BAB III Peran Migrant Care Dalam Mendorong Pemerintah Indonesia Untuk Meratifikasi Konvensi PBB Tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya A. Migrant Care Non Govermental Organization atau NGO di Indonesia dikenal dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau LPSM (Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat). Perkembangan organisasi masyarakat di Indonesia telah terjadi sejak masa Indonesia belum merdeka. Meskipun demikian, akar NGO Indonesia yang moderen yang berlaku saat ini berawal dari abad ke-19 dimana modernisasi dimulai. Modernisasi memfasilitasi kelompok-kelompok elite menengah untuk belajar dari Barat dan aktif memperjuangkan perubahan sosial serta kultural akibat dari kolonialisasi. Pergerakan masyarakat pun dimulai oleh berbagai organisasi yang datang bersamaan dengan nilai nasionalisme seperti misalnya Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (1909), MuhammaDiah (1912) serta Nahdatul Ulama (1926). Peningkatan pesat perkembangan dari organisasi non pemerintah di Indonesia sendiri terjadi pada masa Orde Baru, yaitu sekitar tahun 1970-an. Menurut Sikai, hal tersebut dipengaruhi oleh empat hal. Pertama, adanya peningkatan kemiskinan di wilayah rural dan urban. Kedua, adanya perubahan politik pada saat itu dimana pada saat pemerintahan Soeharto cukup ketat dengan aktivitas masyarakat seperti halnya yang dilakukan oleh NGO, namun mulai
48
memudar pada tahun 1970-an. Ketiga, munculnya kelompok-kelompok yang mulai aktif menyerukan ide-idenya. Keempat, adanya dukungan baik teknis maupun finansial dari komunitas internasional yang menstimulasi formasi NGO sebagai pihak penerima (Shigetomi, 2002) lebih lanjut, meskipun angka NGO di Indonesia mencapai belasan ribu, namun yang tercatat secara resmi masih terbatas. Perubahan lingkungan politik dari Orde Baru menuju ke arah reformasi memberikan gerak yang semakin terbuka terhadap aktivitas NGO. Meskipun terdapat tantangan yang mempengaruhi NGO seperti tantangan dalam mempengaruhi birokrasi, lemahnya implementasi hukum serta regulasi terkait dengan isu tertentu, namun keterlibatan Civil Society termasuk NGO menjadi salah satu karakter utama dalam proses demokratisasi di Indonesia. Saat ini terdapat sekitar 100 NGO di Indonesia yang menangani permasalahan terkait dengan buruh migran (Kementerian Dalam Negeri, 2010). Salah satu organisasi tersebut adalah Indonesian Association for Migrant Workers Sovereignty atau yang lebih dikenal dengan Migrant Care. Migrant Care merupakan organisasi non pemerintah yang didirikan pada tahun 2004 oleh Wahyu Susilo, Anis Hidayah beserta kawan-kawannya dengan tujuan memperkuat perlindungan hak-hak pekerja migran. Migrant Care juga memiliki staf-staf yang berada tidak hanya di Indonesia, Migrant Care memiliki sepuluh staf serta staf perwakilan yang berada di Malaysia. Adapun Visi dari organisasi ini ialah menggerakkan keadilan global bagi hak pekerja migran, serta Misinya
49
untuk mempromosikan hak pekerja migran, membangun jaringan keadilan bagi pekerja migran khususnya di Asia Tenggara, mendukung munculnya aturan baru yang melindungi pekerja migran di Asia Tenggara dan Mengadvokasi masalah yang dialami pekerja migran. Migrant Care merupakan organisasi yang membantu memperjuangkan hak-hak buruh migran melalui jalur advokasi. Migrant Care juga merupakan organisasi yang fokus mendorong perubahan kebijakan dengan menggunakan kampanye melalui media serta mengadakan dialog dengan pemerintah. Meskipun Migrant Care masih terbilang sebagai NGO yang baru didirikan, namun Migrant Care telah mendapatkan reputasi di tingkat nasional serta internasional, hal tersebut dibuktikan dengan pernyataan yang mengatakan bahwa Migrant Care “has taken on much of the advocacy profile formerly held by Kopbumi” (Yazid, 2010). Sebelum membahas lebih jauh, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan terkait dengan advokasi. Advokasi adalah sebuah upaya untuk memperbaiki atau mengubah suatu kebijakan publik agar sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka yang mendesakkan terjadinya perubahan tersebut. Kata advokasi sendiri berasal dari Bahasa Inggris to advocate yang artinya “membela” (pembelaan kasus di pengadilan – to defend), ‘memajukan’ atau ‘mengemukakan’ (to promote), berusaha ‘menciptakan’ yang baru atau yang belum pernah ada (to create), atau dapat pula berarti melakukan “perubahan” secara terorganisir dan sistematis (to change). Tujuan utama dari advokasi adalah terjadinya perubahan kerja publik (Azizah, 2013). Advokasi adalah sebuah proses yang di dalamnya
50
terdapat sejumlah aktivitas yang ditujukan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan. Lebih lanjut, oleh karena Migrant Care merupakan organisasi yang membantu memperjuangkan hak-hak buruh migran melalui jalur advokasi, berikut adalah beberapa contoh persoalan buruh migran yang berhasil diselesaikan oleh Migrant Care.
Adapun kasus yang menyeret buruh migran Indonesia yang
berhasil ditangani oleh Migrant Care ialah kasus yang menyeret Adi Bin Asnawi, yang merupakan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di Malaysia, serta bersama-sama dengan presiden keempat Republik Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melanjutkan advokasi pembelaan terhadap Siti Zaenab yang eksekusinya sempat tertunda panjang akibat adanya peran pemerintah dengan menggunakan High Level Diplomacy. Adanya kerjasama antara Migrant Care yang juga didukung oleh pemerintah saat itu, Adi Bin Asnawi kemudian dibebaskan pada tahun 2009. Melihat juga kasus Siti Zaenab, adanya high level diplomacy dari presiden Gus Dur membuat proses eksekusinya tertunda lama. Meskipun disayangkan advokasi tetap dijalankan, tetapi tidak dilanjutkan oleh Presiden selanjutnya, Siti Zaenab akhirnya dihukum mati oleh pemerintah Arab Saudi (Sekretariat Migrant Care, 2015) Tidak hanya melakukan advokasi kasus, Migrant Care juga terlibat dalam strategi mendorong pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi PBB
51
Tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Sebagai organisasi yang peduli dengan nasib buruh migran Indonesia, Migrant Care banyak mendapatkan penghargaan karena aktif terlibat di dalam isu yang berkaitan dengan HAM. Salah satu penghargaan yang diperoleh oleh Migrant Care adalah Allison Des Forges Award for Extraordinary Activism. Penghargaan tersebut merupakan penghargaan yang diberikan oleh Human Rights Watch (HRW) yang merupakan LSM HAM terkemuka yang berbasis di New York, Amerika Serikat. Penghargaan tersebut diberikan kepada orang-orang yang dianggap berani mempertaruhkan dirinya untuk melindungi harga diri dan hak orang lain. Penghargaan tersebut merupakan penghargaan yang kedua kalinya karena kesungguhan Anis Hidayah sebagai direktur dan Migrant Care sebagai organisasi dalam mengadvokasi para buruh migran yang bekerja di luar negeri. B. Advokasi Migrant Care Dalam Mendesak Pemerintah Indonesia Untuk Meratifikasi Konvensi Migran Indonesia merupakan salah satu negara pengirim buruh migran terbesar di kawasan Asia. Indonesia sudah selayaknya meratifikasi Konvensi PBB tentang perlindungan pekerja migran meskipun negara-negara tujuan penempatan buruh migran seperti Arab Saudi dan Malaysia belum meratifikasinya. Dengan banyaknya jumlah buruh migran Indonesia yang dipekerjakan di luar negeri, tentunya memunculkan kekhawatiran besar, dan hal tersebut dapat dilihat dari kasus-kasus yang menyeret buruh migran Indonesia. Sebagai contoh, sepanjang tahun 2009, melalui pernyataan direktur Migrant Care Anis Hidayah, dimana
52
terdapat sekitar 1.018 buruh migran yang meninggal di luar negeri, sebanyak 683 di antaranya meninggal di Malaysia. Selain itu, terdapat 2.878 buruh lainnya yang mengalami kekerasan pada tahun yang sama. Menurut direktur Migrant Care, kekerasan dan kematian buruh migran Indonesia selama tahun 2009 telah menjadi suatu fenomena yang luar biasa, dimana pada tahun tersebut jumlah korban buruh migran Indonesia meningkat. Belasan ribu TKI bermasalah kembali ke Indonesia dari kawasan Timur Tengah. Sumber dari BNP2TKI menyebutkan bahwa terdapat sekitar 18.972 TKI bermasalah kembali ke Indonesia melalui Selapanjang. Mayoritas TKI yang dipulangkan adalah perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, dan alasan mereka kembali ke tanah air ialah berkaitan dengan persoalan seperti tidak mampu lagi untuk bekerja, gaji yang tidak dibayar, pelecehan seksual dan kecelakaan kerja serta PHK. Pada periode 1 Januari hingga April 2009, jumlah TKI yang kembali ke tanah air dari kawasan Timur Tengah Khususnya Arab Saudi mencapai 70.944 orang (Liputan6 News, 2010). Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan kepala BNP2TKI Moh Jumhur dimana kasus TKI sejak 20062008 hanya berkisar 12-14 persen, namun pada tahun 2009 sejak terjadinya dualisme, jumlah TKI bermasalah meningkat menjadi 20 persen dan bahkan mencapai 25 persen (Liputan6, 2010). Dari kasus-kasus yang menyeret buruh migran Indonesia, pemerintah pun masih belum berani mengambil langkah ratifikasi konvensi internasional tentang perlindungan pekerja migran. Konvensi internasional tentang perlindungan
53
pekerja migran dapat dikatakan sebagai langkah awal yang dapat diambil oleh pemerintah untuk memperbaiki nasib buruh migran Indonesia. Sebagai salah satu organisasi yang melindungi hak-hak pekerja migran yaitu Migrant Care juga ikut berperan dalam ratifikasi Konvensi PBB tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Dalam proses perjuangan ratifikasi Konvensi PBB tahun 1990, Migrant Care mengajak rekan-rekan lainnya yang sama-sama bergerak dalam bidang tersebut guna membantu memperkuat aliansinya dan meyakinkan pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi tersebut. Dalam setiap tahunnya, baik masyarakat atau organisasi-organisasi non pemerintah yang peduli dengan nasib buruh migran menggelar aksi dalam memperingati hari buruh seperti May Day, memperingati hari Hak Asasi Manusia serta memperingati hari migran sedunia. Peringatan hari buruh migran tersebut juga dijadikan sebagai kesempatan untuk melakukan aksi guna mendesak pemerintah menuntut hak-hak dari pekerja migran, salah satunya adalah menuntut untuk diratifikasinya Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Berbagai aktivis, organisasi non pemerintah, masyarakat, bahkan perwakilan dari pemerintah juga ikut terlibat untuk memperjuangkan diratifikasinya Konvensi PBB tentang perlindungan buruh migran. Berdasarkan konsep Transnational Advocay Networks terdapat 4 poin penting yang digunakan untuk melakukan advokasi. Migrant Care seperti yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan organisasi yang dapat dikatakan aktif
54
melakukan kampanye melalui media, dan menurut konsep Transnational Advocacy Networks dalam poin Information Politics menjelaskan peran penting media dalam suatu isu. Hal tersebut dibuktikan dengan tuntutan-tuntutan Migrant Care yang di muat di dalam web mereka. Adapun kampanye dialog atau diskusi yang memuat tuntutan-tuntutan tersebut dimuat kedalam catatan akhir tahun, atau web resmi mereka. Selanjutnya, poin kedua menjelaskan tentang Symbolic Politics dimana pada poin ini menjelaskan tentang peran dari anggota jaringan untuk memberikan kesan yang kuat pada aksi-aksi yang mereka lakukan sehingga dapat menarik aktor-aktor lainnya. Hal tersebut dibuktikan dimana Migrant Care melakukan aksi-aksi seperti demo, atau artikel-artikel yang di dalamnya mengandung tuntutan-tuntutan terhadap pemerintah khususnya yang berkaitan dengan ratifikasi Konvensi Internasional PBB tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Artikel yang memuat tentang aksi-aksi dari Migrant Care dalam menuntut ratifikasi, dimuat dalam catatan yang berbentuk pernyataan sikap dari Migrant Care, dalam memperingati hari buruh migran, organisasi ini aktif menyuarakan kampanye melalui media. Dalam pernyataan sikap Migrant Care tersebut menjelaskan bahwa organisasi ini menuntut pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi PBB tentang perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya. “sebagai anggota dari Migrant forum in Asia (MFA) dan International NGO Platform on Migrant Workers Convention (IPMWC) menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk :
55
1. Meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, kemudian mengimplementasikan dalam kebijakan dan praktik migrasi tenaga kerja. 2. Mendukung pembentukan Konvensi ILO untuk perlindungan domestic workers sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan terhadap pekerja rumah tangga. 3. Mengambil langkah-langkah prioritas dan konkret yang mendorong perwujudan bagi perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya dengan pendekatan hak asasi manusia. Kemudian dalam artikel lainnya yang menyatakan pernyataan sikap Migrant Care juga terdapat poin-poin yang menuntut pemerintah untuk : 1. Batalkan regulasi yang tidak protektif terhadap buruh migran Indonesia (MoU dengan 4 negara ) Malaysia, Taiwan, Yordania, dan Korea Selatan. 2. Segera bentuk pelayanan publik yang tidak diskriminatif terhadap buruh migran dengan menghapus terminal khusus bagi buruh migran. 3. Bubarkan BNP2TKI yang telah gagal mereformasi sistem penempatan dan perlindungan buruh migran. 4. Segera ratifikasi Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. 5. Segera bentuk Komisi Pengawas Perlindungan Buruh Migran Indonesia (Front Perjuangan Rakyat, 2008)
56
Selain itu, Migrant Care juga mendesak komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk segera membahas ratifikasi Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Melalui siaran pers, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah yang menyatakan bahwa konvensi buruh migran belum menjadi prioritas utama di DPR (Kompas , 2012) Adanya kesungguhan dari Migrant Care dalam membantu buruh migran Indonesia juga dilihat dari prestasi yang diperoleh oleh organisasi ini, Migrant Care mendapat apresiasi yang besar dari Human Right Watch, selain itu Migrant Care juga berhasil menjadi satu-satunya organisasi non pemerintah yang mejadi salah satu anggota dari IPMWC (International Platform on Migrant Workers Convention) sehingga dapat dilihat bahwa aksi-aksi serta perjuangan dari Migrant Care memberikan dampak tidak hanya dalam negeri tetapi menjangkau hingga luar negeri. Selain itu, bukti yang mendukung juga dimana aksi serta peran dari organisasi ini dalam membantu memperjuangkan hak buruh migran juga dapat dilihat dimana Migrant Care memiliki staf perwakilan yang berada di Malaysia (Putri, 2016). Kemudian yang ketiga ialah berkaitan dengan Leverage Politics atau kemampuan jaringan dalam mempengaruhi para aktor sehingga mampu memperkuat pergerakan dari jaringan tersebut, hal tersebut dilihat dengan kerjasama Migrant Care dengan beberapa organisasi yang sama-sama tergabung dalam PNP-HAM. Migrant Care dan beberapa organisasi yang tergabung dalam PNP-HAM, juga menuntut ratifikasi konvensi migran 1990. Dalam memperingati
57
hari HAM. Tim PNP-HAM yang terdiri dari 38 anggota juga mengeluarkan pernyataan sikap yang di dalamnya terdapat poin-poin untuk menuntut pemerintah seperti : 1. Menghentikan PHK dalam bentuk apapun, penuhi upah layak, dan hapuskan sistem kontrak dan outsorcing bagi buruh. 2. Hentikan perampasan tanah, sediakan sarana produksi murah, dan tingkatkan harga hasil pertanian. 3. Ratifikasi Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, bubarkan terminal khusus TKI dan cabut UUD PPTKILN bagi buruh migran Indonesia. 4. Memberikan jaminan sekolah gratis 5. Usut tuntas kasus korupsi. 6. Penuhi Pelayanan dan Fasilitas Kesehatan Reproduksi Kesehatan bagi perempuan dan keluarga miskin. 7. Buka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. 8. Menuntut hukum ditegakkan dengan keadilan. 9. Usut tuntutan segala kasus pelanggaran HAM dan hentikan berbagai bentuk kekerasan serta diskriminasi dan ketidakadilan bagi rakyat (Gabungan Serikat Buruh Indonesia, 2009). Poin keempat yaitu Accountability Politics, menjelaskan usaha bersama baik jaringan maupun para aktor yang mendukung untuk kemudian menuntut pertanggung jawaban dari pihak-pihak yang berkuasa. Dalam poin ini dibuktikan
58
dengan kerjasama Migrant Care dan beberapa lembaga lainnya yang ikut berpartisipasi untuk memperjuangkan diratifikasinya Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Dalam melakukan desakan terhadap pemerintah Migrant Care melakukan kerjasama dengan beberapa lembaga lainnya yang tergabung di dalam tim advokasi yang terdiri dari 30 anggota. Adapun 30 lembaga yang tergabung di dalam tim advokasi adalah : Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) Jakarta, Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia, ASEAN People Center, CEDAW Working Group Initiative (CWGI), Gerakan Perempuan Untuk Perlindungan Buruh Migran ( GPPBM), HRWG, INDIES, INFID, Institute for Migrant Workers (IWORK), Jaringan Kerja Prolegans Pro Perempuan (JKP3), Kopbumi, LBH Jakarta, LBH-APIK-Jakarta, PBHI Jakarta, Pena Bambu, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Solidaritas Buruh Migran Karawang (SBMK), Solidaritas Buruh Migran Cianjur (SBMC), Solidaritas Buruh Migran Jawa Timur- Region Madura, Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan, Solidaritas Perempuan Bojonegoro, Solidaritas Perempuan Palembang, Solidaritas Perempuan Palu, Solidaritas Perempuan Makassar, Soldaritas Perempuan Jabodetabek, Trade Union Rights Center (TURC), Woman Crisis Center- Dian Mutiara Malang, ILO Jakarta Office, UNIFEM, Yayasan Mitra Indonesia (KOMNAS PEREMPUAN, 2009) Lembaga-lembaga tersebut merupakan Tim Advokasi yang sama-sama berjuang menuntut pemerintah untuk melakukan ratifikasi konvensi migran, kerja
59
sama yang terjalin antara Migrant Care dan lembaga-lembaga tersebut juga dilatarbelakangi kesamaan dimana sama-sama berjuang dan aktif membela hakhak buruh migran selain itu lembaga-lembaga yang tergabung dalam tim advokasi ini juga sama-sama memiliki kepentingan yang sama. Kerja sama Migrant Care dan tim advokasi tersebut dapat dilihat dengan berbagai kegiatan yang mereka lakukan bersama, seperti melakukan pernyataan pers bersama Buruh Migran, Masyarakat Sipil, dan Pemerhati Buruh Migran Indonesia dengan tema Segera Ratifikasi Konvensi Migran 1990 Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, dalam pernyataan pers bersama tersebut membahas terkait dengan Urgensi Ratifikasi Konvensi Migran 1990, menurut seluruh gabungan organisasi ini, terdapat empat alasan mengapa konvensi ini perlu diratifikasi : Dari Sisi Substansi Pertama, konvensi migran memandang buruh migran tidak hanya sebagai buruh atau entitas ekonomi semata, melainkan juga sebagai makhluk sosial yang mempunyai keluarga dan hak-haknya sebagai manusia secara utuh. Kedua, definisi dan kategori yang terdapat di dalam konvensi ini menyediakan standar perlakuan internasional
melalui
elaborasi
pekerja migran dan anggota
keluarganya. Ketiga, dasar-dasar mengenai HAM diterapkan pada seluruh kategori buruh migran baik yang bekerja secara legal maupun yang berada dalam situasi irregular. Keempat, konvensi ini menciptakan standar minimum bagi
60
perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya yang bersifat universal dan diketahui oleh masyarakat internasional. Konvensi ini juga dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong negara-negara yang belum memiliki standar mengenai hal ini sehingga dapat segera melaksanakannya. Kelima, adanya pemenuhan hak yang dijamin oleh konvensi ini antara lain seperti hak atas informasi mengenai seluruh persyaratan bekerja ke luar negeri, hak atas informasi yang diberikan oleh negara tujuan bekerja yang berkaitan dengan persyaratan serta hak-hak buruh migran, hak bermobilitas dana bertempat tinggal, hak untuk membentuk perkumpulan, hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu negara asal, hak untuk turut serta dalam pengambilan keputusan politik, hak yang sama untuk mengakses institusi layanan publik, pendidikan, perumahan, kesehatan dan partisipasi dalam aktivitas kebudayaan, hak untuk menikmati perlakuan yang sama dalam hukum perburuhan untuk perlindungan dari pemecatan, memperoleh tunjangan pengangguran, aktivitas penanggulangan pengangguran dan akses untuk pekerjaan alternatif apabila terjadi PHK, serta konvensi juga memastikan terpenuhinya hak dari keluarga buruh migran terkecuali hak yang berkaitan dengan pengupahan. Dari Sisi Mekanisme Dari sisi ini, Konvensi Migran akan menjadi acuan perbaikan peraturan perundang-undangan terkait dengan buruh migran yang berbasiskan standar HAM internasional yang terdapat dalam konvensi, selanjutnya pemerintah Indonesia
61
akan memiliki posisi tawar yang kuat untuk bekerja sama dengan pemerintah negara tujuan BMI dengan standar HAM internasional. Dari Sisi Agenda Nasional Rekomendasi internasional, dan janji pemerintah RI di forum internasional yaitu : Pertama, TAP MPR No. V/2002 yang mengamanatkan Pemerintah RI meratifikasi Konvensi Migran tahun 1990. Kedua, agenda meratifikasi Konvensi Migran 1990 dalam RAN HAM 1998-2003 dan 2004-2009. Berdasarkan RAN HAM 2004-2009, konvensi migran diagendakan akan diratifikasi pada tahun 2005. Ketiga, agenda meratifikasi Konvensi Migran telah masuk kedalam daftar RUU Prolegans 2005-2009. Keempat, rekomendasi umum CEDAW No. 26 on Woman Migrant Workers poin 29 (tahun 2008) : “ Negara Pihak didorong untuk meratifikasi semua instrumen internasional yang relevan dengan perlindungan HAM perempuan pekerja migran, khususnya konvensi internasional mengenai Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya”. Kelima, Rekomendasi
Pelapor Khusus PBB bagi
pekerja migran tahun 2006
(A/HRC/4/24/Add.3) poin ke 66 : “ Pemerintah harus meningkatkan usahanya untuk segera meratifikasi konvensi internasional mengenai Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya”. Keenam, Concluding Comment CEDAW tahun 2007 poin 44 “ Komite mendesak Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi traktat yang belum diratifikasi Indonesia sebagai Negara Pihak,
62
yaitu Konvensi Mengenai Perlindungan Hak Semua Tenaga Kerja Migran dan Anggota Keluarganya”. Dari Sisi Kedaulatan Kedaulatan negara diukur dari kemampuan negara untuk menegakkan norma-norma HAM. Ratifikasi Konvensi Migran tahun 1990 merupakan langkah negara untuk menjadi bagian dalam sebuah mekanisme pemajuan dan perlindungan HAM, artinya ratifikasi Konvensi Migran 1990 yang dilakukan secara demokratis merupakan penerapan prinsip kedaulatan rakyat dan bukan merupakan proses kehilangan kedaulatan negara. Adanya situasi-situasi tersebut, dan berdasarkan diskusi bersama baik Migrant Care dan anggota dari tim advokasi kemudian memberikan pernyataan pers serta menuntut : 1. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan mandat atau menugaskan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk segera meratifikasi Konvensi Migran 1990 sebagai upaya nyata dalam melindungi serta menegakkan hak-hak buruh migran Indonesia. 2. Agar pemerintah baik (Legislatif dan Eksekutif) konsisten dengan agenda PROLEGNAS pada periode 2005-2009, dengan meratifikasi Konvensi Migran 1990. 3. Pemerintah, masyarakat sipil dan pemerhati buruh migran Indonesia segera membentuk dan mengaktifkan working group untuk melakukan
63
upaya konkrit bersama-sama dalam mengupayakan ratifikasi konvensi migran 1990. Beberapa media juga menunjukkan gerakan yang dilakukan oleh tim advokasi. Melalui salah satu berita memaparkan gerakan dari tim advokasi dan pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi PBB tentang perlindungan hak buruh migran. Tim advokasi mendesak pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera meratifikasi konvensi migran 1990 di akhir masa pemerintahannya. Konvensi tersebut perlu segera diratifikasi dikarenakan konvensi tersebut mengandung rangkaian aturan yang menjadi standar perlindungan buruh migran (Republika News, 2009) Selain itu, Solidaritas Perempuan yang juga merupakan organisasi yang tergabung dalam tim advokasi juga melakukan desakan terhadap pemerintah yang dilakukan bersama dengan Migrant Care. Kedua organisasi ini memperingati hari buruh dengan cara mendesak pemerintah untuk meratifikasi Konvensi PBB tenang perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya, serta menuntut pemerintah untuk merevisi UU. No 39 tahun 2004. Tuntutan tersebut juga didukung oleh seorang staf di Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (Kemeneg PP) yang menyatakan bahwa dalam level pengambil kebijakan, ada kesadaran bahwa undang-undang tersebut memiliki kelemahan (Hukum Online, 2008).
64
Selain dengan beberapa lembaga dan organisasi, Migrant Care juga mengajak salah satu anggota DPR yaitu Rieke Diah Pitaloka untuk bersama-sama mendesak pemerintah untuk meratifikasi Konvensi PBB tentang hak buruh migran. Rieke Diah Pitaloka merupakan anggota DPR komisi IX yang juga merupakan aktivis buruh. Adanya dukungan dari Rieke Diah Pitaloka sendiri tentunya memberikan keuntungan bagi para aktivis, NGO, atau lembaga lainnya yang sama-sama berjuang menuntut ratifikasi konvensi tersebut mengingat posisi beliau sebagai perwakilan pemerintah juga sekaligus sebagai aktivis. Menurut beliau, hal ini perlu segera dilakukan sebagai tindak lanjut dari Amanat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah ditandatangani pada 7 februari tahun 2012 lalu. Amanat Presiden tersebut berisi desakan kepada DPR dan pemerintah agar segera membahas proses ratifikasi Konvensi PBB tersebut. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang melibatkan Rieke Diah Pitaloka, beliau kemudian menyatakan bahwa Indonesia sudah seharusnya meratifikasi konvensi tersebut, karena Indonesia merupakan negara pengirim TKI yang cukup besar, meskipun tidak hanya Indonesia yang seharusnya meratifikasi tetapi juga negara tujuan kerja utama seperti Arab Saudi, Malaysia, atau negara tujuan kerja lainnya. Dikarenakan terjadi ketidaksepahaman antara pemerintah dan fraksi partai PDIP, maka Rieke beserta dengan Kader Perjuangan PDI Perjuangan di DPR RI mensosialisasikan urgensi ratifikasi konvensi tersebut secara massif. Beliau juga memaparkan peran penting partai yang mendukung penuh konvensi tersebut agar diratifikasi. Menurut Rieke, berkat dukungan serta rekomendasi dari
65
partai maka seluruh kader PDI Perjuangan diminta untuk turut mendukung ratifikasi konvensi tersebut. Menurut beliau, sumber kekuatan tidak hanya berasal dari partai, tetapi juga berasal dari luar partai. “Dalam perkembangan politik kami yang sekarang ini, kita memang membangun yang istilahnya gotong royong. Tidak hanya dalam pilkada, tetapi juga dalam kerja sebagai legislasi seperti ini. “Kita bekerja sama dengan parlemen dengan ekstra parlementer, baik itu NGO/LSM atau masyarakat sipil biasa, itu yang kita lakukan sehingga apa yang kita sampaikan ini pun merupakan masukan berbagai pihak yang concern (peduli) terhadap persoalan ini termasuk perwakilan TK-nya sendiri di negara yang kita lakukan komunikasi. Tidak bisa kita dalam kondisi politik transaksional seperti ini lalu kemudian DPR dibiarkan sendiri. Kontrol publik dan active citizenship (warga negara yang proaktif) menjadi penentu keputusan apakah kita meratifikasi. Jadi bukan hanya sekedar kehendak politik dari pemerintah sendiri tetapi ini juga merupakan dorongan dari koalisi yang kita bangun (koalisi besar) antara masyarakat politik di parlemen dengan masyarakat sipil baik yang bergabung di NGO”. Bagi Rieke, konvensi ini dapat menjadi alat bagi Indonesia untuk mendesak negara tujuan kerja agar meratifikasi konvensi tersebut sebagai bentuk komitmen perlindungan TKI di negara tersebut. “Walaupun di luar negeri itu yang berlaku adalah perangkat hukum negara terkait, tetapi konvensi ini sebenarnya berlaku internasional dan pada dasarnya apabila pemerintah serius maka kita bisa
66
melakukan konsolidasi dengan negara yang sudah meratifikasi untuk memberikan desakan kepada negara tujuan kerja agar menjadi negara pihak atas konvensi ini”. Selain itu, ketua KOMNAS perempuan juga mendukung, menurutnya ratifikasi konvensi ini sangat penting untuk menaikan posisi tawar Indonesia di komunitas internasional sehingga penyelesaian kasus yang menyangkut pekerja migran Indonesia diluar negeri berpotensi mendapat kemudahan (Ucan Indonesia News, 2012). Selain kerja keras yang dilakukan oleh berbagai lembaga, aktivis dan masyarakat, dukungan lainnya juga datang dari pihak partai. Beberapa fraksi dari partai menyetujui agar pemerintah Indonesia segera meratifikasi konvensi tersebut. berikut adalah beberapa pernyataan dari 9 partai : Fraksi Partai Demokrat dalam pernyataannya secara tersirat mengungkapkan bahwa konvensi ini dapat menjadi alat tawar politik dengan negara lain terkait dengan perlindungan yang diberikan kepada TKI di negara tujuan kerja. Ungkapan ini menunjukkan bahwa fraksi ini melihat manfaat yang dapat diambil oleh Indonesia dari aspek politik luar negeri. Fraksi Partai Golkar dalam pernyataannya memandang bahwa dengan diratifikasinya konvensi ini, maka posisi tawar Indonesia akan meningkat. Ungkapan ini menunjukkan optimisme fraksi sebagai tindak lanjut pasca ratifikasi dan juga sebagai bentuk dukungan bagi pemerintah.
67
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam pernyataannya mendukung konvensi ini. Hal ini juga didasarkan pada basis massa dari partai PDI Perjuangan yang berasal dari masyarakat akar rumput (grass root) yang banyak berasal dari golongan buruh migran di luar negeri. Fraksi ini menyadari bahwa beberapa fungsi dari Konvensi tersebut memberikan manfaat bagi pemenuhan hak-hak TKI di luar negeri maka keputusan untuk meratifikasi konvensi ini sangat tepat. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera memandang bahwa konvensi ini dapat memperkuat posisi Indonesia untuk mendesak negara tujuan migran. Ungkapan ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kekuatan atau landasan bagi upaya perlindungan menyeluruh TKI di luar negeri. Fraksi Partai Amanat Nasional memiliki pandangan bahwa konvensi ini mampu menaikan posisi tawar Indonesia di pergaulan internasional ungkapan ini merupakan harapan yang disampaikan terkait dengan manfaat politik yang di dapatkan oleh Indonesia. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan merespon positif apabila konvensi ini diratifikasi. Fraksi ini melihat bahwa Indonesia dapat melakukan lobi internasional. Ungkapan ini memaparkan manfaat politik yang diperoleh Indonesia secara langsung/praktis. Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa menempatkan konvensi ini sebagai kebutuhan negara yang mendesak. Hal ini menunjukkan bahwa ratifikasi konvensi
68
bagi fraksi ini merupakan sesuatu yang urgen dan patut mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Ungkapan tersebut merupakan ungkapan dari PKB terhadap langkah-langkah dari pemerintah. Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya memandang ratifikasi konvensi ini dapat meningkatkan posisi tawar diplomasi pemerintah untuk menuntut perlindungan maksimal bagi negara penerima pekerja migran. Ungkapan ini menunjukkan sikap fraksi yang memandang konvensi ini dapat memberikan manfaat bagi Indonesia salah satunya adalah manfaat politik luar negeri. Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat, menilai bahwa negara baik negara penerima maupun negara tujuan kerja pekerja migran diharapkan akan memberikan perlindungan maksimal seiring dengan meningkatnya posisi tawar diplomasi Indonesia. Ungkapan ini mengiysaratkan bahwa secara politik, Indonesia harus menggunakan konvensi ini sebagai alat tawar politik. Pernyataan dari 9 fraksi tersebut menunjukkan euforia konvensi tersebut sekaligus sebagai dukungan terhadap pemerintah untuk meratifikasi Konvensi PBB tentang perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya. Dukungan dari berbagai pihak ini tentunya memberikan alasan yang kuat kepada pemerintah untuk tidak memberikan alasan penundaan ratifikasi (Zulfikar, 2013). Untuk meratifiksi konvensi tersebut, Indonesia mempunyai tahapan atau proses yang digunakan untuk meratifikasi konvensi internasional tersebut. Adapun proses tersebut ialah sebagai berikut :
69
-
Konsultasi Lembaga negara dan lembaga pemerintah baik departemen maupun non-departemen yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional terlebih dahulu melakukan konsultasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri (luar negeri).
-
Surat Kuasa (Full Powers) Pejabat Lembaga Pemerintah, baik Departemen ataupun nondepartemen, yang akan menandatangani perjanjian internasional yang dibuat antara pemerintah dengan pemerintah negara lain, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, harus mendapat surat kuasa dari Menteri Luar Negeri.
Tahapan Pembuatan Perjanjian Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional bahwa tahapan pembuatan perjanjian terdiri dari perundingan, penjajakan, perumusan naskah perjanjian, penerimaan, dan penandatanganan. Elemen-Elemen Perjanjian Internasional terdiri dari -
Mulai berlaku, masa berlaku, pengakhiran
-
Ketentuan penutup
-
Penandatanganan
-
Upaya pembuatan naskah dalam Bahasa Indonesia (Setiawan).
70
Bagan 2.2 Skema Pengesahan Perjanjian Internasional Berdasarkan Undang-Undang.
Sumber : www.kemlu.go.id Oleh Karena pemerintah Indonesia bertindak sebagai pihak yang bertandatangan dan tidak terlibat di dalam tahap penjajakan, perundingan, perumusan naskah, serta penerimaan, maka pemerintah hanya melakukan pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dipersyaratkan yakni ratifikasi. Berkaitan
dengan
prosedur
ratifikasi,
pemerintah
Indonesia
mengesahkannya dengan Peraturan Presiden atau Undang-Undang.
71
dapat
C. Ratifikasi Konvensi Migran Tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya Serta Perkembangan Konvensi Tersebut Konvensi PBB tentang perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia pada 31 mei 2012. Langkah pemerintah dengan melakukan ratifikasi tersebut disambut baik oleh berbagai elemen yang ikut terlibat dalam memperjuangkan diratifikasinya konvensi tersebut salah satunya adalah Migrant Care. Menurut Anis Hidayah selaku Direktur Eksekutif Migrant Care, “saya sangat mengapresiasi sekaligus lega akhirnya pemerintah mau meratifikasi Konvensi PBB tentang perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya. Ratifikasi konvensi migran ini memperlihatkan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada WNI pada saat perekrutan dan saat bekerja di luar negeri, dan hingga saat mereka pulang kembali kedalam negeri. Konvensi ini merupakan salah satu dari sembilan traktat utama dari sistem HAM internasional. Sekarang pemerintah telah mengambil langkah penting yang diharapkan akan benar-benar mampu membawa perubahan bagi kehidupan para pekerja migran secara menyeluruh. Sekarang yang menjadi tantangan adalah menjalankan komitmen yang telah dibuat” (Harjono, 2012). Selain itu, sebagai lanjutan dari tindakan ratifikasi juga berdampak pada revisi undang-undang yang berkaitan dengan buruh migran Indonesia. Anis juga menambahkan penerapan Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan TKI
72
hanya terkonsentrasi pada tata niaga atau pada bisnisnya saja, sehingga perlu diadakan tindak lanjut dari ratifikasi. Sementara itu, komisi IX DPR RI tengah merancang upaya inisiatif untuk merevisi Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan TKI (ABC Australia Plus, 2012). Selain desakan dari berbagai pihak seperti masyarakat, tim advokasi, aktivis, dan didukung oleh gerakan partai dan pemerintah, adapun alasan yang memperkuat pemerintah untuk meratifikasi konvensi ini adalah : Pertama,
keputusan
pemerintah
untuk
menandatangani
konvensi
dimaksud merefleksikan komitmen kuat pemerintah terhadap pemajuan nilai-nilai hak asasi manusia termasuk di dalamnya hak-hak dari pekerja migran. Keputusan yang dimaksud juga mencerminkan prioritas dari pemerintah RI untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak pekerja migran Indonesia. Kedua hal inilah yang mendorong Indonesia berani mengambil langkah untuk meratifikasi konvensi dimaksud guna menjadi bagian dari sistem hukum nasional Indonesia. Kedua, pemerintah mengakui bahwa proses persiapan ratifikasi konvensi telah melampaui proses yang seksama dan karenanya memakan waktu yang relatif panjang. Pemerintah juga menyadari bahwa keputusan untuk meratifikasi konvensi merupakan bagian dari perwujudan tanggung jawab negara untuk meningkatkan perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia. Langkah ini juga menunjukkan kepedulian seluruh elemen bangsa untuk terus memajukan kepedulian serta melindungi nilai-nilai dari HAM di tanah air dan di tingkat
73
global dalam memperkuat kerangka perlindungan bagi pekerja migran Indonesia dan anggota keluarga mereka. Ketiga, pemerintah menyadari bahwa perangkat internasional untuk memberikan perlindungan yang komperhensif terhadap berbagai kategori pekerja migran dan anggota keluarganya sangat kurang terutama bagi perlindungan tenaga kerja migran yang masuk kedalam kelompok yang sangat rentan yaitu tenaga kerja migran pada sektor informal. Pemerintah juga menyadari bahwa dengan adanya konvensi ini dapat menjadi suatu instrument HAM yang dapat mengatur perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya secara komperhensif, serta memberikan kerangka perlindungan minimum bagi tenaga kerja migran untuk semua tahapan, baik pada saat pra keberangkatan, masa transit, masa bekerja, bahkan penempatan. Keempat, pemerintah juga memahami bahwa konvensi ini mengakomodasi kepentingan negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sehingga negara memiliki keleluasaan dalam menerapkan sistem administrasi keimigrasian nasional terkait tenaga asing, harapannya kesempatan kerja warga negaranya sendiri tetap terlindungi. Kelima, pemerintah juga berharap pada masa mendatang kedudukan konvensi pekerja migran ini di tatanan masyarakat internasional akan terus menguat, hal tersebut disebabkan terus meningkatnya kesadaran global akan pentingnya konvensi ini bagi perlindungan tenaga kerja migran dan anggota
74
keluarganya seiring dengan bertambahnya jumlah orang yang bekerja diluar negeri. Keenam, pemerintah merasa bahwa kandungan dari konvensi ini sejalan dengan komitmen nasional Indonesia bagi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, sebagaimana dimaklumi dalam konstitusi Indonesia dan berbagai instrument HAM baik nasional maupun internasional meletakan tanggung jawab, pemajuan, perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM sebagai tanggung jawab negara dan secara khusus pemerintah sebagai pihak yang mengemban tanggung jawab tersebut. Amanat ini sangat relevan bagi pemajuan dan perlindungan hak-hak tenaga kerja migran Indonesia, adalah merupakan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan penuh terhadap mereka di semua tahap mulai dari pra penempatan, saat transit, masa bekerja, serta purna penempatan. Ketujuh, pemerintah meyakini bawa konvensi ini dapat memperkuat kerangka nasional, regional serta global dalam mengatasi masalah perlindungan tenaga kerja migran Indonesia. Kedelapan, pemerintah menyadari bahwa ratifikasi konvensi ini akan melahirkan sebuah kewajiban antara lain untuk melakukan upaya harmonisasi hukum nasional terutama yang berkaitan dengan penempatan dan perlindungan tenaga kerja agar sesuai dengan standar hak asasi pekerja migran yang diatur dalam konvensi tersebut. konvensi ini akan menjadi acuan untuk menciptakan dan
75
merevisi berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut tenaga kerja migran Indonesia. Kesembilan, pemerintah optimis, dengan adanya konvensi ini Indonesia akan mempunyai amunisi untuk bergabung dalam berbagai kampanye global guna mendorong negara-negara lain khususnya negara tujuan pekerja migran untuk juga meratifikasi dan menerapkan norma dan standar yang diatur dalam konvensi tersebut. Setelah konvensi ini resmi diberlakukan pada tanggal 1 juli tahun 2003, negara-negara di dunia mulai antusias untuk turut ambil bagian dalam konvensi ini. Hingga September tahun 2012 tercatat 35 negara telah menjadi bagian dari konvensi tersebut. Berikut penulis akan menunjukkan gambar yang memuat daftar negaranegara yang tergabung kedalam perjanjian internasional hingga tahun 2012, sekaligus memaparkan dengan jelas waktu dari tiap-tiap negara anggota melaksanakan proses penandatanganan dan ratifikasi. Dalam gambar tersebut juga menunjukkan posisi Indonesia yang telah resmi mengambil tindakan ratifikasi terhadap konvensi internasional tentang perlindungan hak pekerja migran dan anggota keluarganya.
76
Gambar 2.3 Status International Convention on The Protection of The Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families
Sumber : UNESCO, 2012 Menurut UNESCO, sejauh ini negara yang telah meratifikasi konvensi mayoritas berasal dari negara asal pekerja migran seperti Meksiko, Maroko, dan Filipina, termasuk juga Indonesia. Bagi negara-negara yang tergabung kedalam konvensi tersebut, konvensi ini memiliki arti penting sebagai sarana untuk melindungi warga negaranya yang tinggal di luar negeri.
77
Tabel 2.5 Perbandingan Waktu Penandatanganan dan Ratifikasi Antar Negara Anggota Konvensi NO
Negara
Penandatangan
Ratifikasi
Durasi waktu
1. Argentina 10.Aug. 2004 23 Feb. 2007 2Y6M 2. Bangladesh 07 Okt. 1998 24. Aug. 2011 12 Y 10 M 3. Burkina Faso 16 Nov. 2001 26 Nov. 2003 2Y 4. Chili 24 Sept. 1993 21 Mar. 2005 11 Y 3 M 5. El Salvador 13 Sept. 2002 14 Mar. 2003 6M 6. Ghana 7 Sept. 2000 7 Sept. 2000 7. Guatemala 7 Sept. 2000 14 Mar. 2003 2Y6M 8. Guyana 15 Sept. 2005 7 Jul. 2010 4Y9M 9. Indonesia 22 Sept. 2004 31 Mei 2012 7Y8M 10. Jamaika 25 Sept. 2008 25 Sept. 2008 11. Leshoto 24 Sept. 2004 16 Sept. 2005 1Y 12. Meksiko 22 Mei 1991 8 Mar. 1999 7 Y 10 M 13. Maroko 15 Aug. 1991 21 Jun. 1993 1 Y 10 M 14. Paraguay 13 Sept. 2000 23 Sept. 2008 7Y 15. Peru 22 Sept. 2004 14 Sept. 2005 1Y 16. Philipina 15 Sept. 1993 5 Jul. 1995 1Y7M 17. Tajikistan 7 Sept. 2000 8 Jan. 2002 1Y4M 18. Turki 13 Jan. 1999 27 Sept. 2004 4Y8M Sumber : Diolah Dari United Nation Treaty Collection Status on International Convention on The Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (2012) Tabel tersebut menunjukkan waktu perbandingan penandatanganan dan ratifikasi dari Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya oleh tiap-tiap anggota negara yang tergabung di dalam konvensi tersebut.
78