EFEK PERASAN DAUN PEGAGAN (Centella asiatica L.) PADA PAKAN TIKUS TERHADAP JUMLAH NEKROSIS SEL NEURON KORTEK FRONTALIS SEREBRI PADA TIKUS WISTAR JANTAN MENJELANG TUA Lana Ayu Elysabet, Nour Athiroh AS, Arif Yahya Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang Email :
[email protected]
Abstract. Aging process contribute to decreasing brain function such as neuron damage due to free radical exposure, injury and infection.Pegagan have antioxidant effect. This research aims to know the effect of pegagan leaves juice on rat’s feed to the neuron cell necrosis of cerebral frontalis cortex on pre-aging male wistar rats. This in vivo research was done using control group post-test only design using male wistar rat that was divided in to 2 control group and 3 experimental group given with 2%, 4% and 8% concentration of pegagan juice. Neuron necrosis was counted manually with the help of trinocular microscope. The data was then analized using One Way ANOVA continued with LSD test with significance of P<0,05. Pre aging process can improve neuron cell necrosis of cerebral frontalis cortex. Supplementation of pegagan leaves juice with concentration of 2%, 4% and 8% can reduce neuron cell necrosis of cerebral frontalis cortex on pre-aging wistar rats significantly (P<0,05) by 13%, 19% and 10% respectively compared with positive control. Pegagan leaves juice can reduce neuron cell necrosis of cerebral frontalis cortex on preaging male wistar rat with the most effective concentration at 4%. Keywords. pre-aging, pegagan leaves juice, neuron cell necrosis score of cerebral frontalis cortex
Seiring dengan meningkatnya umur manusia, akan diikuti oleh menurunnya fungsi sistem fisiologis tubuh yang dapat berakibat munculnya tanda-tanda penyakit neurodegeneratif dan penuaan. Proses penuaan merupakan suatu proses biologis yang tidak dapat dihindari, berjalan terus menerus dan berkesinambungan.1 Sensus penduduk pada tahun 2010 menunjukkan bahwa di Indonesia terjadi peningkatan jumlahpenduduk lanjut usia yang cukup signifikan. Pada tahun 1970 berjumlah 5 juta dan meningkat sejumlah 18 juta pada tahun 2010, hal ini diproyeksikan akan bertambah lagi hingga lebih dari 71 juta pada tahun 2050. Jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia menempati rangking ke-4 setelah Cina, Amerika Serikat dan India di dunia. Pada lansia akan terjadi kemunduran fungsi kognitif, yang paling dominan ditemui adalah menurunnya kemampuan memori atau daya ingat.2Demensia dan alzheimer merupakan penurunan fungsi otak progresif yang dimanifestasikan dalam bentuk gangguan fungsi
kognitif seperti memori, orientasi, kemampuan belajar, daya pemahaman, berfikir dan pembentukan pikiran konseptual. Prevalensi demensia diperkirakan sekitar 15% pada penduduk berusia lebih dari 65 tahun dan jumlah wanita empat kali lebih tinggi dibandingkan pria dikarenakan adanya faktor hormonal. Pengobatan demensia dan alzheimer menurut panduan dari American Academy of Neurology (AAN) adalah acetyl cholinesterase inhibitor, vitamin, anti oksidan dan Donepezil. Obat golongan acetyl cholinesterase inhibitor terbukti efektif dalam mengatasi gangguan memori. Pemberian benzodiazepin untuk insomnia dan kecemasan dapat diberikan pada demensia dan alzheimer, namun harus waspada akan efek idiosinkrasi dari obat pada pasien usia lanjut.3,4 Bahan alam seperti pegagan dipercaya dapat mempengaruhi kerja otak. Pegagan merupakan tumbuhan yang hidup liar, tersebar di daerah tropik termasuk Indonesia, serta dapat tumbuh sepanjang masa.5 Pegagan sering digunakan sebagai nutrisi otak seperti halnya
Jurnal Kedokteran Komunitas
penelitian yang dilakukan oleh Rahmasari pada tahun 2006 membuktikan bahwa pemberian ekstrak air pegagan (Centella asiatica) secara oral menggunakan sonde dapat meningkatkan kemampuan belajar dan mengingat pada tikus jantan dewasa berumur 16 minggu. Peneletian lain juga membuktikan bahwa pemberian jus daun pegagan (Centella asiatica) secara gastric intubation dapat mencegah kerusakan sel-sel saraf akibat stress oksidatif pada tikus wistar neonatus.6,7,8Kemampuan pegagan dalam meningkatkan daya ingat dan kecerdasan disinyalir karena kandungan asiaticoside yang tinggi. Dijelaskan oleh Barbosa tahun 2008 bahwa Asiaticoside memiliki potensial farmakologi di neuron sentral, seperti mempengaruhi enzim-enzim dan neurotransmitter di otak. Kandungan lain yang berpengaruh terhadap memori adalah Bbacoside dan triterpenes. B-bacoside, suatu protein yang menutrisi otak dapat meningkatkan mental clarity, rasa percaya diri, intelegensi dan memory recall.9Sedangkan triterpenes adalah senyawa yang mampu meningkatkan fungsi Hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis dan meningkatkan neurotransmitter monoamine yang berpengaruh terhadap memori. Hal tersebut di atas memperkuat asumsi bahwa pegagan dapat digunakan sebagai pengganti Ginko biloba. 10 Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti ingin mengetahui efek perasan daun pegagan (Centella asiatica) pada pakan tikus terhadap score jumlah nekrosis sel neuron kortek frontalis serebri pada tikus wistar jantan menjelang tua. METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakansecara eksperimental laboratorium menggunakan desain penelitian control group post test only secara in vivo. Prosedur Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisiologi/Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Islam Aisyiyah Malang dan Laboratorium Histologi Fakultas
Page | 288
Volume 3, Nomor 1, Desember 2015
Kedokteran Universitas Islam Malang. Waktu penelitian diperkirakan selama 12 minggu. Hewan Coba Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan (Rattus norvegicus Strain Wistar) yang berumur 270-300 hari dan tikus putih berumur 90-180 hari Aklimatisasi (penyesuaian lingkungan) bagi hewan coba dilakukan selama 2 minggu. Dalam masa aklimatisasi, tikus diberi makan dan minum sesuai standar laboratorium. Berat badan tikus ditimbang sebelum masa aklimatisasi dan setelah perlakuan Kandang tikus dibersihkan 2 kali dalam seminggu. Pembuatan perasan daun pegagan Cuci daun pegagan segar, tiriskan sampai tidak ada kandungan air. Timbang masing-masing pegagan dengan berat 2 gram (untuk kelompok perlakuan I), 4 gram (untuk kelompok perlakuan II), dan 8 gram (untuk kelompok perlakuan III). Tumbuk masing-masing pegagan tersebut, lalu tambahkan masing-masing pegagan dengan 100 ml air. Saring, dan tempatkan pada masing-masing tempat yang berbeda dengan diberi kertas label. Pembuatan dan pemberian makanan Makanan diberikan setiap hari pada sore hari. Makanan terbuat dari ransum pakan tikus yang dicampur air aqua supaya lebih lunak, lalu ditambah dengan perasan pegagan yang disesuaikan dengan kadar masing-masing kelompok perlakuan. Pembuatan pakan tikus = 200 gram ransum tikus + 150 ml air + 100 ml perasan pegagan dengan konsentrasi masing-masing kelompok perlakuan 2%, 4%, dan 8% sehingga menghasilkan 250 gram pakan tikus. Setelah itu dibagi menjadi 5 tikus sehingga masing-masing tikus mendapatkan 50 gram pakan. Pengamatan Preparat Kortek Serebri Pengamatan slide dilakukan di laboratorium histologi fakultas kedokteran Universitas Islam Malang menggunakan mikroskop trinokuler Olympus BX51dengan perbesaran 400 kali. Pengamatan dilakukan oleh 3 pengamat pada preparat dengan pengecatan Hematoksilin Eosin dan diamati pada 10 lapang pandang . Nekrosis sel dilihat dengan adanya perubahan
Lana Ayu Elysabet, EFEK PERASAN DAUN PEGAGAN (Centella asiatica L.) PADA PAKAN TIKUS
inti sel yaitu piknosis, kariolisis dan karioreksis.selanjutnya dilakukan scoring dan dirata-rata. Ethical Clearance Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya dengan nomor 387/EC/KEPK-S1/06/2014. Analisa Data Data dianalisa menggunakan One Way Anova yang dilanjutkan dengan uji LSD (Least Significant Difference). Analisis data dilakukan dengan memakai SPSS versi 20.0 secara komputerisasi. HASIL PENELITIAN Karakteristik Sampel Karakteristik sampel yang digunakan dapat dilihat pada tabel 5.1. Tabel 5.1. Karakteristik Sampel Karakteristik sampel Jumlah Ulangan Umur (hari) BB Awal (g) BB Akhir (g) Sisa rerata pakan (g) ± SD
KN
KP
P1
P2
P3
5 90-180 190,56 ± 6,94 236,41± 17,42 2,88 ± 0,14
5 270-300 315,68 ± 15,42 347,22 ± 20,38 3,23 ± 0,45
5 270-300 311,42 ± 14,01 322,95 ± 18,42 16,59 ± 1,01
5 270-300 313,39 ± 30,90 305,70 ± 19,92 18,25 ± 0,56
5 270-300 311,18 ± 18,02 291,51 ± 26,66 21,95 ± 0,39
Keterangan: KN : Kontrol Negatif (diberikan minum aquades dan pakan tanpa campuran perasan daun pegagan) KP : Kontrol Positif (diberikan minum aquades dan pakan tanpa campuran perasan daun pegagan) P1 : Perlakuan 1 ( diberikan minum aquades dan pakan dengan campuran perasan daun pegagan 2%) P2 : Perlakuan 2 ( diberikan minum aquades dan pakan dengan campuran perasan daun pegagan 4%) P3 : Perlakuan 3 (diberikan minum aquades dan pakan dengan campuran perasan daun pegagan 8%) BB : Berat Badan dalam satuan gram
Penelitian ini menggunakan hewan coba tikus Rattus norvegicus strain wistar jantan sehat yang ditandai dengan gerakan yang aktif, bulu halus dan mata jernih. Pada kelompok kontrol negatif menggunakan tikus umur 90-180 hari sedangkan untuk kelompok kontrol positif, perlakuan 1, perlakuan 2 dan perlakuan 3 menggunakan tikus umur 270-300 hari. Tikus yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 25 ekor tikus dan masing-masing kelompok berjumlah 5 (n=5) sesuai dengan rumus penghitungan jumlah sample penelitian oleh
Federer (1963).11 Kemudian dilakukan aklimatisasi selama 2 minggu dan dilanjutkan dengan perlakuan selama 4 minggu. Pemberian air perasan pegagan dilakukan dengan mencampurkan pada pakan tikus pada kelompok perlakuan 1, perlakuan 2 dan perlakuan 3 masing-masing dengan konsentrasi 2%, 4%, dan 8%. Berat badan tikus yang digunakan berkisar antara 190-200 gram untuk kelompok kontrol negatif (KN) dan antara 300-330 gram untuk kelompok kontrol positif (KP), kelompok perlakuan 1, 2 dan 3. Setelah dilakukan proses aklimatisasi dan perlakuan didapatkan berat akhir KN (236 gram), KP (347 gram), P1 (322 gram), P2 (305 gram) dan P3 (291 gram). Terjadi peningkatan berat badan pada tikus kelompok kontrol negatif (KN), kelompok kontrol positif (KP) dan kelompok perlakuan 1 (P!). Sedangkan pada kelompok perlakuan 2 (P2) dan kelompok perlakuan 3 (P3) terjadi penurunan berat badan. Hal ini mungkin disebabkan karena pada kelompok perlakuan 2 dan kelompok perlakuan 3 mengalami penurunan konsumsi pakan sehingga berat badan lebih turun dibandingkan berat badan awal sebelum proses perlakuan Didapatkan penurunan konsumsi tikus terhadap pakan pada kelompok perlakuan 1 (P1), kelompok perlakuan 2 (P2) dan kelompok perlakuan 3 (P3) yang diberikan pakan bercampur air perasan pegagan dengan konsentrasi 2%, 4% dan 8% secara berturut-turut sekitar 41,3%, 46,5 %, dan 57,9% dibandingkan dengan kelompok kontrol positif (KP). Hal ini mungkin terjadi oleh karena penambahan konsentrasi perasan daun pegagan yang lebih pekat diduga menjadikan ransum tersebut terasa getir yang menyebabkan tingkat ketertarikan tikus dalam memakan pakan tersebut menurun sehingga jumlah ransum pakan yang dikonsumsi tikus lebih sedikit. Efek Penuaan terhadap Jumlah Nekrosis Sel Neuron Kortek Frontalis Serebri Jumlah nekrosis sel neuron kortek frontalis serebri pada kelompok kontrol negatif (KN) dan kontrol positif (KP) dapat dilihat pada tabel 5.2 dan gambar 5.1.
289 | Page
Jurnal Kedokteran Komunitas
Volume 3, Nomor 1, Desember 2015
Tabel. 5.2. Rerata Score Jumlah Nekrosis Sel Neuron Kortek Frontalis Serebri
Data hasil pengukuran jumlah nekrosis sel neuron kortek frontalis serebri tikus wistar jantan menjelang tua setelah pemberian perasan daun pegagan pada pakan tikus dinyatakan dalam bentuk rerata, standart deviasi dan gambar histologi sel neuron kortek frontalis serebri. Data pengukuran ditunjukkan pada tabel 5.3 dan gambar 5.2, sedangkan gambaran histologi sel neuron kortek frontalis serebri pada gambar 5.35.7 berikut ini.
Keterangan: a : p<0.05, berbeda signifikan (uji LSD) dibanding KP b : p<0.05,berbeda signifikan(uji LSD) dibanding KN n : Jumlah ulangan Kel : Kelompok KN : Tikus umur 90-180 hari KP : Tikus umur 270-300 hari SD : Standar Deviasi
b a
Efek Perasan Daun Pegagan (Centella asiatica) terhadap Jumlah Nekrosis Sel Neuron Kortek Frontalis Serebri
KN
Tabel 5.3. Rerata Score Jumlah Nekrosis Sel Neuron Kortek Frontalis Serebri setelah Pemberian Perasan Daun Pegagan (Centella asiatica) pada Pakan Tikus
KP
Gambar 5.1. Histogram Score Jumlah Nekrosis Sel Neuron Kortek Frontalis Serebri (KN dan KP) Keterangan: a : p<0.05, berbeda signifikan (uji LSD) dibanding KP b : p<0.05, berbeda signifikan (uji LSD) dibanding KN KN : Tikus umur 90-180 hari KP : Tikus umur 270-300 hari Berdasarkan tabel 5.2. dan gambar 5.1. terlihat bahwa proses penuaan meningkatkan jumlah nekrosis sel neuron kortek frontalis serebri sekitar 38% dibandingkan kelompok kontrol negatif (KN) yang dibuktikan dengan adanya perbedaan signifikan pada uji LSD (p<0,05).
b a
c
d
c
KN KP P1 P2 P3
Gambar. 5.2. Histogram Score Jumlah Nekrosis Sel Neuron Kortek Frontalis Serebri Keterangan: a : p<0.05, berbeda signifikan (uji LSD) dibanding KP, P1, P2, P3 b : p<0.05, berbeda signifikan (uji LSD) dibanding KN, P1, P2, P3 c : p<0.05, berbeda signifikan (uji LSD) dibanding KN, KP, P2 d : p<0.05, berbeda signifikan (uji LSD) dibanding KN, KP, P1, P3 n : Jumlah ulangan
KN : Tikus umur 90-180 hari KP : Tikus umur 270-300 hari P1 : Tikus umur 270-300 hari dengan pemberian pakan bercampur perasan daun pegagan konsentrasi 2%
Page | 290
Lana Ayu Elysabet, EFEK PERASAN DAUN PEGAGAN (Centella asiatica L.) PADA PAKAN TIKUS
P2 : Tikus umur 270-300 hari dengan pemberian pakan bercampur perasan daun pegagan konsentrasi 4% P3 : Tikus umur 270-300 hari dengan pemberian pakan bercampur perasan daun pegagan konsentrasi 8%
P2
KN
Gambar 5.6. Histologi sel neuron kortek frontalis serebri. Perlakuan 2 (P2). Panah (merah): sel neuron normal; panah (hijau): sel piknosis; panah (biru): inti sel karioreksis. HE;400x
P3
Gambar 5.3. Histologi sel neuron kortek frontalis serebri. Kontrol Negatif. Panah (merah): sel neuron normal;panah (hijau): sel piknosis. HE;400x
KP
Gambar 5.7. Histologi sel neuron kortek frontalis serebri. Perlakuan 3 (P3). Panah (merah): sel neuron normal; panah (hijau): sel piknosis; panah (biru): inti sel karioreksis. HE;400x
Gambar 5.4. Histologi sel neuron kortek frontalis serebri. Kontrol Positif. Panah (merah): sel neuron normal; panah (hijau): sel piknosis; panah (biru): inti sel karioreksis; panah (kuning): kariolisis.HE;400x
P1
Gambar 5.5. Histologi sel neuron kortek frontalis serebri. Perlakuan 1 (P1). Panah (merah): sel neuron normal; panah (hijau): sel piknosis. HE;400x
Gambar 5.3 - 5.7 merupakan gambaran histologi sel neuron kortek frontalis serebri menggunakan pewarnaan Hematoxylen & Eosin yang diukur menggunakan mikroskop trinokuler dengan perbesaran 400x. Berdasarkan tabel 5.3 dan gambar 5.2 tampak bahwa jumlah nekrosis sel neuron kortek frontalis serebri tikus wistar jantan yang diberi pakan dengan campuran perasan daun pegagan dengan konsentrasi 2%, 4% dan 8% lebih rendah tidak secara signifikan dibanding kontrol positif (KP). Data pengukuran yang diperoleh menunjukkan jumlah nekrosis sel neuron kortek frontalis serebri pada kelompok P1, P2, dan P3 secara berturut turut mampu menurunkan jumlah nekrosis sel neuron kortek frontalis serebri sebesar 13%, 19%, dan 10% dibandingkan dengan kelompok kontrol (KP). Ketiga kelompok perlakuan memiliki perbedaan yang tidak signifikan dibandingkan dengan kelompok negatif (KN). Kelompok perlakuan 1 (P1) berbeda signifikan dengan kelompok kontrol negatif (KN), kontrol positif (KP) dan kelompok perlakuan 2 (P2). Kelompok perlakuan 2 (P2) 291 | Page
Jurnal Kedokteran Komunitas
berbeda signifikan dengan kelompok kontrol negatif (KN), kontrol positif (KP), kelompok perlakuan 1 (P1) dan kelompok perlakuan 3 (P3). Sedangkan kelompok perlakuan 3 (P3) berbeda signifikan dengan kelompok kontrol negatif (KN), kontrol positif (KP) dan kelompok perlakuan 2 (P2). PEMBAHASAN Karakteristik Sampel Penelitian ini menggunakan hewan coba tikus putih Rattus norvegicus strain wistar jantan dengan berat badan antara 190-200 gram untuk kelompok kontrol negatif (KN) dan antara 300330 gram untuk kelompok kontrol positif (KP), kelompok perlakuan 1, 2 dan 3. Tikus yang digunakan berumur antara 90-180 hari untuk kelompok kontrol negatif (KN) dan umur 270-300 hari untuk kelompok kontrol positif (KP), kelompok perlakuan 1 (P1), perlakuan 2(P2) dan perlakuan 3(P3). Penelitian ini menggunakan tikus sebagai hewan coba karena tikus dapat dipelihara di dalam laboratorium, mudah didapat, bergerak lebih cepat, serta memiliki kemiripan DNA dengan manusia.12 Pemilihan jenis kelamin tikus jantan untuk menghindari faktor hormonal yang dapat meningkatkan faktor bias pada penelitian ini. 13,14Tikus umur 270300 hari merupakan tikus usia menjelang tua karena tikus dianggap tua apabila umur diatas 1 tahun.15Penggunaan tikus umur menjelang tua (pre senilis) sesuai dengan prevalensi demensia di Indonesia yang tidak hanya dialami oleh orang lanjut usia melainkan dewasa muda juga bisa mengalami demensia. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tantomi, dkk (2013) yangmelaporkan bahwa dari 250 responden di kota Malang yang terduga demensia sebanyak 76 orang (30,4%) selebihnya 176 (69,6%) tidak terduga demensia dan ratarata responden berusia relatif muda.16 Pemberian perasan daun pegagan pada pakan tikus dengan konsentrasi 2% menunjukkan peningkatan berat badan dibandingkan dengan berat badan sebelum perlakuan. Sedangkan pada pemberian pakan yang bercampur perasan daun pegagan dengan konsentrasi 4% dan 8% terjadi penurunan berat badan dibandingkan sebelum perlakuan. Penurunan berat badan tikus dihubungkan dengan jumlah sisa pakan tikus Page | 292
Volume 3, Nomor 1, Desember 2015
yang semakin meningkat pada kelompok P2 dan P3 seperti yang terlihat pada tabel 5.1.Tingkat konsumsi pakan yang semakin menurun berpengaruh terhadap penurunan berat badan tikus yang dikaitkan dengan penambahan konsentrasi pegagan yang semakin pekat diduga menimbulkan rasa getir sehingga ketertarikan tikus dalam memakan menjadi menurun.Hal ini sesuai dengan pendapat Muchtadi (1989) bahwa tingkat kesukaan hewan coba dalam mengkonsumsi ransum pakan yang diberikan adalah berbeda-beda. Keadaan tersebut dimungkinkan karena beberapa faktor yaitu tingkat kualitas ransum pada masing-masing perlakuan, faktor lingkungan yang tidak baik sehingga hewan coba menjadi stres dan berpengaruh terhadap nafsu makan.17Sebagai tindak lanjut, peneliti ingin melakukan suatu modifikasi pemberian perasan daun pegagan misalnya dengan cara memodifikasi daun pegagan menjadi simplisia kering, lalu ditumbuk dan dicampurkan dalam pakan tikus. Pada penelitian ini dilakukan aklimatisasi selama 2 minggu pada semua kelompok. Aklimatisasi merupakan suatu upaya penyesuaian fisiologis atau adaptasi dari suatu hewan coba terhadap suatu lingkungan baru yang akan dimasukinya. Aklimatisasi bertujuan untuk menghindari terjadinya stres pada tikus.18Adaptasi tikus yang baik untuk menyesuaikan tikus dengan lingkungan tempat penelitian kurang lebih selama 2-3 minggu.14 Efek Penuaan terhadap Jumlah Nekrosis Sel Neuron Kortek Frontalis Serebri Proses penuaan meningkatkan jumlah nekrosis sel neuron kortek frontalis serebri dikarenakan pada proses penuaan terjadi penurunan berbagai fungsi organ tubuh karena berkurangnya jumlah sel secara anatomis. Selain itu berkurangnya aktivitas, asupan nutrisi yang kurang, polusi, serta radikal bebas sangat mempengaruhipenurunan fungsi organ-organ tubuh pada lansia.2 Otak merupakan salah satu organ yang sangat berpengaruh pada proses penuaan. Proses penuaan akan mempengaruhi fungsi-fungsi otak termasuk neuron-neuron yang ada di otak. Salah satunya ialah perubahan pada sistem saraf otak, hal ini akan menyebabkan terjadi atrofi dan penurunan berat terutama korteks dari otak yang merupakan bagian terluar
Lana Ayu Elysabet, EFEK PERASAN DAUN PEGAGAN (Centella asiatica L.) PADA PAKAN TIKUS
dari otak dan banyak mengandung sel-sel neuron. Munculnya berbagai kelainan pada neuron yang disebabkan oleh adanya stress oksidatif, polusi, jejas maupun infeksi akan menyebabkan kerusakan pada sel tersebut. Apabila kerusakan atau jejas terjadi terus menerus tanpa adanya suatu proses remodeling maka sel tersebut tidak akan kembali normal (irreversible) dan selanjutnya akan mengalami suatu kematian sel.19 Kematian sel memiliki dua macam pula, yaitu apoptosis dan nekrosis. Apoptosis adalah kematian sel yang terprogram merupakan suatu kompenen yang normal terjadi dalam perkembangan sel untuk menjaga keseimbangan pada organisme multiseluler. Sel-sel yang mati adalah sebagai respon dari beragam stimulus dan selama apoptosis kematian sel-sel tersebut terjadi secara terkontrol dalam suatu regulasi yang teratur. Sedangkan nekrosis merupakan kematian sel sebagai akibat dari adanya kerusakan sel akut atau trauma (misalnya kekurangan oksigen, perubahan suhu yang ekstrim, dan cedera mekanis) dimana kematian sel tersebut terjadi secara tidak terkontrol yang dapat menyebabkan rusaknya sel, adanya respon peradangan dan sangat berpotensi menimbulkan masalah kesehatan. Faktor lain yang memicu terjadinya nekrosis dapat berupa iskemia, agen biologi, agen fisik, agen kimia dan juga hipersensitivitas (kerentanan). Perubahan yang mencolok terlihat pada inti sel yang mengalami piknosis, karioreksis dan kariolisis.19 Pada penelitian ini, kerusakan kortek serebri akan tampak sebagai peningkatan jumlah nekrosis sel neuron kortek frontalis serebri yang terlihat pada kelompok kontrol positif. Tingginya jumlah score nekrosis pada kelompok kontrol positif ditunjukkan oleh banyaknya sel yang telah mengalami piknosis, kariorheksis dan kariolisis. Hal ini diduga akibat peningkatan jumlah radikal bebas baik yang berasal dari dalam maupun dari luar tubuh pada proses penuaan sehingga terjadi stress oksidatif. Pada kelompok kontrol negatif juga ditemukan beberapa sel nekrosis yang seharusnya normal dan tidak mengalami nekrosis. Hal ini diduga bahwa proses penuaanmenyebabkan terjadinya penurunan berbagai fungsi organ tubuh karena berkurangnya jumlah sel secara anatomis. Selain itu berkurangnya aktivitas, asupan nutrisi yang
kurang, polusi, serta radikal bebas sangat mempengaruhipenurunan fungsi organ-organ tubuh pada lansia.2 Pada penelitian ini kondisi stres pada tikus kemungkinan dapat terjadi karena kurangnya variasi pakan dan minum, kondisi kandang yang masih belum cukup ideal serta faktor internal dari tikus seperti daya tahan tikus yang mungkin kurang.20 Selama penelitian berlangsung, kurangnya tingkat higinitas animal house dan kondisi kandang yang kurang ideal menyebabkan tikus cenderung diam karena ruang gerak tikus yang terbatas. Efek Perasan Daun Pegagan (Centella asiatica) terhadap Jumlah Nekrosis Sel Neuron Kortek Frontalis Serebri Pada penelitian ini penghitungan jumlah nekrosis dilakukan dalam 10 lapang pandang. Tahap terjadinya nekrosis pada hewan uji secara berurutan adalah piknosis, kariorheksis dan kariolisis dimana semakin tahap akhir menunjukkan angka keparahan nekrosis neuron kortek otak.21 Dalam scoring penghitungan jumlah nekrosis sel neuron kortek serebri, piknosis dikalikan 1, kariorheksis dikalikan 2 dan kariolisis dikalikan 3.22 Perhitungan menurut scoring terhadap 3 tahap nekrosis pada penelitian ini dilakukan agar bisa terlihat sejauh mana tahapan sel nekrosis terjadi.21 Terjadinya nekrosis diduga akibat adanya suatu proses penuaan. Tabel 5.3. dan gambar 5.3 – 5.7 terlihat gambaran sel neuron kortek frontalis serebri yang mengalami piknosis, karioreksis dan kariolisis.Piknosis menggambarkan kematian sel yang sifatnya reversible sehingga bisa dikembalikan dalam keadaan normal. Sedangkan karioreksis dan kariolisis merupakan tahapan nekrosis yang semakin parah, sifatnya irreversible sehingga tidak memungkinkan untuk dikembalikan ke keadaan normal. Pada kelompok kontrol negatif (KN), kontrol positif (KP), kelompok P1, P2 dan P3 banyak ditemukan sel neuron yang mengalami piknosis yang mengindikasikan bahwaproses nekrosis itu baru memasuki tahap awal. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pemberian pegagan pada P1,P2 dan P3 mampu menurunkan score jumlah nekrosis sel neuron tikus jantan menjelang tua dibandingkan kontrol positif.Hal inididuga karena zat aktif yang 293 | Page
Jurnal Kedokteran Komunitas
terdapat dalam perasan daun pegagan mampu berperan dalam proses penghambatan radikal bebas. Kandungan utama herba pegagan adalah triterpenoid dengan komponen utama asiatikosid, madekosid, asam asiatat, flavonoiddan poliasetilen. Sumber lain mengatakan kandungan yang juga terdapat dalam pegagan adalah tanin, B-karoten, Vitamin C, dan polifenol yang merupakan kandungan kimia dengan efek antioksidan.23Senyawa flavonoid bersama dengan asiaticode juga dapat menginduksi antioksidan sebagai scavenger aktifitas radikal bebas.24 Kandungan asiaticosida yang ada dalam perasan daun pegagan mampu memutus ikatan rantai radikal bebas. Berdasarkan penelitian sebelumnya, perasan daun pegagan konsentrasi 2%, 4% dan 8% mampu membantu Superoxyde dismutase(SOD) dalam menetralkan efek radikal bebas yang disebabkan oleh stress oksidatif tikus tua sehingga didapatkan nilai Superoxyde dismutase(SOD) meningkat.25Selain itu perasan daun pegagan yang dicampur dengan pakan tikus mampu menurunkan kadar Malondialdehyde (MDA) dalam konsentrasi optimal 4%.26 Hal tersebut didugaadanya kandungan asiaticosida dalam perasan daun pegagan dapat bereaksi dengan antioksidan primer dan dapat menyumbangkan ion hidrogen secara cepat terhadap radikal lipid dan akan dirubah menjadi senyawa yang lebih stabil sehingga tidak akan terlibat dalam pembentukan reaksi radikal yang lain.27 Antar perlakuan didapatkan bahwa P1 berbeda signifikan dengan P2 tetapi tidak berbeda signifikan dibandingkan P3. Sedangkan P2 berbeda signifikan dengan P1 dan P3. Konsentrasi pada P2 merupakan konsentrasi terbaik dalam menurunkan score jumlah nekrosis sel neuron pada tikus wistar jantan menjelang tua. Diduga konsentrasi rendah pada P1 kandungan bahan aktif dari pegagan masih belum mampu bertindak sebagai antioksidan. Sedangkan konsentrasi tinggi pada P3 diduga menyebabkan nafsu makan tikus menurun dan konsentrasi yang masuk menjadi kurang besar karena konsumsi pakannya lebih sedikit. Selain itu juga pemberian konsentrasi yang semakin besar diduga akan mengakibatkan adanya senyawa toksik yang mampu membentuk radikal bebas baru sehingga mekanisme kerja dari Page | 294
Volume 3, Nomor 1, Desember 2015
senyawa antioksidan air perasan pegagan tidak bekerja dengan baik dan bersifat toksisitas.25 Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Herlina (2011) melaporkan bahwa senyawa aktif triterpen (asiaticosida) dari pegagan (Centella asiatica (L) Urban) pada dosis 160 mg/kg BB masih berada dalam batas aman (tidak bersifat toksik) terhadap lambung dan otak, namun pada dosis 160 mg/kg BB menimbulkan efek toksisitas berupa perlemakan di hati (steatosis) pada mencit.28 Penelitian lain juga melaporkan bahwa penelitian tentang uji toksisitas akut pegagan sampai pada batas dengan dosis 2000 29 mg/kgBB pada hewan uji. KESIMPULAN Berdasarkan analisa data dan pembahasan, penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwapemberian perasan daun pegagan (Centella asiatica) pada pakan tikus dengan konsentrasi 2%, 4% dan 8% mampu menurunkan jumlah nekrosis sel neuron kortek frontalis serebri. SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyarankan: 1. Perlu dilakukan modifikasi pemberian air perasan pegagan pada pakan tikus supaya daya ketertarikan dan nafsu makan tikus tetap tinggi, misalnya dengan memodifikasi daun pegagan menjadi simplisia kering, lalu ditumbuk dan dicampurkan dalam pakan tikus. 2. Perlu juga dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai uji toksisitas senyawa aktif dari air perasan daun pegagan dengan konsentrasi yang lebih besar terhadap organ otak maupun organ yang lainnya. 3. Memperbaiki lingkungan animal house supaya lebih bersih, higinis dan pertukaran udara dapat terjadi secara optimal. Serta perlu dilakukan pembuatan kandang yang lebih ideal supaya ruang gerak tikus tidak terbatas. UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan hibah pada
Lana Ayu Elysabet, EFEK PERASAN DAUN PEGAGAN (Centella asiatica L.) PADA PAKAN TIKUS
Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) sehingga dapat mendanai sebagian dari penelitian ini. Terimakasih juga kepada Ikatan Orang Tua Mahasiswa (IOM) Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang yang telah memberikan hibah untuk tindak lanjut dari penelitian ini serta semua pihak yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. DAFTAR PUSTAKA 1. Azwar, A. 2006. Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut Bagi Petugas Kesehatan. Depkes: Jawa Timur. 2. Sulianti, A. 2000. Pemanfaatan Momen 17 Agustusan sebagai Sarana Latihan Olahraga Rekreasi Terapeutik untuk Lansia. 3. Muslim R : Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Jakarta, 2001: 22-26 4. Kaplan HI, Sadock BJ: Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat (Edisi BahasaIndonesia), Edisi 1, Widia Medika, Jakarta, 1998: 218224 5. Bermawie, N dan M. Ibrahim, SD., Ma’mun. 2005. Karakteristik mutu aksesi pegagan (Centella asiatica L.). Prosiding Seminar Nasional TOI XXVII, Surabaya, 15-16 Maret 2005. Balai Materia Medica. Dinkes Prop. Jatim. hal. 259-264. 6. Kumar, V., and Gupta, M.H. 2003. Effect of Centella asiatica on cognition and oxidative stress in intracerebroventrikuler streptozotocin model of Alzheimer’s disease in rats. Pharmacology Biochem Behav. Feb.74(3):579-85. 7. Rao, K.G.M., Rao, S.M., Rao, S.G. 2005. Centella asiatica (linn) induced behavioral changes during growth spurt period in neonatal rats. Neuroanatomy. 4:18-23. 8. Rao, K.G.M., Rao, S.M., Rao, S.G. 2007. Enhancement of amygdaloid neuronal dendritic arborization by fresh leaf juice of Centella asiatica (Linn) during growth spurt period in rats. eCAM Advance Access Published. 9. 101 Herb. 2004. Centella asiatica.
10. Wardana, H.D. 2009. Pegagan, Pengganti Ginko Biloba 11. Federer W. Experimental design, theory, and application. New York, Mac Millan; 1963. 12. Kusumawati D. Bersahabat dengan Hewan Coba. Gajah Mada University Press. Yogyakarta; 2004. 13. Mullins, L.J. Mullins J.J. Genome Biology.UK: BioMed Central Ltd. 2004. 14. Krinke, G. Bunton, T. Bullock, G. The Laboratory Rat. Academic Press. New York. 2000. 15. Smith JB dan S Mangkoewidjojo. 1998. Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan Hewan Coba di Daerah Tropis. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 16. Tantomi, I., Baabullaah, AO., Sagita, A. 2013. Tren Fenomena ‘PisiDi’ (Pikun Usia Dini) Sebagai Dugaan Awal Gejala Demensia di Kota Malang. Laporan PKMP UNISMA. 17. Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. 18. Waluya Angga. Aklimatisasi Planlet Hasil Perbanyakan Kultur Jaringan. Fakultas Pertanian. Universitas Hasanudin Makasar. 2009. 19. Kumar, Vinay., Ramzi, S., Cotran., Stanley, L., Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed.7, Vol.1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 20. Desprinita P., 2010. Pengaruh Pemberian Pengaruh Pemberian Dosis Dosis Bertingkat Metanol 50% Per Oral terhadap Tingkat Kerusakan Sel Hepar Pada Tikus Wistar. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. (Skripsi) 21. Guyton, Arthur C., Hall, John E. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, editor edisi bahasa Indonesia, Rachman LY., Hartanto, Huriawati., Novrianti, Andita., Wulandari, Nanda. Ed. 11. EGC, Jakarta. 179-226, 821-829. 22. Alfiansyah, M. 2008. Pengaruh Pemberian Boraks terhadap Perubahan 295 | Page
Jurnal Kedokteran Komunitas
23. 24.
25.
26.
27.
28.
29.
Volume 3, Nomor 1, Desember 2015
Struktur Histologi Sel Hati Mencit. FK UNS Surakarta. Skripsi Kardaron, D., 2009. Pegagan (Centella asiatica Urban). Hashim, P. 2011. Centella asiatica in Food and Beverage Applications and Its Potential Antioxidant and Neuroprotective Effect. International Food Research Journal 18(4): 1215-1222. Alaiya, S., Santoso, H., Athiroh, N. 2015. Peran Air Perasan Pegagan (Centella asiatica L. Urban) sebagai Penangkal Radikal Bebas melalui Peningkatan Superoxide Dismutase (SOD) pada Tikus Tua. Skripsi S1 FMIPA Universitas Islam Malang.Jurnal Biosaintropis Vol.1. No.1. 2015 (inpress). Alaiya, S., Elysabet, L.A.,Sagita, A., Athiroh, N. 2014. Inhibisi Radikal Bebas oleh Pegagan (Centella asiatica) ala “Pan’s Cakes” (Pegagan sebagai Camilan Kesehatan) melalui Penurunan Malondialdehyde (MDA) untuk Alternatif Terapi Penyakit Degeneratif Demensia pada Tikus Tua (Rattus norvegicus) diduga Demensia. PIMNAS XXVII. Universitas Diponegoro. Semarang. Lee J., N.Koo, and D.B. Min, 2004. Reactive Oxygen Species, aging, and Abtioxidative nutreceuticals. Compre rev. In Food Sci. And Food Safety. 3. 2133. Herlina. 2011. Pengaruh Senyawa Murni dari Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) terhadap Fungsi Kognitif Belajar dan Mengingat dan Efek Toksisitas pada Mencit (Mus musculus) Betina. Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya. Sulastry, F. 2009. Uji toksisitas Akut yang Diukur dengan Penentuan LD50 Ekstrak Daun Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) terhadap Mencit Balb/c. Laporan Akhir Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran Semarang.
Page | 296
Universitas
Diponegoro.