MENGATASI TINGKAT KEMISKINAN DESA DENGAN AIR Heru Husaini Mahasiswa Program Doktor Manajemen Bisnis Institut Pertanian Bogor (IPB) Abstrak Setelah enam puluh dua tahun Indonesia merdeka, masih terdapat sekitar empat puluh delapan persen penduduk Indonesia yang belum menikmati terangnya lampu listrik, dana pada umumnya mereka berada pada desa-desa yang jauh dari pusat pembangkit tenaga listrik, tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan listrik menjadi pemicu bagi perkembangan dan kemajuan dari suatu wilayah. Jika melihat kondisi alam dari kepulauan nusantara, ada 4.269 sungai dengan total panjang 92,321 km yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Papua, Nusa Tenggara dan Maluku, yang berpotensi menghasilkan 9.232 titik PLTM-Mikro. Jika ini bisa terealisasi, maka akan mampu mengatasi tingkat kemiskinan, dan mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan energi yang memakai bahan bakar minyak. Keywords
: Tingkat Kemiskinan, PLTM-Mikro, Mini Hydro, Listrik, : dan PLTA
A. PENDAHULUAN Departemen Komunikasi dan Informatika (2005) telah mendefinisikan bahwa rumah tangga yang dikategorikan miskin adalah rumah tangga yang salah satunya memiliki ciri atau kriteria bahwa ”sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik”. Dengan menggunakan kriteria seperti ini, BPS (2007) telah berhasil mendata keluarga miskin di Indonesia sejumlah 17,603,498 keluarga yang sebahagian besar bertempat tinggal di 32.379 desa-desa (45.86%) yang berstatus ”tertinggal”. Ironis memang, setelah 62 tahun Indonesia merdeka, masih terdapat sekitar 48 persen penduduk Indonesia belum menikmati terangnya lampu listrik dan pada umumnya berada pada desa-desa yang jauh dari pusat pembangkit tenaga listrik. Memanfaatkan energi yang tersedia setempat terutama bagi energi baru dan terbarukan untuk pembangkit pembangkit listrik (khususnya skala kecil kecil) dalam rangka meningkatkan rasio elektrifikasi di desa-desa tetinggal dan terpencil serta perdesaan miskin, perlu mendapat perhatian khusus Pemerintah. Pilihannya yang paling
tepat
saat
ini
adalah
Pembangkit
Listrik
mempertimbangkan beberapa hal-hal sebagai berikut:
Tenaga
Air,
karena
Lokasi desa-desa tertinggal sangat tersebar dan pada umumnya terletak didaerah aliran sungai (DAS) dimana berpotensi untuk membangkitkan mikro/mini PLTA
Dibutuhkan suatu pembangkit listrik yang tidak memerlukan bahan bakar, atau menggunakan sumber energi setempat yang selalu dapat terbarukan.
Dibutuhkan investasi yang tidak terlalu mahal untuk memenuhi kebutuhan listrik desa. Hal ini sangat memungkinkan dengan mengembangkan PLTAMikro yang menerapkan metoda run of river (ROR) dengan head yang sangat rendah (hanya 6 meter), atau membangun PLTA-Mini pada lokasi bendungan (dam) irigasi raksasa, sehingga dapat menghemat biaya investasi pekerjaan konstruksi sipil.
B. 10.000 MIKRO/MINI HYDRO UNTUK MELISTRIKI DESA TERTINGGAL DI INDONESIA Ditjen SDA, Dept. Kimpraswil pada tahun 2007 telah melakukan pendataan sungai di seluruh Indonesia dan hasilnya adalah terdapat 4,269 sungai dengan total panjang 92,321 km yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Papua, Nusa Tenggara dan Maluku. Bila diasumsikan bahwa setiap 10 km panjang aliran sungai akan diperoleh ”head” setinggi 6 meter, maka dapat dipastikan terdapat paling tidak 9232 titik di sungai seluruh Indonesia yang setiap titiknya berpotensi membangkitkan PLTM-Mikro dengan kapasitas 30,000 watt. B. 1. Mengapa Setiap PLTM-Mikro Dipilih yang Berkapasitas 30,000 Watt? Ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan dipilihnya PLTM-Mikro yang berkapasitas 30.000 watt, yakni:
Pertimbangannya pertama adalah bahwa telah terbukti secara teknis suatu pembangkit listrik air 30,000 watt dapat dibangun hanya dengan menggunakan ketinggian jatuh (head) air sungai setinggi 6 meter dengan debit aliran sungai sebesar 0.75 meter3/detik. Kondisi teknis seperti ini tidak sulit ditemukan pada suatu aliran sungai dan sangat mudah untuk membangun fasilitas ini.
Pertimbangan kedua adalah dengan daya 30,000 watt maka PLTM-Mikro ini sudah mampu melistriki sejumlah 200 KK yang masing-masing KK akan memperoleh jatah sejumlah 150 watt. Daya tersebut dapat digunakan untuk menerangi suatu rumah tangga dengan 6 buah lampu (lampu hemat energi) x 8 watt dan sisanya sekitar 100 watt digunakan untuk keperluan lain seperti: kipas angin, mesin jahit/bordir, TV, radio, mesin juicer, kulkas, bateray charger, alat pengisi accu, dsb.
Pertimbangan
ketiga
adalah
panjangnya
jaringan
transmisi
yang
menghubungkan setiap KK. Radius jangkauan saluran transmisi dari pusat pembangkit dipersyaratkan tidak boleh terlalu jauh dan jumlah 200 KK adalah jumlah yang cukup ideal dari sisi teknis/ekonomis untuk sistim pembangkitan seperti ini.
Pertimbangan keempat, atau yang terakhir adalah biaya investasi yang relatif tidak terlalu mahal dibandingkan alternatif pembangkit lainnya. Untuk
membangkitkan PLTM 3 x 10,000 watt diperlukan 3 unit tubin-air + generator dengan biaya Rp. 180,000,000, selain itu diperlukan pula biaya untuk pekerjaan sipil (saluran penghantar + pipa pesat + rumah pembangkit) sekitar Rp 50,000,000, dan akhirnya diperlukan biaya saluran transmisi untuk menuju masing-masing rumah sejumlah Rp 20,000,000. Sehingga biaya total untuk investasi setiap PLTM-Mikro 3 x 10,000 watt adalah Rp. 250,000,000 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata bahwa disekitar bangunan suatu dam yang mempunyai tinggi mercu dam lebih dari 6 meter, ada kemungkinan dapat dibangun suatu PLTM-Mikro 30,000 watt. Dengan mempertimbangkan ketersediaan air disekitar dam yang relatif cukup banyak, maka dengan teknik ini dimungkinkan dapat dibangun lebih dari satu PLTM-Mikro dilokasi tersebut. Ditjen SDA, Dept. Kimpraswil sudah mendata bendungan (dam) yang memiliki ketinggian mercu antara 6 – 15 meter. Jumlah dam sejenis ini di Indonesia ada 74 lokasi yang tersebar di Jawa (50 lokasi) dan sisanya (24 lokasi) di luar Jawa. Dari 74 lokasi dam ini, dapat diharapkan paling tidak tambahan 148 titik potensi PLTM-Mikro yang dapat melistriki desa sekitarnya. Sehingga jumlah titik lokasi potensi PLTM-Mikro dengan kapasitas 30,000 watt secara keseluruhan adalah: 9232 titik (aliran sungai) + 148 titik (lokasi dam dengan mercu minimal 6 meter) = 9380 titik lokasi, yang siap dibangun dan melistriki 1,876,020 KK dengan total daya terpasang 281,4 MW. Dana yang diperlukan untuk membangun 9380 titik PLTMMikro ini adalah: 9380 x Rp 250,000,000 = Rp. 2345 milyar
LOKASI
Panjang Sungai*
Lokasi Sungai Potensi PLTM (ROR)
Julah Keluarga Lokasi Dam Total Potensi Miskin yang dapat Pontensi PLTM** PLTM dilayani PLTM***
SUMATERA 22,147 km 2215 titik 4 titik SULAWESI 17,127 km 1713 titik 1 titik KALIMANTAN 16,460 km 1646 titik 3 titik JAWA-MADURA 14,821 km 1482 titik 50 titik NUSA TENGGARA 10,807 km 1081 titik 15 titik PAPUA 7,210 km 721 titik 0 titik MALUKU 3,749 km 375 titik 1 titik JUMLAH 92,321 km 9232 titik 74 titik *) Setiap aliran sungai sepanjang 10 km diharapkan terdapat head 6 meter **) Setiap titik dam dapat dibangun 2 unit PLTM dengan kapasitas 2x 30.000 watt ***) Setiap titik PLTM dapat melayani 200 KK dengan daya 150 watt/KK Sumber : Ditjen SDA, Dept. Kimpraswil/BPS 2007
2223 titik 1715 titik 1652 titik 1582 titik 1111 titik 721 titik 377 titik 9380 titik
444,540 KK 342,940 KK 330,400 KK 316,420 KK 222,140 KK 144,200 KK 75,380 KK 1,876,020 KK
B.2. Bagaimana dengan Desa/Kabupaten yang Kebutuhan Listriknya Lebih Dari 30.000 Watt? Ditjen Sumber Daya Air juga telah menerbitkan suatu daftar Bendungan Irigasi Besar di Indonesia (lihat lampiran). Seperti halnya bendungan kecil, pada bendungan ini dapat juga ”disisipkan” konstruksi suatu PLTA dengan kapasitas berkisar antara 1500 kW – 4000 kW. ”Disisipkan” pada bangunan bendung, karena PLTA ini tidak perlu lagi membangun keseluruhan fasilitasnya, sebahagian konstruksinya sipilnya dapat menggunakan fasilitas bendungan itu sendiri. Terdapat 101 bendungan besar untuk irigasi di Indonesia, yang ternyata mungkin ”disisipkan” dengan bangunan PLTA seperti ini. Bila setiap bendungan ”disisipkan” suatu PLTA dengan kapasitas rata-rata 3 MW, maka akan diperoleh kapasitas terpasang baru sejumlah 101 x 3 MW = 303 MW, atau mampu untuk melistriki rumah rumah penduduk miskin sejumlah 2,020,000 KK . Bila setiap MW PLTA tersebut membutuhkan dana investasi sebesar Rp 8 milyar, maka diperlukan dana proyek untuk PLTA ”sisipan” ini dengan jumlah 303 x Rp. 8 milyar = Rp 2424 milyar. Beberapa keuntungan dapat diperoleh dengan membangun PLTA ”sisipan” ini, diantaranya adalah:
Tidak perlu membangun saluran penghantar terbuka, karena konstruksi ini menggunakan saluran irigasi sebagai saluran penghantar terbukanya.
Tidak perlu membangun water intake, karena konstruksi ini menggunakan ”water intake” saluran irigasi yang ada.
Debit air dapat diatur tetap konstan sepanjang tahun, karena menggunakan waduk sebagai sumber airnya.
Bendungan irigasi biayanya berlokasi disekitar desa, sehingga penyaluran daya listriknya tidak akan jauh.
Diperlukan suatu koordinasi yang baik antar unsur-unsur terkait, seperti Ditjen SDA sebagai pemilik dam, Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal sebagai pemrakarsa, dan Pemda setempat sebagai pengguna listrik, agar pelaksanaan proyek ini dapat berhasil.
C. KESIMPULAN
1. PLTA Mikro adalah solusi yang tepat untuk mengatasi kebutuhan listrik desa. Pertimbangannya adalah karena lokasi desa tertinggal/miskin tersebar di daerah-daerah yang sulit di jangkau tetapi sangat ideal untuk suatu lokasi PLTA. 2. Untuk melistrik desa-desa tertinggal dengan jumlah KK = 1,876,020 KK + 2,020,000 KK = 3.896,020 KK, diperlukan dana investasi sejumlah: Rp. 2345 milyar + Rp 2424 milyar = Rp 4769 milyar. Sehingga setiap Keluarga Tertinggal/Miskin membutuhkan dana investasi Rp 1.224.069 untuk mereka dapat menikmati listrik. 3. Sampai tahun 2007, artinya setelah Indonesia merdeka selama 62 tahun, baru sekitar 52 persen dari 54 juta KK penduduk Indonesia yang menikmati aliran listrik. Dengan program ini diharapkan rasio kelistrikan Indonesia bisa naik menjadi 59.2 persen. 4. Selain itu, apabila program melistriki desa miskin ini berjalan secara efektif, maka energi listrik yang disalurkan kepada konsumen untuk setiap tahunnya akan berjumlah 5,119,344,000 kWh. Bila energi ini dibangkitkan dengan bahan bakar diesel (1 kWh butuh 0.3 liter solar), maka biaya bahan bakar untuk membangkitkan energi sejumlah itu = 5,119,344,000 x 0.3 x Rp 6000 = Rp 9214 Milyar. Inilah potensi nilai penghematan yang terjadi setiap tahunnya apabila proyek elektrifikasi pedesaan ini dilaksanakan dengan menggunakan air, bukan dengan BBM.
DAFTAR PUSTAKA 1. Data Kependudukan BPS 2007 2. Data Sumberdaya Air, Ditjen SDA-2007 3. Program VISI 75-100, PLN, 2008