LAPORAN AKHIR HASIL PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT SOSIALISASI PERUNDANG-UNDANGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL TERKAIT DALAM KONTEKS PENYELAMATAN KEKAYAAN BUDAYA (Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional)
Oleh : Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum, Dr. Edy Ikhsan, SH, MA, Dr. Abdul Hakim Siagian, SH, M.Hum
(NIDN : 0013026203) (NIDN : 0016026304) (NIDN : 0115086502)
Atas Biaya Sendiri
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TAHUN 2015 1
SOCIALIZATION OF RELATED INTELLECTUAL PROPERTY RIGHT LEGISLATION IN THE CULTURAL RESCUE CONTEXT (Traditional Knowledge and Traditional Cultural Expression) ABSTRACT Dr. OK. Saidin, SH, M. Hum *) Dr. Edy Ikhsan, SH, MA **) Dr. Abdul Hakim Siagian, SH, M.Hum ***) In the preamble of Republic of Indonesia Constitution 1945, the goal of this country, the reason of the establishment of this country, is included. The goal is regulated in 4 (four) important points: 1. To protect the whole people of Indonesia and the entire homeland of Indonesia. 2. To advance general prosperity. 3. To develop the nation’s intellectual life. 4. To contribute to the implementation of the world order based on freedom, lasting peace, and social justice. It is obvious, to reach the independence goal, Indonesia must utilize every potential source. The source owned by Indonesia is part of the cultural wealth based on natural resources (the wealth of flora and fauna, natural wealth of mineral, oil, water and air) and human resources. In the relation with intellectual property right protection, the natural resources and human resources hold a very important role and position. The reason is that anthropologically, human is the base of culture and human is also the one who can utilize the natural potential to build the civilization. The form of the protection in law is called as intellectual property right protection which subject to national legal rules and international law. Intellectual Property Right consists of Copyrights and industrial right of patent, industrial design, plant variety, integrated circuit and mark. In Indonesian Law, legal instrument of that can be found in Act number 28 of 2014 regarding Copyright, Act number 14 of 2001 regarding Patent, Act number 29 of 2000 regarding Plant Variety Protection, Act number 31 of 2000 regarding Industrial Design, Act number 32 of 2000 regarding Integrated Circuit, Act number 15 of 2001 regarding Mark. But even so, the whole legislation on traditional knowledge and traditional cultural expression today are not capable in protecting what is called as protection on traditional knowledge and traditional cultural *) **) ***)
Lecturer in Law Faculty USU Lecturer in Law Faculty USU Professional Lecturer in Law Faculty USU 2
expression. Today, the protection about that is only put in Intellectual Property Right legislation above. The issue faced by Indonesia today is that lots of cultural knowledge and traditional cultural expression haven’t been inventoried, so protection is hard to be given. The cultural wealth should have been listed because it is regarding the wealth that should be developed and maintained by Indonesian social community. For that, socialization regarding related Intellectual Property Right legislation regarding traditional knowledge and traditional cultural expression is necessary to be conducted. In this socialization in November 12th 2015, which was participated by 152 people, consisted of 3 Adat Law social communities, which were: Simalungun, Malay, and Karo social community in many social levels which were: traditional leaders, organization leaders, student leaders, intellectual leaders, and youth leaders. They are the ones who are hoped to be the development agents to “transmit” the knowledge regarding the role of the society in protectiong traditional culture and traditional cultural expression in relation with legal rules about intellectual property rights. At last, through interactive seminar method, this socialization of intellectual property rights legislation to social community of Simalungun, Malay and Karo, is hoped to be inventoried in national culture wealth in the future, especially in traditional knowledge and traditional cultural expression which in turn, the rights can be listed as communal wealth right of the society.
Keywords : Traditional Knowledge, Traditional Cultural Intellectual Property Right, Adat Law Society
3
Expression,
RINGKASAN SOSIALISASI PERUNDANG-UNDANGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL TERKAIT DALAM KONTEKS PENYELAMATAN KEKAYAAN BUDAYA (Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional) Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum *) Dr. Edy Ikhsan, SH, MA **) Dr. Abdul Hakim Siagian, SH, M.Hum ***) Dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, termaktub tujuan negara, yang menjadi alasan negara ini didirikan. Tujuan negara dirumuskan dalam 4 (empat) point penting yaitu : 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. 2. Memajukan kesejahteraan umum 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa 4. Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tentu saja untuk mencapai cita-cita kemerdekaan itu, Indonesia harus memanfaatkan semua potensi sumber daya yang dimilikinya. Sumber daya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia adalah bahagian dari unsur kekayaan budaya yang berpangkal pada sumber daya alam (keanekaragaman hayati-flora dan fauna-, kekayaan alam berupa mineral, minyak, air, udara) dan sumber daya manusia. Dalam kaitannya dengan perlindungan hak kekayaan intelektual, sumber daya alam dan sumber daya manusia memegang peranan dan posisi penting. Alasannya adalah karena secara antropologis manusia adalah pangkal dari kebudayaan dan manusia jugalah yang dapat memanfaatkan potensi alam yang tersedia untuk membangun peradabannya. Bentuk perlindungannya dalam hukum disebut sebagai perlindungan hak kekayaan intelektual yang tunduk pada aturan-aturan hukum nasional dan hukum internasional. Hak kekayaan intelektual terdiri dari hak cipta (copy rights) dan hak kekayaan perindustrian yang terdiri dari paten, desain industri, perlindungan varietas baru tanaman, desain tata letak sirkuit terpadu dan merek. Dalam hukum Indonesia, instrument hukum yang mengatur itu dijumpai dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Undang-undang No. *) **) ***)
Dosen Fakultas Hukum USU Dosen Fakultas Hukum USU Dosen Tenaga Profesional Fakultas Hukum USU
4
14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Baru Tanaman, Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Namun demikian, seluruh perangkat undang-undang itu saat ini belum mampu melindungi apa yang disebut dengan perlindungan atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Saat ini perlindungan tentang hal itu ditumpangkan saja pada perundang-undangan HKI tersebut di atas. Permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini adalah banyaknya pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang belum terinventarisir sehingga sulit untuk dapat diberikan perlindungan. Kekayaan budaya tersebut seharusnya sudah waktunya untuk didaftar karena hal itu menyangkut kekayaan yang harus dikembangkan dan dipelihara oleh komunitas masyarakat Indonesia. Untuk itulah sosialisasi terhadap peraturan perundang-undangan HKI terkait perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional perlu untuk dilakukan. Dalam pelaksanaan sosialisasi itu pada tanggal 12 November 2015 yang diikuti oleh 152 peserta yang terdiri dari 3 komunitas masyarakat hukum adat yaitu : komunitas masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo dalam berbagai peringkat yang meliputi : para tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh organisasi, tokoh-tokoh mahasiswa, tokoh-tokoh intelektual dan tokoh pemuda. Mereka ini diharapkan nantinya dapat menjadi agen pembangunan guna “menularkan” pengetahuan tentang peranan masyarakat dalam rangka perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan hukum hak kekayaan intelektual. Akhirnya, dengan melalui metode ceramah interaktif, sosialisasi peraturan perundang-undangan HKI ini kepada komunitas masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo diharapkan ke depan dapat diinventaris kekayaan budaya nasional khususnya dalam bidang pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang pada gilirannya hak-hak itu dapat didaftarkan sebagai hak kekayaan komunal masyarakat.
Kata Kunci :
Pengetahuan Tradisional, Ekspresi Budaya Tradisional, Hak Kekayaan Intelektual, Masyarakat Hukum Adat
5
TARGET LUARAN Target atau sasaran yang menjadi obyek sosialisasi ini adalah tokoh-tokoh Masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo yang tergabung dalam Aliansi Simekar. Luaran yang diharapkan adalah terinventarisir dan terdokumentasi kekayaan budaya yang meliputi, pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya Masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo dalam bentuk laporan kegiatan dan jika dimungkinkan akan dipublikasikan secara nasional.
KERANGKA PEMECAHAN MASALAH
Permasalahan Dalam Masyarakat “Tidak Terinventarisir Kekayaan Budaya, Kurang Memahami Peraturan Perundang-undangan Tentang HKI Terkait Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional
Aliansi Masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo : Komunitas masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo dalam berbagai peringkat yang meliputi : para tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh organisasi, tokoh-tokoh mahasiswa, tokoh-tokoh intelektual dan tokoh pemuda
Tidak ada Kegiatan karena Tidak Memahami tentang Seluk Beluk Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional
Masyarakat Pasif (Sebelum Sosialisasi)
Pemahaman Masyarakat (Aliansi Masyarakat Simalungun, Melayu, Karo)
Aktivitas Sosialisasi oleh Tim
Setelah Sosialisasi diperoleh tokoh-tokoh masyarakat Simalungun, Melayu, Karo yang dapat menjadi agen pembangunan guna mensosialisasikan tentang arti penting perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional menurut konsep hukum HKI
6
PELAKSANAAN KEGIATAN Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 12 Nopember 2015 di Medan dengan memilih tempat di Gedung Prof. T. Amin Ridwan, MA, PhD. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Acara dimulai dengan kata sambutan dari tokoh masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo yang diwakili oleh T. Mira Sinar yang diikuti dengan sambutan-sambutan lain termasuk dari yang mewakili Deputi Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk selanjutnya dilaksanakan sosialisasi yang dipimpin oleh moderator, salah seorang dari tokoh masyarakat Karo. Sosialisasi disampaikan oleh Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum
dengan judul “PERSPEKTIF
PERUNDANG-UNDANGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL TERKAIT DALAM KONTEKS PENYELAMATAN KEKAYAAN BUDAYA” dengan jumlah peserta yang hadir sebanyak 152 orang.
HASIL KEGIATAN Dari hasil sosialisasi ini secara kasat mata dapat dilihat antusias masyarakat akan pentingnya untuk mengetahui hak-hak masyarakat hukum adat sebagai kekayaan budaya yang meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional, sehingga dengan sosialisasi ini diharapkan mereka dapat menjadi agen pembangunan guna “menularkan” pengetahuan tentang peranan masyarakat dalam rangka perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan hukum hak kekayaan intelektual.
7
Pada akhirnya diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama akan dapat diinventarisir hak-hak masyarakat hukum adat sebagai kekayaan budaya yang meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.
KESIMPULAN DAN SARAN Masyarakat menjadi lebih mengerti akan pentingnya untuk mengetahui hakhak masyarakat hukum adat sebagai kekayaan budaya yang meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional, sehingga dengan sosialisasi ini diharapkan mereka dapat menjadi agen pembangunan guna “menularkan” pengetahuan tentang peranan masyarakat dalam rangka perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan hukum hak kekayaan intelektual, sehingga dengan sosialisasi ini diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama akan dapat diinventarisir hak-hak masyarakat hukum adat sebagai kekayaan budaya yang meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.
8
TIM PELAKSANA
I.
II.
Ketua 1. Nama Lengkap
:
Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum
2. NIP/NIDN
:
196202131990031002 / 0013026203
3. Tanggal Lahir
:
13 Februari 1962
4. Tempat Lahir
:
Kisaran
5. Jenis Kelamin
:
Laki-laki
6. No. Telepon (HP)
:
081264798135
1. Nama Lengkap
:
Dr. Edy Ikhsan, SH, MA
2. NIP/NIDN
:
196302161988031002 / 0016026304
3. Tanggal Lahir
:
16 Februari 1963
4. Tempat Lahir
:
Medan
5. Jenis Kelamin
:
Laki-laki
6. No. Telepon (HP)
:
08111658654
Anggota I
9
III. Anggota II 1. Nama Lengkap
:
Dr. Abdul Hakim Siagian, SH, MA
2. NIDN
:
0115086502
3. Tanggal Lahir
:
15 Agustus 1965
4. Tempat Lahir
:
A.Bon Bon
5. Jenis Kelamin
:
Laki-laki
6. No. Telepon (HP)
:
0811605692
10
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami sampaikan kehadirat Allah SWT, karena atas segala Rahmat dan KaruniaNya akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas sosialisasi ini sebagai bahagian dari kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kegiatan ini kami laksanakan pada tanggal 12 November 2015 yang dihadiri oleh 152 peserta dari komunitas masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo dari berbagai lapisan yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh adat, akademisi, aktivis organisasi pemuda, sejarawan, budayawan, dan kalangan mahasiswa. Salah satu tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang arti pentingnya mengetahui kekayaan budaya komunitas masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo (Simekar) sebagai hak kekayaan intelektual (intellectual property rights) dalam bidang pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Sasaran selanjutnya adalah komunitas masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo dapat menginventarisir pengetahuan tradisional yang mereka miliki untuk kemudian dilindungi berdasarkan rezim peraturan perundangundangan hak kekayaan intelektual. Sosialisasi melalui kegiatan penyuluhan hukum ini diselenggarakan atas dasar : 1. Persetujuan Usulan Program Pengabdian Pada Masyarakat yang ditandatangani oleh Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian/Pelayanan Kepada Masyarakat
11
Bidang Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Sumatera Utara pada tanggal 11 September 2015. 2. Surat Izin Pelaksanaan Pengabdian Pada Masyarakat yang diterbitkan Dekan Fakultas Hukum USU No. 3670/UN5.2.1.2/KMS/ 2015 tanggal 9 Nopember 2015 atas nama : Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum, Dr. Edy Ikhsan, SH, MA dan Dr. Abdul Hakim Siagian, SH, M.Hum. 3. Surat
Tugas
yang
Pengabdian/Pelayanan
diterbitkan Kepada
oleh
Ketua
Masyarakat
Lembaga
Bidang
Penelitian
Pengabdian
dan
Kepada
Masyarakat Universitas Sumatera Utara pada tanggal 12 November 2015. Tentu saja kami berterima kasih kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian/Pelayanan Kepada Masyarakat Bidang Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan peluang kepada kami untuk dapat melaksanakan kegiatan ini. Selain itu, kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah berpartisipasi dalam kegiatan ini. Untuk itu secara khusus kami sampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Para staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah turut berpartisipasi dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan hukum ini.
12
3. Kalangan budayawan : Dr. Shafwan Hadi Umry, M, M.Hum, kalangan sejarawan : Dr. Suprayitno, M.Hum, kemudian dari tokoh etnik Karo : Dr. Asmyta Surbakti, M.SI, Dosen Fakultas Ilmu Budaya USU, tokoh etnik Simalungun : Erond L. Damanik dari Universitas Negeri Medan dan tokoh etnik Melayu : Tengku Tirhaya Sinar, PhD. 4. Secara khusus kepada Tengku Mira Sinar, MA. selaku Ketua Aliansi Masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo yang telah memberikan peluang kepada kami untuk melakukan sosialisasi ini. 5. Semua pihak yang turut membantu dalam pelaksanaan sosialisasi ini. Kami menyadari bahwa dalam pelaksanaan sosialisasi ini tidak luput dari berbagai macam kekurangan yang kiranya dapat dijadikan sebagai pedoman untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga kegiatan yang telah kami lakukan ini membawa manfaat bagi masyarakat kita semua.
Medan, 17 Nopember 2015 Koordinator Pelaksana
(Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum) NIP. 196202131990031002
13
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ABSTRACT ......................................................................................................
i
RINGKASAN .....................................................................................................
iii
TIM PELAKSANA.............................................................................................
viii
KATA PENGANTAR ........................................................................................
x
DAFTAR ISI ......................................................................................................
xiii
BAB I
: PENDAHULUAN ........................................................................
1
A. Analisis Situasi .......................................................................
6
B. Permasalahan ..........................................................................
7
C. Tinjauan Pustaka.....................................................................
7
BAB II
: TARGET DAN LUARAN ...........................................................
36
BAB III
: KERANGKA PEMECAHAN MASALAH .................................
37
BAB IV
: PELAKSANAAN KEGIATAN ...................................................
38
A. Khalayak Sasaran yang Strategis ............................................
38
B. Keterkaitan..............................................................................
39
C. Metode Kegiatan.....................................................................
39
D. Rencana dan Jadwal................................................................
41
E. Susunan Personalia .................................................................
41
14
BAB V
: HASIL KEGIATAN ....................................................................
43
A. Pelaksanaan Kegiatan Pengabdian .........................................
43
B. Analisis Hasil Kegiatan ..........................................................
45
C. Faktor Pendorong dan Penghambat ........................................
46
: KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................
49
A. Kesimpulan .............................................................................
49
B. Saran .......................................................................................
50
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
51
BAB VI
LAMPIRAN
15
BAB I PENDAHULUAN
Dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, termaktub tujuan negara, yang menjadi alasan negara ini didirikan. Tujuan negara dirumuskan dalam 4 (empat) point penting yaitu : 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. 2. Memajukan kesejahteraan umum 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa 4. Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tentu saja untuk mencapai cita-cita kemerdekaan itu, Indonesia harus memanfaatkan semua potensi sumber daya yang dimilikinya. Sumber daya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia adalah bahagian dari unsur kekayaan budaya yang berpangkal pada sumber daya alam (keanekaragaman hayati-flora dan fauna-, kekayaan alam berupa mineral, minyak, air, udara) dan sumber daya manusia. Dalam kaitannya dengan perlindungan hak kekayaan intelektual, sumber daya manusia memegang peranan dan posisi penting. Alasannya adalah karena secara
16
antropologis manusia adalah pangkal dari kebudayaan. Hanya manusia makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki budaya. 1 Peradaban umat manusia tumbuh dan berkembang atas dasar “olah budi” dan “olah daya”. Budi dan daya adalah kreatifitas makhluk manusia. Keterkaitannya dengan bidang hukum hak kekayaan intelektual adalah hak kekayaan intelektual itu lahir atas hasil kerja otak, 2 hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar.3 Itu pada satu sisi, di sisi lain adapula hasil kerja emosional. Hasil kerja hati dalam bentuk abstrak yang dikenal dengan rasa perpaduan dari hasil kerja rasional dan emosional itu melahirkan sebuah karya yang disebut karya intelektual.
4
Hasil
kerjanya itu berupa benda immateril. Benda tidak berwujud. Kita ambil misalnya karya cipta lagu. Untuk menciptakan alunan nada (irama) diperlukan pekerjaan otak. Menurut ahli biologi otak kananlah yang berperan untuk menghayati kesenian, berhayal, menghayati kerohanian, termasuk juga kemampuan melakukan sosialisasi dan mengendalikan emosi. Fungsi ini disebut sebagai fungsi nonverbal, metaforik,
1 Lebih lanjut lihat Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2010. 2
Otak yang dimaksudkan bukanlah otak yang kita lihat seperti tumpukan daging yang enak digulai, yang beratnya 2% dari total berat tubuh, tetapi otak yang berperan sebagai pusat pengaturan segala kegiatan fisik dan psikologis, yang terbagi menjadi dua belahan; kiri dan kanan. 3 Kata “menalar” ini penting, sebab menurut penelitian pakar antropologi fisik di Jepang, seekor monyet juga berpikir, tetapi pikirannya tidak menalar. Ia tidak dapat menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. 4 Hasil kerja rasional dan emosional itu dalam kajian ilmu kedokteran merupakan hasil kerja otak juga sebagai pusat dari simpul saraf. Kalau hati dalam terminology kedokteran memiliki fungsi lain, yakni untuk menjaga keseimbangan gula darah, jika terdapat kelebihan, disimpan dalam hati yang disebut dengan fungsi lever. Oleh karena itu hati yang dimaksudkan disini adalah kecerdasan emosional yang dapat diukur dengan Emotional Quotient (EQ) yang dibedakan dengan kecerdasan rasional yang dapat diukur dengan tingkat kecerdasan yang disebut dengan Intelegensia Quantity (IQ) 17
intuitif, imajinatif dan emosional. Spesialisasinya bersifat intuitif, holistik dan mampu memproses informasi secara simultan. 5 Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Orang yang optimal memerankan kerja otak dan hatinya disebut sebagai orang yang terpelajar, mampu menggunakan rasio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan logika dan menyeimbangkannya dengan kerja hati yang melahirkan kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) (metode berpikir, cabang filsafat), karena itu hasil pemikirannya disebut rasional atau logis. Orang yang tergabung dalam kelompok ini disebut kaum intelektual.6 Begitulah, ketika irama lagu tadi tercipta berdasarkan hasil kerja otak, ia dirumuskan sebagai Hak Kekayaan Intelektual. Berbeda misalnya dengan hasil kerja fisik, petani mencangkul, menanam, menghasilkan buah-buahan. Buah-buahan tadi adalah hak milik juga tapi hak milik materil. Hak milik atas benda berwujud. Demikian pula hasil kerja otak (intelektualitas) manusia dalam bentuk penelitian atau temuan dalam bidang teknologi ia juga dirumuskan sebagai Hak Kekayaan Intelektual. Kemampuan otak untuk menulis, berhitung, berbicara, mengingat fakta dan menghubungkan berbagai fakta menghasilkan ilmu pengetahuan
5
Lebih lanjut lihat Makoto Shichida, Whole Brain Power Kekuatan Menggabungkan Dua Otak, Gramedia, Jakarta, 2014. Lihat juga Shigeo Haruyama, Keajaiban Otak Kanan, Gramedia, Jakarta, 2014. 6 Kalau kaum intelektual ini kemudian menjalankan pengetahuan yang dirumuskannya sebagai kebenaran itu dan mengabdi kepada kepentingan manusia, ia disebut pula kaum cendi-kiawan. Seringkali kita menemukan istilah jika terjadi suatu peristiwa kemasyarakatan, orang menanyakan siapa pelaku (dader) intelektualnya. Kata intelektual menunjukkan “kaum pemikir” dibalik peristiwa tersebut. 18
dan teknologi, disebut juga sebagai fungsi preposisi verbal linguistis, logis dan analitis yang merupakan pekerjaan belahan otak kiri. Dengan uraian di atas, tampaklah titik terang asal-usul kata intellectual property rights itu. Asal muasal, kata intelektual yang dilekatkan pada kata hak kekayaan. Hak itu lahir atas hasil perjuangan kerja otak dengan pertimbangan kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional. Tidak semua orang dapat dan mampu mempekerjakan otak (nalar, rasio, intelektual) secara maksimal. Oleh karena itu tak semua orang pula dapat menghasilkan intellectual property rights. Hanya orang yang mampu mempekerjakan otaknya sajalah yang dapat menghasilkan hak kebendaan
yang disebut sebagai
intellectual property rights. Itu pulalah sebabnya hasil kerja otak yang membuahkan Hak Kekayaan Intelektual itu bersifat eksklusif. Hanya orang tertentu saja yang dapat melahirkan hak semacam itu. Berkembangnya peradaban manusia, dimulai dari kerja otak itu.7 Bagi masyarakat yang hidup dibelahan dunia yang menganut ajaran kapitalis, tentu ia menyebutkan hasil karya semacam itu sebagai hak ekslusif. Tentu saja bagi Indonesia yang menganut falsafah Pancasila, mestinya menyebutnya sebagai karya yang lahir atas berkah dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Bukan hasil karya yang semata-mata lahir dari kemampuan manusia pribadi yang lahir tanpa “campur
7
Itu sebabnya pakar biologi dan pakar antropologi fisik, mengatakan sebenarnya manusia itu tak lebih dari hewan yang berpikir. Sekiranya manusia tidak memfungsikan otaknya untuk berpikir dan menalar maka manusia sama dengan hewan dan peradaban manusia tidak akan berkembang pesat. 19
tangan” Tuhan. Banyak hak kekayaan intelektual sebagai kekayaan budaya yang tak terselamatkan antara lain yang bersumber dari sumber daya alam. Kopi yang ditanam di dataran tinggi Sinabung dan Saribu Dolok, diberi merek oleh pengusaha Amerika dan didaftarkan di Amerika dengan merk “Mandheling”. Demikian pula pengetahuan tradisional kita tentang, daun jambu biji untuk sakit perut, daun jarak untuk menurunkan panas, daun ketepeng dan lengkuas untuk obat penyakit kulit, sarang laba-laba untuk menutupi luka lebar, daun rumput pahit untuk menghentikan pendarahan pada luka luar, kunyit untuk mengobati luka dalam dan lain-lain, akan tetapi para perusahaan farmasi mengambil ekstrak hasil bumi Indonesia dan untuk memproduksi obat-obatan atas dasar pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia. Undang-undang hak kekayaan intelektual Indonesia yang terkait dengan itu seperti Undang-undang Hak Cipta, Paten, Perlindungan Varietas Tanaman, Design Industri saat ini belum mampu memberikan perlindungan yang maksimal. Di samping itu, perlindungan tentang pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional sampai saat ini belum ada undang-undangnya. Oleh karena itu dengan menggunakan perangkat perundang-undangan hak kekayaan intelektual yang ada pada hari ini perlu kiranya disosialisasikan kepada tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh budaya yang diharapkan kelak dapat memperluas informasi ini ke seluruh lapisan masyarakat guna penyelamatan kekayaan budaya bangsa. Untuk itulah sosialisasi ini perlu dilakukan.
20
A. Analisis Situasi Saat ini kekayaan budaya bangsa, banyak yang dimanfaatkan oleh pihak asing untuk kepentingan mereka tanpa memperhatikan hak ekonomi (economic rights) yang melekat pada kesatuan masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak komunal (community rights). Khusus untuk masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo yang disingkat dengan “simekar” kekayaan budaya masyarakatnya sampai saat ini belum terinventarisir dan terdokumentasi dengan baik. Situasi seperti itu terjadi, berpangkal pada ketidak tahuan masyarakatnya tentang arti penting perlindungan atas kekayaan budaya tradisional sebagai bahagian dari kekayaan budaya bangsa yang dilindungi melalui instrument hukum hak kekayaan intelektual. Sosialisasi ini dimaksudkan untuk pencerahan kepada tokoh-tokoh budaya masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Simekar. Kelak setelah sosialisasi ini akan diinventarisir dan didokumentasikan kekayaan budaya di tiga wilayah kesatuan masyarakat hukum adat ini. Tentu saja kekayaan budaya dimaksud adalah kekayaan kebudayaan yang dapat diberi hak kekayaan intelektual baik berupa invensi yang berpangkal pada kebudayaan tradisional maupun terhadap produk-produk yang bersumber pada pengetahuan tradisional, termasuk penggunaan merek yang melanggar indikasi asal atau indikasi geografis.
21
B. Permasalahan Masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Simalungun, Karo dan Melayu yang tergabung dalam Aliansi Simekar, tak faham bahkan kurang mendapat sosialisasi tentang arti penting perlindungan kekayaan budaya meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Sehingga dalam banyak hal, ada beberapa pengetahuan tradisional ekspresi budaya tradisional tidak terinventarisir dan tidak terdokumentasi dengan baik. Bagaimana bentuk perlindungan hukum atas kekayaan budaya yang meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional menurut sistem perlindungan yang diberikan oleh instrument perundang-undangan hak kekayaan intelektual Indonesia ? Langkah-langkah apa yang perlu ditempuh untuk kegiatan atau aktivitas melakukan inventarisasi dan pendokumentasian kekayaan budaya yang meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional pada kelompok masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo.
C. Tinjauan Pustaka 1. Istilah HKI Dalam literatur Indonesia istilah Intellectual Property Rights telah mengalami perkembangan. Pada awalnya istilah Intellectual Property Rught diterjemahkan dengan Hak Milik Intellektual. Seiring perjalanannya istilah itu berubah menajadi Hak Atas Kekayaan Intelektual, pada kurun waktu yang sama ada juga yang menggunakan istilah Hak Kekayaan Intelektual. Terakhir melalui UU No.28 Tahun 22
2014 istilah itu disederhanakan dengan istilah Kekayaan Intelektual, seiring dengan itu Kementerian Kehakiman kemudian menamakan institusi yang mengurusi urusan Hak Kekayaan Intelektual itu dengan nama Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Perubahan pada penggunaan istilah itu bukan tidak beralasan.Dengan merujuk pemakaian istilah yang sama yang digunakan oleh beberapa negara, Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual cenderung menyutuji istilah Kekayaan Intelelktual, dengan menghapuskan kata “Hak”. Meskipun penghapusan kata “hak” dalam pemakakian istilah yang sebenarnya berasal dari terminologi asing “Intellectual Property Rights” yang sebenarnya sejak awal difahami bukanlah istilah yang tumbuh dari peradaban hukum Indonesia. Di beberapa negara dan dalam berbagai literatur masih tetap menggunakan istilah “Intellectual Properrty Rights” yang mencantumkan kata “right” atau kata “recht” di ujung kata Intellectual property. 8 Menurut hemat kami, penggunaan istilah haruslah dikembalikan pada sejarah lahirnya terminologi yang melatar belakangi munculnya frase itu. Secara akademis harus difahami bahwa istilah Hak Kekayaan Intelektual tidak serta merta lahir begitu saja dalam tatanan hukum yang berlaku pada satu negara baik itu hukum yang berlaku dalam satu negara dengan latar belakang sistem hukum civil law atau dengan latar belakang common law.
8
Lihat lebih lanjut Mr. E.J. Arkenbout, Mr. P.G.F.A. Geerts, Mr. P.A.C.E. van der Kooij, Rechtspraak Intellectuele Eigendom, koninklijke vermande, Den Haag, 1997. 23
Indonesia dengan latar belakang hukum civil law dan sejak awal telah diperkenalkan salah satu bidang Hak Kekayaan Intelektual seperti hak cipta dengan istilah Auteursrecht yang diatur dalam Auteurswet 1912 Statblaad No.600 dan octrooi recht untuk menyebutkan hak paten seperti yang diatur dalam Octrooi wet produk Kolonial Belanda yang dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Tahun 1910 Nomor 313, demikian juga tentang merek yang diatur dalam Reglement Industriele Eigendom yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Tahun 1912 No. 545 ketika itu, hal ini semakin menguatkan argumentasi kami istilah “hak” yang berasal darui frase “recht” atau “right” tak dapat dihilangkan untuk menyebutkan istilah “Hak Kekayaan Intelektual” menjadi istilah “Kekayaan Intelektual”. Kini mari kita telusuri akar kata itu dalam terminologi hukum Indonesia dengan latar belakang sistem hukum civil law (Eropa continental). Pengaturan tentang hak kekayaan intelektual sejak awal tidak terkodifikasi dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata (Burgerlijk wet Book) tetapi diatur tersebar secara sporadis dalam Undang-undang tersendiri. Kodifikasi hukum Perdata dan hukum dagang – yang termuat dalam Burgerlijke wet Bok dan Wet Bok van Koophandel – peninggalan Kolonial Belanda tak ada juga menyebutkan tentang istilah Hak Kekayaan Intelektual. Di Indonesia istilah hak kekayaan intelektual ini justeru mulai diperkenalkan dalam kepustakaan Ilmu Hukum (Indonesia), melalui kepustakaan hukum negara-negara penganut Anglo Saxon terutama Amerika pasca kerjasama dengan ELIPS Project pada paroh awal dekade 1990-an. Namun demikian akar kata 24
tentang keberadaan hak kekayaan intelektual sebagai obyek hukum benda sudah ada cikal bakalnya ketika KUH Perdata membuat kategori benda berdasarkan wujudnya, yaitu benda berwujud (benda materiil) dengan benda tidak berwujud (benda immateriil).Pengelompokan benda yang demikian dapat ditelusuri dari buku II KUH Perdata yang mengatur tentang Hukum Benda (van Zaaken) yang dimuat dalam Pasal 499. Frase “zaak” yang diterjemahkan dengan “benda” terdiri dari “ goederen” yang diterjemahkan dengan “barang” dan “rechten” yang diterjemahkan dengan “hak”. Barang adalah benda berwujud stoffelijk voorwerp)9 atau benda materiil sedangkan hak adalah benda tidak berwujud atau benda immateriil berupa "buah pikiran, hasil otak manusia (menslijke idean, voortbrengselen van de menselijke geest) dapat pula menjadi obyek hak obsolut".10 Walaupun buah pikiran bukan merupakan benda material (stoffelijk voorwerp). Ia juga bukan hak subyektif (persoonlijk recht) dalam bidang hukum kekayan (noch een subyektief vermogensrecht). Jadi ia termasuk ke dalam rumusan benda dalam Pasal 499 KUH Perdata dan oleh sebab itu pula ia termasuk kedalam rumusan hak benda (zakelijk recht)11 jika buah pikiran itu berisikan idea atau gagasan yang lahir dari hasil penelitian berupa ilmu pengetahuan, seni dan sastra (yang dilindungi sebagai hak cipta) (auteurechts) atau dalam bentuk invensi yang dilindungi dalam bentuk paten (octrooi rechts).
9
Ibid, h. 14. Mahadi, Hak Milik Imaterial, BPHN, Tanpa tempat, 1985, h. 4. 11 Soedewi Masjchoen Sofwan, SH, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981 dan Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 2010. 10
25
Untuk membedakannya dengan barang-barang material menurut Pasal 499 KUH Perdata, maka : "Buah pikiran yang menjadi obyek hak absolut dan juga hak atas buah pikiran dinamakan : benda immaterial",12 demikian Prof. Mahadi. Dalam kepustakaan hukum Indonesia, yang merupakan hasil transplantasi hukum asing, salah satu bentuk dari benda yaitu hak kekayaan intelektual (intellectual property rights). Oleh karena itu, kata “rights” (hak) tetaplah harus dilekatkan pada kata “intellectual property” untuk membedakannya dengan barang (benda berwujud). Jika kata hak dilepaskan maka kata intellectual property akan kehilangan makna atau sifat immaterielnya sehingga pemaknaannya menjadi benda berwujud (goederen). Dengan mengutip Pitlo, Mahadi menulis : "..... ofsschoon zij evenmin als het vorderingsrecht enn "zaak" tot voorwerp hebben, behoren zij wederom net als de vorrdering tot de in art 555 vermelde "rechten" enkunen zij dus zelf tot voorwerp van een zakelijrecht dienen. Een idee is geen zaak, het recht op een idee well, een uitvinding kan men niet verpander, well het octrooirecht. Zoo kan men ook aandelen in enn N.V. en enn B.V. tot object van vruchtgebruik maken artt 2:88 en 2.197 of van pandrecht (artt 2:89 en 2:198). De regels vorr de overdracht, de verpanding en van de rechten op immateriele goederen, ofschoon grotendells in de genoemde bijzondere wetten geschreven maken deel uit van het zakenrecht. Waar de bijzondere wet zwijgt, moeten wij de voor zaken in het algemeen gegeven be palingen toepassen". Maksudnya (demikian terjemahan Mahadi) : "Serupa seperti hak tagih, hak immaterial tidak mempunyai barang sebagai obyeknya. Juga serupa seperti hak tagih, hak immaterial termasuk kedalam "hak-hak" yang disebut Pasal 499 KUH Perdata. Oleh sebab itu hak immaterial itu sendiri bukan
12
Mahadi, Hak Milik Imaterial, BPHN, Tanpa tempat, 1985, h. 4. 26
barang, tapi hak atas buah pikiran adalah benda, sesuatu penemuan tak dapat kita gadaikan, tapi hak oktroi dapat ; sero-sero dalam sesuatu Perseroan Terbatas dapat kita alihkan dengan hak hasil ; sero-sero itu dapat kita gadaikan. Aturan-aturan tentang penyerahan, tentang penggadaian dan lain-lain hak-hak immaterial, meskipun terdapat dalam Undang-Undang khusus, adalah bagian dari hukum benda. Untuk hal-hal yang tidak diatur oleh Undang-Undang khusus itu, harus kita pergunakan aturan-aturan yang dibuat untuk benda".13 Jadi semakin jelas bahwa jika mengacu kepada pendapat Pitlo, hak milik intelektual termasuk dalam cakupan Pasal 499 KUH Perdata, jadi ia termasuk benda, tepatnya benda tidak berwujud. Kalaupun ternyata hal tersebut tidak diatur dalam peraturan khusus, maka peraturan dan asas-asas hukum yang terdapat dalam sistem hukum benda dapat diterapkan terhadapnya. Prof. Mahadi ketika menulis buku tentang Hak Milik Immateril mengatakan, tidak diperoleh keterangan yang jelas tentang asal usul kata “hak milik intelektual”. Kata “Intelektual” yang digunakan dalam kalimat tersebut, tak diketahui ujung pangkalnya.14
Tampaknya perlu juga ditelusuri asal-muasal frase hak kekayaan
intelektual itu. Saya coba kembali untuk menyimak berbagai referensi dan catatan-catatan yang berkaitan dengan asal-usul kata “intellectual” (intelektual) yang ditempelkan pada kata property rights (hak kekayaan). Berbagai buku saya baca, saya juga tak
13 14
Ibid, h. 4-5. Mahadi, Hak Milik Immateril, BPHN-Bina Cipta, Jakarta, 1985 hal. 4. 27
memperoleh keterangan. Namun setelah saya cermati maksud dan cakupan dari istilah itu dapatlah kira-kira saya buat uraian sebagai berikut. Hak kekayaan intelektual itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak,
15
hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio
manusia yang menalar.16 Itu pada satu sisi, di sisi lain adapula hasil kerja emosional. Hasil kerja hati dalam bentuk abstrak yang dikenal dengan rasa perpaduan dari hasil kerja rasional dan emosional itu melahirkan sebuah karya yang disebut karya intelektual. 17 Hasil kerjanya itu berupa benda immateril. Benda tidak berwujud. Kita ambil misalnya karya cipta lagu. Untuk menciptakan alunan nada (irama) diperlukan pekerjaan otak. Menurut ahli biologi otak kananlah yang berperan untuk menghayati kesenian, berhayal, menghayati kerohanian, termasuk juga kemampuan melakukan sosialisasi dan mengendalikan emosi. Fungsi ini disebut sebagai fungsi nonverbal, metaforik, intuitif, imajinatif dan emosional. Spesialisasinya bersifat intuitif, holistik dan mampu memproses informasi secara simultan. 18
15 Otak yang dimaksudkan bukanlah otak yang kita lihat seperti tumpukan daging yang enak digulai, yang beratnya 2% dari total berat tubuh, tetapi otak yang berperan sebagai pusat pengaturan segala kegiatan fisik dan psikologis, yang terbagi menjadi dua belahan; kiri dan kanan. 16 Kata “menalar” ini penting, sebab menurut penelitian pakar antropologi fisik di Jepang, seekor monyet juga berpikir, tetapi pikirannya tidak menalar. Ia tidak dapat menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. 17 Hasil kerja rasional dan emosional itu dalam kajian ilmu kedokteran merupakan hasil kerja otak juga sebagai pusat dari simpul saraf. Kalau hati dalam terminology kedokteran memiliki fungsi lain, yakni untuk menjaga keseimbangan gula darah, jika terdapat kelebihan, disimpan dalam hati yang disebut dengan fungsi lever. Oleh karena itu hati yang dimaksudkan disini adalah kecerdasan emosional yang dapat diukur dengan Emotional Quotient (EQ) yang dibedakan dengan kecerdasan rasional yang dapat diukur dengan tingkat kecerdasan yang disebut dengan Intelegensia Quantity (IQ) 18 Lebih lanjut lihat Makoto Shichida, Whole Brain Power Kekuatan Menggabungkan Dua Otak, Gramedia, Jakarta, 2014. Lihat juga Shigeo Haruyama, Keajaiban Otak Kanan, Gramedia, Jakarta, 2014.
28
Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Orang yang optimal memerankan kerja otak dan hatinya disebut sebagai orang yang terpelajar, mampu menggunakan rasio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan logika dan menyeimbangkannya dengan kerja hati yang melahirkan kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) (metode berpikir, cabang filsafat), karena itu hasil pemikirannya disebut rasional atau logis. Orang yang tergabung dalam kelompok ini disebut kaum intelektual.19 Begitulah, ketika irama lagu tadi tercipta berdasarkan hasil kerja otak, ia dirumuskan sebagai Hak Kekayaan Intelektual. Berbeda misalnya dengan hasil kerja fisik, petani mencangkul, menanam, menghasilkan buah-buahan. Buah-buahan tadi adalah hak milik juga tapi hak milik materil. Hak milik atas benda berwujud. Demikian pula hasil kerja otak (intelektualitas) manusia dalam bentuk penelitian atau temuan dalam bidang teknologi ia juga dirumuskan sebagai Hak Kekayaan Intelektual. Kemampuan otak untuk menulis, berhitung, berbicara, mengingat fakta dan menghubungkan berbagai fakta menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi, disebut juga sebagai fungsi preposisi verbal linguistis, logis dan analitis yang merupakan pekerjaan belahan otak kiri. Dengan uraian di atas, tampaklah titik terang asal-usul kata intellectual property rights itu. Asal muasal, kata intelektual yang dilekatkan pada kata “hak kekayaan”. 19 Kalau kaum intelektual ini kemudian menjalankan pengetahuan yang dirumuskannya sebagai kebenaran itu dan mengabdi kepada kepentingan manusia, ia disebut pula kaum cendi-kiawan. Seringkali kita menemukan istilah jika terjadi suatu peristiwa kemasyarakatan, orang menanyakan siapa pelaku (dader) intelektualnya. Kata intelektual menunjukkan “kaum pemikir” dibalik peristiwa tersebut.
29
Hak itu lahir atas hasil perjuangan kerja otak dengan memadukan kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional. Tidak semua orang dapat dan mampu mempekerjakan otak (nalar, rasio, intelektual) secara maksimal. Oleh karena itu tak semua orang pula dapat menghasilkan intellectual property rights. Hanya orang yang mampu mempekerjakan otaknya sajalah yang dapat menghasilkan hak kebendaan
yang disebut sebagai
intellectual property rights. Itu pulalah sebabnya hasil kerja otak yang membuahkan Hak Kekayaan Intelektual itu bersifat eksklusif. Hanya orang tertentu saja yang dapat melahirkan hak semacam itu. Berkembangnya peradaban manusia, dimulai dari kerja otak itu.20 Manusia yang memiliki kemampuan seperti itu adalah manusia pilihan. Manusia yang dianugerahkan talenta oleh Allah SWT dengan kelebihan-kelebihan tertentu sehingga memiliki keistimewaan untuk menjadi pencipta atau inventor. Bagi masyarakat yang hidup dibelahan dunia yang menganut ajaran kapitalis, tentu ia menyebutkan hasil karya semacam itu sebagai hak ekslusif. Tentu saja bagi Indonesia yang menganut falsafah Pancasila, mestinya menyebutnya sebagai karya yang lahir atas berkah dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Bukan hasil karya yang semata-mata lahir dari kemampuan manusia pribadi yang lahir tanpa “campur tangan” Tuhan.
20
Itu sebabnya pakar biologi dan pakar antropologi fisik, mengatakan sebenarnya manusia itu tak lebih dari hewan yang berpikir. Sekiranya manusia tidak memfungsikan otaknya untuk berpikir dan menalar maka manusia sama dengan hewan dan peradaban manusia tidak akan berkembang pesat. 30
Kembali kita pada persoalan istilah tadi. Dalam kepustakaan hukum Anglo Saxon ada dikenal sebutan Intellectual Property Rights. Kata ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Hak Milik Intelektual”, yang sebenarnya menurut hemat penulis lebih tepat kalau diterjemahkan menjadi Hak Kekayaan Intelektual. Alasannya adalah kata “hak milik” sebenarnya sudah merupakan istilah baku dalam kepustakaan hukum.21 Padahal tidak semua Hak Kekayaan Intelektual itu merupakan hak milik dalam arti yang sesungguhnya. Bisa merupakan hak untuk memperbanyak saja, atau untuk menggunakannya dalam produk tertentu dan bahkan dapat pula berupa hak sewa (rental rights), atau hak-hak lain yang timbul dari perikatan seperti lisensi, hak siaran, dan lain sebagainya. Istilah hak kekayaan intelektual saat ini sudah dibakukan dalam berbagai peraturan organik yang diterbitkan oleh Pemerintah. Bila ditelusuri perjalanan penggunaan istilah hak kekayaan intelektual di tanah air, istilah itu sebetulnya diterjemahkan dari istilah asing yakni Intellectual Property Rights (IPR) yang kemudian oleh berbagai pihak diterjemahkan menjadi Hak Milik Intelektual bahkan ada juga yang menterjemahkannya Hak Milik Atas Kekayaan Intelektual. Setelah tahun 2000, Menteri Hukum dan HAM (waktu itu masih bernama Menteri Hukum dan Perundang-undangan) mengeluarkan Surat Keputusan Nomor M.03.PR.07.10
21
Perdebatan seru tentang istilah ini telah berlangsung selama bertahun-tahun. Ada yang setuju dengan istilah hak milik intelektual, ada yang bertahan untuk menggunakan istilah Hak Kekayaan Intelektual, tapi memang akhirnya oleh Bambang Kesowo Ketua Tim yang membidangi masalah hukum HaKI, memveto lalu agar menggunakan istilah Hak Kekayaan Intelektual. Singkatannyapun bermacam-macam pula ada HaKI, ada HaKI, ada HKI. Rumusan baku tentang Hak Milik itu misalnya dapat kita lihat dalam Pasal 570 KUHPerdata dalam pasal 20 UUPA No. 5 Tahun 1960, tentang Hak Milik Atas Tanah. 31
Tahun 2000 dan bersamaan dengan itu dikeluarkan Surat Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Nomor 24/M/PAN/1/2000
22
dan dibakukanlah
penggunaan istilah yang berasal dari Intellectual Property Rights menjadi “Hak Kekayaan Intelektual” dengan menggunakan singkatan “HKI” atau akronim “HaKI”. Dengan demikian, penggunaan istilah yang telah dibakukan saat ini adalah “Hak Kekayaan Intelektual” tanpa menggunakan kata “atas”. Namun saat ini setelah diterbitkannya Undang-undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 ada keinginan pemerintah untuk menghilangkan kata “hak” sehingga menjadi “kekayaan intelektual” atau disingkat dengan KI saja. Seperti telah diuraikan di depan, menghilangkan kata “hak” dalam terminologi Hak Kekayaan Intelektual kurang tepat, tidak memiliki alasan akademis jadi sudah tepatlah digunakan istilah Hak Kekayaan Intelektual atau disingkat HKI. Dengan menempatkan kata “hak” istilah hukum ini tidak kehilangan pijakan dan tidak kehilangan “roh”nya. Rohnya adalah pada kata “hak” yang tidak berwujud. Semua diskursus tentang intelektual property rights berkisah tentang “hak” bukan tentang benda berwujud (atau dalam terminologi hukum benda disebut sebagai barang). Jika ditelusuri lebih jauh, Hak Kekayaan Intelektual sebenarnya merupakan bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (benda immateril). Benda dalam kerangka hukum perdata dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori salah satu 22 Surat Keputusan Menteri Hukum dan PerUndang-Undangan tersebut didasari pula dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 144 Tahun 1998 tanggal 15 September 1998, tentang perubahan nama Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek berubah menjadi Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual (Ditjen HAKI) kemudian berdasar Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 Ditjen HAKI berubah menjadi Ditjen HKI.”
32
di antara kategori itu, adalah pengelompokan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud dan benda tidak terwujud. Untuk hal ini dapatlah dilihat batasan benda yang dikemukakan oleh pasal 499 KUH Perdata, yang berbunyi: menurut paham undang-udang yang dimaksud dengan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. menawarkan, seandainya dikehendaki kalimat sebagai berikut: yang
23
Untuk
pasal ini, kemudian Prof.Mahadi
rumusan lain dari pasal ini dapat diturunkan
dapat menjadi objek hak milik adalah benda dan
benda itu terdiri dari barang dan hak.24 Selanjutnya sebagaimana diterangkan oleh Prof. Mahadi barang yang dimaksudkan oleh pasal 499 KUH Perdata tersebut adalah benda materil (stoffelijk voorwerp), sedangkan hak adalah benda immateril. Uraian ini sejalan
dengan
klasifikasi benda menurut pasal 503 KUH Perdata, yaitu penggolongan benda ke dalam kelompok benda berwujud (bertubuh) dan benda tidak berwujud (tidak bertubuh). Benda immateril atau benda tidak berwujud yang berupa hak itu dapatlah kita contohkan seperti hak tagih, hak atas bunga uang, hak sewa, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak atas benda berupa jaminan, Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) dan lain sebagainya. Selanjutnya mengenai hal ini Pitlo, sebagaimana dikutip oleh Prof. Mahadi mengatakan, serupa dengan hak tagih, hak
23
R. Soebekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hal. 155. Menurut hemat penulis, tidak hanya sekadar hak milik, tetapi dapat menjadi objek harta kekayaan (property rights). 24 Mahadi, Hak Milik Dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, Jakarta, BPHN, 1981, hal. 65. 33
immateril itu tidak mempunyai benda (berwujud) sebagai objeknya. Hak milik immateril termasuk ke dalam hak-hak yang disebut pasal 499 KUH Perdata. Jika disederhanakan dalam bentuk skema, uraian di atas dapat digambarkan sebagai berikut :
Benda Pasal 499 KUH Perdata
Benda Materil (Berwujud)
Barang
Benda Immateril (Tidak Berwujud)
Hak
Oleh karena itu hak milik immateril itu sendiri dapat menjadi objek dari suatu hak benda. Selanjutnya dikatakannya pula bahwa, hak benda adalah hak absolut atas sesuatu benda berwujud, tetapi ada hak absolut yang objeknya bukan benda berwujud. Itulah yang disebut dengan nama Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights).25 Kata “hak milik” (baca juga: hak atas kekayaan) atau property yang digunakan dalam istilah tersebut sungguh menyesatkan, kata Mrs. Noor Mout—Bouwman. Karena kata harta benda/property mengisyarakan adanya suatu benda nyata. Padahal Hak Kekayaan Intelektual itu tidak ada sama sekali menampilkan benda nyata. Ia bukanlah benda materil. Ia merupakan hasil kegiatan berdaya cipta pikiran manusia yang diungkapkan ke dunia luar dalam suatu bentuk, baik material maupun immaterial. Bukan bentuk penjelmaannya yang dilindungi akan tetapi daya cipta itu
25
Mahadi, Hak Milik Immateril, op.cit., hal. 5-6. 34
sendiri. Daya cipta itu dapat berwujud dalam bidang seni, industri dan ilmu pengetahuan atau paduan ketiga-tiganya.26 Merujuk pada pandangan Bouwman, maka sudah tepatlah untuk tidak menghilangkan
kata
“hak”
pada
terminologi
hak
kekayaan
intelektual.
Menghilangkan kata “hak” sehingga tinggal kata kekayaan intelektual saja akan menyesatkan. Sesat, karena sifat immaterilnya akan hilang, padahal dalam studi hak kekayaan intelektual selamanya bercerita tentang hak, tentang benda immateril. Keterangan Bouwman ini sedikit dapat memberikan kejelasan terhadap pandangan Prof. Mahadi yang dikemukakan pada awal bab ini mengenai asal usul kata “intelektual” yang dilekatkan pada kata hak milik. Pandangan para tokoh intelektual yang disebut di atas (Mahadi dan Bouwman) ditambah dengan beberapa referensi dari buku-buku ilmu kedokteran, cukuplah untuk mengantarkan kita pada satu definisi bahwa hak kekayaan intelektual adalah hak kebendaan immaterial atau hak atas benda tidak berwujud yang lahir atas kemampuan intelektual manusia berupa hasil kerja kecerdasan intelegensia dan kecerdasan emosional. Kemampuan intelektual manusia lewat kecerdasan intelegensia dan kecerdasan emosional, telah melahirkan banyak karya cipta mulai karya ilmu pengetahuan, seni sampai pada karya sastra, yang kemudian dilindungi sebagai hak cipta dan invensi yang kemudian dilindungi sebagai paten. Demikian juga hasil kemampuan intelektual manusia itu
26
Bouwman Noor Mout., Perlindungan Hak Cipta Intelektual: Suatu Rintangan Atau Dukungan Terhadap Perkembangan Industri, makalah pada Seminar Hak Milik Intelektual, Kerja Sama FH USU dengan Naute van Haersolte Amsterdam, Medan, Fakultas Hukum USU, Tanggal 10 Januari 1989. 35
melahirkan berbagai temuan dalam bidang industri dan teknologi, mulai dari teknologi mesin pesawat terbang sampai pada teknologi mobil ramah lingkungan yang dilindungi sebagai hak paten dan paten sederhana baik dalam bentuk paten proses atau paten produk. Hasil kerja kemampuan intelektual manusia juga yang dapat menghasilkan karya seni yang apabila diwujudkan dalam aktivitas industri dapat menghasilkan rancangan berupa desain industri. Hasil intelektual manusia juga yang menghasilkan tanda pembeda antara produk barang atau jasa yang diproduksi oleh produsen, sehingga memudahkan konsumen untuk membedakan masing-masing barang atau jasa yang diproduksi oleh para produsen tersebut. Ini kemudian dilindungi sebagai hak merek. Demikian pula hasil kecerdasan intelektual manusia kemudian melahirkan varietas tanaman yang unggul dalam berbagai hal, seperti hasil yang lebih baik, tahan hama, bentuk buah, warna buah dan lain sebagainya. Ini kemudian dilindungi sebagai hak atas varietas tanaman. Kemajuan teknologi informasi dan teknologi elektronika, juga tidak terlepas dari capaian atas kemampuan intelektual manusia atas invention dan inovationnya dalam bidang merangkai jaringan elektronik, inilah kemudian yang dilindungi sebagai jaringan elektronika terpadu (integrated circuits). Mungkin karena adanya unsur daya cipta yang dikembangkan dari kemampuan berpikir manusia, untuk melahirkan sebuah karya, hingga akhirnya kata “intelektual” itu harus dilekatkan pada setiap temuan yang berasal dari kreativitas berpikir manusia tersebut hingga muncullah terminologi Hak Kekayaan Intelektual yang dilindungi sebagai hak atas benda immateril. 36
2. Ruang Lingkup HKI Konsekuensi lebih lanjut dari batasan Hak Kekayaan Intelektual ini adalah, terpisahnya antara Hak Kekayaan Intelektual itu dengan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya. Yang disebut terakhir ini adalah benda berwujud (benda materil). Suatu contoh dapat dikemukakan misalnya hak cipta dalam bidang ilmu pengetahuan (berupa Hak Kekayaan Intelektual) dan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya adalah buku, begitu pula temuan (istilah undang-undang invensi) dalam bidang paten (bagian Hak Kekayaan Intelektual), dan hasil benda materi yang menjadi bentuk jelmaannya adalah minyak pelumas, misalnya. Jadi yang dilindungi dalam kerangka Hak Kekayaan Intelektual adalah haknya, bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan
dari hak tersebut dilidungi oleh hukum benda dalam kategori
benda materil (benda berwujud). Pengelompokan Hak Kekayaan Intelektual itu lebih lanjut dapat dikategorikan dalam kelompok sebagai berikut: 1. Hak Cipta (Copy Rights) 2. Hak Milik (baca : hak kekayaan) Perindustrian (Industrial Property Rights).27
27
Redaksi, Indonesia Perlu Perhatikan Hak Milik Intelektual, Kompas, Jakarta, 19 Februari 1986, hal. 1. Lebih lanjut lihat, Cornish, Llewelyn & Aplin, Intellectual Property : Patents, Copyright, Trade Marks and Allied Rights, Sweet & Maxwell, London, 2013. David Bainbridge, Intellectual Property, Pearson Education Limited, England, 2002. Andrew Christie & Stephen Gare, Blackstone’s Statutes on Intellectual Property, Oxford University Press, New York, 2004. Prabuddha Ganguli, Intellectual Property Rights Unleashing the Knowledge Economy, Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi, 2001. Christopher May, The Global Political Economy of Intellectual Property Rights, The new enclosures Second Edition, Routledge, London, 2010. Jill McKeough, Kathy Bowrey & Philip Griffith, Intellectual Property Commentary and Materials, Lawbook Co, Australia, 2002. Christopher May, The Global Political Economy of Intellectual Property Rights, The new enclosures Second Edition, Routledge, London, 2010. Michael Spence, Intellectual Property, Oxford University Press, New York, 2007. Peter Tobias Stoll, Jan Busche and Katrin Arend, WTO – TradeRelated Aspects of Intellectual Property Rights, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden – Boston, 2009. 37
Hak cipta sebenarnya dapat lagi diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu: a. Hak cipta dan b. Hak yang berkaitan (bersempadan) dengan hak cipta (neighbouring rights). Istilah neighbouring rights, belum ada terjemahan yang tepat dalam bahasa hukum Indonesia. Ada yang menerjemahkannya dengan istilah hak bertetangga dengan hak cipta, adapula yang menerjemahkannya dengan istilah hak yang berkaitan atau berhubungan dengan hak cipta. Dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2014 istilah neighbouring rights diterjemahkan menjadi hak terkait. Penulis menggunakan istilah “hak yang bersempadan dengan hak cipta”, oleh karena kedua hak itu (copy rights maupun neighbouring rights) adalah dua hak yang saling melekat berdampingan tetapi dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Beberapa konvensi internasional juga memisahkan pengaturan antara copy rights dengan neihbouring rights. Jika copy rights diatur dalam Bern Convention, neighbouring rights diatur dalam Rome Convention Tahun 1961. Undang-undang Hak Cipta Indonesia menggunakan istilah hak terkait atau hak yang berkaitan dengan hak cipta untuk menyebutkan frase neighbouring rights. Neighbouring
rights,
dalam
hukum
Indonesia,
pengaturannya
masih
ditumpangkan dengan pengaturan hak cipta. Namun jika ditelusuri lebih lanjut neighbouring rights itu lahir dari adanya hak cipta induk. Misalnya liputan pertandingan sepak bola atau pertandingan tinju atau live show artis penyanyi adalah hak cipta sinematografi, tetapi untuk penyiarannya di media elektronik yakni berupa hak siaran adalah neighbouring rights. 38
Keduanya masih merupakan satu kesatuan, tetapi dapat dipisahkan. Begitu pula antara hak cipta lagu dengan hak penyiarannya, yang pertama merupakan hak cipta sedangkan hak yang disebut terakhir adalah neighbouring rights. Itulah alasannya, kami lebih cenderung menggunakan istilah hak yang bersem-padan dengan hak cipta, untuk terjemahan istilah neigbouring rights. Kedua hak itu saling melekat, saling menempel, tetapi dapat dipisahkan. Adanya neighbouring rights selalu diikuti dengan adanya hak cipta, namun sebaliknya adanya hak cipta tidak mengharuskan adanya neighbouring rights. Selanjutnya hak atas kekayaan perindustrian dapat diklasifikasikan lagi menjadi: 1. Patent (Paten) 2. Utility Models (Model dan Rancang Bangun) atau dalam hukum Indonesia, dikenal dengan istilah paten sederhana (simple patent). 3. Industrial Design (Desain Industri) 4. Trade Merk (Merek Dagang) 5. Trade Names (Nama Niaga atau Nama Dagang) 6. Indication of Source or Appelation of Origin 28 Pengelompokan hak atas kekayaan perindustrian seperti tertera di atas didasarkan pada Convention Establishing The World Intellectual Property Organization. Dalam
28
Untuk menyebutkan asal atau sumber barang yang diproduksi dan diberi merek dengan tanda pembeda dengan produk barang yang berasal dari tempat yang berbeda (misalnya tembakau Deli atau Deli Tobacco, untuk menyebutkan produk cerutu yang benar-benar berasal dari tanah Deli). Lebih lanjut lihat Convention Establishing The World Intellectual Property Organization (WIPO). 39
beberapa literatur, khususnya literatur yang ditulis oleh para pakar dari negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, bidang hak atas kekayaan perindustrian yang dilindungi tersebut, masih ditambah lagi beberapa bidang lain yaitu: trade secrets, service mark, dan unfair competition protection. Sehingga hak atas kekayaan perindustrian itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Patent Utility Models Industrial Designs Trade Secrets Trade Marks Service Marks Trade Names or Commercial Names Appelations of Origin Indications of Origin Unfair Competition Protection. 29
Jika ditelusuri hasil Putaran Uruguay (Uruguay Round) tahun 1994 yang membuahkan kerangka TRIPs (The Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) bahagian dari capaian atau hasil kesepakatan GATT/WTO, terdapat dua bidang lagi yang perlu ditambahkan sebagai cakupan dari hak kekayaan intelektual, yakni: 1. Perlindungan Varietas Baru Tanaman, dan 2. Integrated Circuits (rangkaian elektronika terpadu).
29
William T. Frayer, Materi ceramah pada Intellectual Property Theaching of Tracher’s Program Conducted by The Faculty of Law, University of Indonesia, yang disponsori oleh Kantor Sekretariat Negara RI dan United Nations Development Programe/World Intellectual Property Organization, Jakarta, 15 Juli s/d 2 Agustus 1996. 40
Jika pengklasifikasian di atas disederhanakan, dalam satu bagan maka pengelompokan itu dapat dilihat dalam bagan sebagai berikut : Bagan 1 Kedudukan Hak Kekayaan Intelektual Dalam Sistem Hukum Perdata HUKUM PERDATA
Subyek Hukum Manusia/Badan Hukum
Hukum Harta Kekayaan
Hukum Perikatan
Hukum Benda
Benda Materil
Hukum Waris (Salah satu cara Untuk pengalihan HKI)
Franchise
Obyek Franchise
Benda Immateril
Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) : 1. Hak Cipta 2. Hak Milik Industri a. Merek b. Paten c. Desain Industri d. Sirkuit Terpadu e. Varietas Tanaman
Hak yang berkaitan dengan hak cipta Neighbouring rights Hak yang berkaitan dengan Merek : 1. Unfair competition 2. Appliation of origin/indication of origin/geographical indication Hak yang berkaitan dengan paten : 1. Trade secrets 2. Informasi yang dirahasiakan/ Undisclosed information
Dalam peraturan perundang-undangan tentang Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia bidang-bidang yang termasuk dalam cakupan intellectual property rights seperti tertera dalam bagan di atas tidak semuanya diatur dalam UU tersendiri, ada yang pengaturannya digabungkan dalam satu undang-undang. Misalnya pengaturan 41
tentang neighbouring rights diatur dalam UU Hak Cipta, demikian pula pengaturan tentang utility models (UU kita tidak mengenal istilah ini tetapi menggunakan istilah Paten Sederhana) diatur dalam UU Paten, begitu juga ten-tang trade mark, service mark, trade names or commercial names appelations of origin dan indication of origin diatur dalam UU Merek. Adalagi bagian yang menurut hemat kami tidak termasuk dalam cakupan bidang HKI tetapi dalam berbagai literatur termasuk dalam cakupan HKI yakni unfair competition, rahasia dagang dan indication of origin atau sekarang dikenal sebagai indikasi geografis itu adalah figure hukum yang memiliki keterkaitan dengan hak kekayaan intelektual. Saat ini pengaturan tentang masing-masing bidang HKI itu kita temukan dalam undang-undang Indonesia, yaitu tentang Hak Cipta diatur UU No. 28 Tahun 2014, tentang Merk diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001, dan tentang Paten diatur dalam UU No.14 Tahun 2001. Pada tahun 2001 bersamaan dengan lahirnya UU Paten dan Merek Indonesia sebelumnya telah menerbitkan beberapa peraturan baru yang tercakup dalam bidang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di samping paten dan merek yang sudah lebih dulu disahkan yaitu UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dan UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Dengan demikian saat ini terdapat perangkat UU HKI Indonesia, yakni : 1. Hak Cipta diatur dalam UU No. 28 Tahun 2014 42
2. Paten diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001 3. Merek diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001 4
Perlindungan Varietas Baru Tanaman diatur dalam UU No. 29 Tahun 2000
5. Rahasia Dagang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2000 6. Desain Industri diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000, dan 7. Desain tata letak sirkuit Terpadu diatur dalam UU No. 32 Tahun 2000. Jika di telusuri skema ruang lingkup HKI dalam uraian terdahulu dan menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan HKI Indonesia, agaknya telah tersahutilah amanah yang diagendakan oleh GATT/WTO (1994). Di samping peraturan perundang-undangan nasional, selain ratifikasi GATT 1994, Indonesia juga telah meratifikasi beberapa konvensi atau traktat interna-sional antara lain Konvensi Paris yang diratifikasi melalui Keppres No. 15 Tahun 1997, Patent Cooperation Treaty yang diratifikasi melalui Keppres No. 16 Tahun 1997, Trade Mark Law Treaty Ratifikasi melalui Keppres No. 17 Tahun 1997, Konvensi Bern yang diratifikasi melalui Keppres No. 18 Tahun 1997 serta WIPO Copyrights Treaty yang diratifikasi melalui Keppres No. 19 Tahun 1997.30 Terdapat juga beberapa konvensi internasional lainnya dalam bentuk traktat atau perjanjian bilateral, antara lain :
30
Akan tetapi perlu juga difahami bahwa sekalipun Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi internasional tentang HKI, namun tidak semua dari protokol ikutannya turut diratifikasi oleh Indonesia, demikian penjelasan Candra Darusman, Direktur WIPO untuk kawasan ASEAN yang berkedudukan di Singapura pada tanggal 10 September 2015 di Fakultas Hukum USU. 43
1. Keputusan Presiden RI No. 17 Tahun 1988 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta atas Karya Rekaman Suara antara Negara Republik Indonesia dengan Masyarakat Eropa; 2. Keputusan Presiden RI No.25 Tahun 1989 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Amerika Serikat; 3. Keputusan Presiden RI No.38 Tahun 1993 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Australia; 4. Keputusan Presiden RI No.56 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Inggris; 5. Keputusan Presiden RI N0. 74 Tahun 2004 tentang Pengesahan WIPO Performances and Phonogram Treaty (WPPT); 31 Selain hak-hak yang disebut di atas menurut hemat penulis, ada bentuk figur hukum yang patut juga untuk dimasukkan ke dalam bagian Hak Kekayaan Intelektual adalah tentang perlindungan terhadap pembiakan hewan yang di dalamnya termasuk
31
Disebut sebagai Beijing Treaty karena kesepakatan itu lahir dari diplomatic conference yang dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 2012 di Beijing yang juga sekaligus mengakhiri 12 tahun negosiasi multilateral di bawah WIPO. Indonesia menjadi negara ke-53 yang menandatangani Beijing Treaty ini, namun traktat ini belum diberlakukan menunggu ratifikasi paling sedikit 30 negara-negara anggota penandatangan. Lebih lanjut lihat PTRI Jenewa/EDPY, Indonesia Tandatangani Beijing Treaty on Audiovisual Performance di Jenewa, Rabu 19 Desember 2012. 44
jenis hewan ternak, ikan, udang, dan lain-lain yang memiliki implikasi komersial. Di samping itu, dalam kaitannya dengan penerapan UU Rahasia Dagang perlu pula diterbitkan UU tentang Franchise atau waralaba, meskipun hal ini berkaitan dengan lisensi dan hukum perikatan. Dalam perjanjian franchising, bukan wujud bendanya yang dilindungi seperti Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, Mc. Donald, Coca-Cola, Wendy's atau merek yang melekat pada produk tersebut, tetapi adalah hak untuk boleh melaksanakan atas izin pemegang atau pemilik hak kekayaan intelektual untuk menjalankan hak dimaksud. Khusus mengenai produk makanan dan minuman yang dilindungi sebagai rahasia dagang beserta seluruh atribut yang harus dipenuhi dalam pemasarannya. Maka menjadi sebuah kebutuhan untuk diwujudkan segera Undangundang tentang waralaba tersebut.32
Ada benda immateril yang menjadi objek
perjanjian dalam perikatan franchising tersebut. Oleh karena itu menurut hemat penulis, jika suatu saat nanti Indonesia akan membuat kodifikasi hukum perdata, maka hukum benda yang menjadi objek perikatan franchising, seyogianya figur hukum ini haruslah ditempatkan dalam kerangka hukum perikatan. Perikatan franchisingnya sendiri dapat ditempatkan dalam subsistem hukum perikatan sebagai bagian dari sistem hukum perdata.
32
Disini ditemukan adanya unsur kerahasiaan atas suatu produk. Hak yang bernilai itu justru terletak pada bagian yang dirahasiakan itu jadi ada informasi yang tertutup terhadap cara pembuatan produk barang yang dimaksudkan yang disebut sebagai Undisclosed information. 45
Bagaimana dengan unfair competition? Apakah bidang ini termasuk dalam bagian ruang lingkup HKI? Menurut hemat kami, bidang ini tidak termasuk dalam ruang lingkup HKI, sebab tidak ada hak kebendaan yang dilindungi.
Unfair
competition atau persaingan secara tidak sehat, tak boleh dilakukan dalam bidang apa saja, termasuk HKI. Namun demikian dalam persetujuan TRIPs
secara khusus
ditempatkan dalam satu klausul tentang unfair competition yang berkaitan dengan perlindungan HKI. Berkaitan dengan standar perlindungan, ketentuan dalam persetujuan
Uruguay
Round memberikan hak kepada negara anggota untuk membatasi cakupan dari hak perlindungan sampai batas tertentu. Misalnya dalam hal yang menyangkut compulsory licensing serta pembatasan hak untuk mencegah ada-nya praktik-praktik yang bersifat antikompetitif. Ketentuan tersebut terdapat pada section 8 dari persetujuan yang menentukan aturan main dalam menangani perbuatan atau tindakan yang bersifat antikompetitif. Persetujuan tersebut membolehkan negara anggota, melalui undang-undang nasionalnya, untuk mencegah atau mengendalikan praktik-praktik antikompetisi yang merupakan penyalahgunaan hak tersebut seperti grant
back conditions dan paket
lisensi paksa compuksary licencing atau coercive packaged licensing. Tanpa upaya mencegah praktik sejenis itu akan lebih sulit untuk memperoleh alih teknologi. 33
33
Pasal-pasal dalam UU Hak Cipta dan paten Indonesia memuat ketentuan-ketentuan semacam
itu. 46
Undang-undang domestik negara-negara berkembang di bidang tersebut tidak akan mempunyai akibat yang terlalu besar dan efektif, tanpa adanya kerja sama yang penuh dari negara induk perusahaan-perusahaan multilateral sebagai pemegang hak kekayaan intelektual (khususnya dalam bidang hak cipta dan paten) dalam menetapkan informasi yang berada di
luar jangkauan dan informasi yang tidak
bersifat rahasia.
3. Warisan Budaya Tradisional Pembicaraan tentang warisan budaya suatu bangsa dan hak-hak komunitas pendukungnya telah berlangsung lama. Setidak-tidaknya di dalam forum WIPO telah diselenggarakan suatu Intergorvernmental Committee on Intellectual Property Rights and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (IGC-IPR & GRTKF) yang telah berlangsung sejak paruh kedua decade Sembilan puluhan. Sayangnya hingga hari ini belum tercapai suatu kesepakatan bulat tentang legally binding instruments yang menjadi acuan seluruh bangsa-bangsa di dunia dalam menyikapi persoalan tersebut. Walaupun demikian, capaian yang telah dihasilkan hingga hari ini tetap harus diberikan apresiasi. Indonesia sebagai negara peserta dalam forum-forum WIPO tersebut telah mengambil peran yang sangat aktif dalam menginisiasi pembentukan instrument hukum terkait dengan persoalan hak-hak komunitas terhadap warisan budaya mereka. Salah satu capaian yang paling akhir adalah penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang Pengelolaan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi 47
Budaya Tradisional yang digagas dan diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dan saat ini draft tersebut telah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas sebagai usul inisiatif DPD RI. Melalui sosialisasi ini diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang persoalan yang ada dan sekaligus sebagai upaya menyerap berbagai idea terkait dengan issue utamanya, yaitu bagaimana mengembangkan (develop), memanfaatkan (utilize), mempromosikan (promote), melestarikan (preserve) dan melindungi (protect) warisan budaya sekaligus hak-hak warga masyarakat atas warisan budaya mereka itu, terutama yang bersifat “tak benda” (intangible) atau dalam terminologi HKI disebut sebagai hak kebendaan immaterial (hak atas benda tidak berwujud). Warisan budaya tradisional dalam konteks HKI (sebagai benda tidak berwujud) meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Pengetahuan tradisional adalah karya intelektual di bidang pengetahuan dan teknologi yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan dan dipelihara oleh komunitas atau masyarakat tertentu (kesatuan masyarakat hukum adat).34 Sedangkan ekspresi budaya tradisional diartikan sebagai karya intelektual dalam bidang seni, termasuk ekspresi sastra yang mengandung
34 Pengetahuan tradisional diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki atau dikuasai dan digunakan oleh suatu komunitas, masyarakat atau suku bangsa tertentu yang bersifat turun-temurun dan terus berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan. Pengertian ini digunakan dalam Studi of the Problem of Discrimination Against Indigenous Populations, yang dipersiapkan oleh United Nations Sub-Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities. Istilah pengetahuan tradisional digunakan untuk menerjemahkan istilah traditional knowledge, yang dalam perspektif WIPO digambarkan mengandung pengertian yang lebih luas mencakup indigenous knowledge dan folklore. Lebih lanjut lihat Agus Sardjono, Hak Kekayaan Intelektual & Pengetahuan Tradisional, Alumni, Bandung, 2010, hal. 1
48
unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan dan dipelihara oleh komunitas atau masyarakat tertentu. Kondisi Indonesia yang memiliki keanekaragaman etnik atau suku bangsa dan memiliki keanekaragaman hayati adalah merupakan kekayaan warisan budaya yang perlu mendapat perlindungan dari sisi hukum hak kekayaan intelektual. Hal itu tidak saja menyangkut daya tarik pihak-pihak di luar kesatuan masyarakat hukum adat dalam pengertian masyarakat lokal tetapi juga pihak asing untuk memanfaatkan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional secara komersial. Pengetahuan tradisional yang dilindungi mencakup juga tentang kecakapan teknik (know how), keterampilan, inovasi, konsep, pembelajaran dan praktek kebiasaan lainnya yang membentuk gaya hidup masyarakat tradisional termasuk didalamnya pengetahuan pertanian, pengetahuan teknik, pengetahuan ekologis, pengetahuan pengobatan termasuk obat-obatan terkait dalam tata cara penyembuhan serta pengetahuan terkait dengan sumber daya genetik. Yang disebut terakhir ini dapat dicontohkan seperti pengobatan patah tulang (ahli patah pergendangan Guru Singa), yang hak tradisionalnya dipegang oleh beberapa marga di Tanah Karo, “Bugang” sistem pengobatan patah tulang yang pengetahuan tradisionalnya dipegang oleh masyarakat Batubara, demikian juga pengobatan-pengobatan luka yang menggunakan sawang (sarang laba-laba), kunyit dan temu lawak untuk pengobatan lever, daun jarak untuk menurunkan suhu badan pada kasus demam tinggi, daun jambu biji untuk obat sakit perut, daun salam untuk menurunkan kadar gula dalam darah, daun kari pulai untuk menurunkan tekanan darah tinggi dan lain-lain. Tentu 49
saja ramuan-ramuan itu diolah berdasarkan pengetahuan tradisional baik mengenai kadar, takaran dan aturan penggunaannya. Hal lain juga yang terkait dengan penggunaan merek atas indikasi asal dan indikasi geografis terhadap produk-produk pertanian. Misalnya : penggunaan indikasi asal barang yang kemudian dijadikan merek seperti Mandheling Kopi, padahal kopi itu diproduk di dataran tinggi Karo (Sinabung) dan dataran tinggi Saribu Dolok, diberi merek oleh pengusaha Amerika dan didaftarkan di Amerika dengan merk “Mandheling”. Demikian juga tidak tertutup kemungkinan ekspresi budaya tradisional dalam bidang seni, baik itu seni tari maupun seni musik dan lagu. Seperti musik Melayu, Karo dan Simalungun mempunyai genre sendiri. Begitu juga jenis tari-tariannya mempunyai liuk sendiri yang berbeda dengan tarian-tarian tradisional di daerah lain. Tentu saja semua ini menjadi kekayaan budaya yang perlu dilindungi. Perlindungannya untuk sementara ini dapat menggunakan instrument undang-undang hak cipta dan peraturan perundang-undangan HKI lainnya. Namun demikian apabila nanti RUU tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional disahkan, perlindungannya dapat menggunakan instrument undang-undang tersebut.
50
BAB II TARGET DAN LUARAN
Target atau sasaran yang menjadi obyek sosialisasi ini adalah tokoh-tokoh Masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo yang tergabung dalam Aliansi Simekar. Luaran yang diharapkan adalah terinventarisir dan terdokumentasi kekayaan budaya yang meliputi, pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya Masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo dalam bentuk laporan kegiatan dan jika dimungkinkan akan dipublikasikan secara nasional.
51
BAB III KERANGKA PEMECAHAN MASALAH
Permasalahan Dalam Masyarakat “Tidak Terinventarisir Kekayaan Budaya, Kurang Memahami Peraturan Perundang-undangan Tentang HKI Terkait Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional
Aliansi Masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo : Komunitas masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo dalam berbagai peringkat yang meliputi : para tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh organisasi, tokoh-tokoh mahasiswa, tokoh-tokoh intelektual dan tokoh pemuda
Tidak ada Kegiatan karena Tidak Memahami tentang Seluk Beluk Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional
Masyarakat Pasif (Sebelum Sosialisasi)
Pemahaman Masyarakat (Aliansi Masyarakat Simalungun, Melayu, Karo)
Aktivitas Sosialisasi oleh Tim
Setelah Sosialisasi diperoleh tokoh-tokoh masyarakat Simalungun, Melayu, Karo yang dapat menjadi agen pembangunan guna mensosialisasikan tentang arti penting perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional menurut konsep hukum HKI
52
BAB IV PELAKSANAAN KEGIATAN
A. Khalayak Sasaran yang Strategis Pada dasarnya kegiatan sosialisasi tentang perundang-undangan hak kekayaan intelektual terkait dalam konteks penyelamatan kekayaan budaya (pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional) ini ditujukan untuk masyarakat secara umum. Namun untuk lebih mengefektifkan sosialisasi ini perlu kiranya dibentuk kelompok-kelompok kecil tertentu di dalam masyarakat sehingga sosialisasi ini dapat tersalurkan dengan baik. Oleh karena itulah, sebagai sasaran dalam pengabdian masyarakat ini ditetapkan adalah 3 komunitas masyarakat hukum adat yaitu : komunitas masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo dalam berbagai peringkat yang meliputi : para tokohtokoh adat, tokoh-tokoh organisasi, tokoh-tokoh mahasiswa, tokoh-tokoh intelektual dan tokoh pemuda. Kelompok masyarakat ini nantinya diharapkan dapat menjadi agen pembangunan guna “menularkan” pengetahuan tentang peranan masyarakat dalam rangka perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan hukum hak kekayaan intelektual.
53
Pada akhirnya diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama akan dapat diinventarisir hak-hak masyarakat hukum adat sebagai kekayaan budaya yang meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.
B. Keterkaitan Pengabdian ini dilakukan sesuai dengan aplikasi di bidang ilmu hukum keperdataan serta berdasarkan pada pertimbangan adanya kemudahan dari pihak Masyarakat Hukum Adat Simalungun, Melayu dan Karo untuk melakukan kegiatan ini.
C. Metode Kegiatan Masalah kesadaran hukum masyarakat berkaitan erat dengan masalah pembangunan nasional dalam hal ini kaitannya terdapat dalam dua dimensi yaitu dimensi pertama kesadaran hukum dapat dipandang independent variable yaitu dipandang sebagai indicator yang dapat menciptakan sarana yang dapat mendukung dan mempercepat pembangunan secara keseluruhan. Dimensi kedua bahwa kesadaran hukum dapat dipandang sebagai suatu obyek atau sasaran pembangunan khususnya pembangunan di bidang hukum. Bila kesadaran hukum masyarakat dipandang sebagai independent variable maka faktor mutlak yang harus dipenuhi adalah meningkatkan penyuluhan hukum terhadap masyarakat, karena kesadaran hukum masyarakat merupakan determinant materil untuk timbul dan berprosesnya hukum dalam masyarakat. Meningkatnya 54
pengetahuan warga masyarakat akan aturan hukum diharapkan akan berpengaruh terhadap tingkat penghayatan dan ketaatan terhadap hukum. Permasalahan utama yang ditemukan adalah bahwa pengetahuan masyarakat akan norma hukum masih rendah. Dalam hal ini salah satu alternatif yang dapat ditempuh adalah memberikan penyuluhan hukum yang diberikan dalam bentuk diskusi dan ceramah serta menyebarluaskan
informasi
tentang
pentingnya
untuk
mengetahui
hak-hak
masyarakat hukum adat sebagai kekayaan budaya yang meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Kegiatan yang dilakukan dalam pengabdian masyarakat ini adalah dalam bentuk : 1. Ceramah umum kepada 3 komunitas masyarakat hukum adat yaitu : komunitas masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo dalam berbagai peringkat yang meliputi : para tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh organisasi, tokoh-tokoh mahasiswa, tokoh-tokoh intelektual dan tokoh pemuda. 2. Tanya jawab langsung (diskusi) antara penceramah dengan kelompok sasaran. 3. Simulasi tentang Perspektif Perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual Terkait Dalam Konteks Penyelamatan Kekayaan Budaya.
55
D. Rencana dan Jadwal Kerja Kegiatan ini direncanakan dalam kurun waktu 2 (dua) bulan yang direncanakan dilaksanakan pada tanggal 12 Nopember 2015 dengan mengikuti schedule yang dibuat dalam tabel berikut :
No 1. 2. 3. 4. 5.
Nama Kegiatan
1
2
3
Minggu Ke4 5 6
Survey lapangan Diskusi dan pembuatan proposal Pengajuan proposal Diskusi dan pelaksanaan sosialisasi Pembuatan laporan
E. Susunan Personalia Pelaksana Pengabdian Masyarakat I. KETUA PELAKSANA Nama Lengkap
:
Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum
NIP/NIDN
: 196202131990031002 / 0013026203
Pangkat/Golongan
:
Pembina Utama Muda / IV c
Tempat/Tanggal Lahir
:
Kisaran, 13 Februari 1962
Alamat
:
Jl. Titi Papan Gg. Pertahanan No. 19 Sei Sikambing D - Medan – 20119
Bidang Keahlian
:
Hukum Hak Kekayaan Intelektual
Nama Lengkap
:
Dr. Edy Ikhsan, SH, MA
NIP/NIDN
: 196302161988031002 / 0016026304
II. TENAGA PELAKSANA I
56
7
8
Pangkat/Golongan
:
Pembina Utama Muda / IV c
Tempat/Tanggal Lahir
:
Medan, 16 Februari 1963
Alamat
:
Jl. Duta Wisata No.101 Komplek Villa Prima Indah, Medan
Bidang Keahlian
:
Antropologi Hukum
III. TENAGA PELAKSANA III Nama Lengkap
: Dr. Abdul Hakim Siagian, SH, M.Hum
NIDN
: 0115086502
Pangkat/Golongan
: Lektor / III d Dosen Tenaga Profesional FH-USU
Tempat/Tgl. Lahir
: A.Bon Bon, 15 Agustus 1965
Alamat
: Jl. Pelita VI No. 16 Kel. Sidorame Barat II Kec. Medan Perjuangan, Kota Medan
Bidang Keahlian
:
Hukum Perlindungan Konsumen
57
BAB V HASIL KEGIATAN
A. Pelaksanaan Kegiatan Pengabdian Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 12 Nopember 2015 di Gedung Prof. T. Amin Ridwan, MA, PhD Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang dihadiri oleh 152 orang. Peserta terdiri dari Kelompok etnis masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo dari berbagai lapisan masyarakat di tiaptiap kelompok etnis tersebut yang terdiri dari kalangan tokoh adat, tokoh intelektual, tokoh pemuda, aktivis lingkungan, aktivis organisasi kemasyarakatan dan mahasiswa serta kelompok masyarakat lainnya sebagai peminat kajian hak kekayaan intelektual dalam bidang pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Kegiatan pengabdian ini diawali pada tahap persiapan pada bulan September 2015 yakni diawali dari penjajakan dan survey di lapangan. Pada bulan September itu diperoleh informasi bahwa di lingkungan geografis etnik Simalungun, Melayu dan Karo terdapat banyak kekayaan budaya yang bersumber pada pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Kekayaan budaya itu melekat pada sumber daya alam yang didukung oleh kondisi geografis seperti flora dan fauna yang berguna untuk pengobatan tradisional seperti patah tulang, radang tenggorokan, luka luar, gangguan pada lambung dan lain sebagainya. Disamping itu terdapat juga produkproduk hasil bumi seperti kopi dan teh, yang menembus pasar internasional akan tetapi mereknya didaftar oleh para pengusaha asing. Tentu saja hal ini secara 58
ekonomis merugikan masyarakat lokal. Misalnya seperti kopi yang tumbuh di dataran tinggi Sinabung didaftar dengan merk “Mandheling”. Hal yang serupa dapat saja terjadi dikemudian hari jika tidak segera diinventarisir kekayaan budaya nasional yang tercakup dalam pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Pada tahap berikutnya tim sosialisasi ini menyusun proposal dengan mengumpulkan beberapa reverensi terkait tentang pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Setelah proposal tersusun dengan baik tim mengajukan proposal tersebut untuk mendapat persetujuan dari pimpinan fakultas. Untuk selanjutnya proposal tersebut diteruskan ke Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Sumatera Utara agar kegiatan sosialisasi ini dapat terlembaga. Pelaksanaan kegiatan tersebut pada minggu-minggu berikutnya yaitu pada awal bulan Oktober 2015 dilakukan penjajakan tempat kegiatan dan akhirnya disetujui pelaksanaan itu dilaksanakan di Gedung Prof. T. Amin Ridwan, MA, PhD. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Secara simultan kegiatan selanjutnya adalah menyampaikan undangan kepada para peserta terutama kepada peserta yang tinggal di Tanah Karo, Berastagi, Tebing Tinggi, Pematang Siantar dan Simalungun serta masyarakat Melayu, Rantau Prapat, Batubara, Serdang, Medan, Binjai dan Langkat. Undangan yang disebarkan 300 orang namun peserta yang hadir hanya berjumlah 152 orang. Kegiatan sosialisasi akhirnya dapat dilaksanakan pada pukul 14.00 Wib dan ditutup hingga pukul 17.45 Wib. Acara sosialisasi dilakukan dengan memperagakan beberapa contoh-contoh tumbuh-tumbuhan yang memiliki nilai untuk pengobatan 59
tradisional namun hal itu hanya dapat dilakukan apabila disertai dengan petunjukpetunjuk yang tunduk pada aturan pengobatan tradisional yang dikenal sebagai pengetahuan tradisional (traditional knowledge). Bersamaan dengan itu disampaikan ceramah interaktif yang intinya adalah mensosialisasikan peraturan perundang-undangan HKI kepada komunitas masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo dalam kaitannya dengan bidang pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Dalam kegiatan tersebut dapat dipahami bahwa masyarakat sangat antusias untuk segera melakukan inventarisasi terhadap kekayaan budaya yang terdapat di wilayah geografis kesatuan hukum adat di lingkungan masyarakat mereka masing-masing.
B. Analisis Hasil Kegiatan Kegiatan ini pada tahap awal dapat disimpulkan memberi makna yang sangat berarti bagi ketiga kelompok etnik masyarakat tersebut. Mereka yang selama ini tidak memahami bahwa kekayaan budaya mereka telah banyak dimanfaatkan oleh pihak pelaku bisnis bahkan pihak asing untuk mendapatkan keuntungan secara sepihak. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa kegiatan ini paling tidak telah membuka cakrawala kepada masyarakat pada 3 kelompok etnis tersebut untuk segera membenahi kesatuan masyarakat hukum adat mereka dan mendata atau menginventarisasi kekayaan budaya yang mereka miliki meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.
60
Setelah pelaksanaan kegiatan ini, masyarakat pada 3 kelompok etnis tersebut menjadi paham dan mengetahui tentang arti penting perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Dalam ungkapan mereka yang juga menjadi keinginan peserta adalah mereka akan membuat suatu kelompok komunitas masyarakat hukum adat guna memastikan diri sebagai subyek yang mendapat perlindungan pemerintah. Subyek inilah nantinya yang akan menjadi pemegang hak atas kekayaan tradisional di lingkungan masyarakat pada 3 kelompok etnis tersebut. Selain itu, dapat juga diasumsikan bahwa ada keinginan masyarakat untuk segera dilakukan sosialisasi yang sama terutama mengenai tata cara untuk mendapatkan perlindungan terhadap hak-hak atas kekayaan budaya tersebut. Meskipun saat ini undang-undang yang khusus mengatur tentang itu belum disahkan akan tetapi untuk sementara tim menyarankan agar dimanfaatkan saja peraturan perundang-undangan HKI yang ada pada hari ini.
C. Faktor Pendorong dan Penghambat Faktor pendorong kegiatan sosialisasi ini mendapat dukungan dari berbagai pihak terutama para tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh ilmuwan di lingkungan 3 kelompok etnis Simalungun, Melayu dan Karo. Dalam kegiatan sosialisasi tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh intelektual dari kalangan budayawan : Dr. Shafwan Hadi Umry, M, M.Hum, dari kalangan sejarawan : Dr. Suprayitno, M.Hum, kemudian dari tokoh etnik Karo : Dr. Asmyta Surbakti, M.SI, Dosen Fakultas Ilmu Budaya USU,
61
tokoh etnik Simalungun : Erond L. Damanik dari Universitas Negeri Medan dan tokoh etnik Melayu : Tengku Tirhaya Sinar, PhD dan Tengku Mira Sinar, MA. Kesemua ini tentu memberi motivasi yang dapat menyemangati kelompok etnik Simalungun, Melayu dan Karo untuk segera menginventarisasi kekayaan budaya meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Faktor penghambat dalam pelaksanaan kegiatan ini adalah sulitnya menghubungi tokoh-tokoh masyarakat yang benar-benar menaruh minat pada perlindungan kekayaan budaya yang meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional dimaksud. Ada semacam anggapan, kegiatan sosialisasi adalah semacam kegiatan seremoni yang hanya berfungsi untuk asesoris yang setelah lepas kegiatan, maka selesailah semuanya. Masyarakat menjadi sangat trauma untuk mengikuti kegiatan-kegiatan sejenis karena tidak ada tindak lanjut dari tiap-tiap kegiatan yang dilakukan. Kondisi ini dilatar belakangi oleh banyaknya kegiatankegiatan yang dilakukan adalah untuk menghabiskan anggaran-anggaran pemerintah dalam bidang penyuluhan yang hampir ada pada setiap instansi pemerintah. Kondisi ini tentunya terasa juga kepada tim kami yang melakukan kegiatan ini karena hanya 50% peserta yang diundang yang menghadiri acara tersebut. Hambatan lain adalah tokoh-tokoh masyarakat yang peduli atas kekayaan budaya pada 3 kelompok etnis tersebut memiliki tempat tinggal yang jauh. Ada yang di Pematang Siantar, ada yang di Tanah Jawa, Simalungun, ada yang di Batubara, ada yang di Rantau Prapat, Berastagi, Kabanjahe, Binjai dan Langkat. Tentu saja hal ini disamping memerlukan biaya juga mereka harus menyisihkan waktunya untuk 1 hari 62
penuh meninggalkan aktivitas kesehariannya. Kondisi ini juga menjadi faktor penghambat untuk tercapainya sasaran sosialisasi ini pada orang-orang yang diharapkan dapat hadir. Akan tetapi kami menyadari bahwa angka 152 orang yang hadir pada acara tanggal 12 Nopember 2015 tersebut memang telah diperkirakan dan itulah sebabnya kami menyampaikan undangan kepada 300 peserta dengan harapan jika 50% saja yang hadir, itu sudah cukup memadai untuk menjadi “agen-agen” yang dapat menularkan pengetahuan yang diperoleh pada kegiatan tersebut.
63
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari kegiatan “SOSIALISASI PERUNDANGUNDANGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL TERKAIT DALAM KONTEKS
PENYELAMATAN
KEKAYAAN
BUDAYA
(Pengetahuan
Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional)” adalah sebagai berikut : 1. Masyarakat pada 3 kelompok etnis yakni Simalungun, Melayu dan Karo menjadi paham dan mengetahui tentang arti penting penyelamatan kekayaan budaya terutama dalam hal perlindungan hak kekayaan intelektual dalam bidang pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. 2. Potensi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional sebagai hak kekayaan komunal masyarakat pada 3 kelompok etnis tersebut diharapkan dapat diinventarisir dalam waktu yang tidak terlalu lama oleh ke-3 kelompok etnis tersebut di bawah naungan institusi masyarakat adat baik dalam bentuk organisasi lokal bentukan pemerintah atau ikatan-ikatan kelompok bentukan masyarakat lokal setempat yang menjadi representatif dari kelompok masyarakat tersebut. 3. Kekayaan flora dan fauna yang memiliki potensi kekayaan budaya dari aspek kegunaannya dengan pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakatnya sudah saatnya diinventarisir sebagai hak kekayaan intelektual pengetahuan
64
tradisional. Demikian juga terhadap ekspresi budaya tradisional seperti karyakarya tradisional dalam bidang musik, lagu, tari-tarian, seni bela diri dan karyakarya kesenian dan sastra lainnya yang dapat diberikan hak kekayaan inteletual sebagai hak atas ekspresi budaya tradisional.
B. Saran 1. Dalam
pelaksanaan
kegiatan
sosialisasi
ini
ditemukan
faktor-faktor
penghambat yang perlu mendapat dukungan dari semua pihak untuk mengatasinya. Antara lain adalah bantuan pemerintah setempat untuk mendata tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap kekayaan budaya dan dapat mendorong kehadiran mereka pada kegiatan-kegiatan sejenis. 2. Kepada tokoh-tokoh masyarakat pada 3 kelompok etnis tersebut perlu segera membentuk kelompok dalam suatu ikatan yang mendapat justifikasi dari pemerintah agar kelompok ini dapat mewakili kepentingan masyarakat hukum adat sebagai subyek atas hak kekayaan intelektual dalam bidang pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional secara komunal. 3. Perlu digiatkan secara terus-menerus sosialisasi seperti ini guna memperluas ruang lingkup cakupan pemahaman masyarakat tentang arti penting perlindungan hak kekayaan intelektual dalam bidang pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.
65
DAFTAR PUSTAKA Agus Sardjono, Hak Kekayaan Intelektual & Pengetahuan Tradisional, Penerbit Alumni, Bandung, 2010. Charlotte Waelde, et.al, Contemporary Intellectual Property, Oxford University Press, New York, 2011. Corynne Mc Sherry, Who Owns Academic Work ? Battling for Control of Intellectual Property, Harvard University Press, London, 2001 Djulaeka, Konsep Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Perspektif Kajian Filosofis HaKI Kolektif-Komunal, Setara Press, Malang, 2014. Hawin, M., Intellectual Property Law on Parallel Importation, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2010. Kenny K.S. Wong and Alice, A Practical Approach To Intellectual Property Law In Hong Kong, Sweet & Maxwell Asia, Hongkong, 2002. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2010. Lubis, Efridani, Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Berdasarkan Penerapan Konsep Sovereign Right dan Hak Kekayaan Intelektual, Penerbit Alumni, Bandung, 2009. Makoto Shichida, Whole Brain Power Kekuatan Menggabungkan Dua Otak, Gramedia, Jakarta, 2014. Paul Torremans, Jon Holyoak, Holyoak and Torremans, Intellectual Property Law, Butterworths, London, 1998. Peter J. Groves, Source Book on Intellectual Property Law, Cavendish Publishing Limited, London, 1997. Peter Tobias Stoll, Jan Busche and Katrin Arend, WTO – Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden – Boston, 2009. Rahmi Jened Parinduri Nasution, Interface Hukum Kekayaan Intelektual dan Hukum Persaingan (Penyalahgunaan HKI), RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013.
66
Saidin, OK., Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015. Shigeo Haruyama, Keajaiban Otak Kanan, Gramedia, Jakarta, 2014.
67
LAMPIRAN-LAMPIRAN
68
TERTIB ACARA SOSIALISASI PERUNDANG-UNDANGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL TERKAIT DALAM KONTEKS PENYELAMATAN KEKAYAAN BUDAYA (Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional)
Tanggal 12 November 2015 Di Gedung Prof. Amin Ridwan, MA, PhD Fakultas Ilmu Budaya USU
Waktu
Acara
Oleh
14.00-14.05 Wib 14.05-14.10 Wib
Pembukaan oleh Protokol Sambutan Tuan Rumah
14.10-14.15 Wib
Sambutan Ketua Aliansi Masyarakat Simekar Do’a Pemaparan Materi Sosialisasi dengan judul : “Perspektif Perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual Terkait dalam Konteks Penyelamatan Kekayaan Budaya” Tanya Jawab
14.15-14.20 Wib 14.20-14.50 Wib
14.50-16.15 Wib 16.15-16.30 Wib 15.30-17.00 Wib 17.00-17.05 Wib
Peragaan tumbuh-tumbuhan di lingkungan geografis 3 kelompok etnis Perembukan untuk tindak lanjut ke depan/rekomendasi Penutupan dan penyampaian cinderamata
69
Widiya Dekan FH Ilmu Budaya USU Bapak Dr. Drs. Syahron Lubis, MA T. Mira Sinar, MA Muhadi, S.Ag Oleh : Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum Moderator : Sarjani Tarigan, MSP Notulis : Dr. Edy Ikhsan, SH, MA
Dipandu oleh : Dr. Abdul Hakim Siagian, SH, M.Hum Dipandu oleh : Sarjani Tarigan, MSP Dr. Abdul Hakim M.Hum T. Mira Sinar, MA
Siagian,
SH,
A. Pendahuluan Dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, termaktub tujuan negara, yang menjadi alasan negara ini didirikan. Tujuan negara dirumuskan dalam 4 (empat) point penting yaitu : 5. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. 6. Memajukan kesejahteraan umum 7. Mencerdaskan kehidupan bangsa 8. Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tentu saja untuk mencapai cita-cita kemerdekaan itu, Indonesia harus memanfaatkan semua potensi sumber daya yang dimilikinya. Sumber daya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia adalah bahagian dari unsur kekayaan budaya yang berpangkal pada sumber daya alam (keanekaragaman hayati-flora dan fauna-, kekayaan alam berupa mineral, minyak, air, udara) dan sumber daya manusia. Dalam kaitannya dengan perlindungan hak kekayaan intelektual, sumber daya manusia memegang peranan dan posisi penting. Alasannya adalah karena secara antropologis manusia adalah pangkal dari kebudayaan. Hanya manusia makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki budaya. 35 Peradaban umat manusia tumbuh dan berkembang atas dasar “olah budi” dan “olah daya”. Budi dan daya adalah kreatifitas makhluk manusia. Keterkaitannya dengan bidang hukum hak kekayaan intelektual adalah hak kekayaan intelektual itu lahir atas hasil kerja otak, 36 hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar.37 Itu pada satu sisi, di sisi lain adapula hasil kerja emosional. Hasil kerja hati dalam bentuk abstrak yang dikenal dengan rasa perpaduan dari hasil kerja rasional dan emosional itu melahirkan sebuah karya yang disebut karya intelektual. 38 Hasil kerjanya itu berupa benda immateril. Benda tidak berwujud. Kita ambil misalnya karya cipta lagu. Untuk menciptakan alunan nada (irama) diperlukan pekerjaan otak. Menurut ahli biologi otak kananlah yang berperan untuk menghayati kesenian, berhayal, menghayati kerohanian, termasuk juga kemampuan melakukan sosialisasi dan mengendalikan emosi. Fungsi ini disebut sebagai fungsi nonverbal, metaforik, intuitif, imajinatif dan emosional. Spesialisasinya bersifat intuitif, holistik dan mampu memproses informasi secara simultan. 39 Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Orang yang optimal memerankan kerja otak dan hatinya disebut sebagai orang yang terpelajar, mampu menggunakan rasio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan logika dan menyeimbangkannya dengan kerja hati yang melahirkan kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) (metode berpikir, cabang filsafat), karena itu hasil pemikirannya disebut rasional atau logis. Orang yang tergabung dalam kelompok ini disebut kaum intelektual.40 Begitulah, ketika irama lagu tadi tercipta berdasarkan hasil kerja otak, ia dirumuskan sebagai Hak Kekayaan Intelektual. Berbeda misalnya dengan hasil kerja fisik, petani mencangkul, menanam, 35
Lebih lanjut lihat Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2010. Otak yang dimaksudkan bukanlah otak yang kita lihat seperti tumpukan daging yang enak digulai, yang beratnya 2% dari total berat tubuh, tetapi otak yang berperan sebagai pusat pengaturan segala kegiatan fisik dan psikologis, yang terbagi menjadi dua belahan; kiri dan kanan. 37 Kata “menalar” ini penting, sebab menurut penelitian pakar antropologi fisik di Jepang, seekor monyet juga berpikir, tetapi pikirannya tidak menalar. Ia tidak dapat menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. 38 Hasil kerja rasional dan emosional itu dalam kajian ilmu kedokteran merupakan hasil kerja otak juga sebagai pusat dari simpul saraf. Kalau hati dalam terminology kedokteran memiliki fungsi lain, yakni untuk menjaga keseimbangan gula darah, jika terdapat kelebihan, disimpan dalam hati yang disebut dengan fungsi lever. Oleh karena itu hati yang dimaksudkan disini adalah kecerdasan emosional yang dapat diukur dengan Emotional Quotient (EQ) yang dibedakan dengan kecerdasan rasional yang dapat diukur dengan tingkat kecerdasan yang disebut dengan Intelegensia Quantity (IQ) 39 Lebih lanjut lihat Makoto Shichida, Whole Brain Power Kekuatan Menggabungkan Dua Otak, Gramedia, Jakarta, 2014. Lihat juga Shigeo Haruyama, Keajaiban Otak Kanan, Gramedia, Jakarta, 2014. 40 Kalau kaum intelektual ini kemudian menjalankan pengetahuan yang dirumuskannya sebagai kebenaran itu dan mengabdi kepada kepentingan manusia, ia disebut pula kaum cendi-kiawan. Seringkali kita menemukan istilah jika terjadi suatu peristiwa kemasyarakatan, orang menanyakan siapa pelaku (dader) intelektualnya. Kata intelektual menunjukkan “kaum pemikir” dibalik peristiwa tersebut. 36
70
menghasilkan buah-buahan. Buah-buahan tadi adalah hak milik juga tapi hak milik materil. Hak milik atas benda berwujud. Demikian pula hasil kerja otak (intelektualitas) manusia dalam bentuk penelitian atau temuan dalam bidang teknologi ia juga dirumuskan sebagai Hak Kekayaan Intelektual. Kemampuan otak untuk menulis, berhitung, berbicara, mengingat fakta dan menghubungkan berbagai fakta menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi, disebut juga sebagai fungsi preposisi verbal linguistis, logis dan analitis yang merupakan pekerjaan belahan otak kiri. Dengan uraian di atas, tampaklah titik terang asal-usul kata intellectual property rights itu. Asal muasal, kata intelektual yang dilekatkan pada kata hak kekayaan. Hak itu lahir atas hasil perjuangan kerja otak dengan pertimbangan kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional. Tidak semua orang dapat dan mampu mempekerjakan otak (nalar, rasio, intelektual) secara maksimal. Oleh karena itu tak semua orang pula dapat menghasilkan intellectual property rights. Hanya orang yang mampu mempekerjakan otaknya sajalah yang dapat menghasilkan hak kebendaan yang disebut sebagai intellectual property rights. Itu pulalah sebabnya hasil kerja otak yang membuahkan Hak Kekayaan Intelektual itu bersifat eksklusif. Hanya orang tertentu saja yang dapat melahirkan hak semacam itu. Berkembangnya peradaban manusia, dimulai dari kerja otak itu.41 Bagi masyarakat yang hidup dibelahan dunia yang menganut ajaran kapitalis, tentu ia menyebutkan hasil karya semacam itu sebagai hak ekslusif. Tentu saja bagi Indonesia yang menganut falsafah Pancasila, mestinya menyebutnya sebagai karya yang lahir atas berkah dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Bukan hasil karya yang semata-mata lahir dari kemampuan manusia pribadi yang lahir tanpa “campur tangan” Tuhan. Banyak hak kekayaan intelektual sebagai kekayaan budaya yang tak terselamatkan antara lain yang bersumber dari sumber daya alam. Kopi yang ditanam di dataran tinggi Sinabung dan Saribu Dolok, diberi merek oleh pengusaha Amerika dan didaftarkan di Amerika dengan merk “Mandheling”. Demikian pula pengetahuan tradisional kita tentang, daun jambu biji untuk sakit perut, daun jarak untuk menurunkan panas, daun ketepeng dan lengkuas untuk obat penyakit kulit, sarang laba-laba untuk menutupi luka lebar, daun rumput pahit untuk menghentikan pendarahan pada luka luar, kunyit untuk mengobati luka dalam dan lain-lain, akan tetapi para perusahaan farmasi mengambil ekstrak hasil bumi Indonesia dan untuk memproduksi obat-obatan atas dasar pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia. Undang-undang hak kekayaan intelektual Indonesia yang terkait dengan itu seperti Undangundang Hak Cipta, Paten, Perlindungan Varietas Tanaman, Design Industri saat ini belum mampu memberikan perlindungan yang maksimal. Di samping itu, perlindungan tentang pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional sampai saat ini belum ada undang-undangnya. Oleh karena itu dengan menggunakan perangkat perundang-undangan hak kekayaan intelektual yang ada pada hari ini perlu kiranya disosialisasikan kepada tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh budaya yang diharapkan kelak dapat memperluas informasi ini ke seluruh lapisan masyarakat guna penyelamatan kekayaan budaya bangsa. Untuk itulah sosialisasi ini perlu dilakukan. B. Kondisi Obyektif Saat ini kekayaan budaya bangsa, banyak yang dimanfaatkan oleh pihak asing untuk kepentingan mereka tanpa memperhatikan hak ekonomi (economic rights) yang melekat pada kesatuan masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak komunal (community rights). Khusus untuk masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo yang disingkat dengan “simekar” kekayaan budaya masyarakatnya sampai saat ini belum terinventarisir dan terdokumentasi dengan baik.
41 Itu sebabnya pakar biologi dan pakar antropologi fisik, mengatakan sebenarnya manusia itu tak lebih dari hewan yang berpikir. Sekiranya manusia tidak memfungsikan otaknya untuk berpikir dan menalar maka manusia sama dengan hewan dan peradaban manusia tidak akan berkembang pesat.
71
Situasi seperti itu terjadi, berpangkal pada ketidak tahuan masyarakatnya tentang arti penting perlindungan atas kekayaan budaya tradisional sebagai bahagian dari kekayaan budaya bangsa yang dilindungi melalui instrument hukum hak kekayaan intelektual. Masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Simalungun, Karo dan Melayu yang tergabung dalam Aliansi Simekar, tak semuanya memahami bahkan kurang mendapat sosialisasi tentang arti penting perlindungan kekayaan budaya meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Sehingga dalam banyak hal, ada beberapa pengetahuan tradisional ekspresi budaya tradisional tidak terinventarisir dan tidak terdokumentasi dengan baik. Oleh karena itu pencerahan kepada tokoh-tokoh budaya masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Simekar perlu dilakukan. Kelak setelah sosialisasi ini akan diinventarisir dan didokumentasikan kekayaan budaya di tiga wilayah kesatuan masyarakat hukum adat ini. Tentu saja kekayaan budaya dimaksud adalah kekayaan kebudayaan yang dapat diberi hak kekayaan intelektual baik berupa invensi yang berpangkal pada kebudayaan tradisional maupun terhadap produk-produk yang bersumber pada pengetahuan tradisional, termasuk penggunaan merek yang melanggar indikasi asal (indication of origin) atau indikasi geografis (geographical indication). Bagaimana bentuk perlindungan hukum atas kekayaan budaya yang meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional menurut sistem perlindungan yang diberikan oleh instrument perundang-undangan hak kekayaan intelektual Indonesia ? Langkah-langkah apa yang perlu ditempuh untuk kegiatan atau aktivitas melakukan inventarisasi dan pendokumentasian kekayaan budaya yang meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional pada kelompok masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo. Kesemua itu menjadi alasan mengapa sosialisasi ini penting untuk dilakukan. C. Istilah HKI Dalam literatur Indonesia istilah Intellectual Property Rights telah mengalami perkembangan. Pada awalnya istilah Intellectual Property Rught diterjemahkan dengan Hak Milik Intellektual. Seiring perjalanannya istilah itu berubah menajadi Hak Atas Kekayaan Intelektual, pada kurun waktu yang sama ada juga yang menggunakan istilah Hak Kekayaan Intelektual. Terakhir melalui UU No.28 Tahun 2014 istilah itu disederhanakan dengan istilah Kekayaan Intelektual, seiring dengan itu Kementerian Kehakiman kemudian menamakan institusi yang mengurusi urusan Hak Kekayaan Intelektual itu dengan nama Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Perubahan pada penggunaan istilah itu bukan tidak beralasan.Dengan merujuk pemakaian istilah yang sama yang digunakan oleh beberapa negara, Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual cenderung menyutuji istilah Kekayaan Intelelktual, dengan menghapuskan kata “Hak”. Meskipun penghapusan kata “hak” dalam pemakakian istilah yang sebenarnya berasal dari terminologi asing “Intellectual Property Rights” yang sebenarnya sejak awal difahami bukanlah istilah yang tumbuh dari peradaban hukum Indonesia. Di beberapa negara dan dalam berbagai literatur masih tetap menggunakan istilah “Intellectual Properrty Rights” yang mencantumkan kata “right” atau kata “recht” di ujung kata Intellectual property. 42 Menurut hemat kami, penggunaan istilah haruslah dikembalikan pada sejarah lahirnya terminologi yang melatar belakangi munculnya frase itu. Secara akademis harus difahami bahwa istilah Hak Kekayaan Intelektual tidak serta merta lahir begitu saja dalam tatanan hukum yang berlaku pada satu negara baik itu hukum yang berlaku dalam satu negara dengan latar belakang sistem hukum civil law atau dengan latar belakang common law. Indonesia dengan latar belakang hukum civil law dan sejak awal telah diperkenalkan salah satu bidang Hak Kekayaan Intelektual seperti hak cipta dengan istilah Auteursrecht yang diatur dalam Auteurswet 1912 Statblaad No.600 dan octrooi recht untuk menyebutkan hak paten seperti yang diatur dalam Octrooi wet produk Kolonial Belanda yang dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Tahun 1910 Nomor 313, demikian juga tentang merek yang diatur dalam Reglement Industriele 42 Lihat lebih lanjut Mr. E.J. Arkenbout, Mr. P.G.F.A. Geerts, Mr. P.A.C.E. van der Kooij, Rechtspraak Intellectuele Eigendom, koninklijke vermande, Den Haag, 1997.
72
Eigendom yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Tahun 1912 No. 545 ketika itu, hal ini semakin menguatkan argumentasi kami istilah “hak” yang berasal darui frase “recht” atau “right” tak dapat dihilangkan untuk menyebutkan istilah “Hak Kekayaan Intelektual” menjadi istilah “Kekayaan Intelektual”. Kini mari kita telusuri akar kata itu dalam terminologi hukum Indonesia dengan latar belakang sistem hukum civil law (Eropa continental). Pengaturan tentang hak kekayaan intelektual sejak awal tidak terkodifikasi dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk wet Book) tetapi diatur tersebar secara sporadis dalam Undang-undang tersendiri. Kodifikasi hukum Perdata dan hukum dagang – yang termuat dalam Burgerlijke wet Bok dan Wet Bok van Koophandel – peninggalan Kolonial Belanda tak ada juga menyebutkan tentang istilah Hak Kekayaan Intelektual. Di Indonesia istilah hak kekayaan intelektual ini justeru mulai diperkenalkan dalam kepustakaan Ilmu Hukum (Indonesia), melalui kepustakaan hukum negara-negara penganut Anglo Saxon terutama Amerika pasca kerjasama dengan ELIPS Project pada paroh awal dekade 1990-an. Namun demikian akar kata tentang keberadaan hak kekayaan intelektual sebagai obyek hukum benda sudah ada cikal bakalnya ketika KUH Perdata membuat kategori benda berdasarkan wujudnya, yaitu benda berwujud (benda materiil) dengan benda tidak berwujud (benda immateriil).Pengelompokan benda yang demikian dapat ditelusuri dari buku II KUH Perdata yang mengatur tentang Hukum Benda (van Zaaken) yang dimuat dalam Pasal 499. Frase “zaak” yang diterjemahkan dengan “benda” terdiri dari “ goederen” yang diterjemahkan dengan “barang” dan “rechten” yang diterjemahkan dengan “hak”. Barang adalah benda berwujud stoffelijk voorwerp)43 atau benda materiil sedangkan hak adalah benda tidak berwujud atau benda immateriil berupa "buah pikiran, hasil otak manusia (menslijke idean, voortbrengselen van de menselijke geest) dapat pula menjadi obyek hak obsolut".44 Walaupun buah pikiran bukan merupakan benda material (stoffelijk voorwerp). Ia juga bukan hak subyektif (persoonlijk recht) dalam bidang hukum kekayan (noch een subyektief vermogensrecht). Jadi ia termasuk ke dalam rumusan benda dalam Pasal 499 KUH Perdata dan oleh sebab itu pula ia termasuk kedalam rumusan hak benda (zakelijk recht)45 jika buah pikiran itu berisikan idea atau gagasan yang lahir dari hasil penelitian berupa ilmu pengetahuan, seni dan sastra (yang dilindungi sebagai hak cipta) (auteurechts) atau dalam bentuk invensi yang dilindungi dalam bentuk paten (octrooi rechts). Untuk membedakannya dengan barang-barang material menurut Pasal 499 KUH Perdata, maka : "Buah pikiran yang menjadi obyek hak absolut dan juga hak atas buah pikiran dinamakan : benda immaterial",46 demikian Prof. Mahadi. Dalam kepustakaan hukum Indonesia, yang merupakan hasil transplantasi hukum asing, salah satu bentuk dari benda yaitu hak kekayaan intelektual (intellectual property rights). Oleh karena itu, kata “rights” (hak) tetaplah harus dilekatkan pada kata “intellectual property” untuk membedakannya dengan barang (benda berwujud). Jika kata hak dilepaskan maka kata intellectual property akan kehilangan makna atau sifat immaterielnya sehingga pemaknaannya menjadi benda berwujud (goederen). Dengan mengutip Pitlo, Mahadi menulis : "..... ofsschoon zij evenmin als het vorderingsrecht enn "zaak" tot voorwerp hebben, behoren zij wederom net als de vorrdering tot de in art 555 vermelde "rechten" enkunen zij dus zelf tot voorwerp van een zakelijrecht dienen. Een idee is geen zaak, het recht op een idee well, een uitvinding kan men niet verpander, well het octrooirecht. Zoo kan men ook aandelen in enn N.V. en enn B.V. tot object van vruchtgebruik maken artt 2:88 en 2.197 of van pandrecht (artt 2:89 en 2:198). De regels vorr de overdracht, de verpanding en van de rechten op immateriele goederen, ofschoon grotendells in de 43
Ibid, h. 14. Mahadi, Hak Milik Imaterial, BPHN, Tanpa tempat, 1985, h. 4. 45 Soedewi Masjchoen Sofwan, SH, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981 dan Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 2010. 46 Mahadi, Hak Milik Imaterial, BPHN, Tanpa tempat, 1985, h. 4. 44
73
genoemde bijzondere wetten geschreven maken deel uit van het zakenrecht. Waar de bijzondere wet zwijgt, moeten wij de voor zaken in het algemeen gegeven be palingen toepassen". Maksudnya (demikian terjemahan Mahadi) : "Serupa seperti hak tagih, hak immaterial tidak mempunyai barang sebagai obyeknya. Juga serupa seperti hak tagih, hak immaterial termasuk kedalam "hak-hak" yang disebut Pasal 499 KUH Perdata. Oleh sebab itu hak immaterial itu sendiri bukan barang, tapi hak atas buah pikiran adalah benda, sesuatu penemuan tak dapat kita gadaikan, tapi hak oktroi dapat ; sero-sero dalam sesuatu Perseroan Terbatas dapat kita alihkan dengan hak hasil ; sero-sero itu dapat kita gadaikan. Aturan-aturan tentang penyerahan, tentang penggadaian dan lain-lain hak-hak immaterial, meskipun terdapat dalam Undang-Undang khusus, adalah bagian dari hukum benda. Untuk hal-hal yang tidak diatur oleh Undang-Undang khusus itu, harus kita pergunakan aturan-aturan yang dibuat untuk benda".47 Jadi semakin jelas bahwa jika mengacu kepada pendapat Pitlo, hak milik intelektual termasuk dalam cakupan Pasal 499 KUH Perdata, jadi ia termasuk benda, tepatnya benda tidak berwujud. Kalaupun ternyata hal tersebut tidak diatur dalam peraturan khusus, maka peraturan dan asas-asas hukum yang terdapat dalam sistem hukum benda dapat diterapkan terhadapnya. Prof. Mahadi ketika menulis buku tentang Hak Milik Immateril mengatakan, tidak diperoleh keterangan yang jelas tentang asal usul kata “hak milik intelektual”. Kata “Intelektual” yang digunakan dalam kalimat tersebut, tak diketahui ujung pangkalnya.48 Tampaknya perlu juga ditelusuri asal-muasal frase hak kekayaan intelektual itu. Saya coba kembali untuk menyimak berbagai referensi dan catatan-catatan yang berkaitan dengan asal-usul kata “intellectual” (intelektual) yang ditempelkan pada kata property rights (hak kekayaan). Berbagai buku saya baca, saya juga tak memperoleh keterangan. Namun setelah saya cermati maksud dan cakupan dari istilah itu dapatlah kira-kira saya buat uraian sebagai berikut. Hak kekayaan intelektual itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, 49 hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar.50 Itu pada satu sisi, di sisi lain adapula hasil kerja emosional. Hasil kerja hati dalam bentuk abstrak yang dikenal dengan rasa perpaduan dari hasil kerja rasional dan emosional itu melahirkan sebuah karya yang disebut karya intelektual. 51 Hasil kerjanya itu berupa benda immateril. Benda tidak berwujud. Kita ambil misalnya karya cipta lagu. Untuk menciptakan alunan nada (irama) diperlukan pekerjaan otak. Menurut ahli biologi otak kananlah yang berperan untuk menghayati kesenian, berhayal, menghayati kerohanian, termasuk juga kemampuan melakukan sosialisasi dan mengendalikan emosi. Fungsi ini disebut sebagai fungsi nonverbal, metaforik, intuitif, imajinatif dan emosional. Spesialisasinya bersifat intuitif, holistik dan mampu memproses informasi secara simultan. 52 Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Orang yang optimal memerankan kerja otak dan hatinya disebut sebagai orang yang terpelajar, mampu menggunakan rasio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan logika dan menyeimbangkannya dengan kerja hati yang melahirkan kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) (metode berpikir, cabang filsafat), karena
47
Ibid, h. 4-5. Mahadi, Hak Milik Immateril, BPHN-Bina Cipta, Jakarta, 1985 hal. 4. 49 Otak yang dimaksudkan bukanlah otak yang kita lihat seperti tumpukan daging yang enak digulai, yang beratnya 2% dari total berat tubuh, tetapi otak yang berperan sebagai pusat pengaturan segala kegiatan fisik dan psikologis, yang terbagi menjadi dua belahan; kiri dan kanan. 50 Kata “menalar” ini penting, sebab menurut penelitian pakar antropologi fisik di Jepang, seekor monyet juga berpikir, tetapi pikirannya tidak menalar. Ia tidak dapat menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. 51 Hasil kerja rasional dan emosional itu dalam kajian ilmu kedokteran merupakan hasil kerja otak juga sebagai pusat dari simpul saraf. Kalau hati dalam terminology kedokteran memiliki fungsi lain, yakni untuk menjaga keseimbangan gula darah, jika terdapat kelebihan, disimpan dalam hati yang disebut dengan fungsi lever. Oleh karena itu hati yang dimaksudkan disini adalah kecerdasan emosional yang dapat diukur dengan Emotional Quotient (EQ) yang dibedakan dengan kecerdasan rasional yang dapat diukur dengan tingkat kecerdasan yang disebut dengan Intelegensia Quantity (IQ) 52 Lebih lanjut lihat Makoto Shichida, Whole Brain Power Kekuatan Menggabungkan Dua Otak, Gramedia, Jakarta, 2014. Lihat juga Shigeo Haruyama, Keajaiban Otak Kanan, Gramedia, Jakarta, 2014. 48
74
itu hasil pemikirannya disebut rasional atau logis. Orang yang tergabung dalam kelompok ini disebut kaum intelektual.53 Begitulah, ketika irama lagu tadi tercipta berdasarkan hasil kerja otak, ia dirumuskan sebagai Hak Kekayaan Intelektual. Berbeda misalnya dengan hasil kerja fisik, petani mencangkul, menanam, menghasilkan buah-buahan. Buah-buahan tadi adalah hak milik juga tapi hak milik materil. Hak milik atas benda berwujud. Demikian pula hasil kerja otak (intelektualitas) manusia dalam bentuk penelitian atau temuan dalam bidang teknologi ia juga dirumuskan sebagai Hak Kekayaan Intelektual. Kemampuan otak untuk menulis, berhitung, berbicara, mengingat fakta dan menghubungkan berbagai fakta menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi, disebut juga sebagai fungsi preposisi verbal linguistis, logis dan analitis yang merupakan pekerjaan belahan otak kiri. Dengan uraian di atas, tampaklah titik terang asal-usul kata intellectual property rights itu. Asal muasal, kata intelektual yang dilekatkan pada kata “hak kekayaan”. Hak itu lahir atas hasil perjuangan kerja otak dengan memadukan kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional. Tidak semua orang dapat dan mampu mempekerjakan otak (nalar, rasio, intelektual) secara maksimal. Oleh karena itu tak semua orang pula dapat menghasilkan intellectual property rights. Hanya orang yang mampu mempekerjakan otaknya sajalah yang dapat menghasilkan hak kebendaan yang disebut sebagai intellectual property rights. Itu pulalah sebabnya hasil kerja otak yang membuahkan Hak Kekayaan Intelektual itu bersifat eksklusif. Hanya orang tertentu saja yang dapat melahirkan hak semacam itu. Berkembangnya peradaban manusia, dimulai dari kerja otak itu.54 Manusia yang memiliki kemampuan seperti itu adalah manusia pilihan. Manusia yang dianugerahkan talenta oleh Allah SWT dengan kelebihan-kelebihan tertentu sehingga memiliki keistimewaan untuk menjadi pencipta atau inventor. Bagi masyarakat yang hidup dibelahan dunia yang menganut ajaran kapitalis, tentu ia menyebutkan hasil karya semacam itu sebagai hak ekslusif. Tentu saja bagi Indonesia yang menganut falsafah Pancasila, mestinya menyebutnya sebagai karya yang lahir atas berkah dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Bukan hasil karya yang semata-mata lahir dari kemampuan manusia pribadi yang lahir tanpa “campur tangan” Tuhan. Kembali kita pada persoalan istilah tadi. Dalam kepustakaan hukum Anglo Saxon ada dikenal sebutan Intellectual Property Rights. Kata ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Hak Milik Intelektual”, yang sebenarnya menurut hemat penulis lebih tepat kalau diterjemahkan menjadi Hak Kekayaan Intelektual. Alasannya adalah kata “hak milik” sebenarnya sudah merupakan istilah baku dalam kepustakaan hukum.55 Padahal tidak semua Hak Kekayaan Intelektual itu merupakan hak milik dalam arti yang sesungguhnya. Bisa merupakan hak untuk memperbanyak saja, atau untuk menggunakannya dalam produk tertentu dan bahkan dapat pula berupa hak sewa (rental rights), atau hak-hak lain yang timbul dari perikatan seperti lisensi, hak siaran, dan lain sebagainya. Istilah hak kekayaan intelektual saat ini sudah dibakukan dalam berbagai peraturan organik yang diterbitkan oleh Pemerintah. Bila ditelusuri perjalanan penggunaan istilah hak kekayaan intelektual di 53 Kalau kaum intelektual ini kemudian menjalankan pengetahuan yang dirumuskannya sebagai kebenaran itu dan mengabdi kepada kepentingan manusia, ia disebut pula kaum cendi-kiawan. Seringkali kita menemukan istilah jika terjadi suatu peristiwa kemasyarakatan, orang menanyakan siapa pelaku (dader) intelektualnya. Kata intelektual menunjukkan “kaum pemikir” dibalik peristiwa tersebut. 54 Itu sebabnya pakar biologi dan pakar antropologi fisik, mengatakan sebenarnya manusia itu tak lebih dari hewan yang berpikir. Sekiranya manusia tidak memfungsikan otaknya untuk berpikir dan menalar maka manusia sama dengan hewan dan peradaban manusia tidak akan berkembang pesat. 55 Perdebatan seru tentang istilah ini telah berlangsung selama bertahun-tahun. Ada yang setuju dengan istilah hak milik intelektual, ada yang bertahan untuk menggunakan istilah Hak Kekayaan Intelektual, tapi memang akhirnya oleh Bambang Kesowo Ketua Tim yang membidangi masalah hukum HaKI, memveto lalu agar menggunakan istilah Hak Kekayaan Intelektual. Singkatannyapun bermacam-macam pula ada HaKI, ada HaKI, ada HKI. Rumusan baku tentang Hak Milik itu misalnya dapat kita lihat dalam Pasal 570 KUHPerdata dalam pasal 20 UUPA No. 5 Tahun 1960, tentang Hak Milik Atas Tanah.
75
tanah air, istilah itu sebetulnya diterjemahkan dari istilah asing yakni Intellectual Property Rights (IPR) yang kemudian oleh berbagai pihak diterjemahkan menjadi Hak Milik Intelektual bahkan ada juga yang menterjemahkannya Hak Milik Atas Kekayaan Intelektual. Setelah tahun 2000, Menteri Hukum dan HAM (waktu itu masih bernama Menteri Hukum dan Perundang-undangan) mengeluarkan Surat Keputusan Nomor M.03.PR.07.10 Tahun 2000 dan bersamaan dengan itu dikeluarkan Surat Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Nomor 24/M/PAN/1/2000 56dan dibakukanlah penggunaan istilah yang berasal dari Intellectual Property Rights menjadi “Hak Kekayaan Intelektual” dengan menggunakan singkatan “HKI” atau akronim “HaKI”. Dengan demikian, penggunaan istilah yang telah dibakukan saat ini adalah “Hak Kekayaan Intelektual” tanpa menggunakan kata “atas”. Namun saat ini setelah diterbitkannya Undang-undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 ada keinginan pemerintah untuk menghilangkan kata “hak” sehingga menjadi “kekayaan intelektual” atau disingkat dengan KI saja. Seperti telah diuraikan di depan, menghilangkan kata “hak” dalam terminologi Hak Kekayaan Intelektual kurang tepat, tidak memiliki alasan akademis jadi sudah tepatlah digunakan istilah Hak Kekayaan Intelektual atau disingkat HKI. Dengan menempatkan kata “hak” istilah hukum ini tidak kehilangan pijakan dan tidak kehilangan “roh”nya. Rohnya adalah pada kata “hak” yang tidak berwujud. Semua diskursus tentang intelektual property rights berkisah tentang “hak” bukan tentang benda berwujud (atau dalam terminologi hukum benda disebut sebagai barang). Jika ditelusuri lebih jauh, Hak Kekayaan Intelektual sebenarnya merupakan bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (benda immateril). Benda dalam kerangka hukum perdata dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori salah satu di antara kategori itu, adalah pengelompokan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud dan benda tidak terwujud. Untuk hal ini dapatlah dilihat batasan benda yang dikemukakan oleh pasal 499 KUH Perdata, yang berbunyi: menurut paham undang-udang yang dimaksud dengan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. 57 Untuk pasal ini, kemudian Prof.Mahadi menawarkan, seandainya dikehendaki rumusan lain dari pasal ini dapat diturunkan kalimat sebagai berikut: yang dapat menjadi objek hak milik adalah benda dan benda itu terdiri dari barang dan hak.58 Selanjutnya sebagaimana diterangkan oleh Prof. Mahadi barang yang dimaksudkan oleh pasal 499 KUH Perdata tersebut adalah benda materil (stoffelijk voorwerp), sedangkan hak adalah benda immateril. Uraian ini sejalan dengan klasifikasi benda menurut pasal 503 KUH Perdata, yaitu penggolongan benda ke dalam kelompok benda berwujud (bertubuh) dan benda tidak berwujud (tidak bertubuh). Benda immateril atau benda tidak berwujud yang berupa hak itu dapatlah kita contohkan seperti hak tagih, hak atas bunga uang, hak sewa, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak atas benda berupa jaminan, Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) dan lain sebagainya. Selanjutnya mengenai hal ini Pitlo, sebagaimana dikutip oleh Prof. Mahadi mengatakan, serupa dengan hak tagih, hak immateril itu tidak mempunyai benda (berwujud) sebagai objeknya. Hak milik immateril termasuk ke dalam hak-hak yang disebut pasal 499 KUH Perdata. Jika disederhanakan dalam bentuk skema, uraian di atas dapat digambarkan sebagai berikut :
Benda Pasal 499 KUH Perdata
Benda Materil (Berwujud)
Barang
Benda Immateril (Tidak Berwujud)
Hak
56 Surat Keputusan Menteri Hukum dan PerUndang-Undangan tersebut didasari pula dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 144 Tahun 1998 tanggal 15 September 1998, tentang perubahan nama Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek berubah menjadi Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual (Ditjen HAKI) kemudian berdasar Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 Ditjen HAKI berubah menjadi Ditjen HKI.” 57 R. Soebekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hal. 155. Menurut hemat penulis, tidak hanya sekadar hak milik, tetapi dapat menjadi objek harta kekayaan (property rights). 58 Mahadi, Hak Milik Dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, Jakarta, BPHN, 1981, hal. 65.
76
Oleh karena itu hak milik immateril itu sendiri dapat menjadi objek dari suatu hak benda. Selanjutnya dikatakannya pula bahwa, hak benda adalah hak absolut atas sesuatu benda berwujud, tetapi ada hak absolut yang objeknya bukan benda berwujud. Itulah yang disebut dengan nama Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights).59 Kata “hak milik” (baca juga: hak atas kekayaan) atau property yang digunakan dalam istilah tersebut sungguh menyesatkan, kata Mrs. Noor Mout—Bouwman. Karena kata harta benda/property mengisyarakan adanya suatu benda nyata. Padahal Hak Kekayaan Intelektual itu tidak ada sama sekali menampilkan benda nyata. Ia bukanlah benda materil. Ia merupakan hasil kegiatan berdaya cipta pikiran manusia yang diungkapkan ke dunia luar dalam suatu bentuk, baik material maupun immaterial. Bukan bentuk penjelmaannya yang dilindungi akan tetapi daya cipta itu sendiri. Daya cipta itu dapat berwujud dalam bidang seni, industri dan ilmu pengetahuan atau paduan ketiga-tiganya.60 Merujuk pada pandangan Bouwman, maka sudah tepatlah untuk tidak menghilangkan kata “hak” pada terminologi hak kekayaan intelektual. Menghilangkan kata “hak” sehingga tinggal kata kekayaan intelektual saja akan menyesatkan. Sesat, karena sifat immaterilnya akan hilang, padahal dalam studi hak kekayaan intelektual selamanya bercerita tentang hak, tentang benda immateril. Keterangan Bouwman ini sedikit dapat memberikan kejelasan terhadap pandangan Prof. Mahadi yang dikemukakan pada awal bab ini mengenai asal usul kata “intelektual” yang dilekatkan pada kata hak milik. Pandangan para tokoh intelektual yang disebut di atas (Mahadi dan Bouwman) ditambah dengan beberapa referensi dari buku-buku ilmu kedokteran, cukuplah untuk mengantarkan kita pada satu definisi bahwa hak kekayaan intelektual adalah hak kebendaan immaterial atau hak atas benda tidak berwujud yang lahir atas kemampuan intelektual manusia berupa hasil kerja kecerdasan intelegensia dan kecerdasan emosional. Kemampuan intelektual manusia lewat kecerdasan intelegensia dan kecerdasan emosional, telah melahirkan banyak karya cipta mulai karya ilmu pengetahuan, seni sampai pada karya sastra, yang kemudian dilindungi sebagai hak cipta dan invensi yang kemudian dilindungi sebagai paten. Demikian juga hasil kemampuan intelektual manusia itu melahirkan berbagai temuan dalam bidang industri dan teknologi, mulai dari teknologi mesin pesawat terbang sampai pada teknologi mobil ramah lingkungan yang dilindungi sebagai hak paten dan paten sederhana baik dalam bentuk paten proses atau paten produk. Hasil kerja kemampuan intelektual manusia juga yang dapat menghasilkan karya seni yang apabila diwujudkan dalam aktivitas industri dapat menghasilkan rancangan berupa desain industri. Hasil intelektual manusia juga yang menghasilkan tanda pembeda antara produk barang atau jasa yang diproduksi oleh produsen, sehingga memudahkan konsumen untuk membedakan masing-masing barang atau jasa yang diproduksi oleh para produsen tersebut. Ini kemudian dilindungi sebagai hak merek. Demikian pula hasil kecerdasan intelektual manusia kemudian melahirkan varietas tanaman yang unggul dalam berbagai hal, seperti hasil yang lebih baik, tahan hama, bentuk buah, warna buah dan lain sebagainya. Ini kemudian dilindungi sebagai hak atas varietas tanaman. Kemajuan teknologi informasi dan teknologi elektronika, juga tidak terlepas dari capaian atas kemampuan intelektual manusia atas invention dan inovationnya dalam bidang merangkai jaringan elektronik, inilah kemudian yang dilindungi sebagai jaringan elektronika terpadu (integrated circuits). Mungkin karena adanya unsur daya cipta yang dikembangkan dari kemampuan berpikir manusia, untuk melahirkan sebuah karya, hingga akhirnya kata “intelektual” itu harus dilekatkan pada setiap temuan yang berasal dari kreativitas berpikir manusia tersebut hingga muncullah terminologi Hak Kekayaan Intelektual yang dilindungi sebagai hak atas benda immateril. D. Ruang Lingkup HKI Konsekuensi lebih lanjut dari batasan Hak Kekayaan Intelektual ini adalah, terpisahnya antara Hak Kekayaan Intelektual itu dengan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya. Yang disebut 59
Mahadi, Hak Milik Immateril, op.cit., hal. 5-6. Bouwman Noor Mout., Perlindungan Hak Cipta Intelektual: Suatu Rintangan Atau Dukungan Terhadap Perkembangan Industri, makalah pada Seminar Hak Milik Intelektual, Kerja Sama FH USU dengan Naute van Haersolte Amsterdam, Medan, Fakultas Hukum USU, Tanggal 10 Januari 1989. 60
77
terakhir ini adalah benda berwujud (benda materil). Suatu contoh dapat dikemukakan misalnya hak cipta dalam bidang ilmu pengetahuan (berupa Hak Kekayaan Intelektual) dan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya adalah buku, begitu pula temuan (istilah undang-undang invensi) dalam bidang paten (bagian Hak Kekayaan Intelektual), dan hasil benda materi yang menjadi bentuk jelmaannya adalah minyak pelumas, misalnya. Jadi yang dilindungi dalam kerangka Hak Kekayaan Intelektual adalah haknya, bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan dari hak tersebut dilidungi oleh hukum benda dalam kategori benda materil (benda berwujud). Pengelompokan Hak Kekayaan Intelektual itu lebih lanjut dapat dikategorikan dalam kelompok sebagai berikut: 1. Hak Cipta (Copy Rights) Hak Milik (baca : hak kekayaan) Perindustrian (Industrial Property Rights).61 Hak cipta sebenarnya dapat lagi diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu: a. Hak cipta dan b. Hak yang berkaitan (bersempadan) dengan hak cipta (neighbouring rights). Istilah neighbouring rights, belum ada terjemahan yang tepat dalam bahasa hukum Indonesia. Ada yang menerjemahkannya dengan istilah hak bertetangga dengan hak cipta, adapula yang menerjemahkannya dengan istilah hak yang berkaitan atau berhubungan dengan hak cipta. Dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2014 istilah neighbouring rights diterjemahkan menjadi hak terkait. Penulis menggunakan istilah “hak yang bersempadan dengan hak cipta”, oleh karena kedua hak itu (copy rights maupun neighbouring rights) adalah dua hak yang saling melekat berdampingan tetapi dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Beberapa konvensi internasional juga memisahkan pengaturan antara copy rights dengan neihbouring rights. Jika copy rights diatur dalam Bern Convention, neighbouring rights diatur dalam Rome Convention Tahun 1961. Undang-undang Hak Cipta Indonesia menggunakan istilah hak terkait atau hak yang berkaitan dengan hak cipta untuk menyebutkan frase neighbouring rights. Neighbouring rights, dalam hukum Indonesia, pengaturannya masih ditumpangkan dengan pengaturan hak cipta. Namun jika ditelusuri lebih lanjut neighbouring rights itu lahir dari adanya hak cipta induk. Misalnya liputan pertandingan sepak bola atau pertandingan tinju atau live show artis penyanyi adalah hak cipta sinematografi, tetapi untuk penyiarannya di media elektronik yakni berupa hak siaran adalah neighbouring rights. Keduanya masih merupakan satu kesatuan, tetapi dapat dipisahkan. Begitu pula antara hak cipta lagu dengan hak penyiarannya, yang pertama merupakan hak cipta sedangkan hak yang disebut terakhir adalah neighbouring rights. Itulah alasannya, kami lebih cenderung menggunakan istilah hak yang bersem-padan dengan hak cipta, untuk terjemahan istilah neigbouring rights. Kedua hak itu saling melekat, saling menempel, tetapi dapat dipisahkan. Adanya neighbouring rights selalu diikuti dengan adanya hak cipta, namun sebaliknya adanya hak cipta tidak mengharuskan adanya neighbouring rights. Selanjutnya hak atas kekayaan perindustrian dapat diklasifikasikan lagi menjadi: 1. Patent (Paten) 2. Utility Models (Model dan Rancang Bangun) atau dalam hukum Indonesia, dikenal dengan istilah paten sederhana (simple patent). 2.
61 Redaksi, Indonesia Perlu Perhatikan Hak Milik Intelektual, Kompas, Jakarta, 19 Februari 1986, hal. 1. Lebih lanjut lihat, Cornish, Llewelyn & Aplin, Intellectual Property : Patents, Copyright, Trade Marks and Allied Rights, Sweet & Maxwell, London, 2013. David Bainbridge, Intellectual Property, Pearson Education Limited, England, 2002. Andrew Christie & Stephen Gare, Blackstone’s Statutes on Intellectual Property, Oxford University Press, New York, 2004. Prabuddha Ganguli, Intellectual Property Rights Unleashing the Knowledge Economy, Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi, 2001. Christopher May, The Global Political Economy of Intellectual Property Rights, The new enclosures Second Edition, Routledge, London, 2010. Jill McKeough, Kathy Bowrey & Philip Griffith, Intellectual Property Commentary and Materials, Lawbook Co, Australia, 2002. Christopher May, The Global Political Economy of Intellectual Property Rights, The new enclosures Second Edition, Routledge, London, 2010. Michael Spence, Intellectual Property, Oxford University Press, New York, 2007. Peter Tobias Stoll, Jan Busche and Katrin Arend, WTO – Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden – Boston, 2009.
78
3. 4. 5. 6.
Industrial Design (Desain Industri) Trade Merk (Merek Dagang) Trade Names (Nama Niaga atau Nama Dagang) Indication of Source or Appelation of Origin 62 Pengelompokan hak atas kekayaan perindustrian seperti tertera di atas didasarkan pada Convention Establishing The World Intellectual Property Organization. Dalam beberapa literatur, khususnya literatur yang ditulis oleh para pakar dari negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, bidang hak atas kekayaan perindustrian yang dilindungi tersebut, masih ditambah lagi beberapa bidang lain yaitu: trade secrets, service mark, dan unfair competition protection. Sehingga hak atas kekayaan perindustrian itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Patent 2. Utility Models 3. Industrial Designs 4. Trade Secrets 5. Trade Marks 6. Service Marks 7. Trade Names or Commercial Names 8. Appelations of Origin 9. Indications of Origin 10. Unfair Competition Protection. 63 Jika ditelusuri hasil Putaran Uruguay (Uruguay Round) tahun 1994 yang membuahkan kerangka TRIPs (The Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) bahagian dari capaian atau hasil kesepakatan GATT/WTO, terdapat dua bidang lagi yang perlu ditambahkan sebagai cakupan dari hak kekayaan intelektual, yakni: 1. Perlindungan Varietas Baru Tanaman, dan 2. Integrated Circuits (rangkaian elektronika terpadu). Jika pengklasifikasian di atas disederhanakan, dalam satu bagan maka pengelompokan itu dapat dilihat dalam bagan sebagai berikut :
62 Untuk menyebutkan asal atau sumber barang yang diproduksi dan diberi merek dengan tanda pembeda dengan produk barang yang berasal dari tempat yang berbeda (misalnya tembakau Deli atau Deli Tobacco, untuk menyebutkan produk cerutu yang benar-benar berasal dari tanah Deli). Lebih lanjut lihat Convention Establishing The World Intellectual Property Organization (WIPO). 63 William T. Frayer, Materi ceramah pada Intellectual Property Theaching of Tracher’s Program Conducted by The Faculty of Law, University of Indonesia, yang disponsori oleh Kantor Sekretariat Negara RI dan United Nations Development Programe/World Intellectual Property Organization, Jakarta, 15 Juli s/d 2 Agustus 1996.
79
Bagan 1 Kedudukan Hak Kekayaan Intelektual Dalam Sistem Hukum Perdata HUKUM PERDATA
Subyek Hukum Manusia/Badan Hukum
Hukum Harta Kekayaan
Hukum Perikatan
Hukum Benda
Benda Materil
Hukum Waris (Salah satu cara Untuk pengalihan HKI)
Franchise
Obyek Franchise
Benda Immateril
Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) : 1. Hak Cipta 2. Hak Milik Industri a. Merek b. Paten c. Desain Industri d. Sirkuit Terpadu e. Varietas Tanaman
Hak yang berkaitan dengan hak cipta Neighbouring rights Hak yang berkaitan dengan Merek : 1. Unfair competition 2. Appliation of origin/indication of origin/geographical indication Hak yang berkaitan dengan paten : 1. Trade secrets 2. Informasi yang dirahasiakan/ Undisclosed information
Dalam peraturan perundang-undangan tentang Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia bidang-bidang yang termasuk dalam cakupan intellectual property rights seperti tertera dalam bagan di atas tidak semuanya diatur dalam UU tersendiri, ada yang pengaturannya digabungkan dalam satu undang-undang. Misalnya pengaturan tentang neighbouring rights diatur dalam UU Hak Cipta, demikian pula pengaturan tentang utility models (UU kita tidak mengenal istilah ini tetapi menggunakan istilah Paten Sederhana) diatur dalam UU Paten, begitu juga ten-tang trade mark, service mark, trade names or commercial names appelations of origin dan indication of origin diatur dalam UU Merek. Adalagi bagian yang menurut hemat kami tidak termasuk dalam cakupan bidang HKI tetapi dalam berbagai literatur termasuk dalam cakupan HKI yakni unfair competition, rahasia dagang dan indication of origin atau sekarang dikenal sebagai indikasi geografis itu adalah figure hukum yang memiliki keterkaitan dengan hak kekayaan intelektual. Saat ini pengaturan tentang masing-masing bidang HKI itu kita temukan dalam undang-undang Indonesia, yaitu tentang Hak Cipta diatur UU No. 28 Tahun 2014, tentang Merk diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001, dan tentang Paten diatur dalam UU No.14 Tahun 2001. 80
Pada tahun 2001 bersamaan dengan lahirnya UU Paten dan Merek Indonesia sebelumnya telah menerbitkan beberapa peraturan baru yang tercakup dalam bidang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di samping paten dan merek yang sudah lebih dulu disahkan yaitu UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dan UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Dengan demikian saat ini terdapat perangkat UU HKI Indonesia, yakni : 1. Hak Cipta diatur dalam UU No. 28 Tahun 2014 2. Paten diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001 3. Merek diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001 4 Perlindungan Varietas Baru Tanaman diatur dalam UU No. 29 Tahun 2000 5. Rahasia Dagang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2000 6. Desain Industri diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000, dan 7. Desain tata letak sirkuit Terpadu diatur dalam UU No. 32 Tahun 2000. Jika di telusuri skema ruang lingkup HKI dalam uraian terdahulu dan menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan HKI Indonesia, agaknya telah tersahutilah amanah yang diagendakan oleh GATT/WTO (1994). Di samping peraturan perundang-undangan nasional, selain ratifikasi GATT 1994, Indonesia juga telah meratifikasi beberapa konvensi atau traktat interna-sional antara lain Konvensi Paris yang diratifikasi melalui Keppres No. 15 Tahun 1997, Patent Cooperation Treaty yang diratifikasi melalui Keppres No. 16 Tahun 1997, Trade Mark Law Treaty Ratifikasi melalui Keppres No. 17 Tahun 1997, Konvensi Bern yang diratifikasi melalui Keppres No. 18 Tahun 1997 serta WIPO Copyrights Treaty yang diratifikasi melalui Keppres No. 19 Tahun 1997.64 Terdapat juga beberapa konvensi internasional lainnya dalam bentuk traktat atau perjanjian bilateral, antara lain : 6. Keputusan Presiden RI No. 17 Tahun 1988 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta atas Karya Rekaman Suara antara Negara Republik Indonesia dengan Masyarakat Eropa; 7. Keputusan Presiden RI No.25 Tahun 1989 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Amerika Serikat; 8. Keputusan Presiden RI No.38 Tahun 1993 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Australia; 9. Keputusan Presiden RI No.56 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Inggris; 10. Keputusan Presiden RI N0. 74 Tahun 2004 tentang Pengesahan WIPO Performances and Phonogram Treaty (WPPT); 65 Selain hak-hak yang disebut di atas menurut hemat penulis, ada bentuk figur hukum yang patut juga untuk dimasukkan ke dalam bagian Hak Kekayaan Intelektual adalah tentang perlindungan terhadap pembiakan hewan yang di dalamnya termasuk jenis hewan ternak, ikan, udang, dan lain-lain yang memiliki implikasi komersial. Di samping itu, dalam kaitannya dengan penerapan UU Rahasia
64 Akan tetapi perlu juga difahami bahwa sekalipun Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi internasional tentang HKI, namun tidak semua dari protokol ikutannya turut diratifikasi oleh Indonesia, demikian penjelasan Candra Darusman, Direktur WIPO untuk kawasan ASEAN yang berkedudukan di Singapura pada tanggal 10 September 2015 di Fakultas Hukum USU. 65 Disebut sebagai Beijing Treaty karena kesepakatan itu lahir dari diplomatic conference yang dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 2012 di Beijing yang juga sekaligus mengakhiri 12 tahun negosiasi multilateral di bawah WIPO. Indonesia menjadi negara ke-53 yang menandatangani Beijing Treaty ini, namun traktat ini belum diberlakukan menunggu ratifikasi paling sedikit 30 negara-negara anggota penandatangan. Lebih lanjut lihat PTRI Jenewa/EDPY, Indonesia Tandatangani Beijing Treaty on Audiovisual Performance di Jenewa, Rabu 19 Desember 2012.
81
Dagang perlu pula diterbitkan UU tentang Franchise atau waralaba, meskipun hal ini berkaitan dengan lisensi dan hukum perikatan. Dalam perjanjian franchising, bukan wujud bendanya yang dilindungi seperti Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, Mc. Donald, Coca-Cola, Wendy's atau merek yang melekat pada produk tersebut, tetapi adalah hak untuk boleh melaksanakan atas izin pemegang atau pemilik hak kekayaan intelektual untuk menjalankan hak dimaksud. Khusus mengenai produk makanan dan minuman yang dilindungi sebagai rahasia dagang beserta seluruh atribut yang harus dipenuhi dalam pemasarannya. Maka menjadi sebuah kebutuhan untuk diwujudkan segera Undang-undang tentang waralaba tersebut.66 Ada benda immateril yang menjadi objek perjanjian dalam perikatan franchising tersebut. Oleh karena itu menurut hemat penulis, jika suatu saat nanti Indonesia akan membuat kodifikasi hukum perdata, maka hukum benda yang menjadi objek perikatan franchising, seyogianya figur hukum ini haruslah ditempatkan dalam kerangka hukum perikatan. Perikatan franchisingnya sendiri dapat ditempatkan dalam subsistem hukum perikatan sebagai bagian dari sistem hukum perdata. Bagaimana dengan unfair competition? Apakah bidang ini termasuk dalam bagian ruang lingkup HKI? Menurut hemat kami, bidang ini tidak termasuk dalam ruang lingkup HKI, sebab tidak ada hak kebendaan yang dilindungi. Unfair competition atau persaingan secara tidak sehat, tak boleh dilakukan dalam bidang apa saja, termasuk HKI. Namun demikian dalam persetujuan TRIPs secara khusus ditempatkan dalam satu klausul tentang unfair competition yang berkaitan dengan perlindungan HKI. Berkaitan dengan standar perlindungan, ketentuan dalam persetujuan Uruguay Round memberikan hak kepada negara anggota untuk membatasi cakupan dari hak perlindungan sampai batas tertentu. Misalnya dalam hal yang menyangkut compulsory licensing serta pembatasan hak untuk mencegah ada-nya praktik-praktik yang bersifat antikompetitif. Ketentuan tersebut terdapat pada section 8 dari persetujuan yang menentukan aturan main dalam menangani perbuatan atau tindakan yang bersifat antikompetitif. Persetujuan tersebut membolehkan negara anggota, melalui undang-undang nasionalnya, untuk mencegah atau mengendalikan praktik-praktik antikompetisi yang merupakan penyalahgunaan hak tersebut seperti grant back conditions dan paket lisensi paksa compuksary licencing atau coercive packaged licensing. Tanpa upaya mencegah praktik sejenis itu akan lebih sulit untuk memperoleh alih teknologi. 67 Undang-undang domestik negara-negara berkembang di bidang tersebut tidak akan mempunyai akibat yang terlalu besar dan efektif, tanpa adanya kerja sama yang penuh dari negara induk perusahaan-perusahaan multilateral sebagai pemegang hak kekayaan intelektual (khususnya dalam bidang hak cipta dan paten) dalam menetapkan informasi yang berada di luar jangkauan dan informasi yang tidak bersifat rahasia. E. Warisan Budaya Tradisional Pembicaraan tentang warisan budaya suatu bangsa dan hak-hak komunitas pendukungnya telah berlangsung lama. Setidak-tidaknya di dalam forum WIPO telah diselenggarakan suatu Intergorvernmental Committee on Intellectual Property Rights and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (IGC-IPR & GRTKF) yang telah berlangsung sejak paruh kedua decade Sembilan puluhan. Sayangnya hingga hari ini belum tercapai suatu kesepakatan bulat tentang legally binding instruments yang menjadi acuan seluruh bangsa-bangsa di dunia dalam menyikapi persoalan tersebut. Walaupun demikian, capaian yang telah dihasilkan hingga hari ini tetap harus diberikan apresiasi. Indonesia sebagai negara peserta dalam forum-forum WIPO tersebut telah mengambil peran yang sangat aktif dalam menginisiasi pembentukan instrument hukum terkait dengan persoalan hak66 Disini ditemukan adanya unsur kerahasiaan atas suatu produk. Hak yang bernilai itu justru terletak pada bagian yang dirahasiakan itu jadi ada informasi yang tertutup terhadap cara pembuatan produk barang yang dimaksudkan yang disebut sebagai Undisclosed information. 67 Pasal-pasal dalam UU Hak Cipta dan paten Indonesia memuat ketentuan-ketentuan semacam itu.
82
hak komunitas terhadap warisan budaya mereka. Salah satu capaian yang paling akhir adalah penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang Pengelolaan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional yang digagas dan diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dan saat ini draft tersebut telah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas sebagai usul inisiatif DPD RI. Melalui sosialisasi ini diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang persoalan yang ada dan sekaligus sebagai upaya menyerap berbagai idea terkait dengan issue utamanya, yaitu bagaimana mengembangkan (develop), memanfaatkan (utilize), mempromosikan (promote), melestarikan (preserve) dan melindungi (protect) warisan budaya sekaligus hak-hak warga masyarakat atas warisan budaya mereka itu, terutama yang bersifat “tak benda” (intangible) atau dalam terminologi HKI disebut sebagai hak kebendaan immaterial (hak atas benda tidak berwujud). Warisan budaya tradisional dalam konteks HKI (sebagai benda tidak berwujud) meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Pengetahuan tradisional adalah karya intelektual di bidang pengetahuan dan teknologi yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan dan dipelihara oleh komunitas atau masyarakat tertentu (kesatuan masyarakat hukum adat).68 Sedangkan ekspresi budaya tradisional diartikan sebagai karya intelektual dalam bidang seni, termasuk ekspresi sastra yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan dan dipelihara oleh komunitas atau masyarakat tertentu. Kondisi Indonesia yang memiliki keanekaragaman etnik atau suku bangsa dan memiliki keanekaragaman hayati adalah merupakan kekayaan warisan budaya yang perlu mendapat perlindungan dari sisi hukum hak kekayaan intelektual. Hal itu tidak saja menyangkut daya tarik pihak-pihak di luar kesatuan masyarakat hukum adat dalam pengertian masyarakat lokal tetapi juga pihak asing untuk memanfaatkan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional secara komersial. Pengetahuan tradisional yang dilindungi mencakup juga tentang kecakapan teknik (know how), keterampilan, inovasi, konsep, pembelajaran dan praktek kebiasaan lainnya yang membentuk gaya hidup masyarakat tradisional termasuk didalamnya pengetahuan pertanian, pengetahuan teknik, pengetahuan ekologis, pengetahuan pengobatan termasuk obat-obatan terkait dalam tata cara penyembuhan serta pengetahuan terkait dengan sumber daya genetik. Yang disebut terakhir ini dapat dicontohkan seperti pengobatan patah tulang (ahli patah pergendangan Guru Singa), yang hak tradisionalnya dipegang oleh beberapa marga di Tanah Karo, “Bugang” sistem pengobatan patah tulang yang pengetahuan tradisionalnya dipegang oleh masyarakat Batubara, demikian juga pengobatan-pengobatan luka yang menggunakan sawang (sarang laba-laba), kunyit dan temu lawak untuk pengobatan lever, daun jarak untuk menurunkan suhu badan pada kasus demam tinggi, daun jambu biji untuk obat sakit perut, daun salam untuk menurunkan kadar gula dalam darah, daun kari pulai untuk menurunkan tekanan darah tinggi dan lain-lain. Tentu saja ramuan-ramuan itu diolah berdasarkan pengetahuan tradisional baik mengenai kadar, takaran dan aturan penggunaannya. Hal lain juga yang terkait dengan penggunaan merek atas indikasi asal dan indikasi geografis terhadap produk-produk pertanian. Misalnya : penggunaan indikasi asal barang yang kemudian dijadikan merek seperti Mandheling Kopi, padahal kopi itu diproduk di dataran tinggi Karo (Sinabung) dan dataran tinggi Saribu Dolok, diberi merek oleh pengusaha Amerika dan didaftarkan di Amerika dengan merk “Mandheling”. Demikian juga tidak tertutup kemungkinan ekspresi budaya tradisional dalam bidang seni, baik itu seni tari maupun seni musik dan lagu. Seperti musik Melayu, Karo dan Simalungun mempunyai genre sendiri. Begitu juga jenis tari-tariannya mempunyai liuk sendiri yang berbeda dengan tarian-tarian tradisional di daerah lain. Tentu saja semua ini menjadi kekayaan budaya 68 Pengetahuan tradisional diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki atau dikuasai dan digunakan oleh suatu komunitas, masyarakat atau suku bangsa tertentu yang bersifat turun-temurun dan terus berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan. Pengertian ini digunakan dalam Studi of the Problem of Discrimination Against Indigenous Populations, yang dipersiapkan oleh United Nations Sub-Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities. Istilah pengetahuan tradisional digunakan untuk menerjemahkan istilah traditional knowledge, yang dalam perspektif WIPO digambarkan mengandung pengertian yang lebih luas mencakup indigenous knowledge dan folklore. Lebih lanjut lihat Agus Sardjono, Hak Kekayaan Intelektual & Pengetahuan Tradisional, Alumni, Bandung, 2010, hal. 1
83
yang perlu dilindungi. Perlindungannya untuk sementara ini dapat menggunakan instrument undangundang hak cipta dan peraturan perundang-undangan HKI lainnya. Namun demikian apabila nanti RUU tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional disahkan, perlindungannya dapat menggunakan instrument undangundang tersebut. F. Penutup Perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional adalah perlindungan hukum yang diberikan secara kolektif kepada komunitas masyarakat hukum adat. Untuk itu, perlulah dibentuk kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang didirikan berdasarkan konsensus masyarakat yang bersangkutan guna memastikan subyek yang mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Keabsahan tentang wakil komunitas yang memiliki otoritas untuk mewakili masyarakatnya menjadi penting dalam hal pendaftaran hak atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Jika pengetahuan itu dikembangkan oleh pribadi atau individual namun itu berpangkal pada pengetahuan tradisional perlu juga ada kesepakatan antara individu yang mengembangkan pengetahuan itu dengan masyarakat komunal sebagai subyek atas hak pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Tentu saja semua itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik yang mengacu pada asas kepatutan, keadilan, religius, moral dan asas-asas umum yang terdapat pada hukum terutama bidang hukum keperdataan. Demikian juga dalam bidang kesenian, perlu juga kiranya dibentuk semacam dewan kesenian atau komisi kesenian tradisional guna menginventarisir ekspresi kesenian tradisional untuk selanjutnya Dewan Kesenian atau Komisi Kesenian Tradisional itu dapat menjadi wakil yang representatif untuk mendaftarkan hak-hak tersebut. Mengenai pelaksanaannya termasuk pendistribusian atas hak ekonomi yang lahir dari hak tersebut diatur secara arif di dalam lembaga Dewan Kesenian Tradisional atau Komisi Kesenian Tradisional tersebut.
84
DAFTAR PUSTAKA Buku : Arkenbout, E.J., Mr. P.G.F.A. Geerts, Mr. P.A.C.E. van der Kooij, Rechtspraak Intellectuele Eigendom, koninklijke vermande, Den Haag, 1997. Bainbridge, David, Intellectual Property, Pearson Education Limited, England, 2002. Bouwman Noor Mout., Perlindungan Hak Cipta Intelektual: Suatu Rintangan Atau Dukungan Terhadap Perkembangan Industri, makalah pada Seminar Hak Milik Intelektual, Kerja Sama FH USU dengan Naute van Haersolte Amsterdam, Medan, Fakultas Hukum USU, Tanggal 10 Januari 1989. Christie, Andrew & Stephen Gare, Blackstone’s Statutes on Intellectual Property, Oxford University Press, New York, 2004. Ganguli, Prabuddha, Intellectual Property Rights Unleashing the Knowledge Economy, Tata McGrawHill Publishing Company Limited, New Delhi, 2001. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2010. Llewelyn, Cornish, & Aplin, Intellectual Property : Patents, Copyright, Trade Marks and Allied Rights, Sweet & Maxwell, London, 2013. Mahadi, Hak Milik Immateril, BPHN-Bina Cipta, Jakarta, 1985. May, Christopher, The Global Political Economy of Intellectual Property Rights, The new enclosures Second Edition, Routledge, London, 2010. McKeough, Jill, Kathy Bowrey & Philip Griffith, Intellectual Property Commentary and Materials, Lawbook Co, Australia, 2002. Sardjono, Agus, Hak Kekayaan Intelektual & Pengetahuan Tradisional, Alumni, Bandung, 2010. Shichida, Makoto, Whole Brain Power Kekuatan Menggabungkan Dua Otak, Gramedia, Jakarta, 2014. Lihat juga Shigeo Haruyama, Keajaiban Otak Kanan, Gramedia, Jakarta, 2014. Soebekti, R. dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986. Soedewi, Sri Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981 dan Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 2010. Spence, Michael, Intellectual Property, Oxford University Press, New York, 2007. Tobias, Peter Stoll, Jan Busche and Katrin Arend, WTO – Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden – Boston, 2009.
85
William T. Frayer, Materi ceramah pada Intellectual Property Theaching of Tracher’s Program Conducted by The Faculty of Law, University of Indonesia, yang disponsori oleh Kantor Sekretariat Negara RI dan United Nations Development Programe/World Intellectual Property Organization, Jakarta, 15 Juli s/d 2 Agustus 1996.
Lain-lain : Convention Establishing The World Intellectual Property Organization (WIPO). Redaksi, Indonesia Perlu Perhatikan Hak Milik Intelektual, Kompas, Jakarta, 19 Februari 1986. PTRI Jenewa/EDPY, Indonesia Tandatangani Beijing Treaty on Audiovisual Performance di Jenewa, Rabu 19 Desember 2012.
86
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................................................
i
A. Pendahuluan ......................................................................................................................
1
B. Kondisi Obyektif ...............................................................................................................
2
C. Istilah HKI ........................................................................................................................
3
D. Ruang Lingkup HKI..........................................................................................................
8
E. Warisan Budaya Tradisional .............................................................................................
13
F. Penutup .............................................................................................................................
15
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................
16
i 87
PERSPEKTIF PERUNDANG-UNDANGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL TERKAIT DALAM KONTEKS PENYELAMATAN KEKAYAAN BUDAYA
Oleh :
Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum Staf Pengajar Fakultas Hukum USU
Disampaikan pada Acara : “Sosialisasi Perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual Terkait Dalam Konteks Penyelamatan Kekayaan Budaya (Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional)”
MEDAN 12 NOVEMBER 2015 88
LAMPIRAN. Kegiatan Sosialisasi Dalam Foto
Ucapan Selamat Dari salah seorang Masyarakat Karo atas pelaksanaan sosialisasi
Registrasi Peserta
Para Peserta Sosialisasi pada acara pembukaan
Ucapan Selamat Datang kepada para peserta atas pelaksanaan sosialisasi oleh Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum
1
Para Peserta menjelang acara pembukaan sosialisasi
Para peserta sedang menyimak pemaparan materi sosialisasi
Para tokoh-tokoh masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo duduk di barisan depan pada acara sosialisasi
Sarjani Tarigan, MSP (moderator) dan Dr. Edy Ikhsan, SH, MA (notulis acara sosialisasi)
2
Peserta Sosialisasi sedang mengikuti acara
Peserta Sosialisasi tokoh-tokoh muda dan mahasiswa
Dr. Abdul Hakim Siagian, SH, M.Hum (moderator), Dr. Edy Ikhsan, SH, MA (notulis) dan Cand Dr. Nila Siagian, SH, M.Hum
Peserta Sosialisasi tokoh-tokoh muda dan mahasiswa
3
Ceramah interaktif dan Peragaan Tanaman Belimbing Waluh (averrhoa bilimbi) yang bernilai pengetahuan tradisional untuk obat menurunkan tekanan darah yang mengandung HKI
Ceramah interaktif dan Peragaan Tanaman Daun Salam (syzygium polyanthum) yang bernilai pengetahuan tradisional untuk obat menurunkan kadar gula dalam darah yang mengandung HKI
Ceramah interaktif dan Peragaan Tanaman Inai (lawsonia inermis) yang bernilai pengetahuan tradisional untuk obat luka pada kuku dan luka luar yang mengandung HKI
Ceramah interaktif dan Peragaan Tanaman Daun Legundi (vitex trifolia) yang bernilai pengetahuan tradisional untuk obat batuk dan panas dalam yang mengandung HKI 4
Pemberian Cenderamata pada acara penutupan
Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum berbincangbincang dengan tokoh masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo saat sosialisasi telah selesai.
Foto bersama Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum dengan tokoh masyarakat 3 etnik
Pengambilan Sertifikat oleh para peserta sosialisasi
5