Lampiran 1: Cover Novel Hindia Belanda
356 Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2: Foto Pengarang Novel Hindia Belanda
Eduard Douwes Dekker
Suwarsih Djojopuspito
M.H. Szekely-Lulofs
Hella S. Haasse
357 Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3: Sinopsis Novel Hindia Belanda 1.
Novel Max Havelaar Karya Multatuli
Novel MH karya Multatuli berisi tentang kehidupan masyarakat di Lebak, khususnya sekitar tahun 1856. Novel ini didasarkan atas pengalaman pengarang selama menjadi pejabat pemerintah di Hindia Belanda. Selama menjabat sebagai Asisten Residen Lebak, Multatuli membuat terobosan yang tidak biasa dalam penanganan korupsi pejabat tinggi pemerintahan Belanda di Keresidenan Banten yang melibatkan tokoh-tokoh penting, seperti Residen Banten, Regen Lebak, dan Demang Parangkujang. Ia menyaksikan sendiri bagaimana penindasan dilakukan, penjajahan pribumi atas pribumi, perampokan, dan kelaparan yang dialami masyarakat Lebak. Ia mengatakan bahwa halaman per halaman novel ini adalah bagian hidupnya. Novel MH dibuka oleh Multatuli dengan mengenalkan Betavus Droogstoppel (43 tahun) yang berprofesi sebagai makelar kopi. Pengenalan status Droogstoppel sebagai makelar kopi ini dilakukan oleh Multatuli berkali-kali yang ditekankan pada status kemakelaran pada saat pengembangan karier kepengarangannya. Droogstoppel mewarisi Last & Co Makelar Kopi sebagai rekan bisnis sekaligus menantu pemilik perusahaan dagang kopi ini. Droogstoppel yang memiliki anak Frits dan Mery (13 tahun) berkenalan baik dengan Ludwig Stern yang memiliki putra Ernest Stern dari Hamburg. Stern sendiri melarikan putri dari Busselinck & Waterman yang kemudian menumpang dan bekerja di rumahnya. Droogstoppel bertemu dengan teman sekolahnya. Temannya diidentifikasi sebagai Pria Berselendang. Mereka pernah bertemu pada September 1833 atau 1834 saat berlangsung pasar malam di Westermarkt. Pria Berselendang meminta pertolongan pada Droogstoppel dan mengirimkan parsel berisi dokumen berupa tulisan untuk diterbitkan. Drogstoppel sebagai makelar kopi tidak pernah berpikir akan beralih profesi menjadi penerbit, apalagi penulis. Akan tetapi, setelah membuka isi parsel dan mulai mencoba membaca tulisan dalam parsel itu, maka dia mulai tertarik. Kemudian, dia mencari tahu siapa sebenarnya Pria Berselendang itu. Dari Gaafzuiger, dia mendapat informasi bahwa pria itu dipecat karena pemalas, sombong, dan penyakitan. Droogstoppel melanjutkan usaha menjadi penulis novel berdasarkan isi parsel Pria Berselendang. Bahkan, dia mengirim satu rim kertas, satu gros pena, dan sebotol tinta pada Pria Berselendang. Semangatnya menyelesaikan novel tidak terbendung karena isi parsel berkaitan juga dengan dagang kopi yang menjadi profesinya. Lalu, dia mendapat bantuan Frits, Marie, dan Stern. Bahkan, Stern bertugas menerjemahkan novel itu ke bahasa Jerman, Perancis, dan Inggris. Meskipun demikian, Droogstoppel tetap konsisten sebagai makelar kopi sehingga tidak mau menuliskan namanya pada sampul novel itu. 358 Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya kisah beralih ke Hindia Timur, khususnya Keresidenan Banten. Daerah ini memiliki kondisi tanah pertanian yang tidak memiliki akses jalan yang baik. Sementara itu, kehidupan para pemimpinnya berlimpah kekayaan sehingga sangat kontras dengan rakyat yang miskin. Di daerah inilah Havelaar akan ditugaskan sebagai Asisten Residen Divisi Banten-Kidul (Banten Selatan) yang disebut masyarakat setempat dengan nama, Lebak. Havelaar sendiri di kalangan petinggi Belanda telah dikenal reputasinya sebagai pemuda 20 tahun yang mengusik kekayaan Jenderal van Damme sebagai sebuah adat yang dipandang para pejabat, tidak baik. Pemuda itulah, yang sekarang berusia 35 tahun dan akan disambut oleh pejabat dan masyarakat sebagai Asisten Residen Lebak. Pada hari-hari pertama Havelaar sebagai Asisten Residen Lebak yang dijalaninya dengan perkenalan para pejabat publik, seperti Regen Lebak, Pengawas, dan Komandan Garnisun Rangkas Bitung, serta keadaan keresidenan dari Residen Banten. Selama perkenalan, Havelaar menyoroti masa kepemimpinan Regen Lebak yang telah 30 tahun berkuasa, keadaan masjid, perkembangan pungutan pajak, hubungan antarpejabat tinggi di keresidenan itu. Di sinilah Havelaar dengan segala karakternya membacakan Pengumuman Resmi –sebagaimana lazimnya pejabat publik masa itu- yang berisi naskah sumpah pengambilalihan kantor secara umum dengan penekanan, “Maka bantulah saya Tuhan yang Maha Kuasa” dan “akan menjaga masyarakat pribumi dari tekanan, perlakuan buruk dan pemerasan”. Havelaar sebagai seorang Kristen diyakini mampu melaksanakan tugas kenegaraan itu sebab telah berpengalaman sebagai pejabat di beberapa daerah, seperti Natal, Padang, dan Ambon. Sehari setelah penempatannya di Lebak, Havelaar mengadakan sebah, pertemuan dewan yang dihadiri para pemimpin yang datang ke Rangkas Bitung. Pada pertemuan ini, Havelaar mengungkapkan kegembiraan hatinya ditempatkan di keresidenan yang subur tetapi petani hidup dalam kemiskinan. Ia mengajak pemimpin Lebak mendekatkan diri pada Tuhan, bertobat atas kekeliruan dalam memimpin rakyat Lebak dan mengandaikan diri mereka sebagai orang yang miskin. Klimaksnya, Havelar mengajak mereka bergembira atas keterbelakangan dan kemiskinan Lebak karena pemimpin di Lebak memiliki tugas mulia: kemakmuran rakyat di atas kesuburan tanah Lebak. Untuk maksud itu, Havelaar membuka catatan Slotering, Asisten Residen yang digantikannya karena meninggal dunia karena diduga diracun di rumah pemimpin distrik Parangkujang. Catatan itu mengenai penanaman padi, rumah para pemimpin desa, dan penagihan pajak yang tidak sesuai dengan prosedur, bahkan, mengorbankan rakyat sehingga rakyat semakin menderita karena kemiskinan. Sebelum menjadi Asisten Residen Lebak, Havelaar pernah bertugas sebagai Pengawas perkebunan merica di Natal pada 1842. Selama bertugas di Natal, Havelaar bersahabat dengan Datuk Melayu yang berputri 13 tahun. Selama menjadi Pengawas di Natal, Havelaar berhadapan dengan ketidaksukaan Jenderal van Damme. Bahkan, Jenderal ini diketahui beristri hanya untuk memenangkan perjudian dengan temannya dan suka keluar malam. Di sinilah Jenderal terjebak perselingkuhan dengan Gadis X
Universitas Sumatera Utara
sehingga melahirkan bayi dan bayi itu hilang tanpa diketahui sebabnya. Havelaar mengetahui hal itu dan dia diskor dari jabatannya. Sebelum menjabat sebagai Pengawas Belanda di Natal, Havelaar menerima laporan konflik kepemimpinan di Natal dan Mandailing. Konflik kepemimpinan ini berakhir dengan pemenjaraan terhadap orang yang tidak bersalah karena orang tersebut tidak dapat meyakinkan Jenderal van Damme. Nasib tersebut memiliki persamaan dengan Havelaar sehingga Havelaar mengunjungi orang itu di penjara Cianjur (1846). Pengalaman Havelaar di Natal menjadi bekal Havelaar dalam memimpin masyarakat Lebak. Bahkan, dia dapat membedakan karakter masyarakat Eropa dengan masyarakat Jawa (Barat-Timur), sehingga dapat merasakan penderitaan rakyat Lebak sebagai akibat penindasan pejabat publiknya sendiri sebagaimana terlihat dalam catatan Pria Berselendang di parselnya. Laporan kekejaman dan ketidakadilan Regen dalam menjalankan pemerintahan tidak dapat ditangani dengan tuntas. Hal ini disebabkan tidak tersedia bukti. Kalaupun ada bukti maka bukti itu segera dimusnahkan atau pelapornya dibunuh tanpa dapat diselidiki oleh petugas keamanan. Akibatnya, praktik korupsi dan penggunaan tenaga kerja tanpa pembayaran yang dilakukan Regen berlangsung terus-menerus selama 30 tahun keregenannya. Dilema inilah yang diyakini oleh Havelar dihadapi oleh pendahulunya dan residen hingga gubernur jenderal. Mereka yang semula bersemangat ingin menjalankan kepemimpinan dengan adil dan bijaksana tidak dapat berbuat banyak karena para pemimpin lokal menjadikan mereka pelindung penerima upeti. Oleh karena itu, Havelaar –yang mendapat bantuan Pengawas yang ketakutan menghadapi kasus ini- menyusun laporan korupsi pembangunan penjara di Rangkas Bitung yang melibatkan Regen Lebak. Keadaan semakin mengkhawatirkan ketika Regen Cianjur ingin mengunjungi pamannya, Regen Lebak. Havelaar telah mempelajari keperluan rombongan dan penyambut yang harus disediakan oleh tuan rumah. Semua biaya kunjungan itu ditanggung oleh rakyat, terutama dari Distrik Parangkujang di mana menantunya menjadi pemimpinnya. Regen Lebak seperti memiliki dinasti karena mertuanya pun menjadi pemimpin di Distrik Cilangkahan. Pada saat itulah regen dan orang-orang kepercayaannya mengumpulkan rakyat dan harta bendanya untuk pesta penyambutan. Mereka tidak peduli bahwa rakyat menderita dan semakin miskin sehingga rakyat banyak yang melarikan diri ke luar Lebak, termasuk menyeberang lautan ke Lampung. Di tengah kesewenangan inilah muncul kisah Saijah dengan kerbau dan kerja paksa. Kisah seperti inilah yang memprovokasi bangsa Belanda untuk malu karena Belanda semakin makmur dan Hindia Belanda semakin miskin. Bagi Droogstoppel, kisah ini memalukan dan tidak layak didengar oleh umat beragama dan bangsa Belanda. Bahkan, secara ironis, dia memarahi Stern dan Firts yang menuliskan kisah yang kontroversial karena sebagian menganggap benar dan sebagian lagi menganggap bohong. Kisah ini dalam laporan tertulis Belanda tidak berbukti tetapi dalam laporan lisan memiliki bukti dan saksi yang kuat tetapi bukti dan saksi itu dihilangkan/dibunuh oleh pihak-pihak terkait. Atau, rakyat memilih untuk bersembunyi di sekitar rumah Asisten Residen Lebak, Max Havelaar.
Universitas Sumatera Utara
Pada saat itu muncul kisah Saijah. Ia berumur 15 tahun, ia menyaksikan penderitaan ayahnya yang lari ke Bogor karena tidak punya harta lagi untuk membayar pajak. Di Bogor, ayahnya ditangkap dan disiksa hingga tewas. Di tengah penderitaan itu, Saijah dan Adinda mengikat rencana pernikahan yang akan mereka realisasikan tiga tahun lagi. Oleh karena itu, Saijah dan Adinda berencana kerja keras untuk mewujudkan rencana itu dan bercita-cita membeli dua ekor kerbau sebagai ganti kerbau mereka yang diambil paksa oleh regen. Perpisahan mereka ditandai oleh pemberian sobekan kain linen milik Saijah kepada gadis pujaan hatinya, Adinda. Saijah pun berjalan kaki untuk bekerja di Batavia sedangkan Adinda tetap tinggal di Badur, menanti kepulangan kekasihnya. Tiga tahun berlalu, Saijah kembali ke Badur untuk menemui Adinda. Akan tetapi, Saijah tidak menemukan Adinda dan keluarganya. Mereka pergi ke Lampung melarikan diri karena tidak mampu membayar pajak. Saijah yang frustasi dan nyaris gila menyusul Adinda ke Lampung. Sesampainya di Lampung, Saijah menemukan Adinda tewas tanpa busana akibat dianiaya dengan mengerikan. Di dadanya terselip kain linen biru pemberian Saijah sewaktu Saijah akan pergi merantau ke Batavia. Menghadapi hal itu, Saijah bergabung dengan rakyat yang memberontak pada Belanda sehingga ia tewas di ujung bayonet tentara Belanda. Di mata Multatuli yang disuarakan oleh Stern dan Droogstoppel, kemenangan dan penghargaan atas kemenangan yang diikuti oleh pujian syukur pada Tuhan itu dipandang sebagai penindasan atas nama Tuhan di bawah panji Belanda. Kemudian Havelaar mengambil sikap terhadap keadaan Lebak. Hal itu terjadi sebulan setelah menjadi Asisten Residen Lebak, Havelaar tampaknya telah siap menghadapi risiko kematian yang tragis seperti dialami oleh pendahulunya karena menyiapkan tuduhan pada Regen. Dia menemui janda pendahulunya dan meminta istri serta anaknya pergi ke Batavia. Havelaar mengirim surat kepada Residen Banten agar residen memerintahkannya menangani Regen Lebak dan Demang Parangkujang dalam kasus pelanggaran undang-undang perburuhan. Akan tetapi, Residen tidak memberi jawaban resmi dan menegur Havelaar karena tidak berkonsultasi dahulu dan memberinya kesulitan dalam hubungan antarpejabat publik. Sikap Residen ini ternyata banyak disenangi oleh sebagian orang Belanda, seperti Droogstoppel, tetapi tidak disenangi oleh sebagian orang Belanda sehingga pantas dipaparkan pada masyarakat, seperti dilakukan oleh Stern dan Frits, serta Pria Berselendang. Havelaar dan Residen tidak menemukan kesepakatan tentang perrmintaan Residen agar Hevelaar menarik gugatannya. Bahkan, secara rahasia telah disampaikan Pengawas pada Havelaar bahwa Residen telah menjalin kesepakatan dengan Regen untuk melawan Havelaar. Gubernur Jenderal menyesalkan sikap Havelaar yang melanggar kesopanan di Hindia Belanda. Bahkan, Residen Banten mendapat penghargaan sedangkan Havelaar diberhentikan sebagai Asisten Residen Lebak dan dipindahkan ke Ngawi sebagai tugas percobaan. Pengawas dan Komandan yang bersimpati pada Havelaar mengutuk peristiwa itu atas nama Kristus. Kemudian Havelaar menulis surat kepada Gubernur Jenderal tentang masalah yang dihadapinya, namun berakhir dengan penolakan Gubernur Jenderal
Universitas Sumatera Utara
mapun pejabat di bawahnya untuk bertemu dengan Havelaar. Bahkan, Gubernur Jenderal yang baru yang dikenalnya pun tidak mau bertemu dengannya, tidak ingin terlibat dengan persoalan yang mempermalukan Regen, Residen, dan para pejabat publik. Di tengah kemiskinan inilah muncul Pria Berselendang beserta istri dan anaknya yang tidak lain adalah Multatuli, memberi izin pada Droogstoppel, Stern, dan Frits untuk menuliskan masyarakat dan pejabat Hindia Belanda, masyarakat Belanda, serta obsesinya terhadap idealismenya.
2. Novel Berpacu Nasib di Kebun Karet Karya M.H. Székely-Lulofs Novel BNdKK karya M.H. Székely-Lulofs berisi tentang kehidupan masyarakat di Sumatera Timur, khususnya di perkebunan karet pada tahun 1920-an. Kehidupan sosial yang diceritakan dalam novel ini berkaitan dengan kehidupan elite birokrasi perkebunan, baik dalam hubungan antarsesama elite birokrasi perkebunan maupun dalam hubungan elite birokrasi dengan kuli kontrak perkebunan. Novel BNdKK dimulai dengan deskripsi keadaan alam pedalaman Sumatera Timur pada masa awal pembukaan perkebunan karet. Jalan yang berbatu-batu, tumbuhan yang tidak sehat, kehidupan masyarakat yang miskin dan harus melewati sungai untuk sampai ke perkebunan. Kehidupan dari Ranjah menuju perkebunan karet Amerika: Sumatra Hevea Coy. yang berada di Tumbuk Tinggi baru kelihatan setelah sampai di tempat penyeberangan sungai. Seorang mantan koeli kontrak dari Jawa berprofesi sebagai pemilik rakit penyeberangan mulai menunjukkan karakteristik pedalaman Sumatera Timur yang keras dan kasar. Bahkan, John van Laer yang berprofesi sebagai Asisten dengan lantang membentak dan memaki dalam menghadapi gaya hidup penduduk yang dianggapnya lamban dan tidak sesuai dengan karakter orang Eropa. Asisten dan Manejer Kebun di Tumbuk Tinggi adalah orang-orang Belanda. Pada umumnya mereka belum menikah tetapi memiliki perempuan yang berperan sebagai istri. Perempuan tersebut disebut “gundik” yang berasal dari berbagai suku bangsa, seperti Jawa, Sunda, dan Jepang. Oleh karena itu, isi telepon yang memberitahukan kedatangan singkeh baru (asisten baru) yang membawa istri berkebangsaan Belanda sangat merisaukan elite birokrasi perkebunan tersebut. Van der Meulen sebagai Manejer Tumbuk Tinggi sudah terbiasa dilayani dan melayani gundik, istri tanpa ikatan pernikahan; John pun demikian, sudah lama menjadikan wanita Jepang sebagai gundiknya. Mereka tidak memiliki pengalaman atau pernah mendengar, melihat, dan membaca pengalaman perempuan Belanda mendampingi suaminya bekerja di pedalaman Hindia Belanda. Bahkan, John yang berencana memperistri Renée menghadapi keraguan, apakah kekasihnya itu akan dapat menjadi istri yang baik untuknya dengan kondisi Hindia Belanda. Mereka tidak tahu harus bertindak bagaimana kecuali melaksanakan perintah dari kantor besar perkebunan untuk menjemput singkeh baru di Stasiun Ranjah.
Universitas Sumatera Utara
Asisten baru yang ditempatkan manejer di Tumbuk Tinggi adalah pengantin baru, Frank dan Marian Versteegh. Frank adalah pengangguran yang mencoba keberuntungan di Hindia Belanda. Sebelum menghadapi gaya hidup sebenarnya di pedalaman Sumatera Timur, mereka diperkenalkan dengan gaya hidup Eropa di Medan. Misalnya, mereka menginap di Hotel De Boer dan menikmati kehidupan masyarakat multikultur di Tanah Deli. Mereka menyaksikan bagaimana gaya hidup para tuan kebun mengadakan pesta atau jamuan makan di hotel tersebut. Makanan di lempar-lemparkan ke seluruh ruangan, piring dan gelas berpecahan, taplak-taplak meja penuh dengan aliran bir, nyanyian, teriakan, makian dan kata-kata kasar terdengar dalam ruangan pesta. Mereka juga menyaksikan seorang anak kecil Eropa yang menendang, memukul dan memaki pembantunya, namun si pembantu hanya diam dan tetap mengawasi tuan kecilnya bermain di jalan taman depan beranda hotel. Frank dan Merian terheran-heran menyaksikan semua itu. Merian berjanji dalam hatinya tidak akan mendidik anaknya tetap anak Belanda bukan menjadi anak Hindia. Perjalanan Frank dan Merian dari Medan menuju Ranjah menggunakan kereta api melewati hutan dan kebun-kebun yang tidak terawat dengan baik. Dari Ranjah, mereka masih harus menempuh perjalanan melewati jalan bebatuan yang tidak beraspal dengan hutan dan kebun karet di sisi jalan menuju Tumbuk Tinggi. Di dalam perjalanan inilah John Van Laer menjelaskan pada Frank dan Merian bagaimana kehidupan di Sumatera Timur, khususnya di perkebunan. Keadaan alam yang masih perawan, pekerjaan sebagai asisten yang sangat berat, dan ketatnya jam kerja setiap hari. Kehidupan di Tumbuk Tinggi berlangsung dalam hubungan tuan kebun dengan buruh dan pedagang. Tuan kebun menerapkan aturan ketat terhadap kehidupan buruh yang terdiri dari ‘koeli kontrak’ dari Jawa, India, dan Cina. Hal ini disebabkan mereka harus membuka lahan baru dengan menebang pohon dan menanam karet di lahan yang telah dibersihkan terus-menerus sepanjang hari. Untuk menghilangkan kepenatan dalam bekerja, kantor besar perkebunan di Ranjah membawa elite birokrasi perkebunan yang berkebangsaan Belanda atau Eropa dan Amerika untuk menikmati gaya hidup Barat di sebuah klub tempat mereka bercengkrama, makan, minum, dan berdansa di Kota Ranjah. Sebaliknya, para buruh diberikan kesempatan menikmati gajinya dalam kegiatan ‘pasar malam’ yang berfungsi sebagai tempat buruh berbelanja, berjudi, berkenalan, dan bergembira. Selama bekerja di Tumbuk Tinggi, Frank memperoleh pembantu dan tukang kebun yang digaji oleh perkebunan. Pembantu dan tukang kebunnya adalah orang Jawa yang sudah terbiasa mengerjakan semua pekerjaan rumah tuan kebun. Bahkan, mereka menjadi orang paling dekat dengan Marian pada saat Frank bekerja dari pagi sampai sore dan tidak jarang pulang malam. Frank juga tidak sempat berlama-lama istirahat makan siang. Selama itulah Mariam belajar bertindak dengan benar sesuai dengan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat dari apa yang dikatakan oleh suami dan pembantunya. Hari-hari pertama Frank bekerja di perkebunan, ia sering mendapat bentakan kasar dari atasannya, Van der Meulen. Ha ini disaksikan eh Marian sehingga ia
Universitas Sumatera Utara
merasa sakit hati suaminya diperakukan seperti itu. Ia merasa benci terhadap negri ini, merasa malu akan cara mencari nafkah yang seperti ini. Hanya karena persoalan kecil Frank harus menerima makian dari atasannya. Tumbuk Tinggi mengalami perkembangan yang berarti. Rel kereta api sudah dibangun sampai di dekat rumah Asisten Bagian Tiga. Pada waktu Mariam melahirkan seorang bayi laki-laki yang mereka beri nama: Bobbie. Kegembiraan memperoleh anak semakin bertambah karena karier Frank meningkat. Frank ‘naik pangkat’ menjadi Asisten Bagian Dua sedangkan posisinya semula sebagai pembantu Meesters di Bagian Tiga diisi oleh singkeh baru. Frank dan keluarga menghadapi suasana baru. Mereka sudah berencana berlibur ke Brastagi dan membaca koran Medan dengan lebih rileks. Mereka pun mulai mengenal karakter dan persoalan hidup yang sebenarnya dari para asisten kebun. Ternyata, setelah lima bulan memimpin Bagian Dua, Frank tidak pernah mengajak istrinya keluar Tumbuk Tinggi, mereka menghadapi perubahan yang cepat. Para asisten sekarang sudah membawa istri dari Eropa meskipun masih ada yang tetap mempertahankan gundik sebagai istrinya. Pada saat itulah mereka pergi ke klub di Ranjah dan mendapat berita akan terjadi pergantian Administratur Kepala Kantor Besar Sumatra Heave Coy di Ranjah. Di tengah booming karet dan tambahan gaji asisten yang besar terjadi pembunuhan asisten oleh buruh, koeli kontrak. Joohansen (23 tahun), asisten yang belum beristri, mati dibunuh oleh buruhnya sendiri pagi hari di Bukit Panjang. Frank dengan dibantu seorang singkeh baru mendapat tugas menggantikan asisten yang terbunuh itu. Marian tetap setia mendampingi suami berkarier di tengah suasana yang mengancam keselamatan nyawa tersebut. Kehidupan baru di tengah peningkatan harga karet dan perluasan perkebunan yang telah memberi hasil membuat perubahan gaya hidup elite perkebunan. Para asisten berebut perhatian atasan untuk meningkatkan karier. Bahkan, mereka tidak segan-segan menggunakan cara yang tidak bermartabat, seperti menjilat dan menggunakan wanita untuk menarik simpati atasannya. Perubahan gaya hidup elite birokrasi perkebunan beserta istrinya dapat disaksikan dalam perilaku mereka di klub Ranjah. Suasana klub tempat elite birokrasi perkebunan berkumpul di Ranjah telah menampilkan gaya hidup baru. Pemilik klub pun mendatangkan orkes dari Medan. Sebuah gaya hidup yang semakin menjadi-jadi karena melambungnya harga karet dunia. Elite birokrasi perkebunan berlomba-lomba membeli mobil, perabotan mewah, pakaian, dan minum-minuman keras sampai mabuk. Akibatnya, suasana klub menjadi kotor dan tidak beradab, bahkan, memberi keleluasaan setiap orang untuk berselingkuh di depan mata suami atau istrinya. Namun kehidupan Frank dan Marian tidak demikian, mereka masih bisa menjaga martabat sebagai suami istri. Di tengah suasana yang berubah itulah John membawa istrinya yang muda dan cantik dari Belanda. Frank tetap giat bekerja untuk meningkatkan penghasilan sehingga dapat hidup lebih baik di negerinya. Marian sebagai istri tetap setia mendampingi suami dan terus terlibat dalam masalah keluarga para asisten. Misalnya, istri asisten mulai
Universitas Sumatera Utara
menyanjung-nyanjung atasan dengan maksud agar suaminya mendapat promosi jabatan yang lebih tinggi; John dan Renée terlibat pertengkaran karena perbedaan gaya hidup: John yang konservatif sedangkan Renée progresif sehingga Renée mudah bergaul dan terlibat skandal percintaan dengan Ravinsky, asisten baru; Annette yang mengkhawatirkan suaminya: Joop, yang ternyata mati ditikam oleh buruh yang mogok kerja karena kalah judi. Berbagai masalah yang muncul bersamaan dengan berita gembira kenaikan harga karet membuat Frank dan Marian berencana berlibur ke Eropa. Masalah perburuhan di perkebunan karet menjadi komoditas berita koran Medan, seperti Deli Courant dan The Sumatra Post. John mengamati berita-berita dan menganalisis kehidupan di perkebunan karet Amerika tersebut. Buruh berada dalam siklus kerja-gajian-judi-habis uang-kerja lagi sedangkan asisten berada dalam konflik jabatan dan eforia kenaikan harga karet: berpoya-poya, baik beli perabotan, mabuk-mabukan, dan selingkuh. Bahkan, John menemukan fakta bahwa istrinya selingkuh di Klub Ranjah dan Brastagi sehingga memutuskan bercerai dan memberikan ongkos perjalanan pulang ke Belanda kepada istrinya. Kemudian John kembali menerima gundiknya pada saat mendapat promosi menjadi Administratur Tumbuk Tinggi. Pada saat yang hampir bersamaan, Bobby, anak pertama Frank dan Marian meninggal dunia karena sakit. Di bawah kepemimpinan John, Frank dan Marian bersama anak keduanya, seorang putri, berlibur ke Eropa. Di Belanda, mereka bertemu dengan orang-orang yang pernah bekerja di Hindia Belanda, termasuk mereka yang pensiun dari perkebunan karet di Deli. Ternyata orang-orang yang pernah bekerja di Hindia Belanda menghadirkan suasana khas Hindia Belanda di lingkungan tempat tinggalnya, Belanda. Mereka juga rindu Hindia Belanda. Begitu pulang dari Belanda, mereka menghadapi krisis ekonomi dunia akibat penurunan harga karet. Mereka menghadapi perubahan drastis dalam gaya hidup dan pemberhentian asisten untuk menghemat anggaran perusahaan. Frank termasuk asisten yang diberhentikan oleh perusahaan. Mereka kembali pulang ke Belanda dengan uang pesangon yang cukup untuk hidup baru. John pun menjadi saksi hidup bangunnya perkebunan dengan mengantarkan mereka ke pelabuhan Belawan
3. Novel Manusia Bebas Suwarsih Djojopuspito Novel MB karya Suwarsih Djojopuspito menceritakan tentang kehidupan masyarakat Indonesia tahun 1930-an. Kehidupan masyarakat Indonesia ditilik dari perjuangan bangsa melawan penjajahan melalui pendidikan. Sepasang suami istri yang berjuang untuk kemajuan pendidikan diwakili oleh Sulastri dan Sudarmo. Sulastri dan Sudarmo merupakan tokoh cerita dalam novel ini yang berprofesi sebagai guru “sekolah liar”. Kisah dalam novel ini dimulai oleh masalah yang dihadapi oleh Sulastri, istri Sudarmo. Ia merasa sedih dan kecewa karena naskah novel karyanya ditolak oleh
Universitas Sumatera Utara
penerbit Balai Pustaka karena naskah novel tersebut dinilai berbau politik. Padahal naskah ini disalin bersama dengan suaminya dan dikirim dengan penyisihan uang belanja. Sudarno memberi semangat pada Sulastri untuk kembali menulis bacaan untuk rakyat dalam bahasa yang dimengerti oleh rakyat, bukan bahasa Sunda yang selama ini dipakainya. Sulastri memendam kekecewaan itu selama dua tahun. Namun Sulastri tidak patah semangat. Ia menulis naskahnya kembali dengan tekad akan menuliskan masa lalunya. Masa lalu tersebut dimulai tahun 1933 saat Sulastri memasuki rumah yang baru, mengikuti suaminya yang bertugas sebagai Direktur Sekolah Perguruan Kebangsaan di Bandung. Kepindahan mereka ini hanya beberapa hari setelah pernikahannya. Walaupun kepindahan mereka tidak disetujui oleh keluarganya, Sulastri dan Sudarmo tetap meninggalkan rumah orang tua Sulastri di Purwakarta. Kakak Sulastri yang bernama Marti serta suami Marti yang bernama kartonegoro sangat tidak setuju bila Sulastri harus meninggalkan pekerjaannya. Mereka lebih suka Sulastri bekerja di guvernemen atau Pemerintahan Belanda dengan penghasilan memuaskan daripada mengikuti Sudarmo ke Bandung yang bekerja sebagai guru untuk kepentingan pergerakan dengan resiko hidup kekurangan. Ikut suami bekerja untuk kepentingan nasional secara total menjadi pilihan hidup Sulastri. Oleh karena itu, dia memutuskan berhenti bekerja dan pindah dari Purwokerto ke Bandung karena suaminya akan memulai perjuangan dari kota itu. Keluarganya pun tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi tekad Sulastri untuk bekerja dan berjuang bersama suami mancerdaskan bangsa. Pekerjaan seperti ini disadarinya tidak akan memberikan kekayaan, bahkan, mereka memulai dengan uang pinjaman. Sejak bulan pertama mereka sudah dihadapkan dengan kesulitan-kesulitan keuangan. Utang dan biaya-biaya sekolah cukup besar, sementara jumlah murid semakin berkurang karena banyak yang pindah ke sekolah pemerintah. Lebih dari itu, Sulastri harus siap menanggung risiko mengikuti Sudarmo yang menjadi anggota Partai Marhaen, yang berarti selalu berada dalam pengawasan polisi rahasia Belanda. Sudarmo memulai pekerjaan memimpin perguruan dengan keterbukaan, baik keuangan maupun daya rekat sekolah. Rancangan anggaran sekolah dipaparkan oleh Sudarmo dalam rapat guru sehingga para guru mengetahui kemampuan sekolah menggaji mereka dan menyediakan fasilitas pendidikan. Sekolah yang dipimpin Sudarmo terbatas kemampuan keuangannya. Oleh karena itu, Sudarmo menggagas daya rekat sekolah dengan cara mengadakan rapat dengan orang tua murid, memberi kursus bahasa Inggris dan Belanda, mengunjungi orang tua murid, dan menerbitkan koran. Dari semua program, hanya kursus yang dapat memberi penghasilan. Penghasilan itu pun sudah dicanangkan Sudarmo untuk biaya penerbitan koran dengan maksud agar sekolah dapat lebih dikenal masyarakat. Tindakan Sudarmo menggagas program sekolah mendapat dukungan penuh dari Sulastri. Bahkan, Sulastri yang mengikuti jejak suami menjadi guru menggagas program mendekatkan murid dengan guru dengan konsep “ibu guru”. Program ini berhasil mendekatkan murid dengan guru sehingga Sulastri dan Sudarmo dapat
Universitas Sumatera Utara
menyediakan waktu menjalin hubungan dengan sesama guru dan pegawai sekolah, bahkan, dengan orang-orang partai. Karakter guru, pegawai, dan pengurus partai pun diketahui oleh Sulastri setelah bertemu dan berdialog dengan mereka. Semakin Sulastri memahami karakter masyarakat maka semakin banyak masalah yang muncul. Program Sudarmo untuk memajukan sekolah mulai mendapat tantangan dari para guru dan orang tua murid. Para guru tidak berterus-terang tetapi menimbulkan kegaduhan dalam pembicaran nonformal antarguru. Sebaliknya, orang tua murid mulai mempertanyakan cara sekolah mendidik muridnya. Orang tua murid menginginkan sekolah mengikuti kebiasaan masyarakat percaya pada takhyul, cara masyarakat menolak bala dan mendatangkan keberuntungan. Masalah yang menghalang perjuangan Sulastri dan Sudarmo memajukan pendidikan semakin berat. Di tengah kesulitan ekonomi, manajemen sekolah muncul kejadian yang mengkhawatirkan: murid mogok sekolah selama dua hari akibat surat kaleng yang diduga dari anggota Partai Kebangsaan. Murid-murid kembali belajar tetapi pemimpin propaganda aksi mogok itu tidak kembali ke sekolah dan memilih aktif di kepartaian. Para guru pun terpecah dalam dua kutup, Partai Marhaen dan Partai Kebangsaan. Setelah kejadian pemogokan murid, Sulastri dan Sudarmo semakin giat dalam memajukan pendidikan dan kepartaian. Di sekolah, program Sudarmo menerbitkan koran dan menyelenggarakan kursus bahasa direalisasikan sekolah. Bahkan, Sulastri tetap menjadi tempat murid mengadukan masalahnya, termasuk masalah poligami orang tua murid yang membuat anak putus sekolah.Sulastri dan Sudarmo pun sudah dapat dengan lebih tenang membicarakan relasi gender, partai, dan takhyul, terutama dengan Juhariah dan Supardi. Akan tetapi, Sudarmo yang memiliki riwayat TBC merasa sedih karena perjuangannya tidak mendapat dukungan penuh dari para guru. Oleh karena itu, dia menerima usul Rabowo, ipar Sudarmo, agar menerima Gularso sebagai kawan sekolah dan sepermainan yang menjadi propagandis PKI untuk bekerja di sekolahnya. Situasi politik Hindia Belanda ternyata berpengaruh pada kelangsungan sekolah yang dipimpin oleh Sudarmo. Sukarno ditahan dan pengawasan terhadap gerakan kepartaian semakin ketat dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sudarmo pun diperiksa oleh petugas PID berkenaan dengan penerbitan koran sekolahnya. Sulastri hanya dapat menerima kenyataan sambil menenagkan diri dengan mengumpulkan surat-surat dan berbagai dokumen untuk dibakar sebagai tanda cinta mereka pada perjuangan mencerdaskan bangsa. Sekolah tetap berjalan meskipun penghasilan sekolah semakin mundur. Sudarmo dan Sulastri tetap mengajar murid-muridnya meskipun mereka mulai merasakan kecerewetan perempuan yang ikut kegiatan sekolahnya. Sulastri lebih mampu mengendalikan diri daripada Sudarmo sehingga Sulastri lebih bisa diterima di kelangan perempuan. Bahkan, Sulastri menyaksikan Juhariah melahirkan bayi dengan pertolongan dukun, bukan dokter. Meski bertentangan dengan prinsip Sulastri tetapi dia tidak mau memaksakan kehendaknya kepada orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Pemanggilan dan pemeriksaan Sudarmo oleh PID ternyata berlanjut dengan penggeledahan isi rumahnya. Berbagai dokumen, buku, dan surat-surat dibawa oleh polisi rahia Belanda tersebut. Sudarmo juga diperiksa hingga malam hari. Hari itu terjadi razia besar. Beberapa gerobak penuh bukti-bukti yang memberatkan. Tak ada senjata. Akan tetapi, penghasut-penghasut terpenting ditangkap. Sudarmo dianggap sebagai penghasut terpenting oleh Belanda. Di tengah situasi krisis, Sulastri melahirkan seorang bayi perempuan dengan bantuan bidan, bukan dukun. Sewaktu mengalami kesulitan melahirkan, muncul kejadian mistis: ibunya datang memberi semangat hidup dan membimbing kelahiran anaknya. Padahal, ibu Sulastri baru datang setelah bayi lahir. Ibu Sulastri ternyata percaya pada mitos kelahiran. Bahkan, bapaknya sudah pada tarap menggabungkan mitos dengan pertolongan kemanusiaan, sehingga selalu punya alasan pembenaran kebiasaannya kawin lagi. Sulastri secara tidak langsung percaya dengan sifat keras kepala bapaknya bila dilihat dari punggungnya yang lebar. Akan tetapi, Sulastri tidak peduli sehingga memaksakan diri mengajar meskipun baru satu bulan melahirkan anak. Dampak dari pemeriksaan mulai terasa bagi Sudarmo setelah keluar surat peringatan dilarang mengajar dari pemerintah Hindia Belanda. Kejadian ini dengan cepat diatasi oleh Sulastri dengan menjual perabotan rumah untuk biaya pindah ke Yogyakarta. Sudarmo sendiri berusaha mencari pekerjaan di Jakarta. Mereka menumpang di rumah Lurni, adik Sudarmo yang menjadi guru Perguruan Kebangsaan. Di sini, Sulastri bersama Lurni mengujungi teman lamanya dari Jawa Timur, Widarti. Mereka saling memuji, terutama keberhasilan dan kebahagiaan bersuami, hingga membicarakan aktivitas wanita dalam perkumpulan perempuan. Sudarmo yang tidak mendapat pekerjaan di Jakarta mengambil tindakan menetap sementara di Yogyakarta. Mereka menyewa rumah dan menerbitkan majalah Penghidupan Rakyat. Akan tetapi, majalah tidak dapat diterbitkan lagi karena uang masuk tidak cukup untuk biaya cetak majalah. Di saat itu, datang tawaran kerja di kantor Kartonegoro, suami Marti di Jakarta. Sudarmo menerima tawaran tersebut karena tanggung jawab suami kepada anak dan istrinya. Meskipun tidak senang dengan pekerjaannya, Sudarmo tidak punya pekerjaan lain. Bahkan, ketika Sudarmo mau berhenti, Sulastri pindah dari Yogya ke Jakarta, menumpang di rumah Marti. Saat itu, marti dan kartonegoro, merasa prihatin melihat keadaan rumah tangga adiknya yang melarat lalu menawarkan kepada Sudarmo agar mau bekerja sebagai klerk di guvernemen Jakarta. Dengan berat hati ia menerima pekerjaan yang sifatnya “berkooperasi” terhadap pemerintah Belanda itu. Pada saat itu PNI sudah dibubarkan sejak penangkapan terhadap Sukarno. Namun, semangat marhaenisme masih melekat dalam diri sebagian besar anggotanya. Pekerjaan sebagai klerk dijalaninya dengan mudah. Dari gajinya ia dapat mengontrak rumah di daerah Bogor. Secara diam-diam Sudarmo menghimpun rekanrekannya berencana mendirikan sekolah partikelir, menerbitkan Koran dan membuka perpustakaan. Ternyata rencana mereka cepat tercium pemerintah. Sehingga Marti dan Kartonegoro yang awalnya mengajak Sudarmo bekerja di guvernemen merasa
Universitas Sumatera Utara
terancam takut dipecat dari pekerjaannya. Lalu mereka memohon agar Sudarmo segera berhenti bekerja dari guvernemen. Marti berjanji akan memberikan bantuan uang kepada Sudarmo dan Sulastri setiap bulannya. Kehidupan di Jakarta yang memerlukan biaya mahal dan ketidakinginanan bergantung pada Lurni padahal tidak punya uang cukup menjadi dilematis dalam kehidupan Sulastri dan Sudarmo. Posisi Sulastri terpojok karena Lurni menggapnya tidak tahu diri. Sudarmo yang biasa kerja mandiri menyalahkan istrinya yang meminta dia kerja di kantor iparnya. Perselisihan pendapat itu berakhir dengan kesibukan mereka menyiapkan diskusi keilmuan dan Kongres Perempuan Indonesia. Sudarmo berhenti bekerja di kantor abang iparnya. Sejak itu, mulailah mereka pindah dari satu kota ke kota yang lain. Bantuan yang dijanjikan oleh Marti dan Kartonegoro tidak pernah mereka tepati. Bahkan mereka memberikan penilaian negative pada pasangan Sudarmo dan Sulastri sebagai orang yang selalu menyusahkan orang lain. Di Bogor, mereka mendirikan sekolah yang tidak cukup murid sehingga sekolah ditutup sebelum dibuka karena dalam pengawasan resense Belanda. Dari Bogor mereka pindah ke Semarang untuk mendirikan sekolah dan koran yang disponsori oleh Sutrisno dan Herawati. Bahkan mereka bersedia menanggulangi semua keperluan termasuk penghidupan rumah tangga Sudarmo sesuai kemampuan mereka. Di Semarang sekolah yang mereka dirikan semakin lama semakin sedikit jumlah siswanya karena banyak yang pindah. Sudarmo dan Sulastri semakin susah dengan kondisi ini, apalagi mereka tidak mendapatkan teman yang cocok dalam menjalankan pergerakan. Kemudian, mereka pindah kembali ke Yogya dan menumpang di rumah Lurni. Namun selama di Yogya ia tidak juga mendapat pekerjaan, hingga akhirnya kembali ke Bandung. Di Bandung Sudarmo dan Sulastri menghubungi rekan-rekannya agar bersedia menerimanya bekerja sama, namun sis-sia. Sulastri terkejut menuliskan riwayat hidupnya yang berakhir di Bandung, di sebuah rumah besar, kosong, dengan enam kamar, tetapi tanpa pekerjaan. Perjuangan mereka untuk mendirikan sekolah dan koran lebih banyak menimbulkan kerugian daripada keuntungan. Bahkan, ditangkap dan dilarang bekerja oleh polisi rahasia Belanda. Mereka pun menyandang predikat sebagai intelektual yang miskin semiskin-miskinnya.
4.
Novel Oeroeg Karya Hella S. Haasse
Novel Oe karya Hella S. Haasse menceritakan tentang persahabatan seorang anak Belanda dengan seorang anak Indonesia yang tumbuh bersama-sama dalam masa bermain dan sebelum memasuki sekolah. Mereka selalu bersama dan tidak memandang perbedaan. Sampai suatu saat ayah tokoh “aku” merasa khawatir tentang persahabatan mereka yang akan melunturkan kebelandaan anaknya, sehingga kedua anak ini harus dipisahkan.
Universitas Sumatera Utara
Cerita dimulai ketika tokoh “aku” mengenang masa kecil dan masa remajanya bersama seorang sahabat bernama Oeroeg. Begitu pun saat tokoh “aku” mengenang masa lalunya, maka gambaran tentang Oeroeg sahabatnya selalu muncul. Kenangan masa lalu mereka selalu muncul menyelingi perjalanan hidup kedua sahabat tersebut.Kehidupan yang selalu dikenang oleh tokoh “aku” dan Oeroeg terjadi di Kebon Jati, Sukabumi, Batavia, sampai ke Surabaya. Kemudian, mulai dari masa kecil di mana usia mereka hanya terpaut beberapa minggu sampai perjalanan pendidikan dan perkembangan usia diceritakan dalam kenangan tokoh “aku”. Masa kecil mereka ditandai oleh penggunaan celana kodok, model celana pendek tempo doeloe. Oeroeg dan tokoh “aku”, memakai celana kodok garis-garis, merangkak di antara pot-pot pakis yang mengapit tangga teras serambi belakang rumah tokoh “aku”. Oeroeg bersama ayah dan ibunya bertempat tinggal di lingkungan rumah ayah tokoh “aku”. Ayah Oeroeg seorang mandor yang bekerja di perkebunan dan ayah tokoh “aku” adalah administrator perkebunan tersebut. Tokoh “aku” menjadikan Oeroeg sebagai sahabat sebagaimana terlihat dalam alam permainan mereka: di mana ada tokoh “aku” di sana ada Oeroeg. Perbedaan ras dan status sosial seperti tidak berpengaruh pada persahabat kedua anak kecil tersebut. Akan tetapi, ayah tokoh “aku” tidak menyukai persahabatan ini karena dapat mengacaukan kelancaran berbahasa Belanda dan mengubah moralitas kebelandaan yang didambakan seorang ayah kepada anaknya. Ayahnya percaya bahwa anak lakilaki Belanda tidak boleh bermain dengan anak laki-laki pribumi dari desa tersebut sehingga ingin anaknya bersekolah di Belanda. Tokoh “aku” mulai merasa mendapat larangan bersahabat lebih dekat dengan Oeroeg sewaktu mereka sekeluarga pergi berwisata ke Telaga Hideung. Dalam sebuah perahu yang dipenumpangi tokoh “aku”, ayah, ibu, gurunya, dan ayah Oeroeg, terjadi sebuah kecelakaan di mana ayah Oeroeg meninggal ketika mencoba menyelamatkan tokoh “aku” yang tenggelam. Hal ini menyebabkan perubahan besar bagi Oeroeg. Sesuai peraturan perkebunan, Oeroeg dan ibunya harus meninggalkan rumah tokoh “aku” karena pengganti ayah Oeroeg akan menempati rumah tersebut. Keluarga Oeroeg adalah keluarga miskin yang hidup di rumah kumuh. Akan tetapi, ibu Oeroeg tidak tinggal diam membiarkan anaknya tidak bersekolah. Oleh karena itu, ibunya kemudian menitipkan Oeroeg pada pembantu dan mandor yang menggantikan mereka di rumah ayah tokoh “aku” atas persetujuan ayah tokoh “aku”. Tindakan ibu Oeroeg tersebut memberi perubahan besar dalam diri Oeroeg karena dia dapat bersekolah dan mengenal peradaban orang-orang berpendidikan tinggi. Orang tua tokoh “aku” sendiri mengalami keretakan rumah tangga. Ibu tokoh “aku” berselingkuh dengan guru yang mengajar tokoh “aku”. Ayah dan ibu tokoh “aku” bercerai. Tokoh “aku” yang melanjutkan sekolah ke Sukabumi meminta ayahnya menyertakan Oeroeg. Ayahnya yang semula menolak keinginan anaknya akhirnya atas bantuan Lida menyetujui agar Oeroeg sekolah atas tanggungan ayah tokoh “aku. Di kemudian hari, biaya pendidikan Oeroeg justru ditanggung oleh Lida. Setelah sekolah tokoh “aku” dan Oeroeg selesai, ayah tokoh “aku” pergi dalam waktu yang lama untuk perjalanan bisnisnya. Tokoh “aku” melanjutkan
Universitas Sumatera Utara
pendidikannya ke sekolah asrama dan kemudian akan menjadi insinyur. Oeroeg tinggal bersama Lida, seorang perawat Belanda yang telah pensiun di Hindia Belanda. Sekarang Oeroeg kehilangan semua sifat yang di Sukabumi. Ia hanya berbahasa Belanda, dan ia rela melakukan apa pun demi menjadi anak indo. Ia bercita-cita jadi dokter dan pergi ke Amerika. Semakin hari perbedaan antara Oeroeg dan tokoh “aku” menjadi jelas. Meskipun Oeroeg mencoba untuk berperilaku seperti layaknya orang Eropa, dia sering dikecualikan dan dicemooh oleh teman sekelas tokoh “aku”. Oeroeg kemudian pindah ke sekolah asrama di mana dia kemudian berkembang menjadi seorang nasionalis. Ketika ia ingin pergi ke Belanda untuk belajar di sana, terjadi perselisihan sengit antara tokoh “aku”, Oeroeg, dan Abdoellah, teman Oeroeg sehubungan dengan diskriminasi. Tokoh “aku” akhirnya belajar di Belanda. Banyak perubahan pada diri tokoh “aku” dan Oeroeg, terutama setelah Perang Dunia II dan invasi Jepang di Indonesia. Apalagi, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak diakui oleh Belanda sehingga terjadi perang antara Belanda dan kaum nasionalis Indonesia. Dalam situasi seperti itu, tokoh “aku” mendengar kabar kematian ayahnya. Dia pun berniat ke Hindia Belanda meskipun menyadari akan bahaya kembali ke Jawa. Tokoh “aku” dengan didampingi tentara Belanda mendatangi rumah lamanya yang telah hancur. Tokoh “aku” menemukan kenyataan bahwa Oeroeg berada di antara tentara-tentara pejuang di Jawa melawan dirinya sebagai tentara Belanda. Akhirnya, mereka tetap mengedepankan persahabatan masa kecil yang tidak terlupakan dengan tidak saling menembak sebagaimana dua musuh bertemu. Secara tak sengaja mereka bertemu di jalan setapak menuju telaga hideung. Tokoh “aku” menyadari bahwa ada perbedaan antara dirinya sebagai bangsa Belanda dengan Oeroeg sebagai bangsa Indonesia dalam menegakkan nasionalisme.
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 4: Peta Jalan Kereta Api di Pulau Sumatera Tahun 1925
372 Universitas Sumatera Utara
Lampiran 5: Daftar Identitas Informan
1. Nama
: Muhammad TWH
Tempat, Tanggal Lahir : Aceh, 15 November 1932 Agama
: Islam
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pendidikan
: S1 Universitas Islam Sumatera Utara
Pekerjaan
: Jurnalis
Alamat
: Jalan Darussalam/Sei Alas No.6, Medan
2. Nama
: Prof. Dr. R.M. H. Subanindyo Hadiluwih, S.H., MBA
Agama
: Islam
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pendidikan
: S3 University of Malaya, Malaysia
Pekerjaan
: Guru Besar Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Alamat
3. Nama
: Jalan Tanjung Gusta 6/105 Tanjung Gusta, Medan
: Dr. Phil. Ichwan Azhari
Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 16 Januari 1961 Agama
: Islam
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pendidikan
: S3 Universitas Hamburg, Jerman
Pekerjaan
: Dosen/Ketua Prodi Antropologi Sosial Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan
Alamat
: Jalan Tani Asli, Sei. Mencirim, Kecamatan Tanjung Gusta, Kabupaten Deli Serdang
373 Universitas Sumatera Utara
4. Nama
: Drs. Samsul Tarigan
Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 4 November 1958 Agama
: Islam
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pendidikan
: S1 Universitas Sumatera Utara
Pekerjaan
: Dosen/Pembantu Dekan II, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas SumateraUtara
Alamat
: Jalan Bunga Kantil 29 No.1, Pasar 7 Padang Bulan, Medan
5. Nama
: Drs. Edi Sumarno, M.Hum.
Tempat, Tanggal Lahir : Deli Serdang, 22 September 1964 Agama
: Islam
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pendidikan
: S2 Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Pekerjaan
: Dosen/Ketua Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas SumateraUtara
Alamat
: Dusun I, Sei Karang, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang
6. Nama
: Dra. Nurhabsyah, M.Si.
Tempat, Tanggal Lahir : Tebing Tinggi, 31 Desember 1959 Agama
: Islam
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pendidikan
: S2 Universitas Negeri Medan
Pekerjaan
: Dosen/Sekretaris Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara
Alamat
: Villa Mutiara Johor 2, Blok E No.15, Medan Johor
Universitas Sumatera Utara
7. Nama
: M. Yusuf Pasaribu
Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 14 November 1938 Agama
: Islam
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Wartawan dan Mantan Pegawai Perusahaan Kereta Api Sumatera Utara
Alamat
: Jalan Beringin Raya, Gang Haji Yunus No. 3, Pasar V Tembung, Kabupaten Deli Serdang
8. Nama
: Damiri Mahmud
Tempat, Tanggal Lahir : Hamparan Perak, 17 Januari 1945 Agama
: Islam
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pendidikan
: SMA Widyasana Medan
Pekerjaan
: Sastrawan/Kritikus Sastra
Alamat
: Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang
9. Nama
: Sulaiman Sambas
Tempat, Tanggal Lahir : Tanjungbalai, 27 Juni 1943 Agama
: Islam
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pendidikan
: Sekolah Menengah Kehakiman Atas
Pekerjaan
: Sastrawan dan Wartawan
Alamat
: Pasar X Tembung, Kabupaten Deli Serdang
10. Nama
: Hairul
Tempat Lahir
: Rejang Lebong
Agama
: Islam
Universitas Sumatera Utara
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pendidikan
: D3 Universitas Sumatera Utara
Pekerjaan
: Sekretaris Badan Warisan Sumatera
Alamat
: Jalan Karya Kasih X No. 69 B, Medan Johor
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 6: Daftar Pertanyaan Wawancara 43 Saya mahasiswa S3 Kajian Sastra SPs Usu, sedang menyusun disertasi tentang Mimikri dan Hibriditas dalam Novel Hindia Belanda dari sudut pandang poskolonial. Hal yang menjadi fokus penelitian saya: mimikri, ambivalensi, hibriditas, dan sinkretisme dalam relasi bangsa penjajah dan bangsa terjajah di Indonesia. Untuk itu, saya ingin berwawancara dengan Bapak/Ibu berkaitan dengan fakta historis penjajahan Belanda di Indonesia. 1. Menurut ilmu sejarah, apakah fakta historis dapat dijadikan latar fiksi? Atau, apakah fakta fiksi dapat dijadikan fakta historis? 2. Novel dapat saja berisi kehidupan berupa fakta dan fiksi atau hanya fiksi. Bagaimana pandangan Bapak/Ibu tentang kehidupan yang ditampilkan pengarang dalam novel-novelnya, terutama dalam novel Hindia Belanda? 3. Kalau begitu,Bapak/Ibu setuju (atau tidak setuju, bergantung jawaban pertanyaan kedua) bahwa novel dapat saja berisi fakta dan fiksi. Kita ambil contoh, novel Max Havelaar karya Multatuli yang menghebohkan Kerajaan Belanda dan memicu percepatan penggantian sistem politik di Hindia Belanda. Bagaimana pandangan Bapak/Ibu terhadap fakta adanya budaya KKN di Hindia Belanda yang terungkap dalam novel? Kemudian, apakah terdapat latar belakang historis bahwa elite birokrasi Indonesia menolak penyidikan dan berusaha melindungi sesama pejabat dari ancaman hukuman akibat KKN? 4. Di samping Max Havelaar, novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito dan Oeroeg karya Hella S. Haasse menyoroti hubungan Barat dan Timur yang selalu menempatkan bangsa Belanda sebagai wakil orang Barat sebagai superior bagi bangsa Timur yang terjajah. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang pandangan Belanda yang merendahkan bangsa Indonesia tersebut? 43
Daftar pertanyaan dapat berubah sesuai dengan keadaan pada saat berlangsung wawancara antara peneliti dengan narasumber.
377 Universitas Sumatera Utara
5. Secara historis, apakah ada fakta-fakta yang kuat untuk menolak superioritas Barat terhadap Timur? 6. Di dalam novel yang saya teliti, perlawanan Belanda didukung oleh guru-guru dengan cara mendirikan sekolah yang tidak mendapat pengakuan resmi Belanda dan mendirikan koran tanpa izin Belanda. Bagaimana perlakuan Belanda terhadap kedudukan “sekolah liar” dan koran-koran yang menjadi tempat pejuang mencerdaskan bangsa dan menyusun kekuatan melawan Belanda? 7. Sekarang kita fokus pada kehidupan masyarakat Sumatera Timur, tempat kita tinggal. Novel Hindia Belanda, seperti Berpacu Nasib di Kebun Karet karya M.H. Székely-Lulofs berlatar tempat di perkebunan karet yang berkembang dari Deli hingga Labuhan Batu. Secara historis, bagaimana sebenarnya perkembangan perkebunan karet di Sumatera Utara tahun 1920-an? 8. Di dalam novel karya Székely-Lulofs terdapat nama-nama tempat yang tidak dikenal lagi sekarang. Misalnya, Tumbuk Tinggi, Bukit Lembu, dan Bukit Pandang sebagai perkebunan karet dan Ranjah sebagai kota yang memiliki klub tempat asisten kebon berkumpul,minum, berdansa, bahkan berbuat asusila. Menurut Bapak/Ibu, di mana sebenarnya Kota Ranjah dan perkebunan Tumbuk Tinggi tersebut? 9. (kalau menemukan keraguan narasumber) Apakah mungkin Kota Ranjah itu Kisaran karena dalam novel diceritakan tokoh ceritanya naik kereta api dari Medan menuju stasiun Ranjah dan melanjutkan perjalanan naik mobil melewati sungai yang besar untuk sampai di perkebunan tempatnya bekerja? 10. Kalau Ranjah adalah Kisaran dan perkebunan Tumbuk Tinggi berada di kawasan Asahan, apakah di Ranjah terdapat klub asisten tahun 1920-an dan di perkebunan tersebut pernah terjadi pembunuhan asisten yang dilakukan oleh “koeli kontrak” seperti pernah terjadi di Parnabolon, Simalungun? 11. Bagaimana sebenarnya kebiasan hidup asisten perkebunan karet di Sumatera Timur dalam rentang waktu kenaikan dan penurunan harga karet dunia, tahun
Universitas Sumatera Utara
1920 hingga 1930, baik dalam relasi bangsa penjajah dan terjajah maupun dalam relasi antarbangsa penjajah itu sendiri? 12. Secara historis, apakah pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia tidak boleh terjadi persahabatan yang erat antara bangsa Indonesia dan bangsa Belanda? Hal ini menjadi persoalan dalam novel Oeroeg karya Hella S. Haasse sehingga dua orang sahabat terpaksa tidak dapat bersahabat seperti persahabatan masa kecil mereka di Jawa. 13. (bila tidak disebut dasar hukumnya) Kalau boleh ditambahkan, apakah ada dasar hukumnya dan kasus pelarangan yang pernah terjadi di Jawa dan Sumatera? 14. Dari pembicaraan kita, menurut Bapak/Ibu, apa sebenarnya yang ditiru dan diunggulkan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda, misalnya dari aspek budaya, religi, dan kepemimpinan? 15. Hal terakhir, berdasarkan apa yang Bapak/Ibu ungkapkan tadi, apakah Bapak/Ibu setuju bahwa bangsa Indonesia memiliki mentalitas kolonial? Bagaimana pandangan Bapak/Ibu terhadap hal itu?
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 7: Riwayat Hidup Penulis Disertasi
A. Data Pribadi Nama Lengkap : Rosliani Tempat/Tanggal Lahir: Dolok Sinumbah, 6 Desember 1972 Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam NIP : 19721206 2003122001 Nomor Karpeg : L.216824 Pangkat/Golongan : Penata Muda Tk. I (Gol. III/b)
Pekerjaan Instansi Alamat Kantor Nomor Telepon Kantor Nomor Faksimili Kantor Nama Ayah Nama Ibu Alamat Rumah Nomor Telepon Rumah E-pos
: Staf Teknis Balai Bahasa Medan : Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI. : Jln. Kolam Ujung No. 7 Medan Estate, Medan : 061-7332076, 7353502 : 061-7332076 : Parnak : Giyah : Jln. Sumber Bangun, Gang Langgar No. 92, Harjosari II, Marindaldalam, Medan Amplas 20147 : 061-7876135 :
[email protected]
B. Pendidikan Formal 1. SD Negeri No. 4 (091578) Dolok Sinumbah, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun (Tamat 24 Mei 1985) 2. SMP Swasta PTP VII Dolok Sinumbah, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun (Tamat 11 Juni 1988)
380 Universitas Sumatera Utara
3. SMEA Negeri Pematangsiantar, Kabupaten Simalungun (Tamat 1 Juni 1991) 4. Fakultas Sastra, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sumatera Utara, Medan (Tamat 29 Juni 1996) 5. Program Studi S-2 Linguistik, Konsentrasi Analisis Wacana Kesusastraan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan (Tamat 27 Juni 2009) 6. Program Studi S-3 Linguistik, Konsentrasi Kajian Sastra, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Sejak 2009) C. Pendidikan Nonformal 1. Diklusemas Komputer Tingkat Paket Perkantoran di Pusat Pendidikan dan Pelatihan SDM Abad-21, Medan (2002) 2. Diklat Prajabatan Golongan III Departeen Dalam Negeri Angkatan V Tahun 2004 di Medan (19-21 Juli 2004) 3. Pembekalan Calon Peneliti Pusat Bahasa dan Balai/Kantor Bahasa (Angkatan I) di Jakarta (6-13 Juni 2006) 4. Pelatihan Metodologi Penelitian bagi Tenaga Peneliti Bidang Pendidikan Pusat dan Daerah di Bogor (28-31 Agustus 2006) 5. Pelatihan Penyusunan Eksiklopedia Sastra Indonesia Wilayah Barat di Palembang (7-8 Mei 2007) 6. Pelatihan Akreditasi Tutor Universitas Terbuka di Medan (2-4 Agustus 2010) D. Pengalaman Kerja I.
Pegawai Negeri Sipil
No.
Pangkat
Golongan Ruang Pengujian
1
CPNS
2
Penata III/a Muda Penata III/b Muda Tk. I
3
III/a
Berlaku Terhitung Mulai Tanggal 1 Desember 2003 1 Februari 2005 1 April 2008
Surat Keputusan Pejabat
Nomor
Mendiknas
10380/A2/KP/ 2004 86/Kep/PB/20 05 41333/A1/KP/ 2008
Mendiknas Mendiknas
Tanggal/ Tahun 2-4-2004 27-1-2005 31-7-2008
Universitas Sumatera Utara
II. Guru dan Dosen No. 1
Masa Kerja 1996-1998
2
1996-1999
3
1997-1999
4
1998
5
Sejak 2002
6
2002-2005
7 8
Sejak 2003 Sejak 2006
9 10
Sejak 2009 Sejak 2009
11
2010
12
Sejak 2010
Jabatan
Nama Instansi
Guru Tidak Tetap Asisten Dosen Luar Biasa Guru Tidak Tetap Kepala Tata Usaha Dosen Tidak Tetap Dosen Tidak Tetap PNS Dosen Tidak Tetap Tutor Dosen Tidak Tetap Dosen Luar Biasa Dosen Tidak Tetap
Tempat Instansi Medan
Pesantren Ahmad Syarif Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara SMK Swasta Medan Area
Medan
SMA Swasta Mayjen Sutoyo Siswomiharjo Akademi Teknik Elektro Medik Yayasan Binalita Sudama Akademi Kesehatan Lingkungan, Yayasan Binalita Sudama Balai Bahasa Medan Akademi Perawat, Yayasan Binalita Sudama Universitas Terbuka Universitas Prima
Medan
Program Magister Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara STIKES Binalita Sudama-RS Pirngadi
Medan
Medan
Medan Estate Medan Estate Medan Estate Medan Estate UPBJJ Medan Medan
Medan
E. Organisasi Profesi
No.
Nama Organisasi
1
Teater “O” Senat Mahasiswa Fakultas Sastra USU Kohati HMI Komisariat Fakultas Sastra USU
2
Kedudukan dalam Organisasi Bendahara
Dari Tahun s/d Tahun 1991-1993
Tempat
Medan
Nama Pimpinan Organisasi Saiful Bahri
Ketua Umum
1993-1994
Medan
Rosliani
Universitas Sumatera Utara
3
4 5 6
KBSI (Keluarga Bahasa dan Sastra Indonesia) Fakultas Sastra USU FKS (Forum Kreasi Sastra) HISKI Komda Sumatera Utara FORHATI KAHMI Medan
Koordinator Pembinaan Anggota
1994-1996
Medan
Helmi Fuad
Sekretaris
1997-1999
Medan
Seksi Akademik Seksi Akademik
1998-2003
Medan
M. Yunus Rangkuti Syaifuddin
2005-2010
Medan
Neli Armayanti
F. Penulisan Buku, Jurnal, dan Hasil Penelitian I. Buku/Prosiding No.
Tahun
1
2009
Judul Artikel
Judul Buku
Naskah Drama Dag Dig Dug Karya Putu Wijaya: Pendekatan Psikoanalisis
Budaya Melayu Serumpun
2
2010
Kajian Poskolonialisme Novel Oeroeg Karya Hella S. Hassae
Prosiding Internasional Seminar Language, Literature, and Culture in Southeast Studies”
3
2011
Motif Migrasi Orang Batak dalam Cerita Rakyat “Asal Usul Orang Batak”, “Si Baroar”, dan “Si Marhala”
Mitos Cerita Rakyat
Nama dan Tempat Penerbit Bartong Jaya Medan. ISBN:9793647-02-11 Trang, Thailand.
USU Press, Medan. ISBN: 979 458 5564
Universitas Sumatera Utara
II. Jurnal No.
Tahun
Judul Artikel
1
2008
Nilai Budaya dalam Cerita Si Jonaha, Kecapi Sakti, dan Sumpitan Sakti
2
2009
Fakta Sejarah dalam Novel Rumah Kaca Karya Pramoedya Ananta Toer
3
2010
Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis
4
2010
Budaya Kerja dalam Tradisi Lisan Jawa
5
2011
Metafora Emosi dalam Bahasa Jawa Dialek Sumatera Utara
6
2012
Realitas Fiksi dan Realitas Historis Novel Max Havelaar Karya Multatuli
Nama Jurnal dan Tempat Penerbitan Medan Makna: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan, Medan, Volume IV, No. 1, 2008 Logat: Jurnal Ilmu-ilmu Bahasa dan Sastra , Medan, Volume V, No. 2, Oktober 2009 Medan Makna: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan, Medan, Volume 7, 2010 Logat: Jurnal Ilmu-ilmu Bahasa dan Sastra , Medan, Volume VI, No. 2, Oktober 2010 Medan Makna: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan, Medan, Volume 8, 2011 Medan Makna: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan, Medan, Volume X, No.1, 2012
Universitas Sumatera Utara
III. Hasil Penelitian No. Tahun 1
2004
2
2005
3
2005
4
2006
5
2007
6
2007
Judul Penelitian Motif Legenda Anak Durhaka dalam Tradisi Lisan Sumatera Utara Bibliografi Sastra Modern Sumatera Utara Nilai Budaya dalam Cerita Rakyat Simalungun Citra Perempuan Indonesia dalam Cerita Rakyat Sumatera Utara Ensiklopedia Sastra Indonesia di Sumatera Utara Motif Migrasi Orang Batak dalam Cerita Rakyat Indonesia di Provinsi Sumatera Utara
Nama Lembaga Balai Bahasa Medan
Nama Peneliti Penelitian Tim
Balai Bahasa Sumatera Utara Balai Bahasa Sumatera Utara Balai Bahasa Medan
Penelitian Mandiri Penelitian Tim
Balai Bahasa Medan Balai Bahasa Medan
Penelitian Tim
Penelitian Tim
Penelitian Mandiri
Universitas Sumatera Utara