KOMODITAS JERUK INDONESIA DI PERSIMPANGAN JALAN PASAR DOMESTIK DAN INTERNASIONAL (Indonesian Citrus at the Crossroad of Domestic and International Market) Budiman Hutabarat dan Adi Setyanto PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
ABSTRAK Liberalisasi perdagangan jeruk telah mengancam keberadaan jeruk lokal Indonesia. Makalah ini merupakan tinjauan kritis tentang perjerukan di Indonesia yang bersifat makro dilihat dari sudut pandang potensi dan hambatan pengembangannya. Meskipun tampaknya hambatan pengembangan lebih banyak dan lebih nyata daripada potensi jeruk di Indonesia, hal ini jangan membuat kita surut dalam mengembangkan komoditas ini di masa depan. Komoditas jeruk masih punya tempat di bumi nusantara dan di benak masyarakat. Untuk itu kita perlu melakukan beberapa upaya-upaya, baik yang bersifat pembenahan di dalam negeri secara korektif dan defensif, antara lain peningkatan produktivitas kebun, pemangkasan ekonomi biaya tinggi, pembangunan sarana dan prasarana, serta yang berkaitan dengan perjuangan di forum regional, bilateral dan multilateral secara ofensif, yakni pemberdayaan diplomasi dan negosiasi serta upaya penerapan SPS. Kata kunci : Liberalisasi, jeruk lokal, korektif, defensif, agresif, regional, bilateral, multilateral, diplomasi, negosiasi. ABSTRACT Liberalization of citrus trade has threatened the existence of Indonesian local citrus. The paper aims to critically examine the citrus economic perspective as viewed from its development potentials and constraints. It may looks that the constraints are outnumbering and more obvious than the potentials,but this should not discourage us to develop this crop in the future. It still has place in the Indonesian land and in the people's mind. However, some efforts are still needed. These efforts extent over corrective and defensive measures domestically, namely productivity improvement, phasing-out high-cost economy, infrastructure development and aggressive engagement in regional, bilateral and multilateral fora to foster its existence such as negotiation and application of SPS. Keywords : Liberalization, local citrus, corrective, defensive, offensive, regional, bilateral, multilateral, diplomation, negotiation.
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Liberalisasi perdagangan jeruk telah mengancam keberadaan jeruk lokal Indonesia. Sejak diluncurkannya Paket Juni/PAKJUN 1994 yang salah satu unsurnya adalah penurunan tarif impor buah-buahan termasuk jeruk disusul kemudian penurunan tarif pada tahun 1997 menjadi 5 persen, kinerja agribisnis perjerukan di Indonesia menjadi semakin tidak menentu, apalagi kemudian dengan mulai diberlakukannya ASEAN FTA/AFTA dan disusul berikutnya oleh ASEAN-China FTA. Dengan semakin rendahnya tingkat hambatan tarif yang disepakati dalam ke dua peristiwa itu, maka pasar sesama ASEAN termasuk Indonesia semakin terbuka dan produk-produk pertanian dari negara-negara produsen jeruk, seperti China, Pakistan, Australia dan Amerika Serikat (AS) yang memang pertumbuhannya sangat pesat dan pada umumnya mempunyai harga yang relatif rendah, semakin memperoleh pasar yang baru dan mengancam produk domestik sejenis dan pada gilirannya akan mengancam petani produsennya yang tersebar di beberapa provinsi di tanah air. Di sisi lain, perkembangan terakhir di suatu daerah sentra produksi jeruk memberikan gambaran bahwa petani telah mengalami kerugian yang sangat besar dalam budidaya jeruk mereka, sehingga mereka memanen sendiri hasil produksinya untuk dibuang, karena harga yang mereka terima sangat tidak mungkin membayar upah pekerja pemanen, apalagi menutupi semua biaya produksi yang telah dikeluarkan. Makalah ini ditujukan sebagai suatu kajian makro tentang potensi dan hambatan yang dialami komoditas jeruk Indonesia di pasar domestik dan internasional. Makalah terdiri atas penjelasan kinerja perdagangan jeruk di Bab berikut, diikuti oleh uraian tentang potensi jeruk di Indonesia di Bab III dan kendala pengembangannya di Bab IV. Langkah yang diperlukan untuk mengatasi hambatan pengembangan jeruk ini di bahas pada Bab V yang diikuti oleh kesimpulan dan saran kebijakan di Bab VI. KINERJA PERDAGANGAN JERUK Perdagangan Internasional Di pasar internasional terdapat beberapa jenis dan bentuk produk jeruk yang diperjual-belikan, yang termasuk dalam beberapa kelompok seperti: Citrus fruit, yakni citrus fruit juices (nec concentrated), Citrus fruit juices (nec), Citrus fruit (nec); Grapefruit, yakni Grapefruit (incl. pomelo), Grapefruit juice, Grapefruit juice (concentrated); Lemon dan limes, yakni Lemon juice, Lemon juice (concentrated); Orange, 2
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
yakni Orange juice, Orange juice (concentrated); Tangerine, yaitu Tangerines, mandarins dan clementines. Dari cuplikan data yang diterbitkan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia/OPPD atau Food and Agricultural Organization/FAO pada tahun 2004 (FAOSTAT, 2006) beberapa negara yang dipilih, karena oleh penulis dianggap penting bagi penentuan kinerja pengimporan jeruk Indonesia; yakni China, Pakistan, Australia dan Amerika Serikat/AS menunjukkan bahwa dari ke empat negara ini terlihat bahwa AS menjadi pengekspor utama hampir untuk semua produk jeruk (Tabel 1). Tabel 1. Pangsa Jumlah dan Nilai Ekspor Komoditas Jeruk Lima Negara, 2004. (Number and Export Value Segment of Citrus in Five Countries, 2004) Komoditas
Pangsa Jumlah Ekspor Lima Negara, 2004 (%) China
Indonesia
Pakistan
Amerika Serikat
Australia
Total (ton)
Total
Citrus fruit juices nec, concentrated
7.22
0.22
2.11
90.45
0.00
5443
100
Citrus fruit juices, nec
1.30
2.30
1.15
95.26
0.00
6008
100
90.15
0.03
0.07
6.90
2.84
20645
100
Grapefruit (incl. pomelo)
4.24
0.01
0.00
95.63
0.12
387778
100
Grapefruit juice
0.43
0.00
0.00
98.96
0.60
43866
100
Grapefruit juice, concentrated
0.07
0.08
0.00
99.29
0.55
132813
100
Lemon juice
2.25
0.00
0.00
34.68
63.06
888
100
Lemon juice, concentrated
0.00
0.00
0.00
100.00
0.00
374
100
Lemons and limes
5.36
0.12
0.00
93.53
0.98
112188
100
Orange juice
1.47
0.01
0.01
93.82
4.70
269158
100
Orange juice, concentrated
4.16
0.76
2.16
92.92
0.00
83920
100
Oranges
9.87
0.08
0.21
76.79
13.04
786929
100
60.58
0.10
29.19
4.36
5.77
512434
100
Citrus fruit, nec
Tangerines, mandarins and clementines Komoditas Citrus fruit juices nec, concentrated
Pangsa Nilai Ekspor Lima Negara, 2004 (%) China
Indonesia
Pakistan
Amerika Serikat
Australia
Total (1000 AS$)
Total
12.58
0.30
1.14
85.98
0.00
4985
100
1.98
3.20
1.01
93.82
0.00
5158
100
72.08
0.03
0.07
20.94
6.88
8889
100
Grapefruit (incl. pomelo)
2.02
0.03
0.00
97.77
0.18
232284
100
Grapefruit juice
0.89
0.00
0.00
97.92
1.19
24035
100
Grapefruit juice, concentrated
0.33
0.28
0.00
98.01
1.38
42329
100
Lemon juice
4.10
0.00
0.00
11.57
84.33
951
100
Lemon juice, concentrated
0.00
0.00
0.00
100.00
0.00
228
100
Lemons and limes
4.03
0.02
0.00
94.67
1.27
79306
100
Orange juice
2.33
0.02
0.01
91.04
6.59
182319
100
Orange juice, concentrated
3.16
0.49
1.11
95.23
0.00
138565
100
Oranges
7.35
0.11
0.06
75.42
17.07
489583
100
52.26
0.34
17.61
11.04
18.75
172657
100
Citrus fruit juices, nec Citrus fruit, nec
Tangerines, mandarins and clementines
Sumber: FAOSTAT 2006 (diolah).
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
3
Jumlah yang diekspor AS ke pasar dunia sangat besar dibandingkan jumlah yang diekspor negara lain yang tercantum dalam tabel. Bahkan lemon juice concentrated hanya diekspor oleh AS. Kekecualian terdapat pada jenis citrus fruit (nec) dan tangerines, mandarins dan clementines. Untuk produk-produk jenis ini China merupakan pengekspor utama, tetapi dari tabel juga terlihat bahwa Pakistan juga pengekspor tangerines, mandarins dan clementines penting ke pasar dunia diikuti Australia dan AS, sementara Australia adalah pengekspor utama lemon juice. Posisi Indonesia sendiri sangat-sangat tidak berarti. Jumlah ekspornya hanya di bawah 5 persen dari jumlah total negara-negara yang dikaji. Hal ini dapat dimengerti karena pengembangan produksi jeruk di dalam negeri masih mengalami berbagai hambatan dan kebutuhan domestik juga masih cukup besar, sehingga jumlah yang dapat dipasarkan ke luar negeri sangat kecil. Kesimpulan yang sama dengan di atas juga diperoleh dari pengamatan besarnya nilai ekspor yang diperoleh negara masing-masing. Namun, yang menarik adalah bahwa bagi produk tangerines, mandarins dan clementines, nilai devisa yang diperoleh Pakistan dari ekspor jeruknya tidak sertamerta menempatkannya di urutan ke dua setelah China, tetapi di dahului oleh Australia, meskipun tetap di atas nilai ekspor AS. Posisi kelima negara pilihan di atas dalam hal pengimporan jeruk juga menarik untuk dilihat. AS merupakan pengimpor utama produk-produk jeruk terutama lemon juice, lemon juice (concentrated), orange juice (concentrated), grapefruit juice, grapefruit juice (concentrated) dan citrus fruit juices (nec). Sementara itu China juga mengimpor dalam jumlah besar produk-produk Orange, Grapefruit (incl. pomelo), Citrus fruit juices (nec), Citrus fruit (nec). Posisi Australia dalam impor produk jeruk sangat kecil dan hampir semuanya di bawah 5 persen dari total impor ke lima negara yang dipilih, kecuali untuk produk orange juice yang hampir mendekati proporsi China (Tabel 2). Posisi impor Pakistan juga hampir sama dengan Australia, yakni tidak begitu menonjol. Ia hanya memilih citrus fruit juices (nec concentrated). Akan halnya Indonesia, yang jumlah impornya terlihat menonjol adalah produk Tangerines, mandarins and clementines, Orange, dan Citrus fruit (nec). Disinilah terdapat masalah benturan kepentingan antara para pengekspor produk-produk ini yang memperebutkan pasar Indonesia, di mana China dan Pakistan sebagai pengekspor utama Citrus fruit (nec) dan Tangerines, mandarins dan clementines. Masalahnya tambah kompleks, karena kepentingan petani jeruk Indonesia juga harus menjadi pertimbangan meskipun menurut data yang dipublikasikan FAOSTAT (2006), Indonesia tercatat hanya memproduksi oranges dan bukan memproduksi Citrus fruit (nec) dan Tangerines, mandarins dan clementines (Tabel 3). Namun, sangat jelas bahwa produk-
4
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
produk ini merupakan alternatif pilihan jeruk yang sangat dekat di mata konsumen Indonesia, apalagi apabila harga komoditas pengganti ini pada akhirnya juga jauh lebih rendah dari harga jeruk atau orange produksi lokal. Selain itu kuat dugaan penulis bahwa penyebutan Orange bagi jeruk produksi Indonesia oleh FAO sebenarnya kurang tepat, seharusnya yang lebih tepat adalah jeruk siam atau mandarin. Kalau hal ini benar, maka diperlukan upaya selanjutnya dari fihak berwenang agar meluruskan istilah ini ke fihak FAO untuk memperbaiki data yang mereka publikasikan tersebut. Tabel 2. Pangsa Jumlah dan Nilai Impor Komoditas Jeruk Lima Negara, 2004. (Number and Import Value Segment of Citrus in Five Countries, 2004) Komoditas
Pangsa Jumlah Impor Lima Negara, 2004 (%) China
Indonesia
Pakistan
Amerika Serikat
Australia
Total (ton)
Total
Citrus fruit juices nec, concentrated
61.52
1.40
17.70
19.38
0.00
356
100
Citrus fruit juices, nec
18.35
1.94
0.00
79.71
0.00
10920
100
Citrus fruit, nec
40.28
7.60
3.68
46.16
2.27
1276
100
Grapefruit (incl. pomelo)
60.44
0.98
0.00
36.66
1.91
37467
100
Grapefruit juice
4.46
0.00
0.00
94.85
0.70
22253
100
Grapefruit juice, concentrated
8.58
1.15
1.12
85.32
3.82
10313
100
Lemon juice
0.09
0.00
0.00
95.34
4.57
57697
100
Lemon juice, concentrated
0.00
0.00
0.00
100.00
0.00
65474
100
Lemons and limes
9.37
0.08
0.00
89.62
0.93
358251
100
26.95
0.08
0.01
47.37
25.60
174827
100
5.61
1.49
0.27
92.63
0.00
234694
100
Oranges
65.17
13.76
0.00
17.74
3.33
370187
100
Tangerines, mandarins and clementines
19.27
28.74
0.00
51.11
0.88
151231
100
Orange juice Orange juice, concentrated
Komoditas
Pangsa Nilai Impor Lima Negara, 2004 (%) China
Indonesia
Pakistan
Amerika Serikat
Australia
Total (1000 AS$)
Total
Citrus fruit juices nec, concentrated
65.10
2.23
7.92
24.75
0.00
404
100
Citrus fruit juices, nec
18.04
2.96
0.00
79.00
0.00
5977
100
Citrus fruit, nec
21.19
3.08
0.30
72.66
2.78
2015
100
Grapefruit (incl. pomelo)
82.26
1.77
0.00
12.02
3.94
14208
100
8.64
0.00
0.00
89.16
2.20
11155
100
33.25
11.00
1.08
42.56
12.10
4800
100
Lemon juice
0.96
0.00
0.00
83.33
15.71
16913
100
Lemon juice, concentrated
0.00
0.00
0.00
100.00
0.00
12014
100
Lemons and limes
13.11
0.10
0.00
84.51
2.28
192279
100
Orange juice
39.67
0.07
0.00
25.57
34.68
121567
100
9.31
1.41
0.22
89.06
0.00
155643
100
62.43
9.11
0.00
25.00
3.47
279664
100
9.49
13.47
0.00
76.27
0.76
184414
100
Grapefruit juice Grapefruit juice, concentrated
Orange juice, concentrated Oranges Tangerines, mandarins and clementines
Sumber: FAOSTAT 2006 (diolah).
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
5
Tabel 3. Produksi Jeruk Lima Negara, 2004 (ton). (Citrus Yield of Five Countries, 2004 (ton)) Komoditas
China
Indonesia
Pakistan
Amerika Serikat
Australia
Total
Total
Citrus fruit, nec
99.82
0.00
0.00
0.09
0.09
1086317
100
Grapefruit (inc. pomelos)
17.99
0.00
0.00
81.60
0.42
2407050
100
Lemons and limes
42.63
0.00
5.33
50.13
1.92
1460311
100
Oranges
12.97
11.63
7.64
65.54
2.22
17815737
100
Tangerines, mandarins, clementines
91.08
0.00
4.16
3.93
0.83
12126407
100
Sumber: FAOSTAT 2006 (diolah).
Dari Tabel 3 ini dapat juga disimak bahwa sebenarnya peranan Pakistan sebagai produsen Citrus fruit (nec) dan Grapefruit (incl. pomelo) relatif dapat diabaikan dibandingkan dengan ke empat negara-negara lain. Ia hanya tercatat memproduksi Lemon dan limes, Oranges dan Tangerine, mandarins dan clementines, tetapi juga relatif kecil dibanding China atau AS. Namun, yang menarik adalah kegigihan negara ini untuk memperluas akses pasar ekspornya bagi komoditas yang sangat penting bagi petani mereka, sebagaimana terbukti dari upaya-upaya mereka untuk mempersoalkan perbedaan tarif impor jeruk yang diberlakukan pemerintah. Pakistan termasuk dalam 10 besar negara penghasil jeruk (citrus) di dunia. Sampai tahun 1974-1975, jeruk merupakan buah terbesar ke dua di Pakistan setelah mangga dari segi luas dan produksi, tetapi meningkat pada posisi pertama setelah introduksi varietas Kino atau Kinoo yang dahulu dilakukan oleh Akademi Pertanian dan Lembaga Penelitian Lyallpur yang sekarang berubah menjadi Universitas Pertanian di Faisalabad. Jeruk Kino ini diprakirakan mencapai 70 persen dari produksi total jeruk di Pakistan dan merupakan komoditas ekspor serta sebagai sumber pendapatan bagi petani dan pedagang kecil dan menengah. Permintaan pasar dunia akan jeruk kino Pakistan ini sangat tinggi, tetapi ia mempunyai kendala karena konsumen internasional lebih menyukai kultivar tanpa biji. Perubahan Pola Pemasaran Rantai pemasaran pengecer global saat ini telah berubah dan peranannya semakin penting dalam mengantarkan produk di negara-negara maju (NM), terutama di UE dan AS. Namun, kecenderungan ini juga berkembang di Asia dan Amerika Latin. Peningkatan pemusatan dan pengelompokan di rantai pengecer, demikian juga pengembangan global mereka telah menaikkan posisi mereka dan memperbaiki kekuatan dayabeli mereka di pasar. Ini memungkinkan mereka mempengaruhi dan bahkan menguasai rantai pemasaran, yakni dengan menetapkan persyaratan yang lebih ketat dalam kondisi produksi dan distribusi. Pasar swalayan membutuhkan jumlah yang lebih besar, mutu yang lebih baik dan harga yang lebih murah. 6
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
Peralihan kekuatan pasar ke arah hilir dalam rantai pemasaran menyebabkan peningkatan koordinasi vertikal, terutama melalui praktek-praktek pengelolaan rantai pasok yang dianut oleh rantai pengecer dengan pemasok-pemasok tertentu pilihan mereka untuk menjamin pasokan yang berkelanjutan pada tingkat mutu yang dibutuhkan. Dalam hal ini peranan sektor pedagang besar telah menurun drastis, karena hubungan jangka-panjang pengecer dan produsen dan distributor semakin menguat. Pada saat bersamaan beberapa produsen buah jeruk dan perusahaan pengolah jeruk memanfaatkannya, dengan mengalihkan orientasi mereka dari produksi ke pemasaran, dan memperbaiki pengelolaan rantai pasok untuk memenuhi kebutuhan konsumen dengan lebih baik lagi. Bahkan, saat ini praktek-praktek pemasaran dan perdagangan yang baru fihak rantai pengecer juga mencakup: penyediaan biaya pemesanan untuk dapat memperoleh tempat di rak-rak pasar swalayan mengisi, pengepakan khusus dan jasa promosi pemasaran dan perdagangan lainnya. Di dalam pasar eceran global, pembuatan label-label khusus juga semakin penting dan berkembang. POTENSI KOMODITAS JERUK Luas Tanam dan Panen Meningkat Produksi jeruk Indonesia pada tahun 2004 mencapai 2 juta ton lebih dengan luas areal 72,306 Ha dan produktivitas 28.64 ton per ha. Dibandingkan tahun 2003 produksi pada tahun 2004 meningkat 35.38 persen, luas areal meningkat 4.58 persen dan produktivitas meningkat 29.45 persen. Dalam periode 1995-2004, rerata produksi jeruk Indonesia adalah sekitar 928 ribu ton. Dalam periode tersebut rerata luas panen adalah hampir mendekati 42 ribu ha dengan rerata produktivitas 21.57 ton per ha. Dalam sepuluh tahun terakhir produksi jeruk Indonesia meningkat dengan rerata 12.68 persen per tahun, luas areal meningkat 8.55 persen per tahun dan produktivitas meningkat 5.22 persen per tahun. Tabel 4 memuat rincian perkembangan produksi, luas panen dan produktivitas jeruk Indonesia periode 1995-2004. Peningkatan nyata terjadi pada periode 2000-2004, dimana rerata produksi mencapai 1.18 juta ton lebih, luas areal 52.35 ribu ha per tahun dan rerata produktivitas mencapai 21.58 ton per ha. Dalam periode 2000-2004, produksi jeruk Indonesia meningkat dengan rerata 36.81 persen per tahun, luas panen meningkat dengan rerata 25.38 persen per tahun dan produktivitas meningkat dengan rerata 10.46 persen per tahun. Sementara itu pada periode 1995-1999 rerata produksi baru mencapai sekitar 675 ribu ton per tahun, rerata luas panen 31.55 ribu ha per tahun dan rerata produktivitas sekitar 21.55 ton per ha. Dalam
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
7
periode 1995-1999, baik produksi, luas panen maupun produktivitas mengalami penurunan dengan rerata masing-masing sebesar 5.33 persen per tahun, 0.55 persen per tahun dan 1.60 persen per tahun. Dengan demikian dapat dikatakan produksi jeruk meningkat cukup tajam dalam sewindu terakhir ini dan peningkatan ini terjadi terutama karena peningkatan areal tanam dan panen di seluruh tanah air. Tabel 4. Perkembangan Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Jeruk Indonesia 1995-2004. (Development of Yield, Harvesting Area and Citrus Productivity in Indonesia 1995-2004) No
Keterangan
1
Produksi (Ton)
2
Luas Panen (Ha)
3
1995-1999
2000-2004
1995-2004
2004*
674,476
1,180,905
927,691
2,071,084
31,555
52,351
41,953
72,306
Produktivitas (Ton/Ha)
21.55
21.58
21.57
28.64
4
Pertumbuhan Produksi (%/Thn)
-5.33
36.81
12.68
35.38
5
Pertumbuhan Areal Panen (%/Thn)
-0.55
25.38
8.55
4.58
6
Pertumbuhan Produktivitas (%/Thn)
-1.60
10.46
5.22
29.45
Sumber : Statistik Hortikultura BPS dan Ditjen Hortikultura (Diolah). Keterangan : * Data pertumbuhan dibandingkan dengan tahun 2003.
Konsumsi Meningkat Pada tahun 2004, konsumsi per kapita jeruk Indonesia adalah 8.46 kg per tahun setara segar, dimana konsumsi dalam bentuk segar adalah sebesar 4.6 kg per tahun dan dalam bentuk olahan setara segar adalah 3.86 kg per tahun. Total konsumsi jeruk Indonesia adalah 2,161.90 ribu ton, dimana konsumsi rumah tangga mencapai 1,683 ribu ton, konsumsi industri 225.38 ribu ton dan konsumsi lainnya 253.48 ribu ton. Dalam periode 1995-2004 rerata konsumsi per kapita jeruk Indonesia adalah 5.74 kg per tahun, dengan perincian konsumsi segar 3.12 kg per tahun dan olahan setara segar 2.62 kg per tahun. Dalam periode tersebut rerata konsumsi per kapita meningkat 7.17 persen per tahun, konsumsi total meningkat 12.15 persen per tahun, konsumsi rumah tangga meningkat 11.77 persen per tahun, konsumsi industri meningkat 12.50 persen per tahun, konsumsi lainnya meningkat 21.12 persen per tahun. Dalam periode yang sama rerata peningkatan konsumsi non-rumah tangga adalah 14.81 persen per tahun. Rincian perkembangan konsumsi jeruk Indonesia disajikan pada Tabel 5. Dari tabel ini dapat disimpulkan bahwa konsumsi jeruk di Indonesia selalu meningkat, tetapi peningkatan terbesar terjadi pada sewindu terakhir ini, terutama untuk konsumsi lainnya. Oleh karena itu, jelaslah bahwa pertumbuhan produksi jeruk di Indonesia tidak mampu mengimbangi pertumbuhan konsumsi ini, sehingga impor jeruk semakin meningkat dengan cepat.
8
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
Tabel 5. Perkembangan Konsumsi Jeruk Indonesia 1995-2004. (Citrus Consumption Development in Indonesia 1995-2004) No
Keterangan
1995 - 1999
2000 - 2004
1995 - 2004
2004
1
Konsumsi Per Kapita/Tahun
4.99
6.50
5.74
8.46
2
Konsumsi Per Kapita/Tahun Segar
2.71
3.53
3.12
4.60
3
Konsumsi Per Kapita/Tahun Olahan
2.28
2.97
2.62
3.86
4
Konsumsi Total
720.90
1,250.21
985.56
2,161.90
5
Konsumsi Rumah Tangga
580.39
987.15
783.77
1,683.04
6
Konsumsi Industri
100.27
149.90
125.08
225.38
7
Konsumsi Lainnya
52.94
113.16
83.05
253.48
8
Total Konsumsi Non Rumah Tangga
140.51
263.06
201.78
478.86
9
Pertumbuhan Konsumsi Per Kapita/Tahun
3.98
12.17
7.17
31.16
10
Pertumbuhan Konsumsi Per Kapita/Tahun Segar
3.98
12.17
7.17
31.16
11
Pertumbuhan Konsumsi Per Kapita/Tahun Olahan
3.98
12.17
7.17
31.16
12
Pertumbuhan Konsumsi Total
-4.72
33.27
12.15
36.08
13
Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga
-6.06
33.44
11.77
29.08
14
Pertumbuhan Konsumsi Industri
8.18
16.38
12.50
69.48
15
Pertumbuhan Konsumsi Lainnya
-14.00
52.72
21.12
66.94
16
Pertumbuhan Total Konsumsi Non Rumah Tangga
0.96
34.04
14.81
68.13
Sumber: Dari Berbagai Sumber (diolah).
Volume Perdagangan Meningkat Pada tahun 2004 volume ekpor jeruk (belum termasuk mandarin) Indonesia adalah sekitar 1,297.45 ton dengan nilai sekitar AS $ 1.23 juta. Pada tahun yang sama volume impor jeruk mencapai 5,570.80 ton dengan nilai AS $ 27.75 juta. Dengan demikian, di Indonesia terjadi defisit jeruk yang cukup besar dengan pengeluaran devisa yang besar pula (AS $ 26.52 juta). Dibandingkan dengan tahun 2003, volume ekspor jeruk Indonesia meningkat 244.57 persen dan nilainya meningkat 330.26 persen. Namun demikian, dalam periode yang sama impor juga mengalami peningkatan yang sangat tinggi yaitu 111.61 persen dari segi volume dan 47.66 dari segi nilai (Tabel 6). Dalam periode 1995-2004 rerata volume ekspor jeruk Indonesia adalah 666.18 ton per tahun dengan nilai rerata US $ 387.31 per tahun. Sedangkan volume impor mencapai rerata 20.61 ribu ton dan nilai US $ 12.05 juta. Dalam periode tersebut rerata volume ekspor meningkat 26.53 persen per tahun dan rerata nilai ekspor meningkat 75.25 persen per tahun. Sementara itu rerata volume impor meningkat 27.48 persen per tahun dan rerata nilai impor meningkat 27.72 persen per tahun.
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
9
Tabel 6. Perkembangan Volume, Nilai Ekspor dan Impor Jeruk (Belum Termasuk Mandarin) Indonesia 1995-2004. (Development of Volume, Export and Improt Value of Citrus (Excluded Mandarin) in Indonesia 1995-2004) No
Keterangan
1995-1999
2000-2004
1995 - 2004
2004
1
Rerata volume ekspor (Kg)
630,014
702,350
666,182
2
Rerata nilai ekspor (US $)
318,603
456,014
387,309
1,297,452 1,225,304
3
Rerata volume impor (Kg)
13,307,489
27,922,142
20,614,816
54,570,796
4
Rerata nilai impor (US $)
7,538,777
16,554,627
12,046,702
27,752,043
5
Rerata pertumbuhan volume ekspor (Kg)
-9.95
51.30
26.53
244.57
6
Rerata pertumbuhan nilai ekspor (US $)
43.10
80.01
75.25
330.26
7
Rerata pertumbuhan volume impor (Kg)
19.05
57.88
27.48
111.61
8
Rerata pertumbuhan nilai impor (US $)
25.58
53.88
27.72
47.66
Sumber: BPS (2004).
Dalam periode 2000-2004 rerata volume ekspor adalah 702.35 ton dengan rerata nilai US $ 456.01 ribu per tahun. Sedangkan rerata impor adalah 27.92 ribu ton lebih dengan nilai US $ 16.55 juta per tahun. Ekspor mengalami pertumbuhan 51.30 persen per tahun dari segi volume dan meningkat 80.01 persen per tahun dari segi nilai. Sementara itu impor mengalami pertumbuhan 57.88 persen per tahun dari segi volume dan 53.88 persen per tahun dari segi nilai. Dalam periode 1995-1999 rerata volume ekspor jeruk Indonesia adalah 630.01 ton per tahun dan US $ 318.60 ribu per tahun dari segi nilai. Dalam periode tersebut rerata volume impor mencapai 13.31 ribu ton per tahun dengan rerata nilai US $ 7.54 per tahun. Rerata volume ekspor Indonesia mengalami penurunan 9.95 persen per tahun, tetapi nilainya tetap meningkat dengan rerata 43.10 persen per tahun. Sementara itu rerata volume impor meningkat 19.05 persen per tahun dan rerata nilai impor meningkat 25.58 per per tahun. Dari Tabel 6 ini dapat disimpulkan bahwa volume dan nilai ekspor meningkat lebih pesat pada masa sewindu terakhir ini, tetapi pada saat yang sama volume dan nilai impor juga meningkat sangat tajam, sehingga neraca perdagangan jeruk Indonesia pada masa 20002004 itu tetap bernilai negatif dan semakin besar, baik volume (lebih dari 27.2 ribu ton) dan nilai (AS $ 16.1 juta). Negara-negara tujuan ekspor utama jeruk (termasuk mandarin) Indonesia ada di wilayah Asia. Berdasarkan data ekspor (BPS 2004a), tujuh negara tujuan ekspor utama Indonesia adalah Timor Leste, Malaysia, India, Hongkong, Iran, Singapura dan Afganistan. Rincian volume, nilai dan pangsa volume dan nilai ekspor jeruk Indonesia berdasarkan negara tujuan tahun 2004 disajikan pada Tabel 7.
10
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
Tabel 7. Volume, Nilai dan Pangsa Volume dan Nilai Ekspor Jeruk (Termasuk Mandarin) Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Tahun 2004. (Volume, Value, and Export Value Segment of Citrus (Including Mandarin) in Indonesia Based on Destination Countries in 2004) No
Negara Tujuan Ekspor
Pangsa Volume (Kg)
Nilai (US $)
Volume (%)
Nilai (%)
1
EAST TIMOR
472,678
587,402
30.77
48.85
2
MALAYSIA
766,455
506,384
49.90
42.11
3
INDIA
192,600
53,157
12.54
4.42
4
HONG KONG
5,703
24,661
0.37
2.05
5
IRAN (ISLAMIC REPUBLIC OF)
48,000
15,150
3.12
1.26
6
SINGAPORE
26,995
6,520
1.76
0.54
7
AFGHANISTAN
18,000
5,950
1.17
0.49
8
SAUDI ARABIA
3,455
1,567
0.22
0.13
9
NETHERLANDS
1,404
869
0.09
0.07
10
UNITED ARAB EMIRATES
668
668
0.04
0.06
11
AUSTRALIA
149
151
0.01
0.01
1,536,107
1,202,479
100.00
100.00
Total
Sumber: BPS (2004a).
Berdasarkan data statistik perdagangan BPS tahun 2004, Indonesia mengimpor jeruk (termasuk mandarin) dari 29 negara di dunia dengan negara-negara asal impor utama terdiri dari 18 negara (BPS 2004b). China, Pakistan dan Australia merupakan negara yang merupakan sumber Impor terbesar Indonesia. Dari total volume impor sekitar 95.16 ribu ton dan nilai sekitar US $ 50.81 juta, China memiliki pangsa 41.36 persen dari segi volume dan 43.38 persen dari segi nilai. Sementara itu Pakistan memiliki pangsa 29.16 persen dari segi volume dan 24.85 persen dari segi nilai. Sedangkan Australia memiliki pamgsa 11.62 persen dari segi volume dan 12.43 persen dari segi nilai. Negara-negara lainnya memiliki pangsa di bawah 5 persen baik dari segi volume maupun nilai. Rincian impor jeruk Indonesia berdasarkan negara asal disajikan pada Tabel 8.
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
11
Tabel 8. Volume, Nilai dan Pangsa Volume dan Nilai Impor Jeruk (Termasuk Mandarin) Indonesia Berdasarkan Negara Asal Tahun 2004. (Volume, Value, and Import Value Segment of Citrus (Including Mandarin) in Indonesia Based on Source Countries in 2004) No
Negara Asal Impor
Pangsa Volume (Kg)
Nilai (US $)
Volume (%)
Nilai (%)
1
CHINA
39,360,488
22,042,002
41.36
43.38
2
PAKISTAN
27,743,625
12,624,027
29.16
24.85
3
AUSTRALIA
11,062,011
6,314,375
11.62
12.43
4
BRAZIL
3,816,355
2,334,666
4.01
4.59
5
ARGENTINA
2,546,583
1,595,751
2.68
3.14
6
EGYPT
2,408,326
1,365,572
2.53
2.69
7
UNITED STATES
1,705,559
1,082,421
1.79
2.13
8
SOUTH AFRICA
1,722,892
978,711
1.81
1.93
9
HONG KONG
1,512,811
636,409
1.59
1.25
10
THAILAND
1,301,370
604,082
1.37
1.19
11
URUGUAY
773,312
488,913
0.81
0.96
12
SINGAPORE
466,087
291,400
0.49
0.57
13
KOREA, REPUBLIC OF
240,312
145,538
0.25
0.29
14
TAIWAN
164,567
84,480
0.17
0.17
15
JAPAN
77,223
66,991
0.08
0.13
16
MALAYSIA
51,784
33,404
0.05
0.07
17
UNITED ARAB EMIRATES
52,340
33,182
0.06
0.07
18
OTHERS
153,286
88,495
0.16
0.17
95,158,931
50,810,419
100.00
100.00
Total
Sumber: BPS (2004b).
HAMBATAN PENGEMBANGAN KOMODITAS JERUK Desakan Kebijakan Perdagangan Multilateral dan di Berbagai Negara Secara umum ada beberapa kebijakan ekonomi yang dilakukan berbagai negara terhadap komoditas jeruknya, yakni instrumen akses pasar melalui tarif dan hambatan teknis perdagangan, kebijakan bantuan langsung atau penggalakan permintaan melalui kegiatan promosi dan pemilahan produk. Pada tahun 1995 sewaktu Organisasi Perdagangan Dunia/OPD atau World Trade Organization/WTO dibentuk beberapa negara menetapkan komitmennya terhadap tiga pilar perundingan, yakni akses pasar, bantuan domestik dan subsidi ekspornya. Bagi pilar akses pasar beberapa negara telah menetapkan besaran tarif (ad valorem atau spesifik) dan fasilitas Special Safeguard (SSG)-nya, antara lain AS, UE, Jepang dan Indonesia (Tabel 9).
12
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
Tabel 9. Jumlah Tariff Lines yang Tergolong Ad Valorem, Spesifik atau SSG dan Besarnya Rerata Bound Tariff untuk Produk Jeruk yang Menjadi Komitmen Beberapa Negara di OPD. (Tariff Lines Number of Ad Valorem, Specific, or SSG and Average Number of Bound Tariff for Committed Citrus Product of Some Countries in OPD) Ad valorem
Spesifik
AS
UE
Jepang
Jumlah Tarifflines
10
53
35
26
Rerata
8
17.7
21.4
52.7
Terendah
0
1.5
0
40
Tertinggi
14
33.6
34
60
Jumlah Tarifflines
25
19
4
0
0.3-11.3 c/kg;1.9-7.9 c/lt
153.7-256.0 ECU/t
23.0 yen/kg atau tarif 29.8 %
tidak ada
0
8
0
0
Kisaran SSG
Indonesia
Jumlah Tarifflines
Tabel 9 ini menunjukkan bahwa di antara negara yang ada dalam tabel, memang Indonesia mempunyai rerata tarif ad valorem yang paling tinggi untuk produk jeruk, tetapi Indonesia tidak mengajukan produk dengan tarif spesifik dan SSG. Ini artinya, satu-satunya instrumen yang sahih menurut OPD yang dapat kita lakukan dalam menangkal jeruk impor adalah tarif. Hal ini berbeda misalnya dengan Uni Eropa (UE) yang memiliki ketigatiganya, sementara AS dan Jepang tidak mendaftarkan produk jeruk dalam SSG. Meskipun rerata bound tariff ad valorem produk jeruk Indonesia cukup tinggi (52.7 persen), applied tariff saat ini hanya separuh dari nilai tersebut. Indonesia juga telah sepakat untuk menurunkan tarifnya dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian Pertanian (PP) atau Agreement on Agriculture (AoA) di mana seluruh hambatan impor akan dikonversikan ke dalam tarif dan dikurangi hingga 36 persen untuk NM, dengan pemotongan minimum pos tarif (tariff line) sebesar 15 persen dalam jangka waktu 6 tahun. Bagi NB, Indonesia termasuk di dalamnya, pemotongannya hingga sebesar 24 persen dalam jangka waktu 10 tahun, dengan pemotongan minimum 10 persen. Dalam jangka waktu yang bersamaan, persyaratan akses minimum akan mulai berlaku dari 3 persen konsumsi domestik naik menjadi 5 persen pada akhir perjanjian. Dalam kondisi-kondisi tertentu, NB dikecualikan dari komitmen tarifikasi tersebut, bila terjadi sesuatu dengan bahan pangan pokok tradisionalnya (WTO 1999). Pelaksanaan kesepakatan ini sampai saat ini masih dalam proses perundingan untuk menghasilkan suatu modalitas. Namun, NB semakin didesak untuk membuka lebih lebar pasar domestiknya, sementara NM sendiri juga belum melangkah seperti diharapkan, yakni melakukan pemotongan tarif hingga 36 persen dalam jangka waktu 6 tahun. Jadi seharusnya rataan tarif di NM sudah harus berkurang sekitar 36 persen pada tahun 2001 dari tingkat sebelumnya pada tahun 1995. Dalam persidangan selanjutnya NB, yang diberi
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
13
fasilitas Produk Khusus atau Special Product (SP) dan Mekanisme Perlindungan Khusus (MPK) atau Special Safeguard Mechanism (SSM) semakin didesak untuk menetapkan jenis produknya, sesuai dengan kriteria keamanan pangan dan penghidupan serta pembangunan pedesaan (food and livelihood security and rural development criteria). Selanjutnya pada Konferensi Tingkat Menteri VI di Hongkong pada Desember 2005 terjadi loncatan pemahaman dengan didesaknya lagi NB agar menentukan indikator-indikator dari kriteria di atas. Selain itu, pada pertemuan informal Komisi Pertanian bulan akhir Mei dan awal Juni 2007 ini, NB juga didesak untuk menentukan mekanisme pemotongannya dan harus rumusannya sudah harus di tangan Ketua Komisi Perundingan Pertanian pada awal Juli 2007. Sementara itu, rataan tarif yang diizinkan OPD untuk Oranges adalah 49 persen dan rata-rata tarif Orange juice (frozen concentrated) adalah 53 persen. (UNCTAD 2006). Sampai tahun 2000 di beberapa negara tingkat tarif Orange juice memang sudah mulai menurun (Tabel 10) dan pada beberapa tahun terakhir kemungkinan sudah lebih rendah lagi, tetapi dapat dipastikan tarif ini belum hilang sama sekali di beberapa negara dalam tabel ini. Sebagaimana diperlihatkan oleh tabel, di AS sendiri pada tahun 2000 skedul tarifnya masih lebih tinggi dari Eropa dan bahkan lebih tinggi lagi dari Jepang. Tabel 10. Skedul Tarif Bagi Pengimpor Utama Orange Juice Menurut Aturan GATT. (Tariff Schedule for Orange Juice Main Importer According to GATT) Tahun
AS
Eropa
cents/SSE gal.*
Jepang Ad valorem
1994
35.01
19.00
30.00
1995
34.13
18.37
29.25
1996
33.24
17.74
28.50
1997
32.36
17.10
27.75
1998
31.48
16.47
27.00
1999
30.59
15.84
26.25
Sejak 2000
29.71
15.20
25.50
Sumber : UNCTAD (2006). *) Catatan : SSE = Single Strength Equivalent
Tindakan Sanitary and Phytosanitary/SPS adalah aturan yang dirancang untuk mencegah dampak negatif potensial perdagangan dunia terhadap kehidupan dan kesehatan manusia, binatang atau tanaman. Tujuannya adalah untuk melindungi konsumen dan kesehatan dan keamanan nasional. Perjanjian tentang Penerapan Kebijakan Sanitari and Fitosanitari (SFS) atau Sanitary and Phytosanitary/SPS Agreement telah diberlakukan OPD sejak 1 Januari 1995. Dalam perkembangan akhir-akhir ini telah banyak perselisihan
14
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
perdagangan yang disebabkan adanya larangan impor produk jeruk sesuai dengan kebijakan SPS. Bagi kita di Indonesia, kebijakan ini perlu juga untuk dipertimbangkan penerapannya bagi jeruk, karena potensi penyakit dan gangguan kesehatan dan lingkungan dapat terjadi karena masuknya barang impor yang tidak segar, aman dan layak. Tentunya pelaksanaan tindakan ini harus dengan dukungan peralatan dan tenaga yang handal. Bantuan pasar atau bantuan domestik juga dilakukan oleh berbagai negara, tetapi tidak secara khusus bagi komoditas jeruk melainkan dalam bantuan untuk komoditas pertanian secara keseluruhan. Kebijakan ini dapat berupa harga pembelian, subsidi, rangsangan pajak dan investasi, seperti antara lain untuk pembangunan irigasi sarana pemasaran dan lain-lain. Namun, informasi tentang besaran dan jenis bantuan domestik ini tidak transparan di forum multilateral, sehingga sulit mengembangkan argument penentangannya karena keterbatasan data. Hal ini antara lain ditemukan di Uni Eropa dengan kebijakan Common Agricultural Policy/CAP-nya. Kebijakan bantuan domestik untuk jeruk di UE mencakup pembiayaan kembali ekspor, penarikan produk dari pasar, ambang intervensi dan bantuan langsung bagi produsen. Ue juga menerapkan skema bantuan pengolahan untuk produsen buah jeruk tertentu. Menurut notifikasi Komisi Eropa ke OPD, mereka menyediakan bantuan domestic senilai AS$ 204.0 juta kepada produsen Clementine di sana (sebagai Aggregate Measure of Support, AMS). Selain itu mereka juga memberikan tambahan AS$ 71.0 juta secara khusus bagi produsen mandarin dan AS$ 14.0 juta lainnya dialokasikan untuk produsen varietas Satsuma. Selain itu masih ada tambahan lagi bagi produsen orange sebesar AS$ 478.0 juta. Upaya lain yang dilakukan adalah dengan kampanye promosi dan kebijakan pemasaran untuk berusaha mendorong dan meningkatkan konsumsi jeruk dengan tujuan memperbaiki keadaan permintaan jeruk. Hal ini dilakukan misalnya dengan menerangkan dan memberi informasi manfaat diet, gizi dan kesehatan yang diperoleh dari buah jeruk dan konsumsi jus jeruk. Kampanye seperti itu banyak ditemukan di daratan Eropa dan promosi pasar ditemukan di negara-negara bagian AS. Desakan Terhadap Kebijakan Perdagangan Nasional Sampai tahun 1997, pemerintah dengan berbagai kebijakannya masih berusaha memberikan perlindungan atau insulasi terhadap dampak gejolak pasar internasional berbagai komoditas pertanian, khususnya komoditas hortikultura karena memang dalam beberapa kasus komoditas-komoditas pertanian ekspor negara lain yang memasuki pasar internasional tidak selalu mengikuti kaidah-kaidah efisiensi dan alokasi sumberdaya ekonomi di negara asalnya dan bahkan pasar internasional juga dapat menjadi terdistorsi sebagaimana dijelaskan di atas. Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
15
Untuk menangkal masuknya impor jeruk yang umumnya mempunyai harga yang lebih rendah daripada harga jeruk lokal, langkah yang paling praktis adalah meningkatkan tarif bea masuknya agar pada saat tiba di pedagang pengecer harganya tidak terpaut jauh dan kalau dapat bahkan harus lebih tinggi dari harga jeruk lokal. Kebijakan penerapan tarif atau setiap kebijakan perdagangan apapun akan menyangkut kepentingan tiga fihak, yakni: konsumen, produsen dan pemerintah sebagai pemangku kepentingan jeruk. Penetapan tarif jeruk yang lebih tinggi akan menyebabkan peningkatan harga impor. Fihak konsumen tidak akan rela begitu saja menerima kenyataan bahwa pendapatan relatifnya terhadap jeruk semakin merosot karena peningkatan harga jeruk, sedangkan fihak petani akan dengan senang hati menerima kenyataan bahwa harga yang mereka terima akan semakin meningkat karena persaingan dari jeruk impor akan semakin longgar. Pemerintah juga akan menyambut baik peningkatan tarif ini karena sebagai fihak yang mengumpulkan penerimaan dari tarif jelaslah jumlah penerimaan akan meningkat pula. Sebaliknya, secara teori dapat dikatakan bahwa kebijakan penurunan tingkat tarif akan menyebabkan fihak konsumen mendapatkan pendapatan relatif yang semakin meningkat, sedangkan petani dan pemerintah menerima pendapatan yang semakin menurun. Sebagai contoh, sejak tahun 1990 sampai tahun 1996, tarif bea masuk impor jeruk ke Indonesia ditetapkan sebesar 25 persen. Dengan pengalaman pahit Indonesia pada saat diterpa krisis ekonomi dan finansial pada pertengahan tahun 1998, lembaga donor dunia, Dana Moneter Internasional/DMI atau International Monetary Fund/IMF yang dimintai saran dan bantuan finansial untuk mengatasi krisis dalam negeri tersebut, menyarankan bahwa semua hambatan perdagangan harus dikurangi atau bahkan kalau perlu dihapus agar perekonomian nasional menjadi terbuka dan komoditas-komoditas yang dibutuhkan masyarakat dapat masuk dengan mudah. Komoditas jeruk dan buah-buahan pada umumnya juga harus mengalami penurunan tarif dan pemerintah menetapkannya sebesar 5 persen sampai tahun 2004. Dengan tarif yang sangat rendah ini, tentu saja komoditas jeruk impor yang harganya relatif murah membanjiri pasar-pasar lokal. Masalah mutu tidak dipersoalkan oleh konsumen lokal. Namun, harga konsumen jeruk tetap meningkat dari Rp. 2,675.92/kg pada tahun 1996 menjadi Rp. 2,499.85/kg pada tahun 1997, tetapi produksi merosot drastis dari 730,860 ton menjadi 696,422 ton masing-masing pada tahun yang sama. Demikian pula konsumsi total juga menurun dari 747,530.8 ton menjadi 711,756.2 ton, karena impor juga ternyata merosot dari 17,187.5 ton menjadi 15,626.8 ton pada masa ini. Jadi meskipun tarif impor sudah diturunkan sebesar 80 persen harga eceran tetap meningkat, karena harga batas (border price) atau paritas impor juga meningkat akibat merosotnya dan tidak menentunya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat/AS dan rendahnya daya beli konsumen akibat rendahnya penghasilan (relatif) sebahagian besar masyarakat. 16
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
Namun, pada tahun 2004 dengan tingkat tarif yang masih 5 persen jumlah impor telah mencapai 99,825.4 ton, produksi jeruk dari dalam negeri adalah 2.1 juta ton, ekspor 2,580.7 ton sehingga konsumsi total adalah 2.2 juta ton. Nilai impor pada tahun tersebut adalah AS$ 54.7 juta atau setara dengan Rp. 489.3 milyar pada nilai tukar rupiah Rp. 8,939 per dolar AS tahun 2004. Dengan demikian harga paritas impor jeruk pada tahun 2004 adalah Rp. 4,902 per kg dan dengan tarif sebesar 5 persen, maka harga di tingkat pedagang impor di dalam negeri adalah Rp. 5,146.72 per kg, sementara menurut data BPS (2004) harga konsumen di pasar adalah Rp. 5,699.5 per kg. Kemudian pada tahun 2005 tarif dinaikkan menjadi 25 persen. Data tahun 2005 menunjukkan produksi jeruk dalam negeri meningkat, impor dan ekspor menurun dan konsumsi tersedia meningkat. Sementara itu, sesuai dengan kesepakatan perdagangan ASEAN-China, yang diproyeksikan menjadi suatu Kawasan Perdagangan Bebas/KPB atau Free Trade Area/FTA, sejak tahun 2005 pemerintah telah menerapkan kebijakan impor buah-buahan yang berasal dari China sebesar 0 persen, sedangkan impor dari negara-negara lain tetap dikenakan tarif yang berlaku 25 persen. Impor jeruk dari China dan negara-negara ASEAN diprakirakan meningkat drastis, sehingga konsumsi total akan meningkat juga. Hal ini telah menyebabkan beberapa negara pengekspor jeruk ke Indonesia mengajukan keberatan atas kebijakan ini dan merasa bahwa mereka diperlakukan tidak adil dan terdiskriminasi dengan adanya kebijakan ini. Kemudian mereka mendesak pemerintah untuk kembali menurunkan besarnya tarif impor jeruk Indonesia ke tingkat di bawah 25 persen. Marjin Keuntungan Produsen Rendah Selain Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat serta Sumatera Utara sangat dikenal sebagai propinsi sentra produksi jeruk Indonesia. Dalam perdagangan komoditas jeruk yang semakin terbuka, petani dan produsen jeruk adalah pelaku agribisnis yang paling terkena dampaknya. Analisis ini mencoba mengungkapkan kelayakan dan kemungkinan keberlanjutan usahatani pertanaman jeruk pada kasus jeruk siam Garut (Jawa Barat) dan jeruk siam Berastagi (Sumatera Utara). Hal ini dicoba dikaitkan dengan dampak pengikatan kerjasama perdagangan dengan negara lain, semisal dalam Kawasan Perdagangan Bebas (KPB) atau Free Trade Area (FTA), Perjanjian Perdagangan Bebas (PBB) atau Free Trade Agreement (FTA), Perjanjian Perdagangan Kawasan (PPK) atau Regional Trade Agreement (RTA). Ini diperlukan untuk memperoleh bahan pertimbangan dalam menilai betapa pentingnya peran pemerintah memberi arahan kepada para pemangku kepentingan perjerukan secara bersama-sama berperan sesuai dengan posisinya masing-masing demi peningkatan dayasaing jeruk nasional. Pada kasus jeruk siam Garut dilakukan analisis dengan luas 1 Ha sebagai gambaran perilaku petani dan untuk jeruk siam Brastagi dilakukan analisis 100 Ha sebagai gambaran perilaku produsen non-petani skala kecil. Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
17
Pada skala usaha 1 Ha, besarnya biaya investasi usahatani jeruk diprakirakan sebesar Rp. 15.2 juta dan besarnya biaya operasional Rp. 12.7 juta. Dengan demikian jumlah biaya keseluruhan tahun awal (tahun 0) pembukaan usaha jeruk siam Garut skala 1 Ha adalah sekitar Rp. 27.9 juta. Tanaman jeruk siam Garut pada umumnya akan menghasilkan pada tahun kedua tanam atau tahun ketiga usaha, sehingga tahun pertama masih merupakan biaya investasi karena tanaman belum menghasilkan. Besarnya biaya tahun pertama adalah sekitar Rp. 10.43 juta. Biaya pada tahun kedua atau tahun pertama tanaman menghasilkan adalah sekitar Rp. 17.5 juta rupiah. Secara keseluruhan biaya yang diperlukan hingga tanaman menghasilkan adalah sekitar Rp. 56 juta (Hutabarat dan Setyanto, 2006). Pada tahun ketiga usaha, panen perdana memberikan produksi jeruk hanya sekitar 3.2 ton dan terus meningkat hingga mencapai puncak produksi pada tahun ke lima yang mencapai sekitar 22.4 ton. Produksi akan terus menurun hingga akhirnya perlu diremajakan kembali pada tahun ke sepuluh setelah tanam atau tahun ke sebelas usaha. Tabel 11 menyajikan nilai kelayakan finansial usahatani jeruk siam Garut (Hutabarat Setyanto 2006). Dari Tabel 11 ini terlihat bahwa nilai Internal Rate of Return (IRR) adalah 23.5 persen, NPV (Net Present Value) pada Discount Factor 20 persen adalah Rp. 5,8 juta, B/C ratio 1.13 dan rerata biaya produksi jeruk adalah Rp. 1,539 per kg. Jika rerata harga di tingkat petani adalah Rp. 2,413 per kg, maka marjin di tingkat petani adalah sekitar Rp. 874 per kg. Tabel 11. Hasil Analisis Finansial Usaha Budidaya Jeruk Siam Garut, Jeruk Siam Berastagi Menurut Skala dan Periode Ekonomi Usaha, 2002. (Farming Operational Analysis of Siam Garut, Siam Berastagi Based on Scale and Economic Period, 2002) No.
Jeruk Siam Garut (1 Ha)
Jeruk Berastagi (100 Ha)
1.
Periode Ekonomis Usaha (Tahun)
Keterangan
10
16
2.
Umur Tanaman Mulai Menghasilkan (Tahun)
2
2
3.
Biaya Investasi Awal (Rp. Juta)
12.7
1,475.6
4.
Biaya s/d Tanaman Menghasilkan (Rp. Juta)
5.
Kisaran Produksi (Ton/Tahun)
6. 7.
56
3,339.4
3.2 - 22.4
165 - 2,690
Harga rata-rata (Rp./Kg)
2,413
1,530
NPV DF 20 % (Rp. Juta)
5.8
959.9
8
IRR (%)
23.5
26.0
9.
B/C ratio
1.13
1.24
10.
Biaya Per Kg (Rp./Kg)
1,539
779
11.
Marjin Petani (Rp./Kg)
873
751
Sumber: Tabel Lampiran 1 - 2.
18
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
Tentunya hasil panen tidak seluruhnya memiliki mutu baik. Dari pengalaman diperoleh sebaran panen menurut penggolongan mutunya (Tabel 12). Tabel ini menunjukkan bahwa sekitar 8 persen tergolong mutu A super, 25 persen mutu A, 43 persen mutu B, 20 persen mutu C dan sekitar 5 persen mutu D atau barang sortiran atau BS. Jeruk mutu C, D dan BS pada umumnya digolongkan sebagai jeruk peras. Jeruk mutu A super di tingkat petani dinilai dengan harga rerata Rp. 3,500 per kg, mutu A Rp. 3,000 per kg dan mutu B Rp. 2,500 per kg. Sedangkan untuk mutu C, D atau BS masing-masing Rp. 1,500 dan Rp. 750 per kg. Secara keseluruhan rerata harga jeruk siam Garut di tingkat petani Rp. 2,413 per kg. Tabel 12. Persentase Rerata Produksi dan Harga Jeruk Siam Garut Menurut Mutu. (Average Yield Percentage and Siam Garut Fruit Price Based on the Quality) No.
Uraian
1
Kualitas A Super
2
Rata-rata Persentase Hasil Panen (%)
Harga Rata-rata Menurut Kualitas (Rp./Kg)
8
3,500.00
Kualitas A
25
3,000.00
3
Kualitas B
43
2,500.00
4
Kualitas C
20
1,500.00
5
Kualitas D dan BS
5 Harga Rata-rata
750.00 2,412.50
Sumber: Ratnawati, dkk. 2000 dan 2001 (diolah kembali).
Pada skala usaha 100 Ha, besarnya biaya investasi usahatani jeruk Siam Berastagi adalah sebesar Rp. 263.8 juta dan besarnya biaya operasional Rp. 1,211.8 juta. Dengan demikian jumlah biaya keseluruhan tahun awal (tahun 0) pembukaan usaha jeruk Siam Berastagi skala 100 Ha adalah sekitar Rp. 1,475.6 juta. Total biaya tahun pertama adalah sekitar Rp. 826.8 juta. Biaya pada tahun kedua atau tahun pertama tanaman menghasilkan adalah sekitar Rp. 1,037 juta. Secara keseluruhan biaya yang diperlukan hingga tanaman menghasilkan adalah sekitar Rp. 3.3 milyar (Hutabarat dan Setyanto 2006). Berbeda dengan jeruk Siam Garut, tanaman jeruk Siam Berastagi mampu bertahan atau tetap produktif hingga berumur sekitar 15 hingga 16 tahun. Puncak produksi terjadi pada tanaman berumur 8 hingga 10 tahun, dan selanjutnya akan terus menurun hingga tidak ekonomis lagi apabila terus dipelihara. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari segi mutu secara relatif tidak terjadi perbedaan antara hasil panen jeruk Siam Garut dengan jeruk Siam Berastagi, kecuali dari segi harga. Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa sekitar 9 persen tergolong mutu A super, 23 persen mutu A, 41 persen mutu B, 19 persen mutu C dan sekitar 8 persen mutu D atau barang sortiran atau BS. Jeruk mutu C, D dan BS pada umumnya digolongkan sebagai jeruk peras. Jeruk mutu A super di tingkat petani memiliki
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
19
rerata harga Rp. 2,500 per kg, mutu A Rp. 2,000 per kg dan mutu B Rp. 1,500 per kg. Sedangkan mutu C dan D atau BS masing-masing Rp. 1,000 dan Rp. 500 per Kg. Secara keseluruhan rerata harga jeruk siam Berastagi di tingkat petani adalah Rp. 1,530 per Kg. Tabel 13. Persentase Rata-rata Produksi dan Harga Jeruk Siam Berastagi Menurut Kualitas, 2002. (Average Yield Percentage and Siam Berastagi Fruit Price Based on the Quality, 2002) No.
Uraian
1
Kualitas A Super
2
Rata-rata Persentase Hasil Panen (%)
Harga Rata-rata Menurut Kualitas (Rp./Kg)
9
2,500.00
Kualitas A
23
2,000.00
3
Kualitas B
41
1,500.00
4
Kualitas C
19
1,000.00
5
Kualitas D dan BS
8 Harga Rata-rata
500.00 1,530.00
Sumber: Setiyanto, A. 1998 dan PKBT 2000 (diolah kembali).
Tabel 11 menyajikan juga nilai kelayakan finansial usahatani jeruk siam Berastagi. Berdasarkan data yang tertera pada tabel ini dapat dilihat bahwa nilai IRR adalah 26.0 persen, NPV pada Discount Factor 20 persen adalah Rp. 960 juta, B/C ratio 1.24 dan rerata biaya produksi jeruk siam Berastagi adalah Rp. 779 per kg. Jika rerata harga di tingkat petani adalah Rp. 1,530 per kg, maka marjin di tingkat petani adalah Rp. 751 per kg. Ongkos Produksi Tinggi Dalam menghitung struktur ongkos produksi dilakukan pengelompokan biaya-biaya yang terdiri dari : (1) Biaya tenaga kerja yang mencakup seluruh jenis kegiatan yang membutuhkan tenaga baik langsung maupun tidak langsung, (2) Biaya bahan mencakup seluruh jenis biaya sarana produksi yang dikeluarkan untuk usahatani di luar biaya tenaga kerja antara lain benih, pupuk, pestisida dan bahan-bahan lainnya, dan (3) Biaya tetap mencakup nilai sewa lahan, pajak lahan bangunan, iuran dan pungutan tingkat usahatani, biaya bunga atas modal kerja dan investasi dan nilai penyusutan atas investasi yang dikeluarkan untuk usahatani. Perhitungan struktur ongkos produksi ini didasarkan pada skala usaha dan periode ekonomi usaha seperti terinci pada Tabel 14. Dengan demikian, struktur ongkos ini mengandung unsur besaran skala dan periode usaha mulai dari awal tanam hingga tanaman memasuki masa tidak produktif dan tidak ekonomis lagi. Rincian mengenai hasil analisis struktur ongkos produksi buah disajikan pada Tabel 14. Berdasarkan Tabel 14, pada usaha produksi jeruk Siam Garut besarnya komponen biaya tenaga kerja adalah 21.6 persen, sarana produksi di luar tenaga kerja 63.8 persen dan biaya tetap 14.7 persen. Sedangkan pada jeruk Siam Berastagi komponen biaya tenaga
20
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
kerja mencapai 34.4 persen, komponen biaya sarana produksi di luar tenaga kerja 51.9 persen dan komponen biaya tetap 13.8 persen. Jadi lebih dari 78 persen biaya produksi jeruk diperuntukkan pada pembeliaan bahan dan investasi dalam biaya tetap. Tabel 14. Struktur Ongkos Produksi Jeruk, 2002. (Citrus Fruit Production Cost Structure, 2002) No.
Keterangan
Struktur Ongkos Nilai (Rp. Juta)
Persentase (%)
A
Jeruk siam Garut
1
Biaya Tenaga Kerja
26,31
21,55
2
Biaya Bahan
77,82
63,75
3
Biaya Tetap
17,94
14,70
122,07
100,00
Jumlah B
Jeruk siam Berastagi
1
Biaya Tenaga Kerja
6.891,33
34,37
2
Biaya Bahan
10.400,35
51,87
3
Biaya Tetap
2.760,40
13,77
20.052,09
100,00
Jumlah
Sumber: Hutabarat dan Setyanto (2006).
Keberlanjutan Usaha Tidak Pasti Berdasarkan prakiraan yang konservatif yang dilakukan pada tahun 2002, diperoleh gambaran bahwa total produksi jeruk Siam Garut adalah 13,366.67 kg selama 10 tahun (produktivitas 13.37 ton per ha per tahun), dengan total biaya Rp.220.91 juta, sedangkan jeruk Siam Berastagi adalah 246,766.67 kg selama 16 tahun (produktivitas 15.42 per ha per tahun) dengan total biaya Rp. 21.37 Milyar. Agar usahatani tetap berlanjut maka biaya tersebut harus kembali, sehingga petani dan produsen selain memiliki tabungan yang nantinya digunakan untuk investasi juga mampu memperoleh penghidupan yang layak bagi keluarganya. Berdasarkan pendekatan bahwa produktivitas pada periode di mana akan dilakukan investasi kembali adalah tetap dan nilai suku bunga tabungan 12 persen per tahun, inflasi maksimun 6 persen per tahun dan tingkat suku bunga pinjaman 18 persen, maka diperoleh gambaran bahwa pertambahan nilai mata uang petani minimum harus mampu mengimbangi nilai tingkat suku bunga deposito sebesar 12 persen per tahun. Berdasarkan asumsi bahwa petani Garut akan melakukan investasi kembali pada 10 tahun dan petani Berastagi juga tetap 16 tahun, maka berdasarkan hasil analisis tersebut, harga jeruk siam Garut di tingkat petani seharusnya Rp. 5,113.09 per kg, sedangkan untuk produsen jeruk di Berastagi Rp. 5,309.84 per kg. Hal ini berarti bahwa pemerintah bersama petani, produsen dan pemangku kepentingan lainnya harus bekerja sama dan bekerja keras agar harga jeruk Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
21
di tingkat petani adalah sekitar Rp. 5,000.00 - 5,500.00 per kg. Apabila harga minimal ini tidak tercapai karena berbagai hal, misalnya karena adanya serbuan impor tentu petani atau produsen jeruk tidak akan mampu bertahan untuk terus memelihara kebun jeruknya. Biaya Transaksi dan Pemasaran Tinggi Dalam kegiatan pemasaran produk pertanian, perbedaan harga di tingkat petani dan konsumen sangat ditentukan oleh jarak horizontal dari lokasi antara produsen dan konsumen dan jarak vertikal antar jenis produk atau ”brand” produk dan banyaknya simpul pemasaran dalam rantai pemasaran komoditas. Biaya transaksi dan pemasaran merupakan sekelompok pos pengeluaran yang terdapat dalam selisih harga yang diterima petani dan harga yang dibayar konsumen. Beberapa penelitian telah mencatat bahwa persentase biaya transaksi dan pemasaran untuk berbagai komoditas pertanian sangat tinggi. Tergantung pada komoditas, ragam hasil pengolahannya, definisi kegiatan pemasaran dan kesulitan pemilahan komponen biaya pemasaran, para peneliti mendapatkan hasil yang berbeda-beda. Persentase biaya pemasaran juga sangat tergantung pada agen penjual dan di lapis mana penjual berada di dalam rantai pemasaran komoditas. Namun, diprakirakan biaya pemasaran produk pertanian ini yang berkaitan dengan angkutan di Indonesia berkisar antara 2.0 - 46.0 persen dari harga jual per satuannya, tergantung antara lain pada panjang pendeknya rantai pemasaran, sistem pemasaran, jenis komoditas, keadaan sarana dan prasarana pemasaran dan lain-lain (Hutabarat 2007). Harga eceran jeruk lokal di pasar-pasar tradisional dan swalayan di Indonesia umumnya lebih tinggi daripada jeruk impor. Hal ini disebabkan antara lain biaya transaksi dan pemasaran yang sangat tinggi tersebut. Biaya ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan, seperti keefisienan moda transportasi, penanganan selama proses produksi buah dan selama pemindahan dari kebun ke meja konsumen, ketentuan retribusi pemerintah daerah dan pusat baik resmi maupun tidak. Simanjuntak (2002) mencatat bahwa biaya transportasi yang tinggi desebabkan banyaknya pungutan atau biaya resmi dan tidak resmi yang dikenakan kepada pengusaha transpor sepanjang perjalanan produk ini dari daerah asalnya sampai daerah konsumen, apalagi di era otonomi daerah sekarang ini. Pada tahun 2002, Pandia (2002) menduga bahwa besarnya pungutan sepanjang perjalanan pengiriman jeruk dari Tanah Karo ke Jawa berkisar antara Rp. 150,000 - Rp. 350,000, dan bahkan ada yang berpendapat nilainya lebih besar dari itu, yakni Rp. 1,500,000, karena setiap pos resmi atau tidak resmi meminta antara Rp. 10,000 - Rp. 25,000.
22
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
Penelitian pada beberapa komoditas sayuran dan buah di berbagai lokasi yang dilakukan Agustian et al. (2005) memperoleh bahwa untuk komoditas jeruk di Sumatera Utara jalur pemasaran jenis apapun yang dilakukan oleh petani, petani harus menanggung berbagai pungutan untuk jasa, biaya angkut (jalan, jembatan dan penyeberangan dan lainlain), biaya timbang, biaya pemindahan barang ke pedagang pengumpul. Menurut Agustian et al. (2005) biaya pengiriman jeruk dari Tanah Karo ke Pulau Jawa (Jakarta dan Bandung) termasuk tinggi, berkisar antara Rp. 40,000 - Rp. 48,000 per keranjang (kira-kira 65-70 kg) dan sewaktu-waktu dapat meningkat karena berbagai hal, seperti adanya pungutan/retribusi resmi (ada 28 buah) maupun tidak resmi (ada 17 buah) sepanjang perjalanan dan faktor keamanan dan kelancaran perjalanan. Seringkali untuk menekan biaya yang harus diperhitungkan untuk transportasi dari harga yang diterima petani, petani mengisi jeruk ke dalam keranjang sampai berat isi keranjang melebihi 70 kg, karena memang satuan biaya angkutan adalah keranjang. Dengan harga jual jeruk sebesar Rp. 7,000 per kg di pedagang pengecer di Bogor atau Jakarta pada tahun 2005 dan Rp. 1,200 per kg yang diterima petani di Tanah Karo, maka jelaslah bahwa marjin yang diperuntukkan bagi pedagang pengumpul dan pelaku distribusi sangat besar, sedangkan petani hanya mendapatkan 17.0 persen dari harga jual ini. Persentase sekecil ini tidak akan memberi rangsangan lebih lanjut kepada petani untuk memelihara kebun jeruknya untuk membayar upah tenaga kerja, biaya pupuk dan sebagainya. LANGKAH YANG PERLU DILAKUKAN MELEWATI PERSIMPANGAN Meskipun tampaknya hambatan pengembangan lebih banyak dan lebih nyata daripada potensi jeruk di Indonesia, hal ini jangan membuat kita surut dalam mengembangkan komoditas ini di masa depan. Komoditas jeruk masih punya tempat di bumi nusantara dan di benak masyarakat. Untuk itu kita perlu melakukan beberapa upaya-upaya, baik yang bersifat pembenahan di dalam negeri secara korektif dan defensif serta yang berkaitan dengan perjuangan di forum regional, bilateral dan multilateral secara ofensif seperti diuraikan berikut ini. Peningkatan Produktivitas Kebun Pada tabel-tabel terdahulu telah ditunjukkan bahwa biaya produksi, termasuk biaya investasi jeruk di tingkat petani atau produsen masih sangat tinggi. Hal ini dapat ditekan dengan bantuan klon-klon jeruk yang berproduktivitas tinggi. Produktivitas kebun orange dan citrus Indonesia masih jauh dari kebun-kebun di negara lain, seperti Brazil dan India apalagi dibandingkan dengan Australia dan Amerika Serikat, meskipun lebih tinggi dari produktivitas di China atau Pakistan (Tabel 15). Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
23
Tabel 15. Produktivitas Lahan Jeruk di Beberapa Negara Produsen Utama, 2004. (Field Productivity of Main Producers, 2004) Negara
Produktivitas (kg/ha) Orange
Citrus
Australia
18,210.30
19,378.60
Brazil
22,246.40
21,871.30
China
7,469.22
9,714.10
India
23,134.33
17,958.40
Indonesia
12,222.68
12,222.70
Pakistan
10,548.84
10,540.10
Amerika Serikat
37,812.96
37,422.60
Sumber: FAO (2007).
Itu artinya, dengan memilih varietas, klon-klon atau kultivar yang lebih cocok produktivitas Indonesia ini masih dapat ditingkatkan lagi. Kita mempunyai sejarah jeruk lokal antara lain jeruk sambas dan jeruk soe, selain jeruk berastagi dan jeruk garut. Kemana sekarang jeruk-jeruk lokal yang telah beradaptasi ini? Memang, ada pengalaman bahwa jeruk Garut hilang dari pasar karena di daerah habitatnya pun tidak dikembangkan lagi oleh masyarakat karena rentan terhadap penyakit busuk akar (CPVD). Pertanyaannya, adakah upaya penelitian yang dilakukan untuk mengatasi penyakit ini, misalnya melalui pemuliaan jenis jeruk yang tahan penyakit ini tetapi disukai konsumen atau dengan penanaman batang bawah yang tahan penyakit ini? Bagaimana upaya kita mengembangkan benih-benih atau bibit-bibit yang unggul dan disukai masyarakat? Sebagai dijelaskan sebelumnya, Pakistan menjadi produsen jeruk yang diperhitungkan karena kegigihannya mengembangkan komoditas ini setelah introduksi varietas Kino atau Kinoo yang dahulu dilakukan oleh Universitas Pertanian di Faisalabad. Potensi pengembangan juga masih terbuka, terutama bagi kultivar jeruk tanpa biji, karena konsumen internasional lebih menyukai jenis ini. Pemangkasan Ekonomi Biaya Tinggi Persentase biaya transportasi dan transaksi yang tergolong sangat tingg tentu saja telah menghambat lalu lintas barang dari suatu wilayah ke wilayah yang lain. Dengan peningkatan harga BBM pada bulan November 2005, persentase ini pasti lebih meningkat lagi. Kalau yang membayarkannya adalah pedagang pengumpul, pedagang ini akan membebankannya kepada petani dengan menekan harga pembelian produk dari petani, sehingga harga yang diterima petani menjadi semakin tertekan karena beban biaya pemasaran ini. Persentase marjin yang diterima petani akan semakin kecil dan persentase
24
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
yang kecil ini tidak akan memberi rangsangan lebih lanjut kepada petani untuk memelihara pertanaman dan usahataninya dalam kegiatan pembayaran upah tenaga kerja, biaya pupuk dan sebagainya. Petani berada di fihak yang lemah dan mustahil dapat menolak harga yang ditentukan pedagang langganannya. Kalaupun ia tidak puas, perubahan sikap petani baru dapat terlihat pada musim berikutnya, padahal keadaan sudah terlambat. Selanjutnya, apabila fihak yang membayarkannya adalah pedagang pengecer, maka pedagang ini akan membebankannya kepada konsumen, sehingga konsumen harus membayar dengan harga yang lebih tinggi. Namun, konsumen masih mempunyai pilihan apakah tetap membeli dan menikmati produknya dengan harga yang lebih mahal atau menunda atau membatalkan pembelian produk dengan risiko bahwa untuk sementara kepuasan yang berasal dari konsumsi produk tidak terpenuhi. Persentase biaya transaksi dan pemasaran jeruk lokal yang sangat tinggi, harga eceran yang sangat tinggi dan harga yang diterima petani jeruk yang sangat rendah membuat daya saing jeruk semakin merosot, sehingga produksi jeruk dan tingkat kesejahteraan petani/produsen jeruk semakin tertekan dan kehidupan mereka semakin sulit. Dengan harga yang sangat rendah adalah sulit mengharapkan petani melakukan perluasan atau peningkatan produktivitas kebunnya atau bahkan melakukan budidaya yang optimal dan meningkatkan kesejahteraannya (Hutabarat et al., 2002). Dampak berikutnya adalah agribisnis jeruk menjadi tidak berkembang dan perekonomian pedesaan menjadi semakin suram. Oleh karena itu salah satu kiat untuk membuat jeruk tidak kalah bersaing di pasar domestik atau ekspor adalah memangkas semua pungutan yang tidak berkaitan dengan peningkatan produktivitas jeruk. Ini dapat dilakukan dengan meminta pemerintah pusat dan pemerintah daerah memangkas semua pungutan-pungutan pada kegiatan agribisnis jeruk yang tidak ada kaitannya dengan peningkatan produktivitas jeruk. Selain itu juga mendesak para pedagang jeruk, pengusaha atau pelaku moda transpor atau pengecer jeruk atau siapa saja fihak yang berada di antara rantai pasok pemasaran jeruk ini menolak pembayaran pungutan yang tidak berkaitan dengan peningkatan produktivitas jeruk. Pembangunan Sarana dan Prasarana Selain dengan melakukan penekanan biaya ekonomi tinggi, biaya transaksi dan pemasaran juga dapat dikurangi dengan mendesak pemerintah, pusat dan daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing membangun sarana dan prasarana umum pertanian dan transportasi serta pemasaran untuk memperlancar arus barang masukan pertanian dan hasil pertanian. Untuk itu antara lain diperlukan perencanaan pembangunan sarana dan prasarana multiguna yang tepat serta penataan wilayah pengembangan jeruk secara
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
25
saksama ditinjau dari aspek teknis agronomi, sumberdaya dan distribusi. Secara umum, tidak dapat disangkal bahwa sarana dan prasarana transportasi barang impor dari daerah asal di luar negeri ke pelabuhan di dalam negeri dan dari pelabuhan ke pusat-pusat penjualan produk jauh lebih baik dibandingkan dengan sarana dan prasarana transportasi dari kebun petani ke pusat-pusat penjualan produk. Mungkin yang paling buruk barangkali adalah sarana dan prasarana transportasi dari kebun petani ke penjualan produk dan dari pusat pembelian masukan ke kebun petani. Hal ini berdampak sangat nyata terhadap segala biaya yang di keluarkan petani dan tentu saja pada akhirnya terhadap dayasaing produk jeruk lokal. Oleh karena itu pembangunan sarana dan prasarana pertanian ini seyogyanya menjadi pertimbangan utama agar agribisnis jeruk semakin berkembang. Pemberdayaan Diplomasi dan Negosiasi Dalam penjelasan di salah satu Subbab di Bab IV dikemukakan bahwa tarif berlaku saat ini untuk produk jeruk Indonesia jauh lebih rendah (25 persen) daripada tarif terikatnya (bound tariff) yang berkisar antara 40 - 60 persen, sementara sesuai dengan kesepakatan ASEAN-China FTA tarif jeruk impor dari China adalah 0 persen. Hal ini tentu mengundang berbagai pertanyaan dari negara yang mengekspor atau berpotensi mengekspor jeruk ke pasar dunia karena mereka merasa diperlakukan tidak adil. AS dan Australia sampai saat ini belum mengajukan kerisauannya, tetapi Pakistan telah beberapa kali meminta penjelasan pemerintah tentang masalah ini. Sampai saat ini, fihak Pakistan agaknya tidak membawa masalah ini ke tingkat yang lebih formal dan Indonesia memang mempunyai argumen yang kuat bahwa Indonesia bersama-sama dengan negara-negara di lingkungan ASEAN memiliki Persetujuan Perdagangan Bebas (PPB) dengan China yang menyepakati antara lain bahwa jeruk yang diimpor Indonesia dari China tidak dikenakan beamasuk sama sekali, sementara bagi Pakistan belum ada kesepakatan semacam itu. Ini dilakukan dengan diplomasi dan negosiasi yang sangat intensif. Saat ini telah muncul suatu kecenderungan perkembangan PPB yang sangat pesat di dunia. Belum lama ini telah dicanangkan penanda-tanganan Perjanjian Kemitraan Ekonomi (PKE) atau Economic Partnership Agreement (EPA) antara Indonesia dan Jepang. Korea, Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat dan India serta Pakistan juga ingin menjalin PPB dengan Indonesia. Namun, sebelum menyatakan sikapnya dalam forum diplomasi dan negosiasi Indonesia perlu melakukan kajian secara saksama dari manfaat dan kerugian keikut-sertaan dalam PPB dengan suatu negara. Untuk itu analisis komoditas yang diekspor dan diimpor Indonesia dalam konteks pembangunan pertanian secara keseluruhan perlu dipertimbangkan. Seperti misalnya, penurunan tarif yang lebih besar akan berpotensi menekan produksi jeruk di dalam negeri dan pada saat yang sama menghisap devisa untuk 26
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
pengadaan impor. Kalau petani jeruk ingin dilindungi dengan berbagai pertimbangan sosiologis, ekonomis dan politis, maka pengenaan tarif pada tingkat saat ini masih dapat menjadi suatu pilihan yang dapat dipertimbangkan untuk menekan derasnya tekanan impor. Selain itu, sebelum suatu tingkat tarif diturunkan perlu dipertimbangkan secara saksama pula dampak jangka panjang penurunannya terhadap aset dan agroekosistem wilayah, karena agribisnis jeruk merupakan suatu proses yang mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung di wilayah tempat tumbuhnya. Di forum perundingan multilateral, seperti OPD, Indonesia juga secara aktif menggalang dukungan dari sesama NB dalam Kelompok Negara (KN-33) atau Group-33 (G-33) untuk menyampaikan aspirasinya, terutama dalam memanfaatkan fasilitas PK dan MPK yang memang menjadi hak NB. NB dalam hal ini KN-33 yang dikordinasikan Indonesia telah merumuskan sebanyak 12 indikator dari kriteria keamanan pangan dan penghidupan serta pembangunan pedesaan yang diamanatkan paket Juli 2004 pada pertemuan menteri KN-33 di Jakarta bulan Maret 2007 lalu. Namun, beberapa negara di dalam kelompok ini (dengan jumlah anggota saat ini sekitar 46 negara) masih ragu dengan penerapan indikator-indikator ini dalam penentuan produk pertaniannya yang layak sebagai SP, mengingat keterbatasan data yang mereka miliki untuk mereprentasikan indikatorindikator tersebut. Mengingat masalah keterbatasan data ini, maka beberapa negara anggota ini mengusulkan penetapan berdasarkan persentase yang telah dicatat dalam Deklarasi Hongkong, yakni sebanyak 20 persen produk negara yang bersangkutan. Inilah permasalahan besar yang dihadapi dan harus diselesaikan kelompok KN-33, terutama bagi Indonesia sebagai kordinatornya. Dari data yang dianggap dapat merefleksikan beberapa indikator, Indonesia sendiri telah mengidentifikasi beberapa produk pertanian yang layak sebagai SP dan salah diantaranya adalah jeruk (citrus) yang mencakup 19 pos tarif. Produk-produk ini mungkin belum sempurna dalam memenuhi kebutuhan masyarakat petani jeruk Indonesia. Untuk itu semua pemangku kepentingan pada komoditas jeruk selayaknya memberikan masukan, baik mengenai indikator SP sendiri ataupun produk-produk yang lebih tepat dan pantas ditetapkan sebagai SP, agar para juru runding Indonesia dalam sidang Komisi Pertanian tidak salah dalam mengusung kepentingan nasional kita. Kita harus melakukan itu sekarang. Kalau tidak kita akan menerima cek yang sudah dibatasi nilainya oleh NM padahal kitalah sebenarnya pemilik sahamnya. Bersamaan dengan itu upaya penyelidikan dan penelitian tentang komoditas impor jeruk yang masih sangat murah di titik pabean Indonesia juga perlu dilakukan. Ini perlu dilakukan di dalam negeri dan di negara-negara produsen sendiri atau negara-negara
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
27
pemasok jeruk ke pasar internasional. Yang perlu disoroti dalam hal ini antara lain adalah apakah keunggulan kompetitif jeruk impor dari suatu negara berkaitan dengan pengadaan subsidi dalam berbagai bentuk, baik bagi masukan produksi dan hasil produksi jeruk di negara pengekspor atau berkaitan dengan program kompetisi ekspor atau subsidi ekspor, atau penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana pendukung dalam proses produksi dan pemasaran. Dengan tersedianya informasi ini, maka Indonesia dapat sambil belajar memperbaiki agribisnis perjerukannya dan melakukan diplomasi dan negosiasi perdagangan regional, bilateral dan multilateral dengan lebih baik di masa depan. Upaya Lain-lain Semua upaya-upaya di ini tidaklah cukup, sehingga perlu diikuti oleh langkahlangkah lain yang berkaitan dengan aspek kampanye, promosi dan sosialisasi serta pemantapan persepsi kecintaan pada jeruk dalam negeri serta kampanye penggalakan konsumsi jeruk lokal. Upaya diplomasi dan negosiasi harus juga diikuti dengan programprogram penelitian pengembangan teknologi budidaya jeruk sebagaimana pengalaman Pakistan dengan jeruk kinonya, agar ia semakin dapat bersaing dengan produk-produk impor sejenis. Selain kebijakan tarif, Indonesia belum banyak menerapkan kebijakan-kebijakan lain seperti SPS. Instrumen ini mungkin sangat diperlukan di masa-masa yang akan datang. Untuk itu Indonesia seyogjanya menyiapkan perangkat-perangkat yang dapat mendukung penerapannya di tingkat lapangan. KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN Liberalisasi perdagangan jeruk telah mengancam keberadaan jeruk lokal Indonesia. Sejak diluncurkannya Paket Juni/PAKJUN 1994 yang salah satu unsurnya adalah penurunan tarif impor buah-buahan termasuk jeruk disusul kemudian penurunan tarif pada tahun 1997 menjadi 5 persen, kinerja agribisnis perjerukan di Indonesia menjadi semakin tidak menentu, apalagi kemudian dengan mulai diberlakukannya ASEAN FTA/AFTA dan disusul berikutnya oleh ASEAN-China FTA. Bagi Indonesia, empat negara pengekspor utama jeruk di dunia; yakni China, Pakistan, Australia dan Amerika Serikat/AS, dimana AS menjadi pengekspor utama hampir untuk semua produk jeruk. Namun, untuk jenis produk citrus fruit (nec) dan tangerines, mandarins dan clementines, China merupakan pengekspor utama, diikuti Pakistan sebagai pengekspor tangerines, mandarins dan clementines penting ke pasar dunia. Posisi Indonesia
28
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
sendiri sangat-sangat tidak berarti. Jumlah ekspornya hanya di bawah 5 persen dari jumlah total negara-negara yang dikaji. AS merupakan pengimpor utama produk-produk jeruk terutama lemon juice, lemon juice (concentrated), orange juice (concentrated), grapefruit juice, grapefruit juice (concentrated) dan citrus fruit juices (nec). Sementara itu China juga mengimpor dalam jumlah besar produk-produk Orange, Grapefruit (incl. pomelo), Citrus fruit juices (nec), Citrus fruit (nec). Indonesia, yang jumlah impornya terlihat menonjol adalah produk tangerines, mandarins dan clementines, Orange, dan Citrus fruit (nec). Penggolongan Orange bagi jeruk produksi Indonesia oleh FAO sebenarnya kurang tepat, seharusnya yang lebih tepat adalah jeruk siam atau mandarin. Oleh karena itu diperlukan upaya selanjutnya dari fihak berwenang agar meluruskan istilah ini ke fihak FAO. Peranan pemasaran pengecer global saat ini semakin penting dalam mengantarkan produk di negara-negara maju (NM), terutama di UE dan AS dan juga berkembang di Asia dan Amerika Latin. Peralihan kekuatan pasar ke arah hilir (pengecer) dalam rantai pemasaran menyebabkan peningkatan koordinasi vertikal. Ini memungkinkan mereka mempengaruhi dan bahkan menguasai rantai pemasaran, yakni dengan menetapkan persyaratan yang lebih ketat dalam kondisi produksi dan distribusi. Pasar swalayan membutuhkan jumlah yang lebih besar, mutu yang lebih baik dan harga yang lebih murah. Potensi komoditas jeruk terletak pada: (1) Peningkatan luas tanam dan panen, (2) Peningkatan konsumsi, serta (3) Peningkatan volume perdagangan. Produksi jeruk meningkat cukup tajam dalam sewindu terakhir ini dan peningkatan ini terjadi terutama karena peningkatan areal tanam dan panen di seluruh tanah air. Peningkatan konsumsi terbesar juga terjadi pada sewindu terakhir ini, terutama untuk konsumsi lainnya, sehingga pertumbuhan produksi jeruk di Indonesia tidak mampu mengimbangi pertumbuhan konsumsi ini, sehingga impor jeruk semakin meningkat dengan cepat pula. Jeruk (termasuk mandarin) ekspor Indonesia ditujukan pada pasar di wilayah Asia, seperti Timor Leste, Malaysia, India, Hongkong, Iran, Singapura dan Afganistan, sementara Indonesia mengimpor jeruk (termasuk mandarin) dari 29 negara di dunia, terutama China, Pakistan dan Australia. Hambatan pengembangan jeruk antara lain adalah: (1) Desakan kebijakan perdagangan multilateral dan di berbagai negara, (2) Desakan terhadap kebijakan perdagangan nasional, (3) Marjin keuntungan produsen rendah, (4) Ongkos produksi tinggi, kebelanjutan usaha tidak pasti, dan (5) Biaya transaksi dan pemasaran tinggi.
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007
29
Meskipun tampaknya hambatan pengembangan lebih banyak dan lebih nyata daripada potensi jeruk di Indonesia, hal ini jangan membuat kita surut dalam mengembangkan komoditas ini di masa depan. Komoditas jeruk masih punya tempat di bumi nusantara dan di hati masyarakat. Untuk itu kita perlu melakukan beberapa upaya-upaya, baik yang bersifat pembenahan di dalam negeri secara korektif dan defensive, antara lain peningkatan produktivitas kebun, pemangkasan ekonomi biaya tinggi, pembangunan sarana dan prasarana, serta yang berkaitan dengan perjuangan di forum regional, bilateral dan multilateral secara agresif, yakni pemberdayaan diplomasi dan negosiasi serta upaya penerapan SPS. DAFTAR PUSTAKA Agustian, A., A. Zulham, Syahyuti, H. Tarigan, A. Supriatna, Y. Supriyatna dan T. Nurasa. 2005. Analisis Berbagai Bentuk Kelembagaan Pemasaran dan Dampaknya terhadap Kinerja Usaha Komoditas Sayuran dan Buah. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang, Departemen Pertanian. Bogor. Hutabarat, B. 2007. Dampak Pungutan/retribusi terhadap Dayasaing Pemasaran Produk Pertanian Antar Wilayah. Makalah disampaikan pada “Pertemuan Perumusan Kebijakan Pemasaran Antar Wilayah” pada tanggal 12-13 Desember 2006 di Surabaya, Jawa Timur. Hutabarat, B. dan Adi Setyanto. 2006. Dampak Penurunan Tarif Impor Jeruk di Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Pandia, A. S. 2002. Jeruk Tanah Karo, “Penonton” di Negeri Sendiri. Harian KOMPAS. Hal. 42, Senin 20 Mei 2002. Simanjuntak, R. A. 2002. Pungli, Ekonomi Biaya Tinggi dan Otonomi Daerah. Harian KOMPAS. Hal. 15, Senin 19 Agustus 2002.
30
Prosiding Seminar Nasional Jeruk 2007