Buletin Penelitian Hortikultura, Tahun 1995, Volume XXVII, Nomor (4)
KERAGAAN PASAR KOMODITAS CABAI MERAH DI JAWA Witono Adiyoga*)
ABSTRACT Adiyoga, W. 1995. The Performance of Hot Pepper Markets in Java. Hot pepper monthly price data from five major cities in Java (Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta and Surabaya) covering the period of 1987 – 1992 were examined to test the market integration. Prices in Jakarta were taken to represent the reference price, because of the city’s importance as a consuming center. The results indicated that the change in local price of hot pepper (in Bandung, Semarang, Surakarta, and Surabaya) was significantly influenced by the change of hot pepper price in Jakarta for the same period, last period’s spatial price margin, and last period’s hot pepper price in Jakarta. Further tests indicated that while the hypothesis of local market segmentation was universally rejected, so was full short run integration. However, some indicators (especially for Bandung) suggested that the economic forces causing price changes in Jakarta were generally being reflected in the price of hot pepper in Bandung. In this sense, a form of integration was taking place, even though Jakarta and Bandung markets were not being liked in the short run (i.e. changes in the spatial margin were not being passed of fully). It seemed probable that the market connectedness for the existing hot pepper marketing system was more likely to lie between those two extreme conditions. Bull.Penel.Hort. 27(4).
Pasar dapat didefinisikan sebagai suatu lokasi atau keadaan yang dapat memberikan akomodasi bagi penjual dan pembeli untuk saling berkomunikasi mewakili kekuatan penawaran dan permintaan. Dalam proses komunikasi ini, harga suatu komoditas disepakati pada suatu tingkat tertentu dan perubahannya (naik atau turun) merupakan respon terhadap perubahan penawaran serta permintaan. Melalui mekanisme pasar yang kompleks, peranan harga menjadi sangat penting dalam menentukan alokasi sumberdaya pada sisi produksi dan mengatur distribusi pengeluaran pada sisi konsumsi (Bressler dan King, 1978). Peranan harga tersebut tentunya tidak terlepas dari keragaan pasar sebagai sumber informasi. Khususnya untuk komoditas sayuran yang memiliki sifat mudah rusak, pengetahuan dan informasi tentang situasi, sifat dan kelakuan pasar sangat diperlukan terutama oleh petani produsen (Reksodimulyo, 1991). Pada dasarnya, suatu pasar tidak dapat secara sepihak (berdiri sendiri) bertindak sebagai penentu harga dan kuantitas produk yang diperjualbelikan. Perilaku penjual dan pembeli pada suatu pasar tertentu selalu dipengaruhi oleh petunjuk harga dan kemungkinan-kemungkinan substitusi dari pasar-pasar lain. Derajat hubungan antara pembentukan harga suatu komoditas di pasar tertentu dengan pembentukan harga komoditas bersangkutan di pasar-pasar lain dapat diestimasi melalui analisis data serial waktu. Derajat hubungan ini dapat digunakan sebagai indikator keragaan pasar ditinjau dari integrasinya berdasarkan konsep ruang (Harris, 1979).Dalam suatu sistem pasar yang terintegrasi, harga-harga dari pasar yang berbeda akan saling berkorelasi (positif) sebagai pencerminan lancarnya arus informasi (perkembangan harga komoditas tertentu) antar pasar. Hasil pengukuan mengenai integrasi pasar dapat digunakan sebagai data dasar untuk memahami mekanisme yang terjadi pada pasar-pasar tertentu (Ravallion, 1986). Cabai merah termasuk komoditas yang tidak diatur tataniaganya (tidak ada campur tangan pemerintah dalam bentuk peraturan tertulis tataniaga cabai merah), sehingga harga produk yang terjadi sangat tergantung pada mekanisme pasar (Setiadi, 1994). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Koster (1989), harga cabai merah diduga sangat dipengaruhi oleh pemebentukan harga di tingkat pedagang besar. Hal ini terjadi karena melalui jaringannya, pedagang besar memiliki kemudahan untuk memperoleh informasi yang menyangkut situasi penawaran dan permintaan. Penelitian yang bersifat deskriptif tersebut juga menyimpulkan bahwa tataniaga cabai merah di Jawa relatif seragam dan *
Staf Peneliti Agroekonomi Balithort Lembang 1
transparan. Kesimpulan ini menarik untuk diperhatikan karena secara implisit memberikan indikasi adanya integrasi pasar sebagai akibat langsung lancarnya arus informasi. Sedangkan di sisi lain, hasil penelitian ini juga menemukan adanya dominasi pedagang besar dalam proses mendapatkan konfirmasi mengenai derajat hubungan antar pasar (integrasi pasar) komoditas cabai merah. METODOLOGI Metodologi yang digunakan dalam kajian ini adalah adaptasi dari analisis struktur, perilaku dan keragaan (structure, conduct, and performance analysis). Sesuai dengan konteks kajian yang dilakukan, penekannya adalah pada analisis keragaan (pendekatan yang digunakan untuk menjembatani struktur formal teori ekonomi dengan pengamatan empiris) berdasarkan data sekunder. Kajian ini menggunakan data serial waktu harga bulanan cabai merah besar (di tingkat pedagang besar) di lima kota besar di Jawa (Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta dan Surabaya) untuk periode 1983 – 1993 (Direktorat Bina Usaha Tani dan Pengolahan Hasil Pertanian, 1994). Dalam analisis selanjutnya, harga di pasar Jakarta dianggap sebagai harga pasar acuan karena Jakarta merupakan daerah konsumsi terbesar dibandingkan dengan pasar-pasar di keempat kota besar lainnya. Penggunaan analisis korelasi bivariat (bivariate correlation analysis) dalam pengukuran integrasi pasar banyak mendapat kritik karena beberapa penelitian terdahulu (Lale, 1976; Jones, 1968) membuktikan bahwa pendekatan tersebut dianggap kurang akurat dan mengundang kesalahan interpretasi. Koefisien korelasi yang tinggi antara dua pasar dapat mengindikasikan tidak adanya hubungan fisik (physical disconnection), sedangkan koefisien korelasi yang rendah dapat saja terjadi antara dua pasar yang memiliki pola hubungan perdagangan kompleks (Harriss, 1979; Heytens, 1986). Menanggapi kritik tersebut, Ravallion (1985) mengembangkan suatu model dinamis untuk menghindari bahaya inferensi penggunaan model bivariat sederhana. Model persamaan regresi (autoregressive distributed lag model) yang digunakan adalah sebagai berikut: αi(L)Pit = βi(L)Pt + σi(L)Xit + µit
(1)
Pit = harga di pasar lokal i (Bandung, Semarang, Surakarta dan surabaya) pada saat t. Pt = harga di pasar acuan (Jakarta) pada saat t. Xit = peubah musiman atau lainnya di pasar i pada saat t. i = 1, 2, .................. k. t = 1, 2, .................. n. αi(L) = 1 – aiL - ... – ainLn βi(L) = βi0 + βi1L + ... + βimLm σi(L) = σi0 + σi1L + ... + σinLn. Uuntuk digunakan secara empiris, persamaan (1) harus dispesifikasi kembali agar memenuhi persyaratan estimasi ekonometrik. Melalui manipulasi aljabar, persamaan (1) dapat ditulis sebagai berikut : (Pit - Pit-1) = (αi-1) (Pit – Pt-1) + βi0(Pt – Pt-1) + (αi + βi0 + βi1 – 1) Pt-1 + σiX + µit (2) Persamaan (2) menjelaskan bahwa perubahan harga di pasar lokal merupakan fungsi dari perubahan harga di pasar acuan pada saat yang sama, marjin harga pada saat t-1, harga di pasar acuan pada saat t-1 dan karakteristik pasar lokal : Dari persamaan (2), hipotesis-hipotesis berikut ini dapat diuji: Segmentasi pasar: Hipotesis pasar pada dasarnya membuktikan bahwa perubahan-perubahan harga di pasar acuan sama sekali tidak berpengaruh terhadap perubahan-perubahan harga di pasar lokal. Hipotesis tersebut dapat diterima seandainya pada persamaan (2):
2
βi0 = βi1 = 0
(3)
Pengujian hipotesis ini dapat ditempuh melalui pengujian persamaan (4) dibawah ini: (Pit – Pit-1) = (αi-1)Pit-1 + αiX + µit
(4)
Penerimaan terhadap persamaan (4) memberikan indikasi bahwa harga di pasar lokal 1 hanya tergantung pada harga di pasar tersebut pada saat t-1 dan karakteristik pasar lokal. Integrasi pasar: Hipotesis integrasi pasar pada dasarnya membuktikan bahwa perubahan-perubahan harga acuan secara cepat dan utuh direfleksikan pada tingkat harga di pasar lokal. Hipotesis tersebut mensyaratkan: βi0 = 1, βi(L) = 1 (βit = 0)
(5)
αi = 0
(6)
dan
Jika syarat (5) dan (6) dipenuhi, maka integrasi pasar antara pasar lokal i dan pasar acuan (untuk satu perioda waktu) dpaat diterima. Penerimaan hipotesis yang mengakibatkan βit = 1 dan ai-1 = -1, dapat memberikan indikasi bahwa perubahan harga di pasar acuan pada saat t dan perbedaan harga antara pasar lokal dan pasar acuan pada saat t-1 sepenuhnya tergambarkan dalam pembentukan harga di pasar lokal pada saat t. Persamaan (2) dapat dimanipulasi lebih lanjut untuk memperoleh indikator integrasi pasar tidak langsung (indirect but more subtle indicator of market integration). Untuk maksud tersebut, notasi koefisien regresi pada persamaan 92) dipersingkat menjadi αi-1 = b1, βi0 = b2, a1 + βi0 + βi1 – 1 = b3, σi = b4, sehingga: (Pit - Pit-1)=b1(Pit – Pt-1) + b2(Pt – Pt-1) + b3Pt-1 + b4X + µit
(7)
Peubah-peubah pada persamaan (7) kemudian disusun kembali menjadi: Pit = (1 + b1)Pit-1 + b2(Pt–Pt-1) + (b2–b1)Pt-1 + b4X + µit
(8)
Berdasarkan persamaan (8), Timmer (1985) mengembangkan suatu indeks yang disebut sebagai indeks hubungan pasar/IHP (index of market connection). 1 + b1 IHP = ------------b3 – b1 Mengacu pada konsepsi temuan Ravallion (1985), intensitas pasar terjadi jika b1 = -1 dan IHP = 0. Sementara itu, segmentasi pasar terjadi jika b1 = b3 dan IHP = 8. Pada kondisi normal, besaran b1 akan berkisar antara 0 dan -1, dan indeks hubungan pasar (IHP) pada umumnya bernilai positif. Secara umum, jika besaran IHP semakin mendekati nol, semakin tinggi pula tingkat integrasi pasar.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam kajian ini, harga bulanan cabai merah di pasar Jakarta digunakan sebagai harga acuan, karena Jakarta dapat dikategorikan sebagai daerah pusat konsumsi. Pada dasarnya, harga bulanan cabai merah selama periode 1987 – 1993 di Jakarta, bandung, Semarang, Surakarta dan Surabaya 3
menunjukkan pola musiman yang sama (harga terendah pada bulan Maret/April/Mei dan harga tertinggi pada bulan November/desember/Januari). Dengan demikian, peubah boneka untuk musiman (“seasonality”/karakteristik pasar lokal) tidak diikutsertakan dalam model. Sementara itu, konstanta (intercept) tetap dimasukkan untuk menangkap perbedaan umum tingkat harga diantara kota-kota besar tersebut (dapat menggambarkan beragamnya jarak yang perlu ditempuh dalam memasarkan cabai merah ke daerah pusat konsumsi). Tabel 1 menunjukkan bahwa perubahan harga cabai merah di setiap pasar lokal (Pit – Pit-1) pada umumnya dipengaruhi secara nyata oleh marjin harga spasial pada saat t-1 (Pit – Pt-1), Perubahan harga di pasar acuan pada saat yang sama (Pt – Pt-1), dan harga di pasar acuan pada saat t-1 (Pt-1). Koefisien αi-1 pada dasarnya memberikan indikasi sampai sejauh mana perbedaan harga spasial pada saat t-1 tergambarkan pada perubahan harga di pasar lokal (pada saat t). Sedangkan koefisien βi0 mengukur sampai sejauh mana pedagang besar, pedagang pengecer dan petani di pasar lokal mengetahui secara cukup cepat kondisi dan situasi di pasar acuan yang berpengaruh terhadap harga di pasar lokal pada saat yang sama. Mengamati besaran-besaran αi-1, terdapat kecenderungan bahwa semakin jauh jarak pasar lokal dari pasar acuan, semakin besar peluang perbedaan harga spasial pada saat t-1 tergambarkan pada perubahan harga cabai merah di pasar lokal. Sebagai contoh, jika perbedaan harga antara pasar Jakarta dengan Surabaya pada saat t-1 semakin melebar, sedangkan biaya transaksi tidak berubah, pedagang akan memperoleh insentif untuk tidak menjual produknya ke pasar Surabaya tetapi ke pasar-pasar lainnya di luar sistem. Konsekuensi dari tindakan ini adalah meningkatnya harga cabai merah di pasar lokal Surabaya pada saat t. Sementara itu, besaran-besaran βi0 memberikan indikasi bahwa semakin dekat jarak pasar lokal dari pasar acuan, semakin tinggi tingkat kemudahan bagi pedagang dan petani untuk mengetahui kondisi/situasi di pasar acuan yang berpengaruh terhadap harga cabai merah di pasar lokal. Berdasarkan persamaan regresi yang diperlihatkan pada Tabel 1, hubungan antara setiap pasar lokal dengan pasar acuan (H01 dan H02) diuji kebenarannya. Tabel 2 menunjukkan bahwa untuk semua pasar, hipotesis segmentasi pasar maupun hipotesis integrasi pasar ditolak secara statistik. Hal ini mengindikasikan bahwa informasi mengenai perubahan harga di pasar Jakarta tidak selalu diteruskan atau diterima di pasar lokal secara proporsional. Sebenarnya perubahan harga di pasar acuan ini cukup berpengaruh terhadap harga di pasar lokal (misalnya untuk pasar lokal Bandung yang memiliki koefisien βi0 paling mendekati satu), walaupun derajat pengaruhnya tidak memenuhi kriteria integrasi pasar. Tabel 1
Hasil analisis regresi (perubahan harga di pasar lokal digunakan sebagai peubah tak bebas) (Summary of regression analysis with the price change in local market as dependent variable), Jawa 1983 – 1993.
Pasar Lokal
Konstanta
ai-1 (Pit-Pt-1)
Bi0 (Pt-Pt-1)
ai+Bi0+Bi1-1 (Pt-1)
F
R2
Bandung
9,8247
0,2984**
0,7064*
0,1964**
48,8907*
0,7273
Semarang
85,1282
0,2988**
0,5208*
0,2005***
34,2433*
0,6513
Surakarta
185,0244
0,3102**
0,4164*
0,1755
28,5783*
0,6092
Surabaya
367,4096
0,4973*
0,1453
0,2223***
21,4289*
0,5777
* p < .001
** p < .01
*** p < .05
Sementara itu, hasil analisis regresi pada Tabel 3 memberikan indikasi bahwa harga cabai pada saat t setiap pasar lokal secara nyata dipengaruhi oleh (a) harga cabai merah di pasar lokal pada saat t-1, (b) perubahan harga cabai merah di pasar Jakarta pada saat t dan (c) harga cabai merah di pasar acuan pada saat t-1. Tabel 3 menunjukkan pula bahwa koefisien b2 untuk pasar Bandung mendekati satu, tetapi persyaratan αi = 0 ditolak (lihat Tabel 2). Dalam kasus ini, hipotesis integrasi pasar jangka pendek ditolak, tetapi kekuatan-kekuatan ekonomi yang menyebabkan terjadinya perubahan harga cabai merah di pasar Jakarta secara umum tetap tercermin pada tingkat harga cabai 4
Tabel 2
Hasil uji hipotesis segmentasi integrasi pasar (Results of market segmentation and integration hypothesis testing), Jawa 1983 – 1993. H01 : Pasar
Segmentasi pasar Bi0 = Bi1 = 0 F
H02 :
Integrasi pasar Bi0 = 1 F
ai = 0 F
Bandung
53,92**
3,55***
4,71**
Semarang
36,96**
9,22*
3,60***
Surakarta
29,43**
15,43*
2,46
Surabaya
23,74**
33,37*
2,91***
* p < .001 ** p < .01 *** p < .05 Catatan : Signifikansi F menunjukan bahwa Fhitung > Ftabel, sehingga H01 dan H02 ditolak (The significance of F indicated that Fcalculated > Ftable which led to rejection of H01 and H02).
merah di bandung. Dengan demikian, bentuk integrasi pasar sebenarnya masih berlaku, walaupun keterkaitan jangka pendek antara pasar jakarta dan pasar Bandung tidak nyata. Indeks hubungan pasar (IHP) menunjukkan derajat keterkaitan antara pasar lokal dengan pasar acuan. Besaran IHP yang terendah ditunjukkan oleh pasar bandung, kemudian berturut-turut diikuti oleh pasar semarang, Surakarta dan Surabaya. Berdasarkan batasan yang diajukan oleh Timmer (1985), pasar lokal Bandung ternyata memiliki derajat keterkaitan yang tertinggi terhadap pasar Jakarta dibandingkan dengan ketiga pasar lokal lainnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa pasar Bandung memiliki koefisien b2 tertinggi dan IHP terendah. Menurut Heytens (1986) dengan pasar acuan (Jakarta) dalam memperoleh pasokan produk (cabai merah). Hasil analisis di atas pada dasarnya tidak dapat memberikan konfirmasi terhadap kesimpulan yang ditarik oleh Koster (1989) bahwa pasar cabai merah relatif seragam dan transparan (secara implisit mengindikasikan adanya integrasi pasar). Hipotesis segmentasi pasar dan integrasi pasar yang diuji dalam kajian ini ternyata keduanya ditolak. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini memberikan gambaran bahwa keragaan pasar cabai merah di Jawa cenderung berada diantara kedua kondisi ekstrim di atas. Tabel 3
Hasil analisis regresi (harga saat t di pasar lokal digunakan sebagai peubah tak bebas) dan indeks hubungan pasar (Summary of regression analysis with the current price level as dependent variable and the indexes of market connection), Jawa 1983 - 1993
Pasar Lokal Bandung
b2 (Pt-Pt-1) 1,0007*
b3 (Pt-1) 0,5076*
F
R2
IHP
26,0212
b1 (Pit-1) 0,5061*
78,2012*
0,8101
0,99
Semarang
-1,6199
0,4236*
0,8563*
0,3468*
69,1026*
0,7903
1,16
Surakarta
101,2865
0,4045*
0,7594*
0,3028*
62,6321*
0,7736
1,34
Surabaya
316,2114
0,3929*
0,6893*
0,1920***
35,6259*
0,6946
2,05
* p < .001
Konstanta
** p < .01
*** p < .05
KESIMPULAN 1.
Perubahan harga cabai merah di pasar-pasar lokal (Bandung, Semarang, Surakarta dan Surabaya) dipengaruhi oleh (a) marjin harga cabai merah spasial atau perbedaan antara harga di pasar lokal dan pasar Jakarta pada saat t-1, (b) perubahan harga cabai merah di pasar Jakarta pada saat t, dan (c) harga cabai merah di pasar Jakarta pada saat t-1. 5
2.
Harga cabai merah di pasar-pasar lokal (Bandung, Semarang, Surakarta dan Surabaya) pada saat t dipengaruhi oleh (a) harga lokal cabai merah pada saat t-1, (b) perubahan harga cabai merah di pasar Jakarta pada saat t, dan (c) harga cabai merah di pasar Jakarta pada saat t-1.
3.
Adanya segmentasi maupun integrasi pasar dalam sistem tataniaga cabai merah di Jawa tidak dapat dinyatakan secara konklusif. Berbagai indikator yang diperoleh menunjukkan bahwa keragaan pasar komoditas cabai merah berada diantara kedua kondisi ekstrim tersebut. Sebagai contoh, indikator-indikator statistik untuk pasar lokal Bandung memberikan petunjuk bahwa kekuatan-kekuatan ekonomi yang menyebabkan terjadinya perubahan harga cabai merah di pasar Jakarta secara umum tetap tercermin pada tingkat harga cabai merah di Bandung. Dengan demikian, karakteristik integrasi pasar sebenarnya masih dijumpai dalam sistem tataniaga yang berlaku, walaupun keterkaitan jangka pendek (short-run integration) antara pasar Jakarta dan pasar Bandung tidak terungkap secara statistik.
4.
Pasar lokal Bandung memiliki derajat keterkaitan yang tertinggi terhadap pasar Jakarta (memiliki IHP terendah) dibandingkan dengan ketiga pasar lokal lainnya. Hasil analisis lebih lanjut juga menunjukkan adanya kompetisi antara pasar lokal (Bandung) dengan pasar acuan (Jakarta) dalam memperoleh pasokan produk (cabai merah).
PUSTAKA Bressler, R.G. & King, R.A. 1978. Markets prices, and integrational trade. Norman-Weathers Printing Co. Raleigh, USA. Direktorat Bina Usaha Tani dan Pengolahan Hasil pertanian. 1994. Vademekum pemasaran 1983 – 1993. Jakarta, Hariss, B. 1979. There is method in my madness: Or it is vice versa? Measuring agricultural market performance. Food Research Institute Studies. Vol. XVII, No. 2, pp. 197-218. Heytens, P.J. 1986. Testing market integration. Food Research Institute Studies. Vol. XX, No. 1, pp. 2541. Jones, W.O. 1968. The structure of staple food marketing in Nigeria as revealed by price analysis. Food Research Institute Studies. Vol. VIII, No. 2, pp. 95-123. Koster, W. 1989. Price analysis of shallots and chillies. Internal Communication LEHRI/AT-395, No. 3. Lele, U.J. 1967. Market integration: A study sorghum prices in Western India. Journal of Farm Economics. Vol. 49, pp. 147-159. Ravallion, M. 1985. The performance of rice markets in Bangladesh during the 1974 famine. The Economic Journal. April. Ravallion, M. 1986. Testing market integration. American Journal of Agricultural Economics. February, pp. 102-109. Reksodimulyo, S. 1991. Beberapa catatan dari pengamatan pemasaran produk hortikultura. Makalah disampaikan pada Workshop Pengembangan Agribisnis Hortikultura dan rempah-rempah di Indonesia, Brastagi, 29-31 Mei 1991. Setiadi, T. 1994. pemasaran cabai. Makalah disampaikan pada Seminar Agribisnis Cabai, ABC dan Puslitbanghort, Jakarta, 27-28 Juli 1994. Timmer, C.P. 1985. Corn marketing and the balance between domestic production and consumption. Working Paper No. 14, Bulog-Stanford Corn Project, November.
6