grand Design Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2025, Seri BNPP 01S-0111, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Jakarta, 2011: 22 dan 61.
32
24
Indra Pahlevi, S.IP., M.Si.
Salah satu permasalahan utama yang harus diatasi oleh Kabupaten Pulau Raja Ampat, termasuk Kabupaten Pulau Morotai- adalah menciptakan keterpaduan pengelolaan dalam hubungan Pusat dan Daerah. Hal ini perlu menjadi perhatian dengan alasan terkait jelasnya batas kewenangan yang dimiliki para pengambil keputusan baik di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten) maupun pusat. Apalagi jika dikaitkan dengan prinsip money follow function yang diterapkan dalam sistem anggaran saat ini, maka hal itu memerlukan kejelasan akuntabilitas atas segala pembiayaan kegiatan menurut kewenangannya masing-masing. Banyak program dan kegiatan dalam pengelolaan perbatasan ini yang harus sinergis satu sama lain. Oleh karena itu, biasanya akan muncul banyak tatangan dalam mengelola kawasan perbatasan ini seperti tarik menarik kepentingan antara pusat dan daerah, rendahnya kapasitas fiskal daerah, kurangnya alternatif sumber pembiayaan daerah untuk pembangunan kawasan perbatasan, ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat, disparitas antar daerah dan antar kawasan, inefisiensi dan efektifitas pengeluaran pemerintah dan pemerintah daerah, rendahnya kapasitas sumberdaya manusia dalam pengelolaan keuangan, dan dalam beberapa hal masih dihadapkan pada perilaku korupsi.33 Berdasarkan berbagai hal di atas, maka patut menjadi perhatian kita semua bahwa mengelola kawasan perbatasan harus memiliki jiwa kebangsaan yang tinggi karena menyangkut kedaulatan negara. Apalagi jika dikaitlkan dengan era otonomi daerah, maka daerah harus lebih diberdayakan serta diberi kewenangan yang jelas disertai koordinasi yang jelas dari pemerintah pusat di Jakarta serta provinsi. Melalui penerapan asas desentralisasi secara lebih substantif di mana terdapat pengakuan atas keanekaragaman situasi, kondisi, dan potensi yang dimiliki setiap daerah, maka akan tercipta kreativitas yang konstruktif dari setiap daerah khususnya perbatasan dalam mengelola wilayahnya seperti yang dilakukan oleh Raja Ampat yang namanya semakin mendunia. Jika beranda depan sebuah negara tidak memperlihatkan kemajuan dan kesejahteraan, maka akan menjadi potret suram bagi bangsa itu secara keseluruhan.
Ibid:15-16.
33
25
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
I.
KESIMPULAN Sebagai kesimpulan dari pembahasan di atas dapat disampaikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Wilayah perbatasan merupakan “beranda depan” dan bukan “halaman belakang”, sehingga negara (Pemerintah) harus benar-benar mengelola wilayah tersebut dengan sangat serius dan tidak justru menjadi “arena politis” tanpa adanya upaya dan bukti nyata memajukan wilayah dan masyarakatnya. 2. Keberadaan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang dikepalai oleh Menteri Dalam Negeri dan beranggotakan sejumlah menteri lainnya, seharusnya menjadi sebuah solusi yang jitu. Dalam fakta empiris, ternyata masih sulitnya mengkoordinasikan perencanaan dan program pembangunan wilayah perbatasan antar kementerian/lembaga. Oleh karena itu menjadi mubadzir adanya grand design pengelolaan perbatasan jika tidak ada kesamaan pandangan dan hanya memikirkan ego sektoralnya masing-masing. Hasilnya adalah belum terlaksannya berbagai program di lapangan termasuk di Morotai dan Raja Ampat sebagai salah satu lokasi prioritas pembangunan. 3. Manajemen pemerintahan harus menjadi dasar dalam mengelola wilayah perbatasan. Selain asas desentralisasi yang dimiliki oleh setiap daerah, manajemen pemerintahan wirausaha harus menjadi salah satu pilihan utama dalam menyelenggarakan pembangunan di setiap daerah dan didukung oleh perencanaan serta koordinasi dengan pemerintah pusat. 4. Kondisi di Pulau Morotai dan Raja Ampat, secara umum belum menunjukkan adanya dampak dari sebuah kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan. Meskipun sudah terdapat beberapa kebijakan, perencanaan, serta program dari berbagai kementerian/lembaga, namun rakyat setempat belum benar-benar merasakan adanya perubahan ke arah yang lebih baik dari kondisi sebelumnya sebelum pemekaran (pembentukan sebagai daerah otonomi baru) serta belum optimalnya pembangunan baik fisik maupun non fisik. 27
Pengelolaan Pemerintahan di Wilayah Perbatasan
II. REKOMENDASI Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan di atas, penulis menyampaikan beberapa rekomendasi (saran) terutama ditujukan kepada pemangku kepentingan (stakeholders). Adapun beberapa rekomendasi tersebut adalah: 1. Keberadaan BNPP harus lebih bermanfaat, tidak sekadar fungsi koordinasi semata, namun diperlukan kewenangan untuk melaksanakan berbagai program di bawah supervisi kementerian/lembaga yang bersangkutan. Oleh karena itu selain keanggotaan BNPP yang lintas kementerian/ lembaga, juga para tenaga (staf) pelaksananya harus lintas kementerian/ lembaga dan bahkan diperkuat dengan tenaga profesional lainnya guna mampu melakukan berbagai program yang telah direncanakan. Dengan demikian perlu dipikirkan perubahan terhadap Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang BNPP yang juga dikaitkan dengan keberadaan UU Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara. 2. Dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah harus diatur secara khusus tentang kewenangan (urusan) terkait dengan pengeloaan kawasan perbatasan, sehingga pengaturannya menjadi terpadu dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya seperti UU tentang Wilayah Negara. Implementasi asas desentralisasi harus benar-benar menjadi dasar bagi pengelolaan pemerintahan wilayah perbatasan. 3. Perlu diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan (baik UU atau di bawahnya) terkait dengan asas-asas pengelolaan (manajemen) pemerintahan sebagai upaya meningkatkan pembangunan berbasis kinerja (dengan ukuran yang jelas). Hal tersebut sangat penting selain untuk melihat tingkat kemajuan dengan indikator yang jelas, juga sebagai sarana evaluasi bagi semua pemangku kepentingan. Muaranya adalah tercapainya kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan.
28
BIBLIOGRAFI
Buku Bhenyamin Hoessein, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah, dalam Soetandyo Wignjosoebroto et. al, Pasang Surut Otonomi Daerah, Sketsa Perjalanan 100 Tahun, Yayasan TIFA dan Institute for Local Development, Jakarta, 2005.
David Osborne dan Ted Gaebler, Reinventing Governmet, Addison-Wesley Publication co., 1992.
Dharma Setyawan Salam, Manajemen Pemerintahan Indonesia, Edisi Revisi, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2007. Fadel Muhammad, Reinventing Local Government, Pengalaman Dari Daerah, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2008. Peraturan Perundang-Undangan dan Dokumen Executive Summary Report Proyek Pengembangan Perencanaan Pembangunan Bidang Fisik, Bappeda Provinsi Maluku Utara, Ternate, 2010.
Grand Design Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2025, Seri BNPP 01S-0111, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Jakarta, 2011. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan.
Profil Morotai, Data Bagian Perbatasan, Biro Pemerintahan Pemerintah Provinsi Maluku Utara, 2010. Raja Ampat Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Pulau Raja Ampat, 2011.
Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Khusus Pulau Morotai”, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Maluku Utara, 2010. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
29
Pengelolaan Pemerintahan di Wilayah Perbatasan
Website dan Surat Kabar IDSPS, Reformasi Sistem Perbatasan Indonesia, dalam idsps.org/option,com/ docman/ task,doc_download/gid.../Itemid,15/, diakses tanggal 16 Mei 2012.
Laode Ida, “Permasalahan Pemekaran Daerah di Indonesia”, Media Indonesia, 22 Maret 2005. Wawancara Wawancara dengan Sekretaris Daerah Kabupaten Sorong, Sudirman, di Sorong, 21 November 2011.
Wawancara dengan Wakil Bupati Sorong, Tri Budiarto, 21 November 2011 di Sorong. Wawanvara dengan Bupati Raja Ampat, Marcus Wanma, 22 November 2011 di Waisai, Raja Ampat. Wawancara dengan Bupati Pulau Morotai, Rusli Sibua, 10 November 2011 di Kota Daruba, Morotai.
Wawancara dengan Komandan Pangkalan AL Morotai , Letkol (Laut) Purwadi, 11 November 2011 di Daruba, Morotai. Wawancara dengan Kepala Bagian Perbatasan, Biro Tata Pemerintahan Pemerintah Provinsi Maluku Utara, Drs Taufiqurahman, 9 November 2011 di Ternate, Wawancara dengan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Raja Ampat, 22 November 2011.
30
Bagian Kedua
POTENSI PEMBANGUNAN PELABUHAN INTERNASIONAL DI WILAYAH INDONESIA BAGIAN TIMUR* oleh: Lisbet, S.IP., M.Si.**
*
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2011. Penulis adalah Peneliti Pertama Masalah-masalah Hubungan Internasional di Bidang Pengkajian P3DI Setjen DPRRI.
**
BAB I PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang Kondisi pelabuhan di Indonesia masih kurang kompetitif apabila dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia. Berdasarkan data Global Competitiveness Report pada tahun 2008-2009, Indonesia berada pada peringkat ke-104. Peringkat ini memang meningkat pada tahun 2009-2010. Pada tahun 2009-2010, Indonesia naik menjadi urutan ke-94 dari 134 negara. Kendati demikian, posisi Indonesia masih kalah dengan Malaysia dan Singapura. Pelabuhan Indonesia hanya bernilai 3.6 sedangkan Malaysia 5.6 dan Singapura 6.8.1 Kualitas pelabuhan di Indonesia memiliki nilai yang kecil dikarenakan kurang produktifnya kegiatan bongkar muat kapal, kondisi kongesti yang masih buruk, serta pengurusan kepabeanan yang lama. Hal ini menyebabkan waktu tunggu suatu kapal menjadi lebih lama dan padat padahal ada banyak kapal yang hendak bersandar di empat pelabuhan utama di Indonesia. Adapun empat pelabuhan utama tersebut antara lain Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Perak di Surabaya, Belawan di Medan dan Makasar. Oleh karena itu, kapal asing seringkali lebih memilih untuk berlabuh di Malaysia dan Singapura. Untuk mengatasi daya saing Malaysia dan Singapura, Indonesia dapat beralih ke wilayah bagian timur yang juga memiliki potensi. Berdasarkan penelitian di lapangan, pelabuhan dengan taraf internasional juga cocok didirikan di wilayah bagian timur Indonesia. Wilayah ini memiliki letak sangat strategis karena langsung berbatasan dengan Lautan Pasifik. Selain itu letak geografisnya juga mendukung untuk disinggahi kapal-kapal asing berukuran besar.2 Pelabuhan Internasional memiliki peranan yang sangat signifikan di negara kepulauan seperti Indonesia. Dengan adanya pelabuhan Internasional, Indonesia menjadi terhubung dengan negara sekitar bahkan dunia. Ada beberapa tempat di wilayah Indonesia bagian Timur yang memiliki potensi besar dalam menghubungkan Indonesia dengan negara di seberang Lautan Asia Pasifik. Potensi ini antara lain dikarenakan letaknya yang sangat strategis dan memiliki kedalaman yang cukup untuk disinggahi kapal-kapal berukuran besar (mother vessel). Oleh karena itu, Indonesia perlu memiliki pelabuhan-pelabuhan bertaraf internasional sesuai dengan potensi wilayahnya.
1 2
“Pelabuhan Sebagai Penggerak Roda Perekonomian”, Kompas, 8 November 2011: 24. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Administrator Pelabuhan Klas II Cabang Ternate, Takwim Masuku, 9 November 2011 di Ternate.
33
Potensi Pembangunan Pelabuhan Internasional di Wilayah Indonesia Bagian Timur
II. Permasalahan Untuk keperluan ekspor-impor, kapal-kapal asing memilih untuk berlabuh di Singapura dan Malaysia. Hal ini dikarenakan berdasarkan perdagangan internasional, seperti Pelabuhan Tanjung Priok. Selain karena seringnya keterlambatan penanganan kargo, dan kedalaman kolam hanya sekitar 13,5 meter, Pelabuhan Tanjung Priok hanya mampu disandari oleh kapal-kapal ukuran kecil dan menengah. Kapal-kapal itu pada umumnya merupakan kapal feeder dari Pelabuhan di Singapura, Malaysia, dan Hong Kong. Sehingga tak mengherankan selama ini, 80-90 persen kegiatan eksporimpor Indonesia harus melalui pelabuhan di negara lain. Akibatnya, potensi devisa pun menguap ke negara jiran. Hingga kini, masih ada 4 juta TEUs lebih container dari dan ke Indonesia yang harus diangkut lewat Singapura. Jika ongkos angkut Jakarta-Singapura rata-rata US$ 350 per TEUs, berarti devisa yang diperoleh Negeri Jiran sebesar US$ 1,4 miliar. Untuk mengembangkan pelabuhan, dibutuhkan biaya yang sangat besar. Sebagai contoh, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II mengaku membutuhkan investasi sekitar Rp. 22 Triliun untuk mengembangkan pelabuhan Tanjung Priok, dan nilai investasi itu terbilang kecil dibanding manfaat yang bakal diperoleh. Angka ini jauh lebih kecil ketimbang defisit neraca pembayaran Indonesia dari sektor pelayaran yang mencapai US$ 13 miliar per tahun.3 Pembangunan suatu pelabuhan di daerah memang tidak mudah. Diperlukan dana yang sangat besar serta dukungan dari semua pemaku kepentingan (stakeholders) seperti Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Perhubungan, PT Pelabuhan Indonesia Persero, Pemerintah Daerah dan masyarakat sekitar. Masalahnya tidak semua pembangunan pelabuhan mendapatkan dana yang cukup dan dukungan dari para stakeholder. Misalnya, pembangunan pelabuhan Sorong membutuhkan dana yang sangat besar. Selain itu, diperlukan peraturan Presiden untuk mendukung pembangunan. Dengan adanya dukungan dari Presiden maka Pemerintah daerah pun secara otomatis akan memberikan dukungannya seperti pembebasan lahan. Oleh karena itulah, permasalahan yang hendak dibahas pada penulisan ini adalah dimanakah potensi pembangunan pelabuhan internasional di wilayah Indonesia?
3
34
Ardinanda Sinulingga, “Di Laut Kita (Harus) Jaya”, Suara Pembaruan, 14 Juni 2011: 5.
BAB II METODOLOGI PENELITIAN
I.
Kerangka Teori Penelitian ini menggunakan teori kepentingan nasional (national interest). Yang dimaksud dengan kepentingan nasional adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai terkait kebutuhan bangsa/negara. Selain itu, kepentingan nasional juga merupakan penentu dalam mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu negara. Kepentingan nasional dari suatu negara merupakan salah satu unsur-unsur yang membentuk kebutuhan negara yang paling penting. Pada umumnya, setiap negara memiliki kepentingan nasional yang relatif tetap yakni keamanan dan kesejahteraan. Keamanan dan kesejahteraan merupakan dasar dalam merumuskan kepentingan nasional.4 Mencari potensi wilayah di Indonesia untuk membangun pelabuhan internasional merupakan salah satu wujud kepentingan nasional pemerintah Indonesia. Kepentingan nasional dianggap sebagai tujuan yang harus dicapai suatu bangsa secara tetap melalui kepemimpinan pemerintah. Terutama, kepentingan ekonomi yakni kepentingan pemerintah untuk meningkatkan perekonomian negara melalui hubungan ekonomi dengan negara lain. Indonesia sampai saat ini telah dirugikan (pemasukan negara) karena ada banyak mother vessel yang lebih memilih untuk berlabuh di pelabuhan negara tetangga seperti di Singapura, Malaysia dan Filipina. Kondisi fisik dan saranaprasarana yang kurang mencukupi serta sistim pelabuhan di Indonesia tidak memadai membuat pelabuhan di Indonesia tertinggal dari modernisasi pelabuhan internasional negara tetangga. II. Metodologi A. Proses Penelitian Awal dari pengumpulan data dari penelitian ini dilakukan dengan cara mencari data dan informasi melalui studi literatur yakni melalui buku, jurnal, koran dan jaringan internet. Setelah itu, penulis melakukan pendalaman dengan cara melakukan penelitian lapangan yakni wawancara dengan para pemangku kepentingan di daerah.
4
May Rudy, “Studi Strategis; Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin”, (Ban-dung: PT Refika Aditama, 2002): 116.
35
Potensi Pembangunan Pelabuhan Internasional di Wilayah Indonesia Bagian Timur
B. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini ingin memberikan penjelasan mengenai adanya potensi pembangunan pelabuhan internasional di wilayah indonesia bagian timur melalui data primer dan sekunder. Data primer dilakukan melalui wawanacara dengan para pemangku kepentingan baik yang berada di daerah, seperti di Administrator Pelabuhan Kementerian Perhubungan di Sorong dan di Ternate serta PT Pelabuhan Indonesia. Sedangkan data sekunder di dapat melalui buku, jurnal maupun koran dan jaringan internet. Penelitian ini bersifat dekriptif karena penulis ingin memberikan penjelasan mengenai potensi pembangunan pelabuhan internasional di wilayah Indonesia. Oleh karena itu penulis perlu berhubungan langsung dengan para pemangku kepentingan selaku nara sumber agar mendapat gambaran yang komprehensif. C. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dari penelitian ini adalah melalui wawancara dan studi literatur. Penulis telah melakukan wawancara dengan pihak Pemerintah yang berada di daerah seperti Administrator Pelabuhan Kementerian Perhubungan dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda) di Sorong, Provinsi Papua Barat dan di Ternate dan Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara maupun pihak BUMN yakni PT Pelabuhan Indonesia. Selain wawancara, penulis juga melakukan studi literatur. Adapun data-data yang didapatkan melalui buku-buku dan bahan terbitan Kementerian maupun LSM yang telah dikunjungi, buku-buku, jurnal maupun koran nasional, serta jaringan internet.
D. Pelaksanaan Penelitian dan Sumber Informasi Penelitian dilakukan di Jakarta, Provinsi Papua Barat (Sorong) dan Provinsi Maluku Utara (Morotai dan Ternate) pada bulan November 2011. Nara sumber yang terdapat di daerah dipilih dengan cara sengaja (purposive). Para nara sumber tersebut didatangi oleh penulis dan diwawancarai secara langsung. Adapun nara sumber tersebut antara lain Administrator Pelabuhan Kementerian Perhubungan dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda) di Sorong, Provinsi Papua Barat serta Bupati Pulau Morotai dan jajarannya seperti mantan Kepala Dinas Kementerian Kelautan dan Perikanan Pulau Morotai dan Kepala Dinas Kementerian Kelautan dan Perikanan Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara maupun pihak BUMN yakni PT Pelabuhan Indonesia. Selain wawancara, data dan sumber informasi juga didapat melalui buku, jurnal, koran dan jaringan internet.
36
BAB III KETERGANTUNGAN INDONESIA TERHADAP PELABUHAN INTERNASIONAL DI NEGARA TETANGGA
PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II akan mengembangkan tiga pelabuhan yang siap bersaing dengan Pelabuhan di Singapura dan Malaysia, yakni Pelabuhan Kalibaru (Tanjung Priok New Terminal), Pelabuhan Tanjung Sauh Batam, dan Pelabuhan Sorong. Dengan adanya ketiga pelabuhan tersebut, kegiatan ekspor-impor tidak lagi melalui Singapura (transshipment). Selain menghemat devisa, kehadiran pelabuhan internasional itu akan menurunkan biaya transportasi (freight), meningkatkan daya saing ekspor, memacu pertumbuhan perdagangan dan investasi dan menurunkan harga barang. Setelah adanya modernisasi dan efisiensi di Pelabuhan Tanjung Priok, arus kontainer ekspor-impor Indonesia melalui Singapura turun dari 70 persen pada 2010 menjadi 18 persen pada 2011. Untuk kelas kapasitas 4 juta TEUs setahun, Jakarta International Container Terminal (JICT) di Tanjung Priok sudah menjadi yang terbaik di Asia.5 Volume Peti Kemas yang transit di Pelabuhan Singapura terus berkurang. Bila tahun 2009, sebanyak 60-65 persen peti kemas asal Tanjung Priok harus transit di Singapura, tahun 2010 hanya 20 persen, kini hanya tinggal 18 persen. Tahun 2011, Pelindo II membongkar hampir 6 juta unit peti kemas 20 kaki. Prestasi ini karena kinerja Tanjung Priok makin baik, alatnya makin lengkap. Peti kemas ke Asia Timur, misalnya diberangkatkan tanpa transit. Di pelabuhan dunia, setelah sandar, hanya butuh 15 menit untuk bongkar-muat. Di Tanjung Priok kini masih butuh 15-30 menit, tetapi di Pelabuhan cabang butuh waktu dua jam. Yang juga menjadi hambatan adalah keinginan karantina untuk naik-turun di semua kapal.6 Posisi pelabuhan Tanjung Priok Jakarta semakin diperhitungkan di kancah global seiring dengan masuknya Indonesia menjadi bagian segitiga emas pertumbuhan ekonomi selain China dan India. China sangat berkepentingan dengan kemajuan Pelabuhan di Indonesia, baik untuk mengirimkan produknya sendiri maupun yang diproduksi atas pesanan mitranya dari luar negeri. China dan negara lain membutuhkan pelabuhan di Indonesia yang lebih baik untuk kelancaran masuknya barang mereka.7 Ketergantungan ekspor-impor Indonesia pada Singapura sebagai pelabuhan pengumpul (hub port) akan berakhir, bila New Priok atau Pelabuhan Kalibaru mulai 7 5 6
“Pelindo II Kembangkan Tiga “International Hub Port””, Suara Pembaruan, 5 Maret 2012: 11. “Transit di Singapura Tinggal 18 Persen”, Kompas, 17 Januari 2012: 20. “Posisi Pelabuhan RI Makin Penting”, Bisnis Indonesia, 14 Maret 2012: 15.
37
Potensi Pembangunan Pelabuhan Internasional di Wilayah Indonesia Bagian Timur
beroperasi tahun 2014. Meskipun saat ini arus barang dari pelabuhan Tanjung Priok Jakarta yang harus dipindahkan (transshipment) itu tinggal 18 persen, secara nasional transshipment diperkirakan masih sebesar 30-40 persen. Pembenahan dan modernisasi di pelabuhan Tanjung Priok telah memangkas transshipment kapal dari Pelabuhan utama Indonesia tersebut ke Singapura dari 70 persen tahun 2008 menjadi 18 persen, meski relatif tidak banyak menyedot investasi. Padahal, hingga beberapa tahun lalu, pelabuhan-pelabuhan besar di Tanah Air pun hanya menjadi pengumpan atau feeder port untuk Singapura. Hilangnya ketergantungan Indonesia yang mempunyai barang ekspor impor besar dipastikan sangat merugikan Singapura. Terminal pertama New Priok yang dijadwalkan mulai beroperasi tahun 2014 ini secara keseluruhan akan menambah kapasitas 5 juta TEUs pada 2017, sehingga kapasitas pelabuhan Tanjung Priok melonjak dari sekitar 6 juta TEUs menjadi 11 juta TEUs. Pembenahan Tanjung Priok telah memangkas transshipment dari Pelabuhan ke Singapura menjadi tinggal 18 persen dari 70 persen tahun 2008, serta mendongkrak kapasitas terminal perti kemas dari 3,8 juta TEUs tahun 2009 menjadi 5,9 juta TEUs tahun 2011. Pembangunan International Hub Port Kalibaru harus segera dilakukan, untuk efisiensi freight di Indonesia ketimbang harus lewat Singapura yang ongkosnya jauh lebih mahal sekitar 20 persen.8 Selain New Priok di sisi Barat RI, IPC (PT Pelindo II) berencana membangun dua international hub port di timur dan utara, yakni pelabuhan Sorong dan Pelabuhan Tanjung Sauh Batam. Pelabuhan Sorong akan dikembangkan dari 200.000 TEUs menjadi 800.000 TEUs setahun, untuk dijadikan hub port Indonesia bagian Timur dan kawasan West Pacific, menuju dan dari Far East (Timur Jauh) seperti Tiongkok dan Jepang. Ini bisa jadi hub port dari Papua, Papua Barat, Bitung, Gorontalo, maupun Port Moresby di Papua Nugini dan Darwin di Australia bagian utara. Dari Sorong tinggal ke ‘atas’ langsung bisa dikirim ke Tiongkok. Pengembangan tiga internasional hub port itu, telah membuat PT Pelindo II tersebut siap bersaing dengan Pelabuhan Singapura maupun Tanjung Pelepas Malaysia.9 Pemerintah menyiapkan dua pelabuhan pengumpul (hub port) internasional. Kedua pelabuhan itu adalah pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera sebagai hub port internasional di wilayah barat dan pelabuhan Bitung di Sulawesi sebagai hub port internasional di wilayah timur Indonesia. Kedua lokasi itu memenuhi kriteria sebagai hub port international terutama dari sisi geografis karena berada di alur pelayaran internasional.10
“New Priok Akhiri Ketergantungan pada Pelabuhan Singapura”, Suara Pembaruan, 6 Maret 2012: 11. 9 Ibid. 10 “Kuala Tanjung dan Bitung jadi “Hub Port” Internasional”, Suara Pembaruan, 27 Oktober 2011: 11. 8
38
BAB IV POTENSI PEMBANGUNAN PELABUHAN INTERNASIONAL DI WILAYAH INDONESIA BAGIAN TIMUR
Pembangunan satu pelabuhan di Indonesia memerlukan adanya perencanaan yang matang dan dana yang sangat besar. Pemerintah memperkirakan besarnya investasi pengembangan dan pelabuhan di Indonesia hingga tahun 2030 mencapai 67 miliar dollar AS. Sayangnya, pemerintah tidak mampu menutupi seluruh biaya yang dibutuhkan. Kemampuan pemerintah hanya sebesar 30 persen. Sedangkan 70 persen lainnya membutuhkan keterlibatan investor swasta. 11 Indonesia memerlukan Rencana Induk Pelabuhan Nasional. Perlunya rencana induk ini disampaikan oleh Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kementerian Perhubungan, Adolf Tambunan. Menurut Adolf Tambunan, keberadaan Rencana Induk Pelabuhan Nasional bertujuan untuk menciptakan pelabuhan yang efisien, kompetitif, responsif yang mendukung perdagangan baik internasional maupun domestik, sehingga juga akan mendukung pertumbuhan ekonomi dan perkembangan wilayah. Sampai dengan tahun 2030, pengembangan pelabuhan nasional diperkirakan akan membutuhkan dana sebesar 700 miliar dollar AS. Kebutuhan investasi terbanyak ada di Jawa dan Sumatera. Sebagai contoh, untuk investasi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan sekitarnya saja membutuhkan biaya mecapai 4,6 miliar dollar AS.12 Pemerintah sadar betul, bahwa pemerintah tidak dapat bertindak sendirian. Pemerintah memerlukan peran swasta. Oleh karena itu, pemerintah harus membuat iklim investasi yang menarik dan buat insentif dalam hal pengembangan pelabuhan. Pelabuhan di Indonesia saat ini sudah mengalami tingkat kepadatan yang tinggi. Dengan demikian, Pihak PT Pelabuhan Indonesia II akan menambah kapasitas Pelabuhan Tanjung Priok sekitar 13 juta TEUs (Twenty-foot equivalent units). IPC (PT Pelabuhan Indonesia II (Persero)) secara resmi menerima salinan Peraturan Presiden (Perpres) untuk membangun dan mengoperasikan Pelabuhan Kalibaru (New Priok) di Kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Adapun rencana induk pembangunan New Priok tahap pertama terdiri dari tiga kontainer terminal serta dua terminal bahan bakar minyak dan gas. Pelabuhan ini didesain dengan kedalaman draft 16 meter pada mean low water spring (MLWS) dan alur pelayaran dua arah selebar hampir 300 meter untuk mempercepat arus kedatangan dan keberangkatan kapal. Pada “Pengembangan Pelabuhan Butuh US$ 700 Miliar”, Suara Pembaruan, 30 November 2011: 12. Ibid.
11
12
39
Potensi Pembangunan Pelabuhan Internasional di Wilayah Indonesia Bagian Timur
tahap ini, pelabuhan akan dibangun di atas lahan seluas 195 hektar dengan panjang dermaga 4.000 meter dan mampu menampung kontainer hingga 4,5 juta TEUs. Pembangunan pelabuhan bersumber dan diusahakan sendiri oleh perusahaan, termasuk alternatif melalui pinjaman nasional dan internasional, dukungan investasi lain dari mitra strategis, atau kerja sama dari operator kapal dan pelabuhan kelas dunia. Bahkan, nantinya New Priok diharapkan dapat memfasilitasi kapal-kapal besar seukuran super-post Panama untuk bisa masuk langsung ke Indonesia tanpa perlu transshipment– memindahkan muatan ke kapal yang lebih kecil.13 Lebih lanjut, Adolf Tambunan juga menyatakan bahwa, proyeksi trafik beberapa komoditas di pelabuhan Indonesia menunjukkan adanya peningkatan yang sangat signifikan. Untuk kontainer/peti kemas, jika pada tahun 2010 hanya berjumlah 10 juta TEUs maka pada tahun 2020 akan berjumlah 21 juta TEUs, dan pada tahun 2030 akan menjadi 42 juta TEUs. Selain itu, Tambunan juga mengatakan bahwa pengembangan pelabuhan untuk periode 2011-2030 akan terfokus pada delapan wilayah di Indonesia, yakni 10 pelabuhan di Sumatera Utara/Aceh, 2 pelabuhan di Kalimantan Barat, 7 pelabuhan di Sumatera Selatan, 4 pelabuhan di Kalimantan Timur-Selatan, 3 pelabuhan di Sulawesi Selatan-Tengah, 20 pelabuhan di Pulau Jawa, 1 pelabuhan di Bali-NTT, dan 6 pelabuhan di wilayah Indonesia bagian timur lainnya.14 Menanggapi kekurangan Pemerintah, perusahaan swasta dapat menginisiasi dan membangun sendiri sistem teknologi informasi untuk sistem komunitas pelabuhan (port community system). Nantinya, baru akan dibangun konektivitas jaringan ke sistem milik pemerintah seperti bea cukai. Sistem komunitas pelabuhan akan dibangun dan dioperasikan oleh Datenkommunikationssystem AG (Dakosy).15 Dakosy awalnya didirikan dengan niat kuat untuk memperbaiki Pelabuhan Hamburg sebab Hamburg pernah dituding memfasilitasi penyelundupan. Kegiatan bongkar muat barang di pelabuhan ini pun pernah tidak teratur. Sistem teknologi informasi yang dikembangkan Dakosy pun akhirnya dapat mengintegrasikan data dari perusahaan pelayaran, jasa pengangkutan, bea cukai, hingga polisi air dan instansi-instansi pemerintahan. Sistem ini juga mampu menggerakkan armada kapal pemadam bila terjadi kondisi darurat di Pelabuhan Hamburg. 16 Sistem dari Dakosy dapat menginformasikan ke pelanggan mengenai posisi kapal. Selain itu, sistem ini juga mampu memberitahukan jika ada keterlambatan. Keunggulan lain dari sistem ini adalah ketika kapal sudah mendekati pelabuhan, maka sistem secara otomatis akan memesan truk. Namun, truk tidak dapat memasuki pelabuhan tanpa kepastian kedatangan peti kemas. Direktur Operasi dan Teknik PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) Persero II, Feriadly Noerlan, mengatakan 15 16 13 14
40
“IPC Siap Kembangkan Pelabuhan di Tanah Air”, Kompas, 24 April 2012: 26. Ibid. “Swasta Bisa Bangun Sistem Komunitas”, Kompas 29 September 2011: 23. Ibid.
Lisbet, S.IP., M.Si.
bahwa Pelindo II dibantu Telkom yang akan langsung mengembangkan sistem komunitas pelabuhan.17 Di samping mengembangkan sistem komunitas pelabuhan, PT Pelindo II juga telah memulai proses pembangunan pelabuhan hub internasional di kabupaten Sorong, Papua Barat. Pembangunan Pelabuhan sorong saat ini telah memasuki tahap pertama. Pelabuhan Sorong nantinya diharapkan menjadi pelabuhan pengumpul (hub port) di Samudera Pasifik bagian Barat.18 Letak pelabuhan Sorong sangat strategis. Jadi sangat cocok untuk pembangunan pelabuhan regional hub serta pelabuhan hub internasional.19 Bahkan dapat dikatakan Sorong is the Best Pacific Hub Port. Hal ini dikarenakan letaknya yang berada di serambi depan Negara Kepulauan Republik Indonesia dengan negara-negara di seberang Laut Pasifik. Kapal-kapal besar dari negara lain dapat memasukkan barangnya ke pelabuhan Sorong. Begitu juga sebaliknya, barang-barang Indonesia hasil daerah di sekitar Pulau Papua dapat diekspor ke Negara-negara di seberang Laut Pasifik dengan kapal besar melalui pelabuhan tersebut.20 Pelabuhan Sorong pun telah didesain oleh PT Pelabuhan Indonesia Persero II untuk dijadikan pelabuhan peti kemas alih kapal (transshipment). Dengan demikian, sifatnya umum karena juga akan digunakan untuk persinggahan pengiriman peti kemas ke sejumlah pelabuhan internasional lain.21 Saat ini kapasitas pelabuhan hanya sekitar 25.000 TEUs. Dengan adanya pelabuhan di Sorong maka kapasitas pelabuhan akan meningkat menjadi 700.000 TEUs. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Wakil Bupati Kabupaten Sorong (Tri Budiarto) dan Sekretaris Daerah Kabupaten Sorong (Drs. Sudirman, M.Si), permasalahan tersebut telah dapat diatasi dengan baik. Tidak ditemukan adanya kendala dalam proses pembangunan pelabuhan hub internasional di Sorong. Pelabuhan ini rencananya akan dibangun di Distrik Seget Kabupaten Sorong Lokasi ini dipilih karena kedalamannya paling bagus sehingga kapal besar dapat masuk. Di samping itu, sudah terdapat perintah Presiden kepada Pemerintah Daerah untuk mendukung proses pembangunan pelabuhan di Seget. Pembangunan pelabuhan ini diperkirakan akan selesai pada tahun 2013. Berkaitan dengan pembangunan pelabuhan ini, Pemerintah Kabupaten Sorong pun telah membebaskan lahan seluas 7500 hektar. Hal tersebut merupakan salah satu wujud dukungan dari Pemerintah Daerah. Selain itu grand design pembangunan pelabuhan serta Amdal juga telah dipersiapkan dengan baik. Persoalan dana pun
Ibid. “Pelabuhan dibangun di Sorong”, Kompas, 12 September 2011: 17. 19 “Pelindo II Siap bangun Pelabuhan Sorong”, http://www.bisnis.com/articles/pelindo-ii-siapbangun-pelabuhan-sorong, diakses pada tanggal 2 November 2011. 20 “Dirut Pelindo II: Bangun Pelabuhan Sorong, Orang Anggap Saya Nekat”, http://finance.detik.com/ read/2011/09/15/170746/1723420/4/dirut-pelindo-ii-bangun-pelabuhan-sorong-oranganggap-saya-nekat, di-akses pada tanggal 2 November 2011. 21 “Pelabuhan Sorong Butuh Perpres Tersendiri”, http:/regional.kompas.com/ read/2011/09/14/0508023/Pelabuhan.Sorong.Butuh.Perpres.Tersendiri, diakses pada tanggal 2 November 2011. 17 18
41
Potensi Pembangunan Pelabuhan Internasional di Wilayah Indonesia Bagian Timur
telah diatasi karena Bank Mandiri telah memberikan dana sebesar 10 triliun rupiah untuk proyek pembangunan ini. Pemerintah Kabupaten Sorong sangat mendukung pembangunan pelabuhan ini karena akan semakin meningkatkan kegiatan ekspor-impor barang terutama di wilayah Indonesia Bagian Timur. Saat ini, kegiatan ekspor-impor masih terpusat di Pelabuhan Makasar. Barang-barang dari pelabuhan Makasar biasanya akan dibawa ke Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya atau ke Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta. Setelah itu, barulah diekspor ke luar negeri. Hal ini menyebabkan biaya menjadi lebih mahal dan barang lebih lama tiba di pembeli. Pelabuhan Sorong saat ini terletak di jalan Jend. A. Yani, Kabupaten Sorong. Status pelabuhan tersebut adalah pelabuhan diusahakan. Pelabuhan Sorong merupakan jenis Pelabuhan umum dan masuk kedalam kategori pelabuhan kelas satu. Adapun fasilitas di pelabuhan ini juga masih terbatas seperti hanya memiliki satu unit kapal pandu dengan satu orang tenaga pandu. Selain itu, pelabuhan ini masih belum memiliki masterplan pelabuhan.22 Sebagai informasi tambahan, adapun yang menjadi pemiliki pelabuhan Sorong di jl. Jend. A. Yani yang ada saat ini adalah PT. Pelindo IV. Akan tetapi, pelabuhan Sorong yang akan dibangun di Distrik Seget menjadi milik PT Pelindo II. Berdasarkan wilayah kerja, pelabuhan Sorong seyogyanya memang merupakan tanggung jawab PT Pelindo IV. Kendati demikian, tidak terdapat data yang dapat menjelaskan tentang hal ini. Berbeda halnya dengan Pelabuhan Sorong, pelabuhan di Raja Ampat masih berupa pelabuhan kecil yang hanya cukup untuk pelabuhan perintis. Berdasarkan pengamatan di lapangan, kapal yang datang ke pelabuhan itu dari Sorong pun hanya dua kali seminggu dengan jenis kapal cepat untuk penumpang. Kendati Kabupaten Pulau Raja Ampat merupakan kawasan lokasi wisata tapi kapal-kapal besar yang berangkat dari Pelabuhan Sorong tidak dapat bersandar di pelabuhan yang ada di Raja Ampat. Infrastruktur pelabuhan di Kabupaten Pulau Raja Ampat pun masih sangat minim. Hanya terdapat satu dermaga, alur kedalamannya pun masih kecil dan belum memiliki fasilitas-fasilitas sebagaimana pelabuhan pada umumnya. Selain itu pada bulan-bulan tertentu arus laut pun tinggi dan deras sehingga dapat menyulitkan pelayaran dari dan ke Kabupaten Pulau Raja Ampat. Pom bensin pun hanya beberapa sehingga kerap kali terjadi kelangkaan yang membuat harga membumbung tinggi terutama untuk satu unit kapal. Berbeda halnya dengan Pelabuhan Sorong, Pelabuhan Ternate masuk ke dalam kategori kelas dua. Walau demikian, terdapat dasar hukum yang menetapan Pelabuhan Ternate sebagai pelabuhan laut yang terbuka untuk perdagangan luar negeri. Dasar hukum tersebut tercantum di Keputusan Bersama Menteri “Pelabuhan Sorong”, www.dephub.go.id/files/media/file/25persen20pelabuhan/Sorong.pdf diakses pada tanggal 11 November 2011.
22
42
Lisbet, S.IP., M.Si.
Perhubungan dan Menteri Keuangan Nomor: 885/Kpb/VII/1985 dan Nomor 667/ KMK.05/1985 tanggal 26 Juli 1985.23 Ironinya, meskipun telah ditetapkan sebagai pelabuhan laut yang terbuka untuk perdagangan luar negeri, sebagian besar kapal-kapal asing yang melakukan ekspor/impor di Propinsi Maluku Utara tidak singgah di Pelabuhan Ternate. Kegiatan eksport/import dilakukan pada lokasi pemuatan (Terminal Khusus), dimana pengawasan dilakukan dengan mengirimkan petugas dari Administrator Pelabuhan, Imigrasi, Karantina dan Bea & Cukai ke TERSUS dimana kapal melakukan kegiatan pemuatan dan bongkaran sebagaimana yang terdapat di dalam tabel 1 dibawah ini. Tabel 1 Daftar Lokasi TERSUS di Propinsi Maluku Utara yang Melakukan Kegiatan Ekspor
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Lokasi Terminal Khusus Marnopo Tanjung Buli Mabuli Waisumo Subaim/Loleba Sagea Lelilef Loji Kawasi Kupa-kupa
Pelabuhan Umum Terdekat Kantor UPP Buli
Kantor UPP Gebe
Jenis Komoditi Nikel
Nikel
Pelabuhan Tujuan China, Korea, Jepang, Rusia China
Kantor UPP Laiwu/ Nikel China dan Obi Jepang Kantor UPP Tobelo Kopra Philipina Kantor Adpel Ikan Hidup Hong Kong 11. Ternate Ternate Sumber: Data tertulis dari Kantor Administrator Pelabuhan Ternate
Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak tercapainya peran pelabuhan Ternate sebagai pelabuhan laut yang terbuka untuk perdagangan luar negeri. Pelabuhan ternate hanya digunakan untuk mengekspor ikan hidup ke Hong Kong. Padahal dari tabel tersebut dapat terlihat bahwa selain Hong Kong, terdapat pelabuhan tujuan dari beberapa negara lainnya seperti China, Jepang, Korea, Rusia dan Philipina. Komoditi yang dikirim pun ada beragam sehingga dapat menjadi suatu nilai tambah bagi pelabuhan Ternate. Kendati demikian, kapal-kapal tersebut tidak dapat disalahkan. Kapal-kapal itu melakukan kegiatan bongkar-muat di upp terdekat bukan karena keinginannya sendiri. Hal ini dilakukan berdasarkan Telegram Direktur Jenderal Perhubungan laut No. 34/III/DN-2011 tanggal 21 Maret 2011 perihal tugas dan kewenangan pengawasan di pelabuhan atau terminal khusus, maka pelayanan dan pengawasan Data Tertulis dari Kantor Administrator Pelabuhan Ternate.
23
43
Potensi Pembangunan Pelabuhan Internasional di Wilayah Indonesia Bagian Timur
keselamatan pelayaran terhadap kapal-kapal asing yang melakukan kegiatan pada terminal khusus di Propinsi Maluku utara dilakukan oleh masing-masing kepala UPP terdekat.24 Tabel 2 Arus Kunjungan Kapal Asing 2010 Bulan
2011 Barang
Unit
GT
Barang
IM/B
EKS/M
T/M
T/M
3
Unit
GT
3
IM/B
EKS/M
T/M
T/M3
3
Jan
14
419.349
0
690.092
15
459.623
0
688.301
Mar
19
461.236
0
780.898
9
291.017
0
487.788
Feb
Apr Mei Jun Jul
Ags Sep Okt
Nov Des
Jumlah
22 22 16 19 12 17 12 19 19 18
209
599.391 551.682 430.944 583.308 476.601 633.907 479.124 677.689 602.040 555.241
6.470.512
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
890.532 691.016
19
564.632
0
776.065
731.530 941.930 554.707 895.767 629.085 919.621 982.484 800.883
9.508.545
43
1.297.272
Sumber: Data tertulis dari Kantor Administrator Pelabuhan Ternate
0
1.952.154
Dari Tabel 2 di atas, dapat terlihat bahwa arus kunjungan kapal asing ke ternate pada tahun 2010 sudah sangat bagus, yakni sebanyak 209 unit kapal. Tapi sejak diberlakukannya kebijakan ini, jumlah kapal asing yang masuk ke Ternate menurun drastis menjadi 43 unit kapal. Jumlah itu pun hanya terhitung sampai dengan bulan April 2011. Kebijakan ini memang disayangkan oleh Administrator Pelabuhan Ternate dan PT Pelindo IV selaku para stakeholder yang memegang peranan di Pelabuhan Ternate. Dengan adanya kebijakan tadi justru tidak memaksimalkan peran dari pelabuhan Ternate itu sendiri. Sedangkan Pulau Morotai memiliki potensi untuk dijadikan pelabuhan internasional. Pulau Morotai mempunyai letak geografis yang sangat strategis. Pulau Morotai merupakan pulau paling depan (beranda) dan merupakan pintu gerbang masuk (gateway) Indonesia yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik dan bertetangga dengan Asia Timur, serta berada pada jalur utama pelayaran ke Ibid.
24
44
Lisbet, S.IP., M.Si.
Australia dan Selandia Baru. Hal inilah yang menjadi alasan Pulau Morotai pernah menjadi pangkalan Militer Amerika Serikat dalam menghadapi Jepang pada Perang Dunia ke-II.25 Dengan adanya potensi seperti di atas, Pemerintah Daerah Pulau Morotai memiliki mimpi agar kapal-kapal asing singgah di pulau tersebut dan melakukan transaksi perdagangan dengan membeli hasil-hasil komoditi andalan dari Pulau Morotai. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Bupati Pulau Morotai, sudah terdapat rencana pembangunan pelabuhan dalam rangka pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus. Pembangunan pelabuhan ini rencananya akan sejalan dengan Program Minapolitan. Pembangunan pelabuhan tersebut akan menjadi pelabuhan lingkar luar (outer ring fishing port).26 Rencananya pelabuhan yang berfungsi sebagai pelabuhan internasional ini akan dibangun di Bere-bere. Tempat ini dipilih karena memiliki posisi yang strategis dan memiliki alur kedalaman yang bagus. Sehingga terdapat juga kemungkinan bahwa pelabuhan peti kemas juga akan dibangun di sana. Namun demikian, belum terdapat keputusan untuk hal tersebut.27 Menurut Kadis KKP Pulau Morotai, di Bere-bere telah dibangun Pelabuhan Perikanan Nusantara. Pelabuhan ini dibangun karena mendapatkan dukungan dari investor Taiwan. Pelabuhan perikanan nusantara seyogyanya tidak dapat digabung dengan pelabuhan peti kemas untuk peti kemas karena akan mengganggu jalannya kegiatan di masing-masing pelabuhan. Oleh karena itu, untuk pelabuhan peti kemas, PT Pelindo IV telah melakukan survey lapangan ke daerah Wayabula (Ibukota Kecamatan Morotai Selatan Barat) dan beberapa desa di sekitar Morotai Selatan seperti Pandangan, Juanga dan Darame.28 Sampai dengan saat ini, memang masih belum ada keputusan dari para pemangku kepentingan mengenai lokasi pembangunan pelabuhan peti kemas di Pulau Morotai. Meskipun membutuhkan dana yang sangat banyak dalam membangun suatu pelabuhan berikut fasilitas-fasilitasnya, namun demikian, baik pihak Pemerintah Daerah, PT Pelindo IV dan masyarakat telah memberikan sinyalemen positif bagi pembangunan ini. Dengan adanya pembangunan pelabuhan ini diharapkan kehidupan perekonomian di Pulau Morotai akan menjadi semakin meningkat setiap tahunnya.
“Pulau Morotai Layak Pangkalan Militer”, Buletin Parlementaria/Agustus/2011: 11-12. Wawancara dengan Rusli Sibua Bupati Pulau Morotai dan jajarannya, 10 November 2011 di Pulau Morotai. 27 Wawancara dengan Muhlis Baay, Kepala Penanggulangan Bencana yang juga mantan Kepala Dinas Kementerian Kelautan dan Perikanan Pulau Morotai, 10 November 2011 di Pulau Morotai. 28 Wawancara dengan Ismail, Kepala Dinas Kementerian Kelautan dan Perikanan Pulau Morotai, 11 November 2011 di Pulau Morotai. 25 26
45
BAB V PENUTUP
Kegiatan ekspor barang saat ini masih terpusat di empat pelabuhan utama yakni Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Perak di Surabaya, Makasar dan Pelabuhan Belawan di Medan. Akibatnya lalu lintas kegiatan ekspor pun menjadi semakin padat di pelabuhan-pelabuhan tersebut. Saat ini Pemerintah juga telah memiliki rencana untuk membangun 10 pelabuhan alternatif lain yang letaknya juga strategis. Sayangnya, pelabuhan di Pulau Morotai tidak termasuk di dalamnya. Padahal, untuk wilayah Indonesia Bagian Timur, pelabuhan internasional cocok di bangun di Seget, Kabupaten Sorong dan Pulau Morotai karena letaknya strategis dan unsur kedalamannya pun mencukupi untuk dilalui oleh kapal-kapal besar. Selain itu, Pemerintah Daerah dan semua pihak terkait juga telah mendukung proses pembangunannya. Dengan adanya dukungan ini diharapkan akan semakin memperkecil kendala dalam proses pembangunan. Untuk wilayah Kabupaten Pulau Raja Ampat, akan lebih baik agar tidak didirikan pelabuhan internasional karena terdapat banyak lokasi kawasan konservasi.
47
BIBLIOGRAFI
Koran Ardinanda Sinulingga, “Di Laut Kita (Harus) Jaya”, Suara Pembaruan, 14 Juni 2012: 5.
“Pengembangan Pelabuhan Butuh US$ 700 Miliar”, Suara Pembaruan, 30 November 2011. “Pelabuhan Sebagai Penggerak Roda Perekonomian”, Kompas, 8 November 2011. “Swasta Bisa Bangun Sistem Komunitas”, Kompas 29 September 2011. “Pelabuhan dibangun di Sorong”, Kompas, 12 September 2011.
“RI Develops 14 Modern Ports to Support ASEAN Single Market”, The Jakarta Post, 14 July 2011. “Pulau Morotai Layak Pangkalan Militer”, Buletin Parlementaria/Agustus/2011.
Portal “Pelindo II Siap bangun Pelabuhan Sorong”, http://www.bisnis.com/articles/pelindoii-siap-bangun-pelabuhan-sorong diakses pada tanggal 2 November 2011.
“Dirut Pelindo II: Bangun Pelabuhan Sorong, Orang Anggap Saya Nekat”, http:// finance.detik.com/read/2011/09/15/170746/1723420/4/dirut-pelindo-iiba-ngun-pelabuhan-sorong-orang-anggap-saya-nekat diakses pada tanggal 2 Novem-ber 2011.
“Pelabuhan Sorong Butuh Perpres Tersendiri”, http://regional.kompas.com/read /2011/ 09/14/0508023/Pelabuhan.Sorong.Butuh.Perpres.Tersendiri diakses pada tanggal 2 November 2011. “Pelabuhan Sorong”, www.dephub.go.id/files/media/file/25persen20pelabuhan/ Sorong.pdf diakses pada tanggal 11 November 2011. Dokumen Data Tertulis dari Kantor Administrator Pelabuhan Ternate.
Wawancara Wawancara dengan Kepala Administrator Pelabuhan Klas II Cabang Ternate, Takwim Masuku, 9 November 2011 di Ternate. 49
Potensi Pembangunan Pelabuhan Internasional di Wilayah Indonesia Bagian Timur
Wawancara dengan Rusli Sibua Bupati Pulau Morotai dan jajarannya, 10 November 2011 di Pulau Morotai. Wawancara dengan Muhlis Baay, Kepala Penanggulangan Bencana yang juga mantan Kepala Dinas Kementerian Kelautan dan Perikanan Pulau Morotai, 10 November 2011 di Pulau Morotai.
Wawancara dengan Ismail, Kepala Dinas Kementerian Kelautan dan Perikanan Pulau Morotai, 11 November 2011 di Pulau Morotai.
50
Bagian Ketiga
POTENSI DAN PERMASALAHAN SUMBER DAYA IKAN DI DAERAH PERBATASAN: STUDI KASUS DI KABUPATEN PULAU MOROTAI DAN KABUPATEN RAJA AMPAT* oleh: Lukman Adam, S.Pi., M.Si**
*
**
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2011. Peneliti Pertama di Bidang Pengkajian P3DI Setjen DPR RI.
BAB I PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan tropis terbesar di dunia dengan letak yang strategis antara Benua Asia dan Australia, dan terletak di antara Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik. Indonesia memiliki luas daratan mencapai 1.910.931,32 km2, sedangkan luas lautan mencapai 3.544.743,90 km2, dan memiliki garis pantai sebesar 104 ribu km. Jumlah pulau yang dimiliki Indonesia sampai saat ini adalah 17.504 pulau1. Potensi geografis tersebut menempatkan Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sektor kelautan, dan sangat logis jika ekonomi kelautan dijadikan tumpuan bagi pembangunan ekonomi nasional. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi laut dan pesisir yang sangat besar. Sepanjang garis pantai dan bentangan perairan laut terkandung kekayaan sumber daya alam yang melimpah, dengan potensi pembangunan di wilayah laut dan pesisir yang terdiri dari sumber daya dapat pulih, sumber daya tak dapat pulih, dan jasa lingkungan. Sumber daya dapat pulih seperti ikan, lumut, hewan-hewan karang, dan kerang-kerangan. Sumber daya tidak dapat pulih seperti minyak dan gas bumi, dan bahan tambang serta mineral, sedangkan jasa lingkungan dari ekosistem pesisir, yaitu perhubungan, pariwisata bahari, dan sumber plasma nutfah. Namun, selama ini potensi tersebut belum termanfaatkan secara optimal dalam meningkatkan kesejahteraan bangsa pada umumnya dan pemasukan devisa negara khususnya. Potensi laut Indonesia yang tersebar pada hampir semua bagian perairan laut belum tergali secara maksimal. Dari sektor perikanan, pada tahun 2008, Indonesia menjadi produsen perikanan tangkap ketiga terbesar di dunia dengan produksi 4,95 juta ton, setelah China (14,79 juta ton) dan Peru (7,36 juta ton). Pada tahun yang sama, produksi akuakultur untuk moluska dan krustasea sejumlah 1,690 juta ton atau nomor empat terbesar, berada di bawah China (32,73 juta ton), India (3,478 juta ton), Vietnam (2,461 juta ton). Namun, Indonesia hanya menempati ranking ke13 pendapatan ekspor terbesar pada tahun 2008 atau senilai 2,471 miliar USD. Lima negara yang memiliki pendapatan ekspor terbesar dari sektor ini adalah China, Norwegia, Thailand, Denmark, dan Vietnam2.
1
2
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2011. Pusat Data Statistik dan Informasi. Jakarta: 12. FAO. 2009. The State of World Fisheries and Aquaculture 2008. Food and Agriculture Organization, Rome. Italy: 126.
53
Potensi dan Permasalahan Sumber Daya Ikan di Daerah Perbatasan: Studi Kasus
Kawasan Timur Indonesia, khususnya Maluku Utara dan Papua Barat kaya sumber daya ikan bernilai ekonomis penting. Letaknya yang dekat dengan Samudera Pasifik, dan laut dalam seperti Laut Sulawesi dan Laut Halmahera menyebabkan sumber daya ikan selalu tersedia setiap tahunnya. Potensi yang besar ini semestinya diikuti dengan ketersediaan sarana penunjang, seperti pelabuhan, ketersediaan listrik dan bahan bakar minyak, armada perikanan dan alat tangkap ikan yang memadai. Khusus mengenai alat tangkap ikan, dapat diperkirakan bahwa maraknya illegal, unregulated and unreported (IUU) fisihing disebabkan tidak memadainya armada perikanan yang dimiliki dibandingkan dengan potensi sumber daya kelautan yang dimiliki. Armada perikanan di Indonesia umumnya masih didominasi oleh nelayan kecil, sehingga sulit untuk bisa menangkap ikan di laut teritorial, apalagi di laut ZEE. Hal ini dimanfaatkan oleh nelayan dari negara tetangga, khususnya Filipina untuk menangkap ikan di perairan Indonesia. Kabupaten Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara telah ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai kawasan mega minapolitan, bahkan pada tahun 2012 di kabupaten ini akan diadakan Sail Morotai. Penentuan kawasan mega minapolitan semestinya ditentukan dengan memperhatikan potensi sumber daya ikan yang dimiliki: ketersediaan sarana dan prasarana pendukung, serta sarana dan prasarana pokok. Sarana dan prasarana pendukung adalah energi, dalam hal ini ketenagalistrikan dan bahan bakar minyak. Sedangkan sarana dan prasarana pokok adalah armada penangkapan ikan dan pelabuhan perikanan. Sumber daya perikanan pada dasarnya bersifat terbatas walaupun sumber daya tersebut dapat pulih kembali. Pada wilayah yang belum dimanfaatkan, stok ikan akan tumbuh sampai mencapai tingkat daya dukung lingkungan (Sari, et al., 2008). Di Kabupaten Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara dan Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat, sumber daya perikanan utama adalah perikanan karang. Provinsi Maluku Utara yang sebagian besar wilayahnya berupa perairan memiliki potensi sumberdaya perikanan laut cukup besar. Potensi perikanan laut yang terdapat di perairan Maluku Utara pada tahun 2010 sebesar 1.035.230 ton per tahun dengan potensi lestari yang dapat dimanfaatkan setiap tahun diperkirakan sebesar 828.180 ton per tahun. Jenis-jenis sumberdaya ikan yang ditangkap oleh nelayan di sekitar perairan Maluku Utara sekitar 98 jenis ikan, 74 di antaranya bernilai ekonomis penting, 20 jenisnya merupakan komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi termasuk di antaranya ikan pelagis besar seperti cakalang (Katsuwonus Pelamis), tuna (Thunnus spp.), tongkol (Euthynnus spp.), dan jenis-jenis ikan pelagis kecil kecil seperti kembung (Rastralliger spp.), layang (Decapterus spp.), tembang (Sardinella spp.), selar (Selaroides spp.) cumi-cumi (Loligo spp.), dan teri (Stelephorus spp.), serta jenis ikan hias ekosistem terumbu karang. 54
Lukman Adam, S.Pi., M.Si.
Selain ikan-ikan pelagis dan demersal, perairan Maluku Utara yang mempunyai terumbu karang cukup luas juga mempunyai potensi ikan-ikan karang. Jenis-jenis ikan karang yang banyak ditemukan di perairan Maluku Utara anatara lain: ekor kuning, pisang-pisang, baronang, kakatua/gigi anjing, kerapu, ikan kerondong, napoleon, kakap dan lencam. Untuk jenis ikan hias meliputi Pomacentridae, Libridae, Chaetodontodae, Acanthuridae, Balistidae, Serranidae. Sedangkan untuk jenis non ikan dapat ditemui jenis-jenis antara lain: udang, kepiting, rajungan, rebon, lobster/ udang karang, udang kipas, udang laut dalam, mimi, moluska dan teripang.
55
BAB II METODOLOGI PENELITIAN
I.
Kerangka Pemikiran Gambaran terhadap potensi dan permasalahan sumber daya ikan di daerah perbatasan diharapkan dapat menjawab permasalahan mengenai upaya sustainable economic fishing, yaitu eksploitasi perikanan yang dilakukan sesuai dengan jumlah tangkap yang diperbolehkan dengan memperhatikan jumlah penangkapan ikan yang lestari. Daerah perairan Pulau Morotai dan Raja Ampat merupakan perairan laut dalam yang kaya akan terumbu karang, sehingga banyak ditemukan jenis ikan karang yang masih berada dalam status dapat ditingkatkan pemanfaatannya. Namun, tata cara pemanfaatan penangkapan ikan yang dilakukan harus memperhatikan kaidah kelestarian lingkungan pesisir. Karena itu, maka kerangka pemikiran yang digunakan dalam penulisan ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Potensi dan PermasalahanSumber Daya Ikan di Daerah Perbatasan
57
Potensi dan Permasalahan Sumber Daya Ikan di Daerah Perbatasan: Studi Kasus
II. Analisis Data Dari kerangka pemikiran yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan menggunakan data sekunder. Deskripsi data dan sumber data serta metode analisis menurut tujuan penelitian disampaikan pada Tabel 1. Tabel 1. Data dan Metode Analisis Menurut Tujuan Penulisan Tujuan
1. Analisis terhadap potensi perikanan tangkap di daerah penelitian
2. Telaah terhadap peraturan mengenai perikanan tangkap.
58
Data/Sumber Data
1. Perikanan Tangkap dalam Angka 2. Tata Ruang Pesisir 3. Sumber data lain
1. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 3. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
Metode Analisis
1. Analisis Kebijakan: 2. 1. Review 3. 2. Sintesis 1. Analisis Kebijakan: 2. 1. Review 3. 2. Sintesis
BAB III POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN pulau MOROTAI
Perairan laut di wilayah Morotai dapat dinyatakan sebagai salah satu daerah penangkapan ikan yang potensial. Hal ini ditunjukkan dengan: (1) masih sering terlihatnya kawanan ikan pelagis yang berenang dan berlompatan di sekitar perairan pantai Pulau Morotai, dan (2) kehadiran armada asing banyak memasang rumpon dan melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan ini secara ilegal. Perairan laut di sekitar Pulau Morotai, mengandung sumberdaya ikan bernilai ekonomis penting yang cukup beragam, seperti: ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), madidihang (Thunnus albacores), mata besar (Thunnus obesus), albacore (Thunnus alalunga) dan komo/ tongkol (Euthynnus affinis) untuk kelompok ikan pelagis besar. Ikan layang (Decapterus spp), kembung (Rastrelliger spp.), teri (Stolephorus spp.), selar (Caranx spp.) dan julung-julung (Hyporhampus spp.) untuk kelompok ikan pelagis kecil. Juga terdapat ikan kakap merah (Lutjanus spp.), kuwe/ bobara (Carangoides spp.), pisang-pisang (Caesio spp.), kakatua (Scarus spp.), biji nangka (Upeneus spp.), baronang (Siganus spp.) dan kerapu (Epinephelus spp.) untuk kelompok ikan demersal. Disamping itu, terdapat kelompok komoditas perikanan lainnya yang juga bernilai ekonomis tinggi, seperti: cumi-cumi (Chephalopoda spp.), kerang mutiara (Pinctado maxima), tapis-tapis (Pinctada margarititera), lola (Thodws nilotice), teripang (Holothuridae spp.), Crustaceae, Echinodermata, lobster dan berbagai jenis ikan karang.3 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Morotai oleh masyarakat setempat masih sangat rendah. Hal ini ditunjukkan dengan nilai tingkat pemanfaatannya pada tahun 2005 hanya sekitar 4 %, walaupun menggunakan nilai estimasi potensi yang terkecil (27.350,09 Ton/tahun). Padahal, dengan pendekatan rumpon Filipina yang diperkirakan dipasang di perairan Morotai, untuk sumberdaya kelompok ikan pelagis saja dapat mencapai angka 120.000 Ton/tahun.
3
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Penyusunan Rencana Zonasi Kabupaten Pulau Morotai. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta: 72.
59
Potensi dan Permasalahan Sumber Daya Ikan di Daerah Perbatasan: Studi Kasus
Tabel 2. Potensi sumberdaya ikan laut di perairan Pulau Morotai dengan Pendekatan Ratio Luas Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Kelompok Ikan
Potensi (ton/tahun)
WPP 6
WPP 7
Total
Potensi Pulau Morotai (ton/tahun)
764.190
38.210
Pelagis Besar
106.510
175.260
281.770
Demersal
83.840
54.860
138.700
Pelagis Kecil Lainnya *) Total
379.440 20.830
590.620
384.750 17.850
632.720
38.680
1,223.340
*) ikan karang, cumi-cumi, udang lobster dan udang lainnya Sumber: PKSPL-IPB (2006)
14.089 6.935 1.934
61.167
PKSPL-IPB (2006) melakukan pengamatan di lapangan dan wawancara dengan nelayan di Pulau Morotai mendapatkan bahwa perairan laut disekitar Pulau Morotai terdapat sekitar 200 rumpon (fish aggregation device) nelayan Phillipine. Jumlah rumpon ini diperkirakan lebih banyak lagi, karena umumnya rumpon dipasang dengan radius 10 mil laut. Bila 50% saja luas perairan laut Pulau Morotai yakni sekitar 3.082,79 km2 dipasang rumpon Phillipina, maka diperkirakan terdapat sekitar 308 rumpon.4 Jenis ikan (dalam arti luas sehingga mencakup pula krustasea, moluska, ekinodermata dan alga, selain finfish) yang terdapat di perairan laut Pulau Morotai sangat beragam, dan sebagian besar bernilai ekonomi tinggi (PKSPL-IPB, 2006). Jenis ikan yang terdapat di perairan laut Pulau Morotai, antara lain: ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), madidihang (Thunnus albacores), mata besar (Thunnus obesus), albacore (Thunnus alalunga) dan komo/tongkol (Euthynnus affinis) untuk kelompok ikan pelagis besar; ikan layang (Decapterus spp), kembung (Rastrelliger spp), teri (Stolephorus spp), selar (Caranx spp.) dan julung-julung (Hyporhamphus spp.) untuk kelompok ikan pelagis kecil; dan ikan kakap merah (Lutjanus spp.), kuwe/ bobara (Carangoides spp.), pisang-pisang (Caesio spp), kakatua (Scarus spp), biji nangka (Upeneus spp.), baronang (Siganus spp.) dan kerapu (Epinephelus spp.) untuk kelompok ikan demersal. Disamping itu, juga terdapat kelompok komoditas perikanan lainnya yang juga bernilai ekonomis tinggi, seperti: cumi-cumi (Chephalopoda sp.), kerang mutiara (Pinctada maxima), tapis-tapis (Pinctada margarititera), lola (Thodws
4
60
Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. 2006. Kajian Sumber daya Perikanan Kabupaten Pulau Morotai. Bogor: 76 - 80.
Lukman Adam, S.Pi., M.Si.
nilotice), teripang (Holothuridae), Crustaceae, Echinodermata, lobster dan berbagai jenis ikan karang5. Beberapa nama daerah dari ikan yang terdapat di perairan laut Pulau Morotai, antara lain: ikan suwo, terusi, bubara, gora, lumba-lumba, paus, terbang, make, tude, kombong, botila, sikuda, kakatua, goropa (kerapu), golara, hiu, duyung, layar, kerapu merah (sunu), kerapu hitam, udang lobster, teripang, dan sebagainya. Di perairan payau dan tawar ditemukan pula ikan gomis, sembilang, lele, lebo (kobos), sugili (belut), goodo, dan sebagainya.
5
Ibid.
61
BAB IV POTENSI PERIKANAN DI KABUPATEN pulau RAJA AMPAT
Berdasarkan Statistik Perikanan Provinsi Papua Barat, produksi perikanan laut dari kabupaten-kabupaten yang ada di wilayah Papua Barat menunjukkan peningkatan produksi tangkapan untuk berbagai jenis ikan. Hal ini berkaitan erat dengan kecenderungan kenaikan rumah tangga perikanan (skala kecil dan menengah) dan penambahan jumlah alat tangkap ikan. Secara agregat kenaikan produksi perikanan laut Provinsi Papua Barat dari kegiatan perikanan tangkap dapat dikatakan cukup tinggi. Kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir yang dilakukan oleh Pemerintah, baik pada tingkat nasional dan daerah (provinsi dan kabupaten) telah mendorong peningkatan jumlah alat tangkap, terutama pada skala perikanan menengah ke bawah (subsistem). Bantuan yang diberikan berupa sarana produksi perikanan, misalnya pengadaan alat penangkap (motor tempel, jaring, alat pendingin) dengan sistem kredit bergulir telah memberikan kontribusi secara nyata terhadap peningkatan hasil tangkapan nelayan. Jenis-jenis ikan yang cukup dominan di Papua Barat adalah teri, cakalang, tenggiri, dan madidihang. Walaupun tidak dilakukan pemisahan berdasarkan kategori jenis dan komposisi hasil tangkapan, dari data peningkatan produksi perikanan tangkap di atas dapat dikatakan bahwa status perikanan tangkap secara khusus di Provinsi Papua Barat masih berada jauh di bawah potensi lestari untuk perairan Papua. Di wilayah perairan Papua sendiri, potensi lestari untuk ikan pelagis besar secara keseluruhan adalah 612.200 ton/tahun dan perikanan demersal untuk perairan Arafura dan sekitar perairan Papua sendiri sebesar 230.400 ton/tahun. Khususnya pada ikan cakalang yang tertangkap di Perairan Indonesia Timur termasuk Papua, peningkatan produksi di atas perlu dicermati secara mendalam dan hati-hati. Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa persentase ukuran ikan cakalang > 2.6 kg yang tertangkap mengalami penurunan dari 85,3% pada tahun 2005 menjadi 36,8% pada tahun 2010. Sebuah ekspedisi ilmiah ikhtiologi tahun 2011 menemukan satu jenis baru ikan pelangi/rainbow Papua. Penemuan ini telah dideskripsi dengan nama ilmiah, Melanotaenia fasinensis. Jenis baru ini ditemukan di Sungai Fasin, Kampung Ween, gugusan kali Kladuk, 25 km sebelah barat Danau Ayamaru, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat. 63
Potensi dan Permasalahan Sumber Daya Ikan di Daerah Perbatasan: Studi Kasus
Spesimen ini adalah hasil survey yang telah dilakukan sejak ekspedisi pertama Rainbowfish 2007 di daratan kepala Burung Papua. Ikan Rainbow Fasin ini terlihat menarik, dibalut warna dominan merah darah pada bagian tengah hingga ekor, tutup insang dironai biru baja berhias percikan warna emas pada bagian atas, sedangkan bagian abdomennya terpencar noktah biru terang hingga bagian belakang sirip pektoralnya. Sirip transversalnya dipertegas dengan 7-8 baringan strip merah-pinka, dan kedua sirip dorsalnya dibordir refleks merah violet diakhiri fluks putih pada ujung sirip dorsalnya. Nama fasinensis merujuk nama habitat sebagai penghormatan terhadap daerah habitat dimana ikan tersebut ditemukan. Dalam publikasi jurnal ilmiah yang sama, tim ini juga berhasil menemukan kembali M. ajamaruensis, jenis rainbow kharismatik yang sudah dinyatakan punah secara sains sejak dideskripsikan pada 1980. Spesies dengan warna fantastik ini hidup di sungai karstik Kaliwensi, Sorong. Sayangnya habitat di Kaliwengsi mengancam kelangsungannya, karena sungai ini terlintang hanya sepanjang kurang dari 1 km, dan diperparah dengan desakan aktivitas demografis. Masih dalam jurnal yang sama, jenis rainbow lainnya, M. parva asal danau Kurumoi, Bintuni, dijelaskan bahwa kondisinya saat ini sudah terancam punah. Rainbow Kurumoi ini sudah tidak ditemukan di dalam danau yang kini didominasi spesies eksotik, yang terdesak hanya bisa ditemukan dari bekas outlet danau berupa selokan (40-50 cm). Drainase danau ini sebelumnya bermuara ke sungai Yakati. Sungai besar Yakati sendiri dihuni oleh M.angfa, jenis rainbow lain yang berwarna mega kuning keemasan. Wilayah pantai dan pesisir di Kabupaten Raja Ampat memiliki karakteristik yang beragam seperti pantai landai berpasir hitam, pantai landai berpasir putih dengan terumbu karang yang sudah mulai terganggu sampai dengan yang masih perawan, pantai dalam dan hutan mangrove. Sebagai daerah kepulauan yang dikelilingi oleh lautan dan relatif masih alami, maka Kabupaten Raja Ampat memiliki terumbu karang yang indah dan sangat kaya akan berbagai jenis ikan dan moluska. Hasil penelitian LIPI dan lembaga lainnya telah mengidentifikasi 450 jenis terumbu karang, 950 jenis ikan karang dan 600 jenis moluska disekitar Pulau Batanta, Waigeo, dan Pulau Gam. Kabupaten Raja Ampat merupakan kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi serta habitat laut dan darat yang mengagumkan. Kabupaten Pulau Raja Ampat terletak di dekat jantung “coral triangle” sebuah kawasan yang mencakupi bagian utara Australia, Philipina, Indonesia, dan Papua Nugini yang memiliki keragaman karang tertinggi di dunia. I.
Perikanan Tangkap Untuk menjamin pengembangan budidaya laut yang berkesinambungan, maka di wilayah ini perlu dibuatkan suatu zonasi perikanan tangkap maupun zonasi budidaya tambak. Dalam tiap zonasi ditetapkan teknik penangkapan 64
Lukman Adam, S.Pi., M.Si.
yang diperbolehkan, kapasitas produksi yang diizinkan, frekuensi pengembalian ikan dan lain sebagainya. Sebagai contoh dalam peraturan pemerintah tentang penangkapan ikan, telah ditetapkan zonasi penangkapan ikan berdasarkan ukuran kapal seperti berikut: •• Jarak < 7 Km dari pantai ukuran perahu yang diizinkan adalah < 5 Gross Ton. •• Jarak 7 – 21 Km ukuran perahu yang diizinkan adalah 5 – 30 Gross Ton. •• Jarak > 21 Km ukuran perahu yang diizinkan adalah lebih dari 30 Gross Ton. Selanjutnya dengan memperhatikan kawasan-kawasan yang sudah ditetapkan ataupun direncanakan sebagai kawasan lindung laut, maka zonasi budidaya perikanan laut di Kabupaten Raja Ampat dapat disusun sebagai berikut: Ring I (Kawasan budidaya laut yang berjarak 0 -7 Km). Kawasan ini merupakan zona budidaya perikanan yang sangat dibatasi pengembangannya. Kawasan ini lebih banyak ditujukan untuk pengembangbiakan larva dan pemijahan ikan-ikan karang disamping sebagai daerah konservasi terumbu karang yang ada di dalamnya. Ring II (Kawasan budidaya laut yang berjarak 7 – 21 KM): Kawasan ini merupakan zona semi intensif, dimana penangkapan ikan dapat dilakukan dengan skala penangkapan yang lebih besar, namun tetap dibatasi dalam hal teknologi dan pola penangkapan ikan yang digunakannya. Ring III (Kawasan budidaya laut yang berjarak lebih dari 21 KM): Kawasan ini merupakan zona intensif. Dalam kawasan ini skala penangkapan ikan dapat lebih besar tetapi tetap harus mengikuti ketentuan yang berlaku, terutama menyangkut pemakaian teknologi yang dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan dan aktivitas “overfishing”. Hal ini perlu dicamkan mengikat Raja Ampat merupakan daerah yang diprioritaskan sebagai kawasan konservasi laut berskala internasional. Zona Khusus: Zona khusus adalah zona yang diprioritaskan peruntukkanya untuk kegiatan konservasi dan perlindungan daerah sekitarnya. Zona ini dapat memilki cakupan dan deliniasi wilayah yang melampaui Ring I hingga Ring III. Batas zona khusus didekati memapui batasan-batasan ekologi. II. Kawasan Pengolahan Ikan Saat ini kawasan pengolahan ikan belum ada di Kabupaten Raja Ampat. Rencana pengembangan kawasan ini diarahkan pada kawasan-kawasan permukiman kota, terutama yang berada di Pulau Waigeo dan Misool. Pengembangan di kawasan ini tentunya harus mendapat kajian mendalam, termasuk dari aspek ekonomi, sosial dan budaya. Setiap pengembangan wilayah mesti mendapat masukan dari masyarakat lokal, agar tidak terjadi konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah daerah. 65
BAB V PENUTUP
Potensi sumber daya perikanan yang dapat dilihat di Kabupaten Pulau Morotai dan Kabupaten Raja Ampat adalah: 1. Keberadaan sumberdaya (hayati dan non hayati) pesisir, laut dan pulaupulau kecil yang masih tinggi untuk ditingkatkan dan dikembangkan pada masing-masing kawasan pemanfaatan ruang laut dalam rangka pengembangan kerjasama antar kawasan. 2. Keberadaan kawasan kerjasama regional antar negara sebagai pendorong sekaligus wilayah yang dapat menampung hasil-hasil produksi/ memanfaatkan jasa-jasa pada sektor pesisir dan kelautan. 3. Keberadaan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) sebagai peluang yang dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan aksesibilitas ke luar wilayah Indonesia dan sekaligus potensi dalam pengembangan inlet-outlet pada wilayah pesisir melalui keberadaan pelabuhan laut. 4. Telah berkembangnya pemasaran produk perikanan dan pesisir lainnya ke luar negeri (ekspor), merupakan potensi yang masih dapat ditingkatkan dari sisi pangsa pasar, kapasitas maupun keragamannya. 5. Perkembangan teknologi perikanan dan kelautan yang dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan pengelolaan sumberdaya pesisir, laut dan pulaupulau kecil, serta dalam meningkatkan mutu hasil produksi perikanan dan pesisir lainnya. Namun, terdapat masalah yang dihadapi, yakni: 1. Kurangnya dukungan prasarana dan sarana (kelautan dan perikanan) serta keberadaan pusat-pusat kegiatan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi. 2. Konflik pemanfaatan dan kewenangan, karena tidak ada aturan yang jelas tentang penataan ruang pesisir dan lautan, serta alokasi sumberdaya yang terdapat di kawasan perbatasan. 3. Kerusakan dan pencemaran lingkungan pesisir, umumnya disebabkan oleh kegiatan-kegiatan perikanan yang bersifat destruktif, yaitu penggunaan bahan peledak, bahan beracun sianida, penambatan jangkar perahu, aktifitas pelayaran/perkapalan, peristiwa tumpahan minyak, dan lain-lain. 4. Kerusakan akibat pemanfaatan berlebih (over exploitation) pada sebagian jenis sumberdaya pesisir (khususnya sumberdaya perikanan tangkap). 67
Potensi dan Permasalahan Sumber Daya Ikan di Daerah Perbatasan: Studi Kasus
5. Rendahnya sumberdaya manusia masyarakat dan aparat dalam merealisasikan proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian kerjasama antar kawasan dalam pemanfaatan sumberdaya perbatasan. 6. Pencurian ikan oleh nelayan asing yang banyak terjadi pada wilayah perbatasan. Dengan melihat potensi dan masalah yang terjadi, maka prospek pengembangan Adapun rekomendasi yang bisa diberikan sebagai berikut: a. Pengembangan dan usaha bersama dalam bidang penangkapan ikan baik pengembangan sarana dan sarana penangkapan ikan, maupun pengembangan sumberdaya manusianya. b. Pembentukan keterkaitan dan distribusi produk pengembangan budidaya perikanan. c. Pengembangan sektor kepariwisataan bahari serta membentuk keterkaitan antar wisata yang mempunyai potensi yang sangat besar di daerah perbatasan. d. Pengembangan industri pelayaran dan pengangkutan sebagai upaya untuk membentuk keterkaitan antar pusat-pusat pengembangan, mengingat kota-kota yang terbentuk di sebagian besar berada pada wilayah pesisir.
68
BIBLIOGRAFI
Burhanuddin, A. I. 2011. The Sleeping Giant: Potensi dan Permasalahan Kelautan. Surabaya: Brilian Internasional.
FAO. 2009. The State of World Fisheries and Aquaculture 2008. Food and Agriculture Organization, Rome. Italy.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2011. Jakarta: Pusat Data Statistik dan Informasi. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Penyusunan Rencana Zonasi Kabupaten Pulau Morotai. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. 2006. Kajian Sumber Daya Perikanan Kabupaten Pulau Morotai. Bogor.
Sari, Y. D., T. Kusumastanto, dan L. Adrianto. 2008. Maximum Economic Yield Sumberdaya Perikanan Kerapu di Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 3 (1): 69-78.
69
Bagian Keempat
MASALAH KESEHATAN DI KABUPATEN pULAU MOROTAI DAN KABUPATEN PULAU RAJA AMPAT* oleh: Tri Rini Puji Lestari, S.K.M., M.Kes.**
* *
Penelitian yang dilakukan tahun 2011. Penulis adalah peneliti Kebijakan dan Manajemen Kesehatan di Bidang Pengkajian P3DI Setjen DPR RI.
BAB I PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang Kebijakan kesehatan di Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat. Adapun DTPK Kementerian Kesehatan akan mengimplementasikan kebijakan kesehatan Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), yaitu Peningkatan ketersediaan, pemerataan dan kualitas tenaga kesehatan; Peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan; Peningkatan pembiayaan pelayanan kesehatan; Pengadaan perbekalan, obat dan alkes; Pemberdayaan masyarakat di DTPK melalui kegiatan Posyandu, Desa Siaga, Taman Obat Keluarga serta Kegiatan PHBS; Pengembangan inovasi seperti; Pengembangan Dokter Terbang, RS Bergerak, Jampersal dll. Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan tersebut dan menjadikan kawasan perbatasan sebagai kawasan beranda depan yang berinteraksi positif dengan negara tetangga, diperlukan upaya dan komitmen dari seluruh komponen bangsa, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, legislatif, dunia usaha, masyarakat adat dan sebagainya. Termasuk salah satunya terhadap Morotai Provinsi Maluku Utara dan Raja Ampat Provinsi Papua barat. Upaya Pembangunan DTPK merupakan bagian pembangunan nasional, sehingga pelayanan kesehatan harus sesuai berdasarkan kebutuhan dan harapan masyarakat setempat dengan meningkatkan jangkauan dan pemerataan pelayanan secara bertahap, terpadu dan berkesinambungan. Terdapat delapan fokus prioritas reformasi kesehatan pada pembangunan daerah perbatasan yaitu Jamkesmas, Pelayanan Kesehatan di Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), Ketersediaan Obat, Saintifikasi Jamu, Reformasi Birokrasi, Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), Penanganan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK), dan Rumah Sakit Indonesia Kelas Dunia (World Class Hospital). Selain itu, terdapat pula kebijakan khusus dalam program pelayanan kesehatan di DTPK, yang tujuannya untuk meningkatkan jangkauan dan pemerataan pelayanan kesehatan yang bermutu pada masyarakat DTPK. Adapun strategi dilakukan di DTPK dengan menggerakan dan memberdayakan masyarakat; meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas; meningkatkan pembiayaan pelayanan kesehatan; meningkatkan pemberdayaan SDM Kesehatan; meningkatkan ketersediaan obat dan alkes; meningkatkan sistim survailance, monev dan Sistem Informasi Kesehatan (SIK); dan meningkatkan manajemen kesehatan. 73
Masalah Kesehatan di Kabupaten Kepulauan Morotai
II. Permasalahan Kabupaten Pulau Morotai Provinsi Maluku Utara dan Kabupaten Pulau Raja Ampat Provinsi Papua Barat merupakan dua pulau terluar Indonesia bagian timur. Berdasarkan latar belakang tersebut permasalahan yang hendak diungkap dalam penelitian ini adalah, bagaimanakah kondisi kesehatan masyarakat di kedua wilayah tersebut? Lalu, upaya apa saja yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat?
III. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah memberikan masukan bagi Anggota DPR dalam pembahasan Rancangan Undang-undang tentang perbatasan dan bagi Pokja MDGs terkait dengan kondisi real pembangunan kesehatan di daerah perbatasan khususnya di Morotai Provinsi Maluku Utara dan Raja Ampat Provinsi Papua barat. IV. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis, menganalisis hasil temuan lapangan yang dilakukan di Kabupaten Pulau Morotai Provinsi Maluku Utara pada tanggal 7-13 November 2011 dan Kabupaten Pulau Raja Ampat Provinsi Papua Barat yang dilakukan pada tanggal 28 November sampai 4 Desember 2011. Adapun hasil temuan lapangan tersebut didapat melalui proses wawancara mendalam dengan para nara sumber terpilih, yaitu Bupati, Kepala Dinas Kesehatan, Pejabat Dinas Kesehatan, dan Bappeda, serta dari beberapa data sekunder dari instansi terkait dan perpustakaan daerah setempat.
74
BAB II MASALAH KESEHATAN DI KABUPATEN PULAU MOROTAI
Selama ini masih belum ada data yang pasti seputar jumlah penyakit di Morotai. Namun demikian, berdasarkan data jumlah kunjungan masyarakat ke puskesmas didapat Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) menduduki peringkat pertama (36%) dari lima penyakit teratas yang ada. Diikuti dengan penyakit pada system otot dan jaringan 11%, diare 6%, malaria klinis dan hipertensi masingmasing 4%, dan penyakit kulit alergi 3%. Prevalensi Tuberkulosis (TB) sebesar 43 per 100.000 penduduk. Melalui pemeriksaan dahak didapat BTA positip 16 penderita dan 10 penderitanya yang menunjukkan gejala klinis. Program penanggulangan TB Paru dilakukan di puskesmas, rumah sakit pemerintah dan swasta, praktik dokter dengan melibatkan peran serta masyarakat dengan mengutamakan peningkatan mutu pelayanan, penggunaan obat yang rasional dan panduan yang sesuai dengan strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short). Selama ini anggaran untuk penanggulangan penyakit TB Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan UNICEF. Di Morotai tidak diketemukan adanya kasus penderita HIV/AIDS. Namun demikian bukan berarti Morotai bebas dari kasus HIV/AIDS. Dimungkinkan masih ada di masyarakat tetapi tidak berani berobat ke petugas kesehatan. Prevalensi penyakit kusta ditemukan 5,4 per 10.000 penduduk (penemuan secara pasif), namun hanya 50% saja yang menjalani pengobatan dan dari penderita kusta yang menjalani pengobatan tersebut, hanya 25% yang sampai selesai berobat. Padahal selama ini untuk penanganan kasus kusta, pemerintah mendapat bantuan dari Netherlands Leprosy Relief (NLR). Sedangkan untuk kasus DBD di Morotai tidak ditemukan. Angka kesakitan malaria (API) didapat 4,1 per 1000 penduduk. Meskipun masih termasuk rendah dibandingkan dengan jumlah kasus malaria di provinsi Papua Barat, namun jumlah kasus malaria di Morotai sudah termasuk dalam katagori endemis sedang (API berkisar antara 1-5 per 1000 penduduk). Pelaksanaan program penanganan malaria di Morotai, selama ini dijadikan satu dengan program KIA dimana pelaksana intinya di fokuskan pada bidan desa. Diharapkan Bidan desa sebagai petugas kesehatan yang sangat dekat dengan masyarakat dapat segera mengambil tindakan-tindakan yang tepat dalam penanganan kasus malaria. Namun demikian ketersediaan laboratorium untuk malaria masih belum ada. Sehingga 75
Masalah Kesehatan di Kabupaten Kepulauan Morotai
untuk pendeteksian dini tidak dapat dilakukan secara maksimal. Sedangkan untuk penyediaan obat malaria, pemerintah daerah bekerja sama dengan Global Fun. Sehingga persediaan obat di Morotai sangat cukup. Berdasarkan hasil pemantauan dan pelaporan puskesmas pada tahun 2010, dari 11.912 balita yang ditimbang didapat 0,03% dengan status gizi buruk, 2,26% gizi kurang, 28,82% gizi baik, dan 2,44% gizi lebih. Adapun lima penyebab kematian tertinggi di masyarakat Morotai selama periode Januari–September 2011 adalah karena usia tua/lansia, ISPA, TBC, Peumonia, dan Kecelakaan. Berkaitan dengan ketersediaan sumber daya manusia kesehatan. Sampai pada September 2011, jumlah tenaga kesehatan yang berada di Kabupaten Pulau Morotai adalah 221 orang yang terdiri dari 11 orang dokter umum, 29 orang sarjana kesehatan masyarakat, 4 orang apoteker, 87 orang perawat, 74 bidan, 2 orang perawat gigi, 11 orang tenaga gizi, 1 orang tenaga kesehatan lingkungan, 2 orang tenaga kesehatan lain (PNS dan PTT). Jumlah sarana pelayanan kesehatan yang dimiliki Kabupaten Pulau Morotai meliputi 1 RSUD, 2 puskesmas perawatan, 4 puskesmas non perawatan, 15 puskesmas pembantu (Pustu), 75 pos pelayanan terpadu (Posyandu), dan 13 pos kesehatan desa (Poskesdes). Fasilitas RSUD Daruba, yang selama ini disebut sebagai satu-satunya RSUD di Morotai dengan fasilitas 40 tempat tidur (terdiri dari kelas 3 dan 2 yang semuanya merupakan ruangan full AC) sejatinya bukanlah sebuah rumah sakit. Karena, sampai saat ini masih belum bisa memenuhi persyaratan minimal untuk sebuah RSUD tipe D sekalipun. Fasilitas yang digunakan selama ini merupakan aset dari puskesmas Daruba. Sebagai konsekuensinya, rumah sakit tersebut lebih cocok disebut sebagai puskesmas raksasa karena baru memiliki tenaga kesehatan yang terdiri dari 3 dokter umum dengan status dokter tetap (PNS) dan 2 orang dokter PTT, 3 orang tenaga kesehatan masyarakat, 2 orang apoteker, 16 orang perawat, 15 bidan, 1 orang perawat gigi, 2 orang tenaga gizi, dan 7 orang tenaga administrasi. Selain itu, pada rumah sakit tersebut juga belum memiliki kamar operasi dan laboratorium. Jadi hanya menyediakan unit rawat jalan dan rawat inap tanpa fasilitas penunjang medis lainnya yang layak ada pada sebuah rumah sakit tipe D. Morotai saat ini sedang proses pembangunan rumah sakit bergerak. Direncanakan pengiriman barang-barang (fasilitas) yang diantaranya tenaga kesehatan dan 10 tempat tidur akan selesai tanggal 31 Desember 2011. Selain itu, penyaluran tenaga kesehatan seperti bidan, khususnya untuk desa-desa yang terletak diujung pulau (jauh dari kota) akan diprioritaskan. Untuk desa-desa yang sulit dijangkau lewat darat, selama ini baru ada 1 unit puskesmas keliling (berupa kapal ferri) yang bisa melayani daerah-daerah di sekitar Halmahera utara. Kemudian pada saat musim ombak, dimana desa tersebut akan sulit dijangkau melalui laut, tersedia juga puskesmas desa atau poliklinik (untuk di pulau Dodola). 76
Tri Rini Puji Lestari, S.K.M., M.Kes.
Namun demikian, sampai saat ini semua fasilitas kesehatan tersebut masih minim tenaga kesehatannya, baik secara kuantitas maupun kualitas. Para dokter yang bertugas selama ini masih belum ada dokter tetapnya (baru dokter PTT). Bahkan poli klinik di pulau Dodola masih belum ada sama sekali tenaga kesehatannya. Untuk memenuhi kebutuhan bidan desa, pemerintah daerah Morotai saat ini sedang memberikan beasiswa bagi 15 orang putra daerah berjenis kelamin perempuan lulusan SMA/SLTA yang sudah menikah, berumur tidak lebih dari 30 tahun, mendapat restu dari keluarga dan suaminya, bersedia mengabdikan diri di desa sebagai bidan desa (tiap desa 2 orang), dan lulus seleksi. Dalam hal ini, Pemerintah daerah bekerja sama dengan salah satu akademi kebidanan swasta di Tobelo. Para peserta didik D3 Kebidanan tersebut mendapatkan beasiswa penuh dari APBD. Setelah lulus pendidikan, mereka harus mengabdikan diri di desanya dan kemudian akan diangkat menjadi PNS. Apabila disuatu desa tidak ada sama sekali yang lulusan SMA/SLTA, maka akan diambilkan dari desa lain sebagai perwakilan untuk mendapatkan pendidikan D3 kebidanan. Namun, calon peserta didik tersebut harus setuju dan membuat perjanjian (beserta suaminya) bahwa ketika lulus pendidikan D3 Kebidanan bersedia pindah dan mengabdikan dirinya di desa yang ia wakili. Selain pemberian beasiswa, pemeritah daerah juga bekerja sama dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat universitas Muhamadiah Ternate, membuka kelas khusus (sabtu – minggu) yang diselenggarakan di Universitas Muhamadiah Ternate. Program pendidikan ini ditujukan untuk karyawan tetap maupun honorer yang bekerja di sarana kesehatan (baik lulusan SMA, SPK, atau D3) yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang D3 atau S1. Bagi para karyawan yang mengikuti program tersebut, biaya selama pendidikan ditanggung sendiri dan mereka hanya mendapatkan ijin belajar, namun setelah lulus harus kembali mengabdikan dirinya di Morotai. Kelas khusus ini sudah dibuka dan hanya untuk tahun 2011 saja. Program tersebut diikuti oleh lebih dari 30 peserta. Terlepas dari keterbatasan fasilitas dan berbagai upaya dan strategi yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah sebagaimana diatas. pola kebiasaan berobat masyarakat Morotai di tempat pelayanan kesehatan masih sangat rendah. Bila sakit ringan masyarakat masih menganggap sebagai suatu hal yang biasa, sehingga biasanya cukup dengan minum obat tradisional atau obat yang dibeli di warung. Sedangkan pada tingkatan yang sudah parah barulah masyarakat mau mengunjungi atau mendatangi fasilitas kesehatan. Hal ini dapat terlihat dari cakupan kunjungan rawat jalan di 5 puskesmas dari keseluruhan penduduk di Morotai yaitu 35,5% dan 0,1% cakupan kunjungan rawat inap. Masyarakat masih banyak yang kalau sakit tidak mau datang ke fasilitas kesehatan (PKM, Pustu, atau Poskesdes). Karena masyarakat lebih merasa nyaman 77
Masalah Kesehatan di Kabupaten Kepulauan Morotai
apabila sakit dirawat di rumah. Sehingga, cakupan pelayanan kesehatan ditolong oleh tenaga kesehatan dan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan masih rendah, Selain itu, kepedulian masyarakat (dalam hal ini ibu hamil) terhadap pemeriksaan kehamilan dan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan juga masih rendah. Masyarakat berpendapat bahwa dukun lebih dapat dipercaya dalam menolong proses persalinan dibandingkan bidan desa. Kalaupun ada yang ditolong oleh tenaga kesehatan (bidan) biasanya tidak dilakukan di fasilitas kesehatan (PKM, Pustu, atau Poskesdes), melainkan di rumah. Hal ini dikarenakan masyarakat lebih merasa nyaman apabila persalinannya dilakukan di rumah. Dengan kondisi kebiasaan berobat di masyarakat yang seperti tersebut di atas dan dalam rangka agar ibu hamil (bumil) tetap mendapatkan pelayanan kesehatan dasar, para petugas kesehatan (bidan) selama ini berupaya untuk bersikap proaktif mendatangi para bumil dan memberikan penyuluhan. Selama ini para bumil memeriksakan kehamilan dan melakukan persalinan lebih banyak dilakukan di rumah bidan. Akibatnya serapan penggunaan anggaran Jampersal masih rendah (4,8%). Karena pertolongan persalinan yang ditanggung oleh Jampersal hanyalah pertolongan persalinan yang dilakukan di fasilitas kesehatan saja (PKM, Pustu, Poskesdes). Selain itu, sampai saat ini, sarana dan prasarana untuk pertolongan persalinan oleh bidan masih sangat minim (termasuk peralatan dan ambulan untuk di darat dan laut). Ketersediaan peralatan/prasarana untuk persalinan dari 5 puskesmas yang ada di Morotai, baru dua puskesmas yang memiliki sarana dan prasarana untuk pertolongan persalinan. Selama ini sarana dan prasarana yang digunakan oleh para bidan di rumahnya, pengadaannya bersifat swadana (milik pribadi). Sehingga tingkat kelengkapannya sangat beragam (tergantung kemampuan dari masing-masing individu si bidan). Di Kabupaten Pulau Morotai dari 51.398 penduduk terdapat 8.201 orang yang memiliki kategori miskin dan hampir miskin. Sedangkan dari penduduk dengan kategori miskin dan hampir miskin tersebut didapat 5.454 orang (66,5%) yang menjadi peserta jamkesmas dan selebihnya ditanggung oleh jamkesda. Dari peserta jamkesmas tersebut didapat 26,2% mendapatkan pelayanan kesehatan rawat jalan dan 0,4% mendapatkan pelayanan kesehatan rujukan. Serapan penggunaan anggaran jamkesmas dasar (9,2%) dan jampersal (4,8%) sampai pada periode Januari-Juni 2011 masih rendah artinya baru mencapai 14%. Sedangkan serapan penggunaan anggaran Jamkesda pada periode agustus november 2011 sudah mencapai 89%. Penggunaan dana DAK selama ini dianggap tidak cukup, karena banyak sekali obat-obatan yang ditanggung dalam DAK tidak sesuai dengan kebutuhan. Sementara obat-obat yang banyak dibutuhkan di lapangan (seperti obat kina) tidak bisa dibelanjakan dari DAK. Sehingga pemerintah daerah harus menalangi dari APBD. 78
BAB III MASALAH KESEHATAN DI KABUPATEN Pulau RAJA AMPAT Pada umumnya sarana pelayanan kesehatan yang terdapat di Kabupaten Pulau Raja Ampat berupa Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Polindes (Poliklinik Desa/ Kampung), dan Posmaldes (Pos Malaria Desa). Sedangkan rumah sakit belum ada dan Pemerintah Kabupaten Pulau Raja Ampat sedang berusaha untuk mendirikan sebuah Rumah Sakit di Waisai. Keberadaan Puskesmas sudah ada di setiap distrik, yaitu 3 buah Puskesmas rawat inap dan 7 Puskesmas rawat jalan. Puskesmas rawat inap terdapat di Distrik Waigeo Selatan, Waigeo Utara, dan Distrik Misool, sedangkan Puskesmas rawat jalan terdapat di 7 distrik lainnya. Puskesmas-Puskesmas ini pada umumnya berada di ibukota distrik, kecuali untuk Distrik Teluk Mayalibit, letak Puskesmas berada di Kampung Go. Selain Puskesmas, di beberapa kampung juga terdapat Puskesmas Pembantu yang berjumlah 21 dan tersebar di 7 distrik. Poliklinik Desa belum tersedia di setiap kampung. Dari 86 kampung yang terdapat di Raja Ampat, baru 44 kampung yang memiliki Polindes. Posmaldes hanya terdapat pada beberapa kampung yang kasus malarianya tergolong tinggi. Kabupaten Pulau Raja Ampat juga memiliki sarana puskesmas keliling yang berfungsi untuk memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat yang kesulitan untuk pergi ke puskesmas di ibukota distrik. Puskesmas keliling ini berjumlah 4 unit untuk melayani masyarakat di Distrik Waigeo Selatan, Waigeo Utara, Misool, dan Distrik Samate. Bentuk dukungan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Raja Ampat lainnya adalah berupa program Pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas/puskesmas pembantu dan jaringannya. Program tersebut memerlukan anggaran sebesar Rp. 14.916.721.250,- (94,45%). Keberadaan dokter umum di Kabupaten Pulau Raja Ampat masih jauh dari yang diharapkan. Pada tahun 2009 jumlah tenaga dokter yang bekerja di Puskesmas, Rumah Sakit dan sarana kesehatan lain adalah 15 orang, dimana sebagian besarnya adalah dokter PTT. Sedangkan dokter gigi dan dokter spesialis belum ada. Tenaga medis lainnya adalah bidan. Jumlah bidan yang ada di Puskesmas, RS, dan Sarana Kesehatan lain pada Tahun 2009 sebanyak 46 orang yang terdiri dari tingkat pendidikan D III Kebidanan sebanyak 9 orang, dan lulusan D I Kebidanan sebanyak 39 orang. Sedangkan Jumlah tenaga perawat kesehatan di Kabupaten Pulau Raja Ampat pada tahun 2009, baik di Puskesmas, RS, dan Sarana Kesehatan Lain sebanyak 85 orang yang terdiri dari D III keperawatan 79
Masalah Kesehatan di Kabupaten Kepulauan Morotai
sejumlah 63 dan SPK sejumlah 22 orang. Bila melihat data tersebut maka Raja Ampat masih sangat kekurangan dokter dan bidan. Idealnya di setiap Puskesmas tersedia dokter dan di setiap kampung tersedia bidan. Bila melihat keberadaan wilayah yang sangat luas dan perkampungan/ permukiman tersebar secara berjauhan, maka sebaran dokter dan tenaga medis lainnya tidak merata. Masih banyak Puskesmas belum memiliki dokter, begitu pula kampung-kampung belum memiliki mantri/perawat atau bidan. Dengan kondisi seperti ini, ketersediaan dokter maupun tenaga medis lainnya tidak dapat melayani masyarakat secara maksimal sehingga sebagian masyarakat memilih cara-cara pengobatan tradisional untuk mengobati penyakitnya atau bila memungkinkan mereka berobat ke Kota Sorong. Untuk mengatasi hal tersebut selain pengadaan tenaga kesehatan, selama ini pemerintah daerah menyediakan insentif bagi dokter dan paramedis serta pemberian pelatihan bagi tenaga kesehatan. Penyakit yang umum diderita oleh penduduk Raja Ampat adalah Malaria klinis, Infeksi Saluran Pernapasan Akut, penyakit kulit. Secara umum masyarakat banyak menderita penyakit tersebut karena letak rumah penduduk yang terlalu berdekatan dan kurang sehat, buruknya sanitasi lingkungan, kurangnya sumber air bersih, dan pola hidup tidak sehat. Di samping itu, Malaria merupakan penyakit endemis Papua sehingga hampir semua penduduk Raja Ampat menderita penyakit ini. Malaria juga sebagai penyebab utama terjadinya kematian bagi masyarakat di Raja Ampat. Angka kesakitan Demam Berdarah tahun 2009 cukup tinggi (47%) dan jumlah kasus HIV/AIDS sekitar 23,57%. Di Kabupaten Pulau Raja Ampat masih terdapat kasus kematian ibu waktu melahirkan. Pada tahun 2005 jumlah kematian ibu waktu melahirkan sebanyak 8 kasus. Dari 8 kasus ini, 7 kasus kematian karena pendarahan dan 1 kasus karena infeksi pasca melahirkan. Kasus kematian ini paling banyak terjadi di Distrik Samate yaitu 4 kasus, dan 1 kasus terjadi di Distrik Waigeo Selatan, Teluk Mayalibit, Waigeo Utara, dan Distrik Kofiau (Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Pulau Raja Ampat, 2005). Kasus kematian bayi waktu dan pasca dilahirkan tercatat 10 kasus, 4 kasus pada saat kelahiran dan 4 kasus lainnya sebelum bayi berumur 1 bulan (neo natal). Kematian bayi di bawah 1 bulan ini masih didominasi oleh berat bayi yang lahir rendah (< 2500 gram), keadaan bayi yang sesak nafas (Aspeksia), dan infeksi akibat pemotongan tali pusar bayi dengan menggunakan peralatan yang tidak bersih (Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Pulau Raja Ampat, 2005). Di samping kematian bayi yang terjadi pada waktu dan setelah dilahirkan, juga terdapat kasus kematian bayi dan balita yang disebabkan oleh penyakit. Salah satu penyakit yang sangat banyak mengakibatkan kematian bagi bayi-bayi dan balita di Raja Ampat adalah penyakit Campak. Selain Campak, kematian bayi dan balita juga disebabkan oleh diare dan malaria. Kasus kematian bayi dan balita akibat Campak banyak terjadi di Distrik Waigeo Utara, hingga mencapai 14 kasus (Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Pulau Raja Ampat, 2005). 80
BAB IV KESIMPULAN
Kualitas kesehatan masyarakat di Kabupaten Pulau Morotai dan Raja Ampat masih tergolong rendah. Hal ini dikarenakan: 1). Masih rendahnya Akses dan mutu pelayanan kesehatan serta cara hidup sehat masyarakat; 2). Keterbatasan sarana dan prasarana kesehatan; 3). Kondisi geografis dan terbatasnya sarana transportasi beserta infrastruktur jalan yang menghubungkan antara desa dan/atau puskesmas; 4). Masih terbatasnya kemampuan manajemen unit pelayanan kesehatan dasar; dan 5). Belum optimalnya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Namun demikian, berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah daerah guna meningkatkan kondisi kesehatan masyarakatnya. Mulai dari penyediaan sarana dan prasarana, tenaga kesehatan, sampai pada peningkatan ketrampilan melalui pelatihan ataupun kesempatan untuk mendapatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Untuk itu dalam pelaksanaan manajemen kesehatan masyarakat kedepan, harus diawali dengan pemetaan masalah dan potensi kesehatan yang tersedia. Hal tersebut sangat diperlukan dalam rangka pembuatan master plan kesehatan masyarakat. Sehingga pelaksanaan manajemen kesehatan masyarakat dapat tepat sasaran dan terukur keberhasilannya. Selain itu, keberpihakan pemerintah kabupaten melalui penyelenggaraan pembangunan daerah yang berorientasi pada kesehatan dan peningkatan dukungan biaya dari pemerintah pusat yang lebih berorientasi pada kebutuhan dan kondisi khusus daerah (tidak bersifat top down) juga sangat diperlukan. Sehingga, peningkatan kondisi kesehatan masyarakat dapat meningkat seiring dengan perkembangan pembangunan daerah dan dana yang tersedia dapat terserap secara maksimal.
81
BIBLIOGRAFI
Data Kesehatan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pulau Raja Ampat, 2005.
Wawancara dengan Pemkab Kabupaten Pulau Morotai, Agustus 2011
Wawancara dengan Dinas Kesehatan Pemkab Kabupaten Pulau Morotai, Agustus 2011 Wawancara dengan Pemkab Kabupaten Pulau Raja Ampat, November 2011 Wawancara dengan Dinas Kesehatan Pemkab Pulau, November 2011
83
Bagian Kelima
PENDEKATAN LINGKUNGAN UNTUK PENGAMANAN PULAU TERLUAR* Oleh: Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.** dan Teddy Prasetiawan, S.T., M.T.***
Penelitian di Kabupaten Pulau Morotai dan Kabupaten Pulau Raja Ampat tahun 2011. Adirini Pujayanti adalah Peneliti Madya untuk Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Setjen DPR RI, dapat dihubungi di adirini.
[email protected]. *** Teddy Prasetiawan adalah calon peneliti bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Setjen DPR RI, dapat dihubungi di
[email protected]. *
**
BAB I PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia yang memiliki ±17.480 pulau dengan luas laut bersama ZEE mencapai 5,8 juta km² dan garis pantai sepanjang ±95,181 km².1 Eksistensi NKRI sebagai negara kepulauan telah diakui oleh dunia internasional melalui Konvensi Hukum Laut PBB yang dikenal sebagai UNCLOS 1982. Saat ini Indonesia telah mendepositkan 13.487 pulaunya ke PBB.2 Secara geografis NKRI mempunyai posisi yang strategis di antara dua benua, yakni Benua Asia dan Benua Australia, dan dua samudera, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Dengan posisi seperti ini, maka wilayah NKRI menjadi kawasan yang sangat vital bagi jalur pelayaran internasional. Wilayah NKRI berbatasan darat berbatasan dengan 3 (tiga) negara yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sedangkan di wilayah laut, wilayah NKRI berbatasan dengan 10 negara yaitu Malaysia, Papua Nugini, Singapura, Timor Leste, India, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau dan Australia. Posisi strategis dan keadaan geografis NKRI yang demikian ini rentan terhadap gangguan keamanan sehingga menuntut sebuah upaya pengamanan yang kuat. Pengelolaan batas wilayah negara diperlukan untuk memberikan kepastian hukum mengenai ruang lingkup wilayah negara, kewenangan pengelolaan wilayah negara dan hak-hak berdaulat. Dalam pengelolaan batas wilayah negara tersebut diperlukan keberpihakan dan perhatian khusus terhadap upaya pengamanan kawasan perbatasan untuk menjamin tetap terpeliharanya kedaulatan negara. Negara kepulauan Indonesia tidak dapat mengabaikan pengelolaan batas wilayah lautnya. Pulau terluar merupakan salah satu manifes penting dalam kedaulatan teritorial NKRI, karena memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional wilayah NKRI.3 Oleh sebab itu, upaya pengawasan dan pengelolaan pulau-pulau terluar di wilayah NKRI harus menjadi perhatian Pemerintah Indonesia. Namun, meski pulau terluar mempunyai peran penting dalam penentuan wilayah NKRI, kondisinya sering kali terabaikan, bahkan ada yang terancam musnah. Dalam kondisi terabaikan tersebut, acapkali terjadi berbagai kegiatan ilegal seperti 3 1 2
FGD P3DI dengan Prof. Dr. Rizald Max Rompas, 3 Agustus 2011. FGD P3DI dengan Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA, 16 November 2011. Rencana Induk pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan tahun 2011 – 2014, Seri BNPP 025-0111, Jakarta: BNPP RI, 201: 11.
87
Pendekatan Lingkungan untuk Pengamanan Pulau Terluar
pencurian kekayaan laut, atau kegiatan pemanfaatan oleh pihak asing yang pada akhirnya merugikan Indonesia. Selama ini upaya menjaga pulau-pulau terluar Indonesia lebih banyak dilakukan dengan pendekatan keamanan (security approach). Konsep struktur ruang pertahanan dan keamanan yang dikembangkan ialah membentuk sabuk komando perbatasan negara. Di kawasan perbatasan laut, upaya pengamanan dilakukan terhadap daerahdaerah rawan selektif di sekitar pulau-pulau kecil terluar, alur laut kepulauan Indonesia, hingga batas-batas terluar perairan yurisdiksi. Upaya mengamankan pulau-pulau terluar Indonesia dilakukan dengan menempatkan tentara pada pulaupulau tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh pengalaman sejarah konflik Indonesia dengan beberapa negara tetangga, sehingga penanganan perbatasan lebih didominasi oleh pandangan untuk mengamankan perbatasan dari potensi ancaman dari luar (external threat) dan cenderung memposisikan kawasan perbatasan sebagai sabuk keamanan (security belt). Implementasi dari paradigma tersebut adalah peran dominan dari pemerintah pusat dalam setiap pembuatan kebijakan mengenai kawasan perbatasan. Hal tersebut tidak lagi sejalan dengan semangat otonomi daerah yang berkembang dewasa ini. Kemiskinan dan keterkucilan pembangunan di perbatasan telah menjadikan kawasan perbatasan khususnya pulau-pulau terluar sebagai “pagar yang rapuh” dalam upaya pengamanan NKRI. Masyarakat yang tinggal di kawasan pulau terluar tidak akan dapat melaksanakan fungsinya sebagai unsur pengaman pertama (lini 1) di perbatasan tanpa kerjasama dan peran aktif pemerintah daerah. Di lain pihak, kasus Pulau Sipadan Ligitan memberi pelajaran berharga bagi Indonesia akan perlunya pendekatan lain selain pendekatan keamanan dalam upaya pengamanan pulau-pulau terluar, misalnya pendekatan lingkungan. Malaysia berhasil membuktikan adanya upaya pelestarian lingkungan yang telah dilakukan di kedua pulau tersebut, sebagai bukti bahwa bahwa Pulau Sipadan Ligitan tersebut adalah miliknya. Pendekatan lingkungan melalui pemeliharaan ekologi (ecology preservation) terhadap sebuah pulau dapat menjadi bargaining position untuk menunjukan bukti kehadiran tetap (continuos presence), kependudukan efektif (effective occupation) di pulau tersebut. Pendekatan lingkungan ini dapat mencegah pengakuan kepemilikan oleh pihak asing, sekaligus membantu kita untuk menjaga kelestarian alam pulau tersebut. Masih banyak pihak yang belum memahami arti penting pendekatan lingkungan dalam upaya pengamanan pulau terluar NKRI. Banyak pihak beranggapan bahwa penerapan pendekatan lingkungan di kawasan perbatasan akan merugikan, dengan alasan lahan maupun wilayah laut diperbatasan tidak dapat dimanfaatkan oleh penduduk lokal. Sebaliknya pihak asing yang tidak terikat dengan peraturan yang berlaku di Indonesia dapat mengambil kesempatan untuk mencuri kekayaan alam di wilayah yang dilestarikan pemerintah Indonesia tersebut.
88
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si. dan Teddy Prasetiawan, S.T., M.T.
II. Permasalahan Penelitian Kajian ini akan memfokuskan pada efektifitas pendekatan lingkungan dalam pengaman pulau terluar. Sebagaimana diketahui bersama, pendekatan keamanan semata kurang efektif untuk mengamankan pulau-pulau terluar NKRI. Pendekatan ini akan lebih efektif bila diikuti upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian masyarakat yang tinggal di kawasan pulau terluar, melalui pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) maupun pendekatan lingkungan (environment approach). Pendekatan kesejahteraan sudah dikenal dan disadari untuk menjadi aspek yang sangat penting dalam pengamanan perbatasan, karena pada dasarnya merupakan pengembangan kegiatan ekonomi dan perdagangan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan. Namun, manfaat pendekatan lingkungan dalam upaya pengamanan pulau terluar Indonesia belum banyak diketahui. Padahal saat ini telah terjadi kompetisi antar negara untuk memperebutkan sumber daya alam, termasuk sumberdaya kelautan yang ada di sepanjang pantai dan pulau-pulau kecil. Hal ini merupakan tantangan yang perlu diantisipasi sejak dini oleh Indonesia agar tidak menimbulkan kerugian nasional bila sumberdaya tersebut dikuasai oleh negara-negara tetangga. Berdasarkan gambaran tersebut muncul pertanyaan penelitian: mengapa pendekatan lingkungan harus dilakukan sebagai upaya pendukung pengamanan pulau-pulau terluar Indonesia? III. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran pentingnya pendekatan lingkungan bagi upaya pertahanan di pulau-pulau terluar Indonesia. Secara umum penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi pembuatan kebijakan di sektor perikanan, keamanan nasional dan politik luar negeri. Secara khusus penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam proses legislasi terkait RUU Perbatasan, RUU Kepulauan, RUU Kelautan maupun revisi RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
IV. Kerangka Pemikiran Upaya untuk mengamankan pulau terluar yang berperan sebagai beranda dan pagar pengaman NKRI merupakan upaya yang sangat kompleks. Upaya ini merupakan tugas negara yang terutama dilaksanakan oleh militer, khususnya TNI AL. Namun, ancaman terhadap suatu negara atau masyarakatnya tidak mesti selalu berwujud ancaman militer sehingga negara harus siap mengantisipasi ancaman non-militer. Seiring dengan semakin meningkatnya proses globalisasi, konsep ancaman keamanan non-tradisional (non-tradisional threats) atau non-konvensional (non-conventional threats) mulai berkembang pada awal tahun 1990-an. Isu-isu keamanan non-tradisional memperhitungkan aspek-aspek non-militer baik dari segi ekonomi, kesehatan, lingkungan hidup maupun hak asasi manusia yang dapat mengancam keamanan negara dan kelangsungan hidup manusia. Isu keamanan non89
Pendekatan Lingkungan untuk Pengamanan Pulau Terluar
tradisional memaksa pemerintah untuk menyusun kembali agenda keamanan serta menciptakan mekanisme pemecahan masalah pada level internasional. Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde memperkenalkan subtansi studi keamananyangdiperluastanpameninggalkanfokusutamanyapadaaspekpenggunaan kekuatan militer. Aspek non-militer masuk ke dalam pengertian keamanan dengan kriteria tertentu agar koherensi dalam studi keamanan dapat dipertahankan. Sebuah isu dapat dikategorikan sebagai isu keamanan bila memenuhi kriteria sebagai berikut: adanya ancaman eksistensial; diperlukan langkah atau kebijakan darurat untuk mengatasi atau menghadapinya; dan penggunaan mekanisme di luar prosedur politik atau kebijakan publik dalam situasi normal.4 Isu kerusakan lingkungan hidup memenuhi ketiga kriteria tersebut. Munculnya isu keamanan non-tradisionil mengalihkan perhatian dari negara sebagai satu-satunya obyek acuan keamanan. Hal ini dipicu oleh pertumbuhan penduduk yang pesat setelah berakhirnya Perang Dingin, yang kemudian memunculkan kekuatiran terhadap kian terbatasnya daya dukung sumber daya alam untuk mendukung kehidupan manusia agar dapat hidup layak. Dalam konteks inilah berkembang konsep keamanan yang relatif berbeda, yakni konsep keamanan yang menjadikan manusia secara individual sebagai acuannya (human security). Konsep keamanan manusia inilah yang membuat konsep keamanan tradisional (negara) mengalami perubahan. di lain pihak perhatian masyarakat dunia terhadap isu lingkungan hidup semakin besar. Terbatasnya sumber daya alam akibat kerusakan lingkungan diprediksikan menimbulkan konflik antar negara di masa depan. Hal ini kemudian yang menjadi dasar mengapa isu lingkungan hidup menjadi bagian dari studi keamanan dalam ilmu hubungan internasional. Atau secara lebih khusus, inilah yang menjadikan isu lingkungan hidup sebagai agenda baru dalam ilmu hubungan internasional. Masalah lingkungan hidup dapat memberi tekanan pada negara untuk terlibat dalam kerjasama internasional yang lebih besar. Alasannya, degradasi lingkungan hidup menjadi ancaman bersama bagi seluruh umat manusia, sehingga perlu kerjasama global agar dapat mengatasi ancaman tersebut. Rejim internasional telah dibentuk dalam berbagai bidang untuk menyatakan berbagai usu lingkungan hidup. Beberapa aspek dari isu tersebut tidak sesuai dengan pendekatan tradisional karena isu lingkungan hidup melintasi pembatas antara politik domestik dan politik internasional dengan cara yang tidak dipertimbangkan secukupnya oleh fokus pendekatan tradisional dalam hubungan internasional. Lebih lanjut dapat dijelaskan, isu lingkungan hidup menjadi faktor yang harus diperhatikan karena aktivitas sosial dan ekonomi manusia seringkali berlangsung dengan cara yang mengancam lingkungan hidup. Globalisasi ekonomi yang cenderung mengurangi kontrol negara atas aliran sumberdaya ekonomi akan memberi keuntungan kepada bangsa yang menguasai teknologi. Sedangkan negara
4
90
Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta; Graha Ilmu, 2008: 140141.
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si. dan Teddy Prasetiawan, S.T., M.T.
yang tidak menguasai teknologi akan hanya menjadi penonton karena negara maju akan memonopoli eksploitasi sumber daya alam. Indonesia adalah negara kepulauan yang dapat mengalami kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumberdaya alam laut yang tidak bertanggung jawab. Kekayaan laut Indonesia yang belum banyak termanfaatkan untuk kepentingan nasional, justru dimanfaatkan dengan cara ilegal oleh pihak asing untuk kepentingan mereka tanpa mempedulikan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut. Kerusakan lingkungan yang terjadi di pulau-pulau terluar Indonesia dapat membawa kehancuran, bahkan bagi pulau-pulau kecil (tiny Islands) dengan luas kurang lebih atau sama 2000 km2 dapat membawa kemusnahan. Musnahnya pulau-pulau yang menjadi dasar penghitungan titik pangkal wilayah Indonesia merupakan ancaman bagi keamanan nasional. Oleh sebab itu, isu lingkungan dalam kerangka analisis ini termasuk kategori isu yang terpolitisasi (politized) yang artinya memerlukan menuntut penanganan melalui kebijakan publik.5 Kerangka pikir yang dikembangkan dalam tulisan ini adalah upaya menjaga kedaulatan negara yang tidak hanya bertumpu pada pendekatan keamanan melalui kekuatan militer saja, tetapi juga mengembangkan potensi komponen lainnya. Komponen yang dimaksud adalah komponen pendukung sistem pertahanan negara yang secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. Dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara disebutkan bahwa sumber daya alam termasuk ke dalam salah satu komponen pendukung. Namun pengertian sumber daya alam lebih diorientasikan kepada penganekaragaman sumber daya alam untuk menghindari ketergantungan. Perhatian terhadap potensi lain dari sumber daya alam dalam mendukung kepentingan pertahanan negara masih belum banyak mendapat perhatian. Pemikiran diatas sejalan dengan paradigma pembangunan berkelanjutan yang telah diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk semua negara. Hingga kini paradigma tersebut tidak banyak diimplementasikan, bahkan masih belum luas dipahami dan diketahui.6 Pembangunan berkelanjutan mengedepankan unsur lingkungan hidup dari seluruh proses pembangunan. Dari sisi lingkungan hidup, kita menghadapi banyak problem serius diantaranya abrasi pantai, pencemaran lingkungan laut maupun punahnya keanekaragaman hayati di laut dan sebagainya. Ini semua merupakan dampak yang dibayar sangat mahal dari terabaikannya aspek lingkungan hidup dalam keseluruhan proses pembangunan. Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di kawasan perbatasan maupun pulau-pulau terluar Indonesia akan sangat merugikan kepentingan nasional kita.
5
6
Barry Buzan, et.al, Security:A new Framework for Analysis, Boulder; lynne Rienner Publisher, 1998: 24. A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Jakarta; Kompas,2002: 166-167
91
Pendekatan Lingkungan untuk Pengamanan Pulau Terluar
V. Metode Penelitian A. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di dua lokasi, yaitu Kabupaten Pulau Morotai Provinsi Maluku Utara dan Kabupaten Pulau Raja Ampat Provinsi Papua Barat, pada bulan November 2011. Penelitian Kabupaten Pulau Morotai tepatnya dilakukan pada 8-14 November 2011, sedangkan penelitian ke Kabupaten Raja Ampat dilakukan pada 19-25 November 2011. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian tim Hubungan Internasional P3DI yang mengangkat tema Potensi dan Masalah Pulau Perbatasan. Kedua daerah tersebut dipilih dengan alasan, pertama, kedua kabupaten tersebut berada di wilayah terluar NKRI, dan kedua, terdapat potensi ancaman terhadap kedaulatan NKRI pada masing-masing wilayah. Kabupaten Pulau Morotai merupakan salah satu pulau terluar paling utara di Indonesia. Pulau Morotai memiliki luas 695 mil persegi atau 1.800 km² dengan jumlah penduduk sekitar 51 ribu jiwa. Kabupaten ini terdiri atas 5 kecamatan dan 64 desa dengan ibu kota ditetapkan di Daruba, Kecamatan Morotai Selatan. Morotai adalah nama sebuah pulau sekaligus kabupaten definitif baru yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Indonesia, Mardiyanto, pada 29 Oktober 2008, sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Halmahera Utara. Potensi sumber daya ikan (standing stock) yang terdapat di perairan Kabupaten Pulau Morotai cukup besar, terdiri atas berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Luasnya kawasan pesisir dan laut dengan kualitas perairan yang bersih dan tenang juga memungkinkan untuk pengembangan budi daya laut, terutama ikan kerapu, lobster, rumput laut dan mutiara. Selain itu, Morotai juga memiliki potensi kelautan yang dapat dikembangkan sebagai kawasan pariwisata kelautan dan pariwisata sejarah. Selain sumber daya laut, Morotai juga kaya dengan sumber daya mineral tambang, seperti pasir besi dan nikel, sehingga membuat daerah ini rawan dari incaran pihak luar yang eksploitatif. Sejak dulu, Morotai telah memainkan peranan atau sudah pernah dimanfaatkan untuk pangkalan angkatan laut dan udara pihak sekutu untuk mengontrol kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara, selain sebagai stepping stone untuk menaklukan Jepang dan Indonesia. Jepang dan sekutu, terutama AS dan Australia, saling menguasainya di Perang Dunia II. Posisi geostrategis dan geografis Morotai sebagai pintu gerbang menuju kawasan Pasifik, yang merupakan salah satu sentra kegiatan perdagangan global, membuat kawasan itu berpeluang besar berkembang menjadi sentra ekonomi baru di Indonesia bagian timur pada masa mendatang. Morotai memiliki bandara peninggalan perang dunia (PD) II yang dapat direnovasi untuk melayani penerbangan antarbangsa dari Asia Timur dan juga Amerika. Begitu pula dengan Kabupaten Raja Ampat, kabupaten yang merupakan pecahan Kabupaten Sorong sejak 2003 ini berpenduduk 31.000 jiwa, terdiri dari 610 pulau dengan hanya 35 pulau yang berpenghuni, memiliki luas wilayah sekitar 46.000 km2 dengan proporsi 6.000 km2 berupa daratan dan 40.000 km2 lautan. 92
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si. dan Teddy Prasetiawan, S.T., M.T.
Wilayah ini merupakan incaran para pemburu ikan karang yang menggunakan racun sianida dan bahan peledak. Namun, masih banyak penduduk yang berupaya melindungi kawasan itu sehingga kekayaan lautnya bisa diselamatkan. Terumbu karang di laut Raja Ampat dinilai terlengkap di dunia. Dari 537 jenis karang dunia, 75 persennya berada di perairan ini. Ditemukan pula 1.104 jenis ikan, 669 jenis moluska (hewan lunak), dan 537 jenis hewan karang. Sama halnya dengan Kabupaten Pulau Morotai, selain sumber daya laut Kabupaten Raja Ampat pun kaya dengan sumber daya mineral tambang, seperti nikel, sehingga menimbulkan kontroversi dalam menentukan prioritas pengembangan wilayah dalam upaya peningkatan pandapatan asli daerah (PAD). Namun, daerah melalui Bupati Kabupaten Raja Ampat Marcus Wanma lebih memprioritaskan untuk mengembangkan sektor pariwisata terlebih dahulu dengan menunda eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya mineral yang ada. Dengan posisi geografis dan geo-ekonomis seperti ini, menjadikan Kabupaten Raja Ampat sebagai kawasan cagar alam dan konservasi laut. Banyaknya peneliti dan pihak asing melakukan riset di sana. Di lain pihak, riset-riset yang dilakukan oleh pihak dalam negeri masih belum banyak dilakukan. Bank Dunia bekerja sama dengan lembaga lingkungan global menetapkan Raja Ampat sebagai salah satu wilayah di Indonesia Timur yang mendapat bantuan Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap) II, sejak 2005. Di Raja Ampat, program ini mencakup 17 kampung dan melibatkan penduduk lokal. Nelayan juga dilatih membudidayakan ikan kerapu dan rumput laut. Dengan potensi alam yang luar biasa yang dimiliki kedua kabupaten tersebut dan dengan posisi strategis sebagai wilayah perbatasan NKRI menjadikan kedua wilayah ini sangat tepat untuk dijadikan wilayah studi dengan judul “Pendekatan Lingkungan sebagai Upaya Pendukung Pengamanan Pulau Terluar Indonesia”. B. Cara Pengumpulan Data Sumber data dalam penelitian ini terbagi atas data primer yang berasal dari wawancara mendalam (indepth interview) yang bersifat terbuka dengan pihak dinas terkait baik di tingkat kabupaten maupun provinsi dan kalangan akademis/ pakar. Adapun pihak-pihak yang diwawancarai adalah sebagai berikut: 1. Anggota Dewan Kelautan Indonesia, Prof. Dr. Rizald Max Rompas; 2. Kepala Bagian Hidrobiologi Laut, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Prof. Dietriech G. Bengen; 3. Asisten Deputi Penataan Ruang Kawasan Perbatasan BNPP, Robert Simbolon, MPA; 4. Kasubdit Tata Ruang dan Perairan Yurisdiksi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Ir. Sigit Purnomo Djoko Raharjo, MP; 5. Syahbandar Pelabuhan Ternate, Takwim Masuku; 6. Bupati Kabupaten Pulau Morotai, Rusli Sibua beserta jajarannya; 93
Pendekatan Lingkungan untuk Pengamanan Pulau Terluar
7. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Pulau Morotai, Ismail; 8. Danlanal Morotai, Letkol laut (P) Purwadi; 9. Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Pulau Morotai; 10. Kepala Bidang Perikanan DKP Provinsi Maluku Utara, Ivo; 11. BLH Provinsi Maluku Utara, Yusra; 12. Kepala DKP Kabupaten Halmahera Timur, Harun Fabanyo; 13. Bupati Kabupaten Pulau Raja Ampat, Marcus Wanma beserta jajarannya; 14. Kepala Bappeda Kabupaten Raja Ampat, Arthemas Mambrisau; 15. Sekretaris Daerah Kabupaten Raja Ampat, Drs. Ferdinand Dimara; 16. Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat, Yusdi Lamatenggo; dan 17. Kabid Perbatasan Kabupaten Raja Ampat, Martinus Mambraku. Sementara itu, data sekunder diperoleh melalui pengumpulan dokumen Kabupaten Dalam Angka, draft Rencana Tata Ruang Wilayah, dokumen Renstra, peraturan daerah, serta tulisan dan hasil kajian yang berhubungan dengan judul penelitian. C. Metode Analisis Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat diperoleh masukan sebanyak-banyaknya dari para narasumber dan informan yang menjadi subjek penelitian, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas mengenai pentingnya pendekatan lingkungan dalam upaya pengaman pulau-pulau terluar.
94
BAB II POTENSI, PERMASALAHAN, DAN KENDALA
I.
Umum Pulau-pulau terluar seringkali terabaikan, hal ini disebabkan oleh model pembangunan inner cycle yang selama ini berjalan di Indonesia sudah tidak tepat lagi untuk diterapkan. Model pembangunan yang dipengaruhi kultur kerajaan di Indonesia dengan sistem politik yang sentralistik, dimana pembangunan wilayah negara Indonesia dimulai atau diprioritaskan di pusat-pusat pemerintahan kemudian baru berlanjut ke daerah-daerah terluar.7 Dengan arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang cenderung berorientasi inward looking: kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan negara yang bukan merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah pusat dan daerah. Pulau-pulau terluar yang lokasinya sangat jauh dari pusat sulit dijangkau dan terisolir menjadi sulit berkembang. Karenanya pembangunan infrastruktur di kawasan tersebut berjalan lambat, kesejahteraan dan perekonomian rakyat kurang diperhatikan, dan menjadi kawasan rawan tindakan ilegal. Pemerintah perlu segera menerapkan konsep baru dimana pertumbuhan dan pembangunan dimulai dari tepian negara atau kawasan perbatasan (outward looking). Dalam hal ini kawasan perbatasan dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan pihak luar. Pendekatan pembangunan yang dilakukan selain menggunakan pendekatan yang bersifat keamanan (security approach), akan diperkuat dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan pelestarian lingkungan (environment approach). Perubahan paradigma ini perlu dilakukan secara terpadu di kawasan pulau-pulau terluar agar kawasan tersebut dapat melaksanakan fungsi khususnya sebagai wilayah terdepan negara (froteira). Tidak dapat dipungkiri bahwa komponen utama sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman asing adalah tentara nasional yang didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Bergantung kepada komponen utama dengan segudang permasalahan yang ada pun kurang dirasa bijak tanpa berorientasi kepada potensi komponen cadangan dan komponen pendukung yang mungkin masih bisa dikembangkan. Mengembangkan komponen utama, dalam hal ini keandalan militer dalam menjaga perbatasan NKRI, memerlukan investasi yang
7
FGD dengan Robert Simbolon, MPA Asdep Penataan Ruang Kawasan Perbatasan BNPP, 2 November 2011.
95
Pendekatan Lingkungan untuk Pengamanan Pulau Terluar
tinggi. Menjaga perbatasan laut negara bukan hanya berkaitan dengan pengadaan alutsista saja, namun juga pengoperasian armada laut yang dimiliki. Keterbatasan anggaran mengkondisikan wilayah perbatasan laut Indonesia tidak terjaga secara menyeluruh. Sementara itu pembangunan yang masih sedikit menyentuh wilayah perbatasan menjadikan wilayah ini semakin terisolir dengan keterbatasannya. Ancaman terhadap wilayah NKRI yang umum terjadi di lokasi penelitian, Kabupaten Pulau Morotai dan Kabupaten Pulau Raja Ampat, adalah masuknya nelayan asing ke dalam wilayah perairan Indonesia. Selain melakukan aktivitas illegal fishing, nelayan asing yang umumnya berasal dari Taiwan dan Philipina juga menetap di beberapa pulau yang tidak atau sedikit berpenghuni. Bahkan nelayan asing musiman tersebut melakukan transaksi ekonomi dengan penduduk di pulau perbatasan. Ancaman ini bukan termasuk ancaman militer, namun keberadaannya tentu mengganggu kedaulatan terhadap wilayah Indonesia. Beberapa alasan yang dikemukakan oleh sebagian besar stakeholder di lokasi penelitian tentang mengapa aktivitas nelayan asing tersebut terus terjadi di pulau perbatasan adalah: pertama, pulau yang memiliki sedikit atau tidak berpenghuni. Kedua, keterbatasan sarana dan prasarana pemantauan. Selain kurangnya jumlah tentara, pangkalan angkatan laut (Lanal) yang ditempatkan di pulau perbatasan juga menghadapi kendala lain seperti tidak tersedianya kapal patroli yang memadai, serta peralatan dan persenjataan yang kurang mendukung. Ketiga, lokasi pulau perbatasan yang terisolir sehingga hubungan ekonomi masyarakat penghuni pulau dan nelayan asing yang sifatnya saling menguntungkan. Aksesibilitas ke ibukota kabupaten terdekat yang relatif jauh menimbulkan kendala transportasi dan harga barang yang tinggi. Percepatan pertumbuhan pembangunan di pulau terluar merupakan cara lain yang dapat ditempuh dalam menjaga perbatasan perairan Indonesa selain menggunakan kekuatan militer. Konsep outward looking selain didukung dengan prosperity approach yang menggunakan pendekatan ekonomi dalam membangun wilayah perbatasan juga dapat ditopang olah environment approach yang mengedepankan pendekatan pelestarian lingkungan. Penjelasan mengenai pendekatan pelestarian lingkungan ini masih belum dijabarkan dengan jelas, sama halnya dengan peran sumber daya alam sebagai salah satu komponen pendukung pertahanan negara. Salah satu bentuk pembangunan yang menggunakan environment approach adalah dengan mengembangkan pulau terluar dengan prinsip konservasi, yaitu memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan keberadaannya. Dengan menjadikan pulau terluar sebagai kawasan konservasi, dalam bentuk kawasan suaka alam (KSA) atau kawasan perlindungan alam (KPA) sesuai karakteristik wilayahnya, maka secara tidak langsung pembangunan dengan pendekatan lingkungan telah diterapkan. Melindungi habitat berupa komunitas hayati yang utuh merupakan cara efektif untuk melestarikan lingkungan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membuat 96
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si. dan Teddy Prasetiawan, S.T., M.T.
kawasan konservasi atau kawasan yang dilindungi (darat maupun laut) dengan tujuan melindungi keanekaragaman hayati dan budaya terkait, serta dikelola secara legal dan efektif.8 Pendekatan konservasi sumber daya alam hayati, selain telah diakui secara nasional melalui UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi dan Keanekaragaman Hayati, juga telah menjadi salah satu agenda global melalui Konvensi PBB Tentang Keanekaragaman Hayati. Di tengah isu lingkungan yang belakangan ini telah menjadi perhatian dunia internasional, menjadikan pulau terluar sebagai kawasan konservasi tidak hanya sebagai upaya mengamankan pulau terluar tersebut dengan kemampuan nasional, tetapi juga mendorong perhatian dan bantuan masyarakat internasional untuk turut memperkuat posisi Indonesia dalam mengamankan pulau tersebut. Kabupaten Pulau Morotai dan Kabupaten Raja Ampat merupakan salah satu kabupaten kepulauan yang terletak di perbatasan NKRI. Potensi daerah yang dimiliki umumnya adalah perikanan, pariwisata, dan pertambangan. Dengan kondisi tersebut, terkadang daerah dihadapkan pada pilihan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) melalui berbagai aktivitas yang bersifat eksploitatif terhadap kekayaan alam yang dimiliki atau menjaga kekayaan alam tersebut dengan mengembangkan berbagai aktivitas yang bersifat konservatif. Pada sub-bab selanjutnya akan diuraikan mengenai potensi implementasi environment approach di lokasi studi. II. Kabupaten Pulau Morotai A. Potensi Pulau Morotai yang berada di laut Halmahera menjadi bagian dari wilayah administratif Kabupaten Pulau Morotai. Pulau tersebut merupakan salah satu dari 12 pulau-pulau kecil terluar yang dapat digunakan sebagai batu loncatan (stepping stones) untuk menjadi pangkalan udara militer menuju Pasifik dan Asia Tenggara. Alasan tersebut menyebabkan pulau ini dimasukan ke dalam kategori lokasi prioritas I (Lokpri I). Dengan kondisi alamiah Pulau Morotai yang terletak di atas karang tua yang dikelilingi laut dalam (ingresi) dan memanfaatkan ekslandasan PD II yang memiliki panjang landasan lebih dari 3.000 meter, Indonesia sebenarnya dapat menjadikan pulau ini sebagai pangkalan udara (Lanud) baru yang efektif untuk digunakan dalam mengontrol kepentingan Indonesia di kawasan Pasifik. Pulau Morotai memiliki posisi stategis yang langsung menghadap ke arah Asia Timur dan berpotensi menjadi pelabuhan ekspor menuju ke negara-negara industri baru, seperti Korea, Taiwan, Hongkong, dan Jepang. Pulau Morotai kaya dengan sumber daya alamnya, terutama pasir besi, nikel, emas, batubara dan hasil laut. Beberapa aktifitas penambangan tersebut dilakukan melalui penanaman modal asing (PMA) sebagian besar dari RRC dan selebihnya merupakan PMA dari Jepang, AS, Korea, Rusia, dan Hong Kong. Begitu pula
8
Mohamad Indrawan dkk, Biologi Konservasi, Jakarta: Yayasan Obor; 2007: 287.
97
Pendekatan Lingkungan untuk Pengamanan Pulau Terluar
dengan kekayaan laut Kabupaten Pulau Morotai yang dihuni oleh berbagai jenis ikan, terutama yang bernilai jual tinggi seperti tuna, dan beragam jenis terumbu karang serta areal wisata sejarah laut. Karena potensi kekayaan lautnya tersebut, Kabupaten Pulau Morotai ditetapkan sebagai kawasan megaminapolitan satusatunya di Indonesia, yaitu kawasan yang diupayakan mengalami percepatan pengembangan pembangunan kelautan dan perikanan di sentra-sentra produksi perikanan yang memiliki potensi untuk dikembangkan dalam rangka mendukung visi dan misi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dikatakan, terdapat sekitar 61 ribu ton ikan yang dihasilkan Kabupaten Pulau Morotai pertahun. Di luar itu karena lautnya yang bersih, budidaya rumput laut dan mutiara sangat potensial pula untuk dikembangkan. Di Pulau Ngele-ngele Besar telah terdapat budidaya mutiara dan ikan kerapu yang diekspor hidup-hidup dalam jumlah besar setiap tahun langsung ke Hongkong oleh perusahaan Morotai Marine Culture (MMC).
B. Permasalahan yang Dihadapi Terdapat ancaman keamanan ekonomi (economic security) terhadap hasil laut Morotai akibat pencurian ikan oleh nelayan asing (Filipina dan Taiwan). Di satu sisi kondisi Morotai yang terisolasi dan jauh dari lokasi pemasaran, sarana infrastruktur yang tidak memadai menyebabkan potensi Morotai di bidang perikanan dan pariwisata belum termanfaatkan secara optimal. Namun di sisi lain potensi perikanan Morotai banyak dicuri pihak asing yang beroperasi di pesisir timur Pulau Morotai yang berkarang. Nelayan asing tersebut beroperasi dengan sistem yang terorganisasi dengan baik, dilengkapi senjata dan kapal penadah yang menunggu di laut lepas.9 Bahkan di desa-desa pesisir Morotai terjadi barter air bersih dengan komoditi bahan pokok antara nelayan asing dan penduduk lokal yang menyulitkan diberantasnya kegiatan pencurian ikan atau penyelundupan di wilayah perbatasan.10 Selain penyebab di atas, aktivitas pencurian ikan di perairan laut Morotai juga disebabkan jumlah penduduk yang rendah dan jarang serta keberadaan militer yang masih minim, terutama sebelum terjadinya pemekaran. Dengan dimekarkannya Kabupaten Pulau Morotai dari Kabupaten Induk Halmahera Utara, diharapkan akan terjadi peningkatan jumlah penduduk. Dengan didukung oleh peningkatan infrastruktur atas dasar pembangunan kabupaten baru dan pengembangan kawasan megaminapolitan, diharapkan Kabupaten Pulau Morotai dapat berkembang pesat sehingga aktivitas pencurian ikan akan menurun. Ancaman terhadap masalah kelestarian lingkungan, berupa penambangan liar batu karang sepanjang pantai utara dan timur Morotai yang langsung berhadapan dengan Samudera Pasifik, menyebabkan terjadinya erosi pantai dan banjir rob. Ancaman lain terhadap kelestarian lingkungan adalah masih dipakainya bom untuk
Wawancara dengan Kadis DKP Pulau Morotai,11 November 2011; wawancara dengan Syahbandar Pelabuhan Ternate, Takwim Masuku, di Ternate, 9 November 2011. 10 Wawancara dengan Danlanal Morotai, Letkol laut (P) Purwadi, di Morotai, 10 November 2011. 9
98
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si. dan Teddy Prasetiawan, S.T., M.T.
penangkapan ikan.11 Hal ini tentunya mengancam kelestarian terumbu karang dan habitat laut sehingga hantaman ombak yang kian besar dan membuat terjadinya abrasi memperparah kondisi keamanan potensi SDA kelautan dan perikanan Pulau Morotai secara khusus serta Provinsi Maluku Utara secara umum.12 Kawasan laut Pulau Morotai termasuk lokasi yang bagus untuk kegiatan wisata selamkarenamerupakansitussejarahbawahlautdankeindahanterumbukarangnya. Namun belum ada upaya pelestarian yang baik dan kawasan ini, seperti kawasan perairan Maluku lainnya, tidak termasuk dalam program CTI karena dianggap termasuk sebagai daerah rawan konflik.13 Untuk mengatasi hal ini Pemda Provinsi Maluku Utara berupaya melakukan sosialisasi pelestarian lingkungan kepada masyarakat dan melakukan rehabilitasi terumbu karang dengan transplantasi terumbu karang di tahun 2012. Program konservasi mangrove, ikan dan terumbu karang mulai dilaksanakan di Pulau Rao dan Pulau Mitita. Konservasi terumbu karang dilakukan dengan transplantasi karang dan rehabilitasi mangrove.14 Kondisi di atas lebih diperparah lagi dengan kurangnya pemantauan kualitas lingkungan yang dilakukan oleh dinas terkait. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Pulau Morotai yang bertanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk pemantauan kualitas lingkungan hidup mengakui bahwa kegiatan pemantauan kualitas lingkungan sangat jarang dilakukan. Apabila dilakukan pun, sifatnya adalah pengukuran rona lingkungan terhadap kegiatan wajib Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dilakukan oleh pemrakarsa kegiatan. Sedangkan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang menjadi tanggung jawab BLH dilakukan menyesuaikan dengan ketersediaan anggaran saja, bukan atas dasar kebutuhan. Selain minimnya pemantauan dan keterbatasan anggaran seperti disebutkan di atas, fasilitas laboratorium pemantauan kualitas lingkungan yang ada di BLH Kabupaten Pulau Morotai masih terbatas dan tidak dilengkapi dengan SDM yang mendukung. Secara umum, ketersediaan laboratorium lingkungan di Provinsi Maluku Utara masih rendah. Pengadaan peralatan laboratorium memang telah dilakukan pada beberapa tahun anggaran terakhir, walaupun hanya pemeriksaan kualitas air saja. Namun, pengadaan tersebut tidak disertai oleh tenaga analis kimia atau SDM yang dapat menangani aktivitas laboratorium dengan latar belakang pendidikan yang sesuai. Usulan perekrutan SDM yang dimaksud telah beberapa kali dilakukan oleh pihak BLH, namun selalu tidak terealisasi meski pihak BLH sudah berkali-kali menegaskan kebutuhan formasi tersebut.15 Wawancara dengan Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Pulau Morotai, 11 November 2011. 12 Wawancara dengan Bupati Morotai, Rusli Sibua dan jajarannya, 10 November 2011. 13 Wawancara dengan ibu Ivo, Kabis Perikanan DKP Provinsi Maluku Utara, 8 November 2011. 14 Wawancara dengan Bapak Ismail, Kadis DKP dan Kepala BLH Kabupaten Pulau Morotai, 11 November 2011. 15 Wawancara dengan Yusra, BLH Provinsi Maluku Utara, 9 November 2011. 11
99
Pendekatan Lingkungan untuk Pengamanan Pulau Terluar
Aktivitas pemeriksaan kualitas air, tanah, dan udara pun akhirnya merujuk ke laboratorium di luar provinsi, seperti Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKL-PP) Manado. Lokasi laboratorium pemeriksaan yang berjarak relatif jauh tentunya tentunya berpengaruh terhadap validitas sampel yang diperiksa. Ditambah dengan tidak adanya SDM yang memadai menimbulkan permasalahan lain, yaitu apakah dilakukan pengawetan sampel sesuai dengan prosedur? Hal ini menambah kompleksnya permasalahan pemantauan kualitas lingkungan di Kabupaten Pulau Morotai yang dapat disimpulkan sangat minim fasilitas, minim SDA, minim infrastruktur, serta minim perhatian dari pemerintah daerah, dalam hal ini Bappeda, dalam mengalokasikan anggaran bagi kegiatan ini.
C. Kendala Penerapan Pendekatan Lingkungan Pendekatan pelestarian lingkungan sebagai upaya pengamanan pulau terluar dari masuknya pihak asing belum berjalan. Wilayah laut yang luas, tanpa kapal ditunjang dengan patroli pengawas dan belum adanya mercusuar di pulau ini menambah kemungkinan semakin maraknya kegiatan illegal fishing di Pulau Morotai. Upaya mencegah illegal fishing dan pelestarian terumbu karang dengan menjadikan daerah ini kawasan konservasi laut merupakan alternatif yang patut dipertimbangkan. Namun tanpa adanya pengawasam, program konservasi laut tersebut akan sia-sia karena kegiatan pencurian ikan oleh nelayan asing akan terus berlangsung.16 Ancaman keamanan atas potensi SDA perikanan Pulau Morotai yang datang dari illegal fishing akan tetap tinggi karena upaya penegakan hukum dan kemampuan aparat untuk menanggulangi masalah ini masih lemah. Kendala utama wilayah yang terisolir sehingga sulit diawasi juga karena kurangnya sarana telekomunikasi, kapal patroli dan BBM. Kesadaran masyarakat untuk mencegah terjadinya erosi pantai dengan penanaman bakau belum ada, sehingga upaya yang dilakukan adalah penimbunan batu untuk pemecah ombak di pesisir timur. Kesadaran penduduk untuk menjaga kelestarian alam, khususnya dalam hal penambangan batu karang illegal juga rendah karena tradisi menjadikan batu karang merupakan bahan fondasi rumah bagi penduduk lokal, dan belum ada bahan pengganti lain yang lebih murah dan mudah didapat. Belum ada perwakilan lembaga pengelola perbatasan BNPP di Kabupaten Pulau Morotai sehingga berbagai masalah yang terkait dengan perbatasan belum terkelola dengan baik. Selain daripada itu, keterbatasan anggaran menjadi alasan belum berjalannya program pelestarian lingkungan di sini. Tantangan terbesar dari Kabupaten Pulau Morotai dalam sumber daya alam dan kelestarian lingkungannya adalah tingkat eksploitasi SDA yang meningkat dan mulai mengancam ekosistem laut dan tentunya turut berimbas pada produksi perikanan. Aktivitas penambangan nikel, salah satunya di Halmahera Timur, berpotensi menyebabkan kerusakan laut. Indikasi kerusakan telah dirasakan, Wawancara dengan Ivo, Kabis Perikanan DKP Provinsi Maluku Utara, 8 November 2011.
16
100
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si. dan Teddy Prasetiawan, S.T., M.T.
terutama pada sektor perikanan. Seperti yang dikeluhkan oleh DKP Halmahera Timur yang menyatakan jumlah tangkapan ikan di utara dan timur Halmahera belakangan ini menurun. Namun, DKP tidak memiliki kewenangan untuk mengatur pertambangan di Provinsi Maluku Utara mengingat sumbangan PAD terbesar provinsi berasal dari aktivitas tambang nikel. Hingga saat ini, beberapa perusahaan tambang nikel telah melakukan pembebasan lahan untuk kepentingan aktivitas tambang.17 Sejalan dengan yang terjadi di Kabupaten Pulau Morotai, aktivitas pertambangan, pasir besi dan nikel, di utara pulau ini cenderung meningkat dan juga mengancam ekosistem laut yang menjadi andalan utama kabupaten ini. Kecenderungan ini diyakini akan terus meningkat sehingga membutuhkan kebijakan dari pemerintah daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan yang dilakukan karena pertambangan dapat mematikan potensi besar
III. Kabupaten Raja Ampat A. Potensi Kabupaten Pulau Raja Ampat merupakan salah satu lokasi terbaik untuk olah raga selam (diving) di dunia. Kabupaten Kepulauan ini yang berada di wilayah segitiga terumbu karang dunia (world coral triangle).yang terbentang di Kepulauan Pasifik (PNG-Australia-Indonesia-Malaysia-Filipina) menjadikan Raja Ampat sebagai kawasan yang paling kaya keanekaragaman hayati bawah lautnya di dunia. Alam bawah laut yang sangat indah telah membuat kekayaan terumbu karang Raja Ampat sebagai salah satu yang harus dilindungi di dunia oleh lembaga konservasi alam internasional. Raja Ampat merupakan tempat tumbuhnya berbagai jenis terumbu karang sehingga merupakan yang terlengkap di dunia. Catatan tersebut meliputi sekitar 533 species karang keras, 147 species ikan karang, 699 species moluska dan 15 species cetacean yang mewakili 75% jenis karang yang ada di dunia. Raja Ampat juga merupakan kawasan yang sangat kaya ikan, terdapat 1.074 jenis (species) ikan dan tumbuhan endemik dan ribuan penyu.18 B. Permasalahan yang Dihadapi Di Raja Ampat tidak seluruh pulau berpenghuni dan bernama, diperkirakan hanya ada 35 yang didiami, dan masih sekitar 400 pulau belum bernama.19 Pemda tengah memikirkan upaya droping penduduk dan pembentukan kampung sebagai bentuk pengawasan pulau-pulau yang belum berpenghuni, terutama di wilayah yang jauh. Namun hal ini masih sulit dilakukan karena sarana dan prasarana sosial
Wawancara dengan Harun Fabanyo, DKP Kabupaten Halmahera Timur, 8 November 2011. Wawancara dengan Marcus Wanma, Bupati Kabupaten Pulau Raja Ampat, di Waisai, 22 November 2011; wawancara dengan Arthemas Mambrisau, Kabappeda Kabupaten Pulau Raja Ampat, di WaisaI, 22 November 2011; dan wawancara dengan Sekda Drs. Ferdinand Dimara, Msi, di Waisai, 22 November 2011. 19 Wawancara dengan Sekda Drs. Ferdinand Dimara, Msi, di Waisai, 23 November 2011. 17 18
101
Pendekatan Lingkungan untuk Pengamanan Pulau Terluar
yang belum ada, terutama sarana pendidikan. Potensi pariwisata di Raja Ampat masih sangat terbuka, terutama di pulau-pulau yang jauh letaknya karena alasan non ekonomis, sehingga bentuk pariwisata yang bisa dikembangkan bersifat esklusif. Pulau Fani yang menjadi pulau terluar Indonesia dan berbatasan langsung dengan Negara Palau, termasuk dalam wilayah Kepulauan Ayau yang masuk dalam kategori lokasi prioritas ke III (Lokpri III). Pengawasan Pulau Fani sebagai pulau terluar Indonesia di kawasan ini tidak mudah dilakukan. Kapal besar tidak bisa berlabuh karena Pantai Pulau Fani berkarang, sehingga dapat merobek lambung kapal bila terjadi badai. Sarana tepat menuju pulau ini hanyalah speedboat/kapal kecil karena dapat berlabuh dengan cara ditarik kedaratan untuk menghindari robek lambung saat terjadi badai. sehingga kapal besar tidak bisa berlabuh. Di tahun 2004 terjadi peristiwa perobekan bagian merah dari bendera merah putih yang dipancangkan di Pulau Fani. Oleh sebab itu sejak tahun 2004 Pemerintah Pusat menempatkan satu kompi pasukan gugus tempur laut dari Armatim di Pulau Fani. Pada awalnya pasukan yang ditempatkan akan bertugas selama satu tahun sebelum digantikan pasukan selanjutnya. Namun melihat efek psikologis yang terjadi pergantian pasukan berubah menjadi setiap 6 bulan, dan akhirnya setiap 3 bulan.20 Sementara itu, ancaman lingkungan yang terjadi di Kabupaten Pulau Raja Ampat21 dapat dilihat pada peta di bawah ini: 1) Pemboman ikan; 2) Pembalakan liar; 3) Penambangan nikel; 4) Peracunan ikan (akar bore dan atau potasium); dan 5) Penambangan pasir. Sama halnya dengan Kabupaten Pulau Morotai, kelima kegiatan diatas merupakan permasalahan klasik antara peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dan konservasi lingkungan hidup. Namun, menyadari potensi kekayaan dan keindahan alam yang dimiliki oleh Kabupaten Pulau Morotai, pemerintah daerah melalui Bupati Kabupaten Pulau Morotai mengupayakan berbagai usaha untuk menekan aktivitas peikanan yang tidak ramah lingkungan, serta menunda segala bentuk eksploitasi sumber daya alam, termasuk pertambangan dan kehutanan dengan lebih mengedepankan pengembangan sektor pariwisata, perikanan, dan kelautan. Pelaku pemboman ikan di Raja Ampat kebanyakan nelayan yang berasal dari luar Kabupaten Pulau Raja Ampat. Meski lokasi berburu sudah diketahui yakni di Pulau Batanta, Kofiau dan Salawati mereka masih sulit ditangkap. Karena selain cepat berpindah tempat mereka juga nekad. Mereka bahkan beroperasi tidak hanya di laut lepas, tetapi juga di sekitar KKPD yang dikelola LSM internasional The Nature Conservation (TNC) dan Conservation International (CI) 22 Di kawasan Konservasi Laut Raja Ampat juga masih terjadi pembantaian ikan hiu berbagai jenis hanya Wawancara dengan Sekda Ampat bapak Ferdinan Dimaram, 22 November 2011. Peta Dokumen Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). 22 “Bom Ikan Masih Marak”,Kompas 8 Februari 2012: 22 20 21
102
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si. dan Teddy Prasetiawan, S.T., M.T.
untuk diambil siripnya dan teripang di sekitar Pulau Sayang. Halmahera Tengah dan Sorong saat ini masih terlibat saling mengklaim Pulau Sayang dan Piyai merupakan bagian dari wikayahnya. Para pelaku yang berasal dari Halmera Tengah, mereka menganggap kawasan Pulau Sayang dan Piyai merupakan bagian dari Halmahera Tengah sehingga tidak ada larangan untuk memancing binatang laut di kawasan tersebut. Kementerian Dalam Negeri menyatakan kedua pulau tersebut bukan wilayah Raja Ampat berdasarkan hasil verifikasi Tim Nasional Pembakuan Nama Rupa Bumi. Klaim itu dibantah oleh Dewan Adat Masyarakat Sorong yang menganggap dua pulau tak berpenghuni tersebut sebagai bagian dari wilayah Raja Ampat.23
Gambar 2. Peta kegiatan tidak ramah lingkungan
“Hiu Mati di Tanah Suci”, Tempo, 3 Juni 2012: 77-78
23
103
Pendekatan Lingkungan untuk Pengamanan Pulau Terluar
C. Kendala Penerapan Pendekatan Lingkungan Wilayah perairan Raja Ampat yang luas dan potensi potensi ikan yang sangat besar menjadikan kawasan ini sasaran illegal fishing dari nelayan asing. Kawasan perairan dalam pulau ini juga dapat berpotensi sebagai wilayah pembuangan limbah B3. Keanekaragaman hayati laut yang sangat kaya di kawasan ini juga rawan akan pencurian plasma nutfah oleh pihak asing. Upaya pengawasan di kawasan ini tidak mudah karena kendala alam yang bersifat oceanic (mudah berubah secara tidak terduga) dan terbatasnya dukungan struktur dan infrastruktur diantaranya sarana telekomunikasi, SDM, kapal patroli yang memadai dan BBM. Sama halnya dengan Kabupaten Pulau Morotai, rendahnya upaya pemantauan kualitas lingkungan yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) juga terjadi di Kabupaten Raja Ampat. Fasilitas laboratorium pemantauan kualitas lingkungan yang minim dan tidak dilengkapi dengan SDM yang mendukung merupakan tantangan yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Lembaga pengelola perbatasan BNPP menjadi bagian dari Kesbangpol Pemda sejak tahun 2010, sehingga baru akan mulai bekerja melakukan pemetaan masalah. Keberadaan lembaga ini diharapkan dapat mengemban visinya pada 2025, yaitu terwujudnya perbatasan negara sebagai wilayah yang aman, tertib, dan maju. Di satu sisi Kabupaten Raja Ampat sangat responsif dalam melindungi kekayaan hayati yang dimilikinya dengan menyusun perda tentang konservasi atau dengan inisiatifnya mengajukan pengesahan RTRW 2010-2030 kepada pemerintah pusat maupun provinsi. Namun di sisi lain, tindakan proaktif tersebut tidak disambut dengan respon yang sama. Seperti misalnya, RTRW Provinsi Maluku Utara yang hingga saat ini belum disusun menyebabkan turut terhambatnya proses RTRW Kabupaten Raja Ampat karena menunggu garis besar penataan wilayah tingkat provinsi. Mengembangkan upaya konservasi tidak hanya membutuhkan dukungan tingkat lokal saja namun pula regional dan nasional, agar upaya yang direncanakan dapat didukung melalui berbagai aspek, baik aspek legal maupun aspek anggaran. Belum adanya master plan pengembangan wilayah kelautan secara nasional yang dapat dijadikan arahan bagi pembangunan kelautan di kawasan perbatasan24 merupakan masalah yang turut pula membutuhkan penyelesaian, agar secara nasional Indonesia memiliki arahan dalam mengembangakn wilayah laut dan pesisir ke arah yang lebih baik.
FGD dengan Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 16 November 2011.
24
104
BAB III FAKTOR PENDUKUNG
Pembangunan berkelanjutan mengutamakan keterkaitan antara manusia dengan alam. Di banyak negara terbelakang dan berkembang ketidaktahuan, kemiskinan, kemanusiaan dan gaya hidup dapat menjadi penyebab faktor luar bagi kerusakan lingkungan.25 Pembangunan yang cenderung menyederhanakan ekosistem dan penuh eksploitasi akan memusnahkan keanekaragaman hayati, yang merupakan dasar bagi keseimbangan tatanan lingkungan yang akan menjaga pulau-pulau terluar tersebut dari kehancuran. Eksploitasi sumberdaya laut seringkali terjadi karena kepentingan ekonomi karena manusia berpikir laut di sekitar pulau-pulau kecil adalah sumber milik bersama (common property resources) yang kemudian menjadi penyebab apa yang disebut “tragedy of the commons”.26 Setiap orang yang merasa memiliki merasa berhak untuk menguras isu laut untuk kepentingannya masing-masing. Dalam konteks yang lebih strategis, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif di pulau-pulau terluar yang menempatkan penduduk di kawasan perbatasan (borderland communities) sebagai bagian dari subjek pengelolaan. Wilayah perbatasan dan kedaulatan negara dalam persepsi borderland communities ini adalah relatif, karena pada dasarnya adalah socially constructed.27 Dengan demikian perlakuan negara dalam berbagai aspek kehidupan mereka akan menentukan bagaimana mereka memberi makna pada status mereka sebagai bagian dari NKRI. Pemerintah harus mengarahkan mereka untuk menjaga kelestarian lingkungan, karena pulau-pulau terluar akan menjadi pagar pengaman Nusantara yang kokoh dengan melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang selaras dengan potensi produktif ekosistem daerah tersebut. Pembangunan berkelanjutan menghendaki laju pengurasan sumberdaya yang tidak dapat pulih harus dilakukan sekecil mungkin. Oleh sebab itu, masalah lingkungan harus disertakan dalam perhitungan perencanaan pembangunan sehingga tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Amos Neolaka, Kesadaran Lingkungan,Jakarta; Rineka Cipta, 2008: 41-65 Surna Tjahja Djajadiningrat, Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan, Bandung, Fakultas Teknologi Industri ITB, 2001: 11-12 27 Himawan Bayu Patriadi,”Isu Perbatasan: Memudarnya ‘Imagined State’? “dalam Mengelola Perbatasan Indonesia Di Dunia Tanpa Batas, Ludiro Madu dkk (editor)Yogyakarta; Graha Ilmu, 2010: 7. 25 26
105
Pendekatan Lingkungan untuk Pengamanan Pulau Terluar
I.
Dukungan Pemerintah Daerah Pendekatan lingkungan membutuhkan partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan. Mulai muncul kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan melalui penegakan hukum yang dilakukan Pemda. Di Kabupaten Pulau Morotai Pemda berupaya melakukan penegakan hukum melalui pembuatan SK Bupati dan penerapan hukuman kurungan bagi pelakunya sebagai shock therapy bagi pelaku kerusakan lingkungan. Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai mulai melakukan penanaman sekitar 50 ribu bibit pohon bakau di sepanjang pesisir Pantai Morotai untuk mengantisipasi terjadinya abrasi. program pembibitan pohon bakau ini sudah dilakukan sejak 2010 lalu, kurang lebih 50 ribu pohon ditanam bersama warga dan didistribusikan ke beberapa titik untuk ditanam, program ini bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya abrasi pantai lima kecamatan di antaranya, wilayah Desa Wayabula kecamatan Morotai Selatan Barat, wilayah antara desa Daruba dan Pilowo, desa Kolorai kecamatan Morotai Selatan, desa Bere-Bere kecamatan Morotai Utara dan Desa Sopi kecamatan Morotai Jaya.Bukan hanya itu, pohon bakau juga akan di tanam di pesisir pantai yang berdekatan dengan perkampungan warga. Sementara, untuk anggaran untuk pemeliharaan bibit pohon bakau. Bapedalda di tahun 2012 juga akan menganggarkan (tidak dirinci) baik penambahan bibit pohon bakau sekaligus anggaran untuk parakelompok warga, sehingga para warga yang tergabung dalam beberapa kelompok ini bisa mendapat gaji. Selain penanaman pohon bakau di Pulau Morotai, pemkab juga telah menyelamatkan sekitar 300 kubik batu karang yang diambil dari laut untuk pembuatan talud dan batu itu telah kembalikan ulang ke tempatnya. Sedangkan di Kabupaten Raja Ampat Sebagai daerah yang menjual pariwisata bahari, Pemda Kabupaten Pulau Raja Ampat memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan lautnya melalui program konservasi. Saat ini 80% wilayah Raja Ampat merupakan kawasan konservasi. Pemda juga telah membuat rancangan tata kelola dan tata wilayah dengan mengembangkan pola cluster yang terbagi untuk kepentingan pertambangan, pariwisata, perikanan dan pertanian. Sistem zonasi bertujuan mengelola kawasan secara keseluruhan, dengan merancang dan menentukan wilayah yang akan diberikan prioritas bagi kegiatan tertentu. Dengan pembagian kawasan dengan prioritasnya masing-masing diharapkan pelestarian lingkungan dan kepentingan ekonomi masyarakat dapat dilakukan tanpa tumpang tindih. Investasi asing di bidang pertambangan berfokus di Waigeo Utara dan Timur, sedangkan untuk pariwisata dan perikanan di Waigeo Barat. Untuk pertanian berpusat di Pulau Salawati dan bagian tengah Provinsi Papua Barat. Pulau Misool Selatan dikembangkan untuk pembangunan pariwisata, sedangkan Pulau Misool Utara dan Timur dikembangkan untuk perikanan. Mengingat wilayah pesisir dan laut Kabupaten Pulau Raja Ampat memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, maka Pemerintah Daerah melalui Perda No. 27 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat, 106
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si. dan Teddy Prasetiawan, S.T., M.T.
melegalisasi pengelolaan dan penetapan wilayah pesisir dan laut di Kabupaten Raja Ampat kedalam Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yang bertujuan untuk membentuk suatu kawasan laut dan pesisir yang terlindungi serta dapat dikelola secara berkesinambungan dengan tetap berpedoman pada prinsip pelestarian lingkungan, baik oleh masyarakat itu sendiri maupun oleh pihak lain yang berinvestasi dibidang perikanan dan pariwisata. Dengan Peraturan Daerah ini, terdapat landasan kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah perairan laut Kabupaten Raja Ampat, sesuai kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. KKLD meliputi kawasan pesisir, termasuk pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya, yang memiliki sumberdaya hayati dan karakteristik sosial budaya spesifik yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif. KKLD bertujuan untuk rnengatur fungi-fungsi kawasan konservasi laut sesuai dengan peruntukannya berdasarkan zonasi, dengan tujuan untuk membentuk suatu kawasan laut dan pesisir yang terlindungi serta dapat dikelola secara berkesinambungan. Setiap pihak dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap ekosistem dan keutuhan KKLD serta dilarang untuk melakukan penangkapan, pemanfaatan, pembudidayaan ikan dan biota lainnya secara komersial atau besarbesaran serta penangkapan ikan dengan penggunaan alat tangkap yang merusak ekosistem laut. Terdapat 6 wilayah pesisir dan perairan laut yang ditetapkan sebagai, meliputi : 1. KKLD Kepulauan Ayau - Asia; 4. KKLD Teluk Mayalibit; 2. KKLD Kawe (Wayag-Sayang); 5. KKLD Kepulauan Kofiau-Boo; dan 3. KKLD Selat Dampier; 6. KKLD Misool Timur Selatan. Pengawasan KKLD dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Kabupaten Raja Ampat dan lembaga lainnya yang bergerak di bidang pengawasan perikanan laut dibawah kordinasi DKP, serta dengan melibatkan peran serta masyarakat setempat.
107
Pendekatan Lingkungan untuk Pengamanan Pulau Terluar
Gambar 1. Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD)28
Dalam melaksanakan pengelolaan dan pelestarian fungsi sumberdaya kelautan, pemerintah daerah bersama masyarakat dan pihak terkait lainnya menetapkan pembagian kawasan (zonasi) dalam KKLD meliputi : a) Kawasan (zona) inti yang tidak boleh ada penangkapan dan pembudidayaan ikan dan kegiatan jasa lainya; b) Kawasan (zona) perkanan yang berkelanjutan, yaitu kawasan yang diperuntukan untuk kegiatan perikanan yang tidak merusak; c) Kawasan (zona) pemanfaatan yaitu kawasan yang berfungsi sebagai penyanggah yang diperuntukkan untuk kegiatan non ekstratif antara lain pariwisata alam dan pengembanan ilmu pengetahuan; Draft Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pulau Raja Ampat (2010-2030).
28
108
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si. dan Teddy Prasetiawan, S.T., M.T.
d) Kawasan (zona) lainnya, yang dipandang perlu untuk mencapai tujuan pengelolaan dan pelestarian fungsi sumber daya kelautan;
Upaya pelestarian lingkungan juga terbantu dengan adanya budaya sassi yang ada dalam masyarakat, yaitu larangan untuk pengambilan ikan dalam waktu tertentu sehingga ikan dapat berkembang biak dengan baik. Proses buka tutup panen hasil laut ini memberikan waktu bagi ikan untuk berkembang biak dan tumbuh besar sehingga tidak mengalami kepunahan. Potensi ikan yang sangat besar membuka lapangan kerja bagi seluruh penduduk Raja Ampat sehingga hampir tidak ada pengangguran karena semua dapat bekerja sebagai nelayan. Kawasan laut antara Pulau Fani dan Pulau Ayau merupakan tempat pertemuan arus dari Selatan dan Samudera Pasifik merupakan perairan kaya plankton dan menjadi lokasi bertelur ikan kerapu dari Samudera Pasifik. Hal ini sangat menguntungkan secara ekonomi bagi nelayan setempat karena harganya yang tinggi saat dijual hidup kepada pedagang pengumpul yang secara rutin datang ke kawasan tersebut untuk selanjutnya dijual ke Hongkong.29 Upaya pelestarian laut terutama terumbu karangnya telah dilakukan oleh Pemda termasuk dalam bentuk Perda, karena pariwisata laut menjadi andalan pemasukan bagi daerah. Pemda juga memberlakukan Pin Wisata sebagai alat kontrol bagi pengunjung yang datang ke kawasan konservasi.
II. Dukungan Pemerintah Pusat Penentuan kawasan yang dilindungi dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan kebijakan pemerintah. Secara nasional, Pemerintah pusat telah mencanangkan program Konservasi untuk kawasan perbatasan dan pulau terluar Indonesia. Program ini terkait dengan upaya pengelolaan, serta pengembangan Konservasi Sumber Daya Ikan dan Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan merupakan bagian dari Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan di Ditjen KP3K. Misi program ini untuk mengembangkan Konservasi Sumber Daya Ikan dan Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melalui upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan pada tingkat ekosistem, jenis dan genetik termasuk mendorong penguatan fungsi otoritas pengelola Konservasi Sumber Daya Ikan. Sasaran yang hendak dicapai dalam program ini adalah terkelolannya 4.5 juta Ha Kawasan Konservasi Perairan Secara Berkelanjutan dan Penambahan 2 Juta Ha Kawasan Konservasi Perairan serta terkelolanya 15 Jenis biota perairan yang terancam punah, Langka, Endemik dan dilindungi.30 Penetapan Kawasan Konservasi Laut secara nasional menggunakan standar deliniasi wilayah laut yang memasukan unsur keterkaitan ekologi pada Kawasan Konservasi Laut. Berdasarkan Marine Ecoregion of The World (MEOW) Wawancara dengan Kadis Pariwisata Kabupaten Pulau Raja Ampat, Yusdi Lamatenggo, di Waisai dan dalam perjalanan ke Waisai-Sorong, 23 dan 24 November 2011. 30 Tentang Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI), http://kp3k.kkp.go.id/webbaru/ ditjen/kkji, diakses 2 Januari 2012. 29
109
Pendekatan Lingkungan untuk Pengamanan Pulau Terluar
Indonesia memiliki 12 ekoregion laut yang berpotensi menjadi kawasan konservasi laut yaitu :Papua, Laut Banda, Nusa Tenggara, Laut Sulawesi/Selat Makasar, Halmahera, Palawan/Borneo Utara, Sumatera Bagian Barat, Laut Sulawesi Timur/Teluk Tomini, Paparan Sunda/Laut Jawa, Laut Arafuru, Jawa Bagian Selatan dan Selat Malaka.31 Dengan demikian, Raja Ampat yang secara geografis termasuk wilayah bentang laut Papua dan Pulau Morotai yang termasuk wilayah laut Halmahera merupakan wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut. Dalam KEP.64/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kabupaten Raja Ampat dan Laut di sekitarnya di Propinsi Papua Barat, telah ditetapkan Suaka Alam Perairan di Kawasan Perairan Kabupaten Raja Ampat dan laut sekitarnya seluas lebih kurang 60.000 hektar. Hal ini memudahkan semua pihak yang ingin berpartisipasi membantu pelestarian lingkungannya. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Perubahan Iklim mengusulkan pembentukan lembaga trust fund untuk pelestarian alam Kabupaten Raja Ampat sebagai upaya mendukung pelestarian lingkungan di kawasan tersebut. Lembaga tersebut diharapkan mampu menggalang dana dan simpati global untuk pelestarian kepulauan tersebut. Upaya ini memiliki alasan yang jelas yaitu sekitar 70% biodiversitas laut dunia ada di Raja Ampat sehingga masyarakat internasional memiliki kepentingan untuk turut melestarikan kawasan tersebut. Model trust fund ini meniru upaya hutan Amazon, yang merupakan kawasan megabiodiversity hutan dunia, dalam promosi dan menyinergikan dukungan global terhadap kawasan tersebut.32 Namun, upaya Pemerintah Pusat untuk pelestarian lingkungan di kawasan konservasi perairan di Pulau Morotai belum terlihat. III. Dukungan Internasional Indonesia merupakan negara yang mempunyai keanekaragaman hayati sangat tinggi atau megadiversitas, terutama di bidang kelautan. Faktor-faktor penting dalam menentukan pola kekayaan spesies adalah biogeografi, iklim, arus dan sejarah geologi. Wilayah yang secara geologis lebih tua akan memiliki lebih banyak keanekaragam daripada wilayah yang lebih muda. Wilayah yang lebih tua memiliki lebih banyakwaktu menerima spesies yang tersebar dari bagian lain dunia dan lebih banyak waktu bagi spesies yang ada untuk menjalani proses adaptasi terhadap kondisi lokal. Salah satu contohnya tingkat kekayaan spesies terumbu karang di Samudera Indonesia dan Pasifik Barat lebih tinggi dari pada di Samudera Atlantik. Hasil penelitian LIPI menemukan bahwa Kabupaten Raja Ampat mempunyai kekayaan biota laut tertinggi di dunia. Penyebaran jenis-jenis ikan laut pun mirip dengan penyebaran terumbu karang. Distribusi ikan lebih banyak berada di daerah Wallacea yaitu kawasan laut Indonesia bagian timur.33 Kartika Listriana, “Mengembangkan Papua Yang Kaya,” Bullettin.penataan ruang.net/upload/ data-artikel/mengembangkan papua yang kaya.pdf, diakses 22 Juni 2012. 32 “Trust Fund Raja Ampat akan Dibentuk”, Media Indonesia, 28 Maret 2012: 15. 33 Jatna Supriatna, Melestarikan Alam Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008: 44-46. 31
110
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si. dan Teddy Prasetiawan, S.T., M.T.
Keanekaragaman hayati dunia saat ini banyak terpusat di negara berkembang di wilayah tropika, yang kebanyakan diantaranya merupakan negara miskin dengan tingkat pertumbuhan penduduk, pembangunan dan perusakan habitat yang tinggi. Negara berkembang bersedia melindungi keanekaragaman hayati tersebut, namun tidak memiliki dana yang cukup melakukan pelestarian, penelitian dan pengelolaannya. Sebaliknya negara maju membutuhkan kawasan tropika sebagai sumber keanekaragaman hayati sumber bahan genetika, obatobatan dan industri. Wilayah laut Indonesia merupakan perpustakaan alam di bidang kelautan yang menyimpan banyak sekali ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi kepentingan umat manusia. Kepunahan keanekaragaman tersebut adalah juga berarti kepunahan sumber ilmu pengetahuan sebelum sempat termanfaatkan bagi kepentingan umat manusia. Oleh karena itu, kerjasama pelestarian lingkungan khususnya keanekaragam hayati antara negara maju dan negara berkembang mutlak diperlukan. Pelestarian alam, khususnya keanekaragaman hayati, merupakan suatu minat global dan tidak dapat dipenggal-penggal oleh batas internasional.34 Hal ini adalah upaya positif di mana tidak ada satu negara pun yang akan meninggalkannya. Pemeliharaan keanekaragaman hayati adalah prasyarat untuk memastikan bahwa sumberdaya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa mendatang. Keanekaragaman hayati juga merupakan dasar bagi keseimbangan tatanan lingkungan. Keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia tidak hanya menjadi tanggung jawab Indonesia untuk melestarikannya, tetapi juga menjadi tanggung jawab masyarakat internasional karena merupakan warisan bagi generasi mendatang. Pelestarian lingkungan di pulau-pulau terluar dapat dilakukan dengan kerjasama internasional demi memperoleh hasil yang lebih baik. Kawasan dilindungi yang dimasukan ke dalam suatu jaringan internasional diwajibkan untuk melestarikan habitat spesies tertentu atau sumberdaya alam lain akan sangat berdimensi internasional. Fokus kerjasama dapat bervariasi, diantaranya berfokus pada kawasan yang dilindungi atau meusatkan perhatian pada spesies tertentu yang dilindungi. Implementasi dari kerjasama ini dapat memaksa adanya pembatasan dalam pengelolaan kawasan yang dilestarikan atau spesies yang hendak dilindungi, atau kemungkinan lain menyerahkan sepenuhnya kepada Indonesia untuk melakukan tindakan yang sangat membantu menarik sumberdaya keuangan, tehnik dan hukum bagi kawasan tersebut. Dukungan internasional terhadap pengamanan kekayaan laut Indonesia di wilayah perbatasan cukup besar. Kawasan tersebut menjadi prioritas untuk dieksplorasi lebih lanjut, dilestarikan dan dimanfaatkan demi kepentingan umat manusia. Seperti yang di terjadi Kabupaten Raja Ampat, Pemda menjalin kerja sama luar negeri dalam masalah kelautan dengan banyak pihak. World John Mackinnon dkk, Pengelola Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika, Jokjakarta; UGM Press, 1990: 297.
34
111
Pendekatan Lingkungan untuk Pengamanan Pulau Terluar
Bank (Bank Dunia) terlibat dengan proyek bantuannya melalui pendidikan dan pelatihan Coremap (Coral Reef Rehabilitation and Management Project), yang melibatkan pemangku kepentingan yang beragam terkait kegiatan konservasi terumbu karang. Selain ini, ada bantuan hibah Bank Dunia mencapai 5 juta dolar AS untuk pembangunan desa tertinggal, yang bernama village grant yang telah mencapai tahap kedua. Banyak bekerjasama dengan LSM internasional seperti Concervation International (CI), DMC dan TNC (The Nature Conservation) dalam proyek pelestarian lingkungan di Kabupaten Pulau Raja Ampat. Di samping itu, ada kerja sama dengan Belanda, Jerman, AS, Swiss, dan Inggris untuk pengembangan wisata. Dengan Kanada dalam program pelestarian laut, dengan Jerman, yakni Universitas Stuttgart, pernah dibicarakan rencana kerja sama pembangunan pusat riset pemanfaatan terumbu karang di Kabupaten Pulau Raja Ampat, namun kelanjutannya tidak ada. Dengan AS, pernah ada usulan kerja sama riset dari Universitas Arizona untuk penelitian dan pengembangan sponge.35 Namun, hal yang sama belum terjadi di Kabupaten Pulau Morotai sehingga dukungan internasional untuk pelestarian wilayah laut di kabupaten ini belum ada. Kerja sama yang terjadi dengan investor luar negeri masih sangat terkait kepentingan ekonomi. Pemda Morotai masih harus bekerja lebih keras untuk menarik dukungan internasional dalam upaya menjaga kelestarian laut di wilayahnya. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan laut yang menyimpan keanekaragaman hayati yang melimpah. Namun, di sisi lain, tingkat kerusakan alam dan laut kita sangat tinggi. Indonesia harus berperan aktif dan signifikan dalam melakukan pembangunan berkelanjutan agar dapat terus dinikmati generasi mendatang. Kesepakatan dan kerja sama internasional mengenai pengelolaan lingkungan merupakan pelengkap yang memperkuat upaya pemerintah berbagai negara dalam melestarikan lingkungan alamnya. Di era globalisasi saat ini, keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia tidak lagi mutlak menjadi milik Indonesia semata, tetapi dianggap juga milik dunia. Indonesia dapat berupaya agar kawasan yang benar-benar berharga untuk dikembangkan menjadi areal konservasi keanekaragaman hayati di Raja Ampat maupun museum perang bawah laut di Morotai menggugah masyarakat internasional merasa turut menjaga dan merasa bertanggung jawab membantu pelestariannya. Mekanisme harus dikembangkan untuk membagi adil manfaat dan biaya yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan dilindungi, baik antara bangsa dan kawasan dilindungi serta masyarakat sekitarnya. Raja Ampat dan Morotai dapat diupayakan agar terpilih sebagai World Heritage Convention yang diselenggarakan UNESCO yaitu konvensi mengenai Warisan Dunia yang memberikan perlindungan pada peninggalan budaya dan alam Wawancara dengan Sekda Drs. Ferdinand Dimara, Msi, dan Martinus Mambraku, Kabid Perbatasan Pemkab Raja Ampat di Waisai, 23 November 2011.
35
112
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si. dan Teddy Prasetiawan, S.T., M.T.
dunia. Konvensi ini mendapat dukungan yang luar biasa luas dengan partisipasi lebih dari 170 negara. Program ini merupakan salah satu cara bagi masyarakat internasional untuk bersama-sama membiayai pelestarian alam suatu kawasan sekaligus sangat memperhatikan kepentingan budaya. Tujuan penunjukan ini merupakan pengakuan bahwa masyarakat dunia turut berkewajiban memberi dukungan serta bantuan finansial untuk melestarikan warisan dunia.36 Indonesia juga dapat berupaya agar UNESCO menetapkan Raja Ampat dan Morotai sebagai pusat cagar biosfer dunia dengan mempertimbangkan antara lain kearifan lokal masyarakat, kelestarian lingkungan dan kepentingan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan. Cagar biosfer dirancang untuk menjadi model bahwa upaya konservasi dan pembangunan berkelanjutan dapat bersesuaian serta dapat bermanfaat bagi masyarakat setempat. Cagar Biosfer Indonesia (Biosphere Reserves of Indonesia) adalah situs yang ditunjuk oleh berbagai negara melalui kerjasama program MAB-UNESCO (Man and The Biosphere Programme - United Nations Education Social and Cultural Organization) untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan, berdasarkan pada upaya masyarakat lokal dan ilmu pengetahuan yang handal. Sebagai kawasan yang menggambarkan keselarasan hubungan antara pembangunan ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan perlindungan lingkungan, melalui kemitraan antara manusia dan alam.37 Dengan pemberian status ‘milik dunia’ tersebut setiap pelaku perusakan terhadap kawasan akan mendapat kecamanan dari masyarakat internasional, sehingga akan turut mengamankan pulau-pulau kecil tersebut dari berbagai tindak illegal.
Mochamad Indrawan dkk, Biologi Konservasi, Jakarta; Yayasan Bina Sains Hayati Indonesia, 2007: 316. 37 “Cagar Biosfer Indonesia (Biosphere Reserves of Indonesia,” http://bappeda.pekanbaru.go.id/ artikel/ 4/cagar-biosfer-indonesia-biosphere-reserves-of-indonesia/page/1/diakses 26 Juni 2012. 36
113
BAB IV PENUTUP
I.
Kesimpulan Pulau-pulau terluar seringkali terabaikan, hal ini disebabkan oleh model pembangunan inner cycle yang selama ini berjalan di Indonesia sudah tidak tepat lagi untuk diterapkan. Model pembangunan yang dipengaruhi kultur kerajaan di Indonesia dengan sistem politik yang sentralistik, dimana pembangunan wilayah negara Indonesia dimulai atau diprioritaskan di pusat-pusat pemerintahan kemudian baru berlanjut ke daerah-daerah terluar.38 Dengan arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang cenderung berorientasi ‘inward looking’, kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan negara yang bukan merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah pusat dan daerah. Pulau-pulau terluar yang lokasinya sangat jauh dari pusat sulit dijangkau dan terisolir menjadi sulit berkembang. Karenanya pembangunan infrastruktur di kawasan tersebut berjalan lambat, kesejahteraan dan perekonomian rakyat kurang diperhatikan, dan menjadi kawasan rawan tindakan ilegal. Pemerintah perlu segera menerapkan konsep baru dimana pertumbuhan dan pembangunan dimulai dari tepian negara atau kawasan perbatasan (outward looking). Dalam hal ini kawasan perbatasan dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan pihak luar. Pendekatan pembangunan yang dilakukan selain menggunakan pendekatan yang bersifat keamanan (security approach), akan diperkuat dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan pelestarian lingkungan (environment approach). Perubahan paradigma ini perlu dilakukan secara terpadu di kawasan pulau-pulau terluar agar kawasan tersebut dapat melaksanakan fungsi khususnya sebagai wilayah terdepan negara (froteira). Percepatan pertumbuhan pembangunan di pulau terluar merupakan cara lain yang dapat ditempuh dalam menjaga perbatasan perairan Indonesa sebagai pendukung kekuatan militer. Konsep outward looking selain didukung dengan prosperity approach yang menggunakan pendekatan ekonomi dalam membangun wilayah perbatasan juga harus ditopang olah environment approach yang mengedepankan pendekatan pelestarian lingkungan. Pengelolaan kawasan yang berwawasan lingkungan penting untuk kelanjutan ekosistem alam dan area FGD dengan Robert Simbolon, MPA Asdep Penataan Ruang Kawasan Perbatasan BNPP, 2 November 2011.
38
115
Pendekatan Lingkungan untuk Pengamanan Pulau Terluar
yang representatif tentang kekhasan sumberdaya hayati agar tidak tidak punah. Salah satu bentuk pembangunan yang menggunakan environment approach adalah dengan mengembangkan pulau terluar dengan prinsip konservasi, yaitu memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan keberadaannya. Dengan menjadikan pulau terluar sebagai kawasan konservasi, dalam bentuk kawasan suaka alam (KSA) atau kawasan perlindungan alam (KPA) sesuai karakteristik wilayahnya, maka secara tidak langsung Indonesia telah mengamankan wilayah perbatasannya. Pendekatan konservasi sumber daya alam hayati telah menjadi salah satu agenda global melalui Konvensi PBB Tentang Keanekaragaman Hayati, yang kemudian diakui secara nasional melalui UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi dan Keanekaragaman Hayati. Menjadikan suatu wilayah sebagai kawasan konservasi tidak hanya sebagai upaya pengawasan pulau terluar dengan kegiatan konservatif, namun juga dapat menggiring perhatian internasional dalam mengembangkan kegiatan konservasi melalui kerjasama internasional. Sesuai dengan realitas saat ini dimana isu lingkungan hidup telah menjadi isu penting ketiga dalam hubungan internasional, setelah isu keamanan internasional dan ekonomi global.39 Degradasi lingkungan hidup merupakan ancaman terhadap lingkungan global. Isu lingkungan hidup melintasi garis pembatas antara politik domestik dengan politik internasional. Konflik antar negara yang terjadi diakibatkan degradasi lingkungan hidup menunjukan keterkaitan hubungan antara konflik internasional dan konflik domestik. Masalah ini dapat memberi tekanan pada negara untuk terlibat dalam kerjasama internasional yang lebih besar, karena degradasi lingkungan hidup dapat dikatakan telah menjadi ancaman khusus, bukan ancaman bagi negara tetapi bagi manusia keseluruhan. Semakin meningkatnya masalah lingkungan baik di negara maju maupun di negara berkembang memberi andil bagi munculnya gagasan pembangunan yang berkelanjutan atau berwawasan lingkungan. Di era globalisasi saat ini setiap negara saling mempengaruhi. Tidak ada cara lain bagi negara kecuali bekerjasama untuk bersama-sama menanggulangi masalah lingkungan hidup tersebut. II. Rekomendasi Pengelolaan perbatasan, khususnya pulau-pulau terluar harus dilaksanakan secara komprehensif tiga dimensi, yaitu kesejahteraan, keamanan dan lingkungan. Dengan menjadikan pulau terluar sebagai kawasan konservasi laut akan membantu menjaga kawasan tersebut dari masuknya pihak asing. Namun pembuatan kawasan konservasi laut harus diikuti dengan proses edukasi yang baik terhadap nelayan setempat agar maksud dan tujuan pelestarian lingkungan hidup tersebut tercapai dengan tidak menimbulkan konflik perebutan pemanfaatan ruang dengan nelayan tradisional.
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional ,(terjemahan Dadan Suryadipura), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005: 324.
39
116
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si. dan Teddy Prasetiawan, S.T., M.T.
Investasi sektor perikanan dan kelautan, seperti pabrik pengalengan ikan di Provinsi Maluku Utara dan Papua Barat perlu ditingkatkan karena potensi perikanan di kawasan ini sangat besar. Hal ini akan membantu meningkatkan kesejahteraan nelayan lokal, memberikan nilai tambah bagi produk ikan daerah sekaligus peningkatan pemasukan bagi pendapatan daerah. Masyarakat perbatasan yang sejahtera akan menjadi ‘pagar pengaman yang kuat’ dalam upaya mempertahankan pulau terluar NKRI.
117
BIBLIOGRAFI
Buku Buzan, Barry, et.al, Security:A new Framework for Analysis, Boulder; lynne Rienner Publisher, 1998.
Djajadiningrat, Surna Tjahja, Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan, Bandung: Fakultas Teknologi Industri ITB, 2001. Indrawan, Mohamad dkk, Biologi Konservasi, Jakarta: Yayasan Obor: 2007. Keraf, A. Sonny, Etika Lingkungan, Jakarta: Kompas, 2002.
Jemadu, Aleksius, Politik Global dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008.
Jackson, Robert dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional (terj.) Dadan Suryadipura), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Madu, Ludiro dkk (editor), Mengelola Perbatasan Indonesia Di Dunia Tanpa Batas Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010. Neolaka, Amos Neolaka, Kesadaran Lingkungan, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Supriatna, Jatna Melestarikan Alam Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Portal “Cagar Biosfer Indonesia (Biosphere Reserves of Indonesia),” http://bappeda. pekanbaru.go.id/artikel/4/cagar-biosfer-indonesia-biosphere-reserves-ofindonesia/page/1, diakses 26 Juni 2012. “Tentang Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI),” http://kp3k. kkp. go.id/webbaru/ditjen/kkji, diakses 2 Januari 2012.
Kartika Listriana, “Mengembangkan Papua Yang Kaya,” Bullettin.penataanruang. net/upload/data-artikel/mengembangkanpapuayangkaya.pdf, diakses 22 Juni 2012. Koran dan Majalah “Bom Ikan Masih Marak,” Kompas 8 Februari 2012.
119
Pendekatan Lingkungan untuk Pengamanan Pulau Terluar
“Hiu Mati di Tanah Suci,” Tempo, 3 Juni 2012.
“Trust Fund Raja Ampat akan Dibentuk,” Media Indonesia, 28 Maret 2012.
Dokumen Rencana Induk pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2014, Seri BNPP 025-0111, Jakarta: BNPP RI, 2011. Peta Dokumen Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD).
Draft Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pulau Raja Ampat (20102030). FGD FGD P3DI dengan Prof. Dr. Rizald Max Rompas, 3 Agustus 2011.
FGD P3DI dengan Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA, 16 November 2011.
FGD P3DI dengan Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan,16 November 2011.
FGD dengan bapak Robert Simbolon, MPA Asdep Penataan Ruang Kawasan Perbatasan BNPP, 2 November 2011
120
Bagian Keenam
INTERAKSI MOROTAI DAN RAJA AMPAT DENGAN NEGARA LUAR* Oleh: Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M.A.*
Penelitian yang dilakukan tahun 2011. Bagian buku tentang Raja Ampat sudah dipublikasikan dalam Jurnal Politica, Vol. 3, No.1, Mei 2012. ** Peneliti Utama IV/e untuk Masalah-masalah Hubungan Internasional di Bidang Pengkajian P3DI Setjen DPR RI. *
BAB I PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari gugusan puluhan ribu pulau, yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Sekitar 11 dari pulaupulaunya tersebut terletak berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga, di wilayah perairan maupun daratan. Dari sejarah diketahui, pulau-pulau di wilayah perbatasan telah menjadi pintu masuk (entrance gate) bagi bangsa-bangsa asing yang hendak menancapkan pengaruh dan kekuasaannya di negara kepulauan ini. Dewasa ini dan di masa depan, dalam hubungan antar-negara yang semakin mengglobal, atau era globalsiasi, pulau-pulau di wilayah perbatasan Indonesia itu sangat rawan dari ancaman keamanan manusia, nasional dan kawasan, serta rawan dari berbagai incaran klaim, eksploitasi, dan penguasaan negara asing, karena letaknya yang jauh dari jangkauan pengawasan pemerintah pusat (Jakarta) dan daerah yang lebih tinggi di atasnya. Terlebih lagi, karena letaknya yang terisolasi dan kurangnya perhatian yang telah diberikan pemerintah pusat selama ini, pulau-pulau dimaksud semakin rawan dari penduudkan pihak dan negara asing. Dalam hal ini, aktor nonnegara (individual) dan negara, seperti pelaku aksi terorisme internasional, pebisnis internasional, dan kekuatan angkatan bersenjata negara asing dapat memainkan peranan sebagai pihak yang menjadi ancaman bagi eksistensi pulau-pulau perbatasan. Potensi alamiah yang dimiliki, terutama kandungaan sumbar daya alam, pertambangan, perikanan dan letak geografis yang tidak ada saingaannya, membuat keberadaan dan masa depan pulau-pulau itu sangat rawan dari ancaman penguasaan kedua macam aktor individual dan negara asing. Belakangan juga diketahui, DPR, melalui Badan Legislasi, telah menerima usulan revisi UU Pemda dengan usulan pertimbangan kekhususan untuk wilayah kepulauan. Upaya ini harus direspons dengan langkah segera DPR bagi penyusunan kebijakan revisi UU yang mengatur hal tersebut. Senada dengan itu, RUU Pemilu Legislatif dan RUU Pemilu Presiden yang masih belum selesai juga telah menerima aspirasi dari masyarakat dari wilayah kepulauan agar memperhatian kondisi realistis yang ada di daerah mereka, yang tidak mungkin dipersamakan pengaturannya dengan daerahdaerah lain yang non-kepulauan. Untuk kepentingan itulah, penyusunan pangkalan data (database) yang memadai tentang kondisi dan perkembangan aktual pulau-pulau diperbatasan itu sudah harus dimulai dari sekarang. Sehingga, penelitian lapangan (field researches) 123
Interaksi Morotai dan Raja Ampat dengan Negara Luar
yang mendasar tentang kondisi dan perkembangan pulau-pulau di perbatasan sangat diperlukan. Hal ini akan berguna tidak hanya untuk menjawab kebutuhan saat ini, atau merespons kebijakan (pembangunan) pragmatis pemerintah pusat dan daerah, tetapi juga kebutuhan memetakan strategi negara (nasional) di masa depan. Penelitian bagi pengumpulan data di lapangan akan sangat berguna pula untuk menjelaskan sudah sejauh mana pembangunan berlangsung selama ini di wilayah pulau-pulau di perbatasan, dalam rangka menjadikan mereka sebagai beradan depan, tidak lagi beranda belakang, sebagai sabuk pengaman keutuhan NKRI.
II. Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian Harus diakui, permasalahan yang dihadapi pulau-pulau perbatasan atau kawasan terluar Indonesia selama ini belum banyak diketahui. Melalui pengumpulan data dan penelitian lapangan secara langsung diharapkan informasi yang belum pernah diketahui atau dilaporkan ke pusat pembuatan kebijakan di Jakarta, dapat diketahui, untuk dijadikan bahan bagi pengambilan keputusan di kemudian hari. Selain itu, dari penelitian lapangan yang dilakukan, potensi wilayah yang belum dikembangkan, berikut hambatannya, dapat juga diketahui, untuk dijadikan masukan bagi pengembangan kebijakan di masa depan untuk memajukan daerah dan kesejahteraan penduduk wilayah yang dikunjungi dan diteliti. Secara lebih spesifik dan realistis, berbagai penelitian yang dilakukan di lapangan dapat memberikan masukan bagi kegiatan kerja Panitia Kerja (Panja) Perbatasan Komisi II DPR. Berbagai kajian hasil berbagai penelitian lapangan juga disumbangkan bagi penyusunan dan pembahasan RUU Kepulauan di komisi terkait dan Badan Legislasi. Demikian pula, hasil peneltiian dapat dikontribusikan bagi pengawasan pelaksanaan UU Kelautan dan kebijakan pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau terluar serta perbaikan dan pengembangan kebijakan di sektor perikanan, keamanan nasional dan hubungan dengan negara lain terkait isu perbatasan wilayah negara, terutama dengan negara-negara di kawasan Pasifik. Adapun pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: 1. Apakah potensi dan masalah yang dihadapi Kabupaten Pulau Morotai dan Kabupaten Pulau Raja Ampat dalam rangka pengembangannya, terutama terkait kerja sama dan modal (investasi) asing? 2. Masalah-masalah transnasional apa yang dihadapi Kabupaten Pulau Morotai dan Kabupaten Pulau Raja Ampat dilihat dari perspektif keamanan, baik yang bersfat konvensional maupun non-konvensional?
III. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan memetakan berbagai potensi dan masalah yang dihadapi Kabupaten Pulau Morotai dan Kabupaten Pulau Raja Ampat, sebagai bagian dari wilayah terluar NKRI. Melalui riset ini, diharapkan, diperoleh 124
Dr. Phil. Poltak Partogi Nainggolan, M.A.
banyak masukan untuk pembuatan kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang terkordinasi dan lebih baik di masa depan. Hal ini penting untuk mempercepat kemajuan daerah agar jarak (jurang) ketertinggalannya semakin dapat diperkecil, sehingga upaya memperkuat integrasi pusat dan daerah dapat juga dilakukan. Secara spesifik, hasil penelitian dapat dikontribusikan untuk penyusunan beberapa RUU terkait pengembangan daerah, khususnya wilayah kepulauan dan pulau-pulau terluar, seperti RUU Pemda, RUU Kepulauan dan seterusnya. Hasil penelitian ini juga dapat diberikan bagi pengawasan pelaksanaan beberapa RUU, seperti RUU Perbatasan dan lain-lain, yang kelak dapat dipergunakan bagi perbaikan RUU dan berbagai kebijakan terkait, termasuk perbaikan anggaran pembangunan daerah (terluar/perbatasan), di masa depan. Dengan demikian, kondisi pulau-pulau terluar/perbatasan yang tertinggal dapat segera diperbaiki, sehingga tingkat kerawanan ancamannya dapat dikurangi secara signifikan. IV. Metodologi Penelitian A. Lokasi Penelitian Pulau-pulau di sekitar wilayah perbatasan laut yang diteliti adalah Kabupaten Pulau Morotai Provinsi Maluku Utara dan Kabupaten Pulau Raja Ampat (Provinsi Papua Barat). Secara khusus, Pulau Morotai menjadi pilihan, karena letaknya yang sangat strategis dilihat dari perspektif geopolitik dan historik. Pulau tersebut kaya dengan sumber daya alam (pertambangan dan kelautan), yang terletak di Samudera Pasifik yang rawan dari incaran negara luar, karena sejak dulu telah memainkan peranan atau sudah pernah dimanfaatkan untuk pangkalan angkatan laut dan udara pihak sekutu untuk mengontrol kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara, selain sebagai stepping stone untuk menaklukan Jepang dan Indonesia. Jepang dan sekutu, terutama AS dan Australia, saling menguasainya di Perang Dunia II. Sementara, Raja Ampat terletak di daerah yang juga rawan dari sasaran pihak/ negara asing karena potensinya yang kaya akan sumber daya alam, yang secara geografis dan geoekonomis memiliki kelebihan sebagai kawasan cagar alam dan konservasi laut. Selama ini informasi awal mengungkapkan banyaknya peneliti dan pihak asing yang amat berminat dan melanjutkan riset mereka di sana. Sedangkan riset-riset dari dalam negeri belum banyak dilakukan. B. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan para peneliti dengan mengunjungi dan meminta data pada kantor-kantor dinas dan pemerintah kabupaten/kota yang ada, di samping juga kantor-kantor dinas di provinsi. Upaya lebih aktif dilakukan dengan mewawancarai pihak-pihak yang tugasnya relevan dengan kebutuhan pengumpulan data, termasuk kalangan LSM (Daftar informan terlampir). Sebelumnya, dilakukan studi kepustakaan di Jakarta dan juga di lokasi daerah yang
125
Interaksi Morotai dan Raja Ampat dengan Negara Luar
dikunjungi dan diteliti, terutama di tempat-tempat yang memiliki perpustakaan daerah dan universitas. Pihak-pihak yang merupakan sumber informasi adalah para pejabat pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota setempat, dan bahkan para pejabat lokal yang lebih rendah. Di samping narasumber formal, pihak-pihak yang akan diwawancarai meliputi para pemimpin informal dari berbagai lapisan atau tingkat, kalangan akademis, serta aktifis organisasi non-pemerintah (ornop) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). C. Teknik Analisis Data Penelitian ini merupakan penelitian deskriptis-analitis. Analisis data dalam berbagai penelitian lapangan ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Data-data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan observasi lapangan dan wawancara di-cross-check, dan digunakan seoptimal mungkin untuk analisis dan dilihat relevansinya dengan kepentingan dan tujuan penelitian.
V. Waktu Penelitian Berbagai penelitian lapangan untuk Kabupaten Kepulauan ulau Morotai Provinsi Maluku Utara dilakukan pada November 2011, sedangkan untuk Kabupaten Pulau Raja Ampat Povinsi Papua Barat dilakukan pada November-Desember 2011. Harihari yang terdapat sebelum, di antara, dan sesudahnya akan digunakan untuk studi kepustakaan, analisis, evaluasi dan penulisan laporan (akhir) penelitian. Sementara, penyusunan buku bunga rampai dari berbagai hasil penelitian yang dibuat itu dilakukan mulai Pebruari hingga Juli 2012
126
BAB II WARISAN SEJARAH MOROTAI: PELUANG DAN TANTANGAN DI PASIFIK
I.
Potensi Pulau Terluar Pulau Morotai dengan ketersediaan runaway alamiahnya dari karang hidup yang memiliki 7 lintasan di Pitu Streps, yang masing-masing panjangnya 3.000 meter, sangat potensial untuk dikembangkan sebagai pangkalan udara dan pembentukan skuadron baru bagi TNI bagi kebutuhan pengawasan pulau-pulau terluar. Landasan pacu di Pulau Morotai akan efektif untuk digunakan untuk mengontrol kepentingan Indonesia di kawasan Pasifik, khususnya untuk Kepulauan Maluku. Keberadaan landasan pacu yang sudah digunakan sejak PD II siap merspons kebutuhaan TNI AU dengan pengadaan pesawat baru asal berbagai negara untuk tahun anggaran 2011. Lebih jauh lagi, Kota Morotai termasuk salah satu kota di Indonesia yang akan dikembangkan sebagai “Kota Internasional” dalam visi dan konsep “Menuju Negara Maritim 2045”, dengan kemampuan memainkan peran 40% melayani kebutuhan ekspor dan 40% impor.menuju dan dari Negara-negara Eropa, Timur-Tengah, Afrika, dan Asia Pasifik.1 Dengan kekayaan SDA yang besar, terutama nikel, besi putih, emas, batu bara, serta sumber daya maritim yang besar, seperti (berbagai jenis) ikan, terutama tuna dan cakalang, terumbu karang, taman laut, rumput laut dan lainlain, Kota atau Pulau Morotai ini semakin penting artinya bagi kawasan timur dan Indonesia secara menyeluruh. Ini belum termasuk kondisi geografis alamnya yang sangat strategis di Lautan Pasifik (Lautan Teduh), yang jaraknya lebih dekat --sekitar 3-4 jam ke negara-negara industri baru dan maju seperti Korea, Taiwan, Hong Kong, dan Jepang-- ketimbang jarak kota atau pulau tersebut dengan pusat atau ibukota Indonesia di Jakarta, yang memakan waktu sekitar 5-6 jam.2 Pulau Morotai merupakan salah satu dari 12 pulau-pulau kecil terluar yang dijaga oleh TNI. Dalam kenyataannya, ia termasuk pulau yang menghadapi persoalan, antara lain terisolasi dan jauh dari pasar, dengan kondisi keberadaan infrastruktur (jalan dan sebagainya) dan air bersih yang tidak memadai, fasilitas kesehatan dan pendidikan kurang terjaga, dan pengembangan SDA kelautan dan perikanan, serta pariwisata belum optimal. Padahal diketahui, Morotai merupakan salah satu wilayah di Provinsi Maluku Utara yang memiliki potensi wisata bahari, baik pantai pasir putihnya
1
2
Paparan Prof. Rizald Dr. Max Rompas, dalam FGD tentang tantangan Indonesia sebagai negara kepulauan di P3DI Setjen DPRRI pada 3 Agustus 2011. Wawancara dengan Sultan Ternate di kota Ternate pada Agustus 2011.
127
Interaksi Morotai dan Raja Ampat dengan Negara Luar
maupun panorama bawah laut. Dalam rangka menggali potensi wisata bahari inilah, pemerintah pusat telah mengambil inisiatif menyelenggarakan program “Sail Morotai” pada tahun 2012 untuk menarik wisatawan dunia menanamkan investasi di sektor pariwisata, termasuk untuk pengembangan potensi wilayah-wilayah sekitarnya di Provinsi Maluku Utara. Untuk tujuan itu, infrastruktur terkait dengan kesuksesan penyelenggaraan “Sail Morotai” 2012 dibenahi, di antaranya Bandara Daruba, jalan dalam kota Daruba, jalan lingkar luar Pulau Morotai, pelabuhan dan rumah sakit. Anggaran pembangunan yang dibutuhkan sangat besar karena menyangkut pemekaran pulau tersebut sebagai kabupaten baru, yang dulunya hanya merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Halmahera Utara. Pemerintah Provinsi Maluku Utara hanya baru bisa mengusulkan anggaran untuk pembenahan infrastruktur ke pemerintah pusat sebesar Rp. 200 milyar. Jumlah sebesar ini belum termasuk yang dianggarkan melalui APBD Provinsi dan APBD Kabupaten Pulau Morotai.3 Karena posisinya yang sangat strategis di bibir Samudera Pasifik, dijelaskan oleh Bupati, di masa depan, wilayah Morotai Utara berpotensi dikembangkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), seperti Bitung di Provinsi Sulawesi Utara.4 Investor Taiwan dikatakan tertarik berinvestasi untuk realisasi proyek KEK itu. Diperkirakan, sampai sekitar 70% pemasukan hasil penjualan ikan di pelabuhan General Santos, Filipina Selatan, yang bernilai Rp. 3 trilyun setahun, berasal dari ikan-ikan yang ditangkap dari wilayah perairan Pulau Morotai, atau setara dengan lebih Rp. 1,6 trilyun.5 Menteri Kelautan Fadel Muhammad telah menetapkan Pulau (Kota) Morotai sebagai Kota Megaminapolitan, satu-satunya di Indoensia, mengingat potensi kekayaan ikannya, yang menggiurkan pihak asing. Dikatakan, terdapat sekitar 61 ribu ton ikan yang dihasilkan Pulau Morotai dalam 1 tahun. Di luar itu, budidaya rumput laut dan mutiara sangat potenial untuk dikembangkan. Di Pulau Ngele-ngele Besar, terdapat budidaya mutiara dan ikan kerapu yang diekspor hidup-hidup dalam jumlah besar setiap tahun langsung ke Hong Kong oleh perusahaan Morotai Marine Culture (MMC). Provinsi Maluku Utara kaya dengan SDA, terutam nikel, mangaan, pasir besi, besih putih, dan emas. Diinformasikan, terdapat aktifitas pertambangan yang dibiayai investasi asing dari RRC (yang terbanyak), Jepang, AS, Korea, Rusia, dan Hong Kong. Provinsi Maluku Utara, termasuk Pulau Morotai, juga kaya dengan SDA perikanan dan hasil alam/kebun lainnya, termasuk mutiara. Investor asal RRC, yang sangat berminat di penanaman modal penambangan pasir besi, dan turisturis asal AS dan Jepang banyak berkeliaran di Pulau Morotai, selain karena motif kepentingan ekonomi juga pribadi, yaitu untuk menikmati liburan dan wisata bahari (dasar laut).
3
4
5
“Para Bupati Diminta Dukung Sail Morotai,” http://www.sailmorotai.com/para-bupati-dimintadukung-sail-morotai..., 18 Januari 2011, diakses pada 9 Agustus 2011. Wawancara dengan Bupati Morotai, Rusli Sibua, di kantor Bupati Morotai, pada 10 November 2011. Wawancara dengan Kabappeda Pemkab Morotai, Muhammad Kharie, di kantor Bupati Morotai pada 10 November 2011.
128
Dr. Phil. Poltak Partogi Nainggolan, M.A.
II. Masalah Terkait Modal Asing Belajar dari kasus-kasus yang terjadi di berbagai wilayah lainnya di Indonesia dalam era baru reformasi pasca-1998 fan juga lain seperti Liberia dan Nigeria, sudah sepantasnya diantisipasi sejak dini kemungkinan munculnya baik konflik vertikal dan horizontal di Morotai, yang muncul dari eksploitasi besar-besaran alam dan SDA yang terkandung di dalamnya. Diketahui, di banyak kasus, misalnya, Freeport di Provinsi Papua Barat, konflik eksploitasi, dan pengolahan atau pengelolaan SDA yang tidak fair dan menghormati prinsip-prinsip tata pengelolaan yang baik (good governance), telah berbuntut pelanggaran HAM kontiniu dan berskala besar, karena terjadinya aksi represif aparat keamanan, yang cenderung memihak pemiliki modal demi kelangsungan usaha dan penanaman modal asing. Di sisi lain, munculnya konflik vertikal dan horizontal, serta ancaman terhadap keamanan lingkungan (environmental security) dapat muncul dari kegiatan penambangan liar (illegal mining). Di Pulau Morotai, dan wilayah Provinsi Maluku Utara secara luas, kegiatan penambangan liar dapat terjadi terutama untuk tambang emas, yang belakangan nilainya secara drastis melonjak di pasar dunia, sehingga banyak diperebutkan antara orang luar, pendatang, otoritas setempat, aparat keamanan yang membutuhkan tambahan dana kesejahteraan dan operasional, serta penduduk pribumi, lokal, atau setempat. Fenomena itu sudah muncul, seperti di lokasi sekitar penambangan emas yang dikelola investor asal Australia, NHM.6 Konflik disebabkan selain karena alokasi hasil eksploitasi yang masih kurang dirasakan penduduk setempat dan, sebaliknya, tingginya keinginan pemda setempat untuk terus memperoleh kontribusi pajak yang tinggi dari investor asing pengelola SDA yang potensial, juga karena munculnya dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkannya dalam jangka panjang sesudah eksploitasi SDA dimulai, walaupun dikatakan sudah ada amdal (analisis dampak lingkungan) yang dibuat dengan cermat. Untuk eksploitasi tambang emas yang telah berlangsung selama 20 tahun --di Gebe, konflik baru muncul belakangan setelah melonjaknya harga emas di pasar dunia. Sementara pemprov/pemda setempat telah memperoleh kontribusi pajak ke kas APBD sebesar Rp. 50 milyar setiap tahunnya, suatu jumlah yang tidak kecil!7 Contoh lain, ketika penelitian lapangan (fieldwork) tengah dilakukan, terjadi demonstrasi massa yang menentang pertambangan pasir besi di Pulau Morotai, yang mengritik pertambangan terebut hanya menguntungkan investor dan pemkab, sedangkan masyarakat dinilai tidak menikmatinya. Oleh seorang pegawai pemkab, LSM dan tokoh tertentu yang berkepentingan bisnis dituding berada di balik dukungan aksi masa yang menggunakan kendaraan truk dan sound system yang besar.8
6
7
8
Terungkap dalam penjelasan Bagian Perbatasan, Biro Pemerintahan Pemprov Maluku Utara, Taufiqur-rahman, dalam wawancara di Ternate pada 9 November 2011. Wawancara dengan Kasub Pengembangan Wilayah Perbatasan Provinsi Maluku Utara, Aldi Ali, di Ternate pada 9 November 2011. Keterangan seorang pegawai pemkab dalam wawancara pada 10 November 2011.
129
Interaksi Morotai dan Raja Ampat dengan Negara Luar
III. Kejahatan Transnasional Ancaman keamanan yang terus berlangsung belakangan ini terhadap potensi kekayaan sumber daya kelautan, yakni berbagai jenis ikan yang dimiliki Pulau Morotai dalam volume besar, berasal dari pencurian ikan (illegal fishing) oleh pihak asing, terutama para nelayan asal Filipina dan Taiwan. Mereka dikatakan sebagai membawa kapal-kapal dengan kapasitas besar dan dilengkapi peralatan yang canggih dan besar-besar, sehingga hasil pencuriannya pun dalam jumlah besar yang sangat merugikan wilayah kepulauan tersebut, dan sebaliknya terus menggiurkan para pelaku di negara tetangga Indonesia di kawasan Asia Timur dan Pasifik itu. Yang lebih mengkuatirkan, kapal para pencuri ikan asing itu, misalnya milik nelayan Filipina, dilengkapi peralatan senjata,9 yang tentu saja menakutkan para nelayan tradisional Indonesia yang juga berperan sebagai penjaga perbatasan perairan terluar NKRI. Dengan demikian, perkembangan kondisi ini telah memperlihatkan bahwa adanya ancaman keamanan (economic security) terhadap wilayah dan penduduk di Pulau Morotai telah didukung secara terorganisasi dengan baik dan sistemik bersamaan dengan munculnya ancaman yang bersifat militer (military threats) terhadap wilayah perairan NKRI, penduduk, dan isi (potensi)-nya. Kegiatan pencurian ikan (illegal fishing) adalah tindak pidana transnasional yang banyak atau sering terjadi di wilayah perairan Provinsi Maluku Utara, termasuk masuk melalui gerbang terluat NKRI, melewati Pulau Morotai. Dalam sekali tangkap, pernah aparat penegak hukum DKP menangkap sebanyak 10 kapal Filipina.10 Kejadian ini sering berulang dilakukan nelayan Filipina, disebabkan karena lemahnya penegakan hukum di lapangan, sekalipun tidak diakui oleh aparat penegak hukum, di samping terbatasnya kemampuan aparat. Nelayan Filipina bisa masuk hingga ke dalam wilayah Provinsi Maluku Utara, hingga ke Halmahera Tengah dan Halmahera Barat.11 Mereka melakukan kegiatan barter komoditi dengan penduduk lokal Morotai, yang saling menguntungkan kedua belah pihak, sehingga hal ini juga yang menyulitkan diberantasnya kegiatan illegal logging.12 Dalam 1 tahun, ditemukan sekitar 5 kali nelayan Filipina yang melakukan kegiatan ini merapat ke desa-desa yang terletak sekitar Pulau Morotai untuk ambil air bersih atau berlindung dari cuaca buruk. Dalam sebuah kasus pada tahun 2005, nelayan Filipina menggunakan kapal yang lebih besar dari kapal aparat penegak hukum Indonesia, yang ditumpangi Kadis DKP Halmahera Tengah, dan menabrakkannya ke kapal aparat Indonesia
Ibid. Wawancara dengan Kadis DKP Pulau Morotai pada 11 November 2011. 11 Wawancara dengan Syahbandar Pelabuhan Ternate, Takwim Masuku, di Ternate pada 9 November 2011; wawancara dengan Bagian Perbatasan, Biro Pemerintahan Pemprov Maluku Utara, Taufiqurrahman, di Ternate pada 9 November 2011. 12 Wawancara dengan Danlanal Morotai, Letkol laut (P) Purwadi, di Morotai pada 10 November 2011. 9
10
130
Dr. Phil. Poltak Partogi Nainggolan, M.A.
itu.13 Dengan lemahnya keseriusan penegakan hukum dan juga kemampuan aparat, maka tingkat ancaman keamanan atas potensi SDA perikanan Pulau Morotai dan keseluruhan wilayah Provinsi Maluku Utara yang datang dari kegiatan illegal logging, sangat tinggi.14 Beberapa kasus pelanggaran hukum yang berskala transnasional lainnya adalah penyelundupan BBM,15 dan barang-barang elektronik seperti handphone asal RRC yang bisa dibawa masuk nelayan Filipina ke wilayah Ternate, yang tentu saja dapat diperkirakan diselundupkan melalui wilayah perairan atau pintu gerbang terluar NKRI, yakni Pulau Morotai.16 Mengenai penyelundupan elektronik ini tidak diinformasikan sama sekali aparat polisi air dan pelabuhan, yang tugasnya langsung berhubungan dengan masalah penyelundupan barang. Namun, mengenai adanya kegiatan penyelundupan minuman keras “Cap Tikus” asal Manado, tidak disangkal aparat Polisi Air.17 Sementara itu, di masa lalu, sekita tahun 1999-2001, jalur perairan Pulau Morotai dan pulau-pulau kecil di sekitarnya dicurigai telah dimanfaatkan oleh para aktor non-negara, yakni kelompok radikal untuk memasukkan senjata ke Propinsi Maluku dan Maluku Utara dalam rangka mendukung kelompok mereka yang berkonflik di wilayah tersebut. Letak Pulau Morotai yang juga tidak jauh dari Filipina Selatan yang ketika itu juga sedang hangat-hangatnya dilanda konflik separatisme dan sektarian, telah membuka peluang bagi pengaliran senjata yang dijual bebas di kawasan tetangga pulau itu menuju wilayah-wilayah konflik di kedua provinsi di kawasan Indonesia dimana Pulau Morotai berada. Dewasa ini, bekas-bekas mesiu yang banyak dibuang di sekitar perairan Pulau Morotai, juga rawan dimanfaatkan untuk dirakit sebagai senjata dan bahan peledak, yang dapat digunakan dalam konflik horizontal dan komunal.18
Wawancara dengan Komandan Polisi Air Provinsi Maluku Utara, Kombes Mansjur, di Ternate pada 9 November 2011. 14 Besarnya ancaman yang diciptakan terhadap economic security yang datang dari kegiatan illegal logging di wilayah perairan Pulau Morotai dikatakan oleh Bupati Morotai, Rusli Sibua, dalam wawancara di kantor Bupati Morotai, pada 10 November 2011. 15 Wawancara dengan Kasie Intel Lanal Ternate,Mayor Laut (S), Imam Danu P, di Ternate, pada 9 November 2011. 16 Terungkap dalam wawancara dengan Bagian Perbatasan, Biro Pemerintahan Pemprov Maluku Utara, Taufiqurrahman, di Ternate pada 9 November 2011. 17 Wawancara dengan Komandan Polisi Air Provinsi Maluku Utara, Kombes Mansjur, di Ternate pada 9 November 2011. 18 Wawancara dengan Bagian Perbatasan, Biro Pemerintahan Pemprov Maluku Utara, Taufiqurrahman, di Ternate pada 9 November 2011. 13
131
BAB III KEKAYAAN ALAM RAJA AMPAT: PELUANG DAN MASALAH BAGI MASYARAKAT DUNIA
I.
Potensi Pengembangan Kabupaten Pulau Raja Ampat dikatakan sebagai salah satu dari sepuluh perairan terbaik untuk olah raga selam (diving) di dunia. Kabupaten ini merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong, bagian dari Provinsi Papua Barat. Empat pulau terbesar dari 610 pulau besar dan kecil --semua total terdapat 1800 pulau dengan pulau-pulau yang tidak ada penghuninya, hanya ada 35 yang didiami,19 dan belum bernama-- yang tersebar di wilayah Kabupaten Pulau Raja Ampat adalah Pulau Waigeo, Pulau Misool, Pulau Pulau Salawati, dan Pulau Batanta. Namun, hanya sedikit sekali pulau yang berpenghuni, dan terdapat 400 pulau belum punya nama. Ibukota Kabupaten Pulau Raja Ampat yaitu Waisai terletak di Pulau Waigeo. Bagian pulau terluar berbatasan dengan Kepulauan (Negara) Palau, dan Filipina. Di seluruh kepulauan di kabupaten ini terdapat 537 jenis terumbu karang yang sangat menakjubkan, mewakili 75% jenis karang yang ada di dunia. Juga, di sini terdapat 1.074 jenis (species) ikan dan tumbuhan endemik dan ribuan penyu.20 Tercatat, ikan kuwe, kakap, kerapu, hiu karang, napoleon, wrase, barracuda, dan tuna sebagai kekayaan alam jenis-jenis ikan yang ada milik perairan kabupaten tersebut.21 Kuatnya arus samudera di kawasan Kabupaten Pulau Raja Ampat berperan dalam menyebarkan larva karang dan ikan yang melewati Samudera Hindia dan Pasifik ke ekosisten karang lainnya. Letak Kabupaten Kepulauan ini yang berada di wilayah segitiga terumbu karang dunia (world coral triangle).yang terbentang di Kepulauan Pasifik (PNG-Australia-
Wawancara dengan Sekda Drs. Ferdinand Dimara, Msi, di Waisai, pada 23 November 2011. “Pulau Raja Ampat Pusat Segitiga Karang,,” Majalah Topik Online, http://www.majalahtopik.co.id/ readnews.php?id=80, diakses pada 10 Agsutus 2011. Juga, wawancara dengan Marcus Wanma, Bupati Kabupaten Pulau Raja Ampat, di Waisai pada 22 November 2011; wawancara dengan Arthemas Mambrisau, Kabappeda Kabupaten Pulau Raja Ampat, di Waisai pada 22 November 2011; dan wawancara dengan Sekda Drs. Ferdinand Dimara, Msi, di Waisai, pada 23 November 2011. Dalam wawancara dengan pejabat yang terakhir disebutkan, terungkap terdapat 553 jenis terumbu karang. 21 Perairan laut Kabupaten Pulau Raja Ampat merupakan tempat bertelur ikan kerapu dan berkembang biaknya ikan tuna, karena tempat pertemuan arus dari Selatan dan Samudera Pasifik. Ikan kerapu banyak ditangkap nelayan setempat untuk dijual ke kapal besar di pelabuhan Kendari yang akan membawanya ke Hong Kong. Wawancara dengan Kadis Pariwisata Kabupaten Pulau Raja Ampat, Yusdi Lamatenggo, di Waisai dan dalam perjalanan ke Waisai-Sorong pada 23 dan 24 November 2011. 19 20
133
Interaksi Morotai dan Raja Ampat dengan Negara Luar
Indonesia-Malaysia-Filipina) menjadikan Raja Ampat sebagai kawasan yang paling kaya keanekaragaman hayatinya di dunia. Topografi bawah laut yang sangat indah telah membuat kekayaan terumbu karang Raja Ampat sebagai salah satu yang harus dilindungi di dunia oleh lembaga konservasi alam internasional. Dapat dikatakan seluruh wilayah Kabupaten Pulau Raja Ampat yang memiliki panorama indah masih terletak di kawasan yang dekat Laut Pasifik, di kawasan paling timur Indonesia. Kabupaten Raja Amat, dengan 32.055 jiwa penduduknya, dikenal sebagai “Kabupaten Bahari,” yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Sorong, Povinsi Papua Barat, sebagai amanah dari UU No. 26/ 2002, Posisinya yang dominan dengan wilayah perairan yang kaya ikan dan sekaligus indah panoramanya, dijuluki sebagai “Kabupaten Bahari.” Potensinya sebagai daerah wisata bahari dan perikanan belum banyak digali dan dimanfaatkan. Dengan ratusan pulau kecil tidak bepenghuni, wilayah Kabupaten Pulau Raja Ampat sangat rentan mengalami erosi dan kerusakan alam lainnya akibat aktifitas manusia, terutaa pertambangan dan penebangan pohon. Seperti halnya Kabupaten Sorong, Raja Ampat sangat kaya dengan SDA, terutama sumber daya perikanan, dan pemandangan alamnya yang sangat indah untuk wisata bahari. Obyek wisata bahari Sorong yang terkenal dengan pantai dan terumbu karangnya, sebagian terletak di Raja Ampat, yang kini sudah berkembang menjadi kabupaten tersendiri. Seperti halnya Pulau Morotai, wilayah Sorong, terutama Pulau Duawarur dan Pulau Jefman, merupakan situs sejarah PD II. Pulau Jefman, yang berpasir putih adalah bekas pengkalan angkatan udara sekutu, yang sampai sekarang landasan pesawatnya masih berfungsi. Laporan Akhir Valuasi Ekonomi SDA Kabupaten Pulau Raja Ampat, yang disusun Conservation International Indonesia dan Universitas Negeri Papua pada tahun 2006 mencatat bahwa pemanfaatan sumbar daya laut mencapai Rp. 126 milyar per tahun, terdiri dari perikanan tradisional sebesar Rp. 63 milyar, perikanan tangkap komersial sebesar Rp. 20 milyar, budidaya mutiara Rp. 41 milyar, pengumpulan biota terapung dan lola Rp. 2 milyar, dan budidaya rumput laut Rp. 23 juta.22 Selama ini diketahui, sektor pertambangan dan penebangan hutan telah mengkontribusikan besar bagi pemasukan APBD Kabupaten Pulau Raja Ampat. Potensi yang dapat digali lebih potensial adalah pariwisata dan perikanan. Sektor pariwisata baru menyumbangkan sebesar Rp. 45 juta, ditambah pajak restoran dan hotel sebesar Rp. 75 juta.23 Potensi yang besar bagi pengembangan sektor pariwisata dan perikanan untuk menambah pemasukan kas Pemda dan meningkatan kesejahteraan penduduk, khususnya nelayan, Raja Ampat tidak luput dari kerawanan ancaman kerusakan lingkungan. Karena pembangunan infrastruktur yang dewasa ini masih sangat minim ketersediaannya akan memberikan implikasi luas bagi kondisi alam Ichwam Susanto,”Potensi Wilayah: Kekayaan Laut Raja Ampat yang ‘Terlupakan.’”, Kompas, 24 Agustus 2007: 62. 23 Ibid. 22
134
Dr. Phil. Poltak Partogi Nainggolan, M.A.
Raja Ampat yang masih belum terjamah, namun sangat sensitif terhadap berbagai perubahan ekosistem sekitarnya.
II. SDA dan Keterlibatan Asing Untuk pengembangan potensi kekayaan alam, seperti listrik dan gas alam, di Kabupaten Sorong di mana Raja Ampat sebelumnya menjadi bagian darinya, tercatat perusahaan Navigate dari Austria, bekerja sama dengan Pemda dan BUMD dengan investasi sebesar RP. 150 milyar.24 Dewasa ini terdapat 16 perusahaan tambang nikel yang diberi ijin beroperasi di kawasan Kabupaten Pulau Raja Ampat. Sedangkan yang sudah beroperasi dan mengekspor material pasir logam adalah PT ASP, PT ASI, dan PT KMS, dengan negara tujuan RRC dan Australia. Adapun RRC menerima material pasir logam besi (lemonite) dan Australia pasir logam, nikel (lateite). Lebih jauh diinformasikan, perusahaan pembeli pasir logam dari Australia adalah QNI (Queensland Nickel International), anak perusahaan BHP Biliton yang dominan sahamnya dimiliki oleh perusahaan tambang raksasa dunia (Rio Tinto). Kota pelabuhan Townsville, Queensland telah melakukan kegiatan bongkar-muat material tambang asal Indoensia sejak awal 2007-2008 sebanyak 20 kali, yang diduga pasir nikelnya berasal dari Raja Ampat. Jumlah total pasir logam yang telah dibongkarmuat sebanyak 913.072.23 ton.25 Sementara, data lain mengungkapkan tercatat 12 kali pemuatan material pasir logam asal Raja Ampat dengan jumlah total 611.828 ton, dengan rincian masing-masing 8 kali ke Queensland dan 4 kali ke RRC.26 Ini artinya, kekayaan SDA yang sudah dieksploitasi oleh asing dan dibawa dan dimanfaatkan oleh mereka tidak kecil. Penanaman modal asing di sektor pariwisata, terutama pengembangan wisata bahari, di Kabupaten Pulau Raja Ampat dilakukan oleh pemodal individual. Hanya 1 investasi dalam negeri, dengan investor dari Bali. Investor asing di sini adalah yang terbesar, sampai sekitar 90%, dengan investor dari Eropa dan AS.27 Mereka beraktifitas dalam pengembangan land-based tourism, dengan menyediakan akomodasi (penginapan), dan mobile tourism, dengan menyewakan kapal-kapal untuk melihat terumbu karang dengan kegiatan snorkling dan diving, dan menikmati wisata bahari keliling pulau untuk melihat burung cendrawasih, kakatua, dan Kabupaten Sorong: Potensi PLTG: Penerang Masa Depan di Papua,” Koran Tempo, Inforial, 2011. 25 Ronny Dimara, “Siapa yang Untung dan Siapa yang Buntung dari Hasil Exploitasi Tambang Nickel di Raja Ampat,” Papua Merdeka News, 10 April 2008, http://www.papuapost.worldpress.com/ category/ media- spm/opini- analisis/p...,diakses 10 Agustus 2011. 26 Ibid. 27 Wawancara dengan Marcus Wanma, Bupati Kabupaten Pulau Raja Ampat, di Waisai pada 22 November 2011; wawancara dengan Arthemas Mambrisau, Kabappeda Kabupaten Pulau Raja Ampat, di Waisai pada 22 November 2011; wawancara dengan Kadis Pariwisata Kabupaten Pulau Raja Ampat, Yusdi Lamatenggo, di Waisai dan dalam perjalanan ke Waisai-Sorong pada 23 dan 24 November 2011. 24
135
Interaksi Morotai dan Raja Ampat dengan Negara Luar
berbagai jenis (populasi) ikan. Paket-paket wisata dihitung dalam mata uang dollar AS dan Euro. Terkait dengan pemanfaatan potensi pariwisata bahari, sampai saat ini terdapat Resort Kri di Pulau Kri dan Resor Sorido yang dikelola PT Papua Diving milik Max Amer asal negeri Belanda. Di samping itu, terdapat 2 penginapan di Pulau Saonek dan 2 homestay di Yenwaupnor.28 Keterlibatan modal asing terkait dengan pengelolaan atau manajemen, kontrak (sampai masa 30 tahun), dan usaha bagi hasil. Seperti dijelaskan Bupati, tidak ada praktek jual pulau untuk memperoleh pemasukan kas di Kabupaten Pulau Raja Ampat. Nilai investasi asing di pariwisata bahari sangat maksimal, mencapai 51%. Ini baru berjalan 2-3 tahun belakangan, mengikuti pengembangan Kabupaten Pulau Raja Ampat menjadi sebuah kabupaten yang terpisah dari Sorong. Karena itulah, belum banyak pemasukan PAD yang diperoleh dari investasi asing dan domestik dari sektor kegiatan ini, hanya sekitar Rp. 15 milyar untuk tahun 2010 dari APBD sebesar Rp. 567 milyar.29 Kegiatan wisata bahari di Kabupaten Pulau Raja Ampat sudah dikenal luas sampai ke mancanegara. Namun, kondisi infrastruktur masih perlu terus dibangun, mengingat wilayah ini baru dibuka dan dikembangkan. Wilayah Kabupaten Pulau Raja Ampat dikembangkan dengan pola cluster. Investasi asing di bidang pertambangan berfokus di Waigeo Utara dan Timur, sedangkan untuk pariwisata dan perikanan di Waigeo Barat. Untuk pertanian berpusat di Pulau Salawati dan bagian tengah Provinsi Papua Barat. Pulau Misool Selatan dikembangkan untuk pembangunan pariwisata, sedangkan Pulau Misool Utara dan Timur dikembangkan untuk perikanan. Di luar investasi, keterlibatan asing berwujud kerja sama terkait konservasi atau pemeliharaan potensi kelautan dan perikanan. World Bank (Bank Dunia) terlibat dengan proyek bantuannya melalui pendidikan dan pelatihan Coremap (Coral Reef Rehabilitation and Management Project), yang melibatkan pemangku kepentingan yang beragam terkait kegiatan konservasi terumbu karang. Selain ini, ada bantuan hibah Bank Dunia mencapai 5 juta dolar AS untuk pembangunan desa tertinggal, yang bernama village grant.30 Kegiatannya sudah mencapai tahap ke-2, dan baru saja menyelesaikan pelatihan di Waisai ketika fieldworks ini berlangsung. Concervation International (CI) juga aktif dalam proyek pelestarian lingkungan di Kabupaten Pulau Raja Ampat, dengan bantuan Kanada dan donor lainnya. Di samping itu, ada DMC dan TNC (The Nature Conservation). Sebagai tambahan, ada kerja sama dengan Belanda, Jerman, AS, Swiss, dan Inggris untuk pengembangan wisata. Dengan Jerman, yakni Universitas Stuttgart, pernah dibicarakan rencana kerja sama pembangunan pusat riset pemanfaatan terumbu karang di Kabupaten Pulau Ichwam Susanto,”Potensi Wilayah: Kekayaan Laut Raja Ampat yang ‘Terlupakan.’”, Kompas, 24 Agustus 2007: 62. 29 Wawancara dengan Marcus Wanma, Bupati Kabupaten Pulau Raja Ampat, di Waisai pada 22 November 2011; wawancara dengan Arthemas Mambrisau, Kabappeda Kabupaten Pulau Raja Ampat, di Waisai pada 22 November 2011. 30 Ibid. 28
136
Dr. Phil. Poltak Partogi Nainggolan, M.A.
Raja Ampat, namun kelanjutannya tidak ada. Dengan AS, pernah ada usulan kerja sama riset dari Universitas Arizona untuk penelitian dan pengembangan sponge.31 Di negara asing tetangga Raja Ampat terdekat, Palau, yang berbatasan dengan Pulau Fani, sudah dibangun pusat riset kelautan, Ocean Park, sebuah proyek kerja sama dengan Jepang melalui JICA.32 III. Masalah Terkait Modal Asing Adanya tudingan bahwa Kabupaten Pulau Raja Ampat merupakan salah satu wilayah yang Bupatinya menyewakan pulau di wilayahnya untuk dikelola orang asing merupakan bentuk salah satu ancaman ekonomi. Sudah menjadi rahasia umum, di kabupaten ini ada pulau “milik” orang Swiss, orang Belanda, orang Jerman, dan orang Selandia Baru.33 Sampai dewasa ini dipertanyakan apakah mereka sebatas mengelola atau memiliki kewenangan lebih jauh dari itu, misalnya, boleh melarang penduduk setempat masuk ke dan dari wilayah tersebut, sebagai mana halnya pemilik. Sementara, penduduk setempat menuntut pengakuan hak ulayat (hak adat) atas tanah yang mereka miliki turun-temurun.34 Kebijakan dan pola pengelolaan SDA yang salah atau keliru akan membawa dampak negatif pada keamanan ekonomi Kabupaten Pulau Raja Ampat. Tanpa memberdayakan penduduk lokal dan merevitalisasi local wisdom mereka, pengelolaan SDA akan menanamkan benih-benih konflik antar 2 kelompok yang memiliki perbedaan nilai, yakni investor dan pengelola asing versus penduduk pribumi.35 Model penyewaan dan penguasaan SDA secara mutlak, tanpa memberikan nilai tambah dan memberikan manfaat terhadap kehidupan penduduk pribumi, selain menimbulkan ancaman ekonomi (economic threat), juga dapat memberikan ancaman terhadap kedaulatan negara. Sebab, kehadiran orang asing tidak terkontrol, dan sebaliknya, dapat mengontrol prospek pengembangan Kabupaten Pulau Raja Ampat. Sedangkan pemerintah pusat dan daerah akan menjadi penonton dan kerjanaya hanya akan menunggu setoran pajak hasil eksploitasi SDA; dan jika posisinya lebih lemah daripada pengelola dan investor asing, sulit mendikte mereka untuk mengalokasikan pemasukan pajak secara proporsional dan adil, sesuai dengan banyaknya SDA yang telah berhasil mereka eksploitasi. Pemerintah kabupaten harus dapat mengambil pelajaran dari kasus Freeport agar tidak terulang lagi. Karena besarnya pihak asing menanamkan modalnya untuk eksploitasi SDA, terutama nikel, di sana, yang berbenturan dengan keberadaan atau pengakuan
Wawancara dengan Sekda Drs. Ferdinand Dimara, Msi, di Waisai, pada 23 November 2011. Wawancara dengan Martinus Mambraku, Kabid Perbatasan Pemkab Raja Ampat, di Waisai pada 23 November 2011. 33 Risalah Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi 1 dengan Komnas HAM, Elsam, Kontras, dan Imparsial. 34 Ibid. 35 Penjelasan Prof. Dr.Dietrich Bengen, peneliti IPB yang berpengalaman dalam riset di Raja Ampat, dalam FGD di P3DI, Setjen DPR, Jakarta, pada 18 November 2011. Juga, keterangan yang senada dari Deputi Penanggulangan Kerusakan LH, KLH, Arief Yuwono, dalam FGD di P3DI, Setjen DPR, Jakarta, pada 18 November 2011. 31
32
137
Interaksi Morotai dan Raja Ampat dengan Negara Luar
atas hak ulayat (adat) penduduk setempat, dan kepentingan pemkab dan aparat keamanan mengamankan kelangsungan usaha dan modal asing yang sudah ditanamkan, maka konflik terbuka antara masyarakat lokal versus pemilik modal (investor), pemkab dan aparatur keamanan sangat potensial terjadi, atau mudah pecah sewaktu-waktu. Itu artinya, konflik penguasaan dan pengelolaan SDA dapat pula berimplikasi negatif terhadap keamanan dan stabilitas wilayah Kabupaten Pulau Raja Ampat. Sebab, banyaknya orang asing berkeliaran di sana saja secara psikologis sudah dapat menimbulkan kekuatiran atas keamanan domestik yang ada, selain terhadap prospek SDA, tanah, hak milik adat, dan lapangan kerja tradisional yang mereka miliki selama ini.36 Sayangnya, pemerintah pusat tidak punya rencana strategis dan desain besar (grand design) kebijakan bagi pengembangan Kabupaten Pulau Raja Ampat, yang seharusnya bisa menjadi arahan bagi pemerintah provinsi dan kabupaten, di tingkat yang lebih rendah. Mereka tampaknya tidak mau berpikir panjang atau capai menyusun rencana dan bekerja dalam jangka panjang, dan hanya siap mengajukan opsi kebijakan pemanfaatan potensi wisata bahari --terutama bawah laut-- wilayah itu untuk disewakan sepenuhnya atau dijual kepada pihak asing. Mereka menyatakan perlunya Indonesia belajar dari Malaysia dengan praktek penyewaan dan jual tanah di lokasi wisata bahari yang dimilikinya.37 Diinformasikan, kegiatan eksploitasi tambang besar-besaran di Kabupaten Pulau Raja Ampat telah menimbulkan konflik kewenangan antara pemkab (Bupati) dan pemprov (Gubernur). Secara khusus, eksploitasi nikel telah menimbulkan konflik antara Bupati dengan elit politik lokal yang juga merupakan tuan tanah di sana, dan antara masyarakat lokal dengan pemkab dan aparat keamanan, serta antara kelompok masyarakat lokal yang saling berebut klaim kepemilikan di wilayah tambang yang dieksploitasi.38 Ini menambah kompleksitas masalah di wilayah kabupaten itu, yang selama ini juga terdapat konfik serupa akibat praktek penebangan hutan liar (illegal logging). Konflik kewenangan bermula dari konflik tentang dasar hukum eksploitasi SDA. Ada pihak yang menggunakan regulasi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), seperti PT ASI (Anugerah Surya Indotama), yang menetapkan bahwa .bila WIUP berada di dalam satu kabupaten atau kota, maka Izin Usaha Pertambangan (IUP) diberikan kepada Bupati atau Walikota. Sedangkan PT KSM (Kawei Sejahtera Mining) dan Ricobana menyatakan bahwa mereka memiliki surat ijin Gubernur, yang menurut PT ASI tidak berlaku untuk wilayah Raja Ampat yang kini tidak lagi menjadi bagian dari Provinsi Papua, namun Provinsi Papua Barat. Lagi pula, menurut PT ASI, kewenangan gubernur hanya dimiliki untuk mengeluarkan regulasi atau ijin penambangan bila wilayah penambangan berada di antara dua wilayah kabupaten atau kota. Sementara, Ibid. Diungkapkan Ir. Sigit, Kasubdit Pemberdayaan Pulau-pulau Pesisir KKP, dalam FGD di P3DI, Setjen DPR, Jakarta, pada 18 November 2011. 38 Lihat juga, Ronny Dimara,“Eksploitasi Tambang di Raja Ampat: Siapa Untung, Siapa Buntung,” 5 April 2008, http://www.jatam.org/ content/view/425/35/, diakses 10 Agustus 2011. 36 37
138
Dr. Phil. Poltak Partogi Nainggolan, M.A.
penambangan di Raja Ampat itu berada di satu lokasi kabupaten saja. Konflik ini meluas, setelah pihak luar terlibat, termasuk kuasa hukum PT KSM dan adanya tudingan pemalsuan surat ijin yang dikeluarkan karyawan Dinas Pertambangan Papua, Maran Gultom, yang telah divonis berasalah dan dijatuhkan hukuman oleh PN Jayapura. Konflik pertambangan ini telah dilaporkan dan memperoleh perhatian Komisi I DPR sejak Mei 2010, yang mempertanyakan kegiatan PT KSM dan Ricobana, yang telah melayangkan gugatan kepada Bupati Raja Ampat, Marcus Wanma karena telah memberikan ijin kepada PT ASI untuk mengelola pertambangan id sana.39. Konflik meluas juga karena PT KSM melalui PT Ricobana dinilai telah memanfaatkan Suku Kawei sebagai tameng untuk kepentingan eksploitasi tambang mereka.40 Di luar SDA Nikel, kekayaan SDA lainnya adalah batubara, migas, besi, dan uranium.41 Di luar itu, mutiara merupakan kekayaan alam khusus lain Raja Ampat dengan kualitas yang laku di dunia. Diketahui, sejak 10 tahun lalu telah ada beberapa perusahaan yang bergerak dalam budidaya mutiara, dengan investasi besar.42 Demikian juga dengan kekayaaan SDA rumput laut yang dapat dieksploitasi dan sangat potensial pengembangan di wilayah perairan Raja Ampat tersebut, dan juga pasarnya di dunia.43 Sehingga, eksploitasi besar-besaran yang tidak ada dan dihormati aturan hukumnya, baik oleh penguasaha dalam maupun luar negeri, akan meningkatkan ancaman keamanan ekonomi wilayah Provinsi Papua Barat yang baru dimekarkan itu.
“Yoris Tuding Ada Mafia Pertambangan,” Elsham News Service Papua, Antara, 3 Mei 2010, http:// www.elshamnewsservice.blogspot.com/2010/05/yoris-tuding-ada-maf..., diakses pada 10 Agustus 2011. 40 Lihat “Ada Cukong Bertameng Masyarakat Adat Papua: Mafia Partambangan Palsukan Izin Gubernur,” 29 Juli 2011, Rakyat Merdeka Online, http://ww.rakyatmerdekaonline.com/news. php?id=34651. 41 “Minta Unhas Peduli Raja Ampat,” 26 Maret 2001,http://ww.antara-sulawesiselatan.com/ berita/26021/minta-unhas-ped…diakses 10 Agustus 2011. 42 Damara, loc.cit. 43 Lihat “The Miracle of West Papua,” Majalah Topik Online, http://majalah-topik.co.id/ readnews. php/?id=248, diakses pada 10 Agustus 2011. 39
139
BAB IV KESIMPULAN
Belajar dari perkembangan Pulau (Kota) Ambon yang kembali dilanda konflik karena masalah demografi, yakni perkembangan penduduk yang tidak terkontrol, dan ruang untuk hidup, terutama wilayah perkotaan, yang semakin terbatas, kondisi tata ruang dan tata wilayah (RTR/RTW) Morotai perlu dijaga secara seksama. Untuk Pulau (Kota) Morotai yang perkembangannya belum pesat, masalah ini masih mudah dikendalikan dan diatasi, karena jumlah penduduk dan tata ruang masih seimbang atau memadai. Namun, bukan tidak mungkin, tanpa pengaturan dan pengawasan yang ketat atau tegas, Pulau (Kota) Morotai dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat mengalami perkembangan buruk yang sama, mengingat wilayah itu tengah dalam situasi euphoria pemekaran wilayah. Para pembuat kebijakan di Morotai harus banyak belajar dari perkembangan Ambon dan juga Ternate yang rawan dari munculnya kembali konflik-konflik vertikal dan horizontal (komunal) lama. Untuk membangun Pulau Morotai yang statusnya sudah dimekarkan sebagai kabupaten baru di Provinsi Maluku Utara, yang langsung berhadapan dengan, atau terletak di bibir Samudera Pasifik, di pagar terluar NKRI, percepatan pembangunan daerah dengan berpegangan pada good governance, agar peningkatan alokasi anggaran pembangunan melalui APBN dan APBD tampak segara dapat dilihat hasilnya. Berbagai rencana strategis menyangkut bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, perumahan, dan pengembangan pertanian, perkebunan, dan industri rakyat dan lain-lain harus sudah dibuat dan dimiliki Pulau Morotai. Hanya dengan cara ini, taraf kesejahteraan rakyat Pulau Morotai dapat diperbaiki, dan ancaman keamanan terhadap keamanan manusia di sana dapat dilenyapkan. Sehingga diharapkan, kasus-kasus gizi buruk, KLB endemik, putus sekolah, kelangkaan pekerjaan, hidup di bawah garis kemiskinan semakin dapat dikurangi, dan bahkan dihapuskan, di masa depan. Di sisi lain, upaya pembuatan amdal untuk rencana proyek-proyek infrastruktur harus sudah dimulai, agar degradasi lingkungan dapat dicegah sedini mungkin, khususnya terhadap abrasi pantai, mengingat pulau itu dan penduduknya hidup dari kekayaan alam lautnya. Jika ini dilakukan, ancaman terhadap keamanan lingkungan dapat dihilangkan. Dalam kaitannya dengan keamanan domestik Pulau Morotai, peningkatan jumlah polisi yang bertugas perlu ditingkatkan, terutama yang bertugas mengamankan wilayah perairan. Demikian pula dengan pendirian pos-pos penjagaan dan pengawasan di wilayah-wilayah yang rawan dimasuki pihak asing dengan kegiatannya yang mengancam kekayaan Pulau Morotai dan kedaulatan wilayah
141
Interaksi Morotai dan Raja Ampat dengan Negara Luar
NKRI secara lebih luas di pagar terluar Indonesia tersebut. Dalam rangka itu pula, perlu perhatian pemerintah pusat (Jakarta) lebih besar dan serius, untuk perbaikan fasilitas lanal dan lanud, serta peningkatan kesejahteraan para petugasnya, agar mereka yang ditugaskan ke (di) sana, terpanggil untuk mau bekerja dengan antusias dan optimal. Jakarta harus menyadari bahwa masa depan keamanan Pulau Morotai, dalam konteks luas, adalah berkaitan dengan masa depan keutuhan NKRI. Sehingga, perhatian untuk pembangunan Pulau Morotai di segala sektor harus diberikan lebih besar lagi oleh pemerintah pusat, tidak hanya menjelang pelaksanaan “Sail Morotai 2012”, namun juga dalam tahun-tahun sesudahnya. Tentu saja, pengembangan kapasitas dan kapabilitas lanal dan lanud menjadi prioritas, mengingat posisi Kabupaten Pulau Morotai merupakan bagian NKRI yang paling menjorok terluar, yakni di bibir Samudera Pasifik. Hal ini ini sesuai dengan perkembangan geostrategis dewasa ini terkait upaya AS mendorong pembentukan organisasi regional Trans-Pasifik, setelah APEC, dan telah memutuskan Darwin Australia, sebagai base kekuatan lautnya di Samudera Pasifik, yang jauh dari wilayah negaranya. Sebelumnya diketahui, AS berusaha mencari --namun belum berhasil-wilayah di Indonesia Timur, terutama di Papua, untuk dapat dijadikan pangkalan angkatan laut dan udaraya, setelah pangkalan angkatan laut dan udaranya di Subic Bay di Filipina dan Chamn Ranh di Viet Nam ditutup. Jadi, urgensi mengembangkan kapasitas dan kapabilitas lanud dan lanal Kabupaten Pulau Morotai tidak hanya terkait dengan telah berubahnya pola ancaman keamanan yang ada pasca-Perang Dingin, atau munculnya para aktor non-negara, tetapi juga telah berubahnya lingkungan strategis, yang membutuhkan respons yang berbeda. Terhadap Kabupaten Pulau Raja Ampat, pemerintah pusat dan daerah harus membuat perencanan dan disain besar pengembangan Kabupaten Pulau Raja Ampat, agar wilayah yang baru dimekarkan ini dapat berkembang dengan baik seperti yang direncanakan. Sehingga, berbagai potensi dan kekayaan SDA dan modal sosial yang dimilikinya tetap terpelihara dengan baik dalam jangka panjang, dan dapat diandalkan untuk menjadi sumber pemasukan (Pendapatan Asli Daerah --PAD) bagi pengembangan wilayah itu lebih baik lagi di masa depan. Bagian dari perancanaan dan disain besar ini adalah penyusunan RTRW yang komprehsnif dan dilaksanakan secara konsisten di masa depan. Pemerintah pusat dan daerah perlu mengkaji secara hati-hati pengeluaran ijin pertambangan di Kabupaten Pulau Raja Ampat, mengingat wilayah ini merupakan wilayah konservasi alam yang harus dijaga ekstra hati-hati. Semua pihak, para penentu kebijakan dan aparat penegak hukum di sana, harus menyadari bahwa wilayah Kabupaten Pulau Raja Ampat eksosistemnya sangat sensitif atas setiap kegiatan penambangan, yang sangat berpotensi menyebabkan degradasi lingkungan yang hebat di masa depan. Sebagai bagian dari upaya memberikan perhatian ekstra hati-hati ini, pemberian ijin usaha penambangan yang melibatkan pihak asing juga harus dipelajari secara lebih cermat, mengingat pihak asing tidak merasakan secara 142
Dr. Phil. Poltak Partogi Nainggolan, M.A.
langsung implikasi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh ulah kegiatan mereka. Untuk mencari solusi atas konflik-konflik pertambangan yang muncul belakangan, pihak yang berwenang perlu meneliti dan mengkaji kembali siapa yang sesungguhnya telah memenuhi ketentuan hukum dan secara sah berwenang melakukan eksploitasi pertambangan di Kabupaten Kepualuan Raja Ampat. Dalam waktu bersamaan, aktifitas pertambangan yang telah melahirkan konflik perlu dihentikan dulu sampai semua jelas tentang pihak mana yang sesungguhnya telah mengantongi secara sah ijin eksploitasi pertambangan di Kabupaten Pulau Raja Ampat. Pemerintah pusat dan daerah harus lebih kretaif mengembangkan Kabupaten Pulau Raja Ampat sebagai kawasan perikanan dan pariwisata alam, sehingga upaya konservasi lingkungan akan lebih terprioritaskan. Kedua pemerintah harus meminimalkan kegiatan eksploitasi tambang di Kabupaten Pulau Raja Ampat agar tidak berimplikasi besar terhadap kelestarian lingkungan di sana. Dengan kata lain, pemerintah daerah setempat harus didorong dan dibantu untuk mengembangkan perairan dan sektor kelautan Kabupaten Pulau Raja Ampat, atau sektor perikanan dan pariwisata, untuk berkembang dengan baik tanpa mengakibatkan degradasi lingkungan. Lebih spesifik lagi, demi menjaga kelestarian lingkungan dalam jangka panjang, perlu dibuat penetapan dan pemisahan antara wilayah konservasi dan yang boleh dikunjungi turis. Jumlah turis yang masuk ke wilayah Kabupaten Pulau Raja Ampat juga harus dibatasi, terutama wilayah yang kaya SDA seperti terumbu karang, dan sekaligus sensitif terhadap intervensi atau gangguan manusia. Sedangkan eksploitasi pertambangan sedapat mungkin dapat dihindarkan, ataupun kalau dilakukan, telah memiliki Amdal yang cermat. Terhadap proyek-proyek pertambangan yang sudah berjalan dan sah, logis saja boleh dilanjutkan, jika telah memiliki ketentuan amdal yang ditetapkan. Jika tidak, proyek yang ada harus dievaluasi, atau bahkan dihentikan, untuk mencegah dampak kerusakan lingkungan lebih besar lagi. Kegiatan fungsi pengawasan DPR lintas-komisi harus ditingkatkan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan dalam kegiatan penambangan di Kabupaten Pulau Raja Ampat. Setiap adanya temuan terhadap pelanggaran ijin eksploitasi penambangan di Kabupaten Pulau Raja Ampat harus segera ditindaklanjuti untuk menimbulkan efek jera terhadap para pelakunya dan menyelamatkan kekayaan negara dan alam yang dapat dikorbankan oleh para pelanggarnya. Begitu pula, setiap konflik kewenangan yang muncul atau terjadi di lapangan harus segera dihentikan melalui berbagai upaya investigasi, negosiasi, dan penyelesian hukum tuntas, agar tidak berkembang menjadi konflik komunal dan vertikal, sehingga situasi yang kondusif dapat dipelihara demi ketentraman hidup penduduk Kabupaten Pulau Raja Ampat, dan Provinsi Papua Barat secara lebih luas, serta ketenangan berusaha para pekerja, pebisnis, dan investor. 143
Interaksi Morotai dan Raja Ampat dengan Negara Luar
Secara realistis, di sisi lain, perlu ditingkatkan kapasitas dan kapabilitas Lanal Sorong dan, terutama posal, di Waisai, serta untuk gelar pasukan di Pulau Fani. Juga, adalah wajar, pemerintah perlu mendukung segera terbentuknya “Armada Ketiga” (Kowil III), mengingat pangkalan utama Tanjung Priok dan Surabaya terlalu jauh jaraknya untuk mendukung operasi tempur, keamanan laut, dan patroli rutin yang bisa menjangkau keseluruhan wilayah perairan dan sekaligus menjaga kedaulatan NKRI. Sementara, kapasitas dan kapabilitas dukung Lantamal Jayapura sangat terbatas untuk bisa mendukung dengan baik pelaksanaan tugas Lanal Sorong dan posal, apalagi yang terluar, di Kabupaten Pulau Raja Ampat. Dengan gambaran ancaman keamanan yang beragam dan cenderung meningkat di masa depan, di satu sisi, dan kemampuan aparat keamanan yang masih amat terbatas, di sisi lain, diharapkan, kekayaan dan kelestarian alam, serta kedaulatan NKRI dapat dijaga dalam jangka panjang.
144
BIBLIOGRAFI
Buku Buzan, Barry. People, State, and Fear. Sussex: Wheatsheaf, 1983.
Buzan, Barry dan Lene Hansen, The Evolution of International Security Studies, New York: Cambridge University Press, 2009.
Buzan, Barry dan Amitav Acharya (eds.). Non-Western International Relations Theory: Perspectives on and beyond Asia. New York: Routledge, 2010. Brown, Chris dan Kirsten Ainley. Understanding International Relations. New York: Palgrave Macmillan, 2005. FitzRoy, Felix R dan Elissaios Papyrakis. An Introduction to Climate Change, Economics and Policy. UK: Earthscan, 2010.
Holsti, KJ. The State, War, and the State of War. UK: Cambridge University Press, 1996.
__________.Taming the Sovereigns: Institutional Change in International Politics. UK: Cambridge University Press, 2004. Lacy, Mark J. Security and Climate Change: International Relations and the Limit of Realism. New York: Routledge: 2005.
National Security Implications of Climate Change for US Naval Forces. Washington DC: National Research Council, 2011. Williams, Paul D. Security Studies: An Introduction. Routledge, New York, 2008.
Koran Candra, Kartika, ”TNI AU Bakal Tambah Pangkalan,” Media Indonesia, 3 September 2011: A4. Ferdianto, Riky dan Budhy Nurgianto, “Kantor DPRD Morotai Dibom,” Koran Tempo, 19 Agustus 2011. “Hanya 12 Pulau Terluar yang Dijaga oleh TNI,” Kompas, 19 Agustus 2011.
“Kabupaten Sorong: Potensi PLTG: Penerang Masa Depan di Papua,” Koran Tempo, 18 Agustus 2011. 145
Interaksi Morotai dan Raja Ampat dengan Negara Luar
Susanto, Ichwam,”Potensi Wilayah: Kekayaan Laut Raja Ampat yang ‘Terlupakan’”, Kompas, 24 Agustus 2007. Malut Pos, 12 November 2011.
“Pengembangan Pelabuhan Butuh US$ 700 Miliar”, Suara Pembaruan, 30 November 2011.
“Pelabuhan Sebagai Penggerak Roda Perekonomian”, Kompas, 8 November 2011. “Swasta Bisa Bangun Sistem Komunitas”, Kompas 29 September 2011. “Pelabuhan dibangun di Sorong”, Kompas, 12 September 2011.
“RI Develops 14 Modern Ports to Support ASEAN Single Market”, The Jakarta Post, 14 July 2011. “Pulau Morotai Layak Pangkalan Militer”, Buletin Parlementaria, Agustus/2011.
Internet “Ada Cukong Bertameng Masyarakat Adat Papua: Mafia Partambangan Palsukan Izin Gubernur,” 29 Juli 2011, Rakyat Merdeka Online, http:// ww.rakyatmerdekaon-line.com/news.php?id=34651.
Dimara, Ronny. “Siapa yang Untung dan Siapa yang Buntung dari Hasil Exploitasi Tambang Nickel di Raja Ampat,” Papua Merdeka News, 5 April 2008, http: // www.papuapost.worldpress.com/category/media-spm/opini-analisis/p..., diakses 10 Agustus 2011.
__________. “Eksploitasi Tambang di Raja Ampat: Siapa Untung, Siapa Buntung,” 5 April 2008, http://www.jatam.org/ content/view/425/35/, diakses 10 Agustus 2011. “Dirut Pelindo II: Bangun Pelabuhan Sorong, Orang Anggap Saya Nekat”, http:// finance.detik.com/read/2011/09/15/170746/1723420/4/dirut-pelindoii-ba-ngun-pelabuhan-sorong-orang-anggap-saya-nekat, diakses pada tanggal 2 November 2011.
Fahmi, Rival. “Wartawan Dilarang Meliput Korban Bentrok Morotai,” Okezone, http:// www.okezone.com/read/2011/05/21/340/459565/wartawan-dila..., 21 Mei 2011, diakses pada 9 Agustus 2011. “Kabupaten Pulau Raja Ampat Pusat Segitiga Karang,,” Majalah Topik Online,http:// www.majalahtopik.co.id//readnews.php?id=80, diakses pada 10 Agustus 2011.
Khumaini, Anwar. ”Jatam Minta Penambangan Nikel di Raja Ampat Dihentikan Total,” DetikNews.com, http://www.detiknews.com/read/2011/07/05/083833/1674564/-10/jat, 5 Juli 2011, diakses pada 10 Agustus 2011. 146
Dr. Phil. Poltak Partogi Nainggolan, M.A.
“Komisi I DPRRI –Pulau Morotai Layak Pangkalan Militer,” http://www.dpr.go.id/ id/berita/komisi/1/2011/agu/05/3037/komisi-i-dp…, 5 Agustus 2011, diakses pada 9 Agustus 2011.
“Lanal Morotai Siap Diresmikan,” http://www.defense-studies.blogspots.com/ 2011/07/ lanal-moro-tai-siap-dires..., 18 Juli 2011, diakses pada 8 Agustus 2011. “Minta Unhas Peduli Raja Ampat,” 26 Maret 2001,http://www.antara-sulawesiselatan. com/berita/26021/minta-unhas-ped…diakses 10 Agustus 2011.
Mulyadi, Agus, “Dinkes Morotai Sekolahkan 15 Ibu,” Kompas.com, 26 Juli 2011, http://www.kompas.com/read/2011/07/26/22551479/Dinkes.Morot..., diakses pada 9 Agustus 2011. Nugroho, Irwan, “Morotai Masa Lalu adalah Jakarta Masa Kini,” http://www.detik. com/read/2011/08/23/094718/1708946/10/mor...., 23 Agustus 2011, diakses pada 23 Agustus 2011. “Para Bupati Diminta Dukung Sail Morotai,” http://www.sailmorotai.com/parabupatidiminta-dukung-sail-morotai..., 18 Januari 2011, diakases pada 9 Agustus 2011.
“Pelabuhan Sorong Butuh Perpres Tersendiri”, http://regional.kompas.com/read /2011/ 09/14/0508023/Pelabuhan.Sorong.Butuh.Perpres.Tersendiri diakses pada tanggal 2 November 2011.
“Pelabuhan Sorong”, www.dephub.go.id/files/media/file/25%20pelabuhan/ Sorong.pdf diakses pada tanggal 11 November 2011. Pelindo II Siap bangun Pelabuhan Sorong”, http://www.bisnis.com/articles/pelindoii-siap-bangun-pelabuhan-sorong diakses pada tanggal 2 November 2011.
“The Miracle of West Papua,” Majalah Topik Online, http://majalahtopik.co.id/ read-news.php/?id=248, diakses pada 10 Agustus 2011. “Yoris Tuding Ada Mafia Pertambangan,” Elsham News Service Papua, Antara, 3 Mei 2010,http://www.elshamnewsservice.blogspot.com/2010/05/yoristuding-ada-maf...,diakses pada 10 Agustus 2011. Dokumen Data Tertulis dari Kantor Administrator Pelabuhan Ternate.
Risalah Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi 1 dengan Komnas HAM, Elsam, Kontras, dan Imparsial.
147
Interaksi Morotai dan Raja Ampat dengan Negara Luar
Wawancara Wawancara dengan Kepala Administrator Pelabuhan Klas II Cabang Ternate, Takwim Masuku pada tanggal 9 November 2011 di Ternate. Wawancara dengan Rusli Sibua Bupati Pulau Morotai dan jajarannya, pada tanggal 10 November 2011 di Pulau Morotai. Wawancara dengan Muhlis Baay, Kepala Penanggulangan Bencana yang juga mantan Kepala Dinas Kementerian Kelautan dan Perikanan Pulau Morotai pada tanggal 10 November 2011 di Pulau Morotai.
Wawancara dengan Ismail, Kepala Dinas Kementerian Kelautan dan Perikanan Pulau Morotai tanggal 11 November 2011 di Pulau Morotai.
Wawancara dengan aparat DKP dalam wawancara di Ternate dan perjalanan ke Pulau Morotai pada 8-9 November 2011.
Wawancara dengan Syahbandar Pelabuhan Ternate, Takwim Masuku, di Ternate pada 9 November 2011. Wawancara dengan Komandan Polisi Air Provinsi Maluku Utara, Kombes Mansjur, di Ternate pada 9 November 2011.
Wawancara dengan Kasie Intel Lanal Ternate,Mayor Laut (S), Imam Danu P, di Ternate, pada 9 November 2011. Wawancara dengan Kasub Pengembangan Wilayah Perbatasan Provinsi Maluku Utara, Aldi Ali, di Ternate pada 9 November 2011.
Wawancara dengan Danlanal Morotai, Letkol laut (P), Purwadi, di Pulau Morotai, pada 10 November 2011. Wawancara dengan Danlanal Morotai, Letkol Laut (P) Purwadi, di Pulau Morotai pada 10 November 2011. Wawancara dengan Bupati Rusli Sibua, Sesbangpol Samsudin, dan Kabapedda Muhammad Kharie di Kantor Bupsti Morotai pada 10 November 2011. Wawancara dengan Bupati Morotai, Rusli Sibua, di kantor Bupati Morotai, pada 10 November 2011.
Wawancara dengan Kabappeda Pemkab Morotai, Muhammad Kharie, di kantor Bupati Morotai pada 10 November 2011. Wawancara dengan pegawai pemkab, Dinkes, Ternate dalam wawancara pada 10 November 2011. Wawancara dengan Achmad Razak, Kadis Kesehatan Pulau Morotai, di Pulau Morotai, pada 11 November 2011. 148
Dr. Phil. Poltak Partogi Nainggolan, M.A.
Wawancara dan penjelasan Danlanud Morotai, Mayor Udara (Lek), Damar Hari Sadewo, di Lanud Morotai pada 11 November 2011. Wawancara dengan Kadis DKP Pulau Morotai pada 11 November 2011.
Wawancara dengan Mayor Agus, Asops Lanal Sorong, di Sorong pada 21 November 2011.
Wawancara dengan AKP Warsum Anis Rofiek, Kasubbinops Polres Raja Ampat, di Waisai pada 22 November 2011. Wawancara dengan AKP Laodenika, Kasubbin SDM Polres Raja Ampat, di Waisai pada 22 November 2011.
Wawancara dengan Marcus Wanma, Bupati Kabupaten Pulau Raja Ampat, di Waisai pada 22 November 2011. Wawancara dengan Arthemas Mambrisau, Kabappeda Kabupaten Pulau Raja Ampat, di Waisai pada 22 November 2011.
Wawancara dengan Tommy Jong, Kadinkes Kabupaten Pulau Raja Ampat, di Waisai pada 22 November 2011. Wawancara dengan Kadis Pariwisata Kabupaten Pulau Raja Ampat, Yusdi Lamatenggo, di Waisai dan dalam perjalanan ke Waisai-Sorong pada 23 dan 24 November 2011.
Wawancara dengan Danlanal Sorong, Kol. Laut (P) A. Simatupang, di Sorong pada 25 November 2011. Focus Group Discussions (FGD) FGD dengan Prof. Dr.Dietrich Bengen, peneliti IPB, di P3DI pada 18 November 2011 di P3DI, Setjen DPR, Jakarta. FGD dengan Deputi Penanggulangan Kerusakan LH, KLH, Arief Yuwono, dalam di P3DI, Setjen DPR, Jakarta pada 18 November 2011.
FGD dengan Ir. Sigit, Kasubdit Pemberdayaan Pulau-pulau Pesisir KKP, di P3DI, Setjen DPR, Jakarta pada 18 November 2011.
149
Bagian Ketujuh
MASALAH KEAMANAN DAN PERTAHANAN DI PULAU-PULAU TERLUAR: MOROTAI DAN RAJA AMPAT* Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, M.Si. dan Rizki Roza, S.IP., M.Si.**
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2011. ** Kedua penulis adalah peneliti bidang Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI. *
BAB I PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang Berdasarkan PP No. 38 Tahun 2002 tentang dasar koordinat geografis titik garis pangkal kepulauan Indonesia, RI memiliki 92 pulau terkecil terluar yang memiliki titik pangkal yang berbatasan dengan 10 negara tetangga, yakni, Australia, Malaysia, Singapura, India, Thailand, Vietnam, Filipina, Palu, PNG, dan Timor Leste. Ke-92 pulau tersebut tersebar di sembilan provinsi dan 34 kabupaten, sebagian besar di Kepulauan Riau sebanyak 21 pulau dan Kepulauan Maluku sebanyak 20 pulau. Dari 92 pulau itu 50 persen berpenghuni dengan luas pulau antara 0.02–200 km2. Untuk meningkatkan pengawasan dan keamanan di pulau-pulau terluar kawasan RI, pada kondisi tertentu perlu dilakukan penempatan aparat keamanan termasuk TNI. Hal ini perlu dilakukan antara lain untuk mengantisipasi terulangnya kasus semacam Sipadan dan Ligitan. Penempatan kekuatan pertahanan di wilayah perbatasan, pulau terluar, wilayah laut terutama wilayah sekitar ALKI dan wilayah laut Indonesia merupakan bagian integral dari pertahanan darat dan udara, dalam rangka menjaga keutuhan NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa, serta menciptakan stabilitas kawasan. Langkah tersebut dapat diwujudkan dengan membangun pos pertahanan beserta penggelaran kekuatan pertahanan di wilayah perbatasan dan pulau terluar, serta meningkatkan penggelaran kekuatan pertahanan di laut untuk melindungi wilayah teritorial dan wilayah yurisdiksi laut Indonesia. Dengan tingginya potensi ancaman gangguan keamanan di perairan wilayah Indonesia dan masih terdapatnya potensi-potensi konflik perbatasan laut dengan sejumlah negara, serta berbagai perkembangan di tingkat global dan regional yang juga berpotensi mengancam kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI, maka pengelolaan pulau-pulau terluar menjadi semakin penting. Pulau-pulau terluar menjadi semakin strategis karena merupakan lapisan pertama kekuatan pertahanan dan keamanan Indonesia untuk merespon berbagai potensi ancaman tersebut. Pulau-pulau terluar merupakan salah satu elemen penting dalam menjaga NKRI, termasuk di antaranya Pulau Morotai dan Raja Ampat. Pulau-pulau terluar seharusnya memiliki kemampuan dan daya tangkal yang tinggi terhadap segala bentuk ancaman dan gangguan pertahanan dan keamanan.
153
Masalah Keamanan dan Pertahanan di Pulau-Pulau Terluar: Morotai dan Raja Ampat
II. Permasalahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki 17.504 pulau yang tersebar di lautan dengan luas perairan 75% dari luas teritorial RI. Dengan kondisi geografis demikian, wajar jika kemudian terdapat berbagai tantangan dan ancaman keamanan dan pertahanan yang berasal dari wilayah laut. Persoalan pertahanan terutama berkaitan dengan sejumlah sengketa batas laut yang belum terselesaikan yang dapat memicu konflik bersenjata antara Indonesia dengan negara bersengketa. Sedangkan persoalan keamanan laut meliputi ancaman kekerasan (pembajakan, perompakan, sabotase, dan teror obyek vital), ancaman navigasi (kekurangan dan pencurian sarana bantu navigasi), ancaman sumber daya (perusakan serta pencemaran laut dan ekosistemnya), dan ancaman kedaulatan dan hukum (penangkapan ikan secara ilegal, imigran gelap, termasuk pengambilan harta karun, penyelundupan barang dan senjata, serta penyelundupan kayu gelondongan melalui laut). Selain itu, sebagai konsekuensi dari Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 dan diakuinya konsep Negara Kepulauan, Indonesia berkewajiban untuk mengelola Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) beserta cabang-cabangnya di perairan Indonesia. Indonesia harus menjamin keamanan dan keselamatan alur laut tersebut di samping memanfaatkan peluang ekonomi dan meminimalkan kendala di jalur laut tersebut. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2002, tentang Alur Laut Kepulauan Indonesia, terdapat 3 ALKI beserta cabang-cabangnya. Masing-masing ALKI mempunyai potensi ancaman yang berbeda-beda. Potensi ancaman di ALKI I berkaitan dengan dampak klaim wilayah atas kepulauan Spratly dan Paracel di Laut China Selatan, seperti penggunaan ALKI I untuk manuver kapal-kapal perang negara yang terlibat konflik. Selain itu, kepadatan lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, aktivitas perompakan, penyelundupan barang dan perdagangan manusia, dan sebagainya merupakan potensi ancaman yang mungkin muncul di ALKI I. Sementara itu di kawasan ALKI II, potensi ancaman yang dominan adalah potensi konflik Blok Ambalat, pencurian ikan dan sumber daya alam lainnya, penyelundupan barang dan perdagangan manusia, serta terorisme. Sedangkan untuk ALKI III, potensi ancaman berasal dari imbas konflik internal negara tetangga di utara (Filipina) dan selatan (Timor Leste), pelanggaran wilayah, penyelundupan, klaim teritorial, gerakan separatisme, pencurian ikan dan pencurian kekayaan alam lainnya.1 Luasnya wilayah perairan Indonesia yang diikuti dengan besarnya potensi gangguan keamanan dan pertahanan yang bersumber dari luar perairan Indonesia memberikan nilai strategis tersendiri pada wilayah perbatasan laut, terutama pulau-pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga. UNCLOS 1982 menyatakan bahwa negara kepulauan berhak menarik garis pangkal
1
“Menilik Alur Laut Kepulauan Indonesia II”, http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/ politik-internasional/413-menilik-alur-laut-kepulauan-indonesia-ii - diakses 8 Agustus 2011.
154
Drs. Simela Victor Muhamad, M.Si. dan Rizki Roza, S.IP., M.Si.
kepulauan (archipelagic baseline) sebagai dasar pengukuran wilayah perairannya dari titik-titik terluar dari pulau-pulau terluarnya. Dengan demikian, pulau-pulau kecil pada kawasan perbatasan negara memiliki nilai strategis sebagai “gatekeeper” wilayah kedaulatan RI. Pulau-pulau terluar sebagai halaman depan negara perlu mendapatkan prioritas penanganan seiring dengan berkembangnya isu-isu dan permasalahan yang dihadapi. Dalam perspektif hubungan internasioal keberadaan pulau-pulau terluar yang berada di kawasan perbatasan negara diakui memiliki potensi penting baik secara geografi, geopolitik, maupun geostrategi.2 Oleh karena itu pula, masalah keamanan dan pertahanan di kawasan ini harus pula mendapat perhatian serius dari negara. Keberadaannya yang berhadapan langsung dengan perairan internasional atau wilayah perairan negara tetangga menyebabkan posisinya rentan dari berbagai kemungkinan gangguan keamanan, terlebih lagi jika perairan di sekitar pulau-pulau kecil terluar tersebut memiliki arti strategis bagi jalur pelayaran internasional. Alur pelayaran yang berada di wilayah perairan Indonesia merupakan Garis Perhubungan Laut (GPL) atau lebih dikenal dengan Sea Lines of Communications (SLOCs) dan Sea Lines of Oil Trade (SLOT) bagi masyarakat internasional. SLOCs dan SLOT ini bagaikan urat nadi bagi kehidupan banyak bangsa, demikian pula bagi bangsa Indonesia sendiri. Mayoritas negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang struktur ekonominya berorientasi pada ekspor dan impor, sangat membutuhkan dan bergantung pada keamanan dan kelancaran SLOCs yang melintasi Indonesia. Kondisi tersebut terjadi bersamaan dengan tumbuhnya kekuatan industri di Asia Timur, seperti Jepang, China dan Korea, sehingga kebutuhan akan minyak dari Timur Tengah dari tahun ke tahun meningkat pesat. Sejalan dengan hal itu, pola hubungan antarbangsa, cenderung bergeser ke arah semakin menonjolnya kepentingan ekonomi dibandingkan kepentingan yang lain. Menguatnya kepentingan ekonomi mendorong tumbuhnya tuntutan akan jaminan stabilitas kawasan. Ini artinya, keamanan internasional, meskipun Perang Dingin telah berakhir, tetap harus mendapat perhatian negara bangsa.3 Hal ini pula yang dihadapi Indonesia di Pulau Morotai, Maluku Utara, dan di Raja Ampat, Papua Barat, yang perairan di sekitarnya berhadapan secara langsung maupun tidak langsung dengan perairan internaional.
2
3
Jakub J. Grygiel. Great Powers and Geopolitical Change. Baltimore: The John Hopkins University Press, 2006, hal. 21-30. John Baylis. “International and Global Security in the Post-Cold War Era” dalam John Baylis and Steve Smith (eds.). The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. Oxford: Oxford University Press, 2001, hal. 254-275.
155
BAB II METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, di mana data dan informasi yang terkait dengan permasalahan penelitian yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara dianalisis secara kualitatif, untuk kemudian diinterpretasikan sesuai dengan makna yang terkandung dalam data dan informasi tersebut. Melalui penelitian deskriptif ini diharapkan akan diperoleh penjelasan dan jawaban yang memadai yang dapat menerangkan secara kualitatif permasalahan penelitian yang berkaitan dengan masalah keamanan dan pertahanan di pulau-pulau terluar Indonesia, terutama di Morotai dan Raja Ampat.
B. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara dengan pihak-pihak yang dianggap berkompeten dan memiliki informasi dan data yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Studi kepustakaan dilakukan di Jakarta melalui penelusuran informasi dan pengumpulan data tertulis yang diperoleh melalui buku, jurnal ilmiah, serta laporan-laporan penelitian terdahulu, dan juga melalui berita/artikel surat kabar dan media online (internet). Kegiatan wawancara selain dilakukan di Jakarta, juga dilakukan di daerah pulau-pulau terluar Indonesia yang menghadapi persoalan-persoalan keamanan dan pertahanan. Pengumpulan data juga dilakukan melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan pihak-pihak yang dianggap kompeten dan memahami permasalahan yang diteliti. Terkait dengan pengumpulan data melalui wawancara, narasumber yang diwawancarai, antara lain pihak-pihak dari: Lanud Morotai, Pemda Ternate, Pemda Morotai, Pelindo IV Ternate, Polair Maluku Utara, Pemda Raja Ampat, Lanal Sorong, dan Polres Raja Ampat. C. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian lapangan di daerah adalah Kabupaten Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara, dan Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Kepulauan Morotai dan Kepulauan Raja Ampat merupakan dua diantara sejumlah pulau-pulau terluar Indonesia yang memiliki nilai strategis dilihat dari
157
Masalah Keamanan dan Pertahanan di Pulau-Pulau Terluar: Morotai dan Raja Ampat
aspek ekonomi, politik, maupun pertahanan dan keamanan. Secara ekonomis, kedua pulau tersebut memiliki sumber daya alam yang sangat potensial, baik di sektor kelautan, pertambangan, maupun pariwisata. Posisi geografis kedua pulau tersebut juga mempunyai nilai strategis bagi kepentingan pertahanan dan keamanan, khususnya bagi kawasan timur Indonesia. Namun, potensipotensi yang dimiliki tersebut juga melahirkan sejumlah tantangan dan ancaman pertahanan dan keamanan. Penelitian lapangan di Kabupaten Pulau Morotai, Provinsi Ternate, dilakukan pada 7-13 November 2011, sedangkan di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat, dilakukan pada 28 November – 4 Desember 2011.
158
BAB III POTENSI MOROTAI DAN RAJA AMPAT
Melihat pada sejarah Perang Dunia II, jelas bahwa Pulau Morotai memiliki nilai strategis dari perspektif militer.4 Dan bagi Indonesia, Pulau Morotai merupakan salah satu pulau terluar yang dapat dijadikan salah satu titik pertahanan terdepan dalam menjaga NKRI dari ancaman yang berasal dari utara. Morotai dikenal dengan keberadaan landasan peninggalan sekutu berupa 7 runway (5 main runway dan 2 airstrip). Kondisi geografis Morotai sangat ideal untuk dijadikan landasan pacu, serta didukung pula kondisi cuaca yang cenderung bagus. Sejarah pangakalan udara Morotai tidak bisa dipisahkan dengan sejarah perkembangan Kabupaten Pulau Morotai. Untuk menjaga keamanan dan kedaulatan wilayah perairan perbatasan di sekitar Morotai, setidaknya terdapat tiga elemen penting, yaitu Ditpolair Polda Ternate, Pangkalan TNI AU (Lanud) Morotai, dan Pangkalan TNI AL (Lanal) Morotai. Lanud Morotai memiliki tugas untuk menyiapkan dan melaksanakan pembinaan dan pengoperasian seluruh satuan dalam jajarannya, pembinaan potensi dirgantara serta menyelenggarakan dukungan operasi bagi satuan lainnya. Selama tahun 2010, Lanud Morotai telah melaksanakan tugasnya dengan terlibat dan melaksanakan sejumlah operasi, yaitu operasi perisai camar, operasi lintas camar, serta memberikan dukungan operasi penerbangan baik yang terjadwal dari TNI AU maupun yang tidak terjadwal. Sedangkan untuk tahun 2011, Lanud Morotai terlibat dan melaksanakan operasi Alur Camar, Lintas Camar, Sayap Camar, Angkut Camar, dan dukungan operasi penerbangan, baik yang terjadwal oleh TNI AU, terjadwal oleh sipil/perintis, maupun yang tidak terjadwal. Lanud Morotai juga terlibat dalam sejumlah operasi pengamanan aset Lanud yang cukup luas, serta melaksanakan berbagai kegiatan latihan. Lanud Morotai juga berperan aktif untuk memberdayakan masyarakat lokal bagi pengamanan wilayah perbatasan melalui berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai kedirgantaraan, baik melalui organisasi kepramukaan maupun melalui kegiatan bakti sosial.5 Selain Lanud Morotai, terdapat pula Lanal Morotai yang memiliki peranan penting dalam memberikan dukungan bagi pelaksanaan tugas sejumlah KRI dan
4
5
“World War II: Capture of Morotai”, World War II Magazine, 12 Juni 2006, http://www. historynet.com/world-war-ii-capture-of-morotai.htm - diakses 4 Oktober 2011. Wawancara dengan Danlanud Morotai, Mayor Sadewo, di Pulau Morotai, 11 November 2011.
159
Masalah Keamanan dan Pertahanan di Pulau-Pulau Terluar: Morotai dan Raja Ampat
KAL yang menjalankan fungsi pengawasan keamanan perairan dan menjaga kedaulatan NKRI, khususnya di sekitar kawasan timur Indonesia dan ALKI III. Lanal Morotai baru saja dibentuk demi merespon kebutuhan pengamanan perairan kawasan Timur Indonesia. Sedangkan dalam rangka menghadapi berbagai tantangan dan ancaman keamanan dan pertahanan di perairan Raja Ampat dan sekitarnya, Lanal Sorong memiliki peranan penting. Lanal Sorong memiliki peran besar dalam memenuhi kebutuhan logistik kapal-kapal perang dan kapal patroli laut yang beroperasi mengamankan ALKI III. Lanal Sorong sendiri setidaknya memiliki dua buah KAL yang dilengkapi radar yang dapat digunakan untuk melaksanakan tugas patroli, meskipun tidak dilengkapi persenjataan. Saat ini pun Lanal Sorong sedang dalam proses pengembangan untuk menjadi pangkalan yang lebih besar. Posisi Lanal Sorong sangat strategis bahkan memungkinkan dipilihnya Lanal Sorong sebagai pusat komando wilayah Timur jika pertahanan laut Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah komando laut. Dengan berbagai pertimbang termasuk membandingkan dengan titik lainnya di kawasan Timur, kondisi geografis serta kesiapan wilayah Sorong untuk memenuhi kebutuhan logistik, maka pemikiran ini sangat dimungkinkan. Untuk mendukung Lanal Sorong melakukan pengawasan wilayah perairan perbatasan dan pulau-pulau terluar, ditempatkan pula beberapa pos-pos pengawasan di beberapa pulau. Bahkan di salah satu pulau terluar, yaitu Pulau Fani secara khusus telah ditempatkan satuan marinir untuk mengamankan pulau tersebut.
160
BAB IV MASALAH UMUM PERTAHANAN DAN KEAMANAN LAUT
Masih terdapat banyak persoalan perbatasan laut RI dengan sejumlah negara yang belum tuntas dan berpotensi konflik. Sekalipun Indonesia bersama-sama negara tetangga telah menyepakati berbagai hal melalui forum kerjasama ASEAN, ada beberapa persoalan yang masih belum tuntas. Persoalan perbatasan laut dengan beberapa negara menjadi semakin kompleks ketika perkembangan lingkungan strategis saat ini juga terjadi sangat cepat, kompleks dan sulit diprediksi, baik pada tingkat global, regional, maupun nasional. Indonesia memiliki batas laut yang belum tuntas dengan sepuluh negara, yaitu Timor Leste, Palau, India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Papua Nugini, dan Australia.6 Selain potensi konflik yang langsung melibatkan Indonesia, potensi-potensi konflik di kawasan sekitar terutama yang melibatkan negara-negara kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur juga perlu diperhatikan.7 Jika potensi konflik tersebut pecah menjadi peperangan antar negara, bukan tidak mungkin akan meluas di kawasan dan membutuhkan respon kekuatan militer Indonesia guna tetap menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Tidak ada yang lebih rumit dari bagaimana menempatkan semua itu dalam konteks pertahanan negara kepulauan. Bagi negara seperti Indonesia dan Filipina, geostrategi klasik tidak lagi relevan karena perang masa depan merupakan suatu integrarted accident.8 Alih-alih mengikuti diktum Clausewitzian tentang “perang sebagai kelanjutan politik dengan cara-cara lain”, hubungan antarnegara cenderung membaliknya, “perang bisa jadi merupakan pilihan pertama”. Dinamika kekuatan militer di kawasan perlu terus diperhatikan dan direspon dengan hati-hati, misalnya kesepakatan Amerika Serikat (AS) dan Australia untuk membangun pangkalan di Australia.9 Hal ini merupakan upaya AS untuk memantapkan kehadirannya kembali di kawasan Asia. Pangkalan-pangkalan AS yang sudah ada sebelumnya, yaitu di Jepang, Korea Selatan, dan Guam seluruhnya berada
6
7
8
9
“Kasal: banyak persoalan perbatasan laut berpotensi konflik,” http://www.antaranews.com/ berita/286296/kasal-banyak-persoalan-perbatasan-laut-berpotensi-konflik–diakses 9 Agustus 2011. Joshua Ho and Sam Bateman (eds). Maritime Challenges and Priorites in Asia: Implication for Regional Security. Routledge, 2011, hal. 27-29. Timothy W. Luke, “Post-modern geopolitics in the 21st century”, CUSA Occasional Paper No. 2, November 2003. Lihat juga Gearoid O. Thuatail, “Understanding Critical Geopolitics: Geopolitics and Risk Security”, The Journal of Strategic Studies Vol. 22, No. 2/3, June/Sept., 1999, hal. 107-124. Angel Damayanti, “US military base in Darwin a threat?”, The Jakarta Post, 24 November 2011.
161
Masalah Keamanan dan Pertahanan di Pulau-Pulau Terluar: Morotai dan Raja Ampat
di wilayah utara Asia sehingga tidak menguntungkan bagi akses AS ke wilayah Asia Tenggara, terutama akses ke Selat Malaka dan Laut China Selatan. AS terus berupaya mengimbangi kekuatan angkatan laut China yang meningkat secara signifikan, termasuk upaya China untuk membangun pangkalan militer di pulau Hainan yang lokasinya berdampingan dengan Laut China Selatan.10 Dengan pangkalan tersebut, China akan memiliki kemampuan untuk menutup akses kekuatan militer AS yang berada di Jepang, Korea Selatan, dan Guam menuju kawasan Asia Tenggara. Keberadaan pangkalan AS di Australia tentunya juga akan menguntungkan kepentingan AS untuk menjaga keamanan jalur perdagangan internasional yang melalui Selat Malaka dan Laut China Selatan. Seluruh perkembangan ini, menuntut respon yang memadai dari Indonesia karena tentunya akan terjadi peningkatan aktivitas militer AS di sekitar wilayah perairan Indonesia. Potensi meluasnya konflik pun akan semakin meningkat. Untuk itu kekuatan TNI AL perlu memberikan respon yang memadai demi menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayan NKRI. Tidak hanya persoalan pertahanan laut, permasalahan keamanan laut juga harus diperhatikan. Tingginya kegiatan ilegal di laut menimbulkan pertanyaan mengenai eksistensi TNI Angkatan Laut sebagai penegak kedaulatan dan penjaga keamanan di wilayah perairan yurisdiksi nasional. Gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di laut Indonesia sejauh ini masih terus berlangsung dari tahun ke tahun dan cenderung meningkat, baik kualitas maupun kuantitasnya. Kondisi ini sangat merugikan bangsa Indonesia dan dapat menghambat pembangunan ekonomi nasional maupun daerah, serta merusak citra Indonesia di mata dunia internasional, terutama negara-negara pengguna laut dan masyarakat pengguna jasa maritim pada umumnya. Hal ini berkaitan tanggung jawab Indonesia terhadap konsekuensi logis sebagai negara yang telah meratifikasi UNCLOS 1982. Buruknya penanganan maupun pengelolaan serta penegakan hukum laut di perairan yurisdiksi Indonesia telah memunculkan opini dunia terhadap Indonesia sebagai ‘the most dangerous waters in the world’.11 Sejumlah laporan menyatakan bahwa keamanan perairan Indonesia pada dekade terakhir memiliki ancaman dan gangguan keamanan yang cukup serius dan butuh penanganan segera. International Maritime Organization (IMO) menyatakan bahwa aksi perompakan yang terjadi di perairan Asia Pasifik, khususnya kawasan Asia Tenggara termasuk yang tertinggi di dunia.12 Pelaku perompakan tidak hanya menggunakan senjata tradisional, tetapi juga senjata api dan peralatan berteknologi canggih. Hal tersebut menunjukkan bahwa para pelaku tindak kejahatan memang sangat serius melakukan tindak kejahatannya dan hal ini sudah tentu menjadi gangguan bagi keamanan perairan di kawasan.
Sam Bateman and Ralf Emmers. Security and International Politics in the South China Sea. Routledge, 2011, hal. 37-39. 11 “Kasal: Keamanan Laut Indonesai Makin Tak Terjamin,” http://dephan.go.id/modules.php?nam e=News&file=article&sid=8692, diakses 9 Agustus 2011. 12 “IMO on Piracy”, Maritime Security Review, 25 Juli 2011, diperoleh dari http://www.marsecreview. com/2011/07/imo-on-piracy/, diakses 8 Agustus 2011. 10
162
Drs. Simela Victor Muhamad, M.Si. dan Rizki Roza, S.IP., M.Si.
Selain isu perompakan, terjadi pula peningkatan berbagai bentuk penyelundupan manusia baik migrasi ilegal, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan bayi atau wanita melalui perairan kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara. Posisi Australia di bagian selatan kawasan Asia Tenggara, yang merupakan salah satu negara tujuan imigran gelap, menjadikan perairan di kawasan Asia Tenggara termasuk perairan Indonesia, menjadi rawan digunakan sebagai jalur laut penyelundupan manusia.13 Kegiatan penyelundupan senjata, amunisi, dan bahan peledak juga terjadi di wilayah perairan Indonesia. Dan terdapat banyak kasus pelanggaran hukum lainnya di wilayah perbatasan laut, termasuk pencurian sumber daya alam, dan tak terkecuali aktivitas terorisme.14 Terorisme maritim mungkin saja belum merupakan ancaman riil. Namun sulit disangkal bahwa perairan Asia Tenggara amat rawan. Semakin banyaknya pelayaran kapal-kapal dagang di wilayah ini dapat mengundang organisasi teroris melakukan perampokan, baik untuk penggalangan dana maupun sekedar menebarkan iklim ketidakpastian.
Jacqueline Joudo Larsen, “Migration and People Trafficking in Southeast Asia,” Trends and Issues in Crime and Criminal Justice, Australian Institute of Criminology, No. 401 November 2010. 14 Catheterine Zara Raymond, “Maritime Terrorism in Southeast Asia”, Working Paper No. 74, Singapore: IDSS, 2005. 13
163
BAB V ANCAMAN DAN TANTANGAN DI MOROTAI
Dari berbagai ancaman dan gangguan keamanan dan pertahanan yang umum muncul dari wilayah perairan Indonesia, Pulau Morotai sebagai salah satu pulau terluar Indonesia tentunya juga menghadapi persoalan serupa. Tetapi tidak hanya itu, Pulau Morotai juga masih menghadapi sejumlah persoalan mendasar. Keterbatasan fasilitas transportasi, baik laut maupun udara, menjadikan Morotai salah satu kawasan yang sulit dijangkau.15 Sejauh ini, melalui jalur laut Morotai hanya dapat dijangkau menggunakan sejumlah kecil alternatif angkutan laut, baik yang dioperasikan oleh ASDP maupun pihak swasta lainnya, yang hanya beroperasi beberapa kali per minggu secara langsung dari Ternate. Fasilitas mendasar lainnya seperti ketersediaan listrik dan air bersih juga masih menjadi persoalan di Morotai.16 Pulau Morotai sendiri terletak di utara Pulau Halmahera, Provinsi Maluku Utara. Pulau ini merupakan salah satu pulau paling utara di Indonesia dan merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Halmahera Utara. Keindahan Morotai dengan segudang sejarah dari Perang Dunia II membuatnya dijuluki sebagai “Mutiara di Bibir Pasifik”. Kota paling besar di Morotai adalah Daruba yang berlokasi di sebelah selatan. Di bagian utara pulau ini berbatas dengan Filipina, di bagian timurnya adalah Samudera Pasifik. Morotai pada abad ke-15 hingga abad ke-16 berada di bawah kekuasaan Kesultanan Ternate. Misi Yesuit Portugis sempat singgah di sini tetapi tidak diterima Kesultanan Muslim Ternate dan Halmahera sehingga Portugis pun hengkang. Pulau Morotai lebih terkenal sebagai bagian dari sejarah Perang Dunia II karena dimanfaatkan Jepang kemudian direbut Amerika Serikat pada September 1944. Amerika menggunakan pulau ini sebagai landasan serangan pesawat sebelum menuju Filipina dan Borneo bagian timur. Morotai saat itu merupakan salah satu markas tentara Amerika Serikat saat berperang menghadapi Jepang dalam Perang Pasifik selama Perang Dunia II. Selama Perang Dunia II berlangsung, Pasukan Sekutu terus menempati Morotai hingga akhirnya Jepang menyerah tahun 1945 dan Pasukan Sekutu meninggalkan pulau tersebut.17 Kini, Morotai menjadi saksi sejarah Perang Dunia II dimana kegiatan militer yang kuat pernah beroperasi di pulau tersebut dan perannya dalam membebaskan Filipina dari pendudukan Jepang hampir terlupakan. Lihat “Peta Topografi Kabupaten Kepulauan Morotai”, http://geospasial.bnpb.go.id/wp-content/ uploads/2010/09/indeks_peta/250K/ID-D19-250K.pdf - diakses 2 September 2011. 16 Wawancara dengan Danlanud Morotai, Mayor Sadewo, 11 November 2011 17 John Boeman. Morotai: A Memoir of War. Publisher: Sunflower Univ Pr, 1989, hal. 19-32. 15
165
Masalah Keamanan dan Pertahanan di Pulau-Pulau Terluar: Morotai dan Raja Ampat
Kini, sekalipun potensi konflik bersenjata dengan negara-negara yang berada di sebelah utara Pulau Morotai relatif kecil, pengembangan kekuatan pertahanan di kawasan tersebut harus tetap siap untuk menghadapi kemungkinan terendah sekalipun. Selain harus mengantisipasi potensi konflik antar negara, Morotai sebagai salah satu pulau terluar harus menghadapi persoalan keamanan lainnya, termasuk yang berkaitan dengan pengamanan ALKI III. Terdapat sejumlah kegiatan ilegal yang berlangsung di Morotai, dan dapat dipandang sebagai gangguan keamanan. Kepemilikan senjata api rakitan, bom ikan, trauma rusuh masal, minuman keras, serta bencana alam merupakan masalah-masalah umum yang masih dihadapi masyarakat dan aparat penegak hukum di Morotai. Juga terjadi penyelundupan barang-barang elektronik, bahkan senjata yang berasal dari Filipina dan China.18 Meskipun belum secara nyata berpotensi mengancam, terdapat juga sejumlah aktivitas survey tambang dari China dan Taiwan yang perlu mendapat perhatian dan diwaspadai.19 Tak terkecuali perairan di sekitar Morotai, sebagaimana wilayah perairan Indonesia lainnya yang kaya akan sumber daya perikanan, wilayah ini sangat rentan pencurian ikan oleh nelayan-nelayan asing, terutama nelayan asal Filipina.20 Sebagai bagian dari wilayah timur Indonesia yang memiliki luas wilayah 712.479,65 km2, di mana 92,4% dari luas wilayah tersebut merupakan perairan, menjadikan perairan Maluku, termasuk perairan di sekitar Pulau Morotai, kaya akan sumber daya perikanan sekaligus rawan akan aksi illegal fishing.21 Oleh karena itu, pada kawasan perairan ini selalu terjadi berbagai bentuk kegiatan ilegal, termasuk illegal fishing.22 Berdasarkan operasi jaring minggu pertama bulan Desember 2010 saja ditemukan 6 kasus illegal fishing di perairan Maluku, sebagian besar pelakunya berasal dari Filipina.23 Hasil tangkapan ikan yang diperoleh dari perairan Indonesia bagian timur ini biasanya, melalui jaringan yang sudah terorganisasi, dibawa ke General Santos Fish Port Complex di Filipina untuk dijual.24 Illegal fishing yang terjadi di perairan Indonesia tersebut merupakan transnational crime karena pelakunya adalah orang asing atau orang Indonesia tetapi melibatkan pihak asing
Wawancara dengan Bapak Taufik, Kabag Perbatasan Pemda Ternate, 9 November 2011. Wawancara dengan Danlanud Morotai, Mayor Sadewo, 11 November 2011. 20 “TNI-AL Amankan Kapal Filipina di Morotai”, Merdeka.com. 16 Februari 2010, diperoleh dari http://www.merdeka.com/hukum/kriminal/tni-al-amankan-kapal-filipina-di-morotai.htmldiakses 2 November 2011. 21 Hasil wawancara dengan Kombes Putut Prayogi, Direktur Polair Polda Maluku di Ambon, 21 September 2011. Lihat juga “Perairan Maluku Marak Aksi Ilegal Lintas Negara,” Tribunnews.com, 24 Februari 2011, diperoleh dari http://www.trbunnews.com/2011/02/24/perairan-malukumarak-aksi-ilegal-lintas-negara - diakses 10 Juni 2011. 22 Hasil wawancara dengan Kolonel (Laut) I. Dewa Putu GS, Satgas III Bakorkamla RI, di Ambon, 20 September 2011. 23 “Operasi Jaring 2010: 22 Kasus Terungkap, 194 Tersangka Ditangkap,” diperoleh dari http://72.9.148.187/showthread.php?p=561620 – diakses 10 Juni 2011. 24 General Santos Fish Port Complex adalah kawasan industri perikanan terbesar di Filipina, dimana sebagian hasil industri perikanannya diekspor ke berbagai negara. Wawancara dengan Bastian Mainasse, Kepala DKP Provinsi Maluku di Ambon, 23 September 2011. 18 19
166
Drs. Simela Victor Muhamad, M.Si. dan Rizki Roza, S.IP., M.Si.
dibelakangnya.25 Kegiatan perikanan ilegal tersebut biasanya beroperasi di wilayah perbatasan dan perairan internasional.26 Untuk menghadapi berbagai ancaman dan tantangan tersebut, baik Ditpolair, Lanud maupun Lanal Morotai memiliki berbagai keterbatasan. Dalam rangka mengawasi dan memberikan jaminan keamanan bagi pengguna ALKI III, kawasan ini tidak didukung personil dan fasilitas yang memadai untuk menjalankan fungsi tersebut. Hal ini menyebabkan nelayan asing, terutama asal Filipina sering memasuki wilayah perairan Indonesia dan melakukan pencurian ikan. Meskipun telah dilakukan penangkapan berulang kali, namun aktivitas ini tetap berlanjut hingga saat ini.27 Ketidakmampuan pihak berwenang Indonesia untuk melakukan patroli secara intensif merupakan salah satu faktor mengapa aktivitas yang sangat merugikan negara tersebut dapat terus berlangsung. Ditpolair hanya dilengkapi sejumlah kecil kapal patroli dengan kemampuan yang rendah pula, sehingga jangkauan patrolinya sangat terbatas.28 Dengan keterbasan yang dihadapinya, Ditpolair hanya dapat melakukan penangkapan ketika nelayan-nelayan asing tersebut sedang merapat untuk kebutuhan logistik.29 Tindakan ini tidak akan efektif karena sejauh ini penangkapan dan penegakan hukum tidak memberikan efek jera terhadap nelayan asing tersebut. Selain itu, juga terdapat berbagai hambatan teknis lain untuk melanjutkan proses penegakan hukum setelah dilakukan penangkapan. Nelayan-nelayan asing juga terkadang tidak segan untuk menggunakan kekerasan. Menurut keterangan pihak Ditpolair Polda Ternate, kapal patroli Ditpolair pernah ditabrak oleh nelayan asal Filipina sehingga menimbulkan korban jiwa di pihak polisi. Sementara itu, Lanud Morotai juga menghadapi berbagai keterbatasan sehingga pangkalan tersebut tidak miliki kesiapan jika dalam keadaan darurat, misalnya terjadi konflik/perang, harus dijadikan pangkalan suatu skuadron tempur. Pangkalan udara morotai tidak dilengkapi dengan kemampuan radar. Tidak hanya radar, bahkan sarana dan prasana mendasar seperti perlengkapan pemadam kebakaran atau pun perlengkapan SAR sangat tidak memadai. Sarana dan prasarana yang ada sudah dalam kondisi usang dan tidak layak pakai. Landasan pacu yang ada sangat membutuhkan perawatan agar dapat dimanfaatkan dengan baik.30 Untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan tersebut, sejumlah perencanaan untuk memperkuat Lanud Morotai sudah disiapkan, misalnya
Illegal fishing dapat dikategorikan sebagai new emerging forms of transnational crime selain illegal logging, Cybercrime, dan Piracy. Wawancara dengan pejabat Kementerian Luar Negeri dari Direktorat KIPS, di Jakarta, 21 Juni 2011. 26 Ida Kusuma W., Sekretaris Ditjen PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam FGD “Penanganan IUU Fishing di Perairan Indonesia” di P3DI Setjen DPR RI, 21 Juli 2011. 27 Wawancara dengan pihak Adpel Pelindo IV Ternate, 9 November 2011. 28 Wawancara dengan Direktur Polair Maluku Utara, Kombes Mansyur, 9 November 2011. 29 Wawancara dengan Direktur Polair Maluku Utara, Kombes Mansyur, 9 November 2011. 30 Wawancara dengan Danlanud Morotai, Mayor Sadewo, 11 November 2011. 25
167
Masalah Keamanan dan Pertahanan di Pulau-Pulau Terluar: Morotai dan Raja Ampat
penyediaan radar sebelum tahun 2014. Akan tetapi berdasarkan informasi dari pihak Lanud Morotai, arah menuju realisasi rencana-rencana tersebut belum terlihat.31 Persoalan lainnya yang harus dihadapi pangkalan Morotai adalah rendahnya animo personel untuk bertugas di Morotai, sehingga mengakibatkan beberapa struktur jabatan kosong. Lanud Morotai mengalami kekurang personel. Kebutuhan minimal jumlah personel untuk mengoperasikan Lanud Morotai tidak terpenuhi. Operasional Lanud Morotai dijalankan hanya oleh 89 personel, di mana semestinya didukung oleh setidaknya 170 orang personel.32 Tidak berhenti disitu, Lanud Morotai pun masih memiliki masalah mengenai kepemilikan lahan. Dari luas tanah yang dimiliki Lanud Morotai yaitu 13.250.891 m2, hanya 891m2 yang sudah bersertifikat. Sisanya masih meninggalkan potensi sengketa dengan masyarakat sekitar. Dengan kondisi seperti di atas, diikuti dengan keterbatasan logistik, maka Lanud Morotai tidak memiliki kemampuan untuk mendukung operasi skala besar dan perang berlarut. Tidak jauh berbeda, Lanal Morotai yang baru saja dibentuk juga menghadapi berbagai persoalan yang menghambat mereka untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Lanal Morotai tidak didukung ketersediaan radar, bahkan belum memiliki kapal patroli. Lanal yang semestinya didukung oleh 128 personel, saat ini hanya didukung oleh 16 personel.33 Secara umum terdapat pula persoalan mendasar yang harus dihadapi petugas-petugas di wilayah perbatasan, yaitu persoalan kesejahteraan yang sangat rendah, terlebih dibandingkan dengan beban kerja dan nilai strategis keberadaan mereka dalam menjaga keamanan dan keutuhan wilayah NKRI. Hal ini akan sangat mempengaruhi kinerja mereka dalam menjalankan fungsi-fungsinya sebagai bagian dari upaya menjaga keamanan dan keutuhan wilayah NKRI.
Wawancara dengan Danlanud Morotai, Mayor Sadewo,11 November 2011. Wawancara dengan Danlanud Morotai, Mayor Sadewo, 11 November 2011. 33 Wawancara dengan Danlanal Morotai, Letkol Laut (P) Purwadi, 10 November 2011. 31 32
168
BAB VI ANCAMAN DAN TANTANGAN DI RAJA AMPAT
Sebagaimana terjadi di sebagian besar wilayah perairan Indonesia lainnya, perairan di sekitar Raja Ampat dan Papua Barat juga menjadi sasaran pencurian ikan oleh nelayan asing, sebagian besar berasal dari Filipina. Tingginya aktivitas pencurian ikan tercermin dari besarnya jumlah nelayan asing yang berhasil ditangkap oleh aparat Lanal Sorong. Pada bulan Juni 2011, 50 ABK asal Filipina yang berhasil ditangkap oleh aparat Lanal Sorong telah dideportasi. Para nelayan asing tersebut biasanya masuk melalui perairan di sekitar Pulau Fani yang memiliki sumberdaya ikan yang sangat besar. Ikan-ikan hasil curian tersebut biasanya sudah ada penampung dan pembelinya di tengah laut, untuk kemudian di bawa ke General Santos di Filipina. Meskipun dalam skala kecil, terdapat pula aktivitas illegal logging di kawasan tersebut.34 Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, Lanal Sorong sekalipun sudah memiliki armada yang cukup baik, masih menghadapi berbagai hambatan dan keterbatasan. Salah satu hambatan yang harus dihadapi adalah bahwa Lanal Sorong masih belum memiliki dermaga sendiri. Sampai saat ini Lanal sorong masih memanfaatkan dermaga umum. Sehingga ketika Lanal Sorong harus menjalankan fungsinya memberikan dukungan logistik kepada KRI yang bersandar, misalnya KRI Kalakay dari Lantamal X, Jayapura, harus berdampingan dengan kapal-kapal sipil di dermaga umum. KRI Kalakay sendiri memiliki peran penting yaitu sebagai kapal patroli yang bertugas memperkuat jajaran Lantamal X Jayapura, untuk melaksanakan pengamanan dan pemeliharaan keamanan di sekitar wilayah perairan Papua. Akan tetapi, saat ini sedang berjalan proses pembangunan dermaga untuk memenuhi kebutuhan Lanal Sorong.35 Agar dapat mengoptimalkan pelaksanaan tugasnya, maka perlu dilakukan percepatan proses pembangunan dermaga tersebut. Untuk menjaga wilayah NKRI, terdapat pula sejumlah pos-pos militer di beberapa pulau kecil terluar. Akan tetapi, pos-pos tersebut belum diawaki dengan jumlah personel yang memadai. Pos-pos tersebut pun tidak dilengkapi dengan fasilitas yang memadai. Wilayah perairan yang begitu luas dan aktivitas laut yang ramai menjadi tantangan berat bagi pelaksanaan pengawasan perairan Indonesia ditengah keterbatasan armada/kapal patroli laut. Belum lagi, secara ekternal ke utara, perairan di sekitar Raja Ampat juga memiliki keterkaitan dengan kawasan Wawancara dengan Danlanal Sorong, Kolonel Laut (P) Antongan Simatupang, 21 November 2011. Wawancara dengan Danlanal Sorong, Kolonel Laut (P) Antongan Simatupang, 21 November 2011.
34 35
169
Masalah Keamanan dan Pertahanan di Pulau-Pulau Terluar: Morotai dan Raja Ampat
Samudera Pasifik, dan ke barat berdekatan dengan keberadaan alur laut kepulauan Indonesia (ALKI). ALKI tersebut merupakan salah satu alur perairan internasional yang memiliki potensi kerawanan tinggi terhadap kemungkinan terjadinya gangguan keamanan di laut, sehingga diperlukan pengawasan maksimal, terus menerus dan intensif. Keberadaan Raja Ampat yang secara tidak langsung berhadapan dengan Samudera Pasifik di utara, ditengah keterbatasan armada keamanan laut Indonesia, sesungguhnya juga telah menempatkan Raja Ampat sebagai suatu kawasan yang rentan untuk disusupi berbagai aktivitas ilegal dari luar. Di luar kegiatan illegal fishing yang dilakukan oleh para nelayan asing, bukan tidak mungkin perairan di sekitar Raja Ampat juga akan disusupi oleh kegiatan ilegal lain, seperti penyelundupan barang atau obat-obatan terlarang dari luar melalui Samudera Pasifik, terlebih lagi Raja Ampat juga dikenal sebagai salah satu tujuan wisata bahari internasional terbaik di dunia. Para pelaku kejahatan transnasional sudah tentu akan menggunakan berbagai cara untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai kegiatan ilegalnya di berbagai kawasan dunia, dan hal inilah yang juga harus diantisipasi oleh Indonesia, termasuk di Raja Ampat. Seiring dengan meningkatnya kehadiran militer AS di kawasan Asia Pasifik, meningkat pula nilai strategis Raja Ampat sebagai bagian paling utara ALKI III. Keinginan AS untuk meningkatkan perannya di kawasan Asia Pasifik telah disampaikan sejak kunjungan Presiden AS Barack Obama ke Canberra, Australia pada November 2011. AS berencana mengalihkan fokus kegiatan militer dari Iran dan Afghanistan ke Asia, khususnya Asia Tenggara.36 Perubahan kebijakan ini menempatkan kawasan Asia Pasifik sebagai prioritas kepentingan keamanan AS. Sebagai salah satu kekuatan besar di Pasifik, AS berupaya memainkan peran jangka panjang dalam arsitektur keamanan kawasan. Salah satu wujud peningkatan kehadiran AS di kawasan adalah dengan menempatkan 2500 marinir AS di Darwin, Australia, sebagaimana yang telah disepakati oleh Presiden Obama dan Perdana Menteri Australia, Julia Gillard. Dan pada awal April 2012, kontingen pertama yang terdiri dari 200 personel marinir AS telah tiba di Darwin. Sekalipun potensi konflik yang akan secara langsung melibatkan Indonesia dan negara tetangga yang berdekatan dengan kawasan Raja Ampat sangat minim, potensi konflik antarnegara di Laut China Selatan maupun Laut China Timur perlu menjadi perhatian karena dapat saja berimbas pada kepentingan keamanan nasional Indonesia. Posisi pelabuhan Darwin yang berada sekitar 820 km dari Indonesia, memungkinkan AS untuk merespon secara cepat bila terjadi masalah kemanusiaan dan keamanan di Asia Tenggara, termasuk merespon meningkatnya skala ketegangan terkait sengketa wilayah perairan Laut China Selatan dan Timur. Dengan kondisi demikian, maka ALKI III akan menjadi salah satu jalur penting bagi manuver kapal-kapal perang AS dan Australia, ataupun negara-negara sekutunya, Lihat Scot Marciel, “America’s Future in the Asia Pacific”, The Jakarta Globe, 8 Desember 2011.
36
170
Drs. Simela Victor Muhamad, M.Si. dan Rizki Roza, S.IP., M.Si.
ketika mereka harus merespon perkembangan keamanan di kawasan. Jika potensi konflik di Laut China Selatan dan Timur pecah menjadi peperangan dan menimbulkan dampak yang meluas di kawasan, maka Raja Ampat akan menjadi salah satu titik terdepan bagi kekuatan militer Indonesia untuk menjamin bahwa manuver-manuver kekuatan militer asing, terutama yang melewati ALKI III, tidak menjadi ancaman bagi pertahanan dan keamanan Indonesia. Posisi geografis Raja Ampat menempatkan pulau tersebut sebagai salah satu titik penting dan strategis bagi upaya Indonesia dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI.
171
BAB VII PENUTUP
Guna menjaga stabilitas keamanan di wilayah perairan di sekitar Pulau Morotai dan Raja Ampat, yang berhadapan langsung maupun tidak langsung dengan perairan internasional, diperlukan penegakan keamanan dan hukum di laut dan di darat yang diformulasikan dalam bentuk pola gelar kekuatan TNI AL, TNI AU, TNI AD dan POLRI serta instansi terkait yang efektif dan efisien serta merupakan hasil telaahan atas dinamika perkembangan lingkungan strategis. Selain itu, diperlukan penataan ulang satuan yang digelar (deploy) dengan bertumpu kepada penentuan jalur-jalur strategis yang meliputi penataan daerah operasi dan sektor operasi yang sudah ada dengan melihat dan menata periodisasi waktu yang tepat, yang mana kesemuanya ini merupakan langkah yang tepat dan efektif dalam mengantisipasi kemungkinan datangnya ancaman. Perlunya dilaksanakan peningkatan kerja sama taktis antarsatuan yang terlibat dalam satu garis komando pengendalian maupun antarkomando pengendalian, dimana juga harus didukung oleh peralatan yang memadai, dan disertai prosedur yang mendukung di samping adanya kejelasan dan disiplin komando dan pengendalian yang diterapkan. Kerawanan ini apabila tidak diantisipasi sejak dini khususnya tindak kejahatan di laut, seperti terorisme yang berskala global dan berdimensi luas, perompakan, masalah perbatasan, pencurian kekayaan alam dan penyelundupan, maka bisa jadi akan dijadikan sebagai salah satu alasan campur tangan asing maupun masuknya kekuatan asing ke perairan yurisdiksi nasional Indonesia. Perlu juga diingat, bahwa kekuatan laut (angkatan laut) hanya merupakan sebagian saja dari kemampuan yang harus dimiliki oleh sebuah negara dengan wilayah maritim. Kedaulatan Indonesia atas wilayah maritim juga perlu disangga oleh elemen selain TNI AL, misalnya penjaga pantai dan laut (sea and coast guard), dan juga diplomat yang kompeten di bidang kelautan. Menggunakan jalur diplomasi untuk tujuan pertahanan negara bisa memiliki beberapa tujuan strategis, misalnya untuk menciptakan lingkungan strategis yang aman dan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan Indonesia. Pemerintah daerah, khususnya di daerah perbatasan, juga memiliki peran tertentu, misalnya dalam pemberdayaan wilayah perbatasan. Masyarakat di sekitar kawasan perbatasan juga perlu dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan pulau-pulau terluar, termasuk untuk mengelola pulau-pulau 173
Masalah Keamanan dan Pertahanan di Pulau-Pulau Terluar: Morotai dan Raja Ampat
terluar yang tidak berpenghuni. Masyarakat dapat dilibatkan baik dalam hal menjaga keamanan perairan, perlindungan terumbu karang dan hutau bakau, ataupun dalam aktivitas pembangunan perekonomian. Peran aktif masyarakat dapat didorong melalui pendidikan dan peningkatan pengetahuan, khususnya di bidang kelautan dan perikanan, yang akan menghasilkan peningkatan kualitas masyarakat perbatasan. Persoalan-persoalan seperti kesejahteraan prajurit, ketersediaan sarana dan prasarana, termasuk persoalan sengketa aset antara pihak TNI dan masyarakat juga perlu mendapatkan perhatian. Persoalan semacam ini harus segera diatasi agar mereka dapat bekerja dengan baik dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI dari berbagai kemungkinan ancaman yang datang dari luar negeri.
174
BIBLIOGRAFI
Bateman, Sam and Ralf Emmers. Security and International Politics in the South China Sea. Routledge, 2011.
Baylis, John. “International and Global Security in the Post-Cold War Era” dalam John Baylis and Steve Smith (eds.). The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. Oxford: Oxford University Press, 2001, hal. 254-275. Boeman, John. Morotai: A Memoir of War. Publisher: Sunflower Univ Pr, 1989.
Damayanti, Angel Damayanti. “US military base in Darwin a threat?”, The Jakarta Post, 24 November 2011.
Grygiel, Jakub J. Great Powers and Geopolitical Change. Baltimore: The John Hopkins University Press, 2006.
Ho, Joshua and Sam Bateman (eds). Maritime Challenges and Priorites in Asia: Implication for Regional Security. Routledge, 2011. Larsen, Jacqueline Joudo. “Migration and People Trafficking in Southeast Asia,” Trends and Issues in Crime and Criminal Justice, Australian Institute of Criminology, No. 401 November 2010. Luke, Timothy W. “Post-modern geopolitics in the 21st century”, CUSA Occasional Paper No. 2, November 2003.
Marciel, Scot. “America’s Future in the Asia Pacific”, The Jakarta Globe, 8 Desember 2011. Raymond, Catheterine Zara. “Maritime Terrorism in Southeast Asia”, Working Paper No. 74, Singapore: IDSS, 2005.
Thuatail, Gearoid O. “Understanding Critical Geopolitics: Geopolitics and Risk Security”, The Journal of Strategic Studies Vol. 22, No. 2/3, June/Sept., 1999, hal. 107-124.
Media Online: “IMO on Piracy”, Maritime Security Review, 25 Juli 2011, diperoleh dari http://www. marsecreview.com/2011/07/imo-on-piracy/ - diakses 8 Agustus 2011. 175
Masalah Keamanan dan Pertahanan di Pulau-Pulau Terluar: Morotai dan Raja Ampat
“Kasal: banyak persoalan perbatasan laut berpotensi konflik”, http://www. antaranews.com/ berita/286296/kasal-banyak-persoalan-perbatasan-lautberpotensi-konflik – diakses 9 Agustus 2011.
“Kasal: Keamanan Laut Indonesai Makin Tak Terjamin,” http://dephan.go.id/modules. php?name=News&file=article&sid=8692- diakses 9 Agustus 2011. “Menilik Alur Laut Kepulauan Indonesia II”, http://www.politik.lipi.go.id/index. php/in/kolom/politik-internasional/413-menilik-alur-laut-kepulauanindonesia-ii - diakses 8 Agustus 2011.
“Operasi Jaring 2010: 22 Kasus Terungkap, 194 Tersangka Ditangkap,” diperoleh dari http://72.9.148.187/showthread.php?p=561620 – diakses 10 Juni 2011. “Peta Topografi Kabupaten Kepulauan Morotai”, http://geospasial.bnpb.go.id/ wp-content/uploads/2010/09/indeks_peta/250K/ID-D19-250K.pdf diakses 2 September 2011. “Perairan Maluku Marak Aksi Ilegal Lintas Negara,” Tribunnews.com, 24 Februari 2011, diperoleh dari http://www.trbunnews.com/2011/02/24/perairanmaluku-marak-aksi-ilegal-lintas-negara - diakses 10 Juni 2011. “TNI-AL Amankan Kapal Filipina di Morotai”, Merdeka.com. 16 Februari 2010, diperoleh dari http://www.merdeka.com/hukum/kriminal/tni-al-amankankapal-filipina-di-morotai.html-diakses 2 November 2011.
“World War II: Capture of Morotai”, World War II Magazine, 12 Juni 2006, http://www. historynet.com/world-war-ii-capture-of-morotai.htm - diakses 4 Oktober 2011.
176
TENTANG PENULIS
Adirini Pujayanti, Dra., M.Si. adalah Peneliti Muda bidang Masalah-masalah Hubungan Internasional di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Menyelesaikan studi S1 di Fisip Universitas Nasional tahun 1999. Selanjutnya menyelesaikan S2 di Kajian Wilayah Amerika di Universitas Indonesia. Anggota tim penulis buku, yaitu Berbagai Perspektif Mengenai Memorandum untuk Presiden Abdurrahman Wahid, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2000; Respons IPU Terhadap Masalah-Masalah Global Pasca-Perang Dingin, Jakarta; Sekretariat Jenderal DPR RI, 2000; Terorisme dan Tata Dunia Baru, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2002; Konflik Dan Perkembangan Kawasan Pasca-Perang Dingin, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2004, Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia: Ancaman Terhadap Integritas Teritorial, Jakarta: Tiga Putra Utama, 2004; TKI dan Hubungan Indonesia – Malaysia, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2005; Hubungan Bilateral dan Masalah Perbatasan RI–Timor Leste, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2008. Mengikuti program pelayanan informasi dan riset yang dilaksanakan di Australia (1999) dan Amerika Serikat (2008).
Indra Pahlevi, S.IP., M.Si. adalah Peneliti Madya bidang Politik dan Pemerintahan Indonesia. Menyelesaikan S1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1996; pendidikan S2 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Jakarta tahun. 2004; sekarang ini sedang mengikuti program doktor (S-3) Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia. Tulisan yang pernah diterbitkan antara lain, “Perkembangan Partai Politik di Indonesia: Studi Terhadap Ideologi Partai Politik Peserta Pemilu 2004,” dalam buku Pemilu 2004; “Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi,” Penyunting Sali Susiana, diterbitkan oleh PPPI Setjen DPR RI, Jakarta, 2003; “Kekuasaan Eksekutif di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,” dalam Kampus Biru Menggugah, Editor Edi Siregar dkk, diterbitkan oleh Kafispolgama, Jakarta, 2005; “Sistem Pemilu 2009: Upaya Penguatan Demokrasi Substansial, dalam Pemilu 2009 dan Konsolidasi Demokrasi,” Editor DR Lili Romli, P3DI Setjen DPR RI, Jakarta, 2008; “Profesionalisme KPU Kota Dumai Dalam Penyelenggaraan Pemilukada,” dalam Politik Pemilukada 2010, Editor Indra Pahlevi, PPPDI, Setjen DPR RI, 201; Alamat email
[email protected].
177
Tentang Penulis
Lisbet, S.IP, M.Si. adalah Peneliti Pertama untuk Masalah-masalah Hubungan Internasional di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRRI). Bekerja di Bidang Pengkajian P3DI DPR RI sejak tanggal 8 Februari 2010. Menyelesaikan studi S1 di FISIP Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Indonesia pada tahun 2005. Kemudian, menyelesaikan studi S2 di Program Pasca Sarjana FISIP Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Indonesia pada tahun 2008. Penulis dapat dihubungi pada alamat email:
[email protected];
[email protected]
Lukman Adam, S.Pi., M.Si. adalah Peneliti Pertama untuk bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Bekerja di Bidang Pengkajian P3DI DPR RI sejak tanggal 8 Februari 2010. Menyelesaikan studi sarjana dan magister di Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 2007, aktif terlibat sebagai tim asistensi dalam penyusunan dan pembahasan beberapa Rancangan Undang-Undang. Pada tahun 2006 pernah membawakan makalah pada seminar nasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dari tahun 2000 sampai saat ini terlibat dalam berbagai penelitian bidang ekonomi, lingkungan hidup, pertanian, dan perikanan.
Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M.A. adalah Peneliti Utama/IV/e bidang Masalah-Masalah Hubungan Internasional di Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Pada tahun 1986 menyelesaikan studi S-1 di Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Jurusan Hubungan Internasional, Program Studi Perbandingan Politik. Pada tahun 1999 menyelesaikan studi pasca-sarjana (S-2) di Graduate School of Political Science and International Relations di the University of Birmingham, Inggris bidang Security Studies. Pada Pebruari tahun 2011 menuntaskan program doktor ilmu politik Albert-LudwigsUniversitaet Freiburg, Jerman dengan tesis The Indonesian Military Response to Reform during Democratic Transition: A Comparative Analysis of Three Civilian Regimes 1998-2004. Menulis buku antara lain Reformasi Struktur Ekonomi RRC Era Deng Xiao-ping, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1995; Co-penulis dan editor buku Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta, Yayasan API, 2001; dan Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia: Ancaman terhadap Integritas Teritorial, Jakarta: Tiga Putra Utama, 2004. Dapat dihubungi di
[email protected]. Rizky Rosa, S.IP., M.Si. adalah Peneliti Pertama bidang Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Bekerja di Bidang Pengkajian sejak tanggal 8 Februari 2010. Lahir di Jambi, 17 Februari 1982. 178
Tentang Penulis
Pendidikan S1 Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, lulus tahun 2003. Kemudian melanjutkan pendidikan Magister pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional (Kajian Strategi dan Keamanan), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia, Jakarta, lulus tahun 2007.
Simela Victor Muhamad, Drs., M.Si. adalah Peneliti Madya bidang Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Menyelesaikan pendidikan Sarjana (S1) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, pada 1986. Menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana (S2) Program Studi Kajian Wilayah Amerika, Universitas Indonesia, pada 1999. Aktif sebagai peneliti bidang Hubungan Internasional pada P3DI Sekretariat Jenderal DPR RI dan bertugas memberikan dukungan substansi yang terkait dengan masalah-masalah hubungan internasional kepada Anggota DPR RI baik untuk keperluan Rapat-rapat Kerja dengan Pemerintah maupun untuk Sidang-sidang Keparlemenan Internasional.
Teddy Prasetiawan S.T., M.T. lahir di Rejang-Lebong, 25 Maret 1980. Menyelesaikan pendidikan S1 Teknik Lingkungan di Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2004 dengan gelar Sarjana Teknik. Melanjutkan studi dan memperoleh gelar Magister Teknik tahun 2009 dengan program kekhususan Teknologi Pengelolaan Lingkungan. Sejak tahun 2009 bekerja di Sekretariat Jenderal DPR RI sebagai Peneliti Bidang Kesejahteraan Sosial pada Bidang Pengkajian Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Jabatan saat ini adalah Peneliti Muda dengan pangkat Penata Muda Tingkat I Golongan III/b. Tri Rini Puji Lestari, S.K.M., M.Kes. adalah Peneliti Muda bidang Kesehatan Masyarakat pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Hingga saat ini bergabung dengan Tim Peneliti Kesejahteraan Sosial Bidang Pengkajian P3DI DPR RI.
179