1 KINERJA PERBANKAN 2005 DAN PROSPEK 2006 Oleh: Djoko Retnadi1
Bagi industri perbankan nasional, tahun 2005 merupakan tahun ujian berat pertama sejak program rekapitalisasi selesai tahun 2000 yang lalu. Mengapa saya sebut ujian berat pertama? Jika di tahun 2000, ketika suku bunga SBI mencapai 15-16% (mirip kondisi pada saat ini), pada saat itu perbankan nasional masih dalam status pemulihan sehingga tidak ada tuntutan bagi perbankan untuk menunjukkan kinerja keuangan yang tinggi. Laba perbankan pada tahun 2000 hanya sebesar Rp 10,5 triliun dengan angka NPL sebesar 20,09%. Dengan kinerja semacam itupun pada waktu itu, perbankan dianggap berprestasi sangat baik, karena target perbankan pasca rekapitalisasi pada umumnya hanya untuk menekan kerugian dan bukan memberikan keuntungan. Bahkan bagi bank yang memperoleh suntikan rekap berupa obligasi berbunga tetap (fixed rate bonds) tidak pernah merasakan apa yang disebut marked to market, yaitu kerugian nilai obligasi berbunga tetap sebagai akibat meningkatnya ekpektasi kupon obligasi. Ini karena pada waktu itu pasar obligasi pemerintah belum terbentuk dan seluruh obligasi rekap dipegang hingga jatuh tempo (hold to maturity). Kondisi 2001-2004 Perjalanan industri perbankan selanjutnya di tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 mengalami masa keemasan, di mana puncak dari semuanya ditandai dengan keberhasilan beberapa bank besar mencatatkan sahamnya di bursa dengan permintaan oversubscribed. Laba perbankan di tahun 2004 mencapai Rp 29,4 triliun dengan tingkat NPL hanya sebesar 4,50%. Kondisi yang kondusif tersebut didukung oleh stabilitas nilai rupiah dan suku bunga SBI yang sangat rendah (sekitar 5% - 6%), sehingga ekspansi kredit di tahun 2004 mencapai angka 27% dan angka LDR perbankan melejit menjadi 49,95% dibandingkan LDR tahun 2000 yang hanya 33,41%. Meskipun selama kurun waktu 2000-2004 perbankan mengalami saat-saat yang mudah, namun berbagai 1
Penulis adalah Senior Economist The Indonesia Economic Intelligence. The Indonesia Economic Intelligence adalah lembaga riset yang fokus melakukan kajian terhadap masalah-masalah kebijakan dan regulasi ekonomi beralamatkan di www.iei.or.id.
2 ketentuan baru telah mempengaruhi kehidupan perbankan. Beroperasinya pasar sekunder obligasi pemerintah secara lebih aktif disertai perubahan pola pengelolaan obligasi rekap di pos aktiva perbankan telah memberi pelajaran berharga bagi bank ketika menghadapi gejolak suku bunga seperti saat ini. Kondisi 2005 Memasuki tahun 2005, BI mengeluarkan serangkaian paket kebijakan dalam rangka mendukung operasionalisasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang akan diimplementasikan secara penuh pada tahun 2010. PBI yang paling berpengaruh terhadap kehidupan perbankan di tahun 2005 adalah pemberlakuan one obligor and one project principle concept untuk menetapkan kolektibilitas kredit bank di atas Rp 5 miliar. Maksud konsep tersebut adalah bahwa kolektibilitas pinjaman debitor pada dua bank atau lebih yang berbeda harus ditetapkan seragam tanpa mempertimbangkan jumlah pinjaman debitor di masing-masing bank. Demikian pula halnya dengan one project principle bahwa kolektibilitas pinjaman di berbagai bank yang digunakan untuk membiayai satu proyek yang sama akan memberikan kolektibilitas kredit yang sama di seluruh bank. Dengan adanya ketentuan tersebut, ternyata angka NPL perbankan langsung membengkak di mana pada September 2004 masih sebesar 5,58%, meningkat menjadi 7,87% pada September 2005. Rentetan akibat meningkatnya angka NPL perbankan ini diikuti dengan semakin besarnya angka cadangan penghapusan pinjaman yang harus disediakan bank yang akhirnya menggerus laba perbankan dari Rp 23,9 triliun (September 2004) menjadi hanya sebesar Rp 19,4 triliun di bulan September 2005.
3
Gambar: NPL Perbankan 2004-2005 18.00%
60,000
16.00% 14.00%
40,000
12.00% 10.00%
30,000
8.00%
20,000
6.00%
NPL (%)
NPL (Rp Miliar)
50,000
4.00%
10,000
2.00%
-
0.00%
NPL Sep'05 (Rp Miliar)
I BR n ra pu am C
D
D N
o er rs Pe
D
g in As
BP
S BU
S BU
nk Ba
l na io as N
NPL Sep'04 (Rp Miliar)
NPL Sep'04 (%)
NPL Sep'05 (%)
Di tengah meningkatnya angka NPL akibat PBI No 7/2005 tersebut, ternyata dibarengi dengan semakin memburuknya nilai tukar rupiah yang selanjutnya mendorong BI untuk menerapkan kebijakan uang ketat sehingga mendorong kenaikan suku bunga SBI. Sejak Maret 2005, secara gradual hingga bulan Agustus 2005, BI menaikkan suku bunaga SBI dari 7,43% menjadi 8,50%, dan pada bulan Agustus 2005 meningkatkan lagi suku bunga SBI menjadi 9,51%. Pada awal Juli 2005, BI mulai mengenalkan BI rate yang menjadi signal ekpektasi inflasi triwulanan. BI rate pertama kali ditetapkan sebesar 8,5% dan meningkat secara drastis pada bulan September 2005 menjadi 12,25%. Gambar: SBI, Inflasi, Suku Bunga Penjaminan, dan BI Rate S B I 28 Ha ri In f la s i P e n ja m in a n 1 B ln B I R a te
1 7 .0 0 %
1 5 .0 0 %
1 3 .0 0 %
1 1 .0 0 %
9 .0 0 %
11-Nov -05
1-Nov -05
7-O c t-05
21-O c t-05
9-Sep-05
23-Sep-05
26-Aug-05
29-J ul-05
15-Aug-05
1-Jul-05
15-J ul-05
17-J un-05
7-J un-05
13-May -05
26-May -05
28-Apr-05
31-Mar-05
15-Apr-05
10-Mar-05
23-M ar-05
25-Feb-05
28-J an-05
11-F eb-05
14-J an-05
16-D ec -04
31-Dec -04
5 .0 0 %
3-Dec-04
7 .0 0 %
4 Kebijakan uang ketat BI tidak saja dilakukan dengan menaikkan suku bunga SBI untuk menyedot dana perbankan dan mencegah spekuasi dollar, namun juga diperkuat dengan mewajibkan perbankan untuk menambah GWM (Giro Wajib Minimum) dikaitkan dengan tinggi-rendah LDR sebuah bank. Semakin tingi LDR sebuah bank, GWM tambahan akan semakin rendah dan sebaliknya. Selanjutnya, pada tanggal 22 September 2005 telah dimulai beroperasinya LPS (Lembaga Penjaminan Simpanan) yang mewajibkan seluruh bank untuk membayar iuran kepesertaan menjadi anggota LPS sebesar 0,1% dari modal bank yang bersangkutan ditambah pembayaran premi penjaminan simpanan sebesar 0,1% dari jumlah dana pihak ketiga yang dimiliki bank. Berbagai kebijakan, mulai dari kebijakn uang ketat, peningkatan suku bunga SBI, penambahan GWM, dan kewajiban bagi perbakan untuk menjadi peserta LPS telah mendongkrak suku bunga simpanan mendekati atau sama dengan suku bunga penjaminan. Kondisi ini logis, karena di tengah semakin langkanya likuiditas di pasar akibat kebijakan uang ketat BI, maka persaingan perbankan akan semakin mengandalkan pada pemberian suku bunga tinggi, karena hampir seluruh bank-bank papan atas telah memiliki kualitas layanan dan jasa produk yang seragam (homogen). Bahkan disinyalir, pada bulan November 2005, telah mulai banyak bank-bank berani menawarkan suku bunga
simpanan melebihi suku bunga penjaminan, masih
ditambah berbagai iming-iming pemberian hadiah yang jika dijumlahkan akan memberikan imbal hasil jauh di atas suku bunga penjaminan. Sampai saat ini belum ada penelitian yang dapat membuktikan apakah para penabung mengetahui, apabila suku bunga simpanan yang diberikan melebihi suku bunga penjaminan, maka seluruh simpanannya tidak dijamin oleh LPS? Dengan beragamnya tantangan yang mesti dihadapi perbankan di tahun 2005 tersebut maka terpaan berat benar-benar menguji keandalan bankir ke depan. Dapat dibayangkan, bagaimana pusingnya para bankir untuk dapat menjaga harga saham mereka yang kian hari kian merosot seiring dengan kenaikan suku bunga dan menurunnya kinerja perbankan. Bahkan telah menjadi semacam paradigma ketika suku bunga tinggi, ini merupakan saat yang tepat untuk menjual saham (termasuk saham
5 perbankan) untuk pindah ke jenis investasi yang mengikuti kenaikan suku bunga, yaitu deposito perbankan. Akibat paradigma seperti itu, tidak mengherankan sejak awal Agustus 2005, harga saham di bursa langsung merosot, khususnya saham sektor perbankan. Ini dipicu dengan semakin ketatnya likuiditas di pasar dan tingginya persaingan perbankan dalam memperebutkan simpanan nasabah yang mendorong semakin meningkatnya suku bunga kredit. Pada akhirnya, suku bunga kredit telah mendorong semakin tergerusnya net interest margin perabnkan. Beberapa bank besar menyatakan bahwa kenaikan biaya dana mencapai rata-rata 4%, namun kenaikan suku bunga kredit hanya naik sekitar 2% saja sehingga NIM perbankan menurun sebesar 2%. Yang lebih parah lagi, tingginya suku bunga penjaminan yang telah mencapai 13% di bulan November 2005 (BI rate masih sekitar 12,25%) telah memberikan arah dan pola tersendiri bagi bank dalam menentukan suku bunga simpanannya. Akibat suku bunga yang terus meningkat ini telah meningkatkan angka undisbursed loan (komitmen kredit yang tidak dicairkan oleh debitor) dari Rp 130 trilun di bulan September 2004 menjadi Rp 157 triliun di bulan September 2005.
180,000
80%
160,000
70%
140,000
60%
120,000
50%
100,000
40%
80,000
30%
60,000 40,000
20%
20,000
10%
-
0% pu am C
D
n ra
D
UDL/TL Sep'04
g in As
BP
N
D
o er rs Pe
UDL Sep'05
S BU
S BU
nk Ba
l na io as N
UDL Sep'04
UDL/TL (%)
Undisbursed Loan (Rp Miliar)
Gambar: Undisbursed Loan Perbankan 2004-2005
UDL/Tl Sep'05
Jika kondisi ini tidak diantisipasi, maka persentase NPL perbankan akan semakin meningkat karena jumlah absolut NPL cenderung bertambah (Rp 28,9 Triliun di bulan
6 September 2004, meningkat menjadi Rp 53,5 triliun di bulan September 2005), sedangkan angka total kredit semakin menurun dengan semakin besarnya angka undsibursed loan. Prospek 2006 Dengan situasi suku bunga yang masih cenderung meningkat sebagai akibat bayang-bayang masih adanya potensi kenaikan suku bunga The Fed dan kenaikan tarif listrik di tahun 2006, maka situasi yang akan dihadapi perbankan di tahun 2006 tidak akan jauh berbeda dari kondisi triwulan III/2005. Namun demikian, masih ada harapan bahwa di tahun 2006 janji pemerintah untuk segera membangun proyek infarstruktur tampaknya dapat menjadi peluang yang baik bagi perbankan untuk dapat dijadikan “tambahan amunisi” guna mencapai target ekspansi kredit di tahun 2006 sekitar 20%. Hal yang paling dirasakan paling berat oleh perbankan di tahun 2006 tampaknya masih masalah perebutan dana pihak ketiga (DPK). Hingga September 2005 (y.t.d) pertumbuhan DPK hanya mencapai 12%. Angka ini jauh di bawah pertumbuhan September 2005 (y.o.y) yang mencapai 17%. Dengan memperhitungkan sisa jangka tahun 2005 yang tinggal tiga bulan, maka mengharapkan pertumbuhan DPK di akhir tahun 2005 mencapai 17% merupakan hal yang sulit. Kondisi perebutan DPK yang sangat ketat ini akan terus berlanjut, minimal hingga triwulan I/2006 karena berbagai regulasi yang menyebabkan terjadinya suku bunga tinggi tidak berubah. Sebagai contoh, kebijakan BI yang masih akan mempertahnkan BI rate tinggi dan pengenaan GWM secara ketat dalam rangka menjaga stabilitas rupiah dan inflasi tampaknya tidak akan segera dicabut. Bahkan efek inflasi bulan Oktober 2005 yang mencapai angka lebih dari 8%, tampaknya akan terus terbawa pada angka inflasi tahunan (y.o.y) yang diperkirakan akan mencapai angka satu digit setelah bulan Oktober 2006 (lihat gambar). Hal ini akan membawa konsekuensi bahwa suku bunga harus tetap tinggi agar investor tidak menderita suku bunga riil negatif yang mendorong terjadinya pelarian dana ke luar negeri.
7 Gambar: Laju Inflasi dan Prediksi sampai Akhir Tahun 2006
Rencana Konsolidasi Dengan kecenderungan suku bunga akan tetap tinggi di tahun 2006, maka kondisi ini seharusnya dapat menjadi faktor yang dapat mempercepat terjadinya konsolidasi, khususnya bagi bank yang tidak dapat bertahan dengan gejolak suku bunga seperti saat ini. Apabila sebuah bank dengan komposisi dana didominasi oleh dana mahal (deposito) maka dapat dipastikan NIM bank tersebut di tahun 2006 akan tertekan sehingga laba absolut yang diperoleh juga akan semakin menipis. Di tengah himpitan margin bunga yang semakin tipis, di sisi lain cemakin banyak regulasi yang mesti diikuti oleh bankbank semacam itu (misalnya GWM, LPS, dan sertifikasi manajemen risiko) maka beban biaya operasional bank juga akan semakin membengkak. Untuk bank dengan karakterisitik semacam ini, akan sangat tepat untuk segera mencari partner guna menentukan arah bisnisnya. Dalam arti, apakah pemegang saham siap untuk menyuntikkan modal terus menerus kepada banknya, atau menjual sahamnya kepada bank lain mumpung nilainya belum merosot. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu wujud percepatan implementasi API (Arsitektur Perbankan Indonesia) di tahun 2010 yang akan datang adalah adanya
8 kewajiban bagi seluruh bank di tahun 2007 untuk memiliki modal minimum sebesar Rp 80 miliar. Bagi bank yang tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut, statusnya akan diturunkan menjadi BPR oleh BI. Kondisi pembalikan bisnis bank di tahun 2005 ini seyogianya dapat dijadikan pelajaran berharga bagi pemilik bank untuk tidak perlu menunggu hingga tahun 2007 ketika mereka wajib menomboki banknya agar tidak dieliminasi dari percaturan bank umum. Peluang seperti ini wajib diantisipasi oleh bank-bank yang selama ini telah merencanakan tumbuh secara non organic. Rencana merger dan akusisi yang telah dituangkan dalam Rencana Bsinis Bank sudah saatnya untuk diimplementasikan karena situasi lebih memungkinkan. Sudah bukan saatnya lagi bagi pemilik bank kecil untuk mengedepankan egoisme kepemilikan bank kalau ternyata bank yang dimiliki saat ini tidak tahan banting terhadap gejolak suku bunga yang tampaknya tidak akan segera kembali normal di tahun 2006. Bank Pilihan 2006 Dengan kondisi suku bunga dan inflasi cenderung terus meningkat hingga semester I/2006, maka ini akan memaksa seluruh bank harus menata ulang portofolio aktiva dan pasiva pada komposisi yang paling sesuai dengan kondisi tersebut. Bagi bank yang pada saat ini masih memiliki obligasi pemerintah berbunga tetap dalam jumlah yang cukup signifikan, inilah saatnya untuk mempertimbangkan ulang untung-rugi memegang obligasi tersebut. Selain itu, bank-bank yang pada saat ini memiliki porsi kredit korporasi yang sangat dominan pada aktivanya, saat ini juga merupakan timing yang tepat untuk melakukan sensitivity analysis terhadap para debitornya untuk mengetahui seberapa besar ketahanan mereka terhadap gejolak suku bunga. Bukan suatu hal yang salah apabila porsi kredit korporasi mulai diturunkan melalui berbagai cara guna mengantisipasi potensi kenaikan NPL ke depan. Meskipun hal ini tampaknya kontradiktif dengan terbukanya peluang pembiayaan korporasi untuk pembangunan infrastruktur di tahun 2006, namun jelas bahwa pengurangan kredit korporasi harus dilakukan secara selektif, khususnya untuk kredit pada sektor yang kurang prospektif lagi.
9 Belajar dari “mini krisis” dua bulan terakhir tahun 2005, ada satu pelajaran yang dapat kita tarik bersama bahwa bank-bank yang memilki basis pinjaman pada UMKM dan kredit konsumsi ternyata memiliki daya tahan lebih kuat daripada bank dengan fokus pada kredit korporasi. Hal ini ditunjukkan oleh sedikitnya tambahan NPL di bank-bank yang bergerak di UMKM dan kredit konsumsi. Lebih spesifik lagi, apabila bank tersebut juga memiliki komposisi sumber pendanaan (DPK) yang fokus pada dana murah (Tabungan dan Giro) maka profitabilitas bank tersebut yang terlihat dari perolehan laba, NIM, dan ROA ternyata tidak menunjukkan indikasi yang merosot tajam di tengah suku bunga yang tinggi. Dari uraian tersebut dan juga memperhatikan berbagai analisis yang dilakukan oleh Investmen Banking, maka bank yang prospektif di tahun 2006 ke depan adalah bank dengan klasifikasi antara lain (1) Memiliki angka LDR tinggi namun fokus pada kredit kepada UMKM dan konsumer (2) Memiliki komposisi DPK dengan fokus pada Tabungan dan Giro (3) Porsi Obligasi Pemerintah (SUN) dalam aktiva bank tidak signifikan (4) Memiliki lending capacity tinggi ke depan yang ditunjukkan oleh angka LDR yang masih longgar dan memiliki kemampuan likuiditas (memiliki secondary reserve tingggi) (5) Memiliki kualitas jaringan IT yang baik untuk mendukung perolehan fee based income.