1 UNIFORM CLASSIFICATION: RUMITNYA KRITERIA, MANFAAT, DAN RISIKO SANKSI Oleh : Djoko Retnadi, Pengamat Perbankan1 Salah satu hal yang melatarbelakangi penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia No. 8 /2/DPNP tanggal 30 Januari 2006 mengenai Pentahapan Penetapan Kolektibilitas Seragam, adalah adanya gejolak ekonomi yang cukup signifikan yang dapat menggangu fungsi intermediasi perbankan. Sebagaimana diketahui bahwa dengan adanya kenaikan harga minyak dunia di pertengahan tahun 2005 yang lalu menyebabkan kebutuhan valas Pertamina untuk impor BBM semakin besar. Hal ini mengakibatkan permintaan valas jauh melebihi persediaan, sehingga nilai tukar rupiah sempat merosot tajam. Untuk menghindari kemerosotan mata uang rupiah lebih jauh, BI meningkatkan BI rate dengan harapan dapat meredam permintaan valas, khususnya yang bermotif untuk spekulasi. Dengan kenaikan BI rate yang mencapai puncaknya pada bulan Desember 2005 yang lalu sebesar 12,75%, menyebabkan suku bunga penjaminan juga meningkat menjadi 13%. Kondisi suku bunga yang tinggi tersebut diperparah lagi oleh kenaikan harga BBM di bulan Oktober 2005 di atas 100%, yang menyebabkan inflasi di akhir bulan Oktober 2005 mencapai 17.89%. Tingginya inflasi ini pada akhirnya akan ditransmisikan pada suku bunga simpanan perbankan, yang akan berpengaruh langsung pada tingginya suku bunga kredit. Dengan suku bunga kredit yang terus tinggi, maka potensi kenaikan NPL (Non Performing Loan) perbankan akan semakin besar dan permintaan kredit akan cenderung melemah. Sebagaimana diketahui bahwa melalui Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005, BI telah mewajibkan adanya kolektibilitas seragam untuk pinjaman di atas Rp 500 juta yang diperoleh debitor yang sama atau untuk pembiayaan proyek yang sama. Dengan berlakunya ketentuan tersebut, seluruh pinjaman sindikasi harus mengikuti kolektibilitas yang terburuk. Ketentuan tersebut disinyalir telah meningkatkan jumlah NPL di perbankan, sehingga bagi bank yang terkena ketentuan tersebut wajib membentuk PPAP (Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif) tambahan yang menyebabkan penurunan laba dan CAR (Capital Adequacy Ratio). Terjadinya “krisis mini” dan pemberlakuan ketentuan BI tersebut akhirnya dipandang sebagai hal yang semakinmenyulitkan bank untuk dapat melakukan ekspansi kredit karena CAR semakin menurun, NPL meningkat, dan suku bunga masih tinggi. Oleh karena itu,
1
Penulis adalah Senior Economist The Indonesia Economic Intelligence. The Indonesia Economic Intelligence adalah lembaga riset yang fokus melakukan kajian terhadap masalah-masalah kebijakan dan regulasi ekonomi beralamatkan di www.iei.or.id.
2 melalui SE terbaru tersebut, BI bermaksud mengurangi salah satu penghambat ekspansi kredit perbankan. Pertanyaannya, apakah SE BI untuk memberlakukan pentahapan kolektibilitas seragam tersebut cukup berpengaruh signifikan bagi perbankan, khususnya untuk menurunkan angka NPL. Kinerja Kredit Perbankan Dengan melihat kinerja kredit perbankan, maka pemberlakuan SE BI mengenai pentahapan penyeragaman koeltibilitas tampaknya kurang memberikan manfaat signifikan kepada perbankan. Dari gambar 1 tampak bawah hingga akhir tahun 2005, posisi kredit perbankan masih tumbuh sebesar 14,67% menjadi Rp 641,5 triliun dibandingkan tahun 2004 yang masih sebesar Rp 559,4 triliun. Memang angka pertumbuhan kredit di tahun 2005 ini jauh di bawah angka tahun 2004 yang merupakan rekor tertinggi sejak tahun 2000, yaitu sebesar 27,01%. Dari angka LDR (Loan to Deposit Ratio), angka tahun 2005 telah meningkat menjadi 58,02% dibandingkan tahun 2004 yang masih sebesar 49,95%. Dengan adanya ketentuan kolektibilitas seragam pada tahun 2005, ternyata angka NPL perbankan nasional tidak terlalu terpengaruh. Pada awal tahun 2005, NPL sekitar 4,57%, dan terus meningkat mulai Mei 2005 menjadi 6,37% dan pada akhir 2005 mencapai 7,58%. Angka NPL tahun 2005 ini jauh lebih rendah dibandingkan angka NPL tahun 2001 yang mencapai 12,23%. Persoalannya, apakah kenaikan NPL di bulan Mei 2005 tersebut akibat pemberlakuan kolektibilitas seragam, atau lebih banyak karena kondisi ekonomi makro yang semakin tidak kondusif? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan membuktikan perlu tidaknya BI menunda pemberlakuan kolektibilitas seragam. Pentahapan Kolektibilitas Seragam Jika disimak secara cermat, maka ada tiga kunci sukses agar sebuah bank tidak terkena ketentuan kolektibilitas seragam yang ditetapkan BI yaitu pertama, bank jangan sekali-sekali membiayai sebuah proyek yang sama, baik untuk debitor lain maupun dengan bank lain (melakukan kredit sindikasi). Kedua, bank jangan pernah memberikan kredit di atas Rp 25 miliar (berlaku sampai dengan 1 Agustus 2006). Ketiga, bank lebih baik memberikan kredit paling besar hingga Rp 500 juta. Sebagaiman ditetapkan dalam SE BI, bahwa setiap kali sebuah bank membiayai proyek yang sama, tanpa melihat nilai kredit yang diberikan kepada debitor, maka seluruh kredit untuk proyek yang sama wajib memiliki kolektibilitas seragam (terburuk).
3 Mulai 1 Juli 2007, kolektibilitas seragam tersebut berlaku untuk pinjaman di atas Rp 500 juta/debitor, sehingga ketentuan Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 akan kembali berlaku sepenuhnya. Ringkasan ketentuan pentahapan kolektibilitas seragam yang ditetapkan BI adalah sebagaimana tabel 1. Dari tabel 1 dapat disimpulkan bahwa kolektibilitas seragam berlaku untuk seluruh 50 debitor terbesar bank tanpa melihat nilai pinjamannya. Dengan ketentuan ini maka misalnya seorang debitor memiliki tiga fasilitas kredit pada satu bank, maka kolektibilitasnya harus sama, yaitu mengikuti kolektibilitas pinjaman paling buruk. Selain itu, walaupun seorang debitor tidak termasuk 50 debitor terbesar sebuah bank, namun apabila seluruh total pinjamannya pada bank tersebut lebih besar daripada Rp 25 miliar maka berlaku juga ketentuan kolektibilitas seragam. Pemberlakuan nilai pinjaman ini dilakukan secara bertahap hingga mencapai Rp 500 juta pada tanggal 1 Juli 2007. Yang paling penting dari ketentuan pentahapan ini adalah bahwa kolektibilitas kredit debitor pada sebuah bank sangat dipengaruhi oleh kolektibilitas kredit debitor pada bank lain, khususnya untuk pinjaman di atas Rp 25 miliar. Pemberlakuan nilai pinjaman ini dilakukan secara bertahap hingga mencapai Rp 500 juta pada tanggal 1 Juli 2007. Gambar 1: Pinjaman, NPL, dan LDR 2000-2005 800,000 700,000 600,000 500,000 400,000 300,000 200,000 100,000 -
Jun
Jul
Loan Rp Miliar (LHS)
283,097 316,099
2000
2001
371,058
2002
440,505 559,470 555,596 566,650
2003
2004
Jan
582,510
594,304 615,800
629,062
642,525
666,511 680,062 685,437
686,200 641,523
NPL Rp Miliar (LHS)
56,874
38,659
27,829
29,866
25,176
25,946
26,576
25,456
26,447
39,226
43,971
49,089
53,454
53,521
51,408
53,798
NPL Gross Rat io %(RHS)
20.09
12.23
7.5
6.78
4.5
4.67
4.69
4.37
4.45
6.37
6.99
7.64
8.02
7.87
7.5
7.84
7.56
LDR %(RHS)
33.41
33.01
38.24
43.52
49.95
49.5
50.52
51.22
51.31
52.9
53.08
53.85
54.48
54.16
54.76
54.07
55.02
Loan Rp Miliar (LHS)
Feb
Mar
Apr
NPL Rp Miliar (LHS)
Mei
NPL Gross Rat io %(RHS)
Agus
Sep
Okt
Nov
Des
48,499
LDR %(RHS)
Sumber: Bank Indonesia, 2006 Dengan ketentuan ini maka agar bank terhindar dari kolektibilitas pinjaman di bank lain, maka bank cukup fokus pada pemberian kredit usaha kecil (KUK) sampai dengan Rp 500 juta
4 yang penentuan kolektibilitasnya hanya didasarkan pada kinerja pembayaran pokok dan bunga kredit, tanpa ada kriteria lainnya. Tabel 1: Pentahapan Pemberlakuan Uniform Classification No
Mulai Berlaku
Kriteria
Penahapan penetapan kualitas yang sama terhadap Aktiva Produktif Bank 1
30 Januari 2006
a. Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank kepada 50 (lima puluh) debitor terbesar Bank secara individual; dan/atau b. Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank dengan jumlah Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau lebih untuk 1 (satu) debitor atau proyek yang sama. 2 1 Agustus 2006 a. Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank kepada 50 (lima puluh) debitor terbesar Bank secara individual; dan/atau (enam bulan sejak b. Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank dengan jumlah PBI) Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau lebih untuk 1 (satu) debitor atau proyek yang sama. 3 1 Januari 2007 (12 a. Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank kepada 50 (lima puluh) debitor terbesar Bank secara individual; dan/atau bulan sejak PBI) b. Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank dengan jumlah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau lebih untuk 1 (satu) debitor atau proyek yang sama. 4 1 Juli 2007 (18 Bank wajib menetapkan kualitas yang sama untuk Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank dengan jumlah lebih dari bulan sejak PBI) Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk 1 (satu) debitor atau proyek yang sama. Aktiva Produktif yang diberikan Bank lain kepada debitor atau proyek yang sama dan memenuhi batas jumlah (limit) sebagai berikut 1
30 Januari 2006
2
1 Agustus 2006 (enam bulan sejak PBI) 1 Januari 2007 (12
3
bulan sejak PBI) 4
1
Juli
2007
bulan sejak PBI)
(18
Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank dengan jumlah Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau lebih untuk 1 (satu) debitor atau proyek yang sama. Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank dengan jumlah Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau lebih untuk 1 (satu) debitor atau proyek yang sama. Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank dengan jumlah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau lebih untuk 1 (satu) debitor atau proyek yang sama. Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank dengan jumlah lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk 1 (satu) debitor atau proyek yang sama.
Sumber: Surat Edaran Bank Indonesia No. 8 /2/DPNP tanggal 30 Januari 2006, diolah
Sementara itu, ketentuan pentahapan kolektibilitas seragam untuk pinjaman pada dua bank atau lebih, selengkapnya sebagaimana tercantum pada tabel 2. Dari tabel 2 tersebut tampak bahwa kunci penentu berpengaruh tidaknya kolektibilitas pinjaman debitor di bank lain akan tergantung pada dua hal, yaitu pertama, apakah proyek yang dibiayai sama, dan kedua, apakah pinjaman di bank lain lebih besar dari yang ditetapkan oleh PBI secara bertahap.
5 Kesimpulannya, apabila sebuah bank tidak ingin kolektibilitasnya dipengaruhi oleh kolektibilitas pinjaman debitor di bank lain maka, pertama, bank jangan ikut dalam kredit sindikasi untuk membiayai sebuah proyek yang sama. Kedua, bank jangan memberikan pinjaman kepada debitor yang telah memiliki pinjaman di bank lain melebihi Rp 25 miliar. Ketiga, bank jangan memberikan pinjaman kepada debitor yang telah bermasalah pada bank lain, karena kolektibilitas bank pemberi kredit terakhir akan tertarik ke kolektibilitas yang paling buruk. Tabel 2: Penetapan Kolektibilitas Seragam berlaku sampai dengan 1 Agustus 2006 Bank
Debitor
Jumlah Kredit
Kolektibilitas
Proyek
X X
Masuk 50 besar Ya Tidak
A B
n.a Rp 20 M
n.a n,a
n.a n.a
A B
X X
Ya Tidak
n.a Rp 30 M
DPK KL
n.a n.a
KL KL
KL KL
A B
X X
Tidak Tidak
Rp 30 M Rp 20 M
DPK L
n.a n.a
Bank A Tidak terpengaruh Bank B
Bank A Tidak terpengaruh Bank B
X
A B
Ya Tidak
Rp 14 M Rp 10 M
DPK KL
Z Z
KL KL
KL KL
X
A B D E
Ya Tidak Tidak Tidak
Rp 14 M Rp 10 M Rp 20 M Rp 20 M Rp 40 M
DPK KL KL D
Z Z Z Z
KL KL KL D
D D D D
Y
Kesimpulan Sementara Kolektibiltas Bank A Tidak terpengaruh Bank B
Kesimpulan Final Kolektibiltas Bank A Tidak terpengaruh Bank B
Sumber: Surat Edaran Bank Indonesia No. 8 /2/DPNP tanggal 30 Januari 2006, diolah Keterangan: - n.a: not available (tidak ada informasi) - pemberlakuan pentahapan tabel sesuai yang ditetapkan PBI (lihat tabel 1) - Yang dicetak merah merupakan kunci penentuan kolektibilitas debitor Rumitnya Kriteria dan Risiko Sanksi Dengan mempertimbangkan rumitnya cara penetapan kriteria kolektibilitas seragam dengan
manfaat
yang
akan
diperoleh
perbankan,
tampaknya
kurang
seimbang.
Pemberlakuan pentahapan kolektibilitas seragam yang bertujuan untuk memberikan kelonggaran kepada bank agar dapat melakukan ekspansi kredit di tahun 2006, tampaknya kurang mengenai sasaran. Ini karena, pemberlakukan pentahapan tidak berlaku untuk kredit sindikasi untuk pembiayaan sebuah sebuah proyek. Padahal, dari informasi yang beredar, justru pada kredit sindikasi inilah beberapa bank besar terpaksa menyeragamkan
6 kolektibilitasnya sesuai kondisi terburuk yang berakibat pada peningkatan angka NPL mereka. Padahal sebelum adanya ketentuan BI ini, kolektibilitas kredit sindikasi pada bank peserta berbeda-beda sesuai dengan kinrja pinjaman di setiap bank. Selain kriteria kolektibilitas yang rumit dengan manfaat yang kurang signifkan, maka kesuksesan pemberlakuan SE BI ini sangat tergantung pada akurasi informasi debitor (tidak hanya nama debitor namun juga nama proyek) yang wajib disediakan oleh BI. Tanpa adanya iformasi nama debitor dan nama proyek, maka tidak ada jaminan bahwa sebuah bank akan melakukan kolektibilitas kredit debitornya dengan benar sesuai SE BI. Sebagai contoh, bagaimana kalau debitor telah memperoleh pinjaman dari bank di luar negeri untuk proyek yang sama? Bagaimana bank di luar negeri dapat memberi info kepada BI karena mereka tidak diwajibkan lapor ke BI dan bagaimanakah kriteria kolektibilitas kredit perbankan di luar negeri? apakah sama dengan ketentuan kolektibilitas BI? Tanpa adanya info dari BI, maka tidak mustahil perbankan domestik dapat terjebak pada pemberian pinjaman pada proyek debitor yang telah telah memiliki kredit bermasalah dengan bank luar negeri. Dengan mempertimbangkan rumitnya kriteria penetapan kolektibilitas yang ditetapkan BI, manfaat yang diperoleh bank, dan sanksi yang dikenakan oleh BI jika bank tidak mengikuti ketentuan BI tersebut perlu menjadi renungan ke depan. Perlu ditegaskan di sini baha sanksi yang akan dikenakan oleh BI terhadap bank yang tidak melaksanakan kolektibiltas sesuai SE BI antara lain berupa; teguran tertulis; pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan pencantuman pengurus dan atau pemegang saham bank dalam daftar orang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus bank. Untuk menghindari sanksi, khususnya jika timbulnya kesalahan yang tidak disengaja akibat keterbatasan informasi debitor, maka perlu dipertimbangkan untuk segera mencabut SE BI mengenai pentahapan kolektibilitas seragam ini dan tetap memberlakukan secara murni ketentuan kolektibilitas sebagaimana telah diatur melalui Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005. Menurut hemat saya, ketentuan penyeragaman kolektibilitas yang lalu sudah benar dan sangat mendorong terwujdunya praktik kehati-hatian bank. Namun dengan adanya kriteria pentahapan pemberlakuan kolektibilitas seragam ini justru akan menambah rumitanya penetapan cara kolektibilitas dan sangat berpotensi untuk menimbulkan kesalahan bagi bank yang akan berdampak pada pegenaan sanksi oleh BI.