Lisa Lindawati: Rok Mini Di Persimpangan Jalan Antara Kebebasan Dan Eksploitas
ROK MINI DI PERSIMPANGAN JALAN ANTARA KEBEBASAN DAN EKSPLOITAS Lisa Lindawati Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada
[email protected]
Abstract: The media has the power to destroy the so-called 'taboo' and
reconstruct it back into a different shape. Whether through films, soap operas, music, advertising, novels and even the news, women become the center of the story. Construction for the sake of construction, do not ever run away from what should be and how it should be women. This is why the study of women never lead. As well as the mini skirt that identically to women. Since its emergence in the early 1960s, miniskirt trends are always accompanied by controversy. Media to be one of the elements that can strengthen the two positions. Is encouraging women dream of liberation or exploitation became the main actors. Female fans of the miniskirt at a crossroads. Keyword: miniskirt, taboo, body, media Abstrak: Media mempunyai kekuatan untuk menghancurkan apa yang disebut ‘tabu’ dan mengkonstruksikannya kembali menjadi bentuk berbeda. Entah melalui film, sinetron, musik, iklan, novel dan bahkan berita, perempuan menjadi pusat ceritanya. Konstruksi demi konstruksi, diselingi dengan dekonstruksi demi dekonstruksi, tidak pernah jauh berlari dari apa yang harus dan bagaimana seharusnya perempuan. Inilah mengapa kajian perempuan seperti air yang tidak sampai juga ke hulunya. Begitu juga dengan rok mini yang identik dengan perempuan. Sejak kemunculannya di awal tahun 1960an, tren rok mini selalu diiringi dengan kontroversi. Media menjadi salah satu elemen yang dapat menguatkan dua posisi. Apakah mendorong semangat pembebasan idaman kaum perempuan atau justru menjadi pelaku utama eksploitasi. Perempuan penggemar rok mini ada di persimpangan jalan. Kata kunci: rok mini, tabu, tubuh, media Pendahuluan
P
aha bertebaran dimana-mana”. Celetuk salah seorang kawan laki-laki ketika berjalan di suatu sore menuju pusat kota. Komentar yang menggambarkan betapa kuat tren rok mini (mini skirt) menghinggapi perempuan masa kini. Tidak peduli ada di pedesaan atau perkotaan, perempuan yang gemar menggunakannya tidak ISSN 2085-1979
10
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun VI/02/2014
lagi merasa sungkan. Jika sedikit sungkan menggunakan rok mini, mungkin celana sangat pendek (hot pants) menjadi alternatif utama. Esensinya tetap sama. Menggunakan pakaian bawahan yang membiarkan paha hanya tertutup beberapa centimeter dari pusar. Kenyamanan pengguna rok mini semakin hari semakin besar. Hingga beberapa waktu lalu diusik oleh pernyataan kontroversi dari seorang (mantan) Gubernur Ibu Kota. Menanggapi maraknya pemerkosaan yang terjadi di Jakarta, Fauzi Bowo justru menjadikan rok mini sebagai kambing hitamnya1. Beliau mengeluarkan himbauan agar perempuan tidak menggunakan rok mini ketika berada di tempat umum, terutama pada malam hari. Pernyataan ini kemudian mendorong perempuan ‘penggemar rok mini’ melakukan demostrasi di Bundarah HI2. Mereka menyuarakan bahwa menggunakan rok mini adalah ‘totally’ hak dari perempuan. Keberadaannya tidak dapat dijadikan sebagai kambing hitam dari maraknya pemerkosaan tersebut. Ini adalah isu keamanan bukan semata-mata isu cara berpakaian. Itulah salah satu bentuk kontroversi menarik mengenai rok mini. Disatu sisi, seorang pejabat publik yang kebetulan adalah laki-laki berpendapat bahwa ada korelasi antara penggunaan rok mini dengan maraknya ‘pelecehan seksual’ yang tidak sedikit berakhir dengan pemerkosaan. Namun, korelasi tersebut disanggah keras oleh para perempuan yang menganggap bahwa bukan rok mini sumber permasalahannya. Ini adalah isu keamanan yang tidak melindungi perempuan. Sedangkan perempuan mempunyai kebebasan untuk memilih cara berpakaian, termasuk menggunakan rok mini. Sebuah semangat kebebasan yang disuarakan oleh perempuan Indonesia, minimal mereka yang ada di bundaran HI pada saat itu. Dimana semangat ini bertolak belakang dengan asumsi dari pejabat publik, kebetulan laki-laki, bahwa ini justru menjadikan perempuan rawan dieksploitasi. Kasus diatas menarik untuk dikaji. Namun, bukan untuk menemukan siapa yang salah dan siapa yang benar. Bukan juga untuk menyimpulkan pendapat mana yang seharusnya menjadi pegangan. Apakah bentuk kebebasan atau mengarah pada eksploitasi? Sepertinya tulisan ini akan senantiasa membawa paradoks tersebut hingga akhir tulisan. Penulis hanya ingin mengajak pembaca untuk sama-sama belajar mengenai rok mini sebelum mengambil keputusan akan ada di posisi mana. Metode Penelitian Tulisan ini merupakan hasil dari kajian pustaka. Sebagai pembelajar ilmu komunikasi dan media, penulis ingin memberikan kerangka bagaimana media menjadi salah satu elemen berpengaruh terhadap pertarungan wacana mengenai rok mini. Konsep ‘tabu’ menjadi bahan permainan media. Dekonstruksi dan rekonstruksi tabu adalah sentral dari pertarungan wacana media. Perspektif ekonomi politik menjadi salah satu cara pandang yang membantu kita memahami paradoks dalam tren tersebut.
1 2
http://metrotvnews.com/read/news/2011/09/16/64986/Foke-Jangan-Pakai-Rok-Mini-di-Angkothttp://regional.kompas.com/read/2011/09/18/14205974/Tentang.Perkosaan.Unjuk.Rasa.Pakai.Rok.Mini
11
ISSN 2085-1979
Lisa Lindawati: Rok Mini Di Persimpangan Jalan Antara Kebebasan Dan Eksploitas
Penulis memulainya dengan membahas mengenai ‘fashion’ yang tidak dapat dilepaskan dari ‘ekspresi’ diri. ‘Fashion’’ tidak hanya sekedar pakaian yang terdiri dari beberapa helai kain. Di dalamnya ada spirit yang menunjukkan siapa diri pemakainya. Penulis meminjam perspektif sosiologi dan psikologi untuk melihat hal ini. Sebagai pembuka bagaimana kekuatan ‘fashion’ dalam mempengaruhi sebuah peradaban. Selanjutnya, penulis akan mengajak pembaca untuk menelusuri perkembangan rok mini. Sebuah fakta mengejutkan bahwa rok mini bukanlah produk dari peradaban modern. Ia ada sejak peradaban ini di mulai. Kemudian, berkembang dan berevolusi dalam berbagai bentuk. Dan Indonesia, yang notabene ‘negara peniru’, ‘kecipratan’ juga trennya, bahkan sangat kuat dan semakin menguat. Inilah wacana yang ingin ditawarkan penulis. Sehingga, pembaca, terutama kaum perempuan dapat bersikap kritis terhadap tren rok mini. Apapun pilihannya, apakah bentuk kebebasan atau eksploitasi, bukanlah menjadi masalah asalkan berdasar pemahaman yang kuat terhadap segala macam resikonya. Hasil Penelitian dan Pembahasan Perspektif Ekonomi Politik Feminis Sebagai awalan dari pemaparan ini, penulis akan menjelaskan pijakan perspektif yang menjadi kerangka seluruh tulisan, yaitu Perspektif ekonomi politik. Perspektif ini merupakan salah satu pendekatan yang mendominasi kajian komunikasi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Ekspansi kepentingan kapitalis yang menguat dalam industri media menjadikan pendekatan ini ‘favorit’ untuk membongkar relasi kekuasaan di dalamnya. Dalam bukunya Political economy of Communication: The Renewal and Rethinking, Mosco mendefiniskan ekonomi politik sebagai berikut,
“the study of the social relations, particularly the power relations, that mutually constitute the production, distribution, and consumption of resources...a more general and ambitious definition of political economy is the study of control and survival in social life” (Mosco, 1996 :25-26) Mosco menjelaskan paling tidak ada empat karakter yang menjadi ciri pendekatan ekonomi politik. Pertama, holistic yang merujuk pada kajian menyeluruh dari berbagai aspek, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Kedua, Historis dimana kajian ekonomi politik melihat perkembangan sejarah dari suatu fenomena. Ketiga, moral filosofis yang merujuk pada penilaian-penilaian moral terhadap suatu fenomena tertentu. Keempat, Social Praxis yang mengharuskan pendekatan ini memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan masyarakat. (Mosco, 1996 : 27-38) Dalam bukunya, Mosco juga memberikan tiga start points untuk melihat fenomena komunikasi melalui pendekatan ekonomi politik. Pertama, Komodifikasi yaitu upaya mengubah nilai guna sesuatu menjadi nilai tukar yang mempunyai nilai ekonomi. Kedua, Spasialisasi yaitu upaya menanggulangi jarak ruang dan waktu dengan mengoptimalkan resources yang ada. Ketiga, Strukturasi yang memperhatikan aktor dan struktur dari sebuah industri komunikasi. (Mosco, 1996 :1011, 140-245). ISSN 2085-1979
12
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun VI/02/2014
Ellen Riordan dalam buku Toward a Political Economy of Culture (2004) mengembangkan pendekatan yang digunakan Mosco dengan perspektif feminis. Riordan menyebutnya dengan Feminist Political Economy. Perspektif ini mencoba mengintegrasikan analisis mengenai kapitalisme dan patriarki. Riordan menjelaskan,
“a feminist political economic approach would look at how capitalist exploitation is also gendered and patriarchal, such as how women’s work is often deskilled and underpaid”. Riordan mengamati bagaimana korporasi menggunakan perempuan, tidak lain sebagai komoditas yang dapat dijual kepada para pengiklan, seperti sebuah ceruk ataupun objek seks yang digunakan untuk menarik perhatian penonton, dimana ujungnya adalah komodifikasi penonton. Riordan juga menggunakan tiga pintu masuk seperti yang dilakukan oleh Mosco, yaitu komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi. Satu hal lagi yang menarik dari perspektif ekonomi politik feminis adalah kejeliannya dalam melihat paradoks antara pemberdayaan dan opresi.
“By focusing on the complexities of cultural contradictions, feminism brings to political economy a way to look more broadly at the tensions between capitalism and culture as they become apparent in racialized, gendered, and sexed subjectivities.” Perspektif ini mencoba memahami aksi para perempuan sebagai bentuk perlawanan tanpa berhenti sebagai golongan yang ada dibawah totalitas sistem patriarki dan kapitalisme, tanpa perayaan aksi resistensi yang mengabaikan kondisi historis. Memahami bagaimana kesenangan dan resistensi dapat muncul secara bersamaan, menjadi sebuah bentuk kontradiksi antara pemberdayaan dan opresi yang merupakan inti dari pertanyaan ekonomi politik feminis. Disinilah kejelian perempuan diperlukan untuk memahami dirinya. Apakah perkembangan yang menguat akhir-akhir ini adalah benar-benar sebuah proses pemberdayaan, dimana perempuan benar-benar memiliki otoritas akan dirinya. Ataukah sekedar bentuk baru nilai patriarki yang membawa perempuan dalam kesenangan (pleasure) sedangkan perempuan menganggap dirinya berdaya (dalam kesenangan tersebut). Media Dan Fashion Menurut Evelyn dan Wolfgang (2007:7), dalam masyarakat postmodern, kita menggunakan pakaian sebagai ekspresi dari pendapat personal mengenai ‘zeitgeist’3. Pakaian mempunyai sebagai sebuah ‘open text’ yang dapat ditafsirkan secara bebas oleh masing-masing personal. Ada sebuah nilai dan preferensi yang bergantung, dan pakaian mengekspresikan posisi ideologi dari penggunannya. Larst (2006) menekankan bahwa ada hubungan yang erat antara fashion dengan identitas. Pakaian (clothes)
3
Istilah ini berasal dari bahasa Jerman yang merujuk pada pemahaman terhadap waktu, “the spirit of times”. Konsep ini sangat terikat dengan konteks sosial, kultural, etis, politik, dan intelektual. Bagaimana orang menemukan mood untuk mengekspresikan spirit tersebut dapat terlihat dari style fashion yang dipilih.
13
ISSN 2085-1979
Lisa Lindawati: Rok Mini Di Persimpangan Jalan Antara Kebebasan Dan Eksploitas
merupakan bagian penting dari konstruksi sosial atas diri. Identitas tidak lagi bergantung/disediakan oleh tradisi, tetapi merupakan sesuatu yang dipilih berdasarkan kenyataan bahwa kita adalah seorang konsumen. Helena Cixous (dalam Larst, 2006) menyatakan, “clothes are not primarily a shield for the body but function rather as an extension of it”. Pakaian merupakan bagian dari individu, dan bukan bagian eksternal dari diri seseorang. Seorang Filosof, Gilles Lipovetsky (dalam Larst, 2006) menyuarakan bahwa fashion adalah bentuk spesifik dari perubahan sosial, pertama dan terutama menjadi sebuah mekanisme sosial yang ditengarai oleh waktu yang cepat dan pergeseran fantastis, dimana perubahan tersebut sangat mempengaruhi lingkungan kolektif yang sangat beragam. Larst (2006) menyatakan bahwa fashion tidak dapat diartikan sebagai pakaian saja, tetapi lebih pada sebuah mekanisme atau ideologi yang berlaku untuk hampir setiap bidang dalam dunia modern. Hal ini terjadi dari Abad Pertengahan hingga sekarang. Pada awalnya, perkembangan fashion dipahami sebagai sebuah proses top down dari kelas atas hingga kelas bawah. Ada unsur eksklusivitas yang dikandung dalam ‘new fashion’. Sesatu yang baru selalu dimiliki oleh kelas atas sebagai bentuk eksklusivitas. Sesuatu yang ‘baru’ pasti keluar dengan harga sangat mahal dan hanya terjangkau oleh kelas atas tersebut. Semakin lama, ‘new fashion’ tersebut diproduksi lebih besar hingga pada produksi masal. Sesuai dengan prinsip ekonomi, semakin tinggi penawaran akan menurunkan harga. Sehingga, semakin terjangkau oleh kelas menengah hingga kelas terbawah. Proses itu terjadi terus menerus seperti air yang menetes (trickle down). Teori tersebut kurang relevan ketika saat ini fashion tidak lagi dipengaruhi oleh kelas. Fashion tidak lagi bisa menjadi penanda pembagian kelas seperti pemahaman para sosiolog klasik. Ada pergeseran pemahaman dari kelas menjadi konsumen sejak akhir tahun 1950an. Hal ini menumbuhkan pasar masal dari produk fashion ‘siap pakai’. Pergeseran tersebut juga dipengaruhi oleh berbagai gerakan, seperti gerakan perempuan, revolusi politik, perkembangan industri hiburan Hollywood, televisi, dan youth culture dimana secara bersama menggoyahkan paradigma fashion yang cenderung ‘top down’. Konsumen fashion tidak lagi didominasi oleh kelas atas yang mengagungkan eksklusivitas. Hal ini dipengaruhi oleh berkembangnya industri garmen yang memenuhi selera masal, terutama anak muda. Perkembangan fashion tidak lagi top down yang berbasis pada eksklusivitas tetapi lebih cyclical dan berbasis pada komoditas. Evelyn dan Wolfgang menyebutnya dengan demokratisasi fashion. Fashion tidak lagi semata-mata menunjukkan kelas tetapi lebih pada ekspresi identitas, usia, dan bahkan ideologi. Namun, meskipun demokratis, keberadaan fashion tidak sepenuhnya egalitarian. Svendsen (2006 dalam Evelyn dan Wolfgang, 2007) berpendapat bahwa penghasilan dan kekayaan menjadi tidak penting dibandingkan dengan pembagian sosial. Dalam masyarakat postmodern, otonomi pribadi dijunjung tinggi. Inilah yang dipermainkan oleh ‘fashion economy’, dimana media mempunyai peran signifikan dalam permainan tersebut. Kita selalu mencari informasi mengenai bagaimana caranya mengekspresikan ‘diri’ melalui referensi-referensi yang disediakan oleh berbagai apparatus termasuk di ISSN 2085-1979
14
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun VI/02/2014
dalamnya media. Terkait dengan hal ini, Evelyn dan Wolfgang melihat korelasi yang sangat dekat antara perkembangan fashion dengan media. Corneo dan Jeanne (1999 dalam Evelyn dan Wolfgang, 2007) berhasil membuktikan bahwa asumsi preferensi fashion berdasar kelas tidak lagi relevan. Berdasarkan riset yang mereka lakukan, asumsi tersebut telah digantikan oleh asumsi bahwa pengaruh dari sosialisasi dan komunikasi lebih besar dibandingkan dengan pemahaman terhadap kelas. Corneo dan Jeanne menunjukkan bahwa segmentasi saluran komunikasi mendorong konsumsi terhadap barang-barang ‘fashion’. Dalam artikelnya, Evelyn dan Wolfgang menjelaskan bagaimana proses pembentukan fashion sebagai hasil kolaborasi antara media dengan fashion designer. Ada relasi harmonis antara fashion designer dengan fashion journalist. Kedua belah pihak mempunyai daya tawar masing-masing dimana proses tawar menawar tersebut akan sangat berpengaruh pada ‘new fashion’ yang dihadirkan. Dalam memahami perkembangan fashion dalam media, ada dua bagian yang dapat menjelaskan (Evelyn dan Wolfgang, 2007). Pertama, visual narrative dari media, yang mempengaruhi bagaimana gaya kita dalam berpakaian bahkan permintaan kita terhadap gaya tertentu sebagai sebuah komoditas. Kedua, industri garmen yang memproduksi pernak-pernik fashion tersebut. Dua hal inilah yang perlu dicermati untuk memahami bagaimana fashion berkembang, termasuk di dalamnya rok mini. Media Dan Perempuan Bagaimana orang melihat dirinya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Berdasarkan penelitian (Sarah, 2008), sebagian besar orang mempunyai grup referensi kunci, yang menyediakan berbagai informasi relevan terkait dengan ‘body image’. Grup tersebut antara lain teman, keluarga, termasuk juga media. Dalam buku Body Image, Sarah (2008) mencoba untuk memahami konstruksi ‘body image’ dari berbagai perspektif, yaitu psikologi, sosiologi, dan juga studi media. Terkait dengan studi media, Sarah melihat bagaimana efek media menciptakan sebuah bentuk ideal. Beberapa fokus riset terkait dengan ‘body image’ antara lain konten media untuk melihat bagaimana laki-laki dan perempuan direpresentasikan. Disini media mempunyai peran untuk membentuk sebuah ‘body dissatisfaction’. Konsep ini merujuk pada pengertian bagaimana media menciptakan ketidakpuasan-ketidakpuasan terhadap diri. Ketidakpuasan tersebut mendorong seseorang untuk senantiasa mengkonsumsi barangbarang yang ditawarkan oleh media. Tentu saja untuk memenuhi ‘bentuk ideal’ hasil ciptaan media itu sendiri. Alhasil, industri kapitalis bermain di dalamnya. Faktor ketidakpuasan tersebut juga terkait dengan apa yang disebut dengan ‘tabu’. Media mempunyai kekuatan untuk mempermainkan tabu. Salah satunya melalui iklan. Disampaikan oleh Freitas (2008) dalam buku Taboo in Advertising, bahwa industri periklanan mempermainkan konsep tabu dalam masyarakat. Ada suatu ketika dimana iklan memperkuat hal tabu yang selama ini dipahami oleh masyarakat. Namun, ada suatu ketika dimana iklan mencoba untuk mendobrak dan mengkonstruksi ‘tabu’ yang baru. Freitas mengatakan, “Taboo becomes, in this case, an advertising strategy in
itself”. 15
ISSN 2085-1979
Lisa Lindawati: Rok Mini Di Persimpangan Jalan Antara Kebebasan Dan Eksploitas
Pergeseran mengenai apa yang ditabukan dan apa yang diperbolehkan tidak terjadi dalam ruang hampa. Banyak faktor penarik dan pendorongnya. Agama, sebagai contoh, dapat dikatakan sebagai salah satu faktor penarik, yang mencoba mempertahankan ‘ketabuan’ tersebut, bahkan menariknya dalam tataran lebih ekstrim. Namun, pandangan agamapun tidak tunggal, dimana tafsir dan keyakinan berbeda, dapat juga menjadi pendorong pergeseran tersebut. Begitu juga dengan keberadaan media yang tidak tunggal. Nilai tersebut masuk dalam medan pertempuran kepentingan dimana tarik menarik antara tabu dan tidak tabu menjadi salah satu harta rampasan perang yang diperebutkan. Media mampu membentuk sebuah mitos. Bukan mitos dalam batasan pengertian tradisional. Mitos adalah semua ‘cerita’ yang digunakan oleh suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Bagi Barthes (dalam Fiske, 2004), mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Dalam masyarakat modern, mitos tersebut dikuatkan bahkan dimodifikasi oleh media. Hal ini dikarenakan kekuatan media yang menjangkau khalayak massa dan sifatnya yang berulang-ulang. Repetisi dari suatu narasi ataupun representasi akan mampu menjadi sebuah subliminal message yang masuk dalam pemahaman terdalam suatu masyarakat. Jika media mengatakan bahwa perempuan cantik adalah perempuan dengan kulit yang halus (produk dari iklan body lotion), berwajah putih berseri (produk dari iklan krim wajah), berambut lurus (produk dari iklan shampo), dan energik (produk dari iklan kesehatan) mampu menjelma menjadi sebuah mitos yang kuat tertancap dalam benak masyarakat. Diperkuat lagi dengan outlet-outlet salon yang menampilkan perawatan optimal dalam membantu perempuan untuk ‘mewujudkan’ konstruksi dalam mitos tersebut. Menjadi ‘tabu’ jika seorang perempuan berkulit gelap dan berambut tidak lurus. Dan tabu-tabu lain yang merupakan hasil konstruksi media. Perkembangan fashion semakin lama juga semakin memihak kepada perempuan. Jika perempuan cantik adalah perempuan yang berambut panjang, tentu menjadi percuma model fashion yang menutupi keindahan tersebut4. Jika perempuan cantik adalah perempuan dengan kulit halus, tentu percuma produk fashion yang tidak mempresentasikan hal tersebut. Model-model backless, mini skirt, hot pants, menjadi kegemaran perempuan masa kini. Mengkultuskan sosok perempuan cantik, hasil konstruksi media, menjadi suatu usaha sakral di era modern. Jiwa Atmaja dalam kumpulan artikel Lifestyle Ecstasy Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia (2004), bercerita dalam konteks rezim Orde Baru, bagaimana tema film-film Indonesia tidak jauh dari daur ulang sensasi betis Ken Dedes. 4
Meskipun penulis berpendapat demikian, penulis sangat menyadari bahwa di titik lain, perkembangan fashion yang menutup tubuh perempuan (baca : baju muslim) juga berkembang pesat. Namun, penulis berpendapat bahwa hal tersebut terjadi dalam konteks yang berbeda. Dalam perkembangan disain baju muslim, linear dengan proses komodifikasi agama, yang juga tidak luput dari komodifikasi tubuh perempuan. Hanya saja dalam kesempatan ini, penulis tidak akan melebar hingga permasalahan tersebut. Gagasan penulis mengenai hal tersebut dituangkan dalam artikel yang lain. Dalam konteks ini, penulis lebih tertarik untuk membahas bagaimana perempuan mengalami euforia perayaan tubuhnya. Alih-alih menjadi sebuah bentuk keberdayaan perempuan, ada kekhawatiran bahwa ini adalah hegemoni laki-laki. ISSN 2085-1979
16
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun VI/02/2014
Kemandulan ide untuk mencoba mengungkap permasalahan yang lebih substantif dan kritis seperti tercekal oleh perasaan ‘takut’ akan sensor. Disamping juga pasar lebih menjanjikan jika bertahan dengan tema-tema yang tidak jauh dari urusan diantara ‘kedua betis tersebut’. Dilanjutkan dengan tulisan dari Marwah Daud Ibrahim dalam buku yang sama, mengungkap bagaimana perempuan menjadi objek eksploitasi dalam media, bahkan dalam informasi faktual. Bagaimana berita, baik di televisi maupun media cetak, didominasi oleh berita-berita terkait seksualitas. Pemerkosaan, penyimpangan seksual, ataupun sensasi sadistik dalam hubungan seksual menjadi headline yang terus ‘diumbar’, dimana perempuan ditempatkan sebagai korban ‘yang menderita’ tetapi bukan untuk ‘dikasihani’ melainkan ‘dinikmati’. Dalam analisis Ibrahim, setidaknya ada tiga alasan mengapa kecenderungan tersebut bertahan. Pertama, pekerja media didominasi oleh laki-laki, sehingga perspektif laki-laki menjadi lebih kuat dibandingkan kepekaan seorang perempuan. Kedua, kesuksesan instan yang diimpikan oleh perempuan. Hal ini mendorong mereka untuk melakukan ‘apa saja’ asalkan segera memperoleh popularitas. Hal ini terkait dengan alasan ketiga, yaitu kapitalisme yang semakin lama semakin mengakar dalam sistem media ataupun dalam masing-masing individu. Kehausan akan hal-hal yang bersifat material menjadi legalitas untuk melakukan berbagai cara. Yang menjadi angan dalam tulisan Ibrahim adalah adanya harapan melalui dua hal. Pertama, masuknya perempuan dalam industri media dimasa depan akan memperbaiki perspektif dominan yang saat itu ada. Kedua, perempuan yang mempunyai prestasi semakin meningkat, sehingga relasi antara laki-laki dan perempuan akan semakin setara. Hal ini dapat mengubah bentuk relasi, yang dulu dipahami hanya sekedar dalam hubungan seksual, berubah menjadi equal contender. Namun, optimisme tersebut sepertinya belum terwujud hingga saat ini. Perempuan masih menjadi objek yang ‘laku jual’ dalam media Indonesia, baik dalam konten iklan, film, sinetron, dll. Rok Mini : KEBEBASAN vs EKSPLOITASI Tidak mudah menelusuri kapan rok mini mulai digunakan oleh perempuan. Dari beberapa sumber yang coba penulis telusuri, rok mini sudah ada sejak awal peradaban. Hal ini dibuktikan dengan penemuan patung yang berusia 5400-4700 SM. Figur seorang perempuan menggunakan pakaian diatas lutut yang cantik. Inilah kiranya yang disebutsebut sebagai awal mula penggunaan rok mini. Kemudian, sempat hilang karena peradaban Eropa yang menabukan ‘kaki perempuan’. Pada tahun 1800an, perempuan merasa lemah dan rentan secara seksual ketika menggunakan rok mini. Hingga kemudian dipertengahan tahun 1960, ada gerakan dari kaum muda yang menuntut kebebasan berpolitik. Salah satu bentuk ekspresinya, bagi kaum muda perempuan, adalah menggunakan pakaian yang berbeda dengan orang tua mereka. Jadilah rok mini menjadi pilihan. Hal ini kemudian didukung oleh gerakan feminis yang menyerukan kebebasan, dimana salah satu manifestasinya adalah rok mini. Free, energetic, youthful, revolutionary, and unconventional (Diamond and 17
ISSN 2085-1979
Lisa Lindawati: Rok Mini Di Persimpangan Jalan Antara Kebebasan Dan Eksploitas
Diamond 2006 dalam randomhistory). Dituliskan betapa kuatnya perkembangan rok mini,
Existing, surprisingly, since ancient times, this small and sexy piece of fabric has embodied some of the most fascinating paradoxes of our times as it suggests both empowerment and vulnerability, independence and a desire to please, an attempt to cover and to reveal, maturity and playfulness, and liberation and exploitation. Simultaneously condemned and loved, the miniskirt exploded into the political landscape and had women (and men) suddenly paying attention to what had been hidden years before—a woman’s legs.5 Trend rok mini sempat menurun ketika terjadi ketidakpastian politik sekitar tahun 1969. Muncul kembali istilah ‘maxi’ (skirt) sebagai ‘perlawanan’ dari tren rok mini (mini skirt). Ketika rok mini dianggap sebagai bentuk pembebasan wanita, perkembangan istilah seperti ‘dolly birds’6 cenderung menjadi bentuk objektivikasi perempuan. Hal ini menyadarkan para feminis bahwa perkembangan rok mini sangat berpotensi menjadi bentuk eksploitasi dibandingkan dengan pembebasan (Reilly, 2003 dalam randomhistory). Gerakan para feminis ini (awal tahun 1970an), rok mini semakin tidak disukai. Namun, hal tersebut ternyata hanya berhenti beberapa saat. Saat ini, perempuan mempunyai kebebasan untuk memilih bagaimana cara membalut keindahan tubuhnya. Perempuan mempunyai hak untuk membalutnya dengan rapat dan tidak ada yang boleh melihat seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan. Dan, perempuan juga mempunyai hak untuk membuka selebarlebarnya bagian tubuh yang ingin diperlihatkannya, kecuali vagina dan payudara. Bahkan, kedua hal tersebut boleh jadi bukan pengecualian lagi jika perempuan mempunyai hak yang lebih besar. Sebuah kekuatan yang disebut-sebut melekat pada perempuan masa kini. Hak untuk menentukan bagaimana mempresentasikan tubuhnya sudah terbuka dan dijunjung setinggi-tingginya. Tidak lagi ada yang di’tabu’kan dalam tubuh seorang perempuan. Perempuan sudah tidak lagi terdomestifikasi dalam ikatan nilai tradisional yang inferior dibandingkan dengan laki-laki. Tubuh perempuan tidak lagi dikuasai oleh laki-laki, seperti pada pandangan lama dimana perempuan, berserta tubuhnya itu, adalah pelayan (seksual) bagi laki-laki. Saat ini, perempuan mempunyai otoritas yang lebih besar terhadap tubuhnya. Bahkan dalam hubungan seksualpun, perempuan tidak dapat lagi diposisikan inferior dibanding dengan laki-laki. Nilai itu sudah bergeser. Kekuatan perempuan menguat seiring dengan emansipasinya. Salah satu gejala yang menjadi manifestasi dari ‘kekuatan’ tersebut adalah menguatnya tren rok mini yang semakin lama semakin menguat. Dibarengi juga dengan hot pants yang secara substansi tidak berbeda jauh dengan rok mini. Perbedaannya adalah pada keamanan dan kenyamanan pemakainya saja. Sedangkan 5
http://www.randomhistory.com/2009/05/25_miniskirt.html
6
Istilah dolly birds mengacu pada perempuan yang menarik, atraktif, modis, fashionable, tetapi dianggap tidak terlalu pintar. Hal ini menjadikan perempuan pengikut tren fashion dianggap negatif.
ISSN 2085-1979
18
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun VI/02/2014
keduanya sama-sama memberi hak pada perempuan untuk memperlihatkan keindahan kakinya, dari ujung kaki hingga ujung batas limitasi paha. Sedikit lagi sampai pada bagian yang pada saat ini relatif masih ‘ditabukan’, vagina. Kedua model ini, rok mini dan hot pants, sangat diminati perempuan zaman sekarang. Mulai dari remaja ABG hingga perempuan dewasa gemar menggunakan model fashion ini. Ditambah lagi dengan perkembangan modelnya yang semakin ‘cute’ dan ‘funny’. Sangat modis dan elegan. Selain itu, perempuan yang menggunakannya terkesan lebih modern. Berbeda dengan wanita-wanita yang tidak memperlihatkan kaki jenjangnya. Dianggap perempuan yang tidak percaya diri dan kuno. Pertanyaannya adalah, apakah pandangan perempuan seperti yang dipaparkan penulis diatas adalah benar-benar bentuk kekuatan? Atau justru sebuah bentuk opresi yang lain? Keterjebakan perempuan dalam perspektif maskulin. Perempuan cantik, dalam perspektif laki-laki, adalah wanita yang indah tubuhnya. Perempuan yang mampu menggoda gairah para lelaki. Salah satu strateginya adalah dengan memperlihatkan sebaik-baiknya keindahan tubuh yang menggoda itu. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi para lelaki untuk menikmatinya. Tanpa harus ada paksaan dari para laki-laki itu, perempuan sudah dengan rela hati dan sadar untuk memenuhi keinginan tersebut. Sebuah bentuk kerjasama apik antara laki-laki dan perempuan. Dimana laki-laki tidak perlu menggunakan kekuatan dominasinya untuk mendapatkan kepuasan seksual (dalam arti luas, bukan semata-mata berhubungan seksual). Perempuan dengan suka hati memberikannya. Gratis dan full service. Dari perspektif ekonomi politik, Jika dilihat dalam konteks Indonesia, ketiga proses tersebut (komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi) berjalan secara simultan, dimana kapital menjadi panglimanya. Jika kemudian peran perempuan ada di wilayah sentral dari semua ‘cerita’ media, adalah karena perempuan adalah sosok yang ‘laku jual’. Hal ini didukung dengan konstruksi berbagai bentuk karya media, mulai dari iklan, film, musik, novel hingga informasi yang sifatnya faktual. Semuanya saling mengikat dan menguatkan. Proses spasialisasi juga membantu meneguhkan homogenitas nilai mengenai perempuan. Entah berasal dari suku dengan warna kulit putih, coklat, ataupun hitam, tetap terseret dalam kultus perempuan cantik yang putih dan mulus. Disinilah proses strukturasi begitu kentara menjadi penyebab penguatan ini. Siapa pemilik media, kepentingan siapa yang bermain di dalamnya. Apakah perempuan cukup mempunyai daya untuk menyisipkan perspektifnya? Pertambahan jumlah pekerja media perempuan tidak berbeda dengan proses eksploitasinya. Pertambahan tersebut justru menguatkan apa yang diidam-idamkan oleh para laki-laki. Tanpa harus memaksa, perempuan dengan suka hati ‘melayaninya’. Didukung dengan industri fashion yang ‘gemar’ memproduksi pakaian-pakaian mini. Mendukung secara total pengkultusan terhadap keindahan tubuh perempuan. Penutup Ini adalah sebuah kajian awal. Melempar wacana agar masyarakat, khususnya perempuan, semakin kritis dengan keberdayaan yang diperoleh dengan susah payah. Apakah lagi-lagi sensasi betis Ken Dedes menjadi bintang masa kini? Ini adalah pilihan 19
ISSN 2085-1979
Lisa Lindawati: Rok Mini Di Persimpangan Jalan Antara Kebebasan Dan Eksploitas
bagi perempuan. Jika ini dianggap sebagai sebuah keadaan yang berdaya dan membebaskan, bolehlah bertahan dengan segala resikonya. Namun, jika anggapan itu tidak lain adalah hegemoni, keterjebakan perempuan dalam perspektif maskulin, bolehlah selangkah demi selangkah membangun kekuatan baru. Daftar Pustaka Buku Atmaja, Jiwa. 2004. Daur Ulang Sensasi pada Betis Ken Dedes, dalam Lifestyle Ecstasy : Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. 2004. Yogyakarta : Jalasutra. Fiske, John. 2004. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra. Ibrahim, Marwah Daud. 2004. Citra Perempuan dalam Media : Seksploitasi dan Sensasi Sadistik, dalam Lifestyle Ecstasy : Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. 2004. Yogyakarta : Jalasutra. Mosco,Vincent. 1996. The Political Economy of Communication : Rethinking and Renewal. London : Sage Publications. Riordan, Ellen. 2004. Feminist Theory and The Political Economy of Communication, dalam Calabrese, Andrew, & Sparks, Colin (Ed). 2004. Toward Political Economy of Culture : Capitalism and Communication in the Twenty-First Century. New York : Rowman&Littlefield Publisher. Grogan, Sarah. 2008. Body Image : Understanding the Body Dissastifaction in Men, Women, and Children. New York : Routledge. Svendsen, Larst.2006. Fashion : A Philosophy. Oslo : Reaktion Books. Freitas, Elsa Simoes Lucas. 2008. Taboo in Advertising. Amsterdam : John Benjamins Publishing Company. Jurnal Gick, Evelyn; Gick, Wolfgang. 2007. Why the Devil Wears Prada : The Fashion
Formation Process in a Simultaneous Disclosure Game Between Designers and Media. Diunduh dari http://www.ces.fas.harvard.edu/publications/docs/pdfs/Gickrevised.pdf pada 15 Januari 2012 pukul 13.12 WIB. Lain-lain http://metrotvnews.com/read/news/2011/09/16/64986/Foke-Jangan-Pakai-Rok-Mini-diAngkothttp://www.randomhistory.com/2009/05/25_miniskirt.html http://regional.kompas.com/read/2011/09/18/14205974/Tentang.Perkosaan.Unjuk.Ras a.Pakai.Rok.Mini
ISSN 2085-1979
20