Kota Jawa: Menuju Transformasi Perkotaan Total? Ilya F. Maharika Dosen Jurusan Arsitektur Universitas Islam Indonesia Center for Socius Design
[email protected] http://maharika.staff.uii.ac.id
Makalah ini telah dipresentasikan dalam Seminar Grebeg Arsitektur 2012 “Islamic Urban Architecture Rebirth” yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Arsitektur (HIMA) Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Islam Negeri “Maulana Malik Ibrahim” Malang Sabtu 24 Maret 2012 Abstrak Makalah ini menyajikan sketsa persoalan yang dihadapi oleh transformasi perkotaan (urban transformation) di Indonesia, khususnya di Jawa. Seperti laporan arkeologis, tulisan ini berusaha menangkap petunjuk-‐petunjuk kecil yang diharapkan dapat menggambarkan fenomena yang lebih kompleks. Namun tidak seperti arkeologi yang meneropong masa lampau, tulisan ini justru merekonstruksi masa mendatang melalui kejadian-‐kejadian masa kini: sebuah arkeologi masa depan yang disajikan dalam bentuk “sketsa mental” dan bukan gambaran keadaan “saat ini.” Sketsa dalam tulisan ini adalah hasil sebuah eksperimen tentang entitas imajiner “Kota Jawa” yang diharapkan dapat memberi gambaran tantangan perencanaan kota ke depan. Persoalan dan tantangan dari entitas spasial imajinatif ini akan didiskusikan.
Dari Weak Urbanism ke Total Urbanism: Pendahuluan “From chaos, Milieus and Rythms are born.” (Deleuze, 1987: 313) Sebagian besar wacana tentang perkotaan adalah tentang "transformasi perkotaan" dan bukan “transformasi non-‐perkotaan". Studi penulis baru-‐baru ini memperlihatkan bahwa ketidakseimbangan dalam memandang bobot persoalan ini menunjukkan bahwa perhatian kita ke kota terlalu dominan dan cenderung melupakan bagian wilayah “bukan kota” atau 1
bagian yang “akan menjadi kota” dimana ada faktor-‐faktor khas yang memicu terjadinya perubahan itu (Maharika, 2010; Maharika & Winisudaningtyas, 2012). Dalam studi itu, kami berusaha melihat kembali studi Dieter Evers yang menganatomikan transformasi perkotaan di Indonesia (Evers 2005, 2007). Dia melihat konsep transformasi perkotaan berkembang dari kualitas apa yang ia sebut sebagai weak urbanism dengan ketiadaan tradisi kota di Nusantara di era pra-‐kolonial. Urbanitas pada era awal hanya ditandai dengan keraton dikelilingi oleh rumah-‐rumah ningrat dan petani di luar benteng. Nas (1997) juga mengatakan bahwa awal kota di Indonesia adalah sekumpulan rumah yang dirancang dengan dengan prinsip arsitektur dengan ruang terbuka dan dengan bahan yang mudah lapuk namun yang terpenting justru berbasis hubungan orang. Evers (2005, 2007) juga menjelaskan bahwa di dalam keadaan tanpa tradisi kota yang kuat ini, gagasan perkotaan ini kemudian berkembang dalam suatu proses involutif dimana terjadi peningkatan kompleksitas tapi tanpa transformasi yang signifikan. Hanya setelah 1980-‐an, gagasan "urbanisme nyata" (real urbanism) muncul melalui pengenalan elemen simbolis dan struktur ruang kota yang lebih nyata. Oleh karena itu gambaran perkotaan di awal Indonesia lebih dekat ke desa -‐ bahkan kadang disebut sebagai “kampung besar” atau “kampung gigantik / raksasa” (Somantri, 1995), bukan kota dalam kerangka yang dipahami saat ini. Dan hanya setelah kehadiran Belanda, gagasan urbanisme muncul dalam bentuk konsep kota yang ideal diterapkan seperti untuk Batavia. Gagasan perkotaan model Batavia yang sama sekali asing dari kedesaan Jayakarta (nama yang berasal dari Jakarta) ini menciptakan kota berlapis ganda (dual layers) yang menjadi komposisi dasar yang mungkin bertahan sampai saat ini. Evolusi dan perubahan tambal sulam terhadap morfologi lapis ganda ini sangat mungkin ditunjukkan dengan fenomena desakota (McGee, 1989, 1991). Dengan berbasis studi tersebut, makalah ini berusaha menyajikan bagaimana kondisi Jawa yang mungkin akan mengalami sebuah proses urbanisasi total menjadi sebuah entitas spasial yang pernah saya gambarkan sebagai “Kota Jawa” (Maharika, 2007).
Gambaran Kota Jawa: Sketsa Bayangkan keadaan Jawa di tahun 2030 bila kita membangun dengan cara dan kecepatan seperti saat ini. Jakarta akan menjadi megalopolitan Jabodetabek-‐Serang-‐Cianjur-‐Sukabumi-‐ Bandung. Jalur Pantura menjadi linear-‐city yang membentang 1000 kilometer dari Merak hingga Surabaya. “Jalur Selatan” Purwokerto hingga Kutoarjo dan kota-‐kota di Jawa Timur bagian selatan seperti Pacitan, Ponorogo, Blitar, Jember akan menjadi networked-‐cities, kota yang terpadu oleh jejaring transportasi. Jogja-‐Solo menjadi education supercorridor. Kota-‐ kota persimpangan seperti Magelang menjadi kota besar yang menjadi titik pertemuan “kota gunung” hasil mutasi desa-‐desa di Sumbing, Sindoro, Merbabu dan Merapi. Desa berubah menjadi kota kecil; kota kecil menjadi membesar; kota besar menjadi metropolitan; kota metropolitan bersambungan menjadi megalopolitan atau megacity. Hampir semua titik persimpangan jalan menjadi titik tumbuh kota baru dan menjadi in-‐between-‐city, atau kota antara. Intinya, Pulau Jawa mengalami urbanisasi secara total dan menjadi “Kota Jawa” (Gambar 1).
2
Gambar 1. Kota Jawa, sebuah ilustrasi revolusi perkotaan-‐desakota (setelah Maharika, 2007) Kota Jawa didominasi oleh karakter desakota yang tidak jelas bentuknya, desa bukan, kota juga bukan: sebuah patchwork. Dikotomi kota-‐desa punah digantikan oleh dikotomi kota inti yang formal dan kota antara yang informal. Area non-‐urban seperti gunung-‐gunung dan hutan menciut dan menjadi area hijau yang lebih mirip sebagai “taman fantasi” ketimbang hutan yang sebenarnya. Infrastrukturnya pun tidak sepenuhnya sempurna. Hanya di kota-‐kota inti saja yang akan benar-‐benar mengkota yang padat oleh bangun-‐bangunan dilengkapi infrastruktur yang memenuhi syarat sebagai sebuah kota. Kota antara akan tumbuh konvergen: kota yang diinisiasi oleh enklav (hunian misalnya) akan tumbuh eksklusif sementara yang diinisiasi oleh sektor informal akan berubah menjadi slum. Kota yang dipenuhi dengan jalan tol menjadikan secara formal seperti kota lapis. Kota ini akan berwujud dengan adanya dua lapisan: di atas untuk kaum yang mampu membayar kemewahan tol dan mobil yang menghubungkan apartemen mewah dan perumahan real estat berpagar sementara di bawah akan didominasi kaum jelata dan informal, lengkap dengan keruwetan dan kekumuhan. Persawahan dalam skala besar akan punah. Sebagai gantinya adalah sawah mini yang banyak dibiarkan terlantar karena sistem irigasi berubah menjadi drainase atau karena menunggu investasi untuk alih fungsi. Gunung dan hutan akan menciut menyisakan beberapa daerah lindung sekedar sebagai taman kota. Infrastruktur transportasi menggurita, untuk memberi fasilitas bagi mobilisasi penduduk. Jaringan jalan tol akan menghubungkan satu kota ke kota lain namun juga akan memotong-‐motong lansekap menjadi puzzle teritori yang saling asing.
Tantangan untuk Perencanaan Kota Walaupun gambaran Kota Jawa ini sekedar rekaan belaka, tetapi sketsa di atas dapat menggambarkan secara umum kualitas spasial Jawa yang akan menghadapi tantangan urbanisasi total yang sangat kompleks. Paling tidak enam hal fundamental harus diperhatikan dengan seksama dan mungkin perlu dikembangkan antisipasi perkembangan urbanisasi total ini. (a) Proses urbanisasi multi dimensi. Selain proses urbanisasi “alami” yaitu migrasi penduduk dari desa ke kota, urbanisasi ini juga terjadi dalam bentuk perubahan masif desa menjadi kota dan urbanisasi tanpa disertai migrasi yang diinisiasi terutama oleh perubahan status sosial dan ekonomi mereka sendiri. Hal ini seperti model yang dikembangkan oleh Andrea Peresthu dengan terminologi “exurbia” (Peresthu, 2001) yaitu urbanisasi yang terjadi karena transformasi kampung-‐kampung sekeliling kota. Kondisi ini akan dipercepat oleh adanya media dan teknologi komunikasi yang menciptakan jejaring baru di masyarakat, sebuah masyarakat kota yang ditandai dengan sarana komunikasinya 3
sebagai manifestasi masyarakat jejaring (network society). Peta cakupan jaringan telepon seluler yang ada saat ini dapat menjadi petunjuk seberapa luas Kota Jawa nantinya secara spasial mungkin terbentuk. Selain telepon genggam, sinetron dan film misalnya kini telah menjadi alat perubahan masyarakat menuju komunitas kota imajiner: sebuah “urbanisasi mental” -‐ sebuah raum bild atau gambaran tentang ruang dan kehidupan kota yang berada di masyarakat yang masih di wilayah perdesaan. (b) Pertumbuhan infrastruktur yang meluas baik secara formal terencana maupun “swadaya” dan informal. Jalan raya tetap akan menjadi jaringan yang menjadi urat nadi urbanisasi. “Peta mudik” yang kini menjadi gambaran transportasi periode puncak setahun sekali dapat menjadi petunjuk kondisi dan kebutuhan transportasi Kota Jawa sepuluh tahun ke depan. Mobilisasi harian manusia Kota Jawa akan setara dengan intensitas ritual tahunan itu, kalau tidak lebih besar lagi. Pertumbuhan infrastruktur jalan ini akan dipercepat oleh adanya mekanisme sosial berupa pembangunan swadaya masyarakat. Jalan-‐jalan di persawahan yang dulunya hanya untuk traktor berubah menjadi jalan yang dipersiapkan untuk mendukung perubahan lahan di pinggirnya menjadi properti. Gejala ini marak di mana-‐mana dan cenderung sulit dihindari bahkan oleh peraturan daerah yang ketat sekalipun. Infrastruktur juga akan memunculkan pertumbuhan informal “kota antara” (Sieverts, 2000). Fenomena ini terlihat sebagai kegiatan ekonomi yang tumbuh di sepanjang dan persimpangan jalur transportasi penting. Kota antara ini adalah hasil “penggelembungan” jalur-‐jalur ekonomi (thickening). Kota antara juga terbentuk oleh enklav hunian eksklusif yang tumbuh bak lompat katak (leap frog development) hasil dari politik spekulasi yang tak terkendali. Ia bukan merupakan entitas administratif seperti halnya yang dimiliki kota inti tetapi nyata-‐nyata secara spasial merupakan proses menjadi kota, bahkan beberapa telah mengklaimnya sebagai kota: Kota Wisata, Kota Legenda dan Kota Lippo Karawaci. (c) Pertanian yang sekarat dan perlunya integrasi pertanian ke dalam kota. Lahan pertanian menciut drastis didesak kebutuhan papan, industri dan infrastruktur. Kebijakan tentang pertanian akan dihadapkan pada pilihan antara menghidupkan pertanian kota (urban agriculture / agropolitan) atau melupakan sama sekali potensi pertanian di Jawa. Tentu saja pilihan terakhir ini rawan terhadap stabilitas sosial dan ekonomi. Persoalan paralel dari hilangnya lahan pertanian dan ruang hijau adalah pada berkurangnya kuantitas dan kualitas air. Perubahan tutupan lahan ini akan sangat mempengaruhi serapan dan kualitasnya dan akan diperparah dengan pola pemakaian air yang seenaknya. Persoalan utama yang dihadapi dalam perkembangan Kota Jawa adalah pertumbuhan kota yang melahap ruang ruang pertanian dan "non urban" yang ada di sekelilingnya. Ini yang dikatakan sebagai fenomena problem "rural near urban". Persoalan yang muncul adalah apakah daerah pinggiran ini dikerangkakan sebangai bagian dari urban tissue ataukah dalam sisi yang sangat kontras yaitu melihat sebagai bagian wilayah yang harus dipreservasi di tengah tengah tekanan luar biasa yang menuju pada perubahan total. Pandangan pertama akan melihat wilayah pertanian ini sebagai "bagian" dari kota yang berimplikasi pada perubahan cara pandang terhadap kota itu sendiri dan bagaimana merencanakan dan merancang kota itu. Pandangan kedua juga problematik karena di tangah tekanan yang besar itu upaya preservasi mungkin hanya akan menyisakan "pertunjukan para petani" yang seperti atraksi Disney di tengah tengah komunitas yang dominan bukan petani. Studi penulis baru baru ini menunjukkan bahwa mungkin di sepuluh tahun terakhir ini akan menjadi sebuah masa transisi yang sangat 4
kritis (Maharika & Winisudaningtyas, 2012). Banyak masyarakat yang tinggal di pinggiran kota telah menunjukkan munculnya generasi petani yang terputus. artinya dalam keluarga dengan kepala keluarga berstatus petani saat ini tetapi anak anaknya telah "memutuskan" untuk tidak bekerja di sektor pertanian dalam cita cita mereka. sistem pewarisan tradisional di Jawa juga mempercepat proses terjadinya perubahan lahan bukan sebagai alat produksi makanan (pertanian) menjadi komoditas yang siap dimasukkan ke pasar properti. (d) Informalisasi kota dan semakin tingginya mobilitas dan migrasi penduduk. Proses ini secara inheren mendampingi urbanisasi Kota Jawa. Struktur ekonomi informal akan sangat mendominasi peta ekonominya. Untuk seterusnya ia akan mempengaruhi terbentuknya ruang-‐ruang informal yang menuntut perubahan paradigma secara fundamental penataan kota dari yang sifatnya top down dan imperatif menjadi self-‐ organizing tetapi dengan fungsi pengarahan (directing) yang sangat ketat. Mobilitas penduduk dan migrasi juga menuntut perilaku penyediaan infrastruktur, penyediaan perumahan dan layanan publik yang akomodatif terhadap mobilitas itu. Tanpa kemampuan adaptif itu maka akan muncul kaum migran yang menjadi populasi mengambang (floating population) yang rawan terhadap eksploitasi, kesenjangan sosial dan konflik antar kelompok sosial. (e) Integrasi antar daerah yang dipaksakan oleh kompetisi. Sangat paradoksal dengan semangat otonomi daerah, pengelolaan Kota Jawa justru membutuhkan konsep pengembangan integratif yang melebur batas-‐batas kedaerahan. Terutama untuk perencanaan infrastruktur dan pelayanan publik, perencanaan kota-‐kota inti dan kota antara tak lagi bisa dilakukan secara parsial dan sendiri-‐sendiri melainkan harus oleh institusi supra-‐regional, bukan semata intra-‐regional lagi. Di sini, teknologi informasi akan menjadi tulang punggung bagi integrasi tersebut. Namun demikian, integrasi ini mungkin akan sangat “dipaksakan” yang muncul justru karena kompetisi antar daerah yang berujung pada chaos. Globalisasi dan urbanisasi total ini akan mengakibatkan persaingan ketat. Mantra pembangunan yang bertolak dari kompetisi secara fundamental harus dikoreksi untuk membangun kota yang lebih berwawasan lingkungan. Bila hal ini tidak terjadi maka proses pengkotaan akan menciptakan stress ekologi (ecological stress) menuju kehancuran lingkungan hidup secara total. (f) Leburnya dualisme desa dan kota. Fenomena ini mengindikasikan adanya proses pengkotaan dan pendesaan di lokasi yang sama yang menghasilkan teritori kelabu, “tidak terlihat” dari kacamata administratif. Peleburan dikotomi desa-‐kota menuntut adanya kebijakan politik yang berubah dalam memandang teritori Jawa bukan secara dikotomis -‐ dua dimensional melainkan pada spektrum dan urban-‐lansekapnya. Di atas penulis telah mengilustrasikan faktor-‐faktor utama yang menegaskan kondisi yang segera akan dihadapi "Kota Jawa." Faktor utama transformasi perkotaan di entitas spasial seperti ini adalah pada perubahan pesat non-‐urban yang menjadi area urban dan terutama pada area transisi yang luar biasa luas yaitu dengan entitas spasial yang sering dikatakan sebagai desakota (McGee, 1989, 1991). Penulis melihat bahwa persoalan urbanisme terutama justru di area ini karena ia adalah transitoric space yang akan sangat ditentukan jalur pertumbuhannya oleh perilaku mengkota masyarakat dan kebijakan perkotaan saat ini. Perilaku dan kebijakan itu akan menentukan wajah kota kita di masa depan. Persoalan kita bukan sekedar menciptakan idiom compact city yang kita tahun akan 5
sangat sulit diterapkan dalam pola mengkota ala desakota atau transitoric space yang tidak jelas dan rhizomatic itu. Tetapi kita juga belum tahu kota yang seperti apa nantinya yang akan terjadi dalam proses evolutif desakota itu. memang kita dapat dengan mudah memasukkannya sepintas sebagai sebuah kota post-‐industrial city atau post modern a la kota-‐kota di Amerika seperti yang digambarkan melalui konsep exopolis oleh Edward Soja misalnya (Soja, 1996). Tetapi benarkah demikian? Ada banyak faktor yang menjadikan perkembangan desakota tidak seperti proses suburbanisasi di Amerika ataupun di Eropa (lihat EEA, 2006), kepadatan dan populasi manusia, model mobilitas manusianya, dan utamanya adalah adanya dusun-‐dusun sekitar kota yang bertransformasi menjadi kota yang tidak ada di Amerika maupun Eropa. Sejak dari bentuk primitifnya, evolusi kota di Indonesia akan sukar dijawab dengan compact city. Dan mungkin juga ini memang karakter kota Asia.
Penutup Perubahan menuju kota adalah keniscayaan. Kota Jawa bukanlah sebuah gambaran fiktif tetapi sebuah “kondisi virtual” yang akan menjadi nyata kelak. Kita harus mengarahkan perubahan tersebut agar Kota Jawa yang adalah kota yang lestari. Memetakan Kota Jawa secara serius, penulis yakin, adalah satu-‐satunya cara. Dengan peta ini kita lantas mengetahui kondisi kita dan kemudian membuka jalan pada apa yang harus dilakukan. Akhirnya, penulis berpendapat bahwa dalam transisi urbanisme di Indonesia yang didasari tradisi urbanisme yang lemah, kemudian berkembang involutif ini masih merupakan produsen perkotaan Indonesia. Untuk itu perlu adanya pemikiran mendalam untuk merumuskan cara pandang, teori, dan strategi perencanaan perkotaan yang sangat bersifat transisional ini dan mempunyai hubungan yang rumit antara kepadatan manusia -‐ lanskap -‐ arsitektur dalam ketidakpastian yang tinggi namun menunjukkan perubahan yang konstan. Ini mengingatkan penulis pada pemikiran John Miksic (2000) telah menguraikan karakteristik kota Asia Tenggara pra-‐modern. Ia melihat urbanisme non-‐perkotaan sebagaikota heterogenetic dimana kepadatan manusia dan interaksinya memainkan peran yang lebih penting daripada tatanan fisik monumen atau simbol. Artinya, mungkin memang inilah karakteristik kota Indonesia atau Kota Jawa yang secara intrinsik juga menjadi cikal bakal “teori perencanaan” ke depan. Untuk hal ini, diskusi panjang masih harus dilakukan.
Penghargaan dan Pernyataan Makalah ini disampaikan dalam Seminar Sustainable Urban Architecture Re-‐birth (SUAR), Sabtu, 24 Maret 2012 di Auditorium Jurusan Arsitektur Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki Malang. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Panitia atas undangan untuk menjadi pembicara di seminar ini. Beberapa bagian dari tulisan ini telah muncul di blog penulis http://maharika.staff.uii.ac.id.
Referensi 1. Deleuze, G. & Guattari, F. (1987) A Thousand Plateaus: Capitalism and schizophrenia. Minneapolis: University of Minnesota Press.
6
2. European Environment Agency (EEA) (2006) Urban Sprawl in Europe: The ignored challenge. Luxembourg: Office for Official Publications of the European Communities. 3. Evers H.D. (2005) “The End of Urban Involution and the Cultural Construction of Urbanism in Indonesia” paper presented at a conference: Asian Horizons: Cities, States and Societies. Singapore 1-‐3 August 2005 National University of Singapore. 4. Evers H.D. (2007) “The End of Urban Involution and the Cultural Construction of Urbanism in Indonesia” Internationales Asienforum, vol 38, No. 1-‐2, pp 51-‐65. 5. Maharika, IF. (2006) "Architecture and Other Architectures: Mapping the production of insular space in the Pearl River Delta (China) and Jakarta (Indonesia)" disertasi dipublikasikan melalui Kasseler Online Bibliothek Repository and Archiv (KOBRA) urn:nbn:de:hebis:34-‐2007012416786. 6. Maharika, IF. (2007) “The Secret Behind the Making of a Beautiful CIty: Jakarta” Monu No. 6 January pp. 59-‐64. 7. Maharika, IF. (2010) “Urban Gene of Desakota. A Dynamic of Indonesian Urban-‐Rural Continuum with the Case of Yogyakarta Region,” Beyond – Another view on space and landscape / Darüber hinaus – Raum und Landschaft anders betrachtet, Working Paper of Post-‐Doc Conference, University of Kassel, Germany 24-‐26 Sept. 2010, pp.46 – 56. 8. Maharika, IF. & Winisudaningtyas, G. (2012) “The Pioneers: mutation agent of the non-‐ urban” Monu No. 16. 9. McGee T.G. (1989) “Urbanisasi or kotadesasi? Evolving patterns of urbanization in Asia” dalam: Costa, F.J., et al. (Eds.), Urbanization in Asia: Spatial Dimensions and Policy Issues. University of Hawaii Press, Honolulu, pp. 93-‐108. 10. McGee, T.G. (1991) “The emergence of desakota regions in Asia: expanding a hypothesis” In: Ginsburg, N., Koppel, B., McGee, T.G. (Eds.), The Extended Metropolis: Settlement Transition in Asia. University of Hawaii Press, Honolulu, pp. 3-‐26. 11. Miksic J.N. (2000) “Heterogenetic cities in pre-‐modern Southeast Asia” World Archaeology, 32, 1, Archaeology in Southeast Asia (Jun 2000): 106-‐20. 12. Nas P. (1997) “The Early Indonesia Town” available at http://www.leidenuniv.nl/fsw/nas/pub_EarlyIndonesianCity.htm accessed 12 July 2006. 13. Perestu, A. (2001) “Jakarta’s ‘Exurbia’ Kampongs” Perspectivas Urbanas / Urban Perspectives, No. 1. hal. 49-‐58 tersedia di http://www.etsav.upc.es/urbpersp/num01/inf01-‐1.pdf (diakses 20 Maret 2012). 14. Sieverts, T. (2000) Cities without Cities: An interpretation of the Zwischenstadt. London dan New York: Spon Press. 15. Soja, E. (2000) “Inside Exopolis: Scenes from Orange County” dalam Variations on a Theme Park, M. Sorkin (ed.), New York: Hill & Wang, hal. 94-‐122. 16. Somantri, GR. (1995) Looking at the gigantic kampung, urban hierarchy and general trends of intra-‐city migration in Jakarta. Bielefeld: Forschungsschwerpunkt Entwiklungssoziologie.
7