MEMBANGUN DEMOKRASI SEHARI-HARI
Sanksi Pelanggaran Pasal 44 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 ,- (seratus juta rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hal Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau dengan denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)
DENNY J.A. Artikel di Media Indonesia
Membangun Demokrasi Sehari-hari Editor: Fransiskus Surdiasis
LKlS
DennyJ.A Artikel di Media Indonesia Membangun Demokrasi Sehari-hari Deny J .A. @Deny:J.A. xii + 184 halaman: 14,5 x 21 cm I. Ilmu Politik 2. ISBN: 979-25-5236-7 Editor: Fransiskus Surdiasis Rancang Sampul : Imam Syahirul Alim Setting/ layout: Santo Penerbit LKIS Yogyakarta Salakan Baru No.1 Sewon Bantul Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta Tlp.(0274) 387194/7472110 Faks.(0274) 417762 Cetakan I: Agustus 2006
Kata Pengantar BlLA demokrasi adalah sebuah pekerjaan, maka dia tidak pernah boleh dipandang selesai. Demokrasi adalah gerak sebuah bandul pada sebuah continum: suatu saat bergerak maju dan saat lain mungkin bergerak mundur, namun tidak pernah berhenti bergerak. Lalu di manakah posisi seorang intelektual dalam proyek itu? Ada empat kemungkinan yang bisa dimainkan sesuai dengan tuntutan perkembangan demokrasi itu sendiri. Pertama seorang intelektual bersama kalangan yang lain ikut membangun fondasi dengan menawarkan visi jangka panjang tentang demokrasi itu sendiri. Kedua, seorang intelektual melalui dinamika politik keseharian ikut memberikan gagasan bagaimana day to day politics itu ditempatkan dalam kerangka visi besar pembangunan demokrasi. la memberi bingkai pada politik setiap hari, menata dan merefleksikannya kembali menjadi satu kerangka. Ketiga, dalam sebuah perkembangan politik, seorang intelektual kadang diharuskan untuk bersikap kritis dan mengambil posisi, sebuah prinsip yang diyakini oleh penulis buku ini. Namun posisi yang diambil tentu saja tidak diartikulasikan dalam bahasa
pamflet yang provokatif, tetapi tetap dalam irama kesantunan seorang intelektual. Keempat, kadang posisi yang dimainkan hanya sekadar menjadi mitra diskusi, sekadar merekam atau memotret dinamika politik lalu menawarkan semacam perspektif untuk pihak yang lain dalam melihat apa yang sedang berlangsung tersebut. Seorang intelektual ibarat teman ngobrol di warung kopi. Artikel-artikel yang ditulis Denny J .A. dan dimuat di halaman opini harian Media Indonesia sejak 2002 hingga 2004 ini pada hakikatnya memperlihatkan sejumlah posisi di atas dalam
proyek demokrasi Indonesia. Artikel-artikel ini adalah respons intelektual atas peristiwa atau debat politik yang berlangsung dari hari ke hari dalam kehidupan politik negeri ini. Melalui peristiwa-peristiwa ini proyek besar demokrasi Indonesia dikerjakan, dan melalui tulisan-tulisan ini pula penulis ikut membangun, merawat dan menjaga bangunan demokrasi itu. Itulah spirit yang memotivasi penulis untuk menyumbang banyak ide melalui tulisan. Karena itulah kumpulan opini di Media Indonesia ini diberi tajuk sederhana: Membangun Demokrasi Sehari-Hari. Artikel sebanyak 41 yang diterbitkan dalam buku ini dipilah ke dalam bagian-bagian yang merefleksikan kurang lebih empat peran di atas. Bagian Satu: Mencari Visi, merupakan tempat bagi artikel- artikel yang paling tidak memperlihatkan visi tentang demokrasi Indonesia. Politik sehari-hari oleh penulis ditransendensi ke tingkatan ideal normatif demokrasi. Antara lain bagaimana menempatkan isu tentang dikotomi politik Islam dan nasionalis sekuler dalam konteks demokrasi dan visi kita sebagai sebuah bangsa. Bagian Kedua: Menyumbang Gagasan, merupakan tempat bagi artikel-artikel yang didalamnya mengandung proposal solusi atas aneka kasus politik. Mulai dari refleksi tentang tersingkirnya Mulya Lubis dari Komisi Nasional HAM hingga bagaimana sebaiknya sikap yang diperlukan dalam kasus berita Tempo atas Tomy Winata. Bagian Ketiga: Mengambil Sikap, merupakan tempat bagi artikel-artikel yang memperlihatkan posisi atau sikap yang diambil penulis dalam sejumlah isu politik seperti tidak tegasnya sikap polisi atas tindakan kekerasan yang dilakukan Front Pembela Islam, maupun atas aksi-aksi mahasiswa yang menuntut pengunduran diri Megawati selaku presiden saat itu.
Bagian Keempat dan Kelima: Menawarkan Perspektif: merupakan tempat bagi artikel-artikel di mana penulis lebih hadir sebagai mitra dialog atau partner diskusi bagi pembacanya di Media Indonesia. Sifat artikel-artikel ini lebih sebagai membagi perspektif atas aneka isu dan peristiwa politik. Karena relatif banyaknya tulisan yang masuk dalam kelompok ini, maka untuk memudahkan pembaca, dibagi ke dalam dua kelompok: tentang aneka isu politik dan tentang isuisu yang berkaitan dengan pemilu 2004. Akhirnya, selamat membaca. Semoga buku kecil ini berguna sebagai satu lapisan bagi bangunan raksasa penulisan reformasi Indonesia.
Daftar Isi Kata Pengantar….. vii Daftar Isi……. xi Mencari Visi .Islam Versus Nasionalis Sekuler….. 3 Hak DipilihTNI-Polri?...... 9 Calon Presiden Partai Golkar……. 13 Jurnalisme Era Perang….. 17 Heboh Mobil Dinas KPU…… 21 Fatwa Haram Capres Wanita…… 25 Membaca Koalisi Kebangsaan….. 29 Menyumbang Gagasan Tersingkirnya Mulya Lubis ….. 35 Bola Panas 27 Juli ….. 39 Mitos Komisi Konstitusi ….. 43 'The Devil Advocate' ….. 47 Kasus 'Republika' dan Tommy Winata….. 52 Menghadang Politikus Busuk?..... 55 Mengambil Sikap Polisi versus FPI? ….. 61 Komplikasi Menangkap Terorisme ….. 65
Penumpang Gelap Aksi Protes …. 69
Serangan Fajar Buat Megawati? ….. 73 Sukhoigate: Mainan Baru DPR? ….. 77 Berdamai Dengan Mantan PKI? ….. 81 Menolak Hasil Pemilu 2004? ….. 85 Bersama Menyelamatkan Gus Dur ….. 89 Intelektual Dibelakang Capres …..93 Menawarkan Perspektif: Dinamika Politik Menjaga Megawati dan Sutiyoso ….. 99 Cengkeraman Hantu Terorisme ….. 103 Pemerintah versus Politik Islam? …..107 Menko Polkam diakhir tahun ….111 Jatuhkah Presiden Megawati? ….. 115 Platform dibalik Perang Irak ….. 119 Bagaimanakah Perang Irak akan Berakhir? …. 123 Tantangan Debat Publik Sutiyoso …..127 Ikrar NKRI di Aceh ….. 131 FenomenaAbu Bakar Baasyir …. 135 Menawarkan Perspektif: Pemilu 2004 Nurcholish Madjid Di persimpangan Jalan? …..141 Eksperimen Konvensi Partai Golkar ….145 Suryah Paloh, Wiranto, dan Akbar? ….149 Menunggu Kasus Akbar Tandjung ….154 Mundurnya Sri Sultan Hamengkubuwono …. 158
Persekongkolan Menyelamatkan Pemilu 2004 ….162 Pertarungan Politik Dua Jenderal …..166 Bola Liar Kasus 27 Juli ….171 Akademi Fantasi Indonesia? ….175 Sumber Naskah ….179 Daftar Buku Denny J .A ….182 Tentang Penulis ….184
Islam versus Nasionalis Sekuler? APA bahayanya jika politik Indonesia kontemporer terpecah dua : kubu Islam versus kubu nasionalis sekuler? Akankah aneka kekuatan Islam yang beragam menjadi satu kekuatan politik yang solid? Sebagai reaksinya, mungkinkah kubu nasionalis beserta kelompok minoritas, liberal, dan para purnawirawan militer menyatu dalam kubu nasionalis sekuler? Pertanyaan ini otomatis muncul sebagai reaksi perkembangan politik mutakhir. Dua pertemuan lintas partai politik diselenggarakan di dua tempat dengan dua komposisi politikus yang berbeda. Pertama, pertemuan kelompok yang kuat basis Islamnya. Mereka yang terlibat antara lain tokoh partai politik dengan ciri Islam seperti PKB, PBB, PK, dan PAN. Banyak pula hadir pemuka Islam dari ormas ICMI, MUI, KAHMI ataupun figur publik individual. Terakhir kali, pertemuan kelompok ini di rumah Arnien Rais, yang punya reputasi the king maker. Aneka spekulasi pun merebak mengenai kemungkinan pertemuan ini mengeras menjadi kaukus Islam Politik. Sebagai sandingannya, muncul pula pertemuan di rumah Arifin Panigoro di Jenggala. Jika pada kelompok pertama, wakil PDIP absen, maka pada kelompok kedua ini, tokoh PDIP justru menjadi tuan rumah dan aktor utama. Tokoh yang hadir lebih beragam. Aneka partai politik Islam dan Golkar juga terlibat. Sebagaimana dengan kelompok pertama, kelompok ini juga diprediksi menjadi basis kalangan nasionalis. Walau keanggotaan kelompok ini beragam dan seolah tidak berbentuk, diduga-pada waktunya-kelompok ini menjadi kubu paling signifikan untuk menandingi Islam Politik. Dua kubu ini kini menghadapi dua agenda terpenting. Pertama, batas waktu amendemen UUD' 45 pada 2002. Kedua, pemilihan presiden pada 2004. Dua kubu ini boleh jadi akan kembali mencair bersama waktu. Namun, mungkin pula dua kubu ini semakin mengeras dan
memperlihatkan perbedaannya. Lalu konf1ik politik dan persaingan individual di tingkat paling pucuk mengkristal menjadi politik Islam versus politik nasionalis sekuler. Maka, inilah awal bencana dari transisi ke demokrasi di Indonesia. Demi kepentingan yang lebih luas, semoga dikotomi kubu politik Islam versus kubu politik nasionalis sekuler tidak terjadi. *** Pengubuan Islam Politik versus Nasionalis Sekuler punya efek yang buruk setidaknya untuk tiga alasan. Pertama, polarisasi itu akan membuat politik Indonesia tidak pernah stabil. Di tingkat partai politik, ataupun di tingkat civil society dan masyarakat pemilih, segmen politik Islam dan segmen politik nasionalis relatif sama banyaknya. Dapat dikatakan, konstruksi politik Indonesia berdiri pada dua kaki. Satu kaki nasionalis, satu lagi kaki Islam. Politik Indonesia hanya dapat berdiri kukuh jika ditopang oleh dua kaki itu. Siapa pun yang menjadi pemimpin, jika salah satu kaki menarik jarak, pemerintahannya akan goyah karena kurang dukungan. Yang dilakukan justru sebaliknya. Kubu nasionalis dan Islam mesti berbaur dan sama-sama terwakili dalam kepemimpinan puncak pemerintahan. Dalam warna masyarakat seperti di Indonesia, pemerintahan hanya oleh satu kubu akan sama goyahnya dengan sang polirikus yang hanya berdiri dengan satu kaki. Tidak terhindari di era kebebasan yang plural, lahir partai politik arau ormas yang hanya mempunyai saru ciri: polirik Islam arau polirik nasionalis sekuler. Kehadiran kelompok politik dengan warna tunggal ini hal lumrah dan jusrru menjadi cermin aspirasi polirik yang riil. Namun, ketika aneka partai dan ormas itu ingin berhimpun dalam satu barisan lebih besar, rekayasa yang lebih rasional mesti dilakukan. Sekeras mungkin diupayakan agar himpunan politik yang besar itu tetap berisi elemen politik Islam dan politik nasionalis sekaligus.
Kedua, pengubuan politik Islam versus politik nasionalis justru akan mengentalkan kembali politik aliran. Akibatnya, yang menjadi fokus pemerintahan dan politik adalah isu primordial, bukan program dan platform kebijakan publik. Dapat dikatakan semakin politik primordial mendominasi cara pandang politikus, semakin politik yang programatis terlupakan. Padahal kelemahan utama politik di era reformasi adalah absennya platform dan program yang ditawarkan baik oleh politikus, partai politik, ataupun pemerintahan. Pemilu, misalnya, tidak diwarnai oleh debat program. Konflik politik yang terjadi, baik sebelum ataupun setelah pemilu, bukan konflik karena perbedaan program dan platform pemerintahan. Padahal efek sebuah pemerintahan atau partai politik terhadap komunitas besar justru tersalurkan lewat program yang nyata. Bagaimana aneka program itu dapat memberi hasil maksimal jika kurang didebatkan secara publik akibat isu primordial yang lebih mengemuka. Anrara polirik aliran dan program tidak ada hubungan yang otomaris. Politik Islam, sebagaimana politik nasionalis, dapat menjadi pendukung politik demokrasi ataupun otoriter. Politik nasionalis, sebagaimana juga politik Islam, dapat memajukan ekonomi rakyat atau ekonomi pasar. Politik Islam ataupun politik nasionalis mungkin pula mendukung depolitisasi militer atau sebaliknya. Polarisasi politik Islam versus politik nasionalis justru menghalangi politik untuk semakin terfokus pada program dan platform yang konkret. Ketiga, pengubuan politik Islam versus politik nasionalis justru dapat memicu konflik primordial. Indonesia termasuk negeri yang tidak hanya beragam secara etnis dan agama, namun juga punya riwayat konflik primordial yang panjang. Sejak reformasi 1998, sudah lebih dari sepuluh ribu nyawa yang terbunuh hanya karena konflik primordial.
Konflik itu dapat mengambil bentuk Islam versus non-Islam, pri versus nonpri atau etnis pendatang versus etnis lokal. Dari semua konflik itu, konflik antara Islam versus non-Islam yang paling berbahaya. Jika terbentuk kubu politik Islam versus kubu nasionalis sekuler, maka Islam dapat menjadi variabel pembeda. Oleh demagog yang lihai, unsur pembeda itu dapat dimobilisasi untuk kepentingan politik. Sebagaimana dalam pengalaman Pernilu 1999, bahkan para ulama dapat pula dimobilisasi untuk semakin menghangatkan isu primordial. Dalam kondisi komunitas Indonesia yang sedang luka, isu primordial itu dapar menjadi bensin bagi rumput yang kering. Api akan mudah berkobar. Salah-salah, bahkan api itu dapat membakar penyulutnya sendiri. *** Adalah kenyataan bahwa isu primordial pada masa ini di Indonesia masih tetap menjadi unsur pemersatu ataupun pemecah kubu politik. Justru kenyataan itu yang harus diubah dan tidak diperparah. Adalah kenyataan pula bahwa pengubuan politik dalam era demokrasi tidak akan pernah dihindari.
Namun, pengubuan yang dimaksud dapat direkayasa untuk tidak bersandar pada basis politik aliran. Idealnya pengubuan politik di Indonesia bersandar pada program dan platform ekonomi dan politik. Sebagaimana terjadi di negara demokrasi yang matang, pengubuan antarpartai memang bersandar pada program. Begitu banyak perbedaan program yang dapat menjadi unsur pemersatu , atau pemecah lintas partai dan komunitas politik. Misalnya, isu program kesejahteraan bagi rakyat miskin, program penanggulangan pengangguran, program pendidikan murah, program ekonomi kerakyatan versus ekonomi pasar, program penurunan pajak, program toleransi agama, dan program affirmative action golongan minoritas atau kelompok lemah.
Politik yang Islam ataupun yang nasionalis saling berbaur dalam aneka koalisi ataupun barisan. Himpunan politik Islam dan nasionalis yang satu berhadapan dengan himpunan politik Islam dan nasionalis lainnya untuk isu ekonomi, politik, pendidikan, ataupun isu kebudayaan. Publik tidak dihadapkan lagi pada pilihan, politik Islam atau politik nasionalis, tetapi pada pilihan program tertentu. Persoalannya, bagaimana mengubah polarisasi politik dari politik Islam versus politik nasionalis, menjadi polarisasi pada program semata? Literatur transisi demokrasi sangat kaya dengan penyebab perubahan polarisasi politik. Sebagian menyatakan bahwa pembangunan ekonomi secara otomatis akan mengubah polarisasi. Sejalan dengan naiknya level pendidikan dan eksposur dunia modern, ikatan primordial tidak lagi dianggap penting untuk menentukan pilihan politik. Banyak pula literatur yang mengarahkan pada perubahan kultur. Semakin liberal sebuah kultur dominan di sebuah negeri, semakin mayoritas penduduk menghayati keberagaman. Di saat itu, ikatan primordial juga dianggap tidak penting untuk menjadi basis pilihan politik. Namun, literatur mutakhir lebih menyerahkan perubahan polarisasi itu kepada peran pemimpin. Terlepas dari kondisi ekonomi dan kultur sebuah bangsa, para pemimpin akan lebih menentukan apakah sentimen politik aliran itu penting atau tidak sebagai basis politik. Karena besarnya peran pemimpin, kita harap para pemimpin yang ada sekarang tidak bermain api. Begitu besar risikonya jika para pemimpin sekarang ini tidak bersikeras agar polarisasi kubu politik Islam dan politik nasionalis sekuler jangan terjadi .** .
Hak Dipilih TNI-Polri? JIKA semua anggota MPR/DPR tidak ada lagi yang diangkat, apakah sebaiknya anggota TNIPolri yang masih aktif harus dibolehkan mempunyai hak memilih dan dipilih? Karena sentimen primordialisme yang menguat di banyak daerah, apakah sebaiknya anggota TNI-Polri, yang kuat sentimen nasionalismenya, dibolehkan menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)? Ini pertanyaan yang sangat serius, yang mengemuka lagi mengikuti lahirnya RUU Pemilu untuk 2004. Seperti biasa, pro dan kontra di kalangan politikus, akademisi, dan intelektual mengenai topik ini terjadi. Pembahasan terhadap pro-kontra ini dengan mengacu pada prinsip demokrasi sekaligus praktik demokrasi di negara maju. Negara demokrasi yang mapan melarang anggota militer dan polisi yang masih aktif untuk mempunyai hak dipilih menjadi wakil rakyat dalam lembaga politik seperti DPR, DPD, atau MPR. Ada empat prinsip dasar yang menyebabkan hak dipilih itu tidak diberikan. Pertama, demokrasi memisahkan antara politikus dan aparatus negara. Politikus adalah pihak yang berwenang membuat keputusan politik. Sementara aparatus negara adalah pihak yang menjalankan keputusan politik itu. Sejauh keputusan politik itu tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, aparatus negara wajib menjalankan keputusan politik. Karena besarnya tanggungjawab politikus sebagai pengambil keputusan, maka politikus itu harus dipilih oleh rakyat banyak yang terkena efek keputusan politik itu. Pemilu adalah mekanismenya. Dengan sendirinya, politikus itu datang dan pergi setiap pemilu, tergantung dari seberapa banyak rakyat yang percaya kepada program politiknya. Namun, aparatus negara punya siklus hidup yang berbeda. Aparatus negara tidak dirancang untuk datang dan pergi, tetapi menetap dan selalu berada pada posnya. Aparatus negara siap
menjalankan perintah dari politikus mana pun juga sejauh sang politikus itu yang memenangkan pemilu. Karena dirancang untuk menetap, berbeda dengan politikus, aparatus negara tidak ikut dipilih bersaing dengan politikus dalam pemilu. Posisi TNI-Polri yang masih aktif ada pada level aparatus negara. Mereka adalah alat negara yang siap membantu politikus yang menang pemilu. Jika aparatus negara bersaing dengan politikus dalam pemilu, tatanan demokrasi akan hancur. Akan menjadi kabur batas antara pengambil keputusan dengan pelaksana keputusan. Kedua, jika anggota TNI-Polri yang masih aktif diberi hak untuk dipilih, maka prinsip ketatanegaraan akan turut rusak. Sebagai aparatus negara, korps TNI-Polri ada di bawah pimpinan eksekutif; dalam hal ini presiden. Jika anggotaTNI-Polri yang masih aktif itu berada di DPD, DPR atau MPR, jelas struktur hierarki yang prinsipil itu menjadi kabur. DPD atau DPR adalah lembaga yang sejajar dengan lembaga presiden. DPD dan DPR bahkan berperan mengawasi presiden. Posisi MPR lebih tinggi lagi.
Jika segalanya belum berubah dalam amendemen UUD 45, MPR adalah atasan presiden dan dapat memecat presiden. Sebagai anggota DPD, DPR apalagi MPR, berarti anggota TNI-Polri yang masih aktif itu menjadi pengawas dan atasan presiden. Dalan hal ini terjadi kerancuan tata negara. Di satu sisi anggota TNI-Polri yang aktif adalah bawahan presiden. Di sisi lainnya, karena mereka ada di DPD, DPR, dan MPR, maka mereka juga menjadi pengawas dan atasan presiden. Bagaimana mungkin ada subjek hukum yang dapat menjadi bawahan dan atasan sekaligus? Tidak ada negara demokrasi yang matang yang memiliki kekacauan seperti ini.
Ketiga, negara demokrasi memiliki banyak partai politik, namun sudah pasti hanya memiliki satu korps militer dan polisi. Partai mana pun yang menang pemilu di Indonesia, tidak terhindari partai itu membutuhkan bantuan korps TNI-Polri yang tidak ada lain kecuali yang satu itu. Dalam konstruksi seperti ini, sangat berbahaya jika korps yang tunggal itu bersaing dengan partai politik. Jika dikalahkan dalam pemilu, korps itu dapat mempunyai hambatan psikologis untuk tunduk kepada partai politik yang mengalahkannya. Celakanya, partai politik yang bersangkutan tidak bisa memilih korps TNI-Polri yang lain untuk menjalankan keamanan, karena hanya ada satu korps TNI-Polri. Keempat, keamanan dan pertahanan negara adalah masalah vital. Semua negara demokrasi telah memberikan korps militer dan polisinya hak monopoli untuk menjaga keamanan dan pertahanan itu. Hanya militer dan polisi yang secara sah dibolehkan menggunakan alat kekerasan, berikut dengan segala jenis persenjataannya. Sebagai imbalannya, tentu korps TNI-Polri, berikut anggotanya yang masih aktif, mesti rela untuk dibatasi pula haknya. Jika anggota TNI-Polri diperbolehkan berpolitik, dengan memiliki hak dipilih itu, maka monopoli mereka atas keamanan dan pertahanan dapat digunakan sebagai sumber daya politik praktis.
.Keamanan dan pertahanan dapat digoyang-goyang untuk mencapai target politik tertentu. Itu pula sebabnya mengapa di negara demokrasi yang matang, anggota aktif militer dan polisi tidak diperbolehkan dipilih dalam politik. Hak dipilih itu menjadi wilayah politik praktis yang berbahaya jika diberikan kepada aparatus negara. Tetapi bagaimana dengan hak memilih? Hak memilih memiliki konsekuensi yang berbeda dengan hak dipilih. Semua warga negara dibolehkan memilih dalam pemilu, termasuk anggota
militer dan polisi yang aktif. Di Arnerika Serikat, sebagai misal, anggota militer dan polisinya bebas memilih. Lazim diketahui, bahwa mayoritas anggota militer yang aktif menyalurkan politiknya kepada Partai Republik. Sungguhpun boleh memilih, namun anggota militer dan polisi yang aktif dilarang berkampanye. Memilih dalam pemilu adalah satu hal, sementara berkampanye adalah hal lain. Memilih adalah ekspresi dari hak warga negara. Sementara berkampanye adalah kegiatan politik praktis. Berdasarkan pengalaman negara demokrasi, pro dan kontra mengenai hak memilih dan dipilih itu sangat jelas dan tegas. Anggota TNI-Polri yang masih aktif, demi kepentingan negara yang luas, dilarang dipilih, tetapi boleh memilih sejauh ia tidak berkampanye. Semua alasan dan konsekuensinya sudah sangat terang benderang. Sangat sayang jika prinsip dasar yang sangat sederhana dan bermanfaat, serta hasil akumulasi sejarah demokrasi ratusan tahun ini, dilanggar. **
Calon Presiden Partai Golkar SEBERAPA jauh model konvensi Partai Golkar membantu partai ini mencari calon presiden yang berpeluang terbesar untuk menang dalam pemilihan presiden tahun 2004? Sebuah model seleksi, ataupun sebuah mekanisme perekrutan calon presiden, dipilih bukan semata karena ia berbeda dengan metode konvensional. Dalam politik praktis, sebuah model seleksi dipilih karena ia meningkatkan peluang partai yang bersangkutan untuk memenangkan pertarungan politik. Memang, konvensi sudah membuat Partai Golkar tampil beda dan segar. Umumnya, partai besar lain hanya mencari model perekrutan calon presiden yang konvensional dan mudah saja. PDIP mencalonkan ketua umumnya sendiri, Megawati Soekarnoputri. PAN juga melakukan hal yang sama, mencalonkan ketua umumnya, Amien Rais. Bahkan, partai baru seperti Partai PIB, juga memilih lakon yang sama, mencalonkan ketua umumnya, Dr Sjahrir. Dari sisi ini, Partai Golkar memang membuat terobosan. Calon presiden tidak dibatasi hanya kepada ketua umum partai. Maka, muncul aneka calon yang tidak biasa. Ada kalangan pengusaha yang ikut bursa, seperti Surya Paloh dan Aburizal Bakrie. Ada pula intelektual yang semakin santer disebut, sepeni Nurcholish Madjid.
Tidak ketinggalan berbagai purnawirawan militer juga masuk persaingan: Susilo Bambang Yudhoyono, Wiranto, dan Agum Gumelar. Namun, disayangkan, model konvensi yang dikembangkan Partai Golkar terasa tanggung. Model ini kurang maksimal memanfaatkan peran serta populasi luas untuk ikut memilih calon presiden Partai Golkar. Akibatnya, sungguhpun konvensi itu terasa segar, namun tetap tidak mampu mencerminkan kecenderungan populasi dalam pemilihan presiden tahun 2004 kelak. ***
MODEL konvensi Partai Golkar mengulangi kesalahan konvensi partai politik di Amerika Serikat di tahun 1800-an, ketika model konvensi untuk pertama kali dilahirkan. Partai Golkar hanya membatasi diri, atau memberikan otoritas pemilihan kepada elite partai, yang jumlahnya segelintir. Debat konvensi Partai Golkar lebih disibukkan dengan isu apakah konvensi dilaksanakan setelah atau sebelum pemilu legislatif, dan berapa jumlah suara yang sebaiknya dimiliki oleh pengurus DPP, DPD, serta organisasi pendukung Golkar. Kompromi memang sudah dicapai, baik mengenai waktu konvensi ataupun jumlah suara masing-masing elite partai. Total pemilih yang menentukan calon presiden Partai Golkar kelak kurang dari 600 orang saja. Model ini mengandung satu kelemahan mendasar. Pilihan elite partai sangat mungkin berbeda dengan pilihan para pemilih yang sebenarnya, yang nanti paling menentukan siapa Presiden Indonesia di tahun 2004. Aspirasi politik pengurus partai, belum tentu sama dengan aspirasi pemilih yang riil. Pengurus partai sangat mungkin tidak mewakili aspirasi populasi wilayahnya karena beberapa sebab. Mungkin ia teralienasi karena kurang intens berhubungan dengan populasi riil. Namun, dapat pula kesenjangan itu disebabkan oleh kepentingan politik sesaat, dari kemungkinan mobilisasi vertikal sang pengurus sampai kemungkinan bekerjanya. *** Amerika Serikat sendiri segera memperbaiki model konvensi partai politik. Diperkenalkanlah model primary election yang mendahului konvensi partai. Yang menentukan calon presiden partai bukan lagi segelintir pengurus elite partai, tetapi populasi pemilih itu sendiri. Konvensi partai tidak lagi memilih calon presiden partai, tetapi sekadar mengesahkan calon presiden yang sudah dipilih melalui primary election.
Pemilihan presiden di Amerika Serikat dilakukan bulan November. Konvensi partai umumnya dilakukan tiga bulan sebelumnya, sekitar Juli atau Agustus. Sedangkan primary election diselenggarakan sekitar mulai Febuari atau Maret sampai Juni di tahun pemilihan yang sama, dan di semua negara bagian. Dalam primary election, masing-masing calon presiden partai berkampanye, memobilisasi dukungan, sebagaimana layaknya pemilihan umum. Debat kandidat juga diselenggarakan. Saling mengevaluasi atau mengkritik antar kandidat juga terjadi. Model primary election ini memberikan beberapa keuntungan. Pertama, daya tahan dan seleksi calon presiden partai sudah diuji oleh publik luas. Keunggulan calon presiden yang satu daripada yang lain tergambar dalam cara ia memobilisasi pendukung, meyakinkan publik, ataupun menawarkan aneka program. Metode primary election ini memotret secara jelas, calon presiden partai in action, ketika mereka secara riil harus bertarung merebut hati pemilih. Kedua, calon presiden partai juga mendapatkan perhatian pers lebih awal dan lebih banyak. Publikasi awal ini membuat calon presiden partai semakin populer, dan semakin lihai di ruang publik. Sementara dinamika primary election itu juga memudahkan calon untuk menarik para inves(or a(au penyumbang dana. Ketiga, yang lebih penting lagi, populasi setiap wilayah, negara bagian, akan memilih calon presiden dari partainya sendiri. Yang memilih bukan lagi sekadar ratusan, tetapi jutaan populasi. Di Arnerika Serikat, sendiri, ada dua model primary election. Ada model yang tertutup, populasi yang berhak memilih hanyalah yang punya kartu anggota partai. Atau model terbuka, semua penduduk di wilayah itu boleh juga memilih. Mereka yang terpilih dalam konvensi partai melalui primary election adalah tokoh yang paling populer di mata populasi pemilih, bukan sekadar di mata pengurus partai yang sangat segelintir itu.
Setelah selesai primary, lalu dilakukan konvensi partai. Setiap negara bagian, tidak diberi jatah suara yang sama. Karena, populasi pemilih di setiap wilayah berbeda, dengan sendirinya, wilayah yang besar populasinya punya hak suara lebih besar ketimbang yang populasinya kecil. Sementara konvensi Partai Golkar memberikan suara yang sama kepada semua DPD, tidak peduli jumlah populasi di wilayah provinsi atau kabupaten masing-masing. Jika Partai Golkar memang serius ingin menang dalam pemilihan presiden, jangan tanggungtanggung dengan model konvensi partai. Model primary election Arnerika dapat diadopsi sebelum diselenggarakan konvensi partai. Serahkan hak memilih kepada pemilih yang sebenarnya, bukan kepada pengurus partai yang segelintir. **
Jurnalisme Era Perang
SEORANG wartawan yang sangat mencintai profesinya dan ingin bertindak profesional, tetapi sekaligus mencintai keutuhan negaranya, bagaimana ia harus bersikap dan menulis soal perang Aceh? Haruskah ia secara konsisten menerapkan prinsip jurnalisme yang baku, tidak peduli apakah efek dari tulisannya itu negara akan pecah menjadi dua atau menjadi sepuluh? Atau sebaliknya, ia harus membela semua kebijakan perang negaranya, dan membutakan diri dengan semua kaidah jurnalisme yang baik? Bayangkan situasi di bawah ini. Sebuah stasiun televisi swasta berpengaruh, misalnya, menayangkan wawancara eksklusif dengan Hasan Tiro, pemimpin tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Wawancara ini kemudian ditayangkan di acara prime time yang disaksikan oleh begitu banyak pernirsa Indonesia. Dalam wawancara itu Hasan Tiro menjelaskan posisinya, mulai dari mengapa ia memimpin GAM, sampai mengapa ia menanggalkan kewarganegaraan Indonesia. Dalam tayangan itu, pewawancara meminta pandangan Hasan Tiro soal perang Aceh di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Dengan gesitnya, sebagai seorang politikus kawakan, Hasan Tiro memaparkan semua daftar kesalahan pemerintah Indonesia berdasarkan versinya sendiri. la pun mengajak publik Indonesia unruk melawan operasi terpadu di Aceh. Berdasarkan kaidah jurnalisme, jelas keberhasilan mewawancarai Hasan Tiro secara eksklusif adalah sebuah prestasi. Apalagi, wawancara ini mengupas topik yang sedang hangat-hangatnya menyita perhatian. Namun, efek wawancara itu sangat mungkin membuat begitu banyak pemirsa simpati kepada Hasan Tiro. Mereka yang tadinya tidak bersikap atas perang Aceh, setelah mendengar wawancara itu, seketika mengambil posisi yang kritis dan frontal terhadap kebijakan
pemerintah. Karena kemahirannya, Hasan Tiro berhasil mengubah persepsi politik, terutama masyarakat awam. Bagaimana kita harus menilai karya jurnalisme di atas? Apakah hasil wawancara itu sebuah masterpiece jurnalisme di era perang? Atau sebaliknya, itu adalah bentuk kebodohan dan ketidakpedulian jurnalisme di saat negara sedang berupaya mengalahkan GAM dan memburu Hasan Tiro? *** Mungkin kita harus banyak menyimak kasus jurnalisme di Amerika Serikat (AS). Negara ini menjadi salah satu model dan kiblat kebebasan pers. Pada saat yang sama, negara ini juga sering berada dalam situasi perang. Yang menarik, sejak Perang Vietnam, pers Amerika Serikat membatasi kebebasannya sendiri jika negara berada dalam situasi perang. Perang Vietnam merupakan titik balik peran pers di era perang. Sebuah negara adidaya dikalahkan oleh negara dunia ketiga yang nyaris masih terbelakang. Namun, umumnya politikus dan kalangan pers sepakat bahwa yang telah mengalahkan Amerika Serikat bukanlah tentara Vietnam. Amerika Serikat dikalahkan oleh persnya sendiri yang memenangi perang. Tidak henti-henti, pers Amerika Serikat menyiarkan kantung-kantung plastik yang membawa jenazah tentara Amerika Serikat. Drama para ibu Amerika Serikat yang kehilangan anaknya, istri yang menjadi janda, dan anak-anak Amerika Serikat yang menjadi yatim, mewarnai berita media massa Amerika Serikat. Berita itu dengan segera menjadi pemicu maraknya demonstrasi antiperang. Untuk pertama kalinya di era perang, Presiden Amerika Serikat menjadi sangat tidak populer. Perang Vietnam akhimya dihentikan. Namun, semua pihak belajar banyak. Apa yang ditulis oleh pers di era perang sangat mempengaruhi dukungan atau oposisi publik terhadap perang itu. Pemerintah tidak akan pernah memenangkan perang secara mudah jika
publiknya sendiri secara muclak menentang perang. Para pemimpin dan pekerja pers juga semakin hati-hati dengan liputan jurnalismenya, mengingat begitu besar efek politik yang dihasilkan. Tragedi 11 September 2001 mengubah secara radikal sikap jurnalisme di Amerika Serikat terhadap situasi perang. Secara kolektif, publik Amerika Serikat merasakan sendiri betapa buruknya situasi yang terancam oleh teror. Dalam sekejap, dua menara hancur di New York. Gedung Pentagon yang merupakan simbol adidaya Amerika Serikat juga rontok. Ribuan manusia mati secara serentak, yang terbesar dalam sejarah Amerika Serikat untuk peristiwa yang terjadi dalam satu hari. Sementara publik Amerika Serikat terus dibayangi kemungkinan berulangnya kembali teror itu, bahkan dalam skala yang lebih besar. Ketika Amerika Serikat mencanangkan perang melawan terorisme, semua warga Amerika Serikat berdiri di belakang presiden. Bahkan semua pers besar, satu kata, satu rasa, ikut perang melawan terorisme. Lanjutan dari tragedi itu, dalam Perang Afganistan, kemudian Perang Irak, pers di Amerika Serikat bersikap sama sekali berbeda dibandingkan ketika mereka menghadapi Perang Vietnam. Tanpa diberi komando dan instruksi dari pemerintah, pers besar Amerika Serikat mengambil sikap sebagai pers 'yang bertanggung jawab'. CBS, salah satu stasiun terkemuka Amerika Serikat, mencoba menayangkan wawancara eksklusif dengan Saddarn Hussein, beberapa saat sebelum dilancarkannya serangan ke Irak oleh Amerika Serikat. Di luar dugaan, tayangan itu justru dikritik oleh sesama insan pers sendiri. CBS dianggap tidak mengembangkan pers yang patriotik dan tidak peduli dengan kesusahan yang sedang dihadapi negara. Ini tidak berarti bahwa dalam situasi perang, kebebasan harus dikalahkan oleh rasa aman dan survival bangsanya sendiri. Narnun, pers lebih tumbuh matang dan dewasa. Kebebasan yang ada,
hanya untuk situasi perang, dimodifikasi sedemikian rupa untuk mendukung bangsanya sendiri memenang perang. Terjadi self censorship kalangan pers oleh pemimpin dan pekerja pers itu sendiri. Mereka sepenuhnya memahami bahwa dalarn era perang, yang sedang terjadi tidak hanya perang fisik, tetapi juga perang opini. Dukungan atau oposisi publik terhadap perang yang dilancarkan pemerintah sangat tergantung dari pembentukan opini itu, sedangkan opini acapkali adalah masalah persepsi. Pers cetak ataupun elektronik hadir dan membentuk kesadaran publik setiap saat. Apakah pers itu mendukung atau mengecam pemerintah, apakah pers itu memberi ruang bagi manuver politik opini pihak lawan, dapat menentukan hasil akhir perang itu. Pers di Amerika Serikat, pusat dari kebebasan pers, dapat membatasi kebebasannya sendiri di saat negara berada dalarn situasi perang. Tentu pers di Indonesia dapat berlaku sama ketika pemerintah menghadapi operasi terpadu di Aceh. **
Heboh Mobil Dinas KPU HEBOH mobil dinas Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada awal Januari 2004 ini, yang menjadi headline berbagai koran dan Tv; pastilah bukan sekadar masalah harga mobil. Heboh ini hanya letupan dari kerinduan publik kepada asketisisme politik yang memang sudah lama hilang dalam dunia pejabat publik di Indonesia. Apalagi di era krisis dan transisi, publik memang cenderung romantik. Mereka merindukan pejabat publik yang penuh dedikasi pada "perjuangan" namun sangat asketis, dan sangat hemat dalam menggunakan uang negara. Di Indonesia, di Amerika Serikat, di China, di mana pun, memang sentimen publik luas cenderung pada gambaran ideal. Mereka ingin pejabat publik punya perilaku, standar moral, dan daya tahan emosi di atas manusia rata-rata. Mereka ingin pejabat publik menjadi role model, sebagai pedoman, dan berperan menjadi panutan. Sungguhpun terkesan cerewet dan meminta terlalu banyak, sentimen ini terbukti efektif. Dalam sejarah, terbukti sentimen ini menjadi mesin utama yang secara perlahan dapat memaksa pejabat publik menyesuaikan diri dengan gambaran ideal itu. Sementara umumnya pejabat publik punya cara berpikir yang legal formal. Hanya politikus yang tinggi jam terbangnya yang tahu 'melayani' dan mematuhi sentimen publik, walaupun, misalnya, "kepatuhan" pada sentimen ideal publik itu hanya seolah-olah saja. Dalam kenyataannya, sangat mungkin sang politikus lihai itu berperilaku busuk juga. Namun, ia pandai mengemasnya untuk publik. Kecuali politikus yang lihai, umumnya pejabat publik kita berpikir dalam kerangka yang normal saja. Sejauh tidak ada aturan dan hukum formal yang dilanggar, mereka pikir tidak ada salahnya memaksimalkan fasilitas yang ada. Bukankah fasilitas itu tidak didapat dari korupsi atau hadiah dari yang menang tender? Bukankah total anggaran membeli mobil baru itu hanya sekitar tiga miliar rupiah, hanya satu permil dari anggaran KPU
yang mencapai tiga triliun? Bukankah mobil baru itu hanya pinjaman? Setelah tugas dinas selesai, mobil akan dikembalikan kepada negara? *** Berbagai berita, editorial, dan karikatur koran kini ramai mengolok-olok anggota KPU. Menurut banyak media, umumnya anggota KPU dulu dikenal sebagai akademisi, aktivis LSM, dan tokoh yang gemar dengan hidup sederhana. Tetapi setelah menjabat, sambung berbagai media, ternyata mereka juga 'menyenangi' banyak hal yang dulu mereka kritik sendiri, memanfaatkan fasilitas negara secara maksimal. Mereka sudah diberikan mobil 'rakyat'. Wajar saja pejabat negara dipinjamkan mobil untuk kelancaran kerja. Namun, kebutuhan fungsional kendaraan mungkin tidak lagi memadai. Anggota KPU dikritik media mulai berpikir soal prestise, mobil yang lebih 'keren' dan 'mahal'. Celakanya hal ini dilakukan dalam situasi KPU daerah, perangkat institusi pemilu lain masih kekurangan dana. Tidak heran pula mengapa kisah Anas Urbaningrum menjadi berita besar. Berbeda dengan anggota KPU lainnya, Anas mengembalikan tidak hanya mobil baru. la juga mengembalikan mobillama. Sekali lagi antusiasme media dan publik mengenai Anas Urbaningrum bukan soal mobil. Kehebohan ini menggambarkan sekali lagi kerinduan pada asketisisme politik pejabat publik. Di era demokrasi, apalagi di zaman krisis, apa daya memang acap kali sentimen publik 'sangat kejam' terhadap pejabat negara. *** Namun, sentimen publik kepada asketisisme politik pejabat negara terbukti positif. Yang paling mencolok mata adalah kasus kualifikasi Presiden Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam itu, perselingkuhan seksual terjadi pada banyak penduduk. Sungguhpun berselingkuh, mereka tidak ingin presiden melakukan perselingkuhan yang sama. Presiden bagi mereka haruslah tokoh
terpilih, yang tidak melakukan apa yang sebenarnya publik luas juga biasa melakukannya. Ini bukan munafik tetapi proyeksi harapan. Di tahun 1960-an, Presiden Amerika Serikat masih bisa selamat walau ia berselingkuh. John F Kennedy sangat terkenal scbagai womanizers. Begitu banyak pengagumnya di kalangan wanita. Begitu banyak pula gosip mengenai teman kencannya. Namun di tahun 1990-an, apalagi tahun 2000-an, public mood sudah berubah. Jangankan untuk berselingkuh ketika menjadi presiden. Ketika menjadi calon presiden saja, masa silam sang calon digali dan dipublikasikan. Garry Hart gagal maju menjadi calon serius ketika skandal seksualnya terungkap. Bahkan masa muda George Bush yunior, yang kini menjadi presiden, ditelusuri. Berbagai kelompok mencari tahu apakah benar George Bush itu pernah mabuk ketika mengendarai mobil? Akibat sentimen publik yang 'agak kejam' dan mendambakan presiden yang ideal, memang politikAmerika Serikat menjadi lebih bersih. Kini para politikus yang ingin menjadi presiden, sejak awal sekali sudah menjaga reputasi.
Mereka bukan saja menambah jam terbang dan pengalaman selaku pemimpin. Namun dalam kehidupan pribadi, mereka juga berupaya menjadi tokoh seperti yang diidealkan sentimen publik. *** Kita memang tidak dapat menyalahkan anggota KPU. Dibandingkan fasilitas yang dimiliki menteri, anggota DPR, direktur BUMN, bahkanpimpinan LSM besar, mungkin fasilitas anggota KPU sekarang belum seberapa. Padahal, tanggung jawab mereka begitu besar. Jika terjadi persoalan dengan Pemilu 2004, mungkin anggota KPU itu yang pertama-tama dikejar rakyat.
Mobil baru yang kinimereka nikmati mungkin hal yang wajar saja. Namun, sentimen publik yang ideal atas pejabat publik tidak dapat pula disalahkan. Sentimen itu bahkan harus terus dipupuk dan diberikan kekuatan. Entah benar atau sekadar mitos, gambaran the founding fathers selalu menjadi rujukan. Betapa dahulu kala, pendiri Republik ini bersusah payah menjadi pemimpin. Mereka masuk penjara. Dan ketika menjadi penguasa, mereka juga terasa asketis, hidup sederhana. Bung Karno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, Mohamad Natsir, dan lain-lain acapkali menjadi rujukan. Pengabdian mereka pada negara tidak diragukan. Namun tidak terdengar kabar mereka memaksimalkan fasilitas yang ada. Gambaran yang ideal ini terus hidup dalam memori kolektif publik luas. Semoga para anggota KPU sabar dengan kehebohan itu. Kita hanya berharap, jika ada kehebohan berikutnya di masa datang menyangkut KPU, semoga itu menyangkut inovasi besar yang dilakukan KPU untuk pemilu. Bukan lagi menyangkut fasilitas baru atau fasilitas tambahan. **
Fatwa Haram Capres Wanita YANG dikhawatirkan itu akhirnya datang juga. Persaingan politik calon presiden mulai memasuki wilayah agama. Atau lebih tepat lagi, para ulama mulai membuat interpretasi atas prinsip agama yang sangat kental nuansa politisnya. Politikus yang diuntungkan oleh interpretasi itu memilih diam seribu bahasa. Politikus yang dirugikan diam-diam juga memobilisasi argumen tandingan. Sementara umat NU dan muslim pada umurnnya semakin bingung dengan akrobat politikus dan para kiainya.
Sebagian ulama yang dihormati sudah mengeluarkan fatwa. Menurut mereka, haram hukumnya memilih presiden wanita. Hanya untuk situasi darurat saja kepemimpinan wanita dibolehkan. Dalam situasi normal, kepemimpinan nasional sebaiknya dijabat oleh kaum
pria.
Konsekuensinya seorang capres dianjurkan untuk ditolak bukan karena kompetensinya, bukan karena integritasnya, bukan pula karena programnya. la ditolak semata-mata karena ia kebetulan seorang wanita. Kita.kembali teringat peristiwa politik pada 1999, juga menjelang pemilu presiden. Saat itu Hamzah Haz juga mempopulerkan fatwa yang kurang lebih sama. Menurutnya, ulama melarang PPP untuk memilih presiden wanita. Ujung dari kejadian itu sudah pula kita ketahui. Hamzah Haz sendiri ternyata berkompetisi untuk menjadi wakil presiden dari seorang presiden wanita. *** Hamzah Haz mungkin benar, fatwa haram yang sikeluarkan oleh ulama NU dan PKB saat ini sama sekali karena keharusan agama. Kiai Langitan perlu menyampaikan kepada publik tentang apa yang seharusnya menjadi prinsip Islam. Setelah prinsip itu disampaikan, para kiai sudah bebas dari dosa. Terserah kepada publik untuk menerima interpretasi itu atau tidak. Jika yang menyampaikan fatwa haram itu seorang kiai yang sama sekali tidak terkait politik, situasi mungkin lebih mudah. Persoalannya, Kiai Langitan itu berfatwa dengan anjuran politik " yang tidak kalah serunya. la meminta pengikutnya mendukung Wiranto dan Gus Solah. Menurut Kiai Abdullah Faqih, sampaikan pesan ini kepada keluarga dan tetangga, untuk memilih Wiranto-Gus Solah. Mudah sekali tercium oleh publik bahwa di balik fatwa haram ini bergolak perseteruan antara paket Megawati versus paket Wiranto memperebutkan suara NU. Baik Megawati ataupun Wiranto menggandeng wakil presiden dari tokoh NU. Hasyim Muzadi, cawapres Megawati,
adalah Ketua Umum NU yang sedang dinonaktifkan. Sementara Gus Solah, cawapres Wiranto , adalah Ketua PBNU yang juga sudah menonaktifkan diri. Massa NU yang diperebutkan banyak sekali, sekitar 35% dari seluruh pemilih Indonsia. Alam demokrasi yang bebas, tentu saja setiap kelompok politik bebas membuat manuver untuk mencapai kemenangannya. Koridornya hanya aturan formal, bahwa manuver itu tidak melanggar hukum nasional. Fatwa haram bagi capres wanita juga tidak melanggar hukum nasional. Fatwa itu semata kultur politik yang dianut oleh segmen tertentu masyarakat.
Namun, demokrasi tidak dapat terkonsolidasi jika kultur politik yang berkembang tidak paralel dengan prinsip konstitusi dan demokrasi itu sendiri. Demi kepentingan jangka panjang, semua politikus dan kelompok politik yang bersaing seharusnya punya sikap yang jelas. Mereka memang butuh kemenangan. Namun, mereka harus menolak kemenangan yang berdiri di atas kultur politik yang salah. Fatwa haram bagi pemimpin wanita bertentangan dengan kultur demokrasi dan konstitusi UUD 45. Jelas-jelas tertera dalam UUD 45 yang sudah diamendemen bahwa baik pria ataupun wanita tidak boleh dilarang menjadi presiden. Apa pun jenis kelamin, warna kulit, keyakinan politik, agama seorang warga negara ia boleh menjadi pimpinan nasional sejauh dipilih melalui pemilu. Apa jadinya Indonesia jika para pemimpin kultural masing- masing mengeluarkan fatwa dan sejenisnya. Tidak mau kalah, kelompok etnis A mengumumkan jangan pilih presiden dari etnis yang lain.Lalu kelompok suku B juga mengeluarkan imbauan agar jangan dipilih presiden dari suku lain. Imbauan itu diikuti oleh aneka kelompok agama dan interpretasinya, lalu juga oleh kelompok dari kultur lain.
Jika ini terjadi, Indonesia kembali terpecah belah oleh aneka perbedaan kultural dan agama para warganya. Konstitusi hanya berhenti menjadi acuan formal yang kering. Sementara kultur politik yang hidup di masyarakat justru menentang prinsip konstitusi itu sendiri. Tidak ada negara yang dapat stabil jika aturan konstitusinya bertentangan dengan kultur politik yang dihayati oleh masyarakat. Buat apa ada kebebasan para wanita menjadi capres jika kultur politik yang dikembangkan justru melarang wanita menjadi capres. *** Hasyim Muzadi juga seorang kiai, bahkan pernah menjadi ketua umum PBNU. la memilih menjadi cawapres bagi capres wanita. Abdullah Faqih juga seorang kiai, bahkan disebut kiai khos. Tetapi, ia memilih mengeluarkan fatWa haram bagi capres wanita. Said Agil Siraj seorang cendekiawan muslim, juga tokoh NU. la membenarkan bahwa wanita boleh menjadi presiden. Sementara banyak juga kiai di samping Abdullah Faqih yang ikut mengharamkan wanita menjadi presiden. Data itu sendiri menunjukkan bahwa di antara para kiai itu sendiri terjadi perbedaan pendapat. Padahal, semua mereka adalah kiai, dan memahami agama. Semuanya adalah dari NU pula. Namun, memang mereka berbeda posisi dalam pemilu capres. Sebagian ada di kubu Megawati. Sebagian lagi ada di kubu Wiranto. NU menjadi terbelah dan oleng akibat pertentangan kubu politik para kiainya. Megawati tentu saja boleh ditolak dan tidak dipilih lagi. Namun, sebaiknya alasan yang digunakan adalah alasan yang rasional. la ditolak, misalnya, karena dianggap gagal, tidak kompeten, tidak presidensial, atau tidak efektif sebagai presiden di era krisis. Namun, jika Megawati ditolak hanya karena ia seorang wanita, bukankah Megawati sendiri tidak minta dilahirkan sebagai wanita, dan tidak dapat pula mengubah jenis kelaminnya?
Gus Solah dan Gus Dur dikenal sebagai pejuang demokrasi dan HAM di barisan NU. Mereka harus bersuara keras menolak konservatisme interpretasi agama itu. Jika tidak, mereka berdua akan pula dianggap larut dalam pragmatisme ekstrem, yang mendahulukan kemenangan politik belaka. Lalu, tokoh NU mana lagi yang bisa menjadi teladan. **
Membaca Koalisi Kebangsaan Di kalangan aktivis pergerakan kini dikembangkan istilah 'tiga Sekawan'. Istilah ini merujuk kepada perkumpulan tiga tokoh partai besar, Megawati Soekarnoputri, Akbar Tandjung, dan Hamzah Haz. Bersama tokoh lainnya, tiga tokoh ini sudah menandatangani kontrak politik. Mereka sepakat mempertahankan Megawati sebagai presiden dalam pemilu 20 September 2004. Aneka label baru kemudian bermunculan untuk menggambarkan rivalitas antara Megawati versus Susilo Bambang Yudhoyono, setelah 'Tiga Sekawan' bersatu. Ada yang menyebutnya Koalisi Partai versus Koalisi Rakyat. Tentu istilah Koalisi Rakyat tidak dikenal dalam ilmu politik. Namun, itu bahasa ngepop sebagai simbol gerakan yang lebih mengutamakan sentimen rakyat ketimbang sentimen elite partai politik. Jusuf Kalla misalnya, menjelaskan secara sangat lugas mengapa mereka (SBY-JK) lebih mengutamakan sentimen rakyat. Menurut Jusuf Kalla, pimpinan Golkar sudah memberlakukan politik seperti tender bangunan. Pimpinan Golkar mengklaim sudah ditawari sekian menteri dan aneka jabatan oleh PDIP. Ada pula yang melabelnya sebagai oligarki elite versus Daulat Rakyat. Label ini juga membedakan antara kekuatan yang didukung oleh elite versus kekuatan yang didukung oleh rakyat banyak. Publik sudah telanjur mendengar hasil survei, yang dibuat oleh tiga lembaga independen yang profesional di bidang jajak pendapat: LSI, IFES, dan LP3ES. Baik exit poll ataupun survei pasca-5 Juli 2004, tiga lembaga ini menghasilkan keunggulan telak SBY, dengan margin sekitar 40%. Setelah pemungutan suara 5 Juli 2004, responden dielaborasi melalui exit poll LP3ES. Dengan analisis sederhana, LP3ES menyimpulkan, dari 13 juta suara pendukung capres yang kalah, sebanyak 10 juta (77%) mengalihkan suaranya ke SBY dan 3 juta (23%) ke Megawati.
LSI menghasilkan temuan yang sama, sekitar 68% ke SBY dan 23% ke Megawati. IFES juga memperkuatnya dengan angka 66% ke SBY dan 24% ke Megawati. Ini posisi dukungan publik ketika survei dilakukan sekitar pertengahan Juli 2004. Hasil pemilu parlemen dan pemilu presiden 2004 babak pertama sebenarnya juga menunjukkan sinyal yang sama, bahwa publik ingin perubahan. Pada pemilu parlemen, partai yang sedang berkuasa, PDlP dikalahkan dan hanya nomor dua. Pada pemilu presiden tahap pertama, presiden yang sedang berkuasa, Megawati, juga dikalahkan hanya nomor dua. Jika publik tidak ingin perubahan, pasti PDIP akan menang pada pemilu parlemen dan Megawati teratas pada pemilu presiden tahap pertama. *** Seberapa efektif dan seberapa panjang napas politik 'Tiga Sekawan' dan Koalisi Kebangsaan yang mendukung Megawati? Tidak banyak yang menduga bahwa koalisi dapat menghasilkan sinergi positif, namun dapat juga menghasilkan sinergi negatif. Dalam sinergi positif, jika masing-masing pihak membawa nilai 50, jika ketiganya berkoalisi, mereka menghasilkan 150. Sebaliknya, dalam sinergi negatif, jika nilai Megawati 50, setelah koalisi justru dapat merosot menjadi 40, 30, 20 dan seterusnya. Sinergi negatif mungkin terjadi jika aneka kekuatan Megawati justru berkurang setelah kekuatan lain bergabung. Mohammad Hatta, salah satu pendiri negara, memperkenalkan istilah 'Persatean Nasional' sebagai plesetan dari 'Persatuan Nasional.' Saat itu Bung Karno memperkenalkan Koalisi yang dapat mempersatukan Indonesia, 'Nasakom.' Menurut Bung Karno, dalam Nasakom, tiga kekuatan utama Indonesia, nasionalis, sosialis, dan komunis bisa juga bersatu. Koalisi kebangsaan juga potensial menjadi sinergi negatif Kaum sekuler yang mendukung Megawati bisa saja pergi setelah PPP bergabung.
Mereka tahu PPP selama ini memperjuangkan Piagam Jakarta. Kaum nasionalis pencinta Bung Karno bisa saja pergi dari Megawati ketika Golkar bergabung. Mereka masih susah memisahkan Golkar baru dengan manuver Soeharto ketika menggunakan Golkar dan melakukan desoekarnoisasi. Sementara diragukan seberapa efektif mesin Golkar dan PPP mampu mengarahkankonstituennya untuk mendukung Megawati yang dulu mereka kampanyekan harus diganti. Seandainya Megawati terpilih, Koalisi Kebangsaan justru dapat menjadi beban pemerintahan Megawati. Akan ada matahari kembar dalam pemerintahan baru, Megawati dan Akbar Tandjung. Dengan posisi Akbar Tanjung sebagai ketua dewan penasihat presiden, delapan menteri dari Golkar, dan posisi Ketua DPR di tangan fraksi Golkar, Megawati dapat tersandera. Jika tidak berkompromi dengan Akbar Tanjung, pemerintahan dapat dibuat lumpuh. Secara, de jure, Megawati memang presiden. Tetapi secara de facto, Akbar Tandjung mungkin lebih dominan karena jam terbangnya sebagai politikus. Bagaimana jika Megawati kalah? Segera Koalisi Kebangsaan berantakan. Selama hidupnya Golkar tidak pernah menjadi oposisi. Akan muncul elite baru di Golkar, baik atas restu Akbar Tandjung ataupun tidak. Mereka akan meninggalkan Megawati dan pergi ke presiden baru yang terpilih. Sementara akan terjadi pula dinamika internal di PPP, yang ingin bergabung dengan presiden baru. Nasib Koalisi Kebangsaan berarti hanya seumur jagung. Politik 'Tiga Sekawan' segera bubar. Agaknya, baik ketika menang ataupun kalah, Koalisi Kebangsaan akan menjadi problem bagi Megawati Soekarnoputri. Penyebabnya sederhana. Koalisi partai itu tidak dilakukan mengikuti pakem politik modern, seperti kesamaan platform partai. Partai yang diajak tidak diseleksi, tetapi semata-mata
didasarkan oleh pertimbangan jangka pendek belaka, power sharing. Kalkulasi politik jangka pendek akibatnya membuat umur koalisi ini akan pendek pula. **
Tersingkirnya Mulya Lubis TODUNG MULYA LUBIS sudah menjadi ikon dalam perjuangan hak asasi di Indonesia. Reputasinya di dunia hak asasi bahkan sudah melambung ke dunia internasional. Berbeda dengan aktivis atau pemikir hak asasi lain di Tanah Air, Mulya Lubis cukup fasih tidak hanya dalam diskusi akademik soal hak asasi, tetapi juga dalam gerakan hak asasi yang bersifat politik praktis. Cukup mengagetkan, justru Mulya Lubis tidak terpilih menjadi anggota Komnas HAM. Sebagaimana calon anggota lain, ia juga mengikuti fit and proper test. Istilah ini merupakan idiom baru yang muncul di era reformasi untuk mengesankan sebuah prosedur pemilihan yang objektif melalui tes yang terbuka secara umum. Yang memilih dan menyeleksi anggota Komnas HAM adalah anggota DPR (Komisi II) ditambah anggota Polri/TNI yang diangkat. Semua anggota DPR dipilih dalam Pemilu 1999 yang diakui oleh dunia sebagai pemilu yang bebas dan demokratis. Padahal, oleh banyak kalangan yang independen dan kritis, Mulya Lubis bukan saja sangat layak untuk terpilih, melainkan sangat layak pula untuk memimpin Komnas HAM itu. Apa yang sebenarnya terjadi? ***
Tidak terpilihnya Mulya Lubis menguak fenomena penting dunia politik era reformasi, yaitu buruknya hubungan antara civil society yang proreformasi dengan partai politik besar yang mendominasi DPR. Ada kesalahan taktis dan persepsi pada keduanya yang membuat kedua belah pihak merasa tidak ingin saling merangkul. Tersingkirnya Mulya Lubis, yang merupakan
salah satu ikon civil society proreformasi, oleh partai besar di D PR hanyalah puncak gunung es dari tidak harmonisnya dua dunia politik itu. Setiap negara demokrasi mempunyai dua dunia politik: political society dan civil society. Political society merujuk kepada dunia kepartaian. Pemerintahan, eksekutif, ataupun legislatif adalah bagian dari dunia kepartaian. Partai adalah satu-satunya kendaraan yang dikenal untuk memperebutkan posisi di pemerintahan melalui pemilu. Mustahil merebut posisi di pemerintahan dan mustahil membuat kebijakan publik tanpa melalui dunia kepartaian. Sementara civil society merujuk kepada dunia LSM atau kelompok kepentingan. LSM bukan partai politik dan memang didirikan bukan untuk merebut kursi pemerintahan, baik di parlemen ataupun eksekutif. LSM dibangun untuk memengaruhi atau mengontrol jalannya pemerintahan melalui area di luar dunia kepartaian. Sebagai kelompok kepentingan, LSM semestinya berhubungan dengan durua kepartaian. Di dunia demokrasi yang sudah maju, political society dan civil society, atau dunia kepartaian dan dunia LSM saling mesra berhubungan. Jelas partai politik memerlukan dukungan LSM. Partai politik menjadi mediasi antara rakyat pemilih dan negara. Namun, tidak semua rakyat pemilih itu bersifat individual yang tidak terorganisasi. Banyak pula dari rakyat pemilih yang berkelompok dalam satu isu kepentingan dan menjadi LSM. Partai berkepentingan dengan LSM karena aspirasi dari (sebagian) LSM itu yang ingin ia salurkan dalam pemerintahan agar partai yang bersangkutan mendapatkan legitimasi publik. Dalam persaingannya dengan partai politik lain, setiap partai ingin semakin mengakar di masyarakat. Tidak ada cara yang lebih efektif untuk mengakar selain melalui dukungan aneka LSM yang sudah terlebih dulu mengakar dan mendapatkan hati di masyarakat.
Sementara dunia LSM juga membutuhkan dunia kepartaian. Ujung dari perjuangan LSM dalam mengemban kepentingan publik adalah perubahan legislasi di parlemen atau kebijakan publik di pemerintahan eksekutif, sedangkan parlemen dan dunia eksekutif dikuasai oleh orang partai. Karenanya, LSM harus mempengaruhi partai. Demikianlah yang terjadi misalnya di Amerika Serikat. Partai Demokrat sangat dekat dan harmonis dengan civil society yang bergerak dalam isu perburuhan, lingkungan hidup, gender, dan multikulturalisme. Sementara Partai Republik sangat dekat dengan LSM yang bergerak dalam isu agama ataupun yang mewakili dunia industri besar. LSM buruh misalnya, menggunakan kedekatannya dengan Partai Demokrat agar legislasi soal upah minimum diubah. Sebaliknya, LSM agama seperti Christian Coalition menggunakan kedekatannya dengan Partai Republik agar aborsi dilarang. *** Keharusan kedekatan LSM dan partai di Indonesia tampaknya be.lum benar-benar disadari oleh aneka LSM yang proreformasi, ataupun oleh aneka partai besar sendiri. Contoh klasik yang dapat diambil adalah Cetro, LSM yang bergerak dalam isu reformasi konstitusi d~ngan Mulya Lubis sendiri adalah tokoh utamanya. Secara intelektual, isu pembaruan konstitusi yang diperjuangkan Cetro cukup kukuh. Namun, politik praktis yang ditempuh Cetro cenderung frontal dengan partai besar, bukan melalui manuveryang bersifat partnership. Akibatnya, partai besar pun memasang kuda-kuda dan cenderung frontal pula terhadap Cetro dan Mu1ya Lubis. Ketua Fraksi PDIP di DPR Roy BB Janis secara keras mengecam adanya LSM dibiayai pihak asing yang ingin mengobok-ngobok konstitusi di Indonesia. Roy BB Janis memang tidak menyebut nama, tetapi banyak pihak mengerti kelompok mana yang dimaksud.
Dari pernyataan itu, terasa adanya aura permusuhan antara partai terbesar itu dan LSM yang sangat progresif dan liberal atas isu reformasi. Di sisi lain, aktivis Cetro juga cenderung secara terbuka mengecam konservatisme partai besar dalam reformasi konstitusi. Antipati terhadap Cetro dengan tokoh utamanya Mulya Lubis di kalangan partai besar kian meluas. Tersingkirnya Mu1ya Lubis dari keanggotaan Komnas HAM adalah percikan aura permusuhan seperti yang tergambar di atas. Bagi mereka, Mulya Lubis menjadi tokoh yang dapat mengancam. Sangatlah sayang, jika tokoh yang seharusnya dapat bekerja sama menuntaskan transisi demokrasi, justru tersingkir karena adanya persepsi 'saling merasa terancam'. Persepsi ini tidak perlu ada jika sejak awal masing-masing pihak memainkan manuver partnership. Saatnya tokoh utama di LSM yang proreformasi (civilsociety) dan partai besar (political society) mengubah strategi dan taktik perjuangan, sehingga mereka bukan saling memukul, tetapi saling merangkul. Dengan pendekatan yang bersifat partnership, bahkan tokoh dengan ide reformasi yang sangat maju sekalipun tidak lagi dipersepsikan sebagai ancaman. **
Bola Panas 17 Juli KASUS kekerasan 27 Juli 1996 kini terus menggelinding menjadi bola panas. Jika tidak diselesaikan secara tuntas, niscaya kasus ini dapat terus membesar dan menjadi picu bagi instabilitas politik nasional. Tanpa penanganan yang cepat, tegas, dan memenuhi rasa keadilan publik, kasus ini akan menjadi momok yang terus menghantui tidak hanya Sutiyoso, tetapi juga Megawati, PDlP dan TNI/Polri. Para pendukung Megawati harus segera mengambil inisiatif solusi sebelum kasus ini terus menggelinding dan menjadi beban politik sangat berat. Kini tersedia tiga solusi. Pertama, solusi di luar pengadilan melalui aneka istilah dan manuver politik. Kedua, solusi di pengadilan secara tegas dengan prinsip the rule of law. Ketiga, solusi moderat di pengadilan, proses hukum tetap ditempuh, tetapi pejabat yang bersalah diberi pengampunan. *** Tidak terasa, sudah enam tahun peristiwa kekerasan 27 Juli itu berlalu. Komunitas politik tidak lupa betapa saat itu Megawati Soekarnoputri bersama PDI menjadi tumpuan harapan. Kemarahan publik atas rezim Soeharto sangat tinggi namun dipendam akibat represi politik yang keras. Megawati Soekarnoputri muncul di pentas politik nasional pada 1996, dan ia segera menjadi pelepas dahaga. Diserbunya markas PDI pimpinan Megawati 27 Juli 1996 dengan cepat sudah dapat dibaca arahnya. Kekuatan Megawati ingin dipangkas dan dibonsai sedini mungkin sebelum telanjur membesar. Maka di suatu pagi, yang dulu belum sepenuhnya jelas, segerombolan orang menyerbu dan merebut kantor PDI. Huru-hara pun meluas. Korban berjatuhan. Tidak pernah jelas berapa tepatnya jumlah korban. Yang pasti setidaknya sekitar 5 orang meninggal dunia, dan sejumlah lainnya diklaim hilang tidak tentu rimbanya.
Ada tiga sebab mengapa kasus itu kini menjadi komoditas politik yang sangat rawan. Pertama, rasa keadilan publik terluka. Semakin terbuka bahwa peristiwa kekerasan itu tidak terjadi secara spontan, namun melalui perencanaan yang matang. Publik khawatir peristiwa 27 Juli dilupakan. Akibatnya, terjadi proses impunity, bahwa ada kejahatan yang terang-benderang tetapi tanpa hukuman. Kekuasaan tampak begitu arogan, tidak lagi sensitif kepada kebutuhan keadilan publik. Kedua, secara nyata kasus ini sendiri memang menimbulkan korban. Ratusan aktivis terlibat dalam peristiwa itu. Mereka merasa turut berjuang bagi bergulirnya gerakan reformasi. Namun, setelah reformasi terjadi, mereka kembali dilupakan, sementara pihak yang menyerang mereka masih terus berjaya. Ketiga, sasaran tembak kasus ini adalah tokoh dan lembaga yang kini sangat berpengaruh. Dengan terus mengangkat kasus ini, para tokoh dan lembaga yang terlibat terus mengalami pemburukan citra. Dengan sendirinya para pesaing politik juga diuntungkan oleh terus menggelindingnya kasus 27 Juli. Sutiyoso menjadi target utama kasus ini. Oleh lawan politiknya, kasus 27 Juli diharap dapat menjadi ganjalan yang menggagalkan pencalonan Sutiyoso sebagai Gubemur DKI Jakarta. Megawati menjadi sasaran berikutnya. Dukungan Megawati atas Sutiyoso dianggap sebuah blunder politik. Oleh lawan politiknya, kasus 27 Juli diharapkan dapat menjadi mesin yang membuat Megawati semakin tidak populer. Citra politik Megawati selaku tokoh yang sangat tinggi etika politiknya ingin dihancurleburkan melalui kasus ini karena ia bersedia mendukung seorang tersangka untuk kembali memimpin ibu kota Jakarta.
Sasaran lain adalah PDIP. Pada 1999, PDIP adalah partai pemenang pemilu dengan perolehan suara bahkan lebih tinggi dari PNI di Pemilu 1955. Publik politik yakin bahwa suara PDIPitu diperoleh sebagian karena the swing voters, para pemilih kritis yang banyak berharap akan perubahan. Represi atas PDIP di era Soeharto membuat the swing voters ini mendukung PDIP. Oleh lawan politiknya, kasus 27 Juli dapat dijadikan ajang kampanye betapa PDIP sekarang ini sudah menjadi partai penguasa, yang tidak lagi sensitif dengan pihak yang dulu berkorban untuknya. Kasus ini juga diangkat untuk menunjukkan inkonsistensi sebagian pimpinan PDIP. Ketika Akbar Tandjung menjadi tersangka mereka minta Akbar mundur karena tidak ingin DPR dipimpin tersangka. Namun, kini mereka cukup nyaman bahkan menjadi pendukung seorang tersangka lainnya untuk memimpin Jakarta. Target politik lainnya adalah TNI/Polri. Masih begitu banyak pihak yang memendam amarah karena TNI/Polri (dulu ABRI) pernah menjadi alat represi rezim Soeharto. Oleh lawan politiknya, kasus 27 Julli kembali diangkat untuk semakin mendiskreditkan TNI/Polri. Kasus 27 Juli dianggap menjadi indikator betapa TNII Polri masih melindungi oknumnya untuk tidak diadili secara terbuka. ***
Niscaya solusi yang cepat dan tegas atas kasus 27 Juli perlu segera diambil. Jika tidak, kasus ini akan terus menggelinding dan menjadi beban pemerintahan Megawati. Terlalu banyak pihak yang berkepentingan dengan kasus ini. Solusi yang terus mengambangkan kasus 27 Juli, atau yang mencoba mencari penyelesaian di luar pengadilan, tidak dapat dipilih. Aneka islah dan manuver politik di luar pengadilan sebagai solusi justru dapat membuat kasus ini bertambah buruk.
Berbeda dengan kasus Tanjung Priok, kasus 27 Juli lebih pekat nuansa politiknya. Pers tidak akan berhenti untuk terus-menerus mempublikasikan dan menginvestigasi kasus ini. Sementara begitu banyak pejuang ataupun petualang politik berkepentingan mengangkat kasus 27 Juli, baik untuk kepentingan keadilan ataupun untuk menyingkirkan saingan politik. Kini tinggal tersisa dua solusi. Pertama, kasus ini diselesaikan di pengadilan secara murni dan konsekuen. Semua pihak yang terlibat walau petinggi atau mantan pejabat negara akan dihukum. Kendala solusi ini walau ia ideal tetapi dapat mengguncang politik nasional. Apalagi jika benar dugaan selama ini bahwa kasus 27 Juli adalah rekayasa kelompok mantan pejabat yang berpengaruh. Solusi lain, solusi pengadilan tetap ditempuh. Namun, para tokohnya diberi pengampunan melalui amnesti untuk menghindari gonjang-ganjing politik. Secara hukum kasus itu diselesaikan, namun secara politik juga tidak terlalu berisiko. Kelemahan solusi ini ia tidak memuaskan bagi mereka yang begitu keras dan tegas dengan prinsip hukum. Tidak ada solusi yang menyenangkan semua pihak. Namun, satu dari dua solusi di atas harus segera diambil sebelum kita memperingati kembaIi kasus ini pada 2003. **
Mitos Komisi Konstitusi GAGASAN yang baik tetapi untuk waktu yang salah. Ini mungkin opini paling pas untuk merespons kukuhnya sikap Koalisi untuk Konstitusi Baru. Walau Sidang Tahunan MPR 2002 saat itu akan berakhir, koalisi yang terdiri dari para pakar dan LSM masih terus mengupayakan terbentuknya Komisi Konstitusi versi mereka sendiri. Isi gagasan itu antara aln, Komisi Konstitusi mesti diberi kewenangan untuk membuat konstitusi baru, terdiri dari wakil komponen bangsa, namun tidak boleh ada anggota MPR dan partai politik di dalamnya. Dibentuk tahun ini juga, dan diatur dalam konstitusi sendiri, bukan Tap MPR. Waktu yang tepat untuk gagasan itu hanyalah di bulan-bulan pertama setelah kejatuhan Soeharto. Namun zaman sudah berubah. MPR yang ada sekarang adalah hasil pemilu demokratis. Kecuali keberadaan Utusan Golongan dan TNI/Polri, semua anggota MPR dipilih dalam pemilu yang diakui secara internasional. MPR sudah pula melakukan amendemen konstitusi yang pertama sampai keempat. Dalam kondisi seperti ini, justru akan menjadi problem jika Komisi Konstitusi versi Koalisi untuk Konstitusi Baru itu dipaksakan. ***
Tentu publik mesti memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Koalisi untuk Konstitusi Baru. Sumbangan mereka atas wacana dan debat publik, bahkan inspirasi atas proses amendemen sekarang tidak dapat dinafikan. Namun saatnya, gagasan mereka juga perlu dikritisi dan dievaluasi demi sebuah debat gagasan yang sehat. Pertama, mereka tidak dapat lagi mengklaim bahwa MPR sekarang ini tidak mendengar dan melaksanakan aspirasi rakyat. Tidak dapat pula mereka mengklaim bahwa hasil amendemen saat
itu jauh dari keinginan rakyat. Tentu rakyat yang dimaksud di sini adalah seluruh masyarakat Indonesia dari Aceh hingga Papua, bukan hanya kaum intelektual perkotaan. Demokrasi sudah menyediakan metode paling sahih untuk mewakili suara rakyat. Tidak ada metode yang paling valid kecuali pemilu bebas dan demokratis dengan setiap warga dewasa berhak memberikan suaranya. MPR yang ada sekarang dipilih rakyat, kecuali anggota TNI/Polri dan Utusan Golongan. Suka atau tidak, secara prosedural, justru MPR yang ada sekarang lebih berhak " mengklaim mewakili suara rakyat ketimbang lembaga mana pun. Termasuk dibandingkan dengan Koalisi untuk Konstitusi Baru. Seandainya pun Komisi Konstitusi versi Koalisi itu dibentuk, tingkat perwakilan Komisi itu pasti tetap kalah dibandingkan MPR Paling jauh anggota Komisi itu dipilih oleh DPRD (untuk wakil daerah) atau dipilih oleh DPR melalui fit and proper test (untuk w:akil para pakar dan tokoh masyarakat). Metode pemilihan itu masih kalah legitimasinya dibandingkan dengan pemilu. Bahkan fit and proper test melalui DPR sudah pula menunjukkan hasilnya. Melalui metode fit and proper test, tokoh seperti Todung Mulya Lubis sendiri dapat tersingkir dari anggota Komnas HAM. Kedua, dalam mengkritik kerja MPR, Koalisi Konstitusi memberikan sampel yang sangat terbatas. Yang acap kali dijadikan model hanya reformasi konstitusi di Thailand, Filipina, dan Afrika Selatan. Melalui model tiga negara ini, Koalisi lalu ingill melakukan delegitimasi atas kerja MPR dalam amendemell konstitusi. Negara demokrasi tentu tidak hallya berisi tiga negara itu, dan model perubahan konstitusi jauh pula lebih kaya. Ada pula negara yang menerapkall konstitusi lama yang demokratis, untuk mengganti konstitusi yang digullakan rezim otoriter. Untuk kasus Indonesia, misalnya, reformasi konstitusi itu dapat pula dellgall cara memberlakukall kembali UUDS 50 yang demokratis. Juga
ada negara yang melakukall reformasi konstitusi melalui legislatif seperti MPR kita. Tidak semua perubahan konstitusi yang berhasil harus melalui lembaga sejellis Komisi Konstitusi. Amerika Serikat acap kali menjadi contoh perubahan konstitusi yang elegan dan berhasil. Selama lebih dua ratus tahull merdeka, konstitusi Amerika Serikat acap kali diubah. Namun, yang mengubah konstitusi Amerika Serikat tetaplah Kongres, yang merupakan lembaga legislatifbikameral.Amerika Serikat, misalnya, tidak perlu membuat lembaga baru di luar Kongres untuk mengubah konstitusi. Kongres Amerika Serikat sangat mirip dengan konsep MPR bikameral hasil amendemen keempat saat ini. JikaAmerika Serikat dijadikall patokan, tidak ada yang salah dellgall tidak membuat Komisi Konstitusi versi Koalisi untuk Konstitusi Baru. Ketiga, permintaan Koalisi Konstitusi itu dapat pula menimbulkall problem ketatanegaraan. Hak untuk menetapkan atau mengubah konstitusi ada pada MPR, sesuai dengan Pasal 3 dan 37 UUD 45. Hak itu sudah dijalankan dengan membuat amendemell pertama sampai keempat. Apa jadinya jika hasil amendemen itu dapat diubah oleh sebuah Komisi Konstitusi? Yang dapat mengubah hasil kerja MPR hanyalah lembaga yang lebih tinggi atau setidaknya sejajar dengan MPR sendiri. Jika Komisi Konstitusi dapat mengubah hasil kerja MPR, berarti Komisi Konstitusi sudah berada dalam posisi yang lebih tinggi atau setidaknya sama tingginya dengan MPR.
Hanya rakyat melalui referendum yang boleh memberikan posisi yang sedemikian tinggi kepada Komisi Konstitusi. Bahkan MPR sendiri tidak dapat serta-merta menyerahkan otoritas yang sedemikian tinggi kepada Komisi Konstitusi sebelum menanyakannya dulu kepada rakyat melalui referendum.
Untuk menghindari kontroversi ketatanegaraan di atas, seandainya pun harus dibentuk Komisi Konstitusi, maka posisi Komisi itu harus disubordinasi di bawah MPR. Dengan sendirinya, MPR tetap punya hak untuk menolak dan mengubah basil kerja atau draf Komisi Konstitusi. MPR bahkan dapat menolak hasil kerja Komisi Konstitusi tanpa perlu referendum, karena hak itu sudah melekat pada MPR melalui aturan di konstitusi. Keempat, hasil amendemen konstitusi oleb MPR, dari tahap pertama sampai keempat cukup memuaskan. Tentu hasil amendemen itu belum sempuma. Namun, secara substansial sudah banyak perubahan mendasar tidak hanya di lembaga DPR dan presiden, tetapi juga di lembaga MPR. Amendemen saat ini pada dasarnya sudah melahirkan konstitusi baru. Memang masih perlu sinkronisasi antarpasal, tetapi kebutuhan konstitusi baru versi Koalisi sudah berkurang daya tariknya. Gagasan yang baik dari Koalisi untuk Konstitusi Baru itu sudah bilang relevansi dan gairahnya. Jika Koalisi masih terus berjuang untuk gagasannya sendiri, publik akan menilai Koalisi sudah terlalu memaksakan kehendak, dan tidak lagi sensitif dengan kenyataan baru. **
'The Devil Advocate' MENGELOLA kekuasaan memang tidak cukup hanya dengan niat baik. Tanpa dilandasi sebuah prosedur dan mekanisme seleksi kebijakan yang lazim dalam pemerintahan modern, niat baik dapat berakhir dengan kesalahan fatal dan hasil yang sangat buruk. Inilah yang terjadi dengan Menteri Agama kita yang berburu harta karun dengan 'merusak' peninggalan sejarah Batu Tulis. Saatnya para menteri, bahkan presiden, mempunyai apa yang disebut dengan the devil advocate. Istilah ini merujuk pada sebuah tim profesional yang bertugas memberikan kritik sekeraskerasnya serta saran atas semua rancangan kebijakan sang pejabat tinggi. Sebelum dilemparkan ke publik luas, kebijakan itu sudah matang karena sudah dimodifikasi, disesuaikan, dan dipercanggih oleh tim ahli itu, yang memang kompeten di bidangnya. Mrni ditinjau dari niatnya, sungguh kebijakan Menteri Agama itu cukup mengharukan. Walau bukan wilayah tugasnya, sang menteri ingin membantu negara membayar utang yang kianmenumpuk. la tidak hanya memberikan instruksi dari belakang meja. Dikabarkan, bersama timnya, sang Menteri juga datang ke lapangan dan sempat menyaksikan sendiri penggalian situs bersejarah itu. Sayang disayang, hasil akhir dari kebijakan sang Menteri itu justru merupakan kesalahan fatal. Sang Menteri tidak memaksima1kan semua sumber daya yang ada untuk terlebih dahulu menguji kebijakannya secara internal, sebelum action di ruang publik. Informasi tentang harta karun itu ternyata ia dapati dari bisikan gaib. Persis seperti kisah telenovela, diceritakan betapa ada seseorang yang dapat membaca 'alam antah berantah'. Sudah belasan tahun orang ini berkelana mencari tokoh yangjujur untuk menyampaikan amanat. Tokoh akhirnya ditemukan, yang tidak lain dan tidak bukan adalah MenteriAgama. Sedangkan amanat
itu berupa bisikan bahwa ada harta karun yang terpendam di Batu Tulis peninggalan Kerajaan Pajajaran. Begitu besar harta itu sehingga dapat digunakan untuk bayar utang negara. *** Kesalahan pertama sang Menteri Agama, ia tidak melakukan verifikasi ilmiah atas informasi yang diterima. Padahal metode check and recheck adalah hukum yang paling elementer dalam dunia pers, apalagi untuk dunia kebijakan publik yang menyangkut kepentingan orang banyak. Gelar doktor sang menteri rupanya bukan gambaran dari kecanggihan tertib berpikir. Apalagi informasi yang ia terima adalah sejenis wangsit, yang awam pun tahu bahwa asal usulnya tidak pernah jelas. Begitu banyak ahli sejarah yang semestinya dapat dilibatkan oleh sang Menteri. Begitu banyak arkeolog yang dapatia ajak dulu berdiskusi. Agak aneh, yang ia pilih untuk teman diskusi adalah para kiai sepuh yang ia duga juga memiliki kemampuan paranormal. Para kiai memang juga pihak ahli tetapi untuk hukum agama, bukan untuk memverifikasi ada atau tidaknya harta karun yang tersembunyi di bawah tanah. Kesalahan kedua sang Menteri Agama, ia terlalu polos, terlalu ignorant, terlalu naif atas prosedur birokrasi modem. Seharusnya, ia tidak bisa begitu mudah meminta aneka pihak menggali tanah di seputar benda sejarah, tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan pihakyang berwenang. Birokrasi mengenal pembagian kerja. Ada kementerian yang secara khusus memang mengurus hal ihwal peninggalan sejarah. Dengan mental terabas, sang Menteri akhimya menyalahi metode penggalian untuk situs yang memiliki kekayaan sejarah. Tanah digali begitu saja seperti para tukang bangunan yang ingin membuat parit atau menanam kabellistrik. ndak dibayangkan oleh sang Menteri, teknik
penggalian itu dapat menyebabkan rusaknya segala kekayaan sejarah yang mungkin masih tertanam di wilayah setempat. Niat baik sang Menteri Agama akhimya berakibat fatal, baik bagi sang Menteri sendiri, bagi pemerintahan Megawati, ataupun bagi martabat bangsa. Bagi sang Menteri, hasil akhir kesalahannya agaknya mungkin sulit ia lupakan seumur hidup. la sudah merendahkan derajatnya sendiri, dari seorang menteri yang dihormati menjadi sejenis aktivis klenik. Kebijakan publiknya tidak bersandar kepada analisis kritis pemerintahan modern, tetapi kepercayaan buta kepada mbah dukun dan bisikan maut paranormal. Sang Menteri pun dipaksa lingkungan untuk plintatplintut. Sebelum heboh, la mengatakan sudah mendapatkan izin dan petunjuk dari Presiden Megawati. Namun, ketika penggalian itu heboh dan gagal, ia membantah. Menurutnya, Presiden tidak pernah memberikan izin. Sebelum heboh, la menyarankan pihak yang tidak percaya dengan bisikan paranormal untuk 'belajar' dulu. Setelah heboh, secara publik ia menyatakan tidak percaya kepada paranormal.
Yang jauh lebih rumit, sang Menteri dapat dikenai sanksi hukum dan masuk penjara, karena ia dapat dituduh melanggar undang-undang. Komunitas masyarakat Sunda terus menekan agar hukum ditegakkan tanpa kecuali. Walau sang Menteri sudah minta maaf, namun demi tradisi dan preseden ke depan, itu tidak rnenghalangi penerapan hukum secara konsekuen. Bagi Presiden Megawati, kasus ini juga semakin memburukkan citra pemerintahannya. Memang Presiden mendapat mandat untuk membawa negara keluar dari krisis ekonomi. Namun itu harus dilakukan melalui kebijakan rasional dan modern, bukan dengan berburu harta karun yang tidak pernah jelas ujung pangkalnya. Martabat bangsa juga menjadi olok-olok dunia internasional.
Setelah reformasi, krisis ekonomi di Indonesia tidak dipecahkan dengan menekan kultur korupsi, tetapi malah dengan menambah pekat kultur irasional. Jika niat baik yang berujung kesalahan fatal itu dapat menimpa seorang Menteri Agama, tentu hal ini juga dapat menimpa menteri lain. Bahkan presiden sekalipun. Hal ini tidak akan terjadi jika sejak awal, pihak yang mendapatkan amanah berkuasa dari rakyat mempunyai the devil advocate? Tim ini memang ditugaskan untuk mencari aneka kelemahan dan kesalahan semua rancangan kebijakan penting menteri ataupun presiden. Pemerintahan modern sudah harus menggunakan prosedur kebijakan melalui the devil advocate. Sebelum kebijakan itu dilempar ke publik, rancangan kebijakan itu dikritik habis-habisan dulu secara internal oleh tim profesional itu. Jangan lagi era reforrnasi mengulangi kesalahan Menteri Agama. Jika terjadi dua kesalahan serupa, itu sudah terlalu banyak buat pemerintahan Megawati. **
Kasus Republika dan Tomy Winata HARIAN Republika merasa perlu mengulasnya di Tajuk. Bahkan ia juga merasa perlu memberitakan kasus itu di headline halaman pertama. Berkali-kali pihak Republika menegaskan bahwa berita The Jakarta Post itu tidak benar. Berkali-kali dinyatakan bahwa Harian Republika sama sekali independen dan tidak ada suntikan dari pihak PDIP. Awalnya terbit berita di The Jakarta Post yang sensasional. Judulnya, PDIP-Connected Family Acquires Media. Diberitakan Harian Republika telah menerima suntikan dana segar dari orang PDIP. Untunglah koreksi berita segera muncul pada edisi selanjutnya. The Jakarta Post menurunkan berita dari pimpinan redaksinya sendiri, Raymond Toruan. Menurut Raymond, berita itu tidak kuat dan tidak akurat. Meski mengaku tidak punya maksud apa-apa saat menurunkan berita itu, ia menyesalkan dampak buruk yang muncul kemudian. *** Dari kasus The Jakarta Post versus Republika, tiga hal dapat kita renungkan. Berita yang muncul di pers dapat mempunyai efek yang sangat dahsyat. Bahkan Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon dapat jatuh dari kekuasaannya karena investigasi pers. Untuk kasus Republika, pimpinannya mengaku mendapatkan protes sepanjang hari dari pelanggan dan pembaca. Tanpa cepat diklarifikasi, sangat mungkin Republika menjadi bangkrut karena ditinggal pembacanya. Semakin pers itu terpercaya, semakin publik tidak kritis terhadapnya. Persepsi publik atas berita itu hanya berubah jika dilakukan koreksi oleh pers itu sendiri. Atau, ada bantahan mela1ui pengadilan. Tanpa ada koreksi dan bantahan, berita itu segera menjadi pegangan. Padahal berita itu dapat membuat seorang pahlawan terkesan penjahat dan seorang penjahat terkesan pahlawan.
Celakanya, prosedur kontrol kualitas di dalam tubuh pers itu sendiri tidak bisa selamanya ketat. Karena dikejar deadline, karena mengejar sensasi, karena kelalaian dalam koordinasi, tidak jarang terjadi kesalahan. Tanpa disadari, pers dapat menjadi mesin yang merusak citra pihak lain secara keliru. Bahkan untuk koran kelas dunia seperti The Washington Post, kesa1ahan itu dapat terjadi. Diakui oleh manajemennya sendiri, The Washington Post pernah membuat kesalahan yang sangat merugikan pihak lain. Jenderal Sutarto adalah salah satu pihak yang pernah dirugikan oleh The Washington Post. Namun pers yang matang tidak segan-segan mengakui kesalahan dan mengoreksi berita. The Jakarta Post secara cepat bereaksi dan mengoreksi berita itu. Kadang tidak perlu karena berita yang diturunkannya salah, jika prosedur dalam pengambilan kesimpulan dan berita itu lemah, pers juga perlu melakukan koreksi. Tidak hanya The jakarta Post, koran sekelas The Washington Post juga tidak malu melakukan koreksi. The Washington Post mengakui kesalahan berita sebelumnya yang mengaitkan Jenderal Surtarto dengan rencana pembunuhan di Timika. Koran itu bahkan minta maaf, we regret publication of this report. Tradisi minta maaf oleh pers perlu ditumbuhkan. Dengan minta maaf, jalan panjang konflik melalui pengadilan bisa dihindari. Yang lebih penting lagi, publik luas diklarifikasi dengan berita yang lebih benar. Pihak yang dirugikan secara keliru oleh berita itu juga terehabilitasi. *** . Berangkat dari kasus The Jakarta Post dan The Washington Post, akankah Majalah Tempo mengoreksi beritanya atas Tomy Winata? Akankah Tempo juga meminta maaf dan menyesalkan semua akibat buruk atas berita ‘Ada Tomy di Tenabang’?
Dibandingkan kasus The Jakarta Post versus Republika, atau The Washington Post versus Jenderal Sutarto, kasus Tempo versus Tomy Winata memang lebih kompleks. Berita di Majalah Tempo itu sudah diperkaya oleh serbuan massa ke Majalah Tempo. Berita itu sudah pula berkembang menjadi gerakan politik berupa 'solidaritas pers' melawan premanisme. Kembangkembang itu membuat publik melupakan kisah sebenarnya, yang berawal dari kontroversi berita Majalah Tempo itu sendiri. Sebagaimana Republika dan Jenderal Sutarto, Tomy Winata juga merasa dirugikan oleh berita pers. Sejak berita di Tempo itu, Tomy mengakui banyak SMS yang dikirim kepadanya. la, keluarga, dan perusahaannya merasa terancam karena korban kebakaran Tanah Abang dapat mengira seolah Tomy Winata berada di baliknya. Dalam pengadilan yang masih berlangsung, tokoh masyarakat Tanah Abang, H Roni Syahroni juga mengakuinya. "Saat baca itu (Majalah Tempo)," ujar Roni, "saya emosi dan saya bilang kita perang dengan Tomy Winata." Roni juga dapat laporan dari anak buahnya bahwa Tomy Winata yang membakar Pasar Tanah Abang. Kesimpulan anak buahnya itu juga didapatkan dari Majalah Tempo. la pun emosi dan mengajak anak buahnya untuk menyerang Artha Graha. Memang ada kekuatan dan kelemahan dalam berita Tempo yang dapat 'mengancarn nyawa' Tomy Winata. Kekuatannya, Tempo merasa sudah melakukan cover both side, walau dibantah oleh pihak Tommy. Kelemahannya, sampai saat ini Tempo tidak dapat menunjukkan proposal renovasi Tanah Abang yang kabarnya sudah diajukan Tomy jauh hari sebelum kebakaran. Tempo juga hanya menyandarkan berita kepada satu sumber berita yang anonim. Sebagai majalah yang kredibel, seharusnya Tempo tidak pernah mengutip berita sangat sensasional jika hanya bersandar pada satu narasumber saja. Apalagi jika berita itu dapat
mengancam nyawa pihak lain. Harus ada dukungan dari narasumber lain, atau dokumen penting lainnya, sebelum berita yang sensasional itu layak terbit. Mengikuti The Jakarta Post dan The Washington Post, Tempo tidak perlu malu untuk mengoreksi beritanya. Bahkan, Tempo dapat meminta maaf atas konsekuensi buruk yang diakibatkan beritanya. Seperti The Jakarta Post atau The Washington Post, Tempo dapat mengakui kelemahan beritanya. Justru dengan minta maaf; Tempo semakin menjulang sebagai pelopor media Indonesia modern. Di satu sisi, Tempo terus memerangi premanisme dan kekerasan terhadap media. Di sisi lain, Tempo juga berbesar hati mengakui kesalahan substansial ataupun prosedur berita yang diturunkannya. Kebebasan pers memang perlu dilindungi dari aneka kekerasan dan intimidasi pihak lain. Namun, kebebasan pers juga perlu dilindungi dari lemahnya prosedur dalam kontrol akurasi berita pihak pers sendiri. Terutama untuk berita yang sensasional, yang dapat membangkrutkan pihak lain, atau mengancam keselamatan pihak lain, harus ada prosedur yang berlapis. Jika tidak, kebebasan justru malah memperbanyak jumlah korban akibat kesalahan pers sendiri. ** Menghadang Politikus Busuk? GERAKAN itu secara moral sangat kuat. NamuI dikhawatirkan, gerakan itu patah di tengah jalan atau mandul karen: terbentur persoalan hukum. Ini respons cepat menanggapi deklaras Gerakan Nasional Anti-Politikus Busuk. Berbagai tokoh LSM politikus, dan seniman berniat mempengaruhi pemilih agar tidal lagi memilih politikus busuk dalam Pemilu 2004. Lima tahun setelah reformasi, semakin disadari bahwa ternyat: memang korupsi lebih sakti daripada gerakan reformasi. Aneka car: sudah dibuat untuk memberantas korupsi. Yang terjadi,
korups justru bertambah gagah perkasa. Ibarat kisah silat, korupsi sepert makhluk yang punya seribu nyawa, tidak mati-mati. Banyak politikus rupanya menjadi double agent, agen ganda. Di satu sisi, mereka ikut cuap-cuap akan memberantas korupsi tetapi di sisi lain, ternyata mereka juga ikut korup. Perang melawan korupsi di kalangan politikus menjadi kesulitan mencari siap: kawan dan siapa lawan. Apalagi korupsi sudah pula dilaksanakan lintas partai. Dalam bahasa populernya, korupsi dilakukan secara 'berjemaah' . Akibatnya, politikus satu akan melindungi politikus lain jika tidak ingin tertangkap bersama. Di depan forum mereka muncul dengan semangat antikorupsi. Namun apa daya, life style politikus sekarang ini sangat mahal melampaui gaji resmi mereka. Sebagai anggota DPR, mereka perlu dana untuk lobi, menggalang dukungan, sumbangan ke partai, serta menjaga penampilan. Sebagian dari mereka, tentu tidak semuanya, akan heran bagaimana mungkin life style itu dapat diraih tanpa menjadi politikus busuk? *** Kendala pertama yang dihadapi oleh gerakan antipolitikus busuk adalah ketegasan dan kejelasan agenda. Agar efektif, gerakan ini tidak cukup hanya menyebutkan kriteria politikus busuk. Publik luas sudah tahu kriteria itu. Publik butuh nama dan apa kebusukannya. Dengan kejelasan agenda itu, gerakan menjadi sederhana dan publik punya komando yang jelas. Namun justru di situ letak persoalannya. Sebusuk apa pun seorang politikus, tidak ada yang secara ikhlas bersedia namanya tercantum dalam list. Apalagi untuk politikus berpengaruh, ia, keluarganya, pengikutnya tidak akan tinggal diam melihat nama dan fotonya terpampang di dinding, di pohon-pohon atau di pamflet, dengan label politikus busuk. Jika diam, ia dianggap benar-benar setuju dengan label itu.
Gugatan ke pengadilan setidaknya menjadi negasi ke publik bahwa ia bukan politikus busuk. Agar tokoh LSM dan penganjur gerakan ini aman, mereka harus punya data yang kuat sekali tentang kebusukan sang politikus. Persoalan pun dimulai. Korupsi di Indonesia memang kekurangan data hukum. Secara politik kita tahu, korupsi di Indonesia begitu besar. Namun, kita kekurangan data hitam di atas putih, mengenai siapa saja yang korup dan apa bukti hukumnya. Seandainya pun data hukum sang politikus busuk ditemukan, persoalan berikutnya, data itu tidak bisa diklaim melanggar hukum sampai ada keputusan pengadilan yang bersifat tetap. Keputusan pengadilan negeri bisa dibantah di pengadilan tinggi dan bisa dipatahkan lagi di Mahkamah Agung. Padahal begitu banyak politikus busuk yang kasusnya belum masuk ke pengadilan. Tanpa data hukum yang memadai, pelopor gerakan antipolitikus busuk segera menjadi tertuduh di pengadilan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Mungkin kita akan menyaksikan sebuah adegan yang sangat jarang. Begitu banyak tokoh LSM menjadi tertuduh dan terancam terkena denda atau masuk penjara. Jika pengadilan berlangsung adil, aktivis LSM itu lebih aman karena keadilan akan berbicara. Namun, siapa pun tahu bahwa pengadilan dapat 'dipengaruhi'. Politikus busuk itu lebih punya sumber daya untuk memengaruhi pengadilan ketimbang aktivis LSM. Skenario terburuk dari gerakan ini, sang politikus busuk tetap terpilih sebagai wakil rakyat, sementara tokoh penggerak LSM antipolitikus busuk masuk penjara. *** Kendala kedua yang tidak kalah merepotkan adalah sistem pemilihan legislatif itu sendiri. Kita belum menerapkan sistem distrik murni bahwa pemilih dapat memilih langsung kandidatnya. Setelah direvisi dan dikompromikan, sistem pemilihan kita kini masih semi proporsional atau
semidistrik. Pemilih memang boleh memilih nama, tetapi tetap harus juga memilih tanda gambar partai peserta pemilu. Apa jadinya jika sebuah partai mencantumkan politikus busuk itu di nomor jadi? Sementara tokoh populer yang bersih itu di urutan berikutnya? Katakanlah kampanye antipolitikus busuk berhasil. la sama sekali tidak mendapatkan suara. Namun tiga tokoh Populer di bawahnya masing-masing tidak juga cukup mendapatkan suara sebesar nilai satu kursi di wilayah itu. Akibatnya, suara tiga politikus yang populer itu dikembalikan ke partai. Oleh partai, secara otomatis, suara itu digabung dan katakanlah memadai untuk perolehan satu kursi. Secara otomatis pula kursi itu diberikan kepada politikus busuk yang berada di urutan tertinggi. Politikus busuk dilindungi oleh sistem pemilihan yang ada jika sang politikus itu di-plot di nomor jadi. Walau gerakan ini berkampanye sampai berbusa-busa, sang politikus busuk tetap terpilih. Dengan elegannya, sang politikus busuk akan berkata bahwa demokrasi sudah berbicara. Rakyat lebih mempercayainya ketimbang mempercayai LSM. Kendala ketiga adalah buah dari krisis ekonomi Indonesia selama tujuh tahun. Publik semakin tidak peduli dengan isu korupsi. Survei LSI pada November 2003 dengan sampel nasional di 370 kota dan desa, di seluruh provinsi Indonesia, menunjukkan hal itu. Hanya 5% pemilih meletakkan isu korupsi sebagai prioritas. Hanya 5% pemilih menyatakan isu penegakan hukum sebagai yang utama. Selebihnya, sebesar 70% butuh pemulihan ekonomi. Mereka butuh pekerjaan dan harga sembako yang murah. Dengan kesadaran seperti itu, tidak banyak efek dari gerakan antipolitikus busuk. Tanpa adanya perubahan kesadaran, pemilih lebih cenderung memilih tokoh yang sudah mereka kenal, yang dapat menjanjikan pemulihan ekonomi, walau rekornya sebagai politikus busuk cukup panjang.
Jelas ini pukulan telak sekali kepada 'penjual' gagasan antipolitikus busuk, jika pemilih sendiri tidak ingin 'membelinya' . Tiga kendala di atas dikemukakan bukan untuk melemahkan spirit gerakan. Sebaliknya, kendala itu disajikan justru untuk dipecahkan karena kita sangat ingin gerakan antipolitikus busuk itu sukses. **
Polisi versus FPI? INI bukan kasus yang pertama dan agaknya bukan pula kasus yang terakhir. FPI (Front Pembela Islam) mendaulat dirinya sendiri menjadi hakim sekaligus polisi swasta yang berhak menentukan mana yang boleh, dan mana yang harus dihancurkan. Kali ini yang menjadi giliran adalah tempat biliar di GOR Jalan Kemakmuran dan Diskotek Eksotek, Jakarta. Atas nama Islam, agama yang suci, tempat hiburan itu diporak-porandakan. Yang mengherankan, tidak ada tindakan preventif dari pihak polisi untuk melindungi properti warga negara. Setelah itu, baru kita mendengar sejumlah anggota FPI yang merusak diperiksa korps polisi. Namun, ini tindakan polisi yang sangat terlambat, setelah perusakan terjadi. Perlu puladicatat keterlambatan polisi dalam menghadapi FPI itu bukan, sekali lagi, bukan untuk pertama kalinya. Kita dapat bertanya kepada polisi, mengikuti bunyi iklan, How Low Can You Go? Seberapa jauh polisi serius menangani gejala 'polisi swasta ini' model FPI? Adakah tindakan represi itu akan terus dilanjutkan ke tingkat pengadilan, lalu penahanan, agar tidak lagi menjadi preseden di kemudian hari? Ataukah polisi kembali melemah dan akhirnya kasus perusakan properti warga negara dibiarkan dan kembali terulang di masa datang? ***
Ada tiga alasan mengapa polisi terkesan tidak berwibawa, setidaknya di mata FPI. Kemungkinan penama, telah terjadi sesuatu yang signifikan dalam tubuh Polri sejak reformasi. Polisi telah dipisahkan dari TNI dan kini secara mandiri langsung bertanggung jawab kepada presiden. Sebelum reformasi, ibarat burung, polisi hidup dalam sangkar, dan menjadi partner junior dari
TNI. Inisiatif keamanan dan aksi menghadapi kelompok yang punya suara secara politik datang dari TNI. Polisi menjadi pelaksana saja. Sejak mandiri kini polisi dipaksa untuk juga mengambil inisiatif, mengambil risiko, bahkan berani berhadapan dengan kelompok yang nyaring secara politik. Ibarat burung, yang tadinya hidup di sangkar, kini dilepas di alam raya, dan diharuskan untuk bertahan hidup di alam yang buas. Ada kemungkinan polisi kita masih ragu dan cukup 'kagok' dengan posisi barunya. Polisi masih butuh waktu untuk adaptasi menjadi korps yang profesional. Apalagi di era reformasi, kebebasan begitu keras. Banyak petinggi Polri yang dijadikan sasaran pelanggaran hak asasi. Berbagai kesalahan ataupun kelemahan polisi secara individual ataupun lembaga dibuka di publik. Begitu banyak LSM dan pengamat yang siap menggeruskan 'taringnya' kepada oknum ataupun lembaga kepolisian yang kembali salah langkah dan melanggar hak asasi. Ditambah oleh rasa bersalah pernah menjadi alat politik di era Orde Baru, serta 'galaknya' kelompok pengawas (watchdogs) di kalangan aktivis LSM, lengkaplah keraguraguan polisi. Kini dihadapi oleh polisi adalah FPI. Kelompok ini mungkin dikhawatirkan oleh polisi mempunyai jaringan yang luas karena mengatasnamakan Islam. Tidak jarang kelompok ini membawa massa ke kantor pol.isi. Dulu aksi massa takut dengan polisi. Kita tampaknya terbalik, polisi kian takut dengan aksi massa. Aneka kasus ini yang membuat polisi resmi tampak tidak berdaya, sementara polisi swasta gaya FPI semakin berani. Kemungkinan kedua, terjadi sesuatu yang signifikan bukan pada tubuh Polri, tetapi pada cara kita semua memandang polisi di Polri. Sejak reformasi, publik luas mungkin menganggap polisi bukanlah lembaga aparat keamanan yang patut dihormati dan dijadikan tempat untuk berlindung. Bukan polisi yang harus mengamankan kita, tetapi justru oknum polisi yang harus kita amankan.
Berulang-ulang pers membongkar kasus penyelewengan oknum polisi. Kisah itu dapat diurut sejak awal transisi menuju reformasi Mei 1998. Tiga hari Jakarta menjadi kota kerusuhan tanpa perlindungan polisi. Jakarta porak-poranda. Polisi dianggap sudah mempermainkan rasa keamanan masyarakat melalui sikap pasifnya pada Mei 1998 itu. Dibongkar pula aneka perilaku oknum polisi yang menjadi beking bandar judi, penyelundupan mobil. Tidak kurang dari Tommy Soeharto, yang mengakui, ada 'koordinasi' dengan aparat keamanan, yang membuat dirinya sebagai buronan tidak dapat ditangkap polisi, walau ia berdiam di Cendana. Semua peristiwa itu membuat polisi tidak lagi berwibawa. Akhirnya, publik luas memang cenderung main hakim sendiri dan menjadi polisi bagi diri mereka sendiri. Pencuri motor tidak diserahkan masyarakat kepada polisi karena khawatir akan dilepas oleh polisi jika sang pencuri bersedia menyogok. Akibatnya, pencuri itu dibakar massa. Bandar narkoba yang tertangkap di kampung-kampung tidak diserahkan kepada polisi. Mereka khawatir, dengan sejumlah uang sang bandar itu kembali dilepas polisi. Akibatnya, sang bandar dapat kembali menjual narkoba dan merusak masyarakat. Bandar yang tertangkap itu akhirnya dihakimi dan dihabisi sendiri oleh massa. Tindakan FPI yang menjadi hakim dan polisi swasta sangat mungkin lahir dari kondisi seperti itu. Kemungkinan ketiga jauh lebih buruk lagi. Dibiarkannya FPI berkali-kali merusak orang lain adalah permainan oknum polisi sendiri. Polri sebagai lembaga mungkin tidak terlibat, namun para petingginya yang bermain. Oknum polisi sengaja membiarkan FPI merusak tempat hiburan. Bahkan jika perlu oknum polisi itu sendiri mendukung perusakan itu. Hasil yang diharapkan adalah munculnya rasa takut di kalangan bos-bos besar yang mengelola aneka tempat hiburan. Pada saat itulah oknum polisi menawarkan jasa. Para bos besar itu semakin butuh perlindungan dari oknum polisi. Semakin besar pula kocek yang harus dibayarkan oleh jaringan bos tempat
hiburan itu kepada oknum polisi. Secara sadar ataupun tidak, FPI justru dijadikan tunggangan oleh oknum Polri dalam rangka bisnis 'jasa keamanan' dari oknum polisi. Tidak heran, polisi swasta ala FPI berjaya. Sementara pembeli jasa keamanan oknum polisi juga bertambah. Namun, apa pun sebabnya, ongkos sosial dari kelemahan polisi ini terlalu mahal. Kewibawaan polisi semakin merosot. Negara tidak dapat membuat publiknya aman jika polisinya tidak berwibawa. Mereka yang peduli dengan keamanan warga harus benar-benar mengawasi polisi. Keseriusan polisi menjaga keamanan publik akan kita uji dengan contoh kasus bagaimana Polri menangani "polisi swasta"' model FPI sekarang ini. How Low Can You Go, Polri? **
Komplikasi Menangkap Terorisme KOMUNITAS politik yang rnenginginkan keamanan negara, ketegasan pernerintah, namun juga menghendaki tegaknya prinsip hukurn dan terjan1innya hak dernokratis, niscaya kini rnenghadapi dilema. Setelah born meledak di Bali, mereka dapat memahami bahwa pemerintah memerlukan kekuasaan yang lebih besar. Kekuasaan itu dibutuhkan baik untuk menangkap pelaku terorisrne ataupun mencegah terjadinya aksi terorisrne di kemudian hari. Tewasnya hampir 200 rnanusia di Bali cukup rneyakinkan publik perlunya pemerintah mempunyai kekuasaan yang lebih mengintervensi. Toleransi atas lahirnya Perpu Antiterorisrne dan penerimaan publik atas ditangkapnya Abu Bakar Ba' asyir hanya mungkin terjadi karena adanya kasus peledakan bom di Bali. Namun di sisi lain, mereka mengkhawatirkan buruknya kultur politik di tingkat elite. Kondisi ini dapat membuat kekuasaan yang lebih besar itu (dibajak' untuk kornpetisi politik elite rnenjelang 2004. Akibatnya, Perpu Antiterorisrne tidak hanya digunakan untuk terorisrne, tetapi juga untuk menggulung aneka oposisi politik. Pro dan kontra atas Perpu Antiterorisme adalah gambaran dari dilema Itu. Aneka jajak pendapat yang dibuat berbagai media massa menunjukkan betapa mayoritas publik mendukung terbentuknya Perpu Antiterorisme. Sungguhpun metodologi jajak pendapat ini dapat diperdebatkan, editorial aneka koran dan majalah terkemuka menunjukkan dukungan yang sama atas Perpu itu. Secara hipotetis kita dapat mengasumsikan saja bahwa mayoritas publik menyetujui Perpu Antiterorisme. Dengan disetujuinya Perpu Antiterorisme, maka pertama, publik mengizinkan pemerintah eksekutif membuat aturan tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terlebih dahulu. Sebenarnya, secara prosedural, DPR adalah wakil rakyat yang paling mempunyai otoritas untuk
membuat hukum setingkat undang-undang. Apalagi jika undang-undang itu berpotensi mengurangi hak asasi warga negara. Di era demokrasi, tidak boleh ada aturan yang diizinkan berlaku tanpa melalui persetujuan rapat pleno DPR. Namun mayoritas publik dapat menerima lahirnya Perpu itu sebagai penyimpangan yang dipahami. Tragedi Bali oleh publik luas dapat dianggap sebagai keadaan darurat yang membuat Perpu itu tidak terhindari. Kedua, publik juga menerima adanya undang-undang yang diberlakukan surut. Sebenarnya, secara umum undang-undang -terutama yang menyangkut pidana dan politik- tidak boleh diberlakukan surut. Undang-undang itu tidak dapat dibuat untuk menjaring kesalahan atau kriminalitas di masa silam. Terminologi melanggar hukum selalu berarti melanggar hukum yang sudah ada ketika tindakan itu dilakukan, bukan hukum yang baru dilahirkan di depan (yang kemudian diberlakukan mundur ke belakang). Namun sekali lagi, mayoritas publik dapat menerima Perpu itu melawan prinsip umum dan diberlakukan surut untuk mengusut Tragedi Bali. Begitu dahsyatnya Tragedi Bali sehingga publik mendefinisikan peristiwa itu sebagai kejahatan melawan kemanusiaan. Unruk kategori kejahatan ini, ada kesepakatan internasional bahwa hukum memang dapat berlaku surut. Ketiga, publik juga mengizinkan upaya penangkapan terhadap tertuduh teroris secara lebih mudah. Sebenarnya, untuk menjamin hak asasi warga negara, harus ada terlebih dahulu bukti awal yang cukup sebelum ia dapat ditangkap. Namun sekali lagi, publik memahami perlunya penyimpangan. Hanya dengan laporan intelijen, yang sudah disahkan oleh pengadilan negeri, seseorang sudah dapat ditahan. Bahkan rekaman dan surat-menyurat elektronik dapat pula menjadi bukti hukum.
Keempat, demi terbongkarnya jaringan terorisme, bahkan publik mengizinkan sang tertuduh ataupun tersangka diperiksa tanpa didampingi pengacara. Sebenarnya, dalam kondisi normal dan pidana umum, warga negara layak didampingi pengacara. Adalah hak warga negara untuk mendapat perlindungan hukum sejak dini. Namun Tragedi Bali begitu memukau. Perpu Antiterorisme yang tidak mengizinkan pengacara mendampingi sang tertuduh, tetap didukung untuk berlaku. *** Di satu sisi, diadopsinya Perpu Antiterorisme itu dan penangkapan Ba'asyir selaku korban pertamanya memang dapat menaikkan citra pemerintah. Di mata internasional dan publik domestik, pemerintah dinilai sudah mengambil segala hal yang diperlukan dalam waktu cepat, demi perang total terhadap terorisme. Namun di sisi lain, Perpu Antiterorisme tetap melahirkan perasaan yang tidak mudah. Banyak yang khawatir jika Perpu itu 'dibajak' untuk tujuan lain. Melalui Perpu itu, pemerintah dapat menggulung tidak hanya ancaman terorisme, namun juga oposisi politik yang sah di era demokrasi. Setidaknya Perpu itu dapat menakut-nakuti kekuatan kritis (yang bukan teroris).
Kernungkinan pertama, Perpu itu dibajak untuk lebih rnelayani desakan internasiona1 ketirnbang pengungkapan fakta hukum yang sesungguhnya. Akibatnya, akan banyak tokoh kritis yang ditangkap untuk kejahatan yang mungkin tidak dilakukannya. Para tokoh Islam garis keras akan menjadi sasaran empuk. Para tokoh ini yang terbiasa rnelakukan kekerasan atas nama agama juga berhak atas keadilan. Mereka tentu harus dihukum atas pelanggaran yang dibuatnya. Namun, jika mereka memang tidak terkait dalam jaringan terorisme internasional, ataupun
dengan peledakan bom di Ba1i, rnereka tidak boleh diza1imi oleh Perpu Antiterorisrne itu, wa1au ada desakan opini intemasiona1. Kemungkinan kedua, Perpu itu dibajak untuk rnenangkap aneka LSM garis keras, yang tidak ada hubungannya dengan terorisme, kecuali mereka bersikap sangat kritis terhadap pemerintah. Sebagian LSM sudah dikenal gemar demonstrasi dan mencaci-maki pejabat tinggi, baik untuk alasan yang masuk akal maupun tidak. Sejauh rnereka tidak menyebabkan kekerasan dan pelanggaran hukum, jangan pula Perpu Antiterorisme dibajak untuk membersihkan LSM jenis ini. Agar PerpuAntiterorisrne tidak 'dibajak' , perlu dicarikan ja1an tengah. DPR tampaknya perlu rnernbuat Komisi Pengawas Keamanan. Komisi ini beranggotakan tokoh masyarakat sebagaimana Komnas HAM. Narnun, tugasnya khusus untuk mengontrol program antiterorisrne agar dioperasikan secara profesiona1 dan tidak rnernatikan potensi dernokratis publik yang sedang tumbuh. Tanpa Komisi Pengawas itu, semangat antiterorisme dapat membuat pemerintah justru tumbuh kembali menjadi semiotoritarian. Akibatnya, perang terhadap terorisme justru akan terganggu. **
Penumpang Gelap Aksi Protes Dl kalangan aktivis mahasiswa kini dikenal istilah penumpang gelap. Istilah ini merujuk kepada takah individual yang diduga ingin membajak gerakan prates mahasiswa. Adalah mahasiswa yang berkeringat, yang membuat jaringan, yang memulai dan menghangatkan aksi prates. Namun, di puncak aksi prates, penumpang gelap ini datang, dengan segala manuvernya ingin membuat kesan bahwa merekalah pemimpin gerakan.
Adalah gerakan mahasiswa yang memiliki agenda prates. Sejak awal gerakan ini kansentrasi pada penurunan atau pembatalan kebijakan yang menaikkan harga BBM, listrik, dan telepan. Namun, penumpang gelap ini ingin mempengaruhi agenda mahasiswa dan memunculkan agendanya sendiri yang sarat dengan kepentingan partisan. Hadirnya penumpang gelap dalam aksi prates melahirkan pra dan kantra di kalangan aktivis mahasiswa. Yang pra berkeyakinan bahwa gerakan mahasiswa tidak dapat berjalan sendiri. Mereka membutuhkan partner palitik dari kekuatan lain. Namun bagi yang kantra, mereka ingin menjaga kemurnian gerakan mahasiswa. Agenda yang disepakati umumnya bahwa kampus adalah gerakan maral. Penumpang gelap ini membelakkan gerakan mahasiswa menjadi gerakan palitik partisan. Sebelum istilah penumpang gelap ini populer, adalah Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono yang membuat sinyalemen. Ketika aksi protes mahasiswa sedang berada pada puncaknya, Menko Polkam menyosialisasikan laporan intelijen yang diperolehnya dari BIN. Menurut Menko Polkam, ada tiga kekuatan yang mencoba mendalangi aksi protes. Mereka adalah kelompok post power syn- drome, barisan sakit hati, dan kalangan radikal. Lebih jauh lagi Menko Polkam melaporkan bahwa ada skenario politik berbahaya. Skenario ini ingin menjadikan mahasiswa sebagai martir. Jika ada mahasiswa yang terbunuh, maka gerakan protes akan meluas. Skenario matinya mahasiswa Trisakti yang kemudian berujung kepada jatuhnya Soeharto dapat terulang. Sampai saat ini memang belum ada mahasiswa yang dijadikan martir. Semua gerakan mahasiswa berjalan seperti biasa, tanpa korban mencolok dari pihak mahasiswa yang dapat menimbulkan : kemarahan massal.
Seketika pernyataan Menko Polkam ini ditanggapi dengan pro dan kontra. Bagi yang kontra ini adalah bukti bahwa laporan yang dibuat BIN itu tidak akurat. Aktivis politik dan kaum intelektual sejak lama memandang rendah mutu laporan intelijen Indonesia. Di kalangan mereka, bahkan dipopulerkan istilah spion melayu. Mereka menganggap Menko Polkam termakan oleh laporan yang tidak akurat. Namun, bagi yang pro justru memunyai kesan sebaliknya. Menko Polkam dia~ggap telah mencegah berlakunya skenario berbahaya itu. Seandainya Menko Polkam berdiam diri, mungkin sudah ada mahasiswa yang benar-benar dijadikan martir. Dalam j politik praktis yang liar, semua skenario kadang dihalalkan dalam , mencapai tujuan politik. Keinginan mengorbankan musuh politik bahkan kawan politik untuk mengejar tujuan politik yang lebih berbahaya terjadi dalam berbagai sejarah gerakan politik di dunia.
Walau akibatnya tidak populer, namun Menko Polkam dianggap sudah menjalankan tugas yang seharusnya. Internasional penting yang layak diketahui publik memang harus disampaikan.- . Kadang seorang pemimpin memang harus mengambil atau ~ mengumumkan sebuah informasi yang tidak populer demi kepentingan yang lebih luas. *** Akan halnya ada dalang yang mencoba mempengaruhi aksi prates mahasiswa, publik juga terbelah pada pro dan kontra. Yang kontra menyatakan bahwa karakter gerakan mahasiswa. Dengan hadirnya dalang, publik akan - melihat gerakan mahasiswa tidak lagi murni dan berubah menjadi . gerakan partisan. Publik yang aatang dari komunitas polirik .--"" beragam akibatnya akan setengah hati mendukung gerakan mahasiswa. Sementara yang pra kepada Menko Palkam justru berpandangan sebaliknya. Menka Polkam dianggap memainkan peran sebagai negarawan
yang memberikan peringatan. Berulang kali ia menyatakan bahwa aksi protes itu dibolehkan dalam negara demokrasi. Namun jika sudah menyimpang dengan agenda yang ekstrem, seperti ingin menurunkan presiden secara inkonstitusianal, maka ini sudah menjadi gerakan antidemakrasi. Sejumlah 'dalang' yang dilantarkan Menko Palkam itu dianggap bertujuan membuat gerakan mahasiswa menjadi ekstrem. Setelah berlalunya waktu, kini gerakan mahasiswa merasakan sendiri kebenaran pernyataan Menko Polkam. Istilah penumpang gelap yang kini populer adalah kata lain dari para petualang politik yang dinyatakan Menko Polkam. Gerakan mahasiswa kini sudah berkembang menjadi komaditas politik. Semua kekuatan berkepentingan memengaruhi agenda palitik mahasiswa. Apa bedanya penumpang gelap dengan partner palitik? Jika demakrasi yang menjadi basis penilaian, penumpang gelap adalah
semua kekuatan yang memajukan agenda antidemokrasi. Sement~ , partner politik adalah kelompok politik yang masih bergerak dalam , koridor demokrasi. Aksi protes adalah bagian dari demakrasi. Semua kekuatan politik berhak untuk protes. Namun, penumpang gelap membuat .aksi prates ini menjadi agenda untuk menurunkari pemerintahan presidensial di tengah jalan. Padahal dalam sistem sekarang, presiden tidak dapat diturunkan hanya karena kebijakannya. Apalagi jika kebijakan itu dapat dipertahankan secara rasianal dan teknis ekonomi. Bahkan kebijakan yang buruk sekalipun, sejauh tidak melanggar hukum, cidak dapat dijadikan alasan untuk menurunkan presiden. Marah terhadap pemimpin adalah hal yang biasa dalam demokrasi. Kampanye untuk tidak lagi memilih pemimpin itu pada pemilu mendatangjuga hal yang lumrah. Namun, penumpang gelap memperkenalkan istilah presidium nasional yang inkanstitusional. Jika keinginan penumpang
gelap ini diikuti, maka negara ki(a bukan saja semakin jauh dati demakrasi, namun akan berujung pada kehancuran. Di samping tidak dikenal dalam kanstitusi, presidium nasional akan mentradisikan kudeta dan pergantian kekuasaan di luar konstitusi. Saatnya gerakan mahasiswa kembali kansalidasi dan secara bersama mengambil sikap kalektif. Kepada para penumpang gelap, justsayNo! xx
i' Serangan Fajar Buat Megawati? JIKA Megawati tidak bersedia mundur dari jabatan presiden, ujar seorang pemimpin mahasiswa, "rnaka BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) menyiapkan serangan fajar 1 Maret. Ribuan elemen mahasiswa, termasuk yang di daerah, akan berkumpul dan mengepung istana." Jika serangan fajar itu gagal, Megawati masih tetap ngotot menjadi presiden, kernbali BEM menggunakan momentum 11 Maret. Gerakan mahasiswa akan mencabut mandat kepresidenan Megawati-Hamzah Haz. Selarna ini, ujar pemimpin mahasiswa itu, gerakan mahasiswa hanya ingin melakukan fungsi kontrol. Gerakan mahasiswa ingin kinerja pemerintahan diperbaiki. Tetapi, "KKN masih subur, koruptor tidak ditangkapi, dan aset-aset negara diobral" (Detik Corn, 21/2/2003). Terasa adanya militansi politik dalarn seruan itu. Namun, seberapa jauh militansi politik itu telah digunakan gerakan mahasiswa untuk mernbangun sistern demokrasi yang konstitusional dan terlembaga? Ataukah gerakan mahasiswa sudah mulai kebablasan, dan sudah 'dibajak' oleh segelintir pemimpinnya sendiri, yang jika berhasil justru akan menciptakan Indonesia yang lebih buruk? ***
:-
Ketika gerakan mahasiswa marak di banyak kota besar menentang kenaikan BBM, listrik, dan telepon, begitu banyak lapisan masyarakat mendukung dan menyatakan simpati. Hal ini segera terlihat dari komposisi unjuk rasa. Tidak hanya buruh yang ikut demonstrasi, tetapi juga kalangan pengusaha. Bahkan artis dan ibu rumah tangga tidak pula ketinggalan berpawai: Ulasan media -massa dan tajuk rencana cenderung mendukung gerakan mahasiswa ItU. Dari ragam segmen mereka yang protes, momentum, militansi, dan arah gerakan mahasiswa dapat dibenarkan secara moral, konstitusional dan politik praktis. Direvisinya kenaikan itu menjadi bukti pula betapa pemerintah mengakui kesalahannya. Publik luas tentu saja harus berutang budi kepada mahasiswa. Jika tidak ada gerakan protes mahasiswa. sangat mungkin tidak akan ada revisi kebijakan. Pemerintah pun tidak belajar untuk menjadi lebih sensitif dan lebih aktif dalam komunikasi politik. Namun serangan faj:ir, momentum 11 Maret, dan kehendak menurunkan Presiden Megawati dan Wakil Presiden Hamzah Haz di tengah jalan. yang kini direncanakan mahasiswa, terasa sudah mulai little bit too much. Tanpa kasus pelanggaran hukum yang berat oleh Megawati, militansi gerakan yang ingin mencopotnya, secara moral dan konstitusional salah, dan secara politik praktis tidak pula realistis. Demokrasi tidak akan menjadi sehat dan terlembaga di Indo- nesia, jika kita membuat tradisi menurunkan presiden di tengah jalan. Empat presiden terdahulu, semuanya berakhir dengan buruk. Tiga presiden, Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur, diturunkan di tengah jalan. Sementara Habibie ditolak pertanggungjawabannya. Jika Megawati juga diturunkan di tengah jalan,
lengkaplah sudah konvensi politik Indonesia untuk tidak menghargai pemilu sebagai sarana pergantian presiden.
Apalagi, konstitusi UUD 45 sudah diamendemen. Kini kita menganut sistem presidensialisme mumi sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat. Presiden tidak lagi bisa diturunkan di tengah jalan, bahkan oleh MPR sekalipun. Mahkamah Konstitusi (atau Mahkamah Agung jika Mahkamah Konstitusi belum ada) tidak akan membenarkan aksi penurunan presiden. Hanyasatu pintu yang memungkinkan presiden diturunkan, yaitu jika Megawati melakukan pelanggaran hukum tingkat tinggi. Misalnya, melakukan pengkhianatan negara (treaso1:Z), korupsi (bribery), kriminalitas tingkat tinggi (other high crimes) dan perbuatan tercela (misdemeanor) .Demikianlah sistem presidensialisme murni dibangun. Masa jabatan presiden dirancang untuk jangka waktu yang tetap (jixed term). Hal ini berbeda dengan perdana menteri dalam sistem parlementer. Masa jabatan perdana menteri sangat fleksibel tergantung dari selera mayoritas anggota parlemen. Tanpa melakukan pelanggaran hukum, jika mayoritas parlemen menghendaki, perdana menteri dapat diganti. 1idaklah heran, dalam tradisi 200 tahun sistem presidensialisme di Amerika Serikat, tidak ada satu presiden pun yang berhasil dijatuhkan di tengah jalan. Bill Clinton juga gagal dijatuhkan. Jika ingin kuat dengan sistem presidensialisme mumi, presiden Indo- nesia harus juga cidak dijatuhkan di tengah jalan, kecuali jika terbukti ia melakukan pelanggaran hukum tingkat tinggi. Di samping salah secara moral dan konstitusional, ingin mencopot Presiden Megawati di tengah jalan juga tidak realistis secara politik. Gerakan mahasiswa secara politik tidak akan pemah berhasil mencapai tujuannya sendirian. Untuk target politik yang besar, seperti menjatuhkan
presiden, perlu dukungan politik utama. Dukungan itu tidak lain dan tidak bukan adalah parlemen dan militer.
Parlemen sekarang sangat jelas tidak akan tertarik menjatuhkan Presiden Megawati di tengah jalan. Yang paling kritis di parlemen sekarang adalah Kaukus Penyelamatan Bangsa. Namun, menjatuhkan Presiden Megawati di tengah jalan bukan pula menjadi agendanya. Apalagi pimpinan partai besar. Mereka akan tetap membuat Megawati bertahan sebagai presiden sampai 2004 bukan karena mereka cinta Megawati. Tetapi, justru karena mereka ingin mengganti Presiden Megawati secara terlembaga dan konstitusional melalui Pemilu 2004. Dengan membiarkan Megawati tetap menjadi presiden. mereka justru membuat Megawati akan terus menjadi puncak kemarahan dan target utama kekecewaan publik. Bagi mereka, jauh lebih baik posisi ini dipelihara. Sampai tahun 2004 kelak, mereka berharap citra Megawati lebih buruk. Saat itu mereka mengalahkan Megawati dalam pemilihan presiden dan dicatat sebagai presiden pertama yang dipilih secara langsung. Militer secara kelembagaan, mustahil pula mendukung pencopotan Presiden Megawati di tengah jalan, tanpa kasus pelanggaran hukum tingkat tinggi. Menjaga dan menghormati konstitusi menjadi doktrin tertinggi militer. Sekali militer mengkhianati konstitusi, itu akan membuka preseden pengkhianatan konstitusi lainnya di masa depan. Tidak ada negara , dapat stabil jika pengkhianatan konstitusi menjadi tradisi. Saatnya gerakan mahasiswa melakukan perenungan panjang. : Jika militansi politik disalahgunakan, segelinitir pemimpin mahasiswa saat ini akan dicatat sejarah dengan tinta buruk, karena sudah membuat 'cacat' gerakan mahasiswa. X X
" ,.~i:
ISukhoigate', Mainan Baru DPR? DALAM minggu ini Panitia Kerja (Panja) Sukhoigate yang dibentuk oleh Komisi I mulai bertugas. Berbagai tokoh penting sudah dijadwal untuk dipanggil dimintai keterangan. Di tengah politik yang tidak pasti dan pertarungan menuju Pemilu 2004, Sukhoigate dapat menjadi bola liar yang ujungnya belum dapat kita duga. Mereka yang netral dan tidak terkait konflik politik, umumnya merespons kerja Panja Sukhoigate ini dengan perasaan bercampur. Di satu sisi, tentu saja semua langkah DPR untuk menjalankan fungsi pengawasannya harus didukung. Jika benar ada kesalahan fatal di balik pembelian pesawat Sukhoi, pembongkaran kasus ini akan menjadi preseden yang membuat semua pihak belajar. Sistem secara keseluruhan akan lebih baik. Terbenruknya pemerintahan yang bersih, yang do the right things serta do the things right lebih terjamin. Perso~annya, komitmen anggota DPR, bahkan DPR secara keseluruhan, untuk pemerintahan yang bersih saat ini sangat diragukan. Komitmen ini tidak dibuktikan oleh kerja mereka selama ini. Contoh sederhana, lihat apa yang terjadi pada rapat paripurna pembicaraan Komisi Penanggulangan Korupsi. Komisi ini instrumen yang sangat penting yang harus dibela seluruh tenaga
-
oleh DPR untuk dibentuk. Jika memang pemerintahan yang bersih menjadi komitmen, seluruh anggota DPR, atau paling tidak mayoritasnya, akan mengupayakan secepatnya agar komisi itu terbentuk. Yang terjadi justru sebaliknya, rapat paripurna gagal terlaksana karena tidak mencapai kuorum. Begitu banyak anggota DPR tidak hadir sehingga jumlah yang ada tidak sah untuk bersidang. Bagaimana publik akan percaya pada komitmen anggota DPR untuk pemerintahan yang bersih jika untuk hadir saja dalam sidang paripurna susahnya bukan main? *** Dilihat dari pandangan makro, Sukhoigate belum dapat dikategorikan menjadi kasus yang berbau skandal. Memang ada kontroversi pembelian pesawat tempur Rusia, terutama berkaitan dengan prosedurnya. Namun, jika ada pelanggaran, yang memang harus dibuktikan, apakah memang sepadan untuk digarap, atau diselesaikan sampai ke tingkat panja. Jangan sampai kita hanya ingin membunuh nyamuk dengan menggunakan sebuah meriam. Terlalu banyak energi yang terbuang dan tidak seimbang dengan perolehannya. Secara substansial, membeli pesawat tempur dari Rusia adalah langkah yang sangat tepat. Sangat berbahaya bagi Indonesia jika secara teknomiliter hanya bergantung pada satu atau dua negara saja, sepeni Amerika Serikat dan Inggris, sementara dua negara itu sangat mengontrol dan membatasi penggunaan senjata militer yang kita punya. Hanya dengan embargo suku cadangnya, misalnya, senjata tempur yang kita beli terancam menjadi barang rongsokan. Indonesia dalam masa transisi demokrasi punya risiko untuk terpecah belah. Selaku negara yang plural, selama ini pluralitas di Indonesia baik dari sisi geograf1 ataupun kultural dapat
diintegrasikan karena adanya kekuatan tersentralisasi yang otoriter. Reformasi sudah menghilangkan kekuatan otoriter yang tersentralisasi itu. Akibatnya,
daerah kurang terkontrol. Separatisme mudah sekali lahir dalam era transisi sepeni itu. Lihatlah apa yang terjadi di Uni Sovyet dan Yugoslowakia. Dua negara besar itu kurang lebih sama pluralnya dengan Indone- sia. Integrasi pluralitas di dua negara itu juga terjaga karena adanya kekuasaan tersentralisasi yang otoriter. Ketika terjadi reformasi, kekuasaan lokal di Uni SQvyet dan Yugoslawakia bergolak. Separatisme lahir. Dua negara itu pun terpecah belah. Kini negara Uni Sovyet dan Yugoslowakia hanya dapat kita jumpai di buku sejarah. Indonesia dapat mengalami nasib yang sama. Timor Timur sudah lepas. Jika Aceh lepas pula, wilayah lain seperti Papua, Maluku, dan lain sebagainya juga dapat lepas. Justru di era reformasi dan transisi, pemerintah harus waspada terhadap separatisme. Jika jalan damai tidak dapat ditempuh, penumpasan secara militer memang dibenarkan bahkan dalam negara demokrasi sekalipun. Penumpasan militer itu merributuhkan peralatan militer pula. Jauh lebih baik bagi Indonesia jika dapat berdaulat menguasai semua peralatan militeryang dibelinya. Penggunaan peralatan militer itu sepenuhnya harus tergantung dari pemerintah dan rakyat Indone- sia. Negara luar tidak boleh mendiktenya. Amerika Serikat pun secara moral sudah pula kehilangan legitimasi untuk mendikte penggunaan senjata militer. Negara Amerika Serikat sendiri juga menyerang negara bagiannya sendiri dalam perang sipil di abad ke-19 ketika negara bagian itu ingin memisahkan diri. Bahkan tanpa mengindahkan PBB, Amerika Serikat sudah pula menggempur Irak. MeI'nbeli senjata militer dari Rusia, atau negara mana saja, di
luar Amerika Serikat dan Inggris, sudah merupakan langkah yang sangat tepat. Semua elemen masyarakat, apalagi politikus, harus mendukung langkah ini sebagai bagian penting menjaga NKRI di era yang sulit dan rawan sepeni sekarang.
~ Memang ada kontroversi masalah prosedi1r. Misalnya, mengapa membeli lewa[ Bulog? Atau mengapa tidak dicantumkan dulu dalam APBN? Atau mengapa Menhan, selaku penanggung jawab keamanan tidak [ahu? Te[api semua persoalan prosedur itu ada di wilayah abu-abu, yang belum pas[i dilanggar. Misalnya, pembelian lewat Bulog karena sis[emnya adalah counter-trade, imbal dagang, bahwa pembelian senjata ditukar dengan pembelian komoditas pangan. Wajar Bulog terlibat, yang memang punya 1~;1,1 o[oritas men gkoordinasi masalahpangan. ,'f:., IMengapa [idak tercantum di APBN? Bukankah APBN juga 1~i mengenal metode adendum, bahwa revisi anggaran dapat di1akukan? ,iJ JikaAPBN direvisi dan pembelian Sukhoi dimasukkan dalam revisi, bukankah prosedur APBN juga terpenuhi? Soal sepengetahuan Dephan atau Menhan, bukankah pembelian Sukhoi sudah diagendakan sangat lama, bahkan oleh KSAU sendiri? Bukankah yang ikut menandatangani pembelian adalah Panglima TNI sendiri? Memang ada kontroversi dalam prosedur, tetapi itu belum pasti sebuah pelanggaran. Semua kontroversi memang harus diatasi, tetapi terlalu banyak tenaga dan pikiran terkuras jika 'seekor nyamuk' harus dihadapi 'senjata meriam'. c,,;; I Jangan sampai Sukhoigate ini hanya menjadi mainan politik : D PR yang baru. Indonesia akan memasuki periode yang celaka jika
elite hanya sibuk 'baku hantam', sementara kesulitan yang diderita , rakyat banyak semakin parah. X X ' k.' " 'Ir!;~(
Berdamai dengan Mantan PKI? SUDAH sekitar enarn tahun Indonesia dalarn transisi menuju demokrasi. Narnun, Freedom House tidak kunjung memberikan skor kebebasan yang tinggi untuk Indonesia. Dalarn laporannya yang terakhir di tahun 2003, Indonesia masih menempati papan tengah dengan status partly free. Istilah ini merujuk kepada sistem politik yang sudah melaksanakan pemilu, tetapi belum sepenuhnya bebas. Skor kebebasan Indonesia masih di bawah Thailand, Filipina, Korea Selatan, apalagi Mrika Selatan. Empat negara terakhir itu sudah berstatus free. Mereka sepenuhnya sudah masuk dalarn keluarga pemerintahan demokratis yang sesungguhnya. Apa yang membuat Indonesia masih dinilai partly free? Salah satu penyebabnya adalah praktik diskriminasi dalam politik. Memang kebebasan sejak reformasi sudah dialarni masyarakat luas. Namun, kebebasan itu belum dirasakan oleh komunitas politik lain, yang sejak larna terkucil. Mereka adalah keluarga besar dan mantan PKI. Mahkamah Konstitusi lalu membuat langkah yang sangat fenomenal. Konstitusi kita sendiri, UUD 45, juga tidak mengizinkan adanya diskriminasi hak sosial politik hanya karena persoalan keyakinan politik.
---~~-,. - Maka dibuatlah sebuah keputusan yang kelak akan dikenang sebagai momen emas dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Para mantan PKI dibolehkan menjadi calon anggota legislatif (caleg). UU Pemilu yang melarang hak mantan PKI itu gugur demi hukum. Dengan bahasa yang tegas, Mahkamah Konstitusi meminta aneka lembaga negara menjalankan keputusan yang sudah bersifat final itu. Jika ada pembahasan, biarlah pembahasan itu dilakukan oleh akademisi dalam jurnal ilmiah, bukan politikus di ruang publik. *** Langkah berani Mahkamah Konstitusi ini akan membuat preseden sangat baik bagi masa depan konstitusi. Lembaga negara akan semakin dipaksa menghormati paham konstitusionalisme. Baik lembaga DPR ataupun presiden akan lebih berhati-hati membuat undang-undang. J angan pergunakan kekuasaan besar yang diberikan rakyat banyak untuk mengkhianati prinsip konstitusi itu sendiri. Jika sekali lagi DPR dan presiden asal-asalan dalam membuat undang-undang, produk itu akan kembali dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Hanya membatasi kajian pada undang-undang pemilu saja, banyak pasallain yang juga potensial melanggar konstitusi. Paham konstitusionalisme pada dasarnya meletakkan konstitusi sebagai pembatas kekuasaan negara dan penjaga hak masyarakat. Hanya konstitusi yang boleh membatasi hak masyarakat. Untuk hak masyarakat yang tidak dibatasi konstitusi, hak itu tidak boleh dibatasi oleh DPR dan presiden dalam undang-undang negara. Dapat diambil satu contoh pasallainnya dari undang-undang pemilu kita yang potensial dibatalkan Mahkamah Konstitusi, yaitu syarat mengajukan calon presiden. Konstitusi menyatakan bahwa partai peserta pemilu dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Setelah sah sebagai peserta pemilu, partai itu dapat bersama-sama dengan partai lain atau sendirisendiri saja, mengajukan paket calon presiden dan wakil presiden.
mem~a~; tidak £ dlbatasl oleh kOnst1tUS1. Undang-undang mensyaratkan bahwa hanya ~ partai atau gabungan partai yang memperoleh tiga persen kursi DPR : atau lima persen suara saja yang berhak. Partai atau gabungan partai !i3; di bawah persentase itu tidak diberikan hak. Dengan ketentuan : , tambahan itu, undang-undang telah merampas hak partai peserta pemilu yang perolehannya di bawah. tiga persen. Ketentuan undang-undang ini memiliki komplikasinya sendiri. Karena ada kriteria minimal tiga persen berarti calon presiden baru dapat diajukan setelah hasil pemilu legislatif diketahui. Padahal, konstitusi mengatur bahwa calon presiden harus diajukan sebelum pemilu, sedangkan pemilu legislatif dapat dikategorikan sebagai I pemilu yang dimaksud oleh UUD 45. Calon presiden sebenarnya harus diajukan sebelum pemilu legislatifjika saja tidak ada tambahan undang-undang soal tiga persen itu. *** Secara legal formal, semua lembaga negara menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi. Namun secara politik, banyak pihak yang khawatir. Jika mantan PKI dibebaskan kembali berpolitik, bagaimana dengan masa depan negara kita? Bukankah berkali-kali pimpinan dan aktivis komunis memberontak dan membahayakan negara? Di tahun enam puluhan larangan atas mantan PKI mungkin masih punya signifikansi politik. Walau larangan itu dapat ditafsir .f melanggar HAM, secara politik larangan itu sangat efektif sebagai langkah pencegahan.
Saat itu, gerakan komunisme intemasional masih sangat kuat. , Dunia terbagi dua, antara blok barat dan blok komunis. Sebagai gagasan, komunisme juga masih bersinar untuk menjadi ideologi altematif pembangunan. Peluru yang digunakan untuk melarang mantan PKI masih punya efek politik.
Tetapi di abad ke-21 seperti sekarang, situasi sudah berubah. 1idak ada gunanya lagi melarang mantan PKI.Surga bagi pemimpin dan aktivis komunis ada di Uni Soviet dan China. Bahkan di kandangnya sendiri, para pemimpin komunis itu sudah tidak lagi menjajakan komunisme. Soviet sudah hilang dalam peta dunia dan menjadi lima belas negara bagian. Sebagian besar sudah bertransisi ke demokrasi. Rusia yang terbesar, kini sedang pula pelan-pelan mengusung kapitalisme. Sementara di RRC, berbagai eksperimen pasar bebas mulai diterapkan. Eropa Timur sudah pula bergerak menyerupai negara Eropa Barat yang mengawinkan demokrasi dan kapit.alisme. Keputusan Mahkamah Konstitusi secara politik tidak akan berarti banyak bagi bangkitnya komunisme di Indonesia. Justru di sini letak penting keputusan Mahkamah Konstitusi itu. Secara hukum, keputusan itu menjadi jendela bagi penghapusan praktik diskrimasi lainnya bagi warga negara. Secara sosial, ia juga membuka rekonsiliasi dengan sejumlah warga Indonesia yang sejak lama dijadikan warga kelas dua. Secara politik, PKI juga sudah mustahil dapat bangkit kembali walau mereka diberikan kebebasan. Tidak perlu tentara, banyak kalangan sipil saat ini sudah terlalu pintar untuk dikelabui oleh ideologi komunisme. Pada waktunya larangan bagi ideologi komunisme itu juga dapat dicabut. Jika secara politik pencabutan itu tidak dapat dilakukan dalam waktu dekat, minimal dapat dilakukan dalam tempo
pemilu berikutnya. Melarang komunisme itu seperti membuang 'peluru kendali' secara percuma. Buat apa melarang ajaran yang sudah tidak lagi laku? X X I"' ,i!; ~ ;
Menolak Hasil Pemilu 2004? IIi' ~! , SEBAGIAN politikus dan sebagian akademisi sangat mungkin mengembangkan respons yang berbeda, bahkan bertolak belakang, mengenai proses Pemilu 2004 dan hasilnya. Sebagian politikus ini diwakili aliansi 19 partai yang mengambil ancang-ancang untuk menolak hasil Pemilu 2004. Sementara sebagian akademisi itu diwakili oleh Forum Rektor yang memuji transparansi dan kesuksesan jalannya pemilu itu. Perhitungan hasil Pemilu 2004 memang belum final. KPU masih terus mengakumulasi suara berdasarkan jaringan teknologi tinggi. Walau belum final, sudah terbaca peta pemenang Pemilu 2004. Dua partai terbesar Pemilu 1999, PDIP dan Golkar masih menempati posisi dua besar. NDI dan LP3ES lebih maju lagi dalam menghitung hasil pemilu, dengan model quick count melalui 2.000 sampel TPS di seluruh Indonesia. NDI dan LP3ES juga sudah menyampaikan hasil perhitungan tentatifnya. Kembali dua partai terbesar tahun 1999, PDIP dan Golkar, menempati dua urutan teratas. Namun dalam Pemilu 2004, posisi Golkar di atas PDIP. Lembaga jajak pendapat seperti LSI dan IFES juga melakukan survei nasional tetapi sebelum pemilu. Pada tanggal 3 Apri12004,
t I dua hari sebelum pemilu, dua lembaga ini j.uga sudah " mempublikasikan hasilnya.
Dua partai terbesar tahun 1999, juga menempati dua urutan teratas di tahun 2004. Sama dengan NDI, survei LSI dan IFES juga menempatkan Golkar di urutan pertama. Dilihat dari keseluruhan perolehan suara, prediksi LSI sangat mendekati hasil perhitungan NDI, dengan margin hanya sekitar 0,4%-2,4% saja. Ketika persentase hasil suara itu dikonversi menjadi perolehan kursi, keunggulan dua partai ini, Golkar dan PDlP' semakin besar. Bahkan dari hasil kursi, Golkar juga akan telak mengalahkan PDIP. Contohnya, dari hasil perhitungan suara sementara, Golkar dan PDIP sama-sama mendapatkan sekitar 20%. Namun, ketika dikonversi menjadi perolehan kursi, Golkar sudah mendapatkan 93 kursi. Sementara PDIP hanya 63 kursi. Total perolehan kursi dua partai ini mengalahkan semua partai lainnya yang digabung menjadisatu. Bukan suara dan kursi ini benar yang kini menjadi masalah. Aneka komunitas ternyata menyambut proses dan hasil pemilu ini dengan sangat berbeda sekali. Sebagian menyambut dan memuji. Sebagian lagi protes bahkan mengancam meminta pemilu nasional ulang. *** Mengapa Forum Rektor dan aliansi 19 partai memberikan respons berbeda mengenai hasil pemilu? Bukankah keduanya masing-masing memiliki jaringan dan melihat hal yang sama? Atau- kah perbedaan mereka karena perbedaan kepentingan dan sudut pandang? Menurut Forum Rektor, Pemilu 2004 sudah berlangsung dengan transparan dan sesuai dengan ketentuan uu Nomor 12 Tahun 2003. Kesimpulan ini diambil Forum Rektor tidak dengan berspekulasi dari belakang meja saja. Forum Rektor memantau 26 simpul wilayah di seluruh Indonesia.
~ - Mereka menerjunkan 152.000 pemantau di 76.000 TPS di seluruh Indonesia. Memang, Forum Rektor menemukan kelemahan dan cacat di sana-sini. Namun, kelemahan itu dianggap tidak signifikan. Ada persoalan logistik. Ada komplikasi akibat kebijakan KPU yang sentralistik. Tetapi, hasil pemilu dan perhitungan suara tidak berbuah masalah yang mendasar. Sebaliknya aliansi 19 parta.i politik mengeluarkan pernyataan yang agak menakutkan. Pada mula mereka cukup simpatik, meminta agar ada prinsip kehati-hatian dalam perhitungan suara. Sikap mereka juga cukup mengundang simpati ketika meminta kesalahan perhitungan suara di beberapa tempat ditinjau ulang. Suasana menjadi berbeda ketika keesokall harinya, beberapa eksponen partai dan aktivis berkumpul kembali. Gus Dur tampaknya menjadi maskot gerakan ini. Tidak tanggung-tanggung, mereka menolak hasil pemilu dan meminta pemilu diulang. KPU dituduh telah menjadi ajang yang membiarkan dua partai terbesar, PDIP dan Golkar, tetap berkuasa. "Bukan kita yang makar dengan menolak pemilu," ujar Gus Dur, "tetapi KPU yang makar." Dapat dipastikan, gerakan mendukung pemilu dan aksi protes menolak hasil pemilu akan meluas. Politik nasional berpotensi gonjang-ganjing. Apa yang mesti dilakukan? *** Selalu ada jalan tengah untuk setiap pertentangan. Mereka yang ekstrem acap kali hanya mendapatkan dukungan yang kecil saja. Kelompok yang ekstrem bukan saja acap kali memang kelompok minoritas, .tetapi juga tidak proporsional dalam memberikan respons. Perhitungan suara hasil pemilu memang harus dilakukan seakurat mungkin. Bilamana terjadi kesalahan, secepatnya kesalahan itu dikoreksi. Dalam prinsip demokrasi, suara yang diberikan oleh
warga negara harus disucikan. Suara itu tidak boleh diabaikan, apalagi dimanipulasi, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja. Dengan berpikir positif, kita meyakini ada kebenaran gugatan aliansi 19 partai mengenai akurasi perhitungan suara. Namun, koreksi harus dilakukan kasus per kasus. Katakanlah aliansi menemukan bukti kesalahan perhitungan di beberapa wilayah. Maka di wilayah itu, perhitungan dapat dilakukan kembali. Namun, jika hanya kesalahan di beberapa wilayah, Ialu menarik kesimpulan menolak pemilu, itu sudah ekstrem. Jauh Iebih ekstrem Iagi, jika kesalahan beberapa Iokasi itu dijadikan alasan menuntut pemilu nasional ulang. Ini sama dengan ingin membunuh seekor nyamuk yang mengganggu, dengan menembakkan beberapa born nuklir. Akibatnya bukan hanya nyamuknya yang mati, penduduk satu negara itu akan ikut porak-poranda. Wacana pemilu nasional agar diulang sangat berbahaya. Wacana itu segera mengundang para provokator dan petualang politik untuk turun gunung. Jika gerakan protes itu membesar, jadwalpemilu akan terus moIor. la bahkan bisa menunda pemilu presiden. Jika pemilu presiden tertunda, Presiden Megawati akan berkuasa Iebih lama, tetapi tanpa mandat yang jelas. UUD 45 hanya memberikan mandat Megawati sampai Oktober 2004. Akan terjadi interpretasi mengenai kekuasaan yang vakum dalam persoalan tata negara. Ini akan mengundang pihak yang kuat mengambillaih kekuasaan tanpa Iewat pemilu. Demi kepentingan yang Iebih Iuas, aliansi 19 partai sebaiknya memberikan respons yang Iebih proporsional saja. Meminta perhitungan suara ulang di beberapa wilayah sangat masuk akal. Namun, menolak pemilu dan meminta pemilu nasional ulang hanya akan menjadi mainan politik yang berbahaya. xx
Bersama Menyelamatkan Gus Dur SETEIAH KPU mengumumkan verifikasi atas paket capres dan cawapres, Gus Dur kembali menyita perhatian kita. Gus Dur saat ini berada dalam posisi yang harus dibantu. Namun, itu bukan untuk soal yang terlalu praktis seperti syarat kesehatan calon presiden. Gus Dur layak dibantu dan diselamatkan untuk kepenti~gan bangsa yang lebih besar. Posisi Gus Dur kini dapat ditamsilkan seperti berada di titik persimpangan. Jika sedikit saja ia didorong ke kanan, ia masih bisa menjadi aset dan solusi bagi persoalan Indonesia masa datang. Sebaliknya, jika ia didorong ke kiri, ia justru dapat menjadi prob- lem dan beban politik Indonesia selanjutnya. Sedikit saja diarahkan ke kanan, Gus Dur masih dapat berperan menjadi unsur dinamika demokratisasi dan pluralisme era transisi. Sebaliknya, jika ia sedikit lagi didorong ke kiri, Gus Dur justru berkembang menjadi simbol kultus individu yang baru dan psikologi politik otoriterisme. Tanggung jawab kita semua, terutama lingkaran terdekatnya untuk menyelamatkan Gus Dur. . *** Walau tidak diumumkan sendiri oleh KPU, publik sudah mengetahui bahwa Gus Dur tidak lolos kriteria kesehatan. Paket
Gus Dur- Marwah Daud Ibrahim agaknya tidak akan ikut pemilu presiden 5 Juli 2004. Perasaan kita bercampur menyambut verifikasi awal KPU. Di satu sisi, simpati dan dukungan memang mesti diberikan kepada Gus Dur. Namun, di sisi lain, prosedur dan kriteria harus ditegakkan karena kita sedang membangun sebuah negara modern.
Mengurus negara tidak boleh amatiran. Standar, kualifikasi, kompetensi, dan penilaian oleh pihak yang memiliki otoritas adalah syarat kerja yang tidak boleh diabaikan. Sangat disayangkan Gus Dur memberikan respons yang justru dapat membuatcitranya semakin buruk.Padahal syarat dan kriteria kesehatan itu adalah amanah UUD 45. J elas-jelas dinyatakan dalam konstitusi bahwa presiden dan wakil presiden Indonesia harus sehat secara rohani dan jasmani. UU Pemilu Presiden juga sudah lebih mendetailkan kriteria itu. KPU lebih mengoperasionalkannya lagi dengan mengundang pihak yang memang ahli, ID I (Ikatan Dokter Indonesia) . Dua lembaga hukum tertinggi di Indonesia juga sudah memberikan sikapnya. Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak melihat adanya diskriminasi dalam syarat kesehatan itu. Tidak ada yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. KPU didukung untuk terus menjalankan wewenangnya. Hal yang sama dilakukan Mahkamah Agung. Tidak ada yang salah dalam kriteria kesehatan itu ditinjau dari sisi prosedur hukum. Gus Dur juga memberikan respons yang kurang pas. Ia menyatakan tidak akan bertanggung jawab jika pengikutnya mengamuk akibat keputusan KPU. Pernyataan ini sangat menurunkan harga politik Gus Dur sendiri. Ia yang sebelumnya dikenal sebagai guru bangsa dan negarawan dapat jatuh sekali citranya menjadi (politikus jalanan'. Untuk politikus sekelas Gus Dur, apalagi mantan presiden, pernyataan sebaliknya yang harus ia berikan. Sebagai tokoh
demokrasi yang ingin menegakkan hukum, ia justru harus meminta pengikutnya taat hukum. Perjuangan dan perlawanan memang boleh dilakukan jika
aturan itu dianggap tidak adil. Namun, karena semua institusi yang berwenang sudah memberikan keputusannya, siapa pun harus tunduk. Bagi publik luas cukup wajar jika presiden dan wakil presiden harus cakap secara fisik dan rohani. Menjadi pilot pesawat udara saja harus melewati banyak sekali tes kesehatan. Pilot yang emosinya tidak stabil atau yang tidak tahan stres, ataupun ada gangguan indra fisik, dapat membuat ratusan penumpangnya berbahaya dan mati. Menjadi presiden pada dasarnya menjadi 'pilot' sebuah bangsa. Tes kecakapan rohani dan fisik memang harus lebih jeli. Jika presiden salah mengambil keputusan hanya karena persoalan emosi dan fisik, dua ratus juta nyawa manusia dipertaruhkan. Di semua negara demokrasi di dunia, tes kesehatan bagi calon presidennya dilakukan. Itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan diskriminasi terhadap penyandang cacat. Agak aneh juga jika Gus Dur dan kelompoknya kini tiba-tiba memperjuangkan hak orang cacat. Di berbagai iklan koran, terpampang pesan yang sangat jelas sekali bahwa orang cacat harus diberikan hak yang setara. Seruan itu tentu harus didukung. Namun kriteria untuk menjadi presiden adalah hal yang berbeda. *** Kita semua mencintai Gus Dur. la adalah tokoh unik yang layak mendapatkan tempat terhormat. Perjuangan Gus Dur untuk demokrat.isasi dan pluralisme, keberaniannya melindungi kaum minoritas, inisiatifnya menegakkan supremasi sipil adalah fondasi yang penting bagi bangunan Indonesia baru. PKB yang ikut dilahirkannya juga potensial berkembang menjadi partai modern yang mengakar.
;i;"~ ;;.1~!!;1- --,'f~; ~,"___~1;;!1
Namun, Gus Dur kini benar-benar di simpang jalan. Kita menjadi semakin rerharu lagi kerika melihar lingkaran rerdekarnya di PK.B semuanya mari kuru. Tidak ada yang berani dan mampu mengonrrol Gus Dur. Semuanya ikur saja, manur saja apa yang diinginkan Gus Dur. Sebuah ironi kebudayaan, rokoh besar demokrasi akhirnya dapar rerjebak dalam reviralisasi kulrus individu jusrru di era reformasi dan kebebasan. Sebuah rragedi jika PKB sebagai pa'rtai besar akhirnya hanya menjadi rawanan polirik Gus Dur. Saarnya Gus Dur diselamarkan justru karena kira semua menyayanginya. Kembalikan Gus Dur kepada habirarnya sebagai guru bangsa. Orienrasinya kepada nilai dan prinsip harus lebih besar kerimbang sekadar mau ikur menjadi calon presiden. Para pengikurnya dan elire PKB harus mulai be~i berkara. " No" kepada Gus Dur. X X 1 i..;-
Intelektual di Belakang Capres APAKAH telah terjadi pengkhianatan intelektual? Ini pertanyaan paling hotdi kalangan akademisi, insan pers, politikus, dan publik luas saat ini. Beberapa intelektual publik yang cukup dikenal ditengarai berada dibelakang capres tertentu. Karena politik tidak hanya menyangkut persoalan praktis, tetapi juga masalah visi, rnisi, perspektif, nilai, platform, dan strategi, sangat lumrah jika para intelektual terlibat dalam pemilu presiden. Antara capres dan sang intelektual mungkin terbina hubungan yang saling menguntungkan. Dalam bahasa biologi, hubungan itu bersifat simbiose mutualistis. Kehadiran intelektual menambah bobot pemikiran para capres. Kehadiran para pemikir itu juga memperluas pilihan dan mempertajam strategi kebijakan capres. Sementara
kedekatan dengan capres, membuat banyak gagasan intelektual itu masuk ke dalam pertimbangan kebijakan. Akibatnya, gagasan itu tidak hanya mengawang, tetapi punya kaki dan punya potensi terealisasi. Ada intelektual yang secara terang benderang mengumu~kan pemihakannya. Rizal Sukma dari CSIS secara terbuka berada di Amien Rais Center. Ekonom seperti Derajat Wibowo dan DidikJ Rachbini bahkan secara resmi menjadi calon legislatifPartai Amanat
Nasional. Namun, banyak pula keterlibatan intelektual itu sembunyi-sembunyi. Sebagian disebabkan oleh status mereka sendiri selaku pegawai negeri. Pemihakan pada salah satu capres dengan mudah dapat dituduh berpolitik praktis, dan melanggar prinsip netralitas pegawai negeri. Sebagian juga tidak ingin berterus terang karena memang hubungan sang intelektual dan capres itu lebih kepada perkawanan yang per- sonal. T1dak ada kesepakatan mereka pada gagasan tertentu. Sebagian lain punya alasan lebih personal yang tidak kita ketahui. Respons publik atas keterlibatan intelektual juga beragam. Banyak yang main pukul rata. Pemikir yang hanya membela satu capres segera diklaim sebagai bagian daripengkhianatan intelektual. Tuduhan yang lebih kasar lagi, mereka dianggap telah menggadaikan ilmu pengetahuan untuk menunjang kekuasaan. Namun, banyak pula yang memberikan apresiasi. Intelektual itu juga warga negara yang boleh memilih dan berpihak. Mereka yang jelas-jelas mengungkapkan keberpihakannya pada capres tertentu lebih dihargai. Sementara intelektual yang masih 'malu- malu kucing' dianggap rnasih ingin mencari jalan arnan, mengesankan diri netral, padahal sudah partisan. ***
Suka atau tidak, masih kuat tumbuh mitos dalam dunia intelektual Indonesia. Para pemikir, akademisi, sekaligus intelektual publik dianggap sebagai resi yang harus berumah di atas angin. Mereka harus berdiri di atas semua golongan. Ketika politik praktis memecah, intelekrual itu justru harus recap netral untuk merangkum kembali pecahan politik praktis. Di Amerika Serikat, yang sudah lebih dari seratus tahun dengan pemilu presiden, punya tradisi intelektual yang berbeda. Malah sangat aneh jika ada intelektual publik yang tidak berpihak. Sejauh ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh sang intelektual sangat terkait
langsung dengan kebijakan publik, saat itu sang intelektual harus mengambil posisi kepada partai atau capres. Katakanlah ada intelektual yang sangat peduli dengan homoseksualitas. Sang intelektual itu jelas harus bersikap, apakah ia pro-homoseksual, ataukah antihomoseksual? Jika ia pro- homoseksual maka ia sejalan dengan platform Partai Demokrat. Jika antihomoseksual, maka ia sejalan dengan Partai Republik. Jika sang intelektual sangat peduli.dengan isu itu, mau tidak mau ia ikut berpropaganda bagi partai yang memperjuangkan gagasannya. I la juga akan berkampanye bagi capres yang punya gagasan sama. ~ Bagaimana mungkin sang intelektual harus berumah di atas angin atau netral jika ia sangat peduli pada gagasan itu? Bukankah harus ada undang-undang yang dibuat, baik yang pro atau yang anti-homoseksual? Bukankah akan ada kebijakan yang harus dirumuskan bagi kurikulum sekolah? Jika sang intelektual tidak aktif, undang-undang dan kebijakan yang dirumuskan mungkin akan bertentangan dengan gagasannya. Hal yang sama dialami oleh ekonom misalnya. Sang ekonom yang peduli dengan kaum miskin dan pengangguran harus pula mengambil sikap atas pajak bagi orang kaya. Apakah sebaiknya
pajak dinaikkan agar pemerintah semakin banyak dana untuk program subsidi bagi rakyat miskin. Atau sebaliknya, pajak buat orang kaya dikurangi sehingga lebih banyak dana sang pengusaha itu untuk investasi. Pada gilirannya, investasi itu menyerap tenaga kerja dan mengurangl pengangguran. , Ekonom yang peduli dengan kebijakan pajak akhirnya harus , memihak. Sang ekonom tidak bisa netral, berumah di atas angin, ~ dan membela keduanya, baik yang ingin menaikkan pajak ata\,lpun !:' menurunkan pajak. Jika ingin menaikkan pajak untuk memperbesar f' subsidi, ia akan mendukung Partai Demokrat. Jika ingin mengurangi ~r pajak agar pengusaha lebih banyak dana untuk investasi, ia akan ~ membela Partai Republik. ***
Di Indonesia, parrai dan capres belum benar-benar bergerak berdasarkan program, platform, dan isu. Umumnya capres masih bicara pada rararan normarif. Perbedaan program capres yang saru dengan yang lainnya sulir diremukan. Apalagi mereka sangar rahu bahwa mayoriras publik memilih capres ridak karena programnya. Lalu mengapa bersusah payah menjual program? Jusrru karena program yang ridak pasri iru, sebagian inrelekrual juga memberi dukungan yang hanya serengah rerbuka. Sebagai profesional, dukungan inrelekrual seharusnya memang kepada nilai, plarform, dan program. Dukungan itu bukan kepada orang karena orang dapat mengkhianati program yang dijanjikannya sendiri. Karena program ridak kunjung detail, akibarnya yang menonjol dari sang inrelekrual iru adalah dukungan setengah hari dan serengah sembunyi kepada capres. Sepuluh rahun arau lima belas tahun dari sekarang, tradisi inrelekrual di Indonesia akan berubah. Miros intelektual harus berumah di aras angin, harus nerral, berdiri di aras semua golongan akan
semakin diringgalkan. Kerika para capres sudah mulai dapar dibedakan platformnya, pemihakan inrelektual akan semakin rerbuka. Mereka tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi. xx
Menjaga Megawati dan Sutiyoso SEORANG pemimpin dapat dijaga dan dicintai oleh pendukungnya dengan dua cara yang bertolak belakang. Dua reaksi ini yang kita lihat sedang terjadi di PD I Perjuangan, berkaitan dengan pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Luas diberitakan, sang pemimpin PDIP, Megawati Soekarnoputri, meminta partainya mencalonkan kembali Sutiyoso sebagai Gubernur DKI Jakarta untuk kedua kalinya. Cara pertama, menjaga dan mencintai Megawati melalui kepatuhan dan pelaksanaan kebijakan yang sudah dipilih Megawati. Ini diwakili secara tipikal oleh, misalnya, Jakob Nuwa Wea, salah satu pimpinan PDIP yang sekarang menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Menurut J akob, ia secara pribadi sebenarnya menentang Sutiyoso. Namun, karena hal itu sudah diputuskan oleh Megawati, ia mengalahkan pilihan politiknya dan berusaha mengamankan kebijakan Megawati agar Sutiyoso terpilih kembali. Cara kedua, menjaga dan mencintai Megawati justru dengan membangkang rerhadap keputusan Megawari. Ini diwakili oleh Tarmidi Suhardjo, pemimpin PDIP di daerah DKI Jakarta. Tarmidi rerap berniat mencalonkan diri menjadi Gubernur DKIJakarta. la
membangkang atas kebijakan pemimpinnya, justru untuk kepentingan partai, seperti yang ditulis oleh The Jakarta Post, 29 Juni 2002. Dengan mendukung Sutiyoso, justru hal itu ia anggap akan merugikan Megawati dan partainya dalam Pemilu 2004, yang akan menyebabkan wargaJakarta meninggalkan PDIP.
*** Reaksi Tarmidi yang membangkang atas pilihan Megawati mewakili sebagian besar public mood. Hampir semua media cetak yang besar dan berpengaruh mempertanyakan, baik dalam head- lines ataupun editorialnya, kebijakan Megawati memilih Sutiyoso yang dianggap (aneh'. Editorial Media Indonesia dan The Jakarta Post di minggu lalu mewakili persepsi publik secara cukup keras. Reaksi Tarmidi dapat memberikan kesan bahwa masih ada pendukung PD IP yang selaras dengan public mood i tu, dan ini dapat mengurangi antipati publik terhadap PDIP. Setidaknya, ada tiga hal yang membuat sebagian publik tidak mengerti mengapa Sutiyoso harus dicalonkan kembali. Pertama, ketika Jakarta dilanda banjir, Megawati menyalurkan bantuan kepada korban bencana banjir. Secara terbuka Megawati menyatakan , tidak ingin menyalurkan bantuan banjir itu melalui administrasi birokrasi PemdaJakarta. la khawatir bantuan itu tidak sampai atau dikurangi. Umumnya, persepsi publik mengamini pernyataan Megawati. KKN dalam Pemda DKI yang dipimpin Sutiyoso dianggap sama buruknya, baik sebelum atau setelah reformasi. Reaksi Sutiyoso sendiri terhadap banjir dianggap sangat lambat dan mengecewakan. T1dak heran, setelah banjir besar selesai, Sutiyoso bukannya semakin dicintai dan dinobatkan sebagai (pahlawan'. Yang terjadi justru sebagian pimpinan LSM membawa Sutiyoso ke pengadilan atas nama para korban banjir. Kedua, proses pemilihan Gubernur DKIJakarta di kalangan PDIP sendiri sudah dilakukan secara bottom up. Pengurus daerah
,c , , ; PD IP Jakarta sudah menyeleksi para calon dan sepakar mencalonkan
, Tarmidi Suhardjo. Sebagai parrai yang kuar akar massanya dalam ~c grass root, proses bottom up ini dianggap bukan saja sesuai dengan ~ era reformasi, melainkan juga sejalan dengan karakrer PDIP sendiri. , y Bukan Tarmidi Suhardjo-nya yang penring, rerapi prosedur pemilihannya yang simparik. Dalam proses yang bottom up ini, Suriyoso jusrru ingin disingkirkan dari kursi gubernur. Keriga, Suriyoso sendiri kini sudah menjadi rersangka dalam proses hukum 27 Juli 1996. Kerika rerjadi penyerbuan atas Kantor PDI Megawati pada 27 Juli itu, Sutiyoso menjabat Pangdam Jaya. Tidak kurang mantan KasumABRI, Letnan (Purn) Soeyono, yang menyatakan bahwa Pangdam Jaya Sutiyoso (bersama dengan mantan KassospolABRI Letjen Syarwan Hamid) harus bertanggung jawab atas penyerbuan itu. Kassospol ABRI membuat perencanaan, sedangkan Pangdam Jaya Sutiyoso sebagai komando pelaksana operasi paling bertanggung jawab terhadap keamanan seluruh ibu kota. Kasus 27 Juli itu bukan saja mematahkan gerakan perlawanan politik atas rezim Orde Baru, tetapi juga menjatuhkan banyak korban. Ironisnya, korban yang jatuh banyak dari pendukung PD IP sendiri. Tidak heran jika di sebagiangrass root PDIP, nama Sutiyoso akan selalu dikenang dengan kemarahan. Alasan keamanan Jakarta yang acapkali secara resmi dinyatakan PDIP memilih Sutiyoso juga bertentangan dengan common sense publik. Luas diberitakan, pengurus pusat PDIP menyatakan Sutiyoso paling berpengalaman sebagai gubernur untuk menjaga keamanan Jakarta menghadapi Sidang Tahunan 2002 dan Pemilu 2004. la s.udah menjadi gubernur di era transisi empar presiden. Namun, justru di bawah Sutiyoso pula publik mengalami
kerusuhan Mei 1998. Jakarta terbakar. Selama tiga hari Jakarta dirundung anarkis, praktis tanpa penjagaan aparat keamanan yang memadai. Ketakutan dan panik massal peristiwa itu masih menjadi
kenangan bersama yang belum terlupakan. Sementara perkelahian antarkomunitas diJakarta terus terjadi. Kriminalitas tetap tinggi. Karena tidak ada alasan rasional di balik pemilihan kembali Sutiyoso sebagai gubernur oleh PDIp, yang kemudian berkembang adalah isu dan gosip politik. Di sela-sela forum resmi sampai ke warung kopi, di kalangan elite sampai ke kelas bawah, gosip itu sudah beredar. Jelas gosip seperti iru sangat laku dan cepat menyebar karena publik butuh penjelasan yang rasional. Sementara kebenaran gosip dan isu itu dapat dipertanyakan, namun penghancuran citra atas PDIP dan Megawati terus terjadi,-Lawan-lawan politik PDIP dan Megawati niscaya sangat diuntungkan oleh penghancuran citra ml. Dalam situasi seperti ini, para pendukung yang ingin menjaga dan mencintai Megawati memang dapat menempuh jalan berbeda. Jakob Nuwa Wea memilih untuk melaksanakan kebijakan Megawati atas pencalonan Sutiyoso. Sementara Tarmidi justru membangkang demi menjaga citra partai dan Megawati sendiri untuk Pemilu 2004. Bahkan mereka yang mencintai dan ingin menjaga Sutiyoso justru dapat bersimpang jalan. Yang satu akan terus mendukung Sutiyoso agar tetap terpilih. Yang lainnya justru dapat menghentikan pencalonan Sutiyoso agar ia tidak semakin menjadi bulan-bulanan publik. X X
-c- " ,..,,' . Cengkeraman Hantu Terorisme
I. , t BERITA itu tergolong sangat luar biasa, baik dari segi isi, sumber berita, ataupun kepastiannya. Dari segi isi, diberitakan bahwa jaringan terorisme Al-Qaeda beroperasi di Indonesia. Salah satu operatornya untuk wilayah Asia Tenggara, Al Farouk, tertangkap di wilayah Indonesia. Tokoh ini dikaitkan dengan Abubakar Baasyir, ulama asal dan tinggal di Indonesia. Jaringan ini dituduh sedang merencanakan terbentuknya sejenis negara Islam Raya, yang meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, dan Mindanao (Filipina). Tidak tanggung-tanggung, Al Farouk dikaitkan pula dengan upaya membunuh Presiden Indonesia, Megawati Soekarnoputri sebanyak dua kali. Dari segi sumber berita, informasi ini berasal dari berita utama sebuah majalah yang paling populer di dunia Time. Di dunia internet, bahkan majalah itu dapat diakses dengan leluasa dari mana pun di seluruh dunia dengan gratis. Tidak tanggung-tanggung pula, majalah itu mendapatkan berita secara eksklusif dari CIA, lembaga intelijen Arnerika Serikat, yang kini paling agresif di dunia untuk soal terorisme. Dari segi kepastian dan akurasi, untuk skala dan kehebohan isi dan sumber berita, informasi ini juga tergolong luar biasa. la menjadi istimewa justru karena publik, bahkan pemerintah Indo-
~.:esia tidak pernah tahu kepastian ataupun akurasi informasi itu. Akibatnya, berita yang heboh itu tampil di ruang publik kita seperti hantu. Berbagai lapisan masyarakat di Indonesia terlibat pro dan kontra, dan masing-masing tidak pernah pasti apakah berita itu benar atau salah. Berita itu diklaim berasal dari sumber intelijen berdasarkan pengakuan Al Farouk. Apakah tokoh itu menyatakan kisah yang sebenarnya atau hanya karangan, belum benar-benar kita ketahui.
Apakah tokoh itu benar-benar seorang teroris, ataukah seorang agen yang menyamar sebagai teroris unt~ kepentingan politik tertentu, juga belum dapat kita pastikan. Pemerintah Indonesia kini berada dalam posisi yang terjepit. Opini internasional mendesak pemerintah untuk melakukan tindakan tegas terhadap terorisme, terutama terhadap tokoh yang sudah diidentifikasi. Karena Tragedi 11 September 2001 , Amerika Serikat sangat berkepentingan dengan ketegasan dan kecepatan reaksi pemerintah Indonesia. Sementara berbagai kekuatan politik dalam negeri memberikan reaksi yang beragam. Banyak pihak yang meminta pemerintah In- donesia mengabaikan informasi itu dan tidak ikut terjebak dalam permainan dunia intelijen tingkat tinggi. Namun, tidak kurang banyaknya pihak yang mendesak pemerintah untuk bermain dalam irama internasional itu. Bukankah aksi terorisme dan kekerasan kerap kali terjadi di Indonesia, baik di rumah ibadah, pusat pertokoan, dan perumahan? Kini pemerintah dihadapkan kepada tiga pilihan yang sama rumitnya. Pertama, bersikap pasif dan do nothing. Kedua, melayani permintaan internasional dan bersikap keras terhadap kelompok yang diidentifikasi sebagai pusat jaringan terorisme di Indonesia. Ketiga, membantah tuduhan internasional dan melindungi kelompok yang dituduh dunia internasional itu, yang notabene adalah warga negara Indonesia.
Pilihan pertama, pemerintah bersikap pasif saja dan do noth- ing. Argumennya, untuk berita seheboh itu, pemerintah ingin sangat hati-hati, bahkan ekstra hati-hati. Sedikit saja salah langkah, pemerintah sama saja dengan menggali kuburnya sendiri. Pemerintah membiarkan dulu semua dinamika berkembang secara apa adanya. Semakin lama, siapa tahu, informasi yang sebenarnya
lebih terkuak. Setelah informasi terkumpul secara mernadai, barulah pemerintah kemudian mengambil aksi yang sepadan. Tentang kelemahan pilihan ini kita tidak pemah tahu kapan informasi yang memadai itu tersedia. J auh lebih banyak informasi berasal dari dunia intelijen. Kejahatan terorisme memiliki kecanggihannya sendiri yang sulit diverifikasi benar salahnya, sebagaimana kita memverifikasi kejahatan biasa dan individual. Yang bermain dalam aksi terorisme itu adalah jaringan intemasional, yang mampu meledakan wrc dan Gedung Pentagon di negara yang sistem sekuritinya paling maju. Sikap pasifini akan menimbulkan citra pemerintah yang tidak tegas. Dunia internasional tidak akan puas. Publik di Indonesia juga tidak sabar menunggu. Sementara aksi pemerintah yang terlambat dapat membuat situasi lebih buruk. Pilihan kedua, pemerintah mengikuti irama internasional dan menindak semua kelompok dan tokoh yang diidentifikasi sebagai sarang terorisme. Yang sering disebut adalah jaringan Abubakar Baasyir. Persoalannya, Indonesia kini adalah negara demokrasi. Sementara isu Abubakar Baasyir adalah isu yang rawan untuk komunitas Islam, terutama yang garis keras. Di negara demokrasi, tanpa bukti hukum yang cukup sulit bagi pemerintah untuk menahan Baasyir begitu saja. Dengan mudah pemerintah akan dilabel oleh komunitas Islam sebagai antek imperialis Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia yang kini mulai tidak populer karena aneka kasus akan semakin tidak populer. Apalagi, jika suatu ketika terbukti bahwa aneka tuduhan terorisme itu hanyalah isapan jempol atau rekayasa politik negara adikuasa. \
Pilihan ketiga, pemerintah menolak tuduhan internasional dan melindungi warga negara Indonesia yang dituduh. Secara de facto, pemerintah memang melihat banyak aksi teror di Indonesia. Narnun, belum ada bukti yang cukup bahwa aksi itu berada dalam jaringan internasional. Selama ini dikesankan, sebagian aksi itu dikerjakan secara individual, sebagian dituduhkan kepada kelompok Gerakan Aceh Merdeka ( GAM) , sebagian lagi oleh kelompok ekstremis dalam negeri akibat konf1ik horizontal. Tentu saja pilihan ini akan mendapat tantangan luar biasa, terutarna dari Amerika Serikat. Dalarn situasi krisis ekonomi seperti sekarang, dukungan politik negara adikuasa sangat dibutuhkan. Apalagi, jika ternyata informasi Majalah 1ime itu benar. Pemerintah akan terpuruk menghadapi jaringan internasional itu sendirian, yang terus mengendap, tetapi menyergap mematikan. Apa pun yang dipilih pemerintah memang sulit. Pemerintah perlu memberikan prioritas utama untuk kasus ini, mengerahkan semua sumber daya yang ada. Terorisme sudah menjadi hantu di ruang publik Indonesia. Jangan terlalu lama membiarkan hantu bergentayangan. Harus cepat dipastikan apakah hantu itu benar- benar ada dan dimusnahkan, atau hanya ilusi. xx
c~-~ Pemerintah versus Politik Islam? ~ BAYANGKAN jika kecenderungan ini semakin menguat: pemerintah Republik Indonesia berhadap-hadapan dengan politik Islam. Kelompok politik Islam semakin hari semakin bersatu dan menjadikan pemerintah sebagai musuh bersama. Proyek terorisme yang kini dicanangkan pemerintah dicurigai hanya menjadi kuda troya. Sasaran sebenarnya menghabisi Islam garis keras.
Di sisi lain, pemerintah tidak lagi punya banyak pilihan untuk menegakkan law and order. Tekanan internasional semakin keras. Situasi politik semakin tidak nyaman. Pemerintah melakukan penangkapan, yang diyakini berdasarkan hukum yang ada. Yang ditangkap celakanya punya pengaruh kepada basis Islam di akar rumput, dan pandai pula memainkan sentimen Islam. Jika kecenderungan frontal ini terus mengental, semakin banyak pihak yang terlibat dalam konfrontasi pemerintah versus politik Islam. Komunitas politik akan terbelah. Suhu politik nasional akan emosional dengan nuansa permusuhan kelompok yang semakin tinggi. Semakin banyak elite yang bermanuver untuk mengail di air keruh. Ekonomi semakin terpuruk. Pengangguran bertambah banyak. Kriminalitas dan aksi teror justru meningkat. Lonceng
kematian reformasi akan segera berbunyi karena kondisi negara semakin antah berantah. *** Gambaran di atas adalah skenario terburuk yang mungkin terjadi sebagai akibat tidak terduga (unintended consequences) perang total atas terorisme.1idak ada yang salah dengan komitmen perang total itu. Tidak ada yang menyimpang dengan keinginan menerapkan law and order sekeras mungkin. Kesalahan kita secara kolektif mungkin karena tingginya politik prasangka: prasangka bahwa pemerintah menjadi kaki tangan asing; prasangka pemerintah akan menghabisi tokoh Islam garis keras; prasangka bahwa pemerintah hanya mencari kambing hitam. Sementara pemerintah sendiri tidak pula pandai memainkan komunikasi politik untuk meredam prasangka buruk itu.
Dalam kondisi rendahnya trust kepada pemerintah, apa pun yang dilakukan pemerintah akan dibaca secara lain. Lingkungan internasional dan domestik sedang tidak menguntungkan pemerintah. Setidaknya ada tiga lingkungan politik yang menjadi lahan subur bagi tumbuhnya politik prasangka. Pertama, lingkungan opini dunia yang sudah telanjur terbentuk. Perang global melawan terorisme sudah didistorsikan sebagai perang untuk melemahkan kekuatan dunia Islam. Pemerintah Arnerika Serikat berkali-kali menjelaskan bahwa perang itu tidak ada hubungannya dengan agama. Daftar 35 organisasi teroris internasional yang dikeluarkan Arnerika Serikat banyak juga berasal dari agama lain, seperti Hindu di Tamil, Katolik di Irlandia, atau Shinto di Jepang. Namun, oleh sebagian besar kelompok Islam garis keras, pembelaan Arnerika Serikat itu tidak laku. Kemarahan dan sentimen anti-Arnerika Serikat sudah sedemikian kuat. Sebagian besar sentimen ini justru diciptakan oleh --§'~'j .-"--li';\
Arnerika Serikat sendiri akibat standar gandanya dalam soal konf1ik Israel-Palestina. Sebagian lagi, sentimen anti-Amerika Serikat dan provokasi Islam sengaja pula disebarkan oleh tokoh Islam, untuk mencari dukungan dunia Islam melawan Amerika Serikat. Dalam konstelasi internasional seperti itu, posiSi Indonesia serba salah. Apalagi, pemerintah Arnerika Serikat mengancam, jika kalian tidak bersama kami, berarti kalian memusuhi kami. Sementara perang global melawan terorisme sudah terlanjur dipimpin oleh Arnerika Serikat sendiri. Dengan menggabungkan diri ke dalam jaringan global melawan terorisme, Indonesia pun akhimya terkena prasangka, secara benar ataupun salah, ikut memojokkan politik Islam.
Kedua, lingkungan tekanan politik intemasional. Indonesia [i sudah pula harus melakukan aksi konkret terutama sejak Tragedi Bali, 12 Oktober lalu. Berkali-kali pihak intemasional menyatakan Indonesia menjadi sarang terorisme. Namun, pemerintah masih tidak ingin bertindak ekstra keras karena khawatir terjadi konf1ik internal di dalam politik masyarakat. ISaat itu dunia intemasional masih dapat memahami keeng- ~ ganan pemerintah bertindak keras karena labilnya politik domes[ik I Indonesia sendiri. Tragedi Bali menjadi batas akhir kesabaran 1 intemasional. Begitu banyak negara tetangga merasa tidak aman : jika Indonesia tidak bereaksi. Sementara publik domestik juga perlu diyakinkan bahwa pemerintah punya solusi cepat dan tegas. Pemerintah pun beraksi. Abu Bakar Ba' asyir ditangkap, untuk kejahatan yang sebenamya tidak berhubungan dengan Tragedi Bali. Pemerintah juga ikut mendukung dimasukkannya Jemaah ~ Islamiyah sebagai organisasi teroris. , ,. Karena kelemahan komunikasi politik, akhimya kembali r politik prasangka yang lebih dominan. Prosedur penangkapan ; Ba'asyir lebih dijadikan polemik ketimbang alasan dan substansi LPenangkapannya.
Tekanan politik luar negeri lebih dijadikan isu ketimbang citra bahwa Ba' asyir justru dihormati dengan membawanya ke hadapan proses hukum yang fair. Citra yang timbul di masyarakat bukannya ketegasan pemerintah bersikap, melainkan pemerintah dianggap sudah semakin menjadi kaki tangan kekuatan asing, melawan rakyatnya sendiri. Prasangka ini juga diperkuat oleh aneka tokoh yang terpojok untuk memperkuat dan menambah dukungan politik. Ketiga, lingkungan kompetisi politik domestik menjelang 2004. Pemilihan presiden langsung dan anggota DPR mulai jadi wacana.1idak bisa dimungkiri, mayoritas pemilih adalah muslim.
Sentimen Islam masih menjadi mesin pengumpul suara yang efekti£ Dengan kua1itas mayoritas elite yang korup, yang sangat tinggi motif berkuasa, namun rendah komitmennya kepada etika dan hukum, segala hal dapat terjadi. Isu terorisme, termasuk penangkapan Ba'asyir, akan mudah dipolitisasi demi kepentingan jangka pendek masing-masing politikus. Kompetisi menuju 2004 ini juga dapat secara sengaja menciptakan aneka prasangka politik. Di dunia yang antah berantah, prasangka politik adalah peluru yang amat efektif untuk menusuk lawan di mata opini publik. Kini sangat dibutuhkan komunikasi politik yang baik dari pemerintah, sena juga peran aktif pemimpin Islam moderat untuk meyakinkan publik. Politik prasangka harus diminimalkan, walau tidak dapat dihapuskan sama sekali. Publik luas, yang bukan pemain politik, mesti dibuat yakin dan percaya, bahwa seseorang diburu aparat kemanan semata hanya karena tindakan kriminalnya, bukan karena agamanya.. xx
Menko Polkam di Akhir Tahun ~ JAJARAN Menko Polkam di bawah Susilo Bambang Yudhoyono menutup akhir 2002 dengan dua pencapaian penting. Pertarna, membongkar jaringan terorisme di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Yang sedang mereka bongkar tidak hanya pelaku born Bali, tetapi juga jaringan yang bertanggung jawab atas belasan born lainnya di Indonesia. Bahkan juga jaringan itu sangat mungkin ikut memanaskan konflik horizontal di Poso dan Ambon. Kedua, membuka jalan bagi Aceh yang damai dalarn naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setelah konflik panjang sejak 25 tahun lalu, untuk pertarna kalinya berbagai lembaga dan negara internasional ikut aktif menjadi mediator dan peninjau. Pembicaraan forma[
poli[ikAceh masa depan memang belum final. Narnun kesepaka[an 9 Desember 2002 menjadi mo- men[um baru. Hal ini membangkitkan optimisme yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dua pencapaian itu memberikan ef~k besar bagi wibawa pemerin[ahan. Kepercayaan kepada kinerja pemerin[ah era reformasi selama ini sanga[ buruk. Seki[ar 70% dari responden [idak puas dengan kinerja pemerin[ah, sebagaimana yang ditunjukkan berbagai survel. ..
--Jajaran Menko Polkam memberikan aroma segar. seperti hujan r yang turun di musim kemarau panjang. Namun. tentu saja periode show time belum selesai. Jika terorisme dan konflik Aceh gagal diselesaikan secara tuntas. publik akan berhenti berharap pada elite pemimpin sekarang dan menunggu hasil Pemilu 2004. Atau. publik akan semakin apatis dengan politik di era reformasi dan dengan mudah diprovokasi untuk mendukung sistem yang lebih otoritarian. tetapi mampu memecahkan masalah. *** Efek terpenting dari dua pencapaian jajaran Menko Polkam di akhir tahun ini adalah berubahnya public mood. Perubahan ini membuka peluang opini publik yang melihat bukti nyata bahwa pemerintah ternyata mampu mencari solusi. Bahwa pemerintah ternyata hadir dan peduli untuk memecahkan masalah. Bahwa pemerintah ternyata dapat bekerja. Bahwa pemerintah ternyata dapat mengambil inisiatif. Bahwa pemerintah ternyata punya kompetensi :f~ dan kepemimpinan. ~- Empat tahun sejak reformasi digulirkan menghasilkan opini "' C';'."i publik yang semakin patah hati dengan aneka slogan reformasi. Di
era Orde Baru kita memang mendapatkan masyarakat yang terkekang dan sering dilanggar hak asasinya. Namun. pemerintahan saat itu sangat efektif. berwibawa. dan memecahkan masalah walau korupsi terjadi di berbagai sektor. Di era reformasi situasi menjadi terbalik. Masyarakat sangat bebas dan aktif menentukan politik. Namun. pemerintah era reformasi terkesan sangat lemah. tidak terkoordinasi. tidak memiliki visi dan platform. tidak mampu mengendalikan birokrasi. dan gagal memecahkan masalah. Sungguhpun demokratis. pemerintahan yang lemah itu hanya akan membawa negara ke jurang krisis berkepanjangan. Hasil dari gerakan reformasi setelah empat tahun mengejutkan banyak politikus yang matang dan akademisi kawakan. Politik
sangat tidak stabil. Hanya dalarn waktu ernpat tahun, kita sudah rnengganti ernpat presiden. Korupsi yang begitu parah di era Orde Baru ternyata di era reforrnasi justru sernakin parah. Konflik horizontal juga terjadi secara lebih intens, dari Aceh, Jakarta, Matararn, Poso, Sarnpit, Ambon, hingga Papua. Sudah \ lebih dari sepuluh ribu nyawa yang rnelayang sejak reforrnasi. Di ,banyak ternpat, pernbunuhan rnassal terjadi secara rnengerikan. : J Misalnya, sekelornpok orang dikurung di rumah ibadah dan dibakar. ~ ' Itu sernua terjadi di hadapan pe~erintah yang terkesan tidak dapat i: rnelakukan pencegahan dan pumshment kepada yang bersalah. " ~1 Koordinasi antar elite pernerintahan juga tampak begitu buruk. .{\ Presiden berkunjung ke Amerika Serikat setelah Tragedi 11 Sep- \ ternber, sernentara wakil presiden justru sedangrnengecamAmerika Serikat. Menteri saling berdebat di hadapan pers seolah tidak terikat
oleh etika jabatan bahwa rnereka ada dalam kesatuan. Public trust kepada pernerintah jatuh pada titik terendah. *** Pencapaian yang dibuat Menko Polkarn di akhir 2002 berpotensi rnengubah public sentiment atas pernerintah yang sudah negatif. Baik kasus terorisrne ataupun konflik Aceh adalah rnedan yang sulit. Opini publik sudah cenderung tidak percaya kepada pernerintah. Apa pun yang dilakukan pernerintah, terrnasuk rnernberikan inforrnasi dan penjelasan, segera dituding sebagai pencarian kambing hitam dan pengalihan dari ketidakmarnpuan pernerintah rnernecahkan rnasalah. Born rneledak di Bali. Dengan segera, sebagian publik rnenduga itu kerja tentara atau hasil konspirasi negara asing. Sebelurn perne- rintah rnernberikan penjelasan, sebagian publik sudah curiga pasti kelornpok Islam kernbali disalahkan dan dijadikan kambing hitam. Namun, kerja pernerintah yang serius, dengan rnetode induktif, serta kornunikasi yang terkesan apa adanya dan intens, rnernbuat
.--publik semakin percaya bahwa jajaran Menko Polkam sed~g membongkar sebuah jaringan penting. Semakin dipercaya bahwa selama ini ternyata memang ada jaringan yang mengobokobok Indonesia dengan kekerasan. Semakin dipercaya bahwa pemerintah lewat Menko Polkam bekerja secara independen dan profesional. Publik semakin dapat memisahkan antara terorisme yang 'membajak' agama Islam dan agama Islam yang suci sekaligus cinta damai. Konflik di Aceh segera ditangani. Pada awalnya publik juga skeptis. Sudah terlalu sering dilakukan aneka upaya damai dan terlalu sering upaya itu ' digagalkan' .Publik bahkan meyakini begitu banyak oknum tentara dan GAM sendiri yang diuntungkan konflik. Mereka dapat 'menjual' jasa keamanan dan terlibat dalam aneka mafia dengan bebas.
Namun, kini persepsi publik mulai berubah. Mereka menilai positif kerendahan hati jajaran Menko Polkam yang bersedia membuka diri bagi keterlibatan dunia internasional. Mereka menyaksikan kesungguhan Menko Polkam yang bersikukuh memilih jalur damai di tengah arus tentara dan politikus yang hardliners, yang ingin membabat habis GAM secara militer. Mengapa jajaran Menko Polkam mampu tampil beda? Sebagian besar ini disebabkan leadership Menko Polkam dan visi politiknya yang modern. Namun, mereka harus hati-hati dengan pujian. Jika born Bali dan konflikAceh tidak dituntaskan dengan baik, pada akhir 2003 bisa jadi pujian yang mereka terima akan berbalik menjadi kecaman. xx
Jatuhkah Presiden Megawati? AKANKAH Presiden Megawati jatuh dari kekuasaannya sebelum pemilu 2004? Ini pertanyaan paling hotyang sedang ramai digunjingkan dalam masyarakat politik sekarang. Mengingat 2003 dibuka oleh aneka isu panas yang memojokkannya. Sementara kelompok protes juga beragam dan mewarnai berbagai kota penting Indonesia. Dilihat dari isu politik yang kini menerjangnya, ini memang isu yang punya riwayat menjatuhkan presiden. Kenaikan harga BBM, listrik, dan telepon yang sekaligus sebelumnya tidak pernah dilakukan. Kenaikan harga-harga ini dengan segera menyentuh kepentingan orang banyak. Ibarat rumput kering, masyarakat sangat mudah dibakar dan diprovokasi. Isu kenaikan harga bahkan diperheboh lagi dengan kasus penjualan Indosat. Di tangan demagogue, penjualan Indosat dengan mudah pula diprovokasi sebagai penjualan kedaulatan negara. Terlepas benar
atau tidaknya tudingan itu, masyarakat yang sedang ma.rah kadang tidak lagi peduli benar dengan kebenaran faktual. Dilihat dari kelompok yang protes, mungkin ini pertama kali Megawati mendapatkan serangan dari publik yang beragam.
.Ka1angan pengusaha ikut turun ke jalan. Kaum buruh sudah terlebih dahulu menjerit dan protes di berbagai kota. Para ibu rumah tangga ikut pula larut dalam pesta protes. Yang paling ditakutkan oleh semua penguasa adalah gerakan mahasiswa. Setelah sekian lama tidur panjang, gerakan mahasiswa kembali marak dan menjadi pemain utama aksi protes. Semua kejaruhan presiden di Indonesia selalu dimotori gerakan mahasiswa. Gerakan ini mulai membicarakan kemungkinan dibentuknya pre- sidium nasional sebelum pemilu 2004 untuk menggantikan Megawati-Hamzah Haz. *** Dalam buku teks pergantian penguasa sebelum pemilu sudah ada pakem yang disepakati bahwa penguasa hanya jatuh jika gerakan protes didukung oleh hampir semua elite yang punya pengaruh. Kasus aksi protes di era Soeharto, misalnya, dapat dijadikan sandaran. Selama lebih dari tiga puluh tahun berkuasa, begitu banyak aksi protes yang mewarnai periode kekuasaan Soeharto. Namun, aksi protes itu selalu berakhir justru dengan semakin menguatnya kekuasaan Soeharto sendiri. Para oposan dan mobilisator oposisi acapkali bahkan berakhir di penjara. Jika oposan itu datang dari tokoh politik yang pernah sangat terhormat, sang oposan mungkin hanya diisolasi dari lingkungan politik. Selesai gerakan protes, Soeharto bahkan bertambah kuat secara politik.
Namun di tahun 1998, untuk pertama kalinya oposisi atas Soeharto berhasil. Saat itu gerakan h1ahasiswa kembalimarak dan :t~; bernapas panjang. Mereka bahkan berhari-hari menduduki gedung "i" I' ", MPR. Untuk pertama kalinya pula elite yang berpengaruh bersatu ~ ; dan meminta pergantian kekuasaaan. Ketua MPR dan lembaganya dengan tegas meminta Soeharto untuk mengundurkan diri. Bahkan,
sebagian menterinya sendiri kemudian memilih mundur dan menolak untuk dipilih kembali. Saat itu Soeharto menguasai hampir semua pusat kekuatan. Militer ia kuasai. Para konglomerat ia dominasi. Partai politik ia kendalikan. Pers sudah ia tekuk. Lembaga negara berada dalam pengawasannya. t Sementara begitu banyak op.osisi yang sudah ia kooptasi. Toh, kekuasaan yang besar itu juga tidak kuasa menghadapi elite yang rJ; berubah dan bersatu melawannya. Bahkan, pemimpin yang sekuat ~ Soeharto pun dapat terguling jika para elite bersatu. It Namun, posisi Megawati saat ini berbeda dengan kondisi ; Soeharto di tahun 1998. Sungguhpun banyak elite politik yang ; mulai marah, tetapi sebagian besar elite yang berpengaruh masih berkepentingan agar Megawari berrahan dalam kekuasaannya sampai Pemilu 2004. I Elite di era reformasi didominasi oleh elite pimpinan partai i, besar. Suka atau tidak, perebutan kekuasaan dalam sistem demokrasi
memerlukan kendaraan partai politik. Mereka yang memimpin partai besar menjadi elite terpenting dalam pergantian kekuasaan. Dapat dipastikan, pimpinan partai besar itu akan melindungi ( Megawati agar tetap bertahan. Itu dilakukan bukan karena mereka ~ mencintai Megawati, melainkan justru karena kepentingan politik .. mereka sendiri. Jika Megawati jatuh sebelum pemilu, ia secara konstitusional [ digantikan oleh Hamzah Haz yang kini menjadi wakil presiden. ~r Tentu para pemimpin partai lain akan berhitung. Justru tidak ! menguntungkan mereka sendiri, jika mereka yang mengoyanggoyang pohon mangga, sementara mangga itu justru jatuh kep~da Hamzah Haz secara otomatis. Sementara Hamzah Haz sendiri belum tentu juga suka menjadi presiden hanya untuk satu tahun di masa sulit. Dengan menjadi
presiden. Hamzah Haz membuat dirinya sasaran tembak paling empuk menjelang Pemilu 2004. Peluang ia miliki untuk menjadi presiden setelah 2004 justru semakin kecil jika sebelum 2004 ia sudah menjadi sasaran tembak utama. Aneka kelemahan dan persoalan pribadi yang ia punya dengan mudah di-blow up untuk menjatuhkannya sejak jauh hari. Sementara pergantian kekuasaan atas Megawati sulit dibayangkan terjadi di luar aturan konstitusi. Revolusi hanya mungkin berhasil jika ada tokoh revolusioneryang sangat popular. dan situasi krisis yang amat dalam. Hanya dengan dua syarat ituJ perubahan kekuasaan di luar konstitusi oleh tokoh yang bukan wakil presiden dapat didukung rakyat luas. Perubahan revolusioner pun pasti pula ditolak oleh elite pimpinan partai.
Jauh menguntungkan bagi pimpinan partai itu jika mereka dapat menggantikan Megawati melalui Pemilu 2004. Pemilu tidak terlalu lama lagi. Di samping itu. hanya melalui pemilu. pergantian kekuasaan itu mendapatkan legitimasi tertinggi di mata internasional. Mereka pun akan pula dikenang sebagai presiden pertama di Indonesia yang dipilih rakyat secara langsung. Justru karena kecintaan pimpinan partai itu kepada ambisinya sendiri. mereka berkepentingan hanya ingin menggantikan Megawati melalui Pemilu 2004. Apa yang akan dilakukan oleh pimpinan partai saat ini. bukan menjatuhkan Megawati. melainkan sekadar membuat Megawati cacat secara politik. Akibatnya. peluang Megawati untuk kembali terpilih dalam Pemilu 2004 semakin kecil. Persaingan pimpinan partai untuk Pemilu 2004 itu justru membuat posisi Megawati aman setidaknya sampai pemilihan presiden berikutnya. X X; , ,"' '.~j ~ "" ~'.," ~
Platform di Balik Perang Irak SIAPAKAH aktor intelektual yang berada di balik Perang Teluk ~ , II? Apa pula sasarannya? Mustahil bagi AS (Amerika Serikat) mernicu f;' Perang Teluk II jika hanya ingin menyingkirkan Saddam Hussein. ; Terlalu besar biaya ekonomi dan biaya sosial yang dipertaruhkan ! Amerika Serikat dalam perang ini. ,. ti Malah Amerika Serikat harus mengabaikan peran PBB yang i. turut ia bangun. Amerika Serikat harus pula mengabaikan demo , antiperang di seluruh dunia, bahkan di pusat perkotaan New York dan Washington. Bahkan Amerika Serikat harus pula mengeluarkan biaya besar untuk membangun kembali Irak pasca-Saddam Hussein.
Ketika George W Bush terpilih sebagai presiden, banyak yang meragukan kemampuannya. Soal politik luar negeri, semua tahu, George Bush adalah New Kid On The Block, yang tidak tahu banyak. Namun, kini Presiden Amerika Serikat itu tampil sebagai pemimpin I, dunia yang begitu punya obsesi dan visi. 1idak lain dan tidak bukan, ada sekelompok dapur pemikir yang berada di balik George Bush. Dapur ini menggodok dan meramu kebijakan luar negeri, serta konsep tata baru dunia setelah peristiwa 11 September 200 1. Dan, dapur ini pula yang sepenuhnya in charge soal Perang Teluk jilid II. Bagi mereka yang aktif di dapur pemikir itu, ada cita-cita yang I sangat besar di balik Perang Teluk II. Perang ini hanyalah pembuka
I dari sebuah buku tebal dunia yang baru. Perang ini akan membawa Amerika Serikat dan dunia menuju sebuah masa yang lebih damai. Awalnya Amerika Serikat dikecam dunia. Namun mereka yakin, pada akhirnya dunia akan berterima kasih. *** Dapur pemikir ini terdiri dari aneka politikus, birokrat, dan intelektual yang sering disebut sebagai kelompok Neo- Konservatisme. Sebagian dari mereka adalah pemimpin yang kini mengitari George Bush. Sosok terpenting adalah Wakil Presiden Dick Cheney. Karena besarnya peran Cheney dalam pemerintahan Bush, bahkan banyak yang melabelnya sebagai presiden yang sebenarnya atau wakil presiden yang merangkap perdana menteri. Melalui Cheney, perekrutan atas pemimpin berpengaruh lainnya dilakukan. Tidak kepalang tanggung, diangkat pula Donald Rumsfeld sebagai menteri pertahanan. Sejak lama Rumsfeld dikenal sebagai pemimpin bergaris keras. Jika Colin Powel disebut sebagai merpati karena naluri
darnainya, Rumsfeld diberi gelar elang karena persepsi kerasnya atas kepentingan nasional. PBB, menurutnya, dapat diabaikan jika menghalangi kepentingan Amerika Serikat. Menjadi wakil Rumsfeld adalah Paul Wolfowitz, mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia di era Soeharto. Condoleezza Rice ikut pula menjadi penasihat keamanan nasional. Wolfowitz menjadi penghubung antara politikus dan birokrat garis keras dengan para peneliti kebijakan dan intelektual Neo- Konservatisme. Ikut pula dalam rombongan elite ini Richard Pede, seorang novelis dan juga kolumnis yang banyak membentuk opini publik. Kelompok ini yang menyusun platform politik luar negeri Amerika Serikat yang telah membawa dunia kepada Perang Teluk jilid II. Awalnya adalah serangan teroris mahahebat 11 September
rak: Platform di Balik Perang I );;,,~ 200 1. Serangan ini sungguh telah mengguncang-guncangkan Amerika Serikat dan dunia. Simbol kejayaan militer Amerika Serikat seperti gedung pentagon, dan kesuksesan kapitalisme Amerika Serikat, seperti gedung wrc, hancur lebur. Bagaimana mungkin Amerika Serikat dipermalukan di kandangnya sendiri. *** Setelah kasus ini, kelompok Neo-Konservatif melihat dunia melalui kacamata yang sudah berbeda. Teror 11 September dianggap sebagai aksi kekerasan terakhir kelompok teroris di Amerika Serikat yang masih menggunakan senjata konvensional. Aksi selanjutnya akan terus terjadi. Namun yang akan digunakan adalah senjata nuklir atau senjata pemusnah massal. Setelah hancurnya komunisme, kelompok ini melihat
terorisme internasional sebagai musuh baru yang terberat. Kelompok kecil ini percaya bahwa para teroris membenci Amerika Serikat tidak hanya karena perbedaan politik luar negeri. Lebih jauh mereka memang melihat adanya konflik peradaban yang jauh lebih mendasar, dan mendarah daging ke tulang sumsum. Para fundamentalis agama akan selamanya membahayakan hidup -Amerika Serikat dan dunia. Mereka percaya bahwaAmerika Serikat il dipersepsikan sebagai kekuatan setan, yang harus dibersihkan oleh misi suci terorisme. Jika dendam yang bersifat nilai menjadi sumbernya, maka -fdialog dan upaya damai tidak akan efektif. Persoalannya, banyak negara di luar sana yang dapat bekerja sama dengan kelompok teroris. Negara itu juga sedang mengembangkan senjata pemusnah massal. I Yang ?ahaya, negara itu dipimpin oleh. ~ara di~t:Itor yang tidak ~ ' ' peduh bahkan dengan rakyatnya sendm. Bagalmana pula para ~ diktator itu mau peduli dengan rakyat di negara lain. \KelompokNeo-Konservatifini kemudian mengembangkan doktrin baru, preemptive. Istilah ini merujuk kepada keharusan Amerika Serikat untuk memukullawan terlebih dahulu, sebelum
lawan punya kesempatan memukul Amerika Serikat. J elas, doktrin preemptive ini bertentangan dengan charter PBB. Namun, siapa yang harus peduli PBB. Menurut kelompok ini, terorisme bisa menyerang Amerika Serikat tanpa harus melalui PBB. Amerika Serikat pun harus pula dapat menumpas terorisme tanpa perlu prosedur PBB.
Jika dukungan dunia melalui PBB dapat digunakan, jelas itu pilihan terbaik. Naroun jika terlalu banyak prosedur yang menghambat, Amerika Serikat pun dapat membasmi 'kejahatan' dunia tanpa perlu restu PBB. Dunia harus dilihat secara baru. Prosedur PBB dianggap tidak lagi pas untuk meropertahankan kepentingan nasional Amerika Serikat. Keloropok konservatifini percaya bahwaAmerika Serikat harus merobentuk tata dunia baru jika ingin amman. Mghanistan, Irak, Korea U tara, dan Iran adalah negara yang harus ditata ulang di Asia dan Timur Tengah. Amerika Serikat percaya bahwa dunia lebih baik ketika Jerman, Jepang, dan Italia dikalahkan di Perang Dunia II. Dunia pun akan lebih baik pula jika reziro di Mghanistan, Irak, Korea Utara, dan Iran diganti. Jika reziro dapat diganti secara damai itu hal yang bagus. Naroun jika tidak, perang dapat dilakukan. Muropung Amerika Serikat superior secara militer dan ekonomi, ini menjadi tanggug jawab sejarah Amerika Serikat. Pecahnya Perang Teluk II, Amerika Serikat hanyalah gunung es dari platform yang lebih besar. Jika memungkinkan selanjutnya, Iran dan Korea Utara akan menjadi korban berikutnya. Benarkah dunia akan lebih baik jika misi keloropok Neo-Konservatisme ini tercapai? Atau dunia justru dilanda musibah? Sejarah akan merobuktikannya. Yang kita sesali,.jatuhnya banyak korban tidak berdosa dalam rangka mencapai konsep-konsep abstrak dan besar- besar itu? XX
Bagaimanakah Perang Irak akan Berakhir? BAGAIMANAKAH Perang Irak akan berakhir? Pertanyaan ini semakin sering diajukan melihat semakin brutal dan tidak pastinya pertempuran. Pasukan Amerika Serikat semakin mendekati Kota Bagdad. Perang darat dan gerilya kota semakin tidak terhindari. Akankah Arnerika Serikat mengulangi kisah buruk di Vietnam, yang harus mundur permanen darilrak tanpa mampu
menjatuhkan Saddam Hussein? Atau sebaliknya, era kejatuhan Saddam Hussein tinggal menghitung minggu? Seandainya yang mengambil keputusan perang adalah komputer yang supercanggih, yang semata-mata rasional, tanpa emosi, akhir dari perang lebih dapat direkayasa. Cukup dimasukkan input kekuatan militer Amerika Serikat dan Inggris, serta kemampuan militer Irak. Lalu dimasukkan pula target bahwa yang paling penting korban sipil sesedikit mungkin, dan kesejahteraan rakyat Irak sendiri. Secara cepat komputer akan memberikan tiga jawaban yang berbeda. Pert;1ma, komputer menyarankan pemerintah Irak dan Saddam Hussein secepat mungkin menyerah, bahkan sebelum dimulai gerilya kota di Bagd:ld. Semakin lama pertempuran, akan semakin banyak korban, terutama di pihak Irak, dan semakin banyak pula gedung .
~ Membangun Demokrasi SehaI:i-hari dan propeni yang rusak. Akibatnya, upaya untuk membangun Irak ~dan menyejahterakan rakyatnya akan semakin sulit, mahal, dan lama. . Berdasarkan data mentah yang ada, komputer akan menjawab bahwa pada akhirnya perang akan dimenangkan pihak Amerika Serikat dan Inggris. Persoalannya hanya masalah waktu dan korban. Berapa lama perang akan dimenangkan? Dan berapa banyak korban dan kerugian yang jatuh? Kedua, muncUl jawaban komputer yang berbeda, menawarkan win-win solution. Solusinya, Amerika Serikat dan Inggris keluar dari Irak. Sebagai kompensasinya, Saddam Hussein memberikan apa yang diinginkan negara Amerika Serikat, yaitu mundur dari kekuasaan dan
dijamin hidup aman di negara lain. Perang gerilya kota di Bagdad tidak perlu dimulai. Dengan win-win solution, Amerika Serikat dan Inggris tidak kehilangan muka. Sementara rakyat Irak tidak perlu menderita lebih lama karena dehumanisasi yang terjadi akibat perang. Saddain Hussein sendiri tidak perlu mengambil risiko terbunuh dan menjadi buronan sepanjang hidupnya. la bahkan dapat menjadi pahlawan dengan mengatakan, ia rela mundur karena kecintaannya kepada bangsa dan rakyat Irak. Ketiga, komputer juga memberikan rekomendasi lain. Amerika Serikat dan Inggris sebaiknya pergi dari Irak lebih cepat lebih baik.1idak penting apakah Saddam Hussein turun atau tidak dari kekuasaannya. Memaksakan perang terus berlanjut sampai kepada gerilya kota, hanya membuat Amerika Serikat dan Inggris dicatat sebagai penyebab, setidaknya, sebagai co-director jatuhnya banyak korban manusia. Mengapa Amerika Serikat dan Inggris bersedia mundur sebelum Saddam Hussein jatuh? Komputer ridak memberikan jawaban.
Sayangnya, para pengarnbil kebijakan dan orang-orang yang berpengaruh di seputar perang tidak hanya bertindak secara rasional dan tanpa emosi. Sayangnya, minimalisasi korban dan kesejahteraan rakyat Irak tidak menjadi prioritas utama, yang mengalahkan kepentingan lainnya. Baik di pihak Saddarn H ussein ataupun di pihak George Bush dan Blair berkembang sentimen emosi, yang memang tidak dipunyai komputer. Sentimen inilah yang membuat gerilya kota dan perang darat di Kota Bagdad agaknya tidak terhindari. Saddam Hussein dan pendukungnya memiliki sentimen patriotisme, semangat cinta negara, semangat antipenjajahan asing, dan keberanian moral untuk bertarung. Dengan semangat ini, bahkan kematian pun tidak menjadi soal. Tidak heran banyak muncul kasus born bunuh diri. Mereka yang dipenuhi oleh sentimen patriotisme, apalagi jika diperkuat oleh keyakinan agarna,
rela memberikan jiwanya demi sebuah tujuan mempertahankan negara ataupun menjalankan panggilan agarna. Dengan sentimen patriotisme itu, mereka tidak lagi berpikir tentang berapa jumlah korban yang jatuh. Apalagi, mereka tidak akan berkalkulasi tentang seberapa banyak gedung dan properti yang rusak. Patriotisme menjadi semacarn 'obat' yang membuat banyak orang seolah mendapatkan 'panggilan hidup' untuk berjuang sarnpai titik darah terakhir. Martabat bangsa, kehormatan, apalagi panggilan agama, berada di atas segala-galanya. Pertempuran akan dihadapi demi patriotisme itu. Di pihak lain, pemerintah Amerika Serikat juga digerakkan oleh lingkaran pertama di seputar Presiden George Bush. Mereka tidak sekadar politikus yang berpikir rasional, dengan tuju~n meminimalkan korban sipil. Mereka juga para ideolog, yang juga dirasuki 'sentimen'yang menggelora, yang tidak dipunyai komputer. Dipompakan oleh think-thank neokonservatisme, perang ini digerakkan oleh ideologi. Jika Saddarn Hussein dan pendukungnya
, ;, Membangun Demokrasi Sehari-hari 1 punya patriotisme, Presiden Bush dan pendukungnya punya ideologi 'visi dunia baru'. Perang Irak hanyalah pembuka bagi sebuah tata dunia baru yang diidamkan oleh lingkaran neokonservatisme pemerintahan Bush. Dunia lama, terutama sejak teror 11 September 2001, tidak lagi aman bagi Amerika Serikat. Bagi Amerika Serikat, apa gunanya situasi yang seolah damai, jika terus menyimpan potensi diserangnya kembali Amerika Serikat oleh terorisme yang dahsyat. Bisa dibayangkan, apa jadinya Amerika Serikat jika terorisme mulai menggunakan nuklir dan senjata pemusnah massal untuk menyerangAmerika Serikat?
Benar ataupun salah, kelompok ini sangat yakin bahwa dunia akan lebih aman, terutama buatAmerika Serikat, jika dunia ditata secara baru. Semua penguasa yang memiliki senjata pemusnah massal di dunia, apalagi jika ia berpotensi menjadi musuh ideologis Amerika Serikat, harus dikalahkan. . Maka dalam pekan ini atau dalam hitungan bulan, tidak terhindari kita akan menyaksikan perang yang brutal di Bagdad. Patriotisme pendukung Saddam dan gelora 'visi dunia baru' di kalangan pemerintah Bush agaknya harus bertemu tidak hanya dalam wacana intelektual. Dua sentimen itu harus beradu dengan senjata, kekerasan, pembunuhan massal, dalam pertempuran darat dan gerilya kota yang dahsyat. \, Maka, it is show time. Perang yang sebenarnya, perang darat ; dan gerilya kota di Bagdad akan segera dimulai. Ratusan bahkan ribuan manusia konkret yang tidak berdosa akan disahkan untuk \ mati demi konsep-konsep besar atau sentimen patriotisme yang diagungkan. Kita yang menolak jalan perang, mungkin hanya bisa . menundukkan kepala, betapa Perang Irak agaknya hanya mungkin hpr"khir~prpl"h i"rllhnv" hpuinl h"nV:lk knrh"n ~"I"m npr"nu uprilv~ ~
Tantangan Debat Publik Sutiyoso J INI fenomena unik yang hanya mungkin terjadi di era politik reformasi. Gubernur Jakarta Sutiyoso menantang Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim untuk berdebat secara publik. Lalu membiarkan publik luas yang menilai siapa di antara dua pejabat itu yang lebih layak didukung. Yang menjadi soal adalah reklamasi pantai utara (pantura) Jakarta.
Gubernur Jakarta masih terus dengan tekad semula untuk meneruskan rencana reklamasi itu. Bagi Sutiyoso, adalah tugas dan tanggung jawabnya untuk membangun Jakarta. Akan hal efek reklamasi pantura itu pada lingkungan hidup, Sutiyoso punya fea- sibility study yang didukung pakar dalam dan luar negeri. Sebaliknya, argumen Menteri Lingkungan Hidup tidak kalah kuat. Menurut sang menteri, reklamasi pantura itu tidak layak berdasarkan analisis amdal. Bahkan lebih 'seram' lagi, Emil Salim, mantan menteri Lingkungan Hidup di jaman Soeharto, menyatakan reklamasi itu akan membuat Jakarta semakin tenggelam oleh banjir. Tidak kepalang tanggung, Menteri Lingkungan Hidup sudah merekoqlendasikan kepada Presiden Republik Indonesia untuk mencabut keppres yang menjadi landasan reklamasi pantura. Kontroversi Gubernur Su[iyoso dan Men[eri Lingkungan Hidup dapa[ saja kembali [erjadi di kalangan gubernur provinsi
8Ilain versus menteri mana saja dalam pemerintahan Megawa:~.~ Penyebabnya, dua hal yang masih abu-abu dalam kontroversi itu, dapat juga terjadi di provinsi lain. Pertama, masih abu-abunya batas kewenangan para pejabat. Siapa yang sebenarnya berwenang membangun sebuah provinsi? Apakah seorang menteri bisa membatalkan rencana pembangunan sebuah provinsi? Kedua, persoalan pro dan kontra di kalangan para ahli sendiri. Setiap kebijakan publik yang berbeda, bahkan bertentangan mungkin saja masing-masing punya pendukung pakar dan ahli. *** I "1i~ ii:!)!
Bagi Suciyoso, kewenangannyasudah sangat jelas. Sebagaimana yang diatur dalam undangundang otonomi daerah, gubernur punya otoritas tertinggi untuk membangun sebuah wilayah provinsi. Menurut undang-undang, hanya ada lima sektor yang cidak menjadi kewenangan gubern.ur: sektor luar negeri, keamanan nasional, ekonomi negara, pengadilan, dan agama. Undang-undang pun membatasi kewenangan gubernur untuk beberapa sektor khusus yang diatur secara garis besar. Namun di luar sektor itu, sesuai dengan era otonomi daerah, gubernur yang mempunyai wewenang. Yang dipilih rakyat melalui DPRD untuk memimpin sebuah provinsi bukanlah menteri tetapi gubernur. Yang akan mempertanggungjawabkannya kembali kepada rakyat melalui DPRD adalah gubernur pula. Gagal atau tidaknya Jakarta dibangun sepenuhnya tergantung pada visi, keberanian, dan kehati-hatian gubernur yang bersangkutan. Kewenangan yang ia peroleh melalui undang-undang hanya dapat dibatalkan oleh aturan setingkat undang-undang pula. Bahkan, keputusan presiden pun tidak dapat mengubah kewenangan yang diperoleh gubernur melalui undang-undang. Bersandar kepada hierarki hukum, maka keppres di bawah undang-undang. Apalagi, rekomendasi setingkat menteri.
Memang s~cara politik, pr~siden adalah atasan gubernur. Di samping sebagai pemimpin daerah, gubernur juga masih dianggap wakil pemerintahan pusat di daerah, tetapi kewenangan presiden atas gubernur sudah diarur dalam undang-undang otonomi daerah itu. Bahkan, seorang presiden pun tidak dapat lagi menambah atau mengurangi kewenangan gubernur yang sudah tertulis jelas dalam undang-undang otonomi daerah.
Posisi Sutiyoso secara hukum sangat kuat. Tanpa dukungan keppres pun Sutiyoso sudah berwenang mereklamasi pantura. Apalagi, reklamasi pantura itu sudah dikuatkan juga oleh presiden melalui keppres. Dan keppres itu belum pula dicabut. Satu-satu kemungkinan yang dapat membatalkan kewenangan Sutiyoso atas reklamasi pantura adalah kepentingan publik. Ini menjadi konvensi universal di semua pemerintahan demokratis di seluruh dunia, bahwa kepentingan publik menempati posisi politik yang tertinggi. Jika memang dapat dibuktikan bahwa reklamasi pantura membahayakan kepentingan publik, tidak perlu presiden, bahkan tidak perlu menteri, opini publik dan demonstrasi massa dapat saja membatalkannya. Namun sangat jelas pula bahwa bukti melanggar kepentingan publik itu harusl~:ukti yang tidak terbantahkan.- .I Apakah reklamasi pantura itu benar-benar berbahaya bagi kepentingan publik, seperti akan menenggelamkan Kota Jakarta? Masalah lingkungan hidup di lingkup mana pun di Indonesia menjadi tanggungjawab Menteri Lingkungan Hidup. Sang menteri juga m.emiliki dukungan pakar dan ahli yang menyatakan bahwa reklamasi pantura tidak layak. Persoalannya, para ahli dan pakar pun berbeda pendapat. Bahkan lebih banyak daripada yang dimiliki Menteri Lingkungan Hidup, tmtuk kasus reklamasi pantura, sejak tahun 1983-2003, .
.Sutiyoso juga sudah mengantongi 45 kajian studi kelayakan, semi- nar dan work shop. Sutiyoso sudah memaparkannya dalam rapat koordinasi di Menko Bidang Perekonomian 11 April 2003. Pakar, ahli lingkungan dan sosial, baik berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, banyak pula yang mendukung rencana reklamasi pantura ItU.
Sutiyoso juga mampu menunjukkan bahwa reklamasi kota- kota pantai lazim dilakukan di kawasan Asia Pasifik. Dengan data dan bukti foto, ia memperlihatkan betapa Singapura, Manila, To- kyo, Osaka, Hong Kong, Sydney, dan Ho Chi Minth City I meningkatkan daya saing kotanya melalui kegiatan reklamasi. Rencana reklamasi pantura juga dilakukan dengan prinsip kehati-hatian. Enam prinsip dijadikan kerangka reklamasi, antara lain penentuan bentuk pula reklamasi, lebar kanallateral dan vertikal ditentukan berdasarkan model matematik hidrodinamika. Setiap kegiatan yang sudah ditetapkan harus juga didukung oleh studi amdal. Kita tidak tahu apakah Menteri Lingkungan Hidup akan menjawab tantangan berdebat Sutiyoso. Apa pun respons sang menteri, dalam periode jabatan kedua, Gubernur Sutiyoso kini tampil dengan citra baru. la terkesan sebagai gubernur yang sangat ingin membangun Jakarta, teguh pendirian, berani mengambil risiko, serta semakin memanfaatkan para pakar dan ahli sebagai mitra. Kualifikasi seperti ini memang dibutuhkan untuk menjadi Gubernur Jakarta yang sukses. xx
Ikrar NKRI di Aceh RATUSAN mungkin ribuan penduduk.Aceh berkumpul di lapangan itu. Mereka berbaris rapi. Sebagian mengibarkan bendera merah putih. Seorang dari mereka memimpin ikrar kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemerintah Daerah Aceh dan personel tentara menyaksikan ikrar kesetiaan itu. Selesai acara, sebagian masyarakatAceh membakar bendera Gerakan Aceh Merdeka ( GAM) .Ritual pembacaan ikrar kesetiaan atas NKRI terjadi di beberapa tempat di Aceh selamaberlangsungnya operasi terpadu.
Apa pengaruh ikrar ini bagi pertumbuhan masyarakat Aceh kelak? Bayangkan kondisi Aceh lima tahun dari sekarang. Jika segalanya berjalan sesuai rencana, Aceh sudah kembali damai dalam pangkuan NKRI. Saat itu GAM sudah berhasil dilumpuhkan secara signifikan. Seandainya masih ada aktivis GAM yang berkeliaran di beberapa tempat, mereka tidak lagi berarti dan menjadi buronan sepanjang hidupnya. . Hasan Tiro dan pemimpin GAM lainnya di luar negeri mungkin sudah dihukum oleh pemerintah Swedia sendiri akibat kejahatan yang terbukti di pengadilan Swedia. Namun, mungkin pula Hasan Tiro dan lainnya bebas sama sekali karena kurangnya alat bukti kejahatan mercka ditinjau dari hukum Swedia. Hal itu -
(idak lagi penting. Garis komando GAM di Swedia dengan Aceh sudah dapa( dipu(uskan secara efektif. Jika semuanya berjalan lancar, lima tahun dari sekarang Aceh tengah membangun provinsinya kembali. Proses rekonsiliasi masyarakat Aceh tengah memasuki (ahap finalnya. Publik di Aceh secara perlahan melupakan trauma perang. Jika skenario baik ini terjadi, niscaya ikrar kesetiaan kepada NKRI menjadi awal dari proses panjang penyembuhan Aceh untuk kembali mesra dalam . pangkuan ibu pertiwi. *** ~ c" Yang kita hadapi saat ini bukanlah gerakan politik yang baru ?t, tumbuh. Usia GAM sudah lebih dari dua puluh lima tahun. Indo- nesia sudah mengganti empat presiden. Aneka kebijakan sudah dilakukan untuk menumpas GAM. Yang terjadi, bukan GAM melemah. Sebaliknya, GAM terus-
menerus melakukan kaderisasi. ~enerasi ~ kini bahkan lebih ra~ikal dan lebih lihai, baik dalam ~ dlplomasl ataupun pertarungan senJata. ,:" , Di era Orde Baru, GAM pernah dihadapi dengan operasi militer yang sangat keras. DOM (Daerah Operasi Militer) di era . Orde Baru mungkin menjadi kebijakan paling keras yang pemah diterapkan diAceh. Muncul perkampungan yang kemudiandikenal sebagai perkampungan janda, karena hampir semua lelakinya mati atau pergi. Di era ini pula penlimpasan GAM dinilai banyak yang melanggar hak asasi kaum sipil Aceh. Namun, GAM tidak kunjung mati. Banyak anak-anakAceh menjadi yatim, meliha( dengan mata kepala sendiri kekerasan menimpa keluarga mereka. Di luar dugaan anak-anak ini menjadi kader GAM yang lebih militan. PropagandaAceh Merdeka semakin mudah disusupkan ke kepala mereka. Di era reformasi, pendeka(an atas GAM berbeda sama sekali. Dicoba dialog damai dengan melibatkan unsur asing seperti Henry
IDunant Center. Aceh diberikan otonomi yang sangat luas. Syariat Islam juga dipersilakan diterapkan di Aceh. Tahapan damai, mulai i dari penghentian permusuhan, trust building, penggudangan senjata, ~ sampai kepada all inclusive dialog sudah dirancang. Masjid penuh I~ dengan publikAceh yang terharu sujud syukur atas prospek baru Aceh. Namun, GAM tidak kunjung melemah. Tidak kunjung pula , aspirasi Aceh Merdeka padam di kalangan pemimpin tinggi GAM. I Seolah mencari peluang dalam kesempatan yang ada, di era damai ~ itu GAM bahkan menambah pucuk senjata. Personel militer juga : bertambah. Tahapan penggudangan senjata yang disepakati tidak
pula dilaksanakan GAM. Bahkan di sana-sini disebarkan informasi ; bahwa ujung dari dialog damai adalah Aceh Merdeka. t*** Apa yang membuat GAM mampu bertahan selama itu? Mengapa aneka strategi, dari yang paling keras seperti DOM, sampai ;;:~ yang paling damai dan konseptual, seperti CoHA, tidak kunjung ..c.. ;;" melumpuhkan GAM? Padahal, secara rniliter, GAM tidak dianggap ,c' kuat. Dalam pertarungan tatap muka, secara militer GAM akan ,"" ~ mudah ditaklukan. IYang membuat GAM liat dan sulit dilumpuhkan bukan karena atribut militer mereka. GAM didukung oleh rakyat Aceh sendiri. ~ Akibatnya yang berlaku adalah perang gerilya. Sulit dibedakan mana I GAM, mana penduduk sipil. Selama GAM dipandang oleh rakyat ti!~j Aceh sebagai organ penyelamat yang gagah berani, dan pahlawan bagi publikAceh, selama itu pula GAM sulit ditaklukkan. Selama ada masyarakat Aceh selama itu pula GAM akan terus hidup. Strategi yang jitu untuk menaklukan GAM tidak bisa tidak harus mengubah persepsi publikAceh sendiri terhadap GAM dan terhadap NKRI. Di kalangan publikAceh harus muncul kebencian terhadap GAM dan pemimpinnya. Dalam pikiran dan hati masyarakatAceh harus pula ditumbuhkan kecintaan kepada NKRI. ~~i!
.Ikrar kesetian publik Aceh kepada NKRI dan pembakaran bendera GAM oleh masyarakat Aceh sendiri dapat menjadi awal dari upaya itu. Banyak alasan publik Aceh untuk marah kepada GAM. Jika memang kesejahteraan publikAceh yang diutamakan, otonomi khusus akan diterima oleh petinggi GAM. Otonomi khusus adalah tawaran paling tinggi yang mungkin diberikan oleh sebuah negara berdaulat seperti Indonesia. Dengan menolak otonomi khusus, justru GAM yang sebenarnya mengajak perang. " Akibatnya, penduduk Aceh kini menderita. Begitu banyak masyarakat Aceh mengungsi. Belum terhitung yang keluar masuk hutan akibat perang ini. Siapa pula yang dapat menghitung berapa banyak publikAceh yang sudah dan akan terbunuh. Mereka yang segar bugar secara fisik di Aceh belum tentu pula sehat psikisnya akibat trauma dan tekanan perang ini. I Sementara pemimpin GAM di Aceh hidup dengan nyaman. Mereka bahkan sudah menjadi warga negara Swedia dan dilindungi hukum nasional Swedia. Mereka berwacana Aceh Merdeka dari balik kaca mobil yang mengkilat. Mereka tidak peduli bahwa akibat manuver politik itu, penduduk Aceh menderita dan pemerintah Indonesia mendapatkan beban politik tambahan yang sulit. Adegan pembakaran bendera GAM oleh publikAceh memang diperlukan sebagai awal mobilisasi kemarahan publik atas perilaku elite GAM. Hasan T1ro jangan pula muncul sebagai pahlawan dalam persepsi mereka, tetapi sebagai kriminal dan pemimpin teroris. Ikrar kesetiaan kepada NKRI lebih mudah bersemi jika persepsi publik c.' Aceh atas GAM berubah menjadi sangat buruk. X X ~ ~ ~c;;:f,c"ry£rf~n'~~m"..,#,~~~ ,c:c:
Fenomena Abu Bakar Ba' asyir
DALAM waktu yang masih lama, pemerintah Indonesia akari selalu terjepit di tengah. Dunia internasional yang dipimpin oleh Arnerika Serikat (AS) akan terus menekan pemerintah Indonesia. Mereka ingin Indonesia berlaku lebih keras terhadap apa yang mereka sebut dengan Islam garis keras. Apalagi Indonesia dianggap sudah menjadi sarang dan surga terorisme. Sebaliknya, komunitas Islam di Indonesia yang keras, dan juga yang moderat, meminta pemerintah untuk mandiri dan tegas. Mere- ka terus mewanti-wanti agar jangan sampai pemerintah mengerja- kan 'proyek pesanan' kekuatan asing untuk menindas warganya sen- diri. Lebih jauh lagi, banyak pula elemen yang meminta Indonesia untuk memboikot produkAmerika Serikat, atau bahkan, memu- tuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat. Respons atas Abu Bakar Ba'asyir menunjukkan pembelahan politik itu. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah menjatuhkan vonis atas sang ustaz. Menurut pengadilan, sebagian kesalahan Ba'asyir terbukti, sementara sebagian lainnya sama sekali tidak terbukti. la terbukti terlibat dalam upaya tindakan makar dan masuk ke wilayah Republik Indonesia tidak melalui imigrasi. Namun, Ba' asyir tidak terbukti menjadi pemimpin atau pengatur.tindakan pidana makar. Bahkan, Ba'asyir juga tidak terbukti sebagai amir atau pucuk pimpinanJemaah Islamiyah.
Vonis empat tahun penjara dijatuhkan. Yang menarik, pihak yang pro ataupun kontra menyatakan kecewa atas putusan itu. Yang pro-Ba' asyir menduga hukuman itu hanya upaya pemerintah untuk tidak menanggung malu kepada dunia internasional. Mereka menyatakan banding. Vonis itu oleh Ba' asyir sendiri dianggap .zalim. Tidak lupa ia meminta pendukungnya agar hati-hati dengan provokator Amerika.
Sebaliknya, pihak yang kontra-Ba'asyir juga menyatakan ketidakpuasannya. Secara jelas sekali, bahkan PM Australia menilai Ba' asyir seharusnya dihukum lebih berat. Opini internasional sudah telanjur melabel Ba'asyir sebagai pemimpin spiritual Jemaah Islamiyah. Bahkan Ba'asyir oleh opini dunia digambarkan sebagai atasan Hambali, the mostdangerous man inAsia. Dari respons atas hukuman Ba'asyir sangat tergambar betapa dunia sedang terbelah. Ba' asyir menjadi fenomena keterbelahan dunia itu, yang saling membenci, bahkan saling ingin memusnahkan. Pemerintah Indonesia terjepit di tengahnya. Kasus Ba' asyir dapat saja selesai. Namun, selama keterbelahan dunia itu tetap tajam dan fron- tal, selama itu pula di Indonesia akan hadir aneka kasus Ba' asyir yang lain. *** Yang penting dari kasus Ba' asyir bukanlah diri pribadi Ba' asyir itu sendiri, bahkan bukan pula apa yang dilakukan atau apa yang dipercayainya secara individual. Yang pe.nting adalah konteks sosial politik global tempat terjadinya kasus Ba' asyir. Tragedi 11 Septem- ber telah mengubah wajah dunia secara radikal. Sejak saat itu, In- donesia akan terus mendapatkan beban ekstra untuk permusuhan yang sebenarnya berasal dari 1 uar wilayah Indonesia. Di satu sisi, ada Osama bin Laden beserta organisasi internasional, pengikut, dan simpatisannya. Kemarahan o.ama.
terhadap Amerika Serikat dan dunia Barat sudah sedemikian puncaknya. Pada 1998, ia mendirikan World Islamic Front for the Jihad against Jt'Ws and Crussadm. la pun mengeluarkan 'fatwa' bahwa membunuh wargaAmerika Serikat dan sekutunya adalah tugas bagi setiap muslim. Tentu saja tidak semua ulama sependapat dengan Osama. Bahkan jauh lebih banyak ulama yang menentang pendirian Osama. Ulama itu mungkin merasakan kemarahan atas Amerika Serikat
yang sama. Tetapi mayoritas ulama menolak metode kekerasan dan generalisasi permusuhan kepada semua wargaAmerika Serikat dan sekutunya. Hanya saja, yang percaya kepada Osama juga tidak kurang. Di sisi lain, ada George Bush dan pemimpin dunia lain yang sepaham. Sejak Tragedi 11 September, agitasi perang terhadap terorisme menjadi menu utama politik luar negeri, bahkan dalam negeri Amerika Serikat sendiri. Anggaran belanja untuk proyek itu ditingkatkan. Bahkan sudah pula dilahirkan doktrin baru, pre- emptive strike. Sebelum diserang, Amerika Serikat harus menyerang musuh atau potensi musuh terlebih dulu. George Bush selalu mengulang-ulang kepada warga Amerika Serikat. Daripada menghadapi teroris di aneka jalan-jalan diAmerika Serikat, lebih baik perang terhadap teroris itu di negeri para teroris itu sendiri. Mganistan diserang dan dihancurkan. Lalu Irak sudah pula ditaklukkan, walau tidak melalui mekanisme PBB. Jika perlu seorang diktator didukung bila ia mampu membasmi terorisme di negaranya. Demikianlah, pimpinan Pakistan sekarang didukung Amerika Serikat. H ukum besi ISA di Malaysia dan Singapura, yang dulu dianggap melanggar HAM, kini diabaikan saja oleh Amerika Serikat. Yang diburu Amerika Serikat bukan hanya Osama bin Laden, tetapi isme atau paham yang dapat melahirkan manusia sejenis Osama di mana-mana. *** -I
Pada 7 Oktober 2001 , Osama bin Laden merekam pesannra kepada dunia luas, terutama komunitas Islam. Osama menrerukan umat Islam untuk terus berperang dengan dunia kafir, rang dipimpin Amerika Serikat. Dunia Islam sudah menderita sekitar ;J 80 tahun.
IPara analis mencoba mencari tahu, dari mana angka 80 tahun ~, itu berasal. Diduga angka itu berasal dari tahun 1918, sekitar 80 1~1 tahun lalu, ketika Ottoman Empire dikalahkan. Sejak saat itu :" memang kerajaan Islam internasional rang terakhir itu pecah. Dunia i;fiii Islam didominasi oleh dunia Barat. Wilarah bekas Ottoman Em1pire di dunia Arab menjadi Irak dan Palestina. Dua negara ini awalnra dikuasai oleh Inggris. Sementara Suriah : , r dikuasai Prancis dan kemudian dibelah menjadi Lebanon dan [:;~ Suriah. Atas restu Inggris dan Amerika Serikat, di wilarah Palestina didirikan negara Israel. Konflik Israel dan Palestina terus membara sampai kini. Oleh .. sebagian komunitas Islam, Amerika Serikat dipandang sebagai agresor rang telah merampas dan mengusir kaum muslim dari tanah , kelahirannra. Perang terhadap Amerika Serikat menjadi sah. Berbagai ajaran agama tentang jihad dan mati srahid " dihidupkan kembali. Fenomena born bunuh diri untuk melawan , musuh lahir dari konteks perlawanan ini. Born bunuh diri itu juga sebuah penemuan baru, evolusi perlawanan rang memang ternrata sangat menyulitkanAmerika Serikat, Israel, dan negara Barat lainnya. Abu Bakar Ba' asyir hadir dan merupakan anak kandung dari konteks keterbelahan itu. Vonis pengadilan atas Ba' asrir sudah diputuskan. Namun 'perang' dua dunia, antara Amerika Serikat dan musuhnra rang menggunakan simbol Islam, terus berlanjut. Selama itu pula, apa dara, pemerintah Indonesia terus pula terjepit ! ditengah.XX _.
Nurcholish Madjid di Simpang Jalan?
NURCHOLISH Madjid agaknya sudah harus memilih. Apakah ia ingin tetap menjadi intelektual, yang imbauannya didengar berbagai pihak dari aneka komunitas. Ataukah ia tergoda untuk menjadi politikus, yang bagaimanapun harus partisan, memperjuangkan kepentingan partai, dan berhadap-hadapan dengan tokoh partai lain. Jika ia menjadi intelektual, karier puncaknya adalah guru bangsa. Karena keluasan, kematangan pengetahuannya, ditambah integritas dan kearifan filsafat hidupnya, Nurcholish akan menjadi sumber air bagi banyak kalangan yang berbeda. Sementara, jika ia memutuskan menjadi politikus, karier puncaknya dinominasikan partai dan menjadi presiden Indonesia. Sebagai presiden, tentu ia akan lebih mampu melakukan perubahan konkret tata kemasyarakatan. Nurcholish Madjid tidak dapat menjadi kedua-duanya. la tidak dapat menjadi guru bangsa yang dihormati semua pihak, seka- ligus menjadi politikus piawai, yang bertarung di dunia praktis untuk menjadi presiden. Jika Nurcholish tetap memako;akan diri atau ragu- ragu memilih, ia justru akan kehilangan kedua-duanya. Kredibilitas sebagai intelektual akan menurun. Sementara, kariernya sebagai politikus juga serba tanggung karena diperankan setengah hati.
,-'...,., c.",."~"". 'n'.' cc.=~-.."fij,,':~l Konvensi Partai Golkar untuk pencalonan presiden sudah dimulai. Secepatnya ia harus menentukan sikap. Pendukung dan pengagumnya selalu berbeda pendapa( (enrang apa yang seharusnya dilakukan Nurcholish. Narnun, saya duga, pertempuran paling keras ada dalam batin Nurcholish sendiri. la kini berada dalam situasi 'maju kena mundur kena' .Sudah kepalang (anggung, ia mengurnumkan kesediaan mengikuti konvensi Par(ai Golkar. Para pendukungnya dalarn pilihan ini sudah banyak keluar tenaga, keringa(, dan juga dana. Jika langkah menjadi politikus ini ia teruskan, konsekuensinya memang cukup jauh. Suka atau tidak, ia harus memperjuangkan Partai
Golkar dan kemenangan partai i(u dalam Pemilu DPR 2004. la (idak bisa hanya menginginkan nominasi calon presiden Golkar, tanpa berkeringat dalam pemilu DPR bagi kemenangan Golkar. Ibarat makan buah nangka, Cak Nur juga harus bersedia mengambil getah nangkanya. Jika pilihan ini diambil, kita akan menyaksikan Cak Nur berkampanye ke berbagai wilayah Indonesia, menyerukan publik memilih calon anggota DPR Par(ai Golkar. la menggunakan jake( kuning, didarnpingi aneka jajaran pengurus Golkar. Bahasa yang keluar dari mulutnya akan pula dipenuhi oleh jargon umumnya poli(ikus. Se(elah semua itu dilakukan, belum (entu pula ia akan dinominasikan Partai Golkar. Apalagi jika lawan ..I beratnya adalah Akbar Tandjung sendiri, Ke(ua Umum Partai , Golkar. (I i'." Sementara, jika Cak Nur mundur dari pencalonan, sebelah kakinya sudah (elanjur 'becek' .Sebagian publik sudah rindu kepada kepemimpinannya. Banyak kalangan memang berharap ia menjadi presiden. Era Cak Nur sebagai begawan dianggap sudah cukup. Cak Nur terus diiming-iming bahwa bangsa sedang dilanda krisis dan butuh 'pengorbanannya'. Atas nama kepentingan negara, for the sake of our nation, Cak N ur terus didorong.
"t Sejarah hanya memberikan kesempatan sedikit saja kepada tokoh untuk sukses menjadi intelektual, sekaligus politikus yang dihormati. Seorang tokoh yang dapat menjadi guru bangsa, sekaligus presiden, atau pemimpin politik praktis tingkat tinggi hanya terjadi karena kasus khusus dalam settingsejarah yang khusus pula. Untuk ukuran dunia, Thomas Jefferson dari Amerika Serikat salah satu contohnya. Jefferson menggambarkan secara sempurna apa yang disebut filsufYunani dengan istilah the Philosopher King. Sebagai intelektual, Thomas Jefferson adalah penganjur kebebasan dan pemikir yang turut
menyebarkan paham liberalisme di tanah Amerika Serikat. Deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang amat filosofis dan piagam toleransi agama yang kini menjadi fondasi politikAmerika Serikat adalah buah pikirannya. Di samping sebagai intelektual, Jefferson juga dikenal sebagai salah satu presiden yang paling sukses dalam sejarah Amerika Serikat, di samping George Washington, Abraham Lincoln, dan Roosevelt. Karena perannya, teritori Amerika Serikat kini meluas menjangkau wilayah Lusiana yang dibelinya dari pemerintah Prancis saat itu. Karena tambahan teritori itu, Amerika Serikat kini menjadi salah satu negara terbesar dari segi teritori dan penduduk. la juga dikenang sebagai presiden pertama di dunia yang memimpin partai politik. Untuk kelas Indonesia, mungkin Soekarno, Hatta, dan Sjahrir dapat pula dikenang sebagai politikus dan intelektual yang sukses. Pemikiran mereka mencerahkan bangsa di era kemerdekaan. Tidak cukup sebagai pemikir, mereka juga pejuang dan politikus yang merealisasi gagasannya sendiri yang cemerlang. Tetapi, kini sudah abad ke-21. Soeka,rno, Hatta, dan Sjahrir hidup di abad lalu. Jefferson bahkan hidup di tiga abad silam. Kini tata kemasyarakatan sudah sedemikian terdiferensiasi. Sulit untuk muncul lagi seorang philosopher king, yang dihormati sebagai intelektual sekaligus berprestasi sebagai politikus ulung. Apalagi untuk kasus Indonesia yang kini sedang dalam krisis multidimensi.
Masing-masing peran itu punya tuntutan yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Saat ini, komunitas politik sangat tersegmentasi, terpecah belah, dan terpolarisasi. Siapa pun yang menjadi politikus, apalagi calon presiden sebuah partai, akan segera menjadi partisan, dan menjadi 'musuh' partai lain. Pada saat yang sama, komunitas ini juga butuh 'tuntunan' dan
'pandangan' seorang guru bangsa yang menjadi perekat dan pemberi arah. Tokoh yang dapat diterima sebagai guru bangsa dengan sendirinya harus netral dari partai politik, dan tidak punya ambisi menjadi presiden yang bersaing dengan pemimpin politik mereka sendiri. Yang kini dapat diterima publik luas bukan peran ganda guru bangsa dan calon presiden. Yang masih mungkin adalah guru bangsa yang dekat dengan banyak kalangan pengambil keputusan politik. Atau,-calon presiden yang disukai banyak kalangan intelektual. Pasar politik tidak memungkinkan CakNur mengambil keduanya. Cak Nur sudah harus memilih pintu mana yang ia ingin masuki. Apakah pintu intelektual yang akan mengantarkannya sebagai guru bangsa? Ataukah pintu politik yang akan mengantarkannya menjadi presiden? Keragu-raguan justru akan membuatnya gagal jadi calon presiden, sekaligus cacat sebagai intelektual. xx
Eksperimen Konvensi Partai Golkar ~ AGAR komunitas di Partai Golkar tidak bingung dan publik luas di luar partai itu tidak kecewa, konvensi Partai Golkar harus dipandang secara berbeda. Konvensi itu sebaiknya dipahami sebagai sebuah eksperimen politik saja. Sebagai sebuah eksperiinen, konvensi itu memang tidak perlu punya mekanisme yang baku seperti yang terjadi di negara lain. Ditinjau dari segi mekanisme ataupun hasilnya, konvensi partai Golkar itu dapat saja mengejutkan karena ia adalah sebuah eksperimen politik. Konvensi mengejutkan, misalnya, jika hasil akhirnya ternyata bukan calon presiden. Umumnya konvensi yang baku di negara lain, hasil akhirnya adalah calon presiden hasil penyaringan partai.
Karena tidak baku dan hanya eksperimen, mungkin saja konvensi Partai Golkar hanya menampilkan daftar lima calon wakil presiden. Atau kejutan lainnya, konvensi ternyata tidak benar-benar terbuka bagi calon di luar pengurus partai. Umumnya konvensi yang baku, yang terpilih dalam konvensi memang bukan pengurus partai. Namun, karena tidak baku, dan hanya eksperimen, konvensi Partai Golkar mungkin sebaliknya. Seperti yang diduga, akhirnya yang dinominasikan adalah pengurus partainya sendiri. Lebih eksplisit lagi, yang dipilih akhirnyaAkbar Tandjung sendiri, selaku ketua umum.
Wajar saja, sebagai partai yang baru saja selamat dari gugatan politik reformasi, Golkar tampillow profile. Konvensi yang kini menjadi trade mark Golkar, wajar pula jika 'dijual' sebagai bentuk eksperimen politik saja, tanpa keinginan dinilai atau diharap dengan standar yang terlalu tinggi. *** Jika memang dimaksudkan sebagai eksperimen politik, para kompetitor calon presiden di Golkar tidak pula seharusnya memasang tuntutan yang tinggi. Nurcholish Madjid, misalnya, mengharapkan agar konvensi Partai Golkar ini menyerupai konvensi partai di Amerika Serikat. la berharap, pengurus partai tidak usah ikut dalam konvensi. "Siapa yang mengenal ketua umum Partai Demokrat atau Partai Republik di Amerika Serikat?" ujar Cak Nur, panggilan populer Nurcholish Madjid. Partai itu di Amerika Serikat, memang akhirnya mengesahkan calon presiden yang bukan pengurus partal. JikaAkbarTandjung maju sebagai calon presiden pula dalam konvensi partai, menurut Cak Nur, tidak akan terjadi persaingan yang adil dan sederajat. Sebagai pengurus partai, Akbar Tandjung mengetahui seluk beluk dan informasi yang mustahil diketahui pihak luar. Bahkan, kubu Cak
Nur mengancam akan mundur dari pencalonan presiden melalui Golkar jika Akbar Tandjung juga akan maJu. Sri Sultan Hamengku Buwono punya tuntutan yang lebih mudah. la tidak mempermasalahkan Akbar Tandjung ikut bersaing dalam konvensi. Namun, syaratnya, Akbar Tandjung harus mundur dulu dari kepengurusan Golkar. Tidak hanya Akbar Tandjung, semua calon yang ingin maju dalam konvensi partai harus nonaktif dari kepengurusan Golkar. Pandangan Cak Nur dan Sri Sultan dapat dipahami. Namun, sekali lagi, memang konvensi Partai Golkar bukanlah konvensi model di Amerika Serikat. Konvensi model Golkar memilih calon
",-""""",,\! presiden. Sedangkan di Amerika Serikat, konvensi partai hanyalah mengesahkan pemilihan calon presiden. Yang memilih calon presiden partai di Amerika Serikat adalah semua anggota dan simpatisan partai yang berjumlah jutaan dalam primary election. Pilihan itu kemudian disahkan dalam konvensi. Di Amerika Serikat, pengurus partai memang tidak ikut dalam pemilihan calon presiden. Namun, mereka yang sama sekali di luar partai dan tidak berkarier secara politik juga tidak menjadi calon serius. Di Amerika Serikat, umumnya peserta konvensi partai adalah mantan gubernur, senator, atau presiden yang sedang menjabat, ataupun wakil presidennya. Sejak awal konvensi Partai Golkar memang sudah berbeda dengan konvensi di Amerika Serikat. I *** .., * ." ".~~ Memang ada beberapa kendala yang membuat konvensi Partai Golkar tidak bisa langsung menyerupai konvensi model Amerika Serikat. Namun, penyebab utamanya adalah karakter masa transisi politik di Indonesia sendiri. Model konvensi Partai
Golkar sekarang, dengan seluruh keterbatasan dan kelemahannya, dapat dibilang sudah optimal dan lumayan, jika perspektif masa transisi itu digunakan. Dua karakter menjadi kendala. Karakter pertama adalah transisi menuju pemilihan presiden secara langsung. Untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, seorang presiden dipilih secara langsung. Mengikuti tradisi yang berkembang di Amerika Serikat, memang yang menjadi calon presiden umumnya bukanlah pengurus partai. Bahkan, calon presiden itu bukan pula ketua umum partai, yang di Amerika Serikat sang ketua umum hanya berfungsi sebagai koordinator dan admin- , istrator belaka. Namun, di Indonesia, partai yang ada masih partai 'milik' ketua umum. Bahkan, pesona partai itu, di luar Golkar, sebagian justru berasal dari figur ketua umumnya. Sang ketua umum partai ini tidak bisa disingkirkan terlalu cepat. Ketua umum masih
mendominasi panai. la masih menguasai sumber daya panai. Dalam kondisi yang normal, tentu ketua umum itu yang masih ingin menjadi calon dari partai untuk presiden atau wakil presiden. Lihaclah praktik politik yang terjadi hampir di semua partai di Indonesia. Yang dimajukan panai untuk jabatan bergengsi, apalagi untuk posisi presiden dan wakil presiden, masih ketua umumnya sendiri. Karakter kedua adalah transisi menuju koalisi panaiyang stabil dan mayoritas. Memang benar, sistem presidensialisme tidak memerlukan koalisi panai di parlemen karena presiden tidak dipilih parlemen. N amun, model ini hanya cocok di Amerika Serikat yang menganut sistem dua partai. Dalam sistem banyak partai di Indonesia, tanpa koalisi yang stabil, presiden akan menjadi bulan-bulanan DPR. Karena ada keperluan koalisi, paket presiden dan wakil presiden di Indonesia seharusnya tidak datang dari satu partai. Jika koalisi itu memang
dirindukan maka harus ada partai politik yangbersedia menjadi wakil presiden saja. Golkar pun harus pula menyiapkan kemungkinan itu. T1dak usah heran, jika konvensi Golkar sekali lagi menyimpang dari konvensi model Amerika Serikat. Yang akhirnya dicalonkan, misalnya, bukanlah untuk posisi presiden, melainkan untuk wakil presiden saja, demi sebuah koalisi dan stabilitas politik. Ini ditempuh Golkar bukan karena sebagai partai, misalnya, Golkar kurang percaya diri. Namun, ini dibuat berdasarkan kalkulasi rasional yang matang dan hati-hati, justru untuk kepentingan Panai Golkar sendiri dalam jangka panjangnya. Karena banyaknya kejutan yang mungkin, memang konvensi Partai Golkar harus dilihat sebagai sebuah eksperimen politik saja. xx
Surya Paloh, Wiranto, dan Akbar? SIAPAKAH yang akhirnya akan memenangkan Konvensi Partai Golkar? Penanyaan ini tidak hanya menarik perhatian komunitas Panai Golkar. Masyarakat politik pada umumnya juga sangat tidak sabar ingin mengetahui tokoh yang akhirnya terpilih. Siapa pun yang memenangkan konvensi, niscaya akan menjadi salah satu pemain utama politik Indonesia pascaPemilu 2004. Seperti banyak dilansir oleh aneka lembaga survei, termasuk oleh I.SI (Lembaga Survei Indonesia), pemenang Pemilu 2004 kelak bukan PDI Perjuangan (PDIP) tetapi Partai Golkar. Tentu ini dengan asumsi tidak ada perbaikan yang berarti di tubuh PDIP. Serta tidak ada pula kesalahan mendasar yang dibuat oleh Partai Golkar sampai Pemilu 2004 kelak. Calon presiden dari Partai Golkar dengan sendirinya menjadi heary contender, calon kelas berat. Menjelang konvensi berakhir tahap pertama, tiga nama menguat. Wiranto, Akbar Tandjung, dan
Surya Paloh. Kekuatan dan kelemahan ketiga tokoh itu penting untuk dielaborasi. Golkar dapat menyiapkan inovasi tambahan untuk menutupi kelemahan pemenang konvensi kelak. ***
Tidak banyak yang menduga, Wiranro muncul sebagai kuda hiram. Di rengah pertarungan seru anrara Akbar Tandjung versus Surya Paloh, Wiranto langsung 'menyodok' ke aras. Berdasarkan hasil semenrara yang dibuar banyak pihak, nama Wiranto paling banyak disebur sebagai peringkar pertama. Banyak yang mengunrungkan posisi Wiranro, namun ada pula kelemahan yang kriris. Posisinya sebagai mantan Panglima ABRI sampai kepada manran Menko Polkam, membuar Wiranro rumbuh sebagai polirikus dan pemimpin yang sangar banyak makan asam garam. Kemampuan pribadinya amar rampak dalam membina jaringan. Tidak hanya kalangan purnawirawan yang mampu dibinanya. Wiranto juga banyak mendapar dukungan kalangan pemuda, pengusaha, pendekar hak asasi manusia, bahkan aneka LSM. Wiranro sangar diunrungkan oleh riwayar Partai Golkar sendiri. Selama puluhan rahun di bawah Orde Baru, Golkar saar iru sangar dekar dengan kalangan rentara. Bahkan banyak pimpinanGolkar di daerah yang juga pimpinan rentara. Saar iru milirer masih mengenal Dwifungsi ABRI. Militer memang ridak rerlibar dalam pemilu namun sepenuhnya melakukan partnership dengan Golkar. Walau rentara sudah kembali ke barak, secara kulrural, hubungan dan jaringan manran peringgi renrara dengan Golkar di daerah masih erar.
Wiranro rentu saja sudah sangar dikenal oleh jaringan ini. Dengan sedikir persuasi, pendekaran pribadi, maka begiru mudah Wiranro mendaparkan dukungan. Keisrimewaan ini yang sukar didapar oleh peserta konvensi lainnya, kecualiAkbarTandjung. .Wiranro juga sangar diuntungkan oleh 'kemarahan' publik aras hasil reformasi. Publik mulai semakin merindukan srabiliras polirik dan pembangunan ekonomi ala Orde Baru. Berdasarkan hasil survei LSI misalnya, mayoriras publik bahkan menganggap sisrem pemerintahan Orde Baru lebih baik daripada sisrem pemerintahan
.era reformasi. Ini ekspresi kekecewaan atas aneka partai dan tokoh yang membawa bendera dan spirit reformasi. Wiranto datang dalam public moodyang sedang bemostalgia atas masa silam. Apalagi Wiranto juga dapat mengklaim bagian dari Orde Baru yang kini mulai dirindukan kembali. Dengan menawarkan program KTA (Kenyang, Tenang, dan Arnan), segera pula ia dapat menyambar (kerinduan' publik. Namun kelemahan Wiranto terletak pada dimensi intemasionalnya. la menjadi penanggung jawab keamanan di kala sulit, dan di akhir pemerintahan Soeharto serta Habibie. Kasus kekerasan Timor Timur, suka atau tidak, segera dikaitkan dengan namanya. Oleh kelompok yang tidak menyukainya, Wiranto dilukiskan sebagai (tersangka kejahatan melawan kemanusiaan (crimt' agaimt humanity)'. Diembus-embuskan oleh lawan politiknya, jika Wiranto menjadi presiden, Indonesia akan semakin terpuruk dalam hal citra di mata masyarakat intemasional. Mengimbangi Wiranto, Akbar Tandjung menjadi kandidat kuat lainnya. Jika semata dilihat dari leadership dan kapabilitas mernimpin partai, saat ini tidak ada figur politik yang sehebat Akbar
~~ Tan~j~ng. la memimpin Golkar di.saat ya~g sulit. B~kan dirinya Isendm terkena kasus hukum. Kesedlaannya berkorban untuk kasus Bulog jilid- 2, sena kerajinannya turun ke daerah, membuat Golkar c} dapat benahan. Kini lebih dari itu, bahkan suara Golkar meningkat pesat, sebagaimana yang ditunjukkan hasil survei. "," ;~ Juga ungguldari kandidat mana pun, AkbarTandjung adalah m tokoh konsensus yang sangat piawai. Platform politiknya, serta sejarah kariemya yang kental nuansa keislaman dan kebangsaan, membuatnya menjadi (tokoh tengah' dalam sprektrum politik. la dengan mudah dapat mendamaikan, bahkan memperoleh dukungan baik dari komunitas Islam ataupun komunitas kebangsaan dan pluralis.
Kematangan emosi, kesantunan dalam berpendapat, serta pengalaman di dunia birokrasi, membuat kapabilitas Akbar Tandjung sebagai pemimpin nomor wahid. Satu-satunya kelemahannya adalah kasus hukum. Sayangnya, justru kelemahan ini sangat mendasar. Dengan mudah sekali Akbar didiskualifikasi dalam pertarungan calon presiden, jika tiba-tiba keputusan Mahkamah Agung turun dan memintanya dipenjara. *** Surya Paloh menjadi kandidat kuat berikutnya. Berbeda dengan Wiranto dan Akbar Tandjung, Surya Paloh tepat sekali membawa citra sebagai tokoh alternatif. Ia bukan politician as usual. Ia sudah lama tidak berkarier di dunia politik. Justr1j posisi itu membuatnya menjadi 'segar'. Ia juga datang dari latar belakang seorang pengusaha yang sukses. Faktor ini juga menguntungkan pencalonannya di era krisis ekonomi yang membutuhkan sentuhan entrepreneurship seorang pemlmpm.
Walau tidak menjabat pengurus struktural partai, Surya Paloh memberikan sumbangan yang sangat besar melalui ide konvensi Partai Golkar. Diakui banyak pihak, Surya Paloh termasuk yang pertama mengajukan usulan konvensi itu. Ide ini sangat menolong Partai Golkar dan Akbar Tandjung sendiri. Malalui konvensi, Partai Golkar mendapat pemberitaan yang luas. Melalui konvensi, posisi Ketua Umum Akbar Tandjung juga tidak dipersoalkan karena saingannya dapat menjadi calon presiden Partai Golkar tanpa harus menjadi ketua umum partai. Kelemahan Surya Paloh lebih karena masalah 'keterlambatan sosialisasi'. Berbeda dengan Wiranto dan Akbar Tandjung, Surya Paloh tidak menjadi pusat berita media massa sejak lama.Ia bukan pejabat pemerintah yang sering diuber-uber pers. Akibatnya, ia memang sangat dikenal di kalangan kota. Namun 145 juta pemilih Indonesia, yang banyak tinggal di desa, belum mengenal nama Surya
Paloh. Ini sangat menyulitkannya dalam pemilihan presiden langsung kelak. Dengan kekuatan dan kelemahan itu, tiga ca1on terkuat Partai Golkar saat ini memang problematis. Agaknya konvensi Partai Golkar perlu membuat inovasi tambahan untUk mengatasi sisi lemah calon pemenang konvensi itu. XX
Menunggu Kasus Akbar Tandjung SEBELUM pemilu legislatif, mungkin ini akan menjadi peristiwa politik yang punya pengaruh paling besar. Tidak hanya nasib politik Akbar Tandjung yang akan ditentukan, tetapi hasil Konvensi Golkar, pemilu presiden, serta bulat dan lonjong pemerintahan baru pasca-Pemilu 2004 akan dipengaruhi oleh peristiwa itu. Tidak lain dan tidak bukan, peristiwa itu adalah diumumkannya kasasi Mahkamah Agung atas kasus hukum Akbar Tandjung.
Rarnai diberitakan media massa, salah satu hakim yang akan memutuskan perkara hukum Akbar Tandjung, Abdul Rahman Saleh, sudah memberikan keterangan. Menurutnya, para hakim sudah membaca kasus Akbar Tandjung dan sudah membuat kesimpulan. Hari senin ini, mereka akan bertemu untuk menentukan hari musyawarah. Paling lambat akhir Januari ini, kasus Akbar Tandjung akan diputuskan dan diumumkan kepada publik. la sendiri mengaku sudah membaca dan mengetahui I kesimpl1lan para hakim yang lain dalam kasus Akbar Tandjung. Namun, menurutnya, musyawarah para hakim itu akan menentukan. Karena musyawarah, ujarnya, pandangan yang merah dapat berubah menjadi putih.
-Selama ini kasus Akbar Tandjung sudah menjadi induk dan pemicu berbagai aksi politik lainnya. Kasus ini sudah melahirkan puluhan aksi demonstrasi, dinamika di DPR, bahkan membuahkan Konvensi Partai Golkar. T1dak terasa, di bulan ini kasus ini akan berakhir. *** Persoalannya, publik luas memang sudah terbelah oleh kasus ini. Apa pun yang diputuskan oleh Mahkamah Agung segera menda- patkan pro dan kontra. Apa pun isi keputusan itu, bagi sebagian, ia akan menjadi happy ending story. Layaknya telenova atau sinetron Televisi, drama kasus Akbar Tandjung akan dianggap berakhir bahagia. Sebaliknya, oleh segmen publik yang lain, happy ending itu akan dipahami sebagai kisah tragedi yang sungguh berakhir tragis. Tetapi, yang paling terpengaruh oleh keputusan Mahkamah Agung adalahAkbarTandjung, Konvensi Partai Golkar, dan pemilu presiden. Bagi Akbar Tandjung pribadi, keputusan ini akan menentukan hitam dan putih karier politiknya. Jika Mahkamah Agung memutuskan ia bersalah serta dihukum, berakhir sudah perjalanan politiknya. la akan dikenang sebagai mantan Ketua
DPR atau mantan Ketua Umum Golkar saja. la tidak berpeluang lagi untuk dikenang sebagai mantan wakil presiden atau mantan presiden Re publik Indonesia. I Sebaliknya, jika dihukum bebas, Akbar Tandjung akan menjadi z the Comeback Kid politikus yang akan kembali menjadi pemain , utama. ,; I DibebaskannyaAkbar Tandjung, semakin membuka peluang- , nya bukan saja untuk memenangkan Konvensi Partai Golkar, melainkan juga menjadi wakil presiden, atau bahkan menjadi presiden Republik Indonesia. IKarier politiknya selama ini menunjukkan daya tahan Akbar I Tandjung terhadap perubahan politik. la dapat bertahan, bahkan
" ,", -" I mendapatkan promosi di berbagai perubahan cuaca poli(ik. Ke(ika I Soehar(o berkuasa, ia menjadi menteri beberapa kali, dalam pos kemenrerian yang berbeda. Ke(ika Soehar(o dija(uhkan dan diganrikan Habibie, Akbar Tandjung te(ap ber(ahan bahkan (ambah bersinar. la mendapatkan promosi menjadi Men(eri Sekneg dan Ke(ua Umum Golkar. Habibie pun dijatuhkan dalam pertanggungjawaban di MPR. Berbeda dengan kebanyakan pembantu Habibie, Akbar Tandjung (idak iku( terja(uh. Sebaliknya, ia kembali mendapatkan promosi menjadi Ketua DPR. Daya (ahan poli(ik ini membuat Akbar Tandjung memperoleh respons pro dan kontra. Bagi pendukung dan pengagumnya, ini buk(i be(apa Akbar Tandjung (elah menjadi The Man of All Season. la bisa ber(ahan di segala musim. Bukankah ini bukti yang sudah di(es oleh waktu dan sejarah mengenai skill dan leadership-nya sebagai poli(ikus? Bukankah ini membuktikan
jam (erbang Akbar Tandjung yang dapa( menunjukkan bahwa ia kompeten dan mampu, bahkan untuk menjadi tokoh nomor sa(u a(au nomor dua di Republik ini kelak, pasca-Pemilu 2004? Sebaliknya, di kalangan pengkri(ik dan musuhnya, perjalanan poli(ik Akbar Tandjung dianggap bukti ke(egaannya sebagai The Political Animal. Unruk ambisi politiknya, Akbar dianggap tidak segan menjadi 'Bru(us', yang meninggalkan, bahkan mencelakakan bosnya sendiri. la dianggap licin seperri belu( dan mudah sekali melanggar komitmen yang dibuat jika si(uasi (idak mengunrungkannya. Pro dan konrra di atas adalah hal biasa, yang selalu terjadi di sepu(ar tokoh yang (erus naik daun walau si(uasi poli(ik berubah dras(is. Suka a(au (idak a(as perjalanan karier poli(iknya, namun adalah fak(a bahwa Akbar Tandjung selalu unggul dalam manuver poli(ik di kalangan elite. Namun kini yang ia hadapi bukan lagi manuver poli(ik, melainkan kepu(usan hukum lembaga hukum (erringgi, Mahkamah Agung. *** Konvensi Parrai Golkar dan pemilu presiden iku( pula (erpengaruh secara mendalam oleh kepu(usan Mahkamah Agung kelak. Jika (idak ada blunder besar yang dibua( Parrai Golkar, dan parrai lain (idak membua( ~novasi yang cemerlang, hasil pemilu legisla(if sudah dapa( diprediksi. Golkar kembali menjadi parrai u(ama, mengalahkan semua parrai lainnya, (ermasuk PDIP. Hasil survei lembaga yang menggunakan me(odelogi yang sahih memberikan indikasi yang kua(. Baik LSI, lRI, LP3ES, a(aupun IFES, menunjukan superiori(as Golkar. Dibandingkan dengan semua parrai poli(ik lain, Golkar akan menjadi mesin poli(ik yang sanga( efek(if, mengakar dan berpengaruh. Calon presiden yang didukung par(ai ini akan mempunyai efek multiplier yang gagah perkasa.
Kepu(usan Mahkarnah Agung kelak akan menen(ukan siapa pemenang Konvensi Golkar, yang gilirannya akan didukung oleh mesin poli(ik Golkar dalam pemilu presiden. Jika Akbar Tandjung dihukum, Golkar sanga( mungkin ja(uh ke pesaingnya, (eru(ama Wiranro. Sebagian publik akan (erkesima. Mesin besar Golkar berpindah ke (angan Wiran(o, kecuali jika Akbar Tandjung masih efek(if menjadi king maker bagi pemenang Konvensi Parrai Golkar lainnya, seperri Surya paloh. Namun, jikaAkbar Tandjung dibebaskan, apalagi diban(u oleh (okoh seperri Surya Paloh, kursi wakil presiden a(au presiden Republik Indonesia (erbuka. Apalagi jika Akbar Tandjung, Surya Paloh bekerja sama dengan (okoh luar un(uk pemilu presiden, seperri Susilo Bambang Yudhoyono. Efek poli(ik keputusan hukum Mahkarnah Agung kelak memang luar biasa. la dapa( membuat poli(ik nasional berbeda secara signifikan. xx
-;_tj ",j Mundurnya Sri Sultan Hamengku Buwono f';Yj 1( '" . SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X adalah tipe politikus yang populer di mata rakyat banyak, narnun kurang lihai dalarn permainan politik elite. Respons publik yang beragarn atas mundurnya Sri Sultan dalam Konvensi Partai Golkar sebagian merupakan cerminan posisinya yang khas di atas.
Berdasarkan data yang dikumpulkan LSI (Lembaga Survei Indonesia) pada November 2003, posisi Sri Sultan di mata publik pemilih sangat istimewa. la menjadi satu-satunya politikus yang meraih suara di atas Megawati jika mereka berkompetisi di ronde kedua pemilihan presiden. Politikus lain, dalarn ronde kedua pemilu presiden, umumnya memperoleh suara di bawah Megawati. Jika Sri Sultan dinominasikan Golkar sebagai presiden, besar sekali kemungkinan Sri Sultan mengalahkan Megawati Soekarnoputri. Apalagi, Golkar sebagai partai juga merupakan mesin policik yang paling efekti£ Dibandingkan dengan partai lain, Golkar paling siap dilihat dari SDM, jaringan partai, dan dukungan sarnpai ke akar rumput. Jika mencalonkan Sri Sultan, Golkar sangat mungkin menang dalam pemilu parlemen, sekaligus pemilu presiden. Narnun adalah kenyataan pula, bahwa Sri Sultan tidak populer di kalangan elite Golkar daerah. Hasil sementara Konvensi putaran pertarna Oktober 2003, posisi Sri Sultan berada di bawah. Jika
saat itu, Golkar hanya memilih lima bakal calon presiden saja, sangat mungkin Sri Sultan sudah tersingkir. Beberapa kali Sri Sultan melakukan perjalanan ke daerah. Respons elite Golkar di daerah juga tidak istimewa. Seandainya pun Sri Sultan recap meneruskan pencalonannya di Konvensi Partai Golkar, hampir pasti ia tersingkir dalam percarungan politik elite Golkar. Walau populer di mata rakyat, Sri Sultan kekurangan 'amunisi' uncuk bercarung di politik elite. la belum menjadi 'pahlawan' atau orang yang berjasa kepada partai seperti Akbar Tandjung. la juga tidak punya jaringan di berbagai daerah seperri Wiranco. la juga tidak kuat secara dana seperri Surya Paloh, Aburizal Bakri, arau JusufKalla.
Cepat arau lambat, Sri Sultan memang tidak akan terpilih dalam konvensi. Sebelum dikalahkan dalam forum resmi kelak, memang lebih elegan jika ia memilih mundur. DilepaskannyaAkbar Tandjung oleh kasasi Mahkamah Agung mungkin dianggap mo- mentum yang tepat unruk mundur tanpa kehilangan muka. Bahkan mundurnya Sultan justru dapat menambah bobot moralnya dengan mengemukakan berbagai alasan hati nurani. Terapi sangat disayangkan, Sri Sultan mundur tanpa membuat political endorsement atau dukungan politik kepada calon presiden lain. Dalam tradisi konvensi di partai politik Amerika Serikat, misalnya, hal biasa jika bakal calon presiden mundur di tengah jalan. Namun ia mundur justru untuk memperkuat partai dan mendukung bakal calon presiden terkuat di partai itu. Sri Sultan cenderung memberikan efek sebaliknya, mengurangi bobot moral partai yang justru ingin ia besarkan. *** Minggu lalu, tidak hanya Sri Sultan dari Indonesia yang mundur dari konvensi partai. Wesley Clark dari Amerika Serikat juga mundur dari Konvensi Partai Demokrat. Kasus percarungan bursa presiden di Amerika Serikat mungkin dapat memberikan
pelajaran. Mundurnya bakal calon presiden dari konvensi partai di Amerika Serikat, justru dalam rangka memperkuat partai dan tokoh utamanya, bukan sebaliknya. Sejak awal juga ada tujuh bakal calon presiden di Partai Demokrat Amerika Serikat, atau 'tujuh samurai' seperti dalam konvensi Partai Golkar. Namun yang sejak awal dianggap terkuat adalah Howard Dean,John Forbes Kerry, dan WesleyClarksendiri. Awalnya semua calon presiden Partai Demokrat dianggap under- dog untuk melawan calon presiden dari Partai Republik, George
Bush, yang kini masih menjabat presiden. Pada awalnya, memang tidak satu pun dari bakal capres Partai Demokrat dianggap mampu menyaingi George Bush yang tengah populer. Namun opini publik terus berubah. Perjalanan Konvensi Partai Demokrat mampu menarik perhatian publikAmerika Serikat. Para calon presiden juga mampu mengurangi popularitas sang juara bertahan, George Bush. Howard Dean mengambil inisiatif dengan membangkitkan kemarahan publik Amerika Serikat atas perang Irak. Begitu banyak serdadu Amerika Serikat yang dikirim pulang dalam kantong mayat. Trauma perang Vietnam ditanamkan ke kesadaran publik untuk mengurangi popularitas Bush. *** Lihatlah apa yang dilakukan tokoh senior Partai Demokrat. Satu per satu mereka memberikan political endorsement kepada calon terkuat Partai Demokrat saat itu. Al Gore adalah tokoh yang kini sangat dihormati Partai Demokrat. la secara terbuka mengumumkan dukungannya kepada Howard Dean. Tidak ketinggalan Jimmy Carter, tokoh senior Partai Pem.okrat lainnya. la juga mengumumkan dukungannya kepada Howard Dean. Tetapi situasi politik kemudian berubah. Howard Dean membuat blunder. Publik mulai meninggalkan Howard Dean. Sebagai gantinya, muncul John Forbes Kerry mengambil alih posisi
Howard Dean. Dalam pemilu pendahuluan di sembilan wilayah, John Kerry unggul telak di tujuh wilayah. Kerry berpeluang tidak hanya memperoleh tiket calon presiden dari Parrai Demokrat. la bahkan juga berpeluang mengalahkan calon presiden partai lain, George Bush. Kini satu per satu, bakal calon presiden Partai Demokrat mempertimbangkan untuk mundur. Namun strategi mundur sang tokoh jauh lebih elegan dan bermanfaat bagi partainya mengingat
usia konvensi partai di sana sudah lebih dari seratus tahun. Mereka mundur bukan dengan mengecam saingannya, tetapi justru memperkuat saingannya di partai itu, agar lebih siap dan lebih kuat lagi menghadapi saingan presiden dari partai lawan. Minggu lalu, Wesley Clark mengumumkan pengunduran dirinya. la merasa akan kalah bersaing denganJohn Forbes Kerry. Yang ia lakukan adalahtradisi lama di partai, yaitu mundur seraya memberikan dukungan politik kepada calon terkuat partai. Di depan publik dan pers, Wesley Clark secara terbuka mengundurkan diri dan mendukung serta mencalonkan mantan saingan utamanya, John Forbes Kerry. Akan jauh lebih elegan dan menimbulkan tradisi yang berharga bagi partainya, jika Sri Sultan Hamengku Buwono mundur dari konvensi, seraya mengumumkan calon presiden dari Partai Golkar yang didukungnya. Juga jauh lebih berguna bagi partainya, jika alasan mundumya dikemas dalam bahasa yang justru untuk menarik simpati publik bagi partainya. X X
Persekongkolan Menyelamatkan Pemilu 2004 PEMILU 2004 agaknya hanya bisa diselamatkan oleh persekongkolan. Tidak bisa tidak, persekongkolan ini harus melibatkan komponen penting pemilu: Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemerintah, partai besar, dan pers besar. Tanpa persekongkolan empat komponen itu, hampir dipastikan Pemilu 2004 dapat berubah menjadi sengketa politik dan hukum yang menakutkan, dan mengancam legitimasi pemerintahan baru. KPU haruslah menjadi aktor utama persekongkolan ini. Berdasarkan undang-undang, KPU memang sudah diberikan otoritas tunggal penyelenggara pemilu. Kepada publik luas, dengan hakulyakin, KPU harus mengulang-ulang pernyataan bahwa pemilu akan dilaksanakan secara serentak pada tanggal5 Apri12004. Segala penanyaan mengenai kemungkinan pemilu susulan,
secara teramat yakin, semua anggota KPU harus menjawab bahwa pada waktunya insya Allah, tidak ada pemilu susulan. , Semua anggota KPU harus bersekongkol dengan 'kebohongan' karena memang yang sebenarnya terjadi di lapangan 'tidak seindah warna aslinya'. Tentu anggota KPU tahu bahwa pasti ada daerah pemilihan yang belum siap. Tentu anggota KPU menyadari bahwa pemilu susulan tidak terhindari. Namun, demi sebuah persekongkolan menyelamatkan pemilu, pengetahuan itu disimpan untuk diri sendiri saja dan tidak diumumkan. .-
I Jika ada yang bertanya, bagaimana dengan payung hukum baru untuk pemilu susulan? Sekali lagi anggota KPU harus bersekongkol menjawab bahwa payung hukum baru tidak diperlukan. Memang ada keterlambatan dalam pengiriman logistik. Tetapi, pada menit terakhir semuanya akan terjadwal seperti yang diharapkan. *** Iff:!f; Tentu saja KPU tidak dapat bermain sendiri. Pemerintah melalui Menko Polkam ad interim, Mendagri, dan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia harus juga terlibat dalam persekongkolan. Jelaslah Menko Polkam tahu sedetail-detailnya bahwa tidak mungkin pemilu dilaksanakan secara serentak di semua daerah pemilihan pada tanggal 5 Apri12004. Laporan daerah cukup menggambarkan betapa pemilu susulan tidak akan terhindari. Namun, demi sebuah persekongkolan menyelamatkan pemilu, sekali lagi pengetahuan itu tidak buat -. konsumsi publik. Diam-diam, bersama jajarannya, Menko P'o1karn
menyiapkan perpu Pemilu 2004 untuk merevisi UU Pemilu No 12 Tahun 2003, khususnya pasal199 ayat 1. Di sana jelas-jelas dinyatakan bahwa pemilu susulan hanya dilaksanakan jika terjadi kerusuhan, bencana alam, atau gangguan keamanan. Tidak ada aturan yang membolehkan pemilu susulan hanya karena persoalan logistik. Berdasarkan input Menteri Kehakiman dan pakar tata negara, Menko Polkam ad interim memahami perni1u susulan tanpa payung hukum baru akan sangat berisiko. Keseluruhan pemilu dapat diklaim cacat hukum. Pemerintah pun bersekongkol dengan KPU. Untuk menyelamatkan pemilu, KPU menyetujui pemerintah menerbitkan perpu itu sebagai instrumen perlindungan. Jika ada gugatan atas legitimasi
pemilu,
minimal
dari
sisi
hukum
murni,
pemilu
susulan
itu
dapat
dipertanggungjawabkan. i'-- i
Namun, sekali lagi, Menko Polkam dan KPU tidak perlu 'gembar-gembor' soal akan terbitnya perpu itu. Toh, prosedur penerbitan perpu sangat simpel sekali. Aturan itu cukup disetujui presiden, ditandatangani, tetapi tidak perlu persetujuan DPR. Namun, persekongkolan KPU dan pemerintah saja tidak memadai. Bagaimana jika aneka panai besar menggugat? Mereka mengerahkan massa dan pendukung fanatiknya untuk menyatakan bahwa pemilu susulan tidak fair. Hasil Pemilu 5 April 2004 pasti sudah beredar dan diketahui. Publik yang mengikuti pemilu susulan sangat mungkin dipengaruhi oleh hasil Pemilu 5 April. Sementara pemilih di Pemilu 5 April memilih dengan kesadaran yang belum mengetahui hasil pemilu. Tidak terjadi kesetaraan kondisi antara pemilu di Pemilu 5 April dan pemilih di pemilu susulan.
Jelas saja mobilisasi politik partai besar itu akan sangat memancing sengketa dan konflik politik akibat pemilu susulan. Sekali lagi, demi menyelamatkan Pemilu 2004, aneka partai besar terpaksa diminta untuk bersekongkol saja. Pemerintah melalui berbagai tim lobinya harus melakukan pendekatan kepada aneka tokoh partai besar. Mereka diminta untuk diam saja. Bukankah parlemen nanti tetap dikuasai partai besar yang notabene adalah partai lama? Bukankah pemerintah baru nanti juga akan didominasi oleh mereka juga. Jika mereka menggugat hasil Pemilu 2004, bukankah mereka menggugat diri mereka sendiri nantinya? Namun, agar lebih heroik, pemimpin partai besar diyakinkan bahwa semua ini demi menyelamatkan kredibilitas dan masa depan negara akibat kekisruhan logistik pemilu. Jika ingin Pemilu 2004 selamat, memang akhirnya partai besar harus ikut persekongkolan. Mer~ka akan diam saja, tidak protes, sejauh mereka diyakinkan bahwa semua prosedur dan hasil pemilu tetap bersih. Tidak ada 'kongkalikong' untuk mengubah hasil pemilu. ***
~'.. Komponen lain yang harus diajak bersekongkol adalah media dan pers besar. Walau tiga komponen sudah bersekongkol: KPU , pemerintah, dan partai besar, massa dan publik luas dapat saja bergejolak. Apa jadinya jika berita kekisruhan logistik dan aneka komplikasi pemilu susulan terus-menerus menjadi menu utama berita koran, televisi, dan majalah. Publik luas akan mudah sekali diprovokasi untuk bertindak dan marah. Demi menyelamatkan pemilu, maka pimpinan redaksi dan pemilik media besar itu terpaksa diajak bersekongkol. Sekali lagi diutarakan betapa bahayanya buat masa depan reformasi dan negara jika Pemilu 2004 itu bermasalah. Diceritakanlah betapa
kita banyak belajar dari kerumitan sistem pemilu baru ini. Betapa kekisruhan logistik yang ada tidak diperkirakan oleh DPR, presiden, KPU, bahkan oleh intel sekalipun. Pemilik dan pemimpin redaksi media besar itu diminta untuk bersekongkol. Semua berita dan protes yang muncul di lapangan diminta diliput kecil-kecilan saja. Jika perlu alihkan perhatian publik kepada isu lain. Tidak lagi terhindari beberapa daerah pemilihan belum siap secara logistik mengikuti Pemilu 5 April 2004. Memang skenario persekongkolan di atas paling mungkin menyelamatkan Pemilu 2004. Jika satu saja dari empat komponen di atas tidak bersekongkol, Pemilu 2004 akan menjadi awal sengketa hukum dan politik yang mencemaskan. Kita semakin merana. Namun aneh juga jika di era reformasi kita masih membutuhkan persekongkolan. xx
Pertarungan Politik Dua Jenderal WlRANTO mendapatkan momentum baru. Ibarat pertandingan sepak bola, selaku penyerang tengah, ia membuat manuver tidak terduga. Di menit terakhir gol pun tercipta. la memenangkan konvensi Partai Golkar. Momentum buat Wiranto juga akan bertambah. Pasangan wakil presiden buatnya sedang dicari. Diduga, pasangan itu berasal dari partai dengan basis Islam. Jika tidak berasal dari PKB, PPp, PKS, atau paling kurang PBR. Bobot Wiranto sebagai capres dari latar belakang nasionalis, diperkuat lagi oleh bobot wapresnya dari tokoh dan panai Islam. Dengan momentum sepeni ini Wiranto menjadi pesona baru. la kini mendampingi capres lain yang sudah menanti, Susilo Bambang Yudhoyono. Pemilu presiden 2004 menjadi jauh lebih sensasional, menarik, dan mendebarkan karena itu menjadi penarungan dua jenderal. Mereka
punya ilmu yang sama, berasal dari 'perguruan silat' yang sama, dan saling mengetahui kehidupan , dalam' masing-masing. Menyenai penarungan dua jenderal itu, ada pula politikus sipil yang juga punya daya pikat. Megawati, bagaimanapun adalah presiden yang masih memerintah. Kekuatannya layak
diperhitungkan. Namun, ibarat obor, api Megawati mulai redup. Jika api itu tidak dipompa kembali, terbuka kemungkinan Megawati justru tersingkir di putaran pertama pemilu presiden. Politikus sipillain yang juga punya pesona adalah Amien Rais. Dibandingkan semua calon yang ada, Amien Rais mungkin paling berjasa atas munculnya era reformasi. Jika saja setelah Soeharto turun ada pemilu presiden langsung di tahun 1999, Mungkin Amien Rais akan menjadi presiden era reformasi yang pertama, bukan Gus Dur. Namun, momentum Amien Rais juga terasa sudah lewat. Ibarat musim, bungaAmien Rais subur di musim lalu. Kini cuaca berganti musim. Bunga Amien Rais memang masih tumbuh. Namun, tumbuhnya bunga itu tidak semekar bunga Wiranto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Suka atau tidak, momentum memberikan angin yang lebih segar kepada Wiranto dan Susilo bambang Yudhoyono. Apa yang akan terjadi dengan pertarungan dua jenderal ini? Apa pula yang kita harapkan darinya? *** Dalam demokrasi, ketika tokoh militer menjadi purnawirawan, secepat itu pula ia menjadi sipil kembali dengan hak yang sama. Di Amerika Serikat, negara kampiun demokrasi, banyak contoh purnawirawan yang terpilih menjadi presiden Amerika Serikat secara demokratis. Mereka bisa memerintah secara demokratis pula.
Dua jenderal ini, Wiranto dan SBY, dapat dikritik dari sudut mana pun. Namun, mereka tidak boleh didiskriminasi atau dikritik hanya.karena berasal dari militer. Mendiskriminasi mereka hanya karena mereka capres dari purnawirawan sama dengan mengkhianati prinsip demokrasi itu sendiri.
r'"' Tokoh militer tidak dapat disamakan dengan militerisme. Bahkan sejarah mencatat, militerisme paling buruk dan paling brutal justru dipimpin oleh seorang sipil. Hider bukan militer. Stalin bukan pula militer. Namun, mereka berdua tercatat sebagai pemimpin yang paling banyak membunuh dan menggunakan mesin militer untuk tujuan politik. Di Amerika Serikat, saat ini ada Collin Powel yang purnawirawan dan Donald Rumsfeld yang sipil. Dalam perang Irak untuk 'menculik' Saddam Hussein, Collin Powel justru bertindak lebih multilateral dan terkesan lebih 'sipil'. Sementara Rumsfeld yang sipil justru lebih terkesan militeristik. Sekali lagi memang latar belakang purnawirawan atau sipil tidak menentukan apakah seseorang akan lebih demokratis atau antidemokrasi. Jika Wiranto dan SBY diperbandingkan, agaknya Wiranto lebih unggul dalam politik elite. Namun, SBY lebih memesona politik massa. Seandainya pemilihan presiden dipilih oleh elite, sepeni MPR di tahun 1999, kansWiranto untukmenanglebih besar. Namun, karena sekarang ini pemilu dipilih langsung oleh massa, oleh 147 juta pemilih, kans SBY jauh lebih besar. .*** Dalam manuver politik elite, Wiranto mempunyai mesin politik yang lebih besar dibandingkan SBY. Di samping mendapatkan Panai Golkar, Wiranto juga punya kans mendapatkan dukungan elite dari elemen PKB, PPp, PKS, dan PBR. Civilsociety dan aneka
aktivis yang berada di belakang jaringan Wiranto juga sudah terbentuk terlebih dahulu dan cukup beragam. Namun, dalam pemilihan langsung, mesin politik tidak terlalu banyak menentukan. Contohnya kasus PDIP di tahun 1999 dan 2004. Sangat jelas, dilihat dari mesin politiknya, PDIP di tahun 2004 jauh lebih perkasa.
Di tahun 1999, PDIP adalah partai yang baru tumbuh dengan sumber dana terbatas. Namun di tahun 2004, PDIP adalah partai yang berkuasa dengan dana yang minta ampun banyaknya. Iklan 'moncong putih' di Televisi sangat dominan. Tetapi apa yang terjadi? Ketika mesin politik PDIP pas-pasan di tahun 1999, partai ini mendapatkan suara sekitar 34%. Sebaliknya, ketika mesin politiknya begitu besar di tahun 2004, justru PDIP merosot hampir separuhnya, hanya ke angka 19% saJa. Dalam pemilu langsung, sentimen publik ternyata lebih berpengaruh. Di tahun 1999, PDIP adalah partai yang diharapkan. Publik secara spontan mendukung partai ini dan membuatkan jaringan secara sukarela. Namun di tahun 2004, sentimen publik kepada PDIP menjadi negati£ Partai ini dianggap mandul, hanya sibuk di dalam, dan tidak terlihat karyanya di pemerintahan dalam menjaga agenda reformasi. Sentimen publik menjadi kartu as dalam pemilu langsung. Di sini letak keberuntungan SBY. Sentimen publik itu sedang berada padanya. Ibarat kepercayaan orang Jawa, 'wahyu' saat ini sedang jatuhke SBY. Tidak mengherankan, kini populeritas SBY meroket dahsyat sekali, berdasarkan data LSI, seminggu setelah pemiluApril2004. SBY didukung oleh sekitar 40% responden. Sementara Megawati hanya mendapatkan kurang dari separuhnya, 15%. Wiranto lebih jauh lagi, hanya didukung sekitar sepertujuhnya, 5- 6%
saja. Yang kelak memilih presiden adalah mereka, bukan mesin partai, bukan kawan koalisi, bukan elite yang hiruk-pikuk berkoropromi dan bernegosiasi. Kita harapkan pertarungan dua jenderal ini kelak berlangsung dengan seru dan sporti£ J angan terjadi kompetisi yang saling menghancurkan dengan slogan to be or no to be. Siapa pun yang menang, mereka sebenarnya saling membutuhkan untuk membangun Indonesia yang lebih kuat. Semoga sejarah akan mencatat, dua jenderal ini memberikan contoh kompetisi yang elegan dalam pemilu langsung presiden yang pertama di Indonesia **
;RffQ~~~'!k --"~~j ;.;';ff' Bola Liar Kasus 17 Juli SIAPA yang menabur angin akan menuai badai. Ini bentuk kearifan yang mesti diketahui oleh semua politikus di era demokrasi. Dalam suasana pemilu presiden yang sangat panas, terbuka, dan kompetitif, publik luas lebih cerdas dan lebih sensitif dibandingkan di (zaman normal'. T1dak ada hujan, tidak ada angin, tiba-tiba muncul petir. Inilah kiasan munculnya kembali kasus 27 Juli di tengah kampanye pemilihan presiden. Sudah sejak lama publik luas meminta kasus itu diungkap setuntas-tuntasnya. Sejak reformasi digulirkan tahun 1999, aneka tekanan sudah dibuat agar kasus itu diinvestigasi tanpa pandang bulu. Namun, sampai pemilu parlemen 2004, kasus itu seolah hanya ditangani secara setengah terbuka. Memang, sudah dibuat dan digelar pengadilan. Namun, rasa keadilan publik luas seolah tidak terobati. Sebagai akibatnya, mereka yang merasa menjadi korban kasus 27 Juli itu balik ma~ kepada Megawati Soekarnoputri dan pimpinan PDIP yang dianggap lambat merespons. Padahal, justru kasus 27 Juli itu sclama ini telah memberikan legitimasi poli[ik kepada Megawati dan PDIP sclaku pihak yang dianiaya.
Kini setelah publik setengah melupakan kasus itu, dan tengah berkonsentrasi kepada pergantian pimpinan nasional melalui pemilu presiden, kasus 27 Juli muncul kemb~i: ' pari kacamata hukum murni, tidak acla masalah dengan dierrlbU$kannya kembali kasus itu. Secara hukum, kasus apa pun akan lebih baik jika diselesaikan secara tuntas, sedini mungkin. . Namun, tidak pula dapat diingkari, pemunculan kembali kasus itu di tengah pemilu presiden segera mengundang interpretasi politik. Muncul pertanyaan yang wajar di kalangan publik luas. Siapa yang ingin mengambil keuntungan politik dari kasus ini? Siapa pula yang akan dirugikan oleh dikoreknya kembali kasus itu? Apakah pemunculan kasus ini murni tindakan hukum, ataukah bagian dari skenario politik sekelompok kepentingan? *** Tidak seperti yang diduga atau diharapkan, jika kasus 27 Juli dibongkar di tengah pemilu presiden, ia akan menjadi bola liar. Ibarat kotak Pandora, sekali kotak di buka, virus akan menyebar, dan sangat mungkin justru 'memukul' secara lebih keras kepada pihak yang membuka kotak itu. Di satu sisi, mungkin kasus ini dapat merugikan Susilo Bambang Yudhoyono. Selama ini SBY, panggilan populernya, dikenal sebagai capres yang tidak bermasalah. Popularitasnya yang tinggi bersandar kepada citra diri sebagai tokoh yang kompeten dan terjaga integritasnya. Dibukanya kasus 27 Juli mungkin dapat mengganggu citra itu dan menurunkan popularitasnya. Sebaliknya, sangat mungkin juga kasus 27 Juli justru menambah popularitas SBY. Misalnya, publi,k 1i1endapatkan kesan SBY kembali 'dianiaya' oleh pemegang kekuasaan. Apalagi SBY sudah pula mengeluarkan opini bahwa kasus itu dibuka atas pesanan pihak yang tengah
berkuasa. Sebelum pemilu parlemen, SBY pernah mendapatkan bonus popularitas yang tinggi sekali akibat citra bahwa ia dikucilkan kabinet. Kasus 27 Juli sangat mungkin
sekali lagi memberikannya bonus popularitas tambahan karena publik merasa ia diperlakukan semena-mena. Di satu sisi, kasus ini mungkin akan mengunnmgkan Megawati Soekarnoputri. Akan lahir citra betapa Megawati mendahulukan kepentingan hukum. Aneka pihak yang dulu dikecewakan Megawati karena kesan pasif Megawati atas kasus 27 Juli, kini kembali bergairah kepadanya. Megawati dianggap 'kacang' yang tidak lupa kepada 'kulitnya' .Kasus 27 Juli bagaimanapun adalah awal dari bangkitnya Megawati sebagai pemimpin alternatif terhadap Presiden Soeharto. Namun, sangat muhgkin pula justru Megawati menjadi pihak yang paling dirugikan oleh dibongkarnya kasus 27 Juli itu. Di satu sisi, lawan politik Megawati akan mudah sekali memainkan sentimen publik. Akan ditiup-tiupkan isu, yang belum tentu benar, bahwa Megawati ingin mencuri keuntungan politik dari kasus itu. Publik akan merasa bahwa Megawati tengah 'bertinju' dengan memukul 'bagian di bawah perut' atas lawan politiknya yang terberat, SBY. Di satu sisi, capres lain seperti Amien Rais, Wiranto, dan Hamzah Haz, tidakakan terpengaruh oleh kasus 27 Juli. Namun, sesungguhnya kasus 27 Juli itu akan menjadi bola liar yang juga akan memengaruhi mereka secara tidak langsung. Jika kasus itu memberi keuntungan politik,kepada Megawati atau SBY, posisi politik Amien, Wiranto, dan Hamzah jelas menurun. Sebaliknya jika kasus itu merugikan Megawati atau SBY, posisi Amien, Wiranto, dan Hamzah akan naik. Namun, yang paling berisiko atas kasus 27 Juli adalah Megawati Soekarnoputri. Ini disebabkan oleh posisi politik Megaw~ti di mata publik yang memang sedang di ujung tanduk. Dua lembaga jajak pendapat yang sudah membUktikan akurasi
prediksinya pada pemilu parlemen 2004 adalah LSI dan IFES. Dua lembaga ini pada bulan Mei dan J uni 2004 sudah mengumumkan
posisi terakhir popularitas capres. Di kedua lembaga jajak pendapat itu, posisi SBY sudah sangat jauh di atas, dengan perolehan di atas 40%. Sementara di urutan kedua dan ketiga, Megawati dan Wiranto tengah bersaing untuk saling mengalahkan, dengan perolehan dukungan sekitar 11-15% saja. Seandainya SBY terganggu oleh kasus 27 Juli, itu dapat menurunkan popularitas SBY. Namun, karena posisi SBY saat ini sangat tinggi, di atas 40%, penurunan itu tetap membuat SBY masuk ke putaran kedua pemilu presiden. Namun, jika Megawati yang terganggu oleh kasus itu, penurunan popularitas Megawati segera membuatnya berada di bawah Wiranto. Akibat kasus itu dapat sangat fatal. Justru karena kasus 27 Juli, Megawati dapat dikalahkan di ronde pertama.Justru karena dibUkanya kembali kasus 27 Juli itu, Wiranto dapat menyalip dan masuk ke babak kedua pemilu presiden. Sungguhpun menjadi bola liar, justru kasus 27 Juli itu paling berisiko bagi Megawati. agag
Akademi Fantasi Indonesia ? AFI (Akademi Fantasi Indosiar) akan dikenang bukan saja sebagai puncak acara hiburan Televisi Indonesia. Acara ini akan pula dicatat sebagai tonggak media sebagai panggung politik. Tidak heran AFI mulai pula dipelesetkan sebagai Akademi Fresiden Indonesia. Sebagai acara hiburan, AFI menjadi sejenis medium bagi kisah Cinderella. Dalam kisah Cinderella, seorang gadis melambung menjadi permaisuri yang dipinang raja. Sementara melalui
AFI, seorang remaja dari sebuah dusun, dari kalangan miskin, seperti Veri, dapat melambung menjadi selebriti pujaan jutaan orang hanya dalam waktu tiga bulan. Remaja itu tidak perlu lagi dipinang oleh raja atau ratu untuk menjadi 'Cinderella' .la cukup dipublikasikan setiap minggu oleh acara Televisi. Begitu besarnya kekuatan Televisi dalam mempengaruhi kesadaran publik. Konsultan politik yang cerdas dengan sendirinya akan pula memanfaatkan kekuatan Televisi itu. AFI secara sengaja atau tidak menjadi program yang sangat dipertimbangkan capres dalam menarik simpati pemilih, terutama pemilih pemula dan pemilih muda usia.
...Wiranto, capres dari Partai Golkar, tarnpil dengan cukup prima. Dalarn acaraAFI Sabtu malam lalu, ia singgung dulu kisah VCD AFI palsu, yang merugikan dirinya. Setidaknya ia gunakan momentum acara yang ditonton oleh jutaan pemirsa untuk klarifikasi. Kemudian Wiranto melantunkan lagu tentang Indone- sia yang permai. Segera ia mendaparkan kesan sebagai seorang bapak bagi kawula muda yang ingin mengajak 'anak-anaknya' untuk cinta I negara. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga tampil prima di acara AFI itu. Berbeda dengan Wiranto, SBY menggunakan momen- tum AFI unruk citra yang lain. la bawakan lagu yang sangat populer di kalangan pemilih muda, Ada Pelangi di Matamu. Hampir seluruh hadirin di JHCC itu ikut bernyanyi bersarna SBY. Citra yang terbentuk betapa SBY dekat dengan pemilih muda, dan memerhatikan dunia mereka. Amien Rais juga dijadwalkan untuk datang dan menyanyi. Selarna ini justru Amien Rais yang paling jeli memanfaatkan me- dia sebagai panggung policik. Sangat sayang Amien tidak jadi datang. Padahal, penonton AFI adalah pemilih muda yang begitu banyak. Mereka sejak dulu menjadi segmen pemilih Amien Rais yang potensial.
Megawati diwakili putrinya, Puan Maharani. Banyak yang menduga, Puan memang disiapkan unruk 'suksesi' politik trah Bung Karno pada masanya kelak. Sangat sayang malam ini, Megawati tidak datang sendiri. Padahal jika Megawati bernyanyi, sebagaimana capres Wiranto dan SBY; simpati pemilih muda padanya berrambah. Megawati memang oleh tim suksesnya tidak perlu ditonjolkan dalam acara debat intelektual. Kekuatannya justru pada ekspresi emosional seperti menyanyi itu. Mestinya tim sukses Megawati peka dengan kekuatannya dan justru mendorong Megawati untuk hadir di AFI dan ikut menyanyi.
r" Hamzah Haz akan dicatat sebagai capres yang paling tidak memanfaatkan media sebagai medium panggung politik. Agum Gumelar sebagai wakilnya dapat mengisi kekurangan Hamzah Haz. Dijadwalkan Agum Gumelar juga akan menghadiri AFI. Namun, sampai detik terakhir, tidak ada berita dari Agum Gumelar. *** Mengapa acaraAFI ~bagai medium politik perlu diulas secara khusus? Jawabnya adalah hasil survei LSI (Lembaga Survei Indo- nesia), baik pada Maret 2004 maupun Mei 2004. Survei itu menanyakan publik mengenai medium yang paling efektif untuk mempengaruhi mereka dalam pemilu kelak. Yang paling konvensional adalah pawai dan kampanye terbuka. Di sini sejumlah massa dilibatkan termasuk aneka aksesori partai dan sang kandidat. Selama ini tatap muka dianggap paling khas ~(;:: untuk dunia kampanye.
I Percakapan politik sehari-hari juga dapat menjadi medium :i:i:' sosialisasi dan kampanye yang efektif. Seorang pemilih dapat saja dipengaruhi oleh keluarganya, tetangga, rekan sekerja, pastur atau ulama, dan kawan main. Semakin kampanye menjadi pembicaraan, I semakin ~fektif medium p~r~pan i~u. .. ;).t RadIO, koran, atau maJalah Juga dlkenal sebagaI medIum yang menghubungkan kandidat dan pemilih. Berita ataupun iklan dapat memengaruhi pembaca. Banyak pula dipakai iklan yang dikemas seolah-olah dalam bentuk berita. Majalah dan koran terlebih dahulu sudah mempengaruhi pemilih sejak awal abad ke-20. Sementara radio datang belakangan setelah Perang Dunia I dan akhir Perang Dunia II. ;,#; ~i~ .Namun dalam survei LSI, semua medium di atas han ya ~t\ menjangkau pemilih di bawah 30% saja. Walau sang kandidat atau partai mati-matian mengemas iklan dan berita melalui medium di atas, 70% pemilih lainnya sama sekali tidak terjangkau. Apakah ada medium lain yang lebih efektif?
Hasil survei LSI menunjukkan bahwa Televisi adalah medium yang paling efektif. Hampir 90% pemilih dan warga negara Indo- nesia menonton Televisi. Berita tentang kandidat atau partai, 90% diketahui oleh mereka melalui Televisi. Tidak semua acara Televisi mendapat perhatian yang sama. Acara berita mungkin program yang mendapatkan perhatian paling kecil. Rating televisi paling tinggi umumnya acara sinetron, kuis, dan hiburan menyanyi.
AFI mungkin tercatat sebagai salah satu program televisi yang paling tinggi rating-nya dalam sejarah. Di sinilah letak pentingAFI dalam era kampanye calon presiden. Terjadi simbiose mutualistis antaraAFI dan capres. BagiAFI, kehadiran capres menguntungkan citranya sebagai acara yang bergengsi. Bagi capres, acaraAFI menjadi medium efektifyang gratis untuk menjangkau pemilih. Konsultan politik modern akan sangat memerhatikan program seperti AFI. Di masa yang akan datang, televisi akan semakin memainkan peran penting sebagai medium politik. Seperti di Amerika Serikat saat ini, acara pawai, karnaval dan pertemuan tatap muka sudah semakin ditinggalkan. Di samping membutuhkan persiapan yang jauh lebih sulit, efektivitasnya tidak sebesar acara televisi. Indonesia akan mengalami hal serupa. Para kandidat dan politikus akan semakin memerhatikan televisi. Konsultan politik yang cerdas semakin memberikan porsi yang besar pada program televisi. Pihak televisi sendiri harus pula terbuka untuk para capres. Sejauh mereka memberikan kesempatan yang sama kepada capres, prinsip fairness itu sudah terjaga. xx
Sumber Naskah 1. Islam versus Nasionalis Sekuler? .Media Indonesia. 4 J uni 2002 2. Hak Dipilih TNI-Polri? Media Indonesia. 17 Juni 2002 3. Calon Presiden Partai Golkar. Media Indonesia. 5 Mei 2003 . 4 Jurnalisme Era Perang .Media Indonesia. 2 Juni 2003 5. Heboh Mobil Dinas KPU. Media Indonesia. 12Januari 2004 6. Fatwa Haram Capres Wanita. Media Indonesia. 7 Juni 2004 7. Membaca Koalisi Kebangsaan. Media Indonesia. 23 Agustus 2004
8. Tersingkirnya Mulya Lubis. Media Indonesia. 15 Juli 2002 9. Bola Panas 27 Juli. Media Indonesia. 29 Juli 2002 10. Mitos Komisi Konstitusi. Media Indonesia. 13 Agustus 2002 11. 'The Devil Advocate'. Media Indonesia. 26 Agustus 2002 12. Kasus 'Republika' dan Tomy Winata. Media Indonesia. 17 November 2003 13. Menghadang Politikus Busuk? Media Indonesia. 5 Januari 2004 14. Polisi versus FPI? Media Indonesia. 7 Oktober 2002 15. Komplikasi Menangkap Terorisme. Media Indonesia. 21 Oktober 2002
16. Penumpang Gelap Aksi Protes, Media Indonesia, 27 Januari 2003 17. Serangan Fajar buat Megawati?, Media Indonesia, 24 Februari 2003 18. 'Sukhoigate', Mainan Baru DPR?, Media Indonesia, 30 Juni 2003 19. Berdamai dengan Mantan PKI?, Media Indonesia, 1 Maret 2004 20. Menolak Hasil Pemilu 2004?, Media Indonesia,2 April2004 21. Bersama Menyelamatkan Gus Du , Media Indonesia, 17 Mei 2004 22. Intelektual di Belakang Capres , Media Indonesia, 28 Juni 2004 23. Menjaga Megawati dan Sutiyoso, Media Indonesia, 3 Juli 2002 24. Cengkeraman Hantu Terorisme, Media Indonesia, 23 September2002 25. Pemerintah versus Politik Islam?, Media Indonesia, 4 Novem- ber 2002 26. Menko Polkam di Akhir Tahun, Media Indonesia 16 Desember 2002 27. Jatuhkah Presiden Megawati?, Media Indonesia, 13 Januari 2003
28. Platform di Balik Perang Irak, Media Indonesia, 24 Maret 2003 29. Bagaimanakah Perang Irak akan Berakhir?, Media Indonesia, 7 April 2003 30. Tantangan Debat Publik Sutiyoso, Media Indonesia, 21 April 2003 31. Ikrar NKRI di Aceh , Media Indonesia,16Juni 2003 32. Nurcholish Madjid di SimpangJalan?, Media Indonesia, 14 Tuli 2003
.'33. Ebperimen Konvensi Partai Golkar, Media Indonesia, 28 Juli 2003 34. Fenomena Abu Bakar Ba' asyir, Media Indonesia 8 September 2003 35. Surya Paloh, Wiranto, dan Akbar?, Media Indonesia, 13 Oktober 2003 36. Menunggu Kasus Akbar T~djung, Media Indonesia, 26 Januari 2004 37. Mundurnya Sri Sultan Hamengku Buwono, Media Indone- sia, 16 Februari 2004 38. Persekongkolan Menyelamatkan Pemilu 2004, Media Indo- nesia, 2'.Maret 2004 39. Pertarungan Politik Dua Jenderal, Media Indonesia, 26 April 2004 40. Bola Liar Kasus 27 Juli, Media Indonesia, 14 Juni 2004 41. Akademi Fantasi Indonesia?, Medialndonesia, 21 Juni 2004
Daftar Buku Denny J.A 1. DEMOCRATIZATION FROM BELOW PROTEST EVENTS AND REGIME CHANGE IN INDONESIA Penerbit Pustaka Sinar Harapan, 2006 2. THE ROLE OF GOVERNMENT IN ECONOMY AND BUSINESS, Penerbit LKIS, 2006 3. VARIOUS TOPICS IN COMPARATIVE POLITICS, Penerbit LKIS 2006 4. DEMOKRASI INDONESIA: VISI DAN PRAKTEK , (Kumpulan Tulisan di Harian Kompas), Penerbit Pustaka Sinar Harapan 2006
5. JALAN PANJANG REFORMASI (Kumpulan Tulisan di Suara Pembaruan), Penerbit Pustaka Sinar Harapan, 2006 6. MELEWATI PERUBAHAN :ii:~~ Sebuah Catatan Atas 1ransisi Demokrasi Indonesia (Kumpulan i1 Tulisan diJawa Pos dan Indopos), Penerbit LKIS, 2006 7. POLITIK YANG MENCARI BENTUK (Kumpulan Kolom di Majalah Gatra), Penerbit LKIS, 2006 8. MEMBANGUN DEMOKRASI SEHARI-HARI (Kumpulan Tulisan di Media Indonesia), Penerbit, LKIS 2006 9. PARTAI POLITIK PUN BERGUGURAN (Kumpulan .!':!" Tulisan di Republika), Penerbit LKIS 2006