Perubahan Tingkat Harga Komoditas Pangan di Pasar Dunia dan Dampaknya terhadap Harga di Pasar Domestik dan Konsumsi
PERUBAHAN TINGKAT HARGA KOMODITAS PANGAN DI PASAR DUNIA DAN DAMPAKNYA TERHADAP HARGA DI PASAR DOMESTIK DAN KONSUMSI Price Level Changes of Food Commodities in The World Market and Its Impact on Domestic Price and Consumption Reni Kustiari dan Sri Nuryanti Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT Economic globalization has made commodity market more spatially integrated, symmetry and hierarchy. The fluctuation of world price of rice, soy and maize fluctuation influences domestic market price and society consumption, especially in countryside region. This can be seen from the existence of co-integration between domestic and world market price. However, price change in the world market is not perfectly transmitted to domestic market. This is because of intervention in domestic market conducted by government, difference of product characteristics and asymmetric information. The increasing price of agricultural commodity in the world market from time to time has generated problems of food security in household/individual level. Eating pattern has shifted from rice to non rice, for example maize-rice and food made from wheat, namely wheat flour and instant noodle. The quickest eating pattern shifted happened in countryside. Society in food producer area even more depends on imported food. Key words: food security, price fluctuation, price cointegration, asymetric information
ABSTRAK Globalisasi ekonomi telah membuat pasar komoditas semakin terpadu secara spasial, baik hierarki maupun simetri. Fluktuasi harga beras, jagung dan kedelai di pasar dunia mempengaruhi harga di pasar domestik dan konsumsi masyarakat, terutama di wilayah perdesaan. Ini tampak dari adanya kointegrasi antara harga di pasar domestik dan di pasar dunia. Namun, perubahan harga di pasar dunia tidak ditransmisikan secara sempurna ke pasar domestik. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya intervensi di pasar domestik yang dilakukan oleh pemerintah, perbedaan karakteristik produk dan asymetric information. Harga komoditas pertanian di pasar dunia yang meningkat dari waktu ke waktu telah menimbulkan permasalahan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga/individu. Pola makan pokok bergeser dari beras ke selain beras, antara lain beras jagung dan pangan berbahan baku gandum, yaitu tepung terigu dan mi instan. Pergeseran pola makan paling cepat terjadi di perdesaan. Masyarakat di daerah produsen pangan justru lebih tergantung pada pangan impor. Kata kunci : ketahanan pangan, fluktuasi harga, kointegrasi pasar, asymetric information
263
Reni Kustiari dan Sri Nuryanti
PENDAHULUAN
Harga komoditas pertanian di pasar dunia cenderung meningkat dari waktu ke waktu, terutama selama tahun 2007. Sebelum era liberalisasi perdagangan (1990-1994) laju pertumbuhan harga beras, jagung, dan kedelai masing-masing hanya 0,3 persen, -0,4 persen, dan 0,5 persen per tahun, namun selama periode 1995-2007, laju pertumbuhan meningkat, masing-masing menjadi 0,5 persen, 5,6 persen dan 5,63 persen per tahun. Globalisasi ekonomi telah membuat pasar komoditas semakin terpadu secara spasial, baik secara hierarki maupun simetri. Keterpaduan pasar pada umumnya direfleksikan oleh keterkaitan harga antarpasar (Ravallion, 1986). Indonesia merupakan negara pengimpor neto beberapa komoditas pertanian, karena itu harga komoditas pertanian di Indonesia sangat dipengaruhi oleh harga komoditas di pasar internasional. Karakteristik pasar dan perannya dalam penentuan harga adalah inti dari ilmu ekonomi (Sexton et al., 1991). Pasar-pasar geografis sangat relevan dengan pertanian karena komoditas pertanian pada umum volumious dan mudah rusak, serta tempat produksi yang letaknya berjauhan dengan tempat konsumsi sehingga biaya transportasi menjadi tinggi. Karena harga dianggap dapat memberikan gambaran tentang pasar dan menjadi salah satu indikator tingkat penawaran dan permintaan suatu komoditas, maka analisis harga pangan merupakan hal yang penting guna perumusan kebijakan stabilisasi harga dan peningkatan produksi pangan serta membuat peramalan harga (Rachman, 2005). Dengan pertimbangan di atas maka tulisan ini bertujuan (1) mengkaji fluktuasi harga di pasar dunia vs pasar domestik, (2) mengidentifikasi stationaritas harga di tingkat petani, harga grosir, harga eceran dan harga di pasar dunia, dan (3) mengkaji dampak perubahan harga terhadap tingkat konsumsi masyarakat perdesaan. Pembahasan difokuskan pada perkembangan harga beras, jagung dan kedelai yang merupakan komoditas strategis dan sering dikaitkan dengan aspek politis.
METODE ANALISIS Ada beberapa pendekatan yang sering digunakan untuk melihat volatilitas harga, antara lain dengan koefisien variasi dan uji stasionaritas (unit root). Koefisien variasi (biasanya disingkat menjadi CV) adalah statistik yang cukup penting untuk mengetahui sensitivitas pasar karena harga dapat memberikan Gambaran tentang pasar dan menjadi salah satu indikator tingkat penawaran dan permintaan. Koefisien variasi menunjukkan variabilitas harga dan biasanya dihitung sebagai nilai persentase. Secara matematis koefisien variasi diestimasi menggunakan standar deviasi (ukuran absolut dari keragaman) dibagi dengan nilai rata-rata. Rumus perhitungan koefisien variasi adalah sebagai berikut:
264
Perubahan Tingkat Harga Komoditas Pangan di Pasar Dunia dan Dampaknya terhadap Harga di Pasar Domestik dan Konsumsi
CV
=
SD/M x 100
CV
=
Koefisien variasi
SD
=
Standar deviasi
M
=
Nilai rata-rata
(1)
Di mana:
Stasionaritas data deret harga diidentifikasi dengan uji statistik ordo integrasi (unit root) yaitu uji Dickey-Fuller (DF), uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) dan uji Phillips Perron (Enders, 1995). Uji ordo integrasi nol, I(0), seperti yang diusulkan oleh Dickey dan Fuller (1981), dilakukan dengan mengestimasi salah satu dari tiga persamaan regresi berikut: ∆Yt
=
γYt-1 + εt
(2)
∆Yt
=
α0 + γYt-1 + εt
(3)
∆Yt
=
α0 + γYt-1 + α1t + εt
(4)
Perbedaan antar ketiga persamaan tersebut adalah unsur deterministik α0 dan α1t. Model pertama adalah random walk murni, persamaan kedua mengandung drift dan yang terakhir mengandung drift dan trend. Jika γ=0 maka Yt tidak stasioner pada ordo nol. Uji DF dilakukan dengan membandingkan t-statistik dan nilai kritisnya. Selanjutnya untuk menguji seri data yang tidak direpresentasikan oleh proses autoregresi derajat satu maka dilakukan estimasi autoregresi dengan derajat yang lebih tinggi. Berikut ini uji proses autoregresi berderajat p yang disebut juga uji ADF. Uji ini dilakukan dengan mengestimasi persamaan regresi:
Δy t γy
p β Δy εt t 1 i2 i t i1
(5)
p β Δy Δy t α γy εt 0 t1 i2 i t i1
(6)
p α t β Δy Δy t α γy εt 2 i2 i t i1 0 t1
(7)
HASIL DAN PEMBAHASAN Volatilitas Harga Perkembangan harga komoditas pangan di pasar dunia disajikan pada Grafik 1. Tampak bahwa tingkat harga lebih fluktuatif sesudah tahun 1994, yaitu pada saat pemberlakuan liberalisasi perdagangan. Harga beras dan kedelai lebih fluktuatif dibandingkan harga jagung. Pada tahun 1997 harga ketiga komoditas tersebut menunjukkan peningkatan yang sangat drastis, ini diduga disebabkan
265
Reni Kustiari dan Sri Nuryanti
(US$/MT)
antara lain oleh krisis moneter dan diperparah oleh terjadi kombinasi El Nino di Samudera Pasifik dan La Nina di Samudera Hindia. Peningkatan harga yang drastis terjadi lagi pada tahun 2007. Hal ini antara lain disebabkan oleh kenaikan harga minyak bumi pada tahun 2007 dan awal tahun 2008 sehingga komoditas pertanian yang semula hanya digunakan untuk keperluan pangan juga digunakan sebagai energi alternatif (biofuel). Situasi ini diperparah oleh terjadinya penurunan produksi pangan akibat perubahan iklim dan kekeringan (El Nino) yang terjadi di beberapa negara penghasil pangan dunia. 1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
J an-9
0
Jan-9
3
Jan-9 Beras
6
Jan-9
9
Jagung
Jan-0
2
Jan-0
5
Jan-0
8
Kedelai
Sumber: Worldbank (2008)
Grafik 1. Perkembangan Harga Beras, Jagung dan Kedelai di Pasar Internasional, Januari 1990 - Oktober 2008
Seperti komoditas pertanian lainnya, penawaran beras, jagung, dan kedelai dipengaruhi oleh musim (cuaca dan iklim). Oleh karena itu, harga komoditas pertanian cenderung volatil. Koefisien variasi harga dihitung dengan moving average 3 bulanan. Hal ini dilakukan karena mempertimbangkan bahwa biasanya masa kontrak penjualan dan masa tanam tiga bulan. Kisaran koefisien variasi harga beras adalah yang terlebar, yaitu berkisar antara 0,1-34,7 persen. Ini menunjukkan bahwa harga beras sangat volatile. Hal ini dapat dimengerti karena pasar beras dunia adalah thin market, persentase yang diperdagangkan sangat kecil dibandingkan dengan jumlah yang di produksi. Beras yang diperdagangkan di tatanan pasar internasional rata-rata 30 juta ton setiap tahun. Pada 2005, Indonesia tercatat sebagai pengimpor terbesar dengan mengimpor sebanyak 3,1 juta ton atau 10 persen dari total beras di pasar internasional. Koefisien variasi harga jagung berkisar antara 0,06-19,3 persen. Sedangkan koefisien variasi kedelai hanya berkisar antara 0,2-16,8 persen (Grafik 2). Perubahan harga di pasar dunia ternyata tidak selalu segera diikuti oleh perubahan di harga di tingkat petani. Ini tampak dari fluktuasi harga di kedua pasar tersebut tidak bergerak secara paralel (Lampiran 1-3). Hal ini dapat terjadi antara lain karena pemerintah mengintervensi pasar domestik dengan membuat kebijakan
266
Perubahan Tingkat Harga Komoditas Pangan di Pasar Dunia dan Dampaknya terhadap Harga di Pasar Domestik dan Konsumsi
harga dasar atau harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah di tingkat petani, sehingga perubahan harga di tingkat petani tidak mengikuti perubahan harga dunia. Sedangkan untuk jagung dan kedelai, perubahan harga di pasar dunia tidak ditransmisikan secara sempurna ke harga di tingkat petani. Hal ini diduga karena asymetric information. Selain itu, karena kualitas produk di tingkat petani berbeda dengan kualitas yang diperdagangkan di pasar dunia. Kualitas produk di tingkat petani masih beragam, sedangkan di pasar dunia sudah tertentu. 40,0 35,0 30,0
(%)
25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0
Mar90
Mar93
Mar96 Beras
Mar99 Jagung
Mar02
Mar05
Mar08
Kedelai
Grafik 2. Perkembangan Koefisien Variasi Harga Beras, Jagung dan Kedelai di Pasar Internasional, Januari 1990- Oktober 2008
Tidak seperti harga di pasar internasional, volatilitas harga di pasar domestik tampak relatif lebih kecil (Lampiran 4-6). Harga di tingkat petani, grosir dan eceran bergerak secara bersama-sama. Ini mengindikasikan bahwa perubahan harga eceran ditransmisikan ke harga di tingkat petani dan harga grosir. Namun selama periode 1998-2000 tampak bahwa peningkatan harga di tingkat grosir dan eceran tidak diikuti peningkatan harga di tingkat petani. Perkembangan koefisien variasi baik di pasar dunia maupun domestik disajikan pada Lampiran 7-9. Harga GKG dan harga jagung di tingkat produsen menunjukkan koefisien variasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga kedelai di tingkat petani. Dengan demikian, upaya pemerintah untuk menstabilkan gejolak harga gabah masih belum sepenuhnya berhasil dilakukan. Harga jagung di pasar domestik tampaknya lebih volatil dibandingkan dengan pasar internasional. Hal ini terlihat dari koefisien variasi harga internasional hanya berkisar antara 0,1-8,2 persen. Sementara harga di tingkat petani menunjukkan volatilitas yang lebih tinggi, dengan nilai koefisien variasi sekitar 0,230,5 persen. Seperti juga beras, ini dapat terjadi karena produk di tingkat petani masih beragam dan adanya asymetric information serta posisi tawar petani yang masih rendah. Demikian pula harga jagung di tingkat grosir menunjukkan volatilitas yang cukup tinggi dengan koefisien variasi berkisar antara 0-22,5 persen. Harga
267
Reni Kustiari dan Sri Nuryanti
eceran jagung menunjukkan volatilitas yang terendah, ini tampak dari koefisien variasi yang hanya berkisar antara 0 - 15 persen. Seperti harga jagung, harga kedelai di pasar domestik tampaknya lebih volatil dibandingkan dengan harga di pasar internasional. Hal ini terlihat dari koefisien variasi harga internasional hanya berkisar antara 0,4-10,0 persen. Sedangkan harga grosir menunjukkan volatilitas yang tertinggi dengan koefisien variasi berkisar antara 0,06-15,5 persen. Kemudian diikuti oleh harga eceran yang menunjukkan volatilitas lebih rendah, ini tampak dari nilai koefisien variasi yang hanya berkisar antara 0-13,9 persen. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan harga di pasar internasional tidak ditransmisikan secara sempurna ke pasar domestik. Harga di tingkat petani menunjukkan volatilitas harga yang terendah dengan nilai koefisien variasi hanya sekitar 0,06 - 9,9 persen. Laju pertumbuhan harga beras di pasar dunia selama periode 1990-1994 adalah 0,32 persen per bulan, namun harga rata-rata tahunan menunjukkan penurunan 0,3 persen per tahun. Sedangkan selama 1995-2007 (era liberalisasi perdagangan) laju pertumbuhan naik menjadi 0,49 persen per bulan atau 6,6 persen per tahun. Sedangkan di pasar domestik selama periode Januari 1998–Juli 2008, harga bulanan GKG di tingkat petani menunjukkan laju peningkatan sebesar 1,24 persen per bulan, kemudian diikuti oleh harga beras grosir 1,22 persen dan harga beras eceran 1,15 persen per bulan. Sementara rata-rata harga tahunan di tingkat grosir menunjukkan laju pertumbuhan tertinggi yaitu 10,4 persen per tahun. Dalam periode yang sama harga GKG di tingkat petani dan harga beras eceran meningkat dengan laju masing-masing sebesar 9,7 persen dan 9,5 persen. Intervensi pemerintah telah membuat harga di pasar domestik meningkat lebih cepat dibandingkan dengan pasar dunia. Harga jagung di pasar dunia selama periode 1990-1994 menurun sebesar 0,1 persen per bulan atau 0,4 persen per tahun. Namun selama 1995-2007 laju pertumbuhan naik menjadi 0,49 persen per bulan atau 5,6 persen per tahun. Sebagai dampaknya, selama periode Januari 1998–Juli 2008, harga jagung di pasar domestik meningkat dengan laju sekitar 0,98 persen, 1,02 persen, dan 0,88 persen per bulan, atau 9,16 persen persen, 8,38 persen, dan 8,27 persen per tahun masing-masing untuk harga eceran, harga grosir dan harga di tingkat petani. Harga kedelai di pasar dunia selama periode 1990-1994 relatif stabil dengan laju pertumbuhan hanya sekitar 0,01 persen per bulan atau 0,5 persen per tahun. Namun dalam era perdagangan bebas (1995-2007), harga meningkat dengan laju pertumbuhan yang lebih tinggi, yaitu sebesar 0,45 persen per bulan atau 5,63 persen per tahun. Sejalan dengan hal itu harga di pasar domestik meningkat dengan laju 1,06 persen, 1,03 persen, dan 1,02 persen per bulan atau 8,05 persen, 6,57 persen, dan 8,29 persen per tahun masing-masing untuk harga eceran, harga grosir, dan harga di tingkat petani, selama periode 1998-2007. Harga komoditas pertanian di pasar dunia tampak meningkat dari waktu ke waktu, terutama selama tahun 2007. Beberapa penyebabnya, yaitu (1) penduduk dunia bertambah; (2) beberapa komoditas pertanian yang semula hanya digunakan untuk keperluan pangan akhir-akhir ini digunakan juga sebagai energi alternatif (biofuel); (3) meningkatnya permintaan produk ternak, produk pertanian
268
Perubahan Tingkat Harga Komoditas Pangan di Pasar Dunia dan Dampaknya terhadap Harga di Pasar Domestik dan Konsumsi
untuk manusia juga digunakan untuk pakan ternak; (4) kemunduran di pasar modal dan finansial global menyebabkan investor mengalihkan aktivitasnya di bursa komoditas, akibatnya harga komoditas meningkat tajam; (5) perubahan cuaca akibat global warming; (6) kebijakan negara-negara produsen menghentikan ekspor; dan (7) meningkatnya ekonomi China dan India yang berpopulasi raksasa tumbuh tinggi sehingga konsumsinya meningkat (Husodo, 2008). Selain dengan menggunakan koefisien variasi, volatilitas harga dapat dilihat dengan uji stasionaritas. Uji stasionaritas terhadap harga di tingkat petani, grosir, eceran dan dunia disajikan pada Tabel Lampiran 10-12. Hasil uji stasionaritas menunjukkan bahwa harga GKG dan beras grosir stasionar pada ordo 0, ini diduga karena adanya kendali dari pemerintah. Kedua peubah harga ini mempunyai hubungan jangka panjang (kointegrasi). Sedangkan harga beras eceran dan harga di pasar dunia terintegrasi pada ordo 1. Harga grosir dan harga eceran jagung sudah stasionar pada ordo 0, sedangkan harga produsen dan harga dunia baru stasionar pada ordo 1. Dengan demikian keempat deret harga stasionar pada ordo 1, sehingga keempat peubah harga tersebut mempunyai hubungan jangka panjang atau terkointegrasi pada ordo 1. Harga kedelai di tingkat petani stasionar pada ordo 0, sementara harga grosir, harga eceran, dan harga di pasar dunia baru stasionar pada ordo 1. Ini mengindikasikan bahwa keempat deret harga kedelai stasionar pada ordo 1, dengan perkataan lain peubah harga tersebut mempunyai hubungan jangka panjang karena terkointegrasi pada ordo 1. Tingkat Konsumsi Sampai saat ini harga pangan masih memberi kontribusi besar dalam pembentukan tingkat inflasi di Indonesia. Persentase inflasi telah mengurangi nilainilai riil dalam ekonomi, termasuk tingkat pendapatan. Karena kenaikan harga, maka masyarakat melakukan penyesuaian dalam hal alokasi pengeluaran, termasuk di dalamnya pengeluaran pangan. Meskipun banyak kajian menyebutkan bahwa elastisitas permintaan pangan terhadap harga pangan inelastis, namun pada kenyataannya seiring dengan kecenderungan harga yang meningkat jumlah konsumsi pangan penduduk relatif berkurang. Hal ini berhubungan dengan alokasi anggaran (bukan kuantitas yang dikonsumsi). Tampak dalam Grafik 3 bahwa konsumsi beras per kapita penduduk di perdesaan maupun perkotaan cenderung menurun rata-rata 1,98 persen per tahun. Tingkat penurunan yang lebih tinggi terjadi di daerah perdesaan yang dalam hal ini merupakan daerah pertanian atau penghasil padi bahan baku beras. Detil konsumsi beras menurut wilayah disajikan dalam Tabel Lampiran 13. Volumetris beras memang sangat diatur di Indonesia, sehingga meskipun banyak beras impor di pasar dunia, jumlah impornya selalu dalam batas pengawasan dan aturan pemerintah. Oleh karena itu, volume impornya cenderung menurun. Detil tentang volume ekspor dan impor beras disajikan dalam Tabel Lampiran 14. Selain beras, di Indonesia makanan pokok yang dihasilkan petani adalah jagung. Dalam periode yang sama, penduduk menunjukkan kecenderungan peningkatan konsumsi beras jagung. Hal ini terjadi di daerah perkotaan maupun
269
Reni Kustiari dan Sri Nuryanti
perdesaan. Detil tentang konsumsi beras jagung menurut wilayah disajikan dalam Tabel Lampiran 15. Fenomena ini menarik dan memunculkan dugaan bahwa penduduk berpindah ke bahan pangan lain yang lebih murah daripada beras atau karena perubahan pola makan untuk mengurangi asupan kalori. Banyaknya jenis penyakit yang diderita masyarakat akibat kelebihan konsumsi kalori menciptakan pilihan sumber karbohidrat yang lebih rendah kadar kalorinya, antara lain jagung. Dugaan ini didasarkan tingkat kenaikan konsumsi per kapita jagung di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan perdesaan. Kemungkinan yang lain ketersediaan jagung tidak saja dari domestik, namun mudah dalam importasinya. Diduga permintaan jagung tidak saja untuk pakan namun juga berkembang menjadi pangan, maka volume impor jagung pun cenderung, meningkat. Detil volume ekspor dan impor jagung disajikan dalam Tabel Lampiran 16. Konsumsi Pangan 1,000.0
Kg/Kap/Th
100.0
10.0
1.0
2002
2003
2004
2005
2006
2007
0.1
0.0
Tahun Beras
Beras Jagung
Tepung Terigu
Mi Instan
Grafik 3. Perkembangan Konsumsi Beberapa Bahan Pangan, 2002-2007
Ariani (2007) menyatakan bahwa pola konsumsi pangan di Indonesia masih belum sesuai dengan pola pangan ideal yang tertuang dalam pola pangan harapan (PPH). Konsumsi dari kelompok padi-padian termasuk beras dan jagung masih dominan di perkotaan dan perdesaan. Yang mengejutkan, Ariani (2007) menyebutkan bahwa di Indonesia saat ini yang menjadi pangan pokok adalah beras, jagung, ubikayu, ubijalar, tales, sagu, pisang (khususnya di provinsi Papua) ditambah dengan makanan berupa mi instant, mi basah, dan lain-lain yang bahan bakunya dari gandum. Menurut Fabiosa (2006) pertumbuhan pendapatan dan urbanisasi di Indonesia merupakan faktor utama terjadinya pergeseran konsumsi
270
Perubahan Tingkat Harga Komoditas Pangan di Pasar Dunia dan Dampaknya terhadap Harga di Pasar Domestik dan Konsumsi
bahan pangan pokok dari beras ke produk gandum. Masyarakat perkotaan hanya berkontribusi sebanyak 0,11–0,13 persen terhadap peningkatan konsumsi produk berbahan baku gandum. Dari sisi ketahanan pangan domestik, fenomena tersebut mengkhawatirkan. Berdasarkan temuan Ariani (2007) tersebut maka perkembangan konsumsi tepung terigu dan mi instan menjadi bagian dari kajian ini sebagai pembanding antara bahan pangan pokok produksi lokal dan yang berbahan baku impor. Selama periode yang sama, 2002-2007 konsumsi per kapita tepung terigu di perkotaan dan perdesan cenderung meningkat. Namun laju peningkatannya lebih tinggi di perdesaan. Konsumsi per kapita tepung terigu di perkotaan bertumbuh 7,10 persen per tahun, di perdesaan bertumbuh 9,67 persen per tahun serta secara agregat bertumbuh sebesar 8,55 persen per tahun. Sementara itu, konsumsi per kapita mi instan di perkotaan bertumbuh sebesar 12,11 persen per tahun, sedangkan di perdesaan bertumbuh jauh lebih tinggi sebesar 16,99 persen per tahun. Namun secara agregat konsumsi min instan bertumbuh menurun sebesar 5,50 persen per tahun. Detil tentang konsumsi terigu dan mi instan menurut wilayah disajikan dalam Tabel Lampiran 18a dan 118b. Peralihan pola konsumsi masyarakat perdesaan lokasi produsen pangan yang demikian cepat, bahkan lebih tinggi dari perkotaan untuk makanan yang berasal dari gandum, terutama tepung terigu dan mi instan telah mendorong peningkatan impor gandum atau tepung terigu. Selain itu akan menyebabkan berkurangnya permintaan pangan yang berasal dari sumber daya dalam negeri (Sawit, 2003). Padahal Hardono dan Saliem (2007) menyebutkan bahwa dalam perbandingan secara intertemporal, kenaikan jumlah sumber pendapatan rumah tangga di desa lebih rendah dibandingkan di kota selama periode 1996-2002. Selain itu, kenaikan sumber pendapatan pada rumah tangga berpendapatan rendah lebih sedikit dibandingkan rumah tangga berpendapatan tinggi. Asumsi bahwa penduduk perdesaan relatif lebih rendah tingkat pendapatannya dibandingkan perkotaan. Kenyataan ini berimplikasi bahwa masyarakat berpendapatan rendah lebih cepat bergeser pola makannya, dari bahan pangan lain ke pangan berbahan baku terigu. Tepung terigu yang dimaksud adalah jenis makanan dari bahan biji-bijian yang tercatat dalam data pengeluaran untuk konsumsi penduduk Indonesia. Gandum sebenarnya bukan bahan makanan pokok masyarakat Indonesia. Sudah pasti karena tidak dihasilkan sendiri di Indonesia, seluruhnya didatangkan dari impor. Namun, beberapa tahun terakhir telah menjadi bahan makanan pokok selain beras. Permintaan atas gandum dan tepung terigu terus meningkat (Sawit, 2003). Gandum impor digiling menjadi terigu oleh industri penggilingan dalam negeri (Batan, 2003). Karena permintaannya yang terus meningkat maka volume impor gandum terus meningkat sejak tahun 2005 (Tabel Lampiran 19) dan diprediksi akan lebih tinggi lagi tecermin dari tingkat pertumbuhan impornya. Selain itu, peningkatan jumlah penduduk dan perubahan pola makan rakyat Indonesia juga (Batan, 2003). Menurut Sawit (2003), perubahan peran terigu dan pola konsumsi itu tidak terlepas dari berbagai kebijakan pemerintah, sehingga berpengaruh terhadap
271
Reni Kustiari dan Sri Nuryanti
keputusan konsumen atau tingkat konsumsi terigu, serta pesatnya perkembangan industri penggilingan gandum. Hal ini daat berdampak negatif, sebagian juga dapat berdampak positif. Dampak negatifnya masyarakat menjadi semakin tergantung pada bahan pangan impor, sangat rentan terhadap gejolak ekonomi dunia. Dampak positifnya, masyarakat memperoleh bahan pangan murah dan mudah diperoleh. Dampak agregatnya akan melemahkan ketahanan pangan nasional, karena masyarakat tidak lagi tergantung pada bahan pangan domestik, namun justru meningkatkan ketergantungan pada impor.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Harga komoditas pangan di pasar dunia sesudah tahun 1994, era liberalisasi perdagangan global, lebih volatil dibandingkan dengan sebelumnya. Oleh karena itu, ketergantungan konsumsi domestik kepada pasar dunia akan sangat beresiko. Untuk menghindari ketergantungan tersebut maka pemerintah harus selalu mengupayakan peningkatan produksi yang sesuai dengan karakteristik permintaan di pasar domestik. Walaupun tataniaga jagung dan kedelai tidak diatur oleh pemerintah, perkembangan harga di tingkat petani tidak mengikuti perkembangan harga di pasar dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan harga di pasar dunia tidak ditransmisikan secara sempurna ke pasar domestik. Oleh karena itu, harus diupayakan mekanisme pasar yang memungkinkan petani dapat ikut menikmati jika terjadi kenaikan harga di pasar dunia. Di Indonesia komoditas pangan terkait erat dengan pengembangan perdesaan dan ketahanan pangan. Oleh karena itu pemerintah harus selalu berupaya melakukan kebijakan seperti yang diperjuangkan oleh negara-negara berkembang yang tergabung dalam Group 33 (G33) untuk melindungi petani melalui konsep special product (SP) dan special safeguard mechanism (SSM). Perkembangan harga terbukti mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat. Kecenderungan naiknya harga pangan menyebabkan perubahan pola makan masyarakat, terutama makanan pokok. Pola makan pokok bergeser dari beras ke selain beras, antara lain beras jagung dan pangan berbahan baku gandum, yaitu tepung terigu dan mi instan. Bahan pangan selain beras tidak saja berasal dari produksi domestik, namun juga dari impor yang lebih mudah aturannya dan lebih murah harganya dibandingkan dengan beras. Pergeseran pola makan paling cepat terjadi di perdesaan. Masyarakat di daerah produsen pangan justru lebih tergantung pada pangan impor. Hal ini akan berpengaruh negatif terhadap ketahanan pangan nasional. Untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada pasar dunia (terutama beras) maka program jangka panjang yang harus dilakukan pemerintah adalah meningkatkan produksi dalam negeri dan diversifikasi bahan pangan lokal. Selain itu importasi untuk bahan pangan impor harus diperketat untuk menekan laju
272
Perubahan Tingkat Harga Komoditas Pangan di Pasar Dunia dan Dampaknya terhadap Harga di Pasar Domestik dan Konsumsi
ketergantungan impor yang lebih tinggi lagi. Produksi beras, kedelai dan jagung harus diprioritaskan agar stok di dalam negeri tetap aman.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2002-2007. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia. BPS, Jakarta. Batan.
2003. Penelitian Pemuliaan Tanaman Gandum dengan http://www.batan.go.id/patir/_kerma/pert/bogasari/bogasari.html.
Bulog.
2008. Statistik Perkembangan Harga http://www.bulog.co.id/datastatistik.php (13 mei 2008).
Data
Teknik
Mutasi.
Operasional,
Dickey, A. D. and W.A. Fuller. 1981. Likelihood Ratio Statistics for Autoregressive Time Series With a Unit Root. Econometrica, 49(4): 1057-1072. Enders, W. 1995. Applied Econometric Time Series. John Wiley & Sons Inc., New York. Hardono, G.S. dan H.P. Saliem. 2007. Diversifikasi Pendapatan Rumah Tangga Di Indonesia:Analisa Data BPS. Dalam Suradisastra et al. (2007). Diversifikasi Upayatani dan Konsumsi: Suatu Alternatif Peningkatan Kesejahteraan Rumah Tangga Petani. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Mono27-5.pdf (21 Juli 2008). Sawit, M.H. 2003. Kebijakan Gandum/Terigu: Harus mampu Menumbuh dan Mengembangkan Industri Pangan dalam Negeri. Analisa Kebijakan Pertanian, Vol. I(2), Juni 2003, Pusat Analisa Sosek dan Kebijakan Pertanian. Husodo, S.Y. 2008. Menjadi Negara Eksportir Pangan Tropis. http://www.targetmdgs.org/ index.php (13 Mei 2008). Fabiosa, J.F. 2006. Westernization of the Asian Diet: The Case of Rising Wheat Consumption in Indonesia. Working Paper 06-WP 422 April 2006, www.card.iastate.edu/publications/DBS/PDFFiles/06wp422.pdf (29 Oktober 2008). Ariani, M. 2007. Diversifikasi Konsumsi Pangan di Indonesia : antara Harapan dan Kenyataan. Dalam Suradisastra et al. (2007). Diversifikasi Upayatani dan Konsumsi: Suatu Alternatif Peningkatan Kesejahteraan Rumah Tangga Petani. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Mono27-7.pdf (21 Juli 2008) Rachman, H.P.S. 2005. Metode Analisis Harga Pangan. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/ pdffiles/Mono26-7.pdf (21 Juli 2008). Ravallion, M. 1986. Testing Market Integration. American Journal of Agricultural Economics, 68(1): 102-109. Sexton, R. J., Kling, L. C. and Carman, H. F. 1991. Market Integration, Efficiency of Arbitrage, and Imperfect Competition: Methodology and Application to U.S. Celery. American Journal of Agricultural Economics, 73(3): 568-580. United
Nations Statistics Division. 2008. Commodity Trade Statistics Database (COMTRADE). http://comtrade.un.org/db/dqBasicQuery (20 Oktober 2008).
World
Bank. 2008. Prospects:Commodity Price Data (Pink Sheet). http://econ.worldbank.org/ WBSITE/EXTERNAL/EXTDEC/EXTDECPROSPECTS/.
273
3500.0
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
3000.0 (Rp/Kg)
2500.0 2000.0 1500.0 1000.0 500.0 0.0
(US$/MT)
Reni Kustiari dan Sri Nuryanti
J an- J an- J an- J an- J an- J an- J an- J an- Jan- Jan- J an9 8 9 9 00 01 02 03 04 05 0 6 0 7 0 8 Harga Produsen
Harga Dunia
Sumber: Worldbank (2008) dan Bulog (2008)
Lampiran 1. Perkembangan Harga Gabah Kering Giling di Tingkat Petani dan Harga Beras di Pasar Internasional, Januari 1998- Agustus 2008
2500
200 150
1500 100 1000
(US$/MT)
(Rp/Kg)
2000
50
500 0
0 Jan- J an- Jan- J an- Jan- J an- J an- J an- J an- J an04 06 98 99 00 01 02 03 05 07
Harga Produsen
Harga Dunia
Sumber: Worldbank (2008) dan Bulog (2008)
Lampiran 2. Perkembangan Harga Jagung di Tingkat Petani dan Harga di Pasar Internasional, Januari 1998- September 2008
274
7000
700
6000
600
5000
500
4000
400
3000
300
2000
200
1000
100
0
Ja
(US$/MT)
(Rp/Kg)
Perubahan Tingkat Harga Komoditas Pangan di Pasar Dunia dan Dampaknya terhadap Harga di Pasar Domestik dan Konsumsi
0 Ja Ja Ja Ja Ja Ja Ja Ja Ja Ja nnnnnnnnnnn98 99 02 05 06 00 01 03 04 07 08 Harga Produsen
Harga Dunia
Sumber: Worldbank (2008) dan Bulog (2008)
Lampiran 3. Perkembangan Harga Kedelai di Tingkat Petani dan Harga di Pasar Internasional, Januari 1998- September 2008
6000,0
(Rp/Kg)
5000,0 4000,0 3000,0 2000,0 1000,0 0,0
Jan-9 8
Jan-0 0 Harga Produsen
Jan-0 2 Harga Grosir
Jan-0 4
Jan-0 6 Harga Eceran
Sumber: Bulog (2008)
Lampiran 4. Perkembangan Harga Gabah Kering Giling, Harga Beras Grosir dan Eceran, Januari 1998- April 2007
275
Reni Kustiari dan Sri Nuryanti
3500 3000
(Rp/kg)
2500 2000 1500 1000 500 0
Ja n-9 8
Ja n-9 9
Ja n-0 0
Ja n-0 1
Ja n-0 2
Harga Produsen
Ja n-0 3
Ja n-0 4
Ja n-0 5
Harga Grosir
Ja n-0 6
Ja n-0 7
Harga Eceran
Sumber: Bulog (2008)
Lampiran 5. Perkembangan Harga Jagung di Tingkat Petani, Harga Grosir dan Eceran, Januari 1998- Desember 2007
8000 7000
(Rp/Kg)
6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
Ja
n98
Ja n9
Ja 9
n00
Ja n0
1
Harga Produsen
Ja n0
Ja 2
n03
Ja n0
Ja 4
Harga Gros ir
n05
Ja
n06
Ja n0
Ja 7
n08
Harga Eceran
Sumber: Bulog (2008)
Lampiran 6. Perkembangan Harga Kedelai di Tingkat Petani, Harga Grosir dan Eceran, Januari 1998- Desember 2007
276
Perubahan Tingkat Harga Komoditas Pangan di Pasar Dunia dan Dampaknya terhadap Harga di Pasar Domestik dan Konsumsi
25.0 20.0
(%)
15.0 10.0 5.0 0.0
Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar -04 -06 -98 -99 -00 -01 -02 -03 -05 -07 Harga Produsen
Harga Grosir
Harga Eceran
Harga dunia
Lampiran 7. Perkembangan Koefisien Variasi Harga GKG dan Beras di Pasar Domestik dan Pasar Dunia, Januari 1998–April 2007
35.0 30.0
(%)
25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0
Ma
Ma
07 r-
06 r-
05 r-
04 rEceran
Ma
Ma
03 r-
02 r-
01 r-
00 r-
99 r-
98 r-
Gros ir
Ma
Ma
Ma
Ma
Ma
Ma
Produsen
Dunia
Lampiran 8. Perkembangan Koefisien Variasi Harga Jagung di Pasar Domestik dan Pasar Internasional, Januari 1998-September 2008
277
Reni Kustiari dan Sri Nuryanti
18.0 16.0 14.0
(%)
12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
M
ar -9 8
M
ar
M -9 9
ar
M -0 0
Harga Produsen
ar -0 1
M
ar
M -0 2
Harga Gros ir
ar
M -0 3
ar
M -0 4
ar -0 5
Harga Eceran
M
ar
M -0 6
ar
M -0 7
ar
-0 8
Harga Dunia
Lampiran 9. Perkembangan Koefisien Variasi Harga Kedelai di Pasar Domestik dan Pasar Internasional, Januari 1998 - September 2008
Tabel Lampiran 10. Uji Stasionaritas Harga GKG di Tingkat Petani, Harga Beras Grosir, Eceran dan Dunia Harga
Peubah pada Level Jumlag Lag
Peubah pada Beda pertama
Uji ADF Jumlag Lag A. Konstanta tanpa slope -2,809* 0
Uji ADF
Produsen
1
-14,459***
Grosir
O
-2,785
0
- 6,897***
Eceran
1
-1,454
0
- 7,072***
Dunia
1
-1,155
0
-7,366***
B. Konstanta dengan slope Produsen
0
-4,135***
0
-14,467***
Grosir
0
-3,278*
0
-6,913***
Eceran
1
-2,487
0
- 7,029***
Dunia
1
-1,619
0
-7,457***
Keterangan: ***, ** dan * nyata pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen.
278
Perubahan Tingkat Harga Komoditas Pangan di Pasar Dunia dan Dampaknya terhadap Harga di Pasar Domestik dan Konsumsi
Tabel Lampiran 11. Uji Stasionaritas Harga Jagung di Tingkat Petani, Grosir, Eceran dan Dunia Peubah pada Level Harga
Jumlag Lag
Produsen
0
Grosir
11
Eceran Dunia
Uji ADF
Peubah pada Beda pertama Jumlag Lag
A. Konstanta tanpa slope -1,410
Uji ADF
0
-9,725***
-1,037
0
-10,532***
1
0,488
0
-11,096***
1
-0,933
0
-11,561***
B. Konstanta dengan slope Produsen
0
-2,332
0
-9,761***
Grosir
0
-4,351***
0
-10,522***
Eceran
1
-3,294*
0
-10,395***
Dunia
1
-2,483
0
-8,938***
Keterangan: ***, ** dan * nyata pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen.
Tabel Lampiran 12. Uji Stasionaritas Harga Kedelai di Tingkat Petani, Grosir, Eceran dan Dunia Peubah pada Level Harga
Jumlag Lag
Uji ADF
Peubah pada Beda pertama Jumlag Lag
Uji ADF
A. Konstanta tanpa slope Produsen
0
-3,490*
0
-7,963***
Grosir
0
-2,615
0
-8,772***
Eceran
1
-0,787
0
-7,252***
Dunia
1
-0,689
0
-7,163***
Produsen
0
-1,891
0
-8,006***
Grosir
0
-1,646
0
-8,834***
Eceran
1
-2,251
0
-7,189***
Dunia
1
-2,573
0
-7,309***
B. Konstanta dengan slope
Keterangan: ***, ** dan * nyata pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen.
279
Reni Kustiari dan Sri Nuryanti
Tabel Lampiran 13. Konsumsi Beras (kg) per Kapita per Tahun menurut Wilayah, 20022007 Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 %/Tahun Sumber: BPS (2002-2007).
Kota 89,13 89,34 88,61 84,81 85,90 81,59 -1.72
Desa 108,84 108,37 106,44 105,40 103,32 98,23 -1.90
Desa+Kota 100,05 100,36 98,75 95,89 95,63 90,22 -1.98
Tabel Lampiran 14. Volume Ekspor dan Impor Beras (Ton), 1996-2007 Tahun
Ekspor
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Impor
196 64 2.001 2.700 1.247 4.010 3.991 676 904 42.286 959 1.613
2.149.758 349.681 2.895.119 4.751.398 1.355.666 644.733 1.805.380 1.428.506 236.867 189.617 438.109 1.406.848
%/Tahun 21,54 Sumber : http://comtrade.un.org/db/dqBasicQuery (diolah)
-12,42
Tabel Lampiran 15. Konsumsi Beras Jagung (kg) per Kapita per Tahun menurut Wilayah, 2002-2007 Tahun
Kota
Desa
Desa+Kota
2002 2003 2004 2005
0,42 0,16 0,16 0,16
4,73 3,80 4,32 3,95
2,81 2,29 2,50 2,18
2006 2007
0,36 0,68
4,37 5,46
2,60 3,12
14,20
3,00
2,22
%/Tahun Sumber: BPS 2002-2007.
280
Perubahan Tingkat Harga Komoditas Pangan di Pasar Dunia dan Dampaknya terhadap Harga di Pasar Domestik dan Konsumsi
Tabel Lampiran 16. Volume Ekspor dan Impor Jagung (Ton), 1996-2007 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Ekspor 26.830 18.957 624.942 90.647 28.066 90.474 16.306 33.691 32.679 54.009 28.074 101.740
Impor 616.941 1.098.354 299.917 618.060 1.264.575 1.035.797 1.154.063 1.345.446 1.088.928 185.597 1.775.321 701.953
%/Tahun -1,82 Sumber : http://comtrade.un.org/db/dqBasicQuery (diolah)
1,93
Tabel Lampiran 17. Volume Ekspor dan Impor Kedelai (Ton), 1996-2007 Tahun Ekspor 1996 240 1997 6 1998 0 1999 5 2000 521 2001 1.188 2002 235 2003 0 2004 1.300 2005 876 2006 1.732 2007 1.872 %/Tahun 46,35 Sumber : http://comtrade.un.org/db/dqBasicQuery (diolah)
Impor 746.329 616.375 343.124 1.301.755 1.277.685 1.136.419 1.365.253 1.192.717 1.115.793 1.086.178 1.132.144 1.411.589 6,91
Tabel Lampiran 18a. Konsumsi Tepung Terigu (kg) per Kapita per Tahun menurut Wilayah, 2002-2007 Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 %/Tahun Sumber: BPS (2002-2007).
Kota 1,35 1,04 1,30 1,25 1,40 1,87 7,10
Desa 1,04 1,04 1,14 1,35 1,20 1,82 9,67
Desa+Kota 1,20 1,04 1,20 1,30 1,30 1,87 8,55
281
Reni Kustiari dan Sri Nuryanti
Tabel Lampiran 18b. Konsumsi Mi Instan (kg) per Kapita per Tahun menurut Wilayah, 2002-2007 Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 %/Tahun Sumber: BPS 2002-2007.
Kota 0,04 0,03 0,04 0,04 0,04 0,07 12,11
Desa 0,02 0,02 0,02 0,03 0,03 0,05 16,99
Desa+Kota 0,03 0,28 0,03 0,03 0,04 0,06 -5,50
Tabel lampiran 19. Nilai dan Volume Impor Gandum, 2001-2007 Tahun Nilai (US $) 2001 399.521.728 2002 614.447.972 2003 579.924.997 2004 838.577.108 2005 799.003.390 2006 816.120.633 2007 1.181.312.663 %/Tahun 14,79 Sumber : http://comtrade.un.org/db/dqBasicQuery (diolah)
282
Volume (Ton) 2.717.608 4.250.272 3.502.373 1.870.121 4.428.511 4.482.806 4.615.694 6,89