kumpulan HASIL LIPUTAN PESERTA BANKING JOURNALIST ACADEMY 2013
inovasi
kumpulan HASIL LIPUTAN PESERTA BANKING JOURNALIST ACADEMY 2013
INOVASI
Penulis : Alwan Ridha Ramdani Anshar Dwi Wibowo Bunga Dewi Kusuma Christine Novita Nababan Daniel Wesly Rudolf Fiona Putri Hasyim Grace Dwitiya Amianti Nina Rahayu Resi Fahma Gustiningsih Rika Novayanti Rudolf Santana Stefanus Arief Setiaji Stella Anastassia Sipahutar Suci Sekarwati Mentor: Febrina Siahaan Hasudungan Sirait Rusdi Mathari Desain dan tata letak: J!DSG, www.jabrik.com Cetakan Pertama : April 2013, ISBN: 978-979-3530-25-3 Diterbitkan oleh:
ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN (AJI) INDONESIA Jalan Kembang Raya No.6 Kwitang, Senen, Jakarta Pusat 10420 Indonesia Tel. +62 21 3151214, Fax. +62 21 3151261 E-mail:
[email protected] www.ajiindonesia.or.id Didukung oleh:
Kata Pengantar
ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
D
ewasa ini jurnalis adalah profesi yang makin terbuka. Seiring tumbuhnya industri media, lahir jurnalis generasi baru yang -pada umumnya- tidak
punya pengalaman meliput atau menulis laporan jurnalistik secara mendalam. Saat yang sama, media menjadi pilar keempat demokrasi. Dalam iklim demokrasi media massa memiliki fungsi, diantaranya sebagai kontrol sosial terhadap tiga pilar kekuasaan : legislatif, eksekutif, dan yudikatif. AJI (Aliansi Jurnalis Independen) adalah organisasi profesi yang mendorong para jurnalis senantiasa bekerja secara profesional, kompeten dan beretika. AJI juga mengkampanyekan independensi newsroom, memperjuangkan kesejahteraan jurnalis, serta perlindungan dan keselamatan kerja. Sejalan dengan itu AJI mendorong perusahaan media agar selalu memproduksi informasi dan pemberitaan yang berkualitas. Yakni pemberitaan yang berimbang, berbobot dan akurat. Selain itu media memiliki fungsi edukasi melalui informasi atau berita yang disebarluaskan kepada masyarakat. Media bahkan bisa melibatkan publik dalam berbagai kebijakan serta mengambil keputusan penting dalam hidupnya melalui
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 3
informasi yang diperolehnya. Disinilah AJI memandang penting upaya peningkatan kapasitas jurnalis demi menghasilkan produk-produk jurnalistik yang bermutu dan bermanfaat bagi publik. Salah satu misi AJI ialah meningkatkan profesionalisme, kemampuan, dan kompetensi anggotanya dalam bidang jurnalistik. Untuk mewujudkan itu AJI bekerja sama dengan berbagai lembaga publik maupun swasta, menyelenggarakan program seperti diskusi publik, seminar, training, workshop, field trip, dan beasiswa untuk meningkatkan pemahaman pada isu-isu tertentu. Salah satu dipilih ialah isu perbankan. Untuk itu AJI bekerja sama dengan PermataBank menyelenggarakan program Banking Journalist Academy (BJA) 2013, sebuah program penguatan kapasitas jurnalis dalam isu perbankan dan ekonomi makro. BJA berbentuk short course bagi jurnalis yang berminat mendalami isu perbankan, termasuk bagaimana meliput dan menuliskannya di media. BJA 2013 merupakan program pertama AJI dan Permata Bank. Rekrutmen calon peserta dibuka untuk jurnalis secara umum, tidak terbatas anggota AJI. Kemudian AJI menyeleksi peserta hingga terpilih 18 jurnalis yang berhak mendapat beasiswa dan mengikuti kursus. Selama hampir 3 bulan, peserta mengikuti pendidikan singkat yang menghadirkan praktisi perbankan, praktisi media, hingga akademisi, sebagai narasumber. Pada akhir program, penyelenggara menerbitkan buku berisi kumpulan karya jurnalistik peserta. Sesuai semangat dan tema besar programnya, kumpulan tulisan ini diberi judul "Inovasi", berisi 14 karya jurnalistik peserta BJA 2013 yang merupakan tugas akhir mereka.
4 |
inovasi
Kami tidak berhak menilai program ini sukses atau tidak. Biarlah itu menjadi penilaian publik. Yang pasti, banyak hal bisa tergali dari program ini dan menjadi input berguna tidak hanya bagi para peserta, tapi juga bagi penyelenggara. AJI semakin menyadari pentingnya program serupa bagi pengembangan kapasitas jurnalis dan media di Indonesia. Secara keseluruhan, program Banking Journalist Academy (BJA) 2013 telah kami rekam dalam sebuah laman www. bja.ajiindonesia.or.id yang juga menjadi bagian website AJI www.ajiindonesia.or.id. Siapapun yang membutuhkan bisa mengaksesnya. Saya mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang berkontribusi menyukseskan BJA 2013, yakni para mentor, pembicara tamu, para peserta, juga para editor media tempat para jurnalis bekerja. Ucapan terima kasih khusus kepada PermataBank yang telah memberikan dukungan penuh program ini dari awal sampai akhir secara profesional dan setara. Pengurus dan staf kantor AJI Indonesia yang terlibat dalam BJA 2013 juga patut diberikan acungan jempol. Jakarta, April 2013 Eko Maryadi Ketua Umum AJI
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 5
6 |
inovasi
Pengantar Mentor
Mencetak Peliput Perbankan yang Piawai
Oleh P. Hasudungan Sirait
S
ajian media massa kita umumnya tidak komprehensif dan mendalam (indepth). Ini kiritik dari khalayak luas; pula otokritik dari kalangan wartawan sendiri. Tak hanya media cetak saja yang demikian; media elektronik (televisi dan radio), serta on-line pun keadaannya setali tiga uang. Apa yang dinamakan berita terkini (current news) dalam pers kita, misalnya, lebih cenderung berupa silang komentar para narasumber belaka. Si A mengatakan begini, si B bilang begitu, si C membantah, sedangkan si D membenarkan. Agar lebih seru dan terkesan berbobot lantas komentar si E dimasukkan. Siapa si E? Pengamat, analis, atau pemerhati. Alhasil informasi yang termaktub tak lebih dari cuap-cuap belaka. Sebutan kerennya: talking news. Saat menjadi fasilitator sesi Bank Journalist Academy di sebuah kafe di dekat TIM, Cikini, ekonom Faisal Basri pun menyoal hal ini. “Mengapa tema-teman wartawan hanya mengandalkan omongan para narasumber? Mengapa kawankawan tidak memverifikasi sendiri?” ucap dia dengan gemas. Para peserta pun termangu. Dari wajahnya ada juga mereka yang galau karena dikritik. Seperti apakah posisi wartawan sebagai penyaji informasi?
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 7
Dalam reportase bergaya talking news kedudukannya tak lebih dari tukang belaka. Tepatnya, tukang lapor omongan orang. Begitulah yang terjadi dalam pewartaan banyak kejadian. Termasuk kasus-kasus korupsi akbar terkini macam Bank Century, Hambalang, simulator berkendara yang menjerembabkan Kepala Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo, atau kartel importir daging sapi yang melibatkan para elit Partai Keadilan Sejahtera. Setelah pemberitaan, enigma (teka-teki) besarlah yang memenuhi benak khalayak luas. Pasalnya, jawaban dari pertanyaan: apa sesungguhnya yang terjadi, tak kunjung mereka temukan di media massa. Terjemahan dari ‘reporter’ memang adalah pelapor. Meski demikian yang perlu dilakukan oleh setiap reporter media massa [padanan katanya: wartawan atau jurnalis] seyogyanya jauh dari sekadar mewartakan bahwa sesuatu telah terjadi. Tetapi juga—sebisa mungkin—merekonstruksi peristiwa secara utuh dengan menjelaskan jalan cerita (unsur 5W+1H), mengurai benang masalah dengan memaparkan hubungan sebab-akibat (kausalitas), serta mengungkap fakta lewat verifikasi. Pengungkapan fakta, itulah sebenarnya hakekat pekerjaan setiap jurnalis. Tujuannya? Demi ketersediaan informasi yang dibutuhkan masyarakat luas—kalangan yang menjadi majikan saban wartawan. Majikan? Ya! Sebab dari merekalah jurnalis beroleh mandat untuk meliput. Pula, senantiasa mengatasnamakan merekalah wartawan ketika meminta akses informasi di lapangan. Sebagai awak pers, kaum jurnalis sesungguhnya tidak lain dari perpanjangan panca indra serta sistem penalaran publik. Juga semacam instrumen penyaksi sekaligus juru verifikasi bagi mereka. Sungguh tak main-main bukan? Memang begitulah adanya bila kita berbicara secara hakekat.
8 |
inovasi
Lantas mengapa hingga hari ini sajian media massa kita masih saja sarat talking news? Ada sejumlah faktor yang menjadi penyebabnya. Bila tidak berdiri sendiri masing-masing faktor bisa berkelindan untuk memperunyam keadaan. Pertama, kurang wawasan sehingga jurnalis tak menyadari bahwa kinerja mereka selama ini masih di bawah standar. Pendidikan jurnalisme yang tak memadailah musebabnya. Kedua, media kurang tenaga sementara beban kerjanya sarat. Ini persoalan generik di seluruh negeri, tak terkecuali P. Jawa. Wartawan terpaksa bekerja rodi sebab diwajibkan kejar tayang. Masing-masing mereka harus menyetor minimal, katakanlah, 3 berita saban hari. Karena bukan Superman atau Spiderman, tak masuk akal kalau mereka mampu menghasilkan lebih dari satu liputan mendalam per hari secara individu. Jadi, untuk memenuhi target, wajar saja kalau yang mereka lakukan adalah menyetor berita cuap-cuap saja; perolehan berita itu dengan cara apa pun termasuk barter, kloning, atau apa yang disebut ‘memelihara tuyul’. Yang terakhir ini, sang wartawan membayar para kaki tangan untuk menghasilkan berita. Tatkla berita tayang nama si wartawan saja yang muncul sedangkan kaki tangan tidak. Karena bekerja secara anonim, kaki tangan pun disebut tuyul. Ketiga, manajemen media memang malas untuk berbenah karena sudah merasa berada di zona aman (comfort zone). Akibatnya mereka tak memusingkan kualitas. Faktor lain masih banyak; tetapi yang tiga ini merupakan penyakit yang paling jamak. Kualifikasi wartawan kita yang umumnya masih di bawah rata-rata merupakan imbas dari ketakmemadaian pendidikan jurnalisme. Di media berformat apa pun, kemampuan teknis wartawan kita dalam news gathering (pemanfaatan data
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 9
riset, wawancara, dan observasi), news writing, news editing, umumnya masih kurang kalau diukur dengan parameter the best practice internasional. Dalam menggali informasi lewat wawancara dan dalam menulis, misalnya; dua pekerjaan yang menuntut kualifikasi jurnalis sebagai komunikator yang baik. Saat menginterview, setiap wartawan idealnya harus piawai menambang informasi dari narasumber macam apa pun. Untuk itu ia mesti trampil memainkan jurus-jurus psikologi guna mencairkan suasana. Dengan demikian narasumber akan merasa nyaman mengemukakan isi hati dan pikirannya. Lantas, tatkala menuliskan hasil reportase, seorang jurnalis harus mengetahui persis siapa khalayak yang akan ia sasar. Dengan begitu ia akan bisa menyesuaikan gaya, nada, dan wacana yang akan ia gunakan. Kalau bukan komunikator yang baik niscaya radar dirinya tidak akan peka terhadap hal semacam ini. Jadi, akan main hantam kromo saja dia sehingga hasil kerjanya bisa kontraproduktif bagi khalayak luas. Tidak atau kurang menguasai masalah merupakan jenis lain dari penyakit umum jurnalis kita. Kalau itu terjadi pada wartawan pemula atau seseorang yang belum lama berpos di sebuah ranah liputan, orang lain—termasuk para narasumber berita—akan bisa mafhum. Masalahnya adalah wartawan berjam terbang tinggi pun masih banyak yang seperti itu. Wajar saja kalau para narasumber banyak yang memandang dengan sebelah mata profesi wartawan. Seyogyanya setelah 2 tahun berpos di sebuah ranah liputan, pengetahuan atau berwawasan jurnalis sudah memadai di lapangan tersebut. Seorang wartawan peliput Bursa Efek Jakarta (BEJ), misalnya. Setelah 2 tahun berpos di sana seharusnya dia sudah memiliki modal sosial yang cukup. Modal itu berupa relasi yang baik dengan komunitas 10 |
inovasi
bursa—narasumbernya sekian lama. Mereka adalah otoritas bursa (BEJ), orang dari perusahaan go public, (emiten), penjamin (emiten), pedagang (perusahan sekuritas), pialang, investor, analis, dan yang lain. Pergaulan dengan mereka seyogyanya akan mengayakan pengetahuan dia ihwal dunia berwacanakan hal seperti saham (preferen dan biasa), harga (perdana, nominal, pasar), faktor yang mempengaruhi harga (rumor, salah satunya), atau regulasi ini. Dengan koneksi dan pengetahuan semacam itu seharusnya hasil reportasenya tidak lagi talking news melainkan sudah berupa pendalaman masalah atau bahkan analisis (ihwal trend pergerakan indeks harga saham, atau pricing, umpamanya). Nyatanya tidak demikian. Masih jauh panggang dari api. Yang sudah meliput 5 tahun lebih pun masih saja bertalking news. Padahal sebelum berpos di BEJ kemungkinan besar mereka sudah pernah ngendon di tempat lain. Jelas, pembenahan kompetensi dan etik wartawan kita sudah merupakan imperatif [hal yang mendesak untuk dilakukan]. Kemendesakannya demi kemaslahatan keseluruhan rakyat Indonesia. Di zaman media jejaring sosial sekarang pun, media massa masih menjadi sumber informasi utama publik; sebab itu kedudukannya masih sangat strategis sebagai pewarna kehidupan masyaakat luas. Kalau pers kita bermutu tinggi dan konsisten menjalankan fungsi klasiknya—sebagai pendidik, penghibur, dan pengontrol—pastilah rakyat kita akan lebih cerdas dan bijak; dengan begitu tak mudah terperdaya dan tersulut oleh provokasi lagi. Dampak ikutannya bakal banyak. Selama ini pers kita malah bagian dari permasalahan bangsa itu sendiri. Dalam pembenahan kompetensi jurnalis, salah satu yang
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 11
perlu dilakukan adalah peningkatan wawasan. Sebagaimana kita ketahui, ranah liputan kian hari bertambah spesifik. Belasan tahun silam, misalnya, sebuah koran umum cukup memiliki seorang wartawan peliput berita pertambangan. Saat ini tak bisa demikian lagi sebab sektor ini sudah sangat berkembang. Batubara saja sekarang sudah menjadi industri hulu-hilir yang meraksasa. Sekarang ada beberapa majalah di Tanah Air yang mengkhususkan diri di bidang batubara. Industri minyak, gas, dan logam pun ikut menggurita. Liputan ekonomi pun berkembang pesat. Seiring dengan kemajuan zaman, ranah ini pun terus mekar. Kalau dulu cukup seorang wartawan saja yang mengurusi liputan ekonomi, sekarang sudah tak bisa lagi. Perbankan, bursa, perdagangan, jasa, properti, agrobisnis, otomotif, pariwisata, atau gaya hidup, misalnya, masing-masing telah menjadi entitas besar. Bahkan, waralaba (franchise), mini market, atau multi-level marketing (MLM) yang tadinya menginduk ke perdagangan, kini telah mekar betul. Kalau mau komprehensif, peliput untuk setiap entitas minimal satu orang. Perkembangan ekonomi ini ditandai dengan kemunculan sejumlah media massa berbasis bisnis. Di Jakarta saja, umpamanya, saat ini setidaknya ada 3 koran yang bertarung ketat memperebutkan ceruk pembaca yakni Bisnis Indonesia, Koran Kontan, dan Investor Daily. Liputan di zaman sekarang memang cenderung semakin spesifik. Konsekuensinya, kemampuan jurnalis pun seharusnya menjadi lebih mikro. Ibarat dokter. Dulu, menjadi dokter umum saja orang sudah merasa cukup. Sekarang lain ceritanya. Pasien cenderung berpaling ke dokter spesialis. Maka, agar tetap survive, dokter umum pun bersekolah lagi agar beroleh gelar spesialis. Sangat mungkin di masa depan yang laku bukan dokter spesialis lagi melainkan dokter sub12 |
inovasi
spesialis. Spesialisasi memang sudah merambah dunia pers kita. Kelahiran media-media khusus—gaya hidup, gedget, pariwisata, sport, agribisnis, arsitektur, fotografi, dan yang lain—menjadi pemicunya. PermataBank dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia pun menghiraukan kecenderungan spesialisasi ini tatkala keduanya berikatan lewat sebuah program. Akademi PermataBank dan AJI Indonesia, termasuk yang peduli pada mutu wartawan di negeri kita. Sebagai wujud kehirauan, kedua lembaga pun berkoloborasi untuk meningkatkan kompetensi mereka. Wujudnya adalah penyelenggaraan training untuk mencetak jurnalis peliput perbankan yang piawai. Banking Journalist Academy, demikian nama programnya. Pengumuman program berlangsung secara terbuka. Training perdana ini khusus untuk wartawan dari media massa berbasis tulisan yakni media cetak dan on-line. Ke mereka e-mail berisi pengumuman berikut persyaratan dikirimkan. Calon peserta disyaratkan mengisi formulir data diri, persetujuan dari atasan, serta kerangka rencana liputan bertopik ekonomi. Peserta yang lolos tidak membayar apa pun; sebaliknya akan mendapat beasiswa. Bentuknya biaya untuk mengeksekusi liputan yang diajukan sewaktu melamar. Pelamar ternyata melebihi kuota. Panitia (Bank Perrmata dan AJI Indonesia) kemudian menyeleksi berdasarkan kualifikasi yaitu track record sebagai jurnalis ekonomi serta mutu outline rencana liputan yang mereka ajukan. Dalam seleksi akhir 18 orang lolos.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 13
Peserta kemudian mengikuti 17 sesi yang berlangsung tiap Selasa dan Jumat. Sebagian besar kelas berlangsung di Gedung Bank Permata, Jl. Sudirman, Jakarta. Sisanya di kantor AJI Indonesia, Kwitang. Plus satu sesi di sebuah kafe di Cikini. Materi terdiri dari 2 bagian yakni teknis perbankan serta jurnalisme berkonteks perbankan. Seluruh materi teknis perbankan disampaikan oleh fasilitator dari Bank Permata yakni: Macro Economy—Landscape & Trend (Tony A. Prasetyantono), Banking in General (Iwan Nataliputra), Corporate Banking (Rudy Tandjung), Consumer Banking (Bianto Surodjo), Sharia Banking (AK Permana), serta Financial Literacy (Harry Iman Subekti). Adapun materi jurnalisme adalah: Indepth Reporting (Metta Dharmasasputra), Meliput Isu Ekonomi dan Perbankan (Faisal Basri), Mengembangkan Liputan yang Komprehensif dan Mendalam (P. Hasudungan Sirait), Agar Tulisan Hidup, Bertenaga, dan Bergaya (P. Hasudungan Sirait), serta Pengayaan Outline Liputan. Berlangsung 3 sesi, yang terakhir ini difasilitasi 3 mentor yakni Febrina Siahaan, Rusdi Matari, dan P. Hasudungan Sirait. Saya dipercaya menjadi koordinator fasilitator Banking Journalist Academy. Oleh kawan-kawan perserta dan panitia, saya kemudian disebut ‘kepala sekolah’ saja. Maksud mereka agar panggilannya tak ribet. Senang betul rasanya melakoni pekerjaaan ini. Kebetulan saya trainer-fasilitator yang sangat menyukai dunia pelatihan. Lantas, terbuka lebar-lebar pintu bagi saya untuk mengikuti kuliah perbankan yang intens. Sungguh sebuah kebetulan alias cosmic coincidence. Betapa tidak? Ketika permintaan datang, saya sebenarnya sedang menulis sebuah buku ihwal transformasi bank nasional terbesar di negeri kita. Sebagian riset, wawancara, dan penulisan sudah saya lakukan kala itu. Begitupun, saya tetap merasa masih perlu mengayakan wawasan ihwal perbankan. Terus terang
14 |
inovasi
saja: kendati beberapa tahun menjadi reporter di koran Bisnis Indonesia di tahun 1990-an, pengetahuan saya tentang yang satu ini masih saja cekak. Jadi, bagi saya pribadi, tawaran menjadi kepala sekolah ibarat pucuk dicita ulam pun tiba. Kelak, dari sesi ke sesi kelakuan saya laksana perserta saja: rajin menyimak, mencatat, dan bertanya. Di Banking Journalist Academy saya pembelajar yang tekun. Selain untuk menghidupkan suasana, itu kiat saya dalam menimba ilmu. Hasilnya memang tak sia-sia. Kian hari saya semakin akrab saja dengan wacana perbankan. Ini meringankan saya dalam menuntaskan buku transformasi tersebut. Salah satu kewajiban saya sebagai kepala sekolah adalah memantau perkembangan setiap sesi, termasuk keadaan peserta dan fasilitator. Akademi ini, menurut saya, berjalan dengan baik. Artinya, semua sesi berlangsung sesuai disain. Walaupun ada materinya yang bertukar tanggal, semua presentasi tersampaikan. Sekali saja sesi urung dan pindah ke minggu depannya, yakni saat banjir parah mendera Jakarta. Peserta umumnya senantiasa bergairah sehingga proses pembelajaran interaktif. Kegairahan ini tercermin juga dari frekuensi kehadiran mereka yang rata-rata tinggi. Kalau saja peserta tertentu tidak ditugasi secara dadakan oleh redakturnya meliput, besar kemungkinan tingkat absensi dalam setiap sesi akan minimal. Fasilitator sendiri, menurut saya, kompeten dan berkinerja bagus. Terlatih sebagai pemateri di kelas, mereka sepenuh hati berbagi pengetahuan dan pengalaman kepada para peserta. Para mentor pun memainkan peran sebagai katalis dengan baik. Mereka menjadi pengarah sekaligus teman berdiskusi peserta saat mematangkan outline liputan serta mengeksekusinya di lapangan. Dengan begitu jejak para
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 15
mentor berbekas jelas pada tulisan yang menjadi muatan kitab ini. Banking Journalist Academy merupakan buah kerjasama perdana PermataBank-AJI Indonesia. Masing-masing lem baga, menurut saya, tak sia-sia menggelar perhelatan ini. PermataBank—mereka telah memainkan peran sebagai host yang ramah dan penuh tanggungjawab—dengan sendirinya telah menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi Indonesia lewat Corporate Social Responsibility-nya (CSR) ini. Bukankah pewartaan secara cerdas dan bernas oleh para jurnalis terlatih akan membuat dunia perbankan kita kian maju? Sepengetahuan saya, Academy ini merupakan training AJI yang paling intens sejauh ini. AJI acap melangsungkan training atau workshop. Topiknya macam-macam, tapi durasinya paling banter 2 hari. Pengalaman menangani perhelatan 13 hari sekaligus ini merupakan modal penting bagi AJI Indonesia setidaknya dalam dua hal yakni: berkoloborasi dengan sebuah korporat dalam melangsungkan training, serta menyelenggarakan pelatihan berdurasi belasan hari. Modal ini sangat perlu. Apalagi AJI Indonesia sedang menyiapkan sekolah jurnalisme berformat multimedia. Tahun 2013 ini juga sekolah tersebut mulai menggeliat. Muara dari training ini adalah liputan lapangan oleh peserta. Rencana liputan yang mereka ajukan saat melamar beasiswa Banking Journalist Academy mereka matangkan di kelompok selama 3 sesi pamungkas. Setelah merasa tercerahkan, ada juga dari mereka yang kemudian mengganti ide liputan agar benar-benar fokus pada perbankan. Ide itu juga mereka elaborasi bersama anggota kelompok sendiri. Hasil liputan mereka lantas dihimpun dalam sebuah buku. Itulah yang ada di tangan anda sekarang. Dengan demikian
16 |
inovasi
hasil training ini konkrit. Pastilah tidak ada ada gading yang tak retak. Banking Journalist Academy ini pun begitu. Kendati sudah bernas, ia masih harus ditingkatkan lagi di masa mendatang agar benarbenar optima.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 17
18 |
inovasi
Kata Pengantar
PermataBank
J
urnalisme sekarang ini merupakan bagian dari hal yang substantif dalam sebuah perkembangan dan kemajuan suatu bangsa atau negara. Untuk itu dibutuhkan peran serta para jurnalis yang memiliki wawasan, ide dan kreatifitas yang dapat membawa suatu demokrasi penulisan berita yang lebih tajam, aktual, dan terpercaya, namun tetap transparan. Mereka, para jurnalis, adalah orang-orang yang memiliki dedikasi tinggi untuk menyampaikan informasi bagi masyarakat Indonesia. Kesadaran akan pentingnya informasi pun semakin meningkat sehingga kegiatan jurnalistik Indonesia menjadi satu hal penting yang tidak dapat dihindarkan. Informasi mengenai gairah ekonomi perbankan sudah menjadi ‘santapan’ bagi dunia jurnalistik Indonesia, tak kalah dengan dunia hiburan. Dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup baik dalam beberapa tahun terakhir, terus mendapatkan apresiasi dari masyarakat luas, baik dari dalam maupun luar negeri. Investasi yang terus meningkat menunjukkan kepercayaan para investor untuk menanamkan dan menggerakkan modalnya di Indonesia. Perbankan kita menangkap kesempatan ini dengan menawarkan banyak program dengan beragam keuntungan dan kemudahan yang dapat diperoleh. Media jurnalistik Indonesia tidak hanya sebagai penyampai informasi yang
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 19
aktual, tetapi juga memiliki tanggung jawab yang berat untuk menampilkan fakta-fakta yang objektif dalam pemberitaan. Berita secara tidak disadari memegang peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Bayangkan seandainya semua kejadian di negara ini tidak diberitakan dengan baik, maka yang terjadi adalah ketertinggalan masyarakat itu sendiri. Mengingat pentingnya peran media, khususnya di bidang ekonomi perbankan dan sejalan dengan komitmen PermataBank dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, PermataBank bekerjasama dengan AJI Indonesia mempersembahkan Banking Journalist Academy (BJA), sebuah program beasiswa pendidikan yang ditujukan bagi jurnalis muda Indonesia agar dapat meningkatkan kualitas dan pemahaman terhadap dunia perbankan, utamanya dari aspek bisnis, operasional dan resiko, serta mendorong adanya liputan media yang berkualitas dan beretika terkait isu ekonomi perbankan. BJA merupakan salah satu wujud komitmen PermataBank dalam memajukan dunia pendidikan tanah air sebagai bagian dari Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR). Untuk pertama kalinya di tahun 2013 BJA diselenggarakan dan mendapatkan tanggapan positif dari komunitas jurnalis, praktisi maupun akademisi. Untuk BJA angkatan pertama ini, terdapat 18 peserta yang mendaftar mengikuti program beasiswa ini. Program BJA berlangsung di Jakarta selama periode Januari – Februari 2013, terdiri dari materi perbankan maupun jurnalistik. Dari ke-18 peserta, pada akhirnya hanya 14 peserta yang berhasil lolos hingga akhir program dan mereka menghasilkan karya tulis yang dituangkan ke dalam sebuah buku BJA yang diluncurkan bersamaan pada saat hari wisuda berlangsung.
20 |
inovasi
Saya mewakili Manajemen PermataBank, mengucapkan terima kasih atas kerjasama dan dukungan yang telah diberikan oleh AJI Indonesia dalam penyelenggaraan program Banking Journalist Academy 2013. Terima kasih pula atas kontribusi kreatif semua pihak yang terlibat sehingga program BJA ini dapat terlaksana dengan sukses: Permatabankers, para mentor, pembicara tamu, dan segenap pimpinan redaksi dari media-media yang berpartisipasi dalam program ini. Selamat kepada wisudawan dan wisudawati BJA 2013. Kami berharap program ini dapat memberikan pencerahan bagi peningkatan kualitas jurnalistik di Indonesia. Salam Permata, Leila Djafaar Executive Vice President Head of Corporate Affairs PermataBank
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 21
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI)..........................................3 Pengantar Mentor: Mencetak Peliput Perbankan yang Piawai..............................................7 Kata Pengantar PermataBank.................................................................................................... 19
Grace Dwitiya Amianti Cara Bank Memikat Nasabah.................................................................................................... 27 Menjaga Kesetiaan Nasabah Perkotaan.................................................................................. 47 Fiona Putri Hasyim Melacak Jejak Uang Maya............................................................................................................ 53 Ketika Kambing Bisa Dibeli Lewat e-Payment...................................................................... 58 Redenominasi: Potong, Tidak... Potong, Tidak......................................................................... 64 Daniel Wesly Rudolf Masyarakat Pulau Juga Mau Menabung.................................................................................... 69 Bank Bisa Raup Laba di Kepulauan........................................................................................... 74 Christine Novita Nababan Berbank Tanpa Kantor................................................................................................................. 79 Stefanus Arief Setiaji Masa Depan Bank di Tangan Industri Telekomunikasi.......................................................... 85 Layanan Branchless Banking: Bisa Buat Nelpon, Bisa Pula Nerima Duit........................ 89 Direktur IT, Solutions & Strategic Telkom, Indra Utoyo: Kolaborasi Pilihan Ideal........ 93
Bunga Dewi Kusuma Menangkap Peluang Bisnis Trustee.......................................................................................... 97 Trustee, Pendatang Baru di Pasar Keuangan........................................................................104 Resi Fahma Gustiningsih Pertarungan BPR Melawan Diri Sendiri................................................................................109 Berstrategi di tengah Pesaingan.............................................................................................. 120 Karyajatnika Sadaya (BPR KS) yang berjaya.........................................................................125 Rika Novayanti 1 Persen untuk Perikanan......................................................................................................... 129 Dari Kepelikan Rumah Tangga hingga Kredit Bermasalah................................................132 Pilih Impor atau Tambah Modal?............................................................................................. 137 Antara Bank dan Pak Haji......................................................................................................... 142 Alwan Ridha Ramdani Berebut Untung di Jalur Kredit Kendaraan.........................................................................155 Aturan uang muka hanya sekedar pemanis..........................................................................160 Suci Sekarwati Jasa Penagih Hutang: Perlu Ngga Yaaa.................................................................................... 165 Saat Ujang Galau Menagih Hutang......................................................................................... 173 Berhitung Untung Buntung Debt Collector........................................................................175 Anshar Dwi Wibowo Bila Hasrat Ekspansi Memperkosa Wilayah Privasi............................................................181 Data Berpindah Tangan Seperti Menjual Kacang................................................................186 Rudolf Santana Menggarap Ladang Basah Nasabah Prioritas.......................................................................191 How Personal is ‘Personal’?..................................................................................................... 197 Belajar Dulu Sebelum Membeli............................................................................................... 203 Mencetak ‘Menteri Keuangan’ Andal..................................................................................... 206
24 |
inovasi
Nina Rahayu Perbankan syariah Indonesia: Dari SDM Hingga Produk jadi Ganjalan.........................211 Penyimpangan Produk ............................................................................................................. 218 Stella Anastassia Sipahutar Foreign, Joint Venture Banks Gear Up for SME..................................................................223
Guest Speaker, Mentor, dan Advisor Tentang Pembicara Tamu.......................................................................................................... 229 Tentang Mentor AJI.................................................................................................................... 231 Tentang Mentor PermataBank. .............................................................................................. 235 Advisor BJA Program................................................................................................................ 239
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 25
Grace Dwitiya Amianti Reporter di Investor Daily mulai 2009 hingga sekarang. Lahir di Jakarta 26 Januari 1985. Lulusan Sastra Universitas Padjajaran, Bandung ini mengikuti Banking Journalist Academy untuk memerdalam isu perbankan serta mempelajari jurnalistik yang lebih baik lagi.
26 |
inovasi
Cara Bank Memikat Nasabah
Oleh Grace Dwitiya Amianti
Bing beng bang, yuk ... kita ke bank Bang bing bung, yuk ... kita nabung Tang ting tung, hey ... jangan dihitung Tahu tahu kita nanti dapat untung
M
asih ingat dengan lagu tersebut? Sepenggal lirik di atas adalah bagian dari lagu berjudul Ayo Menabung yang diciptakan oleh penyanyi senior Titiek Puspa dan dinyanyikan oleh dua penyanyi cilik tahun 1990-an, yaitu Saskia dan Geofanny. Tampaknya lagu tersebut merupakan satu-satunya lagu yang mengingatkan anak-anak tentang pentingnya menabung sejak usia dini. Mungkin kita juga ingat dahulu pada era 1970-an sampai 1990-an, pemerintah Orde Baru memiliki program tabungan bernama Tabanas (Tabungan Pembangunan Nasional), yang diwajibkan dengan tujuan menggalakkan budaya menabung sejak kecil. Selain menyasar murid sekolah, Tabanas juga diperkenalkan untuk masyarakat umum, termasuk pegawai (Tabanas Khusus Pegawai dan Semua Golongan), baik untuk Pegawai Negeri Sipil maupun pegawai swasta. Tidak hanya Tabanas, pemerintah sempat mengeluarkan
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 27
program tabungan spesifik seperti Tappelpram (Tabungan Pemuda, Pelajar, dan Pramuka), Taska (tabungan dengan asuransi jiwa), serta Tabungan ONH (tabungan ongkos naik haji untuk para calon jemaah haji). Namun, program-program menabung tersebut lantas menghilang seiring jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada 1998 dan memasuki masa Reformasi. Krisis ekonomi yang terjadi dan situasi yang kacau pada saat pelengseran Presiden Soeharto sempat membuat masyarakat yang menyimpan dananya di bank panik. Para nasabah simpanan atau dana pihak ketiga (DPK) lantas ramai-ramai mencairkan dana mereka di bank masing-masing, karena mendengar kabar bahwa akan ada banyak bank yang ditutup. Hal itu menunjukkan betapa perbankan merupakan industri yang sangat bergantung pada kepercayaan nasabah. Padahal, DPK ibarat ‘darah’ yang akan dipompa jantung bank untuk disalurkan menjadi kredit. Semakin banyak orang menabung di sebuah bank, semakin banyak likuiditas atau kecairan di bank tersebut, seperti halnya tubuh yang membutuhkan cukup cairan agar tetap berfungsi normal. Simpanan dana masyarakat adalah hal yang niscaya dalam fungsi intermediasi perbankan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, yang ujungnya adalah kesejahteraan rakyat banyak. Bank dapat meneruskan kembali dana masyarakat itu kepada koperasi dan lembaga keuangan mikro, yang juga dipinjamkan kepada para wirausaha di level bawah sebagai modal kerja. Namun, kenyataannya, masih banyak orang Indonesia yang tidak memiliki rekening tabungan di bank, bahkan tidak pernah mengetahui apa itu bank. Kondisi itu, tak ayal lagi, tercermin dalam statistik. Berdasarkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per September 2012, terdapat 114,1 juta rekening tabungan di 28 |
inovasi
Grace Dwitiya Amianti
bank dalam negeri. Jika jumlah penduduk Indonesia saat ini sekitar 250 juta, berarti kurang dari 50 persen penduduk yang memiliki rekening simpanan di bank. Data Bank Dunia (World Bank) tentang Global Financial Inclusion tahun 2012 juga menunjukkan, rasio tabungan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar 41 persen, menurun dari 43 persen pada 2011. Lembaga yang sama mencatat pula bahwa di Indonesia, populasi yang berusia 15 tahun ke atas yang memiliki akses atau akun di lembaga keuangan formal hanya 20 persen. Angka itu sangat rendah jika dibandingkan dengan Australia yang mencapai 99 persen. Rasio jumlah cabang bank di Indonesia pun masih kalah dengan India. Di Indonesia, jumlah cabang bank tercatat sebanyak 7,1 cabang per 1.000 kilometer (km), sedangkan di India mencapai 26,5 cabang per 1.000 km. Hal itu menunjukkan visibilitas atau kehadiran perbankan di tengah masyarakat Indonesia, terutama di pelosok terpencil, masih minim. Sebab, kantor cabang atau outlet bank merupakan bentuk paling tradisional untuk melayani nasabah yang ingin membuka rekening simpanan. Lantas, di mana masyarakat Indonesia yang hidup di pelosok terpencil menyimpan uangnya? Direktur Departemen Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat Bank Indonesia (BI) Difi Ahmad Johansyah mengatakan, berdasarkan survei yang pernah dilakukan pihaknya, masih banyak masyarakat yang menyimpan uangnya di bawah kasur, di lemari, ataupun dibelikan perhiasan atau emas, dibelikan ternak, serta tanah. Kondisi yang sama juga digambarkan oleh Direktur Micro and Retail PT Bank Mandiri Persero Tbk Budi Gunadi Sadikin. “Banyak uang di dalam negeri yang tidak masuk di sistem perbankan. Tidak usah jauh-jauh, masyarakat di perkotaan BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 29
yang mempekerjakan supir, asisten rumah tangga, tukang kebun, masih membayar gaji para pekerjanya dengan uang tunai. Kalau dibayar tunai, kemudian dibawa atau dikirim oleh para pekerja ke keluarganya di kampung dan oleh keluarga mereka, uang itu tidak disimpan di bank, jelas tidak masuk ke sistem perbankan,” tutur Budi. Penciptaan Akses Sebagai lembaga fungsi intermediasi yang memiliki izin resmi, diatur secara ketat (highly regulated), dan bermodal banyak, perbankan seharusnya lebih giat lagi untuk menjangkau masyarakat yang tidak terjamah akses bank (unbankable). Demikian yang didengungkan oleh BI sebagai regulator perbankan, setelah bersama pemerintah mewakili Indonesia di forum internasional G-20 pada kurun waktu 2009-2010. Pertemuan tersebut khusus bertemakan ‘PrinsipPrinsip G-20 Financial Inclusion yang Inovatif’ (G-20 Principles on Innovative Financial Inclusion), yang merangkum komitmen para anggota, termasuk Indonesia, untuk membuka akses keuangan untuk semua orang (financial inclusion). Laporan Improving Access to Financial Services in Indonesia yang diterbitkan oleh Bank Dunia pada 2010 mencatat, dari kelompok masyarakat Indonesia yang tidak menabung di bank, sebanyak 79 persen atau mayoritas beralasan tidak punya uang untuk ditabung. Kemudian, sebanyak 9 persen mengaku tidak punya pekerjaan (sehingga tidak memiliki uang), 4 persen tidak melihat manfaat menabung di bank, dan 3 persen tidak mengenal bank sama sekali. Minimnya layanan perbankan seperti kantor cabang, ATM, dan lain-lain di suatu wilayah menjadi salah satu faktor mengapa masih banyak orang Indonesia yang tidak menabung. Dari alasan-alasan
30 |
inovasi
Grace Dwitiya Amianti
tersebut, terutama alasan pertama dan kedua, tergambar bahwa menabung di bank justru tidak menguntungkan bagi masyarakat berpendapatan minim. Pasalnya, untuk dapat membuka rekening tabungan di bank, terdapat biaya administrasi bulanan dan di sisi lain bunga tabungan sangat kecil. Komitmen Indonesia di forum G-20 untuk financial inclusion, dengan didukung hasil riset, membuat BI dan pemerintah berinisiatif menggalakkan kembali budaya menabung di masyarakat, untuk menyambungkan kembali missing link sejak era Tabanas. Pada Februari 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan produk TabunganKu melalui kampanye Gerakan Ayo Menabung. Sebanyak 70 bank umum di Indonesia (termasuk Bank Pembangunan Daerah/ BPD), serta 910 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BPR Syariah, menyatakan komitmen keterlibatan mereka dalam kampanye tersebut dengan memiliki produk tersebut. Fitur utama dari TabunganKu yaitu nasabah tidak dipungut biaya administrasi sepeser pun, sebagai bentuk konkret pembukaan akses keuangan pada masyarakat productive poor. Fitur kedua, yaitu setoran awal yang sangat murah, yaitu Rp10.000 untuk pembukaan rekening di BPR dan Rp20.000 untuk pembukaan rekening di bank umum (termasuk BPD). Sebagai produk yang sangat basic, TabunganKu berbunga rendah sekitar 0,75 persen per bulan untuk saldo minimum Rp500 ribu hingga Rp1 juta, sedangkan saldo minimum Rp1 juta mendapat bunga 1 persen per bulan, dan di bawah Rp500 ribu tidak mendapat bunga. Produk tersebut juga tanpa kartu ATM, sehingga praktis produk tersebut berfungsi hanya sebagai tabungan murni, bukan untuk tujuan transaksional. Tidak lama setelah produk itu diluncurkan, BI mencatat kenaikan DPK di BPR sempat mencapai 400 persen.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 31
Kemudian pada 2011, BI bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memulai pilot project memasukkan topik edukasi keuangan (financial literacy) ke dalam salah satu mata pelajaran di tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Secara simultan, produk TabunganKu diperkenalkan bersama-sama dengan Tabungan Pelajar kepada para siswa, sehingga TabunganKu tidak terbatas untuk masyarakat usia produktif dewasa. Hingga akhir Februari 2013, jumlah rekening TabunganKu ditambah Tabungan Pelajar telah mencapai 4,7 juta rekening secara nasional, dengan nilai mencapai sekitar Rp10 triliun. Kendati jumlah rekening dan nilainya meningkat cukup tinggi selama kurun waktu dua tahun, promosi TabunganKu sebagai produk ‘keroyokan’ industri perbankan nasional tidak gencar dilakukan oleh masing-masing bank. Ditengarai, bank tidak tertarik mempromosikannya akibat tidak adanya biaya administrasi yang dikenakan ke nasabah atau dengan kata lain, pendapatan bank 0 persen dari produk itu. Di sisi lain, bank tetap harus memberikan bunga 0,5 persen-1 persen untuk nasabah dengan jumlah saldo tertentu. Deputi Direktur Departemen Pengaturan dan Penelitian Perbankan BI Pungky Purnomo Wibowo tidak memungkiri kecenderungan tersebut. “Memang, oleh sebab itu BI ingin mengonsep ulang TabunganKu,” tukas dia. Pungky menjelaskan, sebelumnya untuk membuka rekening, menyetor dana, menarik dana, dan menransfer dana TabunganKu, nasabah harus datang ke kantor cabang karena tidak ada kartu ATM. Tetapi dalam waktu dekat, BI akan mengeluarkan aturan Branchless Banking (layanan perbankan tanpa kantor cabang), yang akan memungkinkan nasabah TabunganKu melakukan transaksi di luar kantor cabang. 32 |
inovasi
Grace Dwitiya Amianti
Dengan konsep demikian, diharapkan biaya operasional bank semakin murah, sehingga bank tidak terbebani biaya untuk tetap dapat melayani nasabah TabunganKu, kendati bank praktis tidak mendapatkan pendapatan apapun dari produk tersebut. Para bankir mengaku tidak keberatan dalam mendukung kampanye TabunganKu, seperti halnya yang diungkapkan Senior Vice President Head of Wealth Management, Retail Liability and E-Channel PT Bank Permata Tbk (PermataBank) Bianto Surodjo, bahwa pihaknya mendukung produk itu. “Dari waktu ke waktu, jumlah nasabah TabunganKu terus meningkat dan saat ini telah mendekati 10 ribu orang,” ujar dia. Direktur Utama PT CIMB Niaga Tbk Arwin Rasyid mengatakan, pihaknya tidak merugi karena produk tersebut, karena sifatnya seperti budget service atau layanan murah, yang tidak dilengkapi dengan kartu ATM. Arwin mengibaratkan TabunganKu seperti maskapai penerbangan untuk penumpang berbujet rendah, yaitu tanpa memberikan makanan gratis namun penumpang tetap dapat terbang dengan harga murah. Begitu pula Direktur Operasional dan Teknologi Informasi PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) Suwoko Singoastro yang menilai TabunganKu dapat dimanfaatkan oleh para keluarga Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di kampung halaman untuk menerima kiriman uang. Dana yang masuk ke rekening TabunganKu tidak dipotong biaya administrasi, sehingga nasabah tidak merasa terbebani. “Penerima kiriman uang TKI akan lebih senang jika rekeningnya tidak terkena biaya administrasi. Selain itu, mereka jadi lebih teredukasi mengenai pelayanan perbankan,” ungkap Suwoko.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 33
Inovasi untuk loyalitas nasabah Setelah berhasil memberikan akses untuk pelayanan simpanan kepada nasabah, bank dituntut untuk inovatif, namun inovasi dan layanan yang diberikan harus tetap murah atau tidak membebani nasabah. Inovasi tersebut penting sebagai cara untuk meningkatkan loyalitas atau kesetiaan nasabah terhadap banknya. Dengan kata lain, nasabah akan tetap tertarik rutin menabung bahkan meningkatkan dananya jika diberikan inovasi dan layanan yang memuaskan. Namun, Gubernur BI Darmin Nasution sempat menyoroti bahwa dari 120 bank yang beroperasi di Indonesia, ekses atau kelebihan likuiditas hanya terkonsentrasi pada bank-bank tertentu. “Sementara itu, bank lainnya harus berkompetisi meraih DPK, yang berujung pada kenaikan suku bunga dana dan bunga kredit. Bank yang ingin menarik likuiditas menaikkan bunga depositonya. Ini perlu terobosan untuk mendorong kelancaran aliran likuiditas secara lebih merata di antara bank, karena akan memengaruhi efisiensi dan ketahanan sistemik perbankan,” tutur Darmin. Perhatian bank sentral tersebut memang diarahkan pada pola perilaku bank untuk menarik nasabah tabungan yang masih belum banyak berubah, yaitu dengan iming-iming hadiah, baik langsung maupun diundi. Bahkan, BPR pun sudah banyak yang menawarkan hadiah undian berupa mobil dan motor. Padahal, nasabah tetap akan setia pada suatu bank jika bank tersebut dapat memberikan inovasi dan layanan yang baik. Persaingan yang ketat untuk inovasi tersebut selama ini memang didominasi oleh bank-bank besar, karena notabene bank-bank tersebut memiliki modal yang cukup banyak untuk mendukung kreativitas penciptaan inovasi. Sebagai
34 |
inovasi
Grace Dwitiya Amianti
contoh, PermataBank memiliki konsep kombinasi inovasi yang sifatnya fungsional serta inovasi yang bersifat pemasaran (marketing). Bianto Surodjo menjelaskan, inovasi fungsional berfokus pada fitur produk dan layanan elektronik (e-channel), karena umumnya nasabah menggunakan tabungannya untuk simpanan dan transaksi. “Inovasi produk yang kami lakukan adalah melihat kebutuhan setiap segmen nasabah. Jadi, ada tabungan khusus anak-anak (PermataBintang), remaja (PermataMe), pengusaha (PermataOptima) dan lain-lain. Masing-masing didesain khusus dengan fitur tertentu, misalnya untuk anak-anak, kami menggunakan animasi Disney,” papar Bianto. Sedangkan inovasi fungsional dari sisi e-channel, PermataBank memperkuat layanan mobile banking dan internet banking dengan fitur-fitur unik. Contohnya, transfer real time online antar bank dan pembayaran untuk semua kartu kredit, kemudian mobile cash, dan yang paling mutakhir yaitu BBM Money sebagai bentuk uang elektronik (e-money). Bianto mengakui, pihaknya sangat perhatian dengan kemajuan teknologi e-banking dan minat orang Indonesia yang cukup besar untuk bertransaksi melalui alat elektronik, sehingga serius mengembangkan layanan tersebut. Fitur yang juga termasuk ramai digunakan oleh nasabah tabungan PermataBank yaitu Permata Joy Living dan PermataMe Funpage. Dalam layanan-layanan itu, nasabah dapat berdialog secara interaktif dengan PermataBank, sehingga kenyamanan untuk bertransaksi dapat lebih ditingkatkan. Menurut Bianto, pihaknya harus memberikan nilai tambah (added value) untuk nasabah tabungan, sehingga dapat mengubah persepsi bahwa menabung hanya menaruh uang di bank tanpa mendapat manfaat apapun.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 35
“Tren utilisasi internet dan telepon seluler (ponsel) untuk transaksi perbankan akan semakin meningkat. PermataBank sangat percaya dengan itu, sehingga fitur-fiturnya kami pastikan untuk menjadi yang terdepan di antara bank-bank kompetitor,” tukas dia. Tabungan PermataBank menurutnya selalu bertumbuh di atas 30 persen per tahunnya, dengan pencapaian pada akhir 2012 sebesar 32 persen atau menjadi Rp20,4 triliun. Bianto melihat, tidak hanya inovasi fungsional yang memicu pertumbuhan tabungan banknya, melainkan juga inovasi marketing. Perseroan secara khusus melihat konteks budaya Indonesia, yaitu family values atau nilai-nilai keluarga merupakan hal yang sangat penting, sehingga tajuk kampanye produk tabungan PermataBank yaitu ‘Jutaan Keluarga, Satu Bank’. Program hadiah undian untuk tabungannya juga diberi nama ‘Famillionaire’. Untuk mendorong nasabah tabungan semakin sering bertransaksi, kata dia, PermataBank menggratiskan biaya transaksi untuk nasabah yang memiliki saldo di atas Rp2,5 juta. Tahun ini, perseroan juga mempromosikan program bebas biaya untuk transaksi internet banking dan hampir 95 persen dari semua jenis transaksi menggunakan internet digratiskan. Para nasabah remaja di tabungan PermataMe juga ditawari program diskon, tiket gratis, dan bertemu dengan para artis asal Korea Selatan, mengikuti tren belakangan ini di perkotaan. Tidak mau kalah, bank swasta lainnya yaitu PT Bank Danamon Indonesia Tbk kembali mengkampanyekan tabungan Danamon LEBIH, kali ini kepada kalangan mahasiswa, di 10 kampus negeri dan swasta di Jakarta dan sekitarnya. Bank Danamon berniat memperluas kampanye tersebut ke kota-kota lainnya. SVP Head of Marketing Retail Banking Bank 36 |
inovasi
Grace Dwitiya Amianti
Danamon Djoemingin Budiono mengungkapkan, tabungan Danamon LEBIH memang masih menjadi porsi terbesar atau core savings bagi pihaknya. Perseroan berani bersaing karena sejumlah manfaat diberikan dari tabungan tersebut. Selain biaya administrasi yang gratis jika menyimpan dana minimal Rp1 juta, biaya transfer juga digratiskan oleh perseroan. Setoran awal untuk pembukaan rekening Danamon LEBIH, kata dia, hanya sebesar Rp250 ribu dengan saldo ditahan Rp50 ribu. Jika nasabah dapat menahan sekitar Rp3-5 juta dan menggunakan kartu debitnya secara aktif untuk belanja, perseroan memberikan cashback. “Kalau saldo Rp2,5 juta, nasabah gratis transaksi di ATM Bersama, kemudian kami berikan asuransi jiwa dan suku bunga 1 persen. Di bank lain, suku bunga bisa 1,5 persen tapi biaya-biaya administrasinya besar juga,” ungkap Djoemingin. Sementara itu, sejumlah produk tabungan Bank Danamon selain tabungan Danamon LEBIH juga masih didorong. Sebagai contoh, produk tabungan Manchester United (MU) untuk para penggemar klub sepakbola tersebut, serta FlexiMax yang ditujukan untuk nasabah pengusaha, dengan saldo minimal Rp100 juta. Kemudian, perseroan memiliki tabungan CitaCitaku yang merupakan jenis tabungan berjangka dengan saldo minimum Rp200-500 ribu yang dapat di-autodebet untuk keperluan tabungan jangka menengah-panjang. Djoemingin mengatakan, pihaknya juga menyasar para penabung dalam dolar melalui Tabungan Primadolar. “Ini ada 7 mata uang utama, saldo minimalnya US$ 100 dan bebas biaya administrasi. Kalau nasabah menahan dana sekitar US$ 1.000-5.000 akan mendapatkan hadiah langsung,” jelas dia. Bank swasta yang belakangan juga cukup gencar
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 37
mempromosikan e-channel-nya yaitu PT Bank CIMB Niaga Tbk. Perseroan berbangga dengan pencapaian kinerja internet banking-nya yang diberi nama CIMB Clicks, yang telah digunakan oleh 716 ribu nasabah hingga akhir 2012, meningkat 51 persen dari tahun 2011 sebanyak 671 ribu nasabah. Per bulannya, transaksi CIMB Clicks mencapai 7,6 juta kali, meningkat 52 persen dari tahun 2011 sebanyak 5 juta kali. Namun, pertumbuhan penggunaan e-channel oleh nasabah yang jauh lebih tinggi terjadi di layanan mobile banking CIMB Niaga, yaitu Go Mobile, yang melonjak 794 persen menjadi 295 ribu pengguna. Transaksinya mencapai 11,6 juta per bulan, naik 52,6 persen dibanding tahun 2011 sebanyak 7,6 juta kali. “Tapi, saat ini secara industri, transaksi e-banking itu hanya seperlima dari seluruh transaksi perbankan, karena masyarakat belum banyak mengetahuinya. Saya pikir, bank harus lebih banyak mendorong layanan e-channel, terutama kepada masyarakat muda,” kata Wakil Presiden Direktur CIMB Niaga James Rompas. Presiden Direktur CIMB Niaga Arwin Rasyid mengakui, layanan Go Mobile dan CIMB Clicks merupakan bentuk inovasi produk dan layanan, yang merupakan bagian penting dalam upaya menjaga loyalitas nasabah. Dia mencontohkan, layanan Go Mobile dapat bekerja di semua jenis ponsel smartphone hingga jenis ponsel yang paling sederhana sekalipun, sehingga dapat menyasar semua segmen nasabah. Sementara itu, PT Bank Central Asia Tbk (BCA), sebagai bank dengan pemilik dana murah terbesar di Indonesia (70 persen lebih dari total DPK BCA adalah tabungan dan giro), turut unjuk gigi dalam persaingan memperebutkan nasabah tabungan. Belum lama ini, BCA menjadi bank swasta pertama yang terlibat dalam layanan e-ticket untuk
38 |
inovasi
Grace Dwitiya Amianti
pengguna Transjakarta Busway bersama tiga bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan satu BPD. Layanan e-ticket tersebut sebelumnya dimiliki secara eksklusif oleh PT Bank Pembangunan Daerah Khusus Ibukota (Bank DKI) melalui kartu JakCard, yang kemudian membuka diri bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengajak bank-bank lainnya, yaitu Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BCA. Melalui sistem itu, setiap pemegang kartu prabayar (prepaid) yang diterbitkan masing-masing bank peserta, yaitu Flazz (BCA), mandiri e-money (Bank Mandiri), BNI Prepaid (BNI), BRIzzi (BRI), dan JakCard (Bank DKI), dapat membayar Transjakarta tanpa harus menggunakan uang tunai. Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengungkapkan, pihaknya terjun dalam proyek itu untuk mendukung peningkatan layanan di sektor transportasi massa. Kartu Flazz sendiri sudah dapat digunakan untuk pembayaran parkir, bensin, berbelanja di berbagai merchant dan waralaba, serta pembayaran Trans Jogja, Trans Solo dan jalan tol Surabaya. Masing-masing bank peserta menyediakan ATM dan vending machine di halte bus Transjakarta untuk isi ulang (top up) e-ticket tersebut. Saat ini, total kartu Flazz BCA yang beredar telah mencapai 4 juta keping. Dengan memperluas penggunaan kartu Flazz, BCA bertekad untuk membuat nasabah tabungan yang sudah ada semakin loyal dan menarik nasabah baru untuk membuka tabungan di BCA. Di sisi lain, bank BUMN seperti BNI menggenjot inovasi tabungan dengan kerja sama co-branding dengan banyak mitra. Direktur Retail and Consumer Banking BNI Darmadi Sutanto mengatakan, pendekatan komunitas (community approach) gencar dilakukan, sebagai contoh bersama klub sepakbola asal Inggris, Chelsea Football Club (FC) untuk kartu co-branding BNI-Chelsea. Jumlah kartunya telah mencapai 106 ribu
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 39
keping, terdiri dari kartu kredit, kartu debit, dan prepaid. Wakil Direktur Utama BNI Felia Salim menilai, dengan cara seperti itu, loyalitas nasabah terhadap BNI dapat meningkat. General Manager Divisi Bisnis Kartu BNI Dodit Wiweko Probojakti mengatakan, sejak diluncurkan pertama kali pada Maret 2012 yang lalu hingga Januari 2013, volume transaksi kartu debit Chelsea rata-rata telah berkisar 9.00010.000 transaksi per bulannya. Sedangkan rata-rata nominal belanjanya per kartu sekitar Rp1 juta per bulan. Sementara itu, nominal transaksi kartu kredit BNI-Chelsea sekitar Rp3,5-5 juta per bulan, dengan jenis Titanium namun plafonnya mendekati Platinum. Sebab itu, dari sisi consumer spending, kategorinya cukup tinggi. “Untuk kartu Platinum, rata-rata transaksi belanja sekitar Rp5-7 juta per bulan, jadi kartu Titanium Chelsea ini sudah hampir mendekati Platinum,” ungkap Dodit. Tidak hanya membidik para penggemar sepakbola, BNI berupaya mencari nasabah tabungan baru melalui kerja sama dengan Java Jazz Festival sejak 2005. Dalam kerja sama itu, BNI menjadi sponsor utama Java Jazz Festival dengan menyediakan kartu BNI Prepaid edisi Java Jazz, sehingga para penonton konser tersebut dapat membayar tarif dengan menggunakan kartu tersebut. Pada Java Jazz Festival 2013, BNI telah menerbitkan sebanyak 9.800 kartu BNI Prepaid dan telah digunakan untuk 32.860 transaksi dengan nilai Rp1,2 miliar selama dua hari saja. BNI juga bekerja sama dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) untuk kartu prabayar BNI Rail Card. Seperti halnya kartu-kartu prabayar bank lainnya, seluruh kartu BNI Prepaid dapat digunakan untuk berbelanja di waralaba dan merchant. Darmadi menambahkan, tidak tertutup kemungkinan
40 |
inovasi
Grace Dwitiya Amianti
ke depannya pengguna kartu BNI Prepaid harus memiliki tabungan BNI. Dengan demikian, semakin banyaknya top up kartu prabayar, dana tabungan akan semakin meningkat, karena nasabah sering melakukan transaksi di ATM BNI. “Orang yang mau top up BNI Prepaid di mana-mana melihat ATM BNI, sehingga mereka akan tertarik buka rekening,” tukas Darmadi. Bank BUMN yang sejak dahulu bermain di level mikro, yaitu PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) rupanya tidak tertinggal di sisi inovasi e-channel. Dengan total ATM terbanyak di Indonesia, yaitu 14.292 buah, BRI mencatat mutasi transaksi ATM mencapai 10 juta kali per harinya. Sedangkan hingga akhir 2012, total transaksi ATM BRI mencapai 789,2 juta transaksi dengan nominal mencapai Rp429,2 triliun. Jumlah pengguna SMS Banking BRI juga mencapai 3,4 juta pengguna pada akhir 2012. BRI memiliki 7 produk tabungan, dengan dua tabungan yaitu BritAma dan Simpedes menjadi core savings perseroan. Dari total DPK BRI pada akhir 2012 sebesar Rp436,10 triliun, sebanyak 60 persen-nya merupakan tabungan dan giro. Strategi BRI untuk meningkatkan layanan e-banking diterapkan secara nasional, hingga ke pelosok terpencil pedesaan, karena praktis BRI merupakan satu-satunya bank umum yang saat ini memiliki outlet hingga ke level terkecil yaitu Teras BRI yang bentuknya serupa dengan kios mini. Pimpinan Wilayah BRI Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) Budi Satria pernah mengatakan, di wilayahnya, BRI mulai menempatkan mesin-mesin ATM di tengah kebun kelapa sawit. Menurut dia, langkah tersebut merupakan contoh inovasi atau terobosan untuk mengubah budaya ketergantungan terhadap uang tunai. “Selama ini, para petani di daerah perkebunan itu BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 41
upahnya dibayar dengan tunai. Ada pemilik perkebunan yang membawa uang tunai Rp90 miliar ke kebunnya untuk membayar gaji petani,” Selain ATM, BRI juga menambah Mobile Teras BRI atau outlet berjalan menggunakan bus mini agar dapat menjangkau daerah yang belum terdapat ATM atau Teras BRI, termasuk ke perkebunan yang areanya cukup besar. Namun, tidak hanya di darat, Direktur Utama BRI Sofyan Basir mengemukakan niat pihaknya untuk membuka Teras BRI keliling dengan menggunakan kapal atau perahu di laut. Tujuannya, untuk menyambangi pulau-pulau terluar di Indonesia. Perseroan menargetkan, kapal Teras BRI itu dapat dimulai dua tahun lagi dan dilengkapi dengan mesin ATM. Untuk tahap awal, BRI akan berlayar ke kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara Timur. Dengan begitu, kapal keliling tersebut akan memberikan tambahan kepada 9.000 kantor cabang BRI di seluruh Indonesia. “Ini investasinya memang cukup mahal, tapi ‘kan masih banyak wilayah yang belum dimasuki BRI. Kalau menurut studi kami, sebuah wilayah punya skala ekonomi yang cocok untuk pendirian cabang itu harus punya penduduk sekitar 3.000-4.000 orang, barulah kami buka cabang,” kata Sofyan. Mengikuti jejak keberhasilan BRI menembus level terbawah di masyarakat, PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJB) menggenjot pertumbuhan tabungannya hingga mencapai 44,2 persen menjadi Rp8,69 triliun pada akhir 2012, dari tahun 2011 sebesar Rp6,03 triliun. Dengan pertumbuhan tabungan yang tinggi, biaya dana BJB bisa menurun dari 6,8 persen menjadi 5,2 persen, sehingga perlahan bunga kredit dapat menurun. Direktur Utama BJB Bien Subiantoro optimistis, tahun ini total tabungan BJB dapat menembus Rp10 triliun. 42 |
inovasi
Grace Dwitiya Amianti
“Kami aktif menggenjot program pembukaan tabungan baru, misalnya mengadakan nonton sepakbola bareng di layar tancap, serta pawai fun bike di Serang, Jakarta, dan Denpasar. Kami juga mengadakan BJB Trail Adventures dan perayaan Imlek di Surabaya,” kata Bien. Dia tidak memungkiri, pihaknya juga menawarkan hadiah undian berupa mobil bagi para penabung yang memiliki saldo tertentu dan aktif bertransaksi. Namun, sebagai BPD, BJB juga ditunjuk untuk menangani tabungan para guru se-provinsi Jawa Barat dan Banten untuk pengelolaan dana sertifikasi mereka. BJB juga berencana membuka layanan pembukaan rekening tabungan di outlet mikro, yaitu Warung BJB yang tersebar di sejumlah pasar dan kantung keramaian. Hingga kini, BJB telah memilki 437 Warung BJB dan diperkirakan pada akhir tahun dapat mencapai 600 buah. Tidak hanya layanan tradisional, Bien mengungkapkan, pihaknya juga mengembangkan e-banking, dengan proyek yang cukup besar yaitu pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) seluruh Jawa Barat dan Banten, melalui PBB Online Tax. Layanan e-banking tersebut sudah dapat diakses oleh seluruh pemegang rekening tabungan di BJB. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) yang 80 persen bisnisnya adalah menyalurkan kredit properti, juga cukup giat mengumpulkan dana murah berupa tabungan, sehingga DPK BTN pada akhir 2012 bertumbuh lebih dari 30 persen. BTN dipilih oleh yayasan Bill and Melinda Gates milik pencipta Microsoft, Bill Gates dan istrinya, sebagai mitra untuk financial inclusion di Indonesia. Yayasan tersebut memberikan dana hibah kepada BTN untuk membuat proyek branchless banking bersama PT Pos Indonesia (Persero). Proyek tersebut yaitu bernama Tabungan Cermat dan telah dilaksanakan pilot project-nya di daerah Semarang, Jawa Tengah. BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 43
“Kami bekerja sama dengan Pos Indonesia, sehingga sebanyak 2.955 kantor pos di seluruh Indonesia sudah terkoneksi dengan sistem BTN, dengan begitu kami dapat menggalakkan tabungan masyarakat. Pemegang buku dan kartu Tabungan Cermat dapat melakukan transaksi perbankan di kantor pos,” jelas Direktur Utama BTN Maryono. Sejak diluncurkan pada Juli 2011 hingga akhir Desember 2012, total rekeningnya telah mencapai 87 ribu dengan dana lebih dari Rp6 miliar. Perseroan menargetkan dapat membukukan 1 juta rekening Tabungan Cermat dalam waktu 5 tahun, sehingga proyek itu akan diperluas ke seluruh wilayah Indonesia. Direktur Mortgage and Consumer Lending BTN Irman Alvian Zahiruddin mengakui, produk tabungan Cermat merupakan pelengkap produk TabunganKu yang memang disasar untuk masyarakat berpendapatan di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP). Seperti halnya TabunganKu, Tabungan Cermat bebas biaya administrasi dan minimum setoran awal Rp10.000 atau lebih rendah dibanding pembukaan rekening TabunganKu di bank umum sebesar Rp20.000. Menurut Irman, Tabungan Cermat tidak bersaing secara head to head dengan TabunganKu, karena posisi segmen nasabah TabunganKu masih di atas segmen nasabah Tabungan Cermat. Tujuan TabunganKu juga lebih kepada menabung atau menyimpan dana, sedangkan nasabah Tabungan Cermat dapat melakukan transaksi apapun dengan kartu miliknya. “Produk ini sudah didukung oleh para ibu-ibu PKK di Semarang dan istri Gubernur Jawa Tengah, sehingga akan lebih mudah melakukan sosialisasinya,” tukas Irman. Bank beraset terbesar di Indonesia, yaitu Bank Mandiri, belakangan tengah gencar mempromosikan layanan branchless
44 |
inovasi
Grace Dwitiya Amianti
banking milik anak usahanya, yaitu PT Bank Sinar Harapan Bali (Bank Sinar), bertajuk SinarSip. Proyek yang merupakan hasil kerja sama dengan International Finance CoRporation (IFC) dan provider seluler AXIS tersebut telah dimulai sejak awal 2011 di Bali. Dalam layanan SinarSip, nasabah tabungan Bank Sinar tidak perlu hadir ke kantor cabang untuk melakukan transaksi, melainkan cukup menggunakan ponselnya, dengan bertemu pihak agent banking atau agen yang akan melayani transaksinya langsung dengan Bank Sinar. Namun, saat ini, posisi agent banking tersebut masih dipegang oleh Bank Sinar langsung, karena BI belum mengeluarkan aturan branchless banking. Rencananya, jika aturan itu telah keluar, Bank Sinar berhak bekerja sama dengan para agent banking di luar bank, sehingga nasabah dapat leluasa bertransaksi di manapun mereka berada. Pihak agent banking tersebut bisa berasal dari berbagai kalangan masyarakat, seperti halnya pedagang pulsa untuk ponsel, pemilik warung, maupun waralaba. Mereka dapat melayani setoran uang tunai, penarikan uang tunai, dan pengiriman uang kepada nasabah Bank Sinar lainnya. Direktur Finance and Strategy Bank Mandiri Pahala Nugraha Mansury mengatakan, branchless banking Bank Sinar merupakan sebuah inovasi agar layanan atau akses keuangan untuk masyarakat berpendapatan rendah bisa bertransaksi di bank. Pahala mengatakan, bank tidak dapat menggratiskan seluruh biaya administrasi tabungan, karena untuk dapat mengoperasikan layanan, bank harus mengeluarkan dana untuk berbagai macam biaya. Namun, dengan adanya branchless banking, nasabah bisa mendapat kompensasi layanan yang mudah, cepat, dan nyaman atas biaya yang mereka bayar ke bank. “Perlu ada kerja sama antara perbankan dan perusahaan BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 45
telekomunikasi, karena penetrasi ponsel lebih pesat ketimbang penetrasi rekening bank. Namun, bank memiliki standar keamanan yang tinggi, sehingga keduanya bisa saling mendapatkan manfaat,” kata Pahala. Hingga akhir 2012, layanan SinarSip telah membukukan 2.500 nasabah, dengan terdapat 67 nasabah baru sejak Januari 2013 hingga akhir Februari 2013. Dari 2.500 nasabah tersebut, sekitar 30 persen-nya cukup aktif bertransaksi. Namun, ratarata frekuensi transaksi sekitar 1.600-1.800 kali, sehingga tidak sampai 1 orang melakukan 1 transaksi per bulannya. Akhirnya, hanya bank yang mampu memberikan layanan yang aman, cepat, terjangkau, dan murah yang akan menjadi pemenang dari perebutan nasabah tabungan. Pungky Purnomo Wibowo melihat, teknologi dapat menjadi solusi bagi bank untuk menekan biaya agar lebih efisien, sekaligus dapat menjangkau masyarakat dengan lebih efektif. “Yang dikejar adalah volume dan frekuensi transaksi, jadi kalau volumenya tinggi, bank otomatis tidak mengejar margin, karena pendapatan akan semakin besar dengan sendirinya melalui peningkatan volume,” tandas Pungky.
46 |
inovasi
Menjaga Kesetiaan Nasabah Perkotaan
Oleh Grace Dwitiya Amianti
K
alangan dewasa muda yang berdomisili di perkotaan cenderung telah ‘melek’ terhadap layanan perbankan dan segala inovasinya. Banyak alasan yang mereka miliki ketika memutuskan untuk membuka rekening tabungan di sebuah bank yang menjadi pilihannya. Aspek kemudahan untuk mengakses, beragam layanan yang memanjakan, hingga rasa aman, menjadi faktor-faktor yang penting di mata nasabah tabungan. Sebagai contoh, cerita dari Rivki Maulana, laki-laki berusia 23 tahun yang bekerja sebagai pegawai swasta dan berdomisili di Jakarta, menyimpulkan bahwa bank yang diminati oleh nasabah tabungan adalah bank yang memiliki jaringan ATM cukup banyak. “Sebelum membuka tabungan di sebuah bank, saya pertama kali melihat apakah ATM-nya tersebar di sekitar lingkup hidup saya. Untuk orang yang hidupnya di kota dan setiap hari beraktivitas di kantor atau mahasiswa yang setiap hari ke kampus, tentunya ingin menemui ATM yang dekat,” tutur Rivki. Tidak hanya itu, menurutnya, bank tersebut harus bisa melayani beragam jenis pembayaran (multi payment), misalnya pengiriman uang ke semua bank, pembelian pulsa, BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 47
pembayaran berbagai macam tagihan, termasuk pembayaran uang kuliah. Menurut Rivki, dengan maraknya pengguna smartphone seperti BlackBerry belakangan ini, pembelian pulsa untuk paket bulanan lengkap lebih praktis dilakukan melalui ATM. “Daripada malam-malam cari tukang pulsa yang masih buka dan letaknya jauh, lebih praktis datang ke ATM dan beli pulsa langsung Rp50 ribu atau Rp100 ribu,” ujar dia. Alasan lainnya yang membuat Rivki memilih bank sekarang untuk menabung yaitu karena bank tersebut telah memiliki kartu prabayar yang dapat digunakan untuk pembelanjaan di mana pun. Begitu pula dengan mesin debit (electronic data capture/EDC) yang relatif tersebar, sehingga dirinya lebih mudah melakukan transaksi non tunai. Dia mengaku, sejak masa kuliah, dirinya malas menggunakan uang tunai untuk pembelanjaan lebih dari Rp50 ribu, sehingga lebih memilih menggunakan kartu debit. Rivki melihat, bank rata-rata mengandalkan e-channel seperti internet banking dan mobile banking sebagai bentuk inovasi mereka, karena biayanya lebih murah dibandingkan menambah mesin ATM. Namun, dia menilai, biasanya para pengguna e-channel sudah sangat melek teknologi dan pandangan hidupnya sudah tidak lagi bergantung pada uang tunai, sehingga masuk dalam kategori less cash society. “Di sisi lain, masih ada bank yang fokusnya menambah ATM dan mesinnya sudah banyak di-upgrade. Bank ini cakupan pasarnya lebih kepada massive tradisional, mungkin karena sesuai dengan kebutuhan nasabahnya,” ungkap Rivki. Rivki mengukur banknya sendiri, sebuah bank pemerintah, sebagai bank yang cukup inovatif karena bisa melakukan multipayment. Bahkan, banknya tersebut merupakan bank
48 |
inovasi
Grace Dwitiya Amianti
yang pertama kali melayani pembayaran uang kuliah, padahal kampusnya dahulu telah bekerja sama dengan bank lain. Menurut dia, ada kemungkinan kampusnya tersebut akhirnya membuka kerja sama dengan sejumlah bank lain agar pembayaran secara massal tidak repot dilakukan melalui satu bank. Secara umum, dia melihat bank swasta menawarkan inovasi yang lebih bagus dibandingkan bank pemerintah, kendati cakupan layanan bank swasta biasanya lebih terbatas. Berdasarkan pengalaman pribadi, Rivki melihat kekurangan di banknya saat ini masih di seputar layanan call center, bahkan dia berani menyebutnya ‘memuakkan’ karena memakan waktu lama untuk melayani di saat darurat. Di sisi lain, justru layanan customer service di kantor-kantor cabang bank tersebut tidak mengecewakan. Layanan customer care bank tersebut di media sosial seperti Twitter dinilainya juga cukup baik. “Ada satu hal lain yang saya lihat sebagai kekurangan bank saya, yaitu saldo minimum sebesar Rp100 ribu relatif tidak bersahabat. Bagi beberapa orang seperti mahasiswa, saldo minimum sekian memang cukup mahal,” kata dia. Sementara itu, Arianti, seorang perempuan berusia 30 tahun yang bekerja sebagai dosen sekaligus mahasiswa S2 di kota Bandung justru melihat aspek keamanan sebagai hal utama ketika memilih bank. Menurutnya, bank pilihannya harus bisa dipercaya dan saat ini dirinya memilih bank pemerintah, karena telah memiliki nama besar dan berdiri sejak puluhan tahun. Di sisi lain, dia memiliki rekening tabungan pula di sebuah bank swasta, namun sebenarnya bukan karena keinginan sendiri, melainkan karena di tempatnya bekerja dahulu menggunakan bank tersebut untuk keperluan penggajian
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 49
(payroll). “Saya sudah tidak di tempat kerja yang dulu tapi saya tetap menabung di bank swasta itu, karena saldo minimumnya murah dan ATM-nya banyak. Dulu saya mengira saldo minimumnya mahal,” kata Arianti. Aspek kedua yang dilihatnya penting yaitu pelayanan yang baik dan jaringan kantor cabang yang dekat dengan tempat tinggal atau tempat bekerja. Selain jumlah ATM yang banyak, Arianti tetap menganggap penting layanan tradisional di kantor cabang. Selama ini, dari kedua bank tersebut, baik customer service, teller, hingga security menunjukkan keramahan dan kecepatan bekerja. Kendati sering terdapat antrean panjang, menurutnya hal itu tidak masalah karena selalu terjadi di setiap bank. Sedangkan untuk inovasi kemudahan bertransaksi melalui e-channel, contohnya, Arianti tidak menganggap hal itu sebagai hal yang terlalu penting. Pasalnya, inovasi seperti mobile banking, internet banking, pembelian pulsa dan pembayaran tagihan melalui ATM, dan sejenisnya merupakan hal yang relatif baru ditawarkan oleh bank. Sebab itu, dirinya tidak akan langsung tertarik untuk memindahkan tabungan ke sebuah bank yang memberikan tawaran inovasi yang ‘heboh’. “Menurut saya, itu hal yang kesekian yang menjadi pertimbangan saya dalam memilih bank, semacam bonus. Istilahnya, kalau ada syukur, kalau tidak ada, juga tidak masalah. Memilih bank itu yang jelas-jelas saja,” kata dia. Namun, secara umum dia melihat inovasi yang ditawarkan bank swasta cenderung lebih canggih, sebagai contoh, bank swasta yang menjadi pilihannya saat ini sudah memiliki mesin setor tunai (cash deposit machine/CDM) dan layanan perbankan akhir pekan (weekend banking). Sementara itu, bank pemerintah
50 |
inovasi
Grace Dwitiya Amianti
yang menjadi pilihannya saat ini masih memiliki kekurangan di sisi kerepotan prosedur jika terjadi suatu kesalahan transaksi. “Saya sering cek saldo di internet, baik di bank yang swasta maupun yang pemerintah. Tapi, kalau saya lupa password, di bank pemerintah itu saya harus menelepon customer service terlebih dahulu. Sedangkan di bank swasta, langsung diberikan e-mail jika lupa password. Jadi saya lihat, memang lebih canggih yang swasta,” tutur Arianti. Kekurangan lainnya yang dilihatnya cukup krusial yaitu bank pemerintah yang menjadi pilihannya belum memiliki mesin CDM, meskipun jumlah CDM bank swasta yang dipilihnya juga masih terbatas. Bank swasta tersebut, kata dia, hanya menyediakan CDM di kantor cabang utama di kotanya dan jumlahnya hanya dua buah. “Ini mungkin karena di Bandung, kota yang tidak besar, jadi CDM masih terbatas. Nah, untuk weekend banking, kedua bank hanya menyediakan di Jakarta, sedangkan di Bandung belum ada,” ujar Arianti.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 51
Fiona Putri Hasyim Lahir di Jakarta, 31 Oktober 1984. Karirnya di dunia jurnalistik dimulai saat Fio, demikian panggilan akrabnya, menjadi calon reporter di Harian Umum Sinar Harapan pada 2010 hingga 2011. Sempat bergabung di Institut Kapal Perempuan sebagai staf Advokasi Pluralisme dan Gender, ia kemudian kembali ke media. Mulai 2012 hingga saat ini ia berkarya di Koran Tempo sebagai reporter di desk Ekonomi.
52 |
inovasi
Melacak Jejak Uang Maya
Oleh Fiona Putri Hasyim
A
khir pekan lalu, Koran Tempo mampir untuk makan di salah satu gerai fast food setelah membeli beberapa keperluan di pusat perbelanjaan grosir di Jakarta Pusat. Dan tidak jauh dari tempat duduk kami yang kebetulan menghadap pintu lobby selatan pusat perbelanjaan, ada sebuah stand berukuran 4 kali 3 meter berwarna putih. Stand berisi meja kayu berwarna putih setinggi perut orang dewasa itu di kelilingi oleh 3 orang sales promotion girl (SPG) dan 3 orang sales promotion boy (SPB) yang menawarkan kartu elektronik berwarna biru, produk sebuah bank swasta ternama. “Permisi kakak, sudah punya kartu ‘ini’ belum? Ada promonya lho untuk kakak yang suka ngopi-ngopi sama teman-teman di mall,” ujar salah satu sales promotion girl (SPG) berseragam biru dengan ceria dan sedikit menggoda hampir ke semua pengunjung yang melalui pintu dekat stand-nya. Sejak lima tahun terakhir penawaran produk kartu elektronik semakin marak, termasuk kartu elektronik untuk membayar Bus Transjakarta, membayar tol, hingga mengisi bensin. Penggunaan uang elektronik dalam bentuk kartu sebagai alat transaksi menjadi kegiatan sehari-hari dalam transaksi bisnis. Kini produk pembayaran non tunai semakin populer,
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 53
bukan hanya kartu kredit atau kartu debit, tetapi berbagai jenis kartu pintar diluncurkan oleh perbankan, industri retail bahkan sampai provider telekomunikasi. Semuanya merupakan transaksi pembayaran tanpa menggunakan uang tunai yang sering merepotkan untuk kembalian dan sebagainya. Inovasi retail di perbankan dan provider telekomunikasi seluler bahkan lebih kreatif lagi. Perbankan kini mengembangkan alat pembayaran dengan menggandeng smartphone. Bayangkan, kirim uang versi digital atau membayar transaksi bisa dilakukan via telepon genggam atau smartphone. Dan tahapan ini merupakan pengembangan less cash society era dompet elektronik. Sejak tahun 2006 Bank Indonesia (BI) telah merampungkan grand design dalam upaya peningkatan Penggunaan Pembayaran Non Tunai. Seiring berjalannya waktu, BI mendorong penggunaan instrumen atau alat pembayaran mikro yang dikenal oleh masyarakat dengan uang elektronik, yaitu Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK). “Less Cash Society adalah bagaimana kami mempengaruhi, menggerakan dan mendorong masyarakat melalui edukasi manfaat sekaligus resikonya agar masyarakat lebih banyak menggunakan instrumen nontunai daripada tunai,” ujar Ida Nuryanti, Deputi Direktur Kepala Divisi Pengaturan Sistem Pembayaran, Departemen Akunting dan Sistem Pembayaran (DASP) BI. Sedangkan jenis instrumen dalam trend sistem pembayaran mikro, seperti dijelaskan oleh Rosmaya Hadi K, Direktur Kepala Grup Akunting, DASP BI, mengacu pada grand design untuk melayani pembayaran yang bernilai kecil, dengan pemakaian berulang kali oleh masyarakat dan sifatnya massal. Tiga ukuran itulah yang menjadi konsep utama dari ranah
54 |
inovasi
Fiona Putri Hasyim
uang elektronik. Dan sampai saat ini tercatat 13 bank baik swasta maupun pemerintah yang sudah mengeluarkan produk uang digital yang sebelumnya akrab dikenal dengan sebutan e-money. Tujuan utama BI tak lain dan tak bukan yaitu untuk mengurangi penggunaan uang tunai di masyarakat. Sejalan dengan cita-cita BI menciptakan sistem pembayaran yang aman, efisien dan melindungi customer, produk uang elektronik yang saat ini dinilai cukup sukses adalah kartu elektronik yang digunakan sebagai alat pembayaran Transjakarta yaitu E-Ticketing Transjakarta. Dengan slogannya yang terpampang di sejumlah halte Busway, “Hari Gini Pakai Uang Tunai?”, E-Ticketing hadir memberikan solusi bagi efisiensi pembayaran transportasi. Semudah menempelkan kartu dan berjalan memasuki ruang tunggu halte Transjakarta, inilah efisiensi yang hendak dicapai. Tercatat lima bank termasuk pemerintah dan swasta yang mengeluarkan produk sejenis, yaitu Bank DKI, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Central Asia (BCA). “Menguntungkan bukan saja hanya untuk pihak regulator atau Bank Indonesia, tetapi juga bagi perbankan dan masyarakat. Contohnya pada kartu elektronik Transjakarta, masyarakat tidak perlu antri. Kemudian untuk bank, tidak perlu menyediakan cash management untuk menghitung jumlah uang tunai hasil pembayaran. Bagi pihak regulator, maka tercapailah efisiensi nasional,” tutur Rosmaya Hadi. Selain bersifat menguntungkan dalam segi kemudahan pengguna, trend electronic micro payment menurut Ida Nuryanti juga diarahkan untuk menekan biaya produksi uang tunai atau
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 55
uang fisik. “Meskipun kami tidak bisa memperhitungkan berapa besar yang mungkin dapat dihemat dari pergantian penerbitan uang elektronik dari biaya memesan bahan, biaya cetak, biaya distribusi hingga biaya penghancuran uang tunai,” kata Ida. Deputi Direktur Kepala Divisi Pengawasan Sistem Pembayaran, DASP BI, Puji Atmoko, juga mengungkapkan salah satu biaya distribusi atau supply uang tunai melalui mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) ternyata memakan biaya yang cukup signifikan, meskipun tidak semahal biaya pembukaan kantor cabang sebuah bank. “Mungkin ini yang jarang diperhatikan banyak orang bahwa pengisian uang tunai di ATM membutuhkan pengawalan Brimob misalnya, kemudian membutuhkan alat transportasi yang juga dilengkapi keamanan, dan itu semua membutuhkan biaya. Sedangkan orang mengirim uang perlu waktu dan biaya untuk pergi ke ATM” tuturnya. Sedangkan nilai tambah dari penggunaan uang elektronik bagi geliat ekonomi, yaitu mempercepat pergerakan uang atau dikenal dengan konsep velocity of money. Efisiensi waktu yang dihasilkan oleh metode pembayaran elektronik secara umum telah mendorong volume pergerakan uang lebih banyak, sehingga untuk dunia usaha bisa diprediksi adanya peningkatan keuntungan. Selanjutnya, dari sisi keamanan sistem pembayaran, seperti diungkapkan oleh Boedi Armanto Direktur Eksekutif, DASP BI, rekam jejak peredaran uang elektronik menjadi lebih mudah dianalisa melalui teknologi digital. Dan melalui rekam jejak peredaran uang yang akurat, maka dampaknya secara makro ekonomi, kebijakan moneter diharapkan akan lebih akurat. “Kalau uang cash tidak bisa terekam, mungkin yang kita tahu semakin uangnya lecek, semakin peredarannya tinggi,
56 |
inovasi
Fiona Putri Hasyim
tetapi dengan uang elektronik, secara akurat kami bisa melihat tepatnya berapa kali peredaran uang itu, termasuk juga secara garis besar pergerakan naik dan turunnya transaksi,” tuturnya. Data BI terhadap penggunaan uang elektronik, mencatat pertumbuhan yang sangat pesat, dari peluncuran tahun 2007 yang hanya mencapai sekitar 400 ribu kartu elektronik dengan volume transaksi sebanyak 165.193 transaksi senilai Rp228 miliar. Kemudian tahun 2008 mencapai sekitar 430 ribu kartu elektronik dengan volume transaksi 2,5 juta senilai Rp76,67 miliar. Tahun 2009 kartu elektronik mencapai 3 juta kartu dengan volume transaksi sekitar 17,4 juta senilai Rp519,21 miliar. Kemudian tahun 2010 mencapai 3,2 juta kartu dengan volume transaksi mencapai 26,5 juta senilai Rp693,46 miliar. Dan tahun 2011 sudah mencapai sebanyak 14,3 juta kartu dengan volume transaksi 41,06 juta senilai Rp981,3 miliar. Tahun lalu, jumlah uang elektronik mencapai 21,87 juta kartu dengan volume transaksi 100,62 juta transaksi senilai Rp1,97 triliun. Sedangkan pada bulan Januari 2013, BI mencatat jumlah uang elektronik sudah mencapai 22,25 juta kartu dengan volume transaksi di bulan tersebut sebanyak 9,98 juta senilai Rp219,7 miliar. Meskipun pertumbuhannya masih kalah jauh dengan pertumbuhan kartu ATM atau Debit, tetapi pertumbuhan transaksi ini begitu pesat. Data BI menyebutkan, penguna uang elektronik terkonsentrasi di kota-kota besar di Pulau Jawa, Sumatera dan sebagian Sulawesi. Sedangkan pemakaiannya masih masih sekitar transportasi, misalnya pembayaran tol dan Transjakarta, pompa bensin, parkir dan transaksi di minimarket.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 57
Ketika Kambing Bisa Dibeli Lewat e-Payment
Oleh Fiona Putri Hasyim
I
barat dua sisi mata uang, kendati menyimpan banyak kekayaan bumi dan laut bentuk geografis Indonesia yang merupakan kepulauan menjadi salah satu tantangan tersendiri. Butuh waktu yang relatif panjang untuk menyediakan infrastruktur uang elektronik. Banyak daerah tertentu di Indonesia di luar kota-kota besar yang bahkan masih belum tersentuh layanan perbankan. “Katakanlah banyak bank yang ingin masuk di daerah tertentu, namun fasilitas ATM saja belum bisa masuk,” ujarnya. Diakui juga oleh Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA), Jahja Setiaatmadja, kondisi geografis Indonesia yang sangat luas mencapai 1,9 juta kilometer persegi menyumbang investasi yang tinggi dalam menyediakan layanan kantor cabang dan infrastrutur perbankan di sejumlah daerah. “Dari sisi geografi, infrastruktur mahal untuk membiayai dan ekspansi dalam bentuk jumlah kantor cabang makin bertambah besar. Kalau diperhatikan, dari total biaya overhead mencapai 60 persen untuk sumber daya manusia,” tuturnya. Di samping itu, uang elektronik juga belum mampu menyentuh transaksi di pasar tradisional, seperti membeli kambing dan sayur-mayur. Namun Rosmaya dari Bank
58 |
inovasi
Indonesia ungkapkan bahwa saat ini, pihaknya sedang menyiapkan pengembangan instrumen sistem pembayaran elektronik yang lebih meluas terutama dalam ranah branchless banking dan mobile banking. “Semoga dalam waktu dekat kami bisa meluncurkan pengembangan instrumen elektronik sampai bagaimana orang bisa membeli kambing dengan uang elektronik,” tuturnya. Dan untuk menggiring masyarakat beradaptasi dengan transaksi digital, BI akan menggunakan pendekatan dengan aplikasi transaksi digital melalui telepon seluler. Mengapa telepon seluler? Sebab saat ini telepon seluler merupakan teknologi yang hampir menjangkau seluruh pelosok daerah. Sekaligus, teknologi telepon seluler juga dinilai lebih akarab dengan masyarakat untuk hampir semua lapisan ekonomi. Kendala lain dalam upaya galakan penggunaan uang elektronik di kota-kota besar yaitu mewujudkan ‘interoperability’ dari semua kartu elektronik yang dikeluarkan masing-masing perbankan. Apakah yang dimaksud dengan interoperability? Artinya satu kartu yang dikeluarkan oleh masing-masing perbankan tidak hanya berlaku untuk satu atau dua transaksi terbatas. Seperti sekarang, ada kartu elektronik yang hanya bisa digunakan untuk membayar tol, lainnya lagi hanya untuk bisa membayar parkir. Sedangkan kartu yang berfungsi membayar tol tidak bisa utuk membayar parkir dan sebaliknya. Sehingga kita tidak perlu mengantongi sekian banyak kartu yang ujungnya akan merepotkan juga jika tertinggal di rumah. “Cita-cita atau target kami untuk mewujudkan satu kartu elektronik bisa digunakan untuk transaksi apapun, sehingga masyarakat akan semakin merasa kemudahannya, efisiensinya dan perlindungannya dalam penggunaan kartu elektronik,”
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 59
katanya lagi. Rosmaya menegaskan pengertian satu kartu bukan berarti satu kartu tertentu yang dikeluarkan oleh bank tertentu, melainkan satu kartu yang dimiliki oleh penggunanya terlepas dari bank apapun yang mengeluarkannya dapat digunakan dalam transaksi apapun. Tidak dapat dipungkiri, untuk merealisasikannya membutuhkan waktu yang tidak singkat, terkait dengan atmosfer dunia usaha yang kental dengan inovasi dan persaingan bisnis. “Karena mereka sudah terlalu mengetahui bahwa bisnisnya sangat menarik,” tuturnya. Wakil Ketua Badan Pengurus Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), Isbandiono Subadi, mengatakan, trend pembayaran elektronik positif untuk mendorong perwujudan less cash society, sebab biaya percetakan dan distribusi uang tunai terbilang cukup mahal setiap tahunnya. Sekaligus, ia berharap fungsi interoperability juga bisa diterapkan untuk kemudahan dan efisiensi penggunaan 1 kartu untuk semua transaksi. “Apalagi jika infrastruktur untuk pembayaran elektronik lebih tersebar luas dan diikuti dengan teknologi keamanan yang merata dengan menggunakan chip serta nomor pin yang akan dilakukan pada tahun 2015 nanti,” ujarnya. Menurut Isbandiono, salah satu faktor penting terkait penggunaan uang elektronik yaitu ketersediaan infrastruktur atau fasilitas pembayarannya sekaligus segi keamanannya. Ketika masyarakat menggunakan uang elektronik harus diikuti dengan rasa aman dan nyaman. Dan pembayaran ini bisa menjangkau transaksi dimana saja. Hal ini senada dengan yang dikatakan Ida Nuryanti, Deputi Direktur Kepala Divisi Pengaturan Sistem Pembayaran,
60 |
inovasi
Fiona Putri Hasyim
DSAP BI, pengamanan di Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) terutama kartu kredit sudah menggunakan chip menggantikan magnetic stripe atau pita hitam yang menempel di belakang kartu debit. “Tingkat keamanan chip untuk mencegah fraud, lebih baik dibandingkan dengan magnetic stripe,” katanya. Berdasarkan informasi dari Ronald Waas, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), pada tahun 2011, biaya yang diperlukan untuk mencetak uang baru mencapai sebesar Rp150 triliun. Kertas impor sebagai materi cetak rupiah yang berasal dari Eropa membuat salah satu faktor mengapa ongkos cetak rupiah menjadi sangat mahal. Kemudian, biaya distribusi yang diperlukan untuk mengedarkan rupiah ke seluruh kantor BI mencapai sekitar Rp3 triliun dan sekitar Rp10 miliar atau 35 persen diantaranya digunakan untuk biaya transportasi. Rata rata biaya percetakan meningkat 10 persen setiap tahunnya. Di luar biaya cetak uang yang maknyus juga ada resiko dari kesalahan cetak, dan pemalsuan uang serta biaya penghancuran uang yang masuk kategori tidak layak edar, alias ‘super lecek’, yang tentunya memakan biaya yang tidak sedikit setiap tahunnya. Dengan pertimbangan tersebut Ekonom dari Universitas Indonesia (UI), Lana Soelistianingsih, menilai perkembangan alat pembayaran yang semakin cashless sangat positif terhadap perekonomian. “Transaksi semakin mudah, cepat dan efisien, dan bisa mengurangi biaya pembuatan uang termasuk penghancuran uang dan distribusi uang. Kemudian, sisi pengawasan juga semakin mudah terdeteksi karena sudah terkomputerisasi,” tuturnya merangkum keuntungan dari penggunaan uang non
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 61
tunai. Namun, selain sisi positif, Lana tidak lupa menunjukan dampak negatif yang dikuatirkan akan terjadi di depan. Pertama yaitu semakin menurunnya peran uang fisik sebagai legal tender atau alat pembayaran sah yang berlaku nasional. “Seolah-olah bank komersial sebagai pencetak uang. Atau ekstrimnya, lama-lama uang rupiah fisik tidak terlalu penting lagi. Uang keluaran bank komersial ini bisa membuat biaya transaksi khususnya meningkat karena meningkatnya biaya teknologi,” ujarnya. Belum lagi bicara soal dampak sosial. Lana khawatir maraknya penggunaan uang maya akan membentuk pola hidup konsumtif karena tidak memegang uang secara fisik. Memang, ia mengakui banyak keuntungan dari cashless payment. Salah satunya ya ekonomi akan semakin menggeliat karena orang orang semakin rajin belanja tadi. Namun, harus dipikirkan juga kesiapan peralatan pembayaran di level pedagang kecil. “Ekstremnya, kalau nanti bayar bakso pake kartu ATM berarti kan pedagang bakso membutuhkan EDC (Electronic Data Capture, mesin yang digunakan untuk merekam bukti transaksi pembayaran dengan kartu elektronik) untuk konsumennya,” tutur Lana. Lana menyoroti juga keterbatasan akses perbankan nasional saat ini, masih banyak masyarakat yang belum tersentuh dengan layanan perbankan. Padahal, peranan uang fisik membuat peranan perbankan menjadi semakin penting. Kuatirnya, sebagian masyarakat akan tertinggal dengan kemajuan alat pembayaran elektronik. Kerja sama perbankan dengan institusi lain dalam penyebaran uang elektronik seperti misalnya PT Pos Indonesia yang memiliki cabang hingga ke level kelurahan di pedesaan
62 |
inovasi
Fiona Putri Hasyim
merupakan salah satu solusi menurut Lana. “Peran PT Pos mestinya bisa dikembangkan membantu inklusi keuangan dan tantangan buat pemerintah adalah mengenalkan produk-produk tranksasi non tunai yang penting untuk meluaskan manfaat,” katanya. Dalam kekuatiran akan dampak negatif penggunaan uang elektronik, Ketua Dewan Standar Akuntansi Negara, Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK – IAI), Rosita Uli Sinaga, mengatakan, peluang bagi kejahatan akan penipuan sangat mungkin meningkat akibat kemudahan transaksi melalui teknologi. Rosita membandingkan dengan modus kejahatan yang kini sering terjadi dengan kepemilikan uang tunai yang dinilai lebih sulit untuk dilakukan karena harus disertai dengan aksi kekerasan seperti perampokan. “Saat ini marak kejahatan penipuan via pesan singkat telepon seluler yang begitu mudah menyedot uang seseorang melalui ATM,” ujarnya. Maka menurut Rosita, edukasi terhadap masyarakat pada seluruh lapisan masyarakat menjadi penting dilakukan oleh pemerintah dan pihak regulator terkait mengenai resiko dari penggunaan uang elektronik.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 63
REDENOMINASI:
Potong, Tidak... Potong, Tidak...
Oleh Fiona Putri Hasyim
D
alam beberapa tahun ini, tampaknya dunia keuangan Indonesia akan bermetamorfosis.
Di tengah semangat mengembangkan cashless payment tengah berkobar, muncullah wacana redenominasi. Ini sebenarnya bukan barang baru di dunia keuangan kita. Puluhan tahun lalu hal ini sudah pernah dilakukan. Lalu, sekitar 3 tahun lalu topik redenominasi juga muncul ke permukaan. Tapi selalu suam suam kuku. Muncul hilang muncul hilang … dan kini muncul lagi menyuarakan pesan yang mulai tegas: Menghilangkan tiga digit nol pada nominal mata uang rupiah! Isbandiono Subandi, Wakil Ketua Badan Pengurus Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), mengatakan, kebutuhan akan penghilangan tiga digit nol pada nominal rupiah atau redenominasi belum menjadi kebutuhan yang mendesak dalam sistem transaksi pembayaran jika diikuti dengan teknologi yang memadai. “Sebenarnya redenominasi untuk transaksi retail belum terlalu diperlukan karena transaksinya mungkin tidak sebesar transaksi wholesale yang mencapai triliunan. Tetapi penyesuaian teknologi akan menambah biaya lagi, maka redenominasi pada 64 |
inovasi
satu sisi berfungsi untuk mencegah biaya itu,” tuturnya. Ia yakin dalam beberapa tahun ke depan sistem pembayaran elektronik akan mempercepat volume dan jumlah transaksi baik di sektor retail maupun sektor wholesale, seperti misalnya industri perbankan yang transaksinya relatif sangat besar. Sesuai dengan data Bank Indonesia yang mencatatkan transaksi rata-rata harian RTGS (Real Time Gross Settlement) atau mekanisme tranfer antar bank secara real time, sehingga langsung masuk ke dalam rekening penerima sepanjang tahun 2012 mencapai Rp400 triliun per hari. Namun, Isbandiono juga tidak menampik adanya biaya redenominasi tahap pertama yang cukup besar, sekitar Rp200 miliar untuk mencetak rupiah baru dengan penghilangan tiga digit nol sekaligus melakukan sosialisasi dengan nominal yang belum bisa diprediksi. Tetapi dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dari redenominasi terhadap biaya penyediaan teknologi, menurutnya perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Rosmaya Hadi K, Direktur Kepala Grup Akunting, DASP BI juga mengatakan hal yang sama dengan Isbandiono. “Kalau pun redenominasi belum digulirkan, maka kita akan sediakan teknologi yang mampu menampung volume transaksi dengan berapapun nolnya,” ujarnya. Selanjutnya, Lana Soelistianingsih ekonom dari Universitas Indonesia juga sepakat akan kebutuhan redenominasi yang tidak mendesak terkait dengan perkembangan volume transaksi pembayaran elektronik. “Resiko redenominasi yang gagal bisa lebih besar dibandingkan keuntungannya, dan signifikansinya diperlukan karena kita mau menyambut masyarakat ekonomi ASEAN, jadi sebetulnya masalah redenominasi semakin kurang penting di era elektronik,” tuturnya.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 65
Ia memaparkan, sepanjang periode 1960-2003 ada 60 negara yang melakukan kebijakan redenominasi. Dari banyak studi literatur ekonomi, negara-negara yang melakukan redenominasi biasanya mempunyai pengalaman inflasi yang tinggi. Akibat inflasi yang tinggi, masyarakat menjadi tidak percaya pada mata uang negaranya. Namun berbeda dengan ketiga pandangan di atas, menurut Rosita Uli Sinaga, Ketua Dewan Standar Akuntansi Negara, Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK – IAI), redenominasi merupakan kebutuhan mendesak bagi sistem perhitungan akuntansi. “Pertama, menyimpan banyak digit dalam sistem keuangan di komputer membutuhkan banyak memori sehingga membutuhkan lebih banyak biaya untuk menambahkan memori,” katanya. Kedua, menurut Rosita, perhitungan dengan sedikit digit nol akan lebih efisien baik untuk komputer maupun bagi manusia. Dan sekaligus memperkecil kesalahan akibat human error akibat pembulatan. Sebab dengan banyaknya digit rupiah dalam perhitungan dengan bunga akan menyebabkan angka desimal muncul dan membutuhkan pembulatan. Rosita yakin dengan efisiensi yang tercapai menjadikan keuntungan yang lebih banyak bagi redenominasi ketimbang biaya untuk melakukan redenominasi. Namun Rosita mengingatkan resiko dari dampak psikologis yang akan muncul jika masyarakat kemudian menyamakan redenominasi dengan sanering. “Banyak masyarakat akan mengira redenominasi merupakan pengurangan nilai uang, padahal itu bukan redenominasi, melainkan sanering. Tidak ada nilai uang yang berkurang sama sekali dalam redenominasi, melainkan
66 |
inovasi
Fiona Putri Hasyim
digitnya yang berkurang,” tuturnya. Lalu, kalau sudah pro-kontra begini akankah ide redenominasi kembali hilang ditelan bumi?
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 67
Daniel Wesly Rudolf lahir di Jakarta, 19 Maret 1985. Alumni Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Jurusan Ilmu Jurnalistik ini pernah bekerja sebagai reporter di surat kabar Pikiran Rakyat di Bandung pada 2008. Ia juga pernah menjadi reporter olahraga di ANTV di Jakarta pada 2009 dan reporter di PT Media Citra Solusi Komunikasi. Mulai 2009 hingga sekarang menjadi reporter di surat kabar Media Indonesia. Motivasinya mengikuti Banking Journalist Academy karena ingin memahami secara mendalam tentang industri perbankan.
68 |
inovasi
Masyarakat Pulau Juga Mau Menabung
Oleh Daniel Wesly Rudolf
M
atahari mulai tenggelam ke ufuk barat ketika Husein menambatkan kapalnya di dermaga utara Pulau Kelapa, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta. Dia bergegas menuju rumah sambil memikul jaring dan setengah karung ikan kembung, hasil tangkapannya sejak subuh. Langkahnya terhenti saat seorang wanita paruh baya berdiri tepat di depan pintu rumahnya. Dia lantas menurunkan pikulannya, lalu mengeluarkan selembar uang Rp50.000 dari saku celananya. “Saya nabung segini, lumayan hasil tangkapan tadi,” ujar nelayan berusia 59 tahun itu kepada wanita yang memberikan jasa tabungan keliling tersebut, pertengahan Maret 2013. Usai melihat jumlah tabungannya pada buku cacatan sang kreditur keliling tersebut, Husein langsung masuk ke rumah untuk membersihkan ikan-ikan tersebut untuk dijadikan lauk makan malam dan esok hari. Saat itu Husein bersama putri bungsunya yang berusia 12 tahun, Neneng, saja di rumah. Sang isteri, Rapiah, tengah menjenguk putri sulungnya yang baru melahirkan di Jakarta. “Untung ada tabungan, kemarin diambil sejuta untuk ongkos
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 69
istri dan bantu persalinan anak,” ungkap pria yang telah melaut sejak tahun 1975. Dia bercerita, dirinya pernah memiliki rekening tabungan Bank Negara Indonesia (BNI) sewaktu bekerja sebagai pegawai swasta pada perusahaan ikan di Jakarta. Setelah menikah dengan gadis Pulau Kelapa, ia memutuskan untuk beralih profesi sebagai nelayan tangkap dan tinggal menetap di pulau yang sejajar dengan Pulau Harapan. “Saat itu saya harus bolak balik Jakarta Pulau Kelapa untuk menarik uang atau menabung. Karena bank belum masuk pulau,” kisahnya. Tahun lalu, Bank DKI membuka kantor kas di Pulau Pramuka. Dia pun langsung menarik simpanannya dari BNI dan mengalihkannya ke rekening bank milik pemerintah daerah Jakarta itu. “Meski lebih dekat, tetap harus ngeluarin ongkos ojek perahu pulang pergi minimal 20 rebu kalau nabung. Ini kan lumayan. Saya pun tarik seluruh uang dari sana,” kata dia. Kebetulan, tetangganya membuka layanan simpanan. Husein mulai membuka tabungan di sana. Tetangganya tersebut datang ke tiap rumah setiap hari. Kadang muncul pukul 09.00 dan terkadang datang sore; semua bergantung rute penagihannya. Meski tidak mendapat bunga, Husein merasa bersyukur dengan tabungan keliling yang merupakan inisiatif tetangganya tersebut. Alasannya, belum ada kantor cabang bank masuk di daerahnya. Minat penduduk kepulauan untuk menyimpan uang sebenarnya terbilang tinggi. Mereka mampu menyisihkan penghasilan dari melaut, usaha ikan budidaya, dan berdagangnya. “Ada lebih dari 400 orang jadi nasabahnya.
70 |
inovasi
Daniel Wesly Rudolf
Mulai dari RW 01 sampai RW 04 ini,” ungkapnya. Banyak juga warga yang
meminjam uang. Soalnya,
bunganya tidak besar. “Kalau petugas kelurahan yang meminjam biasanya jaminannya buku tabungan, tapi kalau nelayan surat rumah atau kapalnya.” Ridwan, pegawai dari perusahaan budidaya ikan di Pulau Kelapa 2 masuk gugusan Kepulauan Seribu, termasuk salah satu penyimpan uang di tabungan keliling. Meski telah menjadi pegawai tetap di perusahaan perikanan asal Korea, pria berumur 32 tahun itu belum memiliki rekening di bank. “Perusahaan tidak membukakan rekening tabungan untuk pembayaran gaji. Seluruh pekerja terima gaji secara tunai. Mungkin karena belum ada bank kali ya,” ungkapnya. Meski tidak memiliki rekening bukan berarti Ridwan tidak pernah bersentuhan dengan bank. Dia mengaku harus berlayar ke Muara Angke kala mau mengirim uang ke keluarganya di Cirebon. “Jauh sih, ongkosnya juga mahal, tapi mau bagaimana lagi.” Yakub, nelayan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu mungkin dapat dikatakan lebih beruntung. Pasalnya, dia telah mencicipi layanan perbankan dari Bank DKI. Penghasilannya dari melaut, budidaya ikan kerambah, dan penyewaan penginapan home stay disimpan di sana. Anjungan tunai mandiri (ATM) Bank DKI sudah tersedia di sana, hanya saja sering rusak. Lantaran ATM rusak, kata Yakub, dirinya tidak bisa menarik uang tunai. Padahal, dana segar tersebut dibutuhkannya untuk membeli keperluan untuk perbaikan kapal. “Saya dapat orderan memperbaiki kapal Pak Bupati. Targetnya seminggu selesai. Tapi karena nggak bisa narik duit, ya belum bisa diselesaikan kapal itu,” turut dia. “ATMnya
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 71
kadang-kadang rusak, kadang-kadang kosong, duitnya cepet abis. Nggak ada ATM lain, ya harus menunggu diisi lagi.” Baru satu bank Kepala Bagian Perekonomian dan Pembangunan Kabupaten Kepulauan Seribu, Blessmiyanda mengaku saat ini baru satu bank masuk di kepulauan seribu. Meski sudah cukup banyak nasabahnya, bank pembangunan daerah tersebut belum mampu menaungi 21.349 masyarakat yang menghuni 11 pulau. “Perlu kehadiran bank-bank lain,” tuturnya saat ditemui di kantornya di gedung Bahtera lantai 2, Jakarta Utara. Sesuai data kantor Bank DKI cabang pembantu Kepulauan Seribu, 2750 orang tercatat memiliki rekening di sana. Mayoritas pemegang rekening bertempat tinggal di Pulau Pramuka. Mereka umumnya belum mengecap fasilitas dari lembaga keuangan tersebut. Banyaknya masyarakat yang belum memiliki rekening bank ini menunjukkan belum optimalnya inklusi finansial di Indonesia. Jangankan berbicara tentang Indonesia Timur, di kawasan di Provinsi DKI Jakarta saja masih menganga jurang ketidakmerataan akses perbankan. Padahal, aktivitas ekonomi lokal sedang berkembang. Beragam usaha tumbuh mulai dari home stay, jasa penyewaan alat, sovenir, jasa transportasi, hingga penakaran budidaya ikan. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi ini, menurut Husein, seharusnya partisipasi bank semakin besar. Bank dapat menciptakan bisnis dari aktivitas ekonomi domestik. “Misalnya bank keliling ke pulau,” tuturnya. “Kalau bank yang datang ke pulau, tentu akan membantu. Karena banyak masyarakat yang sudah gemar menabung.”
72 |
inovasi
Daniel Wesly Rudolf
Blessmiyanda menyatakan pihaknya akan semakin memfasilitasi bank-bank yang mau masuk. Dia mencontohkan, April mendatang, kabuputen akan menjalankan program layanan satu atap keliling. Sejumlah layanan seperti pajak, kesehatan, dan lainnya akan ada di sebuah kapal. Kapal tersebut akan mengelilingi pulau setiap minggunya. “Bank juga bisa ikut serta dalam layanan satu atap ini. Supaya bisa ikut jangkau masyarakat,” tandasnya. Layanan keliling ini diharapkan bisa jangkau seluruh masyarakat kepulauan.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 73
Bank Bisa Raup Laba di Kepulauan
Oleh Daniel Wesly Rudolf
B
ank-bank masih enggan membuka kantor cabang di kawasan kepulauan seperti Kepulauan Seribu, Jakarta. Padahal, pertumbuhan ekonomi lokal dapat menjadi potensi bank untuk meraup laba. Direktur Utama Bank Pembangunan Daerah DKI Jakarta (Bank DKI), Eko Budiwiyono mengatakan pihaknya sedang merintis layanan perbankan di kepulauan seribu. Perseroan membuka sebuah kantor cabang pembantu di Pulau Pramuka dan mendirikan 3 mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di Pulau Pramuka, Kelapa, dan Tidung. Eko mengatakan biaya operasional di wilayah kepulauan cukup tinggi. Di samping itu, tingkat risiko juga lebih besar daripada di daratan. Ia mencontohkan, perusahaan harus mengeluarkan biaya transportasi dan tunjangan pegawai lebih besar. “Saat ini, belum ada perusahaan jasa keamanan yang bersedia menjamin kalau mau ngisi uang di mesin ATM.” Akan tetapi secara keseluruhan, kata Eko, perseroan mampu meraih profit. Pendapatan operasional masih jauh lebih tinggi daripada biaya operasional. Pendapatan operasional bersumber dari penyaluran kredit seperti kredit multiguna. Sesuai data kantor Bank DKI cabang pembantu Pulau Pramuka, nilai kredit multiguna mencapai Rp24,561 miliar. 74 |
inovasi
Perseroan juga mendapatkan pendapatan dari nonoperasional seperti layanan mesin ATM. “Penarikan uang di mesin ATM sangat tinggi, utilisasinya bisa mencapai empat hari habis,” tuturnya. Melihat besarnya kontribusi usaha di kepulauan bahari itu, lanjut Eko, perseroan akan meningkatkan status kantor cabang pembantu menjadi kantor cabang. Rencananya, Bank DKI juga akan membuka kantor cabang pembantu di pulau lainnya. Ditemui terpisah, Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution mengatakan, perbankan perlu didorong untuk berkontribusi dalam pembangunan di wilayah yang selama ini kurang terlayani (inklusif). Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) akan mendorong ekspansi bank melalui pengaturan kegiatan usaha bank dengan kekuatan modalnya. “Kegiatan usaha bank ini dikombinasikan dengan pengaturan kembali mekanisme pembukaan jaringan kantor bank,” tuturnya. Darmin menjelaskan caranya dengan menerapkan mekanisme insentif dan disinsentif melalui penggunaan alokasi modal dan zonasi wilayahnya. Selain itu, BI akan mempersyaratkan tingkat kesehatan bank. “Dengan mekanisme ini, bank dapat membuka jaringan kantor di suatu zona apabila tingkat kesehatannya memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan alokasi modal intinya mencukupi,” terangnya. Selain itu, lanjut Darmin, akan dilakukan penyempurnaan produk simpanan yang selama ini dikenal sebagai TabungakKu. Dia mengatakan bahwa produk simpanan itu akan lebih fleksibel, memenuhi kebutuhan nasabah kecil, dan secara bisnis memberikan keuntungan bagi bank. “Akan dilakukan penyempurnaan terhadap TabunganKu
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 75
sebagai produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat penghasilan rendah,” sebutnya. Selain itu, kata Darmin, BI akan memperluas akses layanan perbankan dengan cara non-konvensional melalui pemanfaatan teknologi informasi, telekomunikasi, dan kerjasama keagenan, atau dikenal sebagai branchless banking. Melalui strategi ini, layanan perbankan dapat menjangkau segala lapisan masyarakat tanpa perlu menghadirkan fisik kantor bank. “BI akan terbitkan panduan pelaksanaan branchless banking yang akan diikuti dengan penerbitan ketentuan-ketentuan pendukung.”
76 |
inovasi
Daniel Wesly Rudolf
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 77
Christine Novita Nababan Akrab dipanggil Birong oleh sahabat-sahabatnya di kelas Banking Journalist Academy. Lahir di Jakarta 5 November 1983. Saat ini ia tercatat sebagai reporter Kontan mulai 2010. Sebelumnya, Birong bekerja selama tiga tahun (2007-2010) di harian Suara Pembaruan. Sarjana Ilmu Sosial IISIP 2006 ini mengaku motivasi mengikuti BJA untuk mempertajam wawasan tentang dunia perbankan untuk diterapkan dalam peliputan sehari-hari.
78 |
inovasi
Berbank Tanpa Kantor
Oleh Christine Novita Nababan
D
unia perbankan nasional, tak lama lagi tampaknya bakal memasuki era baru. Gejalanya, sudah bisa dibaca dari rencana Bank Indonesia (BI) yang akan menerbitkan beleid baru tentang perluasan akses layanan perbankan yang mengandalkan teknologi atau agen pada Maret tahun ini. Tentu tidak akan seketika. Peraturan ini pada tahap awal akan memuat pedoman mengenai pelaksanaan agent banking, satu komponen branchless banking. “Diharapkan pertengahan tahun nanti bisa dilakukan uji coba dan diimplementasikan secara penuh pada akhir tahun,” ujar Halim Alamsyah, Deputri Gubernur BI. Konsep branchless banking, sejauh ini memang menjadi impian para pelaku industri karena faktanya, beban operasional perbankan semakin sengit bersaing dengan pendapatan operasional. Data BI menunjukkan, hingga akhir tahun lalu, rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional alias BOPO bank umum mencapai 74,1 persen. Itu artinya, ongkos yang dikeluarkan untuk operasional tidak bertaut jauh dengan pendapatan operasional perbankan. Tahun misalnya, beban operasional bank umum mencapai Rp321,357 triliun, sementara pendapatan operasionalnya hanya Rp433,678 triliun. Dengan kenyataan seperti itu, tidak mengherankan bila keuntungan (laba sebelum pajak) bank hanya tersisa Rp117 triliun.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 79
Beranjak dari kondisi itu, muncul kesadaran para pelaku industri untuk menerapkan konsep bank tanpa kantor. Di beberapa negara seperti Kamboja, Australia dan Brasil, konsep ini tidak hanya mampu memangkas biaya operasional melainkan juga berhasil menarik lebih banyak masyarakat untuk memanfaatkan layanan perbankan. Walhasil, penetrasi pasar industri perbankannya pun ikut terkerek. Firdaus Zhan, Business Relationship Director Fiserv Asia Pasific Bank Solutions operator yang mengaplikasikan teknologi Microsoft (perusahaan piranti lunak asal Amerika Serikat) di industri perbankan mengaku, meraih sukses menerapkan konsep branchless banking di Kamboja dan Australia. Yaitu, Acleda Bank di Kamboja dan ANZ Bank di Australia. Acleda Bank di Kamboja misalnya, sudah mengoptimalkan layanan perbankan yang memungkinkan nasabah tidak perlu lagi menggesek kartu untuk transaksi tarik tunai di mesin anjungan tunai mandiri (ATM) karena PIN atau personal identification number penarikan dana, cukup dikirimkan melalui telepon genggam nasabah. Dengan demikian, nasabah tidak perlu kuatir kartu ATM akan tertinggal atau tertelan mesin ATM, seperti yang masih sering terjadi di Indonesia. Di Australia, branchless banking yang digunakan oleh ANZ Bank malah lebih canggih karena mengintegrasikan rekening nasabah dengan media sosial. Lewat cara ini, nasabah dapat membayar tagihan listrik, telepon, bahkan pembelian tiket pesawat hanya lewat sosial media, seperti Facebook, Twitter, LinkedIn, dan sebagainya. Menurut Firdaus, konsep branchless banking melalui mobile yang diterapkan Acleda Bank di Kamboja berhasil menambah jumlah nasabah dua hingga tiga kali lipat lebih cepat dibandingkan dengan menyebar kantor cabang. Sementara,
80 |
inovasi
Christine Novita Nababan
ANZ Bank di Australia bisa menghemat penggunaan biaya operasional hingga 100 persen. Zulkifli Zaini, Direktur Utama Bank Mandiri, punya cerita lain. Kata dia, konsep berbank tanpa kantor yang diterapkan di Brasil, berhasil memperluas akses layanan perbankan kepada masyarakat setempat melalui agent banking. Misalnya, layanan perbankan dapat ditemui di 180 ribu lokasi pasar ritel modern dan kantor pos. Angka ini jauh lebih banyak dibandingkan jaringan kantornya, yaitu 20 ribu lokasi. Beberapa di Indonesia Perbankan Indonesia, sebetulnya memiliki potensi untuk menerapkan konsep berbank tanpa kantor ini. Setidaknya jumlah masyarakat yang memiliki SIM Card atau nomor telepon genggam, saat ini lebih banyak ketimbang yang telah membuka akun rekening. Masalahnya, tidak sedikit perbankan yang masih menganggap jaringan kantor lebih ampuh merangkul nasabah ketimbang tanpa kantor. Sebagai bukti, masih ada saja bank yang membuka jaringan kantor baru setiap tahun. Alasannya, alih-alih melek teknologi, masyarakat di remote area bahkan belum terjamah perbankan. Beruntung ada beberapa bank yang melihat potensi penerapan branchless banking dan mulai mencoba menerapkannya.BankMandirimisalnya,mencobakan branchless banking lewat anak usahanya yaitu Bank Sinar Harapan Bali. Bank pelat merah ini menggandeng tiga perusahaan penyedia jasa telekomunikasi terbesar di Indonesia. Eril Firmansyah, Assistant Vice President Electronic Banking Group Bank Mandiri menerangkan, branchless banking ini telah melibatkan 3.600 agen dalam proyek percontohan tabungan Sinar Sip di Bali. “Ini hasil kerja sama kami dengan salah satu
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 81
operator telekomunikasi dan International Finance CoRporation (IFC),” terang dia. Bank Central Asia atau BCA dalam waktu dekat juga akan menggandeng perusahaan telekomunikasi untuk membuka layanan bank tanpa kantor. Bank ritel raksasa ini bahkan berniat melakukan penyertaan modal ke perusahaan telekomunikasi incaran jika mendapatkan restu regulator. Saat ini, manajemen masih mencari bentuk kerja samanya. “Kerja sama dengan telekomunikasi paling memungkinkan untuk mengembangkan branchless banking. Ini akan memeratakan layanan perbankan hingga pelosok daerah,” kata Jahja Setiaatmadja, Direktur Utama BCA. Tak mau ketinggalan PermataBank yang tengah mengembangkan BBM Money yang diluncurkan Februari 2013. Electronic money berupa aplikasi di Blackberry ini hanya bisa dilakukan oleh sesama pengguna. Sebagai permulaan, fitur yang dilayani masih untuk transaksi pengiriman uang (transfer) dari dan ke rekening bank apapun. Lauren Sulistiawati, Director Retail Banking PermataBank mengakui, branchless banking masih terbatas pada layanan canggih mobile dan internet banking. Kecanggihan sistem mobile banking PermataBank bahkan menyamai konsep branchless banking di Kamboja, yakni memungkinkan nasabah tarik tunai di ATM tanpa kartu atau hanya mengandalkan telepon genggam. Di masa mendatang, kata Lauren, PermataBank akan mencari cara mengembangkan layanan hingga kemudahan transaksi belanja atau makan minum di merchant. “Termasuk, untuk kemudahan pembayaran tagihan atau pembelian tiket pesawat, kereta secara real time,” tutur dia.
82 |
inovasi
Christine Novita Nababan
Belum Menyentuh Kredit Di balik berbagai kemudahan penggunaan branchless banking, tak berarti sistem ini tanpa kekurangan. Di negara yang sudah menerapkannya, branchless banking hanya digunakan untuk transaksi tertentu. Antara lain, tarik dan setor tunai, e-commerce untuk pembayaran tagihan, informasi kepada nasabah terkait produk dan jasa keuangan, hingga pembukaan rekening baru. Ada pun untuk transaksi permohonan kredit masih belum dilakukan. Maklum, untuk memenuhi syarat pengawasan, industri perbankan juga terbentur kewajiban untuk mengedepankan prinsip know your customer (KYC). Sementara, apabila konsep branchless banking dijalankan, regulator terpaksa melonggarkan prinsip itu dari 10 persyaratan menjadi hanya lima. Contoh, bank hanya perlu meminta nama lengkap, alamat rumah, tanpa mengetahui lebih lengkap seluk beluk pendapatan nasabahnya. Tapi terlepas dari itu semua, Halim Alamsyah mengakui, teknologi informasi memainkan peranan penting di dunia perbankan. Ia berharap, jaringan sistem agent banking harus bisa terhubung secara nasional. Dengan demikian, regulator tetap bisa melakukan pengawasan dengan prinsip, sisi perbankan mengikuti aturan Otoritas Jasa Keuangan, sedangkan teknologi dan sistem pembayaran diatur BI. Ia mengatakan, tidak menutup kemungkinan, juga akan ada kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 83
Stefanus Arief Setiaji Lahir di Semarang, 28 September 1980. Reporter Bisnis Indonesia sejak 2010 ini adalah Sarjana Teknik Industri Jurusan Elektronika Komunikasi, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang. Sebelum bekerja di Bisnis Indonesia, Arief adalah kontributor di media yang sama pada 2007—2010 untuk wilayah Solo dan sekitarnya. Motivasinya mengikuti Banking Journalist Academy, yakni untuk memperdalam dan mencari perspektif baru terkait isu peliputan ekonomi, khususnya perbankan.
84 |
inovasi
Masa Depan Bank di Tangan Industri Telekomunikasi
Oleh Stefanus Arief Setiaji
Prioritas Pemberian Kredit Baru Rincian Kredit
Prioritas
Industri pengolahan Perdagangan besar dan eceran Real Estate,Usaha Persewaan, dan Jasa Perusahaan Transportasi, Perdagangan, dan Komunikasi
2012
2013
2 1 3 -
1 2 3
Ket : 1) prioritas pertama, 2) prioritas kedua, 3) prioritas ketiga Sumber : BI; diolah
“T
erus terang saya belum confidence,” kalimat itu yang terlontar dari bibir Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Aziz. Ia menanggapi soal kolaborasi industri perbankan dan telekomunikasi, terkait pengembangan layanan perbankan tanpa kantor atau branchless banking. Ketidakyakinan Harry ini cukup beralasan dan itu mewakili ketidaktahuan sebagian masyarakat pada umumnya ihwal branchless banking. Kalangan perbankan sendiri menilai pengembangan perbankan tanpa kantor merupakan satu strategi dalam mengayakan akses layanan keuangan atau financial inclusion masyarakat di Indonesia.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 85
Data Asosiasi Bank Asing di Indonesia menyebutkan akses layanan pembiayaan perbankan di Tanah Air terhadap total Product Domestic Bruto (PDB) masih sekitar 30 persen. PDB Indonesia pada 2012 tercatat sekitar US$1 triliun, sementara penyaluran kredit bank nasional baru di kisaran US$0,3 triliun. Jika hanya mengandalkan layanan perbankan konvensional tanpa terobosan, rasanya sulit menciptakan akses layanan keuangan masyarakat sebab wilayah Indonesia demikian luas. Jadi, pengadopsian kiat keberhasilan penetrasi layanan telekomunikasi menjadi sebuah kemungkinan yang menjanjikan. Untuk itu perlu sinergi dunia telekomunikasi dan perbankan. Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja mengatakan perbankan nasional harus mulai bergandengan tangan dengan industri telekomunikasi untuk menjangkau layanan keuangan masyarakat. Industri telekomunikasi, menurut dia, jauh lebih merakyat. Ini tercermin dari masyarakat pengguna telepon seluler (ponsel) yang merambah hingga pelosok wilayah dan desa. Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) melansir data bahwa pelanggan seluler di Indonesia mencapai lebih dari 240 juta. Sementara pemilik rekening tabungan di Indonesia berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hingga akhir 2012 tercatat 119,92 juta. “Kerjasama dengan industri telekomunikasi ini dapat dikembangkan untuk transaksi yang jumlahnya kecil-kecil,” ujar Jahja Setiaatmadja. Dia menegaskan, branchless banking dengan menggandeng industri telekomunikasi, dapat meningkatkan efisiensi bank nasional. Sebuah bank, tutur dia, akan rugi bila nasabahnya yang
86 |
inovasi
Stefanus Arief Setiaji
memiliki tabungan di bank dengan saldo Rp2 juta, misalnya, aktif bertransaksi. Ini kalau dilihat dari biaya transaksi (cost transaction). Lebih baik sebenarnya jika nasabah seperti itu tidak aktif bertransaksi. Sementara, di sisi lain, bank harus terus berupaya meningkatkan layanan kepada nasabah bersaldo berapa pun dengan melakukan pelbagai terobosan, terutama dengan memanfaatkan pengembangan teknologi dan layanan berbasis electronic channel. Industri telekomunikasi, menurut dia, perlu ditempatkan sebagai ujung tombak dalam pengembangan branchless banking ini, sementara bank bertindak sebagai super agent. “Mau tidak mau, suka tidak suka, muara uangnya nanti semua ada di bank,” imbuhnya. Vice President Director & Risk Management PT Bank CIMB Niaga Tbk D. James Rompas setuju apabila penetrasi layanan keuangan tanpa kantor cabang menggandeng industri telekomunikasi sebagai punggawa di depan. Ia mengungkapkan biaya transaksi perbankan secara elektronik, apabila dihitung, jauh lebih murah dibandingkan dengan layanan secara konvensional, “Kalau dengan layanan konvensional, per transaksi saja nasabah datang khusus ke bank. Kami tentu harus menyiapkan teller, harus menyediakan ruang yang nyaman, dan lainnya. Kalau dihitung transaksi elektronik biayanya bisa seperlima lebih murah dari konvensional,” tuturnya. Lewat perantara industri telekomunikasi yang memiliki daya jangkau lebih luas, semuanya menjadi lebih praktis dan murah. Industri perbankan tak perlu lagi menambah infrastruktur layanan. “Secara tidak langsung ini mengajari nasabah, karena nggak mudah juga mengubah kebiasaan. Transaksi keuangan
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 87
ini menyangkut kepercayaan,” ucap James Rompas. Jadi akan menjadi hubungan yang saling menguntungkan jika kolaborasi industri telekomunikasi dan perbankan ini terjalin. Hasil survei triwulan IV/2012 yang dirilis Bank Indonesia (BI) memperlihatkan satu tren penyaluran kredit baru oleh perbankan nasional pada 2013. Survei tersebut mengambil sampel di 42 bank umum dengan kantor pusat di Jakarta yang menguasai pangsa kredit hampir 80 persen dari total kredit bank umum secara nasional. Tampak bahwa prioritas pemberian kredit dari sektor ekonomi tahun ini masih terkonsentrasi pada industri pengolahan maupun perdagangan besar dan eceran. Adapun industri real estate, usaha persewaan, dan jasa perusahaan yang sepanjang 2012 menjadi satu dari tiga prioritas teratas perbankan nasional dalam penyaluran kredit, diperkirakan ‘hanya’ akan bertahan hingga kuartal I/2013. Selebihnya, sepanjang tahun ini, perbankan nasional bakal memprioritaskan penyaluran kredit barunya pada sektor transportasi, pergudangan, dan komunikasi selain ke industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran. Prioritas ke sektor transportasi, pergudangan, dan transportasi ini cukup menarik untuk kita cermati. Utamanya, industri komunikasi, yang sifatnya bukanlah padat karya— dalam arti mampu menyerap banyak tenaga kerja—tapi lebih mengarah pada keperkasaan teknologi dan kekuatan modal. Prioritas perbankan nasional dalam penyaluran kredit ke sektor ini tentu saja berkorelasi dengan upaya pengembangan layanan perbankan tanpa kantor atau branchless banking. Boleh jadi, inilah alasan mengapa dua industri ini, telekomunikasi dan perbankan, harus saling bersinergi.
88 |
inovasi
Stefanus Arief Setiaji
Layanan Branchless Banking
Bisa Buat Nelpon, Bisa Pula Nerima Duit
T
ak pernah terbersit di benak Desa Rahayu, perempuan 39 tahun, bahwa telepon seluler (ponsel) yang menjadi kawan di genggaman bukan sekadar alat komunikasi ngerumpi biasa. Fungsinya lebih dari itu, bisa dipakai untuk melakukan transaksi keuangan. Sengatan penetrasi industri telekomunikasi memang tak bisa dipungkiri. Kini, kolaborasi dunia yang satu ini dengan bisnis perbankan membuka pengetahuan masyarakat bahwa layanan keuangan kian beragam. Layanan perbankan yang dinikmati Desa Rahayu sekarang merupakan bagian dari pilot project PT Bank Sinar Bali, anak usaha dari satu bank nasional dengan aset terbesar, PT Bank Mandiri Tbk. Desa Rahayu yang tercatat sebagai karyawati di CV Wirasana, Bali, ini merasakan betul terobosan industri perbankan dan telekomunikasi yang saling berangkulan lewat layanan perbankan tanpa kantor (branchless banking). Sejatinya, basis layanan yang dipakai hampir sama dengan perbankan konvensional yang mengembangkan
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 89
layanan perbankan bergerak (mobile banking). Tapi satu ciri utama konsep branchless banking, nomor ponsel milik Desa Rahayu tercatat sekaligus sebagai nomor rekening. Tempatnya bekerja memang menjadi percontohan pengembangan model perbankan tanpa kantor ini. Bahkan, sang pimpinan, Nyoman Seniweca, kerap bertindak sebagai agen layanan keuangan dirinya. Jika butuh uang tunai, dia cukup meminta dari bos-nya itu, lalu diganti dengan cara melakukan transfer dari ponsel miliknya ke rekening sang bos. “Layanan ini sangat memudahkan, karena pembayaran gaji dan beberapa transaksi seperti membeli pulsa bisa dilakukan via ponsel. Kami juga bisa titip mengambil uang kepada teman atau bos di kantor,” ujarnya dari ujung telepon. CV Wirasana bergerak dalam bisnis transportasi dengan menjalankan usaha rental kendaraan. Perusahaan tersebut memiliki sekitar 50 karyawan yang seluruhnya menjadi nasabah Bank Sinar dan menikmati layanan produk Sinar Sip. Ketika tahu kantornya bekerja sama dengan Bank Sinar, Desa Rahayu langsung tertarik karena dapat bertransaksi menggunakan ponsel. Dia cukup percaya diri dan sama sekali tidak takut kehilangan uang. “Gampang saja, kalau pas transaksi salah tinggal dimatikan ponselnya dan
90 |
inovasi
Stefanus Arief Setiaji
transaksi otomatis dibatalkan,” katanya dengan penjelasan sederhana. Sejumlah bank kini mengembangkan branchless banking. Bank CIMB Niaga, termasuk. “Nantinya nomor ponsel dipakai sebagai nomor rekening. Kami akan kembangkan, tapi masih menunggu regulasinya,” kata Senior Vice President PT Bank CIMB Niaga Tbk, Robby Mondong. Terkait regulasi, Bank Indonesia (BI) telah memberi sinyal bahwa aturan mengenai branchless banking bakal diterbitkan paling lambat Maret 2013. Bank sentral juga mengajak sejumlah bank menjalankan proyek bersama untuk uji coba. Selain layanan branchless banking ini, menurut Deputi Direktur Divisi Sistem Pembayaran BI Puji Atmoko, sejumlah operator seluler di Tanah Air telah mengembangkan model transaksi dengan basis melalui ponsel. “Hanya saja belum banyak berkembang,” ungkapnya. Dia mencontohkan beberapa operator mengembangkan layanan transaksi dengan basis ponsel ini. “Misalnya kita beli barang di minimarket. Kasirnya akan memasukan nomer ponsel kita, lalu kita akan menerima pesan singkat. Tinggal kita ketik REG (spasi) nominal belanja (spasi) nomor PIN, lalu kita kirim. Server akan memproses, transaksi selesai,” jelasnya.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 91
Simpel, memang. Begitupun banyak pengguna yang belum bersedia memanfaatkan layanan ini karena faktor kebiasaan. “Mungkin selama ini masih agak ribet karena harus ketik ini, ketik itu. Lebih baik bayar cash. Tapi ke depan, era transaksi akan terus berkembang,” jelas Puji. Era transaksi keuangan secara tunai sudah mulai berlalu. Masa branchless banking telah menjelang. Transisi ini akan lebih cepat jika ada jaminan kenyamanan dan keamanan transaksi lewat piranti seluler dan yang sejenis.
92 |
inovasi
Stefanus Arief Setiaji
Direktur IT, Solutions & Strategic Telkom, Indra Utoyo
Kolaborasi Pilihan Ideal
I
ndustri telekomunikasi digadang-gadang menjadi ujung tombak layanan keuangan berbasis branchless banking. Penetrasi industri ini tercermin dari jumlah telepon seluler (ponsel) yang hampir menyamai populasi penduduk Indonesia. Wajar kalau realitas ini dijadikan acuan pengembangan layanan perbankan ke depan. Direktur Information Technology (IT), Solutions & Strategic PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, Indra Utoyo, melihat prospek yang menjanjikan dari sinergi industri telekomunikasi dan industri perbankan. Berikut ini penggalan tuturan dia kepada Stefanus Arief Setiaji. Bagaimana industri telekomunikasi melihat wacana pengembangan branchless banking? Paling efektif memang kita berkolaborasi dengan perbankan. Sederhana saja, dari sisi aspek biaya tentu lebih efisien dan kecepatan menjangkau nasabah tentu lebih mudah melalui layanan telekomunikasi. Sementara perbankan perannya akan banyak ke disiplin finansial, karena itu memang keahliannya. Kami, pemain industri telekomunikasi melakukan
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 93
elaborasi supaya target financial inclusion benarbenar mampu menjangkau sebanyak-banyaknya masyarakat. Bagaimana dengan sistem keamanan? Karena itulah ada perbankan, karena bank tentu memiliki tata kelola dan disiplin ketat dalam mengelola layanan keuangan. Kalau industri telekomunikasi tentu tidak memiliki banyak pengalaman dalam bidang cash management. Menurut saya, tantangan sebenarnya lebih kepada edukasi dan kesiapan pasar, termasuk kompetensi orang-orang yang nantinya mensupport di ujung wilayah dan daerah terpencil. Ini kan konsep baru, tentu mereka ini juga harus diberi pemahaman social practice yang baru juga. Sejauh ini, Telkom sudah mengembangkan layanan model apa saja? Kami punya e-money [electronic money] dan remitansi. Remitansi informasinya lalu lintas keuangan juga menggunakan ponsel. Misal, uang sudah dikirim, lalu informasi akan masuk ke penerima melalui ponselnya. Penerima tinggal menunjukan bukti pesan singkat di tempat pengambilan uang [cash out agent] untuk mengambil secara tunai. Kalau yang terkait branchless banking? Kami ada beberapa kerja sama pengembangan
94 |
inovasi
Stefanus Arief Setiaji
dengan bank. Kemungkinan gagal transaksi? Selama ini kecil sekali. Sejauh ada sinyal komunikasi, layanan transaksi pasti berjalan. Kalau tiba-tiba sinyal hilang saat transaksi, otomatis juga tidak akan diproses. Uangnya tetap utuh.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 95
Bunga Dewi Kusuma Lahir di Depok, 15 Mei 1987. Sejak 2012, ia menjadi reporter di Bloomberg Businessweek Indonesia. Sebelumnya, Bunga pernah menjajal posisi yang sama di Harian Bisnis Indonesia pada kurun waktu 2010—2012. Lulusan FISIP Universitas Padjadjaran ini mengaku, keikutsertaannya dalam Banking Journalist Academy untuk memperoleh pengetahuan tentang perbankan agar ke depannya lebih baik dalam menulis isu perbankan.
96 |
inovasi
Menangkap Peluang Bisnis Trustee
Oleh Bunga Dewi Kusuma
S
enin, 25 Januari 2013 mungkin menjadi hari yang bersejarah bagi PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BNI). Pagi itu, perseroan resmi menjadi penyedia jasa penitipan dan pengelolaan aset, serta agen pembayar dari tiga perusahaan minyak dan gas bumi (migas) di Blok Mahakam, Kalimantan Timur. Momentum ini juga sekaligus mengukuhkan posisi BNI sebagai bank nasional pertama yang melakoni bisnis trustee. Tiga perusahaan migas yang menandatangani kerja sama dengan BNI kala itu adalah PT Pertamina (Persero), Total E&P Indonesie, dan INPEX Corporation. Direktur Utama BNI Gatot Mudiantoro Suwondo menjelaskan dalam perjanjian tersebut, BNI melalui kantor cabang Singapura nantinya akan menjalankan fungsi sebagai agen pembayar dengan menerima hasil penjualan gas dari Blok Mahakam dan menyalurkan pembayaran ke pihak penerima manfaat (beneficiary) yang disepakati. Gatot mengatakan momentum tersebut menjadi tonggak sejarah baru bagi industri perbankan di Indonesia, di mana untuk pertama kalinya BNI, melalui kantor cabangnya memberikan layanan trustee yang selama ini dikuasai oleh bank asing di luar negeri.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 97
”Ini juga menjadi tonggak baru bagi industri minyak dan gas Indonesia karena kini pelayanan trustee sudah beralih ke perbankan nasional, sehingga target penggunaan local content dalam industri minyak dan gas semakin nyata terwujud,” ujarnya. Pernyataan Gatot memang tidak berlebihan, mengingat sistem trustee baru saja muncul di Indonesia pada 23 November 2012 melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 14/17/ PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha Bank Berupa Penitipan dan Pengelolaan (trustee). Selama ini, sistem trustee memang tidak dikenal di Indonesia. Hal ini menyebabkan sejumlah eksportir enggan menempatkan dananya di bank domestik, karena dinilai kurang terjamin keamanannya dan cenderung sulit keluar apabila negara dihantam krisis keuangan. Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang banyak tersimpan di luar negeri akhirnya juga berdampak pada tidak stabilnya nilai tukar rupiah dan tertekannya likuiditas valas. Selain itu, industri perbankan nasional juga tidak bisa bersaing dengan negara tetangga yang selama ini sudah terlebih dahulu menerapkan sistem trustee, seperti Singapura, Hong Kong, dan Thailand. Menyikapi hal-hal tersebut, Bank Indonesia (BI) kemudian berinisiatif untuk menerbitkan aturan mengenai trustee, sehingga membuka peluang bagi bank-bank nasional untuk memiliki bisnis penyimpanan dan pengelolaan aset ini. Harapannya, DHE dapat diparkir di dalam negeri dan negara memiliki stok valas yang cukup untuk menjaga kestabilan nilai tukar. Direktur Stabilitas Sistem Keuangan BI Filianingsih mengungkapkan kebijakan trustee merupakan tindak lanjut dari kebijakan makroprudensial tentang DHE dan devisa
98 |
inovasi
Bunga Dewi Kusuma
utang luar negeri melalui perbankan dalam negeri. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh fakta adanya kebutuhan bisnis, khususnya di sektor migas yang masih menggunakan jasa trustee oleh perbankan di luar negeri. Kebijakan ini, Filianingsih melanjutkan, diharapkan dapat menyediakan infrastruktur hukum bagi bank dalam melakukan kegiatan usaha di bidang penitipan dengan pengelolaan atau trust. Pengelolaan devisa oleh perbankan tersebut juga diharapkan mendorong pendalaman pasar keuangan domestik. “Dengan demikian, kami berharap kebijakan dapat memberikan kontribusi yang optimal bagi pelaku ekonomi dalam mengelola devisa yang dimilikinya, dapat memberikan tambahan pasokan valuta asing, dan memberikan kontribusi positif pada kestabilan nilai tukar rupiah dan daya saing perbankan domestik.” Menurut Filianingsih, potensi DHE sebenarnya sangat besar dan masih ada beberapa eksportir yang menyimpan dananya di luar negeri. Dia memaparkan dari 19 kontraktor kontrak kerja sama (K3S), 11 di antaranya menggunakan jasa trustee di luar negeri. Per tahunnya, dia mengatakan potensi DHE mencapai sekitar US$28–US$34 miliar. Dari jumlah tersebut, sekitar 16 persen masih tersimpan di luar negeri. Melihat besarnya potensi bisnis trustee, untuk menjaga keamanan dan menarik minat eksportir, BI pun menetapkan beberapa ketentuan untuk bank-bank yang ingin menjalankan bisnis tersebut. Filianingsih menyebutkan bisnis trustee hanya bisa dilakukan oleh bank yang memiliki modal inti minimum Rp5 triliun dan bank umum selain kantor cabang bank asing. Selain persyaratan modal inti tersebut, bank yang bersangkutan juga harus mempunyai rasio kewajiban
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 99
penyediaan modal minimum (KPMM) paling rendah 13 persen selama 18 bulan terakhir secara berturut-turut. Filianingsih menambahkan bank juga mesti memiliki tingkat kesehatan bank (TKS) paling rendah pada peringkat komposit dua selama dua periode penilaian terakhir dan minimum peringkat komposit tiga selama satu periode sebelumnya. “Persyaratan itu berlaku untuk bank umum selain kantor cabang bank asing [KCBA]. KCBA bisa saja melakukan kegiatan trust, tapi mereka harus berbadan hukum Indonesia dulu,” ungkapnya. Dengan adanya ketentuan tersebut, terdapat tujuh bank domestik yang memenuhi syarat untuk menjalankan bisnis trustee, yakni BNI, PT Bank Mandiri Tbk., PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BRI), PT Bank CIMB Niaga Tbk., PT Bank Permata Tbk., PT Bank UOB Indonesia, dan PT Bank OCBC NISP Tbk. Dari tujuh bank tersebut, tiga bank sudah menyatakan minatnya untuk memasuki bisnis trustee, yakni BNI, Mandiri, dan BRI. BNI kemudian mengambil langkah pertama dengan menjadi trustee bagi pengelola Blok Mahakam. Menurut Gatot, nilai ikatan antara BNI dan pengelola Blok Mahakam ini tergolong signifikan dalam tataran transaksi keuangan di sektor migas, karena volume transaksi penjualan gas Blok Mahakam mencapai 10-12 shipment per bulan, dengan nilai US$50 juta-US$60 juta untuk setiap shipment. Meski demikian, Gatot enggan menyebutkan berapa besar fee yang akan diterima BNI dari pelayanan bisnis trustee tersebut. Yang pasti, bisnis itu akan memberikan potensi yang besar bagi pemasukan BNI di kemudian hari dan diharapkan mampu menarik 5 persen pangsa pasar pelayanan trust pada tahun pertama.
100 |
inovasi
Bunga Dewi Kusuma
Lebih kompetitif Tidak mau kalah dari BNI, bank yang menyasar segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), BRI juga mengambil langkah cepat untuk dapat menjalankan fungsi trustee. BRI menjadi bank nasional pertama yang mengantongi izin prinsip trustee dari BI pada Februari 2012. Perseroan berharap izin penunjukkan sebagai trust dapat diperoleh dari BI pada Maret 2012. Bank Mandiri juga sudah menyatakan kesiapannya melakoni bisnis trustee sejak akhir tahun lalu. Meski demikian, perseroan belum mencantumkan bisnis ini dalam rencana bisnis bank (RBB) 2013 karena masih ingin mengkaji lebih detail mengenai peraturan tersebut. Senior Vice President Wholesale Transaction Banking Solutions Bank Mandiri Andrianto Wahyu Adi menjelaskan pihaknya akan menyiapkan infrastruktur untuk bisnis ini terlebih dahulu. Selain itu, sumber daya manusia (SDM) juga perlu dipersiapkan, mengingat aturan ini masih baru, sehingga tidak banyak SDM yang benar-benar mengerti sistem tersebut. “Nantinya kami mengincar pangsa pasar 5 persen untuk tahun pertama, 15 persen di tahun kedua, dan 25 persen di tahun ketiga dan seterusnya,” tuturnya. Penerapan sistem trustee memang akan berdampak positif bagi industri perbankan Indonesia. Meski demikian, sejumlah pelaku industri dan pengamat masih cukup skeptis dengan kelangsungan bisnis ini di Tanah Air. Chief Economist Samuel Group Lana Soelistianingsih menilai aturan trustee yang dikeluarkan oleh BI juga harus didukung oleh produk turunan lain, seperti instrumen lindung nilai. Menurut dia, dengan menjadi trustee, perbankan harus memiliki valuta asing (valas) yang cukup untuk memenuhi
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 101
kebutuhan eksportir. “Eksportir
manufaktur,
misalnya
terkadang
harus
melakukan impor di waktu yang sama. Kalau mereka butuh valas, sementara bank tidak punya, tidak efektif. Untuk itu harus ada instrumen lindung nilai atau hedging,” terangnya. Lana memperkirakan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengetahui apakah trustee benar-benar efektif. Dia menerangkan kemungkinan waktu yang dibutuhkan bisa lebih dari 1 tahun, salah satunya karena perbankan lokal dipandang masih belum sepenuhnya siap dalam mengelola dana valas. Dari sisi perbankan, Lana menilai terdapat beberapa hambatan yang perlu diatasi untuk menjalankan bisnis trustee dengan optimal. Yang pertama adalah biaya trustee dalam negeri yang diproyeksi akan lebih mahal jika dibandingkan dengan trustee luar negeri. Hal ini, tuturnya disebabkan oleh masih kecilnya skala ekonomi Indonesia. Akibatnya, eksportir masih akan cenderung menyimpan dananya di trustee asing yang mematok fee lebih rendah. Masalah kedua, lanjutnya adalah minimnya SDM dan infrastruktur bank domestik. Dia menyebutkan beberapa bank yang berminat menjalankan bisnis trustee pada akhirnya harus ‘membajak’ SDM dari bank asing, seperti Citi Bank untuk menjalankan bisnis ini. Begitu pun dengan infrastruktur yang belum mumpuni, karena sistem ini masih baru. Kendala terakhir, tambahnya adalah kemampuan perbankan domestik dalam menciptakan produk-produk investasi yang kompetitif. “Saat ini, saya belum melihat fokus ke sana, karena tujuan utama dikeluarkannya aturan ini adalah untuk mengalihkan DHE. Namun, dalam jangka panjang, perbankan Indonesia harus bisa mengeluarkan produk trustee yang menarik, jika ingin bersaing dengan trustee luar negeri,”
102 |
inovasi
Bunga Dewi Kusuma
paparnya. Payung hukum trustee lemah. Gatot memaparkan dalam Undang-Undang kebijakan yang salah arah tidak berdasarkan hukum.
di Indonesia juga dinilai masih BI perlu membuat aturan trustee untuk mengantisipasi adanya dan penyelesaian sengketa yang
“Kalau aturan BI itu sifatnya lembaga. Kalau ada sengketa, larinya bisa ke UU. Jadi, perlu didorong pembentukan UU trustee ini untuk mendorong peralihan trustee dari luar negeri ke dalam negeri dengan lebih cepat,” ungkapnya. Sama halnya dengan seluruh kebijakan yang baru diterapkan, aturan trustee juga akan memerlukan waktu untuk dapat diterima dan diadaptasi oleh pelaku industri. Meski demikian, agaknya semua setuju bahwa keluarnya aturan ini akan membawa sektor perbankan Tanah Air melaju lebih cepat dan lebih kompetitif dengan negara-negara lain di Asia. Yang perlu diperhatikan saat ini adalah eksekusi dari perbankan dan monitor dari BI agar aturan ini berjalan optimal. Kita tunggu saja.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 103
Trustee, Pendatang Baru di Pasar Keuangan
Oleh Bunga Dewi Kusuma
A
turan trustee yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) tak pelak lagi akan membawa perkembangan bagi industri perbankan nasional. Namun, tidak hanya itu, trustee juga dipercaya akan membawa dampak positif bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan dan juga merangsang pertumbuhan pasar modal dalam jangka panjang. Peraturan trustee memang masih baru dan belum dikenal di Indonesia. Meski demikian, sejumlah pelaku pasar modal dan ekonom menilai pembentukan aturan ini oleh BI patut diapresiasi sebagai upaya untuk memajukan industri keuangan tanah air. Apalagi, beberapa negara Asia lain, seperti Singapura, Thailand, dan Hong Kong sudah lebih dulu mengadaptasi sistem ini. Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia Ito Warsito mengungkapkan pihaknya menyambut baik adanya aturan ini. Menurut dia, peraturan trustee akan menutup kelemahan Undang-Undang No. 8/1995 tentang Pasar Modal Indonesia yang saat ini hanya mengatur soal wali amanat untuk mewakili kepentingan pemegang efek yang bersifat utang. Dengan adanya sistem trustee, lanjutnya maka pasar modal akan dapat menerbitkan produk-produk investasi baru yang memang membutuhkan lembaga trust, seperti instrumen 104 |
inovasi
investasi dari Real Estate Investment Trust (REIT). REIT
merupakan
sebuah
perusahaan
atau
bisnis
kepercayaan yang tujuan utamanya untuk memiliki atau membiayai real estate. Perusahaan didirikan untuk membeli properti atau saham-saham properti yang telah tercatat di bursa efek setempat. Normalnya, aset yang diagunkan adalah aset properti yang memiliki pendapatan sewa, seperti mal, gedung perkantoran, hotel, atau rumah sakit. Di Indonesia, produk REIT sendiri memang belum tersedia, tetapi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) yang kini bernama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memperkenalkan produk lain yang sangat mirip dengan REIT, yakni Kontrak Investasi Kolektif-Dana Investasi Real Estate (KIK-DIRE). Salah satu faktor yang menyebabkan REIT masih belum tersedia di dalam negeri adalah karena selama ini Indonesia tidak mengenal sistem trustee, sementara produk ini membutuhkan lembaga trust untuk mengelola aset. Akibatnya, beberapa perusahaan properti pun menerbitkan REIT di luar negeri, seperti PT Lippo Karawaci Tbk. yang mencatatkan produk REIT nya di Singapura. “Beberapa pengusaha properti di Indonesia banyak menerbitkan REIT di pasar modal regional, seperti di Singapura. Jika produk ini bisa diterbitkan di dalam negeri, maka akan berdampak positif terhadap pasar modal dan tentunya mendorong perekonomian nasional,” ungkap Ito. Direktur Utama PT Valbury Asia Securities Johanes Sutikno menilai produk REIT di Indonesia akan mampu menarik perhatian investor. Pasalnya, produk ini menawarkan imbal hasil dalam bentuk dividen dan apresiasi dari harga saham REIT akan lebih tinggi.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 105
Produk REIT memiliki beberapa keistimewaan. Pertama, bisnis utama REIT adalah mengelola atau berinvestasi pada sekelompok properti, umumnya properti sewa. Kedua, REIT membagikan hampir semua keuntungannya dalam bentuk dividen kepada para investor. Johanes menambahkan untuk bisa masuk golongan REIT, perusahaan real estate itu harus bersedia membagikan dividen minimal 90 persen dari laba kena pajaknya. Namun, di sisi lain dengan mengantongi status sebagai REIT, perusahaan tersebut tak perlu membayar pajak penghasilan. Ini berbeda dengan perusahaan biasa yang membayar pajak dari seluruh total labanya, yang setelah itu baru memutuskan alokasi sisa laba untuk dividen maupun investasi. REIT langsung membagi hampir semua labanya dan bebas dari pajak penghasilan, hingga pada akhirnya investor yang menikmati dividen itulah yang harus membayar pajak penghasilan. “Produk REIT ini sebenarnya sangat menarik, apalagi Indonesia sedang mengalami pertumbuhan sektor properti yang pesat, sehingga bisa dimanfaatkan juga oleh pengembang yang membutuhkan dana,” papar Johanes. Selain berpotensi mengembangkan pasar modal, sistem trustee juga diharapkan dapat menstabilkan nilai tukar rupiah yang sejak setahun terakhir bergerak cukup liar. Harus diakui tekanan dan fluktuasi rupiah terjadi salah satunya akibat dana eksportir masih terparkir di luar negeri. Jumlahnya cukup besar, yakni sekitar US$32 miliar per tahun. Sudah hampir setahun ini rupiah melemah tajam terhadap dolar. Hingga akhir 2012, rupiah berada di kisaran Rp9.626 atau sudah terdepresiasi 5,71 persen sejak awal tahun. Rupiah satu-satunya mata uang di kawasan Asia Tenggara yang terus melemah.
106 |
inovasi
Bunga Dewi Kusuma
BI sebenarnya sudah merilis peraturan No. 13/20/ PBI/2011 pada 30 September 2011 yang mulai berlaku awal 2012. Tapi, upaya repatriasi ini gagal karena eksportir belum tergiur menaruh dolar hasil ekspornya di bank-bank nasional. Penyebabnya, lantaran tidak ada kewajiban bagi eksportir mengkonversi dolarnya ke dalam rupiah. BI tak mau mewajibkan konversi ini karena khawatir dituding menerapkan capital control (pembatasan arus dana kapital). Gagal membujuk eksportir dengan cara biasa, kini BI membujuk eksportir dengan aturan trustee yang berlaku di perbankan. Chief Economist Samuel Group Lana Soelistianingsih mengungkapkan langkah BI menerbitkan aturan trustee memang bentuk upaya pemerintah untuk mengajak eksportir memarkir dananya di bank dalam negeri. Langkah ini diharapkan juga dapat meminimalisir pelemahan rupiah ke depannya. Meski demikian, hingga saat ini eksportir yang sudah menempatkan dananya di bank dalam negeri tetap saja enggan mengkonversi dananya ke rupiah. “Akibatnya, goal untuk menstabilkan nilai tukar rupiah bisa jadi tidak optimal jika eksportir masih saja menyimpan dananya dalam bentuk dolar. Volatilitas nanti mungkin masih tetap tinggi,” tuturnya. Menurut Lana, saat ini sasaran utama BI dari penerbitan aturan trustee adalah memindahkan dana devisa hasil ekspor yang masih tersimpan di luar negeri ke Indonesia. Dalam jangka panjang, peraturan ini baru diharapkan mampu memicu pelaku pasar untuk membentuk produk-produk derivatif di pasar modal. Namun, dia setuju bahwa pembentukan sistem trustee saat ini merupakan awal bagi perkembangan industri keuangan dalam negeri, sehingga dapat bersaing dengan negara-negara lain yang sebelumnya sudah memiliki sistem tersebut. BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 107
Resi Fahma Gustiningsih Lahir di Depok pada 26 Agustus 1988. Ia menjadi reporter sejak 2011 di Media Vista, sebuah perusahaan media internal sejumlah perusahaan BUMN dan swasta. Ia juga pernah menjadi kontributor pada majalah Intisari. Pada 1012 hingga sekarang, ia menjadi reporter majalah bisnis Fortune Indonesia. Motivasinya mengikuti Banking Journalist Academy adalah untuk mendapat pengetahuan tentang ekonomi, khususnya perbankan. Setelah mengikuti kelas BJA, ia berharap dapat menulis berita-berita ekonomi dan bisnis dengan lebih baik.
108 |
inovasi
Pertarungan BPR Melawan Diri Sendiri
Oleh Resi Fahma Gustiningsih
B
anner berukuran lebih dari 3x4 meter di dinding ruko di Jalan Arif Rahman Hakim, Depok begitu manarik perhatian orang yang melintas. Berbagai tawaran menarik untuk menyimpan dan meminjam uang dengan bunga yang menggiurkan tertera jelas. “Syarat Mudah, Bunga Rendah,” begitu salah satu kalimat yang tertulis di spanduk. Ramainya tulisan di banner yang terpampang di BPR Difobutama Depok tersebut begitu kontras dengan suasana di dalam bank. Serba sepi di sana. Hanya terdapat dua teller dan dua orang marketing yang bersiap berangkat mencari nasabah dan debitur. Salah satu tim marketing tersebut dengan ramah menjelaskan ihwal persyaratan kredit kepada seorang nasabah. Suasana kontras tampak di sejumlah bank umum yang letaknya tak jauh dari lokasi BPR. Antrian nasabah memenuhi tempat-tempat duduknya sejak bank dibuka. BPR yang sebenarnya memiliki kelebihan karena kedekatannya dengan nasabah nyatanya kurang dikenal oleh masyarakat kita. Titin misalnya, ia merasa lebih nyaman menabung di bank umum ketimbang BPR. Soalnya, ia kurang begitu mengenal dan mengetahui tentang BPR. “Saya nabung dan kredit di bank umum karena lebih besar,” ujar perempuan BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 109
yang bekerja sebagai guru tersebut. Tak dapat dipungkiri, selain karena sosialisasinya yang tak segencar bank umum, pamor BPR juga kurang bersinar lantaran banyak kasus yang menderanya. Di awal tahun 2013, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) misalnya melikuidasi BPR Sukowati di Solo. Fraud dilakukan oleh direktur dan staf personalia; mereka bersekongkol membawa lari uang bank. Poltak Lumban Tobing, Kepala Divisi Likuidasi Bank LPS mengatakan kasus seperti yang di BPR Sukowati sering terjadi terutama di BPR yang asetnya kurang dari Rp10 miliar. Dalam kasus BPR Sukowati, pengurusnya mengatur aset tidak melebihi Rp10 miliar agar tidak wajib diperiksa oleh kantor akuntan publik. “Jadi kalau ada pemasukan yang bisa bikin lebih dari Rp. 10 miliar dicatatkan di pembukan lain,” jelasnya. Hingga saat ini, proses penyeidikan kasus ini masih berlanjut. Tidak bisa dipungkiri bahwa realitas sejumlah BPR bermasalah dilikuidasi sangat merusak citra bank yang satu ini. “Padahal kan tidak semua BPR itu begitu. Orang yang melakukan kejahatan perbankan bukan cuma menghancurkan dirinya dan masyarakat, tapi juga industri secara keseluruhan,” ujar Joko Suyanto, Ketua Persatuan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo). Hingga saat ini, LPS sudah melikuidasi 48 bank dengan 47 di antaranya BPR. Sebab itu jumlah BPR terus menyusut. Data Bank Indonesia (BI) menyebut, pada 2008 jumlah BPR 1.771 kemudian berkurang menjadi 1.653 di awal 2013 atau berkurang 118. Selain karena dilikuidasi, pnyebabnya adalah penggabungan atau merger. Poltak L. Tobing mengatakan likuidasi BPR tersebut dikarenakan pelanggaran prudential banking oleh pengurus
110 |
inovasi
Resi Fahma Gustiningsih
bank. Tidak adanya sistem pengendalian interen (SPI) membuat kontrol dan penerapan tata kelola perusahaan tak terlaksana dengan baik. Ini memicu manipulasi keuangan, seperti kredit fiktif. “Kan kalau ada pengawasan, itu tidak akan terjadi. Tapi parahnya kalau direkturnya juga sudah kerjasama dengan pengurus lain, ya mau gimana lagi.” Penyalahgunaan uang bank untuk kepentingan pribadi pemilik atau pengurus bank, penggelapan simpanan nasabah, hingga kredit macet tanpa agunan atau perikatan yang lemah, merupakan penyakit dari BPR yang dilikuidasi. Semua ini tergolong tindakan pidana perbankan (Tipibank). Dalam penegakan hukum terkait Tipibank tersebut, LPS bekerjasama dengan Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan (DIMP) BI dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hingga saat ini, sudah 22 bank—21 BPR dan 1 bank umum—yang diinvestigasi. Selain itu, 11 BPR dan 1 bank umum yang telah dilaporkan ke kepolisian dan kasusnya masih dalam proses penyelidikan. Sejauh ini 9 BPR telah diproses dan 23 pelaku yang telah dijatuhi hukuman penjara antara 18 bulan hingga 12 tahun plus denda. LPS tengah mempersiapkan langkah hukum berupa gugatan perdata kepada pihak penyebab bank gagal. Kasus Tipibank yang telah diputus pengadilan antara lain Perusahaan Daerah (PD) BPR LPK Bojongpicung, PD BPR Telagong, PT BPR Citraloka Dana Mandiri, dan PT BPR Tripanca Setiadana. Seluruh direktur utama BPR tersebut dihukum kurungan penjara serta didenda. Berbagai modus Tipibank dari pengurus bank. Selain rekayasa kredit fiktif, ada pula dari mereka yang mencairkan deposito tanpa sepengetahuan nasabah. Ada penyalanggunaan
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 111
keuangan untuk kepentingan pengurus bank. Terkadang kas bon dan kredit untuk pengurus bank tanpa agunan. Juga tidak ada jangka waktu kredit. Demi menutupi tindak kejahatan itu ada bank yang sengaja membakar seluruh dokumennya. “Bahkan, sampai gedung banknya juga terbakar,” ungkap Poltak L.Tobing Kegagalan BPR dalam memutar roda bisnis terlihat dari rendahnya recovery dana klaim penjaminan LPS, yaitu hanya 10,54 persen. Penyebabnya adalah total kewajiban yang tinggi tapi tidak diimbangi dengan aset. Total kewajiban 46 BPR yang dilikuidasi hingga Desember 2012 mencapai Rp1,038 triliun, sedangkan asetnya hanya Rp113 miliar. Jumlah aset yang rendah antara lain dikarenakan penggelembungan dengan modus kredit fiktif. Seperti yang dilakukan PT BPR Tripanca Setiadana di Lampung. Total kewajiban Rp711 miliar. Waktu bank masih hidup asetnya digelembungkan jadi hampir Rp800 miliar, padahal aslinya hanya Rp26 miliar. Sisanya adalah kredit fiktif. Rendahnya aset BPR juga disebabkan oleh banyak jaminan kredit yang tidak bisa dieksekusi. Bagaimana tidak? Ada agunan hanya berupa kwitansi pembelian televisi dan sofa. Jaminan seperti BPKB sepeda motor yang kini banyak digunakan bank pun tidak memiliki fidusia [hak pengalihan kepemilikan]. Saat menyidik investigasi BPR yang bermasalah LPS juga melakukan penagihan kredit macet. Mereka kerap menemukan jaminan yang tidak bisa dieksekusi. “Pernah jaminannya betul sertifikat tanah, tapi ketika kita datangi itu ternyata kuburan,” ungkap Poltak L.Tobing Persoalan missmanagement memang telah menjadi momok yang mengancam nama baik industri BPR. Selain pelanggaran
112 |
inovasi
Resi Fahma Gustiningsih
prudential banking yang memang sengaja dilakukan oleh pengurus bank, masih ada hal lain yang hendaknya segera diperbaiki. Prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit belum dijalankan BPR dengan baik. Hal ini tercermin dari tingkat kredit macet atau non performing loan (NPL) yang masih 4,75 persen per Desember 2012. Angka ini sebetulnya sudah lebih baik sebab dalam 5 tahun terakhir masih di kisaran 5. Sebagai catatan, NPL BPR per Desember 2008 mencapai 9,88 persen. Tingginya NPL menunjukan bahwa kinerja bank belum efisiensi. Imbasnya, dana pencadangan risiko menjadi tinggi. “Belum lagi biaya maintenance-nya. NPL itu kan nagih-nagih,” ujar Joko Suyanto. Direktur Eksekutif Departemen Kredit, BPR, dan UMKM Bank Indonesia, Zainal Abidin, menyebut beberapa faktor yang menyebabkan NPL BPR tinggi. Pertama, kemampuan menganalisis kredit yang masih lemah. Meskipun memiliki keunggulan karena dekat dengan nasabah, pada praktiknya masih ada BPR yang kurang mengenal nasabahnya dengan baik sehingga salah menganalisis kemampuan kredit. “Kredit yang diberikan dengan bunga tinggi itu juga yang menyebabkan gagal bayar. Ya sesuai: high return high risk,” jelas dia. Kedua, pemberian kredit yang tidak hati-hati dan penyimpangan dana (fraud) oleh pengurus. Fraud umumnya disebabkan oleh ketidakprofesionalan pemilik BPR. Mereka sering mengintervensi saat pengucuran kredit. Untuk menghindari terjadinya fraud tersebut, BPR sebenarnya bisa menjalankan beberapa strategi. Seperti yang diterapkan Karyajatnika Sadaya (BPR KS), misalnya. Bank ini sengaja mengisi seluruh jajaran direksi dengan kaum profesional. Direksi tidak memiliki kewenangan dalam
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 113
memutuskan penyaluran kredit. Untuk menelaah kredit ada tim analisis kredit yang bertanggung jawab kepada komite. “Tim analisis kredit kita terpisah dari komite,” jelas Direktur Bisnis BPR KS, Taufik Zulfikar. Selain itu, BPR KS juga membatasi besaran penyaluran kredit. Untuk kredit ke UMKM, rata-rata Rp50 juta dan maksimal sekitar Rp1 miliar. Linkage Sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia terus menggeliat. Berpotensi besar, ranah ini cocok untuk menjadi lahan garapan BPR. Hingga saat ini terdapat sekitar 55,2 juta UMKM dengan jumlah tenaga kerja 101,72 juta orang. Masalahnya adalah permodalannya masih belum memadai. Itu yang membuat penyaluran kredit ke UMKM tetap rendah. Padahal, seperti kata Zainal Abidin, rata-rata kredit macet UMKM Indonesia masih di bawah 4 persen. Christine Widhythia, Direktur BPR KS mengatakan umumnya nasabah di sektor UMKM ingin melunasi utangnya selekas mungkin. Oleh sebab itu, jangka waktu yang diberikan oleh BPR KS berkisar untuk nasabah sektor ini antara 1-3 tahun. “Selain untuk likuiditas, jangka waktu yang tak terlalu lama itu juga memang disesuaikan dengan kebutuhan debitur,” jelasnya. Hingga akhir 2012, data dari BI menunjukkan penyaluran kredit perbankan ke UMKM baru sekitar Rp526 triliun atau 19,2 persen dari total kredit perbankan yang mencapai Rp2.738 triliun. Untuk mendorong pertumbuhan UMKM, Bank Indonesia pun mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 14/22/ PBI/2012 tentang pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank
114 |
inovasi
Resi Fahma Gustiningsih
umum dan bantuan teknis dalam rangka pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah. Dalam beleid tersebut bank umum harus menyalurkan kredit kepada UMKM minimal 20 persen dari total penyaluran kredit secara bertahap hingga 2018. Jelas, ini sinyal bagus bagi sektor industri UMKM. Namun, bagi BPR, aturan ini menjadi tantangan yang bisa menjadi ancaman. Persaingan akan semakin ketat karena makin banyak bank umum yang masuk ke kredit mikro. Untuk menghadapi persaingan tersebut, BPR jelas harus memperbaiki diri agar dapat memikat nasabah serta berjejaring dengan bank umum (ber-lingkage). Dalam aturan BI dijelaskan, penyaluran kredit untuk UMKM bisa dilakukan sendiri atau melalui lingkage dengan BPR. Muliaman Hadad, Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memandang metode lingkage merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan industri BPR. “Masalah BPR itu juga kan di permodalan. Dengan metode lingkage itu bisa jadi solusi untuk BPR.”
1.653 67.396.513.781 4.425
Total Asset (Rp Ribu)
1.669
Jumlah Kantor BPR
55.799.288.624 4.172
Jumlah BPR
1.706
2012 Desember
45.742.317.543 3.910
2011 Desember
1.733
2010 Desember
37.554.284.562 3.644
2009 Desember
1.771
2008 Desember
32.449.431.096 3.367
Indikator
Sumber : Bank Indonesia
Zainal Abidin pun berharap akan makin banyak bank umum yang mau berikatan dengan BPR. Selain dapat
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 115
memenuhi kewajiban 20 persen, bank umum juga tak perlu mengeluarkan cost overdead, seperti untuk membuka cabang atau menambah pegawai untuk menyalurkan kredit mikro. BI mencatat, porsi lingkage bank umum terhadap BPR masih amat kecil yaitu Rp7 triliun atau hanya 1,3 persen dari total penyaluran kredit bank ke UMKM sebesar Rp526 triliun. Kontribusi lingkage bank umum terhadap sumber dana BPR baru 12,7 persen dari total sumber dana BPR sebesar Rp54,8 triliun per Desember 2012. Program Apex bank yang digalakkan pemerintah yang bertujuan membuat bank umum pelindung dan pengayom BPR pun belum efektif. Sejak diluncurkan tahun 2005, hingga saat ini baru 6 Apex bank yang menjadi pengayom BPR. Zainal Abidin mengatakan, hingga saat ini terdapat dua bank yang tengah melakukan penjajakan untuk menjadi Apex bank. Minimnya penambahan jumlah Apex bank disebabkan oleh ketaktahuan bank umum ihwal BPR mana saja yang memenuhi kriteria. “Banyak bank umum yang juga masih ingin melihat keberhasilan Apex bank ini. Makanya kita tetap berupaya jadi penghubung keduanya,” ujar Zainal Abidin. Selain menjadi pengayom dalam memberikan lingkage, Apex bank juga berfungsi untuk bersama-sama mendorong BPR dalam pengembangan produk ataupun SDM. Lingkage sendiri, selain bisa menjadi solusi bagi bank umum dalam penyaluran kredit mikro, juga membantu BPR yang kerap kekurangan likuiditas. Namun beban bunga lingkage sekitar 11–14 persen masih memberatkan. “Cost of fund-nya jadi makin gendut. Idealnya, bunganya ya di atas deposito sedikit,” keluh Joko Suyanto. Aturan pemerintah mengenai peningkatan penyaluran kredit mikro dari bank umum, sebetulnya menjadi pintu
116 |
inovasi
Resi Fahma Gustiningsih
gerbang bagi BPR untuk mengembangkan bisnisnya dengan meningkatkan sumber dana melalui lingkage. Tapi dengan syaraBPR mampu memoles diri untuk memikat bank umum. Persoalan dasar yang tentu harus dibenahi ialah pengelolaan manajemen BPR, agar sepak terjangnya profesional. Selain menerapkan good corporate governance, BPR harus mampu bersaing dari sisi suku bunga. Suku bunga kredit BPR masih cukup tinggi. Rata-rata bunga kredit BPR untuk modal kerja mencapai 30,91 persen atau jauh lebih tinggi dibanding suku bunga kredit modal kerja dari bank umum yang 11,5 persen. Tingginya suku bunga kredit tersebut disebabkan oleh Net Interest Margin (NIM) BPR yang cukup tinggi, yaitu 18,8 persen, sedangkan NIM bank umum berada di level 5,4 persen. Pada dasarnya, bank umum dan BPR memang tidak bisa dibandingkan secara langsung karena memiliki segmen dan skala bisnis yang berbeda. Joko Suyanto berpendapat NIM bukanlah semata-mata penyebab bunga kredit BPR tinggi. Bunga kredit BPR yang tinggi, di antaranya disebabkan oleh ongkos dana atau cost of fund yang juga tinggi. Pasalnya sumber dana murah BPR yang hanya berkontribusi kecil terhadap Sumber dana BPR yang mencapai Rp54,4 trliun per Desember 2012. Jumlah sumber dana pihak ketika (DPK) BPR yang paling murah, yakni tabungan yang memiliki suku bunga 5–6 persen hanya berkontribusi 26,6 persen atau Rp14,4 triliun. Sementara depostio BPR yang memiliki suku bunga sekitar 8 persen menyumbang Rp30,4 triliun atau 56 persen dari keseluruhan sumber dana BPR. Sedangkan 18 persen sisanya, berasal dari pinjaman antarbank dan lingkage. Besarnya ongkos dana yang harus dikeluarkan semakin membengkak akibat bunga lingkage
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 117
yang mencapai 11–14 persen. Bunga lingkage yang cukup besar tersebut juga cukup membebani BPR. Joko Suyanto berharap bunga lingkage berada tidak jauh di atas bunga deposito. Untuk menekan cost of fund ini, BPR harus lebih gencar menghimpun dana murah. Berbeda dengan bunga tabungan dan deposito yang memiliki harga pasaran sesuai dengan ketentuan LPS, tidak ada aturan mengenai besaran bunga lingkage. BI sebagai regulator pun hanya berharap bank umum dapat menurunkan suku bunga lingkage sekitar 2 persen. Penyebab lain dari tingginya suku bunga kredit BPR adalah beban operasional BPR yang cukup tinggi. Tingkat biaya operasional berbanding pendapatan operasional (BOPO) BPR saat ini berada di level 77 persen, masih lebih tinggi dari BOPO bank umum sebesar 74 persen. Hal tersebut salah satunya disebabkan overate cost yang cukup tinggi. BPR padat karya. “Karyawan banyak karena harus jemput bola. Layanan kita ini kan basisnya para pengusaha mikro karena tidak mungkin meninggalkan usahanya untuk ke bank,” ujar Joko Suyanto, yang juga merupakan Direktur Utama BPR Nusamba Group. Taufik Zulfikar menilai kedekatan BPR dengan nasabahnya merupakan nilai penting yang harus dimaksimalkan. Di BPR KS misalnya saat ini untuk satu kecamatan hanya terdapat satu account officer (AO). Untuk meningkatkan produktivitas tim marketing, manajemen pun berencana memperkecil ruang lingkup marketing sehingga satu kelurahan bisa ditangani satu orang AO. “Harapannya marketing jadi lebih fokus dan mengenal nasabahnya lebih dekat lagi,” ungkap Taufik Zulfikar. Peluang BPR untuk memperluas bisnis masih terbuka
118 |
inovasi
Resi Fahma Gustiningsih
lebar karena masih banyak sektor UMKM yang belum tergarap dengan baik, seperti pertanian dan perikanan. Total penyaluran kredit BPR ke sektor pertanian hanya 7,2 persen sedangkan sektor perikanan hanya 0,2 persen dari total penyaluran kredit BPR sebesar Rp49,8 triliun per Desember 2012. Taufik Zulfikar mengatakan, waktu panen petani dan hasil tangkapan nelayan yang tidak menentu jadi pertimbangan dasar yang membuat BPR kurang berani masuk di sektor tersebut. “Mungkin bukan BPR saja, bank umum pun mungkin kesulitan dalam hal ini karena periode pembayaran kredit bank belum bisa sesuai dengan periode panen petani,” ujar Taufik Zulfikar. Penyaluran kredit BPR masih terfokus pada sektor perdagangan. Prospek BPR sebenarnya terang. Masalahnya adalah: sudikah mereka memerangi diri sendiri untuk menghilangkan pelbagai perangai jeleknya selama ini? Bila sudi, fajar harapan siap menjelang di hadapan mereka.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 119
Berstrategi di tengah Pesaingan
Oleh Resi Fahma Gustiningsih
M
obil mengular sedangkan motor meliuk-liuk. Suara klakson tak berkesudahan dari kendaraan yang lalulalang memekakkan telinga di siang terik itu. Plangplang yang menggarisbawahi identitas toko menghampar. Toko baju, toko mas, hingga swalayan berlomba menarik mata para pelintas dengan memampangkan rupa-rupa spanduk. Begitulah suasana di sepanjang Jalan Kopo Sayati, Kabupaten Bandung, di jam sibuk tersebut. Daerah ini memang kawasan perdagangan ramai di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tak hanya warna-warna media promosi yang menyemarakkan suasana di sana. Juga sebuah tulisan di plang besi yang mulai pudar. Nama Bina Sono Artha, salah satu BPR, tertera di sana. Penampakannya tampak begitu kontras dibanding plang besar bank umum yang masih di blok yang sama. BPR Bina Sono Artha sungguh dikepung kios pakaian. Cahaya yang tak terang benderang membuat suasana di dalam BPR ini kian sendu. Di lantai 1, terdapat meja kecil tempat satpam dan meja lobi tempat teller melayani nasabah. Beberapa bangku saja ada di sana. Komputer bertabung besar yang berada di belakang meja membuat tempat berlebar sekitar empat meter terasa sesak.
120 |
inovasi
Meskipun berpenampilan bersahaja BPR Bina Sono Artha tetap saja menyiratkan aktualitas. Lihatlah: informasi suku bunga pinjaman dan simpanan tertera di salah satu dindingnya. Di bagian bawah papan suku bunga terdapat deretan kartu absensi para pegawai. Hanya ada sekitar 14 kartu di sana meski puluhan tempat kartu tersedia. Berlokasi di pasar, dengan sendirinya bank ini dekat dengan target utama mereka yaitu pelaku usaha mikro. Ternyata itu dahulu; sekarang lain ceritanya. “Persaingan makin ketat. Target kita bukan pengusaha mikro lagi,” ujar Asep, staf marketing BPR Bina Sono Artha. Ya, persaingan yang makin berat sudah tak terelakkan lagi. Di sepanjang jalan Kopo-Soreang saja kini sudah ada 93 BPR. Bank umum sendiri tak kurang dari 10. Di tengah suasana yang kian menghimpit, BPR Bina Sono Artha pun mengubah strategi. Sejak 2008 mereka mencari segmen pasar lain yang lebih spesifik, yaitu industri kesehatan. Bank ini memberikan kredit kepada orang yang berbisnis atau yang bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan: rumah sakit, klinik, dan apotek. “Kalau usaha bidang kesehatan kan bagus. Apotek contohnya. kemungkinan tutupnya kecil sekali karena orang banyak yang butuh,” ujar Asep, yang telah 19 tahun bekerja di BPR. Strategi itu terbukti jitu. BPR ini rata-rata menyalurkan kredit Rp1 miliar per bulan dengan kredit macet 0 persen. BPR memang harus melancarkan 1001 macam jurus agar survive. Mencari ceruk yang aman, itu salah satu. Jurus lainnya adalah menyuguhkan pelayanan yang lebih baik kepada nasabahnya, terutama dalam proses pencairan kredit. Kini tak sedikit BPR yang mampu menggelontorkan kredit hanya dalam beberapa jam. Syaratnya, asal ada jaminan seperti BPKB
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 121
sepeda motor atau sertifikat tanah. Fleksibilitas itulah yang menjadi kelebihan mereka. Namun bila tak dikelola dengan baik ini juga sekaligus menjadi pengundang malaikat maut bernama kredit macet. Nasabah tentu suka proses yang tak berlama-lama. Widya misalnya. Perempuan yang tinggal di Kiara Condong ini mengatakan terbantu betul oleh proses kredit yang cepat. Hanya dalam beberapa hari, uang Rp2 juta yang ia perlukan bisa ia bawa pulang. Dengan menggunakan BPKB sepeda motor, ia mendapat pinjaman bercicilan Rp245 ribu per bulan. Sebelumnya, Widya sudah mencoba mencari pinjaman ke bank umum. Persyaratan ternyata rumit dan proses lama di sana. Ia pun berpaling ke BPR KS. “Di sini kurang dari satu minggu, uang sudah turun. Saya sudah enam bulan nyicil. Sementara di bank lain pinjaman yang saya ajukan belum turun juga.” Fleksibilitas dalam pelayanan kini menjadi modal besar BPR; sesuatu yang tak dimiliki bank berskala lebih besar. Meskipun suku bunga kreditnya lebih besar dari bank umum, masyarakat ada saja yang datang ke BPR. Kemudahan dan kecepatan proses, itulah yang mereka kehendaki. Umumnya, yang datang ke BPR adalah para pedagang kecil. Mereka ini sungkan datang ke bank umum sebab suasana di sana lazimnya sangat formil. Ini peluang bagi BPR sebab mereka bisa melayani dengan gaya yang serba luwes dan personal. “Kalau ada yang masuk, duduk bersila di bangku ya kita jangan tegur. Pokoknya buat dia senyaman mungkin. Yang penting tetap tertib,” ujar Direktur Bisnis Karyajatnika Sadaya (BPR KS), Taufik Zulfikar. Berbeda dengan BPR lain yang masih melakukan proses collecting dan pemrosesan kredit di lapangan, BPR KS sudah
122 |
inovasi
Resi Fahma Gustiningsih
melakukan segala kegiatan perbankan di kantor mereka. Proses penandatangan kredit, penyetoran cicilan kredit, dan uang tabungan dilakukan langsung oleh nasabah di bank. Sebelumnya, pendekatan yang baik dilakukan oleh tim marketing di lapangan. “Di Indramayu itu, ada masyarakat suku yang datang ke BPR kita tanpa baju, hanya pakai celana. Marketing kita bisa meyakinkan mereka. Padahal nasabah kan banyak yang sungkan datang ke bank,” ujar Taufik Zulfikar. Penggunaan bahasa oleh para staf yang melayani menjadi modal penting bagi BPR. Belum tentu orang-orang kecil fasih dan nyaman berbahasa Indonesia. Mereka biasanya lebih senang berbahasa daerah. Karena itu merekrut putra daerah yang lancar menggunakan bahasa ibu menjadi penting bagi BPR. Ujung tombak BPR memiliki kelebihan dalam pelayanan sebab lebih dekat dengan nasabahnya. “Suku bunga itu bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan orang pergi ke bank,” ujar Ketua Persatuan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) yang juga bos PT Sentra Modal Harmoni, Joko Suyanto. Dalam praktiknya, masyarakat menjadi nasabah atau pun debitur salah satu bank bukan semata dikarenakan suku bunga. Pelayanan yang personal juga penentu. Nasabah, misalnya, suka kalau bisa tak perlu repot-repot datang ke bank hanya untuk menabung atau tanda tangan permohonan kredit. Bagi Joko Suyanto, pelayanan yang baik merupakan ujung tombak bisnis BPR yang harus terus diasah. PT Sentra Modal Harmoni—memiliki 21 BPR dan 4 BPR syariah—pun menjalankan aneka program untuk meningkatkan pelayanan. Mereka rutin meningkatkan kompetensi karyawannya.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 123
Selain itu, untuk memacu produktivitas, setiap tahun Sentra Modal Harmoni yang membawahi BPR Nusamba Group, BPR dan BPRS Mitra Harmoni Group memberikan award bagi BPR yang berkinerja baik. “Itu membuat mereka bersaing dengan sehat, dengan tetap mengacu pada akses transparansi dan akuntabilitas,” ujar pemimpin grup BPR yang telah membina lebih dari 500 ribu nasabah dan memiliki 195 outlet BPR di Jawa Bali dan Mataram. Group BPR yang memiliki total aset lebih dari Rp1 triliun ini juga berupaya menekan NPL dibawah 2 persen. Inovasi produk perbankan merupakan faktor lain yang menjadi penentu nasib setiap BPR. Dalam pertarungan yang semakin ketat—dengan kompetitor yang bukan hanya sesama BPR tetapi juga bank umum, BPR mau tidak mau harus membuka mata, umpamanya, terhadap perkembangan teknologi perbankan. Ya, BPR memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Selain berbenah diri agar membenahi good corporate governance dan meningkatkan efisiensi, mereka juga harus membersihkan cap ‘bank yang kuno’ dari tubuhnya.
124 |
inovasi
Karyajatnika Sadaya (BPR KS) yang berjaya
Oleh Resi Fahma Gustiningsih
A
pakah BPR harus gurem dan loyo? Tidak. Karyajatnika Sadaya (BPR KS), contohnya. Beraset Rp2,9 triliun, mereka yang terbesar di Jawa Barat dan perigkat kedua di Indonesia. Korporasi ini dengan rasa percaya diri penuh sedang mengembangkan diri dengan berinvestasi di bidang teknologi perbankan. Buahnya, mereka telah memiliki berbagai fitur layanan perbankan layaknya bank umum. Sebut saja, mobile banking, ATM, atau internet banking. Mereka juga mempunyai payment point, yaitu Akses Plus yang telah membina 38 ribu merchant. Dengan sarana ini korporasi dapat memperluas pelayannya ke masyarakat umum; jadi tak hanya ke nasabah sendiri. Berbagai transaksi dapat dilakukan lewat Akses Plus, seperti membayar listrik, membeli pulsa, membayar langganan tv kabel, atau membeli tiket kereta api. Baru-baru ini BPR KS menjalin kerjasama dengan Palyja untuk urusan pembayaran air minum. Direktur Bisnis BPR KS, Taufik Zulfikar menyebut, sebenarnya masih banyak peluang yang terbuka terkait payment point. Yang ia bayangkan BPR KS bisa seperti kantor pos yang kini sudah ekspansif, jauh melampaui bisnis penjualan dan pengiriman benda-benda pos. BPR KS misalnya nanti bisa melayani pembelian tiket pesawat dan bioskop.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 125
Direktur BPR KS Christine Widhythia mengatakan, pengembangan pelayanan berbasis teknologi ini bertujuan ganda yaitu untuk menghadapi persaingan serta mengefisienkan diri. “Tujuan akhirnya adalah efisiensi dan produktifitas. Efeknya memang belum terlalu terasa sekarang. Dengan teknologi ini kami harapkan beban operasional bisa lebih berkurang,” ujar perempuan yang bergabung dengan BPR KS sejak 1998. Beban operasional atau BOPO BPR KS saat ini terbilang tinggi, 89 persen. Ini disebabkan oleh penggunaan modal usaha untuk mengembangkan teknologi. Pada 2012, misalnya, BPR KS mengeluarkan Rp4,1 miliar untuk teknologi. Seperti bank-bank umum, BPR KS juga terbilang hatihati dalam menyalurkan kredit dan menjaga likuiditas keuangannya. Loan to deposit ratio (LDR) mereka hanya 60,62 persen dengan total penyaluran kredit per Desember 2012 total Rp1,7 triliun. “LDR-nya memang masih rendah. Kita ingin penyaluran kredit bisa tumbuh 30 persen agar LDR bisa terjaga di kisaran 70–80 persen,” lanjut Christine Widhythia. Selain meningkatkan penyaluran kredit, BPR KS juga berupaya mendongkrak sumber dana murah untuk menekan cost of fund. Total tabungan di BPR KS hingga tutup tahun lalu hanya Rp369 miliar, jauh lebih kecil dibanding deposito yang mencapai Rp2,2 triliun. Dalam menghimpun dana, BPR KS tidak menerima lingkage dari bank umum. Alasannya? LDR mereka sendiri masih cukup rendah. Manajemen juga sedang meningkatkan tabungan nasabah. Untuk menarik minat nasabah BPR KS membuat program hujan rejeki, yaitu undian tabungan tiap enam bulan dengan hadian utama 1 unit mobil. Tak seperti umumnya BPR di Indonesia yang loyo,
126 |
inovasi
Resi Fahma Gustiningsih
Karyajatnika Sadaya sedang bergairah betul mengurusi diri. Dengan segala kelebihannya, wajar saja bila perusahaan ini menjadi incaran sejumlah bank umum untuk dipersunting.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 127
Rika Novayanti Lahir di Jakarta, 11 November 1987. Bergabung sebagai reporter di Harian Bisnis Indonesia mulai 2010 hingga sekarang. Lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada ini mengikuti Banking Journalist Academy karena ingin mendalami bidang perbankan.
128 |
inovasi
1 persen untuk Perikanan
Oleh Rika Novayanti
G
ubernur Bank Indonesia Darmin Nasution berulang kali menegaskan fungsi bank sebagai lembaga intermediasi. Bahkan dalam masa jabatannya ditetapkan pula aturan rasio penyaluran kredit terhadap dana pihak ketiga sebesar minimal 78 persen. Jika tak terpenuhi, bank harus menambah setoran giro wajib minimum sebesar 0,1 dari dana pihak ketiga rupiah untuk setiap 1persen kekurangan rasio. Aturan tersebut cukup efektif untuk meningkatkan penyaluran pembiayaan. Hingga akhir 2012 keseluruhan bank di Indonesia berhasil menghimpun dana pihak ketiga (DPK) Rp3,22 quadriliun, dan menyalurkan pinjaman Rp2,72 quadriliun. Artinya rasio penyaluran kredit terhadap dana pihak ketiga atau yang dikenal dengan istilah Loan to Deposit Ratio (LDR) mencapai hingga 85 persen, lebih tinggi dari rasio yang sama pada 2011 sebesar 79 persen dan 75,5 persen pada 2010. Persoalannya, kepada siapa likuiditas mengalir? Agaknya sebagian besar tidak kepada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), apalagi UMKM sektor perikanan. Dalam kurun waktu yang sama, baki debet (outstanding) pembiayaan kepada sektor UMKM mencapai Rp552,22 triliun, BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 129
hanya seperempat dari total kredit yang disalurkan. Itu pun sudah menghitung dana yang digulirkan melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Jumlah pembiayaan jauh menciut jika dikerucutkan lagi kepada pembiayaan di sektor UMKM perikanan yang bahkan tidak mencapai 1% dari total UMKM, yaitu sebesar Rp3 triliun termasuk KUR per tutup buku 31 Desember 2012. Keadaan tersebut bukan tidak dipahami oleh para pejabat di masing-masing sektor. Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo tak sekali-dua menyindir industri perbankan yang disebut begitu pelit menyalurkan dana. Cicip meradang lantaran dari total 18 sektor ekonomi unggulan KUR, penyaluran kepada sektor perikanan bahkan tak sampai 1%. Hingga Januari 2013 baki debet penyaluran KUR kepada sektor perikanan baru mencapai Rp363.8 miliar dengan total debitur 6.695. Adapun sejak program KUR dimulai pada 2007 total kredit yang telah disalurkan mencapai Rp702,91 miliar. Padahal hingga Januari 2013 total penyaluran KUR telah mencapai Rp100,26 triliun kepada 7,85 juta penerima. Sementara baki debet KUR dalam pembukuan Januari 2013 adalah Rp40,66 triliun. Jauh sebelum Cicip menduduki kursi tertinggi di Kementerian bentukan Gus Dur itu, bahkan juga sebelum Fadel Muhammad, Freddy Numberi sudah mulai membuka jalan melalui kesepakatan-kesepakatan dengan Bank Indonesia. Maka sejak 2006 terbitlah berbagai macam model pembiayaan (lending model) bagi usaha-usaha perikanan, di antaranya pembiayaan bagi budidaya lele, rumput laut, dan kerapu dalam keramba. Berbagai model dibangun, tata cara penghitungan risiko
130 |
inovasi
Rika Novayanti
terkini dikembangkan, pola dan rumusan dihitung, tetapi tetap pada agunan dan jaminan bank beriman. Sebab itu normalnya bank akan mensyaratkan kepemilikan sertifikat tanah dan rumah sebagai jaminan pinjaman. Direktur Direktorat Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan UMKM Bank Indonesia (BI) Zainal Abidin mengungkapkan kepemilikan tanah dan rumah merupakan pilihan terakhir, kalau tak mau disebut satu-satunya, bagi bank dalam melakukan penagihan. Ketiadaan kepemilikan rumah akan menyulitkan bank untuk memastikan keberlangsungan cicilan karena tidak mengenal masing-masing peminjam secara personal. Secara tidak langsung, dengan kata lain, yang tak memiliki harta tak bergerak sebagai jaminan boleh berkecil hati dan silakan kembali pada pengepul masing-masing.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 131
Dari Kepelikan Rumah Tangga hingga Kredit Bermasalah
Oleh Rika Novayanti
“U
dang itu ada mitosnya, mbak. Ketika tanam udang, saya dan istri harus akur, ndak boleh ada macam-macam. Hubungan harus dijaga. Jadi ya kadang sewaktu-waktu udang itu ga ada padahal kita sudah tanam banyak. Tapi gilirannya ada, ya ada aja, itu giliran panen banyak, padahal tanam juga nggak seberapa.” Bisa jadi mitos belaka, tetapi setidaknya itulah yang dipercaya Samsudin (42 tahun), pemilik 1 hektare tambak udang di Desa Singaraja, Indramayu. Petambak tradisional kebanyakan mengembangkan usaha secara otodidak berdasar pengalaman leluhur, atau memperoleh pengalaman dari keluarga yang telah turun temurun menggeluti bidang yang sama. Padahal bisa saja penyebab kegagalan panen adalah populasi udang yang terlalu padat, alih alih akibat kepelikan hubungan rumah tangga seperti yang dituduhkan Samsudin. Salah satu persoalan dalam pertambakan misalnya eksploitasi lahan besar-besaran tanpa memperhatikan kelestarian tanahnya. Sebut saja wilayah Pinrang, dalam kurun 10 tahun sejak 1989 hingga 1999 tercatat 6.000 lahan yang
132 |
inovasi
dikonversi menjadi tambak udang. Belum lagi kebanyakan lahan dipaksa terus berproduksi tanpa diperhatikan kesuburannya. Kurangnya pengetahuan dan pengelolaan tanpa teknik memadai biasanya berimbas pada penurunan kualitas air, padat penebaran benih yang tidak sesuai, kurangnya kualitas pakan, serta ketiadaan pencegahan penyakit. Muaranya pertumbuhan udang menjadi lambat, udang keropos, kematian satu per satu, atau paling parah mati total sebelum umur panen. Itu saja belum menghitung persoalan kuasa alam seperti perubahan iklim, dan curah hujan yang terlalu tinggi. Samsudin boleh melihatnya sebagai mitos, tetapi kerugian bukan mitos belaka. Dia bercerita, bertahun lalu Singaraja adalah desa kaya dengan ribuan hektare tambak udang. Namun kegagalan panen melanda wilayah tersebut, menyebabkan kebangkrutan, tidak hanya pada petambak tradisional, tetapi juga petambak modern. Itu adalah masa di mana dia memutuskan menjadi supir taksi putih tarif bawah di Ibukota. Petambak tradisional bukan satu-satunya. Hal yang sama juga terjadi pada nelayan. Kebanyakan nelayan tradisional memiliki kapal dengan kapasitas di bawah 10 gross ton (GT), atau bahkan di bawah 5 GT, tanpa pengetahuan formal mengenai teknik, ekonomi, apalagi oceanografi. Dengan kapal kecil, daya tampung dan daya jangkaupun menjadi sempit. Kapal harus sering-sering kembali ke pelabuhan untuk menyetor ikan lantaran kapalnya kepenuhan. Hal ini tentu menyebabkan biaya produksi menjadi tinggi terutama dari aspek bahan bakar. Belum lagi energi dan waktu yang terbuang. Sementara dalam kesempatan lain nelayan tak bisa
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 133
mendapatkan banyak ikan, hanya bisa membawa ikan-ikan kecil yang hampir tak layak tangkap sebagai indikasi over fishing akibat daya jelajah nelayan yang hanya bisa menangkap ikan di wilayah itu-itu saja. Belum lagi persoalan perubahan iklim yang memaksa nelayan berkawan badai tanpa teknologi mumpuni. Maklum saja, teknologi navigasi nelayan tradisional kita mungkin tak jauh berbeda dengan teknologi Pinisi saat Kerajaan Luwu masih berdiri. Seperti yang terjadi pada awal tahun ini, selalu ada masa nelayan terpaksa dirumahkan, dan harus bekerja serabutan. Rentang masa melipat layar bisa saja beberapa hari, minggu, atau bahkan bulan, tergantung kemurahan alam. Dengan segala macam risiko tersebut, jangankan bank, pun pelaku usaha tidak berani mengajukan aplikasi pinjaman. Mereka khawatir panen gagal, padahal utang terlanjur bertumpuk. Sebab itu Samsudin lebih memilih mengembangkan tambak udang seadanya dengan dana sendiri. Direktur Direktorat Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan UMKM Bank Indonesia (BI) Zainal Abidin berkisah, 20 tahun lalu bank banyak menyalurkan kredit kepada nelayan melalui skema Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP). Sayangnya banyak pinjaman bermuara pada kredit macet. Dia menduga kredit macet terjadi lantaran nelayan dan pembudidaya ikan hidup berpindah-pindah. Hal tersebut menyulitkan bank saat melakukan penagihan. Selain itu edukasi yang minim juga menyebabkan kurangnya kesadaran pengembalian kreditoleh debitur. Terhitung sejak saat itu bank sangat mereferensikan nasabah untuk memiliki tempat tinggal permanen dan sertifikat yang dapat dijadikan agunan.
134 |
inovasi
Rika Novayanti
Bank tentu mencatat kesulitan penagihan, serta ketidaksinambungan panen dan hasil tangkapan sebagai risiko besar terhadap keberlangsungan pengembalian dana pinjaman. Sebab itu pada titik ini bank berharap pada jaminan. Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Sofyan Basir mengatakan jaminan yang dimaksud tidak harus berupa sertifikat yang dikeluarkan oleh notaris. Nelayan maupun pembudidaya bisa saja mengagunkan girig, ketok, ataupun surat keterangan tanah hibah dari Sultan sebagai agunan terhadap pinjaman. Namun, untuk pinjaman di bawah Rp20 juta asalkan calon debitur memiliki usaha, dan dapat menunjukan usahanya tersebut. Nantinya aset usaha itulah yang akan digunakan sebagai jaminan untuk dapat mencairkan kredit. Persoalannya, tidak semua calon debitur mau terbuka pada kegiatan usaha yang dijalani. “Kadang kan debitur ini gak mau ceritakan apa bisnisnya, pokoknya taunya terima uang aja. Dia pikir mau apa bank mengecek segala. Padahal kami harus sangat prudence dalam menyalurkan pembiayaan karena ini dana nasabah juga yang disalurkan. Ini yang tidak dipahami mereka. Mereka maunya uang langsung diterima, kalau tidak mereka akan marah ke teller,” terang Sofyan. Belum selesai sampai di situ. Ketika pinjaman sudah diberikan, debitur juga sering kali mangkir dalam pengembalian dana. Dia mengungkapkan, BRI kerap mengalami hal tersebut. Biasanya debitur berkelompok dengan para debitur lain, dan menegaskan kepada bank untuk tidak mengembalikan pinjaman karena toh uang yang mereka pakai adalah uang negara. Hal tersebut juga dikemukakan oleh perwakilan Dinas Perikanan Provinsi Riau dan Kepulauan Riau dalam Rapat
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 135
Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan. Nelayan dan pembudidaya yang mengambil pinjaman secara berkelompok sering kali kompak, bersatu padu untuk tidak membayar kredit kepada bank. Keluhan Sofyan bukan tidak berdasar. Imbasnya adalah rasio kredit bermasalah. Lihat saja total kredit bermasalah (non-performing loan/ NPL) sektor UMKM perikanan. Hingga Desember 2012, Rp168,8 miliar dari Rp3 triliun pembiayaan UMKM ke sektor perikanan tercatat sebagai kredit bermasalah. Jika dirasiokan, nilai tersebut mencapai 5,62%. Padahal batas toleransi bank sentral terhadap rasio kredit bermasalah hanya mencapai 5%. Meski demikian, nilai kredit bermasalah tersebut relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Sejak Mei hingga Juli tahun lalu rasio NPL sektor ini mencapai kisaran 6%, bahkan meningkat hingga kisaran 8% pada periode Agustus 2012—November 2012. Sofyan menegaskan, lembaga perbankan tidak memiliki keberanian menghadapi masyarakat kecil di pedesaan, sehingga sering kali kalah dalam kasus-kasus demikian. Menurutnya kelompok masyarakat tersebut belum teredukasi dengan baik mengenai industri perbankan, ataupun hukum. “Kalau di kota, kami berani untuk menjawab dan menghadapi, karena kita sama-sama paham barangnya, ngerti hukumnya, kalau di desa kami tidak berani,” katanya. Padahal bukan saja bank yang tak berani berhadapan dengan masyarakat yang disebut tak paham hukum ini. Rakyat kecil boleh jadi lebih takut lagi, karena mereka tahu mereka tak paham hukum, dan tak paham segala macam syarat administrasi dan birokrasi di perbankan.
136 |
inovasi
Pilih Impor atau Tambah Modal?
Oleh Rika Novayanti
P
roduksi perikanan pada 2012 mencapai 15,26 juta ton, artinya tingkat realisasi mencapai 102,7 persen dari target yang ditetapkan pada awal tahun lalu sebesar 14,86 juta ton. Adapun volume produksi tersebut tumbuh 23,16 persen dibandingkan dengan produksi sepanjang 2011 sebesar 12,39 juta ton. Kenaikan produksi perikanan turut mendukung pertumbuhan nilai ekspor perikanan di tengah defisit neraca perdagangan US$1,7 miliar pada 2012. Sepanjang tahun lalu nilai ekspor perikanan mencapai US$3,9 miliar, tumbuh 10,79% dari nilai ekspor 2011 US$3,52 miliar. Adapun komoditas udang menyumbang 38% atau US$1,48 miliar dari total nilai ekspor perikanan. Sedangkan tahun ini ekspor udang akan ditingkatkan hingga 40% atau US$ 1,56 miliar. Dengan nilai tersebut, Indonesia mengukuhkan diri sebagai eksportir udang terbesar kedua di dunia, setelah China pada posisi pertama. Selain udang, Indonesia juga menempati posisi kedua di dunia sebagai eksportir rumput laut terbesar dengan nilai ekspor Rp134,85 miliar dan total volume produksi 5,1 juta ton basah pada 2012. Tak hanya itu, Indonesia juga disebut sebagai produsen dengan kualitas mutiara laut selatan (south sea pearl) BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 137
terbaik, terbesar, dan terindah di dunia yang memenuhi 43 persen dari kebutuhan global. Dengan berbagai potensi tersebut, sektor perikanan membutuhkan tambahan modal kerja lebih dari Rp30 triliun hingga 2015 untuk memenuhi peningkatan konsumsi ikan serta produk perikanan lainnya yang diperkirakan mencapai 7 kg per orang per tahun. Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Thomas Darmawan mengungkapkan apabila perbankan tidak membantu memenuhi kebutuhan dana tersebut, jelas akan terjadi ketidakseimbangan permintaan dan pasokan, sehingga dikhawatirkan dapat meningkatkan impor. Menurutnya industri pengolahan perikanan saat ini lebih mudah mengakses kredit perbankan dibandingkan sektor hulu yang baru memasuki tahap awal untuk mendapat kepercayaan industri. Demi melihat potensi tersebut, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) mulai melakukan kerja sama dengan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mencari inovasi pembiayaan perikanan budidaya. Setelah beberapa kali mengadakan rapat dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan serta melakukan kunjungan lapangan, Direktur Usaha Mikro Kecil dan Menengah BRI Djarot Kusumayakti menemukan bahwa pembiayaan harus diberikan sesuai dengan sifat alami usaha yang dijalankan oleh masing-masing calon debitur. Sebab itu perseroan mencobakan dua jenis pinjaman, secara langsung kepada debitur, dan berkelompok melalui program revitalisasi tambak yang diinisiasi kementerian.
138 |
inovasi
Rika Novayanti
Pada level teknis, pembicaraan dimulai sejak Januari 2013 antara Kepala Divisi Kredit Program BRI Teten Zakaria dengan Shrimp Club Indonesia (SCI) yang diwakili Mimin Hermawan. Ketua SCI wilayah Jawa Barat Mimin Hermawan mengungkapkan sejak Februari 2013 anggota asosiasi mulai mendapatkan pencairan pinjaman dari BRI. Pencairan tak didapat begitu saja, terlebih dahulu mereka mengadakan rapat dan presentasi mengenai seluk-beluk bisnis tambak udang kepada bank yang awalnya dibentuk dari kas masjid untuk membantu nelayan menghindari tengkulak tersebut. Padahal, sudah 13 tahun dan lebih dari 10 kali Mimin tertolak saat mengajukan permohonan kredit kepada perbankan. Menurutnya ini adalah pertama kalinya bank kembali melirik sektor pertambakan secara masif, setelah melengos selama puluhan tahun. “Dalam tahap pertama ini, sudah enam orang yang mendapatkan pinjaman, masing-masing Rp500 juta. Saya sendiri dapat Rp2 miliar, totalnya jadi Rp5 miliar,” jelasnya. Berkat pendekatan tersebut masing-masing petambak dapat memperoleh persetujuan pinjaman dalam waktu 3—4 hari sejak pengajuan, dengan bunga 10—12 persen dalam jangka waktu pinjaman hingga 2 tahun. Meski demikian jumlah penerima pinjaman belum signifikan. Ketujuh penerima pinjaman hanyalah 4 persen dari total 148 anggota kelompok petambak Mina Tanjung Pusaka 2. Sebab itu sekarang kelompok berikutnya juga mulai mengajukan aplikasi pembiayaan ke bank yang sama. Dede Efendi alias Bodong (35) mengaku belum berkesempatan memperoleh kredit pada tahap pertama tersebut. Sebab itu pekan lalu dia mengajukan lamaran untuk
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 139
menerima kredit. Dalam formulir tersebut dia meminta dana sebesar Rp2 miliar. Dari pengajuan dana Rp2 miliar tersebut, pihak bank menyetujui pencairan dana sebesar Rp500 juta. Dede mengaku tidak terkejut. Menurutnya saat ini adalah kesempatan emas para petambak karena bank mulai berlomba-lomba memberikan pinjaman. “Kalau dapat sih pasti dapat, cuma kan sekarang nilainya berapa. Saya mengajukan Rp2 miliar, tetapi mereka baru menawarkan Rp500 juta,” katanya. Hal yang sama disampaikan Sharif Cicip Sutardjo, Menteri Kelautan dan Perikanan, yang begitu bangga terhadap terobosan tersebut. Menurutnya saat ini industri perbankan sedang berlomba mencairkan pinjaman kepada sektor pertambakan lantaran potensi Indonesia di sektor pertambakan undang bahkan bisa lebih baik dari China. Dengan iklim tropis Indonesia dapat memanen udang sebanyak tiga hingga empat kali dalam setahun, sementara China hanya bisa sekali panen. Apalagi dengan adanya tambak-tambak percontohan diharapkan tiap hektar tambak dapat menghasilkan 30—40 ton udang. Selain itu Indonesia juga diuntungkan sebagai satusatunya negara yang komoditas udangnya belum terjangkit sindrom kematian dini (early mortality syndrome/ EMS). Adapun penyakit yang telah berjangkit di RRC, Thailand, Vietnam dan Malaysia ini menyebabkan pasokan udang dunia berkurang signifikan karena masifnya kasus kematian masal. “Pasar udang dunia saat ini sedang kering, ini kesempatan kita untuk memenuhi kebutuhan dunia. Komoditas udang di hampir seluruh negara dunia terkena penyakit misterius yang belum ada obatnya. Berkat ketelitian karantina kita
140 |
inovasi
Rika Novayanti
tidak terjangkit sampai sekarang, maka ini harus menjadi kesempatan,” terangnya. Sebelum menyalurkan pembiayaan langsung kepada petambak, BRI bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menggarap 19.000 hektare tambak binaan. Slamet mengatakan saat ini pemerintah menyediakan 20— 30 persen dari total kebutuhan dana yang diperlukan dalam pelaksanaan revitalisasi. Sementara sisa porsi kebutuhan dana sebesar 70—80 persen ditalangi oleh mitra perbankan, selain BRI juga PT Tabungan Negara Tbk (BTN). Dia memperkirakan hingga Februari 2013 BRI telah mencairkan Rp2 miliar dari plafon Rp40--Rp50 miliar kepada petambak di Subang melalui program Kredit Usaha rakyat (KUR) yang termasuk dalam program tersebut. Selain itu BTN diperkirakan telah menyalurkan Rp4 miliar dari plafon Rp40 miliar di wilayah yang sama, dengan skema yang sama. Menurutnya saat ini pihak Kementerian juga masih melakukan pendataan guna menetapkan penerima KUR. Dia optimistis untuk masa yang akan datang kementerian memang dapat mendorong pihak perbankan untuk menjadi motor pendanaan. “Tapi, yang jelas, dana pinjaman ini harus digunakan untuk produktivitas tambak, jangan sampai dipakai kawin lagi,” pungkas Cicip.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 141
Antara Bank dan Pak Haji
Oleh Rika Novayanti
T
iang-tiang sudah terpasang mengangkangi jalanan becek terlapis karpet yang kini sewarna tanah. Tenda kuning di antara tiang menaungi panggung berisi kursikursi empuk, serta televisi layar datar yang harganya lebih mahal dari pada hasil panen sebagian petambak. Nantinya Pak Menteri dari partai beringin akan duduk di sana, bersama pejabat yang tidak kita tahu namanya. Semakin menjauhi panggung, karpet semakin cokelat tanah dan kursi semakin tidak empuk. Sofa berkayu ukir berada tepat di hadapan panggung, di belakangnya, ada kursi berlapis bantalan, lalu kursi plastik berlapis kain, hingga akhirnya menjadi kursi plastik biasa di ujung luar tenda. Jenis kursi mungkin menandakan tingkat kepentingan tamu undangan atas perhelatan tersebut. Barisan terdepan diisi pejabat daerah, dan pejabat kementerian. Baris selanjutnya adalah petambak-petambak kaya, dan orang-orang yang cukup berpengaruh di wilayahnya. Selanjutnya ada rombongan pegawai kementerian atau dinas perikanan, tertebak dari seragam yang mereka kenakan. Para penyuluh berada di belakang para pegawai tersebut, lalu ditutup oleh masyarakat sekitar. Nurkholis duduk menyingkir di luar tenda, di pinggir 142 |
inovasi
jalan becek, di sisi tambak, bersama tumpukan kardus dan gulungan terpal. Angin kering pertengahan Maret melemparlempar ujung terpal, matahari yang menguapkan air tambak membuat kulit lengas, belum lagi amis menyeruak di manamana. Air mukanya lelah, tapi senyumnya sumringah. Bau amis kali ini petanda panen yang berhasil. Baru 2 hari lalu Nurkholis menarik jala berisi 4,15 kuintal udang dari tambak seluas 6.000 meter persegi. Kini ia mengantongi Rp9 juta dari modal 50.000 benur (benih udang) cuma-cuma dari koperasi dan sekitar Rp4 juta modal pakan selama 3 bulan. Uang itu tak akan lama dia simpan karena akan segera menjadi modal untuk membeli benih, pakan, bensin, dan obat bagi tanam berikutnya pada 16 Maret 2013. Sisanya, untuk hidup sehari-hari. Bukan Nurkholis saja yang menikmati panen. Dalam hitungan jam, Pak Haji Maftuhin, akan menikmati 18 ton udang. Untuk itulah tenda-tenda dipasang, menyambut 18 ton udang yang akan dipanen Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo. Pak Haji adalah pemiliki tambak udang yang dijadikan tambak percontohan dalam program revitalisasi tambak di sekitar Pantai Utara Jawa. Tambak di Desa Singajaya, Indramayu ini merupakan satu dari lima tambak percontohan yang tersebar di Karawang, Cirebon, Serang, dan Subang. Usai panen, tak hanya sekali Pak Menteri memuji PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) yang telah bekerja sama dalam program revitalisasi melalui penyaluran pinjaman hingga Rp5 miliar kepada petambak udang. Dari Rp5 miliar itu, tak seperak mampir ke kantor Nurkolis, Dira (35), atau Samsudin (42). Pinjaman Rp5 miliar diterima oleh tujuh petambak asal
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 143
subang yang tergabung dalam kelompok Mina Tanjung Pusaka 2, dengan minimal plafon diterima Rp500 juta. Artinya, mereka bukan petambak mikro. Berdasarkan definisi plafon Bank Indonesia, pinjaman Rp50—Rp500 juta dikelompokan dalam kredit kecil, Rp500 juta—Rp5 miliar kredit menengah, sementara kredit mikro berplafon di bawah Rp50 juta. Meski demikian dalam implementasinya pemberian plafon bisa saja beragam, PT Bank Danamon Tbk misalnya, memberi plafon pinjaman mikro Rp10 juta—Rp100 juta per nasabah. Sementara PT Bank Mandiri Tbk memberikan batasan kredit mikro Rp100 juta, tetapi bisa ditambah hingga maksimal Rp200 juta. Direktur Direktorat Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan (UMKM) Zainal Abidin mengungkapkan penyaluran kredit sektor perikanan memang lebih didominasi kredit kecil dan menengah dari pada mikro. Menurutnya bank kesulitan apabila harus meminjamkan dana dengan jumlah yang sangat kecil lantaran tingginya biaya-biaya yang harus dikeluarkan sehingga dikhawatirkan tidak menguntungkan, bahkan bisa merugikan bank. Padahal bukan hanya bank yang enggan, petambak pun enggan berurusan dengan perbankan lantaran banyaknya urusan administrasi yang harus dilalui. “Ya namanya kita belum pernah pinjam ke bank, agak riskan lah, agak susah karena kita orang awam,” begitu kata Nurkholis. Sebab itu tak sekalipun dia berusaha mengajukan pinjaman ke bank, selain terbayang proses yang berbelit, bunga juga menjadi kekhawatiran tersendiri. Bukan hanya ke bank, bahkan dia juga enggan meminjam pada tengkulak maupun kerabat. Katanya utang dalam usaha tambak bisa jadi sangat spekulatif, dia enggan terjebak hutang saat panen gagal.
144 |
inovasi
Rika Novayanti
Pinjaman tanpa bunga,tanpa riba,tapi... Sembari menghisap kretek, Dira menyambung ucapan Nurkholis. Katanya, petambak di desa Singajaya jarang sekali yang mau meminjam uang ke bank, meski jarak bank terdekat hanya 2 km. Dia sendiri lebih suka meminjam kepada kerabat, atau jika terpaksa, kepada Pak Haji Maftuhin, petambak kaya yang juga pengepul di wilayah tersebut. Pinjaman yang diberikan pengepul biasanya tidak berbentuk uang, melainkan barang kebutuhan pertambakan, seperti benur, pakan, obat, hingga bahan bakar. Berbagai pasokan tersebut bisa diambil kapan saja saat petambak membutuhkan, bahkan diantar oleh para pekerja tambak Pak Haji. Berita baiknya, Pak Haji tak meminta bunga atas harga barang yang dipinjamkan, harga pun tak dinaikan sebelumnya, semua sesuai pasaran. Petambak biasanya baru membayar ketika masa panen tiba. Bahkan, jangka waktu hutang dapat diperpanjang hingga musim panen berikutnya jika petambak tak mampu membayar lunas kali itu. Sebagai imbalan, petambak diharuskan menjual hasil panen kepada Pak Haji, sesuai dengan harga beli yang ditetapkan. Tak ada negosiasi, tak ada tawar-menawar. Harga yang ditetapkan itulah yang akan dibawa pulang petambak yang berutang. Hal ini menyebabkan 30--40 persen keuntungan dari hasil panen tersebut diserap tengkulak. Hal yang sama dialami Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) cabang Jawa Barat Mimin Hermawan. Sebelum bank mengabulkan permohonan kredit sebsar Rp2 miliar pada bulan lalu, selama 13 tahun dia berulang kali mengambil pinjaman kepada pengepul. “Kalau pinjam ke tengkulak, nanti jual udang juga harus
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 145
ke tengkulak, mereka akan potong harga udang dengan selisih Rp2.000—Rp3.000 per kg. Lebih nyaman ke bank lah, kalau ke tengkulak kan 30—40 persen untungnya ke mereka, kalau ke bank ya sekitar 15%,” terangnya. Sebab itu Dira enggan meminjam dari pengepul. Dana Rp50—Rp60 juta untuk menggarap lahan sewaaan seluas 2 hektare didapat dari pinjaman kerabat, ataupun modal sendiri. Padahal itu saja masih kurang. Idealnya lahan 2 hektare dapat menghabiskan modal lebih dari Rp100 juta, tetapi tak ada cukup modal untuk berkembang ideal. Dira mengaku pernah berpikir untuk mengambil pinjaman ke bank, tetapi urung dilakukan lantaran lahan sewa tak dapat dijadikan jaminan. Belum lagi masalah administrasi lainnya, semakin enggan dia ke bank selain untuk menyimpan uang. Lain lagi dengan Samsudin. Lahan 1 hektare yang digarapnya dimodali dana dari menjual mobil. Sekitar 5 tahun lalu Samsudin minggat ke Jakarta lantaran tambaknya gagal panen. Setelah mengoperasikan taksi putih tarif bawah selama setahun, dia berhasil melunasi mobil tersebut. Mobil itulah yang dijual dan dijadikan modal tambaknya yang diperkirakan panen sekitar April atau Mei tahun ini. Benur dalam lahan 1 hektare tersebut sebenarnya telah siap panen saat ini. Namun Samsudin ingin menunggu lebih lama lagi agar bobot udang meningkat sehingga pendapatan lebih maksimal. Saat itulah dia mendapat arahan dari Pak Haji untuk meningkatkan pakan udang agar berat udang juga bertambah. Dia mengaku terbantu atas keberadaan pengepul. Bahkan menurutnya pengepul jauh lebih banyak membantu dari pada pemerintah. Dari Pak Haji dia mendapatkan edukasi mengenai budi daya yang baik. Selain itu sosialisasi program juga lebih
146 |
inovasi
Rika Novayanti
sering diperoleh dari pengepul dari pada Dinas Perikanan. Zainal mengungkapkan pengepul merupakan bentuk sederhana dari inklusi keuangan (financial inclusion) dengan menggunakan model agensi yang kini tengah dikembangkan oleh bank sentral. Sebab itu pengepul, tengkulak, ataupun rentenir tidak akan pernah bisa benar-benar hilang. Dia menerangkan, ada dua model pembiayaan sederhana yang paling ideal untuk sektor yang belum mampu berbank (bankable) seperti tambak dan nelayan tradisional, salah satunya adalah melalui agensi seperti yang dilakukan para pengepul. Sementara model lainnya adalah melalui sistem tanggung renteng. Pembiayaan melalui pengepul mirip dengan pembiayaan rantai pasokan (supply chain) yang biasanya dikucurkan melalui kredit korporasi. Dalam pembiayaan rantai pasokan, bank membiayai industri pengolahan, lalu industri itulah yang akan membiayai rantai pasokannya. Zainal menilai cara ini lebih ideal dari pada jika bank memberikan pinjaman secara langsung, selain meningkatkan biaya, risiko kredit bermasalah juga lebih besar bagi bank karena tidak mengenali debiturnya dengan baik. Berbeda dengan pengepul yang mengenal secara personal rantai pasokannya, sehingga dapat memberikan pinjaman berdasar kepercayaan. Kelebihan lainnya dari model agensi adalah petambak dapat mengajukan pinjaman kapanpun saat membutuhkan, tanpa perlu administrasi dan birokrasi. Sementara bagi pengepul, kepastian atas keberlanjutan pasokan serta keuntungan marjin datang satu paket dengan ikatan piutang pada petambak.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 147
Kredit Modal Janji Tentu pengepul bukan satu-satunya jalan. Selain melalui rantai pasokan, tanggung renteng dapat juga diimplementasikan untuk mendapatkan pembiayaan atas usaha-usaha yang belum bankable. Meski demikian Zainal tak yakin pasti bank mana yang sudah menetapkan sistem ini kepada nelayan. Sistem tanggung renteng telah dilakukan oleh PT Bank Sahabat Sampoerna Tbk (BSS) dalam penyaluran kredit melalui program Kelompok Wanita Tanggung Renteng (Kwantren) dan PT Bank Pembangunan daerah Sumatera Utara dalam penyaluran kredit mikro produktif perempuan. Program yang menyasar debitur perempuan yang memiliki usaha mikro produktif ini menetapkan bunga sekitar 25% per tahun. Direktur Utama BSS Indra W. Supriadi mengakui bunga yang diberikan cukup tinggi karena biaya yang dibutuhkan untuk mengedukasi kelompok perempuan cukup tinggi. Terutama mengingat kelompok tersebut tidak dimintai agunan. Bank hanya berpegang janji untuk bertanggung jawab yang dilaraskan perempuan dalam kelompok Kwantren. Beban kredit adalah tanggung jawab kelompok. Dengan demikian apabila salah satu dari 16 anggota kelompok ada yang tidak mampu membayar maka anggota lain harus menalangi cicilan tersebut. Inilah inti dari janji dan sistem tanggung renteng sehingga dapat menjaga risiko kredit bermasalah yang dihadapi perseroan. Oleh sebab itu, pemilihan teman kelompok lebih sering didasarkan pada kedekatan geografis dan emosional. Selain kedua model tersebut, Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) sebenarnya menyarankan model lain, yaitu koperasi. Menurutnya bank akan lebih mudah menyalurkan pembiayaan kepada koperasi. Adapun saran
148 |
inovasi
Rika Novayanti
ini diberikan saat kelompok nelayan mengeluhkan sulitnya mendapatkan pinjaman kepada bank karena bank tidak menerima agunan kapal. Saat usulan tersebut dilontarkan kepada nelayan di sekitar Pulau Panggang dan Pulau Pramuka, Amrullah (38 tahun) tidak merasa mendapat solusi yang diharapkan. Begitu juga dengan Maulana (48 tahun). Menurutnya agar bisa mendapat pinjam dari koperasi mereka juga perlu memiliki setoran modal, padahal untuk menyetor saja mereka tidak memiliki dana. Bahkan Maulana menuduh selama ini koperasi sulit memberikan pinjaman karena dia tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan petugas koperasi. Katanya di masyarakat pesisir, kekerabatan di atas segalanya. “Ya kan pinjaman sekarang ini hanya bisa untuk yang sudah punya, jadi yang kaya tambah kaya, sedangkan yang butuh seperti kita ini gak pernah bisa dikasi. Di sini sistem [kekerabatan] yang kuat, katanya mengadu. Apalagi saat ini mereka tak memiliki rumah tinggal sendiri, hanya ada kapal, yang ditolak PT Bank Pembangunan Daerah DKI Jakarta (Bank DKI), tak bisa dijadikan agunan. Padahal Bank DKI adalah satu-satunya bank yang ada di gugusan Kepulauan Seribu. Zainal menegaskan kapal nelayan bisa saja dijadikan agunan seperti halnya sepeda motor ataupun mobil. Syaratnya kapal tersebut memiliki surat bukti kepemilikan kapal yang tengah digalakan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Meski demikian penerimaan surat tersebut berpulang kepada masing-masing bank karena pola penghitungan risiko tiap bank sangat berbeda tergantung besar-kecilnya ukuran bank tersebut, dan fokus bisnisnya.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 149
Hemat tapi Modal Tak Lancar, Modal Tak Lancar tapi Hemat Sebab itu dia menawarkan solusi lain. Nelayan bisa saja mengambil pinjaman ke bank yang bekerja sama dengan tempat pelelangan ikan (TPI) dan pelabuhan. Menurutnya saat ini PT Bank Bukopin Tbk telah bekerja sama dengan tempat pelalangan ikan dan pelabuhan. Nantinya bank akan memotong penagihan kredit melalui penjualan ikan yang dilakukan nelayan. Dengan cara ini keberlangsungan cicilan kredit lebih terjamin bagi bank. Oleh karena itu penjualan ikan dilepas pantai justru akan menyulitkan nelayan untuk memperoleh pembiayaan lantaran bank sulit mengetahui pendapatan kapal yang menjual hasil tangkapan di luar wilayah perairan. Padahal pemantauan terhadap pendapatan nasabah adalah salah satu cara bank untuk memastikan pengembalian kredit. Penjualan ikan di tengah laut memang memudahkan nelayan, tetapi hal tersebut dapat mengancam keberlangsungan upaya pembiayaan kepada nelayan. Apalagi nelayan dengan kapal berukuran kecil sering kali tidak memiliki harta tetap di darat, sebab itu pelabuhan merupakan salah satu upaya terakhir dari bank. Sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan menerbitkan peraturan No. 30/MEN/2012 tentang usaha perikanan tangkap di wilayah pengeloan perikanan Republik Indonesia. Dalam peraturan tersebut diungkapkan kapal dapat mendaratkan ikan di luar pelabuhan. Dalam aturan tersebut kapal dapat menjual ikannya di tengah laut kepada kapal pengumpul tanpa harus membawa langsung ke pelabuhan. Langkah tersebut sebenarnya dilakukan agar nelayan UMKM lebih efisien menggunakan
150 |
inovasi
Rika Novayanti
bahan bakar lantaran tidak perlu terlalu sering kembali ke pelabuhan untuk mengantarkan ikan. Selain efisiensi bahan bakar, penjualan ikan di tengah laut juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas ikan dan mengurangi susut hasil penangkapan ikan. Dengan demikian pendapatan nelayan diharapkan dapat meningkat, dan pasokan bahan baku industri pengolahan ikan pun terjaga. Nenek moyang kita memang pelaut, bukan bankir. Mahir melaut, tapi kurang paham hitungan utang dan bunga pinjaman, berani menantang badai tapi ciut pada lantai mengilap dan teller cantik bergincu merah. Jadi, mau kembali pada Pak Haji, pinjam ke bank yang bekerja sama dengan TPI, atau coba-coba membentuk koperasi? Baki Debet, Ekspansi Kredit, dan Kredit Bermasalah (dalam miliar rupiah kecuali persentase)
Des
Nov
335,4 3.001,6 168.8 5.62%
415,5 3.081,6 252.3 8.19%
Okt
309,2 2.975,4 248.0 8.33%
Ags
Sept
284,8 2.950,9 246.1
Juli
8.34%
195,9 2.862,1 239.6 8.37%
326,7 2.992,9 190.0 6.35%
Juni
302,9 2.969,0 184.9 6.23%
Apr
Mei
147,8 2.813,9 177.0
Mar
6.29%
-30,9 2.635,2
-16,3 2.649,8
-26,6 2.639,5
172.1
Feb
Jan
2011
6.49%
Kredit bermasalah
-65,6 2.600,5
2.160,0 94.2
165.7
Nonperforming loan
Net ekspansi
506,2 2.666,1
Outstanding
6.21%
Baki debet
4.36%
2010
Sektor Perikanan/ Fishery
Net expansion
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 151
Desember 2012
152 |
inovasi
Oktober
6.595
7.478.266
7.305.323
Perikanan
7.854.255
6.695
Outstanding
7.684.591
6.644
40.668.061
38.944.556 39.599.221 40.686.456
Perikanan Total
6.571
363.806
379.766
Total
399.769
Plafon
409.908
708.235
Januari 2013 Perikanan
90.416.677 93.220.737 97.651.082 100.263.025
730.294
552,226.1
541,867.4
522,646.6
512,041.8
513,192.6
529,979.8
530,416.8
506,890.6
491,717.4
481,175.9
470,799.7
443,514.3
479,886.5
72,339.5
61,980.8
42,760.0
32,155.3
33,306.1
50,093.3
50,530.3
27,004.1
11,830.9
1,289.4
-9,086.8
-36,372.2
85,587.6
Outstanding
Net expansion
3.40% 18,766.7
3.72% 20,159.2
3.82% 19,983.9
3.85% 19,713.0
4.11% 21,103.2
3.89% 20,617.4
3.78% 20,048.0
3.98% 20,174.3
3.92% 18,860.1
3.63% 17,443.3
Net Ekspansi
712.917
November
739.296
Kredit bermasalah 394,298.9
Baki debet
4.18% 16,473.1
Des
Nov
Okt
Sept
Ags
Juli
Juni
Mei
Apr
Mar
Feb
Jan
2011
2010
Total UMKM
NPL-gross
Sumber: Bank Indonesia (diolah)
Realisasi KUR Sektor Perikanan (satuan dalam juta rupiah kecuali debitur)
Debitur
Total
Rika Novayanti
Debitur
Total 7.132.773
Perikanan 6.436
38.326.492
84.928.819
37.386.264
87.595.930
770.601
418.749
749.554
Agustus
419.760
September
Perikanan Total
6.974.707
Outstanding
Total
6.358
Plafon
Perikanan
Sumber: Komite KUR (diolah)
Potensi Perikanan (hulu dan hilir) 2011
PDB Perikanan (%) Produksi (juta ton) • Tangkap • Budidaya Nilai Ekspor (miliar US$) Impor (miliar US$)
2012*
6,72 12,39 5,41 6,98 3,52 0,49
2013**
7,76 15,26 5,81 9,45 3,90 0,52
7.00 18,49 5,47 13,02 5.00
*data sementara **target Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 153
Alwan Ridha Ramdani Lahir pada 23 Juni 1981. Saat ini bekerja sebagai jurnalis di Merdeka.com. Alumni STIKom Bandung ini pernah menjadi koresponden Tempo pada 2007—2012 dengan wilayah tugas Kota Bandung dan sekitarnya. Ia mengikuti Banking Journalist Academy dengan motivasi agar lebih memahami bidang liputan ekonomi, khususnya dunia perbankan yang—menurut dia—rumit karena banyak istilah dalam bahasa asing.
154 |
inovasi
Berebut Untung di Jalur Kredit Kendaraan
Oleh Alwan Ridha Ramdani
S
aban hari minggu, kawasan jalan sepanjang arah Komplek Perumahan DPR, Kalibata, Jakarta Selatan, ramai dipadati warga. Jalanan sepanjang kurang dari satu kilometer di sulap menjadi pasar kaget dengan jejeran tenda-tenda berukuran 2x2 meter. Riuhnya orang yang hadir, dimanfaatkan berbagai perusahaan untuk melakukan promosi. Termasuk perusahaan pembiayaan kredit otomotif atau pun dealer otomotif yang menawarkan harga diskon atau kredit kepemilikan kendaraan. Dengan memakai jasa sales promotion girls, perusahaan otomotif dengan mudah menjerat calon pelanggannya. Bahkan terkadang beberapa orang membayar langsung uang muka. Penetrasi pasar otomotif dalam negeri terus melonjak drastis. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo) , Pada 2012, total penjualan mobil nasional mencapai 1,116 juta unit. Jumlah ini naik signifikan dibanding tahun 2011 yang sebanyak 894.164 unit dan 764.709 unit (2010). Bahkan, di 2013 penjualan kendaraan akan terus meroket melebihi 1,2 juta unit. Sedangkan untuk penjualan kendaraan roda dua data dari asosiasi industri sepeda motor Indonesia, pada 2012 mencapai 7.064.457 unit atau menurun dibandingkan 2011 BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 155
yang mencapai 8,012,540. Penurunan ini hanya imbas dari aturan uang muka Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK). Tetapi, industri optimis penjualan akan kembali meningkat di atas 7 juta unit karena daya beli masyarakat terus meningkat seiring harga komoditas yang meningkat. KomisarisAstra, Bambang Trisulo mengatakanpeningkatan penjualan bukan sekedar ditopang konsumsi masyarakat yang meningkat karena tumbuhnya kelas menengah dan stabilnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tetapi layanan ‘manja’ perbankan untuk kepemilikan kendaraan menjadi pendorong tingginya kredit kendaraan. “Bank berlombalomba mengeluarkan produk untuk kepemilikan kendaraan, ini memudahkan masyarakat mendapatkan kendaraan,” katany. Dia mengatakan berbagai produk yang memanjakan masyarakat oleh bank atau perusahaan pembiayaan atau kredit, di antaranya jangka waktu cicilan yang panjang, uang muka yang murah, serta kemudahan pengurusan dokumen turut mempengaruhi keinginan masyakat membeli kendaraan. “Adanya aturan DP 30 persen, tetap tidak jadi kendala bagi bank atau leasing, karena ada cicilan DP atau produk lainnya yang memikat konsumen,” ungkap mantan Ketua Gabungan Industri Kendaraan Indonesia (Gaikindo). Bambang mengatakan sangat wajar saat ini masyarakat berburu kendaraan pribadi walaupun dengan cara nyicil pada bank atau leasing, karena kendaraan umum Indonesia jauh dari kenyamanan. Kesempatan ini digunakan perbankan dan industri keuangan untuk memberikan layanan kredit yang menarik bagi masyarakat. Selain memberikan kredit langsung pada masyakat, kata
156 |
inovasi
Alwan Ridha Ramdani
Bambang, bank memberikan kredit sindikasi pada perusahaan pembiayaan. Hal ini membuat penjualan kendaraan menjadi meningkat. “Potensi keuntungan kredit bermotor itu sangat tinggi, jadi wajar bank atau leasing memberikan produk kredit kendaraan, dan mereka berlomba menggaet pelanggan,” ujarnya. Asosiasi Industri Sepeda Motor menegaskan sampai saat ini, sekitar 70 persen pembeli sepeda motor melalui kredit. Bahkan, separuhnya membayar uang muka 10 persen. “Kemampuan mereka mempersiapkan uang muka jadi masalah,” ungkap Ketua Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) Gunadi Sindhuwinata. Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti mengatakan tren saat ini, size penyaluran kredit KKB oleh perbankan diperkirakan semakin mengecil. Hal ini karena bank akan fokus pada kredit produktif, bukan sekedar konsumtif. “Kalaupun masih ada itu lebih banyak dilakukan oleh bank yang tidak punya anak usaha pembiayaan,” katanya. Saat ini, perbankan lebih memilih memberikan kredit kendaraan bermotor lewat anak perusahaan pembiayaannya. “Kalau lewat perusahaan pembiayaan akan lebih fleksibel,” ujarnya. Perbankan pun tetap mendapatkan keuntungan dari pemberian kredit ke leasing, mulai dari portofolio kredit dan pendapatan bunga yang dibebankan. Walaupun bank punya anak perusahaan pembiayaan, tetapi bank punya keterbatasan penyaluran kreditnya ke perusahaan pembiayaan tersebut. Bank terikat aturan batas maksimum pemberian kredit yang dikeluarkan Bank Indonesia. Dia mengatakan kalau melihat data, dari Rp1400 triliun kredit yang disalurkan perbankan di 2012, hanya sekitar Rp197
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 157
triliun yang disalurkan kepada perusahaan leasing, artinya itu masih sangat kecil. Tetapi, pemberian kredit kendaraan bermotor, masih sangat potensial ke depannya. ”Bank tidak mungkin lagi melayani kredit yang kecil-kecil terutama sepeda motor. Paling tidak mereka memilih untuk kendaraan roda empat,” katanya. Akan tetapi, kata Destry, pilihan bank bila meneruskan layanan langsung kredit tersebut bisa membuat bank tidak efisien.”Makanya bank, saat ini atau kedepannya lebih banyak memilih penyaluran pada perusahaan leasing. Leasing lebih fleksibel. Hampir 80 persen dana perusahaan leasing adalah dari kredit bank,” katanya. Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia Wiwik Kurnia mengatakan tingginya penyaluran kredit sindikasi bank terhadap perusahaan pembiayaan menunjukan trand peningkatan penyaluran kredit kendaraan. “Persaingan antara bank dan leasing wajar terjadi, tentunya jalan keluarnya adalah memberikan layanan optimal dan maksimal pada masyarakat,” katanya. APPI menilai penurunan kredit kendaraan bukan karena aturan uang muka yang diterapkan Bank Indonesia tetapi lebih pada menurunnya harga komoditas petani.” Kinerja kita terus akan tumbuh. Mengingat kebutuhan yang juga meningkat,” katanya. Data terakhir yang dilansir Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia, jumlah kredit yang disalurkan bank ke perusahaan pembiayaan pada 2012, mencapai Rp198 triliun. Dengan jumlah total perusahaan yang meyalurkan kredit mencapai 197 perusahaan. Misalnya, Bank Permata bersama Bank DKI, Bank BJB dan Bank ICB Bumiputera, memberikan kredit sindikasi senilai
158 |
inovasi
Alwan Ridha Ramdani
Rp350 miliar kepada PT Pro Car International Finance pada medio akhir tahun 2012. Tidak berselang lama perseroan bersama BJB, Bank Pembangunan Daerah Papua dan Bank Pembangunan Dearah Kalimantan Selatan mengucurkan kredit sindikasi senilai Rp300 Miliar, berjangka waktu 3 tahun kepada PT Andalan Finance Indonesia. Wiwik menegaskan secara produk antara leasing dan perbankan tidak jauh berbeda. Di perusahaan pembiayaan, misalnya, kalau masyarakat keberatan dengan aturan uang muka konvensional, pihaknya menyarankan konsumen memilih cara syariah. “Setiap perusahaan punya produk khas masing-masing untuk gaet nasabah,” katanya.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 159
Aturan uang muka hanya sekedar pemanis
Oleh Alwan Ridha Ramdani
M
inggu pagi (10/3) di tengah riuh hilir mudik masyarakat yang datang di kawasan pasar kaget Kalibata, dengan cekatan seorang sales menawarkan produk pada pelanggan. Bahkan, dia menawarkan berbagai skema kredit. Misalnya pelanggan keberatan dengan uang muka 30 persen, tak tanggung tangggung, sales menawarkan pembayaran uang muka secara dicicil atau dengan tenor kredit yang diperpanjang lima bulan dari perjanjian. Skema lannya yang ditawarkan apabila cicilan dinilai terlalu besar, sales menyarankan uang muka yang di cicil agak besar. Bahkan, sales menawarkan agar konsumen menggunakan sistem syariah jika uang muka masih merasa uang muka terlalu berat. Calon konsumen pun ditawarkan dengan kemudahan administrasi. Tak ayal, beberapa orang langsung tertarik dengan tawaran tersebut. “Soal bank atau leasing itu tinggal dipilih mas, nanti kami yang urus, termasuk kekurangan persyaratan, tidak perlu takut dengan aturan uang muka, semuanya bisa disesuaikan dengan kemampuan, ” ujar Faisal Ardiyanto salah seorang sales kendaraan saat ditemui di Kalibata. Faisal mengatakan walaupun ada aturan Bank Indonesia terkait uang muka kredit kendaraan, tetapi itu tidak 160 |
inovasi
berpengaruh signifikan. “Mobil sekarang ini karena kebutuhan, jadi orang mau. Pelanggan tidak masalahkan lamanya cicilan, asal dia bisa bayar dan tidak memberatkan setiap bulannya,” katanya. Apalagi, kata dia, saat ini bank atau leasing mulai memberikan layanan kredit kendaraan dengan tenor yang lebih lama, sampai 6 tahun. Dari biasanya untuk roda dua 3 tahun dan roda empat 5 tahun. “Bank dan leasing berlombalomba menawarkan layanan cicilan selama 6 tahun, ini yang bikin penjualan meningkat akhir-akhir ini,” ujarnya. Peminat anyar, kata Faisal, terutama pekerja yang usianya di atas 25 tahun sampai 35 tahun, hanya diminta potocopy surat izin mengemudi dan foto copy tabungan. “Soal yang lainnya, itu bisa menyusul dan kami akan bantu urusnya,” katanya menjanjikan. Padahal, keluarnya aturan uang muka kendaraan karena bank sentral menilai kredit tersebut condong untuk tujuan konsumtif. Pembatasan untuk mengantisipasi potensi terjadinya gelembung (bubble). Sehingga bank sentral menilai perlu mengempeskan gelembung tersebut. Akan tetapi, diberbagai situsnya, bank menawarkan bunga kredit untuk kepemilikan roda dua sebesar 10,5 persen. Begitu pun dengan kepemilikan kendaraan roda empat, bank berlomba-lomba membuat produk dengan penawaran bunga tetap dengan jangka waktu lima tahun, atau pun produk lainnya seperti KKB refinancing, KKB instant, KKB mini for max, atau penawaran dengan pola syariah yang belum terkena imbas aturan uang muka. Dalam aturan Bank Indonesia, untuk kredit kendaraan yang menggunakan sistem syariah, uang muka untuk kepemilikan kendaraan roda dua dan tiga 25 persen dan kendaraan roda
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 161
empat untuk keperluan pribadi atau konsumtif 30 persen. Cuma aturan ini baru diterapkan per 1 April. Berbeda dengan sistem konvensional yang sudah dilakukan sejak Septeber 2012 lalu. Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Irwan Lubis menegaskan bank sentral terus memantau pelaksanaan aturan ini. Akan tetapi, bank sentral tidak mempermasalahkan jika bank mememberikan layanan bunga kredit yang rendah atau uang muka yang dicicil untuk KKB. ”Selama perhitunganya sesuai dengan aturan DP 30 persen, tidak masalah,” katanya. Dia menegaskan promosi KKB yang dilakukan oleh perbankan diperbolehkan, selama itu memenuhi aturan DP yang telah ditetapkan bank sentral. Aturan yang dikeluarkan bank sentral agar mengerem laju kredit KKB yang meningkat selama dua tahun terakhir. “Kalaupun misalnya ada diskon DP, itu bisa saja sejak awal dealer sudah memberikan diskon. Jadi masyarakat juga harus berhitung cermat soal promosi baik dari bank maupun leasing.”
162 |
inovasi
Alwan Ridha Ramdani
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 163
Suci Sekarwati Lahir pada 13 Juli 1985. Sarjana lulusan Universitas Kristen Indonesia ini pernah bekerja sebagai reporter di harian Neraca pada 2009. Tahun 2011 hingga sekarang menjadi reporter di Koran Jakarta. Motivasi mengikuti Banking Journalist Academy adalah ingin menambah ilmu karena ilmu tentang perbankan dan ekonomi sangat minim. Dengan mengikuti program ini ia berharap akan mendapat informasi perbankan dan pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia.
164 |
inovasi
JASA PENAGIH HUTANG:
Perlu Ngga Yaaa...
Oleh Suci Sekarwati
D
ebt Collector identik sosok pria besar, berkulit gelap, suara menggelegar dan teriakan: “Bayar!!” . Serba seram, teror dan mencekam. Tak heran pelakon sektor perbankan sekalipun enggan membahas soal yang satu ini kendati debt collector kerap diasosiasikan sebagai kaki tangan bank. Bagi kalangan perbankan, pertanyaan seputar debt collector cukup sensitif. Puji Atmoko, Deputi Direktur dan Kepala Divisi Pengawasan Sistem Pembayaran, Bank Indonesia (BI) mewantiwanti Koran Jakarta untuk tidak memakai istilah debt collector, tetapi Jasa Penagih Hutang. Soalnya istilah yang terakhir ini yang sebenarnya lazim dipakai di seluruh dunia. Sebagai lembaga yang bekerja atas dasar kepercayaan (dari nasabah), perbankan memang menghadapi dilema. Disatu sisi bank memerlukan pihak ketiga untuk menagih dan menarik kredit yang tidak lancar. Disisi lain lain aksi teror penagih hutang sering membuat ‘keder’ debitur. Keluhan soal prilaku para penagih ini pasti sudah sering Anda baca di surat kabar atau majalah pada rubrik Surat Pembaca. Peristiwa yang paling membuat geger adalah kematian Irzen Okta, anggota DPR yang merupakan nasabah kartu
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 165
kredit Citibank, yang meninggal dunia setelah ditagih debt collector pada 29 Maret 2011. Bagi bank, kredit tak lancar adalah sesuatu yang harus diselesaikan. Jika tidak. seperti menimbun bara dalam sekam yang satu saat bisa merusak kesehatan bank sendiri. Doddy Ariefianto, Kepala Subdivisi Risiko Perekonomian dan Sistem Perbankan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), menjelaskan posisi aman kredit macet (NPL) suatu bank, yakni dibawah 3 persen. Jika prosentase meningkat hingga 5 persen maka masuk kategori WASPADA dan diatas 5 persen pada posisi BAHAYA. Pada praktiknya, tidak semua kredit bersatus lancar. Ada saja nasabah yang menunggak, bahkan kabur. Sudah pembayaran tidak lancar, kalaupun ada agunan seringkali juga berupa aset bodong. “Kalau sudah begini bukan hanya mengancam liquiditas bank, tetapi kehidupan bank terancam,” kata Doddy. Jadi jangan heran, jika bank pun sangat concern urusan kolektibilitas kredit. Jika tingkat kolektibilitas satu kredit semakin tinggi (artinya: pembayaran cicilan makin tak lancar) bank biasanya akan melimpahkan masalah itu pada jasa penagih utang. Mengejar kredit macet membutuhkan keahlian dan tentu saja bujet yang besar jika harus dilakukan secara internal bank. Namanya juga bisnis, daripada mengeluarkan biaya besar dengan tingkat kepastian yang tidak jelas maka banyak bank lebih memilih melepaskannya pada jasa penagih utang. “Kredit macet itu sama seperti garong,” kata Doddy, mencoba menggambarkan betapa soal kredit tak lancar ini membuat bank galau. Saat berhadapan dengan nasabah yang terseok-seok
166 |
inovasi
Suci Sekarwati
melunasi pinjamannya, bank biasanya akan melakukan restrukturisasi. Si nasabah akan dihubungi oleh pihak bank untuk mencari jalan keluar yang sama-sama enak bagi kedua belah pihak, misalnya dengan mengurangi bunga pinjaman sampai mengurangi jumlah pokok pinjaman. Apesnya, walau bank sudah bermurah hati, ada saja nasabah nakal yang tidak mau bertanggung jawab atas kredit sudah yang diambilnya. Kepala Special Asset Management (SAM) Permata Bank, Ferry Singgih Adiwono, menerangkan dalam menghadapi nasabah yang bermasalah dengan kreditnya, Permata Bank selalu memberikan solusi terbaik (win-win solution) dengan cara mencari informasi mengapa si nasabah sampai kesulitan melakukan pembayaran kewajibannya, lalu langkah penyelesaian pun dicari. “Dalam ketentuan BI sudah disebutkan bahwa ‘bank tidak boleh melakukan pengecualian dalam penyelesaian kredit bermasalah, khususnya untuk kredit bermasalah kepada pihak-pihak yang terkait dengan bank dan debitur-debitur besar tertentu’,” kata Ferry. Secara terbuka, Ferry mengakui pihaknya menggunakan jasa penagih utang. Kendati begitu, saat menjalankan tugas nya, penagih diberikan amanah oleh Permata, untuk tetap berpegang pada Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/17/ DASP yang mengacu pada PBI No. 14/2/PBI/2012 tentang tata cara penagihan. Diantaranya disebutkan bahwa: BI melarang Debt Collector melakukan penagihan dengan cara ancaman, kekerasan dan/atau tindakan yang bersifat mempermalukan pemegang kartu kredit. Tekanan secara fisik atau verbal pun dilarang. Pihak yang ditagih pun harus pemegang kredit yang bersangkutan, bukan istri, anak, atau keluarga lainnya. Lain PermataBank, lain pula Citibank. Bank yang sempat disorot karena kasus Melinda Dee dan kematian Irzan Okta
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 167
tersebut justru kini tidak lagi menggunakan jasa penagih hutang. “Tidak. Citibank menggunakan internal staff untuk semua tugas penagihan,“ kata Satria Agung Purwanto, Credit Operations Head, Citi Indonesia, menjelaskan model penagihan yang dilakukan pihaknya sekarang. Namun ketika status kredit berubah dari tak lancar menjadi MACET, maka Citibank akan menggunakan pendekatan yang lebih persuasif seperti bank lain. Yaitu mencari tahu keadaan keuangan nasabah seakurat mungkin supaya bisa mengusulkan cara-cara yang tepat untuk membantu nasabah memenuhi kewajibannya. Citibank kini lebih memilih jalur SMS alert, yakni mengirimkan pesan singkat untuk mengingatkan nasabah tanggal jatuh tempo cicilan. Dan, cara simpatik ini justru mendapat reaksi sangat positif dari nasabah terbukti kredit macet Citibank kini mendekati nol persen. Kendati begitu, Agung mengakui, pihaknya terus mencari inovasi-inovasi lain agar nasabah memenuhi kewajibannya tanpa paksaan. Sebenarnya tidak semua penagih hutang kasar dan tukang teror. Ujang (36) mantan penagih hutang yang ditemui Koran Jakarta, perawakannya justru jauh dari kesan seram. Ia mengaku tidak pernah memaki, apalagi memukuli nasabah (baca tulisan kedua). “Kalau yang punya utang enggak bisa bayar, ya didoain biar bisa cepet bayar,” katanya. Ujang juga menepis dugaan sebagian orang bahwa debt collector mendapat ‘persenan’ dari setiap hutang yang tertagih. Boro boro dapat persen, uang bensin Ujang untuk operasional menagih hutang saja dia ambil dari gaji bulanannya yang pas pasan dengan UMR Bogor, wilayah tempat ia menagih. Tidak semua perusahaan jasa penagih hutang punya sistem kerja yang sama dengan Ujang. Dede, misalnya. Pria
168 |
inovasi
Suci Sekarwati
pengoleksi cincin batu akik ini mempekerjakan 18 pria sebagai debt collector. Tidak ada sistem gaji bulanan. Setiap collector akan mendapat komisi 3 persen dari uang yang berhasil ditarik. Cara serupa diterapkan Jemmy Berhitu, yang punya 30 debt collector. Untuk utang di bawah lima juta rupiah, Jemmy menetapkan komisi 10 persen dan 15 persen untuk utang Rp5—15 juta. Untuk utang diatas Rp20 juta, komisi si kolektor 25 persen. Sistem pembagian keuntungan yang sama, juga diberlakukan bank pada perusahaan jasa penagih utang. Bisnis penagihan hutang ini sendiri lumayan menguntungkan. Sebulan, kata Jemmy, biasanya pemasukannya bisa mencapai Rp 30—40 juta. Namun kini, pundi pundi Jemmy terganggung menyusul pengetatan prosedur penagihan yang diterapkan Bank Indonesia per Juni 2012 lalu. Alhasil, beberapa bulan terakhir pemasukannya berkurang rata rata Rp10 juta. Posisi debt collector memang kini sedang terpojok. Padahal, menurut Doddy Arifianto bank tidak bisa disalahkan ketika mengambil tindakan yang tegas terhadap nasabah yang tidak willing untuk melunasi kewajibannya. Kendati, katanya melanjutkan, praktek kekerasan yang melanggar HAM tetap tidak dibenarkan. Praktisi LPS ini menilai yang dibutuhkan saat ini adalah menerbitkan payung hukum yang jelas. Pasalnya, hukum yang mengatur masalah ini baru sebatas Surat Edaran (SE) dari BI dan belum ada undang-undangnya. Selama ini, ketika bank membawa kasus kredit macet ke ranah hukum, baik itu dari nasabah retail maupun nasabah korporasi, masuknya ke delik penipuan. Padahal konteksnya ada dua, yakni nasabah yang betul-betul tidak mampu melunasi kreditnya (unable) dan nasabah yang memang tidak
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 169
punya itikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya pada bank (unwilling). “Ini (kredit macet) masalah yang rumit, tapi bukan tanpa solusi,” kata Doddy. Bank membutuhkan code of conduct untuk mengatasi kredit macet. Sebab nasabah yang unable mengembalikan kredit pada bank, seperti jalan buntu. Mau diapakan lagi. Dengan begitu, kewajibannya pada bank sebaiknya dihapuskan, mengingat utang juga memberi dampak buruk psikologi pada si nasabah. Gayung bersambut. Puji Atmoko, Deputi Direktur Bank Indonesia menilai adalah usulan yang sangat bagus membuat aturan penagihan utang yang baru berupa SE menjadi undangundang (UU). Diluar negeri, Amerika Serikat misalnya, tata cara jasa penagih utang diatur dalam fair debt collection act. Poin-poin yang termaktub dalam hukum fair debt collection act itu sebenarnya yang menginspirasi BI untuk menerbitkan SE soal jasa penagih utang pada 2004. Setahun kemudian, SE itu di revisi hingga pada 2012 SE itu disempurnakan menjadi Surat Edaran No. 14/20/DPNP/2012 tanggal 27 Juni 2012 tentang Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain. Berdasarkan hal itu, Puji tidak mau BI dituding telat mengeluarkan aturan soal jasa penagihan. Apalagi, walau baru berupa SE, tetapi tata cara penagihan yang diatur BI sudah cukup detail. Salah aturan dalam SE itu menyebutkan pada saat bank menggunakan jasa penagih utang, kualitas penagihan harus sama. “Artinya, saat menawarkan kredit, bank menggunakan petugas yang cantik-cantik, maka saat melakukan penagihan
170 |
inovasi
Suci Sekarwati
pun bank harusnya sama cantiknya,” kata Puji. Bukan hanya itu, dalam SE BI disebutkan pula bank hanya boleh menyerahkan kredit macetnya kepada jasa penagih utang jika kredit macet si nasabah sudah masuk kolektibilitas lima. Sayangnya, pada kenyataannya aturan BI itu acap tidak seindah kenyataan, apalagi sebelum heboh kematian Irzen Okta pascaditagih jasa penagih utang. Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebutkan, sampai sekarang pengaduan nasabah ke YLKI masih tinggi, khususnya untuk nasabah kartu kredit. Dia mengingat, ada 632 kasus yang diadukan ke YLKI melalui surat. Pengaduan nasabah itu macam-macam, mulai dari komplain proses penagihan kredit, kartu hilang, kartu dibobol maling sampai lambannya pelayanan bank kepada nasabah. Sedangkan pengaduan nasabah ke YLKI via telepon tidak ditindaklanjuti karena bukti tertulisnya tidak ada. Bicara soal kartu kredit, Puji mengatakan, untuk menekan kredit macet yang berasal dari kartu kredit, BI sebetulnya telah mengeluarkan aturan yang lebih ketat kepada bank. Yakni, nasabah yang berhak mendapat kartu kredit hanya mereka yang berpenghasilan minimal tiga juta rupiah perbulan. Untuk mereka yang berpemasukan tiga juta sampai 10 juta rupiah per bulan hanya boleh memiliki dua kartu kredit. Suku bunga kartu kredit pun sudah diturunkan menjadi 2,95 persen. Seiring dengan ketatnya aturan BI itu, kredit macet yang ditimbulkan dari kartu kredit berangsur mulai turun. Pada Desember 2011, NPL dari kartu kredit ada pada posisi 4,26 persen lalu pada Februari 2012 menjadi 4,03 persen. Penurunan signifikan terjadi pada Januari 2013 sebesar 2,63 persen. Untuk mengurangi ribut-ribut, Puji meyakinkan kalau
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 171
BI sudah memperketat tata cara penagihan kredit macet oleh bank melalui jasa penagih utang. Dengan pengetatan itu, Puji berharap tidak ada lagi bank yang terkena sanksi karena telah melanggar etika saat melakukan penagihan dan nasabah yang dipermalukan karena utang. Sayang, Tulus menilai aturan BI soal tata cara penagihan kredit sosialisasinya masih kurang. Padahal, jasa penagih utang dalam kontek bisnis memang dibutuhkan dan nasabah harus memahami itu. Jika sosialisasi soal aturan ini jelas, maka semua bisa sama-sama enak. Sedangkan dari pelaku perbankan, Ferry menghimbau, untuk menghindari kredit bermasalah, nasabah retail maupun korporasi, sebaiknya mengevaluasi betul-betul tujuan dan jumlah kredit yang hendak diajukan kepada bank. Perhatikan pula sumber pembayarannya, yang harus disesuaikan dengan kemampuan, karena kredit lancar - hati pun tenang. Proporsi Kredit Macet (pada penerima kredit bukan lapangan usaha, Januari 2013)
Lainnya 24%
Pemilikan Rumah 42%
KTA/KK 22%
Pemilikan Kendaraan 8%
172 |
inovasi
Pemilikan Ruko 3%
Pemilikan Apartemen 1%
Saat Ujang Galau Menagih Hutang
Oleh Suci Sekarwati
Pukul 11 malam.
P
ria kurus, bertinggi sedang dan murah senyum itu sibuk merapikan rambut dan kemeja birunya. Tangan kanannya menjangkau sebuah botol kosong yang sesaat kemudian terisi air mineral galon. Ia lantas bergegas menyambar jaket, mengambil kunci dan sejurus kemudian….. brrrmm….memanaskan mobil. Ujang Heriawan, 36 tahun, nama pria ini. Sehari-hari ia bekerja sebagai sopir pada sebuah perusahaan media. Kegemarannya menyetir sambil memutar lagu dangdut. Dilihat dari perawakannya tak ada yang menyangka kalau pria murah senyum ini adalah mantan debt collector alias penagih hutang. “Itu dulu, sekarang saya sudah enggak mau lagi jadi debt collector,” kata Ujang, mengawali kisahnya. Ujang berasal dari keluarga pas-pasan. Ia tidak punya banyak pilihan ketika mencari kerja. Bagi Ujang pekerjaan sebagai penagih utang seperti buah simalakama. Oleh perusahaan ia dituntut untuk mencairkan utang, namun acapkali ketika berhadapan langsung dengan nasabah bokek yang sama sama wong cilik, Ujang malah ikut nelangsa.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 173
“Saya enggak bisa marah. Kalau yang punya utang enggak bisa bayar, ya didoain biar bisa cepet bayar. Saya selalu berusaha nagih baik-baik karena ada debitur yang memang lupa tapi ada juga yang jujur enggak punya uang untuk membayar utang,” kata Ujang. Saat masih berkerja sebagai debt collector, Ujang yang asli Bogor, memegang kawasan penagihan Bogor Barat dari berbagai bank, termasuk bank asing macam American Express. Sebagai upah ia menerima gaji bulanan, tanpa insentif, tanpa asuransi apalagi komisi. Bahkan untuk mengisi bensin motor untuk menagih hutang saja ia harus merogoh kocek sendiri. Gajinya tak lebih dari UMR wilayah Bogor. Pendapatan yang tak memuaskan inilah yang lantas membuat Ujang mulai berfikir mencari periuk nasi lain, selain juga konflik batin tentunya. “Ya, ada suka-dukanya, tapi kayanya banyak dukanya deh. Sukanya, setahun sekali bos suka ngajak jalan-jalan karyawan sekantor ke Taman Safari. Kalau dukanya, penagih utang itu kerjanya dilapangan, panas,” kata Ujang polos. Ujang menyangkal penagih hutang dicekoki pil nipam, atau alkohol supaya garang saat mendatangi nasabah. Ia tidak merasa melakukan sesuatu yang melanggar hukum selama belasan tahun menjadi debt collector. Itu sebabnya, ia merasa tak harus merahasiakan pekerjaan ini kepada orang rumah. Istri dan mertuanya ikhlas menerima pekerjaan Ujang, dengan catatan “kalau ada yang lebih baik, sebaiknya pindah.”
174 |
inovasi
Berhitung Untung Buntung Debt Collector
Oleh Suci Sekarwati
M
asa depan bisnis jasa penagih hutang (debt collector) tampaknya masih panjang.
Surat Edaran Bank Indonesia yang dikeluarkan Juni tahun lalu memang membatasi ruang gerak bisnis ini, tapi tidak sampai mematikan. Pasalnya, pada edaran tersebut masih membolehkan bank menggunakan pihak ketiga untuk mengelola/menagih kredit macet. Simak cerita Tuan Dede (yang keberatan ditulis nama belakangnya). Pria 46 tahun itu, hanya bisa menjalankan bisnis jasa penagih utang selama tiga tahun. Setelah itu Dede total banting stir, dari pengusaha penagih hutang menjadi pengusaha garmen. Kendati demikian penampilannya sebagai mantan juragan debt collector masih kentara: kalung model rantai berwarna silver terlihat dilehernya plus sederet cincin batu akik dijari jari tangan Dede bercerita menjalankan bisnis jasa penagih utang sungguh tidak mudah. Masalah datang dari berbagai sudut. Alkisah tujuh tahun silam Dede memulai bisnis jasa penagih hutang ini dengan 18 orang karyawan. Mereka digaji dengan sistem komisi, yakni tiga persen dari total utang yang
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 175
berhasil dicairkan. Untuk soal rekrutmen pria ini punya preferensi sendiri. Meski ada yang dari suku Jawa, namun sebagian besar karyawannya bersuku Ambon, Manado dan Timor-Timur. Dalam mencari karyawan atau dia lebih suka menyebutnya kolektor, dia dibantu pamannya yang orang Ambon asli. Dia punya alasan mengapa sengaja mencari karyawan dari wilayah Timur Indonesia. “Karena fisik itu secara psikologis akan berpengaruh terhadap pengutang. Tapi kalau dibilang seram, ya lebih seram kuburanlah daripada kolektor saya,” kata Dede, sambil terkekeh. Pengutang yang sulit dilacak alamatnya, kolektor yang diam-diam menilep bahkan melarikan uang pembayaran dari si pengutang serta target yang dipatok bank, membuat bisnis ini betul-betul tak mudah dijalankan. Tidak kuat menanggung rentetan masalah itu, Dede pun berfikir lebih baik menutup bisnisnya. Meski bank kini banyak mengucurkan kredit sehingga masa depan bisnis ini tampak terang-benderang, toh Dede tidak menyesali keputusannya. Soalnya, dari analisa Dede dengan skala skala 100 persen, penghutang yang beritikad baik melunasi utangnya saat ditagih hanya 30 persen, sedang 70 persenya, sulit sekalipun mereka sudah didatangi kolektor. Berdasarkan pengalaman ia melihat kredit macet itu bermuara pada kesalahan bank dan pemerintah. Bank dengan mudahnya memberikan fasilitas kartu kredit, termasuk KTA, kepada nasabah nakal dan belum mampu secara finansial. Walhasil, lahirlah kredit-kredit macet. Pemerintah sebagai pengawas pun, malah melempem. “Banyak orang susah malah dikasih kartu kredit. Giliran bayar, ya bingung. Pemberian kredit, termasuk KTA sekarang
176 |
inovasi
Suci Sekarwati
begitu mudah, kadang-kadang hanya slip gaji. Padahal itu bisa dipalsukan, makanya banyak kredit macet,” kata Dede ketus. Lain Dede, lain pula Johannes Jemmy Berhitu. Pria asal Ambon yang lebih suka dipanggil Jemmy ini sampai sekarang masih mempertahankan perusahaan jasa penagih utang, dibawah bendera PT Laksana Cakrawala. Perusahaan ini, fokus pada jasa penagihan kartu kredit. Sejak didirikan pada 2008, Jemmy sudah memiliki 30 anak buah. Seluruh karyawan yang dia rekrut merupakan “orang dekat”. Dia tidak pernah membuka lowongan pekerjaan. Hal itu untuk menghindari kolektor nakal, yang suka menggelapkan uang pembayaran dari pengutang. Untuk meminimalkan risiko itu, Jemmy juga menggunakan kwitansi resmi dari bank. Nota itulah yang diserahkan pada si pengutang saat dia membayar utangnya melalui kolektor. Lewat jumlah nota yang diserahkan pada jasa debt collector itu pulalah bank memonitor pembayaran yang masuk dari nasabahnya. “Kami berkomitmen pada bank, uang yang ditilep kolektor, akan kami ganti. Komitmen inilah yang membuat kami bertahan sampai sekarang,” kata Jemmy. Ia lantas bernostalgia saat pertama kali merintis Laksana Cakrawala, hingga menjadi perusahaan jasa penagih utang legal, proses perizinannya memang cukup rumit. Setidaknya harus ada surat dari notaris, SIUP, sampai surat izin dari Kementerian Hukum dan HAM RI untuk mendirikan jasa penagih utang resmi. Setelah surat-surat itu rampung, perusahaan jasa penagih utang baru bisa mengajukan proposal kepada bank. Bank lalu menyerahkan proposal itu kepada Bank Indonesia (BI). Disana, BI akan mengecek daftar nama-nama petugas kolektor, untuk dicocokkan dengan daftar kolektor
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 177
yang di-black list BI. Nama kolektor yang masuk dalam daftar hitam BI, harus dikeluarkan dari perusahaan. “Daftar nama-nama kolektor tidak bisa dibohongi karena kami melampirkan surat kelakuan baik dari kepolisian, ijasah dan kartu jamsostek untuk masing-masing kolektor,” kata Jemmy. Untuk sistem penggajian, Jemmy menggunakan model komisi, yang tergantung pada besar-kecilnya utang yang berhasil dicairkan para kolektor. Untuk utang di bawah Rp5 juta, komisinya 10 persen dan 15 persen untuk utang Rp5—15 juta. Untuk utang diatas Rp20 juta, komisi si kolektor 25 persen. Sistem pembagian keuntungan yang sama, juga diberlakukan bank pada perusahaan jasa penagih utang. Dalam satu bulan, Jemmy biasa menerima total 10 miliar rupiah kredit macet kartu kredit dari dua bank, yang sudah menjadi klien tetapnya, yakni BRI dan BCA. Bank menargetkan dua miliar dari total kredit macet yang mereka ajukan harus cair dalam sebulan. Namun Jemmy mengaku, umumnya hanya separuh dari jumlah kredit macet yang diserahkan padanya bisa dicairkan. Saat ini ada sekitar 50 jasa penagih utang yang terdaftar dan bergabung dibawah payung Assosiasi Jasa Penagih Utang Indonesia. Ketika meletupnya insiden tewasnya Irzen Octa setelah ditagih jasa penagih utang dari Citibank, ada sekitar 10 perusahaan sampai 15 perusahaan yang gulung tikar. Patah tumbuh hilang berganti. Menurut data, paling tidak dalam setahun ada 2-3 perusahaan jasa penagih hutang baru muncul. “Keuntungan bersih jasa penagih utang per bulannya bisa Rp20 juta sampai Rp30 juta. Dulu, sebelum ada heboh kasus debt collector-nya Citibank, malah bisa Rp30 juta sampai Rp40
178 |
inovasi
Suci Sekarwati
juta sebulan,” cetusnya. Selalu ada hikmah di setiap peristiwa. Jemmy pun menilai penyedia jasa penagih utang sekarang sudah banyak berbenah. Dulu, kredit yang baru telat bayar 2 bulan sudah dilempar ke debt collector. Tetapi sekarang peraturan BI ketat melarang itu. Kredit macet yang boleh dilempar ke pihak ketiga hanya yang sudah enam bulan keatas tidak dibayar. Kasus Citibank juga membawa pelajaran bahwa para kolektor kini dituntut untuk pandai berbicara, bukan pakai otot. Untuk itu, jasa penagih utang resmi akan menerima pelatihan dari bank agar para kolektornya belajar mengendalikan emosi saat berhadapan dengan pengutang. “Tantangan yang dihadapi para kolektor adalah saat mereka sudah panas-panas, pusing cari alamat. Eh, ketemu pengutang yang omongannya enggak enak. Kalau koletor tidak sabar, bisa jadi masalah,” kata Jemmy. Sama seperti Dede, Jemmy percaya, untuk menghindari kredit macet, khususnya pada kartu kredit, bank harusnya memperketat aturan pemberian kredit. Sebab yang terjadi sekarang, pemberian utang terutama lewat kartu kredit terlampau mudah. Di mal-mal bahkan ditempat parkir, kartu kredit disodorkan cukup dengan foto kopi KTP. Seharusnya, tim di bank yang menerima data-data nasabah untuk meminta kredit, lebih ketat menyeleksi. Alamat tempat tinggal nasabah pun mutlak dilacak kebenarannya. Jika hal ini tertib dijalankan, maka bank penerbit kartu kredit tenang, nasabah lebih bertanggung jawab dan jasa penagih utang pun lebih mudah melakukan penagihan saat muncul kredit macet. Win-win solution bukan?
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 179
Anshar Dwi Wibowo Lahir di Jakarta 11 September 1985. Menjadi jurnalis mulai 2010 sebagai reporter Harian Pelita dan ditempatkan di redaksi hiburan. Setahun kemudian, pada 2011 lulusan IISIP Jakarta ini pindah ke Media Indonesia sebagai reporter yang ditempatkan di redaksi megapolitan, suplemen dan ekonomi. Motivasinya mengikuti Banking Journalist Academy berawal dari kesulitan yang ditemui di lapangan saat meliput isu-isu perbankan. Harapannya dengan mengikuti kelas BJA, ia dapat semakin terampil meramu dan menulis isu-isu perbankan.
180 |
inovasi
Bila Hasrat Ekspansi Memperkosa Wilayah Privasi
Oleh Anshar Dwi Wibowo
Anata Siregar (27) kesal luar biasa!
A
cap kali telepon selulernya kerap kedatangan tamu tak diundang. Ia sering mendapati SMS (short message service) yang entah darimana asalnya dan tak jelas siapa pengirimnnya. “Lagi tunggu SMS orang, tahu-tahunya yang masuk iklan yang enggak jelas kayak begitu. Kesel banget gue,” ujarnya. Hingga kini, Anata masih terheran-heran darimana si pengirim SMS mendapatkan nomornya. Dan lagi, yang membuatnya naik pitam, terkadang pesan elektronik tersebut dikirimkan kala tangah malam. Jam-jam di mana pesan yang masuk biasanya kalau tidak kabar buruk, sesuatu yang sangat urgen. Ngga taunya sewaktu dibaca, eeehh..jualan lagi. Terlepas dari keluhan Anata, agaknya para oknum pengirim pesan belum akan berhenti melancarkan aksinya. Sebab, sarana elektronik ini merupakan media yang efektif untuk melakukan promosi. Jelas saja, soalnya dengan munculnya berbagai operator telepon seluler membuat persaingan semakin menggila. Banting harga pun dilakukan. Hanya dengan membeli pulsa nominal yang sangat kecil,
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 181
pelanggan bisa mengirim sms gratis ke ratusan nomor dalam waktu tertentu. Belum lagi, ada oknum yang menawarkan layanan sms blast ke ribuan nomor. Pfiuhh…. Promosi-promosi murah meriah dengan menggunakan promo Pesan Pendek murah seperti tadi, tentu sangat menghemat biaya. Dan lagi, masih banyak pasar yang bisa digarap. Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), saat ini ada 240 juta nomor aktif yang tersebar di seluruh tanah air. Bayangkan jika Anda seorang pengusaha dan bisa melakukan ke promosi ke 240 juta nomor dengan biaya murah. Nah, celah promosi murah ini tampaknya juga menggoda para pelaku industri perbankan untuk melakukan ekspansi. Salah satunya ialah mengirim SMS untuk menawarkan produk pinjaman tanpa jaminan atau yang lebih dikenal dengan kredit tanpa agunan (KTA). Anata pun tidak luput dari aksi ini, bersama puluhan juta masyarakat lainnya. Alhasil dampak ekspansi jor-joran jualan kredit yang mengganggu privasi publik ini, sampai juga ke telinga Bank Indonesia. Sebagai otoritas bank tertinggi, BI mengambil langkah sigap dengan membuka SMS pengaduan KTA dan kartu kredit (KK) di nomor 085888509727 pada akhir Januari 2011. Gayung bersambut. Rupanya, banyak konsumen yang memendam kekesalan dari gerak laku oknum marketing bank yang menawarkan produk KTA secara serabutan. Bank Sentral mencatat, pada periode 26 Januari sampai 9 Februari, total sms pengaduan yang masuk sebanyak 11.576 SMS. Lebih dari 90 persennya berisi pengaduan tentang KTA. Sisanya berupa pengaduan terkait kartu kredit dan pengaduan lain. Total SMS yang tidak menyebutkan nama bank sebesar 9.661 SMS. Dari jumlah ini sebanyak 9259 SMS (96 persen)
182 |
inovasi
Anshar Dwi Wibowo
mengadukan tentang KTA. Sementara total SMS yang menyebutkan nama bank sebesar 1.915 SMS dimana hampir 95 persennya juga tentang KTA. Dari nama nama bank yang disebut oleh pelapor, tiga nama bank yang paling banyak dikeluhkan adalah Standard Chartered Bank, DBS, dan Bank ANZ Indonesia. Secara berurutan, masing-masing mempunyai andil 65 persen, 16 persen, dan 5 persen. BI pun bergerak. Bank Sentral mengeluarkan teguran keras secara resmi kepada bank-bank yang tersebut namanya. Di antaranya yang sudah mendapatkan semprit adalah Standard Chartered Bank (Stanchart) dan Bank DBS Indonesia (DBS). Upaya tersebut nampak berkekuatan di awal. Meski begitu praktik ini ternyata tidak serta-merta berhenti. Di awal Maret 2013, Media Indonesia coba menelusuri salah satu pengirim pesan yang menawarkan pinjaman tunai. Memang benar, dalam SMS tersebut tidak tercantum nama bank. Yang tercantum hanya, “Manfaatkanpinjamantunai=100jutas/d750juta.Tanpajaminan. Syarat wajib foto copy: KTP dan kartu kredit.” Dari hasil penelusuran terungkap, si pengirim pesan bekerja pada sebuah bank asing ANZ. Ia pun tidak ragu untuk menawarkan produknya. Bahkan, jika tidak memenuhi persyaratan ia bisa merekomendasikan bank lain. “Bapak enggak punya kartu kredit? Kalau begitu sediain saja foto kopi rekening gaji dan slip gaji selama tiga bulan terakhir nanti saya tawarkan ke teman di Niaga.” Selain mengganggu, permasalahan lainnya masih sama dan masih membuat jengkel. Dari mana si pengirim pesan mendapatkan nomor? Dan lagi, tercium aroma kerja sama antara pegawai marketing yang berbeda bank tanpa sepengatahuan si nasabah. Padahal, hal tersebut melanggar Peraturan Bank Indonesia
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 183
Nomor 7/6/PBI/2005 tentang transparansi produk bank dan penggunaan data nasabah. Pada pasal 11 disebutkan “dalam hal Bank akan menggunakan data pribadi seseorang dan atau sekelompok orang yang diperoleh dari Pihak Lain untuk tujuan komersial, Bank wajib memiliki jaminan tertulis dari Pihak Lain yang berisi persetujuan tertulis dari seseorang dan atau sekelompok orang tersebut untuk menyebarluaskan data pribadinya”. Sesuai PBI, tindakan yang bisa dilakukan baru sebatas teguran tertulis dan pertimbangan sebagai komponen penilaian kesehatan bank. “Saya kira modusnya peralihan data cepat. Ada kecurigaan semacam ada kesekapatan di antara penyedia jasa data pribadi yang seharusnys kalau kita lihat dari sisi hukum itu enggak boleh diedarkan tanpa seijin pemilik,” ujar Kepala Grup Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan BI, Prabowo. Namun, ia mengungkapkan, sulit untuk membuktikan sebuah bank membocorkan data nasabah. “Repotnya, sekarang pengelolaan data dialihdayakan dan itu sering kali di luar kontrol dari banknya,” tambahnya. Kepala Hubungan Masyarakat Kemenkominfo Gatot S Dewa Broto mengatakan, kasus SMS jualan yang sangat jor-joran belakangan ini masih abu-abu ditinjau dari ranah hukumnya. Siapa saja boleh mengirimkan SMS selama tidak mengandung unsur penipuan dan tidak melanggar UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik. “Itu ranahnya masih abu-abu. Kalau mau menjerat dengan unsur penipuan agak sulit sebab kalau memang benar tawaranya malah digugat balik,” katanya. Hanya, lanjutnya, bila merasa terganggu bisa melapor ke Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Kepolisian, dan operator seluler.
184 |
inovasi
Anshar Dwi Wibowo
“Kalau kita enggak suka menerima seperti itu lakukan aduan secara pararel ke BRTI, Kepolisian, dan operator. Intinya saya tidak suka dengan nomor ini yang berasal dari operator Anda dan mohon untuk diblok,” katanya. Terkait dengan hal ini Head Retail Liabilities, Wealth Ma nagement, E-Channel PermataBank Bianto Surodjo mengung kapkan, ekspansi perbankan tidak bisa dilepaskan dari ke beradaan telepon seluler maupun internet. Sebagai catatatan, jumlah pengguna Permata mobile saat ini sudah mendekati sepertiga dari total nasabah Bank Permata. Dalam 2 tahun terakhir jumlah pengguna tumbuh mendekati 2 kali lipat. “Banking tidak bisa dipisahkan dari itu. Kalau lihat trendnya, utilisasi orang untuk melakukan transaksi perbankan akan semakin meningkat. Itu sebabnya mobile banking dan internet banking selalu kita kembangkan,” katanya. Keuntungannya, Permata bisa semakin dekat kepada nasabah melalui pendekatan personal. Akan tetapi, semua tetap dalam koridor kenyamanan. Jangan sampai interaksi membuat nasabah merasa gerah. Itu sebabnya, kata Bianto lagi, ada dua hal yang sangat diperhatikan yakni profiling contact dan contact management. Acuan yang sama diterapkan dalam memasarkan produk melalui SMS. Jangan sampai kasus pengaduan nasabah meningkat. Caranya, SMS resmi pemasaran produk tetap dikirimkan dengan pertimbangan jangka waktu dan penyesuaian target market terhadap produk tertentu. “Nasabah itu aset buat kita, kalau membabi buta kasih SMS, telepon, dan lainnya lama-lama bisa keluar,” tutur Bianto. Tidak kalah penting, ia menambahkan, Permata selalu menjamin kerahasiaan data nasabah. “Data yang ter-record kita jaga benar,” pungkasnya.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 185
Data Berpindah Tangan Seperti Menjual Kacang
Oleh Anshar Dwi Wibowo
S
elama tiga bulan, Ani (nama samaran), 26, pernah melakukan pekerjaan direct sales atau penawaran langsung melalui pesan pendek (short messages service/ SMS) untuk sebuah bank asing. Produk yang ditawarkan berupa kredit tanpa agunan (KTA). Ani mulai bergerilya mencari nasabah sebelum pengaduan SMS KTA marak. Tepatnya sebelum akhir Januari 2011 kala Bank Indonesia (BI) membuka SMS pengaduan KTA dan kartu kredit (KK) di nomor 085888509727. Setiap hari, ia mengaku, mendapat secarik kertas berisi 100 nomor telepon seluler lengkap dengan nama bahkan keterangan pekerjaan si nasabah. Cara kerjanya pun masih manual. Mengirim SMS satu per satu ke nomor-nomor yang masuk dalam daftar. Bersamanya, di dalam satu ruangan, ada sekitar 30 orang yang melakukan kegiatan serupa. Bisa dibayangkan, dalam sehari ada sekitar 3.000 SMS yang keluar. “Setiap hari 100 nomor itu bisa gue sms. Kan gampang tinggal forward aja,” katanya. Rupanya, catatan Bank Sentral yang menerima SMS pengaduan sebanyak 11.576 SMS (periode 26 Januari sampai
186 |
inovasi
9 Februari), di mana lebih dari 90 persennya berisi pengaduan tentang KTA, memang benar adanya. Hal tersebut tergambar dari kalimat yang dilontarkan Ani. “Dari seratus paling yang nanggepin 3-5 orang. Sisanya maki-maki; ngapain hubungi saya lagi, penipu ya. Malahan ada yang sampai SMS agak kasar,” katanya Meski begitu, ia tetap melanjutkan pekerjaannya. Namun, dalam hatinya sempat bertanya-tanya dari mana data-data tersebut datang. Pertanyaannya terjawab setelah mendengar percakapan rekan kerjanya. “Gue pernah dengar temen ngobrol… bahwa ada kerja sama dari orang dalam sendiri sama pihak marketing semua bank untuk jual data. Jadi data (list nomor ponsel) yang dikasih ke gue bukan gue doang yang ngerjain,” katanya. Pantas saja, satu nomor ponsel bisa mendapat 3-4 jualan KTA karena datanya memang di-share sesama marketing bank satu dengan yang lain. Toh, Ani hanya bertahan 3 bulan. Ada beberapa hal yang membuat dia malas melanjutkan pekerjaan itu. Pertama, tidak ada gaji pokok dan tidak ada anggaran khusus dari pihak bank untuk menunjang pekerjaannya. Semua dilakukan sendiri. Dalam artian, ia harus menggunakan pulsa sendiri untuk mengirim pesan. Hanya satu tujuannya, setiap transaksi yang berujung pencairan dana akan mendapatkan imbalan Rp500 ribu. Kenyataannya, lebih banyak buntung daripada dana kredit yang cair. Alhasil, kondisi yang tidak sepadan antara keringat dan pemasukan membuatnya berpikir menjual data. Dan lagi, tidak ada keharusan untuk menghancurkan data setelah selesai dihubungi. Ia pun menawarkan kepada pihak lain, bukan hanya marketing bank.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 187
“O iya dong gue bisa jual. Andaikata ada kawan yang butuh data, gue kasih aja,” ucapnya. Ini juga yang menjelaskan, jualan via SMS kini sangat bervariasi. Bukan lagi sekedar KTA, tapi hingga jualan tiket pesawat bahkan beras dan sayur organik. Selain praktik tersebut, ada cara lain mengirimkan SMS ke banyak nasabah. Ada pihak tertentu yang menawarkan SMS ke ratusan bahkan ribuan nomor dalam jangka waktu tertentu atau sering disebut SMS blast. Penelusuran Media Indonesia mendapati salah satu oknum yang mengaku bekerjasama dengan berbagai operator seluler di dalam negeri untuk memasok nomor. Sebut saja namanya Alex. Ketika dihubungi, ia mengaku tinggal di wilayah Bandung. Hebatnya, si pemesan bisa meminta lokasi mana yang akan menjadi sasaran “pengeboman” SMS. Tanpa kerja sama dengan oknum orang dalam tentu hal tersbut mustahil dilakukan. “Loe mau SMS yang kena di sekitaran Bundaran HI itu aja, gue bisa. Gue kerja sama dengan semua operator, datanya terjamin,” katanya. Alex menawarkan paket yang cukup murah. Rp15 untuk pengiriman di kota-kota besar atau dan Rp10 untuk pengiriman di kota-kota kecil. Sebagai tahap percobaan, paket minimal yang ditawarkan Rp300 ribu untuk 300 ribu SMS. Setelah sepakat, ia meminta pembayaran dilakukan di awal melalui transfer dan hasil laporan dikirimkan melalui e-mail. Usut punya usut, Alex ternyata pihak belakang layar dari maraknya SMS “mama minta pulsa.” Dari situ, ia menyarankan, paket SMS ini lebih baik digunakan untuk pemasaran travel, pinjaman tunai, dan pemilihan kepala daerah (Pilkada). “Itu mamah pulsa gue juga yang ngerjain sama jual-jual
188 |
inovasi
Anshar Dwi Wibowo
handphone. Kalau yang begitu janganlah, entar gampang ditangkepin,” tuturnya. Melihat kondisi di lapangan, para nasabah nampaknya masih akan disibukkan dengan serbuan SMS tak dikenal. Tapi ada satu yang bisa menjadi pegangan. Seperti saran Kepala Hubungan Masyarakat Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) Gatot S Dewa Broto, bila merasa terganggu bisa melapor ke Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), kepolisian, dan operator seluler. Jadi, bagaimana? Masihkah Anda nyaman memiliki handphone?
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 189
Rudolf Santana Lahir di Semarang, 28 Oktober 1973. Sejak 2008 hingga sekarang bekerja di sebuah majalah gaya hidup untuk pria usia 35 tahun ke atas, Bestlife Indonesia. Redaktur senior di majalah milik grup Femina ini adalah lulusan Fakultas Ekonomi Manajemen Universitas Gadjah Mada. Keinginannya menambah pengetahuan penulisan artikel di bidang perbankan menuntunnya mengikuti kelas Banking Journalist Academy.
190 |
inovasi
Menggarap Ladang Basah Nasabah Prioritas
Oleh Rudolf Santana
Munculnya “orang-orang kaya baru” menjadi lahan subur bank mengeruk keuntungan. Tawaran serba wah dan membuat mata melotot ditebar guna menjaring mereka.
B
agi Reno (42) bepergian dengan pesawat jet pribadi biasa aja tuh.
Kemewahan yang sejatinya hanya bisa dinikmati kaum socialite dan pejabat itu adalah fasilitas yang diterima Reno, 42 tahun, sebagai nasabah prioritas sebuah bank nasional. “Saya bisa minta private jet, jika memang saya perlu. Mereka bisa mengurusnya. Tapi saya merasa belum memerlukannya,” kata Reno, santai. Bukan hanya jet pribadi, berbagai fasilitas kelas satu juga menjadi haknya. Pria beruntung lain adalah Lazuardi. Lazuardi (57) adalah seorang tenaga pendidik dan peneliti dibidang keuangan dan bisnis. Aktifitasnya ber-wara wiri terlihat saat Best Life menemuinya di salah satu kantor di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Siang itu di akhir Februari 2013, selain Best Life, sudah ada beberapa tamu lain yang antre bertemu.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 191
“Saya harus terbang ke Surabaya sore nanti,”ujarnya singkat. Tak tanggung-tanggung, pria yang masih aktif menjadi pengajar di salah satu universitas negeri ini menjadi nasabah prioritas di 3 bank nasional papan atas, sekaligus. Setibanya di Surabaya, Lazuardi memastikan sudah ada satu unit mobil yang menunggunya tepat di depan pintu pesawat. Asyiknya….. Lazuardi dan Reno hanya segelintir dari jutaan populasi kelompok menengah yang saat ini menjadi ladang basah bagi bank nasional maupun asing di Indonesia. Dari kantongkantong tebal kaum yuppie dan socialite ini, bank berharap akan menggelontor uang berlimpah untuk selanjutnya diinvestasikan di bank tempat mereka menjadi nasabah. Tumbuh Bagai ‘Jamur’ Jika nilai pendapatan Anda selama setahun lebih dari US$30 juta (sekitar IDR 300 miliar); SELAMAT! Anda sudah masuk kategori orang kaya. Statistik yang dilansir oleh Wealth-X menyebutkan jumlah orang kaya di Indonesia tahun 2012 telah meningkat 4,7 persen dari sebelumnya. Wealth-X adalah sebuah lembaga yang melakukan riset atas ultra high net worth (UHNW) di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, angka itu saat ini terus tumbuh hingga nyaris 800 orang. Karena ‘prestasi’ ini, tentu saja Indonesia masuk ke dalam 10 besar negara dengan orang kaya terbanyak dari negara berkembang pada tahun 2011. Dari kelompok itu, jumlah miliarder yang memiliki kekayaan minimal US$2 Miliar (IDR 20 triliun) mencapai 25 orang. Sedangkan kelompok ultra kaya Indonesia yang memiliki pundi-pundi harta setidaknya US$30-49 juta
192 |
inovasi
Rudolf Santana
berjumlah 380 orang dengan total kekayaan ada yang mencapai hingga US$120 miliar. Data lain dari Credit Suisse Research Institute, menyatakan jumlah orang kaya di Indonesia diperkirakan meningkat dua kali lipat pada 2016. Jika sekitar tahun 2010 lalu jumlah kelompok ini mencapai 112 ribu orang, diperkirakan dalam lima tahun mendatang akan meningkat 116 persen menjadi 242 ribu orang. 1
China
1.017.000 orang
2
Taiwan
343.000 orang
3
Brasil
319.000 orang
4
Korea Selatan
217.000 orang
5
India
204.000 orang
6
Singapura
183.000 orang
7
Meksiko
175.000 orang
8
Indonesia*
9
Turki
98.000 orang
10
Rusia
95.000 orang
112.000 orang
Sumber: Credit Suisse Research Institute.
Menjaring Kelompok ‘Basah’ Pertumbuhan kekayaan kelompok ‘basah’ ini, jelas menjadi daya tarik tersendiri bagi bank-bank. Tawaran untuk menjadi pengelola keuangan (financial manager) pun ditawarkan. Maka lahirlah produk yang sengaja diciptakan bagi nasabah tajir ini yang lazim disebut nasabah prioritas. “Kami melihat segmentasi customer yang variasinya luas sekali. Dari yang personal, dengan dana yang mungkin terbatas, sampai yang dananya banyak sekali,” tutur Rustini Dewi, Senior VP Head, Segment & BIU (Business Intelligent
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 193
Unit) PermataBank. “Kelompok ini memerlukan service dan produk yang harus di-customize untuk kebutuhan mereka. Itu yang mendasari kami menciptakan produk ini.” Apa yang diuraikan Rustini Dewi agaknya juga menjadi alasan bagi bank-bank lain untuk menciptakan produk serupa dalam menangkap kelompok ini. Tercatat sejumlah bank lokal, sebut saja, Bank Mandiri, BRI, BCA, BNI 46 hingga Bank Bukopin, menyelenggarakan produk ini. Bank asing serta bank lokal-asing di Indonesia pun beramai-ramai ikut memperebutkan pasar ini. “Sekarang ada banyak kompetitor baru,” ujar Rustini Dewi yang melihat kelompok wealthy individual jumlahnya meningkat terus. “Peningkatannya 10-11 persen setiap tahun.” Tentu saja, membesarnya angka tersebut akan semakin memanaskan kompetisi antar bank. Sejumlah bank yang semula mensyaratkan setoran minimal untuk menjadi nasabah prioritas adalah Rp1 miliar, kini beramai-ramai mematok angka nominal yang lebih rendah. Ada bank yang mematok dana setoran minimal Rp250 juta hingga Rp300 juta. Ada pula bank yang mematok dana minimal Rp500 juta. Namun ada pula yang ngotot pada angka Rp1 miliar sebagai dana minimal. Selanjutnya, dana tersebut dikelola ke dalam produk-produk seperti tabungan, deposito, reksadana, bancassurance, foreign exchange dan lain-lain. Jadi, ketika dana di rekening Anda sudah mencapai pada kisaran jumlah itu, bersiaplah untuk secara otomatis menerima status baru sebagai nasabah prioritas. Sekaligus menikmati benefit yang melekatinya.
194 |
inovasi
Rudolf Santana
Benefit Bagi Nasabah Prima Jika Anda kini sudah tercatat sebagai nasabah prioritas (atau istilah Bank Indonesia, nasabah prima), Anda pasti sudah mencicipi benefit dan fasilitas yang diberikan bank bagi Anda. Layanan Mandiri Prioritas dari Bank Mandiri mematok dana minimal di rekening sejumlah Rp500 juta, akan memasok Anda dengan layanan eksklusif dalam memberikan solusi terpadu pengelolaan dana untuk rencana keuangan jangka pendek, menengah maupun panjang. Tidak berhenti di situ, bank pemerintah ini juga memberikan pelayanan khusus berupa weekend banking, program apresiasi, safe deposit box (SDB), hingga majalah bisnis dan lifestyle cuma-cuma. Ada pula fasilitas fisik dan nonfisik yang bisa dinikmati para nasabah prioritas seperti priority lounge dan executive lounge, sederetan event berkelas seperti fashion show, seminar keuangan, pameran mobil atau turnamen golf. Bank yang memiliki website cukup komprehensif, biasanya akan mencantumkan standar benefit dan fasilitas yang diberikan bagi nasabah prioritas. Rustini Dewi dari PermataBank menyebutnya pelayanan standar. “Selain itu, kami juga memberikan birthday gift bagi nasabah yang berulang tahun dan festive gift untuk Lebaran atau Natal bagi nasabah yang merayakannya,” ujar Dewi. Tentu saja, semua bergantung pada besaran pundi-pundi yang ada dalam rekening Anda. Semakin gendut jumlahnya, semakin berlimpah dan berkelas pula benefit yang akan Anda terima dan tentunya… semakin personal. Lalu seberapa personal kah benefit yang dianggap personal itu? Perkara inilah yang masih sering mengundang tanda tanya. Dan simpang siur informasi terus bergulir tentang fasilitas yang bisa dinikmati nasabah prioritas. (Baca boks: How
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 195
Personal is Personal?) Namun Rustini Dewi buru-buru menambahkan bahwa rata-rata nasabah prioritas tidak ingin ter-ekspos. “Itu mengapa di dalam bank-bank pasti ada priority center yang letaknya pasti dipisahkan dari yang lain. Karena ada pula nasabah priority tapi diberi kartu priority saja dia tidak mau,” tuturnya. “Ini hal yang cukup sensitif. Belum tentu mereka juga terbuka dalam keluarganya. Seorang istri yang tercatat sebagai nasabah priority belum tentu ingin suaminya tahu.” Alasan lain keenggganan seseorang dikenal sebagai nasabah prioritas adalah, “Nanti dikejar-kejar pajak!” celetuk satu sumber pemilik 2 rekening prioritas yang enggan disebut namanya. Ironis betul.
196 |
inovasi
Rudolf Santana
How Personal is ‘Personal’? Pelayanan bank bagi nasabah prioritas semakin personal saja. Bagi para nasabah itu, aji mumpung atau manjakah mereka? Tentu tidak. Mereka hanya menikmati benefit yang ditawarkan.
K
etika kasus penggelapan dana dan pencucian uang nasabah Citibank yang dilakukan oleh sang wealth manager, Melinda Dee, terkuak awal 2012, publik pun tercengang. Bagaimana mungkin seorang Relationship Manager bisa sebebas itu memutar uang nasabah? Sejak itu, wacana atau tepatnya rasa penasaran seberapa jauh sebenarnya relasi seorang Relationship Manager, terus berkembang di masyarakat. Wacana perihal kedekatan seorang RM terus menjadi buah bibir dan hingga kini samar, tak ada kejelasan. Tapi ada satu hal yang pasti, yakni kemewahan yang disodorkan bank kepada nasabah berkantong tebal; mereka yang dikategorikan: “Prioritas”. Suatu siang di landasan bandara Halim Perdana Kusuma, beberapa pesawat jet pribadi maupun komersil serta helikopter, tampak
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 197
diparkir di beberapa titik landasan. Tidak tampak ada aktivitas. “Mereka (jet pribadi-red) bisa landing atau take-off kapan saja. Tidak terjadwal. Benarbenar terserah mereka,” kata seorang sumber yang bekerja di perusahaan jet charter yang ditemui Best Life. Menurut Barry Krisnan, Operasional Transwisata Air Charter Service di Halim Perdana Kusuma, tidak mudah untuk mengungkapkan identitas para penyewa jet pribadi itu. Sangat dilindungi kerahasiaannya. Jadi menunggu para nasabah prioritas yang turun atau naik pesawat jet sewaan yang disediakan bank sama saja dengan menunggu Godot. Tapi sebagai gambaran, penerbangan rute Bandung-Jakarta, pelayanan yang diberikan air charter service biasanya sudah termasuk catering. Penerbangan dengan pesawat Beech 390 Premier I (pesawat jet ringan yang dibuat oleh Beechcraft, bagian dari Hawker Beechcraft) hanya diisi 6 orang penumpang. Sedangkan penerbangan dengan Fokker 28 diisi oleh 51 penumpang termasuk 12 penumpang kelas bisnis yang dijamu bagai di kelas bisnis pesawat komersil. Ketika jumlah orang kaya di Indonesia terus berkembang populasinya, nasabah prioritas pun semakin bertambah. Di sinilah persaingan tidak bisa dihindarkan. Imbasnya, jor-joran fasilitas
198 |
inovasi
Rudolf Santana
pun terjadi. Konon fasilitas private jet hanyalah salah satu fasilitas yang diberikan untuk nasabah ‘kakap’, selain sejumlah private event berkelas. Rustini Dewi, Senior VP Head, Segment & BIU PermataBank justru mengernyitkan dahi ketika dimintai konfirmasinya tentang fasilitas-fasilitas itu. “Kalau jemputan dengan helikopter dari Bandara Soekarno-Hatta ke Jakarta, itu masih wajar, dan memang ada bank yang memberikan layanan itu,” ucapnya. “Tapi kalau sampai menggunakan fasilitas private jet, rasanya tidak mungkin. Itu perlu wilayah yang lebih luas daripada sekedar perjalanan dari airport ke kota Jakarta.” Senada dengan Rustini Dewi, Prof. Dr. Eduardus Tandelilin, MBA, CWM, merasa tidak ada yang perlu diributkan. “Semuanya masih wajar,” ungkap dosen UGM pendiri jurusan Certified Wealth Management ini. Bagi nasabah prioritas mungkin wajar. Tapi tidak wajar bahkan cenderung mustahil bagi nasabah biasa untuk bisa menikmati fasilitas gratis menghadiri undangan turnamen golf, peragaan busana, penerbangan kelas satu, hingga pesiar (cruise) bersama keluarga. Hal itu diamini Adi (bukan nama sebenarnya), pendiri sebuah jasa konsultasi keuangan di
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 199
Jakarta. Ia menjadi nasabah prioritas sebuah bank pemerintah, juga nasabah (biasa) sebuah private banking yang beroperasi di Singapura. Ia menyebut pelayanan keduanya ‘not comparable’. “Sebagai nasabah prioritas saya bisa dapat fasilitas private jet,” ujarnya. “Bank bisa mengaturnya untuk saya.” Adi juga pernah diundang hadir di F1 Grand Prix, full board, lalu 3 Michelin Star Dinner di private home sambil dihibur Canadian Tenor saat hidangan pencuci mulut dihidangkan. Selain benefit berupa kemewahan, nasabah prioritas juga mendapat perlakuan khusus dalam hal tawar menawar bunga deposito. Dalam hal ini nasabah boleh meminta bunga yang lebih TINGGI dari bunga resmi yang diterapkan oleh bank. Dimintai komentarnya mengenai hal tersebut, kali ini, Rustini Dewi mengangguk mengonfirmasi. “Ada. Tapi kami juga punya batasan dari Bank Indonesia, berapa yang bisa diberikan,” ujarnya. “Tapi biasanya untuk customer priroty, kami mix. Jadi ada yang didepositokan, ada yang diinvestasikan. Di situlah peran kami untuk memberikan saran bagaimana portfolio mix yang paling ideal.” Meskipun mendapatkan benefit untuk menentukan besaran bunga, Adi tidak tergoda dengan kemudahan ini.
200 |
inovasi
Rudolf Santana
”Untuk bunga, saya sudah dapatkan yang terbaik. Dan saya bukan tipe nasabah yang mencari bunga. Bagi saya, business relationship jauh lebih penting,” tegasnya. Tabel Suku bunga Deposito 2012-2013 (per tahun) 1-3 bulan 2012
6 bulan 2013
5.6%
2012
5%
2013
6%
5.5%
Istimewa betul benefit yang diterima para yuppie yang bergelimang pundi-pundi ini. Namun, yang masih menggelitik adalah, benarkah mereka bisa berhubungan secara personal dengan relationship manager mereka? Dan sampai sejauh mana? Sedikit sekali relationship manager yang secara terbuka memberikan pengakuan tentang kedekatan hubungan mereka dengan nasabah. Priscyllia Esther, relationship manager untuk priority banking dari Standard Chartered Bank mengungkapkan hanya segelintir yang bersedia membuka diri. “Kami menjalankan tugas sejauh ada transaksi,” akunya. “Kalau ada pelanggaran yang dilakukan relationship manager, tentu akan ada
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 201
warning letter atau bahkan dipecat.” Esther juga menegaskan menerima bonus dari customer.
bahwa
tidak
Meskipun tidak bisa memberikan gambaran menyeluruh tentang bagaimana bentuk kedekatan hubungan antara seorang relationship manager dan nasabahnya, apa yang diungkapkan Esther agaknya patut dihargai. Daripada membiarkan masyarakat bertanyatanya, para relationship manager seharusnya mau jujur bersuara tentang aturan main tugas-tugasnya. Karena diam tidak selalu emas.
202 |
inovasi
Rudolf Santana
Belajar Dulu Sebelum Membeli Perlu memberi edukasi bagi nasabah untuk menjamin keamanan dana mereka dan memahami profil resiko setiap jenis investasi.
K
esadaran masyarakat akan penting nya perencanaan keuangan tampaknya semakin tinggi. Tengok saja tabel di bawah ini yang menunjukkan jumlah financial planner yang terus meningkat selama lima tahun terakhir. Namun demikian, komposisinya bisa dikatakan timpang jika dibandingkan dengan jumlah orang yang masuk dalam kelompok populasi mereka yang berpenghasilan menengah ke atas di Indonesia. MEMBER
CFP
TAHUN
JUMLAH
2009
480
2010
703
2011
802
Sumber: FPSB Indonesia (2012)
Skandal Melinda Dee yang melanda Citibank beberapa waktu lalu menjadi trauma tersendiri bagi perbankan Indonesia. Mau tidak mau,
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 203
edukasi bagi nasabah adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Profesor Dr. Eduardus Tandelilin, MBA, CWM, dari UGM menyebut seorang wealth manager yang profesional harus memenuhi 3 syarat utama untuk bisa mengelola dana nasabahnya. Pertama harus bisa melindungi kekayaan klien. Kedua harus bisa menumbuhkan/ meningkatkan kekayaan klien dan terakhir, harus bisa mempersiapkan dana di hari depan (berbentuk pension atau warisan). “Orang kaya, pasti akan nyaman kalau kekayaannya dikelola dengan cara seperti itu,” ujar Prof. Ted, begitu ia biasa dipanggil. “Kekayaannya terproteksi, tumbuh terus, dan kalau meninggal, sudah beres semua. Tidak repot lagi.” Rustini Dewi dari PermataBank mengung kapkan perlunya edukasi bagi para nasabah. “Untuk itu kami perlu meng-asses risk profile para customer,” ujarnya. Hal ini cukup beralasan karena karakter para nasabah berbeda-beda. Ada nasabah yang spekulatif, senang membeli produk-produk yang return-nya tinggi. Tapi ada pula yang sangat konservatif. “Ada kalanya, customer profile berubah seiring dengan perjalanan waktu. Misalnya, di awal
204 |
inovasi
Rudolf Santana
dia belum begitu mengerti produk itu, maunya konservatif. Tapi setelah dia lebih mengerti, mungkin dia mau take risk sedikit. Jadi juga perlu dilakukan re-assessment secara rutin.” Harus diakui nasabah kita, bahkan sekelas Prioritas sekalipun banyak yang belum teredukasi dengan baik. Makanya, kata Prof. Ted, budaya berinvestasi belum tumbuh kembang di negeri ini. “Bagaimana mereka mau jadi investor kalau mereka tidak tahu produknya dan bagaimana berinvestasi dengan benar.” Jadi sudahkah Anda mendapatkan cukup edukasi dari bank di mana Anda tercatat sebagai nasabah prioritasnya? Jika belum, sekaranglah saatnya Anda menuntut pemberian edukasi itu dari bank Anda.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 205
Mencetak ‘Menteri Keuangan’ Andal Dalam tahun-tahun terakhir, seiring maraknya produk prioritas dari bank, wealth manager menjadi profesi yang banyak disorot. Bagaimana aturan mainnya? Kami menemui Profesor Dr.Eduardus Tandelilin, MBA, CWM, di kampus MM UGM di Jakarta. Prof., Anda yang mengembangkan jurusan certified wealth management ini di UGM? Ya, saya yang mendisain semua. Apa sebenarnya urgency jurusan ini? Karena kita ingin mengembangkan profesi ini di Indonesia. Bagaimana awal terbentuknya? Kembali ke krisis 2005 lalu di bidang reksadana pendapatan tetap, problem utamanya akibat kurangnya sosialisasi. Penjualnya sebagian besar tidak tahu reksadana itu apa. Jadi orang yang investasi di reksadana waktu itu tidak tahu apa itu reksadana. Nah, bagaimana mau sosialisasi wong dia sendiri tidak tahu. Maka kami mulai start tahun 2005 itu. Bagaimana pemeringkatannya?
206 |
inovasi
Rudolf Santana
Sebenarnya kan ada asosiasi. Dari asosiasi itu kita membuat sertifikasi untuk certified wealth managers (CWM). Nah, untuk sampai ke CWM kan harus melalui beberapa proses pendidikan dan pelatihan. Dari kita mulai dari WM 01, WM 02, 03, 04, 05, 06, 07. Nah mereka kalau sudah sampai WM 07 baru bisa dapat certify. Tapi mereka yang sudah selesai WM 01, oleh asosiasi sudah diberi titel affiliate wealth managers. Nanti kalau sudah lulus WM 03, level 3, menjadi associate wealth managers. Kalau ikut WM 04, 05, 06, menjadi qualified wealth managers (QWM). Lalu kalau sudah lulus international program, kerja sama dengan Erasmus, baru dapat certified wealth managers. Bagaimana Anda melihat maraknya produk prioritas perbankan? Sekarang ini kalau kita lihat setiap bank itu mulai menset-up, dari priority, lalu diubah menjadi wealth management division. Semua yang bekerja di sana, sekarang mengikuti pelatihan di bidang wealth management. Ada sanksi dari BI jika tidak mengikuti pelatihan itu? Belum diatur. Tapi ke depan saya rasa akan diatur. Supaya kasus-kasus seperti di Citibank tidak terjadi lagi. Tapi ujian profesi ini juga sudah dilakukan oleh LSPP (Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan). Ujiannya resmi dari negara. Belum
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 207
ada deadline dalam hal ini tentang aturannya. Tapi lambat atau cepat pasti ada. Karena WM ini sudah masuk dalam banking specialist, seperti risk management dan internal audit. Mahasiwa-mahasiwa ini independen atau pegawai bank? Mayoritas adalah pegawai bank. Kita analogikan ayam dan telur. Yang mana lebih dulu, produk prioritas muncul dulu, atau jurusan ini muncul dulu untuk memenuhi kebutuhan akan certified wealth manager? Kita lihatnya begini, pada saat kita melihat kebutuhan itu ada, munculnya itu bersamaan. Jadi, ada kebutuhan. Maka ini tidak akan berkembang kalau tidak didukung sumber daya manusia andal. Nah ini lalu kami sambut. Jadi waktu ada kebutuhan untuk private banking, lalu kami support. Bagaimana dengan aturan main profesi ini? Tentu saja ada pedomannya. Mereka yang melayani nasabah juga diajarkan kode etiknya. Ada dos and don’ts-nya. Jadi jangan sampai hanya cerita yang manis manis saja kepada nasabah. Tapi kita harus ceritakan secara berimbang dan fair. Setelah seorang wealth manager menceritakan secara berimbang di awal, lalu nasabah melihat dananya berkurang atau merugi, ada kemungkinan wealth manager masih berisiko
208 |
inovasi
Rudolf Santana
dituntut? Saya kira sekarang tidak. Dan produk perbankan itu kan kalau rugi kita tidak bisa tuntut. Karena semua bisnis perbankan itu ada resikonya. Yang menjadi kekecewaan mereka (nasabah), mereka tidak pernah diberi tahu. Di situ pentingnya edukasi nasabah. Berarti wealth manager punya kewajiban untuk mengedukasi nasabahnya? Itu yang terpenting. Sekarang problem di Indonesia itu kan tidak adanya edukasi, maka tidak usah heran tidak ada banyak investor di Indonesia. Bagaimana mereka mau jadi investor kalau mereka tidak tahu produk dan resikonya. Ada perubahan kondisi setelah para wealth manager itu tersertifikasi?. Nah apa yang terjadi pada subprime mortgage, padahal itu lebih parah sebenarnya dari yang saya uraikan di atas. Padahal itu tidak hanya terjadi pada reksadana, tapi semua kan? Tapi tidak ada gejolak. Karena saat itu kita berasumsi, bahwa orang-orang bank sudah lebih tahu. Sehingga mereka bisa mensosialisasikan. Sehingga investor dari awal sudah tahu kalau saya investasi di sini, pasti ada faktor resikonya. Sehingga ketika returnnya negatif, mereka sudah tidak panik. Karena memang sejak awal sudah tahu.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 209
Nina Rahayu Lahir 13 Mei 1987. Lulusan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini adalah reporter di VIVAnews.com terhitung sejak 2010. Menambah pengetahuan di bidang ekonomi menjadi alasan utama keikutsertaannya di Banking Journalist Academy.
210 |
inovasi
Perbankan syariah Indonesia
Dari SDM hingga produk jadi ganjalan
Oleh Nina Rahayu
B
elum ada satu negara pun yang menganut konsep syariah murni, atau yang menjalankan sistem bisnis 100 persen syariah. Basis bisnis perbankan yang mengadopsi sistem syariah berbeda di negara yang satu dengan yang lain. Di Indonesia, misalnya, bank syariah lebih banyak melirik potensi bisnis ritel, sedangkan di Timur Tengah lebih fokus menggarap produk investasi. Sementara untuk segmen korporasi pusatnya ada di Malaysia. Ini membuktikan bahwa bank syariah akan berkembang sesuai potensi masing-masing negara. Di Indonesia bank syariah lebih fokus pada sektor ritel karena market share yang masih sedikit dan jumlah dana yang masih terbatas. Jumlah nasabah di bank syariah kita saat ini baru 14 juta orang. Sesungguhnya potensi bisnis perbankan syariah di Indonesia masih sangat besar. Sekitar 88,2 persen dari total penduduk yang sekitar 203 juta jiwa beragama Islam; jadi, secara teoritis, seharusnya bisnis ini berkembang pesat. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Sebagian besar umat Islam masih cenderung memilih bank konvensional untuk transaksi perbankan, bahkan untuk urusan tabungan haji pun.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 211
Bank syariah belum menjadi pilihan utama umat Islam di Indonesia. Apa pasal? Bank syariah di Indonesia belum siap, terutama dalam hal sumber daya manusia yang merupakan frontliner industri perbankan. Banyak pegawai bank syariah di negeri kita yang tidak memiliki pengetahuan memadai tentang konsep dasar praktik perbankan yang satu ini. Sudah demikian, banyak bankir atau karyawan berkualitas justru dibajak bank-bank konvensional. Pada sisi lain masyarakat kita umumnya belum akrab dengan praktik perbankan syariah. Dunia pendidikan pun praktis belum menyentuh sektor ini. Buktinya, tak banyak dosen, peneliti, atau literatur tentang perbankan syariah yang tersedia. Di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia saja misalnya, tidak ada kurikulum atau mata kulia tentang perbankan syariah. Wajar jika sumber daya di perbankan syariah menjadi langka. “Selama ini memang belum ada jalinan kerjasama antara dunia akademisi dan bank dalam mencetak SDM yang handal berkualitas,” ucap Edy Setiadi, Direktur di kantor Direktorat Perbankan Syariah, Bank Indonesia. Bankir yang sudah berstandar dan lulus verifikasi perbankan syariah saat ini hanya 17 orang. Padahal jumlah BPR syariah 100 dan bank umum syariah 40. Sedangkan asuransi syariah 45. Dewan pengawas syariah 216 orang. Dewan Syariah Nasional (DSN), Adiwarman Karim, mengatakan, perbankan syariah idealnya dapat menyisihkan 5-7 persen total dana operasionalnya untuk biaya pendidikan SDM. Tujuan agar semua stakeholder memiliki standar pemahaman yang sama mengenai konsep perbankan ini. Seperti kata Direktur Utama Bank Syariah Mandiri, Yuslam
212 |
inovasi
Nina Rahayu
Fauzi, SDM itu ibarat fondasi yang menentukan kokoh tidaknya sebuah bangunan. “Sumber daya manusia yang cakap akan berpengaruh besar terhadap kinerja dan perkembangan setiap bank syariah,” ucap dia. Menurut dia pegawai bank harus memiliki sertifikat serta edukasi manajemen risiko sesuai levelnya. Tujuannya agar mereka mengerti dan sadar tentang risiko; dengan begitu penyimpangan akan bisa diminimalkan. Kurang diminati Sejumlah praktisi perbankan syariah justru menilai masalah Bank Syariah terutama bukan terletak pada SDM melainkan produknya. Direktur Utama PermataBank Syariah, Achmad K. Permana, menyatakan tantangan terbesar pada bisnis syariah adalah bagaimana menciptakan sebuah konsep agar produk perbankan ini menarik dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. “Permasalahan itu ada pada penawaran produk. Bagaimana memasarkan produk agar jauh lebih menarik di mata masyarakat.” Tak banyak masyarakat Indonesia yang akrab dengan konsep perbankan syariah; apalagi istilah-istilahnya yang serba berbahasa Arab. Data dari Asosiasi Bank-bank Syariah Indonesia (Asbisindo) menyebutkan hanya 30 persen masyarakat yang benar-benar memiliki pengetahuan tentang perbankan syariah termasuk terminologinya. Jika dijalankan sesuai prinsipnya yang hakiki, produk bank ini berbeda jauh dari bank konvensional. Masalah lainnya adalah kurangnya deposito. Ini konsekuensi dari praktik perbankan syariah yang tidak dapat menerima simpanan dari orang-orang yang hanya ingin mendapat keuntungan tanpa menanggung risiko. Sesuai prinsip syariah, bank tidak dibenarkan berbagi keuntungan
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 213
tanpa berbagi resiko. Akibatnya para nasabah ini beralih ke bank konvensional yang beroperasi dengan sistem bunga. Kalau tidak, mereka menyimpan dananya di pasar modal. Ada pula masalah kelebihan likuiditas (excessive liquidity). Bank syariah cenderung mempertahankan rasio yang tinggi antara uang tunai dengan simpanan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi penarikan tabungan sewaktu-waktu. Prinsip lain di bank syariah yang cenderung menghambat perkembangan bisnis ini adalah musyarakah atau kemitraan. Mekanisme bisnis seperti ini terbukti kurang menarik bagi sebagian orang. Akibatnya untuk menarik minat nasabah, kadang bank syariah menggunakan trik bisnis investasi spekulasi seperti gadai emas, berkebun emas, dan angka emas. Pada dasarnya gadai emas di bank syariah menggabungkan dua akad, yaitu akad qardh (utang) dan ijarah (jual jasa). Nasabah yang menggadaikan uangnya akan mendapat pinjaman dalam jumlah tertentu sesuai perhitungan bank. Lalu nasabah tersebut wajib membayar biaya ‘jasa pemeliharaan’ emas sesuai yang telah ditetapkan. Gadai emas hanya merupakan salah satu contoh mekanisme bisnis perbankan syariah yang salah karena rentan spekulasi. Tak hanya itu. syarat gadai emas tidak cocok untuk hitung-hitungan investasi karena hanya klop sebagai bentuk pinjaman bagi masyarakat yang sedang membutuhkan betul uang, alias sedang kepepet. Nyatanya, bayak masyarakat yang menggunakan sarana gadai emas untuk investasi jangka panjang. Caranya sangat sederhana: nasabah meminta pembiayaan bank untuk membeli emas. Saat harga emas tinggi, mereka menjual emas tersebut. Keuntungan diperoleh dari selisih harga. Tak banyak sumber bisnis yang dapat dieksplorasi bank
214 |
inovasi
Nina Rahayu
syariah karena mereka terbentur aturan praktik. Bank syariah misalnya sulit memberi pinjaman yang sifatnya konsumtif. Ini terutama karena minimnya ketersediaan dana yang dapat dipinjamkan bank tanpa perolehan keuntungan. Sebenarnya bank syariah bisa melakukan penggalangan dana yang dapat dipakai untuk tujuan konsumtif, seperti dana zakat, infak atau shadaqah dalam skala besar. Kenyataannya banyak bank syariah yang masih sulit menghimpun danadana tersebut. Tantangan Sebagai otoritas sentral, sebenarnya Bank Indonesia telah melakulan sejumlah upaya untuk mencetak lebih banyak SDM perbankan syariah. Institusi ini telah menaikkan anggaran biaya pendidikan dan pelatihan SDM serta menyiapkan lebih banyak pengajar yang berkompeten melalui program training for trainer; juga menerbitkan modul secara berkala. Saat ini menurut Edy Setiadi, Bank Indonesia sedang menyusun acuan strategi dan pelaksanaan pengembangan SDM perbankan syariah serta menjajaki kerjasama dengan lembaga pendidikan dan pelatihan. “Langkah-langkah ini dilakukan BI sebagai upaya menyediakan kebutuhan SDM di industri perbankan syariah,” katanya. Masih menjadi pertanyaan besar bagi banyak kalangan apakah bisnis perbankan syariah di Indonesia benar-benar menganut faham syariah secara kaffah. Bagi Wakil Dewan Syariah Nasional, Adiwarman Karim, pertanyaan ini tak relevan sebab tidak ada bisnis syariah yang 100 persen menganut sistem syariah secara kaffah. “Jadi pertanyaan itu tidak relevan karena gagasan terus-menerus berkembang. Kita berusaha menuju kaffah tapi kita tidak bisa 100 persen kaffah. Namanya manusia
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 215
kadang imannya lemah, kadang kuat. Kita upayakan terus bagaimana bank syariah bisa lebih baik,” tegas dia. Pengawasan yang ketat dari BI dan Dewan Syariah Nasional (DSN) mutlak diperlukan agar produk syariah benar-benar telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan penyimpangan bisnis syariah dapat menurun. BI memproyeksikan sektor perbankan syariah akan tumbuh antara 36% tahun ini sedangkan asetnya akan tumbuh antara 36–58 persen selama 2013. Saat ini ada 2.380 unit bank syariah yang tersebar dari pusat, cabang hingga ke unit-unit kas. Aset perbankan syariah per oktober 2012 mencapai Rp178,6 triliun yang terdiri dari aset bank umum syariah dan unit usaha syariah sebesar Rp174,09 triliun, serta Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) Rp4,46 triliun. Untuk mendukung pertumbuhan tersebut, BI akan menyempurnakan regulasi tentang produk syariah, antara lain proses perizinan produk, kajian produk, dan diseminasi knowledge serta meningkatkan skilled analisis pembiayaan atau sektor produktif lainnya lewat workshop, lokakarya atau seminar. Bank Indonesia juga tengah mengkaji tingkat efisiensi cost structure perbankan syariah dan potensi pengembangan skema pembiayaan Islamic Microfinance yang selama ini banyak bergerak di sektor produktif. Tujuannya agar bankbank syariah dapat mengembangkan bisnis pada pembiayaan sektor-sektor produksi sehingga mampu meningkatkan pangsa pasar perbankan syariah. BI akan segera menyerahkan otoritas pengawasan praktik mikroprudential perbankan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketentuan ini mulai efektif berlaku pada 1 Januari 2014. Karena itu bank syariah perlu mempersiapkan
216 |
inovasi
Nina Rahayu
diri mengembangkan bisnis pada sektor-sektor prioritas pemerintah seperti konstruksi, listrik dan gas, pertanian, industri kreatif, atau sektor produktif untuk start-up business, sektor usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), serta proyek dalam program MP3EI (masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Memang ekspansi bisnis bank syariah tidak seleluasa bank konvensional. Sejumlah ketentuan yang berkaitan dengan aspek kesyariahan kerap membatasi ruang gerak bank syariah untuk inovasi produk. Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah membagi dua jenis tantangan di industri syariah yaitu yang sifatnya sementara dan jangka menengah. Pemenuhan kebutuhan SDM secara kuantitas dan kualitas merupakan tantangan yang sifatnya sementara dan perlu segera diatasi agar bank ini mampu berekspansi dan meningkatkan kualitas layanan. “Tantangan kedua adalah inovasi pengembangan produk dan layanan perbankan yang lebih kompetitif, berbasis kekhususan kebutuhan, dan kelangsungan program sosialisasi serta edukasi kepada masyarakat,” tambahnya. Bank syariah tidak bisa seleluasa bank konvensional dalam mengembangkan produk karena faktor aturan kesyariahan yang seringkali membatasi ruang gerak mereka. Sedangkan tantangan jangka panjang adalah perlunya kerangka hukum yang mampu menyelesaikan permasalahan keuangan syariah secara komprehensif. Perlunya referensi nilai imbal-hasil (real rate of return) yang mencerminkan hasil yang nyata dari perekonomian. Sehingga, lanjut Halim Alamsyah, sistem keuangan syariah tidak perlu mengacu pada suku bunga konvensional.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 217
Penyimpangan Produk
Oleh Nina Rahayu
P
erbankan syariah pun rentan terhadap penyimpangan, terutama untuk produk konsumsi seperti Murabahah (jual-beli) dan gadai emas. Padahal segmen konsumsi di bank syariah saat ini sekitar 70 persen dari total produk. Dari sekian jenis produk konsumsi, yang paling berbahaya dan berpotensi diselewengkan adalah bisnis gadai emas. “Saya melihat penyimpangan ini terjadi karena ada oknum dari luar yang berlatar belakang MLM [multi-level marketing]. Mereka melihat produk gadai emas bisa diakali sedemikian rupa dan dimanfaatkan untuk satu produk berkebun emas,” kata Wakil Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN), Adiwarman Karim. Untuk mengantisipasi maraknya kasus penyimpangan gadai emas di bank syariah, Dewan Syariah Nasional (DSN) bersama Bank Indonesia (BI) menerbitkan Surat Edaran (SE) No. 14/7/DPbs pada 29 Februari 2012, tentang produk qardh beragun emas di Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Menurut aturan baru tersebut pembiyaan beragun emas ditetapkan maksimal Rp250 juta per orang per bank dengan tenor maksimal empat bulan. Ini dapat diperpanjang tapi hanya dua kali. Artinya jika sudah jatuh tempo, nasabah wajib menebus agunannya di bank syariah. Jika nasabah wanprestasi,
218 |
inovasi
pihak bank berhak melelang agunan emas tersebut. Sedangkan untuk keperluan pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), pembiayaan gadai emas maksimal sebesar Rp50 juta, pengembalian hanya dalam satu tahun dan tidak dapat diperpanjang. Selain itu, nasabah UMKM juga diwajibkan mengangsur setiap bulan layaknya skema pembiayaan lain. Pengaturan batasan plafon kredit ini untuk mencegah praktik spekulasi. Ada juga aturan yang mewajibkan emas yang akan digadaikan harus merupakan milik sendiri. Sebelumnya nasabah dapat dibiayai bank meski mereka belum memiliki emas. Kewajiban mempunyai emas sendiri merupakan upaya BI untuk melindungi nasabah, dan menghindari adanya spekulasi. “Sekarang setelah ada SE tersebut, produk gadai emas menjadi lebih aman. Karena kita mengawasinya cukup ketat,” ujar Adiwarman Karim. Teliti Adiwarman Karim mengungkapkan, ada beberapa tahap an yang dilakukan Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional sebelum program tersebut sampai ke masyarakat. Pertama produk berdasarkan buku kodifikasi BI. Dimana dalam buku tersebut memuat mengenai jenis-jenis produk syariah. Bagi bank yang ingin mengeluarkan produk berdasarkan buku kodifkasi, maka bank tinggal meminta izin ke BI. Dengan cacatan fitur dan disain produk tidak diubah. Tapi untuk produk yang belum ada di buku tersebut, bank syariah wajib meminta izin kepada BI dan DSN. Setelah itu bank melakukan riset pasar untuk melihat apa yang dibutuhkan masyarakat. Namun jika dalam praktiknya produk tersebut belum tercantum dalam fatwa langkah selanjutnya adalahj
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 219
dewan pengawas syariah akan menulis surat ke DSN agar lembaga ini mengeluarkan fatwa ihwal produk tersebut. “Nanti tentunya dibuat tim untuk membahas dan keluarlah fatwa. Setelah itu baru diserahkan ke BI. Setelah disetujui baru masuk ke Rencana Bisnis Bank (RBB),” jelas Adiwarman Karim. Selain teliti dalam mengeluarkan produk, Dewan Syariah Nasional juga mengawasi secara ketat produk syariah agar senantiasa sesuai dengan aspek kepatuhan yang ada dalam Surat Edaran Bank Indonesia, dan Peraturan Bank Indonesia (PBI). DSN juga memasukkan produk tersebut ke dalam pengawasan akuntan publik. DSN juga memperhatikan bagaimana sistem audit internal di bank syariah. “Kita juga lihat bagaimana SOP-nya. Sehingga internal auditor mereka juga bisa mengawasi. Pengawasan di BI dan kantor akuntan itu dilaporkan dalam dewan pengawas syariah setiap semester,” tegas dia. Tahap selanjutnya, dewan pengawas syariah memberikan pendapatnya terkait laporan kinerja semesteran tersebut. Menurut Adi, pembagian tangung jawab dan tugas bertujuan agar semua pihak terlibat secara langsung dalam pengawasan perbankan syariah. Sehingga jika sewaktu-waktu terjadi kegagalan produk, semua pihak bisa saling memberikan masukan, sesuai kapasitas masing-masing. “Jadi dengan cara itu. Tangung jawab yang besar itu kita titipkan ke banyak pihak. Agar dapat bersama-sama mengawasi aspek syariahnya.”
220 |
inovasi
Nina Rahayu
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 221
Stella Anastassia Sipahutar Lahir di Jakarta pada 21 Oktober 1982. Lulusan Universitas Indonesia Jurusan Ilmu Komunikasi ini pernah bekerja sebagai editor Majalah Sekar (2009—2011). Pada 2012 hingga sekarang, ia menjadi reporter di The Jakarta Post. Motivasi mengikuti kelas Banking Journalist Academy adalah agar dapat belajar lebih jauh tentang perbankan dan dapat menulis berita-berita perbankan dengan lebih baik.
222 |
inovasi
Foreign, joint venture banks gear up for SME
Oleh Stella Anastassia Sipahutar
W
ith a new regulation in place, big-time foreign and joint venture banks are obliged to expand out of their comfort zone and into a much smaller scale playing field in the small and medium enterprise (SME) world. How prepared are they? In an effort to ensure higher banks’ participation in SME sector, last January Bank Indonesia (BI) issued a new regulation, which requires all existing banks to channel a minimum of 20 percent of their total loans to the sector by 2018. BI classifies SMEs as businesses whose net annual turnover stands less than Rp50 billion (US$5.13 million). The central bank applies several phases for the implementation. Between 2013 and 2014, banks are given the freedom to disburse the loans as best as they can, but they are required to have disbursed at least 5 percent of the loans in 2015. The threshold is increased by 5 percent each following year until the 20 percent target is achieved in 2018. Based on data from Bank Indonesia (BI), of the total Rp2,779 trillion loans disbursed in Indonesia throughout 2012, about 19.9 percent or Rp552.2 trillion were channeled to 9.1 million accounts in SME sector, including micro segment.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 223
The disbursement volume may seem big, however, according to BI director for the development of rural banks (BPR) and SME Yohanes Santoso Wibowo, each bank’s penetration into the sector was uneven from one bank to another. “A certain bank has disbursed about 44 percent of its lending portfolio to SME, but another bank has only disbursed 0.2 percent,” he said recently. So far, trading dominates SME loans disbursement with 47.6 percent, followed by industry and agriculture with 10.9 percent and 8.1 percent, respectively. BI enforces the rule as well to foreign and joint venture banks—which are known for their major corporate loans—to maximize their contribution to the local economy since “these banks made their livings in Indonesia”. The Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) Indonesia’s global market head Ali Setiawan said that the bank had actually had its own SME segment, whose classifications differ from those of other banks. Based on its unaudited December 2012 financial report to BI, the HSBC’s SME loans only made up for 0.5 percent of its total loans. According to Ali, the bank is currently considering several options to meet the central bank’s requirement. “We will follow BI’s SME classification and we may partner with multifinance companies to channel the required loans indirectly,” he said. Ali added that it would be difficult for the HSBC to carry out all process by itself, citing lack of SME network. Similar to the HSBC, the Indonesian branch of Standard Chartered Bank has also developed its SME business with its own classifications. Standard Chartered SME banking country manager Micha Tampubolon said that the SME’s vast market
224 |
inovasi
Stella Anastassia Sipahutar
size and potentials attracted the British-based bank to venture into the sector 10 years ago. It currently focuses on eight main industries, such as chemical, automotive spare parts, general trading and machineries. Standard Chartered classifies small businesses as those with annual turnover of up to $10 million and medium businesses with annual turnover of between $10 million and $37.5 million. Its number of active SME clients amounts to around 3,000 people, who are mostly located in Jakarta and Surabaya, East Java. As of now, it serves the customers through its own branch offices without cooperating with other parties. “Our SME portfolio is still very small, about 7 percent of total credit. So we have a big homework to do, especially if we have to reclassify our SME segment to comply with BI’s standards,“ he said. Separately, ANZ Indonesia is optimistic it will able to reach the initial 5 percent requirement in 2015. According to ANZ commercial banking head Saud Abdul Minam, the bank is planning to expand its existing SME investment loan’s network to cover all of their branches in 11 cities by the middle of this year. ANZ launched the SME loan product last October. Its unaudited financial report to BI, dated December 2012, shows that the loans represented 0.1 percent of its total loans. “In terms of the people [staff], they are already there. In terms of the system, it is already there. In terms of the capability of selling it [loan product], we are already there,” Minam said. Meanwhile, Commonwealth Bank Indonesia may breathe a sigh of relief since its SME loans have accounted to 20 percent of its total lending portfolio as of December 2012. SME loans
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 225
stood at Rp1.9 trillion, rising by half from 2011. It claims to have adjusted its SME standards to those of BI. At the moment, the bank serves more than 2,000 SME clients— in service, retail and processing industries—from 91 branch offices in 32 cities across the country. According to Commonwealth president director Tony Costa, it expects to increase its SME loans to make up for 30 percent of total lending in 2013. To reach the target, Costa said, it would improve its credit disbursement process and policy. University of Gadjah Mada (UGM) economist A. Tony Prasetiantono said that even if BI had not issued the rule, banks would eventually enter the SME market, lured by its high net interest margin prospect. However, despite the optimism voiced by the banks, he predicts that they will face a hard time realizing the target due to the large volume of the loans disbursement. “That is a lot of money to channel to SME. It will take a longer time for the rule to be implemented effectively. We cannot move in haste because there is a risk of rising nonperforming loan ratio,” he added. Another economist, A. Prasetyantoko from Atma Jaya Catholic University, projects that there will be banks who will fail to meet the target on time. He lauds the central bank’s decision to give a leniency to foreign and joint venture banks by incorporating their allocated export loans for non-oil and gas sectors into SME loans. “That is one way to solve capacity differences among banks. Just like SME loans, we need to expand export loans to improve our real sector,” he said.
226 |
inovasi
pembicara tamu, Mentor, dan advisor
228 |
inovasi
TENTANG PEMBICARA TAMU
TONY PRASETIANTONO Diangkat sebagai Komisaris Independen PermataBank sesuai keputusan RUPST PermataBank pada 27 April 2010 dan memperoleh persetujuan Bank Indonesia pada 17 Desember 2010, efektif 21 Maret 2011. Saat ini beliau adalah Dosen Senior di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, dan Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik di Universitas Gadjah Mada. Sebelumnya, beliau menjabat sebagai Komisaris Indepen den Bank Mandiri (2003-2005) dan Kepala Ekonom Bank Negara Indonesia (2006-2010), dan anggota Komite Informasi pada Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) (2010-2011). Tony meraih gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1986), Master of Science dari University of Pennsylvania, Philadelphia (1991), dan Ph.D dari National University, Canberra, Australia (2005). FAISAL BASRI Faisal Batubara atau lebih dikenal sebagai Faisal Basri (lahir di Bandung, Jawa Barat, 6 November 1959). Ia adalah ekonom dan politikus Indonesia. Lulusan Sarjana Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) (1985) dan Master of Arts (M.A.) dalam bidang ekonomi, Vanderbilt University, Nashville, Tennessee, Amerika (1988).
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 229
Saat ini menjadi pengajar pada Fakultas Ekonomi Univer sitas Indonesia untuk mata kuliah Ekonomi Politik, Ekonomi Internasional, Ekonomi Pembangunan, Sejarah Pemikiran Ekonomi; Pengajar Program Magister Akuntansi (Maksi), Program Magister Manajemen (MM), Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Pembangunan (MPKP), Program Pascasarjana Universitas Indonesia untuk mata kuliah Analisis Lingkungan Bisnis, Perdagangan Internasional, Keuangan Internasional, dan Makroekonomi untuk Manajer, Ekonomi Regulasi, Ekonomi Politik, dan Etika Perencanaan; Serta men jadi Editorial Board, Jurnal Bisnis & Ekonomi Politik, diterbitkan oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef). METTA DHARMASAPUTRA Pendiri dan Direktur Eksekutif KATADATA, penyedia informasi dan analisis data tentang ekonomi, bisnis, dan ke uangan di Indonesia. Lulusan Prasetiya Mulya Business School, dan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini mengawali karirnya sebagai riset asisten di Asiaweek Magazine, kemudian menjadi reporter di Harian Bisnis Indonesia. Ia juga pernah menjadi redaktur pelaksana Majalah Tempo (2004 -2008), dan menjadi redaktur pelaksana Koran Tempo pada tahun 2001 hingga 2012.
230 |
inovasi
TENTANG MENTOR AJI
HASUDUNGAN SIRAIT Lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, dan sempat kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Mengawali karir sebagai jurnalis di Harian Bisnis Indonesia (1989-1995), kemudian pindah ke Harian ekonomi Neraca (1995). Pada tahun 1996 – 2000, bekerja di Majalah D&R sebagai Redaktur Pelaksana. Pernah menjabat sebagai Ketua Sidang Redaksi Telisik, telaah media massa (media watch) Yayasan Jurnalis Independen (YJI)—(2000-2001), dan kemudian masuk ke Majalah Tatap (sejak 2007, sebagai Redaktur Pelaksana). Saat ini Hasudungan merupakan bagian dari Biro Pelatihan AJI Indonesia, dan lebih banyak menjadi trainer, pengajar, maupun konsultan Media Komunitas. Ia pernah menjadi trainer Sekolah Penulis Pembelajar (SPP) untuk Writing Skill for Managers and Executives, di Jakarta (2007-2008) dan di Writer Scholen (sejak 2008). Juga pengajar di kelas Journalism for Public Relation Executives di Writer Scholen (sejak 2010). Dosen tamu untuk mata kuliah penulisan kreatif (non-fiksi) di Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jalan Proklamasi, Jakarta(Juli—Agustus 2008), dan menjadi pemateri tamu di sejumlah perguruan tinggi di Jakarta termasuk Universitas Indonesia (UI), Universitas Pancasila, dan Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN).
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 231
FEBRINA SIAHAAN Memulai karirnya sebagai wartawan diawal 1997, sebagai wartawan desk Ekonomi untuk Majalah Berita D&R. Di Maret 2000, Feby bergabung dengan TEMPO yang waktu itu baru mendirikan Koran Tempo. Pertengahan 2000, ia mewakili Indonesia untuk sebuah program pertukaran wartawan berprestasi se-Asia Pasific -Medialink Fellowship Program. Selama program berdurasi 6 bulan tersebut Feby bekerja sebagai wartawan untuk ABC Network, Melbourne Australia. Ia juga mengikuti intership di Sydney Morning Herald, Sydney. Sekembalinya dari Australia, ia kembali memperkuat tim Ekonomi & Bisnis, Majalah Tempo. Sesuai dengan bidang liputannya, pada tahun 2003, Febrina mendapatkan beasiswa dari pemerintah Belanda untuk meraih gelar Master dibidang Finance dan Accounting dari Rotterdam Business School, Rotterdam, Netherland. Sejak tahun 2005 hingga kini, Febrina aktif mengajar di IBII, Jakarta, Fakultas Komunikasi untuk mata kuliah Reportase Investigatif serta Teknik Reportase Ekonomi & Bisnis. RUSDI AMRULLAH MATHARI Lelaki kelahiran Situbondo yang mengawali karirnya sebagai jurnalis di Suara Pembaharuan sebagai freelance, kemudian menjadi redaktur di majalah Infobank. Pada Juli 2000Desember 2000, bekerja sebagai Redaktur Ekonomi di Detik. com. Pernah bekerja sebagai Penanggungjawab Rubrik PDAT majalah Tempo (2000 – 2002), menjadi Penanggungjawab Rubrik Keuangan, Internasional, Nasional dan Buku: Majalah Ekonomi Trust (2002 – 2005), menjadi Pemimpin Redaksi JakartaPress.com (2008), lalu menjadi Redaktur Pelaksana Koran Jakarta pada (2008–-2010), dan menjadi Redaktur
232 |
inovasi
Pelaksana beritasatu.com (2010 – 2011). Selain sebagai jurnalis, Rusdi aktif sebagai pengajar dan penulis buku. Ia pernah menjadi pengajar Teknik Reportase Investigatif untuk AJI Jakarta dan Internews di Provinsi Aceh (2006); Pengajar Teknik Wawancara untuk Komnas Perempuan (2007); Pengajar Teknik Menulis untuk Komunitas Tunanetra Ciputat (2007-sekarang) dan Pengajar Teknik Wawancara untuk AJI Jakarta dan Promedia (2008). Buku-bukunya yang telah diterbitkan antara lain buku tentang kelapa sawit (TEMPO Institute); buku 6 Ikon Reformasi (Sinar Harapan) 2008; buku INDRA (Indonesian Debt Restructuring Agency) 2008; Penulis buku Korupsi APBD (Aliansi Jurnalis Independen) 2007.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 233
234 |
inovasi
TENTANG MENTOR PERMATABANK
IWAN NATALIPUTRA Bekerja di Bank Bali sejak April 1989, selanjutnya bergabung di PermataBank sebagai Head Basel & Market Risk. Beliau bertanggung jawab terhadap pengelolaan risiko pasar dan likuiditas bank (termasuk proses identifikasi, pengukuran, monitoring dan reporting risiko), mengembangkan model risiko kredit, implementasi dan validasi model. Beliau juga terlibat langsung dalam kelompok kerja dengan Bank Indonesia (BI) dalam proses implementasi dan penyusunan peraturan-peraturan BI terkait dengan Basel-2 dan Basel-3 dalam industri perbankan di Indonesia. Iwan telah lebih dari 20 tahun berkecimpung dalam dunia perbankan, mulai dari bidang kredit, operation, kepala cabang, kepala wilayah, pengembangan produk, forex sales, cabang di luar negeri, komisaris anak perusahaan dalam industri sekuritas, dan menjadi komisaris anak perusahaan dalam industri finance. Iwan memperoleh gelar Master of Sience dalam bidang studi Finance dari Universitas Indonesia. RUDY TANDJUNG Rudy Tandjung bergabung dengan PermataBank pada Januari 2010. Posisinya saat ini sebagai Executive Vice President BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 235
Transaction Banking di PermataBank. Beliau bertanggung jawab untuk Cash Management, Trade Finance & Services dan Securities & Agency Services Permata Bank. Sebelumnya, penyuka olahraga tenis dan golf ini memegang berbagai posisi senior di Global Transaction Services Citibank Indonesia selama 13 tahun. Beliau juga menjabat sebagai Komisaris di KSEI (Kustodian Sentral Efek Indonesia). Rudy meraih gelar paska sarjana di bidang Keuangan dan Bisnis Internasional dari Universitas Oklahoma City, Oklahoma, Amerika Serikat. HARRY IMAN SUBEKTI Bergabung dengan PermataBank pada 2007 sebagai Head of Corporate Planning yang bertanggung jawab untuk bidang Business Planning, Capital Management, dan Competitive Intelligence. Memulai karir di kantor akuntan KPMG, kemudian bergabung selama 17 tahun di Bank Niaga, sebelum akhirnya berlabuh di PermataBank. Harry memperoleh gelar pasca sarjana dari MM-UGM dan sarjana akuntansi dari Fakultas Ekonomi UI. BIANTO SURODJO Bergabung dengan PermataBank pada tahun 2009 sebagai Head of Retail Liabilities, Wealth Management and e-Channels dan bertanggung jawab untuk mengembangkan produk, layanan dan bisnis Retail Liabilities dan Wealth Management. Beliau memulai karirnya di Procter & Gamble pada tahun 1995 dan telah menggeluti dunia perbankan selama 17 tahun di ABN AMRO, BII, Barclays dan terakhir di Permatabank.
236 |
inovasi
Bianto memperoleh gelar sarjananya di Institut Teknologi Bandung, Jurusan Teknik Kimia. ACHMAD K. PERMANA Permana bergabung dengan PermataBank pada tahun 2009 sebagai Kepala Perbankan Syariah, bertanggung jawab untuk mengembangkan produk, layanan dan usaha Perbankan Syariah. Permana memiliki pengalaman selama 19 tahun di industri perbankan, diawali pada tahun 1993 di Bank Bali, dan kemudian pada tahun 2000 beliau bergabung dengan HSBC. Karirnya berkembang ke bidang Perbankan Syariah di Bank Danamon Indonesia pada tahun 2006 – 2009 dan terakhir di PermataBank. Saat ini beliau juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal ASBISINDO (Asosiasi Bank Syariah Indonesia). Permana meraih gelar sarjana di bidang Pertanian dari Institut Pertanian Bogor.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 237
238 |
inovasi
Advisor BJA Program
LEILA DJAFAAR Bergabung dengan PermataBank pada bulan Januari 2008 sebagai Head of Corporate Affairs yang bertanggung jawab langsung ke Presiden Direktur. Cakupan kerjanya meliputi: Komunikasi Eksternal (termasuk hubungan dengan media, manajemen isu dan krisis, serta manajemen brand), Komunikasi Internal, Hubungan Pemerintah, Hubungan Investor serta Corporate Social Responsibility (Tanggung jawab Sosial Perusahaan). Leila telah menggeluti dunia perbankan selama lebih dari 20 tahun, termasuk 9 tahun di Industri Layanan Finansial di bank HSBC dan ABN Amro (pernah ditempatkan di kantor regional Singapura). Sebelumnya, ia menjabat sebagai Head Corporate Relations Unilever. Pernah pula bekerja di industri retail fashion dan Kedutaan Besar Kanada. Leila memperoleh gelar Sarjana Sastra dari Universitas Indonesia dan Master of Arts dari Universitas George Washington, Washington DC, USA. EKO MARYADI Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk periode 2011 – 2014. Eko Maryadi, biasa dipanggil Item, saat ini berstatus jurnalis freelance dan penanggung jawab Lingkar Berita dotcom.
BANKING JOURNALIST ACADEMY
| 239
Sejak 1999 Item pernah bekerja di berbagai kantor media luar negeri. Diantaranya menjadi pembantu koresponden The Washington Post dan New York Times di Jakarta, reporter untuk Newsweek, Knight Ridder, sampai pindah ke jurnalistik penyiaran. Pada 2002-2007 Item bekerja untuk Australian Broadcasting Corporation (ABC) di Jakarta, Internews, Nine Network TV Australia, hingga kantor berita Jepang, Kyodo News Service di Jakarta. Item mengenyam pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung (1987-1993), pernah mengikuti pertukaran mahasiswa Indonesia-Australia, Beyond Border Youth Tour pada 1991. Pada 1993, Item bekerja sebagai reporter pada Pusat Data Analisa (PDA) Tempo, sampai majalah tersebut dibredel rejim Orde Baru pada Juni 1994 bersama Detik dan Editor. Sepanjang karir jurnalistiknya, Item sering ditugaskan ke berbagai wilayah termasuk meliput wilayah konflik di Aceh, Ambon, Poso, Sampit, sampai ke Kamboja dan Nepal. Selama menjadi pengurus AJI, Item sering diundang ke berbagai pertemuan, di dalam dan luar negeri, terutama dalam isu kebebasan pers dan peningkatan profesionalisme jurnalis.
240 |
inovasi