KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN KEPALA KELUARGA (Kasus di Desa Dayah Tanoh Kecamatan Mutiara Timur Kabupaten Pidie Provinsi Aceh)
ELLY SUSANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Kasus di Desa Dayah Tanoh Kecamatan Mutiara Timur Kabupaten Pidie Provinsi Aceh) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, 25 Mei 2013 Elly Susanti NIM I352100011
RINGKASAN ELLY SUSANTI. Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Kasus di Desa Dayah Tanoh Kecamatan Mutiara Timur Kabupaten Pidie Provinsi Aceh). Dibimbing oleh DJUARA P. LUBIS dan TITIK SUMARTI. Dalam era kemunculan paradigma baru komunikasi pembangunan yang partisipatif, semua pihak diundang untuk berpartisipasi dalam proses komunikasi sampai dengan pengambilan keputusan. Melihat dari strategi yang diterapkan, maka Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) ini merupakan salah satu contoh konsep pembangunan yang bersifat buttom-up planning, di mana konsep pembangunan yang mengedepankan masyarakat sebagai pemeran utama dalam proses pembangunan pada setiap tahap, tercakup di dalamnya proses perencanaan, pelaksanaan dan juga evaluasi pembangunan. Tesis ini membahas komunikasi partisipatif yang dilakukan yakni bentuk komunikasi perempuan kepala keluarga dalam setiap tahapan program, faktor yang mempengaruhi, dan keberhasilan program yang dilihat melalui tingkat keberdayaan perempuan kepala keluarga menjadi menarik dan penting untuk dikaji dengan disiplin ilmu komunikasi pembangunan. Kajian dengan paradigma konstruktivis yang peneliti lakukan ini diharapkan dapat melengkapi dan mempertajam hasil-hasil penelitian sebelumnya dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Realitas di lokasi penelitian menunjukkan bahwa bentuk komunikasi perempuan kepala keluarga dalam tahapan program berbeda-beda. Pada tahap sosialisasi bentuk komunikasi cenderung bersifat monolog karena hanya peserta yang berpendidikan tinggi yang berani mengeluarkan pendapat sedangkan peserta lain diam. Namun pada tahap selanjutnya setelah dilakukan pendekatan secara personal oleh pendamping lapang, mengikuti berbagai pelatihan dan menerima materi-materi mengenai pengembangan diri bagi perempuan kepala keluarga maka bentuk komunikasi sedikit demi sedikit cenderung berubah dari bersifat monolog menjadi monolog-dialog dan dialogis. Perubahan bentuk komunikasi tidak berubah pada perempuan kepala keluarga yang berusia lanjut karena mereka mengikuti program hanya untuk mrngisi waktu luang, berkumpul bersama serta memperoleh informasi bukan untuk merubah nasib atau kondisi mereka selama ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik individu, peran pendamping serta faktor sosial budaya mempengaruhi komunikasi partisipatif peempuan kepala keluarga dalam program. Perempuan kepala keluarga yang telah berusia lanjut jarang menyampaikan saran, pendapat ataupun pertanyaan dalam pertemuan. Meskipun hadir, mereka lebih sering diam dan mendengarkan. Perempuan kepala keluarga yang lebih muda diberikan kepercayaan oleh anggota lain untuk menjadi pengurus kelompok. Perempuan kepala keluarga yang berpendidikan rendah tidak berani menyampaikan pendapatnya pada awal pengenalan program karena mereka menganggap dirinya tidak memiliki kecakapan dalam berbicara. Perempuan kepala keluarga yang memiliki jumlah tanggungan lebih banyak mengaku sulit membagi waktu antara bekerja, mengurus anak dan menghadiri pertemuan sehingga ia sering tidak hadir.
Faktor yang menyebabkan mereka menjadi perempuan kepala keluarga juga mempengaruhi komunikasi partisipatif dalam program. Perempuan yang memiliki suami sakit-sakitan mengaku sering tidak dapat menghadiri pertemuan karena tidak mendapat izin. Jenis pekerjaan perempuan kepala keluarga juga mempengaruhi komunikasi partisipatif, perempuan yang memiliki pekerjaan berdagang kue ke pasar kecamatan mengaku sering terlambat menghadiri pertemuan karena jaraknya yang jauh meskipun mereka sudah berusaha untuk pulang lebih cepat. Motivasi perempuan kepala keluarga yang lanjut usia mengikuti program hanya untuk mengisi waktu luang, berkumpul bersama dan memperoleh informasi serta pengetahuan, sedangkan anggota lainnya mengikuti program karena ingin meningkatkan kesejahteraan keluarga dan memperoleh pengetahuan, informasi yang dapat merubah kondisinya dalam masyarakat. Peran pendamping sebagai fasilitatif dan pendidik sangat mendukung perempuan kepala keluarga dalam melakukan komunikasi partisipatif. Pada awal program PL berjenis kelamin laki-laki namun tidak menjadi penghalang dalam melakukan komunikasi dengan para perempuan kepala keluarga karena PL merupakan warga Desa Dayah Tanoh sehingga sudah saling kenal, mengetahui karakteristik perempuan kepala keluarga serta budaya yang berlaku dalam masyarakat setempat. Setelah terjadi pergantian, PL sekarang bukan lagi warga setempat namun komunikasi tetap bisa dilakukan karena PL sekarang berjenis kelamin perempuan sehingga mereka lebih leluasa dalam berkomunikasi. PL selalu memfasilitasi perempuan kepala keluarga baik dalam pertemuan maupun pelatihan. Norma dan bahasa juga mempengaruhi komunikasi perempuan kepala keluarga. Hal tersebut terjadi pada pertemuan sosialisasi, mereka mengaku tidak berani bersuara dikarenakan adanya laki-laki yang turut hadir (kepala desa, tokoh masyarakat dan perwakilan PEKKA provinsi) sehingga mereka merasa tidak pantas bersuara karena menganggap dirinya lebih rendah dari laki-laki (budaya patriarkhi). Namun, sekarang dengan meningkatnya pengetahuan maka norma partiarkhi menjadi tersamarkan dalam kehidupan perempuan kepala keluarga khususnya dan dalam kehidupan masyarakat Desa Dayah Tanoh pada umumnya. Bahasa yang digunakan oleh PL adalah bahasa Aceh mengingat sebagian besar mereka tidak bisa berbahasa Indonesia. Dengan menggunakan bahasa daerah, mereka merasa lebih leluasa dalam berbicara dan menyampaikan pendapat. Tingkat keberdayaan perempuan kepala keluarga berbeda-beda. Perempuan kepala keluarga sebagai pendengar (usia lanjut) belum memiliki kesadaran kritis dan kontrol. Perempuan kepala keluarga yang kurang aktif sudah mencapai kesejahteraan, akses terhadap sumberdaya, partisipasi, kesadaran kritis yang masih difasilitasi oleh PL bukan dari inisiatif diri sendiri serta kontrol dalam lingkup keluarga dan kelompok saja. Keberdayaan paling tinggi sudah dicapai oleh perempuan kepala keluarga yang aktif dalam program. Kata kunci: komunikasi partisipatif, pemberdayaan, perempuan kepala keluarga
SUMMARY ELLY SUSANTI. Participatory Communication In Empowerment Program of Women Headed Household (A Case Study of Desa Dayah Tanoh, Kecamatan Mutiara Timur, Kabupaten Pidie, Aceh Province). Supervised by DJUARA P. LUBIS dan TITIK SUMARTI. The emerging paradigm of participatory development communication emphasizes participation and involvement from planning to decision-making process. PEKKA promotes the concept trough bottom-up initiative including planning, implementation and project evaluation. This study aims to investigate process of participatory development communication by PEKKA and economic empowerment of women household. This thesis investigates the participatory communication process in terms of communication patterns of women headed households, determinant factors, including observing the program achievement from empowerment point of view through the development communication perspective. The study employs constructivist paradigm in the analysis. The major finding of the study is the different communication pattern of women headed household in different stage of program activities. At the initial stage, the socialization was dominantly monologue, thus only well-educated participants whoconfident and had ability to response andexpress theirs commentsduring the meeting while others almost silence. In the other stages, meanwhile, the pattern gradually changed to monologue-dialogue and dialogic through interpersonal approach done by the field assistant, and participating the trainings especially self-development training done by PEKKA Center. However, the change was not arise to the aged women headed household because low motivation to the program. The study also finds that personal characteristics of members, role of field assistant, and socio cultural factors determine the efficacy of participatory communication of women headed households. The aged member seldom and almost never delivered voice, expressed opinion, and asked questions during the meeting. Though they attended the meeting, they tended to quiet and listen to the other comments. The younger women headed household was more active and be trusted as group administrators and leader by the members. Low educated women headed households were less ability to show their voice and express their opinions at the initial stage of the program because they impressed themselvesless confident and ability to speak out in front of other. The women headed household with many dependents stressed that the difficulty to time management between working, caring family, and attending the group meetings. Furthermore, the reason to be women headed household, occupation, and self-motivation also determine participatory communication. The women with sickly husband said that difficult to attend the meeting because not allowed by husband. Working as cookies seller that located relatively far from home at kecamatan market stated that often late to come to the meetings. The motif of the aged women headed household to join the program was to spare time, to gather with other women, and to obtain information and knowledge while other women said to improve welfare, to gain information and knowledge to change their socio economic condition.
The role of field assistant as facilitator and educator significantly contribute to effectiveness of participatory communication to women headed household. At the beginning of the programthe assistant was a man, however, that was not a barrier for him to build effective communication with the women headed household. He is a native coming from that village, and experiencing and having well knowledge on local socio cultural. After the field assistant changed, coming from outsider but a woman, the members said they are more freely and confidently communicate with the assistant. She was and still facilitates the member in the group meetings and trainings. The local norms and language also contribute to effective participatory communication of women headed household. The study finds that majority of women who participated at the initial activity said not able and confident to speak during the meeting because there were men and impressed unsuitable for them to speak in front of public/men (patriarchy). After participating the program, the awareness and knowledge of women headed household progressively changed and a patriarchy norm gradually obscured. The language used by field assistant significantly contributes to effective communication because many of women headed household not able to speak bahasa Indonesia. By using local (basa Aceh), the women said more freely to speak and give impression and feedback. Level of empowerment of women headed household varies. The type of monologue women headed household has less critical awareness and control. The monologue-dialogue women headed household has gradually achieved wellbeing, increased access to resources, participation, and critical awareness under facilitated by field assistant not self-initiative, and has increased control at the household and group only. The high level of empowerment has achieved by women headed household with dialogic type. Keywords: household
participatory
communication,
empowerment,
women
headed
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apa pun tanpa izin IPB
KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN KEPALA KELUARGA (Kasus di Desa Dayah Tanoh Kecamatan Mutiara Timur Kabupaten Pidie Provinsi Aceh)
ELLY SUSANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis
: Dr. Ir. Sarwititi, MS
Judul Tesis : Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Kasus di Desa Dayah Tanoh Kecamatan Mutiara Timur Kabupaten Pidie Provinsi Aceh) Nama : Elly Susanti NIM : I352100011
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Djuara P Lubis, MS Ketua
Dr Ir Titik Sumarti, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Djuara P Lubis, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 31 Mei 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur atas kehadirat Illahi Rabbi, Allah SWT yang atas rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul “Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Kasus di Desa Dayah Tanoh Kecamatan Mutiara Timur Kabupaten Pidie Provinsi Aceh)”, sebagai salahsatu syarat dalam menyelesaikan tugas akhir untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam bidang Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan di Institut Pertanian Bogor (IPB). Selama penyusunan tesis ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu ucapan terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada: 1. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Koordinator Mayor KMP serta Dr. Ir. Titik Sumarti, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini. 2. Dr. Sarwititi, MS selaku dosen penguji luar komisi dan Dr. Ir. Amiruddin Saleh selaku Wakil Koordinator Mayor KMP dan dosen penguji perwakilan program studi pada ujian tesis. 3. Seluruh Staf Pengajar dan Staf Administrasi pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. 4. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Pidie atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan dalam penyusunan tesis ini. 5. Serikat PEKKA Kabupaten Pidie dan Pendamping Lapang. 6. Kepala Desa dan masyarakat serta perempuan kepala keluarga di Desa Dayah Tanoh. 7. Teman-teman seperjuangan sesama mahasiswa KMP 2010 yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas diskusi, masukan dan bantuan selama mengikuti pendidikan. 8. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda M.Yunus dan Ibunda Anidar, adikku satu-satunya Muhammad Iqbal serta keluarga besar yang telah memberikan doa dan dukungannya. 9. Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada suamiku tercinta Irfan Zikri serta anak-anakku tersayang Quinsha Nabila dan Qyouzard Nabil yang telah memberikan dukungan penuh dan menjadi motivasi terbesar bagi penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan.
Bogor, 25 Mei 2013
Elly Susanti
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1
2
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian
xv xv xv
1 4 4 5
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Komunikasi 2.2 Komunikasi Partisipatif dalam Pembangunan 2.3 Faktor-Faktor Penentu Penerapan Komunikasi Partisipatif 2.4 Pemberdayaan Perempuan dalam Program Pembangunan 2.5 Hasil Penelitian yang Relevan
7 7 12 19 23
3
KERANGKA PEMIKIRAN
25
4
METODE PENELITIAN 4.1 Paradigma Penelitian 4.2 Desain Penelitian 4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.4 Penentuan Subyek Penelitian 4.5 Data dan Metode Pengumpulan Data 4.6 Teknik Analisis Data 4.7 Kredibilitas dan Dependabilitas (Reliabilitas) Penelitian
27 27 29 29 32 35 37
GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian 5.1.1 Kondisi Geografis 5.1.2 Karakteristik Demografi 5.1.3 Alokasi Lahan dan Aktivitas Pertanian 5.1.4 Sarana dan Prasarana 5.1.5 Kelembagaan Desa 5.2 Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) 5.2.1 Pelaksanaan PEKKA Nasional 5.2.2 Pelaksanaan PEKKA di Aceh 5.2.3 Kegiatan- Kegiatan PEKKA Aceh 5.2.4 Pelaksanaan PEKKA di Desa Dayah Tanoh 5.2.5 Kegiatan-Kegiatan PEKKA di Desa Dayah Tanoh
39 39 39 39 40 41 42 42 46 48 50 52
KOMUNIKASI PARTISIPATIF PEREMPUAN KEPALA KELUARGA DALAM PEKKA 6.1 Tahap Penumbuhan Ide 6.2 Tahap Perencanaan Program
59 63
5
6
6.3 6.4 6.5
Tahap Pelaksanaan Program Tahap Penilaian Program Ikhtisar
70 74 76
7
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOMUNIKASI PARTISIPATIF PEREMPUAN KEPALA KELUARGA 7.1 Faktor Individu 79 7.2 Peran Pendamping 81 7.3 Faktor Sosial Budaya 90 7.4 Ikhtisar 94
8
KEBERDAYAAN PEREMPUAN KEPALA KELUARGA 8.1 Perempuan Kepala Keluarga Pendengar 8.2 Perempuan Kepala Keluarga Kurang Aktif 8.3 Perempuan Kepala Keluarga Aktif 8.4 Manfaat PEKKA Berdasarkan Pandangan Masyarakat bukan Anggota 8.5 Ikhtisar
110 112
SIMPULAN DAN SARAN 9.1 Simpulan 9.2 Saran
115 115
9
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
96 97 106
117 123 131
DAFTAR TABEL 1
Distribusi perempuan kepala keluarga berdasarkan jenis pekerjaan
31
2
Profil subyek kasus
31
3
Matriks jenis data, sumber dan metode pengumpulan data
33
4
Jumlah anggota PEKKA nasional per Maret 2012
46
5
Jumlah desa dan peserta kelompok belajar anak tahun 2012
49
6
Daftar simpan pinjam anggota kelompok, tahun 2012
52
7
Daftar pinjaman dana BLM kelompok Jeumpa Desa Dayah Tanoh
53
8
Produksi video komunitas Kelompok Jeumpa tahun 2008-2011
56
9
Matriks komunikasi partisipatif pada tahap penumbuhan ide
59
10
Matriks komunikasi partisipatif pada tahap perencanaan program
62
11
Matriks komunikasi partisipatif pada tahap pelaksanaan program
71
12
Matriks komunikasi partisipatif pada tahap penilaian program
75
13
Matriks keberdayaan perempuan kepala keluarga
112
DAFTAR GAMBAR 1
Piramida lima kriteria analisis pemberdayaan perempuan Longwe
22
2
Kerangka pemikiran
26
3
Proses analisis data penelitian
36
DAFTAR LAMPIRAN 1
Peta administrasi Kabupaten Pidie
123
2
Peta administrasi Kecamatan Mutiara Timur
124
3
Jadwal penelitian
125
4
Daftar informan
126
5
Foto-foto di daerah penelitian
127
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kaum perempuan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, karena sebagai sumber daya manusia, kemampuan perempuan yang berkualitas sangat diperlukan. Sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas merupakan kunci bagi produktivitas nasional dan bagi penguatan daya saing bangsa di bidang ekonomi maupun sosial di era globalisasi yang semakin kompetitif saat ini. Sumber daya manusia yang berkualitas diharapkan memahami dan mampu mengelola sumber daya alam secara bertanggung jawab serta mendayagunakan prasarana pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. Kondisi kualitas hidup dan peran perempuan di Indonesia masih rendah, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik yang menyebabkan kesenjangan gender dalam pembangunan. Berdasarkan Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium di Indonesia (BAPPENAS 2010) angka buta aksara perempuan sebesar 12.28 persen, sedangkan laki-laki 5.84 persen. Dalam bidang kesehatan, status gizi perempuan masih merupakan masalah utama, di mana angka kematian ibu juga masih sangat tinggi, yaitu sebesar 248 per 100 000 kelahiran hidup. Di bidang ekonomi, tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki jauh lebih tinggi 86.5 persen daripada perempuan 50.2 persen. Berdasarkan data BPS (2010) angka Human Development Index (HDI) Indonesia 71.76, angka Gender-related Development Index (GDI) 59.2, dan angka Gender Empowerment Measurement (GEM) 54.6. Tingginya angka HDI jika dibandingkan dengan angka GDI, menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan SDM secara keseluruhan belum sepenuhnya diikuti dengan keberhasilan pembangunan gender atau masih terdapat kesenjangan gender, terutama di bidang kesehatan, pendidikan, dan ketenagakerjaan. Sementara itu, rendahnya angka GEM menunjukkan bahwa partisipasi dan kesempatan perempuan masih rendah di bidang politik, ekonomi, dan pengambilan keputusan. Kesenjangan gender di berbagai bidang pembangunan disebabkan oleh masih rendahnya peluang yang dimiliki perempuan untuk bekerja dan berusaha, serta rendahnya akses mereka terhadap sumber daya ekonomi seperti teknologi, informasi, pasar, kredit dan modal kerja. Menurut Fakih (2003) salah satu penyebab ketidakadilan gender dalam pembangunan adalah sosiologi ideologi di mana nilai gender sudah terisolasi sehingga pelaku percaya bahwa memang sudah kodrat. Isu gender dalam pembangunan juga muncul karena kurang memperhatikan kenyataan bahwa masyarakat sebagai target pembangunan terdiri dari segmensegmen yang berbeda khususnya perempuan dan laki-laki. Mereka mempunyai kebutuhan, kepedulian, kesulitan dan pengalaman yang berbeda. Mengabaikan kepentingan gender dapat memunculkan kesenjangan gender, kesenjangan terhadap perempuan atau bisa juga kesenjangan terhadap laki-laki (Kem PP dan PA 2010).
2
Kesenjangan gender juga terjadi dalam pembangunan ekonomi. Dalam membedah kemiskinan, permasalahan yang berat sesungguhnya dialami kaum perempuan. Bahkan, kemiskinan kerap identik dengan kehidupan perempuan. Data MDG‟s 2010 menunjukkan, dari sepertiga penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan, sekitar 70 persennnya adalah perempuan. Di Indonesia dari jumlah penduduk miskin yang mencapai 32.53 juta jiwa (14.15 persen), 70 persen dari mereka adalah perempuan (BPS 2010). Berdasarkan data di atas, perempuan merupakan bagian dari masyarakat yang paling banyak memikul beban kemiskinan, terutama apabila perempuan berperan sebagai satu-satunya kepala rumah tangga yang harus menghidupi anak-anaknya. Pada tahun 2010 BPS memperkirakan 14 persen atau sekitar 9 juta rumah tangga di Indonesia di kepalai oleh perempuan. Rumah tangga yang dikepalai perempuan umumnya miskin dan merupakan kelompok termiskin dalam strata sosial ekonomi di Indonesia. Hal ini sangat terkait dengan kualitas sumber daya perempuan kepala keluarga yang rendah, yang dicirikan dengan beberapa faktor, antara lain meliputi: usia mereka antara 20 sampai 60 tahun, lebih dari 38.8 persen buta huruf dan tidak pernah duduk di bangku sekolah dasar sekalipun, menghidupi antara satu sampai enam orang tanggungan, bekerja sebagai buruh tani dan sektor informal dengan pendapatan rata-rata kurang dari Rp10 000 per hari, sebagian mereka mengalami trauma karena tindak kekerasan dalam rumah tangga maupun negara (Seknas PEKKA 2010). Sehubungan dengan masalah kemiskinan ini, pemerintah Indonesia telah banyak melaksanakan program untuk mengurangi jumlah penduduk miskin terutama perempuan dengan berbagai strategi dan pendekatan. Namun demikian, pada umumnya program tersebut berupa pemberian permodalan dan pembangunan infrastruktur yang padat karya dan cenderung pada pelaku ekonomi secara umum saja. Sebagai hasil dari strategi program yang cenderung sektoral, ternyata masih belum menyentuh akar permasalahan penyebab kemiskinan yang salah satunya bermuara ke masalah kesenjangan gender. Masalah rendahnya produktivitas perempuan dalam pengembangan ekonomi keluarga sama sekali belum disentuh secara mendetail dan berkesinambungan. Ketidakberhasilan program-program pembangunan tersebut juga dipengaruhi oleh model komunikasi yang diterapkan dalam proses pelaksanaannya. Pendekatan komunikasi yang dijalankan pemerintah dalam program-program pembangunan selama ini dirasakan bersifat top down, komunikasi yang dilakukan bersifat searah/ linier di mana tidak ada mekanisme untuk memberikan umpan balik dari masyarakat. Masyarakat seringkali hanya dijadikan sebagai obyek bukan subyek dalam pembangunan. Masyarakat diwajibkan terhimpun dalam kelompok yang dibentuk dan dikontrol oleh pemerintah, sehingga kelompok sulit sekali mandiri karena pengelolaannya harus mengikuti petunjuk pemerintah. Akibatnya kelompok biasa bekerja dengan instruksi dari atas dan hampir tidak memiliki peluang terlibat pada proses pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka. Melihat dari kegagalan program-program pembangunan yang masih mengalami kesenjangan gender tersebut, maka pada era globalisasi ini pemerintah telah mencoba untuk merealisasikan program yang dapat menyentuh permasalahan
3
kesenjangan gender serta memberikan penekanan pada pengembangan ekonomi keluarga yang memerlukan suatu strategi dalam pemetaan tentang perkembangan gender dan cara yang arif dalam mensosialisasikan pada masyarakat. Apabila strategi penurunan tingkat kemiskinan perspektif gender dapat disusun dengan baik melalui pengembangan ekonomi keluarga berbasis kehidupan masyarakat, maka diharapkan hasilnya akan lebih baik dan memiliki peluang keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan strategi yang dilaksanakan sebelumnya. Dalam era kemunculan paradigma baru komunikasi pembangunan yang partisipatif ini, semua pihak diundang untuk berpartisipasi dalam proses komunikasi sampai dengan pengambilan keputusan. Komunikasi pendukung pembangunan dilaksanakan dalam model komunikasi horizontal, interaksi komunikasi dilakukan secara lebih demokratis. Kegiatan komunikasi bukan kegiatan memberi dan menerima melainkan “berbagi” dan “berdialog.” Pengembangan komunikasi pembangunan ini perlu dilakukan dengan mengubah paradigma komunikasi pembangunan dari yang berciri linier (searah) dari atas ke bawah ke komunikasi yang berciri konvergen, agar program yang dilaksanakan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Salah satu prinsip dari program pembangunan adalah partisipasi. Partisipasi aktif masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan memerlukan kesadaran warga masyarakat akan minat dan kepentingan yang sama. Salah satu program pembangunan atau pemberdayaan yang melibatkan perempuan khususnya perempuan kepala rumahtangga adalah Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA). Program pemberdayaan ini bertujuan untuk memahami persoalan perempuan kepala keluarga yang komprehensif, sehingga program ini menerapkan strategi pengorganisasian masyarakat atau community organizing (CO) dengan menyoal ketidakadilan gender dan kelas yang ada dalam masyarakat. Untuk mendukung strategi tersebut maka ada lima prinsip dasar program yang diterapkan dalam pelaksanaan Program pemberdayaan PEKKA yaitu partisipatif, fleksibel, pendampingan dan fasilitasi, berkelanjutan, dan terdesentralisasi. Melihat dari strategi yang diterapkan, maka Program pemberdayaan ini merupakan salah satu contoh konsep pembangunan yang bersifat buttom-up planning. Konsep buttom-up planning merupakan sebuah konsep pembangunan yang mengedepankan masyarakat sebagai pemeran utama dalam proses pembangunan pada setiap tahap, tercakup di dalamnya proses perencanaan, pelaksanaan dan juga evaluasi pembangunan (Seknas PEKKA, 2010). Dengan pendekatan ini, maka partisipasi, potensi dan kreativitas perempuan kepala keluarga dapat lebih tergali, serta memiliki rasa tanggungjawab untuk keberlanjutan memberdayakan diri dan memasyarakatnya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa partisipasi melalui komunikasi partisipatif diyakini akan mendorong keberhasilan penyelenggaraan program pembangunan. Oleh karena itu, maka penelitian mengenai komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan perempuan kepala keluarga (PEKKA) ini perlu dilakukan untuk melihat bagaimana bentuk komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga sehingga program tersebut dapat memcapai tujuan dan berhasil.
4
1.2 Perumusan Masalah Salah satu masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia adalah masih relatif besarnya angka kemiskinan penduduk terutama kemiskinan yang dialami perempuan. Dalam usaha untuk mengurangi kemiskinan tersebut, salah satu program pemberdayaan yang dilakukan bagi perempuan adalah Program pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) yang difokuskan kepada perempuan kepala keluarga miskin. Secara umum program ini bertujuan untuk memperkuat perempuan kepala keluarga agar dapat berkontribusi pada proses membangun masyarakat yang sejahtera, demokratis, berkeadilan gender dan bermartabat. Seiring dengan adanya perubahan model komunikasi dalam pelaksanaan program pembangunan sekarang ini dari yang bersifat linier ke arah yang parisipatif, maka pelaksanaan program pemberdayaan ini menerapkan metode partisipatif, di mana masyarakat penerima manfaat turut berpartisipasi secara aktif dan nyata dalam setiap tahapan program. Penerapan model komunikasi partisipatif diharapkan mendukung terciptanya transformasi perempuan kepala keluarga marginal menjadi perempuan kepala keluarga mandiri sesuai dengan tujuan dari program pemberdayaan ini. Intinya penerapan komunikasi parisipatif ini dapat mendorong keberhasilan program pemberdayaan yang ditandai dengan tercapainya tujuan dari program yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan akses terhadap sumber daya, meningkatkan kesadaran kritis, meningkatkan partisipasi dan meningkatkan kontrol terhadap pengambilan keputusan. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk komunikasi partisipatif dalam Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) di Desa Dayah Tanoh Kecamatan Mutiara Timur? 2. Sejauhmana faktor karakteristik individu, peran pendamping dan sosial budaya mempengaruhi komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga dalam Program PEKKA tersebut? 3. Bagaimana tingkat keberdayaan perempuan kepala keluarga setelah mengikuti program tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian Kajian ini dilakukan untuk melihat bentuk komunikasi dan perubahan yang terjadi pada perempuan kepala keluarga. Hal tersebut dapat dilihat pada tingkat keberdayaan perempuan kepala keluarga setelah mengikuti program. Berkaitan dengan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji bentuk komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga dalam program.
5
2. Menganalisis faktor-faktor karakteristik individu, peran pendamping dan sosial budaya yang mempengaruhi komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga dalam program. 3. Mengkaji tingkat keberhasilan program yang dilihat dari tingkat keberdayaan perempuan kepala keluarga setelah mengikuti program.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai manfaat sebagai berikut: 1. Dalam aspek praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan masukan dan evaluasi kepada pemegang kebijakan program pemberdayaan perempuan. 2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan kontribusi pada pengembangan ilmu komunikasi pembangunan pertanian dan pedesaan.
6
7
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Komunikasi Komunikasi adalah bentuk hubungan yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak sengaja (Tubbs dan Moss 2000). Menurut Effendi (2003) komunikasi merupakan proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan agar orang tersebut mengerti dan tahu serta bersedia menerima suatu paham atau keyakinan sehingga mau melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan lain-lain. Untuk lebih memahami komunikasi, ada tiga kerangka pemahaman yang dapat digunakan, yaitu komunikasi sebagai tindakan satu arah, komunikaasi sebagai interaksi dan komunikasi sebagai transaksi (Mulyana 2005). Sebagai tindakan satu arah, suatu pemahaman populer mengenai komunikasi manusia adalah komunikasi yang mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang (atau suatu lembaga) kepada seseorang (atau sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung (tatap muka) ataupun melalui media, seperti surat (selebaran), surat kabar, majalah, radio, atau televisi. Komunikasi dianggap suatu proses linear yang dimulai dengan sumber atau pengirim dan berakhir pada penerima, sasaran atau tujuannya. Komunikasi sebagai interaksi menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab akibat atau aksi reaksi, yang arahnya bergantian. Seorang penerima beraksi dengan memberikan jawaban verbal atau menganggukkan kepala, kemudian orang pertama beraksi lagi setelah menerima respons atau umpan balik dari orang kedua dan begitu seterusnya. Komunikasi sebagai interaksi dipandang sedikit lebih dinamis daripada komunikasi sebagai tindakan satu arah. Salah satu unsur yang dapat ditambahkan dalam konseptualisasi kedua ini adalah umpan balik, yakni apa yang disampaikan penerima pesan kepada sumber pesan.
2.2 Komunikasi Partisipatif dalam Pembangunan Konsep-konsep pembangunan saat ini pada dasarnya masih bersifat materialistis karena yang dipersoalkan masih terbatas pada persoalan materi yang mau dihasilkan dan yang mau dibagi. Hal tersebut disebabkan karena teori pembangunan masih sangat didominasi oleh para ahli ekonomi. Menurut Budiman (2000) pembangunan sebenarnya meliputi dua unsur pokok yaitu masalah materi yang mau dihasilkan serta dibagi dan masalah manusia yang menjadi pengambil inisiatif yang menjadi manusia pembangun. Para ahli ekonomi memang berbicara tentang sumber daya manusia (SDM), tetapi lebih menekankan aspek keterampilan sehingga manusia lebih dianggap sebagai faktor produksi dan lebih ditekankan pada peningkatan produksi saja. Sebaliknya proses-proses yang terjadi dalam diri individu serta bagaimana menciptakan kondisi lingkungan yang memungkinkan terjadinya manusia kreatif kurang diperhatikan dan dipermasalahkan.
8
Pembangunan tidak hanya berurusan dengan produk dan distribusi barang material namun juga harus menciptakan kondisi-kondisi yang membuat manusia bisa mengembangkan kreativitasnya sebagai subjek pembangunan dan tidak sekedar sebagai objek pembangunan. Pembangunan pada akhirnya harus ditujukan pada pembangunan manusia yang kreatif. Hanya manusia seperti inilah yang bisa menyelenggarakan pembangunan dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Produktivitas dan distribusi hasil-hasil pembangunan yang digeluti oleh para ahli ekonomi hanya merupakan akibat dari pembangunan yang berhasil membangun manusia kreatif yaitu manusia pembangun. Untuk membentuk manusia pembangun, berbagai aspek seperti psikologi, sosiologi, politik, antropologi, dan budaya harus dilibatkan secara terpadu (Waskita 2005). Dalam konteks komunikasi pembangunan, Melkote (2006) mengkategorikan pendekatan komunikasi pembangunan menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok paradigma dominan (modernisasi) dan kelompok paradigma alternative (pemberdayaan). Teori-teori dan intervensi dalam paradigma dominandari modernisasi dikembangkan oleh Lerner (1958) dan Schramm (1964) dan studi-studi lainnya yang berkembang pada tahun 1950-an dan 1960-an. Daniel Lerner menekankan peran media massa dalam modernisasi. Lerner menemukan bahwa media massa merupakan agen modernisasi yang ampuh untuk menyebarkan informasidan pengaruhnya kepada individu-individu dalam menciptakan iklim modernisasi. Orang-orang yang terdedah oleh pesan-pesan media massa akan memiliki kemampuan berempati dengan kehidupan masyarakat yang dibaca atau ditontonnya. Kemampuan berempati ini penting agar orang bisa bersikap fleksibel dan efisien dalam menghadapi kehidupan yang berubah. Orang-orang yang mempunyai kemampuan berempati ini akan aktif sebagai warga negara yang menyalurkan aspirasinya melalui partisipasi politik. Oleh karena itu, kemampuan ini perlu dimiliki oleh orang yang ingin keluar dari situasi tradisional (Sarwititi 2005). Partisipasi erat hubungannya dengan kegiatan pembangunan, namun tidak berarti bahwa partisipasi hanya sebatas keikutsertaan masyarakat dalam kegiatankegiatan pelaksanaan pembangunan. Swasono dalam Kurniawati (2010) menyatakan bahwa partisipasi tidaklah hanya pada tahap pelaksanaan pembangunan saja, tetapi meliputi seluruh spektrum pembangunan tersebut yang dimulai dari tahap menggegas rencana kegiatan hingga memberikan umpan balik terhadap gagasan rencana yang telah dilaksanakan. Partisipasi masayarakat dalam pembangunan menurut Slamet (2003) adalah ikutsertanya masyarakat dalam perencanaan pembangunan, ikutserta dalam kegiatankegiatan pembangunan, ikutserta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Menurut Sumodiningrat (2000) partisipasi adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program atau proyek pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah. Menurut Cohen dan Uphoff dalam Manoppo (2009) partisipasi merupakan keterlibatan masyarakat mulai dari pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi. Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai sadar akan situasi dan masalah yang dihadapinya serta berupaya mencari jalan keluar yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah mereka. Partisipasi juga membantu
9
masyarakat miskin untuk melihat realitas sosial ekonomi yang mengelilingi mereka. Analisis proses partisipasi atau peranserta masyarakat sangat penting untuk dilakukan karena dengan demikian usaha komunikasi program pembangunan dalam masyarakat akan memperoleh suatu hasil yang maksimal. Analisis proses partisipasi masyarakat dalam pembangunan telah dilakukan oleh Levis (1996) yaitu meliputi empat tahap, antara lain adah sebagai berikut: 1) Tahap penumbuhan ide untuk membangun dan perencanaan Dalam pelaksanaan program tersebut dapat dilihat apakah pelaksanaan program tersebut didasarkan atas gagasan atau ide yang tumbuh dari kesadaran masyarakat sendiri atau diturunkan dari atas. Jika ide dan prakarsa untuk membangun datangnya dari masyarakat itu sendiri karena tuntutan situasi dan kondisi yang menghimpitnya pada saat itu, maka peran serta aktif masyarakat akan lebih baik. Jika masyarakat sudah ikut dilibatkan dari tahap awal program pembangunan, maka dapat dipastikan bahwa seluruh anggota masyarakat merasa dihargai sebagai manusia yang memiliki potensi atau kemampuan sehingga mereka lebih mudah berperan serta aktif atau berpartisipasi dalam melaksanakan, melestarikan program pembangunan itu sendiri. 2) Tahap pengambilan keputusan atau perencanaan Landasan filosofis dalam tahap ini adalah bahwa setiap orang akan merasa dihargai jika mereka diajak untuk berkompromi, memberikan pemikiran dalam membuat suatu keputusan untuk membangun diri, keluarga, bangsa dan daerah dan negaranya. Keikutsertaan anggota atau seseorang di dalam pengambilan suatu keputusan secara psikososial telah memaksa anggota masyarakat yang bersangkutan untuk turut bertanggungjawab dalam melaksanakan, mengamankan setiap paket programyang dikomunikasikan. Mereka merasa ikut memiliki serta bertanggungjawab secara penuh atas keberhasilan program yang akan dilaksanakan. Dengan demikian dalam diri masyarakat akan tumbuh rasa tanggungjawab secara sadar kemudian berprakarsa untuk berpartisipasi secara positif dalam pembangunan. Tahap pengambilan keputusan yang dimaksud di sini yaitu pada perencanaan suatu kegiatan. 3) Tahap pelaksanaan Untuk mewujudkan kondisi masyarakat agar berpartisipasi dalam melaksanakan program pembangunan yang telah dikomunikasikan, mereka harus dilibatkan dalam melaksanakan setiap pelaksanaan program pembangunan. Tujuan melibatkan masyarakat dalam tahap pelaksanaan adalah agar masyarakat dapat mengetahui secara baik tentang cara melaksanakan suatu program yang akan dilaksanakan sehingga nantinya mereka dapat secara mandiri dan mampu melanjutkan, meningkatkan serta melestarikan program pembangunan yang dilaksanakan. Tujuan lainnya adalah untuk menghilangkan ketergantungan masyarakat terhadap pihal luar dalam hal ini komunikator atau pendamping yang selama ini selalu terjadi dan akan menjamin bahwa program pembangunan itu sendiri tidak akan lenyap serta merta setelah kepergian para petugas lapang.
10
4) Tahap penilaian/evaluasi Dalam tahap evaluasi masyarakat diharapkan mampu menilai diri sendiri, dengan mengungkapkan apa yang mereka tahu dan perlukan. Mereka diberi kebebasan untuk menilai sesuai dengan apa yang ada dalam benaknya, pengalaman, kelebihan atau keuntungan dari program, kelemahannya, manfaat, hambatan, faktor pelancar yang mereka hadapi dalam operasionalisasi program secara bersama-sama mencarikan alternatif terbaik sebagai bahan pertimbangan bagi pelaksanaan program. Slamet (2003) menjelaskan ada tiga faktor yang berhubungan atau mendukung partisipasi yaitu: kesempatan, kemampuan dan kemauan. Keberadaan kesempatan, kemampuan dan kemauan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan dipengaruhi oleh berbagai faktor seputar kehidupan manusia yang saling berinteraksi satu sama lain, terutama faktor-faktor psikologis individu (needs, harapan, motif, reward), terpaan informasi, pendidikan (formal dan nonformal), keterampilan, kondisi permodalan yang dimiliki, teknologi (sarana dan prasarana), kelembagaan (formal dan informal, kepemimpinan (formal dan informal) dan struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal (norma, tradisi dan adat istiadat) serta pengaturan dan pelayanan pemerintah. Upaya penumbuh dan pengembangan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan dapat diupayakan melalui kegiatan pemberdayaan yang dalam prakteknya dilakukan melalui kegiatan komunikasi pembangunan yang partisipatif, di mana bentuk komunikasi yang mengkondisikan masyarakat bebas berpendapat, berekspresi dan mengungkapkan diri secara terbuka satu sama lainnya. Pendekatan komunikasi yang dibutuhkan adalah pendekatan model komunikasi yang memungkinkan adanya pertukaran informasi antar komponen dalam proses komunikasi dengan banyak dimensi. Pendekatan ini sering disebut dengan model partisipasi (participatory model) atau model interaksi (interaktif model). (Sulistyowati, et al 2005).Dengan demikian, di dalam model inti tidak hanya mencakup komunikasi dua tahap dan bahkan banyak tahap, tetapi juga banyak dimensi. Selain komunikasi dengan lingkungan komunikan masih ada juga unsur seberapa jauh lingkungan komunikator cocok dengan lingkungan komunikan. Sumardjo (1999) menguraikan model komunikasi konvergen atau interaktif bersifat dua arah yakni partisipatif baik vertikal maupun horizontal. Artinya keputusan di tingkat perencanaan program pembangunan sangat memperhatikan kebutuhan dan kepentingan di tingkat “bawah” (yang biasa disebut sasaran pembangunan), tanpa harus mengabaikan arah dan percepatan pembangunan, dengan titik berat pembangunan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan memperhatikan hak-haknya sebagai manusia dan warga negara. Pendekatan ini lebih menempatkan martabat manusia secara lebih layak, keberadaan masyarakat dengan aspek kepentingan dan kemampuannya menjadi lebih dikenali dan dihargai, sehingga lebih mendorong terjadinya partisipasi masyarakat yang lebih luas. Karakteristik mendasar dari komunikasi partisipatif adalah: (1) pertukaran informasi antar stakeholder yang terlibat dilakukan melalui dialog, dalam model ini tidak ada pengirim atau penerima, karena keduanya berlangsung dalam waktu bersamaan, kekuatan yang seimbang dan kesetaraan; (2) komunikasi partisipatif dianggap sebagai proses daripada sebagai model yang statis, sebagai proses sosial,
11
komunikasi partisipatif dimaksudkan untuk mencapai pengertian bersama di antara seluruh partisipan sebagai dasar bertindak untuk mencapai konsensus; (3) komunikasi partisipatif tidak bisa ditetapkan formula secara universal pada pesan, saluran dan model yang diikuti, tetapi sebuah pencarian yang disesuaikan dengan situasi dan budaya dalam sistem sosial, pencarian dilakukan oleh stakeholder utama (anggota masyarakat) (Mefalopulos 2003). Menurut Servaes (2002) adapun prinsip-prinsip komunikasi partisipatif yang terdiri dari: (1) masyarakat biasa (bukan agen perubahan atau struktur kekuasaan formal) sebagai “agen utama” perubahan. Komunikasi diarahkan untuk mendorong kemandirian masyarakat; (2) tujuan pembangunan adalah pendidikan dan aktivitas orang terhadap perbaikan diri dan masyarakat, keterlibatan orang lokal dalam pengelolaan dan evaluasi program pembangunan, pendidikan penting untuk pemberdayaan bukan instruksi “know-how”, belajar bukan proses pasif; (3) pergeseran kembali fokus dari negara kepada masyarakat lokal; (4) partisipasi melibatkan pendistribusian kembali kekuasaan dari elit kepada masyarakat lokal dan (5) komunikasi partisipatif memerlukan pelaksanaan penelitian dalam tradisi baru yang disebut “penelitian partisipatif”. Maksudnya penelitian yang memungkinkan masyarakat melakukan sendiri bukan temuan akademisi atau “ahli”, karena masyarakat dipercaya dapat merefleksikan situasi yang menindas mereka dan mengubahnya, mereka lebih mengetahui kebutuhan dan realitasnya daripada “para ahli”. Hamijoyo (2005) menyebutkan komunikasi partisipatif mengasumsikan adanya proses humanis yang menempatkan individu sebagai aktor aktif dalam merespons setiap stimulus yang muncul dalam lingkungan yang menjadi medan kehidupannya. Individu bukanlah wujud yang pasif yang hanya bergerak jika ada yang menggerakkan. Individu adalah wujud dinamis yang menjadi subyek dalam setiap perilaku yang diperankan termasuk perilaku komunikasi. White (2004) mendefinisikan komunikasi partisipatif sebagai dialog terbuka, sumber dan penerima berinteraksi secara kontinyu, memikirkan secara konstruktif situasi, mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan pembangunan, memutuskan apa yang yang dibutuhkan untuk meningkatkan situasi dan bertindak atas situasi tersebut. Sedangkan Singhal (2001) mengartikan komunikasi partisipatif adalah sebuah proses dinamis, interaktif dan transformasional, di mana orang terlibat dalam dialog, dengan individu dan kelompok masyarakat dalam rangka merealisasikan potensi secara penuh agar dapat meningkatkan kehidupan mereka. Menurut Bordenave dalam White (2004) komunikasi partisipatif dapat diartikan sebagai proses komunikasi yang memberikan kebebasan, hak dan akses yang sama dalam memberikan pandangan, perasaan, keinginan, pengalaman dan menyampaikan informasi ke masyarakat untuk menyelesaikan sebuah masalah melalui dialog. Dialog adalah komunikasi transaksional dimana pengirim (sender) dan penerima (receiver) pesan saling berinteraksi dalam suatu periode waktu tertentu hingga sampai pada makna-makna yang saling berbagi. Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain atau suara lain, sebagai subjek yang otonom, tidak lagi hanya sebagai objek komunikasi. Dalam dialog setiap orang
12
memiliki hak yang sama untuk bicara atau untuk didengar dan mengharap bahwa suaranya tidak akan ditekan oleh orang lain atau disatukan dengan suara orang lain. Rahim dalam White (2004) mendefinisikan komunikasi partisipatif adalah suatu proses komunikasi dimana terjadi komunikasi dua arah atau dialogis, sehingga menghasilkan suatu pemahaman yang sama terhadap pesan yang disampaikan. Dalam konsep public sphere, dialog merupakan suatu aktivitas komunikasi yang terbuka dan dapat diakses oleh para peserta. Dalam konsep ini yang dicari bukan saja berorientasi pada keberhasilannya masing-masing, namun yang lebih penting adalah bagaimana situasi pemahaman bersama terhadap realitas menjadi dasar bagi pencapaian kepentingan mereka, tanpa mengabaikan kesesuaian antara rencana dan aksi (Habermas 1990). Menurut Tufte dan Mefalopulos (2009) terdapat tiga cara untuk melakukan komunikasi dalam sebuah program yaitu: (1) komunikasi secara monologik, di mana komunikasi yang hanya berlangsung satu arah dari komunikator yang tidak memberikan kesempatan orang lain (komunikan) untuk berbicara atau menyampaikan reaksi; (2) komunikasi secara dialogik, di mana komunikasi yang berlangsung dua arah dari komunikator ke komunikan, komunikan diberi kesempatan bahkan diharapkan memberikan tanggapan atau feedback dan (3) komunikasi secara gabungan dari monologik dan dialogik atau multi tract. Dapat disimpulkan bahwa dialog sebagai basis komunikasi dalam program pembagunan yang mengklaim sebagai partisipatif berarti masyarakat saling bertukar informasi dan bekerja sama dengan agent eksternal (birokrasi pembnagunan, penyedia program, fasilitator dan elit lokal) dalam proses pengambilan keputusan. Proses ini dilakukan untuk pemberdayaan masyarakat, agar masyarakat memiliki kemampuan untuk mengontrol tindakan dan aktivitas program yang membawa manfaat bagi meningkatnya kualitas hidup mereka.
2.3 Faktor-Faktor Penentu Penerapan Komunikasi Partisipatif Chitnis (2011) menyatakan dalam tataran filosofis, tiga kunci faktor penentu komunikasi partisipatif dapat ditelusuri melalui ranah politik, ranah epistemological, dan ranah organizational. Pertama ranah politik, komunikasi partisipatif adalah aktivitas politik didasarkan atas perubahan kekuasan yang setara. Berarti keterbatasan sumberdaya masyarakat dalam komunikasi dapat diatasi agar suara mereka dapat didengar. Dalam paradigma dominan, media massa sebagai distribusi sistem (logika kapitalis) berubah menjadi sistem komunikasi dua arah dan munculnya dialog. Kedua ranah epistemological, komunikasi partisipatif didasarkan pada perubahan posisi dari teori dan praktek komunikasi yang menguatkan status quo, mempertahankan kelas, kasta dan ketidaksetaraan gender telah berubah dan didasarkan pada retorika dan praktek pembebasan yaitu kebebasan, emansipasi, perjuangan, pilihan opsi untuk kaum miskin, transformasi dan perubahan. Ketiga ranah organizational, komunikasi partisipatif sukses diimplementasikan bila didasarkan atas perubahan etika dan metode operasional organisasi/ kelembagaan penyelenggara; mencakup antusiasme non hirarki, non
13
formal, membangun kerangka demokratis sebagai metode penting program partisipatif. Rahim dalam White (2004) menyatakan bahwa penerapan komunikasi partisipatif melalui model dialogis menuntut adanya pengetahuan tentang heteroglassia sosial dalam sistem pembangunan. Pengetahuan tentang informasi detail dan signifikan tentang kelompok sosial dan masyarakat serta hubungan struktural yang mencakup aspek; ekonomi, sosial dan aktivitas budaya serta eventevent yang merupakan pola kehidupan mereka yang normal; agen dan lembaga, melalui mana mereka dapat mewakilkan sudut pandang dan nilai-nilai. Terutama informasi pada kelompok masyarakat yang sampai saat ini masih dalam kondisi marjinal, ketidakberuntungan, terabaikan atau tertindas di bawah hegemoni sosial. Penerapan komunikasi partisipatif dalam pengambilan keputusan dan pertukaran informasi dengan penekanan pada dialog dalam program pembangunan dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal yaitu karakteristik masyarakat sebagai sistem sosial dan heteroglassia sosial dalam usia, pendidikan, status perkawinan, jumlah tanggungan, jenis pekerjaan, motivasi dan faktor lainnya (Mefalopulos 2003). Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh dalam penerapan komunikasi partisipatif melalui dialog adalah peran pendamping sebagai agen eksternal (Ife 1995) dan dukungan kelembagaan (White 2004). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan komunikasi partisipatif dapat dipengaruhi oleh faktor individu, peran pendamping dan komponen sosial budaya. Faktor individu terdiri dari umur, pendidikan, alokasi waktu (yang dipengaruhi oleh sebab menjadi perempuan kepala keluarga, jumlah tanggungan keluarga dan jenis pekerjaan), dan motivasi. Sedangkan komponen sosial budaya meliputi kelembagaan kemasyarakatan/norma dan bahasa. 1) Umur Secara kronologis umur dapat memberikan petunjuk untuk menentukan tingkat perkembangan individu (Salkind 1985). Suprayitno (2011) menemukan umur merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam partisipasi pengelolaan hutan. Menurut Suardiman (2001) menyatakan umur bagi seorang perempuan berperan dalam menghadapi kehidupan rumahtangganya, semakin tinggi usia seseorang akan diikuti oleh kedewasaan atau kematangan dalam menghadapi suatu masalah. Umur juga berhubungan dengan tingkat penerimaan auatu inovasi atau teknologi baru. Robbins dalam Manoppo (2009) mengatakan bahwa para pekerja yang sudah berumur atau tua cenderung kurang luwes dan menolak teknologi baru. Selanjutnya dijelaskan bahwa umur juga berhubungan dengan produktivitas. Produktivitas akan merosot dengan semakin bertambahnya umur seseorang. Keterampilan individu terutama menyangkut kecepatan, kecekatan, kekuatan dan koordinasi menurun seiring berjalannya waktu dan kurangnya rangsangan intelektualitas, semua berkontribusi terhadap menurunnya produktivitas.
14
2) Pendidikan Pendidikan merupakan suatu faktor internal individu yang memungkinkan seseorang dapat memperoleh berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Menurut Slamet (2003) pendidikan adalah usaha untuk menghasilkan perubahan-perubahan pada perilaku manusia. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia terutama dalam membuka cakrawala/ pikiran dan dalam menerima hal-hal baru dan bagaimana cara berpikir secara ilmiah. Saharuddin (1987) mengatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi partisipasinya pada tingkat perencanaan, oleh karena itu semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang dapat diharapkan semakin baik pula cara berfikir dan cara bertindaknya. Menurut Van Den Ban dan Hawkins (1999) pendidikan merupakan sarana untuk membentuk pendapat dan keberanian dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian Herawati dan Pulungan (2006) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula partisipasinya dalam mengajukan saran. Sedangkan menurut Plumer dalam Yulianti (2012) faktor pendidikan dan buta huruf sangat berpengaruh bagi keinginan dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi serta untuk memahami dan melaksanakan tingkatan dan bentuk partisipasi yang ada. Mengacu pada pendapat tersebut, diduga masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan (baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal) yang cukup akan lebih mudah berpartisipasi dalam forum musyawarah melalui dialog. 3) Alokasi Waktu Curahan waktu yang tersedia pada perempuan khususnya perempuan kepala keluarga merupakan faktor yang berhubungan dengan tingkat partisipasi melalui kegiatan komunikasi partisipatif mereka dalam program. Besarnya curahan waktu yang tersedia bagi setiap perempuan kepala keluarga dalam program berbeda-beda di tiap-tiap daerah. Evenson dalam Manoppo (2009) mengemukakan bahwa dalam kerangka ekonomi keluarga, waktu dan anggota keluarga merupakan sumber daya dan faktor produksi. Bagi keluarga miskin, waktu merupakan sumber daya yang sangat penting yang akan dialokasikan untuk berbagai kegiatan dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat meminimumkan biaya produksi kebutuhan keluarga. Makin rendah ekonomi keluarga petani, makin besar curahan waktu yang yang digunakan wanita untuk memperoleh penghasilan. Menurut King dalam Suandi (2001) mengemukakan bahwa sesuai dengan peranannya, pembagian alokasi waktu wanita dalam rumah tangga dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) waktu untuk bekerja produktif di pasar kerja atau mencari nafkah, (2) waktu untuk bekerja produktif di rumah tangga, dan (3) waktu untuk konsumsi lainnya, seperti: waktu untuk kebutuhan fisiologis dan rekreasi. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini diarahkan untuk melihat alokasi waktu perempuan kepala keluarga dalam program yang dipengaruhi oleh faktor sebab mereka menjadi kepala keluarga, jumlah tanggungan keluarga dan pekerjaan.
15
a) Sebab menjadi Kepala Keluarga Sebab menjadi kepala keluarga akan mempengaruhi kehidupan mereka dalam berinteraksi. Seorang janda (perempuan kepala keluarga) akan berbeda tindakan atau perilakunya dalam masyarakat dibandingkan dengan perempuan yang bukan janda. Menurut Seknas PEKKA (2010) perempuan kepala keluarga memiliki tanggungjawab yang besar dalam hal mencari nafkah dan mengurus rumahtangganya. Berdasarkan pendapat tersebut, diduga perempuan kepala keluarga memiliki keterbatasan waktu, akses dan partisipasinya dalam implementasi program pembangunan. b) Jumlah Tanggungan Keluarga Besar kecilnya jumlah keluarga mempunyai kaitan erat dengan upaya untuk memperoleh pendapatan dalam keluarga, sehingga dapat menyebabkan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup keluarga tersebut. Menurut Sajogyo (1984) menyatakan peningkatan pendapatan yang diperoleh dari perempuan yang bekerja sangat diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya terlebih lagi bagi yang mempunyai jumlah tanggungan dan beban keluarga yang tidak sedikit. Hasil penelitian Surtiyah dalam Manoppo (2009) menyatakan bahwa bagi perempuan miskin yang mempunyai anggota keluarga yang besar umumnya mempunyai semangat kerja yang tinggi sehingga partisipasi dalam setiap program juga tinggi. c) Pekerjaan Status kerja atau jenis pekerjaan seseorang di sektor formal dan informal akan mempengaruhi pribadi dan lingkungan di sekitarnya terutama dalam hal bertindak. Menurut Brothers dalam Suardiman (2001) menyatakan bahwa perempuan yang bekerja di sektor formal akan memiliki kepercayaan diri yang besar. Menurut Plumer dalam Yulianti (2012) biasanya orang dengan tingkat pekerjaan tertentu akandapat lebih meluangkan ataupun bahkan tidak meluangkan sedikitpun waktunya untuk berpartisipasi pada suatu proyek tertentu. Seringkali alasan yang mendasar pada masyarakat adalah adanya pertentangan antara komitmen terhadap pekerjaan dengan keinginan untuk berpartisipasi. 4) Motivasi Motivasi terdiri dari kata „motif‟ berarti dorongan dan „asi‟ berarti usaha. Padmowiharjo dalam Manoppo (2009), motivasi adalah usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan suatu tindakan. Motivasi adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk melaksanakan sesuatu. Daya atau kekuatan tersebut dapat berupa pemenuhan akan kebutuhan biologis, seperti kebutuhan makan, istirahat atau kebutuhan untuk berkuasa. Tingkah laku manusia disebabkan oleh adanya kebutuhan dan ditambah dengan adanya dorongan tertentu. Adanya kebutuhan dan dorongan ini seseorang akan merasa siap untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Jika keadaan siap mengarah kepada suatu kegiatan konkrit disebut sebagai motif. Selanjutnya usaha untuk menggiatkan motif-motif tersebut menjadi tingkah laku konkrit disebut dengan tingkah laku bermotivasi.
16
Motivasi merupakan keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan. Menurut Maslow (1993) motivasi erat kaitannya dengan kebutuhan manusia. Menurut teori ini, ada lima tingkatan kebutuhan dalam diri manusia (pokok) mulai dari yang paling dasar sampai ke yang paling tinggi, yaitu: kebutuhan fisiologis, kebutuhan memperoleh rasa aman, kebutuhan rasa memiliki dan rasa cinta, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Kelima jenis kebutuhan itu merupakan jenjang yang saling terkait dan mendorong individu untuk melakukan berbagai tindakan. 5) Peran Pendamping Menurut Ife (1995) keberhasilan komunikasi partisipatif dalam program pembangunan melalui proses dialogis sangat tergantung pada peran fasilitator sebagai inisiator dan perencana. Untuk itu fasilitator perlu memiliki sensitifitas dan kesadaran dampak pembangunan ekonomi terhadap kultur masyarakat. Kompetensi yang perlu dimiliki oleh fasilitator sebagai perencana adalah pengetahuan tentang tentang: konsep-konsep manajemen, cara mengatasi masalah, dapat bertindak sebagai pengarah orchestra dinamika kelompok, sebagai komunikator yang mengetahui akses informasi (klarifikasi, sintesis, keterhubungan (link) dengan warga, mengembangkan diskusi dan memfasilitasi partisipasi). Sejalan dengan pendapat di atas, Leuwis dalam Satriani (2011) menyatakan fungsi-fungsi komunikasi yang relevan dilakukan oleh aktor (fasilitator) melalui intervensi komunikatif dan partisipatif sebagai sarana pemberdayaan masyarakat meliputi: (1) fungsi meningkatkan kesadaran dan penyadaran isu-isu yang akan didefinisikan; (2) mengeksplorasi pandangan dan isu-isu; (3) penyediaan informasi, intervensi komunikatif berupa membuat informasi yang dapat diakses; (4) pelatihan, intervensi komunikatif berupa mentransfer dan mengembangkan pengetahuan khusus, ketrampilan dan kemampuan-kemampuan yang sesuai dengan masyarakat. Menurut Ife (1995) peranan dan keterampilan yang harus dimiliki pendamping/ fasilitator sebagai agen perubahan dalam program pembangunan di antaranya adalah: a. Peranan fasilitatif Proses fasilitatif, peranan yang dapat dilakukan oleh fasilitator antara lain: (a) membantu anggota komunitas agar mereka berpartisipasi dalam program pengembangan masyarakat dengan memberikan inspirasi, semangat, rangsangan, inisiatif, energi, dan motivasi sehingga mampu bertindak. Animator yang berhasil memiliki ciri-ciri: bersemangat, memiliki komitmen, memiliki integritas, mampu berkomunikasi dengan berbagai kalangan, mampu menganalisis dan mengambil langkah yang tepat, dan mudah bergaul dan terbuka; (b) mendengar dan memahami aspirasi anggota komunitas, bersikap netral, mampu mencari jalan keluar, dan mampu bernegosiasi (negosiator); (c) memberikan dukungan kepada orang-orang yang terlibat dalam struktur dan kegiatan komunitas; (d) membantu anggota komunitas untuk mencari konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak; (e) memberikan fasilitas kepada anggota komunitas; dan (f) memanfaatkan sumberdaya dan keahlian yang ada dalam komunitas.
17
b. Peranan edukatif Tantangan fasilitator adalah “mengajar” dengan cara seterbuka mungkin sambil menanggapi agenda partisipan, dari pada menguatkan struktur pengawasan dan dominasi dari agenda pemerintah, badan pembiayaan atau asosiasi professional. Ini dapat menjadi suatu tantangan yang berarti, dan menekankan pentingnya diskusi analisa struktural yang lebih luas. Banyak dari keterampilan dasar yang berasosiasi dengan pendidikan, seperti dengan kelompok dan interaksi interpersonal. Mereka memasukkan dan memberikan suatu gagasan dengan menggunakan bahasa rakyat yang jelas untuk dipahami, dapat mendengar dan menanggapi pertanyaan orang lain dan merasakannya. Peran pendidikan dan fasilitator adalah menertibkan kesadaran, menginformasikan, menghadapkan (mengkonfrontasikan), dan memberikan pelatihan kepada partisipan. Konteks seorang fasilitator mesti mampu menjawab bagaimana dia membutuhkan kesadaran (consciousness). Menyampaikan informasi, menciptakan dinamika internal dari suatu komunitas, dan memberikan pelatihan berdasarkan topik yang sesuai dengan kebutuhan anggota komunitas. Fasilitator dituntut berperan aktif dalam proses pendidikan guna merangsang dan mendukung kegiatan-kegiatan komunitas. Kegiatan itu tidak saja membantu, namun lebih-lebih harus punya input dan arahan-arahan positif dari hasil pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai fasilitator. Pendidikan dalam artian ini adalah upaya berbagi pengetahuan dalam membangun suatu kesadaran bersama dalam memahami kenyataan sehari-hari. c. Peranan sebagai peneliti Fasilitator juga mempunyai kepentingan untuk melakukan penelitian, guna mengumpulkan dan menginterpretasikan data baru yang terkait, sehingga dapat memperkaya wawasan dan memberikan sumbangan bagi pengembangan model pemberdayaan sejenis di masa mendatang. Pekerja masyarakat (fasilitator) tidak terelakkan terlibat di dalam proses-proses riset, dengan menggunakan bermacam metodologi riset ilmu sosial untuk mengumpulkan data yang relevan, meneliti dan menyajikan data. Hal ini termasuk dalam hal merancang dan melaksanakan survai sosial, meneliti dari survei-survei, menggunakan dan meneliti data sensus, mengumpulkan dan meneliti data tentang permintaan dan pemanfaatan berbagai jasa. Ini adalah satu bidang di mana pengetahuan teknis seperti sampling, membangun daftar pertanyaan/kuesioner dan analisis statistik diperlukan jika pekerjaan sosial ingin berjalan dengan baik. d. Peranan teknikal Proses pemberdayaan masyarakat perlu melibatkan keahlian dan teknik-teknik yang khas, terutama untuk melakukan “need assessment.” Peran teknik yang akan dilakukan oleh seorang fasilitator dalam pemberdayaan dapat terlaksana jika yang bersangkutan memiliki kualifikasi teknis untuk membantu masyarakat melakukan hal-hal teknis yang berkaitan dengan pembangunan prasarana desa.
18
6) Lembaga Kemasyarakatan/ Norma Partisipasi dan kualitas komunikasi partisipatif masyarakat dalam program pembangunan juga ditentukan oleh peran kelembagaan masyarakat (termasuk norma). Uphoff (1986) mendefinisikan institusi atau kelembagaan sebagai sebuah kumpulan norma dan perilaku yang berlangsung lama dengan melayani tujuan yang bernilai sosial, sedangkan organisasi adalah struktur peranan yang dikenali dan diterima. Norma merupakan aturan sosial, patokan berperilaku yang pantas, atau tingkah laku rata-rata yang diabstraksikan. Kekuatan mengikat sistem norma terbagi menjadi empat tingkatan dari yang paling ringan yaitu cara, kebiasaan, tata kelakuan, dan adat istiadat. Norma bersumber dari nilai dan merupakan wujud konkrit dari nilai. Dalam norma termuat hal-hal tentang keharausan, dianjurkan, dibolehkan atau larangan. Norma mengontrol perilaku masyarakat. Dengan adanya norma-norma tersebut, dalam setiap masyarakat diselenggarakan pengendalian sosial atau social control (Soekanto 2006). Norma di masyarakat sangat berpengaruh menentukan penerapan komunikasi partisipatif dalam masyarakat. Muchlis (2009) menemukan norma yang berlaku di masyarakat desa sangat kental dengan budaya patriarkhi dan patron-client. Hal ini menyebabkan akses yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan dan antara golongan elit desa yaitu tokoh informal dan formal dengan masyarakat akar rumput (rumahtangga miskin) yang terlibat dalam even rapat dan musyawarah desa. Menurut Soekanto (2006) lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kebutuhan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan memiliki fungsi, antara lain: (a) Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat: bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan. (b) Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara. (c) Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial; artinya sistem pengawasan masyrakat terhadap tingkah laku anggotanya. 7) Bahasa Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa symbol bunyi yang di hasilkan oleh alat ucap manusia baik secara lisan maupun tulisan.Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya (Gorys Keraf dalam Rinawati 2012).
19
Cara berbahasa tertentu selain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi pula sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Pada saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kita akan menggunakan bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan menggunakan bahasa standar pada orang tua atau orang yang kita hormati. Menurut hasil penelitian Rinawati (2012) sebagian besar perempuan menggunakan bahasa daerah (sunda) dalam kehidupan sehari-hari, demikian pula dalam kegiatan pemberdayaan. Namun demikian sebagian dari perempuan tersebut ada yang menggunakan bahasa Indonesia. Salah satu alasan penggunaan bahasa sunda dalam percakapan sehari-hari maupun dalam kegiatan pemberdayaan dikarenakan tradisi atau budaya para perempuan tersebut.
2.4 Pemberdayaan Perempuan dalam Program Pembangunan Pemberdayaan masyarakat (community emporwerment) merupakan perwujudan pengembangan kapasitas masyarakat yang bernuansa pada pemberdayaan sumberdaya manusia agar dapat memahami hak dan kewajibannya sesuai dengan status dan perannya di masyarakat. Realisasi pemberdayaan masyarakat mencakup interaksi aktif dua pelaku, yaitu pihak pemberdaya dan pihak yang diberdaya. Pihak pemberdaya dapat berasal dari dalam dan dari luar sistem sosial masyarakat yang diberdaya. Akan tetapi, dalam kenyataan di lapangan yang sering ditemui adalah pihak pemberdaya selalu berasal dari luar sistem sosial. Hal ini terjadi sebagai akibat lemahnya posisi “pihak yang diberdaya” karena ketidakmampuan memberdayakan diri sendiri. Kejadian ini tidak selalu disebabkan oleh faktor internal sistem sosial yang bersangkutan, tetapi sering kali disebabkan oleh supra-infra struktur yang kurang memihak kepada mereka. Karena itu sangat penting dilaksanakan di tingkat lapangan untuk menempatkan pihak yang diberdaya sebagai mitra kerja pemberdaya dan bukan sebagai manusia yang bodoh. Karena itu, sikap arogansi dan perasaan “lebih” (lebih pintar, lebih tahu, lebih lain-lainnya) yang sering ditampilkan oleh pihak pemberdaya harus dihilangkan. Jika tidak maka yang terjadi adalah interaksi sepihak atau tidak berkomunikasi (Hubeis 2010). Menurut Suharto (2005) secara konseptual pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment) berasal dari kata power (kekuasaan atau keberdayaan. Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam: 1) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga memiliki kebebasan dalam arti bebas mengemukakan pendapat, bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; 2) menjangkau sumbersumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang dan jasa yang diperlukan; dan 3) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
20
Beberapa ahli mengemukakan definisi pemberdayaan dilihat dari tujuan, proses dan cara-cara pemberdayaan: 1) Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife 1995). 2) Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons et all dalam Suharto 2005). 3) Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin dalam Suharto 2005). 4) Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport dalamSuharto 2005). Maksud pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya. White (2004) menyimpulkan bahwa pemberdayaan adalah penegasan martabat dan nilai identitas diri sendiri, serta mengevaluasi kembali kebudayaan lokal. Hal ini juga berarti lembaga kebudayaan yang menjadi modal budaya diberi bengakuan yang lebih besar dan lebih bernilai. Pengertian ini juga penting bahwa harga hubungan perubahan kekuasaan bukan merupakan identitas dirinya sendiri. Dengan premis bahwa seluruh identitas sosial yang menyumbang keadilan dan komunitas yang dihargai, dunia membutuhkan kekayaan identitas budaya yang beragam. Pemberdayaan meyakinkan bahwa perempuan mampu membantu dirinya sendiri. Dalam teori posisioning pemberdayaan lebih diarahkan pada ”conversational” yaitu proses dialog dan dialektika (Raggat dalam Soetrisno, 2001). Melkote (2006) dalam bukunya yang berjudul Communication for Development in the Third World, salah satu yang sangat luas digunakan saat ini adalah pemberdayaan sebagai pusat pengorganisasian konsep. Mereka setuju bahwa ketidakadilan kekuasaan sebagai permasalahan sentral yang harus dipecahkan dalam pembangunan. Selanjutnya pemberdayaan didefinisikan sebagai sebuah proses dalam mana secara individual dan organisasional memperoleh pengawasan dan penguasaan kondisi sosial ekonomi yang lebih banyak, dengan partisipasi demokrasi yang lebih dalam komunitasnya dan kisah mereka sendiri. Menurut Servaes (2002) bentuk-bentuk komunikasi pembangunan yang partisipatif berwawasan gender dalam konsep pemberdayaan adalah mencakup forum dialog akar rumput (grassroots dialog forum), fungsi baru komunikasi pada media partisipatif (participatory media), berbagi pengetahuan secara setara (knowledgesharing on a co-equal basis) dan model komunikator pendukung pembangunan (development support communication). Dialog akar rumput didasarkan atas kaidah partisipasi untuk mempertemukan sumber dan agen perubahan langsung dengan masyarakat.Metode yang digunakan adalah penyadaran (conscientization) melalui dialog. Lebih jauh lagi masyarakat diajak untuk merumuskan permasalahan dan
21
menemukan pemecahannya sekaligus pelaksanaan kegiatan dalam upaya pemecahan permasalahan. Dalam konteks pengembangan masyarakat, pemberdayaan perempuan merupakan suatu upaya meningkatkan partisipasi aktif perempuan dengan memberikan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kapasitas atau kemampuannya untuk menentukan masa depannya dan untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi kehidupan komunitasnya. Baso dalam Burhanuddin (2003) menyatakan bahwa pemberdayaan perempuan adalah upaya sistematis untuk memastikan pencapaian kesejahteraan perempuan yang diukur berdasarkan upaya memberdayakan kelompok-kelompok perempuan, terutama di jenjang grass root. Pendekatan pembangunan yang dipakai adalah pendekatan yang adil dan setara, sehingga ada jaminan terbukanya seluruh akses baik laki-laki maupun perempuan untuk ikut berperan aktif dalam seluruh kegiatan masyarakat, karena sebagai manusia laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Pendekatan yang sejajar dan setara memberi peluang kemitraan bagi laki-laki dan perempuan sehingaa akan saling melengkapi sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing bukan untuk saling menguasai. Pada kenyataannya perempuan harus berjuang untuk melibatkan diri dalam proses pembangunan. Makin banyak pembangunan tersebut semakin memunculkan fenomena mensubordinasikan perempuan. Selama ini yang terjadi bukan pembangunan untuk perempuan akan tetapi perempuan untuk pembangunan. Upaya memberdayakan perempuan perlu terus dilakukan agar mereka tidak terlibat sebagai objek melainkan sebagai subjek dan memberikan seluruh potensinya untuk proses pembangunan. Proses pembangunan seperti yang didefinisikan oleh sebagian besar agenagen pembangunan, memerlukan keterlibatan aktif kelompok sasaran sebagai peserta dalam proses pembangunan itu, mereka tidak boleh hanya menjadi penerima bantuan proyek yang pasif, tetapi harus memperbaiki kapasitas mereka agar mampu mengenali dan mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. Untuk sampai definisi ini, proses pembengunan perempuan harus mengkombinasikan konsep kesetaraan gender dan konsep pemberdayaan perempuan di mana perempuan dapat terlibat dalam semua proses pembangunan. Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki merupakan tujuan hakiki pembangunan perempuan, maka wajar pemberdayaan perempuan menjadi alat utama untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam mewujudkan kesetaraan.Upaya pemberdayaan perempuan dapat dilakukan melalui berbagai metode dan strategi, salah satunya teknik analisis Longwe (Sara Hlupekile Longwe) atau biasa disebut dengan kriteria pembangunan perempuan (Women‟s Empowerment Criteria atau Women‟s Development Criteria), adalah suatu teknis analisis yang dikembangkan sebagai metode pemberdayaan perempuan dengan lima kriteria analisis yang meliputi kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi, dan kontrol (Gambar 1) (Mosse 2002). Kelima dimensi ini adalah kategori analitis yang bersifat dinamis, satu sama lain saling berhubungan sinergis, saling menguatkan dan melengkapi, serta mempunyai hubungan hierarkhis. Di samping itu, kelima dimensi tersebut juga
22
merupakan tingkatan yang bergerak memutar seperti spiral, makin tinggi tingkat kesetaraan makin tinggi tingkat keberdayaan.
Kontrol Partisipasi Penyadaran Akses Kesejahteraan
Gambar 1 Piramida lima kriteria analisis pemberdayaan perempuan Longwe
1) Dimensi kesejahteraan, dimensi ini merupakan tingkat kesejahteraan material yang diukur dari tercukupinya kebutuhan dasar seperti makanan, penghasilan, perumahan dan kesehatan yang harus dinikmati oleh perempuan dan laki-laki. Pemberdayaan tidak dapat terjadi dengan sendirinya di tingkat ini, melainkan harus dikaitkan dengan peningkatan akses terhadap sumberdaya yang merupakan dimensi tingkat kedua. Level ini merupakan tingkat nihil dari pemberdayaan perempuan (zero level of women‟sempowerment). Padahal upaya untuk meperbaiki kesejahteraan perempuan diperlukan keterlibatan perempuan dalam proses empowerment dan pada tingkat pemerataan yang lebih tinggi. 2) Dimensi akses, kesenjangan gender di sini terlihat dari adanya perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya. Rendahnya akses mereka terhadap sumberdaya menyebabkan produktivitas perempuan cenderung lebih rendah daripada laki-laki. Selain itu, dalam banyak komunitas, perempuan diberi tanggung jawab melaksanakan hampir semua pekerjaan domestik sehingga tidak mempunyai cukup waktu untuk mengurusi dan meningkatkan kemampuan dirinya. Pembangunan perempuan tidak hanya cukup pada pemerataan akses karena hanya kurangnya akses perempuan bukan saja merupakan isu gender tetapi juga akibat dari diskriminasi gender. Oleh karena itu, akar penyebab kesenjangan akses atas sumberdaya adalah diskriminasi sistemik yang harus diatasi melalui penyadaran. 3) Dimensi penyadaran kritis, kesenjangan gender ditingkat ini disebabkan anggapan bahwa posisi sosial ekonomi perempuan lebih rendah dari laki-laki dan pembagian kerja gender tradisional adalah bagian dari tatanan abadi. Pemberdayaan di tingkat ini berartimenumbuhkan sikap kritis dan penolakan terhadap cara pandang di atas, bahwa subordinasi terhadap perempuan bukanlah pengaturan alamiah, tetapi hasil
23
diskriminatif dari tatanan sosial yang berlaku. Keyakinan bahwa kesetaraan gender adalah bagian dari tujuan perubahan merupakan inti dari kesadaran gender dan merupakan elemen ideologis dalam proses pemberdayaan yang menjadi landasan konseptual bagi perubahan kearah kesetaraan. 4) Dimensi partisipasi, partisipasi aktif perempuan diartikan bahwa pemerataan partisipasi perempuan dalam proses penetapan keputusan yaitu partisipasi dalam proses perencanaan penentuan kebijakan dan administrasi. Aspek ini sangat penting pada proyek pembangunan. Di sini partisipasi berarti keterlibatan atau keikutsertaan aktif sejak dalam penetapan kebutuhan, formulasi proyek, implementasi dan monitoring serta evaluasi. Di tingkat program, ini berarti dilibatkannya perempuan dan laki-laki secara setara dalam identifikasi masalah, perencanaan, pengelolaan, implementasi dan monitoring evaluasi. Meningkatnya peran serta perempuan merupakan hasil dari pemberdayaan sekaligus sumbangan penting bagi pemberdayaan yang lebih besar. 5) Dimensi kuasa atau kontrol, kesenjangan gender di tingkat ini terlihat dari adanya hubungan kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Ini bisa terjadi di tingkat rumah tangga, komunitas, dan tingkatan yang lebih luas lagi. Kesetaraan dalam kuasa berarti adanya kuasa yang seimbang antara laki-laki dan perempuan atas lainnya. Artinya, perempuan mempunyai kekuasaan sebagaimana juga lakilaki, untuk mengubah kondisi posisi, masa depan diri dan komunitasnya. Kesetaraan dalam kuasa merupakan prasyarat bagi terwujudnya kesetaraan gender dan keberdayaan dalam masyarakat yang sejahtera. Teknik Longwe mendasarkan pada pentingnya pembangunan bagi perempuan, bagaimana menangani isu gender sebagai kendala pemberdayaan perempuan dalam memenuhi kebutuhan spesifik perempuan dan upaya mencapai kesetaraan gender.
2.5 Hasil Penelitian yang Relevan Berbagai penelitian tentang komunikasi partisipatif dalam program pembangunan telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh praktisi komunikasi, mahasiswa maupun para ahlinya. Berbagai faktor diketahui dapat mempengaruhi komunikasi partisipatif dalam pelaksanaan suatu program pembangunan. Hasil penelitian Wahyuni (2006) menemukan bahwa peningkatan partisipasi masyarakat dengan cara mengimplementasikan program melalui proses komunikasi yang cenderung top-down dan searah serta kurang terjadinya komunikasi yang bottom-up dan interaktif cenderung kurang dapat menggali aspirasi masyarakat. Akibatnya, peningkatan aspirasi masyarakat menjadi kurang efektif. Cahyanto (2007) menemukan bahwa komunikasi partisipatif dalam pelaksanaan Prima Tani terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap petani tehadap model usahatani terpadu yang dikembangkan dalam pelaksanaan Prima Tani. Keefektivan komunikasi dalam peningkatan pengetahuan dan sikap petani dalam model usahatani ditentukan oleh keterlibatan petani dalam penumbuhan ide, perencanaan program, pelaksanaan program dan penilaian program.
24
Mulyasari (2009) menemukan bahwa pada kegiatan Bengkulu Regional Development Project (BRDP) warga sangat aktif pada tahap evaluasi. Namun, pada tahap perencanaan dan pelaksanaan warga tidak banyak aktif terlibat dalam kegiatan BRDP. Aktifnya komunikasi partisipatif warga pada tahap evaluasi dikarenakan mereka ingin menjadi anggota UPKD yang berhak memperoleh bantuan modal bergulir. Selain itu, komunikasi partisipatif dalam kegiatan BRDP tidak dipengaruhi oleh faktor kredibilitas agen pendamping (fasilitator) dan faktor keragaan individu. Muchlis (2009) menyatakan bahwa komunikasi partisipatif yang mengakomodir keberagaman (heteroglassia) baik dari perspektif ekonomi maupun gender belum terimplementasi secara baik. Dialog sebagai ciri komunikasi partisipatif juga belum terjadi pada berbagai musyawarah dalam PNPM MPd. Hal ini dapat dilihat dimana program belum menjamin dan memberikan setiap orang memiliki hak yang sama untuk berbicara atau untuk didengar. Partisipan terkondisikan oleh situasi dimana mereka harus menyepakati misi yang dibawa oleh pelaku PNPM MPd dari pemerintah. Partisipan tidak diberi kesempatan mempertanyakannya sehingga kesadaran kritis yang diharapkan muncul dari proses musyawarahtidakterjadi.Esensidari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain atau suara lain sebagai subjek yang otonom, tidak hanya sebagai objek komunikasi. Satriani (2011) menyatakan bahwa dampak komunikasi partisipatif dalam Posdaya Kenanga meliputi saling berbagai informasi dan pengetahuan, menyelesaikan permasalahan secara bersama dan terjalinnya keakraban sesama kader. Dampak komunikasi partisipatif dalam setiap kegiatan dan rapat di Posdaya Kenanga dirasakan kader sangat banyak memberikan manfaat.
25
3 KERANGKA PEMIKIRAN Pengembangan Program pemberdayan Perempuan Kepala Keluarga pada dasarnya merupakan proses komunikasi pembangunan. Sebagai sebuah proses komunikasi, program ini merupakan sebuah pesan pembangunan. Secara umum program ini bertujuan untuk memperkuat perempuan kepala keluarga agar dapat berkontribusi pada proses membangun masyarakat yang sejahtera, demokratis, berkeadilan gender dan bermartabat. Kegiatan tersebut harus melibatkan partisipasi perempuan kepala keluarga dalam setiap tahapannya sehingga program pemberdayaan bisa mencapai tujuan yang diinginkan. Upaya penumbuh dan pengembangan partisipasi perempuan kepala keluarga dalam program dapat diupayakan melalui kegiatan pemberdayaan yang dalam prakteknya dilakukan melalui kegiatan komunikasi pembangunan yang partisipatif. Komunikasi partisipatif dapat diartikan sebagai proses komunikasi yang memberikan kebebasan, hak dan akses yang sama dalam memberikan pandangan, perasaan, keinginan, pengalaman dan menyampaikan informasi ke masyarakat untuk menyelesaikan sebuah masalah bersama (Bordenave dalam White 2004). Menurut Tufte dan Mefalopulos (2009) terdapat tiga cara untuk melakukan komunikasi dalam sebuah program yaitu: (1) komunikasi secara monologik, di mana komunikasi yang hanya berlangsung satu arah dari komunikator yang tidak memberikan kesempatan orang lain (komunikan) untuk berbicara atau menyampaikan reaksi; (2) komunikasi secara dialogik, di mana komunikasi yang berlangsung dua arah dari komunikator ke komunikan, komunikan diberi kesempatan bahkan diharapkan memberikan tanggapan atau feedback dan (3) komunikasi secara gabungan dari monologik dan dialogik atau multi tract. Rahim dalam White (2004) menyatakan bahwa penerapan komunikasi partisipatif melalui model dialogis menuntut adanya pengetahuan tentang heteroglassia sosial dalam sistem pembangunan. Pengetahuan tentang informasi detail dan signifikan tentang kelompok sosial dan masyarakat serta hubungan struktural yang mencakup aspek; ekonomi, sosial dan aktivitas budaya serta eventevent yang merupakan pola kehidupan mereka yang normal; agen dan lembaga, melalui mana mereka dapat mewakilkan sudut pandang dan nilai-nilai. Menurut Mefalopulos (2003) faktor internal yang mempengaruhi komunikasi partisipatif merupakan karakteristik masyarakat sebagai sistem sosial dan heteroglassia sosial yang kompleks dengan perbedaan-perbedaan dalam usia, pendidikan, status perkawinan, jumlah tanggungan, jenis pekerjaan, motivasi dan faktor lainnya. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh dalam penerapan komunikasi partisipatif melalui dialog adalah peran pendamping sebagai agen eksternal (Ife 1995), dan dukungan kelembagaan (White 2004). Berdasarkan uraian di atas maka penelitian diarahkan untuk melihat bagaimana faktor individu, peran pendamping dan komponen sosial budaya mempengaruhi komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan perempuan kepala keluarga di Desa Dayah Tanoh. Faktor individu terdiri dari umur, pendidikan,
26
alokasi waktu (yang dipengaruhi oleh sebab menjadi kepala keluarga, jumlah tanggungan keluarga dan pekerjaan), dan motivasi. Adapun komponen sosial budaya meliputi kelembagaan kemasyarakatan/norma dan bahasa. Analisis proses partisipasi atau peranserta perempuan kepala keluarga sangat penting untuk dilakukan karena dengan demikian usaha komunikasi program pembangunan dalam masyarakat akan memperoleh suatu hasil yang maksimal. Analisis proses partisipasi masyarakat dalam pembangunan meliputi empat tahap, yaitu: (1) penumbuhan ide, (2) perencanaan, (3) pelaksanaan, dan (4) penilaian/ evaluasi (Levis 1996). Kegiatan pemberdayaan melalui komunikasi pembangunan yang partisipatif ini berpengaruh terhadap keberhasilan program yang dilihat dari tingkat keberdayaan perempuan kepala keluarga sebagai peserta program, mencakup: (1) meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan Perempuan Kepala Keluarga; (2) membuka akses terhadap berbagai sumber daya; (3) membangun kesadaran kritis baik terhadap kesetaraan peran, posisi, dan status mereka, maupun terhadap kehidupan sosial politiknya; (4) meningkatkan partisipasi dalam berbagai proses kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya; (5) meningkatkan kontrol terhadap proses pengambilan keputusan mulai di tingkat rumah tangga hingga negara. Secara detail kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
Karakteristik individu: Umur Pendidikan Alokasi waktu (sebab menjadi pekka, jumlah tanggungan keluarga dan pekerjaan Motivasi Peran pendamping Komponen sosial budaya: Lembaga kemasyarakatan/ norma Bahasa
Bentuk Komunikasi Partisipatif (akses dan cara berkomunikasi) dalam program pada tahap: Penumbuhan ide Perencanaan program Pelaksanaan program Evaluasi terhadap program
Gambar 2 Kerangka pemikiran
Keberdayaan Perempuan Kepala Keluarga: 1. Kesejahteraan 2. Akses terhadap sumber daya 3. Kesaadaran kritis 4. Partisipasi 5. Kontrol
27
4 METODE PENELITIAN 4.1 Paradigma Penelitian Paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori. Paradigma penelitian juga menjelaskan bagaimana peneliti memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah penelitian. Terdapat empat paradigma utama yang bersaing dalam ilmu pengetahuan dengan berbagai asumsi-asumsi yang mendasarinya, yaitu positivisme, post-positivisme, teori kritis dan konstruktivisme (Lincoln dan Guba dalam Salim 2001). Tujuan dari penelitian ini adalah ingin menganalisis suatu program pemberdayaan perempuan khususnya program pemberdayaan perempuan kepala keluarga dan komunikasi partisipatif yang berlangsung di dalamnya. Oleh karena itu maka paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis yang digunakan dikaitkan dengan beberapa pertimbangan, misalkan secara ontologis (sifat realita), aliran ini menyatakan bahwa realitas sosial adalah wujud bentukan (construction) individu-individu subyek yang terlibat dalam penelitian yaitu terutama tineliti dan peneliti, bersifat subyektif dan majemuk. “subyektif” di sini berarti “melihat dari sudut pandang tineliti sebagai subyek penelitian.” Realitas sosial bersifat subyektif, maka secara epistemologi (hubungan antara peneliti dan tineliti) terjadi interaksi sosial yang dinamis, informal, dan akrab. Hubungan antara peneliti dan tineliti dirumuskan sebagai hubungan “subyek-subyek.” bukan hubungan “subyek-obyek” seperti pada penelitian kuantitatif. Dalam arti bahwa antara peneliti dan tineliti memiliki kedudukan sebagai orang yang sama-sama belajar memaknai realitas sosial yang diteliti bahkan kadang peneliti bisa menjadi orang yang diteliti. Secara metodologis, proses penelitiannya bersifat induktif yang berorientasi pada pengembangan pola dan teori untuk mendapatkan pemahaman yang bersifat kontekstual atas suatu kejadian atau gejala sosial (Creswell 2002).
4.2 Desain Penelitian Paradigma konstruktivis merupakan bagian dari pendekatan kualitatif. Tujuan penelitian kualitatif adalah untuk memahami suatu situasi sosial, peristiwa, peran, kelompok atau interaksi tertentu. Penelitian ini merupakan sebuah proses investigasi dimana peneliti secara bertahap berusaha memahami fenomena sosial dengan membedakan, membandingkan, meniru, mengkatalogkan dan mengelompokkan obyek studi (Miles dan Huberman 1992). Pendekatan kualitatif bersifat “emic” artinya memperoleh data bukan “sebagaimana seharusnya,” bukan berdasarkan apa yang dipikirkan oleh peneliti, tetapi berdasarkan “sebagaimana
28
adanya” yang terjadi di lapangan, yang dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh sumber data (Sugiyono 2008). Penelitian kualitatif adalah meneliti subyek penelitian atau informan dalam lingkungan hidup kesehariannya. Peneliti kualitatif sedapat mungkin berinteraksi secara langsung dan mengenal secara dekat dunia kehidupan informan, mengamati dan mengikuti alur kehidupan informan secara apa adanya. Istilah kualitatif menunjuk pada proses dan makna yang tidak diuji atau diukur secara ketat dari segi kuantitas, jumlah, intensitas atau frekuensi, penekanan diberikan pada sifat konstruksi sosial dari realitas dan mencari jawaban bagaimana pengalaman sosial dibentuk dan diberi makna (Denzin dan Lincoln dalam Salim 2001). Untuk mengungkap dan menemukan proses dari suatu fenomena dinamika komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan pada perempuan kepala keluarga dan keberhasilan program yang dilihat dari tingkat keberdayaan perempuan kepala keluarga, komunikasi dan interaksi, presentasi diri mereka dalam kegiatan kemasyarakatan juga perilaku keseharian serta pengalaman hidupnya, maka peneliti mengkategorikan penelitian ini sebagai penelitian kualitatif (perspektif subyektif). Dengan kata lain, hal ini dapat dijelaskan dengan pendekatan konstruksi sosial. Konstruksi sosial melihat realitas sebagai sesuatu yang dibentuk secara sosial. Dalam hal ini konstruksi sosial menekankan bahwa bagaimana realitas keadaan dan pengalaman tentang sesuatu diketahui dan diinterpretasikan melalui aktivitas sosial (Abdullah 2006). Tujuan penelitian kualitatif ini adalah untuk memahami situasi sosial, peristiwa, peran, makna yang dipersepsikan kelompok/individu atau interaksi tertentu. Pada umumnya pendekatan ini merupakan sebuah proses investigasi di mana peneliti secara bertahap berusaha memahami makna dari presentasi diri dan impression management yang ditampilkan (verbal dan non-verbal) dalam interaksi dan komunikasi perempuan kepala keluarga dengan mengkaji hal-hal yang membedakan, lalu membandingkan, dan kemudian mengelompokkan obyek kajian penelitian (Creswell 2002). Selanjutnya peneliti juga memasuki dunia informan dan melakukan interaksi dan berkomunikasi secara terus-menerus, mencari sudut pandang atau persepsi dari informan itu sendiri. Jika Lindof menyebutkan bahwa penelitian kualitatif dalam ilmu komunikasi, dengan “paradigma interpretif”, Mulyana menyebutkan “perspektif subyektif” (Mulyana 2003). Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dilakukan dengan metode studi kasus, yaitu suatu penelitian yang dilakukan secara terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu. Ditinjau dari wilayahnya, maka penelitian kasus hanya meliputi daerah atau subyek yang sempit, tetapi ditinjau dari sifat penelitian, penelitian kasus lebih mendalam (Arikunto 2007). Sebuah definisi yang lebih tegas dan bersifat teknis sehingga sangat membantu tentang studi kasus diberikan Yin (2002) yang menyebutkan bahwa studi kasus adalah inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tidak tampak dengan tegas dan dimana multi sumber bukti dimanfaatkan. Lebih terinci studi kasus mengisyaratkan keunggulan-keunggulan berikut:
29
1. Studi kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antar variabel serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas lagi. 2. Studi kasus memberikan kesempatan-kesempatan untuk memperoleh wawasan mengenai konsep-konsep dasar perilaku manusia. Melalui penyelidikan intensif dapat ditemukan karakteristik dan hubungan-hubungan yang (mungkin) tidak diharapkan/diduga sebelumnya. 3. Studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih besar dan dalam rangka pengembangan ilmu-ilmu sosial.
4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Dayah Tanoh Kecamatan Mutiara Timur Kebupaten Pidie Provinsi Aceh. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan sengaja (purposive), dengan alasan bahwa desa ini merupakan salah satu desa yang mendapat Program PEKKA di wilayah Aceh dan dekat dengan tempat tinggal, ini diharapkan dapat mengurangi hambatan ekonomis dan budaya dengan subyek penelitian. Pengambilan dan pengumpulan data serta penyempurnaan panduan wawancara dilaksanakan sejak April sampai dengan Mei 2012, kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data dan penyusunan hasil penelitian pada bulan Desember 2012 sampai dengan bulan April 2013. Berinteraksi dengan masyarakat Desa Dayah Tanoh terutama dengan perempuan kepala keluarga selama satu bulan lebih, rasanya tidak cukup untuk mengungkapkan dan memahami seluruh gejala dan situasi yang terjadi serta dialami oleh perempuan kepala keluarga di Desa Dayah Tanoh. Selama melakukan penelitian, peneliti tidak pernah menginap di rumah informan karena pada saat itu peneliti sedang dalam keadaan mengandung enam bulan, sehingga pengambilan data dilakukan dengan datang pukul 08.00 WIB dan pulang pukul 05.00 WIB. Peneliti menginap di desa lain yang tidak terlalu jauh dengan lokasi penelitian dan dapat ditempuh dalam waktu 15 menit dengan kendaraan bermotor. Penelitian yang dilaksanakan selama satu bulan lebih menjadikan keakraban dengan masyarakat Desa Dayah Tanoh khususnya perempuan kepala keluarga, sehingga dapat menambah kepercayaan tineliti sehingga keterangan (data dan informasi) yang diberikan oleh tineliti adalah benar dan jujur.
4.4 Penentuan Subyek Penelitian Subyek penelitian dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden tetapi sebagai narasumber, atau partisipan, informan, teman, dan guru dalam penelitian. Informan dalam penelitian kualitatif bukan disebut sampel statistik yang harus mewakili kondisi populasi untuk kepentingan generalisasi populasi, melainkan subyek penelitian yang dipilih sesuai pertimbangan dan tujuan penelitian yaitu
30
mengembangkan konsep/teori (Sugiyono 2008). Informan dipilih secara sengaja yaitu dipilih sesuai pertimbangan dan tujuan tertentu. Penentuan informan dilakukan dengan teknik bola salju (snowball sampling) yaitu suatu metode sampling nonprobability yang sering digunakan dalam penelitian di lapangan di mana masing-masing orang yang diwawancara memberikan informasi tentang siapa saja yang memungkinkan untuk diwawancara. Selanjutnya, dengan pertimbangan dan tujuan tertentu sesuai kebutuhan penelitian, sampai didapatkan informasi yang memadai tentang informan. Kunjungan ke Desa Dayah Tanoh pertama kali dilakukan pada tanggal 5 April dan berjumpa dengan Ibu NT sebagai bendahara kelompok, karena hanya nomor telepon beliau sebagai contact person yang didapat dari kantor Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Pidie. Pada tahap awal ini melakukan perkenalan dan diskusi tentang Desa Dayah Tanoh dan perempuan kepala keluarga. Kemudian Ibu NT menemani bertemu dengan kepala desa serta berjalan-jalan menyusuri jalan di desa untuk beradaptasi dan mengenal Desa Dayah Tanoh secara fisik. Setelah mendapatkan izin dari kepala desa, pendekatanpun dilakukan dengan cara berbincang-bincang dengan tokoh masyarakat dan ibu-ibu perempuan kepala keluarga, shalat di meunasah, belanja dan mengobrol di warung-warung yang ada di desa. Proses adaptasi dan pengenalan dilakukan guna mengetahui gambaran umum Desa Dayah Tanoh dan persiapan mental secara pribadi untuk melakukan penelitian selanjutnya. Hasil proses adaptasi dan pengamatan didapatkan beberapa gambaran umum tentang kondisi fisik dan non fisik Desa Dayah Tanoh. Kondisi fisik di antaranya kondisi desa, jalan, meunasah, dan balai desa. Kondisi non fisik meliputi aktivitas perempuan kepala keluarga, interaksi sesama anggota, bahasa yang digunakan oleh masyarakat serta rutinitas penduduk Desa Dayah Tanoh secara umum dan sebagainya. Gambaran umum Desa Dayah Tanoh selengkapnya diuraikan pada Bab Gambaran Umum Wilayah Penelitian. Setelah melakukan adaptasi di lokasi penelitian, selanjutnya pertemuan dan diskusi dengan Pendamping Lapang (PL) di rumah bendahara di Desa Dayah Tanoh untuk mengetahui nama-nama anggota kelompok PEKKA guna penentuan namanama informan sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Informan penelitian adalah perempuan kepala keluarga dan seseorang atau lembaga yang mendukung data penelitian. Seseorang dan lembaga tersebut adalah Kepala Desa (geuchik) (Bapak MYH), tuha peut (tokoh masyarakat) (Bapak Ib), tokoh agama (Ibu Um), istri kepala desa (Ibu Rm), mantan PL (Bapak MD), PL (Ibu FJ), ketua kelompok (Ibu AA) dan tujuh orang perempuan kepala keluarga yang menjadi subyek kasus berdasarkan sebab menjadi kepala keluarga dan jenis pekerjaan. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 1.
31
1. 2. 3.
4.
5.
Tabel 1 Distribusi perempuan kepala keluarga berdasarkan jenis pekerjaan Jenis pekerjaan Kategori Perempuan Sektor formal Sektor informal Tidak bekerja Kepala Keluarga (orang) (orang) (orang) Perempuan yang 0 7 2 ditinggal/ cerai hidup Perempuan yang 0 5 3 suaminya meninggal Perempuan yang 1 1 0 membujang/ tidak menikah Perempuan bersuami 0 2 0 tapi suaminya tidak dapat jadi kepala rumahtangga Perempuan bersuami 0 1 0 tapi tidak mendapat nafkah lahir bathin lebih dari setahun (karena berpergian) Jumlah 1 16 5
Setelah diperoleh informasi mengenai distribusi anggota kelompok berdasarkan jenis pekerjaan dan sebab menjadi kepala keluarga, peneliti memilih masing-masing satu orang dari tiap kriteria sehingga jumlah subyek kasus yang terpilih dalam penelitian ini berjumlah tujuh orang (Tabel 2).
No.
Nama inisial
1
Hmm
2
NC
3 4 5
Am NT BR
6
Rh
7
Sb
Tabel 2 Profil subyek kasus Sebab jadi Umur Pekerjaan Pendidikan Jumlah pekka (tahun) tanggungan (org) Cerai 54 Buruhtani Tidak 7 hidup sekolah Suami 51 Dagang SMP 5 meninggal Lajang 36 Buruhtani SMA 1 Lajang 45 PNS S1 1 Suami 50 Dagang SD 4 sakit Suami 55 Buruhtani SMP 5 pergi Suami 62 Tidak Tidak 0 meninggal bekerja sekolah
32
Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan informan-informan terpilih tersebut. Selain wawancara mendalam, juga dilakukan wawancara kelompok dengan anggota kelompok untuk memperoleh informasi mengenai profil dan tipologi perempuan kepala keluarga di daerah penelitian. Selanjutnya untuk menguji apakah data yang telah dikumpulkan adalah benar (valid) maka dilakukan triangulasi. Triangulasi dilakukan melalui wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap memahami topik penelitian. Besarnya jumlah informan dalam penelitian didasarkan pada pernyataan Powell dalam Ihsaniyati (2010) bahwa tidak ada formula paling benar yang memberikan pedoman mengenai besarnya informan (subyek penelitian). Kedalaman dan kekayaan data merupakan hal yang dianggap paling penting karena pemahaman terhadap masalah yang diteliti merupakan tujuan utama penelitian kualitatif. Terdapat lima kriteria untuk pemilihan key informan atau informan yang dijadikan sumber pengambilan data di antaranya: 1) Subyek yang telah cukup lama dan intensif menyatu dengan kegiatan atau medan aktivitas yang menjadi informasi, yang menghayati secara sungguh-sungguh sebagai akibat dari keterlibatan yang cukup lama dengan lingkungan atau kegiatan yang bersangkutan. Biasanya ditandai oleh kemampuan dalam memberikan informasi tentang sesuatu yang ditanyakan. 2) Subyek yang masih terlibat secara aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menjadi perhatian penelitian. 3) Subyek yang mempunyai cukup waktu atau kesempatan untuk diwawancara. 4) Subyek yang dalam memberikan informasi tidak cenderung diolah atau dipersiapkan terlebih dahulu. 5) Subyek yang sebelumnya tergolong cukup asing dengan penelitian sehingga lebih mudah menggali informasi (Bungin 2007). Hasil penelitian ini tidak digeneralisasikan ke populasi karena penentuan informan tidak dilakukan secara acak (random). Hasil penelitian dengan metode kualitatif hanya berlaku untuk kasus situasi sosial tersebut. Hasil penelitian dapat ditransferkan atau diterapkan ke situasi sosial (tempat) lain apabila situasi sosial lain tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan dengan situasi sosial yang diteliti (Sugiyono 2008).
4.5 Data dan Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data skunder. Sumber data primer adalah data yang diperoleh dari subyek kasus dan informan. Data primer diperoleh dengan menggunakan tiga metode pengumpulan data yaitu: pengamatan berperan serta, wawancara mendalam, dan wawancara kelompok. Metode tersebut digunakan untuk memenuhi bahan penelitian kualitatif. Masing-masing metode digunakan sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan penelitian. Data yang diperoleh dari masing-masing metode dianalisis berdasarkan penggunaan data tersebut.
33
Tabel 3 Matriks jenis data, sumber dan metode pengumpulan data No. Jenis Data Sumber Metode 1. Situasi dan kondisi keluarga Observasi perempuan kepala keluarga 2. Kondisi usaha produktif perempuan Perempuan kepala Observasi, kepala keluarga keluarga wawancara 3. Kegiatan pemberdayaan perempuan PL , Perempuan kepala Wawancara kepala keluarga keluarga mendalam 4. Profil dan identitas perempuan PL , perempuan kepala Wawancara kepala keluarga keluarga mendalam dan wawancara kelompok 5. Peranan-peranan PLdalam program PL , perempuan kepala Wawancara pemberdayaan keluarga mendalam 6. Karakteristik individu dan kondisi Perempuan kepala Wawancara lingkungan sosial perempuan kepala keluarga mendalam keluarga 7. Dukungan kelembagaan/ norma dan Perempuan kepala Wawancara bahasa keluarga mendalam 8. Perilaku komunikasi partisipatif Perempuan kepala Wawancara perempuan kepala keluarga dalam keluarga mendalam program pemberdayaan 9. Penilaian terhadap keberhasilan Perempuan kepala Wawancara program pemberdayaan keluarga mendalam dan (keberdayaan) wawancara kelompok 10. Kedudukan perempuan kepala Aparat desa, tokoh Wawancara keluarga dalam komunitas masyarakat, tokoh mendalam agama 11. Potensi Desa Dayah Tanoh, laporan Kantor desa, kantor Studi program pemberdayaan perempuan kecamatan serta center dokumentasi kepala keluarga (PEKKA) PEKKA
Pertama, pengamatan berperan serta terhadap perempuan kepala keluarga untuk memahami kehidupan sehari-hari dan makna dari tindakan mereka. Terdapat dua alasan metodologis menggunakan teknik pengumpulan data berperan serta (Moleong 2008) yaitu: (1) pengamatan memungkinkan melihat, merasakan dan memaknai dunia beserta ragam peristiwa dan gejala sosial di dalamnya sebagaimana tineliti melihat, merasakan dan memaknainya, dan (2) pengamatan memungkinkan pembentukan pengetahuan secara bersama dengan tineliti. Salah satu rumah anggota (Ibu NT sebagai bendahara) dipilih sebagai tempat istirahat dan melakukan diskusi dalam penelitian. Pilihan didasarkan pada informasi yang luas dan dipercaya serta dapat menghubungkan dengan orang-orang yang diperlukan dalam rangkaian
34
penelitian. Informan yang juga berprofesi sebagai guru dapat mengetahui dan menguasai informasi di Desa Dayah Tanoh dan relasi yang luas di luar desa, sehingga tidak saja informasi tentang warga di desanya saja tetapi informasi di luar desa juga bisa diperoleh. Waktu satu bulan lebih di daerah penelitian merupakan rentang waktu yang cukup singkat untuk mampu mengungkap secara mendalam pendapat para perempuan kepala keluarga. Peneliti sangat terbantu oleh informan kunci yaitu Ibu NT, beliau sebagai ketua pengajian, bendahara kelompok PEKKA dan guru di salah satu sekolah dasar agama di Kecamatan Mutiara Timur. Beliau menguasai informasi di Desa Dayah Tanoh secara umum. Melalui beliau dipertemukan dan diperkenalkan kepada tokoh masayarakat dan tokoh agama yang memiliki kapasitas dan dapat memberikan referensi untuk melengkapi data penelitian. Kedua, metode wawancara mendalam digunakan dalam penelitian. Wawancara mendalam adalah komunikasi antara peneliti dengan subyek kasus atau informan untuk memperoleh informasi melalui tatap muka berulang kali di lokasi penelitian. Wawancara ini bersifat fleksibel dengan susunan panduan wawancara yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lokasi penelitian. Wawancara mendalam ditujukan kepada perempuan kepala keluarga, kepala desa, tokoh agama dan masyarakat, serta PL . Informasi yang ingin diperoleh adalah peran pendamping, perangkat desa, tokoh masyarakat serta partisipasi melalui komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga dalam program PEKKA. Sebelum wawancara dengan seluruh informan, pendekatan ke informan dilakukan dengan mendatangi rumah informan, memperkenalkan diri dan melakukan perbincangan ringan seputar keluarga. Wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa Aceh dan menggunakan panduan wawancara yang dilakuakan dengan santai dan tidak bersifat introgasi. Teknik wawancara dilakukan secara tidak terstruktur di mana wawancara bersifat lepas dan informal dengan informan, namun terlebih dahulu disusun pokok-pokok pertanyaan. Hal itu dilakukan agar informan tidak bosan dan suasana tidak menjadi kaku. Alat bantu rekam audio dan kamera digital digunakan setelah mendapat izin dari informan. Alat rekam digunakan untuk merekam wawancara yang kemudian dimasukkan ke dalam catatan lapangan. Wawancara dilakukan sesuai dengan kesepakatan dengan informan meliputi waktu dan tempat wawancara. Tempat wawancara dilakukan di rumah informan sesuai dengan kesepakatan. Wawancara dilakukan pada pagi, siang dan sore hari tergantung pada waktu luang yang dimiliki informan. Wawancara pada siang hari tidak menjadi masalah karena jarak rumah informan satu dengan informan lainnya sangat berdekatan. Kegiatan wawancara dengan semua informan dilakukan di rumah mereka masing-masing. Dalam satu hari wawancara dengan informan maksimal dilakukan sebanyak tiga kali dengan informan yang berbeda. Ketiga, wawancara kelompok adalah suatu kegiatan diskusi kelompok dengan anggota kelompok yang ditujukan untuk menggali informasi tentang kegiatan program pemberdayaan (PEKKA) tersebut di lokasi penelitian. Diskusi kelompok tersebut meliputi kegiatan tukar pendapat atau curah pendapat untuk mendapatkan informasi lebih mendalam dari para peserta secara subyektif baik berdasarkan
35
pengalaman, pemahaman, maupun pengetahuan peserta mengenai topik-topik yang berhubungan dengan karakteristik individu perempuan kepala keluarga, peran pendamping dan penerapan komunikasi partisipatif dalam PEKKA serta keberdayaan mereka setelah adanya program pemberdayaan ini. Teknik pengamatan dilakukan untuk melengkapi data dan informasi yang tidak dapat diperoleh dari teknik wawancara. Diskusi kelompok dilakukan pada akhir pengumpulan data yaitu pada tanggal 8 Mei 2012 pukul 14.30 sampai dengan selesai di Center PEKKA. Diskusi kelompok tersebut dilakukan untuk mengklarifikasi data dan informasi penelitian yang telah diperoleh dari wawancara dengan subyek penelitian dan informan. Diskusi kelompok dihadiri oleh anggota kelompok perempuan kepala keluarga. Sebagai pendukung penyimpanan data dari ketiga metode yang dipakai maka dibuat catatan harian, rekaman wawancara dan foto-foto. Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen antara lain: dokumen-dokumen yang terdapat di balai Desa Dayah Tanoh, kantor Kecamatan Mutiara Timur, dan Center PEKKA Kabupaten Pidie. 4.6 Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan terus-menerus selama penelitian berlangsung, bahkan sejak pengumpulan data dimulai dari sebelum data benar-benar terkumpul sampai dengan penulisan laporan penelitian. Menurut Miles dan Huberman (1992), tahaptahap analisis data meliputi: 1) Reduksi data intinya mengurangi atau membuang data yang tidak penting (tidak relevan) yang ada pada catatan harian dan transkrip wawancara, sehingga data yang terpilih dapat diproses ke langkah selanjutnya. Dalam penelitian ini, data yang diperoleh berupa simbol, statement, kejadian, dan lainnya. Oleh karena data masih mentah, jumlahnya sangat banyak dan bersifat non‐kuantitatif (sangat deskriptif) sehingga tidak dapat digunakan secara langsung untuk analisis. Oleh karena itu, data perlu diorganisir kedalam format yang memungkinkan untuk dianalisis. Reduksi data mencakup kegiatan berikut ini: a. Organisasi data, meliputi: menentukan kategori, konsep, tema dan pola Data dari wawancara ditulis lengkap dan dikelompokkan menurut informan (anggota dan bukan anggota program). Informan ditandai dengan inisial (Hmm, NC, NT, Am, BR, Rh, dan seterusnya). Dengan cara ini, peneliti dapat mengidentifikasi informasi sesuai pemberi informasi (informan). Transkrip hasil wawancara kemudian dianalisis dan key points dapat ditandai untuk memudahkan coding dan pengklasifikasian. Adapun data dari observasi dan arsip berupa catatan (field note), prosesnya tidak berbeda jauh dengan data hasil wawancara. Field note selama observasi dapat diorganisir ke dalam form dengan judul tertentu, yaitu: tanggal, jam, peristiwa, partisipan, deskripsi peristiwa, dimana terjadinya, bagaimana terjadi, apa yang dikatakan, serta opini dan perasaan peneliti. Sementara itu, data dari analisis catatan organisasi (arsip) dapat diorganisir ke dalam format tertentu untuk mendukung data dari observasi dan wawancara. Langkah selanjutnya adalah pengelompokan narasi
36
(deskripsi) yang telah diorganisir kedalam tema, dengan menggunakan code. Pengelompokan tema koheren dengan tujuan penelitian dan keyakinan yang dibuat oleh peneliti sesuai dengan fenomena penelitian. b. Coding Data Data yang diperoleh dari langkah di atas, kemudian dikelompokkan ke dalam tema tertentu dan diberi kode untuk melihat kesamaan pola temuan. Jadi, coding dilakukan sesuai dengan kerangka teoritis yang dikembangkan sebelumnya, sehingga memungkinkan peneliti untuk mengkaitkan data dengan masalah penelitian. 2) Penyajian data yaitu menyajikan data dalam berbagai bentuk seperti cuplikan percakapan, narasi, deskripsi situasi sosial, catatan harian dan foto dengan tujuan untuk memudahkan dalam memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami. Data kualitatif disajikan dalam bentuk narasi, bukan dalam bentuk angka. Data penelitian disajikan dalam bentuk narasi yang dilengkapi dengan kutipan-kutipan pernyataan narasumber dan fotofoto. Dokumen yang sangat pribadi sifatnya adalah catatan harian. Dalam catatan harian tersebut, ada banyak catatan tentang peristiwa dan keadaan dari hal-hal yang langsung menyangkut kepribadian penulis, umumnya pengakuan tentang masalah-masalah pribadi, antara lain pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan serta interpretasi tentang kejadian-kejadian serta situasi lingkungan di daerah penelitian. 3) Interpretasi data yaitu memberikan penafsiran/interpretasi atas data yang ada dalam penelitian. Hasil interpretasi kemudian dikaitkan dengan teori yang ada sehingga interpretrasi tidak bersifat bias tetapi dapat dijelaskan oleh teori tersebut. 4) Pengambilan kesimpulan dan verifikasi yaitu menyimpulkan dan mengecek ulang data-data yang telah direduksi dan disajikan (Creswell 2002). Ketiga kegiatan analisis (reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan) yang dilakukan ini merupakan proses siklus dan interaktif. Ketiga tahapan tersebut berlangsung secara simultan (Gambar 3).
Pengumpulan data
Penyajian data
Reduksi data verifikasi
Gambar 3 Proses analisis data penelitian
Simpulan
37
4.7 Kredibilitas dan Dependabilitas (Reliabilitas) Penelitian Uji kredibilitas atau dalam penelitian kuantitatif disebut validitas dilakukan untuk menguji apakah data umum penelitian yang telah dikumpulkan adalah benar (valid). Menguji kredibilitas penelitian kualitatif digunakan triangulasi. Triangulasi meliputi triangulasi sumber, teknik pengumpulan data dan waktu. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Data yang telah dianalisis menghasilkan suatu kesimpulan, selanjutnya dimintakan kesepakatan (member check) dengan sumber-sumber data tersebut. Member check dilakukan dengan diskusi kelompok informan. Triangulasi teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara mengecek kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Teknik yang digunakan dapat berupa wawancara atau pengamatan. Reliabilitas pada penelitian kualitatif, disebut dependabilitas. Suatu penelitian dikatakan dependable apabila dapat mengulang/mereplikasi proses penelitian tersebut (Sugiyono 2008). Uji dependalibilitas dilakukan dengan mengaudit terhadap keseluruhan proses penelitian.
38
39
5 GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian 5.1.1 Kondisi Geografis Desa Dayah Tanoh secara administratif terletak di Kecamatan Mutiara Timur, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Jarak desa dengan kecamatan sejauh tiga kilometer, dengan kabupaten 15 kilometer dan dengan ibukota provinsi sekitar 112 kilometer. Untuk mencapai Desa Dayah Tanoh dari pusat kota kabupaten dapat ditempuh dengan menggunakan kenderaan pribadi dan tidak ada angkutan umum untuk menunju desa ini. Secara geografis Desa Dayah Tanoh berbatasan dengan beberapa wilayah:Sebelah Utara dengan Mesjid Jeurat Manyang, Sebelah Selatan dengan Jiem, Sebelah Timur dengan Sagoe Jeurat Manyang, dan Sebelah Barat dengan Beureueh II. Desa ini memiliki luas sekitar 100 hektar dengan topografi dataran rendah. Suhu rata-rata 30 derajat celcius, dengan curah hujan 1250 mm per tahun. 5.1.2 Karakteristik Demografi Mengacu pada data kependudukan dari buku profil desa tahun 2011, total penduduk 579 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki 272 jiwa dan penduduk perempuan 307 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk 5.79 jiwa/km2. Adapun jumlah rumahtangga adalah 129 kepala keluarga. Seluruh masyarakat menganut agama Islam. Menurut penjelasan Bapak MYH (kepala desa), tingkat pendidikan masyarakat Desa Dayah Tanoh pada umumnya adalah sampai jenjang SLTP. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan masih relatif rendah, hal ini tidak dapat dipisahkan dari rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat sehingga anak-anak usia sekolah lebih tertarik untuk bekerja daripada bersekolah. Ditinjau dari aspek gender, akses laki-laki dan perempuan terhadap pendidikan relatif seimbang karena masyarakat dinilai sudah cukup menyadari pentingnya pendidikan. Keterbatasan akses terhadap pendidikan biasanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Dalam hal mata pencaharian, mayoritas penduduk bekerja di sektor pertanian (80 persen), angka ini didominasi oleh katagori buruhtani atau penggarap. Sedangkan sisanya bekerja sebagai wiraswasta (jualan kios, jualan kue) dan pegawai negeri sipil. Proporsi gender pada sektor pertanian cenderung didominasi oleh perempuan, karena para janda yang ada di desa tersebut umumnya juga bekerja sebagai petani penggarap. 5.1.3 Alokasi Lahan dan Aktivitas Pertanian Berdasarkan data profil desa tahun 2011 luas keseluruhan Desa Dayah Tanoh 100 ha, dengan peruntukan bangunan rumah/ pekarangan 72 ha, persawahan 21 ha dan sisanya lahan kering 7 ha. Pertanian utama adalah padi yang dikelola oleh masyarakat sendiri. Aktivitas pertanian dikerjakan bersama-sama antara perempuan dan laki-laki. Aktivitas
40
perempuan biasanya dimulai dari menyemai benih, menanam, membersihkan rumput dan pengangkutan padi ketika panen, sedangkan aktivitas yang dilakukan oleh lakilaki adalah mengolah tanah, menyemprot hama dan memanen. Sistem persawahan yang diterapkan oleh masyarakat adalah sistem irigasi. Sebagian besar masyarakat yang bekerja di sektor pertanian, statusnya adalah buruhtani atau penggarap. Pemilik lahan sebagian bertempat tinggal di Desa Dayah Tanoh dan sebagian lagi bertempat tinggal di desa tetangga. Adapun sistem pertanian yang diterapkan adalah bagi hasil antara pemilik lahan dan penggarap dengan perbandingan sebesar 75 persen: 25 persen. Pemilik lahan mendapat sepertiga bagian dari hasil panen dan dua pertiga bagian untuk penggarap. Penggarap lebih banyak karena penggarap berkewajiban menyediakan semua yang berkaitan dengan sarana produksi pertanian. Jika terjadi gagal panen maka resiko yang ditanggung lebih banyak oleh penggarap. Hal ini dikarenakan semua biaya produksi ditanggung oleh penggarap. Umumnya, hasil pertanian sebagian dijual dan sebagian lagi disimpan untuk konsumsi. Sebagian besar hasil panen berupa padi dijual ke Koperasi Unit Desa yang ada di Desa Dayah Tanoh dan sebagian kecil dijual kepada pengecer. Meskipun laki-laki dan perempuan terlibat dalam kegiatan pertanian, namun terdapat perbedaan upah antara buruh laki-laki dan buruh perempuan. Buruh laki-laki mendapat upah Rp30 000 per hari ditambah kopi dan rokok, sedangkan buruh perempuan hanya mendapat Rp20 000 per hari ditambah kopi. Perbedaan ini terjadi karenaada pandangan atau stereotipe bahwa laki-laki memiliki tenaga yang lebih besar dan kuat dibandingkan dengan buruh perempuan. Pandangan lain yang memarginalkan buruh perempuan adalah bahwa pekerjaan laki-laki dinilai lebih berat dibandingkan dengan perempuan serta peran laki-laki sebagai pencari nafkah utama dan perempuan sebagai pencari nafkah tambahan. 5.1.4 Sarana dan Prasarana Desa Dayah Tanoh memiliki beberapa sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan formal dan informal. Sarana pendidikan formal yang ada di Desa Dayah Tanoh terdiri dari satu buah Taman Kanak-Kanak yang dikelola oleh ibu-ibu PKK dan satu buah Sekolah Dasar milik Pemerintah. Desa Dayah Tanoh tidak memiliki sarana pendidikan formal keagamaan. Desa Dayah Tanoh juga menyelenggarakan pendidikan non formal seperti pengajian untuk anak-anak yang dikelola oleh remaja putri Desa Dayah Tanoh. Dalam menunjang kegiatan keagamaan di Desa Dayah Tanoh terdapat dua buah surau (meunasah). Meunasah tersebut digunakan oleh masyarakat untuk ibadah shalat lima waktu, pengajian anak-anak dan rapat. Di Desa Dayah Tanoh tidak terdapat mesjid, sehingga warga harus melaksanakan shalat jumat di mesjid yang terletak di desa tetangga. Kebutuhan air bersih bagi semua masyarakat adalah sumur galian. Bagi masyarakat yang tidak memiliki sumur atau sarana MCK (Mandi Cuci Kakus) sendiri biasa menggunakan sumur umum yang dibangun atas bantuan pemerintah yang terletak di meunasah.
41
Desa Dayah Tanoh tidak memiliki sarana olah raga apapun. Jika ada masyarakat terutama pemuda yang ingin berolah raga atau main sepak bola harus menggunakan lapangan yang ada di desa tetangga. Hal ini dikarenakan, kegiatan olah raga bukanlah salah satu kebutuhan masyarakat sehingga masyarakat tidak terlalu memikirkan untuk menyediakan lahan sebagai sarana olah raga. Kondisi jalan utama sudah cukup baik, di mana jalan-jalan yang menghubungkan desa dengan kecamatan atau dengan kota Sigli sudah beraspal. Sebagian besar jalan sudah diaspal tetapi masih ada jalan-jalan desa (lorong)yang belum beraspal. Menurut informasi dari kepala desa belum ada dana dari pemerintah untuk melakukann pengaspalan jalan tersebut. Alat transportasi yang umum digunakan masyarakat adalah sepeda, ojek, mobil, motor, truk barang, serta mobil pick-up. Sementara alat transportasi umum yang sering digunakan hanya ojek, tidak ada angkutan kota. Akses masyarakat terhadap sarana komunikasi biasa diperoleh melalui televisi, radio, surat kabar dan telepon genggam. Perkembangan zaman juga menunjukkan bahwa masyarakat desa telah mengalami kemajuan pada sistem komunikasinya, di mana hampir setiap rumah tangga telah memiliki telepon genggam minimal satu unit. Namun tidak terdapat layanan komunikasi umum seperti telepon umum dan warung internet. Di Desa Dayah Tanoh tidak tersedia sarana dan prasarana kesehatan seperti puskesmas pembantu atau balai pengobatan lainnya, namun terdapat seorang bidan desa yang merupakan penduduk asli desa dan membuka layanan kesehatan bagi masyarakat di rumahnya sendiri. Jika masyarakat ingin berobat harus pergi ke puskesmas pembantu yang ada di kecamatan atau rumah sakit umum di ibukota kabupaten. Dalam menjalankan aktivitas pemerintahan, Desa Dayah Tanoh memiliki ruangan yang terletak di samping meunasah yang digunakan untuk kegiatan PKK. Sedangkan pelayanan bagi masyarakat biasanya dilakukan di rumah kepala desa atau sekretaris desa. 5.1.5 Kelembagaan Desa Kelembagaan di pedesaan dapat terbagi ke dalam dua kelompok yaitu lembaga formal dan kelembagaan lokal yang bersifat informal. Kelembagaan formal yang terdapat di Desa Dayah Tanoh adalah Pemerintahan Desa, BPD (Badan Perencanaan Desa), LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat), Tuha Peut (kelompok orang yang dituakan di desa), PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) dan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu). Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat desa, tidak semua lembaga tersebut aktif. Lembaga yang aktif adalah Pemerintahan Desa, Tuha Peut, PKK dan Posyandu. PKK dan Posyandu dikelola oleh ibu-ibu dan bidan desa yang bertugas. Sedangkan LPM dan BPD tidak berjalan dengan aktif meskipun memiliki struktur kepengurusan yang jelas serta anggaran kegiatan. Pada bidang ekonomi, lembaga formal yang berjalan hanyalah kelompok simpan pinjam PEKKA ini. Desa Dayah Tanoh tidak memiliki Koperasi Unit Desa (KUD) maupun Lumbung Desa (Bumdes).
42
Akses masyarakat Desa Dayah Tanoh terhadap kelembagaan lokal dapat dikatakan timpang dari segi gender, khususnya akses dalam kepengurusan. Struktur kepengurusan pemerintahan desa, LPM, BPD dan Tuha Peut hampir semuanya didominasi oleh laki-laki, perempuan tidak dilibatkan. Keterlibatan kaum perempuan sangat dominan dalam kelembagaan formal dapat dilihat pada struktur kepengurusan PKK, Posyandu dan kelompok simpan pinjam PEKKA.Desa Dayah Tanoh memiliki beberapa kelembagaan lokal yaitu kelompok pengajian ibu-ibu dan kelompok pengajian anak-anak. Kelembagaan gotong royong di Desa Dayah Tanoh masih cukup baik. Rasa kekeluargaan dan kebersamaan warga masih cukup tinggi. Misalnya dalam pembangunan sarana umum yang umumnya melibatkan partisipasi warga, baik lakilaki maupun perempuan, meskipun tugas perempuan hanya sebagai penyedia makanan dan minuman untuk laki-laki. Contoh lain adalah jika ada salah satu warga menderita sakit, warga lain yang memiliki sumberdaya yang dibutuhkan dengan suka rela membantu, begitu juga jika ada salah satu warga mengadakan pesta perkawinan atau kematian maka warga yang lain akan membantu dengan suka rela.
5.2 Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) 5.2.1 Pelaksanaan PEKKA Nasional Program PEKKA ini digagas berdasarkan pengalaman program penanggulangan kemiskinan masyarakat desa melalui penguatan institusi-institusi lokal, bernama Program Pengembangan Kecamatan (PPK), yang dijalankan oleh pemerintah. Melalui refleksi dan evaluasi program, disadari bahwa skema program ini masih belum mampu menjangkau kelompok termiskin di wilayah-wilayah tertentu, terutama rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan dan lebih khusus lagi keluarga janda. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala baik yang sifatnya teknis seperti kurangnya penguasaan terhadap metode pengorganisasian rakyat khususnya perempuan maupun kendala struktural yaitu rendahnya posisi perempuan kepala keluarga dalam struktur sosial masyarakat. Program ini difokuskan pada perempuan yang menjadi kepala keluarga rumah tangga miskin dan merupakan salah satu upaya untuk memfasilitasi mereka agar memiliki akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan kebijakan yang ada di wilayahnya, mempunyai status dan posisi setara dengan anggota masyarakat lain, serta dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan di wilayahnya. Berdasarkan laporan tahunan sekretariat nasional PEKKA (2010), PEKKA mulai digagas pada akhir tahun 2000 dari rencana awal Komnas Perempuan yang ingin mendokumentasikan kehidupan janda di wilayah konflikdan keinginan Bank Dunia melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dalam merespons permintaan janda korban konflik di Aceh untuk memperoleh akses sumberdaya agar dapat mengatasi persoalan ekonomi dan trauma mereka. Semula upayaini diberi nama “Widows Project” yang sepenuhnya didukung dana hibah dari Japan Social Development Fund (JSDF) melalui Trust Fund Bank Dunia. Komnas Perempuan kemudian bekerjasama dengan Pusat Pengembangan
43
Sumberdaya Wanita (PPSW) membentuk Seknas PEKKA untuk mengembangkan gagasan awal ini. Melalui proses refleksi dan diskusi intensif dengan berbagai pihak, kedua gagasan ini kemudian diintegrasikan ke dalam sebuah upaya pemberdayaan yang lebih komprehensif. Untuk itu “Widows Project”atau “ Proyek untuk Janda” diubah tema dan judulnya menjadi lebih provokatif dan ideologis, yaitu dengan menempatkan janda lebih pada kedudukan, peran, dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Selain itu, upaya ini diharapkan mampu membuat perubahan sosial dengan mengangkat martabat janda dalam masyarakat yang selama ini terlanjur mempunyai stereotype negatif. Judul Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga kemudian ditetapkan dan disepakati untuk menamai inisiatif baru ini. Selanjutnya kata PEKKA juga dipergunakan untuk menyebut secara singkat Perempuan Kepala Keluarga. Dari sebuah pilot proyek yang berkembang dalam kerangka program pembangunan, akhirnya PEKKA mampu menjadi sebuah gerakan kelompok perempuan miskin melawan kemiskinan dan ketidakadilan. Hal ini terlihat dari karakteristik PEKKA dalam perjalanannya yang berbasis sangat kuat di masyarakat, menjadi organisasi yang organik, mempunyai agenda politik yang kuat yaitu pengakuan fakta maupun hukum atas status perempuan kepala keluarga dengan dimensi perubahan sosial yang kuat, serta mempunyai potensi kesinambungan pergerakan jangka panjang dengan impact yang lebih luas. PEKKA bertujuan untuk memahami persoalan perempuan kepala keluarga yang komprehensif, sehingga program ini menerapkan strategi pengorganisasian masyarakat atau community organizing (CO) dengan menyoal ketidakadilan gender dan kelas yang ada dalam masyarakat. Untuk mendukung strategi tersebut maka ada lima prinsip dasar program yang diterapkan dalam pelaksanaan PEKKA yaitu partisipatif, fleksibel, pendampingan dan fasilitasi, berkelanjutan, dan terdesentralisasi. Melihat dari strategi yang diterapkan, maka PEKKA ini merupakan salah satu contoh konsep pembangunan yang bersifat buttom-up planning. Konsep buttom-up planning merupakan sebuah konsep pembangunan yang mengedepankan masyarakat sebagai pemeran utama dalam proses pembangunan pada setiap tahap, tercakup di dalamnya proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan. Namun demikian, sebagai sebuah gerakan PEKKA menghadapi empat tantangan yaitu kemandirian, kesinambungan, keterbukaan, dan keterlibatan yang sebetulnya sudah dirintis sejak program ini dilaksanakan. Untuk menjawab tantangan yang telah diuraikan diatas, maka sejak tahun 2008 upaya pemberdayaan di unit terbawah dalam masyarakat telah dilakukan secara intensif. Pendidikan kritis dan peningkatan kapasitas masyarakat miskin telah dilakukan secara terstruktur dan terus menerus melalui Program Pengembangan Pusat Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat dan Pengembangan Kepemimpinan Perempuan di tingkat desa dan kecamatan. Sentra kegiatan ini diberi nama PRIME (Perempuan Indonesia Memimpin). Seknas PEKKA mendampingi perempuan miskin yang melaksanakan peran dan tanggung jawab sebagai pencari nafkah, pengelola rumah tangga, dan pengambil keputusan dalam keluarga yang mencakup: 1) Perempuan yang ditinggal/dicerai hidup 2) Perempuan yang suaminya meninggal dunia
44
3) Perempuan yang membujang atau tidak menikah 4) Perempuan bersuami, tetapi oleh karena suatu hal, suaminya tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai kepala keluarga 5) Perempuan bersuami, tetapi tidak mendapatkan nafkah lahir dan batin karena suaminya bepergian lebih dari satu tahun. Seknas PEKKA mempunyai visi untuk pemberdayaan perempuan kepala keluarga dalam rangka ikut berkontribusi membangun tatanan masyarakat yang sejahtera, adil gender, dan bermartabat. Untuk mewujudkan visi tersebut, Seknas PEKKA mengemban misi untuk: 1) Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan Perempuan Kepala Keluarga 2) Membuka akses perempuan kepala keluarga terhadap berbagai sumberdaya 3) Membangun kesadaran kritis Perempuan Kepala Keluarga baik terhadap kesetaraan peran, posisi, dan status mereka, maupun terhadap kehidupan sosial politiknya. 4) Meningkatkan partisipasi perempuan kepala keluarga dalam berbagai proses kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya 5) Meningkatkan kontrol perempuan terhadap proses pengambilan keputusan mulai di tingkat rumah tangga hingga negara. Untuk mencapai cita-cita ini Seknas PEKKA mengembangkan strategi empat pilar pemberdayaan, yaitu: 1) Membangun visi; pada dasarnya membangun kesadaran kritis PEKKA terhadap hak sebagai manusia, perempuan dan warga negara, menumbuhkan motivasi untuk memperbaiki kehidupan, dan pada akhirnya memfasilitasi mereka untuk membangun visi dan misi kehidupan. Visi dan Misi menjadi landasan utama PEKKA untuk bergerak selanjutnya. 2) Peningkatan kemampuan; meningkatkan kapasitas PEKKA untuk mengatasi berbagai persoalan kehidupan melalui pendampingan intensif, berbagai pelatihan dan lokakarya terkait dengan membangun kepercayaan diri, meningkatkan keterampilan teknis dan manajerial. Melatih dan mengembangkan pemimpin dan fasilitator masyarakat dari kalangan PEKKA. 3) Pengembangan organisasi dan jaringan; melalui penumbuhan, pengembangan dan penguatan kelompok berbasis di masyarakat yang diberi nama Kelompok Perempuan Kepala Keluarga (Kelompok PEKKA) di seluruh wilayah program. Kelompok-kelompok ini kemudian difasilitasi untuk mengembangkan organisasinya menjadi Serikat PEKKA yang mandiri dan berjaringan mulai dari tingkat kecamatan hingga nasional, serta berjaringan dengan lembaga lain yang dapat mendukung kerja-kerja mereka. 4) Advokasi untuk perubahan; Fokus pada akses terhadap informasi, sumberdaya kehidupan dan pengambilan keputusan serta akses terhadap keadilan hukum. Perubahan tata nilai negatif terhadap perempuan dan perempuan kepala keluarga melalui kampanye dan pendidikan pada masyarakat luas.
45
Strategi Seknas PEKKA di operasionalkan ke dalam program-program yang dikembangkan berdasarkan kebutuhan, kondisi dan sumberdaya yang tersedia. a. Pemberdayaan Ekonomi 1. Pengembangan sumberdaya keuangan bersama PEKKA melalui kegiatan simpan pinjam dengan sistem koperasi. 2. Peningkatan sumber pendapatan keluarga PEKKA melalui pengembangan usaha individu dan usaha bersama. b. Pendidikan Sepanjang Hayat 1. Pemberantasan buta huruf dan angka bagi keluarga PEKKA melalui kelas keaksaraan fungsional dan akses program Penyetaraan Pendidikan. 2. Akses pendidikan yang murah dan berkualitas termasuk akses beasiswa bagi anak-anak PEKKA yang putus sekolah 9 tahun. 3. Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini, Mengorganisir Kelas Belajar anak-anak PEKKA. c. Pemberdayaan Hukum 1. Kegiatan penyadaran tentang hak dan perlindungan hukum bagi PEKKA 2. Melatih kader PEKKA menjadi Kader Hukum agar mampu mendampingi akses proses hukum yang adil bagi PEKKA dan keluarganya dalam penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga. 3. Advokasi reformasi hukum dan proses hukum yang adil gender. d. Pemberdayaan Politik 6) Penyadaran kritis akan hak politik PEKKA. 7) Mengorganisir PEKKA untuk terlibat dan mengawasi proses pengambilan keputusan di berbagai tingkatan dan terlibat dalam proses politik di berbagai tingkatan. e. Hak Kesehatan Sepanjang Masa 1. Gerakan hidup sehat dan berkualitas melalui kegiatan penyadaran kritis akan hak dan kesehatan khususnya kesehatan reproduksi. 2. Mengembangkan kader-kader kesehatan dari kalangan PEKKA agar dapat mengorganisir akses pelayanan kesehatan yang murah dan berkualitas. 3. Advokasi kebijakan terkait hak pelayanan kesehatan yang mudah, murah dan berkualitas bagi masyarakat miskin. f. Media Komunitas 1. Sistem pendukung kegiatan pengorganisasian PEKKA dan memperjuangkan hak akses teknologi informasi bagi masyarakat miskin. 2. Melatih dan mengembangkan kader-kader pengelola dan pengembang media rakyat termasuk radio komunitas, video komunitas, fotografi, dan penulisan. 3. Mengembangkan penggunaan media komunitas untuk kegiatan pendidikan bagi rakyat, kampanye perubahan sosial, dan advokasi kebijakan. Rintisan tahap awal program ini dilaksanakan sebagai pilot proyek di Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara Timur pada tahun 2000. Kemudian diperluas ke Maluku Utara dan Nusa Tenggara Barat. Pemilihan lokasi berdasarkan pertimbangan keberadaan jumlah perempuan kepala keluarga dan karakteristik wilayah, misal: angka migrasi laki-laki tinggi, konflik sumberdaya alam, dan konflik sosial budaya lokal. Saat ini, PEKKA dianggap
46
telah mampu memberikan alternatif pendekatan pengorganisasian basis yang efektif sehingga telah dapat dikembangkan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Selama pelaksanaan program jumlah penerima manfaat PEKKA terus mengalami peningkatan dengan pertambahannya bervariasi di setiap wilayah dampingan yang ada. Penambahan kelompok terkait dengan semakin bertambah luasnya wilayah dampingan. Di beberapa wilayah terjadi perubahan jumlah anggota. Ada penambahan anggota baru, tetapi ada juga kelompok yang anggota berkurang akibat meninggal, pindah ke lokasi lain, menikah dan keluar dari program. Wilayah kerja PEKKA dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Jumlah anggota PEKKA nasional per Maret 2012 No
Propinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Aceh Jawa Barat Jawa Tengah Kalimantan Barat Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Sulawesi Tenggara Maluku Utara Sumatera Selatan Sumatra Utara Jawa Timur Sulawesi Utara Sulawesi Selatan Bali DI Yogyakarta Banten Kalimantan Selatan Sumatra Barat Jakarta Total
Kabupaten/ Kota
9 4 3 3 2 1 1 1 1 1 2 1 1 3 1 1 1 1 1 38
Kecamatan
31 10 6 7 7 8 13 6 5 4 7 3 3 3 3 3 3 1 3 126
Desa/ Kelurahan
Nama kelompok
Jumlah anggota
140 42 23 23 32 51 44 31 17 14 10 10 4 3 6 8 11 7 2 478
154 87 46 48 67 95 53 35 20 40 34 14 12 3 14 12 12 17 3 766
3579 1385 766 583 1444 1453 714 477 403 556 477 189 187 88 284 168 148 260 26 13187
Sumber: Seknas PEKKA, Juni 2012
5.2.2 Pelaksanaan PEKKA di Aceh Program PEKKA di Aceh dimulai awal tahun 2002, merupakan salah satu wilayah pilot proyek program ini. Pada awalnya, perkembangan PEKKA di Aceh tidak sesuai dengan rencana dan menghadapi banyak rintangan. Berdasarkan hasil evaluasi PEKKA tahun 2001-2004, target pembentukan 10 kelompok di setiap kecamatan tidak berhasil dan hanya Kecamatan Mutiara Timur yang berhasil mencapainya. Hal ini bukan berarti jumlah PEKKA yang potensial untuk menjadi
47
kelompok terbatas atau tidak ada upaya dari PL melakukan usaha untuk mencapainya, tetapi karena lebih banyak terbentur situasi keamanan yang harus diakui tetap merupakan faktor kunci. Pendampingan yang sempat tidak berjalan maksimal saat adanya Darurat Militer, dan ternyata tidak juga menjadi lebih mudah setelah adanya Darurat Sipil. Bahkan tingkat keamanan di beberapa desa dampingan sangat rawan. Sebagai gambaran di kecamatan Idi Rayeuk sebenarnya sudah terbentuk sembilan kelompok, namun satu kelompok akhirnya terpaksa menghentikan kegiatannya, karena kelompok tersebut dianggap oleh pihak yang bertikai sebagai bentukan pihak yang menjadi lawannya. Akibatnya keselamatan mereka yang terlibat dalam kelompok baik PL, kader yang mendampingi maupun masyarakat yang menjadi anggota menjadi terancam. Pada akhir tahun 2004 telah ada 55 kelompok PEKKA di 53 Desa di 8 Kecamatan, dan lima Kabupaten di Aceh dengan anggota mencapai 1264 rumah tangga dengan lebih dari 6 000 anggota penerima manfaat program. Namun, Pada tanggai 26 Desember 2004, provinsi Aceh dilanda gempa dan tsumani yang menghancurkan sebagian wilayah tersebut, lebih dari 300.000 orang meninggal dan hilang. Ada tiga Kabupaten wilayah PEKKA yang terkena dampak langsung tsunami, yaitu Kabupaten Aceh Timur (Kecamatan Idi Rayeuk), Kabupaten Bireun (Kecamatan Jeunib, Pelimbangan dan Samalanga) serta Kabupaten Pidie (Mutiara Timur dan Kembang Tanjong). Sedangkan wilayah Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Besar tidak langsung terkena tsunami, namun ada di antara mereka yang menjadi korban karena mencari nafkah di Banda Aceh. Dalam musibah gempa dan tsunami tersebut, 15 orang anggota PEKKA meninggal dan satu orang tidak diketahui nasibnya atau dinyatakan hilang. Lebih dari seratus anggota kehilangan rumah dan tempat usahanya, serta ratusan anggota rumahnya mengalami rusak berat. Sebagian besar mengalami kesulitan ekonomi karena efek domino musibah ini. Sebagian mereka juga mengalami kehilangan anggota keluarga besarnya, serta didera perasaan takut akan musibah susulan. Pasca musibah gempa dan tsunami, anggota PEKKA menghadapi berbagai masalah seperti kehilangan rumah tinggal, kerusakan berat rumah tinggal, kehilangan sumber pendapatan (warung, perahu, lahan garam, hewan peliharaan), berkurangnya pendapatan dan menurunnya daya beli, kehilangan anggota keluarga, trauma dan perasaan tidak aman, kesedihan yang mendalam, kebingungan dalam kesendirian, ketidakpastian kehidupan selanjutnya, proses belajar mengajar yang terganggu bahkan tidak dapat diselenggarakan bagi anak-anak sekolah serta kesehatan dan gizi buruk. Hal tersebut mengakibatkan banyak bantuan tanggap darurat yang datang dari berbagai pihak guna meringankan beban mereka. Namun demikian, Seknas PEKKA pada saat itu telah mengidentifikasi potensi masalah yang akan muncul selanjutnya dalam jangka lebih panjang. Dari sekian banyak potensi masalah tersebut, Seknas PEKKA mengidentifikasi beberapa hal yang khusus dihadapi oleh ibu-ibu Pekka antara lain: 1) Penumbuhan kembali kegiatan ekonomi produktif yang menjadi sumber penghidupan keluarga PEKKA
48
2) Pengadaan kebutuhan perumahan yang memadai bagi anggota PEKKA yang kehilangan rumah tinggal. 3) Akses pendidikan bagi anak-anak yang berada di tempat pengungsian, yang kehilangan orang tua dan sumbar pembiayaan, dalam berbagai tingkatan, mulai dari SD hingga SMA. 4) Penanganan trauma, kesedihan dan rasa kesendirian, dan mengatasi perasaan takut. Berdasarkan analisa kondisi yang telah diuraikan di atas, maka Seknas PEKKA mengajukan usulan program ke JSDF guna mengembangkan strategi yang berkelanjutan dalam pengembangan PEKKA pasca bencana tsunami di Aceh. Persetujuan JSDF untuk mendanai upaya ini kemudian mengharuskan Seknas mengembangkan secara khusus PEKKA di Aceh dengan pendekatan yang khusus pula. Namun, hingga sekarang perkembangan PEKKA di Aceh sudah kembali normal dan tidak mengalami hambatan-hambatan yang berarti terutama hambatan keamanan karena tidak ada lagi konflik di Aceh. Wilayah kerja PEKKA di Aceh sampai akhir Maret 2012 mencapai 140 desa di 31 kecamatan di 9 kabupaten yaitu; Aceh Besar, Pidie, Bireun, Aceh Timur, Aceh Jaya, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, dan Aceh Singkil, yang terbagi dalam 140 desa, 154 kelompok dengan total jumlah anggota sebanyak 3579 jiwa. 5.2.3 Kegiatan- Kegiatan PEKKA Aceh 1) Pemberdayaan Ekonomi Perkembangan simpan pinjam memang sangat terkait dengan kondisi ekonomi yang ada. Perubahan kondisi ekonomi berdampak pada simpanan kelompok. Ada saat simpanan berlangsung lancar, tetapi saat kondisi ekonomi mereka menurun, simpanan tidak selancar biasanya. Pada awalnya, secara umum kegiatan simpanan kelompok berjalan cukup lancar dan cenderung meningkat. Demikian juga perputaran pinjaman di beberapa kelompok menunjukkan tingkat yang menggembirakan. Nilai pinjaman yang berputar relatif lebih besar dari dana yang terkumpul. Artinya, dana simpanan yang ada benar-benar digunakan oleh anggota kelompok. Memang bagi mereka kelompok telah menjadi wadah tempat meminjam, karena sebagai perempuan kepala keluarga sering tidak mudah untuk mendapat pinjaman. Namun, perkembangan kegiatan simpan pinjam di beberapa daerah di Aceh terutama di Pantai Barat Aceh sekarang mulai menurun. Motivasi anggota untuk menyimpan dananya di kelompok belum terbangun, sebagian besar anggota lebih memanfaatkan kelompok sebagai tempat meminjam dan belum memfungsikannya sebagai tempat aman untuk menyimpan dananya pada saat tertentu kemudian mengambilnya pada saat butuh. Padahal mereka umumnya setiap bulan hanya menabung simpanan pokok dan wajib yang tidak bisa diambil selama masih menjadi anggota kelompok. Rendahnya motivasi anggota untuk menabung bertambah parah setelah gelombang lembaga donor berdatangan ke Aceh pasca bencana tsunami. Banyak lembaga donor menawarkan pinjaman atau dana untuk pengembangan usaha tanpa harus menyimpan terlebih dahulu. Berdasarkan Laporan PRIME PEKKA per Juni 2012, kelompok-kelompok PEKKA Aceh telah mampu menggalang dana simpanan Rp430 268 300; dana pinjaman Rp4 864 491 900; dana angsuran Rp2 845 964 425; dan dana sisa Rp2 018
49
527 475. Dana simpanan telah diputar dengan meminjamkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan anggota. Sementara dana jasa pinjaman Rp209 920 980. 2) Pemberdayaan Hukum untuk Keadilan Kegiatan PEKKA di bidang hukum untuk keadilan masih mengurusi kasuskasus yang dialami oleh ank-anak dan perempuan, seperti kasus pencabulan dan KDRT di pantai Barat Aceh. PLdan kader PEKKA cukup stress dan tertekan menghadapi berbagai persolan tersebut. Terutama saat diminta polisi untuk mendampingi anak „down sindrome‟ yang menjadi korban pemerkosaan. Di samping mengurusi berbagai kasus hukum, PEKKA juga selalu mensosialisasikan dan memberikan materi tentang hukum kepada anggotanya terutama pada anggota kelompok yang rawan terhadap tindakan hukum. 3) Pendidikan Politik Kursus politik sudah berjalan di 12 desa di Aceh Timur, Aceh Barat Daya dan Nagan Raya. Namun waktu pelaksanaan kursus di tiga wilayah tersebut berbedabeda. Misalnya di Aceh Timur, menurut kesepakatan kursus dilaksanakan sebulan sekali, namun jika ibu-ibu sedang sibuk kesawah untuk tanam atau panen serta musim kenduri, maka waktu kursus diundur ke bulan berikutnya. Faktor ini menyebabkan peserta kursus belum juga selesai. Sementara di Nagan Raya, kursus politik sempat dihentikan menjelang pemilukada lalu. PLdan kader PEKKA khawatir dengan meningkatnya suhu politik di Aceh. Aspek positif dari membangun kesadaran kritis melalui pendidikan politik di PEKKA adalah munculnya keberanian kader PEKKA untuk mencalonkan diri menjadi anggota legislatif di tingkat Kabupaten melalui beberapa partai politik. Meskipun belum ada kader PEKKA yang lolos dalam pemilu lalu, namun tawaran dari beberapa partai politik terhadap mereka menunjukkan bahwa PEKKA merupakan kelompok masyarakat yang sudah diperhitungkan. 4) Pendidikan Sepanjang Hayat Kegiatan tambahan penyelenggaraan PEKKA adalah pada bidang pendidikan, seperti penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Hingga saat ini ada beberapa PAUD yang dikelola oleh kader PEKKA. Data tentang jumlah desa dan jumlah peserta kelompok belajar anak dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5 Jumlah desa dan peserta kelompok belajar anak tahun 2012 No Wilayah Jumlah desa Jumlah peserta (orang) 1. Aceh Jaya 3 90 2. Pidie 16 306 3. Aceh Timur 8 108 4. Aceh Besar 1 20 5. Aceh Barat Daya 4 185 6. Bireun 3 32 Total 35 741 Sumber: Seknas PEKKA, Juni 2012
50
Selain kegiatan PAUD, PEKKA Aceh juga menyelenggarakan kegiatan Keaksaraan Fungsional (KF) bagi masyarakat yang buta huruf. Peserta KF yang telah mengikuti kegiatan selama enam bulan atau sudah bisa baca tulis akan mendapatkan sertifikat dari Dinas Pendidikan. Sertifikat tersebut setara dengan paket A dan dapat dipergunakan untuk mengikuti kejar paket B. Hal ini tentu saja dapat mendorong ibuibu PEKKA dan masyarakat yang saat ini mengikuti kelas KF untuk lebih giat lagi belajar agar bisa baca, menulis dan berhitung. Selanjutnya mereka akan mengikuti ujian dalam rangka memperoleh sertifikat tersebut. 5.2.4 Pelaksanaan PEKKA di Desa Dayah Tanoh Program PEKKA di Desa Dayah Tanoh dilakukan pada awal tahun 2002 hampir bersamaan dengan desa-desa lainnya di Kecamatan Mutiara Timur. Kelompok PEKKA di desa ini diberi nama Kelompok Jeumpa, dan merupakan satusatunya kelompok PEKKA yang ada di Desa Dayah Tanoh. Tahap pertama dalam pembentukan kelompok adalah dilakukan kegiatan sosialisasi program oleh PL (saat itu dijabat oleh warga Desa Dayah Tanoh). Kegiatan sosialisasi bertujuan memberikan penjelasan maksud, tujuan, sasaran, pendekatan dan penerima manfaat program. Kegiatan ini dilakukan dengan pendekatan individu, pertemuan formal dan informal. Sasaran sosialisasi adalah pihak pemerintah (camat, kepala desa), tokoh masyarakat (tuha peut, teungku imum), dan masyarakat umum dan calon penerima manfaat. Melalui proses ini PLingin melihat bagaimana respon dan dukungan dari berbagai pihak untuk melaksanakan tugasnya di lapangan. Namun pada awal pembentukan kelompok PEKKA Jeumpa mengalami banyak hambatan, sama halnya dengan daerah-daerah lain di Aceh, karena pada saat itu Aceh masih dalam kondisi konflik. Menurut wawancara dengan mantan PL: “Pembentukan dan pendampingan kelompok di sini tidaklah mudah. Faktor keamanan menjadi penentu. Pada awalnya dikira PEKKA ini antek-antek RI yang mau saingi kelompok inong balee (janda korban DOM yang dibentuk oleh GAM) makanya sangat dicurigai terutama oleh pihak GAM. Untung saya orang desa ini, jadi agak mudah melakukan pendekatan dan memberikan keterangan tentang kegiatan PEKKA ini walaupun harus hati-hati juga, nyawa jadi taruhannya. Karena waktu itu salah ngomong sedikit besok bisa hilang kita. Saya juga berupaya bersikap netral kepada pihak-pihak yang bertikai.Namun demikian saya sempat diperiksa juga oleh pihak-pihak yang bertikai, karena disangka menjadi kaki tangan pihak lawan. (MD)” Selain mendapat ancaman keamanan, sosialisasi program ini pada awalnya juga mengalami kendala yang berasal dari masyarakat sendiri misalnya banyak cemoohan dari pihak yang tidak menyukai program ini dan sering terjadi perbedaan pendapat dengan masyarakat yang bukan anggota. “Pertama dibentuk banyak ejekan dari masyarakat lain yang bukan anggota, sering terjadi perbedaan pendapat antara anggota dengan
51
yang bukan anggota. Namun lama-lama dilihat dari perkembangan dan manfaat yang didapat dari adanya program ini mereka jadi berubah pikiran dan sekarang sangat mendukung program ini. (MD)” Setelah sosialisasi, proses berikutnya adalah penumbuhan dan pengembangan kelompok perempuan kepala keluarga. Ini merupakan sarana untuk mengefektifkan dan mengefisienkan kegiatan pemberdayaan perempuan kepala keluarga. Ada berbagai strategi yang diterapkan PL dalam membentuk kelompok. Tahap awal PL mendatangi setiap perempuan kepala keluarga ke rumah-rumah, berkenalan dan berdialog secara non formal dengan mereka. PLkadang-kadang juga meminta bantuantokoh-tokoh perempuan dan/atau aparat desa dalam melakukan kunjungan. Melalui proses ini, PL membangun motivasi perempuan kepala keluarga untuk mau bekerja dalam kelompok bersama anggota lainnya. Setelah banyak yang termotivasi, PL kemudian mengundang pertemuan formal untuk pembentukan kelompok, menentukan nama, memilih pengurus, dan membuat kesepakatan kelompok.Hasilnya terbentuklah kelompok PEKKA Jeumpa dengan jumlah anggota awal 33 orang. Persyaratan untuk menjadi anggota antara lain janda, perempuan yang memiliki tanggungan, perempuan yang memiliki suami sakit-sakitan dan penduduk tetap. “Yang tidak memiliki suami, bertanggung jawab terhadap keluarga walaupun belum berkeluarga (menikah), memiliki suami yang sedang sakit-sakitan, bersedia aktif mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh pekka, harus orang yang menetap. (MD)” Seiring berjalannya waktu, banyak manfaat yang dirasakan oleh anggota, sehingga dukungan terhadap program datang dari seluruh masyarakat. Namun, masih ada hambatan sering yakni situasi keamanan yang belum kondusif. Kondisi tidak aman menyebabkan PLsering tidak dapat mendampingi kelompoknya secara rutin. Kadang terpaksa pendampingan tertunda atau dihentikan sementara untuk alasan keamanan bagi PL dan juga masyarakat dampingan. Karenanya, pertemuan sering dilakukan di meunasah. Selain itu, kegiatan juga kadang dilakukan di Kantor Serikat PEKKA di Desa Jiem Kecamatan Mutiara Timur yang berjarak 15 km dari desa.Setelah konflik berkahir, sekarang pelaksanaan program PEKKA Desa Dayah Tanoh sudah normalseperti dengan wilayah-wilayah dampingan lainnya di seluruh Indonesia. Saat ini jumlah anggota telah mengalami pengurangan yaknisisa 22 orang karena ada anggota yang meninggal, pindah ke desa lain dan/atau mengundurkan diri. Kegiatan pendampingan meliputi kunjungan pada pertemuan rutin, kunjungan ke rumah anggota dan pengurus kelompok, pendampingan simpan pinjam kelompok, dan pendampingan pembukuan. Karena banyak anggota yang masih sungkan dan malu mengungkapkan pendapat di depan umum, kegiatan pendampingan sering dengan cara pertemuan personal melalui kunjungan ke rumah. Kegiatan tambahan lainnya lebih banyak yang berkaitan dengan keagamaan seperti pengajian wirid yasin, sholawat, dan lain-lain. Selain itu, kelompok Jeumpa juga membuat kegiatan tambahan seperti arisan, ketrampilan, baca tulis, belajar tanda tangan dan belajar buta huruf yang terbuka untuk ibu-ibu selain PEKKA.
52
5.2.5 Kegiatan-Kegiatan PEKKA di Desa Dayah Tanoh 1) Pemberdayaan Ekonomi Kegiatan pemberdayaan ekonomi menjadi kegiatan pokok program pemberdayaan kepala keluarga di Desa Dayah Tanoh, karena persoalan ekonomi adalah masalah yang sangat mendasar yang dihadapi oleh semua perempuan kepala rumah tangga. Strategi pemberdayaan yang dilakukan adalah pengembangan sumberdaya keuangan melalui kegiatan simpan pinjam dari tingkat kelompok hingga LKM/koperasi, dan pengembangan usaha baik individu anggota atau pun pengembangan usaha bersama di berbagai tingkatan.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Tabel 6 Daftar simpan pinjam anggota kelompok, tahun 2012 Simpanan (Rp) Nama Anggota Total (Rp) Pokok Wajib Sukarela Jh 10 000 200 000 20 000 230 000 Kt 10 000 198 000 5 000 213 000 BR 10 000 180 000 10 000 200 000 Hf 10 000 184 000 10 000 204 000 AMD 10 000 180 000 8 000 198 000 Wd 10 000 190 000 6 000 206 000 Rh 10 000 180 000 20 000 210 000 CN 10 000 200 000 50 000 260 000 PA 10 000 180 000 16 000 206 000 Sy 10 000 200 000 50 000 260 000 By 10 000 150 000 8 000 168 000 NC 10 000 60 000 6 000 76 000 As 10 000 100 000 2 000 112 000 AA 10 000 70 000 5 000 85 000 AAb 10 000 160 000 8 000 178 000 Bg 10 000 86 000 5 000 101 000 PA 10 000 86 000 5 000 101 000 NT 10 000 140 000 300 000 450 000 Am 10 000 76 000 9 000 95 000 Sb 10 000 2 000 0 12 000 Nh 10 000 2 000 0 12 000 Hmm 10 000 130 000 6 000 146 000
Pada awalnya kegiatan simpan pinjam hanya di tingkat kelompok Jeumpa saja. Namun sekarang, secara bertahap kegiatan simpan pinjam berkembang menjadi gabungan simpan pinjam kelompok satu Kecamatan Mutiara Timur dalam bentuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dan sudah berbadan hukum koperasi. Menurut bendahara kelompok, NT, simpanan pokok setiap anggota sebesar Rp10 000, simpanan wajib tiap bulan sebesar Rp2 000 dan simpanan sukarela tergantung kepada masing-masing anggota. Dana kelompok tersebut dapat dipinjam oleh setiap anggota
53
sebesar Rp100 000 atau lebih tergantung dari jumlah dana yang tersedia di kas kelompok dan tidak dikenakan bunga. Namun peminjaman di tingkat LKM Kecamatan setiap anggota dapat meminjam lebih dari Rp500 000 dengan bunga sebesar satu persen yang disetorkan ke kelompok. “Simpanan wajib kelompok dua ribu perbulan, simpanan pokok sepuluh ribu sekali pembayaran. Simpanan wajib untuk tabungan kelompok agar mudah dalam peminjaman, kalo anggota keluar maka setiap simpanan dikembalikan kecuali jasa. Untuk kampong bisa meminjam seratus ribu atau lebih tergantung kas, untuk LKM bisa di atas lima ratus ribu. Bunganya untuk kelompok 1%. (NT)”
Tabel 7 Daftar pinjaman dana BLM kelompok Jeumpa Desa Dayah Tanoh No. Nama Jenis usaha Jumlah Jumlah Sisa anggota pinjaman (Rp) pengembalian (Rp) (Rp) 1. Jh Tidak usaha 1 000 000 1 000 000 0 2. Kt Tidak usaha 1 000 000 1 000 000 0 3. BR Jualan kue 1 000 000 500 000 500 000 4. Hf Usahatani 2 000 000 1 200 000 800 000 5. AMD Usahatani 3 000 000 1 000 000 2 000 000 6. Wd Tidak usaha 1 500 000 1 500 000 0 7. Rh Usahatani 1 500 000 1 300 000 200 000 8. CN Tidak usaha 0 0 0 9. PA Tidak usaha 0 0 0 10. Sy Jualan kue 500 000 300 000 200 000 11. By Jualan kue 1 500 000 800 000 700 000 12. NC Jualan kue 1 500 000 1 500 000 0 13. As Tidak usaha 0 0 0 14. AA Usahatani 1 500 000 1 500 000 0 15. AAb Jualan kue 500 000 500 000 0 16. Bg Usahatani 3 000 000 1 400 000 2 600 000 17. PA Jualan kue 400 000 250 000 150 000 18. NT Jualan kios 4 000 000 3 100 000 900 000 19. Am Usahatani 1 500 000 1 000 000 500 000 20. Sb Tidak usaha 0 0 0 21. Nh Tidak usaha 0 0 0 22. Hmm Usahatani 1 500 000 500 000 1 000 000 Dari semua jenis aktivitas, pengembangan simpan pinjam dipersepsikan memberikan kontribusi manfaat yang paling baik. Sebagian besar anggota menyatakan salah satu manfaat yang dirasakan adalah kemudahan untuk bisa mendapatkan pinjaman untuk berbagai keperluan baik yang terkait dengan pengembangan usaha (memulai atau meningkatkan usaha) atau kebutuhan non usaha
54
(sekolah anak, keluarga sakit, kebutuhan harian, perbaikan rumah, dan sebagainya). Nilai besaran pinjaman yang bisa diakses pada awalnya berkisar Rp400 000 hingga Rp5 000 000 disesuaikan dengan tingkat kebutuhan. Pengajuan pinjaman harus disertakan proposal dari jenis usaha yang ingin dijalankan. Pinjaman harus dikembalikan secara bertahap, untuk jenis usaha pertanian diberi batas waktu selama enam bulan disesuaikan dengan masa panen dan untuk jenis usaha lainnya selama setahun. Jika tidak dapat mengembalikan dalam batas waktu yang ditentukan maka dikenakan denda. Hasil wawancara dengan bendahara kelompok: “..pembayarannya bergilir untuk kelompok lagi bukan modal mati, peminjamannya tergantung kebutuhan modal usaha yang harus dikembalikan,kalo petani 6 bulan masa pembayaran karena jadwal panen.Masa peminjamannya setahun tapi ada juga yang menunggak, kalo belum lunas tidak boleh melakukan peminjaman selanjutnya. Bunga peminjaman 2 persen, kalo SPP (simpan pinjam perempuan) tidak berkelompok. (NT)” Masih menurut NT, sebagian besar anggota belum dapat melunasi pinjamannya. Kecilnya minat anggota untuk mengembalikan pinjamannya dikarenakan beberapa faktor antara lain adalah kegagalan usahataninya atau usahanya tidak berjalan lancar dan menguntungkan, adanya pinjaman lain yang memiliki bunga lebih besar sehingga mereka lebih mengutamakan untuk mengembalikannya, dan kurangnya kesadaran anggota akan manfaat simpan pinjam. Bagi anggota yang sudah mengembalikan pinjaman awal maka mereka bisa melakukan pinjaman selanjutnya. “Banyak anggota yang belum mengembalikan pinjamannya, ada yang masih setengah ada yang sepertiga lagi. Agak susah karena banyak alasan kalau kita minta, ada yang bilang padi gak jadi, usaha kue gagal, dan lain-lain. Pengembalian berapa aja, ada seratus ribu juga boleh, yang penting disetor. Yang susah kalau sama orangtua, ditagih terus-terusan jadi gak enak, gak ditagih saya yang kena kalau ada rapat, jadinya susah. Padahal kalo yang lama dah lunas bisa pinjam lagi. (NT)” 2) Pendidikan Bentuk aktivitas pendidikan adalah pemberian beasiswa, penyelenggaran KF dan PAUD. Kegiatan beasiswa diberikan kepada anak/cucu anggota PEKKA yang masih sekolah (SD dan SLTP) dan juga anak-anak lainnya di Desa Dayah Tanoh yang membutuhkan. Nilai beasiswa yang diberikan maksimal Rp300 000 per anak dalam bentuk barang seperti buku pelajaran, seragam, sepatu, dan alat tulis. Jumlah keseluruhan anak yang mendapat beasiswa adalah 25 orang terdiri dari 13 orang siswaSD dan 12 orang siswa SLTP. Saat ini, program beasiswa untuk telah berakhir.Untuk kegiatan KF, pesertanya terdiri dari anggota PEKKA dan juga masyarakat umum yang tertarik untuk mengikutinya. Seiring berjalannya waktu, intensitas dan jumlah anggota mulai berkurang. Saat ini jumlah peserta adalah aktif
55
tinggal 10 orang. Kegiatan PAUD dilakukan untuk menyediakan sarana pendidikan bagi anak usia dini yang terjangkau bagi masyarakat sekitar. Jumlah peserta PAUD Jeumpa sekarang 17 orang dengan usia dua tahun sampai lima tahun. Tenaga pengajarnya adalah anggota PEKKA. Modal awal penyelenggaraan PAUD berasal dari simpanan kelompok. Para murid tidak diwajibkan biaya pendidikan, namun ada kebijakan infak setiap hari sekolah Rp1 000 secara sukarela. Aktivitas PAUD dilakukan di meunasah dengan sumberdaya seadanya, belajar dengan menggunakan alas karpet dan tanpa meja. Sarana bermain hanya memiliki dua ayunan yang dibuat menggunakan kayu dan tali serta dua buah jungkat-jangkit. 3) Pemberdayaan Hukum Tujuan kegiatan pemberdayaan hukum adalah untuk memberikan penyadaran tentang hak dan perlindungan hukum bagi PEKKA, melatih kader PEKKA menjadi kader hukum yang mampu mendampingi akses proses hukum yang adil bagi diri dan keluarganya dalam penyelesaian berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga, dan advokasi reformasi dan proses hukum yang adil gender. Di Desa Dayah Tanoh, kegiatan dilakukan melalui diskusi tentang berbagai persoalan hukum yang sering dialami dan terjadi di sekitar mereka. Kegiatan biasanya dilakukan bersamaan dengan pertemuan rutin kelompok sebulan sekali. Selain itu, beberapa anggota kelompok Jeumpa juga mengikuti kursus/kelas yang diadakan di PEKKA Center. Dengan meningkatnya pemahaman dan kapasitas PLdan kader terkait dengan hukum, PEKKA juga berupaya memfasilitasi pelayanan hukum baik bagi anggotanya maupun masyarakat umum lainnya. Pelayanannya meliputi penyadaran hukum, memberikan informasi hukum, membantu memfasilitasi pemecahan persoalan hukum yang ada. Diantara kegiatan tersebut seperti memfasilitasi pengurusan akte kelahiran, KK dan KTP, memfasilitasi masyarakat untuk melakukan proses itsbat nikah dan gugat cerai. Serikat PEKKA bersama PL juga telah membantu memfasilitasi penyelesaian beberapa kasus KDRT yang terjadi di Desa Dayah Tanoh ini. 4) Pendidikan Politik Tujuan pendidikan politik adalah untuk mendorong masyarakat menjadi kritis, paham tentang hak, fungsi, peran dan tanggung jawabnyasebagai warga negara, peduli dengan lingkungan, dan kontrol terhadap kerja para legislatif dan eksekutif. Untuk mencapai pemahaman tersebut, maka dilakukan upaya penyadaran politi kepada masyarakat sekitar melalui pertemuan rutin di kelompok, pelatihan dan dialog langsung dengan pemerintah dan anggota dewan. Kegiatan pendidikan politik yang pernah diikuti oleh anggota kelompok Jeumpa Desa Dayah Tanoh antara lain adalah: (1) pelatihan di tingkat kabupaten untuk para pengurus dan anggota kelompok PEKKA; (2) diskusi rutin untuk memahami politik; (3) kursus politik; (4) dialog dengan berbagai pemerintahan tingkat kecamatan sampai dengan kabupaten; (5) dialog dan hearing dengan anggota dewan di tingkat kabupaten/provinsi. 5) Pengembangan Media Komunitas Pengembangan media komunitas bertujuan untuk mengembangkan sistem pendukung kegiatan pengorganisasian PEKKA dan memperjuangkan hak akses
56
teknologi informasi bagi masyarakat miskin. Untuk itu Seknas PEKKA telah melatih kader-kader pengelola dan pengembang media rakyat termasuk radio komunitas, video komunitas, fotografi dan penulisan, serta mengembangkan penggunaan media komunitas untuk kegiatan pendidikan bagi rakyat, kampanye perubahan sosial, dan advokasi kebijakan.
No. 1. 2. 3.
4. 5.
6.
7.
8.
9. 10.
11.
Tabel 8 Produksi video komunitas Kelompok Jeumpa tahun 2008-2011 Judul Video Sinopsis Udeep di Lapak Kisah perseteruan para pedagang kaki lima dengan Satpol (Hidup di Lapak) PP. Kaween Loom Cerita tentang tradisi laki-laki di Bireuen yang „gemar‟ berpoligami. (Kawin Lagi..) Dialog Dengan Sosialisasi PEKKA dengan PP, di mana Ibu Zahra selaku PP Kepala PP sangat senang dengan kehadiran PEKKA dan mengharapkan PEKKA dan PP bisa saling bekerja sama. Dialog Dengan Sosialisasi PEKKA dan tanya jawab tentang narkoba, Kapolres KDRT, Qanun Musrenbang Kegiatan Musrenbang di wilayah Bireuen yg berlangsung ricuh karena beberapa peserta yang tidak menyetujui hasil keputusan instansi. Putus Sekolah Profil Sulaiman, Nuarani, dan Neung. Kisah tentang anak-anak putus sekolah karena ketiadaan biaya. Saat ini mereka bekerja sebagai buruh tani. PAUD PEKKA Aktivitas PAUD „Cahaya‟ dengan ragam kegiatannya, „Cahaya‟ seperti Membaca, Menghitung, Menyanyi, dan Bahasa Arab Keaksaraan Kisah tentang Bu Nurma, seorang tutor KF yang Fungsional menggunakan sistem pengenalan bahan-bahan kue dalam proses belajar, agar ibu-ibu lebih cepat mengingat. Kue PEKKA Praktek pembuatan kue kering dan kue basah di Center oleh klp Rahmat Mulia, dengan tutor Ibu Suryani. Kunjungan ke Dialog dengan Ketua, Wakil, hakim, dan Panitera. Ibu-ibu Mahkamah bertanya tentang Itsbat Nikah, Prodeo, dan Harta Syariah Warisan. Dialog Sosial Sosialisasi PEKKA dan dialog dengan SKB, PKBM, dan Sekcam. Dinas Sosial meminta ibu-ibu untuk membuat proposal.
Sumber: Seknas PEKKA, Tahun 2012.
Di Desa Dayah Tanoh ada dua media yang dikembangkan yaitu video komunitas dan foto komunitas. Pembuatan video komunitas ini dibantu oleh tenagatenaga ahli yang telah dilatih oleh serikat PEKKA. Hingga tahun 2011, kelompok
57
Jeumpa telah memproduksi beberapa judul video (Tabel 8). Sementara kegiatan foto komunitas dilakukan untuk mendokumentasikan berbagai kegiatan PEKKA sekaligus penyeberan informasi kepada masyarakat luas berbagai kegiatan dalam program. Penanggungjawab utama kegiatan adalah sekretaris kelompok. Foto-foto yang diambil secara berkala juga dikirimkan ke Seknas PEKKA. 6) Kesehatan Perempuan Program ini bertujuan mendorong kesadaran gerakan hidup sehat dan berkualitas melalui kegiatan penyadaran kritis akan hak dan kesehatan khususnya kesehatan reproduksi, mengembangkan kader-kader kesehatan dari kalangan PEKKA agar dapat mengorganisir akses pelayanan kesehatan yang murah dan berkualitas, dan advokasi kebijakan terkait hak pelayanan kesehatan yang mudah, murah dan berkualitas bagi masyarakat miskin. Aktivitas kegiatan ini meliputi kesehatan umum, kesehatan reproduksi dan kesehatan khusus manula. Biasanya materi diberikan oleh divisi kesehatan Serikat PEKKA dari propinsi. Pemateri terdiri dari dokter, bidan, dan juga kader posyandu. Selain topik diatas, diskusi juga membahas hak-hak kesehatan masyarakat seperti jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas). Selain di meunasah, kegiatan juga dilakukan di Center PEKKA.
58
59
6 KOMUNIKASI PARTISIPATIF PEREMPUAN KEPALA KELUARGA DALAM PEKKA Program PEKKA di Desa Dayah Tanoh dilaksanakan secara partisipatif dengan sasarannya adalah perempuan kepala keluarga. Dalam tesis ini, aktivitas komunikasi partisipatif berupa akses dan cara berkomunikasi. Akses dilihat dari adanya hak dan kesempatan yang sama bagi perempuan kepala keluarga untuk menghadiri setiap pertemuan dalam program, akses terhadap pelatihan-pelatihan, dan akses terhadap program-program bidang ekonomi seperti simpan pinjam dan dana bantuan langsung masyarakat. Sedangkan cara berkomunikasi dilihat dari bentuk komunikasi yang berlangsung antara perempuan kepala keluarga dengan PL dalam setiap tahapan program baik secara monolog, dialog atau gabungan antara monolog dengan dialog. Berikut ulasan mengenai akses dan cara komunikasi kegiatan PEKKA yakni: (1) tahap penumbuhan ide, (2) tahap perencanaan program, (3) tahap pelaksanaan program dan (4) tahap penilaian terhadap program (Levis 1996).
6.1 Tahap Penumbuhan Ide Penumbuan ide merupakan suatu proses atau kegiatan dalam mensosialisasikan, memperkenalkan, dan memperoleh masukan dan keinginan serta dukungan perempuan kepala keluarga terhadap PEKKA (Tabel 9).
Tabel 9 Matriks komunikasi partisipatif pada tahap penumbuhan ide Bentuk komunikasi Partisipan Kegiatan Isi pesan Akses Cara yang berperan berkomunikasi 1. Pertemuan Informasi Semua Cenderung PL, sosialisasi mengenai anggota monolog perwakilan program maksud, tujuan, diundang dan PEKKA sasaran, hadir Provinsi, Ibu pendekatan dan NT dan Am penerima berpendidikan manfaat lebih tinggi 2. Kunjungan Informasi PL Komunikasi PL dan semua ke rumah, mengenai mengunjungi interpersonal anggota tempat maksud, tujuan, perempuan (tatap muka) berkumpul sasaran, dan kepala dengan cara penerima keluarga berdialog manfaat
60
Tahap sosialisasi merupakan kegiatan yang sangat sulit bagi PL karena mereka harus menghadapi dan membujuk perempuan kepala keluarga untuk mau bergabung dan menerima program pemberdayaan ini. PL harus menjelaskan secara detail maksud dan tujuan program dimanapun bertemu dengan sasaran. Karenanya dibutuhkan usaha keras dan kesabaran yang tinggi untuk membuat calon sasaran mengerti dan bersedia mengikuti program, apalagi individu-individu yang dihadapi adalah orang-orang dengan tingkat pendidikan rendah dan sebagian besar lanjut usia sehingga sulit dalam berkomunikasi. “Pada awal masuk program ke desa ini, selain faktor keamanan, kesulitan lain adalah bagaimana saya mendekati dan menjelaskan kepada janda-janda tentang maksud dari program ini. Cara yang saya lakukan pertama adalah buat pertemuan di Meunasah dengan Ibu-ibu janda, saya datangi ke rumah mereka satu-satu untuk saya jelaskan maksud program, bertemu di warung-warung juga saya ajak ngobrol, pelan-pelan lah. Saya harus menjelaskan dengan bahasa saya supaya mereka mengerti, apalagi mereka banyak yang udah tua-tua, banyak gak sekolah jadi agak susah kita ngomong. Tetapi dengan kesabaran dan kerja keras saya, akhirnya mereka mau bergabung dalam program walaupun belum sepenuhnya mengerti tentang program tersebut. Saya pikir nanti kan bisa dijelaskan lagi dalam setiap pertemuan kelompok. Yang penting mereka udah mau dulu bergabung. (MD)” Pertemuan pertama kegiatan sosialisasi dilaksanakan di meunasah yang dihadiri oleh perempuan kepala keluarga, PL, perwakilan PEKKA Provinsi, tuha peut dan aparat Desa Dayah Tanoh. Dalam pertemuan tersebut semua perempuan kepala keluarga 25 orang hadir. Pertemuan dimulai dan dibuka oleh kepala desa dengan memperkenalkan tamu-tamu perwakilan dari PEKKA, kemudian dilanjukan dengan penyampaian maksud, tujuan dan manfaat program oleh perwakilan PEKKA. Setelah itu, PL memberikan kesempatan kepada peserta yang hadir untuk bertanya dan menyampaikan pendapatnya mengenai program yang akan dilaksanakan. Dalam pertemuan tersebut belum semua perempuan kepala keluarga mau bertanya atau menyampaikan pendapatnya, hanya beberapa orang saja yang bersedia bertanya. “Pertemuan pertama sekali itu waktu sosialisasi program ya, kita undang semua perempuan kepala keluarga yang ada di desa ini ke meunasah. Waktu itu yang hadir kalau gak salah sekitar 25 orang. Waktu itu hadir perwakilan PEKKA dari provinsi untuk menjelaskan maksud, tujuan dan manfaat program kepada perempuan-perempuan ini. Ada pak Geuchik juga, ada tuha peut juga. Dalam pertemuan itu, terlihat perempuan kepala keluarga itu masih malu-malu ya, masih takut-takut. Waktu dipersilakan untuk bertanya atau kasih pendapat, mereka malu-malu hanya beberapa orang saja yang berani bertanya, kayak ibu NT, Am yang lain pada diam. (MD)”
61
Seperti Bapak MD, Ibu NC juga menyampaikan: “Pada mula masuk program ini kan kami gak tau apa-apa, tujuannya apa, manfaat untuk kami apa kan gak tau. Jadi pertama kali dulu, kami yang janda-janda di kampung ini disuruh datang ke Meunasah ya oleh pak geuchik dipanggil melalui mix, katanya ada program untuk kami. Iya kami datang ya, di sana sudah hadir pak geuchik, pak MD selaku PL, ada orang dari Banda Aceh juga. Pertama-tama pak geuchik membuka rapat, cerita keinginan dan tujuan mereka datang ke kampung ini, kemudian pak MD bicara dan perwakilan dari Banda Aceh. Mereka menjelaskan tentang program PEKKA ini. Setelah mereka bicara kemudian mereka menyuruh kami untuk bicara, kalau ada yang bertanya silakan. Tapi waktu itu hanya dua orang dari kami yang bertanya kalau gak salah, mungkin gak berani ya, saya sendiri juga gak berani ya, takut salah ngomong, jadi kami hanya diam saja. Dan ketika ditanya mau ikut program ini, semua juga diam. Waktu itu yang hadir sekitar 20 orang ya lebih kurang lah buk...(NC)” Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, keengganan untuk mau bertanya atau menyampaikan pendapatnya pada saat pertemuan sosialisasi karena banyak dari mereka tidak berani dan malu, apalagi selama ini mereka tidak pernah menghadiri rapat-rapat desa dan berbicara di muka umum. Berikut adalah kutipan wawancara dengan Ibu Rh: “Iya pada saat pertama kali rapat dulu itu, kan dijelaskan apa itu program PEKKA, setelah itu kami disuruh bertanya, sampaikan pendapat atau sekedar bersuara tapi banyakan dari kami gak berani dan malu untuk ngomong apalagi saat itu banyak orang, ada PL, ada orang dari Banda Aceh, Pak Geuchik dan lain-lain. Selama ini aja kami gak pernah ikut rapat-rapat desa apalagi ngomong depan orang banyak ya gak berani lah. Ada yang bertanya cuma beberapa orang saja, kalau gak salah yang tanya itu Ibu Am yang sekretaris sekarang ama NT bendahara sekarang. (Rh)” Menurut salah satu informan yang diam ketika rapat sosialisasi ketika ditanya kenapa tidak bertanya atau memberi pendapat adalah menganggap dirinya kurang cakap dalam berbicara karena tingkat pengetahuan yang rendah dan juga sungkan untuk berbicara langsung didepan orang laki-laki yang hadir saat itu karena masih berpegang pada budaya patriarkhi yang menganggap dirinya lebih rendah dari lakilaki. Seperti yang diutarakan Ibu Hmm yang tidak pernah bersekolah berikut ini: “Pada pertama kali rapat program itu saya gak berani ngomong ya karena takut salah kan saya gak pernah sekolah jadi gak tau mau ngomong apa gimana caranya, apalagi di depan ada pak geuchik, tuha
62
peut, PL kan banyak laki- laki jadi saya gak berani ngomong biar mereka-mereka yang pintar- pintar saja yang ngomong. (Hmm)” Berbeda dengan informan yang tingkat pendidikan yang lebih tinggi, mereka menganggap kesempatan yang diberikan kepada mereka untuk berbicara atau menyampaikan pendapat dalam rapat sosialisasi tersebut merupakan kesempatan yang berharga karena dengan berdiskusi mereka dapat memperoleh lebih banyak informasi mengenai program yang akan dilaksanakan. Mereka tidak merasa takut dan malu untuk bertanya dan menyampaikan pendapatnya. Seperti yang diungkap Ibu NT, satu-satunya anggota PEKKA lulusan perguruan tinggi: ”Pada rapat awal itu saya ikut sama-sama dengan yang lain juga. Ooo...saya ada berbicara, kalau gak salah saya bertanya waktu itu mengenai siapa saja yang boleh ikut program, saya berani kok bicara kan udah disuruh ngomong, saya tanyakan aja kan kita jadi lebih tau gimana itu program, saya gak malu walaupun ada hadir pak geuchik, tuha peut, dan yang lain kan saya udah biasa kalau ngomong-ngomong gitu, saling diskusi. (NT)” Melihat kondisi perempuan kepala keluarga yang masih tertutup dan malumalu dalam menyampaikan pendapat ketika pertemuan tersebut, PL mencoba pendekatan interpersonal dengan mendatangi rumah mereka satu persatu,tempattempat mereka sering berkumpul seperti tempat pengajian ibu-ibu dan ketika bertemu di warung. PL berkomunikasi secara langsung (tatap muka) untuk mendapatkan feedback dari mereka. Dalam kunjungan ke rumah dan berdialog dengan perempuan kepala keluarga, PL selalu ditemani oleh anggota keluarga perempuan dan dilakukan di teras rumah. Hal ini dilakukan untuk menghindari fitnah, karena dalam nilai-nilai budaya Aceh jika seorang laki-laki mengunjungi dan berbicara dengan seorang perempuan dianggap tidak pantas. Untuk kemudahan dan kelancaran proses komunikasi, bahasa lokal (bahasa Aceh) adalah bahasa utama yang digunakan karena umumnya mereka tidak paham dan fasih berbahasa Indonesia. “Iya waktu kita buat rapat awal dulu di meunasah, cuma beberapa orang saja yang mau ngomong. Udah kita kasih kesempatan untuk bertanya tapi hanya berapa orang aja yang berani. Mungkin mereka masih malu atau takut ngomong karena rame orang. Jadi lihat kondisi gitu, saya coba datangi rumah mereka satu-satu atau datang ke tempat pengajian ibu-ibu, ternyata mereka lebih berani ngomong kalau di rumah, mereka mau bercerita, juga tanya-tanya tentang program. Ketika saya tanya kenapa waktu di rapat dulu gak mau ngomong, hampir semua mereka jawab gak berani, malu, takut salah ngomong kan rame orang. Tapi setiap berkunjung ke rumah saya selalu minta ditemani oleh anggota keluarga lain, baik itu anaknya, ibunya atau saudaranya agar tidak ada fitanh. (MD)”
63
Penjelasan di atas dipertegas oleh Ibu BR berikut ini: “Iya dalam rapat pertama kami takut dan malu untuk ngomong karena banyak orang. Tapi ketika PL datang kerumah dan ngomong-ngomong dengan kami, kami lebih berani. Saya berani bercerita dan tanya-tanya masalah program itu. Sehingga saya bisa paham apa itu program PEKKA. (BR)” Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam tahap penumbuhan ide terlihat bahwa semua perempuan kepala keluarga memiliki akses yang sama untuk menghadiri pertemuan sosialisasi melalui undangan yang disampaikan melalui pengeras suara di meunasah. Pada tahap ini bentuk komunikasi cenderung monolog, karenanya tidak semua perempuan kepala keluarga memberikan feedback terhadap apa yang disampaikan oleh petugas, lebih banyak diam dan mendengarkan. Melihat kondisi demikian, PL mencoba melakukan komunikasi dengan media interpersonal di mana pengirim pesan (PL) bertatap muka (face to face) dengan penerima pesan (perempuan kepala keluarga). Pendekatan ini lebih efektif karena terjadinya persamaan makna antara penyampai pesan dan penerima pesan sehingga muncul kesepahaman. Melalui tatap muka perempuan kepala keluarga lebih berani dan terbuka dalam menyampaikan pendapat.
6.2 Tahap Perencanaan Program Perencanaan program merupakan kegiatan komunikasi partisipatif dalam PEKKA untuk merancang, menentukan dan menyusun kegiatan yang akan dilakukan. Aspek perencanaan melibatkan perempuan kepala keluarga meliputi pembentukan kelompok, lokakarya, perencanaan kegiatan simpan pinjam kelompok dan dana bantuan langsung masyarakat. Pembentukan kelompok bertujuan mengefektifkan dan mengefisienkan kegiatan pemberdayaan perempuan kepala keluarga. Proses pembentukan kelompok dilakukan melalui pertemuan yang difasilitasi oleh PL di meunasah. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, mereka memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi dalam pertemuan tersebut. Mereka mengaku selalu diundang untuk menghadiri pertemuan-pertemuan yakni pembentukan kelompok, pemilihan pengurus, penentuan visi misi kelompok, dan perencanaan kegiatan kelompok kedepan. Dalam rapat tersebut semua anggota diberikan kesempatan untuk berbicara dan menyampaikan pendapatnya mengenai siapa pantas dan memiliki kemampuan untuk menjadi ketua, sekretaris dan bendahara kelompok. Semua anggota juga diberi kesempatan dan peluang yang sama untuk menjadi pengurus. Melalui diskusi bersama, mereka memutuskan pengurus adalah orang-orang yang aktif, muda dan memiliki pendidikan lebih tinggi. Karena mereka percaya dengan demikian kelompok akan maju di kemudian hari. Matriks komunikasi pada tahap perencanaan program dapat dilihat pada Tabel 10.
64
1.
2.
3.
4.
Tabel 10 Matriks komunikasi partisipatif pada tahap perencanaan program Bentuk komunikasi Partisipan Kegiatan Isi pesan Akses Cara yang berperan berkomunikasi Pertemuan Informasi Semua Dialog PL dan Ibu pembentukan mengenai maksud perempuan NT, Am, AA kelompok dan tujuan kepala yang pembentukan keluarga berpendidikan kelompok, diundang tinggi, muda pemilihan dan hadir serta aktif pengurus dan nama kelompok Lokakarya Membangun visi, Semua Monolog dan Hampir peningkatan misi, anggota dialog semua kapasitas mengidentifikasi diundang anggota anggota masalah, posisi, dan hadir kecuali status dan kondisi anggota yang mereka, potensi berumur yang di miliki, lanjut membangun harapan bersama Pertemuan Informasi Semua Dialog PL dan semua perencaan mengenai besar anggota anggota kegiatan simpanan pokok, diundang kecuali simpan pinjam wajib, sukarela, dan hadir anggota yang dan tatacara berumur simpan pinjam lanjut Pertemuan Informasi Semua Monolog dan PL, bendahara perencanaan mengenai cara anggota dialog dan semua usulan dana mengakses, diundang anggota BLM menyusun dan hadir kecuali proposal dan cara anggota yang pengembalian dana berumur BLM lanjut
Berikut pernyataan Ibu BR: “Pada rapat pembentukan kelompok kami juga diundang. Dan saat itu kami sudah mulai berani ngomong ya, walaupun masih malu-malu. Tapi PL menyuruh kami untuk berbicara jangan takut katanya. Kita semuanya sama, sama-sama belajar kalau selalu malu dan tidak berani kapan bisa maju. Dari situ kami mulai ngomong dan berani kasih pendapat. (BR)”
65
Bapak MD juga menyatakan: “Pada rapat bentuk kelompok, milih siapa ketua, sekretaris dan bendahara semua anggota disuruh bicara untuk kasih pendapat, pada saat itu sudah mulai ada yang mau ngomong walaupun masih agak malu-malu. Setelah diskusi dan persetujuan bersama terpilih lah Ibu AA sebagai ketua, Ibu AM sebagai sekretaris dan Ibu NT sebagai bendahara. Mereka mengangkat Ibu AA sebagai ketua karena dia seorang yang aktif dan berani di desa, Ibu AM karena dia masih muda paling muda dalam anggota dan pendidikannya yang lumayan tinggi SMA dan Ibu NT sebagai bendahara karena Ibu NT lulusan perguruan tinggi jadi dianggap lebih pintar dalam ngurusin masalah uang dan belum menikah. (MD)” Setelah pembentukan kelompok dan terbangun visi dan misinya, kemudian PL juga memfasilatasi anggota untuk membuat kesepakatan bertemu secara rutin yaitu sebulan sekali yang bertempat di meunasah. Informasi pertemuan diumumkan melalui alat pengeras suara dari meunasah agar semua anggota bisa mendengar. Hal ini dinilai lebih efektif karena sebagian besaranggota adalah buta huruf sehingga jika dibuat undangan tertulis merekapun tidak dapat membacanya. Berikut kutipan wawancara dengan Ibu Hmm: “Iya kami sepakat buat rapat anggota sebulan sekali, undangannya melalui mikrofon biar semua dengar. Materi yang dibahas akan ditentukan pada rapat bulan sebelumnya. Waktu rapat awal dulu kan kami setuju yang jadi ketua itu Ibu AA karena kami anggap dia aktif dan berani bicara, sekretaris AM karena dia masih muda, belum menikah dan tamatan SMA dan bendahara NT karena dia ada kuliah jadi kami anggap lebih pintar dari kami-kami yang tidak sekolah ini. Iya semua dikasih kesempatan untuk jadi pengurus tapi kami lebih percaya ke mereka, karena dengan mereka jadi pengurus bisa buat kelompok kami jadi maju nantinya. (Hmm)” Aktivitas berikunya PL memfasilitasi anggota kelompok untuk mengikuti lokakarya dan pelatihan baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Salah satu lokakarya yang wajib diikuti oleh semua anggota kelompok adalah peningkatan kapasitas anggota dengan membangun visi dan misi mereka. Perempuan kepala keluarga difasilitasi untuk mengidentifikasi masalah, memahami posisi, status dan kondisi mereka dalam tataran masyarakat, mengidentifikasi potensi yang dimiliki, lalu bersama membangun harapan dan impian yang ingin diraih. Aktivitas diakhiri dengan membangun kesepakatan bersama dalam kelompok. Proses ini juga memberikan kesempatan pada mereka untuk berfikir secara kritis melihat posisi dan kondisi mereka serta membangun motivasi untuk berkembang. Dalam proses ini mereka merumuskan kondisi dan karakteristik perempuan kepala keluarga sebelum mengikuti program. Hasilnya, perempuan kepala keluarga identik dengan: miskin,
66
terkucilkan, terdiskriminasi, tidak diperhitungkan, mengalami trauma, akses terbatas dan korban kekerasan. Melalui program pemberdayaan ini mereka memiliki harapan untuk mengubah kondisi tersebut. Kemudian mereka menyusun visi dan misi bahwa setelah mengikuti program ini mereka harus menjadi perempuan kepala keluarga yang kehudupannya lebih sejahtera, dihormati, setara dengan masyarakat lainnya, sebagai motivator, adanya akses dan sebagai kelompok kontrol sosial yang kuat. “Waktu awal-awal setelah bentuk kelompok, semua anggota wajib ikut pelatihan kayak lokakarya untuk peningkatan kapasitas anggota. Disitu kita fasilitasi mereka untuk mengenal dirinya, kehidupannya dalam masyarakat, potensi yang mereka miliki. Setelah itu kita sama-sama bangun harapan untuk berubah dan menjadi lebih baik dengan mengikuti program pemberdayaan ini. Mereka menganggap dirinya miskin, terkucilkan, terdiskriminasi, tidak dihitung, trauma, akses terbatas dan korban kekerasan sebelum mengikuti program. Dan kemudian kita juga rumuskan harapan dan impian ke depannya dimana mereka harus lebih sejahtera, dihormati, setara dengan yang lainnya, jadi motivator, adanya akses dan sebagai kelompok kontrol sosial yang kuat. Dengan adanya harapan demikian, mereka akan sungguh-sungguh dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan program. (MD)” Selain itu, anggota juga diberi berbagai topik materi yang berkaitan dengan pengembangan diri seperti yang diungkapkan ibu Rh: “Iya dulu kita setelah bentuk kelompok, semua anggota wajib ikut pelatihan kalau gak salah untuk peningkatan kapasitas anggota namanya. Di situ kita difasilitasi oleh PL untuk mengenal diri kita sebelum mengikuti program saat itu, kita sama-sama susun. Tersusun lah kalau kami itu miskin, terkucilkan, mengalami trauma, tidak ada akses yang sama, dan lain-lain pokoknya yang gak baik. Kemudian kita merumuskan impian atau harapan setelah mengikuti program ini, kita harus menjadi lebih sejahtera, ada akses, sama kedudukan dengan yang lain. Jadi dengan adanya impian itu kita jadi serius dan bertanggungajawab dalam pelaksanaan program, kalo gak benar-benar kita ikuti berarti impian itu gak tercapai nantinya. Dan Alhamdulillah sekarang sudah ada perubahan ya jadi lebih baik sesuai dengan impian yang kita susun dulu meskipun belum seratus persen. (Rh)” Seperti telah diungkapkan sebelumnya, kegiatan pemberdayaan ekonomi yang pertama dilaksanakan adalah kegiatan simpan pinjam. Perencanaan kegiatan simpan pinjam dilakukan melalui musyawarah bersama anggota. Dalam pertemuan tersebut, semua anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk hadir dan memiliki kesempatan untuk berbicara dan mengemukakan pendapatnya. Semua anggota diundang dan hadir. Dalam pertemuan ini hampir semua anggota sudah aktif, berani berbicara, memberi pendapat, saran selama rapat berlangsung. Namun, masih ada
67
beberapa yang masih pasif terutama yang sudah berusia lanjut, mereka hanya hadir dan mendengarkan. Seperti yang diungkapkan Bapak MD: “Iya pada musyawarah untuk kegiatan simpan pinjam, menentukan tata cara simpan pinjam, besar dana simpanan, itu semuanya mereka yang putuskan dalam rapat anggota. Saya hanya memfasilitasi saja. Semua keputusan mereka yang tentukan, karena kegiatan ini kan untuk mereka sendiri, saya paling mengarahkan saja. Tapi di sini udah terlihat semua anggota sudah mulai aktif untuk berpendapat, mereka serius dan melaksanakan rapat dengan bagus, kan mereka udah dapat banyak meteri dan pelatihan sehingga mereka udah lebih berani mengeluarkan pendapat. Tidak ada yang mendominasi, gak ada yang memaksakan pendapatnya, kalau ada yang berbicara yang lain mendengarkan ya. Yang masih banyak diam itu ibu-ibu yang sudah tua ya. Sudah mulai bagus lah. (MD)” Menurut hasil wawancara Ibu Sb yang berusia lanjut: “Saya lebih banyak diam, dengarkan saja biar mereka yang mudamuda yang berbicara menentukan. Kami yang sudah tua-tua ini ikut saja ama mereka, pasti keputusan mereka baik dan baik juga untuk kami. Kami senang bisa ikut program ini, walaupun kami sering banyak diam ya tapi kami senang bisa gabung sama mereka. (Sb)” Sebagian besar informan menyatakan bahwa sudah ada perubahan ketika mengikuti pertemuan membahas tentang rencana kegiatan, mereka menjadi lebih berani dan aktif dalam mengeluarkan pendapat. Keberanian dan kemampuan untuk berbicara dan mengungkapkan pendapat di depan umum muncul setelah mereka mengikuti beberapa pelatihan, sehingga mereka pun sudah bisa mengemukakan pendapat dengan lebih baik. Hal ini seperti yang diungkapkan Ibu Hmm: “Iya ketika rapat mengenai rencana kegiatan simpan pinjam, kami sudah berani untuk bicara ya, gak malu-malu lagi. Kan kami udah banyak dapat pelatihan, materi dari PL jadi pengetahuan kami jadi tambah, kami juga dilatih untuk bisa berbicara di depan orang banyak. Kan program ini untuk kebaikan kami jadi kami harus sungguh-sungguh biar program ini dapat berjalan dengan baik kedepannya. Lagian kegiatan simpan pinjam ini kan bagus, nanti bisa membantu kami dan keluarga jika ada keperluan mendadak kan bisa minjam. (Hmm)” Ibu NT mengungkapkan: “Penentuan besar simpanan wajib, simpanan pokok, dan sukarela anggota kita bahas bersama dalam rapat anggota, tata caranya juga. Dalam rapat itu semua dikasih kesempatan untuk bicara apa
68
keinginannya, apa pendapatnya pokoknya gak ada pemaksaan dari PL atau bendahara. Semua keputusan merupakan kesepakatan bersama anggota. (NT)” Kemudian juga dipertegas oleh Ibu BR: “Dalam menentukan kegiatan simpan pinjam, besar dana pokok, simpanan wajib dan sukarela kami tentukan bersama, cara-cara peminjaman juga kami yang tentukan, PL hanya memfasilitasi saja gak ada paksaan dari siapapun. Karena itu kan kegiatan kita anggota jadi semua kita yang putuskan, jadi dalam rapat itu semua berhak untuk kasih pendapat, ide. Setelah itu baru kita sama-sama putuskan mana yang terbaik. (BR)” Melalui musyawarah tersebut dibicarakan beberapa hal, antara lain adalah besar simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela, tata cara peminjaman dan pengembalian, dan aturan-aturan lainnya. Pinjaman dan setoran dilakukan melalui bendahara tiap bulannya. Setiap anggota dapat meminjam sebesar Rp100 000 atau tergantung ketersediaan uang kas. Peminjam harus mengembalikan pinjaman dalam jangka waktu yang telah ditentukan, biasanya per bulan, jika tidak maka akan dikenakan denda berupa bunga pinjaman satu persen. Setoran dapat dilakukan setiap saat dengan jumlah yang tidak ditentukan. Setelah kegiatan simpan pinjam kelompok berjalan, tahun 2004 anggota kelompok juga menerima Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dari pemerintah sebagai program pemberdayaan ekonomi yang kedua. Semua anggota juga memiliki akses yang sama untuk mendapatkan bantuan dana ini dengan syarat pengajuan proposal usaha. Dalam perencanaannya, setiap anggota diberi kesempatan untuk menentukan jenis usaha dan jumlah dana yang akan diusulkan dalam proposal. Bagi anggota yang buta huruf, penyusunan proposal dibantu oleh PL dan bendahara kelompok. Dalam penyusunan proposal, anggota sering berdiskusi (interpersonal) dengan PL membahas mengenai jenis usaha yang cocok untuk diusulkan. PL bersedia berdiskusi dengan anggota kapan saja tidak hanya dalam pertemuan rutin kelompok. “BLM itu diberikan kepada semua anggota kelompok. Setiap anggota diberi kesempatan untuk menentukan sendiri jenis usaha yang akan dijalankan dan besar dana yang diperlukan untuk usaha. Waktu program BLM itu kan harus buat proposal, jadi anggota yang buta huruf kita bantu membuat proposalnya, bendahara juga banyak membantu. Anggota banyak berdiskusi dengan saya jenis usaha yang cocok untuk mereka. Saya sarankan usaha yang sudah sering dijalankan, atau yang sedang dijalankan sehingga bantuan tersebut bisa untuk tambahan modal dan resiko gagal rendah karena mereka udah ada pengalaman, tapi keputusan tetap di tangan mereka. (MD)”
69
Tata cara mengakses, menyusun proposal dan cara pengembalian dana bantuan tersebut dibahas dalam pertemuan rutin anggota. Penjelasan mengenai program BLM diberikan oleh bendahara kelompok yang sebelumnya telah terlebih dahulu mendapatkan pelatihan administrasi dan manajemen BLM. Setelah bendahara menjelaskan, semua anggota diberi kesempatan untuk bertanya dan berdiskusi dengan bendahara dan PL. Setelah semua mengerti, setiap anggota mulai menyusun proposal berdasarkan jenis usaha dengan jumlah dana yang dibutuhkan untuk kemudian diusulkan. “BLM itu kan syaratnya buat proposal. Jadi saya sebagai bendahara bertanggung jawab menyampaikan bagaimana manajemen BLM itu, karena hanya saya yang mendapatkan pelatihan tentang manajemen BLM jadi saya harus sampaikan ke anggota lain apa yang saya peroleh ketika pelatihan sehingga semua anggota mengerti. Saya juga selalu berkoordinasi dengan PL dan bersedia berdialog dengan anggota lain jika ada hal-hal yang ingin ditanyakan dan saya juga bersedia membantu membuat proposal ibu-ibu yang buta huruf. (NT)” Pernyataan senada juga disampaikan oleh Ibu Am: “Iya kita dikasih dana bantuan yang disebut kalau gak salah BLM. syaratnya buat proposal sesuai jenis usaha dan disitu kita usulkan jumlah dana yang kira-kira sesuai dengan usaha kita. Kita buat proposal banyak belajar dari bendahara karena yang ikut pelatihan BLM kan cuma bendahara kemudian baru dia sampaikan ke kita anggota. Saya juga diskusi dengan PL jenis usaha yang kira-kira cocok dengan saya. Saya disarankan usahatani saja bisa tambah modal karena selama ini saya emang kerja di sawah jadi sudah biasa. Anggota yang lain juga gitu banyak yang diskusi dengan PL atau bendahara. Ada yang usul usaha bertani, jualan kios dan jualan kue. (Am)” Sebagian besar anggota kelompok berperan aktif dalam kegiatan perencanaan program BLM ini. Sebagian besar dari mereka mengusulkan usaha yang sudah mereka jalankan sebelumnya yaitu bertani dan berdagang. Selain itu, mereka menganggap sudah berpengalaman di bidang tersebut sehingga dapat mengurangi resiko kegagalan usaha. Salah satu motivasi mereka mau terlibat aktif dalam perencanaan program ini adalah mereka menganggap program BLM ini bisa menambah modal usaha dan meningkatkan pendapatan mereka. “Iya hampir semua anggota kelompok mengusulkan proposal dengan jenis usahanya masing-masing, kebanyakan sih usaha yang sudah dijalankan sekarang kayak saya usahatani ya saya usul untuk usahatani saja, gak berani usaha lain gak ada pengalaman jadi takut gak berhasil. Iya, sangat bagus kan bisa nambah modal ya, kalau berhasil bisa
70
nambah pendapatan, jadi semua kita itu sibuk waktu itu untuk buat proposal. (Rh)” Namun demikian, ternyata tidak semua anggota ikut dalam kegiatan perencanaan ini. Sebanyak lima orang tidak ikut dan mereka semua telah berusia lanjut. Mereka tidak termotivasi untuk melakukan usaha apapun karena usia yang sudah tua. Seperti yang diungkapkan Ibu Sb: “Saya gak ikut buat proposal. Saya kan udah tua udah gak tau mau usaha apalagi, saya udah gak kuat. Saya gak ada pendapatan, sekarang saya tinggal sama anaknya, saya dibiayai anak saya. Jadi kalau buat proposal yang ada beban saya gak tau mau balikin dana gimana gak ada uang. Jadi lebih baik saya gak ikut. (Sb)” Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam tahap perencanaan program, semua perempuan kepala keluarga memiliki akses yang sama baik dalam rapat pembentukan kelompok, perencanaan kegiatan simpan pinjam maupun kegiatan perencanaan usulan dana BLM. Seluruh informan mengaku diundang dan hadir dalam pertemuan tersebut. Bentuk komunikasi yang berlangsung adalah bersifat monolog dan dialog. Mereka juga sudah mulai terlibat aktif dalam menyampaikan pendapat, keiunginan dan mengajukan pertanyaan. Mereka juga memiliki kebebasan untuk memutuskan jenis usaha yang ingin diusulkan dalam proposal pengajuan dana BLM berdasarkan hasil konsultasi dengan PL. Aktivitas komunikasi antara sesama anggota dan dengan PL sudah lebih terbuka, mereka bisa saling berkomunikasi melalui pertemuan-pertemuan dan tatap muka (interpersonal).
6.3 Tahap Pelaksanaan Program Pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi perempuan kepala keluarga merupakan suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan dalam PEKKA. Pelaksanaan program bertujuan agar perencanaan yang telah dirumuskan yaitu pertemuan rutin anggota, kegiatan simpan pinjam dan usaha produktif masing-masing anggota sesuai dengan proposal dapat dijalankan oleh anggota. Matriks komunikasi partisipatif pada tahap pelaksanaan program dapat dilihat pada Tabel 11. Pada tahapan ini semua informan mengaku memiliki akses yang sama dalam setiap kegiatannya. Dalam pertemuan rutin, semua anggota diundang secara informal melalui pengumuman oleh ketua atau bendahara kelompok dengan menggunakan pengeras suara yang ada di meunasah sesuai dengan kesepakatan pada saat perencanaan kegiatan sebelumnya. Pengumuman biasanya dilakukan satu hari lebih awal dari pertemuan supaya anggota dapat mengatur waktu beraktivitas dengan kegiatan rapat. Pertemuan biasanya dilaksanakan setelah waktu zuhur, karena banyak anggota yang memiliki aktivitas di pagi hari.
71
Tabel 11 Matriks komunikasi partisipatif pada tahap pelaksanaan program Bentuk komunikasi Partisipan Kegiatan Isi pesan yang Akses Cara berperan berkomunikasi 1. Pertemuan rutin Informasi Semua Monolog dan PL, pakar, anggota, membahas mengenai anggota dialog semua tentang: hukum, diundang dan anggota a. Materi politik, tidak semua yang hadir pengemban ekonomi, dan dapat hadir kecuali yang gan diri kesehatan berusia anggota perempuan lanjut. Yang sering tidak hadir adalah Ibu NC, BR, Hmm
b. Laporan kegiatan simpan pinjam kelompok
2. Usaha produktif dan pendampingan usaha
Informasi mengenai kegiatan simpan pinjam kelompok
Informasi mengenai perkembangan usaha
Semua anggota dapat meminjam dan mengembali kan dana Semua anggota dapat memperoleh dana BLM untuk modal usaha produktif
Dialog
Dialog
PL, bendahara dan semua anggota kecuali anggota yang sudah berumur lanjut PL dan semua anggota kecuali anggota yang sudah berumur lanjut
Semua informan menyatakan selalu berusaha untuk mengikuti pertemuan meskipun kadang sulit membagi waktu antara pekerjaan dengan jadwal pertemuan. Anggota yang berprofesi sebagai petani lebih mudah membagi waktu antara pekerjaan dengan pertemuan karena tempat kerja (lahan sawah) mereka masih berada di sekitar desa, sedangkan anggota yang berdagang ke luar desa (pasar kecamatan) sedikit sulit dalam membagi waktu sehingga mereka sering telat menghadiri pertemuan. Ini seperti diungkapkan Ibu NC yang sehari-hari berjualan kue di Pasar Kota Beureunun berikut ini:
72
“Saya selalu berusaha untuk ikut pertemuan rutin ya, saya rencanakan cepat pulang tapi kadang-kadang mau cepat pulang tapi dagangan belum habis, ya jadinya telat lagi. Tapi walaupun terlambat saya tetap datang ke pertemuan itu, yang penting saya ikut. Mau gimana lagi kan, jualan juga penting, pertemuan juga penting. (NC)” Hal yang sama juga terjadi pada anggota yang memiliki suami sakitsakitanatau yang memiliki jumlah tanggungan keluarga banyak (lebih dari lima orang). Mereka sering tidak dapat mengikuti pertemuan karena tidak dizinkan keluar rumah oleh suaminya atau tidak dapat membagi waktu antara pertemuan dengan mengurus anak. Seperti yang diungkap Ibu BR yang memiliki suami sakitsakitan: “Pertemuan bulanan saya selalu berusaha untuk ikut ya. Tapi kan saya jualan di pasar, kadang-kadang udah bisa pulang cepat eh sampe rumah harus ngurus suami ya, kan suami saya sedang sakit jadi saya harus ngurusin dia seperti anak kecil, suapin makan, kasih minum obat. Kadang-kadang juga gak kasih saya pergi, katanya udah pergi dari pagi, sekarang gak usah pergi lagi. Ya jadinya saya gak ikut rapat. Tapi kadang-kadang dia malah suruh saya ikut rapat, biar gak ketinggalan informasi katanya. Ya gitu lah buk. (BR)” Ibu Hmm yang memiliki tanggungan lebih dari lima mengungkapkan: “Saya agak susah bagi waktu untuk ikut pertemuan, kerja di sawah, ngurus anak yang lumayan rame. Jadi saya sering telat atau gak ikut pertemuan bulanan tapi saya selalu bertanya ke anggota lain mengenai informasi yang disampaikan sehingga saya tidak ketinggalan informasi. (Hmm)” Pertemuan rutin adalah aktivitas yang sangat penting bagi anggota, karena pertemuan tersebut merupakan kesempatan mereka untuk saling bertemu, berdiskusi dan berbagi informasi baik dengan sesama anggota maupun dengan PL. Biasanya pertemuan difasilitasi oleh PL, tetapi jika PL berhalangan pertemuan difasilitasi oleh ketua kelompok. Selain membahas materi untuk pengembangan diri anggota, pertemuan tersebut juga diisi dengan laporan keuangan oleh bendahara dan kegiatan penyetoran uang pinjaman baik pinjaman dari kas kelompok maupun dana BLM. “Pertemuan rutin kelompok setiap bulan dulu selalu difasilitasi oleh PL, biasanya PL kasih materi kemudian kita diskusi bersama. Kita juga dibiasakan oleh PL untuk berbicara jadi setiap orang itu disuruh menyampaikan keluh kesahnya selama sebulan belakang terutama tentang usahanya, apa ada kendala, masalah. Biasanya juga ada kegiatan setoran uang pinjaman. Tapi sekarang walaupun PL gak hadir kami tetap buat pertemuan. (AA)”
73
Pertemuan biasanya diawali dengan memberi kesempatan kepada anggota untuk menyampaikan perkembangan usahanya selama sebulan berjalan. Jika ada masalah yang dihadapi akan didiskusikan bersama mencari solusi. Setelah itu, kegiatan diakhiri dengan penyampaian laporan keuangan oleh bendahara dan penyetoran pinjaman jika ada anggota yang ingin menyetor. Kutipan wawancara dengan Ibu FJ selaku PL saat ini: “Pertemuan bulanan itu biasanya kita isi dengan diskusi materi, misalnya materi tentang cara simpan pinjam atau materi lainnya yang udah kita sepakati bersama pada rapat bulan lalu, kemudian tiap peserta harus menyampaikan keluh kesahnya mengenai usahanya, kita sama-sama diskusi kalau ada masalah kita cari jalan keluar bersama. Di sini saya kasih kesempatan semua anggota untuk bicara, gak ada yang mendominasi semua saling menghormati. Kita selalu berdialog dan diskusi bersama. Dan anggota pun jadi senang dan mau berbicara menyampaikan pendapatnya. (FJ)” Pendapat yang senada juga disampaikan Ibu Rh: “Dalam pertemuan rutin itu kita sama-sama belajar dengan PL, kita dikasih kesempatan untuk bicara menyampaikan permasalahan kita masing-masing kalau ada masalah kita diskusi bersama. PL gak pernah memaksakan kita untuk ikut keputusan dia, dia serahkan semua ke kita. Jadi kami senang dengan sikap PL itu, kita diperlakukan sama, cara ngomong dan menyampaikan materi ke kita juga enak, kita bisa langsung tanya dan diskusi kalau gak ngerti. (Rh)” Dalam kegiatan pertemuan rutin, semua anggota diberikan kesempatan dan akses yang sama dalam menyampaikan pendapat dan pengambilan keputusan. Setiap anggota juga mendapat perlakuan yang setara dan saling menghormati dalam menyampaikan pendapat. Posisi tempat duduk antara anggota dan PL juga memberikan kontribusi partisipasi aktif peserta dalam menyampaikan pendapat karena tidak ada penghalang sehingga secara fisik mereka tatap muka saling berhadapan. Partisipasi anggota kelompok pada tahap pelaksanaan juga bisa dilihat pada kegiatan simpan pinjam kelompok, pencairan dan penyetoran dana BLM serta pelaksanaan usaha produktif masing-masing anggota. Menurt bendahara kelompok, semua anggota kelompok pernah meminjam dana kepada kas kelompok, kecuali anggota kelompok yang sudah berusia lanjut yang tidak pernah meminjam tetapi mereka tetap menyetor dana simpanan. Pencairan dana BLM juga telah dilakukan oleh semua anggota kelompok, jumlah dana yang diberikan bervariasi ada yang sesuai dengan jumlah yang diusulkan dalam proposal, ada juga yang tidak sesuai. Semua dana BLM digunakan untuk tambahan modal usaha mereka baik di bidang usahatani dan perdagangan.
74
Pengangsuran dana pinjaman kas kelompok dan dana BLM relatif lancar. Setiap anggota bisa menyetor kepada bendahara dalam jumlah yang tidak ditentukan setiap saat. Setoran umumnya dilakukan setiap bulan dalam pertemuan rutin, tetapi jika ada yang mau menyetor setiap minggu juga akan dilayani. Jika ada anggota yang memiliki tunggakan, biasanya bendahara berinisiatif membayar terlebih dahulu, namun dengan catatan anggota tersebut akan menggantikannya. Walaupun telah memiliki kesadaran untuk membayar angsuran, setiap bulan sebelum pertemuan rutin, bendahara selalu mengingatkan anggota untuk mempersiapkan dana anggsurannya. “Semua anggota udah pernah minjam di kas kelompok, kecuali orang tua yang belum pernah minjam. Kalau BLM udah cair semua, mereka udah pakai uang untuk usaha mereka masing-masing. Ya sekarang tinggal bayar setorannya. Biasanya setor tiap bulan tapi kalau mau tiap minggu juga boleh. Kapan mereka ada uang boleh setor ke saya, ada lima puluh berapa yang ada. Saya selalu ingatkan ke mereka untuk bayar tiap bulan jangan ada yang nunggak, kalau nunggak satu dua orang bisa saya tanggung dulu dan nanti diganti. (NT)” Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwadalam tahap pelaksanaan program semua anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk mengikuti pertemuan, melakukan kegiatan simpan pinjam dan pencairan dana BLM sebagai tambahan modal usaha produktif. Semua anggota diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat, saran dan ikut serta dalam membuat keputusan bersama. Dalam pelaksanaan program selalu mengkedepankan diskusi dan dialog antara sesama anggota maupun dengan PL jika ada masalah yang dihadapi. Dialog menjadi media atau basis komunikasi dalam pertukaran informasi antara PL dengan anggota penerima manfaat. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahim dalam White (2004) yang menyatakan bahwa esensi dialog adalah pengakuan (recognition) dan penghormatan (respect) untuk pembicaraan lain, suara lain sebagai subjek yang mandiri (autonomos subject), tidak hanya sebagai objek komunikasi.
6.4 Tahap Penilaian Program Penilaian terhadap program merupakan kegiatan komunikasi yang dilakukan antara PL dengan perempuan kepala keluarga, di mana mereka diberi kesempatan dan kepercayaan untuk menilai kegiatan yang telah dilaksanakan dalam program pemberdayaan ekonomi yaitu kegiatan simpan pinjam dan pinjaman modal usaha. Tabel 12 menyajikan matriks komunikasi partisipatif pada tahap penilaian program.
75
Tabel 12 Matriks komunikasi partisipatif pada tahap penilaian program Bentuk komunikasi Partisipan Kegiatan Isi pesan yang Akses Cara berperan berkomunikasi Pertemuan Informasi Semua anggota Dialog PL dan evaluasi mengenai dapat menilai semua Kegiatan simpan perkembangan dan anggota pinjam dan kegiatan mengetahui kecuali usaha produktif simpan laporan anggota pinjam, usaha keuangan dan yang sudah produktif dan perkemabangan berumur hambatanusaha lanjut hambatan Evaluasi terhadap kegiatan simpan pinjam kelompok, dana BLM dan perkembangan usaha masing-masing anggota dilakukan setiap sebulan sekali dalam pertemuan rutin anggota. Semua informan mengaku memiliki akses yang sama untuk terlibat dalam kegiatan tersebut, dan semua anggota juga diberi kesempatan yang sama menyampaikan dan menilai perkembangan usahanya masing-masing. Sementara itu, bendahara menyampaikan perkembangan pembukuan simpan pinjam sehingga semua anggota bisa menilai dan mengetahui jumlah kas dan jumlah setoran masing-masing anggota. Setiap anggota juga diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, bertanya, memberi masukan dan saran untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam kelompok. Keputusan kelompok diambil melalui musyawarah mufakat. “Iya setiap bulan itu kan kami disuruh sampaikan perkembangan usaha kami masing-masing, apa kendala, apa ada perkembangan dan lainnya, sedangkan bendahara menjelaskan ke kami mengenai pembukuan dana simpan pinjam, dana BLM. Jadi kami bisa tau berapa jumlah dana sekarang, siapa yang masih ada pinjaman dan lainnya. Jadi kalau ada masalah akan segera dibicarakan dalam rapat itu dan diselesaikan secara bersama sehingga masalah tidak berlarutlarut. Saya merasa senang ya karena semua kami sangat terbuka sehingga semua masalah dapat kami selesaikan bersama. (BR)” Setelah melaksanakan pertemuan dan mendapatkan kesepakatan bersama, selanjutnya bendahara akan menyusun laporan keuangan serta laporan perkembangan usaha anggota untuk disampaikan kepada kantor PEKKA kecamatan. Pengerjaan laporan biasanya dibantu oleh sekretaris kelompok, sementara anggota yang lain tidak terlibat. Semua anggota mempercayakan pembuatan pembukuan dan pelaporan pada kepada bendahara dan sekretaris kelompok.
76
“Kan setiap bulan saya lapor tu tentang keuangan simpan pinjam kelompok, dana BLM dan lain-lain. Dan anggota sampaikan perkembangan usahanya masing-masing. Setelah itu kita diskusi sama-sama. Kalau ada masalah kita selesaikan sama-sama. Misalnya kalau ada yang menunggak kita sama-sama cari solusi. Kalau ada yang mau menanggung silakan, atau kadang-kadang saya yang tanggung dulu nanti dibayar. Setelah semua setuju, baru saya susun biaya dibantu oleh sekretaris untuk menulisnya. (NT)” Ibu Hmm juga mengungkapkan hal senada: “Yang buat dan tulis laporan keuangan dan perkembangan usaha kami biasanya bendahara dan sekretaris, saya dan anggota yang lain tidak ikut. Kan saya gak bisa baca tulis, gitu juga yang lain banyak yang gak bisa. Jadi kami percaya ke bendahara dan sekretaris untuk menulisnya, kan yang dilaporkan itu hasil kesepakatan kami dalam rapat. Jadi walaupun kami gak ikut dalam menulis tapi kami tau isinya apa. (Hmm)” Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semua anggota memiliki akses yang sama dalam menilai kegiatan yang telah dilaksankan khususnya kegiatan simpan pinjam dan usaha produktif. Mereka juga dilibatkan secara langsung dalam memutuskan dan atau menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan simpan pinjam maupun dalam kegiatan usaha. Namun, dalam penyusunan laporan keuangan dan perkembangan usaha hanya dilakukan oleh pengurus kelompok. Isi dan acuan laporan merupakan hasil kesepakatan dan keputusan bersama anggota kelompok.
6.5 Ikhtisar Komunikasi partisipatif berupa akses dan cara berkomunikasi dalam kegiatan Program PEKKA. Terlihat bahwa perempuan kepala keluarga memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi dalam tahap penumbuhan ide, perencanaan, pelaksanaan, penilaian serta pengambilan keputusan dalam program. Akses dapat dilihat dari bentuk semua perempuan kepala keluarga diundang untuk menghadiri pertemuan baik pada saat penumbuhan ide, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program. Pada awal program bentuk komunikasi partisipatif cenderung monolog. Partisispasi anggota cenderung masih pasif karena dipengaruhi budaya patriarkhi dan tingkat pendidikan. Pada tahapan berikutnya, bentuk komunikasi sudah lebih terbuka dan cenderung bersifat dialogis dan atau gabungan monolog dan dialog. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada perempuan kepala keluarga yang berusia lanjut. Bentuk komunikasi mereka tetap bersifat monolog karena mereka mengikuti program hanya untuk berkumpul bersama, mengisi waktu luang dan memperoleh informasi bukan untuk mengubah kondisi kehidupannya selama ini.
77
Proses dialog dengan PL dan antar sesama anggota selalu terlihat dalam setiap pertemuan. Dialog dalam menyelesaikan dan mengatasi masalah dilakukan untuk mencari kesepakatan keputusan bersama kelompok. Melalui dialog tumbuh rasa saling menghargai dan saling memiliki kegiatan sehingga menimbulkan rasa tanggungjawab bersama anggota untuk mencapai tujuan bersama. Keterbukaan dan penyampaian suara dalam rapat merupakan bentuk kontribusi anggota terhadap perkembangan dan kemajuan program.
78
79
7 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOMUNIKASI PARTISIPATIF PEREMPUAN KEPALA KELUARGA Penerapan komunikasi partisipatif melalui model dialogis menuntut adanya pengetahuan tentang heteroglassia sosial dalam sistem pembangunan. Pengetahuan tentang informasi detail dan signifikan tentang kelompok sosial dan masyarakat serta hubungan struktural yang mencakup aspek; ekonomi, sosial dan aktivitas budaya serta event-event yang merupakan pola kehidupan mereka yang normal; agen dan lembaga, melalui mana mereka dapat mewakilkan sudut pandang dan nilai-nilai. Terutama informasi pada kelompok masyarakat yang sampai saat ini masih dalam kondisi marjinal, ketidakberuntungan, terabaikan atau tertindas di bawah hegemoni sosial (Rahim dalam White 2004). Penerapan komunikasi partisipatif dalam pengambilan keputusan dan pertukaran informasi dengan penekanan pada dialog dalam program pembangunan dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal yaitu karakteristik masyarakat sebagai sistem sosial dan heteroglossia sosial dalam usia, pendidikan, status perkawinan, jumlah tanggungan, jenis pekerjaan, motivasi dan faktor lainnya (Mefalopulos 2003). Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh dalam penerapan komunikasi partisipatif melalui dialog adalah peran pendamping sebagai agen eksternal (Ife 1995), dan dukungan kelembagaan (White 2004). Pada bagian ini akan dibahas bagaimana faktor individu, peran pendamping dan komponen sosial budaya mempengaruhi komunikasi partisipatif dalam program PEKKA. Faktor individu terdiri dari umur, pendidikan, alokasi waktu dalam program (yang dipengaruhi oleh sebab menjadi perempuan kepala keluarga, jumlah tanggungan keluarga dan pekerjaan), dan motivasi. Sedangkan komponen sosial budaya meliputi peran kelembagaan kemasyarakatan/norma dan bahasa.
7.1 Faktor Individu 1. Umur Umur mempengaruhi komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga dalam menjalankan program PEKKA. Perempuan kepala keluarga yang berusia lanjut cenderung menerapkan bentuk komunikasi monolog dibandingkan yang berusia muda. Mereka jarang menyampaikan saran, pendapat ataupun pertanyaan dalam pertemuan. Meskipun mereka hadir, namun mereka lebih sering diam dan mendengarkan, sehingga mereka hanya mengikuti saja apa yang diputuskan bersama. Anggota muda juga diberikan kepercayaan oleh anggota lain untuk menjadi pengurus. 2. Pendidikan Sebagian anggota kelompok Jeumpa memiliki tingkat pendidikan rendah (tidak bersekolah atau tidak tamat sekolah dasar) sehingga menyebabkan mereka buta huruf. Sementara sisanya tamatan SLTP dan SMA, dan hanya satu orang lulusan
80
perguruan tinggi. Mereka yang berpendidikan rendah tidak berani menyampaikan pendapatnya pada awal pengenalan program karena mereka menganggap dirinya tidak memiliki kecakapan dalam berbicara. Sehingga pada pertemuan sosialisasi hanya Ibu NT (lulusan PT) dan Am (SMA) yang berani bertanya, sehingga mereka kemudian dipercayakan untuk menjadi pengurus. 3. Alokasi Waktu Akses dan bentuk komunikasi perempuan kepala keluarga dalam program pemberdayaan juga dipengaruhi oleh waktu luang (alokasi waktu) yang mereka miliki. Alokasi waktu perempuan kepala keluarga dalam program pemberdayaan ini berbeda-beda. Alokasi waktu mereka dalam program dipengaruhi oleh faktor sebab menjadi kepala keluarga, jumlah tanggungan keluarga dan pekerjaan mereka. a) Status Perkawinan Sebab menjadi perempuan kepala keluarga dikarenakan beberapa faktor yaitu: (1) karena ditinggalkan atau dicerai hidup oleh suaminya, (2) suaminya meninggal dunia, (3) tidak menikah/membujang tetapi memiliki tanggungan, (4) memiliki suami tetapi suaminya tidak dapat mencari nafkah karena sakit dan (5) bersuami tetapi tidak mendapat nafkah lahir bathin lebih dari setahun (berpergian). Perempuan yang memiliki suami sakit-sakitan mengaku sering tidak dapat menghadiri pertemuan rutin kelompok karena tidak mendapat izin dari suami. Sementara itu, anggota yang tidak menikah/membujang dianggap memiliki banyak waktu untuk terlibat banyak dalam kegiatan kelompok, karenanya mereka juga dijadikan sebagai pengurus. b) Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga juga mempengaruhi komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga. Perempuan kepala keluarga yang memiliki jumlah tanggungan lebih dari lima orang (Ibu Hmm) mengaku sulit membagi waktu antara bekerja, mengurus anak dan mengahadiri pertemuan sehingga ia sering tidak menghadiri pertemuan anggota. Karenanya ia selalu menanyakan informasi-informasi dalam pertemuan kepada anggota lain agar tidak ketinggalan informasi. c) Pekerjaan Jenis pekerjaan perempuan kepala keluarga juga mempengaruhi komunikasi partisipatif, perempuan yang memiliki pekerjaan berdagang kue ke pasar kecamatan seperti Ibu NC mengaku sering terlambat menghadiri pertemuan karena jaraknya yang jauh. Meskipun demikian mereka selalu berusaha untuk pulang lebih cepat. Anggota yang berkerja sebagai petani lebih mudah membagi waktu karena letak sawah di desa sendiri. 4. Motivasi Motivasi perempuan kepala keluarga untuk berperan aktif dalam program berbeda-beda. Perempuan kepala keluarga yang lanjut usia mengaku mengikuti program hanya untuk mengisi waktu luang, berkumpul bersama dan memperoleh informasi serta pengetahuan. Sedangkan anggota lainnya mengikuti program dan
81
berusaha selalu dapat mengakses semua kegiatan serta berperan aktif karena ingin meningkatkan kesejahteraan keluarga dan memperoleh pengetahuan, informasi yang dapat merubah kondisinya dalam masyarakat. Motivasi para anggota kelompok semakin bertambah dengan adanya bantuan dana modal usaha untuk perorangan dengan membuat proposal dan memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan dana tersebut, mereka dapat mengembangkan usahanya untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Selain itu, pemberdayaan ekonomi melalui simpan pinjam juga sangat membantu mereka terutama pada saat membutuhkan uang mendadak (tak terduga). Dampaknya sudah dapat dirasakan langsung oleh anggota, misalnya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, dapat menyekolahkan anak-anaknya dan lain sebagainya. Dengan adanya perubahan dalam bidang ekonomi, mereka berharap kehidupan bermasayarakat di desa ini juga dapat berubah terutama dalam perubahan status sosial. Meskipun mereka kepala keluarga perempuan tetapi mereka dapat hidup dan memiliki akses yang sama dengan masyarakat lainnya. Hal ini seperti dikutip dari wawancara dengan Ibu NC: “Motivasi saya yang pertama ya untuk bisa lebih pintar, lebih maju lah kayak orang-orang lain di kampung ini. Kan ada kegiatan simpan pinjam jadi saya pikir saya dan anggota lain ada tempat untuk pinjam duit kalau adabutuh dana mendadak, daripada dulu kita minjam ke tetangga, saudara belum tentu dikasih, kalau ini insyaallah lah. Apalagi setelah dikasi dana batuan untukmodal usaha saya jadi lebih bersemangat karena dengan modal tersebut saya bisa mengembangkan usaha dagang kue saya. Saya bisa buat kue lebih banyak lagi dan insyallah pendapatan akan bertambah untuk keluarga buat sekolah anak dan lain-lain lah. Dan kalau kita dah punya uang pasti kita dah lebih dianggap dikampung ini, kalau gak punya duit ya kita kan dianggap rendahan, hehhehee...(NC)”
7.2 Peran Pendamping Kegiatan pemberdayaan salah satunya bermaksud menghilangkan dominasi dan kekuasaan pihak luar terhadap kelompok marjinal. Karenanya, peran agen perubah dan tenaga pendamping dalam memfasilitasi masyarakat memiliki peranan penting berupa: (1) keterampilan untuk membantu masyarakat menyelidiki dan mengidentifikasi permasalahan mereka; (2) kebutuhan dan prioritas serta keahlian untuk membantu masyarakat memformulasi dan menseleksi strategi yang sesuai. Oleh karena itu, kerampilan komunikasi agen/fasilitator sangat menentukan keefektifan aktivitas, terutama dalam menghadapi keragaman dan keunikan budaya (nilai, sikap, kepercayaan dan lain sebagainya) untuk memberi penguatan dalam membangun kepercayaan diri, kompetensi, dan ketrampilan berkomunikasi untuk fungsi-fungsi dalam masyarakat mereka. PL merupakan salah satu faktor pendukung dalam keberhasilan suatu program pemberdayaan. Bentuk pendampingan dapat dikembangkan secara kreatif, terlebih
82
disaat teknologi komunikasi yang semakin mudah diakses oleh setiap orang, misalnya saja saat ini hampir semua orang sudah memiliki telepon genggam. Pendampingan yang diperoleh dari kegiatan pemberdayaan perempuan kepala keluarga memperlihatkan kinerja yang bagus, melahirkan banyak ide kreatif dengan pemanfaatan potensi lokal. Kegiatan pendampingan yang dilakukan PL biasanya melalui kunjungan langsung kepada para anggota secara individual. Dalam aktivitas ini PL mengajak para anggota untuk mau terbuka dan berani menyampaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya maupun persoalan dalam kelompok. Dengan demikian kelompok dapat difungsikan sebagai wadah untuk membangun kepedulian dan rasa empati terhadap persoalan-persoalan orang lain khususnya sesama anggota kelompok. Selain kunjungan individual, PL juga mengadakan pendampingan ke pengurus kelompok, menfasilitasi dan menumbuhkan kepercayaan diri pengurus dalam mengelola kelompok,dan mendampingi pengurus dalam melakukan administrasi dan pembukuan kelompok. Hal ini juga terjadi dari arah anggota kelompok, artinya jika merasa perlu atau ada masalah yang ingin didiskusikan mereka dapat menghubungi PL setiap saat untuk berdiskusi. Melalui pendekatan ini, secara perlahan dan pasti telah terbangun kepercayaan antara PL dengan dampingannya. PL sudah dianggap menjadi bagian dari kehidupan para anggota PEKKA. Ini sangat penting dan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan proses pemberdayaan perempuan. Seperti pendapat Ife (1995) yang menyatakatan bahwa keberhasilan komunikasi partisipatif dalam pembaharuan budaya melalui proses dialogis sangat tergantung pada peran fasilitator sebagai inisiator dan perencana. Karenanya fasilitator harus memiliki sensitifitas dan kesadaran dampak pembangunan ekonomi terhadap kultur masyarakat. Kompetensi yang perlu dimiliki fasilitator adalah pengetahuan tentang konsep-konsep manajemen, cara mengatasi masalah, dapat bertindak sebagai pengarah orchestra dinamika kelompok, sebagai komunikator yang mengetahui akses informasi (klarifikasi, sintesis, keterhubungan (link) dengan warga, mengembangkan diskusi dan memfasilitasi partisipasi. Dalam program PEKKA ini terdapat satu orang PL yang bertugas mendampingi anggota selama pelaksanaan program. Pada tahap awal pengenalan program, PL dijabat oleh warga desa setempat dan berjenis kelamin laki-laki, namun tidak menjadi penghalang dalam melakukan komunikasi dengan para perempuan kepala keluarga karena mereka sudah saling kenal, mengetahui karakteristik perempuan kepala keluarga serta budaya yang berlaku dalam masyarakat setempat. Saat ini, PL telah diganti, bukan lagi warga setempat dan berjenis kelamin perempuan. Berikut kutipan dari Ibu AA: “Kami emang sudah ganti PL, dulu pertama kali PL nya Bapak MD warga desa ini. Kami senang karena udah kenalkan dan kami tidak malu kalau berdiskusi atau tanya sesuatu. Sekarang diganti PL perempuann (Ibu FJ) tapi bukan dari desa ini, kami tetap bisa berkomunikasi dengan baik karena sama-sama perempuan jadi lebih enak kalau kita tanya-tanya. (AA)”
83
Berikut adalah peran pendamping dalam berbagai kegiatan-kegiatan PEKKA: 1) Pemberdayaan Ekonomi Program pemberdayaan ekonomi yang dilakukan pada kelompok PEKKA dimulai dengan pendekatan swadaya. Awal mulanya, kegiatan ini sulit dilakukan karena masyarakat sudah terbiasa mendengar pendekatan proyek (mendapat bantuan uang/barang). Karenanya, mereka juga meminta program ini melakukan hal yang sama yaitu memberikan uang atau bantuan langsung. Pada saat program BLM ada, pendekatannya tetap bertumpu pada penguatan mereka sendiri. BLM hanya merupakan stimulan untuk mereka lebih berkembang. Adalah fungsi PL untuk secara terus-menerus memotivasi mereka untuk mengakumulasi dana swadaya melalui kegiatan simpan pinjam. Proses pendampingan biasanya dilakukan pada saat pertemuan rutin. Pendampingan dilakukan secara intensif melalui konsultasi dan dialog secara interpersonal, kelompok hingga penguatan kapasitas manajemen kelompok termasuk administrasi dan pembukuan. Selain itu, PL juga selalu mendampingi anggota dan pengurus dalam memecahkan masalah yang dihadapi dirinya dan kelompok, seperti angsuran macet, pengajuan pinjaman, mengidentifikasi usaha yang layak, dan lain sebagainya. Anggota diberikan dan dibekali dengan kartu anggota yang memuat informasi data pribadi dan kegiatan simpan pinjam. Dalam proses pembuatan proposal, PL juga mengajarkan dan mendampingi anggota kelompok tata cara pengisian formulir permohonan. Kehadiran PL juga sangat membantu para anggota dalam menentukan jenis usaha yang sesuai dengan kompetensi dirinya. Selain bertemu dalam pertemuan rutin, anggota juga bebas berkonsultsi dengan PL kapan dan dimana saja. Berikut wawancara dengan FJ: “Saya selalu berusaha untuk memotivasi dan membantu mereka kapan aja mereka meminta bantuan kepada saya. Kayak dulu waktu buat proposal untuk dapat dana bantuan usaha. Banyak yang bertanya ke saya mengenai jenis usaha yyang cocok untuk mereka dan gimana cara buat proposal. Saya bantu saya bilang ibu sebaiknya jalankan usaha sesuai dengan keahlian dan kemampuan ibu. Misalnya yakin dengan usaha sekarang silakan, itu lebih baik buat mereka karena takutnya kalau buka usaha baru tapi gak ada pengalaman ntar bisa rugi kan kasian. Saya hanya beri pandangan, semua juga kembali ke mereka masing-masing. Tapi banyak yang mengikuti saran saya. (FJ)” Hal senada juga diungkapkan Ibu AA: “Pada saat buat proposal dulu, PL sangat membantu kami. Kami bisa belajar cara buat proposal, bisa tanya-tanya tentang usaha yang cocok dengan kami. Kayak saya karena saya punya usaha tani, jadi saya dianjurkan dana tersebut digunakan untuk bertani saja karena udah ada pengalaman, karena kalau digunakan untuk usaha baru takutnya tidak berhasil apalagi saya gak punya pengalaman tuk usaha lain. Jadi,
84
karena saya buta huruf, saya minta tolong pada PL buat proposal saya tapi sesuai dengan keinginan saya sendiri” (AA). Pun demikian dengan Ibu NC: “Waktu mau cairkan uang bantuan dulu, PL sangat menolong saya terutama dalam menentukan jenis usaha dan cara buat proposal. Saya dianjurkan membuat proposal untuk usaha yang sedang saya jalani waktu itu yaitu jualan kue kayak sekarang tapi dulu masih kecil-kecilan. Ya saya turuti karena saya takut kalau usaha lain gak berhasil. Dan Alhamdulillah usaha saya sekarang dah bisa berkembang. (NC)” Setelah proposal jadi, kemudian dikumpulkan oleh PL untuk diserahkan kepada Seknas PEKKA. Pada saat pencairan dana, PL juga mendampingi bendahara kelompok ke Bank untuk membuka rekening tabungan yang digunakan untuk pencairan dana bantuan kepada kelompok. PL juga melakukan pendampingan usaha, mengingat sebagian anggota memiliki dan melanjutkan usaha sebelumnya. Bimbingan yang diberikan antara lain memberikan informasi yang diperlukan oleh anggota misalnya tentang cara menghitung biaya produksi, keuntungan, penentuan harga jual, cara memasarkan atau mencari informasi kepada pihak lain yang terkait. Berikut penuturan Ibu Hmm: “PL berperan dan selalu mengingatkan kami untuk selalu hati-hati dalam menjalankan usaha jangan sampai rugi. Dia selalu menginformasikan harga padi kalau lagi musim panen, harga pupuk, jangan sampai kami jual murah. (Hmm)” Pendampingan juga dilakukan dengan memantau perkembangan usaha simpan pinjam dan penyetoran dana bantuan usaha pada bendahara. PL akan menegur dan memperingati anggota yang mengalami penunggakan. Dalam hal ini PL berperan sebagai mediator antara anggota dengan bendahara kelompok. Seperti cerita FJ berikut ini tentang penunggakan salah satu anggota yang berselisih faham dengan bendahara kelompok: “Saya juga berusaha netral dan berusaha memfasilitasi jika ada masalah antara anggota kelompok. Misalnya dulu pernah terjadi salah paham antara salah satu anggota kelompok dengan bendahara kelompok yaitu masalah penyetoran dana pinjaman usaha. Di mana anggota ini sudah beberapa bulan tidak menyicil setoran dana pinjaman ke bendahara, kemudian bendahara mendatanginya dan bertanya kenapa tidak menyetor dan kapan akan menyetor. Mungkin karena sedang emosi atau ada masalah pribadi sehingga si anggota ini marah-marah kepada bendahara dan berkata bukan urusan bendara dia mau balikin uang pinjaman atau gak, saya lagi gak punya uang. Jadi bendahara melaporkan kepada saya tentang masalah itu.
85
Kemudian beberapa hari kemudian saya datangi anggota tersebut, saya tanya baik-baik kenapa dia berkata begitu kepada bendahra, dan setelah bercerita banyak ternyata ketika itu dia lagi ada masalah keuangan dan usahataninya gagal sehingga untuk kwbutuhan seharihari aja susah. Dan saya mencoba menasehati dia dan mau meminta maaf kepada bendahara. Saya bertanya kapan dia akan menyetor lagi, dia bilang nanti kalau panen kedepan. Saya bilang boleh tapi tolong jelaskan baik-baik ke bendahara. Beberapa hari kemudian saya peroleh informasi dari bendahara bahwa anggota tersebut telah minta maaf padanya dan berjanji akan menyicil setorannya lagi. Alhamdulillah lah. (FJ)” Selain itu peran PL juga dapat dilihat pada saat terjadi perubahan sistem simpan pinjam. Dimana model simpan pinjam LKM dengan keanggotaan kelompok menjadi model simpan pinjam LKM Berbasis Komunitas (LKM Siskom) dengan keanggotaan individu anggota kelompok. Kelompok berubah menjadi unit dari LKM Siskom yang berbadan hukum koperasi. Model ini membawa konsekuensi terhadap pembenahan terhadap seluruh administrasi pembukuan yang ada dari tingkat kelompok hingga LKM. Peran PL disini adalah memberi informasi dan menjelaskan kepada anggota kelompok tentang mekanisme perubahan tersebut dan para anggota tidak mengalami kerugian atau dana simpanan dulu hilang. PL juga memfasilitasi serta mengajarkan bendahara dalam membuat pembukuan baru. 2) Pendidikan Peningakatan kapasitas anggota kelompok PEKKA telah dilakukan melalui berbagai kegiatan pelatihan dan pendampingan. Fokus pelatihan adalah peningkatan kesadaran dan wawasan, motivasi dan keyakinan diri, ketrampilan teknis, manajerial dan kapasitas lainnya. Peran PLdi bidang pendidikan bukan menguatkan struktur pengawasan dan dominasi dari agenda pemerintah, badan pembiayaan atau asosiasi professional melainkan memberi pemahaman, menfasilitasi dan transfer pengetahuan dengan menggunakan bahasa rakyat yang jelas untuk dipahami, mendengar dan menanggapai pertanyaan yang diajukan dan merasakannya. Jadi, PL adalah untuk menerbitkan kesadaran, menginformasikan, menghadapkan (mengkonfrontasi) dan memberikan pelatihan kepada partisipan. Menurut PL ibu FJ, proses penguatan kapasitas dimulai dengan memunculkan kesadaran, membangun visi dan misi mereka. Aktivitas ini dilakukan melalui training lokakarya di Center PEKKA. Berikutnya, PL juga memfasilitasi berbagai kegiatan pelatihan di meunasah terutama untuk memotivasi anggota untuk memahami filosofi kerjasama dalam kelompok, cara berkomunikasi dan memahami tugas, peran dan tanggung jawab masing-masing komponen dalam kelompok yaitu anggota dan pengurus. PL juga berperan dalam memfasilitasi pelatihan kepemimpinan manajemen, administrasi dan pembukuan kelompok yang diberikan kepada para pengurus kelompok yang dilakukan di Center PEKKA bersamaan dengan pengurus kelompok lain dalam satu kecamatan. Pelatihan ini bertujuan agar pengurus mampu mengelola
86
dan memimpin kelompok secara baik dan benar. Materi yang diajarkan antara lain adalah: (1) membangun kesadaran potensi diri sebagai pemimpin serta membangun kapasitas sebagai pemimpin kelompok; (2) mengenal tugas, peran, hak dan kewajiban pengurus dan anggota kelompok; (3) mengembangkan kesepakatan peraturan dan mekanisme kelompok yang tertuang dalam AD/ART; (4) membuat perencanaan kelompok dan (5) berlatih mengelola administrasi kelompok, pembukuan simpan pinjam kelompok, membuat kas, dan neraca kelompok serta cara perhitungan SHU. Berikut kutipan wawancara dengan bendahara: “Ya banyak pelatihan, apalagi pada awal-awal mulai program. Pelatihan untuk semua anggota kelompok. Pelatihan untuk pengurus saja. Saya pernah ikut pelatihan untuk pengurus aja di Center PEKKA, yang ikut hanya kami bertiga saja, ketua, sekretaris dan saya bendahara. Yang diajarkan mengenai cara kelola kelompok, pembukuan dan lain-lain. (NT)” Selain itu, PL juga berperan dalam kegiatan pelatihan kepada guru dan tutor untuk PAUD di desa ini. Pelatihan tutor dilakukan di Center PEKKA bersamaan dengan tutor-tutor lain dari PAUD dampingan PEKKA dari desa lain. Metode yang digunakan dalam pelatihan adalah ceramah, presentasi, permainan, diskusi, tanya jawab, tugas kelompok dan individu serta praktik. Penyampaian materi pelatihan melibatkan narasumber dari Dinas Pendidikan Kabupaten Pidie dan dari pihak serikat PEKKA. Materi yang diberikan meliputi tumbuh kembang anak, mengetahui bakat anak, psikologi anak, teknik mengajar, teknik menggambar serta permainan yang bersifat edukatif. Lebih lanjut, PL membantu tutor untuk menyiapkan bahan ajar misalnya menyediakan gambar, memfotocopi gambar untuk diwarnai, menyediakan bukubuku cerita dan buku gambar. PL juga selalu memberikan dukungan moril berupa semangat dan motivasi kepada tutor untuk ikhlas dan sukarela sebagai pekerja sosial pemberdayaan masyarakat dalam mendidik anak-anak di Desa Dayah Tanoh. ”Kalau di bidang pendidikan saya banyak memfasilitasi anggota kelompok untuk mengikuti berbagai pelatihan yang sudah direncanakan dalam Program Pemberdayaan ini. Dan kadang-kadang saya juga menjadi pengajar. Banyak pelatihan yang sudah diikuti oleh anggota ini, dulu pada awalnya pelatihan motivasi kelompok, pelatihan untuk pengurus kelompok, pelatihan untuk guru PAUD, banyak lah. Saya juga kadang-kadang menyampaikan informasi yang berguna bagi anggota ketika pertemuan rutin bulanan misalnya masalah kesehatan, memberi resep makanan baru dll. Dan juga kadang-kadang mengajar anggota yang buta huruf jika kegiatan pertemuan rutin diisi dengan kegiatan belajar. (FJ)” Peran PL yang sangat besar adalah perannya sebagai pendidik yaitu memberikan atau menyampaikan materi-materi pembelajaran pada saat
87
pendampingan khususnya pada saat pertemuan rutin bulanan. Materi yang disampaikan tergantung pada kebutuhan dan permintaan peserta. Biasanya materi diskusi berkaitan dengan kesehatan, pengembangan diri, ketrampilan khusus sesuai dengan kebutuhan anggota, seperti diajarkan cara menjahit, bordir, buat kue dan anyaman. PL juga memfalitasi untuk mengahadiri pakar dalam kegiatan diskusi mereka misalnya mengundang bidan desa, Komnas Perempuan dan lainnya yang berkopetensi di bidang masing-masing. 3) Pemberdayaan Hukum Peran PL dalam kegiatan pemberdayaan hukum di Desa Dayah Tanoh antara lain: (1) memunculkan kesadaran dan transfer pengetahuan sadar hukum melalui belajar berdasarkan pengalaman yang sering dihadapi oleh peserta; (2) memfasilitasi pelaksanaan kursus/kelas hukum bagi anggota kelompok yang diadakan tiga bulan sekali; (3) memfasilitasi pertemuan atau dialog dengan forum pemangku kepentingan hukum di Kabupaten Pidie seperti dengan pihak kepolisian untuk menjalin hubungan dengan aparat hukum yang ada di wilayah tersebut sehingga bisa membantu pelaksanaan penyadaran hukum serta pelayanan hukum. Lebih lanjut, PL juga memfasilitasi anggota dengan jaringan penegakan hukum yang ada baik dari pemerintah atau unsur masyarakat yang lain seperti P2TP2A, Dinas Catatan Sipil, Pengadilan Agama, LSM perempuan, LBH lokal, dan lain-lain); dan (4) memfasilitasi masyarakat umum untuk memperoleh pelayanan hukum, mulai dari penyadaran hukum, memberikan informasi hukum, membantu memfasilitasi pemecahan persoalan hukum yang ada. “Dalam bidang hukum ya saya berusaha membantu masyarakat memahami hukum, kan masyarakat kita apalagi perempuan kepala keluarga ini banyak yang tidak ngerti hukum, kalau udah dengar polisi aja udah takut. Jadi saya berusaha menjelaskan masalah hukum dan hak-hak mereka di bidang hukum. Saya juga membantu mereka untuk mengurus akte kelahiran keluarganya, ngurus KK atau KTP. Udah pernah juga kita buat pertemuan dengan pihak kepolisian agar mereka para anggota jangan takut kalau berurusan dengan masalah hukum. (FJ)” Pernyataan PL tersebut juga didukung oleh ibu BR: “Peran PL di bidang hukum sangat berarti buat kami ya. Dulu sebelum ikut PEKKA kami takut sekali kalo udah berhubungan dengan hukum, kami gak ngerti masalah hukum, dengar polisi aja dah takut apalagi harus berurusan dengan mereka. Tapi sekarang setelah ada penjelasan dari PL dan kita juga dah pernah bertemu dan diskusi dengan bapakbapak polisi kita jadi ngerti dan tidak takut lagi. PL juga membantu kami dalam mengurus akte kelahiran anak, ngurus KK ataungurus KTP. Saya senang lah ikut program ini, saya banyak dapat ilmu. (BR)”
88
4) Pendidikan Politik Pendidikan politik diberikan untuk meningkatkan kesadaran politik anggota PEKKA sebagai warga negara yang baik.Untuk mencapai pemahaman tersebut, maka dilakukan upaya penyadaran kepada ibu-ibu PEKKA dan masyarakat sekitar melalui pertemuan rutin di kelompok, pelatihan/kursus dan melakukan dialog langsung dengan pemerintah ataupun anggota dewan. Pertemuan, pelatihan dan dialog tersebut selalu difasilitasi oleh PL. Selain menfasilitasi, PL kadang juga menjadi nara sumber. PL juga berperan menghubungi dan mengkoordinasi tentang waktu dan tempat diadakan dialog dengan nara sumber. Melalui proses ini secara bertahap ibu-ibu PEKKA menjadi semakin kritis dengan situasi yang ada di lingkungannya. Mereka juga tidak canggung untuk berdialog dan mengungkapkan persoalan masyarakat kepada berbagai pihak. Seperti dikutip dari hasil wawancara berikut: “Penjelasan mengenai politik banyak saya selipkan ketika pertemuan kelompok tiap bulannya, ada pelatihan untuk anggota juga sehingga mereka mengerti dunia politik yang selama ini tidak pernah mereka pelajari. Mereka lebih senang kalau belajar dengan cara diskusi tanya jawab dan menceritakan keluh kesah mereka sendiri karena dengan begitu mereka nggak bosan, karena di sela-sela itu ada juga yang bercerita lucu jadi ketawa sama-sama. ..Pengetahuan politik juga dapat mereka peroleh ketika kita mengadakan dialog dengan pihak-pihak pemerintah, anggota dewan dan lainnya sehingga mereka bisa langsung berdiskusi dan bertanya langsung kepada pihak terkait. Saya lihat para anggota sudah berani berbicara di dalam forum dialog, mereka tidak malu atau takut lagi. (FJ)” Berbagai kegiatan pendidikan politik yang pernah diikuti oleh anggota kelompok Jeumpa Desa Dayah Tanoh antara lain adalah: pelatihan di tingkat kabupaten untuk para pengurus dan anggota kelompok PEKKA, diskusi dalam pertemuan rutin kelompok untuk memahami peran dan fungsi politik, pelaksanaan kursus politik di PEKKA Center bersamaan dengan anggota dari kelompok lain dalam satu kecamatan, dan dialog pemerintah daerah seperti DPRD, BPM, Bappeda dan PPK yang diadakan di Center PEKKA di Kecamatan Mutiara Timur. Berikut adalah penuturan salah satu anggota kelompok mengenai peran PL dalam bidang pendidikan politik: “Kalau menurut saya bu, PL itu sudah banyak kasih ilmu atai informasi tentang politik ke kita, apalagi sebelum ikut PEKKA kita gak pernah tau dunia politik. Kami juga ikut pelatihan dan kursus politik. Dan yang senangnya kami bisa berdialog langsung dengan pihak pemerintah, anggota dewan sehingga bisa tanya jawab langsung. Semuanya diurus oleh PL, kami hanya ikut saja. (Rh)” Anggota PEKKA di Desa Dayah Tanoh juga pernah menjadi anggota KPPS ketika pemilu dan pemilukada yang lalu. Keberanian anggota mengikuti kegiatan ini merupakan hasil dari pelatihan dan pendampingan rutin dan terus menerus. PLselalu
89
berusaha untuk melakukan transfer pengetahuan yang didapat kepada anggota kelompok dan masyarakat di Desa Dayah Tanoh. “Manfaat yang saya rasakan banyak ya, dari yang dulu tidak mengerti politik sekarang jadi mengerti walaupun belum banyak. Saya juga udah berani ketika diminta menjadi anggota KPPS waktu Pemilu dan Pemilukada dulu. Saya udah berani tampil kalau ada kegiatan-kegiatan lah, kalau dulu saya gak berani takut salah, padahal gak apa-apa ya. (NT)” 5) Pengembangan Media Komunitas Dalam kegiatan pengembangan media komunitas, PL bersama-sama dengan pengurus PEKKA mendampingi dan mengajarkan metode dan tata cara mendokumentasikan dan menyampaikannya ke khalayak. Diantaranya adalah kegiatan dokumentasi foto-foto komunitas. Seperti yang diungkapkan ibu Am: “Iya kalau foto-foto saya yang jepret-jepret. Dulu pertama kali sih PL yang moto-moto kami, lama-lama saya jadi tertarik dan PL juga menyuruh saya karena takut kalaua da kegiatan kelompok dan PL gak bisa hadir jadi gak ada yang foto. Jadi saya belajar dari PL cara memfoto yang baik dan benar sehingga fotonya jadi bagus. (Am)” Pengetahuan fotografi PL diperoleh melalui pelatihan fotografi yang diadakan oleh Center PEKKA di tingkat propinsi. Menurut PL, pelatihan tersebut diikuti oleh para kader fotografi dan PL selama empat hari di Aceh Besar. Materi yang dibahas adalah visioning, bercerita dengan foto, pengenalan peralatan fotografi, teknik dasar fotografi, pengenalan cerita visual, penulisan naskah, praktek pengambilan gambar, dan pameran foto. Di akhir pelatihan peserta membuat rencana kegiatan berkaitan dengan pengambilan foto-foto kegiatan anggota dan masyarakat serta membagi ilmu tersebut pada anggota lainnya di kelompok. 6) Kesehatan Perempuan PL menfasilitasi penyampaian materi tentang kesehatan perempuan seperti kesehatan reproduksi, pentingnya mempelajari kesehatan reproduksi, dampak memahami kesehatan reproduksi, masalah kesehatan reproduksi perempuan, mengenali gejala-gejala penyakit dan cara merawat atau menjaga kesehatan. “Saya sering kalau di pertemuan kelompok saya beri materi tentang masalah kesehatan terutama kesehatan reproduksi perempuan. Saya kan udah pernah ikut pelatihan itu dan ada modulnya jadi saya selaku PL harus menyampaikan apa yang saya pelajari di pelatihan ke anggota dampingan saya. Perempuan di sini senang kalau udah belajar tentang masalah tersebut karena kita bisa berdiskusi dan menceritakan masalah masing-masing dan bersama-sama juga kita berusaha
90
membahasnya, gak ada yang malu-malu bercerita karena kan perempuan semua. (FJ)” Selain itu, PL juga memfasilitasi anggota kelompok untuk mengikuti pelatihan kesehatan yang dilaksanakan di Center PEKKA. Berikut adalah kutipan wawancara dengan salah satu anggota kelompok: “Kalau masalah kesehatan, kami banyak dikasih informasi oleh PL waktu dalam rapat bulanan, khususnya masalah kesehatan wanita. Saya juga pernah ikut pelatiahan dan diskusi tentang kesehatan di center yang jadi pembicara itu kalau gak salah dokter dari banda aceh. Kadang-kadang ada juga bidan desa yang kasih penyuluhan kepada kami. Alhamdulillah sekarang saya jadi lebih tau dan tau bagaimana cara menjaga kesehatan saya. (Am)”
7.3 Faktor Sosial Budaya 1. Peran Lembaga Kemasyarakatan/Norma Partisipasi anggota kelompok PEKKA dan kualitas komunikasi partisipatif merupakan sarana pemberdayaan perempuan kepala keluarga yang turut ditentukan oleh peran kelembagaan (termasuk norma) baik kelembagaan masyarakat, maupun kelembagaan eksternal (pemerintah dan non pemerintah). Norma merupakan aturan sosial, patokan berperilaku yang pantas, atau tingkah laku rata-rata yang diabstraksikan. Norma bersumber dari nilai dan merupakan wujud konkrit dari nilai. Dalam norma termuat hal-hal tentang keharusan, dianjurkan, dibolehkan, atau larangan. Norma mengontrol perilaku masyarakat. Dengan adanya norma-norma tersebut, dalam setiap kehidupan bermasyarakat diselenggarakan penegendalian sosial atau social control (Soekanto 2006). Norma dalam masyarakat sangat berpengaruh menentukan kualitas komunikasi partisipatif di masyarakat. Norma yang berlaku dalam masyarakat desa Dayah Tanoh masih kental dengan budaya patriarki. Patriarki adalah sistem yang selama ini meletakkan perempuan terdominasi dan tersubordinasi. Di mana hubungan antara laki-laki dan perempuan bersifat hierarkis, yakni laki-laki berada pada kedudukan dominan sedangkan perempuan sebagai sub-ordinat, “laki-laki menentukan sementara perempuan ditentukan”. Kondisi ini juga terlihat dalam aktivitas keseharian mereka. Dalam pekerjaan sehari-hari misalnya umumnya lakilaki terlihat lebih dominan dalam mengontrol, menentukan serta melakukan pekerjaan utama dibandingkan perempuan. Umumnya perempuan hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi pekerjaan domestik saja. Kondisi masyarakat ini tentu saja sangat tidak memihak kepada kehidupan perempuan kepala keluarga yang ada di Desa Dayah Tanoh, dimana mereka harus bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah dan sekaligus harus mengerjakan pekerjaan domestiknya, makanya kehidupan perempuan kepala keluarga di desa ini sebelum
91
mengikuti PEKKA berada pada tingkatan rendah. Dimana mereka tidak mendapatkan akses yang sama dengan laki-laki. Kehidupan mereka terkekang oleh adanya norma tersebut. Karena mereka tidak bisa melakukan pekerjaan produktif yang biasanya dilakukan oleh laki-laki sementara mereka adalah sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Mereka juga sering tidak diikutkan dalam kegiatan desa, misalnya dalam rapat desa mereka hanya sebagai pelengkap saja, mereka tidak pernah dimintai pendapat ataupun saran sehingga mereka sering tidak hadir dalam kegiatan di desa. Karena semua kegiatan hanya mendengar dan berdasarkan aspirasi kaum laki-laki saja. Seperti yang dituturkan Ibu Hmm: “Di sini kan kedudukan perempuan dan laki-laki itu jauh berbeda ya. Perempuan dianggap menjadi nomor dua dalam berbagai hal apalagi kami janda-janda ini. Perempuan itu kerjaannya di rumah, ngasuh anak, masak, nyuci dan lain-lain. Kalau cari uang itu ya suami. Tapi gimana dengan kami janda ini, kalau gak kerja mau makan apa coba, orang saya jadi kepala keluarga anak saya mau makan apa, jadi saya harus tetap kerja jualan kue ke pasar walaupun banyak masyarakat lain yang cemoohin saya, saya gak peduli. Yang penting kerjaan saya halal dan tidak mengganggu orang lain. Tapi setelah ada program ini semuanya jadi berubah, saya menjadi lebih paham kedudukan dan hak saya sebagai kepala keluarga. Masyrakat disini juga udah berubah, udah banyak yang mengerti setelah melihat keberhasilan kami setelah mengikuti program ini. (Hmm)” Pun demikian seperti juga diungkapkan Ibu NC: “...Gak ya, kalau ada rapat di meunasah itu kan penguman atau undangan dengan cara diumumkan di mix (mikrofon yang dipakai untuk azan), agar semua warga disuruh hadir ada rapat. Ya saya malas ikut rapat karena kita disana gak pernah dimintai pendapat, kita perempuan hadir hanya sebagai pendengar saja dan biasanya ngurusin nyediain kue dan minum buat bapak-bapak. Keputusan rapat kan ditangan bapak-bapak. Jadi saya sering gak datang. Tapi sekarang ada sedikit perubahan setelah saya ikut program ini. Kalau di undang rapat, saya sengaja hadir dan jika kita-kita gak dimintai pendapat dan kalau hasil rapat tidak memuaskan perempuan, saya sudah berani untuk bersuara supaya pendapat dan kebutuhan perempuan juga didengarkan oleh bapak-bapak. Jadi sekarang kami ini sudah dianggap lah kedudukannya di desa ini. (BR)” Budaya patriarkhi merupakan salah satu penyebab terhambatnya pelaksanaan kegiatan PEKKA pada awal program. Apalagi sasaran dari program ini adalah perempuan kepala keluarga yang selama ini kehidupan mereka jarang bahkan tidak pernah mendapat perhatian dari pihak manapun. Namun usaha PL
92
dalam melakukan pendekatan secara interpersonal dan dialogis, kesadaran dan minat masyarakat untuk berubah semakin tinggi. Lebih lanjut, keberhasilan anggota PEKKA dalam menjalankan usaha serta kehidupan sosial mereka membuat pemikiran masyarakat lain di sekitar mereka menjadi lebih terbuka dan budaya patriarki mulai perlahan-lahan tersamarkan. Sekarang perempuan di sini telah memiliki kesempatan untuk memenuhi kebutuhan dasar, ekonomi dan politik serta dapat mengakses aset-aset produktif sama dengan laki-laki. Selain faktor norma, kelembagaan masyarakat juga memepengaruhi perilaku komunikasi partisipatif. Adapun Kelembagaan masyarakat tersebut seperti Pemerintahan Desa, Tuha Peut, PKK, Posyandu, dan kelompok pengajian. Namun yang memiliki peran dan dukungan besar dalam program PEKKA adalah Pemerintahan Desa dan Tuha Peut. 1) Pemerintahan Desa Pemerintahan desa merupakan faktor pendorong percepatan keberhasilan pembangunan di tingkat desa. Perangkat desa Dayah Tanoh sangat mendukung program pemberdayaan PEKKA ini. Sosialisasi dan pengenalan program oleh pihak PEKKA difasilitasi oleh pihak aparat desa. Ini adalah bentuk dukungan pemerintahan desa dalam membangun kapasitas dan kesejahteraan masyarakatnya. Desa menyambut baik rencana dan kehadiran program serta siap membantu mensukseskannya. Meskipun pada awalnya ada sedikit salah paham mengingat saat masuknya program ini, kondisi Aceh dalam keadaan darurat militer sehingga pemerintah desa harus berhati-hati dalam menjalankan tugasnya agar tidak ada kecurigaan dari pihak-pihak yang sedang bertikai. Diterimanya kehadiran Program PEKKA di Desa Dayah Tanoh diperkuat oleh penuturan Kepala Desa: “Saya sebagai geuchik (kepala desa) di desa ini sangat mendukung program PEKKA ini karena bisa memajukan para janda-janda di desa ini dan juga bisa membawa dampak baik untuk kemajuan desa kami. Meskipun dulu pada awal masuk saya sempat salah paham dengan PL, karena dulu masa konflik kan jadi saya sangat hati-hati dalam menerima orang apalagi ini program untuk janda kan sangat takut kita apa ini dari pihak GAM atau RI. Jadi setelah dijelaskan oleh PL saya ngerti dan memberi izin untuk pelaksanaan program ini. (MYH)” Lebih lanjut diungkapkan: “Peran aparat desa atau saya sebagai geuchik hanya memfasilitasi pelaksanaan program, memotivasi kepada anggota agar serius dalam mengikuti program karena program ini sangat bagus. Saya juga membantu PL memberi informasi mana-mana saja keluarga janda di desa ini. Saya juga memberi izin berupa tandatangan jika ada anggota yang mengikuti pelatihan ke luar desa dan saya juga memberi izin ketika mereka dulu mengajukan proposal untuk dapat dana usaha kan saya harus tanda tangan juga. Saya juga pernah diundang kalau
93
mereka buat rapat ya, ya saya hadir tapi saya tidak mencampuri keputusan mereka saya hanya mendengar dan memberi nasehat saja, sejauh ini saya melihat program ini sangat baik dan keputusankeputusan mereka juga sangat saya dukung. (MYH)” Sebelum melaksanakan program, pihak penyelenggara harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari pemerintahan desa. Karena selanjutnya, kegiatan ini akan menjadi merupakan tanggung jawab dari desa ini. Tanggung jawab yang diberikan pihak aparat desa terhadap kegiatan di wilayahnya adalah dengan mengetahui kegiatan apa saja yang dilakukan, melakukan kontrol serta koordinasi terhadap kegiatan yang ada. Seperti penjelasan salah satu anggota kelompok berikut ini: “Iya pak geuchik sangat mendukung program ini. Dia juga hadir ketika kami mengundangnya untuk rapat walaupun hanya sebagai penasehat, dia juga bersedia memberi izin dengan tanda tangan kalau kami butuh izin untuk ikut pelatihan, menandatangani proposal kami, mengizinkan kami untuk melakukan kegiatan di balai desa. (Am)” 2) Tokoh masyarakat Tuha Peut (kelembagaan perwakilan masyarakat) adalah sebutan masyarakat Aceh kepada tokoh masyarakat yang ada di desanya, terdiri dari empat orang tokoh masyarakat yang diangkat oleh masyarakat. Tokoh masyarakat adalah pengayom masyarakat, tempat berbagi cerita serta pengalamandan menjadi suri tauladan masyarakat. Tuha Peut adalah orang yang dituakan, disegani, dihormati, memiliki status sosial yang prestise di lingkungan masyarakat, berkepribadian baik serta merupakan orang terpandang di dalam masyarakatnya. Dalam pelaksaan program PEKKA, tuha Peut berperan sebagai penasehat memberi masukan dan saran serta membantu menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kegiatan pemberdayaan ini. Tuha peut juga berperan sebagai fasilitator pada saat sosialisasi program bersama-sama dengan PL. PL meminta mereka untuk membantu dirinya dalam memberikan penyadaran dan motivasi kepada perempuan kepala keluarga untuk dapat berpartisipasi aktif dan mau menerima program ini. Tuha Peut juga kadang sering diundang dalam rapat anggota PEKKA serta dimintai saran. Seperti yang diungkapkan salah seorang Tuha Peut berikut ini: “Saya cuma memantau program ini. Saya beri nasehat kalau mereka minta nasehat kepada kita, saya mengingatkan jangan sampai kegiatan dalam program itu menyalahi aturan agama dan budaya aceh. Saya dulu juga pernah diminta bantu oleh PL untuk menjelaskan kepada janda-janda disini apa itu PEKKA dan memotivasi mereka supaya mau ikut program ini. Saya juga sering diundang rapat sama mereka, saya cuma jadi penasehat saja, itu saja. (Ib)” Peran dari tokoh masyarakat ini hanya sebatas memberikan nasehat, pengarahan, dan saran. Sebagai tokoh masyarakat, kehadirannya dalam suatu
94
komunitas atau kegiatan yang dilaksanakan sangat memberikan manfaat, dikarenakan tokoh masyarakat telah melalui dan mengikuti berbagai macam kegiatan di sepanjang pengalaman hidupnya sehingga dapat saling berbagi. 2. Bahasa Bahasa pengantar yang digunakan dalam program juga mempengaruhi komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga. Bahasa yang digunakan oleh PL adalah bahasa daerah yaitu bahasa Aceh mengingat sebagian besar perempuan kepala keluarga tidak bisa berbahasa Indonesia. Dengan menggunakan bahasa daerah, mereka merasa lebih leluasa dalam berbicara dan menyampaikan pendapat. Berikut kutipan wawancara dengan Ibu Rh yang tidak bisa berbahasa Indonesia: “Iya bahasa sangat mendukung ya, karena kami disini banyak gak bisa bahasa Indonesia. Jadi PL harus bisa bahasa Aceh sehingga kami cepat mengerti dan kalaupun ada yang mau kami tanyakan bisa langsung bertanya gak usah diterjemahkan. Jadi kami senang karena PL kami semuanya bisa bahasa Aceh jadi kami cepat tahu apa yang disampaikan. (Rh)”
7.4 Ikhtisar Pennerapan komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga dalam PEKKA dipengaruhi oleh faktor individu, peran pendamping dan faktor sosial budaya. Adapun faktor individu meliputi umur, pendidikan, alokasi waktu (yang dipengaruhi oleh sebab menjadi kepala keluarga, jumlah tanggungan, dan jenis pekerjaan) dan motivasi mereka mengikuti program. Peran pendamping sebagai fasilitator dan pendidik menyebabkan perubahan bentuk komunikasi perempuan kepala keluarga dari yang bersifat monolog menjadi cenderung dialog (kecuali anggota yang berusia lanjut). Kedudukan anggota dengan PL dalam program ini adalah sejajar sehingga tidak ada yang merasa “digurui” ataupun “menggurui.” Di mana proses belajar yang terjadi bersifat dialogis atau interaktif, kedudukan PL dengan anggota kelompok setara, dimana mereka menjadi sebagai pembelajar atau sama-sama menjadi subyek dalam proses belajar. Dukungan aparat desa dan tokoh masyarakat terhadap pelaksanaan program membuat perempuan kepala keluarga lebih yakin dan serius dalam menjalankan program, sehingga budaya patriarkhi yang berkembang dalam masyarakat perlahanlahan dapat tersamarkan. Selain itu, penggunaan bahasa daerah yaitu bahasa Aceh sebagai bahasa komunikasi antara PL dan perempuan kepala keluarga menyebabkan keakraban anatara keduanya sehingga pelaksanaan kegiatan program mudah dijalankan. Mengingat sebagian besar perempuan kepala keluarga tidak bisa berbahasa Indonesia, sehingga penggunaan bahasa Aceh merupakan pilihan yang tepat oleh PL.
95
8 KEBERDAYAAN PEREMPUAN KEPALA KELUARGA Proses pembangunan seperti yang didefinisikan oleh sebagian besar agenagen pembangunan, memerlukan keterlibatan aktif kelompok sasaran sebagai peserta dalam proses pembangunan itu, mereka tidak boleh hanya menjadi penerima bantuan proyek yang pasif, tetapi harus memperbaiki kapasitas mereka agar mampu mengenali dan mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. Untuk sampai definisi ini, proses pembengunan perempuan harus mengkombinasikan konsep kesetaraan gender dan konsep pemberdayaan perempuan di mana perempuan dapat terlibat dalam semua proses pembangunan. Jika kesetaraan antara perempuan dan laki-laki merupakan tujuan hakiki pembangunan perempuan, maka wajar pemberdayaan perempuan menjadi alat utama untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam mewujudkan kesetaraan. Dalam penelitian ini keberdayaan perempuan kepala keluarga dilihat dari tingkat kesejahteraan, akses terhadap sumberdaya, kesadaran kritis, partisipasi dan kontrol setelah mengikuti program sesuai dengan tujuan dari program pemberdayaan ini. Adapun tingkat kesejahteraan dinilai dari peningkatan pendapatan, peningkatan simpanan di kelompok, peningkatan pinjaman di kelompok, tingkat pengembalian pinjamandan peningkatan aset perempuan kepala keluarga.Peningkatan akses terhadap sumberdaya dinilai dari terbukanya akses sumberdaya bagi anggota dalam hal: dana emerintah (Dana Desa, APBD, dan lain-lain) untuk kegiatan hukum, politik, sosial dan ekonomi, dana untuk layanan kesehatan gratis bagi perempuan miskin, pendidikan dan pelatihan keterampilan yang diadakan oleh pihak lain. Tingkat partisipasi dinilai dari tingkat kehadiran anggota dalam kegiatan kelompok, tingkat keaktifan para anggota dalam kegiatan untuk menyuarakan kebutuhannya dalam kelompok, tingkat kehadiran dalam kegiatan yang diadakan pihak lain seperti rapat desa, musrenbang dan lainnya. Kesadaran kritis dilihat dari: tumbuh kebutuhan belajar dan mendapat pengetahuan untuk mengembangkan kapasitas diri, peningkatan jumlah masalah yang berhasil diidentifikasi dan yang berhasil diselesaikan, kemampuan mengadvokasi persoalan atau perlakuan tidak adil yang mereka hadapi ke pihak berwenang untuk menyelesaikannya. Peningkatan kontrol dilihat dari: kemampuan membuat keputusan diri sendiri di lingkup rumahtangga, partisipasi aktif dalam mengawasi, mempertanyakan dan menentukan kegiatan kelompok yang akan dilakukan, mampu mengusulkan dan mengawasi pembuatan kebijakan lokal yang berhubungan dengan persoalan ketidakadilan yang mereka hadapi. Keberdayaan tersebut akan dilihat pada setiap tipologi perempuan kepala keluarga berdasarkan bentuk komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan, yaitu (1) tipologi perempuan kepala keluarga sebagai pendengar, (2) tipologi perempuan kepala keluarga yang kurang aktif dan (3) tipologi perempuan kepala keluarga yang aktif.
96
8.1 Perempuan Kepala Keluarga sebagai Pendengar Perempuan kepala keluarga yang hanya menjadi pendebgar dalam program adalah perempuan kepala keluarga yang berusia lanjut melebihi 60 tahun yaitu Ibu Sb. Ibu ini mengikuti program hanya untuk mengisi waktu luang, berkumpul bersama, memperoleh informasi dan pengetahuan. Ibu ini sangat jarang menyampaikan pendapat, saran atau pertanyaan dalam setiap pertemuan program. Jenis program yang diikuti hanya kegiatan simpan pinjam kelompok dan tidak rutin melakukan penyetoran. Selain itu, Ibu ini juga tidak pernah melakukan pinjaman di kas kelompok ataupun mengusulkan proposal untuk memperoleh dana bantuan usaha. Beliau tidak sanggup lagi menjalankan usaha apapun karena usianya yang sudah tua dan sekarang tinggal bersama anak dan menjadi tanggungan anaknya. Pelaksanaan Program PEKKA di Desa Dayah Tanoh telah memberi dampak positif terhadap kegiatan perekonomian anggotanya, salah satunya dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi anggota. Namun, hal ini tidak dialami oleh Ibu Sb disebabkan beliau tidak pernah melakukan pinjaman dan mengusulkan dana pinjaman usaha karena tidak ingin menjalankan usaha apapun sehingga tidak mendapatkan pendapatan apapun yang dapat digunakan untuk peningkatan aset bagi dirinya. Selama ini kebutuhan sehari-harinya dipenuhi oleh anaknya, sedangkan uang penyetoran kepada kas kelompok merupakan sisa uang jajan yang diberikan oleh anaknya rata-rata sepuluh ribu per hari. Berikut pernyataan Ibu Sb: ”......Gak pernah pinjam juga di kas atau modal usaha. Untuk apa saya pinjam kan saya gak sanggaup lagi buka usaha, yang ada saya kepikiran dah pinjam gak bisa balikin, enak gini aja dikasih dikit-dikit oleh anak saya, untuk setoran kas baru sedikit kalau ada uang lebih saya setor, biasanya saya dikasih uang sepuluh ribu oleh anak saya buat jajan katanya, hehehee...dah terbalik dulu kita kasih ke dia. (Sb)” Keikutsertaan dalam program ini dapat meningkatkan kebahagiaan bathin bagi Ibu Sb karena beliau merasa terhibur ketika berkumpul dengan anggota lain, bisa saling bercanda, tertawa, memperoleh informasi dan pengetahuan, seperti yang dijelaskannya berikut ini: “Saya kan ikut program ini hanya untuk bisa ngumpul ama yang lain, kan saya gak da kerja jadi bisa untuk hiburan, isi waktu, selain bisa tau informasi dan nambah ilmu juga. Jadi buat senang-senang aja, kan udah tua apa yang saya pikirkan lagi, buat makan dah dikasih anak saya karena tinggal ama dia sekarang. (Sb)” Akses terhadap sumberdaya Ibu Sb adalah dapat mengikuti kelas KF. Mereka diajarkan baca tulis, seperti yang disampaikannya berikut ini: “Saya ikut kelas buta huruf itu, kan saya dan beberapa anggota lain gak bisa baca tulis jadi kami diajarkan oleh PL atau kadang-kadang oleh
97
anggota lain seperti NT atau Am. Kami belajar sampai kami bisa lah tapi agak susah ya karena udah tua ya, tapi pelan-pelan lah, sekarang saya sudah mengenal huruf. (Sb)” Selain itu, Ibu Sb juga mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis dan bantuan beras untuk orang miskin (raskin). Ibu Sb mengaku jika sakit dapat berobat ke puskesmas atau rumah sakit secara gratis hanya dengan membawa kartu miskin. Bantuan beras miskin diperolehnya per waktu tiga bulan sekali atau kadang-kadang dalam waktu yang tidak menentu. “Kalau berobat ke puskesmas gratis ya, kalau mau kerumah sakit juga gratis hanya bawa KTP katanya, soalnya saya belum pernah ke rumah sakit. Paling kalau saya demam, rematik kambuh ke puskesmas aja dikasih obat udah sembuh jadi gak perlu ke rumah sakit....Iya beras miskin itu saya dapat, kadang-kadang tiga bulan sekali, gak tentu lah. Biasanya ada pengumuman di Meunasah disuruh ambil beras miskin, biasa saya cuma dapat sepuluh kilo apa, gak ingat saya, biasa diambil anak saya. (Sb)” Tingkat partisipasi Ibu Sb dalam kegiatan di desa cenderung rendah. Dalam setiap pertemuan dalam program maupun pertemuan desa beliau hanya hadir mendengarkan saja tidak menyampaikan pendapatataupun bertanya. Ibu Sb mengaku selalu menghadiri pertemuan rutin anggota dan pernah mengikuti rapat desa yang membahas mengenai program PNPM. “Saya pernah ikut rapat desa, kalau gak salah rapat mengenai program PNPM tapi saya cuma dengar aja gak kasih saran atau bertanya. Saya ikut aja kalau saya senang dan ada waktu ya ikut untuk hiburan lah...Saya kan dah tua apalagi yang saya pikirkan. (Sb)” Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberdayaan perempuan kepala keluarga sebagai pendengar hanya pada tingkat kesejahteraan bathin, akses terhadap kelas KF, pelayanan kesehatan gratis dan raskin, dan partisipasi yang cenderung rendah, sedangkan kesadaran kritis dan kontrol dalam lingkup keluarga maupun lingkungan belum tercapai.
8.2 Perempuan Kepala Keluarga Kurang Aktif Perempuan kepala keluarga yang kurang aktif dalam program adalah Ibu Hmm, Ibu Rh, Ibu NC dan Ibu BR. Ibu-ibu ini pada awal masuknya program (tahap sosialisasi) mengaku tidak berani menyampaikan pendapat, saran atau pertanyaan dalam pertemuan, mereka lebih memilih diam dan mendengarkan. Namun, setelah dilakukan pendekatan secara interpersonal, mengikuti pelatihan-pelatihan dan menerima materi-materi pengembangan diri dari PL atau pakar dalam pertemuan
98
rutin anggota telah merubah pola fikir dan perilaku mereka dalam mengikuti program. Mereka menjadi berani dan aktif dalam pertemuan serta pelaksanaan kegiatan program, meskipun ada di antara mereka yang mengaku sering terlambat dan jarang mengikuti pertemuan anggota dikarenakan oleh beberapa alasan (Ibu NC, Ibu BR, dan Ibu Hmm). Pelaksanaan program pemberdayaan ini memberi dampak positif bagi perempuan kepala keluarga tipologi ini. Mereka mengaku dengan adanya program simpan pinjam kelompok dan dana pinjaman modal usaha dapat meningkatkan pendapatan sehingga meningkatkan kesejahteraan diri serta keluarganya. Sebelum mengikuti program ini, perempuan kepala keluargaini dapat dikatakan memiliki pendapatan yang rendah dibandingkan dengan rumahtangga yang kepala keluarga laki-laki. Kehidupan PEKKA ini hanya memiliki usaha kecilkecilan seperti jualan kue ke warung, jualan kue tradisional, tukang nyuci panggilan dan menjadi buruhtani pada musim ke sawah. Penghasilan yang mereka terima tidak menentu. Rata-rata mereka hanya mendapatkan uang sebesar Rp15 000 sampai Rp20 000 perhari dari perkerjaannya tersebut. Tetapi setelah mengikuti program pemberdayaan ini dan memiliki usaha masing-masing, kehidupan anggota jauh lebih sejahtera dan bahkan ada yang memiliki pendapatan melebihi rumahtangga yang kepala keluarga laki-laki. Peningkatan pendapatan dapat dilihat dari adanya penerimaan penghasilan dari usaha yang telah dijalankan dengan modal pinjaman tersebut, seperti yang dialami oleh Ibu NC dan BR yang memiliki usaha jualan kue tradisional dengan pendapatan rata-rata sebesar satu juta lima ratus rupiah setiap bulan. “Dari hasil jualan kue ini saya dapat lima puluh ribu lah satu hari, rata-ratanya ya, kadang-kadang juga tiga puluh, empat puluh gak tentu lah. Daripada dulu cuma dua puluh ribu sehari itupun kalau ada, karena dulu kue yang saya jual cuma sedikit dan titipan orang lain, kalau sekarang karena dah ada modal saya buat sendiri jadi agak banyak lah untungnya. Kalau dulu ya cukup buat beli kebutuhan sehari-hari lah, beli ikan, beras, minyak dan lain-lain lah. Pokoknya saya bersyukur aja berapa yang dapat yang penting keluarga saya tidak lapar, itu saja. Tapi kalau ada lebih ya saya simpan buat jajan anak sekolah, mudah-mudahan saya bisa sekolahkan anak saya sampai kuliah kalau sanggup, amiiinnn. (NC)” Pun demikian dengan Ibu BR: “Iya ada peningkatan ya, dulu saya jualan kue hanya dapat untung paling lima belas sehari tapi sekarang dengan ada modal dari PEKKA, saya bisa buat kue lebih banyak sehingga pendapatan bertambah, biasanya saya dapat untung empat puluh, lima puluh satu hari gak tentu lah. Sehingga kehidupan keluarga saya sekarang udah terbantu jadi lebih baik. Sekarang udah bisa tabung sedikit. (BR)”
99
Peningkatan pendapatan juga dialami oleh Ibu Hmm dan Ibu Rh yang memiliki usaha di bidang pertanian. Sebelum mengikuti program ini, mereka hanya menjadi buruhtani pada musim ke sawah, pendapatan mereka rata-rata per hari sebesar Rp20 000. Namun, setelah mendapat bantuan modal usaha mereka sudah berani menggarap sawah orang lain dengan sistem bagi hasil. Dari usahanya tersebut mereka mendapat keuntungan rata-rata lima juta sampai enam juta per sekali panen (empat bulan sekali) jika hasil panennya tidak gagal. “Iya dulu saya kan cuma jadi buruhtani kalau musim ke sawah gak punya sawah sendiri dan gak sanggup garap punya orang karena gak ada modal. Dulu hanya dapat paling dua puluh ribu sehari, kalau gak lagi ke sawah saya jadi tukang nyuci di rumah tetangga. Tapi sekarang dengan ada modal usaha saya sudah bisa garap punya Pak Ah tetangga saya itu dengan bagi hasil. Ya saya bisa dapat untung, biasanya sekali musim panen saya dapat lima juta kalau padinya bagus. (Hmm)” Ibu Rh mengungkapkan: “Iya ada peningkatan pendapatan buat saya, sekarang saya garap sawah Nyak Aj dengan bagi hasil. Dapat lah untung kalau padinya bagus sekitar empat setengah juta sekali panen. Daripada dulu saya cuma jadi buruhtani paling dapat dua puluh ribu sehari, itu kalau saya rajin ke sawah. (Rh)” Tingkat kesejahteraan juga dapat dilihat dari tingkat simpanan di kelompok. Jumlah simpanan perempuan kepala keluarga pada tipologi ini adalah Rp200 000 (Ibu BR), Rp210 000 (Ibu Rh), Rp76 000 (Ibu NC) dan Rp146 000 (Ibu Hmm) (dapat dilihat pada Tabel 8.). Jumlah simpanan Ibu-Ibu ini relatif besar, hanya Ibu NC saja yang memiliki jumlah simpanan paling sedikit. Menurut Ibu NC hal tersebut terjadi karena dia lebih memilih mengembalikan pinjaman modal usaha terlebih dahulu dibandingkan menyimpan di kas kelompok. Karena pengembalian modal usaha adalah suatu kewajiban, sedangkan simpanan bisa dilakukan kapan saja dalam jumlah yang tidak ditentukan. Berikut hasil wawancara dengan Ibu NC: “Saya pikir kalau modal usaha itu kan kewajiban, jadi kalau ada uang saya bayar uang pinjaman dulu sampai lunas dan alhamdulillah sekarang saya sudah lunas. Kalau simpanan kelompok kan bisa kapan aja, yang penting simpanan pokok udah saya bayar. Kalau modal usaha belum lunas saya kepikiran terus, kalau sekarang saya udah tenang tinggal saya jalankan usaha saja. (NC)” Perempuan kepala keluarga pada tipologi ini belum melakukan peminjaman kedua untuk modal usaha mereka karena pinjaman sebelumnya belum dapat dilunaskan, begitu juga dengan Ibu NC meskipun beliau sudah melunasi pinjaman
100
modal usaha sebelumnya. Beliau mengaku belum membutuhkan dana tambahan untuk ussahanya sekarang. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu-Ibu ini, mereka memiliki beberapa alasan tidak dapat melunasi pinjamannya, antara lain adalah karena gagal panen, memiliki kebutuhan lain yang lebih penting seperti untuk membeli kebutuhan seharihari, untuk biaya sekolah anak, biaya anggota keluarga yang sakit dan untuk tambahan modal usaha, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Hmm dan Ibu Rh: “Saya belum bisa melunasi pinjaman, dulu saya pinjam satu juta setengah, yang baru saya lunasi lima ratus sisanya satu juta. Kadangkadang udah niat mau bayar ada keperluan lain misalnya untuk sekolah anak, atau kalau panen gagal jadi yang disimpan buat bayar pinjaman saya pakai lagi untuk modal kedepan, ya begitu lah. Tapi saya akan lunasi pelan-pelan semampu saya. (Hmm)” “Saya belum lunas, saya dikasih pinjaman satu juta setengah udah lunas satu juta tiga ratus, tinggal dua ratus. Insyaallah panen depan ini saya lunasi. Mudah-mudahan padinya bagus ya. (Rh)” Alasan yang serupa juga disampaikan oleh Ibu BR yang memiliki jumlah pinjaman sebesar Rp1 000 000 dan baru dapat mengembalikan sebesar Rp500 000. “Saya belum lunas pinjaman dulu, saya pinjam satu juta baru saya lunasi lima ratus. Saya kadang pake uang bayar cicilan buat beli obat suami saya yang sakit, atau buat kebutuhan sehari-hari kalau dagangan lagi sepi, jadi sya ambil uang yang ada dulu. Tapi saya tetap nyicil sedikit-sedikit. (BR)” Peningkatan kesejahteraan anggota kelompok juga dapat dilihat dari kepemilikan aset. Kepemilikan aset setiap perempuan kepala keluarga pada tipologi ini berbeda-beda tergantung kepada jumlah pendapatan yang diperoleh dari usaha mereka masing-masing. Misalnya Ibu BR telah dapat membeli televisi, Ibu Hmm telah dapat membeli sepeda untuk anaknya bersekolah, Ibu Rh sudah merenovasi rumahnya, sedangkan Ibu NC sudah dapat menambah peralatan membuat kue seperti mixer, penggorengan dan lain-lain. Berikut hasil wawancara dengan Ibu Rh: “Dari hasil usaha saya itu saya udah bisa renovasi rumah sedikit ya, jadi ada keliatan lah hasilnya, pelan-pelan. Kan untung dari kita bersawah kan gak terlalu banyak, ya kalauada lebih ya kita buat lah biar bagus dikit rumahnya biar gak bocor lagi...(Rh)”
101
Hal yang senada juga disampaikan oleh Ibu Hmm berikut ini: “Saya selama ikut program ini, ada banyak manfaatnya saya sudah sanggup beli sepeda buat anak saya sekolah. Ada lah hasilnya walaupun sedikit. (Hmm)” Perempuan kepala keluarga pada tipologi ini juga memiliki akses terhadap dana BLM yang disalurkan melalui program pemberdayaan ini. Jumlah dana yang diperoleh bervariasi ada yang sesuai dengan proposal dan ada juga yang tidak sesuai.Akses lain yang dimiliki oleh perempuan kepala keluarga ini adalah layanan untuk mendapatkan pengobatan gratis di puskesmas atau rumah sakit. Mereka mengaku hanya membawa KTP saja jika berobat dan tidak dikenakan biaya apapun, seperti yang dijelaskan oleh Ibu Rh berikut ini: “Kalau berobat kita gratis, hanya bawa KTP aja ke puskesmas. Kita gak bayar apa-apa. (Rh)” Di samping itu, mereka juga difasilitasi untuk mengurus akte kelahiran, KK dan KTP, seperti yang dijelaskan oleh Ibu Hmm berikut ini: “Kan dulu waktu anak-anak saya lahir gak buat akte kelahiran, jangan kan ngurus tau aja gak apa itu akte. Tapi setelah ikut program ini, ternyata akte kelahiran itu sangat penting ya untuk keperluan anak kita sekolah nantinya. Jadi melalui program ini, semua anggota dan keluarganya yang belum punya akte kelahiran semuanya diurus dan sekarang semua anak saya sudah ada akte kelahirannya. Begitu jugu kalau anggota yang belum punya KTP atau KK semua dibantu urus. Banyak memberi manfaat lah. (Hmm)” Perempuan kepala keluarga yang buta huruf mereka memiliki kesempatan untuk mengikuti kelas KF. Seperti yang disampaikan Ibu Hmm yang buta huruf: “Saya ikut kelas buta huruf karena saya gak pernah sekolah jadi gak bisa baca tulis. Ada beberapa orang anggota, kami diajarkan baca tulis, sekarang saya sudah mulai bisa dan baca tapi belum lancar...(Hmm)” Manfaat dari pelaksanaan program pemberdayaan ini bukan hanya dirasakan oleh ibu-ibu ini tapi juga dirasakan oleh anak-anaknya terutama yang masih duduk di bangku sekolah. Anak-anak yang masih berusia sekolah mereka mendapatkan beasiswa. Sedangkan yang masih usia dini bisa mengikuti program PAUD secara gratis. “Iya selain dapat manfaat ke saya, anak saya juga dapat manfaat dari program ini. Anak saya yang SMP dapat bea siswa berupa baju
102
sekolah, tas, buku-buku, sepatu ya. Kan itu sangat membantu saya dan keluarga. (Hmm)” Selain memiliki akses terhadap program-program PEKKA, perempuan kepala keluarga juga memiliki akses terhadap program lain, misalnya Ibu NC dan Ibu BR pernah memiliki kesempatan untuk mengikuti pelatihan dan keterampilan membuat kue yang diadakan pihak kecamatan melalui PKK. “Saya pernah ikut pelatihan yang dibuat oleh kecamatan, pelatihan keterampilan buat kue. Saya disuruh istri kepala desa perwakilan dari desa ini. Ya saya ikut, kan bisa nambah ilmu, apalagi masalah buat kue saya sangat tertarik karena sesuai dengan kerjaan saya...(NC)” Keberdayaan perempuan kepala keluarga pada tipologi ini juga dapat dilihat dari tingkat partisipasi mereka pada kehadiran dalam kegiatan kelompok, tingkat keaktifan mereka dalam kegiatan untuk menyuarakan kebutuhannya dalam kelompok, tingkat kehadiran dalam kegiatan yang diadakan pihak lain seperti rapat desa, musrenbang dan lainnya.Tingkat kehadiran dan keaktifan anggota dalm kelompok telah dibahas pada Bab 6, sekarang akan dibahas mengenai partisipasi perempuan kepala keluarga dalam kegiatan yang diadakan pihak lain seperti rapat desa, musrenbang dan lainnya. Partisipasi perempuan kepala keluarga pada tipologi ini dalam kegiatan desa tidak sama. Menurut hasil wawancara dengan informan, semuanya mengaku diundang setiap ada pertemuan/ rapat desa, namun tidak semuanya bisa menghadirinya karena berbagai alasan seperti tidak ada waktu karena harus menjalankan usahanya, tidak diizinkan oleh suami atau karena tidak dapat membagi waktu antara kegiatan desa dengan mengurus rumahtangga serta menjalankan usaha, seperti yang diutarakan oleh Ibu Hmm berikut ini: “Iya kalau ada rapat atau kegiatan di desa, ada diundang tapi saya jarang datang ya apalagi kalau kegiatannya siang hari, kan saya ke sawah, ngurus anak. Jadi gak ada waktu untuk datang. Saya paling bisa datang kalau kegiatannya diadakan sedang tidak musimke sawah. Ya itu saya datang setelah beresin rumah. Sebenarnya saya senang bisa ikut kegiatan di desa juga. (Hmm)" Hal yang sama juga disampaikan oleh Ibu BR: “Saya jarang hadir ya kalau ada kegiatan desa, karena saya kan kerja jualan di pasar. Belum lagi saya pulang harus ngurus suami, sama juga kayak ikut pertemuan anggota. Kadang-kadang dikasih izin kadangkadang gak. Ya mau gimana, sebenarnya saya suka ikut-ikut kegiatan apalagi kegiatan PKK kan bisa nambah ilmu. Tapi kalau ada waktu dan ada izin saya ikut juga. (BR)”
103
Sedikit berbeda dengan Ibu NC dan Ibu Rh; Ibu NC mengaku pernah mengikuti pelatihan ketrampilan memasak yang diadakan di Kecamatan sebagai perwakilan dari PKK desa meskipun beliau jarang menghadiri pertemuan desa karena tidak memiliki waktu disebabkan harus melaksanakan usahanya sebagai pedagang. Berikut hasil wawancara dengan Ibu NC: “Saya pernah ikut pelatihan yang dibuat oleh kecamatan, pelatihan keterampilan buat kue. Saya disuruh istri kepala desa perwakilan dari desa ini. Ya saya ikut, kan bisa nambah ilmu, apalagi masalah buat kue saya sangat tertarik karena sesuai dengan kerjaan saya. Tapi kalau rapat-rapat desa saya jarang ikut karena saya jualan jadi gak ada waktu, kecuali kalau rapatnya sangat penting, orang saya ikut pertemuan anggota program aja sering telat...(NC)” Ibu Rh mengaku setelah mengikuti program pemberdayaan ini menjadi sedikit lebih aktif dalam kegiatan-kegiatan desa dan sekarang menjabat menjadi sekretaris PKK. Ibu ini mengaku sering hadir dalam rapat desa baik rapat khusus perempuan maupun rapat yang melibatkan laki-laki dan sering memberikan saran, pendapat atau pertanyaan dalam rapat tersebut, di mana menurutnya tidak ada perbedaan antara kaum laki-laki dan perempuan semua diberikan hak dan akses yang sama, seperti yang disampaikannya berikut ini: “Saya sekarang diangkat jadi sekretaris PKK. Dulu sebelum ikut program saya gak mau karena gak berani tapi sekarang saya sudah berani kok kan udah banyak pengetahuan dan udah sering ngomong depan orang banyak, saya juga sering hadir kalau ada rapat di desa. Saya juga sering bertanya atau kasih pendapat dalam rapat walaupun rapat itu dihadiri oleh laki-laki, semua boleh bicara. (Rh)” Tingkat keberdayaan juga tercermin dari tingkat kesadaran kritis yang mereka miliki setelah mengikuti program pemberdayaan ini. Pelaksanaan program pemberdayaan ini diawali dengan pendekatan interpersonal PL dengan perempuan kepala keluarga. PL mencoba mendekati dan memberi penjelasan serta memperkenalkan PEKKA secara tatap muka karena mengingat perempuan kepala keluarga ini merupakan kelompok masyarakat yang marginal dalam masyarakat. Setelah mereka mengenal dan mengetahui maksud dari PEKKA barulah mereka bersedia mengikuti program melalui pembentukan kelompok. Tugas PL selanjutnya adalah memfasilitasi anggota kelompok untuk mengikuti berbagai pelatihan terkait dengan pengembangan diri dan memberikan materi-materi dalam pertemuan anggota menyangkut analisa sosial, motivasi bekerja dalam kelompok,kepemimpinan transformatif, hak kesehatan reproduksi,hukum dan hak perempuan, advokasi, dan kesadaran gender. Salah satu training lokakarya yang wajib diikuti oleh semua anggota kelompok adalah training lokakarya peningkatan kapasitas anggota dengan membangun visi dan misi mereka. Proses ini dilakukan dimana perempuan kepala
104
keluarga difasilitasi oleh PL untuk mengidentifikasi masalah mereka, memahami posisi, status dan kondisi mereka dalam tataran masyarakat, mengidentifikasi potensi yang mereka miliki, lalu bersama membangun harapan dan impian yang ingin diraih. Setelah itu, proses ini diakhiri dengan membangun kesepakatan untuk meraih harapan dan impian dengan bekerja bersama dalam kelompok. Proses ini juga memberikan kesempatan pada mereka untuk berfikir secara kritis melihat posisi dan kondisi mereka serta membangun motivasi untuk berkembang. Dalam proses ini mereka merumuskan kondisi dan karakteristik perempuan kepala keluarga sebelum mengikuti program dan hasilnya perempuan kepala keluarga identik dengan: miskin, terkucilkan, terdiskriminasi, tidak diperhitungkan, mengalami trauma, akses terbatas dan korban kekerasan. Dengan adanya program pemberdayaan ini mereka memiliki harapan dapat mengubah kondisi tersebut. Kemudian mereka menyusun visi dan misi bahwa setelah mengikuti program ini mereka harus menjadi perempuan kepala keluarga yang kehudupannya lebih sejahtera, dihormati, setara dengan masyarakat lainnya, sebagai motivator, adanya akses dan sebagai kelompok kontrol sosial yang kuat. Semua perempuan kepala keluarga pada tipologi ini mengaku pernah mengikuti pelatihan lokakarya ini. Berikut adalah hasil wawancara dengan Ibu Rh: “Iya dulu kita setelah bentuk kelompok, semua anggota wajib ikut pelatihan kalau gak salah untuk peningkatan kapasitas anggota namanya. Di situ kita difasilitasi oleh PL untuk mengenal diri kita sebelum mengikuti program saat itu, kita sama-sama susun. Tersusun lah kalau kami itu miskin, terkucilkan, mengalami trauma, tidak ada akses yang sama, dan lain-lain pokoknya yang gak baik. Kemudian kita merumuskan impian atau harapan setelah mengikuti program ini, kita harus menjadi lebih sejahtera, ada akses, sama kedudukan dengan yang lain. Jadi dengan adanya impian itu kita jadi serius dan bertanggungajawab dalam pelaksanaan program, kalo gak benar-benar kita ikuti berarti impian itu gak tercapai nantinya. Dan Alhamdulillah sekarang sudah ada perubahan ya jadi lebih baik sesuai dengan impian yang kita susun dulu meskipun belum seratus persen. (Rh)” Perempuan kepala keluarga pada tipologi ini juga mengaku pernah bertemu dan berdialog dengan forum pemangku kepentingan hukum di Kabupaten Pidie, yaitu pertemuan dengan pihak kepolisian untuk saling bertukar informasi dan membuka jaringan hukum, sehingga bisa membantu pelaksanaan penyadaran hukum serta pelayanan hukum bagi mereka. Berikut hasil wawancara dengan Ibu BR: “..dulu sebelum ikut PEKKA kami takut sekali kalo udah berhubungan dengan hukum, kami gak ngerti masalah hukum, dengar polisi aja dah takut apalagi harus berurusan dengan mereka. Tapi sekarang setelah ikut program dan dapat materi tentang hukum kita jadi mengerti dan kita juga dah pernah bertemu dan diskusi dengan bapak-bapak polisi kita jadi ngerti dan tidak takut lagi...(BR)”
105
Perempuan kepala kepala keluarga hanya memiliki kontrol dalam lingkup rumahtangganya dan kegiatan kelompok. Mereka belum memiliki kontrol yang berhubungan dengan mengusulkan dan mengawasi pembuatan kebijakan lokal yang berhubungan dengan persoalan ketidakadilan yang mereka hadapi. Kontrol dalam lingkup keluarga yaitu kontrol yang berkaitan dengan bagaimana mengelola penggunaan pinjaman dan tabungan serta keuntungan yang dihasilkan. Para anggota dapat memutuskan untuk menggunakan pinjaman modal dari program untuk membuka usaha dan mengembangkannya sendiri serta mampu mengembalikan dana pinjaman meskipun tidak secara teratur dan tepat waktu. Berikut adalah hasil wawancara dengan Ibu Rh: “Semuanya tergantung anggota masing-masing, gimana mengelola uang pinjamannya, untuk usaha apa, semuanya kita sendiri yang putuskan. Yang penting kita bisa menyicil setoran pinjaman kita. Setoran tergantung pada kita juga bayarnya tiap bulan dalam jumlah yang gak ditentukan, atau kapan aja kita punya uang bisa langsung setor ke bendahara. (Rh)” Program pemberdayaan ini juga telah memberi perubahan bagi anggotanya dalam hal kontrol atas alokasi tenaga kerja keluarga. Mereka telah dapat mengontrol dan membagi alokasi waktu antara bekerja mencari nafkah (menjalankan usaha) dan bekerja mengurus rumahtangga (pekerjaan domestik) secara teratur dan tepat waktu. Mereka telah memiliki jadwal kegiatan sehari-hari yang mereka susun sendiri sehingga dapat secara teratur dalam mengontrol kegiatan rumahtangga seperti mengurus anak, mengurus suami (bagi yang masih memiliki suami yang menderita sakit), merapikan rumah, dan dalam menjalankan usahanya di luar rumah. Biasanya mereka memulai kegiatannya dari sebelum waktu Subuh hingga malam hari. Seperti yang dialami oleh Ibu BR yang memiliki usaha jualan kue kering di pasar kecamatan, beliau bangun jam empat pagi, kegiatan pertama adalah menyuci, memasak, merapikan rumah, menyiapkan dagangannya, mengurus suami yang sedang sakit, setelah semua selesai kira-kira pukul delapan pagi baru beliau berangkat ke pasar. Sedangkan jika ada pekerjaan rumah yang belum terselesaikan maka anak perempuannya yang masih SMA yang akan mengerjakannya. Beliau pulang sekitar pukul dua siang, karena harus mengurus suami terutama menyuapi makan suaminya. Berikut adalah penuturan Ibu BR mengenai kegiatannya seharihari: “Tiap hari kegiatan saya sama aja, tapi sejak saya jualan kue ke pasar ada sedikit perubahan ya, kalau dulu saya bangun waktu azan subuh tapi sekarang sebelum subuh jam empat saya udah bangun, nyuci dulu, masak, beres-beres rumah dikit, ngurus suami, kasih makan dia, mandiin dia, dah selesai semua baru berangkat ke pasar kira-kira jam delapan, jam dua saya pulang karena ingat suami di rumah gak ada yang kasih makan, kadang-kadang kalau anak saya cepat pulang sekolah dia kasih makan. Anak saya juga kadang-kadang bantu-bantu
106
di rumah, kalau dia gak sempat ya pulangnya baru saya kerjain. Buat kue juga siang hari pulang dari pasar, karena kue ini bisa tahan lama sampe sebulan jadi gak harus bikin tiap hari, paling seminggu dua kali tergantung lakunya. (BR)” Selain memiliki kontrol dalam keluarga, perempuan kepala keluarga juga partisipasi aktif dalam mengawasi, mempertanyakan dan menentukan kegiatan kelompok yang akan dilakukan meskipun belum dapat dilakukan sepenuhnya. Semua informan mengaku memiliki akses yang sama dalam setiap tahapan program mulai dari tahap penumbuhan ide, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (telah diuraikan pada Bab 6). Salah satunya adalah kontrol mereka dalam menentukan jenis materi yang akan didiskusikan pada bulan selanjutnya, menentukan jenis usaha yang akan dilaksanakan, informasi kegiatan simpan pinjam kelompok dan dana BLM dari bendahara, seperti yang dijelaskan oleh Ibu Hmm berikut ini: ”Dalam program ini kita dikasih kesempatan yang sama, baik dalam pertemuan, maupun kegiatan program. Misalnya dalam pertemuan, materi yang akan kita bahas bulan depan itu kita diskusi dulu samasama waktu pertemuan sebelumnya jadi semuanya bisa tau apa materi yang akan dibahas, kita sama-sama diskusi. Kita juga dikasih kebebasan untuk menjalankan usaha yang kita mau. Kita juga selalu dikasih informasi mengenai simapan pinjam kelompok dan dana BLM oleh bendahara, kalau ada masalah kita bahas sama-sama. (Hmm)” Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberdayaan perempuan kepala keluarga pada tipologi ini sudah mencapai kesejahteraan, akses terhadap sumberdaya, partisipasi, kesadaran kritis yang masih difasilitasi oleh PL bukan dari inisiatif diri sendiri dan kontrol dalam lingkup keluarga dan kelompok saja.
8.3 Perempuan Kepala Keluarga Aktif Perempuan kepala keluarga yang aktif dalam program adalah Ibu NT dan Ibu Am. Ibu-Ibu ini sudah memperlihatkan keaktifannya dari sejak dimulainya program hingga sekarang. Mereka sudah mulai aktif dalam pertemuan sosialisasi yang ditandai dengan adanya masukan, memberikan pendapat dan pertanyaan. Keduanya memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, berumur lebih muda sehingga dipercayai oleh anggota lain untuk menjadi pengurus kelompok yaitu sebagai sekretaris dan bendahara kelompok. Tingkat keberdayaan mereka dilihat dari tingkat kesejahteraan yang ditandai dengan adanya peningkatan jumlah pendapatan yang diterima dari usaha yang mereka jalankan. Ibu NT memiliki usaha jualan kios yang dikelola oleh adiknya, karena Ibu NT memiliki pekerjaan lain sebagai pengajar sehingga tidak memiliki waktu untuk menjalankan usaha. Sedangkan Ibu Am memiliki usaha di bidang usahatani. Sebelum mengikuti program ini, Ibu Am menjadi buruhtani ketika musim ke sawah,
107
pendapatan rata-rata per hari sebesar Rp20 000. Namun, setelah mendapat bantuan modal usaha Ibu Am sudah berani menggarap sawah orang lain dengan sistem bagi hasil. ”..sekarang ada lah penambahan sedikit dibandingkan dulu sebelum dapat modal usaha. Dulu saya cuma jadi buruhtani cuma dapat dua puluh ribua rata-rata satu hari tapi sekarang udah bisa garap punya kakak sepupu saya, sehingga pendapatan jadi namabah. Saya bisa dapat untung lima juta sekali panen kalau padinya jadi. (Am)” Sedangkan pendapatan yang diterima Ibu NT bertambah dari usahanya sekarang. Dalam usaha kiosnya Ibu NT mengaku mendapat keuntungan rata-rata Rp1 500 000 per bulan. Keuntungan tersebut dibagi dengan adiknya sebagai pengelola. Berikut hasil wawancara dengan Ibu NT: “Dari usaha kios itu saya dapat pendapat rata-rata sebulan satu juta setengah tapi saya bagi dua adek saya karena dia yang kelola, sebagian buat bayar pinjaman dan yang lain saya simpan di kas kelompok. (NT)” Tingkat kesejahteraan juga dapat dilihat dari tingkat simpanan mereka di kelompok. Ibu NT yang memiliki jumlah simpanan kelompok sebesar Rp450 000 dan Ibu Am sebesar Rp95 000. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu NT, dia mengaku bahwa pendapatan yang diperoleh dari usaha kiosnya sebagiannya disimpan di kas kelompok, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dia menggunakan pendapatan dari pekerjaannya sebagai pengajar. Berikut adalah hasil wawancara dengan Ibu NT: “Saya kan bendahara, jadi kalau saya ada uang lebih saya simpan saja ke kas kelompok. Biasanya keuntungan dari kios yang saya simpan, sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari saya pakai uang gaji saya. Saya kira dengan begitu saya bisa bantu anggota lain kalau ada yang perlu pinjaman. (NT)” Selain itu, Ibu NT juga sudah melakukan peminjaman tahap kedua karena telah melunasi pinjaman sebelumnya. Jumlah peminjaman Ibu NT sekarang berjumlah Rp4 000 000, di mana pinjaman tahap pertama sebesar Rp2 500 000 dan tahap kedua sebesar Rp1 500 000, seperti penjelasan Ibu NT berikut ini: “Saya udah pinjam kedua kali, pertama saya pinja dua juta setengah, dan udah lunas dan yang kedua saya pinjam satu juta setengah tapi belum lunas, sembilan ratus ribu lagi. Jadi, bagi anggota yang sudah melunasi pinjaman pertama baru boleh pinjam selanjutnya biar gak banyak tunggakannya. (NT)”
108
Berbeda halnya dengan Ibu Am yang memiliki jumlah simpanan hanya Rp95 000. Ibu Am mengaku jumlah simpanannya di kelompok masih rendah, karena beliau lebih memilih untuk terlebih dahulu melunasi dana pinjaman modal usaha sehingga bisa melakukan pinjaman selanjutnya. “Simpanan saya di kas kelompok masih sedikit ya. Saya mau lunasi dulu pinjaman modal usaha saya kalau ada uang biar bisa pinjam lagi. Kan kalau simpanan bisa kapan aja. Kalau udah lunas kitapun gak kepikiran lagi. (Am)” Peningkatan kesejahteraan perempuan kepala keluarga pada tipologi ini juga dapat dilihat dari kepemilikan aset. Kepemilikan aset mereka berbeda-beda tergantung kepada jumlah pendapatan yang diperoleh dari usaha mereka masingmasing. Ibu Am sudah dapat membeli sepeda motor, sedangkan Ibu NT sudah dapat memperluas kios tempat usahanya. Seperti hasil wawancara dengan Ibu Am dan Ibu NT berikut ini: “Dari hasil usaha saya selama ini saya udah bisa beli motor...(NT)” “..kalau saya ada keuntungan udah bisa perluas kios sedikit biar luas jadi barang-barangnya gak ditarok di rumah lagi. (NT)” Ibu-Ibu ini memiliki akses terhadap dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Jumlah dana yang diperoleh bervariasi ada yang sesuai dengan proposal dan ada juga yang tidak sesuai (besar dana BLM masing-masing anggota dapat dilihat pada Tabel 8.). Ibu NT memperoleh dana pinjaman sebesar Rp4 000 000 dengan dua kali pinjaman, sedangkan Ibu Am memperoleh pinjaman sebesar Rp1 500 000. Akses lain yang dimiliki oleh perempuan kepala keluarga ini adalah layanan untuk mendapatkan pengobatan gratis di puskesmas atau rumah sakit sama dengan masyarakat lain. Selain memiliki akses terhadap program-program PEKKA, kedua ibu ini juga memiliki akses terhadap program lain, misalnya mereka pernah memiliki kesempatan untuk mengikuti pelatihan yang diadakan pihak kecamatan melalui program PKK atau kegiatan-kegiatan desa lainnya. Berikut hasil wawancara dengan Ibu NT: “Saya pernah ikut pelatihan tentang peningkatan kapasitas pemudi tingkat kecamatan, saya dan Am disuruh mewakili desa ini oleh Ibu Geuchik. Kami juga pernah ikut kegiatan dari PNPM ya, mungkin karena kami belum nikah dan masih muda makanya sering disuruh ikut kegiatan. (NT)” Kedua Ibu ini memiliki tingkat partisipasi yang cenderung tinggi dalam kegiatan program dan kelompok mengingat keduanya merupakan pengurus kelompok (Tingkat kehadiran dan keaktifan dalam kelompok telah dibahas pada bab 5). Selain itu, kedua Ibu ini juga aktif dalam kegiatan-kegiatan desa. Ibu NT selain menjabat bendahara dalam kelompok, juga menjabat bendahara dalam kegiatan PKK,
109
sedangkan Ibu Am sebagai ketua pemudi desa. Keduanya mengaku sering hadir dalam rapat desa baik rapat khusus perempuan maupun rapat yang melibatkan lakilaki. Mereka mengaku sering juga memberikan saran, pendapat atau pertanyaan dalam rapat tersebut, tidak ada perbedaan antara kaum laki-laki dan perempuan semua diberikan hak dan akses yang sama, seperti yang disampaikan oleh Ibu NT: “Saya selain bendahara kelompok, saya juga bendahara PKK jadi saya harus aktif dikedua kegiatan itu, saya juga sering hadir kalau ada rapat di desa. Saya juga sering bertanya atau kasih pendapat dalam rapat walaupun rapat itu dihadiri oleh laki-laki, semua boleh bicara. (Rh)”: Selain aktif dalam kegiatan desa, Ibu NT dan Ibu Am juga pernah menjadi anggota KPPS ketika pemilu dan pemilukada yang lalu. Keberanian mereka mengikuti kegiatan ini merupakan hasil dari pelatihan dan pendampingan terus menurus yang dilakukan selama pelaksanaan program. Berikut kutipan wawancara dengan anggota kelompok: “Manfaat yang saya rasakan banyak ya, dari yang dulu tidak mengerti politik sekarang jadi mengerti walaupun belum banyak. Saya juga udah berani ketika diminta menjadi anggota KPPS waktu Pemilu dan Pemilukada dulu. Saya udah berani tampil kalau ada kegiatan-kegiatan lah, kalau dulu saya gak berani takut salah, padahal gak apa-apa ya. (NT)” Hal yang serupa juga disampaikan oleh Ibu Am berikut ini: “Saya udah pernah jadi anggota KPPS waktu pemilu dulu. Dulunya saya gak berani tapi sekarang selama ikut program ini saya jadi lebih berani tampil di muka umum. (Am)” Perempuan kepala keluarga pada tipologi ini selain mengikuti training lokakarya membangun visi misi bersama anggota lainnya. Mereka juga pernah mengikuti beberapa pelatihan khusus pngurus kelompok mengenai kepemimpinan, manajemen, administrasi dan pembukuan. Mereka juga pernah mengikuti dialog dan pertemuan dengan aparat kepolisian bersama dengan anggota lainnya. Berikut hasil wawancara dengan Ibu Am: “Selain ikut lokakarya yang wajib untuk semua peserta untuk membangun visi, misi dan identifikasi masalah, saya, Ibu AA dan Ibu Am sebagai pengurus kelompok juga pernah mengikuti beberapa pelatihan menyangkut kepemimpinan, manajemen dan masalah pembukuan serta administrasi. Selain itu kita juga dapat materi pengembangan diri setiap pertemuan bulanan anggota. (Am)”
110
Kedua Ibu ini juga memiliki kontrol berkaitan dengan bagaimana mengelola penggunaan pinjaman dan tabungan serta keuntungan yang dihasilkan. Mereka dapat memutuskan untuk menggunakan pinjaman modal dari program untuk membuka usaha dan mengembangkannya sendiri serta mampu mengembalikan dana pinjaman meskipun tidak secara teratur dan tepat waktu. Berikut adalah hasil wawancara dengan Ibu Am: “Semuanya tergantung anggota masing-masing, gimana mengelola uang pinjamannya, untuk usaha apa, semuanya kita sendiri yang putuskan. Yang penting kita bisa menyicil setoran pinjaman kita. Setoran tergantung pada kita juga bayarnya tiap bulan dalam jumlah yang gak ditentukan, atau kapan aja kita punya uang bisa langsung setor ke bendahara. (Am)” Selain memiliki kontrol dalam keluarga, perempuan kepala keluarga juga partisipasi aktif dalam mengawasi, mempertanyakan dan menentukan kegiatan kelompok karena keduanya merupakan pengurus kelompok. Mereka mengaku memiliki akses dan dapat berpartisipasi aktif dalam setiap tahapan program mulai dari tahap penumbuhan ide, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (telah diuraikan pada Bab 6). Perempuan kepala keluarga pada tipologi ini juga sudah mampu mengusulkan dan mengawasi pembuatan kebijakan lokal yang berhubungan dengan persoalan ketidakadilan yang mereka hadapi, misalnya mereka sudah pernah melakukan dialog dengan aparat pemerintahan tingkat kecamatan sampai dengan kabupaten bersama dengan anggota dari desa lain. Berikut hasil waawancara dengan Ibu Am: “Kalau masalah itu, dulu kita semua anggota ikut berdialog sama-sama dengan anggota dari desa lain di Center PEKKA, kita dialog dengan anggota DPRD, BPM, Bappeda dan PPK masalah yang dihadapi oleh perempuan kepala keluarga. Kita semua diberi kesempatan untuk menceritakan keluh kesah kita dan apa yang belum terpenuhi serta kendala-kendala yang dihadapi. Bagus lah jadi kita bisa mengerti dan merekapun menanggapi keluh kesah kita. (Am)”
8.4 Manfaat PEKKA Berdasarkan Pandangan Masyarakat bukan Anggota Manfaat penyelenggaraan program PEKKA bagi anggotanya juga dinilai berdasarkan dari sudut pandang masayarakat bukan penerima manfaat. Salah satu tokoh masyarakat yang dimintai pendapatnya adalah Bapak MYH yang menjabat sebagai Kepala Desa (geuchik) Dayah Tanoh. Bapak MYH menilai bahwa program PEKKA ini telah memberikan manfaat bagi anggotanya karena menurutnya kondisi perempuan kepala keluarga menjadi lebih baik dengan adanya program PEKKA. Kesejahteraan perempuan kepala keluarga menjadi lebih baik, pengetahuan dan keterampilannya juga meningkat. Bapak MYH pun berpendapat bahwa program ini
111
berkontribusi dalam menyetarakan kesejahteraan perempuan kepala keluarga dengan warga lainnya, jika tidak ada program PEKKA ini, mungkin kondisi ibu-ibu yang berstatus sebagai kepala keluarga akan jauh lebih buruk atau tidak seperti saat ini. Meski demikian, Bapak MYH menilai bahwa keberadaan PEKKA belum sepenuhnya mampu mengubah kondisi perempuan kepala keluarga yang sudah berusia lanjut. “..iya PEKKA itu programnya banyak kasih manfaat ya buat jandajanda yang ikut, selama ikut program itu mereka kelihatannya jadi lebih baik lebih sejahtera, lebih pintar dan berani. Mereka sekarang mampu hidup ssejajar dengan warga lain, daripada sebelum ada program, mereka hidupnya bisa dibilang serba kekurangan lah. Tapi janda yang udah usia lanjut tidak ada perubahan apa-apa ya karena mereka tidak lagi sanggup menjalankan usaha dan kebanyakan dari mereka tinggal dengan anaknya. (MYH)” Pendapat lain disampaikan oleh Ibu Um yang merupakan seorang tokoh agama menilai bahwa keberadaan PEKKA di desanya cukup memberikan dampak yang positif bagi para perempuan kepala keluarga karena mampu meringankan beban mereka terutama bidang ekonomi seperti adanya bea siswa bagi anak-anak mereka, pinjaman modal usaha dan kegiatan simpan pinjam kelompok. Namun demikian, beliau pesimis keberadaan program PEKKA ini dapat meningkatkan status perempuan kepala keluarga menjadi setara dengan kepala keluarga laki-laki karena bagaimanapun juga kodrat laki-laki dan perempuan berbeda. “PEKKA itu bagus ya terutama bagi anggota yang ikut. Karena sekarang sangat terbantu mereka dalam masalah ekonomi ya, dengan ikut PEKKA mereka bisa dapat pinjaman modal usaha, dapat bea siswa anak sekolah dan ada simpan pinjam jadi bisa terbantu lah untuk kebutuhan mereka. PEKKA memang sudah banyak merubah kehidupan dan perilaku janda-janda di sini ke arah yang lebih baik tapi saya belum yakin kalau perempuan itu bisa sama dengan laki-laki karena kan kodratnya emang beda. (Um)” Berbeda dengan tokoh masyarakat lainnya, Ibu Rm yang merupakan istri dari Kepala Desa Dayah Tanoh lebih menyeroti aspek sosial sebagai manfaat dari keberadaan program PEKKA ini. Menurut Ibu Rm keberadaan program PEKKA di desanya telah memberikan manfaat kepada para perempuan kepala keluarga, khususnya dari aspek sosial karena sebelum adanya program ini banyak perempuan kepala keluarga yang tidak pernah mengikuti kegiatan di desa, tidak tau program, umumnya merasa malu, minder dan tidak tahu apa-apa. Setelah adanya program PEKKA ini, mereka menjadi mempunyai kegiatan sosial yang lebih bersifat organisasi. Mereka juga sekarang menjadi aktif dalam kegiatan kemasyarakatan yang ada di desa, jika ada rapat desa mereka sudah berani datang. Keberadaan program ini juga telah mampu menggali dan mengembangkan potensi anggotanya
112
serta bisa tampil lebih percaya diri atau berani mengungkapkan pendapat di muka umum. Dari segi ekonomi, keberadaan program PEKKA ini sudah mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga mereka melalui kegiatan pemberian pinjaman modal usaha dan kegiatan simpan pinjam kelompok. Berikut adalah kutipan wawancara dengan Ibu Rm: “Iya PEKKA memang telah beri banyak manfaat buat anggotanya. Misalnya dulu sebelum ada program ini mereka kan sangat jarang ikut dalam kegiatan desa, katanya gak berani, malu, minder kalau hadir di muka umum. Tapi sekarang mereka jadi lebih aktif dalam kegiatan desa, bahkan lsudah lebih berani diabandingkan dengan perempuanperempuan lain yang bukan anggota. kalau dari segi ekonomi, mereka sudah sudah lebih sejahtera lah buk...(Rm)”
8.5 Ikhtisar Tingkat keberdayaan perempuan kepala keluarga setelah mengikuti program pemberdayaan berbeda-beda (Tabel 13).
1.
2.
3.
4. 5.
Tabel 13 Matriks keberdayaan perempuan kepala keluarga Kriteria Tipologi perempuan kepala keluarga keberdayaan Pendengar Kurang aktif Aktif Kesejahteraan Kesejahteraan Kesejahteraan Kesejahteraan bathin (rasa material material senang, ingin (penghasilan, (penghasilan, berkumpul, dan pekerjaan, modal, pekerjaan, modal , lain-lain) dan lain-lain) dan lain-lain) Akses Pendidikan dan Dana BLM, Dana BLM, pelatihan (kelas pendidikan dan pendidikan dan KF), layanan pelatihan (KF, pelatihan (KF, kesehatan gratis Beasiswa anak), Beasiswa anak), akte kelahiran dan akte kelahiran dan KTP KTP, kegiatan desa (PKK) Partisipasi Partisipasi rendah Awalnya rendah, Tinggi (dalam kemudian kelompok dan meningkat desa) Penyadaran Belum ada Masih difasilitasi Dari diri sendiri PL Kontrol Belum ada Dalam keluarga Keluarga, dan kelompok kelompok dan masyarakat lokal
113
Tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan perempuan kepala keluarga dipengaruhi oleh bentuk komunikasi partisipatif mereka dalam program. Perempuan yang aktif atau memiliki bentuk komunikasi cenderung dialogis dalam program memiliki tingkat keberdayaan paling tinggi dibandingkan dengan perempuan kepala keluarga yang kurang aktif maupun perempuan yang hanya sebagai pendengar. Secara umum, seluruh tokoh masyarakat yang diwawancarai tersebut berpendapat bahwa bagaimanapun juga, perempuan kepala keluarga tidak dapat disejajarkan dengan kepala keluarga laki-laki karena sudah menjadi kodrat bahwa laki-laki memang “lebih” dari perempuan. Terkait dengan perempuan yang memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga, mereka mengakui bahwa memang ada perempuan yang memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga, namun hanya sebatas mengakui perannya, bukan statusnya. Status kepala keluarga hanyalah milik laki-laki.
114
115
9 SIMPULAN DAN SARAN 9.1 Simpulan 1.
2.
3.
Pada awal program bentuk komunikasi partisipatif cenderung bersifat monolog. Namun, setelah menerima materi pengembangan diri dan berbagai pendekatan baik secara tatap muka (interpersonal) maupun pertemuan kelompok maka perempuan kepala keluarga (kecuali yang sudah berusia lanjut) mengetahui hakhaknya sehingga mereka cenderung sudah dapat berkomunikasi secara dialogis. Bentuk komunikasi monolog cenderung dipengaruhi oleh faktor umur, pendidikan dan budaya patriarkhi. Perubahan bentuk komunikasi dari monolog ke tipologi multi track dan dialogis dipengaruhi oleh faktor individu, peran pendamping dan sosial budaya dalam masyarakat. Namun, peran pendamping dan faktor sosial budaya tidak dapat mempengaruhi bentuk komunikasi perempuan kepala keluarga yang berusia lanjut karena mereka mengikuti program hanya untuk mengisi waktu luang, berkumpul bersama, memperoleh informasi dan pengetahuan sehingga bentuk komunikasi mereka tetap bersifat monolog. Tingkat keberdayaan perempuan kepala keluarga dipengaruhi oleh bentuk komunikasi partisipatif mereka dalam program. Perempuan yang aktif atau memiliki bentuk komunikasi cenderung dialogis dalam program memiliki tingkat keberdayaan paling tinggi dibandingkan dengan perempuan kepala keluarga yang kurang aktif maupun perempuan yang hanya sebagai pendengar.
9.2 Saran 1.
2.
Untuk menciptakan komunikasi partisipatif dalam setiap program pembangunan khususnya program pemberdayaan perempuan harus dilakukan pendekatan atau komunikasi secara interpersonal terlebih dahulu untuk mengetahui dan mengenal sasaran penerima manfaat secara lebih dekat sehingga program pemberdayaan akan mudah dilaksanakan karena komunikasi secara partisipatif tidak akan terjadi secara tiba-tiba atau spontanitas. Keberdayaan perempuan kepala keluarga dalam program akan tercapai dengan menggunakan strategi pendekatan yang partisipatif baik secara interpersonal maupun kelompok, membuka ruang akses seluas-seluasnya serta melibatkan aktor strategis dalam pelaksanaan program.
116
117
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, I. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Arikunto, S. 2007. Manajemen Penelitian. Jakarta (ID): Rineka Cipta. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium di Indonesia 2010. Jakarta (ID): Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Profil Usaha Kecil dan Menengah tidak Berbadan Hukum Indonesia. Jakarta (ID): BPS. Budiman, A. (2000). Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Bungin, B. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Ragam Varian Kontemporer. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Burhanuddin. 2003. Peran komunikasi dalam pemberdayaan perempuan: kasus gerakan PKK di Kecamatan Cariu Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Cahyanto, PG. 2007. Efektivitas komunikasi partisipatif dalam pelaksanaan prima tani di Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Pontianak [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Chitnis, K. 2011. Recasting the process of participatory communication through Freiean praxis: the case of the comprehensive rural health project in Jamkhed, India. Presented at the annual meeting of the International Communication Association. New York City (NY): Sheraton New York . Creswell, JW. 2002. Research Design Qualitative and Quantitatif Approaches. Volume ke-1. Angkatan III dan IV KIK UI penerjemah. Jakarta (ID) :KIK UI Pr. Effendy, OU. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung (ID): Citra Aditya Bakti. Fakih, M. 2003. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.
118
Habermas, J. 1990. Discourse Ethics: notes on a program of hilosophical justification. The Communicative Ethics Controversy. Cambridge (NY): MIT Pr. Hamijoyo, SS. 2005. Komunikasi Partisipatoris: Pemikiran dan Implementasi Komunikasi dalam Pengembangan Masyarakat. Bandung (ID): Humaniora. Herawati, Pulungan, I. 2006. Faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi kontaktani dalam perencanaan program penyuluhan pertanian: kasus WKUPP Nyalindung, Kabupaten Sukabumi. JP. 2(2): 107-114. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hubeis, AV. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor (ID): IPB Pr. Ife, J. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives-Vision, Analysis and Practice. Melbourne (AU): Longman. Ihsaniyati, H. 2010. Kebutuhan dan perilaku pencarian informasi petani gurem [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mosse, JC. 2002. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. [Kem PP dan PA] Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. 2010. Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Generik. Jakarta (ID): Kem PP. Kurniawati, D. 2010. Tingkat partisipasi dan kemandirian masyarakat dalam bidang ekonomi program posdaya: kasus posdaya bina sejahtera Kelurahan Pasir Mulya Kota Bogor [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Levis, R. 1996. Komunikasi Penyuluhan Pedesaan. Bandung(ID): Remaja Rosdakarya. Manoppo, CN. 2009. Faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi wanita tani dalam usahatano kakao: kasus di Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Maslow, AH. 1993. Motivasi dan Kepribadian. Bandung (ID): PT Remaja Rosdakarya. Mefalopulos, P. 2003. Theory and practice of participatory communication: the case of of the FAO project, communication for development in Southern Africa [dissertation]. Austin (NY): University of Texas.
119
Melkote, SR. 2006. Everett M. Rogers and His Contribution Stothe Field of Communication and Social Change in Developing Countries. Journal of Creative Communications. (1)1. New Delhi (ND): Sage Publications. Miles, MB, Huberman AM. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta (ID): UI Pr. Moleong, LJ. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya. Muchlis, F. 2009. Analisis komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan masyarakat: studi kasus pada implementasi musyawarah dalam PNPM mandiri perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mulyana, D. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya. --------------. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya. Mulyasari, G. 2009. Komunikasi partisipatif warga pada Bengkulu Regional Development Project [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rinawati, R. 2012. Kearifan lokal sebagai citra dari perempuan sunda dalam komunikasi pada kegiatan pemberdayaan: studi fenomenologi pada pelaksanaan P2KP di Kabupaten Bandung. Di dalam: Ahmad MD, Yulandari P, Setiabudi R, editor. Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal. Prosiding Seminar Nasional; 2012 Sep; Purwokerto, Indonesia. Purwokerto (ID): Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Jenderal Sudirman. 689-699. Salim, A. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta (ID): Tiara Wacana. Saharuddin. 1987. Partisipasi kontak tani dalam perencanaan dan pelaksanaan program penyuluhan pertanian [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sajogyo. 1984. Peranan Wanita dalam Perkembangan Ekonomi. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Salkind, NJ. 1985. Theories of Humam Development. New Yoek (NY): Jhon Wiley and Sons.
120
Satriani, I. 2011. Komunikasi Partisipatif pada program pos pemberdayaan keluarga: studi kasus di RW 05 Kelurahan Situgede Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sarwititi. 2005. Tantangan Intelektual Terhadap Komunikasi Pembangunan. Sodality. 3 (1). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Seknas PEKKA] Sekretariat Nasional Perempuan Kepala Keluarga. 2010. Laporan Tahunan PEKKA Tahun 2010. Jakarta (ID): Seknas PEKKA. ---------. 2012. Laporan Akhir Program Perempuan Indonesia Memimpin - Prime Juni 2012. Jakarta (ID): Seknas PEKKA. Servaes, J. 2002. Communication For Development: Oneworld, Multiplecultures. Second Printing. New Jersy (NY): Hampton Pr. Singhal, A. 2001. Facilitating Community Participation Through Communication. New York (NY): UNICEF. Slamet, M. 2003. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Pedesaan. Di dalam : Yustina I, Sudrajad A, editor. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor (ID): IPB Pr. Soekanto, S. 2006. Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Soetrisno, L. 2001. Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan. Yogyakarta (ID): Kanisius. Suandi, F. 2001. Pekerja Wanita pada Agroindustri Pangan di Pedesaan Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Jurnal Penelitian UNIB. 7(2). Jambi (ID): UNIB. Suardiman, SP. 2001. Perempuan Kepala Rumah Tangga. Yogyakarta (ID): Jendela. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung (ID): Alfabeta. Suharto, E. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung (ID): Refika Aditama. Sulistyowati F, Setyowati Y, Wuryantono T, editor. 2005. Komunikasi Pemberdayaan. Yogyakarta (ID): Program Studi Ilmu Komunikasi STMD “APMD” dan APMD Pr.
121
Sumardjo. 1999. Transformasi model penyuluhan pertanian menuju pengembangan kemandirian petani kasus di Propinsi Jawa Barat [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sumodiningrat, G. 2000. Pembangunan Ekonomi melalui Pengembangan Pertanian. Jakarta (ID): Bina Rena Pariwara. Suprayitno, AR. 2011. Model peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tubbs SL, Moss S. 2000. Human Communication: Prinsip-Prinsip Dasar. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya. Tufte, T., Mefalopulos, P. 2009. Participatory communication: a practical guide. World Bank Working Paper. 170. Washington (NY): World Bank. Uphoff, N. 1986. Fitting projects to people. In M. Cernea editor. Putting People First 2nd ed., pp. 467-511. New York (NY): Oxford University Press. Van Den Ban, AW, Hawkins, HS. 1999. Penyuluhan Pertanian terjemahan. Yogyakarta (ID): Kanisius. Waskita, D. 2005. Komunikasi Pembangunan untuk Pemberdayaan. Jurnal Organisasi dan Manajemen. 1 (1) 2005 Sept, 32-40. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wahyuni, S. 2006. Proses komunikasi dan partisipasi dalam pembangunan masyarakat desa: kasus program reksa dana di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. White, AS. 2004. Participatory Communcation Working for Change and Development. India (IN): Sage Publication Pvt. Yin RK. 2002. Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Yulianti, Y. 2012. Analisis partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan di Kota Solok [tesis]. Padang (ID): Universitas Andalas.
122
123
LAMPIRAN Lampiran 1 Peta administrasi Kabupaten Pidie
124
Lampiran 2 Peta administrasi Kecamatan Mutiara Timur
125
Lampiran 3 Jadwal penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 17 bulan, mulai bulan Februari 2012 sampai dengan bulan Juni 2013. Adapun rincian jadwal penelitian ini adalah sebagai berikut: Bulan/tahun No. Kegiatan 2012 2013 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 1. Penyusunan proposal 2. Pengumpulan data dan analisa data 3. Penulisan laporan 4. Seminar hasil 5. Ujian akhir tesis 6. Penggandaan tesis
126
Lampiran 4 Daftar informan
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Inisial Hmm NC Am NT BR Rh AA MD FJ MYH Ib Um Rm
Keterangan Anggota PEKKA Anggota PEKKA Anggota PEKKA/ sekretaris kelompok Anggota PEKKA/ bendahara kelompok Anggota PEKKA Anggota PEKKA Ketua kelompok Mantan PL PL Kepala Desa Tokoh Masyarakat Tokoh Agama Istri Kepala Desa
127
Lampiran 5 Foto-foto di daerah penelitian
Lambang PEKKA Aceh dengan semboyan “Bersatu pakat, Makmur Bersama, Adil Merata (Beusaboh Pakat, Makmu Beusare, Ade Berata)”
Pertemuan dengan Kepala Dinas Pemberdyaan Perempuan Kabupaten Pidie
Wawancara dengan Ibu NT sebagai bendahara kelompok
128
Pertemuan rutin anggota kelompok yang difasilitasi oleh PL
Kegiatan pelatihan lokakarya/ pelatihan peningkatan kapasitas
Kegiatan kelas Keaksaraan Fungsional (KF)
129
Proses pembuatan kue tradisional oleh salah satu anggota sebagai usaha produktif
Lahan sawah milik salah satu anggota
130
131
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Aceh pada tanggal 08 Juli 1983 dari pasangan Bapak HM. Yunus dan Ibu Hj. Anidar. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2008 penulis menikah dengan Irfan Zikri dan telah dikaruniakan seorang putri yang bernama Quinsha Nabila (3 tahun) dan seorang putra yang bernama Qyouzard Nabil (11 bulan). Pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas diselesaikan di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh. Pendidikan Strata 1 ditempuh di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005. Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa Magister pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2006 sampai sekarang penulis menjadi salah satu staf pengajar di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.